Jurnal Nanosains & Nanoteknologi
ISSN 1979-0880
Vol. 1 No.2, Juli 2008
Sumber Cahaya Putih Struktur LuCoLED Menggunakan Nano dan Submikro Partikel (Y,Gd)3Al5O12 yang Didop Cerium Dengan Eksitasi Cahaya Biru Mikrajuddin Abdullah(a) dan Khairurrijal Laboratorium Sintesis dan Fungsionalisasi Nanomaterial Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, ITB Jalan Ganeca 10 Bandung 40132 (a) E-mail:
[email protected] Diterima Editor Diputuskan Publikasi
: :
10 Mei 2008 25 Mei 2008
Abstrak Pada paper ini dilaporkan pembuatan (yttrium,gadolonium) aluminium garnet yang didop dengan cerium, (Y,Gd)3Al5O12:Ce, yang berukuran nanometer dan submikrometer serta pembuatan prototipe sumber cahaya putih struktur luminescence conversion light emitting diode (LuCoLED). Partikel dibuat dengan metode pemanasan sederhana dalam larutan polimer dan prototipe LuCoLED dibuat dengan mencampur partikel dengan epoksi resin. Kata Kunci: sumber cahaya putih, aluminium garnet, LuCoLED
1. Pendahuluan Sumber cahaya putih adalah topik riset yang cukup hangat dilakukan di kalangan para peneliti. Hal ini dimaksudkan untuk mencari sumber cahaya putih yang hemat energi dan tahan lama sebagai pengganti sumber cahaya putih yang ada saat ini seperti lampu pijar atau neon. Salah satu sumber cahaya yang berumur panjang adalah light emitting diode (LED). Oleh karena itu, akan sangat wajar apabila pencarian sumber cahaya putih berumur panjang difokuskan pada struktur LED. Salah satu disain sumber cahaya putih yang diusulkan peneliti adalah luminescence conversion light emitting diode (LuCoLED). Prinsip kerja LuCoLED adalah mengubah warna LED menjadi warna putih menggunakan material luminisens yang sesuai. Cahaya putih adalah cahaya yang menggandung semua panjang gelombang visible. Sebaliknya LED yang dibuat umumnya monokromatik atau mendekati monokromatik. Agar dapat menghasilkan cahaya putih dari LED maka material luminisens harus yang menghasilkan spektrum luminisens yang sangat lebar. Paling ideal jika spektrum luminisens menjangkau daerah dari biru hingga merah. Namun, belum ada material yang memiliki cakupan spektrum luminisens yang sangat lebar seperti itu. Material yang selama ini dikenal memiliki spektrum luminisens lebar seperti ZnO masih memiliki keterbatasan lebar spektrum. Ada sejumlah spektrum yang tidak dimiliki sehingga luminisens yang dihasilkan tidak putih. Pada paper ini akan dikaji salam satu material pemancar spektrum luminisens lebar, yaitu (yttrium, gadolonium) aluminium garnet yang didop dengan cerium. Salah satu yang menarik dari material ini adalah luminisens dapat dihasilkan dengan eksitasi cahaya biru. Spektrum luminisens yang dihasilkan berada pada daerah hijau sampai kuning.
2. Teori Inti dari sumber cahaya putih yang akan dikaji di sini adalah material luminisens yang memancarkan spektrum lebar dari hijau→merah ketika dieksitasi dengan cahaya biru. Mengapa sifat optik seperti ini yang diperlukan? Berikut adalah penjelasannya. Cahaya biru
Material luminisens
Luminisens hijau → merah
Spektrum luminisens
Gambar 1 Material luminisens yang diperlukan untuk membuat sumber cahaya putih adalah yang dapat memancarkan spektrum hijau→merah ketika dieksitasi dengan cahaya biru.
Cahaya putih dapat diamati dalam modus transmisi atau modus refleksi.
