SUDAH SAATNYA UNTUK BERUBAH Ima Normalia Kusmayanti (Dikompilasikan dalam tugas “Sociolinguistics”-2003) Secara bertahap kita sedang memasuki era globalisasi dimana komunikasi global sudah menjadi trend baru karena teknologi komunikasi dan informasi memegang perenan pemting didalamnya. Seiring dengan perkembangan peradaban manusia, kemampuan berkomunikasi menjadi hal yang sangat penting di era globalisasi ini. Oleh karena itu, sebagai generasi penerus bangsa dan calon intelek, seluruh siswa mulai dari tingkat Sekolah Dasar sampai perguruan tinggi harus mampu berkomunikasi dalam berbagai bentuk, salah satunya adalah melalui tulisan. Dengan menulis, siswa dapat memberitahukan sesuatu, meyakinkan pembaca mengenai pendapat mereka, mengekspresikan ide mereka, serta menciptakan sesuatu yang kreatif. Franklin, seorang penulis asal Amerika Serikat berkata, ”jika kamu tidak mau dilupakan ketika kamu meninggal dan membusuk, maka tulislah sesuatu yang layakdibaca atau lakukanlah sesuatu yang layak ditulis.” (Preiffer, 1991) Menanggapi artikel Alwasih yang berjudul ”intellectuals Lack Writing Skills”’ yang dimuat The Jakarta Post, 3 Januari 1998, saya sependapat dengan penulis yang mengatakan bahwa tulisan yang kreatif. Dalam artikel akan menuntun pada pemikiran kritis dan kreatif. Dalan artikelnya, Alwasilah menyatakan bahawa sedikit sekali kaum intelek Indonesia, khususnya dosen di berbagai Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta yang sudah menghasilkan karya tulis yang berkualitas tinggi, baik itu karya sastra maupun karya ilmiah. Hal ini dikarenakan aktivitas yang dijalani kurang mendukung mereka untuk menjadi kreatif dan produktif dalam menulis. Kenyataan ini terbukti saya melihat dafta pustaka skripsi seorang mahasiswa di perpustakaan Universitas Pendidikan Indonesia, di sana terdapat lebih banyak buku berbahasa Inggris daripada buku bahasa Indonesia. Memang benar bahwa menulis bukanlah hal yang mudah. Oleh karena itu, saya juga sependapat dengan gagasan penulis artikel bahwa pelajara menulis harus diajarkan oleh pengajar yang ahli menulis. Walaupun Alwasih mengatakan bahwa gagasan yang ia ajukan bersifat radikal dan beresiko, tetapi mengapa para pengajar tidak mencoba untuk menerapkannya? Paling tidak mereka mulai mengubah kurikulum pendidikan Bahasa Indonesia sedikit demi sedikit. Sudah tiba saatnya untuk mengubah bangsa Indonesia gemar menulis. Berikut langkah-langkah konkrit agar generasi penerus bangsa dan calon intelek dapat menjadi penulis kreatif yang berpikiran kritis sehingga bangsa Indonesia menjadi bangsa yang cerdas. Berdasarkan survey yang saya lakukan pada teman sekelas yang berjumlah 35 orang, kebanyakan dari mereka menganggap menulis merupakan aktivitas yang sulit dilakukan dan mereka tidak menyukai aktivitas ini karena tidak terbiasa untuk menulis. Saya 1
berpendapat bahwa sebaiknya siswa mulai membiasakan diri untuk menulis sejak duduk di Sekolah Dasar karena menulis adalah keterampilan yang harus dilatih terus menerus. Sebab bila tidak dilatih, menulis akan menjadi keterampilan yang ”tumpul.” Dalam buku A Writer’s Book of Days, Reeves menyatakan bahwa penulis lahir tanpa keahlian menulis; namun mereka lahir disertai dengan dorongan menulis, keingintahuan, imajinasi, dan mungkin kecintaan akan bahasa. Cara untuk menguasai keahlian ini adalah melalui latihan. Penggunaan buku catatan merupakan masa pembelajaran untuk menguasai keahlian menulis karena para penulis yang dianggap sudah ahli pun, yaitu mereka yang sudah berlatih dengan giat masih terus mencariide.(http://writingcourse.cacoethesscribendi.com/btintroduction.html) Menurut saya,salah satu cara membiasakan siswa menulis yaitu dengan menjadikan menulis sebagai bagian dari pembelajaran bahasa Indonesia. Mengapa? Karena pelajaran bahasa Indonesia memuat empat keterampilan yaitu membaca, mendengarkan, berbicara, dan menulis. Akan lebih baik, ketika pengajar menerangkan pelajaran di depan kelas, ia jangan hanya berharap siswa memperhatikan apa yang telah disampaikannya, namun, ia pun harus mengetahui apakah mereka mengerti atau belum. Selain dengan mengadakan diskusi dan tanya jawab, cara lain untuk mengetahui hal tersebut adalah melalui tulisan. Sebagai bagian dari pembelajaran, pengajar hendaknya mewajibkan siswa untuk