BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Hakikat Gizi Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses pencernaan, absobsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari organ-organ, serta menghasilkan energi (Supariasa, dkk, 2001:101). Status gizi adalah keadaan yang diakibatkan oleh status keseimbangan antara jumlah asupan (intake) zat gizi dan jumlah yang dibutuhkan (requirement) oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis: (pertumbuhan fisik, perkembangan, aktivitas, pemeliharaan kesehatan, dan lainnya).Status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutrisi dalam bentuk variabel tertentu (Supariasa, dkk, 2001:114). Pada gilirannya, zat gizi tersebut menyediakan tenaga bagi tubuh, mengatur proses dalam tubuh dan membuat lancarnya pertumbuhan serta memperbaiki jaringan tubuh. Beberapa zat gizi yang disediakan oleh pangan tersebut disebut zat gizi essential, mengingat kenyataan bahwa unsur-unsur tersebut tidak dapat dibentuk dalam tubuh, setidak-tidaknya dalam jumlah yang diperlukan untuk pertumbuhan dan kesihatan yang normal. Jadi zat gizi esensial yang disediakan untuk tubuh yang dihasilkan dalam pangan, umumnya adalah zat gizi yang tidak dibentuk dalam tubuh dan harus disediakan dari unsur-unsur pangan di antaranya adalah asam amino essensial. Semua zat gizi essential diperlukan untuk memperoleh dan memelihara pertumbuhan, perkembangan dan
6
kesehatan yang baik. Oleh karena itu, pengetahuan terapan tentang kandungan zat gizi dalam pangan yang umum dapat diperoleh penduduk di suatu tempat adalah penting guna merencanakan, menyiapkan dan mengkonsumsi makanan seimbang (Supariasa, dkk, 2001:125). Pada umumnya zat gizi dibagi dalm lima kelompok utama, yaitu karbohidrat, lemak, protein, vitamin dan mineral. Sedangkan sejumlah pakar juga
berpendapat air juga merupakan bahagian dalam zat gizi. Hal ini
didasarkan kepada fungsi air dalam metabolism makanan yang cukup penting walaupun air dapat disediakan di luar bahan pangan. Makan makanan yang beraneka ragam sangat bermanfaat bagi kesehatan. Makanan yang beraneka ragam yaitu makanan yang mengandung unsur-unsur zat gizi yang diperlukan tubuh baik kualitas maupun kuantitasnya, dalam pelajaran ilmu gizi biasa disebut triguna makanan yaitu, makanan yang mengandung zat tenaga, pembangun dan zat pengatur. Apabila terjadi kekurangan atas kelengkapan salah satu zat gizi tertentu pada satu jenis makanan, akan dilengkapi oleh zat gizi serupa dari makanan yang lain. Jadi makan makanan yang beraneka ragam akan menjamin terpenuhinya kecukupan sumber zat tenaga, zat pembangun dan zat pengatur. Tubuh manusia memerlukan sejumlah pangan dan gizi secara tetap, sesuai dengan standar kecukupan gizi, namun kebutuhan tersebut tidak selalu dapat terpenuhi. Penduduk yang miskin tidak mendapatkan pangan dan gizi dalam jumlah yang cukup. Mereka menderita lapar pangan dan gizi, mereka menderita gizi kurang.
7
Keadaan gizi seseorang merupakan gambaran apa yang dikonsumsinya dalam jangka waktu yang cukup lama. Bila kekurangan itu ringan, tidak akan dijumpai penyakit defisiensi yang nyata, tetapi akan timbul konsekwensi fungsional yang lebih ringan dan kadang-kadang tidak disadari kalau hal tersebut karena faktor gizi (Ari Agung, 2003:101).
B. Hakikat Pola Makan Pola makan atau pola konsumsi pangan merupakan susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu pola makan merupakan berbagai informasi yang memberi gambaran mengenai macam dan jumlah bahan makanan yang dimakan tiap hari oleh suatu orang dan merupakan ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu.(Yayuk Farida Baliwati. dkk, 2004 : 69). Secara umum bahwa pola makan adalah cara atau perilaku yang ditempuh seseorang atau sekelompok orang dalam memilih, menggunakan bahan makanan dalam konsumsi pangan setiap hari yang meliputi jenis makanan, jumlah makanan dan frekuensi makan yang berdasarkan pada faktor-faktor sosial, budaya dimana mereka hidup. Batissini (2005: 28) mengatakan bahwa pola makan adalah segala sesuatu mengenai frekuensi konsumsi makanan, kebiasaan makan, konsumsi minuman, ukuran porsi, dan kualitas makanan sehari-hari. Anak usia Sekolah Dasar (7-12 tahun) mempunyai karakteristik banyak melakukan aktivitas jasmani. Oleh karena itu, pada masa ini, anak harus memiliki pola makan yang sehat untuk menunjang segala aktivitasnya.
