RESPON PRODUKSI TELUR AKIBAT PENERAPAN PROGAM RONTOK BULU PAKSA PADA AYAM PETELUR AFKIR (Egg Production Response to the Application of the Force Molting Progam in Layer during Post Production Phase) Sudjatinah, H.T. Astuti dan S. S. Maryuni Fakultas Peternakan Universitas Semarang, Semarang
ABSTRAK Pengaruh penerapan progam rontok bulu paksa terhadap produktivitas ayam petelur fase afkir dikaji dengan menggunakan 90 ekor ayam petelur ras. Ayam (berumur 109 minggu) dibagi sesuai rancangan acak lengkap dengan 3 macam progam rontok bulu paksa sebagai perlakuan, dan 5 ulangan (tiap ulangan berisi 6 ekor ayam) pada tiap-tiap progam. Tingkat konsumsi pakan, produksi telur dan knversi pakan diukur pada masing-masing perlakuan selama 5 minggu, setelah 3 minggu masa adaptasi terhadap kondisi percobaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa progam rontok bulu paksa tidak berpengaruh secara nyata (P>0,05) terhadap tingkat konsumsi pakan (622,268 g; 648,986 g dan 867,044 g) dan konversi pakan (0,378; 0,234 dan 0,379), tetapi berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap produksi telur ((2351,412 g; 2771,486 g dan 2338,392 g). Kata kunci : fase afkir, rontok bulu paksa, produksi telur, ayam petelur ABSTRACT The effect of application of force molting progam on egg production in layer during post production phase was studied using 90 layer chickens. Chickens (109 weeks of age) were allotted to completely randomized design with 3 force molting progams as the fixed treatment, and 5 replicates (6 birds in each replicate) in each progam. The feed consumtion, egg production and feed convertion were measured in each goup of treatment for 5 weeks, after 3 weeks of adaptation to experimental conditions. The results showed that the application of force molting progam did not affect (P>0.05) feed comsumtion (622.268 g; 648.986 g and 867.044 g); and feed convertion (0.378; 0.234 and 0.379), but affected (P<0.05) the egg production significanly (2351.412 g; 2771.486 g and 2338.392 g). Keywords : post production phase, force molting, egg production, layer chicken
PENDAHULUAN Rontok bulu paksa (“force molting”) adalah usaha untuk memberikan istirahat pada sekumpulan ayam di akhir periode produksi ayam sehingga dapat ditingkatkan lagi kemampuan ayam-ayam tersebut untuk menghasilkan telur setelah mengalami rontok bulu. Pada ayam-ayam domestik yang telah menghasilkan telur tinggi dalam keadaan biasa tidak
10
mengalami perontokan bulu secara lengkap dan berlangsung lama. Apabila tidak ada usaha untuk mengubah siklus perontokan bulu yang normal, keadaan itu akan berlangsung kurang lebih 4 bulan untuk ayam betina merontokkan bulunya dan menumbuhkan kembali bulunya yang baru (North dan Bell, 1990). Kondisi tersbut dapat juga terjadi karena stress pada tahun pertama peneluran. Gejalagejalanya adalah berhenti bertelur, bulu-bulunya
J.Indon.Trop.Anim.Agric.29 (1) March 2004
