SUBJECTIVE WELL-BEING PASANGAN REMAJA YANG DINIKAHKAN AKIBAT KEHAMILAN TIDAK DIINGINKAN SERTA DAMPAK YANG TERJADI DALAM KELUARGA
OLEH HERBETHZ PATTIRUHU 802009024
TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015
SUBJECTIVE WELL-BEING PASANGAN REMAJA YANG DINIKAHKAN AKIBAT KEHAMILAN TIDAK DIINGINKAN SERTA DAMPAK YANG TERJADI DALAM KELUARGA
Herbethz Pattiruhu Aloysius L. Soesilo Chr. Hari Soetjiningsih
Progam Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015
ABSTRACT Subjective well-being (SWB) is a broad concept that a person's life as a whole. Everyone must want the SWB in his life, including a teenager who married because of an unwanted pregnancy. This of course is not entirely an effect on the adolescent self, but also for the parents as a family. Accordingly, the purpose of this study was to identify and describe more about SWB teenage couples who were married as a result of unwanted pregnancy and the impact it in the family. The research method used is qualitative, the method of data collection were interviews and observation. This study consists of two participants, in which each participant is composed of young men, young women, fathers and mothers who live in the city of Ambon. The results showed that all participants feel themselves happy when they are together with the family, was quite satisfied with their current life, and have a quality of life that is not too good. The conclusion from this study is that every participant has its own assessment on their SWB, all depends on what they experienced and what they feel. Key words: Subjective well-being, unwanted pregnancies, adolescent, family.
i
ABSTRAK Subjective well-being (SWB) merupakan konsep yang luas akan kehidupan seseorang secara keseluruhan. Setiap orang pastilah menginginkan kesejahteraan subjektif dalam hidupnya, termasuk remaja yang dinikahkan karena mengalami kehamilan tidak diinginkan (KTD). Hal ini tentu saja tidak sepenuhnya berpengaruh pada diri remaja tersebut, namun juga bagi orang tua sebagai keluarga. Berdasarkan hal tersebut, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasikan dan mendeskripsikan lebih jauh mengenai SWB pasangan remaja yang dinikahkan akibat KTD serta dampak yang terjadi dalam keluarga. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif, dengan metode pengambilan data yaitu wawancara dan observasi. Penelitian ini terdiri dari dua partisipan, dimana setiap partisipan terdiri dari remaja pria, renaja wanita, ayah dan ibu yang berdomisili di kota Ambon. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua partisipan merasa diri mereka bahagia ketika mereka bersama dengan keluarga, merasa cukup puas dengan kehidupan mereka saat ini, dan memiliki kualitas hidup yang tidak terlalu baik. Kesimpulan dari penelitian ini adalah setiap partisipan memiliki penilaian tersendiri terhadap kesejahteraan subjektif mereka, semua bergantung pada apa yang mereka alami dan apa yang mereka rasakan. Kata Kunci : Subjective well-being, Kehamilan Tidak diinginkan, Remaja, Keluarga.
ii
PENDAHULUAN Setiap yang hidup di dunia ini pasti mengalami yang namanya perkembangan, manusia salah satunya. Perkembangan pada manusia melibatkan pertumbuhan, meskipun juga melibatkan penuan. Perkembangan adalah pola perubahan yang dimulai sejak pembuahan, yang berlanjut sepanjang hidup (Santrock, 2007). Manusia sebagai salah satu yang mengalami perkembangan maka tidak dapat dipungkiri bahwa setiap orang akan melewati masa-masa dalam kehidupannya termasuk masa remaja. Masa remaja adalah waktu untuk melakukan eksperimen dan mencoba perilaku baru dalam merespon berbagai situasi baru sehingga masa remaja menghadirkan begitu banyak tantangan, karena banyaknya perubahan yang harus dihadapi, mulai dari perubahan fisik, biologis, psikologis dan juga sosial (Geldard & Geldard, 2010). Santrock (2007) mengemukakan bahwa usia remaja adalah usia yang berkisar dari 10-13 sampai 18-22 tahun. Santrock juga mengemukakan masa remaja akhir (late adolescence) sesuatu yang kurang lebih terjadi pada pertengahan dasawarsa yang kedua dari kehidupan. Minat, karir, pacaran dan eksplorasi identitas sering kali lebih menonjol di masa remaja akhir dibandingkan masa remaja awal. Namun remaja juga merupakan suatu periode transisi dalam rentang kehidupan manusia yang menjembatani antara masa anak-anak dan masa remaja dewasa (Santrock, 2012). Sehingga dapat disimpulkan bahwa remaja adalah individu yang berusia dari 12-21 tahun dimana sebuah masa yang menjembatani antara masa anak-anak dengan masa dewasa serta mengalami perkembangan fisik dan kognitif bahkan sampai kepada perkembangan sosio-emosional.
1
2
Satu hal yang tidak dapat dihindari dari kehidupan remaja yaitu selama masa remaja kehidupan remaja lebih dominan dihiasi dengan masalah seksualitas, maka masa remaja adalah masa eksplorasii seksualitas ke dalam identitas seseorang (Santrock, 2007). Meskipun masalah ini cukup merisaukan, kita perlu melihat kenyataan bahwa seksualitas merupakan suatu bagian yang normal dari kehidupan remaja (dalam Santrock, Nichols & Good 2004; Senanayake & Faulkner, 2003). Sehingga kita perlu menyadari bahwa kehidupan seksual remaja ini akan mendorong banyak remaja melakukan hubungan seksual pranikah. Sari (2008) mengatakan bahwa hubungan seks pranikah adalah hubungan seksual yang dilakukan oleh sepasang insan yang belum terikat oleh tali pernikahan. Hal ini sangat mungkin terjadi pada remaja, mengingat pada saat seseorang memasuki masa remaja mulai timbul dorongan-dorongan seksual di dalam dirinya. Apalagi pada masa ini minat mereka membina hubungannya terfokus pada lawan jenis. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Utomo (dalam Sarwono, 2007) remaja putri mengatakan bahwa hubungan seksual ini dilakukan karena ingin menunjukkan rasa cinta, takut ditinggalkan, dipaksa oleh pacar, tidak mau dianggap tidak laku karena masih perawan, ingin mencoba-coba bahkan sampai pada pergaulan yang menyesatkan. Pendapat ini didukung pula oleh Santrock, (dalam Sarwono 2007), alasan-alasan mengapa remaja berhubungan seks antara lain dipaksa (Wanita 61 % dan Pria 23%), merasa sudah siap (Wanita 51% dan Pria 59%), butuh dicintai (Wanita 45% dan Pria 23%) dan takut diejek teman karena masih gadis atau perjaka (Wanita 38% dan pria 43%). Melihat situasi seperti ini maka, dapat menimbulkan masalah pada remaja yaitu salah satunya adalah Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) pada usia remaja. KTD adalah kehamilan yang dialami seorang
