KEKERASAN TERHADAP ANAK (Studi terhadap Penerapan Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam Putusan Nomor 21/Pid.Sus/PN.Pwt)
SKRIPSI
AYU NAHDIATUZZAHRA E1A007195
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2013
KEKERASAN TERHADAP ANAK (Studi terhadap Penerapan Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam Putusan Nomor 21/Pid.Sus/PN.Pwt)
Oleh :
AYU NAHDIATUZZAHRA E1A007195
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2013 i
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI KEKERASAN TERHADAP ANAK (Studi terhadap Penerapan Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam Putusan Nomor 21/Pid.Sus/PN.Pwt)
Disusun Oleh : Ayu Nahdiatuzzahra E1A007195 Untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Diterima dan disahkan Pada tanggal Maret 2013
Pembimbing I
Pembimbing II
Penguji
Dr. Setya Wahyudi, S.H., M.H Dr. Noor Aziz Said, S.H., M.S Sunaryo, S.H., M.Hum NIP. 19610527 198702 1001 NIP. 19540426 198003 1004 NIP. 19531224 198601 1001
Mengetahui, Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Dr. Angkasa,SH.,M.Hum NIP. 19640923 198901 1 001
ii
SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya, Nama NIM Tahun Angkatan JUDUL
: : : :
AYU NAHDIATUZZAHRA E1A007195 2007 KEKERASAN TERHADAP ANAK (Studi terhadap Penerapan Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam Putusan Nomor 21/Pid.Sus/PN.Pwt)
Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya saya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain. Dan apabila ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut diatas, maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari fakultas. Purwokerto, 18 Februari 2013
Ayu Nahdiatuzzahra E1A007195
iii
PERSEMBAHAN Karya Kecilku ini khusus kupersembahkan teruntuk :
Orang tua ku tercinta
H. Jamaludin dan Hj. ery muthia Yang selalu memberikan perhatian, semangat, menerima keluh kesahku dan selalu mengingatkanku selalu untuk tetap berdoa, dan berusaha…..
Ada cinta yang kadang terabaikan, bukan karena tak berarti besar tetapi karena cara pengungkapan yang berbeda
iv
KATA PENGANTAR Segala puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Esa serta yang telah melimpahkan berkat, rahmat, dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul : KEKERASAN TERHADAP ANAK (Studi terhadap Penerapan Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam Putusan Nomor 21/Pid.Sus/PN.Pwt). Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Berbagai kesulitan dan hambatan penulis hadapi dalam penyusunan skripsi ini. Namun berkat bimbingan, bantuan dan moril serta pengarahan dari berbagai pihak, maka skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang tulus kepada : 1. Bapak Prof. Edy Yuwono, Ph.D, selaku Rektor Universitas Jenderal Soedirman; 2. Bapak Dr. Angkasa, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman; 3. Bapak Dr. Setya Wahyudi, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing I Skripsi, atas segala bantuan, arahan, dukungan dan masukan yang telah diberikan selama penulisa n skripsi ini; 4. Bapak Dr. Noor Aziz Said, S.H., M.S., selaku Dosen Pembimbing II Skripsi atas segala bantuan, arahan, dukungan, masukan, menyediakan waktu dan kebaikan yang telah diberikan selama penulisan skripsi ini; 5. Bapak Sunaryo, S.H., M.Hum., selaku dosen penguji skripsi atas segala bantuan, arahan, dukungan, masukan, menyediakan waktu dan kebaikan yang telah diberikan selama penulisan skripsi ini; 6. Bapak Supriyanto, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang memberika n bimbingan sejak awal perkuliahan; 7. Adik-adikku, Ekky Syahrudien, Fannydia Fahrunniza, M. Herdyn Hidayatullah, dan Dinda Rahma Alicia yang telah banyak memberikan dukungan, doa, dan motivasi untuk penulis ; 8. Doni Husnuddoni, yang telah memberikan warna tersendiri dalam hidup Penulis serta memberikan dukungan, doa, kasih sayang dan motivasi kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan studi; 9. Teman-teman Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Adina Yustianingsih, Prima Satria Nugraha, Wiji Rahayu, Dhimas Pandu Putra, Indra Ari Saputra, Luly Nugraheni, Alexius Leo, Ranggi Ayu Riyanti, Dinny Kurnia Sugiharti, Talenta Gilang, dan semuanya yang tidak bisa Penulis sebutkan satu per satu, kalian memberikan pengalaman yang tidak terlupakan dalam berproses di Kampus Merah; 10. Teman-teman KKN Desa Windunegara 2012, Anisa, Winda Kartika Sarastri, Ganjar Lazuardi, Akbar Ferdian, Ragilia Setyarini, Andi Ismanto, Ardi Ardiansyah, Wakhyono, Ummi Fadlilah beserta Keluarga Bapak Eko Budi Santoso dan Ibu Besty Davina.
v
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu saran dan kritik yang sifatnya membangun penulis harapkan guna perbaikan dan penyempurnaan sehingga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi semua pihak.
Purwokerto, 18 Februari 2013
AYU NAHDIATUZZAHRA Penulis
vi
ABSTRAK KEKERASAN TERHADAP ANAK (Studi terhadap Penerapan Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam Putusan Nomor 21/Pid.Sus/PN.Pwt)
Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui dan menganalisis penerapan Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam Putusan Nomor 21/Pid.Sus/PN.Pwt. Selain itu juga ditujukan untuk menganalisis putusan Hakim Nomor 21/Pid.Sus/PN.Pwt kesesuaiannya dengan pemenuhan aspek kepastian hukum, aspek keadilan, aspek kemanfaatan dalam upaya penanggulangan kekerasan terhadap anak. Guna mencapai tujuan tersebut maka peneletian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Data sekunder yang terkumpul kemudian diolah, disajikan, dan dianalisa secara kualitatif dengan penyajian data teks naratif. Hasil penelitian menyatakan bahwa Penerapan Pasal 80 ayat (1) UndangUndang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam Put usan Nomor 21/Pid.Sus/PN.Pwt tela h terpenuhi dengan alasan bahwa dalam hal ini terdakwa yakni DEDY STANZAH adalah subjek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, tidak error in persona dan tidak ada alasan pemaaf serta alasan pembenar. Perbuatan terdakwa bersifat melawan hukum dengan melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan atau penganiayaan terhadap anak dibuktikan dengan adanya serangkaian tindakan terdakwa dalam hal ini antara lain. Terdakwa sengaja memukuli wajah dan tubuh saksi IDO yang masih anak, terdakwa juga menggunakan kedua tangannya langsung memukul wajah dan kepala saksi korban SONDY WAHYU KURNIAWAN juga masih ana k-anak, terdakwa juga menendang kepala bagian belakang, sebanyak 1 (satu) kali sehingga menyebabkan saksi korban Sondy Wahyu Kurniawan terjatuh ke tanah dengan luka memar dibagian kepala dan wajah. Penyerangan tersebut mengakibatkan luka memar pada batang hidung dengan diameter 1 cm dan lainnya sebagaimana yang diterangkan oleh visum et repertum PUSKESMAS Jatilawang, yang dibuat dan ditanda tangani oleh dr. ANWAR HUDIONO pada tanggal 18 Juni 2011. Perbuatan tersebut dilakukan jelas menimbulkan kerugian bagi korban, baik kerugian materil berupa biaya rumah sakit sebesar Rp 1.000.000,00 maupun kerugian fisik (menderita sakit), sehingga jelas perbuatan terdakwa bersifat melawan hukum dan tanpa alasan pemaaf dan pembenar pidana. Putusan Hakim Nomor 21/Pid.Sus/PN.Pwt sudah memenuhi Aspek Kepastian Hukum tetapi belum memenuhi aspek kemanfaatan dan keadilan dalam Upaya Penanggulangan Kekerasan Terhadap Anak. Dengan masa pemidanaan 7 bulan penjara tujuan pemidanaan dan perlindungan korban dengan tidak menempatkan restitusi dan kompensasi dalam putusan maka hak korban terabaikan Kata Kunci : Kekerasan, Anak
vii
ABSTRACT VIOLENCE AGAINST CHILDREN (Study of the Application of Article 80 paragraph (1) of Law No. 23 of 2002 on Child Protection in Decision No. 21/Pid.Sus/PN.Pwt) This study aimed to identify and analyze the application of Article 80 (1) of Law No. 23 of 2002 on Child Protection in Decision No. 21/Pid.Sus/PN.Pwt. It also aimed to analyze the Judge's decision No. 21/Pid.Sus/PN.Pwt compliance with the compliance aspects of the rule of law, justice aspect, the aspect of usefulness in the response to violence against children. To achieve this goal then peneletian performed using normative juridical approach. Secondary data are collected and processed, presented, and analyzed qualitatively with the presentation of narrative text data. The results stated that the application of Article 80 paragraph (1) of Law No. 23 of 2002 on Child Protection in Decision No. 21/Pid.Sus/PN.Pwt have met on the grounds that, in this case the defendant DEDY STANZAH is subject to legal held accountability to criminal, not an error in persona and there's no reason forgiving and justification. Defendant is against the law to commit atrocities, violence or threats of violence or abuse against children is evidenced by the series of actions the defendant in this case, among others. The defendant defendant intentionally hit her face and body were still children IDO witnesses, defendants also uses her hands to her face and started beating victim witness Sondy Wahyu Kurniawan also still a child, the defendant kicked the back of the head, as many as 1 (one) time, causing witnesses Revelation Kurniawan Sondy victim fell to the ground with bruises dibangian head and face. The attack resulted in bruises on batrang nose with a diameter of 1 cm and the other as explained by visum et repertum Jatilawang Public Health, created and signed by dr. Hudiono Anwar on June 18, 2011. The action was carried out actions clearly caused harm to the victims, both material loss in the form of hospital costs Rp. 1000.000,00 or physical harm (illness), so that the defendant is clearly unlawful and wanton criminal forgiveness and justification. Judge Decision No. 21/Pid.Sus/PN.Pwt With Aspects of Legal Certainty meets but do not meet aspects of expediency and fairness in the Child Abuse Prevention Effort. By age 7 months in prison sentencing goals of punishment and protection of victims with restitution and compensation are not putting in the decision ignored the rights of victims
Keywords : Violence, Children
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................. i LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................................... ii SURAT PERNYATAAN .......................................................................................... iii HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................................ iv KATA PENGANTAR ............................................................................................... v ABSTRAK................................................................................................................. vii ABSTRACT................................................................................................................. viii DAFTAR ISI.............................................................................................................. ix BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1 B. Perumusan Masalah .............................................................................. 7 C. Tujuan Penelitian .................................................................................. 7 D. Kegunaan Penelitian............................................................................. 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana ..................................................................... 9 B. Pengertian Kekerasan ........................................................................... 11 C. Kekerasan Terhadap Anak.................................................................... 15 1.
Definisi Anak................................................................................. 15
2.
Kekerasan Terhadap Anak............................................................. 17
D. Perlindungan Terhadap Anak ............................................................... 27 E. Asas Kepastian, Kemanfaatan, dan Keadilan Hukum .......................... 36
ix
BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan............................................................................... 38 B. Spesifikasi Penelitian............................................................................ 39 C. Jenis Data .............................................................................................. 39 D. Metode Pengambilan Data.................................................................... 40 E. Metode Penyajian Data ......................................................................... 41 F. Analisis Data......................................................................................... 41 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian..................................................................................... 42 B. Pembahasan .......................................................................................... 61 BAB V PENUTUP A. Simpulan ............................................................................................... 97 B. Saran ..................................................................................................... 98 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 99
x
1
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Anak adalah makhluk sosial seperti juga orang dewasa. Anak membutuhkan
orang lain untuk dapat membantu mengembangkan kemampuannya, karena anak lahir de ngan segala kelemahan sehingga tanpa orang lain tidak mungkin dapat mencapai taraf kemanusiaan yang normal. Anak merupakan makhluk sosial, perkembangan sosial anak membutuhkan pemeliharaan kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya. Anak juga mempunyai perasaan, pikiran, kehendak tersendiri yang semuanya itu merupa kan totalitas psikis dan sifat-sifat serta struktur yang berlainan pada tiap-tiap fase perkembangan pada masa anak-anak. 1 Anak merupakan aset bangsa sebagai bagian dari generasi muda, anak berperan sangat strategis sebagai succesor suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia anak adalah penerus cita-cita perjuangan bangsa. Peran strategis ini telah disadari oleh masyarakat Internasional untuk melahirkan sebuah konvensi yang intinya menekankan posisi anak sebagai makhluk manusia yang harus mendapatkan perlindungan atas hak-hak yang dimilikinya. 2 Masih banyak anak-anak Indonesia yang rentan terhadap situasi kekerasan, beberapa fakta yang cukup memprihatinkan. Seperti halnya anak-anak di belahan
1
NN, Pengertian Anak sebagai Makhluk Sosial, http://www.duniapsikologi.com/pengertian-anak -sebagai-makhluk-sosial/, diakses pada tanggal 3 November 2012. 2 NN, Anak dan Aset Bangsa, http://www.kpai.go.id/publikasi-mainmenu-33/artikel/241anak-dan-aset-bangsa.html, diakses pada tanggal 3 November 2012.
2
dunia lain, anak-anak di Indonesia pun mengalami kekerasan dalam rumah tangga, di jalanan, di sekolah dan diantara teman sebaya mereka. Hal tersebut mengakibatkan banyak anak yang secara tidak sadar berkonflik dengan hukum, tetapi ada juga anak yang berkonflik dengan hukum sebagai akibat tindak kriminal yang memang secara sada r dilakukan oleh anak. 3 Kekerasan pada anak (child abuse) diartikan sebagai suatu tindakan yang dilakukan satu individu terhadap individu lain yang mengakibatkan gangguan fisik dan/atau mental. Kekerasan pada anak tidak saja mengakibatkan gangguan fisik dan mental, juga mengakibatkan gangguan sosial. Hal ini karena kekerasan pada anak juga berdampak sosial, seperti dipaksa menjadi pelacur, pembantu, dan pengamen. Penyebab kekerasan sangat beragam, tetapi pada umumnya disebabkan stress dalam keluarga dan itu bisa berasal dari anak, orang tua (suami atau istri), atau situasi tertentu. Sejak 1990 Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA). Indonesia merupakan salah satu dari 191 negara yang telah meratifikasi konvensi hak anak (Convention on the Right of Children) pada tahun 1990 melalui Kepres No. 36 tahun 1990. Dengan meratifikasi konvensi ini, Indonesia memiliki kewajiban untuk memenuhi hak-hak bagi semua anak tanpa terkecuali, salah satu hak anak yang perlu mendapat perhatian dan perlindungan adalah hak anak yang berkonflik dengan hukum. 4
3
Wiwik Subekti, Sosialisasi dan Komunikasi Terkait dengan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, http://bali.bkkbn.go.id/ViewArtikel .aspx?ArtikelID=423, diakses pada tanggal 2 November 2012. 4 Ibnu Kaldun, Konvensi Hak -Hak Anak (KHA), http://bappeda.kendalkab.go.id/index.php?option=com_content&view=article&catid=29:pemsosbu d&id=87:konvensi-hak-hak-anak -kha, diakses pada tanggal 2 November 2012.
3
Di Indonesia juga terdapat Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang disahkan tahun 2004 dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Meskipun sudah diatur dalam undang-undang, kasus kekerasan pada anak justru meningkat akibat minimnya implementasi. Ini menyebabkan anak-anak terus menjadi korban kekejaman dan ketidakdewasaan orang tua. Bagaimanapun juga situasi memprihatinkan ini harus dicegah. Salah satu
penyebab
maraknya
kasus
kekerasan
pada
anak
adalah
belum
tersosialisasinya berbagai peraturan dan undang-undang tentang perlindungan anak, seperti Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Konvensi Hak Anak, dan Undang-Undang Perlindungan A nak. Masyarakat pun enggan turut campur tangan manakala ada kekerasan anak dalam masyarakat. Anak yang berkonflik dengan hukum dari waktu ke waktu selalu menjadi sorotan terutama dari perspektif masyarakat yang gelisah dan resah akibat perilaku anak yang sering disebut nakal. Bahkan saat ini masalah kenakalan anak tersebut mendapat perhatian yang cukup besar karena kuantitas dan kualitasnya yang meningkat.5 Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada Januari-Agustus 2012 mencatat terdapat 3.332 kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia. Ironisnya dari data tersebut, keluarga menjadi tempat terbanyak terjadinya kekerasan terhadap anak, yakni sebanyak 496 kasus, menyusul dalam bidang
5
Ibid.
4
pendidikan, yakni mencapai 470 kasus. Lalu pada urutan ketiga kasus kekerasan terhadap anak dibidang agama yakni 195 kasus. 6 Angka kekerasan berbasis gender dan anak di Kabupaten Banyumas sejak 2008 hingga Mei 2011 meningkat. Menurut rekapitulasi data Pusat Pelayanan Terpadu Penanganan dan Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis gender dan Anak (PPT PKBGA) Kabupaten Banyumas, sampai bulan Mei terjadi 49 kasus dengan 9 bentuk kekerasan. 7 Data yang diungkap kepolisian, KPAI, Komnas PA dan Pusat Pelayanan Terpadu Penanganan dan Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis gender dan Anak (PPT PKBGA) Kabupaten Banyumas tersebut hanya puncak gunung es dari fenomena kekerasan terhadap anak di negeri ini. Bisa jadi, setiap hari ada anak korban kekerasan dalam keluarga, tetapi tidak terungkap karena kasus kekerasan anak cenderung dipandang sebagai aib. Di Kabupaten Banyumas dalam putusan Hakim Nomor 21/Pid.Sus/PN.Pwt terjadi pula kekerasan pada anak yang menimpa Ido Bagus Pratama Putra berumur 15 tahun. Pada awalnya Ido Bagus Pratama Putra mendapat tantangan berkelahi dengan Tegar Ahmad Sulaiman, perkelahian dimenangkan oleh Ido Bagus Pratama Putra, tetapi Tegar Ahmad Sulaiman yang merasa kalah mengadu kepada orang tuanya yaitu Dedy Stanzah.
6
Joe Leribun, Selasa, 11 September 2012, 21:48 WIB, KPAI: Kek erasan Terhadap Anak Terbanyak di Keluarga, http://nasional.kompas.com/read/2012/09/11/21482667/KPAI. Kekerasan.Terhadap.Anak.Terbanyak.Di.Keluarga , diakses pada tanggal 21 September 2012. 7 NN, Angka Kekerasan pada Anak Meningkat, http://www.jpnn.com b/read/2011/06/14/94972/Angka-Kekerasan-pada --Anak-Meningkat-, diakses pada tanggal 21 September 2012.
