STUDI KUALITATIF PENGARUH PERCEIVED BEHAVIOR CONTROL TERHADAP MINAT BIDAN MELAKUKAN KONSELING KTD PADA REMAJA DI KOTA MALANG An Nisa Fithri1) Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendedes, Jl R. Panji Suroso No 6 Malang Email :
[email protected]
ABSTRAK Kehamilan tidak diinginkan (KTD) menjadi fenomena dikalangan remaja, sebagai dampak dari perilaku seks bebas dikalangan remaja. Kurangnya pengetahuan, perasaan bersalah, takut atau paksaan dari pasangan menjadi alasan remaja untuk melakukan aborsi tidak aman. Remaja pada kondisi ini sangat memerlukan dukungan. Bidan sebagai ujung tombak pelayanan diharapkan mampu memberi konseling pada remaja. Penelitian ini bertujuan menggali pendapat bidan mengenai kedalaman perceived behavior control terhadap minat bidan dalam melakukan konseling KTD pada remaja. Desain penelitian adalah Kualitatif. Paradigma penelitian adalah Interpretativism, dilakukan dengan cara wawancara mendalam. Penelitian dilakukan pada bidan anggota Ikatan Bidan Indonesia Kota Malang bulan September-Oktober 2015 pengambilan sampel penelitian kualitatif dengan cara purposive sampling. Penentuan subjek penelitian kualitatif ini dimaksudkan untuk mendapatkan perspektif yang lebih bervariatif tentang perceived behavioral control terhadap minat bidan melakukan konseling KTD. Peneliti menetapkan sampel jenuh apabila pada saat proses kodingnya sama, sampel jenuh didapatkan dengan jumlah 11 partisipan. Analisis data pada penelitian ini menggunakan content analysis. Hasil penelitian kualitatif minat bidan melakukan konseling kehamilan tidak diinginkan terkait Perceived behavioral control tentang minat bidan melakukan konseling KTD pada remaja, dipengaruhi oleh control belief dan power belief. Keyakinan kontrol (control belief ) mengenai hambatan melakukan konseling KTD adalah keterampilan yang dimiliki, keterbatasan waktu, fasilitas ruangan konseling, dan kebijakan publik mengenai konseling KTD. Simpulan: perceived behavioral control memengaruhi minat bidan melakukan konseling kehamilan tidak dinginkan pada remaja. Bidan mempunyai minat yang cukup baik untuk melakukan konseling kehamilan tidak diingikan pada remaja namun aspek-aspek yang mendukung kemudahan bidan melakukan konseling tidak ditunjang oleh kebijakan maupun fasilitasnya. Perlu penguatan kontrol perilaku/PBC dengan meningkatkan pengetahuan bidan dan kebijakan teknis mengenai pelaksanaan konseling KTD pada remaja.
Kata kunci: Minat, Perceived Behavior Control, Kehamilan tidak diinginkan, Remaja
Latar Belakang Data demografi di seluruh dunia memperlihatkan peningkatan jumlah penduduk usia remaja, demikian juga data yang dipublikasikan oleh World Health Organization (WHO) pada bulan Mei 2014, menyatakan hampir 1 dari 5 orang penduduk dunia adalah remaja, artinya
1,2 miliar orang di seluruh dunia berusia 10–19 tahun.1 Meningkatnya jumlah penduduk usia remaja berdampak pada bertambahnya masalah kesehatan reproduksi remaja. Hasil sensus penduduk tahun 2010 di Indonesia, jumlah penduduk mencapai 238,6 juta jiwa, 64 juta jiwa atau 26,67%
adalah remaja. Permasalahan yang hampir sama dengan negara berkembang lainnya yang dialami Indonesia yaitu meningkatnya angka kehamilan di kalangan remaja yang disebabkan oleh perilaku seks bebas dan pernikahan dini. Pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi yang rendah terutama dampak seks bebas meningkatkan jumlah kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) pada remaja yang sering kali berakhir dengan aborsi. 5 Hasil penelitian studi deskriptif tentang pengambilan keputusan aborsi ilegal yang dilakukan oleh remaja putri di Kota Surabaya disimpukan alasan belum siap, menutupi rasa malu, tidak mau merepotkan orangtua dan tuntutan pekerjaan.6 Keinginan pasangan memaksa melakukan aborsi menjadi alasan lain yang menyebabkan keputusan remaja putri melakukan tindakan aborsi ilegal.6 Remaja yang mengalami kehamilan tidak diinginkan, memerlukan pendekatan khusus melalui konseling. Salah satu tujuan konseling pada remaja adalah untuk memberikan fakta kepada remaja agar memiliki pengetahuan dalam mengambil keputusan dengan sukarela sehubungan dengan alat reproduksi dan kesehatan reproduksinya sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan lebih bertanggung jawab.4 Hambatan pelaksanaan konseling adalah keengganan petugas kesehatan yang disebabkan oleh keterbatasan waktu dan keterampilan komunikasi,10 Perceived behavior control (PBC) dianggap paling kuat mempengaruhi minat seseorang untuk melakukan suatu perilaku. Keyakinan mengenai mudah atau sulitnya bidan melakukan konseling KTD pada remaja berkaitan dengan PBC. Kontrol perilaku dalam hal ini berkaitan dengan keyakinan bidan menguasai keterampilan melakukan konseling KTD dengan baik. Kota Malang sebagai kota pendidikan, menjadikan kota ini sebagai tujuan utama para remaja yang baru lulus sekolah menengah atas (SMA). Data
