Sub-Tema II Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Pantai dan Pesisir
Full Tema2.indb 149
24/10/2011 11:49:04
Full Tema2.indb 150
24/10/2011 11:49:04
Respon Garis Pantai Karena Pemecah Gelombang Ambang Rendah Di Pantai Anyer, Serang, Banten Dede M. Sulaiman1), Mahdi E. Sudjana2), Suprapto3) Peneliti, Balai Pantai, Pusat Litbang Sumber Daya Air 2 Praktisi, Balai Pantai, Pusat Litbang Sumber Daya Air 3 Staf Balai Pantai, Pusat Litbang Sumber Daya Air Jalan Sapan No. 37 Ciparay, Kabupaten Bandung
[email protected],
[email protected],
[email protected] 1
Intisari Struktur pemecah gelombang ambang rendah akan berfungsi dengan baik apabila keberadaannya mampu memberikan perlindungan terhadap pantai di belakangnya dan respon garis pantainya cenderung maju dan bertambah lebar ke arah laut. Demikian pula gelombang yang melewati struktur tersebut mengalami pelemahan yang memungkinkan terjadinya proses sedimentasi dan mengendapkan sedimen di pantai. Dua kriteria keberhasilan penerapan pemecah gelombang tenggelam hanya dapat diketahui dari hasil monitoring secara kontinyu setelah struktur tersebut dibangun. Derajat submergensi dari pemecah gelombang ambang rendah sangat berpengaruh baik terhadap transmisi gelombang maupun terhadap profil pantai yang terbentuk di belakang struktur tersebut. Penempatan 3 prototip pemecah gelombang ambang rendah berbahan geotube di pantai Pasir Putih pada elevasi LWL, yang merupakan pemecah gelombang tenggelam penuh, setelah enam bulan pemasangan, ketiga prototip tersebut telah terisi pasir dan membentuk profil pantai baru di belakang struktur tersebut. Kondisi pantai di sekitar pemasangan prototip geotube memperlihatkan profil yang landai yang menunjukkan kondisi pantai yang stabil dan berbeda dengan profil pantai sebelum dipasanng struktur. Hasil simulasi model numerik untuk elevasi pemecah gelombang yang lebih tinggi, yaitu dipasang pada posisi MSL, menunjukkan pola arus yang terbentuk di belakang struktur jauh lebih tenang dari pada elevasi struktur pada posisi LWL, sehingga respon perubahan garis pantai atau salien yang terbentuk di belakang struktur pemecah gelombang ambang rendah menjadi lebih signifikan. Makalah ini bertujuan menyampaikan hasil kegiatan uji model lapangan pembuatan prototip pemecah gelombang ambang rendah dengan menggunakan geotube sebagai materialnya. Kinerja struktur prototip pemecah gelombang ambang rendah yang direpresentasikan oleh pola perubahan garis pantai di belakangnya dibahas berdasarkan data hasil monitoring garis pantai enam bulan setelah struktur terpasang. Sedangkan pola arus, reduksi gelombang, dan angkutan sedimen dianalisis dengan bantuan simulasi numerik menggunakan MIKE 21. Kata kunci: prototip, pemecah gelombang ambang rendah, perlindungan pantai, geotube, model numerik, pantai Anyer. 151
Full Tema2.indb 151
24/10/2011 11:49:05
152
1. PENDAHULUAN Pemecah gelombang lepas pantai adalah bangunan pelindung pantai yang ditempatkan sejajar garis pantai dan berfungsi sebagai peredam energi gelombang sebelum mencapai pantai. Penggunaan struktur pemecah gelombang lepas pantai di Indonesia, sebagai struktur pengaman pantai sampai saat ini masih kurang populer dibandingkan dengan jenis bangunan pengaman pantai lainnya seperti groin, revetmen, atau pun tembok laut. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain struktur pemecah gelombang ini dikenal sebagai metode perlindungan pantai yang sangat mahal dan dampak estetika yang ditimbulkannya sangat mengganggu terutama untuk pantai wisata. Namun, melalui berbagai inovasi teknologi, yaitu melalui inovasi dimensi dan materialnya, dan beberapa eksperimen baik di laboratorium mapun lapangan, telah dihasilkan struktur pemecah gelombang ambang rendah, yang memilki efektifitas perlindungan yang handal dengan biaya konstruksi yang lebih murah dari pada pemecah gelombang konvensional yang terekspose. Dari segi bahan, saat ini telah banyak diproduksi geotekstil dengan berukuran besar seperti geotube atau karung pasir berbentuk bantal guling yang lebih ekonomis. Kajian terhadap bangunan pemecah gelombang ambang rendah dilakukan melalui serangkaian kegiatan penelitian dan pengembangan, yang diawali dengan uji model fisik di laboratorium, pembuatan prototip skala lapangan, monitoring kinerja prototip, dan pemodelan numerik. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mendapatkan prototip pemecah gelombang ambang rendah yang sesuai dengan karakteristik pantai kajian; (2) mengetahui karakteristik reduksi gelombang di sekitar pemecah gelombang berdasarkan variasi bentuk geometris, konfigurasi penempatan, kedalaman air, tinggi dan periode gelombang; dan (3) mengetahui respon perubahan garis pantai yang terbentuk oleh adanya struktur pemecah gelombang tenggelam. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dimensi Struktur Pemecah Gelombang Ambang Rendah Adaptasi dimensi struktur pemecah gelombang lepas pantai telah menghasilkan struktur pemecah gelombang lepas pantai tenggelam (Submerged Breakwaters) atau sering juga disebut pemecah gelombang ambang rendah (Low-Crested Breakwaters). Istilah pemecah gelombang ambang rendah (Low Crested Breakwaters) akan digunakan dalam makalah ini dan selanjutnya disebut PEGAR, yang didefinisikan sebagai struktur pelindung pantai yang dibangun sejajar pantai dengan bagian puncak berada di bawah air mendekati permukaan atau sedikit muncul di atas permukaan air rata-rata (Buccino dan Calabrese, 2007). Beberapa literatur menunjukkan adanya kecenderungan penggunaan PEGAR di berbagai negara seperti di Amerika Utara, Jepang, dam Eropa (Durgappa, 2008). Bahkan di Jepang penggunaan struktur PEGAR menjadi sangat popular dan lebih banyak digunakan dari pada breakwaters konvensional (Pilarczyk, 2003). Keunggulan PEGAR antara lain mampu mengurangi permasalahan estetika, lebih murah, sirkulasi air yang lebih baik yang memungkinkan meningkatnya kualitas air dan produktivitas biologi, dan mengurangi efek hambatan terhadap angkutan sedimen (Kularatne dkk, 2008).
Full Tema2.indb 152
24/10/2011 11:49:05
153
2.2 Geometri dan Derajat Submergensi Parameter utama yang digunakan dalam menggambarkan geometri PEGAR ditunjukkan pada Gambar 2. Dalam hal ini h = tinggi struktur, d = kedalaman air, dan F= h-d merupaka tinggi jagaan, selisih antara tinggi struktur dan kedalaman air. Salah satu parameter penting dalam mendesain dan menentukan effektifitas pemecah gelombang adalah derajat submergensinya, dijelaskan dengan tiga parameter, yaitu: (1) derajat ketenggelaman (submergence)= d/h, (2) tinggi struktur relatif = h/d, dan (3) perbandingan antara tinggi jagaan terhadap kedalaman air = F/d. Derajat ketertenggelaman merupakan rasio antara kedalaman air terhadap tinggi struktur PEGAR. Untuk struktur konvensional yang terekpose, dimana tinggi puncaknya melampaui kedalaman air, rasionya adalah kurang dari satu atau d/h < 1.0. Sedangkan untuk struktur ambang rendah, rasionya lebih dari satu atau d/h> 1.0. Tinggi struktur relatif, yang merupakan rasio antara tinggi struktur terhadap kedalaman air (h/d) juga dapat dipakai sebagai parameter non-dimensi untuk menggambarkan derajat submergensi dan keterekposannya. Dengan memakai rasio tinggi relatif ini, derajat submergensi struktur adalah lebih kecil dari satu (h/d<1.0 dan untuk struktur yang terekpose rasionya adalah satu ) h/d> 1.0. Freeboard didefinisikan sebagai selisih tinggi antara struktur dan kedalaman air.; F
. ....................................................................................................... (1)
dimana F adalah freeboard, h adalah tinggi struktur, dan d adalah kedalaman air di depan struktur, dengan persamaan (1) tersebut diperoleh nilai freeboard positif untuk pemecah gelombang terekpose dan freeboard negatif untuk PEGAR. Parameter non-dimensi untuk freeboard relatif, merupakan freeboard rasio yang didefinisikan sebagai perbandingan antara freeboard dengan kedalaman air, yaitu: ........................................................................................ (2)
Gambar 1. Penampang PEGAR berbahan geotube (diadaptasi dari www.artificialreefs.org)
Full Tema2.indb 153
24/10/2011 11:49:05
154
3. METODOLOGI 3.1 Karakteristik Lokasi Studi dan Parameter Desain Pantai Pasir Putih, Anyer, terletak di Pantai Barat Provinsi Banten, menghadap Selat Sunda. Secara administratif berada di Kampung Ciparay, Desa Sindanglaya, Kecamatan Cinangka, Kabupaten Serang. Pantai berpasir putih keabuan bersumber dari sedimen yang berasal dari Sungai Cinangka yang bermuara di sebelah selatan. Sedangkan sedimen berwarna putih berasal dari pecahan karang dan cangkang biota laut yang tersebar di sekitar perairan pantai. Kondisi pantai termasuk landai dengan kemiringan antara 0,07 sampai 0,09. Meskipun terletak di antara dua headland alam yang terdiri dari bongkahan karang lapuk yang terabrasi, pantai ini mengalami erosi berat dengan laju sekitar 2 m /tahun (Puslitbang SDA, 2010). Dari hasil analisis kegiatan survei dan desain, diketahui arah dominan gelombang berasal dari Barat, Barat Daya, dan Barat Laut dengan tinggi gelombang maksimal masing-masing 2,56 m dan 1,93 m dan periode 4-10 detik. Pasang-surut di perairan pantai Pasir Putih bersifat semi diurnal, terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam 24 jam. Tunggang pasang (tidal range) sebesar 1,14 m, arus dominan pada saat purnama (spring tide) dan perbani (neap tide), bergerak ke Selatan dan Utara. Kecepatan arus berkisar antara 0,00 m/detik sampai dengan 0,33 m/detik. Bathimetri perairan pantai Pasir Putih, Anyer merupakan dataran karang dengan kedalaman 0-13 m.
Gambar 2. Tipikal Pegar berbahan geotube Struktur pemecah gelombang ambang rendah berbahan geotube yang dipasang terdiri dari lima unit geotube, dengan rincian: tiga unit ditempatkan pada kedalaman 2 m di posisi LWL (muka air laut terendah), pada jarak sekitar 100 m dari pantai dan dua unit geotube dipasang pada kedalaman 1,5 m di posisi MSL (muka air laut rata-rata), pada jarak sekitar 40 m dari pantai Pasir Putih, Anyer.
Full Tema2.indb 154
24/10/2011 11:49:05
155
Gambar 3. Penempatan struktur PEGAR- geotube di pantai Pasir Putih Anyer 3.2 Pemecah Gelombang Ambang Rendah Berbahan Geotube Dari rencana pemasangan 5 buah Pegar geotube, 3 buah geotube diantaranya dengan dimensi lebar, tinggi, dan panjang masing-masing 1,5 m, 1,2 m, dan 20 m (periksa Gambar 3) telah dipasang di Pantai pasir Putih, Anyer pada Bulan Desember 2010. Ketiga geotube dipasang berjejer sejajar garis pantai pada kedalaman 2 m dan jarak dari pantai sekitar 100 m (Gambar 3). Diantara geotube 3 dan geotube 4 dibuat celah selebar 10 m, sedangkan geotube 4 dan geotube 5 dibuat menyatu sehingga membentuk geotube dengan panjang 40 m. Ketiga geotube terpasang pada posisi LWL, karena itu prototip pemecah gelombang tersebut merupakan pemecah gelombang tenggelam penuh. Dua buah geotube tersisa, yaitu geotube 1 dan geotube 2 direncanakan dipasang pada posisi muka air rata-rata (MSL) atau pada kedalaman 1, 5 m dan jarak dari pantai sekitar 40 m (Gambar 3) Untuk kedua geotube tersebut telah dilakukan pemodelan numerik menggunakan MIKE 21 untuk menentukan posisi yang tepat dan menganalisis efektifitas dari keberadaan Pegar tersebut. 3.3 Monitoring Kinerja Prototip Pemantauan terhadap kinerja prototip PEGAR yang telah dipasang pada Bulan Desember 2010 dilakukan untuk merekam perubahan parameter yang terjadi dan untuk mengetahui seberapa efektif struktur tersebut dalam melindungi pantai.
Full Tema2.indb 155
24/10/2011 11:49:06
156
Pemantauan dititikberatkan terhadap perubahan morfologi pantai dengan melakukan pengukuran profil melintang pantai diteruskan dengan pengukuran bathimetri. Pengukuran gelombang dan arus dilakukan di depan dan di belakang struktur Pegar untuk memantau transmisi gelombang sebelum dan setelah melewati struktur. 3.4 Simulasi Model Numerik Kajian keberadaan struktur PEGAR terhadap pola arus, transmisi gelombang, dan profil pantai yang terbentuk dilakukan dengan menggunakan MIKE 21. Modul yang digunakan adalah MIKE 21 SW (Spectral Wave) untuk model gelombang, MIKE 21 HD FM (Bathimetry Meshing) untuk pola arus, dan MIKE 21 FM ST untuk angkutan sedimen. Secara umum ada 3 tahapan yang dilakukan dalam simulasi sediment transport. Tahap pertama adalah melakukan model hidrodinamika, tahap kedua adalah model gelombang, dan tahap ketiga model sediment transport. Pada penelitian ini digunakan simulasi dinamika arus di pantai Anyer menggunakan model hidrodinamika 2D dengan gaya pembangkit (generating force) pasang surut. Model ini dihitung berdasarkan solusi dari persamaan Navier-Stokes dengan persamaan pembangun yang digunakan adalah persamaan kontinuitas dan persamaan momentum. 4. HASIL KAJIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Respon Perubahan Garis Pantai Pengamatan secara visual respon garis pantai setelah pemasangan struktur PEGAR, dapat dibandingkan foto kondisi pantai pada bulan Desember 2010, yaitu kondisi eksisting saat pemasangan PEGAR dan kondisi pantai bulan Juni 2011, enam bulan setelah pemasangan struktur (Gambar 4). Profil pantai pada saat pemasangan struktur (Desember 2010) menunjukkan profil pantai yang curam, mirip dengan profil pantai setelah badai. Sedangkan profil pantai pada Juni 2011, nampak landai yang menunjukkan kondisi pantai yang stabil yang dibentuk gelombang setelah adanya struktur PEGAR di depannya. Respon garis pantai di belakang struktur PEGAR dianalisis berdasar hasil pengukuran profil melintang pantai bulan Maret 2011, Juni 2011 dan dibandingkan dengan profil pantai Juni 2010(desain prototip) dan profil pantai Desember 2010 (profil pantai existing). Hasil monitoring perubahan profil pantai ditunjukkan pada Gambar 5.
Gambar 4. Kondisi pantai Pasir Putih pada Desember 2010 dan Juni 2011
Full Tema2.indb 156
24/10/2011 11:49:10
157
4.2 Kondisi struktur PEGAR Hasil monitoring terhadap kondisi PEGAR setelah enam bulan pasca pemasangan menunjukkan bahwa keberadaan ketiga PEGAR telah tertimbun sedimen pasir seperti diilustrasikan pada Gambar 4 dan Gambar 5. Proses penimbunan sedimen di belakang dan di depan struktur PEGAR, diperkirakan sebagai berikut: (1) struktur telah berfungsi dengan baik dengan meredam dan mereduksi energi gelombang yang lewat di atasnya dan memungkinkan terjadinya proses sedimentasi di belakang struktur. Sebagian sedimen yang berasal dari angkutan menyusur pantai atau longshore transport dan sebagian berasal dari pantai mengendap dan tertimbun di belakang struktur PEGAR, sehingga dalam rentang waktu enam bulan sedimen tersebut menutupi seluruh badan PEGAR; (2) gelombang refleksi yang terbentuk di depan struktur PEGAR menyebabkan terjadinya gerusan lokal atau local scouring dan secara perlahan mengakibatkan ketidakstabilandan selanjutnya mengalami settlement dan tertimbun pasir yang berasal dari onshore-offshore dan longshore transport.
Gambar 5. Profil pantai sebelum dan setelah pemasangan Geotube 4 4.3 Hasil Pemodelan Numerik Simulasi yang telah dilakukan adalah simulasi beberapa kasus untuk menguji pengaruh PEGAR terhadap tinggi gelombang, arus, dan keberadaan sedimen. Kasus yang diujicoba adalah (1) gelombang datang dari arah barat daya, (2) gelombang datang dari arah barat, dan (3) gelombang datang dari arah barat laut. Simulasi dilakukan untuk uji PEGAR tunggal dan PEGAR celah. Dari Gambar 6 dapat diketahui bahwa jika arah datang gelombang dari barat laut, maka perubahan tinggi gelombang di daerah pantai di depan PEGAR tunggal akan cenderung menyebar dan mengecil ke arah tenggara. Penggunaan PEGAR tunggal lebih efektif mengurangi tinggi gelombang di daerah pantai yaitu dari 1,3 m di laut lepas menjadi 0,3 m di pantai yang di belakang PEGAR.
Full Tema2.indb 157
24/10/2011 11:49:10
158
Gambar 6. Perbedaan tinggi gelombang arah barat laut pada PEGAR tunggal (kanan) dan PEGAR celah (kiri)
Gambar 7. Pola pergerakan arus gelombang arah barat laut pada PEGAR tunggal (kanan) dan PEGAR celah (kiri) Untuk pola arus, perbedaan signifikan terlihat pada PEGAR celah yaitu pada posisi celahnya. Terdapat pola pergerakan memutar dengan kecepatan yang kecil.
Gambar 8. Perubahan endapan sedimen pada gelombang arah barat laut pada PEGAR tunggal (kanan) dan PEGAR celah (kiri)
Full Tema2.indb 158
24/10/2011 11:49:11
159
Pada kasus perubahan sedimen dasar, terjadi penambahan di sisi selatan pantai, sesuai dengan arah datangnya energy gelombang dari arah barat laut. Untuk simulasi harian dengan penambahan 0,025 m, maka dalam 1 bulan diperkirakan akan terjadi penumpukan yang cukup besar pada daerah pantai bagian selatan. Jika gelombang datang dari arah barat, maka tinggi gelombang akan melimpasi PEGAR dan secara signifikan berkurang hingga 50% pada lokasi pantai tepat di belakang geotube. Untuk pengurangan tinggi gelombang, dari simulasi ini paling baik menggunakan PEGAR tunggal. Sedangkan untuk pola arus pada kasus ini, pada PEGAR tunggal, terdapat arus yang tidak beraturan di antara pantai dan PEGAR, namun nilainya kecil. Sedangkan pada PEGAR celah, terdapat pola arus ke arah laut lepas dengan nilai kecepatan yang lebih tinggi dibandingkan pada kasus gelombang dari arah barat laut. Perubahan endapan sedimen jika gelombang datang dai arah barat, maka penambahan sedimen juga terjadi di arah selatan pantai, namun berbeda pada PEGAR celah, sebagian sedimen berada di utara pantai. 5. DISKUSI Derajat submergensi dari PEGAR sangat berpengaruh baik terhadap transmisi gelombang maupun terhadap profil pantai yang terbentuk di belakang struktur tersebut. Penempatan 3 unit PEGAR pantai Pasir Putih pada elevasi LWL, yang merupakan pemecah gelombang fully submerged, berfungsi dengan baik sebagai penahan sedimen ke arah lepas pantai, tetapi kurang efektif dalam melindungi pantai di belakangnya. Setelah enam bulan pemasangan, ketiga PEGAR tersebut telah tertimbun pasir dan membentuk profil pantai baru seperti ditunjukkan pada Gambar 5. Kondisi pantai di sekitar pemasangan PEGAR memperlihatkan profil yang landai yang menunjukkan kondisi pantai yang stabil dan berbeda dengan profil pantai sebelum dipasang PEGAR yang lebih terjal (Gambar 4). Hasil simulasi model untuk elevasi PEGAR yang lebih tinggi, yaitu dipasang pada posisi MSL, seperti yang akan diterapkan pada geotube 1 dan geotube 2 menunjukkan bahwa pola arus yang terbentuk di belakang struktur jauh lebih tenang dari pada elevasi struktur pada posisi LWL, sehingga respon perubahan garis pantai atau salien yang terbentuk di belakang PEGAR menjadi lebih signifikan dan sesuai dengan tujuan penerapan struktur PEGAR tersebut. Keberhasilan dan efektifitas struktur PEGAR sebagai pelindung pantai dan pengimbuh pantai hanya dapat dicapai dengan memahami parameter lingkungan dan parameter struktur yang mempengaruhi proses erosi-akrasi melalui berbagai tahapan mulai dari uji laboratorium, prototip lapangan, dan kajian numerik (Ranasinghe dan Turner, 2005). Karena itu, kegiatan penelitian dan pengembangan ini perlu dikembangkan secara empiris, berdasarkan studi lapangan, dan fokus pada kajian parameter hidro-oseanografi dan kriteria desain dari struktur yang akan diterapkan. KESIMPULAN 1. Tertimbunnya prototip PEGAR setelah enam bulan pemasangan diperkirakan terjadi karena gelombang refleksi yang terbentuk di depan struktur PEGAR menyebabkan terjadinya gerusan lokal dan secara perlahan mengalami penurunan atau settlement dan selanjutnya tertimbun pasir yang berasal dari onshoreoffshore dan longshore transport.
Full Tema2.indb 159
24/10/2011 11:49:11
160
2. Penggunaan struktur ambang rendah dalam perlindungan pantai memberikan beberapa keuntungan, yaitu (1) secara estetika, struktur PEGAR tidak mengganggu pemandangan ke arah laut, karena dipasang pada kedalaman muka air rendah, walaupun saat air surut PEGAR tidak nampak, (2) gelombang tidak dimatikan secara total sehingga respon pantai di belakang PEGAR relatif seragam pada arah memanjang pantai, (3) gelombang di belakang PEGAR energinya telah berkurang sehingga perairan di belakangnya aman untuk berenang, dan (4) dampak yang ditimbulkan PEGAR lebih kecil dari struktur PG konvensional, karena itu PEGAR lebih ramah lingkungan. Kelemahannya adalah karena elevasi PEGAR lebih rendah dari PG konvensional, proses perubahan garis pantai dan terbentuknya tombolo atau salient akan lebih lambat dari pada PG konvensional. 3. Penggunaan geotube 1 dan geotube 2 yang sedikit muncul dia atas muka air rata-rata (MSL) sangat berpengaruh terhadap pantai di belakang struktur dan efektifitasnya dalam membentuk pantai lebih signifikan dari pada PEGAR yang dipasang pada elevasi muka air rendah (LWL). 4. Perbedaan PEGAR tunggal dan bercelah pada geotube 1 dan geotube 2 menunjukkan bahwa PEGAR tunggal dapat mereduksi tinggi gelombang lebih signifikan. Sedangkan keunggulan PEGAR bercelah lebih pada penyebaran sedimen yang lebih terdistribusi dibanding PEGAR tunggal. DAFTAR PUSTAKA Buccino, M. dan Calabrese, M., 2007. “Conceptual Approach for Prediction of Wave Transmission at Low Crested Breakwaters”, Journal of Waterway, Port, Coastal, and Ocean Engineering, American Society of Civil Engineering, Vol.133 No.3, pp.213-224. DHI, 2005. “MIKE 21 Flow Model FM Hydrodynamic Module”. User Guide. DHI Water and Environment, Denmark, 108 pp. Durgappa H.R., 2008. “Coastal Protection Works”, Proceedings of COPEDEC VII, Dubai, UAE Kularatne S.R., Kamphuis, J.W. dan Dabees, M.A., 2008. “Morphodynamics Around Low Crested Breakwaters – a Numerical Study”, Proceedings of COPEDEC VII, Dubai, UAE. Pilarczyk, K.W., 2003. “Design of Low Crested (Submerged) Structures- an Overview-, Proceedings of COPEDEC VI, Colombo, Sri Lanka. Pusat Litbang Sumber Daya Air, 2010. “Pembuatan Prototip Pemecah Gelombang Ambang Rendah”, Laporan Akhir, Bandung. Pusat Litbang Sumber Daya Air, 2009. “Uji Model Fisik Pemecah Gelombang Ambang Rendah Pantai Pangandaran, Kabupaten Ciamis”, Laporan Akhir, Bandung. Ranashinghe, R., dan Turner, I.L., 2005. “Shoreline Response to Submerged Structure: A Review”. Elsevier BV., Coastal Engineering 53 (2006) 65 – 79 www.artificialreefs.org/ submerged breakwaters
Full Tema2.indb 160
24/10/2011 11:49:12
Perbandingan Metoda Peramalan Gelombang Groen - Dorrestein Dengan Metoda SPM (Studi Kasus Perairan Lemahabang, Jepara, Jawa Tengah) Yati Muliati Jurusan Teknik Sipil Itenas
[email protected],
[email protected]
Intisari Data gelombang laut dibutuhkan dalam perencanaan struktur tepi maupun lepas pantai, selain itu juga untuk perlindungan pantai dan kawasan pesisir dari bahaya erosi. Data gelombang dapat diperoleh dari hasil pengukuran maupun pengamatan secara langsung, namun pada suatu daerah perairan, dimana tidak tersedia data gelombang, dan tidak memungkinkan dilakukan pengukuran maupun pengamatan secara langsung mengingat biaya cukup tinggi, maka tinggi dan perioda gelombang dapat diperkirakan berdasarkan data angin. Peramalan gelombang dari data angin dapat dilakukan dengan berbagai metoda. Dalam penelitian ini dibandingkan dua metoda peramalan terhadap data hasil pengukuran, yaitu metoda Groen - Dorrestein dan metoda dari Shore Protection Manual (SPM) yang diterbitkan oleh US Army Corps of Engineer. Selanjutnya dianalisis metoda mana yang hasil peramalannya paling mendekati hasil pengukuran di lapangan. Penelitian mengambil studi kasus di perairan Lemahabang, Jepara dengan data angin selama satu tahun. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menyimpulkan metoda mana yang paling sesuai digunakan khususnya untuk perairan yang ditinjau, dan umumnya untuk Laut Jawa bahkan perairan di Indonesia. Kata kunci: peramalan gelombang, data angin, Groen-Dorrestein, SPM. 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gelombang laut merupakan faktor penting dalam pembentukan gelombang maupun komposisi pantai. Disamping itu, informasi mengenai gelombang diperlukan dalam perancangan pelabuhan, alur pelayaran, tindakan-tindakan pencegahan erosi, bangunan-bangunan pantai, dan pekerjaan di bidang kelautan lainnya. Namun demikian, data gelombang di Indonesia sangat sulit didapat, sementara pengukuran langsung di lapangan membutuhkan biaya yang sangat besar. Salah satu alternatif untuk mendapatkan data gelombang adalah memperkirakannya dengan menggunakan data angin dari stasiun meteorologi terdekat dan peta lokasi daerah tersebut.
161
Full Tema2.indb 161
24/10/2011 11:49:12
162
1.2 Maksud Dan Tujuan Maksud penelitian ini adalah untuk meramalkan tinggi dan periode gelombang di perairan dalam dengan metode Groen-Dorrestein dan metoda Shore Protection Manual (SPM) dari Coastal Engineering Research Center, US Army Corps of Engineer, yang selanjutnya dibandingkan dengan tinggi gelombang hasil pengukuran. Tujuannya adalah untuk menunjukkan metoda mana yang paling sesuai digunakan di Perairan Laut Jawa Tengah. 1.3 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi literatur, pengumpulan data sekunder, meramalkan gelombang dengan dua metoda, membandingkan hasil peramalan dengan hasil pengukuran, dan menganalisis metoda mana yang hasil peramalannya paling mendekati hasil pengukuran di lapangan. Penelitian mengambil studi kasus di perairan Lemahabang, Jepara dengan data angin yang digunakan adalah selama satu tahun, yaitu tahun 1993. 1.4 Kajian Pustaka Peramalan gelombang di perairan dalam dilakukan untuk memperkirakan besar tinggi gelombang dan periodanya berdasarkan data angin. Berbagai metoda yang ada untuk peramalan gelombang umumnya menggunakan data kecepatan angin (w), durasi angin/lamanya angin bertiup (t), dan fetch efektif (Feff) di lokasi. Fetch adalah jarak seret angin atau jarak sumber angin atau daerah dimana kecepatan angin dan arah angin konstan, sehingga menimbulkan gelombang di laut, oleh karena itu fetch juga didefinisikan sebagai daerah pembentukan gelombang. Semakin panjang daerah pembentukannya, semakin besar pula gelombang yang dihasilkan oleh suatu angin dengan kecepatan tertentu, sampai gelombang itu mencapai kondisi yang tetap (fully developed). Daerah pembentukan gelombang dibagi dalam 8 (delapan) arah mata angin utama. Setiap mata angin utama memiliki 9 (sembilan) garis fetch dengan sudut antaranya 5o. Garis fetch ditarik dari titik pembentukan gelombang hingga menyentuh daratan (pulau). Fetch efektif untuk masing-masing arah utama dihitung dengan persamaan di bawah ini:
Feff
f .cos cos i
i
i
Dengan keterangan:
Dengan: Feff : panjang fetch efektif (m) FFeff : panjangfetch fetchke-i efektif : panjang (m)(m) Fi i : panjang fetch ke-i (m) α : sudut antara fetch ke-i dengan arah utama (derajat) ii : sudut antara fetch ke-i dengan arah utama (derajat)
Di bawah ini diuraikan landasan teori untuk 2 metoda peramalan gelombang yang akan dibandingkan. 1/ 7 10 U(10) U(z) z
U R T U(10)
Full Tema2.indb 162
U A 0.71U 1.23
24/10/2011 11:49:12
163
Metoda Groen – Dorrestein Metoda ini diambil dari pustaka berjudul “Hydraulica” karangan Ir.I.W.Nortier terbitan tahun 1961 dimana tidak dijumpai rumusan persamaan untuk grafik yang digunakan. Dalam grafik, kecepatan angin dimulai dari 5 m/s dan periode dimulai dari 2 sekon. Penggunaan grafik digunakan untuk tiga (3) kombinasi, kombinasi ke-1 adalah hubungan antara kecepatan angin (w) dan durasi angin (t), dari titik pertemuan hubungan tersebut diperoleh data Fetch ramalan, fetch ramalan ini dibandingkan dengan fetch efektif (Feff) berdasarkan lokasi yang ditinjau. Jika fetch ramalan lebih kecil dari fetch efektif di lokasi, maka hal ini memenuhi untuk mencari tinggi dan periode gelombang ramalan. Kombinasi ke-2 adalah hubungan antara Feff dan w, dari titik pertemuan hubungan tersebut diperoleh t ramalan, dimana jika t ini lebih kecil dari t di lokasi yang ditinjau, maka hubungan ini dapat memenuhi untuk mencari tinggi dan periode gelombang ramalan. Demikian halnya dengan kombinasi ke-3, yaitu hubungan antara Feff dan t, yang selanjutnya dibandingkan nilai w yang dihasilkan dengan w di lokasi. Jika w ramalan lebih kecil dari w di lokasi, maka dapat memenuhi untuk mencari tinggi dan periode gelombang ramalan. Pada Gambar 1 disajikan nomogram/grafik peramalan gelombang dari Groen dan Dorrestein.
Gambar 1 Nomogram peramalan gelombang dari Groen dan Dorrestein.
Full Tema2.indb 163
24/10/2011 11:49:16
164
Metoda Shore Protection Manual (SPM) Metoda ini memberikan persamaan yang berbeda untuk daerah dengan fetch tak terbatas (fully developed sea) dan daerah dengan fetch tertentu (non fully developed sea). Untuk ����������������������������������������������������������������������������� daerah dengan fetch tertentu, situasi di lokasi dapat menghasilkan kondisi fetch limited atau duration limited. Pada kondisi fetch limited, angin bertiup tetap cukup lama untuk tinggi gelombang pada daerah akhir fetch untuk mencapai keseimbangan. Pada kondisi duration limited tinggi gelombang ditentukan oleh lama waktu angin berhembus. Pada umumnya bentuk terjadinya gelombang merupakan kombinasi dari dua kasus tersebut. Secara ringkas tahapan peramalan gelombang yang dilakukan dalam metoda SPM ini disajikan pada Gambar 2 di bawah ini.
Hm0 : HS : tinggi gelombang signifikan (m) TP : perioda gelombang (detik) F : panjang fetch efektif (m) UA : wind stress factor (kecepatan angin yang dimodifikasi) t : durasi angin (jam)
Gambar 2. Bagan alir proses peramalan Metoda SPM. Wind stress factor merupakan kecepatan angin yang dimodifikasi, hasil koreksi dan konversi terkait dengan faktor ketinggian, stabilitas, dan efek lokasi, sbb. : Koreksi Ketinggian Wind stress factor dihitung dari kecepatan angin yang diukur dari ketinggian 10 m di atas permukaan. Bila data angin diukur tidak dalam ketinggian ini, koreksi perlu dilakukan dengan persamaan berikut ini (persamaan ini dapat dipakai untuk z <20m):
Full Tema2.indb 164
24/10/2011 11:49:16
Feff
cos
i
Dengan: Feff : panjang fetch efektif (m) Fi : panjang fetch ke-i (m) i : sudut antara fetch ke-i dengan arah utama (derajat)
165
f i .cos i 1/ 7 Feff 10 U(10) Ucos (z) i z dengan: Dengan: FU(10) Ueff R :T:Kecepatan Upanjang (10) fetch anginefektif pada (m) elevasi 10 m (m/detik) FU(z) : panjang (m) i : Kecepatan anginfetch padake-i ketinggian pengukuran (m/detik) i : sudut antara fetch ke-i dengan arah utama (derajat) z
: Kecepatan angin pada ketinggian pengukuran (m).
Koreksi U AStabilitas 0.71U 1.23 1/ 7 10 berkaitan dengan perbedaan temperatur udara tempat ini Koreksi stabilitas U(10) U(z) bertiupnya angin dan z air tempat terbentuknya gelombang. Persamaan koreksi stabilitas ini adalah PHP sebagai PDA berikut: IKP PDA U R T U(10 ) dengan: f i . cos i angin setelah dikoreksi (m/detik) U : Kecepatan PHP PDA F eff IKPsebelum rata rata selanjutnya dihitung (m/ detik) : N U(10): Kecepatan angin dikoreksi cos i PDA RT : Koefisien stabilitas, nilainya didapat dari grafik pada SPM (Vol. I, 1.23 U A 0.71U Figure 3-14), atau pada makalah ini disajikan pada Gambar 3.
Dengan: Feff temperatur : panjang udara fetch efektif (m)(sebagai data untuk membaca grafik) Jika data dan air PHP PDA Fi : panjang fetch ke-i (m) dimiliki, maka memakai nilai RT =1.10. dianjurkan IKP : sudut antara fetch ke-i dengan arah utama (derajat) i
tidak
PDA Koreksi efek lokasi Koreksi ini diperlukan bila data angin yang diperoleh berasal dari stasiun darat, bukan diukur langsung 1di atas permukaan laut, ataupun PDAdi tepi pantai. Untuk PHP /7 IKP rata rata selanjutnya dihitung 10 : N kecepatan angin mengubah yang bertiup di atas PDAmenjadi U(10kecepatan ) U(z) angin daratan z digunakan grafik yang ada pada SPM (Vol I, Figure 3-15), yang bertiup di atasair, atau pada Gambar 4 di makalah ini.
Konversi U ke R Twind U(10)stress factor Setelah koreksi dan konversi kecepatan di atas dilakukan, tahap selanjutnya adalah mengkonversi kecepatan angin tersebut menjadi wind stress factor, dengan menggunakan persamaan berikut ini. U A 0.71U 1.23
dengan: UA : Wind stress factor (m/s) PHP PDA U IKP: Kecepatan angin (m/s) PDA
PHP PDA selanjutnya dihitung IKP rata rata :N PDA
Full Tema2.indb 165
24/10/2011 11:49:16
166
Gambar 3 Grafik yang digunakan untuk melakukan koreksi stabilitas.