5
Dedy Stanzah mengamuk dan mencari anak yang bernama Ido, kemudian bertemu Ido yang sedang berjalan. Sambil memegang kerah baju saksi Ido, dan tanpa menunggu lama terdakwa langsung memukuli wajah dan tubuh saksi Ido, namun saksi korban Sondy Wahyu Kurniawan yang saat itu menyaksikan kejadian tersebut berusaha menghentikan perbuatan terdakwa namun terdakwa bertambah marah, dan mengalihkan perhatiannya kepada saksi korban Sondy Wahyu Kurniawan yang masih berumur 16 tahun, kemudian saat itu juga terdakwa dengan menggunakan kedua tangannya langsung memukul wajah dan kepala saksi korban Sondy Wahyu Kurniawan berkali-kali dengan kejam, serta menendang
kepala
bagian
belaka ng, sebanyak 1 (satu)
kali
sehingga
menyebabkan saksi korban Sondy Wahyu Kurniawan terjatuh ke tanah dengan luka memar diba gian kepala dan wajah. Akibat perbuatannya Sondy dan Ido mengalami luka parah dan terdakwa dipidana penjara 7 (tujuh) bulan dan denda sebesar Rp 60.000. 000,00 (enam puluh juta rupiah) dengan ketentuan jika terdakwa tidak membayar denda tersebut maka diganti dengan pidana kurungan. 8 Mengenai kekerasan anak telah lahir Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Berdasarkan ketentuan-ketentuan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 80 menyatakan bahwa : (1)
(2)
8
Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Putusan Nomor 21/Pid.Sus/PN.Pwt.
6
(3)
(4)
Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.
Berdasarkan kasus penganiayaan anak dikaitkan dengan Pasal 80 jelas bahwa Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memiliki peranan yang penting dalam membuktikan ada atau tidaknya kekerasan. Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga merupa kan dakwaan hakim dalam membuktikan tindak pidana kekerasan. Alasan yang mendorong penulis melakukan penelitian yang disusun dalam bentuk skripsi antara lain : 1.
Cukup banyak angka kekerasan terhadap anak.
2.
Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga memiliki peranan yang vital dalam membuktikan tindak pidana kekerasan.
3.
Setiap putusan haruslah memenuhi aspek kepastian hukum, aspek keadilan, aspek kemanfaatan dalam upaya penanggulangan kekerasan terhadap anak.
Atas dasar hal-hal yang diuraikan dalam latar belakang tersebut menjadi pendorong bagi penulis untuk melakukan penelitian guna penyusunan skripsi yang
berjudul “KEKERASAN TERHADAP ANAK
(Studi terhadap
7
Penerapan Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam Putusan Nomor 21/Pid.Sus/PN.Pwt)”.
B.
Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas maka dapat diambil suatu rumusan masalah yaitu
sebagai berikut : 1.
Bagaimana penerapan Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam Putusan Nomor 21/Pid.Sus/PN.Pwt?
2.
Apakah putusan Hakim Nomor 21/Pid.Sus/PN.Pwt telah memenuhi aspek kepastian hukum, aspek keadilan, aspek kemanfaatan dalam upaya penanggulangan kekerasan terhadap anak?
C.
Tujuan Penelitian 1.
Untuk mengetahui dan menganalisis penerapan Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam Putusan Nomor 21/Pid.Sus/PN.Pwt.
2.
Untuk menganalisis putusan Hakim Nomor
21/Pid.Sus/PN.Pwt
kesesuaiannya dengan pemenuhan aspek kepastian hukum, aspek keadilan, aspek kemanfaatan dalam upaya penanggulangan kekerasan terhadap anak.
8
D.
Kegunaan Penelitian 1.
Kegunaan teoritis a.
Penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
kontribusi
pemikiran yang berupa perbendaharaan konsep, ataupun pengembangan teori dalam khasanah studi hukum khususnya hukum pidana. b.
Penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
gambaran
mengenai penerapan Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
2.
Kegunaan Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pihak
terkait baik hakim, kepolisian dan kejaksaan mengenai penerapan Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.
Tindak Pidana Tindak pidana dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti perbuatan
melanggar hukum, perbuatan kejahatan. 9 Sedangkan tindak pidana dalam bahasa belanda artinya Straafbaar feit yang merupakan istilah resmi dalam straafwetboek atau KUHP. Ada juga istilah dalam bahasa asing yaitu delict, tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukuman pidana. Pelaku ini dapat dikatakan merupakan “subjek” tindak pidana. 10 Tindak pidana menurut Moeljatno memberikan pengertian tindak pidana sebagai berikut: Kelakuan dan kejadian yang ditimbulkan ole h kelakuan dan sebagai perbuatan pidana yang tidak dihubungkan dengan kekua saan yang merupakan pertanggungjawaban pidana pada orang yang melakukan perbuatan pidananya. 11 Tindak pidana (Straafbaar feit) menurut Simons adalah “Kelakuan (handeling ) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang diancam oleh orang yang mampu
9
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet I, Jakarta : Balai Pustaka, hal. 326. 10 Wirjono Prodjodikoro, 2003, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Cet 3, Bandung : Refika Aditama, hal. 59. 11 Bambang Poernomo, 1993, Asas -Asas Hukum Pidana, Cet 6, Jakarta : Ghalia Indonesia, hal . 129.
10
bertanggung jawab”. 12 Van Hammel merumuskan istilah tindak pidana dengan rumusan delik yaitu sebagai berikut: ”Kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan” 13 dan Vos memberikan perumusan mengenai tindak pidana antara lain yaitu suatu manusia yang oleh perundang-undangan diberi pidana. Jadi kelakuan manusia yang pada umumnya dilarang dan diancam dengan pidana (eene wettelijke omschreveen menschlijke gedraging, onrechmatig, straafwaarding een aan schuld te witjen).14 Menurut Pompe merumuskan tindak pidana sebagai berikut; Suatu pelanggaran kaidah (penggangguan ketertib an umum) terhadap mana pelaku mempunyai kesalahan untuk mana pemidanaan adalah wajar menyelenggarakan ketertiban umum dan menjamin kesejahteraan umum.15 R. Tresna merumuskan tindak pidana dengan istilah peristiwa pidana yang diartikan sebagai berikut: Sesua tu perbuatan/rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang lain terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman. Sebagai patokan yang disebut dengan peristiwa pidana itu harus mencakup syarat-syarat sebagai berikut: a. b. c.
12
Harus ada suatu perbuatan manusia; Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam ketentuan umum; Harus terbukti adanya dosa pada orang yang berbuat, yaitu orangnya harus dapat dipertanggungjawabkan;
S.R Sianturi, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana dan Penerapannya, Jakarta : Storia Grafika, hal. 205. 13 Andi Hamzah, 2008, Asas -Asas Hukum Pidana, Cet III, Jakarta : Rineka Cipta, hal . 88. 14 Ibid., hal. 90. 15 Ibid., hal. 205.
11
d. e.
Perbuatan itu harus melawan dengan hukum; Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukumannya didalam undang-undang. 16
Satochid Kartanegara dalam rangkaian kuliahnya memakai istilah tindak pidana sebagai strafbaar feit, karena istilah tindak (tindakan) mencakup pengertian sebagai berikut: “Melakukan atau berbuat dan/atau pengertian tidak melakukan, tidak berbuat, tidak melakukan suatu perbuatan”.17 Istilah tindakan sebagai Strafbaar feit lebih tepat digunakan karena istilah tersebut lebih dapat diterima oleh kalangan masyarakat luas. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. 18
B.
Kekerasan Kekerasan (violence) adalah ancaman atau penggunaan kekuatan fisik untuk
menimbulkan kerusakan pada orang lain. Berkaitan dengan kekerasan, teori belajar sosial menjelaskan bahwa anak mempelajari perilaku baru melalui pengamatan terhadap model, mengimitasi dan mempraktikka nnya ke dalam perila ku nyata.
19
Kekerasan dalam berbagai bentuk menjadi motif sebagian perilaku budaya masyarakat Indonesia yang hingga kini merupakan mainstream yang mereduksi tata nilai kepribadian bangsa dan memberikan kesan betapa iklim solideritasan manusia belum sepenuhnya mampu memiliki kepribadian mawas diri secara 16
R.Tresna, 1959, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Tiara Limeted, hal. 27. Ibid., hal. 208. 18 Moeljanto, 1993, Asas-Asas Hukum Pidana, Cet 8, Jakarta : Rineka Cipta, hal. 59. 19 NN, Teori Kekerasan, http://siar.endonesa.net/utty/2008/10/31, diakses pada tanggal 09 Juli 2010 . 17
12
politis, ekonomis dan sosial kepribadian bangsa dan memberikan kesan betapa iklim solideritasan manusia belum sepenuhnya mampu memiliki kepribadian mawas diri secara politis, ekonomis dan sosial. 20 M. Marwan dan Jimmy menyatakan bahwa kekerasan adalah hal yang bersifat atau berciri keras yang menyebabkan cidera atau matinya orang lain kerusakan fisik, atau barang atau paksaan. 21 Kekerasan sudah mengakrabi kehidupan keseharian masyarakat kita. Penyelesaian konflik selalu saja disertai dengan tindakan kekerasan. Tindakan kekerasan yang kerap terjadi bukan hanya dilakukan oleh individu-individu sebagai anggota masyarakat, tetapi juga oleh aparat negara. Johan Galtung membagi tipologi kekerasan menjadi 3 (tiga) yait u kekerasan langsung, kekerasan kultural, dan kekerasan struktural. Kekerasan langsung adalah sebuah peristiwa (event); kekerasan struktural adalah sebuah proses; sedangkan kekerasan kultural adalah sesuatu yang bersifat permanen. Ketiga tipologi kekerasan ini memasuki waktu secara berbeda, yang analog dengan perbedaan dalam teori gempa bumi antara gempa bumi sebagai suatu peristiwa (kekerasan langsung), gerakangerakan lempeng tektonik sebagai sebuah proses (kekerasan struktural), dan garisgaris retakan sebagai suatu kondisi yang permanen (kekerasan kultural). Kondisi ini mengarah ke suatu citra strata kekerasan fenomenologi kekerasan. Kekerasan kultural merupakan strata yang paling dasar dan merupakan sumber inspirasi bagi kekerasan struktural dan kekerasan langsung. Strata berikutnya kekerasan struktural berupa ritme-ritme kekerasan yang melokal dan 20
M. Magfur, 2003, Anatomi Kekerasan Manusia a ntara Entitas Mencinta dan Kematian dalam Pemikiran Pekikiran Revolusioner, Malang : QAverroes Press, hal. 223. 21 M. Marwan dan Jimmy P., 2009, Kamus Hukum , Surabaya : Reality Publisher, hal. 343.
13
merupakan pola-pola dari kekerasan kultural. Puncaknya, kekerasan yang tampak oleh mata berupa kekerasan langsung yang dilakukan oleh manusia terhadap yang lain. 22 Kekerasan langsung mewujud dalam perilaku, misalnya pembunuhan, pemukulan, intimidasi, penyiksaan. Kekerasan struktur atau kekerasan yang melembaga mewujud dalam konteks, sistem, dan struktur, misalnya diskriminasi dalam pendidikan, pekerjaan, pelayanan kesehatan. Kekerasan kultural mewujud dalam sikap, perasaan, nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat misalnya, kebencian, ketakutan, rasisme, ketidaktoleranan. 23 Menurut sifatnya kekerasan ada 2 (dua) yaitu kekerasan personal dan kekerasan struktural. Kekerasan personal bersifat dinamis, mudah diamati, memperlihatkan fluktuasi yang hebat yang dapat menimbulkan perubahan sedangkan kekerasan struktural sifatnya statis, memperlihatkan stabilitas tertentu dan tidak tampak. Kekerasan struktural mengambil bentuk-bentuk seperti eksploitasi, fragmentasi masyarakat, rusaknya solidaritas, penetrasi kekuatan luar yang menghilangkan otonomi masyarakat, dan marjinalisasi masyarakat sehingga meniadakan partisipasi masyarakat dalam mengambil keputusan tentang nasib mereka sendiri. Kekerasan struktural ini juga menimbulkan kemiskinan, ketidakmerataan pendapatan dan kekayaan, ketidakadilan sosial, dan alienasi atau peniadaan individual karena proses penyeragaman warga negara. 24
22
Johan Galtung, 2003, Studi Perdamaian : Perdamaian dan Konflik Pembangunan dan Peradaban, Surabaya : Pustaka Eureka, hal. 438 . 23 Simon Fisher, et.al, 2001, Mengelola Konflik : K eterampilan & Strategi untuk Bertindak , Jakarta : The British Council , hal. 10. 24 Justin Sihombing, 2005, Kekerasan Terhadap Masyarakat Marjinal, Yogyakarta : Penerbit Narasi, hal. 8-9.
14
Erich Fromm menyatakan teori kekerasannya bahwa terjadinya kekerasan dapat dilihat dari segi instingtifistik. 25 Teori tersebut memberikan analisis mengenai agresifitas manusia secara berbeda. Inti dari instingtifistik adalah untuk memahami perilaku agresi manusia merupakan tindakan yang terlepas dari kondisi sosial budaya atau lingkungan sekitarnya. 26 Fromm memaparkan perilaku agresif itu dilihat dari teori agresi yang dimiliki oleh Lorenz, seorang etholog (biolog yang mempelajari tingkah laku binatang untuk diterapkan pada manusia). Agresi binatang, demikian Lorenz, timbul dari dorongan insting yang sangat kuat. 27 Teori ini hampir sama dengan apa yang dipaparkan Freud, yaitu bahwa agresivitas adalah insting yang didorong oleh kekuatan yang secara alami ada, dan harus diingat bahwa agresivitas ini tidak selalu ditentukan dari lingkungan eksternal; tidak selalu merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar. Bahkan, bisa jadi, rangsangan dari luar tersebut hanyalah merupakan instrumen dan mediator sifat agresi manusia, sehingga energi atau kekuatan agresivitas itu sendiri ada penyalurannya. Hanya, jika lingkungan eksternal tidak memiliki ruang dan waktu untuk mendorong energi agresi, maka secara spontan insting akan meledak tanpa stimulasi dari objek yang dibutuhkan sebagai alat penyaluran tadi. Bagi Lorenz, agresi kebinatangan yang dimiliki manusia justru akan lebih membahayakan dan menjadi lebih liar, sebab agresi telah ditransformasikan menjadi ancaman dan bukan merupakan media untuk kehidupan yang damai. 28
25 26 27 28
Ibid, hal. 226. Ibid, hal. 227. Loc cit. Loc cit.
15
C.
Kekerasan Terhadap Anak 1.
Definisi Anak Definisi anak secara nasional didasarkan pada batasan usia menurut
hukum pidana, hukum perdata , hukum adat, dan hukum islam. Secara internasional definisi anak tertuang dala m Konvensi Perserikatan BangsaBangsa mengenai Hak Anak atau United Nation Convention on The Right of The Child tahun 1989, aturan standar minimum PBB mengenai Pelaksanaan Peradilan Anak dan Deklarasi Hak Asasi Manusia tahun 1948. Secara nasional
definisi
anak
menurut
perundang-undangan,
diantaranya
menjelaskan anak adalah seorang yang belum menca pai usia 21 tahun atau belum menikah. 29 Menurut Nicholas McBala, dalam buku Juvenile Justice Sistem, mengatakan anak yaitu periode diantara kelahiran dan permulaan kedewasaan. Masa ini merupakan masa perkembangan hidup, juga masa dalam
keterbatasan
kemampua n
termasuk
keterbatasan
untuk
membahayakan orang lain. 30 Menurut Zakariya Ahmad Al Barry yang dikutip oleh Maidin Gultom, dewasa maksudnya adalah cukup umur untuk berketurunan dan muncul tanda laki-laki dewasa pada putra, muncul tanda -tanda wanita dewasa pa da putri. Inilah dewasa yang wajar, yang biasanya belum ada sebelum anak putra berumur 12 tahun dan putri berumur 9 tahun. Apabila anak mengatakan bahwa ia dewasa, keterangannya dapat diterima karena dia 29 30
Ibid., hal. 33. Ibid., hal. 36.
16
sendiri yang mengalami. Apabila sudah melewati usia tersebut di atas tetapi belum nampak tanda-tanda yang menunjukan bahwa ia telah dewasa, harus ditunggu sampai ia berumur 15 tahun. 31 Definisi anak sendiri terdapat banyak pengertian, pengertian tersebut terdiri dari beberapa peraturan yang berlaku di Indonesia, diantaranya yaitu : a.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak merumuskan : “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin”.
b.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak merumuskan bahwa: “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dan bahkan masih dalam kandungan”. Berdasarkan hal tersebut, anak yang belum dilahirkan dan masih di dalam kandungan ibu menurut undang-undang ini telah mendapatkan suatu perlindungan hukum. Selain terdapat pengertian anak, dalam undang-undang ini terdapat pengertian mengenai anak terlantar, anak yang menyandang cacat, anak yang memiliki keunggulan, anak angkat dan anak asuh. Menurut
31
Maidin Gultom , 2010, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di In donesia, Bandung : PT. Refika Aditama, hal. 31 .
17
S. 1931 No. 54 jika dalam perundang-undangan dipakai istilah Minderjarig (belum cukup umur) terhadap golongan bumi putera maka yang dimaksud ialah mereka yang umurnya belum cukup dua puluh satu tahun dan belum kawin. Apabila ia kawin belum mencapai umur dua puluh satu tahun dan bercerai ia tidak kembali menjadi belum cukup umur. c.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradila n Pidana Anak Pasal 1 angka 3 menyatakan bahwa : Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Pasal 1 angka 4 menyatakan bahwa : Anak yang menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tinda k pidana.
2.
Kekerasan Terhadap Anak Dalam kekerasan terhadap anak dikenal istilah abuse. Abuse adalah
kata
yang
biasa
diterjemahkan
menjadi
kekerasan
penganiayaan,
penyiksaan, atau perlakuan salah. Dalam hal ini Richard J.Gelles mengartikan child abuse seba gai “intentional acts that result in physical or emotional harm to children. The term child abuse covers a wide range of behavior, from actual physical assault by parents or other adult caretakers
18
to neglact at at a child’s basic needs” (Kekerasan terhadap anak adalah perbuatan disengaja yang menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak secara fisik maupun emosional. Istilah child abuse meliputi berbagai macam bentuk tingkah laku, dari tindakan ancaman fisik secara langsung oleh orang tua atau orang dewasa lainnya sampai kepada penelantaran kebutuhan-kebutuhan dasar anak). 32 Sementara itu Barker mendefinisikan kekerasan terhadap anak adalah tindakan melukai yang berulang-ulang secara fisik dan emosional terhadap anak yang ketergantungan, melalui desaka n hasrat, hukuman badan yang tak terkendali, degradasi dan cemoohan permanen atau kekerasan seksual, biasanya dilakukan para orang tua atau pihak lain yang seharusnya merawat anak. 33 Kekerasan terhadap anak-anak (child abuse) berkisar dari pengabaian anak sampai kepada perkosaan dan pembunuhan. Terry E. Lawson, psikiater anak yang dikutip Rakhmat dalam Baihaqi mengklasifikasikan kekerasan terhadap anak (child abuse) menjadi empat bentuk, yaitu: emotional abuse, verbal abuse, physical abuse, dan sexual abuse. Sementara Suharto mengelompokkan child abuse menjadi physical abuse (kekerasan secara fisik), psychological abuse (kekerasan secara psikologis), sexual abuse (kekerasan secara seksual), dan social abuse (kekerasan secara sosial). Keempat bentuk child abuse ini dapat dijelaskan sebagai berikut:34
32
Abu Huraerah, 2006, Kekerasan terhadap Anak , Bandung : Nuansa, hal. 36. Abdul Wahid, 2001, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Advokasi atas Hak Asasi Perempuan, Bandung : Refika Aditama, hal. 31. 34 Abu Huraerah, 2007, Child Abuse, Cet 2, Bandung : Nuansa, hal 47-48. 33
19
a.