gugur dan mengering, jengger kepucatan dan mengecil. Keadaan ini mungkin berlangsung selama beberapa minggu atau bahkan berbulan-bulan (William dan Payne, 1993). Unggas memiliki kecenderungan bulunya rontok secara tahunan. Dalam kondisi normal perontokan bulu yang terjadi lebih awal dapat menandai bahwa ayam tersebut adalah petelur yang buruk, demikian pula sebaliknya (Ensminger, 1980). Menurut North dan Bell (1990), progam rontok bulu paksa pada kondisi tertentu di pandang lebih menguntungkan dalam banyak hal yaitu lebih hemat biaya, peremajaan, hemat biaya pakan, meningkatkan ukuran telur, memperbaiki kualitas cangkang dan menaikkan angka produksi telur. Penurunan bobot badan dapat terjadi sebesar 25-30 % tergantung pada bobot awal saat diterapkan progam rontok bulu paksa (Carey dan Brake , 1989). Penurunan bobot badan tersebut dipandang penting untuk melepaskan lemak disekitar organ reproduksi. Umumnya semakin berat progam rontok bulu paksa yang diterapkan, semakin besar besar jumlah susut bobot tubuh ayam. Penurunan bobot badan ini tidak menjadikan masalah jika tingkat kematian meningkat seiring dengan kehilangan berat badannya. Setelah progam rontok bulu paksa berakhir maka bobot badan akan meningkat kembali. Umumnya kematian timbul akibat proses pemuasaan yang diterapkan pada awal progam rontok bulu paksa. Makin berat progam yang diterapkan maka tingkat kematian makin tinggi, akan tetapi justru progam yang berat ini akan menghasilkan angka produksi telur yang meningkat Metode I (T1) Hari ke Makanan 1 Tidak diberi ransum 2
Tidak diberi ransum
3 4
Diberikan 4,5 kg ransum per100 ekor Tidak diberikan ransum
5 6
Sama dengan hari ke-3 Tidak diberikan ransum
7 8
Sama dengan hari ke-3 Tidak diberikan ransum
9 10 - 35
Sama dengan hari ke-3 Ransum diberikan seperti semula
tajam. Progam rontok bulu paksa ini dapat juga dijadikan alat seleksi untuk ayam petelur yang unggul. Pada penelitian ini tiga jenis progam rontok bulu paksa diterapkan pada ayam petelur afkir, dengan tujuan untuk mendapatkan metode yang paling baik dan efisien dengan penekanan terhadap performans ayam.
MATERI DAN METODE Penelitian ini menggunakan 90 ekor ayam ras petelur afkir (109 minggu), rancangan yang digunakan rancangan acak lengkap dengan tiga perlakuan dan 5 ulangan serta sebagai unit percobaan digunakan 6 ekor ayam.. Penelitian dilaksanakan di PT. E & E Farm, Desa Lemah Mendak Kecamatan Mijen Kodia Semarang selama 8 minggu (3 minggu persiapan dan penelitian pendahuluan dan 5 minggu penelitian utama). Perlakuan yang diterapkan adalah 3 jenis progam rontok bulu paksa (Rasyaf, 1995) dengan modifikasi, yaitu Metode I (T1), Metode II (T2), dan Metode III (T3). Pengumpulan Data Jumlah pakan yang dikonsumsi tiap hari per ekor diukur dengan cara menghitung selisih pakan yang diberikan dengan pakan sisa. Konsumsi pakan total selama penelitian diperoleh dengan cara menjumlah konsumsi pakan setiap hari sampai akhir penelitian. Penimbangan pakan dilakukan dengan menggunakan timbangan jenis triple beam dengan Minuman Diberikan minum; 08. 00 - 16.00 (pagi dan malam tidak) Diberikan minum; 08.00 – 16.00 (pagi dan malam tidak) Diberikan minum Diberikan minum; 08. 00 - 16.00 (pagi dan malam tidak) Diberikan minum Diberikan minum; 08. 00 - 16. 00 (pagi dan malam tidak) Diberikan minum Diberikan minum; 08. 00 - 16. 00 (pagi dan malam tidak) Diberikan minum Diberikan minum
The Application of Force Molting Progam in Layer during Post Production Phase (Sudjatinah et al.)