8
Pola makan yang sehat berpengaruh positif pada diri anak seperti menjaga kesehatan, mencegah atau membantu menyembuhkan penyakit. Pedoman pola makan sehat untuk masyarakat secara umum yang sering digunakan adalah pedoman Empat Sehat Lima Sempurna, Makanan Triguna, dan pedoman yang paling akhir diperkenalkan adalah 13 Pesan dasar Gizi Seimbang. Pengertian makanan triguna adalah bahwa makanan atau diet sehari-hari harus mengandung: 1) karbohidrat dan lemak sebagai zat tenaga; 2) protein sebagai zat pembangun; 3) vitamin dan mineral sebagai zat pengatur (Kartasapoetra dan Marsetyo, 2003: 24). Berdasarkan keterangan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pola makan yang sehat harus memenuhi kandungan karbohidrat, lemak, protein, vitamin serta mineral dalam makanan yang sehari-hari dikonsumsi oleh anak. Energi dalam tubuh dapat timbul karena adanya pembakaran karbohidrat, protein dan lemak, karena itu agar energi tercukupi perlu pemasukan makanan yang cukup dengan mengkonsumsi makanan yang cukup dan seimbang. Protein diperlukan oleh tubuh untuk membangun sel-sel yang telah rusak, membentuk zat-zat pengatur seperti enzim dan hormon, membentuk zat anti energi dimana setiap gram protein menghasilkan sekitar 4,1 kalori (Kartasapoetra & Marsetyo, 2003: 20). Energi bukanlah satu-satunya faktor yang menunjang pertumbuhan dan perkembangan anak usia Sekolah Dasar (SD). Selain energi yang cukup, juga dibutuhkan asupan gizi demi optimalnya tumbuh kembang anak. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Purworejo, tahun 2011 tercatat
9
65 anak bawah lima tahun (balita) di Kabupaten Purworejo berstatus gizi buruk. Sekitar 60 % balita penyandang gizi buruk berasal dari keluarga miskin. Sementara 40 % lainnya mengalami gizi buruk karena kesalahan pola makan serta penyakit.
Hal tersebut menunjukkan bahwa kepedulian
masyarakat tentang kebutuhan gizi anak masih kurang. Kenyataan tersebut apabila tidak segera ditangani maka akan berdampak buruk pada prestasi belajar balita yang berstatus gizi buruk tersebut kelak. Pola makan anak akan berpengaruh terhadap status gizi anak tersebut. Status sangat mempengaruhi kemampuan anak dalam mengikuti pelajaran di sekolah dan akan mempengaruhi prestasi belajar. Penelitian Wilma ( 2006: 21 ) di Kabupaten Nabire tentang kaitan indeks prestasi dengan status gizi anak menemukan bahwa semakin rendah status gizi siswa semakin rendah pula nilai prestasi mereka. Huwae ( 2005: 32 ) menyatakan dari 43 sampel anak sekolah yang diteliti di Kabupaten Nabire terdapat 36 % menderita gizi kurang dan 1,3 % mengalami gizi buruk. Penelitian ini menyatakan terdapat hubungan yang erat antara pola makan dengan prestasi belajar siswa sekolah dasar yaitu pola makan sehat siswa maka akan berpengaruh pula terhadap prestasi belajar mereka. C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Makan Pola makan seseorang pada dasarnya tidak dapat dibentuk dengan sendirinya. Menurut Dirjen Binkesmas Depkes RI (2007: 27), berbagai macam faktor yang mempengaruhi pola makan seseorang adalah sebagai berikut:
10