menulis rangkuman mengenai apa yang telah disampaikannya. Selain itu, setiap siswa harus memiliki buku catatan berisi karya tulis mereka dalam bentuk karangan bebas dengan tema disampaikannya. Selain itu, setiap siswa harus memilki buku catatan berisi karya tulis mereka dalam bentuk karangan bebas dengan tema yang beragam, sesuai dengan topik yang sedang didiskusikan di kelas. Dengan melakukan hal ini, siswa dilatih menulis sehingga keterampilan menulis mereka pun terasah. Kemungkinan, dengan melakukan hal ini, penulis kreatif yang berpikiran kritis pun dapat terbentuk. Harus diingat oleh pengajar Bahasa Indonesia bahwa dengan membiasakan siswa untuk menulis, maka siswa terlatih untuk memilki kekayaan kosakata dan mampu membiasakan diri berpikir kritis. Saya berpendapat bahwa menulis adalah salah satu cara untuk melatih diri berpikir kritis karena tidak semua orang dapat berpikir kritis. Mengapa? Menurut Bernstein, seorang sosiolog asal Inggris, keberhasilan dan kemudahan segelintir orang untuk mendapatan keistimewaan sosial sejauh tertentu tergantung pada kemampuan berbahasa dalam menyampaikan buah pikiran. (Pikiran Rakyat,26 Agustus 2001). Karena suatu tulisan dapat berbentuk argumentasi, narasi, dan bentuk lainnya, maka siswa harus dapat menyampaikan pendapat, motivasi, aspirasi, interprestasi, gagasan, harapan serta pemikiran sesuai dengan maksud dan tujuan mereka. Melalui jawab mereka.
2
Di samping itu, dengan menulis siswa dituntut untuk banyak membaca. Di negara tetangga, Singapura misalnya, di setiap perumahan penduduk terdapat perpustakaan umum yang berisi buku-buku yang penuh dengan beragam informasi. Sedangkan di Indonesia, jumlah perpustakaan umum pun masih minim. Contoh lain adalah Amerika Serikat. Di negara ini, hampir semua pengajar Bahasa Inggris mewajibkan siswa mulai tingkat Sekolah Dasae sampai Menengah Umum membaca satu novel karya penulis Amerika atau penulis lainnya dalam satu minggu dan kemudian membuat resensinya. Lain halnya di Indonesia, kebanyakan siswa malas membaca karena mereka menganggap bahwa orang yang gemar membaca adalah orang yang suka menyendiri. Oleh karena itu, siswa lebih memilih berkumpul bersama teman-temannya daripada membaca ada jam istirahat sekolah. Faktor penghambat lainnya yaitu ada dorongan dari mengajar, khususnya pengajar Bahasa Indonesia atau bahkan dari orang tua mereka untuk membiasakan membaca. Hal ini terbukti ketika saya melakukan survey pada teman sekelas mengenai berapa banyak novel yang telah mereka baca selama duduk di bangku Sekolah Menengah Umum, dan hasilnya, rata-rata menjawab hanya satu atau dua buku saja. Untuk mengantisipasi hal ini, pengajar Bahasa Indonesia mulai dari tingkat Sekolah Dasar harus mewajibkan siswa membaca berbagai karya sastra Indonesia, bukan hanya buku pelajaran saja. Selain mengenal karya tulis Indonesia siswa pun akan menghargai hasil karya tersebut dan siapa tahu mereka tertarik mengikuti jejak mereka untuk menulis. Jika dikritisi, menurut Supriyanto FZ, dalam artikel ”Membudayakan Minat Baca Pada Anak”’ yang dimuat Pikiran Rakyat, 26 Agustus,2001, persoalan yang ada sekarang adalah rakyat dan pemerintah saling menyalahkan. Di satu sisi rakyat dianggap tidak mau membaca oleh pemerintah, di sisi lain pemerintah dituding tidak menciptakan iklim kondusif bagi rakyatnya untuk membiasakan membaca. Padahal membaca adalah modal dasar ke arah ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut pendapat saya, sebagai langkah awal, kini orang tua seharusnya mengajurkan anak-anaknya untuk membaca supaya mereka tahu dan mengenal cerita-cerita klasik dan dongeng Indonesia daripada mendongengkannya. Menurut saya pelajaran menulis seharusnya diajarkan oleh orang yang benar-benar menguasai teori dan praktek menulis. Karena menulis merupakan bagian dari mata pelajaran Bahasa Indonesia, maka seharusnya pengajar Bahasa Indonesia adalah orang yang gemar menulis, menguasai berbagai teori menulis dan sudah berhasil menciptakan karya tulis, baik berupa artikel, cerita pendek, novel maupun artikel ilmiah dan buku pelajaran yang berkualitas tinggi dan tulisannya tersebut dikenal masyarakat atau setidaknya dikenal di 3
