KAJIAN INTERTEKSTUALITAS DAN NILAI PENDIDIKAN NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI DAN NOVEL CANTING KARYA ARSWENDO ATMOWILOTO
TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia
Oleh:
SUMANTO S. 840209121
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
i
PENGESAHAN
KAJIAN INTERTEKSTUALITAS DAN NILAI PENDIDIKAN NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI DAN NOVEL CANTING KARYA ARSWENDO ATMOWILOTO
Disusun oleh Sumanto S. 840209121
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing: Dewan Pembimbing
Jabatan
Nama/NIP
Tanda Tangan
Tanggal
Pembimbing I
Dr. Retno Winarni, M.Pd.
____________
_______
____________
_______
19560121 198203 2 003
Pembimbing II
Dr. Nugraheni Eko W., M.Hum. 19700716 200212 2 001
Mengetahui Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia
Prof. Dr. Herman J. Waluyo NIP 19440315 197804 1 001
ii
PENGESAHAN TESIS
KAJIAN INTERTEKSTUALITAS DAN NILAI PENDIDIKAN NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI DAN NOVEL CANTING KARYA ARSWENDO ATMOWILOTO Disusun oleh Sumanto S. 840209121
Telah disetujui dan disahkan oleh Tim Penguji Pada tanggal:
Jabatan
Ketua
Nama
Tanda Tangan
: Prof . Dr. St. Y. Slamet, M. Pd. NIP 19461208 1982031001
_________________
Sekretaris
: Dr. Andayani, M. Pd. NIP 196010301986201001 Anggota Penguji 1. Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M. Pd. NIP 19440315 1978041001 2. Dr. Nugraheni Eko Wardani, M. Hum NIP 19700716 2002122001
_________________
_________________
_________________
Surakarta, Mengetahui Direktur PPs UNS,
Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia,
Prof. Drs. Suranto, M. Sc., Ph. D. NIP 19570820 198503 1 004
Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd. NIP 19440315 197804 1 001
iii
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya: nama
: Sumanto
NIM
: S.840209121
menyatakan
dengan
sesungguhnya,
bahwa
tesis
berjudul
Kajian
Intertekstualitas dan Nilai Pendidikan Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari dan Novel Canting Karya Arswendo Atmowiloto adalah betulbetul karya saya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.
Surakarta, Yang membuat pernyataan,
Sumanto
iv
MOTTO
Hidup adalah Perjuangan Banyak Orang Suka Bekerja Keras dengan Penuh Keyakinan, namun perlu disadari bahwa doa adalah penentu sebuah keberhasilan
v
PERSEMBAHAN
Tesis ini kupersembahkan
Kepada: Alm. Panut Harto Pawiro, ayahku dan alm. Hartini, ibu mertuaku semua kenangan yang membiaskan kerinduan; Sumi, ibuku dan Djunaedi Mardi Siswoyo, ayah mertuaku terima kasih atas doa dan pengertiannya; Istri tercinta Titik Isti Wahyuni, S.Pd., Anak-anakku Wildan Titto Aminurrohman, dan Alfiano Titto Nur Ikhsan karena kalian hidup ini kuperjuangkan.
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya tesis yang berjudul Kajian Intertekstualitas dan Nilai Pendidikan Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari dan Novel Canting Karya Arswendo Atmowiloto dapat diselesaikan dengan baik. Tesis ini berusaha menjelaskan unsur-unsur pembentuk struktur novel, persamaan dan perbedaan kandungan warna lokal, dan nilai-nilai pendidikan pada novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan novel Canting karya Arswendo Atmowiloto dengan menggunakan pendekatan intertekstualitas. Penulis banyak mendapat bimbingan dan arahan dari dosen pembimbing yang sangat penulis hormati, serta bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ucapkan terima kasih kepada: 1. Rektor UNS Prof. Dr. dr. Much Syamsulhadi, S. Sp. K. J.; 2. Direktur Pasca UNS Prof. Drs. Suranto, M. Sc., Ph. D.; 3. Ketua Program Studi PBI Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M. Pd. dan Sekretaris Program Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M. Pd., yang telah membantu proses penyusunan tesis; 4. Dr. Retno Winarni, M.Pd., dosen pembimbing I, atas kesabarannya dalam pembimbingan tesis; 5. Dr. Nugraheni Eko Wardani, M. Hum., atas kesabarannya dalam pembimbingan tesis;
vii
6. Seluruh Dosen Pascasarjana PBI, ilmu yang diberikan Bapak Ibu akan menjadi bekal hidup penulis sebagai pengajar di SMAN 1 Slogohimo, Wonogiri; 7. Seluruh teman satu angkatan, staf TU Pascasarjana yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga Allah SWT membalas kebaikan Bapak Ibu. Kritik dan saran sangat penulis harapkan demi sempurnanya tesis ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Surakarta, Penulis
viii
DAFTAR ISI
Halaman Judul ……………………………………………………………………..
i
Pengesahan ………………………………………………………………
ii
Pengesahan Tesis ………………………………………………………..
iii
Pernyataan ……………………………………………………………….
iv
Motto …………………………………………………………………….
v
Persembahan …………………………………………………………….
vi
Kata Pengantar ………………………………………………………….
vii
Daftar Isi ………………………………………………………………..
ix
Daftar Gambar ………………………………………………………….
xiii
Daftar Lampiran ………………………………………………………..
xiv
Abstrak …………………………………………………………………..
xv
Abstract ………………………………………………………………….
xvi
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……………………………………….
1
B. Rumusan Masalah ……………………………………………...
4
C. Tujuan Penelitian ………………………………………………
5
D. Manfaat Penelitian ……………………………………………..
6
II. KAJIAN TEORI A. Hakikat Sastra …………………………………………………
7
B. Hakikat Novel …………………………………………………
8
1. Pengertian Novel ………………………………………….
8
2. Struktur Novel …………………………………………….
10
a. Tema …………………………………………………..
10
b. Penokohan dan Perwatakan …………………………...
15
c. Latar …………………………………….......................
20
ix
C. Pendekatan Struktural …………………………………………
23
D. Hakikat Warna Lokal ………………………………………….
27
1. Warna Lokal dalam Sastra ……………………………….
17
2. Warna Lokal Jawa …………………………………………
30
a. Pandangan Hidup Orang Jawa ………………………...
30
b. Kondisi Sosial Masyarakat Jawa…………………………
34
c. Etika Jawa …………………………………………………. 40 E. Pendekatan Intertekstualitas …………………………………..
43
F. Nilai Pendidikan dalam Novel ………………………………...
46
1. Hakikat Nilai Pendidikan …………………………………..
46
2. Nilai Pendidikan Sastra …………………………………….
48
a. Nilai Pendidikan Sosial Budaya ………………………..
49
b. Nilai Pendidikan Moral ………………………………..
51
c. Nilai Pendidikan Religius ……………………………..
52
G. Penelitian yang Relevan ……………………………………….
55
H. Kerangka Berpikir ……………………………………………..
58
. III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian …………………………………
31
1. Tempat Penelitian ………………………………………….
60
2. Waktu Penelitian …………………………………………..
60
B. Data dan Sumber Data …………………………………………
31
1. Data ………………………………………………………..
61
2. Sumber Data ……………………………………………….
62
C. Teknik Sampling ………………………………………………
62
D. Teknik Pengumpulan Data …………………………………….
62
E. Validitas Data ………………………………………………….
64
F. Teknik Analisis Data …………………………………………..
64
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Sekilas tentang Dunia Pengarang ……………………………..
x
66
1. Sekilas tentang Ahmad Tohari ……………………………
66
a. Biografi ……………………………………………….
66
b. Penghargaan yang Diperoleh …………………………
68
c. Hasil Karya ……………………………………………
68
d. Latar Belakang Sosial Budaya Ahmad Tohari ………..
71
2. Sekilas tentang Arswendo Atmowiloto ……………………
75
a. Biografi ………………………………………………..
75
b. Penghargaan yang Diperoleh ………………………….
79
c. Hasil Karya ……………………………………………..
80
d. Latar Belakang Arswendo Atmowiloto …………………
83
B. Struktur Novel ………………………………………………….
89
1. Struktur Novel Ronggeng Dukuh Paruk ……………………
89
a. Tema …………………………………………………….
89
b. Penokohan ……………………………………………….
91
c. Latar ……………………………………………………..
144
2. Struktur Novel Canting ……………………………………...
157
a. Tema …………………………………………………….
157
b. Penokohan ……………………………………………….
159
c. Latar ……………………………………………………..
186
…….
199
.……...
199
a. Pandangan Hidup Orang Jawa …………………………..
200
b. Kondisi Sosial Masyarakat Jawa ………………………..
215
C. Warna Lokal Novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Canting 1. Warna Lokal dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk
2. Warna Lokal dalam Novel Canting …………………………
231
a. Pandangan Hidup Orang Jawa …………………………..
200
b. Kondisi Sosial Masyarakat Jawa ……………………….
217
3. Persamaan dan Perbedaan Warna Lokal Novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Novel Canting ……………………………
263
a. Persamaan Warna Lokal Novel RDP dan Novel Canting
266
b. Perbedaan Warna Lokal Novel RDP dan Novel Canting
270
xi
D. Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Canting …………………………………………………….
278
1. Nilai Pendidikan Sosial Budaya …………………………….
279
a. Nilai Pendidikan Sosial Budaya dalam Novel RDP …...
279
b. Nilai Pendidikan Sosial Budaya dalam Novel Canting …
280
2. Nilai Pendidikan Religius …………………………………..
285
a. Nilai Pendidikan Religius dalam Novel RDP ………….
291
b. Nilai Pendidikan Religius dalam Novel Canting ………
294
V. PENUTUP A. Simpulan ………………………………………………………
298
B. Implikasi ………………………………………………………
308
C. Saran-Saran ……………………………………………………
310
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………
312
LAMPIRAN …………………………………………………………..
316
xii
DAFTAR GAMBAR
A. Gambar 1: Kerangka Berpikir ……………………………………
59
B. Gambar 2 : Skema Analisis Interaktif Data ………………………
65
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
A. Lampiran 1: Sinopsis Novel Ronggeng Dukuh Paruk ………………….. 316 B. Lampiran 2: Sinopsis Novel Canting …………………………………… 323
xiv
ABSTRAK
SUMANTO. S.840209121. Kajian Intertekstual dan Nilai Pendidikan Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari dan Novel Canting Karya Arswendo Atmowiloto. Tesis. Surakarta: Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret. Penelitian ini bertujuan menjelaskan: (1) unsur-unsur pembentuk struktur novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Canting; (2) persamaan dan perbedaan kandungan warna lokal dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Canting; (3) nilai-nilai pendidikan yang terkandung di dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Canting. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Metode ini digunakan untuk menggali sumber informasi dan data yang berupa teks-teks sastra, sehingga data yang tampil bukan berupa konsep-konsep secara statistik. Teknik pengumpulan data yang digunakan: (1) teknik interaktif dan mencatat dokumen dengan content analysis; (2) teknik simak dan baca catat; (3) teknik riset pustaka. Data yang sudah terkumpul dianalisis dengan model analisis interaktif tiga alur kegiatan: (1) reduksi data; (2) penyajian data, dan (3) peran kesimpulan atau verifikasi. Hasil temuan penelitian dengan pendekatan intertekstualitas menunjukkan bahwa kedua novel tersebut (1) mempunyai unsur-unsur struktur berupa tema, penokohan, dan setting. Secara strukural kedua novel tersebut memiliki persamaan dan perbedaan. Kedua novel tersebut sama-sama menampilkan tema sosial dengan tokoh-tokoh orang Jawa beserta kultur budaya Jawa. Sedangkan, perbedaannya terletak pada setting. Novel Ronggeng Dukuh Paruk memiliki latar lingkungan pedesaan, sedangkan novel Canting memiliki latar lingkungan perkotaan; (2) kedua novel tersebut memiliki persamaan dan perbedaan kandungan warna lokal. Warna lokal kehidupan masyarakat Jawa sama-sama dimiliki novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Canting. Sedangkan perbedaannya adalah novel Ronggeng Dukuh Paruk menampilkan warna lokal kehidupan masyarakat Jawa dengan lingkungan pedesaan. Sedangkan novel Canting menampilkan warna lokal kehidupan masyarakat Jawa dengan lingkungan perkotaan; (4) nilai pendidikan yang terkandung di dalam kedua novel tersebut yaitu nilai pendidikan sosial budaya dan pendidikan religius.
xv
ABSTRACT
SUMANTO. S.840209121. 2010. The Study of Intertextuality and Education Values on Ahmad Tohari’s Ronggeng Dukuh Paruk and Arswendo Atmowiloto’s Canting. A Thesis. Surakarta. The Study Program of Indonesian Education, Graduate Program. Sebelas Maret University. This reserch aims to explain: (1) structures Component Composed of Ronggeng Dukuh Paruk and Canting; (2) the similarities and differences of local color on Ronggeng Dukuh Paruk and Canting; (3) education values containing on Ronggeng Dukuh Paruk and Canting’s novel. The research used a descriptive qualitative method. This method was used to explore the source information and data were presented in the literary text forms. There fore, the data appear in this research are not in statistically conceptual. The collecting data used in this research: (1) interactive technique and record document by using content analysis; (2) comprehensive and record technique; (3) library research technique. The data which had been collected, then were analyzed using three catogories of interactive analysis : (1) data reduction, (2) data presentation, and (3) conclusion or verification. The result of the study showed that 1) the two novels had structure components in the term of theme, characterization, and setting. According to structural method that two novels had similarities and differences. The two novels showed social theme with culture and characterization Javaneese peoples. While, the differences on setting side. Novel Ronggeng Dukuh Paruk had rural environment but Canting’s novel had metropolis environment; (2) the two novels had similarities and differences on local color; (3) The local color of Javaneese social community are the same on Ronggeng Dukuh Paruk novel and Canting novel. While the differences are Ronggeng Dukuh Paruk novel showed the local color of a Javaneese social community with rural environment, while Canting novel showed the local color of a Javaneese social community with metropolis environment; (4) Values both the novels had social cultural and religious values education.
xvi
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan unsur budaya yang dapat mempengaruhi dan dapat dipengaruhi oleh masyarakat. Karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati dan dipahami serta dimanfaatkan oleh masyarakat pembaca. Dengan demikian, dalam menginterprestasikan kehidupan pengarang tentulah tidak luput pula mengungkap masalah sosial budaya di mana seseorang hidup dan berkarya. Jadi, ada hubungan yang erat antara pengarang, karya sastra, masyarakat, dan realitas kehidupan. Sastra lahir dari keinginan dasar manusia untuk mengungkapkan diri, menaruh minat pada dunia realitas tempat hidupnya dan dunia angan-angan yang dikhayalkan sebagai dunia nyata. Seorang pengarang menulis karyanya karena ingin mengemukakan obsesinya terhadap masalah kemanusiaan, dan realitas kehidupan. Hasil karya sastra dengan bahasa yang multitafsir diharapkan mampu memberikan kepuasan batin, emosional, dan kepuasan intelektual. Kelahiran karya sastra tidak hanya karena oleh fenomena-fenomena kehidupan yang ingin disampaikan oleh pengarang. Sastra lahir oleh tendesi lain yang dilandasi kesadaran bahwa karya sastra sebagai sesuatu yang bersifat fiktif dan
imajinatif
haruslah
mempunyai
tujuan
khusus
yang
dapat
dipertanggungjawabkan. Dalam berkarya seorang sastrawan tidak hanya ingin menghasilkan sesuatu yang indah dan dapat dinikmati tetapi juga ingin
1
2
menyampaikan ide-ide, gagasan-gagasan serta pandangannya mengenai sesuatu yang dilihat dan dirasakannya dalam kehidupan ini. Rexroth (1987: 1) dalam sebuah artikel berjudul The Art of Literature mengatakan bahwa definisi dari kata sastra cenderung melingkar. Sastra adalah "tulisan-tulisan yang nilainya terletak pada keindahan bentuk atau efek emosional." Lebih lanjut Rexroth berpendapat: Literature is a form of human expression. But not everything expressed in words — even when organized and written down — is counted as literature. Those writings that are primarily informative — technical, scholarly, journalistic — would be excluded from the rank of literature by most, though not all, critics. Certain forms of writing, however, are universally regarded as belonging to literature as an art. Individual attempts within these forms are said to succeed if they possess something called artistic merit and to fail if they do not. The nature of artistic merit is less easy to define than to recognize. The writer need not even pursue it to attain it. On the contrary, a scientific exposition might be of great literary value and a pedestrian poem of none at all. Rexroth dalam pendapat di atas mengungkapkan bahwa sastra adalah bentuk ekspresi manusia. Tapi, tidak semua yang diungkapkan dalam kata-kata bisa dikatakan sebagai sastra. Tulisan-tulisan yang berupa informatif, teknis, ilmiah, dan jurnalistik tidak bisa dikategorikan sebagai sebuah sastra. Bentuk tulis tertentu bila secara universal ada unsur seni bisa dianggap sebagai bagian sastra. Sebuah tulisan bisa dikategorikan sastra jika berhasil merebut nilai seni. Dan, keberhasilan itu tidak bisa dipaksakan. Sastra merupakan objek kajian yang menarik. Kajian sastra merupakan usaha untuk memberikan interprestasi dan pemaknaan karya sastra yang ada. Mengkaji karya sastra dapat dilakukan dengan berbagai sudut pandang, tergantung pendekatan yang digunakan. Untuk mengkaji sastra dapat digunakan
2
3
lebih dari satu pendekatan, agar hasil penafsiran dan pemaknaan terhadap karya menjadi optimal. Pengkajian karya sastra menurut Abrams (dalam Teeuw, 1984:50) dapat menggunakan empat pendekatan, yaitu (1) pendekatan yang menitikberatkan pada karya sastra itu sendiri atau pendekatan objektif; (2) pendekatan yang menitikberatkan pada penulis yang disebut pendekatan ekspresif; (3) pendekatan yang menitikberatkan pada pembaca atau pendekatan pragmatik; (4) pendekatan yang menitikberatkan pada semesta yang juga disebut pendekatan mimetik. Pendekatan
objektif
yang
dinilai
banyak
kelemahan
melahirkan
pendekatan pascastrukturalisme. Salah satu pendekatan yang muncul adalah pendekatan intertekstualitas. Pendekatan ini pertama-tama dikembangkan oleh peneliti Perancis, Julia Kristeva. Menurut Julia Kristeva (Culler, 1975: 139) setiap teks harus dibaca dengan latar belakang teks lain, dengan kata lain tidak ada satu teks pun yang dapat dibaca benar-benar mandiri. Kajian intertektualitas tentang warna lokal sebuah novel merupakan hal yang menarik untuk dibahas. Dasar interteks dalam penelitian ini adalah analisis struktur karya sastra dari unsur intrinsik dan ekstrinsiknya. Langkah berikutnya menganalisis hubungan struktur karya sastra untuk menemukan persamaan dan perbedaaan yang dijumpai di dalam kedua novel yang diintertekskan. Persamaan dan perbedaan bisa dikaji dari pendiskripsian latar kedua novel juga ciri-ciri kultural (warna lokal) yang terdapat dalam kedua novel yang diintertekskan. Sisi lain yang menarik dari kajian novel adalah menganalisis nilai-nilai pendidikan yang ada di dalamnya. Nilai pendidikan moral, sosial budaya, dan
3
4
religius merupakan objek kajian yang sangat tepat untuk diteliti dan dianalisis dalam sebuah novel. Dengan memaknai dan memahami nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam sebuah karya sastra akan mengubah pribadi seseorang menjadi lebih baik atau berkualitas apabila orang tersebut bisa memetik hikmahnya. Penulis tertarik mengkaji novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan novel Canting Karya Arswendo Atmowiloto dengan pendekatan intertekstualitas karena kedua novel tersebut dibangun dengan struktur yang kuat utamanya struktur latar yang berupa warna lokal Jawa yang dominan dalam kedua novel tersebut. Selain itu penulis juga ingin menemukan nilai-nilai pendidikan yang terkandung di dalamnya. Dasar interteks dalam penelitian ini adalah analisis struktur karya sastra dari unsur intrinsik dan ekstrinsiknya. Langkah berikutnya menganalisis hubungan struktur karya sastra untuk menemukan persamaan dan perbedaaan yang dijumpai di dalam kedua novel tersebut. Persamaan dan perbedaan bisa dikaji dari pendiskripsian latar kedua novel tersebut juga ciri-ciri kultural yang terdapat dalam kedua novel tersebut.
B. Rumusan Masalah Penelitian
ini
memfokuskan
telaah
sastra
dengan
pendekatan
intertekstualitas. Masalah yang akan dikaji dalam telaah novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Canting adalah:
4
5
1. Bagaimanakah unsur-unsur pembentuk struktur novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Canting? 2. Apakah persamaan dan perbedaan kandungan warna lokal dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Canting sesuai kajian sastra dengan pendekatan intertekstualitas? 3. Nilai pendidikan apakah yang terkandung di dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Canting?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. untuk menjelaskan unsur-unsur pembentuk struktur novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Canting. 2. untuk menjelaskan persamaan dan perbedaan kandungan warna lokal dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Canting. 3. untuk menjelaskan nilai-nilai pendidikan yang terkandung di dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Canting.
D. Manfaat penelitian Ada dua manfaat yang dapat diperoleh dalam penelitian ini, yaitu : 1. Manfaat Teoritis a. Memperkaya khazanah ilmu pengetahuan di bidang sastra.
5
6
b. Menambah khazanah pustaka Indonesia agar dapat digunakan sebagai kajian penelitian yang relevan dan bahan perbandingan bagi penelitian selanjutnya. 2. Manfaat Praktis a. Memberikan bahan bacaan bagi guru sehingga wawasannya bertambah luas. b. Memberikan pengetahuan pada siswa tentang nilai-nilai pendidikan sehingga dapat mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
6
7
BAB II KAJIAN TEORI
A. Hakikat Sastra Teeuw dalam Retno Winarni (2009: 1) mengatakan bahwa sastra berasal dari bahasa Sansekerta, yakni dari sas yang berarti mengarahkan, memberi petunjuk atau instruksi, sedang tra berarti alat atau sarana. Padahal dalam pengertian sekarang (bahasa Melayu), sastra banyak diartikan sebagai tulisan. Pengertian ini kemudian ditambah dengan kata su yang berarti indah atau baik. Jadi, susastra bermakna tulisan yang indah. Rene Wellek (dalam Rachmat Djoko Pradopo, 2003: 35) mengemukakan tiga definisi tentang seni sastra sebagai berikut: (1) Seni sastra ialah segala sesuatu yang dicetak. Definisi ini tidak lengkap karena tidak meliputi karya sastra yang tidak ditulis, atau karya sastra lisan. (2) Seni sastra terbatas pada buku-buku yang “terkenal” dari sudut isi dan bentuk. Definisi ini bercampur dengan penilaian, dan penilaian itu hanya didasarkan pada segi estetiknya atau segi intelektualnya. Dengan demikian, karya-karya yang lain yang “tidak terkenal” tidak dapat dimasukkan dalam sastra. (3) Seni sastra bersifat imajinatif. Definisi yang ketiga ini lebih baik dari definisi sebelumnya. Sifat imajinatif ini menunjukkan dunia angan dan khayalan hingga kesusastraan berpusat pada epik, lirik, dan dramatik, karena ketiganya dihasilkan dari dunia rekaan (fiction, imagination). Dapat dikatakan bahwa ketiga definisi tersebut mengakui adanya sifat fictionaly (sifat mengkhayalkan), invention (penemuan atau penciptaan), dan imagination (mengandung kekuatan menyatukan angan untuk mencipta) sebagai hakikat seni sastra. Fictionaly disini menunjukkan dunia khayalan, artinya dunia yang adanya hanya karena khayalan sastrawan, bukan dunia yang nyata, yang
7
8
sungguh-sungguh ada. Invention menunjukkan pengertian adanya penemuanpenemuan yang baru sebagai hasil khayalan, penemuan karya cipta baru. Imagination menunjukkan adanya daya membayangkan untuk menghasilkan sesuatu yang baru, yang asli untuk menghasilkan dunia nyata. Sedangkan, Rachmat Djoko Pradopo (2003: 59) berpendapat bahwa karya sastra adalah karya seni, yaitu suatu karya yang menghendaki kreativitas dan bersifat imajinatif. Dikatakan imajinatif bahwa karya sastra itu terjadi akibat penganganan dan hasil penganganan itu adalah penemuan-penemuan baru, kemudian penemuan baru itu disusun ke dalam suatu sistem dengan kekuatan imajinasi hingga terciptalah dunia baru yang sebelumnya belum ada. Berdasarkan
beberapa
pendapat
tentang
sastra
di
atas
penulis
menyimpulkan bahwa sastra adalah hasil kreativitas pengarang yang bersumber dari kehidupan manusia secara langsung atau melalui rekaannya dengan bahasa sebagai medianya. Kesimpulan ini senada dengan pendekatan sastra yang dikemukakan oleh M.H Abrams, dengan pendekatan objektif, pendekatan ekspresif, pendekatan mimetik, dan pendekatan pragmatik (Teeuw: 1984: 50).
B. Hakikat Novel 1. Pengertian Novel Istilah roman dan novel di Indonesia diartikan berbeda. Roman diartikan sebagai cerita berbentuk prosa yang panjang, banyak tokoh dan banyak penjelajahan tentang kehidupan yang meliputi waktu sepanjang hidup tokohnya. Kehidupan tokohnya diceritakan sejak kecil sampai kematiannya.
8
9
Novel diartikan sebagai cerita tentang sebagian kehidupan tokohnya saja, seperti masa menjelang perkawinannya setelah mengalami masa pencintaan atau bagian kehidupan seorang tokoh mengalami krisis dalam jiwanya (Jakob Sumardjo, 1984: 65). Secara etimologis kata novel berasal dari kata novellus yang berarti baru. Bisa dikatakan bahwa novel memang bentuk karya sastra cerita fiksi yang paling baru. Menurut Robert Lindell dalam Herman J. Waluyo dan Nugraheni E. Wardhani (2009: 8) karya sastra yang berupa novel pertama kali lahir di Inggris dengan judul Pamella, terbit pada tahun 1740. Tadinya novel Pamella merupakan catatan harian seorang pembantu rumah tangga. Kemudian berkembang dan menjadi bentuk prosa fiksi berupa novel seperti sekarang ini. Forster (2009: 1) dalam Aspects of the Novel mengatakan bahwa novel adalah salah satu bentuk prosa fiksi yang berbentuk narasi. Ini berbeda dari alegori (yang berfungsi untuk mengajarkan semacam pelajaran moral). Novel biasanya bercerita tentang cinta kasih (dengan penekanan pada peristiwa spektakuler dan menarik
yang dirancang untuk
menghibur) dalam
penekanannya pada pembangunan karakter. Pendapat Foster terekam dalam kutipan berikut ini, “The novel is one form of an extended fictional prose narrative. It differs from allegory (which functions to teach some sort of moral lesson) and romance (with its emphasis on spectacular and exciting events designed to entertain) in its emphasis on character development”.
9
10
Herman J. Waluyo (2002: 37) mengemukakan bahwa novel mempunyai ciri; (a) ada perubahan nasib dari tokoh cerita; (b) ada beberapa episode dalam kehidupan tokoh utamanya; (c) biasanya tokoh utama tidak sampai meninggal. Dan dalam novel tidak dituntut kesatuan gagasan, impresi, emosi dan setting seperti dalam cerita pendek. Wellek dan Warren dalam Theory of Literatur (terjemahan Melani Budiyanto, 1982: 282) mengemukakan bahwa novel adalah gambaran kehidupan dan perilaku yang nyata, dari zaman saat novel itu ditulis. Romansa, yang ditulis dalam bahasa yang agung dan diperindah, menggambarkan apa yang pernah ditulis dan apa yang pernah terjadi. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa novel adalah satu satu genre sastra yang dibangun oleh unsur-unsur pembangun sebagai sebuah struktur yang secara fungsional memiliki keterjalinan untuk membangun totalitas makna dengan media bahasa sebagai penyampai gagasan pengarang tentang hidup dan seluk beluk kehidupan manusia. 2. Struktur Novel Ada beberapa pendapat dari ahli tentang unsur pembentuk struktur fiksi atau novel. Di antara pendapat para ahli tersebut adalah: Hudson (1963: 130-131) menyebut unsur pembangunan struktur rekaan terdiri dari: (a) plot; (b) pelaku; (c) dialog dan karakterisasi; (d) setting yang meliputi timing dan action; (e) gaya penceritaan (style), dan (f) filsafat hidup pengarang. Yang dimaksud dengan gaya penceritaan dapat dimasukkan point of view dan gaya bercerita pengarang. Hudson memasukkan filsafat
10
11
pengarang termasuk juga gagasan, ideologi, aliran kesenian yang dianut, pribadi pengarang termasuk kepedulian pada dunia dan kemanusiaan. Hudson belum memasukkan tema dan amanat termasuk unsur batin suatu cerita rekaan. Fowler (1977: 244-250) menyebutkan unsur-unsur yang harus dipelajari dalam menelaah cerita rekaan, yaitu: (a) waktu dan tempat (setting); (b) karakterisasi dalam arti perwatakan dan susunan tokoh-tokohnya beserta konflik dan hubungan antartokoh itu; (c) tema cerita, dan (d) bahasa yang dipergunakan pengarang. Dalam pembahasan Fowler, unsur bahasa (figuratif, lambang, gaya bahasa) termasuk dalam unsur penting dalam novel. Bahasa disini tidak hanya yang terdapat dalam tubuh cerita, tetapi juga terdapat dalam judul cerita. Jakob Sumardjo (1984: 54) menyebutkan ada tujuh unsur-unsur fiksi, yaitu: (a) plot (alur cerita); (b) karakter (perwatakan); (c) tema (pokok pembicaraan); (d) setting (tempat terjadinya cerita); (e) suasana cerita; (f) gaya cerita; (g) sudut pandangan pencerita. Unsur-unsur pembentuk struktur fiksi menurut Jakob Sumardjo di atas mestinya dapat ditambahkan penokohan, amanat, suspense, dan penanjakan cerita. Ditambahkan bahwa semua unsur di atas menyatu padu dalam beberapa pengalaman yang dikisahkan secara mengasyikkan oleh pengarang. Pendapat di atas dipertegas dalam Jakob Sumardjo (1999: 2-3) yang menegaskan bahwa novel dalam kesusastraan merupakan sistem bentuk. Dalam unsur instrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu
11
12
sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur-unsur yang dimaksud yaitu: peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa, dan lain-lain. Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Seperti halnya unsur intrinsik, unsur ekstrinsik juga terdiri dari beberapa unsur. Unsur-unsur yang dimaksud (Wellek & Warren, 1962: 75135) antara lain: (a) unsur biogragfi pengarang; (b) unsur psikologi; (c) ekonomi; (d) sosial budaya (e) pandangan hidup suatu bangsa, dan sebagainya. Adapun pembahasan tentang struktur novel pada penelitian ini dibatasi pada unsur yang berkaitan dengan kajian novel dengan pendekatan intertekstualitas. Dalam kajian novel dengan pendekatan intertekstualitas penulis menekankan bahwa struktur novel terdiri dari unsur instrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur-unsur intrinsik terdiri dari: (a) tema; (b) plot atau alur; (c) penokohan; (d) perwatakan atau karakterisasi; (e) setting atau latar; (f) sudut pandang atau point of view. Unsur-unsur ekstrinsik terdiri dari: (a) biografi pengarang; (b) karya-karya pengarang; (c) proses kreatif pengarang; dan (d) unsur-unsur sosial budaya. Pembahasan unsur-unsur intrinsik struktur novel adalah sebagai berikut:
12
13
a. Tema Burhan Nurgiyantoro (2005: 70) berpendapat bahwa tema dapat dipandang sebagai gagasan dasar umum sebuah karya novel. Gagasan dasar umum inilah yang tentunya telah ditentukan sebelumnya oleh pengarang dan dipergunakan untuk mengembangkan cerita. Dengan kata lain cerita harus mengikuti gagasan dasar umum yang telah ditetapkan sebelumnya sehingga berbagai peristiwa dan konflik dan unsur intrinsik yang lain mencerminkan tema cerita. Jadi tema cerita harus ada sebelum pengarang mulai menulis novel. Kenney dalam Herman J. Waluyo dan Nugraheni E. Wardhani (2009: 11) menyebut tema sebagai “the meaning of the story”, tema sebagai makna cerita. Definisi ini dipandang kurang jelas dan kurang operasional. Karena itu, Kenney memberikan penjelasan dengan, “theme is not closely approach the meaning of the moral of the story, it is not the subject, it is not what people have in mind when they speak of „what the story really means‟. Tema tidak selalu berkaitan dengan moral dalam cerita, bukan subjek, bukan apa yang ada dalam pikiran ketika mereka berbicara tentang 'apa arti cerita yang sebenarnya‟. Tema, menurut Herny Guntur Tarigan (1984: 125) dikatakan merupakan hal penting dalam sebuah cerita. Suatu cerita yang tidak mempunyai tema dikatakan tidak ada gunanya. Meskipun pengarang tidak menjelaskan apa tema ceritanya secara eksplisit, hal itu dapat disimpulkan dan dirasakan oleh pembaca pada saat membaca cerita.
13
14
Tarigan juga mengutip pendapat Brooks dan Warren (1959: 688) yang mengatakan, “tema adalah dasar cerita atau makna suatu novel”. Brooks, Purser, dan Warren menyebutkan, “tema adalah pandangan hidup yang tertentu atau perasaan tertentu yang membentuk atau membangun dasar atau gagasan utama dari suatu karya sastra (Brooks, 1959: 820). Beberapa pendapat di atas semuanya mengatakan hal atau indikator yang sama tentang tema, sehingga dapat disimpulkan: (1) tema merupakan dasar suatu cerita rekaan; (2) tema harus ada sebelum pengarang mulai dengan ceritanya; (3) tema dalam cerita atau novel tidak ditampilkan secara eksplisit, tetapi bersifat di dalam seluruh cerita; (4) dalam satu cerita atau novel terdapat tema dominan atau tema sentral dan tema-tema kecil lainnya. Herman J. Waluyo dan Nugraheni E. Wardhani (2009: 12) berpendapat bahwa tema cerita dapat diklasifikasikan menjadi lima jenis, yaitu: 1) Tema yang bersifat fisik Tema yang bersifat fisik menyangkut inti certia yang bersangkut paut dengan kebutuhan fisik manusia, misalnya tentang cinta, perjuangan mencari nafkah, hubungan perdagangan, dan sebagainya. 2) Tema Organik (Moral) Tema yang bersifat organik atau moral menyangkut soal hubungan antara manusia, misalnya penipuan, masalah keluarga, problem politik, ekonomi, adapt, tata cara, dan sebagainya.
14
15
3) Tema Sosial Tema yang bersifat sosial berkaitan dengan problem kemasyarakatan. 4) Tema Egoik (Reaksi Pribadi) Tema egoik atau reaksi individual, berkaitan dengan protes pribadi kepada ketidakadiloan, kekuasaan yang berlebihan, dan pertentangan individu. 5) Tema Divine (Ketuhanan) Tema ini menyangkut renungan yang bersifat religius hubungan manusia dengan sang khalik. b. Penokohan dan Perwatakan Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau perlakuan dalam berbagai peristiwa pada sebuah cerita (Panuti Sudjiman, 1988 : 16). Istilah tokoh menunjuk pada orangnya atau perlakuan cerita. Tokoh-tokoh dalam cerita memiliki sifat atau pribadi yang berbeda satu sama lain. Perbedaan sifat inilah yang menimbulkan konflik menarik, yang merupakan bagian dari cerita. ”Watak adalah kualitas tokoh, kualitas nalar dan jiwa yang membedakan tokoh satu dengan yang lain” (Panuti Sudjiman, 1988 : 23). Dengan demikian watak menunjukan pada sifat, sikap dan kualitas pribadi seorang tokoh sesuai yang ditafsirkan oleh pembaca. Jones dalam Burhan Nurgiyantoro (2005 : 165) berpendapat, “Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita”. Penokohan menunjuk pada penempatan
15
16
tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita. Hal ini sejalan dengan pendapatan Panuti Sudjiman (1988: 16) yang mengatakan bahwa penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh. Penokohan lebih luas pengertiannya daripada tokoh dan watak (perwatakan). Penokohan mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakannya, bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang, di dalamnya ada penyajian watak seseorang tokoh dan penciptaan citra tokoh. Dilihat dari peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam cerita, tokoh dibagi menjadi dua yaitu tokoh utama (sentral) dan tokoh bawahan, Burhan Nurgiantoro (2005: 176) berpendapat: Tokoh utama adalah tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus-menerus sehingga terasa mendominasi sebagai cerita. Sedangkan tokoh tambahan atau bawahan adalah tokoh yang dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, adakalanya hadir dalam porsi yang relatif pendek. Tokoh utama merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun dikenai kejadian. Tokoh bawahan walaupun tidak sentral kedudukannya didalam cerita, tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang atau mendukung tokoh utama.
16
17
Dilihat dari penyebab terjadinya sebuah konflik, tokoh cerita dapat dibedakan menjadi tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Herman J. Waluyo dan Nugraheni E.W. (2009:181) berpendapat bahwa tokoh protagonis adalah tokoh yang mendukung jalannya cerita sebagai tokoh yang mendatangkan simpati atau tokoh baik. Tokoh antagonis adalah tokoh yang menentang arus cerita atau yang menimbulkan perasaan antipati atau benci pada diri pembaca. Berdasarkan kriteria berkembang atau tidaknya perwatakan tokoh cerita dalam sebuah novel, tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh statis dalam tokoh berkembang. Alterbernd dan Lewis dalam Burhan Nurgiantoro (2005 : 188) berpendapat, ”tokoh statis adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi”. Tokoh statis memiliki sikap dan watak yang relatif tetap, tidak berkembang sejak awal sampai akhir cerita. ”Tokoh berkembang adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan dengan perubahan peristiwa dan plot yang dikisahkan” (Burhan Nurgiantoro, 2005: 188). Tokoh berkembang secara aktif berinteraksi dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial, alam, maupun yang lainnya, yang kesemuanya itu akan mempengaruhi sikap, watak, dan tingkah lakunya. Pemahaman penokohan pada sebuah novel tidak hanya sampai pada analisis tokoh-tokoh berdasarkan peran dan fungsi penampilannya
17
18
dalam sebuah cerita. Pembaca tentunya ingin memahami karakter (watak) tokoh-tokoh dalam sebuah cerita. Jakob Sumardjo dan Saini K.M. (1994 : 65) berpendapat : Ada beberapa cara yang ditempuh untuk dapat memahami karakter tokoh-tokoh dalam sebuah cerita: 1. Melalui apa yang diperbuatnya Watak seseorang akan tercermin dengan jelas pada sikapnya dalam situasi gawat ( penting ). Ia tidak dapat berpura-pura. Ia akan bertindak bertindak secara spontan sesuai dengan karakternya. 2. Melalui ucapan-ucapannya Dari apa yang diucapkan, kita dapat mengenali apakah ia orang tua, berpendidikan tinggi atau rendah, berbudi halus dan kasar, dan lain-lain. 3. Melalui pengambaran fisik tokoh Pengarang sering membuat deskripsi mengenai bentuk tubuh dan wajah tokoh-tokohnya. 4. Melalui pikiran-pikirannya Melukiskan apa yang dipikirkan oleh seorang tokoh adalah salah satu cara penting untuk membentang perwatakannya. 5. Melalui penerangan langsung Pengarang membentang panjang lembar watak tokoh secara langsung. Penyajian watak tokoh dalam sebuah cerita dapat menggunakan metode langsung dan tak langsung. “Metode langsung (analitik) adalah pengarang secara langsung menceritakan bagaimana watak tokohtokohnya” (Panuti Sudjiman, 1988 : 23 ). Dalam hal ini pengarang pengarang mengisahkan sifat-sifat tokoh, hasrat, pikiran dan perasaannya. Pengarang kadang-kadang memberikan komentar pernyataan setuju atau tidak setuju akan sifat tokoh-tokohnya tersebut. Semua ini dipaparkan oleh pengarang secara langsung dan sederhana, tetapi tidak mengalahkan imajinasi pembaca. “metode tak langsung (dramatik) adalah pengarang tidak langsung menceritakan watak pelaku” (Panuti Sudjiman, 1988 : 26).
18
19
Watak juga disimpulkan pembaca dari pikiran, dialog dan tindakan tokoh cerita yang disajikan pengarang. Watak tokoh juga dapat disimpulkan dari penampilan fisik serta dari gambaran lingkungan yang mengitari tokoh. Pada dasarnya ada tiga cara yang digunakan pengarang untuk menampilkan tokoh-tokoh cerita yang diciptakannya (Herman J. Waluyo, 2002: 165). Ketiganya digunakan bersama-sama. Ketiga cara tersebut adalah: (1) metode analitis yang oleh Hudson (1963: 146) disebut metode langsung dan oleh Kenny (1996: 34) disebut metode deskriptif atau metode diskusif; (2) metode tidak langsung yang juga disebut metode peragaan atau metode dramatisasi; dan (3) metode kontekstual. Metode karakterisasi telaah fiksi secara khusus dibahas Albertine Minderop (2005: 4-48). Menurutnya metode karakterisasi dalam telaah fiksi dapat dilakukan dengan metode langsung (telling) dan metode tidak langsung (showing). Metode langsung atau telling dapat dilakukan melalui: (1) karakterisasi menggunakan nama tokoh; (2) karakterisasi melalui penampilan tokoh; (3) karakterisasi melalui tuturan pengarang. Sedangkan penggunaan metode tidak langsung dapat dilakukan dengan cara: (1) karakterisasi melalui dialog yang mencakup apa yang dikatakan penutur, jati diri penutur tokoh protagonis dan tokoh bawahan; (2) lokasi dan situasi percakapan: (3) karakterisasi melalui tindakan para tokoh. Kebanyakan dalam cerita rekaan menggunakan tiga metode di atas secara bersama-sama. Tetapi ada juga salah satu diantaranya lebih dominan. Hal ini disebabkan bahwa setiap metode mempunyai kelebihan
19
20
dan kekurangan. Penggunaan perpaduan tiga metode dalam membangun karakter tokoh dapat membuat pembaca tidak jemu dan cerita lebih lanjut. Berdasarkan teori-teori
di
atas
dapat
disimpulkan
bahwa
penokohan dan perwatakan mempunyai hubungan yang sangat erat. Penokohan berhubungan dengan cara pengarang menentukan dan memilih tokohnya serta memberi nama tokoh dalam cerita. Perwatakan berhubungan dengan karakteristik atau bagaimana watak tokoh-tokoh itu. Keduanya berkaitan dengan tokoh-tokoh dalam cerita novel. c. Latar Latar atau setting dalam fiksi bukan hanya sekadar background, artinya bukan hanya sekedar menunjukkan tempat kejadian dan kapan terjadinya sebuah cerita. Sebuah novel memang harus terjadi di suatu tempat dan dalam suatu waktu. Harus ada tempat dan ruang kejadian. Hal ini sejalan dengan pendapat Jacob Sumardjo dan Saini K.M. (1994 : 75) yang mengatakan bahwa latar adalah tempat dan waktu terjadinya sebuah cerita. Dari latar atau wilayah (tempat) dan waktu tertentu akan menghasilkan perwatakan tokoh dan tema tertentu. ”Latar adalah segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra” (Panuti Sudjiman. 1988 : 44). Kegunaan latar dalam cerita bukan hanya sebagai petunjuk waktu dan tempat, melainkan sebagai pengambilan nilai-nilai yang agung. Yang ingin disampaikan pengarang
20
21
melalui ceritanya. Latar juga dapat digunakan sebagai proyeksi keadaan batin para tokoh dalam sebuah cerita. Latar merupakan informasi yang mengungkapkan keterangan mengenai waktu, tempat, dan suasana kehidupan sosial budaya terjadinya sebuah cerita. Kesimpulan ini sejalan dengan pendapat Burhan Nurgiantoro (2005 : 227) : Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok : 1. Latar Tempat Latar tempat mengacu pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar tempat dapat disebut sebagai latar fisik (physical setting) 2. Latar Waktu Latar waktu berhubungan dengan masalah ‟kapan‟ terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. 3. Latar Sosial Latar sosial mengacu pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Hal itu dapat berupa kebiasaan hidup, tradisi, cara berpikir dan bersikap, pandangan hidup, keyakinan dan status sosial. Stanton dalam An Introduction to Fiction (terjemahan Sugihastuti dan Rossi Abi Al Irsyad, 2007: 35) Latar adalah yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwaperistiwa yang sedang berlangsung. Latar juga dapat berwujud waktuwaktu tertentu (hari, bulan, dan tahun), cuaca, atau satu periode sejarah. Latar biasanya diketengahkan lewat baris-baris kalimat deskriptif oleh penulis cerita. Setting atau latar berfungsi memperkuat pematutan dan faktor penentu bagi kekuatan plot, begitu kata Marjeric Henshaw dalam Herman J. Waluyo (2002: 198). Abrams membatasi setting sebagai tempat
21
22
terjadinya peristiwa dalam cerita (1976: 157). Dalam setting, menurut Harvey (1966: 304), faktor waktu lebih fungsional daripada faktor alam. Wellek mengatakan bahwa setting berfungsi untuk mengungkapkan perwatakan dan kemauan yang berhubungan dengan alam dan manusia (Wellek, 1962: 220). Kenney dalam Herman J. Waluyo (2002: 198) menyebutkan tiga fungsi setting, yaitu: (1) sebagai metafora (setting spiritual) yang dapat dihayati pembaca setelah membaca keseluruhan dari cerita. Setting ini mendasari waktu, tempat, watak pelaku, dan peristiwa yang terjadi; (2) sebagai atmosfir atau kreasi, yang lebih memberi kesan dan tidak hanya sekadar memberi tekanan kepada sesuatu. Penggambaran kamar gelap dengan ilustrasi musik tertentu, misalnya, dapat menciptakan suasana kegembiraan. (3) setting sebagai unsur yang dominan yang mendukung plot dan perwatakan. Setting dominan ini berupa waktu dan tempat. Waktu dapat berarti warna lokal atau kedaerahan, tempat peristiwa berlangsung, dapat juga adegan saat peristiwa itu terjadi. Waktu dan tempat tidak hanya lukisan fisik, tetapi terlebih adalah lukisan dunia batin. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat dikatakan bahwa setting cerita berkaitan dengan waktu dan tempat penceritaan. Waktu dapat berarti siang dan malam, tanggal, bulan, dan tahun. Dapat pula berarti di dalam atau di luar rumah, di desa atau di kota, dapat juga di kota mana, di negeri mana, dan sebagainya. Unsur setting lain yang tidak dapat
22
23
dipisahkan adalah hasil budaya masa lalu, alat transportasi, warna lokal dan daerah yang lain-lain.
C. Pendekatan Struktural Sebuah karya sastra harus dipandang sebagai struktur yang berfungsi. Sebagai sebuah karya yang bersifat imajinatif bisa saja hubungan antara penanda dan petanda merupakan suatu hubungan yang kompleks (Zainuddin Fananie, 2000: 116). Dalam karya sastra yang lebih luas struktur seperti novel , struktur tidak hanya hadir melalui kata dan bahasa, melainkan dapat dikaji berdasarkan unsur-unsur pembentuknya. Untuk mengetahui keseluruhan makna, maka unsurunsur tersebut harus dihubungkan satu sama lain. Struktur merupakan sebuah totalitas yang terdiri dari kesatuan unsur-unsur pembentuknya. Unsur-unsur itu akan saling berhubungan dan saling menentukan. Tiap-tiap unsur pembangunan struktur hanya akan bermakna jika ada dalam kaitannya dengan keseluruhan. Dengan kata lain dalam keadaan terpisah dari totalitasnya, unsur-unsur tersebut tidak ada artinya, tidak berfungsi, tidak bermakna. Hawkes (1977: 16) berpendapat tentang tiga aspek konsep struktur sebagai berikut: “(1) the idea of wholeness, internal coherence: its constituent part will conform to a set of intrinsic laws which determine its nature and theirs; (2) the idea of transformation: the structure is capable of transformational procedures, whereby new material is constrantly processes by and through it. (3) the idea of set regulation: the structure make no appeals beyond itself in order to validite its trasnsformational procedures it is sealed off from reference to other system.
23
24
Dalam pendapatnya tersebut Hawkes menjelaskan tiga konsep struktur: (1) gagasan keseluruhan, koherensi instrinsik: bagian-bagiannya menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah intrinsik yang menentukan baik keseluruhan struktur maupun bagian-bagiannya, (2) gagasan transformasi: struktur itu menyanggupi prosedur-prosedur transformasi yang terus-menerus memungkinkan pembentukan bahan-bahan baru.(3) Gagasan regulasi diri: struktur tidak memerlukan hal-hal di luar dirinya untuk mempertahankan prosedur transformasinya; struktur itu otonom terhadap rujukan pada sistem-sistem lain. Abrams (1976: 188) memasukkan strukturalisme pada pendekatan objektif, yang menitikberatkan pada karya sastra. Yang dikaji adalah struktur karya sastra yang terdiri atas unsur-unsurnya. Strukturalisme merupakan suatu system yang melihat suatu struktur lengkap dan saling menentukan dalam dirinya, dimana unsur-unsurnya saling berhubungan secara timbal balik. Pendekatan struktur (strukturalisme) berasumsi bahwa karya sastra sebagai karya kreatif memiliki otonomi penuh yang harus dipandang sebagai sesuatu yang berdiri sendiri terlepas dari hal hal lain yang berada di luar karya sastra itu sendiri. Telaah sastra secara struktural mengkaji unsur-unsur yang membangun karya tersebut, seperti: tema, plot, latar, penokohan, sudut penceritaan serta hubungan harmonis antar unsur yang membangun menjadi sebuah karya sastra. Hal-hal diluar karya sastra yang bersifat ekstrinsik, seperti: pengarang, sosio-kultural, falsafah dikesampingkan karena dianggap tidak mempunyai hubungan langsung dengan struktur karya sastra.
24
25
Berkaitan dengan pendekatan struktur Teeuw (1984: 123-124) berpendapat bahwa pendekatan struktural berpijak pada karya itu sendiri. Oleh sebab itu penelitian atas bagian-bagiannya harus menyangga keseluruhannya atau sebaliknya. Dengan demikian pembongkaran terhadap unsur-unsurnya akan ditemukan keutuhan dan kebulatan yang ada di dalamnya. Namun yang perlu diperhatikan adalah harus dimulai dari interpretasi secara menyeluruh yang bersifat sementara, dan berusaha menafsirkan anasir-anasir itu sebaik mungkin. Penafsiran
atas
bagian-bagian
itu
pada
gilirannya
akan
memperbaiki
keseluruhannya sehingga diperoleh integrasi makna tolal dan makna bagian yang optimal. Sementara itu John Lye (1996: 9) berpendapat bahwa melalui strukturalisme sastra dipandang sebagai keseluruhan: berfungsi sebagai suatu sistem makna dan referensi tidak peduli berapa banyak karya yang ada, dua atau dua ribu. Jadi setiap pekerjaan menjadi pembebasan bersyarat, artikulasi individu, langue dari budaya, atau sistem penandaan. Sebagai sastra adalah sebuah sistem, tidak ada karya sastra merupakan sebuah keseluruhan otonom; sama, sastra itu sendiri tidak otonom tetapi merupakan bagian dari struktur yang lebih luas makna dari budaya. Pendapat tersebut tergambar dalam kutipan berikut ini: Through structuralism, literature is seen as a whole: it functions as a system of meaning and reference no matter how many works there are, two or two thousand. Thus any work becomes the parole, the individual articulation, of a cultural langue, or system of signification. As literature is a system, no work of literature is an autonomous whole; similarly, literature itself is not autonomous but is part of the larger structures of signification of the culture.
25
26
Konsep dasar dari pendekatan struktural menurut Atar Semi (1990: 67) adalah: (1) Karya sastra dipandang dan diperlakukan sebagai sebuah sosok yang berdiri sendiri, yang mempunyai dunianya sendiri, mempunyai rangka dan bentuknya sendiri; (2) memberi penilaian terhadap keserasian atau keharmonisan semua komponen membentuk keseluruhan struktur. Mutu karya sastra ditentukan oleh kemampuan penulis menjalin hubungan antar komponen tersebut sehingga menjadi suatu keseluruhan yang bermakna dan bernilai estetik; (3) memberikan penilaian terhadap keberhasilan penulis menjalin hubungan-hubungan harmonis antar isi dan bentuk, karena jalinan isi dan bentuk merupakan hal yang amat penting dalam menentukan mutu sebuah karya sastra; (4) walaupun memberikan perhatian istimewa terhadap jalinan antara bentuk dan isi, namun pendekatan ini menghendaki adanya analisis yang objektif sehingga perlu dikaji atau diteliti setiap unsur yang terdapat dalam karya sastra tersebut; (5) pendekatan struktural berusaha berlaku adil terhadap karya sastra dengan jalan dengan hanya dengan menganalisis karya sastra tanpa mengikutsertakan hal-hal yang berada diluar karya sastra; (6) yang dimaksud isi dalam kajian struktural adalah persoalan, pemikiran, falsafah, cerita, pusat pengisahan, tema. Sedangkan yang dimaksud bentuk adalah alur (plot), bahwa sistem penulisan, dan perangkat perwajahan sebagai karya tulis; (7) peneliti boleh melakukan analisis komponen yang diinginkan. Pendekatan struktural menekankan pada sifat otonomi karya sastra. Hal ini memungkinkan keterasingan karya sastra dari latar belakang sosial budaya atau latar belakang kesejarahan. Dengan melepaskan karya sastra dari latar belakang sosial budaya menjadikan karya sastra itu tidak bermakna penuh. Pandangan semacam ini merupakan kelemahan pendekatan struktural. Umar Junus dalam Retno Winarni (2009: 98) menyampaikan dua hal untuk mengatasi kelemahan kajian struktural: (1) Melihat sebuah karya sastra sebagai sebuah system dengan mekanismenya sendiri; (2) Melihat sebuah karya sastra dalam perspektif yang lebih luas, misalnya perspektif kemanusiaan (budaya, sejarah, dan lain-lain).
26
27
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa strukturalisme adalah cara berpikir tentang dunia yang berkaitan dengan persepsi dan deskripsi struktur. Pandangan ini berpendapat bahwa unsur-unsur sebuah kesatuan itu tak memiliki makna sendiri-sendiri. Makna timbul dari hubungan antar unsur-unsur yang terlibat dalam situasi itu. Dengan demikian makna kesatuan itu hanya dipahami sepenuhnya, apabila seluruh unsur pembentuknya terintegrasi ke dalam suatu struktur.
D. Hakikat Warna Lokal 1. Warna Lokal dalam Sastra Warna lokal merupakan suatu cara untuk mengangkat suasana kedaerahan yang mendeskripsikan tentang latar, tokoh, dan penokohan, serta nilai-nilai budaya. Warna lokal dalam sebuah karya sastra memiliki ciri khas tertentu yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa kedaerahan. Selain itu warna lokal dijadikan sebagai tolok ukur untuk membedakan ciri khas daerah yang satu dengan daerah yang lain (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 228). American Eras dalam Literature: Local Color and Realism (1997: 1) bertutur tentang warna lokal dalam sastra Amerika. Eras berpendapat bahwa: After the Civil War local-color fiction gained widespread popularity in America. Bret Harte (1836-1902) acquainted the country with the western miner in stories such as “The Luck of Roaring Camp” (1868) and “The Outcasts of Poker Flats” (1869), while in the late 1870s the Atlanta Constitution begin publishing the dialect stories of plantation life in the Deep South.
27
28
Dalam pendapat di atas Eras mengatakan bahwa setelah Perang Saudara fiksi warna lokal mendapatkan popularitas yang luas di Amerika. Bret Harte (1836-1902) mengenal negara dengan penambang barat dalam ceritacerita seperti "The Luck of Roaring Camp" (1868) dan "The Outcasts of Poker Flats" (1869), sedangkan pada akhir 1870-an Atlanta Constitution mulai menerbitkan cerita dialek kehidupan perkebunan di Deep South. Eras (1997: 2) juga bertutur bahwa penulis warna lokal digambarkan hampir setiap wilayah Amerika, pinjaman realisme cerita mereka dengan menggambarkan kebiasaan, sikap, dan menciptakan kembali dialek. Karena penulis biasanya menetapkan cerita di daerahnya bermukim, mereka mengingat masa muda mereka sendiri. Bagaimanapun, tulisan mereka sering dicampur realisme dengan sentimen nostalgia. Banyak orang Amerika menemukan campuran ini menarik, dan cerita-cerita warna lokal memenuhi halaman-halaman majalah terkemuka sampai akhir abad kesembilan belas. Pendapat Eras ini dapat dicermati dalam kutipan berikut ini: Local-color writers depicted nearly every region of America, lending realism to their stories by describing customs and manners and re-creating dialects. Because these authors usually set their stories in their regions as they remembered them from their own youth, however, they often blended realism with nostalgic sentiment. Many Americans found this mixture appealing, and local-color stories filled the pages of the leading magazines until the end of the nineteenth century. Mustafa Ismail (2008: 2) berpendapat bahwa warna lokal adalah muatan tertentu yang bersifat kedaerahan atau suatu tempat berikut keseharian dan kulturnya dalam sebuah karya sastra. Muatan warna lokal dalam karya sastra tidak hanya ditandai dengan adanya unsur-unsur kultural, juga unsur-
28
29
unsur
keseharian
masyarakat
dalam
sebuah
wilayah
atau
daerah.
Penggambaran sebuah tempat yang detail, khas, lengkap dengan nama suatu tempat, dalam sebuah novel misalnya itu sudah menunjukkan bahwa karya sastra itu memuat warna lokal. Ketika ada seorang novelis yang menggambarkan Tangse dalam novelnya, dengan keseharian masyarakat yang unik, jelas itu telah mengeksplorasi warna lokal. Warna lokal sering lebih dipahami sebagai sesuatu yang statis dan berdimensi keruangan. Dalam operasionalisasinya warna lokal diperlakukan sebagai bagian dari struktur karya sastra, khususnya sebagai salah satu aspek dari setting, atmosfer, dan penggunaan bahasa. Sebagai bagian dari latar fisik dan ruang, warna lokal dikaitkan dengan geografi misalnya Sumatra Barat, Riau, Jawa. Lebih spesifik dengan Surakarta, Yogyakarta, atau bahkan fiktif semacam Dukuh Paruk, Wanagalih. Warna lokal juga dikaitkan dengan atmosfer dan ciri-ciri kultural setempat misalnya adat-istiadat, ritual-ritual, sampai dengan kecenderungan interferensi leksikal-idiomatik bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia yang digunakan di dalamnya. Salah satu contoh warna lokal Jawa, yang sering dijumpai dalam karya-karya Linus Suryadi, Romo Mangun, Darmanto Jatman, Umar Kayam, Danarto, Ahmad Tohari, bahkan Arswendo Atmowiloto. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa warna lokal adalah muatan tertentu dalam karya sastra, yakni mengangkat suasana kedaerahan yang mendeskripsikan tentang latar, tokoh, dan penokohan, serta nilai-nilai budaya dan ciri-ciri kultural suatu tempat. Warna lokal diperlakukan
29
30
sebagai bagian dari struktur karya sastra, khususnya sebagai salah satu aspek dari setting, atmosfer, dan penggunaan bahasa. 2. Warna Lokal Jawa a. Pandangan Hidup Orang Jawa Pandangan
hidup
adalah
bagaimana
manusia
memandang
kehidupan atau bagaimana manusia memiliki konsepsi tentang kehidupan (Supartono Widyosiswoyo, 1996: 121). Pandangan hidup seseorang tentu berbeda-beda. Misalnya, manusia yang mengutamakan diri sendiri yang menimbulkan paham atau aliran individualisme dan manusia yang mengutamakan kepentingan umum atau masyarakat yang menimbulkan paham sosialisme. Pandangan hidup merupakan ekstraksi dari pengalaman hidup. Pandangan ini terbentuk oleh suatu cara berpikir, cara merasakan nilainilai organisasi sosial, kelakuan-kelakuan peristiwa, dan segi-segi lain dari pengalaman. Pengalaman dan pandangan hidup masyarakat Jawa bersifat menyeluruh, tidak memisahkan individu dari lingkungan, golongan, zaman serta situasi dan kondisi. Tinjauan terhadap manusia mempertimbangkan kenyataan yang sering muncul dalam kehidupan masyarakat. Keadaan ini merupakan suatu gejala yang menampakkan diri manusia. Di mana manusia mengandung pengertian suatu yang bergerak antara pribadi yang mempunyai hak merdeka secara keseluruhan. Namun, manusia adalah juga anggota masyarakat yang terikat oleh peraturan dalam kehidupannya. Maka dalam
30
31
hidupnya manusia harus dapat mengambil sikap, dimana sikap itu dapat merupakan pedoman pokok yang harus dilaksanakan. Untuk mengetahui sikap yang baik, manusia diharapkan mampu menyelidiki dari kenyataan dengan dasar nilai moral yang dibawanya. Pandangan orang Jawa merupakan kesatuan pola pikir orang Jawa dalam menempuh kehidupan. Pandangan orang Jawa dalam kehidupan nampak dari sikap dan tingkah laku yang sering menggambarkan kebijakan dan merupakan pola kehidupan sehari-hari yang selaras dengan kehidupan budaya dan alam lingkungannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Budiono Herusatoto (2003: 119) yang mengatakan bahwa pandangan dan sikap hidup orang Jawa selalu menuju: (a) keselarasan dengan dunia, hal ini diwujudkan dalan susila/etika; (b) keselarasan dengan Tuhannya, hal ini diwujudkan dalam taqwanya; (c) kedekatannya dengan kesadaran dirinya, hal ini diwujudkannya dalam sikap batinnya yang selalu eling lan waspada. Dalam sebuah kehidupan, orang Jawa yang mempertahankan hak pribadi dinilai sangat rendah, tidak manusiawi. Hal ini sangat berlawanan dengan sikap moral leluhur orang Jawa yang ikhlas meninggalkan hak pribadi demi kepentingan bersama. Moral sikap orang Jawa ialah sepi ing pamrih, rame ing gawe, artinya tidak mementingkan kepentingan pribadi yang
menjadi
tujuan
utama
adalah
mencapai
keselarasan
dan
keseimbangan lingkungan dalam bermasyarakat (Frans Magnis Suseno, 1983: 70).
31
32
Sikap hidup orang Jawa yang mengerti etika dan taat pada adat istiadat warisan nenek moyang, selalu mengutamakan kepentingan umum dari pada dirinya sendiri. Hal ini tergambar dalam pedoman hidup yang sangat populer seperti aja dumeh, dan aja aji mumpung. Budiono Herusatoto (2003: 74-75) mengatakan bahwa: Aja dumeh adalah pedoman untuk selalu mawas diri bagi semua orang Jawa yang sedang dikaruniai kebahagiaan hidup. Aja dumeh merupakan suatu peringatan agar selalu ingat kepada sesamanya. Seseorang yang hidup bahagia lahir dan batin hendaknya tidak loba dan tamak, serta selalu ingat warga masyarakat di sekitarnya. Aji mumpung adalah salah satu pedoman mengendalikan diri dari sifat-sifat serakah dan angkara murka apabila seseorang sedang hidup „di atas‟. Hidup seseorang seperti Cakramanggilingan, artinya putaran nasib seseorang seperti roda kereta yang berputar pada porosnya. Tidak selamanya kehidupan seseorang dalam suasan „enak‟, semua ini telah diatur oleh Tuhan. Pandangan orang Jawa yang sabar, nrima, dan ikhlas menjadi pegangan yang kokoh. Sikap ini menjadi dasar yang kuat bagi kehidupan orang Jawa, dengan pandangan kerukunan hidup di masyarakat lebih utama dari kehidupan individualis. Menurut pendapat Frans Magnis Suseno (1983: 97), semua itu pada hakikatnya satu. Oleh karena itu, manusia akan keliru apabila mementingkan sifat individualitasnya sendiri. Niels Mulder (1981: 12) mengatakan bahwa kehidupan di dunia adalah kehidupan masyarakat sederhana, dipetakan dalam bermacammacam aturan seperti kaidah Jawa yang mengatur kelakuan antarmanusia. Kaidah yang lain seperti adat yang mengatur keselarasan dalam masyarakat, peraturan peribadahan yang mengatur hubungan formal
32
33
dengan Tuhan. Kaidah moral yang menekankan sikap dasar yakni: rila, narima, sabar, temen, berbudi luhur, eling, percaya dan mituhu. Kaidah moral yang menekankan sikap dasar tersebut sejalan dengan pendapat Pangestu R. Soenarto dalam Budiono Herusatoto (2003: 72) yang menekankan bahwa manusia Jawa harus memiliki watak dan tingkah laku yang terpuji yang disebut Panca-sila, yaitu: Rila atau rela, narima atau menerima nasib yang diterimanya, temen atau setia pada janji, sabar atau lapang dada, dan budiluhur atau memiliki budi yang baik. Pangestu R. Soenarto dalam Budiono Herusatoto (2003: 72-73) menguraikan watak dan tingkah laku yang terpuji yang disebut Panca-sila sebagai berikut: Pertama, yang dimaksud rila itu keikhlasan hati sewaktu menyerahkan segala miliknya, kekuasaannya, dan seluruh hasil karyanya kepada Tuhan, dengan tulus ikhlas, dengan mengingat bahwa semua itu ada pada kekuasaan-Nya. Rila berarti tidak ada satupun yang membekas di hati, semuanya harus diikhlaskan. Orang yang mempunyai sikap rela tidak sepatutnya mengharapkan hasil dari yang telah diperbuatnya. Kedua, Sikap narimo banyak pengaruhnya terhadap ketenteraman hati. Orang yang narimo tidak ngongso. Narimo berarti tidak menginginkan milik orang lain, serta tidak iri hati dengan kebahagiaan orang lain. Orang yang narimo dapat dikatakan orang yang bersyukur kepada Tuhan.
33
34
Ketiga, Sikap temen berarti menepati janji atau ucapannya sendiri. Baik janji yang diucapkan dengan lisan atau diucapkan dalam hati. Orang yang tidak menepati kata hatinya berarti menipu dirinya sendiri. Sedangkan kata hati yang diucapkan namun tidak ditepati, itu sama dengan dusta yang disaksikan orang lain. Keempat, Sikap sabar merupakan tingkah laku terbaik yang harus dimiliki setiap orang. Semua agama menjelaskan bahwa Tuhan mengasihi orang yang bersifat sabar. Sabar itu berarti momot, kuat terhadap cobaan, tetapi bukan berarti putus asa. Kesabaran pantas diumpamakan sebagai samudera pengetahuan, karena sudah tidak membeda-bedakan antara emas dan tanah liat, sahabat dan musuh. Kelima, yang dimaksud dengan budi luhur yaitu apabila manusia selalu berusaha untuk menjalankan hidupnya dengan segala tabiat dan sifat-sifat yang dimiliki oleh Tuhan Yang Maha Esa, seperti: kasih sayang terhadap sesama, adil, dan tidak membeda-bedakan sesama manusia. Orang yang berbudi luhur juga suka menolong sesama tanpa mengharapkan imbalan, bahkan jiwanya siap dikorbankan. b. Kondisi Sosial Masyarakat Jawa Kondisi sosial sebagai bagian dari adat istiadat dan wujud nyata dari kebudayaan. Sistem nilai budaya berada dalam individu yang menjadi warga masyarakat. Kondisi sosial budaya masyarakat pada dasarnya dipengaruhi
oleh
beberapa
unsur
yang
mampu
mengubah
dan
menimbulkan beberapa masalah. Perubahan ini menyangkut, sistem nilai
34
35
yang ada dalam masyarakat antara lain: nilai kesetiaan, kejujuran, nilai kegotongroyongan, nilai hormat dalam etika pergaulan, dan nilai kebiasaan yang lain. Soerjono Soekanto (1977: 238) mengutip pendapat Kingsley, mengatakan bahwa perubahan sosial merupakan perubahanperubahan kebudayaan. Perubahan-perubahan yang ada dalam masyarakat, baik itu perubahan sosial maupun perubahan kebudayaan sudah disadari masingmasing individu yang bersangkutan. Hal ini karena manusia, sesuai dengan kodratnya sebagai makhluk sosial memegang peranan penting apabila terjadi proses perubahan sosial budaya masyarakat. Sebagai contoh, kita dapat problem sosial di masyarakat yang meliputi unsur-unsur sosial dengan realitas hidup sehari-hari serta perilaku yang ada. Peranan individu manusia beserta lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada diharapkan dapat menyelaraskan hidup dan kepentingannya agar tercapai kehidupan yang harmonis, yakni kehidupan yang aman dan damai. Kondisi sosial masyarakat Jawa yang tinggal di perkotaan dan pedesaan cukuplah berbeda. Kehidupan kota dengan industri dan aliran energinya ingin menghasilkan produksi sebanyak-banyaknya dalam waktu sesingkat-singkatnya. Keadaan semacam ini tidak dijumpai dalam masyarakat pedesaan. Masyarakat pedesaan dan perkotaan bukanlah dua komunitas yang terpisah sama sekali satu sama lain. Bahkan dalam keadaan yang wajar diantara keduanya terdapat hubungan yang erat. Bersifat ketergantungan,
35
36
karena diantara mereka saling membutuhkan. Kota tergantung pada dalam memenuhi kebutuhan warganya akan bahan pangan seperti beras sayurmayur , daging, dan ikan. Desa juga merupakan sumber tenaga kasar bagi jenis pekerjaan tertentu di kota. Misalnya saja buruh bangunan dalam proyek-proyek perumahan. Mereka ini biasanya adalah pekerja musiman. Pada saat musim tanam mereka, sibuk bekerja di sawah. Bila pekerjaan di bidang pertanian mulai menyurut, sementara menunggu masa panen mereka merantau ke kota terdekat untuk melakukan pekerjaan apa saja yang tersedia. Kehidupan masyarakat kota cenderung mengarah individual dan kurang mengenal antara warga yang satu dengan lainnya meskipun tempat tinggalnya berdekatan. Rasa persatuan, tolong-menolong, dan gotong royong mulai pudar. Kepedulian sosial cenderung berkurang. Menurut Rudianto (2009: 9) karakteristik masyarakat kota adalah sebagai berikut: 1) Anonimitas Kebanyakan warga kota menghabiskan waktunya di tengah-tengah kumpulan manusia yang anonim. Heterogenitas kehidupan kota dengan keanekaragaman manusianya yang berlatar belakang kelompok ras, etnik, kepercayaan, pekerjaan, kelas sosial yang berbeda-beda mempertajam suasana anonim. 2) Jarak Sosial Secara fisik orang-orang dalam keramaian, akan tetapi mereka hidup berjauhan.