79
J. Nano Saintek. Vol. 1 No. 2, Jul 2008
80
Cahaya eksitasi biru
(Y,Gd)AG:Ce
Cahaya biru yang lolos
Cahaya putih
Luminisens hijau-kuning
Modus transmisi Dalam pembuatan sumber cahaya putih modus transmisi, cahaya biru tidak boleh diserap seluruhnya oleh material. Sebagian cahaya biru harus dapat menembus material tersebut. Ilustrasi disain sumber cahaya putih modus transmisi tampak pada Gbr. 2. Dengan disain seperti ini maka ketika material disinari cahaya biru : (i) material memancarkan cahaya luminisens hijau→merah ke segala arah; (ii) sebagian cahaya biru menembus materil tersebut. (iii) Akibatnya di sisi belakang material didapat spektrum hijau→merah (luminisens) dan spektrum biru (cahaya yang tembus material/tidak diserap). Kombinasi spektrum tersebut di belakang material menghasilkan cahaya putih. Sebaliknya pandangan dari sisi lain (selain sisi belakang) hanya menghasilkan warna hijau→merah, bukan putih.
Gambar 2 Disain sumber cahaya putih modus transmisi.
Modus refleksi Pada modus refleksi, struktur material yang baik berbentuk film tipis. Di belakang material dipasang cermin untuk memantulkan spektrum luminisens dan cahaya biru yang menembus. Pada disain ini pun cahaya biru tidak boleh diserap semuanya oleh material. Sebagian cahaya biru harus dapat dipantulkan kembali. Cahaya biru yang dipantulkan kembali bersama dengan cahaya hijau→merah hasil luminisens memberikan warna putih ketika diamati. Penggunaan cermin memungkinkan penfokusan cahaya luminisens ke arah tertentu. Dengan demikian, cahaya putih yang dihasilkan pada modus refleksi akan lebih tajam daripada modus transmisi. Agar sebagian cahaya biru dapat menembus material, maka meterial luminisens yang digunakan tidak boleh berbentuk padatan bulk. Material luminisens yang baik harus berbentuk partikel. Celah antar partikel merupkan ruang bagi lolosnya cahaya biru. Pada paper ini akan dibahas pembuatan sumber cahaya putih dengan menggunakan partikel luminisens berukuran submikrometer hingga nanometer. Karena sangat sulit membuat material yang memancarkan
spektrum luminisens sangat lebar dari hijau hingga merah, pada paper ini hanya dilaporkan pembuatan material luminisens yang memancarkan spektrum luminisens dari hijau hingga kuning. Material tersebut adalah (yttriumgadolonioum) aluminium garnet yang didop dengan cerium, (Y,Gd)3Al5O12:Ce. Kombinasi warna biru dari sumber eksitasi dengan spektrum luminisens hijau→kuning menghasilkan warna yang mendekati putih 3. Eksperimen Partikel (Y,Gd)3Al5O12:Ce dibuat dengan metode pemanasan sederhana prekursor dalam larutan polimer [1]. Metode yang sama telah digunkan untuk membuat sejumlah partikel oksida lain dengan ukuran beberapa puluh nanometer hingga submikron [2-13]. Sebanyak 5,63×10-4 mol Y(NO3)3.6H2O (> 99,99%), 5,63×10-4 mol Gd(NO3)3.6H2O (> 99,99%), dan 1,875×10-5 mol Al(NO3)3.9H2O (> 98,0%) dilarutkan dalam 10 mL air murni (ultra pure water, UPW) untuk mendapatkan konsentrasi total 0,3 M. Campuran diaduk hingga melarut sempurna. Di dalam larutan tersebut kemudian dimasukkan 3×10-5 mol Ce(NO3)3.6H2O (> 98,5%) untuk mendapatkan tingkat doping 1 % mol./mol. Ce relative terdapat total mol Y, Gd, dan Al. Sejumlah tertentu (massa) polyethylene glycol (PEG) kemudian dimasukkan ke dalam larutan dan diaduk sambil dipanaskan pada suhu 70 oC sampai didapatkan larutan kental yang jernih. Campuran tersebut kemudian dipanaskan di udara pada suhu 1200 oC selama 5 menit. Sampel