TEORI MAQASHID SYARIAH DALAM PERSPEKTIF IMAM MUHAMMAD THAHIR IBNU ‘ASYUR Andriyaldi* Abstract : After the death of Imam Syathibi (790 H) stretching maqashid development discourse (al-maqashid khithab) acute stagnant. Discourse maqashid first codified neatly and systematically by Imam al-Syathibiy suddenly disappear without trace. Perhaps one of the factors the dimming light maqashid discourse is caused by the collapse of the Islamic caliphate at the hands of the ruler of Andalus to Christian Spain. Until then in the mid-20th century, there arose Imam Muhammad Tahir ibn ‘Ashur the father of reform maqashid study, which offers a new approach in studying the Islamic maqashid adapted to the reality of contemporary and modern context. These reforms, contained in a work of brilliance, maqashid al-Sharia al-islamyyiah which was first published in Tunisia, in 1946 AD In this book, deliberately Imam Ibn ‘Ashur aimed to uncover the secrets of wisdom and revelation of law, as a torch lights, while the emergence of deviation among the scholars, eitherdue to differences in life span, social condition, or different levels of ability in the formulation of a law. Bids Imam Ibn ‘Ashur, can be said to be able meminimalir bridge the gulf between the Muslims err, for the sake of narrow fanatical follower tendency dispelled certain schools and community disintegration. Departing from this perspective it is necessary discussion that gives a clear picture of the theory maqashid sharia as the foundation in the philosophy of Islamic law. Keywords: maqashid syariah, maslahah
Pengantar Islam adalah agama terakhir yang diturunkan Allah di muka bumi ini. Turunnya Islam yang menggenapi syariat-syariat sebelumnya sudah barang tentu mengandung tujuan (maqashid) luhur dan maksud mulia yang mengarah pada manusia itu sendiri sebagai mukallaf (obyek yang dikenai kewajiban syariat). Berkenaan dengan itu, dalam syariat Islam terdapat seperangkathikmah yang mengiringi turunnya syariat tersebut. Sebab sulit untuk dikatakan bahwa syari’, dalam hal ini Allah melakukan sesuatu tanpa sebab dan hikmah tersirat1. Dari sini dapat kita katakan bahwa muncul* Dosen STAIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi
Andriyaldi, Teori Maqashid Syariah...
nya maqashid al-syari’ah al-islamiyyah telah ada bersamaan dengan wahyu pertamayang diterima oleh Nabi Saw. Dan eksistensi maqashid al-syariah ini terus berjalan beriringan dengan wahyu-wahyu yang turun pada periodese telahnya. Hal ini dapat kita lacak pada hukum-hukum yang disyariatkan oleh al-Quran dan sunnah Nabi Saw, baik secara sadar maupun tidak, pasti me ngandung semacam hikmah agung demi kemaslahatan manusia itu sendiri. Sebagai contoh, syara’ memerintahkan manusia untuk tidak mencampuri istrinya dalam keadaan haid demi menjaga kesehatan karena secara medis, darah haid banyak mengandung kuman yang berbahaya. Hikmah disyariat kannya nikah sebagai jalan untuk merealisasikan ketentraman manusia dan melestarikan keturunan, dan tujuan diperintahkannya berjihad fi sabilillah untuk menjaga keamanan komunal masyarakat dan mempertahankan diri terhadap intervensi asing. Nabi Muhammad Saw, sebagai manifestasi tunggal wakil Tuhan dimuka bumi, secara bijak tidak pernah memberikan perintah atau anjuran kecuali dengan terlebih dahulu mempertimbangkan psikologi umat dan kondisi sosio historis mereka. Jejak kebijakan Nabi Saw ini dapat kita temukan pada sabda Nabi seperti “Sesungguhnya agama ini mudah”, “Kalaulah tidak mempersulit umatku, niscaya akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak sebelum sholat”, dan masih banyak lagi hadis-hadis yang menunjukkan adanya pertimbang an kemaslahatan umum dalam menetapkan sebuah hukum. Kebijakan Nabi saw yang seperti ini, kemudian dilanjutkan oleh para sahabat dan generasigenerasi setelahnya. Karakteristik unik syariat Islam dalam merumuskan rancang bangun hukum dengan disertai pertimbangan kemaslahatan umum, gradualitas turunnya wahyu (tadarruj nuzuli), konsep mencari kemaslahatan dan mencegah kemudharatan (jalb al-masalih wa sad ad-dzarai’) perlahan mulai dikembangakan oleh para ulama menjadi suatu konsepsi utuh yang pelan-pelan menjelma menjadi sebuah teori maqashid al-syariah. Sudah barang tentu perjalanan maqashid al-syariah menjadi suatu disip lin ilmu yang terpisah secara mandiri tidaklah terjadi dalam seketika. Tercatat mulai generasi sahabat, perhatian akan maksud dan tujuan dari syariat mulai dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman ketika mereka hidup. Karena syariat adalah sesuatu yang hidup (kain hayy) yang bisa menyesuaikan diri dimana peradaban itu berkembang. Tuntutan untuk mengembangkan syariat tanpa melepaskan diri dari tujuan utama ‘memaksa’ mereka untuk melakukan berbagai inovasi kreatif dalam merumuskan rancang ba 22
Islam dan Realitas Sosial, Vol. 7, No. 1, Januari-Juni 2014
ngunsuatu produk hukum. Pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah pertama untuk menjaga persatuan dan keutuhan umat, pengumpulan al-Quran dalam satu mushaf di masa Ustman, ditiadakannya hukuman potong tangan oleh Umar dimasa paceklik, adalah beberapa contoh bentuk terobosan jitu para sahabat dalam mengembangkan syariat, dengan mengembangkannya sesuai masa dimana mereka hidup, dengan tanpa mengabaikan hikmah luhur turunnya syariat itu sendiri. Sejalan seirama dengan para sahabat, tabi’in sebagai generasi penerus tradisi sahabat juga memasukkan unsur maqashid al-syariah sebagai salah satu pertimbangan keputusan hukum. Di masa tabi’in dikenal adanya dua madrasah yang berkembang pesat; Hijaz dengan madrasah atsariahnya (kecenderungan terhadap hadis), dan madrasah Iraq dengan madzhab ra’yunya (rasional). Pada madrasah Hijaz, meskipun kecenderungan tekstualis lebih mendominasi, akan tetapi aplikasi penggunaan maqashid syariah tidak dapat diabaikan begitu saja. Pengaruh besar ijtihad para sahabat semisal Umar bin Khattab, Abu Hurairah dan pandangan pribadi Siti ‘Aisyah yang melandaskan pandangannya kepada asas masalih al-mursalah, jalb al-masalih, dar’ al-mafasid, ikut terserap dan turut mewarnai alur berpikir para mujtahid generasi sesudahnya.2 Sementara untuk madrasah Iraq, meskipun terkenal dengan madzhab ra’yunya akan tetapi ini tidak berarti mengesampingkan teks-teks keagamaan begitu saja. Penggunaan ra’yu (akal/ijtihad) tetaplah harus berlandaskan pada atsar sahih dan pendapat para salaf al-salih serta mengutamakan kemaslahatan dan urf hasanah (tradisi yang baik). Sementara madrasah Hijaz banyak menggunakan ijtihad Umar dan Siti A isyah makamadrasah Iraq lebih banyak memakai ijtihad Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud3, dan Ibrahim an-Nakha’i4 yang lebih mempertimbangkan akal dan kemaslahatan bersama ketika menemukan masalah yang tidak disinggung oleh teks. Setelah era tabi’in, gegap gempita studi maqashid al-syariah terus berkembang. Perlahan namun pasti, satu persatu ulama dan cendekiawan mulai mengupas lebih dalam beragam sisi lain dari konsep ini. Setelah pada periode sebelumnya terma maqashid al-syariah hanya dapat dikenali secara parsial dari kecenderungan-kecenderungan rumusan konsep penggalian hukum, maka pada fase ini para ulama mulai ‘berbaik hati’ memberikan ruang khusus bagi maqashid al-syariah untuk menunjukkan eksistensinya. Tercatat at-Turmudzi al-Hakim (abad 3 H) adalah orang yang pertama kali mengguna kan kata maqashid dalam kitabnya al-Sholah wa maqashiduha yang mengurai 23
Andriyaldi, Teori Maqashid Syariah...