sensus tahun 2010 dilaporkan, jumlah remaja kota malang 227.187 orang, angka ini belum termasuk jumlah remaja pendatang dari luar Kota Malang. Permasalahan kesehatan yang hampir sama juga dialami remaja di Kota Malang, pergaulan seks bebas dan pernikahan dini yang menyebabkan kehamilan, bahkan sebagian besar merupakan kehamilan yang tidak diinginkan. Kondisi psikologis yang rentan, menyebabkan kebutuhan layanan konseling untuk remaja semakin meningkat. Bidan menjadi akses utama pola pencarian remaja dalam masalah kesehatan reproduksi, termasuk kehamilan yang tidak diinginkan. Berdasarkan pengalaman peneliti di lapangan, menunjukkan masih layanan konseling kehamilan dan kontrasepsi khususnya pada remaja oleh bidan masih rendah, memaksa remaja untuk melakukan tindakan aborsi ilegal. Gambaran seberapa banyak bidan yang bersedia melakukan konseling kehamilan tidak dinginkan pada remaja yang mengalami KTD dan faktor-faktor apa saja yang dapat memengaruhinya belum diketahui. Pertanyan menarik yang dapat disimpulkan dari latar belakang penelitian ini bagaimanakah minat bidan untuk melakukan konseling mengenai kehamilan tidak dinginkan pada remaja?. Bahan Dan Metode Penelitian Metode pendekatan penelitian yang digunakan yaitu metode penelitian kualitatif. Pertimbangan menggunakan metode kualitatif berdasarkan asumsi bahwa peneliti dapat menggali fenomena minat bidan dalam melakukan konseling KTD. Perspektif fenomenologi, digunakan membangun dan mengartikulasikan pemahaman secara akumulatif. Pendekatan kualitatif ini untuk mendapatkan perspektif-perspektif yang lebih luas dari informan. Metoda yang digunakan pada penelitian kualitatif ini adalah wawancara mendalam. Subjek dalam penelitian ini adalah bidan yang merupakan anggota IBI Kota Malang. Teknik pengambilan sampel penelitian
kualitatif dengan cara purposive sampling. Peneliti menetapkan subjek penelitian kualitatif sebagai berikut: bidan sebagai koordinator bidan Dinas Kesehatan Kota Malang, bidan sebagai bidan koordinator puskesmas, bidan sebagai pengurus IBI Kota malang, bidan praktek mandiri. Penentuan subjek penelitian kualitatif ini dimaksudkan untuk mendapatkan perspektif yang lebih bervariatif tentang sikap, norma subjektif dan PBC terhadap minat bidan melakukan konseling KTD. Data dalam penelitian didapatkan melalui wawancara mendalam yang dilakukan menggunakan pertanyaan open-ended. Pengolahan data dengan menggunakan langkah-langkah analisis dan interpretasi data pada penelitian kualitatif adalah transkripsi, reduksi koding dan kategorisas. Penyajian data penelitian ini dengan menggunakan bagan hubungan antar kategori Interpretasi data dapat berupa interpretasi pribadi peneliti, dengan berpijak pada pengalaman dan kemampuan pribadinya, maupun berupa makna yang berasal dari perbandingan antara hasil penelitian dan informasi yang berasal dari literatu atau teori. Hasil Penelitian Penelitian ini membahas mengenai minat bidan melakukan konseling KTD pada remaja di Kota Malang menggunakan rancangan penelitian kualitati, dikemukakan meliputi gambaran umum lokasi penelitian, karakteristik responden, deskriptif variabel dan pengaruh Percieved Behavioral Control terhadap minat bidan melakukan konseling KTD pada remaja. 1. Gambaran umum Lokasi Penelitian Kota Malang adalah sebuah kota terbesar kedua di Jawa Timur setelah Surabaya dan dikenal dengan julukan kota pelajar dengan jumlah penduduk ± 820.243 pada tahun 2010. Kota Malang merupakan kota pelajar, artinya Kota Malang menjadi kota tujuan untuk melanjutkan pendidikan baik dari luar
Kota Malang maupun luar provinsi Jawa Timur, dengan demikian jumlah remaja dengan kompleksitas permasalahannya meningkatkan, termasuk masalahmasalah kesehatan reproduksi, terutama perilaku seks bebas, kehamilan remaja bahkan kehamilan yang tidak diinginkan dan aborsi. Jumlah penduduk usia remaja ± 162.522 remaja, artinya jumlah penduduk di Kota Malang hampir 20% nya adalah remaja. 2. Karakteristik Informan Penelitian ini dilakukan pada informan yang memenuhi kriteria peneliti. Peneliti berusaha mencari informan yang berbeda jabatan maupun tempat kerjanya, Informan yang dipilih dalam penelitian ini selain praktik di pusat Kota Malang juga melibatkan informan di pinggiran Kota Malang dan padat penduduk. Informasi yang didapatkan dari bidan koordinator dinas kesehatan menjadi dasar acuan peneliti untuk memilih bidan praktik mandiri yang dijadikan informan. Peneliti juga memilih informan berdasarkan jumlah persalinan, hal ini dimaksudkan untuk melihat gambaran pemanfaatan layanan BPM ini oleh masyarakat. Fasilitas layanan BPM yang dimiliki oleh informan dalam kapasitas standar, memiliki ruang periksa, ruang persalinan dan ruang perawatan yang terhubung langsung dengan tempat tinggal informan dan keluarganya. Jam kerja rata-rata untuk pelayanan di BPM yang bidannya juga bekerja di instansi pemerintah maupun swasta mulai pagi jam 06.00 - 08.00 WIB dan sore mulai jam 16.00 -20.00 WIB. Jam pelayanan di BPM murni, artinya bidan penanggung jawabnya tidak bekerja di tempat lain waktunya lebih fleksibel sesuai kesedian bidan itu sendiri. Rata- rata lama pelayanan untuk kasus-kasus KIA antara 10 sampai 15 menit per orang. Terkait dengan kasus KTD hampir semua informan pernah mendapatkan kasus KTD pada remaja, dari beberapa kasus yang ditangani sebagian besar remaja yang mengalami KTD masih duduk di bangku SMP.