lain dibuat dengan menambahkan BaF2 (> 99,0%) sebagai fluks dengan konsentrasi 20% terhadap konsentrasi total Y, Gd, dan Al. Setelah pemanasan berakhir, fluks dibuang kembali dengan mencuci material tersebut dalam pencuci ultrasonic yang dilanjutkan dengan sentrifugasi. Proses pencucian dan sentrifugasi diulang selama empat kali. Material yang dihasilkan dikarakterisasi struktur kristalnya dengan Rigaku Denki RINT2000 X-ray diffractometer, spectrum luminisens dengan Shimazu RF5300PC spectrophotometer, dan morfologi dengan Field Emission SEM Hitachi S-5000. Sumber cahaya putih dibuat dengan mencampur material dengan epoksi resin dengan fraksi berat material luminisens 5%. Campuran yang telah diaduk hingga homogen kemudian dipres dalam bentuk film tebal. 4. Hasil dan Diskusi Gambar 3 adalah foto SEM partikel (Y,Gd)3Al5O12:Ce yang dibuat menggunakan PEG 4,0 g. Gambar 3(a) adalah foto SEM partikel yang dibuat tanpa menggunakan fluks sedangkan Gbr. 3(b) adalah foto SEM partikel yang dibuat dengan menambahkan fluks BaF2 sebanyak 0,06 M. tampak bahwa penggunaan fluks akan memperbesar ukuran grain yang dihasilkan. Keberadaan fluks mempercepat proses pertumbuhan grain sehingga pada kondisi pemanasan yang sama, yaitu suhu pemanasan dan lama waktu pemanasan yang sama, ukuran grain yang diperoleh dengan penambahan fluks lebih besar. Memang penambahan fluks akan mengorbankan ukuran grain, yaitu memperbesar ukuran grain. Tetapi, seperti yang akan dibahas kemudian,
J. Nano Saintek. Vol. 1 No. 2, Jul 2008
81
penambahan fluks akan menghasilkan sejumlah keuntungan lain, khususnya dari sisi intensitas luminisens.
a
a
1 µm 200 nm
1 µm
b b
1 µm 1 µm
c Gambar 3 Foto SEM sampel yang dibuat dengan (a) menambaghkan PEG 4,0 gram tanpa menggunakan fluks dan (b) menambahkan PEG 4,0 gram disertai penambahan flux BaF2 dengan konsentrasi 0,06 M. Pengaruh konsentrasi fluks yang ditambahkan dalam prekursor tampak pada Gbr. 4. Dari Gbr. 4(a) sampai 4(d) sampel telah dibuat dengan menggunakan fluks pada berbagai konsentrasi, yaitu (a) 0 M, (b) 0,03 M, (c) 0,06 M, dan (d) 0,09 M. Berdasaran evolusi perubahan ukuran grain tampak terjadinya perubahan ukuran grain yang cukup signifikan dari gambar 4(a) ke gambar 4(b), yaitu dari tidak ada fluks menjadi ada fluks. Setelah itu ukuran grain hanya bertambah sedikit ketika konsentrasi fluks dinaikkan dari 0,03 m hingga 0,09 M. Spektrum XRD sampel yang dibuat dengan berbagai konsentrasi fluks tampak pada Gbr. 5. Seperti yang ditunjukkan Gbr. 5(a), sampel yang dibuat tanpa penambahan fluks didominasi oleh fasel YAlO3. Fase YAG sangart sedikit muncul. Fase YAG makin dominan ketika ditambahkan fluks dengan konsentrasi yang makin tinggi. Sampel yang dibuat dengan penambahan fluks 0,09 M menujukkan puncak YAG yang tinggi pada sudut sekitar 2θ = 35o. Namun pada semua sampel masih tampak puncak BaF2 yang cukup tinggi. Hal tersebut disebabkan sampel belum dicuci sehingga BaF2 tetap bertahan dalam semua sampel yang dibuat dengan menggunaka fluks. Puncak BaF2 tidak muncul pada sampel yang dibuat tanpa fluks dan sangat lemah pada sampel yang dibuat dengan menggunakan konsentrasi fluks 0,015 M dan 0,03 M.
1 µm
d
1 µm
Gambar 4 Foto SEM sampell yang dibuat dengan berbagai konsentrasi fluks: (a) 0 M, (b) 0,03 M, (c), 0,06 M, dan (d) 0,09 M. Jumlah PEG yang digunakan sama, 4,0 gram.
J. Nano Saintek. Vol. 1 No. 2, Jul 2008
82
M, dan (d) 0,09 M. Jumlah PEG yang digunakan sama, 4,0 gram.