36
37
3) Keteraturan Keteraturan kehidupan kota lebih banyak diatur oleh aturan-aturan legal rasional. (contoh: rambu-rambu lalu lintas, jadwal kereta api, acara televisi, jam kerja, dll.) 4) Keramaian (Crowding) Keramaian berkaitan dengan kepadatan dan tingginya tingkat aktivitas penduduk kota. Sehingga mereka suatu saat berkerumun pada pusat keramaian tertentu yang bersifat sementara (tidak permanen). 5) Kepribadian Kota Kehidupan
kota
menciptakan
kepribadian
kota,
materealistis,
berorientasi kepentingan, berdikari (self sufficient), impersonal, tergesa-gesa,
interaksi
sosial
dangkal,
manipulatif,
insekuritas
(perasaan tidak aman) dan disorganisasi pribadi. Desa merupakan bagian vital bagi keberadaan bangsa Indonesia. Vital karena desa merupakan satuan terkecil dari bangsa ini yang menunjukkan keragaman Indonesia. Selama ini terbukti keragaman tersebut telah menjadi kekuatan penyokong bagi tegak dan eksisnya bangsa. Nasrudin Anshoriy dan Sudarsono (2008: 18-21) mengatakan bahwa kehidupan sosiokultural masyarakat pedesaan memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Menjunjung kebersamaan Rasa kebersamaan masyarakat Jawa diwujudkan dalam bentuk kerja bakti, gotong royong, gugur gunung, sambatan, dan rewang. Apabila
37
38
ada tetangga punya hajatan tanpa diundang pun tetangga yang lain bersedia dan siap membantu. 2) Suka kemitraan Rasa kemitraan masyarakat Jawa terdapat pada anggapan siapa saja yang datang dianggap sebagai saudara. Bahkan pada umumnya orang Jawa mempunyai anggaran khusus untuk menjamu tamu. 3) Mementingkan Kesopanan Etika kesopanan orang Jawa terwujud dalam istilah unggah-ungguh, tata karma, tata susila, basa karma, suba sita, etika, dan sopan santun. Orang Jawa cenderung menggunakan bahasa halus bila berhadapan dengan orang yang dihormati. 4) Ahli Musim Orang Jawa sangat paham terhadap pergantian musim (pranata mangsa). Orang Jawa sangat paham soal pergantian musim terutama berkaitan dengan masa tanam, masa panen, musim penghujan, kemarau, labuh, dan mareng. 5) Pertimbangan Religius Sistem kepercayaan orang Jawa selalu berhubungan dengan agenda tindakannya. Semua hajatan penting mesti dicarikan hari pasaran yang baik. Di daerah pedesaan banyak dijumpai upacara tradisional yang berhubungan dengan kepercayaan. Kepercayaan yang mereka yakini sebagai bentuk religiusitas.
38
39
6) Toleransi Tinggi Di pedesaan orang bertempat tinggal dengan derajat kerenggangan yang cukup jauh. Jarak yang lebar itu dimaksudkan agar tidak terjadi persinggungan kepentingan. Dampaknya pada perilaku adalah sikap toleransi. Orang mudah memaafkan kesalahan pihak lain. 7) Hormat pada Pemimpin Ketika berhadapan dengan pemimpin, orang Jawa bertata sikap ngapurancang,
yaitu
tangan
hikmat
sebagai
tanda
hormat.
Penghormatan kepada pemimpin dilakukan sebagai kewajiban supaya mendapat berkah ketentraman karena keselarasan hidup dapat diperoleh hanya dengan berlaku harmonis dengan lingkungan dan pamong praja. Seorang pemuda Jawa hendak merantau terlebih dahulu dia akan sowan, minta doa kepada pemimpinnya. Mereka merasa lega setelah menghadap pemimpin yang dianggap sebagai sesepuh. 8) Hidup pasrah Orang Jawa tidak menuntut macam-macam kepada pimpinan. Hampir secara penuh mereka menyerahkan kedaulatannya kepada pemimpin. Bagi mereka pemimpin adalah orang yang dapat menjamin keamanan dan ketenteraman. Bila ketenteraman dan keamanan sudah mereka dapatkan, maka mereka tidak akan menuntut lebih. 9) Cinta Seni Salah satu penyebab orang Jawa mudah mengendalikan emosinya karena cinta pada seni halus. Seni halus yang dimaksud kethoprak dan
39
40
wayang orang. Di pelosok pedesaan dalam masyarakat Jawa orang akan betah duduk bersila semalam suntuk saat menonton pertunjukkan wayang purwa. Wayang seolah-olah merupakan bumbu rohani masyarakat. Suguhan pentas wayang purwa yang adiluhung tidak mendorong pemirsanya untuk bertindak beringas, kasar, dan brutal. 10) Dekat Alam Begitu dekatnya dengan alam, orang Jawa menyebut matahari dengan Sang Hyang Surya, bulan disebut Sang Hyang Candra, dan angin disebut
Sang
Hyang
Bayu.
Semua
penyebutan
itu
bersifat
penghormatan. Sebagian besar orang Jawa mata pencahariannya adalah bercocok tanam, yang selalu berkaitan dengan tanah. Tanah dalam bahasa karma adalah siti dengan akronim isine bulu bekti. c. Etika Jawa Etika merupakan bagian dari falsafah aksiologi. Oleh karena hidup itu harus berhubungan dengan orang lain, agar hidup memenuhi fungsinya, maka dibingkai dengan etika. Etika tersebut meliputi segala hal, mulai dari manusia Jawa sebagai anggota keluarga, masyarakat, dan Negara. Setiap strata sosial memiliki etika yang berbeda. Perbedaan ini didasarkan pada “unen-unen” Negara mawa tata, desa mawa cara, artinya masing-masing tempat memiliki etika yang berbeda-beda. Etika ini menyangkut sikap, tingkah laku, etika bahasa, dan etika pertemuan. Etika sosial biasanya berbentuk anjuran-anjuran dan larangan-larangan untuk bersikap dan berbuat sesuatu.
40
41
Frans Magnis Suseno dalam Suwardi Edraswara (2003:138) memberikan batasan, etika Jawa adalah keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan untuk mengetahui bagaimana mereka menjalankan hidupnya. Kekhasan etika hidup Jawa adalah seperti dikemukakan dalam Serat Werdatama yakni suatu tindakan baru bernilai moral kalau mendukung dan menjamin keselarasan umum. Dengan kata lain, etika Jawa lebih memperhatikan dimensi kemanusiaan dan kesusilaan. Kesusilaan adalah masalah nilai yang lekat dengan kodrat manusia. 1) Etika Wong Gedhe Etika sosial tidak hanya berlaku bagi rakyat atau orang kecil. Pihak atasan (wong gedhe) juga perlu mentaati etika, antara lain: (a) selalu bersikap prihatin, (b) mengutamakan laku, (c) mencegah hawa nafsu dengan bertapa, dan (d) selalu menyenangkan sesama hidup (Suwardi Edraswara, 2003:138). Dari pendapat ini terkandung makna simbolik bahwa seorang pimpinan harus bisa menjadi suri tauladan. Pimpinan harus ing ngarsa sung tuladha bagi bawahannya. Seorang pimpinan yang memegang falsafah asah mempunyai tugas untuk mengatur bawahan. Atasan berhak mengatur segalanya, terutama masalah etika dan persyaratan dan atau tata cara menjadi bawahan. Teknik memberikan aturan adalah dengan berwasiat atau pun memberikan nasihat. Penyampaian petuah dilakukan dengan sentuhan rasa dan atau kemanusiaan. Bahkan tak jarang pesan moral
41
42
itu yang menggunakan estetika simbolik. Dengan cara demikian diharapkan bawahan lebih taat. 2) Etika bagi Wong Cilik Hubungan sosial antara bawahan dan atasan memiliki etika yang khas. Jika bawahan berhasil menjalankan etika termaksud akan mendapatkan kemuliaan hidup. Etika tersebut meliputi bawahan harus menjalankan: (1) mengikuti wiradat (upaya sendiri); mengikuti ombyaking kahanan (perkembangan zaman) atau situasi dan kondisi; (2) rajin bekerja, (3) membantu menjaga ketenteraman negara, (4) menjaga agar negara tidak rugi, (5) ikut menjaga jika negara dalam bahaya, dan (6) jangan sampai ikhlas jika negara dirusak orang lain (Suwardi Edraswara, 2003:142). Lebih lanjut Suwardi mengatakan seorang yang akan mengabdi, agar selamat sebaiknya: (1) jangan mengikuti kata-kata lama yang tidak baik, (2) dengan teman agar jangan angkuh, (3) jangan enggan bekerja, (4) jangan mudah sakit hati jika diperingatkan atasan, dan (5) jangan sampai berbalik memarahi sesama teman. Seorang bawahan agar dalam mencapai cita-cita dilandasi laku, yaitu dengan sembah raga, cipta, jiwa, dan rasa. Sembah raga adalah laku yang sering disebut sarengat, dalam melaksanakan harus dengan jalan yang benar, dengan tingkatan-tingkatan yang tepat, tekun, dan ajeg. Sembah cipta adalah disebut tarekat, yaitu menyembah kepada Tuhan. Penyuciannya dengan membersihkan hati dengan cara: tata
42
43
(teratur), titi (teliti), ngati-ati (berhati-hati), tetep (ajeg), telaten (rajin), dan atul (terbiasa). Sembah jiwa merupakan laku batin. Ini inti dari sembah. Penyuciannya harus awas (waspada) dan emut (ingat). Sembah rasa yaitu laku yang dapat mencapai rasa sejati. Ia harus bisa merasakan hidup ini. Pelaksanaannya dengan kesentosaan batin.
E. Pendekatan Intertekstualitas Julia Kriteva, seorang pemikir post-strukturalis Perancis yang pertama kali memperkenalkan istilah intertekstualitas. Munculnya pendekatan intertekstual sebagai reaksi pemungkiran terhadap pendekatan struktural (objektif) yang memandang karya sastra terlepas dari sejarah sastranya dan kaitannya dengan sosio-kultural. Padahal untuk mendapatkan makna karya sastra yang sepenuhnya, analisis karya sastra tidak dapat dilepaskan dari konteks sejarah dan konteks sosial budaya (Nani Tuloli, 2000: 55). Khoirul Mugtofa (2003: 1) mengupas intertekstualitas Julia Kristeva sebagai berikut: Kristeva menandaskan bahwa sebuah teks tidak berdiri sendiri, tidak mempunyai “landasan” atau kriteria dalam dirinya sendiri teks tidak otonom dalam pengertian bahwa teks tersebut, eksis berdasarkan relasi-relasi atau kriteriakriteria yang internal dalam dirinya sendiri, tanpa “dilatarbelakangi” oleh sesuatu yang eksternal, melainkan sebuah permainan dan mosaik dari kutipan-kutipan dari teks yang mendahuluinya. Sebuah teks hanya dapat eksis apabila di dalam teks tersebut, beraneka ragam ungkapan-ungkapan yang diambil dari teks-teks lain silang menyilang dan saling menetralisir satu sama lain.
43
44
Pendekatan intertekstualitas merupakan pendekatan telaah sastra yang mengaitkan suatu teks sastra dengan teks sastra sebelumnya. Pada prinsipnya setiap teks sastra dibaca dan harus dipahami dengan latar belakang teks-teks lain. Tidak ada sebuah teks pun yang sungguh-sungguh mandiri, dalam arti bahwa penciptaan dan pembacaannya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain. Prinsip intertekstualitas ini senada dengan pendapat Julia Kristeva dalam Culler (1975: 139) yang mengatakan bahwa: Every text shape as a mosaic of citations, every text is the absorption and transformation of other text. …A work can only be read in connection with or against other text, which provide a grid though which it is read and structured by establishing expectations which enable one to pick out salient features and give them a structure. Dalam kutipan di atas Culler menjelaskan bahwa setiap teks terwujud sebagai mosaik kutipan-kutipan, setiap teks merupakan peresapan dan transformasi teks-teks lain. Sebuah karya hanya dapat dibaca dalam perkaitan ataupun pertentangan dengan teks-teks lain, hanya merupakan semacam kisi; lewat kisi itu teks dibaca dan diberi struktur dengan menimbulkan harapan yang memungkinkan pembaca untuk memetik ciri-ciri menonjol dan memberikanya sebuah struktur. Nyoman Kutha Ratna (2004:172) mengemukakan bahwa interteks adalah penelitian yang dilakukan dengan cara mengemukakan hubungan-hubungan bermakna antara dua teks atau lebih. Teks-teks yang dikerangkakan sebagai interteks tidak terbatas sebagai persamaan genre, interteks memberikan kemungkinan yang seluas-luasnya bagi peneliti untuk menemukakan hipogram, interteks dilakukan antara novel dengan novel, novel dengan mitos. Hubungan
44
45
dimaksudkan tidak semata-mata sebagai persamaan, melainkan juga sebaliknya sebagai hubungan pertentangan, baik sebagai parodi maupun negasi. Dari pendapat Nyoman Kutha Ratna di atas terdapat penekanan bahwa (1) kajian interteks sangat penting untuk menemukakan hubungan-hubungan bermakna antarteks; (2) interteks dimungkinkan dapat ditemukan teks yang menjadi hipogramnya; (3) interteks dapat dilakukan dengan dua teks atau lebih, dapat novel dengan novel, novel dengan puisi; (4) interteks dapat menentukan hubungan persamaan dan perbedaan dari teks yang dikaji. Hubungan persamaan atau perbedaan yang dimaksudkan adalah persamaan atau perbedaan struktur teks, baik struktur intrinsik maupun struktur ekstrinsiknya. Hubungan intertekstualitas adalah hubungan antarkarya dan juga penandaan partisipasinya dalam lingkup diskursif budaya. Kajian intertekstualitas lebih jauh daripada hanya menelusuri pengaruh-pengaruh, kajian ini meliputi praktik-praktik diskursif yang anonim, mengkodekan asal-usul yang hilang sehingga memungkinkan tindak penandaan teks-teks yang kemudian (Culler, 1983: 103) Kajian intertekstual, menurut Burhan Nurgiyantoro (2005: 35) merupakan kajian yang berusaha mengkaji adanya hubungan antar sejumlah teks. Kajian interteks melibatkan unsur struktur dan pemaknaan teks-teks yang dikaji, kiranya dapat dipandang sebagai kajian struktural-semiotik. Selain itu, penulisan penelitian interteks termasuk paham dekonstruksi yang juga dengan teori postrukturalisme, sebuah paham yang ikut berperan “menumbangkan” pandangan
45
46
strukturalisme. Namun demikian, kajian dekonstruksi dapat dikaitkan dengan kajian intertekstual karena dapat melibatkan beberapa teks. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kajian teks dengan pendekatan intertekstulitas adalah kajian terhadap sejumlah teks sastra yang diduga mempunyai hubungan dialogis, baik persamaan maupun perbedaan unsur-unsur pembentuk teks sastra serta unsur-unsur lainnya untuk memberi interprestasi dan makna secara penuh terhadap sastra. Penulisan teks sastra ada kaitannya dengan unsur kesejarahan sehingga interpretasi dan pemberian makna akan lebih lengkap. Penciptaan teks sastra tidak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya. Unsur budaya termasuk konvensi dan tradisi di masyarakat dalam wujudnya yang khusus berupa teks-teks sastra yang ditulis sebelumnya dan terjadilan hubungan dialogis antarteks. Dengan membandingkan beberapa teks, pemberian interpretasi dan konkretisasi pemberian makna suatu teks akan lebih jelas.
F. Nilai Pendidikan dalam Novel 1. Hakikat Nilai Pendidikan Nilai adalah sesuatu yang selalu dikaitkan dengan kebaikan-kebaikan, kemaslahatan, dan keluhuruan. Nilai merupakan sesuatu yang dihargai, dijunjung tinggi, serta selalu dikejar oleh manusia untuk memperoleh kebahagian hidup. Dengan nilai, manusia dapat merasakan kepuasan, baik kepuasan lahiriah maupun batiniah. Nilai mencakup beberapa komponen
46
47
seperti yang dikemukakan oleh Kaswardi (2000: 4) yaitu memilih (segi kognitif), menghargai (segi afektif), dan bertindak (segi psikomotorik). Jakob Sumardjo (2000: 135) mengemukakan batasan nilai adalah sesuatu yang selalu bersifat subjektif, tergantung pada manusia yang menilainya. Karena subjektif, maka setiap orang, setiap kelompok, setiap masyarakat memiliki nilai sendiri-sendiri. Nilai diartikan sebagai esensi, pokok yang mendasar, yang akhirnya dapat menjadi dasar-dasar yang normatif. Ini diperoleh lewat pemikiran murni secara spekulatif atau lewat pendidikan nilai. Pendidikan, menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memilih kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Usaha sadar tersebut bertujuan membentuk manusia cerdas dan mempunyai akhlak mulia. Untuk membentuk peserta didik yang mempunyai akhlak mulia, diperlukan pendidikan nilai. Pendidikan nilai dalam buku Living Values: An Educational Program Educator Training Guide (Tillman dan Colomina, 2004: 66), adalah program yang di dalamnya terdapat elemenelemen nilai, perilaku, kepribadian, sosial dan kesehatan, iman dan spiritual, kesenian, dan pernyataan mengenai prinsip-prinsip dari pekerjaan nilai.
47
48
Pendidikan nilai dalam proses dinamika budaya menjadi salah satu unsur yang perlu diperhatikan. Nilai, dimaksud sebagai yang dipandang berharga sehingga layak digenggami untuk acuan, mulai dari yang fisik kulit sampai yang bernilai tujuan. Dalam proses dinamika budaya terdapat pergeseran nilai, karena perekat nilai masyarakat yang menghormati kemajemukan, keadaban, dan keterbukaan mulai diperjuangkan (Mudji Sutrisno, 1999: 62-63). Pendidikan nilai, menurut Sastrapratedja (Kaswardi, 2000: 3) ialah penamaan dan pengembangan nilai-nilai dalam diri seseorang. Pendidikan nilai tidak harus merupakan satu program atau pelajaran khusus, tetapi lebih merupakan situasi dimensi dari seluruh usaha pendidikan. Pendidikan tidak hanya
mengembangkan
ilmu,
keterampilan,
teknologi,
tetapi
juga
mengembangkan aspek-aspek lainnya, seperti: kepribadian, etika moral, sosial budaya, dan kemanusiaan, yang semua itu dapat disebut pendidikan nilai. 2. Nilai Pendidikan Sastra Nilai-nilai pendidikan sangat erat kaitannya dengan karya satra. Setiap karya sastra yang baik selalu mengungkapkan nilai-nilai luhur yang bermanfaat bagi pembacanya. Nilai pendidikan yang dimaksud dapat mencakup nilai pendidikan moral, agama, sosial, maupun estetis. Hal ini sesuai dengan pernyataan Herman J. Waluyo (1990: 27) bahwa nilai sastra berarti kebaikan yang ada dalam makna karya sastra bagi kehidupan. Nilai sastra dapat berupa nilai medial (menjadi sarana), nilai final (yang dikejar seseorang), nilai kultural, nilai kesusilaan, dan nilai agama.
48
49
Berkaitan dengan nilai pendidikan dalam karya sastra, Suyitno (1986: 3) mengatakan bahwa: Karya sastra sebagai hasil olahan sastrawan, yang mengambil bahan dari segala permasalahan dalam kehidupan dapat memberikan pengetahuan yang tidak dimiliki oleh pengetahuan yang lain. Hal ini merupakan salah satu kelebihan karya sastra. Kelebihan lain ialah bahwa karya sastra dapat memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap cara berpikir mengenai hidup, baik dan buruk, benar dan salah, dan mengenai cara hidupnya sendiri dan bangsanya. Sastra sebagai produk kehidupan mengandung nilai-nilai sosial, falsafi, religi, dan sebagainya. Berdasarkan pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan nilai pendidikan sastra adalah sifat-sifat atau hal-hal yang bersifat positif yang berguna dalam kehidupan manusia dan pantas untuk dimiliki tiap manusia. Dalam pengertian ini nilai pendidikan adalah sesuatu yang berhubungan dengan etika (baik dan buruk), logika (benar dan salah), dan estetika (indah dan jelek). Berbagai nilai pendidikan dapat ditemukan dalam karya sastra. Nilainilai di dalamnya tidak hanya terbatas soal kebajikan dan moral saja, tetapi ada nilai lain yang lebih khas sastra. Walau masih banyak nilai lain, tetapi jika berbicara tentang nilai didik, orang langsung berasosiasi kepada moral, etika, dan kebajikan. Hal ini wajar sebab sesuatu yang baik merupakan inti pendidikan. Pada prinsipnya sebuah karya sastra mengandung nilai pendidikan yang berhubungan dengan moral, agama, budaya, sosial, dan lain-lain. a. Nilai Pendidikan Sosial Budaya Sosial dapat diartikan hal-hal yang berkenaan dengan masyarakat atau kepentingan umum. Nilai sosial merupakan hikmah yang dapat
49
50
diambil dari perilaku sosial dan tata cara hidup sosial. M. Zaini Hasan dan Salladin (1996: 83) menyatakan nilai sosial adalah aspek-aspek budaya yang diupayakan oleh kelompok untuk memperoleh makna atau penghargaan yang tinggi. Pendapat lain dikemukakan oleh Arifin L. Bertrand (dalam M. Munandar Soelaeman, 1998: 9) bahwa nilai sosial adalah suatu kesadaran dan emosi yang relatif lestari terhadap suatu objek, gagasan, atau orang. Manusia selain sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk sosial karena ia tidak dapat lepas dalam hubungannya dengan manusia lain. Nilai pendidikan sosial akan menjadikan manusia sadar akan pentingnya kehidupan
kelompok dalam kehidupan dalam ikatan
kekeluargaan antara individu satu dengan lainnya. Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa nilai sosial adalah suatu aspek-aspek budaya yang disertai kesadaran emosi terhadap objek untuk memperoleh makna atau penghargaan. Koentjaraningrat (1985: 18) mengemukakan bahwa sistem nilai budaya terdiri dari atas konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Nilai-nilai budaya yang terkandung di dalam cerita dapat diketahui melalui penelaahan terhadap karakteristik dan perilaku tokoh-tokoh dalam cerita.
50
51
Dalam sebuah novel akan kita dapatkan nilai pendidikan sosial budaya, baik positif maupun negatif. Kedua hal tersebut perlu disampaikan agar kita dapat memperoleh banyak teladan yang bermanfaat. Segi positif harus ditonjolkan sebagai hal yang patut ditiru dan diteladani. Demikian pula segi negatif perlu dikatakan serta ditampilkan pada pembaca. Hal ini dimaksudkan agar kita tidak tersesat, bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. b. Nilai Pendidikan Moral Moral dapat dimaknai sebagai ajaran tentang kebaikan dan keburukan. Franz Magnis Suseno (2000: 143) menyatakan bahwa moralitas merupakan kesesuaian sikap, perbuatan, dan norma hukum batiniah yang dipandang sebagai suatu kewajiban. Moral seringkali dikaitkan dengan perbuatan, sikap, kewajiban, budi pekerti, susila, dan lain-lain. Seorang tokoh dalam cerita dikatakan bermoral tinggi apabila ia mempunyai pertimbangan baik dan buruk. Namun, pada kenyataannya pandangan mengenai moral dalam hal-hal tertentu bersifat relatif. Burhan Nurgiyantoro (2005: 321) menyatakan bahwa moral dalam cerita biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat ditafsirkan dan diambil lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca. Pandangan seseorang tentang moral, nilai-nilai, dan kecenderungan-kecenderungan, biasanya dipengaruhi oleh pandangan hidup, way of life, bangsanya. Dalam karya, moral biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang
51
52
yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran. Hal itulah yang ingin disampaikan kepada pembacanya. Moral selalu mengacu pada perbuatan manusia, yakni perbuatan yang baik dan buruk. Seseorang akan berbuat baik jika budi pekertinya juga baik. Budi pekerti yang baik selalu ditanamkan dengan tujuan pembentukan moral yang baik. Karya sastra yang baik senantiasa menawarkan pesan moral yang berhubungan dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia. Sifat-sifat luhur kemanusiaan tersebut pada hakikatnya bersifat universal. Artinya, sifat-sifat itu dimiliki dan diyakini kebenarannya oleh kebanyakan manusia. c. Nilai Pendidikan Religius Nilai religius dapat dikatakan nilai dasar kemanusiaan yang berkaitan dengan keutuhan secara umum dan diakui oleh semua pemeluk agama. Mangunwijaya (1982: 11) mengatakan bahwa religiusitas lebih melihat aspek yang “di dalam lubuk hati”, riak getaran hati nurani pribadi, sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang lain, karena menafaskan intimitas jiwa “da cucur” dalam arti Pascal, yakni cita rasa yang mencakup totalitas (termasuk rasio dan manusiawi) kedalaman si pribadi manusia. Koentjaraningrat (1985: 145) menyatakan bahwa agama/ religi dan kepercayaan mengandung segala keyakinan serta bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan tentang wujud dari alam gaib (supranatural), serta
52
53
segala nilai, norma, dan ajaran dari religi yang bersangkutan. Karena berhubungan dengan keyakinan terhadap Tuhan, pemeluk agama atau pengamat kepercayaan selalu berusaha mencapai nilai yang baik. Hal ini berarti bahwa seseorang yang beragama akan berusaha menghindarkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agamanya. Agama mempunyai fungsi dan peran penting di masyarakat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Haviland (1993: 219) berikut ini: Agama memiliki beberapa fungsi sosial yang penting. Pertama, agar merupakan sanksi untuk perilaku yang luas dengan memberi pengertian tentang baik dan jahat. Kedua, agama membebaskan manusia dari beban untuk mengambil keputusan dan menempatkan tanggung jawabnya di tangan dewa-dewa. Keempat, agama memegang peranan penting dalam pemeliharaan solidaritas sosial. Agama sungguh penting untuk pendidikan. Dari beberapa uraian di atas dapat dikatakan bahwa agama dapat memberikan arah dan sangat penting karena memiliki fungsi-fungsi sosial yang cukup banyak. Pandangan mengenai agama dan fungsi agama seperti diuraikan di atas diyakini dan diterima oleh masyarakat. Masyarakat percaya bahwa agama telah menjadi satu kekuatan untuk kebaikan. Muhammad Pudjiono (2006: 17-18) menyampaikan berbagai macam hubungan manusia yang berkaitan dengan masalah religiusitas. Hubungan-hubungan tersebut meliputi: 1) Hubungan Manusia dengan Tuhan Manusia sebagai makhluk ciptaan, pastilah sangat erat kaitannya dengan penciptanya. Wujud dari hubungan itu bisa berupa doa-doa ataupun upacara-upacara. Doa dan upacara tersebut dilakukan oleh
53
54
manusia karena suatu kesadaran bahwa semua yang ada di alam raya ini ada yang menciptakan. 2) Hubungan Manusia dengan Lingkungan dan Masyarakat Nilai kehidupan dalam hubungan manusia dengan lingkungan dan masyarakatnya menampilkan nilai-nilai seperti: gotong royong, musyawarah, kepatuhan pada adab dan kebiasaan, dan cinta tanah kelahiran atau lingkungan tempat menjalani hidup. Keempat nilai itu memperhatikan
bagaimana
individu
meningkatkan
diri
dalam
kelompoknya. Individu-individu akan selalu berhubungan satu sama lainnya dalam suatu kelompok. 3) Hubungan Sesama Manusia Makhluk adalah makhluk sosial. Kehidupan manusia di muka bumi tidak akan pernah lepas dari manusia lainnya. Dalam hubungan dengan sesama manusia, kedua belah pihak saling membutuhkan, saling bekerjasama, tolong menolong, hormat-menghormati, dan menghargai. Walaupun sesama manusia dapat terjadi karena adanya benturan kepentingan atau perbedaan kepentingan di antara mereka. 4) Hubungan Manusia dengan Dirinya Selain sebagai makhluk sosial, manusia juga makhluk pribadi yang telah mengutamakan kepentingan sendiri. Sebagai makhluk pribadi, manusia mempunyai hak untuk menentukan sikap, pandangan hidup, perilaku sesuai kemampuannya dan itulah yang membedakannya dari
54
55
manusia yang lainnya. Hak untuk menentukan keinginan sendiri itulah yang mencerminkan hubungan manusia dengan dirinya sendiri. . G. Penelitian yang Relevan 1. Djiwandhana Walujo Utomo. 2005. “Kajian Novel Roro Mendut Karya Ajip Rosidi dan Novel Roro Mendut Karya Y.B Mangunwijaya (Sebuah Telaah dengan Pendekatan Intertekstualitas)” Judul di atas merupakan tesis di Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penelitian ini membandingkan novel Roro Mendut karya Ajip Rosidi dengan novel Roro Mendut karya Y.B Mangunwijaya, menelaah struktur naratifnya, mengkaji perbedaannya, dan mengungkapkan aspek-aspek sosio-budaya sebagai setting novel dengan pendekatan intertekstualitas. Hasil temuan penelitian menunjukkan bahwa kedua novel merupakan teks-teks sastra yang berhipogram sehingga terdapat (1) persamaan struktur naratif pada esensi cerita antara naskah sumber acuan; (2) terdapat perbedaan pada aspek isi cerita antara kedua novel dan terdapat perbedaan pada aspek pembangun cerita, pada dimensi tokoh sentral, Roro Mendut dan Tumenggung Wiraguna, dengan pendekatan intertekstualitas; (3) terdapat persamaan esensi cerita antara naskah sumber acuan sebagai cerita rakyat dan cerita rekaan; (4) terdapat perbedaan pengungkapan dan pemaknaan kisah cerita pada konteks sosio-budaya yang melatari Rara Mendut, budaya Jawa (Mataram), dan implikasi serta pemanfaatannya dalam pendidikan.
55
56
2. Ratna Purwaningtyastuti. 2006. “Novel Jendela-Jendela, Pintu, dan Atap Karya Fira Basuki (Tinjauan Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan)” Judul ini merupakan tesis di Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penelitian ini menelaah aspek-aspek sosio-budaya dan mengungkapkan nilainilai pendidikan dalam novel Jendela-Jendela, Pintu, dan Atap karya Fira Basuki dengan pendekatan sosiologi sastra. Hasil temuan penelitian menunjukkan (1) sikap pengarang terhadap tokoh wanita dalam novel mencerminkan sikap pengarang secara pribadi, yaitu wanita yang berpendidikan tinggi, mandiri, punya prinsip, dan konsisten dengan kebenaran yang diyakininya; (2) karakter tokoh dan hubungan antartokoh yang serasi dan wajar sangat menghidupkan cerita; (3) nilai pendidikan yang terkandung dalam novel Jendela-Jendela, Pintu, dan Atap meliputi (a) nilai agama, nilai pendidikan yang menekankan hubungan antara manusia dengan Tuhan; (b) nilai moral, nilai pendidikan yang berhubungan dengan baik buruknya tingkah laku manusia; (c) nilai adat/ budaya, yaitu pendidikan yang berhubungan dengan kebiasaan dan tradisi; (d) nilai sosial, yaitu nilai pendidikan yang menekankan pada hubungan manusia dengan sesamanya. Kajian intertekstualitas dan nilai pendidikan novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan novel Canting karya Arswendo Atmowiloto ini berusaha melahirkan kajian yang berbeda dengan kajian-kajian sebelumnya. Yang membuat berbeda adalah kedua novel ini merupakan novel yang memiliki setting yang relatif sama yaitu budaya Jawa. Walaupun sama-sama ber-setting budaya
56
57
Jawa, namun kedua novel ini memiliki warna lokal yang bisa dicari persamaan dan perbedaan. Sesuatu yang menarik untuk dikomparasikan. Kajian dua novel secara interteks di sini, diawali dengan kajian dengan pendekatan strukturalisme. Setelah masing-masing novel dikaji unsur-unsur strukturnya, penelitian dilanjutkan dengan menemukan persamaan dan perbedaan warna lokal dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Canting. Di samping itu, kajian ini juga akan mengungkapkan kandungan nilai edukatif yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan dalam pendidikan nilai untuk para siswa di sekolah.
H. Kerangka Berpikir Berdasarkan kajian teori tentang hakikat sebuah novel, warna lokal, pendekatan struktural dan intertekstualitas, dan hakikat nilai pendidikan dapatlah dibuat sebuah kerangka berpikir. Untuk memahami dan menangkap makna sebuah novel dibutuhkan sebuah pendekatan. Dalam penelitian ini, pendekatan struktur atau pendekatan objektif digunakan untuk mengkaji unsur-unsur pembentuk struktur novel. Agar pembahasan lebih spesifik untuk kajian unsur-unsur pembentuk karya sastra penulis fokuskan pada unsur tema, penokohan, dan latar (setting). Aliran strukturalisme dengan pendekatan objektif, menurut Teeuw (1984: 139-140) mempunyai empat kekurangan. Pertama, analisis karya sastra yang hanya menitikberatkan pada otonomi karya sastra saja belum merupakan teori sastra. Kedua, karya sastra tidak dapat ditelaah secara terasing dari masyarakat. Ketiga, adanya struktur yang objektif, karya sastra makin disangsikan; peranan
57
58
pembaca selaku pemberi makna dan interprestasi karya sastra makin ditonjolkan dengan segala kosekuensi untuk analisis struktural. Keempat, analisis yang menekankan otonomi karya sastra juga menghilangkan konteks dan fungsinya, sehingga karya sastra kehilangan relevansi sosialnya. Berkaitan dengan pendekatan strukturalisme yang dinilai banyak kelemahan, untuk itu penulis berpikir untuk menggunakan pendekatan intertekstualitas
dalam
penelitian.
Penulis
berpikir
bahwa
pendekatan
intertektualitas sangat tepat untuk memahami dan memaknai sebuah novel. Pendekatan
intertekstualitas
dalam
penelitian
ini
digunakan
untuk
mengungkapkan persamaan dan perbedaan kandungan warna lokal budaya Jawa yang terdapat dalam novel. Warna lokal yang penulis intertekkan adalah warna lokal yang berkaitan dengan pandangan hidup orang Jawa, kondisi sosial masyarakat Jawa, dan Etika Jawa. Dari setiap peristiwa yang terjadi dalam novel dapat ditemukan nilai-nilai pendidikan yang relevan dengan kehidupan masyarakat. Nilai pendidikan yang dapat diambil atau ditemukan dalam sebuah novel antara lain: (1) nilai pendidikan sosial budaya; (2) nilai pendidikan moral; dan (3) nilai pendidikan religius atau agama. Penelitian ini diakhiri dengan penarikan kesimpulan. Kerangka berpikir seperti di atas dapat dibuat bagan seperti berikut ini:
58
59
Karya Sastra
Novel Ronggeng Dukuh Paruk
Novel Canting
Struktur Novel
Warna Lokal
Kajian Intertekstualitas Nilai-Nilai Pendidikan
Kesimpulan
Gambar 1: Kerangka Berpikir Kajian Intertekstualitas dan Nilai Pendidikan dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari dan Canting Karya Arswendo Atmowiloto
59
60
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Kajian sastra dengan pendekatan intertekstualitas termasuk jenis penelitan kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor dalam Lexy J. Moleong (1998;
3),
metodologi
kualitatif
sebagai
prosedur
penelitian
yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orangorang dan perilaku yang dapat diamati. Menurutnya, pendekatan kualitatif diarahkan pada latar belakang individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan. Seperti diuraikan di atas bahwa menurut jenisnya penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan objek penelitian berupa dua novel yaitu novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Canting. Berkaitan dengan hal tersebut tempat penelitian dilaksanakan di UPT Perpustakaan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Pascasarjana UNS, di rumah, dan di tempat lain yang sesuai dengan tujuan penelitian. 2. Waktu Penelitian Waktu penelitian dilaksanakan selama 6 bulan, mulai bulan Februari 2010 sampai dengan bulan Juli 2010. Kegiatan penelitian meliputi persiapan, pengumpulan data, penganalisisan data, verifikasi data, dan penyusunan
60
61
laporan data penelitian. Sesuai dengan karakter peenelitian kualitatif, waktu dan kegiatan penelitian bersifat fleksibel. Jadwal kegiatan penelitian
NO 1 2 3 4 5 6 7
KEGIATAN Persiapan Pengumpulan Data Analisis Data Verifikasi Data Penyusunan Laporan Penelitian Ujian Tesis Revisi
FEBRUARI 1 2 3 4 v v v v
MARET 1 2 3 4
v
APRIL 1 2 3 4
1
MEI 2 3
v
v
4
1
JUNI 2 3
v
v
v
4
JULI 1 2 3
v
v
4
v v
v
v
v
v
v v v
v v
Tabel 1: Rincian Waktu dan Jadwal Kegiatan Penelitian
B. Data dan Sumber Data 1. Data Data dalam penelitian ini berupa hasil catatan telaah dokumen novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan Canting karya Arswendo Atmowiloto. Catatan lapangan (fieldnote) yang terdiri dari dua bagian, yaitu bagian deskripsi dan bagian refleksi. Bagian deskripsi merupakan usaha untuk merumuskan objek yang sedang diteliti, sedangkan bagian refleksi merupakan renungan pada saat penelaahan. Catatan lapangan yang dibuat antara lain: unsur-unsur pembentuk struktur novel, kandungan warna lokal, dan nilai pendidikan yang terkandung di dalam kedua novel tersebut.
61
v
62
2. Sumber Data Sumber dalam penelitian ini berupa novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan Canting karya Arswendo Atmowiloto. Agar hasil analisis terhadap novel lebih akurat, maka dibutuhkan sumber data lain untuk melengkapinya yaitu dokumen dan arsip berupa buku-buku lain yang menunjang, artikel, jurnal ilmiah, surat kabar dan internet.
C. Teknik Sampling Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling, yaitu sumber data yang digunakan tidak sebagai yang mewakili populasinya, tetapi cenderung mewakili informasinya (Sutopo. 2006: 62). Teknik sampling merupakan suatu proses bagi pemusatan sumber data dalam penelitian yang mengarah pada seleksi yang dinyatakan sebagai internal sampling mengarah pada kemungkinan generalissai teoritis. Peneliti mengambil bagian-bagian dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Canting yang mewakili informasi penting agar bisa digunakan untuk analisis serta diperbandingkan dalam rangka mengetahui totalitas makna novel.
D. Teknik Pengumpulan Data Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data dilakukan dengan berbagai cara sesuai jenis penelitian kualitatif yang dipilih. Menurut Goetz & LeCompte dalam Sutopo (2006: 66) strategi pemerolehan data dalam penelitian kualitatif secara umum dapat dikelompokkan ke dalam dua cara, yaitu teknik
62
63
pemerolehan data yang bersifat interaktif dan noninteraktif. Teknik yang bersifat interaktif, berarti ada kemungkinan terjadinya saling mempengaruhi antara peneliti dengan sumber datanya. Dalam teknik noninteraktif, sama sekali tidak ada pengaruh antara peneliti dengan sumber datanya, karena sumber data berupa benda sehingga tidak mengetahui bila sedang diamati atau dikaji. Dalam telaah novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Canting dengan pendekatan
intertekstualitas
ini,
digunakan
teknik
pengumpulan
data
noninteraktif. Secara konkret pengumpulan data yang dilakukan penulis adalah sebagai berikut: 1. Analisis Langsung Penulis melakukan pembacaan secara intensif novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Canting dengan memberi tanda khusus. Pemberian tanda khusus ini dengan tujuan agar memudahkan dalam pencatatan. 2. Pencatatan Penulis melakukan pencatatan secara aktif dengan metode content analysis berdasarkan permasalahan yang akan dibahas. Bagian-bagian yang bertanda khusus dikelompokkan sesuai kebutuhan untuk memudahkan dalam analisis dokumen. 3. Analisis Dokumen Data yang sudah dikelompokkan dianalisis berdasarkan kajian teori yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya.
63
64
E. Validitas Data Untuk memperoleh kesahihan data, penulis menggunakan cara triangulasi. Triangulasi yang digunakan adalah triangulasi teori, yaitu penelitian terhadap topik-topik yang sama dan datanya dianalisis dengan menggunakan beberapa perspektif yang berbeda artinya untuk menarik kesimpulan yang mantap, diperlukan tidak hanya satu cara pandang (Sutopo. 2006: 92). Sedangkan teknik trianggulasi yang digunakan adalah: 1. Trianggulasi sumber atau trianggualsi data. Cara ini mengarahkan peneliti dalam mengumpulkan data wajib mengggunakan beragam sumber data yang berbeda-beda. 2. Trianggulasi metode. Cara mengumpulkan data sejenis tetapi dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang berbeda-beda.
F. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis interaktif (interactive model of analysis). Miles & Huberman dalam Seotopo (2006: 120) berpendapat bahwa teknik analisis data terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersama-sama, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi. Teknik analisisnya menggunakan model analisis interaktif dan berupa kegiatan yang bergerak terus pada ketiga alur kegiatan proses penelitian. Teknik ini digunakan sesuai dengan penelitiannya yaitu penelitian kualitatif deskripsi dan data-data yang diperoleh bersifat kualitatif untuk memperoleh deskripsi yang jelas
64
65
mengenai unsure-unsur pembentuk struktur novel, warna lokal, dan nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Canting. Kegiatan analisis interaktif dalam analisis data dapat digambarkan sebagai berikut: Pengumpulan Data
(1)
(2)
Reduksi data
Sajian data (3) Penarikan kesimpulan/ verifikasi
Gambar 3: Skema Analisis Interaktif Data (Miles & Huberman dalam Seotopo, 2006: 120)
65
66
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Sekilas tentang Dunia Pengarang 1. Sekilas tentang Ahmad Tohari a. Biografi Ahmad Tohari lahir pada tanggal 13 Juni 1948 di Desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Pendidikan formalnya ditempuh di SMA Negeri 2 Purwokerto (1966). Tohari, yang dikenal sebagai sastrawan sarungan ini, pernah kuliah di beberapa fakultas antara lain Fakultas Ilmu Kedokteran Universitas Ibnu Khaldun Jakarta (1967-1970). Ia juga pernah kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto (1974-1975) dan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto (19751976). Karena masalah ekonomi semua kuliahnya tidak berhasil di selesaikannya. Pada tahun 1966-1967, Tohari pernah bekerja sebagai tenaga honorer di Bank BNI 1946. Ia pernah juga bekerja di bidang jurnalistik di Jakarta sebagai redaktur surat kabar harian Merdeka pada tahun 19791981, sebagai staf redaksi pada majalah Keluarga tahun 1981-1986, dan sebagai dewan redaksi pada majalah Amanah pada tahun 1986-1993. Pada tahun 1993 Tohari memutuskan untuk meninggalkan kota Jakarta yang
66
67
menurutnya sibuk dan bising. Ahmad Tohari memilih pulang kampung yang menurutnya memberi nuansa tenang dan nyaman. Tohari hingga kini aktif menjadi penulis lepas di beberapa surat kabar dan majalah. Ia menjadi anggota Poet Essaist and Novelis. Ia sering menulis di kolom harian Suara Merdeka dan media massa lain. Tohari juga aktif mengisi berbagai seminar sastra dan budaya baik tingkat nasional maupun internasional. Ahmad Tohari bersama dengan kakaknya mengelola sebuah pondok pesantren peninggalan orang tuanya. Sebuah pesantren di desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah. Di desa ini pesantrennya dikelola dengan tujuan untuk mengembangkan potensi masyarakat dan melakukan pemberdayaan umat. Di desa Tinggarjaya ini Tohari hidup bahagia dengan isteri tercintanya. Syamsiah, isteri Tohari bekerja sebagai guru di sebuah Sekolah Dasar di sekitar tempat tinggalnya. Lima anak yang manis dan pintar telah lahir dari perkawinannya dengan Syamsiah. Listiya, Widia, Ashar, Sita, dan Dura nama kelima buah hatinya. Tiga anaknya telah berhasil kuliah di Universitas Gajah Mada Yogjakarta. Dua yang lainnya kuliah di Universitas Jenderal Sudirman, Purwokerto. Tohari sangat bersyukur dapat menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang pendidikan tinggi hingga berhasil. Sesuatu yang berbeda dengan keadaannya ketika ia kuliah pada waktu itu.
67
68
b. Penghargaan yang Diperoleh Sebagai salah satu sastrawan terkemuka di Indonesia, kepiawaian Tohari dalam bersastra sudah diakui keunggulannya oleh kalangan sastrawan dan pengamat sastra. Hal ini terbukti dengan banyaknya penghargaan atau hadiah yang sering diterimanya. Berbagai penghargaan yang diterima Ahmad Tohari sebagai sastrawan antara lain: 1) Cerpen Jasa-Jasa Buat Sanwirya berhasil menjuarai Sayembara Kincir Emas Radio Nederland Wereldomroep (1975). 2) Novel Kubah menerima hadiah dari Yayasan Buku Utama (1980). 3) Novel Di Kaki Bukit Cibalak mendapatkan hadiah Sayembara Penulisan Roman Dewan Kesenian Jakarta (1986). 4) Ketika mengikuti International Writing
Programme di Amerika
Serikat ia memperoleh penghargaan Fellow Writer the University of Iowa (1990). 5) Penghargaan Bhakti Upapradana dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah untuk Pengembangan Seni Budaya (1995) 6) Penghargaan tingkat Asia Tenggara atas kepiawaiannya bersastra yakni South East Asia Writes Award Bangkok (1995). c. Hasil Karya Tohari termasuk pengarang yang produktif. Profesi dan aktivitas kesehariannya sebagai wartawan yang digelutinya di beberapa media massa baik majalah maupun surat kabar agaknya turut mempengaruhi kelancaran dan produktivitasnya dalam menciptakan karya sastra terutama
68
69
karya fiksi. Oleh karena itu, karya sastra yang telah dihasilkannya cukup banyak dan bervariasi. Selain novel, ia juga menulis cerpen. Bahkan tulisan-tulisan nonsastra juga mengalir deras terlahir dari tangannya. Berikut karya-karya Ahmad Tohari: 1) Cerita Pendek a) Senyum Karyamin (Kumpulan Cerita Pendek) Buku ini diterbitkan oleh PT Gramedia, Jakarta, Tahun 1989. Sebuah buku yang memuat tiga belas cerpen yang pernah dimuat di berbagai media massa seperti Kompas, Minggu Ini, Warta NU, Majalah Panji Masyarakat, dan Majalah Amanah dalam rentang waktu 13 tahun (1976-1989). Ketiga belas cerpen yang dimuat dalam Senyum Karyamin ini adalah “Senyum Karyamin”, “JasaJasa buat Sanwirya”, “Si Minem Beranak Bayi”, “Surabanglus”, “Tinggal Matanya Berkedip-Kedip”, “Ah, Jakarta”, “Blokeng”, “Syukuran Sutabawor”, “Rumah yang Terang”, “Kenthus”, “Orang-Orang Seberang Kali”, “Wangon Jatiwalang”, dan “Pengemis dan Shalawat Badar”. b) Nyanyian Malam (Kumpulan Cerita Pendek) Diterbitkan oleh Grasindo bekerja sama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Fondation, Jakarta, Tahun 2000. Buku ini memuat sepuluh cerpen seperti: “Mata yang Enak dipandang”, “Nyanyian
Malam”,
“Pencuri”,
“Penipu
yang
Keempat”,
“Daruan”, “Warung Penajem”, “Pemandangan Perut”, “Paman
69
70
Doblo Merobek Layang-Layang”, “Kang Sarpin Minta Dikebiri”, dan “Bulan Kuning Sudah Tenggelam”. 2) Novel a) Di Kaki Bukit Cibalak (merupakan novel pertamanya yang dimuat secara bersambung di harian Kompas pada tahun 1979 – diterbitkan menjadi buku oleh PT Gramedia, Jakarta Tahun 1986). b) Kubah, Mulanya diterbitkan oleh Pustaka Jaya, Jakarta Tahun 1980. Pada bulan September 2001 dicetak ulang oleh Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Tahun 1995. c) Ronggeng Dukuh Paruk, Semula Ronggeng Dukuh Paruk merupakan cerita bersambung pada harian Kompas, Jakarta. Dikemas menjadi sebuah novel pada tahun 1982 oleh Gramedia, Jakarta. Novel ini mengalami cetak ulang pada tahun 1986 dan 1988 yang sekaligus menunjukkan bahwa Ronggeng Dukuh Paruk banyak diminati masyarakat. d) Lintang Kemukus Dini Hari, novel ini diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta pada tahun 1985. Novel ini pernah mengalami cetak ulang pada tahun 1988. e) Jantera Bianglala, diterbitkan oleh Gramedia Jakarta pada tahun 1986. Ronggeng Dukuh Paruk (Catatan Buat Emak), Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala yang ditulis dalam rentang waktu dari tahun 1980 – 1984 kemudian diterbitkan dalam
70
71
satu buku trilogi novel dengan judul Ronggeng Dukuh Paruk. Novel ini diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama tahun 2003. Bagian-bagian yang sempat dilarang selama 22 tahun pada zaman Orde Baru telah dimunculkan dalam novel trilogi ini. Novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk merupakan karyanya yang paling popular diantara karya-karyanya yang lain. Oleh karena itu wajar jika novel Ronggeng Dukuh Paruk dipandang oleh para pengamat sastra Indonesia sebagai karya masterpeace Ahmad Tohari. f) Bekisar Merah, diterbitkan oleh Gramedia Jakarta, pada tahun 1993. g) Lingkar Tanah Lingkar Air, diterbitkan oleh Harta Prima Purwokerto tahun 1995. Sebelumnya pernah menjadi cerita bersambung pada harian Republika. Bulan Oktober 1999 novel ini diterbitkan oleh Pustaka Sastra LKIS Yogyakarta dan mengalami cetak ulang pada November 1999 dan September 2003. h) Belantik (Bekisar Merah II), diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2001). i) Orang-Orang Proyek, diterbitkan oleh LKIS Yogyakarta, pada tahun 2002. d. Latar Belakang Sosial Budaya Ahmad Tohari Ahmad Tohari terlahir di sebuah desa kecil di kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Sejak kecil ia akrab dengan alam pedesaan.
71
72
Alam pedesaan yang masih perawan, yang saat itu masih banyak ditumbuhi pepohonan dengan satwa yang beraneka ragam. Sebuah alam desa yang benar-benar belum tersentuh dengan teknologi dan zat kimia. Kondisi alam pedesaan yang ramah, tenteram, dan tenang sangat melekat dalam kehidupan dan pikirannya. Ahmad Tohari yang hidup di lingkungan masyarakat tani tradisional, sejak kecil akrab dengan kesenian ronggeng. Perilaku dan kehidupan ronggeng sudah mereka pahami sejak ia masih berusia belia. Dunia ronggeng dengan sumpah serapah dan kata-kata cabul sudah sangat ia kenal. Bukan hanya itu, nuansa mesum kehidupan ronggeng yang berperan ganda yakni sebagai penari yang sekaligus bisa melacur sudah akrab terdengar di telinganya. Kesenian ronggeng juga akrab dengan dunia mitos dengan segala kepercayaan akan roh leluhur. Masyarakat tempat Ahmad Tohari tinggal mempercayai bahwa tidak semua perempuan bisa jadi ronggeng. Seorang perempuan bisa menjadi ronggeng sejati bila di dalam dirinya bersemayam indang ronggeng. Indang ronggeng adalah semacam roh ronggeng atau wangsit dari roh leluhur yang akan membuat seorang ronggeng menjadi memiliki daya pikat luar biasa ketika dia melaksanakan tugasnya sebagai ronggeng. Selain kehidupan ronggeng, Tohari juga mengenal kehidupan pesantren. Masyarakat desa dengan nuansa religiusitasnya telah mewarnai dunia anak-anaknya. Ayahnya memiliki sebuah pondok pesantren yang
72
73
dikelola dengan keluarganya. Hingga remaja Tohari hidup di lingkungan pedesaan dengan nuansa pesantren yang ramah, tenang, damai, dan religius. Wajar jika kemudian Tohari tumbuh sebagai remaja yang dikenal dengan sebutan kaum sarungan atau santri. Latar belakang kehidupan inilah yang turut mewarnai terciptanya novel Ronggeng Dukuh Paruk. Geger politik sekitar tahun 1965-1966 merupakan salah satu pengalaman kehidupan yang lain, yang kadang menimbulkan traumatik dalam hidupnya. Waktu itu ia sempat menyaksikan kekejaman yang terjadi. Kekejaman sejarah yang sempat ia lihat dari dekat ketika remaja. Banyak yang terjebak dalam peristiwa itu. Yang benar menjadi salah, dan ada juga yang benar-benar salah terselamatkan. Hidup telah berdampingan dengan fitnah. Termasuk diantaranya para seniman ronggeng yang tidak tahu menahu tentang politik harus mendekam di penjara sebagai tahanan politik. Tohari yang memilih hidup di pedesaan banyak belajar dari realitas kehidupan masyarakat dengan segala kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, dan ketidakberdayaannya. Beruntung ia terlahir dari orang tua yang terpandang di desanya. Ayahnya seorang pegawai negeri di Kantor Urusan Agama (KUA) di kecamatan Jatilawang. Bukan seorang pegawai yang berpangkat tinggi. Yang pasti, dengan keadaan orang tuannya yang berkecukupan Tohari bisa menikmati sekolah tinggi. Kesempatan yang tak mungkin hadir bagi teman-beman sebayanya pada waktu itu.
73
74
Ahmad Tohari bahkan sempat kuliah di tiga fakultas pada dua perguruan tinggi negeri yakni di Purwokerto dan Jakarta. Tohari pernah masuk di fakultas Kedokteran Universitas Ibnu Kaldun Jakarta. Tohari juga pernah studi di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto dan di Universitas ini pulalah ia pernah kuliah juruasan ekonomi. Sayang sekali, kuliah yang ia jalani tak satupun terselesaikan karena alasan ekonomi. Kakaknya yang ikut membiayai studi pun keburu menikah. Menghadapi realitas kehidupan yang cukup berat tersebut, Ahmad Tohari memutuskan untuk hijrah ke Jakarta. Ia mengembangkan kemampuannya dalam bidang tulis menulis. Dia sempat juga menjadi pegawai honorer di BNI 1946 (1966-1967). Ternyata panggilan menulis dan kewartawanan lebih kenthal bagi jiwanya. Ia bekerja di beberapa media massa. Dia sempat dipercaya menjadi redaktur pada surat kabar harian Merdeka (Jakarta, 1979-1981), staf redaksi majalah Keluarga (1978-1981), dan dewan redaksi majalah Amanah (1986-1993). Dengan posisi yang cukup tinggi dan bergengsi tersebut tentu saja Ahmad Tohari mendapat banyak limpahan rezeki. Ia bisa menghidupi keluarganya dengan baik. Namun, kenyataannya ia tidak betah tinggal di Jakarta. Karena menurutnya Jakarta ramai dan bising. Dia memutuskan untuk pulang kampung. Di tanah kelahirannya itulah ia bersama keluarganya mengurus pondok pesantren peninggalan orang tuanya. Ahmad Tohari telah menemukan kehidupan yang diinginkan. Ahmad
74
75
Tohari hidup tenang, tenteram, bahagia bersama keluarganya. Kebahagian yang penuh keakraban dalam masyarakat pedesaan. 2. Sekilas tentang Arswendo Atmowilto a. Biografi Orang tuanya memberi nama Sarwendo, tetapi sejak ia menjadi penulis lebih dikenal dengan nama Arswendo Atmowiloto. Ia lahir di Sala, 26 November 1948, merupakan anak ketiga dari enam bersaudara. Kasih sayang ayahnya pupus selamanya semenjak ia masih kecil. Atmowiloto adalah nama ayah tercintanya. Sewaktu kecil ia bercita-cita menjadi dokter, menurutnya seorang dokter sebagai orang yang terhormat dan kaya. Ia ingin hidup lebih baik dari ayahnya, yang bekerja sebagai pegawai golongan II c di balai kota Surakarta. Tidak terlintas olehnya untuk menjadi pengarang, walaupun ia gemar menulis. Situasi keluarga tidak memungkinkan keinginan tersebut, apalagi setelah ayahnya meninggal. Kehidupan sepeninggal ayahnya terasa semakin berat. Ketika Arswendo duduk di kelas 2 SMA Negeri 2 Surakarta, ia mencoba menulis cerpen. Hal ini diilhami karena ia jatuh cinta dengan adik kelasnya, Bintarti. Cerpen tersebut dimuat di mingguan Gelora Berdikari, Sala. Berawal dari sinilah Arswendo kemudian mulai rajin menulis cerita berbahasa Jawa. Karya-karyanya banyak diminati oleh majalah berbahasa Jawa, seperti: Mekar Sari, Jayabaya, Penyebar Semangat, Dharma Kanda,
75
76
Dharma Nyata, dan Parikesit. Pada kesempatan lain ia mencoba menulis cerita berbahasa Indonesia. Sleko adalah
cerpen berbahasa Indonesia
pertama dimua di koran Bahari, Semarang. Sleko adalah nama sebuah jalan di dekat stasiun Tawang, Semarang tempat ia menemukan ide untuk menulis. Menulis cerita berbahasa Indonesia ternyata banyak peluang untuk dimuat. Mulai saat itu ia lebih menyukai nama Arswendo Atmowiloto yang dulunya Sarwendo. Arswendo sempat merasakan kuliah di IKIP Surakarta. Baru tiga bulan kuliah, ia kebingungan membayar uang kuliah, akhirnya ia mengundurkan diri. Perjuangan hidupnya yang berat membuatnya tumbuh menjadi sosok yang mandiri. Ia mencoba bekerja menjadi korektor di mingguan Dharma Kanda. Tidak lama kemudian ia beralih di mingguan Dharma Nyata. Kegemaran menulis Arswendo terus berlanjut. Ia dikenal melalui majalah anak Sri Kuncung karena cerita cerita anak yang dihasilkannya. Di sisi lain, pada tahun 1967 ia juga aktif menghidupkan bengkel sastra di Sala. Ia menjadi salah satu pendiri dan pemimpin bengkel tersebut. Bengkel sastra adalah sebuah group untuk calon pengarang yang didirikan oleh Pusat Pengembangan Kesenian Jawa Tengah. Pada tahun 1971, ia menikah dengan Agnes Sri Hartini. Perkawinan yang bahagia dengan hadirnya tiga orang anak. Ia dengan segala keyakinannya bertekad menerjunkan diri secara total dalam dunia kepengarangan. Keinginannya ini diwujudkan dengan keseriusannya
76
77
bekerja di media cetak. Tahun 1973 bersama dengan Yulius Siyara, Arswendo mencoba bekerja di majalah Astaga, Jakarta. Sayang, baru tiga bulah berjalan usahanya bangkrut. Arswendo akhirnya melamar ke majalah Midi yang akhirnya berubah nama menjadi Hai. Di tangan Arswendo inilah majalah Hai berkembang pesat. Untuk menghidupi keluarganya, selain jadi penulis ia menjadi redaktur majalah Hai dan wartawan Kompas. Imajinasi Wendo, begitu ia dipanggil, ternyata mengalami penajaman. Hal inilah yang menyebabkan ia menjadi seorang penulis yang produktif. Arswendo juga cukup peka dengan kejadian yang menimpa seseorang dalam situasi tertentu. Intuisi sastranya mengalir lancar dan terlatih baik. Ia mampu mengekspresikan lewat narasi yang memaksa pembaca untuk berkonsentrasi penuh terhadap jalan ceritanya. Hingga saat ini sudah ratusan cerita pendek lahir dari tangannya. Ia pun menulis novel, naskah drama, dan cerita silat. Wendo pernah mengikuti International Writing Program pada tahun 1979 dengan beasiswa dari kedutaan besar Amerika Seriktat. Setelah lulus dari IOWA State University inilah muncul gagasan untuk menghadirkan sebuah bacaan ringan untuk konsumsi masyarakat menengah ke bawah. Bacaan ini berupa tabloid yang diberi nama monitor. Monitor yang didukung oleh kelompok Kompas-Gramedia ini mampu merebut perhatian masyarakat. Namun untuk perjalanan selanjutnya ternyata mengantarkan Wendo ke dalam penjara. Salah satu
77
78
kolom majalah itu telah menimbulkan kemarahan umat islam di Indonesia. Pada tanggal 28 Nopember 1991 Wendo resmi menjadi narapidana di rumah tahanan Salemba dan pada bulan Maret 1992 ia dipindah ke lembaga pemasyarakatan Cipinang Jakarta Timur. Ia menerima bebas bersyarat sejak tanggal 19 Agustus 1993 dan berakhir tanggal 25 Maret 1996. Selama dalam penjara Arswendo berusaha untuk melakukan perenungan dan penilaian terhadap situasi penjara, sistem hukum dan bahkan
makna
kepahitan
hidup.
Kepiawaiannya
menulis
dan
kecerdasannya berhumor sama sekali tidak memudar meskipun ia harus mendekam dalam penjara. Dengan gayanya yang khas, Wendo mampu mengungkapkan perjalanan hidupnya dalam penjara. Ini merupakan salah satu kelebihannya yaitu mampu menangkap dan mengolah apa yang ada disekitarnya kemudian mengekspresikannya dalam sebuah cerita. Pengalaman hidup selama dalam penjara memberikan banyak ilmu dan inspirasi. Ia menghasilkan banyak buku. Salah satu karyanya selepas dari penjara adalah Menghitung Hari. Buku ini merupakan anekdot yang berisi tentang kejadian-kejadian yang dialami Wendo selama di penjara. Buku ini juga telah diangkat menjadi sebuah sinetron dan berhasil meraih penghargaan sebagai sinetron terbaik Festival Sinetron Indonesia tahun 1995. Novel lain yang tidak kalah menarik adalah novel Projo dan Brojo. Melalui novel ini ia mengungkapkan berbagai psikologis yang dialami
78
79
oleh seorang narapidana. Pengalaman kejiwaan Arswendo sebagai narapidana dituturkannya secara ekspresif dengan ide kepengarangannya yang tajam. Ia juga menyampaikan kritik sosial terhadap kehidupan penjara. Hal itu merupakan wujud tanggung jawab moral Arswendo sebagai sastrawan, yang salah satu tugasnya adalah mengadakan control sosial. Pengalaman
hidupnya
dalam
menghadapi
kasus
Monitor
membuatnya mampu melihat kondisi di sekelilingnya. Ia mengambil hikmah dari kejadian tersebut. Sebagai bukti ia dengan tabloid Aura mengembangkan jurnalisme kasih sayang. Hadirnya tabloid ini diilhami ketabahan dan kesetiaan sang istri ketika harus menantu suaminya yang tengah berada di penjara. Kekaguman terhadap sang istri juga diabadikan lewat novel Sudesi. Menurut Wendo istrinya adalah seorang yang luar biasa dalam menjaga keutuhan rumah tangga. Arswendo saat ini menjadi General Manager PT Subentra Citra Media, sebuah perusahaaan pers yang menerbitkan Tabloid Bintang Indonesia, Fantasi, dan Dangdut. b. Penghargaan yang Diperoleh Penghargaan yang diperoleh dari sayembara yang diikutinya antara lain dari dewan Kesenian Jakarta, untuk kategori novel adalah Balade Bukit Gundul dan Bayang-bayang Baur (1972). Untuk kategori sandiwara anak-anak adalah Sang Pemahat (1976). Sedangkan dari TVRI adalah naskah sandiwara yang berjudul Surat dari Jakarta pada bulan ketiga (1974). Dari majalah Femina adalah novelet Saat-saat kau Berbaring di
79
80
Dadaku (1979). Novelet Namaku Diktat (1980) meraih Zakse Prise dari majalah Kartini. c. Hasil Karya Sebagai pengarang yang produktif, Arswendo telah banyak menerbitkan hasil karyanya. Sejak tahun 1967 sampai sekarang Arswendo terus berkarya. Adapun karyanya berupa novel, esai, naskah sandiwara atau film. Selain itu ia menulis banyak cerita pendek yang diterbitkan dalam bentuk kumpulan cerpen. Untuk lebih jelasnya akan dipaparkan sebagai berikut : 1) Novel a) Bayang-bayang Baur (1977), Nusa Indah, Ende, Flores. b) The Circus (1977), Nusa Indah, Ende, Flores. c) Semesra Merapi Merbabu (1979), Cy Press. d) 2x Cinta (1978), Singa Mas. e) Saat-saat Kau Berbaring di Dadaku (1979), Majalah Femina, Jakarta. f) Martubi dan Juminten (1980), Gramedia, Jakarta. g) Namaku Diktat (1980), Majalah Femina, Jakarta. h) Dua Ibu (1981), Yayasan Buku Utama, Jakarta. i) Canting (1986), Gramedia, Jakarta. j) Menghitung Hari (1993), Pustaka Utama Grafiti, Jakarta. k) Abal-abal (1994), Pustaka Utama Grafiti, Jakarta. l) Auk (1994), Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.
80
81
m) Projo dan Brojo (1994), Subentra Citra Pustaka, Jakarta. n) Oskep (1994), Pustaka Utama Gragiti, Jakarta. o) Berserah Itu Indah(1995), Subentra Citra Pustaka, Jakarta. p) Khotbah di Penjara (1995), Subentra Citra Pustaka, Jakarta. 2) Novel Anak-anak dan Remaja a) Lawan jadi Kawan (1973), Badan Penerbit Kristen. b) Anis dan Herman (1974), Pustaka Press, Jakarta. c) Moko (1974), Indra Press. d) Ayam Jago si Dul (1974), Badan Penerbit Kristen. e) Imung : (1)
Pencuri Aneh (1975), Anis Lima.
(2)
Penyiletan Gadis Cantik (1979), Gramedia, Jakarta.
(3)
Pembajakan Pesawat Terbang (1979), Gramedia, Jakarta.
(4)
Haji Palsu (1979), Gramedia, Jakarta.
(5)
Korbannya Seorang Pramuria (1979), Gramedia, Jakarta.
(6)
Tamu dari Jauh (1980), Gramedia, Jakarta.
(7)
Matinya Raja Batik (1980), Gramedia, Jakarta.
(8)
Operasi Lintah (1980), Gramedia, Jakarta.
(9)
Kutunggu di Pinostiner (1980), Gramedia, Jakarta.
(10) Jangan Sakiti Foxi Terri (1980), Gramedia, Jakarta. (11) Selamatkan Bayi Kami (1980), Gramedia, ,Jakarta. (12) Bangkit dari Kubur (1980), Gramedia Jakarta. f) Berani Merantau (1975), Agus Press.
81
82
g) Jail Anak Asrama (1975), Aries Lima. h) Anak-anak Kereta Api (1975), Agus Press. i) Pesta Jangkrik (1976), Astan. j) Mengapa Bibi Tak ke Dokter (1978), Rosda. k) Kadir (1976), Nusa Indah, Ende, Flores. l) Lapangan Terbang Lokasis (1976), Aries Lima. m) Ito (1977), Pustaka Jaya, Jakarta. n) Kapten Bola (1977), Pustaka Jaya, Jakarta. o) Kisah Raja Bijaksana (1977), Pustaka Jaya, Jakarta. p) Darah Nelayan (1978), Gramedia, Jakarta. q) Sekaten (1978), Indra Press. r) Mencari Ayah Ibu (1978), Indra Press. s) Dusun Tantangan (1979), Gramedia, Jakarta. t) Kiki dan Komplotannya: (1)
Porno itu Peristiwa Kimia (1980), Gramedia, Jakarta.
(2)
Kartini Bukan Kode (1980), Gramedia, Jakarta.
3) Naskah Sandiwara atau Film a) Bayiku yang Pertama (1972) b) Penantang Tuhan (1972) c) Sang Pangeran (1972) d) Surat dari Jakarta pada Bulan Ketiga (1974), untuk TVRI. e) Sang Pemahat (1976), Naskah Sandiwara Anak-anak.
82
83
f) Menghitung Hari (1995), diangkat dari novel dengan judul yang sama, berhasil menjadi pemenang dalam festival Sinetron Indonesia tahun 1995 untuk kategori naskah sinetron terbaik. g) Dongeng Dangdut (1996), skenario ini ditulis selepas dari lembaga pemasyarakatan dan ditayangkan oleh Televisi Pendidikan Indonesia. 4) Karya Lain a) Buyung Hok dalam Kreativitas Kompromi (1972), esai mengenai sosial budaya, meraih penghargaan Zakse Prise. b) Kumpulan cerpen : Surat dengan Sampul Putih (1980), Gramedia, Jakarta. c) Seri Novel : Sudesi (1994), Subentra Citra Pustaka, Jakarta. d) Kumpulan Puisi: Sebutir Mangga di Halaman Gereja (1995), Subentra Citra Pustaka. d. Latar Belakang Arswendo Atmowiloto Berdasarkan uraian tentang riwayat hidup Arswendo dan karyakaryanya dapat diketahui bahwa pengalaman-pengalaman yang merupakan sejarah kehidupannya sangar berperan dalam kariernya sebagai pengarang. Hubungan riwayat hidup pengarang dan hasil karya seseorang dapat mengarahkan pandangan dalam proses penciptaan dan aspek generatif sebuah karya sastra. Latar belakang sosial budaya pengarang juga dapat menentukan wujud dan isi sebuah karya sastra.
