E RABARUJ AL ANRE S OL US I E NE RGI NAS I ONAL Ol e h: HADI I S MOY O Me mbe r sofI ndone s i a nP e t r ol e umAs s oc i aon( I P A)
1. Latar Belakang Sumber daya alam energi memiliki peranan yang sangat besar bagi suatu negara, baik dalam segi ekonomi, sosial maupun pembangunan nasional. Peranan tersebut juga terefleksi dalam resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menyatakan bahwa kedaulatan permanen atas seluruh kekayaan sumber daya di suatu wilayah dimiliki oleh penduduk dan negara itu sendiri, sehingga seluruh pengusahaannya haruslah dilakukan demi kepentingan pembangunan nasional dan kesejahteraan penduduk negara tersebut.
Sumber daya sebagai sumber kesejahteraan rakyat telah menjadi cita-cita bangsa Indonesia sedari dulu, dimana menurut Undang-Undang Dasar “Bumi dan air dari kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Kata-kata “dikuasai‟ dalam kutipan tersebut mengacu kepada wewenang Negara, diantaranya untuk mengatur dan menyelenggarakan pemeliharaan, penggunaan, juga persediaan sumber daya yang ada di tanah Indonesia.
Salah satu faktor produksi yang saat ini penting dalam menumbuhkan tingkat produktivitas adalah energi. Pada saat ini, fungsi energi menjadi lebih strategis, tidak hanya sebagai sumber penerimaan negara tetapi juga dapat berfungsi sebagai katalisator pertumbuhan ekonomi dan bahkan sebagai aspek penting yang menentukan ketahanan nasional suatu negara.
Indonesia sendiri, mengingat keadaan fisik alamnya, sangatlah kaya akan berbagai sumber daya alam dan potensi energi yang melimpah baik dalam bentuk sumber daya energi tak terbarukan maupun sumber daya energi terbarukan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Indonesia, sejatinya, memiliki kemampuan yang besar untuk menghasilkan energy guna menyokong kesejahteraan penduduknya. Di sisi lain, kebutuhan energi di Indonesia semakin meningkat, dari waktu ke waktu. Hal ini didorong dari adanya pertambahan jumlah penduduk Indonesia yang terus meningkat serta pembangunan industri serta wilayah yang terus terjadi di Indonesia.
1
Pada praktiknya, saat ini, ketersediaan energi di Indonesia tidak lagi dapat menunjang kebutuhan energi yang terus meningkat tersebut. Secara garis besar, fenomena ini terjadi atas beberapa faktor, diantaranya produksi energi di Indonesia yang menurun dari tahun ke tahun, serta terjadinya penipisan sumber daya cadangan yang dimiliki Indonesia. Ditambah lagi, terlepas dari ketersediaan sumber daya terbarukan, hingga saat ini, Indonesia masih menitik beratkan sumber daya energi tak terbarukan yang berasal dari fosil, seperti : minyak bumi, batu bara dan gas alam, sebagai bahan bakar energi. Bukan tidak mungkin jika ketergantungan ini akan berakibat kepada kelangkaan sumber energi.
Selain itu pembangunan infrastruktur gas sangat penting dalam menjaga Ketahanan Energi Nasional baik untuk listrik, pupuk dan industri, namun karena ketidakpastian alokasi gas membuat investasi pembangunan infrastruktur gas menjadi kendala bagi investor.
Masa depan Indonesia akan banyak bertumpu kepada penggunaan gas, mengingat gas memberikan lebih banyak keuntungan secara ekonomi, keamanan dan lingkungan. Dua hal yang masih menjadi penghalang, yakni kurangnya infrastruktur dan kebijakan harga yang terus diupayakan, demi meningkatkan konsumsi gas lebih tinggi lagi di masa mendatang penghentian ekspor gas untuk kepentingan domestik masih sulit dilakukan, terkendala kurangnya infrastruktur gas domestic.
Dalam era globalisasi yang kian kompetitif ini, tidak ada pilihan lain selain sektor hulu Migas meningkatkan kinerjanya baik dalam konteks eksplorasi dan produksi, kepemimpinan, transparansi, manajemennya yang efisien dan efektif juga harus ditunjang oleh infrastruktur dan kekuatan financial yang memadai. Kuncinya adalah meningkatkan kapasitas SDM yang dimiliki. Pemerintah sebagai pemangku kebijakan harus memberikan kepastian hukum bagi kelancaran operasional sektor hulu Migas. Yang sangat dibutuhkan saat ini adalah dukungan dari pemerintah terhadap pengelolaan blok-blok Migas yakni menyangkut perizinan karena sering mempersulit para investor. Kerjasama yang baik antara pemerintah dan pihak swasta dapat menjadi angin segar buat sektor hulu Migas sebab itulah yang membuat tertarik para investor sehingga dapat meningkatkan produksi minyak dan gas dalam negeri. Dengan deminkian, sektor hulu Migas dapat menjadi sektor andalan penyokong utama perekonomian nasional. 2
2. Tujuan Tujuan dari Jalan Resolusi Energi Nasional yaitu : 1. Perlunya sistem dalam
pengelolaan energi dalam mewujudkan ketahanan dan
kemandirian energi dalam mendukung pembangunan nasional berkelanjutan. Dan perubahan paradigma pengelolaan energi nasional, yang menempatkan sumber daya energi sebagai modal pembangunan nasional, bukan hanya komoditi ekspor. 2. Perlu melakukan kebijakan yang berorientasi terhadap diversifikasi sumber energi guna mengatasi menurunnya sumber energi di Indonesia dan mencukupi kebutuhan energi yang terus meningkat. Diversifikasi sumber daya energi ini dilakukan dengan cara pengembangan energi baru terbarukan, yang tersedia dalam kuantitas yang besar di Indonesia. 3. Perlu Road Map (Mapping) energi di Indonesia sehingga perlu kebijakan untuk mempercepat dan memprioritaskan pengembangan energi baik energi yang tidak bisa diperbarui maupun energi baru terbarukan, untuk mendukung ketahanan energi nasional.
3
3. Tata Kelola Energi Nasional 3.1. Kondisi Minyak dan Gas Saat ini 3.1.2. Sejarah Produksi Migas 3.1.2.1. Gas Bumi di Era Kolonial Jauh sebelum pertambangan minyak dan gas dilakukan di Indonesia, penjajah Belanda sudah menggunakan gas untuk beberapa kebutuhannya. Pada tahun 1859, berdirilah Firma I.J.NEindhoven& Co. Gravenhage yang kemudian diambil alih oleh Pemerintah Belanda dan diberi nama Nederlandsch Indische Gas Maatschappij (NV NIGM). Perusahaan ini membangun pabrik gas di Gang Ketapang (Batavia) untuk memproduksi dan mendistribusikan gas buatan atau gas kota. Gas semacam ini dihasilkan dari batubara dan minyak bakar untuk menerangi jalan-jalan di Batavia.
Dengan cepat, NIGM meraih kesuksesan di bidang usaha produksi dan distribusi gas buatan. Lantas, perusahaan ini mendapat konsesi untuk membangun pabrik sejenis di Surabaya dan Semarang. Tak cuma itu, NIGM kemudian memperluas wilayah pengusahaannya dengan memproduksi dan mendistribusikan gas kota di Bogor, Bandung, dan Makasar. Ekspansi NIGM terus berlanjut dengan pesat.
Padatahun 1905, NIGM mengakuisisi perusahaan listrik pertama di Batavia yaitu NV Nederlandsch Indische Electricitiets Maatschappij. Efek dari akuisisi ini menjadikan roda bisnis NIGM mulai berputar pada dua sektor sekaligus, yaitu gas dan listrik. Kelak di kemudian hari, perusahaan ini menjadi cikal bakal kelahiran dua perusahaan milik negara di bidang gas dan kelistrikan.
3.1.2.2. Gas Bumi di Era Kemerdekaan Berakhirnya masa kolonialisasi Belanda dengan ditandai kemerdekaan Republik Indonesia menjadi ujung dari kiprah NIGM. Pada 4 Oktober 1945, kaum pemuda mengambilalih perusahaan listrik dan gas di Jakarta ini. Aksi ini tak berhenti di sini dan disusul tindakan serupa di Surabaya, Semarang, Bandung, dan Medan. Pada akhir Oktober 1945, Pemerintah
4
menetapkan Perusahaan Listrik dan Gas ini berada di bawah Departemen Pekerjaan Umum dengan nama Djawatan Listrik dan Gas.
Pada 3 Oktober 1953, pemerintah melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan Belanda, termasuk perusahaan gas dan listriknya. Pada 23 Mei 1958, Pemerintah membentuk Penguasa Perusahaan Peralihan Listrik dan Gas untuk melakukan pengelolaan gas dan listrik di Indonesia. Badan tersebut kemudian beralih status menjadi Badan Pimpinan Umum Perusahaan Listrik Negara (BPU PLN) pada tahun 1961.
Pada tanggal 13 Mei 1965, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1965, dilakukan pembubaran BPU PLN serta pendirian Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan Perusahaan Negara Gas (PN Gas). Tanggal 13 Mei tersebut kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi PN Gas. PN Gas merupakan perusahaan yang bergerak di bidang penyaluran empat jenis gas kepada para pengguna, yaitu gas bumi, gas batubara, gas minyak bumi, dan gas minyak.
Selain pengalihan NV NIGM menjadi PLN dan PN Gas, pada masa awal kemerdekaan ini eksplorasi gas sudah berlangsung. Produksi gas ini berasal dari ladang gas alam PT Stanvac Indonesia di Pendopo, Sumatera Selatan. Perusahaan ini di masa berikutnya berubah menjadi PT Pertamina (Persero). Ladang gas ini memiliki cadangan gas nonassociated yang besar dan ditemukan tahun 1958. Pada tahun 1961, hasil produksi gas dari ladang inidimanfaatkan secara komersial untuk memasok kebutuhan PT Pupuk Sriwidjaja (Pusri) 1 di Palembang melalui pipa. Momentum ini telah menjadi titik penting dari pengembangan usaha gas bumi di Indonesia.