kan tentang tujuan dan hikmah dari ibadah salat. Kemudian diikuti oleh karya-karya lainnya yang masih membahas seputar hikmah-hikmah tertentu dari bermacam-macam ibadah, seperti al-Hajj wa asraruhu, al-‘Illah, ‘Ilal alSyari’ah, ‘Ilal al-‘Ubudiyyah dan al-Furuq. Setelah al-Turmudzi kemudian datang Abu Mansur al-Maturidy (w. 333 H) dengan karyanya Ma’khad al-Syara’ disusul Abu Bakar al-Qaffal al-Syasyi (w.365 H) dengan Ushul al-Fiqh dan Mahasin alSyari’ah, Abu Bakar al-Abhari (w.375 H) dan al-Baqilany (w. 403 H) masing-masing dengan karyanya, diantaranya, Mas’alah al-Jawab wa al-Dalail wa al ‘Illah dan al-Taqrib wa al-Irsyad fi Tartib Thuruq al-Ijtihad. Pasca al-Baqillany muncullah Imam Haramain al-Juwaeny (w.478 H) dengan al-Burhan, al-Waraqaat, al-Ghiyatsi, Mughitsul Khalq, al-Ghazali (w. 505 H) dengan karyanya dibidang fikih dan ushul fikh seperti; al-Mustashfa, al-Mankhul, a l-Wajiz, Ihya Ulumiddin dan Syifa al-Ghalil, al-Razy (w. 606 H) dengan Mafatih al-Ghaib, al-Aayat alBayyinaat, al-Mahshul dan Asas at-Taqdis, Saifuddin al-Amidy (w. 631 H) dengan bukunya al-Ahkam, dan Ghayatul Maram, Ibn Hajib (w. 646 H) dengan Nafais al-Ushul, Syarh al-Mahshul, al-Furuq, al-Ihkam fi Tamyiz al-Fatawa ‘an al-Ahkam wa Tasharruf al-Qadhi wal Imam, al-Baidhawi (w. 685 H), al-Asnawi (w. 776 H), Ibn Subuki (w. 771 H), ’Izzuddin Abdussalam (w. 660 H) dengan Qawaid al engan al-Faruq-nya, al-Thufi (w.716 H), ahkam fi masalih al-anam, al-Qarafi d Ibn Taimiyyah (w.768 H) dan Ibn Qayyim (w.751 H)5 . Namun bagaimanapun, hampir seluruh peneliti sepakat, bahwa Imam al-Syathibi lah tokoh yang pertama kali memperkenalkan studi maqashid al-syariah sebagai sebuah teori baku yang utuh dan suatu ilmu yang independen, terpisah dari ilmu lainnya. Posisi al-Syathibi dalam ilmu maqashid hampir serupa dengan kedudukan Sibawaih dalam ilmu nahwu, Imam Syafii dalam ushul fiqh dan Khalil al-Farahidy dalam ilmu ‘arudh. Suatu pemikiran tidaklah dibangun dari kehampaan. Ia merupakan hasil dari refleksi atas realita historis yang ia alami dan hasil dari pengetahuan personalnya (otodidak) terhadap karya para pendahulunya. Hal yang sama terjadi pada Imam al-Syathibiy6. Seperti yang telah dipaparkan di muka, konsepsi mengenai maqashid al-syariah telah ada semenjak wahyu pertama yang diterima Nabi Saw, dan kemudian dilanjutkan oleh generasi setelah nya. Yang kemudian menjadi nilai plus pada diri Imam al-Syathibiy adalah ide briliannya mengenai kodifikasi konsep-konsep para sarjana klasik yang berserakan menjadi suatu disiplin ilmu mandiri, yang mempunyai bidang garapan dan target tersendiri dari ilmu lainnya7. 24
Islam dan Realitas Sosial, Vol. 7, No. 1, Januari-Juni 2014
Pasca mangkatnya Imam Syathibi (790 H) geliat perkembangan diskursus maqashid (khithab al-maqashid) mengalami stagnansi akut. Wacana maqashid yang pertama kali terkodifikasikan dengan rapi dan sistematis oleh Imam al-Syathibiy mendadak hilang tak berbekas. Barangkali salah satu faktor redupnya sinar diskursus maqashid ini disebabkan oleh jatuhnya kekuasaan khilafah Islam di Andalus -tempat Imam Syatibi hidup– ke tangan penguasa kristen Spanyol. Bersamaan dengan itu diberlakukan pengusiran besar-besaran umat islam (mahkamah taftisy) dari tanah Andalus, dan implikasi logisnya, lenyap pulalah hampir semua peninggalan kebudayaan islam beserta karya-karya agung yang sempat terbukukan, termasuk bukubuku karya al-Syathibi. Sampai kemudian di paruh pertama abad 20, tampillah Imam Muhammad Thahir ibnu ‘Asyur sebagai bapak reformasi studi maqashid, yang menawarkan pendekatan baru dalam mempelajari maqashid syariah yang disesuaikan dengan realitas kekinian dan konteks modern. Upaya reformasi ini, tertuang dalam karya briliannya, maqashid al-syariah al-islamyyiah yang terbit pertama kali di Tunisia, tahun 1946 M. Dalam bukunya ini, sengaja Imam ibnu ’Asyur tujukan untuk menyingkap rahasia dan hikmah diturun kannya syariat, sebagai sebuah obor penerang, saat munculnya ikhtilaf diantara para ulama, baik dikarenakan perbedaan masa hidup, kondisi sosial masyarakat, atau perbedaan kadar kemampuan dalam perumusan suatu hukum8. Tawaran Imam ibnu ‘Asyur ini, bisa dikatakan sebagai jembatan yang bisa meminimalir adanya jurang khilaf diantara kaum muslimin, demi memupus kecenderungan fanatik sempit pengikut mazhab tertentu dan disintegrasi umat. Dengan demikian, agaknya pantas dan tidak berlebihan jika Imam ibnu ‘Asyur dijuluki sebagai ‘guru kedua’ setelah sebelumnya Imam al-Syatibiy dijuluki sebagai ‘guru pertama’. Dari paparan di atas, untuk bisa tergambarnya teori maqashid syariah yang dituangkan oleh Imam ibnu ‘Asyur secara utuh melalaui karya monumental, maka diperlukan gambaran tentang teori maqashid syariah menurut Imam ibn ‘Asyur. Artikel ini hanya sekedar mencoba menyuguhkan prinsipprinsip maqashid syariah yang ditawarkan oleh Imam ibnu ‘Asyur.
25
Andriyaldi, Teori Maqashid Syariah...