83
84
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kehadiran sebuah karya sastra tidak lepas dari latar belakang sosial budaya pengarangnya. Oleh karena itu untuk mengetahui makna secara utuh terhadap karya sastra diperlukan
pemahaman
terhadap
latar
belakang
sosial
budaya
pengarannya. Demikian juga dengan Arswendo dalam karya-karyanya baik yang berupa cerpen, novel, naskah film, atau karya yang lainnya banyak yang menyangkut kehidupan masyarakat yang telah akrab digelutinya, yaitu masyarakat kecil dengan segala problematikanya. Hal ini dapat dihubungkan dengan latar belakang kehidupan Arswendo yang sejak kecil selalu berjuang hidupa dalam kemisikinan. Dalam karya-karyanya Arswendo banyak menampilkan tokohtokoh yang berlatar belakang budaya Jawa. Sikap hidup orang Jawa merupakan manifestasi dari filsafat hidupnya yang mengutamakan hubungan mesra antara manusia dengan Tuhan, hubungan sesama manusia, dan alam sekitar yang selaras. Di sisi lain, Arswendo juga mengangkat kehidpan masyarakat kecil sebagai materi kdalam karyakaryanya. Hal ini selaras dengan keberadaan dirinya yang lahir dan besar di Sala dan berasal dari komunitas miskin. Arswsendo sadar dengan tanggung jawab moral sebagai sastrawan yang bertugas melakukan kontrol sosial. Novel Canting adalah wujud kepeduliannya, novel yang memilih larar Kota Sala ini sangat kental dengan unsur budaya Jawa. Arswendo mencoba menggambarkan
84
85
kehidupan keluarga Jawa yang sangat khas, lengkap dengan simbol dan tradisi keningratannya. Dalam novel ini ditampilkan sosok wanita Jawa yang ideal, yang dalam situasi berbeda dapat berperan sama baiknya. Potret kehidupan masyarakat kecil dengan segala problem yang dihadapinya dapat ditemukan dalam novel Auk hasil karyanya. Persoalan yang di dalamnya menyangkut rasa kemanusiaan dan kepekaaan sosial terhadap sesama manusia tampak menukik tajam dalam karya tersebut. Lewat novel ini Arswendo menyampaikan beberapa kritik sosial. Waktu terus bergulir, Arswendo yang dulu berasal dari komunitas yang miskin dan kini menjadi eksekutif top. Ia kini dikenal sebagai pengarang yang produktif dan menduduki posisi penting dalam dunia pers, yaitu sebagai konsultan media massa. Keberhasilan yang diperoleh dengan perjuangan yang tidak sederhana. Bahkan peristiwa paling pahit yang sempat mengguncangkan kehupannya dalam bermasyarakat, yaitu saat dirinya harus masuk penjara karena kasus Monitor. Sebuah kasus yang dialami dari kegemarannya berhumor yang berubah menjadi horor, seperti penuturannya pada Cempaka (1988: 8), ”Semula saya hanya ingin berhumor saja, belakang niat baik saya berubah jadi horor dan menyeret saya ke penjara”. Ketika mendengar kata penjara, Arswendo benar-benar terguncang jiwanya. Jiwanya gelisah karena terpisah dari lingkungan, keluarga, pekerjaan, dan masa lalu yang boleh dibilang mulai gemerlap. Namun demikian keberadaan dalam penjara telah mengubah pandangan-
85
86
pandangannya terhadap keluarga, dunia jurnalistik, dan kehidupan sekitarnya. Arswendo tidak terpenjara kreativitasnya. Dari tempat ini muncul novel-novel dengan nuansa yang berbeda dari novel-novel sebelumnya. Perubahan latar belakang sosial budaya telah melahirkan beberapa karya sastra, seperti anekdot Menghitung Hari, Surkumur Murdukur dan Plekenyun, Abal-abal, Projo dan Brojo, dan Sudesi. Novel Projo dan Brojo adalah salah satu novel oleh-olehnya selepas Arswendo bebar dari penjara. Novel ini diilhami ketika ia merasa cemburu terhadap istrinya dan adanya rencana dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan lain. Arswendo ingin seseorang menggantikan posisinya di dalam penjara. Ide yang cukup unik dan lucu dituangkannya ke dalam sebuah novel, yang akhirnya menjadi novel Projo dan Brojo. Novel lain yang ditulisnya di penjara adalah Sudesi yang merupakan akronim dari ”Sukses dengan Satu Istri”. Novel trilogi ini bertutur tentang kesetiaan seorang istri yang menanti suaminya berada di penjara, seperti dituturkannya kepada Cempaka (1998: 9): Lantaran saya menganggap istri saya luar biasa, di penjara saya tulis Sudesi. Dari situ saya menyadari kesuksesan seorang tak harus diukur dari keberhasilan menjadi direktur, tetapi bisa juga dari kemahiran, ketabahan, dan kesetiaan istri ketika harus menanti suaminya di penjara. Ketika di penjara Arswendo memberikan kepercayaan kepada keluarganya. Ada rasa khawatir, tetapi ia hanya dapat membantu berkelakuan baik selama berada di sel. Bertolak dari pengalaman tersebut,
86
87
Arswendo semakin menyadari bahwa keluarga adalah lembaga yang harus dihormati dan dijaga keutuhannya. Kehidupan di penjara juga mengubah pandangan Arswendo terhadap dunia jurnalistik dan kehidpan di sekitarnya. Ini salah satu bukti bahwa penjara memang diperlukan keberadaannya. Ketika bersama Monitor Arswendo mengembangkan jurnalisme lher. Ia membuat bacaan ringan untuk konsumsi masyarakat menengah ke bawah. Kini bersama Aura ia mengembangkan jurnalisme ”Kasih Sayang”. Sebuah jurnalisme yang mengajak pembacanya untuk lebih sayang terhadap orang lain. Arswendo tidak hanya menuturkan masalah kejiwaan sebagai narapidana dalam novel-novel terakhirnya. Ia terusik dengan kejadiankejadian menyimpang sebelum ia melangkah masuk penjara dan ketika menghuninya. Ia menganggap di dunia ini banyak orang yang culas, terang-terangan menerima suap, perampokan hak orang lain, dan beberapa tindakan tidak terpuji lainnya. Pengalaman yang sungguh menyakitkan, ketika ia telah mengeluarkan banyak uang untuk mendapatkan keringanan hukuman tetapi hasilnya sia-sia belaka. Ia begitu shock ketika hakim memutuskan 5 tahun penjara untuk dirinya. Pengalaman dan kebodohan dirinya tetap membekas sampai sekarang. Seperti dituturkannya kepada Cempaka (1998: 9), ”Mengapa banyak orang begitu culas. Mereka sudah menerima suap saya, kok tetap saja hukuman saya tak diringankan”. Ternyata hal semacam itu juga terjadi di lingkungan penjara. Pengalaman
87
88
baru yang akhirnya melahirkan kritik sosial yang dituangkan dalam anekdot Menghitung Hari dan Novel Projo dan Brojo. Arswendo selalu kritis menanggapi derita sosial masyarakat di sekitarnya. Dalam era reformasi ini, orang seharusnya tidak merasa risih bergaul dengan mantan narapidana. Menurut Arswendo berbuat kesalahan adalah sesuatu yang
manusiawi, tinggal bagaimana ia menyikapi
sesudahnya. Ia merasa bersyukur dapat duduk sekursi dengan menteri kehakiman, Muladi. Suatu penghargaan bagi Arswendo, ketika ia diminta memberi masukan kemungkinan perbaikan terhadap kehidupan penjara. Arswendo berharap narapidana yang lain juga mendapatkan perlakukan yang sama seperti dirinya. Hal itu selain mengurangi beban psikologis yang bersangkutan juga mempercepat proses sosialisasi. Ketika negara mengalami masa sulit dan krisis berkepanjangan, Arswendo (1998: 9) berpedapat, ”Menghadapi masa krisis seperti sekarang ini, yang diperlukan adalah kejujuran. Kejujuran dalam segala hal”. Bagi Arswendo krisis yang terjadi sekarang ini memberi pelajaran yang berharga bagi masyarakat dan dirinya. Masyarakat harus menyadari bahwa kerakusan dan ketamakan tidak akan menyelamatkan kehidupan mereka. Arswendo Atmowiloto sosok yang ulet dan tekun dalam memperjuangkan hidup. Ia adalah seorang pengarang yang karya-karyanya banyak merespon penyakit zaman. Kepengarangan Arswendo saat ini dapat disejajarkan dengan pengarang handal seperti Umar Kayam, Romo Mangun, Kunto Wijoyo, dan Pengarang handal lainnya.
88
89
B. Struktur Novel 1. Struktur Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari a. Tema Novel Ronggeng Dukuh Paruk bertema sosial kemasyarakatan. Tema tentang kehidupan masyarakat lapisan bawah yang bernama Dukuh Paruk. Dukuh Paruk yang telah lama kering kini menampakkan kehidupannya kembali ketika Srinthil, bocah yang berusia sebelas tahun menjadi ronggeng. Srinthil tokoh utama dalam novel ini dianggap telah mengembalikan citra pedukuhan yang sebenarnya. Sebagai layaknya seorang ronggeng, Srinthil harus melewati tahaptahap tertentu. Srinthil harus dimandikan di depan cungkup makam Ki Secamenggala setelah ia diserahkan kepada Kertareja, dukun ronggeng Dukuh Paruk. Srinthil juga harus melewati tahapan bukak klambu. Seorang ronggeng tidak mungkin naik pentas dengan memungut bayaran bila belum melalui tahapan tersebut. Setelah Srinthil resmi menjadi seorang ronggeng, tema yang sangat manusiawi muncul dalam novel ini. Seorang pemuda melihat kemusnahan tentang perempuan ideal bernama Srinthil, yang ia imajinasikan sebagai ibu sekaligus kekasih. Tekad Srinthil menjadi seorang ronggeng telah melenyapkan cinta kasih yang murni, daya khayal, dan rasa kebersamaan yang selama ini bersemayam di hati Rasus. Ketika Srinthil larut dalam kekuasaan sebuah tradisi ronggeng, Rasus memilih pergi meninggalkan Dukuh Paruk yang menurutnya telah
89
90
merenggut Srinthil darinya. Awalnya kepergian Rasus tidak begitu berarti bagi Srinthil. Srinthil begitu larut dengan dirinya yang ronggeng. Namun kelak kepergian Rasus besar sekali pengaruhnya terhadap perjalanan hidup Srintil yang berliku. Sebuah perjalanan kehidupan yang berbeda. Rasus mengalami garis perjalanan hidup dari remaja dusun yang miskin dan buta huruf menjadi seorang prajurit yang gagah. Ketentaraan Rasus inilah yang kemudian membuat ia memperoleh penghormatan dan penghargaan seluruh orang Dukuh Paruk. Sementara Srinthil menemukan kenyataan bahwa sebutan ronggeng bagi dirinya cukup membelenggu hidupnya. Sejarah hidup telah mengubah perjalanan hidup Srinthil dan Dukuh Paruk. Klimaks dari semuanya adalah Srinthil mengalami keterpurukan hidup bersama Dukuh Paruk yang bodoh dan melarat. Srinthil bertekad memperbaiki hidup dengan menjadi perempuan Somahan dengan berharap dapat diperistri Rasus. Tapi Rasus tak pernah memberi jawaban yang pasti tentang keinginan Srinthil. Rasus hanya memberi berpesan kalau ada lakilaki baik yang ingin mempersuntingnya orang Dukuh Paruk dimohon untuk
mendukungny.
Tapi,
bila
laki-laki
hanya
datang
untuk
mempermainkannya Srinthil dimohon untuk menolaknya. Di penghujung novel Ronggeng Dukuh Paruk Srinthil berkenalan dengan pemuda bertabiat ‟baik‟ bernama Bajus. Ternyata Bajus tak lebih sebagai musang berbulu domba. Tiga hal pernyataan mengejutkan disampaikan Bajus di akhir kebersamaannya bersama Srinthil. Pertama,
90
91
Bajus ternyata tidak punya niat untuk memperisteri Srinthil; kedua, Bajus menginginkan Srinthil ‟melayani‟ atasannya demi mendapatkan sebuah proyek; ketiga, Bajus mengancam akan mengembalikan Srinthil ke penjara kalau Srinthil tidak mau menuruti kehendaknya. Ancaman Bajus benar-benar memukul psikologi Srinthil. Bajus benar-benar memposisikan Srinthil sebagai wanita yang tidak berharga sekaligus mengingatkan memori Srinthil tentang sejarah politik yang telah menyeretnya. Gangguan jiwa dialami Srinthil. Pada waktu yang hampir bersamaan Rasus pulang merindukan Dukuh Paruk kampung halamannya. Tapi, kenyataan Rasus menemukan Srinthil dalam suasana yang berbeda. Dengan jiwa besar Rasus menolong Srinthil dengan membawanya ke rumah sakit jiwa. Rasus tidak hanya menolong Srinthil, ia juga telah menolong Dukuh Paruk dari keterpurukan. b. Penokohan Novel
Ronggeng
Dukuh
Paruk
memiliki
banyak
tokoh.
Berdasarkan perannya dalam sebuah cerita tokoh dalam novel ini terbagi atas tokoh utama dan tokoh pembantu. Ada juga tokoh yang sekadar numpang lewat atau sebagai pelengkap cerita. Dalam pembahasan ini, yang akan penulis kemukakan hanya tokoh-tokoh penting saja yang memegang peranan besar dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Tokoh utama dalam dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah: Srinthil dan Rasus. Sedangkan tokoh pembantu dalam novel ini adalah Sakarya, Nyi Sakarya, Kertareja, Nyi Kertareja, Sakum, Santayib, Nenek
91
92
Rasus, Marsusi, dan Bajus. Kemunculan Tampi, Goder, Warta, Darsun, Dower, Sulam, Sersan Slamet, Kopral Pujo, Tarim, Dilam, Bakar, Sentika, Waras, dan Blengur hanyalah tokoh pelengkap cerita. Walau begitu. Kehadiran mereka tetaplah penting untuk membuat cerita menjadi lebih hidup dan seolah-olah benar-benar ada dalam realita sebuah kehidupan. Berdasarkan sifatnya, tokoh novel Ronggeng Dukuh Paruk dibedakan menjadi tokoh protagonis dan antagonis. Yang termasuk tokoh protagonis adalah Srintil, Rasus, Sakarya, Nyi Sakarya, Sakum, Tampi, Warta, dan Darsun. Sedangkan tokoh antagonis adalah Kertareja, Nyi Kertareja, Marsusi, Bajus, dan Bakar. 1) Srintil Srintil merupakan tokoh utama perempuan dalam novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Srinthil adalah salah satu dari sekian perempuan dukuh Paruk. Sejak kecil Srintil menyadari bahwa dirinya beda dengan gadis-gadis yang lain. Srintil tumbuh menjadi perawan kecil yang polos apa adanya ketika usianya 11 tahun. Ia pandai menari dan menyanyi bak seorang ronggeng. Penampilannya memikat lakilaki teman sepermainannya. Kepolosan seorang srintil tergambar dalam kutipan di bawa ini: Duduk bersimpuh di tanah sambil meneruskan pekerjaannya, Srintil berdendang. Siapa pun di Dukuh Paruk, hanya mengenal dua irama. Orang-orang tua berdendang kidung, dan anak-anak menyanyikan lagu-lagu ronggeng. Dengan suara kekanak-kanakannya, Srintil mendendangkan lagu kebanggaan para ronggeng: Senggot timbane rante, tiwas ngegot ning ora suwe.
92
93
Lagu erotik. Srintil, perawan yang baru sebelas tahun, menyanyikannya dengan sungguh-sungguh. Boleh jadi Srintil belum paham benar makna lirik lagu itu. Namun sama saja. Dukuh Paruk tidak akan bersusah hati bila ada anak kecil menyanyikan lagu yang paling cabul sekalipun. (RDP: 11-12) Secara fisik Srintil digambarkan sebagai perempuan yang cantik di usianya yang menginjak remaja. Ia memiliki kulit bersih dan bentuk rahang yang bagus. Pipinya jernih dengan hiasan jambang halus. Srintil juga kelihatan memesona ketika tampil meronggeng. Di usianya yang telah menginjak 17 tahun secara fisik Srintil menampilkan pribadi yang penuh pesona. Gambaran fisik Srintil terlihat dalam kutipan berikut ini: Srintil duduk agak menyamping. Ketenangannya yang demikian utuh adalah pesona baru dalam penampilannya. Dengan tata sanggul seadanya profil Srintil justru memperlihatkan kesegaran remaja yang amat impresif. Bentuk rahangnya bagus. Pipinya jernih dengan hiasan jambang halus. Kulit leher berkata apa adanya, bahwa usia Srintil memang baru tujuh belas. (RDP: 148) Nyai Kartareja membawa Srintil ke sebuah ruang tertutup di kantor kecamatan. Di sana Srintil bertukar pakaian. Tidak seperti beberapa tahun yang lalu, sekarang tak ada yang kurang pas pada tubuh Srintil. Segala hiasan alami pada tubuhnya sedang berada pada puncak perkembangannya. Ketika kebaya dan kutang dilepas tampillah pesona yang Ratih. Lehernya yang segar menjadi perimbangan kedua pundak yang memiliki kesempurnaan bentuk. Kalung emas, cincin, serta tiga gelang berkilat dan mempertegas keremajaan kulitnya. Giwangnya besar. Cahaya berjatuhan dari mata faset intan bila Srintil menggerakkan kepala sedikit saja. (RDP: 188) Srintil adalah seorang perempuan Dukuh Paruk yang tidak pernah ragu terhadap pilihan hidupnya. Hal itu menggambarkan
93
94
karakternya yang penuh percaya diri. Dia pandai menari dan menyanyi secara otodidak. Sebuah bakat yang luar biasa yang ia memiliki tentang seorang ronggeng. Padahal ia belum pernah melihat ronggeng menari dan menyanyi. Ronggeng terakhir Dukuh Paruk mati ketika Srintil masih bayi. Kutipan di bawah ini menggambarkan Srintil pandai menari tanpa ada orang yang mengajari sebelumnya: Siapa yang akan percaya, tak seorang pun pernah mengajari Srintil menari dan bertembang. Siapa yang akan percaya, belum sekali pun Srintil pernah melihat pentas ronggeng. Ronggeng terakhir di Dukuh Paruk mati ketika Srintil masih bayi. Tetapi di depan Rasus, Warta, dan Darsun, Srintil menari dengan baiknya. (RDP: 13) Jiwa Srintil yang teguh pendirian juga tergambar jelas ketika Srintil memutuskan tidak mau meronggeng lagi. Menurutnya karena ia memilih dunia ronggeng maka Srintil kehilangan Rasus. Srintil bahkan tidak pernah takut dengan ancaman bahwa keputusannya berhenti meronggeng adalah sesuatu yang tepat. Keteguhan jiwa Srintil dapat dicermati dalam kutipan berikut ini: ”Kamu telah mengecewakan seorang priyayi; suatu hal yang tidak layak dilakukan oleh orang dusun seperti kita ini. Oalah, cucuku, kamu tidak menyadari dirimu sebagai seorang kawula.” ”Kek ...” ”Apa!” ”Bila aku bertahan, apakah aku bisa kena hukum?” Pertanyaan Srintil adalah bukti sebuah langkah surut. Sakarya melihat pintu mulai terbuka. Tetapi kakek itu menyembunyikan perasaannya. ”Mengapa tidak? Kita ini kawula. Kita wajib tunduk kepada perintah bahkan keinginan para penggawa itu. Menampiknya, sama saja dengan mengundang hukum. Nah, beranikah kamu melakukannya?”
94
95
Sakarya sengaja melebih-lebihkan ucapannya. Dia berharap Srintil akan segera mengubah pendiriannya. Tetapi jawaban Srintil bahkan mengejutkan Sakarya. ”Ya sudah! Aku rela menerima hukuman. Dibui pun jadi! Bagaimana aku harus menari bila hati tak mau. Kakek tahu, bukan, sebuah tarian baru hidup bila hati dan jiwa ikut menari.” (RDP: 162) Keteguhan jiwa Srintil juga terlihat ketika ia memutuskan tidak menerima tamu laki-laki. Ia menginginkan menjadi perempuan somahan. Perempuan yang mempunyai keluarga. Mengabdikan sepenuhnya pada suami dan anak-anaknya. Keteguhan sikap Srintil terlihat dalam kutipan berikut ini: ”Sampean ingin memberikan kalung itu kepadaku bukan sebagai upahku menari atau bertayub, melainkan untuk satunya lagi. Oh, Pak Marsusi, sampean tidak salah. Karena aku memang telah melakukan hal semacam itu dengan sekian banyak lelaki. Tetapi, Pak ...” Marsusi mencondongkan kepalanya lebih ke depan. Pikirannya yang mulai baur membuat dia ingin segera tahu apa kata Srintil selanjutnya. ”Sekarang aku tak ingin melakukannya lagi.” (RDP: 150) Srintil tidak bergeming walaupun upah yang ditawarkan pak Marsusi sangat menggiurkan yaitu sebuah kalung rantai emas seberat seratus gram dengan berbandul berlian. Kalung sejenis itu hanya dimiliki oleh istri Lurah Pecikalan. Tapi tekad Srintil untuk tidak menerima tamu laki-laki telah bulat. ”Persoalannya sederhana, Pak,” kata Srintil masih dalam ketenangan yang utuh. ”Sampean kebetulan menjadi laki-laki pertama yang datang setelah aku memutuskan mengubah haluan.” ”Jelasnya, kamu menampik kedatanganku?”
95
96
”Tidak sepenuhnya demikian, Pak. Kalau sampean ingin sekadar bertayub denganku, maka selenggarakan pentas. Terserah, kapan dan di mana.” (RDP: 150) Tekad Srintil telah bulat ingin menjadi perempuan somahan. Prinsip
yang
kuat
ini
sampai
membuat
Srintil
kehilangan
keseimbangan jiwa. Waktu itu Bajus, lelaki yang diharapkan bisa membawanya ke bahtera hidup rumah tangga malah meminta Srintil untuk melayani lelaki hidung belang biar Bajus mendapatkan proyek yang diharapkan. Semua itu tergambar dalam kutipan berikut ini: ”Anu, Srin. Kamu sudah kuperkenalkan kepada pak Blengur. Percayalah dia orangnya baik. Aku yakin bila kamu minta apa-apa kepadanya, berapa pun harganya, akan dia kabulkan. Nanti dia akan bermalam di sini. Temanilah dia. Temanilah dia, Srin.” Srintil tersentak dengan kedua matanya terbelalak. Mulutnya terbuka dan dadanya turun-naik dengan cepat. Kedua tangannya bergetar. ”Hanya itu permintaanku, Srin. Supaya tidak ada pikiran macam-macam, anggaplah Pak Blengur itu diriku sendiri. Atau malah tidak perlu karena kenyataannya dia dalam semua hal lebih baik daripada aku. Kamu mau, bukan? ”Tidak!” ”Tunggu dulu ...” ”Tidak, tidak, tidak!” ”Srintil” ”Tidak!” (RDP: 381-382) Srintil juga terlahir sebagai gadis yang manja. Ia sadar betul bahwa kehadirannya menjadi ronggeng sangat diharapkan Dukuh Paruk. Semua orang melayaninya. Perempuan-perempuan Dukuh Paruk begitu bangga bila bisa melayani seorang ronggeng seperti
96
97
Srintil. Kemanjaan Srintil dan kebanggaan perempuan Dukuh Paruk tergambar oleh penilaian Rasus dalam kutipan berikut ini: Jadi, Srintil yang sedang membuka pakaiannya dapat kulihat dengan nyata. Kemudian datang tiga perempuan. Seorang di antaranya membawa arang batang padi untuk mengeramasi cucu Sakarya itu. Perkara mandi Srintil sungguh tidak usah repot. Ketiga perempuan itu berebut melayaninya. Srintil hanya perlu tertawa atau memekik manja bila ada tangan yang mencubit bagian dadanya. (RDP: 38) Srintil adalah seorang tokoh yang patuh terhadap orang tua. (kakek neneknya-karena kedua orang tuanya meninggal dalam malapetaka tempe bongkrek). Ia juga patuh terhadap tradisi dan adat istiadat yang ada di Dukuh Paruk. Srintil tak pernah menanyakan mengapa ia harus menjalani rangkaian upacara untuk menjadi seorang ronggeng. Cara pemikiran yang cukup sederhana. Gambaran pola pikir sederhana seorang Srintil dan sikap patuh Srintil dapat dicermati dalam kutipan berikut ini: Mantra-mantra dibacakan oleh Nyai Kartareja, ditiupkan ke ubun-ubun Srintil. Kemudian tubuh perawan itu mulai diguyur air kembang, gayung demi gayung. Sementara itu orang-orang Dukuh Paruk lainnya hanya menonton. Srintil menjadi pusat perhatian. Rombongan penabuh mempersiapkan diri. Mereka menata perkakas masing-masing, duduk bersila di atas tanah. Srintil selesai dimandikan. Nyai Kartareja mengering rambut ronggeng itu dengan sehelai kain. Tiga orang perempuan membantu Nyai Kartareja mendandani Srintil kembali. Mereka menyisir, memberi bedak, dan membantu Srintil mengenakan kain serta mengikatkan sampur di pinggang. Semuanya sudah beres. Rambut Srintil sudah disanggul. Kemudian ronggeng itu dituntun ke depan pintu cungkup. Di sana Srintil menyembah dengan takzim, lalu bangkit dan berjalan ke hadapan lingkaran para penabuh. (RDP: 46)
97
98
Srintil seorang yang tidak berpendidikan. Ia sangat ingin jadi ronggeng. Keinginan jadi ronggeng tidak lebih karena tuntutan naluri yang mengalir di tubuhnya. Latar belakang kehidupan Srintil yang tidak mengenal pendidikan ini mempengaruhi cara berpikirnya. Seperti sikapnya
yang
menggambarkan
bentuk
ketidakpahaman
yang
sesungguhnya terhadap upacara yang harus dilalui untuk jadi ronggeng. Baginya upacara itu harus dilalui bila seseorang ingin menjadi ronggeng. Latar belakang Srintil
yang tidak berpendidikan juga
menyebabkan Srintil terbawa arus politik. Ia dan rombongan ronggengya tidak pernah berpikir bahkan tidak tahu bahwa kelompok ronggengnya diperalat orang-orang untuk
kepentingan politik.
Kesederhanaan cara berpikir Srintil dan orang-orang Dukuh Paruk telah mengantarkannya ke dalam penjara. Cara berpikir yang sederhana oleh Srintil terlihat dalam kutipan berikut ini: ”Bagaimana?” tanyaku mengulang. ”Entahlah, Rasus. Aku tidak mengerti,” jawab Srintil sambil menundukkan kepala. ”Tentu kau senang karena kau akan memiliki sebuah ringgit emas. Kukira begitu.” ”Aku tak mengerti, Rasus. Yang jelas aku seorang ronggeng. Siapa pun yang akan menjadi ronggeng harus mengalami malam bukak klambu. Kau sudah tahu itu, bukan?” ”He-eh.” (RDP: 55) ”Aku akan pergi ke kantor polisi!” kata Srintil tiba-tiba. ”Auk akan bertanya kepada mereka apa kesalahan kita.”
98
99
”Ya. Aku setuju,” ujar Kartareja. ”Kami hanya meronggeng. Kita sama sekali tidak merojeng padi siapa pun. Srintil, aku akan menyertaimu ke kantor polisi”. ”Jangan, cucuku. Kamu harus tetap di sini bersamaku.Kamu jangan kemana-mana,” tangis Nyai Sakarya. ”Kita yakin tidak bersalah. Kita harus mencari pengayoman. Polisi harus memberi pengayoman kepada kita; kawula yang tidak bersalah.” (RDP: 239) Setelah ontran-ontran politik tahun 1965, Srintil berubah menjadi pribadi yang tahu diri. Peristiwa yang membuat Dukuh Paruk bertanya-tanya tentang dosa yang telah mereka buat. Dukuh Paruk dibuat karang abang. Kelompok ronggeng ditahan. Peristiwa itu telah membuat Dukuh Paruk kembali ke titik nol. Sikap tahu diri Srintil tergambar dalam kutipan berikut ini: ”Kang maafkan nenekku, ya.” kata Srintil lirih sekali. ”Nenekku sudah tua sekali sehingga dia lupa bahwa seorang seperti aku ini harus gedhe rumangsane, harus tahu diri. Berangan yang bukan-bukan sungguh memalukan. Kang, aku malu kepadamu.” (RDP: 350) ”Aku memang tidak mau tahu. Orang Dukuh Paruk bisa hidup tanpa bergantung kepadaku. Orang Dukuh Paruk biasa makan iles-iles, makan bonggol pisang. Lakukan itu dan jangan meminta aku kembali berbuat kesalahan. Oalah, Nyai. Kamu hanya mengalami dua minggu di tahanan. Sedangkan aku dua tahun. Cukup, Nyai. Cukup!” (RDP: 288) Srintil benar-benar trauma kalau teringat peristiwa itu. Ia merasa sangat bersalah, meskipun kesalahan yang sebenarnya tidak sepenuhnya dia mengerti. Ia hanya meronggeng waktu itu. Tentang merojeng, itu bukan urusannya dan ia tidak pernah melakukannya. Orang-orang Dukuh Paruk pun tak pernah melakukannya. Rasa
99
100
bersalah yang berlebihan ini telah mengubah garis hidup Srintil. Ia benar-benar terpukul ketika Bajus mengusik peristiwa itu. Kisah
tentang
Srintil
diakhiri
dengan
peristiwa
yang
memilukan. Srintil hilang ingatan. Dukuh Paruk berduka. Dukuh Paruk yang terbelakang tidak bisa membuat solusi terbaik bagi ronggeng pujaannya. Ada tiga hal penting yang menjadi penyebab Srintil hilang ingatan. Tiga hal tersebut dapat dicermati dalam kutipan di bawah ini: Satu detik setelah daun pintu terbanting mulailah berlangsung proses lenyapnya akal budi dari totalitas sebentuk pribadi. Godam pertama mengguncangkan tiang kesadaran yang menopang akal budi Srintil, yakni ketika dia mendapatkan kenyataan citanya menjadi isteri Bajus adalah sebuah pundipundi hampa. Srintil masih sempat merasakan perih dan pahitnya guncangan ini. Deraan kedua membuat tiang kesadarannya miring, tidak kuat menahan beban perintah harus melakukan perzinahan; sejarah lamanya sendiri yang sudah ingin ditinggalkan dengan suatu tekad membaja. Kemudian tiang itu ambruk sama sekali ketika sebuah jari setajam mata tombak menudingnya sebagai PKI dan siap menyeretnya kembali ke rumah tahanan, sebuah tempat yang boleh jadi bisa disebut sebagai neraka dunia. (RDP: 383) Dukuh Paruk sebenarnya tidak tinggal diam melihat kejadian yang menimpa Srintil. Tapi Dukuh Paruk tidak bisa membuat solusi terbaik bagi ronggeng pujaannya. Dukuh Paruk yang bodoh tidak begitu mengerti apa itu rumah sakit jiwa. Yang mereka mengerti dan lakukan adalah mendatangkan orang tua untuk kesembuhan Srintil. Harapan atas kesembuhan Srintil hanya pada Rasus. Ketika Rasus pulang bertugas, dengan jiwa besarnya ia membawa Srintil ke rumah sakit tentara. Rasus tahu benar di sana ada bagian perawatan
100
101
penyakit kejiwaan. Rasus Hanya ingin Srintil sembuh. Ia merasa bertanggung jawab terhadap Srintil. Hanya itu, tidak lebih. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Srintil seorang tokoh yang cantik penuh pesona. Di usia belia Srintil begitu manja. Srintil juga pribadi yang penuh percaya diri, teguh pendirian, dan kuat dalam memegang prinsip. Srintil seorang gadis yang patuh terhadap orang tua dan tradisi. Ia memiliki pola pikir sederhana seperti kebanyakan orang-orang Dukuh Paruk yang belum mengenal pendidikan. Berdasarkan sifatnya, Srintil dikategorikan sebagai tokoh protagonis. Srintil termasuk tokoh yang berkembang. Bajus merupakan tokoh yang berkembang. Watak tokoh Srintil mengalami perubahan dan perkembangan sejalan dengan perubahan peristiwa dan plot yang dikisahkan. Salah satu contoh sikap Srintil yang diwaktu belia sangat manja setelah dewasa menjadi pribadi yang tahu diri. 2) Rasus Rasus merupakan tokoh utama pria dalam novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Rasus adalah teman bermain Srintil sebelum Srintil menjadi ronggeng. Rasus kecil menampakkan sikap perhatian terhadap Srintil. Waktu itu secara tidak sengaja dia bersama sahabatnya Warta dan Darsun sedang melihat Srintil bermain seorang diri di bawah pohon nangka. Sikap perhatian Rasus yang dikemas dalam suasana persahabatan terlihat dalam kutipan berikut ini:
101
102
”Terlalu besar,” ujar Rasus mengejutkan Srintil. Perawan kecil itu mengangkat muka. ”Aku bersedia membuatkan badongan untukmu,” sambung Rasus menawarkan jasa. ”Tak usah. Kalau mau, ambilkan aku daun bacang. Nanti badongan ini lebih,” jawab Srintil. Rasus tersenyum. Baginya, memenuhi permintaan Srintil selalu menyenangkan. Maka dia berbalik, menoleh kirikanan mencari sebatang pohon bacang. Setelah didipat, Rasus memanjat. Cepat seperti seekor monyet. Dipetiknya beberapa lembar daun bacang yang lebar. Pikir Rasus, dengan daun itu mahkota di kepala Srintil akan bertambah manis. (RDP: 12) Begitulah Rasus, pemuda kecil berusia 13 tahun merasa nyaman bersahabat dengan Srintil. Persahabatan mereka ternyata berubah menjadi bentuk simpati pada diri Rasus. Tapi perasaan yang ada dalam diri Rasus terasa ada yang mengganggu ketika pertama kali Srintil meronggeng di depan umum. Rasus takut tidak lagi bisa berteman lagi dengan Srintil. Tidak hanya itu, rasa takut bila kehilangan harus kehilangan Srintil. Penampilan Srintil malam itu mengingatkan kembali bencana yang menimpa Dukuh Paruk sebelas tahun yang lalu. Rasus adalah seorang yatim piatu begitu juga Srintil. Dua anak manusia yang samasama yatim piatu karena kedua orang tua masing-masing meninggal karena keracunan tempe bongkrek. Bagi Rasus kematian kedua orang tuanya menyisakan sebuah tanda tanya, terutama emak. Emak Rasus pada waktu keracunan tempe bongkrek tidak langsung meninggal. Ia dibawa ke sebuah poliklinik di sebuah kawedanan bersama lima orang lainnya oleh mantri kesehatan.
102
103
Beberapa hari kemudian seorang kembali ke Dukuh Paruk dalam keadaan hidup, dan tiga lainnya sudah menjadi mayat. Emak Rasus tidak ada di antara mereka. Kematian emak Rasus menjadi sebuah teka-teki. Ada yang mengatakan bahwa emak sudah meninggal dan mayatnya dibawa ke kota kabupaten. Di sana mayat emak Rasus digunakan sebagai penelitian penyebab malapetaka. Berita lain mengabarkan bahwa emak Rasus bisa diselamatkan. Tapi ketika benar-benar sembuh emak Rasus tidak pulang ke Dukuh Paruk tapi entah kemana bersama mantri yang merawatnya. Teka-teki kematian emak menjadi catatan tersendiri di hati Rasus. Tokoh emak dibiarkan hidup abadi dalam angan-angan Rasus. Kadang Rasus mengharapkan emak hadir kembali dalam keadaan hidup. Di sisi lain, Rasus merasa emak meninggal lebih baik. Dan, kelak Srintil bagi Rasus bukan hanya seorang perempuan yang telah mencuri hatinya tapi juga tempat untuk menemukan sosok ibunya. Perhatian Rasus pada kematian emaknya tergambar dalam kutipan berikut ini: Saat membayangkan pencincangan terhadap mayat emak, aku tidak merasakan kengerian. Ini pengakuanku yang jujur. Sebab bayangan demikian masih lebih baik bagiku daripada bayangan lain yang juga mengusik angan-anganku. Itu andaikan Emak tidak meninggal, melainkan pergi bersama si mantri entah kemana. (RDP: 35) Suatu saat kubayangkan Emak ingin pulang ke Dukuh Paruk, karena aku yakin dia perempuan yang baik. Namun aku
103
104
yakin pula mantriku itu pasti melarangnya. Atau Emak tak mungkin bisa kembali karena bersama mantri itu mereka telah pergi ke Deli, tempat paling jauh yang pernah diceritakan nenek kepadaku. (RDP: 35) Ketika berusia 11 tahun, Srintil benar-benar menjadi seorang ronggeng. Srintil tak lagi perhatian pada Rasus. Rasus merasa Srintil makin menjauh. Rasus mengakui hatinya tersiksa dengan keadaan seperti itu. Rasus kecewa karena tidak bisa lagi bermain bersama Srintil. Rasus mulai mencari jalan untuk memperoleh kambali perhatian Srintil. Rasus acap kali mendengar orang berceloteh bila srinthil habis menari tari Baladewa. Tubuh srintil masih terlampau kecil bagi kerisnya yang terselip di punggungnya. Celoteh semacam itu memberi inspirasi pada Rasus karena di rumah Rasus ada sebuah keris berukuran kecil tinggalan ayahnya. Rasus berani berbohong tentang keris itu dengan mengatakan mendapat wangsit Ayahnya. Gambaran usaha Rasus untuk mendapatkan perhatian Srinthil terlihat dalam kutipan berikut ini: “Nek, tadi malam aku bermimpi bertemu Ayah. Dalam mimpiku itu Ayah berpesan yang wanti-wantinya harus kulaksanakan, “kataku dengan hati-hati. “Apakah pesan Ayahmu?” jawab Nenek yang mulai terpancing dengan kebohonganku. “Soal keris itu, Nek. Kata Ayah keris itu harus aku berikan kepada siapa saja yang menjadi ronggeng di pedukuhan ini. Demikian wangsit Ayah, Nek.” (RDP: 39)
104
105
Nenek percaya dengan mimpi Rasus karena menyebut kata wangsit. Orang dukuh paruh menganggap wangsit sebagai bagian dari hukum yang pantang dilanggar. Akhirnya Rasus menyerahkan keris itu kepada Srintil ketika Srintil sedang terlelap. Kutipan di bawah ini masih menggambarkan usaha Rasus untuk mendapatkan perhatian Srintil: “Keris yang kubawa dari rumah masih kuselipkan di ketiakku, rapi tergulung dalam baju. Aku merasa lebih baik menyerahkan benda itu kepada Srintil selagi dia tertidur…..yang terwujud dalam diri Srintil yang sedang tidur.” (RDP: 41) Rasus berharap Srintil mengenali pemilik baju yang digunakan untuk membungkus keris itu. Rasus berharap perhatian Srintil akan kembali padanya. Keris peningalan Ayahnya ternyata adalah pusaka ronggeng yang telah hilang. Keris pemberiaan Rasus dipakai Srintil dengan suka cita. Dan, Srintil tahu betul itu bahwa Rasus yang memberikannya. Perhatian Rasus pada Srintil juga terlihat ketika upacara pemandian
yang
dilaksanakan
di
depan
cukup
makam
Ki
Secamenggala sedang berlangsung. Ada kejadian yang sangat menyesakkan dada Rasus dan membuat Rasus bertindak untuk menolong Srintil ketika semua orang sibuk mengurus Kartareja. Tubuh Kartareja telah dirasuki roh Ki Secamenggala. Kartareja perlahan-lahan mengendurkan dekapan atas diri Srintil, entah oleh siraman air kembang atau oleh kepulan asap pedupaan.
105
106
Dukun ronggeng itu mulai berdiri goyah, dan akhirnya roboh ke tanah. Tangan dan kaki Kartareja kejang. Melihat kejadian itu, Rasus langsung ke depan. Ia ingin menjadi orang pertama yang menolong Srintil dari ketakutan. Hal itu tergambar dalam kutipan berikut ini: Aku maju ke depan. Aku ingin menjadi orang pertama yang menolong Srintil dari ketakutannya. Kurangkul pundaknya. “Kau tidak apa-apa, Srin?” tanyaku. Srintil hanya mengeleng. Dingin terasa tubuhnya. Tangannya gemetar. (RDP: 49) Rasus hanya ingin membawa Srintil menyingkir. Rasus menggandeng tangan Srintil menuruni bukit kecil pekuburan. Srintil tidak diantar ke rumahnya, melainkan dibawa ke rumah Rasus untuk dihiburnya. Suatu keberaniaan yang tak pernah terbayangkan dapat dilakukan oleh Rasus. Rasus salah mengira upacara pemandian itu akhir dari segalanya, masih ada satu acara lagi yaitu bukak-klambu. Rasus merasa tidak bisa berbuat apa-apa dengan adanya sayembara bukak-klambu. Rasus hanya bisa berjalan tanpa arah, perjalanan yang tanpa tujuan membawa Rasus sampai ke lorong yang menuju pekuburan Dukuh Paruk. Srintil dalam waktu yang sama berjalan menuju cungkup makam Ki Secamenggala. Srintil tidak mengetahuinya kalau Rasus membuntutinya. Srintil menaruh sesaji di depan pintu makam Ki Secamenggala. Srintil bangkit dan berbalik, setelah selesai baru menyadari Rasus ada dibelakangnya. Rasus hendak melangkah pergi
106
107
setelah berbicara sebentar, Srintil menghalangi langkah Rasus dengan menarik bajunya. Srintil membimbing Rasus duduk di atas akar beringin. Keduanya duduk dengan membungkam mulut masingmasing. Rasus
memang
menyukai
Srintil.
Walaupun
Rasus
mendapatkan kesempatan lebih berduaan dengan Srintil, ia bersikap dewasa. Sebuah sikap yang melebihi kedewasaan usianya. Sikap dewasa Rasus tergambar dalam kutipan berikut ini: “Aku tak bergerak sedikitpun ketika Srintil merangkulku, menciumiku. Nafasnya terdengar cepat. Kurasakan telapak tangannya berkeringat. Ketika menoleh kesamping wajah srintil tegang. Ah, sesungguhnya aku tidak menyukai Srintil dengan keadaan seperti itu.....pohon-pohon puring dan kamboja yang mengelilingi pekuburan Dukuh Paruk menjadi pagar yang sangat rapat.” “Srintil melepaskan rangkulannya. Kemudian aku mengerti perbuatan itu dilakukannya agar ia dapat membuka pakaiannya dengan mudah.” (RDP: 66) Rasus merasa jantungnya memompa darahnya ke segala penjuru ketika melihat Srintil telanjang di hadapannya. Kehendak alam terasa begitu perkasa menuntut Rasus bertindak. Srintil dengan tidak canggung menarik tangan Rasus. Wajahnya merona merah, matanya berkilat-kilat. Srintil mulai mendekat badan Rasus yang mulai berkeringat dingin. Kemudian Rasus menutup muka dengan kedua telapak tangan. Kedewasaan sikap Rasus tergambar jelas dalam kutipan berikut ini: “Kita tak bisa berbuat sembrono di tempat ini,” kataku sambil membenahi pakaian srintil.
107
108
“Ya, tetapi kau sungguh bangsat.” “Maafkan aku, Srin. Sungguh! Aku minta engkau jangan marah kepadaku,” kataku menirukan cara seorang kacung yang minta belas kasihan dari majikannya. (RDP: 67) Setelah peristiwa bukak klambu Rasus benar-benar merasa kehilangan Srintil. Rasus membenci Srintil. Karena bagi Rasus ia tidak hanya kehilangan Srintil, tapi sekaligus kehilangan sosok visualisasi seorang emak. Rasus juga membenci Dukuh Paruk yang bodoh dan melarat. Menurutnya Dukuh Paruk telah merenggut Srintil dari hatinya. Hal itu tergambar dalam kutipan berikut ini: Tetapi Dukuh Paruk dan orang-orangnya di sana tak ada yang mengerti diriku yang sakit. Memang Dukuh Paruk memberi kesempatan kepadaku mengisi bagian hati yang kosong dengan seorang perawan kecil bernama Srinthil. Tidak lama, sebab sejak peristiwa malam bukak klambu itu Srinthil diseret keluar dari dalam hatiku. Dukuh Paruk bertindak semena-mena. Aku bersumpah tidak memaafkannya. (RDP: 80) Rasus memilih meninggalkan Dukuh Paruk. Sebenarnya di balik kebencian terhadap Dukuh Paruk dan sifat tega kepada neneknya, Rasus menampakkan seorang pribadi yang tegar. Seorang laki-laki yang tegas tentang pilihan hidup dan tidak terpuruk dalam rasa kekecewaan. Ketegaran Rasus inilah yang kelak mengantarkan Rasus menjadi tentara. Karena keberanian Rasus meninggalkan Dukuh Paruk dan pilih tinggal di pasar Dawuan telah mengantarkannya menjadi seorang tobang. Rasus adalah seorang pekerja keras dan Jujur. Kepribadian terpuji Rasus inilah yang menyebabkan Sersan Slamet memintanya
108
109
jadi tobang. Awalnya Rasus ragu menerima tawaran itu. Karena terdorong oleh perasaan ingin membuktikan kepada Dukuh Paruk bahwa dirinya bukan laki-laki yang minggat karena perasaan kecewa maka tawaran itu diterimanya. Hal itu tergambar dalam kutipan berikut ini: Jawaban apa pun tidak bisa segera kuberikan. Tetapi dalam hati aku bersorak-sorai. Bila tawaran itu kuterima, maka pasti aku akan menjadi anak Dukuh Paruk pertama yang berseragam hijau, berbicara dalam bahasa Indonesia, lagi pula menerima gaji. Bukan main hebat! Srintil akan melihat seorang yang pernah dikenalnya bernama Rasus berseragam tentara, meski tanpa pangkat. Sakarya dan Kertareja yang telah menciptakan Srintil menjadi seorang Ronggeng sehingga aku kehilangan bayangan emak, akan terbata-bata bila suatu saat kudatangi. Rasakan dia. (RDP: 92) Sedangkan penilaian Rasus seorang yang pekerja keras dan jujur sehingga ia terpilih menjadi seorang tobang dapat dicermati dalam kutipan berikut ini: ”Siapa saja yang mempunyai cukup tenaga serta kejujuran, dapat melaksanakan tugas sebagai tobang. Tentang tenaga, aku sudah merasa pasti engkau memilikinya dengan cukup. Kejujuranmu sudah terpancar dari wajah dan sinar matamu sendiri. Jadi, aku merasa pasti pula engkau mampu menjadi seorang tobang”. (RDP: 93) Ternyata pilihan Sersan Slamet tidak keliru. Selama Rasus menjadi tobang, Rasus telah membuktikan kejujuran dan kerja kerasnya pada Sersan Slamet sebagai atasannya. Sehingga Sersan Slamet tidak pernah ragu melibatkan Rasus dalam setiap kesempatan. Padahal tugas itu sebenarnya melebihi tugas Rasus sebagai Tobang.
109
110
Ketika perampokan merajalela di kecamatan Dawuan. Rasus dilibatkan dalam gerilya menumpas perampok. Rasus berhasil membunuh rampok yang akan merampok rumah Kartareja di mana Srintil tinggal. Keberhasilan dan keberanian Rasus ini menginspirasi Sersan Slamet untuk mengusulkan Rasus menjadi seorang tentara. Di sisi lain, Rasus juga dapat perhatian lebih dan penghormatan warga Dukuh Paruk. Dalam waktu bersamaan Srintil juga berserah diri pada Rasus. Srintil rela meninggalkan dunia ronggeng demi Rasus. Srintil ingin menjadi seorang perempuan utuh yang melahirkan anak-anak Rasus. Tapi Rasus seorang laki-laki yang berpendirian teguh, prinsipnya kuat. Rasus memilih meninggalkan Srintil di
pagi buta untuk menjadi seorang tentara. Semua itu
tergambar dalam kutipan berikut ini: ”Soal nenekmu, jangan kau risaukan benar. Kami akan menjaganya baik-baik. Kami sungguh sadar dari dirinyalah lahir seorang cucu, seorang bocah bagus yang telah berhasil membunuh dua orang penjahat,” kata Kertareja sambil mengacungkan ibu jari kepadaku. ”Dan aku sanggup memberinya makan, karena aku sudah mempunyai padi sekarang,” tambahnya. (RDP: 104-105) Malam terakhir di Dukuh Paruk aku hampir gagal memejamkan mata hingga pagi hari. Sepanjang malam itu aku menghadapi ulah seorang perempuan yang sedang dituntut oleh nalurinya. Seorang perempuan yang ingin kuanggap tanpa sebutan apapun, baik sebutan ronggeng atau sebutan perempuan Dukuh Paruk. Srintil hanya ingin disebut sebagai seorang perempuan utuh. Dia sungguh-sungguh ingin melahirkan anakku dari rahimnya. Dia ingin aku tetap tinggal bersamanya di Dukuh Paruk, atau ikut bersamaku, pergi bergabung dengan kelompok Sersan Slamet. (RDP: 105)
110
111
Rasus adalah seorang cucu yang baik. Meskipun ia pernah meninggalkan neneknya sendirian di Dukuh Paruk dan tinggal di pasar Dawuan. Rasus meninggalkan Dukuh Paruk selama dua tahun dan kini kembali untuk menjenguk neneknya. Rasus terkejut sesampai di depan rumah melihat banyak orang berkumpul. Langkahnya dipercepat, perasaannya kembali seperti seorang bocah yang ingin segera menghambur ke pangkuan neneknya. Bentuk bakti cucu kepada seseorang nenek tergambar dalam kutipan berikut ini: “Nek, aku pulang!” “Oalah, Gusti Pangeran. Rasus cucuku wong bagus. Kau datang bukan untuk menangkap kami, bukan? Kau hendak menjenguk nenekmu yang sudah payah ini, bukan? Kau masih mengaku saudara kepada kami orang-orang Dukuh Paruk, bukan?” (RDP: 256 Tengah malam ketika bulan terbenam, hanya tinggal Rasus dan Sakarya yang masih terjaga. Tiba-tiba mata nenek itu terbeliak. Lalu terlihat ada sesuatu yang bergerak cepat dari arah dada dan berhenti dalam
tekak.
Rasus
merasakan
neneknya
sudah
berangkat.
Keberangkatan neneknya ke tempat asal-muasalnya. Rasus merasa dalam ketenangan sempurna. Rasus tidak menyesal menjenguk neneknya saat ajal sudah menunggu neneknya, Rasus akan benar-benar akan menyesal bila saat kematian neneknya, ia tidak berada di samping neneknya. Rasus adalah sosok yang tidak pendendam. Inti terbukti setelah selesai menguburkan neneknya, ia bermaksud mencari Srintil. Semua
111
112
anggota ronggeng telah dibebaskan dari tahanan karena kisruh politik. Hanya Srintil yang belum kembali. Dukuh Paruk tidak tahu dimana Srinthil berada. Maka semua warga Dukuh Paruk berharap Rasus mencarinya. Rasus merasa bertanggung jawab atas diri Srintil. Sakarya tidak salah ketika menitipkan nasib srintil kepada Rasus. Rasus tergagap ketika
mendengar
kenyataan
bahwa
Sakarya
sendiri
yang
menyampaikan ketegasan tanggung jawab moral Rasus atas nasib Dukuh Paruk, khususnya atas diri Srintil. Hal itu tergambar dalam kutipan berikut ini: “Bagaimana cucuku, sampean mau, kan?” “Yah, ya. Besok akan kucoba mencari tahu dimana Srintil kini berada dan bagaimana keadaanya.” Sakarya kembali mengusap air matanya. “Kemudian, cucuku, apakah sampean mau berusaha agar Srintil segera dibebaskan? Karena sampean tahu tak seorang Dukuh Paruk pun sebenarnya mengerti urusan yang menyebabkan geger itu.” “Akan kucoba juga, kek.” (RDP: 263) Kesediaan Rasus mencari Srintil adalah kesanggupan seorang anak Dukuh Paruk yang bertanggung jawab. Rasus merasa semua orang Dukuh Paruk adalah tanggung jawabnya karena ia merupakan satu-satunya anak yang menjadi tentara. Kesediaan Rasus mencari Srintil adalah menunjukkan bahwa Rasus berjiwa besar. Ia telah memaafkan Srintil dan Dukuh Paruk yang telah membiarkan Rasus dalam kekecewaan.
112
113
Rasus berhasil mencari Srintil. Setelah Srintil bebas dari tahanan pun Rasus juga tidak memberikan keputusan yang pasti tentang Srintil. Padahal semua berharap Rasus mau menikah dengan Srintil. Rasus bukannya pribadi yang tidak tegas. Justru Rasus adalah pribadi yang dewasa dan jelas dalam menentukan pilihan hidup. Ketika Sakum menanyakan perasaan terhadap Srintil, Rasus hanya tersenyum. Kutipan berikut ini adalah alasan mengapa Rasus tidak juga menikahi Srintil: Di hadapan dirinya sendiri Rasus hanya bisa tersenyum mengiyakan. Alangkah lembut jalan yang terbentang dalam jiwa sesudah hati berkata, ”Iya”. Ditelusurinya jalan lembut yang terhadang sebuah tembok loreng. Di sana tertulis sebuah kisah seorang sersan yang mempunyai kecintaan perempuan bekas tahanan. Sersan itu harus berhadapan dengan dua pilihan: mengawini kecintaannya dan melepas baju hijau atau lepaskan kecintaannya dan terus jadi tentara. Tidak hanya itu, masih ada tambahan. Ketika sersan memilih kawin dan rela keluar dari dinas, dia dikurung seminggu, ditempelengi dulu baru kemudian dilepas. Rasus tahu si sersan betul mengawini kecintaannya. Tetapi Rasus tahu pula perkawinan mereka harus dibayar dengan tatapan seribu mata, tatapan yang memaksa keduanya surut dalam kehidupan yang seakan-akan tanpa martabat. (RDP: 358) Ketika Rasus hendak pamit tugas sebagai tentara di luar Jawa, kepastian itu ditanyakan oleh Kartareja. Jawaban Rasus tegas dan pasti. Menggambarkan seorang laki-laki yang teguh pendirian. Hal itu tergambar dalam kutipan berikut ini: ”Kek, tadi malam Kang Sakum sudah bertanya demikian kepadaku. Aku tak bisa berkata apa-apa, sebab aku akan segera berangkat ke tempat yang jauh dan entah kapan kembali. Maka begini saja, Kek. Bila ada lelaki baik-baik yang berniat mengambil Srintil, maka bantulah keduanya. Tetapi bila ada lelaki yang datang hanya untuk bermain-main, tolong katakan
113
114
kepada Srintil sekarang dia tidak berperilaku seperti dahulu. Aku yang melarangnya, Kek.” (RDP: 360) Setelah kembali bertugas dari luar Jawa, Rasus terkejut melihat keadaan Srintil. Srintil sebenarnya telah menata hatinya ketika Rasus tidak kunjung memberi kepastian akan harapannya. Jiwanya terganggu karena perilaku Bajus, seorang pemuda yang memberikan harapan pada Srintil tetapi telah melukai perasaannya. Merasa bertanggung jawab pada srintil, Rasus segera membawa Srintil berobat ke rumah sakit. Hal ini membuktikan bahwa Rasus merupakan sosok yang berjiwa besar dan penuh tanggung jawab. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Rasus adalah seorang pribadi yang perhatian dan melindungi terhadap perempuan. Ia begitu menghargai Srintil karena dalam sosok Srintil ia menemukan visualisasi emaknya. Rasus juga sayang kepada neneknya. Walaupun ia pernah meninggalkannya sementara waktu untuk tinggal di pasar Dawuan dan harus meninggalkannya demi tugas menjadi seorang tentara. Rasus juga merupakan sosok yang jujur dan pekerja keras. Ia memiliki prinsip yang kuat dan teguh pendirian. Rasus juga sosok yang dewasa, bukan tipe pendendam, dan penuh tanggung jawab. Berdasarkan karakter dan sifat tokoh, seorang Rasus dapat dikategorikan sebagai tokoh pratagonis. Rasus juga merupakan tokoh yang berkembang. Watak tokoh Rasus mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perubahan peristiwa dan
114
115
plot yang dikisahkan. Awalnya Rasus sangat dendam dengan Dukuh Paruk. Seiring dengan keberhasilan hidupnya sifat dendam Rasus terkikis dan berubah menjadi bentuk pengabdian. 3) Sakarya Sakarya adalah kamitua Dukuh Paruk. Sakarya adalah kakek Srintil. Ia merawat Srintil yang yatim piatu sejak bencana tempe bongkrek melanda Dukuh Paruh. Sakarya adalah pribadi yang bertanggung jawab terhadap Dukuh Paruk. Ketika terjadi malapetaka di Dukuh Paruk ia menunjukkan tanggung jawab dan kepeduliannya yang besar. Karakter Sakarya di atas dapat dicermati dalam kutipan berikut ini: Malam hari, Sakarya bersama istrinya menunggui mayat anak mereka: Santayib suami-isteri. Srintil sering menangis. Bayi itu belum merasakan sedih. Srintil menangis karena air susu tak lagi diperolehnya. Oleh Nyai Sakarya, Srintil diberi hidup dengan air tajin. Walaupun sedang menunggu mayat anak dan menantunya, tengan malam Sakarya keluar menuju makam Ki Secamenggala. Laki-laki itu menangis seorang diri di sana. Dalam kesedihannya yang amat sangat, Sakarya keluar menuju makam Ki Secamenggala. Laki-laki itu menangis seorang diri di sana. Dalam kesedihannya yang amat sangat, Sakarya mengadukan malapetaka yang terjadi kepada moyang orang Dukuh Paruk. Sakarya tidak lupa, dirinya menjadi kamitua di pedukuhan itu. Keluar dari pekuburan Sakarya berkeliling pedukuhan. Dijenguknya setiap rumah. Setiap kali membuka pintu Sakarya mendapat kesedihan. Bahkan tidak jarang Sakarya mendapat perlakuan yang tidak enak. Seolah-olah dia harus ikut bertanggung jawab atas dosa anaknya, Santayib. Meskipun demikian tak sebuah rumah dilewati oleh Sakarya. (RDP: 30) Sebagai kamitua, Sakarya ingin mengembalikan citra Dukuh Paruk. Dalam pikirannya Dukuh Paruk hanya lengkap bila di sana ada
115
116
keramat Ki Secamenggala, ada seloroh cabul, ada sumpah serapah, dan ada ronggeng bersama perangkat calungnya. Hal ini sejalan dengan apa yang dilihatnya pada suatu sore ketika Srintil menari ronggeng di bawah pohon nangka. Sedikit pun Sakarya tidak ragu, Srintil telah kerasukan indang ronggeng. Sakarya yakin cucunya akan mengembalikan citra sebenarnya pedukuhan. Keyakinan Sakarya dapat dicermati dalam kutipan berikut ini: “Sakarya tersenyum. Sudah lama pemangku keturunan Ki Secamenggala itu merasakan hambarnya Dukuh Paruk karena tidak terlahirnya seorang ronggeng di sana. “Dukuh Paruk tanpa ronggeng bukanlah Dukuh Paruk. Srintil, cucuku sendiri, akan mengembalikan citra sebenarnya pedukuhan ini,“ kata Sakarya kepada dirinya sendiri. Sakarya percaya, arwah Ki Secamenggala akan terbahak di kuburnya bila kelak tahu ada ronggeng di Dukuh Paruk. (RDP: 15) Sakarya menyerahkan Srintil pada Kartareja seorang dukun ronggeng. Sakarya tahu akibat setelah Srintil menjadi ronggeng, ia akan menjadi pelampiasan nafsu kaum laki-laki. Sakarya tahu konsekuensi itu. Tapi, ia bertekad mengembalikan citra pedukuhannya. Sikap teguh pendirian yang dimiliki Sakarya ini bukti tanggung jawabnya sebagai kamitua. Keinginan mendengar kembali calung mengiringi ronggeng ternyata harapan banyak orang di Dukuh Paruk. Hal ini tergambar dalam kutipan berikut ini: “Keesokan harinya Sakarya menemui Kartareja. Laki-laki yang hampir sebaya ini secara turun temurun menjadi dukun ronggeng di Dukuh Paruk. Pagi itu Kartareja mendapat kabar gembira. Dia pun sudah bertahun-tahun menunggu seorang calon
116
117
ronggeng untuk diasuhnya. Belasan tahun sudah perangkat calungnya tersimpan di para-para di atas dapur. Dengan adanya laporan Sakarya tentang Srintil, dukun ronggeng itu berharap bunyi calung akan kembali terdengar semarak di Dukuh Paruk.” (RDP: 16) Sakarya adalah seorang pribadi yang cepat membaca sasmita alam. Ia akan begitu tanggap dengan kejadian yang terjadi di sekelilinggnya. Dengan tanggung jawabnya sebagai kamitua ia cari keselamatan untuk Dukuh Paruk dan warganya. Sakarya juga merupakan pribadi yang mengerti tentang dirinya. Di usianya yang sudah di atas tujuh puluh tahun, ia menyadari bahwa dialah laki-laki yang paling lanjut. Dengan keadaan demikian ia sangat menyadari bahwa kematian semakin dekat dengan dirinya. Hal tersebut di atas tergambar dalam kutipan berikut ini: Sasmita buruk lagi, pikir Sakarya. Apabila sudah yakin demikian maka hanya satu hal yang harus dilakukan oleh kamitua Dukuh Paruk itu; mengetuk pintuk makam Eyang Secamenggala di puncak bukit, kemudian memasang sesaji dan membakar kemenyan. Dia bersiap-siap. Istrinya disuruh mencari kembang di halaman rumah Kartareja. Dia sendiri masuk ke kamar mengambil seikat upet. Bila sekali dibakar ujungnya, sayatan kelopak manggar ini akan terus membara sampai habis. (RDP: 159) Tiba-tiba Sakarya tersenyum. Di tengah keheningan hatinya mendadak muncul kesadaran yang dalam bahwa usianya sudah di atas tujuh puluh tahun. Di Dukuh Paruk dialah laki-laki yang paling lanjut. Apabila pertanda buruk yang dirasakannya adalah peringatan akan datangnya ajal, maka pantaslah adanya. Perihal kematian diri, bukan hanya sekali-dua Sakarya merenungkannya. Kadang malah merindukannya. Beberapa tahun yang lalu Sakarya memesan tempat di pekuburan Dukuh Paruk. Dibuatnya pemakaman palsu dengan tonggak nisan. Bila ajal tiba maka orang akan menanam tubuh Sakarya di tempat itu. (RDP: 159)
117
118
Sakarya merupakan sosok yang bijaksana dan penuh kehatihatian. Ketika orang-orang larut dalam hiruk pikuk dalam persiapan perayaan tujuh belasan, tidak demikian dengan Sakarya. Ia tetap eling lan waspada. Ia berpegang pada filsafatnya yang sederhana. Menurutnya segala sesuatu hadirnya berpasang-pasangan. Ada kegembiraan pasangannya pastilah kesusahan. Kenyataan memang bahwa sesuatu tidak pernah terpisah jauh dari pasangannya. Sakarya juga tidak ikut berhura-hura. Padahal malam peringatan tujuh belasan itu
merupakan malam kembalinya Srinthil pentas
meronggeng. Persiapan Sakarya lebih ditekankan pada persiapan kejiwaan. Memasang sesaji di makam Ki Secamenggala, terjaga di malam hari, dan mengurangi makan-minum. Sifat bijak dan penuh kehati-hatian Sakarya terlihat dalam kutipan berikut ini: Boleh jadi hanya Sakarya yang tidak sepenuhnya larut dalam kegembiraan. Sikapnya yang hati-hati berasal dari filsafatnya yang sederhana. Bahwa segala sesuatu berpasangpasangan adanya, tak terkecuali sesuatu yang bernama kegembiraan. Pasangannya pastilah kesusahan. Sepanjang lintasan hidupnya yang panjang, Sakarya sering menemukan kenyataan bahwa segala sesuatu tak pernah berpisah jauh dari pasangannya. Orang selalu memilih pihak yang menguntungkan dan menjauhi pihak yang merugikan. Antara keduanya harus tetap terjaga jarak. Dan dalam pikiran Sakarya menjaga jarak itu berarti harus selalu bersikap hati-hati, eling. Kadang juga diartikannya sebagai keseimbangan dan tidak berlebih-lebihan. (RDP: 180) Tetapi sesuatu itu tak bisa diraba oleh daya pikir siapa pun di Dukuh Paruk, tidak juga Sakarya. Padahal sepanjang hidupnya yang tidak pernah berhenti mengikuti irama dan keberimbangan alam, Sakarya telah memperoleh cukup kearifan. Bahwa suatu keluarbiasaan harus dibayar dengan kerusakan keberimbangan. ”Jangan tertawa terlalu terbahak-bahak, sebab nanti akan segera
118
119
menyusul tangis sedih,” demikian sering dikatakan Sakarya kepada anak-cucunya di Dukuh Paruk. (RDP: 184) Sakarya seorang kamitua yang bisa intropeksi. Ketika ontranontran politik melanda Dukuh Paruk, ia ikut merasa bersalah. Karena menurut anggapan banyak orang Dukuh Paruk ikut berperan dalam keonaran sejarah. Walaupun yang sebenarnya terjadi adalah Dukuh Paruk yang miskin dan bodoh telah terjebak dalam situasi sejarah yang tidak diduga dan diinginkan. Sakarya merasa kalah dalam hidupnya. Sebagai kamitua ia tetap tidak bisa membawa kondisi Dukuh Paruk menjadi lebih baik. Menurutnya, Dukuh Paruk semakin kehilangan banyak ciri utamanya. Tak ada lagi suara calung dan tembang ronggeng. Makam Ki Secamenggala yang secara turun-temurun menjadi anutan kehidupan batin orang Dukuh Paruk kelihatan tak terawat. Akhirnya, Sakarya meninggal dalam perasaan kalah. Kematian Sakarya membuat Dukuh Paruk makin lusuh dan ringkih. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Sakarya adalah pribadi yang penuh tanggung jawab. Ia juga pandai membaca sasmita alam dan intropeksi. Sakarya juga seorang pribadi yang bijaksana dan penuh kehati-hatian. Berdasarkan sifatnya Sakarya dikategorikan sebagai tokoh protagonis.
119
120
4) Nyai Sakarya Nyai Sakarya adalah nenek Srintil. Ia yang merawat Srintil sejak bayi karena ayah dan ibu Srintil meninggal keracunan tempe bongkrek. Tempe bongkrek penyebab kematian beberapa warga Dukuh Paruk dapat dikatakan sebagai kecerobohan ayah dan ibu Srintil ketika membuatnya. Sebenarnya Santayib (ayah Srintil) dan isterinya waktu itu tidak keracunan tempe
bongkrek. Karena mereka ingin
membuktikan bahwa tempe itu tidak beracun Santayib dan isterinya ikut memakannya. Jadilah Srintil seorang anak yatim piatu. Srintil baru berusia lima bulan ketika terjadi malapetaka tempe bongkrek. Ia tidak mengenal wajah dan suara ibunya. Dalam hidup Srintil perempuan yang ia kenal seperti seorang ibu adalah neneknya. Nenek Srinthil tentunya tidak muda lagi ketika Srintil telah berprofesi sebagai Ronggeng. Nenek Srintil (Nyai Sakarya) sangat sabar dan sayang pada Srintil. Gambaran Nyai Sakarya dapat dicermati dalam kutipan berikut ini: Seorang nenek yang terbungkuk-bungkuk berjalan merangkul cucunya. Nyai Sakarya maupun Srintil membisu. Namun dalam hati masing-masing sudah tumbuh kesepakatan: Mereka berdua hendak pulang ke Dukuh Paruk. Pedukuhan kecil yang terasing di tengah sawah itu adalah ibu mereka. Haribaan dan pelukannya teduh dan mesra. (RDP: 134) Nyai Sakarya benar-benar sayang pada Srintil. Ketika Rasus pulang dari bertugas Nyai Sakarya menanyakan perasaan Rasus pada Srintil. Suatu hal yang sebenarnya dianggap tabu oleh perempuan
120
121
Dukuh Paruk dilakukannya karena ia ingin membuktikan sayangnya pada cucunya. Penuturan Nyai Sakarya pada Rasus dalam kutipan berikut ini juga menandakan pribadi yang rendah hati: ”Eh cucuku wong bagus dan wong ayu. Aku hanya mengutarakan perasaan seorang nenek tua. Rasa, cucuku. Memang, rasanya kalian sudah diperjodohkan oleh Dukuh Paruk sendiri. Namun hendaknya kalian jangan salah mengerti. Sebab dalam kehidupan ini banyak orang yang tidak menyukai pandum. (RDP: 350) Nyai Sakarya seorang nenek yang tabah. Di usianya yang senja ia menemui kenyataan cucu kesayangannya hilang ingatan. Sebuah kenyataan pahit karena waktu itu suaminya Sakarya telah berpulang ke Yang Maha Kuasa. Gambaran perempuan yang tabah terlihat dalam kutipan berikut ini: Lepas tengan malam hanya beberapa orang masih tinggal: aku, suami isteri Kertareja, serta Nyai Sakarya. Tetapi Nyai Sakarya disuruh tidur. Pasti dia sudah beberapa malam begadang menjaga cucunya dan konon hanya Tampi serta Nyai Kertareja yang setia membantunya. Di kamar depan Srinthil masih bertembang. Kadang diselingi dengan cakap sendiri, grenengan. Kadang tawanya mendadak ngikik dan panjang. Aku masuk ke kamarnya, ingin mencoba berkomunikasi. Namun lagi-lagi aku menghadapi kesulitan pada diriku sendiri. Berat bukan main melihat kenyataan yang ada di depan mata. (RDP: 397) Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Nyai Sakarya adalah nenek yang rendah hati, tabah, sabar, dan sangat sayang kepada cucunya. Penuturan watak tokoh Nyai Sakarya dilakukan secara dramatik oleh penulis novel. Peneliti menyimpulkan watak tokoh Nyai
121
122
Sakarya berdasarkan dialog antarpelaku, reaksi tokoh lain, dan dari penggambaran fisik tokoh Nyai Sakarya. 5) Kartareja Kartareja adalah dukun ronggeng di Dukuh Paruk. Sebelum seseorang menjadi seorang ronggeng, ia harus melalui berbagai tahapan. Tidak hanya harus pandai menari tapi sisi yang lain juga perlu dipersiapkan. Kartareja dan isterinya sangat ahli di bidang ini. Sebagai dukun ronggeng mereka berdua paling tahu seluk beluk ronggeng. Gambaran keahlian Kartareja dapat dicermati dalam kutipan berikut ini: ”Ya. Dan tentu sampean perlu memperhalus tarian Srintil. Cucuku tampak belum pintar melempar sampur. Nah, ada lagi yang penting masalah ‟rangkap‟ tentu saja. Itu urusannmu, bukan?” Kartareja terkekeh. Dia merasa tidak perlu berkata apaapa. ”Rangkap” yang dimaksud oleh Sakarya tentulah soal guna-guna, pekasih, susuk, dan tetek bengek lainnya yang akan membuat seorang ronggeng laris. Kartareja dan isterinya sangat ahli dalam urusan ini. (RDP: 16) Berbagai ritual untuk menjadi ronggeng dilaksanakan. Dari upacara pemandian yang dilaksanakan di pekuburan Ki Secamenggala sampai upacara ritual bukak-klambu. Bukak-klambu adalah semacam sayembara, terbuka bagi laki-laki mana pun, dan yang disayembarakan adalah
keperawanan
calon
ronggeng.
Laki-laki
yang
dapat
menyerahkan sejumlah uang yang ditentukan olah dukun ronggeng, berhak menikmati virginitas itu.
122
123
Kartareja sebagai dukun ronggeng jauh-jauh hari sudah menentukan malam bukak-klambu tesebut. Kartareja memasang syarat sekeping uang ringgit emas. Kartareja merasa layak memasang harga sekeping uang ringgit emas untuk acara bukak-klambu karena di Dukuh Paruk belum pernah ada ronggeng secantik Srintil. Harga itu sudah telalu pantas. Beberapa orang merasa keberatan dengan syarat yang diminta oleh Kartareja. Menurutnya terlalu berat harga yang ditetapkan untuk mengikuti sayembara bukak-klambu bagi orang Dukuh Paruk. Jangankan ringgit emas, sebuah rupiah perak pun tak dimilki oleh lakilaki Dukuh Paruk. Dialog di bawah ini menggambarkan pribadi yang sombong yang dimiliki oleh Kartareja: ”E ... Kenapa? Terlalu mahal? Ingat baik-baik. Pernahkah ada ronggeng secantik Srintil?” ”Itu benar. Srintil memang ayu dan kenes. Tetapi siapa yang memiliki sebuah ringgit emas di Dukuh Paruk?” ”Oh, saya tak pernah bermimpi seorang laki-laki Dukuh Paruk akan memenangkan sayembara. Jangankan ringgit emas, sebuah rupiah perak pun tak dimiliki oleh laki-laki Dukuh Paruk. Saya tidak berharap mereka mengikuti sayembara.” (RDP: 52) Kesombongan Kartareja juga tergambar ketika Dower datang membawa kerbau untuk melengkapi uang panjarnya. Ia sangat tidak menghargai kerbau betina yang dibawa Dower. Padahal dua uang perak kalau dijumlah dengan harga kerbau harganya sebanding dengan sekeping ringgit emas. Bahkan bisa lebih. Kesombongan Kartareja tergambar dalam kutipan berikut ini:
123
124
”Seekor kerbau betina yang besar. Binatang itu paling tidak bernilai sama dengan sebuah ringgit emas,” kata Dower menerangkan. Namun Kartareja menyambutnya dengan senyum kecut, bahkan menyepelekan. Dower menjadi gelisah dalam duduknya. ”Tetapi ringgit emas bisa masuk saku celana. Bagus, tidak kotor, dan aku takkan disusahkannya dengan urusan kandang, rumput, serta bau busuk,” ujar Kartareja sambil membuang muka. (RDP: 70) Sebenarnya Kartareja mendapat keraguan setelah menyebarkan berita bukak-klambu. Karena mendekati pelaksanaan malam bukakklambu pada Sabtu malam belum juga ada yang datang. Sampai akhirnya datanglah Dower menyatakan niatnya. Sikap licik Kartareja tampak ketika Dower baru bisa menyerahkan dua buah perak sebagai syarat malam bukak-klambu. Uang itu diterima oleh Kartareja hanya sebagai uang panjar. Kelicikan Kartareja terlihat dalam kutipan berikut ini: ”Jadi begitulah maksudmu, Nak?” ”Ya, Kek.” ”Baiklah. Uang panjarmu bisa kuterima. Tetapi besok malam kau harus datang membawa sebuah ringgit emas. Kalau tidak, apa boleh buat. Kau kalah dan uang panjarmu hilang. Bagaimana?” ”Kalau saya gagal memperoleh sebuah ringgit emas maka uang panjar saya hilng?” tanya Dower. ”Ya!” jawab Kartareja singkat. Rona kelicikan mewarnai wajahnya. Dower termangu, tampak berpikir keras. (RDP: 58) Sifat licik Kartareja juga terlihat ketika tiba malam bukak kelambu. Selain Dower yang pada waktu itu datang membawa seekor kerbau untuk melengkapi panjar hari sebelumnya, datang juga Sulam yang membawa sekeping ringgit emas. Kartareja mempunyai cara licik
124
125
untuk mendapatkan uang Dower dan Sulam dalam acara malam bukakklambu. Kartareja memberi keduanya minuman ciu, Sulam mulai mengigau karena minum terlalu banyak. Sebaliknya Dower sama sekali tidak mabuk. Sulam merasakan beribu bintang jatuh dari langit. Telinganya
mendengar
tembang
asmara
dan
Nyai
Kartareja
dianggapnya Srintil. Sulam mengajak Nyai Kartareja yang ia anggap sebagai Srintil untuk bertayub. Kutipan berikut menggambarkan kelicikan Kartareja: ”Oleh suaminya Nyai Kartareja disuruh melayani Sulam yang sedang hilang ingatan. Soal bertayub tak usah ditanyakan kepada istri dukun ronggeng itu. Dia sangat berpengalaman. Jadilah, teringat masa mudanya, maka Nyai Kartareja melayani Sulam dengan sepenuh hati. Dia membiarkan dirinya dibawa berjoget, bahkan diciumi oleh Sulam.” (RDP: 74-75) Nyai Kartareja menuruti kemauan suaminya untuk melayani Sulam. Keduanya sudah membayangkan sebuah ringgit emas, dua rupiah perak, dan seekor kerbau. Nyai Kartareja melayani sulam bertayub, renjana yang menguasai Sulam tidak berlangsung lama karena kamudian sulam roboh dalam pelukan Nyai Kartareja. Dan Nyai Kartareja segera melapor pada suaminya kalau tugas melayani sulam sudah selesai. Akhirnya, semua rencana Kartareja berjalan lancar dan sukses. Sikap Kartareja di atas juga bisa dikategorikan cerdik. Sikap cerdik Kartareja juga terlihat ketika perampokan melanda Dawuan dan
125
126
sekitarnya, termasuk diantaranya Dukuh Paruk. Seorang Kartareja dengan cerdik mengelabuhi perampok tentang perhiasan yang dimiliki Srintil. Hal itu tergambar dalam kutipan berikut ini: Ketika aku dan Sersan Slamet masuk, Kartareja sedang menggigil di depan Kopral Pujo. Istrinya duduk termangu. Srintil terbelalak melihat aku membawa bedil, sehingga dia ragu-ragu mendekat. Dari keterangan Kartareja diketahui perampok hanya berhasil membawa perhiasan yang pada saat itu dikenakan Srintil: sepasang subang, dua cincin, dan seuntai kalung. Kartareja menyuruh Srinthil tetap mengenakan perhiasan itu untuk melindungi perhiasan lain yang lebih mahal dari jarahan para perampok. (RDP: 102) Kertareja dan isterinya tidaklah keliru kalau dikatakan sebagai mucikari. Status dukun ronggeng dan pengetahuan tentang ronggeng dimanfaatkan sebagai dasar mata pencaharian. Dari ongkos pentas mereka mengambil bagian yang kadang-kadang lebih besar daripada yang diterima oleh Srintil. Seorang laki-laki yang mabuk kepayang terhadap Srinthil dan ingin tidur bersamanya barang satu dua malam harus melalui perantaraan isterinya. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa watak Kartareja adalah cerdik, licik, dan sombong. Sifat sombongnya terlihat ketika ia dipercaya menjadi seorang dukun ronggeng. Ia juga seorang yang cerdik dalam menjalankan tugasnya. Sebagai dukun ronggeng ia bersama isterinya memanfaatkan Srintil untuk mendapatkan uang dan materi yang lain.
