Suharto Pahlawan? Oleh: Hersri Setiawan untuk Ita Fatia Nadia, Syafiatudina, Antariksa dan kawan-kawan http://lembaga-pembela-korban-1965.blogspot.nl/2013/07/suharto-pahlawan.html
on Saturday, July 6, 2013 at 4:45am Inilah jawaban saya terhadap ‘Museum Suharto’ Sampai sekarang masih saja ada sementara orang yang berbicara dan bahkan mengusulkan agar Suharto direhabilitasi dan bahkan diberi gelar pahlawan! Di sekitar hari-hari terakhir hayatnya ada suara-suara agar dia diampuni dari segala dosa-dosanya, dan dihentikan proses pemeriksaan dan pengadilan terhadapnya. Terlebih-lebih lagi pada waktu akhir-akhir ini telah diresmikan monumen Suharto, berikut museum, di daerah Bantul di desa Kemusuk tempat kelahirannya. Artikel di bawah ini jawaban saya terhadapnya, juga terhadap ‘Suharto Centre’ yang konon akan berdiri di bekas tempat Hotel Tugu, di sebelah utara jalan lintas kereta api Yogya – Solo. Ketika itu, sekitar Januari 2008, di antara berbagai pertimbangan atau alasan mereka ialah berdasarkan ‘keadilan dan kemanusiaan’ karena Suharto sudah ‘lanjut usia’ (84 tahun), dan ‘sakit parah’ sehingga tidak bisa diajukan di depan pengadilan. Adapun sekarang, sesudah ia meninggal, orang-orang yang mengusulkan pengampunan terhadap kesalahan Suharto didasari atas alasan ‘jasa-jasanya terhadap negara dan bangsa’ sebagai presiden dan ‘bapak pembangunan’. Sedangkan bagi sementara orang yang menganjurkan penghargaan dan penghormatan sebagai pahlawan, mengingat bahwa ia ‘telah menyelamatkan bangsa dan negara dari bahaya PKI dan telah menghancurkan kediktatoran Bung Karno’. Apalagi sehubungan dengan semuanya itu, keluarga Suharto, lewat pernyataan anaknya yang bernama Siti Hediati (Titik), juga sudah menyampaikan permintaan maaf kepada rakyat Indonesia atas kesalahan yang telah diperbuat ayahnya di masa lalu. Menghadapi suara-suara atau usul-usul seperti itu, seyogianya kita semua mengingat kembali sejauh mungkin tentang sepak-terjang diktatur-militer Suharto di masa lalu. Namun segala usaha dan cara atau jalan apa pun, yang hendak ditempuh dalam menyikapi peran sejarah Suharto ini, di atas segala-galanya harus berdasar pada keadilan dan kemanusiaan. Keadilan dan kemanusiaan bagi Suharto an sich, tetapi juga keadilan dan kemanusiaan terutama bagi orang banyak, tegasnya: bagi seluruh bangsa atau rakyat Indonesia. Sebab, persoalan Suharto bukanlah hanya persoalan pribadinya saja, dan bukan pula terbatas urusan keluarganya saja. Persoalan Suharto mempunyai hubungan yang erat sekali dan tak terpisahkan dengan berbagai masalah besar bangsa dan negara kita.
