10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Anemia Pada Anak Usia Sekolah 1. Pengertian Anemia Anemia adalah istilah yang menunjukan rendahnya hitung sel darah merah dan kadar hemoglobin dan hematokrit dibawah normal . Anemia bukan merupakan penyakit, melainkan merupakan pencerminan keadaan suatu penyakit atau gangguan fungsi tubuh. Secara fisiologis anemia terjadi apabila terdapat kekurangan jumlah hemoglobin untuk mengangkut oksigen ke jaringan (Smeltzer, 2002).
Serta pengertian tentang anemia gizi besi adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan zat besi dalam darah , artinya konsentrasi hemoglobin dalam darah berkurang karena terganggunya pembentukan sel – sel darah merah akibat kurangnya kadar besi dalam darah . Semakin berat kekurangan zat besi yang terjadi akan semakin berat pula anemia yang diderita (Gibney, 2008 ). Untuk mengetahui seorang anak mengalami anemia atau tidak, maka dapat dilihat batasan kadar hemoglobinnya . Batasan yang umum digunakan adalah kriteria WHO pada tahun 2001. Terdapat kriteria batas normal kadar Hb berdasarkan umur dan jenis kelamin , data tersebut dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 2.1 Batasan normal kadar Hb Kelompok
Umur
Hemogloblin (gr/dl)
Anak usia sekolah
5 – 11
tahun
11,5
laki – laki dan perempuan
12 – 14 tahun
12,0
Sumber : (WHO, 2001 dalam Supariasa 2002).
11
2. Derajat Anemia pada anak Derajat anemia untuk menentukan seorang anak mengalami anemia atau tidak dapat ditentukan oleh jumlah kadar Hb yang terdapat dalam tubuh. Klasifikasi derajat anemia yang umum dipakai dalah sebagai berikut : a. Ringan sekali
Hb 10 gr/dl – 13 gr / dl
b. Ringan
Hb 8 gr / dl – 9,9 gr / dl
c. Sedang
Hb 6 gr / dl – 7,9 gr / dl
d. Berat
Hb < 6 gr / dl
(Sumber : WHO, 2002,. dalam Wiwik , 2008).
3. Etiologi Anemia Menurut Price (2006)
penyebab anemia dapat dikelompokan sebagai
berikut : 1. Gangguan produksi eritrosit yang dapat terjadi karena : a) Perubahan sintesa Hb yang dapat menimbulkan anemi difisiensi Fe, Thalasemia, dan anemi infeksi kronik. b) Perubahan sintesa DNA akibat kekurangan nutrien yang dapat menimbulkan anemi pernisiosa dan anemi asam folat. c) Fungsi sel induk ( stem sel ) terganggu , sehingga dapat menimbulkan anemi aplastik dan leukemia. d) Infiltrasi sumsum tulang, misalnya karena karsinoma. 2. Kehilangan darah : a) Akut karena perdarahan atau trauma / kecelakaan yang terjadi secara mendadak. b)
Kronis karena perdarahan pada saluran cerna atau menorhagia.
3. Meningkatnya pemecahan eritrosit ( hemolisis). Hemolisis dapat terjadi karena : a) Faktor bawaan, misalnya, kekurangan enzim G6PD ( untuk mencegah kerusakan eritrosit. b) Faktor yang didapat, yaitu adanya bahan yang dapat merusak eritrosit misalnya, ureum pada darah karena gangguan ginjal atau penggunaan obat acetosal.
12
4. Bahan baku untuk pembentukan eritrosit tidak ada. Bahan baku yang dimaksud adalah protein , asam folat, vitamin B12, dan mineral Fe.Sebagian besar anemia anak disebabkan oleh kekurangan satu atau lebih zat gizi esensial (zat besi, asam folat, B12) yang digunakan dalam pembentukan sel-sel darah merah. Anemia bisa juga disebabkan oleh kondisi lain seperti penyakit malaria, infeksi cacing tambang (Masrizal, 2007).
Tanda – tanda dari anemia gizi dimulai dengan menipisnya simpanan zat besi (feritinin) dan bertambahnya absorsi zat besi yang digambarkan dengan meningkatnya kapasitas pengikat zat besi. Pada tahap yang lebih lanjut berupa habisnya simpanan zat besi yang digambarkan dengan meningkatnya kapasitas simpanan zat besi , berkurangnya kejenuhan transferin, berkurangnya jumlah protoporporin yang diubah menjadi heme dan dikuti dengan menurunya kadar feritinin serum dan akhirnya terjadi anemia dengan ciri khas rendahnya kadar hemogloblin (Gibney,2008).