126
127
6) Nyai Kartareja Nyai Kartareja bersama suaminya menjadi dukun ronggeng di Dukuh Paruk. Waktu muda Nyai Kartareja pernah juga jadi ronggeng. Tapi dulu Nyai Kartareja ketika jadi ronggeng tidak laku, istilahnya menjadi ronggeng bobor. Dengan latar belakang yang demikian, tidak heran kalau Nyai Kartareja sangat memahami dunia ronggeng. Ketika Srintil diketahui mendapat indang ronggeng, Sakarya (kakek Srintil) menyerahkan Srintil kepada Kartareja dan Nyai Kartareja. Kartareja bertugas memperhalus tarian Srintil. Sedangkan Nyai Kartareja bertugas menangani Srintil tentang bagaimana Srintil jadi ronggeng dari sisi keperempuan. Nyai Kartareja tidak hanya mendandani Srintil, ia juga meniupkan mantra pekasih, bahkan memasang susuk emas pada Srintil. Kutipan yang menggambarkan hal di atas adalah sebagai berikut: Satu hal disembunyikan oleh Nyai Kartareja terhadap siapa pun. Itu, ketika dia meniupkan mantra pekasih ke ubunubun Srintil. Mantra yang di Dukuh Paruk dipercaya akan membuat siapa saja tampak lebih cantik dari sebenarnya; uluk-uluk perkutut manggung teka saka ngendi, teka saka tanah sabrang pakanmu apa, pakanku madu tawon manis madu tawon ora manis kaya putuku, Srinthil. Konon bukan hanya itu. Beberapa susuk emas dipasang oleh Nyai Sakarya di tubuh Srintil. (RDP: 18-19)
127
128
Ada dugaan, Nyai Kartareja tidak hanya memberi mantra pekasih pada dirinya. Nyai Kartareja telah memijit hingga mati indung telur Srintil sehingga Srintil tidak bisa hamil. Hal ini sangat memungkinkan karena selain menjadi ronggeng, Srintil juga harus melayani beberapa laki-laki yang memintanya. Sikap ini dinilai oleh Srintil begitu jahat karena hal itu dilakukan pada saat Srintil masih berusia belia. Pada waktu itu Srintil belum mengerti arti sebuah kehamilan dan pentingnya kehadiran seorang anak. Kutipan di bawah ini merupakan dugaan terhadap sikap jahat Nyai Kartareja pada dirinya: Aku menduga keras Srintil mulai dihantui kesadaran bahwa Nyai Kartareja telah memijit hingga mati indung telurnya, peranakannya. Suami istri dukun ronggeng itu merasa perlu berbuat demikian sebab hukum Dukuh Paruk mengatakan karier seorang ronggeng terhenti sejak kehamilannya yang pertama. Kukira Srintil mulai sdar kemandulan adalah hantu mengerikan, yang akan menjelang pada hari tua. Atau Srintil telah mendengar riwayat para ronggeng yang tak pernah mencapai hari tua karena keburu dimakan raja singa atau penyakit kotor lainnya. (RDP: 90)
Nyai Kartareja adalah seorang nenek yang pandai mengambil hati orang lain. Seorang nenek perayu demi sebuah harta. Dibalik ia mau mengurus Srintil demi penampilan Srinthil menjadi ronggeng, sebenarnya Nyai Kartareja mencari penghasilan dari hal tersebut. Dia merayu bukan hanya pada Srintil tetapi juga pada semua laki-laki yang menghendaki Srintil. Hal itu tergambar dalam kutipan berikut ini:
128
129
”Oh, kalian bocah bagus,” kata Nyai Kartareja. ”Jangan bertengkar di sini. Aku khawatir tetangga nanti datang karena mendengar keributan. Ayo, bocah bagus, duduklah. Kalau kalian terus berselisih, pasti Srintil merasa takut. Bagaimana bila nanti dia tidak bersedia menjalani bukak klambu?” Oleh caranya yang khas gaya seorang mucikari, Nyai Kartareja dapat menenangkan Sulam dan Dower. Keduanya duduk kembali, masing-masing dengan wajah kecut. Hening. Kartareja duduk temangu. (RDP: 73) ”Kalau aku jadi kamu, Srin, aku takkan menyia-nyiakan kesempatan ini. Membonceng motor ubluk bersama pak Marsusi ke kota. Pelesir ke mana-mana, nonton bioskop misalnya. Kau belum pernah melihat tontonan itu, bukan? Kepada Pak Marsusi kau bisa minta dibelikan barang-barang. Nah, bagaimana kalau kau minta kalung seperti yang dipakai istri Lurah Pecikalan?” ”Sudahlah, Nyai. Pulanglah dulu. Aku akan menyusul kemudian. Aku mau mandi dulu.” ”Bagus, wong ayu. Tetapi betul, ya. Kamu kami tunggu.” (RDP: 119) ”Dengar, Pak. Srintil masih segar seperti kecambah,” sambung Nyai Kartareja sambil menyentuh dada Marsusi dengan lembut. ”Aku tidak mencari perempuan lumutan,” kata Marsusi. Nada bicaranya jatuh pada tempo yang rendah. ”Nah! Kecambah itu kami sediakan buat sampean. Soalnya kini terletak pada kesabaran sampean itulah, karena Srintil sudah beberapa hari merajuk.” (RDP: 121) Nyai Kartareja seorang yang serakah dan licik. Hal ini terlihat ketika pada malam bukak klambu ada dua pemuda yang datang ke rumahnya. Sulam membawa sebuah ringgit emas dan Dower membawa kerbau untuk melengkapi dua rupiah perak yang telah dibawanya. Nyai Kartareja ingin memiliki ringgit emas sekaligus
129
130
semua yang dibawa Dower. Untuk itu semua, Nyai Kartareja menyusun siasat licik bersama suaminya. Karakter licik Nyai Kartareja juga dilakukan pada Marsusi. Nyai Kartareja bilang pada Marsusi bahwa Srintil menginginkan kalung seperti milik isteri Lurah Pecikalan. Marsusi harus menurutinya biar Srintil mau melayaninya. Padahal Srintil tidak punya keinginan demikian. Semua watak licik Nyai Kartareja tergambar dalam kutipan berikut ini: ”Kau telah memperoleh hadiah sayembara bukak klambu. Dua rupiah perak serta kerbau itu sah menjadi milik kami. Engkau puas, bukan?” Dower hanya tersenyum. Tercapai sudah keinginannya memperoleh sebutan sebagai pemuda yang mewisuda ronggeng Srintil. Virgin atau tidak virgin ronggeng yang ditidurinya, menjadi naif Dower. ”Nek aku mau pulang sekarang,” katanya kemudian. ”Pulang? Nanti dulu!” jawab Nyai Kartareja. ”Bila nanti Sulam terjaga dan tidak melihatmu lagi di sini, dia akan merasa curiga. Tahu?” ”Ya. Oh, rupanya kalian pasangan tua bangka yang licik dan tengik. Baiklah, aku mau tidur di sini. Aku pun telah lelah dan ngantuk.” (RDP: 76) ”Inilah susahnya momong seorang ronggeng cantik tetapi masih kekanak-kanakan. Bayangkan, Pak. Srintil sedang menuntut kalung seperti yang dipakai oleh istri Lurah Pecikalan, sebuah rantai eman seberat seratus gram dengan bandul berlian. Seorang priyayi seperti sampean, kalau mau, tentu bisa memenuhi keinginan Srintil itu. Nah, bagaimanakah dengan kami yang melarat ini. Oh, Srintil. Mentang-mentang cantik mudah saja dia memberi beban berat kepada kami.” (RDP: 122) Nyai Kertareja juga seorang nenek yang suka menipu. Ia menipu tidak hanya pada Dower dan Sulam, bahkan Srintil. Kalau memang
130
131
benar upacara bukak klambu itu benar-benar sebagi ritual seorang ronggeng tentunya hanya satu lelaki yang harus masuk kelambu malam itu. Ternyata untuk mendapatkan materi yang lebih, Nyai Kartareja dan suaminya menyusun siasat agar mendapat semuanya. Gambaran Nyai Kartareja seorang penipu bisa dicermati dalam kutipan berikut ini: ”Oh, bocah bagus. Engkau sudah bangun?” tanya Nyai Kartareja semanis seorang ibu. ”Jam berapa sekarang, Nek?” kata Sulam sambil menggosok mata dengan punggung tangan. ”Ah, masih sore,” tipu perempuan itu pula. Ketika Sulam sadar betul apa tujuannya datang ke Dukuh Paruk, dia berkata sambil bangkit berdiri, ”Jadi bagaimana ini. Bagaimana urusan tadi?” ”Oh, tenanglah, bocah bagus. Lihat, anak Pecikalan itu masih tertidur nyenyak. Engkau jadi pemenang. Srintil menunggumu sekarang.” (RDP: 78) Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Nyai Kartareja adalah seorang nenek perayu (pandai mengambil hati orang lain). Ia seorang nenek yang suka menipu, serakah, dan licik. Tokoh Nyai Kartareja dikategorikan sebagai tokoh antagonis dalam novel ini. Kategori ini berdasarkan sifat atau karakter yang dimiliki oleh Nyai Kartareja. 7) Sakum Sakum seorang penabuh calung. Calung adalah salah satu alat musik yang ditabuh dalam pementasan ronggeng. Orang Dukuh Paruk misalnya percaya penuh bahwa calung adalah perkakas yang tiada taranya untuk menampilkan irama denyut jantung yang meriah dan hangat dalam rangsangan berahi. Kalau orang ingin bertanya di
131
132
manakah
letak
kekuatan
musik
calung,
jawabnya:
yakni
keserdehanaannya. Calung yang sempurna hanya dihasilkan dari bambu hitam yang betul-betul kering. Tetapi orang tidak boleh menjemurnya, apalagi memanggangnya di atas api. Bambu tidak boleh terluka sebelum ditebang, baik luka oleh manusia atau luka oleh binatang mengerat atau patah ujungnya selagi masih muda. Dia juga harus lurus dan langsing. Bambu yang tebal karena terlalu gemuk tidak baik untuk caluk. Bambu calung adalah kesempurnaan. Bila pembuatnya tertib akan syaratnya akan mendapatkan calung yang sebenar-benarnya. Sebenarnya
apa
hubungannya
Sakum
dengan
calung?
Jawabannya adalah dua hal yang berbeda satu senyawa. Sebuah pertunjukkan ronggeng menjadi sangat menarik bila calung yang menabuh adalah Sakum. Sakum seorang yang buta bisa memainkan calung dengan begitu sempurna. Tidak hanya itu, suara spontan Sakum ketika meningkahi bunyi calung menimbulkan gairah bagi mereka yang mendengarnya. Gambaran menariknya Sakum ketika memainkan calung terlihat dalam kutipan berikut ini: Kepada tukang gendang, Kartareja memberi isyarat. Detik berikutnya bergemalah irama calung yang dikembari tepuk tangan hampir semua warga Dukuh Paruk. Sakum mulai bertingkah. Dengan lenggak-lenggok jenaka ia memainkan calungnya. Satu-dua seruan cabul mulai meluncur dari mulutnya. Setiap kali berseru, Sakum mendapat tepuk tangan yang riuh. (RDP: 19) Selama menari wajah Srintil dingin. Pesonanya mencekam setiap penonton. Banyak orang terharu dan kagum melihat
132
133
bagaimana Srintil melempar sampur. Bahkan Srintil mampu menjentikkan jari-jari tangan, sebuah gerakan yang paling sulit dilakukan oleh seorang ronggeng. Penampilan Srintil masih dibumbui dengan ulah Sakum lestari kocak dan cabul. Suara ”cess” tak pernah luput pada saat Srintil menggoyang pinggul. (RDP: 20) Sakum adalah pribadi yang sederhana. Miskin. Sakum harus menghidupi seorang isteri dan empat orang anak. Bila tidak meronggeng Sakum tidak mendapatkan penghasilan. Sakum membuat anyaman kukusan setiap hari untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Kutipan berikut ini menggambarkan kehidupan Sakum: Terasa benar tembang sinom itu keluar dari dasar hati Sakum yang sedang papa karena telah lama tidak bekerja mengiringi Srintil dalam pentas. Sakum, yang mesti buta tetapi harus memberi makan seorang isteri dan empat orang anak. Makin lama Srintil makin merasa digugat oleh Sakum dengan caranya yang halus; mengapa dia masih menolak naik pentas dengan akibat perut Sakum anak-beranak menjadi lapar. (RDP: 156) Sakum kelihatan tidak terusik oleh hiruk pikuk anakanaknya. Jemarinya terus bekerja, menganyam, menyambung, atau memotong serpuh bambu yang kepanjangan. ”bila aku masih mendengar suara anakku, itu pertanda baik. Berarti mereka masih hidup.” Ini senda gurau Sakum yang bukan sekali-dua diucapkan. (RDP : 163) Sakum tidak hanya mengandalkan indra pendengarannya, terkadang naluri dan perasaannya lebih dipercaya. Walaupun mata Sakum buta tetapi dia bisa membuat anyaman kukusan dengan baik. Ia juga piawai dalam menabuh calung. Naluri Sakum bisa mencukupi kebutuhan keluarganya.
133
134
Sakum kecewa dengan Srintil karena tidak mau meronggeng lagi. Sakum tipe teman yang mau mendengar keluh kesah orang lain. Ia dengan sabar mendengarkan keluh kesah Srintil. Sebagai teman baik, dengan nalurinya yang tajam Sakum memberikan saran bijak pada Srintil. Srintil yang awalnya bersikukuh tidak mau meronggeng lagi akhirnya luluh juga. Walaupun sebenarnya yang menyebabkan luluhnya hati Srintil tidak semata-mata kata-kata tulus dari Sakum, tapi kemelaratan Sakum telah mengusik hati Srintil. Kemelaratan yang tergambar dari keadaan keluarga Sakum telah menumbuhkan rasa iba di hati Srintil. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut ini: “Yaitu, Kang. Sebaiknya aku menuruti kemauan mereka. Aku mau menari lagi, Kang. Tetapi hatiku, Kang, hatiku !” ”Hati?” ”Yaitu. Hatiku tak bisa kubawa menari.” ”Bisa,” ujar Sakum cepat. ”Aku percaya indang ronggeng masih tetap bersemayam pada diri sampean. Hati sampean yang buntu akan terobati bila sampean melupakan dia.” (RDP : 165) Apa yang kelihatan oleh Srintil adalah gambar ketidakcukupan yang parah. Rumah Sakum hanya bertiang empat, doyong, ayam, dan angin bebas masuk dan keluar dari segala penjuru. Dari dalamnya orang bisa melihat awan di langit, dana bintang-bintang pada waktu malam. Rumah, tepatnya gubuk itu kelihatan demikian compang-camping. Ketidakcukupan Sakum lebih jelas terlihat pada diri keempat anaknya. Yang tertua, seorang gadis sembilan tahun. Rambutnya merah bulu jagung. Kedua ujung bibirnya berhiaskan cokop yang seperti lumut kerak. Wajahnya, bahkan kedua matanya, kusam tanpa cahaya. Kulitnya mati dengan daki, terutama pada tengkuk dan betisnya. Kini dia duduk bersandar di dinding, menunggui adiknya yang terkecil merayap-rayap di tanah. Dua anak Sakum yang lain sedang mencungkil-cungkil tanah di samping rumah. Keduanya
134
135
telanjang. Gerigi tulang punggungnya menyembul kulit. Tangan mereka yang lemah tergantung tanpa daya. Mereka sedang menyelusuri alur lubang orong-orong. (RDP: 162) Sakum kembali menarik nafas lega setelah memberi penjelasan pada Srintil, Sakum telah lama ingin mengungkapkan perasaannya kepada Srintil; mengingatkannya dan megajarinya tentang bagaimana seharusnya sikap seorang ronggeng. Srintil menolak meronggeng setelah sekian lama dan kini ia menerima tawaran panitia Agustusan. Satu pertimbangan Srintil adalah Sakum. Keberanian Sakum memberikan saran pada Srintil menandakan Sakum seorang pribadi yang penuh percaya diri. Ketika pentas ronggeng dalam acara Agustusan di Kecamatan Dawuan, tidak semua orang tahu bahwa Srintil menari dalam keadaan marah. Sakum dengan nalurinya yang tajam bisa merasakan itu. Hal itu tergambar dalam kutipan berikut ini: ”Kecuali Sakum. Laki-laki buta itu sudah terbiasa memahami sesuatu dengan intuisinya. Sakum ingin menghentikan Srintil. Dengan sikunya dia menggamit Kartareja yang kebetulan duduk di sisinya. Kartareja cepat mengerti maksud Sakum, tetapi tidak berani mengambil keputusan. Maka Sakum yang bertindak. Sentuhan irama calungnya dibuat sumbang dengan cara menimpangkan nadanada tertentu. Itulah cara yang sudah disepakati bila para penabuh ingin berbicara dengan ronggeng. Namun demikian Srintil terus menari. Baru setelah tiga buah lagu berlalu srintil patuh akan aba-aba yang diberikan Sakum.” (RDP: 192) Sakum tidak hanya dekat dengan Srintil. Dia juga dekat Rasus. Kedekatan Rasus dengan Sakum bisa dilihat ketika Rasus bertemu
135
136
dengan Sakum. Waktu itu nenek Rasus baru saja meninggal dan dikuburkan di pekuburan Dukuh Paruk. Selesai menguburkan jasad neneknya Rasus tidak segera turun dari bukit pekuburan. Sakarya dan Rasus menuruni bukit pekuburan Dukuh paruk setelah beberapa lama termenung. Rasus akhirnya memilih jalan memutar karena Rasus ingin melihat-lihat keadaan lebih menyeluruh di Dukuh Paruk. Ketika Rasus melewati rumah Sakum, Rasus berdiri agak lama. Sakum keluar memanggil Rasus. Kedekatan Rasus dan Sakum dapat dilihat dalam kutipan berikut ini: ”Ah, Pak Tentara. Jadilah orang Dukuh Paruk lagi.” ”aku tetap orang dukuh Paruk, Kang.” ”Itu iya. Maksudku, ada sesuatu yang sangat layak, sangat pantas. Semua orang di sini pasti senang bila sampean kembali tinggal bersama kami. Dan mengambil istri orang sini. Ah, Pak Tentara. Aku kan Sakum. Aku tidak pernah lupa siapa sampean, siapa Srintil, dan bagaimana kalian pada waktu dulu. Carilah Srintil dan bawa kemari. Ambil dia jadi istri sampean.‟‟ (RDP: 261) Mendengar kata-kata Sakum, wajah Rasus langsung berubah. Kata-kata Sakum mengusik harapan yang pernah ada dan kini diamdiam masih dipeliharanya. Sakum menunggu jawaban Rasus dengan hampa. Yang sebenarnya diharapkan dalam waktu segera dari Rasus oleh Dukuh Paruk pada waktu itu adalah mencari keberadaan Srintil. Karena setelah peristiwa politik beberapa waktu lalu, Srintil tidak kunjung pulang. Akhirnya, Rasus mencari keberadaan Srintil dan menemukannya.
136
137
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Sakum adalah seorang
yang
memiliki
pribadi
sederhana.
Dia
menghidupi
keluarganya dengan nalurinya yang kuat. Walaupun miskin dan tidak bisa melihat, namun Sakum cukup percaya diri. Hal iini terlihat dari tingkah laku dan tindakannya. 8) Bajus Bajus laki-laki yang datang pada kehidupan Srintil setelah Rasus memberikan kepastian pada Srintil tentang hubungannya. Sebelum Rasus berangkat tugas ke luar Jawa pernah suatu kali Kartareja menanyakan sikap Rasus pada Srintil. Waktu itu Rasus menjawab secara diplomatis. Ia belum bisa menerima Srintil. Hanya ia berharap Srintil bergaul dengan laki-laki yang bertabiat baik. Bila ada laki-laki yang punya niat baik pada Srintil, orang-orang Dukuh Paruk dimohon untuk membantunya. Srintil sangat memahami apa yang dipesankan Rasus pada Srintil lewat Kartareja. Dengan alasan itu Srintil menerima kehadiran Bajus. Bajus sudah dipercaya Srintil sejak pertama kali mereka kenal. Bajus dapat dengan mudah membawa Srintil pergi kemana dia mau. Sikap Srintil ini sebagai respon terhadap kebaikan Bajus, sopan santunnya, dan penghargaannya terhadap dirinya. Penilaian Srintil terhadap kesopanan Bajus tergambar dalam kutipan berikut ini: Dan Srintil tidak bisa menolak kenyataan bahwa Bajus makin lama membuat Rasus tersisih dari hatinya. Bajus yang sama sekali belum memperlihatkan hal-hal yang tidak disukainya. Perkenalan selama lima bulan dengan orang proyek
137
138
itu adalah harapan. Selama itu Bajus sungguh belum pernah menyentuh kulitnya, belum pernah berbicara tentang hal-hal erotik, baik langsung maupun tersamar. Sopan dan ramah seperti seorang priyayi sejati. Ditambah dengan kenyataan Bajus membantu banyak sekali dalam pembangunan rumah Srintil, maka mahkota Dukuh Paruk itu hanya bisa menarik satu nalar, Bajus adalah lelaki yang baik dan bersungguhsungguh. Dia bukan laki-laki dari dunia petualangan, dunia yang Srintil bertekad ingin meninggalkannya. (RDP: 368) Bajus telah mengembalikan kepercayaan diri Srintil. Ia mengembalikan martabat Srintil sebagai perempuan. Srintil merasa nyaman di samping Bajus. Ia berangan-angan mengabdikan seluruh hidupnya sampai akhir hayat untuk Bajus. Kesetiaan Srintil akan dipersembahkan pada Bajus bukan karena ia orang proyek dan bermobil. Kesetiaan itu untuk laki-laki yang telah menhargainya. Tapi, satu pertanyaan bagi Srintil; kapankah ia akan resmi diperistri Bajus? Gambaran perasaan Srintil ini terlihat dalam kutipan berikut ini: Bajus tinggal seorang diri dalam rumah gedung yang dikontraknya selam dua tahun. Tidak terlalu besar, namun keadaannya membuktikan kemampuan keuangan si penyewa. Srintil duduk di ruang tamu sementara Bajus masuk ke dalam. Entahlah, Srintil merasakan keinginan yang kuat untuk membersihkan lanti yang mungkin sudah dua hari tidak terkena sapu. Dan pot-pot tanaman yang kering sehingga bunganya kelihatan layu. Angan-angan Srintil mengembang tak tertahan. Ya, kelak akan kubereskan semuanya. Mas Bajus akan melihat bukti bahwa bekas ronggeng atau bekas tahanan pun bisa menjadi isteri yang baik, dan bisa lebih daripada perempuan bukan tahanan. Ya. Orang seperti Mas Bajus yang tidak mau sembrono sebelum ada ikatan perkawinan, yang membantu membuatkan rumah baru, yang sering membawaku bertamasya, dan yang mengangkat martabatku di mata semua orang, pastilah laki-laki yang amat layak menerima pengabdianku sepenuh hati. Bahkan andaikata Mas Bajus bukan orang proyek dan tidak mempunyai sebuah mobil, maka dia tetap berhak mendapatkan balas budi berupa kesetiaanku sepanjang hayat.
138
139
Persoalannya sekarang, kapankah aku akan resmi menjadi isteri Mas Bajus? (RDP: 372) Pertanyaan Srintil tentang kapan Bajus akan menjadikan dirinya resmi menjadi seorang istri telah mendapatkan jawaban. Harapan Srintil yang melambung tinggi jatuh berkeping-keping sesuai kenyataan yang ia dapatkan. Bajus tidak lebih dari seekor musang berbulu domba. Kebaikan Bajus pada Srintil karena ada tujuan yang disembunyikan.
Celakanya
sebagai
orang
desa
yang
tidak
berpendidikan Srintil tidak pernah tahu akal busuk Bajus. Bajus ternyata sangat jahat. Kejahatan Bajus bagai Srintil melebihi semua laki-laki yang datang kepada Srintil. Karena ulah Bajus inilah Srintil menjadi sakit jiwa. Gambaran pribadi jahat Bajus dapat dicermati dalam kutipan berikut ini: ”Kamu tetap menolak? Tidak bisa! Kamu orang Dukuh Paruk harus tahu diri. Aku telah banyak membantumu. Aku telah banyak mengeluarkan uang untuk kamu!” Bajus berjalan berputar-putar sambil tetap menjaga agar dirinya menjadi palang pintu. Srintil duduk kaku, tak bereaksi sedikit pun terhadap kata-kata yang didengarnya. Tiba-tiba Bajus mengentakkan kaki lalu melangkah ke ambang pintu. Sambil menutup pintu dari luar, Bajus berkata dengan tekanan yang berat, ”Kamu orang Dukuh Paruk mesti ingat. Kamu bekas PKI! Bila tidak mau menurut akan aku kembalikan kami ke rumah tahanan. Kamu kira aku tidak bisa melakukannya?” Pintu terbanting dan dikunci dari luar. (RDP: 382) Bajus bukan tipe laki-laki yang bertanggung jawab. Setelah peristiwa yang membuat Srintil sakit jiwa, ia hanya mengantarkan Srintil pulang. Kepada orang Dukuh Paruk ia berkata bahwa Srintil
139
140
minta ia mengawininya. Bajus tidak bisa karena ia seorang yang impoten. Faktanya memang ia seorang yang impoten, tapi bukan itu penyebab sebenarnya sakit jiwanya Srintil. Bentuk tanggung jawab Bajus di mata orang Dukuh Paruk adalah amplop berisi uang yang ia berikan untuk pengobatan Srintil. Yang sebenarnya amplop tersebut pemberian Blengur kepada Srintil. Sehingga dimata orang-orang Dukuh Paruk Bajus tidaklah bersalah. Bajus berlindung dibalik kondisinya yang impoten. Bajus benar-benar bukan tipe lelaki yang bertanggung jawab. Terbukti setelah Srintil hilang ingatannya, Bajus menghilang dari kehidupan Srintil. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Bajus merupakan tokoh yang mula-mula menampakkan karakter baik. Tapi, sebenarnya dia berwatak jahat. Karakter sopan, halus budi, dan sangat menghargai perempuan sengaja dibuat untuk menyelimuti pribadi yang sebenarnya. Bajus tidak lebih sebagai musang berbulu domba. Berdasarkan
sifat
tokoh
Bajus
termasuk
tokoh
yang
menampilkan karakter buruk sehingga ia dapat dikategorik tokoh antagonis. Dia juga tokoh yang berwatak statis. Watak tokoh Bajus tidak mengalami perkembangan sejalan dengan dengan perubahan peristiwa dan plot yang dikisahkan. Karen watak yang sebenarnya dimilik oleh Bajus adalah jahat.
140
141
9) Marsusi Marsusi adalah adalah kepala perkebunan karet Wanakeling. Ia seorang laki-laki yang kaya. Sejak awal kemunculannya Marsusi digambarkan sebagai tokoh yang mewakili pejabat yang kaya raya dan suka mencari kesenangan dengan perempuan selain istrinya dengan kekayaan yang ia miliki. Salah seorang yang ingin dimiliki Marsusi adalah Srintil. Menurutnya Srintil adalah perempuan yang tepat untuk melampiaskan hasrat berahinya. Suatu malam Marsusi datang ke rumah Kartareja dengan membawa kalung emas yang diminta Nyai Kartareja. Seorang laki-laki yang mabuk kepayang terhadap Srintil dan ingin bersamanya barang satu-dua malam harus melalui perantara Nyai Kartareja. Marsusi tidak mempermasalahkan hal itu. Baginya Kalung emas seratus gram berbandul berlian bukanlah hal yang sulit untuk mendapatkannya. Gambaran tokoh Marsusi dapat dilihat dalam kutipan berikut ini: ”Ketika suatu malam Marsusi muncul kembali di Dukuh Paruk, tibalah saat Nyai Kartareja meminta kembali kepada srintil kepada kebiasaan semula. Dalam mempengaruhi Srintil, Nyai Kartareja menggunakan segala kemampuannya karena itu Marsusi pastilah membawa kalung emas seratus gram dengan bandul berlian. Perhiasaan seperti milik istri lurah Pacikalan itu telah lama menjadi buah impiannya. Tetapi kepada Marsusi dia dinyatakan Srintil-lah yang menginginkannya.” (RDP: 140) Di luar dugaan Marsusi, ternyata Srintil dengan tegas menolak melayani Marsusi, ia akan menerima kalung tersebut sebagai upah menari bukan melayani Marsusi. Mendengar pernyataan Srintil betapa
141
142
marahnya Marsusi. Marsusi merasa dilecehkan sebagai laki-laki yang terhormat dan punya kedudukan. Ia pulang membawa dendam kepada Srintil. Dendam Marsusi membawanya untuk mendatangi Pak Tarim seorang dukun teluh. Pak Tarim adalah laki-laki tua berkepala semar. Setiap hari berleha-leha menghadapi gelas besar dengan kue-kue jajan pasar. Di kampung laut nama Tarim sering dihubungkan dengan ngelmu. Melalui jalur informasi yang panjang dan berliku sampailah Marsusi kepada Tarim. Tarim sebenarnya dukun teluh yang jahat. Tapi, di mata orang-orang yang memanfaatkannya ia menampakkan sosok yang bijaksana. Marsusi mulai menceritakan perihal yang membawanya sampai ke rumah Tarim. Mendengar cerita Marsusi. Tarim berusaha menasihati Marsusi supaya mengubah rencana balas dendamnya. Nasihat semacam ini disampaikan kepada semua orang yang datang kepada Tarim. Tapi, sebenarnya kalau dirasakan nasihat itu hanya sebuah strategi seorang yang punya niat jahat agar orang tidak lagi menyalahkan bila ada sebuah risiko. Tidak semua nasihat Tarim mengubah niat seseorang yang minta tolong jasanya. Misalnya Dilam, walaupun sudah dinasihati Tarim
ia juga
tidak
mengurungkan
niatnya
untuk
meneluh
(membunuh) seseorang. Bukti kalau Tarim seorang yang munafik terlihat ketika Marsusi mengubah niatnya. Tarim menertawakannya
142
143
dengan tatapan mata menyindir. Hal itu dapat dicermati dalam kutipan berikut ini: ”Ya. Dan untunglah, setidaknya aku telah berhasil mengubah niatku,” kata Marsusi setelah beberapa kali mengangguk. Tetapi dia kaget karena Tarim menertawakannya, ditambah dengan pandangan mata nenyindir. (RDP: 177) Satu hal yang membedakan Dilam dengan Marsusi. Marsusi seorang yang berpendidikan dan berpengalaman. Walaupun diejek dan dipengaruhi Tarim tentang niatnya yang berubah, ia tetap teguh mengubah niatnya. Marsusi merasa rencana balas dendamnya akan berakibat fatal. Srintil bukan hanya milik dirinya tapi milik semua orang. Marsusi hanya mengubah niatnya, dendam masih tertanam di benaknya. Marsusi mempunyai keinginan melihat Srintil Menderita. Ketika Srintil mengisi acara Agustusan, Marsusi melaksanakan rencananya. Semangat Agustusan tidak hanya ada pada orang-orang yang menonton acara itu, Srintil juga dengan semangat yang mengesankan srintil. Srintil terus menari tanpa istirahat dan akhirnya pingsan. Kartareja adalah orang yang mengetahui kalau Srintil sedang dalam bahaya. Kartareja menduga adanya tangan jahil. Kartareja segera menemukannya. Orang yang melakukan mengganggu Srintil tidak lain adalah Marsusi. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut ini:
143
144
”Tunggu sebentar, Mas,” panggilnya. Laki-laki itu menoleh. Mata Kartareja membulat untuk lebih memahami wajah laki-laki itu. Mula-mula Kartareja ragu. ”Oh, sampean? Ah, mestinya sampean menonton bersama Pak Camat. Tak pantas di sini, bukan?” ”Yah, terkadang orang ingin menyendiri,” jawab Marsusi tenang. Kartareja tersenyum. Marsusi tersenyum. Dalam kebisuan mereka telah terjadi komunikasi intensif. Tetapi kejanggalan tidak bisa dihindari. Marsusi menawarkan rokok yang kemudian diterima oleh Kartareja, dan langsung disulutnya. “Pentasmu kali ini sedikit terganggu,” ujar Marsusi. “Yah, saya maklum. Saya mengerti perasaan sampean. Yang pernting sekarang perkara utang-piutang sudah tunai.” “Hm, ya. Dan itu ...” (RDP: 195) Marsusi mengakui telah merusak acara Agustusan. Marsusi merasa dendamnya sudah terbalas. Walaupun rasa penasaran untuk memiliki Srintil tetap menjadi obsesinya. Melalui Nyai Kartareja ia katakan masih ingin mendapatkan Srintil. Apalagi status Marsusi sekarang seorang duda. Sebuah vespa baru siap diberikan apabila ia bisa memiliki Srintil. Berbagai siasat dan strategi diatur tapi Srintil tak kunjung juga dimiliki. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Marsusi merupakan tokoh yang memiliki moral yang buruk. Seorang pejabat yang tidak pantas ditiru perilakunya. Ia ingin memiliki perempuan sebagai pemuas nafsu dengan hartanya. Berdasarkan sifatnya Marsusi dapat dikategorikan sebagai tokoh antagonis. c. Latar Latar atau setting adalah latar di mana cerita itu berlangsung dan terjadi. Setting bisa meliputi tempat, waktu, dan suasana. Latar cerita
144
145
berkaitan dengan waktu dan tempat penceritaan. Waktu dapat berarti siang dan malam, tanggal, bulan, dan tahun. Tempat dapat berarti di dalam atau di luar rumah, di desa atau di kota, dapat juga di kota mana, di negeri mana, dan sebagainya. Sementara suasana adalah keadaan bagaimana yang melingkupi sebuah cerita. Untuk lebih jelasnya, penulis akan membahas satu persatu setting yang ada dalam cerita Ronggeng Dukuh Paruk ini. Setting tersebut yakni: setting tempat, setting waktu, dan setting suasana. 1) Setting Tempat Dalam cerita ini ada beberapa tempat yang menjadi setting cerita. Secara umum, cerita ini terjadi di Dukuh Paruk. Dukuh Paruk bisa dikategorikan sebagai setting primer dalam novel ini. Dukuh Paruk adalah sebuah pemukiman sempit dan terpencil. Dukuh Paruk yang dihuni dua puluh tiga rumah yang dihuni orang-orang seketurunan. Dukuh Paruk dikelilingi amparan sawah berbatas kaki langit. Dukuh Paruk yang terbelakang dan miskin itu memiliki nenek moyang bernama Ki Secamenggala. Gambaran Dukuh Paruk bisa dicermati dalam kutipan berikut ini: Entah sampai kapan pemukiman sempit dan terpencil itu bernama Dukuh Paruk. Kemelaratannya, keterbelakangannya, penghuninya yang kurus dan sakit, serta sumpah serapah cabul menjadi bagiannya yang sah. Kermat Ki Secamenggala pada puncak bukit kecil di tengah Dukuh Paruk seakan menjadi pengawal abadi atas segala kekurangan di sana. Dukuh Paruk yang dikelilingi amparan sawah berbatas kaki langit, tak seorang pun penduduknya memiliki lumbung padi meski yang
145
146
paling kecil sekalipun. Dukuh Paruk yang karena kebodohannya tak pernah menolak nasib yang diberikan alam. (RDP: 79) Dua puluh tiga rumah berada di pedukuhan itu, dihuni oleh orang-orang seketurunan. Konon, moyang semua orang Dukuh Paruk adalah Ki Secamenggolo, seorang bromocorah yang sengaja mencari daerah paling sunyi sebagai tempat menghabiskan riwayat keberandalannya. Di Dukuh Paruk inilah akhirnya Ki Secamenggala menitipkan darah dagingnya. (RDP: 10) Keadaan di atas menggambarkan Dukuh Paruk pada tahun 1946. Pada waktu itu Srintil baru genap berusia lima bulan, sedangkan Rasus kira-kira berusia tiga tahun. Dukuh Paruk pada tahun 1969 juga tidak jauh berubah. Selama 23 tahun perjalanan waktu Dukuh Paruk bahkah bisa dikatakan kembali ke titik nol. Hal itu terjadi karena ontran-ontran politik yang membawanya ke situasi porak paranda. Hal itu tergambar dalam kutipan berikut ini: Dukuh Paruk pada tahun 1969 adalah Dukuh Paruk yang tetap miskin dan bodoh. Dan Dukuh Paruk tiga tahun sesudah dilanda kobaran api adalah tempat terpencil yang kehilangan banyak ciri utamanya. Tak ada lagi suara calung dan tembang ronggeng. Makam Ke Secamenggala yang secara turun-temurun menjadi anutan kehidupan batin orang Dukuh Paruk kelihatan lebih terawat. Suara calung, tembang ronggeng, serta pemujaan terhadap makam Ki Secamenggala adalah urusan-urusan yang tidak cocok dengan selera kenisbian sejarah. Dan boleh jadi hanya Sakarya yang diam-diam berani mengunjungi cungkup makam di puncak bukit pekuburan Dukuh Paruk itu. (RDP: 283) Selain setting primer novel Ronggeng Dukuh Paruk juga memiliki beberapa setting sekunder. Banyak setting Sekunder dalam novel ini misalnya: Pasar Dawuan, Kota Eling-Eling, dan Desa Alas
146
147
Wangkal. Dalam pembahasan ini penulis hanya akan membicarakan setting Pasar Dawuan. Karena Pasar Dawuan merupakan setting tempat hidup Rasus berproses. Pasar Dawuan juga merupakan tempat Srintil mengekspresikan dirinya yang ronggeng. Pasar Dawuan merupakan tempat pelarian Rasus setelah dirinya merasa tidak hargai oleh Dukuh Paruk, tepatnya setelah Dukuh Paruk merenggut Srintil dari hatinya. Hal itu tergambar dalam kutipan berikut ini: Dawuan tempatku menyingkir dari Dukuh Paruk, terletak di sebelah kota kecamatan. Akan terbukti nanti, pasar Dawuan merupakan tempat melarikan diri yang tepat. Di sana aku dapat melihat kehadiran orang-orang dari perkampungan dalam wilayah kecamatan itu. Tak terkecuali orang-orang dari Dukuh Paruk. Pasar Dawuan menjadi tempat kabar merambat dari mulut ke telinga, dari telinga ke mulut, dan seterusnya. Berita yang terjadi di pelosok yang paling terpencil bisa didengar di pasar itu. (RDP: 80) Pasar Dawuan juga menjadi tempat berekspresi Srintil. Srintil sering ke pasar menunjukkan dirinya yang ronggeng. Di pasar Dawuan Rasus juga sering mendengar dan melihat perkembangan Srintil, baik diam-diam atau terang-terangan. Bahkan Srintil juga menjadikan pasar Dawuan sebagai saksi bahwa ia bisa dikencani Rasus dengan tidak menggunakan uang. Hal itu tergambar dalam kutipan berikut ini: Beberapa orang berseru macam-macam ketika melihat aku menggandeng Srintil ke luar pasar menuju warun cendol. Semua tidak kuambil peduli. Apalagi Srintil sendiri yang membungkam mulut-mulut usil itu. “Kalian, orang-orang pasar, jangan iri hati. Rasus adalah teman lama dari Dukuh Paruk. Atau bila kalian tetap
147
148
merasa iri, tunggulah di sini. Nanti kalian akan mendapat giriliran.” (RDP: 88) Aneh, ternyata selama setahun penuh aku belum juga menginjakkan kakiku ke Dukuh Paruk. Bagiku, bila mendengar nenek masih mengiri-ngiris singkong untuk dibuat gaplek serta pegi ke tanah kosong buat menggembala kambing, itu sudah cukup. Pasar Dawuan selama satu tahun itu sekali-sekali menjadi tempat pertemuanku dengan Srintil. Terkadang Srintil mengajakku ke sebuah rumah tidak jauh dari pasar Dawuan. Meskipun Srintil selalu marah bila disebut sundal, tetapi dia tahu betul setiap rumah yang bisa disewa untuk perbuatan cabul. Dia membuktikan kata-katanya bahwa dariku dia tidak mengharapkan uang. Bahkan suatu ketika dia mulai berceloteh tentang bayi, tentang perkawinan. (RDP: 89) Pasar Dawuan merupakan tempat kehidupan Rasus kedua. Di Pasar Dawuan hidup Rasus berproses. Di pasar Dawuan nasib Rasus berubah. Ia yang semula sebagai penjaga singkong, kemudian menjadi tobang, dan kelak pasar Dawuan telah mengantarkan Rasus menjadi seorang tentara. Kutipan di bawah ini menggambarkan keadaan di atas: Kelak akan terbukti nasib mengubah kehidupanku secara ajaib. Dimulai pada suatau sore di depan pasar Dawuan. Pasar begitu sepi. Apalagi perampokan makin hari makin sering terjadi. Sebuah truk penuh tentara berhenti. Kira-kira dua puluh orang tentara turun, masing-masing dengan topi baja dan bedil. Banyak anak menyingkir melihat kedatangan para tentara itu. Mereka terutama takut kepada bedil. Aku sendiri berdiri dan memandang dari jauh di depan gerbang pasar. Kulihat seorang tentara, yang kemudian kukenal sebagai Sersan Slamet, mencari seseorang untuk membantu menurunkan peti-peti serta barang-barang lainnya. Dia tidak melihat seorang pun kecuali aku. Jadi lambaian tangannya kemudian diarahkannya kepadaku. (RDP: 91) Bermula dari peristiwa itu nasib Rasus berubah. Kejujuran dan keperkasaannya telah membuatnya menjadi seorang tobang. Karena
148
149
keberanian Rasus, Sersan Slamet mempromosikannya menjadi seorang tentara. Kesimpulannya, novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk memiliki setting primer Dukuh Paruk. Novel ini juga didukung beberapa setting sekunder utamanya pasar Dawuan. 2) Setting Waktu Setting waktu berkaitan dengan saat kapan peristiwa itu berlangsung atau terjadi. Setting waktu biasa meliputi tahun, tanggal, jam, atau saat, pagi-siang-siang-sore-malam. Segala sesuatu yang berkaitan dengan saat terjadinya peristiwa, itulah yang disebut setting waktu. Novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk berkisah tentang kehidupan Dukuh Paruk mulai tahun 1946. Cerita ini dimulai ketika terjadi malapetaka tempe bongkrek yang membuat anak-anak Dukuh Paruk menjadi yatim piatu. Mereka yang menjadi yatim piatu diantaranya Srintil dan Rasus, tokoh utama cerita ini. Kutipan di bawah ini yang menunjukkan setting waktu novel Ronggeng Dukuh Paruk: Seandainya ada seorang di Dukuh Paruk yang pernah bersekolah, dia dapat mengira-ngira saat itu hampir pukul dua belas tengah malam, tahun 1946. Semua penghuni pedukuhan itu telah tidur pulas, kecuali Santayib, ayah Srintil. Dia sedang mengakhiri pekerjaannya malam itu. Dia sedang mengakhiri pekerjaannya malam itu. Bungkil ampas minyak kelapa yang telah ditumbuk halus dibilas dalam air. Setelah dituntas kemudian dikukus. Turun dari tungku, bahan ini diratakan dalam sebuah tampah besar dan ditaburi ragi bila sudah dingin. Besok hari pada bungkil ampas minyak kelapa itu akan tumbuh jamur-jamur halus. Jadilah tempe bongkrek. Sudah sejak lama Santayib memenuhi kebutuhan orang Dukuh Paruk
149
150
(RDP: 21) Maut bekerja dengan sabar dan pasti. Maut telah berpengalaman dalam pekerjaannya sejak kematian yang pertama. Tanpa terganggu oleh jerit dan ratap tangis, maut terus menjemput orang-orang Dukuh Paruk. Hari itu sembilan orang dewasa meninggal. Dua di antarannya adalah suami-istri Santayib. Juga sebelas anak-anak tidak tertolong. Jumlah itu merupakan lebih dari separo anak di pedukuhan itu. Belasan anak lainnya menjadi yatim-piatu pada hari yang sama. (RDP: 29) Alam membisu mendengar ratap Sakarya. Dukuh Paruk bungkam. Hanya kadang terdengar keluh sakit. Atau tangis orang-orang yang menyaksikan saudara meregang nyawa. Bau bunga sedap malam dikalahkan oleh asap kemenyan yang mengepul dari semua rumah di Dukuh Paruk, pedukuhan yang berduka ketika Srintil genap berusia lima bulan. (RDP: 31) Walaupun novel ini dimulai dengan kemunculan anak-anak Dukuh Paruk seperti: Rasus, Warta, Darsun, dan Srintil, yang sebenarnya cerita ini dimulai ketika terjadi malapetaka tempe bongkrek di Dukuh Paruk. Waktu itu tokoh utama Srintil dan Rasus belum sebesar ketika mengawali cerita novel. Penulis menuturkan tragedi tempe bongkrek itu dengan cara flashback (kilas balik). Diketahui dalam cerita tersebut Rasus masih berusia sekitar tiga tahun. Hal itu tampak dalam kutipan berikut ini: Tetapi orang akan sia-sia menyampaikan pengetahuan ini ke Dukuh Paruk. Di sana orang begitu yakin asam tembaga adalah satu-satunya penyebab racun bongkrek. Demikian, dengan menghindarkan perkakas tembaga, orang Dukuh Paruk masih membuat tempe bongkrek. Jadi petaka yang terjadi ketika Srintil bayi (kata nenek aku berusia tiga tahun saat itu) bukan musibah pertama, bukan pula yang terakhir. (RDP: 33)
150
151
Cerita novel Ronggeng Dukuh Paruk diakhiri dengan kepulangan Rasus bertugas dari Kalimantan. Ia mendapati Srintil dalam keadaan hilang ingatan. Dengan jiwa besar Rasus membawa Srintil ke rumah sakit jiwa. Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 70-an. Setting waktu yang menunjukkan bahwa cerita novel Ronggeng Dukuh Paruk berakhir sekitar tahun 70-an dapat dicermati dalam kutipan berikut ini: Februai 1971 adalah mangsa kasanga dalam pranata mangsa yang dianut oleh orang Dukuh Paruk. Sepanjang hari, bahkan kadang juga pada waktu malam, udara terasa sangar, panas. Angin sering bertiup amat kencang merontokkan dedaunan, mematahkan pelepah pisang, dan mematahkan batang bambu muda. Di sawah tanaman pada yang sedang berbunga melewati saat kritis. Penyerbukan bisa gagal karena angin yang terlalu kencang. Bila hujan turun, curahnya jatuh dalam butiran-butiran besar. (RDP: 371) Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa setting waktu novel Ronggeng Dukuh Paruk berkisar dari tahun 40-an sampai dengan tahun 70-an. Bahkan berdasarkan data yang diperoleh oleh penulis bisa dikatakan bahwa cerita novel Ronggeng Dukuh Paruk dimulai pada tahun 1946 sampai tahun 1971. 3) Setting Suasana Setting suasana yaitu setting yang berupa keadaan, situasi saat peristiwa dalam cerita itu berlangsung. Setting suasana ini bisa berupa keadaan yang tegang, sepi, sedih, mencekam dan lain-lain sesuai dengan suasana saat peristiwa dalam cerita itu berlangsung.
151
152
Suasana yang melingkupi cerita dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah suasana kemelaratan, kebodohan, dan keterpencilan Dukuh Paruk dari sebuah peradaban. Dukuh Paruk yang seluruh penghuninya belum mengenal pendidikan. Tak ada satupun anak-anak Dukuh Paruk yang sekolah termasuk Srintil dan Rasus. Untuk lebih jelasnya kita perhatikan cuplikan berikut ini: Hubunganku dengan Sersan Slamet lebih dapat dikatakan sebagai hubungan pribadi daripada sebagai hubungan antara seorang tobang dan seorang sersan. Dia banyak bertanya tentang diriku, asal-usulku, bahkan sekolahku. Dia mengajariku menulis dan membaca setelah mengetahui aku tak pernah bersekolah. Berbagai kisah diceritakan kepadaku. Tetapi yang kusenangi adalah kisah seorang tentara pelajar yang karena keberaniannya dapat membunuh tiga serdadu musuh dalam suatu pertempuran. (RDP: 94) Hanya diperlukan waktu seperempat jam dari kota Eling-Eling ke daerah berhawa sejuk di kaki gunung di sebelah utaranya. Bajus membelokkan mobilnya ke halaman sebuah vila mungil yang ternyata kemudian sudah disewanyaa. Srintil diajaknya masuk. Di ruang istirahat penunggu vila sudah menyiapkan minuman serta buah-buahan. Srintil diberitahu di mana dia bisa beristirahat, dan di mana letak kamar mandi. Bajus langsung kelihatan sibuk mengeluarkan map dan buku agenda. Sebuah pemutar pita kaset diambil dari kamar lalu Srintil diajari bagaimana menghidupkannya. Majalah-majalah disodorkan dan Bajus lupa atau tidak mengerti bahwa Srintil buta huruf. (RDP: 374) Suasana kemelaratan juga tergambar jelas pada Dukuh Paruk. Tidak hanya pada keluarga Sakum, tapi kemiskinan itu dimiliki oleh semua orang Dukuh Paruk. Ketika sayembara bukak klambu, tak satupun orang Dukuh Paruk bisa mengikuti sayembara itu. Jangankan
152
153
ringgit emas, sebuah rupiah perak pun tidak dimiliki oleh laki-laki Dukuh Paruk. Hal itu tergambar dari dialog di bawah ini: ”Itu benar. Srintil memang ayu dan kenes. Tetapi siapa yang memiliki sebuah ringgit emas di Dukuh Paruk?” ”Oh, saya tak pernah bermimpi seorang laki-laki Dukuh Paruk akan memenangkan sayembara. Jangankan ringgit emas, sebuah rupiah perak pun tak dimiliki oleh laki-laki Dukuh Paruk. Saya tidak berharap mereka mengikuti sayembara.” (RDP: 52) Dukuh Paruk tidak hanya miskin tapi juga terbelakang. Orangorang Dukuh Paruk terbiasa mengumpat. Bicara dengan kata-kata jorok hal yang biasa. Kemelaratan yang terjadi di Dukuh Paruk terpelihara lestari karena kebodohan dan kemalasan penghuninya. Mereka
cukup
puas
bertani
dan
anak-anak
cukup
senang
menggembalakan kambing tidak pernah berpikir untuk sekolah. Hal itu tergambar dalam kutipan berikut ini: Sebagai gantinya muncul perempuan lain dengan ciriciri khas Dukuh Paruk. Rambut kusut dengan ujung kemerahan. Wajah lesu dan pucat karena sehari-hari tidak cukup makan. Sepasang tetek dengan puting hitam, hanya subur pada waktu panen. Sepasang telapan kaki yang lebar dengan endapan daki melapisinya. Kata-katanya kasar dengan selingan serapah cabul. Itulah gambar seorang perempuan Dukuh Paruk, gambaran yang lebih masuk akal. Aku harus mulai belajar menerima kenyataan bahwa sebagai perempuan Dukuh Paruk, Emak memiliki ciri-ciri seperti itu pula. Seorang mantri yang mau membawa lari perempuan seperti itu pastilah kelainan pada dirinya. Kalau tidak sinting, pastilah dia seorang laki-laki bajul buntung. (RDP: 87) Makin lama tinggal di luar tanah airku yang kecil, aku makin mampu menilai kehidupan di pedukuhan itu secara kritis. Kemelaratan di sana terpelihara secara lestari karena kebodohan dan kemalasan penghuninya. Mereka puas hanya menjadi buruh tani. Atau berladang singkong kecil-kecilan.
153
154
Bila ada sedikit panen, minuman keras memasuki setiap pintu rumah. Suara calung dan tembang ronggeng meninabobokan Dukuh Paruk. Maka benar kata Sakarya, bagi orang Dukuh Paruk kehidupan tanpa calung dan ronggeng terasa hambar. Calung dan ronggeng pulan yang memberi kesempatan mereka bertayub dan minum ciu sepuas-puasnya. (RDP: 86) Novel ini juga menggambarkan suasana tahun 60-an yang tidak aman. Rakyat merasa tidak aman karena banyak perampokan. Kalau orang-orang Dukuh Paruk merasa tidak terganggu dengan adanya perampokan, satu yang menjadi alasan mereka karena miskin. Pada tahun 60-an situasi politik di wilayah Dawuan juga memanas, pawai marak di mana-mana. Suasana tahun 60-an tergambar dalam kutipan berikut ini: Tahun 1960 wilayah Kecamatan Dawuan tidak aman. Perampokan dengan kekerasan senjata sering terjadi. Tidak jarang para perampok membakar rumah korbannya. Aku yang selalu tidur di sudut pasar Dawuan mulai merasa takut. Mulai terpikir olehku, apakah sudah tiba saatnya bagiku kembali ke Dukuh Paruk? Aku berharap para perampok tidak tertarik pada pedukuhan itu karena letaknya yang berada di tengah sawah. Menurut perhitunganku, andaikata terjadi perampokan di sana, polisi gampang mengepungnya. (RDP: 90) Perayaan Agustusan tahun 1963 itu dimulai dengan upacara pagi hari di lapangan Kecamatan Dawuan. Pemandangan dikuasai oleh kain rentang dengan tulisan macam-macam. Ada yang direntang di antara pohon-pohon tetapi lebih banyak yang ikut masuk ke lapangan yang padat manusia. Gelombang ribuan kepala memberi gambaran seperti pemandangan di ladang tembakau yang ditiup angin. Acungan seribu tangan yang diiringi pekik gempita hanya dapat diandaikan kepada petir yang terjadi di hutan jati meranggas. (RDP: 180)
154
155
Dukuh Paruk dengan keluguan terbawa arus politik tanpa mereka sadari. Kesenian ronggeng dimanfaatkan salah satu organisasi politik dengan teknik adu domba. Waktu itu warga Dukuh Paruk mendapati cungkup Ki Secomenggolo dalam keadaan rusak. Warga menduka Bakarlah yang harus bertanggung jawab akan kejadian ini. Bakar adalah salah satu tokoh PKI yang merasa ditolak kehadirannya oleh Dukuh Paruk. Dalam situasi marah dan ingin menuntut pertanggungjawaban Bakar, warga menemukan caping berwarna hijau. Caping itu ada tulisan tertentu, orang Dukuh Paruk tak bisa membacanya. Tapi, orang Dukuh Paruk menyimpulkan sendiri siapa pemilik caping hijau itu. Caping hijau menurut pikiran orang-orang Dukuh Paruk adalah milik dari organisasi politik yang lain. Kesimpulan yang tanpa klarifikasi ini membawa Dukuh Paruk berserah diri pada Bakar. Mulai saat itu Bakar bebas keluar masuk Dukuh Paruk. Dukuh Paruk yang bodoh tidak tahu bahwa mereka telah masuk perangkap. Hari-hari berikutnya kesenian ronggeng selalu terlibat rapat-rapat akbar. Keterlibatan yang sepenuhnya mereka tidak mengerti. Keadaan ini membawa orang-orang Dukuh Paruk dalam kesulitan besar. Dukuh Paruk cemas dengan situasi menegangkan. Suasana Dukuh Paruk setelah peristiwa politik tahun 1965 tergambar dalam kutipan berikut ini: Awal kemarau tahun 1966. Malam yang sangat dingin menyertakan kecemasan yang meluas. Anjing-anjing liar yang
155
156
beringas karena terangsang bau darah. Atau mayat-mayat yang tidak diurus secara layak. Angin membawa bau bangkai. Dini hari di langit timur muncul tanda keperkasaan alam. Lintang kemukus menggaris langit dengan ujungnya yang runcing kemilau. Suara malam ialah bunyi langkah sepatu yang berat. Dan letupan bedil sekali-sekali. (RDP: 238-239) Malam itu Dukuh Paruk bisa selamat dari kecemasan. Tapi dua hari setelah peristiwa itu, Dukuh Paruk benar-benar dibuat porak poranda. Kelompok kesenian ronggeng ditangkap dan ditahan. Dukuh Paruk dibuat rata dengan tanah. Dukuh Paruk dibuat membara dan kembali pada titik nol. Suasana benar-benar kacau balau. Orang-orang Dukuh Paruk kocar-kacir dalam suasana menanggung dosa yang sebenarnya tidak sepenuhnya mereka mengerti. Kekacauan itu tergambar dalam kutipan berikut ini: Dan nasib sebenarnya yang harus dipikul oleh Dukuh Paruk baru terjadi dua hari kemudian. Dini hari ketika langit timur berhias kejayaan lintang kemukus, Dukuh Paruk menyala. Api menggunung membakar Dukuh Paruk. Atap seng rumah Kartareja membumbung ke langit bersama asap tebal yang menjulang seperti pohon raksasa. Rumah Sakum yang compang-camping hanya bertahan beberapa menit sebelum jadi abu dalam kobaran yang gemuruh. Jerit tangis dan lolongan manusia disambut dengan ledakan-ledakan bambu terbakar. Kepanikan luar biasa di tengah ketidakberdayaan mempertahankan diri. (RDP: 242) Kekacauan politik membawa trauma berkepanjangan pada warga Dukuh Paruk. Tidak hanya Srintil dan Kertareja yang pernah masuk penjara karena peristiwa itu, tapi semua orang Dukuh Paruk. Akhirnya novel ini ditutup dengan suasana pilu karena Srintil harus menjalani perawatan psikologi di rumah sakit jiwa. Namun, kepiluan
156
157
itu mendapatkan secercah harapan karena Rasus yang menunjukkan tanggung jawabnya terhadap bumi kelahirannya, Dukuh Paruk. 2. Struktur Novel Canting Karya Arswendo Atmowiloto a. Tema Berdasarkan jenisnya novel ini bertema organik (moral) karena novel Canting mengangkat persoalan keluarga priyayi yang begitu kompleks. Cerita dimulai dari keraguan tentang anak terakhir dalam kandungan bu Bei sebagai keturunan Sestrokusumo. Sampai usaha batik tradisional yang bangkrut dan coba dihidupkan oleh Ni serta persoalanpersoalan lain yang tak kalah pentingnya. Novel ini mengisahkan keluarga Pak Bei yang memiliki enam orang anak. Kebahagian Pak Bei terusik ketika Bu mengandung anak ke-6. Pak Bei meragukan anaknya yang bungsu itu sebagai keturunannya. Namun Pak Bei tidak membuat konflik terbuka mengenai persoalan ini. Pak Bei hanya mengatakan jika setelah dewasa nanti anak itu memilih batik sebagai dunia kerjanya berarti ia keturunan buruh batik, bukan keturunan Ngabei. Bu Bei sedemikian takutnya dengan kata-kata Pak Bei. Ketakutan itu terjawab sudah ketika 24 tahun kemudian anak bungsunya yang bernama Ni itu mengemukakan keinginannya untuk menggeluti batik. Keinginan Ni dikemukakan pada saat Pak Bei merayakan tumbuk yuswo (ulang tahun) yang ke-64. Bu Bei benar-benar terpukul mendengar keinginan Ni. Akhirnya Bu Bei jatuh sakit.
157
158
Bu Bei meninggal tidak lama setelah itu karena mendapat serangan jantung. Ni dikucilkan oleh semua saudaranya karena nekat mengurusi batik. Sementara Ni sendiri merasa yakin bahwa tekat itu benar karena ingin membalas budi pada buruh batik yang dianggapnya telah berjasa pada keluarganya. Namun perjuangan Ni untuk memasarkan kembali batik tulis tangan menjadi kandas karena kalah bersaing dengan batik printing. Ni jatuh sakit. Setelah sembuh, Ni menyadari bahwa ia tak bisa melawan perubahan zaman. Ia harus bisa menerima kenyataan bahwa zaman memang telah berubah. Ia bersikap pasrah setelah semua usaha kerasnya tak berhasil dan ia menemukan jalan keluar dari masalah itu. Yakni dengan cara melebur diri, mengikuti perubahan zaman. Dengan cara ini usaha batik Ni mulai membaik dan ia tetap menggeluti dunia yang dipilihnya. Batik tulis yang diperjuangkan oleh tokoh Ni sebenarnya merupakan simbol dari budaya Jawa yang semakin memudar dan tersisih tergeser oleh budaya lain karena adanya kemajuan teknologi. Budaya Jawa tak akan menang melawan perubahan zaman. Jika ia ingin tetap hidup, maka tak ada jalan lain kecuali melebur diri dan menyatu dengan perubahan itu. Demikianlah Arswendo Atmowiloto menyampaikan amanatnya lewat novelnya yang berjudul Canting.
158
159
b. Penokohan Novel Canting memiliki banyak tokoh. Berdasarkan perannya dalam sebuah cerita tokoh dalam novel ini terbagi atas tokoh utama dan tokoh pembantu. Ada juga tokoh yang sekadar numpang lewat atau sebagai pelengkap cerita. Dalam pembahasan ini, yang akan penulis kemukakan hanya tokoh-tokoh penting saja yang memegang peranan besar dalam novel Canting. Tokoh utama dalam dalam novel Canting adalah: Pak Bei, Bu Bei, dan Ni. Sedangkan tokoh pembantu dalam novel ini adalah Wahyu bersaudara dan Himawan, juga para abdi Sestrokusuman. Para menantu, teman-teman Pek Bei dan Bu Bei hanyalah tokoh pelengkap cerita. Walau begitu. Kehadiran mereka tetaplah penting untuk membuat cerita menjadi lebih hidup dan seolah-olah benar-benar ada dalam realita sebuah kehidupan. 1) Pak Bei (Raden Ngabehi Sestrokusumo) Pak Bei terlahir dari keluarga bangsawan. Ketika masih muda bernama Daryono. Ia merupakan anak sulung keluarga Ngabehi Sastrosemito. Adiknya dua orang yaitu Darmasto dan Darnoto. Secara fisik Pak Bei digambarkan sebagai lelaki yang berhidung sangat mancung, dengan kulit kuning pucat. Ia memiliki cara mendongak yang memperlihatkan dagu kerasnya. Ia tidak pernah lepas dengan rokok kretek Pompa, kesukaannya. Penggambaran fisik Pak Bei terlihat dalam kutipan berikut ini:
159
160
Pak Bei, seorang lelaki yang berhidung sangat mancung, dengan kulit kuning pucat, dan cara mendongak yang memperlihatkan dagu keras, memeriksa taman bagian samping. Melihat tanaman, bunga-bunga. Menengoki tempayan yang jumlahnya puluhan, tempat ia memelihara ikan maskoki. Bukan memelihara tepatnya, karena bukan dirinya yang memelihara, yang mencarikan makanan jentik-jentik. Lebih tepatnya: tempat ia melihat ikan maskoko. Sambil mengepulkan rokok kretek Pompa, kesukaan satu-satunya. ( Canting: 8) Keadaan fisik Pak Bei juga digambarkan secara jelas oleh penulis novel. Ia adalah seorang priyayi yang sempurna, gagah, berwibawa, sukses, dan memiliki senyuman yang ramah. Ia selalu tampil bersih di saat yang lain dalam keadaan letih. Di saat Bu Bei meninggal, Pak Bei masih bisa tenang dan tidak menampakkan kegoncangan sama sekali. Hal ini menunjukkan betapa Pak Bei mempunyai jiwa yang sangat tegar dan matang pribadinya. Jarang ada orang yang bisa bersikap seperti Pak Bei dalam menghadapi kepergian orang yang dicintainya. Penggambaran fisik dan ketegaran Pak Bei bisa dicermati dalam kutipan berikut ini: Raden Ngabehi Sestrokusuma muncul sebagi priyayi yang sempurna. Tapi dalam busana Jawa yang sempurna, dengan wajah yang membuat tak sembarang mata memandang langsung ke arahnya. Mengesankan gagah, beribawa, sukses dengan senyuman ramah. (Canting: 261) Ni melihat kembali ayahnya menjadi orang yang tetap gagah, di saat anggota keluarga yang lain terpukul. Wajah dan penampilannya tetap bersih, di saat yang lain letih. Tak setitik pun ada tanda Pak Bei kehilangan kontrol atas dirinya. (Canting: 267)
160
161
Pak Bei, seorang keturunan bangsawan yang memiliki pergaulan yang cukup luas dan berpengalaman. Tidak hanya kota-kota dalam negeri yang dikunjunginya bahkan ia pernah melawat ke negeri tetangga. Gambaran pengalaman pak Bei bisa dicermati dalam kutipan berikut ini: Pak Bei berjalan ke dalam rumah. Berbicara lewat telepon mengenai jatah kertas yang dikurangi untuk penerbitan majalah. Lalu menelepon temannya yang lain, sambil bercerita mengenai kunjungannya ke Singapura. Tertawa menceritakan hotel, bar dan gadis-gadis, kebersihan kota, tetapi juga kesimpulannya bahwa kota itu tak mungkin bisa berkembang menjadi kota industri. (Canting: 8) Pengetahuan yang luas dan cara berpikir modern yang dimiliki Pak Bei yang berbeda dengan para priyayi pada umumnya tergambar jelas dalam novel ini. Karakter Pak Bei ini tergambar jelas dari pandangan Metra mantan pacar Lintang Dewanti anak Pak Bei yang ke- 2: “Metra sering kagum dengan pribadi lelaki yang menjadi Ayah dari gadis yang dikejar-kejarnya. Pengetahuannya banyak. Kayaknya bisa ngomong apa saja. Karena dalam pikirannya. Pak Bei adalah lelaki yang numpang kenikmatan dari hasil karya dan penghasilan isterinya. Pak Bei adalah borjuis yang sesungguhnya. Yang dikecam Metra habis-habisan. Kenyataanya begitu. Tapi dalam pembicaraan. Metra sering bergeser pandangannya. Pak Bei bukan tokoh pembantu yang muncul karena diperlakukan sebentar. Tenang, berbawa, tapi tuntas. Segala apa yang dilakukan, nampak terbuka. Tetapi juga masih banyak yang bisa diperkirakan.” (Canting: 107-108) Pak Bei bukan tipe pendendam. Ini terlihat ketika dua orang adiknya dulu lebih suka menyingkir ketika kakaknya mengawini buruh batiknya. Bahkan ketika dua adiknya pasrah bongkokan menyerahkan
161
162
hidup dan matinya kepada Pak Bei, dia tetap menerima dengan jiwa besar serta mengayominya. Gambaran jiwa besar Pak Bei terlihat dalam kutipan berikut ini: ”Saya pasrah bongkokan, Kangmas.” Pak Bei masih merasakan sakitnya ketika ia dikucilkan. Akan tetapi ia kakak yang baik. Ia berkata kepada isterinya agar mencarikan rumah buat adiknya. ”Rumah yang pantas”. Dan Bu Bei melakukan itu. Melakukan pembelian rumah di jalan Gading Kidul, sekitar satu kilometer sebelah selatan pintu gerbang Keraton. Cukup dekat, akan tetapi juga jelas bahwa tak berada dalam lingkungan keraton lagi. Rumah itu masih tetap rumah yang terbaik, paling kuat bangunannya, dan bertingkat. (Canting: 127 – 128) Pak Bei mempunyai jiwa sosial yang tinggi sekalipun ia bangsawan namun ia tidak hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri tetapi juga memikirkan kepentingan orang lain, pada masyarakat kecil, pada buruh batiknya juga pada bangsa dan negara: “Marilah kita mengadakan secara sederhana. Saya mengusulkan kita mendengarkan pertemuan jumat kliwonan di Taman Ronggowarsito di Njurug saja. Lebih sederhana, di atas tikar. Kita bisa memberi bantuan pada masyarakat kecil sekeliling yang menjual teh, menjual makanan kecil dan ngamen…..” (Canting: 18) Pak Bei risi jika disebut kaum feodalis, kapitalis dan borjuis sehingga ia merasa perlu membela diri ketika Tumenggung Reksoprojo yang sosialis menuduhnya demikian. Ketika itu malam jumat kliwonan. Keduanya sama-sama dalam kondisi mabuk sehingga terlibat sedikit pertengkaran. Sifat yang sebenarnya Pak Bei bisa dicermati dalam kutipan berikut ini:
162
163
“Tidak. Malam ini harus jelas, saya risi mendengar tuduhannya. Apa salahnya kita minum? Apa salahnya kita Mrau? apa salahnya kita Feodal, karena kita memang lahir begitu.” (Canting: 27) “Ia bangsawan yang melarat. Saya bangga disebut Pak Bei, karena saya memang Ngabehi. Saya kaya, dan saya menikmati kekayaan itu. Buruh saya seratus dua belas, saya memberi makanan, memberi rumah. memberi segala. Saya kapitalis yang menolong mereka, bukan rakyat yang ada di warung tidak bisa bayar.” ( Canting:27 ) Pak Bei juga seseorang yang pandai mengendalikan emosi. Pembawaanya selalu tenang dan beribawa. Kalaupun ia marah, itu disebabkan oleh hal yang dianggapnya keterlaluan. Seperti ia mengetahui bahwa Wening. Putrinya yang ke- 5 turut bermain judi di kebon. “Weniiiiiing!......” Teriak Pak Bei mengguntur. Sebagai priyayi, kepala rumah tangga, Pak Bei tidak pernah berteriak sekeras itu di rumahnya sendiri. Maka cukup mengejutkan siapa saja. Seketika itu juga bubar semua. (Canting: 78-79) “Kamu melakukan sesuatu yang salah. Ingat Wening dalam hidup ini ada lima pantangan: main kartu, mencuri, main jinah, mabuk, menghisap candu. Itu tak boleh dilakukan, apalagi kamu perempuan, putri Nagabehi, masih kecil. Kalau besar kamu bakal jadi apa? Jadi apa?” (Canting: 79) Kepandaian Pak Bei dalam mengendalikan emosi juga terlihat ketika Bu Bei mengatakan bahwa dirinya mengandung. Ia tidak marah walaupun ia curiga bahwa kandungan dalam rahim Bu Bei bukan dari benihnya. Dan ia sangat bijaksana ketika kata-katanya dulu menjadi kenyataan. Sebuah pernyataan terhadap kandungan Bu Bei dan
163
164
kenyataan pilihan Ni yang memilih batik sebagai pekerjaan. Hal itu dapat dicermati dalam kutipan berikut ini: Baru kemudian Pak Bei berdehem kecil. ”Saya tidak bisa bicara sekarang ini. Mengenai anak yang kamu kandung, saya tak tahu. Kalau nanti besarnya jadi buruh batik, ia memang anak buruh batik. Memang darah buruh yang mengalir, bukan darah Sestrokusuman”. (Canting: 10) ”Bagiku persoalan itu telah selesai. Aku bisa berdamai dengan diriku. Aku tahu kami pasti bertanya-tanya apakah aku ini ayah kandungmu atau bukan? Iya, kan?” (Canting: 249) ”Bagiku sudah tak jadi soal lagi. Apakah kamu anak kandungku atau bukan. Apapun juga, kamu tetap anakku.” Mata Ni merah. Basah. ”Kamu anakku, karena aku ayahmu, dan karena istriku adalah ibumu, Itulah penjelasannya.” (Canting: 249-250) Sifat pak Bei yang menonjol lainnya adalah sikapnya yang berani beda dengan yang lain. Jika para bangsawan begitu mengagungagungkan perkawinan dengan bangsawan. Tidak demikian oleh Pak Bei. Pak Bei justru berani mengawini rakyat kecil, buruh batiknya. Sifat ini disebutnya sebagai rakyat. “Pak Menggung jangan menyombongkan soal kerakyatan. Saya ini raden Ngabehi Sestrokusuma, putra sulung Ngabehi Sastrasemito yang kondang, sebelum orang bicara kerakyatan, saya sudah merakyat. Siapa yang berani mengawini rakyat, kalau bukan saya? Hayo, siapa? Apa Pak Manggung? Bukan”. (Canting: 89) Di samping itu Pak Bei juga aktif dalam berbagai kegiatan. Ia ikut dalam perang kemerdekaan. Ia tunjukkan jiwa patriotisme dan
164
165
nasionalisme dalam perjuangannya membela tanah air. Kutipan di bawah menggambarkan hal tersebut: “Siapa yang mendapat bintang gerilya angkatan pertama di Solo? Di seluruh Surakarta ini? Siapa. Raden Ngabehi Daryono Setrokusumo.Ada suratnya ditandatangani Presiden Soekarno. Ada tandanya. Bintang gerilya yang dibuat dari pecahan motir. “Siapa penguasa batik yang berhasil menghimpun penduduk desa dan memberikan tempat berteduh? Perusahaan batik Canting. Siapa pengusahannya? Raden Ngabehi Sestrokusuma yang bicara ini. Daftar nama penyumbang pembuat monumen Nasional saya yang mempelopori partama kali di Kota Surakarta Hadiningrat yang sedang sekarat ini. Siapa yang membantu pembuatan Stadion Negara untuk Asian Games yang akan datang? Siapa yang memberikan dana terbesar pertama kali Raden Ngabehi Sestrokusuma pengusaha batik Canting. Siapa Pyiayi Solo yang mendapat kehormatan mengawal jendral Besar Panglima Sudirman? Siapa pyiayi Surakarta yang diterima oleh kehormatan Sultan Hamengkubuwono IX di Yogyakarta. Raden Ngabehi Sestrokusuma. Sayalah orangnya yang tidak melihat perbedaan kerendahan. Tahun 1948, saya memanggul senjata untuk membebaskan Yoygyakarta.” (Canting: 89-90) Pak Bei orangnya tak tegaan, sekaligus juga tak suka mendengar pujian, apalagi cacian singgah di telinganya. Dia tak bisa mendengar hal-hal semacam itu. Hal itu tergambar dalam kutipan berikut ini: “Apa? Tak sampai hati? Kalau tak sampai hati jangan berdagang. Seperti saya ini. Karena tak sampai hati saya tak mau berdagang. Saya tak mau jadi tukang gadai. Paham?!” (Canting: 131) “Saya tak ingin dipuji. Kalau memuji, jangan sampai saya mendengar”. ”Saya tak takut dicaci. Kalu mencaci, jangan sampai saya mendengar. Saya dilahirkan dengan telinga yang tipis dan kecil, tak bisa mendengar hal-hal seperti itu.” (Canting : 132)
165
166
Pak Bei bukan tipe pengecut. Ia bersifat kesatria, gagah, pemberani, dan pantang mundur. Pun ketika ia bentrok melawan anakanak muda dari golongan sosialis dan ia dikeroyok, ia tetap melawan tanpa gentar. Bukti keberanian Pak Bei bisa dicermati dalam kutipan berikut ini: Wagiman makin cemas, karena Pak Bei ternyata muncul lagi dari dalam. Tetap gagah, tetap lebar langkahnya. Kedua tangannya menggengam tombak panjang. Bu Bei menangis di kaki Pak Bei, berusaha menahan. Tapi Pak Bei tetap maju. (Canting: 148) Sikap pemberani, ksatria, dan suka berterus terang yang dimiliki Pak Bei juga tergambar dalam pandangan Himawan, pacar Ni. Hal ini membuat Himawan begitu kagum dan hormat pada Pak Bei, calon mertuanya. Kekaguman Himawan kepada Pak Bei tergambar dalam kutipan berikut ini: “Ni, kamu mungkin sekali keiru, Rama lain. Rama itu suka bla-bla-bla. Berbeda dengan ayah yang lain. Riwayat Rama penuh latar belakang keberanian, keterusterangan, dan sikap seorang ksatria.” (Canting; 208-209) Kebaikan pak Bei sangat dirasakan oleh buruh-buruhnya. Sikap Pak Bei membuat para buruh batik memiliki rasa pengabdian yang tulus, kepasrahan, dan penyerahan diri yang ikhlas. Ketika banjir besar melanda. Pak Bei menolong dan membantu buruh-buruhnya. Dan tidak hanya memikirkan dirinya sendiri. Oleh karena sikap itulah, maka para pembantu dan para buruh sangat menghormati.