3
perempuan yang sebenarnya belum menginginkan atau sudah tidak menginginkan hamil (BKKBN, 2007). Sedangkan menurut PKBI, KTD merupakan suatu kondisi dimana pasangan tidak menghendaki adanya proses kelahiran akibat dari kehamilan. KTD tidak hanya beresiko secara fisik maupun psikologis, tetapi juga berdampak negatif secara sosial (Nugraheni, 2006). Adapun faktor-faktor ketika pasangan remaja mengalami KTD yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal itu mencakup komitmen kedua pasangan untuk menjalin hubungan jangka panjang dalam pernikahan, sikap dan persepsi terhadap janin yang dikandung dan persepsi terhadap janin yang dikandung dan persepsi subyektif tentang kesiapan psikologis dan ekonomi untuk memasuki kehidupan pernikahan. Selanjutnya Soesilo (dalam Trimangga, 2008) menyatakan bahwa faktor-faktor eksternal mencakup sikap dan penerimaan orang tua kedua belah pihak, nilai-nilai normatif dan etis dari lembaga keagamaan, dan kemungkinan-kemungkinan perubahan hidup pada masa depan yang mengikuti pelaksanaan dan keputusan yang akan diambil. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi KTD pada remaja menurut Khisbiyah et al., (1997) : lemahnya pengawasan sosial yang dikarenakan pola hubungan dalam masyarakat saat ini bersifat transaksional dan individualistik, penundaan usia nikah yang bergandengan dengan meningkatnya kecenderungan aktivitas seksual pranikah, kurangnya pengetahuan remaja tentang proses reproduksi, permisivitas dan ketidakhati-hatian remaja dalam perilaku seks, terbatasnya pelayanan kesehatan reproduksi untuk kalangan remaja. Papalia et al., (2009) menambahkan bahwa adanya satu faktor penting yang mempengaruhi KTD yaitu penggunaan alat kontrasepsi yang tidak efektif. Papalia et al., memberikan informasi bahwa, penggunaan alat kontrasepsi pada remaja yang aktif dalam berhubungan seksual akan dapat mengurangi KTD.
4
Salah satu masalah dengan peringkat tinggi dari aktivitas seksual dan catatan buruk dalam penggunaan alat kontrasepsi sewaktu remaja menunjukkan sesuatu yang menakjubkan untuk dipelajari dimana banyak perempuan muda mengalami kehamilan sebelum masa remajanya berakhir (Steinberg, 1993). Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) merupakan salah satu masalah yang timbul akibat adanya perubahan sikap dan perilaku seksual remaja. Oleh sebab itu Putri (2010) memaparkan KTD adalah sebagai salah satu kondisi dimana pasangan tidak menghendaki adanya kehamilan yang merupakan akibat dari suatu hubungan seksual, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Kamus besar Indonesia mencatat istilah Keluarga Berencana (KB), KTD adalah kehamilan yang dialami oleh seorang ibu yang sebenarnya belum menginginkan atau sudah tidak menginginkan untuk hamil lagi. Melihat kehamilan sebagai suatu hal yang tidak dikehendaki maka terdapat konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan akibat KTD menurut Khisbiyak et al., (1997) yaitu : aborsi (keputusan untuk aborsi biasanya dikarenakan takut pendidikan akan terputus, ketidaksiapan ekonomi, dan ketidaksiapan remaja menerima tanggung jawab kehidupan keluarga), menjadi orang tua diusia belia, menjadi ibu lajang, remaja yang hamil pranikah mengalami tekanan psikologis yang berasal dari ketidaksiapan psikologisnya untuk mengemban peran dan tanggung jawab sebagai orang tua, masalah sosial-ekonomi. Selain Khisbiyah, et al., (1997), Santrock (2003) juga mengemukakan pendapatnya tentang konsekuensi kehamilan pada remaja antara lain: meningkatnya resiko kesehatan bagi ibu dan anaknya (bayi yang dilahirkan oleh ibu remaja cenderung memiliki berat badan yang lebih rendah, demikian pula halnya dengan masalah neurologis dan penyakit anak-anak), pendidikan yang terputus, gagal memperoleh pekerjaan dan menjadi tergantung pada orang tua atau dinas kesejahteraan sosial.
5
Semua hal yang berkaitan dengan seksualitas remaja dan KTD dapat berdampak buruk atau negatif pada remaja itu sendiri, secara tidak langsung dapat mempengaruhi kesejahteraan dalam diri mereka sendiri. Keadaan inilah yang sering disebut dengan subjective well-being. Subjective well-being (seterusnya disebut SWB) merupakan salah satu ukuran kualitas hidup individu dan masyarakat (Pattihahuan, 2012). Selain itu, SWB juga berbicara mengenai bagaimana seseorang berpikir mengenai hidupnya sendiri merupakan esensi untuk memahami well-being (Diener, Oishi, & Lucas, 2003). SWB merupakan penilaian atau evaluasi subjektif individu mengenai hidupnya sendiri, yang meliputi komponen kognitif dan komponen emosional (Diener, 2008). Komponen emosional SWb ini berpengaruh pada remaja yang mengalami KTD karena remaja tersebut akan merasa bersalah, menyesal dan malu. Perasaan inilah yang dapat membuat remaja untuk melakukan aborsi, namun adapun remaja yang dinikahkan untuk mempertanggung jawabkan apa yang dilakukan. Wanita dengan kehamilan yang tidak diinginkan memiliki tingkat tertinggi depresi, paparan stress yang berlebihan dan dukungan sosial yang rendah serta well-being yang rendah atau tingkat kesejahteraan yang rendah (Maxson & Miranda, 2011). Selain itu, setiap pasangan remaja yang mengalami KTD, tentu akan melakukan penilaian terhadap diri pasangan itu sendiri. Menurut Conger (dalam Sari, 2008) menyatakan bahwa penilaian terhadap diri yang dimaksud berupa perasaan-perasaan negatif, hilangnya keperawanan, rasa malu, rasa bersalah, rasa berdosa, kotor, takut, khawatir dan lain sebagainya akan timbul saat melakukan hubungan seks pranikah.