1
Untuk bisa secara jujur, atau secara objektif, atau secara adil -- dan dengan pikiran yang jernih atau nalar yang sehat – dalam menilai kepemimpinan Suharto selama 32 tahun mengendalikan rejim militer Orde Baru, maka kita perlu menengok kembali pada apa yang telah dilakukannya bagi bangsa dan negara, baik di bidang politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, maupun juga di bidang hak-hak asasi manusia. Dengan mencermati dan berusaha menelaah baik-baik secara menyeluruh atas segala tindakan dan perbuatannya di bidang-bidang tersebut, mari kita berusaha berbicara dengan terusterang, jujur dan adil, dalam memberikan penilaian tentang persoalan Suharto. Namun, karena luasnya ‘persoalan Suharto’ itu sama luasnya dengan persoalan sejarah bangsa sepanjang 32 tahun, maka tulisan di bawah ini hanya membatasi diri di dalam kerangka masalah keadilan dan kemanusiaan, yang dihubungkan dengan masalah Suharto dan rakyat atau bangsa. Akhir-akhir ini, dalam pembicaraan khalayak ramai sekitar persoalan Suharto, yang banyak dan sering disebut-sebut ialah soal keadilan dan kemanusiaan. Ada orang-orang yang mengangkat soal keadilan dan kemanusiaan (atau perikemanusiaan) ini dengan maksud baik atau tujuan luhur, namun kita sama-sama melihat juga adanya mereka yang bicara soal keadilan dan perikemanusiaan ini hanya demi membela kepentingan Suharto, keluarganya dan kroni-kroninya. Maka sejatinya mereka yang membela kepentingan Suharto ini ujung-ujungnya tidak lain dengan tujuan untuk membela kepentingan mereka sendiri. Bukan untuk kepentingan rakyat banyak. Ketidak-adilan di bidang politik. Kiranya, kita semua perlu ingat bahwa selama 32 tahun Suharto telah banyak melanggar atau merusak keadilan di bidang politik. Entah berapa banyak orang dari berbagai kalangan yang telah menjadi korban dari ketidak-adilan Suharto di bidang politik ini. Rejim militer Orde Baru yang, atas nama demokrasi, telah membunuh demokrasi selama puluhan tahun itu, telah menimbulkan banyak ketidak-adilan di bidang politik. Pemilu yang diadakan berkali-kali, yang pernah disebut dengan gagah sebagai ‘pesta demokrasi’, sejatinya merupakan tontonan terbuka yang tak tahu malu terhadap puncak lakon ketidak-adilan politik ini. Dalam pemilu yang berulangkali itu, kekuasaan militer telah memainkan peran yang sangat besar (dan notabene juga sangat kotor!), sehingga Golkar selalu menang dengan angka sekitar 70% suara. Sebagai akibatnya, DPR yang dihasilkan oleh pemilu yang berkali-kali itu, tidaklah lebih dari perwakilan dari ketidakadilan ini. Selama Orde Baru berkuasa sepanjang 32 tahun, pemerintahan di bawah Suharto tidak hanya mencerminkan ketidak-adilan dalam politik, melainkan juga kekuasaan yang otoriter atau despotik.
2
Bung Karno beserta para pendukungnya, yang berjumlah puluhan juta, diperlakukan tidak adil secara besar-besaran, dan dalam bentuknya yang macam-macam pula. Dalam rangka politik ‘de-Soekarnoisasi’, maka terhadap segala yang ‘berbau Soekarno’ disingkirkan atau dibasmi. Keadilan dalam politik tidak berlaku bagi para pendukung setia Bung Karno. Seperti yang masih kita saksikan akibatnya sampai sekarang, di mana-mana di Indonesia, ketidak-adilan dan ketidak-manusiawian yang paling mencolok berupa tindakan Suharto dengan rejim militernya terhadap para anggota atau yang dituduh sebagai anggota PKI atau orang-orang dari golongan kiri. Sejatinya penguasa rejim militer tentu tahu, bahwa mereka yang menjadi korban ketidak-adilan dan ketidak-manusiawian selama puluhan tahun itu samasekali tidak bersalah apa-apa. Jika untuk jumlah korban mati di seluruh