Perkembangan pemanfaatan gas bumi di Indonesia mengalami peningkatan pesat sejak tahun 1974. Kala itu, Pertamina mulai memasok gas alam melalui pipa gas dari ladang gas di Prabumulih, Sumatera Selatan ke pabrik pupuk Pusri II, Pusri III dan Pusri IV di Palembang. Ini ditandai dengan tuntasnya pembangunan pipa gas dari Limau Barat ke Limau Timur dan Limau Timur ke Prabumulih dengan panjang total 18 km dan dari Prabumulih ke Palembang dengan total panjang 97 km. Pada tahun yang sama, Pertamina mulai mengalirkan gas ke pabrik pupuk PT Pusri IIA dalam kontrak 20 tahun dari 1974-1994. Selanjutnya pembangunan pipa transmisi
5
ini telah mendorong pengembangan Industri pengguna gas di Sumatera Bagian Selatan seperti Pupuk, Listrik, Industri, dan PGN. Pada tahun 1974, terjadi peningkatan penjualan gas bumi di Cirebon dengan pembangunan dan pengoperasian pipa sepanjang 62,5 km untuk menyalurkan gas bumi ke konsumen terbesar kala itu yaitu perusahaan batu kapur. Pemerintah kemudian mengubah pandangan tentang keberadaan gas kota dengan menerbitkan SK Menteri PUTL No. 11/KPTS/1975 tentang susunan organisasi dan tugas PN Gas. SK tersebut secara eksplisit. mencantumkan tugas PN Gas yang meliputi pelayanan gas buatan dan gas bumi. Setelah itu dimulailah kampanye produksi dan penyaluran gas bumi dengan skala yang lebih luas. Tercatat PN Gas kemudian mengembangkan penyaluran gas bumi di Jakarta pada tahun 1979, di Bogor pada tahun 1981.
Di Jawa Barat, pada waktu yang bersamaan, 1974, Pertamina juga memasok gas alam melalui pipa gas dari ladang gas alam di lepas pantai (off shore) laut Jawa dan kawasan Cirebon untuk pabrik pupuk dan industri menengah dan berat di kawasan Jawa Barat dan Cilegon Banten. Pipa gas ini membentang dari kawasan Cirebon menuju Cilegon, Banten memasok gas alam antara lain ke pabrik semen, pabrik pupuk, pabrik keramik, pabrik baja, dan pembangkit listrik tenaga gas dan uap.
Selain itu, PGN juga memperluas pembangunan pipa gas di tanah air. Pada tahun 1996, PGN membangun pipa transmisi gas Grissik-Duri untuk menyalurkan gas bumi dari lapangan Corridor Block Grissik (Sumatera Selatan) ke lapangan eksplorasi minyak bumi Duri (Riau) untuk steam flood. Proyek pembangunan ini selesai tahun 1998. Selanjutnya, PGN menambah wilayah penyaluran gas buminya dengan membangun jaringan distribusi di Surabaya pada tahun 1994 dan di Palembang pada tahun 1996.
3.1.2. Sejarah LNG dan CNG LNG merupakan salah satu bisnis penting yang dimiliki oleh Indonesia. Industri LNG juga menjadi salah satu penyumbang devisa terbesar bagi Indonesia. Malah, Indonesia kenal dunia sebagai salah satu negara produsen sekaligus eksportir LNG terbesar di dunia.
6
Bisnis LNG di Indonesia berawal dari ditemukannya cadangan gas bumi dalam jumlah yang sangat besar di dua area terpisah. Area pertama terletak di Lapangan Gas Arun, Aceh Utara, yang ditemukan oleh Mobil Oil Indonesia di akhir tahun 1971. Area kedua berada di Lapangan Gas Badak, Kalimantan Timur yang ditemukan oleh Huffco Inc (sekarang Vico Indonesia) di awal tahun 1972. Kedua perusahaan tersebut beroperasi di bawah Production Sharing
Contracts (PSC) dengan Pertamina.
Pada saat itu, bisnis LNG belum banyak dikenal. Tercatat hanya ada empat kilang LNG di seluruh dunia pada saat itu dengan pengalaman pengoperasian tiga hingga empat tahun. Meski tanpa pengalaman sebelumnya di bidang LNG, Pertamina bersama Mobil Oil dan Huffco Inc. bersepakat untuk mengembangkan proyek LNG agar bisa mengekspor gas alam berbentuk cair dalam jumlah besar.
Berbekal optimisme dan ambisi yang kuat, Pertamina bersama Mobil Oil dan Huffco Inc bekerja keras untuk menjual proyek kepada dua konsumen LNG potensial, penyandang dana potensial, dan mitra potensial di seluruh dunia. Upaya tersebut akhirnya membuahkan hasil dengan disepakatinya kontrak penjualan LNG terhadap lima perusahaan Jepang : Chubu Electric Co., Kansai Electric Power Co., Kyushu Electric Power Co., Nippon Steel Corp dan Osaka Gas Co. Ltd, pada tanggal 5 Desember 1973.
Kontrak yang kemudian dikenal sebagai “The 1973 Contract” itu berisi komitmen dari para pembeli untuk mengimpor LNG Indonesia selama 20 tahun. Pada saat kontrak diteken, kilang LNG belum selesai didirikan. Pada 26 November 1974, didirikanlah PT Badak NGL sebagai perusahaan yang bertugas mengoperasikan pabrik LNG Badak. Konstruksi kilang Badak dimulai pada saat itu juga dan selesai 36 bulan kemudian pada 5 Juli 1977 dengan diselesaikannya pembangunan train LNG pertama (Train A). Kilang pertama ini diresmikan pada tanggal 1 Agustus 1977. Tanggal 9 Agustus 1974 tercatat sebagai pengapalan LNG pertama ke Senboku, Jepang melalui kapal LNG Aquarius.
LNG Badak tercatat sebagai tonggak sejarah industri LNG Indonesia. PT Badak NGL, yang dikelola oleh Pertamina selama lebih dari 35 tahun, telah memberikan kontribusi yang cukup
7
besar di perindustrian gas internasional. Saat ini, PT Badak NGL dikenal sebagai perusahaan operating organization profesional yang terpercaya dan dapat diandalkan.
Kilang PT Badak NGL di Bontang, Kalimantan Timur
Sementara, pada 16 Maret 1974, didirikanlah PT Arun NGL yang akan menjadi perusahaan operator kilang LNG Arun. Pembangunan enam unit pengolahan pencairan gas alam di kilang LNG Arun melalui beberapa tahapan. Unit pengolahan (train) 1, train 2, dan train 3 dibangun pada awal 1974 oleh Bechtel Inc dan baru selesai pada akhir 1978. Sementara train 4 dan train 5 dibangun pada Februari 1982 hingga akhir 1983.
Kilang PT Arun NGL di Lhokseumawe, NAD
8
Proyek Arun ketiga untuk membangun train 6 dimulai pada November 1984 hingga September 1986. Arun LNG diresmikan pada 19 September 1978 setelah berhasil mengekspor kondensat pertama ke Jepang pada 14 Oktober 1977. Pada tahun 1990, Arun tercatat sebagai produsen LNG terbesar di dunia dengan kapasitas produksi mencapai 1,5 juta ton per tahun.
Sejak pengiriman kargo LNG pertama dari kilang LNG Badak ke Jepang tahun 1977, Pertamina mengusahakan dan menjamin kelancaran penjualan LNG bagian negara dan PSC, menyelesaikan isu-isu marketing LNG, dan memastikan perolehan pendapatan yang optimum dari bisnis LNG Indonesia. Untuk itu, Pertamina melakukan negosiasi dan manajemen kontrak penjualan LNG, negosiasi harga LNG yang pada perjalanannya sering menjadi trendsetter penentu harga jual LNG dunia, dan mengelola revenue LNG pada trustee bank termasuk mengelola cost of sales dan memastikan distribusi net income LNG kepada negara dan PSC. Selain itu, Pertamina juga melakukan negosiasi kontrak kapal LNG termasuk manajemen transportasi LNG yang dilakukan oleh transporter kapal, merencanakan dan menjadwalkan pengiriman LNG melalui koordinasi dengan pembeli LNG, produser gas, kilang LNG, transporter LNG, dan surveyor.
Pengiriman LNG Cargo ke Pasar International
Selain LNG Bontang dan LNG Arun, fasilitas pengolahan gas alam cair lainnya adalah kilang LNG Tangguh di Teluk Bintuni, Papua Barat. Kilang ini menampung gas alam yang berasal dari beberapa blok di sekitar Teluk Bintuni, seperti Blok Berau, Blok Wiriagar dan Blok Muturi. Proyek LNG Tangguh mulai dibangun sesuai dengan persetujuan akhir dari pemerintah pada bulan Maret 2005. 9
Lima tahun setelah itu, LNG Tangguh mulai beroperasi. Saat ini, dua kilang pemrosesan LNG Tangguh memiliki kapasitas produksi 7,6 juta ton per tahun. Rencana pengembangan dengan penambahan kilang LNG ketiga (Train 3) pada kegiatan operasional yang sudah ada akan meningkatkan total kapasitas produksi menjadi 11,4 juta ton per tahun. Kilang LNG Tangguh merupakan kegiatan operasi LNG pertama di Indonesia yang memadukan kegiatan hulu dan hilir.
Fasilitas LNG Tangguh di Papua
Fasilitas LNG lainnya adalah Proyek Donggi Senoro LNG (DSLNG) di Sulawesi Tengah. Fasilitas ini merupakan proyek kilang LNG yang dibangun untuk monetisasi lapangan gas di area Donggi, Matindok, dan Senoro. Pada Proyek DSLNG ini porsi kepemilikan] Pertamina sebesar 29%.
Di sini, Pertamina ikut mendorong implementasi skema hilir LNG dengan terjadinya jual beli gas antara produsen gas (PT Pertamina EP dan JOB Pertamina-Medco Tomori Sulawesi) dengan pengelola kilang LNG (PT DSLNG) untuk menjamin monetisasi gas disisi hulu. DSLNG merupakan proyek LNG pertama di Indonesia yang menganut model pengembangan usaha hilir, yaitu memisahkan kegiatan hulu pasokan bahan baku gas alam dari kegiatan hilir memroduksi LNG, berdasarkan Undang-undang Migas No.22/2001. Sebagai perusahann hilir, DSLNG membeli gas alam dari PT Pertamina EP (area Matindok) dan PT PHE Tomori Sulawesi, 10
PT Medco E&P Tomori Sulawesi dan Tomori E&P Limited (UK) (Senoro field) sebagai pemasok gas alam untuk pabrik liquifikasi yang dimiliki DSLNG.
Progres Proyek Donggi Senoro LNG Plant, Mei 2014
Sebagai langkah lanjutan dalam bisnis LNG dan untuk mendukung pemerintah guna pemenuhan kebutuhan energi nasional, Pertamina dan PGN membentuk PT Nusantara Regas untuk melakukan pembelian LNG dari kilang LNG Badak termasuk pengadaan kapal transportasi LNG serta mengoperasikan FSRU di Teluk Jakarta sejak tahun 2012 untuk memasok gas ke pembangkit listrik PLN di Muara Karang dan Tanjung Priok. Dalam perkembangannya, PT Nusantara Regas juga melakukan pembelian LNG secara multisource dari kilang LNG Tangguh untuk memenuhi kebutuhan gas tambahan PLN.
