SUATU TINJAUAN TERHADAP PENERAPAN PASAL 45A UU NO 5 TH 2004 TERHADAP TERDAKWA SEORANG PRAJURIT TNI Sugeng Sutrisno* “ Ketidak puasan dalam menerima putusan adalah hal yang biasa bagi pencari keadilan namun pembatasan upaya hukum adalah hal yang luar biasa bagi para pencari keadilan karena di anggap melanggar Hak Asasi Manusia ” A.
Pendahuluan
Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin segenap warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintah wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya (vide “ pertimbangan huruf a KUHAP”), atau yang sering kita sebut dengan Equality before the law ( persamaan didepan hukum). Dengan demikian dimata hukum tidak membedakan siapa warga negara tersebut semua harus tunduk dan patuh pada aturan hukum yang ada dengan tidak memandang pangkat, jabatan, suku dan ras bagi setiap warga negara yang melanggar hukum akan ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku. Hal yang demikian tentunya tidak hanya berlaku di lingkungan masyarakat biasa (sipil) namun juga berlaku pada masyarakat militer (Prajurit TNI) yang tidak kurang-kurangnya mendapatkan Penyuluhan Hukum tentang permasalahanpermasalahan hukum dan pemahamannya dari masing-masing Dinas hukum angkatan/matra ( TNI AD, TNI AL dan TNI AU), namun demikian masih terdapat masyarakat militer/ Prajurit yang melakukan pelanggaran bahkan kejahatan pidana yang berakibat militer tersebut disidangkan di Pengadilan Militer sehingga dijatuhi hukuman berupa hukuman pokok dipenjara dan hukuman tambahan dipecat dari dinas keprajuritan. Berapapun jumlah hukuman atau beratnya hukuman pokok (dipenjara) yang dijatuhkan oleh hakim pada seorang prajurit terkadang masih dapat diterima oleh terdakwa asalkan tidak ada hukuman tambahan berupa pemecatan dari dinas keprajuritan, inilah yang dirasakan pada seluruh prajurit TNI yang merasa bersalah melakukan tindak pidana. Hal yang memprihatinkan dalam mencari keadilan masih terjadi Diskriminasi bagi prajurit TNI dalam mengajukan upaya hukum karena prajurit TNI tidak bisa mendapatkan hak-haknya sampai puncaknya di Mahkamah Agung khususnya terhadap perkara yang ancaman hukumannya dibawah 1 (satu) tahun, hal tersebut menjadi kendala bagi terdakwa yang dijatuhihukuman tambahan berupa dipecat dari dinas keprajuritan namun Terdakwa (prajurit) tidak bisa melakukan upaya hukum kasasi karena sudah terganjal dengan pasal 45A UU No 5
1
tahun 2004, sehingga Terdakwa harus menerima apapun yang diputuskan oleh Pengadilan tingkat banding sedangkan keadilan pada tingkat yang paling puncak yaitu Mahkamah Agung tidak dapat dirasakan. Sedangkan bagi Pengadilan Militer diharuskan membuat surat penetapan untuk menolak pengajuan kasasi karena tidak memenuhi ketentuan Undang Undang tentang syarat-syarat pengajuan kasasi sesuai pasal 45A UU No 5 tahun 2004, apakah langkah ini merupakan langkah yang bijak dan adil ? tentunya kembali pada tujuan awal bahwa dalam memberikan keadilan kita tidak hanya melihat kepastan hukum berdasarkan Undang Undang saja namun karus melihat kepastian keadilan. B.