Gambar 4 Grafik yang digunakan koreksi efek lokasi. 2. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Setelah didapat tinggi gelombang di perairan dalam (Ho) dan periode gelombang (T) dari hasil peramalan, hasil tersebut dibandingkan dengan data gelombang aktual, yaitu gelombang hasil pengukuran langsung per tiga (3) jam, dimana untuk jam yang sama diambil data tinggi gelombang ramalannya. Sebagai contoh untuk metoda Groen – Dorrestein, diambil data dari hasil ramalan pada tanggal 3 Januari 1993 jam 02.00 sampai 09.00, dari arah Barat Laut, sbb. : jam 02-03 (t = 2 jam) didapat Ho = 0,34 m, jam 02-06 (t = 5 jam) didapat Ho = 0,46 m, jam 02-09 (t = 8 jam) didapat Ho = 0,49 m. Ketiga data tersebut dibandingkan dengan data aktual pada jam yang sama, sehingga dihasilkan selisih rata-rata sebesar 0,25 m. Mengingat jumlah data yang dibandingkan cukup banyak, maka dari hasil peramalan dan data hasil pengukuran, dibuat pengelompokkan data tinggi gelombang, dan dibuat tabel frekuensi kejadian gelombang dalam satu tahun, yang selanjutnya dikonversikan ke dalam prosentase, yaitu prosentase hasil peramalan (PHP) dan prosentase data aktual (PDA). Dengan menganggap data hasil pengukuran adalah data yang akurat, untuk masing-masing kelompok interval tinggi gelombang dihitung Indeks Kesalahan Peramalan (IKP),
Full Tema2.indb 166
24/10/2011 11:49:17
U R T U(10) U R T U(10)
167
U A 0.71U 1.23 U A 0.71U 1.23
IKP IKP
PHP PDA PDA PHP PDA PDA
PHP PDA selanjutnya dihitung IKP rata rata :N selanjutnya dihitung PDA PHP PDA selanjutnya dihitung IKP rata rata :N PDA dengan N adalah jumlah kelompok interval. Perhitungan IKP di atas untuk 2 metoda disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2 berikut. Tabel 1. Perhitungan IKP untuk Hasil Peramalan Metoda Groen-Dorrestein (1993) Tinggi No Gelombang (m) 1 0,0 – 0,2 2 0,2 – 0,4 3 0,4 – 0,6 4 0,6 – 0,8 5 0,8 – 1,0 6 1,0 – 1,2 7 >1,2 Jumlah IKP rata-rata
Peramalan
Aktual
Frekuensi
PHP (%)
Frekuensi
PDA (%)
171 1109 1257 31 2 24 2 2596
6,59 42,72 48,42 1,19 0,08 0,92 0,08 100
748 566 710 328 81 34 129 2596
28,81 21,80 27,35 12,63 3,12 1,31 4,97 100
IKP = │PHPPDA│ PDA 0,77 0,96 0,77 0,91 0,97 0,30 0,98 5,66 0,81
Tabel 2. Perhitungan IKP untuk Hasil Peramalan Metoda SPM
Tinggi No Gelombang (m) 1 0,0 – 0,2 2 0,2 – 0,4 3 0,4 – 0,6 4 0,6 – 0,8 5 0,8 – 1,0 6 1,0 – 1,2 7 >1,2 Jumlah IKP rata-rata
Peramalan
Aktual
Frekuensi
PHP (%)
Frekuensi
PDA (%)
1249 80 70 384 325 270 218 2596
48,1 3,1 2,7 14,8 12,5 10,4 8,4 100
748 566 710 328 81 34 129 2596
28,81 21,80 27,35 12,63 3,12 1,31 4,97 100
IKP = │PHPPDA│ PDA 0,67 0,86 0,90 0,17 3,0 6,94 0,69 13,23 1,89
Penyimpangan dari hasil peramalan yang ditampilkan dalam bentuk Indeks Kesalahan Peramalan (IKP) untuk metoda Groen-Dorrestein menunjukkan hasil 0,81, sedangkan untuk metoda SPM menunjukan hasil 1,89. Hasil peramalan tinggi gelombang maksimum berdasarkan data angin tahun 1993 di perairan Lemahabang Jepara dengan metoda Groen-Dorrestein sebesar 1,23 m, dengan periode gelombang 4,3 sekon, sedangkan dengan metoda SPM tinggi gelombang maksimum mencapai 3,94 meter dengan periode gelombang 6,3 detik. Sementara itu hasil pengukuran gelombang mencapai tinggi gelombang maksimum 2,61
Full Tema2.indb 167
24/10/2011 11:49:17
168
m dengan perioda 6,3 sekon, maka penyimpangan untuk metoda Groen-Dorrestein 43% dan Metoda SPM 45%. Nilai penyimpangan untuk kedua metoda relatif hampir sama, oleh karena itu kesimpulan penelitian hanya dikaitkan dengan prosentase dari frekuensi kejadian saja, yaitu dari nilai Indeks Kesalahan Peramalan. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Dilihat dari nilai Indeks Kesalahan Peramalan yang lebih rendah yaitu 0,81, maka hasil peramalan dengan metoda Groen-Dorrestein dianggap lebih dapat mewakili hasil pengukuran, bila dibandingkan dengan metoda SPM. Dengan kata lain metoda Groen-Dorrestein lebih sesuai digunakan pada lokasi studi. 2. Diharapkan dapat dilakukan studi yang lebih mendalam, sehingga didapatkan persamaan matematis yang digunakan dalam grafik Groen-Dorestein. 3. Disarankan studi kasus serupa dilakukan pula untuk lokasi lain di Indonesia untuk dapat memberi gambaran yang lebih tepat dalam penggunaan metoda peramalan gelombang yang akurat di Indonesia. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan khususnya kepada PT. Geomarindex cabang dari PT.Wiratman & Associates, salah satu anggota konsorsium konsultan yang mengerjakan pengukuran gelombang untuk proyek PLTN Muria, atas pemberian data gelombangnya sehingga penelitian ini dapat dilakukan. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 1984, Shore Protection Manual. US. Army Corps of Engineers. Iven, 2005, Peramalan Gelombang dari Data Angin dengan Metoda Groen dan Dorrestein (Studi Kasus di Semarang), Teknik Sipil Itenas, Bandung. Juniati, A.T., 1995, Evaluasi Metoda Peramalan Gelombang untuk Kondisi Laut Jawa, Teknik Sipil ITB, Bandung. Muliati, Y., 1997, Studi Awal Perumusan Karakteristik Gelombang Laut Jawa (Studi Kasus Perairan Lemahabang Jepara), Teknik Sipil ITB, Bandung. Nortier, I.W., 1961, Hydraulica, Culemborg Keulen.
Full Tema2.indb 168
24/10/2011 11:49:17
Peningkatan Pengelolaan Sumber Daya Air Di Wilayah Pantai Dan Pesisir Teluk Bone Dengan Keberadaan Bendung Gerak Tempe Dan Jetis Ala Marunda Subandi1), Thomas Raya Tandisau2), M. K. Nizam Lembah3), Agus Hasanie4) Individual Konsultan Pengembangan Sumber Daya Air, Makassar 90222, Indonesia 2) Jabfung Tenaga Ahli SDA, BBWS Pompengan Jeneberang, Makassar 90222, Indonesia 3) Ka Satker SDA SulSel II, BBWS Pompengan Jeneberang, Makassar 90222, Indonesia 4) Pelaksana Teknik PPK OP SDA I, BBWS Pompengan Jeneberang, Makassar 90222, Indonesia
[email protected] 1)
Intisari Adanya kekeringan di musim kemarau, banjir di musim hujan, ganasnya ombak di musim badai, pendangkalan di muara Cenranae menyebabkan penduduk di pantai Cenranae Teluk Bone merasa takut bahkan tidak dapat mencari ikan, tidak dapat memanen rumput laut dan memanen ikan/udang ditambak mereka. Wajar kalau Delta Cenranae semangkin meluas areanya, mempersulit transportasi sungai dari muara ke hulu dan sebaliknya, karena banyak perahu yang kandas. Ditambah lagi bermunculan beberapa anak sungai baru di Delta Cenranae, menyebabkan semakin sulit penduduk yang tinggal di wilayah pesisir Cenranae mengendalikan saluran drainasenya. Untuk mengatasi masalah tersebut di atas, diperlukan peningkatan pengelolaan sumber daya air terpadu, mulai dari hulu sampai kehilir sungai atau sebaliknya, antara lain; memelihara beberapa sarana sumber daya air yang sudah ada dan mengoperasikannya semaksimal mungkin, bilamana perlu, membangun sarana sumber air baru, misalnya; dam penahan sedimen, bendungan, bendung gerak Tempe, bangunan Jetti dan pemecah ombak Cenranae termasuk mengembangkan konservasi pantai dan konservasi daratan. Tujuannya agar masyarakat terlindungi dari bencana alam yang ditimbulkan oleh air, misalnya tanah longsor, banjir, kekeringan dan abrasi pantai. Apabila mereka bisa terhindar dari bencana dimaksud, ekonomi mereka meningkat, kesejahteraan rakyat tercapai. Kata Kunci: Teluk Bone, Muara Cenranae, Danau Tempe
169
Full Tema2.indb 169
24/10/2011 11:49:17
170
1. PENGANTAR
Gambar 1. Lokasi Peningkatan Pengelolaan Sumber Daya Air di Muara Cenranae Teluk Bone Sulawesi Selatan Gambar 1 diatas menampilkan lokasi pengelolaan sumber daya air wilayah pantai dan pesisir Teluk Bone yang akan ditingkatkan. pengelolaannya oleh Balai Besar Wilayah Sungai Pompengan Jeneberang Direktorat Jenderal Sumber Daya Air. Salah satu muara sungai di Teluk Bone adalah Muara Cenranae yang menjadi muara semua sungai yang ada di Daerah Aliran Sungai Walanae Cenranae dengan Sarana dan Prasarana seperti yang ditampilkan pada Gambar 2, yakni: Prasarana Sumber Daya Air : 3 danau penampung banjir yakni Danau Tempe, Danau Sidenreng dan Danau Buaya. Ada 7 Sungai besar yakni Sungai WalanaE, Cenranae, Bila, Gilirang, Paremang dan Sungai Siwa. Anak sungai yang ada berjumlah 40 sungai antara lain : Sungai Biloka, Wettee, Tinco, dan anak sungai lainnya yang tidak disebut disini. Sarana SDA : Bendung berjumlah 11 buah yakni : Bendung Bila, Bulucenrana, Biloka, Lampulajeng, Latenreng, Lajaroko, Salobone, DaoE, Langkeme, Batusianre dan Bendung Gerak Tempe (dlm proses pembangunan, yang direncanakan akan selesai 18 Maret 2013). Hanya ada 2 Bendungan Irigasi yakni : Bendungan Irigasi Kalola dan Bendungan Irigasi Ponre Ponre termasuk beberapa kilometer Saluran Irigasinya antara lain Saluran Irigasi Bila, Ponre Ponre, Langkeme, dan sebagainya.
Full Tema2.indb 170
24/10/2011 11:49:18
171
Gambar 2 : Pra Sarana dan Sarana SDA DAS Walanae Cenranae 2. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Peningkatan pengelolaan sumber daya air di wilayah Muara Cenranae akan dilakukan secara terpadu walaupun pelaksanaan dilakukan tahap demi tahap mulai dari pantai Muara Cenranae sampai ke hulu sungai atau sebaliknya dari hulu yang terkait dengan keterbatasan dana dan kebutuhan yang sangat mendesak. Pelaksanaanya berupa konstruksi dan non konstruksi, antara lain : 1. bendungan penahan sediment; 2. pengembangan konservasi daratan dan pantai; 3. pembangunan Bendung gerak Tempe; 4. normalisasi sungai; 5. pembangunan Jetti Muara Cenranae; 6. pembangunan pemecah ombak Cenranae, dan sebagainya yang bisa diuraikan sebagai berikut: 1. Dam Penahan Sedimen. Pembangunan Dam Penahan Sedimen ini sangat bermanfaat untuk menanggulangi sedimin yang mengarah ke hilir termasuk yang masuk ke Danau Tempe, Danau Sidenreng dan Danau Buaya. karena itu perlu dibangun di hulu sungai dan ditempat tempat yang rawan longsor. 2. Pengembangan Konservasi Daratan dan Pantai. Pengembangan konservasi daratan berwawasan lingkungan hidup WalanaE Cenranae akan bermanfaat untuk mencegah terjadinya tanah longsor sekaligus mencegah adanya erosi. karena itu pelestarian pohon yang sudah ada akan tetap dipertahankan. Bilamana perlu menanam sebayak mungkin pohon baru untuk mencegah erosi dan tanah longsor misalnya Pohon Matoa, Beringin, Bambu, dsb. Adanya acara acara tradisional, adanya aneka fauna dan flora setempat akan tetap dilestarikan sebagai daya tarik wisatawan yang kelak akan menjadi tujuan wisata unggulan yang akan berlanjut dengan munculnya hotel, restoran, pasar ikan, dan sebagai-
Full Tema2.indb 171
24/10/2011 11:49:18
172
nya. Berdasarkan pemantauan lingkungan, jenis hewan dan tanaman di Danau Tempe dan sekitarnya adalah : ikan 21 jenis, burung 72 jenis, menyusui 1 jenis, Moluska 8 jenis, reptil 6 jenis dan tanaman 68 jenis. Pengembangan Konservasi pantai dan daratan berwawasan lingkungan, mencakup kegiatan pelestarian tanaman yang sudah ada bahkan menanam baru pepohonan dan tanaman yang dianggap cocok untuk menghindari abrasi pantai, yang cocok dikembangkan adalah pohon kelapa, bakau, rumput laut, dsb. Berdasarkan pengamatan lingkungan, banyak kehidupan yang menarik di Pantai/pesisir Cenranae, antara lain; penangkapan ikan treasional, adanya panorama alam, acara acara tradisional, aneka fauna dan flora pantai Cenranae daya tarik para wisatawan dan dapat dikembangkan menjadi tujuan wisata andalan karena itu kelangsungan hidupnya perlu kita jaga. Foto lingkungan hidup di Danau Tempe sampai ke pantai Cenranae ditampilkan pada Gambar 11 agar lebih memperjelas lingkungan hidup disana sampai saat ini. 3. Pembangunan Bendung Gerak Tempe. Bendung Gerak Tempe saat ini sedang dibangun yang akan sangat berperan sebagai penormalisir elevasi air Danau Tempe sampai ke elevasi normal yaitu elevasi plus lima (+5). Sebelum ada Bendung Gerak Tempe, dimusim kemarau Danau Tempe selalu mengering. Fasilitas Bendung Gerak Tempe dapat dilihat pada Gambar 3, antara lain : a). Satu Pintu Pelayaran. Pintu Pelayaran ini ukurannya (5x5) m, dilengkapi dengan satu ruang pelayaran berukuran (5x20) m yang bermanfaat untuk mengendalikan masuk keluarnya perahu nelayan atau wisatawan yang akan menuju ke danau tempe dari Teluk Bone atau sebaliknya. Sketsa sistem pengoperasiannya dapat dilihat pada Gambar 5. Apabila pintu navigasi tidak bisa dibuka karena terkendala dengan pasokan listrik PLN atau Genset maka perlu ada penambahan empat dermaga transito yang dilokasikan dihulu dan dihilir Bendung Gerak Tempe. Dermaga transito ini sangat diperlukan untuk transit nelayan atau wisatawan dari danau tempe ke Teluk Bone atau sebaliknya. b). Empat Pitu Pengatur Elevasi Air. Pintu pengatur elevasi air ini berukuran @ (17,5x5) m bermanfaat untuk meninggikan elevasi air di hulu Bendung Gerak Tempe sampai dengan elevasi normal (+5) selama musim kemarau dengan cara menutup keempat pintunya. Dengan demikian Danau Tempe tidak akan kering lagi. c). Satu Tangga Ikan Tangga ikan ini berukuran (5x3) m. tanpa dilengkapi pintu, bermanfaat untuk hilir mudiknya ikan dari Pantai dan Pesisir Cenranae/Teluk Bone ke Danau Tempe atau sebaliknya. 4. Normalisasi Sungai. Normalisasi sungai ini meliputi mengeruk endapan yang ada disungai, memasang krip, membangun groundsill dihilir Bendung Gerak Tempe dan dihilir jembatan, dan sebagainya. 5. Bangunan Jetti Muara Cenranae. Pembangunan Jetti Muara Cenranae ini walaupun masih dalam gagasan, perlu dibahas dan dibangun karena dengan pembangunan Jetti ini, Delta Muara Cenranae dapat dinormalisir. Masalahnya, delta ini akan mempengaruhi tidak lancarnya pengaliran sungai ke Teluk Bone
Full Tema2.indb 172
24/10/2011 11:49:19
173
dan terganggunya transportasi sungai bagi nelayan/wisatawan dari Danau Tempe ke Teluk Bone dan sebaliknya. Ketidak lancaran aliran sungai dari hulu ini sering menimbulkan banjir di rumah penduduk, jalan dan fasilitas umum lainnya yang oleh masyarakat banjir berasal dari Sungai Cenranae, WalanaE, dan sungai sungai lainnya. Padahal, asal banjir dari muara yang tersumbat delta yang ada di muara Cenranae Untuk itu, perlu menormalisir Muara Cenranae dengan konstruksi Jetti. Konstruksi Jetti metode Marunda seperti yang terlihat pada gambar 8, dapat dipakai sebagai acuan, karena materialnya mudah didapat didesa Cenranae, banyak memberdayakan tenaga setempat, mudah pelaksanaannya. Tiang pancang dan Matras dari bambu tujuh lapis, diatas matras bamboo diberi geotektil dan diatasnya lagi ditumpuk batu Rip Rap, tanpa harus diplester. Konstruksi Jettis ini, saat ini sedang dalam pelaksanaan di muara Marunda Jakarta Barat oleh Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane tujuan utamanya adalah untuk mengatasi Banjir di daerah Jakarta Barat dan Cengkareng. 6. Bangunan Pemecah Ombak Cenranae. Pembangunan Bangunan Pemecah Ombak Cenranae ini juga masih dalam gagasan yang perlu dibahas dan dibangun. Bangunan ini adalah sebuah pulau buatan untuk menangkis ombak masuk ke daratan melalui muara Cenranae. Pasalnya, dihilir muara Cenranae tidak ada pulau satupun seprti di Ambon, di Makasar, dsb. Bangunan pemecah ombak ini dapat mengacu ke metode Ancol yang sketsanya dapat dilihat pada Gambar 9. Bangunan ini sudah selesai dilaksanakan oleh investor pengelola wisata Ancol dan Pemda DKI Jakarta untuk melindungi kawasan wisata di daerah Ancol Jakarta Utara.
Gambar 3. Fasilitas Bendung Gerak Tempe
Full Tema2.indb 173
24/10/2011 11:49:19
174
. PENAMPANG MEMANJANG BENDUNG GERAK TEMPE 5.00 3.00 1.50 1.50 5.00
Max WL + 9
Normal WL + 5 1m
Min WL + 3 KAWAT BRONJONG
5m
1m
KAWAT BRONJONG
1m
1m
:3
2m 1m
1 5m
3m
9m
3m
2m
19 m
PONDASI TIANG PANCANG BETON BERTULANG
15 m
23 m
1.5 m 18 m
20 m
Gambar 4. Penampang Memanjang Bendung Gerak Tempe
5M
DANAU TEMPE
MUARA CENRANAE
SISTEM PENGOPERASIAN PINTU PELAYARAN BENDUNG GERAK TEMPE
TEMPE
3M
DANAU
+3 3M
5M
+5
Muara Cenranae
RUANG NAVIGASI (CHAMBER) 20 m
Gambar 5. Sistem Pengoperasian Pintu Pelayaran Bendung Gerak Tempe
Full Tema2.indb 174
24/10/2011 11:49:19
175
Sengkang Bendung Gerak Tempe
Jalan Inspeksi WalanaE
Sungai WalanaE
Pompanisasi Air Danau Tempe ke PDAM Sengkang dan ke Daerah Irigasi Desa Tempe, Belawa, Sidrap dan Soppeng
Jalan Inspeksi WalanaE
Danau Tempe
Jalan Raya dan Jembatan
4 Dermaga
2 DERMAGA CENRANAE 1
Jalan Inspeksi CenranaE
Sungai CenranaE Jalan Inspeksi CenranaE
Muara CenranaE
S. Bila
RENCANA FASILITAS UMUM SETELAH BENDUNG GERAK TEMPE DAN JETI CENRANAE SELESAI
Pusat Pariwisata Tempe, Hotel, Restoran, Pasar Ikan, dsb.
Sopeng
Bone
Gambar 6. Rencana Fasilitas Umum Setelah Bendung Gerak Tempe dan Jetti Muara Cenranae Selesai
Gambar 7. Rencana Lokasi dan Arah Jetti Muara Cenranae
Full Tema2.indb 175
24/10/2011 11:49:20
176
RENCANA BANGUNAN JETI CENRANAE METODE MARUNDA Garis Batas Pantai dan Daratan 8,90
3,50
9,30
4,20
2 Ton Blok Beton dan 0,1-0,2 Ton Batu Rubble
DWL + 1,29 MSL + 0,60 LWL + 0,00
Timbunan Tanah Merah 20 Cm Elev + 4 m
Batu Rubble < 5 K g dng alas Geotekstil + 3,50
8
0,
m
5 - 10 KG Batu Rubble atau Coble
,5 :1
m
1
:1
,5
0
Lumpur Pengerukan 1,00
2
1
0 ,5 :1
1,00
1
0, 50
+2,00
Matras Bambu Tujuh Lapis Lapis teratas Geotekstil EL -3,50
12 m
0,50
Dasar Pantai Elev - 3,50
1,3
Tiang Pancang Bambu Tujuh Lapis
3,3
0,9
2,00
1,20
0,50
16,00
PASIR PANTAI
32,20
Gambar 8. Rencana Bangunan Jetti Cenranae Metode Marunda
RENCANA BANGUNAN PEMECAH OMBAK CENRANAE METODE ANCOL ANCOL 50 m
Pantai
:1
Rip Rap Batu Kali
1
Dia 0,5 – 1 m
DWL + 1,29 MSL + 0,60 LWL + 0,00
2 Km di Hilir Muara Cenranae
Dia 0,25 m
Tiang Pancang Balok Kayu
Geotextil
Dasar Pantai Elev - 3,50
0,5 m
100 m
Pasir
Gambar 9. Rencana Bangunan Pemecah Ombak Cenranae Metode Ancol
Full Tema2.indb 176
24/10/2011 11:49:21
177
LINGKUNGAN HIDUP SEBELUM ADA BENDUNG GERAK TEMPE DAN JETI CENRANAE (1)
MENJALA IKAN DI D. TEMPE
MEMANCING IKAN DI D. TEMPE
MEMANCING IKAN DI D. TEMPE
MENJALA IKAN DI D. TEMPE
MENJALA IKAN DI D. TEMPE
MENJALA IKAN DI D. TEMPE
IKAN SIDAT / MASAPI (ANGUILLA SP)
MENJALA IKAN DI D. TEMPE
Gambar 10. Lingkungan Hidup Sebelum ada Bendung Gerak Tempe dan Jetti Cenranae (1) UCAPAN TERIMA KASIH Terimakasih kami ucapkan kepada Kepala Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Provinsi Sulsel (Ir. Suprapto Budisantoso, M.Sc.) dan Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Pompengan Jeneberang (Ir. Adang Saf Achmad, CES) yang sudah membimbing pembuatan makalah ini untuk dipresentasikan ke Pertemuan Ilmiah Tahunan XXVIII yang akan diselenggarakan di Ambon tgl. 28 – 30 Oktober 2011. DAFTAR PUSTAKA Balai Besar Wilayah Sungai Pompengan Jeneberang (2009), Profil Balai Besar Wilayah Sungai Pompengan Jeneberang, Makassar, Indonesia. Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Sulawesi Selatan (2010), Data dan Informasi Sumber Daya Air Sulawesi Selatan 2010, Makassar, Indonesia. Directorate General of Water Resources, Construction of Muara Marunda Confined Disposal Facility Sub-Project of JUFM, ICB Package No. CDF-2, Bidding Documents, October 2010, Jakarta, Indonesia. Nippon Koei Co., Ltd and Associates (2003), Final Report, Master Plan Study on Integrated Development and Management of WalanaE Cenranae River Basin, Indonesia.
Full Tema2.indb 177
24/10/2011 11:49:23
178
Subandi, Thomas Raya Tandisau, Chaeruddin Malik, M.K. Nizam Lembah, Water Related Risk Managementi in WalanaE Cenranae River Basin after Tempe Barrage Construction, A Papper for Internasional Hathi Seminar, 16 July 2011, Jakarta. PT. Aria Jasa (2011), SID Sungai Cenranee Kabupaten .Wajo Dan Bone Sulawesi Selatan. Dipresentasikan dikantor Balai Besar Wilayah Sungai Pompengan Jeneberang, Makassar, Indonesia. PT Brantas Abipraya - PT Waskita Karya KSO (2010), Rencana Mutu Kontrak Pembangunan Bendung Gerak Tempe. Dipresentasikan dikantor Balai Besar Wilayah Sungai Pompengan Jeneberang, Makassar, Indonesia. Unit Data Sumber Daya Air 2011, PU-Net Kementerian Pekerjaan Umum, Peta Wilayah Sungai WalanaE Cenranae
Full Tema2.indb 178
24/10/2011 11:49:23
Aplikasi Produk Geotextile Containment Sebagai Pengganti Batu Untuk Bangunan Pengaman Pantai Andryan Suhendra1), Doyo Lujeng Dwiarso2) 1)
Manager Teknik PT Tetrasa Geosinindo dan Dosen Universitas Bina Nusantara
[email protected] 2) Country Manager Indonesia TenCate Geosynthetics Asia Sdn. Bhd.
[email protected]
Intisari Sebagai negara kepulauan dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia yang diapit oleh dua samudra luas, abrasi terhadap garis pantai merupakan salah satu hal serius yang dihadapi oleh Indonesia. Ditambah lagi dengan banyaknya fasilitas publik di sekitar pantai, sehingga memerlukan penanganan yang tepat guna dan ekonomis. Berbagai cara dapat diterapkan untuk mengendalikan abrasi misalnya dengan membuat bangunan pantai seperti : pemecah gelombang, krib, dan dinding laut, atau dengan cara menanam tanaman pencegah abrasi seperti pohon bakau. Sejalan dengan perkembangan teknologi, salah satu cara lain yang relatif ramah lingkungan dan murah karena dapat memanfaatkan material setempat adalah konstruksi geotube dan geobag. Geotextile Containment adalah material yang dibuat dari bahan geotekstil dengan kuat tarik yang cukup tinggi dan sudah difabrikasi dalam keadaan sudah jadi sehingga hanya memerlukan proses pengisian dan penempatan di lokasi proyek. Disain material tersebut sudah mempertimbangkan faktor gaya yang bekerja secara internal maupun eksternal sehingga mampu bertahan baik selama proses pemasangan maupun setelah pemasangan terhadap gaya gelombang yang mengenainya. Fungsi utama Geotextile containment adalah sebagai pengganti inti bangunan pantai yang biasanya menggunakan batu, sehingga material ini bisa dikategorikan sebagai material yang ramah lingkungan dan memudahkan dalam konstruksi bangunan. Berdasarkan ukuran dan cara pelaksanaan di lapangan, geotextile containment dibedakan menjadi 3 jenis yaitu geobag, geotube dan geocontainer. Makalah ini membahas mengenai produk Geotextile containment serta aplikasinya untuk bangunan pengaman pantai dilengkapi dengan contoh proyek yang sudah dan sedang dikerjakan di Indonesia. Kata kunci: garis pantai, bangunan pengaman pantai, abrasi, geotextile containment
179
Full Tema2.indb 179
24/10/2011 11:49:23
180
1. PENDAHULUAN Indonesia adalah negara yang memiliki garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada, total garis pantai yang dimiliki Indonesia adalah 81.000 km. Garis pantai adalah batas pertemuan antara bagian laut dan daratan pada saat air laut berada pasang tertinggi. Garis laut dapat mengalami perubahan atau berkurang karena terjadinya proses abrasi yaitu terkikisnya pantai oleh gaya gelombang laut. Abrasi harus dikendalikan karena disekitar garis pantai terdapat banyak fasilitas publik yang harus diamankan seperti : pelabuhan, tempat rekreasi, pemukiman nelayan dan juga jalan raya. Di beberapa daerah, abrasi pantai ini sudah sangat mengkhawatirkan dan memerlukan penangananan yang mendesak (lihat gambar 1 dan gambar 2).
Gambar 1. Abrasi di pantai utara Jawa (sumber : http://bisnis-jabar.com) Sebagai contoh beberapa ruas jalan di Bengkulu dan pantai utara pulau Jawa (gambar 1) sudah mengalami beberapa kali kerusakan akibat abrasi karena gelombang dari arah Samudera Hindia sangat kuat sekali. Demikian juga beberapa fasilitas rekreasi di Pulau Bali juga memerlukan penanganan untuk perlindungan terhadap abrasi.
Full Tema2.indb 180
24/10/2011 11:49:23
181
Gambar 2. Abrasi mengancam bangunan rumah (sumber : http://alamendah.wordpress.com) Metode untuk mengendalikan terjadinya abrasi yaitu dengan membuat vegetasi di pantai (gambar 3) dan alternatif lainnya adalah dengan membuat bangunan pemecah gelombang. Dalam beberapa hal bangunan pengaman pantai adalah solusi yang cepat dan mudah untuk mengendalikan abrasi.
Gambar 3. Hutan bakau sebagai pencegah abrasi alamiah (sumber : media internet)
Full Tema2.indb 181
24/10/2011 11:49:24
182
2. Bangunan Pengaman Pantai Berdasarkan bentuknya, bangunan pengaman pantai dapat diklasifikasikan sebagai berikut : a). Konstruksi yang dibangun di pantai dan sejajar dengan garis pantai, misalnya dinding pengaman pantai b). Konstruksi yang dibangun tegak lurus dan sambung ke pantai, misalnya krib, jetty dan pemcah gelombang sambung pantai c). Konstruksi yang dibangun di lepas pantai dan sejajar dengan garis pantai. 2.1. Dinding Pengaman Pantai Dinding pengaman pantai adalah bangunan pantai yang dibangun sejajar dengan garis pantai yang memisahkan darat dengan laut, untuk melindungi daratan terhadap abrasi akibat hantaman gelombang. Dinding pengaman pantai secara konvensional dapat berupa susunan gabion, turap, revetmen batu seperti yang ditunjukkan pada gambar 4 ataupun dari kayu.
Gambar 4. Pasangan batu sebagai bangunan pencegah abrasi (sumber : http://www.gina.gov.gy) 2.2. Krib Krib atau groin (lihat gambar 5) adalah bangunan pengaman pantai yang berfungsi untuk menangkap transport sedimen sepanjang pantai sehingga melindungi pantai dari erosi atau mencegah transpor sedimen sepanjang pantai di suatu tempat. Konstruksi krib dapat berupa bangunan yang terbuat dari turap kayu, gabion atau secara umum menggunakan batu. Berdasarkan bentuknya dapat dibedakan menjadi: tipe lurus, tipe T dan tipe L.
Full Tema2.indb 182
24/10/2011 11:49:24
183
Gambar 5. Contoh bangunan krib atau groin (sumber : http://www.sandsaver.com) 2.3. Pemecah Gelombang Lepas Pantai Bangunan ini seperti terlihat pada gambar 6 dibuat sejajar dengan garis pantai dan berada pada jarak tertentu, fungsinya adalah untuk melindungi pantai dari hantaman gelombang. Bangunan ini akan mempengaruhi bentuk akhir garis pantai dibelakangnya, yaitu apabila panjang pemecah gelombang relatif lebih kecil dari jarak bangunan ke garis pantai maka akan terbentuk tonjolan daratan dari garis pantai ke arah laut (cuspate), namun apabila panjang bangunan lebih panjang maka akan terbentuk daratan yang menghubungkan garis pantai terhadap pemecah gelombang.
Gambar 6. Contoh bangunan pemecah gelombang lepas pantai (Sumber : http://www.wetlandswatch.org)
Full Tema2.indb 183
24/10/2011 11:49:24
184
2.4. Jetty Jetty adalah bangunan pengaman pantai yang berbentuk lurus ke arah laut dan berada pada kedua sisi dari sisi sungai yang berfungsi untuk mengurangi pendangkalan alur oleh endapan sungai. Salah satu contoh dari bangunan Jetty ini dapat dilihat pada gambar 7 berikut ini.
Gambar 7. Contoh bangunan Jetty (Sumber : http://www.nature.nps.gov) 3. Geotextile Containment Geotextile containment merupakan suatu konstruksi yang memadukan antara material sintetik (geotekstil) dan material alam (pasir atau Lumpur) Ada 3 jenis konstruksi geotextile containment dengan pembagian berdasarkan ukuran dan cara pelaksanaan konstruksi yaitu sebagai berikut : 1. Geobag 2. Geotube 3. Geocontainer 3.1. Geobag Merupakan jenis dari geotextile containment dengan volume yang kecil – berkisar antara 0,6 hingga 2 m3 – dengan proses pengisian umumnya dilakukan di atas daratan yang kemudian diletakkan di tempat rencana (lihat gambar 8). Geobag umumnya diaplikasikan pada daerah yang mengalami abrasi yang tidak terlalu berat dan yang memerlukan penanganan segera untuk jangka waktu pemakaian yang tidak terlalu panjang. Umumnya material geotekstil yang digunakan harus distabilisasikan terhadap pengaruh sinar ultra violet, namun bagaimanapun konstruksi ini tetap harus dilindungi dari pengaruh sinar matahari langsung dengan cara ditutupi dengan material lain seperti batu-batuan. Untuk penanggulangan yang cukup kompleks dimana terdapat kemungkinan terjadi kelongsoran pada lereng/ timbunan di belakang konstruksi/tumpukan geobag ini, maka konstruksi ini dapat dipadukan dengan material perkuatan lain seperti geotekstil atau geogrid yang mempunyai kekuatan tarik tertentu untuk menahan gaya kelongsoran yang terjadi (gambar 9).
Full Tema2.indb 184
24/10/2011 11:49:24
185
a. Pengisian geobag di darat
b. Pemindahan geobag
Gambar 8. Proses pengisian dan pemindahan geobag
Gambar 9. Kombinasi geobag dengan geogrid sebagai perkuatan Beberapa aplikasi dari geobag dapat dilihat pada gambar 10. 3.2. Geotube Jenis dari geotextile containment berbentuk turbular yang digunakan pada di daerah daratan atau daerah dengan tinggi air tidak terlalu dalam. Ukuran geotube juga sangat bervariasi dengan panjang berkisar antara 10 – 150 meter dan diameter rata – rata 1 – 5 meter dalam kondisi bulat sempurna. Instalasi dapat dilakukan di daerah kering maupun pada kedalaman air hingga 5 meter. Gambar 11 berikut ini merupakan gambaran dari bentuk tipikal konstruksi geotube. Geotube merupakan struktur yang cukup banyak diaplikasikan dan dilakukan analisa untuk menanggulangi berbagai permasalahan abrasi di banyak negara, termasuk di beberapa negara di Asia seperti Korea Selatan, Singapura, Jepang, Malaysia dan negara Asia lainnya, termasuk Indonesia. Aplikasi dari geotube secara umum hampir sama seperti aplikasi pada geobag, yang membedakan adalah tingkat kesulitan pelaksanaan, tingkat permasalahan yang dihadapi (berkenaan berat ringannya abrasi atau erosi yang terjadi).
Full Tema2.indb 185
24/10/2011 11:49:25
186
Gambar 10. Aplikasi Geobag
Gambar 11. Tipikal konstruksi geotube (Sumber : brosur TenCate)
Full Tema2.indb 186
24/10/2011 11:49:26
187
3.3. Geocontainer Merupakan jenis geotextile containment bervolume besar dengan proses pengisian dalam barge di atas air dan kemudian dijatuhkan ke dalam air. Geocontainer seperti yang ditunjukkan pada gambar 12 mempunyai ukuran diameter yang lebih besar dibandingkan jenis geotextile containment lain, umumnya disesuaikan dengan ukuran kapal hooper. Pasir atau material timbunan lainnya diisikan ke dalam geocontainer yang dilapisi geotekstil kemudian dijahit. Geocontainer dijatuhkan ke dasar laut dengan hooper. Penggunaan geocontainer umumnya untuk kedalaman air > 5 meter.
Gambar 12. Geocontainer (Sumber : brosur TenCate) Beberapa proyek di dalam negeri yang telah menerapkan geotextile containment adalah sebagai berikut. (1). Breakwater Provinsi Nangroe Aceh Darussalam Geotube diaplikasikan sebagai inti bangunan breakwater pada proyek pembangkit tenaga listrik di pantai barat Sumatera. Total panjang breakwater sekitar 750 meter yang terdiri dari dua sisi bangunan breakwater. Geotube yang digunakan adalah tipe GT1000 dengan tinggi akhir 2,5 meter dan total panjang Geotube yang diperlukan adalah 7.000 meter. Gambar potongan melintang tipikal konstruksi geotube seperti terlihat pada gambar 13 dan gambar 14 menunjukkan konstruksi geotube yang sudah selesai dilaksanakan.
Gambar 13. Potongan melintang tipikal konstruksi geotube
Full Tema2.indb 187
24/10/2011 11:49:26
188
Pada proyek ini penggunaan Geotube mengurangi biaya penggunaan batu sebagai inti breakwater secara signifikan.
Gambar 14. Geotube yang sudah selesai dikerjakan (2). Proteksi Erosi dari Gelombang Bono Konstruksi Geotube sepanjang 600 meter diaplikasikan untuk melindungi dermaga dari erosi dan abrasi akibat gelombang dan arus Bono di sungai Kampar Provinsi Riau. Gambar 15 menunjukkan proses pengisian geotube yang sudah hampir selesai.
Gambar 15. Proses pengisian konstruksi geotube
Full Tema2.indb 188
24/10/2011 11:49:26
189
4. Pertimbangan Dalam Perancangan Geotextile Containment Beberapa pertimbangan dan data yang diperlukan dalam perancangan penggunaan geotextile containment sebagai sarana pencegahan dan penanggulangan erosi atau abrasi pantai dan sungai adalah sebagai berikut : 1. Dimensi dan posisi tube pendukung dan hubungannya dengan geotube utama. 2. Stabilitas Geotextile Containment saat bencana atau badai. 3. Ukuran bukaan material geotekstil yang digunakan berkaitan dengan ukuran material pengisi. 4. Kuat tarik perlu material geotekstil, termasuk juga kekuatan sambungannya terutama pada saat pengisian dan instalasi. 5. Dimensi dan geometri Geotextile Containment setelah proses pengisian dan pemompaan. 5. Kesimpulan Konstruksi geotextile containment merupakan salah satu alternatif solusi yang dapat dipertimbangkan penggunaannya dalam mencegah dan menanggulangi abrasi dan atau erosi pada pantai ataupun lereng sungai. Jenis material pengisi berupa pasir ataupun lumpur yang relatif mudah didapatkan sehingga membuat konstruksi ini cukup efektif dan ekonomis.