Sementara itu, dengan berakhirnya kontrak ekspor LNG dari kilang LNG Arun akibat menurunnya pasokan dari lapangan-lapangan gas sekitar, operasionalisasi kilang LNG Arun terpaksa berhenti. Karena itu, menjadi tugas Pertamina untuk mengelola aset kilang LNG Arun. Sebab, berhentinya operasionalisasi kilang LNG Arun berpotensi tidak terutilisasinya aset negara yang memiliki posisi strategis di Indonesia. Untuk memanfaatkan aset tersebut, Pertamina melakukan revitalisasi dan konversi kilang LNG Arun menjadi terminal penerima dan regasifikasi LNG darat pertama di Indonesia dengan kapasitas 400 mmscfd yang 11
terintegrasi dengan pipa transmisi dari Arun hingga Belawan. Dengan investasi senilai lebih dari US$ 500 juta, integrasi fasilitas tersebut diharapkan dapat dimanfaatkan oleh industri pupuk, kelistrikan, dan industri di Aceh dan Sumatera Utara.
3.1.3. Cadangan Minyak dan Gas Bumi Cadangan Minyak dan Gas Bumi didasarkan atas dua klasifikasi utama yaitu Cadangan Terbukti (Proven Reserves) dan Cadangan Potensial. Ada dua klasifikasi Cadangan Potensial, yakni Cadangan Mungkin (Probable Reserves) dan Cadangan Harapan (Possible Reserves). Klasifikasi ini ditentukan oleh tingkat kepastian dari Cadangan tersebut yang bertitik tolak pada hasil evaluasi data Geologi dan data keteknikan (Engineering) seperti data produksi, test, analisa batuan, interpretasi data log, seismik dan data penunjang lainnya. Cadangan minyak bumi status 1 Januari 2015 adalah sebesar 7,305 milyar barel. Cadangan tersebut mengalami penurunan sebesar -0,07 milyar barel (-0,95%) dibandingkan cadangan minyak bumi status 1 Januari 2014 sebesar 7,375 milyar barel.
Cadangan Minyak Bumi dan Kondensat 2006 - 2015
Penurunan cadangan terutama terjadi pada beberapa Kontraktor seperti PT. CPI (Rokan),Conocophillips (Grissik), Total Indonesie, Asset-1, Asset-4, Medco S.-Rimau, Saka Ind Pangkah Ltd., EMP Malacca Strait SA, TAC Binatek R. Kruh, Mobil Cepu Ltd., Petrochina E. Java dikarenakan tidak ditemukan cadangan baru yang cukup besar dan dapat menggantikan minyak bumi yang telah diproduksikan. Hal tersebut salah satunya dipengaruhi oleh 12
berkurangnya kegiatan pemboran pengembangan dan pemboran eksplorasi sebagai dampak dari turunnya harga minyak dunia.
Cadangan Minyak Bumi Tahun 2015
Gambaran cadangan minyak bumi per provinsi yang terdiri dari cadangan proven, probable, dan possible dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Cadangan Minyak Bumi per Provinsi
13
Cadangan gas bumi status 1 Januari 2015 adalah sebesar 151,331 TSCF. Cadangan tersebut mengalami kenaikan sebesar 2,032 TSCF (1,36%) dibandingkan cadangan gas bumi status 1 Januari 2014 sebesar 149,298 TSCF.
Cadangan Gas Bumi 2006- 2015
Kenaikan cadangan terutama terjadi pada beberapa Kontraktor seperti Inpex Masela Ltd., BP Wiriagar Ltd, VICO, JOB Talisman Jambi Merang, Petrochina Int. Jabung, Chevron Ind. Inc., JOB Talisman (Ogan Komering), TAC Wahana F. Union, CNOOC SES, Ltd., dan JOB Golden Spike setelah mendapatkan penambahan cadangan baru yang merupakan hasil dari pemboran sumur pengembangan yang telah dilakukan.
Cadangan Gas Bumi Tahun 2015
14
Gambaran cadangan gas bumi per provinsi yang terdiri dari cadangan terbukti (proven), terukur (probable) dan tereka (possible) dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Cadangan Gas Bumi per Provinsi
Besarnya potensi cadangan migas di Indonesia tidak menjadikan pengelolaan sumber daya minyak dan gas bumi tanpa tantangan. Perlunya pengembangan infrastruktur migas juga masih masih menjadi kunci penting dalam penyediaan sumber daya migas kepada seluruh rakyat di seluruh pelosok Indonesia, khususnya dalam menghadapi sebaran lokasi cadangan minyak dan gas bumi di Indonesia, baik yang terbukti maupun potensial yang cukup sporadis.
Sebagaimana ditunjukkan pada peta cadangan minyak bumi, kurang lebih sebesar 90% cadangan minyak bumi potensial dan terbukti banyak terdapat di wilayah Indonesia bagian Sumatera dan Jawa. Sementara itu, Natuna, Kalimantan, Maluku, dan Papua memiliki sekitar 70% dari cadangan gas bumi di Indonesia. Tidak meratanya cadangan minyak dan gas bumi ini merupakan salah satu tantangan tersendiri bagi pembangunan ekonomi Indonesia, khusunya dalam penyediaan sumber daya alam minyak dan gas bumi sebagai modal pembangunan, termasuk dalam mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di masing-masing pulau dan koridor ekonomi di Luar Pulau Jawa.
15
Mengingat penemuan cadangan migas baru sangat penting dalam menjamin ketersediaan sumber daya migas di Indonesia yang memiliki kebutuhan sumber daya migas nasional yang tinggi dan sumur-sumur produksi yang mulai menua, investasi hulu, khususnya investasi di bidang eksplorasi migas menjadi sangat vital. Dengan tingginya investasi eksplorasi migas yang menggambarkan meningkatnya kegiatan eksplorasi migas, diharapkan peluang ditemukannya cadangan terbukti dan potensial di Indonesia menjadi lebih besar. Selain investasi eksplorasi migas, investasi hulu migas lainnya, termasuk investasi kegiatan pengembangan hulu migas dan investasi dalam kegiatan produksi migas juga sangat penting dalam kegiatan usaha hulu migas Indonesia.
3.1.4. Wilayah Kerja (WK) Pada tahun 2016 terdapat Wilayah Kerja (WK) sebanyak 283, terdiri dari :
WK Eksploitasi
: 85
WK Eksplorasi
: 112
WK Gas Metana Batubara (GMB) Eksplorasi
: 44
WK Gas Metana Batubara (GMB) Proses Terminasi : 5
WK Migas Non-Konvensioanl (MNK) Eksplorasi
:5
WK Proses Terminasi
: 32
Peta Wilayah Kerja (WK) Migas di Indonesia Tahun 2016
16
Berikut ini adalah tabel nama Wilayah Kerja (WK) Migas di Indonesia Tahun 2016 Nama Wilayah Kerja (WK) Migas di Indonesia Tahun 2016
17
Untuk WK deepwater kebanyakan terdapat di Indonesia Bagian Timur, dan dikelola oleh 6 PSC besar yaitu :
StatOil Chevron ExxonMobil Oil Marathon Talishman Sageri COPHI
Deep Water Area Western and Eastern Part
18
Terkait dengan faktor pelaksanaan lelang wilayah kerja migas, pada tahun 2016, telah dilaksanakan sebanyak satu kali Petroleum Bidding Round. Pada umumnya, setiap tahunnya Direktorat Jenderal Migas menyelenggarakan Petroleum Bidding Round yang secara periodik sebanyak 2 (dua) kali putaran lelang Wilayah Kerja Baru dalam satu tahun. Lelang dimaksud dilakukan melalui lelang Reguler dengan durasi 4 bulan maupun melalui lelang Wilayah Kerja Penawaran Langsung yang berdurasi 1,5 bulan. Hal ini dimaksudkan dalam rangka antara lain:
Menjamin keberlangsungan kegiatan eksplorasi yang berkesinambungan dalam usaha penemuan cadangan baru
Penyiapan wilayah-wilayah kerja baru secara berkesinambungan untuk mendukung investasi bidang hulu.
Namun demikian, pada tahun 2016 Pemerintah hanya melaksanakan 1 (satu) kali Petroleum Bidding Round dengan jumlah penawaran sebanyak 14 (empat belas) wilayah kerja migas konvensional yang terdiri dari 7 (tujuh) wilayah kerja yang ditawarkan melalui lelang reguler dan 7 (tujuh) wilayah kerja yang ditawarkan melalui penawaran langsung. Wilayah kerja migas yang ditawarkan melalui penawaran langsung tahun 2016 dimaksud adalah : 1. Blok Bukit Barat, Offshore Kepulauan Riau 2. Blok Batu Gajah Dua, Onshore Jambi 3. Blok Kasongan Sampit, Onshore Kalimantan Tengah 4. Blok Ampuh, Offshore Jawa Timur 5. Blok Ebuny, Offshore Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah 6. Blok Onin, Offshore dan Onshore Papua Barat 7. Blok West Kaimana, Offshore dan Onshore Papua Barat Sedangkan wilayah kerja migas yang ditawarkan melalui tender reguler tahun 2016 adalah : 1. Blok South CPP, Onshore Riau 2. Blok Oti, Offshore Kalimantan Timur 3. Blok Suremana I, Offshore Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah 4. Blok Manakarra Mamuju, Offshore Sulawesi Barat 5. Blok South East Mandar, Offshore Sulawesi Selatan 6. Blok North Arguni, Onshore Papua Barat 7. Blok Kasuri II, Onshore Papua Barat.
19
Penawaran WK Migas Konvensional Tahun 2016
Meskipun telah dilaksanakan lelang wilayah kerja sebanyak 14 (empat belas) wilayah kerja migas konvensional, pada tahun 2016, tidak terdapat kontrak kerja sama migas kovensional yang ditandatangani. Hal ini dikarenakan proses Penawaran WK Migas Tahun 2016 belum selesai sedangkan dari Penawaran WK Migas Konvensional Tahun 2015 tidak ada pemenang. Adapun hasil penawaran wilayah kerja migas konvensional tahun 2016 direncanakan akan akan ditandatangani pada bulan Mei 2017.
Berbeda dengan faktor pelaksanaan lelang wilayah migas, faktor daya tarik wilayah kerja migas dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti harga minyak bumi, dan faktor ketersediaan sumber daya migas. Pada tahun 2016, kurang mendukungnya harga minyak dunia menjadi salah satu hal yang menyebabkan menurunnya daya tarik badan usaha untuk melaksanakan kegiatan usaha hulu migas di Indonesia. Terlebih lagi, ketersediaan lapangan migas Indonesia yang belum terekspoitasi sebagian besar berada di area-area Bagian Timur Indonesia dengan tingkat resiko yang tinggi. Akibatnya, tingkat teknologi dibutuhkan menjadi lebih maju sehingga modal yang dibutuhkan menjadi lebih tinggi. Dengan harga minyak yang kurang
20
mendukung, area-area ini semakin kurang kompetitif untuk dikembangkan di mata KKKS sebagai penawar wilayah kerja.