4. Tanda Gejala Anemia Anak Tanda gejala yang sering dijumpai pada anak selain dilihat dari beratnya anemia, berbagai faktor mempengaruhi berat dan adanya gejala : 1) kecepatan kejadian anemia, 2) durasinya misalnya kronisitas, 3) kebutuhan metabolisme pasien yang bersangkutan, 4) adanya kelainan lain atau kecacatan dan 5) komplikasi tertentu atau keadaan penyerta kondisi yang mengakibatkan anemia (Smeltzer, 2002).
Sedangkan tanda gejala menurut Mansjoer (2006) dapat digolongkan menjadi tiga jenis gejala yaitu : 1. Gejala umum anemia, disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia organ target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia setelah penurunan hemoglobin sampai kadar tertentu ( Hb <7g/dl). Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah , lesu, cepat lelah, telinga mendenging (tinnitus), mata berkunang –
13
kunang, kaki terasa dingin, sesak nafas dan dyspepsia. Pada mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan dibawah kuku. Sindrom anemia bersifat tidak spesifik karena dapat ditimbulkan oleh penyakit diluar anemia dan tidak sensitive karena timbul setelah penurunan hemoglobin berat ( Hb < 7g/dl ). 2) Gejala masing – masing anemia, gejala ini spesifik untuk masing – masing jenis anemia, sebagai berikut : a) anemia defisiensi besi gejalanya antara lain disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, dan kuku sendok ( koilonychia ). b) anemia megaloblastik antara lain glositis, gangguan neurologik pada defisiensi vitamin B12. c) anemia aplastik antara lain seperti perdarahan, dan tanda – tanda infeksi. 3) gejala penyaikt dasar yaitu gejala yang sering timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia sangat bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut. Misalnya gejala akibat infeksi cacing tambang seperti mengalami sakit perut, pembengkakan parotis, dan warna kuning pada telapak tangan. Pada kasus tertentu sering gejala penyakit dasar lebih dominan, seperti misalnya pada anemia akibat penyakit kronik oleh karena arthritis rheumatoid.
Selain tanda dan gejala yang terjadi pada anemia diatas, individu dengan defisiensi besi yang berat ( besi plasma kurang dari 40 mg/ dl, hemoglobin 6 sampai 7 g /dl) memiliki rambut yang rapuh dan halus serta kuku tipis, rata, mudah patah dan mungkin berbentuk sendok (koilonikia). Selain itu atrofi paila lidah mengakibatkan lidah tampak pucat, licin, mengkilat, bewarna merah daging dan meradang serta sakit. Dapat juga terjadi stomatitis angularis, pecah – pecah disertai kemerahan dan nyeri disudut mulut (Price, 2006).
Meskipun tidak spesifik, anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting pada kasus anemia untuk mngarahkan diagnosa anemia. Tetapi pada umumnya diagnosis anemia memerlukan pemeriksaan laboratorium.
14
5. Patofisiologi Terjadinya Anemia Menurut Price (2006) patofisiologi anemia defisiensi besi secara morfologis, Keadaan ini diklasifikasikan sebagai anemia mikrositik hipokromik dengan penurunan kuantitatif sintesis hemoglobin. Definisi besi merupakan penyebab utama anemia didunia dan terutama sering dijumpai pada perempuan usai subur disebabkan oleh kehilangan darah sewaktu menstruasi dan peningkatan kebutuhan besi selama kehamilan . Penyebab- penyebab lain defisiensi besi adalah : (1) asupan besi yang tidak cukup, misal , pada masa bayi – bayi yang hanya diberi diet susu saja selama 12 – 24 bulan dan pada individu – individu tertentu yang vegetarian ketat; (2) gangguan absorsi setelah gastrektomi dan (3) kehilangan darah menetap, seperti pada perdarahan saluran cerna lambat akibat polip, neoplasma, gastritis, varises esofagus, ingesti aspirin dan hemorroid.
Dalam keadaan normal tubuh seorang dewasa rata - rata mengandung 10 mg besi, dan untuk seorang anak rata – rata mengadung 11 – 12 mg besi bergantung pada jenis kelamin dan ukuran tubuhnya(Supariasa, 2002) . Lebih dari dua pertiga besi terdapat didalam hemoglobin. Besi dilepas dengan semakin tua serta matinya sel dan diangkut melalui transferin plasma ke sumsum tulang untuk eritropoiesis. Dengan pengecualian mioglobin ( otot ) dan enzim- enzim heme dalam jumlah yang sangat sedikit, sisa zat besi disimpan di dalam hati, limpa, dan dalam sumsum tulang sebagai feritinin dan hemosiderin untuk kebutuhan – kebutuhan lebih lanjut.