Kekerasan anak secara fisik, adalah penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan terhadap anak dengan atau tanpa menggunakan benda -benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Bentuk luka da pat berupa lecet, atau memar akibat persentuhan atau kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan, cubitan, ikat pinggang atau rotan.
b.
Kekerasan
anak
secara
psikis,
meliputi
penghardikan,
penyampaian kata-kata kasar dan kotor, memperlihatkan buku gambar,
dan
film
pornografi
pada
anak.
Anak
yang
mendapatkan perlakuan ini umumnya menunjukan gejala perilaku maladaftif, seperti menarik diri, pemalu, menangis jika didekati, takut ke luar rumah dan takut bertemu dengan orang lain. c.
Kekerasan anak secara seksual, dapat berupa perlakuan prakontrak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar visual), maupun perlakuan kontrak seksual secara langsung antara anak dengan orang dewasa (incest, perkosaan, eksploitasi seksual).
d.
Kekeras an secara sosial, dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penela ntaran anak adalah sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian layak terhadap proses tumbuh kembang anak. Misalnya, anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga, atau tidak diberikan pendidikan dan
20
perawatan kesehatan yang layak. Eksploitasi anak menunjukan pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat. Sebagai contoh, memaksa anak untuk melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial atau politik tanpa memperhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikisnya dan status sosialnya. Misalnya anak dipaksa untuk bekerja demi kepentingan ekonomi yang harus terpenuhi. Pembuatan
Undang-Undang
No.
23
Tahun
2002
di
atas
dilatarbelakangi oleh peratifikasian Konvensi Hak Anak oleh Indonesia pada tahun 1990 setelah konvensi ini diadopsi oleh Majelis Umum PBB guna mengatur masalah hak dan kebutuhan khusus anak-anak. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002, menyebutkan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pasal ini mempunyai cakupan yang sangat luas karena anak yang belum dilahirkan dan mas ih di dalam kandungan ibu menurut undang-undang ini telah mendapatkan suatu perlindungan hukum.
3.
Faktor dan Dampak Kekerasan Terhadap Anak Terjadinya kekerasan terhadap anak disebabkan oleh beberapa faktor
yang mempengaruhinya. Faktor-faktor yang mempengaruhinya begitu
21
kompleks, seperti yang dijelaskan oleh Suharto, kekerasan terhadap anak umumnya disebabkan oleh faktor internal yang berasal dari anak sendiri maupun faktor eksternal yang berasal dari kondisi keluarga dan masyarakat, seperti: a.
b. c. d.
e.
f. g.
Anak mengalami cacat tubuh, gangguan tingkah laku, autisme, ketidaktahuan anak akan hak-haknya, anak terlalu tergantung kepada orang dewasa. Kemiskinan keluarga, orang tua menganggur, penghasilan tidak cukup, banyak anak. Keluarga tunggal atau keluarga pecah (Broken Home). Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidaktahuan mendidik anak, harapan orang tua yang tidak realistis, anak yang tidak diinginkan, anak lahir di luar nikah. Penyakit parah atau gangguan mental pada salah satu atau kedua orang tua. Gangguan mental pada orang tua bisa juga memegang peran penyebab timbulnya penganiayaan atau penelantaran anak karena pola berfikir atau keputusan-keputusan orang tua menjadi terganggu. Sejarah penelantaran anak. Orang tua yang semasa kecilnya mengalami perlakuan salah cenderung memperlakukan salah anak-anaknya. Kondisi lingkungan sosial yang buruk, permukiman kumuh, tergusurnya tempat bermain anak, sikap acuh tak acuh terhadap tindakan eksploitasi, pandangan terhadap nilai anak yang terla lu rendah. 35
Selain faktor yang di atas, harus diakui selama ini masih ada budaya dalam masyarakat yang kurang menguntungkan terhadap anak. Meski belum ada rincian budaya mana saja yang merugikan anak, tetapi sejumlah studi telah membuktikan bahwa di sekitar kita masih banyak dijumpai praktek-praktek budaya yang merugikan anak baik yang merugikan secara fisik maupun emosional. Misalnya, dalam praktek pengasuhan anak yang menekankan kepatuhan kepada orangtua. Dalam rangka menegakkan dan
35
Abu Huraerah, Op.cit., hal. 39 .
22
menjunjung tinggi nilai kepatuhan masyarakat membiarkan dan mentolerir hukuman fisik, perkataan kasar, makian, maupun yang berbentuk pengisolasian sosial anak. 36 Sementara itu, menurut Rusmil menjelaskan bahwa penyebab terjadinya kekerasan dan penelantaran terhadap anak dibagi kedalam tiga faktor: 37 a.
Fakt or Orang tua/Keluarga Faktor orang tua memegang peranan penting terjadinya
kekerasan dan penelantaran terhadap anak. Faktor-faktor yang menyebabkan orang tua melakukan hal tersebut adalah:
b.
1)
Praktik-praktik budaya yang merugikan anak,
2)
Dibesarkan dengan penga niayaan,
3)
Gangguan mental,
4)
Belum mencapai kematangan fisik, emosi maupun sosial,
5)
Pecandu minuman keras dan obat.
Faktor Lingkungan sosial/komunitas Kondisi sosial juga dapat menjadi penyebab terjadinya
kekerasan dan penelantaran terhadap anak. Lingkungan adalah berbagai faktor dan kondisi yang melingkupi dan sedikit banyak mempengaruhi kehidupan serta kehidupan seorang anak. Faktor lingkungan yang dapat menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap anak antara lain: 36
Bagong Suyanto, 2003, Pelanggaran Hak dan Perlindungan Sos ial Bagi Anak Rawan, Surabaya : Airlangga University Press, hal. 19. 37 Abu Hurerah, Op. cit., hal. 40.
23
1)
Kemiskinan
dalam
masyarakat
dan
tekanan
nilai
materialistis, 2)
Kondisi sosial ekonomi yang rendah,
3)
Adanya anggapan orang tua bahwa anak adalah milik orang tua sendiri,
c.
4)
Status wanita yang dianggap rendah,
5)
Nilai masyarakat yang terlalu individualistis.
Faktor anak itu sendiri Faktor yang menyebabkan terja dinya kekerasan dan penelantaran
terhadap anak dari anak itu sendiri antara lain: 1)
Penderita gangguan perkembangan, menderita penyebab penyakit kronis disebabkan ketergantungan anak kepada lingkungannya,
2)
Perilaku menyimpang pada anak.
Moore dan Parton mengungkapkan ada sebagian masyarakat yang berpendapat bahwa kekerasan yang terjadi terhadap anak lebih disebabkan oleh faktor individual dan ada juga yang menganggap bahwa faktor struktur sosial yang lebih penting. Orang menganggap faktor individual penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak mengatakan bahwa orang tua yang menganiaya anaknya mempunyai karakteristik tertentu seperti mempunyai latar belakang yang juga penuh kekerasan, ia juga terbiasa menerima pukulan. Sedangkan Richard J. Gelles mengemukakan bahwa kekerasan terhadap anak terjadi akibat kombinasi dari berbagai faktor personal, sosial
24
dan kultural. Faktor -faktor tersebut dikelompokkan ke dalam empat kategori utama, yaitu: pewarisan kekerasan antar generasi, stress sosial, isolasi sosial dan keterlibatan masyarakat bawah, dan struktur keluarga.38 Mengenai keempat faktor penyebab kekerasan terhadap anak tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: a.
Pewarisan Kekerasan Antar Generasi Banyak anak belajar perilaku kekerasan dari orang tua dan ketika
tumbuh menjadi dewasa mereka melakukan kekerasan kepada anaknya. Anak-anak
yang
mengalami
perlakuan
salah
dan
kekerasan mungkin menerima perilaku ini sebagai model perilaku mereka sendiri sebagai orang tua. Tetapi sebagian dari anak-anak yang diperlakukan dengan kekerasan tidak menjadi orang dewasa yang memperlakukan kekerasan kepada anaknya. Anak yang yakin bahwa perilaku buruk dan layak mendapat tindakan kekerasan akan lebih sering menjadi orang tua yang memperlakukan anaknya secara salah, dibandingkan anak-anak yang yakin bahwa orang tua mereka salah memperlakukan mereka dengan tindakan kekerasan. b.
Stress Sosial Stress yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi meningkatkan
resiko kekerasan terhadap anak dalam keluarga kondisikondisi sosial ini mencakup pengangguran, penyakit, kondisi perumahan yang buruk, ukuran kelurga besar dari rata-rata. Tindakan
38
Ibid., hal. 42 .
25
kekerasan terhadap anak ini juga terjadi dalam keluarga-keluarga kelas menengah dan kaya. Penggunaan alkohol dan narkoba yang umum di antara orang tua yang melakuka n tindakan kekerasan memperbesar stress dan merangsang perilaku kekerasan. c.
Isolasi Sosial dan Keterlibatan Masyarakat Bawah Orang tua dan pengganti orang tua yang melakukan tindakan
kekerasan terhadap anak cenderung terisolasi secara sosial. Sedikit sekali orang tua bertindak keras ikut serta dalam suatu organisasi masyarakat dan kebanyakan mempunyai hubungan sedikit dengan teman atau kerabat. Kekurangan keterlibatan sosial ini menghilangkan sistem dukungan dari orang tua yang bertindak keras, yang akan membantu mereka mengatasi stress keluarga atau sosial dengan lebih baik. d.
Struktur Keluarga Tipe-tipe keluarga tertentu memilki resiko yang meningkat untuk
melakukan tindakan kekerasan dan pengabaian kepada anak. Misalnya, orang tua tunggal lebih memungkinkan melakukan tindakan kekerasan terhadap anak di bandingkan dengan orang tua utuh.
Karena
keluarga
dengan
orang
tua tunggal
biasanya
berpendapat lebih kecil dibandingkan keluarga lain, sehingga hal tersebut dapat dikatakan sebagai penyebab meningkatnya tindakan kekerasan terhadap anak. Selain itu keluarga dimana baik suami atau istri mendominasi di dalam membuat keputusan.
26
Tindak kekerasan yang terjadi pada anak mempunyai dampak yang sangat besar terhadap anak, tidak hanya dampak secara fisik tetapi juga psikologi anak. Kekerasan dapat menyebabkan anak kehilangan hal-hal yang paling mendasar dalam kehidupannya dan pada gilirannya berdampak sangat serius pada kehidupan anak pada kemudian hari, antara lain: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9)
Cacat tubuh permanen, Kegagalan belajar, Gangguan emosional bahkan dapat menjurus pada gangguan kepribadian, Konsep diri yang buruk dan ketidakmampuan untuk mempercayai dan mencinta orang lain, Pasif dan menarik diri dari lingkungan, takut membina hubungan baru dengan orang lain, Agresif dan kadang-kadang melakukan tindakan kriminal, Menjadi penganiaya setelah dewasa, Menggunakan obat-obatan dan alkohol, Kematian. 39
Richard J. Gelles menjelaskan bahwa konsekuensi dari tindakan kekerasan dan penelantaran anak dapat menimbulkan kerusakan dan akibat yang lebih luas. Dampak fisik seperti terjadi luka -luka, memar, goresan, luka bakar, hingga kerusakan otak, dan kematian, sedangkan efek psikologis pada anak korban kekerasan dan penganiayaan bisa seumur hidup, seperti: rasa harga diri rendah, ketidakmampuan berhubungan dengan teman sebaya, masa perhatian tereduksi. Dalam beberapa kasus, kekerasan dapat mengakibatkan gangguan kejiwaan, seperti depresi, kecemasan yang berlebihan, atau gangguan intensitas disosiatif, dan bertambahnya resiko bunuh diri. 40
39 40
Ibid., hal. 43. Ibid., hal. 44.
27
Menurut pendapat Berstein, Endang Ekowarni menyatakan bahwa anak-anak yang menjadi korban maupun pelaku kekerasan, menghadapi resiko yang sangat kompleks. Beberapa aspek yang perlu dicermati adalah bentuk atau jenis kekerasan, usia anak pada saat mengalami kekerasan, frekuensi tingkat kekerasan yang terjadi, proses hukum yang berkaitan dengan keterlibatan psikologi anak. Dampak kekerasan secara psikis sulit dibuktikan apalagi ketika masing-masing pasangan saling menegaskan bahwa tidak terjadi kekerasan psikis. Melalui berbagai cara pertahanan diri, biasanya pelaku mundur sesaat untuk mengambil hati korban dan pada situasi yang lain kekerasan terjadi lagi. 41
D.
Perlindungan Terhadap Anak Anak sebagai tunas, potensi, dan generasi penerus cita-cita bangsa memiliki
peran strategis dalam menjamin eksistensi bangsa dan negara di masa mendatang. Agar mereka kelak mampu memikul tanggung jawab itu, maka mereka perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, sosial, maupun spiritual. Mereka perlu mendapatkan hak-haknya, perlu dilindungi dan disejahterakan. Karenanya, segala bentuk tindak kekerasan pada anak perlu dicegah dan diatasi. Pendidikan termasuk hal yang sangat penting yang harus diperhatikan di dalam membina anak-anak. Dengan bersekolah anak memiliki kegiatan yang bermanfaat bagi masa depannya dan sangat baik untuk perkembangannya. 41
Mufidah, dkk, 2006, Haruskah Perempuan dan Anak Dikorbankan?, Yogyakarta : Pilar Media, hal. 87.
28
Sejak tahun 1979 pemerintah telah menetapkan sebuah peraturan untuk meletakkan anak-anak dalam sebuah lembaga proteksi yang cukup aman, yaitu Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak yang dengan tegas merumuskan, setiap anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan sejak dalam kandungan sampai dengan sesudah dilahirkan. Dalam koridor tersebut, terhadap anak tidak dibenarkan adanya perbuatan yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan. Seorang anak yang tidak dapat diasuh dengan baik oleh orang tuanya dapat mengakibatkan pembatalan hak asuh orang tua. Langkah pemerintah selanjutnya adalah menetapkan U ndang-Undang Pengadilan Anak yang diharapkan dapat membantu anak yang berada dalam proses hukum tetap untuk mendapatkan hak-haknya. Pemerintah menetapkan pula UndangUndang No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak yang secara tegas pula menggariskan bahwa anak adalah penerus generasi bangsa yang harus dijamin perlindungannya dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi. Hak Asasi Anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Konvensi P erserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara anak adalah bagian integral dari sebuah Negara yaitu generasi muda agen penerus perwujudan cita-cita sebuah bangsa. Sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal serta berhak atas perlindungan dari segala macam bentuk tindak kekerasan, ancaman dan diskriminasi. Anak juga memiliki hak kebebasan berekspresi dan dihargai hak-hak sipilnya.
29
Indonesia sebagai Negara yang telah mendedikasikan diri untuk menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (bahkan diakui dalam dasar Negara) telah memberikan perlindungan khusus bagi penerus bangsa ini. Selain Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia , Indonesia telah memberikan perlindungan terhadap anak secara khusus melalui Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang secara substansi sudah cukup mengakomodir hak-hak anak. Dari peraturan-peraturan yang telah dibuat ini idealnya dijadikan dasar yuridis dalam membe rikan pemenuhan perlindungan terhadap anak. Undang-Undang No.
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
mendefinisikan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang termuat dalam Undang-U ndang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan BangsaBangsa tentang Hak-Hak Anak dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa. Berdasarkan ketentuan yang ada dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan A nak yang mengatakan bahwa seorang anak adalah berumur di bawah usia 18 (delapan belas) tahun, masalah pokok yang harus dihadapi setiap Negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia, yaitu masih banyaknya anak-anak yang harus memikul tanggung jawab di luar batas kemampuannya, sebagai akibat kehidupan sosial, ekonomi da n nilai- nilai budaya
30
yang kurang mendukung anak dalam memenuhi hak-hak dasarnya, sehingga tidak dapat hanya dipahami secara yuridis saja, tetapi menyangkut faktor tingkat sosial, ekonomi, budaya dari anak dimana dia berada (sesuai wilayahnya). Adapun hak-hak anak yang tercantum dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 relatif lebih lengkap dan cukup banyak dicantumkan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak. Pasal-Pasal yang berkaitan dengan hak-hak anak tersebut adalah sebagai berikut: 1.
Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 4).
2.
Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan (Pasal 5).
3.
Selain itu seorang anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tuanya (Pasal 6).
4.
Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri (Pasal 7 ayat (1)). Dalam hal karena suatu sebab orang tua tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar, maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 7 ayat (2)).
31
5.
Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial (Pasal 8).
6.
Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya (Pasal 9 ayat (1)), selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) khusus bagi anak penyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedang bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus (Pasal 9 ayat (2)).
7.
Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari dan mendapatkan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan (Pasal 10).
8.
Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, berkreasi ses uai dengan bakat, minat, dan tingkat kecerdasannya demi perkembangan diri (Pasal 11).
9.
Setiap anak penyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial (Pasal 12).
10.
Setiap anak dalam masa pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat
32
perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi, penelantaran, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya (Pasal 13 ayat (1)), dalam hal orang tua, wali, atau pengasuh
anak
dalam
melakukan
segala
bentuk
perlakuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman (Pasal 13 ayat (2)). 11.
Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, ke cuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir (Pasal 14).
12.
Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam sengketa bersenjata, pelibatan dalam kerusuhan sosial, pelibatan dalam masalah yang mengandung kekerasan, dan pelibatan dalam peperangan (Pasal 15).
13.
Setiap
anak
berhak
memperoleh
perlindungan
dari
sasaran
penganiayaan, penyiksaan, dan penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi (Pasal
16 ayat (1)), setiap anak berhak mendapatkan
kebebasan sesuai hukum (ayat (2)), penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir (ayat (3)). 14.
Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk mendapat perlakuan secara manusiawi dan penempatan dipisahkan dari orang
33
dewasa, memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku, dan membela diri dan memperoleh keadilan didepan pengadilan anak yang obyektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum (Pasal 17 ayat (1)), setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak untuk dirahasiakan (ayat (2)). 15.
Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya (Pasal 18).