Daftar Pustaka Brosur-brosur geosintetik (TenCate) Escalante, S.A. and Pimentel, A.S., Coastal Dune Stabilization Using Geotextile Tubes at Las Coloradas, Geosynthetic Magazines February March 2008 Koerner, R.M., Designing With Geosynthetics, 5th edition, 2005, Pearson Prentice Hall Lawson, C.R., Geotextile containment for hydraulic and environmental engineering (proceeding of thes 8th International Conference on Geosynthetics) – Yokohama 2006
Full Tema2.indb 189
24/10/2011 11:49:26
Laju Pendangkalan Teluk Losari Di Kota Makassar Kamaruddin Umar, Abd. Nasser Hasan, Abd. Wahab, Zahimu Wahid, Andi Muh. Saleh, Mappile
Intisari Teluk Losari merupakan salah satu spot penting di Kota Makassar. Dalam beberapa tahun terakhir, teluk tersebut terus mengalami pendangkalan yang signifikan. Penelitian ini difokuskan untuk menganalisis proses pendangkalan yang terjadi. Survei lapangan berupa pengukuran perubahan batimetri, pola arus pasang surut dan angkutan sedimen selama periode 4 bulan telah dilakukan secara intensif. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa arus pasang surut adalah bolak-balik dari Utara-Selatan dan sebaliknya, sedangkan arus residu sepanjang perairan Losari ke arah Utara sehingga menyebabkan angkutan sedimen terdistribusi sepanjang perairan pantai. Teramati pula arus yang senantiasa membelok ke arah teluk dan membawa sedimen. Sedimen melayang yang terperangkap dalam teluk cenderung terkonsolidasi sehingga menjadi penyebab pendangkalan dalam teluk. Hasil pengukuran cross-section di beberapa titik dalam teluk menunjukkan bahwa proses pendangkalan sudah tidak terlalu signifikan. Hasil pengukuran sedimen susur pantai juga menunjukkan bahwa hanyutan sedimen relatif kecil. Sebagai contoh, pada Juli 2009 diperoleh volume rata-rata 0,050 ml/jam/m2 ke utara sedangkan volume sedimen yang ke selatan rata-rata 0,01476 ml/jam/m2 dan pada bulan November 2009 volume rata-rata 0,6833 ml/jam/m2 ke utara sedangkan yang ke selatan ratarata 0,9572 ml/jam/m2 . Hasil-hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa proses pendangkalan pada Teluk Losari pada saat ini berlangsung lambat dikarenakan dengan terbangunnya waduk Bili-bili, Longstorage berperan penting dalam memperlambat proses pendangkalan ini. 1. Pendahuluan Latar Belakang Bentuk profil pantai pesisir dan dasar laut selalu mengalami perubahan. Perubahan ini sangat tergantung pada kondisi dan karakteristik wilayah daratan pada satu sisi, dan kondisi serta karakteristik wilayah perairan pada sisi yang lain. Dalam hal ini kondisi dan karakteristik wilayah daratan ditentukan oleh posisi, relief permukaan dan karakteristik batuan. Sedangkan kondisi dan karakteristik wilayah perairan ditentukan oleh faktor-faktor hidroceanografi terutama pasang surut, gelombang
190
Full Tema2.indb 190
24/10/2011 11:49:27
191
dan arus, namun kondisi kerusakan yang terjadi pada wilayah darat dan laut penyebabnya lebih dominan adalah karena campur tangan manusia yang begitu besar tanpa memperhatikan kaidah-kaidah lingkungan. Pantai atau Teluk Losari terletak pada posisi 05o 8” LS dan 119o 24’ 2” BT. Saat ini merupakan kawasan pantai wisata dan kawasan untuk sarana olahraga air. Sungai Jeneberang sebelum dibangunnya Sand Pocket menurut peneliti JICA, besar sedimen pada tahun 1996 adalah sebesar 576.600 m3/ Tahun, dan menurun menjadi 389.976 m3/ tahun setelah Sand Pocket dioperasikan, sedangkan sedimen yang masuk ke Bendungan Bili-bili berjumlah 340.485 m3/ tahun (Elly, 2000). Canal Jongaya Panampu serta adanya abrasi pada pantai terbuka seperti, Tanjung Bayang, dan Tanjung Merdeka / Tanjung Bunga berperan sebagai pensuplai sedimen, umumnya berupa material yang berukuran pasir, lanau, atau lempung. Material-material tersebut akan dimuntahkan pada muara Sungai Jeneberang dan sebagian kecil dari Canal Jongaya Panampu. Hasil muntahan tersebut ada langsung diendapkan dimuara sungai membentuk delta, ada yang diendapkan pada pantai di sekitar muara sungai membentuk spit, ada juga yang akan terbawa arus yang dibangkitkan oleh ombak atau oleh pasang surut dan diendapkan pada tempat yang jauh dari muara sungai, tergantung dari kelajuan arus tersebut. Proses Akresi Pantai Losari telah terjadi bahkan sebelum Bendungan Bili-Bili dioperasikan, Sakka (1996) dalam studinya mengamati bahwa angkutan sedimen muatan dasar (bed load) dan muatan layang (suspended load) sepanjang mintakat tepian pada umumnya ke arah ke utara. Suriamihardja dkk (2004) mengamati hasil prediksi angkutan sedimen yang terjadi 14 tahun terakhir berkisar antara 0,114 sampai 37,471 m3/jam. Dalam pengamatannya memperjelas studi sebelumnya bahwa angkutan sedimen kurang dari 15,1m3/jam dominan ke utara. Sebagian material tersebut terutama yang berukuran pasir diendapkan disekitar muara dengan membentuk lidah (spit) yang menjulur ke utara dan disebut Tanjung Bunga. Sedangkan material yang berukuran halus terbawa arus terus ke utara dan sebagian akan mengendap di Teluk Losari yang dikhawatirkan akan terjadi perubahan yang bersifat negatif yaitu terjadinya pengdangkalan disamping mengancam kawasan wisata pantai dan sarana olahraga air. 2. Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian Angkutan sedimen terutama muatan layang (suspended load transport) yang bergerak ke arah utara dan mengendap di pantai utara muara Sungai jeneberang akan meyebabkan perubahan profil pantai. Penelitian ini ditunjuk untuk meneliti laju pandangkalan pantai utara muara Sungai Jeneberang yaitu Teluk Losari sampai bangunan Makassar Golden Hotel diluar spit Tanjung Bunga. Oleh karena itu rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Berapa besar pertambahan sedimentasi (akresi) dengan simulasi transpormasi gelombang (difraksi gelombang) Pada Teluk Losari Makassar. 2. Bagaimana keseimbangan angkutan sedimen pada daerah tersebut akibat pengaruh pola angkutan sedimen.
Full Tema2.indb 191
24/10/2011 11:49:27
192
A. Tujuan penelitian ini adalah untuk : 1. Untuk menganalisis laju pendangkalan dan pola angkutan sedimen pada Pantai/ Teluk Losari Makassar. 2. Untuk menganalisis volume sedimen yang terendapkan diluar spit Tanjung Bunga dan pada Teluk Losari Makassar. B. Batasan Masalah Agar pembahasan tidak meluas, maka penelitian dibatasi pada hal-hal sebagai berikut : a. Penelitian ini dilakukan pada pantai depan rumah jabatan Walikota Teluk Losari sampai diluar spit Tanjung Bunga b. Pengukuran langsung dilapangan dengan menggunakan alat Echosonder type dengan grid ditentukan sesuai kondisi lapangan antara 25m sampai dengan 50m. c. Benda uji material sedimen yang terendapkan untuk penentuan ukuran butiran dilakukan dengan analisis ayakan dilaboratorium d. Simulasi transformasi gelombang (difraksi gelombang) e. Perhitungan angkutan sedimen berdasarkan data sekunder yang tersedia seperti data hidrologidan klimatologi serta melakukan pengukuran lapangan seperti pengukuran angkutan angkutan sedimen dan arus pasut pada musim kemarau dan musim hujan. 3. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Tempat Penelitian Penelitian ini meliputi pengumpulan data sekunder berupa data perubahan pantai, angin, ombak, arus, angkutan sedimen, yang akan dilaksanakan selama 4 bulan dengan kegiatan pengukuran elevasi pantai sekali dalam tiap bulan dan pengmbilan sampel sedimen. Tempat penelitian mulai didalam Teluk Losari dari muara Canal Jongaya Panampu (Jembatan Metro) sampai pada samping Makassar Golden Hotel, kemudian keluar sejajar dengan spit Tanjung Bunga. Posisi pengambilan Benchmark pada TTG.0083, elevasi + 2,343 yang terletak disudut Fort Rotterdam (Benteng Ujung Pandang). B. Waktu Penelitian Penelitian ini disesuaikan dengan iklim selama 4 bulan yaitu dari musim kemarau sampai musim penghujan sehingga fluktuasi perubahan angin, arus, pasang surut, ombak, dan angkutan sedimen dapat diketahui dengan prosedur sebagai berikut : 1. Pengukuran Batimetri a. Dilaksanakan sebanyak 4 kali. b. Pelaksanakan pertama dilakukan pada bulan Juli 2006 dengan total grid kurag lebih 200 titik dengan interval 25 sampai dengan 50m. c. Pelaksanakan kedua dan ketiga dilakukan pada bulan Agustus, dan September 2005 dengan masing-masing total grid kurang lebih 50 titik dengan interval disesuaikan crossing hasil penelitian batimetri pertama.
Full Tema2.indb 192
24/10/2011 11:49:27
193
d. Pelaksanaan kelima dilakukan pada bulan November 2006, pelaksanaannya sama dengan pelaksanaan penelitian pertama. 2. Pengambilan sedimen a. Pengambilan sedimen suspended dilakukan bersama saat pengukuran batimetri pada 8 lokasi dengan kedalaman kurang lebih 50 cm sampai dari 100 cm. b. Pengambilan sedimen bed-load dilakukan sebanyak 2 kali yaitu saat pengukuran pertama, dan saat pengukuran terakhir dengan pemasangan alat pengangkat sedimen sesuai arah angin dipasang selama 24 jam. c. Pengambilan klasifikasi butiran dilakukan pada 8 lokasi dilaksanakan pada bulan Juli 2006 dan bulan November 2006. 3. Pengukuran elevasi muka air laut Pengukuran dilakukan selama 5 kali bersamaan saat pengukuran batimetri dengan interval pengamatan setiap 2 menit 4. Pengukuran kecepatan arus a. Pengkuran dilakukan 2 kali yaitu pada saat pasang dan pada saat surut. b. Pelaksanaan dilakukan dengan memakai 2 pesawat thedolid yang diarahkan pada pelampung dengan interval pembacaan sudut setiap 2 menit selama 1 ½ jam. C. Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini baik penelitian lapangan maupun dilaboratorium yaitu : a. Alat ukur Echosounder type Garmin Sounder 178 C dan GPS b. Layang arus (pelampung) c. Alat ukur waterpass d. Alat ukur theodolith e. Alat transportasi pengukuran (perahu/motor boat) f. Alat penangkap sedimen g. Oven dan saringan (ayakan) standar untuk analis distribusi butiran h. Rambu pasang surut i. Stop watch j. Crab sample k. Handy Tolky D. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian lapangan, dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : 1. Pengumpulan data sekunder a. Kondisi angin Angin merupakan pembangkit gelombang laut.Oleh karena itu, data angin dapat dipergunakan untuk memperkirakan tinggi dan arah gelombang dilokasi. Data angin yang diperlukan adalah data angin maksimum harian
Full Tema2.indb 193
24/10/2011 11:49:27
194
tiap jam yang diperoleh dari kantor stasiun Balai Meteorologi dan Geofisika (BMG) Wilayah IV Makassar. Data yang diambil dari hasil pengukuran ini meliputi kecepatan dan arah. Output yang diperoleh adalah Mawar Angin (Wind Rose). b. Kondisi Batimetri Batimetri merupakan gambaran elevasi permukaan dasar pantai dan perubahan garis pantai. Data Batimetri digunakan data pengukuran Nippon-Coy pada pekerjaan Amdal Pelabuhan Makassar tahun 1994 yang diperoleh dari Bapade/ Bapedal Kota Makassar. Output yang diperoleh adalah peta Batimetri. c. Kondisi angkutan sedimen Angkutan sedimen dipantai sangat dipengaruhi oleh dinamika ombak dan arus mintakat hampasan serta ukuran sedimen. Data angkutan sedimen dasar (bed load) dan muatang layang (suspended load) didasarkan pada hasil pemgamatan Sakka (1996). Output yang diperoleh adalah sedimen transpor. 2. Data primer a. Observasi (pengamatan lapangan) Observasi lapangan dilakukan foto-foto lokasi penelitian dengan menggunakan seperangkat alat foto digital otomatis dengan posisi pengambilan dari Hotel Sedona. Pengamatan lapangan juga dilakukan untuk mengamati arah ombak. Output pengamatan lapangan dapat diprediksi arah datangnya ombak. b. Pengukuran Batimetri Pengukuran Batimetri akan dimulai pada Teluk Losari muara Canal Jongaya Panampu kearah utara sampai pada bagian luar spit Tanjung Bunga dengan jarak grid kurang lebih 50 m dan total titik grid kurang lebih 200 titik. Pengukuran menggunakan perahu dengan menggunakan seperangkat alat Ecgosounder dan GPS (Global Positioning System). Pengukuran dilakukan dengan terlebih dahulu memasang patok utama benchmark (BM). Pengamatan pasang surut dikontrol dengan seperangkat alat waterpass. Pengolahan hasil pengukuran batimetri dan pengukutan pasang surut. Output hasil pengukuran batimetri adalah peta batimetri kondisi saat ini. c. Pengukuran Arus Pasang Surut Pengukuran kecepatan arus dilakukan dengan menggunakan pelampung. Pengamatan dilakukan dengan melepas layang arus (pelampung) hingga jarak yang telah ditentukan dan mengukur selang waktu yang dibutuhkan hingga mencapai jarak yang telah ditentukan tersebut. Pengukuran pergerakan arah arus dilakukan dengan menggunakan alat ukur waterpass untuk posisi pelampung dan alat ukur Theodolit untuk mengukur sudut yang dibentuk pada setiap posisis pergerakan pelampung. Dari hasil pengukuran dapat dihitung kecepatan dengan menggunakan rumus sebagai berikut : = atau untuk sejumlah titik pengukuran dengan rumus : =
Full Tema2.indb 194
24/10/2011 11:49:27
195
sehingga akan diperoleh kecepatan rata-rata dengan persamaan :
Pengukuran dilakukan 4 kali yaitu pada jam 09.00, 11.00, 13.00. dan 15.00 dengan interval pengukuran setiap 2 jam. Output yang diperoleh adalah kecepatan dan jejak arus pasang surut. d. Pengambilan Sampel Sedimen Cara mengambil sampel sedimen pada 5 titik pada areal penelitian dengan crab sample. Sampel sedimen yang diperoleh kemudian dianalisis dilaboratorium bahan politeknik Negeri Ujung Pandang dengan cara sampel dioven dan selanjutnya sampel diayak (disaring) dengan ayakan standar. Output yang diperoleh adalah distribusi diameter sedimen untuk memperoleh klasifikasi material sedimen. 3. Modeling Modeling dilakukan dengan menggunakan kata yaitu : a. Data Batimetri b. Data Angin Output yang diperoleh adalah : 1. Pola sirkulasi 2. Pola sedimentasi 3. Refraksi gelombang 4. Angin
Wind Rose Makassar Selama Tahun 1999-2009
Wind Rose Makassar pada bulan Juli, Agustus, September,dan November Tahun 2009
5. Curah Hujan
Diagram Rata-rata Hujan Bulanan Stasiun Kelas 1 Hasanuddin Makasar
Full Tema2.indb 195
24/10/2011 11:49:27
196
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Parameter Oceanografi 1. Pasang Surut Pengukuran kecepatan arus pasut dilakukan pada tanggal 14 Agustus 2009, dan pada tanggal 19 November 2009 di bagian Utara Muara Jene’Berang sepanjang Pantai Losari
Ramalan Pasang Surut Makassar Juli 2009 2. Batimetri Batimetri perairan Losari umumnya landai mulai dari Tanjung Merdeka hingga Pantai Losari, Tetapi didalam Teluk kedalaman berkisar 1 hingga 3 meter seperti ditunjukkan pada gambar.
Kondisi Batimetri perairan Pantai Losari 2009
Cross Section Batimetri perairan Pantai Losari Juli-November 2009
3. Cross Section Cross Section (penampang lintang) dilakukan untuk melihat profil topografi dasar perairan hingga permukaan laut.
Full Tema2.indb 196
24/10/2011 11:49:28
197
Profil Melintang F-F’ Bulan Juli November 2009
Profil Melintang G-G’ Bulan Juli November 2009
Profil Melintang H-H’ Bulan Juli November 2009
Profil Melintang I-I’ Bulan Juli November 2009
4. Ombak Sepanjang pantai losari ombak pada umumnya membentuk pola sesuai arah angin.
Full Tema2.indb 197
Pola Arus dan Refraksi ombak arah Barat pada saat pasang
Pola Arus dan Refraksi ombak arah Barat Laut pada saat pasang
Pola Arus dan Refraksi ombak arah Barat Daya pada saat pasang
Pola Arus dan Refraksi ombak arah Barat pada saat surut
24/10/2011 11:49:29
198
Pola Arus dan Refraksi ombak arah Barat Daya pada saat pasang
Pola Arus dan Refraksi ombak arah Barat pada saat surut
5. Arus Arus-arus yang terbangkit pada umumnya didominasi arus pasang surut. Pengukuran Arus Pasut dilakukan tanggal 14 Agustus 2009 dan tanggal 19 November 2009.
Kecepatan Arus pada saat menuju pasang
Posisi Pengamatan Jejak Arus pada saat pasang
6. Sedimen
Hasil pengukuran sedimen susur pantai Hasil pengukuran sedimen susur pantai Selama 24 Jam. Pada bulan Juli 2009 Selama 24 Jam. Pada bulan Juli 2009 (0,050 ml/jam/m2 ke utara, ke selatan (0,050 ml/jam/m2 ke utara, ke selatan 0,10476 ml/jam/m2)utara selatan 0,10476 ml/jam/m2)lepas pantai dan tepi pantai
Full Tema2.indb 198
24/10/2011 11:49:29
199
Hasil pengukuran sedimen susur pantai Hasil pengukuran sedimen susur pantai Selama 24 Jam Pada bulan November Selama 24 Jam Pada bulan November 2009 (0,06833 ml/jam/m2 ke utara, 2009 (0,55 ml/jam/m2 ke utara, ke ke selatan 0,9572 ml/jam/m2) utara selatan 0,5833 ml/jam/m2) lepas selatan pantai/tepi pantai Berdasarkan hasil pengukuran sedimen pada ruas F-F’ ke pantai menunjukkan perubahan tidak terlalu signifikan yaitu 0,0000004 m3/jam atau 0,003456 m3/ tahun, hasil pengukuran ruas F-F’ dan G-G’ sebesar 0,0000018 m3/jam atau 0,01552 m3/tahun, hasil pengukuran ruas G-G’ dan H-H’ sebesar 0,0000080 m3/jam atau 0,06912 m3/tahun.dan hasil pengukuran H-H’ dan I-I’ sebesar 0,000054 m3/jam atau 0,46656 m3/tahun. Rata-rata angkutan sedimen yang terjadi bulan Juli-November 2009 di Teluk Losari diprediksi sebesar 0,0000642 m3/jam atau 0,554688 m3/tahun. 5.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan 1. Pendangkalan akibat pengendapan angkutan sedimen muatan layang di Teluk Losari, hasil menunjukkan bahwa angkutan sedimen sepanjang Teluk Losari sampai diluar Spit Tanjung Merdeka mempunyai kecenderungan pengendapan dibeberapa lokasi dalam teluk dan terjadi erosi pada lokasi lain, menunjukkan bahwa ada perimbangan dinamik antara suply sedimen dengan penggerusan (erosi). 2. Hasil pengukuran susur pantai pada bulan Juli 2009 diperoleh volume rata-rata sekitar 0,050 ml/jam/m2 ke utara. Sedangkan volume sedimen ke selatan ratarata sekitar 0,10476 ml/jam/m2, sedangkan hasil pengukuran susur pantai pada bulan November 2009 diperoleh volume rata-rata sekitar 0,6833 ml/jam/m2 ke utara sedangkan volume sedimen ke selatan rata-rata sekitar 0,9572 ml/jam/ m2. 3. Hasil pengukuran sedimen lintas pantai pada bulan Juli 2009 diperoleh volume rata-rata 0,2714 ml/jam/m2 ke lepas pantai sedangkan sedimen yang ke tepi pantai diprediksi dengan volume rata-rata 0,3167 ml/jam/m2. Sedangkan pengukuran pada bulan November 2009 diperoleh volume rata-rata 0,55 ml/jam/ m2 ke lepas pantai, sedangkan ke pantai diprediksi dengan volume rata-rata 0,5833 ml/jam/m2.
Full Tema2.indb 199
24/10/2011 11:49:30
200
Saran 1. Diharapkan penelitian selanjutnya pengambilan data sedimen secara proporsional dilakukan pada bulan-bulan dengan curah hujan tinggi dan curah hujan rendah, sehingga data yang diperoleh representatip. 2. Hasil yang diperoleh dari pengukuran sebaiknya dibuat untuk simulasi model numerik. 3. Penilitan ini dilaksanakan sebelum adanya revitalisasi Pantai Losari. DAFTAR PUSTAKA Arifin H. Abd. Majid, 2005. Dampak Sedimentasi Sungai Jeneberang Terhadap Kelancaran Transportasi Laut. Tesis tidak diterbitkan, Makassar, Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin. Bambang Triadmojo, 1990. Teknik pantai. Beta Offset, Yogyakarta. Bonnefille, R. 1980. Cours d’Hydraulique Maritime. Massa, Paris CERC. 1984. Shore Protection Manual. US Army Coastal Engineering Research Center, Washington (SPM, 1984) Kushari. 2004. Model Perubahan Topografi Dasar Laut Akibat Pengaruh Gelombang dan Arus Dekat Pantai Tanjung Bunga Makassar Prov. Sulawesi Selatan, Teknik Sipil Program Pasca Sarjana Unhas. Mehta, A.J. 1984. Caracterization of cochesifs Sedimen Properties and Transport Processor in Estuasries, Bab 15 dari Estaurine Cohesive Sedimen Dynamik Sakka, 1996. Angkutan Sedimen Muatan Alas dan Muatan Layang Sepanjang Mintakat.PSL Unhas. Sakka, Suriamiharja. D.A, Amiruddin. 1997. Model Selebaran Muntahan Bahan Terlarut dan Tersuspensi dari Suatu Muara Sungai ke Perairan Pantai. Proseding Seminar Kelautan LIPI. Unhas Ambon, h. 340-346 Soetanto.S.1987. Study Literatur Mengenai Angkutan Sedimen. Fakultas Teknik Universitas Kristen Petra. Suriamiharja. D.A,1999. Monitoring Angkutan Sedimen Alas dan Beban Layang pada Alur Sungai Jeneberang. Proyek RPL Dam Bili-Bili oleh Fakultas Teknik Geofisika Unhas. Makassar Suriamiharja. DA, dkk. 2004. Pembangunan Tanjung Bunga pada Ekosistem Perairan Pantai.Disampaikan pada seminar ilmiah Biologi Indonesia tanggal 12 April. Triatdmojo, B. 1999. Teknik Pantai.Beta Offset, Yogyakarta. Wiegel, R.L 1964. Oceanographical Engineering, Prentice-Hall. Inc/Englewood Cliffs, N.J
Full Tema2.indb 200
24/10/2011 11:49:30
Transmisi Dan Refleksi Gelombang Pada Pemecah Gelombang Ambang Rendah Ganda Tumpukan Batu Bambang Surendro1), Nur Yuwono2), Suseno Darsono3) 1)
Mahasiswa Program Doktor Teknik Sipil Universitas Diponegoro, Semarang Email :
[email protected] 2) Guru Besar pada Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan UGM, Jogjakarta Email :
[email protected] 3) Dosen Jurusan Teknik Sipil Universitas Diponegoro, Semarang Email : sdarsonohotmail.com
Intisari Perlindungan pantai yang pengembangannya dititikberatkan untuk wisata, perencanaan perlindungannya selain bertujuan untuk menjaga kerusakan pantai juga perlu dipikirkan tentang keaslian dan keindahan daerah pantai. Bangunan pelindung pantai yang dapat memenuhi tujuan tersebut diantaranya adalah pemecah gelombang ambang rendah (sumerged breakwater). Beberapa kelebihan/ keuntungan penggunaan pemecah gelombang ambang rendah (sumerged breakwater) sebagai berikut : 1) tidak mengganggu keindahan pantai, 2) karena konstruksi di bawah muka air, maka apabila ada gelombang datang sebagian energi gelombang terserap, sebagian akan direfleksikan, dan sebagian yang lain akan ditransmisikan, sehingga di pantai masih terjadi gelombang. 3) pemecah gelombang ambang rendah tumpukan batu dapat menjadi tempat berkembang biaknya ikan, karena konstruksinya berongga.Adapun kelemahannya antara lain :1. Pemecah gelombang ambang rendah tumpukan batu membutuhkan batu pelindung ukuran besar, dengan jumlah yang banyak,. 2) Memerlukan sarana penunjang yang relatip besar seperti alat angkut (truk besar), kran dengan kemampuan angkat yang besar, jembatan yang cukup panjang, sehingga membutuhkan biaya yang besar. Berkaitan hal tersebut, dilakukan penelitian dengan judul “Transmisi dan Refleksi Gelombang Pada Pemecah Gelombang Ambang Rendah Ganda”. Metodologi atau cara penelitian, dilakukan dengan model fisik kemudian dilanjutkan dengan kajian secara teoritis guna mendapatkan persamaan untuk menghitung koefisien gelombang transmisi dan koefisien gelombang refleksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk mengetahui besarnya koefisien gelombang transmisi dan koefisien gelombang refleksi dapat didekati dengan menggunakan persamaan sebagai berikut : Manfaat hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai pedoman awal dalam memperkirakan besarnya gelombang transmisi dan gelombang refleksi pada pemecah gelombang ambang rendah ganda tumpukan batu. Kata kunci: Pemecah gelombang ambang rendah ganda, koefisien gelombang transmisi, koefiesien gelombang refleksi.
201
Full Tema2.indb 201
24/10/2011 11:49:30
202
1.
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Usaha perlindungan pantai yang pengembangannya dititikberatkan untuk wisata, perencanaan perlindungannya tidak cukup hanya sekedar bertujuan untuk menjaga kerusakan pantai akan tetapi perlu dipikirkan tentang keaslian dan keindahan daerah pantai. Bangunan pelindung pantai yang dapat memenuhi tujuan tersebut diantaranya adalah pemecah gelombang ambang rendah (sumerged breakwater). Setiap bangunan disamping ada kelebihannya tentu ada kekurangannya, termasuk pemecah gelombang ambang rendah. Beberapa kelebihan/keuntungan penggunaan bangunan pelidung pantai dengan pemecah gelombang ambang rendah (sumerged breakwater) adalah sebagai berikut : 1. tidak mengganggu keindahan pantai, karena konstruksinya tidak terlihat (di bawah permukaan air), 2. karena konstruksi di bawah muka air, maka apabila ada gelombang datang sebagian energi gelombang terserap/terpatahkan, sebagian akan dipantulkan/ direfleksikan, dan sebagian yang lain akan ditransmisikan, sehingga di pantai masih terjadi gelombang meskipun tidak begitu besar, dengan demikian wisatawan yang datang ke pantai masih dapat menikmati gelombang pantai. 3. pemecah gelombang ambang rendah, khususnya yang dibangun dengan tumpukan batu dapat menjadi tempat berkembang biaknya ikan, karena konstruksinya berongga dan gelombang yang terjadi tidak begitu besar. Adapun kelemahan/kekurangannya adalah seperti berikut ini. 1. Pemecah gelombang ambang rendah tumpukan batu (batu alam maupun batu buatan) pada umumnya membutuhkan batu pelindung ukuran besar, dengan jumlah yang banyak, sehingga dalam pembangunannya memerlukan biaya yang cukup besar. 2. Dalam pembangunannya pada umumnya memerlukan sarana penunjang yang relatip besar seperti alat angkut (truk besar), kran dengan kemampuan angkat yang besar, jembatan yang cukup panjang sebagai sarana jalan truk dalam mengangkut batu lindung ke posisi yang telah ditentukan. Bahkan kadang-kadang, karena posisi peletakan batu sulit dijangkau dengan kran, maka diperlukan alat peletak batu yang lain yaitu helikopter. Berdasarkan kelemahan-kelemahan tersebut, maka dilakukan penelitiam dalam usaha memperkecil biaya pembangunan sehingga diperoleh bangunan pemecah gelombang ambang rendah yang efektif dan efisien. Berkaitan hal tersebut dilakukan penelitian tentang “Transmisi dan Refleksi Gelombang Pada Pemecah Gelombang Ambang Rendah Ganda”. Dalam penelitian ini pemecah gelombang ambang rendah ganda dibentuk dengan merubah pemecah gelombang ambang rendah tunggal (PGARTTB) menjadi pemecah gelombang ambang rendah ganda (PGARGTB).
Full Tema2.indb 202
24/10/2011 11:49:30
203
1.2. Tujuan Penelitian 1. untuk mengetahui perameter yang berpengaruh terhadap perubahan nilai gelombang transmisi ( K t ) dan koefisien gelombang refleksi ( K r ) , 2. untuk mengetahui pengaruh pengurangan material pemecah gelombang ambang rendah tunggal tumnpukan batu (PGARTTB) terhadap perubahan koefisien gelombang transmisi ( K t ) dan koefisien gelombang refleksi (K r ) , 3. untuk memperoleh persamaan untuk menghitung besarnya koefisien gelombang transmisi ( K t ) dan koefisien gelombang refleksi ( K r ) pada pemecah gelombang ambang rebdah ganda tumpukan batu (PGARGTB), 1.3. Batasan Masalah Batasan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut : 1. Jenis gelombang yang dibangkitkan adalah gelombang regular. 2. Landai pantai relatif datar. 3. Nilai porositas pemecah gelombang (n) tidak divarias1. 4. Sudut datang gelombang adalah tegak lurus model struktur. 5. Struktur model pemecah gelombang ambang rendah dianggap stabil. 6. Model struktur adalah pemecah gelombang ambang rendah tumpukan batu, 7. Variasi tinggi gelombang datang (Hi) sesuai yang dapat dibankitkan. 8. Untuk mengetahui pengaruh pengurangan material tehadap Kt dan Kr, Variasi priode gelombang (T) 6 (enam) macam, dan variasi kedalaman 5 (lima) macam 9. Untuk mengetahui pengaruh perubahan lebar antara (B’) tehadap Kt dan Kr, Variasi priode gelombang (T) 6 (enam) macam, dan kedalaman air tidak divariasi (d-h)/d=0.80 10. Setiap variasi dilakukan pengujian sebanyak 5 (lima) kali pengulangan. 11. Kemiringan struktur baik bagian hulu maupun hilir tidak divariasi yaitu 1 : 2 2. Landasan Teori 2.1 Penjalaran Gelombang Di Pantai Gelombang yang menjalar dari laut dalam menuju ke pantai yang melewati daerah kedalaman yang berubah tiba-tiba menjadi dangkal, maka sebagian energi gelombang akan dipantulkan, sebagian akan ditransmisikan dan sebagian lain akan terhancurkan. Pembagian besarnya energi gelombang yang dipantulkan (refleksi), dihancurkan (disipasi) dan yang diteruskan (transmisi) tergantung dari : karakteristik gelombang datang (periode, tinggi, dan kedalaman air), tipe bangunan pantai (permukaan halus atau kasar, lulus air atau kedap air) dan geometri bangunan (kemiringan, elevasi dan lebar puncak bangunan), Koefisien Gelombang Transnisi (K t ) dan Koefisen Gelombang Refleksi (Kr)
Full Tema2.indb 203
24/10/2011 11:49:30
204
Menurut CERC (1984), Yuwono, (2001), bahwa koefisien gelombang transmisi ( K t ) dapat diketahui dengan menggunakan persamaan sebagai berikut : H Et Kt = t = Hi Ei . ...................................................................................... (1) Sedangkan koefiesien gelombang refleksi (Kr) dapat dihirung dengan menggunakan persamaan sebahai beikut : Er H Kr = r = .................................................................................. (2) Ei Hi dengan : K t : koefisien gelombang transmisi Kr : koefisien gelombang refleksi H t : K t .H i = tinggi gelombang transmisi Hr : Kr’Hi = tinggi gelombang refleksi H i : tinggi gelombang datang Et : energi gelombang transmisi Ei : energi gelombang datang Hi =
2a mak + 2a min H mak + H min = 2 2
......................................................... (3)
Hr =
2a mak − 2a min H mak − H min = 2 2
......................................................... (4)
2.3. Pengaruh “bottom friction” Terhadap Perubahan Tinggi Gelombang Gelombang yang menjalar dari laut yang dalam menuju daerah yang dangkal akan mengalami kehilangan tenaga. Pada tempat yang dangkal kehilangan tenaga gelombang akan lebih besar dibandingkan pada tempat yang dalam, hal ini disebabkan karena gerakan partikel air pada tempat yang dalam tidak begitu terasa di dasar laut, sehingga kehilangan tenaga akibat “friction” kecil. Untuk menentukan perubahan tinggi gelombang karena adanya “bottom friction” dilakukan secara empiris (Yuwono, 1982). Hf = K f . Hi .............................................................................................. (5) dengan : Hi : tinggi gelombang datang Hf : tinggi gelombang yang telah mengalami “friction” K f : koefisien “bottom friction”
Full Tema2.indb 204
24/10/2011 11:49:31
205
2.4. Energi Gelombang Energi total gelombang adalah jumlah dari energi kinetik dan energi potensial. Energi kinetik (Ek) adalah energi yang disebabkan oleh kecepatan partikel air karena adanya gerak gelombang. Energi potensial (Ep) adalah energi yang yang dihasilkan oleh perpindahan muka air karena adanya gelombang. ......................................................................................... (6)
.......................................................................................... (7) Energi kinetik dan energi potensial adalah sama, sehingga energi total per satu satuan lebar (E ) adalah : . ........................................................................... (8) Energi gelombang berubah dari satu titik ke titik yang lain di sepanjang satu panjang gelombang, sehingga energi rerata untuk satu satuan luas adalah : . .................................................................................... (9) dengan demikian : .......................................................................................... (10) ............................................................................................. (11) .......................................................................................... (12) Adapun energi gelombang yang teredam (dispasi) adalah : ............................................................................... (13) 2.5. Panjang gelombang (L) Untuk mengetahui panjang gelombang dapat disekati dengan persamaan sebagai berikut : ................................................................................ (14)
Full Tema2.indb 205
24/10/2011 11:49:31
206
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil uji pengaruh pengurangan material terhadap Kt dan Kr Berdasarkan data hasil uji pengaruh pengurangan material terhadap besarnya koefisien gelombang transnisi (K t ) dan koefisen gelombang refleksi (Kr), maka dengan manggunakan data hasil pengukuran tinggi gelombang dan perhitungan Hmaks, Hmin, Hr, Kt. Kr yang dilakukan, digambarkan dalam bentuk grafik hubungan antara gT²/B dengan Kt dan gT²/B dengan Kr, lihat Gambar 3.1, 3.2, 3.3 dan Gambar 3.4. Berdasarkan Gambar Lampiran 1 tersebut dapat diketahui beberapa hal sebagai berikut : 1. dengan pengurangan material yang semakin besar, maka nilai Kt yang timbul semakin besar sedangkan nilai Kr semakin kecil. Pengurangan material yang semakin besar menyebabkan lebar puncak pemecah gelombang ambang rendah (B1 dan B2) semakin pendek, sehingga gesekan dasar antara gelombang dan puncak pemecah gelombang ambang rendah semakin kecil, sehingga menyebabkan tinggi gelombang transmisi yang terjadi semakin besar. Akan tetapi dengan berkurangnya material energi gelombang yang dapat direndam semakin besar, karena sebagian energi gelombang dapat dengan mudah melewati celah batu yang ada, hal ini yang menyebabkan tinggi gelombang refleksi semakin kecil. 2. semakin besar nilai kedalaman air (d), maka kedalaman air di atas puncak pemecah gelombang ambang rendah (h) juga semakin besar. Teori menyebutkan bahwa pada tempat yang dangkal kehilangan tenaga gelombang akan lebih besar dibandingkan pada tempat yang dalam, hal ini disebabkan karena gerakan partikel air pada tempat yang dalam 3. tidak begitu terasa di dasar laut, sehingga kehilangan tenaga akibat “friction” kecil. Dengan demikian apabila nilai (d-h)/d semakin besar, maka nilai Kt yang timbul semakin besar, sedangkan Kr nya semakin kecil. 4. apabila periode gelombang semakin besat, maka nilai Kt yang timbul semakin besar, sedangkan nilai Kr nya semakin kecil. Sesuai persamaan no 14) apaila T semakin besar, maka nilai panjang gelombang (L) yang timbul semakin besar. Apabila dilihat persamaan pembangkitan gelombang tipe flap : . .............................................................. (15) maka apabila panjang glombang (L) semakin besar, maka tinggi gelombang (H) yang dapat dibangkitkan semakin kecil. Apabila seuatu gelombang menjalar melewati daerah dengan kedalaman tertentu, maka gelombang dengan tinggi yang semakin kecil pengaruh gesekan dasarnya juga semakin kecil, hal ini yang menyebabkan nilai Kt semakin besar dan nilai Kr nya semakin kecil.
Full Tema2.indb 206
24/10/2011 11:49:31
207
Gambar 3.1. Hubungan antara gT2/B, Kt, Kr, dan λ untuk B’/B=0.33
Gambar 3.2. Hubungan antara gT2/B, Kt, Kr, dan λ untuk B’/B=0.50
Full Tema2.indb 207
24/10/2011 11:49:32
208
Gambar 3.3. Hubungan antara gT2/B, Kt, Kr, dan λ untuk B’/B=0.67
Gambar 3.4. Hubungan antara gT2/B, Kt, Kr, dan λ untuk B’/B=0.83
Full Tema2.indb 208
24/10/2011 11:49:32
209
Selanjutnya dengan melakukan analisis statistik dalam hal ini menggunakan Statistical Analysis System (SAS) didapatkan persamaan pendekatan guna menghitung nilai koefisien gelombang transmisi (Kt) dan koefisien gelombang refleksi (Kr) sebagai berikut
. ...................................
. .............................