Walaupun dalam diet rata – rata mengandung 10 sampai 20 mg besi, hanya sekitar 5 % hingga 10 % ( 1 sampai 2 mg) yang sebenarnya diabsorsi. Pada saat persediaan besi berkurang, maka lebih banyak besi diasbsorsi dari diet. Besi yang diingesti diubah menjadi besi ferro di dalam lambung dan duodeunum serta diabsorpsi dari duodenum dan jejunum
15
proksimal. Kemudian besi diangkut oleh transferin plasma ke sumsum tulang untuk sintesis hemoglobin atau ke tempat penyimpanan di jaringan. Tiap mililiter darah mengandung 0,5 mg besi. Kehilangan besi umumnya sedikit sekali, dari 0,5 sampai 1mg / hari . Namun , yang mengalami menstruasi kehilangan tambahan sebanyak 15 sampai 28 mg / bulan. Walaupun kehilangan darah karena menstruasi berhenti selama kehamilan, kebutuhan besi harian meningkat untuk mencukupi permintaan karena meningkatnya volume darah ibu dan pembentukan plasenta, tali pusat, dan janin , serta mengimbangi darah yang hilang selama kelahiran.
Selain tanda – tanda dan gejala – gejala yang terjadi pada anemia, individu dengan defisiensi besi yang berat ( besi plasma kurang dari 40 mg / dl: hemoglobin 6 sampai 7 g/ dl) memiliki rambut yang rapuh dan halus serta kuku tipis, rata , mudah patah dan mungkin berbentuk sendok (koilonikia). Selain itu, antrofi papila lidah mengalibatkan lidah tampak pucat , licin, mengkilat, bewarna merah daging, dan meradang serta sakit. Dapat juga terjadi stomatitis angularis, pecah – pecah disertai kemerahan dan nyeri di sudut mulut.
Pemeriksaan darah menunjukan jumlah SDM normal atau hampir normal dan kadar hemoglobin berkurang, Pada asupan darah perifer, SDM mikrositik dan hipokromik ( MCV, MCHC, dan MCH berkurang ) disertai poikilositosis dan anisositosis. Jumlah retikulosit dapat normal atau berkurang . Kadar besi berkurang sedangkan kapasitas mengikat – besi serum total meningkat.
Untuk mengobati difesiensi besi, penyebab dasar anemia harus diidentifikasi dan dihilangkan. Intervensi pembedahan mingkin diperlukan untuk menghambat perdarahan aktif akibat polip, ulkus, keganasan dan hemoroid: perubahan diet dapat diperlukan untuk bayi – bayi yang hanya diberi susu atau individu dengan idionsnkrasi makanan atau yang menggunakan aspirin dalam dosis besar. Walaupun modifikasi diet dapat
16
meningkatkan besi yang tesedia ( misalnya, dengan menambahkan hati ) , suplementasi besi diperlukan untuk meningkatkan hemoglobin dan mengembalikan cadangan besi. Besi tersedia dalam bentuk parenteral dan oral . sebagian besar orang berespon baik terhadap senyawa – senyawa oral seperti ferosulfat , 325 mg tiap tiga kali sehari selama paling sedikit 6 bulan untuk menggantikan cadangan besi. Sediaan besi perenteral digunakan pada pasien yang tidak dapat menoleransi sediaan oral atau yang tidak patuh. Besi parenteral memiliki insiden terjadinya reaksi – reaksi yang merugikan relatif tinggi. Pasien tersebut diberikan dosis uji dan dipantau selama satu jam. Kila pasien tersebut tidak mengalami efek samping , sisa dosisnya diberikan 2 jam kemudian .
6.
Cara Mengukur Anemia Untuk mengetahui penyebab anemia, harus dilakukan pendekatan diasnotik secara bertahap dengan mengumpulkan data klinis, pemeriksaan fisik dan laboratorium. Perlu ditekankan bahwa anemia sebenarnya adalah bukan penyakit tetapi suatu keadaan yang ditandai dengan menurunnya kadar hemoglobin ( Hb) dibawah normal ( Indriawati, 2002).
Dasar pemikiran kadar Hb adalah frekuensi khusus Hb. Fungsi khusus dari Hb adalah kemampuanya mengangkut oksigen dengan lemah dan reversible. Oksigen ini tidak berikatan dengan besi fero yang bervalensi koordinasi dari atom besi. Setiap molekul mengandung 4 hem, sehingga 1 molekul Hb terdiri dari 4 atom besi dan dapat mengikat 4 molekul oksigen. Jadi dasar penentuan kadar Hb dalam darah meliputi: (1) menentukan ml O 2 yang dapat diikat oleh Hb ( 1.34 ml O 2 dapat diikat oleh 1 gram Hb). (2) menentukan banyaknya CO 2 yang dapat diikat oleh Hb ( 1,34 ml CO 2 dapat diikat oleh 1 gram Hb ). (3) membandingkan intensitas warna Hb atau derivariat dengan suatu standart yang lebih terperinci secara kalorimetris ( Indriawati, 2002).