Sebagai salah satu negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) sejak tahun 1990, negara Indonesia mempunyai kewajiban melaksanakan kesepakatan-kesepakatan tindak lanjut dan memenuhi hak-hak anak sesuai butirbutir konvensi. Dengan telah diratifikasinya Konvensi Hak Anak, negara mempunyai tanggung jawab untuk mengimplementasikan Konvensi Hak Anak ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun keadaan Negara yang mengalami krisis telah menyebabkan kondisi sebagian anak Indonesia secara kualitas mengalami penurunan, sehingga situasi anak Indonesia pun menjadi semakin memprihatinkan, karena korban terbesar akibat krisis adalah anak-anak. Akibat dari krisis tersebut banyak hak anak yang semakin terabaikan, bahkan persoalan anak pun menjadi semakin komplek, dari anak jalanan, anak terlantar, pekerja anak, anak-anak korban konflik bersenjata, anak korban trafficking . Oleh sebab itu, disahkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak merupakan suatu lompatan yang sangat besar
34
sekaligus merupakan suatu kemajuan dan perhatian yang luar biasa terhadap anak, terutama dalam upaya pemenuhan hak anak dan perlindungan anak. Pengertian perlindungan anak dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak merupakan instrumen khusus masalah anak-anak, yang didalamnya mengandung prinsip -prinsip dalam upaya melindungi hak-hak anak sebagaimana mestinya sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang secara wajar, dalam masalah hak anak tidak hanya orang tua saja yang mempunyai kewajiban dalam menjamin, melindungi dan memenuhinya akan tetapi masyarakat, pemerintah dan Negara juga ikut serta. Salah satu upaya perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dalam bentuk produk hukum adalah dengan disahkannya undang-undang perlindungan anak. Perlindungan anak menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hakhaknya agar dapat hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Tujuan dari perlindungan anak berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Anak adalah untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpatisipasi secara optimal sesuai dengan
35
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Jika keluarga melakukan kekerasan dan beresiko menjadi sasaran kekerasan, semua bantuan harus diberikan untuk membantu orang tua menangani keluarga mereka secara lebih aman. Dalam hal ini mungkin dibutuhkan kelas-kelas tertentu untuk orang tua, penyuluhan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya tindak kekerasan el bih lanjut. Dalam perlindungan anak diharapkan semua lapisan masyarakat turut serta, sehingga tidak terjadi keterlantaran seperti yang termuat dalam Pasal 72. Sementara itu supaya perlindungan anak berguna dan berhasil seperti yang ada dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, perlindungan hukum bagi kehidupan anak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1.
Faktor ekonomi dan sosial yang dapat menunjang keluarga anak,
2.
Nilai budaya yang memberi kebebasan bagi pertumbuhan anak,
3.
Solidaritas anggota keluarga dan masyarakat untuk meningkatkan kehidupan anak.
Pasal 13 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 menyatakan setiap anak dalam pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: 1.
Diskriminasi,
2.
Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual,
3.
Penelantaran,
36
4.
Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan,
5.
Ketidak adilan, dan
6.
Perlakuan salah yang lain.
Secara garis besar, perlindungan anak dapat dibedakan menjadi 2 (dua) sifat, yaitu perlindungan yang bersifat yuridis dan perlindungan yang bersifat non yuridis. Perlindungan yang bersifat yuridis adalah perlindungan yang menyangkut semua aturan hukum yang mengatur kehidupan anak langsung bagi seorang anak, dalam arti semua aturan hukum yang mengatur kehidupan anak. Perlindungan yang bersifat yuridis meliputi perlindungan dalam bidang hukum publik dan hukum keperdataan, sedangkan perlindungan yang bersifat non yuridis meliputi bidang sosial, kesehatan, pendidikan. 42
E.
Aspek Kepas tian Kemanfaatan dan Keadilan Hukum Setiap orang mengharapkan dapat diterapkannya hukum dalam hal terjadi
peristiwa konkrit. Dalam menegakkan hukum ada 3 (tiga) unsur yang selalu harus diperhatikan,
yaitu:
kepastian
hukum
(Rechtzekerheit),
kemanfaatan
(Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechtigheit). Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku. Hal ini diperlukan untuk tercapainya kepastian hukum. Sudikno Mertokusumo menilai kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Kepastian hukum yang menjadi harapan masya rakat menjadi hal yang sangat 42
13.
Soemitra, 1990, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Jakarta : Bumi Aksara, Jakarta, hal.
37
penting dalam hukum itu sendiri. Hal ini dikarenakan sekaligus apapun isi PasalPasal yang terdapat dalam suatu peraturan hukum, menjadi tidak berarti apa -apa jika tidak dapat memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaannya. Dalam penegakan hukum harus ada kompromi antara ketiga unsur tersebut. Ketiga unsur tersebut harus mendapat perhatian secara proporsional seimbang. Tetapi dalam praktek tidak selalu mudah mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang antara ketiga unsur tersebut. Perlindungan hukum terhadap anak juga dapat dilihat dalam Pasal 80 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai berikut : 1)
2)
Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak R p 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku pidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) (ayat 3) Pidana tambahan sepertiga dari ketentuan sebagaimana dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya (ayat 4).
38
BAB III METODE PENELITIAN
A.
Metode Pendekatan Metode pendekatan yang dipakai adalah pendekatan yuridis normatif yaitu
penelitian yang menggunakan legis positivis, yang menyatakan bahwa hukum identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang. Selain itu konsepsi ini memandang hukum sebagai suatu sistem normatif yang bersifat otonom, tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat.43 Pendekatan normatif bertujuan untuk mempelajari penerapan norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum. Dalam penelitian normatif, suatu kasus dipelajari untuk memperoleh gambaran terhadap dampak dimensi penormaan dalam suatu aturan hukum dalam praktik hukum, serta menggunakan hasil analisanya sebagai bahan masukan (input) dalam eksplanasi hukum. 44 Dalam penelitian ini, peneliti menelaah/mempelajari penerapan normanorma atau kaidah hukum pidana dalam suatu kasus. Metode Penelitian Normatif digunakan untuk mengetahui dan menganalisis penerapan Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam Putusan Nomor 21/Pid.Sus/PN.Pwt, selain itu ditujukan untuk menganalisis kesesuaian aspek kepastian hukum, aspek keadilan, aspek kemanfaatan dengan putusan Hakim Nomor 21/Pid.Sus/PN.Pwt yang memutuskan hukuman penjara 7 (tujuh) 43 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, hal.37. 44 Johny Ibrahim , 2005, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang : Banyumedia Publishing, hal. 120 -121.
39
bulan dan pidana denda sebesar Rp 60.000. 000,00 (enam puluh juta rupiah) dengan ketentuan jika terdakwa tidak membayar denda tersebut maka diganti dengan pidana kurungan terhadap Dedy Stanzah.
B.
Spesifikasi Penelitian Dalam usaha memperoleh data yang diperlukan untuk menyusun penulisan
hukum, maka akan dipergunakan spesifikasi penelitian deskriptif . Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif, yaitu suatu penelitian yang menggambarkan keadaan obyek yang akan diteliti.45 Penelitian ini mencoba menggambarkan penerapan Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak
dalam
Putusan
21/Pid. Sus/PN.Pwt,
selain
itu
juga
menggambarkan kesesuaian aspek kepastian hukum, aspek keadilan, aspek kemanfaatan
dengan
putusan
Hakim
Nomor
21/Pid.Sus/PN.Pwt
yang
memutuskan hukuman penjara 7 (tujuh) bulan terhadap Terdakwa Dedy Stanzah.
C.
Jenis Data Jenis data yang diperlukan untuk dipakai dalam penelitian ini adalah data
sekunder. Data Sekunder dipandang dari sudut mengikat dapat dibedakan : 1.
Bahan Hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya memiliki suatu otoritas, mutlak dan mengikat Bahan hukum primer terdiri dari peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, catatan resmi, lembar negara penjelasan,
45
Bambang Sunggono, 2006, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, hal. 35.
40
risalah, putusan hakim dan yurisprudensi. 46 Dalam penelitian ini bahan hukum primer yang digunakan antara lain Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana , Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2012 Tentang Siste m Peradilan Pidana Anak. 2.
Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa hasil karya dari kalangan hukum dalam bentuk buku-buku atau artikel. Bahan hukum sekunder digunakan dengan pertimbangan bahwa data primer tidak dapat menjelaskan realitas secara lengkap sehingga diperlukan bahan hukum primer dan sekunder sebagai data sekunder untuk melengkapi deskripsi suatu realitas.
D.
Metode Pengambilan Data Bahan Hukum diperoleh dengan melakukan inventarisasi peraturan
perundang-undangan, dokumen resmi, dan literatur yang kemudian dicatat berdasarkan relevansinya dengan pokok permasalahan untuk kemudian dikaji sebagai suatu kajian yang utuh.
46
Ibid., hal. 113.
41
E.
Metode Penya jian Data Hasil penelitian disajikan dalam bentuk teks nara tif yang disusun secara
sistematis. Sistematis disini maksudnya adalah keseluruhan bahan hukum primer yang diperoleh akan dihubungkan bahan hukum sekunder yang didapat serta dihubungkan satu dengan yang lainnya dengan pokok permasalahan yang diteliti sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh.
F.
Analisis Data Data
dianalisis
secara
kualitatif,
yaitu
dengan
menjabarkan
dan
menginterpretasikan data yang berlandaskan pada teori-teori ilmu hukum (Theoritical Interpretation) yang ada. Berdasarkan hasil pembahasan diambil kesimpulan sebagai jawaban terhadap permasalahan yang diteliti.
42
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Hasil Penelitian 1.
Duduk Perkara Terdakwa DEDY STANZAH al TATAN Bin TATA DJAYA
SUBRATA pada hari Sabtu tanggal 18 Juni 2011 sekitar jam 20.00 WIB atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam bulan Juni 2011, bertempat di pertigaan Jalan Timur Alun-alun Gajah Mada Jatilawang, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas atau setidak-tidaknya di tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Purwokerto yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini, melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan atau penganiayaan terhadap anak, perbuatan tersebut dilakukan oleh terdakwa. Awalnya pada hari Sabtu tanggal 18 Juni 2012 sekitar jam 19.30 WIB bertempat di Alun-alun Gajah Mada Jatilawang, Kecamatan Jatilawang Kabupaten Banyumas saksi Ido Bagus Pratama Putra yang masih berumur 15 tahun, mendapat tantangan berkelahi dari saksi TEGAR AHMAD SULAIMAN yang juga masih berumur 15 tahun, kemudian sesampainya di Alun-alun saksi Ido dengan ditemani oleh saksi korban SONDY WAHYU KURNIAWAN bertemu dengan saksi TERGAR AHMAD SULAIMAN, kemudian saksi Ido dan saksi TEGAR AHMAD SULAIMAN berkelahi, dimana dalam perkelahian tersebut dimenangkan oleh saksi Ido. Bahwa
43
karena merasa kalah kemudian saksi Tegar Ahmad mengadukan kepada orangtuanya yaitu DEDY STANZAH al TATAN Bin TATA DJAYA SUBRATA yang tidak menerima akan keadaan anaknya, kemudian sekitar jam 20.00 WIB terdakwa berangkat ke Alun-alun Gajah Mada Jatilawang untuk menemui saksi Ido, sesampainya di lokasi, terdakwa langsung mencari saksi Ido yang saat itu sedang berjalan. Mendekati saksi Ido diikuti dengan bentakan dan ancaman kekerasan, “endi sing jenenge Ido end i bocaeh “ (mana yang namanya Ido, mana anaknya). Sambil memegang kerah baju saksi Ido, dan tanpa menunggu lama terdakwa langsung memukuli wajah dan tubuh saksi Ido, namun saksi korban Sondy Wahyu Kurniawan yang saat itu menyaksikan kejadian tersebut berusaha menghentikan perbuatan terdakwa namun terdakwa bertambah marah, dan mengalihkan perhatiannya kepada saksi korban SONDY WAHYU KURNIAWAN yang masih berumur 16 tahun, kemudian saat itu juga terdakwa dengan menggunakan kedua tangannya langsung memukul wajah dan kepala saksi korban SONDY WAHYU KURNIAWAN berkali-kali dengan kejam, serta menendang kepala bagian belakang, sebanyak 1 (satu) kali sehingga menyebabkan saksi korban Sondy Wahyu Kurniawan terjatuh ke tanah dengan luka memar dibagian kepala dan wajah. Berdasarkan visum et repertum atas nama SONDY WAHYU KURNIAWAN yang dikeluarkan oleh PUSKESMAS Jatilawang, yang
44
dibuat dan ditandatangani oleh dr. ANWAR HUDIONO pada tanggal 18 Juni 2011, dengan hasil pemeriksaan luar pada bagian Kepala : a.
Ditemukan luka memar pada batang hidung dengan diameter 1 cm.
b.
Ditemukan luka memar dengan tepi kemerahan pada pelipis kanan dengan diameter 1 cm.
c.
Ditemukan luka memar dengan tepi kemerahan pada daun telinga kiri dengan diameter 0,5 cm.
d.
Ditemukan luka lecet pada kepala belakang dengan diameter 1,5 cm.
e.
Ditemukan luka memar pada tepi mata kanan dengan diameter 5 cm.
Kesimpulan : Dengan adanya hasil pemeriksaan seperti tersebut di atas, luka disebabkan karena kekerasan benda tumpul.
2.
Bentuk Dakwaan Terdakwa diajukan ke persidangan oleh Jaksa Penuntut Umum dengan
Dakwaan alternatif sebagai berikut : 1)
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 80 Ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
2)
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 351 Ayat (1) KUHPidana.
45
3.
Pembuktian a. Keterangan Saksi Saksi JOKO RUDIYANTO Ø Bahwa saks i dalam keadaan sehat dan benar keterangan saksi di Penyidik dan saksi adalah orang tua saksi korban Sondy Wahyu Kurniawan. Ø Bahwa pada hari Sabtu tanggal 18 Juni 2011 sekitar jam 20.00 WIB waktu saksi di rumah kemudian anak saksi bernama Sondy Wahyu Kurniawan pulang dari nonton Pasar malam di alun-alun kemudian menceritakan baru saja dipukuli terdakwa dengan tangan kanan mengepal bagian muka dan ditendang mengenai kepala. Ø Bahwa kejadiannya di Jalan umum Pertigaan Alun-alun Gajah Mada ikut Desa Tunjung Kecamatan Jatilawang Kab. Banyumas. Ø Bahwa Sondy Wahyu Kurniawan sebetulnya yang melerai perkela hian antara anak Terdakwa yang bernama Tegar yang berantem dengan Ido begitu terdakwa datang. Ø Bahwa Sondy Wahyu Kurniawan mengalami luka bagian muka, kepala, hidung dan Telinga. Ø Bahwa Sondy berobat jalan ke dokter kurang lebih Satu minggu dengan biaya Rp 1.000. 000,00 (satu juta rupia h).
46
Ø Bahwa terdakwa tidak membantu biaya pengobatan dan terdakwa baru minta maaf kepada saksi sekitar Bulan Desember 2011. Ø Bahwa korban Sondy Wahyu Kurniawan sakit satu minggu dan sekarang sudah Sehat. Ø Bahwa Sondy Wahyu Kurniawan masih anak-anak baru 15 tahun.
Saksi
SONDY
WAHYU
KURNIAWAN
Bin
JOKO
RUDIYANTO Ø Bahwa saksi dalam keadaan sehat dan benar keterangan saksi di Penyidik dan saksi adalah korban pemukulan atau kekerasan dari terdakwa. Ø Bahwa pada hari Sabtu tanggal 18 Juni 2011 sekitar jam 20.00 WIB waktu saksi nonton Pasar malam di alun-alun Desa Tunjung kemudian dipukuli ole h terdakwa dengan tangan kanan mengepal bagian muka dan ditendang mengenai kepala. Ø Bahwa kejadiannya di Jalan umum Pertigaan Alun-alun Gajah Mada ikut Desa Tunjung Kecamatan Ja tilawang Kab. Banyumas. Ø Bahwa Sondy Wahyu Kurniawan sebetulnya yang melerai perkela hian antara anak terdakwa yang bernama Tegar yang
47
berantem dengan IDO begitu terdakwa datang malah saksi Sondy ikut dipukuli oleh terdakwa. Ø Bahwa Sondy Wahyu Kurniawan mengalami luka bagian muka, kepala, hidung dan telinga. Ø Bahwa Sondy berobat jalan ke dokter kurang lebih satu minggu dengan biaya Rp 1.000. 000,00 (satu juta rupiah). Ø Bahwa terdakwa tidak membantu biaya pengobatan dan terdakwa baru minta maaf kepada saksi sekit ar Bulan Desember 2011. Ø Bahwa korban Sondy Wahyu Kurniawan sakit satu minggu dan sekarang sudah sehat. Ø Bahwa Sondy Wahyu Kurniawan masih anak-anak baru 15 tahun.
Saksi UNGGUL ADI WICAKSONO Ø Bahwa saksi dalam keadaan sehat jasmani dan rokhaninya dan benar keterangan saksi di Penyidik dan saksi adalah teman Sondy yang sewaktu kejadian berada di dekat Sondy Wahyu Kurniawan. Ø Bahwa pada hari Sabtu tanggal 18 Juni 2011 sekitar jam 20.00 WIB waktu saksi nonton Pasar malam di alun-alun Desa Tunjung bersama Sondy kemudian Sondy dipukuli oleh terdakwa dengan tangan kanan mengepal mengenai bagian
48
muka dan Sondy Wahyu Kurniawan ditendang oleh terdakwa mengenai kepala. Ø Bahwa kejadiannya di Jalan umum Pertigaan Alun-alun Gajah Mada ikut Desa Tunjung Kecamatan Jatilawang Kab. Banyumas. Ø Bahwa Sondy Wahyu Kurniawan yang melerai perkela hian antara anak terdakwa yang bernama Tegar Ahmad Sulaiman yang berantem dengan IDO tetapi begitu terdakwa datang malah saksi Sondy ikut dipukuli oleh terdakwa. Ø Bahwa Sondy Wahyu Kurniawan mengalami luka bagian muka, kepala, hidung dan telinga. Ø Bahwa Sondy beroba t jalan ke dokter kurang lebih satu minggu dengan biaya Rp 1.000. 000,00 (satu juta rupiah). Ø Bahwa terdakwa tidak membantu biaya pengobatan dan terdakwa baru minta maaf kepada saksi sekitar Bulan Desember 2011. Ø Bahwa korban Sondy Wahyu Kurniawan sakit Satu minggu dan sekarang sudah Sehat. Ø Bahwa Sondy Wahyu Kurniawan masih anak-anak baru 15 tahun.
49
Saksi TEGAR AHMAD SULAIMAN Ø Bahwa saksi dalam keadaan sehat jasmani dan rokhaninya dan benar keterangan saksi di Penyidik dan saksi adalah anak terdakwa yang berantem dengan IDO. Ø Bahwa pada hari Sabtu tanggal 18 Juni 2011 sekitar jam 20.00 WIB waktu saksi Nonton Pasar malam di alun-alun Desa Tunjung/Jatilawang, kemudian saksi ditantang oleh IDO kemudian saksi dan IDO beranten. Ø Bahwa benar Saksi Tegar Ahmad Sulaiman yang kalah. Ø Bahwa waktu itu saksi tidak tahu siapa yang memberitahu lalu orang tua saksi datang waktu saksi berantem dengan IDO di Pasar malam di alun-alun Desa Tunjung/Jatilawang lalu dilerai oleh Sondy tetapi kemudian Sondy dipukuli oleh terdakwa dengan tangan kanan mengepal mengenai bagian muka dan Sondy Wahyu Kurniawan juga ditendang oleh terdakwa mengenai kepala. Ø Bahwa kejadiannya di Jalan umum Pertiga an Alun-alun Gajah Mada ikut Desa Tunjung Kecamatan Jatilawang Kab. Banyumas. Ø Bahwa Sondy berobat jalan ke dokter kurang lebih Satu minggu dengan biaya Rp 1.000. 000,00 (satu juta rupiah).