11
Metode II (T2) Hari ke Makanan 1 Diberikan seperti biasa 2 Tidak diberikan ransum 3
Tidak diberikan ransum
4
Tidak diberikan ransum
5
Diberikan ransum petelur 5,4 kg per 100 ekor. Diberikan hingga produksi di bawah 1% hen-day Normal kembali
6
Metode III (T3) Hari ke Makanan 1 Diberikan seperti biasa 2 Tidak diberikan ransum 3
Tidak diberikan ransum
4
Tidak diberikan ransum
5
Tidak diberikan ransum
6
Tidak diberikan ransum
7
Diberikan ransum petelur 5,4 kg per 100 ekor Normal kembali
8
kepekaan 1 g. Pengukuran produksi telur dilakukan setiap hari dengan cara menimbang telur dengan menggunakan timbangan jenis triple beam kepekaan 1 g. Konversi pakan selama penelitian dihitung berdasarkan konsumsi pakan rata-rata selama penelitian dibagi dengan rata-rata produksi telur selama penelitian. Analisis data Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan 3 perlakuan dan 5 ulangan (tiap ulangan terdiri dari 6 ekor sebagai satuan percobaan). Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis variansi pada tingkat 1 % dan 5 % dan bila terdapat perbedaan dilanjutkan dengan uji Duncan (Steel dan Torrie, 1990). HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan Rerata konsumsi pakan per ekor akibat penerapan progam rontok bulu paksa selama penelitian tersaji pada Tabel 1. Berdasarkan hasil
12
Minuman Di berikan minum Diberikan minum; 08.00-15. 00 (pagi dan malam tidak) Diberikan minum; 08.00-15. 00 (pagi dan malam tidak) Diberikan minum; 08.00-15. 00 (pagi dan malam tudak) Diberikan minum
Diberikan minum
Minuman Di berikan minum Diberikan minum; 08.00-15. 00 (pagi dan malam tidak) Diberikan minum; 08.00-15. 00 (pagi dan malam tidak) Diberikan minum; 08.00-15. 00 (pagi dan malam tudak) Diberikan minum; 08.00 – 15.00 (pagi dan malam tidak) Diberikan minum; 08.00 – 15.00 (pagi dan malam tidak) Seperti biasa Seperti biasa
analisis variansi diketahui bahwa penerapan progam rontok bulu paksa tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap rerata konsumsi pakan. Rerata konsumsi pakan per ekor pada T1, T2 dan T3 berturut-turut adalah sebesar 622,268 g; 648,986 g dan 867,044 g. Memperhatikan angkaangka pada Tabel 1, dapat dikatakan ada kecenderungan konsumsi pakan pada T3 lebih besar dibandingkan dengan T1 dan T2, hal ini diduga karena masa pemuasaan yang diterapkan pada T3 lebih lama, sehingga ada usaha dari ayam-ayam tersebut untuk melakukan pemulihan (kompensasi konsumsi) terhadap keadaan kekurangan pakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Bootswalla et al. (1983) yang menyatakan bahwa pembatasan pakan akan mempengaruhi jumlah konsumsi pakan. Pada minggu ketiga sampai dengan kelima perlakuan rontok bulu paksa sudah berakhir, tampak bahwa rerata konsumsi pakan pada T1, T2 dan T3 relatif sama yaitu berkisar antara 90-95 g/ekor/hari dengan kadar protein ransum sebesar 16,5 %. Hal ini sesuai dengan pendapat Nesheim et al. (1979) dan Rasyaf
J.Indon.Trop.Anim.Agric.29 (1) March 2004
Tabel 1. Rerata Konsumsi Pakan Selama Penelitian T1
Perlakuan T2
T3
Konsumsi pakan, g
622,268
648,986
667,032
Produksi telur, g
2351,41a
2771,49b
2338,39c
Konversi pakan
0,378
0,234
0,379
Parameter
Huruf Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
(1995) yang menyatakan jumlah pakan yang dikonsumsi berkaitan dengan kadar protein kasar dalam pakan tersebut, di Indonesia umumnya ayam petelur tipe ringan mengkonsumsi pakan sangat sedikit (80-100 g/ekor/hari) walaupun sedang aktif berproduksi. Produksi Telur Rerata produksi telur pada setiap perlakuan akibat penerapan progam rontok bulu paksa tertera pada Tabel 1. Rata-rata produksi telur per ekor pada perlakuan T1, T2, dan T3 berturut-turut adalah 2351,41; 2771,49 dan 2338,39 g. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penerapan progam rontok bulu paksa berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap produksi telur. Tabel 1 menunjukkan bahwa produksi tertinggi dicapai pada perlakuan T2, sedangkan produksi terendah terdapat pada perlakuan T3. Hal ini disebabkan karena timbulnya cekaman atau stress yang menimpa pada masing-masing perlakuan. Produksi telur yang berbeda karena cekaman yang menimpa pada perlakuan T3 lebih lama (dipuasakan lebih lama), sehingga konsumsi menjadi terpengaruh. Secara faali konsumsi pakan yang ada digunakan untuk memperbaiki kondisi tubuh akibat kekurangan pakan, sehingga produksi telur mengalami stagnasi bahkan cenderung turun. Pada perlakuan T2 diperoleh angka produksi tertinggi, hal ini disebabkan rontok bulu paksa yang diterapkan pada T2 tidak seberat pada perlakuan T3. Pada keadaan ini kesempatan pada T2 untuk memperbaiki kondisi tubuh (untuk produksi) menjadi lebih cepat/baik.