Jawa dan Bali saja Jendral Sarwo Edhi Wibowo dengan enteng bisa menyebut angka 3,5 (baca: tigasetengah juta) jiwa, perkirakanlah berapa juta jiwa angka untuk seluruh Indonesia. Jika setiap korban yang telah berkeluarga meninggalkan tiga atau empat anggota keluarga saja, lalu menjadi berapa juta orang yang telah dijadikan tumbal untuk ‘pembangunan’ rejim militer Orde Baru itu!? Ketidak-adilan di bidang ekonomi Ketidak-adilan di bidang ekonomi adalah ciri pemerintahan di bawah Suharto yang sangat terang-benderang. Boleh dikatakan, bahwa rejim militer Orde Baru pada hakikatnya merupakan manifestasi yang amat terang, atau perwujudan yang kongkret, dari ketidak-adilan di bidang ekonomi ini. Sebagian kecil sekali dari masyarakat, yang terdiri dari para pejabat negara, jenderal dan perwira tinggi, konglomerat hitam, dan ‘tokoh-tokoh’ dari berbagai kalangan, menikmati kekayaan (yang haram!) secara berlimpah-limpah. Sedangkan sebagian terbesar dari rakyat hidup dalam kemiskinan yang sangat parah. Dalam kaitan dengan ketidak-adilan di bidang ekonomi ini, Suharto beserta keluarganya merupakan kasus yang istimewa. Melalui penyalahgunaan kekuasaan yang luar biasa besarnya sebagai penguasa tertinggi rejim militer, Suharto telah menjalankan KKN yang paling besar dan paling luas, yang memungkinkan baginya dan para kroninya untuk menumpuk kekayaan melalui cara-cara (saya pakai terminologi yang paling dekat dengan vokabuler rohani mereka) ‘haram’ dan ‘bathil’. Suharto (dan keluarganya) adalah simbol ‘gilang-gemilang’ dan mencolok dari ketidak-adilan dan kejahatan di bidang ekonomi. Suharto bukan saja koruptor yang paling besar dan paling lihai di Indonesia, melainkan juga -- menurut Transparency International Indonesia – “koruptor kelas kakap di dunia”.
3
‘Jalur-jalur pemerataan kesejahteraan’ yang pernah digembar-gemborkan bertahuntahun oleh rejim militer Suharto ternyata sekarang bukan saja slogan palsu, melainkan juga topeng untuk menutupi kejahatan-kejahatan dan ketidak-adilan di bidang ekonomi yang dilakukan olehnya beserta pendukung-pendukung setianya, baik dari kalangan militer, maupun dari kalangan sipil dan pengusaha besar. Ketidak-adilan di bidang sosial Dalam sejarah Republik Indonesia, kesenjangan sosial masyarakat Indonesia tidak pernah selebar atau separah selama di bawah pemerintahan Suharto, dan selama masa-masa selanjutnya sampai sekarang. Jurang antara si kaya dan si miskin makin kelihatan menganga lebar sekali. ‘Masyarakat adil dan makmur’ yang pernah menjadi slogan dan idam-idaman rakyat, dan merupakan (meminjam istilah Bung Karno) ‘leitstar’ atau bintang-pembimbing selama pemerintahan berada di bawah kepemimpinan Bung Karno, telah menjadi semakin jauh selama jaman Suharto dan jaman sekarang sebagai warisannya. Jiwa ‘gotong-royong’ pun, yang diyakini sebagai hakikat pandangan-hidup Indonesia, dan sebagai intisari dari Pantja Sila, telah dicampakkan oleh rejim militer Suharto. Semboyan Orde Baru hendak melaksanakan ‘Pancasila secara murni dan konsekuen’ tidak lain adalah kata-kata pasemon, bahwa Pantja Sila 1 Juni 1945 sudah dibunuh dan digantikan oleh semboyan kaum fasis militer yang kosong itu! Ketika menghuni sel-sel di RTC Salemba Jakarta, misalnya, dari Komandan Kamp Lettu CPM Marjuki, kami para tapol semuanya pernah diperintahkan untuk membentuk ‘kelompok-kelompok studi Pancasila’. Kepada kami diberi ‘kesempatan luas’ untuk mendiskusikan sila-sila Pancasila, yang terlepas dari (sekali lagi: terlepas dari) Pantja Sila menurut uraian Ir. Soekarno maupun Mr. Moh. Yamin! Istilah ‘Keadilan Sosial’, bagi para penguasa