Jika dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya, terjadi penurunan realisasi akibat pengaruh harga minyak mentah dunia dan faktor terms & conditions yang diberikan. Hasil Penawaran WK Migas Konvensional Tahun 2015 menjadi bahan pertimbangan dalam penyusunan terms & conditions yang lebih menarik untuk WK Migas yang akan dilelang pada tahun 2016 sehingga dapat menarik minta investor untuk melaksanakan kegiatan eksplorasi di Indonesia.
Penawaran WK Migas Konvensional Tahun 2016
Penawaran Wilayah Kerja Migas Non Konvensional (WK MNK) pada tahun 2016, ditawarkan WK Migas melalui Lelang Penawaran Langsung sebanyak 2 Wilayah Kerja Gas Metana Batubara (GMB) dan melalui Lelang Reguler sebanyak 1 Wilayah Kerja MNK (Shale Hidrokarbon), yaitu : 1. MNK Batu Ampar, Kalimantan Timur 2. GMB Bungamas, Sumatera Selatan 3. GMB Raja, Sumatera Selatan
21
Peta Penawaran Langsung WK Migas Non Konvensional
Pada tahun 2016 telah ditandatangani 1 Kontrak Kerja Sama Wilayah Kerja Non Konvensional yang dilaksanakan pada Forum Indonesian Petroleum Association (IPA) Convention & Exibition pada tanggal ke-40 tanggal 27 Mei 2016 di Jakarta Jakarta Convention Center. Wilayah Kerja tersebut adalah MNK Central Bangkanai yang terletak di Kalimantan Tengah & Kalimantan Timur (PT Adaco Energy) yang merupakan hasil Lelang Penawaran Langsung WK MNK Tahun 2015.
Peta Kontrak Kerja Sama Migas Non Konvensional Tahun 2016
22
Realisasi penawaran Wilayah Kerja Migas Non Konvensional tahun 2016 tersebut (3 WK MNK) dapat memenuhi target yang ditetapkan yaitu 2 WK MNK yang ditawarkan. Adapun realiasasi penandantangan Kontrak Kerja Sama MNK tahun 2016 tersebut (1 KKS MNK) tidak dapat melampaui target yang ditetapkan dalam PK 2016 sebanyak 2 KKS MNK.
Perbandingan Penandatanganan KKS MNK Hingga Tahun 2016
Dari statistik penandatanganan WK Migas Non Konvensional sejak awal ditandatangani pada tahun 2008, maka 5 tahun pertama didominasi oleh KKS Gas Metana Batubara sedangkan dalam 4 tahun terakhir didominasi oleh KKS MNK (Shale Hidrokarbon) dengan kecenderungan menurunnya jumlah KKS yang ditandatangani. Hal tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya :
Terdapat beberapa WK yang ditawarkan tidak diminati oleh para investor
Terdapat calon investor yang tidak memenuhi kriteria penawaran WK
Terdapat usulan dari asosiasi tentang bentuk Kontrak selain PSC
Kompleksitas dalam kegiatan pengusahaan terutama dari sisi teknis operasional dan keekonomian sehingga mempengaruhi internal perusahaan
Makin terbatasnya daerah-daerah yang prospek untuk dikembangkan sebagai WK Migas Non Konvensional
23
3.1.5. Kontribusi Migas Bagi Perekonomian Nasional Sampai saat ini peranan sektor Migas sangat penting dalam perekonomian Indonesia karena porsinya yang sangat besar dalam penerimaan negara. Apalagi kebijakan dari pemerintah dalam meningkatkan ketahanan energi nasional dengan penambahan cadangan dapat mengundang investasi-investasi baru pada sektor Migas. Sebagai negara yang kaya akan sumber energi seperti gas bumi, Indonesia mempunyai banyak harapan untuk tetap optimistik karena sampai saat ini, infrastruktur yang dimiliki tidak hanya kilang Liquefaction Natural Gas
(LNG), pipa transmisi dan distribusi tetapi juga terminal penerima dan regasifikasi semakin meningkat.
Belakangan ini, tantangan lain yang dihadapi sektor hulu Migas untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri adalah semakin besarnya ketergantungan masyarakat terhadap penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM). Sementara produksi minyak dalam negeri tidak sebanding dengan konsumsi minyak yang terus menerus melonjak. Permintaan minyak dalam negeri semakin tinggi, cadangan minyak semakin berkurang menuntut pemerintah untuk melakukan impor padahal itu dapat mempengaruhi ketahan energi nasional. Untuk mengurangi kesenjangan antara produksi dan konsumsi minyak dalam negeri maka pemanfaatan energi alternatif di luar minyak perlu dioptimalkan.
Sebut saja gas bumi. Berbeda halnya dengan minyak yang cadangannya semakin berkurang justru dalam beberapa tahun terakhir, penemuan cadangan gas jauh lebih besar. Semakin menambah optimisme bahwa ketergantungan masyarakat terhadap penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) dapat diatasi jika pengelolaan dan penggunaan gas mampu dioptimalkan.
Kegiatan eksplorasi dan produksi yang memerlukan biaya tidak sedikit, teknologi canggih, beresiko tinggi serta persaingan minyak dan gas dunia yang semakin kompetitif menuntut pengelolah sektor hulu Migas untuk memiliki strategi mumpuni agar mampu memenangkan persaingan. Sektor hulu Migas merupakan sektor yang sangat memerlukan strategi dalam pengelolaannya agar mampu bersaing di pentas dunia dan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk perekonomian nasional.
24
Total penerimaan negara sub sektor migas periode Januari 2016-Desember 2016 adalah sebesar Rp. 83,58 Triliun yang berarti sebesar 66,2% dari target yang ditetapkan. Dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, penerimaan negara migas di tahun 2016 mengalami penurunan yang dari tahun sebelumnya. Besaran realisasi Penerimaan negara subsektor migas dipengaruhi oleh realisasi lifting migas, harga minyak mentah Indonesia (ICP), Cost Recovery dan nilai tukar rupiah (kurs) terhadap US$. Tidak tercapainya Penerimaan Negara tahun 2016 antara lain disebabkan oleh :
Harga rata-rata minyak mentah Indonesia ICP sebesar US$ 40,15/barel atau sebesar 100,38% dari target APBN-P 2016 sebesar US$ 40,00/barel. Angka Realisasi ini lebih kecil dari angka ICP tahun 2015 yang sebesar US$ 50,45/barel (Periode Jan-Des 2015)
Kurs rata-rata tahun 2016 sebesar Rp 13.240 per USD1.00 turun dari rata-rata tahun 2015 sebesar 13.325 per USD1,00..
Rendahnya harga minyak Indonesia sepanjang tahun 2016 disebabkan karena:
Perlambatan pertumbuhan global terutama Cina yang merupakan Negara konsumen minyak mentah dunia.
Terus meningkatnya produksi minyak mentah dari Amerika Serikat dan Negara-negara non OPEC.
Kelebihan pasokan minyak mentah global setelah dicabutnya embargo Iran
Masih rendahnya permintaan minyak mentah di kawasan Eropa dan Asia khususnya India dan Cina
Penerimaan Negara Tahun 2012 - 2016
25
Perkembangan Penerimaan Negara Subsektor Migas Tahun 2012 – 2016
Penerimaan negara sub sektor migas terdiri dari beberapa variabel atau sumber pajak. Jumlah penerimaan negara sub sektor migas diperoleh dari hasil penjumlahan : 1. Penerimaan pajak penghasilan Penerimaan pajak penghasilan migas merupakan kewajiban pajak penghasilan yang disetorkan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) kepada pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku, 2. Penerimaan bukan pajak Penerimaan bukan pajak migas merupakan bagian Negara yang diperoleh berdasarkan persentase bagi hasil migas antara pemerintah dan kontraktor, 3. Penerimaan lainnya dari minyak bumi. Penerimaan lainnya dari minyak bumi merupakan penerimaan bersih dari Domestik Market Obligation (DMO) dan Bonus Production KKKS. Untuk itu, meskipun secara keseluruhan total penerimaan sub sektor migas nasional mencapai 66,2% dari target, capaian terhadap target dari masing-masing sumber pajak berbeda-beda, dan bahkan memiliki interval perbedaan yang cukup tinggi. Berikut uraian penerimaan negara sub sektor migas tahun 2016 : Penerimaan Negara Subsektor Migas 2016
26
3.1.6. Kendala-Kendala Operasional Saat Ini Di tengah upaya meningkatkan produksi minyak dan gas bumi, industri hulu migas mengalami banyak tantangan. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencontohkan di wilayah Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel), kendala yang dihadapi antara lain tumpang tindih lahan, perizinan, hingga pencurian fasilitas migas dan
illegal tapping.
Tidak bisa dipungkiri, saat ini masalah sosial kemasyarakatan menjadi kendala besar kegiatan industri hulu Migas di Indonesia. Perbedaan persepsi, ketidaklengkapan informasi dan benturan berbagai kepentingan telah menimbulkan konflik sosial yang menghambat kegiatan eksplorasi dan produksi, termasuk memunculkan isu-isu permasalahan Hak Asasi Manusia (HAM).