6
Mengalami KTD pada masa remaja, bagaimanapun pasti menimbulkan konsekuensi yang sulit tidak saja bagi remaja yang bersangkutan, tetapi juga bagi seluruh anggota keluarga yang lain. Sehingga hal inilah yang mengakibatkan ketidaksejahteraan remaja dalam hidupnya. Penuturan dari Papalia et al., (2009) bahwa bagi banyak remaja salah satu argument persuasif terhadap pengambilan resiko seksual adalah bahaya kehamilan yang akan menghancurkan hidup mereka. Situasi inilah yang sekarang banyak terjadi di berbagai tempat khususnya di kota Ambon. Menurut sebuah sumber media masa yang diterbitkan pada tanggal 08 Agustus 2012, memaparkan bahwa Ambon termasuk dalam peringkat lima besar kasus remaja yang mengalami KTD, namun hal ini tidak kelihatan besar, karena banyak pula remaja yang mengugurkan kehamilannya, sehingga Ambon pun termasuk dalam peringkat kelima persentase aborsi. Bahkan sampai sekarang ini banyak kalangan remaja di Ambon yang mengalami KTD sehingga harus berhenti sekolah, diasingkan dan bahkan dikeluarkan dari keluarganya karena dianggap menghancurkan nama baik keluarga. Disisi lain, adapun remaja-remaja yang dengan sepenuh hati menerima apa yang terjadi dalam hidupnya, kesiapan untuk menjadi seorang ibu/ayah, berhenti sekolah dan bahkan membangun rumah tangga dengan cara dinikahkan agar mendapat status dan dianggap tidak membuat malu nama baik diri sendiri dan keluarga. Situasi seperti ini sebenarnya tidak hanya dirasakan oleh pasangan remaja tersebut, namun juga dirasakan oleh orang tua dan keluarga dari masing-masing remaja. Oleh karena itu untuk mengetahui bagaimana SWB remaja yang mengalami KTD dan berdampak pada keluarga merupakan suatu hal yang penting untuk diteliti. Sehingga peneliti merasa penting dalam melihat subjective well-being pasangan
7
remaja yang mengalami KTD dan dampak bagi keluarga. Hal ini menjadi penting ketika peneliti mewawancara beberapa remaja yang telah mengalami KTD sebagai penguat penelitian ini, mereka mengatakan bahwa mereka tidak merasakan tiga factor penting SWB yaitu yang pertama adalah kebahagiaan dengan kehidupan mereka saat ini, bahkan peran keluarga pun tidak ada ketika meraka diasingkan oleh keluarga. Yang kedua, mereka tidak memiliki kepuasaan hidup, mereka merasa malu bahkan sangat malu dengan keadaan seperti ini, mereka juga gagal menjadi yang terbaik. Dan yang ketika mereka merasakan bahwa kualitas hidup mereka sangat buruk ketika mengalami KTD. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan mengenai subjective wellbeing pasangan remaja yang dinikahkan akibat KTD serta dampak yang terjadi dalam keluarga. KAJIAN TEORITIK Secara umum pada dasarnya subjective well-being (SWB) sering diartikan sebagai kesejahteraan hidup, namun konsep mengenai well-being itu sendiri merupakan suatu pemahaman multidimensional. Andrew dan Withey (dalam Diener, 2009) mendefinisikan subjective well-being sebagai evaluasi kognitif dan afektif seseorang tentang hidupnya, sehingga bersifat subjektif. Evaluasi ini meliputi penilaian emosional terhadap berbagai kejadian yang dialami. Adapun pendapat dari Keyes dan Waterman (dalam Pattihahuan, 2012) mereview literatur dengan judul, “A brief history of the study of well-being in children and adults” (Sejarah singkat study well-being pada anak dan orang dewasa) dan menyimpulkan bahwa individu mengevaluasi dirinya dalam ungkapan apakah mereka
8
merasa baik atau senang dengan dirinya dan apakah dirinya berfungsi dengan baik secara pribadi dan secara sosial. Para ahli juga telah menganalisis bahwa evaluasi mengenai kehidupan individu ini berlangsung dalam periode saat ini dan periode lampau (Diener, Oishi, & Lucas, 2003). Dalam penelitian ini akan digunakan aspek-aspek SWB yang diangkat dari Seligman (2000), Argyle, 1987; Myers, 1992; Diener 1999 (dalam Compton, 2005) dan Veenhoven (2000) yang disimpulkan dalam Talo (2013) yaitu : Kebahagiaan Seligman (2000) kebahagiaan (happiness) merupakan salah satu variable utama dalam subjective well being. Beberapa ahli yang lain menggunakan istilah subjective wellbeing sebagai istilah ilmiah dari kebahagiaan. Dari definisi tersebut diketahui bahwa kebahagiaan menekankan pada penilaian subjective individu bukan melalui penilaian para ahli (Dianer, dalam Putri, 2009). Menurut Eastrlin (dalam Concecaio, 2008) meskipun orang bahagia menurut ukuran subjektifnya sendiri, pada umumnya mereka menyebutkan beberapa factor yang menjadi penentu kebahagiaan. Factor-faktor yang mempengaruhi kebahagiaan tersebut adalah: keluarga, ekonomi, pernikahan dan kesehatan. Kepuasaan Hidup Kepuasaan hidup menurut Diener (2009) merupakan hasil dari perbandingan antara segala peristiwa yang dialami dengan harapan dan keinginan. Individu yang dapat menyesuaikan diri dan memiliki kepribadian yang terintegrasi dengan baik, cendrung untuk merasa lebih puas dengan kehidupannya. Csikszentmihalyi (dalam Diener, 2000)
9
menyatakan bahwa semakin banyak aktifitas positif yang dilakukan oleh seseorang, makin besar pulalmh kepuasaan hidupnya. Menurut Argyle, 1987; Myers, 1992; Diener 1999 (dalam Compton, 2005) ada enam variabel yang paling memprediksi kepuasaan hidup setidaknya dalam industry budaya barat yaitu Harga diri yang positif (positive self esteem), Rasa memiliki kontrol (sense of perceived control), sikap mengarahkan diri keluar (extroversion), optimisme (optimism), relasi social yang positif (positive social relationship) dan pemahaman terhadap arti dan tujuan hidup (a sense of meaning and purpose to life) Kualitas Hidup (quality of life) Terkadang kualitas hidup dan subjective well-being digunakan sebagai kosep paying yang menggambarkan hal-hal yang baik (Veenhoven, 2000). Kualitas hidup adalah tingkatan yang menggambarkan keunggulan seorang individu yang dapat dinilai dari kehidupan mereka. Keunggulan individu yang dapat dinilai dari kehidupan mereka. Keunggulan individu tersebut biasanya dapat dinilai dari tujuan hidup, control pribadi, hubungan interpersonal, perkembangan pribadi, hubungan interpersonal, perkembangan pribadi , intelektual dan kondisi materi (Larasati, 2008). Adapun pendapat dari Primardi dan Hadjam (2010) yang menyatakan kualitas hidup yang baik ditentukan pada seseorang yang dapat menjalankan fungsi dan perannya dalam kehidupan sehari-hari dengan baik, sesuai tahap perkembangannya. Sementara itu Veenhoven (2000) dalam penelitiannya mengenai kualitas hidup mengemukakan bahwa kualitas hidup dipengaruhi oleh 4 faktor yaitu kesempatan unntuk
10
hidup (life chances), hasil dari hidup itu sendiri (life result), kualitas eksternal dan kualitas internal. Keempatnya saling berkaitan satu dengan lain seperti:
Kesempatan Hidup (life chances) dan Kualitas Eksternal menciptakan kenyamanan lingkungan seperti ekologi, sosial, ekonomi dan budaya.