Orde Baru beserta pendukung-pendukung setianya, justru dipandang sebagai suatu hal yang berbau kiri dan bahkan ‘komunis’! Karena itu ‘Keadilan Sosial’ sekarang telah hapus dari perbendaharaan ‘bahasa kenegaraan’. Menjadi termasuk ‘bahasa tabu’ seperti halnya kata ‘Marhaen’ dan, apalagi, ‘Nasakom’ dan sangat banyak lagi lain-lainnya. Kebudayaan dan kebiasaan feodal yang sudah diperangi secara besar-besaran di era Soekarno telah dihidup-hidupkan kembali dan dipupuk-suburkan oleh Suharto beserta keluarga dan pendukung-pendukungnya. Bukankah ‘tradisi Indonesia baru’ ber-openhouse yang dihias dengan pembagian ‘amplop’ – yang marak dilakukan oleh para pembesar negeri kita sekarang ini – merupakan pelestarian dari ‘tradisi udhik-udhik’ oleh para raja di Jawa di jaman lalu? Senang melihat kaula negerinya yang miskin merana, melata-lata dan berebut ‘tuah’ dari sang Penguasa, yang pamer akan kedermawanan? Terlalu banyak contoh ada di sekeliling kita: lihatlah acara tayangan 4
televisi: lakon-lakon sinetron dan film dan lain-lain, yang justru mencari daya-tarik melalui kisah-kisah hantu, ketakhayulan, mengeksploitasi tubuh perempuan, dan lain-lain lagi semacamnya. Ketidak-adilan di bidang sosial juga tercermin dalam berbagai bidang lainnya, yang merupakan jurang pemisah antar-kelompok dan antar-golongan yang semakin menajam. Jumlah pengangguran yang 40 juta orang lebih sekarang ini adalah akibat buruk dari sistem politik, ekonomi dan sosial – warisan dari rejim militer Orde Baru Suharto, dan yang – setelah sejurus diputus oleh kebangkitan ‘Semangat Reformasi’ – kemudian kembali diteruskan – atau setidaknya dibiarkan tak tersentuh – setidaknya sepanjang sekitar dasawarsa terakhir. Yang ditunggu-tunggu rakyat ialah ‘sentuhan’ dengan tindakan, dan bukan sekedar berhenti pada ngomong besar di lembaga-lembaga resmi, wacana melalui penampilan citra, dan penyusunan undang-undang atau regulasi. Semuanya ini tidak urung menjadi sekedar semacam asesori untuk pemerintah yang meng-klaim diri sebagai pemerintah demokratis! Ketidak-adilan di bidang HAM Perlu kiranya terus-menerus diingat oleh bangsa kita bahwa rejim militer Suharto cum suis dibangun dan ditegakkan di atas tumpukan mayat dan genangan darah berjuta-juta orang tidak bersalah, yang telah dibantai dengan sewenang-wenang oleh aparat militer dan kakitangan mereka di bawah perintah Suharto, Sang Maharaja Jawa. Kebiadaban ini perlu dicatat dalam sejarah bangsa kita dengan huruf-huruf tebal dan jelas, sehingga anak cucu kita bisa menarik pelajaran dari kesalahan dan dosa besar Suharto dan para pendukungnya itu. Pembunuhan atas begitu banyak warga sesama bangsa, dan ditambah lagi dengan pemenjaraan, penahanan dan pengasingan ratusan ribu orang lainnya dalam jangka waktu tak berbatas dan tanpa proses pengadilan, adalah bukti yang tidak dapat disangkal oleh siapa pun, tentang pelanggaran hak-hak asasi manusia oleh Suharto dan pendukungpendukungnya. Sampai sekarang pun saksi dan bukti masih bisa ditemukan di sana dan di sini di seluruh negeri. Datanglah ke kuburan massal di Wonosobo, ‘luweng’ pembuangan mayat di Gunung Kidul, dan ke Pulau Buru. Lihatlah di pulau yang dahulu diberi sebutan oleh rejim sebagai ‘Pulau Harapan’ ini, kuburan sekian ratus orang tapol yang terserak di seluruh unit-unit Tefaat Pulau Buru. Baca dan camkanlah istilah berupa sepotong akronim ‘tefaat’ itu sendiri! ‘Tefaat’ ialah ‘tempat pemanfaatan’! Apa dan siapa yang dimanfaatkan di sana? Mereka yang disebut sebagai tapol, tahanan politik (sic!), yang oleh rejim militer telah diubah menjadi hewan pekerja belaka!
