Hujan turun lagi disiang hari ini. Bulan April yang aneh. Bukankah seharusnya ini sudah menjadi liburan musim panas yang menyenankan? Mengapa hujan lagi? Jakarta, metropolitan yang sungguh kontras dengan para peminta-minta, pemulung, para pemalak, atau pula para pengangguran. Sebuah kebingungan masa melanda. Apakah mereka merupakan bagian dari modernisasi? Entahlah. Siapa yang akan mempedulikannya? Jakarta, hingga kini sejak September tahun lalu masih hujan. Kemacetan juga tidak luput menjadi bagian kota metropolitan ini. Siang ini jam 14.00. Untuk apa mereka bermain hujan-hujanan siang hari ini? Bangunan peninggalan penjajah Belanda itu masih kokoh berdiri menghadap ke barat. Dindingdindingnya putih bersih dan terawat. Tanamantanamannya sudah rapi kembali setelah dicukur. Ruangan-ruangan didalam bangunan ini sangat
banyak, bangku-bangku dan meja-meja tersusun sangat rapi layaknya kelas internasional. Di bangku paling belakang tertunduk kepala diatas meja. Seragam putih cokelatnya masih melekat pada tubuhnya. Ruang kelas itu sunyi, hanya presentasi seorang praktisi yang berbadan gemuk itu saja yang menggema didalam ruangan ini. Semua mata, telinga hanya tertuju pada sang presentator, hanya ia yang tidak. Ia sedang tertidur. Kelas dengan penghangat ruangan itu merengkuhnya dan keletihan-keletihan karena insomnia membuatnya selalu mengantuk dikelas. Ia terlihat sangat nyenyak. Jika ia terbangun ia akan menjadi bahan ejekan bagi teman-teman sekelasnya. Mereka parlente. Selalu akan terdengar “Dasar Pemalas!” atau “Anak yang malang.”, “Tidak tahu diri!” , “Bodoh!” dan ada pula yang mengatakan “Dasar kampungan!” dari punggungnya. Ia selalu tahan dengan ejekan-ejekan yang terlontar dari mulut teman-temannya. Beberapa guru yang tidak menjadikannya sebuah perhatian baginya, 2
juga melakukan hal yang sama. Sejak kelas satu, ia sudah sering ditegur karena tidur di kelas. Beberapa kali ia malah di hukum untuk berdiri dilapangan. Tidak pernah ada alasan yang keluar dari mulutnya, sebagai pembelaan atau apalah. Mengapa selalu terjadi dan berulang. Semua tidak ada yang mengetahuinya, tidak pada gurunya pun pada temantemannya. Semua yang terjadi didalam tidurnya, kemana ia pergi dalam tidurnya, tidak ada satupun yang tahu juga tidak ada satu hal pun yang ia ungkap. Hanya ia yang merasakan semua keanehan, penderitaan yang pada akhinrya ia direpotkan dengan semua itu. Hal aneh yang telah terjadi sejak, entah, ia pun tak dapat mengingatnya. Tiba-tiba bahunya bergetar, diikuti dengan suara lembut menjangkau gendang telinganya. Seolah tepukan dan suara itu membangunkannya. Ia terjaga. Kelas sudah sepi. Hanya penjaga sekolah yang
3
sedang menyapu lapangan. Ia meraih tasnya dan beranjak pergi dari ruangan itu. Hujan telah berhenti, langit masih belum terlihat karena tertutup oleh awan kelabu. Ia dengan hati-hati melangkah, menghindari genangangenangan dijalan yang berlubang. Setelah hujan kemacetan terjadi, beberapa daerah di Jakarta bahkan ada yang tergenang air. Ada yang selutut bahkan ada yang sepinggang orang dewasa. “Oh, tadi hujannya cukup deras ya?” katanya dalam hati sambil menyapu keadaan melalui pandangannya. Sudah hampir tiga puluh menit bus yang ia tumpangi tidak bergerak. Setiap orang didalamnya telah memasang wajah masam sejak seperempat jam lalu. Dengan ekspresi seperti itu mereka bertanyatanya dalam hati “Kenapa macet?”, “Tumben macetnya lama?”, “Memangnya ada apa sih?”