Permasalahan
Sejak di berlakukanya UU No.5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yang saat ini telah dirubah menjadi UU No 3 th 2009 di dalam salah satu pasalnya menyebutkan Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi mengadili perkara yang memenuhi syarat untuk di ajukan kasasi, kecuali perkara yang oleh Undang Undang dibatasi pengajuannya, hal ini sangat merugikan bagi para pencari keadilan khususnya bagi terdakwa yang berstatus dari prajurit TNI. Dalam pasal 45A UU No 5 tahun 2004 di sebutkan pembatasan/ pengscualian syarat-syarat pengajuan kasasi salah satunya membatasi minimal ancaman hukuman pidana penjara satu (1) tahun, sehingga pasal ini menjadi penghalang bagi prajurit TNI yang di jatuhi hukuman pemecatan untuk mengajukan upaya hukum kasasi karena hukuman pokok dibawah satu (1) tahun. Dengan demikian mau kemanakah sipencari keadilan harus melakukan upaya hukum ? apakah pasal 45A UU No 5 tahun 2004 tidak dapat disimpangi atau dikecualikan khususnya terhadap Prajurit TNI yang menganut hukuman tambahan Pemecatan dari dinas keprajuritan ?. Hukuman tambahan berupa pemecatan dari dinas keprajuritan dirasakan lebih berat dari pada hukuman pokok penjara yang bertahun-tahun. Tulisan singkat ini hanya bertujuan untuk memberikan masukan pada Pimpinan Mahkmah Agung untuk mempertimbangkan kembali pemberlakukan pasal 45A UU No 5 tahun 2004 yang membatasi hak-hak masyarakat militer (Hak Asasi Manusia). C.
Kondisi saat ini
Rasa keadilan yang ada dalam kehidupan prajurit yang tersandung masalah hukum sangat dirugikan dengan adanya perubahan Undang-Undang Mahkamah Agung dari UU No 14 tahun 1985 dirubah dengan UU No 5 tahun 2004 dan disempurnakan menjadi UU No 3 tahun 2009, karena hak-hak prajurit untuk mengajukan upaya hukum kasasi sudah dipangkas/ tidak bisa diberikan hal 2
disebabkan karena adanya pengecualian dalam syarat-syarat pengajuan kasasi dalam pasal 45A UU No 5 tahun 2004 yang tidak mungkin terpenuhi yaitu “ ancaman hukuman tidak melebihi 1 (satu) tahun penjara” sedangkan dalam KUHPM dikenal adanya hukuman tambahan dirasa lebih berat yaitu berupa pemecatan dari dinas keprajuritan walaaupun pidana pokok pidana penjara kurang dari 1 (satu) tahun. Hal ini juga membuat penulis selaku hakim selalu berdiri pada dua pijakan kaki yang berseberangan atau tidak konsisten karena tidak bisa memberikan hakhaknya sesuai dengan apa yang disampaikan terhadap hak-hak terdakwa setelah putusan pengadilan dibacakan yang salah satunya adalah “hak pikir-pikir untuk menerima atau mengajukan upaya hukum” . Kondisi riil dilapangan setiap terdakwa yang mendapatkan putusan dengan hukuman tambahan pemecatan sudah dipastikan ingin mengajukan upaya hukum yang lebih tinggi sehingga putusan tingkat banding dianggap bukan merupakan putusan akhir karena para terdakwa mengetahui masih adanya upaya hukum kasasi. D.
Kondisi yang diharapkan
Untuk memberikan rasa keadilan dimata pencari keadilan khususnya Prajurit TNI yang menjadi terdakwa mohon agar dapatnya ditinjau kembali pemberlakuan pasal 45A UU No 5 tahun 2004 atau dipertimbangkan pemeberlakuaanya terhadap para terdakwa yang berstatus prajurit TNI maka akan memberikan hak-hak setiap prajurit sebagai warga negara yang taat pada hukum, dan selain hak-hak prajurit pertimbangan tersebut juga dapat memberikan kepastian bagi Pengadilan Militer tingkat pertama untuk memberikan jawaban terhadap para terdakwa yang mengajukan hak-hak nya sesuai dengan Undang-Undang . Apapun yang di putuskan oleh Mahkamah Agung atas upaya hukum kasasi akan dapat menghentikan atau membuat terdakwa sadar bahwa putusan tersebut sudah yang terbaik bagi terdakwa walaupun pahit harus diterima, dan upaya hukum yang lebih tinggi (Peninjauan Kembali) jarang diajukan oleh terdakwa karena tidak mudah untuk memenuhi alasan-alasan sesuai dengan pasal 248 ayat (2) UU No 31 tahun 1997. E.