Pandangan Imam Ibnu ‘Asyur Terhadap Konsep Maqashid Syariah Sebagai ulama yang muncul pada abad ke 20 dan pantas dipandang sebagai bapak maqashid modern, setidaknya ada beberapa pandangan Imam ibnu ‘Asyur yang berkaitan dengan konsep maqashid syariah. Berikut beberapa pandangan beliau terkait dengan maqashid syariah yang berbeda dengan para pendahulunya: Pertama: Perlunya menjadikan maqashid syariah sebagai sebuah disip lin ilmu tersendiri. Kedua: Korelasi “al-fitrah” (naruli beragama), “al-samahah” (toleransi), “al-musawat” (egaliter) dan “al-hurriyah” (kemerdekaan bertindak) dalam konteks maqashid syariah. 9 Untuk lebih jelas dan terperinci, berikut uraian dari kedua poin di atas. Pertama: Perlunya menjadikan maqashid syariah sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri. Imam ibnu ‘Asyur memandang pentingnya melakukan pembaruan terhadap ilmu ushul fikih (tajdid ushul al-fiqh). Namun pembaruan tersebut berangkat dengan cara melakukan pemilahan antara dalil-dalil yang qath’iy (absolut) dengan dalil-dalil yang (relatif). Artinya perlu dikelompokkan antara dalil-dalil (al-nash) yang disepakati seluruh ulama dengan dalil-dalil yang mengandung perbedaan pemahaman di kalangan ulama. Untuk mewujudkan hal ini, Imam ibnu ‘Asyur memandang perlunya ilmu maqashid syariah dipandang sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri. Di sisi lain, beliau memandang bahwa ilmu ushul tetap dalam kondisinya yang ada, sementara ilmu maqashid syariah berperan sebagai landasan filosofis dari proses penggalian hukum yang merupakan ranah objek kajian ilmu ushul fikih.10 Wacana tentang independensi Maqashid Syariah pertama kali digulirkan oleh Thahir Ibn Asyur dalam karyanya “maqashid al-syariah al-islamiyyah”11, meskipun para sarjana-sarjana pra Imam ibn ‘Asyur juga telah mengemukakan adanya urgensitas kajian ini. Sebagaimana al-Qarrafi dalam al-Furuqnya pernah mengemukakan “Dasar (kajian) syariat terbagi menjadi dua: Ushul Fikih dan Kaidah-kaidah fikih Universal”, atau Imam Syathibi yang pernah menyatakan akan media (alat) yang mengantarkan akan ushul qathi’.12 Akan tetapi sarjana-sarjana sebelum Ibn Asyur tersebut belum ada satu pun yang mewacanakan independensi Maqashid Syariah dari Ushul Fikih dan yang lebih penting menuangkan ke dalam sebuah karya seperti karya Imam ibn ‘Asyur ini.
26
Islam dan Realitas Sosial, Vol. 7, No. 1, Januari-Juni 2014
Bagi Imam ibn ‘Asyur, ushul fikih harus ditinggalkan karena hanya akan mengakibatkan adanya perdebatan-perbedaan dalam masalah-masalah furu’ (fikih).13 Statement ibnu Asyur ini pada akhirnya menimbukan pro-kontra para sarjana kajian Maqashid Syariah yang dapat terpetakan menjadi tigagolongan: 1. Kelompok yang mengindenpensikan Maqashid Syariah sebagai disiplin ilmu yang terlepas total dari Ushul Fiqh. 2. Kelompok yang menjadikan Maqashid Syariah sebagai kajian tengah di antara Fikih dan Ushul Fikih 3. Kelompok yang menjadikan Maqashid Syariah sebagai hasil perkembangan dari kajian Ushul Fikih.14 Kedua: Korelasi “al-fitrah” (naruli beragama), “al-samahah” (toleransi), “almusawat” (egaliter) dan “al-hurriyah” (kemerdekaan bertindak) dalam konteks maqashid syariah. Manusia sebagai ciptaan Allah swt yang paling mulia dan paling sempurna (fi ahsani al-taqwim), ketika Allah swt menurutkan syariatnya, maka syariat atau semua ajaran Islam tersebut sangat sesuai dan sejalan dengan sifat-sifat mendasar yang dimiliki oleh manusia itu sendiri. Dalam pandangan Imam ibnu ‘Asyur, sifat-sifat dasar yang dimiliki oleh manusia itu sesungguhnya sejalan dengan maqashid syariah (kulliyat al-khamsah) itu sendiri. Dalam pandangan Imam ibnu ‘Asyur ada 4 hal yang memperkuat maqashid syariah itu sendiri, yaitu: 1. Al-fithrah, artinya bahwa ajaran Islam atau syariat Islam yang diturun kan oleh Allah swt untuk kemaslahatan semua manusia sesungguhnya sangat sesuai dengan karakter dasar manusia itu sendiri. Begitu juga, dalam pandangan Imam ibnu ‘Asyur, fitrah adalah sifat dasar manusia (alkhilqah) dalam artian sebuah sistim tertentu (al-nizham) yang telah Allah swt tanamkan atau ciptakan pada setiap ciptaannya, baik bersifat lahiriah (yang terlihat) maupun batiniah (tidak terlihat). Imam ibnu‘Asyur mendasari pandangannya ini dengan firman Allah swt surat al-Rum ayat: 30:
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” 27
Andriyaldi, Teori Maqashid Syariah...
2.
Hanya saja, Imam ibnu ‘Asyur membagi fitrah tersebut kepada dua macam fitrah, yaitu “fithrah ‘aqliyyah” dan “fithrah nafsiyyah”. “Fithrah ‘aqliyyah” (akal jernih) adalah dimana melalui alam semestayang ada ini, manusia akan bisa merasakan adanya zat yang patut diimani. Begitu juga dengan fitrah ‘aqliyah ini manusia menyadari perlu dan penting aturan atau syariat untuk mengatur kehidupan manusia itu sendiri.15 Dari sini terlihat kaitan yang erat antara fitrah dengan ajaran agama yang benar ini. Sementara itu, fitrah nafsiyyah adalah naluri dan keinginan yang diciptakan Allah swt pada manusia untuk memenuhi keinginan-keingin ansecara baik dan terarah. Contohnya adalah: naluri atau fitrah ingin menikah, menyusui pada wanita, berinteraksi dengan sesamanya, membangun peradaban dan lainnya.16 Al-samahah (toleransi). Dengan terjemahan yang lebih bebas, al-simahah dapat diartikan dengan saling menghargai. Sifat ini adalah sifat yang berada antara perilaku kelewat batas (al-ifrath) dengan perilaku terlalu menggampangkan sebuah persoalan. Sikap toleransi ini, dalam pandangan Imam ibnu ‘Asyur, adalah pengikat agar tegaknya makna al-fithrah seperti yang telah diuraikan pada poin pertama tadi. Begitu juga toleransi merupakan salah satu sifat yang sangat sesuai dengan fitrah sebagai ciri dasar dari Islam itu sendiri. Lebih dari itu, toleransi merupakan karakter mendasar dari umat ini. Toleransi merupakan bagian penting dari tempat berdirinya sifat-sifat yang mulia. Di dalamnya terhimpun berbagai sifat lainnya seperti bersikap adil dan sikap proposional dalam bersikap. Imam ibnu ‘Asyur mengutip firman Allah swt surat al-Baqarah ayat 143:
Artinya: “dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan”. Begitu juga sikap toleransi dijelaskan Rasulullah saw secara jelas di dalam beberapa sabda beliau, diantaranya adalah:
Artinya:”Bentuk keberagamaan yang paling dicintai Allah adalah keberagamaan (ketaatan) yang tidak memaksa” (HR. Bukhari) 28
Islam dan Realitas Sosial, Vol. 7, No. 1, Januari-Juni 2014
3.
4.
Al-musawah (egalitar). Agama Islam adalah agama yang memandang semua manusia di hadapan hukum-hukum syar’iy diberlakukan sama. Aspek ini menjadikan perhatian tersendiri bagi Imam ibnu ‘Asyur dalam kajian ilmu maqashid syariah sebagai dasar berpikir filosofis filsafat hukum Islam itu sendiri. Persamaan (al-musawah) ini penting dalam penerapannya terutama terhadap lima prinsip dasar yang menjadi tujuan syariat Islam; hifzhu al-din, al-nafs, al-‘aql, al-nasl dan al-mal. Prinsip egaliter ini, dalam pandangan Imam ibnu ‘Asyur, tidak bisa dipengaruhi oleh orang yang kuat dan orang yang lemah, baik oleh faktor kekerabatan ataupun karena faktor kekabilahan, semuanya sama dalam pandangan Islam.17 Imam ibnu ‘Asyur mendasari pandangannya dengan firman Allah surat al-Nisa ayat 135.