lingkungannnya. Dengan demikian, mereka dapat memberikan contoh pada siswa bagaimana bentuk tulisan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, sehingga siswa pun mampu menulis dengan menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar pula. Dalam tulisan ”The Importance of Writing: Past Present and Future”’ menurut Joe Kelly, seorang tutor menulis di Amerika Serikat, adalah fakta bahwa menulis merupakan keterampilan yang paling sulit dikuasai oleh siswa dibanding ketiga keterampilan lainnya yaitu membaca, mendengarkan dan berbicara karena setiap bentuk tulisan mempunyai aturan tersendiri dan kata-kata yang tertulis memerlukan pemikiran dan pengaturan. Maka dari itu, siswa setidaknya mengetahui dan memahami teori setiap bentuk tulisan yang baik dan sesuai sebelum mempraktekannya. Bandi, salah seorang dosen FKIP Universitas Sebelas Maret dalam artikel ”Minat Dosen Menulis Artikel Naik”’ yang dimuat Pikiran Rakyat, 28 September 2002, menyoroti bahwa kelemahan suatu tulisan yang layak terbit bukan hanya terletak pada penulis saja, akan tetapi penulis tersebut. Bayangkan, bagaimana siswa dapat menjadi seorang penulis yang handal jika pengajar menulis mereka adalah seseorang yang kurang memahami seluk beluk menulis, kurang menguasai teori dan praktek menulis, kurang gemar menulis atau bahkan belum pernah mempublikasikan karya tulisanya? Juga bagaimana mereka mampu menciptakan suatu karya tulis yang berkualitas tinggi, jika mereka tidak memahami teori penulisan yang seperti apa yang harus diterapkan? Dengan demikian, untuk menciptakan karya tulis yang berkualitas tinggi, tidah hanya dibutuhkan bakat dan latihan, tetapi jiga ilmu menulis. Disamping belajar ilmu dan berlatih menulis, siswa pun membutuhkan motivasi karena bukan hal yang mudah untuk menentukan dan mengembangkan ide. Salah satunya dengan melihat keberhasilan orang lain, misalnya pengajar dan tokoh idola mereka yang mempublikasikan tulisannya dan dikenal masyarakat, dapat menumbuhkan dorongan pada diri mereka untuk mulai berkaya. Menurut saya, pengajar harus mampu memberikan saran dan kritik yang membangun. Ketika pengajar memberikan tugas menulis, mereka harus memberikan komentar yang memotivasi siswa untuk memperbaiki tulisan dan mengembangkan ide mereka, bukan komentar yang mematahkan semangat dan menjadikan pikiran mereka buntu. Oleh karena itu, setiap tulisan siswa harus mendapatkan umpan balik setidaknya dari pengajar serta teman sekelas mereka, untuk mengetahui sejauh mana mereka dapat menuangkan ide ke dalam tulisan mereka. Setiap penulis membutuhkan penghargaan dari pembaca tulisannya karena setiap orang membutuhkan penghargaan atas hasil karyanya. Penghargaan dalam bentuk saran dan kritik dapat memotivasi seorang penulis untuk lebih
4
mengembangkan idenya sehingga ,mampu menciptakan karya tulis yang berkualitas tinggi dan diterima oleh khalayak pembaca. Sudah saatnya pengajar Bahasa Indonesia mengubah kurikulum dan pembelajaran Bahasa Indonesia dan mengajarkan siswa berkomunikasi dalam bentuk tulisan. Jangan hanya mau diberi tulisan orang lain dan disuruh membacanya, tetapi siswa juga harus mulai membuat karya tulis untuk dibaca orang lain. Sebagaimana yang dikatakan Tolstoy (Quote of the Day, Metro TV), ”Bagaimana mungkin seseorang berpikiran untuk mengubah dunia, jika ia tidak mampu mengubah diri sendirinya sendiri.” Daftar Pustaka Alwasilah, A. Chaedar. 2001. Language, Culture, and Education: A Portrait of Contemporary Indonesia. Bandung: CV. Indira. FZ, Supriyatno. ”Membudayakan Minat Baca Pada Anak.” Pikiran Rakyat, 26 Agustus 2001. Bening Kliping: Pendidikan. Edisi 178, Minggu V, Agustus 2001. Hal. 40 http://esl.about.com/mbody.htm http://www.geocities.com/rsw-news/exercise1.html http://owl.english.purdue.edu http://www.rscc.cc.tn.us/OWL/Importance.html http://writingcourses.cacoethes-scribendi.com/btintrouction.html kenneavy, James l. & Warriner, Jhon E..Elements of Writing. 19993. Austin:Holt, Rinehart and Winston, Inc. McCrimmon, James M. 1980. Writing with a Purpose. Boston: Houghton Mifflin Company. Media Indonesia, 02 September 2001. Bening Kliping: Pendidikan. Edisi 188, Minggu II, November 2001. Hal. 37. Pikiran Rakyat, 28 September 2002. Hal. 24 Pikiran Rakyat, 5 Oktober 2002. Hal. 5 Pfeiffer, William S. 1991. Technical Writing: A Practical Approach. New York : Macmillan Publishing Co. Republika, 2 Oktober 2002. Hal. 13. 5