Tabel 2. 1 Karakteristik Informan No
Kode Informan
Usia (tahun)
Pendidikan
1
R :1
40
D ̶ III Kebidanan
BPM & Bidkor Puskesmas
2
R:2
48
D ̶ III Kebidanan
3 4
R:3 R:4
32 49
5
R:5
47
6
R:6
39
D ̶ III Kebidanan D ̶III Kebidanan + DIV ke bidanan pendidik. D̶ III Kebidanan +DIVke bidanan pendidik D ̶ III Kebidanan
BPM & Bidkor Dinas Kesehatan BPM BPM &Pengurus IBI
7 8 9 10 11
R: 7 R: 8 R: 9 R : 10 R : 11
51 46 46 38 45
DIII kebidanan DIII Kebidanan DIII Kebidanan DIII Kebidanan DIII Kebidanan
Berdasarkan Tabel 4.1 umur informan minimal 38 tahun maksimal 51 tahun. Tingkat pendidikan minimal D III kebidanan Maksimal D IV Kebidanan pendiddik jabatan informan mulai dari bidan koordinator dinas kesehatan sampai bidan praktik mandiri 3. Hasil Kualitatif Pengaruh Perceived Behavioral Control terhadap Minat Melakukan Konseling KTD pada Remaja. Kontrol perilaku/PBC merupakan keyakinan individu mengenai adanya kemudahan atau kesulitan dalam melakukan suatu perilaku. Perceived behavioral control ditentukan oleh keyakinan individu (control belief) mengenai faktor pendukung dan penghambat untuk melakukan suatu perilaku dengan kekuatan perasaan individu mengenai besarnya peran setiap faktor pendukung atau faktor penghambat tersebut (power control). Hasil wawancara mendalam, informan mengatakan terdapat hambatan yang dirasakan dalam memberikan konseling KTD pada remaja. namun demikian informan mempunyai motivasi untuk melakukan konseling KTD pada remaja secara optimal berdasarkan sumber daya yang dimilikinya. Pertimbangan informan untuk melakukan konseling pada remaja KTD karena ada pasien yang datang untuk melakukan
Jabatan
BPM
BPM/Pegawai RS Swasta BPM BPM/klinik swasta BPM/Puskesmas BPM/Puskesmas BPM
aborsi sehingga bidan mempunyai kesempatan melakukan konseling. Berdasarkan pernyataan informan semua bidan mempunyai minat melakukan konseling KTD pada remaja namun memiliki hambatan yaitu remaja tidak datang kembali atau tidak ada remaja yang datang untuk melakukan aborsi. Keyakinan informan mengenai adanya kesulitan melakukan konseling KTD berhubungan dengan tidak adanya kebijakan mengenai petunjuk teknis dan kesulitan mengatur waktu dengan beban kerja yang ada. Kontrol belief/PBC merupakan fungsi dari control belief dan power belief. 1) Control Belief Control belief (keyakinan kontrol) adalah keyakinan subjektif yang dirasakan oleh informan mengenai adanya faktor yang mempermudah atau mempersulit untuk melakukan suatu perilaku. Konseling KTD pada remaja pada dasarnya dilakukan oleh bidan karena tanggung jawab profesi dan kebutuhan masyarakat. Pelayanan konseling KTD pada remaja oleh informan dirasakan belum optimal karena pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki bidan dirasakan masih minim. Informan juga mengetahui bahwa, dalam memberikan konseling KTD pada remaja perlu sumber daya yang memadai, yaitu pengetahuan
dan keterampilan khusus mengenai konseling KTD. Kurangnya kemampuan komunikasi yang baik dirasakan informan sebagai hal yang mempersulit dalam melakukan konseling “...selama ini belum ada pelatihan khusus mengenai konseling, kadang-kadang saya sulit menyampaikan informasi apalagi kalau tidak di dampingi orangtua.”(Informan 4,6,8 ). Informan berpendapat mempunyai kesulitan dalam melakukan konseling KTD, karena keterbatasan informasi dan kurangnya pengetahuan mengenai KTD pada remaja sehingga tidak memiliki minat untuk melakukan konseling. “...saya merasa kurang kalau memberikan konseling buat remaja terutama yang KTD, biasanya saya sarankan mendatangi bidan X, karena selain lebih senior bidan X sering dapat kasus KTD...” (Informan 3,4) “... ada bidan sejawat lain yang merujuk remaja KTD ke saya,....” (Informan 5,7,11) Hambatan lain mengenai fasilitas ruangan khusus yang digunakan untuk melakukan konseling KTD tidak tersedia. Konseling dilakukan di ruangan pelayanan KIA. Namun demikian, informan yang memiliki kontrol perilaku yang tinggi mengatakan tetap berusaha menjaga privacy ̶ nya dengan cara mengatur jadwal pelayanan khusus konseling KTD di luar jadwal pelayanan KIA. Informan juga mengetahui fasilitas ruangan yang memadai akan membantu remaja lebih nyaman dan rileks menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan permasalahannya. Informan berpendapat fasilitas ruangan yang khusus untuk konseling pada remaja memberi kemudahan informan untuk melakukan konseling KTD. “...tidak ada ruangan khusus untuk konseling, ya di sini ini dilayaninya, bisabisanya kita aja menjaga privacy̶ nya” (Informan 2,9,11,)