Kesempatan Hidup (life chances) dan Kualitas Internal menciptakan kemampuan hidup seperti kesehatan fisik, kesehatan mental, pengetahuan, skill, seni dalam hidup.
Hasil dari hidup (life results) dan Kualitas Eksternal menciptakan kegunaan hidup secara objectif seperti keunggulan hidup dan perkembangan moral.
Hasil dari hidup (life results) dan Kualitas Internal menciptakan penghargaan subjektif terhadap hidup yaitu penghargaan terhadap aspek hidup, emosi secara umum dan penilaian secara umum.
METODE Subjek Penelitian Sesuai dengan tujuan penelitian yakni mengidentifikasi dan mendeskripsikan mengenai subjective well-being pasangan remaja yang dinikahkan akibat KTD serta dampak yang terjadi dalam keluarga di kota Ambon, maka dalam penelitian ini, penulis membatasi subjek dengan cirri-ciri sebagai berikut: 1. Pasangan remaja (laki-laki & perempuan) yang dinikahkan/sudah mengalami KTD. 2. Rentang usia berkisar antara 16 tahun sampai 20 tahun. 3. Putus sekolah atau tidak melanjutkan sekolah akibat KTD.
menikah karena
11
4. Orang tua/keluarga yang anaknya mengalami Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD). Fokus Penelitian Focus penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan mengenai subjective well-being pasangan remaja yang dinikahkan akibat KTD serta dampak yang terjadi dalam keluarga. Teknik Analisa Data Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisa dengan menggunakan teknik analisa kualitatif seperti yang diungkapkan oleh Miles dan Huberman (dalam Herdiansyah, 2010) yang terdiri dari pengumpulan data, reduksi data, display data dan kesimpulan. HASIL PENELITIAN Identitas Subjek PARTISIPAN 1 Nama : X1 REMAJA 1
ORANG TUA
R. Putra J. Kelamin : Pria Umur : 20 tahun Nama : X2 J. Kelamin : R. Putri Wanita Umur : 16 tahun Nama : X3 Ayah J. Kelamin : Pria Umur :50 tahun Nama : X4 J. Kelamin : Ibu Wanita Umur : 47 tahun
PARTISIPAN 2 Nama : Y1 R. Putra
R. Putri
Ayah
Ibu
J. Kelamin : Pria Umur : 20 tahun Nama : X2 J. Kelamin : Wanita Umur : 17 tahun Nama : X3 J. Kelamin : Pria Umur :55 tahun Nama : X4 J. Kelamin : Wanita Umur : 51 tahun
12
Dalam penelitian ini, peniliti mengangkat 2 partisipan, dimana setiap partisipan terdiri dari remaja putra dan remaja putri (pasangan remaja yang mengalami KTD) beserta orang tua yaitu ayah dan ibu di Kota Ambon. Alasan mengapa peniliti mengangkat orang tua sebagai subjek penilitian ini karena tidak dapat dipungkiri bahwa, remaja yang mengalami KTD berada dalam usia anak sehingga masih bergantung pada orang tua termasuk tinggal serumah dengan orang tua. Hal ini terlihat dari penelitian ini bahwa dampak KTD tidak hanya dirasakan oleh pasangan remaja tersebut sebagai partisipan utama dalam penelitian ini. Namun, secara langsung juga berdampak pada orang tua/keluarga. Apalagi di kota Ambon sendiri memakai system marga, jika dalam menghadapi satu masalah termasuk KTD bukan hanya orang tua yang merasakan dampaknya tapi semua saudara yang memiliki marga yang sama pun akan merasakan malu bahkan terpaan dari stigma masyarakat. Hal ini tentu sangat mempengaruhi SWB setiap partisipan. Sehingga SWB tidak hanya dirasakan oleh remaja saja, namun juga orang tua sebagai peran utama dalam mendidik dan membesarkan anak tersebut. Kedua partisipan yang diwawancara dimana setiap partisipan memiliki perbedaan. Perbedaan dari kedua partisipan ini yang pertama dari pasangan remaja, antara pasangan remaja 1 dan pasangan remaja 2 yaitu partisipan 1 menikah dengan disaksikan oleh kedua orang tua mereka. Partisipan 2 memilih untuk menikah secara diam-diam atau yang biasa disebut dengan kawin lari. Hal ini terjadi karena kedua partisipan sama-sama telah mengalami KTD. Akibat KTD ini, partisipan 1 memiliki niat yang besar untuk mengugurkan kandungannya, sedangkan partisipan 2 memilih untuk tetap mempertahankan kandungannya karena takut efek keguguran bagi kesehatan. Perbedaan yang lain pun
13
terlihat dalam hal dukungan sosial. Partisipan 1 memiliki dukungan sosial yang lebih besar dari keluarga yaitu kakak-kakaknya. Selain perbedaan yang terlihat dari remaja putri kedua partisipan, perbedaanperbedaan yang lain juga dilihat dari kedua remaja pria. Partisipan 1 ketika mendengar kehamilan pasangan hamil, dia awalnya tidak ingin bertanggung jawab, selalu menghindar dan sempat membawa pasangannya ketempat pengaborsian untuk diaborsi. Partisipan 2 sama sekali tidak memaksa pasangannya untuk mengugurkan kandungannya. Selain itu, dalam hal pengontrolan emosi, kedua partisipan memiliki perbedaan. Partisipan 1 memiliki emosi yang sangat besar dalam hal membicarakan kehamilan pasangannya, hal ini kemudian membuat partisipan 1 memukul pasangannya. Untuk partisipan 2 memiliki sikap yang dewasa dalam membicarakan kehamilan dengan pasangannya secara baik-baik. Keuda partisipan memiliki umur yang sama, umur dimana sedang dalam masa pendidikan diperguruan tinggi. Dalam hal pendidikan ini, partisipan 1 tetap berkuliah sedangkan partisipan 2 memilih untuk berhenti kuliah dan bekerja. Dari perbedaan ini, dapat dilihat bahwa, partisipan 2 memiliki kesiapan yang lebih baik dibandingkan partisipan 1. Selain pasangan, remaja, kedua pasangan orang tua pun memiliki perbedaan. Dalam hal pengaturan emosi ketika mendengar anaknya mengalami KTD. Partisipan 1 lebih menunjukkan emosinya kepada anaknya, partisipan 2 memilih untuk menyimpan emosinya memilih untuk menyimpan emosinya dan tidak ingin mengeluarkannya untuk dilihat anaknya karena dapat menghancurkan kebehagiaan anaknya. Emosi-emosi yang muncul karena adanya berita tentang kehamilan bagi anak-anak kedua partisipan. Untuk partisipan 1, mengetahui kehamilan anaknya dari seorang pendeta, sedangkan partisipan 2 mengetahui
14