50
Ø Bahwa terdakwa tidak membantu biaya pengobatan dan terdakwa baru minta maaf kepada saksi sekitar bulan Desember 2011. Ø Bahwa korban Sondy Wahyu Kurniawan sakit satu minggu dan sekarang sudah sehat. Ø Bahwa Sondy Wahyu Kurniawan masih anak-anak baru 15 tahun.
b. Surat 1) Berdasarkan visum et repertum atas nama SONDY WAHYU KURNIAWAN
yang
dikeluarkan
oleh
PUSKESMAS
Jatilawang, yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. ANWAR HUDIONO pada tanggal 18 Juni 2011, dengan hasil pemeriksaan luar pada bagian kepala : a)
Ditemukan luka memar pada batang hidung dengan diameter 1 cm.
b)
Ditemukan luka memar dengan tepi kemerahan pada pelipis kanan dengan diameter 1 cm.
c)
Ditemukan luka memar dengan tepi kemerahan pada daun telinga kiri dengan diameter 0,5 cm.
d)
Ditemukan luka lecet pada kepala belakang dengan diameter 1,5 cm.
51
e)
Ditemukan luka memar pada tepi mata kanan dengan diameter 5 cm.
Kesimpulan : Dengan adanya hasil pemeriksaan seperti tersebut di atas, luka disebabkan karena kekerasan benda tumpul. 2) Berita Acara Pemeriksaan Kejaksaan
c. Keterangan Terdakwa Ø
Bahwa terdakwa dalam keadaan sehat dan benar keterangan terdakwa di Penyidik dan Terdakwa bekerja sebagai Sopir.
Ø
Bahwa pada hari Sabtu tanggal 18 Juni 2011 sekitar jam 20.00 WIB waktu terdakwa di rumah diSMS oleh Bakul Mie Ayam isi SMS memberitahu anak terdakwa bernama Tegar dipukuli orang lalu terdakwa datang kemudian Sondy dipukul oleh terdakwa dengan tangan kanan mengepal bagian muka dan Sondy juga ditendang mengenai kepala.
Ø
Bahwa kejadian perkara ini di Jalan umum Pertigaan Alunalun Gajah Mada ikut Desa Tunjung Kecamatan Jatilawang Kab. Banyumas.
Ø
Bahwa Sondy Wahyu Kurniawan sebetulnya yang melerai perkela hian antara anak Terdakwa yang bernama Tegar yang berantem dengan IDO begitu terdakwa datang malah saksi Sondy ikut dipukuli oleh terdakwa.
52
Ø
Bahwa Sondy Wahyu Kurniawan mengalami luka bagian muka, kepala, hidung dan telinga.
Ø
Bahwa Sondy berobat jalan ke dokter kurang lebih satu minggu dengan biaya Rp 1.000. 000,00 (satu juta rupiah).
Ø
Bahwa terdakwa tidak membantu biaya pengobatan dan terdakwa baru minta maaf kepada saksi sekitar Bulan Desember 2011.
Ø
Bahwa saksi korban Sondy Wahyu Kurniawan sakit satu minggu dan sekarang sudah sehat.
Ø
Bahwa terdakwa sangat menyesal sekali dan tidak akan mengulangi lagi.
4.
Tuntutan Penuntut Umum Berdasarkan pembuktian dan fakta-fakta hukum yang terungkap di
dalam persidangan maka Jaksa Penuntut Umum menuntut sebagai berikut : 1)
Menyatakan terdakwa DEDY STANZAH alias TATAN Bin TATA DJAYA SUBRATA telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 sebagaimana dalam surat dakwaan kesatu
2)
Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa DEDY STANZAH alias TATAN Bin TATA DJAYA SUBRATA dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dikurangai selama terdakwa ditahan
53
dengan perintah terdakwa tetap ditahan dan denda Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) subsider 3 (tiga) bulan kurungan. 3)
Menyatakan barang bukti berupa 1 (satu) lembar visum et repertum tetap terlampir dalam berkas perkara.
4)
Menetapkan agar terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp 1.000,00 (seribu rupiah).
5.
Putusan a. Pertimbangan Hakim Karena Penuntut Umum menyusun dakwaan dibuat secara alternatif maka Majelis Hakim akan mempertimbangkan dakwaan yang paling relevan dengan fakta -fakta hukum yang terungkap di persidangan. Bahwa dakwaan yang paling relevan dengan fakta-fakta Hukum di atas adalah dakwaan kesatu yaitu melanggar Pasal 80 ayat (1) Undang-U ndang No. 23 Tahun 2002 yang unsur-unsurnya sebagai berikut: 1) Setiap orang. 2) Melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan atau penganiayaan terhadap anak.
54
Ad. Unsur ke I “Setiap Orang”. Bahwa yang dimaksud setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi sebagai subyek hukum yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatannya. Berdasarkan fakta di persidangan telah dihada pkan seorang laki-laki sebagai terdakwa bernama DEDY STANZAH al TATAN Bin TATA DJAYA SUBRATA yang identitasnya sama dengan identitas dalam surat dakwaan Penuntut Umum sehingga tidak terdapat kesalahan orang (error in persona) dimana terdakwa sehat jasmani dan rohaninya dan apabila terdakwa memenuhi unsur Pasal selanjutnya yang terdakwa dipandang sebagai pelaku dari tindak pidana tersebut dan apabila tidak terdapat alasan yang dapat menghapuskan kesalahan terdakwa, maka
kepada
terdakwa dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatan itu sebagai pelaku tindak pidana. Bahwa dengan pertimbangan di atas maka Majelis berpendapat unsur ini telah terpenuhi dan terbukti . Ad. Ke 2 Unsur “Melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan atau Penganiayaan terhadap anak. Bahwa yang dimaksud dengan “Penganiayaan“ adalah sengaja menyebabkan pera saan tidak enak (penderitaan), rasa sakit (pija) atau luka. Bahwa yang dimaksud “anak“ adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapanbelas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
55
kandungan (vide Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). Sesuai fakta hukum yang terungkap di persidangan pada hari Sabtu tanggal 18 Juni 2011 jam 19.30 WIB telah ternyata terdakwa telah memukul bagian muka saksi Sondy Wahyu dan menendang, mengakibatkan saksi korban Sondy Wahyu Kurniawan menderita sakit sebagaimana dikuatkan alat bukti berupa visum et repertum tanggal 18 Juni 2011 atas nama SONDY WAHYU KURNIAWAN yang dikeluarkan oleh PUSKESMAS Jatilawang, yang dibuat dan ditandatangani oleh
dr.
ANWAR
HUDIONO,
dengan
hasil
pemeriksaan luar pada bagian kepala : 1) Ditemukan luka memar pada batang hidung dengan diameter 1 cm. 2) Ditemukan luka memar dengan tepi kemerahan pada pelipis kanan dengan diameter 1 cm. 3) Ditemukan luka memar dengan tepi kemerahan pada daun telinga kiri dengan diameter 0,5 cm. 4) Ditemukan luka lecet pada kepala belakang dengan diameter 1,5 cm. 5) Ditemukan luka memar pada tepi mata kanan dengan diameter 5 cm. Kesimpulan : Dengan adanya hasil pemeriksaan seperti tersebut di atas , luka disebabkan karena kekerasan benda tumpul.
56
Bahwa berdasarkan fakta saksi Sondy Wahyu Kurniawan berusia 16 tahun sehingga secara yuridis masih tergolong anak-anak bahwa sesuai pertimbangan di atas Majelis Hakim berpendapat unsur melakukan penganiayaan terhadap anak telah terpenuhi menurut hukum. Oleh karena semua unsur dari dakwaan Kesatu telah terpenuhi maka perbuatan terdakwa telah terbukti seca ra sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 sebagaimana dala m dakwaan kesatu Penuntut Umum, yang kualifikasinya akan dirumuskan dalam amar putusan. Selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan apakah terhadap pribadi dan perbuatan terdakwa, ada alasan penghapus atau peniadaan pidana baik alasan pemaaf maupun alasan pembenar, sehingga terdakwa dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Alasan pemaaf (schuld uitsluitings gronden) adalah bersifat subjektif dan melekat pada diri terdakwa/pelaku, khususnya mengenai sikap bathin sebelum atau pada saat akan berbuat dalam Pasal 49, 50, 51 ayat (2) KUHP, dan selama proses persidangan Majelis Hakim tidak menemukan keadaan-keadaan sebagaimana ketentuan PasalPasal
di
atas ,
sehingga
terdakwa
dikate gorikan
dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Karena tindakan terdakwa tersebut telah terbukti sebagai perbuatan yang salah dan melawan hukum formal, maka perbuatan terdakwa
57
tersebut adalah perbuatan yang tercela, dengan demikian tidak ada alasan pemaaf tidak tertulis berupa “avast”. Bahwa tentang alasan pembenar (rechts vaardingungs gronden ) adalah bersifat objektif dan melekat pada perbuatan atau hal-hal lain di luar bathin pembuat, sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (1), 50, dan Pasal 51 ayat (1) KUHP, dan selama proses persidangan Majelis hakim tidak menemukan fakta-fakta yang membuktikan ada nya keadaan-keadaan yang dikehendaki Pasal-Pasal tersebut di atas, maka tidak ditemukan alasan pembenar baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis (ketiadaan sifat melawan hukum materiil dan eksepsi kedokteran), sehingga tidak ada alasan kehilangan sifat melawan hukum perbuatan terdakwa. Karena di persidangan tidak ditemukan alasan-alasan penghapus
pidana
terhadap
terdakwa,
maka
terdakwa
harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya, dan telah terpenuhi syaratsyarat pe njatuhan pidana terhadap terdakwa. Bahwa oleh karena terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 dan Pasal tersebut mengatur ancaman pidana penjara dan/atau pidana denda mengandung arti hukum dapat menjatuhkan pidana secara pilihan pidana penjara atau pidana denda ataupun penjatuhan pidana bersifat kumulatif. Sebagaimana Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tidak mengatur secara khusus tentang hal itu.
58
Menurut ilmu hukum pidana tujuan pemidanaan itu bukan sematamata ditujukan pada upaya balas dendam semata, akan tetapi lebih ditujukan pada upaya perbaikan diri pelaku agar kelak di kemudian hari tidak kembali melakukan perbuatan pidana, dan juga sebagai upaya preventif agar masyarakat tidak melakukan perbuatan yang dapat dihukum tersebut Bahwa dalam perkara ini Majelis Hakim menjatuhkan pidana penjara dan pidana denda secara kumulatif kepada terdakwa, dan jika terdakwa tidak membayar denda tersebut akan diganti dengan pidana kurungan (vide Pasal 30 KUHP). Sesuai dengan pandangan Mahkamah Agung Republik Indonesia tujuan dari pemidanaan adalah bukan semata-sama untuk balas dendam akan tetapi untuk membuat efek jera, dan dalam penjatuhan pidana Majelis Hakim harus memperhatikan asas proporsional (atau penjatuhan sesuai dengan tingkat kesalahan terdakwa) serta memenuhi tujuan pemidanaan yang harus bersifat korektif, preventif, dan edukatif, serta melihat sifat yang baik dan jahat dari terdakwa sebagaimana diwajibkan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang
Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Sebelum menjatuhkan pidana atas diri terdakwa tersebut, Majelis Hakim akan memperhatikan sifat yang baik dan sifat yang jahat dari terdakwa sesuai dengan ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, serta hal-hal yang
59
memberatkan dan hal-hal yang meringankan bagi diri terdakwa sesuai dengan ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf (f) KUHAP.
Hal-hal yang Memberatkan: Ø
Sifat perbuatan Terdakwa meresahkan masyarakat
Ø
Perbuatan Terdakwa telah ditujukan kepada anak yang dapat mempengaruhi jiwa anak.
Ø
Perbuatan terdakwa merugikan orang lain biaya pengobatan Rp 1.000. 000,00 (satu juta rupia h).
Hal-Hal yang Meringankan : Ø
Terdakwa belum pernah dihukum.
Ø
Terdakwa berlaku sopan, mengakui terus terang dan sangat menyesali perbuatannya, serta berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatan melawan hukum, sebagai wujud niat baik Terdakwa;
Ø
Korban telah memaafkan terdakwa, sebagaimana surat pernyataan terlampir.
Berdasarkan pertimbangan di atas Majelis menilai putusan telah cukup adil oleh karenanya pidana yang dijatuhkan di bawah ini menurut Majelis Hakim telah setimpal dengan beratnya kejahatan yang dilakukan terdakwa, sifat kejahatan itu sendiri, serta telah sesuai pula dengan rasa keadilan hukum dan keadilan sos ial/masyarakat, dan
60
diharapkan pidana tersebut dapat menimbulkan efek jera terhadap terdakwa agar tidak melakukan tindak pidana lagi dikemudian hari.
b. Amar Putusan 1) Menyatakan Terdakwa DEDY STANZAH al TATAN Bin TATA DJAYA SUBRATA tersebut di atas , terbukti secara sah dan
meyakinkan
bersalah
melakukan
tindak
Pidana
“PENGANIAYAAN TERHADAP ANAK“ 2) Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa DEDY STANZA H al TATAN Bin TATA DJAYA SUBRATA tersebut dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan dan Pidana Denda sebesar Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dengan ketentuan jika terdakwa tidak membayar denda tersebut maka diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan. 3) Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa
dikurangkan
seluruhnya
dari
pidana
yang
dijatuhkan. 4) Menetapkan Terdakwa tetap ditahan. 5) Membebanka n kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 1.000,00 (Seribu Rupiah)
61
B.
Pembahasan 1.
Penerapan Pasal 80 Ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan
Anak
Dalam
Putusan
Nomor
21/Pid.Sus/PN.Pwt R. Tresna merumuskan tindak pidana dengan istilah peristiwa pidana yang diartikan sebagai berikut; Sesuatu perbuatan/rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang lain terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman. Sebagai patokan yang disebut dengan peristiwa pidana itu harus mencakup syarat-syarat sebagai berikut: a. b. c. d. e.
Harus ada suatu perbuatan manusia; Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam ketentuan umum; Harus terbukti adanya dosa pada orang yang berbuat, yaitu orangnya harus dapat dipertanggungjawabkan; Perbuatan itu harus melawan dengan hukum; Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukumannya didalam undang-undang. 47
Kekerasan merupakan suatu tinda k pidana yang menyerang fisik mupun psikologis. Pada awal mulanya istilah tindak kekerasan atau child abuse and neglect berasal dan mulai dikenal dari dunia kedokteran sekitar tahun 1946. Caffey seorang radiologist melaporkan kasus cedera yang berupa gejala-gejala klinik seperti patah tulang panjang yang majemuk (multiple fractures) pada anak-anak atau bayi disertai penda rahan subdural tanpa mengetahui sebabnya (unrecognized
trauma).
Dalam
dunia
kedokteran kasus ini dikenal dengan istilah Caffey Syndrome. Henry Kempe 47
R.Tresna, 1959, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta : Tiara Limeted, hal. 27.
62
menyebut kasus penelantaran dan penganiayaan yang dialami anak-anak dengan istilah Battered Child Syndrome yaitu : ”Setiap keadaan yang disebabkan kurangnya perawatan dan perlindungan terhadap anak oleh orang tua atau pengasuh lain.” Disini yang diartikan sebagai tindak kekerasan terhadap anak tidak hanya luka berat saja, tapi termasuk juga luka memar atau pembengkakkan sekalipun dan diikuti kegagalan anak untuk berkembang baik secara fisik maupun intelektual. 48 Selain Battered Child Syndrome, istilah lain yang menggambarkan kasus
penganiayaan
yang
dialami
anak-anak adalah Maltreatment
Syndrome, dimaksudkan selain gangguan fisik seperti di atas, ditambah adanya gangguan emosi anak dan adanya akibat asuhan yang tak memadai. Istilah Child Abuse sendiri dipakai untuk menggambarkan kasus anak-anak di bawah usia 16 ta hun yang mendapat gangguan dari orang tua atau pengasuhnya dan merugikan anak secara fisik dan kesehatan mental serta perkembangannya. 49 Anak perlu untuk dilindungi baik dari kekerasan fisik, mental dan seksual. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada Pasal 1 butir kedua menentukan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan anak adalah hukum yang menjadi 48
Bagong Suyanto dan Sri Sanituti, 2002, Krisis & Child Abuse, Surabaya : Airlangga University, hal. 11 4. 49 Ibid., hal. 114.
63
dasar dan pedoman (alat) melindungi anak melaksanakan hak dan kewajibannya (baik dengan bantuan orang lain maupun atas usahanya sendiri). Perlindungan anak merupakan perwujudan kebijaksanaan penguasa tertentu, pada waktu, tempat tertentu demi kepentingan yang menyangkut kehidupan dan penghidupan anak. Undang-Undang Perlindungan Anak melingkupi aspek tentang hak anak dan beberapa diantaranya adalah hak atas identitas, hak atas kesehatan, hak atas pendidikan dan hak atas perlindungan. Perlindungan adalah salah satu dari hak-hak anak yang esensial. Perlindungan ini meliputi perlindungan terhadap kekerasan, eksploitasi, diskriminasi, dan penelantaran. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memberikan perlindungan kepada anak dari kekerasan fisik. Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa : (1)
(2)
Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pada Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang unsur-unsurnya sebagai berikut: 1)
Setiap orang.
64
2)
Melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan atau penganiayaan terhadap anak.
Subekti menyatakan bahwa subjek hukum adalah : Subjek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban. Selain manusia sebagai subyek hukum, badan hukum (rechtspersoon) juga merupakan subyek hukum, yaitu memiliki hak hak dan kewajiban seperti manusia. Badan hukum dapat menjadi subyek hukum dengan memenuhi beberapa syarat.50 Berbicara mengenai tindak pidana, pada dasarnya harus ada subjek dan orang itu melakukan dengan kesalahannya. Sebaliknya jika seseorang telah melakukan suatu tindak pidana, hal itu berarti bahwa ada orang sebagai subjeknya dan pada orang itu terdapat kesalahan. Sebaliknya jika seseorang telah melakukan suatu tindakan yang memenuhi unsur sifat melawan hukum, tindakan yang dilarang serta diancam dengan pidana oleh undang-undang dan faktor-faktor lainnya, tanpa adanya unsur kesalahan, berarti tidak telah terjadi suatu tindak pidana, melainkan yang terjadi hanya peristiwa pidana. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi sebagai subyek hukum
yang
dapat
dipertanggungjawabkan
terhadap
perbuatannya.
