STUDI TENTANG MASYARAKAT NELAYAN DI KELURAHAN PEMATANG PASIR KECAMATAN TELUK NIBUNG KOTA TANJUNG BALAI SRI AYU WANDIRA NIM 071233310039
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk : 1) Mengetahui tingkat pendapatan masyarakat nelayan. 2) Mengetahui tingkat pendidikan anak nelayan 3) Mengetahui bagaimana kondisi fisik rumah nelayan. Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Pematang Pasir, Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penduduk Kelurahan Pematang Pasir Kecamatan Teluk Nibung Kota Tanjung Balai yang bermata pencaharian sebagai nelayan sebanyak 720 KK, dan sampelnya 10% atau 72 KK yang diambil secara acak (Random Sampling) . Tekhnik Pengumpulan Data yang digunakan yaitu berupa angket, observasi, dan studi dokumentasi. Data yang diperoleh selanjutnya di analisa secara Deskriptif Kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Tingkat Pendapatan rata-rata nelayan diKelurahan Pematang Pasir adalah sebesar Rp.1.050.000, perbulan, dengan jumlah pengeluaran untuk kebutuhan pokok sebesar Rp.980.000 perbulan. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendapatan nelayan masih tergolong rendah , hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Pada umumnya ini adalah nelayan yang berstatus sebagai ABK (Anak Buah Kapal) . Sedangkan Toke dan juragan tingkat pendapatannya lebih tinggi. (2) Tingkat Pendidikan anak responden pada umumnya sangat rendah, karena sebagian besar responden yaitu sebesar 48,61% responden, anaknya hanya Tamat SD, 27,78% responden anak mereka tamat SMP, dan hanya 16,67% responden anak mereka yang tamat SMA. (3). Kondisi fisik rumah responden sangat buruk , hal ini dapat dilihat bahwa sebagian besar responden masih memiliki rumah dengan kondisi sederhana yaitu sebanyak 30 responden ( 41,66%), kondisi darurat sebanyak 9 responden ( 13,89%), kondisi Semi Permanen sebanyak 23 responden ( 31,94%), dan Kondisi permanen sebanyak 10 responden ( 13,89%). Kata kunci
: studi, masyarakat nelayan
PENDAHULUAN Secara teoritis, dengan kekayaan laut yang demikian besar, nelayan mampu hidup berkecukupan. Namun kenyataannya, jauh panggang
dari api. Hanya segelintir nelayan yang hidup berkecukupan, selebihnya, sebagian besar yang lain dapat dikatakan bukan saja belum
1
berkecukupan, melainkan juga masih terbelakang. Berbagai kajian mengenai kehidupan nelayan umumnya menekankan pada kemiskinan dan ketidakpastian perekonomian, karena kesulitan hidup yang dihadapi nelayan dan keluarganya (Acheson, 1981, Emerson, 1980). Kehidupan nelayan dapat dikatakan tidak saja belum berkecukupan, melainkan juga masih terbelakang, termasuk dalam hal pendidikan. Keterbatasan sosial yang dialami nelayan memang tidak terwujud dalam bentuk keterasingan, karena secara fisik masyarakat nelayan tidak dapat dikatakan terisolasi atau terasing. Namun lebih terwujud pada ketidakmampuan mereka dalam mengambil bagian dalam kegiatan ekonomi pasar secara menguntungkan, yang ditunjukkan oleh lemahnya mereka mengembangkan organisasi keluar lingkungan kerabat mereka atau komunitas lokal (Boedhisantoso, 1999). Secara umum kemiskinan yang terjadi pada masyarakat nelayan dipengaruhi oleh beberapa faktor, akan tetapi lebih banyak disebabkan oleh factor-faktor sosial ekonomi yang terkait krakteristik sumber daya serta tekhnologi yang digunakan. Fakto-faktor yang dimaksud membuat sehingga nelayan tetap dalam kemiskinannya. Dari beberapa kajian pembangunan perikanan yang dilakukan para peneliti diberbagai Negara Asia maupun di Negaranegara Eropa dan Amerika Utara memberikan suatu kesimpulan bahwa kekakuan asset perikanan (
fixity dan rigidity of fishing assets ) adalah alasan utama kenapa nelayan tetap tinggal atau bergelut dengan kemiskinan dan sepertinya tidak ada upaya mereka keluar dari kemiskinan itu. Kekakuan asset tersebut adalah karena sifat asset perikanan yang begitu rupa sehingga sulit untuk dilikuidasi atau diubah bentuk dan fungsinya untuk digunakan bagi kepentingan lain. Akibatnya pada saat produktivitas asset tersebut rendah, nelayan tidak mampu mengaih fungsikan atau melikuidasi asset tersebut. Karena itu, meskipun rendah produktivitasnya, nelayan tetap melakukan operasi penangkapan ikan yang sesungguhnya tidak lagi efisien secara ekonomis (Smith serta Anderson, 1979 ). Kelurahan Pematang Pasir adalah salah satu kelurahan yang terdapat di Kecamatan Teluk Nibung, Kota Tanjung balai merupakan daerah yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan. Nelayan di Kelurahan Pematang Pasir juga mengalami hal serupa seperti di atas, yaitu tingkat pendapatan yang rendah dan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Apalagi untuk membiayai pendidikan anak-anak mereka. Maka, anak-anak nelayan tidak mendapatkan pendidikan yang tinggi, hanya sampai jenjang pendidikan dasar, bahkan ada yang tidak mengenyam pendidikan sama sekali. Mereka lebih memilih bekerja membantu orang tua mereka mencari ikan di laut dari pada melanjutkan pendidikannya. Padahal pendidikan memiliki peranan yang sangat penting untuk meningkatkan kondisi kehidupan menjadi lebih