langsung dari anaknya. Dalam hal pengambilan keputusan yang diambil demi masa dapan anak-anak kedua partisipan, partisipan 1 masih membuat pilihan kepada anaknya untuk nantinya anaknya tentukan pilihan yang terbaik dan keputusan yang harus diambilnya. Sedangkan untuk partisipan 2 menyerahkan seluruh keputusan kepada anaknya dengan alasan kebahagiaan. Tidak selamanya perbedaan yang muncul bagi kedua partisipan. Adapun kesamaan yang dimiliki oleh kedua partisipan. Persamaan yang pertama, yaitu kedua remaja putri masih berada pada bangku SMA, sedangkan kedua remaja pria berada pada bangku perguruan tinggi. Karena masih duduk di bangku SMA, kedua remaja putri dengan alasan hamil memilih untuk berhenti atau putus sekolah. Kehamilan yang terjadi pun karena hubungan seksual yang dilakukan karena sama-sama dipaksa oleh pasangan mereka. Kedua partisipan mengetahui akibat dari hubungan seksual ini, akan terjadi kehamilan, tapi tetap melakukannya walaupun mereka sama-sama memiliki ketakutan akan terjadi kehamilan bagi diri mereka. Untuk kedua remaja putri ini memiliki pengetahuan yang minim tentang sistem reproduksi. Akibat KTD, kedua partisipan mengakui bahwa mereka tidak memiliki kesiapan untuk memulai hidup baru. Karena ketidaksiapan ini, keduanya memilih untuk melarikan diri dari rumah selama behari-hari. Bukan hanya kedua remaja yang memiliki kesamaan, namun kesamaan pun dapat dilihat dari kedua orang tua. Kedua partisipan pun mengaku bahwa apapun yang terbaik untuk anak-anak mereka, mereka tetap memberikan dukungan. Selain itu, mereka pun memiliki perasaan yang sama ketika mengetahui anak mereka mengalami KTD. Dengan kehadiran cucu, mereka menganggap cucu sebagai sumber kebehagiaan sehingga
15
berdampak pada kesibukan mereka sehari-hari. Yang terakhir, kedua partisipan dalam menghadapi stigma masyarakat adalah membiarkan saja, tidak peduli dengan pandangan orang terhadap diri mereka dan menyerahkan semuanya kepada Tuhan biar Tuhan yang membalas semuanya. Pandangan Mengenai Kebahagiaan Kedua partisipan memberikan penilaian mereka atas kebahagiaan dan hal-hal apa saja yang dapat membuat mereka bahagia. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi terhadap kedua partisipan, diketahui bahwa penilaian kebahagiaan yang mereka miliki terkait dengan pengalaman-pengalaman hidup yang mereka alami. Penilaian mengenai kebahagiaan dimana hal-hal yang membuat partisipan 1 menilai bahwa dirinya bahagia yaitu dukungan, kebersamaan, perhatian, kasih sayang dan semangat untuk tetap bertahan hidup adalah keluarga. Walaupun ada diantara keluarga yang sudah tiada atau mengecewakan anggota keluarga yang lainnya, tetapi kebahagiaan yang dimilikinya tidak akan hilang. Hal ini karena keluarga merupakan sumber kebahagiaan baginya, sehingga ketika bersama dengan keluarga dia dapat merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya. Sedangkan inti dari kebahagiaan yang partisipan 2 rasakan adalah ketika dirinya berada bersama-sama dengan orang-orang yang dapat menjadikan dirinya memiliki kebanggan tersendiri dalam hidupnya. Baik itu keluarga ataupun sahabat dan teman. Dimana ketika bersama mereka, ada kebahagiaan yang mereka miliki. Satu hal yang harus diketahui bahwa apapun itu bagi orang tua, anak-anak adalah sumber kebahagiaan orang
16
tua partisipan 2 (hal ini dapat dirasakan oleh partisipan 2 baik itu orang tua ataupun pasangan remaja yang juga telah menjadi orang tua). Pandangan Mengenai Kepuasaan Hidup Setiap partisipan menilai diri mereka masing-masing seberapa besar mereka merasa puan dengan kehidupan mereka yang mereka jalani saat ini. Kedua patisipan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda terhadap hidup mereka. Partisipan 1 menekankan bahwa dirinya merasa tidak puas dengan hidup yang dijalaninya saat ini, sedangkan partisipan 2 merasa pada tingkat yang kurang puas. Penilaian mengenai kepuasaan hidup dan hal-hal yang membuat partisipan menilai mereka puas akan hidup dapat dilihat dari: partisipan 1 yang mengungkapkan dirinya merasa tidak puas dengan hidup yang dialaminya saat ini. Ketika masalah dating dalam hidupnya, dia merasa tidak puas dengan apa yang saat ini ia dapatkan. Dia mengaku gagal menjadi yang terbaik untuk setiap anggota keluarganya. Dia pun juga gagal membahagiakan orang- orang yang mencintainya. Bahkan ia pun kadang menyalahkan dirinya kalau dirinya tidak berguna. Sedangkan partisipan hidup partisipan 2 adalah merasa kurang puas dengan kehidupannya saat apa yang terjadi saat ini. Namun, di saat-saat tertentu, dia merasa cukup puas dengan dirinya. Bahkan, bukan hanya mengenai penilaian terhadap dirinya sendiri tetapi perekonomian dan pekerjaan pun turut mempengaruhi kepuasaan hidupnya.
17
Pandangan Mengenai Kualitas Hidup Kualitas hidup partisipan 1 dapat dikatakan tidak maksimal atau tidak terlalu baik. Hal ini dipengaruhi oleh masalah yang dihadapi. Namun, harapan dan skill yang dimili ternyata dapat mengubah hidupnya menjadi baik. Walaupun banyak kekecewaan, tapi dia tetap merasa bersyukur karena antar anggota keluarga memiliki sikap kepedulian yang tinggi, yang secara langsung mempengaruhi semangat hidupnya. Selain hubungan dengan keluarga, kualitas hidupnya pun dipengaruhi oleh kualitas hubungannya dengan Tuhan, karena apapun yang terjadi dirinya tetap menyerahkan semuanya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Sedangkan kualitas hidup yang dirasakan oleh partisipan 2, dirinya merasakan memiliki kualitas hidup yang cukup baik karena dalam hal tersulit apapun, dia mampu manafkai keluarga. Selain itu, dengan kehadiran seorang anak dalam hidupnya, membuat dirinya memiliki kualitas hidup yang baik serta semangat untuk mencapai harapan hidup yang dimiliki olehnya yaitu memperbaiki setiap kesalahan dan menjadi yang lebih baik untuk keluarga tercinta. PEMBAHASAN Fokus dari penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana KTD mempengaruhi subjective well-being yang dialami oleh partisipan. Proses wawancara untuk mendapatkan data di dalam penelitian ini, dilakukan dengan menggunakan bahasa Melayu Ambon atau bahasa percakapan sehari-hari masyarakat Ambon yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Selanjutnya untuk mendapat pemahaman yang luas mengenai subjective well-being maka akan dikaji berdasarkan aspeknya yang meliputi pandangan mengenai
18
kebahagiaan, pandangan mengenai kepuasan hidup, dan pandangan mengenai kualitas hidup yang dialami oleh pasangan remaja yang mengalami KTD dan orang tua dari remaja tersebut. Pandangan Mengenai Kebahagiaan Dari kedua partisipan di atas, dapat dilihat bahwa peran keluarga merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan partisipan yang kemudian digunakan untuk menilai kebanggaan
dan
kebahagiaan
(happiness).