Dakwaan suatu tindak pidana haruslah memuat identita s terdakwa, agar tidak terjadi kesalahan atau error in persona. Istilah Error in Persona maupun Error in Objecto digunakan di pengadilan pada tahap eksepsi atas gugatan (kalau di perdata) atau dakwaan (kalau di pidana). Eksepsi dengan dasar Error in Persona diajukan oleh Tergugat/Terdakwa terhadap Gugatan/
50
Subekti, 1989, Pokok Pokok Hukum Perdata, Jakarta : Intermasa, hal. 21.
65
Surat Dakwaan Penggugat/Penuntut Umum karena
dakwaan/gugatan
tersebut dialamatkan kepada orang yang salah. Berdasarkan fakta di persidangan telah dihadapkan seorang laki-laki sebagai terdakwa bernama DEDY STANZAH al TATAN Bin TATA DJAYA SUBRATA yang identitasnya sama dengan identitas dalam surat dakwaan Penuntut Umum sehingga tidak terdapat kesalahan orang (error in persona) dimana terdakwa sehat jasmani dan rohaninya dan apabila terdakwa memenuhi unsur Pasal selanjutnya yang terdakwa dipandang sebagai pelaku dari tindak pidana tersebut dan apabila tidak terdapat alasan yang dapat menghapuskan kesalahan terdakwa, maka kepada terdakwa dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbua tan itu sebagai pelaku tindak pidana. Bahwa dengan pertimbangan di atas maka Majelis berpendapat unsur ini telah terpenuhi dan terbukti. Pada unsur kedua dikatakan penganiayaan terha dap anak harus memenuhi unsur melakukan kekejaman, kekerasan atau anca man kekerasan atau Penganiayaan terhadap anak. Secara umum tindak pidana terhadap tubuh pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana disebut sebagai penganiayaan tetapi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu sendiri tidak memuat arti penganiayaan tersebut.51 Panganiayaan termasuk delik yang ditujuka n terhadap tubuh dan dapat membahayakan kehidupan manusia. Biasanya kejahatan terhadap tubuh dirumuskan secara material, artinya yang dipentingkan adalah akibatnya, 51
Leden Marpaung, 2005, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh, Jakarta : Sinar Grafika, hal. 50.
66
sehingga perbuatan itu dilarang. 52 Penganiayaan dalam kamus besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai perlakuan yang sewenang-wenang, pengertian ini adalah pengertian penganiayaan dalam arti luas yakni termasuk yang menyangkut “perasaan” atau “bathiniah”. 53 Menurut yurisprudensi panganiayaan yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa nyeri (pijn), atau luka. Menurut Arrest Hoge Raad Tanggal 10 Desember 1902 memberikan pengertian penganiayaan perbuatan yang dengan sengaja melukai tubuh manusia atau menyebabkan perasaan sakit sebagai tujuan, bukan sebagai alat untuk mencapai suatu maksud yang dikehendaki, seperti memukul anak dan lain sebagainya. 54 Leden Marpaung memberikan pengertian penganiayaan sebagai
setiap
perbuatan
yang
dilakukan
dengan
sengaja
untuk
menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain. 55 Berdasarkan Doktrin -doktrin di atas, dapat dilihat bahwa pengertian penganiayaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain. Pembuktian atas penganiayaan adalah apabila termuat bahwa pelaku telah dengan sengaja melakukan perbuatan-perbuatan tertentu yang dapat menimbulkan rasa sakit atau luka sebagai tujuan atau kehendak dari pelaku. Penganiayaan adalah
52
Wirjono Prodjodikoro, 2008, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Bandung : Aditama, hal. 68. 53 Leden Marpaung, Op cit., hal. 5. 54 Sudrajat Bassar, 1986, Tindak Pidana Tertentu di Dalam KUHP, Bandung : Remedja Karya, hal. 134 . 55 Leden Marpaung, Op cit., hal. 6.
67
sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan) rasa sakit atau luka terhadap korban. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa terdapat serangkaian perbuatan terdakwa dalam menganiaya korban, antara lain: a.
Memegang kerah baju saksi IDO;
b.
Memukuli wajah dan tubuh saksi IDO;
c.
Terdakwa dengan menggunakan kedua tangannya langsung memukul wajah dan kepa la saksi korban SONDY WAHYU KURNIAWAN ;
d.
Menendang kepala bagian belakang, sebanyak 1 (satu) kali sehingga menyebabkan saksi korban Sondy Wahyu Kurniawan terjatuh ke tanah dengan luka memar dibagian kepala dan wajah.
Berdasarkan beberapa perbuatan terdakwa dapa t dikatakan bahwa perbuatan terdakwa dikehendaki sebelumnya. Artinya perbuatan terdakwa sudah didahului dengan niat untuk membalas dendam karena anaknya kalah dalam
perkelahian.
Terdakwa
sehat
tidak
terganggu
kesehatannya
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 44 KUHP, dalam kasus tersebut ada keinginan terdakwa untuk menyakiti korban, sehingga terdakwa dapat dimintai pertanggungjawabannya. Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana
68
yang terjadi atau tidak. Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur -unsur yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dan dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Tindak pidana jik a tidak ada kesalahan adalah merupakan asas pertanggungjawaban pidana, oleh sebab itu
dalam
hal
dipidananya
seseorang
yang
melakukan
perbuatan
sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan. Berdasarka n hal tersebut maka pertanggungjawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana, terdiri atas tiga syarat yaitu : a.
Kemampuan bertanggung jawab atau dapat dipertanggung jawabkan dari si pembuat.
b.
Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis si pelaku yang berhubungan dengan kelakuannya yaitu : Disengaja dan Sikap kurang hati-hati atau lalai.
c.
Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana bagi si pembuat.
69
Untuk menentukan adanya pertanggungjawaban, seseorang pembuat dalam melakukan suatu tindak pidana harus ada “sifat melawan hukum” dari tindak pidana itu, yang merupakan sifat terpenting dari tindak pidana. Tentang sifat melawan hukum apabila dihubungkan dengan keadaan psikis (jiwa) pembuat terhadap tindak pidana yang dilakukannya dapat berupa “kesengajaan” (opzet) atau karena “kelalaian” (culpa ). Akan tetapi kebanyakan tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan bukan unsur kelalaian. Hal ini layak karena biasanya, yang melakukan sesuatu dengan sengaja. Dalam hukum pidana konsep liability atau “pertanggungjawaban” itu merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Kesalahan, pertanggungjawaban, dan pidana adalah ungkapan-ungkapan yang terdengar dan digunakan dalam percakapan sehari-hari, dalam moral, agama, dan hukum. Menurut pandangan tradisional, di samping syarat-syarat objektif melakukan perbuatan pidana, harus dipenuhi pula syarat-syarat subjektif untuk dapat dipertanggungjawabkan dan dijatuhkan pidana kepadanya. Syarat subjektif ini disebut “kesalahan”. Menurut sistem kontinental, syaratsyarat subjektif ini dibagi dua, yaitu bentuk kesalahan (kesengajaan dan kealpaan ) dan mampu bertanggung jawab. Di dalam hukum, tanggung jawab atau pertanggungjawaban berkaitan dengan dasar untuk dapat memberikan sanksi kepada pelaku pelanggaran hukum. Sanksi itu sendiri pada umumnya adalah alat pemaksa agar seseorang menaati norma yang
70
belaku. Dalam hal pertanggungjawaban pidana, maka pertanggungjawaban hukum yang harus dibebankan kepada pelaku pelanggaran hukum pidana berkaitan dengan dasar untuk menjatuhkan sanksi pidana. Berdasarkan duduk perkara yang diuraikan dalam hasil penelitian maka dapat diketahui bahwa : a.
Terdakwa sengaja mendatangi tempat kejadian perkara ;
b.
Terdakwa sengaja memegang kerah baju saksi IDO;
c.
Terdakwa sengaja memukuli wajah dan tubuh saksi IDO;
d.
Terdakwa sengaja dengan menggunakan kedua tangannya langsung memukul wajah dan kepa la saksi korban SONDY WAHYU KURNIAWAN;
e.
Terdakwa sengaja menendang kepala bagian belakang, sebanyak 1 (satu) kali sehingga menyebabkan saksi korban Sondy Wahyu Kurniawan terjatuh ke tanah dengan luka memar dibagian kepala dan wajah.
Dalam Crimineel Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) tahun 1809 dicantumkan : “kesengajaan adalah kemampuan untuk mela kukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh Undang-undang”. Dalam Memorie Van Toelichting (MvT) Menteri Kehakiman sewaktu mengajukan Crimineel Wetboek tahun 1981 (yang menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia Tahun 1915), dimuat antara lain bahwa kesengajaan itu adalah dengan sadar berkehendak untuk melakukan suatu kejahatan tertentu (de bewuste richting van den wil
71
op een bapaald misdrijf).56 Mengenai MvT tersebut, Prof. Satochid Kartanegara mengutarakan apa yang dimaksud dengan opzet willens en weten (dikehendaki dan diketahui) adalah : Seseorang yang melakukan perbuatan dengan sengaja harus
menghendaki
(willen )
perbuatan
itu
serta
harus
menginsafi atau mengerti (weten) akan akibat dari perbuatan itu.”57 Beberapa pakar merumuskan de wil sebagai “keinginan, kemauan, atau kehendak”. Dengan demikian, perbuatan merupakan pelaksanaan dari kehendak. Kehendak (de wil) dapat ditujukan terhadap : a.
Perbuatan yang dilarang;
b.
Akibat yang dilarang.
Dahulu dikenal dolus molus yang mengartikan kesengajaan (opzet) sebagai perbuatan yang dikehendaki dan si pelaku menginsyafi bahwa perbuatan itu dilarang dan diancam hukuman. 58 Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa, terdakwa jelas sadar melakukan perbuatan tersebut. Walaupun terdakwa menduga bahwa anaknya telah dipukuli oleh orang lain, tetapi norma hukum tidak membenarkan seseorang untuk menganiaya orang lain. Seharusnya terdakwa sadar betul bahwa perbuatan terdakwa menganiaya korban akan menimbulkan rasa sakit, luka da n, terhambatnya seseorang melakukan aktivitasnya. Terdakwa jelas sadar dan tahu pasti akan 56
Leden Marpaung, 2005, Asas -Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Grafika, hal.
13. 57
Satochid Kartanegara, 1999, Hukum Pidana Bagian Satu, Bandung : B alai Lektur Mahasiswa, hal. 291. 58 Laden Marpaung, Op. Cit, hal. 13.
72
akibat perbuatannya, tetapi apa boleh buat bahwa, emosi dan kekhilafan terdakwa, mengalahkan terdakwa untuk menahan amarahnya. Akibat yang dilarang dari suatu hukum pidana menyangkut beberapa hal seperti jiwa, harta, kehormatan dan lainnya. Dalam penganiayaan, kepentingan yang dilindungi adalah tubuh sedangkan akibat yang dilarang ialah terjadinya luka ringan maupun berat, dan terganggunya organ tubuh untuk bekerja. Sesuai fakta hukum yang terungkap di persidangan pada hari Sabtu tanggal 18 Juni 2011 jam 19.30 WIB ternyata terdakwa telah memukul bagian muka saksi Sondy Wahyu Kurniawan dan menendang, mengakibatkan saksi korban Sondy Wahyu Kurniawan menderita sakit sebagaimana dikuatkan alat bukti berupa visum et repertum tanggal 18 Juni 2011 atas nama SONDY WAHYU KURNIAWAN yang dikeluarkan oleh PUSKESMAS Jatilawang, yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. ANWAR HUDIONO, dengan hasil pemeriksaan luar pada bagian Kepala : a.
Ditemukan luka memar pada batang hidung dengan diameter 1 cm.
b.
Ditemukan luka memar dengan tepi kemerahan pada pelipis kanan dengan diameter 1 cm.
c.
Ditemukan luka memar dengan tepi kemerahan pada daun telinga kiri dengan diameter 0,5 cm.
d.
Ditemukan luka lecet pada kepala belakang dengan dia meter 1,5 cm.
73
e.
Ditemukan luka memar pada tepi mata kanan dengan diameter 5 cm.
Kesimpulan : Dokter yang memeriksa hasil peme riksaan dapat diketahui bahwa, luka disebabkan karena kekerasan benda tumpul. Berdasarkan hubungan sebab akibat suatu akibat tertentu terkadang ditimbulkan oleh serangkaian perbuatan yang saling terkait yang menjadi faktor-faktor
yang
menyebabkan
timbulnya
akibat,
yang
menjadi
permasalahan adalah kepada siapa akan dipertanggungjawabkannya suatu akibat tersebut. Berdasarkan teori conditio sine qua non yang dipopulerkan Von Buri, ahli hukum dari Jerman. Beliau mengatakan bahwa tiap-tiap syarat yang menjadi penyebab suatu akibat yang tidak dapat dihilangkan (weggedacht)) dari rangkaian faktor -faktor yang menimbulkan akibat harus dianggap “causa ” (akibat). Tiap faktor tidak diberi nilai, jika dapat dihilangkan dari rangkaian faktor-faktor penyebab serta tidak ada hubungan kausal dengan akibat yang timbul. Tiap faktor diberi nilai, jika tidak dapat dihilangkan (niet weggedacht) dari rangkaian faktor -faktor penyebab serta memiliki hubungan kausal dengan timbulnya akibat. 59 Teori conditio sine qua non disebut juga teori equivalen (equivalent theorie), karena tiap faktor yang tidak dapat dhilangkan diberi nilai sama dan sederajat, dengan demikian teori Von Buri ini menerima beberapa sebab (meervoudige causa). Sebutan lain dari teori Von Buri ini adalah
59
Sudarto, 1990, Hukum Pidana Jilid IA-IB, Semarang : Yayasan Sudarto, hal. 39.
74
“bedingungs theorie” (teori syarat), disebut demikian karena dalam teori ini antara syarat (bedingung) dengan sebab (causa) tidak ada perbedaan. 60 Dalam perkembangan teori Von Buri banyak menimbulkan kontra dari para ahli hukum, sebab teorinya dianggap kurang memperhatikan halhal yang sifatnya kebetulan terjadi. Selain itu teori ini pun tidak digunakan dalam hukum
pidana
karena
dianggap
sangat
memperluas
dasar
pertanggungjawaban (strafrechtelijke aansprakelijheid). Van Hamel adalah satu penganut teori Von Buri, menurut Van Hamel teori conditio sine qua non adalah satu-satunya teori yang secara logis dapat dipertahankan. Teori conditio sine qua non “baik” untuk digunakan dalam hukum pidana, asal saja didampingi atau dilengkapi dengan teori tentang kesalahan (schuldleer) yang dapat mengkorigir dan meregulirnya. Teori Van Hamel disebut “teori sebab akibat yang mutlak” (absolute causaliteitsleer), teori yang dikemukakan Van Hamel yaitu Tindak pidana merupakan kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang-undang (wet), yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Jadi perbuatan itu merupakan perbuatan yang bersifat dapat dihukum dan dilakukan dengan kesalahan. 61 Pada kasus penganiayaan tersebut dapat diketahui bahwa, berdasarkan Visum et repertum ditemukan luka memar pada batang hidung dengan diameter 1 cm, ditemukan luka memar dengan tepi kemerahan pada pelipis kanan dengan diameter 1 cm, luka memar dengan tepi kemerahan pada daun 60 61
Ibid., hal. 39. Ibid., hal. 40.
75
telinga kiri dengan diameter 0,5 cm, luka lecet pada kepala belakang dengan diameter 1,5 cm, dan luka memar pada tepi mata kanan dengan diameter 5 cm. Sebab terdekat dari luka tersebut adalah perbuatan terdakwa yang antara lain, ka rena terdakwa sengaja memukuli wajah dan tubuh saksi IDO, terdakwa juga menggunakan kedua tangannya langsung memukul wajah dan kepa la saksi korban SONDY WAHYU KURNIAWAN, terdakwa juga menendang kepala bagian belakang, sebanyak 1 (satu) kali sehingga menyebabkan saksi korban Sondy Wahyu Kurniawan terjatuh ke tanah dengan luka memar dibagian kepala dan wajah. Objek khusus dari Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah anak. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (vide Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 23 Ta hun 2002 tentang Perlindungan Anak). Setiap tindak pidana yang dibentuk dengan dirumuskan dalam Undang-Undang mengandung sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid ). Meskipun sekitar 10% saja tindak pidana dalam KUHP yang mencantumkan melawan hukum sebagai unsur. 62 Mengenai hal itu tidak terdapat perbedaan pandangan. MvT WvS Belanda menjelaskan tentang keadaan itu dengan mengatakan bahwa dengan mencantumkan melawan hukum dalam rumusan tindak pidana, agar orang yang melakukan perbuatan yang ia sebenarnya 62
H.J van Schravendijk, 1955, Buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana Indonesia, Gronigen : J.B Wolters, hal 157.
76
berhak untuk itu tidak terancam pidana. 63 Praktik di Indonesia juga mengikuti pandangan MvT tersebut. 64 Meskipun sifat melawan hukum merupakan unsur mutlak tindak pidana. Hanya perlu dibuktikan jika sifat tercela tersebut dicantumkan dalam rumusan. Hal ini wajar, karena prinsip pembuktian untuk menjatuhkan pidana adalah hanya terhadap unsur yang dicantumkan saja. Kecuali pembuktian untuk tidak menjatuhkan pidana, maka ada kalanya diperlukan untuk membuktikan sebaliknya, ialah tidak adanya sifat melawan hukum perbuatan atau tidak ada kesalahan pada diri terdakwa. Dua hal yang disebutkan terakhir ini bersumber pada praktik diterapkannya ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif dan tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld ).65 Menurut bahasa Belanda, melawan hukum adalah wederrechtelijk (weder: bertentangan dengan, melawan; recht: hukum). Menurut Pendapat para ahli di dalam buku Teguh Prasetyo mengenai pengertian melawan hukum antara lain adalah dari: a. b. c.
63
Simon: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum pada umumnya. Noyon: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hak subjektif orang lain. Pompe: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum dengan pengertian yang lebih luas, bukan hanya
Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, Jakarta : Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, hal. 135. 64 Putusan MA tanggal 30-7-1982 No. 680K/Pid/1982. 65 Arrest Hoge Raad tanggal 14-2-1916 dalam perkara melepaskan dari tuntutan hukum terdakwa yang nyata-nyata terbukti mengirim susu yang tidak diketahuinya telah dicampur dengan air oleh majikannya. Tidak diketahuinya tersebut adalah merupakan keadaan tidak terbukti unsur kesalahan pada diri terdakwa.
