BAB I SEJARAH PERKEMBANGAN PETERNAKAN SAM PERAH 2 Subandriyo I dan Adiarto 'Balai Penelitian Ternak, Ciawi-Bogor 2 Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
I.
PENDAHULUAN
Perkembangan peternakan sapi perah di Indonesia tidak terlepas dari sejarah perkembangannya dan kebijakan pemerintah sejak zaman Hindia Belanda . Usaha peternakan sapi perah pada awalnya dimulai untuk memenuhi kebutuhan orangorang Belanda dan diusahakan oleh nonpribumi, dan barn pada tahun 1925 diperkirakan berdiri perusahaan sapi perah pribumi yang pertama (Prawirokusumo, 1979) . Sementara itu, peternakan rakyat sapi perah tumbuh sejak zaman pendudukan Jepang dan Revolusi Fisik Kemerdekaan Indonesia (1942-1950), karena pada saat itu perusahaan sapi perah terbengkalai dan ditinggalkan pemiliknya . Sapi perah yang ada sebagian dipotong dan sebagian lagi sempat tersebar di kalangan rakyat . Di antaranya ada yang berkembang biak dan menjadi titik tolak tumbuhnya peternakan rakyat sapi perah (Dasuki, 1983 ; Soehadji, 2009) . Perkembangan peternakan sap] perah selanjutnya mengikuti kebijakan pemerintah . Pada kurun waktu antara 19501961-pada periode usaha rehabilitasi-melalui Rencana Kemakmuran Istimewa (RKI), b1dang peternakan mulai mendapat perhatian, meskipun belum sebagai prioritas utama . 1
Profil Usaha Peternalcan Sapi Perah di Indonesia
Perkembangan sapi perah mulai mendapat perhatian pada Periode Pembangunan Nasional Semesta Berencana (19611998) . Pada periode ini usaha peternakan sapi perah memerlukan investasi yang agak besar dan pengetahuan teknis yang lebih khusus, maka pengembangan dilakukan secara rutin yang sifatnya lebih komersial (Dasuki, 1983) . Selanjutnya pada Pembangunan Lima Tahun dalam Bidang Peternakan Sapi Perah (sejak 1969) menempati prioritas keempat yang ditujukan dengan peningkatan produksi susu guna mencapai sasaran untuk memenuhi kebutuhan minimum protein hewani menurut standar gizi yang ditetapkan dalam Workshop on Food pada NAS-LIPI tahun 1968, yaitu 5 gram protein hewani sehari dalam makanan, dan dari 5 gram tersebut sekitar 17% berasal dari susu (Dasuki, 1983) . Dengan berkembangnya peternakan sapi perah dan upaya peningkatan produksi susu untuk mencapai target kebutuhan minimum protein hewani, maka dibangun beberapa kelembagaan di masyarakat yang didukung oleh kelembagaan pemerintah . Berdasarkan hal tersebut, dalam tulisan ini akan diuraikan mengenai perkembangan peternakan sapi perah yang meliputi perkembangan ternak sapi perah dan produktivitasnya, serta kelembagaan yang mendukung perkembangan sapi perah . II .
PERKEMBANGAN PETERNAKAN SAPI PERAH
11 .1 Periode Penjajahan Belanda Perkembangan temak sapi perah telah dimulai sejak abad ke-19, atas jasa kontrolir van Andel yang bertugas di Kawedanaan Tengger, Pasuruan (1891-1893) . Dokter hewan Bosma menganjurkan untuk mengimpor 105 ekor sapi pejantan Fries Holland dari negeri Belanda . Sebelumnya telah diimpor sapi-sapi Milking Shorthorn, Ayrshire, dan Jersey dari Australia . Selanjutnya terjadi perkawinan antara sapi-sapi impor dengan sapi-sapi lokal di Pasuruan . Perkawinan antara sapi-sapi impor dengan sapi lokal Pasuruan inilah yang menjadi dasar terbentuknya sapi Grati (Sudono, 1984 ; Soehadji, 2009) . 2
Profit Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
Sejarah perkembangan sapi Grati dimulai dengan penitipan sapi kering kepada petani, dari pengusaha sapi perah di kota sekitarnya . Setelah melahirkan, induk dan anak betinanya dikirimkan kembali ke perusahaan asal . Sebagai imbalan petani memperoleh anak sapi jantan . Setelah sapi hadiah tersebut dewasa, berlangsung persilangan dengan sapi lokal (sapi Jawa atau sapi Ongole) . Dengan demikian, daerah Grati dalam kelanjutannya menjadi pusat pembibitan sapi perah rakyat yang potensial, meskipun mereka tidak mengusahakan pemerahan susu. Ketika itu Ordonansi Susu sangat ketat dijalankan sehingga tidak mungkin dipenuhi oleh rakyat yang bermodal kecil (Dasuki, 1983) . Meskipun demikian, sapi Grati mempunyai nilai sosial ekonomi . Sapi jantannya mempunyai tipe dairy beef-karena bertubuh besar-sehingga dapat dijual sebagai sapi potong yang harganya lebih mahal dari sapi lokal serta dapat dipergunakan sebagai tenaga kerja. Sementara itu, sapi betinanya dibeli oleh perusahaan susu, sebagai pengganti sapi Fries Holland impor (Dasuki, 1983) . Sapi betina ini selanjutnya dikawinkan dengan sapi Fries Holland impor . Hal ini menunjukkan bahwa sapi Grati adalah sapi peranakan FH yang berderajat tinggi (Fischer, 1958 ; Widodo, 1979 ; Sudono, 1983) . Di Jawa Tengah pemeliharaan sapi perah diawali di daerah Salatiga, yang oleh kontrolir Schippers dengan didampingi dokter hewan Penning di Salatiga, dilaksanakan pengebirian sapi jantan Jawa, kemudian mendatangkan, 7 ekor sapi FH jantan yang kemudian disilangkan dengan sapi lokal (sapi Jawa) . Hal ini menunjukkan bahwa telah dilakukan grading up ke arah rumpun sapi perah FH di Daerah Salatiga, Boyolali dan sekitarnya (Sudono, 1983) . Di samping itu, di perkebunan Jongrangan (Surakarta) terdapat pembibitan sapi FH yang diselenggarakan oleh Beervoets yang mempunyai reputasi baik di Indonesia pada waktu itu (Sudono, 1983 ; Dasuki, 1983) . Sementara itu, di Lembang, Bandung, Jawa Barat tahun 1900 telah terdapat perusahaan sapi perah yang memelihara sapi FH murni dan telah berkembang dengan baik yang diusahakan 3
Profil Usaha Pe/ernakan Sapi Perah di Indonesia
