Sub Modul 10: Maqashid Syariah Definisi Maqashid Syariah adalah tujuan dari ketentuan Allah yang disyariatkan kepada manusia. Istilah ini dipopulerkan oleh Abu Ishak Asy Syatibi dalam Muwaffaqat bahwa sesungguhnya syariat itu diturunkan untuk merealisasikan maksud Allah dalam mewujudkan kemaslahatan agama dan dunia secara bersama-sama.
Kategori Maqashid Syariah Kemaslahatan yang akan diwujudkan menurut Asy Syatibi terbagi menjadi tiga yakni dharuriyat (kebutuhan primer), hajiyat (kebutuhan sekunder), dan tahsiniyat (kebutuhan tersier).
Kebutuhan dharuriyat adalah kebutuhan yang harus ada. Bila tidak ada maka akan mengancam keselamatan dunia akhirat. Meliputi lima hal, yaitu: a) Pemeliharaan terhadap agama (hifzh ad-din) b) Pemeliharaan terhadap jiwa (hifzh an-nafs) c) Pemeliharaan terhadap akal (hifzh al-aql) d) Pemeliharaan terhadap keturunan (hifh an-nasl) e) Pemeliharaan terhadap harta (hifzh al-mal)
Kebutuhan hajiyat adalah kebutuhan sekunder yang bila tidak dipenuhi tidak mengancam keselamatan tetapi menimbulkan kesukaran. Contoh kebutuhan hajiyat adalah adanya hukum rukhsah (keringanan). Misalnya jama dan qashar shalat bagi yang sedang bepergian. Tayamum bagi yang tidak menemukan air untuk berwudhu.
Kebutuhan tahsiniyat atau kebutuhan tersier, bila tidak dipenuhi tidak mengancam keselamatan dan juga tidak melahirkan kesukaran. Misalnya kebersihan, estetika dan sejenisnya.
Diskurus Mengenai Maqashid Syariah Maqashid syariah menurut Khallaf penting sebagai alat bantu untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung oleh Al Quran dan Sunnah. Metode-metode pengembangan hukum yang didasarkan pada maqashid syariah misalnya istihsan dan mashalih mursalah.
Diskursus mengenai hal ini berada dalam perbedaan pandangan dalam melihat kemaslahatan. Di satu sisi melihat bahwa kemaslahatan merupakan tujuan dari penerapan syariah, sementara di sisi lain memandang bahwa kemaslahatan bukan merupakan tujuan tetapi akibat atau hasil dari penerapan syariah. Dalam perkembangannya maqhasid syariah sering dibelokkan untuk melegitimasi pemikiran-pemikiran yang tidak sesuai dengan Islam yakni kebebasan. Dengan argumen hifzh ad din maka kebebasan beragama dijustifikasi. Dengan alasan hifzh al aql maka kebebasan berpikir sebebas-bebasnya menjadi boleh.
Pandangan kedua ini melihat bahwa penggunaan maslahat sebagai dasar penetapan hukum akan membahayakan karena dapat menyebabkan penetapan hukum yang bersifat manipulatif. Dengan alasan maslahat yang tidak boleh menjadi boleh. Hikmah penerapan syariat adalah sepenuhnya hanya diketahui Allah dan bila pun manusia mengetahui hanya melalui nash yang termaktub dalam Al-Quran dan As Sunnah, bukan berasal dari dugaan-dugaan.
Sub Modul 11: Konsep Dharar Definisi Dharar menurut bahasa artinya kesempitan. Secara syara dharar atau darurat adalah kondisi keterpaksaan yang dikhawatirkan dapat menimbulkan kematian. Istilah ini berasal dari Al Quran misalnya dalam surat Al Baqarah 173,
ۡ َ ۡ َ َ َ َّ َ َ َ ۡ َ ۡ ُ ُ ۡ َ َ َ َّ َ َ َّ َّ ُ ٓ َ َ َ َّ ۡ َ ۡ َٱض ُط َّر َغ ۡۡي َ ِزنيرِ وما أهِل بِهِۦ ل ِغۡيِ ٱللِه فم ِن ِ إِنما حرم عليكم ٱلميتة وٱدلم وَلم ٱۡل ُ َ َ َّ َّ ۡ َ َ َ ۡ ٓ َ َ َ َ َ َ َّ ٞ ٌ ١٧٣ حيم ِ باغٖ وَل َعدٖ فَل إِثم علي ِۚهِ إِن ٱلل غفور ر
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Kaidah Dharar Rasulullah saw pernah bersabda,
َ َ َ َ َ َ َ ِ َل َض َار ا َضر و Tidak boleh ada madarat/bahaya dan tidak boleh ada yang membahayakan (HR Ibn Majah, Ahmad, ad-Daraquthni).
Kemudian dalam hadist lain Nabis saw bersabda,
َ َ ُ َّ َ َّ َ ْ َ َ ُ ُ َّ َ َّ َ ْ َ َ َ َ َ َ َ َ َضار من ضار ضاره الل ومن شاق شق ِالل عليْه ِ َضر وَل
Tidak boleh ada madarat (bahaya) dan tidak boleh ada yang menimpakan bahaya. Siapa saja yang menimpakan kemadaratan niscaya Allah menimpakan kemadaratan atas dirinya dan siapa saja yang menyusahkan niscaya Allah akan menyusahkan dirinya (HR al-Hakim, al-Baihaqi dan ad-Daraquthni).
Kaidah yang kemudian lahir adalah: “Al ashlu fi al madhaar at tahrim” (hukum asal benda yang berbahaya [mudharat] adalah haram).
Kaidah lain yang lahir adalah: “adh-dharar al-asyadd yuzâl bi adh-dharar al-akhafu” (bahaya yang lebih serius dihilangkan dengan bahaya yang lebih ringan).