17
Pemeriksaaan kadar Hb dilapangan umumnya menggunakan 3 metode yaitu : kertas saring ( talquist ) sahli dan Hemocue. Tetapi metode umum yang direkomendasikan untuk digunakan pada survei prevalensi anemia pada
populasi
adalah
haemogloblinometri
dengan
metode
cyanmetheglobin dilaboratorium dan sistem hemocue ( UNICEF, UNU, WHO, 2001 dalam indriawati 2002).
Pemeriksaan kadar Hb dengan metode talquist dilakukan dengan cara sebagai berikut : 1.
Darah dihisap dengan kertas hisap sampai meresap betul dan ditunggu 1-2 menit dengan kertas hisap sampai Hb menjadi HBO 2
secara
optimal, yang warnanya lebih tua dibandingkan warna darah diawal penghisapan dikertas saring. 2.
Kemudian bercak darah yang didapatkan, ditempatkan dibawah lubang dari skala berwarna untuk disamakan . Pembacaan hanya dapat dilakukan dengan bantuan sinar matahari ( siang hari ). Perincian pembacaan skala ( dibandingkan dengan metode sahli ) yaitu 100% = 16 gram / 100 ml Pemeriksaan dengan metode talquist ini tidak begitu akurat dan hanya dilakukan untuk mengetahui kekurangan Hb secara kasar saja ( Indriawati, 2002)
Adapun pemeriksaan Hb dengan menggunakan metode sahli adalah sebagai berikut : 1. Tabung diisi dahulu dengan 0,1 N HCL sampai tanda 2, kemudian darah diserap dihisap dengan menggunakan pipet sampai tanda 20 dan sebelum menjedal segera dihembuskan kedalam tabung. Untuk membersihkan sisa – sisa darah didalam pipet maka HCL didalam tabung dihisap dan dihembuskan lagi dampai 3 kali. 2. Ditunggu dahulu sampai 1 – 2 menit, berturut – turut akan terdjadi hemolisis eritrosit, dan Hb yang dipecah akan menjadi hem dan globin. Kemudian hem dengan HCL akan membentuk hematicin – HCL yang
18
merupakan senyawa yang lebih stabil siudara dibandingkan dengan Hb yang berwarna coklat. 3. Dengan pipet penetes, hematicin – HCL diencerkan sampai warnanya sesuai dengan warna standart. Kadar Hb dapat ditentukan dengan membaca skala pada tabung. Jadi pada prinsipnya metode sahli dilakukan dengan mengencerkan darah menggunakan larutan HCL sehingga HB berubah menjadi hematinin asam. Larutan campuran tersebut dilarutkan dengan akuades sampai warnanya sama dengan warna batang gelas standart, kadar Hb dapat ditentukan ( Indriawati, 2002). Metode cyanmethemoglobin untuk menentukan kadar Hb adalah metode laboratorium terbaik untuk pemeriksaan kuantitatif Hb, sehingga dianjurkan oleh WHO ( Indriawati, 2002) metode ini merupakan rujukan untuk perbandingan dan standarisasi metode – metode yang lainya. Caranya adalah : sejumlah darah dilarutkan dengan reagen ( larutan Drabkin) dan kadar Hb akan diketahui setelah beberapa waktu secara akurat, dengan bantuan fotometer ( UNICEF, UNU, WHO,2001, dalam Indriawati 2002).
Sistem hemocue adalah metode kuantitatif yang reliabel untuk menentukan kadar Hb
pada survei dilapangan, yang didasari oleh metode
cyanmethemoglobin. Sistem Hemocue terdiri dari perangkat yang portabel, fotometer yang diaktifkan dengan baterai, dan sejumlah cuvet untuk pengumpulan darah. Sistem ini unik untuk survei cepat dilapangan karena tidak perlu menambahkan larutan reagen untuk satu kali pengumpulan darah dan pengukuran Hb. Staf survei lapangan yang bukan tenaga laboratorium pun bisa dengan mudah dilatih untuk menggunkan sistem ini ( UNICEF, UNU, WHO, 2001, dalam Indriawati, 2002).
Meskipun penentuan Hb merupakan cara yang paling umum dilakukan untuk menentukan status anemia ini , tetapi perlu mempertimbangkan baberapa hal yaitu : 1) ketersediaan peralatan, terutama spectrophotometer jarang ada dilapangan, 2) ketersediaan standart Hb sangat terbatas,
19
sehingga standarisasi secara periodik jarang dilakukan dan 3) penentuan kadar Hb dengan cara sahli adalah pilihan yang banyak dilakukan , padahal tidak akurat.