1. Budaya Budaya cukup menentukan jenis makanan yang sering dikonsumsi. Demikian pula letak geografis mempengaruhi makanan yang diinginkannya. Sebagai contoh, nasi untuk orang-orang Asia dan Orientalis, pasta untuk orang-orang Italia, curry (kari) untuk orang-orang India merupakan makanan pokok, selain makana-makanan lain yang mulai ditinggalkan. Makanan laut banyak disukai oleh masyarakat sepanjang pesisir Amerika Utara. Sedangkan penduduk Amerika bagian Selatan lebih menyukai makanan goreng-gorengan Dirjen Binkesmas Depkes RI (2007: 28), 2. Agama/Kepercayaan Agama / kepercayaan juga mempengaruhi jenis makanan yang dikonsumsi. Sebagai contoh, agama Islam dan Yahudi Orthodoks mengharamkan daging babi. Agama Roma Katolik melarang makan daging setiap hari, dan beberapa aliran agama (Protestan) melarang pemeluknya mengkonsumsi teh, kopi atau alkohol Dirjen Binkesmas Depkes RI (2007: 28), 3. Status Sosial Ekonomi Pilihan seseorang terhadap jenis dan kualitas makanan turut dipengaruhi oleh status sosial dan ekonomi. Sebagai contoh, orang kelas menegah ke bawah atau orang miskin di desa tidak sanggup membeli makanan jadi, daging, buah dan sayuran yang mahal. Pendapatan akan membatasi seseorang untuk mengkonsumsi makanan yang mahal
11
harganya. Kelompok sosial juga berpengaruh terhadap kebiasaan makan, misalnya kerang dan siput disukai oleh beberapa kelompok masyarakat, sedangkan kelompok masyarakat yang lain lebih menyukai hamburger dan pizza Dirjen Binkesmas Depkes RI (2007: 29), 4. Personal Preference Hal-hal yang disukai dan tidak disukai sangat berpengaruh terhadap kebiasaan makan seseorang. Orang seringkali memulai kebiasaan makannya sejak dari masa kanak-kanak hingga dewasa. Misalnya, ayah tidak suka makan kai, begitu pula dengan anak lakilakinya. Ibu tidak suka makanan kerang, begitu pula anak perempuannya. Perasaan suka dan tidak suka seseorang terhadap makanan tergantung asosiasinya
terhadap
makanan
tersebut.
Anak-anak
yang
suka
mengunjungi kakek dan neneknya akan ikut menyukai acar karena mereka sering dihidangkan acar. Lain lagi dengan anak yang suka dimarahi bibinya, akan tumbuh perasaan tidak suka pada daging ayam yang dimasak bibinya Dirjen Binkesmas Depkes RI (2007: 29), 5. Rasa Lapar, Nafsu Makan, dan Rasa Kenyang Rasa
lapar
umumnya
merupakan
sensasi
yang
kurang
menyenangkan karena berhubungan dengan kekurangan makanan. Sebaliknya, nafsu makan merupakan sensasi yang menyenangkan berupa keinginan seseorang untuk makan. Sedangkan rasa kenyang merupakan perasaan puas karena telah memenuhi keinginannya untuk makan. Pusat pengaturan dan pengontrolan mekanisme lapar, nafsu makan dan rasa
12
kenyang dilakukan oleh sistem saraf pusat, yaitu hipotalamus Dirjen Binkesmas Depkes RI (2007: 30), 6. Kesehatan Kesehatan seseorang berpengaruh besar terhadap kebiasaan makan. Sariawan atau gigi yang sakit seringkali membuat individu memilih makanan yang lembut. Tidak jarang orang yang kesulitan menelan, memilih menahan lapar dari pada makan Dirjen Binkesmas Depkes RI (2007: 30). D. Kebutuhan Gizi Anak Usia SD Anak usia sekolah dasar dapat digambarkan sebagai bocah berumur 6 sampai 12 tahun, dengan karakteristik pertumbuhan yang relatif tetap dan dengan sedikit masalah pemberian makanan. Pada masa ini terjadi peningkatan nafsu makan secara alamiah, sebuah faktor yang dapat meningkatkan konsumsi makanan. Waktu lebih banyak dihabiskan di sekolah sehingga anak usia ini mulai menyesuaikan dengan jadwal rutin. Mereka juga mencoba mempelajari keterampilan fisik dan menghabiskan banyak waktu untuk berolahraga dan bermain. Di sekolah juga mempelajari tentang makanan dan gizi sebagai bagian dari kurikulum di sekolah. Pengaruh teman sebaya, guru, pelatih dan tokoh-tokoh idola sangatlah besar. Anak pada usia sekolah dasar tumbuh dengan kecepatan genetis masing-masing, dengan perbedaan tinggi badan yang sudah mulai tampak. Ada sebagian anak yang terlihat relatif lebih pendek atau lebih tinggi. Atau, pertumbuhannya lebih lambat dibanding dengan teman-teman sebayanya.