Mengendalikan konflik dan permasalahan sosial keamanan di tengah-tengah heterogenitas masyarakat Indonesia bukanlah hal yang mudah. Oleh sebab itu, mengindentifikasi permasalahan menjadi tugas yang pertama. Permasalahan yang sedang atau pernah dihadapi migas yakni : 1. Masih tidak sinkronnya antara peraturan di sektor migas dengan peraturan di sektor lain, seperti peraturan di sektor kehutanan, sektor perkebunan, dan sektor pertanahan. Misalnya, UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Oleh karena itu, di masa yang akan datang, berbagai peraturan perundang-undangan yang ada harus mendukung dan sinkron dengan peraturan perundang-undangan di bidang minyak dan gas bumi. Sehingga kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi dapat meningkat dan pada gilirannya dapat meningkatkan jumlah pruduksi (lifting) minyak dan gas bumi 2. Persoalan pengunaan atau pemanfaatan tanah yang tumpang tindih dengan sektor lain, seperti sektor perkebunan dan sektor kehutanan. Hal ini menghambat kelanjutan dari kegiatan eksplorasi minyak dan gas bumi 3. Permasalahan birokrasi di daerah, khususnya birokrasi pemerintah kabupaten dan kota yang cenderung menghambat kelancaran dari kegiatan usaha di sektor hulu minyak dan gas bumi. Permasalahan ini memang tidak secara langsung terkait dengan norma
27
dalam undang-undang. Tetapi secara tidak langsung mempengaruhi kinerja di sektor pertambangan minyak dan gas bumi 4. Manajemen Konflik. Perusahaan-perusahaan yang bekerja pada industri minyak dan gas bumi (migas) sangat terkait dengan persoalan lahan dan sosial kemasyarakatan, utamanya ketika perusahaan-perusahaan ini melakukan eksplorasi dan eksploitasi di suatu lahan yang patut diduga terdapat kandungan minyak dan gas bumi. Oleh karena itu, kapasitas perusahaan dalam menangani konflik pertanahan dan sosial mutlak diperlukan. Kapasitas manajemen konflik perusahaan diukur dari sejauh mana tim internal perusahaan memiliki kemampuan untuk membangun komunikasi, konsultasi, dan kepercayaan dengan pihak kedua dan ketiga dalam konflik, sedemikian rupa sehingga potensi-potensi konflik dapat dideteksi sejak dini dan diantisipasi sejak awal. Dengan demikian, potensi-potensi konflik dapat dikelola dan dikonversi menjadi kekuatan positif bagi bekerjanya perusahaan dan terjaganya hak-hak masyarakat yang tinggal di sekitar perusahaan beroperasi. Dari beberapa studi kasus, kapasitas manajemen konflik untuk perusahaan-perusahaan migas dirasakan sangat kurang. Hal ini ditandai masih kurangnya kapasitas personal perusahaan dalam penanganan konflik. Sehingga dalam penanganan konflik sering berlarut-larut dalam rentang waktu yang cukup lama 5. Masalah Pertanahan. Kebijakan pertanahan yang overlapping dan kurang mendukung bekerjanya perusahaan-perusahaan migas melahirkan potensi konflik yang besar antara perusahaan dan warga setempat. Pada saat yang sama, perusahaan dikenai tangggung jawab untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan pelanggaran hakhak masyarakat setempat. Dilema ini tak makin ringan dengan adanya regulasi baru di bidang pertanahan, yaitu UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum (UU Pengadaan Tanah). Beberapa kalangan menilai UU Pengadaan Tanah tidak sejalan-selaras dengan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas. UU ini dikhawatirkan akan menghambat proses pengadaan tanah, yang pada akhirnya menyulitkan aktivitas eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber migas oleh perusahaan karena adanya potensi konflik dengan masyarakat pemilik atau penguasa tanah. Persoalan regulasi ini menambah daftar panjang masalah yang dihadapi perusahaan-perusahaan migas, termasuk regulasi yang menerapkan
28
mekanisme dengan rentang waktu pengurusan perijinan dan pengadaan tanah yang lama 6. Masalah Program Corporate Social Responsibity/Community Development. Program sosial berupa CSR/Comdev yang diharapkan sebagai kontribusi pembangunan ekonomi/kesejahteraan untuk masyarakat disekitar lokasi pertambangan dan migas masih dirasakan sangat kurang. Sangat sedikit sekali perusahaan yang memberikan kontribusi CSR-nya kepada masyarakat sebagai niatan untuk membuat kehidupan masyarakat lokal jadi lebih baik. Dibeberapa kasus, program-program CSR dilaksanakan hanya untuk memenuhi kewajiban program yang sudah dianggarkan, kurang menggali kebutuhan nyata dari masyarakat lokal sehingga dianggap kurang bahkan tidak tepat sasaran yang pada akhirnya menimbulkan kekecewaan pada pihak masyarakat dan mengakibatkan timbulnya konflik dengan perusahaan. Dari segi
jumlah anggaran juga dianggap kurang signifikan berkontribusi terhadap
kesejahteraan masyarakat dibandingkan jumlah nominal pendapatan yang diperoleh dari lokasi produksi yang berada di ‘kawasan’ masyarakat. Untuk memastikan kebutuhan dasar warga diperlukan need assesment study untuk mengetahui kebutuhan dasar warga dan program yang diperlukan dalam rangka pemberdayaan mereka. CSR/Comdev tidak dapat dimaknai sebagai upaya menggantikan peran atau tanggung jawab Pemerintah Pusat/daerah, akan tetapi menjadi stimulus dalam menggerakan dinamika ekonomi dan sosial masyarakat 7. Sistem dan pola pengamanan dan keamanan yang berada di kawasan migas menggunakan aparat organik (kepolisian) maupun keamanan internal perusahaan yang dalam penanganan beberapa kasus menggunakan hard approach yang justru mengakibatkan konflik yang lebih terbuka dan meluas serta mengakibatkan timbulnya korban luka dan korban jiwa di pihak-pihak yang terkait, khususnya pihak nonperusahaan dan non-satuan keamanan. Pada bidang pertambangan dan migas diwajibkan menggunakan pendekatan HAM dalam sistem keamanannya. Sehingga, pemajuan dan penghormatan HAM dalam sistem keamanan perusahaan seharusnya sangat penting untuk segera dilaksanakan 8. Masalah Perijinan terkait Politik Lokal. Sengketa dan/atau konflik dibeberapa kasus
juga disebabkan adanya konfigurasi kepentingan politik lokal, utamanya
pemimpin kepala daerah, yang pada akhirnya menyulitkan perusahaan dan 29
menyebabkan terjadinya konflik dengan masyarakat. Umumnya dipicu dari masalah perijinan dan kontribusi perusahaan bagi pendapatan pemerintah daerah. Perlu mendapat perhatian adalah terbitnya ijin-ijin usaha yang terbit menjelang berakhirnya masa
jabatan Bupati dan/atau menjelang Pemilihan Kepala Daerah. Harus ada
kewaspadaan semua pihak, bahwa perijinan jangan menjadi sarana untuk memenuhi ongkos politik, jika incumbent kalah dan Bupati/Walikota terpilih tidak maksimal melakukan pengawasan terhadap perusahaan, lantas masyarakat yang akan dirugikan kembali 9. Permasalahan tata batas wilayah umumnya bersumber kepada perebutan atas sumber daya alam yang terkandung di kawasan yang direbutkan tersebut atau perebutan nilai ekonomisnya. Masalah ini biasanya dipicu masalah sengketa ijin luasan kawasan yang diberikan untuk usaha yang mengakibatkan terjadi sengketa atau konflik diantara masyarakat dengan perusahaan, perusahaan dengan perusahaan, bahkan konflik horizontal diantara masyarakat sendiri. Akibat berlarut-larutnya konflik tata batas tersebut yang sangat dirugikan adalah masyarakat sehingga pemenuhan hak asasi manusianya terganggun, diantaranya mendapatkan akses pendidikan, kesehatan, kependudukan, dan bahkan adanya praktek kriminalisasi.
Permasalahan ini perlu dibicarakan secara khusus karena banyak konflik antara perusahaan Migas dengan masyarakat sekitar operasi dipengaruhi juga faktor kesejangan ekonomi dan struktur sosial. Masyarakat beranggapan kehadiran perusahaan di wilayahnya tidak membawa dampak kesejahteraan bagi mereka padahal di satu sisi, perusahaan “mengambil” minyak di “wilayah” mereka.
Sedangkan, di sisi lain perusahaan juga menganggap bahwa tugas mensejahterahkan masyarakat bukanlah menjadi tugas utama perusahaan tapi perusahaan beperan membantu atau berpartisipasi semampunya melalui program sosial kemasyarakatan yang dimiliki perusahaan. Seharusnya program peningkatan kesejahteraan masyarakat dari sektor Migas menggunakan Dana Bagi Hasil Daerah dan merupakan tanggung jawab pemerintah setempat.
30
3.1.7. Kebutuhan BBM dan Kepasitas Kilang Dalam Negeri Pasokan energi pimer untuk pemenuhan kebutuhan minyak bumi dalam negeri te rdiri dari minyak mentah serta impor BBM. Minyak mentah untuk kebutuhan dalam negeri diperoleh dari sebagian produksi minyak dalam negeri dan impor. Kemudian minyak mentah tersebut diolah dalarn kilang dalam negeri untuk menghasilkan BBM dan produk kilang lainnya (non BBM). SeJanjutnya BBM dimanfaatkan sebagai bahan bakar pembangkit listrik dan sektor pengguna lainnya yaitu industri, transportasi , rumah tangga, komersial, dan sektor lainnya . Ilustrasi arus kebutuhan-pasokan minyak bumi dapat dilihat pada gambar di bawah ini
Ilustrasi Arus Kebutuhan - Pasokan Minyak Bumi
3.1.7.1. Kebutuhan BBM Kebutuhan BBM terus meningkat tiap tahun meskipun telah dilakukan pengendalian konsumsi dan diversifikasi 88M ke bahan bakar lain. Saat ini porsi impor 88M sekitar 52% dan akan dikurangi secara bertahap hingga tidak ada lagi impor BBM pada tahun 2025. Upaya tersebut di lakukan dengan peningkatan kapasitas kilang melalui pembangunan kilang baru dan revitalisasi kilang yang ada (Refinery Development Master Plan/ ROMP) serta diversiflkasi ke bahan bakar lain. Kebutuhan BBM dan produksi BBM oleh kilang nasional dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
31
Ilustrasi Arus Kebutuhan - Pasokan Minyak Bumi
3.1.7.2. Kapasitas Kilang BBM Dalam Negeri Urgensitas pengembangan kapasitas kilang BBM dan peningkatan produksi BBM dari kilang dalam negeri di Indonesia sudah tidak diragukan lagi. Pengembangan kapasitas kilang BBM sangat penting di tanah air dikarenakan volume kebutuhan bahan bakar minyak nasional cukup tinggi dan tidak sebanding dengan kemampuan produksi BBM kilang dalam negeri. Rendahnya kapasitas produksi BBM kilang dalam negeri menggambarkan bahwa saat ini Indonesia masih bergantung dari import atas pemenuhan kebutuhan BBM domestik. Rendahnya kapasitas kilang di Indonesia mendorong pemerintah untuk mengembangkan kilang domestik dalam rangka meningkatkan kemampuan supply BBM dalam negeri dan mewujudkan Indonesia mandiri secara energi.
Kilang minyak yang memiliki kapasitas sebesar 1169,1 MBCD di tahun 2016. Hingga November 2016, kilang dalam negeri telah memproduksi BBM sampai dengan 38,7 juta KL. Sumber pasokan minyak mentah domestik antara lain dari Duri, Arjuna , Jene, Katapa, Belanak, Geragai dan Banyu Urip. Sedangkan minyak mentah impor yang masuk kilang antara lain minyak mentah ALC, Bonny Light, Azeri, Saharan, Qua Iboe, dan Escravos Light. 32
Kilang yang dapat mengolah minyak mentah impor di Indonesia kilang RU IV Cilacap dan kilang RU V Balikpapan, sedangkan kilang-kilang minyak lainnya dari sejak awal didesain untuk hanya dapat mengolah minyak mentah domestik. Kilang RU IV Cilacap sudah sejak awal memang didesain untuk mengolah heavy crude yang berasal dari Timur Tengah, sedangkan kilang RU V Balikpapan semula menggunakan minyak mentah domestik yang berasal dari sekitar Kalimantan Timur, namun semenjak produksi minyak mentah menurun, kilang RU V Balikpapan mulai mengolah minyak mentah domestik dan minyak mentah impor hasil blending di Terminal Lawe-lawe sehingga didapatkan hasil blending crude yang mendekati desain awal kilang.