77
d. e. f.
bertentangan dengan undang-undang tetapi juga dengan hukum yang tidak tertulis. Van hannel: Melawan hukum adalah onrechmatig atau tanpa hak/wewenang. Hoge Raad: Dari arrest -arrest-nya dapat disimpulkan, menurut HR melawan hukum adalah tanpa hak atau tanpa kewenangan. (arrest 18-12-1911 W 9263). Lamintang: Berpendapat, perbedaan diantara pakar tersebut antara lain disebabkan ka rena dalam bahasa Belanda recht dapat berarti hukum” dan dapat berarti “hak.” Ia mengatakan, dalam bahasa Indonesia kata wederrechtelijk itu berarti “secara tidak sah” yang dapat meliputi pengertian “bertentangan dengan hukum objektif” dan “bertentangan de ngan hak orang lain atau hukum subjektif”.66
Hoge Raad pada tanggal 31 Januari 1919, N. J. 1919, W. 10365 berpendapat, antara lain sebagai berikut: “onrechmatig tidak lagi hanya berarti apa yang bertentangan dengan hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, melainkan juga apa yang bertentangan baik dengan tata susila maupun kepatutan dalam pergaulan masyarakat.”67 Melawan hukum artinya meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan (melawan hukum formil) namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma -norma kehidupan sosial dalam masyarakat (melawan hukum materil) maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Menentukan perbuatan itu dapat dipidana, pembentuk undang-undang menjadikan sifat melawan hukum sebagai unsur yang tertulis. Tanpa unsur ini, rumusan undang-undang akan menjadi terlampau luas. Sifat ini juga dapat dicela kadang-kadang dimasukkan dalam rumusan delik culpa. Jika
66 Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah. 2005. Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan Kriminalisasai dan Deskriminalisasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, hal. 31-32. 67 Leden Marpaung, 2005, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Jakarta : Sinar Grafika, hal . 44.
78
unsur melawan hukum itu dengan tegas terdapat di dalam rumusan delik, maka unsur juga harus dibuktikan, sedangkan jika dengan tegas dicantumkan maka tidak perlu dibuktikan. Untuk menentukan apakah suatu perbuatan dikatakan perbuatan melawan hukum diperlukan unsur -unsur: a.
Perbuatan tersebut melawan hukum;
b.
Harus ada kesalahan pada pelaku;
c.
Harus ada kerugian. 68
Suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam perundangundangan melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum dalam suatu perkara, misalnya faktor negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani dan terdakwa sendiri tidak mendapat untung. Berdasarkan fakta saksi Sondy Wahyu Kurniawan berusia 16 (enam belas) tahun sehingga secara yuridis masih tergolong anak-anak. Perbuatan tersebut dilakukan oleh DEDY STANZAH al TATAN Bin TATA DJAYA SUBRATA yang sehat secara fisik maupun psikologis. Terdakwa juga tidak memiliki alasan pemaaf dan pembenar suatu tindak pidana. Tindakan terdakwa tidak dapat dibenarkan oleh hukum bahkan dilarang Pasal 80 ayat (1 )
Undang-Undang No. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan anak.
Perbuatan tersebut dilakukan jelas menimbulkan kerugian bagi korban, baik 68
Theodorus M. Tuanakotta, 2009 Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi, Jakart a : Salemba Empat, hal. 73.
79
kerugian materil berupa biaya rumah sakit sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) maupun kerugian fisik (menderita sakit), sehingga jelas perbuatan terdakwa bersifat melawan hukum dan tanpa alasan pemaaf dan pembenar pidana. Sesuai pertimbangan di atas Majelis Hakim berpendapat unsur melakukan penganiayaan terhadap anak telah terpenuhi menurut hukum. Oleh karena semua unsur dari
dakwaan Kesatu telah terpenuhi maka
perbuatan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana dalam dakwaan kesatu Penuntut Umum, yang kualifikasinya akan dirumuskan dalam amar putusan.
2.
Kesesuaian Putusan Hakim Nomor 21/Pid.Sus/PN.Pwt dengan Pemenuhan Aspek Kepastian Hukum, Aspek Keadilan, Aspek Kemanfaatan
Dalam
Upaya
Penanggulangan
Kekerasan
Terhadap Anak. Norma ini bermakna bahwa hukum merupakan urat nadi seluruh aspek kehidupan. Hukum mempunyai posisi strategis dan dominan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam suatu negara hukum, pemerintah harus menjamin adanya penegakan hukum dan tercapainya tujuan hukum. Dalam penegakan hukum ada tiga unsur yang
80
harus selalu mendapat perhatian, yakni, keadilan, kemanfaatan atau hasil guna (doelmatigheid), dan kepastian hukum. 69 Hukum dan penegakan hukum merupakan sebagian faktor yang tidak dapat diabaikan karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan. 70 Sebagai instrumen pengendalian sosial, penegakan hukum diperlukan guna menjaga ketertiban yang menjadi ekseptasi dalam kehidupan masyarakat. Hukum dalam perkembangannya tidak hanya mengatur tingkah laku dalam masyarakat tetapi hukum lebih sudah berkembang sebagai sarana pembaharuan dalam masyarakat (law as a tool of social enginnering) mengikuti proses yang berlaku dalam berbagai bidang baik secara sosiologis, kultur, politis maupun ilmu pengetahuan dan teknologi. Hukum pada umumnya diartikan sebagai keseluruhan peraturan atau kaedah dalam kehidupan bersama ; keseluruhan tentang tingkah laku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Namun demikian hingga sekarang belum diperoleh pengertian hukum yang memadai dengan kenyataan. Hal ini dikarenakan hukum memiliki banyak segi dan bentuk dan meliputi segala lapangan kehidupan yang meliputi beberapa aspek seperti aspek filosofis, sosiologis, kultur, politis, religi, iptek maupun aspek yuridis normatif itu sendiri.
69 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, hal. 1. 70 Soerjono Soekanto, 2007, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta : Rajawali, hal. 5.
81
Proses penegakan hukum, tidak saja membutuhkan perangkat peraturan perundang-undangan, tetapi juga membutuhkan instrumen penggeraknya yakni institusi-institusi penegak hukum yang merupakan komponen-komponen dari sistem peradilan pidana seperti kepolisian, kejaksaan, badan peradilan dan lembaga pemasyarakatan. Penegakan hukum sesuai dengan rasa keadilan masyarakat dengan tetap memperhatikan kepastian hukum pada setiap individu warga negara merupakan ekspresi nilai-nilai demokratik dalam suatu negara demokratis. Dengan adanya keterkaitan antara nilai-nilai penunjang demokrasi dan elemen-elemen negara hukum, maka sering dijadikan satu nafas untuk menyebutkan bentuk ideal negara hukum yang melindungi hak-hak warga negara dalam satu istilah negara hukum yang demokratis. 71 Penegakan
keadilan
terkait
dengan
implementasi
peraturan
perundang-undangan yang diterapkan sesuai dalam konteks keadilan sebagaimana diterima masyarakat. Kegagalan memfasilitasi keadilan melalui proses peradilan akan berujung pada kemarahan masyarakat kepada institusi penegak hukum. 72 Aspek kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan dapat dijabarkan sebagai berikut : a.
Azas Kepastian Hukum Dalam perspektif pidana, kepastian hukum bukan hanya
ditujukan terhadap kepentingan korban namun juga untuk kepentingan 71 72
hal. 38 .
Arbi Sanit, 1985, Perwakilan Politik di Indonesia, Jakarta : Rajawali, hal.25. Ahmad Mujahidin, 2007, Peradilan Satu Atap Di Indonesia, Bandung: Refika Aditama,
82
terdakwa. Essensi dari perkara pidana merupakan perlindungan ketertiban umum. Oleh karena itu maka pada prinsipnya, kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Kepastian hukum dan ketertiban hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran perlu ditingkatkan sehingga benar-benar mampu menjadi pengayom masyarakat, memberi rasa aman, menciptakan lingkungan dan iklim yang mendorong kegairahan, kreativitas dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Kepastian hukum mengharuskan diciptakannya peraturan-peraturan umum atau kaedah-kaedah yang berlaku umum yang pelaksanaannya harus diabdikan untuk kepentingan masyarakat, serta kepastian hukum harus diwujudkan dalam tertib hukum. 73 Beberapa hal yang mempengaruhi kepastian hukum dalam penerapan praktek hukum dikemukakan oleh Bagir Manan bahwa keadaan hukum (the existing legal system ) pada saat ini adalah: 1)
2)
73
Dilihat dari substansi hukum terdapat berbagai sistem hukum yang berlaku, yakni hukum adat, hukum agama dan hukum barat. Ketiganya merupakan akibat politik hukum masa penjajahan yang bertujuan untuk menimbulkan kekacauan dalam lingkungan hukum tradisional. Ditinjau dari segi bentuk maka sistem hukum yang berlaku lebih mengandalkan pada bentuk-bentuk hukum tertulis. Pemakaian kaidah hukum adat atau hukum islam hanya dipergunakan dalam hal-hal yang secara hukum ditentukan harus diperiksa dan diputus menurut kedua hukum
Soerjono Soekanto, 1984, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Universitas Indonesia, hal. 55.
83
3)
4)
5) 6)
tersebut. Penggunaan yurisprudensi dalam mempertimbangkan suatu putusan hanya sekedar untuk mendukung peraturan hukum tertulis yang menjadi tumpuan utama. Hingga saat ini masih cukup banyak hukum tertulis yang dibent uk pada masa pemerintah Hindia Belanda. Hukumhukum ini bukan saja dalam banyak hal tidak sesuai dengan alam kemerdekaan, tetapi telah pula ketinggalan orientasi dan mengandung kekosongan-kekosongan baik ditinjau dari sudut kebutuhan dan fungsi hukum maupun perkembangan masyarakat. Keadaan hukum saat ini menunjukkan banyak aturan kebijakan (beleidsregel) baik yang berasal dari administrasi negara maupun dari badan justisial yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Keadaan tersebut menimbulkan kerancuan dan ketidak pastian hukum. Terdapat inkonsistensi dalam penggunaan asas-asas hukum atau landasan teoretik yang dipergunakan. Perundang-undangan yang berlaku sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman (out of date ). Kekurangan ini dapat di atasi apabila para penegak hukum berperan aktif mengisi berbagai kekosongan atau memberikan pemahaman baru suatu kaidah. 74
Berdasarkan fakta hukum dalam persidangan terdakwa telah memenuhi unsur Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa: Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). Berdasarkan Pasal tersebut setiap orang yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kekejaman, kekerasan atau
74
Bagir Manan, 1993, Dasar-Dasar Konstitusional Peraturan Perundang-undangan Nasional, Jakarta : Sinar Grafika, hal. 23.
84
ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak dipidana penjara maksimal 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan. Pasal ini hanya menerangkan maksimal pidana, sehingga hakim diberikan hak untuk memutus bebas, memutus pidana percobaan, dan pidana penjara maksimal 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan. Putusan Hakim Nomor 21/Pid.Sus/PN.Pwt hakim menyatakan Terdakwa DEDY STANZAH alias TATAN Bin TATA DJAYA SUBRATA tersebut di atas, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “PENGANIAYAAN TERHADAP ANAK”. Hakim juga menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa DEDY STANZAH alias TATAN Bin TATA DJAYA SUBRATA tersebut dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan dan Pidana Denda sebesar Rp 60.000. 000,00 (enam puluh juta rupiah) dengan ketentuan jika terdakwa tidak membayar denda tersebut maka diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan. Berdasarkan kepastian hukum, maka pidana tersebut sudah tepat, karena jelas Pasal tersebut tidak memberikan minimum pidana yang diberikan tetapi maksimal, sehingga jika hakim memutus dengan 7 (tujuh) bulan dan Pidana Denda sebesar Rp 60.000. 000,00 (enam puluh juta rupiah), maka aspek hukum dalam suatu Pasal sudah terpenuhi yang artinya telah memenuhi asas kepastian hukum.
85
b.
Azas Kemanfaatan Teori tentang keadilan menurut paham utilitarian banyak
mengemukakan teori-teori manfaat adalah jika mesin diukur dari manfaatnya (utility), maka institusi sosial, termasuk institusi hukum pun harus diukur dari manfaatnya itu. Karena itu, unsur ”manfaat” (utility) merupakan kriteria bagi manusia dalam mematuhi hukum seperti terlihat dalam kalimat berikut ini: ”...and the test of what laws there ought to be, and what laws ougnt to be obeyed, was utility”. Mengenai hal ini dikenal dengan ungkapan the greatest happiness of the greatest number.75 Teori manfaat (utilitarisme) yang relevan untuk mempertajam pembahasan dalam penelitian ini diambil dari teor i yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham dalam karya tulisannya “An Introduction to the Principles of Morals and Legislation” disebutkannya bahwa: “Alam telah menempatkan umat manusia di bawah kendali dua kekuasaan, rasa sakit dan rasa senang. Hanya keduanya yang menunjukkan apa yang seharusnya kita lakukan, dan menentukan apa yang akan kita lakukan. Standar benar dan salah di satu sisi, maupun rantai sebab akibat pada sisi lain, melekat erat pada dua kekuasaan itu. Keduanya menguasai kita dalam sumua hal yang kita lakukan, dalam semua hal yang kita ucapkan, dalam semua hal yang kita pikirkan : setiap upaya yang kita lakukan agar kita tidak menyerah padanya hanya akan menguatkan dan meneguhkannya. Dalam kata -kata seorang manusia mungkin akan berpura-pura menolak kekuasaan mereka tapi pada kenyataannya ia akan tetap berada di bawah kekuasaan mereka. Asas manfaat (utilitas) mengakui ketidakmampuan ini dan menganggapnya sebagai landasan sistem tersebut, dengan tujuan merajut kebahagiaan melalui tangan nalar dan hukum. Sistem yang mencoba untuk memper tanyakannya hanya berurusan dengan kata -kata 75
Munir Fuady, 2007, Dinamika Teori Hukum, Bogor : Ghalia Indonesia, hal. 95.
86
ketimbang maknanya, dengan dorongan sesaat ketimbang nalar, dengan kegelapan ketimbang terang”. 76 Teori utilitas lebih menekankan bahwa pengambilan keputusan etika dengan pertimbangan manfaat terbesar bagi banyak pihak sebagai hasil akhirnya (the greatest good for the greatest number). Artinya, bahwa hal yang benar didefinisikan sebagai hal yang memaksimalisasi apa yang baik atau meminimalisir apa yang berbahaya bagi kebanyakan orang. Semakin bermanfaat pada semakin banyak orang, perbuatan itu semakin etis. Dasar moral dari perbuatan hukum ini bertahan paling lama dan relatif paling banyak digunakan. Aliran atau paham Utilitarium sering disebut pula dengan aliran konsekuensialisme karena sangat berorientasi pada hasil perbuatan. 77 Perlu dipahami bahwa utilitarisme menekankan pentingnya konsekuensi perbuatan dalam menilai baik buruknya. Kualitas moral suatu perbuatan baik buruknya tergantung pada konsekuensi atau akibat yang dibawakan olehnya. Jika suatu perbuatan mengakibatkan manfaat paling besar, artinya paling memajukan kemakmuran, kesejahteraan, dan kebahagiaan masyarakat, maka perbuatan itu adalah baik. Sebaliknya, jika perbuatan membawa lebih banyak kerugian daripada manfaat, perbuatan itu harus dinilai buruk. Konsekuensi perbuatan di sini memang menentukan seluruh kualitas moralnya. 76
Ian Saphiro, 2006, Asas Moral dalam Politik, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia Bekerjasama Dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat Jakarta dan Freedom Institusi, hal. 13. 77 K. Bertens, 2000, Pengantar Etika Bisnis, Yogyakarta : Kanisus, hal. 67.
87
Prinsip utilitarisme
menyatakan bahwa, “Suatu tindakan
dianggap benar dari sudut pandang etis jika dan hanya jika jumlah total utilitas yang dihasilkan dari tindakan tersebut lebih besar dari jumlah utilitas total yang dihasilkan oleh tindakan lain yang dilakukan. Berdasarkan fakta yag terungkap dalam persidangan dapat diketahui bahwa, akibat penganiayaan terdakwa korban dirawat di rumah sakit, korban mengalami luka -luka, korban tid ak dapat menjalankan aktivitasnya sebagai pelajar. Akibat luka yang diderita korban maka biaya yang dikeluarkan untuk obat dan lainnya mencapai Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah). Terdakwa sama sekali tidak memberikan ganti kerugian dan juga baru meminta maaf paska persidangan dimulai. Hal ini jelas memperlihatkan tidak adanya perlindungan bagi korban dari segi kemanfaatan. Korban jelas menderita dua kali karena penganiayaan yang dilakukan oleh terdakwa, dan biaya medis akibat tindakan terdakwa. Apabila dikaji dari segi hukuman terdakwa DEDY STANZAH alias TATAN Bin TATA DJAYA SUBRATA dipidana penjara selama 7 (tujuh) bulan dan Pidana Denda sebesar Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dengan ketentuan jika terdakwa tidak membayar denda tersebut maka diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan, tanpa adanya restitusi ataupun kompensasi.
88
Pertanyaannya adalah jika terdakwa dipidana 7 (tujuh) bulan dipotong masa tahanan 3 bulan (Maret-Mei masa tahanan sejak di Penyidik Kejaksaan), maka pidana yang akan dilaksanakan terdakwa hanya 4 (empat) bulan, apakah 4 (empat) bulan dapat menjerakan pelaku dan melindungi masyarakat dari kejahatan lain seperti yang dilakukan oleh pelaku. Begitupula korban, apakah yang diderita korban sudah sebanding dengan pemidanaan terhadap terdakwa. Sanksi yang tajam dalam hukum pidana ini membedakan dari lapangan hukum lainnya. Hukum pidana sengaja mengenakan penderitaan dalam mempertahankan norma-norma yang diakui dalam hukum, inilah mengapa sebabnya mengapa hukum pidana harus dianggap sebagai ”ultimum remedium”, yakni ”obat terakhir” apabila sanksi atau upaya -upaya pada cabang hukum lainnya tidak mempan atau dianggap tidak mempan. Oleh karena itu penggunaannya harus dibatasi. Kalau masih ada jalan lain janganlah menggunakan hukum pidana. Tujuan pemidanaan sebagai pembalasan pada umumnya dapat menimbulkan rasa puas bagi orang yang dengan jalan menjatuhkan pidana yang setimpal dengan perbuatan yang dilakukan. Namun, demikian kita juga harus mementingkan tuntutan masyarakat, yaitu membentuk pergaulan hidup yang teratur sesuai dengan perasaan keadilan yang ada pada orang. Oleh karena itu tujuan pemidanaan bukanlah untuk membalas, tetapi untuk mempertahankan tertib hukum.