13
Komposisi tubuh anak usia sekolah dasar juga mulai berubah. Komposisi lemak meningkat setelah anak berusia 6 tahun (Muhilal dan Didit Damayanti, 2006: 92). Hal ini diperlukan untuk persiapan percepatan pertumbuhan pubertas. Komposisi tubuh anak laki-laki dengan anak perempuan mulai terlihat berbeda walaupun tidak bermakna. Tubuh anak perempuan lebih banyak lemak, sedangkan badan anak laki-laki lebih banyak jaringan otot. Gizi yang cukup, secara bertahap memainkan peran yang penting selama usia sekolah untuk menjamin bahwa anak-anak mendapatkan pertumbuhan, perkembangan dan kesehatan yang maksimal. Anak usia sekolah 7-12 tahun yang memiliki beragam aktifitas kebutuhan gizinya harus diperhatikan karena pada usia ini anak mudah terpengaruh oleh kebiasaankebiasaan diluar keluarga. Pada usia ini anak mulai memilih/menentukan sendiri. Kadang-kadang timbul kesulitan yang berlebihan terhadap salah satu makanan tertentu yang disebut Food Faddism
(Anggaraini, 2003: 11).
Dinkes DKI RI tahun 1995 (Anggaraini, 2003: 13) mengatakan bahwa anak usia 7-12 tahun masuk dalam kategori pra remaja. Pada golongan umur 1012 tahun kebutuhan energinya relatif lebih besar bila dibandingkan dengan golongan umur 7-9 tahun karena pada usia 10-12 tahun mereka mengalami pertumbuhan lebih cepat terutama penambahan tinggi badan. Kebutuhan gizi pada anak umur 10-12 tahun pun berbeda antara laki-laki dan perempuan. Pertumbuhan dan perkembangan anak usia sekolah dasar akan lebih maksimal jika kebutuhan gizi anak dapat terpenuhi. Selain itu, pembiasaan pola makan sehat di dalam keluarga harus benar-benar ditanamkan agar anak
14
dapat tumbuh dan berkembang secara maksimal. Salah satu pembiasaan yang penting bagi anak adalah sarapan pagi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang makan pagi mempunyai sikap dan prestasi sekolah yang lebih baik daripada anak yang tidak sempat sarapan (Muhilal dan Didit Damayanti, 2006: 95). Penelitian olah Pollit, Leibel, dan Greefield menunjukkan pada anak usia 9-11 tahun dengan gizi baik, kemampuan pemecahan masalahnya dipengaruhi oleh makan pagi. Penelitian lain menunjukkan bahwa konsentrasi berpikir anak yang tidak makan pagi lebih rendah secara bermakna. Hal ini dapat dijelaskan bahwa agar otak dan sel darah merah bekerja diperlukan energi dari glukosa (karbohidrat). Tanpa sarapan, pada tengah hari persediaan glukosa menurun sehingga anak kekurangan energi yang dibutuhkan otak untuk dapat berkonsentrasi. Makanan pagi menyumbang seperempat dari kebutuhan gizi sehari yaitu sekitar 450-500 kalori dengan 8-9 gram protein. Selain kandungan gizinya cukup, bentuk makanan pagi sebaiknya juga yang disukai anak-anak serta praktis pembuatannya (Muhilal dan Didit Damayanti, 2006: 95). E. Karakteristik Siswa Kelas IV, V, dan VI Sekolah Dasar 1. Pertumbuhan dan Perkembangan Dwi Siswoyo dkk, (2007: 96) mengatakan bahwa istilah pertumbuhan pada diri siswa diartikan sebagai bertambahnya tinggi badan, berat badan, semakin efektifnya fungsi otot-otot tubuh dan organ fisik, organ panca indera, kekekaran tubuh dan lain-lain yang menyangkut kemajuan aspek fisik. Istilah perkembangan ditandai dengan semakin
15
optimalnya kemajuan aspek psikis siswa serta kemampuan cipta, rasa, karsa, karya, kematangan pribadi, pengendalian emosi, kepekaan spiritualitas, keimanan dan ketaqwaan. Menurut Hurlock (1992: 24) perkembangan adalah serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman. Berdasarkan pendapat para ahli diatas maka dapat disimpulkan
bahwa
pertumbuhan
pada
siswa
bersifat
kuantitatif
(bertambah tinggi, bertambah besar, dll) sedangkan perkembangan pada siswa bersifat kualitatif (bertambah dewasa, bertambah matang, dll). Pertumbuhan dan perkembangan siswa dari masa anak-anak hingga dewasa melalui berbagai proses dan tahapan. Masing-masing tahap merupakan masa peka siswa terhadap kebutuhan tertentu yang membutuhkan perlakuan sesuai dari pendidik. Maria Montessori dalam Dwi Siswoyo, dkk (2007: 92)
mengemukakan masa peka ini dengan
istilah “sensitive periods”. Tugas seorang pendidik adalah mengenali masa peka yang ada pada diri siswa yang kemudian memberikan pelayanan dan perlakuan yang tepat. Abu Ahmadi dan Munawar Sholeh (2005: 38) mengatakan bahwa masa usia sekolah dasar sering pula disebut sebagai masa intelektual atau masa keserasian sekolah. Pada masa ini secara relatif anak lebih mudah dididik daripada masa sebelum dan sesudahnya. Masa ini diperinci menjadi dua fase, yaitu masa kelas rendah sekolah dasar (kelas 1, 2, dan 3), dan masa kelas tinggi sekolah dasar (kelas 4, 5, dan 6).