(15)
(16)
Dengan : Kt : koefisien gelombang transmisi Kr : koefisien gelombang refleksi g : perecepatan grafitasi T : periode gelombang B : lebar keseluruhan pemecah gelombang ambang rendah d : kedalaman air h : kedalaman di atas mercu pemecah gelombang ambang rendah Ct : koefisien untuk Kt Cr : koefisein untuk Kr Nilai Ct dan Cr dapat dilihat pada Tabel 4.1 β1 : koefisien untuk Kt β2 : koefisien untuk Kr Nilai β1 dan β2 dapat dilihat pada Gambar 3.5 dan Gambar 3.6
B’/B
0.33
0.67
Full Tema2.indb 209
Tabel 4.1 Hubungan antara B’/B, (d-h)/d, Ct dan Cr (d-h)/d Ct Cr B’/B (d-h)/d Ct 1.00 1.2 0.96 1.00 2.41 0.90 1.09 0.96 0.90 1.49 0.85 1.07 0.96 0.85 1.35 0.80 1.06 0.96 0.8 1.25 0.50 0.75 1.05 0.95 0.75 1.19 0.70 1.05 0.95 0.7 1.14 0.60 1.04 0.94 0.6 1.07 1.00 2.53 0.74 1.00 2.82 0.90 1.5 0.75 0.90 1.6 0.85 1.34 0.76 0.85 1.43 0.80 1.23 0.77 0.80 1.3 0.83 0.75 1.16 0.78 0.75 1.21 0.70 1.1 0.8 0.70 1.11 060 0.99 0.84 0.60 1.06
Cr 0.75 0.76 0.77 0.78 0.8 0.82 0.90 0.61 0.62 0.62 0.63 0.64 0.63 0.70
24/10/2011 11:49:32
210
Gambar 3.5 Hubungan antara (d-h)/d dengan β1
Gambar 3.6. Hubungan antara (d-h)/d dengan β2
Full Tema2.indb 210
24/10/2011 11:49:33
211
UCAPAN TERIMA KASIH Atas kesempatan yang yang diberikan kepada saya untuk dapat menyajikan makalah dalam pertemuan yang terhormat ini, maka saya secara tulus menyampaikan terima kasih kepada : 1. Segenap Panitia PIT HATHI XXVIII tahun 2011 atas diterimanya kami sebagai salah peserta dalam pertemuan ini. 2. Segenap Pengurus HATHI baik Pusat maupun Daerah atas diterimanya kami sebagai salah peserta dalam pertemuan ini. 3. Prof. Dr. Ir. Nuryuwon, Dipl. HE dan Dr. Ir. Suseno Darsono, M.Sc atas pengarahan, dan bimbingannya sehingga makalah ini dapat ditulis dengan baik. 4. Segenap peserta pertemuan PIT HATHI XX VIII di Ambon, atas peran sertanya dalam mencermati makalah ini. Akhirnya semoga Tuhan YME, senantiasa berkenan melimpahkan hidayah dan karunia-Nya kepada kita semua demi kejayaan bangsa Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Armono, HD., and K.R. Hall, 2004, Wave Transmission on Submerged Breakwaters Made of Hollow Hemispherical Shape Artificial Reefs, Journal, Departement of Ocean Engineering, Institute Technologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Indonesia and Departement of Civill Engineering, Queens University. Kingston, Canada. C.E.R.C, 1984, Shore Protection Manual, Departement of The Army, Waterways Experiment Station, Vickburg, Mississipi. Dal Soo Lee, 2009, Comparison of Wave Transmission Characteristics of Submerged Dean R.G., and Dalrymple R.A., 1984, Water Waves Mechanics for Engineers and Scientist, Practice Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey. Francisco Taveira Pinto, 2005, Regular Water Wave Measurements Near Submerged Breakwater, Institute of Hidraulics and`Water Resources, Faculty of Engineering University of Porto, Portugal. Horikawa, K., 1978, Coastal Engineering, Univercity of Tokyo Press, Tokyo. Jersey 07030, USA. Nizam, 1987, Refleksi dan Transmisi Gelombang Pada Pemecah Gelombang Bawah Air, Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Pilarczyk W. Krystian, 2003, Alternative System For Coastal Protection an Overview, Journal, International Conference on Eastuaries and Coasts, Hangzhou, China Steve A. Huughes, 1993, “physical Models And Labiratory Techniques In Coastal Engineering”, Coastal Engineering Research center Waterways Experiment Station, USA.
Full Tema2.indb 211
24/10/2011 11:49:33
212
Silvester, R.,1974, Coastal Engineering 1, Departement of Civill Engineering University of Western Australia, Elsevier Scientific Publishing Company, Amterdam-Oxford-New Yorg Shirlal, KG., S Rao and SKM Prasad, 2003, Stability of Tandem Breakwater, Journal, Vol 84, Departement of Applied Mechanics and Hydraulics, National of Technology, Karnataka, Surathkal, Srinivasanagar 575025. Triatmodjo, B., “Teori Gelombang I”, Fakultas Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Yuwono, N.,1990, “Dasar-Dasar Perencanaan Bangunan Pantai Volume I”, PAU Ilmu Teknik UGM, Yogyakarta. Yuwono, N.,1990, “Model Hidrolik”, Fakultas Pascasarjana UGM, Yogyak Yuwono, N.,1990, “Dasar-Dasar Perencanaan Bangunan Pantai Volume I”, PAU Ilmu Teknik UGM, Yogyakarta. Yuwono, N., 1992, “Dasar-Dasar Perencanaan Bangunan Pantai Volume II”, PAU Ilmu Teknik UGM, Yogyakarta
Full Tema2.indb 212
24/10/2011 11:49:33
Studi Pengamanan Pantai dan Pesisir Pulau Kumbang Kabupaten Kayong Utara Stefanus B. Soeryamassoeka1), Djono Sodikin2), M. Meddy Danial3) Pengurus HATHI Kalimantan Barat & Staf Pengajar Fakultas Teknik Universitas Tanjungpura Pontianak 2) Pengurus HATHI Kalimantan Barat 3) Staf Pengajar Fakultas Teknik Universitas Tanjungpura Pontianak 1)
Intisari Berdasarkan karakteristik fisiografis wilayah pantai Kalimantan Barat bagian utara (Tanjung Datuk) sampai dengan selatan Kendawangan (Sungai Jelai) merupakan daratan rawa dan pantai berpasir dengan luas wilayah ± 20.780 km2. Jika ditinjau dari struktur geologi dan formasi endapan, pantai Kalimantan Barat bagian utara terdiri atas rawa gambut, rawa bakau dan batuan intrusi zaman mesozoic, sedangkan wilayah pantai bagian Selatan terdiri atas rawa gambut, dataran aluvial, gambut meander, deposit dasar lembar dan endapan kuarter. Akibat pemanfaatan pantai yang tidak berwawasan lingkungan maka hampir sebagian pantai menjadi rusak, baik diakibatkan oleh ulah manusia maupun akibat siklus alam itu sendiri. Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan SID Pengaman Pantai Kabupaten Kayong Utara. Untuk itu, kegiatan yang dilakukan agar mendapatkan hasil yang diinginkan meliputi: inventarisasi data sekunder, peta dasar, referensi dan kajian pustaka, melakukan identifikasi dan inventarisasi kondisi pantai di Kabupaten Kayong Utara, orientasi lapangan, survey instansional, melakukan Survey dan Pengukuran, identifikasi lokasi pantai di wilayah Kabupaten Kayong Utara yang dianggap memerlukan penanganan segera, dalam hal ini ditetapkan pantai Desa Pulau Kumbang, analisis data sekunder dan primer (data lapangan), penyusunan rekomendasi untuk penanganan masalah abrasi dan sedimentasi pantai. Bagi Pemerintah; studimemberikan ������������������������������������������������������������ informasi daerah rawan bencana abrasi di kawasan Kabupaten Kayong Utara, membantu untuk mengintegrasikan pertimbangan lingkungan hayati dalam tahap perencanaan secara rinci dari rencana kegiatan. Sedangkan bagi Masyarakat; hasil dari studi ini dapat digunakan sebagai acuan dalam memanfaatkan dan melestarikan pantai di wilayah studi yang ada di kawasan Kabupaten Kayong Utara. 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Provinsi Kalimantan Barat mempunyai 5 wilayah pesisir laut/perairan yaitu: Kabupaten Sambas, Bengkayang, Pontianak, Ketapang dan Kayong Utara dengan memiliki panjang pantai ± 1500 km pesisir ini dapat memberikan sumbangan yang cukup besar bagi pembangunan daerah maupun pembangunan nasional, jika potensi tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal. 213
Full Tema2.indb 213
24/10/2011 11:49:33
214
Wilayah pantai di Kabupaten Kayong Utara secara umum terdiri atas hamparan mangrove dan api-api. Kontur permukaan tanah secara umum dapat digolongkan relatif datar dengan banyak lokasi berbatu berbentuk tanjung. Jumlah tipologi pantai berbentuk tanjung cukup banyak diantaranya adalah Tanjung Penaga, Tanjung Kerunut, Tanjung Kumbang, Tanjung Turun dan Tanjung Satai. Permasalahan utama di kawasan pantai Kayong Utara adalah saat terjadi pasang tinggi dimana gelombang mampu menerjang dan melimpas hingga ke jalan raya. Gelombang tinggi saat air laut pasang yang menghantam pantai dapat merusak fasilitas infrastruktur dan menimbulkan erosi yang cukup parah. Semua bangunan struktur irigasi seperti pintu air semuanya hancur dan tidak berfungsi akibat energi gelombang yang sangat besar. Karakteristik gelombang laut di sepanjang pantai Kayong Utara berbeda-beda tergantung pada lokasi pantainya. Pada lokasi pantai Sukadana dan pantai Pulau Datuk, gelombang mampu membentuk gelombang swell yang lebih teratur. Sedangkan pada pantai Pulau Kumbang, gelombang swell tidak mampu terbentuk karena gelombang lebih banyak disebabkan oleh angin lokal akibat lokasi perairan yang berbentuk seperti cekungan atau teluk besar dan sedikit terlindung dari arah Barat dan Tenggara Persoalan lain yang tidak kalah penting adalah limpasan gelombang yang masuk jauh ke arah daratan dan menyebar ke pemukiman penduduk. Limpasan gelombang ini juga masuk melalui saluran irigasi dan merusak pintu-pintu air serta menyebabkan tanaman pohon kelapa menjadi rusak dan tidak bisa berbuah sebagaimana mestinya akibat dari air asin. Di samping itu, bangunan struktur yang kuat justru menyebabkan gelombang mencari jalan lain yang lemah dari segi kekuatan struktur sehingga gelombang dapat menembus dan menjebol tepi sebelah kiri dan kanan dari bangunan irigasi. Pada umumnya masyarakat sudah memanfaatkan tepian pantai untuk kehidupannya seperti: bertempat tinggal, mencari nafkah, berkebun, bertani, perikanan, tambang, industri dan pariwisata. Secara garis besar, kerusakan pantai disebabkan oleh kombinasi proses abrasi dan atau erosi pantai. Pada lokasi tertentu terjadi kerusakan dengan dominasi abrasi dan pada lokasi yang lain oleh dominasi erosi, dan mungkin di tempat yang lain lagi terjadi kedua proses abrasi dan erosi bersamaan. Abrasi yang berperan adalah energi gelombang, sedangkan Erosi yang berperan adalah arus dan sediment transport. Agar tepian pantai tidak semakin bertambah parah/rusak ada teknologi yang dapat menghambat laju kerusakan pantai tersebut, konstruksi ini dikenal dengan konstruksi pemecah gelombang yang berfungsi meredam besarnya energi gelombang yang akan menuju pantai. Dengan memadukan hasil evaluasi, identifikasi dan hasil analisis maka akan didapat beberapa alternatif pengembangan sebagai pemecahan permasalahan kebutuhan.
Full Tema2.indb 214
24/10/2011 11:49:33
215
1.2. Kajian Pustaka dan Landasan Teori 1.2.1. Umum Dalam memahami morfologi pantai ada dua istilah yang sering digunakan untuk membedakan bagian daratan di pinggir laut, yang dalam bahasa Inggris disebut shore dan coast. Shore atau pesisir ialah sejalur daerah tempat pertemuan daratan dengan laut, mulai dari batas permukaan laut ketika pasang surut terendah menuju ke arah darat sampai batas tertinggi yang mendapat pengaruh gelombang ketika terjadi badai. Jadi daerah ini akan tergenang ketika pasang naik dan kering ketika sedang pasang surut. Coast atau pantai ialah suatu zone yang mendapat pengaruh kuat dari proses marine “a zone in which coastal prosess esoperate or have a strong influence” (Strahler,1979:534). Dan dataran pantai atau coastal plain adalah jalur pantai yang muncul dari bawah permukaan laut yang merupakan bagian dari dangkalan benua atau contiental shelf, dibatasi oleh suatu tingkat dengan lereng yang curam kearah laut. Jadi sebenarnya pesisir atau shore merupakan bagian dari pantai atau coast, hanya dibedakan atas dasar kondisinya yang dihubungkan dengan penggenangan oleh air laut saja. Gambar 1 berikut, secara umum dapat dibagi ke dalam batasanbatasan yang dinamis berdasarkan karakteristik gelombang itu sendiri seperti letak kedalaman gelombang pecah, garis batas daratan berdasarkan pasang surut, letak sand bar formation.
Gambar 1. Definisi dan Batasan Ilmu Rekayasa Pantai (sumber : Walker, 2005) 1.2.2. Perubahan Daerah Pantai Dewasa ini, pemahaman mengenai perubahan pantai sangat penting untuk diketahui. Daerah pantai adalah daerah yang dinamis dan komplek. Pantai adalah kawasan yang paling sering mengalami perubahan, sehingga morfologi pantai dan karakteristik sedimen pantai juga akan mengalami perubahan. Garis pantai selalu bergerak dan berubah secara dinamis. Perubahan garis pantai dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah pola gelombang, angin, transpor sedimen tegak lurus dan sejajar pantai, topografi, dan batimetri.
Full Tema2.indb 215
24/10/2011 11:49:33
216
Secara geologis, perubahan pada pantai sudah jarang terjadi karena proses pembentukannya sudah sejak berabad-abad yang lalu yaitu tepatnya pada zaman holocene atau plesitocene. Namun untuk perubahan secara sedimen dan morfologis dapat berlangsung mulai dari jangka hitungan detik dan harian hingga jangka bulanan dan tahunan. Secara umum, skala waktu dapat dibagi menjadi dua, yaitu perubahan skala pendek (short term) dari hitungan hari hingga satu tahun, sedangkan untuk skala panjang (long term) dari hitungan satu tahun hingga waktu yang lebih lama lagi. Dinamika perubahan sedimen kerap terjadi secara temporer dalam skala harian hingga bulanan sedangkan perubahan morfologi kerap terjadi dalam skala bulanan hingga tahunan. 1.2.3. Dinamika Pantai Proses sedimentasi dan perubahan morfologi yang dinamis menyebabkan terjadinya dinamika pantai seperti maju dan mundurnya garis pantai. Mundurnya garis pantai sering disebut sebagai erosi (erosion) atau abrasi sedangkan garis pantai yang maju sering disebut dengan deposisi atau akresi (acresion). Akibat dari akresi maupun erosi akan mengakibatkan perubahan garis pantai dan lingkungan kawasan pantai secara drastis, sehingga perubahan garis pantai perlu dikaji dan diprediksi sejak dini agar dapat dilakukan antisipasi serta penanganan kawasan pantai secara tepat dan efektif. Proses dinamika perubahan suatu pantai dalam skala ruang dan waktu bisa menyebabkan maju atau mundur garis pantai dimana untuk proses sedimentasi pada pantai perubahan itu terjadi antara skala centimeter (cm) hingga meter (m) sedangkan untuk perubahan morfologi pada pantai biasanya terjadi antara skala meter (m) hingga kilometer (km). 1.2.4. Kerusakan Pantai Kerusakan pantai yang diakibatkan oleh perilaku gelombang terhadap daratan atau pesisir pantai bisa timbul karena beberapa faktor seperti ; besarnya gelombang yang terjadi, pecahnya gelombang terlalu dekat dengan pantai, adanya arus sejajar pantai akibat gelombang, jenis tanah pada pesisir pantai, dan keadaan jenis manggrove yang menutupi pesisir pantai. Kriteria kerusakan pantai dibagi menjadi tiga bagian. (1). Pengurangan daerah pantai (Perubahan garis pantai, Pengaruhnya terhadap lingkungan dan stabilitas bangunan), (2). Kerusakan lingkungan pantai (Pemukiman/bangunan bermasalah, kualitas air laut, terumbu karang, mangrove), (3). sedimentasi dan pendangkalan muara (prosentase penutupan pada muara, pengaruh pada lingkungan (misalnya, dapat menyebabkan banjir). Bobot kerusakan pantai dibagi menjadi beberapa tingkatan yaitu ringan, sedang, berat, amat berat dan amat sangat berat. Berikut ini adalah tabel bobot tingkat kerusakan pantai.
Full Tema2.indb 216
24/10/2011 11:49:33
217
Tabel 1. Bobot Tingkat Kerusakan Pantai Bobot Kerusakan No. Tingkat Kerusakan
Erosi/Abrasi
Sedimentasi
Kerusakan Lingkungan
1
Ringan
50
25
50
2
Sedang
100
50
100
3
Berat
150
75
150
4
Amat Berat
200
100
200
5
Amat Sangat Berat
250
125
250
Tabel 2. Bobot Tingkat Kepentingan No.
Tingkat Kepentingan
Bobot
1
Tempat Usaha, Tempat ibadah,industri 175-250 besar, cagar budaya, daerah wisata internasional, jalan negara, bandat udara, daerah perkotaan dan perdagangan, dsb
2
Desa, jalan propinsi/kabupaten, pelabuh- 125-175 an, daerah wisata nasional, industri sedangkecil, dsb
3
Tempat wisata tradisional, dsb
4
Lahan pertanian, tambak tradisional, dsb
75-100
5
Hutan lindung, mangrove, dsb
50-75
6
Sumber material, bukit pasir, lahan kosong
0 - 50
domestik,
tambak 100-125
Tabel 3. Pedoman Penentuan Prioritas Penanggulangan No.
Nilai Bobot Kerusakan
Prioritas Penanggulangan
KODE
1
>500
Amat sangat diutamakan
A
2
400 – 499
Sangat diutamakan
B
3
300 – 399
Diutamakan
C
4
200 – 299
Kurang diutamakan
D
5
<200
Tidak diutamakan
E
1.2.5. Bangunan Perlindungan Pantai Secara alamiah, ancaman pada kawasan pantai yang paling signifikan adalah dari gelombang dan arus. Pantai dan infrastruktur di sekitarnya perlu dilindungi dari gelombang yang datang. Pola gelombang dan arus serta sedimentasi yang terjadi di perairan pantai dapat menyebabkan kerusakan pantai seperti terjadinya erosi pantai.
Full Tema2.indb 217
24/10/2011 11:49:34
218
Gelombang juga dapat merusak pemukiman sarana infrastruktur di sepanjang tepi pantai seperti jalan raya, pelabuhan, pantai wisata dan lain-lain. Untuk melindungi pantai dari gelombang dan arus serta transpor sedimen perlu dilakukan suatu tindakan atau langkah yang harus dilakukan. Langkah atau tindakan yang nyata bisa berupa pembuatan model perlindungan pantai yang efektif. Langkah-langkah model perlindungan berdasarkan pada fungsinya dapat dilihat pada tabel berikut; Tabel 4. Model Perlindungan Pantai Berdasarkan Fungsinya no
Fungsi
1
Struktur pelindung
3
Stabilitasi pantai
3
Restorasi
4
Adaptasi dan akomodasi
5
Kombinasi
a b c a b c d a b a b c a b
6
Do nothing (Tidak a melakukan apa-apa)
Jenis bangunan pelindung Seawall bulkhead revetment Breakwater groin, sill dan vegetasi, drainase bawah tanah Peremajaan pantai penimbunan pasir Penahan banjir zonasi pemindahan (retreat) bangunan struktur dan restorasi Struktur, restorasi dan adaptasi Tidak ada intervensi
2. Hasil Penelitian dan Pembahasan 2.1. Hasil Inventarisasi Kerusakan Pantai Pantai Pulau Kumbang secara umum mempunyai problem yang cukup parah dimana terdapat dua ancaman alam yaitu gelombang yang besar dengan periode pendek serta genangan pasang yang membawa air asin. Air asin ini sanggup merusak perkebunan kelapa masyarakat dan menyebabkan pohon kelapa menjadi rusak dan tidak bisa berbuah.
Gambar 2. Kerusakan dan Erosi Mangrove di Sepanjang Pantai Pulau Kumbang
Full Tema2.indb 218
24/10/2011 11:49:40
219
Beberapa bangunan irigasi hancur oleh terjangan gelombang dan beberapa warga terpaksa pindah rumah karena rusak oleh gelombang. Hutan mangrove sudah banyak yang terkikis dan habis. Tebal mangrove yang habis oleh erosi gelombang diperkirakan sekitar 100 meter. 2.2. Hasil Analisis Pasang Surut Secara umum, data yang diperoleh dari data sekunder berbagai pekerjaan menunjukkan bahwa tipe pasang surut di wilayah Kayong Utara adalah tipe harian tunggal (diurnal tide type), yaitu dimana hanya terjadi satu kali pasang dan satu kali surut dalam 24 jam. Sedangkan hasil analisa data pasang surut sukadana untuk pengukuran selama 15 hari dengan selang waktu 1 jam dapat dilihat pada Tabel di bawah ini. Tabel 5. Hasil Analisa Konstanta Pasang Surut
Pada Tabel 5, sembilan komponen konstituen pasang surut dapat diketahui dengan menggunakan Metode Least Square yang dijalankan dengan menggunakan program Fortran. Analisa elevasi muka air acuan dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini. Tabel 6. Elevasi Muka Air laut Rencana Sukadana
Full Tema2.indb 219
24/10/2011 11:49:41
220
2.3. Hasil Analisis Penentuan Jenis Gelombang Pasang Surut Amplitudo dari konstituen harmonik gelombang pasang surut dapat digunakan untuk menentukan jenis pasang surut yang terjadi yaitu:
dengan F = 0.00 - 0.25 F = 0.25 - 1.50 F = 1.50 - 3.00 F > 3.00
: semidiurnal tides : mixed, dominantly semidiurnal tides : mixed, dominantly diurnal tides : diurnal tides
Dari rumus tersebut di atas dapat dijetahui tipe pasang surut di Pulau Kumbang yang dihitung sebagai berikut : K1 = 1.306 m O1 = 0.303 m
M2 = 0.219 m S2 = 0.063 m
Maka pasang surut yang terjadi adalah
Jadi, tipe pasang surutnya adalah condong ke diurnal atau dalam 24 jam cenderung terjadi pasang sebanyak 1 kali dan surut sebanyak 1 kali. 2.4. Penentuan Jenis Konstruksi Pengaman Pantai Dasar pemilihan bangunan pelindung pantai yang dipilih haruslah bangunan yang multiguna dan bermanfaat untuk daerah tersebut, yaitu bangunan yang dapat berfungsi untuk pelindung kawasan pantai, konstruksinya tidak terlalu tinggi, sehingga tembok laut tidak nampak seperti benteng yang besar, tidak mengganggu drainase kampung dan alur kapal nelayan, pembangunannya relatif mudah dengan biaya relatif murah. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas maka dapat ditentukan beberapa alternatif bangunan yang memenuhi kriteria tersebut, diantaranya adalah Krib pemecah gelombang sejajar pantai, Tembok laut dari buis beton, Tembok laut dengan menggunakan wave reflector Untuk mengatasi gerusan yang terjadi akibat gempuran gelombang sehingga tidak membahayakan kontruksi, maka di bagian depan struktur bangunan tersebut perlu diberi kontruksi pelindung kaki bangunan (toe protection).
Full Tema2.indb 220
24/10/2011 11:49:41
221
3. Penutup Dari hasil analisis yang telah dilakukan terhadap data-data yang ada diketahui bahwa dari lima alternatif bangunan pelindung pantai berdasarkan pada dimensi dan jenis armor pelindung, core pelindung, keamanan struktur pemecah gelombang ternyata pengaman pantai yang cocok untuk Pantai Kumbang adalah pemecah gelombang dengan tipe Sheet Pile dengan panjang sheet pile adalah 20 m, dengan tinggi di atas muka tanah adalah 5.5 m dan yang masuk di dalam tanah adalah 14.5 m. Diperkirakan biaya untuk pekerjaan bangunan pengaman pantai menggunakan Sheet Pile adalah Rp. 54.825.870.000,- . Tipe pengaman pantai Sheet Pile ini dipilih karena harga lebih murah, konstruksi lebih kuat dan kokoh. Berdasarkan informasi yang diperoleh tentang rencana pembukaan tambang timah di sepanjang pantai di Kecamatan Simpang Hilir Kayong Utara. Dengan adanya Sheet Pile maka endapan hasil tambang diharapkan dapat mempercepat proses sedimentasi. Setelah dilakukannya studi ini, maka perlu adanya suatu kajian kelayakan dan detail desain untuk bentuk dan jenis pemecah gelombang yang paling ideal dan juga analisis terhadap dampak lingkungan apabila pemecah gelombang tersebut dibangun. Lingkungan dan hutan-hutan yang berada disekitar pantai harus tetap dijaga agar dapat selalu terpelihara dan perlu diadakannya penyuluhan terhadap masyarakat secara kontinu untuk turut menjaga kelestarian pantai-pantai di Kabupaten Kayong Utara. Agar dapat mengurangi dampak negatif pada saat pengembangan kawasan di lokasi pekerjaan, maka perlu dilakukan pembinaan dan pengelolaan lingkungan hidup yang bertujuan: a. mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana, b. melaksanakan pembangunan yang berwawasan lingkungan untuk generasi sekarang dan yang akan datang, c. melindungi daerah terhadap dampak kegiatan yang menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan. Daftar Pustaka Anonim, 1994, ”Masalah Pantai di Indonesia dan Usaha-usaha Penanganan InterInstitusi yang Pernah dan Perlu Dilakukan”, Proceeding Seminar Teknik Pantai, LPT-BPPT, Yogyakarta. Anonim, 2002, “Pedoman/Petunjuk Teknik Dan Manual bagian 5 (Volume-I) dan bagian 6 (volume I-VI)”, Edisi Pertama. Badan Penelitian Dan Pengembangan, Departemen Permukiman Dan Prasarana Wilayah. Anonim, 2002, Informasi Data Inventarisasi Sumber Daya Air Propinsi Kalimantan Barat, Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah, Sub Dinas Sumber Daya Air, Kalimantan Barat Anonim, 2009. “Kabupaten Kayong Utara Dalam Angka 2009”. Badan Pusat Statistik Kabupaten Kayong Utara, Pemerintah Kabupaten Kayong Utara,
Full Tema2.indb 221
24/10/2011 11:49:41
222
Dean, R.G. dan Dalrymple, R.A., 1991, “Water Wave Mechanics for Engineers and Scientist, Advanced Series on Ocean Engineering World Scientis”, Singapore-New Jersey-London-Hongkong. Douglass, S dan Chen, J, 2004, “Overview of Coastal Engineering: Waves, Coastal Transportation Engineering Research and Education Center”, South Alabama Univerity, USA. Meddy, D.M., 2008, “Rekayasa Pantai”, Anggota Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), Penerbit Alfabeta, Bandung. Triatmodjo, B., 1999, “Teknik Pantai”, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Full Tema2.indb 222
24/10/2011 11:49:41
Penerapan Model FVCOM untuk Pemodelan Gelombang Tsunami di Pulau Sipora, Kepulauan Mentawai Dhemi Harlan1), Hendra Achiari1), Bobby Minola Ginting1), Alfa Aldebaran1) Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung, West Java INDONESIA
[email protected] 1)
Intisari Kasus Tsunami di pulau Sipora terjadi pada 26 Oktober 2010 silam, di mana telah banyak menyebabkan korban baik material maupun nyawa. Pada dasarnya Tsunami merupakan fenomena alam yang tidak bisa dihentikan dan diprediksi secara pasti. Namun, dampak negatif dari fenomena ini dapat dikurangi melalui suatu sistem peringatan dini secara menyeluruh dan tepat. Salah satu komponen yang dapat dijadikan bagian dalam sistem peringatan dini tersebut adalah simulasi numerik. Simulasi numerik merupakan salah satu cara yang sederhana namun memiliki tingkat keakuratan yang relatif baik sehingga dapat diterapkan secara cepat dan tepat untuk memodelkan kasus Tsunami tersebut. Model numerik telah banyak berkembang dan telah banyak berhasil pula untuk memodelkan suatu fenomena aliran. Salah satu metode yang sedang berkembang adalah metode volume hingga. Dalam penelitian ini, masalah perambatan gelombang Tsunami diselesaikan secara numerik dengan menerapkan metode volume hingga pada grid segitiga yang tidak beraturan untuk diskritisasi ruang dan Runge-Kutta orde 4 untuk diskritisasi waktu yang telah terintegrasi dalam source code FVCOM. Manfaat yang akan didapat dari penelitian ini adalah menghasilkan suatu sistem simulasi numerik yang dapat memberikan gambaran bahaya Tsunami baik terhadap pulau Sipora untuk penelitian ini maupun untuk pulau-pulau lainnya di Indonesia pada masa yang akan datang sehingga kelak dapat dikembangkan menjadi suatu sistem peringatan dini akan bahaya Tsunami. Keuntungan penelitian ini adalah simulasi numerik ini dapat diterapkan berikutnya untuk daerah-daerah lain yang memiliki potensi bahaya Tsunami. Kata kunci : tsunami, metode volume hingga, Runge Kutta orde 4 1. Latar Belakang dan Studi Pustaka Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 18.306 pulau yang berada diantar samudera Pasifik dan Hindia, serta berada diantar dua benua besar yakni Asia dan Australia. Negara Republik Indonesia mempunyai perairan yang sangat luas, seperti yang terlihat pada Gambar 1. Indonesia juga berada diantara jalur patahan dan gunung berapi aktif. Sehingga secara alami Indonesia, selain menjadi negara zamrud khatulistiwa karena merupakan negara pemilik hutan hujan terbesar, 223
Full Tema2.indb 223
24/10/2011 11:49:41
224
juga merupakan daerah yang rawan terkena bencana tektonik akibat pergerakan fluida dibawa Bumi.
Gambar 1: Foto Satelit Wilayah Indonesia (Google Earth, 2010) Berbagai daerah di Indonesia merupakan titik rawan becana, terutama gempa bumi dan tsunami. Hal ini dikarenakan wilayah Indonesia dikepung oleh lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia, dan lempeng Pasifik. Ketiga lempeng tersebut sampai saat ini masih aktif bergerak, sehingga dapat menimbulkan gempa bumi ketika lempeng tersebut bergeser dan patah. Pada saat tumbukan antar lempeng tektonik terjadi, tsunami dapat terjadi, seperti yang terjadi di Aceh dan Sumatera Barat. Kajian numerik tentang perambatan gelombang Tsunami telah banyak dilakukan sebelumnya. Beberapa model numerik berbasis metode beda hingga telah banyak diaplikasikan untuk beberapa kasus di Indonesia seperti pemodelan Tsunami Pangandaran 2006 (Latief, H. et al 2006), pemodelan Tsunami Aceh 2004 (Latief, H. et al 2006), dan sebagainya. Simulasi numerik terdahulu ini dianggap telah memberikan hasil yang baik.
Gambar 2: Pemodelan Tsunami Aceh 2004 (Latief, H. et al 2006)
Full Tema2.indb 224
24/10/2011 11:49:42
225
Metode volume hingga dipandang sebagai suatu metode yang baru dengan tingkat fleksibilitas yang lebih tinggi dalam hal diskritisasi ruang domain dariapada metode beda hingga karena dapat diaplikasikan pada sistem struktur grid yang tidak beraturan. Metode volume hingga yang digunakan dalam penelitian ini merupakan kombinasi antara metode elemen hingga dan metode beda hingga. Metode elemen hingga digunakan untuk fleksibilitas geometri yang relatif kompleks, sementara itu metode beda hingga digunakan untuk struktur diskrit sederhana dan efisiensi komputasi numeriknya. Dalam metode volume hingga ini, pembentukan mesh diterapkan untuk grid segitiga tidak beraturan, terdiri dari tiga node, satu centroid dan tiga sisi. Ukuran mesh yang dibentuk dalam domain merupakan fungsi yang didefinisikan oleh pengguna. Untuk meningkatkan hasil komputasi, variabel vektorial u dan v ditempatkan pada centroid-centroid (titik pusat) mesh, sedangkan variabel-variabel skalar ditempatkan pada titik-titik mesh tersebut. Dengan metode volume hingga ini dapat diprediksi rambatan gelombang Tsunami pada perairan lokasi studi yang diverifikasi dengan data lapangan.
Full Tema2.indb 225
1 P u u u u u (1) K m Fu w fv u v Teori 2. Landasan 1o P x z uz uz uy ux ut (1) u v yang K m kontinuitas fv adalah persamaan wdigunakan Persamaan pengatur Fu dan momentum z x z z y x t 1o P u u u u u aliran secara (1) K m Fu fv berikut: w sebagai v yaitu u primitif 1o P x z uz uz uy ux ut v u v v v wv fv 1 P K m v Fu ....................... (1) (1) (2) u x v y w z fu x z K m z Fv 1oo P y z yv xv vz vz vtt (2) K m Fv u v w fu 1o P y z yv vz vz xv vt (2) K m Fv ....................... (2) u v w fu 1o P y z vz vz yv vx vt P u v w fu (2) K F (3) 1o yP z m zu v zu utz xug yu P u F (1) K fv w v m u (3) (3) o x z z z y tz xg ................................................................................................... P (3) g z v w P u (3) (4) g 0 ........................................................................................ (4) 1 P v v vuxz yvv w z v (2) K m Fv u v 0 w fu (4) o y z z z z y uxt yvx w (4) 0 x y z u v w Persamaan (3) merupakan persamaan momentum, dan persamaan (4) (5) D H(1), (2) dan (4) 0 adalahD persamaan kontinuitas, di mana x, y dan z adalah sistem koordinat Kartesius, x Hy z P (5) (3) sedangkanu, vgdan w adalah x, y, z pada komponen kecepatan. Dengan ρ adalah z H (5) D densitas, f adalah Coriolis, P adalah u v parameter E P percepatan g adalah 1 tekanan, w u v K , , , pada z ( x, y, t ) m sx sy gravitasi, vertikal viskositas (5) D K vz komponen yu, Fv merepresentasikan 1o E P muzadalah x dan F t eddy, H w koordinat K m arah (Chen et v , horizontal. u ortogonal pada ( x, y, t ) Ilustrasi momentum al.) zdapat sx , sy , untuk u uzv vzw t E Pair mengikuti y kolom x total kedalaman 0 1o ,ini,, dimana dilihatKpada gambar dibawah w u v , pada z ( x, y,(4) t) m sx sy x y z H z z t x y persamaan (5), merupakan kedalaman bawah relatif terhadap z = 0, dan ζ adalah o u v E P 1 H Q H u , v 1 , , bxsx,terhadap wwz=0. u u v v b pada z pada relatif K , bebas H (zx , y) ( x, y, t )(7) m sy, tinggi K permukaan m by z z t x yb y Q 1oo x H H uz vz v w u K , bx , by , pada z H ( x, y) (7) . ................................................................................................ (5) (5) Dm H y Q 1o x H uz vz H b pada z H ( x, y) v w u K m , bx , by , (7) y x z z u v 2 1o 2 H Q H (7) K bxm , by , Cd u v bxu,,vby , w u v b pada z H ( x, y) (8) x y E P zu zv 2 1o 2 K bxm ,byz,Cz d u vsxu, vsy , w t u x v y pada z ( x, y, t )(8) bx , by Cd u 2 ov 2 u, v (8) C ku22 v 2 u, v dbx , max (8) by ,0.0025 C (9) d H Qb H u v kz 2 1 2 v w u K , , , pada (7) z H ( x , y ) ab ,0bx.0025 Cdm max ln (9) by y x z z kzz2 o2 24/10/2011 C max ln abo ,0.0025 (9)
11:49:43
226
1 P u u u u u (1) K m Fu u v w fv z x z z y x t 1o P u u u u u (1) K fv w v u m 1 P x zu z Fu u t u xu yu z o (1) K m Fu u v w fv o11xPP z wuu fv fv z K Kzuu F F t uuxuuuuyvvuuw (1) (1) 1 P z mmzzv u u yv wzuzv fuu tvt uxuxv vyu (2) F K o o xx z 1 P m vu F (1) K fv w v u z y z z y x t m u o 1 P x zv z yv xv tv v z (2) w fu1P o vK m Fv v u v tv xv yv z o y Kz Fz (2) fu w v u m z vv v vv t vvxuuv Pm F uv yvvvvuw uo11yPP (2)(2) fu fu z 1 KmK F u z w u (1) fv vK mv Fu t xxguyy vzz w t P o o yy zz zz (3) 1o Px z vz vz vy vx vt z (2) K m Fv u v w fu P o y z z t g x z y (3) P z (3) g P P (3)(3) z u gvvg wv 1 v P v v zz K m Fv (4) (2) u 0 v w fu P z y z z y x t o Ortogonal (Chen et al.) (3) z g 3: Ilustrasi Sistem Koordinat ux yv Gambar w (4) z 0 u Harga vx w u, v dan w pada bottom boundary condition dan surface boundary vy w0wz (4) uu vparameter (4)(4) 0 0 x xcondition yx yzyPzdiambil kemudian digunakan pada persamaan dibawah ini : (5) (3) D H z g u v w ∂uz ∂v 1 0 (5) (4) Dm Hx, y=− z (t sx ,t sy ), w = ∂z + u ∂z + v ∂z + E − P K ∂t ∂x ∂y ro r ∂z ∂z (5) D DHD (5) (5) H H E P u v 1 w K m , sx , sy , v u pada z ( x, y, t ) uz u vz v w1o 0 (4) P y E x t (5) w u v K , , , D H pada z ( x , y , t ) x y z m sx sy x E u uvuzvvz1 1 1 o Ey EPP P t K m K mKm, , , sx,sxsy,sx,sysy, ,w w pada w padaz z (xx,(, xyy,,tyt),)t.). (6) u u u vv v pada tt t xxx yyy z zzzuzzv o o1o H Qb H v w u K m , u v bx ,1 by , (7) H ( x, y) zEP pada y x z mvzH , 1 uD w u v K , , pada z ( x, y,(5) t) o sx sy H t H xQb y z z v w u K , , , pada (7) z H ( x , y ) o ..... (7) m bx by HHQQbQb HH H H u uvuvv 1 1 1 o, ,, , w w pada pada (7) H ((Hxx,,( xyy,))y) bx ,bxbybx,by by w uuu vvx v yb pada K m K mKm, ,z ,z (7)(7) zz z H z z z z x x y y y x z z o o uo v EP pada z ((8) x, y, t ) bx , byKmCudz , uvz2 v 2u1,1v sx , sy , w tH u xH v Qy .............. (8) b o v w u K , , , pada z H ( x, y) (7) (8) bx , by mCdz 2 u2z2 2 v2 2 u,ov bx by y x ,bx by,byCudC2du vu2 vu,vvu,uv, v (8) bx ,bxdimana (8)(8) by Cd indeks x dan y merupakan komponen angin permukaan dan Qb adalah H Qb H v yakni 1 fluks u k2yang bottomKstressed bx , byvolume v merupakan w air utanahyang , , , padadaerah (7) z Hsumber ( x, y) m max 0 . 0025 C d 2 2 2 z 2zC hambatan yhubungan ov u,dapat x air tanah. diprediksidengan antara kekasaran(9) (8) bx,Koefisien u v by k d ln z di atas permukaan sebagai berikut: 2 z2 ab permukaan dan pada ketinggian k k max , 0 . C 2 ab 0025 max 0.0025 C Cdd max (9)(9) (9) k z2o ,02 2.,0025 z , 0 . 0025 Cd dmax (9) lnzab ab 2zab z,abln zC u 2 v 2 u, v ln (8) lnbxzbyzo zoo d k 2 o Cd max 2 ,0.0025 (9) z z z ab (10) . ................................................................... (9) H Dln z zz z zz z2o k z (10) (10) (10) H HH D DD ,0.0025 Cdz max (9) (10) 2 Hdimana k =D0.4 adalah konstanta von Karman yang merupakan parameter kekasaran z ab lnmenyelesaikan permukaan.zUntuk permasalahan ketidakteraturan topografi di dasar, z zo (10) permukaan di dasar harus dibuat rata. Oleh karena itu, semua persamaan (1) – (4) H D harus diubah berdasarkan transformasi σ-koordinat, yang didefinisikan sebagai:
Full Tema2.indb 226
z z H D
.................................................................................. (10)
(10)
24/10/2011 11:49:45
227
dikarenakan harga σ yang bervariasi dari 0 sampai -1. Maka, persamaan (1) – (4) diringkas menjadi :
uD uu22DD uvD uvD uu uD fvD fvD tt xx yy 0 ....... (11) D 1 gD 0 u gD D 1 KKmm u DF gD D DFxx D dd' ' gD xx oo xx xx DD
(11) (11)
vD uvD uvD vv22DD vv vD fuD fuD tt xx yy 0 ...... (12) gD D 1 gD 0 v D 1 KKmm v DF gD DFyy DDdd' ' gD yy oo yy yy DD
(12) (12)
Du Dv Dv Du 00 ...................................................................... (13) tt xx yy
(13) (13)
3. Hasil Penelitian dan Pembahasan Pada simulasi numerik ini, domain dibatasi oleh kotak dengan ukuran 80 x 80 km, di mana domain tersebut didiskritisasi menjadi 56399 buah element segitiga tidak terstruktur dan 28411 titik simpul. Nilai kontur batimetri laut maupun topografi darat pada masing-masing titik pada mesh merupakan hasil interpolasi secara inverse distance weighted dari nilai kontur batimetri dan topografi untuk 16 titik terdekat.