oleh Ursone bersaudara (Sudono, 1983 ; Dasuki, 1983) . Di Cisarua, dan sekitar Cimahi terdapat pula perusahaan sapi perah FH murni General de Wet yang diusahakan oleh Hirschland dan van Zij 1. Perusahaan ini telah mengimpor berpuluh-puluh sapi jantan dan sapi betina yang bunting dengan silsilah yang baik, yang ternyata produksi susunya menunjukkan kesepadanan dengan di negeri asalnya (Dasuki, 1983) . Jumlah sapi perah di Indonesia ketika itu menurut Merkens (1922) tercatat sebanyak 26.095 ekor, tetapi tidak dijabarkan secara terperinci bangsa sapinya. Ditinjau dari jumlah kepemilikan sapi yang dipelihara skala usaha sapi perah masih sangat beragam . Jumlah terkecil antara 10-20 ekor, namun ada pula yang memelihara 40-100 ekor, bahkan ada yang sampai 300 ekor . Menurut Ordonansi susu yang berlaku, setiap peternak diwajibkan memiliki kamar susu serta segala perangkatnya, dan dilaksanakan secara ketat . Ketetapan ini terlalu sulit dipenuhi oleh pengusaha pribumi, yang selain lemah modal, juga tidak didukung oleh pengalaman (Dasuki, 1983) . Merkens (1926) membagi Jawa Barat menjadi empat wilayah yang mempunyai populasi sapi cukup banyak, yaitu : a) "Bantam" (daerah karesidenan Banten), dengan populasi sekitar 800 ekor . b) "Batavia" (daerah Jakarta, Jatinegara, Bogor dan Karawang) dengan populasi sekitar 27.000 ekor . c) "Preanger-Regentschappen" (daerah Karesidenan Priangan dan Kabupaten Cianjur serta Sukabumi) dengan populasi sekitar 20.000 ekor . d) "Cirebon" (daerah karesidenan Cirebon) dengan populasi sekitar 2 .000 ekor . Dari data populasi di atas jelas meliputi semua tipe sapi, tanpa ada perincian populasi sapi perah . Dari keempat daerah tersebut populasi terbanyak sapi perah ada di dua wilayah, yaitu : "Batavia" dan "Preanger ", dengan konsentrasi di wilayah "Preanger-Regentschappen ". Untuk wilayah "Batavia" konsentrasi sapi perah terdapat di Jakarta, Jatinegara, dan Bogor, yang menurut Merkens (1926) 4
Profil Usaha Peternak an Sapi Perah di Indonesia
adalah hasil perkembangan dari impor 50 tahun sebelumnya . Berbagai macam rumpun sapi telah diimpor dari Australia, yaitu Jersey, Ayreshire, Hereford dan Shorthorn . Di antara berbagai sapi perah yang pemah dicoba, sapi FH yang menjadi preferensi . Perkembangan di Jakarta dapat dikatakan unik, mengingat sebagian pengusahanya adalah orang pribumi dengan cara yang sederhana . Oleh karena itu, dengan cara pemeliharaan yang sederhana, mutu susu kurang terjamin . Berdasarkan hal tersebut, Pemerintah Kota Jakarta pada akhir tahun 1921 mengeiuarkan peraturan Penjualan Susu Jakarta yang berisi antara lain adalah : 1) Dilarang menjual susu dalam Kota Jakarta tanpa izin Pemerintah Kota . 2) Untuk memperoleh izin penjualan susu, pemilik perusahaan harus mempunyai kandang sapi dan kamar susu serta perlengkapan lainnya yang memenuhi persyaratan . 3) Sapi-sapi harus sehat dan tidak mengandung penyakit tuberkulosis . 4) Perawatan bangunan, sapi-sapi, dan penjualan susu harus sesuai dengan tata cara kebersihan dan kesehatan . Akibatnya, biaya eksploitasi menjadi sangat tinggi sehingga timbul reaksi keras dari produsen pribumi . Namun, berkat penyuluhan yang dilakukan oleh dokter hewan setempat (R. Nastap), keresahan dapat diatasi . Konsentrasi populasi sapi perah yang terbanyak di Jawa Barat terkonsentrasi di Wilayah Preanger, terutama di Bandung dan sekitamya, yang semuanya adalah rumpun sapi FH murni . DI daerah-daerah in] terdapat perusahaan-perusahaan sapi perah yang memelihara sampai 300 ekor, tetapi sebagian besar sekitar 30-100 ekor . Sapi perah perusahaan-perusahaan tersebut pada umumnya dikandangkan dan memiliki kebun rumput dengan sistem potong angkut (Dasuki, 1983) . Selain sekitar Bandung, juga di Garut dan Sukabumi terdapat beberapa perusahaan besar sapi perah . Berbeda dengan di Daerah Jakarta, di Wilayah Preanger ini perusahaan sapi perah pada umumnya tidak dimiliki oleh orang pribumi . 5
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
Introduksi rumpun sapi perah lain pernah dicoba beberapa kali dengan mengimpor rumpun Jersey, Ayreshire dari Australia, namun tidak dapat berkembang . Keluhannya terutama adalah temperamen sapi Jersey berbeda dengan sapi FH yang terkenal sangat jinak . Oleh karena itu, selanjutnya hanya sapi FH yang dikembangkan (Dasuki, 1983) . Sementara itu, kebutuhan akan sapi pejantan FH berkembang di berbagai tempat di Jawa Tengah dan Jawa Timur, terutama sekitar Pasuruan . Oleh karena itu, dalam upaya pengadaan bibit sapi FH murni serta peningkatan mutu genetiknya pemerintah kolonial Hindia Belanda mengadakan kontrak kerja dengan Hirschland dan van Zijl, yaitu pemilik perusahaan sapi perah FH murni General de Wet di Cisarua, sekitar Cimahi, Bandung . Perusahaan tersebut dipilih karena selain mengembangkan sapi FH murni impor, juga melakukan seleksi, serta membeli sapi perah yang terbaik yang ditemukan di Jawa . Antara lain banyak yang diperoleh 'dari perusahaan Bervoets, di perkebunan Jonggrangan, Surakarta . Selain itu juga dilakukan di perusahaan-perusahaan di daerah pegunungan di Jawa Barat . Di antara sapi pejantan yang terkenal adalah berasal dari pejantan Piet dan Eduard (Merkens, 1922, dalam Dasuki, 1983) . Dengan demikian, berarti bahwa pejantan yang baik adalah berasal dari keturunan kedua pejantan tersebut . Dengan tambahan sejumlah sapi impor berikutnya secara keseluruhan, perusahaan General de Wet mempunyai sapi sekitar 350 ekor yang mutunya tidak kalah dengan sapi FH di negeri asalnya, negeri Belanda (Sudono, 1983 ; Dasuki, 1983) . Inti dari isi kontrak dengan Generaal de Wet adalah semua sapi jantan yang dilahirkan di perusahaan tersebut setelah mencapai umur 1,5 tahun dan dinilai memenuhi mutu sebagai pejantan, harus diserahkan, dan dibeli oleh pemerintah . Imbalan lainnya adalah bahwa untuk pelaksanaan proyek tersebut, kepadanya diberikan pinjaman sebidang tanah di Cisarua . Sasaran program sapi Generaal de Wet adalah meningkatkan pengembangan persilangan dengan sapi lokal setempat di daerah Banyumas Utara, Kedu Utara, Tengger dan
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