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benarbenar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. Al-hurriyah (kebebasan). Sesungguhnya al-hurriyah merupakan turunan atau begian dari al-fithrah itu sendiri. Sama halnya dengan al-musawah yang telah dijelaskan. Hanya saja perlu dijelaskan untuk memberikan gambaran yang lebih nyata dari makna yang dikandung oleh fitrah itu sendiri. Menurut Imam ibnu ‘Asyur, ketika seseorang diberlakukan sama secara hukum dari segala bentuk perbuatannya (al-tasharruf), maka di situlah ditemukan apa yang disebut dengan al-hurriyah (kemerdekaan).18 Imam ibnu ‘Asyur menjelaskan bahwa dalam pemakaian bahasa Arab, lafaz al-hurriyah memiliki dua arti: Pertama: al-hurriyah sebagai lawan dari perbudakan (al-‘ubudiyah). Kedua: al-hurriyah (kemerdekaan) yang berarti seseorang yang melakukan suatu hal memang atas dasar pilihannya. Kebebasan dia melakukan sesuatu yang tidak dipengaruhi oleh siapapun dalam ba29
Andriyaldi, Teori Maqashid Syariah...
hasa Arab disebut “al-hurriyah al-majaziy” (kemerdekaan yang bersifat majaziy, bukan hakikiy). Artinya, di dalam Islam, ternyata tidak ada kemerdekaan tersebut yang bersifat mutlak.19 Kebebasan mutlak inilah yang cenderung didengung-dengungkan oleh dunia Barat dimana sekarangmereka sudah mulai menuai dampak negatifnya. Al-Maqashid al-‘Ammah dan Al-Maqashid al-Khasshah Berbeda dengan Imam al-Syatibi20 sebagai “bapak maqashid syariah”, Imam ibnu ‘Asyur dipandang sebagai ulama pertama yang memberikan defenisi maqashid syariah secara defenitif. Imam ibnu ‘Asyur membagi maqashid kepada dua bagian; maqashid al-syari’ah al-‘ammah dan maqashid al-syari’ah al-khasshah. maqashid al-syari’ah al-‘ammah adalah:
Artinya: “Makna-makna dan hikmah-hikmah yang diperhatikan syari’ (Allah) dalam semua ketentuan syariat, atau sebagian besarnya dimana tidak hanya khusus dalam hukum-hukum fikih (syariah) tertentu saja”. maqashid al-syari’ah al-khasshah adalah:
Artinya:“Hal-hal yang dikehendaki syari’ (Allah) untuk merealisasikan tujuantujuan manusia yang bermanfaat, atau untuk memelihara kemaslahatan umum mereka dalam tindakan-tindakan mereka secara khusus” Dari defenisi maqashid syariah secara umum (‘ammah) dan khusus (khasshah) yang dikemukakan oleh Imam ibnu ‘Asyur dapat dipahami bahwa kedua defenisi tersebut mencakup banyak aspek di dalamnya. Disamping itu melalui kedua defenisi di atas, akan memberikan pemahaman yang baik dan sistematis kepada para pengkaji dan akademisi yang konsentrasi terhadap bidang ilmu maqashid syariah. Lebih dari itu, yang menarik adalah Imam ibnu ‘Asyur menggabungkan tujuan dari kedua defenisi di atas bahwa tujuan syariat (akidah, syariah, akhlak dan lainnya) seluruhnya setelah dilakukan kajian secara induktif (istiqraiy) adalah:
30
Islam dan Realitas Sosial, Vol. 7, No. 1, Januari-Juni 2014
Artinya:”Memelihara sistem (kehidupan) umat dan menjaga kelanggengan kemaslahatan itu dengan cara menjaga kemaslahatan manusia itu sendiri yang mencakup aspek akal, perbuatan dan potensi alamnya dimana ia hidup”. Imam ibnu ‘Asyur memberikan argumentasi terhadap pandangannya ini dengan beberapa firman Allah swt. Seperti firman Allah swt di dalam surat Hud ayat ke 88:
Artinya“Aku (Syu’aib as.) tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. hanya kepada Allah aku bertawakkal dan ha nya kepada-Nya-lah aku kembali. Masalih dan Mafasid (maslahah dan mafsadah) Imam ibnu ‘Asyur mendefinisikan mashlahah sebagai perbuatan yang bersifat mendatangkan kebaikan maupun manfaat baik secara berkelanjutan dalam setiap waktu maupun pada sebagian besarnya saja, baik dirasakan oleh orang banyak maupun beberapa orang saja dari mereka. Adapun mafsadah adalah lawan mashlahah yaitu perbuatan yang bersifat mendatangkan kerusakan dan bahaya baik secara berkelanjutan dalam setiap waktu mau pun pada sebagian besarnya saja, baik dirasakan oleh orang banyak maupun beberapa orang saja. Berdasarkan definisi diatas, mashalih dapat dibedakan menjadi dua: pertama, kemaslahatan umum (al-mashalih al-’ammah) yang menca kup kepentingan orang banyak, seperti penjagaan terhadap fasilitas-fasilitas umumdari kebakaran dan perusakan. Mayoritas kemaslahatan dari jenis ini banyak terdapat dalam al-Qur’an dan dihukumi fardhu kifayah, seperti kewajiban menuntut ilmu dan pergi berjihad; kedua, kemaslahatan khusus (al-mashalih al-khashshah) yang berasal dari sebagian orang sebagaimana nilai manfaatnya hanya bisa dirasakan oleh orangorang tertentu saja. Demikian juga, kemaslahatan mereka akan berpengaruh terhadap kemaslahatan masyarakat dimana mereka tinggal. Contohnya adalah penjagaan terhadap harta seseorang yang tiba-tiba hilang akalnya, baik untuk dikembalikan lagi kepadanya manakala ia telah sadar maupun diberikan kepada ahli warisnya ketika kesembuhannya tidak bisadiharapkan lagi. Jenis kemaslahatan ini banyak kita dapatkan dalam hadits-hadits Nabi. 31
Andriyaldi, Teori Maqashid Syariah...