Intensitas [a.u.]
(d)
0,09 M memperlihatkan munculnya fase YAG. Samnpelsampel ini menunjukkan spektrum luminisens yang cukup tinggi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa spektrum luminisens hanya dihasilkan oleh kristal dengan struktur YAG. Penambahan konsentrasi fluks dari 0,03 m hingga 0,09 M menyebabkani sedikit penurunan intensitas luminisens. Hal ini disebabkan adanya atenuasi cahaya oleh material fluks. Material fluks BaF2 termasuk konduktor ionik. Makin banyak kandungan BaF2 maka makin banyak jumlah material atenuator sehingga makin banyak terjadi reduksi intensitas cahaya oleh material tersebut. Flux 0,03M Flux 0,06M
(c) Intensitas PL [a.u.]
Flux 0,09M
(b) (a)
JCPDS 330040 Y3Al5O12
Flux 0,015M
JCPDS 330041 YAlO3
Tanpa flux
JCPDS 40452 BaF2 20
30
40
50
60
70
80
2θ/[o]
Gambar 5 Pola difraksi sampel yang dibuat dengan berbagai konsentrasi fluks: (a) 0 M, (b) 0,015 M, (c) 0,03 M, (d), 0,06 M, dan (e) 0,09 M. Jumlah PEG yang digunakan sama, 4,0 gram. Juga ditampilkan data JCPDS untuk kristal Y3Al5O12, YalO3, dan BaF2. Salah satu sifat yang sangat penting dari material ini adalah spektrum luminisens. Gambar 6 adalah spektrum luminisens sampel yang dibuat dengan menggunakan berbagai konsentrasi fluks. Pengukuran luminisens dilakukan dengan mengeksitasi sampel menggunakan cahaya biru dengan panjang gelombang 470 nm. Tampak bahwa hampir tidak dideteksi luminisens ketika pada pembuatan sampel tidak ditambahkan fluks. Demikian pula dengan sampel yang dibuat dengan penambahan fluks 0,015 M. tidak ada luminisens yang signifikan pada sampel ini. Luminisens yang tajam muncul ketika ditambahkan fluks 0,03 M sampai 0,09 M. Ada korelasi yang kuat antara struktur kristal sampel dengan munculnya luminisens. Berdasarkan spektrum XRD, sampel yang dibuat tanpa menggunakan fluks dan sampel yang dibuat menggunakan fluks 0,015 M tidak memperlihatkan munculnya fase YAG. Yang muncul hanya fase YAlO3. Sampel yangh dibuat dengan menggunakan fluks dengan konsentrasi 0,03 M sampai
500
550 600 650 Panjang gelombang [nm]
700
Gambar 6 Spektrum luminisens sampel yang dibuat dengan berbagai konsentrasi fluks: 0 M, 0,015 M, 0,03 M, 0,06 M, dan 0,09 M. Jumlah PEG yang digunakan sama, 4,0 gram. Eksitasi dilakukan dengan cahaya biru 470 nm.
J. Nano Saintek. Vol. 1 No. 2, Jul 2008
Gambar 7 Foto material yang ditaburkan di atas permukaan datar secara acak dan dalam bentuk strip ketika disinari dengan cahaya biru dari arah depan. Foto material yang ditaburkan secara acak dan ditaburkan dalam bentuk strip di atas permukaan datar ketika disinari cahaya biru dari sisi depan tampak pada Gbr. 7. Tampak jelas munculnya warna hijau kekuningan.