Gambar 4: Domain Model dan Mesh Domain Informasi kontur batimetri laut diperoleh dengan cara mendigitasi peta kedalaman menjadi peta digital. Koordinat peta awal yang berbasiskan sistem geografis kemudian diubah ke dalam sistem koordinat UTM. Efek gaya Coriolis yang diakibatkan oleh gerak rotasi bumi memberikan gaya membelok pada aliran fluida juga dimodelkan dalam simulasi ini. Untuk di daerah khatulistiwa gaya Coriolis dapat dianggap tidak ada.
Full Tema2.indb 227
24/10/2011 11:49:46
228
Tetapan pasang surut yang dimodelkan seperti amplitudo dan fase pasang surut diambil untuk daerah Kepulauan Mentawai. Tinggi gelombang Tsunami dihitung berdasarkan perubahan muka air laut akibat magnitude gempa (Lida, 1972). Berdasarkan perhitungan tinggi gelombang rata-rata Tsunami di kondisi open boundary adalah 2.20 meter. Nilai inilah yang digunakan sebagai syarat batas (open boundary condition). Pada daerah di garis pantai diterapkan perlakuan wet and dry sehingga mekanisme run-up gelombang nantinya dapat dimodelkan.
Gambar 5: Hasil Simulasi Waktu 1 – 10 Menit
Full Tema2.indb 228
24/10/2011 11:49:46
229
Simulasi numerik ini dipengaruhi oleh tingkat kestabilan bilangan Courant, di mana simulasi ini dijalankan selama 20 menit dengan selang waktu 0.10 detik. Hasil simulasi dapat dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6. Pada awal simulasi yaitu pada selang waktu (1 – 3 menit) dapat diasumsikan bahwa gelombang telah bergerak tetapi masih berada diperairan dalam, sehingga belum terlihat kenaikan elevasi muka air yang signifikan yaitu berada pada rentang 1.7 – 2.0 meter. Pada selang waktu 20 menit, gelombang Tsunami telah mencapai bibir pantai pulau Sipora dan telah membanjiri daratan. Dapat dilihat pada Gambar 6 bahwa tinggi muka air di bibir pantai berkisar antara 2 sampai dengan 4.5 meter. Oleh sebab itu, selang waktu ini dapat diasumsikan sebagai keadaan maksimum gelombang Tsunami yang terjadi. Sedangkan untuk pola rambatan gelombang Tsunami, pada selang waktu ini gelombang Tsunami telah menghempas pulau Sipora dan mulai menyebar kearah utara pulau. Dapat dilihat pada gambar tersebut, bahwa elevasi muka air perairan di Utara pulau Sipora mulai mengalami kenaikan.
Gambar 6: Hasil Simulasi Waktu 20 Menit Hasil pemodelan numerik ini kemudian dibandingkan dengan data survei lapangan . Gambar 7 dan Gambar 8 merupakan hasil plot perhitungan numerik potongan 1 (Pot. 1) dan potongan 2 (Pot. 2) berturut-turut untuk daerah Bere-Berilou dan daerah Bosua yang diverifikai dengan data penguuran di lapangan. Dari gambargambar tersebut dapat dilihat bahwa untuk daearah Bere Berilou, simulasi numerik telah memberikan hasil yang baik karena elevasi muka air hasil pengamatan dan pemodelan menunjukkan tingkat error yang relatif kecil, sedangkan untuk daerah Bosua, terdapat perbedaan hasil sebesar 0.5 m antara hasil pengukuran dan hasil pemodelan.
Full Tema2.indb 229
24/10/2011 11:49:46
230
Gambar 7: Grafik Cross Section Daerah Bere-Berilou
Gambar 8: Grafik Cross Section Daerah Bosua Kesimpulan Dari hasil simulasi dapat disimpulkan bahwa FVCOM dapat diterapkan untuk kasus dengan bentuk geometri yang lebih rumit dan memberikan hasil simulasi yang cukup mewakili untuk kasus rambatan tsunami dan dapat memberikan estimasi berapa lama pergerakan gelombang dari pusat tsunami menuju pantai dan seberapa besar tinggi gelombang di sekitar perairan pantai.
Full Tema2.indb 230
24/10/2011 11:49:47
231
Ucapan Terima Kasih Kami mengucapkan terima kasih kepada LPPM ITB atas dukungan dana yang diberikan melalui Program Riset Peningkatan Kapasitas ITB 2010. Daftar Pustaka Brice, L., Yarko, Escauriaza (2005), “Finite Volume Modeling of Variable Density Shallow-Water Flow Equations for a Well-Mixed Estuary: Application to the Río Maipo estuary in central Chile”, Journal of Hydarulic Research Vol. 43, No. 4, 2005 Chen C, Beardsley R, Cowles G, (2006), “ An Unstructured Grid Finite Volume Coastal Ocean Model”, FVCOM User Manual, June 2006, Second Edition Natakusumah DK., Choly Nuradil, (2004), “Simulasi Aliran di Perairan Dangkal dengan Menggunakan Metoda Volume Hingga pada Sistem Grid tak Beraturan”, Jurnal Teknik Sipil, Volume 11 April 2004, No. 2 Jameson, Schmidt, Friedrichshafen (1981), “Numerical Solution of the Euler Equations by Finite Volume Methods Using Runge-Kutta Time-Stepping Schemes”, Springer-Verlag, 1981 Casulli, V, (2008), “A High Resolution Wetting and Drying Algorithm for Free Surface Hydrodynamics”, International Journal for Numerical Methods in Fluids, 2008 Wu.W, Sanchez, Zhang (1981), “An Implicit 2-D Depth Averaged Finite Volume Model of Flow and Sediment Transport in Coastal Waters”, Coastal Engineering Journal, 2010
Full Tema2.indb 231
24/10/2011 11:49:47
Pengkajian Peran Hutan Mangrove Untuk Pengamanan Pantai Simon S. Brahmana Puslitbang Sumber Daya Air Jln Ir.Juanda 193 Bandung
[email protected].
INTISARI. Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang jumlah pulaunya kurang lebih 1700 buah termasuk yang besar dan kecil dan mempunyai garis pantai yang terpanjang di dunia yaitu 81.000 km. Seiring dengan pertambahan penduduk Indonesia yang cepat pada dekade 70 an – 90 an rata-rata sebesar 1,8% -2,3 % per tahun, dan meningkatnya kesejahteraan rakyat maka kebutuhan akan lahan menjadi meningkat termasuk kebutuhan lahan di daerah pantai untuk kegiataan budidaya udang. Kebutuhan tanah di daerah pantai untuk tambak dilakukan dengan membabat bakau (mangrove) dan tanaman lainnya. Gelombang laut yang tinggi dan arus yang deras dan hilangnya hutan mangrove mengakibatkan pantai mengalami kerusakan atau abrasi. Dampak lanjutan dari kerusakan pantai tersebut antara lain adalah rusaknya infrastruktur seperti jalan raya, pelabuhan, pemukiman, pertanian intrusi air asin dsbnya. Pantai yang rusak atau terkena abrasi pada hakekatnya dapat dilindungi atau dikurangi dengan melakukan penghutanan di daerah pantai dengan tanaman mangrove atau tanaman lainnya terutama pada daerah yang landai dan berlumpur. Dari beberapa penelitian yang dilakukan menunjukan bahwa daerah pantai atau pesisir yang mempunyai hutan tanaman mangrove, abrasi panatainya dapat dicegah atau dikurangi. Hal disebabkan oleh karena tanaman mangrove berperan mengurangi energi arus atau gelombang, melindungi tepi sungai dan pantai, mempercepat pembentukan lahan baru. 1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia yang merupakan negara kepulauan dengan total pulau besar dan kecil kurang lebih 17000 buah dan mempunyai garis pantai yang paling panjang di dunia yaitu sepanjang 81000 km. (Puslitbang Air,2005). Daerah pantai tersebut banyak mengalami kerusakan oleh karena gelombang laut yang tinggi dan deras serta pembabatan hutan. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya kerusakan atau abrasi pantai yang disusul oleh kerusakan infrastruktur seperti sering amblas dan terpotongnya jalan raya, kerusakan pemukiman, pelabuhan, pertanian, intrusi air air asin. Kerusakan pantai banyak terjadi di pantai Utara Jawa, P.Bali, Sumatra , Kalimantan,Sulawesi dan lain-lain.
232
Full Tema2.indb 232
24/10/2011 11:49:47
233
Pada umumnya perlidungan pantai dilakukan dengan struktural, yaitu dengan menggunakan buis beton, tetrapod, dan lain-lain. Perlidungan pantai dengan cara struktural membutuhkan biayanya amat sangat mahal. Perlidungan pantai sesungguhnya dapat dilakukan dengan biaya yang murah dan melibatkan masyarakat. Perlidungan dapat dilakukan dengan menghutankan pantai dengan tanaman bakau (mangrove), waru laut, cemara laut dsbnya. Perlindungan pantai dengan tanaman juga efektif untuk mengurangi kerusakan apabila terjadi tsunami seperti yang terjadi di pantai selatan JawaTimur 1994, Aceh 2006. Penggunaan tanaman sebagai di pantai dapat juga berperan sebagai pengabsorpsi polutan udara seperti CO2, SO2, NO3 yang banyak diemisikan oleh industri transportasi dan kebakaran hutan sehingga berperan juga untuk menahan laju kenaikan suhu bumi dan secara tidak langsung mengurangi kenaikan muka air laut. 1.2 Ruang Lingkup. Ruang Lingkup pada penelitian ini adalah: a. Studi literatur tentang peran hutan mangrove dan tanaman lainya terhadap perlindungan pantai. b. Melakukan pengamatan secara langsung pantai yang memiliki hutan mangrove dan pantai yang tidak mempunyai hutan mangrove c. Melakukan pengamatan pada daerah yang pernah kena Tsunami seperti pantai Selatan Kabupaten Banyuwangi tahun 1994. d. Evaluasi dari data primer dan skunder. 1.3 Maksud dan Tujuan. Maksud dan Tujuan Penelitian adalah untuk mengevaluasi mangrove dalam perlidungan daerah pesisir dan pantai.
peran
tanaman
2. METODOLOGI. Metodologi yang dilakukan pada penelitian ini adalah metoda deskritif yaitu mengumpulkan data primer dan skunder. Pengumpulan tersebut dilakukan dengan studi literratur , melakukan pengamatan ke lapangan. Dari data – data tersebut dilakukan kajian dan evaluasi. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari penelitian hutan mangrove baik diluar negeri maupun dalam negeri menunjukkan bahwa hutan mangrove sangat berperan untuk mencegah abrasi ataupun mengurangi kerusakan di daerah pesisir. Menurut Bowman (1917) Davis ( 1940) menyatakan bahwa perakaran dari jenis tanaman mangrove berfungsi sebagai penahan lumpur dan karenanya berperan dalam perluasan lahan. Untuk membuktikan pendapat peneliti tersebut diatas Asarul Karim (1994) melakukan penelitian fungsi hutan mangrove di pesisir Sundarbans, Bangladesh. Dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa hutan mangrove dapat mengurangi tekanan dari arus laut yang deras dan tinggi sehingga abrasi pantai dapat dikurangi atau dengan kata lain pantai dapat terlindungi dari abrasi. Penelitian yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan Prop Riau tahun 1976, di pantai Timur Propinsi Riau menunjukkan hasil bahwa hutan
Full Tema2.indb 233
24/10/2011 11:49:47
234
mangrove dapat melindungi pantai dari hempasan gelombang laut. Akar tanaman mangrove mendorong pengendapan lumpur sehingga memungkinkan terjadinya penambahan garis pantai seperti terjadi pada pulau Mendol, Riau. Para peneliti lainya memperoleh hasil bahwa pantai yang tidak memiliki hutan mangrove seperti di daerah Dumai, menyebabkan terjadi abrasi. Selanjutnya Prijono Harjosentono (1978) melaporkan bahwa hutan mangrove mempunyai peran melindungi pantai karena dapat menangkis gelombang atau mengurangi energi gelombang. Selain itu mangrove, mempunyai kemampuan memperbaiki tanah yang disebabkan oleh bentuk perakarannya yang berfungsi menenangkan gerakan air yang berkelanjutan, menahan kembalinya lumpur dari sungai ke laut dan menguatkan garis. Simon S.Brahmana (1995) pada pengamatannya pantai di Kedung Semat, Kabupaten Jepara. Pantai di daerah tersebut ada yang memiliki hutan mangrove dan yang tidak memiliki hutan mangrove. Dari hasil pengamatan tersebut ternyata pantai yang tidak mempunyai hutan mangrove mengalami abrasi sampai 500 meter sehingga mengancam pemukiman penduduk, sedangkan pantai yang memiliki hutan mangrove pantainya tidak mengalami abrasi. Pada waktu terjadi tsunami tgl 13 Juni 1994 di Provinsi Jawa Timur bagian selatan (Kab Banyuwangi, Jember, Malang dan Tulung Agung) Amri S dkk ( 1994), Theo Nayoan (1994) Simon S.Brahmana (1995), dalam laporannya menyatakan bahwa daerah pantai yang mempunyai hutan mangrove dan tanaman lainya mengalami kerusakan pemukiman jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan pemukiman di daerah pantai yang tidak mempunyai hutan. Selanjutnya Praktikto et.al; (2002), Istiyanto e.t al; (2003), Dahdouh-Guebas (2005), Onrizal (2005), Sharma (2005) melaporkan pantai di Aceh mampu dilindungi oleh hutan mangrove dari kerusakan tsunami pada kejadian tsunami pada 26 Desember 2004 . Dari semua kajian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa tanaman mangrove dan tanaman lainnya yang tumbuh didaerah pesisir atau pantai dapat mencegah abrasi dan melindungi pantai dari gelombang tsunami. DAFTAR PUSTAKA. Hussain, Z dan Acharya, G., 1994. Mangrove of Sudarbands. Vol 2. Bangladesh. The IUCN Wetland Programme. 230 pp. Anonim, 1994; Laporan Teknis Kerusakan Bangunan dan Lingkungan Akibat Tsunami di Pantai Selatan Jawa Timur serta Cara Penanggulangannya. 50.pp. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemukiman. Anonim, 1995. Laporan Teknis, Dampak Tsunami di Pantai Selatan Provinsi Jawa Timur. 48 pp. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pengembangan Pengairan. Anonim, 1996. Laporan Teknis Perlindungan Pantai dengan Tanaman Mangrove. 45 pp. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pengairan. Anonim, 1979; Ekosistem Hutan Mangrove, Prosiding Seminar , Jakarta 27 Feb s/d 1 Maret 1978. Lembanga Oseanologi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. File://H:Fungsi Hutan Mangrove.html.
Full Tema2.indb 234
24/10/2011 11:49:47
Studi Tentang Perairan Pelabuhan Belawan Dengan GIS A. Perwira Mulia Tarigan1), Wiwin Nurzanah2), Goentono3) HATHI Sumut dan Staf Pengajar Program Magister dan Doktor Teknik Sipil, FT USU 2) Alumni Program Magister Teknik Sipil, FT USU 3) HATHI Sumut dan Inkindo Sumut a.
[email protected],
[email protected]
1)
Intisari Kunci penting untuk kesuksesan pengelolaan perairan di sekitar pelabuhan adalah integrasi dari informasi infrastruktur dan hidrodinamika dalam sebuah sistem informasi yang handal dan berfungsi berdasarkan referensi geografis. Studi ini memberikan contoh-contoh sederhana di mana GIS dapat berfungsi sebagai alat penting dalam penilaian perairan di Pelabuhan Belawan. Pertama peta dasar digital perlu diproduksi secara on-screen digitization berdasarkan sumber informasi geografis yang tersedia dan cek lapangan. Lapisan informasi tentang kedalaman air, garis pantai, hidrodinamika dan kualitas air dapat dibuat kemudian dengan referensi geografis yang sama seperti pada peta dasar digitalnya. Evaluasi perairan pantai pada studi ini dilakukan dengan menggunakan analisis spasial yang melibatkan erosi garis pantai, lokasi pembuangan material keruk, indeks kualitas air, dan lokasi penambatan lepas pantai. Dapat disimpulkan bahwa penerapan teknologi GIS memungkinkan manajer perairan pantai dan pelabuhan melaksanakan perencanaan program yang komprehensif dan efektif dalam pengelolaan perairan dekat pelabuhan. Kata kunci: hidrodinamika pantai, kualitas air, manajemen perairan dan pelabuhan, GIS Pendahuluan Perairan di sekitar pelabuhan komersil sering sekali merupakan lingkungan yang kritis akibat penurunan kualitas air dan kerusakan habitat sebagai dampak dari operasional pelabuhan. Di sisi lain infrastruktur terminal laut dan fungsi peralatannya menjadi kurang berfungsi efektif bila tidak terlindungi dengan baik dari ancaman gaya-gaya destruktif laut yang bersifat alami ataupun buatan. Jadi masalah penting yang dihadapi seorang manajer pantai dekat pelabuhan dalam hal ini adalah bagaimana menyeimbangkan kebutuhan untuk infrastruktur dengan biaya kerusakan dan perawatan lingkungan perairan. Hal yang utama dalam hal di atas adalah integrasi informasi infrastruktur dan parameter penting hidrodinamika di dalam sebuah sistem informasi yang handal dan berfungsi berdasarkan referensi geografis. Salah satu alat yang sedang berkembang dalam bidang teknik sipil dan kelautan dalam beberapa tahun terakhir adalah
235
Full Tema2.indb 235
24/10/2011 11:49:47
236
sistem informasi geografis (GIS) (Miles dan Ho, 1999; Wright dan Yoon, 2007). Miles dan Ho (1999) secara khusus menggambarkan beberapa studi kasus tentang luasnya penggunaan GIS dalam bidang teknik sipil termasuk di dalamnya adalah polusi air, angkutan endapan, pemrosesan limbah padat, stabilitas lereng seismik, likuifaksi, dan distribusi limpasan curah hujan. Lebih lanjut Venigalla dan Baik (2007) menyimpulkan dalam penelitian mereka bahwa beberapa fungsi kompleks untuk pengelolaan layanan bidang teknik dapat diintegrasikan secara otomatis pada platform GIS untuk meningkatkan produktivitas. Dalam spektrum aplikasi teknik, keuntungan penggunaan GIS adalah bahwa GIS menyediakan kerangka kerja virtual yang kompak untuk mengintegrasikan lapisan-lapisan informasi spasial maupun nonspasial sehingga insinyur dan pembuat keputusan dapat mengeksplorasi dan mengevaluasi teori dan rencana mereka untuk strategi manajemen yang lebih kompetitif dalam lingkup geospasial. Penelitian ini berkaitan dengan beberapa hal penting di perairan Pelabuhan Belawan. Pendekatannya difokuskan pada upaya untuk menggunakan analisis spasial dalam setiap problem lokasi spesifik di perairan tersebut. Penelitian ini dilakukan dalam atmosfir untuk mempromosikan pendidikan GIS di teknik sipil karena hal ini merupakan keahlian penting terkait dengan pengolahan, analisis, dan penalaran data spasial (Easa et al, 1998.). Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menunjukkan contoh-contoh pendekatan sederhana dari aplikasi analisis spasial berbasis GIS untuk masalah perairan pantai dekat pelabuhan. Informasi Lapangan Pelabuhan Belawan terletak di 980 42 BT dan 030 47’ LU dan berada 27 km sebelah utara dari pusat kota Medan, ibukota Sumatera Utara. Perairan ini terletak di perairan muara Sungai Belawan dan Sungai Deli, namun infrastruktur utama pelabuhan lebih berada pada muara Sungai Belawan. Gambar 1 menunjukkan lokasi Pelabuhan Belawan dan perairan di sekitarnya. Ketinggian gelombang di perairan wilayah studi biasanya merupakan ketinggian gelombang rendah (kurang dari 0,30 m). Dalam cuaca badai dengan angin yang kuat khususnya selama periode monsoon timur laut, ketinggian gelombang maksimum memasuki area perairan pantai dapat mencapai 1 m hingga 3 m. Namun, ketinggian gelombang yang relatif besar yang tampak sehari-hari umumnya dibangkitkan oleh kapal-kapal yang berlalu di alur pelayaran. Seperti perairan di sepanjang Selat Malaka, air pasutnya adalah semidiurnal yang mencakup dua air tinggi dan dua air rendah yang terjadi dalam sehari semalam. Di antara empat konstituen pasut utama, yaitu, M2 dan S2 (konstituen semidiurnal) dan K1 dan O1 (konstituen diurnal), pola pasang surut didominasi oleh konstituen M2 yang memiliki periode 12 jam dan 25 menit (Azmy et al. 1992). Rezim pasang surut di Selat Malaka sebenarnya dikarenakan gelombang pasut yang dihasilkan dari Samudera Hindia dan Laut Cina Selatan yang memasuki selat dari Samudera Hindia dan Laut Cina Selatan. Kedua puncak gelombang pasang semidiurnal merambat melalui Selat Malaka, tetapi pasang dari Laut Cina Selatan lebih cepat teredam dari pada yang dari Samudra Hindia. Rentang pasang surut rata-rata di
Full Tema2.indb 236
24/10/2011 11:49:47
237
perairan Belawan adalah 2 meter, dengan kecepatan arus pasutnya dapat mencapai hingga 0,5 m/sekon khususnya di sepanjang alur pelayaran yang relatif sempit.
Gambar 1. Lokasi Pelabuhan Belawan Sebuah isu penting untuk pengembangan Pelabuhan Belawan adalah peningkatan sedimentasi yang dapat mencapai tebal 2,6 m per tahun. Hal ini mengakibatkan pengerukan untuk mempertahankan kedalaman desain minimal 10 m dan lebar desain minimal alur pelayaran 100 m. Masalah lainnya adalah degradasi kualitas air yang ditandai dengan konsentrasi tinggi untuk total padatan tersuspensi dan tembaga (CU) di air dan sedimen. Peta Dasar dan Lapisan Informasi Peta dasar adalah lapisan awal informasi yang penting untuk mengontrol dan dan sebagai rujukan lapisan lain. Peta dasar ini dihasilkan dari digitasi peta analog batimetri yang dikeluarkan oleh Angkatan Laut Indonesia (data raster). Sangat penting untuk memilih benchmark strategis (minimal 3) pada peta raster yang dapat dengan mudah diidentifikasi dan diperiksa di lapangan (menggunakan GPS) dan untuk memilih sistem proyeksi peta yang sama. Lapisan informasi lain yang relevan, misalnya garis pantai, kedalaman air, arus, dan parameter kualitas air, dapat dihasilkan dengan menggunakan prosedur yang sama dengan sistem proyeksi yang sama. Sumber data geospasial diproses dari foto udara, Auto Cad file, dan citra satelit yang diperoleh dari berbagai sumber, sedangkan data nongeospatial terkait dipilih dari berbagai laporan proyek pada pelabuhan.
Full Tema2.indb 237
24/10/2011 11:49:47
238
Analisis Spasial untuk Perairan Setelah membangun lapisan informasi yang diperlukan, empat kasus analisis spasial telah dilaksanakan untuk tujuan evaluasi yang berbeda. Analisis kasus yang dijelaskan di sini adalah untuk menyoroti setiap aplikasi singkat GIS di perairan khusunya dari sisi proses implementasinya yang sederhana, penalaran spasial, dan penarikan kesimpulan spasial untuk tujuan evaluasi perairan yang diperlukan oleh seorang manajer perairan dekat pelabuhan. . Erosi Garis Pantai dan Kenaikan Muka Air Laut Berdasarkan hasil digitalisasi dari tiga peta batimetri dari sumber yang sama yang dibuat untuk tiga tahun yang berbeda, yaitu 1983, 1980, dan 2005, pola spasial sedimentasi dan erosi yang terjadi dapat diamati untuk ketiga periode tahun tersebut. Erosi yang signifikan terlihat jelas di sepanjang bagian barat laut perairan, sedangkan sedimentasi di bagian tenggara. Fokus analisis di sini adalah pada gerakan garis pantai di bagian barat laut. Analisis di sini menunjukkan bahwa erosi pantai secara konsisten telah terjadi, hal ini kemungkinan besar terkait dengan naiknya muka air laut sebagai konsekuensi dari global warming.
Gambar 2. Hasil dijitasi garis pantai perairan Belawan tahun, 1983, 1990 dan 2005
Full Tema2.indb 238
24/10/2011 11:49:48
239
Gambar 2 menunjukkan pengaturan overlay gerakan garis pantai pada tiga tahun yang berbeda. Tingkat erosi garis pantai dapat dihitung dengan menggunakan regresi linear sederhana sebagai berikut ~ y (t ) at b
(1)
(1)
di mana ~y (t )Sy posisi garis pantai (m) pada tahun tertentu, dan a mewakili tingkat 0 y (2) perubahan garis (m/tahun) dengan b konstanta regresi. Tanda dan besarnya h0 pantai B kuantitas a menunjukkan arah (akresi atau erosi) dan besarnya pergerakan. Nilai negatif menunjukkan bahwa pantai terkikis, positif akresi, sedangkan nol bermakna S (3) Persamaan 1 untuk y stabil dari waktu ke waktu. Berdasarkan perhitungan garis pantai tan 11 posisi dasar dengan interval 1 km di sepanjang garis pantai, ditemukan bahwa hanya dua posisi S (1 yang r ) menghasilkan tanda positif sedangkan sisanya negatif dengan y total rata-rata a = -7,8 m/tahun. Hal ini menunjukkan garis(4) pantai mengalami erosi tan dan signifikan yang tergolong ke dalam erosi berat. secara konsisten Resesi~garishV pantai terkait dengan kenaikan muka air laut dapat diungkapkan dengan (1) y (t ) at b (5) L menggunakan w Bruun Rule yang menyatakan Sy y [{(2 / 03 ) g (Gs - 1 ) d³ + 36 v²}0.5 - 6 v] (2) (2) (6) w h0 B d
S dimana S = kenaikan permukaan laut, (y0, h0) = titik terminal profil di lepas pantai, (3) y tan bibir pantai. Jika tan b adalah kemiringan rata-rata profil pantai, dan B =~ ketinggian Iyc(untuk what ihresesi wc ic dapat ws is direpresentasikan sebagai (1) (7) t) bwv ivtersebut ekspresi S (1 r ) y Sy (4) y tan0 (2) (3) h0 B hV ~ (5) L (1) t )yw b m/tahun dan tan b = 0,001 yang merupakan Dengany (∆ = at aS =7,8 kemiringan landai (3) y tipikal dari profil berlumpur untuk daerah pantai timur Sumatera Utara, ditemukan tan Sy ) g (Gair ) d³adalah + 36 v²} - 6 mm/tahun. v] [{(2 / 03muka bahwakenaikan S 0=.57,8 S di sini s - 1laut (2) Penghitungan (6) wy Br ) jika dibandingkan cukup masuk dengan prediksi S yang dilaporkan untuk Sh0(1akal d y (4) perairan pantai tandipelabuhan-pelabuhan utama lainnya di Indonesia. S Perlu dicatat bahwa Bruun (1983) telah memodifikasi (3) Persamaan 1 untuk y hV tan memasukkan sedimen halus, menjadi ILc wh ih wv iv wc ic ws is (7) (5) w S (1 r ) y (4) (4) [{(tan 2 / 3) g (Gs - 1 ) d³ + 36 v²}0.5 - 6 v] (6) w d hV Berdasarkan (5) menyarankan bahwa L dinamika profil pantai berlumpur, Tarigan (2002) r memiliki batas rasio sebesar 0,3. Dalam Persamaan 4 dengan r = 0,3, kenaikan w muka air laut S harus diperkirakan lebih rendah dari yang dihitung di atas. I c [{( wh2ih/ w+s is36 (7) v w c1ic) d³ v²}0.5 - 6 v] 3 )wgv i(G s (6) w Lokasi Pembuangan Material d Keruk Meningkatnya tingkat sedimentasi dan intensitas pengerukan telah menciptakan kebutuhan untuk asesmen material keruk dan lokasi pembuangannya. Untuk mencapai manfaat jangka panjang yang optimal dari pembuangan (disposal) I c wh ih wv iv wc ic ws is (7)
Full Tema2.indb 239
24/10/2011 11:49:49
240
~ y (t ) at b
(1)
Sy 0 y (2) ~ (1) y (keruk t ) h0atdi b material perairan terbuka, lokasi disposal harus diposisikan sejauh mungkin B sehingga material keruk tidak kembali ke lokasi pengerukan aktif. Sy Untuk menghindari kembalinya bahan keruk dari lokasi pembuangan, faktory S0 (2) (3) h B tan 0 faktor penting hidrodinamika harus dipertimbangkan yaitu kedalaman h rata-rata,
kecepatan arus pasut maksimum V, kecepatan jatuh sedimen material keruk w. S (S1 r ) Faktor-faktor jarak travel L y ini dapat dimasukkan dalam rumus untuk mengestimasi (4)(3) tan tan partikel sedimen di saluran sebagai berikut (Prakash, 2004)
S (1 r ) hV Ly wtan
(5)(4)
(5)
d³ + ukuran - 6 v] halus sedimen tersuspendi dan [{( 36 v²}0.5 hV2 / 3 ) g (Gs - 1 )pada Kecepatan partikel (6) w (5) L jatuh tergantung d dapat dihitung rumus Rubey w dengan menggunakan [{(2 / 3 ) g (Gs - 1 ) d³ + 36 v²}0.5 - 6 v] w I c wh ih wv iv wc ic d ws is
(6) (7)
(6)
di mana Gs = gravitasi partikel spesifik, d = ukuran partikel, dan v = viskositas kinematik. Berdasarkan data analisis saringan untuk 18 stasiun observasi, ditemukan I c wh ih wv iv wc ic ws is (7) bahwa ukuran rata-rata partikel halus d10= 0,070 mm dan kecepatan maksimum V = 0,50 m/dtk, sehingga L jarak perjalanan maksimum = 2092. 18 m.
Gambar 3. Lokasi pembuangan material keruk di perairan Belawan
Full Tema2.indb 240
24/10/2011 11:49:49
241
~ y (t ) at b
(1)
Gambar 3 menunjukkan pengaturan situasi geospasial di mana tempat pembuangan Sy 0 y dapat (2) alternatif dievaluasi. Jarak travel L yang diperkirakan harus diukur dari lokasi h0 B akhir kegiatan pengerukan. S Air IndeksKualitas (3) y tan Masalah lingkungan yang meningkat menuntut kebutuhan akan penilaian kualitas air secara komprehensif atas perairan pantai (Sudjana, dkk., 2010). Indeks lingkungan S (1 r ) untuk setiap y komponen dapat dibangun guna mewakili status (4) kualitas lingkungan tansel poligon dalam sebuah format GIS. Kemudian indeks komposit di dalam setiap dapat dihasilkan berdasarkan beberapa indeks komponen yang dianggap mewakili. hV Kemudian untuk digunakan (5) L peta tematik dari zona kualitas air dapat dikembangkan w dalam pengelolaan perairan pantai dekat pelabuhan yang seyogianya bermanfaat dalam proses pengambilan keputusan. [{(2 / 3 ) g (Gs - 1 ) d³ + 36 v²}0.5 - 6 v] (6) w indeks (komponen) Parameter dyang terlibat dalam pengembangan indeks komposit adalah kedalaman, kecepatan pasut, padatan tersuspensi (TSS), dan konsentrasi Cu. Indeks komposit Ic untuk kualitas air dapat dirumuskan sebagai berikut
I c wh ih wv iv wc ic ws is
(7)
(7)
di mana ik dan wk adalah indeks kedalaman dan bobot masing-masing, iv dan wv adalah indeks kecepatan pasut dan bobot masing-masing, ic dan wc indeks Cu dan bobot masing-masing, is dan ws TSS dan bobot masing-masing. Agar indeks komposit dapat dihasilkan untuk setiap sel poligon, setiap indeks individu diproses secara linear dengan menggunakan kriteria seperti yang tercantum dalam Tabel 1. Peta tematik untuk setiap indeks individu telah dibuat, namun peta tematik untuk indeks komposit memberikan gambaran yang lebih komprehensif dalam mengases status kualitas air dan pilihan manajemen yang perlu diambil. Gambar 4 menunjukkan peta tematik untuk indeks komposit di seluruh perairan studi.
Gambar 4. Peta tematik untuk indeks komposit
Full Tema2.indb 241
24/10/2011 11:49:50
242
Index
Tabel 1. Deskripsi kriteria kualitas indeks Deskripsi Pilihan manajemen
80 s/d 100
Sangat baik (excellent)
Menjaga sustainability
60 s/d 80
Sangat baik (very good)
Memelihara dan meningkatkan
40 s/d 60
Baik (good)
Memperbaiki, memelihara, dan meningkatkan
20 s/d 40
Buruk (poor)
Merubah dani dan memperbaiki
0 s/d 20
Sangat buruk (very poor)
Merestorasi dan merubah
Dapat diamati diamati bahwa bagian interior perairan studi sebagian besar berada dalam zona buruk. Bukti ini konsisten dengan temuan oleh Sudjono dkk. (2010) yang menunjukkan bahwa indeks buruk di perairan Belawan menunjukkan habitat ‘miskin’ yang tidak kondusif untuk mendukung kondisi hidup sehat masyarakat yang hidup di sekitarnya. Lokasi Penambatan Lepas Pantai Meningkatnya permintaan dunia untuk energi dan bahan baku menuntut tersedianya fasilitas deepwater yang mampu menangani kapal-kapal berukuran sangat besar, seperti supertanker untuk mengangkut minyak mentah dan gas alam cair dan superbulkers untuk mengangkut bahan curah kering (Tsinker, 2004). Di masa depan pelabuhan seperti Pelabuhan Belawan akan sangat memerlukan terminal lepas pantai untuk melayani kapal 65.000 sampai 70.000 dwt dengan panjang sekitar 300 m dan draft 12 sampai dengan 13 m. Terminal lepas pantai dapat dihubungkan ke fasilitas pantai baik dengan pipa bawah laut atau jembatan bridgelike. Untuk tujuan di atas lokasi tambatan lepas pantai harus diidentifikasi dengan kriteria utama yaitu kedalaman yang cukup tapi tidak terlalu jauh dari fasilitas darat dan tidak memerlukan pemeliharaan pengerukan. Secara keseluruhan kondisi lingkungan yang dipertimbangkan dalam analisis ini meliputi kedalaman laut, jarak dan arah dari darat, luas, arus, angin, dan gelombang. Dengan menggunakan peta GIS penentuan zona kedalaman lebih dari 12 m dapat dengan mudah dilakukan. Dapat dilihat bahwa zona tersebut berjarak dari fasilitas pantai pada kisaran 10 km atau lebih. Luas lokasi yang dipilih perlu mempertimbangkan area manuver untuk kapal terbesar, yaitu daerah yang relatif melingkar dengan diameter 2 x 300 m, ditambah faktor keamanan jika dekat ke alur navigasi. Kecepatan arus pasut di lokasi lepas pantai dianggap kurang dari kecepatan maksimum 0,50 m/sekon di bagian interior perairan. Variasi spasial dari kecepatan arus pasang surut dan arahnya juga dapat dengan mudah diidentifikasi dari masing-masing lapisan informasi GIS. Kecepatan angin maksimum dilaporkan dapat mencapai 25 knot di Selat Malaka, dengan angin kencang biasanya terjadi selama musim timur laut pada bulan September sampai Desember. Menggunakan peta GIS, relatif mudah untuk mengidentifikasi konfigurasi dasar laut guna perhitungan karakteristik gelombang seperti yang tertera dalam SPM. Ketinggian gelombang signifikan dari 1 m sampai 2 m dengan periode di kisaran 4 hingga 8 detik biasanya diperoleh untuk desain beban moderat dari sistem tambat. Badai yang lebih ganas dan kondisi gelombang dengan ketinggian di
Full Tema2.indb 242
24/10/2011 11:49:50
243
kisaran 3 m sampai 4 m dan periode sampai dengan 15 detik perlu dipertimbangkan untuk perhitungan gaya maksimum.