Kesempatan untuk melakukan konseling KTD secara berkesinambungan dapat meningkatkan keyakinan kontrol/PBC. Namun demikian informan menyatakan seringkali kehilangan kesempatan untuk melakukan konseling KTD pada remaja secara berkesinambungan disebabkan pasien remaja tersebut tidak datang kembali. Hal ini dikatakan informan sebagai konsekuensi melakukan konseling KTD pada remaja berniat melakukan aborsi. Informan mengetahui bahwa konseling yang efektif tidak bisa dilakukan dalam sekali atau dua kali kunjungan. Perlu membina hubungan baik sebagai langkah awal melakukan konseling, s ebelum memulai pada inti permasalahannya. “...kadang pasien kalau dikasih tau ya.. kadang.. ga tau ya kadang meremehkan kadang ada yang ngga datang lagi, karena menganggap kita menggurui...”(Informan 5,8,11) Hambatan yang dirasakan informan mengenai konseling KTD belum ada kebijakan secara teknis dari organisasi profesi/IBI dan pemerintah (dinas kesehatan) yang mendukung untuk melakukan konseling KTD. Sebagian besar informan berpendapat konseling KTD pada remaja dilakukan tidak didasarkan atas tuntutan pimpinan atau teman sejawat. Konseling KTD dilakukan atas dasar tanggung jawab teradap tugas dan kebutuhan masyarakat. Belum terdapat aturan mengenai pelaksanaan konseling KTD pada remaja, tidak mengurangi minat bidan untuk melakukan konseling KTD pada remaja. Pernyataannya sebagai berikut: “...Selama ini memang yang belum ada konseling yang khusus jadi konseling khusus untuk kasus seperti ini,.... diharapkan ada dari organisasi atau dari pemerintah, yang mengatur khusus mengenai konseling,...(Informan 1,6,7,9) Pelayanan konseling KTD di puskesmas lebih sulit dilakukan karena
kebijakan institusi mengenai jadwal pelayanan tidak sesuai. Kebijakan institusi pelayanan mengenai ketidaksesuaian jadwal antara waktu pelayanan dan waktu luang yang dimiliki remaja terutama di puskesmas. Waktu luang yang dimilik remaja yang membutuhkan layanan konseling pada jam pulang sekolah, sedangkan pada jam tersebut layanan puskesmas sudah tutup. Pernyataan ini diungkapkan oleh informan sebagai berikut : “...karena keterbatasan waktu, kadang dia sekolah... harus minta izin, kita biasanya prioritaskan... komunikasikan dengan pasien juga” (Informan 1,2, 9) “...kita mau ngonselingkan cukup intiintinya saja jadi g sampe panjang lebar yang penting intinya mereka tau, selain waktu juga karena pekerjaan yang bukan hanya mengonselingi aja.... (Informan 4,6,7,8) Memberikan konseling pada remaja KTD dibutuhkan lebih banyak waktu dalam melakukan pendekatan. Ketersedian waktu yang cukup akan memberikan kesempatan pada remaja dan bidan untuk membina hubungan yang baik antara konselor dan konseli. Keyakinan informan mengenai hal yang mempermudah melakukan konseling KTD pada remaja adalah kehadiran orang tua atau pasangan selama dilakukan konseling. Informan berpendapat, remaja yang mengalami KTD dalam kondisi yang labil, pendampingan oleh orangtua atau pasangan diharapkan dapat mendukung remaja dalam mengambil keputusan yang terbaik bagi dirinya. “...Yang mempermudah, kalau si pasien ini ada dukungan dari keluraga,.. dianter keluarga... atau diantar pasangannya, itu mempermudah jadi kita bisa langsung me...nyampaikan apa-apa yang sebaiknya dia lakukan..” (Informan 2,7,9) 2) Power Belief