Malang . Tujuan persilangan tersebut adalah untuk meningkatkan mutu genetik sapi lokal dengan jalan grading up ke arah FH, dan hasilnya memberikan dampak positif dalam meningkatkan produktivitas sapi peranakan di daerah sasaran, terutama di daerah Pasuruan . Namun, untuk daerah lain harganya dipandang terlalu tinggi dan praktis tidak terjangkau oleh daya bell di tingkat pedesaan . Pada tahun 1922 sasaran tersebut ditinggalkan dan beralih untuk membantu perusahaan susu yang kekurangan sapi pejantan. Permintaan begitu besar sehingga praktis semua sapi pejantan Generaal de Wet terjual termasuk yang relatif kurang bermutu . Sehubungan dengan hal tersebut pemerintah mengadakan seleksi yang sangat ketat terhadap sapi Generaal de Wet untuk menjaga mutu . Dampaknya adalah terjadinya peningkatan produksi susu (Dasuki, 1983 ; Sudono, 1983) . Pada tahun 1909, tercatat penempatan sapi pejantan 12 ekor di Semarang, 18 ekor di Kedu, dan 28 ekor di Pasuruan (Merkens, 1922 dalam Dasuki, 1983) . Menurut Sudono (1983) di Pasuruan, Jawa Timur sejak tahun 1915 sampai dengan tahun 1923 telah memanfaatkan 40 ekor sapi pejantan dari Generaal de Wet, dan sesudah itu permintaan pejantan lebih meningkat lagi . Pada awalnya, penempatan sapi pejantan dipercayakan kepada desa, namun kemudian lebih banyak dipercayakan kepada perorangan sehingga pemeliharaannya lebih baik . Pada tahun 1939, dilakukan pengimporan sapi muda FH dari negeri Belanda langsung ke Grati (Pasuruan) sebanyak 22 ekor. Hal ini menunjukkan bahwa sapi Grati adalah sapi peranakan FH berderajat tinggi (Sudono, 1983) . Sementara itu, di Sumatra Utara sapi perah yang dipelihara adalah sapi Hissar . Sapi ini hanya terdapat di daerah Sumatra Utara terutama di Kota Medan, Kabupaten Deli Serdang, Langkat, Karo, dan Simalungun (Siregar, 1990) . Sapi Hissar mulai dimasukkan ke Daerah Kabupaten Deli Serdang pada tahun 1885, namun baru menunjukkan perkembangan pada tahun 1920 (Nasution, 1958) . Pemasukan sapi Hissar di Sumatra Utara pada mulanya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan susu segar orang-orang Eropa yang bekerja di perkebunan7
Profit Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
perkebunan . Sapi Hissar dipelihara terutama oleh orang-orang India yang telah lama menetap di daerah Sumatra Utara (Siregar, 1990) . 11 .2 Periode Pendudukan Jepang dan Revolusi Fisik Kemerdekaan Pada periode pendudukan Jepang perusahaan sapi perah Belanda diambil alih oleh Pemerintah Pendudukan Jepang . Kelanjutan pengelolaan berlangsung dalam keadaan darurat bahan baku konsentrat . Akibatnya, produksi makin merosot dan sebaliknya harga pakan konsentrat meningkat . Keadaan yang sama dialami oleh perusahaan yang diambil alih oleh balatentara Jepang . Pemasaran juga ikut mengalami perubahan, yaitu makin sedikit yang tersedia untuk konsumsi umum karena sebagian besar digunakan bagi tentara Jepang (Umboh, 1954) . Keadaan darurat bahan baku konsentrat, dan salah kelola di zaman pendududukan Jepang, yang dilanjutkan di zaman revolusi fisik kemerdekaan, mengakibatkan kebanyakan perusahaan susu terlantar . Sementara itu, stok sapi mulai berceceran . Sebagian berangsur dipotong dan sebagian lagi sempat tersebar di kalangan rakyat . Di antaranya ada yang berkembang biak dan menjadi titik tolak bagi penyebaran usaha sapi perah rakyat (Dasuki, 1983) . Pada akhir revolusi, dengan segala keterbatasannya, perkembangan sapi perah cukup lambat untuk sempat tersentuh oleh usaha rehabilitasi dan prioritas dalam pembangunan (Atmadilaga, 1973) . 11.3 Periode Usaha Rehabilitasi (1950-1961) Setelah diproklamasikan negara Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, negara kita masih menghadapi agresi Belanda dan sekutunya serta blokadenya yang cukup ketat sehingga untuk keperluan rakyat sehari-hari harus disediakan dari dalam negeri . Pemerintah membuat rancangan yang sederhana untuk kebutuhan rakyat minimal . Rancangan ini dikenal dengan Rencana Kemakinuran Istimewa atau rencana Kasimo yang
Prgfrl Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
dikeluarkan pada 20 Nopember 1947 dan berlaku untuk kurun waktu tiga tahun . Rencana Kasimo ini memprioritaskan penyediaan bahan makanan yang diperlukan bagi kesehatan seluruh rakyat serta keperluan lainnya . Peningkatan produksi pertanian rakyat menempati prioritas utama dengan jalan menambah produksi dan meningkatkan hasil panen setiap hektare . Bidang peternakan juga mendapat perhatian, walaupun bukan prioritas utama . Di bidang peternakan terjadi kemunduran terutama dari segi turunnya populasi hampir semua ternak sejak tahun 1941 sampai dengan 1945 . Oleh karena itu, Jawatan Kehewanan membuat rencana merehabilitasi keadaan ternak dengan target kembali ke populasi ternak pada tahun 1941 dalam jangka waktu lima tahun . Pelaksanaan yang diterapkan adalah meningkatkan angka kelahiran, mengurangi pemotongan gelap serta angka kematian . Sementara itu mengenai persusuan tidak dinyatakan secara eksplisit, kecuali berupa himbauan agar Jawatan Kehewanan berusaha supaya rakyat mau minum susu segar demi meningkatkan kesehatannya (Dasuki, 1983) . Untuk mendukung hat tersebut, sekitar tahun lima puluhan Jawatan Kehewanan di Grati membangun Pusat Penampungan Susu (Milk Centre), karena sejak kemerdekaan rakyat dianjurkan untuk memerah sapinya untuk menghasilkan susu . Dengan demikian, Grati tidak hanya menjadi pusat penghasil sapi perah rakyat, tetapi juga sebagai pusat penghasil susu rakyat . Boyolali akhimya juga berkembang menjadi daerah penghasil sapi perah rakyat dan di sini pun didirikan Pusat Penampungan Susu yang di sponsori oleh Jawatan Kehewanan . Milk Centre selain menampung susu sapi rakyat juga memasarkan susu tersebut ke kota-kota besar . Pada tahun 1956, pemerintah mencoba mengimpor sapi Red Danish dari Denmark, tetapi sapi perah yang berwarna cokelat tersebut tidak sesuai dengan keadaan lingkungan di Indonesia . Dengan kegagalan tersebut, maka pada tahun 1962 pemerintah mendatangkan sapi Fries Hollands sebanyak lebih kurang 1 .000 ekor, diimpor dari Denmark oleh PN Perhewani, untuk 9
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