Bebicara tentang jenis maslahat yang diinginkan oleh tasyri’, Imam ibnu ‘Asyur menegaskan bahwa maqashid al-syari‘ah memang harus berupa maslahat, meski pun tidak berarti semua maslahat harus termasuk di dalamnya. Hal itu karena Syari‘ (Allah swt) mempunyai hak prerogatif untuk menentukan jenis-jenis maslahat, batasan dan tujuannya hingga menjadi sebuah pedoman untuk diikuti. Berangkat dari titik ini, beliau membedakan maslahat menjadi tiga bagian utama: Pertama: Berdasarkan pengaruhnya terhadap urusan umat, maslahat terbagi tiga tingkatan hierarkis: a. Dharuriyyat yaitu kemaslahatan yang sifatnya harus dipenuhi dan apabila tidak terpenuhi, akan berakibat kepada rusaknya tatanan kehidupan manusia dimana keadaan umat tidak jauh berbeda dengan keadaan hewan. Al-kulliyyat al-khamsah merupakan contoh dari tingkatan ini. Imam ibnu ‘Asyur juga setuju jika al-‘irdh tidak termasuk didalamnya23. b. Hajiyyat yaitu kebutuhan umat untuk memenuhi kemaslahatannya dan menjaga tatanan hidupnya, hanya saja manakala tidak terpenuhi tidak sampai mengakibatkan rusaknya tatanan yang ada. Sebagian besar hal ini banyak terdapat pada bab mubah dalam mu‘amalah termasuk dalam tingkatan ini. c. Tahsiniyyat yaitu maslahat pelengkap bagi tatanan kehidupan umatagar hidup aman dan tentram. Pada umumnya banyak terdapat dalam hal-hal yang berkaitan dengan akhlak (makarim alakhlak) dan etika (suluk). Contohnya adalah kebiasaan-kebiasaan baik yang bersifat umum maupun khusus. Selain itu, terdapat pula al-mashalih al-mursalah yaitu jenis maslahat yang tidak dihukumi secara jelas oleh syariat. Bagi Imam ibnu ‘Asyur, maslahat ini tidak perlu diragukan lagi hujjiyah-nya, karena cara penetapannya mempunyai kesamaan dengan penetapan qiyas24. Kedua: Berdasarkan hubungannya dengan keumuman umat baik secara kolektif maupun personal, maslahat terbagi menjadi dua; Pertama: Kulliyyah yaitu kemaslahatan yang berpulang kepada semua manusia atau sebagian besar dari mereka. Menjaga persatu an umat Islam, memelihara dua kota suci; Mekah dan Medinah, menjaga hadis-hadis Nabi saw jangan sampai bercampur dengan 32
Islam dan Realitas Sosial, Vol. 7, No. 1, Januari-Juni 2014
hadis-hadis palsu (maudhu’) adalah diantara contoh-contoh yang dikemukakan oleh Imam ibnu ‘Asyur. Kedua: Juz’iyyah adalah kebalikan dari itu. Maslahah juziyyah ini banyak terdapat dalam muamalah.25 Ketiga: Adapun berdasarkan adanya kebutuhan manusia untuk meraihnya, maslahat terbagi menjadi tiga: qath‘iyyah, zhanniyyah dan wahmiyyah. Qath‘iyyah yaitu maslahat yang ditunjukkan oleh nash-nash yang jelas dan tidak membutuhkan takwil, zhanniyyah adalah kemaslahatan yang dihasilkan oleh penilaian akal, sedangkan wahmiyyah adalah kemaslahatan yang menurut perkiraan tampak bermanfaat namun setelah diteliti lebih jauh mengandung kemudharatan26. Berkenaan dengan dhawâbith (kriteria) untuk mengenali apakah sesuatu itu maslahat atau mafsadat, Imam ibnu ‘Asyur memberikan beberapa kategori sebagai berikut: 1. Sesuatu dimana nilai manfaat atau bahayanya benar-benar ada dan bersifat terus-menerus, seperti mengambil manfaat udara dan sinar matahari atau membakar sebuah kebun dengan tujuan hanya untuk merusaknya. 2. Sesuatu dimana keberadaan manfaat atau pun bahayanya terlihat jelas pada sebagian besar keadaan dan dapat diketahui dengan akal sehat, seperti menyelamatkan orang yang tenggelam di laut. 3. Sesuatu dimana tidak ada kemungkinan untuk tergantikannya sifat manfaat ataupun bahaya yang terdapat di dalamnya. Contohnya di dalam khamr terdapat manfaat yaitu membangkitkan keberanian dan mudharat yaitu merusak akal, hanya saja sisi mudharatnya tetap tidak bisa digantikan dengan sisi kemaslahatannya. 4. Sesuatu dimana nilai manfaat dan bahayanya tampak sama besarnya, namun salah satunya dapat dimenangkan dengan bantuan murajjih (penguat) seperti kewajiban memberikan ganti rugi atas perusakan harta seseorang dengan sengaja. 5. Sesuatu dimana nilai manfaatnya ada dan tetap sedangkan nilai bahayanya berubah-ubah ataupun sebaliknya, seperti bahaya yang dihasilkan dari peminangan seseorang terhadap wanita yang berada dalam pinangan orang lain.27 Ketika dihadapkan kepada beberapa maslahat yang bertentangan, seseorang bisa menyikapinya dengan dua penyikapan: pertama, ketika maslahat-maslahat itu berbeda tingkatannya, maka tingkatan dharuriyyât di33
Andriyaldi, Teori Maqashid Syariah...
dahulukan atas hajiyyat, sebagaimana hajiyyat didahulukan atas tahsiniyyat; kedua, ketikamaslahat itu berada dalam satu tingkatan, para ulama biasa nya memilih salah satu yang dianggap paling kuat (takhyîr). Namun menurut ‘Izzuddinbin Abdi Salam dalam Qowâid-nya, cara pemilihan ini digunakan setelah dilakukan upaya-upaya serius dan sungguh-sungguh dalam mentarjih maslahat-maslahat tersebut. Untuk mengetahui perbedaan dalam maslahattersebut, para ulama mengukur kualitas kemaslahatan yang ada. Sebut sajasebagai contoh, mendahulukan maslahat dalam masalah keimanan atas masalah amal perbuatan, serta mendahulukan kemaslahatan jiwa atas kemaslahatan harta. Dalam tataran praktis, mentarjih sebuah maslahat, dapat dilakukan dengan cara memperhatikan hukum asalnya (mura’ah hukmi al-ashliy). Sebagai contoh, ajaran Islam membolehkan seseorang untuk menjual barang dagang an yang sejenis dengan barang dagangan yang dijual orang lain disekitarnya, meskipun hal tersebut akan menimbulkan persaingan atau bahkan bisa jadi meyebabkan permusuhan. Hal itu karena hukum asalnya adalah dibolehkan bagi siapa saja untuk bekerja mencari rezeki, apa pun jenis pekerjannya, selama masih berada dalam kawasan yang tidak dilarang oleh ajaran agama. Sehingga, meskipun seseorang berniat jahat, misalnya ingin merusak matapencaharian orang lain sekali pun, hal itu tidak bisa dijadikan dasar hukum untuk melarangnya, hanya saja dia tetap mendapat dosa atas niat jahatnya tersebut28. Metode Mengetahui Maqashid Syariah Ada beberapa catatan penting sebelum masuk lebih jauh dalam pembahasan ini. Pertama, Imam ibnu ‘Asyur tidak bermaksud untuk menetapkan cara-cara untuk mengetahui maqâshid al-syarî‘ah, tapi lebih kepada penetapan adanya maqâshid al-syarî‘ah itu sendiri. Kedua, sebelum membicarakan tema tersebut, Imam ibnu ‘Asyur memberi peringatan penting kepada para mujtahid agar mencapai hasil yang seobyektif mungkin, setiap faqîh agar bersikap netral serta melepaskan baju fanatisme; baik itu kepada pendapat Imam maupun hasil ijtihad sebelumnya. Artinya, ketika ditemukan sebuah dalil kuat yang menetapkan maqshad syar‘iy tertentu, maka tak ada pilihan lain bagi mereka yang berselisih kecuali kembali kepada dalil tersebut dengan mengesampingkan bentuk-bentuk fanatisme seperti tersebut diatas.29 Berikut metode-metode yang beliau gunakan dalam menetapkan ada nya maqâshid al-syarî’ah dalam tasyri’: 34
Islam dan Realitas Sosial, Vol. 7, No. 1, Januari-Juni 2014
1.
2.