Power belief merupakan seberapa jauh adanya faktor tersebut memiliki kekuatan untuk mempermudah atau mempersulit melaksanakan perilaku. Pengalaman mengenai pernah atau tidak pernah melakukan konseling KTD pada remaja dapat memperkuat kontrol perilaku. Bidan yang pernah mendapatkan kesempatan (berpengalaman) melakukan konseling KTD pada remaja akan dengan mudah mengantisipasi hambatan, misalnya informan yang memiliki kontrol perilaku yang tinggi memanfaatkan sumber daya, salah satunya dengan memanfaatkan ketersediaan alat komunikasi. Penggunaan sarana komunikasi (handphone) dianggap mempermudah untuk mengantisipasi ketidaksesuaian jadwal antara jam kerja instansi khususnya puskesmas dan jam belajar klien (remaja). “...ada sih yang ke sayanya yang bikin janji datang sih...belum pernah ada yang ga datang juga cuman memang kalau ngga datang biasanya kasih alasan, kan sekarang udah ada handphone, komunikasinya gampang... disepakati lagi waktunya yang bisa” (Informan 1,4,5) Informan mengatakan kesulitan atau hambatan mengenai keterbatasan pengetahuan, fasilitas ruangan yang memadai, keterbatasan waktu dan kebijakan institusi mengenai konseling KTD dalam melakukan konseling KTD dapat diantisipasi. Informan mempersepsikan diri akan mudah melakukan konseling KTD pada remaja apabila banyak faktor pendukung dan sedikit faktor penghambat. Adanya keyakinan informan mengenai dampak yang akan terjadi apabila tidak dilakukan konseling KTD adalah aborsi ilegal. Keyakinan mengenai dampak lebih buruk yang akan terjadi pada remaja yang mengalami KTD menjadi kekuatan untuk mendorong minat informan melakukan konseling KTD dengan mengantisipasi hambatan. “...remaja...dengan KTD di usahakan jangan samapailah ada usaha untuk
menggugurkan... sebagai bidan kita... dengan konseling berusahalah untuk mencegah hal-hal tersebut,...” (Informan 3,6,11) Power control partisipan nuntuk melakukan konseling KTD pada remaja selain persepsi mengenai dampak negatif yang akan terjadi pada remja adalah rasa tanggung jawab moral dan etika profesi. Partisipan mempunyai anggapan bahwa sebagai pelayan publik (provider kesehatan) yang bertanggung jawab terhadap masyarakat khususnya perempuan melakukan konseling KTD merupakan kewajiban yang tidak bisa dihindari dari lingkup pekerjaan sebagai seorang bidan. “ Sebenarnya bu, kami ini kuranglah mendapatkan pencerahan khususnya mengenai konseling pada remaja. Kan kalau materi-materi ibu hamil dan menyusui banyak dan up date. Tapi saya berusaha menambah pengetahuan, gimana lagi bu kasusnya kan ada ya tetep saya sebagai bidan bertanggung jawab secara moral” (Informan 5, 6,8 ) “ Bagaimanapun saya harus melakukan konseling bu kalau pasiennya datang saya tidak bisa menolak, kan sebetulnya itu tanggung jawab bidan juga bu, tinggal kita pinter-pinter insya alloh berhasil bu”. (Informan, 4,10,11) Pembahasan Informasi beberapa kasus KTD yang datang ke bidan berasal dari luar Kota Malang. Dapat dipahami remaja yang mengalami KTD diluar nikah sering kali tidak mendapatkan dukungan sosial di tempat tinggalnya sehingga ada upaya untuk menutupinya dengan mencari tempat pelayanan kesehatan di luar kota.22 Orangtua dinilai paling penting untuk terlibat dalam konseling KTD karena umumnya pasangan yang terlibat dalam kehamilan tidak diinginkan adalah teman sebaya, selain itu remaja dianggap tidak
mempunyai kematangan berpikir, meskipun demikian bidan mempunyai sikap positif terhadap minat melakukan konseling KTD pada remaja. Konseling individual dengan remaja bukan merupakan satu-satunya cara untuk membantu remaja menangani masalah perilaku, psikologis dan emosional. Terapi keluarga, terapi kelompok, self help support group, atau kombinasi dari semua, bisa bermanfaat dalam membantu remaja dalam mengatasi persoalan yang 45 menyebabkan stres. Hasil wawancara mendalam pada informan. Insiden KTD pada remaja disebabkan oleh perilaku berisiko yang dilakukan oleh remaja berusia natara 10 ̶ 15 tahun, hal inilah yang menguatkan alasan bidan lebih mungkin memberikan konseling KTD pada remaja dengan didampingi orangtua. Situasi yang berbeda antara BPM dengan institusi pelayanan kesehatan terutama pemerintah kemungkinan menjadi penyebab tidak terkaitnya antara sikap dengan minat bidan melakukan konseling KTD. Bidan yang mempunyai sikap positif terhadap konseling KTD belum tentu bisa melakukan konseling KTD pada remaja pada situasi bidan tersebut tidak memegang kendali/kontrol. Kebutuhan layanan konseling pada remaja mendorong bidan untuk melakukan konseling KTD pada