5
Ketidak-adilan di bidang HAM ini juga dialami oleh berpuluh juta orang keluarga (anak, istri, suami, bapak ibu atau saudara-saudara dekat) para korban pembantaian tahun ‘65 dan tahun-tahun berikutnya, terhadap keluarga para eks-tapol, yang sampai sekarang – silakan catat: sesudah hampir 50 tahun! – masih menghadapi berbagai rambu-rambu sosial-politik -- lebih luas lagi, mengikuti jargon rejim Suharto, rambu-rambu ipoleksosbud – sebagai akibat diberlakukannya stigmatisasi dan peraturan-peraturan ikutannya yang represif. Kejahatan terhadap HAM memang merupakan ciri utama rejim militer Orde Baru. Peristiwa terbunuhnya sejumlah mahasiswa di Semanggi, hilangnya anak-anak muda PRD, dibunuhnya buruh perempuan Marsinah dan seorang pejuang HAM Munir, adalah sebagian kecil saja dari rentetan panjang kejahatan rejim yang tidak pernah diakui di depan publik sampai sekarang. Maka jelaslah kiranya, bahwa bagi mereka yang masih mempunyai kepekaan untuk mendengarkan bisikan hati-nurani sendiri, dan dengan demikian akan merasa peduli terhadap rasa keadilan dan rasa kemanusiaan, mereka pasti tidak akan sanggup melupakan tragedi masalalu. Juga mereka pasti tidak akan berbicara tentang – dan apalagi menuntut untuk – memberi permaafan kepada mereka yang bertanggung-jawab atas terjadinya tragedi masalalu tersebut, dalam kaitan ini pertama-tama dan terutama ialah Jenderal Suharto. Kepada siapa dan tentang apa permaafan harus diberikan, jika si pelaku kejahatan sampai sekarang tidak pernah mau tampil di depan publik dan menuturkan kisah perbuatan mereka di masa lalu? Bukan korban yang seharusnya dituntut untuk memberi permaafan, tapi si pelaku kejahatanlah yang harus dituntut untuk mengucapkan ‘pengakuan dosa’ mereka! Bahwa sekarang anak-cucu dari kedua belah pihak, pihak korban di satu pihak dan pihak pelaku (pembunuhan) di pihak lain, pada saling berangkulan – bahkan mau berpacaran sekalipun! – silakanlah dan itu boleh-boleh saja dan ‘baik-baik’ saja (‘baik’ untuk siapa?). Tapi bayangkanlah, bagaimana dengan korban-korban yang tidak punya akses berdekatan dengan anak-cucu para jamhur? Lebih dari itu, korban-korban yang sudah lenyap menyatu dalam tanah!? Bisakah mereka itu kita lupakan, dan kita lupakan tindak kejahatan yang telah menimpa mereka? Kejahatan Suharto dan kroninya bukan kejahatan yang bersifat perseorangan dan terjadi tanpa sengaja (not by act). Kejahatan itu kejahatan terhadap sejarah. Maka tidak akan ada gunanya permaafan diberikan secara antar-individu – berapa juta orang harus memberikan kata-kata permaafan mereka kepadanya? Biarkanlah Suharto pribadi dan pengikut-pengikutnya itu mempertanggung-jawabkan perbuatan mereka kepada Tuhan seru sekalian alam di akhirat, dan biarkanlah Sejarah memberikan neraca perhitungan atas perilaku Suharto dan para pengikutnya itu di dunia fana – kalaupun 6