Istiqra’: Melakukan pengamatan terhadap perilaku syariat (istiqra’ alsyari‘ah fi tasharrufatiha). Cara ini dibagi menjadi dua: Pertama: Pengamatan atas hukum-hukum yang telah diketahui‘illât- nya, yaitu ‘illât-’illât hukum yang telah ditetapkan oleh ulama Ushul. Dengan cara ini, kata Imam ibnu ‘Asyur, kita akan dengan mudah menyimpulkan maksud-maksud yang terkandung didalam hukum-hukum tersebut. Sebagai contoh, ketika diketahui bahwa ‘illat dari larangan meminang wanita yang berada dalam pinangan orang lain atau menawar barang yang ditawar orang lain adalah karena menghalangi seseorang untuk memiliki apa yang dikehendakinya dapat menyebabkan permusuhan dan kebencian, maka dapat ditarik kesimpulanbahwa maqshad syar‘iy-nya adalah terjaminnya keberlangsungan persaudaraan antar kaum muslimin. Sehingga dapat dipahami kemudian, ketika peng-khithbah ataupun penawar pertama me ngurungkan niatnya, larangan itu tidak berlaku lagi. Kedua: Dengan mengamati dalil-dalil hukum yang mempunyai kesamaan ‘illât. Melalui cara ini, akan diketahui bahwa ‘illât itu merupa kan maqshad yang diinginkan Syâri‘. Sebagai contoh: ‘illât larangan menjual barang yang tidak berada dalam genggaman penjualnya (baca: tidak dimilikinya) adalah supaya barang-barang tersebut tetap tersedia dan beredar di pasaran. Demikian juga larangan penimbunan barang dimana ‘illat-nya adalah supaya tidak menyebabkan sedikitnya stok barang di pasar atau bahkan menghilangkannya dari peredaran. Dari sinidapat disimpulkan bahwa penyediaan stok barang agar tetap beredardi pasar dan memudahkan orang untuk mendapatkannya menjadi maqshad dalam hukum ini. Demikian pula banyaknya perintah untuk memerdekakan budak menunjukkan bahwa maqshad sebenarnya adalah tercapainya kebebasan. Menggunakan dalil-dalil dari nash-nash syar’iy yang mempunyai ke jelasan dalâlat (makna), sehingga kemungkinan adanya dalâlat lain yang dipahami dari zhâhir ayat sangat kecil. Kapastian maqâshid yang dihasilkan dengan cara ini dapat didasarkan pada dua pertimbangan penting. Pertama, semua ayat al-Qur’an bersifat qath‘iy al-tsubût karena semua lafadznya mutawatir. Kedua, karena dalâlat-nya yang bersifatzhanniy, maka ketika terdapat kejelasan dalâlat yang menafikan kemungkinankemungkinan lain, menyebabkan nash tersebut menjadilebih kuat. Ketika keduanya terdapat dalam suatu nash, maka nash tersebut bi35
Andriyaldi, Teori Maqashid Syariah...
sa dijadikan maqâshid al-syarî‘ah yang digunakan untuk menyelesaikan perselisihan antar fuqahâ’. Sebagai contoh, firman Allah swt di dalam surat al-Baqarah ayat 183:
3.
Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu ...” Ayat diatas, disamping keberadaannya yang qath’iy, juga mempunyai dalâlat yang jelas sehingga menunjukkan pada maqshad tertentu atau paling tidak mempunyai indikasi yang jelas ke arahnya. Sebagai catatan, cara ini mempunyai keterbatasan. Karena tidak semua jenis maqâshid bisa diketahui dengan cara ini, mengingat disyaratkan harus adanya kejelasan dalâlat dalam nash. Sehingga yang bisa diketahui dengan metode ini hanyalah maqshad umum saja30. Dengan menggunakan hadist-hadist mutawatir. Cara ini terbatas hanya pada dua keadaan: Pertama:Keadaan al-mutawâtir al-ma‘nawiy yang diperoleh dari pengamatan mayoritas sahabat atas perbuatan Rasul Saw. Dengan cara ini dihasilkan sebuah pemahaman tentang tasyri‘. Sebagai contoh: pensyariatan shadaqah jâriyah yang sering disebut juga dengan al-habs. Contoh lain dalam ibadah, bahwa khutbah dua Hari Raya dilaksanakan setelah sholat, bukan sebelumnya. Kedua: Keadaan al-tawatur al-‘amaliy yang berdasarkan pengamat an beberapa orang sahabat atas perbuatan Rasulullah Saw. yang terjadi berulang-ulang sehingga dapat disimpulkan dari kesemuanya itu sebuah maqshad syar‘iy. Contohnya seperti yang terdapat dalam shahih Imam Bukhari, diriwayatkan oleh al-Arzaq bin Qays bahwa pada suatu waktu, sahabat Abu Barzah al-Aslami menghentikan shalat untuk mengejar kudanya yang lepas dari ikatan. Beberapa sahabat yang lain mencela perbuatannya tersebut. Ketika ditanya, beliau memberikan alasan bahwa jarak ke rumahnya masih sangat jauh. Kalau ia tidak mengejar kuda tersebut, maka untuk pulang ke rumahnya, ia harus berjalan kaki sampai tengah malam. Hal itu tentu sangat menyusahkan. Menurut Ibnu ‘Asyur, karena menyaksikan perbuatan Rasulullah berulang-ulang, Abu Barzah dapat menyimpulkan bahwa diantara maqâshid al-syarî‘ah adalah kemudahan. Maka ia melihat menghenti36
Islam dan Realitas Sosial, Vol. 7, No. 1, Januari-Juni 2014
kan shalat untuk mengejar kudanya yang lepas lebih utama. Karena kalau tidak menghentikan shalat, ia akan dihadapkan sebuah masyaqqah, yaitu pulang dengan berjalan kaki. Dalam pandangannya, maqshad ini bersifat zhanniy yang mendekati qath‘iy, sedangkan bagi sahabat yang lain, maqshad ini masih mempunyai kemungkinan-kemungkinan lain31. Menurut Bin Zagibah ‘Izzuddin, cara terakhir ini sangat sempit sekali cakupannya, karena hanya bersandar pada hadis-hadis mutawatiryang jumlahnya sangat terbatas. Menurut hemat beliau, cara ini sebenarnya hanya sebagai pelengkap cara sebelumnya dan tidak berdirisendiri. Alangkah lebih baiknya kalau metode terakhir ini digabungkan dengan metode sebelumnya, yaitu penetapan maqâshid berdasarkan nash al-Qur’an yang memiliki kejelasan dalâlat dan hadis mutawatir. Hal itu karena keduanya punya kesamaan dalam qath’iyyah al-tsubût dan quwwah al-zhann fî al-dalâlah. Namun demikian, ia dapat memahamikenapa Ibnu ‘Asyur membagi metodenya kepada tiga bagian, yaitu karena tujuan utamanya adalah menetapkan maqâshid yang qath‘iy atau yang mendekatinya32. Penutup Beberapa pandangan Imam ibnu ‘Asyur tentang teori maqashid ini perlu mendapatkan kajian lebih lanjut.Baik yang terdapat di dalam buku maqashid syariah beliau, maupun di dalam buku-buku beliau yang lain terutama di dalam tafsir tahrir wa tanwir. Kajian tentang al-qawaid al-maqashidiyah, peran al-alfazh di dalam menemukan maqashid, model-model penerapan maqashid versi Imam ibnu ‘Asyur merupakan kajian-kajian menarik yang perlu dilakukan untuk kemajuan ilmu maqashid syariah itu sendiri. Sehingga maqashid syariah tersebut tidak dipandang sebagai ilmu yang berada di menara gading tanpa ada kaitan yang mendasar terhadap kajian fikih. Ilmu ushul fikih sepertinya sudah mendahului maqashid syariah dalam hal ini. Wallahu a’lam wa a’la. [ ]
37
Andriyaldi, Teori Maqashid Syariah...