Kapasitas total kilang minyak yang beroperasi di Indonesia pada akhir tahun 2016 adalah sebesar 1169,1 MBCD yang terdiri atas: 1. Kilang PT Pertamina (Persero) dengan total kapasitas 1047,3 MBCD RU-II Dumai / Sungai Pakning : 177 MBCD RU-III Plaju / S. Gerong : 127,3 MBCD RU-IV Cilacap : 348 MBCD RU-V Balikpapan : 260 MBCD RU-VI Balongan : 125 MBCD RU-VII Kasim : 10 MBCD 2. Kilang Pusdkilat Migas Cepu dengan kapasitas 3,8 MBCD 3. Kilang PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) dengan kapasitas 100 MBCD 4. Kilang PT Tri Wahana Universal (TWU) Train 1 dengan kapasitas 6 MBCD, dan Train 2 dengan kapasitas 12 MBCD.
33
Perkembangan Kapasitas Kilang Minyak Indonesia
Setelah RU VI Balongan beroperasi pada tahun 1994 tidak ada lagi penambahan fasilitas kilang baru milik PT Pertamina (Persero). Hingga saat ini tercatat ada 2 kilang milik swasta yang beroperasi yaitu PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) di Jawa Timur dan kilang PT Tri Wahana Universal (TWU) yang semula hanya mempunyai 1 Train dengan kapasitas 6 MBCD telah menambah 1 train lagi dengan kapasitas 12 MBCD yang mulai beroperasi pada pertengahan 2014. Baik Train 1 dan Train 2 PT TWU menggunakan sumber minyak mentah Banyu Urip yang diproduksi PT Exxon Mobile Cepu Limited (EMCL). Sedangkan penambahan kilang baru oleh Pertamina direncanakan akan dibangun kilang Tuban, Jawa Timur dan kilang Bontang, Kalimantan Timur.
Penambahan fasilitas RFCC pada RU IV Cilacap bertujuan untuk meningkatkan produksi HOMC 1,13 juta Barrel/Bulan, LPG 350.000 Ton/Thn, Propylene 140.000 Ton/Thn, serta meningkatkan margin kilang dan daya saing RU-IV. RFCC beroperasi sejak tanggal 30 September 2015 dan sejak saat itu terjadi perubahan sebagai berikut :
34
Tidak ada lagi impor HOMC (High Octane Mogas Component), dimana HOMC merupakan komponen blending Gasoline/Premium. HOMC mempunyai ON=92
Impor Premium ke TBBM (Terminal BBM) Lomanis 2 x 200 MB di stop/tidak diperlukan dan selanjutnya kebutuhan Premium tersebut dapat disupply langsung dari RU IV Cilacap
Injeksi/import LPG via kapal sebanyak 7 x 2500 MT per bulan dapat dikurangi 6 (enam call kapal), saat ini hanya dibutuhkan satu kali injeksi kapal saja (1 x 2500 MT) per bulan
RU IV dapat memproduksi Pertamax (ON=92) dan Propylene (kedua produk ini merupakan produk baru dari kilang RU IV Cilacap).
Meningkatkan ka pasitas kilang minyak nasionaJ menjadi lebih dari 2 juta barel per hari pada tahun 2025, melaJui pemba ngunan kilang baru dan Rencana lnduk Pengembangan Kilang
(Refinery Development Master Plan/ RDMP), yang dapat dilakukan melalui :
Pembangunan 4 kilang minyak baru, dengan tambahan kapasitas sekitar 906 ribu BOPD
RDMP yaitu peningkatan kapasitas 4 kilang Pertarnina. Dengan tambahan kapasitas sekitar 402 ribu BOPD
Gambaran kapasitas terpasang dan pengembangan kilang minyak tahun 2015-2025 dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Kapasitas Terpasang dan Pengembangan Kilang Minyak Tahun 2015 - 2025
Catatan : Hasil produksi kilang telah mempertimbangkan kapasitas pengolahan kilang dan losses akibat proses pengolahan minyak mentah menjadi BBM dan produk kilang lainnya.
35
3.1.7.3. Produksi Kilang BBM Dalam Negeri Dengan menggunakan data prognosa (ekstrapolasi data bulan Desember 2016) diperkirakan produksi BBM dari kilang minyak dalam negeri yang memiliki total kapasitas mencapai 1169,1 MBCPD adalah sebagai berikut :
Produksi BBM Kilang Indonesia
Saat ini, kendala yang dialami oleh Indonesia terkait dengan produksi BBM dari kilang dalam negeri terdiri dari kendala pasokan bahan baku dan kendala operasional. Dari segi kendala pasokan, dengan meningkatnya konsumsi BBM di Indonesia, maka kebutuhan bahan baku (minyak mentah) untuk kilang BBM juga mengalami peningkatan. Akan tetapi, bahan baku (minyak mentah) dari lapangan domestik terus mengalami penurunan dan penemuan cadangan baru belum optimal beroperasi, sehingga untuk memenuhi kekurangan akan kebutuhan bahan baku (minyak mentah) dilakukan impor. Sedangkan kendala operasi yang dialami oleh kilang minyak antara lain terdiri dari :
Pasokan minyak mentah dari lapangan minyak domestik terus menurun dan penemuan cadangan baru seperti dari lapangan Banyu Urip yang dipasok ke kilang dalam negeri belum optimal
Kilang PT Tri Wahana Universal beroperasi mulai tanggal 15 Agustus 2016 terkait dengan pasokan bahan baku ke kilang PT TWU
36
Kilang Pusdiklat Migas Cepu mulai beroperasi bulan Agustus 2016 terkait dengan penyaluran produk kilang
Peningkatan kapasitas kilang minyak berdampak pada peningkatan irnpor minyak mentah. jika kemampuan produksi lapangan minyak bumi dalam negeri semakin menurun. Peningkatan impor minyak mentah tersebut tetap mempunyai nilai strategis berupa peningkatan nilai tambah ekonomi dan lapangan kerjajika dibandingkan dengan impor BBM
Impor minyak mentah yang meningkat dapat berkurang jika seluruh produksi minyak mentah dalam negeri digunakan untuk kebutuhan dalam negeri. Apalagi jika badan usaha migas milik negara yang mengusahakan blok migas di luar negeri membawa minyak mentahnya ke dalam negeri. Perbandingan antara pasokan minyak mentah domestik dan impor minyak mentah dengan asumsi setelah tahun 2025, Pemerintah terus mengupayakan peningkatan kapasitas kilang sesuai dengan kebutuhan dalam negeri. Perbandingan ini telah memperhitungkan dampak diversiftkasi ke bahan bakar lain.
Pasokan Minyak Mentan Domestik dan Impor Minyak Mentah untuk Kilang Minyak Tahun 2015-2050
37
Kebutuhan minyak mentah untuk kilang domestik tahun 2025 mencapai sekitar 2,2 juta BOPD dan meningkat menjadi 4,6 juta BOPD tahun 2050, sebagaimana dapat dilihat di tabel di bawah ini. Kebutuhan Minyak Mentah untuk Kilang Minyak Domestlk Tahun 2015-2050
3.2. Gas Bumi Pasokan energi pimer untuk pemenuhan kebutuhan gas bumi dalam negeri terdiri dari sebagian produksi gas bumi dalam negeri dan impor LPG. Selanjutnya gas bumi tersebut dimanfaatkan setelah proses transformasi melalui kilang, fasilitas pengolahan, dan pembangkit listrik dan menghasilkan energi final berupa listrik, LPG, dan Dimethyl Ether (sebagai campuran LPG), yang dimanfaatkan oleh sektor pengguna.
Sedangkan impor LPG langsung dimanfaatkan oleh sektor pengguna. Sektor pengguna gas bumi yaitu industri, transportasi, rumah tangga, komersial, dan sektor lainnya. Adapun pemanfaatan langsung gas bumi yaitu melalui jaringan gas kota dan tabung Adsorbed Natural Gas (ANG) yaitu tabung dengan teknologi khusus untuk menyimpan gas bumi dalam tekanan yang aman dan volume yang memadai. Ilustrasi arus kebutuhan-pasokan gas bumi dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Ilustrasi Arus Kebutuhan - Pasokan Gas Bumi
38
3.2.1. Infrastructure Gas Dalam upaya mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi harus ada akses energi dengan volume yang berkesinambungan dan harga yang relatif wajar dan sesuai daya beli. Indonesia mempunyai resources gas yang luar biasa ini dan harus bisa dimaksimalkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi tersebut dengan terus mempercepat pembangunan infrastruktur gas melalui berbagai modul seperti LNG Plant, LNG Shipping, Terminal Regas Plant, FSRU, Onshore Storage & Regas Plant, Jaringan Pipa Transmisi, Jaringan Pipa Distribusi, CNG Truck, MRU dan SPBG sampai ke konsumen akhir, rantai yang demikian panjang harus diintegrasikan dengan model open akses sehingga semua pihak diuntungkan. Karena lokasi Industri umumnya ada di Pulau Jawa dan Sumatra, maka perlu membawa gas dari pusat-pusat LNG Plant ke Jawa dan Sumatera dengan LNG Tanker. Supaya unit cost sampai di wilayah barat lebih murah, LNG Plant yang ada di Bontang, Donggi Senoro dan Tangguh di design untuk VLCC dengan kapasitas sekitar 140.000 DWT.
Saat ini, infrastruktur gas di Indonesia sedang dalam tahap pembangunan, pipa transmisi dan terminal LNG adalah infrastruktur kunci untuk membawa gas dari sumber menuju konsumen.
Infrastructure Gas di Indonesia
39
Peta Infrastruktur Gas Bumi Eksisting dan Rencana Tahun 2015-2030 (berdasarkan buku rencana induk infrastruktur gas bumi tahun 2015-2030)
3.2.1.1. Jaringan Pipa Gas Existing Sebaran gas pipa dapat dibagi dalam dua region besar meliputi, region Sumatra dan region Jawa.
Peta Jaringan Pipa Gas Existing di Sumatera dan Jawa
40
Jaringan gas Sumatra meliputi cluster Sumatra Utara (Pipa Arun Belawan), cluster Sumatra Tengah meliputi Suban-Dumai, Suban Singapore dan Jaringan pipa Sumsel-Jawa.
Pembangunan Pipa Gas di Arun – Medan
Gas pipa di Jawa sebagian besar konsentrasinya ada di Jawa Barat dan Jawa Timur. Jaringan Jawa Barat, membentang dari Sumsel - Banten, Cilegon – Cimanggis - Bekasi dan DKI, menyambung pipa gas dari SES CNOOC dan ONWJ dengan Onshore Gas Pertamina EP Bagian Barat termasuk Cirebon. Jaringan gas di Region Jawa Barat sangat terintegrasi, namun perlu dimaksimalkan jaringan untuk City gas dan SPBG untuk mendukung program pemerintah.