Gambar 5. Lokasi penambatan lepas pantai Perlu dicatat bahwa GIS dalam studi ini berfungsi memberikan bantuan praktis dalam tampilan spasial, analisis dan penalarannya. Gambar 5 menunjukkan lokasi penambatan lepas pantai yang dievaluasi. Kesimpulan Empat contoh sederhana dalam asesmen perairan pantai dekat pelabuhan telah disajikan. Meskipun pendekatan yang digunakan sederhana, tetapi telah menunjukkan ilustrasi isu-isu yang relevan dan kritis yang dihadapi oleh manajer pantai dan pelabuhan yang ingin menyeimbangkan kebutuhan infrastruktur pelabuhan dengan dampak antropogenik terhadap lingkungan perairan. GIS telah diterapkan dalam semua kasus di atas sebagai alat dalam menampilkan, menganalisis, dan menalar informasi spasial. Harus ditekankan bahwa peta dasar perlu diproses pertama agar lapisan informasi lainnya yang relevan dapat merujuk ke peta dasar untuk kontrol dan akurasi. Dengan asumsi bahwa tersedia data yang relevan dan akurat dalam jumlah yang memadai, penerapan teknologi GIS memungkinkan manajer pantai dan pelabuhan untuk merencanakan program yang komprehensif dan efektif dalam pengelolaan perairan pantai dekat pelabuhan. Namun diakui bahwa GIS dalam semua kasus di atas belum dapat digunakan secara dinamik untuk melakukan pemodelan ataupun simulasi hidrodinamika. Namun demikian, dari semua evaluasi kasus studi yang telah dilaksanakan, kesimpulan singkat yang terbatas pada lokasi studi dapat dinyatakan sebagai berikut:
Full Tema2.indb 243
24/10/2011 11:49:50
244
1). Resesi garis pantai telah menunjukkan bahwa tingkat kenaikan rmuka air laut berada dalam kisaran 6 sampai 8mm pertahun. 2). Sebuah lokasi disposal material keruk harus ditempatkan setidaknya 2 km dari lokasi pengerukan untuk mencegah material tersebut menyebar dan kembali ke lokasi pengerukan. 3). Indeks komposit buruk yang teridentifikasi di hampir seluruh bagian interior perairan studi terjadi karena pengendapan dan kontaminasi logam berat, sehingga perlu restorasi dan perbaikan lingkungan. 4). Lokasi penambatan lepas pantai dapat direncanakan pada jarak sekitar 10 km atau lebih dari fasilitas darat. Penyelidikan lebih mendalam untuk setiap asesmen di atas dapat menjadi subjek studi lebih lanjut. Daftar Pustaka Azmy, A. R., Isoda, Y. dan Yanagi, T.(1992). “M2 tide and tidal current in Straits of Malacca.” Memoirs of Faculty of Engineering, Ehime University, 12-3. 345-354. Bruun, P. (1983). “Review of conditions for uses the Bruun rule of erosion.”, Coastal Engineering, 7, 77-89. Easa, S. M., Li, S., dan Shi, Y. (1998). “GIS technology for civil engineering education.” Journal of Professional Issues in Engineering Education and Practice, 124(2), 40-47. Miles, S. B. dan Ho, C. L. (1999). “Applications and issues of GIS as tool for civil engineering modeling,” Journal of Computing in Civil Engineering, 13(3), 144-152. Prakash, A. (2004) . “Water resources engineering, hand book of essential methods and design.”, ASCE Press. Sudjono, P., Hidayati, Syahrin, A., dan Tarigan, A. P. M. (2010). “Index development for assessing water environment in Belawan estuary,” Proceedings of the 8th International Symposium on Southeast Asian Water Environment”, Phuket, Thailand. Tarigan, A. P. M. (2002). “Modeling of shoreline evolution at an open mud coast.” Ph.D. thesis, Universiti Teknologi Malaysia, Malaysia. Tsinker, G. P. (2004). “Port engineering”. John Wiley & Sons, Inc., Hoboken, New Jersey. Venigalla, M. M. dan Baik, B. H. (2007). “GIS-based engineering management service functions: taking GIS beyond Mapping for municipal government.” Journal of Computing in Civil Engineering, 21(5), 331-342. Wright, N. T. dan Yoon, J. (2007). “Application of GIS technologies in port facilities and operations Management.” The American Society of Civil Engineers.
Full Tema2.indb 244
24/10/2011 11:49:50
Peningkatan Efisiensi Fungsi Bangunan Pengaman Pantai (Wave Breaker) Dengan Rekayasa Vegetasi Sebagai Pelindung Pantai (Studi Kasus di Pesisir Kalimantan Barat1 Aji Ali Akbar1), Junun Sartohadi2), Tjut Sugandawaty Djohan3), Su Ritohardoyo4) Mahasiswa Program Doktor Ilmu Lingkungan UGM dan staf pengajar FT Untan Pontianak (
[email protected]) 2) Promotor, Staf Pengajar Fakultas Geografi dan Kepala Pusat Studi Bencana Alam UGM 3) Co-Promotor dan Staf pengajar Fakultas Biologi UGM 4) Co-Promotor dan Staf pengajar Fakultas Geografi UGM 1)
INTISARI Pantai Kalimantan Barat sebagian besar mengalami abrasi sekitar 5 – 20 m/ tahun. Dampaknya menyebabkan hilangnya lahan pertanian dan permukiman masyarakat serta merusakan sarana –prasarana publik. Keadaan ini mempengaruhi sosial ekonomi masyarakat pesisir. Dinas Pekerjaan Umum telah membuat pengaman pantai wave breakersepanjang 22 km sejak tahun 1992. Berbagai pihak juga telah melakukan penanaman semai bakau Rhizophora sp. pada kawasan wave breakeruntuk meningkatkan perlindungan pantai. Penelitian ini bertujuan mempelajari tingkat kesuksesan penanaman Rhizophora sp. di kawasan pengaman pantai Kalimantan Barat. Penelitian yang sedang berlangsung ini menggunakan metode kuadrat plot dengan bantuan garis transek yang memotong tegak lurus garis pantai. Hasil observasi menunjukkan bahwa tingkat kesuksesan penanaman Rhizophora sp. masih rendah. Rendahnya keberhasilan penanaman ini karena Rhizophora sp. tidak cocok ditanam pada zona yang menghadap ke laut. Watson menyatakan bahwa pada hutan mangrove yang masih normal, habitat Rhizophora sp. adalah zona depan di tepi sungai (riverine mangrove) sedangkan zona depan di pantai (fringe mangrove) didominasi oleh jenis api – api (Avicennia sp.). Selain itu, jarak penanaman yang teratur menyebabkan terbentuknya kanal – kanal yang meningkatkan kerentanan tanaman terhadap erosi dan gelombang. Hasil observasi juga menunjukkan bahwa terjadi pertumbuhan alami Avicennia sp. di daerah akresi dan kawasan wave breaker. Terbatasnya pengetahuan ekologi mangrove menyebabkan rendahnya kesuksesan penanaman mangrove, karena pemilihan spesies yang tidak tepat, pemilihan lokasi yang tidak sesuai, dan sistem jarak tanam yang teratur. Adanya bangunan pengaman pantai memberikan kesempatan terbentuknya komunitas mangrove yang mampu meningkatkan fungsi perlindungan pantai. Disamping itu, mangrove juga berperan sebagai habitat perikanan, pencegah intrusi air laut, melindungi pencemaran perairan laut, dan tempat pemendaman karbon. Upaya pemberian pengetahuan dan pemahaman tentang mangrove kepada masyarakat akan melestarikan pemanfaatan sumber daya alam pesisir. Kata kunci: wave breaker, mangrove, Rhizophora sp., Avicennia sp., zonasi 1
Makalah ini merupakan bagian dari penyusunan disertasi.
245
Full Tema2.indb 245
24/10/2011 11:49:51
246
PENDAHULUAN Latar belakang – Kalimantan Barat memiliki garis pantai sekitar 360 km. Pantai Kalbar yang meliputi lima kabupaten/kota: Sambas, Bengkayang, Pontianak, Ketapang dan Kota Singkawang mengalami abrasisepanjang 60 km. Besarnya abrasi yang terjadisekitar 5 – 20 m tahun-1 (BWS Kalimantan I 2011). Abrasi mengakibatkan rusaknya sarana dan prasarana publikdi pesisir Kalimantan Barat. Abrasi juga mengakibatkan hilangnya lahan pertanian dan permukiman masyarakat yang berpengaruh terhadap sosial ekonominya (Akbaret al. 2008). Dinas Pekerjaan Umum telah melakukan pengamanan pantai sepanjang 22 km pada tahun 1992 – 2010. Upaya inibertujuanuntuk melindungi sarana – prasaranapublik dan permukiman terhadap abrasi (BWS Kalimantan I 2011).
Gambar 1. Lokasi pantai terabrasi Kalimantan Barat (BWS Kalimantan 1 2011) Upaya penanaman mangrove yang dilakukan pada kawasan bangunan pengaman pantai bertujuan untuk meningkatkan efisiensi wave breaker sebagai pelindung pantai sehingga rekayasa vegetasi berguna ketika fungsi bangunan pengaman pantai telah menurun (BWS Kalimantan I, 2011). Upaya penanaman mangrove telah dilakukan oleh instansi pemerintah seperti DPU, DKP dan Dinas Kehutanan, maupun oleh masyarakat yang peduli kerusakan pantai. Namun demikian usaha rekayasa vegetasi inibelum mencapai tingkat keberhasilan yang diharapkan. Pengetahuan mengenai ekologi mangrove yang terbatas menyebabkan rendahnya tingkat keberhasilan rekayasa penanaman mangrove di pesisir Kalimantan Barat. Mangrove pelindung pantai – mangrove merupakan komunitas tumbuhan yang berperanan penting melindungi pesisir tropis dan subtropis dari gelombang, badai, tsunami, dan erosi (Blasco et al. 1996, Ewel et al. 1998, Mazda et al. 2006, Thampanya et al. 2006). Sistem perakaran mangrove yang unik, seperti pada jenis perepat (Sonneratia sp.) setebal 100 m mampu mereduksi kuat arus dan energi gelombang hingga 45%, (Mazda et al. 2006). Tingkat efisiensi mangrove mereduksi
Full Tema2.indb 246
24/10/2011 11:49:51
247
energi inidipengaruhioleh spesies penyusun, kondisi vegetasi, kedalaman air, dan kondisi gelombang (Mazda et al. 2006, Walters et al. 2008). Bentuk akar mangrove juga berfungsi sebagai perangkap sedimen (sediment trapping) (Ewel et al. 1998). Peranan ini mempengaruhi pembentukan lahan atau akresidan mengurangi erosi pantai (Blasco et al. 1996).Sedangkan kerapatan mangrove berkontribusi terhadap besarnya luasan akresi, distribusi sedimen, dan tinggi elevasi permukaan (Kumara et al. 2010). Proses akresi dipengaruhi oleh masukan sedimen, pergerakan air, flokulasi dan gaya gravitasi (Kumara et al. 2010). Di Thailand,valuasi mangrove ketebalan 75 m sebagai pelindung abrasibernilai US$ 11,67 m-1. Nilai ini lebih murah daripada mengkontruksi bangunan pelindung pantai dengan biaya US$ 875 m-1 garis pantai (Sathirathai dan Barbier, 2001). Abrasi dan sedimentasi merupakan salahsatu agen yang menyebabkan kerusakan mangrove (Jimenez et al. 1985, Rönnback 1999). Faktor alami penyebab terjadinya abrasi adalah besaran fetch atau luasan permukaan laut yang tertiup angin, panjang pantai, dan kesehatan daerah aliran sungai atau DAS (Thampanya et al. 2006), serta penggerusan oleh pasang surut (Jimenez et al. 1985). Terjadinya abrasi di pesisir Kalimantan Barat disebabkan oleh faktor alami yang diperparah akibat aktivitas manusia(BWS Kalimantan I 2011). Erosi pantai dan proses sedimentasi merupakan suatu kejadian alami (Alongi 2008). Sedimentasi yang cepat menyebabkan kematian mangrove secara masal (Jimenez et al. 1985) karena lentisel pada pneumatophores, akar dan semainya terkubur sedimen (Ewel et al,1998) sehingga dapat mengurangi pertukaran udara pada sistem perakarannya (Jimenez et a.l, 1985). Proses sedimentasi berkaitan dengan pengaruh angin ribut dan badai disertai kerusakan DASakibat ulah manusia (Jimenez et al,. 1985, Thampanya et al. 2006). Dampak aktivitas manusia – Perluasan permukiman, lahan pertanian dan tambak udang serta pembangunan infrastruktur dan bendungan mengakibatkan kerusakan mangrove (Ewel et al. 1998, Rönnback 1999, Sathirathai dan Barbier 2001, Thampanya et al.2006, Walters et al. 2008). Bahkan menurut mereka, ekstensifikasi tambak udang memusnahkan50% luasan mangrove di dunia. Bekas tambak menyebabkan tanah menjadi asam dan sulit direhabilitasi (Ewel et al. 1998), serta polusi air dan degradasi lahan (Sathirathai dan Barbier 2001). Dahsyatnya perluasan tambak karena udang memberikan keuntungan finansial yang tinggi (Rönnback 1999). Kerusakan mangrove telah menyebabkan abrasi sebesar 50 m tahun-1di Vietnam (Mazda dkk. 2002). Sedangkan abrasi di Kalimantan Barat merupakan dampak reklamasi lahan menjadi kebun kelapa Cocos nucifera tahun 1950an (Akbar et al. 2008).Upaya pemulihan mangrove secara alami sulit terjadi karena kerusakan mangrove yang diperparah ulah manusia mampu mengubah sistem ekologinya (Jimenez et al. 1985). Rehabilitasi mangrove merupakan upaya mengembalikan fungsi mangrove seperti semula (Field 1998, Primavera dan Esteban 2008) umumnya dengan rekayasa vegetasi atau penanaman. Kriteria kesuksesan rehabilitasi mangrove adalah efektivitas, tingkat biodiversitas dan efisiensi (Field 1998, Walton et a., 2007, Primavera dan Esteban 2008). Namun keberhasilan rehabilitasi mangrove masih sekitar 20% diberbagai negara berkembang (Primavera dan Esteban 2008). Menurut
Full Tema2.indb 247
24/10/2011 11:49:51
248
Primavera dan Esteban (2008) penyebab kegagalan ini adalah ketidaksesuaian lokasi penanaman, penggunaan spesies yang tidak tepat, kurangnya pengetahuan silvikultur petugas lapangan, dan kurangnya koordinasi antar pemerintahpenyandang dana-masyarakat. Field (1998) menambahkan bahwa orientasi pada kepentingan finansial, kurangnya semai alami, banyaknya sampah dan gangguan hidrologi di lokasi penanaman, serta kurangnya referensi kegagalan rehabilitasi terdahulu juga merupakan penyebab kegagalan rehabilitasi mangrove. Sathirathai dan Barbier (2001) menyatakan bahwa nilai manfaat konservasi mangrove lebih besar daripada nilai finansial tambak, pembuatan bendungan dan kegunaan lain dalam jangka pendek. Topografi dan Karakteristik tanah – Topografi merupakan faktor penting yang mempengaruhi komposisi spesies, penyebaran spesies, dan luasan mangrove (Tomlinson 1986; Arksonkoae 1993). Bentuk lereng pantai mempengaruhi luasan dataran lumpur (mud flats). Terjadinya mud flats sangat memungkinkan tersedianya habitat dan zona bagi mangrove(van Zuidam 1985). Menurut Verstappen (1983) dengan bertambahnya ketinggian tempat maka terjadi penurunan suhu dan peningkatan curah hujan sampai batas ketinggian tertentu. Karakteristik tanah mangrove dipengaruhi oleh topografi, salinitas dan pasang surut air laut. Habitat mangrove berasal dari akumulasi endapan lumpur dari erosi pantai dan sungai (Arksonkoae 1993). Mangrove tumbuh subur pada tanah yang mengandung lempung atau silt-clay (Hong dan Sand 1993) karena tanah berlempung banyak mengandung unsur hara (Hardjowigeno 1986). Watson dalam Arksankoae (1993) dan FAO (1994) membagi formasi mangrove berdasarkan frekuensi genangannya. Gambaran distribusi jenis – jenis pohon mangrovesecara garis besar menurut Watson seperti dibawah ini:
Gambar 2. Pola distribusi pohon mangrove menurut Watson (1928) dalam Mackinnon et al. (2000). Aa: Avicennia alba; Am: A. marina; Bc: Bruguiera cylindrica; Bg: B. gymnorrhiza ;Bp: B. parviflora; Bs: B. sexangula Ct: Ceriops tagal; Fr: Ficus retusa; Ib: Intsia bijuga Ra: Rhizophora apiculata; Rm: R. mucronata; Sa: Sonneratia alba; Sc: S. caseolaris; Xg: Xylocarpus granatum; Xm: X. moluccensis
Full Tema2.indb 248
24/10/2011 11:49:51
249
Zona mangrove merupakan gambaran pola penyebaran mangrove yang sejajar garis pantai. Pola zona mangrove yang sering dijumpai di kawasan pantai Indopasifik menuju daratan adalah zona Avicennia, Sonneratia, Rhizopora, Bruguiera, dan Nypa (Arksonkoae, 1993), sedangkan di pesisir timur India zonanya adalah Avicennia, Bruguiera, Rhizophora, Ceriops, Aegiceras, Lumnitzera dan Xylocarpus (Satyanarayana, et al., 2002). Zona mangrove berguna untuk menjelaskan terjadi perubahan kondisi ekosistem seperti pola aliran air, akresi, dan erosi pada daerah pesisir (Blasco et al., 1996). Selain berfungsi sebagai pelindung pantai, mangrove juga menjaga kualitas air bagi ekosistem padang lamun dan terumbu karang (Rönnbäck, 1999, Sathirathai dan Barbier, 2001) serta mendukung perikanan di pesisir dan lepas pantai (Odum, 1971). Mangrove juga merupakan tempat pemendaman karbon karena memiliki produksi primer yang tinggi (Ewel et al. 1998, Rönnbäck 1999) sebanyak 155 kg C ha-1 hari-1 (Walters et al., 2008) dan hanya 2100 kgC ha-1 tahun-1yang dilepaskan menuju perairan lepas pantai (Ewel et al. 1998) melalui mekanisme pasang surut dan outwelling (Ewel et al. 1998, Rönnbäck 1999). Kurangnya pengetahuan tentang ekologi dan ekonomi mangrove menyebabkan pengelolaan pesisir terabaikan. Hal iniberdampak pada eksploitasi mangrove secara berlebihan (Ewel et al., 1998, Rönnbäck 1999, Sathirathai dan Barbier 2001, Thampanya et al., 2006). Metode – metode penelitian yang sedang berlangsung ini menggunakan metode kuadrat plot dengan bantuan garis transek yang memotong tegak lurus garis pantai. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil observasi menunjukkan bahwa bangunan pengaman pantai yang dibuat oleh DPU Kalimantan Barat sejak 1992 dapat melindungi pantai dari abrasi. Selain itu, bangunan pantai ini membentuk kawasan yang memiliki kestabilan substrat. Adanya kestabilan substrat merupakan salah satu faktor yang mampu membentuk komunitas mangrove. Selain kestabilan substrat, persyaratan terbentuknya mangrove adalah suplai air tawar dan pasang surut yang teratur (Tjut S. Djohan 2011: Pers.com).
Gambar 3. Kondisi pantai terlindungi wave breaker (A) yang ditanami semai Rhizophora sp. (B) dengan jarak teratur. Foto (a)courtesy BWS Kalimantan I (2010), Foto tanaman Rhizophora sp. (b)hasil observasi lapangan.
Full Tema2.indb 249
24/10/2011 11:49:52
250
Gambar 4. Kondisi pantai yang terjadi akresi (A) di depan wave breaker yang ditumbuhi semai Avicennia sp. (C) secara alami. Pohon Avicennia sp. (D) mengkolonisasi kawasan dibelakang wave breaker. Untuk menambah efisiensi fungsi bangunan pengaman pantai maka dilakukan pula rekayasa vegetasi (BWS Kalimantan I 2011) dengan penanaman mangrove baik terprogram maupun sukarela oleh berbagai pihak. Penanaman yang dijumpai umumnya menggunakan pohon mangrove jenis Rhizophora sp. dengan jarak tanam yang teratur (Gambar 3.)
Gambar 5. Kondisi pantai terlindungi wave breaker yang dikolonisasi pohon Avicennia sp. (A) dekat laut dan rekayasa vegetasiRhizophora sp. (B) di belakang zona Avicennia sp.
Gambar 6. Dijumpai kehadiran mangrove spesies bogem Sonneratia sp dan bakau Bruguiera sp pada ekosistem mangrove yang mulai stabil.
Full Tema2.indb 250
24/10/2011 11:49:52
251
Gambar 7. Sistem perakaran Avicennia sp adalah akar nafas Hasil pengamatan dilapangan memperlihatkan bahwa rekayasa vegetasi menggunakan jenis Rhizophora sp tidak tumbuh optimal dan merana (Gambar 3 dan 5). Pertumbuhan yang tidak optimal ini disebabkan oleh pemilihan spesies bakau Rhizophora sp. yang tidak tepat dan lokasi penanaman yang tidak cocok untuk rekayasa vegetasi di kawasan pantai. Menurut zonasi mangrove oleh Watson, pada kawasan yang berhadapan dengan laut (fringe mangrove) merupakan habitat mangrove jenis api – api (Avicennia sp.), sedangkan Rhizophora sp menempati habitat di pinggir sungai (basin mangrove) atau dibelakang zona Avicennia. Selanjutnya Tjut S. Djohan (2011: Pers.com) menjelaskan bahwa Api – api memiliki kemampuan untuk mereproduksi lebih cepat berdasarkan R dan K strategi, sedangkan perkembangbiakan Rhizophora hanya berdasarkan K strategi. Kemudian beliau menambahkan bahwa apa yang terjadi dengan pertumbuhan alami Avicennia sp. pada zona bagian dekat laut bukan suatu proses invasi namun merupakan kolonisasi. Noor et al. (2006) menginformasikan bahwa Avicennia sp. merupakan salah satu pionir mangrove yang tumbuh walaupun salinitas tinggi. Noor et al. menambahkan bahwa Avicennia sp dapat bergerombol membentuk suatu kelompok (berkoloni) pada tepi pantai yang teduh. Kondisi pantai yang teduh dapat menyebabkan terjadinya akresi yang memungkinkan semai Avicennia sp tumbuh secara alami di depan wave breaker (Gambar 4.). Tipe akar nafas atau pensil pada Avicennia sp (Gambar 7.) sangat berfungsi sebagai perangkap sedimen yang mempengaruhi pembentukan lahan atau akresi dan mengurangi erosi pantai (Blasco et al. 1996). Sedangkan kerapatan mangrove berkontribusi terhadap besarnya luasan akresi, distribusi sedimen, dan tinggi elevasi permukaan (Kumara et al. 2010).Adanya pertumbuhan Avicennia sp yang optimal mempercepat pemulihan ekosistem pantai. Adanya spesies Sonneratia sp. dan Bruguiera (Gambar 6.) mengindikasikan bahwa ekosistem pantai sudah mulai membaik. oleh sebab itu, Avicennia sp. sangat cocok digunakan sebagai rekayasa vegetasi untuk tipe pantai Kalimantan Barat yang teduh, landai, berlumpur dan agak berpasir maupun tipe sejenis di tempat lain.
Full Tema2.indb 251
24/10/2011 11:49:53
252
Penanaman dengan jarak tanam teratur merupakan salahsatu faktor yang menyebabkan ketidaksuksesan penanaman mangrove (Tjut S. Djohan 2011: Pers.com). Tjut S. Djohan dan Junun Sartohadi (Pers. com: 2011) menambahkan adanya jarak tanam yang teratur mengakibatkan terbentuknya kanal – kanal yang menyebabkan erosi dan substrat tidak stabil. Jarak tanam juga menyebabkan kerentanan semai pohon mangrove terhadap gelombang. Penanaman mangrove menurut Tjut S. Djohan lebih baik dengan sebaran yang tidak teratur sehingga mengurangi erosi dan menambah perlindungan terhadap semai mangrove. Kegagalan rehabilitasi mangrove di Filipina juga terjadi karena pemilihan lokasi penanaman yang tidak sesuai dan penggunaan semai Rhizophora, sehingga hasil yang diperoleh sangat mengecewakan dengan menghabiskan biaya yang tinggi (Primavera dan Esteban 2008). Pengetahuan ekologi mangrove yang baik akan meningkatkan kesuksesan rekayasa vegetasi.Metode rehabilitasi di setiap lokasi akan berbeda sesuai karakteristik lingkungan biofisik dan sosial setempat. Upaya pemberian pengetahuan dan pemahaman tentang mangrove kepada masyarakat akan melestarikan pemanfaatan sumber daya alam pesisir. Penyediaan informasi kegagalan terdahulu dan penelitian lebih lanjut sangat diperlukan sebagai bahan referensi guna meningkatkan kualitas kesuksesan rekayasa vegetasi pantai. Kesimpulan Penelitian ini menyimpulkan bahwa terbatasnya pengetahuan ekologi mangrove menyebabkan rendahnya kesuksesan penanaman mangrove. Rendahnya kesuksesan ini karena pemilihan spesies yang tidak tepat, pemilihan lokasi yang tidak sesuai, dan sistem jarak tanam yang teratur. Mangrove yang tumbuh dengan optimal akan meningkatkan efisiensi bangunan pengaman pantai sebagai pelindung pantai dari abrasi. Rehabilitasi ekosistem pantai termasuk mangrove mampu meningkatkan kualitas habitat perikanan, mencegah intrusi air laut, melindungi pencemaran perairan laut, dan memendaman karbon yang besar pada ekosistem mangrove. Upaya pemberian pengetahuan dan pemahaman tentang mangrove kepada masyarakat akan melestarikan pemanfaatan sumber daya alam pesisir. Ucapan Terima Kasih Terima kasih disampaikan kepada Mbak Nancy Pramawengrum ST. MT yang telah membantu memberikan informasi mengenai profil pantai abrasi Kalimantan Barat serta saran dan masukannya demi kemajuan penelitian ini. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian disertasi.
Full Tema2.indb 252
24/10/2011 11:49:53
253
Daftar Pustaka Akbar, A. A., T. S. Djohan, dan J. Sartohadi. 2008. Ekosistem Mangrove dan Abrasi di Pesisir Kalimantan Barat. Forum Geografi 22 (1): 60 – 71. Alongi, D.M. 2008. Mangrove forests: resilience, protection from tsunamis, and responses to global climate change. Estuarine, Coastal and Shelf Science 76:1-13. Arksornkoae, S. 1993. Ecology and Management of Mangroves. IUCN, Bangkok, Thailand. Blasco, F., P. Saenger, and E.Janodet. 1996. Mangroves as indicators of coastal change. Catena 27(3-4): 167-178. BWS Kalimantan I. 2010. Pengelolaan Sumber Daya Air. Makalah Seminar & Implementasi GNKPA dalam rangka Konservasi SDA dan Pengendalian Daya Rusak Air di Kec. Sungai Raya Kab.Bengkayang, Kalimantan Barat tanggal 5 Agustus 2010. BWS Kalimantan I. 2011. Profil Pantai Kalimantan Barat:Pembangunan Pengamanan Pantai KALBAR Akibat Erosi (Perubahan Garis Pantai Akibat Gelombang Pasang). Satuan Kerja Pelaksanaan Jaringan Sumber Air Kalimantan I Provinsi Kalimantan Barat. Ewel, K.C., R.R. Twilley, and J.E. Ong. 1998. Different kinds of mangrove forests provide different goods and services. Global Ecology and Biogeography Letters 7(1): 83 – 94. FAO. 1994. Mangroves Forest Management Guidelines.Forestry Paper No. 117, Roma. Field, C.D. 1998. Rehabilitation of mangrove ecosystems: an overview. Marine Pollution Bulletin 37(8-12): 383-392. Hardjowigeno, S. 1986. Status Pengetahuan Tanah-tanah Mangrove di Indonesia. Prosiding Seminar III Ekosistem Mangrove, Denpasar. Hong, P. N. and H. T. San. 1993. Mangroves of Vietnam. IUCN, Bangkok, Thailand. Jimenez, J.A., A.E. Lugo, and G. Cintron. 1985. Tree mortality in mangrove forests. Biotropica 17(3): 177-185. Kumara, M. P., L. P. Jayatissa, K. W. Krauss, D. H. Phillips, and M. Huxham. 2010. High mangrove density enhances surface accretion, surface elevation change, and tree survival in coastal areas susceptible to sea-level rise. Oecologia 164: 545–553. Mackinnon, K., G.Hatta, H.Halim, dan A. Mangalik. 2000. Ekologi Kalimantan. Penhallindo, Jakarta. Mazda, Y., M.Magi, H.Nanao, M.Kogo, T.Miyagi, N.Kanazawa, and D.Kobashi. 2002. Coastal Erosion Due to Long-term Human Impact on Mangrove Forests. Wetlands Ecology and Management 10 : 1 – 9.
Full Tema2.indb 253
24/10/2011 11:49:53
254
Mazda, Y., M. Magi, Y. Ikeda, T. Kurokawa and T. Asano. 2006. Wave reduction in a mangrove forest dominated by Sonneratia sp. Wetlands Ecology and Management14: 365-378. Noor, Y. R., M. Khazali dan I N. N.Suryadiputra. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Ditjen. PKA dan Wetlands International-Indonesia Programme, Bogor. Primavera, J.H. and J.M.A. Esteban. 2008. A review of mangrove rehabilitation in the Philippines: successes, failures and future prospects.Wetlands Ecology Management16: 345–358. Rönnback, P. 1999. The ecological basis for economic value of seafood production supported by mangrove ecosystems. Ecological Economics 29(2): 235 – 252. Sathirathai, S., and E.B. Barbier. 2001. Valuing mangrove conservation in Southern Thailand. Contemporary Economic Policy 19(2): 109–122. Satyanarayana, B., A.V.Raman, F. Dehairs, C. Kalavati and P.Chandramohan. 2002. Mangrove Floristic and Zonation Patterns of Coringa, Kakinada Bay, East Coast of India. Wetlands Ecology and Management 10: 25 – 39. Thampanya, U., J.E Vermaat, S.Sinsakul, and N. Panapitukkul. 2006. Coastal erosion and mangrove progradation of Southern Thailand. Estuarine, Coastal and Shelf Science 68 (1-2): 75 – 85. Tomlinson, P. B. 1986. The Botany of Mangroves. Cambridge University Press, New York. van Zuidam, R. A. 1985. Aerial Photo-interpretation in Terrain Analysis and Geomorphologic Mapping. Smits Publishers, The Hague, Netherlands. Verstappen, H. Th. 1983. Applied Geomorphology: Geomorphological Surveys for Environmental Development. Elsevier Science Publishers B. V., Netherlands. Walters, B.B., P. Roonnbaack, J.M. Kovacs, B. Crona, S.A. Hussain, R. Badola, J.H.Primavera, E. Barbier , and F. Dahdouh-Guebas. 2008. Ethnobiology, socio-economics and management of mangrove forests: A review. Aquatic Botany 89: 220–236. Walton, M. E., L.L. Vay, H. Junemie, J.H. Lebata, J. Binas and J.H. Primavera. 2007. Assessment of the effectiveness of mangrove rehabilitation using exploited and non-exploited indicator species. Biological Conservation 138: 180 –188.
Full Tema2.indb 254
24/10/2011 11:49:53
Rangkaian Batang Semi Apung Sebagai Alternatif Struktur Pelindung Pantai M. Arsyad Thaha1), Willem Minggu2) Anggota HATHI Sul-Sel, Jurusan Teknik Sipil Universitas Hasanuddin, Jl. Perintis Kemerdekaan Km.10, Makassar 90245;
[email protected]. 2) Anggota HATHI Sul-Sel, Kompleks Hartaco Indah, Blok III N/23, Makassar 90224 1)
Intisari Erosi/abrasi pantai dan ancaman gelombang badai terhadap permukiman masyarakat pesisir dan/atau obyek wisata pantai adalah di antara permasalahan serius yang dihadapi saat ini. Salah satu permasalahan pengamanan pantai yang sering dijumpai adalah menyediaan material batu alam atau batu buatan yang relatif sulit untuk ukuran tertentu serta membutuhkan biaya yang tinggi. Penelitian dalam tulisan ini bertujuan mendapatkan model peredam gelombang semi apung dari rangkaian susunan batang sebagai alternatif struktur peredam gelombang yang mudah, murah dan efektif. Penelitian secara eksperimental di laboratorium dengan simulasi model fisik skala 1:5 telah dilakukan untuk mendapatkan hubungan parameter tak berdimensi. Model peredam gelombang struktur semi apung dibuat dari rangkaian batang bulat yang disusun berspasi menyerupai rakit. Parameter yang diteliti adalah Koefisien Transmisi gelombang (Kt), Koefisien Refleksi gelombang (Kr) dan Koefisien Disipasi gelombang (Kd). Parameter simulasi adalah tinggi dan periode gelombang datang (Hi & T), panjang struktur (B), porositas rangkaian batang (ε) serta kedalaman air (d). Hasil penelitian menunjukkan semakin meningkat nilai Hi/L (semakin curam gelombang) dan/atau semakin kecil nilai sinα atau d/B (kedalaman semakin kecil terhadap panjang struktur) dan/atau semakin kecil nilai ε (semakin rapat struktur), menghasilkan nilai Kt (transmisi gelombang) semakin kecil, nilai Kr (refleksi gelombang) kecil dan nilai Kd (disipasi gelombang) semakin besar secara non linier. Penelitian juga menghasilkan persamaan empiris untuk masing-masing Kt, Kr dan Kd, dimana Kt = Ht/Hi = 0,73exp-0,075(Hi/εLsinα) telah sesuai dengan teoritis penurunan amplitudo gelombang melalui media gesekan (Dean ������������������������������� dan Dalrymple,1984). Persamaan lainnya yang diperoleh adalah Kr = Hr/Hi = 0,20(Hi/(εLsinα))-0,1 dan Kd = Hd/Hi = 0,053 ln(Hi/εLSinα) + 0,172. Persamaan-persamaan dan grafik-grafik yang dihasilkan dapat digunakan untuk perancangan prorirtip di lapangan. Kata kunci: semi-apung, transmisi gelombang, refleksi gelombang, disipasi gelombang.
255
Full Tema2.indb 255
24/10/2011 11:49:53
256
PENDAHULUAN Indonesia adalah negara kepulauan dengan panjang pantai berkisar 81.000 km dan menjadi negara dengan panjang garis pantai kedua di dunia setelah Canada. Panjang pantai yang besar ini merupakan potensi apabila dapat dimanfaatkan dengan baik. Hanya saja yang menjadi persoalan adalah banyaknya pantai di Indonesia yang mengalami abrasi dan erosi akibat gelombang. Abrasi dan erosi pada umumnya terjadi pada daerah-daerah yang telah mengalami degradasi perlindungan alamnya seperti mangrove. Pemerintah telah berupaya untuk menanggulangi permasalahan degradasi pantai ini dengan cara penghijauan kembali, yaitu menanam pohon bakau. Permasalahan yang muncul adalah bakau yang baru ditanam tidak bisa tumbuh dengan baik, sebab sebelum tumbuh sudah terhempas oleh gelombang. Oleh sebab itu perlu difikirkan suatu metode untuk melindungi bakau yang baru ditanam agar tidak terbawa oleh gelombang. Perlindungan areal penanaman bakau dibutuhkan hanya dalam periode pertumbuhan bakau hingga perakarannya cukup kuat, karena bakau sendiri cukup efektif meredam gelombang jika sudah dewasa (Thaha, 2001). Kriteria lain yang penting diperhatikan adalah penggunaan bahan local yang mudah di dapat dengan konstruksi sederhana yang mudah dikerjakan sendiri oleh masyarakat pantai. Alat Peredam Ombak (APO) dari bamboo adalah pilihan yang tepat sesuai criteria tersebut. Salah satu tipe yang mudah untuk dilaksanakan adalah tipe semi terapung yang merupakan generasi dari tipe pancang sebelumnya. Gelombang yang menjalar melalui suatu rintangan, sebagian dari energi gelombang akan dihancurkan melalui proses gesekan, turbulensi dan gelombang pecah, dan sisanya akan dipantulkan (refleksi), dihancurkan (disipasi) dan yang diteruskan (transmisi) tergantung dari karakteristik gelombang datang (periode dan tinggi gelombang), tipe perlindungan pantai (permukaan halus atau kasar) dan dimensi serta geometri perlindungan (kemiringan, elevasi dan lebar halangan) serta kondisi lingkungan setempat (kedalaman air dan kontur dasar pantai) (CERC, 1984) dalam Thaha 2001. Gelombang yang ditransmisikan melalui suatu struktur permeabel dipengaruhi oleh parameter-parameter seperti kondisi gelombang, lebar struktur, ukuran struktur, porositas dan perbedaan porositas vertical material, tinggi struktur dan kedalaman air. Gelombang dengan kecuraman yang kecil, seperti gelombang pasang surut, kemungkinan akan ditransmisikan secara keseluruhan melalui struktur atau koefisien transmisi mendekati 1, sedangkan gelombang angin akan diredam secara efektif (CERC,.1984). Parameter refleksi gelombang biasanya dinyatakan dalam bentuk koefisien refleksi (Kr) yang didefinisikan sebagai Hr/Hi, dimana Hi = tinggi gelombang datang dan Hr = tinggi gelombang refleksi. Nilai Kr berkisar dari 1,0 untuk refleksi total dan 0 untuk tidak ada refleksi. Sedangkan koefisien transmisi (Kt) didefenisikan sebagai Ht/Hi, dimana Ht = tinggi gelombang transmisi. Menurut Horikawa (1978) dalam Thaha 2001 bahwa besarnya energi gelombang yang didipasikan (dihancurkan/diredam) adalah besarnya energi gelombang datang dikurangi energi gelombang yang ditransmisikan dan direflesikan (Kd = 1-Kr-Kt). Untuk gelombang yang menjalar dalam kondisi gesekan, tinggi amplitudo gelombang akan berkurang secara eksponensial. Gesekan akan memperkecil panjang gelombang yang berakibat menurunnya kecepatan rambat gelombang. Dengan de-
Full Tema2.indb 256
24/10/2011 11:49:53
257
mikian meningkatnya koefisien gesek Darcy-Weisbach (f) akan mengurangi tinggi atau energi gelombang (Dean dan Dalrymple,1984 dalam Thaha 2001). Perubahan tinggi amplitudo setelah satu panjang gelombang dapat dihitung dengan ekspressi berikut (Dean dan Dalrymple,1984 dalam Thaha, 2001). ŋ(L) = ŋ (0) e-kiL
(1)
Dimana angka gelombang setelah tereduksi ki = kI*A/2s ; angka gelombang datang kI = s/( g d)1/2 dan konstanta gesek A = f*Um/3pd. Um adalah kecepatan partikel air maksimum. Panjang gelombang (L) dapat dihitung secara iterasi dengan persamaan berikut:
(2)
Untuk melakukan iterasi, maka Persamaan (2) memerlukan panjang gelombang laut dalam sebagai panjang gelombang awal (Lo) yang besarnya dapat dihitung dengan Lo = 1,56 T2 Dengan menguraikan persamaan umum fluktuasi muka air gelombang maka diperoleh elevasi muka air maksimum dan minimum untuk gelombang berdiri sebagian seperti berikut (Pao’tonan.C, 2006) : Hi =
H max + H min 2
(3)
Hr =
H max − H min 2
(4)
Apabila gelombang yang ditransmisikan terhalang oleh suatu penghalang, maka tinggi gelombang transmisi Ht dapat dihitung dengan rumus : Ht =
(H max )t + (H min )t 2
(5)
Dengan demikian untuk eksperimen di laboratorium, dilakukan pengukuran pada beberapa titik baik di depan model maupun di belakang model guna menentukan tinggi gelombang maksimum dan minimum. Selanjutnya dengan menggunakan Persamaan (3) sampai (5) tinggi gelombang datang, refleksi dan transmisi dapat dihitung. Penelitian transmisi gelombang di bawah kondisi gesekan telah banyak dilakukan. Nizam (1987) melaporkan bahwa transmisi gelombang melalui puncak bangunan pemecah ombak bawah air dipengaruhi oleh lebar puncak bangunan (B), kedalaman air diatas puncak (h) dan koefisien gesek material puncak (f). Dirgayusa (1997) meneliti transmisi gelombang melalui pemecah gelombang susunan pipa horizontal dan mendapatkan bahwa semakin panjang (B) dan semakin kecil diameter pipa (D) akan semakin memperkecil transmisi gelombang (Ht). Walukow (2000), meneliti tentang rangkaian pelat horizontal. Hasilnya ������������������������������������������� menunjukkan bahwa transmisi gelombang akan diperkecil dengan semakin panjangnya rangkaian plat horizontal sebagai pemecah gelombang apung.