2
baik. Selain itu, kondisi fisik rumah nelayan tidak memadai dan tidak layak huni. Hal ini hdisebabkan karena rendahnya tingkat pendapatan yang diperoleh nelayan. Yang tidak memungkinkan untuk memiliki rumah yang layak dan sehat. Nelayan di Kelurahan Pematang Pasir hidup dibawah garis kemiskinan dengan tingkat pendapatan hanya cukup untuk membiayai kebutuhan hidup seharihari atau bahkan pun kurang. Pendidikan anak yang rendah diakibatkan ketidakmampuan orang tua dalam membiayai pendidikan anaknya. Karena orang tua memiliki pendapatan yang rendah. Namun mata pencaharian sebagai nelayan adalah pilihan terakhir yang harus dilakukan masyarakat di Kelurahan Pematang Pasir, karena mereka tidak mempunyai pilihan untuk mata pencaharian yang lainnya. Maka mereka tetap bertahan dengan keadaan yang deperti sekarang, walau harus berada pada garis kemiskinan.
berjumlah 72 Kepala Keluarga (KK) yang diambil secara acak (random sampling) sedangkan Variabel penelitian ini adalah sosial ekonomi masyarakat nelayan yang dikaji dengan indicator : Tingkat Pendapatan, Tingkat Pendidikan anak , dan Kondisi fisik rumah. Alat pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah Angket, teknil observasi dan studi dokumentasi. Tehnik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan tekhnik analisa deskriptif kualitatif. Dengan menggunakan table data frekuensi yang berguna untuk mempermudah penyimpulan yan di sajikan berupa persentase dan akhirnya data-data yang dikualifikasi untuk kembali mendapatkan pemahaman yang konkrit dengan persentase berupa table frekuensi. Untuk itu penulis menggunakan table frekuensi dengan rumus sebagai berikut : P=
METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Pematang Pasir Kecamatan Teluk Nibung kota Tanjung Balai. Kelurahan ini terdiri dari 7 Lingkungan. Adapun alasan pemilihan lokasi penelitian ini adalah karena : 1) Sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian sebagai nelayan, 2) Sepanjang pengetahuan dan hemat penulis belum pernah dilaksanakan penelitian yang serupa di daerah ini. Untuk keperluan penelitian, penulis mengambil sampel sebanyak 10% dari jumlah populasi 720 Kepala Keluarga (KK), maka sampel
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Tingkat Umur Responden Pengelompokkan menurut umur termasuk metode untuk menganalisis tinggi rendahnya angkatan kerja. Dengan melihat tingkat umur di suatu daerah, maka dapat dianalisis bagaimana produktivitas suatu daerah, dimana semakin produktif umur seseorang, maka kualitas kerja yang ditunjukkan semakin baik. Mayoritas adalah berumur 40-49 tahun sebanyak 40 responden ( 55,56 %), umur 30 – 39 tahun sebanyak 11 responden ( 15,28 3
% ), umur 50 – 59 tahun sebanyak 20 responden (27, 78 % ) . Ini berarti nelayan yang melakukan usaha melaut masih dalam usia produktif. Usia produktif merupakan tahapan usia yang dimiliki oleh manusia untuk dapat bekerja dan menghasilkan sesuatu secara maksimal. Bila ditinjau dari usia nelayan yang masih produktif, tentunya ada alasan mengapa pada umumnya para nelayan memiliki usia yang masih produktif. Hal ini disebabkan karena hubungan kerja sama yang dibangun di dalam nelayan tidak jauh berbeda dengan hubungan kerja profesi lain. Hubungan yang didasari prinsipprinsip ekonomi. Yaitu hubungan kerja sama yang berorientasi pada keuntungan, baik dari sisi pemilik (toke) maupun pekerja. Biasanya pihak toke mempercayakan sampan/perahu kepada juragan yang memiliki pengalaman dan keterampilan tentang cara-cara tertentu agar perahu memperoleh hasil tangkapan sebanyak-banyaknya, jujur, aktif, disiplin dan mampu mengkoordinasi kerja anak buahnya (ABK) dengan baik. Begitu juga dengan juragan yang merupakan orang kepercayaan toke, dalam memilih anggotanya harus benar-benar orang yang dapat saling bekerja sama, loyal dan mendukung terhadap keberhasilan dalam pekerjaan tersebut. Bila ditinjau dari segi waktu dan rutinitasnya pekerjaan sebagai nelayan mempunyai keunikan tersendiri, yang tidak semua orang ( dalam tingkatan usia ) dapat melakukan pekerjaan tersebut.