Jaringan Pipa Gas di Jawa
41
Jaringan Pipa Gas di Jawa Barat
Sayang sekali, jaringan yang sudah terintegrasi ini hanya sampai di seputaran Cirebon, untuk menuju Semarang saat ini Rekind berencana membangun jaringan pipa Cirebon – Semarang dan selanjutnya Pertagas saat ini telah membangun pipa Semarang – Gresik dengan kemajuan sampai dengan 70% saat ini. Jaringan pipa rambut dengan konsep 3 in 1 di pantura belum terwujud dan harus terus didorong agar segera dibangun, untuk menyokong pertumbuhan ekonomi pantura.
Jaringan gas Jawa Timur sebagian besar berkonsentrasi di Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Pasuruan, dan Mojokerta. Suplai transportasi gas mengandalkan pipa sepanjang 450 km subsea dari Kangean PSC, Madura Offshore, Madura BD, Madura MDA - MBH, Ketapang. Sumber gas pipa kedua berasal dari Blok Pertamina WMO dan Blok Petronas Ketapang wet gas. Sumber gas pipa ketiga dari Blok Saka Ujung Pangkah (Subsidary PGN). Semua jaringan tersebut mengarah ke Jawa Timur bagian utara, sedangkan ring Jawa Timur Selatan dan Tapal Kuda meliputi 11 Kabupaten yaitu Probolinggo, Situbondo, Banyuwangi, Jember, Lumajang, Malang Raya, Kediri, Trenggalek, Magetan dan Pacitan belum ada satupun jaringan pipa gas nya. Daerah-daerah tersebut merupakan primadona pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur yang membutuhkan akses energi yang berkesinambungan. Jaringan gas pipa di Kalimantan Timur hanya berkembang disekitar Delta Mahakam, Kalimantan Timur. 42
Jaringan Pipa Gas di Jawa Timur
Saat ini belum ada desain membangun jaringan industri disana secara massive karena letak industri sebagian besar di Jawa. Rencana menghidupkan Kalija (Kalimantan – Jawa) belum bisa di wujudkan karena tidak ada kepastian pasokan gas dari Delta Mahakam dan gagalnya pengembangan CBM dan shale gas di Kalimantan Timur. Saat Kalija menggunakan pipa Kepodang – Tambak Lorok sebesar 100 MMSCFD sepanjang 220 km.
3.2.1.2. FSRU Saat ini telah ada dua FSRU dengan kapasitas sekitar 250 - 300 MMSCFD. Satu FSRU ada di Teluk Jakarta, dan satu lagi ada di Perairan Lampung.
Skema Transportasi Gas dengan FSRU
FSRU Nusantara Gas di Jakarta Bay mempunyai nilai strategis sebagai speaker PLN dan Industri di Jabar. Namun karena jaringan PGN dan Pertagas belum terintegrasi dengan baik, maka harga jual gas ke konsumen relatif tinggi sehingga volume belum terserap maksimal.
43
Lokasi FSRU Nusantara Gas di Teluk Jakarta
Sedangkan FSRU PGN di Lampung sepertinya salah tempat. Rencananya FSRU ini ada di Medan, entah bagaimana prosesnya sampai dibawa ke Lampung yang pasarnya belum dibangun dengan baik. Konsumen kecil belum mampu membeli harga Gas LNG yang relatif mahal, kecuali dibangun jaringan massive dan terintegrasi.
FSRU PGN di Lampung
44
3.2.1.3. Virtual Pipeline (CNG, MRU) Virtual Pipeline dalam terjemahan bebasnya adalah transportasi non pipa. Untuk bisa sampai kepada konsumen biasanya dilakukan pengiriman melalui CNG Truck, MRU, Mother and Doughter Station. Rantai distribusi yang panjang ini menyebabkan biaya yang mahal, selain itu dampak kerusakan jalan dan safety dalam delivery sistem sangat menjadi pertimbangan operasi, sehingga jika masih bisa di jangkau pipa opsi pembangunan grid pipa masih yang lebih baik. Virtual pipeline sebagian besar berkembang di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Palembang. Karena terkendala harga yang cukup tinggi untuk industri, maka virtual pipeline tidak berkembang dengan massive. Harga CNG masih berkisar 15 - 20 USD Per MMBTU.
Ke depan, virtual pipeline ini seharusnya sudah bisa diganti grid pipe sistem secara massive dan terintegrasi dengan Receiving Gas Terminal seperti FSRU (Floating Storage and Regasification Unit) atau OSRU (Onshore Storage and Regasification Unit) di Pelabuhan baik existing port maupun new port yang akan dibangun oleh Pemerintah.
Transportasi menggunakan LNG/CNG truck
45
3.2.1.4. Downstream Player Sebagian besar pemain jual beli/trader gas adalah BUMN seperti Pertagas dan PGN yang merupakan trader terbesar. Trader ini menguasai pangsa pasar gas dalam negeri hampir 90% sisanya adalah trader swasta nasional yang masih berjuang keras untuk bertahan. Di negaranegara maju, peran swasta juga mendapat tempat yang nyaman sebagai bagian dari pilar pertumbuhan ekonomi agar pembangunan jaringan pipa dan pemasaran gas bisa massive dan terintegrasi, sehingga jangka panjang nya biaya yang dinikmati konsumen lebih murah.
3.2.2. Kendala di Pulau-Pulau atau Area Terpencil Permasalahan di pulau-pulau terpencil karena belum adanya infrastructure gas dan infrastruktur Terminal Regasifikasi dan Storage untuk menampung LNG. Idealnya perlu dibangun LNG Hub sebagai big storage di beberapa tempat. Di Sumatera, pembangunan LNG Storage Arun sudah selesai dan digunakan untuk melayani wilayah Aceh dan Sumatra Utara.
Kedepannya dibutuhkan setidaknya dibangun lagi dua LNG Storage di Sumatra Tengah untuk melayani Kabupaten di pesisir Timur Sumatera dan di Pantai Barat Sumatera untuk melayani Kabupaten Barat Sumatera. Dari LNG Hub tersebut dibangun jaringan pipa kepada konsumen baik PLN, Industri, City Gas, SPBG, CNG Station, Mo-Du Station, MRU dan jaringan retail lainnya. Untuk cluster PLN, industri dan konsumen di area terpencil/remote area bisa menggunakan LNG Truck dan LNG Small Tanker menuju Small - Medium Regasification Plant
Di Pulau Jawa minimal ditambah satu lagi LNG Hub di Jawa Timur untuk memasok kebutuhan di Pulau Jawa, Bali, NTB dan NTT. Khusus untuk Sulawesi bagian Barat dan Selatan dapat dibangun LNG Hub untuk kebutuhan Industri Pengolahan Mineral di wilayah Sulawesi Dan Kalimantan. Konsepnya sama, dari LNG Hub ini terhubung ke konsumen PLN, Industri dan konsumen remote dengan menggunakan Small LNG Tanker kelas 20.000 – 30.000 ton menuju pusat-pusat small - medium Regas Plant.
Khusus untuk Maluku dengan lokasi yang strategis seharusnya dapat dilayani oleh LNG Tangguh, dengan tambahan membangun tambahan fasilitas loading-unloading yang kecil sehingga bisa menggunakan LNG Small Tanker menuju Regas Plant Unit di Pelabuhan Maluku.
46
Hub LNG Port untuk mensuplai LNG ke Area Terpencil (Remote Area) Dengan Kapal Tanker Kecil
3.2.3. Alokasi Gas Domestik Komitmen pemerintah untuk mengalokasikan gas bumi nasional dalam memenuhi kebutuhan energi domestik kian diperkuat dengan adanya beberapa peraturan perundangan seperti Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional dan Peraturan Menteri ESDM nomor 06 Tahun 2016 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Penetapan Alokasi dan Pemanfaatan serta Harga Gas Bumi. Dalam Pasal 5 Peraturan Menteri ESDM nomor 06 tahun 2016 diatur bahwa alokasi pemenuhan kebutuhan energi domestik dilakukan berdasarkan urutan prioritas yang terdiri dari : 1. Pemanfaatan untuk program Pemerintah seperti Penyediaan Gas Bumi untuk Transportasi, Jaringan Gas Bumi untuk Rumah Tangga, Rumah Tangga, dan Pelanggan Kecil 2. Peningkatan Produksi Minyak dan Gas Bumi Nasional 3. Industri pupuk 4. Industri berbasis gas bumi 5. Penyediaan gas bumi untuk tenaga listrik 6. Industri yang ber bahan bakar gas bumi
47
Catatan: *) Data realisasi rata-rata di tahun 2016
Realisasi Persentase Pemanfaatan Gas Ekspor vs Domestik
Peningkatan rata-rata 9% sejak tahun 2003 sampai dengan tahun 2015, dan di tahun 2016 kebutuhan domestik lebih besar dibandingkan ekspor dengan porsi 58% penyaluran Gas kepada Domestik. Diperlihatkan dalam grafik di atas, bahwa realisasi alokasi domestik meningkat setiap tahunnya. Ini membuktikan bahwa komitmen Pemerintah dalam merealisasikan pemanfaatan sumber daya energi, khususnya gas bumi, sebagai “modal pembangunan”.
Pemanfaatan Gas Bumi Indonesia Tahun 2016
48
Catatan: *) Data Tahun 2016 berdasarkan Prognosa Pemanfaatan Gas di tahun 2016 (Contracted + Commited)
Pemanfaatan Gas Bumi per Sektor
Bagian terbesar alokasi gas domestik digunakan untuk keperluan industri, kelistrikan, dan pupuk yaitu rata-rata 58% dari total alokasi gas. Mengingat pentingnya sektor industry dan kelistrikan,
diharapkan alokasi tersebut dapat menimbulkan dampak
positif
bagi
perekonomian, seperti pertumbuhan ekonomi (PDB), peningkatan penerimaan pajak, peningkatan pendapatan rumah tangga dan penyerapan tenaga kerja. Neraca gas Indonesia tahun 2015 – 2030 dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Neraca Gas Indonesia tahun 2015 – 2030
49
Kebutuhan energi terpusat pada pulau Jawa karena 80% penduduk Indonesia tinggal di Jawa, sementara cadangan gas besar terletak diluar pulau Jawa sehingga kebutuhan akan infrastruktur sangat tinggi untuk mengatasi gap antara pasokan dan kebutuhan.