Talo
(2003)
dalam
penelitiannya
mengungkapkan bahwa keluarga merupakan salah satu faktor penting yang berkaitan dengan subjective well-being seseorang. Sedangkan Wallis (2005), mengungkapkan bahwa individu akan bahagia apabila mereka berhubungan dengan keluarga dan sahabat mereka. Melihat latar belakang kedua partisipan yang mengalami situasi tersulit ketika keduanya harus menghadapi hal-hal yang tersulit dalam kehidupan mereka, keluarga merupakan peran penting dalam kehidupan mereka, sehingga membuat mereka tidak merasa berjalan sendiri dalam setiap masalah yang mereka rasakan. Hal ini dilihat dari penghayatan mereka yang menjadikan keluarga sumber kebahagiaan ketika berkumpul bersama dan keluarga selalu mendukung dalam hal apapun. Apapun yang menjadi keputusan dan apapun yang menjadi kekurangan dan kelemahan setiap anggota keluarga harus diterima bukan ditolak. Hal ini terlihat dari percakapan partisipan yang menyatakan bahwa keluarga merupakan sumber kebahagiaan bagi setiap anggota keluarga khususnya bagi partisipan 1:
19
“Bahagia ketika dulu masih bersekolah. Masih bisa sama teman-teman saya. Masih bebas mau melakukan apa saja. Bahagia juga ketika selalu dimanjakan oleh orang tua. Semuanya membuat saya bahagia.” “Pengalaman yang membuat tante bahagia itu keluarga tante. Om, Q, W dan O, merekalah kebahagiaan tante. Bersama mereka tante selelu meresa bahagia.” Sedangkan untuk P2 juga menyatakan hal yang sama, bahwa keluarga merupakan sumber kebahagiaan, hal ini terlihat dari ungkapan setiap partisipan: “Kemudian kalau sesudah menikah ini, suami dan anak-anak adalah kebahagiaan saya, saya selalu merasa bahagia jika bersama-sama mereka.” “Bahagia itu, ketika om melihat anak-anak om bahagia.” Namun penilaian mengenai kebahagiaan tidak saja dilihat dari peran keluarga tapi dari beberapa faktor-faktor lain seperti pekerjaan, pendapatan dan kesehatan. Jika berbicara mengenai pendapatan dan pekerjaan, antara kedua partisipan memiliki perbedaan bgitupun dengan tingkat pendapatan mereka. Partisipan 1 sebagai ayah memiliki pekerjaan yang lebih baik dalam arti memiliki pekerjaan tetap dan penghasilan yang cukup untuk dapat menafkahi keluarganya. Dibandingkan dengan partisipan 2 memiliki pekerjaan seorang nelayan yang harus bergantung pada cuaca dan keadaan laut yang tidak menentu sehingga menghasilkan pendapatan yang tidak menentukan. Karena pekerjaan seorang PNS dan nelayan adalah pekerjaan yang berbeda. Begitupun hal nya antara kedua partisipan bagi remaja pria. Partisipan 1 masih melanjutkan sekolah, belum dapat menghasilkan uang untuk keluarga kecilnya, sedangkan partisipan 2 telah berhenti kuliah dan memilih untuk bekerja demi menghidupi anak dan istrinya. Dalam kehidupan sehari-hari kedua partisipan berusaha untuk dapat menjadi yang terbaik dan mampu untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Partisipan 1 sebagai seorang
20
ibu memiliki pekerjaan yang sama yaitu sebagai seorang ibu rumah tangga. Namun bagi kedua partisipan remaja wanita memiliki keinginan tersendiri. Partisipan 1 memiliki harapan untuk menyelesaikan sekolahnya dengan mengikuti paket C kemudian bisa bekerja. Berbeda dengan partisipan 2, memilih untuk tidak melanjutkan sekolahnya tetapi memilih untuk membuka usaha untuk pendapatan tambahan bagi keluarganya. Meskipun pekerjaan dan pendapatan tidak selalu berelasi secara kuat dengan kebahagiaan namun beberapa penelitian mengungkapkan bahwa status seseorang bekerja atau tidak, akan mempengaruhi tingkat kebahagiaan. Individu yang bekerja akan cenderung lebih bahagia dibandingkan dengan individu yang tidak bekerja (Argyle, dalam Putri, 2009). Selain itu, pekerjaan dan pendapatan berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan pribadi serta dinilai bisa „melindungi‟ individu dan keluarga dari situasi yang tidak diharapkan seperti penyakit dan kecemasan (Compton, 2005). Dari kedua partisipan diatas, bisa dilihat bahwa keadaan ekonomi menjadi satu hal yang penting dalam menilai kebahagiaan. Hal ini bisa dilihat dari anak yang dilahirkan dari pasangan remaja tersebut dapat mempengaruhi keadaan ekonomi keluarga. Dimana biaya pengeluaran semakin bertambah. Mulai dari persiapan sebelum melahirkan sampai melahirkan . hal ini dirasakan oleh partisipan 1 karena dirinya yang masih bergantung pada orang tua dan pasangannya juga yang masih berkuliah dengan biaya orang tua. Sehingga dirinya harus dapat menahan setiap keinginan. Begitupun juga partisipan 2 yaitu remaja pria memilih untuk berhenti kuliah dan bekerja agar dapat menghidupi istri dan anaknya, Karena dirinya tidak ingin bergantung pada orang tuanya yang telah banyak berkorban.
21
Pandangan Mengenai Kepuasan Hidup Konsep mengenai kepuasan hidup ini merupakan penilaian individu terhadap halhal yang menurutnya penting sehingga sangat subjektif. Dari kedua partisipan terlihat bahwa kedua partisipan memiliki kesamaan yaitu mengenai diri mereka yang tidak berguna dan kurang menjadi yang terbaik untuk orang-orang di sekeliling mereka dan diri mereka sendiri, sehingga mereka cenderung menilai hidup mereka tidak puas. Hal ini dapat dilihat dari pengertian kepuasan hidup atau (life satisfaction) yang merupakan penilaian global tentang
kualitas
hidup
individu.