4
Tapi toh, sebenarnya mereka tidak perlu bersusah payah untuk bertanya ataupun berfikir keras, mereka juga pada dasarnya telah mengetahui jawabannya. Hanya saja, jawaban itu tidak pernah cukup untuk menjelaskan kepada keletihan-keletihan yang mereka derita setelah seharian. Semakin banyak berjalan, akan semakin banyak tahu pula apa yang sebenarnya sedang terjadi. Ia sering mendengar pepatah itu dari salah satu gurunya Pak Sardhono. Disekolah, diantara guruguru lainnya yang paling dekat dengannya adalah Pak Sardhono, bagaikan seorang Ayah dengan anak lakilakinya, hanya saja ia tidak mengenal kasih sayang seorang Ayah. Tidak pernah. Sedikitpun. Tentang dirinya tidak ada yang tahu, tidak Pak Sardhono, juga dirinya. Sang Ibu? Ibunya telah meninggal dunia sejak ia berusia lima tahun ketika kecelakaan maut melibatkannya. Ibunya tidak pernah menceritakan kepadanya tentang siapa Ayah kandungnya. Lagi
5
pula, berdasarkan pemikirannya sendiri; masa lalunya tidak akan mempengaruhi masa depannya. Ia masih terus berjalan. Rumahnya mungkin masih sangat jauh, ia berjalan santai bahkan sangat santai. Seolah tidak ingin cepat tiba dirumahnya. Dengan tas yang bertengger disalah satu bahunya. Sol sepatunya basah, ujung bawah celananya terciprat oleh genangan air. Ia melewati setapak yang ditata dengan rapi oleh pemerintah daerah. Sebuah taman. Baru kali ini ia melewati taman ini dengan langkah yang begitu santai. Dedaunan masih basah karena hujan, juga bunga-bunga yang memiliki warna-warna cerah. Ia mengakui sangat indah. Namun, disini bukanlah tempat favoritnya. Pikirannya menjauh. Langkahnya terhenti. Hanya pikirannya yang melesat dengan cepat menuju sebuah lorong sempit, dingin dan sunyi. Ia ingin sekali berada ditempat itu. Ditempat itu ia merasa senang, tenang, bahagia dan pikirannya akan berlari-lari, berputar-putar bagaikan kincir angin pembangkit listrik buatan Pak Sardhono. 6
Ia terbangun dari lamunannya. Ia bergegas dengan cepat, melangkah secepat kilat menuju lorong sempit, dingin, dan sunyi itu. Sebuah tempat untuk berpikir. Air hangat meleleh melalui pipinya. Air matanya meleleh, meninggalkan jejak di pipinya yang kurus. Ia terkejut, apa yang sedang terjadi pada dirinya. Taman yang indah tadi bagaikan hal yang pernah menjadi bagian hidupnya. Disuatu ketika, taman itu menyambutnya bagaikan kawan lama, berbicara, tersenyum dan tertawa bersama beberapa orang lainnya yang tidak tertangkap oleh rentina matanya. Hanya berupa siluet yang tidak mampu ia terima oleh penglihatannya. “Tangguh” suara lembut menjangkau telinganya. Pemuda itu menoleh kearah sumber suara. Tidak jauh dari tempatnya bersandar bayangan itu mendekat. Semakin dekat dan semakin jelas. Dia adalah seorang gadis cantik dengan rambut panjang
7
yang diikat dan badan yang mungil. Lebih mirip dengan anak SMP. “Kau siapa?” pemuda yang dipanggil Tangguh itu bertanya. Wajahnya masih terkejut dengan kehadiran gadis itu terlebih ia memanggilnya dengan nama Tangguh. “Aku Alice, maaf telah mengejutkanmu” katanya lembut. “Apa kita pernah bertemu sebelumnya, sehingga kau kenal dan tahu namaku?” Alice hanya diam. Lorong sempit, dingin dan sunyi yang tadi memiliki irama percakapan kembali berubah menjadi lorong sempit, dingin dan sunyi. “Kalau begitu, sampai jumpa.” Kata Alice …
8
… “Yuk kita berdiri disana aja.” Ajak Tangguh sambil melangkah kearah halte yang juga sudah ada beberapa orang sedang menunggu Bus. Lima belas menit berlalu, semua orang-orang yang menunggu Bus di halte itu sudah mendapatkan Bus mereka. Sedangkan Tangguh dan Alice masih menunggu. “Mister Cold itu maksudnya apa ya, kok anak-anak dikelas seolah-olah mengejek kamu dengan kata itu?” Tanya Alice dengan hati-hati. “Mister Cold itu cuma julukan mereka aja ke gue. Dari awal semester gue gak pernah sedeket ini sama temen sekelas. Gue lebih suka sendiri, gue lebih suka mengabaikan mereka. Tapi sebenernya gue gak pernah menjauhi mereka malah jadinya sekarang sebaliknya.” Jelas Tangguh
9
“Terus, kenapa kamu malah menjauh dari mereka?” Sejenak hening. “Gak apa-apa juga sih. Tapi paham gue bilang, takut aja ketergantungan sama yang namanya teman. Gue lebih suka terhadap hal apapun dan melakukannya sendiri dan gue termasuk tipe orangorang yang cuek terhadap lingkungan. Bukan berarti tidak peduli, mungkin cara menunjukkannya aja yang berbeda. Gak perlu orang lain tahu kan?” Alice memandangnya dengan penuh tanya. “Eh itu Busnya datang. Ayo ayo…” akhirnya mereka berdua mendapatkan Bus yang mereka tunggu-tunggu. “Kamu duduk. Biar aku yang berdiri.” Kata Tangguh.
10