166
167
Pak Bei sangat mengayomi seluruh pembantu dan buruhnya. Ia figur yang pantas untuk diteladani karena sifatnya itu. Kebaikan Pak Bei tergambar jelas seperti penuturan Wagiman salah satu buruh batik penghuni kebon belakang. Hal itu dapat dicermati dalam kutipan berikut ini: Wagiman tak habis mengerti. Di saat semua milik Pak Bei terendam air, semua batik, kain mori, perabotan rumah tangga. Pak Bei malah memikirkan orang lain. Berkarung-karung beras membusuk, kain paling halus jadi gombal, Pak Bei malah menolong orang lain. (Canting: 160) Wagiman sadar, bahwa menjadi Pak Bei adalah menjadi orang besar, orang yang dipilih Tuhan. Wagiman membuktikan sendiri. Makanya ia merasa bahwa pengabdian dirinya adalah bagian dari pokok dari rasa bersyukurnya. Kepasrahan, penyerahan diri secara ikhlas adalah sesuatu yang wajar. (Canting: 161) Sifat dan karakter Pak Bei yang bijaksana terlihat ketika ia menyelesaikan masalah Wahyu yang menghamili Wagimi, anak buruh batiknya dengan mengawinkan Wagimi dan Jimin. Menurut Pak Bei ini adalah solusi terbaik walaupun Ni memprotesnya. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut ini: ”Kamu tahu apa Ni? Kamu tahu apa, saya mau tanya. Rama ini orang bersar, tak bisa disamai kebesarannya, oleh anaknya sekalipun. Aku ayah yang baik bagai anak-anak. Tapi aku juga juragan baik bagai buruh-buruhku. Ini jalan yang terbaik. Mulai saat ini aku larang kamu membicarkan ini..” (Canting: 235) Sikap bijak Pak Bei juga tampak ketika menyelesaikan masalah Ni yang ingin meneruskan usaha pembatikan. Walaupun Ni tahu,
167
168
ibunya sakit keras ketika mendengar keinginan Ni. Tapi Ni tetap kukuh pada tekadnya. Pak Bei tidak melarang keinginan Ni, Pak Bei justru bangga pada Ni yang berbeda dengan semu saudara-saudaranya. Jiwa besar dan kebijaksanaan Pak Bei membuat Ni luluh. Ni tidak tahu mengapa bisa demikian, barangkali karena wibawa Pak Bei yang begitu besar dan membuat Ni tak berdaya tiap berhadapan dengannya. Sikap Pak Bei tergambar dalam kutipan berikut ini: “Ni tak bisa menahan tangisnya. Seluruh kesadarannya teriris sempurna. Simpul-simpul Perasaannya terkelupas. Ni makin mengakui bahwa ayahnya adalah lelaki kesatria. Ia tak menganggap ayahnya membujuknya dengan cara halus. Ni merasa diperlakukan dengan sangat dewasa. Ni merasa mempunyai harga. Merasa bermakna. (Canting: 257) Apakah ini berarti ia telah dikalahkan oleh ayahnya? Ia dikalahkan justru dengan cara pendekatan yang halus? Benarkah kekerasan selalu kalah dengan kelembutan? Benarkan ini kelebihan ayahnya yang tak tertandingi? (Canting: 259-260) Apa yang diungkapkan Ni tentang ayahnya, akan semakin memperjelas bagaimana karakter Pak Bei yang sebenarnya. Ni kagum pada ayahnya. Tapi kadang juga merasa jengkel karena ada sikap Pak Bei yang dianggapnya manja. Ini adalah sisi yang lain dari seorang Pak Bei disamping sifat-sifat baik yang dimilikinya. Kemanjaan Pak Bei terhadap Bu Bei tergambar dalam kutipan berikut ini: Itulah Pak Bei. Melakukan sendiri apa yang dianggapnya baik. Ni makin mengerti bahwa ayahnya memang lain. Kalau sendoknya jatuh. Pak Bei akan menunggu sampai Bu Bei mengambil sendok itu lebih dulu. Dan tak akan melanjutkan
168
169
makan dengan sendok baru yang bersih. Ni kadang kesal dengan sikap itu. Rasanya ayahnya sangat malas sekali. Abu rokok yang jatuh dibajunya enggan untuk segera ditepiskan. Handuk tergantung tidak sempurna membuatnya urung mandi. Teh yang menjadi sehangat air mandi, akan membuat Pak Bei jadi membuka tutup gelas. (Canting: 270) Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Pak Bei secara fisik adalah lelaki yang gagah dengan hidung sangat mancung. Ia memiliki kulit kuning pucat dengan cara mendongak yang memperlihatkan dagu yang keras. Sifat fisik ini selaras dengan statusnya yang ningrat dan terlahir dari keluarga bangsawan. Pak Bei memiliki jiwa sosial dan suka menolong, berjiwa besar, berpengalaman dan memiliki bergaulan yang cukup luas. Ia seorang yang berani tampil berbeda dengan sosok bangsawan lainnya. Berani mengawini anak buruh batik. Pak Bei juga pribadi yang bisa mengendalikan emosi, bukan tipe pengecut, bijaksana dalam mengambil tindakan. Satu hal sisi lain Pak Bei adalah sikap manjanya kepada Bu Bei. Itulah kesimpulan watak dan karakter Pak Bei. Hal itu bisa dicermati lewat penuturan penulis novel. Watak dan karakter Pak Bei dalam novel Canting ada yang digambarkan secara analitik ada pula yang digambarkan secara dramatik. Secara analitik melalui penuturan langsung penulis novel. Sedangkan, secara dramatik dituturkan lewat dialog atau tanggapan tokoh lain dalam novel tersebu t.
169
170
2) Bu Bei (Tuginem) Bu Bei bernama asli Tuginem. Sebelum diperistri oleh pak Bei ia biasa dipanggil Gi saja. Tuginem terlahir di desa Nusupan. Sebuah desa di sebelah timur Sungai Bengawan Solo. Ayah dan ibunya seorang buruh batik. Ibunya rajin puasa senin kemis dan ayahnya suka tidur di teritis pada saat gerimis. Harapan ayah ibunya suatu saat nanti anaknya menjadi seorang priyayi. Tuginem diperistri Pak Bei ketika ia masih berumur 14 tahun. Usia yang masih sangat belia. Ia sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa ia akan diperistri putra sulung Ngabean, Raden Mas Daryono. Kadang ia bertanya mengapa ia yang dipilih padahal banyak anak orang terhormat yang lebih pantas mendampingi Raden Mas Daryono. Kutipan di bawah menggambarkan siapa sebenarnya bu Bei yang dikemas dalam bentuk nasihat: “Ingat selalu, kamu ini anak desa. Di Nusupan bukan apa-apa dibandingkan di kota. Apalagi keraton. Kamu harus selalu ingat tanah kelahiranmu, asal-usulmu, supaya tidak lupa. Supaya kuat menerima wahyu Tuhan Yang Maha Agung. Kamu bukan hanya membahagiakan dirimu, orang tuamu, leluhurmu, tapi seluruh desa Nusupan ini, sebelah timur Bengawan Solo ini akan terangkat derajatnya.” Kata Ayahnya. (Canting: 82) “Kamu ini wong cilik. Simbok dan Bapakmu buruh batik. Tidak mengerti merah hijaunya negara. Tapi kalau menghendaki, bisa saja seorang putra kanjeng, bangsawan meminangmu. Den Bei Daryono meminangmu. Tidak untuk selir, tidak untuk dipelihara, tapi dikawin secara resmi.” (Canting: 81-82)
170
171
Konon menurut cerita, Tuginem sesungguhnya anak cucu priyayi yang menjadi saudagar dari Demak. Keyakinan ini didukung dengan penampilan fisik Tuginem yang berbeda dengan gadis desa pada umumnya. Sepasang mata dengan alis yang tebal, kulit kuning, dan tulang-tulang yang halus. Rupanya ciri fisik inilah yang telah menggoda anak ningrat Raden Mas Daryono. Gambaran fisik Tuginem dapat dicermati dalam kutipan berikut ini: “Kita ini sesungguhnya anak cucu priyayi. Kita terdampar dan berada disini, karena kita dulunya priyayi yang menjadi saudagar dari Demak. Kita anak cucu dari sana. Saya selalu menerima dongengan itu, tidak mungkin kalau kita bukan priyayi. Matamu bukan mata anak desa. Alismu tebal sekali. Kulitmu kuning. Tulang-tulangmu halus. Hanya namamu saja Tuginem, karena di desa tidak boleh memakai nama bagus. Karena dulu kita priyayi yang disingkirkan, yang dibuang. Untuk membedakan kita harus memakai nama yang jelek. Tuginem nama yang jelek. Tapi kamu akan dipanggil Bu Bei. Tetapi kamu bisa memberi nama apa saja pada anakanakmu ” (Canting: 83) Tuginem memang dipersiapkan betul untuk masuk ke dunia priyayi. Kedua orang tuanya selain rajin bertirikad juga rajin menasihati Tuginem tentang bagaimana menjadi seorang priyayi. Tuginem awalnya merasa tertekan. Di usianya yang belia kadangkadang rasa ingin bermainnya masih muncul ketika itu pula ia harus belajar bagaimana menjadi seorang priyayi. Kutipan di bawah ini menggambarkan perasaan ini: Ia menangis diajari membawa nampan, diajari menyembah, disuruh belajar menari, diajari membaca, diajari melirik, tersenyum, menggerakkan ujung jari. Seolah ia tak pernah bisa apa-apa. Padahal selama empat belas tahun dalam
171
172
hidupnya, ia telah ada di rumah Ngabean ini. Bersama kedua orangtuanya. Dan bisa melakukan apa saja. Bahkan membatik. Tapi tak apa. Tak perlu bertanya. Menunggu saja. (Canting: 84) Namun, usaha kedua orang tua Tuginem tidak sia-sia. Tuginem ternyata berhasil menjadi bu Bei dan memiliki sifat-sifat yang dikehendaki oleh seorang priyayi. Bu Bei di usianya yang ke- 32 tetap kelihatan cantik, wajahnya selalu memancarkan kebahagiaan, dan orangnya gesit kalau bekerja. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut ini: Bu Bei masih memberi kesan muram. Matanya merah. Matanya merah karena habis menangis. Mata yang indah di bawah sepanjang alis tebal melengkung. Untuk usianya yang tiga puluh dua tahun, Bu Bei masih menampakkan kegesitannya yang luar biasa, dan yang luar biasa adalah wajahnya selalu nampak bercahaya. Rasanya tak ada yang bisa dipahami, dan diselesaikan dengan baik dan memuaskan. Cahaya dari wajah Bu Bei adalah cahaya dari suatu kebahagian. Kebahagian seorang wanita yang berhasil mengisi hidupnya dengan suatu kerja yang panjang dan bekti yang tulus kepada suami. (Canting: 6) Walaupun ada perbedaan lingkungan yang membentuk pribadi Pak Bei dan Bu Bei, ternyata Bu Bei bisa mengimbangi kehidupan suaminya yang ningrat. Bu Bei selalu memberikan yang terbaik bagi suaminya, pengabdian yang tulus dan luar biasa. Bu Bei rela melakukan apa saja asal suaminya bahagia. Seperti memberi kebebasan untuk pergi dari rumah seharian penuh tanpa alasan yang jelas, agar suaminya lepas dari suasana rumah. Pertemuan Jumat kliwonan salah satu kegiatan yang tidak pernah Pak Bei abaikan dan Bu Bei memberi keleluasaan untuk menjalaninya.
172
173
Ini hari Kamis Wage. Berarti sore pukul delapan belas nanti sudah dihitung hari Jumat Kliwon. Sore atau malam nanti, Bu Bei seperti juga istri-istri yang lain, akan melepaskan suaminya. Memberikan hari yang khusus untuk membiarkan suaminya pergi malam penuh tanpa alasan. Kalaupun ada alasan, itu adalah alasan pertemuan Jumat Kliwonan. Sakral, suci, atau sekadar lepas dari suasana rumah sehari-hari tidak menjadi masalah utama bagi Bu Bei. Ia justru merasa bahagia dengan adanya pertemuan semacam itu, karena bisa melepas suami pergi dari rumah memberi keleluasan karena selama ini terkungkung, jauh dalam hati Bu Bei mensyukuri adanya pertemuan yang menurut cerita banyak arti. Seperti yang secara tidak langsung pernah diceritakan Pak Bei secara sekilas. (Canting: 17) Bu Bei mengabdi pada suami dengan ketulusan hati. Pengabdian Bu Bei tampak dari caranya melayani Pak Bei. Dari halhal yang kecil dan sepele semua diperhatikan jangan sampai mengecewakan Pak Bei. Ia melakukan semua itu dengan penuh keikhlasan. Ia memberikan pelayanan yang terbaik. Semua tingkah laku dan tindakan Pak Bei, baik yang berupa kata maupun hanya isyarat Bu Bei sudah mengerti. Ketika Pak Bei menjauhkan kakinya saat dipijati, itulah tanda bagi Bu Bei untuk berhenti memijat. Jika Pak Bei marah, ia tak berani tidur di sampingnya. Ia akan tidur menggelar tikar di bawah. Dan apapun yang dikatakan Pak Bei, akan dituruti tanpa protes tanpa banyak tanya. Walau begitu bukan berarti Bu Bei adalah wanita yang lemah. Baik secara fisik maupun mental, ia termasuk pribadi yang kuat. Ia jalani kehidupan berdagang di pasar secara mandiri. Kutipan di bawah ini menggambarkan keadaan tersebut:
173
174
Pasar adalah dunia wanita yang sesungguhnya. Dunia yang demikian jauh berbeda dengan suasana rumah. Bu Bei berubah menjadi seorang Direktur, seorang Manajer, seorang pelaksana yang sigap. Sejak memutuskan siapa yang menarik becak, kuli mana yang tidak disukai, sampai dengan memilih Yu Tun dan Yu Mi. Keduanya masih gadis, sedang tumbuh, bisa tersenyum dan berhitung, dan tak memberengut kalau digoda. Namun, syarat yang paling penting, pembantu di pasar tak ubahnya sekretaris. Makin kuat kemampuannya untuk menyimpan rahasia, makin panjang usia kerjanya. Makin menunjukkan kekuatan spons yang menyerap liku-liku pergunjingan yang ada, makin kuat pula kedudukannya. (Canting: 42-43) Tapi peran yang disediakan pasar Klewer cukup besar, sehingga Bu Bei yang memijati kaki suaminya dengan tabah, setia, bakti penuh kasih sayang, dan juga ketakutan, adalah juga Bu Bei yang galak dan bisa memaki polisi, yang bisa bercanda, mencolek dan dicolek, dengan keberanian memutuskan masalah-masalah sulit. Mengambil keputusan sampai ratusan ribu dalam satu tarikan nafas. (Canting: 50-51) Bu Bei seorang istri yang berjiwa besar dan bijaksana. Menurutnya lebih baik menjaga keutuhan rumah tangga daripada harus ribut dengan suami. Ketika ia tahu Pak Bei punya istri muda di Baki yang bernama Karmiyem, Bu Bei tidak marah, tidak protes. Ia juga tidak menggugat suaminya. Bu Bei pura-pura tidak tahu. Tindakan ini diambil untuk tetap menjaga keutuhan rumah tangga, keseimbangan, dan keselarasan yang sudah ada. Bu Bei tidak menyukai kegelisahan. Hal itu bisa dicermati dalam kutipan berikut ini: “Berbicara begini saja tak gampang lho Ni. Pada ibumu sendiri, selama 40 tahun jadi suaminya masih tak bisa. Karena memang tak diperlukan. Malah akan membuat gelisah. Ibumu tak suka kegelisahan.” (Canting: 248)
174
175
Jiwa besar Bu Bei juga ditunjukkan ketika dua saudara Pak Bei yakni Darmasto dan Darnoto pasrah bongkokan. Pak Bei menyuruh Bu Mei mencarikan rumah yang pantas untuk mereka berdua. Bu Bei ternyata bertindak di luar dugaan Pak Bei. Ia membelikan rumah yang layak untuk saudaranya di wilayah Gading dengan tulus ikhlas. Bu Bei sangat penurut dan selalu mematuhi apa yang dikatakan Pak Bei. Apa yang dianggap baik oleh Pak Bei, itulah yang akan diturutinya. Tak pernah membantah sedikitpun. Inilah sifat seorang istri yang tahu bakti dan mengabdi kepada suami secara tulus-ikhlas. Penuturan Pak Bei di bawah ini menggambarkan pribadi Bu Bei: “Tidak. Ibumu tak pernah jadi rintangan kita bicara seperti ini, saya makin sadar bahwa selama ini ibumu tak pernah merintangi saya. Tak pernah satu kalipun. ”Segalanya serba-iya, serba-inggih, serba sakkersa, serba semau saya. Belum pernah Ibumu menolak apa yang saya inginkan. Tidak dengan kata-kata, tidak juga dengan suara hatinya. ”Ibumu berhasil menyatukan suara hati dengan tindakan suaminya. ”Ibumu berhasil menyatukan suara hatinya sebagai wanita dan suara hati seorang istri. ”Ini luar biasa. Ini sebabnya saya menganggap Ibumu adalah wanita yang bahagia lahir maupun batin. (Canting: 280) Bu Bei seorang istri yang luar biasa. Ia bisa menyatukan antara karier, kepentingan pribadi, kepentingan istri, dan kepentingan seorang ibu dalam satu tarikan nafas yang sama. Bu Bei pribadi yang tidak pandai berkata-kata tapi memiliki kemampuan yang luar biasa. Bu Bei adalah pribadi yang sederhana, tapi bisa duduk sejajar dengan
175
176
suaminya yang cukup pengalaman dan disegani banyak orang. Kutipan di bawah ini menjelaskan hal tersebut di atas: Ini yang istimewa, sebab Ibumu mencapai tingkat pasrah dalam artian yang sebenarnya. Ibumu bisa menyatukan karir, kepentingan pribadi, kepentingan istri, kepentingan seorang ibu dalam satu tarikan nafas yang sama. (Canting: 281) Ibumu tak pandai menyusun kata-kata. Saya bahkan lupa apakah Ibumu pernah sekolah atau tidak. Tapi bisa baca tulis sedikit-sedikit. Tapi lebih dari itu semua bisa mengerti, bisa menangkap suasana, bisa menyatukan perasaannya. (Canting: 282) Kalian tahu bahwa Ibumu begitu sederhana sikapnya tapi juga begitu dasyat kemampuannya untuk menyatukan hatinya dengan rasa hati saya, seorang ngabehi yang tampan, yang mengerti bahasa-bahasa asing, yang pernah foto dengan Bung Karno, yang semua ini tak terbayang dalam dunia Ibumu. (Canting: 283) Bu Bei seorang perempuan pekerja keras. Tak pernah mengenal hari libur. Tak pernah mengeluh dalam situasi sulit, tak pernah mengeluh karena sepi pembeli. Ia bisa menggerakan usaha bisnisnya dengan naluri, karena ia memang tidak pernah sekolah manajemen. Penilaian tentang Bu Bei ini disampaikan oleh Pak Bei di akhir hayat Bu Bei, seperti kutipan berikut ini: Bu Bei lain tak memiliki kepasrahan yang sama seperti Ibumu. Kepasrahan yang diwujudkan dengan kerja keras. Saya mau tanya, apa kalian semua sanggup bekerja seperti Ibumu. Tak mengenal hari besar dan hari libur kecuali lebaran. Menyiapkan dagangan, mengurusi batik, mengurusi saya, mengurusi kalian semua. Sejak sebelum matahari terbit sampai jauh sesudah matahari tenggelam. (Canting: 284) Sehabis banjir besar, kota Solo ini hancur. Pembatikan kita ludes, tinggal lumpur. Usaha macet total. Saya panic
176
177
karena tak meilihat cara untuk memulai usaha. Yang terbayang hanyalah bagaimana menghabiskan simpanan seirit mungkin. ”Ibumu tetap saja. Bangun pagi, mengambil sapu. Menyapu. Menyuruh Mijin membersihkan dengan sentoran air. Mengepel. Merapikan dagangan yang ada. Berangkat ke Klewer. Tak ada pembeli, tak ada transaksi. Saya cemas untuk pertama kalinya saya tanya. “Bagaimana, tak ada yang beli?” Ibumu menjawab sederhana, “Namanya orang jualan. Kadang laris, kadang tidak.” (Canting: 285) Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Bu Bei waktu muda adalah seorang gadis desa yang sederhana tapi memiliki penampilan yang berbeda dengan gadis desa kebanyakan. Ia memiliki alis yang tebal, kulit kuning, dengan tulang-tulang yang halus. Di usianya yang ke-32 bu Bei tetap tampil cantik, gesit bekerja, dan sudah pasti pekerja keras. Bu Bei adalah perempuan yang luar biasa. Sebagai seorang istri ia
cukup
mandiri,
menjalankan
usaha
batik
dengan
naluri
keperempuannya. Bu Bei juga seorang istri pengertian dan tulus ikhlas mengabdi pada Suami. Istri yang tidak banyak menuntut, berjiwa besar, dan bijaksana dalam tindakan. 3) Ni (Subandini Dewaputri Sestrokusuma) Ni nama lengkapnya Subandini Dewaputri Sestrokusuma. Ia tokoh utama perempuan dalam novel Canting. Ni hadir sebagai tokoh utama dalam novel ini setelah bu Bei wafat. Ni adalah anak ke-6 dari keluarga Pak Bei. Ia lahir 11 tahun setelah Wening kakaknya yang nomor 5 yang ketika itu dianggap sebagai si bungsu dan bintang keluarga.
177
178
Saat Ni dalam kandungan, keluarganya mengalami krisis kepercayaan karena ia diragukan sebagai keturunan Pak Bei. Namun krisis berlalu dengan sendirinya. Pak Bei membiarkan saja peristiwa itu dan tidak ingin konflik terbuka terjadi di keluarganya. Walaupun sikap pak Bei cukup membuat bu Bei gelisah. Dengan sikap itu, pak Bei berharap keluarganya tetap utuh. Ni bukannya tidak tahu riwayat kelahirannya. Namun hal ini tidak membuatnya menjadi berbeda dengan saudara-saudaranya yang lain. Bahkan Ni justru menjadi anak emas ayahnya. Saat kelahiran Ni, Pak Bei membanggakan sebagai anak yang akan membuat sejarah yang berbeda dengan kakak-kakaknya. Di bawah ini gambaran kelahiran Ni: Bu Bei seperti malas menyiapkan popok yang dulu sudah diberikan kepada orang lain. Seperti malas untuk menyediakan tempat tidur bayi. Untuk minum jamu-jamu. Tapi bayinya lahir juga. Perempuan. Bayi dengan pipi tembam, tidak mempunyai rambut. Dan menangis keras seolah memecah ruangan. Tendangannya sangat kuat. Bayi yang hitam, kurus dan tampak sangat panjang kakinya. (Canting: 85-86) “Anakmu sudah lahir, Bu” kata Pak Bei di samping Bu Bei yang masih susah mengatur nafas. “Hitam seperti jangkrik”. Bu Bei menangis. ”Selamat semuanya.” Bu Bei menangis lagi. Dulu, kelima anaknya lahir, dan pak Bei sudah menyiapkan nama. Kali ini tidak dibisikkan nama. Kali ini biasa-biasa saja. Tak menjenguk kembali. Bu Bei menunggu semuanya, sambil meneteki, dan merasa bayinya sangat kuat mengisap dan membuat sakit. ( Canting: 86)
178
179
Bayi kecil dan baru saja digunduli kepalanya hingga plontos itu sangat lucu, walau tak tersembunyikan pipinya yang tembam, dan tulang-tulangnya yang kelihatan menonjol, lucu tetapi juga tidak mengesankan cantik. Terutama karena alisnya seperti tidak tumbuh sama sekali. Pak Bei justru menganggap Ni sebagai anak yang istimewa dengan segala kekurangan yang dibawanya sejak lahir. Pada malam selapanan Pak Bei membolehkan Bu Bei makan apa saja yang sebelumnya dikekang. Seolah Pak Bei mulai menerima nilai ganda secara terbuka sejak malam itu. Ni dianggap istimewa karena waktu ia lahir tidak dibuatkan procotan, untuk mempermudah kelahiran. Namun ia lahir begitu mudah. Juga waktu membuat brokohan, nasi urapnya pedas sekali padahal seharusnya tak boleh terlalu pedas karena yang lahir bayi perempuan. ”Ni ini istimewa. Waktu mau lahir, kami tidak membuat procotan. Padahal procotan untuk memperlancar persalinan, karena ibaratnya bisa mrocot, nongol dengan cepat. Tapi Ni tidak pakai bubur putih yang dicampuri ubi. Ia lahir begitu saja. Juga waktu membuat brokohan, nasi urap, semua menyadari ada kekeliruan. Seharusnya nasi urap tidak terlalu pedas, karena yang lahir adalah bayi perempuan. Tapi entah kenapa jadinya urapnya pedas sekali. (Canting: 116) Untuk bayi perempuan seharusnya tak boleh masak kluwih, karena itu hanya untuk laki-laki. Agar besok jadi anak yang linuwih. Tapi nyatanya di belakang masak lodeh kluwih. Dengan keanehankeanehan ini, Ni memang telah menunjukkan bahwa ia memang berbeda dengan saudara-saudaranya. Pada kenyatannya, Ni memang
179
180
berbeda dengan semua saudaranya baik secara fisik maupun sifat-sifat pembawaannya. Jika semua kakaknya tumbuh jadi orang yang penurut, begitu segan dan selalu mengiyakan apa yang dikatakan ayahnya maka Ni tidak. Kakak-kakaknya menuruni sifat priyayi Bu Bei yang begitu taat dan berbakti kepada Pak Bei. Ni pemberani, ceplas-ceplos kalau bicara, dan berani bersikap terbuka pada ayahnya. Tidak seperti kakak-kakaknya yang hanya bisa mengatakan: inggih, leres, mboten wonten menapa-menapa. Namun sikap Ni ini justru disukai oleh Pak Bei karena dianggap sebagai generasi kedua setelah Pak Bei yang berani tidak Jawa. ”Kamu biasanya ceplas-ceplos, Ni.” Ni berjalan ke belakang. Di bawah sorot pandangan semua yang hadir. Mungkin akan segera hilang di bagian rumah yang lain, kalau tidak terdengar suara pak Bei. ”Piye, Ni?” (Canting: 196-197)
Ni tumbuh dan berkembang di Ngabean. Ia merasa dekat dengan para buruhnya, sehingga suatu saat waktu ia masih SMP ia mengetahui peristiwa kehamilan Wagimi, teman sepermainannya di kebon. Ia merasa terpukul Wagimi disingkirkan. Ia protes pada Ayahnya, tapi ia justru dibentak. Ni tahu siapa yang menghamili Wagimi secara tidak sengaja. Berikut
adalah kutipan yang
menggambarkan peristiwa tersebut: ”Wagiman, kamu tahu siapa yang berbuat ini?” Wagiman gemetar. Menggeleng,
180
181
”Dalem sudah menanyai, Pak Bei. Tapi Genduk selalu menangis.” ”Nduk, aku yang bertanya sekarang ini. Siapa yang menghamilimu?” Wagimi menangis, gemetar, keringatan. ”Aku yang bertanya!” ”Den Bagus Wahyu ... ” (Canting: 232-233) Ni juga mengetahui peristiwa Lintang yang menggelapkan pengiriman batik yang menyebabkan Pakde Wahono dan Pakde Karso ditahan. Ni membela mereka. Itulah sifat Ni, ia begitu memperhatikan buruh batiknya yang dianggapnya telah berjasa pada keluarganya. Setelah lulus SMA, ia melanjutkan kuliah di Semarang Jurusan Farmasi. Ni juga memiliki calon suami namanya Himawan, kakak kelasnya seorang insinyur teknik. Ni orangnya emosional, suka bercanda, dan sedikit manja. Maklum karena ia anak bungsu, dan biasa diperhatikan ayah ibunya dan juga saudara-saudaranya. Dalam suasana khidmat pun, kadangkadang Ni masih bisa bercanda. Itulah sifat Ni. Begitupun ketika keluarganya menanyakan tentang kapan ia bersedia menikah. Gambaran karakter tokoh Ni bisa dicermati lewat penuturan kakakkakaknya: “Ni, kamu tak bisa menjawab tak ada masalah. Sejak dulu kamu ini maunya aneh-aneh. Nanti kalau pakai tamu disalahkan. Kok pakai tamu. Kalau tidak pakai tamu, kita juga disalahkan. Kok tidak pakai tamu, padahal kakak-kakaknya tamunya banyak. Kalau kami bilang dua bulan lagi, kamu merasa dikejar-kejar.” ”Kamu memang paling sulit, Ni,” Kata Bayu. (Canting: 188-189)
181
182
“Ni! Suara Bayu meninggi.” Kamu bukan anak kecil lagi. Caramu meminta perhatian saat ini sungguh kekanakkanakan. Kamu tak bisa membedakan mana yang penting, mana yang tidak. Kamu tidak memiliki sifat ambeg parama arta.” (Canting: 190) Ni juga pribadi yang keras kepala, bahkan suka nekat. Pantang mundur jika sudah punya keyakinan. Saat ibunya di rumah sakit. Ni ingin menengok tapi dilarang oleh semua saudara-saudaranya. Karena menurut saudara-saudaranya, ibunya sakit karena ulah Ni. Keinginan Ni untuk mengurus usaha batik membuat bu Bei jatuh sakit dan harus dirawat dalam suasana yang cukup serius. Namun Ni tetap nekat mau berangkat ke rumah sakit. Semua tak bisa menghalanginya. Hanya Pak Bei yang bisa mencegah kenekatan Ni. Ni menyadari bahwa sifat keras kepalanya hanya bisa ditundukkan oleh Pak Bei. Bukan dengan kekerasan tapi justru dengan kelembutan. Kekerasan hati Ni tampak dari kutipan berikut ini: Ini saatnya ia membuktikan bisa dan tetap bisa berbuat sesuatu. Ia akan nekat ke rumah sakit. Kalau perlu perang terbuka di sana. Tapi niatnya menjadi surut, menyusut sendiri. Di sana ada Pak Bei. Ada Rama, ia tak akan leluasa berbicara. Ni, sekarang saatnya! Saatnya kamu tetap tegak di depan Rama! Ni meneriakkan sendiri dalam hati untuk memompa semangatnya. Ni mengambil jaketnya, merapikan rambutnya dengan tangannya. Tekadnya sudah bulat, tak bisa dihalangi lagi. (Canting: 227) “Apakah ini berarti bahwa ia telah dikalahkan oleh ayahnya? Ia dikalahkan justru dengan cara pendekatan yang halus? Benarkah kekerasan selalu kalah dengan kelembutan? Benarkah ini kelebihannya ayahnya yang tak tertandingi?” Ni berbaring dan masih bertanya-tanya. Ia saying dan hormat pada ibunya. Ia masih tetap bandel seperti kata
182
183
ayahnya. Ia hormat dan kagum pada ayahnya. Ia masih bisa bandel karena ia memang keras kepala. (Canting: 259-260) Setelah ibunya meninggal. Ni diberi kesempatan oleh ayahnya untuk mewujudkan keinginannya untuk mengurusi batik, meneruskan usaha ibunya. Ni demikian bersemangat, tapi ia sedikit kecewa karena niat baiknya itu ditanggapi biasa-biasa saja oleh semua buruhnya. Walau demikian, Ni tak putus asa. Ia begitu bersemangat mengelola usaha pembatikan itu sehingga tenggelam dan mabuk dalam suasana bekerja. Ia seperti kesetanan bekerja. Kadang sampai larut malam ia baru istirahat. Suatu hari datanglah Laksmi, sepupunya dari Laweyan berkunjung menanyakan kiriman bulanan. Ni merasa gondok, karena keluarga Laweyan seperti menagih bunga rekening di Bank saja. Sewaktu ibunya masih hidup, memang menjadi kebiasaan mengirim uang belanja pada keluarga Laweyan dan Gading setiap bulan. Tapi kini ibunya sudah meninggal. Mereka masih juga menagih. Ni menjadi tak enak hati ketika menolak memberikan kiriman itu, karena Laksmi bilang itu soal kerelaan saja. Sifat tegas Ni diguncang dengan rasa kemanusiaan. Kutipan di bawah ini menggambarkan hal tersebut: Kerelaan macam apa? Ni merasa terjungkir balik..Justru sekarang ini dirinya seakan berada dalam posisi yang hina, yang nampak serakah. Yang tak kenal mengenal keluarga. Yang tak mempunyai kerelaan.” (Canting: 335)
183
184
Itulah tantangan awal yang dihadapi Ni ketika mengelola usaha pembatikan. Ternyata tantangan itu tidak hanya dari Laweyan saja, tapi juga dari kakak iparnya sendiri. Juga dari saudaranya yang lain seperti mengasingkan dirinya. Sikap saudaranya terwakili oleh kata-kata Ayu Prabandari, istri Wahyu. Hal itu bisa dicermati dalam kutipan berikut ini: “Ni itu kurang tahu diri, ia tak sadar dilulu oleh Rama. Ia tidak mengerti bahwa Rama sengaja membiarkan Ni terjerumus oleh keinginannya yang aneh-aneh. Ia minta mengurusi batik, dan oleh Rama, karena ingin menolak dengan cara halus, dan Ni tidak tahu dilulu seperti ini. Diiyakan. Harusnya kan tahu.” (Canting: 344) Ni merasa usahanya sia-sia karena ia merasa diasingkan oleh keluarganya. Ni menjadi bimbang. Dan apa yang dirasakan Ni kegembiraan yang melenting tinggi karena merasa terjun sepenuhnya dalam pembatikan, kini seperti terbanting dan terhempas. Inilah hasil akhir, kepingan dari keutuhan keluarga, kerontokan dari keluarga Sestrokusuman. Ia mulai bimbang dan mencari-cari kesalahannya sendiri. Ia menemukan kekeliruan itu, bahwa para buruh akan tetap hidup walau usaha pembatikan ditutup. Ia merasa bahwa usahanya tak berarti. Akhirnya, Ni menyadari bahwa ia kalah. Ni menyadari bahwa usahanya menjadi buntu. Batik cap Canting yang diangkat kembali ke pasar, ternyata tidak laku.
184
185
Kegagalan Ni disebabkan karena ia harus bersaing dengan batik printing, yang lebih cepat pembuatannya dan lebih murah harganya. Ni kalah oleh kemajuan zaman dan kemajuan teknologi. Dan ketika upacara seratus hari meninggalnya Bu Bei diadakan di Surabaya, Ni merasa terasing dari keluarga sehingga ia menjadi pendiam. Perubahan sikap Ni dapat dicermati dari perkataan pak Bei dalam kutipan berikut ini: “Kamu kok pendiam sekarang? ”Bahaya kalau kamu jadi pendiam. Bisa brutal, kasar, kurang baik, karena pada dasarnya kamu itu bukan begitu. Kata Nak Himawan kamu ini aneh.” (Canting: 374) Karena terlalu berat pikirannya akhirnya Ni jatuh sakit. Semua saudaranya berkumpul dan menengoknya. Saat itu keadaan Ni pucat, kurus, hitam, dan terbaring tak berdaya. Kata Wahyu, ginjal Ni tidak beres, tekanan darahnya rendah dan beberapa komplikasi lain. Keadaan Ni gawat saat itu. Karena Pak Beilah Ni bisa sembuh. Tentunya pak Bei juga hanya sebagai perantara dari sang Khaliq. Akhirnya Ni mengambil keputusan untuk melepas cap Canting. Ia kembali melanjutkan usaha batiknya dan menyerahkan hasil usahanya kepada perusahaan besar. Perusahaan besar itu akan menjual kembali dengan memakai cap perusahaan mereka. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Ni digambarkan sebagai seorang gadis pemberani dan ceplas-ceplos kalau bicara. Ia
185
186
sangat berbeda dengan saudara-saudaranya. Ni pribadi yang sedikit manja, suka bercanda, dan kadang menunjukkan sikap yang emosional. Ni juga pribadi yang keras kepala dan suka nekat. Seperti kenekatannya untuk memilih usaha batik yang ditentang keluarganya. Setelah menjalankan usaha batik, kelihatan betul ia menuruni sifat pekerja keras yang dimiliki oleh ibunya. Ia juga tegas mengambil keputusan, tidak ragu-ragu dalam bertindak. Ni juga cukup perhatian terhadap buruk batiknya. Ni juga mengesankan pribadi yang pantang menyerah. Itu terbukti ketika usaha batiknya sedang dalam kondisi sulit ia tetap berusaha bangkit dengan berbagai cara. Akhirnya, usahanya tidak sia-sia. Batik yang menjadi pilihannya bisa berjalan dan bertahan dengan melepaskan nama canting. c. Latar Setting adalah tempat di mana cerita itu berlangsung dan terjadi. Setting bisa meliputi tempat, waktu, dan suasana. Latar cerita berkaitan dengan waktu dan tempat penceritaan. Waktu dapat berarti tahun, bulan, tanggal, siang dan malam. Tempat dapat berarti di dalam atau di luar rumah, di desa atau di kota, dapat juga di kota mana, di negeri mana, dan sebagainya. Sementara suasana adalah keadaan yang melingkupi sebuah cerita. Untuk lebih jelasnya, penulis akan membahas satu persatu setting yang ada dalam cerita Canting ini. Setting tersebut yakni: setting tempat, setting waktu, dan setting suasana..
186
187
1) Setting Tempat Dalam novel Canting ada beberapa tempat yang menjadi setting cerita. Secara umum, cerita ini terjadi di kota Solo. Tepatnya di njero Beteng di mana keluarga Den Bei Sestrokusumo bertempat tinggal. Dalem Sestrokusuman adalah setting primer dalam novel ini. Sedangkan Pasar Klewer, Njurug, Laweyan, dan Gading merupakan setting sekunder. Ndalem Ngabean Sestrokusuman adalah sebutan untuk rumah luas yang dibentengi tembok tebal merupakan kediaman Raden Ngabehi Sestrokusuma. Di samping ruang utama ada gandhok yang membujur panjang jauh ke belakang. Di bagian belakang bangunan utama berderet-deret kamar untuk para buruh batik. Tempat ini biasa disebut kebon. Kutipan di bawah ini gambaran keadaan dalem Ngabean Sestrokusuman: Dalem Ngabean Sestrokusuman, sebutan untuk sebuah rumah luas yang dibentengi tembok tebal kediaman Raden Ngabehi Sestrokusuma, tidak biasanya sepi seperti ini. Tak pernah halaman samping pendapa yang begitu luas sunyi dari anak-anak kecil bermain atau bunyi sapu lidi membersihkan. Tak pernah bagian gandhok, di samping ruang utama yang membujur ke belakang jauh sekali, begitu kosong dari tarikan nafas. Di gandhok itu, biasanya ada 112 buruh batik, sepuluh diantaranya tukang cap, yang bekerja sejak pagi hari sampai sore hari. Diseling istirahat yang tak lama, lalu dilanjutkan sekitar separonya yang bekerja lembur. (Canting: 5) Empat puluh buruh batik, yang sebagian besar pasangan suami istri, kembali ke dalam kamarnya. Kamar yang berderetderet di bagian belakang bangunan utama. Bagian yang disebut kebon. Di sana pula, anak-anak yang tengah bermain di-sssttttttt
187
188
agar tidak membuat gerakan berlebihan atau suara yang bisa mengganggu. (Canting: 6) Selain setting primer, novel ini juga memunculkan beberapa setting sekunder. Salah satu setting sekunder yang muncul dalam novel ini adalah Pasar Klewer. Pasar Klewer merupakan sebuah tempat Bu Bei berdagang batik di salah satu kiosnya. Pasar Klewer sebuah pasar sederha yang tidak lebih baik dari Pasar Singosaren itu memiliki magnet yang luar biasa bagi pedagang. Gambaran Pasar Klewer dapat dicermati dalam kutpan berikut ini: Bangunan mirip barak-barak sederhana itu tak ada apaapanya jika dibandingakan dengan Pasar Singosaren yang dikelilingi tembok tebal, dengan kios-kios yang mentereng dan toko-toko yang penuh hiasan. Tak ada apa-apanya kalau dibandingkan Pasar gede yang bangunannya bertingkat. Akan tetapi perputaran dagangan lebih mudah ditemukan di Pasar Klewer. (Canting: 49) Pasar Klewer memang unik. Dikatakan tidak lebih baik dari pasar yang lain tapi faktanya mampu menyedot perhatian pembeli dan pedagang di wilayah Solo. Pasar Klewer merupakan tempat berekspresi bu Bei dan beberapa pedagang perempuan lain. Bu Bei yang di rumah selalu iya dan inggih dengan pak Bei, di Pasar Klewer ia bak seorang pemimpin perusahaan. Keperkasaan bu Bei sebagai pedagang Batik bisa dicermati dalam kutipan berikut ini: Pasar Klewer mempunyai kekhasan. Kios-kios papan sederhana, yang sebagian dibuat dari kayu jati bukan kelas satu, dengan atap seng, dan selalu padat mampat, adalah pasar pemeran kekuasaan wanita. Lelaki yang datang adalah lelaki pembeli, baik satu-dua yang tertarik senyum dan tawaran Tun,
188
189
ataupun Saudagar Pekalongan. Lelaki yang berdandan begitu rapi, yang rambutnya ditekuk ke atas, bersepatu mengkilat, dan saputangan menyembul dalam lipatan rapi, tak lebih dari makelar. (Canting: 46-47) Pasar Klewer memang perkasa. Di lingkungan sekitar Pasar Klewer banyak tempat penting. Ada deretan toko emas dan berlian. Ada mesjid Agung dan alun-alun utara tapi Pasar Klewer paling menarik dari tempat-tempat tersebut. Pasar dicari dan dikunjungi banyak orang dari berbagai penjuru. Di bawah ini kutipan yang menggambarkan keadaan tersebut: Dengan kekuatan peputaran duit yang besar. Pasar Klewer mampu mengubah sebagian halaman sekolah di sebelah utara menjadi tempat penitipan sepeda. Seperti juga rumah yang selalu tertutup di sebelah barat menjadi tempat yang sama. Deretan toko Secoyudan dan disebelah barat berupa gedunggedung dan kios bertembok, nampak bukan apa-apa, walau tokotoko itu menjajakan emas dan berlian. Bahkan alun-alun utara yang menjadi lapangan kebangsaan raja zaman dahulu, nampak begitu gersang, kosong dan tak berarti jka dibandingkan dengan kejayaan pasar Klewer. (Canting: 48) Setting lain yang tidak kalah penting adalah Jurug. Jurug adalah tempat pertemuan jumat kliwonan diadakan setiap bulan. Njurug ini terletak
di
tepi
Bengawan
Solo
dan
disebut
juga
Taman
Ronggowarsito. Pertemuan yang dihadiri para priyayi tersebut salah satu tujuannya adalah untuk nguri-nguri kabudayan Jawa. Hal itu tergambar dalam kutipan berikut ini: Pak bei yang mempelopori pertemuan di Njurug. Tepi Bengawan Solo, yang menjadi tempat pertemuan jum‟at kliwon. Tepat yang gelap dan redup tiba-tiba disulap menjadi tempat pertemuan yang hidup. Dalam keremangan itu para kerabat
189
190
berkumpul. Menyewa tikar, membayar beberapa pedagang teh, membayar bagian keamanan, serta mengundang grup kesenian keliling. Tak bisa dihalangi kemudian, beberapa penjual nasil liwet, penjual cambuk rambak, dan penjaja yang ikut berdatangan meramaikan suasana. (Canting: 19) Semua setting di atas berada di wilayah Kota Solo. Dalam novel ini juga disebut-sebut perpindahan terminal bus. Dari pasar Harjodaksino ke kawasan utara Solo yang disebut Tirtonadi. Disebut juga wilayah Gading dan Laweyan yang merupakan bagian kota Solo. Bahkah penulis sangat paham kretek Bacem, Sukoharjo, Baki, bahkan Wonogiri. Semua itu masih wilayah eks Karisedanan Surakarta. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa secara umum cerita terjadi di kota Solo. Namun, penulis memberi penekanan utama tempat terjadinya sebuah cerita adalah di lingkungan keraton tepatnya di Dalem Sestrokusuman. Tempat ini merupakan setting primer. Nama Pasar Klewer, Jurug, Gading, Lawiyan, bahkan Semarang dan Surabaya merupakan Setting sekunder dalam novel Canting tulisan Arswendo Atmowiloto. 2) Setting Waktu Setting waktu berkaitan dengan saat kapan peristiwa itu berlangsung atau terjadi. Setting waktu biasa meliputi tahun, tanggal, jam, atau saat, pagi-siang-siang-sore-malam. Segala sesuatu yang berkaitan dengan saat terjadinya peristiwa, itulah yang disebut setting waktu.
190
191
Novel Canting berkisah tentang kehidupan sebuah keluarga Priyayi bernama Pak Bei. Cerita novel ini dimulai saat Ni anak bungsu Pak Bei masih dalam kandungan. Waktu itu Ni dalam kandungan Wening kakak Ni sudah berusia 11 tahun. Dalam novel ini juga diceritakan Ismaya Dewakusuma kakak Wening lahir pada tahun 1949. Berdasarkan data di atas bisa disimpulkan bahwa cerita ini diawali pada tahun 1962. Dalam novel ini pula diceritakan bahwa anak pertama Pak Bei bernama Wahyu Dewabrata lahir setahun setelah pernikahan Pak Bei. Setengah tahun setelah kelahiran Wahyu pecah perang besar-besaran. Waktu itu menjelang kemerdekaan. Setelah Indonesia merdeka lahirlah Lintang Dewanti kemudian disusul setahun berikutnya anak ketiga pak Bei bernama Bayu Dewasunu. Bayu lahir pada Clash kedua. Kelahiran anak-anak Pak Bei sebelum Ni diceritakan secara flasback dalam novel ini. Hal tersebut dapat dicermati dalam kutipan berikut ini: Setahun kemudian, Wahyu Dewabrata lahir. Setengah tahun kemudian pecah perang besar-besaran. Den Bei Daryono turut berjuang. Segala harta keluarga Nabean ludes, berikut mobil kebanggaan seluruh keluarga. Ia hanya bisa menunggu. ”Kita telah merdeka.” Lalu lahir Lintang Dewanti. Den Bei Daryono masih berperang. Pulang malam hari sebentar, dan bercerita dengan gagah untuk seluruh keluarga. Lalu pergi lagi. Setahun berikutnya, Bayu Dewasunu lahir. Ia mulai mengerti tentang Clash Kedua, karena serdadu Belanda masuk ke rumahnya. Menggeledah dan membawa pergi penghuni rumah. Ia tidak menangis, tidak menjerit, bergeming menghadapi semuanya.
191
192
Juga karena Bayu Dewasunu sakit-sakitan. Mencret terusmenerus. Setahun kemudian, tahun 1949-ia mulai bisa mengingat tahun-tahun nasional dengan baik- Ismaya Dewakusuma lahir. Saat yang muram karena Den Bei Daryono, yang mulai dipanggil Pak Bei, mempunyai selir di desa Mbaki. Saat itu pun ia menunggu. Menunggu. Menunggu. Dua tahun kemudian, lahirlah Wening Dewamurti. Dan kehidupan mulai berubah. Pak Bei mulai kerasan di rumah. Mulai bekerja mengurus teman-teman yang dulu bertempur. Mulai ikut konferensi, rapat, tapi juga pulang membawa sesuatu untuk dimakan. Ia menunggu semuanya. Sampai saat ini. Saat Wening berusia sebelas tahun, sebagai bintang keluarga, ia mulai hamil kembali. Makin lama perutnya makin membesar. Bu Bei yang telah menjadi juragan masih menunggu. Yang sebenarnya novel ini diawali kegundahan hati bu Bei ketika dirinya hamil lagi. Kehamilan yang tidak disangka karena anak terakhirnya Wening sudah berusia 11 tahun. Kegundahan hati Bu Bei karena sikap pak Bei yang meragukan bapak dari anak dalam kandungan bu Bei. Kelak diceritakan bahwa anak tersebut lahir diberi nama Subandini Dewaputri Setrokusumo. Anak itu akrab dengan panggilan Ni.Gambaran kegundahan hati Bu Bei dapat dicermati dalam kutipan berikut ini: Tapi pagi itu mata bu Bei merah. Seperti habis menangis lama. Dugaan ini kuatkan oleh suaranya yang parau dan hidungnya yang pilek. Tak pernah terjadi Bu Bei Pilek. Tidak juga oleh hujan dan angin yang keras menerpa becaknya kala pulang dari dan berangkat ke Pasar Klewer. ”Siang nanti bubar saja dulu. Pak Bei lagi kurang enak badan.” (Canting: 6) Tak ada pembicaraan apa-apa di antara 112 buruh batik dengan anak-anaknya. Dengan mereka sendiri. Tapi rasanya semua mengetahui ada sesuatu yang sangat tidak enak. Mereka
192
193
bisa dengan mudah menduga ketika bu Bei seminggu belakangan ini mengatakan masuk angin dan muntah-muntah. Dan kemudian terdengar pula bahwa secara resmi bu Bei mengandung lagi. Masalahnya bukan sekadar perbedaan usia dengan Wening Dewamurti yang selama ini dianggap si bungsu karena sudah berusia sebelas tahun, tetapi lebih daripada itu. Lebih daripada itu yang berarti ”Pak Bei kurang enak badan.” (Canting: 7) Bu Bei menunggu sampai hari Kamis pagi. ”Pak Bei nanti pergi?” ”Hmmmmmmmm.” Jawaban hmmm itu sudah lebih dari pengiyaan. Biasanya kalau dalam keadaan seperti sedang marah, Pak Bei takan mengeluarkan kata apa-apa. Rasanya ini merupakan pukulan terberat yang harus ditanggung bu Bei. Apalagi jika pak Bei melengos. Bu Bei tak akan berani tidur di samping suaminya. Ia memilih tidur bawah, dengan menggelar tikar, (Canting: 16) Setting tahun, tidak mesti harus menyebutkan tahunnya secara gamblang, tapi dengan menyebut peristiwanya kita akan tahu pada tahun berapa peristiwa itu terjadi. Untuk menentukan cerita Canting dimulai tahun berapa penulis mencermati setiap kejadian dalam novel. Kegundahan bu Bei atas kehamilannya bisa dipastikan terjadi pada tahun 1962, setelah penulis mencermati kronologis novel. Seperti saat perang kemerdekaan tahun 1945, pada waktu itu Wahyu Dewabrat lahir. Ketika tanggul jebol dan banjir besar melanda Kota Solo peristiwa itu terjadi pada tahun 1966. Memang dalam novel ini, peristiwa tersebut tidak disebutkan tahunnya. Berdasarkan sejarah yang pernah dipelajari penulis bisa menentukan tahun terjadinya sebuah cerita. Peristiwa sejarah tersebut dapat dicermati dalam kutipan berikut ini:
193
194
”Ini gegeran. Geger hebat. Juga di Jakarta. Bunuhbunuhan. Pokoknya geger,” kata jimin. Mijin tetap diam. Mendengarkan, mengangguk-angguk. Geger, itu saja yang dimengerti. Seperti juga Wagiman yang kemudian mendengar bahwa keluarga Pak Bei diungsikan ke Keraton. Pak Bei sendiri berjaga di dalam rumah. Semua pintu dan jendela ditutup. Bu Bei tidak ke pasar. (Canting: 150) Geger ini memang cukup lama. Mereda sebentar, bisa bekerja kembali. Bu Bei sudah ke pasar. Buruh-buruh bekerja setiap hari, karena ada jam malam menjelang magrib. Wagiman kemudian mendengar bahwa banyak yang ditangkap. Banyak yang di tembak. Sehingga sungai Bacem di sebelah selatan penuh dengan mayat. Orang bisa menyebrangi sungai di atas tumpukan mayat. (Canting:151) Peristiwa yang menggambarkan tahun 1966 adalah ketika pak Bei mendapat wangsit tentang akan terjadi banjir besar di kota Solo. Pak Bei meminta keluarga dan warga kebon Sestrokusuman untuk siap-siap. Walaupun ada yang mengatakan bahwa pak Bei sok pinter, sok mengerti. Orang tersebut tak lain Gusti Harjan dan Ngabehi Tondodipuro. Dua orang yang kelihatan lebih ningrat dari pak Bei itu datang ke Dalem Sestrokusuman mengendarai sepeda motor DKW berwarna abu-abu. Nyatanya apa yang dikatakan pak Bei menjadi kenyataan. Pak Bei memang hebat. Sebenarnya apa yang disampaikan pak Bei merupakan analisis ilmiah dari sesuatu yang di dengar dan dilihat. Kutipan di bawah ini menggambarkan hal tersebut: ”Hari selasa kemarin saya mendengar berita. Di Wonogiri turun hujan lebat. Perkiraan saya. Akan terjadi banjir yang besar. Hari ini. Rabu, tanggal 16 maret, Wonogiri dan Sukoharjo terbenam dalam banjir.”
194
195
”Kamu ini seperti anak kemarin sore. Suka pamer kepintaran. Sebelum kamu lahir, Wonogiri dan Sukoharjo setiap tahun memang banjir.” ”Banjir itu akan ke Solo, Gusti Pangeran, dalam waktu enam belas jam saja.” ”Sebelum kamu lahir, air memang mengalir sepanjang Bengawan Solo, dan sebelah selatan kota terendam banjir. Sebelah timur kota terendam banjir”. (Canting:156) ”Saya orang bodoh. Tak tahu perhitungan apa-apa. Selama ini tak pernah ada banjir sampai masuk kota. Karena kita mempunyai tanggul kokoh sepanjang lebih dari sepuluh kilometer, dengan ketinggian lima meter-atau kalau diambil ukuran dari permukaan air sama dengan tinggi tugu jam di Pasar Gede- dan lebarnya empat meter. Sangat kuat. Tapi tanggul itu dibuat tahun 1925, dan selama ini tak terawat baik. Malah sebagian dijadikan tempat untuk bertanam. ”Di Wonogiri, hutan-hutan sudah lama rusak dan tak ditanami lagi. Semua air hujan tak bisa ditahan, mengalir semua ke Bengawan. Selama ini sungai-sungi mengalir ke Bengawan dan Bengawan sendiri sudah menjadi dangkal ...” (Canting: 157) Nyatanya apa yang dikatakan pak Bei menjadi kenyataan. Pak Bei memang hebat. Sebenarnya apa yang disampaikan pak Bei merupakan analisis ilmiah dari sesuatu yang di dengar dan dilihat. Di bawah ini gambaran peristiwa banjir tahun 1966: Wagiman membangunkan istrinya yang hamil, kedua anaknya, mau memberitahu Tangsiman, tetapi air yang tadinya di ujung kaki sudah sampai setengah lutut. Berbuih-buih, warna cokelat kehitaman, dan masuk dari pintu-pintu, dari depansamping-belakang, mengangkat meja, kursi, dan kemudian tempat tidur. Wagiman berteriak-teriak. ”Mijin... Den Bei ...” Wagiman sendiri ingin membangunkan Den Bei. Akan tetapi begitu keluar dari dalam rumah, air sudah sampai ke paha. Memang halaman lebih rendah dibandingkan dengan bagian dalam rumah, akan tetapi bunyi kerosak air meninggi lebih cepat lagi. Lampu padam, Jimin berenang ke dalam dan memberitahukan bahwa telepon putus.
195
196
(Canting: 159) Cerita novel canting ini berakhir tahun 80-an. Waktu acara tumbuk yuswo atau ulang tahun Pak Bei yang ke- 64, saat itu Ni sudah jadi sarjana farmasi. Kisah keluarga pak Bei diakhiri ketika Ni pulang dari rumah sakit setelah melahirkan anak pertama. Anak itu diberi nama Canting Daryono. Jadi bisa diperkirakan saat itu adalah tahun 80-an karena Ni lahir 1962, selisih 11 tahun dengan Wening. Wening lahir selisih dua tahun dengan kakaknya,
Ismaya Dewakusuma.
Ismaya lahir tahun 1949. 3) Setting Suasana Setting suasana yaitu setting yang berupa keadaan, situasi saat peristiwa dalam cerita itu berlangsung. Setting suasana ini bisa berupa keadaan yang tegang, sepi, sedih, mencekam dan lain-lain sesuai dengan suasana saat peristiwa dalam cerita itu berlangsung. Suasana yang melingkupi cerita dalam novel Canting sebuah kedamaian keluarga ningrat Sestrokusuman. Kedamaian yang sengaja diciptakan oleh tokoh-tokohnya. Yang sebenarnya tiap-tiap tokoh memiliki persoalan hidup yang kalau diangkat ke permukaan bisa meruntuhkan sendi-sendi kehidupan ruman tangga. Permasalahan penting itu diantaranya melibatkan keluarga Sestrokusuman. Permasalahan yang sengaja dipendam agar tidak merusak keutuhan rumah tangga. Salah satu permasalahan tersebut adalah kepastian ayah biologis Ni. Secara samar disebutkan bahwa Ni
196
197
bukan keturunan pak Bei tapi juga tidak disebutkan secara tegas bahwa Ni adalah benih dari Mijin. Hal itu bisa dicermati dalam kutipan beriktu ini: ”Ibumu akan berduka kalau kamu mengurus usaha barik itu. Seperti diingatkan bahwa kamu bukan anakku. Dan itu membuatnya bersalah. Padahal kalau dipikir-pikir, kan ibumu seharusnya yang paling tahu siapa bapakmu. Sehingga tak ragu-ragu lagi. Iya, kan? Itu kalau dipikir. Tapi ibumu juga ngrasa, merasa. Pikirannya sangat peka. Bahkan setelah ia yakin kamu anakku-kan sulit membayangkan ibumu berani menyeleweng-ia jadi ragu dengan sikap yang kamu pilih. (Canting: 252) Permasalahan lain yang menjadi rahasia keluarga adalah yang dialami Wahyu Dewabrata dan Lintang Dewanti. Samiun yang sebenarnya anak biologis Wahyu Dewabrata juga tidak pernah dipersoalkan. Hanya beberapa orang yang tahu masalah ini. Bahkan Samiun sendiri tidak tahu kalau di tubuhnya mengalir darah Sestrokusuman. Juga kebohongan Lintang yang mengorbankan dua buruh pabrik ayahnya bernama Karso dan Wahono. Lintang mengambil uang keluarga untuk dikirim kepada suaminya Letnan Pradoto. Uang itu untuk mengurus kenaikan pangkat Pradoto yang tertunda. Kebohongan Lintang tidak pernah diketahui oleh Pradoto. Dua hal tersebut tergambar dalam kutipan di bawah ini: ”Ni, jangan katakan semua tadi kepada mbakyumu. Kecuali jika kamu mengingingkan kehancuranku.” ”Tidak mungkin, Mas Wahyu. Bukan karena menjaga nama Ngabean, tetapi karena memang tak ada gunanya dikatakan. ”Saya menyesal mengucapkan nama tadi.” (Canting: 236)
197
198
”Ni, kamu menekan aku dengan cara ini?” ”Tidak ...” ”Kamu bisa menghancurkan karier suamiku kalau kau ungkap masalah ini. Hancur semuanya.” ”Sejahat apa pun, saya tak akan berkhianat pada saudara.” (Canting: 244) Hal yang penulis di atas utarakan adalah suasana yang terjadi di Dalem Setrokusuman. Keadaan lain juga banyak digambarkan dalam novel ini yang berkaitan dengan Dalem Setrokusuman seperti: suasana rumah Ngabean beserta buruh batiknya, Tumbuk Ageng Pak Bei, duka cita meninggalnya Bu Bei, bahkan suasana ketika Ni sedang sakit keras dan dalam keadaan kritis. Secara umum banyak suasana umum yang meliputi cerita Canting ini. Misalnya: kegiatan rutinitas malam Jumat Kliwonan yang diselenggarakan pak Bei dan kawan-kawan, suasana Pasar Klewer tempat bu Bei berdagang, geger politik tahun 1965, dan banjir besar yang melanda Kota Solo. Di bawah ini suasana Kota Solo pada tahun 80-an yang digambarkan dalam novel Canting: Masuk Kota Solo lebih menjengkelkan lagi. Jalannya sempit. Terbagi-bagi dengan cara menjengkelkan. Ada dua jalur, tetapi separuh tak diaspal karena melewati banyak sawah dan tegal serta potongan rel kereta api. Jadi tidak bisa tancap gas. (Canting: 163) Dan karena kini terminal bus dipindah ke sebelah utara, Ni harus ganti kendaraan. Tidak seperti kalau masih di tempat lama, di Pasar Harjodaksino, ia bisa cepat sampai di rumah. Memilih kendaraan untuk sambungan juga tak bisa gampang. Ada angkutan kota, akan tetapi harus menunggu lama. Dan ia ngeri karena jalannya oleng, seakan kendaraan itu
198
199
memakai bahan bakar tuak Bekonang yang bikin mabuk, bukan bensin. (Canting: 164) Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa suasana yang melingkupi cerita Canting adalah kedamaian keluarga Dalem Sestrokusuman. Suasana damai yang sengaja diciptakan agar tidak menghancurkan kehidupan rumah tangga. Cerita keluarga Ngabeyan juga tidak lepas dari suasana Kota Solo pada umumnya pada waktu itu. Dari perang kemerdekaan, ontran-ontran politik tahun 60-an, sampai suasana Kota Solo tahun 80-an.
C. Warna Lokal Novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Novel Canting 1. Warna Lokal Novel Ronggeng Dukuh Paruk Warna lokal adalah muatan tertentu dalam karya sastra, yakni mengangkat suasana kedaerahan yang mendeskripsikan tentang latar, tokoh, dan penokohan, serta nilai-nilai budaya dan ciri-ciri kultural suatu tempat. Warna lokal diperlakukan sebagai bagian dari struktur karya sastra, khususnya sebagai salah satu aspek dari setting, atmosfer, dan penggunaan bahasa. Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk banyak ditemui warna lokal. Suasana kedaerahan yang mendeskripsikan keadaan sebuah desa, tokoh-tokoh, nilai-nilai budaya beserta ciri khasnya sangat terasa di dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Dukuh Paruk yang penduduknya memiliki perilaku dan kebiasaan berbeda dengan daerah yang lain. Dukuh Paruk yang menghargai
199
200
para leluhurnya. Semua itu merupakan warna lokal yang kenthal sengaja diangkat oleh Ahmad Tohari. a. Pandangan Hidup Orang Jawa Warna lokal dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk tercermin dari perilaku tokoh-tokohnya. Baik perilaku tokoh utama maupun tokoh-tokoh pendukungnya, seperti perilaku anak-anak Dukuh Paruk. Warna lokal ini sesuai dengan pandangan hidup orang Jawa yang menekankan kaidah moral yang menekankan sikap dasar yang terpuji. Adapun sikap terpuji yang sesuai dengan pandangan hidup orang Jawa yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah: 1) Rila Rila adalah sikap ikhlas sewaktu menyerahkan segala miliknya, kekuasaannya, dan seluruh hasil karyanya kepada Tuhan, dengan tulus ikhlas. Rila berarti tidak ada satupun yang membekas di hati, semuanya harus diikhlaskan. Orang yang memiliki sikap ikhlas tidak mengharapkan hasil dari yang telah diperbuatnya. Orang-orang Dukuh Paruk memiliki dan menampakkan sikap rila dalam kehidupan sehari-hari. Ketika Sakarya mengetahui Srintil mendapat indang ronggeng, ia dengan ikhlas menyerahkan cucunya itu untuk diasuh oleh Kartareja dan istrinya. Bagi Sakarya Srintil yang kelak jadi ronggeng adalah milik orang banyak. Di bawah ini merupakan kutipan yang menggambarkan sikap rila tersebut:
200
201
”Eh, sampean salah tangkap. Maksudku, Srintil benarbenar telah telah mendapat indang. Masakan sampean tidak menangkap maksudku ini.” ”Oh, begitu.” ”Ya. Dan tentu sampean perlu memperhalus tarian Srintil. Cucuku tampaknya belum pintar melempar sampur. Nah, ada lagi yang penting masalah ‟rangkap tentu saja. Itu urusanmu, bukan?” Kartareja terkekeh. Dia merasa tidak perlu berkata apaapa. ”Rangkap” yang dimaksud oleh Sakarya tentulah soal guna-guna, pekasih, susuk, dan tetek-bengek lainnya yang akan membuat seorang ronggen laris. Kartareja dan istrinya sangat ahli dalam urusan ini. (RDP: 16) Sakarya dan istrinya juga rila cucu kecilnya menjalani ritual demi ritual agar Srintil bisa menjadi ronggeng. Satu tahapan yang harus dilalui Srintil adalah malam bukak-klambu. Sakarya tahu betul dalam tahapan itu seorang Srintil harus rela kehilangan virginitas. Sakarya pun tidak mempersoalkan bahwa Srintil dijadikan alat oleh Kartareja untuk mendapatkan materi. Tapi ia rila (ikhlas) dengan itu semua. Berkaitan dengan malam bukak-klambu bisa dicermati dalam kutipan berikut ini: Dari orang-orang Dukuh Paruk pula aku tahu syarat terakhir yang harus dipenuhi oleh Srintil bernama bukakklambu. Berdiri bulu kudukku setelah mengetahui macam apa persyaratan itu. Bukak-Klambu adalah semacam sayembara, terbuka bagi laki-laki mana pun. Yang disayembarakan adalah keperawanan calon ronggeng. Laki-laki yang dapat menyerahkan sejumlah uang yang ditentukan oleh dukun ronggeng, berhak menikmati virginitas itu. (RDP: 51) Sikap rila juga ditunjukkan oleh perempuan-perempuan Dukuh Paruk ketika Srintil menjadi ronggeng. Mereka rela mencucikan pakaian Srintil, memandikan, dan menyediakan arang gagang padi
201
202
buat keramas. Orang-orang Dukuh Paruk juga memberikan buah yang paling bagus untuk Srintil. Kalau mereka memotong ayam Srintil pasti mendapatkan bagian. Hal itu tergambar dalam kutipan berikut ini: Lebih baik sekarang kuhadapi hal yang lebih nyata. Srintil sudah menjadi ronggeng di dukuhku. Usianya sebelas tahun. Aku empat belas tahun. Aku empat belas tahun. Kini Srintil menjadi boneka. Semua orang ingin menimangnya, ingin memanjakannya. Aku tahu sendiri perempuan Dukuh Paruk berganti-ganti mencucikan pakaian Srintil. Mereka memandikannya dan menyediakan arang gagang padi buat keramas. Siapa yang menebang pisang akan menyediakan sesisir yang terbaik buat Srintil. Kalau ada ayam dipotong karena sakit (orang Dukuh Paruk takkan pernah sengaja memotong ayam), Srintil selalu mendapat bagian. Teman-temanku sebaya, Warta, dan Darsun, rela menempuh sarang semut burangrang di atas pohon asalkan mereka dapat mencuri mangga atau jambu. Dengan buah-buahan itu Warta dan Darsun ikut memanjakan Srintil. (RDP: 36) Perempuan Dukuh Paruk juga menunjukkan sikap yang terbuka terhadap kehidupan Ronggeng. Ia rela dan ikhlas bila suaminya bisa bertayub dengan seorang ronggeng.