Individu
dapat
menilai
kondisi
hidupnya,
mempertimbangkan pentingnya kondisi-kondisi ini, dan mengevaluasi kehidupan mereka pada skala yang berkisar dari tidak puas sampai puas (Putri, 2009). Penilaian kepuasan hidup berbeda dari satu kebudayaan dengan kebudayaan lain bahkan pada tingkatan individual. Hal ini terjadi karena adanya kriteria-kriteria yang berbeda-beda pada satu kebudayaan dengan kebudayaan lain maupun dari satu individu dengan individu lain. Ini merupakan sebuah keuntungan karena pada akhirnya tingkat kepuasan hidup yang dirasakan individu benar-benar bersumber dari perspektif individu itu sendiri (Diener, Scollon, dan Lucas, 2003). Pernyataan yang keluar dari setiap partisipan yang cenderung menilai hidup mereka tidak puas yaitu bagaimana mereka menilai diri mereka sendiri. “Kalau saat ini saya memandang diri saya gagal menjadi anak kebanggaan kedua orang tua saya. Saya pun belum dapat menjadi suami yang baik dan orang tua yang dapat memenuhi seluruh kebutuhan istri dan anak saya.” “Kalau dalam hal ini tante meresa kurang berhasil menjadi orang tua dalam menjaga anak-anak tante”
22
Sama halnya dengan partisipan 1, partisipan 2 pun merasa tidak puas dengan dirinya, namun ada hal-hal, dimana dia merasa lebih baik. Hal inilah yang membedakan keduanya. Dimana partisipan 1 cenderung menilai diri mereka tidak puas dalam banyak hal. Namun bagi partisipan 2 ada hal-hal yang cukup membuat mereka menjadi puas. “Ya cukup puas kak. Walaupun tidak bisa mencapai kesuksesan tapi bersyukur saja kak. Mungkin satu hal yang tidak membuat saya tidak puas yaitu menyia-nyiakan masa muda saya. Ketika teman-teman saya sedang menikmati masa muda mereka, saya harus menjaga anak dan melayani suami di rumah. Itu sih kak yang menjadi penyesalan saya.” “Kalau tante memandang diri tante, mungkin kurang menjadi orang tua yang baik dalam mendidik anak-anak. Sehingga O harus seperti itu.” Jadi, untuk setiap partisipan beranggapan bahwa menjadi yang terbaik bagi orang tua atau orang tua terhadap anak serta keadaan ekonomi dan pekerjaan pun besar pengaruhnya terhadap kepuasan hidup seseorang. Bahkan hal yang sedikit berpengaruh untuk kepuasan hidup setiap partisipan adalah stigma masyarakat dan orang-orang terdekat seperti teman-teman dan lingkungan tempat tinggal partisipan. Pandangan Mengenai Kualitas Hidup Penilaian terhadap kualitas hidup merupakan penilaian individu terhadap keseluruhan aspek dalam hidupnya. Kedua partisipan dapat dilihat bahwa setiap mereka memiliki kualitas hidup yang tidak maksimal atau berada dalam keadaan cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari hidup mereka yang dimana bagi mereka belum dapat menjadi yang terbaik untuk keluarga. Selain itu masih bergantung pada orang tua. Juga keadaan ekonomi yang berada dalam taraf kurang atau rata-rata. Kualitas hidup yang buruk ketika sesuatu terjadi di luar harapan setiap partisipan. Apalagi sebagai orang tua hanya merasa megah
23
ketika anak-anaknya dapat bersekolah, bukan dalam keadan KTD. Sadar tak sadar sangat mempengaruhi kualitas hidup setiap partisipan. “Maksudnya dari hari ke hari saya merasa lebih baik kak. Karena tidak ada lagi tekanan yang saya rasakan. Serta dukungan keluarga yang luar biasa yang juga membuat saya menjadi lebih baik.” Ditambah lagi dengan stigma masyarakat yang negative yang membuat setiap partisipan menjadi malu. Hal ini sangat mempengaruhi kualitas hidup partisipan. Namun, mereka merasakan hidup yang lebih bermakna ketika mereka dapat menyerahkan setiap persoalan kepada Tuhan dan berusaha mengubah hidup mereka menjadi lebih baik. Penilaian kualitas hidup baik partisipan 1 dan 2, merupakan penilaian kualitas hidup yang didasarkan oleh faktor internal sehingga lebih bersifat pribadi. Veenhoven (2000) dalam penelitiannya mengenai konsep kualitas hidup mengemukakan bahwa kemampuan individu dalam mengatasi masalah dalam hidupnya merupakan salah satu factor yang menentukan dalam menilai kualitas hidup. Perspektif ini kemudian menempatkan bahwa factor-faktor psikologis sangat penting dalam membahas penilaian seseorang mengenai kualitas hidupnya. Penilaian ini dapat menentukan kesejahteraan hidup (subjective well-being) (Malkoç, 2011). Dengan demikian kesejahteraan hidup (subjective well-being) dapat dianggap sebagai suatu kerangka untuk setiap penilaian yang dilakukan oleh setiap individu dalam kehidupan mereka (Diener, 2006 ; Diener, Oishi and Lucas, 2003).
24
KESIMPULAN Setelah menganalisa aspek subjective well-being yang terdiri dari kabahagiaan, kepuasaan hidup dan kualitas hidup pada remaja dan orang tua sebagai partisipan dalam penelitian ini, maka bab ini akan dipaparkan kesimpulan dan hasil penelitian mengenai subjective well-being remaja yang mengalami KTD juga kedua orang tua remaja tersebut. Bagian ini akan diakhiri dengan saran bagi remaja, orang tua danpenelitian selanjutnya.
Kesimpulan 1. Dari aspek kebahagiaan, kedua partisipan mengaku bahwa kebahagiaan dalam hidup mereka adalah keluarga. Hubungan yang dibangun antar anggota keluarga seperti saling mendukung, perhatian dan cinta kasih menimbulkan kebahagiaan yang besar bagi setiap mereka. Bagi orang tua, anak-anak adalah kebahagiaan mereka. Untuk pasangan remaja, keluarga kecil serta anak yang dilahirkan adalah sumber kebahagiaan bagi mereka. Sehingga peran keluarga yang mereka nikmati saat ini menjadikan kebahagiaan yang besar bagi hidup mereka. Selain faktor keluarga dalam aspek kebehagiaan ini, faktor lain pun seperti ekonomi dan pernikahan pun turut mempengaruhi kebahagiaan partisipan. Berbicara mengenai faktor ekonomi, partisipan 1 memiliki keadaan ekonomi yang lebih baik di bandingkan dengan partisipan 2, sehingga mempengaruhi kebahagiaan mereka dalam menafkai keluarga. Dan untuk pernikahan, kedua partisipan mengaku bahwa, mereka merasa bahagia dengan pernikahan yang dijalankan. Dengan adanya pernikahan maka akan mengurasi stigma masyarakat terhadap keduanya.