remaja sebagai tanggung jawab moral. Hasil wawancara dengan informan alasan remaja pertama kali datang kebidan/klinik ingin melakukan aborsi. Kekhawatiran bidan pada remaja yang berusaha mencari jalan pintas melakukan aborsi dirasakan menjadi beban dosa yang akan diterimanya. Pada dasarnya manusia merupakan makhluk berkeTuhanan.52 Artinya ada dimensi lain (norma agama) yang menggerakan bidan untuk melakukan atau tidak melakukan konseling KTD selain prediktor yang ada dalam TPB. Proposisi teoritik yang dibangun oleh peneliti kontrol perilaku mempunyai implikasi motivasional pada minat. Hal ini berkaitan dengan perasaan mudah atau
sulitnya melakukan konseling KTD pada remaja. Hasil penelitian menunjukan pengaruh norma subjektif lebih besar dari kontrol perilaku/ PBC namun demikan individu yang percaya bahwa dia tidak memiliki sumber daya atau kesempatan untuk melakukan konseling KTD pada remaja cenderung tidak membentuk minat yang kuat untuk melakukannya, walaupun bidan tersebut mempunyai sikap positif dan ia percaya bahwa orang lain akan mendukung tingkah lakunya. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian wise, dkk46 dan Abahameca dkk26 yang menyatakan bahwa selain norma subjektif, prediktor yang paling kuat mempengaruhi minat adalah kontrol perilaku/PBC. Perspektif informan mengenai PBC dalam penelitian kualitatif ini, mengungkapkan kekuatan kontrol perilaku yang dianggap mempermudah dan mempersulit dalam melakukan konseling KTD pada remaja. Keyakinan mengenai sumber daya, kesempatan, hambatan dan kesulitan berhubungan dengan minat bidan melakukan konseling KTD. Persepsi informan mengenai komponen yang mempersulit atau mempermudah melakukan konseling KTD pada remaja adalah pengetahuan, fasilitas ruangan, keterbatasan waktu, serta kebijakan pimpinan. Komponen yang mempermudah dukungan keluarga dan keyakinan menganai dampak negatif yang akan terjadi apabila tidak dilakukan konseling KTD pada remaja. Faktor yang mendukung sumber daya melakukan konseling KTD didapatkan dari pendidikan sewaktu studi di kebidanan. Konseling pada remaja berbeda dengan konseling yang dilakukan pada orang dewasa. Orang dewasa umumnya relatif memiliki kebebasan dalam membuat keputusan. Perbedaan lainnya remaja mempunyai tugas perkembangan yang berbeda. Seseorang harus memiliki kemampuan untuk memberikan konseling sesuai dengan tugas perkembangan remaja. Kemampuan ini perlu ditunjang dengan
pengetahuan dan latihan praktik melakukan konseling. Hasil wawancara mendalam pada informan belum ada ukuran standar untuk menyatakan seorang bidan mempunyai sumber daya (kompetensi) melakukan konseling KTD yang dianggap cukup berdasarkan standar pelayanan. Layanan konseling KTD pada remaja yang diberikan sebatas pengetahuan pribadi yang dimiliki. Tidak ada panduan yang jelas memberikan konsekuensi perbedaan pada hasil yang diharapkan. Hasil kualitatif menunjukkan bahwa bidan yang merasa mempunyai cukup pengetahuan dan mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik mempunyai minat untuk melakukan konseling KTD pada remaja. Permenkes No 369/MENKES/SK/III/2007 tentang Standar Profesi Bidan, menjelaskan tugas bidan dalam pelaksanaan layanan kesehatan reproduksi, salah satu sasarannya adalah remaja, tetapi dalam pelaksanaannya lebih menitikberatkan pada pelayanan kesehatan ibu dan anak. Hal ini memunculkan persepsi bahwa remaja hamil akan diberikan pelayanan yang sama termasuk dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak. Hal ini sejalan dengan aturan mengenai jam kerja pada fasilititas kesehatan Tk 1 yang tidak relevan dengan kebutuhan remaja. hasil wawancara dengan responden rata-rata kasus KTD dialami oleh remaja yang masih duduk di bangku SMP. Siswa SMP rata-rata pulang sekolah pukul 12.00 ̶ 14.00 WIB, sementara pelayanan fasilitas kesehatan tingkat 1 pada jam tersebut sudah tutup. Hal ini menjadi faktor penghambat bidan melakukan konseling KTD pada remaja. Remaja membutuhkan waktu yang khusus, bisa merasa nyaman, tidak terbebani oleh perasaan bersalah meninggalkan jam sekolah. Membangun hubungan dijadikan langkah pertama dalam konseling, karena klien dan konselor harus saling mengenal dan