memenuhi kebutuhan susu pada pesta olahraga Asian Games IV di Jakarta . Kebanyakan sapi perah yang berasal dari Denmark in] disebarkan ke perusahaan-perusahaan susu di Jawa dan BPT Baturraden, Purwokerto . Kemudian pada tahun 1964 Jawatan Kehewanan Pusat mengimpor 1 .354 ekor bibit sapi Fries Hollands clan negri Belanda yan disertai dengan kartu silsilah lengkap . Pengimporan bibit sapi perah tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan mutu sapi-sapi perah di Indonesia yang akhirnya akan meningkatkan produksi susu (Sudono, 1983) . 11 .4 Periode Pembangunan Nasional Pada periode ini dalam rangka mengisi kemerdekaan Indonesia serta untuk mencapai masyarakat yang makmur, maka pemerintah menggagas Rencana Pembangunan Semesta, dengan dasar pemikiran untuk mengejar kemakmuran yang relatif tinggi, yang dimulai dengan menyediakan kebutuhan pokok bagi rakyat . Periode pembangunan ini berjangka waktu delapan tahun (1961-1969) dengan prioritas utama produksi bahan makanan rakyat yang cukup, yang sesuai dengan daya beli rakyat serta dapat dimanfaatkan tepat waktunya . Tujuan yang akan dicapai adalah swasembada beras dan pemenuhan produksi protein nabati 40 gram dan protein hewani 8 gram untuk setiap orang per hari . Untuk memenuhi kebutuhan protein ditempuh melalui peningkatan produksi kedelai, ikan darat, dan peternakan ayam . Mengenai usaha peternakan lainnya seperti peternakan sapi perah yang memerlukan investasi agak besar dan pengetahuan teknis yang lebih khusus, maka usaha-usaha ini akan dikembangkan secara rutin, yang sifatnya lebih komersial (Dasuki, 1983) . Khusus untuk pengembangan sapi perah, berdasarkan produksi susu pada tahun 1958 (24 .6 juta liter), tahun 1959 (30 juta liter), tahun 1960 diperkirakan 33,681 juta liter. Bertitik tolak dari data tersebut, maka Rencana Pembangunan Semesta, menargetkan produksi susu pada tahun 1961 sebanyak 36,565 juta liter dan tahun 1962 sejumlah 39,449 juta liter. Dengan kata lain laju pertambahan yang diharapkan adalah sekitar 7.89% per 10
Projil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
tahun . Namun, perlu dicatat bahwa rencana tersebut banyak mengandung kelemahan . Akhirnya, rencana pembangunan Nasional Semesta tidak sempat dilaksanakan, karena kerawanan kondisi politik saat itu (Dasuki, 1983) . 11 .5 Pembangunan Lima Tahun dalam Bidang Peternakan Sapi Perah Pada awal pembangunan lima tahun (Pelita I), pengembangan sapi perah ditujukan untuk meningkatkan produksi susu, dan termasuk dalam prioritas keempat . Menurut Atmadilaga (1973), pengembangan sapi perah yang ditempatkan pada prioritas keempat tidak berarti kurang mendapat perhatian, melainkan dimasukkan dalam rencana jangka panjang atas dasar berbagai pertimbangan . Selama masa Pelita I usaha difokuskan pada kegiatan rehabilitasi, konsolidasi, dan peningkatan produksi pada populasi ternak . Dalam Pelita II, selain melanjutkan kegiatan Pelita I, juga disertai empat fungsi pokok, yaitu : 1) Meningkatkan kemampuan berproduksi pada petani peternak, 2) Meningkatkan populasi ternak, 3) Meningkatkan produksi basil ternak untuk mengimbangi perkembangan permintaan dalam negeri dan memanfaat-kan potensi ekspor, dan 4) Meningkatkan kesempatan kerja dalam peternakan . implementasinya diterapkan enam macam Dalam : (i) peningkatan kegiatan penyuluhan untuk instrumen, yaitu menengah ; (ii) para petani, pengusaha skala kecil dan mengamankan ternak yang sudah ada melalui usaha-usaha pencegahan dan pemberantasan penyakit ; (iii) mengusahakan penyediaan dan penyebaran bibit ternak ; (iv) mengusahakan agar produksi dan distribusi bahan ransum dan obat-obatan dapat berkembang lebih pesat ; (v) mengusahakan perbaikan fasilitas pengolahan dan pemasaran ternak serta hasil-hasilnya ; (vi) peningkatan usaha penyediaan kredit dengan persyaratan yang layak serta pengembangan koperasi peternakan . I >
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
Pengembangan peternakan sapi perah selama Pelita 11, balk di pedesaan maupun sekitar kota, diusahakan melalui penyediaan dan pengadaan bibit unggul, intensifikasi inseminasi buatan serta usaha penyediaan pakan ternak bermutu . Dalam upaya perbaikan penyaluran susu, dibina organisasi dan peningkatan fasilitas pemasaran serta pengolahan, perbaikan mutu, dan mail kebersihannya . Dalam pelaksanaan inseminasi buatan (IB), negara pertama yang memberikan bantuan IB dengan mani beku adalah Selandia Baru . Pada tahun 1972, negara ini memberikan donasi mani beku sebanyak 10 .000 dosis, terdiri dari berbagai macam bangsa sapi. Di samping itu, setiap bulan dalam jangka waktu satu tahun diberikan pula 1 .000 dosis sebagai tambahan (Partodihardjo, 1979) . DI samping itu, mani beku juga diimpor dari Inggris, Australia, dan Amerika Serikat . Tahun 1972 dan 1973 mani beku untuk sapi FH yang diimpor dari Selandia Baru, Inggris dan Australia adalah 16 .441 dosis (Partodihardjo, 1979) . Sampai dengan akhir Pelita I, jumlah mani beku yang telah diimpor adalah sejumlah 17 .898 dosis serta diterapkan di tujuh provinsi (Partodihardjo, 1979 ; Dasuki, 1983) . Untuk operasi selanjutnya, kebutuhan akan mani beku tidak dapat disediakan dari impor saja, maka untuk pemenuhan mani beku ini pemerintah mendirikan Balai Inseminasi Buatan di Lembang, Bandung pada tahun 1976 . Selain mani beku, untuk peningkatan produksi susu diperlukan bibit sapi perah yang bennutu, dalam penyediaan dan pengadaan bibit pemerintah mengambil jalan pintas dengan mengimpor bibit sapi perah dari Australia dan Selandia Baru, dan impor tersebut baru dilaksanakan akhir Pelita II . Di samping itu, untuk melancarkan pemasaran susu telah dirintis pula kerja sama oleh beberapa koperasi dengan industri pengolah susu . Meskipun hasilnya belum memuaskan, tetapi telah dapat mendorong peternak dalam usaha peningkatan volume dan mutu susu (Dasuki, 1983) . Usaha-usaha yang telah dilaksanakan dalam Pelita II sebagian besar dilanjutkan dalam Pelita III, bahkan ditingkatkan . Usaha-usaha tersebut meliputi usaha peningkatan produksi 12
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
melalui intensifikasi dan diversifikasi, usaha memelihara kelesatarian dan meningkatkan daya guna sumber alam serta pembinaan usaha peternakan dan pemasarannya . Upaya yang menonjol dalam Pelita III adalah dikembangkannya penyediaan fasilitas kredit melalui sistem Panca Usaha yang dibarengi dengan meningkatkan fungsi koperasi sapi perah sebagai pengumpul dan pengolah produksi susu dalam negeri . Agar produksi susu hasil peternakan rakyat Iebih terjamin, diusahakan integrasi yang lebih erat dengan industri pengolah susu (Dasuki, 1983) . Dampak penggunaan mani beku melalui inseminasi buatan memberikan basil yang positif, meskipun peningkatannya tidak tinggi . Peningkatan produksi yang rendah tersebut disebabkan karena pada program IB tersebut belum diikuti dengan pencatatan produksi susu, seleksi dan culling . Daya produksi susu sapi FH di Jawa pada Pelita I dan 11 setelah penggunaan mani beku melalui inseminasi buatan tertera pada Tabel 1 . Tabel 1 . Daya produksi susu dan produksi susu rata-rata per laktasi sapi perah i Lokasi