Penggunaan Kaidah Dharar Penggunaan yang tepat penggunaan kaidah dharar ini misalnya dalam momen kelahiran. Bila terdapat situasi yang memaksa harus memilih salah satu antara menyelamatkan ibu atau menyelamatkan janin, maka diputuskan untuk menyelamatkan ibu walaupun akibatnya kematian janin.
Adapun terkadang kaidah dharar ini digunakan tidak pada konteks yang tepat. Misalnya saat menghadapi fenomena perzinaan. Dengan alasan timbul bahaya lebih besar maka perzinaan dilokalisasi. Begitupun dengan perjudian. Atau dengan alasan darurat maka mengambil bunga bank (riba) menjadi boleh.
Demikianlah penggunaan kaidah dharar untuk diletakkan pada konteks yang tepat. Bila tidak tepat, alih-alih memperoleh kebaikan justru penggunaan kaidah ini dalam menjadi justifikasi legalisasi ketidakbolehan menjadi boleh.
Sub Modul 12: Konsep Akad dalam Praktik Ekonomi Bisnis Definisi Akad secara bahasa berarti ikatan. Akad secara syara berarti keterikaktan dan komitmen di antara kedua pihak dan kesengajaan keduanya atas suatu perkara. Akad berarti pula ungkapan mengenai keterikatan ijab dan qabul. Ijab dan qabul ini mesti memenuhi ketentuan syariah.
Di dalam Al-Quran, akad disebutkan dalam surat Al Maidah 1,
ُ ۡ َ َ َٰ َ ۡ ُ َ َّ َٰ َ ۡ َ ۡ ُ َ َ ُ َ ۡ َّ ُ ِ ُ ُ ۡ ْ ُ ۡ َ ْ ٓ ُ َ َ َ َّ َ ُّ َ َٰٓ َ ۡكم حلت لكم ب ِهيمة ٱۡلنع ِم إَِل ما يتَل علي ِ يأيها ٱَّلِين ءامنوا أوفوا ب ِٱلعقود ِۚ أ ُ ۡ َ َ َّ َّ ٌ ُ ُ ۡ ُ َ َ ۡ َّ ِ ُ َ ۡ َ َ ُ ُ ُ ١ غۡي ُم َِِل ٱلصي ِد وأنتم حرم ٌۗ إِن ٱلل َيكم ما ي ِريد
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.” Akad yang dimaksud dalam ayat ini adalah akad-akad di antara manusia seperti pernikahan, jual beli dan lain sebagainya.
Rukun Akad Rukun akad terdiri dari tiga (Sabatin, 2009), 1) Al aqidan (dua pihak yang berakad) 2) Al ma’qud alaih (obyek akad) 3) Shighat al aqd (redaksi, atau ijab dan Kabul)
Agar terjadi akad, seluruh rukun tersebut harus terpenuhi. Untuk dua pihak yang berakad, boleh jadi satu pihak terdiri dari beberapa orang. Juga bisa jadi terdapat perwakilan. Obyek akad adalah sesuatu yang diakadkan. Adapun redaksi akad adalah pernyataan dua belah pihak untuk saling mengikatkan diri. Redaksi mesti jelas dan gamblang. Redaksi ini bisa berupa lisan, tulisan atau sarana lain yang dimengerti kedua belah pihak dan tiak menimbulkan perselisihan.
Akad dalam Ekonomi Bisnis Akad adalah sesuatu yang tampak sepele tetapi sangat menentukan dalam berbisnis. Aktivitas yang sama yang satu tanpa akad dan yang lain dengan akad, akan sangat berbeda nilainya. Ketidakberesan akad dapat mengakibatkan permasalahan. Para pihak bisa saling mendzhalimi dan jauh dari keberkahan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi sah, batil atau fasadnya akad adalah (Sabatin, 2009), 1) Redaksi (sighat) 2) Syarat-syarat 3) Larangan 4) Gharar
Redaksi akad adalah pernyataan maksud masing-masing pihak untuk saling mengikatkan diri. Redaksi dibuat dengan jelas, tidak samar, tidak ambigu agar tidak menimbulkan celah masalah di kemudian hari. Syarat-syarat akad terdiri dari syarat in’iqad atau syarat umum dan sarat spesifik. JIka semua persyaratan wajib terpenuhi maka menjadi sah. Bila ada rukun tidak terpenuhi menjadi bathil. Adapun bila terjadi ketidaksempurnaan dalam akadnya maka menjadi fasad. Gharar adalah ketidakjelasan yang dapat melahirkan perselisihan di kemudian hari.
Terdapat banyak skema dalam berbisnis secara Islami yang memerlukan akad. Salah satu aplikasi akad misalnya diterapkan pada konsep syirkah. Syirkah adalah akad anatar dua orang atau lebih yang bersepakat untuk melakukan kerja sama untuk meraih keuntungan. Hukum syirkah adalah boleh. Syirkah boleh dilakukan antar sesama muslim, maupun dengan non muslim sebagaimana muamalah lainnya.
Syirkah dalam pengembangan harta melalui bisnis dapat terbagi menjadi lima, a) Inan. Kerjasama dilakukan antara dua pihak atau lebih dimana masing-masing menyertakan modal dan tenaganya. b) Mudharabah. Kerjasama dilakukan antara pihak pemilik modal (shahibul mal) dengan pihak pengelola usaha (mudharib). c) Wujuh. Kerjasama dua orang atau lebih dimana masing-masing mengontribusikan reputasi dirinya kemudian modal berasal dari pihak luar par apiihak tersebut. d) Abdan. Kerjasama dua orang atau lebih yang saling mengontribusikan tenaga atau keahlian, bukan harta. e) Mufawadhah. Kerjasama gabungan berbagai jenis syirkah.