belum bisa sekarang, saya yakin ada suatu hari ketika Mahkamah Sejarah akan bisa menegakkan keadilannya. Pe-er kita bersama Kejahatan HAM pada hakikatnya adalah kejahatan Kemanusiaan. Dan kejahatan Kemanusiaan tentu saja, dalam praktiknya, adalah kejahatan Sejarah. Maka jika anakjudul di atas ada dua kata ‘kita bersama’, tentulah tidak bersama dengan merekamereka yang anti-HAM, mereka-mereka yang anti-Kemanusiaan, dan mereka-mereka yang anti-Sejarah – apa pun dalil dan dalih mereka. Kejahatan HAM telah terjadi, atau dilakukan, secara sistematis. Maka butir pertama pe-er kita bersama ialah, melakukan kampanye penegakan HAM secara sistematis pula. Terutama di tengah masyarakat Indonesia yang sebenarnya, kecuali satu-dua hari saja sesudah gerakan Reformasi berhasil menumbangkan Suharto, belum pernah terbebas samasekali dari praktik kekuasaan dan budaya otoritarianisme rejim Suharto. Maka kita tidak usah heran jika setiap bentuk aksi pembelaan terhadap HAM, oleh sekelompok masyarakat tertentu ditengarai, ditindak dan ditindas sebagai ‘gerakan kiri’ dan bahkan ‘gerakan komunis’. ‘Peristiwa Banyuwangi’ yang terjadi beberapa waktu lalu ini, yang menimpa dua tokoh perempuan anggota DPR – Ribka Tjiptaning dan Rieke Pitaloka – kiranya cukup menjadi contoh jelas-jemelas. Butir kedua pe-er kita bersama ialah gerakan penyadaran masyarakat, agar HAM jangan diidentikkan dengan ‘hantu komunis’. Tapi di samping itu juga jangan sekedar diwacanakan sebagai jampi-jampi pelengkap asesori ‘negara demokrasi’. Mengapa? Karena HAM bukanlah berupa setumpuk ‘nilai jadi’ yang dibebankan atau diimposed dari atas. HAM ialah nilai-nilai kemanusiaan yang harus kita gugah dan bangkitkan dari bawah – dari tengah-tengah haribaan Manusia, bukan dari mejakerja dan corong-corong para penguasa. HAM harus kita kembangkan, ini butir ketiga pe-er kita bersama, demi kepentingan the powerless atau kaum duafa, dan bukan demi kepentingan the powerfull atau kaum penguasa. Adapun butir pe-er kita bersama ke depan ialah menegakkan secara konsekuen hukum keadilan. Hukum keadilan harus dijatuhkan kepada barangsiapa saja yang bersalah. Karena hukum keadilan itulah wujud sejati dari ‘permaafan’ yang kita bicarakan di atas. Jika hukum keadilan tidak ditegakkan secara konsekuen, maka akibatnya si Salah akan dibiarkan melenggang bebas, atau divonis sekian tahun lalu, dengan segala dalih dan dalil, segera diberi grasi atau remisi. Vonis model pengadilan kanguru! Itu berarti, bahwa
7
orang-banyak atau masyarakat, khususnya yang diposisikan sebagai korban, dipaksa sedemikian rupa agar mereka melupakan masa lalu. Melupakan Sejarah! Hanya dengan penegakan secara konsekuen hukum keadilan, akan terbangun pergaulan hidup rukun dan damai yang berlandaskan keadilan, dan bukan berlandaskan keputusan pengadilan – apalagi keputusan pengadilan kanguru! Keadilan atau justice merupakan konsep yang jauh lebih luas dan mendasarketimbang pengadilan atau law. Walhasil, menjadi agenda kita bersama ialah membangun kesadaran budaya dan kesadaran politik bersama, melalui jalan gerakan penyadaran sejarah. Gerakan penyadaran sejarah. Dan gerakan ini bisa ditempuh terutama melalui, antara lain, penggalakan sejarah lisan. Dengan melalui jalan sejarah lisan ‘ruang’ yang selapang-lapangnya harus diberikan kepada para korban-sejarah dan saksi-sejarah, agar mereka bisa menuturkan pengalaman dan kesaksian masing-masing. Akhirulkalam: Apakah Suharto dan semua penjahat kemanusiaan lainnya, harus dimaafkan? Jawaban saya satu: Tegakkan Hukum Keadilan! Apakah Suharto dan semua penjahat kemanusiaan patut diberi gelar pahlawan bangsa? Jawaban saya tegas: Pahlawan Bangsa Indonesia jelas tidak! Pahlawan Dajal Nasional sangat patut! * * *
8