bera a
erusahaan dan eternakan rak at . Daya produksi susu Sumber data rataan (kg)* Tossin (1978) 2535 2848 Purwan o (1979) 2993* Sitorus dan Subandriyo (1979) Widodo et al. (1980) 2339 Subandriyo at al . (1981a) 3660*** 3563*** Subandriyo et al. (1981b) Subandriyo et al. (1981c) 2997** Subandriyo et al. (1981c) 2791** 3355** Subandriyo et al. (1981b) Subandriyo et al. (1981 b) 2528* Mekir (1982) 3162** 3495 Mekir (1982) 3033 Mekir (1982) Mekir (1982) 3365 Mekir (1982) 2558
Salatiqa Cirebon Lembang Pujon Pangalengan (Pet . Rakyat) Lembang (Pet. Rakyat) Lembang A Lembang B Lembang C ITPT Baturraden PS Salib Putih Sala iqa Lembang I Lembang II Rawaseneng Baturraden * Daya produksi susu - the most probable producing ability ** Produksi susu *** Produksi susu rata-rata per hari dikalikan lama laktasi
Perkembangan selanjutnya sangat pesat, sejak Pelita III sampai dengan Pelita V tahun 1992, selain terjadi peningkatan populasi sapi perah dan produksi susu, juga berkembangnya 13
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
kelembagaan baik kelembagaan masyarakat (koperasi) maupun pemerintah . Beberapa program pengembangan usaha peternakan yang sangat khusus polanya pada periode ini antara lain adalah pengembangan Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) Persususuan . 11 .6 Era Tinggal Landas DI akhir Pelita V atau PJP I, kondisi persusuan nasional diharapkan sudah mantap dan siap menuju era lepas landas yang dimulai pada Pelita VI atau awal PJP II dengan tatanan yang mengarah pada kegiatan usaha yang efisien dengan pendekatan agribisnis dan meninggalkan model usaha yang bersifat tradisional . PJP II merupakan era tinggal landas (ETL) Pembangunan atau dimulainya Kebangkitan Nasional Kedua . ETL merupakan proses kemajuan menuju masyarakat yang maju, adil, makmur, dan lestari yang ditandai oleh tingkat kesejahteraan yang semakin tinggi, efisien dan mendorong kreativitas serta partisipasi masyarakat . Pembangunan makin mengandalkan sumber daya dalam negeri yang merupakan sikap kemandirian, memanfaatkan kelembagaan yang ada dan mampu menggerakan potensi masyarakat . Oleh karena itu, agar dapat menjawab tantangan, tuntutan, dan tuntunan dalam kurun PJB II perlu dilakukan Reorientasi Pembangunan Peternakan . Di samping kaidah yang baku, diciptakan pula perangkat-perangkat, yakni ; (i) perangkat kendali sebagai rambu ; (ii) perangkat pendukung piranti ; dan (iii) perangkat pendukung operasional sebagai jurus agar konsepsi pembangunan peternakan dapat lebih mengakar dan mampu mengantisipasi tantangan serta lingkungan strategis, balk global, nasional, maupun sektoral yang selalu berubah . Oleh karena itu, wawasan pembangunan peternakan pada era ini harus dipandang sebagai sebagai industri biologis yang dikendalikan manusia dengan empat aspeknya, yaitu : (Soehadji, 2009), yaitu :
14
Profrl Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
1) Peternak sebagai subjek pembangunan yang harus ditingkatkan pendapatan dan kesejahteraannya . 2) Ternak sebagai objek pembangunan yang harus ditingkat-kan produksi dan produktivitasnya . 3) Lahan sebagai basis ekologi pendukung pakan dan budidaya yang harus diamankan . 4) Teknologi sebagai alat untuk mencapai sasaran pembangunan peternakan . Dalam mengimplementasikan wawasan pembangunan tersebut, maka pendekatan pembangunannya sudah harus dilakukan melalui konsep agribisnis dengan konsep lndustri Peternakan sapi perah Rakyat (Innayat), bukan sebagai usaha peternakan yang masih berbasis pada usaha peternakan sapi perah tradisional . Pendekatan agribisnis tersebut dilakukan sejak pengadaan dan penyaluran sarana produksi, budidaya, pengolahan sampai pemasaran melalui pendekatan penanganan seluruh subsistem agribisnis secara utuh . III. KELEMBAGAAN DALAM PENGEMBANGAN PERSUSUAN NASIONAL Susu merupakan produk yang mudah rusak, sedangkan lokasi usaha peternakan jauh dari konsumen sehingga untuk menyelamatkan produk tersebut diperlukan peran koperasi . Pada tahun 1949 berdiri koperasi susu pertama di Indonesia, yaitu Gabungan Petani Peternak Sapi Perah Pengalengan (Gappsip) yang diprakarsai drh . Sujono Koesoemowardojo dan drh . Y . Hutabarat. Pada tahun 1963 Gappsip terpaksa tutup karena buruknya situasi sosial ekonomi dan politik saat itu . Gappsip terpaksa menghentikan kegiatannya karena tidak mampu bersaing dengan tumbuhnya Industri Pengolaham Susu (IPS) yang membeli bahan baku dari impor . Selanjutnya pada tahun 1962 berdiri koperasi peternak bernama SAE Pujon di Malang yang digerakkan oleh drh. Memet Adinata. Selanjutnya sampai dengan tahun 1978 di Provinsi Jawa Timur terdapat beberapa 15
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
koperasi susu selain SAE Pujon, yaitu KUD Batu, Koperasi Setia Kawan di Nongkojajar dan Koperasi Suka Makmur di Grati . Sementara itu pada tahun 1969 dengan berhentinya kegiatan Gappsip, maka untuk membina peternak sapi perah ditempat yang sama didirikan Koperasi Peternak Bandung Selatan (KPBS) yang diprakarsai oleh drh . Daman Danuwijaya (Soehadji, 2009) . Awal bangkitnya usaha peternakan sapi perah dimulai pertengahan tahun 1978, dengan terbentuknya Badan Koordinasi Koperasi Susu Indonesia (BKKSI) yang merupakan cikal bakal Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) . Pembentukan BKKSI ini berkat peranan Bustanul Arifin S .H. (Menteri Muda Koperasi) . Hal ini berawal kunjungan kerja Menteri Muda Urusan Koperasi Bustanil Arifin, S .H. dan sekretaris Menteri Muda Urusan Koperasi Ir . Muslimin Nasution ke daerah-daerah, di antaranya ke Milk Center Boyolali pada 20 Juni 1978 . Dan kunjungan tersebut diketahui permasalahan-permasalahan yang dihadapi peternak dan peluang pemecahannya serta membandingkan dengan Koperasi Persusuan di Anand, India . Usaha peternakan sapi perah rakyat telah menyentuh langsung kehidupan masyarakat pedesaan sehingga perlu dikembangkan melalui wadah koperasi . Langkah awal yang dilakukan adalah diserahkannya Milk Center Boyolali kepada KUD Boyolali serta dihapuskanya pajak atau retribusi susu . Pada bulan Juli 1978, atas inisiatif pemerintah telah dilakukan kesepakatan bersama antara Koperasi Persusuan dan Industri Pengolahan Susu (IPS), yaitu kesediaan IPS untuk meyerap susu produksi peternak sapi perah rakyat dengan memberikan harga yang wajar . Kesepakatan ini timbul karena IPS memproyeksikan bahan baku susu berasal dari impor sehingga timbul permasalah pemasaran susu kepada IPS . Koperasi susu memiliki posisi tawar yang sangat lemah terhadap IPS, balk dalam penentuan jumlah penjualan susu, waktu penjualan maupun harga yang diperoleh (Soehadji, 2009) . Pada 19-21 Juli 1978 diselenggarakan lokakarya pertama Koperasi Persusuan di Jakarta yang dihadiri 14 Koperasi Primer 16