Konversi Pakan Rerata konversi pakan per ekor akibat penerapan progam rontok bulu paksa selama penelitian tertera pada Tabel 1. Rerata konversi pakan per ekor pada perlakuan T1, T2 dan T3 berturut-turut 0,378; 0,234 dan 0,379. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penerapan progam rontok bulu paksa tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap rerata konversi pakan ternak-ternak perlakuan. Hal ini disebabkan karena ternak-ternak pada ketiga perlakuan mengkonsumsi pakan dalam jumlah yang relatif tidak berbeda walaupun tingkat produksi dari ketiga perlakuan tersebut menunjukkan pengaruh yang nyata. Rasyaf (1995) menyatakan bahwa jumlah pakan yang dikonsumsi berkaitan dengan kadar protein dalam pakan tersebut. Pakan yang diberikan pada ketiga perlakuan mempunyai kadar protein rata-rata 16,5 %, hal ini mempengaruhi tingkat produksi dari ketiga perlakuan karena penerapan progam rontok bulu paksa yang berbeda. Pada perlakuan T2 dan T3, secara fisiologis karena dipuasakan lebih lama akan mengkonsumsi pakan lebih banyak (dalam jangka pendek), sehingga produksi lebih tinggi. Hal ini bisa dimengerti karena adanya kompensasi konsumsi selama ternak dipuasakan. Untuk mengimbangi baik bobot badan maupun produksi yang hilang/turun pada saat penerapan rontok bulu paksa atau pada saat pemberian pakan dibatasi, maka ayam akan berusaha mengkonsumsi pakan lebih banyak. Seperti dinyatakan oleh Bootwalla et al. (1983) bahwa pembatasan pakan atau pemuasaan akan mempengaruhi jumlah konsumsi pakan, dari ketiga perlakuan ada kecenderungan pada perlakuan T3
The Application of Force Molting Progam in Layer during Post Production Phase (Sudjatinah et al.)
13
lebih banyak mengkonsumsi pakan (karena dipuasakan/pembatasan pemberian pakan lebih lama).
Carey, J.B. and Brake, J.T. 1989. Induced Molting of Commercial Layers. Poultry Science and Technology. North Carolina State University.
KESIMPULAN
Ensminger, M.E. 1990. Poultry Science 2 nd edition. Danville, Illinois : The Interstate Printers and Publisher. IUC. Halaman 195.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa : 1. Terdapat kecenderungan makin lama periode pemuasaan akan meningkatkan rerata konsumsi pakan. 2. Semakin lama periode pemuasaan terbukti menurunkan produksi telur. 3. Terdapat kecenderungan semakin lama periode pemuasaan akan meningkatkan konversi pakan. 4. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa perlakuan pemuasaan selama tiga hari (T2) menampilkan respon produksi yang terbaik. Dari hasil penelitian ini dapat disarankan bahwa untuk memperpanjang masa produksi ayam petelur afkir dapat diterapkan progam rontok bulu paksa dengan metode II (pemuasaan selama 3 hari). UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini sebagian dibiayai oleh Kopertis Wilayah VI Jawa Tengah Tahun Anggaran 1999.
Nesheim, M.C., R.E. Austic and L.E. Card. 1979. Poultry Production. 12th Ed. Lea and Febiger, Philadelphia. North, M.O. and Bell, D.D. 1990. Commercial Chicken Production Manual. 4 th edition. New York : Van Nortrand Reinhold. Page 133 – 147. Rasyaf, M. 1995. Beternak Ayam Petelur. Jakarta : Penebar Swadaya. Halaman 108 – 111, 121 – 123, 146 – 150. Steel, R.G.D. and J.H. Torrie 1990. Prinsip Prosedur Statistika. PT Gamedia , Jakarta. Williamson, G. and Payne, W.J.A. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Terjemahan dari An Introduction to Animal Husbandry in The Tropics. Cetakan Pertama. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Halaman 789.
DAFTAR PUSTAKA Bootwala, S.M., H.R. Wilsun, and R.H. Harms. 1983. Performance of Broiler Breeders in Different Feeding Systems. Poult. Sci. 62 : 2321-2325
14
J.Indon.Trop.Anim.Agric.29 (1) March 2004