Distribusi Cadangan dan Kebutuhan Gas di Indonesia Pasokan energi primer gas bumi yang terdiri dari gas bumi untuk domestik dan impor LPG tahun 2025 sebesar 9.786,7 MMSCFD dan tahun 2050 sebesar 27.013,1 MMSCFD. Adapun pasokan gas bumi untuk domestik, berasal dari : 1. Sebagian produksi gas bumi nasional, rnengingat produksi nasional tidak seluruhnya digunakan untuk dalam negeri karena masih ada komitrnen ekspor gas bumi hingga tahun 2035, meskipun volumenya akan semakin berkurang secara signifikan.
Produksi/Lifting Gas Bumi dan Pemanfaatan untuk Ekspor - Domestik Tahun 2015-2050
50
Profil produksi gas bumi nasionaJ juga dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Produksi/Lifting Gas Bum! dan Pemanfaatan untuk Ekspor - Domestik Tahun 2015-2050
2. Impor gas alam (natural gas) atau potensi produksi dari tambahan temuan cadangan, dengan mempertimbangkan adanya potensi defisit gas mulai tahun 2020 sekitar 401,8 MMSCF'D dan semakin meningkat sampai dengan tahun 2050 sebesar 20.201,0 MMSCF'D
Kebutuhan dan rencana pasokan gas bumi untuk domestik, dapat dilihat pada tabel dan gambar di bawah ini. Kebutuhan dan Rencana Pasoksn Gas Buml Tahun 2015-2050
51
Kebutuhan dan Rencana Pasokan Gas Buml Tahun 2015-2050
3.2.4. LPG Energi primer gas bumi juga mencakup kebutuhan LPG yang dipenuhi dari produksi kilang LPG dan impor LPG. Produksi LPG dalam negeri relatif tidak mengalami peningkatan akibat keterbatasan bahan baku LPG, sehingga lebih dari 50% pasokan LPG domestik saat ini dipenuhi dari impor.
Definisi LPG adalah gas hidrokarbon yang dicairkan dengan tekanan untuk memudahkan penyimpanan, pengangkutan, dan penanganannya yang pada dasarnya terdiri atas propana, butana, dan campuran keduanya. LPG dapat dihasilkan dari kilang minyak maupun kilang gas. LPG dihasilkan dari kilang minyak RU II Dumai, RU III Plaju, RU IV Balongan, RU V Balikpapan, dan RU VI Cilacap PT Pertamina (Persero). Beberapa perusahaan yang termasuk dalam kilang LPG pola hulu adalah PT Badak NGL (Bontang, Kaltim), PT Chevron Indonesia (Tanjung Santan, Kaltim), PT Petrochina (Arar, Papua), PT Petrochina (Jabung, Jambi), PT Conoco Philips (Belanak, Natuna), PT Hess (Ujung Pangkah, Jatim). Beberapa perusahaan yang termasuk dalam kilang LPG pola hilir yang saat ini masih beroperasi adalah PT Titis Sampurna, PT Sumber Daya Kelola plant Losarang dan Tugu Barat, PT Gasuma Federal Indonesia, PT Perta Samtan Gas, PT Bina
52
Bangun Wibawa Mukti, PT Yudhistira Energi, PT Surya Esa Perkasa, dan PT Tuban LPG Indonesia. Kapasitas kilang LPG pola hulu dan LPG pola hilir dapat dilihat pada tabel berikut : Kapasitas Kilang LPG
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa total kapasitas kilang LNG pola hulu dan pola hilir adalah 4.49 MMTPA.
53
Perbandingan kapasitas kilang LPG dari tahun 2012 sampai tahun 2016 dapat dilihat pada gambar berikut. Kapasitas Kilang LPG 2012 – 2016 (MMTPA)
Kapasitas kilang LPG tahun 2016 mengalami penurunan dibandingkan tahun 2015, hal ini disebabkan ada beberapa Badan Usaha Pemegang Izin Usaha Pengolahan Gas Bumi yang telah tidak beroperasi pada tahun 2016, yaitu PT. Medco LPG Kaji, PT. Pertamina (Persero) Pangkalan Brandan, dan PT. Maruta Bumi Prima Langkat. Sementara itu Badan Usaha yang telah memiliki Izin Usaha Sementara Pengolahan Gas Bumi yaitu PT Bumi Jambi Energi (kapasitas 46 MTPA, berlokasi di Jabung Barat) dan PT. Arsynergy Resources masih dalam tahap konstruksi (kapasitan 109,5 MTPA, berlokasi di Gresik).
Produksi LPG pada tahun 2016 menurun dibandingkan tahun 2015, hal ini disebabkan karena ada beberapa Badan Usaha Pemegang Izin Usaha Pengolahan Gas Bumi yang telah berhenti beroperasi pada tahun 2016 yaitu PT. Wahana Insannugraha, PT. Yudistira Haka Perkasa, PT. Media Karya Sentosa Fase 1 dan 2. PT. Wahana Insannugraha dan PT Yudistira Haka Perkasa berhenti operasi karena perjanjian jual beli gas bumi antara PT. Wahana Insannugraha dan PT. Yudistira Haka Perkasa dengan PT. Pertamina EP Aset 3 belum selesai. Sedangkan PT. Media Karya Sentosa Fase 1 dan 2 berhenti operasi karena ada perubahan skema usaha. Produksi LPG tahun 2016 dapat dilihat pada tabel berikut.
54
Produksi LPG Tahun 2012 - 2016
Produksi LPG Tahun 2012 - 2016
Melihat statistik supply demand kebutuhan akan LPG dari tahun ke tahun, dimana peningkatan akan jumlah produksi tidak dapat mengimbangi peningkatan dari sisi konsumsi, sehingga 55
pemenuhan kekurangannya harus dipenuhi dari impor. Tentunya dengan adanya impor ini mengakibatkan beban anggaran Pemerintah semakin besar dan dapat menimbulkan ketergantungan dari pihak luar. Melihat kondisi yang ada, maka dirasa Pemerintah perlu membangun infrastruktur pengolahan sehingga angka ketergantungan impor dapat ditekan dan ketahanan energi dapat terwujud, selain itu perlu membuat suatu rumusan peraturan untuk meningkatkan minat investasi Badan Usaha untuk membangun kilang LPG. Perbandingan Produksi, Impor, dan Konsumsi LPG 2012 - 2016
Perbandingan Produksi, Impor, dan Konsumsi LPG 2012 - 2016
Kebutuhan LPG tahun 2025 diproyeksikan sebesar 9,5 juta ton dan tahun 2050 sebesar 13,2 juta ton, a pabila tidak dilakukan kebijakan terkait pengurangan impor. Kebutuhan LPG dan skenario pengurangan impor LPG melalui pengembangan jaringan gas kota, DME, dan tabung ANG secara lebih detail dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
56
Hasil Pemodelan Kebutuhan dan Pasokan LPG Tahun 2015-2050
Pemodelan kebutuhan dan pasokan LPG beserta produk lainnya secara rinci dapat diliha t pada tabel di bawah ini. Hasil Pemodelan Kebutuhan dan Pasokan LPG Tahun 2015-2050
3.2.5. LNG Kegiatan usaha pengolahan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 pasal 12 (a) adalah kegiatan memurnikan, memperoleh bagian-bagian, mempertinggi nilai tambah minyak dan gas bumi yang menghasilkan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, hasil olahan, LPG dan/atau LNG tetapi tidak termasuk pengolahan lapangan. Kilang pengolahan gas di Indonesia berdasarkan produk yang dihasilkan terbagi menjadi kilang LNG dan kilang LPG. Kilang LNG dan LPG ada yang mengikuti pola hulu dan pola hilir. Kilang LNG dan LPG pola hulu merupakan lanjutan kegiatan pengolahan lapangan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), sedangkan kilang LNG dan LPG pola hilir merupakan kilang yang dimiliki oleh Badan Usaha yang telah memiliki Izin Usaha Pengolahan Gas Bumi. 57
Definisi LNG adalah gas bumi yang terutama terdiri dari metana yang dicairkan pada suhu sangat rendah (sekitar minus 160oC) dan dipertahankan dalam keadaan cair untuk memudahkan transportasi dan penimbunan. Pada praktiknya, LNG dihasilkan dari gas bumi yang telah mengalami proses pengolahan (pemurnian) dan proses kondensasi menjadi cairan pada tekanan atmosfer pada temperatur sekitar -160oC. Beberapa perusahaan kilang LNG pola hulu yang saat ini masih beroperasi adalah kilang PT. Badak LNG (Bontang, Kaltim) dan kilang PT. British Petroleum (Tangguh, Papua), sedangkan kilang LNG pola hilir adalah kilang PT. Donggi Senoro LNG. Kapasitas kilang LNG pola hulu dan LNG pola hilir dapat dilihat pada tabel berikut : Kapasitas kilang LNG
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa total kapasitas kilang LNG pola hulu dan pola hilir tahun 2016 adalah 31,24 MMTPA. Perbandingan kapasitas kilang LNG dari tahun 2012 sampai tahun 2016 dapat dilihat pada gambar berikut :
Kapasitas kilang LNG tahun 2012 - 2016
58
Kapasitas kilang LNG tahun 2016 mengalami penurunan dibandingkan tahun 2015, hal ini disebabkan kilang PT. Arun LNG yang telah berhenti beroperasi sejak bulan Oktober tahun 2014 karena perjanjian jual beli gas bumi (Sales Purchase Agreement) antara PT. Arun LNG dan pembeli (buyer) telah berakhir.
Sementara itu beberapa Badan Usaha yang telah memiliki Izin Usaha Sementara Pengolahan Gas Bumi yaitu PT. South Sulawesi LNG dan PT. Bumi Tangguh Selaras masih dalam tahap konstruksi. Kapasitas kilang LNG yang masih dalam tahap konstruksi dapat dilihat pada tabel berikut : Kapasitas kilang LNG yang masih dalam tahap konstruksi
Produksi LNG dari kilang PT Badak LNG, PT. BP Tangguh, dan PT. Donggi Senoro LNG pada tahun 2016 dapat dilihat pada tabel berikut : Produksi LNG Tahun 2012 - 2016
59
Produksi LNG tahun 2016 (20.021 MT) secara kumulatif mengalami peningkatan sebesar 6,97% dibandingkan tahun 2015 (18.716,4 MT), salah satunya dikarenakan pada tahun 2016 produksi PT. Donggi Senoro telah beroperasi 100% dari kapasitas kilangnya.
Produksi LNG PT. Badak LNG, PT. BP, dan PT. Donggi Senoro LNG Tahun 2012 - 2016
Produksi PT Badak LNG mengalami penurunan dari tahun 2012 sampai tahun 2014, meningkat pada tahun 2015 dan mengalami penurunan kembali pada tahun 2016 sebesar 5,19% dibandingkan tahun 2015. Sementara itu, untuk PT BP Tangguh, produksi LNG pada tahun 2016 mengalami kenaikan sebesar 3,04% dibandingkan pada tahun 2015.
Produksi LNG Tahun 2012 - 2016
60
61