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
Persusuan yang menghasilkan keputusan tentang pembentukan BKKSI dan menunjuk Drh . Daman Danuwidjaja sebagai ketuanya . Pada 29-31Maret 1979, dalam lokakarya kedua Koperasi Persusuan di Malang yang dihadiri oleh 17 Koperasi Primer Persusuan, memutuskan pembubaran BKKSI dan pembentukan GKSI sebagai satu-satunya sekunder Koperasi Persusuan Tingkat Nasional dan menunjuk Drh . Daman Danuwidjaja sebagai ketuanya. Dengan adanya kelembagaan koperasi persusuan di tingkat nasional komunikasi antara koperasi persusuan dan pemerintah berjalan lebih baik sehingga memungkinkan berperannya subsistem penunjang agribisnis susu di Indonesia . Sejak 19 September 1979 sampai dengan tahun 1986, realisasi program tahap pertama impor sapi perah dari Australia dan New Zealand sebanyak 56.375 ekor senilai Rp41 Miliar yang merupakan kredit dari BRI telah dilaksanakan dan didistribusikan kepada peternak melalui KUD dan GKSI di delapan provinsi, yaitu : DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I . Yogyakarta, Jawa Timur, Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Bengkulu . Berdasarkan SK Direktur Jendral Koperasi No .08/Dirjen/ Kop/VIII/1980, GKSI memperoleh Badan Hukum (BH) dengan No .8284/ pada 16 Juli 1980 yang diperbarui dengan BH No .8284/a- pada 30 Agustus 1982, dan terakhir diperbarui kembali dengan BH No .8284/b- pada 15 September 1987 . Dalam program pembangunan industri persusuan nasional selanjutnya, perhatian khusus dilakukan pada pengembangan usaha peternakan sapi perah rakyat dengan meningkatkan peran koperasi serta keikutsertaan swasta . Pembangunan usaha peternakan sapi perah rakyat diarahkan untuk : 1) Meningkatkan pendapatan petani ternak . 2) Mendorong diversifikasi pangan dan perbaikkan mutu gizi masyarakat . 3) Optimasi usaha tani . 4) Penyerapan tenaga kerja. 17
Profit Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
5) Aspek konservasi . 6) Mendorong pertumbuhan perekonomian pedesaan . Adapun ciri dari usaha peternakan sapi perah rakyat adalah sebagai berikut : (i) skala usahanya kecil ; (ii) motif produksi rumah tangga ; (iii) dilakukan sebagai usaha sambilan (subsistence) ; (iv) menggunakan teknologi sederhana ; (v) produktivitas ternaknya rendah ; (vi) bersifat padat karya dan berbasiskan pada organisasi keluarga ; (vii) mutu produknya bervariasi Usaha yang demikian tersebut mempunyai posisi yang lemah dan sangat peka terhadap perubahan sehingga untuk mengembangkannya diperlukan reformasi modal, penciptaan pasar, sistem kelembagaan, dan input teknologi yang lebih balk . Pada era ini pemerintahan mulai merintis pembangunan persusuan nasional secara terstruktur dan terencana, dengan membangun sarana penunjangnya, seperti Balai Inseminasi Buatan (BIB) di Lembang, mengintroduksi IB kepada peternak, menyiapkan tenaga inseminator yang andal, serta impor sapi perah dalam jumlah yang kecil dari Belanda. Selanjutnya pemerintah memasyarakatkan program minum susu, membangun pabrik-pabrik susu recombine sehingga diharapkan konsumsi susu masyarakat Indonesia cepat meningkat . Lebih lanjut pemerintah melakukan upaya pengembangan secara intensif dan terencana untuk meningkatkan produksi susu dalarn negeri dengan tiga paket kebijakan, yaitu : 1) Impor sapi perah secara besar-besaran untuk meningkatkan populasi . 2) Melaksanakan program IB untuk meningkatkan mutu genetik dan peningkatan populasi . 3) Perbaikkan manajernen melalui paket kredit (Menmuda Koperasi, PUSP, Banpres, PIR, dan MEE) . Kebijakan tersebut selanjutnya diikuti dengan keluarnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri (Menteri Perdagangan dan Koperasi, Menteri Perindustrian, dan Menteri 18
Profit Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
Pertanian) pada tahun 1982 yang kemudian dimantapkan dengan Inpres 2 tahun 1985 yang isinya tentang : Industri Pengolahan Susu (IPS) diwajibkan menyerap susu produksi peternak sapi perah rakyat, dan terkenal dengan BUSEP . Keberhasilan kebijakan pemerintah dalam perkembangan persusuan nasional adalah sebagai berikut : 1) Terjadinya peningkatan populasi sapi perah dari 94 .000 ekor menjadi 325 .000 ekor dengan jumlah impor sapi 125 .000 ekor, 2) Produksi susu meningkat dengan pesat dari 25.000 ton menjadi 382 .000 ton, 3) Rasio impor susu : produksi dalam negeri dari 20:1 menjadi 2:1, 4) Jumlah koperasi susu dari 11 buah menjadi 201 buah, 5) IPS yang semula masih berupa repacking susu recombine menjadi industri finished product Beberapa program pengembangan usaha peternakan yang sangat khusus polanya pada periode ini antara lain adalah : 111. 1 Pola Perusahaan Inti Rakyat (Pola PIR Persusuan) PIR Persusuan adalah bentuk pembinaan usaha peternakan sapi perah melalui sistem kerja sama tertutup yang saling menguntungkan antara bentuk perusahaan yang bertindak sebagai inti yang menangani pengadaan sarana produksi, pengolahan, dan pemasaran, dengan peternak sapi perah yang tergabung dalam wadah koperasi/KUD sebagai plasma yang melaksanakan kegiatan produksi . Bertindak sebagai Inti adalah PT Nandi Amerta Agung (NAA), suatu perusahaan patungan (joint-venture) melalui fasilitas penanaman modal asing (PMA) dengan struktur permodalan sebagai berikut : a) Gabungan Koperasi Susu Indonesia 20% .