Cara Cyanmethemoglobin pada metode ini hemoglobin dioksidasi oleh kalium ferrosida menjadi methemoglobin yang kemudian bereaksi dengan ion sianisida (CN2-) membentuk ion sian-methemodglobin yang berwarna merah. Intensitas warna dibaca dengan fotometer dan dibandingkan dengan standar. Karena yang membandingkan alat elektronik, maka hasilnya lebih objektif. Namun, fotometer saat ini masih cukup mahal, sehingga belum semua laboratorium memilikinya. Mengingat hal diatas, percobaan dengan metode sahli masih digunakan di samping metode sianmethemoglobin yang lebih canggih(Supariasa, 2002).
7.
Pencegahan Anemia Diet pada semua orang yang harus mencangkup zat besi yang cukup. Daging merah, hati dan kuning telur merupakan sumber penting zat besi. Tepung, roti dan beberapa sereal yang diperkaya dengan besi baik untuk pencegahan. Jika tidak mendapatkan cukup besi dalam diet, maka dapat dilakukan suplementasi zat besi. Selama periode tertentu
yang
membutuhkan zat besi tambahan (seperti kehamilan dan menyusui), maka jumlah zat besi dalam diet harus ditinggalkan atau dengan suplementasi zat besi (Proverawati, 2011).
8. Pengobatan Anemia Penyebab kekurangan zat besi harus ditemukan terlebih dahulu, terutama pada pasien yang lansia yang menghadapi resiko terbesar untuk kangker pencernaan. Telah tersedia suplemen besi ( fero sulfat), untuk penyerapan zat besi terbaik, minum suplemen ini dengan perut kosong. Namun, banyak orang yang tidak dapat mentoleransi keadaan ini dan mungkin perlu mengkonsumsi suplemen bersamaan dengan makanan.
20
Pasien yang tidak bisa mentolelir besi melalui mulut dapat menerimanya melalui injeksi vena (intravena) atau dengan suntikan ke dalam otot. Susu dan antasida dapat mengganggu penyerapan zat besi dan tidak harus diambil pada waktu yang sama sebagai suplemen zat besi. Vitamin c dapat meningkatkan penyerapan dan sangat penting dalam produksi hemoglobin. Kondisi .Makanan yang banyak mengandung zat besi antara lain telur ( kuning telur), ikan, kacang – kacangan , daging, unggas, kismis, roti gandum (Proverawati, 2011).
B. Faktor – Faktor Yang Berhubungan dengan Anemia Anak Usia Sekolah Anak usia sekolah menderita anemia dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu terdapat faktor - faktor yang menyebabkan anemia antara lain: 1. Faktor langsung Menurut Price (2006) faktor langsung disebabkan oleh penghancuran sel darah merah yang berlebihan, kehilangan darah, penurunan produksi sel darah merah akibat mengidap penyakit infeksi malaria dan kecacingan . Kemudian menurut Mazrizal (2007) faktor langsung yang sering dijumpai pada anak usia sekolah yaitu dipengaruhi oleh kebutuhan tubuh yang meningkat, akibat mengidap penyakit kronis dan kehilangan darah karena menstruasi dan infeksi parasit kecacingan. Di negara berkembang seperti Indonesia penyakit kecacingan masih merupakan masalah yang besar untuk kasus anemia gizi besi, karena diperkirakan cacing menghisap darah 2-100 cc setaip harinya .
2. Faktor tidak langsung Kemudian selain faktor langsung diatas terdapat faktor tidak langsung yang menyebabkan anemia antara lain seperti faktor pengetahuan yaitu seperti status pendidikan, selanjutnya disebabkan oleh keadaan lingkungan , kurangnya asupan kebutuhan zat besi yang dikarenakan kebutuhan tubuh akan zat besi meningkat ( Khumaidi 1989 dalam Mazrizal 2007 ).
21
Adapun faktor tidak langsung yang mempengaruhi kejadian anemia pada anak usia sekolah antara lain : 1. Tingkat Pendapatan keluarga Pendapatan keluarga merupakan faktor yang paling menentukan kuantitas dan
kualitas
makanan,
sehingga
rendahnya
pendapatan
akan
mempengaruhi rendahnya daya beli. Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh kembang anak karena orang tua itu dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik primer maupun sekunder. Pendapatan atau penghasilan yang kecil tidak dapat memberi cukup makan pada anggota keluarga, sehingga kebutuhan keluarga tidak tercukupi ( Depkes RI, 2010).