83
didop dengan europium. Tetapi material ini tidak dapat dieksitasi dengan cahaya biru. Cahaya pengeksitasi yang paling baik untuk material ini adalah sinar ultyravioler dengan panjang gelombang sekitar 245 nm. Pendekatan ketiga adalah mengurangi intensitas cahaya biru yang menembus komposit. Ini dapat dilakukan dengan memasang material pereduksi intensitas biru pada sisi depan sumber cahaya. Intensitas cahaya biru yang menembus komposit direduksi oleh material atenuator tersebut, sedangkan cahaya lain lolos. Akibatnya di depan LuCoLED didapat spectrum-spektrum dengan perbandingan intensitas yang sesuai untuk menghasilkan cahaya putih. Kesimpulan Telah berhasil dibuat (yttrium,gadolonium) aluminium garnet yang didop dengan cerium, (Y,Gd)3Al5O12:Ce, yang berukuran nanometer dan submikrometer serta prototipe sumber cahaya putih struktur luminescence conversion light emitting diode (LuCoLED). Luminisens yang tinggi hanya diamati pada material yang mengandung struktur YAG. Struktur YAG muncul ketika dalam prekuros ditambahkan fluks BaF2 dengan konsentrasi di atas 0,03M. Referensi
Gambar 8 Prototipe sumber cahaya putih: (a) tidak disinari dengan cahaya biru, (b) disinari dengaan cahaya biru dari arah belakang. Prototipe sumber cahaya putih yang dibuat dengan mencampurkan partikel dengan epoksi resin dengan fraksi partikel 5 % w/w tampak pada gbr. 8. Gambar 8(a) adalah foto sumber cahaya ketika tidak dieksitasi dengan cahaya biru. Gambar 8(b) adalah foto sumber cahaya ketika disinari dengan sumber cahaya biru dari arah belakang. Tampak warna putih yang cukup terang pada sampel yang disinari cahaya biru. Pengukuran cromaticity masih menunjukkan lokasi yang mendekati daerah biru. Hal ini disebkan oleh dua faktor. Pertama adalah ketiadaan unsur merah pada spektrum luminisens. Kedua adalah intensitas cahaya biru yang menembus material masih cukup tajam. Dengan demikian ada tiga pendekatan yang bisa dilakukan untuk menggeser cromaticity ke arah putih murni (x = 0,31 dan y = 0,31). Pertama adalah mencari material dengan spektrum luminisens yang lebih lebar lagi sehingga mengandung unsur merah. Kedua adalah mencampur dua jenis material dengan perbandingan yang sesuai. Material pertama adalah (Y,Gd)3AG:Ce dan material kedua adalah yang memancarkan cahaya merah ketika dieksitasi dengan cahaya biru. Material jenis kedua ini tampaknya belum ditemukan. Material luminisens merah yang sering digunakan adalah yttrium oksida yang
[1] M. Abdullah, K. Okuyama, I.W. Lenggoro, and S. Taya, J. Non-Crystalline Solids 351, 697 (2005). [2] M. Abdullah, I. W. Lenggoro, B. Xia, and K. Okuyama, J. Ceram. Soc. Jpn. 113, 97-100 (2005). [3] T. Ogi, Y. Itoh, M. Abdullah, F. Iskandar, Y. Azuma and K. Okuyama, J. Cryst. Growth 281, 234 (2005). [4] M. Abdullah and K. Okuyama, Proc. ITB Eng. Sci. 36B, 140 (2004). [5] M. Abdullah and Khairurrijal, Proc. 3rd Kentingan Physics Forum, Solo, 24 September 2005, pp. 69-70. [6] A. S. Vioktalamo, M. Abdullah, W. Budiawan, and Khairurrijal, Proc. 1st Int. Conf. Adv. Mater. Pract. Nanotech., Serpong-Banten (2006). [7] A. S. Vioktalamo, M. Abdullah, dan S. Z. Bisri, Pros. Sem. Nas. Kimia Fisik dan Anorganik 2006. [8] I. Nurhasanah, M. Abdullah, and Khairurrijal, Int. Conf. Neutron and X-Ray Scattering, Bandung, 2931 July 2007. [9] I. Sriyanti, M. Abdullah, dan Khairurrijal, The 3rd National Seminar on Chemistry and Chemical Education, Bandung April 11, 2007. [10] I. Sriyanti, M. Abdullah, Khairurrijal, and L. Marlina, 2007 Conference on Solid State Ionics, Serpong, 1-3 August 2007. [11] M. Abdullah, Khairurrijal, A. Waris, W. Sutrisno, I. Nurhasanah, and A.S. Vioktalamo, Powder Technol. 183, 297 (2008). [12] M. Abdullah, Khairurrijal, A. R. Marully, Liherlinah, dan M. Sanny, J. Nano Saintek. 1, 1 (2008). [13] M. Abdullah, Khairurrijal, I. Nurhasanah, I. Sriyanti, dan A.R. Marully, J. Nano Saintek. in press (2008).