19
Profit Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
b) Koperasi Amerika 25%, terdiri dari Land O' Lakes/LOL 21% dan Cooperative Business International/CBI 4% . c) PT Mantrust 55% . LOL adalah sebuah koperasi di Amerika Serikat yang bergerak di bidang peternakan sapi perah dan penanganan hasil produk susu, selain industri makanan ternak dan unggas (kalkun) . CBI adalah perusahaan yang khusus dibentuk oleh Gabungan Koperasi se-Amerika, yaitu Cooperative League of the United State of America (CLUSA) . Inti melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut : a) Penyediaan, pengadaan, dan penyaluran sarana produksi dan sarana lainnya yang diperlukan Plasma dalam melaksanakan usahanya . b) Menyelenggarakan pelayanan teknis berupa pelayanan kesehatan hewan/ternak, pelayanan reproduksi, pembinaan manajemen usaha sapi perah (farm management) . c) Menjamin pemasaran basil produksi susu dan pedet jantan/betina yang tidak produktif/culled. d) Pelayanan Kredit PIR Persusuan . Untuk dapat melaksanakan fungsi-fungsi tersebut, inti melakukan usaha-usaha sebagai berikut : (i) pengadaan bibit ternak ; (ii) pengadaan dan penyaluran pakan ; (iii) pelayanan teknis Peternakan ; (iv) pelayanan pemasaran . Pada prinsipnya yang bertindak sebagai plasma adalah peternak sapi perah yang tergabung dalam wadah Koperasi/ KUD yang akan melaksanakan kegiatan-kegiatan sebagai beriku: a) Budidaya ternak sapi perah sesuai dengan petunjuk yang telah ditetapkan . b) Melakukan kewajiban-kewajiban lain sebagaimana telah ditetapkan dalam kerja sama Inti-Plasma.
20
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
Dalam pelaksanaan PIR Persusuan terdapat beberapa ikatan kerja sama Inti-Plasma, antara lain Kontrak Kredit (KK) dan Kontrak Manajemen (KM) . 111.2 Proyek Pengembangan Sapi Perah BaturadenBantuan MEE Proyek pengembangan Sapi Perah Baturraden dibentuk berdasarkan Financing Agreement yang ditandatangani antara Pemerintah Republik Indonesia dan pihak MEE pada tahun 1981 . Dalam pelaksanaan kegiatan ini MEE dan penierintah Italia sepakat memberikan bantuan berupa hibah (grant) yang dititikberatkan untuk penyediaan dana investasi . Tujuan utama proyek ini untuk memperkuat posisi BPT dan HMT Baturaden dan melengkapi sarana-sarana yang diperlukan, agar nantinya BPT dan HMT dapat mempunyai peranan yang lebih besar dalam menunjang pengembangan . sapi perah di Indonesia dan diharapkan dapat berfungsi sebagai Pusat Pengembangan Sapi Perah Nasional, terutama sebagai penghasil bibit sapi perah yang bermutu tinggi . Untuk menghasilkan bibit tersebut, sistem yang akan digunakan merupakan gabungan dari sistem breeding center, dan sistem village breeding, sehingga sapi-sapi yang dipelihara oleh masyarakat mempunyai peranan yang sangat besar dalam menentukan mutu bibit yang akan dihasilkan . Proyek MEE ini mengimpor sapi FH dari New Zealand yang sebagian besar didistribusikan kepada peternak di daerah Kabupaten Banyumas sebagai populasi dasar dalam pelaksanaan village breeding dan sebagian lagi dipertahankan di BPT dan HMT sebagai stock dalam pelaksanaan system breeding center. Model pemberian bantuan kredit kepada peternak menggunakan sistem sumba kontrak, setiap peternak akan menerima 2 ekor sapi calon induk bunting berumur 18-24 bulan, kemudian dalam jangka waktu maksimal 5 tahun diharuskan mengembalikan 4 ekor anak betina dalam umur yang sama ketika peternak menerima bantuan induk . Selanjutnya 21
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
ternak-ternak pengembalian tersebut akan disebarkan kembali (revolving) kepada peternak lain yang belum memperoleh kesempatan menerima bantuan sapi pada periode pertama, demikian seterusnya, sehingga proses revolving berkelanjutan . 111.3 Penghapusan Kebijakan Bukti Penetapan Tarif Bea Masuk
Serap
dan
Pada tahun 1988 BUSEP dihapus dan semenjak itu peternakan sapi rakyat menghadapi banyak tantangan . Hal ini tercermin bahwa sampai dengan tahun 2007 kontribusi susu dalam negeri hanya mencapai 25% dengan produksi nasional sekitar 1,2 juta liter per hari, setelah ternyata kenaikan produksi susu yang cepat pada periode 1979-1984, kondisi sekarang dapat dikatakan tidak mengalami perkembangan (Soehadji, 2009) . Sejak tahun 1998 inilah posisi tawar peternak terhadap IPS sangat lemah apalagi dalam menghadapi persaingan global . Globalisasi yang tidak diiringi dengan kebijakan yang tepat semakin menekan pertumbuhan industri susu . Salah satu kebijakan pemerintah yang tidak berpihak adalah ditetapkannya tarif bea masuk yang rendah untuk produk olahan susu seperti susu fermentasi yoghurt, sampai 0% lebih rendah dari tarif bea masuk susu bubuk sebagai bahan baku industri persusuan sebesar 5%. Tarif bea masuk 5% ini sendiri dinilai tidak sesuai kesepakatan yang diberikan oleh WTO sehingga industri olahan susu tidak bergairah untuk berkembang menjadi penggerak peningkatan produksi susu nasional (Soehadji, 2009) . IV.