2. Tingkat Pengetahuan Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan ( Notoatmodjo, 2005 ).
3. Pelayanan Kesehatan Pelayanan kesehatan merupakan akses atau keterjangkauan anak dan keluarga terhadap upaya pencegahan penyakit dan pemeliharaan kesehatan seperti penyuluhan kesehatan dan gizi serta sarana kesehatan yang baik seperti posyandu, puskesmas dan rumah sakit ( Depkes, 2005).
4. Asupan Zat Protein Protein memegang peranan esensial dalam mengangkut zat-zat gizi dari saluran cerna melalui dinding saluran cerna ke dalam darah, dari darah ke jaringan-jaringan, dan melalui membran sel ke dalam sel-sel. Sebagai alat angkut, protein ini dapat bertindak secara khusus, misalnya protein pengikat retinol yang hanya mengangkut vitamin A. atau dapat mengangkut beberapa jenis zat gizi seperti besi sebagai transferin (Almatsier, 2010). Protein sebagai alat angkut dan penyimpanan terhadap
22
hemoglobin yaitu mengangkut oksigen dalam eritrosit sedangkan mioglobin mengangkut oksigen dalam otot. Ion besi diangkut dalam plasma darah oleh transferin dan disimpan dalam hati sebagai kompleks dengan ferritin (Winarno, 2002).
Terutama protein hewani, walaupun tidak semua, juga dapat mendorong penyerapan besi nonhem. Protein seluler yang berasal dari daging sapi, kambing, domba, hati, dan ayam menunjang penyerapan besi nonhem. Namun protein yang berasal dari susu sapi, keju dan telur tidak dapat meningkatkan penyerapan besi nonhem. Faktor yang menyebabkan kenaikan penyerapan besi lebih dikenal sebagai MFP (meat, fish, poultry) factor (Wirakusumah, 1999 dalam Almatsier 2010).
Tubuh mendapatkan zat besi melalui makanan . Kandungan zat besi dalam makanan berbeda – beda, dimana makanan yang kaya akan kandungan besi adalah makanan yang berasal dari hewani ( seperti ikan , daging, hati, ayam). Makanan nabati ( seperti sayuran hijau tua) walaupun kaya akan zat besi, namun hanya sedikit yang bias diserap dengan baik oleh usus ( Gibney, 2008).
Rendahnya asupan zat besi sering terjadi pada orang-orang yang mengkonsumsi bahan makananan yang kurang beragam dengan menu makanan yang terdiri dari nasi, kacang-kacangan dan sedikit daging, unggas, ikan yang merupakan sumber zat besi. Gangguan defisiensi besi sering terjadi karena susunan makanan yang salah baik jumlah maupun kualitasnya yang disebabkan oleh kurangnya penyediaan pangan, distribusi makanan yang kurang baik, kebiasaan makan yang salah, kemiskinan dan ketidaktahuan (Masrizal, 2007). Asupan zat protein pada anak dapat dilihat dengan memantau asupan makan selama 3 x 24 jam ( Almatsier, 2010).
23
5. Penyerapan Zat Protein Hasil pencernaan protein terutama berupa asam amino dan ini segera diserap dalam waktu lima menit setelah makan . Absorbsi terutama terjadi dalam usus halus berupa empat sistem absorbs aktif yang membutuhkan energi, yaitu masing – masing untuk asam amino netral, asam amino asam dan basa, serta untuk prolin dan hidroksiprolin. Absorpsi ini menggunakan mekanisme transport natrium seperti halnya pada absorpsi glukosa. Asam amino yang diabsorbsi memasuki sirkulasi darah melalui vena porta dan dibawa kehati. Sebagian asam amino digunakan oleh hati, dan sebagian lagi melalui sirkulasi darah dibawa ke sel – sel jaringan. Kadang – kadang protein yang belum dicerna dapat memasuki mukosa usus halus dan muncul dalam darah. Hal ini sering terjadi pada protein susu dan protein telur yang dapat menimbulkan gejala alergi ( immunological sensitive protein ) yang berpengaruh dalam penghambat maupun penyerapan zat gizi terutama zat besi (Almatsier, 2010)
6. Kebutuhan Zat Besi Kebutuhan zat besi pada anak usia sekolah dipengaruhi oleh pertumbuhan fisik dan aktifitas fisik. Kebutuhan akan zat besi akan meningkat pada masa pertumbuhan seperti pada bayi, anak-anak, remaja, kehamilan dan menyusui. Kebutuhan zat besi juga meningkat pada kasus-kasus pendarahan kronis yang disebabkan oleh parasit (Masrizal, 2007).
Disimpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh pengatahuan, sikap, kepercayaan, tradisi dan sebagainya dari orang yang bersangkutan. Disamping itu, ketersediaan fasilitas dan sikap serta perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku.
Dalam penelitian ini difokuskan pada faktor langsung dan faktor tidak langsung karena yang paling berperan dalam mempengaruhi kejadian anemia pada anak usia sekolah. Adapun faktor – faktor yang diteliti
24
meliputi tingkat pendapatan perkapita keluarga, tingkat pengetahuan anak usia sekolah dan asupan protein serta penyakit infeksi kecacingan.
C. Hubungan pengetahuan tentang anemia dengan anemia anak usia sekolah Penelitian Anita lusiana dkk, (2011) menunjukan bahwa pendidikan gizi diperlukan oleh anak usia sekolah sebagai sarana dalam menunjang status kesehatan anak. Hal ini dikarenakan pendidikan gizi dapat digunakan sebagai salah satu upaya peningkatan kemandirian, sikap kritis dan kehati – hatian terkait pola makan dan pola hidup besih dan sehat. Saat ini pendidikan gizi belum menjadi fokus utama dalam kurikulum pembelajaran siswa. Menurut Soekirman (2000 dalam Nurhayati, 2010), pada umumnya sikap kritis dan hati – hati dalam soal makan belum dimiliki anak indonesia. Kurikulum pendidikan dasar di indonesi belum mengajarkan ilmu sizi secara profesional. Di negara maju, sejak kecil anak – anak telah mendapatkan pendidikan gizi secara teratur. Melalui pembelajaran dikelas dan progam makan siang di sekolah (school lunch), anak – anak didiknya supaya memahami dan mempraktikan pedoman gizi seimbang. Dengan pedoman tersebut , hampir setiap hari mereka diingatkan agar menyukai beragam jenis makanan, terutama jenis sayur dan buah – buahan. Mereka juga diajarkan menjaga kebersihan dan memperhatikan label pembungkus arau makanan untuk menghindari makanan tercemar ataupun kadarluwarsa (Nurhayati, 2010). Keadaan status pengetahuan anak yang memenuhi syarat kesehatan dengan terpenuhinya syarat – syarat kebiasaan konsumsi makanan yang sehat yang telah dijelaskan oleh peneliti diatas.
D. Hubungan pendapatan perkapita keluarga dengan anemia anak usia sekolah Pendapatan perkapita sangat mempengaruhi perbaikan pendidikan dan perbaikan pelayanan kesehatan yang diinginkan oleh masyarakat. Rata - rata keluarga dengan pendapatan yang cukup baik akan memilih tingkat pendidikan dan sarana kesehatan yang bagus dan bermutu (Notoatmodjo,
25
2007). Penghasilan perkapita perbulan yang dihitung dari jumlah rata-rata pendapatan yang diterima keluarga baik tetap maupun tidak tetap setiap bulan dibagi dengan jumlah anggota keluarga yang dinyatakan dalam rupiah. Keluarga dengan pendapatan lebih tinggi akan mempunyai kesempatan untuk memperoleh atau menyediakan jenis makanan yang lebih bervariasi baik dari aneka macam makanan maupun kualitasnya. Keadaan status pendapatan sangat berpengaruh dengan status kesehatan anak dalam pemenuhan keanekaragaman makanan yang bergizi dan bermutu yang telah dijelaskan oleh peneliti diatas.
E. Hubungan asupan protein dengan anemia anak usia sekolah Penelitian
Isdaryanti
(2007)
menunjukan
energi
diperlukan
untuk
kelangsungan proses-proses di dalam tubuh seperti proses peredaran dan sirkulasi darah, denyut jantung, pernafasan, pencernaan, proses fisiologis lainnya, untuk bergerak atau melakukan pekerjaan fisik. Energi dalam tubuh dapat timbul karena adanya pembakaran karbohidrat, protein dan lemak, karena itu agar energi tercukupi perlu pemasukan makanan yang cukup dengan mengkonsumsi makanan yang cukup dan seimbang. Protein diperlukan oleh tubuh untuk membangun sel-sel yang telah rusak, membentuk zat-zat pengatur seperti enzim dan hormon, membentuk zat anti energi dimana tiap gram protein menghasilkan sekitar 4,1 kalori (Kartasapoetra & Marsetyo, 2003).