ENDNOTES QS; Al. Mu’minun 115 “Dan apakah kalian menyangka bahwa Kami menciptakan kalian dengan sia-sia begitu saja sementara kalian tidak dikembalikan kepada kami?”, lihat juga QS alBaqarah: 185, al-Maidah: 6, al-Hajj: 78, al-Nisa: 28, al-‘Ankabut: 45. 2 Mazhab Maliki yang lahir di Madinah, merupakan madzhab yang banyak memakai maqashid al-syariah dan menggunakannya secara massif. Hal ini sangat kentara dengan dimasukkannya anasir seperti masalih al-mursalah, sad ad-dzarai’, istihsan, dan istishab sebagai salah satu sumber penggalian hukum. Salah satu contoh aplikasi penggunaan konsep ini adalah dalam kasus akad jual beli dengan tanpa disertai ijab kabul (dengan kedua belah pihak sama-sama mengetahui harga barang). Menurut Syafiiah, Dzahiriah dan Syi’ah, jual beli semacam ini adalah batal dan tidak sah, karena tiadanya syarat ijab kabul (sebagai tanda kesepakatan kedua belah pihak akan sahnya transaksi). Sementara Hanafiah dan Hanabilah memandangnya sah dengan syarat harga barang sudah diketahui dan kedua belah pihak tidak ada yang memberikan tanda ketidaksetujuannya. Sementara Malikiah berpendapat bahwa transaksi semacam ini adalah sah secara mutlak, karena transaksi semacam ini sudah biasa dilakukan di masyarakat dan sepanjang diamnya kedua belah pihak itu menandakan akan kesetujuannya. Tidak diragukan lagi bahwa pandangan semacam ini lebih memberikan kemudahan bagi masyarakat dan lebih dekat dengan tujuan syariat itu sendiri, yaitu kemaslahatan, tanpa terlalu kaku untuk terjebak kedalam belenggu teks tanpa mengindahkan konteks umum yang berlaku. Lihat: Ahmad Raisuni, nadzariat al-maqashid ‘inda imam al-Syathibi , hal.98 3 Sahabat dan seorang ahli tafsir terkemuka. Nabi pernah menyuruh para sahabatnya untuk mengambil (belajar) al-Quran darinya dan ketiga sahabat lain (Ibnu Abbas, Ubay bin Kaab dan Zaid bin Tsabit). 4 Seorang tabi’in, murid dari ‘Alqama bin al-Qais yang belajar pada Abdullah bin Mas’ud dan guru dari Abu Hanifah. Ia pernah mengatakan “Sesungguhnya hukum Allah selalu memiliki tujuan mulia, yaitu hikmah dan kemaslahatan yang pada esensinya kembali kepada kita juga”. Manhaj Imam an-Nakha’i sendiri terkenal dengan elastisitasnya untuk dapat berdialektika dengan realitas masyarakat dan tak hanya terpaku pada dzahir teks saja. Baginya suatu ‘ibrah hanya dapat diketahui dari makna batin suatu teks, dan bukan dari dzahir lafadz saja, karena suatu lafadz tidak mungkin diletakkan kecuali untuk mengungkap samudera makna yang terkandung didalamnya. Ia mengambil makna teks untuk kemudian diaplikasikan pada berbagai peristiwa dengan konteks yang berbeda. Lihat: Nuruddin al-Khadimy, Al-Ijtihad al-maqashidy, vol 1, Qatar: Wizarah al-auqaf wa al-syuun al-Islamiah, 1998, hal.106 5 Disini penulis tidak ingin masuk lebih jauh mengenai perbincangan akar sejarah maqashid al-syari’ah, karena bukan itu bidikan utama proposal penelitian ini. 6 Dalam merumuskan rancang bangun konsep maqashid al-syariah, al-Syathibi banyak terpengaruh dari pemikiran para ulama sebelumnya, khususnya para ushuliyun dan pengikut madz hab Malikiah. Contoh nyata istifadah al-Syathibi pada ushuliyun dapat dilacak pada pembagian konsep masalih menjadi 3; dharuriat, haajiyat dan tahsiniat, dan pembagian dharuriat menjadi 5; hifdzu al-din, al-nafs, al-‘aql, al-nasl, al-mal. Perlu dicatat bahwa al-Juwaini lah yang pertama kali memperkenalkan kosep ini dalam kitabnya al-Burhan. Sedangkan pengaruh dari al-Ghazali, da pat kita temukan pada puluhan kali penyebutan nama al-Ghazali, baik di al-Muwafaqat ataupun di 1
38
Islam dan Realitas Sosial, Vol. 7, No. 1, Januari-Juni 2014 al-I’tisham. Sebagai misal, mengenai pembahasan makna sah dan batalnya suatu amal, ia mengemukakannya sebagai berikut “ bahwa suatu amalan yang sah adalah amal yang baik dimata Allah dan mendapatkan pahala atas perbuatannya tersebut, dan bukan semata amal yang terpenuhi syarat dan rukunnya saja, sementara amal yang batal sebaliknya. Hal ini telah disinggung oleh para ulama akhlak semisal al-Ghazali dalam bab niat dan ikhlasnya”. Sementara sebagai seorang penganut Malikiah taat, yang mempunyai karakter khas sebagai madzhab maslahah, istishlah, istihsan dan tafsir maslahi terhadap teks dan jalb al-manafi’ wa dar’ al-mafasid terhadap konteks turut memberikan sumbangsih cukup besar pada cara pandang al-Syathibi. Lihat: Ibid., hal. 318 7 Para sarjana klasik kerap menyinggung wacana maqashid dalam buku-buku mereka, namun hanya sebatas sub bab disela-sela pembahasan mereka dalam bab tertentu. Baru ditangan Imam al-Syathibi diskursus tentang maqashid mendapatkan perhatian besar dan menemukan formatnya secara utuh dan sistematisasi tema bahasan dengan cukup rapi, yang kemudian ia bukukan dalam karya monumentalnya al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam. 8 Muhammad Thahir bin Asyur, maqashid al-syari’ah al-islamiah, hal. 3 9 Imam ibnu ‘Asyur, Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah, hal. 259 10 Lihat Imam ibnu ‘Asyur, maqashid al-syari’ah al-islamiyyah, hal. 18, 22 dan 23. 11 Menurut Muhammad Thahir al-Maysawi (Editor dan komentator buku Maqashid Syariahnya Imam ibnu Asyur), sebenarnya wacana independensi yang digulirkan oleh Ibn Asyur adalah bagian dari kelanjutan atas wacana yang digelindingkan oleh koleganya sepuluh tahun sebelum munculnya karya Imam ibn ‘Asyur ini, Syeikh Muhammad al-Aziz Ja’ith, dalam majalah al-Zaytuniyah. Judul tulisannya adalah “Al-Maqashid al-Syar’iyyah wa Asrar al-Tasyri’. Lihat Muhammad Thahir al-Maysawi dalam kata pengantarnya di Ibnu Asyur, Maqashid Syari’ah al-Islamiyyah (Jordan: Dar Nafais,2001)cet.II, h.86-87 12 Jamal al-Din Athiyah, Nahwa Tafîl Maqâshid al-Syari’âh (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2003) cet.1, h.237 13 Imam ibnu Asyur, Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah (Jordan: Dar Nafais,2001) cet.II, h.166 14 Lebih jelas dan rinci lihat Jamal al-Din ‘Athiyah, Nahwa Tafîl Maqâshid al-Syari’âh (Da maskus: Dâr al-Fikr, 2003) cet.1, h.237 15 Imam ibnu ‘Asyur, maqashid al-syari’ah al-islamiyyah, hal. 259 16 Lihat: Imam ibnu ‘Asyur, maqashid al-syari’ah al-islamiyyah, hal. 261-262 17 Hanya saja dalam kajian hukum islam (al-fiqh al-islamiy) ada empat hal yang memang secara prinsip tidak bisa diterapkan prinsip “al-musawah” (persamaan) antara kaum laki-laki dan perempuan. Empat hal tersebut adalah: (1) faktor peran yang telah ada sejak manusia itu ada (al-jibillah), seperti kewajiban bagi laki-laki memberi nafkah dan mencari nafkah, wanita melahirkan dan menyusui. (2) faktor syar’iy seperti hak talak pada laki-laki, pemberian mahar dari laki-laki, gugurnya kewajiban salat karena haid, (3) faktor sosial, seperti larangan mengendarai motor dan mobil bagi wanita pada negara atauadsrah tertentu, (4) faktor politik, seperti persamaan gaji yang diberikan kepada seseroang berdasarkan keahlian tertentu. Gaji presiden tentu tidak bisa disamakan dengan gaji menterinya. Lihat Syekh Muhammad al-Habib ibn al-Khujah, baina ‘ilmaiy ushul al-fiqh wa al-maqashid, hal. 129-130. Contoh-contoh yang diberikan dalam empat poin di atas berasal dari penulis sendiri. 18 Lihat Imam ibnu ‘Asyur, maqashid al-syariah al-islamiyyah, hal. 390.