PENUTUP
Perkembangan peternakan sapi perah Indonesia telah dimulai sejak zarnan penjajahan Belanda, lebih dari satu abad yang lalu, yaitu sejak tahap introduksi . Peternakan sapi perah di Indonesia pada awalnya hanya berupa usaha rumah tangga yang merupakan kelanjutan dari para pekerja di perusahaan sapi perah milik Belanda . 22
Profit Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
Berbagai perkembangan telah dialami seperti impor sapi perah dalam bentuk hidup atau mani beku untuk meningkatkan produksi susu maupun untuk meningkatkan mutu genetiknya, membangun kelembagaan sapi perah, yang berupa koperasi, non koperasi serta dukungan kelembagaan pemerintah, seperti Menteri Muda Koperasi, Surat keputusan Bersama Tiga Menteri yaitu Menteri Perdagangan dan Koperasi, Menteri Perindustrian, dan Menteri Pertanian untuk menetapkan kebijakan ekualisasi dimana impor bahan baku susu dipersyaratkan dengan bukti serap (BUSEP) susu segar produksi dalam negeri . Untuk mendukung Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri ditetapkan Inpres 2 tahun 1985 tentang Koordinasi Pembinaan dan Pengembangan Persusuan Nasional . Dalam perjalanannya, kebijakan bukti serap dicabut pada awal tahun 1998 . Oleh karena itu, sejak tahun inilah posisi tawar petemak terhadap IPS sangat lemah, apalagi menghadapi persaingan global . Globalisasi yang tidak diiringi dengan kebijakan yang tepat semakin menekan pertumbuhan industri susu rakyat, apalagi ditambah dengan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak dengan ditetapkannya tarif bea masuk yang rendah untuk produk olahan susu fermentasi yoghurt, sampai 0% lebih rendah dari tarif bea masuk susu bubuk sebagai bahan baku industri persusuan sebesar 5%.
23
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA Atmadilaga, D . 1973 . Potensi Pengembangan dan Peningkatan Usaha Sapi Perah di Indonesia . Seminar Pengembangan Usaha dan Usaha Peternakan di Indonesia, Jakarta . Dasuki, M .A . 1983 . Perspektif Perkembangan Peternakan Sapi Perah Sebagai Landasan Kesepadanan Mengisi Kebutuhan Susu di Jawa Barat. Disertasi . Universitas Padjadjaran, Bandung . Fischer, H . 1958 . Cattle breeds of Indonesia . Ceylon Veterinary Journal, March-June . Pp 2-4 . Mekir, W .S . 1982 . Parameter Fenotipik dan Genetic Sifat-sifat Reproduksi Sapi Perah Fries Holland di Beberapa Perusahaan Peternakan . Thesis Master . Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor . Merkens, J . 1926 . De Paarden-en Runderteelt in Nederlandsch Indie . Veeartsenijkundige Mededeling No . 51 . Nasoetion, A . M . 1958 . Medan's Dairies . Comm . Vet . 2 :103 . Partodihardjo, S . 1979 . Risalah Inseminasi Buatan di Indonesia . Proceedings Seminar Penelitian dan Penunjang Pengembangan Peternakan . Bogor, 5-8 Nopember 1979 . Lembaga Penelitian Peternakan, Bogor . HIm 281-304 . Purwanto, E . 1979 . Uji Produksi Sapi Laktasi pada Perusahaan Petemakan Sapi Perah di Cirebon . Karya Ilmiah, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Soedono, A . 1983 . Perkembangan Ternak Ruminansia Besar Ditinjau dari Ilmu Pemuliaan Ternak Perah di Indonesia . Prosiding Pertemuan Ilmiah Ruminansia Besar . Cisarua, 6-9 Desember 1982 . Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor . HIm . 361-367 . Soehadji . 2009 . Sejarah Perkembangan Industri Persusuan . Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, Departemen Perindustrian, Jakarta . Sitorus, P ., dan Subandriyo . 1979 . Heritabilitas dan Transmisi Produksi Mani Beku Impor pada Sapi Perah Friesian di Daerah Lembang . Proceedings Seminar Penelitian dan Penunjang Pengembangan Peternakan . Bogor, 5-8 Nopember 1979 . Lembaga Penelitian Peternakan, Bogor . Hlm . 331-335 .
24
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia 1981a . dan Endang Triwulanningsih . Subandriyo, P. Sitorus, Produktivitas Sapi Friesian pada Peternakan Rakyat di Pangalengan dan Lembang . Buletin Lembaga Penelitian Peternakan . No . 27 . Him . 1-10 . Subandriyo, P . Sitorus, dan Endang Triwulanningsih . 1981b . Performans Turunan Hasil IB Mani Beku Impor dengan Sapi Friesian Lokal di ITPT Baturraden dan PS Salib Putih . Bulletin Lembaga Penelitian Peternakan . No . 31 . Him 1-13 . Subandriyo, P . Sitorus, dan Endang Triwulanningsih . 1981c . Penampilan Prestasi Produksi dan Reproduksi Sapi Perah Friesian di Beberapa Perusahaan di Daerah Lembang, Kabupaten Bandung . Buletin Lembaga Penelitian Peternakan . No . 31 . Him . 50-66 . Suharto, Pr . 1979 . Program Pengembangan Peternakan Sapi Perah Penelitian dan Penunjang Proceedings Seminar Nasional . Pengembangan Peternakan . Bogor, 5-8 Nopember 1979 . Lembaga Penelitian Peternakan, Bogor . Him . 62-69 . Tossin, A.N .N .S . 1978 . Daya Produksi Susu dan Efisiensi Reproduksi di Peternakan Sapi Perah "Rumah Perawatan Salib Putih" Salatiga . Umboh, Th .E .W . 1954 . Perusahaan Susu di Pasar Minggu dan Sekitarnya . Hemera Zoa 61 (7-8) : 208-218 . Widodo, M .W . 1979 . Beberapa Performans Sapi Grati . Bogor, 5-8 Nop316 . Widodo, M .W ., M .M . Ardhana, H . Purnomo, Soewono W .R . and J .S . Barker. 1980 . The Productivity of Grati Dairy Cattle Under Village Conditions in East Java, Indonesia . Sabrao J . 12 : 83-98 .
25