Bahkan kalau suaminya
menghendaki lebih pada seorang ronggeng pun tidak dipersoalkan. Dukungan itu menunjukkan sikap ikhlas. Hal itu tergambar dalam kutipan berikut ini: Ketika menonton Srintil menari aku pernah mendengar percakapan perempuan-perempuan yang berdiri di tepi arena. Percakapan mereka akan membuat para suami merasa tidak menyesal telah hidup dalam kungkungan rumah tangga. ”Nanti kalau Srintil sudah dibenarkan bertayub, suamiku menjadi laki-laki pertama yang menjamahnya,” kata seorang perempuan. ”Jangan besar cakap,” kaya yang lain. ”Pilihan seorang ronggeng akan jatuh pertama pada lelaki yang memberinya
202
203
uang paling banyak. Dalam hal ini suamiku tak bakal dikalahkan.” ”Tetapi suamimu sudah pikun. Baru satu babak menari pinggangnya akan terkena encok.” ”Aku yang lebih tahu tenaga suamiku, tahu?” ”Tetapi jangan sombong duku.Aku bisa menjual kambing agar suamiku mempunyai cukup uang. Aku tetap yakin, suamiku akan menjadi lelaki pertama yang mencium Srintil.” ”Tunggulah sampai saatnya tiba. Suami siapa yang bakal menang. Suamiku atau suamimu.” (RDP: 38) Sikap ikhlas tidak hanya ditunjukkan perempuan-perempuan Dukuh Paruk, bahkan perempuan di luar Dukuh Paruk pun rela memberikan sesuatu kepada Srintil agar Srintil bahagia. Ketika Srintil pergi
ke
pasar
Dawuan
banyak
perempuan
yang
memuji
penampilannya. Bahkan, ada yang rela dan ikhlas memberikan sesuatu demi kesenangan Srintil. Hal itu tergambar dalam kutipan berikut ini: Seorang perempuan tua berlari-lari dari arah belakang. Kepada Srintil disodorkannya sehelai kutang. ”Aduh wong ayu. Pakai kutang ini. Dadamu sudah kelihatan montok.” ”Berapa harganya, Nek?” tanya Srintil. ”Aku tak ingin berjualan kepadamu. Silakan pakai. Aku setiap saat berdiri di pinggir arena bila kau sedang menari. Engkau pasti tidak tahu bukan?” (RDP: 82) Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk terdapat warna lokal yang berkaitan dengan pandangan hidup orang Jawa yang rila. Sikap ikhlas yang dilakukan oleh orang-orang Dukuh Paruk adalah merupakan perwujudan bahwa semua milik Allah. Sikap ini tampak pada diri Sakarya. Ketika ia menyerahkan Srintil kepada Kertareja, ia ikhlaskan semua tentang
203
204
Srintil. Kehidupan Srintil, pendidikan tentang ronggeng, bahkan sampai penhasilan ronggeng pun Sakarya tidak mengharapkan. Bagi orang-orang Dukuh Paruk kebanyakan bahwa sikap ikhlas adalah merupakan suatu kewajiban untuk berkorban. Pengorbanan untuk seorang ronggeng yang ia kagumi. Pengorbanan dalam arti luas adalah pengorbanan untuk tanah kelahirannya Dukuh Paruk. Bila seseorang mendukung kehadiran seorang ronggeng itu bisa dikatakan ia juga mendukung keberadaan Dukuh Paruk. 2) Narimo Sikap narimo adalah sebuah sikap yang tidak menginginkan milik orang lain, serta tidak iri hati dengan kebahagiaan orang lain. Orang yang narimo dapat dikatakan orang yang bersyukur kepada Tuhan. Sikap narimo banyak pengaruhnya terhadap ketenteraman hati seseorang. Dukuh Paruk belum mengenal arti sebuah pendidikan. Tak satu pun orang Dukuh Paruk yang sekolah. Mereka tidak bisa membaca dan menulis. Mereka
mendapatkan pendidikan dari kejadian alam.
Kejadian yang mereka alami merupakan pelajaran berharga dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu tergambar dalam kutipan di bawah ini: Di tepi kampung, tiga anak laki-laki sedang bersusah payah mencabut sebatang singkong. Namun ketiganya masih terlampau lemah untuk mengalihkan cengkeraman akar ketela yang terpendam dalam tanah kapur. Kering dan membatu. Mereka terengah-engah, namun batang singkong itu tetap tegak di tempatnya. Ketiganya hampir berputus asa seandainya salah seorang anak di antar mereka tidak menemukan akal. (RDP: 10)
204
205
Adat Dukuh Paruk mengajarkan, kerja sama antara ketiga anak laki-laki itu harus berhenti di sini. Rasus, Warta, dan Darsun kini harus saling adu tenaga memperebutkan umbi singkong yang baru mereka cabut. Rasus dan Warta mendapat dua buah, Darsun hanya satu. Tak ada protes. Ketiganya kemudian sibuk mengupasi bagiannya dengan gigi masingmasing, dan langsung mengunyahnya. Asinnya tanah. Sengaknya kencing sendiri. (RDP: 11) Kebiasaan warga Dukuh Paruk juga tercermin pada anak-anak Sakum. Sebagai anak desa yang terlahir dari keluarga miskin, anakanak Sakum mempunyai cara-cara untuk mempertahankan hidup. Suatu hal yang tidak pernah diajarkan oleh nenek moyangnya. Anakanak Sakum bisa melakukan karena sesuai kebutuhan. Hal itu tergambar dalam kutipan di bawah ini: Si kakak jongkok tepat di atas lubang orong-orong, memegang kulupnya dan kencing. Karena kebanjiran air hangat maka orong-orong keluar dari liangnya. Dua tangan berebut menangkapnya. Yang kecil kalan dan terjungkal ke belakang oleh dorongan kakaknya. Dia menangis dan berusaha merebut haknya. Tetapi si kakak telah lenyap masuk ke dapur. Orongorong dalam genggamannya segera mati dalam abu panas. Semenit kemudian serangga tanah itu lumat dalam mulutnya. (RDP: 162) Alam juga mengajarkan anak-anak Dukuh Paruk untuk bertahan hidup. Anak-anak Dukuh Paruk tidak pernah risau dengan kehidupan yang miskin. Mereka tidak mempersoalkan dirinya yang tidak berpakaian seharian. Anak-anak Dukuh Paruk juga tidak mempersoalkan cara makan mereka. Alam sepertinya telah menyatu dengan mereka. Hal itu tergambar dalam kutipan berikut ini: ”Dulu aku juga seperti kalian, senang bermain-main di tegalan sambil menggembala kambing,” kata Srintil.
205
206
Tangannya sibuk membuat mainan baling-baling dari daun kelapa. ”Kakak juga pintar menangkap capung dengan getah nangka?” tanya seorang anak. ”Ah, itu gampang. Kalau mau dengan getah nangka malah bisa menangkap burung kedasih,” jawab Srinthil dengan gaya seorang ibu yang bijak. ”Pernah seperti ini?” kata seorang anak lainnya yang membawa tahi sapai kering yang membara sebagian. Di atas bara itu seekor jangkrik sedang dibakar. Srintil tersenyum ”Oh, tentu saja. Aduh, gurih nian jangkrik bakar itu, bukan?” ”Kakak mau? Silakan ambil.” (RDP: 117) Bila anak-anak Dukuh Paruk sudah lari ke luar dan menyobek sehelai daun pisang, berarti sarapan pagi telah siap. Hanya beberapa di antara mereka yang bisa menggunakan piring. Mereka makan di emper rumah, di ambang pintu, atau di mana pun mereka suka. Semua makanan enak sebab perut anak-anak Dukuh Paruk tidak pernah benar-benar merasa kenyang. (RDP: 24) Kebiasaan hidup anak-anak Dukuh Paruk di atas merupakan cerminan sikap narimo. Sikap narimo juga tercermin persepsi Dukuh Paruk dengan kesenian Ronggeng. Dukuh Paruk menghargai Ronggeng tidak hanya sebatas sebuah kesenian adiluhung yang perlu dipertahankan. Ronggeng bagi Dukuh Paruk adalah nafas hidup, citra diri, dan sebuah warna yang membedakan antara Dukuh Paruk dan Dukuh yang lainnya. Kecintaan terhadap Ronggeng dimiliki oleh anak-anak sampai orang dewasa. Hal itu tergambar dalam kutipan berikut ini: Dua orang anak dengan tubuh telanjang menatap Srintil dengan heran. Mata kedua anak itu adalah mata sekalian orang Dukuh Paruk yang tidak pernah berharap melihat seorang ronggeng menangis. Ronggeng bagi dunia Dukuh Paruk adalah
206
207
citra sekaligus lambang gairah dan sukacita. Keakuannya adalah tembang dan joget. Perhiasannya adalah senyum dan lirikan mata yang memancarkan semangat hidup alami, semangat yang sama yang telah menerbangkan burung-burung dan memekarkan bunga-bunga. Jadi, ronggeng adalah dunia sukaria dan gelak tawa. (RDP: 114) Ronggeng adalah kebanggaan orang-orang Dukuh Paruk. Bagi orang-orang Dukuh Paruk Ronggeng harus hadir dalam nafas hidupnya. Ronggeng bisa membuat mereka merasa hidup lebih lama. Mereka pun rasanya tidak ingin meninggal sebelum melihat Dukuh Paruk kembali semarak dengan kesenian ronggenggnya. Hal itu tergambar dalam kutipan berikut ini: ”Pokoknya Dukuh Paruk akan kembali mempunyai ronggeng. Bukankah begitu, Kang?” ”Eh, ya. Memang begitu. Kita yang tua-tua di pedukuhan ini tak ingin mati sebelum Dukuh Paruk kembali seperti aslinya dulu. Bahkan akau takut arwah Ki Secamenggala akan menolakku di kubur bila aku tidak melestarikan ronggeng di pedukuhan itu.” ”Bukan hanya itu, Kang. Bukankah ronggeng bisa membuat kita betah hidup?” Kedua kakek itu tertawa bersama. Di antara gelaknya Sakarya mengeluh mengapa dia tidak bisa mengundurkan usianya dari tujuh puluh menjadi dua puluh tahun. (RDP: 16) Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat warna lokal yang berkaitan dengan pandangan hidup orang Jawa yang narimo. Sikap narimo ini ternyata telah membuat orang-orang Dukuh Paruk merasa tenteram hidupnya. Sikap narimo sebenarnya merupakan wujud syukur manusia dengan Tuhannya. Sikap narimo yang seperti ini agaknya yang belum dimiliki oleh orang-orang Dukuh Paruk.
207
208
Bagi orang-orang Dukuh Paruk sikap narimo dimaknai sebagai tidak ingin memiliki milik orang lain dan tidak iri hati dengan kebahagian orang lain. Mereka tidak mempersoalkan arti pendidikan, hidup dalam keadaan miskin, dan terpencil. Hati mereka begitu damai bisa bertani dan menjual hasil ladang untuk membiayai hidup mereka. Mereka begitu damai bisa hidup berdampingan dengan ronggeng. 3) Temen Sikap temen berarti menepati janji atas ucapannya sendiri. Baik janji yang diucapkan dengan lisan atau diucapkan dalam hati. Orang yang tidak menepati kata hatinya berarti menipu dirinya sendiri. Sedangkan kata hati yang diucapkan namun tidak ditepati, itu sama dengan dusta yang disaksikan orang lain. Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk pandangan orang Jawa yang berkaitan dengan sikap temen tercermin dari sikap tokohtokohnya. Srintil yang berkeinginan kuat untuk menjadi seorang ronggeng semacam memiliki janji dalam hati yang harus ia tepati. Keberhasilan Srintil menjadi seorang ronggeng tidak lepas dari sikap temen yang ia miliki. Ia rela berpisah dengan neneknya demi mendapatkan ilmu tentang ronggeng. Hal itu tergambar dalam kutipan berikut ini: Di dalam rumah, Nyai Kartareja sedang merias Srintil. Tubuhnya yang kecil dan masih lurus tertutup kain sampai ke dada. Angkinnya kuning. Di pinggan kiri-kanan ada sampur berwarna merah saga. Srintil didandani seperti laiknya seorang ronggeng dewasa. Kulitnya terang karena Nyai Kartareja telah melumurinya dengan tepung bercampur air kunyit. Istri dukun
208
209
ronggeng itu juga telah menyuruh Srintil mengunyah sirih. Bibir yang masih sangat muda itu merah. (RDP: 18) Srintil pun tak pernah menolak ketika ia harus melewati berbagai tahapan untuk menjadi seorang ronggeng. Ia tidak pernah mengeluh ketika harus menjalani upacara pemandian di depan cungkup makam Ki Secamenggala. Ia jalani semua itu dengan sikap temen dan penuh kesungguhan. Sikap temen Srintil tergambar dalam kutipan di bawah ini: Mantra-mantra dibacakan oleh Nyai Kartareja, ditiupkan ke ubun-ubun Srintil. Kemudian tubuh perawan itu mulai diguyur air kembang, gayung demi gayung. Sementara itu orang-orang Dukuh Paruk lainnya hanya menonton. Srintil menjadi pusat perhatian. Rombongan penabuh mempersiapkan diri. Mereka menata perkakas masing-masing, duduk bersila di atas tanah. Srintil selesai dimandikan. Nyai Kartareja mengeringkan rambut ronggeng itu dengan sehelai kain. Tiga orang perempuan membantu Nyai Kartareja mendandani Srintil kembali. Mereka menyisir, memberi bedak, dan membantu Srintil mengenakan kain serta mengikatkan sampur di pinggang. Semuanya sudah beres. Rambut Srintil sudah disanggul. Kemudian ronggeng itu dituntun ke depan pintu cungkup. Di sana Srintil menyembah dengan takzim, lalu bangkit dan berjalan ke hadapan lingkaran para penabuh. (RDP: 46) Srintil yang masih belia juga tidak menolak ketika tahapan bukak kelambu harus ia jalani. Ia berusaha menjalani prosesi ini karena keinginan menjadi ronggeng sangat kuat di hatinya. Ia juga tidak pernah mempersoalkan kalau dirinya dijadikan alat Kartareja dan isterinya untuk mendapatkan kekayaan. Bagi Srintil, ia harus menjalani
209
210
tahapan ini dengan temen agar cita-citanya menjadi ronggeng menjadi kenyataan. Hal itu tergambar dalam kutipan di bawah ini: ”Yah, aku hanya bertanya padamu: bagaimana perasaanmu menghadapi saat Sabtu malam itu?” Aku tidak segera mendapatkan jawaban. Kulihat seorang gadis kecil sedang berpikir tentang sesuatu yang baru baginya. Bukan hanya baru, melainkan juga sesuatu yang menjadi salah satu tonggak sejarah biologisnya. Mungkin selama ini Srintil hanya terpukau oleh janji Kartareja bahwa sebuah ringgit emas yang diberikan oleh laki-laki pemenang akan menjadi miliknya. Kemampuan pikirannya hanya sampai di situ. ”Bagaimana?” ”Entahlah, Rasus. Aku tidak mengerti, ”jawab Srintil sambil menundukkan kepala. (RDP: 55) Sikap temen juga dimiliki oleh Rasus. Ia berusaha menepati janji atas ucapannya sendiri. Ia begitu dendam dengan Dukuh Paruk yang telah merenggut Srintil darinya. Ia meninggalkan Dukuh Paruk karena sebuah alasan. Rasus ingin membuktikan bahwa ia suatu saat nanti bukanlah seorang pemuda kecil yang bisa diremehkan karena tidak memiliki ringgit emas untuk membeli keperawanan Srintil. Sikap temen Rasus tergambar dalam kutipan berikut ini: Tetapi Dukuh Paruk dan orang-orangnya di sana tak ada yang mengerti diriku yang sakit. Memang Dukuh Paruk memberi kesempatan kepadaku mengisi bagian hati yang kosong dengan seorang perawan kecil bernama Srintil. Tidak lama, sebab sejak peristiwa malam bukak-klambu itu Srintil diseret keluar dari dalam hatiku. Dukuh Paruk bertindak semena-mena kepadaku. Aku bersumpah takkan memaafkannya. (RDP: 80) Salah seekor kambing kutuntun ke luar Dukuh Paruk pada suatu pagi. Sebelum berangkat aku berkata kepada
210
211
nenek, aku akan mencari paman di luar kampung dan mungkin tidak kembali lagi. Nenek menangis. Terbata-bata nenek meminta agar aku tetap tinggal. ”Siapa yang akan mengurusiku bila aku sakit dan mati,” katanya. Nenek menjadi korban balas dendamku terhadap Dukuh Paruk. Dia kutinggalkan bersama beberapa ekor kambing. Biarlah. Nenek adalah milik Dukuh Paruk. Ku kira Dukuh Paruk tetap mengakui nenek sebagai warga sampai dia bergabung dengan Ki Secamenggala di pekuburan. (RDP: 80) Ternyata janji dalam hati Rasus bisa ditepati. Rasus bisa menjalani sikap temen seperti pandangan hidup orang Jawa sehingga cita-citanya berhasil. Ia yang semula menjadi kuli di pasar Dawuan kemudian diangkat menjadi tobang oleh kesatuan tentara. Tobang adalah pekerjaan rendah bagi kalangan tertentu tetapi cukup tinggi bagi orang-orang Dukuh Paruk. Berkat sikap temen menjadi seorang tobang, Rasus dipercaya menemani tentara menumpas perampokan yang menimpa desanya. Berawal dari situ kehidupannya bergerak menuju perubahan. Karena keberanian, kejujuran, dan sikap temen yang ia miliki ia dipromosikan menjadi seorang tentara. Perjalanan hidup Rasus tergambar dalam kutipan berikut ini: ”Siapa saja yang mempunyai cukup tenaga serta kejujuran, dapat melaksanakan tugas sebagai tobang. Tentang tenaga, aku sudah merasa pasti engkau memilikinya dengan cukup. Kejujurannmu sudah terpancar dari wajah dan sinar matamu sendiri. Jadi aku merasa pasti pula engkau mampu menjadi seorang tobang”. (RDP: 93) Orang-orang Dukuh Paruk keluar dan berkumpul di rumah Kartareja. Dengan obor mereka disuruh oleh Sersan Slamet mengumpulkan empat mayat. Di hadapan orang banyak
211
212
Sersan Slamet memujiku sebagai seorang pemberani. Tentara itu tidak tahu aku paling takut melihat darah. ”Rasus sangat pantas menjadi tentara. Saya akan berusaha agar dia diangkat secara resmi menjadi anggota kesatuan saya,” kata Sersan Slamet yang disambut dengan gumam orang-orang Dukuh Paruk. (RDP: 102-103) Rasus benar-benar menjadi seorang tentara. Dukuh Paruk begitu bangga memiliki Rasus seperti mereka bangga memiliki seorang ronggeng. Ketika ronggeng dianggap bersalah dalam ontranontran politik dan membawa Dukuh Paruk menuju ke titik nol, Rasus tampil sebagai pahlawan bagi desanya. Keberhasilan Rasus tidak terlepas dari sikap temen yang ia miliki. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa warna lokal yang berupa pandangan hidup orang Jawa ditemui dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Warna lokal itu berupa sikap temen yang dimiliki oleh tokoh-tokohnya.
Karena
sikap
temen
yang
dimiliki
mereka
memperoleh keberhasilan. 4) Sabar Sabar merupakan tingkah laku terbaik yang harus dimiliki manusia. Sabar itu berarti momot, kuat terhadap cobaan, tetapi bukan berarti putus asa. Kesabaran ibarat samudera pengetahuan, ia tidak tidak membeda-bedakan emas dan tanah liat, sahabat dan musuh. Tuhan sangat mengasihi orang yang memiliki sifat sabar. Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk pandangan orang Jawa yang berkaitan dengan sikap sabar
212
tercermin dari sikap tokoh-
213
tokohnya. Sakarya salah satu tokoh yang memiliki sikap sabar. Kakek Srintil ini ketika terjadi pagebluk di Dukuh Paruk sangat tertekan jiwanya. Ia yang dipercaya sebagai kamitua di Dukuh Paruk harus menciptakan suasana tenang di desanya yang tertimpa malapetaka. Bukan persoalan mudah menenangkan seluruh warga Dukuh Paruk dalam peristiwa pagebluk itu. Masalahnya yang menjadi penyebab terjadinya pagebluk adalah tempe bongkret buatan Santayib. Santayib adalah menantu Sakarya, yang tidak lain ayah Srintil. Sikap sabar Sakarya sebagai kamitua Dukuh Paruk terlihat dalam kutipan berikut ini: Secara mencolok Santayib memasukkan bongkrek ke dalam mulutnya. Tanpa mengunyah, makanan itu cepat ditelannya. Pada mulanya, istri Santayib terpana. Tetapi rasa setia kawan menyuruhnya segera bertindak. Sambil membopong Srintil, perempuan itu ikut mengambil bongkrek dari tangan Santayib dan langsung menelannya. Sejenak Sakarya terbelalak. Di depan matanya sendiri Sakarya melihat anak dan menantunya menentang racun. Tergagap laki-laki tua itu meratap. ”Jangan. Oalah, Santayib, jangan. Engkau anakku, jangan menantang kematian. Jangan!” (RDP: 26 – 27) Anak dan menantu Sakarya turut meninggal dalam peristiwa itu. Sebuah kesedihan mendalam dialami oleh Sakarya. Ia harus kehilangan dua anaknya, sekaligus bertanggung jawab terhadap tuduhan masyarakat terhadap Santayib. Sakarya bisa membuktikan dirinya memiliki sikap yang sabar karena ia bisa membedakan antara musuh dan sahabat. Hal itu tergambar dalam kutipan di bawah ini:
213
214
Malam hari, Sakarya bersama istrinya menunggui mayat anak mereka: Santayib suami-istri. Srintil sering menangis. Bayi itu belum merasakan sedih. Srintil menangis karena air susu tak lagi diperolehnya. Oleh Nyai Sakarya, Srintil diberi hidup dengan air tajin. Walaupun sedang menunggu mayat anak dan menantunya, tengah malam Sakarya keluar menuju makam Ki Secamenggala. Laki-laki itu menangis seorang diri di sana. Dalam kesedihannya yang amat sangat, Sakarya mengadukan malapetaka yang terjadi kepada moyang orang Dukuh Paruk. Sakarya tidak lupa, dirinya menjadi kamitua di pedukuhan itu. Keluar dari pekuburan Sakarya berkeliling pedukuhan. Dijenguknya setiap rumah. Setiap kali membuka pintu Sakarya mendapat kesedihan. Bahkan tidak jarang Sakarya mendapat perlakuan yang tidak enak. Seolah-olah dia harus ikut bertanggung jawab atas dosa anaknya, Santayib. Meskipun demikian tak sebuah rumah dilewati oleh Sakarya. (RDP: 30) Sikap sabar juga dimiliki oleh nenek Srintil, Nyai Sakarya. Betapa pedihnya ketika ia tinggal hidup seorang diri tanpa suami sementrara cucunya ingatannya terganggu. Srintil yang dulu dipuja banyak orang, sekarang harus dipasung karena menderita gangguan jiwa. Sikap sabar nenek Srintil merupakan warna lokal yang muncul dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Hal itu tergambar dalam kutipan berikut ini: ”Oalah, cucuku Rasus. Mengapa baru sekarang kamu pulang?” ”Ada apa, Nyai?” Nyai Sakarya hanya menunjuk ke pintu kamar depan yang terkunci dengan palang kayu dari luar. Nuraniku segera berkata Srintil ada di dalam. Kunci kudobrak tetapi kuat bukan main. Kutarik pisau belatiku buat meretas temali sebesar jari. Putus. Palang kayu kutarik. Kamar terbuka dan bau najis langsung menerpa hidungku. (RDP: 395)
214
215
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa warna lokal berkaitan dengan pandangan hidup orang Jawa terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Sikap yang sesuai dengan pandangan hidup orang Jawa tersebut adalah sikap sabar yang dimiliki oleh Sakarya dan Nyai Sakarya. Walaupun cobaan hidup mendera, mereka tetap bisa momot dan sabar menjalani. 5) Budi Luhur Sikap Budi luhur adalah sebuah sikap yang ditandai dengan adanya usaha oleh manusia untuk menjalankan hidupnya dengan segala tabiat dan sifat-sifat yang dimiliki oleh Tuhan Yang Maha Esa, seperti: kasih sayang terhadap sesama, adil, dan tidak membedabedakan sesama manusia. Orang yang berbudi luhur juga suka menolong sesama tanpa mengharapkan imbalan, bahkan jiwanya siap dikorbankan. Dalam
novel
Ronggeng
Dukuh
Paruk
tokoh
Rasus
menampilkan sikap budi luhur sesuai pandangan hidup orang Jawa. Rasus yang pernah kecewa dengan Dukuh Paruk karena pernah merenggut Srintil dari hatinya tidak menampilkan rasa dendam. Ketika Dukuh Paruk terpuruk karena ontran-ontran politik, Rasus dengan ketulusan hati memberi perasaan damai pada orang-orang Dukuh Paruk. Hal itu tergambar dalam kutipan berikut ini: ”Kang Sakum! Dari mana kau?” ”Eh? Rasus, Mas Rasus?” ”Iya, Kang.”
215
216
”Waduh, Pak Tentara. Sampean masih mau kembali ke Dukuh Paruk? Kukira sudah lupa karena sampean sudah jadi tentara.” ”Ah, masa begitu. Kucing saja tak pernah lupa di mana dia dilahirkan, apalagi aku.” ”Syukur kalau begitu, Mas. Sejuk hati orang Dukuh Paruk bila sampean pulang. Apalagi sekarang Kang Sakarya sudah meninggal.” ”Meninggal? Innalillahi. Kapan?” ”Hampir setahun.” (RDP: 341) Rasus juga tidak menampakkan dendam pada Srintil. Sewaktu ia pulang mendapati Srintil dalam keadaan sakit ingatan, Rasus tidak menghindar. Sikap budi luhur ditampilkan oleh penulis novel dengan menunjukkan bahwa Rasus pribadi yang peduli dan penuh tanggung jawab. Rasus tanggung jawab moral terhadap orang-orang Dukuh Paruk karena Srintil identik dengan Dukuh Paruk tanah kelahirannya. Pagi-pagi sesaat matahari terbit aku sudah berpakaian rapi. Baju lengan panjang serta celana abu-abu. Yang masih menandakan aku tentara adalah potongan rambut serta sepatuku. Pintu rumah Kartareja kuketuk. Istrinya kuminta memandikan Srintil dan memberinya pakaian yang pantas. Aku akan membawanya ke rumah sakit tentara karena aku tahu di sana ada bagian perawatan penyakit kejiwaan. (RDP: 398-399) Dalam situasi seperti itu Rasus tidak hanya bertanggung jawab secara moral pada seorang Srintil. Budi luhurnya bertanggung jawab terhadap kemanusiaan Dukuh Paruk. Rasus juga tidak merasa malu ketika ditanya tentang status dirinya dengan Srintil oleh petugas rumah sakit. Sikap Rasus ini sangat sesuai dengan pandangan hidup orang Jawa yang mengedepankan sikap budi luhur. Dua kutipan di bawah ini menggambarkan keadaan tersebut:
216
217
Dalam keadaan demikian aku memang merasa ada tangan menuding kepadaku. Akulah yang secara moral paling layak mengambil tanggung jawab bagi kemanusiaan Dukuh Paruk. Ini sebuah pekerjaan yang menyenangkan karena akan kulakukan di atas pangkuan ibu kandungku. Aku akan sangat senang melakukannya tanpa mengingat adanya Srintil, bahkan tanpa menghubung-hubungkannya dengan semangat patriotik. (RDP: 392) Samar, samar sekali, kulihat petugas rumah sakit itu tersenyum. Pasti dia tidak mengerti ada gempa yang sedang mengguncang hatiku. Dengarlah kata-katanya yang seloroh. ”Wah, sayang. Sungguh sayang. Sepintas kulihat dia memang, wah. Bisa kubayangkan kecantikannya di kala dia sehat. Lalu maafkan aku, Mas. Dia bukan istri, bukan pula adik sampean. Maaf, pasien itu calon istri sampaian barangkali?” ”Ya!” Bening. Tiba-tiba semuanya menjadi bening dan enteng. Oh, lega. Lega. Keangkuhan, atau kemunafikan yang selama ini berdiri angkuh di hadapanku telah kurobohkan hanya dengan sebuat kata yang begitu singkat. Segalanya menjadi ringan seperti kapuk ilalang. Aku bisa mendengar semua bisik hati yang paling lirih sekalipun. Aku dapat melihat mutiara-mutiara jiwa dalam lubuk yang paling pingit. (RDP: 402-403) Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sikap Budi luhur sebagai warna lokal Jawa dapat dijumpai dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Sikap budi luhur yang ditandai dengan adanya usaha oleh manusia untuk menjalankan hidupnya dengan segala tabiat dan sifat-sifat yang dimiliki oleh Tuhan Yang Maha Esa. Rasus tokoh novel ini menampilkan pribadi budi luhur dengan cara mengembalikan kehormatan Dukuh Paruk, tanah kelahirannya. b. Kondisi Sosial Masyarakat Jawa Warna lokal dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk ditampilkan oleh pengarang lewat latar, nilai-nilai budaya, dan ciri-ciri kultural suatu
217
218
daerah. Dukuh Paruk yang dikenal orang sebagai dukuh terpencil, jauh peradaban, miskin, dan bodoh adalah bukti nyata warna lokal dalam novel ini. Kondisi sosial masyarakat Jawa alam pedesaan merupakan warna lokal yang mendominasi cerita merupakan warna lokal yang sengaja ditonjolkan oleh Ahmad Tohari. Adapun kondisi sosial masyarakat Jawa alam pedesaan yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah: 1) Menjunjung Kebersamaan Rasa kebersamaan masyarakat Jawa diwujudkan dalam bentuk kerja bakti, gotong royong, gugur gunung, sambatan, dan rewang. Apabila ada tetangga punya hajatan tanpa diundang pun tetangga yang lain bersedia dan siap membantu. Rasa kebersamaan yang ada dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah perasaan suka membantu (rewang) pada orang lain tanpa diminta. Orang-orang di sekitar Srintil menolong Srintil dengan senang hati ketika Srintil melangkah untuk menjadi seorang ronggeng. Rasus, Warta, dan, Darsun adalah teman-teman bermain Srintil yang dengan senang hati membuatkan properti untuk Srintil. Properti itu digunakan oleh Srintil yang sedang menari bak seorang ronggeng. Bahkan ketiga anak sepermainan itu rela mengiringi Srintil menari dengan mulut bak konser accapella. Hal itu tergambar dalam kutipan berikut ini: “Terlalu besar,” ujar Rasus mengejutkan Srintil. Perawan kecil itu mengangkat muka. “Aku bersedia membuatkan badongan untukmu,” sambung Rasus menawarkan jasa.
218
219
“Tak usah. Kalau mau, ambilkan aku daun bacang. Nanti badongan ini lebih baik,” jawab Srintil. Rasus tersenyum. Baginya, memenuhi permintaan Srintil selalu menyenangkan. Maka ia berbalik, menoleh kirikanan mencari sebatang pohon bacang. Setelah didapat, Rasus memanjat. Cepat seperti seekor monyet. Dipetiknya beberapa lembar daun bacang yang lebar. Pikir Rasus, dengan daun itu mahkota di kepala Srintil akan bertambah manis. (RDP: 12) Betapapun, akhirnya Srintil berhenti karena mulut ketiga pengiringnya bungkam. Tidak tampak tanda Srintil lelah. Bahkan kepada ketiga kawannya, Srintil masih menuntut. ”Wah, lagi ya!” desaknya. ”Mengaso dulu. Mulutku pegal,” jawab Rasus. (RDP: 13) Ketika Srintil sudah menjadi ronggeng, diam-diam Rasus mengamati penampilan Srintil. Menurut beberapa orang keris yang dipakai Srintil terlalu besar untuk ukuran tubuhnya yang kecil. Ia rela memberikan keris peninggalan ayahnya pada Srintil dengan cara berbohong pada neneknya. Dua tujuan Rasus memberikan keris ini kepada Srintil: pertama, ia ingin membantu penampilan Srintil agar lebih menarik; kedua, ia mencoba menarik simpati Srintil melalui keris yang diberikan. Hal itu tergambar dalam kutipan berikut ini: Boleh jadi karena merasa begitu tersiksa maka kutemukan jalan untuk memperoleh kembali perhatian Srintil. Acap kali kudengar orang berceloteh bila Srintil habis mnarikan tari Baladewa. Kata mereka, tubuh Srintil masih terlampau kecil bagi kerisnya yang terselip di punggung. Celoteh semacam ini membuka jalan karena di rumahku ada sebuah keris kecil tinggalan Ayah. (RDP: 39) Budaya membantu tanpa diminta juga terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Ketika Srintil menginginkan rumah yang
219
220
pantas, orang-orang Dukuh Paruk bergotong royong untuk membantu. Dalam sosiokultural masyarakat Jawa budaya ini dikenal dengan istilah sambatan. Kutipan di bawah ini menggambarkan peristiwa tersebut: Tidak sampai sebulan Srintil sudah mendapat rumah yang akan dibelinya, sebuah rumah berkerangka kayu jati bekas milik seorang petani kaya di Dawuan. Pemboyongan rumah itu melibatkan semua orang Dukuh Paruk, tak terkecuali Sakum yang keropos kedua matanya. Bajus yang mengetahui hali itu beberapa hari kemudian mengirim lima orang tukang batu dengan kelengkapan secukupnya. Hanya dalam enam minggu semuanya selesai; buat kali pertama di Dukuh Paruk berdiri sebuah rumah kayu jati berdinding tembok dan berlantai semen, lengkap dengan kakus dan sumur. Srintil mengisinya dengan tempat tidur terbaik yang bisa dibeli di Dawuan serta perabotan lain. Dan sebuah lampu pompa. Malam hari rumah Srintil benderang sehingga setiap orang bisa melihat tiga buah foto tertempel di tembok ruang depan. (RDP: 368) Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat warna lokal dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk berkaitan dengan kondisi sosial masyarakat Jawa. Warna lokal itu berkaitan dengan budaya menjunjung kebersamaan. Menjunjung kebersamaan tercermin ketika orang-orang Dukuh Paruk suka membantu orang lain tanpa diminta. Budaya semacam itu dikenal dengan istilah dengan rewang atau sambatan. 2) Suka Kemitraan Rasa kemitraan masyarakat Jawa terdapat pada anggapan siapa saja yang datang dianggap sebagai saudara. Bahkan pada umumnya orang Jawa mempunyai anggaran khusus untuk menjamu tamu.
220
221
Mengenai anggaran khusus untuk menjamu tamu rasanya tidak bias dimiliki oleh warga Dukuh Paruk. Orang Dukuh Paruk jangankan menjamu orang lain, untuk mengurus hidup mereka sendiri pun susah. Warna lokal yang berupa suka kemitraan tergambar ketika Bakar tokoh politik hadir di Dukuh Paruk. Orang-orang Dukuh Paruk tidak mengenal tokoh politik atau sejenisnya. Baginya orang yang menurutnya baik adalah pantas dijadikan saudara. Sikap seperti itu yang ditunjukkan kepada Bakar. Hal itu tergambar dalam kutipan berikut ini: Dukuh Paruk yang bersahaja serta-merta menerima Bakar sebagai orang bijak yang bisa memimpin dan melindunginya. Bila datang ke sana ahli pidato itu mendapat penghormatan sebagai seorang kamitua laiknya. Kata-katanya dituruti, pengaturannya dijalankan. Satu-satunya jalan yang menjadi pintu masuk ke Dukuh Paruk berhias lambang partai. Orang-orang merasa bangga karena itulah pengaturan Bakar. Di depan rumah Kartareja juga dipasang sebuah papan. Tak ada orang Dukuh Paruk yang bias membaca tulisan dalam papan itu. Namun setidaknya bersangkutan dengan kesenian ronggeng. Kartareja sebagai ketua rombongan ronggeng Dukuh Paruk harus memasang papan itu di depan rumahnya. Itu pun pengaturan Bakar. Semua patuh, kecuali Sakarya. (RDP: 228-229) Bentuk warna lokal tentang kondisi sosial masyarakat Jawa yang memiliki sifat suka membangun kemitraan ditunjukkan Santika, seorang kaya raya yang serba dituakan di Dukuh Alaswangkal. Santika menganggap rombongan ronggeng yang dating ke Alaswangkal sebagai saudara. Ia sediakan makanan dan minuman yang berlebih dan serba enak. Sikap ini menunjuk sosiokultural masyarakat Jawa. Sikap baik Sentika tergambar dalam kutipan berikut ini:
221
222
Mertanakim tidak bohong. Sentika memang telah menyiapkan sambutan yang hamper berlebihan bagi rombongan ronggeng Dukuh Paruk. Kopi segera keluar bersama dodol, kue lapis, dan ketan. Rokok dibagikan sebungkus tiap orang. Buahnya, pisang ambon dan salak. Bahkan juga kelapa muda. Dan karena hari memang sudah siang, maka waktu makan pun tiba. Sekali lagi orang-orang Dukuh Paruk itu merasa terlalu dimanjakan. Nasi dari padi gogo dengan lodeh rebung dan gulai ayam. Sambal terasi dengan cabai merah. (RDP: 208) Orang-orang Dukuh Paruk juga menampakkan sikap yang baik pada nenek Rasus. Walaupun sikap baik ini diperoleh setelah Rasus dianggap berjasa terhadap Dukuh Paruk. Orang-orang bersedia mengurus nenek Rasus yang hidup sebatang kara di Dukuh Paruk. Warna lokal semacam ini sering terjadi di kehidupan sosial masyarakat Jawa. Hal itu tergambar dalam kutipan berikut ini: Melalui Kopral Pujo yang hari itu pulang kembali ke markasnya di Dawuan, aku menitipkan pesan kepada Sersan Slamet. Aku minta izin beristirahat barang empat-lima hari. “Mencari seseorang yang bisa menjaga nenek yang sudah sangat renta,” begitu pesanku. Ternyata usahaku menemukan seseorang itu sangat mudah. Aku terkejut ketika menyadari semua orang di tanah airku yang kecil itu siap memenuhi segala keinginanku. “Soal nenekmu, jangan kaurisaukan benar. Kami akan menjaganya baik-baik. Kami sungguh sadar dari dirinyalah lahir seorang bocah bagus yang telah berhasil membunuh dua orang penjahat,” kata Kartareja sambil mengacungkan ibu jari kepadaku. “Dan aku sanggup memberinya makan, karena aku sudah mempunyai padi sekarang,” tambahnya. (RDP: 104-105) Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sikap suka kemitraan muncul dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Hal ini menggambarkan bahwa secara sosiokultural desa orang Jawa memang
222
223
cenderung menganggap orang lain adalah saudara. Sikap semacam ini merupakan warna lokal sosial masyarakat pedesaan. 3) Pertimbangan Religius Sistem kepercayaan orang Jawa selalu berhubungan dengan agenda tindakannya. Semua hajatan penting mesti dicarikan hari pasaran yang baik. Di daerah pedesaan banyak dijumpai upacara tradisional yang berhubungan dengan kepercayaan. Kepercayaan yang mereka yakini sebagai bentuk religiusitas. Novel Ronggeng Dukuh Paruk juga kenthal dengan warna local yang berkaitan kepercayaan. Kepercayaan yang mereka yakini sebagai bentuk religiusitas. Dukuh Paruk yang terbelakang dan miskin hanya mengenal kepercayaan batin yang dikaitkan dengan ruh Ki Secamenggala. Sesuatu yang diajarkan nenek moyangnya secara turuntemurun. Pertimbangan religiusitas ini tampak nyata ketika Dukuh Paruk dilanda malapetaka tempe bongkrek. Kepercayaan mengajarkan pada mereka sebelum terjadinya malapetaka, alam sudah memberikan tanda-tanda. Kejadian alam itu selalu dikaitkan dengan ruh leluhur mereka, Ki Secamenggala. Hal itu tergambar dalam kutipan berikut ini: Legenda khas Dukuh Paruk misalnya kisah nenek tentang fenomena di pekuburan Dukuh Paruk malah hari ketika terjadi bencana itu. Nenek mengatakan banyak obor terlihat di atas kerimbunan pohon beringin di atas makam Ki Secamenggala. Dari pekuburan itu terdengan suara tangis bersahutan. Nenek juga mengatakan bayangan Ki
223
224
Secamenggala keluar, mendatangi setiap mayat yang malam itu belum satu pun sempat dikubur. (RDP: 32-33) Beberapa hari sebelum terjadi malapetaka itu telah terlihat berbagai pertanda. Pancuran di Dukuh Paruk mengeluarkan air berbau busuk. Pohon-pohon puring di pekuburan melayu, tetapi pohon semboja malah berbunga. Meskipun belum waktunya, anjing-anjing berdatangan ke Dukuh Paruk. Anjing-anjing jantan berebut betina dalam kegaduhan yang mengerikan. Burung kedasih berbunyi sejak malam tiba sampai terbit fajar. (RDP: 33) Sakarya sebagai kamitua Dukuh Paruk pun percaya sepenuhnya dengan ruh leluhurnya itu. Sakarya selalu menghubungkan batinnya dengan ruh Ki Secamenggala bila ada kejadian yang menimpa Dukuh Paruk. Ia menganggp kematian delapan belas warga dalam peristiwa itu adalah kehendak Ki Secamenggala. Kepercayaan Sakarya sebagai bentuk religiusitas tergambar dalam kutipan berikut ini:
Bahkan Sakarya mendengar Ki Secamenggala mengatakan kematian delapan belas warga Dukuh Paruk adalah kehendaknya. Selama hidupnya menjadi bromocorah, Ki Secamenggala berutang nyawa sebanyak itu, maka nyawa keturunannya dipakai sebagai tebusan. (RDP: 33) Selesai berkunjung ke setiap rumah, Sakarya kembali mengelilingi pedukuhan. Kali ini dia berjalan di tepian kampung. Di kaki bukit kecil di pekuburan Dukuh Paruk, Sakarya berdiri bersilang tangan. Dalam keheningan yang mencekam, laki-laki tua itu mencoba menghubungkan batinnya dengan ruh Ki Secamenggala atau siapa saja yang menguasai alam Dukuh Paruk. (RDP: 30) Orang-orang
Dukuh
Paruk
juga
meyakini
bahwa
Ki
Semenggala adalah tempat untuk mendapatkan restu. Kepercayaan ini
224
225
diyakini secara turun temurun bahwa seseorang yang ingin menjadi ronggeng sejati harus mengikuti upacara pemandian di depan cungkup makam Ki Secamenggala. Adat Dukuh Paruk yang semacam ini juga dilalui oleh Srintil ketika hendak menjadi ronggeng. Sudah dua bulan Srintil menjadi ronggeng. Namun adapt Dukuh Paruk mengatakan masih ada dua tahapan yang harus dilaluinya sebelum Srintil berhak menyebut dirinya seorang ronggeng yang sebenarnya. Salah satu di antaranya adalah upacara permandian yang secara turun temurun dilakukan di depan cungkup makam Ki Secamenggala. (RDP: 43) Hari itu tak ada kegiatan kerja di Dukuh Paruk. Upacara memandikan seorang ronggeng adalah peristiwa yang penting bagi orang di pedukuhan itu, lagi pula amat jarang terjadi. Maka tak seorang pun ingin tertinggal. Maka pagi-pagi warga Dukuh Paruk, tiada kecualinya, sudah berkumpul di halaman rumah Kartareja. Mereka akan mengiring Srintil dari rumah itu sampai ke makam Ki Secamenggala. Di sana Srintil akan dipermandikan. (RDP: 44) Orang-orang Dukuh Paruk juga minta keselamatan jiwanya pada Ki Secamenggala. Dalam suatu kesempatan pentas ronggeng Sakarya melakukan sesuatu demi lancarnya kegiatan pentas ronggeng dan keselamatan jiwa para personalnya. Hal itu tampak dalam kutipan berikut ini: “Aku mau pergi, Kang.” “Pergi? Ke mana?” “Ke luar. Aku percayakan kepada sampean pengaturan atas anak-anak.” Kartareja maklum. Rekannya harus berbuat sesuatu yang berhubungan dengan arwah Ki Secamenggala. Di tempat yang penuh manusia hal-hal semacam itu tak mungkin dilakukannya. (RDP: 188)
225
226
Kepercayaan terhadap Ki Secamenggala sudah tertanam dalam pikiran orang-orang Dukuh Paruk. Karena itu, mereka tidak rela kalau kiblat kepercayaannya dinistakan. Sakarya, kamitua Dukuh Paruk sangat tersinggung oleh kata-kata Bakar yang mencoba merendahkan moyang mereka, Ki Seca menggala. Sakarya terperanjat. Kata-kata Bakar tak diduganya sama sekali. Kata-kata itu mengandung penghinaan, menyangkut moyang Dukuh Paruk yang amat dikeramatkan oleh sekalian keturunannya. Ki Secamenggala yang semasa hidupnya menjadi bromocorah, pemimpin rampok yang tidak hanya sekali-dua membunuh korbannya. Tetapi bagaimana juga Ki Secamenggala adalah laki-laki dari siapa darah semua orang Dukuh Paruk berasal. “Oh, Pak Bakar. Sampean telah menyinggung perasaan kami. Tetapi sesungguhnya sampean tidak mengerti sepenuhnya siapa Ki Secamenggala, moyang kami. Sampean lupa bahwa moyang kami tidak mati dalam peristiwa perampokan atau kerusuhan lainnya. Dia mati dengan tenang di tempat sepi di Dukuh Paruk dalam masa tua penuh penyesalan. Aku sendirilah kini pemangku wasiat-wasiat yang diucapkannya menjelas akhir hayat. Kami dilarang keras berbuat sesuatu yang merugikan orang lain, apalagi dengan kekerasan.” (RDP: 233-234) Orang-orang Dukuh Paruk sangat marah ketika mengetahui cungkup Ki Secamenggala dalam keadaan rusak. Dalam kemarahan yang puncak tersebut mereka tidak menyadari bahwa mereka telah termakan politik adu domba Bakar. Satu hal yang menjadi alasan mengapa mereka marah karena tempat yang menjadi simbol kepercayaannya diganggu. Dalam sekejap semua warga naik ke pekuburan di puncak bukit itu. Anak-anak dituntun emaknya. Sakum yang buta terlunta-lunta mengikuti langkah anaknya. Semudanya
226
227
dengan kesedihan dan kemarahan yang tidak kepalang. Dua orang perempuan tua menangis, sungguh-sungguh menangis. “Ini pasti ulah Bakar. Asu buntung dia. Bajingan!” umpat Sakarya dengan suara parau. ”Monyet munyuk itu jengkel karena kita tidak mau lagi bekerja sama dengan mereka. Asu buntung!” “Kita tidak bias menerima semua ini!” teriak Kartareja. “Oh, Eyang. Semoga yang merusak makammu ini mampus termakan pathek dan bubul. Atau raja singa sekalian!” (RDP: 235) Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa warna lokal yang berkaitan pertimbangan religius terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Bentuk religiusitas yang ada dalam Dukuh Paruk diwujudkan dalam kepercayaan terhadap ruh leluhurnya yaitu Ki Secamenggala. Mereka sangat menghormati ruh pendahulu mereka yang divisualisasikan dengan cungkup Ki Secamenggala di atas bukit kecil Dukuh Paruk. 4) Cinta Seni Salah satu penyebab orang Jawa mudah mengendalikan emosinya karena cinta pada seni halus. Seni halus yang dimaksud kethoprak dan wayang orang. Di pelosok pedesaan dalam masyarakat Jawa orang akan betah duduk bersila semalam suntuk saat menonton pertunjukkan wayang purwa. Wayang seolah-olah merupakan bumbu rohani masyarakat. Suguhan pentas wayang purwa yang adiluhung tidak mendorong pemirsanya untuk bertindak beringas, kasar, dan brutal. Wujud warna lokal yang berkaitan dengan seni dalam novel ini ditampilkan lewat kesenian ronggeng. Ronggeng adalah kesenian
227
228
kebanggaan Dukuh Paruk. Kebanggaan semua penghuni dukuh yang terpencil secara geografis dan peradaban itu. Salah satu alasan orang membicarakan Dukuh Paruk, karena Dukuh Paruk memiliki ronggeng. Ronggeng juga telah mengobati Dukuh Paruk yang terluka karena cungkup Ki Secamenggala dirusak sekelompok orang. Waktu itu dendam telah membara di hati dan panas di ubun-ubun kepala. Orang-orang Dukuh Paruk siap menuntut balas. Di saat genting semacam itu kesenian ronggeng menyelamatkan orang-orang Dukuh Paruk dari tindak kekerasan. Hal itu tergambar dalam kutipan berikut ini: Akhirnya orang Dukuh Paruk menemukan jalan buat melampiaskan murka. Bukan dengan jalan mengayun parang atau meninju kepala orang-orang bercaping hijau, melainkan dengan cara menerima ajakan Bakar untuk meramaikan kembali rapat-rapat propaganda. Srintil kembali menari dengan semangat luar biasa. Dia tidak peduli lagi apakah menari demi keramaian rapat sesuai roh sejati seorang ronggeng. Dengan tarian yang lebih berani dan menantang Srintil merasa sedang membalas serangan orang-orang bercaping hijau atas nama Dukuh Paruk, atas nama arwah Ki Secamenggala yang makamnya baru saja dirusak orang. Sakum menemukan kembali cirinya; membakar setiap pentas dengan seruan-seruan yang jitu dan cabul. Bahkan Sakum ikut berteriak lantang ketika dalam pidatonya Bakar mengucapkan kata-kata serangan terhadap kaum bercaping hijau. (RDP: 236) Seni juga bisa mengendalikan emosi Srintil ketika jiwanya sedang kalut. Srintil yang ditinggal Rasus pada suatu pagi tanpa adanya kata pamit, batinnya terluka. Mungkin kalau laki-laki itu bukan Rasus ia tidak begitu kecewa. Rasus yang Srintil cintai meninggalkan
228
229
begitu saja, tanpa sepatah kata ditinggalkannya. Ketika Srintil betulbetul gundah, musik kecapi di pasar Dawuan menghibur hatinya. Entah dorongan apa yang menyebabkan Srintil kembali memasuki pasar Dawuan. Duduk di sebuah lincak kosong Srintil memanggil Wirsiter dan istrinya dan meminta mereka menggelar musi. Selesai satu babak Srintil meminta penjaja musik kecapi itu menyambungnya. Dan seterusnya, tanpa menghiraukan berapa banyak uang yang harus dikeluarkannya. (RDP: 133) Warna lokal yang menampilkan kultur budaya Jawa juga ditampilkan penulis novel melalui tokoh Rasus. Rasus menunjukkan sikap cinta seni sejak kecil. Ketika masih kecil Rasus sering keluar Dukuh Paruk malam hari bersama teman-teman untuk melihat pagelaran wayang kulit. Dengan melihat wayang kulit Rasus merasa mendapatkan kebenaran sejati dari penuturan seorang dalang. Hal itu tergambar dalam kutipan di bawah ini: Ketika masih kecil aku sering keluar dari Dukuh Paruk malam hari bersama teman-teman untuk melihat pagelaran wayang kulit. Wayang kulit itu, dunia kecil berbumi batang pisang, bermatahari lampu blencong, telah berjasa besar meletakkan dasar-dasar wawasan pada diriku tentang kehidupan ini. Para dalang telah menanamkan pada diriku tentang kehidupan ini. Para dalang telah menanamkan pada diriku yang masih anak-anak nilai-nilai dasar yang waktu itu kuyakini sebagai kebenaran sejati. Nilai-nilai itu demikian mapan dalam jiwa sehingga bila sedang menonton wayang kulit aku tidak pernah merasa lain kecuali sebagai putra Amarta. Aku akan sangat kecewa bila dalam peperangan di atas batang pisang itu negara Amarta kalah. Dan aku pernah menangis ketika menonton wayang dengan cerita Abimanyu, seorang prajurit putra Amarta, gugur dengan tubuh penuh panah. (RDP: 386)
229
230
Seni mempengaruhi cara berpikir Rasus sejak kecil hingga dewasa. Nilai-nilai kehidupan yang diperoleh ketika ia menonton wayang turut menuntunnya menjadi manusia yang berperilaku baik. Rasus yang yatim piatu sangat memerlukan bentuk-bentuk nasihat semacam itu. Bahkan, nilai-nilai kehidupan yang Rasus peroleh dari dunia wayang sangat membantunya ketika ia memasuki dunia ketentaraan. Nilai yang kuperoleh dari dunia wayang itu bisa saja masih mengendap dalam jiwa ketika aku memasuki dinas ketentaraan. Aku, Rasus, mungkin saja kadang secara tidak sadar menganggap diri ini adalah Gatotkaca atau Bima, dua prajurit dan ksatria Amarta yang perkasa. Kedua tokoh itu sangat kukagumi; Gatotkaca suka mencopot kepala musuh dari badan hanya dengan jemarinya, Bima suka menginjak lawannya hingga luluh. Musuh-musuh itu adalah orang Astina atau negeri angkara murka lainnya. Prajurit yang gagah adalah mereka yang seperkasa Gatotkaca atau Bima, demikian keyakinanku. (RDP: 386) Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa cinta seni merupakan salah satu warna lokal yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Karena mengenal seni orang-orang lebih bisa mengendalikan emosinya. Hal ini dibuktikan dengan tokoh Srintil, Rasus, orang-orang Dukuh Paruk, dan tokoh-tokoh lain di luar kehidupan Dukuh Paruk. 5) Dekat Alam Begitu dekatnya dengan alam, orang Jawa menyebut matahari dengan Sang Hyang Surya, bulan disebut Sang Hyang Candra, dan angin disebut Sang Hyang Bayu. Semua penyebutan itu bersifat
230
231
penghormatan. Sebagian besar orang Jawa mata pencahariannya adalah bercocok tanam, yang selalu berkaitan dengan tanah. Tanah dalam bahasa karma adalah siti dengan akronim isine bulu bekti. Warna lokal alam pedesaan sangat kenthal dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Tokoh-tokoh novel ini sangat dekat dengan alam. Alam benar-benar menyatu dengan kehidupan anak-anak. Anakanak Dukuh Paruk tidak mengenal sekolah. Mengembala kambing adalah pekerjaan mereka sehari-hari. Dengan kehidupan semacam ini mereka bisa menaklukkan alam dengan berbagai cara. Gambaran anakanak Dukuh Paruk yang begitu dekat dengan alam dapat dicermati dalam kutipan berikut ini: ”Cari sebatang cungkil,” kata Rasus kepada dua temannya. ”Tanpa cungkil mustahil kita dapat mencabut singkong sialan ini.” ”Percuma. Hanya sebatang linggis dapat menembus tanah sekeras ini,” ujar Warta. ”Atau lebih baik kita mencari air. Kita siram pangkal batang singkong kurang ajar ini. Pasti nanti kita mudah mencabutnya.” ”Air?” ejek Darsun, anak yang ketiga. ”Di mana kau dapat menemukan air?” ”Sudah, sudah. Kalian tolol,” ujar Rasus tak sabar. ”Kita kencingi beramai-ramai pangkal batang singkong ini. Kalau gagal juga, sungguh bajingan.” (RDP: 11) Kemarau panjang tak menghalangi mereka untuk mendapatkan sesuatu untuk dimakan. Meski dengan sedikit akal dan perjuangan. Singkong mentah tak membuat perutnya jadi bermasalah. Di tempat yang berbeda seorang gadis kecil juga dengan bermain-main dengan alam. Ia adalah Srintil. Perawan kecil itu sedang merangkai daun
231
232
nangka dengan sebatang lidi untuk dijadikan sebuah mahkota. Gambaran warna lokal anak-anak Dukuh Paruk dekat dengan alam dapat dicermati dalam kutipan di bawah ini: Sambil membersihkan mulutnya dengan punggung lengan, Rasus mengajak kedua temannya melihat kambingkambing yang sedang mereka gembalakan. Yakin bahwa binatang gembalaan mereka tidak merusak tanaman orang, ketiganya berjalan ke sebuah tempat di mana mereka sering bermain. Di bawah pohon nangka itu mereka melihat Srintil sedang asyik bermain seorang diri. Perawan kecil itu sedang merangkai daun nangka dengan sebatang lidi untuk dijadikan sebuah mahkota. (RDP: 11) Dukuh Paruk selamanya menurut pada alam. Penghuninya yang akrab dengan sawah dan ladang miliknya tak juga bisa menghindar dari kebiasaan makan nasi gaplek. Sebuah nasi yang tetap terasa enak dimakan di atas daun pisang sebelum mereka kembali ke sawah dan ladang untuk bersatu dengan alam. Matahari naik. Panasnya mulai menyengat. Panas yang telah mengubah warna rambut orang dan anak Dukuh Paruk menjadi merah. Kulit kehitaman bersisik. Dukuh Paruk yang tadi malam basah kuyup kini terjerang. Panas dan lembab. Namun selamanya Dukuh Paruk menurut pada alam. Orangorang dewasa tetap bekerja di ladang atau sawah. Anak-anak pergi dengan binatang gembalaannya. Hari itu tak terjadi kelainan di pemukiman terpencil itu. (RDP: 24) Warna lokal alam pedesaan tergambar jelas ketika Srintil kembali mengenang masa kecilnya. Mereka, anak-anak Dukuh Paruk tak sejengkal pun berpisah dengan alam. Alam ditaklukannya dengan akal mereka. Mereka asyik bermain dengan alam tanpa memperdulikan predikat miskin yang disandangnya. Gambaran alam dukuh paruk
232
233
sangat dekat dengan anak-anak dapat dicermati dalam kutipan di bawah ini: ”Pernah seperti ini?” kata seorang anak lainnya yang membawa tahi sapi kering yang membara sebagian. Di atas bara itu seekor jangkrik sedan dibakar. Srintil tersenyum. ”Oh, tentu saja. Aduh, gurih nian jangkrik bakar itu, bukan?” ”Kakak mau? Silakan ambil.” ”Boleh?” ”Ambillah!” Anak-anak memperhatikan dengan minat yang penuh ketika Srintil mengunyah jangkrik yang dibakar dalam bara tahi sapi kering itu. Semacam lambang keakraban, dan anak-anak gembala itu bersorak-sorai. Seorang yang paling besar di antara mereka maju mendekati Srintil. Di tangannya ada bambu seruas. (RDP: 117) Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa orang-orang Dukuh Paruk sangat dekat dengan alam. Tak ada satupun anak Dukuh Paruk yang sekolah, menggembala kambing adalah pekerjaannya. Mereka yang tua akrab dengan sawah dan ladang bumi kelahirannya. Tak satupun yang rela meninggalkan desa untuk bekerja di luar Dukuh Paruk. Mereka tidak hanya dekat dengan alam bahkan menyatu. Itulah salah satu warna lokal yang dominan di dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. 2. Warna Lokal Novel Canting Novel Canting karya Arswendo Atmowiloto sarat dengan muatan warna lokal. Suasana kedaerahan yang mendeskripsikan suasana Ngabehan, tempat tinggal Den Bei beserta kerabatnya merupakan satu dari sekian warna lokal yang ditonjolkan. Tokoh-tokoh keluarga Ngabeyan dengan budaya
233
234
kehidupan kota beserta ciri khasnya sangat terasa di dalam novel Canting. Kebiasaan hidup dan cara bergaul ciri khas keluarga terhormat juga tampak dalam novel Canting. Novel Canting juga mengungkapkan perilaku wong cilik sebagai abdi dalem Ngabean. Tingkah laku, sopan santun, dan kebiasaan para buruh batik Den Bei adalah sisi lain warna lokal yang ditampilkan dalam novel Canting. Dua sisi warna lokal dalam novel ini akan ditinjau berdasarkan pandangan hidup orang Jawa, kondisi sosial masyarakat Jawa, dan etika Jawa. a. Pandangan Hidup Orang Jawa 1) Rila Rila, salah satu pandangan hidup orang Jawa. Rila adalah sikap ikhlas sewaktu menyerahkan segala miliknya, kekuasaannya, dan seluruh hasil karyanya kepada Tuhan, dengan tulus ikhlas. Rila berarti tidak ada satupun yang membekas di hati, semuanya harus diikhlaskan. Orang yang memiliki sikap ikhlas tidak mengharapkan hasil dari yang telah diperbuatnya. Novel
Canting
memiliki
tokoh-tokoh
yang
selalu
menampakkan sikap rila dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah bu Bei. Sebagai wanita Jawa bu Bei sangat memahami bagaimana harus menjadi istri yang baik bagi pak Bei. Apalagi bu Bei terlahir dari lingkungan yang berbeda dengan pak Bei. Sikap rila diwujudkan dalam ketulusan mengabdi pada seorang suami. Hal itu tergambar dalam kutipan di bawah ini:
234
235
Pak Bei turun dari mobil, berdehem kecil, memasuki rumah. Ayam hutan yang berada dalam sangkar di samping pendapa berteriak. Pak Bei mendengus perlahan. Masuk lewat pendapa, menuju bagian dalam. Sebelum sampai di pintu, Bu Bei telah membukakan pintu. ”Ngersaki ngunjuk punapa?” Ingin minum apa, adalah sambutan yang pertama. Pak Bei tak perlu menjawab. Karena biasanya di meja sudah disediakan. Ada wedang, jahe, ada teh, ada juga susu yang masih hangat. Bu Bei bisa memperhitungkan saat pak Bei pulang dari tirakatan. Apa saja, kalau pergi malam diartikan sebagai tirakatan, atau merenungkan keprihatinan. Ini berarti tidak tidur. Bu Bei telah menyiapkan segalanya. Pun andai saat itu pak Bei menghendaki sarapan bubur. (Canting: 34) Selain menampilkan sosok yang ikhlas dan turut mengabdi pada suami, bu Bei juga menampilkan sosok yang patuh pada suami. Bu Bei mengerti apa yang disuka dan tidak disukai suaminya. Dari masalah yang sederhana sampai hal yang kompleks. Ia nggak terlalu banyak bertanya dan menuntut. Bu Bei hanya memiliki satu keinginan, mengabdi sebaik-baiknya pada suami. Bu Bei sangat paham bahwa suaminya tak menyukai sabun yang kecil, karena suka meloncat ketika dipegang. Atau sandal pilihannya untuk dikenakan di dalam rumah. Pak Bei paling benci dengan sandal jepit. Yang dianggap sandal paling kurang ajar, paling tidak berbudaya, paling kampungan. Pak Bei menyebutnya sebagai ”sandal pabrik”, istilah barbar, tak mengenal kompromi sama sekali. Semua istilah yang dikaitkan dengan ”pabrik” mempunyai konotasi yang tidak berbudaya, tidak sopan, tidak etis. Oleh Bu Bei ini diterjemahkan sebagai aturan kepada anak-anaknya. (Canting: 35) Sikap patuh bu Bei sangat kelihatan ketika ia menunggu keputusan apa yang harus diterima bu Bei. Waktu itu pak Bei merasa ada sesuatu yang disangsikan dalam diri bu Bei. Bu Bei menyatakan
235
236
dirinya hamil lagi, pak Bei menanggapi dengan dingin. Sementara bu Bei menunggu
dan hanya menunggu. Sosok wanita yang
menampilkan warna lokal Jawa terlihat dalam kutipan berikut ini: Bu Bei masih menunggu. Sampai agak gelap. Baru kemudian pak Bei berdehem kecil. ”Saya tidak bisa bicara sekarang ini. Mengenai anak yang kandung, saya tak tahu. Kalau nanti besarnya jadi buruh batik, ia memang anak buruh batik. Memang darah buruh yang mengalir, bukan darah Sestrokusuman. (Canting: 10) Sikap ikhlas juga dimiliki abdi dalem Ngabehan. Mereka yang yang menempati kebon para buruh batik yang telah bertahun-tahun hidup di lingkungan Setrokusuman. Mereka mengabdi dengan tulus ikhlas. Tidak ada satupun yang membekas di hati, semuanya mereka ikhlaskan tanpa mengharapkan hasil dari yang telah diperbuatnya. Bentuk pengabdian yang tulus terlihat pada Mijin. Ia bertahuntahun mengabdi di Sestrokusuman. Tidak pernah memegang uang, tidak minta sesuatu yang berlebihan. Bagi Mijin apa yang menjadi tugasnya hari itu selesai dan esok bekerja lagi hal yang sama. Mijin tidak pernah mempersoalkan imbalan berapa yang harus diterimanya. Satu hal lagi yang terlihat pada Mijin ialah ia tak pernah memegang uang. Selama ini ia juga tak menerima gaji. Ia ikut di pabrik sejak kecil, membantu, hidup begitu saja. Ketika kawin, jatah nasinya diberikan kepada istrinya. Juga kalau mendapat persen. Ia tak mempunyai sesuatu untuk kebutuhan sendiri. Kalau yang lain main judi di belakang-ketika ada yang kawin, beranak, dan itu selalu terjadi setiap bulan-Mijin hanya menonton. Kata teman yang juga masih bersaudara dengannya: Mijin tak bisa membedakan kartu yang satu dengan yang lainnya. (Canting: 63)
236
237
Yang memiliki rasa ikhlas mengabdi tidak hanya Mijin. Mbok Tuwuh, pakde Tangsiman, pak Jimin, dan buruh-buruh batik yang lainnya semuanya bekerja dengan penuh ikhlas. Kalau keluarga Nabeyan menyadari, pengabdian tulus mereka turut memberi andil keluarga Ngabeyan jadi terpandang. Bentuk pengabdian itu tidak terbatas hanya pada kerja keras, bahkan diam-diam abdi dalem juga membantu doa dengan cara mereka. Ni makin sadar. Mbok Tuwuh, Pak Mijin, Pakde Tangsiman, Pak Jimin, dan buruh-buruh batik yang lainlah yang menyebabkan ia bisa kuliah. Semua kakaknya selesai pendidikan formalnya dan bisa hidup terhormat. Keluarga Ngabean menjadi orang yang terpandang. Menjadi contoh. Rasanya tak mungkin tercapai tanpa mbok Tuwuh-yang diam-diam berpuasa kalau Ni ujian, yang pasti berdoa secara tulus, seperti juga yang lainnya. (Canting: 220)
Rasanya Ni, salah satu anggota keluarga Ngabeyan yang tanggap akan pengorbanan mereka. Untuk itu Ni berkeinginan ingin menghidupkan kembali usaha batik yang dulu pernah berjaya ketika diurus ibunya. Ni mengelola usaha batik dengan manajemen yang berbeda dengan ibunya. Ia berusaha menghargai para buruhnya. Ni menghargai keikhlasan dan ketulusan pengabdian mereka. Di bawah pandangan Ni terhadap abdi dalem Ngabeyan: Adalah keinginan yang wajar bila Ni ingin berbuat sesuatu. Sama wajarnya jika mbok Tuwuh yang mulai sakitsakitan tetap datang, tetap mengumpulkan sampah, menyapu. Sama wajarnya dengan pakde Tangsiman atau pakde Wagiman yang entah sejak kakek atau neneknya dulu mengabdi.
237
238
Ya, mereka mengabdi bukan bekerja sebagai buruh. Karena mereka memberikan semua yang dimiliki. Kesetiaan tanpa menuntut sesuatu yang menjadi haknya. (Canting: 220) Mereka pun juga memiliki pribadi yang tahu diri. Ketika usaha batik Ni tidak berkembang dengan baik, mereka hanya mau menerima upah sebagian. Jiwa pengabdian yang tulus ikhlas muncul demi orang yang dihormatinya. Mereka ternyata juga cukup mengerti arti setia kawan. Gambaran sikap mereka terdapat dalam kutipan di bawah ini: Ternyata apa yang dirasakan mbok Tuwuh dan mbok Kerti menjadi wakil perasaan dan sikap semua buruh. Semua tanpa kecuali merasa bersalah. Pakde Wahono bahkan kemudian tak mau menerima gajinya secara utuh. Hanya mau menerima separonya saja. Jadinya serba salah. ”Dagang itu kadang untung, kadang buntung, Den Rara. Kalau untuk ya kita rasakan, kalau buntung ya kita rasakan.” (Canting: 370) Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa warna lokal berkaitan dengan pandangan hidup orang Jawa terdapat dalam novel Canting Karya Arswendo Atmowiloto. Tokoh-tokoh novel seperti bu Bei, Mijin, mbok Kerti, dan tokoh lain memiliki sikap rila atau ikhlas dalam pengabdian. Sikap tulus bu Bei sebagai istri ditampilkan oleh penulis novel berbentuk pengabdian kepada suami. Sedangkan, sikap tulus abdi dalem Ngabeyan dan buruh batik ditujukan kepada majikannnya. 2) Narima Sikap narima adalah sebuah sikap yang tidak menginginkan milik orang lain, serta tidak iri hati dengan kebahagiaan orang lain.