Full Tema2.indb 257
24/10/2011 11:49:53
258
Thaha (2002) melakukan simulasi model fisik rumpun bakau (rhizophora) umur 4-5 tahun dengan skematik eksperimen model fisik dan mendapatkan bahwa peredaman energi gelombang dipengaruhi oleh kerapatan perakaran, ketebalan hutan dan panjang gelombang. Dari uraian di atas maka dapat dibuat hipotesis, bahwa selain parameter tinggi dan panjang gelombang yang direpresentasikan oleh angka kecuraman (steepness) gelombang (Hi/L), juga kedalaman air (d) dan panjang struktur APO bambu berspasi semi terapung (B) diperkirakan cukup berpengaruh pada transmisi maupun refleksi gelombang. Tujuan penelitian adalah untuk merumuskan pengaruh panjang rangkaian bambu, kerapatan bambu dan karakteristik gelombang yang ada terhadap transmisi dan refleksi gelombang melalui rangkaian bambu berspasi semi terapung. Rumusan dalam bentuk hubungan parameter tak berdimensi diharapkan dapat diperoleh untuk digunakan sebagai pedoman teknis disain struktur semi terapung berdasarkan kondisi lapangan. Penelitian secara eksperimental di laboratorium dengan simulasi model fisik ini dilakukan dalam beberapa batasan seperti g���������������������������� elombang datang yang digunakan adalah gelombang reguler dengan arah tegak lurus struktur. Gaya gelombang tidak dikaji, fluida yang digunakan adalah air tawar. CARA PENELITIAN Penelitian dilakukan secara eksperimental di Laboratorium Hidrodinamika Teknik Kelautan Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin. Simulasi model fisik dengan skala geometrik 1:5 dilakukan pada model struktur semi-apung yang dibuat dari rangkaian batang bambu kecil satu lapis dalam 2 variasi kerapatan (porositas-1 dan porositas-2) dan 3 variasi panjang struktur (B), masing-masing diberi nama Model M1-R1; M1-R2; M1-R3; M2-R1; M2-R2 & M2-R3. Model-model tersebut disimulasikan dengan tinggi gelombang H dan periode gelombang T dalam banyak variasi. Gambar 1 menyajikan sketsa defenisi dan parameter yang diteliti. Tinggi gelombang di ukur di depan dan di belakang model untuk masing-masing varian percobaan. Analisis data dilakukan dengan regresi multiparameter untuk mendapatkan hubungan tak berdimensi yang selanjutnya divalidasi dan kemudian dapat digunakan untuk merencanakan secara detail dari dimensi struktur pada kondisi lapangan. Jangkar dapat dibuat dari beban pemberat atau tiang pancang dan pengurangan gaya apung dapat dilakukan dengan pengisian material pasir ke dalam batang pada bagian bawah. L
Ht
Hi
HWL
B
d Rangkaian batang semi-apung dengan porositas e Pemberat (Jangkar)
Dasar perairan
Gambar 1. Sketsa defenisi model struktur semi-apung rangkaian batang.
Full Tema2.indb 258
24/10/2011 11:49:54
259
HASIL DAN PEMBAHASAN Data utama yang diamati dan dicatat selama pengujian di laboratorium adalah tinggi gelombang di depan dan dibelakang model. Dari hasil eksperimen dan pencatatan tinggi gelombang di tiap titik lokasi pengamatan diambil nilai maksimum Hmaks dan tinggi gelombang minimum Hmin, baik di depan maupun di belakang model. Dari Hmaks dan Hmin di depan model tersebut selanjutnya dihitung Hi dan Hr serta dari data Hmaks dan Hmin di belakang model selanjutnya dapat dihitung Ht untuk semua variasi dimensi struktur. Koefisien transmisi (Kt) dan koefisien refleksi (Kr) untuk masing-masing variasi dimensi struktur selanjutnya dihitung berdasarkan persamaan yang telah diuraikan. Hasil penelitian disajikan dalam bentuk pengaruh parameter simulasi yang meliputi karakteristik gelombang (Hi dan L) serta parameter struktur (B) atau (Sin a) terhadap Kt dan Kr baik dalam hubungan sendiri-sendiri maupun hubungan atau pengaruh bersama. Gambar 2 menyajikan hubungan kecuraman gelombang (Hi/L) dengan koefisien transmisi (Kt) dan koefisien refleksi (Kr) untuk model dengan kerapatan rendah (Porositas-2).
1,00
1,00
0,90
0,90
0,80
0,80
0,70
0,70
0,60
0,60
0,50
0,50
Kr
Kt
Dari Gambar 2 terlihat bahwa untuk ketiga model, semakin tinggi nilai Hi/L atau semakin curam gelombang semakin kecil nilai Kt atau semakin kecil tinggi gelombang yang diteruskan/ditransmisikan oleh struktur. Hal tersebut sesuai dengan teori bahwa semakin panjang gelombang semakin (Hi/L kecil) semakin besar presentase gelombang yang ditransmisikan.
Linear (M2-R1) Linear (M2-R2) Linear (M2-R3)
0,40
0,40 0,30
Linear (M2-R1)
0,30
0,20
Linear (M2-R2)
0,20
Linear (M2-R3)
0,10 0,00 0,020
0,030
0,040
0,10 0,050
Hi/L
0,060
0,070
0,080
0,00 0,020
0,030
0,040
0,050
0,060
0,070
0,080
Hi/L
Gambar 2. Hubungan Hi/L dengan Kt (Gambar Kiri) dan Hi/L dengan Kr (Gambar Kanan) untuk M2-R1; M2-R2 & M2-R3. Kecenderungan lain yang diperlihatkan adalah semakin panjang struktur semakin besar gradien penurunan gelombang transmisi atau semakin efektif mengurangi tinggi gelombang transmisi dan sebaliknya. Sebagai contoh pada Hi/L = 0,06 memberikan nilai transmisi gelombang pada M2-R1 sebesar 68%, sedangkan pada M2-R3 hanya melewatkan gelombang transmisi sebesar 50%. Hal ini berarti semakin panjang struktur semi-terapung akan semakin baik dalam melindungi pantai dari abrasi/erosi gelombang. Dari Gambar 2 juga terlihat bahwa semakin tinggi nilai Hi/L atau semakin curam gelombang semakin kecil nilai Kr atau semakin kecil tinggi gelombang yang dipantulkan atau direfleksikan oleh struktur. Hal ini berarti semakin curam gelombang akan semakin besar gelombang yang diredam
Full Tema2.indb 259
24/10/2011 11:49:54
260
struktur karena porsi yang ditransmisikan juga semakin kecil. Kecenderungan lain yang diperlihatkan adalah semakin panjang struktur (M2-R3) semakin curam garis pengurangan gelombang refleksi atau semakin efektif struktur meredam gelombang dan sebaliknya. Sebagai contoh pada Hi/L = 0,06 memberikan nilai refleksi gelombang pada M2-R1 sebesar 25%, sedangkan pada M2-R3 hanya akan memantulkan gelombang sebesar 14%. Transmisi dan refleksi gelombang selanjutnya dijelaskan dalam hubungan kemiringan struktur pada kondisi elevasi air diam terhadap gelombang datang. Kemiringan struktur direpresentasikan oleh Sin α = d/B, dimana d adalah kedalaman air diam posisi dimana ujung depan struktur diangker ke dasar perairan dan B adalah panjang struktur. Gambar 3 menyajikan hubungan tak berdimensi Sin α dengan Kt dan Kr untuk 2 kondisi kerapatan struktur.
Gambar 3. Hubungan Sin α dengan Kt (Gambar Kiri) dan Kr (Gambar Kanan). Dari Gambar 3 (kiri) terlihat bahwa semakin besar Sin α atau d/B semakin besar pula nilai Kt atau semakin dalam air pada posisi kaki struktur semakin besar gelombang yang dilewatkan dan juga semakin panjang struktur semakin kecil gelombang yang dilewatkan. Hal ini dapat diartikan bahwa struktur yang panjang di kedalaman yang kecil akan lebih efektif melindungi area pantai dari gangguan gelombang. Kisaran gelombang yang ditransmisikan (Kt) oleh tipe struktur yang diuji pada kisaran nilai sin α atau d/B = 0,21 – 0,42 adalah berkisar 52% - 72%. Kecenderungan yang sama ditunjukkan oleh hubungan Sin α dengan Kr seperti disajikan pada Gambar 3 (kanan), dengan kisaran nilai gelombang yang dipantulkan berkisar 18% - 26%. Untuk mendapatkan gambaran dan rumusan pengaruh secara bersama-sama semua parameter yang diteliti terhadap Kt dan Kr, maka dibuat parameter tak berdimensi yang menggabungkan parameter kecurangan gelombang (Hi/L), porositas (ε) dan kemiringan struktur Sin α atau d/B. Gambar 4 menyajikan hubungan parameter tak berdimensi gabungan Hi/(Lsinα) dengan Kt & Kr untuk masing-masing kerapatan struktur, sedangkan Gambar 5 menyajikan hubungan multiparameter Hi/(εLsinα) dengan Kt, Kr dan Kd.
Full Tema2.indb 260
24/10/2011 11:49:55
261
Gambar 4. Hubungan Hi/(Lsinα) dengan Kt (Gambar Kiri) & Kr (Gambar Kanan) untuk masing-masing porositas struktur. Gambar 4 memperlihatkan hubungan yang cukup kuat antara parameter Hi/(L sin α) dengan Kt dan Kr pada 2 porositas struktur yang diuji. Baik kurve Kt maupun kurve Kr menunjukkan semakin tinggi gelombang datang (Hi) atau semakin panjang gelombang (L) dan semakin kecil kemiringan struktur (Sin α) maka akan semakin kecil koefisien transmisi (Kt) dan koefisien refleksi (Kr). Perbedaan nilai Kt antara kerapatan tinggi atau porositas rendah (ε = 0,05) dengan kerapatan rendah atau porositas tinggi (ε = 0,50) cukup signifikan yaitu berkisar 0,03 s.d 0,12, sementara pada nilai Kr tidak terlihat perbedaan yang signifikan. Pada kondisi prototip dapat dijelaskan bahwa untuk struktur rangkaian batang berdiameter (D) 15 cm dengan spasi 2D semi terapung dengan panjang struktur berkisar 6 m – 12 m (L-2L) dapat menurunkan tinggi gelombang 20% - 50% dan memantulkan gelombang setinggi 15% - 30% dari tinggi gelombang datang. Untuk mencapai tujuan penelitian, maka pengaruh bersama seluruh parameter berpengaruh perlu diformulasikan dalam bentuk hubungan parameter tak berdimensi. Parameter tak berdimensi dengan bentuk Hi/(εL sin α) yang diperoleh melalui analisa dimensi selanjutnya digunakan untuk mengukur pengaruh dan hubungannya dengan Kt, Kr dan Kd struktur semi terapung sebagaimana disajikan dalam Gambar 5. Gambar 5 memperlihatkan kurve hubungan Hi/(εL sin α) dengan Kt, Kr dan Kd, dimana semakin membesar nilai Hi/(εL sin α) semakin signifikan mengecil nilai Kt dan semakin nilai Kr juga semakin mengecil meskipun dengan gradien yang lebih kecil serta nilai Kd semakin membesar. Untuk nilai Hi/(εLsinα) yang dicoba yaitu dalam kisaran 0,15 – 6,70 diperoleh kisaran penurunan nilai Kt dari 0,72 menjadi 0,45 atau sebesar 37,5%, penurunan nilai Kr dari 0,24 menjadi 0,18 atau sebesar 25% dan kenaikan nilai Kd dari 0,10 menjadi 0,29 atau sebesar 65,51%. Hasil ini menunjukkan bahwa jumlah distribusi nilai Kt, Kr dan Kd untuk setiap nilai Hi/(εLsinα) yang dikaji menunjukkan nilai berkisar 1 sesuai dengan hukum konservasi energi gelombang. Penelitian juga menghasilkan persamaan empiris untuk masing-masing Kt, Kr dan Kd, dimana Kt = Ht/Hi = 0,73exp-0,075(Hi/εLsinα) telah sesuai dengan teoritis penurunan amplitudo gelombang melalui media gesekan (Dean ������������������������������������������ dan Dalrymple,1984). Persamaan lainnya yang diperoleh adalah Kr = Hr/Hi = 0,20(Hi/(εLsinα))-0,1 dan Kd = Hd/Hi = 0,053 ln(Hi/εLSinα) + 0,172. Persamaan-persamaan dan kurve pada Gambar 5 selanjutnya dapat digunakan untuk perancangan prorirtip di lapangan.
Full Tema2.indb 261
24/10/2011 11:49:55
262
Gambar 5. Hubungan Hi/εLsinα dengan Kt, Kr dan Kd. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Semakin meningkat nilai Hi/L (semakin curam gelombang) dan/atau semakin kecil nilai sinα atau d/B (kedalaman semakin kecil terhadap panjang struktur) dan/atau semakin kecil nilai ε (semakin rapat struktur), menghasilkan nilai Kt (transmisi gelombang) semakin kecil, nilai Kr (refleksi gelombang) kecil dan nilai Kd (disipasi gelombang) semakin besar secara non linier. 2. Pengaruh parameter tak berdimensi gabungan (Hi/(εLsinα)) terhdp Kt, Kr & Kd ditunjukkan secara signifikan dimana pada kisaran nilai Hi/(εLsinα) = 0,15 – 6,70 diperoleh kisaran penurunan nilai Kt dari 0,72 menjadi 0,45 atau sebesar 37,5%, penurunan nilai Kr dari 0,24 menjadi 0,18 atau sebesar 25% dan kenaikan nilai Kd dari 0,10 menjadi 0,29 atau sebesar 65,51%. Hasil ini menunjukkan bahwa jumlah distribusi nilai Kt, Kr dan Kd untuk setiap nilai Hi/(εLsinα) yang dikaji menunjukkan jumlah nilai berkisar 1 sesuai dengan hukum konservasi energi gelombang. 3. Penelitian juga menghasilkan persamaan empiris untuk masing-masing Kt, Kr dan Kd, dimana Kt = Ht/Hi = 0,73exp-0,075(Hi/εLsinα) telah sesuai dengan teoritis penurunan amplitudo gelombang melalui media gesekan (Dean dan Dalrymple,1984). Persamaan lainnya yang diperoleh adalah Kr = Hr/Hi = 0,20(Hi/(εLsinα))-0,1 dan Kd = Hd/Hi = 0,053 ln(Hi/εLSinα) + 0,172. 4. Persamaan-persamaan dan grafik-grafik yang dihasilkan dapat digunakan untuk perancangan prorirtip di lapangan. 5. Penelitian ini masih terbatas mengkaji ketebalan struktur dan karena itu disarankan ada penelitian lanjut yang mengkaji hal tersebut untuk melengkapi penelitian ini.
Full Tema2.indb 262
24/10/2011 11:49:55
263
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada DP2M Dikti, Depdiknas atas bantuan pembiayaan penelitian ini melalui Hibah Bersaing 2009. DAFTAR PUSTAKA Dean, R. G. dan R. a. Dalrymple, 1984, Water Waves Mechanics for Engineer and Scientist, Prentice Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey. Dirgayusa, IG. N. P., 1997, Transmisi Gelombang Melalui Pemecah Gelombang Susunan Pipa Horisontal, Thesis, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Horikawa, K. 1978. Coastal Engineering. University Of Tokyo Press : Tokyo. Nizam, 1987, Refleksi dan Transmissi Gelombang pada Pemecah Gelombang Bawah Air, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Rahman, S. 2005. Gaya Gelombang pada Alat Pemecah Ombak Pelindung Permudaan Buatan Kawasan Mangrove. Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta. Silvester, R. 1974. Coastal Engineering 1. Department of Civil Engineering, University of Western Australia: Nedlands, W. A., Australia. Thaha, A. M., 2001. Simulasi Rumpun Bakau sebagai Peredam Energi Gelombang, Thesis Magister UGM, Yogyakarta. Thaha, A, M. ,Suriamiharja,A,D., Paotonan,C. 2008. Laporan Hasil Penelitian Hibah Bersaing “Kajian Rangkaian Bambu sebagai Alat Peredam Ombak (APO) untuk melindungi areal penanaman Mangrove”. Universitas Hasanuddin: Makassar. Thaha, A. M., 2008, Pengaruh Kerapatan Pori Tirai Bambu terhadap Transmisi Gelombang sebagai Pelindung Pantai Sederhana, Jurnal Penelitian Teknik Sipil ISSN 1693-6264, Jurusan Teknik Sipil Unhas, Makassar. Thaha, A. M., 2008, Transmisi Gelombang Melalui APO Berlapis sebagai Pelindung Pantai Sementara, Bulletin Penelitian Seri Teknologi, Vol.V No.2, ISSN 0215-174X, Lembaga Penelitian Unhas, Makassar. Triatmodjo, B. 1999. Teknik Pantai. Beta Offset: Yogyakarta. Yuwono, N., 1996. Perencanaan Model Hidraulik. Laboratorium Hidraulik dan Hidrologi Pusat Antar Universitas Ilmu Teknik Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta.
Full Tema2.indb 263
24/10/2011 11:49:55
Pengujian Karakteristik Resapan Dengan Variasi Intensitas Curah Hujan, Tingkat Kepadatan, Dan Gradasi Tanah Daerah Pesisir Halidin Arfan HATHI Cabang Sulawesi Selatan
[email protected]
Intisari Kuantitas volume air yang melimpas di atas permukaan tanah selain akibat fenomena alam juga karena air tersebut tidak atau kurang teresap ke dalam tanah, sehingga hanya mengalir di atas permukaan tanah dan dapat menggenangi serta merusak wilayah yang dilaluinya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh dan hubungan variasi intensitas hujan yaitu sebesar 120, ������������������������������� 275, dan 450 mm/jam terhadap variasi tingkat kepadatan tanah yaitu 40%, 60% dan 80% untuk tanah asli dan tanah dengan kadar campuran pasir 0%, 25%, dan 50% pada kondisi hujan normal dan lebat, kedalaman tanah dengan solum dangkal (25 cm), lahan tanpa vegetasi, serta tanpa kemiringan. Pengujian dilakukan dengan cara pengukuran intensitas curah hujan menggunakan alat rainfall simulator yang didesain sedemikian rupa, sehingga dapat menentukan intensitas hujan yang ditentukan terhadap contoh tanah yang telah disiapkan dalam bak uji dengan ketebalan contoh 25 cm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai resapan tertinggi terjadi untuk intensitas curah hujan 120 mm/jam pada tingkat kepadatan tanah 40% dengan kadar pasir 50% yaitu sebesar 1,47 x 10-8 m3/detik. Nilai runoff tertinggi terjadi untuk intensitas curah hujan 450 mm/jam pada tingkat kepadatan tanah 80% dengan kadar pasir 0% yaitu sebesar 3,75 x 10-8 m3/detik. Kata kunci: Intensitas curah hujan, kepadatan tanah, resapan, limpasan permukaan PENDAHULUAN Air di bumi mengalami suatu siklus melalui serangkaian peristiwa yang berlangsung terus-menerus, dimana kita tidak tahu kapan, darimana berawalnya dan kapan pula akan berakhir. Serangkaian peristiwa tersebut dinamakan siklus hidrologi (hydrologic cycle). Tetapi siklus hidrologi ini tidak merata, yang mana dipengaruhi oleh kondisi meteorologi (suhu, tekanan atmosfer, angin, dan lain-lain) dan kondisi topografi (kemiringan lahan, jenis tanah, dan lain-lain). Dalam siklus hidrologi ada beberapa komponen yang penting, diantaranya: presipitasi, evaporasi dan transpirasi, limpasan permukaan (surface runoff), dan air tanah (ground water). Presipitasi yang jatuh di permukaan bumi menyebar ke berbagai arah dengan beberapa cara. Sebagian akan mengalir sebagai aliran limpasan dan sebagian masuk ke dalam tanah sebagai air infiltrasi dan perkolasi. Aliran limpasan selanjutnya menjadi limpasan permukaan (surface runoff). 264
Full Tema2.indb 264
24/10/2011 11:49:56
265
Air tanah sebagai salah satu sumber air bersih perkotaan seringkali hanya dimanfaatkan, masih kurang dilakukan upaya-upaya konservasi. Belum terkendalinya pemanfaatan air tanah mengakibatkan penurunan debit dan kualitas air tanah. Untuk kawasan yang letaknya dekat dengan pantai sangat rawan terhadap masuknya air laut ke dalam lapisan akuifer (intrusi air asin). Disamping itu, kekosongan lapisan akuifer bebas dapat mengakibatkan terjadinya penurunan permukaan tanah, yang berbahaya bagi kehidupan dan infrastruktur. Perubahan tata guna tanah di daerah resapan akibat pembangunan untuk pengembangan permukiman, industri dan fasilitas perkotaan diperkirakan telah mengganggu rantai siklus hidrologi. Pesatnya pembangunan fisik sebagai dampak secara bersama dari pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, pertumbuhan ekonomi, dan perkembangan pariwisata yang pesat, menyebabkan tutupan lahan oleh bangunan-bangunan kedap air (beton, aspal, dan sejenisnya) akan menyebabkan berkurangnya resapan air hujan ke dalam tanah, dan bertambah besarnya limpasan permukaan (surface run off). Disisi lain cadangan air tanah menjadi sangat berkurang, karena limpasan permukaan ini akan dengan cepat menuju ke saluran drainase dan langsung terbuang ke laut. Dengan latar belakang ini, sangat menarik untuk dilakukan penelitian/studi terhadap potensi peresapan air hujan dalam rangka pengendalian banjir dan konservasi air tanah. METODOLOGI PENELITIAN Cara Pemeriksaan Sampel Tanah Sampel tanah yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanah yang sering digunakan sebagai bahan konstruksi timbunan. Sejumlah tes dilakukan untuk memeperoleh index properties, permeability. kompaksi proctor standar. Sampel tanah sebelum dilakukan pengetesan , disimpan dalam wadah tertutup (polybag) untuk mempertahankan keaslian tanah. Sampel tanah pasir kelanauan yang tersedia terlebih dahulu disaring dengan saringan No. 4 sebelum dilakukan pencampuran dengan pasir. Sedangkan sampel tanah pasir disaring dengan saringan No.10. Berat pasir yang akan ditambahkan dihitung berdasarkan berat kering dari sampel tanah yang dicampur dengan pasir tersebut. Cara Pengujian Intensitas Curah Hujan Dengan mengggunakan alat rainfall simulator yang didesain sedemikian rupa, terbuat dari bak penampungan air dimana bagian alas bak diberi lubang dengan diameter 1 mm dan jarak antar lubang 2 cm yang nantinya akan dialiri air sehingga membentuk butiran hujan. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh intensitas curah hujan yang diinginkan yakni I=120mm/hari, I=275mm/hari, dan 450mm/hari. Intensitas ini diperoleh dengan cara mengisi bak penampungan air hingga ketinggian tertentu, dimana ketinggian ini dimaksudkan untuk memberikan tekanan yang berbeda sehingga menghasilkan intensitas yang bervarisi pula metode ini disebut dengan rainfall simulator dengan constant method. Berikut model bak pengujian :
Full Tema2.indb 265
24/10/2011 11:49:56
266
Gambar 1. Model rainfall simulator constant head Cara Penyiapan Sampel Tanah Pengujian Untuk parameter tanah di ambil sampel tanah yang bervariasi pula, yakni tanah yang telah diuji propertisnya kemudian dicampur hingga homogen dengan kadar pasir (sand content) berbeda yakni 0%, 25% dan 50% hingga kadar air optimum. Dari masing-masing tanah kemudian dipadatkan hingga kepadatan yang bervariasi yakni 40% (0.49 gr/cm3), 60% (0.73 gr/cm3), 80% (0.98 gr/cm3). Kemudian dari jenis sampel uji yang diperoleh, terlebih dahulu diuji permeabilitasnya (k) kemudian dimasukkan kedalam bak pengujian ukuran 150 x 50 x 50 cm, dimana terdapat sekat didalamnya untuk memisahkan volume resapan dan volume limpasan. Tinggi tanah dalam bak uji adalah 25 cm. Cara Pengujian Volume Resapan Metode yang digunakan adalah metode pengukuran dan pengamatan langsung, dimana air perkolasi dikoleksi untuk selang waktu tiap menitnya hingga volume resapan menjadi konstan. Namun volume limpasan juga tetap diukur sebagai data pembanding.
Gambar 2. Tampilan bak uji pengujian Cara Analisis Data Hasil pengujian volume resapan maupun limpasan kemudian dikonversi kedalam satuan debit mm3/detik. Dimana debit adalah perbandingan volume terhadap waktu. Dari hasil data yang diperoleh kemudian diplot dalam bentuk hidrograf. Lalu tarik kesimpulan dari pola hubungan yang terjadi dan tentukan nilai maksimum dan minimumnya.
Full Tema2.indb 266
24/10/2011 11:49:56
267
HASIL DAN PEMBAHASAN Tanah yang digunakan adalah tanah timbunan yang ketersediaanya mudah didapat. Hasil pemeriksaan propertis tanah yang akan digunakan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Properties sampel tanah Jenis pemeriksaan Kadar air asli Berat jenis spesifik Gradasi butiran Batas-batas atterberg
Klasifikasi Tanah
Nilai 29,33 % 2,5036 Pasir = 98,38 % Lanau = 0,94 % Lempung = 0,68 % LL = 51,32 % PL = 44,77 % SL = 35,62 % PI = 6,55 % USCS : SM AASHTO : A-2-5 termasuk dalam klasifikasi tanah pasir berlanau atau berlempung, dengan sifat plastisitas rendah
Pengujian kompaksi proctor standar dilakukan untuk mengetahui karakteristik pemadatan dari sampel tanah tanpa campuran pasir (SC = 0%), dan juga pada tanah dengan campuran pasir (tanah komposit) sehingga dapat diketahui efek yang ditimbulkan dari penambahan pasir dengan persentase tertentu terhadap perilaku pemampatan sampel tanah. Berikut disajikan hubungan resapan dengan intensitas curah hujan, kepadatan, dan jenis tanah yang berbeda.
!
Gambar 3. Grafik hubungan resapan dan sand content tiap kepadatan pada intensitas curah hujan 120 mm/jam Gambar 3. di atas menunjukkan resapan meningkat pada variasi kadar pasir 50% dan kepadatan 40% yaitu sebesar 1,47 x 10-8 m3/detik, sedangkan resapan paling rendah pada variasi kadar pasir 0% dan kepadatan 80% yaitu sebesar 2,33 x 10-9 m3/jam.
Full Tema2.indb 267
24/10/2011 11:49:56
268
!
Gambar 4. Grafik hubungan resapan dan sand content tiap kepadatan pada intensitas curah hujan 275 mm/jam Gambar 4. di atas menunjukkan resapan meningkat pada variasi kadar pasir 50% dan kepadatan 40% yaitu sebesar 1,23 x 10-8 m3/detik, sedangkan resapan paling rendah pada variasi kadar pasir 0% dan kepadatan 80% yaitu sebesar 1,50 x 10-9 m3/detik. Gambar 5. berikut menunjukkan resapan meningkat pada variasi kadar pasir 50% dan kepadatan 40% yaitu sebesar 1,03 x 10-8 m3/detik, sedangkan resapan paling rendah pada variasi kadar pasir 0% dan kepadatan 80% yaitu sebesar 1,23 x 10-9 m3/detik. !
Gambar 5. Grafik hubungan resapan dan sand content tiap kepadatan pada intensitas curah hujan 450 mm/jam Gambar 6. berikut menunjukkan runoff meningkat pada variasi kadar pasir 0% dan kepadatan 80% yaitu sebesar 1,38 x 10-8 m3/detik, sedangkan run off paling rendah pada variasi kadar pasir 50% dan kepadatan 40% yaitu sebesar 1,33 x 10-10 m3/detik
Full Tema2.indb 268
24/10/2011 11:49:57
269
!
Gambar 6. Grafik hubungan runoff dan sand content tiap kepadatan pada intensitas curah hujan 120 mm/jam !
Gambar7. Grafik hubungan runoff dan sand content tiap kepadatan pada Intensitas curah hujan 275 mm/jam Gambar 7. di atas menunjukkan runoff meningkat pada variasi kadar pasir 0% dan kepadatan 80% yaitu sebesar 1,92 x 10-8 m3/detik, sedangkan runoff paling rendah pada variasi kadar pasir 50% dan kepadatan 40% yaitu sebesar 1,42 x 10-8 m3/detik. !
Gambar 8. Grafik hubungan runoff dan sand content tiap kepadatan pada Intensitas curah hujan 450 mm/jam
Full Tema2.indb 269
24/10/2011 11:49:57
270
Gambar 8. di atas menunjukkan runoff meningkat pada variasi kadar pasir 0% dan kepadatan 80% yaitu sebesar 3,75 x 10-8 m3/detik, sedangkan run off paling rendah pada variasi kadar pasir 50% dan kepadatan 40% yaitu sebesar 2,08 x 10-8 m3/detik. Dari pengujian karakteristik resapan, maka dapat diketahui hubungan antara resapan dengan jenis tanah (Sand Content) berbanding lurus yaitu semakin tinggi kadar pasir maka akan semakin besar resapan yang dihasilkan, sedangkan hubungan antara runoff dengan jenis tanah (sand content) berbanding terbalik yaitu semakin rendah kadar pasir maka runoff akan semakin tinggi. !
Gambar 9. Grafik hubungan resapan dan intensitas curah hujan pada kepadatan 40 % (D40) Gambar.9 di atas menunjukkan kepadatan 40%, resapan meningkat pada variasi intensitas curah hujan 120 mm/jam dan kadar pasir (sand content) 50% yaitu sebesar 1,47 x 10-8 m3/detik, sedangkan resapan paling rendah pada variasi intensitas curah hujan 450 mm/jam dan kadar pasir (sand content) 0% yaitu sebesar 2,67 x 10-9 m3/ detik. !
Gambar 10. Grafik hubungan resapan dan intensitas curah hujan pada kepadatan 60 % (D60)
Full Tema2.indb 270
24/10/2011 11:49:58
271
Gambar 10. di atas menunjukkan kepadatan 60%, resapan meningkat pada variasi intensitas curah hujan 120 mm/jam dan kadar pasir (sand content) 50% yaitu sebesar 6,50 x 10-9 m3/detik, sedangkan resapan paling rendah pada variasi intensitas curah hujan 450 mm/jam dan kadar pasir (sand content) 0% yaitu sebesar 1,50 x 10-9 m3/ detik. !
Gambar 11. Grafik hubungan resapan dan intensitas curah hujan pada kepadatan 80 % (D80) Gambar 11. di atas menunjukkan kepadatan 80% (0.98 gr/cm3), resapan meningkat pada variasi intensitas curah hujan 120 mm/jam dan kadar pasir (sand content) 50% yaitu sebesar 5,33 x 10-9 m3/detik, sedangkan resapan paling rendah pada variasi intensitas curah hujan 450 mm/jam dan kadar pasir (sand content) 0% yaitu sebesar 1,23 x 10-9 m3/detik. !
Gambar 12. Grafik hubungan runoff dan intensitas curah hujan tiap jenis tanah pada kepadatan 40% (D40) Gambar 12. di atas menunjukkan kepadatan 40% (0.49 gr/cm3), runoff meningkat pada variasi intensitas curah hujan 450 mm/jam dan kadar pasir (sand content) 0% yaitu sebesar 2,75 x 10-8 m3/detik, sedangkan run off paling rendah pada variasi intensitas curah hujan 120 mm/jam dan kadar pasir (sand content) 50% yaitu sebesar 1,33 x 10-10 m3/detik.
Full Tema2.indb 271
24/10/2011 11:49:58
272
!
Gambar 13. Grafik hubungan runoff dan intensitas curah hujan tiap jenis tanah pada kepadatan 60% (D60) Gambar 13 di atas menunjukkan kepadatan 60% (0.73 gr/cm3), runoff meningkat pada variasi intensitas curah hujan 450 mm/jam dan kadar pasir (sand content) 0% yaitu sebesar 2,92 x 10-9 m3/detik, sedangkan run off paling rendah pada variasi intensitas curah hujan 120 mm/jam dan kadar pasir (sand content) 50% yaitu sebesar 4,17 x 10-9 m3/detik. !
Gambar 14. Grafik hubungan runoff dan intensitas curah pada kepadatan 80% (D80)
hujan tiap jenis tanah
Gambar 14. di atas menunjukkan kepadatan 80% (0.98 gr/cm3), runoff meningkat pada variasi intensitas curah hujan 450 mm/jam dan kadar pasir (sand content) 0% yaitu sebesar 3,75 x 10-8 m3/detik, sedangkan runoff paling rendah pada variasi intensitas curah hujan 120 mm/jam dan kadar pasir (sand content) 50% yaitu sebesar 9,00 x 10-9 m3/detik. Dari pengujian karakteristik resapan, maka dapat diketahui hubungan antara resapan dengan intensitas curah hujan berbanding terbalik yaitu semakin tinggi intensitas curah hujan maka akan semakin kecil resapan yang dihasilkan, sedangkan hubungan antara runoff dengan intensitas curah hujan berbanding lurus yaitu semakin tinggi intensitas curah hujan maka run off akan semakin tinggi pula.
Full Tema2.indb 272
24/10/2011 11:49:59
273
!
Gambar 15. Grafik hubungan resapan dan kepadatan tiap variasi jenis tanah pada intensitas curah hujan 120 mm/jam Gambar 15. di atas menunjukkan intensitas curah hujan 120 mm/jam, resapan meningkat pada variasi kepadatan 40% (0,47 gr/cm3) dan kadar pasir (sand content) 50% yaitu sebesar 1,47 x 10-8 m3/detik, sedangkan resapan paling rendah pada variasi kepadatan 80% (0,98 gr/cm3) dan kadar pasir (sand content) 0% yaitu sebesar 2,33 x 10-9 m3/detik. !
Gambar 16. Grafik hubungan resapan dan kepadatan tiap variasi jenis tanah pada intensitas curah hujan 275 mm/jam Gambar 16. di atas menunjukkan intensitas curah hujan 275 mm/jam, resapan meningkat pada variasi kepadatan (density) 40% (0,47 gr/cm3) dan kadar pasir (sand content) 50% yaitu sebesar 1,23 x 10-8 m3/detik, sedangkan resapan paling rendah pada variasi kepadatan (density) 80% (0,98 gr/cm3) dan kadar pasir (sand content) 0% yaitu sebesar 1,50 x 10-9 m3/detik.
Full Tema2.indb 273
24/10/2011 11:49:59
274
!
Gambar 17. Grafik hubungan resapan dan kepadatan tiap variasi jenis tanah pada intensitas curah hujan 450 mm/jam
Gambar 17. di atas menunjukkan intensitas curah hujan 275 mm/jam, resapan meningkat pada variasi kepadatan (density) 40% (0,47 gr/cm3) dan kadar pasir (sand content) 50% yaitu sebesar 1,03 x 108 m3/detik, sedangkan resapan paling rendah pada variasi kepadatan (density) 80% (0,98 gr/cm3) dan kadar pasir (sand content) 0% yaitu sebesar 1,23 x 10-9 m3/detik. !
Gambar 18. Grafik hubungan runoff dan kepadatan tiap variasi jenis tanah pada intensitas curah hujan 120 mm/jam Gambar 18. di atas menunjukkan intensitas curah hujan 120 mm/jam, runoff meningkat pada variasi kepadatan (density) 80% (0,98 gr/cm3) dan kadar pasir (sand content) 0% yaitu sebesar 1,38 x 10-8 m3/detik, sedangkan run off paling rendah pada variasi kepadatan (density) 40% (0,47 gr/cm3) dan kadar pasir (sand content) 50% yaitu sebesar 1,33 x 10-10 m3/detik.
Full Tema2.indb 274
24/10/2011 11:49:59
275
!
Gambar 19. Grafik hubungan runoff dan kepadatan tiap variasi jenis tanah pada intensitas curah hujan 275 mm/jam Gambar 19. di atas menunjukkan intensitas curah hujan 275 mm/jam, runoff meningkat pada variasi kepadatan (density) 80% (0,98 gr/cm3) dan kadar pasir (sand content) 0% yaitu sebesar 1,92 x 10-8 m3/detik, sedangkan run off paling rendah pada variasi kepadatan (density) 40% (0,47 gr/cm3) dan kadar pasir (sand content) 50% yaitu sebesar 1,42 x 10-8 m3/detik. !
Gambar 20. Grafik hubungan runoff dan kepadatan tiap variasi jenis tanah pada intensitas curah hujan 450 mm/jam Gambar 20. di atas menunjukkan intensitas curah hujan 450 mm/jam, runoff meningkat pada variasi kepadatan (density) 80% (0,98 gr/cm3) dan kadar pasir (sand content) 0% yaitu sebesar 3,75 x 10-8 m3/detik, sedangkan run off paling rendah pada variasi kepadatan (density) 40% (0,47 gr/cm3) dan kadar pasir (sand content) 50% yaitu sebesar 2,08 x 10-8 m3/detik. Dari pengujian karakteristik resapan, maka dapat diketahui hubungan antara resapan (perkolasi) dengan kepadatan (density) berbanding terbalik yaitu semakin tinggi kepadatan (density) maka akan semakin kecil resapan yang dihasilkan, sedangkan hubungan antara runoff dengan kepadatan (density) berbanding lurus yaitu semakin tinggi kepadatan (density) maka runoff akan semakin tinggi pula.