39
Andriyaldi, Teori Maqashid Syariah... Lihat Imam ibnu ‘Asyur, maqashid al-syari’ah al-islamiyyah, hal. 392 dan Syekh ibnu alKhujah, baina ‘ilmaiy ushul al-fiqh wa al-maqashid, hal. 130 20 Dalam pandangan banyak penulis di timur tengah, mereka hampir sepakata bahwa Imam Syatibi di dalam al-Muwafaqat-nya tidak menjelaskan defenisi maqashid syariah. Salah satu sebab Imam Syatibi tidak menjelaskan pengertian maqashid syariah di dalam al-Muwafaqat adalah karena buku tersebut ia tulis untuk ulama-ulama yang benar-benar telah me nguasai ilmu syaariah dan ushul fikih serta terhindar dari ta’asshub mazhab. Lihat: Bin Zaghib ‘Izzuddin, al-Maqashid al-‘Ammah li al-Syari’ah al-Islamiyyah, hal. 42 dan Imam al-Syatibi, al-Muwafaqat, tahqiq: Abdullah al-Darraz, jilid I, hal. 87 21 Imam ibnu ‘Asyur, Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah, hal. 273 22 Imam ibnu ‘Asyur, Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah, hal. 273 23 Imam ibnu ‘Asyur mengklaim bahwa pandangan al-‘irdh (kehormatan; martabat manusia) sebagai bagian dari al-dharuriyat adalah pandangan yang tidak benar. Pendapat ini adalah pendapat sementara ulama, diantaranya adalah Taj al-Din al-Subkiy dalam Jam’u alJawami’nya dengan memberikan contoh bahwa hukuman bagi yang menuduh (al-qazaf) perempuan-perempuan sangat berat. Dan kami, kata Imam ibnu ‘Asyur, tidak selalu memandang adanya hukuman al-qazaf tersebut sebagai indikasi al-dharuriyat. Pandangan Imam al-Gha zali dan Imam ibn al-Hajib, sebagai pendahulunya, berpandangan sama dengan Imam ibnu ‘Asyur bahwa al-‘irdh bukan bagian dari al-dharuriyat. Lihat: Imam ibnu ‘Asyur, Maqashid alSyari’ah al-Islamiyyah, hal. 306 24 Imam ibnu ‘Asyur, Maqashid al-Syari’ah al-islamiyyah, hal. 300 25 Imam ibnu ‘Asyur, Maqashid al-Syari’ah al-islamiyyah hal. 313-314 26 Imam ibnu ‘Asyur, Maqashid al-Syari’ah al-islamiyyah hal. 314-315 27 Imam ibnu ‘Asyur, Maqashid al-Syari’ah al-islamiyyah, hal. 215 28 Imam ibnu ‘Asyur, Maqashid al-Syari’ah al-islamiyyah, hal. 217 29 Lihat: Imam ibnu ‘Asyur, Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah, hal 189-190 30 Bin Zaghibah ‘Izzuddîn, al-Maqashid al-’Ammah li al-Syari‘ah al-Islamiyyah, hal. 144 31 Imam ibnu ‘Asyur, Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah, hal. 194 32 Bin Zagibah ‘Izzuddîn, al-Maqashid al-‘Ammah li al-Syari‘ah al-Islamiyyah, hal. 147 19
40
Islam dan Realitas Sosial, Vol. 7, No. 1, Januari-Juni 2014
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Raisuni, Nazhariyat al-Maqashid ‘inda al-Imam al-Syatibiy, cet IV, USA, Virginia: al-Ma’had al-‘Alamiy li al-Fikr al-Islamiy, 1995 M/1415 H Andriyaldi ibnu Agus Ahmad, al-Aro’ al-Ushuliyyah ‘inda al-Imam Muhammad al-Thahir ibnu ‘Asyur wa Atsaruhu fi Istinbathatihi al-Fiqhiyyah (tesis penulis), Aljazair, 2004 al-Fasiy, ‘Ilal, Maqashid al-Syari’ah wa Makarimuha, Maroko. al-Gazali, Abu Hamid, al-Mustashfa, tahqiq: Muhammad Abd al-Salam Abd al-Baqiy, Cet. I, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993 M/1413 H al-Hasaniy, Ismail, Nazariyyah al-Maqashid ‘inda al-Imam Muhammad alThahir ibn ‘Asyur, Cet. I, USA: al-Ma’had al-Fikr al-Islamiy, 1995 M/1415 H ‘Izzuddin ibnu Abdussalam, Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Kairo: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1991 M/1414 H ibn al-Khujah, Muhammad al-Habib, Baina ‘Ilmaiy Ushul al-Fiqh wa alMaqashid, Jordan: Dar Nafais, 2001: Ibnu Asyur, Muhammad Thahir Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah, Jordan: Dar al-Nafais, 2001 _______, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Tunisia: Dar Tunis li al-Nasyr, 1984 M ibnu ‘Abduh, Syai’, Ma’a al-Imam Abu Ishaq al-Syatibiy fi Mabahits ‘Ulum al-Quran wa Tafsirihi, Madinah: al-Jami’ah al-Islamiyyah, 2002 M/1422 H Ibnu Rusyd, Muhammad ibnu Muhammmad, Bidayah al-Mujtahid, Kairo: Dar al-Hadits, 1425 H/2004 M ‘Izzuddin, Bin Zaghibah al-Maqashid al-‘Ammah li al-Syari’ah al-Islamiyyah, cet. I, Kairo: Dar al-Shafwah, 1996 M/1417 H al-‘Ilwaniy, Thoha Jabir Maqashid al-Syari’ah, cet. I Beirut: Dar al-Hadiy, 2001 M/1421 H al-Jauziyyah, Ibnu al-Qayyim I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991 M/1411 H al-Juwainiy, Abd al-Malik Imam al-Haramain, tahqiq: Shalah ibnu Muhammad, al-Burhan fi Ushul al-Fiqh, Cet I, Libanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997 M/1418 H Nuruddin ibnu Mukhtar al-Khadimy, Al-Ijtihad al-Maqashidy, Qatar: Wi zarah al-auqaf wa al-syuun al-Islamiah, 1998 41
Andriyaldi, Teori Maqashid Syariah...
_______, ‘Ilmu al-Maqashid al-Syar’iyyah, Maktabah al-‘Abikan, 2001 M/1421 H Muhammad Sa’d al-Yubiy, Maqashid al-Syari’ah wa ‘Alaqatuha bi al-Adillat al-Syar’iyyah, cet. I KSA: Dâr al-Hijrah, 1998 M/1418 H Syihab al-Din Ahmad al-Qarafiy, al-Furuq, Kairo: ‘Alam al-Kutub, t.th. al-Syatibiy, Abu Ishaq, al-Muwafaqât fi Ushul al-Syari’ah, Mesir: al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, tth Yusuf al-Qardhawi, al-Ijtihad fi al-Syari’ah al-Islamiyyah, cet. I Kuwait: Dar al-Qalam, 1996 M/1417 H
42