238
239
Orang yang narima dapat dikatakan orang yang bersyukur kepada Tuhan. Sikap narima banyak pengaruhnya terhadap ketenteraman hati seseorang. Sikap narima merupakan salah satu pandangan hidup orang Jawa sebagai warna lokal. Dalam novel Canting dapat dijumpai beberapa tokoh yang memiliki sikap narima. Bu Bei adalah salah satu tokoh dalam novel ini yang memiliki sikap tersebut. Waktu itu bu Bei yang bernama kesil Tuginem masih sangat belia. Raden Mas Daryono menghendakinya untuk dijadikan istri. Keinginan Raden Mas Daryono ternyata disambut positif oleh kedua orang tua Tuginem dan Tuginem harus menerima keputusan itu. Tuginem
mulai
saat
itu
harus
meninggalkan
teman
sepermainannya. Ia harus belajar unggah-ungguh. Berlaku sopan layaknya seorang priyayi. Karena memang ia harus jadi priyayi. Batinnya sangat tertekan. Kadang ia menangis menerima kenyataan ini. Tapi, Tuginem harus menerima takdirnya. Sesuai pandangan orang Jawa Tuginem harus memiliki sikap narima. Hal itu tergambar dalam kutipan di bawah ini: Calon bu Bei yang masih sangat belia tak sepenuhnya bisa menangkap kalimat itu. Dan tak perlu dijelaskan. Yang jelas, mulai saat itu ia tak boleh bermain bersama temantemannya. Tak boleh main congklak, main gobag sodor, main engklek, dampu, lagi. Bahkan tidak boleh bekerja. Ia diajari menggunakan bahasa Jawa yang halus. Cara menyembah, cara laku dhodhok, berjalan jongkok dengan punggung tegak tapi tangan menyentuh lantai. (Canting: 80)
239
240
Ia menangis diajari membawa nampan, diajari menyembah, disuruh belajar menari, diajari membaca, diajari melirik, tersenyum, menggerakkan ujung jari. Seolah ia tak pernah bisa apa-apa. Padahal selama empat belas tahun dalam hidupnya, ia telah ada di rumah Ngabean ini. Bersama kedua orang tuanya. Dan bisa melakukan apa saja. Bahkan membatik. Tapi tak apa-apa. Tak perlu bertanya. Menunggu saja. (Canting: 84) Sikap narima memang sudah tertanam dalam diri Tuginem. Ketika Tuginem sudah menjadi bu Bei sikap itu masih ia pegang sebagai wanita Jawa. Hal ini sangat membantu ketenteraman hidup bu Bei dalam berumah tangga. Bu Bei menerima takdir menjadi seorang priyayi. Kehidupannya mengalir dan menunggu. Kalau ada masalah keluarga, seperti Pak Bei meragukan kehamilannya bu Bei bersiap menerima yang terburuk dengan mengharap yang terbaik. Sikap narima juga tampak ketika anak yang disangsikan siapa bapaknya itu lahir. Apakah pak Bei akan berpikir lain setelah melihat bayi yang keenam? Bu Bei hanya bisa menunggu. Menunggu adalah pasrah. Menunggu adalah menerima nasih, menerima takdir. Menjalani kehidupan. Bukan menyerah, bukan kalah, bukan sikap pandir. Pasrah ialah mengalir, bersiap menerima yang terburuk ketika mengharap yang terbaik. ”Anakmu sudah lahir Bu,” kata pak Bei di samping bu Bei yang masih susah mengatur napas, ”Hitam seperti jangkrik.” Bu Beo menangis. ”Selamat semuanya.” (Canting: 86) Sikap narima juga dimiliki oleh abdi dalem Ngabeyan. Mereka tidak iri dengan kebahagian orang lain. Tidak menginginkan milik orang lain. Yang mereka inginkan keselarasan dan ketenteraman
240
241
hidup. Salah satu abdi dalem Ngabeyan tersebut adalah Wagiman. Wagiman sudah begitu bahagia dengan semua yang diterima dalam hidupnya. Sikap narima itu ia wujudkan dengan bersyukur kepada Tuhan dengan bekerja lebih keras dan tekun. Hal itu tergambar dalam kutipan berikut ini: Wagiman sudah bahagia dengan semua yang diterima dalam hidupnya. Ia mensyukuri karena bisa bekerja, bisa menghidupi anak-anak dan istrinya, dan membantu saudaranya di desa. Ia membalas rasa syukur ini dengan bekerja lebih tekun, lebih keras, tanpa mengenal jam kerja tertentu. Wagiman tak menuntut apa-apa. Ia tahu apa yang menjadi haknya, lewat jalan apa pun akhirnya akan jtuh ke tangannya pula. Sebaliknya apa yang belum menjadi miliknya, diberikan di depan mulut pun akan jatuh ke tanah. Gusti Allah sudah mengatur semuanya. (Canting: 140) Sikap narima merupakan perwujudan bahwa seseorang bisa memahami siapa dirinya. Wagiman cukup tahu diri apa yang harus dilakukan ketika anaknya lahir. Tidak ada acara seperti ketika anak Bu Bei lahir. Ketika juga anak Wagiman berumur 35 hari (selapan) atau tujuh lapan. Semua berjalan apa adanya seperti takdir yang diterima Wagiman sebagai buruh batik. Wagiman tak pernah iri dengan kehidupan keluarga pak Bei. Sampai dengan kelahiran, Wagiman hanya menandai dengan main kartu di antara sahabat, saudara yang dulu juga. Ketika kemudian Genduk berumur 35 hari, upacara main kartu terulang kembali. Juga ketika Genduk berusia tujuh lapan atau tujuh kali selapan – 245 hari, kartu yang sama dipakai kembali. Wagiman tak memakai upacara tedak siten, upacara menginjak tanah yang pertama kali bagi si bayi. Upacara ini penting, karena pada saat itulah si bayi juga diramal apa yang akan dialami kelak. Ia dimasukkan ke sangkar ayam yang telah diberi beberapa mainan, apa yang dipegangnya pertama
241
242
menunjukkan pekerjaan dan kariernya kelak. Kalau Genduk memegang gelas emas yang disediakan di situ, ada harapan ia bisa menjadi kaya raya di belakang hari. (Canting: 144) Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sikap narima sesuai pandangan hidup orang Jawa dijumpai dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Sikap narimo sebagai warna lokal dimiliki tokoh-tokoh dalam novel tersebut. Sebuah sikap yang bisa menerima ketika orang lain memiliki lebih dari yang kita miliki. Sikap bisan menerima ketika orang lain hidup bahagia. Sikap semacam ini sangat berpengaruh terhadap ketenteraman hati dan keselarasan hidup. 3) Temen Sikap temen berarti menepati janji atas ucapannya sendiri. Baik janji yang diucapkan dengan lisan atau diucapkan dalam hati. Dengan menepati janji berarti ada kesungguhan dalam bekerja. Orang yang tidak menepati kata hatinya berarti menipu dirinya sendiri. Sedangkan kata hati yang diucapkan namun tidak ditepati, itu sama dengan dusta yang disaksikan orang lain. Sikap temen merupakan salah satu warna lokal yang terdapat dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Sikap ini dimiliki beberapa tokoh dalam novel tersebut diantaranya Ni. Kesungguhan Ni dengan pilihan hidup meneruskan usaha batik keluarga Ngabeyan merupakan sikap temen. Walaupun semua anggota keluarga tidak mendukung
niatnya,
tapi
242
ia
bersungguh-sungguh
untuk
243
memperjuangkannya. Akhirnya, Pak Bei memberi izin niatnya yang sudah tidak dibendung itu. ”Ibumu akan berduka kalau kamu mengurusi usaha batik itu. Seperti diingatkan bahwa kamu bukan anakku. Dan itu membuatnya bersalah. Padahal kalau dipikir-pikir, kan ibumu seharusnya yang paling tahu siapa bapakmu. Sehingga tak ragu-ragu lagi. Iya, kan? Itu kalau dipikir. Tapi ibumu juga ngrasa, merasa. Pikirannya sangat peka. Bahkan setelah ia yakin kamu anakku - kan sulit membayangkan ibumu berani menyeleweng – ia jadi ragu dengan sikap yang kamu pilih. ”Tentu, tentu, Ni. Kamu tak usah ngomong pun aku tahu. Kamu punya alasan lain sewaktu memutuskan untuk melanjutkan usaha pembatikan. ”Kamu tahu, Ni, itu yang membuat aku suka padamu”. (Canting: 252-253) Setelah mendapat restu dari ayahnya Ni menjalankan usaha batik dengan kesungguhan hati. Sikap temen itu tampak ketika ia mengurusi batik dengan manajemen baru. Ia pelajari betul liku-liku usaha batik yang dulu diurus oleh ibunya. Sikap temen Ni sangat dirasakan oleh anak buahnya. Hal itu tergambar dalam kutipan berikut ini: Ni masuk rumah. Mengikat rambutnya dengan tali karet. Mengambil buku catatan, lalu menuju bagian samping. Di tempat buruh-buruh membatik. ”Wah, jadi juragan betul-betul.” Ni memandang pak Mijin. ”Pakai selametan.” Entah apa saja yang telah didengar oleh pak Mijin dan telinga yang lain. Yang selama ini berdiam diri, tak menunjukkan tahu sesuatu. ”Rapat dulu.” ”Rapat apa?” ”Pokoknya rapat. Pak Mijin tolong panggilkan Pakde Wahono, Pakde Karso, Pakde Tangsiman, Pakde ...” Ni membuka catatannya, ”Pakde Kromo, Jimin.” (Canting: 308-309)
243
244
Ni memang sungguh-sungguh menjalankan usaha batik. Sikap temen menuntun agar usahanya berhasil. Tapi, ternyata banyak liku yang Ni belum begitu mengerti tentang usaha batik yang pernah diurusi ibunya. Kenyataan membuktikan tidak semudah dalam anganangan. Ni dinilai banyak pihak gagal menjalankan usaha sampai akhirnya jatuh sakit. Sakit yang begitu parah. Ni sembuh. Berkat dorongan ayahnya dan orang-orang di sekelilingnya. Ia kembali menggerakkan usahanya lagi dengan cara berpikir yang berbeda. Ia tidak lagi menggunakan cap Canting. Ni menyerahkan kepada perusahaan besar untuk membeli dan menjual kembali dengan cap perusahaan mereka. Ternyata dengan cara semacam ini usahanya kembali jalan. Cara bertahan dan bisa melejit bukan dengan menjerit. Bukan dengan memuji keagungan masa lampau, bukan dengan memusuhi. Tapi dengan jalan melebur diri. Ketika ia melepaskan cap Canting, ketika itulah usaha batiknya jalan. Ketika ia melepaskan nama besar Sestrokusuman, ketika itulah ia melihat harapan. (Canting: 403) Sikap temen juga dimiliki buruh batik Bu Bei. Salah satu buruh batik yang memiliki sikap temen adalah Wagiman. Wagiman yang sebenarnya masih memiliki hubungan darah dengan pak Bei. Wagiman memulai pekerjaannya di Ngabeyan dari mencuci, menyapu, sampai kemudian diperbolehkan membuat pola. Membuat pola adalah membuat garis dasar dengan pensil tebal pada kain mori yang putih.
244
245
Setelah hampir sepuluh tahun bekerja ia dipercaya nyarik atau menjadi carik. Carik adalah pekerjaan yang tertinggi di antara buruh batik. Di bawah ini gambaran sikap temen Wagiman sebagai buruh batik di Ngabeyan: Seperti juga Wagiman, yang barangkali kalau dirunut hubungan darahnya tak kalah dekat dari pak Bei dengan adikadiknya. Tapi Wagiman memulai bekerja seperti yang lainnya. Membantu mencuci, membantu menyapu, sampai kemudian diperbolehkan membuat pola. Mola, atau membuat pola, tidak segagah namanya, karena yang dilakukan hanyalah membuat garis-garis dasar dengan pensil tebal pada kain mori yang putih. (Canting: 138-139) Wagiman mulai dari itu, sampai kemudian telah hampir sepuluh tahun, dipercaya nyarik, atau menjadi carik. Pekerjaan yang paling tinggi di antara para buruh batik. Dalam pabrik batik, hanya ada beberapa orang yang dipercaya nyarik. Mereka yang sedikit inilah yang menjalankan pelaksanaan sehari-hari. Membagi kani mori, sebelum mori dibatik, dan menimbang kembali setelah dibatik. (Canting: 139) Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sikap temen tokoh-tokoh yang terdapat dalam novel Canting sesuai dengan pandangan hidup orang Jawa. Sikap temen berarti sungguh-sungguh. Penerapan di lapangan sikap temen seseorang ditunjukkan dengan kesungguhan dalam bekerja. Sikap temen merupakan bentuk menepati janji atas ucapannya sendiri, baik yang dilisankan atau yang diucapkan dalam hati. 4) Sabar Sabar merupakan tingkah laku terbaik yang harus dimiliki manusia. Sabar itu berarti momot, kuat terhadap cobaan, tetapi bukan
245
246
berarti putus asa. Kesabaran ibarat samudera pengetahuan, ia tidak tidak membeda-bedakan emas dan tanah liat, sahabat dan musuh. Tuhan sangat mengasihi orang yang memiliki sifat sabar. Dalam novel Canting pandangan orang Jawa yang berkaitan dengan sikap sabar tercermin dari sikap tokoh-tokohnya. Tuginem yang harus menikah dengan Raden Mas Daryono kemudian dikenal dengan sebutan bu Bei adalah pribadi yang sabar. Sikap pak Bei kadang-kadang membuat bu Bei juga harus menahan nafas. Bu Bei bukannya tidak mendengar kalau pak Bei punya istri simpanan di desa Baki. Kabar yang ia dengar dari pernikahan siri itu, Karmiyem juga telah melahirkan anak keturunan pak Bei. Bu Bei hanya bisa sabar dan momot mendengar hal itu. Pak Bei tidak mencari konflik seperti itu. Dalam pandangan pak Bei, bu Bei juga tidak mencari. Malah berpurapura tidak mengetahui ketika dulu Pak Bei lebih sering bermalam di Mbaki, daerah Grogol, agak ke selatan batas kota Solo. Ketika itu anak keempatnya lahir, tak ditunggui Pak Bei. Karena Pak Bei sedang menunggui anak pertamanya dari Karmiyem, yang hitam manis dan rambutnya keriting. (Canting: 70) Seminggu lebih pak Bei tidak pulang. Setelah itu tetap dua hari sekali, tiga hari datang dan bermalam. Pak Bei tahu bahwa bu Bei tahu. Tapi bu Bei tidak pernah menanyakan, tidak pernah mengurus. Hanya bu Bei tidak pernah menunjukkan sikap manis di dalam kamar. Namun sehari-hari tetap sama, menata meja makan, mengatur anak-anak – saat itu belum mau pergi ke Pasar Klewer – dan bersikap manis serta menghormat. (Canting: 71) Sikap sabar bu Bei juga tampak ketika melihat sikap pak Bei yang
mengomentari
anaknya
246
yang
sedang
dilahirkan.
Anak
247
terakhirnya. Yang kehadirannya disangsikan siapa bapaknya. Waktu itu bu Bei hanya menangis mendengar ucapan selamat dari suaminya. Sikap pak Bei biasa-biasa saja. Pak Bei tidak menyiapkan nama seperti kelima anaknya yang lahir sebelumnya. ”Anakmu sudah lahir, Bu,” kata pak Bei di samping bu Bei yang masih susah mengatur napas. ”Hitam seperti jangkrik.” Bu Bei menangis. ”Selamat semuanya.” Bu Bei menangis lagi. Dulu, kelima anaknya lahir, dan pak Bei sudah menyiapkan nama. Kali ini tidak dibisikkan nama. Kali ini biasa-biasa saja. Tak menjenguk kembali. Bu Bei menunggu semuanya, sambil meneteki, dan merasa bayinya sangat kuat mengisap dan membuat sakit. (Canting: 86) Wagiman salah satu buruh pabrik yang sabar. Ia dan keluarganya
mendapat cobaan ketika Wagimi anaknya diketahui
hamil sebelum menikah. Wagimi masih SMP waktu itu. Betapa terguncang Wagiman, Pak Bei, dan Ni yang waktu itu mendengarkan bahwa yang menghamili Wagimi adalah Wahyu Dewabrata. Baik Wagiman maupun pak Bei bisa momot, kuat menerima cobaan tapi tidak berputus asa. Hal itu tergambar dalam kutipan berikut ini: Wagimi tidak protes. Wagiman juga tidak mengajukan apa-apa, melainkan menerima tanpa bertanya. Tanpa melawan. Tanpa menuntut apa-apa. Juga biaya. Wagimi malah menerima apa yang paling ditakutkan oleh penghuni kebon. Dibuang, kembali ke desa. Dinikahkan dengan Jimin – yang menjaga tanaman, burung, dan ikan peliharaan pak Bei. (Canting: 233) Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa warna lokal berkaitan dengan pandangan hidup orang Jawa terdapat dalam novel
247
248
Canting. Sikap yang sesuai dengan pandangan hidup orang Jawa tersebut adalah sikap sabar. Sikap sabar sebagai orang Jawa dimiliki oleh bu Bei dan Wagiman salah satu buruh batik yang memiliki sikap itu. Bu Bei bisa momot dengan sikap suaminya yang keturunan priyayi. Sabar terhadap pola hidup pak Bei yang memang selalu membutuhkan pelayanan. Bisa momot ketika mengetahui pak Bei punya istri simpanan. Sedangkan, Wagiman mendapat cobaan yang berat ketika anaknya diketahui hamil sebelum menikah. Wagiman bisa menerima cobaan itu dengan sabar. 5) Budi Luhur Sikap Budi luhur adalah sebuah sikap yang ditandai dengan adanya usaha oleh manusia untuk menjalankan hidupnya dengan segala tabiat dan sifat-sifat yang dimiliki oleh Tuhan Yang Maha Esa, seperti: kasih sayang terhadap sesama, adil, dan tidak membedabedakan sesama manusia. Orang yang berbudi luhur juga suka menolong sesama tanpa mengharapkan imbalan, bahkan jiwanya siap dikorbankan. Banyak
tokoh
dalam
novel
Canting
karya
Arswendo
Atmowiloto yang berpribadi luhur, salah satunya pak Bei. Pak Bei bukan tipe pendendam. Ketika ia menikahi Tuginem (bu Bei) semua anggota keluarganya menentang. Hal itu juga dilakukan oleh kedua
248
249
adiknya. Adiknya lebih suka menjauh dari keluarga pak Bei sebagai tanda tidak setuju atas pernikahan tersebut. Salah satu adik pak Bei, Raden Ngabehi Sestrodiningrat mengalami kesulitan hidup. Semua harta benda habis dijual tidak terkecuali juga rumahnya. Pada suatu kesempatan Raden Ngabehi Sestrodiningrat bersama istrinya datang ke Sestrokusuman sambil menangis, mengadukan nasibnya. Pak Bei tetap bersikap baik pada adiknya tersebut. Bahkan sikapnya sangat mencerminkan sebuah budi luhur. Hal itu tergambar dalam kutipan di bawah ini: ”Saya pasrah bongkokan, Kangmas.” Pak Bei masih merasakan sakitnya ketika ia dikucilkan. Akan tetapi ia kakak yang baik. Ia berkata kepada istrinya agar mencarikan rumah buat adiknya. ”Rumah yang pantas.” Dan bu Bei melakukan itu. Melakukan pembelian rumah di Jalan Gading Kidul, sekitar satu kilometer sebelah selatan pintu gerbang Keraton. Cukup dekat, akan tetapi juga jelas bahwa tak berada dalam lingkungan Keraton lagi. Rumah itu masih tetap rumah yang terbaik, paling kuat bangunannya, dan bertingkat. (Canting: 128-129) Bu Bei ternyata juga bisa mengimbangi sikap budi luhur pak Bei. Pada kesempatan lain, Raden Ngabehi Sestrosunu (adik pak Bei yang lain, yang bernama kecil Darnoto) juga datang ke rumah bersama istrinya. Maksud kedatangannya tidak jauh beda dengan Raden Ngabehi Sestrodarsono yang bernama kecil Darmasto. Raden Ngabehi Sestrosunu hendak menjual rumahnya karena juga mengalami kesulitan hidup. Di bawah gambaran budi luhur bu Bei dan pak Bei:
249
250
”Apa kata orang nanti kalau aku membeli rumahmu?” Sekali lagi bu Bei menunjukkan jiwa besarnya sebagai kakak ipar. Uang seharga rumah diberikan, akan tetapi suratsurat tak pernah disebut-sebut. ”Aku memang yang tertua dan pantas menjadi pelindung keluarga. Akan tetapi aku tak pernah menyangka bahwa ini yang akan kualami. Kami menerima warisan yang sama. ”Mereka tahu, tangan mana yang bekerja, itu yang layak memuluk, menyuap nasi ke mulut. Bukan tangan yang menggengam.” (Canting: 129-130) Budi luhur pak Bei juga dirasakan oleh buruh-buruh batik di Sestrokusuman. Pasca banjir besar, pak Bei menunjukkan kepedulian yang luar biasa dengan orang-orang yang tinggal di lingkungan kebon. Pak Bei meninjau, memberi makanan, bahkan memberikan tindakan preventif terhadap penyakit. Di bawah gambaran budi luhur yang merupakan sikap dari pak Bei: Wagiman lebih bisa mengingat peristiwa itu dibandingkan dengan kraman, bakar-bakaran, dan bunuhbunuhan. Lebih mengingat bahwa pak Bei esok harinya meninjau yang ada di kebon dengan drum minyak tanah setengah kosong. Memberi beras, menyuruh membuat bubur, menyuruh Jimin mencari kelapa untuk diambil airnya, memberi telur, memberi susu untuk Genduk dan adiknya, memberi minyak tanah untuk digosokkan di tubuh agar tidak masuk angin, menyuruh mengambil pisang, sawo, menyuruh mengawasi barang-barang, memberikan selimut, membagi rokok, meminjamkan radio kecil untuk hiburan. (Canting: 160) Tokoh yang memiliki budi luhur tidak hanya pak Bei dan bu Bei. Buruh batik yang bernama pakde Karso dan pakde Wahono juga memiliki sikap budi luhur. Mereka rela ditahan di kantor polisi selama satu minggu demi menutupi kebohongan Lintang, salah satu anak pak
250
251
Bei. Waktu itu Lintang membutuhkan sejumlah uang untuk dikirimkan kepada calon suaminya Letnan Pradoto yang sedang promosi jabatan. Pakde Karso dan pakde Wahono yang dipercaya pak Bei dibagian pengiriman barang ditangkap polisi. Mereka menggelapkan kiriman batik ke Surabaya dan Madiun sebanyak 60 potong. Semuanya batik halus. Budhe Karso dan Budhe Wahono diusir dari kebon. Kedua buruh itu menjalani dengan ikhlas tanpa mau membela diri. Padahal yang sebenarnya bersalah adalah Lintang. Kebohongan Lintang diketahui secara tidak sengaja ketika Jimin menemukan kuitansi penjualan. Dari kuintansi itu terdapat keterangan bahwa uang yang menggunakan Lintang, bukan pakde Karso dan pakde Wahono. Kedua buruh batik itu tidak mengambil sepeser uang pun. Bahkan titipan sepeda pun dia keluarkan dari uang pribadi. Di bawah ini kutipan yang menjelaskan peristiwa itu: Ni tahu bahwa pakde Karso dan pakde Wahono sebenarnya tidak mencuri enam puluh potong batik halus. Batik pesanan Madiun dan Surabaya itu tidak dikirimkan, melainkan dijual di sebuah toko di Secoyudan. Dengan harga miring. Duitnya dikirimkan melalui pos wesel. Dari resi yang diketemukan, duit itu dikirimkan kepada waktu itu Letnan Pradoto. Nama pengirimnya ialah Lintang Dewanti. Hal ini diketahui pak Bei secara tidak sengaja. Ketika ia menyuruh Jimin menggeledah dan mencari tahu ke mana larinya uang. Jimin tak menemukan sesuatu yang berharga di rumah. Kecuali kertas resi yang disimpan hati-hati. Bahkan istri mereka pun tidak tahu. Semua jumlahnya cocok dengan yang diterima dari toko. Tidak berkurang satu rupiah pun. Tidak juga membayar titipan sepeda. (Canting: 242)
251
252
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sikap Budi luhur sebagai warna lokal Jawa dapat dijumpai dalam novel Canting. Sikap budi luhur yang ditandai dengan adanya usaha oleh manusia untuk menjalankan hidupnya dengan segala tabiat dan sifat-sifat yang dimiliki oleh Tuhan Yang Maha Esa. Tokoh-tokoh novel ini menampilkan pribadi budi luhur dengan cara suka menolong sesama tanpa mengharapkan imbalan, bahkan jiwanya siap dikorbankan. b. Kondisi Sosial Masyarakat Jawa Warna lokal dalam novel Canting ditampilkan oleh pengarang lewat latar, nilai-nilai budaya, dan ciri-ciri kultural suatu daerah. Lingkungan keraton yang dikenal orang sebagai tempat tinggal para priyayi adalah bukti nyata warna lokal dalam novel ini. Kondisi sosial masyarakat Jawa alam perkotaan merupakan warna lokal yang mendominasi cerita merupakan warna lokal yang sengaja ditonjolkan oleh Arswendo Atmowiloto. Adapun kondisi sosial masyarakat Jawa yang menampilkan suasana kota yang terdapat dalam novel Canting adalah: 1) Anonimitas Anonimitas adalah sebuah ciri khas kehidupan masyarakat kota yang menghabiskan waktunya di tengah-tengah kumpulan manusia yang anonim. Heterogenitas kehidupan kota dengan keanekaragaman manusianya yang berlatar belakang kelompok ras, etnik, kepercayaan, pekerjaan, kelas sosial yang berbeda-beda mempertajam suasana anonim.
252
253
Bentuk anonimitas dalam novel Canting sebagai warna lokal kehidupan kota ditampilkan oleh penulis lewat tokoh utama pak Bei. Dalam kehidupan sehari-hari pak Bei menghabiskan waktunya dalam kumpulan manusia yang anonim. Lingkungan tempat berkumpulnya orang-orang tersebut sebenarnya bukan lingkup yang luas, melainkan hanya lingkunan Sestrokusuman. Di lingkungan tersebut terdapat dua komunitas yaitu kelompok priyayi dan bukan priyayi. Heterogenitas
kehidupan
kota
dengan
keanekaragaman
manusianya yang berlatar belakang kelompok ras, etnik, kepercayaan, pekerjaan, kelas sosial yang berbeda-beda mempertajam suasana anonim. Semua penghuni kebon mengenal pak Bei dengan anggota keluarganya, tapi belum tentu pak Bei mengenal semua buruh pabrik yang jumlahnya kurang lebih 112 orang. Bahkan, orang kebon yang sehari-hari bertemu dengan pak Bei pun ada yang tidak dikenal oleh pak Bei. Kutipan di bawah ini menggambarkan keadaan tersebut: Seperti malam yang sudah dilewati tengahnya, ketika bu Bei mengatakan akan ke kebon belakang. Bu Bei bisa melakukan sendiri tanpa minta izin. Bahkan kalau kemudian bu Bei yakin akan diizinkan, ia tetap merasa perlu untuk meminta restu. “Wagiman punya anak.” “Ya, pergi sana. Ditengok.” Pak Bei tak akan tahu dengan pasti Wagiman yang mana. Apa Wagiman yang hitam atau yang putih. Yang kurus atau yang gemuk. Apa bedanya Wagiman dengan Tangsiman atau „man‟ yang lain. (Canting: 133) Pak Bei tidak mengenal semua pembantunya yang tinggal di kebon. Padahal buruh batik yang menghuni kebon jumlahnya tidak
253
254
terlalu banyak. Satu alasan mengapa pak Bei tidak begitu mengenal mereka karena jarang bergaul. Pak Bei pun hanya mau bicara dengan orang-orang tertentu saja. Kelas sosial yang berbeda mempertajam anonimitas. Di bawah ini kutipan yang menggambarkan hal di atas: Sesekali Jimin disuruh mengantarkan beras kepada keluarga buruh yang ditahan. Ada kalanya juga pakaian bekas. Semua perintah ini diberikan lewat bu Bei. Padahal Jimin paling bangga jika diajak berbicara oleh pak Bei. Boleh dikatakan, dialah satu-satunya yang diajak berbicara. Meskipun, barangkali adalah diperintah. (Canting: 153) Suatu kali Wagiman, salah buruh pabrik terkejut dengan pertanyaan pak Bei. Ternyata pak Bei tidak begitu kenal dirinya padahal
ia sudah mengabdi bertahu-tahun di Sestrokusuman. Ia
bahkan tinggal bersama anak dan istrinya di lingkungan kebon. Sikap pak Bei yang tidak begitu mengenal Wagiman merupakan salah satu ciri anonimitas masyarakat kota. Wagiman tak sepenuhnya menyadari hal itu. Ia menjalani saja kehidupan ini seperti apa adanya. Adik Genduk sudah hamper punya adik lagi. Ketika suatu sore pak Bei berjalan masuk ke rumahnya. “Siapa namamu?” Itulah pertanyaan yang membuat Wagiman kaget setengah mati. Ia sama sekali tak menyangka akan ditanyai semacam itu. “Wagiman, Den Bei.” (Canting: 154) Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa anonimitas sebagai warna lokal dalam novel Canting dimunculkan oleh penulis novel. Anonimitas yang dipengaruhi kelas sosial yang berbeda. Keluarga pak Bei yang priyayi belum tentu mengenal buruh batik yang
254
255
bekerja padanya. Sedangkan para buruh pasti mengenal keluarga Sestrokusuman. 2) Jarak Sosial Jarak sosial bisa dimaknai sebagai hubungan antara orang per orang. Secara fisik orang-orang dalam keramaian, akan tetapi mereka hidup berjauhan. Dalam novel Canting jarak sosial secara jelas ditampilkan oleh penulis novel.. Ada dua komunitas yang bisa hidup berdampingan dan selaras dalam novel tersebut, yang secara fisik mereka hidup berdampingan tetapi yang sebenarnya ada jarak sosial yang jelas antara dua komunitas tersebut. Ndalem Ngabean Sestrokusuman adalah sebutan untuk rumah luas yang dibentengi tembok tebal kediaman Raden Ngabehi Sestrokusumo. Bangunan utama Sestrokusuman dihuni oleh keluarga pak Bei. Sedangkan, bagian kebon dihuni oleh buruh batik yang sengaja tidak pulang ke rumah atau bahkan sudah bertempat tinggal di situ selama bertahun-tahun. Adanya jarak sosial antara dua penghuni di lingkungan Sestrokusuman disebabkan oleh adanya status sosial yang berbeda. Keluarga pak Bei tergolong keluarga priyayi, sedangkan mereka yang tinggal di kebon kelompok rakyat biasa yang siap mengabdi pada keluarga pak Bei. Jarak sosial sebagai salah satu warna lokal antara dua komunitas yang berbeda terekam jelas dalam perilaku sehari-hari pak
255
256
Bei. Pernah suatu ketika pak Bei marah besar dengan Wening, anaknya. Pada waktu itu pak Bei mendapati Wening sedang bermain di lingkungan kebon.
Sikap pak Bei ini secara tidak langsung
menggambarkan bahwa anak-anaknya dilarang main di belakang, di kebon. Semacam garis pembatas yang dapat dikatakan sebagai jarak sosial bisa dicermati dalam kutipan berikut: Secara tidak langsung, pak Bei tidak mengharapkan anak-anaknya main di belakang, di kebon. Semacam ada garis batas. Bahwa mulai gandhok samping ke belakang adalah wilayah yang tak boleh dijamah. Perkecualian ini hanya berlaku pada Wening ketika ia membawa gramafon. Perangkat piringan hitam itu diletakkan di gandhok samping tempat pembatikan. Itu saja. Tapi tak pernah sampai ke kebon. Bagian itu adalah bagian yang gelap. Tak pernah ada putra-putri Ngabean bermain di situ. (Canting: 78) Pak Bei mendengar kalau istri Wagiman, salah satu penghuni kebon melahirkan. Bagi pak Bei, bu Bei lah yang lebih pantas menengok ke kebun. Pak Bei tidak menengok ke kebon karena ia tidak menghendaki, atau sebaliknya orang kebon tidak mengharapkan. Kalau pun mereka didatangi pak Bei, pasti merasa tidak nyaman. Perasaan semacam ini timbul karena adanya jarak sosial antara penghuni rumah utama dan para penghuni kebon. Tak ada yang perlu dipersoalkan. Karena semua sudah bisa ditangani istrinya – yang pak Bei yakin – secara lebih baik. Pak Bei tahun pasti bahwa untuk urusan semacam ini, istrinya lebih pantas dan sekaligus lebih tepat. Kalau pak Bei tak menengok ke kebon karena ia tak menghendaki, dan juga mungkin tak dikehendaki, dalam arti tak dibayangkan bakal hadir. Hanya akan menambah kekikukan belaka. Bagi dirinya dan bagi Wagiman serta yang lain. (Canting: 134)
256
257
Jarak sosial juga membuat buruh batik yang tinggal di kebon tahu diri. Untuk memberi nama anaknya yang sedang lahir Wagiman sangat mempertimbangkan agar tidak menyamai nama keluarga pak Bei. Akhirnya, anaknya Wagiman diberi nama Wagimi. Sebuah pertimbangan yang matang dengan ditambahi sebutan genduk di depannya. Di bawah ini kutipan yang menggambarkan jarak sosial tersebut: Memberi nama Wagimi – dan terutama penambahan kata Genduk di depannya – juga mencerminkan kesadaran sebagai penghuni rumah kebon. Ia sendiri bernama Wagiman, wajar kalau anaknya diberi nama Wagimi. Apalagi hari lahirnya tepat jatuh dalam pasaran Wage. Namun kalau diberi nama Wagimini, kurang enak.Sebab nama panggilan yang lazim adalah Mi, atau paling tidak Gi. (Canting: 137) Maka dengan tambahan Genduk, semuanya jadi netral. Toh nanti panggilannya cukup Genduk saja. Paling jauh Genduk-nya Wagiman. Ini untuk membedakan dengan yang lainnya, karena semua anak perempuan bisa dipanggil dengan Genduk atau cukup kependekannya saja, yaitu Nduk. Genduk memang nama lain untuk menyebut anak perempuan. (Canting: 138) Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa jarak sosial sebagai ciri khas masyarakat perkotaan didapati dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Jarak sosial dijumpai dalam lingkungan Ngabean, tempat tinggal pak Bei dan beberapa buruh batik. Jarak sosial ini terjadi karena status sosial dua komunitas yang berbeda. Secara fisik mereka hidup berdampingan, yang sebenarnya ada jarak sosial di antara mereka.
257
258
3) Keteraturan Salah satu ciri khas kehidupan kota adalah keteraturan. Keteraturan kehidupan kota ditentukan dengan aturan-aturan legal rasional. Aturan legal rasional itu bisa meliputi rambu-rambu lalu lintas, jadwal kereta api, jam kerja, dan lain-lain. Di perkotaan waktu sangat berharga. Mereka sangat memperhitungkan berapa waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke kantor, hafal betul jadwal kereta api, juga jam kerja sangat dihargai. Ciri khas masyarakat kota yang berupa keteraturan dijumpai dalam novel Canting. Bu Bei memiliki jadwal kerja yang pasti ketika ia berdagang di Pasar Klewer. Setelah selesai menjalankan tugas sebagai ibu rumah tangga bu Bei bersiap-siap berangkat ke Pasar Klewer. Tidak ada yang mengharuskan bu Bei sampai kios jam berapa atau pulang jam berapa. Secara tertulis tidak aturan itu, tapi bu Bei menjalankan usaha dagang di Pasar Klewer penuh keteraturan. Tiga becak telah menunggu. Dua buah penuh dengan dagangan, hingga penariknya harus duduk di atas sadel supaya bisa melihat jalanan. Becak ketiga, hanya separuh terisi. Tempat yang kosong itu akan diduduki bu Bei. Bagian yang separuh penuh. Dari tempat duduk hingga tempat kaki. Sebelum bu Bei naik, becak itu dijungkirkan seolah mencium tanah. Untuk memudahkan bu Bei yang berkain naik ke becak. Kemudian mulailah iring-iringan tiga becak menuju Pasar Klewer. Dua becak di depan, walau jalan sepi, tak akan ngebut. Karena bu Bei tidak suka becak yang berjalan terlalu cepat. Dan kalau bu Bei merasa becak berjalan terlalu cepat, sore nanti ia tak memilih penarik becak itu lagi. (Canting: 39)
258
259
Keteraturan itu juga berlaku pada karyawan bu Bei, yu Tun dan yu Mi. Mereka selalu datang mendahului bu Bei. Mereka menunggu. Ketika bu Bei datang, mereka sangat mengerti apa yang ia kerjakan. Pekerjaan itu sebagai rutinitas, sebuah keteraturan seperti yang dilakukan oleh masyarakat kota. Keteraturan sebagai warna lokal dalam novel Canting dapat dicermati dalam kutipan di bawah ini: Bu Bei sampai di depan kiosnya, memberikan kunci kepada dua pembantunya yang telah dating lebih awal. Yu Tun yang menerima, dengan sama gesit dan cekatan membuka gembok. Satu klik, gembok dan kunci diambil, dimasukkan ke tas. Tak akan hilang dan akan begitu mudah ditemukan. Setelah itu, setiap papan dilepaskan dengan sangat cepat sekali. Satu papan diambil dan diserahkan kepada Yu Mi, lalu Yu Mi menumpuk. Begitu seterusnya sehingga seluruh papan yang menjadi penutup terlepas. Yu Mi mengikat kuat sekali di dua bagian. Bu Bei memberikan lembaran duit kepada dua kuli yang mengangkut tadi. (Canting: 40-41) Keteraturan sebagai ciri khas kehidupan kota juga dimunculkan oleh penulis novel tentang sistem kerja di lingkungan Sestrokusuman. Semua abdi dalem Sestrokusuman mempunyai tugas yang jelas. Pekerjaan mereka merupakan sebuah keteraturan. Mbok Tuwuh bertugas mencuci dan menyeterika, Jimin menjaga tanaman-burungdan ikan peliharaan pak Bei, mbok Kerti sebagai koki, Mijin mengantar sekolah wahyu dan mengisi bak mandi, dan Wagiman bertugas menyapu (karena ketekunannya Wagiman akhirnya dipercaya sebagai carik). Mijin sendiri seolah tak peduli. Ia melakukan tugas. Dan hanya itu. Seperti juga setiap dini hari, ia sudah mengisi semua bak mandi, pergi mengantarkan sekolah, pulang, dan
259
260
mengisi bak mandi lagi. Enam tahun secara terus-menerus Mijin melakukan itu. Ketika Wahyu mulai masuk SMP, ia malu diantarkan Mijin. Mijin kembali ke pekerjaan pokok. Mengisi sekian bak mandi, sekian bak air. Kadang diseling dengan menebang pohon, mengangkut balok-balok kayu, membuat air minum untuk 112 buruh. Pernah beberapa kali mencoba mengecap, akan tetapi disalahkan karena dianggap tidak becus. (Canting: 61) Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keteraturan yang menjadi ciri khas kehidupan masyarakat kota terdapat dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Keteraturan kehidupan kota yang ditentukan dengan aturan-aturan legal rasional. Aturan legal rasional yang terdapat dalam novel Canting berupa keteraturan yang berkaitan dengan jam kerja. 4) Kepribadian Kota Kehidupan kota menciptakan kepribadian kota. Kepribadian yang cenderung materialistis, berorientasi kepentingan, berdikari (self sufficient),
impersonal,
tergesa-gesa,
interaksi
sosial
dangkal,
manipulatif, insekuritas (perasaan tidak aman) dan disorganisasi pribadi. Dalam novel Canting kepribadian kota yang ditampilkan penulis novel ini berupa upaya hidup untuk berdikari (self sufficient). Hidup berdikari melekat pada dua tokoh utama novel ini yaitu bu Bei dan Ni. Bu Bei tidak suka berpangku tangan walaupun ia bersuamikan seorang priyayi. Ia menjadikan pasar sebagai rumah kedua untuk
260
261
menjalankan usahanya. Di bawah ini gambaran kehidupan pasar yang menurut penilaian pak Bei sebagai dunia perempuan: Pasar adalah dunia wanita yang sesungguhnya. Dunia yang demikian jauh berbeda dari suasana rumah. Bu Bei berubah menjadi direktur, manajer, pelaksana yang sigap. Sejak memutuskan siapa yang menarik becak, kuli mana yang tak disukai, sampai dengan memilih yu Tun dan yu Mi. Keduanya masih gadis, sedang tumbuh, bias tersenyum dan berhitung, dan tak memberengut kalau digoda. Namun, syarat yang paling penting, pembantu di pasar tak ubahnya sekretaris. Makin kuat kemampuannya untuk menyimpan rahasia, makin panjang usia kerjanya. Makin menunjukkan kekuatan spons yang menyerap liku-liku pergunjingan yang ada, makin kuat pula kedudukannya. (Canting: 42-43) Sebelum berangkat ke pasar pun bu Bei juga menggerakan sebuah usaha batik tanpa melupakan perannya sebagai seorang istri. Bu Bei tampil sebagai perempuan yang mandiri. Ia yang membagi pekerjaan, membagi bahan, dan banyak lagi jenis pekerjaan yang ada kaitannya dengan usaha perbatikan. Sedangkan, pak Bei baru turun tangan kalau usaha yang digerakkan oleh bu Bei mengalami suatu persoalan. Bu Bei menunggu sambil membereskan keperluan. Membagi pekerjaan, membagi bahan, membagi cita, serta memerintah ini-itu. Beberapa perintah sepertinya tak usah diulangi. Karena beberapa pekerja telah hafal. Bu Bei melakukan ini semua hanya untuk mengisi waktu, menunggui pak Bei bangun dari tidur, mandi dengan air hangat, berganti pakaian, dan ia akan menunggu sarapan. Lebih tepat menunggui, karena bu Bei hanya makan seadanya, untuk pemantas saja. (Canting: 38) Ternyata pribadi mandiri yang dimiliki oleh Bu Bei menurun ke anak bungsunya, Ni. Ni yang merupakan sarjana Farmasi memilih
261
262
mengelola batik milik ibunya padahal orang tuanya berharap Ni mengurusi sebuah apotik. Ni memang teguh memegang prinsip. Keinginannya mengurusi batik tidak bisa dibendung oleh siapapun. Padahal kalau Ni menyadari pilihannya itu salah satu penyebab ibunya menjadi sakit dan akhirnya meninggal. Ni benar-benar memilih mengurusi usaha batik. Sendirian tinggal di Sestrokusuman. Himawan tunangannya sudah bertolak ke Batam. Saudara-saudaranya tinggal jauh di tempat yang berbeda. Sepeninggal bu Bei, pak Bei memilih ikut anak-anaknya secara bergiliran. Ni benar-benar wanita yang mandiri. Sifat Ni yang suka hidup berdikari ini mencerminkan pribadi kota. Ia tidak suka bergantung orang lain. Kutipan di bawah ini menggambarkan hal tersebut: Kini apa yang diinginkan terbuka. Apa yang menjadi idam-idamannya menunggu tangannya. Ni tak membuang waktu sedikit pun. Selama seminggu terakhir ini, boleh dikatakan ia seperti tersekat, terjepit. Semua gagasan, rencananya, tertunda. Kini saatnya! Ni masuk rumah. Mengikat rambutnya dengan tali karet. Mengambil buku catatan, lalu menuju bagian samping. Di tempat buruh-buruh membatik. “Wah, jadi juragan betul-betul.” (Canting: 308) Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kepribadian kota terdapat dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Tokoh utama dalam novel ini yaitu bu Bei dan Ni menampilkan sosok perempuan Jawa yang mandiri, berdikari (self sufficient). Bu Bei yang
262
263
berasal dari rakyat biasa karena memiliki prinsip hidup yang kuat akhirnya bias menjadi perempuan yang ulet tidak perlu tergantung pada suami. Karakter bu Bei ini menurun ke salah satu anak kandungnya, Ni. 3. Persamaan dan Perbedaan Kandungan Warna Lokal Novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Novel Canting Berdasarkan penelitian, penulis telah menemukan kandungan warna lokal novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Novel Canting. Warna lokal dalam novel tersebut penulis kaji dengan pendekatan struktural. Salah satu dasar pemikiran
pendekatan struktural yang penulis gunakan adalah pendapat
Abrams (1976: 188) yang mengatakan bahwa pendekatan struktur merupakan pendekatan objektif, yang menitikberatkan pada karya sastra. Yang dikaji adalah struktur karya sastra yang terdiri atas unsur-unsurnya. Strukturalisme merupakan suatu sistem yang melihat suatu struktur lengkap dan saling menentukan dalam dirinya, dimana unsur-unsurnya saling berhubungan secara timbal balik. Pendekatan struktur (strukturalisme) berasumsi bahwa karya sastra sebagai karya kreatif memiliki otonomi penuh yang harus dipandang sebagai sesuatu yang berdiri sendiri terlepas dari hal hal lain yang berada di luar karya sastra itu sendiri. Telaah sastra secara struktural mengkaji unsur-unsur yang membangun karya tersebut, seperti: tema, plot, latar, penokohan, sudut penceritaan serta hubungan harmonis antar unsur yang membangun menjadi sebuah karya sastra. Hal-hal di luar karya sastra yang bersifat ekstrinsik,
263
264
seperti: pengarang, sosio-kultural, falsafah dikesampingkan karena dianggap tidak mempunyai hubungan langsung dengan struktur karya sastra. Setelah melakukan penelitian, penulis menemukan kandungan warna lokal di dalam novel tersebut. Kandungan warna lokal dalam novel tersebut penulis analisis berdasarkan pandangan hidup orang Jawa dan kondisi sosial masyarakat Jawa. Untuk menganalisis warna lokal yang berkaitan dengan pandangan hidup orang Jawa penulis menggunakan teori Pangestu R. Soenarto dalam Budiono Herusatoto (2003: 72-73). Soenarto menguraikan watak dan tingkah laku yang terpuji orang Jawa yang disebut Panca-sila, yaitu: rila, narimo, temen, sabar, dan budi luhur. Untuk menganalisis warna lokal yang berkaitan dengan kondisi sosial masyarakat Jawa, penulis menggunakan dua teori. Teori Anshoriy dan Sudarsono
(2008:
18-21)
yang
mengemukakan
ciri-ciri
kehidupan
sosiokultural masyarakat pedesaan, penulis gunakan untuk menganalisis novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Sedangkan teori Rudianto (2009: 9) yang mengemukakan karakteristik masyarakat kota, penulis gunakan untuk menganalisis novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Temuan penelitian berkaitan dengan warna lokal, penulis bandingkan untuk menjelaskan persamaan dan perbedaan warna lokal yang dalam
kedua
novel
dengan
pendekatan
intertekstual.
terdapat
Pendekatan
intertekstulitas adalah kajian terhadap sejumlah teks sastra yang diduga mempunyai hubungan dialogis, baik persamaan maupun perbedaan unsur-
264
265
unsur pembentuk teks sastra serta unsur-unsur lainnya untuk memberi interprestasi dan makna secara penuh terhadap sastra. Salah satu dasar interteks yang penulis gunakan untuk membahas hasil penelitian ini adalah pendapat Nyoman Kutha Ratna (2004: 172) yang mengemukakan bahwa interteks adalah penelitian yang dilakukan dengan cara mengemukakan hubungan-hubungan bermakna antara dua teks atau lebih. Teks-teks yang dikerangkakan sebagai interteks tidak terbatas sebagai persamaan genre, interteks memberikan kemungkinan yang seluas-luasnya bagi peneliti untuk menemukakan hipogram, interteks bisa dilakukan antara novel dengan novel, novel dengan mitos. Hubungan dimaksudkan tidak semata-mata sebagai persamaan, melainkan juga sebaliknya sebagai hubungan pertentangan, baik sebagai parodi maupun negasi (penyangkalan). Dari pendapat Nyoman Kutha Ratna di atas terdapat penekanan bahwa (1) kajian interteks sangat penting untuk menemukakan hubungan-hubungan bermakna antarteks; (2) interteks dimungkinkan dapat ditemukan teks yang menjadi hipogramnya; (3) interteks dapat dilakukan dengan dua teks atau lebih, dapat novel dengan novel, novel dengan puisi; (4) interteks dapat menentukan hubungan persamaan dan perbedaan dari teks yang dikaji. Hubungan persamaan atau perbedaan yang dimaksudkan adalah persamaan atau perbedaan struktur teks, baik struktur intrinsik maupun struktur ekstrinsiknya. Di bawah ini pembahasan persamaan dan perbedaan kandungan warna lokal novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Canting:
265
266
a. Persamaan Warna Lokal Novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Canting Novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Novel Canting sama-sama novel menampilkan kultur/ budaya Jawa. Budaya Jawa yang diekspos dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah budaya Jawa Banyumasan sedangkan novel Canting menampilkan budaya Solo sebagai materi cerita. Kesamaan budaya Jawa dalam novel tersebut juga menampilkan pandangan hidup orang Jawa yang tidak jauh berbeda. Pandangan hidup orang Jawa yang ditampilkan dalam kedua novel tersebut meliputi sikap terpuji sebagai orang Jawa yang disebut Panca-sila, yaitu: rila, narimo, temen, sabar, dan budi luhur. Kelima sikap tersebut dimiliki oleh tokoh-tokoh yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Canting. Di bawah ini bentuk interteks kedua novel tersebut yang berkaitan dengan pandangan hidup orang Jawa: 1) Rila Sikap rila dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk merupakan perwujudan bahwa semua milik Allah. Sikap ini tampak pada diri Sakarya. Ketika ia menyerahkan Srintil kepada Kertareja, ia ikhlaskan semua tentang Srintil. Kehidupan Srintil, pendidikan tentang ronggeng, bahkan
sampai
penghasilan
ronggeng
pun
Sakarya
tidak
mengharapkan. Orang-orang Dukuh Paruk memiliki anggapan bahwa sikap ikhlas
adalah
merupakan
suatu
kewajiban
untuk
berkorban.
Pengorbanan untuk seorang ronggeng yang ia kagumi. Pengorbanan
266
267
dalam arti luas adalah pengorbanan untuk tanah kelahirannya Dukuh Paruk. Bila seseorang mendukung kehadiran seorang ronggeng itu bisa dikatakan ia juga mendukung keberadaan Dukuh Paruk. Sikap rila dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto dimiliki tokoh-tokoh novel seperti bu Bei, Mijin, mbok Kerti, dan tokoh lain yang menjadi abdi di Sestrokusuman. Mereka memiliki sikap rila atau ikhlas dalam pengabdian. Sikap tulus bu Bei sebagai istri ditampilkan oleh penulis novel berbentuk pengabdian kepada suami. Sedangkan, sikap tulus abdi dalem Ngabeyan dan buruh batik ditujukan kepada majikannnya. 2) Narimo Warna lokal yang berkaitan dengan pandangan hidup orang Jawa yang narimo terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Sikap narimo ini ternyata telah membuat orang-orang Dukuh Paruk merasa tenteram hidupnya. Sikap narimo sebenarnya merupakan wujud syukur manusia dengan Tuhannya. Sikap narimo yang seperti ini agaknya yang dimiliki oleh orang-orang Dukuh Paruk. Bagi orang-orang Dukuh Paruk sikap narimo dimaknai sebagai tidak ingin memiliki milik orang lain dan tidak iri hati dengan kebahagian orang lain. Mereka tidak mempersoalkan arti pendidikan, hidup dalam keadaan miskin, dan terpencil. Hati mereka begitu damai bisa bertani dan menjual hasil ladang untuk membiayai hidup. Kedamaian mereka rasakan ketika selalu berkumpul dengan keluarga
267
268
dan bisa hidup berdampingan dengan ronggeng di bawah lindungan cungkup Ki Secamenggala, leluhurnya. Sikap narimo sebagai warna lokal dimiliki tokoh-tokoh dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Sama seperti dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, tokoh-tokoh novel ini bisa menerima ketika orang lain memiliki lebih dari yang kita miliki. Sikap bisa menerima ketika orang lain hidup bahagia. Sikap semacam ini sangat berpengaruh terhadap ketenteraman hati, keutuhan ruman tangga, dan keselarasan hidup. 3) Temen Warna lokal yang berupa pandangan hidup orang Jawa ditemui dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Warna lokal itu berupa sikap temen yang dimiliki oleh tokoh-tokohnya. Srintil dan Rasus adalah dua tokoh yang memiliki sikap temen tersebut. Karena sikap temen yang mereka miliki, mereka memperoleh keberhasilan. Srintil menjadi ronggeng terkenal sedang Rasus menjadi tentara. Kedua tokoh tersebut menjadi kebanggaan Dukuh Paruk. Sikap temen tokoh-tokoh yang terdapat dalam novel Canting sesuai dengan pandangan hidup orang Jawa. Sikap temen berarti sungguh-sungguh. Penerapan di lapangan sikap temen seseorang ditunjukkan dengan kesungguhan dalam bekerja. Sikap temen merupakan bentuk menepati janji atas ucapannya sendiri, baik yang dilisankan atau yang diucapkan dalam hati.
268
269
Ni dan Wagiman adalah dua tokoh yang memiliki sifat tersebut. Ni dengan kesungguhan dan sikap temen yang dimiliki bisa bangkit mengelola usaha batik peninggalan ibunya setelah terpuruk dan jatuh sakit. Wagiman dengan segala ketekunan dan sikap temen yang ia miliki bisa mengubah jalan hidupnya. Yang semula hanya mencuci
dan
menyapu
di
ndalem
Sestrokusuman,
akhirnya
memperoleh tempat tertinggi sebagai buruh batik. Wagiman menjadi seorang seorang Carik. 4) Sabar Warna lokal berkaitan dengan pandangan hidup orang Jawa terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Sikap yang sesuai dengan pandangan hidup orang Jawa tersebut adalah sikap sabar yang dimiliki oleh Sakarya dan Nyai Sakarya. Walaupun cobaan hidup mendera, mereka tetap bisa momot dan sabar menjalani. Warna lokal berkaitan dengan pandangan hidup orang Jawa juga terdapat dalam novel Canting. Sikap yang sesuai dengan pandangan hidup orang Jawa tersebut adalah sikap sabar. Sikap sabar sebagai orang Jawa dimiliki oleh bu Bei dan buruh batik di ndalem Sestrokusuman. Salah satu buruh batik yang memiliki sikap itu adalah Wagiman. Bu Bei bisa momot dengan sikap suaminya yang keturunan priyayi. Sabar terhadap pola hidup pak Bei yang memang selalu membutuhkan pelayanan. Bisa momot ketika mengetahui pak Bei
269
270
punya istri simpanan. Sedangkan, Wagiman mendapat cobaan yang berat ketika anaknya diketahui hamil sebelum menikah. Wagiman bisa menerima cobaan itu dengan sabar. 5) Budi Luhur Sikap Budi luhur sebagai warna lokal Jawa dapat dijumpai dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Sikap budi luhur yang ditandai dengan adanya usaha oleh manusia untuk menjalankan hidupnya dengan segala tabiat dan sifat-sifat yang dimiliki oleh Tuhan Yang Maha Esa. Rasus tokoh novel ini menampilkan pribadi budi luhur dengan cara mengembalikan kehormatan Dukuh Paruk, tanah kelahirannya. Sikap Budi luhur sebagai warna lokal Jawa juga dijumpai dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Tokoh-tokoh novel ini menampilkan pribadi budi luhur dengan cara suka menolong sesama
tanpa
mengharapkan
imbalan,
bahkan
jiwanya
siap
dikorbankan. Salah satu tokoh yang menampilkan sikap tersebut adalah pak Bei dan bu Bei. b. Perbedaan Warna Lokal Novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Canting Warna lokal adalah muatan tertentu dalam karya sastra, yakni mengangkat suasana kedaerahan yang mendeskripsikan tentang latar, tokoh, dan penokohan, serta nilai-nilai budaya dan ciri-ciri kultural suatu tempat. Warna lokal diperlakukan sebagai bagian dari struktur karya
270
271
sastra, khususnya sebagai salah satu aspek dari setting, atmosfer, dan penggunaan bahasa. Hasil temuan penelitian ada bentuk perbedaan yang nyata antara latar yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Canting. Novel Ronggeng Dukuh Paruk menampilkan latar primer pedesaan yakni Dukuh Paruk. Sedangkan, novel Canting menampilkan latar primer dalem Ngabean Sestrokusuman. Sestrokusuman terletak di lingkungan keraton Surakarta, termasuk wilayah kota Solo yang merupakan daerah perkotaan. Di bawah ini bentuk interteks kedua novel tersebut yang berkaitan dengan kondisi sosial masyarakat Jawa: 1) Kondisi Masyarakat Pedesaan dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk a) Menjunjung Kebersamaan Warna lokal dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk berkaitan dengan kondisi sosial masyarakat Jawa. Warna lokal itu berkaitan dengan kultur Jawa yang suka menjunjung kebersamaan. Budaya menjunjung kebersamaan tercermin ketika orang-orang Dukuh Paruk suka membantu orang lain tanpa diminta. Budaya semacam itu dikenal dengan istilah dengan rewang atau sambatan. Orang-orang
Dukuh
Paruk
dengan
keikhlasan
hati
mengurus nenek Rasus yang sebatang kara ketika Rasus harus menempuh pendidikan dan menjalankan tugas sebagai tentara. Sikap seperti ini mereka lakukan sebagai perwujudan keinginan
271
272
dalam menjunjung kebersamaan. Rewang atau Sambatan dijumpai dalam novel ini ketika Srintil membuat rumah. Semua orang Dukuh Paruk membantu sebagai usaha mewujudkan rasa kebersamaan. b) Suka Kemitraan Sikap suka kemitraan ditampilkan Ahmad Tohari dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Hal ini menggambarkan bahwa secara sosiokultural orang Jawa memang cenderung menganggap orang lain adalah saudara. Sikap semacam ini merupakan warna lokal sosial masyarakat pedesaan. Sikap suka kemitraan muncul ketika Dukuh Paruk didatangi tokoh politik bernama Bakar. Dukuh Paruk sangat terbuka dengan sikap baik Bakar. Padahal, kelak Bakar-lah penyebab terpuruknya Dukuh Paruk sehingga kembali ke titik nol. Dukuh Paruk terseret dalam arus ontran-ontran politik yang sepenuhnya tidak mereka mengerti. Begitu pula ketika Dukuh Paruk menerima orang-orang proyek, salah satunya Bajus. Srintil sangat berharap bisa mengawali hidup baru dengan Bajus yang dikenalnya sangat baik. Tapi,
Bajus
berkepribadian
sangat
jahat.
Bajus-lah
yang
menyebabkan Srintil hilang ingatan. Bajus juga tidak mau bertanggung jawab atas tindakannya itu.
272
273
c) Pertimbangan Religius Warna lokal yang berkaitan dengan pertimbangan religius terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Bentuk religiusitas yang ada dalam Dukuh Paruk diwujudkan dalam kepercayaan terhadap ruh leluhurnya yaitu Ki Secamenggala. Mereka sangat menghormati ruh pendahulu mereka yang divisualisasikan dengan cungkup Ki Secamenggala di atas bukit kecil Dukuh Paruk. Semua kejadian di Dukuh Paruk selalu mereka kaitkan dengan leluhur mereka Ki Secamenggala. Pada waktu terjadi malam petaka tempe bongkrek, Sakarya sebagai kamitua Dukuh Paruk mengadukan peristiwa ini sebagai kepada Ki Secamenggala sebagai pertimbangan religius mereka. Sakarya menangis di depan cungkup Secamenggala. Begitu juga ketika rombongan ronggeng akan pentas, Sakarya selalu meminta bantuan keselamatan kepada leluhurnya, Ki Secamenggala. d) Cinta Seni Cinta seni merupakan salah satu warna lokal yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Karena mengenal seni orangorang lebih bisa mengendalikan emosinya. Hal ini dibuktikan dengan tokoh Srintil, Rasus, orang-orang Dukuh Paruk, dan tokohtokoh lain di luar kehidupan Dukuh Paruk. Dukuh Paruk terluka karena leluhurnya diporakporandakan oleh seseorang yang tidak bertanggung jawab. Ketika mereka juga
273
274
tidak kunjung mengetahui siapa pelaku sebenarnya, Dukuh Paruk membalas sikap yang tidak bertanggung jawab tersebut dengan kesenian ronggeng. Ini merupakan bentuk pengendalian emosi. Hal yang lebih baik daripada melalui kekerasan. Bentuk pengendalian emosi lewat cinta seni juga dilakukan Rasus. Rasus sangat mencintai pementasan wayang kulit. Dari pertunjukan wayang kulit, Rasus mendapatkan nasihat yang berguna untuk dirinya yang yatim piatu. Bahkan, ketika Rasus memasuki dunia tentara nasihat dari dunia pewayangan itu sangat bermanfaat bagi perjalanan kariernya. e) Dekat Alam Orang-orang Dukuh Paruk sangat dekat dengan alam. Tak ada satupun anak Dukuh Paruk yang sekolah, menggembala kambing adalah pekerjaannya. Tak satupun dari penghuni Dukuh Paruk yang bisa membaca dan menulis. Kalaupun akhirnya ada yang bisa membaca dan menulis adalah Rasus. Itu pun didapatkan oleh Rasus karena ia berani meninggalkan bumi kelahirannya. Alam Dukuh Paruk begitu menyatu bagi mereka. Mereka lebih
suka
berkumpul
dengan
keluarga
daripada
harus
meninggalkan Dukuh Paruk untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Mereka akrab dengan sawah dan ladang bumi kelahirannya. Mereka tidak hanya dekat dengan alam. Alam benar-
274
275
benar menyatu dalam hidupnya. Itulah salah satu warna lokal yang dominan di dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. 2) Kondisi Masyarakat Perkotaan dalam Novel Canting a) Anonimitas Anonimitas sebagai warna lokal dalam novel Canting dimunculkan oleh penulis novel. Anonimitas yang dipengaruhi kelas sosial yang berbeda. Keluarga pak Bei yang priyayi belum tentu mengenal buruh batik yang bekerja padanya. Sedangkan para buruh pasti mengenal keluarga Sestrokusuman. Hal itu terbukti ketika suatu ketika pak Bei bertanya siapa nama Wagiman. Wagiman sangat terkejut padahal bertahun-tahun ia telah mengabdi pada pak Bei. Sikap pak Bei ini membuktikan bahwa dalam kehidupan kota anonimitas sering terjadi. Mengingat lingkungan Sestrokusuman tidak begitu luas. Tempat yang ditinggali pak Bei dengan buruh batik yang menginap pun terletak dalam satu lingkungan. Pak Bei ternyata juga tidak mengenal dengan baik terhadap orang yang telah lama mengabdi pada dirinya. b) Jarak Sosial Jarak sosial sebagai ciri khas masyarakat perkotaan didapati dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Jarak sosial dijumpai dalam lingkungan Ngabean, tempat tinggal pak Bei dan beberapa buruh batik. Jarak sosial ini terjadi karena status sosial
275
276
dua komunitas yang berbeda. Secara fisik mereka hidup berdampingan, yang sebenarnya ada jarak sosial di antara mereka. Semacam ada bentuk pelarangan anak-anak pak Bei untuk datang ke kebon tempat tinggal para buruh batik. Para buruh batik pun sebenarnya sangat menyadari jarak sosial itu. Maka, tidak semua buruh batik yang berani masuk ke bangunan utama. Sikap pak Bei yang menunjukkan bahwa dirinya tidak menghendaki anak-anaknya mengenal lingkungan kebon terlihat ketika pak Bei marah besar mengetahui Wening bermain di kebon. c) Keteraturan Keteraturan yang menjadi ciri khas kehidupan masyarakat kota terdapat dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Keteraturan kehidupan kota yang ditentukan dengan aturan-aturan legal rasional. Aturan legal rasional yang terdapat dalam novel Canting berupa keteraturan yang berkaitan dengan jam kerja. Bu Bei selalu datang ke Pasar Klewer pada waktu yang sama setelah pekerjaan sebagai ibu rumah tangga dia tunaikan. Ia pun pulang ke rumah pada waktu yang sama pula. Memang tidak ada aturan secara tertulis, namun hal itu sudah menjadi kebiasaan. Kebiasaan ini juga berlaku bagi yu Tun dan yu Mi yang membantu berjualan di pasar. Mereka berdua selalu datang lebih awal dari bu Bei. Semua itu merupakan bentuk keteraturan sebagai ciri khas kehidupan kota.
276
277
d) Kepribadian Kota Kepribadian kota terdapat dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Tokoh utama dalam novel ini yaitu bu Bei dan Ni menampilkan sosok perempuan Jawa yang mandiri, berdikari (self sufficient). Bu Bei yang berasal dari rakyat biasa karena memiliki prinsip hidup yang kuat akhirnya bisa menjadi perempuan yang ulet tidak perlu tergantung pada suami. Semua urusan usaha batik tulis dan urusan dagang di Pasar Klewer semua yang mengatur bu Bei. Pak Bei baru membantu Bu Bei bila ada permasalahan yang pelik. Bu Bei juga tidak melupakan sebagai wanita Jawa yang harus berbakti pada suami. Ia dapat menjalankan peran sebagai ibu rumah tangga yang baik. Bu Bei juga bisa melayani semua keinginan pak Bei yang kadang dirasakan sangat manja. Karakter bu Bei menurun ke salah satu anak kandungnya, Ni. Ni juga seorang perempuan Jawa yang memiliki prinsip sangat kuat. Ia lebih memilih menggerakkan usaha batik tulis peninggalan ibunya, walaupun ditentang semua anggota keluarganya. Sikap berdikari Ni terlihat ketika ia harus menggerakkan usahanya seorang diri. Tunangannya berada jauh di Batam, sementara ayahnya tinggal bergiliran di rumah anak-anaknya. Usaha Ni awalnya tidak berkembang dengan baik, bahkan ia sampai jatuh sakit. Setelah sembuh, Ni bangkit dari
277
278
keterpurukan. Jiwanya yang ulet membawa perubahan pada usaha yang digerakkannya. Jiwa Ning yang ulet, mandiri atau berdikari (self sufficient) merupakan bentuk kepribadian kota yang sengaja ditampilkan oleh penulis novel.
D. Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Novel Canting Nilai pendidikan sastra adalah sebuah nilai yang membicarakan sifat-sifat atau hal-hal yang bersifat positif, berguna dalam kehidupan manusia, dan pantas untuk dimiliki tiap manusia. Dalam pengertian ini nilai pendidikan adalah sesuatu yang berhubungan dengan etika (baik dan buruk), logika (benar dan salah), dan estetika (indah dan jelek). Berbagai nilai pendidikan dapat ditemukan dalam karya sastra. Nilai-nilai di dalamnya tidak hanya terbatas soal kebajikan dan moral saja, tetapi ada nilai lain yang lebih khas sastra. Walau masih banyak nilai lain, tetapi jika berbicara tentang nilai didik, orang langsung berasosiasi kepada moral, etika, dan kebajikan. Hal ini wajar sebab sesuatu yang baik merupakan inti pendidikan. Pada prinsipnya sebuah karya sastra mengandung nilai pendidikan yang berhubungan dengan moral, agama, budaya, sosial, dan lain-lain. Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Canting ditemukan beberapa nilai-nilai pendidikan diantaranya adalah nilai sosial budaya, nilai moral, dan nilai religius. Di bawah ini pembahasan nilai-nilai pendidikan dalam kedua novel tersebut.
278
279
1. Nilai Pendidikan Sosial Budaya Koentjaraningrat (1985: 18) mengemukakan bahwa sistem nilai budaya terdiri dari atas konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Nilai-nilai budaya yang terkandung di dalam cerita dapat diketahui melalui penelaahan terhadap karakteristik dan perilaku tokoh-tokoh dalam cerita. Dalam penelitian ini nilai pendidikan sosial budaya difokuskan pada etika budaya Jawa. Pembahasan mengenai etika budaya Jawa menggunakan teori Frans Magnis Suseno dalam Suwardi Edraswara (2003: 138) yang mengatakan bahwa etika Jawa merupakan keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan untuk mengetahui bagaimana mereka menjalankan hidupnya. Ada dua etika budaya Jawa yang dapat digunakan untuk menganalisis novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Novel Canting yakni etika wong gedhe dan etika bagi wong cilik. Menurut Frans Magnis Suseno (dalam Suwardi Edraswara, 2003:138) etika sosial tidak hanya berlaku bagi rakyat atau orang kecil. Pihak atasan (wong gedhe) juga perlu mentaati etika, antara lain: (a) selalu bersikap prihatin, (b) mengutamakan laku, (c) mencegah hawa nafsu dengan bertapa, dan (d) selalu menyenangkan sesama hidup. Lebih lanjut Frans Magnis Suseno (dalam Suwardi Edraswara, 2003:142) mengatakan bahwa hubungan sosial antara bawahan dan atasan
279
280
memiliki etika yang khas. Jika bawahan berhasil menjalankan etika termaksud akan mendapatkan kemuliaan hidup. Etika tersebut meliputi bawahan harus menjalankan: (a) mengikuti wiradat (upaya diri); mengikuti ombyaking kahanan (perkembangan zaman) atau situasi dan kondisi; (b) rajin bekerja, (c) membantu menjaga ketenteraman negara, (d) menjaga agar negara tidak rugi, (e) ikut menjaga jika negara dalam bahaya, dan (f) jangan sampai ikhlas jika negara dirusak orang lain a. Nilai Pendidikan Sosial Budaya dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Analisis nilai pendidikan sosial budaya dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk penulis fokuskan pada analisis etika budaya wong cilik yang meliputi sebagai berikut: 1) Mengikuti Wiradat (Upaya Diri) Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk tokoh wong cilik mendominasi
cerita.
Srintil
sebagai
wong
cilik
memperoleh
keberhasilan hidup dengan wiradat (upaya diri). Ketika Srintil menyadari bahwa dirinya mempunyai kemampuan menari ronggeng, ia melakukan wiradat agar apa yang dicita-citakan berhasil. Srintil rela berpisah dengan kakek neneknya dan rela diasuh oleh Kertareja dan istrinya demi mendapatkan ilmu tentang ronggeng. Srintil harus mau terhadap aturan yang diterapkan dukun ronggeng tersebut agar keinginan menjadi seorang ronggeng menjadi kenyataan. Bentuk wiradat Srintil dapat dicermati dalam kutipan berikut ini: Satu hal disembunyikan oleh Nyai Kartareja terhadap siapa pun. Itu, ketika dia meniupkan mantra pekasih ke ubun-
280
281
bun Srintil. Mantra yang di Dukuh Paruk dipercaya akan membuat siapa saja tampak lebih cantik dari sebenarnya; uluk-uluk perkutut manggung teka saka ngendi, teka saka tanah sabrang pakanmu apa. pakanku madu tawon manis madu tawon, ora manis kaya putuku, Srintil. Beberapa susuk emas dipasang oleh Nyai Sakarya di tubuh Srintil. (RDP: 18-19) Untuk menjadi ronggeng sejati Srintil juga harus mau mengikuti laku atau upaya diri yang berupa tahapan-tahapan menjadi ronggeng. Masih ada dua tahapan yang harus dilalui yaitu upacara pemandian di depan cungkup Ki Secamenggala dan upacara bukak klambu. Sebuah upacara yang sebenarnya masih terlalu belia untuk seorang Srintil. Sebuah wiradat yang dilakukan oleh Srintil tergambar dalam kutipan berikut ini: Mantra-mantra dibacakan oleh Nyai Kartareja, ditiupkan ke ubun-ubun Srintil. Kemudian tubuh perawan itu mulai diguyur air kembang, gayung demi gayung. Sementara itu orang-orang Dukuh Paruk lainnya hanya menonton. Srintil menjadi pusat perhatian. Rombongan penabuh mempersiapkan diri. Mereka menata perkakas masing-masing, duduk bersila di atas tanah. (RDP: 46) Orang-orang Dukuh Paruk sangat menyadari bahwa dirinya adalah wong cilik. Ketika Srintil sakit ingatan mereka melakukan wiradat
(upaya
diri)
sesuai
kemampuan
mereka.