menjalin kedekatan emosinal sebelum sampai pada pemecahan masalahnya. Sumber daya fisik (fasilitas ruangan) yang sesuai dengan kebutuhan konseling untuk remaja belum ada. Faktor eksternal yang memengaruhi keberhasilan konseling terdiri atas lingkungan fisik dan tempat wawancara berlangsung, penataan ruangan,dan bentuk bangunan ruang yang memungkinkan pembicaraan secara 30 pribadi. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada ruangan khusus untuk melakukan konseling pada remaja dengan KTD. Hal ini berkaitan dengan pusat layanan kesehatan reproduksi ada pada Kepala Badan Keluarga dan Pemberdayaan Masyarakat (BKBPM) Namun demikian, hasil penelusuran di BKKBN juga tidak disediakan ruangan khusus untuk konseling remaja dengan masalah khusus, seperti KTD, kegiatan kespro remaja berfokus pada kegiatan luar gedung. Hal ini menjadi faktor penghambat melakukan konseling KTD. Masalah kerahasian sangat penting bagi kesedian remaja untuk mengungkapkan diri. Fasilitas ruangan yang memadai diharapkan dapat memberikan ruang privacy bagi remaja Aksesibilitas informasi menjadi faktor yang memudahkan bidan untuk melakukan sistem janji dengan klien (remaja), hal ini memungkinkan waktu pertemuan lebih pasti dan tidak menunggu lama. Melakukan konseling pada remaja membutuhkan waktu yang memadai tidak bisa dilakukan dengan tergesa-gesa. Remaja masih berada dalam masa transisi, perlu persiapan khusus untuk melakukan konseling agar mereka menerima.52 Kesulitan lain yang dirasakan oleh bidan tidak ada aturan yang jelas mengenai konseling KTD pada remaja. Tidak ada standar kompetensi menjadi beban bidan dilema yang dihadapi untuk melakukan atau tidak melakukan konseling KTD. Disisi lain rasa tanggung jawab dan norma agama yang dimiliki bidan mau tidak mau harus dilakukan menjadi control belief yang mempermudah bidan melakukan konseling KTD pada remaja. Waktu yang
digunakan tidak sebanding dengan jasa pelayanan yang diberikan memberikan dampak ekonomi bagi bidan. Bidan yang mempunyai persepsi kontrol yang tinggi akan berusaha melakukan konseling KTD dengan sumber daya yang ada. Bidan yang cenderung tidak mempunyai minat melakukan konseling KTD tidak akan melakukan konseling tesebut. Hal ini berdampak pada risiko meningkatnya aborsi ilegal yang dilakukan oleh remaja. Remaja dalam kondisi hamil membutuhkan dukungan sosial. Simpulan dan Saran Simpulan Perceived behavioral control tentang minat bidan melakukan konseling KTD pada remaja, dipengaruhi oleh control belief dan power belief. Keyakinan kontrol (control belief ) mengenai hambatan melakukan konseling KTD adalah keterampilan yang dimiliki, keterbatasan waktu, fasilitas ruangan konseling, dan kebijakan publik mengenai konseling KTD. Namun demikian bidan mempunyai minat melakukan konseling KTD yang didasarkan pada tanggung jawab dan beban moral. Power kontrol (power belief) yang baik dapat mengantisipasi hambatan dalam melakukan konseling KTD. Saran 1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk meneliti faktor-faktor yang memengaruhi perceived behavioral control. Bidan yang mempunyai perceived behavioral control yang baik cenderung membantuk minat yang kuat melakukan konseling KTD pada remaja, walaupun bidan mempunyai sikap negatif dan percaya bahwa orang lain akan mendukung tingkah lakunya. 2. Meningkatkan kompetensi bidan melalui pelatihan khiususnya mengenai konseling KTD dengan dukungan pemerintah/dinas kesehatan. 3. perlu dibuat kebijakan teknis yang mengatur standar pelayanan konseling pada remaja untuk meningkatkan power control bagi bidan di Kota Malang.
4. Organisasi profesi (IBI) diharapkan dapat meningkatkan dukungan kepada bidan melalui aksesibilitas informasi serta pelatihan mengenai konseling KTD pada remaja untuk menunjang kompetensi bidan dalam melakukan konseling KTD pada remaja.
5. Bidan perlu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan tentang konseling KTD dari berbagai sumber informasi guna meningkatkan perceived behavioral control serta memberikan pelayanan yang profesional kepada remaja.