Pembahasan
Hak setiap warga negara yaitu hak asasi manusia yang dijamin dalam ketentuan UUD 1945 pada pasal 28 A sampai dengan pasal 28 J dan juga didukung dengan UU No 9 tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia serta dalam Kitab Undang Undang hukum Acara Pidana dan beberapa undang lain yang masih relevan yang mengatur tentang hak-hak setiap warga negara.Pernyataan atau ketentuan dalam 3
pertimbangan KUHAP huruf a tersebut diatas mempertegas dan memperlihatkan bahwa negara menjamin setiap hak waraga negara tanpa ada kecualinya didalamnya termasuk prajurit TNI. Prajurit adalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan/ pelanggaran hanya saja seberat apa pelanggaran yang dilakukan prajurit tentunya terdapat batas-batas yang mengakibatkan apakah seorang prajurit tersebut masih pantas dipertahankan atau tidak dalam dunia keprajuritan (di pecat dari dinas militer). Dipecat dari dinas militer berarti “ kiamat “dan “ tidak ada hukuman yang paling berat bagi prajurit jika dibandingkan dengan hukuman pemecatan dari dinas keprajuritan walaupun harus menjalani hukuman penjara bertahun-tahun asalkan masih dapat kembali menjadi prajurit “ itulah yang ada dalam benak tiap-tiap prajurit TNI yang tersandung masalah hukum, karena setelah dipecat sipelanggar akan sulit untuk mencari pekerjaan diluar ketentaraan, sebutan mantan tentara pecatan akan selalu melekat pada diri seseorang yang pernah berkarir menjadi prajurit TNI, apa yang terjadi ? kerugian tidak hanya pada diri mantan prajurit tersebut namun juga membawa sengsara pada seluruh keluarga yang di tanggungnya (anak dan istri). Kebanggaan keluarga punah seketika dengan mendengar anaknya dipecat dari dinas keprajuritan karena kesalahan yang tak termaafkan.. Sepengetahuan prajurit selama mendapatkan penyuluhan dari staf hukum Panglima baik di lingkungan TNI AD, TNI AU maupun TNI AL mengetahui bahwa setiap orang berhak mendapatkan keadilan setinggi-tingginya hingga puncak di Mahkamah Agung seperti hal nya pengajuan upaya hukum Kasasi maupun Peninjauan Kembali (PK) karena itulah harapan terakhir keadilan khusunya di Negara Republik Indonesia ada pada Mahkamah Agung. Namun demikian bukan itu yang ditemukan bagi prajurit yang mengalami permasalahan hukum karena telah melakukan suatu tindak pidana sebagai contoh Terdakwa telah diputus oleh pengadilan tingkat pertama dengan hukuman yang tidak seberapa hanya 6 (enam) bulan penjara namun terdapat hukuman tambahan dipecat dari dinas keprajuritan karena melanggar pasal 284 KUHP, dan setelah Terdakwa mengajukan upaya hukum banding hukuman tersebut di kuatkan oleh pengadilan tingkat banding (Pengadilan Militer Tinggi) bahkan hukuman pokok dinaikan menjadi 8 (delapan) bulan penjara namun hukuman tambahan tetap melekat yang berarti prajurit tersebut tetap dianggap tidak layak lagi dipertahankan dalam dinas keprajuritan. Sehingga prajurit tersebut merasa masih ada hak untuk mengajukan upaya hukum yang lebih tinggi yaitu upaya hukum kasasi di Mahkamah Agung oleh karenannya saat dibacakan isi putusan banding prajurit tersebut (terdakwa) menyatakan Kasasi karena terdakwa merasa putusan tingkat banding belum adil, apa sebenarnya yang di Banding atau rencana di Kasasi tersebut sebenarnya bukan masalah lama/ beratnya hukuman pokok pidana penjara yang 4
harus dilaksanakan namun hukuman tambahan berupa pemecatan dari dinas keprajuritan yang dirasa telah membunuh dan menghentikan karir prajurit tersebut. Prajurit/ terdakwa pencari keadilan akan dapat menerima dengan sadar apabila putusan tersebut adalah dikeluarkan / diputuskan oleh tingkat yang paling tinggi (terakhir) yaitu Mahkamah Agung oleh karenanya berikankanlah hak-hak pencari keadilan tersebut hingga puncaknya sehingga kita tidak melanggar hak-hak dari si pencari keadilan (hak asasi manusia). Pengajuan Kasasi ternyata tidak dapat diajukan karena terganjal oleh pasal 45A UU No 5 tahun 2004 yang membatasi syrat-syarat pengajuan kasasi sebagi berikut : (1) Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi mengadili perkara yang memenuhi syarat untuk di ajukan kasasi, kecuali perkara yang oleh Undang Undang ini dibatasi pengajuannya. (2) Perkara yang dikeculikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas : a. Putusan tentang praperadilan b. Perkara pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/ atau diancam pidana denda c. Perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauaanya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan Dalam tulisan ini penulis sengaja mempertebal “b” karena letak permasalahan yang ada dilingkungan peradilan militer khususnya bagi terdakwa yang melanggar pasal 284 KUHP merasa bahwa hak-haknya sebagai warga negara tidak diberikan (melanggar Hak Asasi manusia),Lantas dimanakah letak keadilan kalo prajurit tersebut hanya bisa mengajukan hak nya sampai tingkat banding. Salah satu contoh terhadap prajurit yang melanggar pasal 284 KUHP putusan hakim tidak akan pernah menjatuhkan putusan dengan hukuman pokok penjara diatas 1 (satu) tahun hal ini dikarenakan ancaman hukuman dalam pasal tersebut adalah 9 (sembilan) bulan seperti halnya bunyi pasal 284 ayat (2) a KUHP “Diancam paling lama sembilan bulan , seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal dikethuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin” dan biasanya diikuti dengan hukuman tambahan berupa pemecatan dari dinas keprajuritan. Hal yang seperti ini apakah Mahkamah Agung sebagai puncak/ pintu akhir pencari keadilan telah memikirkan bahwa dalam penjatuhan hukuman di lingkungan 5
pengadilan militer berbeda dengan penjatuhan di pengadilan umum karena adanya hukuman tambahan Pemecatan dari dinas keprajuritan sesuai dengan pasal 6 b ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM), selama prajurit tersebut dipandang sudah tidak layak lagi tetap dalam kalangan militer (pasal 26 KUHPM) sedangkan dalam putusan pengadilan umum tidak dikenal/ dianut adanya hukuman tambahan pemecatan sehingga tidak ada yang lebih berat dari pidana pokok berupa kurungan penjara, lantas apakah pasal 45A UU No 5 tahun 2004 pemberlakuannya harus disamakan dengan pengadilan umum ? apakah tidak diberikan kekhususan bagi prajurit TNI yang yang ingin mengajukan upaya hukum kasasi agar diberikan haknya karena adanya hukuman tambahan pemecatan yang di anggap/dirasa paling berat dari pada pada hukuman pokok yang harus dilaksanakan dalam penjara walaupun dengan waktu yang lama. Perlu diketahui bahwa pemidanaan bagi seorang prajurit pada dasarnya adalah lebih merupakan suatu tindakan pendidikan atau bersifat pembinaan agar prajurit tersebut kembali menjadi warga negara yang baik dan menjadi prajurit yang berjiwa sapta marga, bahkan setiap kali hakim menjatuhkan hukuman prinsip tersebut diatas selalu tertera dalam pertimbagan putusannya. Berkaitan dengan tulisan ini penulis sebagai seorang hakim militer yang tentunya harus memutus dengan berdasarkan hukum dan keadilan dengan melihat adanya beberapa faktor/aspek yang tentunya sudah dikenal dilingkungan peradilan yaitu Aspek legal justise ,moral justise dan sosial justise. Namun dalam peradilan militer menurut pendapat penulis harus ditambah dengan Military Justise hal ini dikarenakan sebagai hakim militer kita harus melihat sejauhmana putusan hakim akan berpengaruh dan berguna demi kepentingan Militer atau kesatuan si terdakwa pada khususnya dan TNI pada umumnya . F.
Penutup
Dengan adanya pertimbangan dalam pemberlakuan pasal 45A UU RI No 5 tahun 2004 oleh pimpinan Mahkamah Agung maka akan membuat rasa keadilan khususnya terdakwa yang berstatus prajurit TNI merasa terpenuhi, dengan demikian untuk pemberlakuan pasal tersebut diatas dapat di buat SURAT EDARAN Ketua Mahkamah Agung yang berisikan pengecualian terhadap putuusan Pengadilan Militer dengan hukuman tambahan Pemecatan dari dinas keprajuritan dapat mengajukan upaya hukum kasasi sehingga kita tidak melanggar hak asasi manusia (HAM).
Penulis adalah Ps Kadilmil II-09 Bandung
6