Protein selain untuk membangun struktur tubuh ( pembentukan berbagai jaringan) juga akan disimpan untuk digunakan dalam keadaan darurat sehingga pertumbuhan atau kehidupan dapat terus terjamin dengan wajar. Kekurangan protein yang terus menerus akan menimbulkan gejala yaitu pertumbuhan kurang baik, daya tahan tubuh menurun, rentan terhadap penyakit, daya kreatifitas dan daya kerja merosot, mental lemah dan lain-lain (Kartasapoetra & Marsetyo,2003). Sumber-sumber protein diperoleh dari bahan makanan berasal dari hewan dan tumbuh-tumbuhan. Protein hewani termasuk kualitas lengkap dan protein
26
nabati mempunyai nilai kualitas setengah sempurna atau protein tidak lengkap (Sediaoetama, 1987).
Protein sebagai pembentuk energi tergantung macam dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi. Untuk menentukan nilai energi dan protein dalam tubuh dapat memperhatikan angka-angka protein tiap bahan makanan. Mengacu pada hal tersebut maka kekurangan asupan protein sangat berpengaruh dengan status kesehatan anak saat ini.
F. Hubungan faktor kecacingan dengan anemia anak usia sekolah Penelitian Rahmat (2005) menunjukan penyakit cacingan merupakan salah satu penyakit yang berbasis pada lingkungan. Hal ini disebabkan oleh iklim tropis dan kelembaban udara tinggi di indonesia yang meupakan lingkungan yang baik untuk perkembangan cacing, serta kondisi sanitasi dan hygiene yang kurang memenuhi syarat kesehatan dan keadaan sosial ekonomi serta pendidikan yang belum memadai (komang, 2003).
Infeksi cacing dapat ditemukan pada berbagai golongan umur, namun lebih sering ditemukan pada anak balita dan usia sekolah dasar, terutama kelompok anak yang mempunyai kebiasaan defekasi disaluran air terbuka dan sekitar rumah, makan tanpa cuci tangan , dan bermain – main di tanah yang tercemar telur cacing tanpa alas kaki.
Secara umum, infeksi cacing biasanya kurang mendapat perhatian yang cukup, terutama dari pihak orang tua. Hal ini disebabkan karena akibat cacing secara langsung tidak dapat terlihat. Dampak negatif yang biasanya timbul yakni penderita mengalami kekurangan gizi, anemia, dan keluhan saluran pencernaan (sakit perut dan diare). Penderita juga mengalami penurunan daya tahan tubuh, sehingga mudah terkena penyakit. Pada anak – anak cacingan berdampak pada kemapuan belajar.
27
G. Kerangka Teori
Malaria Faktor Langsung
Perdarahan Kecacingan
Anemia
Pengetahuan Pendapatan Faktor tidak lansung Asupan protein Lingkungan
Keterangan ---------
: : :
Area penelitian Tidak di teliti Skema 2.1
Kerangka teori faktor – faktor yang berhubungan dengan anemia anak usia Modifikasi dari Price (2006) dan Mazrizal (2007).
28
H. Kerangka Konsep Berdasarkan kerangka teori dan sesuai dengan tujuan penelitian, Variabel terikat dalam penelitian ini adalah anemia anak. Variabel independen adalah tingkat pendapatan keluarga, tingkat Pengetahuan tentang anemia, Asupan zat besi, meningkatnya kebutuhan zat besi oleh tubuh akibat mengidap penyakit infeksi cacing. 1. Pendapatan Keluarga 2. Pengetahuan Tentang Anemia Anemia 3. Asupan Protein 4. Penyakit Infeksi Kecacingan
Skema 2.2 Kerangka Konsep
I. Variabel penelitian 1. Variabel bebas (independent variable) Variabel bebas adalah variabel yang menjadi sebab timbulnya atau berubahnya variabel dependen atau dengan kata lain adalah variabel yang mempengaruhi (Sugiyono, 2008). Variabel bebas (Independent) dalam penelitian ini adalah pendapatan perkapita keluarga, pengetahuan tentang anemia, Asupan zat protein dan infeksi kecacingan. 2. Variable terikat ( dependent variable) Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas ( sugiyono, 2008). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah anemia anak .
29
J. Hipotesis Hipotesis adalah sebagai suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul (Arikunto,2002 ). Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah : 1. Hipotesis Mayor Ada faktor – faktor yang berhubungan dengan anemia anak usia sekolah di wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu Kota Semarang. 2. Hipotesis minor a. Ada hubungan antara tingkat pendapatan perkapita keluarga dengan kejadian anemia pada anak usia sekolah di wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu Kota Semarang. b. Ada hubungan antara tingkat pengetahuan tentang anemia dengan kejadian anemia pada anak usia sekolah
di wilayah kerja
Puskesmas Kedungmundu Kota Semarang. c. Ada hubungan antara tingkat Asupan zat protein dengan kejadian anemia pada anak usia sekolah di wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu Kota Semarang. d. Ada hubungan antara penyakit infeksi cacing dengan kejadian anemia pada anak usia sekolah di wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu Kota Semarang.