DAFTAR PUSTAKA WHO. Developing a Report “Health for the World’s Adolescent”;2013 Wisnu, 3,2 Juta Remaja Lakukan Aborsi Berbahaya. Melalui:
20/11/2013] Kusmiran Eny. Kesehatan Reproduksi Remaja dan Wanita. Jakarta: Salemba; 2012 Sulistiyowati. Pola Pencarian Pengobatan dan Perilaku Berisiko Remaja Indonesia (Analisis lanjut data Riskesdas 2007). Jurnal Ekologi Kesehatan;2010 Coleman PK. Resolution of Unwanted Pregnancy During Adolescence Through Abortion Versus Childbirth: Individual and family predictors and Psychological Consequences. J Youth Adolesence. 2006;35. Hendriati agustiani. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Refika Aditama; 2006. Population Reports. Maryland 21202 USA: Info Project,; 2006. Saputrohayat. Perilaku Seksual dan Aborsi. Jurnal Psikologi. 2012 Prayitno, Erman Amti. Bimbingan dan Konseling. Jakarta: PT Rieneka Cipta; 2004. Basuki Endang S. Konseling Medik Kunci Menuju Kepatuhan Pasien.Majalah Kedokteran Indonesia. Ikatan Dokter Indonesia. Yayasan penerbitan ;2009 Suryosaputro,A.,Ford, Nicholas,J.,Shaluhiyah,Z. Faktorfaktor yang Mempengaruhi Perilaku
Remaja di Jawa Tengah. Semarang: Makara Kesehatan;2012 Ajzen, I., & Driver, B. L. Prediction of Leisure Participation from Behavioral, Normative, and Control Beliefs: An application of the Theory of Planned Behavior.Leisure Sciences,. 1991;13, 185–204 Machrus,H.,Purwono,U. Pengukuran Perilaku berdasarkan Theory of Planned Behavior. Surabaya;Jurnal Unair 2012 Neila Ramdhani » A Mathematical Model to Predict Behavior Melalui: [ 17/12/ 2013] Azwar, Saifudin. Sikap Manusia dan Teori Pengukurannya. 2nd ed. jogjakarta: Pustaka Pelajar:2003 Zuriah. Penelitian Tindakan Dalam Bidang Pendidikan dan Sosial. Malang: BanPublishing; 2003. Yusuf S. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT Remaja Rosdakarya;2006 Notoatmodjo S. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT Rieneka Cipta; 2012. QuistionareTPB.Melalui: [17/12/2013]. Ajzen. TPB Reference. Melalui [7/2/2014] Ajzen,I. Attitudes, Personality and Behavior. New York: Open University Press; 1991
An application of the TPB on Nursemidwives’ Intentions to Counsel and Prescribe Emergency Contraception - ProQuest ;2007 Smith. Exploring Ethical DecisionMaking among Graduate Assistans Appliying the Theory of Planned behavior. American Psychological Association, 6th edition; 2013 Abamecha Fira, Godesso Ameyu and Girma Eshetu, Intention to Voluntary HIV Counseling and Testing (VCT) among Health Professionals in Jimma Zone,Ethiopia: the TPB(TPB) perspective. BMC Public Health; 2013:13-140 Nuihsan A Juntika. Bimbingan dan Konseling. Bandung: PT Refika Aditama; 2011. Santrock, J. "Adolescence" Perkembangan Remaja . keenam. Jakarta: Erlangga; 2003. Yulifah R, Yuswanto. Komunikasi dan Konseling dalam Kebidanan. Jakarta: Salemba; 2009. Surya Muhamad. Teori - Teori konseling. CV Pustaka Bani Quraisy; 2003. Tyastuti, dkk. Komnikasi dan konseling Kebidanan. Jogjakarta: Fitramaya; Winkel. Bimbingan dan konseling di institusi pendidikan. Jakarta: PT Grasindo; 1991. Saidgh,Gilda.,Blankole.,Akrinikola "Unwanted Pregnancy and Associated Factors Among Nigerian Women"Journal Of ProQuest ;2006 Chen, Mary "Unwanted Pregnancy can be deadly". Journal ProQuest;2003 Hermiyati sri A, haan de Frits. "Pedoman Perencanaan Program Kesehatan Remaja bagi Tim Kabupaten Kota". Direktorat Kes Ga Dep Kes. RI;2005. Edward, G. Byrom, S. Essential Midwifery Practice : Public Health. Jakarta: EGC; 2010. Ikatan Bidan Indonesia - (Indonesian Midwives Association) Melalui: 19 Nov 2013
Permenkes Nomor 369/Menkes/SK/III/2007 Tentang Standar Profesi Bidan Chaniago A Y. Kamus Lengkap Bahasa INdonesia. Bandung: Pustaka Setia; 2002. Koentjoroningrat. Metode-metode Penelitian masyarakat. Jakarta: Pustaka Jaya; 1990. Degeng I nyoman S. Media Pendidikan. Malang: FIP IKIP; 1993. Siagian S. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara; 2008. Alwi H. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka; 2007. Babrow,A.S, Black,D.R., Tiffany, ST. Beliefs, attitudes, intentions, and a smoking cessation program: A planned behavior analysis of commucation campaign development. Health Comunication; 2000. Schomerus G, Matschinger H, Angermayer M. Attitude that Determine Willingnes to Seek Psychiatric Help for depression : a representative population survey applying the theory of planed behavior. Psychol Med. 2009 Apr;39. Wise daniel, Goggin kathy, et al Predicting Intentions to use Condoms Using Gender Sexual Eexperience, and the Theory of Planned behavior. Am J Health Educ. 2006 agustus;4:210. DuBay D, Ivankova N, Herby I, Kohler C. African American Organ Donor registration a mixed methods Using The theory of Planne behavior. Am Assoc Crit-Care Nurses. 2014 Sep;24:237–82. Astrom,A.N., Mwangosi, I.E. Theachers’ intention to provide dietary counseling to Tanzania primary school. American Journal of health Behavior; 2000.
Neuman W. Social Research Methods : Qualitatif and Quantitatif Approach. Boston: Allyn and Bacon; 2003. Creswell JW. Research Design. Pendekatan kualitatif, kuantitatif, Mixed. Terjemahan Achmad
.
Fawaid.Yogyakarta Pustaka Pelajar; 2009. Geldard, K. Counselling Adolescents. Queensland, Australia: Sage Publication.Inc: 2010 Gerungan.. Psiologi Sosial. Bandung: PT Refika Aditama: 2004