89
Barda Nawawi Arief dan Muladi menyatakan bahwa hubungan antara penetapan sanksi pidana dan tujuan pemidanaan adalah titik penting dalam menentukan strategi perencanaan politik kriminal. Menentukan tujuan pemidanaan dapat menjadi landasan untuk menentukan cara, sarana atau tindakan yang akan digunakan. 78 Kebijakan menetapkan sanksi pidana apa yang dianggap paling baik untuk mencapai tujuan, setidak-tidaknya mendekati tujuan, tidak dapat dilepaskan dari persoalan pemilihan berbagai alternatif sanksi. Masalah pemilihan berbagai alternatif untuk memperoleh pidana mana yang dianggap paling baik, paling tepat, paling patut paling berhasil atau efektif merupakan masalah yang tidak mudah. Dilihat dari
sudut
politik
kriminal,
maka
tidak
terkendalikannya
perkembangan kriminalitas yang semakin meningkat, justru dapat disebabkan oleh tidak tepatnya jenis sanksi pidana yang dipilih dan ditetapkan. 79 Tujuan pemidanaan pada dasarnya tak akan lepas dari tujuan hukum pidana itu sendiri. Pada prinsipnya sesuai dengan sifat hukum pidana sebagai hukum publik tujuan pokok diadakannya hukum pidana ialah melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat sebagai suatu
kumpulan
manusia
dari
perbuatan-perbuatan
yang
mengancamnya atau bahkan merugikannya baik itu datang dari perseorangan maupun kelompok orang. 78
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung : PT Alumni, hal. 89. 79 Ibid, hal. 89.
90
Roeslan Saleh mengemukakan bahwa pada hakekatnya ada dua poros yang mene ntukan garis-garis hukum pidana, dalam bukunya yang berjudul “Suatu Reorientasi dalam Hukum Pidana”, yaitu: a.
b.
Segi prevensi, yaitu hukum pidana adalah sanksi, suatu upaya untuk dapat mempertahankan kelestarian hidup bersama dengan melakukan pencegahan kejahatan; Segi pembalasan, yaitu bahwa hukum pidana sekaligus merupakan pula penentuan hukum, merupakan koreksi dari dan reaksi atas sesuatu yang bersifat tidak hukum. 80
Dipandang dari segi pemidanaan, maka jelas 4 (empat) bulan penjara yang sangat mungkin pada bulan ke 3 yaitu Agustus akan mendapatkan remisi dan hak-hak lainnya seperti pembebasan bersyarat, sehingga terpidana hanya akan melaksanakan pidana penjara selama 2 (dua) bulan. Berdasarkan alur logika tersebut, kembali
dipertanyakan
apakah
2
(dua)
bulan
cukup
untuk
mempertahankan kelestarian hidup bersama dengan melakukan pencegahan kejahatan (generale prevention) dan menimbulkan jera pelaku (special prevention ). Berdasarkan segi kemanfaatan jelas bahwa, hak-hak korban terabaikan. Selain itu dengan adanya hukuman pendek bagi terdakwa tujuan pemidanaan tidak akan tercapai.
c.
Azas Keadilan Hukum sebagai suatu kenyataan dalam masyarakat karena
mengatur perilaku dalam kehidupan masyarakat yang dibuat oleh lembaga yang berwenang, untuk itu melalui proses tertentu dan 80
Ibid, hal. 22.
91
merupakan keputusan pejabat yang berwenang serta berisi jalinan nilai-nilai yang ada dalam kehidupan masyarakat. Hukum pada dasarnya mempunyai banyak fungsi dalam usahanya mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Pada masyarakat sederhana yang masih kecil jumlahnya, dimana pola hubungan antara para anggota masyarakat terjalin sangat erat berdasarkan azas kekerabatan, selain itu sentimentil dan kepercayaan yang sama dan mempunyai lingkungan yang relatif stabil maka penyelenggara keadilan lebih nampak mudah. H.L.A. Hart mengemukakan keadilan mengarah kepada aspek hukumnya yaitu, ”Nilai kebajikan yang paling legal”, dalam bahasa Inggrisnya, ”The most legal of vitues”, atau dengan meminjam istilah Cicera, menyebutkan tentang keadilan adalah habitus animi yakni merupakan atribut pribadi (personal atribute).81 Para filosof Yunani memandang bahwa keadilan sebagai suatu kebijakan individual (individual virtue).82 Apabila terjadi tindakan yang tidak adil (unfair prejudice) di dalam kehidupan manusia, maka sektor hukumlah yang sangat berperan untuk menemukan kembali keadilan yang telah hilang (the lost justice), Aristoteles menyebutnya sebagai keadilan korektif. 83 Keadilan menurut Aristoteles terbagi tiga yakni keadilan kom utatif, keadilan distributif, dan keadilan hukum (legal justice). 81
Munir Fuady, Op cit., hal. 92. Ibid, hal. 93. 83 Ibid, hal. 93. 82
92
Keadilan komutatif adalah suatu kebijakan untuk memberikan kepada setiap orang haknya atau sedekat mungkin dengan haknya (to give each one his due). Mengusahakan keadilan komutatif ini adalah pekerjaanya para Hakim. Misalnya menjatuhkan hukuman sesuai dengan kesalahannya atau memberikan ganti rugi sesuai kerugian yang dideritanya, sehingga tidak ada orang yang mendapatkan keuntungan atas penderitaan orang lain, atau tidak ada orang yang menari-nari di atas duka lara orang lain. 84 Keadilan sesungguhnya hanya punya satu arti, yaitu keadilan komutatif yang menyangkut kesetaraan, keseimbangan, keharmonisan hubungan antara satu orang atau pihak dengan orang atau pihak yang lain. Keadilan sesungguhnya mengungkapkan kesetaraan dan keharmonisan hubungan diantara manusia. Dengan demikian dalam interaksi sosial apa pun tidak boleh ada orang atau pihak yang dirugikan hak dan kepentingannya. Di sisi lain, timbulnya ketidakadilan disebabkan oleh pincangnya hubungan antar
manusia
karena
kesetaraan
dan
keharmonisan
tersebut
mengalami gangguan. Dengan kata lain, ketidakadilan adalah keadaan asimetri antara satu pihak dengan pihak yang lain.85 Keadilan distributif adalah sebagai suatu tindakan memberikan setiap orang apa yang patut didapatnya atau yang sesuai dengan prestasinya seperti jasa baik (merits) dan kecurangan/ketercelaan (demerits), yang merupakan pekerjaan yang lebih banyak dilakukan 84
Ibid, hal. 111-112. A. Sonny Keraf, 1996, Pasar Bebas, Keadilan dan Peran Pemerintah. Telaah Atas Etika Politik Ekonomi Adam Smith, Yogyakarta : Pen erbit Kanisius, hal. 235-238. 85
93
oleh badan legislatif. Misalnya, hak-hak politik masyarakat atau kedudukan di dalam parlemen, dapat didistribusikan kepada yang berhak sesuai dengan keadilan distributif itu. 86 Keadilan Hukum (legal justice) adalah Keadilan yang telah dirumuskan oleh hukum dalam bentuk hak dan kewajiban, dimana pelanggaran terhadap keadilan ini akan ditegakkan melalui poses hukum, umumnya di pengadilan. Pada keadilan legal, sesungguhnya sudah terkandung dalam keadilan komutatif. Dalam hal ini, bahwa salah satu tujuan negara demi menegakkan keadilan komutatif maka negara harus bersikap netral dan memperlakukan semua pihak secara sama tanpa terkecuali. Sebab hanya dengan prinsip perlakuan yang sama inilah keadilan komutatif dapat ditegakkan. Dengan demikian jelas bahwa prinsip yang sama. atau keadilan legal merupakan konsekuensi logis dari pelaksanaan prinsip keadilan komutatif. Demikian pula halnya ketika prinsip keadilan komutatif dirumuskan dalam hukum yang mengatur agar tidak boleh ada pihak yang merugikan hak dan kepentingan pihak lain. Sehingga boleh dikatakan bahwa hal inilah yang menjadi pegangan negara untuk menegakkan keadilan komutatif tersebut. Karena itu, bisa dimengerti bahwa keadilan komutatif maupun keadilan legal, pada prinsipnya samasama menyangkut jaminan dan penghargaan atas hak dan kepentingan
86
Munir Fuady, Op cit., hal. 111-112.
94
semua orang dalam interaksi sosial yang didukung oleh sistem politik melalui hukum positif. John
Rawls
mengemukakan
mengenai
keadilan
yang
menurutnya merupakan campuran dari unsur-unsur keadilan yang disebutkan oleh Aristoteles dan mengistilahkannya dengan keadilan yang mesti dikembalikan oleh hukum. Menurutnya John Rawls, “Keadilan akan diperoleh jika dilakukan maksimum penggunaan barang secara merata dengan memperhatikan kepribadian masingmasing (justice fairnes)”. Prinsip keadilan menurut John Rawls dapat dirinci sebagai berikut: a. b. 1) 2)
Terpenuhinya hak yang sama terhadap dasar (aqual liberties); Perbedaan ekonomi dan sosial harus diatur sehingga akan terjadi kondisi yang positif yaitu; Terciptanya keuntungan maksimum yang reasonable untuk setiap orang termasuk bagi setiap yang lemah (maximum minimorium); dan Terciptanya kesempatan bagi semua orang. 87
Hukum pada dasarnya menuju pada fungsi keadilan. Keadilan pada hakikatnya adalah memperlakukan seseorang atau pihak lain sesuai dengan haknya. Yang menjadi hak setiap orang adalah diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya, yang sama derajatnya, yang sama hak dan kewajibannya, tanpa membedakan suku, keturunan, dan agamanya. Keadilan secara umum dikatakan sebagai pengakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban.
87
Ibid., hal. 94.
95
Keadilan terletak pada keharmonisan menuntut hak dan menjalankan kewajiban. Dengan kata lain, keadilan adalah bila setiap orang memperoleh apa yang menjadi haknya dan setiap orang memperoleh bagian yang sama. Pertanyaannya kemudian adalah sudah adilkah pemidanaan pada Putusan Hakim Nomor 21/Pid.Sus/PN.Pwt/?. jawaban dari pertanyaan tersebut tentunya dapat dipadukan apabila melihat dua konsep kepastian dan kemanfaatan di atas. Berdasarkan kepastian hukum, jelas kaidah ini terpenuhi, sedangkan da ri segi manfaat untuk tuju an hukum dan perlindungan korban dengan adanya hukuman pidana pendek (rentang waktu hanya 2 bulan) maka kemanfaatan hukum terabaikan. Keadilan Hukum (legal justice) adalah keadilan yang telah dirumuskan oleh hukum dalam bentuk hak dan kewajiban, dimana pelanggaran terhadap keadilan ini akan ditegakkan melalui poses hukum, umumnya di pengadilan. Pada keadilan legal, sesungguhnya sudah terkandung dalam keadilan komutatif, dimana semua pihak secara sama tanpa terkecuali. Prinsip yang sama atau keadilan legal merupakan konsekuensi logis dari pelaksanaan prinsip keadilan komutatif yaang menekankan hak dan kewajiban yang sama. Berdasarkan
keadilan
komutatif
maka,
seharusnya
hakim
memperhatikan kerugian dan derita korban dengan mengikutsertakan
96
restitusi dan kompensasi dalam suatu putusan, sehingga jelas tidak dapat dikatakan adil. Berdasarkan pembahasan tersebut dapat diketahui bahwa Putusan Hakim Nomor 21/Pid.Sus/PN.Pwt sudah memenuhi Aspek Kepastian Hukum tetapi belum memenuhi aspek kemanfaatan dan keadilan dalam Upaya Penanggulangan Kekerasan Terhadap Anak. Dengan masa pemidanaan 7 (tujuh) bulan penjara tujuan pemidanaan dan perlindungan korban de ngan tidak menempatkan restitusi dan kompensasi dalam putusan maka hak korban terabaikan.
97
BAB V PENUTUP
A.
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada Bab IV maka dapat
diambil simpulan sebagai berikut: 1.
P enerapan Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam Putusan Nomor 21/Pid.Sus/PN.Pwt telah terpenuhi dengan alasan sebagai berikut: a.
Setiap orang, dalam hal ini terdakwa adalah subjek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, tidak error in persona dan tidak ada alasan pemaaf serta alasan pembenar.
b.
Perbuatan terdakwa bersifat melawan hukum dan tidak ada alasan pembenar dengan melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan atau penganiayaan terhadap anak.
2.
Putusan Hakim Nomor 21/Pid.Sus/PN.Pwt sudah memenuhi Aspek Kepastian Hukum tetapi belum memenuhi aspek kemanfaatan dan keadilan dalam Upaya Penanggulangan Kekerasan Terhadap Anak. Dengan masa pemidanaan 7 (tujuh) bulan penjara tujuan pemidanaan dan perlindungan korban dengan tidak menempatkan restitusi dan kompensasi dalam putusan maka hak korban terabaikan.
98
B.
Saran Pada umumnya hakim menjatuhkan pidana bukan hanya dilihat dari aspek
kepastian hukum saja, tetapi juga harus dilihat aspek keadilan dan kemanfaatan dalam upaya penanggulangan terhadap anak. Oleh karena itu, dalam putusannya hakim seharusnya
memperhatikan
kerugian
dan
derita
korban dengan
mengikutsertakan restitusi dan kompensasi dalam suatu putusan serta tidak menjatuhkan hukuman pidana pendek, karena kurang sesuai dengan tujuan pemidanan.
99
DAFTAR PUSTAKA Literatur Bassar , Sudrajat. 1986. Tindak Pidana Tertentu di Dalam KUHP. Bandung: Remedja Karya. Bertens , K. 2000. Pengantar Etika Bisnis. Yogyakarta : Kanisus. Fuady, Munir. 2007. Dinamika Teori Hukum. Bogor: Ghalia Indonesia. Galtung, Johan. 2003. Studi Perdamaian : Perdamaian dan Konflik Pembangunan dan Peradaban. Surabaya : Pustaka Eureka. Hamzah, Andi. 2008. Asas-Asas Hukum Pidana Cet III. Jakarta: Rineka Cipta. Huraerah, Abu. 2006. Kekerasan Terhadap Anak . Bandung : Nuansa. Ibrahim, Johny. 2005. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif . Malang: Banyumedia Publishing. Kartanegara , Satochid. 1999. Hukum Pidana Bagian Satu . Bandung: Balai Lektur Mahasiswa. Keraf, A. Sonny. 1996. Pasar Bebas. Keadilan dan Peran Pemerintah. Telaah Atas Etika Politik Ekonomi Adam Smith. Yogyakarta : Penerbit Kanisius. Magfur, M. 2003. Anatomi Kekerasan Manusia Antara Entitas Mencinta dan Kematian . dalam Pemikiran Pekikiran Revolusioner. Malang: QAverroes Press. Maidin , Gultom. 2010. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia . Bandung : PT. Refika Aditama. Manan, Bagir. 1933. Dasar-Dasar Konstitusional Peraturan Perundangundangan Nasional. Jakarta : Sinar Grafika . Marpaung, Leden. 2005. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Jakarta : Sinar Grafika. -----------------------. 2005. Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh. Jakarta: Sinar Grafika.
100
Marzuki, Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Mertokusumo, Sudikno dan A. Pitlo. Bab-Bab tentang Penemuan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti. Moeljanto. 1993. Asas-Asas Hukum Pidana cet 8. Jakarta: Rineka Cipta. Mufidah, dkk. 2006. Haruskah Perempuan dan Anak Dikorbankan?. Yogyakarta : Pilar Media. Mujahidin, Ahmad. 2007. Peradilan Satu Atap Di Indonesia . Bandung : Refika Aditama. Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1998. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: PT Alumni. Poernomo, Bambang. 1993. Asas-Asas Hukum Pidana. Cet 6. Jakarta: Ghalia Indonesia. Prasetyo, Teguh dan Abdul Hakim Barkatullah. 2005. Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan Kriminalisasai dan Deskriminalisasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Prodjodikoro, Wirjono. 2003. Asas-Asas Hukum pidana di Indonesia . Cet 3. Bandung: Refika Aditama. -----------------------------. 2008. Tindak-Tindak Indonesia. Bandung: Aditama.
Pidana
Tertentu
di
Remmelink, Jan. 2003. Hukum Pidana Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Sanit, Arbi. Perwakilan Politik di Indonesia . Jakarta : Rajawali. Saphiro, Ian. 2006. Asas Moral dalam Politik . Jakarta : Yayasan Obor Indonesia Bekerjasama Dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat Jakarta dan Freedom Institusi. Schravendijk, H.J van. 1955. Buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana Indonesia. Gronigen : J.B Wolters. Sianturi, S.R. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana dan Penerapannya . Jakarta: Storia Grafika .
101
Sihombing, Justin . 2005. Kekerasan Terhadap Masyarakat Marjinal. Yogyakarta : Penerbit Narasi. Simon Fisher. et.al. 2001. Mengelola Konflik : Keterampilan & Strategi untuk Bertindak . Jakarta: The British Council. Soekanto, Soerjono. 1984. Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia . Yogyakarta : Penerbit Universitas Indonesia . -------------------------. 2007. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Rajawali. Soemitra. 1990. Aspek Hukum Perlindungan Anak. Jakarta : Bumi Aksara. Subekti. 1989. Pokok Pokok Hukum Perdata . Jakarta: Intermasa. Sudarto. 1990. Hukum Pidana Jilid IA-IB. Semarang: Yayasan Sudarto. Sunggono, Bambang. 2006. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Suyanto, Bagong dan Sri Sanituti. 2002. Krisis & Child Abuse. Surabaya: Airlangga University. Suyanto, Bagong. 2003. Pelanggaran Hak dan Perlindungan So sial Bagi Anak Rawan. Surabaya : Airlangga University Press. Tresna , R. 1959. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Tiara Limeted. Tuanakotta , Theodorus M. 2009. Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Salemba Empat. Wahid, Abdul. 2001. Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan. Bandung: Refika Aditama.
Sumber Lainnya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet I. Balai Pustaka. Jakarta. 1988. hal. 326 Ibnu
Kaldun. Konvensi Hak-Hak Anak (KHA). http://bappeda.kendalkab.go.id/index.php?option=com_content&view
102
=article&catid=29:pemsosbud&id=87:konvensi-hak-hak-anak-kha. Diakses pada tanggal 2 November 2012. Joe Leribun. Selasa. 11 September 2012. 21:48 WIB. KPAI: Kekerasan Terhadap Anak Terbanyak Di Keluarga. http://nasional.kompas.com/read/2012/09/11/21482667/KPAI. Kekerasan.Terhadap.Anak.Terbanyak.Di.Keluarga . diakses pada tanggal 21 September 2012. Marwan, M. dan Jimmy P. 2009. Kamus Hukum. Surabaya : Reality Publisher. NN.
Pengertian Anak sebagai Makhluk Sosial. http://www.duniapsikologi.com/pengertian-anak-sebagai-makhluksosial/. diakses pada tanggal 3 November 2012.
NN. Anak dan Aset Bangsa. http://www.kpai.go.id/publikasi-mainmenu33/artikel/241-anak-dan-aset-bangsa.htmliakses pada tanggal 3 November 2012. NN. Angka Kekerasan pada Anak Meningkat. http://www.jpnn.com b/read/2011/06/14/94972/Angka-Kekerasan-pada--Anak-Meningkat-. diakses pada tanggal 21 September 2012. NN. Teori Kekerasan. http://siar.endonesa.net/ utty/2008/10/31. diakses pada tanggal 09 Juli 2010. Wiwik Subekti. Sosialisasi Dan Komunikasi Terkait Denganpemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak. http://bali.bkkbn.go.id/ViewArtikel.aspx?ArtikelID=423. Diakses pada tanggal 2 November 2012.