16
Abu Ahmadi dan Munawar Sholeh (2005: 39) mengatakan bahwa masa kelas tinggi sekolah dasar memiliki sifat khas antara lain adalah seperti yang disebutkan di bawah ini: a. Adanya minat terhadap kehidupan praktis sehari-hari yang konkret, hal ini menimbulkan adanya kecenderungan untuk membandingkan pekerjaan-pekerjaan yang praktis. b. Amat realistis, ingin tahu, ingin belajar. c. Menjelang masa akhir ini telah ada minat kepada hal-hal dan mata pelajaran khusus, yang oleh para ahli ditafsirkan sebagai mulai menonjolnya faktor-faktor. d. Sampai kira-kira umur 11 tahun anak membutuhkan guru atau orangorang dewasa lainnya untuk menyelesaikan tugasnya dan memenuhi keinginannya, setelah kira-kira umur 11 tahun pada umumnya anak menghadapi tugas-tugasnya dengan bebas dan berusaha menyelesaikannya sendiri. e. Pada masa ini anak memandang nilai (angka rapor) sebagai ukuran yang tepat (sebaik-baiknya) mengenai prestasi sekolah. f. Anak-anak pada masa ini gemar membentuk kelompok sebaya, biasanya untuk dapat bermain bersama-sama.
F. Penelitian yang Relevan Berikut ini adalah beberapa penelitian yang berkaitan dengan pola makan dan gizi siswa sekolah dasar: 1. Penelitian oleh Suhendra tahun 2010 yang berjudul “Gambaran Pola Makan Siswa Kelas V dan VI SD Negeri Boja 1 Kecamatan Boja Kabupaten Kendal”. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa V dan VI SD Negeri Boja 1 Kendal sebanyak 40 orang. Instrumen penelitian berupa kuesioner. Teknis analisis data adalah analisis deskriptif yaitu analisis presentase. Hasil penelitian menunjukkan 52,5% siswa memiliki pola makan baik, 30 % memiliki pola makan cukup baik, dan 17,5% memiliki pola makan kurang baik.
17
G. Kerangka Berpikir Pola makan yang sehat adalah pola makan yang teratur serta memenuhi kandungan karbohidrat, lemak, protein, vitamin serta mineral dalam makanan yang dikonsumsi sehari-hari. Oleh karena itu, pola makan anak harus benar-benar sehat sehingga dapat memenuhi gizi yang dibutuhkan, demi optimalnya pertumbuhan dan perkembangan anak. Hasil wawancara secara singkat antara peneliti dengan siswa SD Negeri Purworejo, memang ada beberapa siswa yang mempunyai pembiasaan pola makan yang sehat seperti terpapar pada paragraf di atas. Namun banyak juga siswa yang mengaku jarang sarapan pagi karena kesibukan orang tuanya sehingga tidak sempat menyediakan sarapan pagi bagi putra-putrinya. Sebagai gantinya, siswa mendapat uang saku yang lebih banyak sehingga ketika istirahat ia bisa membeli makanan apapun yang ia sukai dan mengabaikan nilai gizi dari makanan yang ia makan. Gizi sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak, sehingga asupan nutrisi yang tidak seimbang akan mengakibatkan anak terlalu pendek, terlalu kurus ataupun obesitas. Hal ini mendorong peneliti untuk lebih mengetahui pola makan siswa kelas IV, V dan VI SD Negeri Purworejo, dan penulis berharap hasil penelitian dapat dijadikan salah pertimbangan dalam memotivasi wali murid dan siswa agar memiliki pola makan yang sehat.
18