Mereka
mendatangkan orang pintar demi kesembuhan Srintil. Sesuatu yang beda dilakukan oleh Rasus. Demi kesembuhan Srintil Rasus
281
282
melakukan upaya diri dengan membawa Srintil ke rumah sakit jiwa. Di bawah ini gambaran wiradat (upaya diri) yang dilakukan wong cilik demi kesembuhan Srintil: “Lalu, apa kalian sudah berbuat sesuatu untuk menolong Srintil?” “Eh lha, sudah. Tiga orang tua sudah kudatangkan kemari,” ujar Nyai Kartareja. “Srintil sudah dimandikan, sudah diberi sambetan, sebab siapa tahu dia kemasukan roh jahat. Namun Srintil makin menjadi. Hampir semua pakaiannya dirobek-robek. Kaca lemari dipecahkannya. Seminggu yang lalu Goder dicekiknya. Untung kami melihat sehingga anak itu tidak mati lemas.” (RDP: 396) Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa wiradat (upaya diri) untuk mendapatkan sebuah keberhasilan terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Wiradat (upaya diri) bagian dari nilai-nilai sosial budaya yang sering dilakukan wong cilik untuk mendapatkan kemuliaan hidup. 2) Rajin Bekerja Rasus memiliki obsesi keberhasilan dalam kehidupan setelah dikecewakan Dukuh Paruk. Menurut Rasus Dukuh Paruk telah merenggut Srintil dari hatinya. Untuk mewujudkan obsesinya tersebut Srintil rela meninggalkan Dukuh Paruk dan tinggal di pasar Dawuan. Karena obsesinya juga ia terpaksa tega meninggalkan satu-satunya keluarga yang masih tersisa yaitu neneknya. Rasus menjadi kuli di pasar Dawuan. Rasus menyadari sebagai wong cilik tidak bisa memilih. Rasus rajin bekerja dalam pelariannya
282
283
tersebut. Kelak pasar Dawuan menjadi saksi perubahan hidup Rasus. Di bawah ini gambaran pasar Dawuan tempat pelarian Rasus: Perkenalanku dengan pedagang singkong di pasar memungkinkan aku mendapat upah. Di Dukuh Paruk setiap anak berkenalan dengan singkong sejak lahir. Maka pedagang itu terkesan betapa cepat aku mengupasi barang dagangannya. Selain mendapat upah buat makan sehari-hari, aku menemukan sebuah tempat yang teduh untuk menggelar karung-karung. Itulah tempat tidur yang kupakai selama berbulan-bulan. (RDP: 80-81) Pasar Dawuan telah mengubah jalan hidup Rasus. Pada suatu sore di Pasar Dawuan kedatangan sekelompok tentara. Kedatangan tentara sore itu untuk mengamankan daerah Dawuan dan sekitarnya dari perampokan yang kian merajalela. Takdir rupanya telah memilih Rasus untuk menuju ke garis kehidupan yang lebih baik. Seorang tentara bernama Sersan Slamet meminta Rasus untuk membantu menurunkan peti-peti yang berada dalam sebuah truk. Kelak akan terbukti nasib mengubah kehidupanku secara ajaib. Dimulai pada suatu sore di depan pasar Dawuan. Pasar begitu sepi. Apalagi perampokan makin hari makin sering terjadi. Sebuah truk penuh tentara berhenti. Kira-kira dua puluh orang tentara turun, masing-masing dengan topi baja dan bedil. Banyak anak menyingkir melihat kedatangan para tentara itu. Mereka terutama takut kepada bedil. Aku sendiri berdiri dan memandang dari jauh di depan gerbang pasar. Ketika seorang tentara, yang kemudian kukenal sebagai Sersan Slamet, mencari seseorang untuk membantu menurunkan peti-peti serta barang-barang lainnya. Dia tidak melihat seorang pun kecuali aku. Jadi lambaian tangannya kemudian diarahkannya kepadaku. (RDP: 91) Tak ada seorang pun, sebagai wong cilik yang tidak gemetar menerima panggilan seorang tentara. Begitupun Rasus. Tapi ketika
283
284
Sersan Slamet mengulangi dengan lambaian tangannya, Rasus mendekat dan menerima tawaran kerja dari Sersan Slamet. Rajin bekerja adalah salah satu sikap yang dimiliki Rasus. Rasus tidak berusaha menunjukkan pada Sersan Slamet, tapi Sersan Slamet melihat ketangkasan Rasus dalam bekerja. Pekerjaan kumulai. Peti-peti logam serta barang berat lainnya kuangkat di atas pundak dan kubawa ke sebuah rumah batu yang ternyata telah dipersiapkan sebagai markas tentara. Dari rasa takut lambat laun berubah menjadi rasa bangga. Seorang Dukuh Paruk bekerja dalam kelompok tentara. Meski pakaianku tidak seragam dengan mereka, tetapi aku berjalan beriring dengan mereka. Bahkan aku sudah berbicara dengan pemimpin mereka, Sersan Slamet. Aku telah berkenalan dengan seorang tentara. Karena merasa bangga bekerja dengan sekelompok tentara, maka aku mampu mengeluarkan tenaga lebih dari biasanya. Bila mereka mengangkat peti itu satu-satu, aku mengangkatnya sekaligus dua buah di pundakku. Dalam waktu sekian menit mereka hanya bias membawa sebuah barang dari truk ke markas. Tetapi dalam waktu yang sama aku telah dua kali hilir-mudik. Rupanya Sersan Slamet mencatat hal ini. (RDP: 91-92) Ternyata benar, Sersan Slamet sangat terpesona dengan cara kerja Rasus. Rasus ditawari untuk menjadi tobang di kesatuan tentara yang dipimpin Sersan Slamet. Tugas tobang adalah melayani segala keperluan tentara di sebuah markas. Bagi seorang Rasus, yang tidak pernah mengenal baca tulis menjadi seorang seorang tobang adalah kebanggaan dan kehormatan. Pandangan Rasus yang menyadari dirinya sebagai wong cilik ini ternyata memberi motivasi untuk rajin bekerja. Rasus dengan ketekunan dan kejujurannya telah diterima di lingkungan tentara
284
285
tersebut. Kerja keras, keberanian, dan pribadi Rasus yang baik telah mengantarkan ia memiliki kedudukan yang tinggi sebagai seorang tentara. Sebuah pekerjaan yang belum pernah dimiliki oleh orangorang Dukuh Paruk. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa rajin bekerja untuk mendapatkan sebuah keberhasilan terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Rajin bekerja merupakan bagian dari nilainilai sosial budaya yang harus dilakukan wong cilik untuk mendapatkan kemuliaan hidup. b. Nilai Pendidikan Sosial Budaya dalam novel Canting Analisis nilai pendidikan sosial budaya dalam novel Canting penulis fokuskan pada analisis etika wong gedhe dan etika bagi wong cilik. Dalam kehidupan sosial dalam novel Canting, baik orang-orang yang tergolong priyayi (wong gede) dan orang-orang yang tergolong abdi dalem (wong cilik) memiliki etika sebagai berikut: 1) Rajin Bekerja Bu Bei yang mengalami transformasi status dari wong cilik menjadi wong gedhe memiliki sifat rajin bekerja untuk mendapatkan kemuliaan hidup. Bu Bei menyadari statusnya sebelum diperistri oleh pak Bei. Implementasi rajin bekerja dalam kehidupan berumah tangga ia mewujudkan dengan ketulusan menjadi istri dan ibu rumah tangga yang baik.
285
286
Bu Bei seorang ibu rumah tangga yang tidak suka berpangku tangan. Selesai mengerjakan urusan rumah tangga, ia membagi tugas untuk para buruh batik, baru berangkat ke pasar Klewer. Sifat rajin bekerja bu Bei untuk mendapatkan kemuliaan hidup dalam kehidupan sosial dapat dicermati dalam kutipan di bawah ini: Setelah selesai dan membereskan meja, bu Bei pamit kepada pak Bei yang biasanya dijawab dengan deheman kecil, atau diam saja – kalau lagi kurang suka. Dan bu Bei berjalan melalui ruang dalam, melewati pendapa, melewati halaman yang bersih dari daun-daun sawo kecik, menuju pintu gerbang. Tiga becak telah menunggu. (Canting: 38) Kemudian mulailah iring-iringan tiga becak menuju Pasar Klewer. Dua becak di depan, walau jalan sepi, tak akan ngebut. Karena bu Bei tidak suka becak yang berjalan terlalu cepat. Dan kalau Bu Bei merasa becak berjalan terlalu cepat, sore nanti ia tak memilih penarik becak itu lagi. (Canting: 39) Bu Bei sampai di depan kiosnya, memberikan kunci kepada dua pembantunya yang telah datang lebih awal. Yu Tun yang menerima, dengan sama gesit dan cekatan membuka gembok. Satu kali klik, gembok dan kunci diambil, dimasukkan ke tas. Tak akan hilang dan akan begitu mudah ditemukan. (Canting: 40) Bu Bei kembali dari pasar sore ini. Ia kembali menjalankan tugasnya menjadi seorang istri. Sifat pekerjanya masih menyala, ia memeriksa hasil batikan satu demi satu. Jika semuanya sudah beres baru ia kembali melakukan kegiatan terakhir hari ini, yakni menghitung uang hasil penjualan. Di bawah ini gambaran aktivitas yang dilakukan bu Bei: Bu Bei kembali menjadi istri pak Bei. Turun dari becak, menjinjing tas hitam, berjalan ke ruang dalam. Meletakkan
286
287
oleh-oleh untuk suaminya di meja, mandi, berganti pakaian, dan siap melayani suami. (Canting: 52) Sambil mulai memeriksa hasil batikan satu demi satu, menghitung uang, dan memasukkannya ke lemari bagian sudut. Tak ada pembukuan resmi. Uang hasil seluruh penjualan itu dionggokkan begitu saja. Satu-satunya pengaman hanyalah kunci. Dan kunci itu akan diletakkan di saku baju pak Bei yang selalu berada di gantungan dekat lemari. (Canting: 52) Sifat rajin bekerja ditunjukkan oleh salah satu buruh batik bernama Wagiman. Wagiman yang semula pekerjaannya mencuci dan menyapu karena ketekunan dan kerja kerasnya ia dipercaya sebagai carik batik. Sebuah posisi tertinggi di antara para buruh batik di Sestrokusuman. Di bawah ini kutipan yang menjelaskan hal itu: Wagiman memulai bekerja seperti yang lainnya. Membantu mencuci, membantu menyapu, sampai kemudian diperbolehkan membuat pola. Mola, atau membuat pola, tidak segagah namanya karena yang dilakukan hanyalah membuat garis-garis dasar dengan pensil tebal pada kain mori yang putih. (Canting: 138-139) Wagiman mulai dari itu, sampai kemudian setelah hampir sepuluh tahun, dipercaya nyarik, atau menjadi carik. Pekerjaan yang paling tinggi di antara para buruh. Dalam pabrik batik, hanya beberapa orang dipercaya nyarik. (Canting: 139-140) Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa rajin bekerja untuk mendapatkan sebuah keberhasilan terdapat dalam novel Canting. Rajin bekerja merupakan bagian dari nilai-nilai sosial budaya yang harus dilakukan seseorang untuk mendapatkan kemuliaan hidup.
287
288
2) Membantu Menjaga Ketenteraman Negara Salah satu nilai sosial budaya yang terdapat dalam novel Canting adalah sikap suka membantu menjaga ketenteraman negara. Pak Bei salah satu tokoh utama novel Canting yang pernah merasakan pahitnya perjuangan. Ketika perang kemerdekaan ia turut memanggul senjata. Begitu pun ketika perang kemerdekaan usai pak Bei juga turut nguri-nguri kebudayaan Jawa. Menjaga kelestarian budaya berarti juga membantu menjaga ketenteraman negara. Kegiatan nguri-nguri kebudayaan Jawa dilakukan oleh pak Bei dengan komunitasnya. Kegiatan itu diselenggarakan tiap 35 hari sekali pada malam Jumat Kliwon. Salah satu agenda pertemuan malam Jumat Kliwon adalah membicarakan kebudayaan Jawa. Di bawah ini kutipan yang menggambarkan kegiatan tersebut: Ide pertemuan setiap hari Jumat Kliwon dimulai dari Ndalem Tumenggungan. Kanjeng Raden Tumenggung Sosrodiningrat mengumpulkan kerabatnya setiap 35 hari sekali, tepat hari Jumat Kliwon, untuk membicarakan kebudayaan Jawa. Tadinya pertemuan itu bernama Ngrumpaka Kabudayan Jawi, tetapi lalu disederhanakan, atau dimasyarakatkan, dengan bahasa yang tidak terlalu tinggi, yaitu nguri-nguri Kabudayan Jawi. (Canting: 17) Disepakati pula bahwa pertemuan malam Jumat Kliwonan diselenggarakan di Taman Ronggowarsito, Njurug, Solo. Tempat ini dipilih karena memiliki alasan nilai sosial yang tinggi. Selain sederhana, pertemuan itu bisa memberi bantuan kepada masyarakat
288
289
kecil sekeliling untuk menjual teh, makanan kecil, atau yang lainnya. Nilai sosial pertemuan itu dapat dicermati dalam kutipan berikut: Pak Bei yang memelopori pertemuan di Njurug. Tepi Bengawan Solo yang redup gelap tiba-tiba disulap menjadi tempat pertemuan yang hidup. Dalam keremangan itu, para kerabat berkumpul. Menyewa tikar, membayar beberapa pedagang teh, membayar bagian keamanan, serta mengundang grup kesenian keliling. Tak bisa dihalangi kemudian, beberapa penjual nasi liwet, penjual cambuk rambak, dan penjaja yang lain ikut berdatangan meramaikan suasana. (Canting: 19) Ketika ontran-ontran politik tahun enam puluhan, pak Bei tidak larut dalam suasana menghujat pemerintah. Beberapa teman komunitas Jumat Kliwonan ada yang selalu memojokkan dirinya sebagai orang yang feodal dan kapitalis tapi pak Bei tidak bergeming. Ia berdiri dalam satu tekad mendukung pemerintah. Keteguhan prinsip pak Bei turut membantu menjaga ketenteraman negara membawanya dalam posisi aman. Teman-teman pak Bei beberapa mati terbunuh dan tidak sedikit yang masuk penjara. Peristiwa mengerikan itu sengaja tidak diceritakan pak Bei pada buruh batiknya. Hal ini dilakukan agar mereka tenteram. Tapi, bagaimanapun mereka akhirnya mendengar juga. Wagiman mengeloni anak dan istrinya di malam hari. Seperti yang lainnya. Hanya itu yang bisa dilakukan. Ia mendengar Kanjeng Raden Tumenggung Reksopraja ditangkap. Dibunuh. Mendengar Kanjeng Raden Tumenggung Sosrodiningrat dicabuti kumisnya yang putih, lalu kedua tangannya diikat ke belakang. Ibu jarinya diikat, lalu ia ditembak di depan tanah galiannya sendiri. (Canting: 152)
289
290
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ikut membantu menjaga ketenteraman negara terdapat dalam novel Canting. Membantu menjaga ketenteraman negara merupakan bagian dari nilainilai sosial budaya. Aktivitas itu dilakukan oleh pak Bei dengan berbagai
cara
diantaranya
mengadakan
kegiatan
nguri-nguri
kebudayaan Jawa dan tidak ikut kegiatan politik yang menentang pemerintah. 2. Nilai Pendidikan Religius Koentjaraningrat (1985: 145) menyatakan bahwa agama/ religi dan kepercayaan mengandung segala keyakinan serta bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan tentang wujud dari alam gaib (supranatural), serta segala nilai, norma, dan ajaran dari religi yang bersangkutan. Karena berhubungan dengan keyakinan terhadap Tuhan, pemeluk agama atau pengamat kepercayaan selalu berusaha mencapai nilai yang baik. Hal ini berarti bahwa seseorang yang beragama akan berusaha menghindarkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agamanya. Untuk menganalisis nilai pendidikan religius dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Canting, penulis menggunakan teori Muhammad Pudjiono. Muhammad Pudjiono (2006: 17-18) menyampaikan berbagai macam hubungan manusia yang berkaitan dengan masalah religiusitas. Hubungan-hubungan tersebut meliputi: hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan lingkungan dan masyarakat, hubungan sesama manusia, dan hubungan manusia dengan dirinya.
290
291
a. Nilai Pendidikan Religius dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Ada berbagai macam hubungan manusia yang berkaitan dengan masalah religiusitas. Hubungan-hubungan tersebut meliputi: hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan lingkungan dan masyarakat, hubungan sesama manusia, dan hubungan manusia dengan dirinya. Pembahasan mengenai nilai religius dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk penulis fokuskan pada hubungan manusia dengan Tuhan. Religiusitas yang membicarakan hubungan manusia dengan Tuhan beranggapan bahwa manusia sebagai makhluk ciptaan, pastilah sangat erat kaitannya dengan penciptanya. Wujud dari hubungan itu bisa berupa doadoa ataupun upacara-upacara. Doa dan upacara tersebut dilakukan oleh manusia karena suatu kesadaran bahwa semua yang ada di alam raya ini ada yang menciptakan. Selain Rasus, tokoh-tokoh yang ada dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk tidak menunjukkan nilai religius yang merupakan hubungan manusia dengan Tuhan. Tokoh Rasus pun mengenal nilai religius yang dikaitkan dengan Tuhan sang pencipta setelah ia mengenal dunia selain Dukuh Paruk. Orang-orang Dukuh Paruk hanya mengenal leluhur Ki Secamenggala, kepercayaannya. Upacara-upacara yang dilakukan di Dukuh Paruk sebagai implementasi kepercayaan mereka terhadap leluhurnya. Yang mereka minta adalah keselamatan, kebaikan, dan keselarasan hidup. Ketika terjadi malapetaka di Dukuh Paruk mereka mengadu pada Ki Secamenggala
291
292
bukan yang lain. Menurut mereka semua kejadian di Dukuh Paruk semua kehendak Ki Secamenggala. Kutipan di bawah ini menggambarkan bentuk kepercayaan di Dukuh Paruk. Legenda khas Dukuh Paruk misalnya kisah nenek tentang fenomena di pekuburan Dukuh Paruk malam hari ketika terjadi bencana itu. Nenek mengatakan banyak obor terlihat di atas kerimbunan pohon beringin di atas makam Ki Secamenggala. Dari pekuburan itu terdengar suara tangis bersahutan. Nenek juga mengatakan bayangan Ki Secamenggala keluar, mendatangi setiap mayat yang malam itu belum satu pun sempat di kubur. Bahkan Sakarya mendengar Ki Secomenggala mengatakan kematian delapan belas warga Dukuh Paruk adalah kehendaknya. Selama hidupnya menjadi bromocorah, Ki Secamenggala berutang nyawa sebanyak itu, maka nyawa keturunannya dipakai sebagai tebusan. (RDP: 32-33) Ketika Srintil ingin menjadi ronggeng, ia harus melalui berbagai tahapan. Salah satunya upacara pemandian di depan cungkup Ki Secamenggala, leluhur mereka. Yang mereka minta dari ritual ini sebenarnya sama dengan yang diminta oleh mereka yang sudah mengenal Tuhan. Gambaran upacara orang-orang Dukuh Paruk yang merupakan ritual kepercayaan mereka terlihat dalam kutipan berikut ini: Sudah dua bulan Srintil menjadi ronggeng. Namun adapt Dukuh Paruk mengatakan masih ada dua tahapan yang harus dilaluinya sebelum Srintil berhak menyebut dirinya seorang ronggeng yang sebenarnya. Salah satu diantaranya adalah upacara pemandian yang secara turun-temurun dilakukan di depan cungkup makam Ki Secamenggala. (RDP: 43) Hal yang sama dilakukan ketika kesenian ronggeng akan berpentas di Kecamatan Dawuan dalam upacara Agustusan. Sakarya sebagai kamitua Dukuh Paruk juga melakukan ritual minta keselamatan. Sebuah doa
292
293
dipanjatkan dengan cara mereka kepada leluhurnya Ki Secamenggala. Orang-orang Dukuh Paruk tidak ingin pentas ronggeng dilaksanakan dengan meninggalkan adat atau tradisi. Hal itu tergambar dalam kutipan berikut ini: “Aku khawatir, Kang,” kata Sakarya. “Bagaimana?” “Jangan-jangan kita melakukan kesalahan. Pentas kita kali ini dilakukan menyimpang adat. Sampean mendengar ucapanucapan pengantar acara tadi?” “Ya,” jawab Kartareja. ”Tetapi bagaimana, ya. Kita di sini menjadi orang yang diatur.” “Aku dilarang mereka membakar dupa, Kang. Juga syaratsyarat lainnya. Wah, hatiku sungguh tidak enak. Bisa terjadi apaapa nanti.” “Benar, Kang. Mereka tidak tahu bagaimana jerih kita membujuk Srintil agar mau kembali menari. Nah, sekarang Srintil sudah mau, tetapi mereka kelihatan tidak menghargai tata cara pementasan ronggeng.” (RDP: 188) Sakarya akhirnya meninggalkan arena pentas. Ia harus melakukan ritual yang berhubungan dengan arwah Ki Secamenggala. Di tempat yang penuh manusia hal-hal semacam itu tdak mungkin dilaksanakannya. Entah secara kebetulan atau apa, pentas yang tidak diawali dengan ritual membakar dupa itu ada sedikit kendala. Srintil tiba-tiba pingsan di tengahtengah pementasan. Berbeda dengan Rasus, setelah hidup lama di luar Dukuh Paruk ia meninggalkan kepercayaan yang dianut oleh orang-orang Dukuh Paruk. Religiusitas Rasus selalu dikaitkan dengan Tuhan. Rasus sudah mengenal dan melaksanakan ibadah sembahyang. Bagi Rasus semua kejadian di
293
294
alam erat hubungannya dengan sang pencipta. Kutipan di bawah menggambarkan religiusitas seorang Rasus: Rasus tersenyum melihat ulah Nyai Kartareja berjalan cepat dan girang seperti anak kecil. Handuk disampirkannya pada pelepah pisang di halaman. Baju dan celananya diganti, dan menyisir rambut. Sebuah kain sarung digelar di atas tanah dekat lincak. Rasus bersembahyang. (RDP: 351) Aku bersembahyang. Aku berdoa untuk Dukuh Paruk agar dia sadar dan bangkit dari kebodohannya. Dengan air mata berjatuhan aku memohon kepada Tuhan kiranya Srintil mendapat kesempatan kembali untuk memanusia dan mampu memakhluk. (RDP: 398) Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari terdapat nilai-nilai religiusitas. Kecuali Rasus orang-orang Dukuh Paruk masih menganut kepercayaan terhadap leluhurnya, Ki Secamenggala. Keadaan semacam ini karena orang-orang Dukuh jarang bersentuhan dengan dunia selain Dukuh Paruk. Berbeda dengan Rasus yang telah mengenal dunia selain Dukuh Paruk. Rasus sudah mengenal dan melaksanakan ibadah sholat. b. Nilai Pendidikan Religius dalam Novel Canting Seperti telah diutarakan sebelumnya bahwa ada berbagai macam hubungan manusia yang berkaitan dengan masalah religiusitas. Hubunganhubungan tersebut meliputi: hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan lingkungan dan masyarakat, hubungan sesama manusia, dan hubungan manusia dengan dirinya. Pembahasan mengenai nilai religius dalam novel Canting penulis fokuskan pada hubungan sesama manusia.
294
295
Religiusitas yang berkaitan dengan hubungan sesama manusia beranggapan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Kehidupan manusia di muka bumi tidak akan pernah lepas dari manusia lainnya. Dalam hubungannya dengan sesama manusia, kedua belah pihak saling membutuhkan,
saling
bekerjasama,
tolong
menolong,
hormat-
menghormati, dan menghargai. Walaupun hubungan sesama manusia sebenarnya dapat terjadi karena adanya benturan kepentingan atau perbedaan kepentingan di antara mereka. Novel Canting didominasi cerita manusia sebagai makhluk sosial. Keberhasilan keluarga pak Bei tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan buruh-buruh batik yang tinggal di lingkungan Sestrokusuman. Dua komunitas berada dalam satu lingkungan. Keluarga priyayi dan para abdi saling
membutuhkan,
bekerja
sama,
tolong-menolong,
hormat-
menghormati, dan menghargai. Hubungan tersebut berjalan selaras karena adanya kepentingan yang sama. Dalam novel Canting tidak disebut-sebut religiusitas yang membicarakan manusia dengan Tuhan. Tidak pernah disebutkan secara eksplisit agama yang dianut oleh tokoh-tokoh dalam novel Canting. Satu tokoh yang dijelaskan secara nyata agama yang dipeluk yaitu Ismaya Dewasunu. Ismaya pindah agama menjadi pemeluk Katolik tapi juga tidak pernah dijelaskan agama sebelumnya apa. Kebimbangan Ismaya pindah agama tergambar dalam kutipan di bawah ini: “Ni, kamu ingat waktu Ismaya akan dibaptis dulu? Ia rebut, bertanya ke sana kemari, apa gunanya dibaptis. Toh ia sudah mau
295
296
masuk Katolik seperti istrinya. Ia mencari pastor yang bisa mengalahkan jalan pikirannya. Pastor yang bisa menerangkan apa itu pengampunan dosa, apa itu Allah sang maha Bapak, Sang Putra, dan Roh Kudus. Tiap kali ia menolak penjelasan. Tiap kali ia merasa tidak puas. (Canting: 250) Dalam novel ini pun tidak dijelaskan secara eksplisit agama yang dipeluk pak Bei. Pak Bei mengakui bahwa ia menganut sebuah tradisi Hindu. Pak Bei tidak pernah menghalangi terhadap pilihan kepercayaan anak-anaknya. Bagi pak Bei agama tidak tepat kalau diperdebatkan. Menurutnya agama itu untuk diterima. Kutipan di bawah ini gambaran sikap pak Bei terhadap kepercayaan yang dianut: “Agama itu bukan untuk diperdebatkan seperti itu. Agama itu untuk diterima. Mau menerima atau tidak. Kita bisa menerima atau menolak kalau kita punya sikap pasrah. “Pasrah itu bukan mencari, tetapi menerima. “Ismaya kemudian mau belajar dan akhirnya punya nama baptis nama baptis Felix. Mudah-mudahan bukan karena aku, melainkan karena ia merasa bahwa itu yang terbaik baginya. Meskipun aku tak menolak bahwa di rumah ini segalanya berpusat padaku. Aku kepala rumah tangga, aku adalah raja yang berkuasa sepenuhnya. Ya, inilah tradisi kita. Tradisi Hindu yang ada sejak zaman raja-raja di Jawa berpaling kepada dunia pertanian. (Canting: 250) Adat dan tradisi Jawa sangat melekat dalam kehidupan pak Bei. Ketika bu Bei meninggal upacara yang dilaksanakan untuk mengurus jenazah bu Bei sampai pemakaman menggunakan adapt dan tradisi Jawa. Semua yang berkaitan dengan selamatan sudah disiapkan orang-orang belakang, salah satunya mbok Tuwuh. Sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh perempuan ditangani sendiri oleh pak Bei. Pak Bei sendiri yang naik ke atap, dan membuka beberapa genting.
296
297
Karena Bu Bei meninggal hari Sabtu, dan menurut kepercayaan orang yang meninggal hari Sabtu lebih suka mengajak anggota keluarga yang lain. Maka, untuk menangkalnya. Dibukakan genting agar nanti pada selamatan empat puluh hari, sukmanya bisa lepas ke langit tingkat tujuh melalui lubang tersebut. (Canting: 269) Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto terdapat nilai-nilai religiusitas. Religiusitas yang terdapat dalam novel tersebut berkaitan dengan hubungan sesama manusia. Seperti sikap terbuka pak Bei terhadap anaknya yang berpindah agama. Juga adat tradisi Jawa yang menyertai kehidupan pak Bei seharihari. Prinsipnya tidak adak penuturan religiusitas yang berkaitan hubungan manusia dengan Tuhan secara kenthal dalam novel tersebut.
297
298
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. SIMPULAN Simpulan merupakan penegasan dan penyimpulan dari bab analisis, pembahasan hasil penelitian, serta menjawab rumusan penelitian. Adapun simpulan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Struktur Novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Novel Canting a. Tema 1) Novel Ronggeng Dukuh Paruk Novel Ronggeng Dukuh Paruk bertema sosial kemasyarakatan. Tema tentang kehidupan masyarakat lapisan bawah yang bernama Dukuh Paruk. Dukuh Paruk yang telah lama kering kini menampakkan kehidupannya kembali ketika Srinthil, bocah yang berusia sebelas tahun menjadi ronggeng. Srinthil tokoh utama dalam novel ini dianggap telah mengembalikan citra pedukuhan yang sebenarnya. 2) Novel Canting Novel Canting bertema organik (moral) karena novel Canting mengangkat persoalan keluarga priyayi yang begitu kompleks. Cerita dimulai dari keraguan tentang anak terakhir dalam kandungan bu Bei sebagai keturunan Sestrokusumo hingga usaha batik tradisional yang bangkrut dan coba dihidupkan oleh Ni serta persoalan-persoalan lain yang tak kalah pentingnya.
298
299
b. Penokohan 1) Novel Ronggeng Dukuh Paruk Tokoh utama Novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah Srintil dan Rasus. Tokoh pendamping novel ini adalah Sakarya, Nyai Sakarya, Kertareja, Nyai Kertareja, Nenek Rasus, Sakum, Marsusi, dan Bajus. Tokoh Pelengkap dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah Tampi, Goder, Warta, Darsun, Sulam, Dower, dan lain-lain. Srintil, tokoh perempuan yang cantik penuh pesona. Srintil memiliki pribadi yang penuh percaya diri, teguh pendirian, dan kuat dalam memegang prinsip. Srintil, gadis yang patuh terhadap orang tua dan tradisi. Ia memiliki pola pikir sederhana seperti kebanyakan orangorang Dukuh Paruk yang belum mengenal pendidikan. Berdasarkan sifatnya, Srintil dikategorikan sebagai tokoh protagonis. Srintil termasuk tokoh yang berkembang. Watak tokoh Srintil mengalami perubahan dan perkembangan sejalan dengan perubahan peristiwa dan plot yang dikisahkan. Contoh perkembangan sikap Srintil adalah di waktu belia Srintil sangat manja setelah dewasa menjadi pribadi yang tahu diri. Rasus adalah seorang pribadi yang perhatian dan melindungi terhadap perempuan. Ia begitu menghargai Srintil karena dalam sosok Srintil ia menemukan visualisasi emaknya. Rasus juga sayang kepada neneknya. Walaupun ia pernah meninggalkannya sementara waktu untuk tinggal di pasar Dawuan dan harus meninggalkannya demi tugas
299
300
menjadi seorang tentara. Rasus juga merupakan sosok yang jujur, pekerja keras, memiliki prinsip yang kuat, teguh pendirian, dan penuh tanggung jawab. Berdasarkan
karakter
dan
sifat
tokoh,
Rasus
dapat
dikategorikan sebagai tokoh pratagonis. Rasus juga merupakan tokoh yang
berkembang.
Tokoh
Rasus
mengalami
perubahan
dan
perkembangan perwatakan sejalan dengan perubahan peristiwa dan plot yang dikisahkan. Awalnya Rasus sangat dendam dengan Dukuh Paruk. Seiring dengan keberhasilan hidupnya sifat dendam Rasus terkikis dan berubah menjadi sebuah bentuk pengabdian. 2) Novel Canting Tokoh utama novel Canting adalah Pak Bei (Raden Ngabehi Sestrokusuma-Daryono), Bu Bei (Tuginem), dan Ni (Subandini Dewaputri Sestrokusuma). Tokoh pendamping novel Canting adalah putra-putri Ngabean (Wahyu Dewabrata, Lintang Dewanti, Bayu Dewasunu, Ismaya Dewakusuma, Wening Dewamurti), para buruh batik (Mijin, Wagiman, Mbok Tuwuh, dan Mbok Kerti), dan Himawan. Tokoh pelengkap novel Canting adalah Raden Ngabehi Sestrosunu (Darnoto), Raden Ngabehi Sestrodarsono (Darmasto), Raden Tumenggung Reksopraja, Raden Tumenggung Sosrodiningrat, Metra, Yu Tun dan Yu Mi, Wagimi dan Samiun, dan para buruh batik yang lain (Jimin, Tangsiman, Pakde Karso, dan Pakde Wahono).
300
301
Pak Bei, lelaki yang gagah dengan hidung sangat mancung, memiliki
kulit
kuning pucat
dengan
cara
mendongak
yang
memperlihatkan dagu yang keras. Sifat fisik ini selaras dengan statusnya yang ningrat dan terlahir dari keluarga bangsawan. Pak Bei berjiwa sosial dan suka menolong, berpengalaman, dan memiliki bergaulan yang cukup luas. Ia seorang yang berani tampil berbeda dengan sosok bangsawan lainnya. Berani mengawini anak buruh batik. Pak Bei juga pribadi yang bisa mengendalikan emosi, bukan tipe pengecut, berjiwa besar, dan bijaksana dalam mengambil tindakan. Bu Bei waktu muda adalah seorang gadis desa yang sederhana tapi memiliki penampilan yang berbeda dengan gadis desa kebanyakan. Ia memiliki alis yang tebal, kulit kuning, dengan tulangtulang yang halus. Di usianya yang ke-32 bu Bei tetap tampil cantik, gesit, dan pekerja keras. Bu Bei adalah istri yang cukup mandiri, pengertian, dan tulus ikhlas mengabdi pada suami. Istri yang tidak banyak menuntut, berjiwa besa, dan bijaksana dalam tindakan.. Ia menjalankan usaha batik dengan naluri keperempuannya. Ni digambarkan sebagai seorang gadis pemberani, suka bercanda, ceplas-ceplos kalau bicara, tapi kadang menunjukkan sikap emosional. Ia sangat berbeda dengan saudara-saudaranya. Ni juga pribadi yang keras kepala, pantang menyerah, dan kadang suka nekat.
301
302
Seperti kenekatannya untuk memilih usaha batik yang ditentang keluarganya. c. Latar/ Setting 1) Latar/ Setting Novel Ronggeng Duku Paruk a) Tempat Secara umum, cerita Novel Ronggeng Dukuh Paruk terjadi di sebuah pemukiman kecil dan terpencil bernama, Dukuh Paruk. Dukuh Paruk bisa dikategorikan sebagai setting primer dalam novel ini. Dukuh Paruk yang dihuni dua puluh tiga rumah yang dihuni orang-orang seketurunan. Dukuh Paruk dikelilingi amparan sawah berbatas kaki langit dan ditunggui oleh cungkup Ki Secamenggala. Ada beberapa latar sekunder yang mendukug novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk utamanya pasar Dawuan. Pasar Dawuan tempat yang dipilih Rasus untuk meluruhkan perasaan kecewanya terhadap Srintil. Pasar Dawuan juga menjadi titik tolak keberhasilan hidup Rasus. Sedangkan setting sekunder yang lain adalah kota Eling-eling dan Desa Alaswangkal. b) Waktu Cerita novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk diawali dengan kemunculan anak-anak Dukuh Paruk bernama Rasus, Warta, Darsun, dan Srintil yang berusia 11 tahun. Cerita novel flash back ke tahun 1946, waktu itu terjadi malapetaka tempe bongkrek yang
302
303
membuat anak-anak Dukuh Paruk menjadi yatim piatu. Mereka yang menjadi yatim piatu diantaranya Srintil dan Rasus. Waktu itu Srintil berusia 5 bulan. Cerita novel Ronggeng Dukuh Paruk diakhiri dengan kepulangan Rasus yang selesai bertugas dari Kalimantan. Rasus kembali ke Dukuh Paruk dan mendapati Srintil dalam keadaan hilang ingatan. Dengan jiwa besar Rasus membawa Srintil ke rumah sakit jiwa. Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 70-an, tepatnya bulan Februari tahun 1971. Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa Setting waktu novel Ronggeng Dukuh Paruk berkisar dari tahun 1957 sampai dengan tahun 1971. Kesimpulan ini berdasarkan data bahwa malapateka tempe bongkrek terjadi tahun 1946, Srintil waktu itu berusia 5 bulan. Sedangkan, cerita novel diawali ketika Srintil sudah berusia 11 tahun. c) Suasana Suasana yang melingkupi cerita dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah suasana kemelaratan, kebodohan, dan keterpencilan Dukuh Paruk dari sebuah peradaban. Dukuh Paruk yang seluruh penghuninya belum mengenal pendidikan. Tak ada satupun anak-anak Dukuh Paruk yang sekolah termasuk Srintil dan Rasus.
303
304
Kekacauan politik juga mewarnai novel Ronggeng Dukuh Paruk. Ontran-ontran politik tahun 60-an membawa trauma berkepanjangan pada warga Dukuh Paruk. Akhirnya novel ini ditutup dengan suasana pilu karena Srintil harus menjalani perawatan psikologi di rumah sakit jiwa. 2) Latar/ Setting Novel Canting a. Tempat Secara umum cerita terjadi di kota Solo. Namun, penulis memberi penekanan tempat terjadinya sebuah cerita adalah di lingkungan keraton tepatnya di Ndalem Sestrokusuman. Tempat ini merupakan setting primer. Nama Pasar Klewer, Jurug, Gading, Lawiyan, bahkan Semarang dan Surabaya merupakan Setting sekunder dalam novel Canting tulisan Arswendo Atmowiloto b. Waktu Cerita novel Canting dimulai saat Ni anak bungsu Pak Bei masih dalam kandungan. Waktu Ni dalam kandungan Wening kakak Ni sudah berusia 11 tahun. Dalam novel ini diceritakan secara flash back bahwa Ismaya Dewakusuma kakak Wening lahir pada tahun 1949. Sedangkan Wening selisih dua tahun dengan Ismaya. Berdasarkan data di atas bisa disimpulkan bahwa cerita ini diawali pada tahun 1962. Cerita novel canting ini berakhir tahun 80-an. Waktu acara tumbuk yuswo atau ulang tahun Pak Bei yang ke- 64, saat itu Ni
304
305
sudah jadi sarjana farmasi. Kisah keluarga pak Bei diakhiri ketika Ni pulang dari rumah sakit setelah melahirkan anak pertama. Anak itu diberi nama Canting Daryono. Jadi bisa diperkirakan saat itu adalah tahun 80-an karena Ni lahir pada tahun 1962. Dengan analisis semacam itu dapat disimpulkan bahwa Cerita Novel Canting dimulai dari tahun 1962 sampai tahun 1980-an. c. Suasana Suasana yang melingkupi cerita novel Canting adalah kedamaian keluarga Ndalem Sestrokusuman. Suasana damai yang sengaja diciptakan agar tidak menghancurkan kehidupan rumah tangga. Cerita keluarga Ngabeyan juga tidak lepas dari suasana Kota Solo pada umumnya pada waktu itu. Dari perang kemerdekaan, ontran-ontran politik tahun 60-an, sampai suasana Kota Solo tahun 80-an. 2. Persamaan dan Perbedaan Kandungan Warna Lokal Novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Novel Canting a. Persamaan Kandungan Warna Lokal Novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Novel Canting sama-sama menampilkan warna lokal dengan kultur/ budaya Jawa. Budaya Jawa yang ditampilkan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah budaya Jawa Banyumasan sedangkan novel Canting menampilkan budaya Solo sebagai materi cerita. Kedua novel tersebut juga menampilkan pandangan hidup orang Jawa yang tidak jauh berbeda.
305
306
Pandangan hidup orang Jawa yang ditampilkan dalam kedua novel tersebut meliputi sikap terpuji sebagai orang Jawa yang disebut Panca-sila, yaitu: rila, narimo, temen, sabar, dan budi luhur. Kelima sikap tersebut dimiliki oleh tokoh-tokoh yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Canting. b. Perbedaan Kandungan Warna Lokal Hasil temuan penelitian menyebutkan bahwa ada perbedaan yang nyata antara latar yang merupakan warna lokal dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Canting. Novel Ronggeng Dukuh Paruk menampilkan latar primer pedesaan yakni sebuah desa pemukiman kecil dan terpencil bernama Dukuh Paruk. Sedangkan, novel Canting menampilkan
latar
primer
Ndalem
Ngabean
Sestrokusuman.
Sestrokusuman terletak di lingkungan keraton Surakarta, termasuk wilayah kota Solo yang merupakan daerah perkotaan. Hasil interteks kedua novel tersebut yang berkaitan dengan kondisi sosial masyarakat Jawa menyebutkan bahwa kondisi masyarakat pedesaan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk menampilkan warna lokal yang berupa: menjunjung kebersamaan, suka kemitraan, pertimbangan religius, cinta seni, dan dekat alam. Sedangkan, kondisi masyarakat perkotaan dalam novel Canting menampilkan warna lokal yang berupa: anonimitas, jarak sosial, keteraturan, dan kepribadian kota.
306
307
3. Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Novel Canting a. Nilai Pendidikan Sosial Budaya 1) Nilai Pendidikan Sosial Budaya Novel Ronggeng Dukuh Paruk Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk terdapat nilai-nilai pendidikan sosial budaya berkaitan dengan etika bagi wong cilik agar dapat kemuliaan hidup. Etika dalam kehidupan sosial yang harus diikuti agar mendapatkan keberhasilan hidup tersebut adalah mengikuti wiradat (upaya diri) dan rajin bekerja. 2) Nilai Pendidikan Sosial Budaya Novel Canting Dalam novel Canting juga terdapat nilai-nilai pendidikan sosial budaya berkaitan dengan etika bagi wong gede dan wong cilik agar dapat kemuliaan hidup. Etika dalam kehidupan sosial yang harus diikuti agar mendapatkan keberhasilan dan keselarasan hidup tersebut adalah rajin bekerja dan membantu ketenteraman negara. b. Nilai Pendidikan Religius 1) Nilai Pendidikan Religius Novel Ronggeng Dukuh Paruk Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari terdapat nilai-nilai religiusitas. Kecuali Rasus, orang-orang Dukuh Paruk masih menganut kepercayaan terhadap leluhurnya, Ki Secamenggala. Salah satu alasan mengapa orang-orang Dukuh Paruk masih kuat memegang kepercayaan sebagai bentuk religiusitas karena orang-orang Dukuh jarang bersentuhan dengan dunia selain Dukuh
307
308
Paruk. Berbeda dengan Rasus yang telah mengenal dunia selain Dukuh Paruk. Rasus sudah mengenal dan melaksanakan ibadah sholat. Religiusitas Rasus sudah mencapai taraf hubungan manusia dengan Tuhan. 2) Nilai Pendidikan Religius Novel Canting Dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto terdapat nilai-nilai religiusitas. Religiusitas yang terdapat dalam novel Canting berkaitan dengan hubungan sesama manusia. Seperti sikap terbuka pak Bei terhadap anaknya yang berpindah agama. Juga adat tradisi Jawa yang menyertai kehidupan pak Bei sehari-hari. Pada prinsipnya dalam novel Canting tidak ada penuturan secara eksplisit yang menyatakan religiusitas yang berkaitan hubungan manusia dengan Tuhan.
B. IMPLIKASI Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan di atas, dapat dibuat rumusan implikasi hasil penelitian sebagai berikut: 1. Implikasi Teoritis a. Penelitian sastra dengan pendekatan interteksualitas ini dapat memperkaya kajian telaah sastra. Model kajian secara struktural yang dilanjutkan dengan intertekstualitas dapat menjadi acuan pengkajian sastra dengan pendekatan yang berbeda dan variabel yang berbeda pula. b. Kajian novel dengan pendekatan intertekstualitas dapat pula menjadi salah satu model pembelajaran apresiasi sastra, khususnya apresiasi prosa fiksi.
308
309
2. Implikasi Praktis a. Penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai rujukan telaah sastra dalam rangka memperbaiki pembelajaran apresiasi sastra di sekolah, utamanya SMA. Kajian novel dengan pendekatan intertekstualitas ini merupakan salah satu kajian novel dengan cara menelaah dan mengapresiasi dua karya novel atau lebih. b. Pendekatan intertekstualitas ini dapat dilakukan untuk pembelajaran apresiasi sastra di Sekolah Menengah Atas yang dapat diawali dengan melakukan kajian dua karya sastra yang sederhana, misalnya cerpen. Dua karya sastra tersebut dicari persamaan dan perbedaannya. c. Pembelajaran apresiasi sastra seharusnya tidak hanya sekadar memberikan teori-teori sastra saja. Kegiatan apresiasi sastra harus mampu mendorong peserta didik lebih mencintai, mampu berkreasi melalui bahan ajar sastra yang diberikan guru. d. Pembelajaran telaah novel ini dapat mengembangkan aspek kognitif, afektif, dan aspek psikomotor peserta didik. Aspek kognitif yang dapat diperoleh dari pembelajaran sastra adalah pengetahuan sastra siswa meningkat dan pengetahuan mengatasi berbagai konflik yang terjadi. Aspek afektif, dengan belajar sastra akan terjadi peningkatan emotif atau perasaan. Aspek psikomotor, dengan belajar sastra siswa bisa membuat karya sastra terimajinasi dari sastra yang dibaca.
309
310
C. SARAN-SARAN Saran-saran ini ditujukan kepada para pendidik, peserta didik, peneliti sastra, dan para pembaca sebagai bahan pertimbangan dalam mengabdikan tugastugas mereka: 1.
Untuk Pendidik a. Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan novel Canting karya Arswendo Atmowiloto
sangat baik digunakan sebagai bahan
pelajaran sastra. Kedua novel ini dapat digunakan sebagai bahan apresiasi terhadap unsur-unsur struktur novel . b. Warna lokal yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Canting bisa digunakan sebagai studi komparatif kebenaran sebuah sejarah oleh seorang pendidik untuk disampaikan kepada peserta didik. c. Nilai pendidikan yang terkandung dalam novel
Ronggeng Dukuh Paruk
dan novel Canting yang berupa nilai pendidikan sosial budaya dan nilai religius sangat baik untuk ditanamkan kepada peserta didik. d. Sudah saatnya guru bahasa Indonesia di sekolah berani menghadirkan novel-novel bernuansa warna lokal sebagai objek kajian sastra di kelas untuk melengkapi novel-novel konvensional. 2.
Untuk Peserta Didik a. Para siswa hendaknya dapat memilih dan memilah dalam memaknai kandungan isi sebuah novel. Nilai-nilai yang positif yang patut kita teladani kita ambil sebagai pegangan dalam menapaki kehidupan.
310
311
Sedangkan nilai-nilai yang negatif cukup kita ambil hikmahnya, kemudian kita singkirkan jauh-jauh. b. Tokoh-tokoh dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Canting menampilkan karakter yang kompleks. Siswa seharusnya bisa memilih watak tokoh yang bisa diteladani dan menginspirasi dalam kehidupan. c. Novel Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Canting memiliki warna lokal kedaerahan masing-masing. Siswa bisa memanfaatkan cerita novel sebagai studi komparatif peristiwa sejarah di Indonesia. 3.
Untuk Peneliti Penelitian sastra yang dilakukan ini hanyalah sebagian kecil dari banyaknya penelitian dan pengkajian sastra di Indonesia. Masih banyak pendekatan pengkajian sastra yang dapat dilakukan. Oleh karena itu, para peneliti sastra diharapkan dapat mengkaji karya sastra dengan pendekatan lainnya, sehingga dapat menemukan sendi-sendi kesastraan dan dapat memperkaya khazanah sastra di Indonesia.
311
312
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, M.H. 1976. The Mirror and the Lamp: Romanctic Theory and the Critical Tradition. London-oxford-New York: Oxford University Press. Ahmad Tohari. 2007. Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Arswendo Atmowiloto. 2007. Canting. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Albertine Minderop. 2005. Metode Karakterisisasi Telaah Fiksi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Andreano S.B. 2009. Hegemoni Budaya Pop (Pop Art). http://photo.net/photodb/photo?photo_id=9146714. (diunduh tanggal 18 Desember 2009) Atar semi. 1990. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa. Brooks, Cleanth and Robert Penn Warren. 1959. Understanding Fiction. New York: Appleton Century Crots, Inc. Budiono Herusutoto. 2003. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogjakarta: Hanindita Graha Widia. Burhan Nurgiyantoro. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Culler, Jonathan. 1975. Structuralist Poetics. Structuralism, lingustics and the Study of Literature. London: Routledge and Kegan Paul. Dad. Murniah. 2009. Warna Lokal dalam Sastra Indonesia. bahasa.diknas.go.id (diunduh tanggal 29 Januari 2010)
www,pusat
Djiwandana Walujo Utomo. 2005. “Kajian Novel Roro Mendut Karya Ajip Rosidi dan Novel Roro Mendut Karya Y.B Mangunwijaya (sebuah telaah dengan pendekatan Intertekstualitas).” Tesis. Surakarta: Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Eny Moersito. 2008. “Perbandingan Nilai-Nilai Pendidikan Budaya Jawa dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam dan Novel Canting Karya Arswendo Atmowiloto (Sebuah Telaah dengan Pendekatan Sosiologi Sastra)”. Tesis. Surakarta: Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
312
313
Eras
American. 1997. Literature: Local Color and Realism. http://www.encyclopedia.com (diunduh tanggal 24 Februari 2010)
Evrizal A.M. Zuhud. 2008. Membangun Sikap Masyarakat Pro-Konservasi Hutan. http://www.pewarta.kabarIndonesia.blogspot.com (diunduh tanggal 19 Januari 2010) Forster, E. M. 2009. Aspects of the Novel. http://www.nvcc.edu/home/ ataormina/ novels/ history/define.htm. (diunduh tanggal 28 Februari 2010) Fowler, Roger. 1977. Linguistic and the Novel. London: Methuen. Frans Magnis Suseno. 2000. 12 Tokoh Etika Abad Ke-20. Yogyakarta. Kanisius. Harvey, W.J. 1966. Character and The Novel. Ithaca: Cornell University Press. Haviland, William A. 1993. Antropologi (Edisi Terjemahan oleh R.G. Soekadijo) Jakarta: Erlangga. Hawkes, Terence. 1977. New Accents: Structuralism and Semiotic. New Jersey: Princeton University Press. Henry Guntur Tarigan. 1984. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa. Herman J. Waluyo. 1990. Apresiasi Prosa dan Drama. Surakarta: UNS Press. _______. 2002. Pengkajian Sastra Rekaan. Salatiga: Widyasari Press. Herman J. Waluyo dan Nugraheni E.Wardhani. 2009. Pengkajian Prosa Fiksi. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Hudson, William Henry. 1963. An Introduction to study of Literature. London: George Harrap & Co Ltd. Jakob Sumardjo. 1984. Memahami Kesustraan. Bandung: Alumni. ______. 1999. Konteks Sosial Novel Indonesia 1920-1977. Bandung: Alumni. ______. 2000. Filsafat Seni. Bandung: ITB. Jakob Sumardjo dan Aaini K.M. 1994. Apresiasi Kesusasteraan. Jakarta: Gramedia. Jan Van Luxemburg, Mieke Bal, Willem G. WEstteijin. 1984. Pengantar Ilmu Sastra (Edisi Terjemahan oleh Dick Hartoko). Jakarta: Gramedia.
313
314
Kaswardi, EM. K. 2000. Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000. Jakarta: Gramedia Widiasarana. Kenny, William. 1996. How Analyze Fiction. New York: Monas Press. Khoirun Muqtofa, M. 2003. Menafsir Teks Secara Kritis. http://islamlib.com/id/index.php?page=atricle&id=345.21. (Diunduh tanggal 28 Desember 2009). Koentjaraningrat. 1985. Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan. Jakarta Gramedia. Lexy J. Moleong. 1998. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung Remaja Rosdakarya. Lie, John. 1996. Some Elements of Structuralism and its Application to Literary Theory. http://www.butter.brocku.ca/english/course/4F70/Struct/Php. (diunduh tanggal 11 Januari 2010) Mangunwijaya, Y.B. 1982. Sastra dan Religiositas. Jakarta: Sinar Harapan. Mochtar Lubis. 1981. Teknik Mengarang. Jakarta: Kurnia Esa. Mudji Sutrisno. 1999. Kisi-kisi Estetika. Yogyakarta: Kanisius. Muhammad Pujiono. 2006. Analisis Nilai-Nilai Religius dalam Cerita Pendek (Cerpen) Karya Miyazawa Kenji. http://www.unc.edu/depts/wcweb/religius studies.html.(diunduh tanggal 12 Februari 2010) Munandar Soelaeman. 1998. Ilmu Budaya Dasar: Suatu Pengantar. Bandung: Rafika Aditama. Mustafa Ismail. 2008. Warna Lokal dan Identitas Sastra. http://jalansetapak.wordpress.com. (diunduh tanggal 2 Februari 2010) Nani Tuloli. 2000. Kajian Sastra. Sulawesi: STKIP Gorontalo. Nasruddin Anshoriy dan Sudarsono.2008. Kearifan Lingkungan dalam Perpesktif Budaya Jawa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Nyoman Kutha Ratna. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Panuti Sudjiman. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Bandung: Pustaka Jaya.
314
315
Ratna Purwaningtyastuti. 2006. Novel Jendela-Jendela, Pintu, dan Atap Karya Fira Basuki (Tinjauan Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan). Tesis. Surakarta: Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Retno Winarni. 2009. Kajian Sastra. Salatiga: Widya Sari. Rudianto. 2009. Kelompok Sosial. http://Scooteres.multiply.com/journal/item/11. (diunduh tanggal 20 Mei 2010) Rexroth, Kenneth. 1987. The Art of Literatur. http://www.bopsecrets.org/ rexroth/essay/literature.htm. (diunduh tanggal 29 Januari 2010) Stanton, Robert. 2007. Teori Fiksi (Edisi Terjemahan oleh Sugihastuti dan Rossi Abi Al Irsyad). Yogjakarta: Pustaka Pelajar. Sudarma. 2007. Kajian Novel Roro Mendut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri Karya Y.B. Mangunwijaya (Telaah Sastra dengan Pendekatan Intertekstualitas). Tesis. Surakarta: Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Supartono Widyosiswoyo. 1996. Ilmu Budaya Dasar. Jakarata: Ghalia Indonesia. Sutopo, H.B. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif: Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian. Surakarta: University Sebelas Maret. Suwardi Endraswara. 2003. Falsafah Hidup Jawa. Tangerang: Cakrawala. Suyitno. 1986. Sastra, Tata Nilai dan Aksesoris Baru Indonesia. Jogyakarta. Hanindita. Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. Tillman, Dianne. Pillar Quera Colomina. 2004. Living Value: An Educational Program Educator Trainer Guide. Jakarta: Grasindo. Wellek, Rene dan Austin Warren. 1962. Theory of Literature. New York: A Harvest Broks. Zaini Hasan, M. dan Saladin. 1996. Pengantar Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Depdikbud. Zainuddin Fananie. 2000. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
315
316
Lampiran 1
SINOPSIS NOVEL TRILOGI RONGGENG DUKUH PARUK
Srintil adalah seorang gadis Dukuh Paruk. Dukuh Paruk adalah desa yang kecil yang terpencil dan miskin. Namun, segenap warganya memilki suatu kebanggaan tersendiri karena mewarisi kesenian ronggeng yang senantiasa menggairahkan hidupnya. Tradisi itu nyaris musnah setelah terjadi musibah keracunan tempe bongkrek yang mematikan belasan warga Dukuh Paruk sehingga lenyaplah gairah dan semangat kehidupan masyarakat setempat. Untunglah mereka menemukan kembali semangat kehidupan setelah gadis cilik pada umur belasan tahun secara alamiah memperlihatkan bakatnya sebagai calon ronggeng ketika bermain-main di tegalan bersama kawan-kawan sebayanya(Warsus, Warta, darsun). Permainan menari itu telihat oleh kakek Srintil, Sakarya, yang kemudian mereka sadar bahwa bahwa cucunya sungguh berbakat menjadi seorang ronggeng. Berbekal keyakinan itulah, Sakarya menyerahkan srintil kepada dukun ronggeng Kartareja. Dengan harapan kelak Srintil menjadi seorang ronggeng yang diakui oleh masyarakat. Dalam waktu singkat, Srintil pun membuktikan kebolehannya menari disaksikan orang-orang Dukuh Paruk sendiri dan selanjutnya diapun berstatus gadis pilihan yang menjadi milik masyarakat. Sebagai seorang ronggeng, Srintil harus menjalani serangkaian upacara tradisional yang puncaknya adalah menjalani
316
317
upacara bukak-klambu, yaitu menyerahkan keperawananya kepada siapa pun lelaki yang mampu memberikan imbalan paling mahal. Meskipun Srintil sendiri merasa ngeri, tak ada kekuatan dan keberanian untuk menolaknya. Srintil telah terlibat atau larut dalam kekuasaan sebuah tradisi, disisi lain, Rasus merasa mencintai gadis itu tidak bisa berbuat banyak setelah Srintil resmi menjadi ronggeng yang dianggap milik orang banyak. Oleh karena itu, Rasus memilih pergi meninggalkan Srintil sendirian di Dukuh Paruk. Kepergian Rasus ternyata membekaskan luka yang mendalam di hati Srintil dan kelak besar sekali pengaruhnya terhadap perjalanan hidupnya yang berliku. Rasus yang terluka hatinya memilih meninggalkan Dukuh Paruk pasar Dawuan, dan kelak dari tempat itulah Rasus mengalami perubahan garis perjalanan hidupnya dari seorang remaja dusun yang miskin dan buta huruf menjadi seorang prajurit yang gagah setelah terlebih dahulu menjadi tobang. Dengan ketentaraanya itulah kemudian Rasus memperoleh penghormatan dan penghargaan seluruh orang Dukuh Paruk, lebih-lebih setelah berhasil menembak dua orang perampok yang berniat menjarah rumah Kartareja yang menyimpan harta kekayaan ronggeng Srintil. Beberapa hari singgah di Dukuh Paruk Rasus sempat menikmati kemanjaan
dan
keperempuanya
Srintil
sepenuhnya.
Tetapi
itu
tidak
menggoyahkan tekadnya yang bulat untuk menjauhi Srintil dan dukuhnya yang miskin. Pada saat fajar merekah, Rasus melangkah gagah tanpa berpamitan pada Srintil yang masih pulas tidurnya.
317
318
Kepergian Rasus tanpa pamit sangat mengejutkan dan menyadarkan Srintil bahwa ternyata tidak semua laki-laki dapat ditundukkan oleh seorang ronggeng. Setelah kejadaian itu Srintil setiap hari tampak murung dan sikap Srintil yang kemudian menimbulkan keheranan orang-orang disekitarnya. Kebanyakan mereka tidak senang menyaksikan kemurungan Srintil, sebab mereka tetap percaya ronggeng Srintil telah menjadi simbol kehidupan Dukuh Paruk. Kemurungan Srintil tetap bertahan ketika didatangi lelaki Marsusi yang berniat menikmati kecantikanya dan kegairahan seksualnya. Pak Marsusi yang telah membawa seratus garam emas buat srintil sesuai dengan tawaran Nyai Kartareja ternyata gagal merangkul ronggeng itu, bahkan melihat wajahnya pun tidak. Waktu itu, Srintil memang berjanji akan pulang dari bermain di tegalan, tetapi langkahnya justru menuju pasar Dawuan hendak mencari Rasus. Namun, niatnya melarikan diri dari rumah Nyai Kartareja itu akhirnya pasrah kembali ke rangkulan Nyai Kartareja yang bergegas menyusul dan mengajaknya pulang. Dalam kurun waktu tertentu, Srintil tetap bertahan tidak ingin menari sebagai ronggeng, bahkan senang mengasuh bayi Goder (anaknya Tampi, seorang tetangga) dengan gaya asuhan seorang ibu kandung. Bahkan ketika Marsusi datang kembali ke rumah Nyai Kartareja hendak menikmati kegairahan seks bersama Srintil. Nyatanya Srintil tetap bertahan dengan menegaskan sikap untuk bersedia menerima seratus gram emas kalung dari Pak Marsusi hanya utnuk menari bukan melayani kelelakian Marsusi. Marsusi marah dengan pernyataan Srintil, kemarahannya dilimpahkan kepada Nyai Kartareja yang gagal membujuk ronggeng asuhannya.
318
319
Perlawanan atau pemogokan Srintil masih bertahan ketika datang tawaran menari dari Kantor Kecamatan Dawuan yang akan menggelar pentas kesenian menyambut perayaan Agustusan. Kalau pun pada akhirnya runtuh dan pasrah, bukan semata-mata tergugah untuk kembali menari sebagai seorang ronggeng, melainkan mendengar ancaman Pak Ranu dari Kantor Kecamatan. Srintil menyadari kedudukannya sebagai orang kecil yang tak berhak melawan kekuasaan. Sama sekali ia tidak membayangkan akibat lebih jauh dari penampilannya di panggung perayaan Agustusan yang pada tahun 1964 sengaja di buat berlebihan oleh orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI). Warna merah dipasang di mana-mana dan munculah pidato-pidato yang menyebut-nyebut rakyat tertindas, kapitalis, imperalis, dan sejenisnya. Ketika slogan seperti itu diperdengarkan kehadapan Sakarya sebagai tetua Dukuh Paruk timbullah sebuah reaksi yang mencerminkan kebingungan. Dukuh Paruk masih tetap Dukuh Paruk. Rapat, pidato, gambar, dan simbol partai di pasang di mana-mana. Akan tetapi, Dukuh Paruk tetap tenang ditunggui olah makam Ki Secamenggala di puncak bukit kecil di tengah-tengahnya. Mereka tidak mengetahui perubahan sosial yang berkembang dari dunia politik yang berpusat di Jakarta, sebuah tempat yang terlalu jauh dari alam pikiran mereka. Padahal saat itu mereka terancam perubahan sosial. Pemberontakan PKI kandas dalam sekejap dan akibatnya orang-orang PKI atau mereka yang dikira PKI dan siapa pun berdekatan dengan PKI di daerah manapun ditangkapi dan ditahan. Nasib itu terjadi juga pada Srintil yang harus mendekam di tahanan tanpa alasan yang jelas.
319
320
Pada mulanya, terjadi paceklik di mana-mana sehingga menimbulkan kesulitan ekonomi secara meyeluruh. Pada waktu itu, orang-orang Dukuh Paruk tidak berpikir panjang dan tidak memahami berbagai gejala zaman yang berkembang di luar wilayahnya. Dalam masa paceklik yang berkepanjangan, Srintil terpaksa lebih banyak berdiam di rumah, karena amat jarang orang mengundangnya berpentas untuk suatu hajatan. Akan tetapi, tidak lama kemudian ronggeng
Srintil
berpentas
di
rapat-rapat
umum,
pidato
yang
sering
diselenggarakan orang. Yang ia pahami hanyalah menari sebagai ronggeng atau melayani nafsu kelelakian. Tapi hubungan mereka tetap baik. Hubungan mereka merenggang setelah terjadi pencurian padi yang dilakukan oleh orang-orang kelompok Bakar. Sakarya merasa tersinggung dengan Bakar, karena Bakar mengungkit-ungkit masa lalu Ki Secamenggala yang dikenal orang sebagai bromocorah. Karena hal itu Sakarya memutuskan hubungan dengan kelompok Bakar Sakarya tidak hanya melarang ronggeng Srintil berpentas di rapat-rapat umum, tetapi juga meminta pencabutan lambang partai. Akan tetapi Bakar menanggapinya dengan sikap bersahaja. Dalam tempo singkat, Dukuh Paruk kembali ketradisinya yang sepi dan miskin. Akan tetapi, kedamaian itu hanya sebentar, karena mereka kemudian kembali bergabung dengan kelompok bakar setelah terkecoh oleh kerusakan cungkup Ki Secamenggala. Sakarya menduga kerusakan itu ulah kelompok Bakar yang sakit hati, tetapi kemudian beralih ke kelompok lain setelah menemukan caping bercat hijau didekat pekuburan itu,
320
321
sayang, mereka tidak mampu membaca simbol itu. Dan Srintil pun semangat menari walaupun tariannya tidak seindah penampilannya yang sudah-sudah. Ternyata penampilan yang berlebihan itu merupakan akhir perjalanan Srintil sebagai penari ronggeng. Mendadak pasar malam bubar tanpa penjelasan apaun dan banyak orang limbung, ketakutan, dan kebingungan, sehingga kehidupan terasa sepi dan mencekam. Berbagai peristiwa menjadikan orang-orang Dukuh Paruk ketakutan, tetapi tidak mengetahui cara-cara penyelesaianya. Yang terpikir oleh mereka adalah melaksanakan upacara selamatan dan menjaga kampung dengan ronda setiap saat. Keesokan harinya orang-orang Dukuh Paruk melepas langkah Katareja dan Srintil yang meminta perlindungan polisi di Dawuan. Tapi ternyata harapan berlindung pada polisi itu berantakan, karena justru polisi dan tentara justru telah menyimpan catatan nama Srintil yagn terlanjur populer sebagai ronggeng rakyat yang mengibarkan bendera PKI. Pupuslah sudah harapan Srintil dan Kartareja untuk mendapatkan perlindungan polisi karena justru ditahan seperti orang-orang kelompok bakar. Srintil pulang ke Dukuh Paruk setelah dua tahun mendekam dalam tahanan politik dengan kondisi kejiwaan yang sangat tertekan. Ia berjanji menutup segala kisah dukanya selama dalam tahanan dan bertekad melepas predikat ronggengnya untuk membangun sebuah kehidupan pribadinya yang utuh sebagai seorang perempuan Dukuh Paruk, meskipun tidak mengetahui sedikitpun keberadaan Rasus.
321
322
Tanpa sepengetahuan Srintil, Nyai Kartareja menghubungi Marsusi. Akibatnya, Srintil mengumpat kebodohan neneknya dan meratapi nasibnya sebagai perempuan yang terlanjur dikenal sebagai ronggeng. Untunglah Srintil masih bisa mengelak perangkap Marsusi. Selepas dari perangkap Marsusi, Srintil kembali mendapat tEkanan dari Lurah Pacikalan agar mematuhi kehendak pak Bajus. Bajus hendak menikahi srintil, sehingga srintil berusaha mencintai bajus. Tapi Srintil sangat kecewa, karena Bajus lelaki impoten yang justru hanya berniat menawarkanya kepada pejabat proyek. Srintil pun mengalami goncangan jiwa dan akhirnya menderita sakit sampai akhirnya di bawa ke rumah sakit jiwa oleh Rasus.
322
323
Lampiran 2 SINOPSIS NOVEL CANTING
Suasana ndalem Ngabean Sestrokusuman agak berbeda dibandingkan dengan hari-hari biasanya. Perbedaan itu sangat dirasakan oleh penghuninya. Buruh Batik pun juga turut merasakan suasana tersebut. Yang ada hanya suasana diam antara pak Bei dan Bu Bei. Bukan pertengkaran terbuka. Cara inilah yang dipilih oleh pak Bei dan bu Bei agar rumah tangganya tetap utuh. Satu persoalan penyebab itu semua adalah bu Bei Mengandung lagi. Mengapa hal itu diributkan karena ada sesuatu yang menurut pak Bei tak wajar. Sedangkan buruh batik hanya merasa bahwa seharusnya bu Bei tidak mengandung lagi karena anak terakhir bu Bei sudah berusia 11 tahun. Bu Bei hanya menunggu terhadap peristiwa itu. Tapi, ternyata pak Bei lebih memilih menutup kejadian itu sebagai suatu yang tidak perlu diributkan. Satu hal yang pak Bei sampaikan pada bu Bei tentang bayi dalam kandungan tersebut adalah kelak bila anak itu tumbuh dewasa dan memilih batik sebagai dunianya bisa dipastikan ia bukan trah Sestrokusuman. Anak dalam kandungan bu Bei lahir. Pak Bei memberi nama Subandini Dewaputri Setrokusumo yang kemudian akrab dipanggil Ni. Ni tumbuh layak anak sebayanya. Pak Bei menunjukkan kasih sayang pada Ni tidak beda dengan anak-anak bu Bei sebelum ni lahir. Ni tumbuh dewasa sekolah dan kuliah. Ketika ndalem Setrokusuman merayakan tumbuk ageng pak Bei, Ni baru menyelesaikan kuliahnya. Sebagai sarjana farmasi keluarga mengharapkan Ni
323
324
bekerja sesuai ilmu yang diperolehnya. Apotik milik keluarga sudah menunggu Ni. Ternyata Ni punya pilihan lain. Ia memilih batik sebagai dunianya. Keputusan Ni cukup mengejutkan banyak pihak. Yang paling terpukul dengan keputusan Ni adalah bu Bei. Ni, mencoba melawan arus perubahan zaman dengan menghidupkan kembali usaha batik tradisional yang saat itu tengah sekarat menghadapi persaingan yang keras dengan batik cap atau batik printing. Untuk itu ia harus berhadapan dengan ayahnya Pak Bei seorang bangsawan Jawa dan Priyayi yang mempunyai sikap moderat, sehingga ia memberi kesempatan pada Ni untuk membutikan tekadnya. Ibunya sangat menentang keinginan itu karena hal itu dianggap sebagai pembuktian bahwa Ni memang keturunan buruh batik dan bukan keturunan Ngabei seperti yang diucapkan oleh Pak Bei dahulu semasa Ni masih berada dalam kandungan. Saat itu Pak Bei meragukan Ni sebagai keturunannya. Bu Bei benar-benar sangat terpukul, seolah-olah terbukti sudah Ni itu bukan keturunan pak Bei. Bu Bei jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Demikian pula kakak-kakaknya yang menentang keras keinginan Ni itu, akan tetapi semua usaha untuk merintangi tekad Ni itu menjadi kandas ketika Ni mengungkap aib kakak-kakaknya terutama wahyu yang menghamili buruh batiknya Wagimi dan Lintang yang mengelapkan pengiriman batik untuk membantu pacarnya. Mereka menjadi tidak berdaya lagi untuk mencegah Ni untuk menekuni usaha pembatikan.
324
325
Dengan gigih Ni memperjuangkan tekad itu karena didorong oleh kesadaranya untuk mengangkat harkat hidup para buruh batiknya yang selama ini dianggapnya telah berjasa besar membuat keluarganya berhasil seperti sekarang ini akan tetapi apa boleh buat, tekad dan semangat Ni yang begitu besar kandas ditengah jalan karena usanya gagal. Batik tradisional yang diusahakanya jatuh. Kalah bersaing dengan batik printing yang demikian maju pesat dan membanjiri pasaran. Akhirnya Ni jatuh sakit sedemikian parah karena memikirkan usahanya yang bangkrut dan nasib para buruhnya yang memprihatinkan. Selain itu juga karena semua saudara-saudaranya seoalah-olah mengasingkan dirinya karena Ni dianggap telah bersalah menyebabkan Bu Bei meninggal. Kegagalan usaha Ni yang menyebabkan ia jatuh sakit dapat dikatakan sebagai tanda kekalahan Ni melawan arus perubahan zaman, karena itu Ni h arus rela menerima kenyataan bahwa usahanya kini sekedar menjadi pabrik sanggan, yaitu pabrik yang menerima pesanan dari perusahaan lain yang lebih besar. Perusahaan itu akan menjual batik produksi Ni dengan menggunakan merk perusahaannya. Cap Canting milik pabrik Ni tidak berkibar lagi. Dengan demikian cap Canting tidak dikenal lagi karena ia akan muncul di pasaran dengan cap lain sesuai dengan cap perusahaan batik yang memesannya. Memang menyedihkan bagi Ni tetapi itulah satu-satunya cara agar usahanya tetap dapat bertahan hidup yaitu dengan cara melebur diri dan menyesuaikan dengan arus perubahan zaman. Bukan dengan melawan arus atau memuji-muji dan mengagungkan kebesaran masa lampau karena ini akan sia-sia saja.
325
326
Setelah Ni mengubah usahanya menjadi pabrik sanggan ia melihat masa depan yang lebih baik bagi para buruhnya. Selain itu semua saudaranya juga mendukung usaha Ni yang baru, karena dengan kegagalannya yang lalu Ni seolah membuktikan bahwa ia keturunan Pak Bei dan bukan keturunan buruh.
326