25
2. Jika dilihat dari aspek kepuasaan hidup, kedua partisipan mengaku bahwa kepuasaan hidup mereka masih rendah. Mereka menganggap bahwa diri mereka yang tidak berguna. Hal ini tercermin dari pasangan remaja sebagai anak yang menganggap dirinya tidak berarti, tidak dapat membahagiakan kedua orang tuanya dan menjadi yang terbaik bagi mereka. Sedangkan untuk orang tua menganggap diri mereka sebagai orang tua yang gagal dalam mendidik, menjaga dan membesarkan anak-anak mereka. Selain itu faktor yang mempengaruhi kepuasaan hidup mereka adalah relasi sosial yang positif dengan orang-orang disekitar mereka, seperti stigma-stigma masyarakat. Keduanya mengaku bahwa mereka menjadi malu dengan stigma masyarakat. 3. Kualitas hidup yang dirasakan oleh setiap partisipan saat masalah KTD yang dialami, mereka akui bahwa mereka memiliki kualitas hidup yang tidak maksimal.
Namun
dengan adanya kejadian tersebut, membuat hubungan setiap anggota keluarga menjadi lebih baik. Sikap saling mendung, perhatian dan saling mendoakan tercermin dari setiap anggota keluarga, sehingga membuat kualitas hidup mereka meningkat menjadi lebih baik. Skill, harapan dan tujuan hidup yang ingin dan sudah mereka capai, menjadikan mereka lebih baik. Kehadiran seorang anak atau cucu yang merupakan anugerah Tuhan menjadikan kualitas hidup mereka yang meningkat. Hal terpenting yang turut mempengaruhi kualitas hidup setiap partisipan yaitu kualitas hubungan mereka dengan Tuhan. 4. Dampak KTD bagi keluarga tercermin dari, rasa malu orang tua ketika anaknya mengalami KTD, nama baik keluarga menjadi tersemar, kelahiran sang anak berdampak pada kesibukan sehari-hari, selain itu keadaan ekonomi atau kebutuhan ekonomi akan semakin meningkat.
26
Saran 1. Bagi para remaja lebih dapat lagi memperhatikan kasus seperti KTD ini. Agar tidak banyak terjadi dalam kehidupan jaman yang semakin modern ini. Karena secara tidak langsung KTD ini dapat mempengaruhi subjective well-being seseorang. Khususnya bagi para remaja yang sedang berada di bangku pendidikan dan belum mencukupi umur, untuk membangun suatu rumah tangga. 2. Bagi orang tua, agar dapat memperhatikan anak-anaknya agar tidak mengalami KTD yang akan berdampak pada keluarga terkhususnya orang tua.
27
DAFTAR PUSTAKA Badan Koordinasi Keluarga beencana nasional (BKKBN). (1988). Pendewasaan usia perkawinan. Jakarta Compton, W. C. (2005). An introduction to positive psychology. Belmont, CA: Thomson Wadsworth. Concecaio, P. & Bandura, R. (2000). Measuring subjective well-being: summary review of the literature. United Nation Development Programme (UNDP), New York office of development studies. Diakses pada tanggal 14 Januari 2014 dari http://web.undp.org/developmentstudies/researchpapers.html#2008 Diener, E. (2000). Subjective well-being: the science of happiness and a proposal for a national index. Journal American Psychologist, 55, 34-43. Diener, E., Oishi, S, & Lucas, R. E. (2003). Personality, culture and subjective well-being: emotional and cognitive evaluations of life. Annual Reviews Psychology, 54, 403425. Diener, E., Ryan, K. (2008). Subjective well-being : a general overview. South African Journal of Psychology, 39 (4), 391-406. Diener, E. (2009). Assesing subjective well-being: progress and oppurtunity. Dalam Diener, E., Glatzer, W., Moum, T., Sprangers, M. A. G., Vogel, J., & Veenhoven, R. (Eds.), Assesing well-being (25-65). New York: Springer. Geldard, K., & Geldard, D. (2010). Konseling remaja: pendekatan proaktif untuk anak muda. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Geldard, K., & Geldard, D. (2011). Konseling keluarga: membangun relasi untuk saling mendirikan antar anggota keluarga. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Herdiansyah, H. (2010). Metodologi penelitian kualitatif. Jakarta: Salemba Humanika. Khisbiyah, Y., Murdijana, D., &Wijayanto. (1997). Kehamilan tak dikehendaki di kalangan remaja. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada. Maxson, P., & Miranda, M. L.(2011).Pragnancy intention, demographic difference, and Psychosocial Health. Journal of Women’s Health, 20,1215-1222.
28
Nugraheni, C. (2006). Penyesuaiam diri remaja putri yang menikah akibat hamil pranikah dan faktor yang melatar belakangi.Skripsi (tidak diterbitkan). Salatiga : Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana. Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Human development. Edisi ke 10. Jakarta: Selemba Humanika. Pattihahuan, R. M. (2012). School Connectedness dan dukungan sosial teman sebaya sebagai prediktor subjective well-being siswa SMA Negeri 1 Ambon.Thesis (tidak diterbitkan). Salatiga : PPs Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana. Primardi, A., Hadjam, M. N. R. (2010). Optimisme, harapan, dukungan social keluarga, dan kualitas hidup orang dengan epilepsy. Jurnal Psikologi. 3. 123-133. Putri, A. M. (2009). Kebahagiaan dan kualitas hidup penduduk Jabodetabek (studi pada dewasa muda bekerja dan tidak bekerja). Skripsi (tidak diterbitkan). Depok : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Santrock, J. W. (2007). Perkembangan anak. Santrock, J. W. (2007). Remaja.
ed. Jakarta: Penerbit Erlangga.
ed. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Santrock, J. W. (2012). Life span development. Edisi terbaru. Jakarta: Penerbit Erlangga. Sari, C. P. (2008). Harga diri pada remaja putri yang telah melakukan hubungan seks pranikah. Laporan Penelitian. Jakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma. Sarwono, S. W. (2007). Psikologi remaja. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Seligman, M. (2002). Authentic happiness: menciptakan kebahagiaan dengan psikologi positif. Bandung : Mizan Pustaka. Talo, V. Y. M. E. (2013). Subjective well-being pengungsi Timor-Timur. Skripsi(tidak diterbitkan) Salatiga :Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana. Tika, L. (2008). Jurnal kualitas hidup pada wanita yang sudah memasuki masa menopouse. Laporan Penelitian. Jakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma. Trimingga, D. A. Y. (2008). Penyesuaian diri pada pasangan suami istri usia remaja yang hamil sebelum menikah. Jurnal Psikologi, 5, 154-167. Veenhoven, R. (2000) The four qualities of life. Journal of Hapiness Studies,1, 1-39.
29
Wallis, C. (2005) The new science of happiness. Diunduh pada tanggal 2 April 2013 dari http://www.authentichappiness.sas.upenn.edu/