Full Tema2.indb 275
24/10/2011 11:50:00
276
KeSIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan resapan dengan variasi intensitas, kepadatan dan jenis tanah di laboratorium, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Hubungan antara resapan dengan variasi intensitas adalah berbanding terbalik, dimana resapan akan meningkat jika intensitas yang diberikan menurun. Dimana dalam pengujian ini resapan maksimum terletak pada intensitas 120 mm/jam yaitu pada intensitas hujan rintik sedangkan resapan minimum terletak pada intensitas 450 mm/jam yaitu pada intensitas hujan lebat. 2. Hubungan antara resapan dengan variasi kepadatan adalah berbanding terbalik, dimana resapan akan meningkat jika intensitas yang diberikan menurun. Dimana dalam pengujian ini resapan maksimum terletak pada kepadatan 40% (0.49 gr/cm3) sedangkan resapan minimum terletak kepadatan 80% (0.98 gr/ cm3) 3. Hubungan antara resapan dengan variasi gradasi tanah adalah berbanding lurus, dimana resapan akan meningkat jika sand content yang diberikan pada tanah ditambahkan. Dimana dalam pengujian ini resapan maksimum terletak pada penambahan sand content 50% sedangkan resapan minimum terletak penambahan 0%. 4. Melalui pengujian ini diperoleh hubungan antara resapan dengan variasi intensitas curah hujan, kepadatan dan gradasi tanah yang paling baik adalah 1.47x10-8 m3/detik yaitu pada intensitas hujan rintik (120 mm/jam), kepadatan 40% (0.49 gr/cm3) dan penambahan send content 50%. Sedangkan untuk resapan yang paling buruk adalah 1.23x10-9 m3/detik yaitu pada intensitas hujan deras (450 mm/jam), kepadatan 80% (0.98 gr/cm3) dan penambahan sand content 0%. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih diucapkan kepada Pengurus dan Sekretariat HATHI Pusat, Pengurus dan Sekretariat HATHI Cabang Sulawesi Selatan, Ketua Program S3 Teknik Sipil Unhas dan Panitia PIT Ambon. DAFTAR PUSTAKA Arsyad, S, 1976. Pengawetan Tanah dan Air, Akademika Pressindo, Jakarta. Asdak, Chay, 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Edisi III,Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Bunga, Elifas., (2002), Studi Kapasitas Infiltrasi Melalui Percobaan Laboratorium, Thesis, Fakultas Teknik Pascasarjana, Universitas Hasanuddin, Makassar. Syahrir, Suryani, (2008), Kajian Eksperimental limpasan permukaan pada tanah lempung plastisitas tinggi, Thesis, Fakultas Teknik Pascasarjana, Universitas Hasanuddin, Makassar. Wesley, LD.1997.Mekanika Tanah .Badan Penerbit Pekerjaan Umum. Jakarta.
Full Tema2.indb 276
24/10/2011 11:50:00
277
Hardyatmo, Hary Crhistiady.2002, Mekanika Tanah 1 Edisi Ketiga, UGM Press. Yogyakarta Sugiarto, (2008), Studi ����������������������������������������������������������� Pengaruh Intensitas Hujan Dan Tingkat Kepadatan Terhadap Laju Erosi Pada Tanah Lempung Plastisitas Rendah, Thesis, Fakultas Teknik Pascasarjana, Universitas Hasanuddin, Makassar. Bowles,J.E. 2004, Sifat-sifat Fisis dan Geoteknis Tanah, Penerbit Erlangga, Jakarta. Craig, R. F., 1989. Mekanika Tanah , Erlangga, Jakarta. G.Djatmiko S,,1993. Mekanika Tanah1 , Penerbit Kanisius , Yogyakarta. M.Das,Braja,1993. Mekanika Tanah (Prinsip-prinsip Rekayasa Geoteknis),Erlangga, Jakarta. Soewarno, 1991. Hidrologi Pengukuran dan Pengolahan Data Aliran Sungai (Hidrometri), Nova, Bandung. Suripin, 2002. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air, Andi, Yogyakarta. Sri Harto, B. R., 1989, Audio Visual Infiltrasi, Pusat Antar Universitas, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Anonim, 1992, Instruction Manual Rainfall Simulator, Armfield Ltd., Hampshire, London. Faisal, U., (2002), Evaluasi Pengaruh Intensitas Hujan dan Kemiringan Lereng Terhadap Jumlah Erosi, Tesis Fakultas Teknik Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar. Nawawi, M. R., (2003), Studi Besarnya Kapasitas Infiltrasi Air Hujan Pada Berbagai Tingkat Kepadatan Tanah, Tesis Fakultas Teknik, Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Makassar. Das, Braja M,.Endah, Noor. Dan Mochtar, Indrasurya B.1988, Mekanika Tanah (Prinsip-Prinsip Rekayasa Goeteknik)-Jilid I, Erlangga Jakarta. Das, Braja M,.Endah, Noor. Dan Mochtar, Indrasurya B.1988, Mekanika Tanah (Prinsip-Prinsip Rekayasa Goeteknik)-Jilid II, Erlangga Jakarta. Hardyatmo, Hary Crhistiady.2002, Mekanika Tanah 2 Edisi Kedua, UGM Press. Yogyakarta Faisal, Sulvyah, (2008), Studi Limpasan Permukaan Pada Tanah Lempung Plastisitas Rendah Dengan Percobaan Laboratorium, Thesis, Fakultas Teknik Pascasarjana, Universitas Hasanuddin, Makassar. Khasanah, Nur, Lusiana B., dkk, (2004), Simulasi Limpasan Permukaan dan Kehilangan Tanah Pada Berbagai Umur Kebun Kopi: Studi Kasus di Sumberjaya Lampung Barat, Jurnal World Agroforestry Centre, Bogor.
Full Tema2.indb 277
24/10/2011 11:50:00
Dampak Peningkatan Badai Tropis Terhadap Erosi Pantai Di Pulau Bali D. M. Sulaiman1), R. W. Triweko2), D. Yudianto3) 1
Ph.D Student, Civil Engineering Graduate Program, 2 Professor, Civil Engineering Graduate Program 3 Lecture, Civil Engineering Graduate Program
Parahyangan Catholic University Jalan Merdeka 30 Bandung 40117 INDONESIA
[email protected],
[email protected],
[email protected]
Intisari Peningkatan suhu udara, muka air laut, dan daratan, telah menyebabkan pemuaian air laut dan mencairnya salju abadi yang memberikan kontribusi pada naiknya paras laut secara global. Kenaikan paras laut erat kaitannya dengan terjadinya erosi pantai. Permukaan air yang lebih tinggi menyebabkan garis pantai berpindah ke arah darat dan memungkinkan gelombang menghempas lebih keras dan membawa sedimen ke arah laut. Kenaikan suhu permukaan laut telah terjadi di seluruh lintang dan lautan dan merupakan pra-kondisi terjadinya siklon tropis dan naiknya paras laut ekstrem. Kenaikan paras laut ekstrem yang terjadi di perairan pantai Indonesia, merupakan imbas dari badai tropis yang terjadi di lintang menengah. Badai tropis ini berkecepatan tinggi dan mampu menaikkan paras laut sesaat dan membangkitkan gelombang besar yang menimbulkan berbagai kerusakan di daerah pantai, seperti erosi pantai dan banjir di dataran rendah pantai. Lonjakan tajam daerah pantai yang tererosi di Pulau Bali, dari 70,33 km pada 2001 menjadi 181,7 km pada 2010, atau meningkat sekitar 2, 5 kali lipat, mengindikasikan adanya peningkatan daya rusak dan gaya-gaya alam yang bekerja terhadap perubahan garis pantai di sepanjang Pulau Bali. Meningkatnya frekuensi kejadian dan intensitas badai tropis, terutama dalam periode 2001-2009. merupakan bukti ilmiah makin kuatnya intensitas badai tropis sebagai dampak langsung dari pemanasan global. Badai yang tumbuh dan berkembang di Australia dan bergerak ke Samudera Hindia Selatan telah berimbas pada kenaikan paras laut di perairan Indonesia, khususnya daerah pantai Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara bagian Selatan. Terdapat kaitan erat antara data erosi pantai di Pulau Bali yang melonjak tajam dengan frekuensi kejadian badai tropis. Meningkatnya erosi pantai di pulau Bali pada periode 2001-2009 disimpulkan sebagai dampak langsung dari meningkatnya frekuensi kejadian dan intensitas gelombang badai dalam periode 2001-2009 tersebut. Naiknya paras laut sesaat yang timbul oleh terjadinya gelombang badai, telah memicu dan sekaligus memperparah lokasi erosi pantai di sepanjang pulau Bali Kata kunci : pemanasan global, badai tropis, kenaikan paras laut ekstrem, erosi pantai, Pulau Bali 278
Full Tema2.indb 278
24/10/2011 11:50:00
279
1. Pendahuluan Pemanasan global pada dasarnya merupakan fenomena meningkatnya suhu udara, dan muka air laut. Fenomena tersebut timbul sebagai dampak dari kegiatan manusia terkait peningkatan konsentrasi gas rumah kaca yang melebihi ambang batas. Konsentrasi gas rumah kaca di lapisan atmosfer ini menghambat radiasi yang dipantulkan bumi, sehingga radiasi terakumulasi di atmosfer yang mengakibatkan suhu rata-rata di seluruh permukaan bumi dan laut meningkat. Dalam kurun waktu 100 tahun terakhir, suhu rata-rata bumi meningkat sekitar 5°C, laju kenaikan suhu ini mencapai rekor tertinggi dalam 10 tahun terakhir. Peningkatan suhu permukaan bumi telah menyebabkan pemuaian air laut dan mencairnya salju abadi yang memberikan kontribusi pada naiknya paras laut secara global. Kenaikan paras laut global telah mencapai 20-25 cm dalam kurun waktu 100 tahun terakhir (IPCC, 2001). Proyeksi ke depan menunjukkan bahwa skenario terburuk pada tahun 2100, kenaikan paras laut rata-rata mencapai 95 cm (IPCC, 2007). Namun demikian, beberapa penelitian menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan paras laut jauh lebih cepat dibandingkan proyeksi tersebut (Abuoda dan Woodroffe, 2006). Hal ini terutama disebabkan belum adanya upaya-upaya serius dan komitmen yang kuat dari masyarakat dunia untuk menangani masalah pemanasan global (Kaiser, 2007). Penulisan makalah ini bertujuan (1) menguraikan kaitan antara meningkatnya erosi pantai di Pulau Bali yang naik tajam dalam periode 2001-2010 dengan kejadian badai tropis dan kenaikan paras laut ekstrem karena badai (storm surge) sampai tahun 2008; dan (2) menguraikan pentingnya pemahaman yang lebih baik dampak perubahan iklim terhadap daerah pantai dalam upaya mengantisipasi dan menyiapkan pengelolaan daerah pantai di masa mendatang. 2. Tinjauan Pustaka 2.1 Skenario Kenaikan Paras Laut Global Kenaikan paras laut (KPL) global merupakan salah satu dampak perubahan iklim yang mempengaruhi manusia secara langsung (Nicholls, 2007; Church dkk., 2001; IPCC, 2007). Sementara dampak imbuhan dan perlunya upaya adaptasi tertuju kepada daerah pantai, tempat di mana jumlah penduduk paling padat, ekosistem penting dan produktif yang rentan terhadap perubahan paras laut (Nicholls dkk., 2007; Dasgupta dkk., 2007). Selama abad ke-20, kenaikan paras laut global terjadi pada laju 1,7 mm per tahun (17 cm per 100 tahun). Pada periode ini terjadi lonjakan kenaikan yang berarti (Church dan White, 2006), dari 1993 sampai akhir 2006, pengamatan paras laut di daerah antara 65° LS dan 65° LU, mengindikasikan kenaikan paras laut global pada 3,1 ± 0,4 mm per tahun, atau 31 cm per 100 tahun (Nicholls, 2007). 2.2 Kenaikan Paras Laut di Indonesia Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang rentan terhadap dampak kenaikan paras laut. Tingkat kerentanan tersebut makin diperparah dengan jumlah penduduk yang tinggal di daerah pantai, yaitu sekitar 60 persen populasi penduduk
Full Tema2.indb 279
24/10/2011 11:50:00
280
Indonesia tinggal di dalam radius 50 km garis pantai (Idris, 2002). Kenaikan paras laut di Indonesia rata-rata 5-10 mm per tahun (MMAF, 2009). Meskipun kenaikan paras laut tersebut relatif kecil, tetapi untuk rentang waktu yang panjang laju kenaikan tersebut sangat berarti dan akan menimbulkan dampak serius terhadap kerusakan pantai. Dengan asumsi tidak ada upaya adaptasi dan tidak terjadi perubahan populasi penduduk, maka skenario kenaikan paras laut setinggi 1 m, dalam rentang waktu 100 tahun ke depan, akan menyebabkan erosi dan mundurnya garis pantai sejauh 50 m (IPCC, 2007). Erosi pantai sebesar itu, akan mengakibatkan berkurangnya luas wilayah pantai Indonesia sekitar 4.759 ha per tahun, dan jutaan penduduk harus mengungsi ke tempat yang lebih tinggi (MMAF, 2009). 2.3 Erosi Pantai dan Kenaikan Paras Laut Salah satu penyebab hilangnya daratan pantai karena kenaikan paras laut adalah meningkatnya erosi pantai. Erosi pantai merupakan proses mundurnya pantai dari kedudukan semula yang disebabkan oleh tidak adanya keseimbangan antara pasokan dan kapasitas angkutan sedimen (CEM, 2003). Proses erosi pantai sangat dipengaruhi oleh jenis pantai, morfologi, dan iklim gelombang. Erosi pantai disebabkan oleh beberapa faktor yang berlainan ( CEM, 2003), yaitu (1) sifat daratan pantai yang masih muda dan belum seimbang, dimana sumber sedimen yang datang lebih kecil dari sedimen yang hilang; (2) penurunan permukaan tanah (land-subsidence); (3) adanya angkutan sedimen ke daerah lepas pantai; (4) perubahan iklim gelombang; dan (5) kenaikan paras laut global. Selain penyebab yang bersifat alami, penyebab erosi pantai juga bisa bersifat buatan atau artificial, dimana pengaruh manusia lebih dominan (Puslitbang Pengairan, 1992). Penyebab buatan terdiri atas (1) pengaruh bangunan pantai yang menjorok ke laut; (2) penambangan material pantai dan sungai; (3) pemindahan muara sungai; (4) pencemaran perairan pantai; (5) pengaruh pembuatan waduk di hulu; dan (6) perusakan oleh bencana alam. Pada umumnya penyebab kerusakan pantai merupakan gabungan dari beberapa faktor di atas. 2.4 Erosi Pantai Karena Gelombang Badai Storm surge yang terjadi di perairan pantai Indonesia merupakan imbas dari badai tropis yang terjadi di lintang menengah (Suryantoro, 2009). Tingkat risiko meningkatnya storm surge sebanding dengan naiknya paras laut (Ozyurt dkk, 2008). Besar kecilnya naiknya paras laut ekstrem setidaknya dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu: (1) kecepatan angin bertiup, (2) lama angin bertiup atau durasi angin, dan (3) jarak seret angin atau fetch (CEM, 2003). Berdasarkan ketiga faktor itu, maka gelombang besar yang terbentuk adalah gelombang yang tumbuh dan dibangkitkan di lepas pantai disertai kecepatan angin yang kencang dan durasi cukup lama. Untuk perairan Jawa Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur, badai tropis yang tumbuh di Samudera Selatan di sekitar barat laut Australia, akan membangkitkan gelombang besar di perairan Indonesia, terutama di perairan pantai Jawa Selatan, Bali dan Indonesia bagian Timur lainnya. Karena itu, pantai selatan Indonesia sering dihantam badai, sekaligus storm surge yang sangat besar yang memberikan dampak kerusakan pantai yang lebih parah.
Full Tema2.indb 280
24/10/2011 11:50:00
281
3. Analisis dan Studi Kasus 3.1 Kejadian Gelombang Badai di Perairan Bali Kejadian badai di wilayah Indonesia, untuk daerah sebelah selatan ekuator aktivitas setiap tahunnya mulai pada September dan berakhir pada April tahun berikutnya. Daerah Sumatera bagian selatan, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara merupakan wilayah yang mengalami imbas badai yang berkembang di perairan barat laut Australia seperti yang terjadi dengan badai tropis Fiona. Wilayah Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi bagian selatan, Maluku Selatan, dan Papua bagian selatan harus memberi perhatian terhadap badai yang terjadi di perairan utara- timur Australia, seperti yang terjadi dengan badai tropis Craig (Purwantara, 2010). Dalam rentang waktu 40 tahun, dari 1969-2008, siklon tropis yang terjadi di Samudera Hindia bagian selatan menunjukkan intensitas yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. yang ditunjukkan dengan meningkatnya frekuensi siklon tropis kategori 4 dan 5, dan perairan Australia merupakan daerah yang paling sering dilewati siklon tropis. Kategori badai berdasarkan skala Saffir-Simpson mengelompokkan badai dalam 5 kategori, dimana kategori 4 dan kategori 5 menunjukkan kelas badai dengan kecepatan angin lebih dari 100 km/jam. Berdasarkan kajian kejadian badai tropis di Samudera Hindia Selatan dalam kurun waktu 40 tahun dari 1969-2008, tercatat sebanyak 629 kejadian badai tropis atau sekitar 15 kali kejadian setiap tahunnya (Anugrah, 2011). Badai tropis di Samudera Hindia Selatan, dalam satu tahunnya terjadi hampir setiap bulan. Pertumbuhannya terjadi dalam periode September- Maret, mulai meningkat pada Bulan Oktober dan mencapai puncak pada Bulan Januari dan mulai melemah di Bulan Maret ( Zakir dan Khotimah, 2008). Dari segi intensitas atau kekuatan badai tropis, yang dikelompokkan ke dalam skala Saffir-Simpson, dalam rentang waktu 40 tahun menunjukkan kenaikan yang signifikan dari tahun ke tahun. Kenaikan tersebut ditunjukkan dengan semakin banyaknya badai tropis kategori 4 dan kategori 5 (Anugrah, 2011), seperti diperlihatkan dalam Gambar 1. Kejadian meningkatnya intensitas badai tropis di Samudera Hindia Selatan yang berimbas pada kenaikan paras laut di perairan Indonesia, khususnya daerah Bali dan Jawa bagian Selatan, merupakan bukti ilmiah dan sejalan dengan kesimpulan yang dikemukakan Dasgupta dkk (2007) bahwa makin kuatnya intensitas badai tropis sebagai dampak langsung dari pemanasan global. 3.2 Kerusakan Pantai di Pulau Bali Erosi pantai di Pulau Bali timbul karena faktor campur tangan manusia dan faktor alam. Faktor campur tangan manusia berupa penambangan material pantai ( terumbu karang dan pasir laut) dan pembangunan krib yang dilaksanakan pemilik hotel secara sendiri-sendiri di tiap ruas pantai tanpa pertimbangan teknis dan koordinasi dengan instansi terkait. Sedangkan faktor alam berupa pengaruh gelombang dan arus yang dipicu oleh meningkatnya paras laut sebagai dampak dari perubahan iklim.
Full Tema2.indb 281
24/10/2011 11:50:00
282
Gambar 1. Intensitas siklon tropis di Samudera Hindia Selatan (Anugrah, 2011) Penambangan terumbu karang terjadi pada tahun 1960-an pada saat kepariwisataan mulai berkembang dan digunakan sebagai bahan bangunan (JICA, 1989). Meskipun sekarang telah dilarang, namun terumbu karang yang ada sebagian besar telah rusak dan tidak efektif lagi meredam energi gelombang yang menghempas pantai. Eksploitasi terumbu karang di areal sekitar Sanur, Nusa Dua, dan Kuta beberapa waktu yang lalu, menyebabkan berkurangnya suplai sedimen ke pantai, sehingga terjadi ketidakseimbangan pasokan sedimen. Selain itu, hilangnya terumbu karang juga menyebabkan energi gelombang yang datang ke pantai menjadi lebih besar, karena bertambahnya kedalaman muka air di dataran karang. Penambangan pasir lepas pantai dapat menyebabkan terjadinya perubahan pengangkutan sedimen di pantai. Angkutan sedimen akan terperangkap di lubang galian yang menyebabkan berkurangnya sedimen yang menuju pantai yang pada akhirnya menyebabkan perubahan keseimbangan pasokan sedimen ke pantai. Tabel 1. Data erosi pantai di Pulau Bali 1990-2001 No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Kab./Kota Buleleng Jembrana Tabanan Badung Denpasar Gianyar Klungkung Karangasem Total
Panjang (km)
Tererosi (km)
121,180 67,350 28,660 80,050 16,000 12,560 40,200 71,700 437,700
20,450 5,000 6,500 11,560 8,220 5,000 7,600 6,000 70,33
Tertangani (km) 12,393 1,060 3,815 1,811 2,511 1,234 3,826 4,200 29,930
Anggaran (M. Rp.) 16,236 2,469 71,965 0,936 3,313 1,679 5,521 4,366 106,486
Sumber : BBCP (2001)
Dalam perkembangan kegiatan pariwisata selanjutnya, yaitu pada tahun 19701980, kerusakan pantai juga disebabkan oleh pembangunan krib oleh para pemilik hotel. Untuk melindungi pantainya yang terus berkurang, para pemilik hotel secara sendiri-sendiri, tanpa berkonsultasi dengan instansi teknis terkait, membangun krib tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap pantai sekitarnya (Sulaiman dkk, 2003). Pantai sekitar yang terkena dampak, selanjutnya melakukan hal yang sama,
Full Tema2.indb 282
24/10/2011 11:50:01
283
sehingga akibatnya seluruh pantai menjadi rusak tak terkendali. Kejadian ini tidak lepas dari longgarnya pengawasan dan belum adanya aturan perijinan dari instansi teknis terkait. 3.3 Kecenderungan Erosi Pantai Provinsi Bali terdiri dari 9 Kabupaten/Kota, 8 Kabupaten/Kota di antaranya memiliki daerah pantai dengan panjang pantai yang bervariasi (Tabel 1). Kabupaten Bangli merupakan satu-satunya Kabupaten yang tidak memiliki daerah pantai) dan terletak di pedalaman Pulau Bali. Berdasarkan data kerusakan pantai 1990-2001, panjang pantai pulau Bali yang tererosi adalah 70,33 km atau sekitar 16 % dari total panjang pantai di Pulau Bali (Tabel 1). Persentase kerusakan pantai tersebut lebih mencerminkan kerusakan pantai yang diakibatkan oleh faktor campur tangan manusia yang dilakukan dalam rentang waktu sampai tahun 2001. Mulai tahun 2002, Departemen Pekerjaan Umum telah melakukan upaya perlindungan pantai secara menyeluruh di seluruh Pulau Bali. Penanganan erosi pantai tidak hanya terfokus di Bali Selatan seperti pantai Sanur, Nusa Dua, Tanah Lot, dan pantai Kuta, tetapi di 8 Kabupaten/Kota yang ada di Bali. Upaya pengamanan pantai ini menghasilkan panjang pantai yang tertangani melonjak dari 29,93 km pada tahun 2001, menjadi 81,5 km pada akhir tahun 2009 (lihat Tabel 2). Peningkatan erosi pantai terjadi di seluruh Kabupaten/Kota yang ada di Pulau Bali, kecuali Kabupaten Gianyar yang mengalami penurunan dari 5 km pada periode 1990-2001 menjadi 3,65 km pada periode 2001-2010. Persentase kenaikan pantai tererosi paling tinggi dialami Kabupaten Karangasem (580 %), disusul Kabupaten Jembrana (394 %), Kabupaten Buleleng (268 %), Kabupaten Klungkung (247 %), Kabupaten Badung (235 %), Tabanan (196 %), dan Kota Denpasar (123 %) seperti ditunjukkan pada Tabel 3. Buleleng dan sebagian Karangasem (lihat Gambar 2) merupakan kabupaten yang terletak di pantai utara yang tidak terkena imbas langsung dari gelombang badai yang terjadi diSamudera Hindia bagian selatan. Kerusakan pantai yang terjadi di kedua kabupaten pantai Utara Bali tersebut ditimbulkan oleh gelombang badai sebagai imbas dari badai tropis yang terbentuk di Samudera Pasifik (Purwantara, 2010) seperti dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2. Sedangkan enam kabupaten/kota lainnya terdapat di pantai selatan yang mendapatkan pengaruh langsung dari kondisi gelombang Samudera Hindia bagian Selatan. Kerusakan pantai tidak hanya terjadi pada pantai alami yang belum tertangani, tetapi juga terjadi pada pantai yang telah direhabilitasi, seperti di Pantai Sanur dan Pantai Nusa Dua. Berdasar hasil pemantauan perubahan garis pantai pasca pengisian pasir, dari 2004-2007, garis pantai Sanur mundur 1,28 m/tahun atau terjadi penyusutan pasir sebanyak 15,52 % (Sulaiman, 2008b). Perubahan garis pantai yang cenderung mundur dari posisi awal, terjadi juga di sepanjang Pantai Nusa Dua. Hasil pemantauan dalam rentang waktu empat tahun, dari 2004-2007, Pantai Nusa Dua mengalami erosi dengan laju 3,23 m/tahun dan pasir yang hilang sebanyak 11,42 % (Sulaiman, 2008a).
Full Tema2.indb 283
24/10/2011 11:50:01
284
Gambar 2. Peta Pulau Bali Tabel 2. Data Erosi Pantai di Pulau Bali 2001 s/d 2009 No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Kab./Kota Buleleng Jembrana Tabanan Badung Denpasar Gianyar Klungkung Karangasem Total
Panjang (km) 121,180 67,350 28,660 80,050 16,000 12,560 40,200 71,700 437,700
Tererosi (km) 54,830 19,700 12,760 27,160 10,000 3,650 18,800 34,800 181,700
Tertangani (km) 22,265 6,050 4,300 25,468 8,532 0,500 5,600 8,785 81,500
Anggaran (M. Rp.) 59,472 6,724 104,346 476,061 161,346 5,992 18,344 5,507 837,726
Sumber : BBCP (2001) dan BWS Bali-Penida (2010)
3.4 Penanganan Erosi Pantai Permasalahan pantai di Indonesia, tersebar secara nasional, sementara kemampuan anggaran pemerintah sangat terbatas. Karena itu, dibuat skala prioritas penanganan kerusakan pantai yang berdasar pada bobot tingkat kerusakan dan bobot tingkat kepentingan (DPU, 2010). Dalam periode 10 tahun terakhir terjadi peningkatan penanganan. Pada tahun 2001, garis pantai yang tertangani sepanjang 29,93 km, meningkat menjadi 81,5 km pada tahun 2010. Lokasi pantai di Bali Selatan, seperti Kabupaten Badung dan Kota Denpasar, memiliki bobot tingkat kepentingan tinggi, karena berfungsi sebagai pantai wisata yang mendatangkan devisa. Kabupatenkabupaten tersebut merupakan tempat dimana terdapat pantai Kuta, Sanur, dan Nusa Dua. Demikian pula Kabupaten Tabanan, dimana Pura Tanah Lot berada memiliki bobot tingkat kepentingan berskala nasional, berfungsi sebagai tempat ibadah sekaligus tujuan wisata. Sementara Kabupaten Buleleng, yang merupakan kabupaten dengan garis pantai terpanjang, dari 54,83 km panjang pantai yang tererosi, sepanjang 22,265 km atau 41 % telah ditangani. Pada sisi lain, Kabupaten Gianyar merupakan kabupaten yang penanganan pantainya paling rendah, hanya 500 m tertangani
Full Tema2.indb 284
24/10/2011 11:50:01
285
dari 3,65 km panjang pantai yang terosi. Kabupaten lainnya, seperti Jembrana, Klungkung, dan Karangasem penanganan pantainya hanya sekitar 30 % dari panjang pantai tererosi (Tabel 3). Perbedaan porsi penanganan untuk masing-masing kabupaten/kota cenderung lebih banyak didasarkan atas pertimbangan bobot tingkat kepentingannya dari pada pertimbangan bobot tingkat kerusakannya. Tabel 3. Perbandingan Panjang Pantai Tertangani di Pulau Bali Tahun 2001 dan 2010 No.
Kab./Kota
1 2 3 4 5 6 7 8
Buleleng Jembrana Tabanan Badung Denpasar Gianyar Klungkung Karangasem Total
Tahun 2001
Tahun 2010
Tererosi Tertangani % Tererosi Tertangani % (km) (km) Penanganan (km) (km) Penanganan
20,450 5,000 6,500 11,560 8,220 5,000 7,600 6,000 70,33
12,393 1,060 3,815 1,811 2,511 1,234 3,826 4,200 29,930
61 21 59 16 31 24 50 70
54,830 19,700 12,760 27,160 10,000 3,650 18,800 34,800 181,700
22,265 6,050 4,300 25,468 8,532 0,500 5,600 8,785 81,500
41 31 34 94 85 14 30 25
Sumber : BBCP (2001) dan BWS Bali-Penida (2010)
4. Pembahasan Pemanasan global telah berdampak pada meningkatnya frekuensi kejadian dan intensitas badai tropis, yang membangkitkan naiknya paras laut ekstrem dan makin besarnya gelombang yang menghempas pantai-pantai di Pulau Bali. Naiknya paras laut sesaat yang timbul oleh terjadinya gelombang badai, telah memicu dan sekaligus memperparah lokasi erosi di sepanjang pantai pulau Bali Karena itu, meningkatnya erosi pantai di Pulau Bali dari 2001-2009 dapat disimpulkan sebagai dampak langsung dari meningkatnya frekuensi kejadian dan intensitas gelombang badai dalam periode 2001-2009 tersebut. Daerah pantai yang potensial dan berpeluang terkena erosi, menjadi terkikis dan daerah pantai yang semula tidak mengalami erosi, mulai tererosi secara perlahan dan pantai yang sebelumnya tererosi akan lebih parah erosinya. Lonjakan penanganan pantai yang tererosi ini, seharusnya mampu mengurangi persentase atau total panjang pantai yang tererosi. Namun, berdasarkan hasil identifikasi Balai Wilayah Sungai Bali-Penida Tahun 2010, justru panjang pantai yang terosi dalam rentang 2001-2009 tersebut melonjak tajam dari 70,33 Km pada Tahun 2001 menjadi 181,7 Km pada Tahun 2010 (lihat Tabel 4). Meningkatnya erosi pantai, lebih dari 2,5 kali lipat dalam rentang 10 tahun tersebut, mengindikasikan terjadinya peningkatan gaya-gaya alam yang bekerja pada perubahan garis pantai sepanjang Pulau Bali. Faktor alam ini berupa meningkatnya frekuensi badai dan gelombang pasang yang membangkitkan gelombang ekstrem dengan tinggi gelombang yang besar, sehingga daya kikis terhadap pantai makin besar pula dan arus menyusur pantai yang ditimbulkan gelombang ekstrem tersebut mengangkut volume pasir lebih besar dari periode sebelumnya.
Full Tema2.indb 285
24/10/2011 11:50:01
286
Tabel 4 Perbandingan panjang pantai tererosi di P.Bali 2001 dan 2010 No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Kab./Kota Buleleng Jembrana Tabanan Badung Denpasar Gianyar Klungkung Karangasem Total
Panjang (km) 121,180 67,350 28,660 80,050 16,000 12,560 40,200 71,700 437,700
Pantai Tererosi (km) 2001 2010 % Kenaikan 20,450 54,830 268 5,000 19,700 394 6,500 12,760 196 11,56 27,160 235 8,220 10,000 123 5,000 3,650 73 7,600 18,800 247 6,000 34,800 580 70,33 181,700
Sumber : BBCP (2001) dan BWS Bali-Penida (2010)
Kesimpulan 1. Kenaikan paras laut sebagai dampak pemanasan global dan perubahan iklim, akan memicu erosi pantai. Permukaan air yang lebih tinggi menyebabkan garis pantai berpindah ke arah darat dan memungkinkan gelombang menghempas lebih keras dan membawa sedimen ke arah laut 2. Kenaikan paras laut ekstrem sesaat atau storm surge dibangkitkan badai tropis memberikan dampak parah terhadap erosi di sepanjang pantai. Tingkat kerusakannya akan lebih parah apabila kejadian badai tersebut berbarengan dengan fenomena pasang surut ekstrem. 3. Badai tropis di Samudera Hindia Selatan yang tumbuh di Australia dan berimbas pada perairan pantai di wilayah Indonesia Selatan dalam periode 2001 -2008, merupakan faktor alami terjadinya erosi pantai di sepanjang Pulau Bali dalam periode tersebut. 4. Erosi pantai di Pulau Bali timbul karena faktor campur tangan manusia dan faktor alam. Faktor yang ditimbulkan badai tropis pada periode 2001-2009, menunjukkan dampak yang lebih parah. Lonjakan erosi pantai di sepanjang Pulau Bali dari 70,33 km menjadi 181,7 km dalam rentang waktu 2001-2009, mengindikasikan terjadinya peningkatan gaya-gaya alam yaitu meningkatnya frekuensi dan intensitas badai tropis dalam periode tersebut. 5. Perubahan garis pantai dan kecenderungan terkikisnya pasir isian yang terjadi di pantai-pantai yang telah dilakukan penanggulangan, mengindikasikan terjadinya peningkatan hempasan gelombang yang lebih besar dan membawa pasir ke lepas pantai. Karena itu, kerusakan pantai tidak hanya terjadi pada pantai alami yang belum tertangani, tetapi juga terjadi pada pantai yang telah direhabilitasi seperti di pantai Sanur dan pantai Nusa Dua.
Full Tema2.indb 286
24/10/2011 11:50:01
287
Ucapan Terima Kasih. Penulis sangat berterima kasih baik kepada perorangan maupun instansi atas data, informasi, dan bahan-bahan sehingga tulisan ini bisa tersusun. Terima kasih ini penulis haturkan kepada Prof. Safwan Hadi, Ph.D, atas masukannya dalam penulisan makalah ini. Terima kasih juga disampaikan kepada kolega di Balai Wilayah Sungai Bali-Penida dan Perpustakaan Program Sains Kebumian, Institut Teknologi Bandung atas data dan informasinya, dan semua pihak yang telah membantu dalam penyediaan data yang berharga ini. Daftar Pustaka Aboudha, P.A.O. dan C.D.Woodroffe, 2010. “Assessing vulnerability to sea-level rise using a coastal sensitivity index : a case study from southeast Australia”. J.Coast Conserv 14:189-205. Springer.Science+ Bussiness Media. Published online. Anugrah, S.D., 2011. “Analisis Respon Muka Air Laut Akibat Siklon Tropis Februari-Maret 2008 di Samudera Hindia Bagian Selatan ( Stusi Kasus: Benoa, Prigi, Cilacap, dan Padang)”, Tesis Magister, Program Studi Magister Sains Kebumian, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung. Balai Wilayah Sungai Bali-Penida, 2010. “Penanganan Erosi Pantai di Pulau Bali sampai Tahun 2009”, Ditjen Sumber Daya Air, Denpasar. Bali Beach Conservation Project, 2001. “Project Evaluation 1990-2001”, Directorate General Water Resources, Ministry of Public Works, Jakarta. Church, J.A., N.J. White, dan J.R. Hunter, 2006. “Sea-level rise at tropical Pacific and Indian Ocean islands”. Global Planet. Change, 53, 155–168. Coastal Engineering Manual, 2003. “Coastal Morphodynamics”. Chapter IV Part 3. US Army Corp of Engineer. Dasgupta, S., B. Laplante, C. Meisner, D. Wheeler, dan J. Yan, 2007. “The impact of sea level rise on developing countries: A comparative analysis”. World Bank Research Working Paper 4136, World Bank, Washington DC, 51pp. Departemen Pekerjaan Umum, 2010. Pedoman Penilaian Kerusakan Pantai dan Prioritas Penanganannya. Sub-Pantek Sumber Daya Air. Gornitz, V., 1991. Global coastal hazards from future sea level rise. Palaeogeography, Palaeoclimatology, Palaeoecology, vol 89, pp 379-398. IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), Climate Change 2007. The Physical Science Basis. Summary for Policy Makers, Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Paris, February 2007. http://www.ipcc.ch/, 2007. Idris, I., 2002. Pokok-Pokok Pikiran Naskah Akademik dan Rancangan Undang Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir, Departemen Kelautan dan Perikanan, Presentasi ke pada Lembaga Sumber daya Masyarakat (LSM). Hotel Millenium, Jakarta
Full Tema2.indb 287
24/10/2011 11:50:01
288
JICA, 1989. The Feasibility Study on The Urgent Bali Beach Conservation Project, Final Report, Jakarta. Kaiser, C., 2007. Coastal Vulnerability to Climate Change dan Natural Hazards. Forum DKKV/CEDIM: Disaster Reduction in Climate Change. Karlsruhe University, Kiel. Ministry of Marine Affairs dan Fisheries (MMAF), 2009. Adaptation and Mitigation Measures in Coastal and Small Islands. Directorate General of Marine, Coast, and Small Island Affairs, in cooperation with Japan International Cooperation Agency (JICA), Jakarta. Nicholls, R.J., 2007. Adaptation option for Coastal Areas and Infrastructures: An Analysis for 2030, Report to the UNFCCC, Bonn Ozyurt, G., Ergin, A., dan Esen, M., 2008. Indicator Based Vulnerability Assessment Model to Sea Level Rise. Proceedings of 7 th Coastal and Port Engineering in Developing Countries, Dubai, UAE. Purwantara, S., 2010. Kaitan Fenomena El- Nino Dengan Badai dan Gelombang Pasang, Puslitbang Pengairan, 1992. Kerusakan Pantai dan Muara di Indonesia. No.02.00.104-HAB, Bandung Sulaiman, D.M., R. Yusha, S. Adnyana, dan Syamsudin, 2003, “ Lessons from Bali Beach Conservation Project”, Proceedings of 6 th International Conference on Coastal and Port Engineering in Developing Countries, Colombo, Sri Lanka. Sulaiman, D.M., 2008. Perubahan Garis Pantai Sanur Pasca Pengisian Pasir. Buletin Keairan. Vol.1 No.1. pp.79-88.ISSN 1979-9233. Sulaiman, D.M., 2009. Operasi dan Pemeliharaan Pantai dan Bangunan Pengaman Pantai. Buletin Keairan. Vol.2 No.2. pp. 129-142. ISSN 1979-9233. Suryantoro, A., 2008, Siklon Tropis di Indonesia Periode Januari-Juli 2008 Berbasis Observasi Satelit TRMM, Prosiding Seminar Nasional Penelitian Masalah Lingkungan di Indonesia, Universitas Trisakti Jakarta, ISSN 19782713, Hal. 569-583. Zakir, A. dan M.K.Khatimah, 2008. Badai dan Pengaruhnya Terhadap Cuaca Buruk di Indonesia, Prosiding Seminar Nasional Penelitian Masalah Lingkungan di Indonesia, Universitas Trisakti Jakarta, ISSN 1978-2713 Nippon Koei ( - ) Large Dams ( ≥ 15 meter high) in Indonesia, Jakarta
Full Tema2.indb 288
24/10/2011 11:50:01