Waktu yang digunakan kegiatan melaut rata-rata 12 hingga 14 jam kerja setiap sekali berangkat. Jam kerja ini jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan jam kerja untuk profesi lain yang rata-rata hanya 8 sampai 10 jam setiap hari. Waktu atau jam kerja yang relatif banyak ini dipergunakan oleh nelayan mulai dari keberangkatan sampai dengan kembali ke rumah. Sedangkan keberangkatan nelayan tergantung dari kondisi air sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut. Karena nelayan biasanya berangkat melaut bersamaam waktunya dengan air sungai sedang pasang. Apabila air pasang terjadi pada siang atau sore hari, maka nelayan dapat memulai keberangkatannya pada sore hari. Tetapi jika air pasang terjadi pada malam hari, maka nelayan harus berangkat pada malam hari. Oleh karena itu pekerjaan nelayan memerlukan keuletan, ketekunan dan terutama ketahanan secara fisik bagi yang menjalankannya. Sehingga secara umum pekerjaan nelayan ini hanya dapat dilakukan orang-orang yang masih berusia produktif. 2.
Tingkat Pendapatan Responden Tingkat pendapatan responden diwilayah penelitian yang dikelompokkan menuut kriteria tingkat pendapatan menurut Sajogyo (1996) adalah Rp.900.000 – Rp.1.200.000 sebesar 68,05%, pendapatan masyarakat nelayan tergolong sangat rendah, Rp. 1.200.000 – Rp.1.600.000 sebesar 15 responden (20,83%), dan Rp.1.600.000 – Rp.2.100.000 sebanyak 8 responden (11,11%).
4
“Juragan”. Komisi ini diberikan oleh si pemborong atau orang yang membeli hasil tangkapan. Besar kecilnya jumlah komisi tersebut tergantung berdasarkan banyaknya jumlah dan jenis hasil tangkapan. Pada umumnya , sistem bagi hasil yang berlaku adalah sebagai berikut : untuk toke 2 bagian, juragan 1½ bagian, ABK 1 bagian dan untuk anak itik (orang yang bertugas membersihkan alat tangkap yang umumnya dikerjakan oleh anakanak). Sistem bagi seperti ini berlaku pada saat hasil tangkapan nelayan yang diperoleh dalam keadaan normal. Namun, dalam musimmusim tertentu apabila hasil tangkapan kurang memadai atau minim, maka yang berlaku “sistem bagi gotok” yaitu penjualan hasil tangkapan hanya dibagi untuk nelayan yang menggunakan sampan tersebut. Sedangkan bagian toke digunakan untuk membayar biaya belanja. Pendapatan nelayan dapat dikatakan sangat rendah , dari pendapatan perbulan dan ditambah dengan pendapatan sampingan, maka dilihat dari biaya pengeluaran keluarga nelayan yang rata-rata dalam perbulan mengeluarkan kebutuhan pokok sebesar Rp.980.000. ini hanya untuk kebutuhan pokok. Belum lagi untuk kebutuhan yang tidak terduga. Dapat diketahui bahwa pendapatan para responden hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari atau bahkan pun kurang.
Maka dapat diketahui bahwasanya tingkat pendapatan responden masyarakat nelayan berdasarkan kriteria penggolongan pendapatan menurut Sajogyo (1996) dan UMK Kota Tanjung Balai pada Yahun 2011 nelayan pergi melaut selama setahun sebesar Rp.1.100.000 adalah tergolong sangat rendah. Selain itu juga dapat diketahui dari rata-rata pendapatan perbulan selama sebulan yakni sebesar Rp.1.050.000. Akan tetapi pendapatan ini belum lagi dikurangi untuk biaya hidup yang dikeluarkan masyarakat setiap harinya, serta biaya sekolah untuk anak-anaknya. Dari hasil penelitian dilapangan maka dapat diketahui bahwa berdasarkan pendapatannya pada umumnya sebagian besar responden merupakan kelompok nelayan tetap yang seluruh penghasilannya bersumber dari kegiatan melaut. Adapun mengenai penghasilan yang mereka peroleh sebagian besar responden menyatakan bahwa penghasilan mereka tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Tingkat penghasilan yang diperoleh nelayan dipengaruhi oleh sistem bagi hasil. Mengenai pembagian hasil yang mereka terima, rata-rata responden menyatakan sudah sesuai, karena menganggap pembagian hasil yang dilakukan seperti sekarang sudah merupakan tradisi sehingga dalam sistem bagi hasil ini tidak ada pihak yang dirugikan. Ketentuan sistem bagi hasil tangkapan diatas, juga terdapat pembagian komisi yang diperuntukkan bagi “Toke” dan
5
pendapatan yang dihasilkan nelayan. Kelompok Nelayan Biasanya pendapatan lebih tinggi Berdasarkan Status diperoleh oleh toke dan juragan, Kepemilikan Status nelayan sangat sedangkan ABK hanya mendapat berpengaruh besar pada tingkat bagian kecilnya saja. Tabel 1.Kelompok Nelayan Berdasarkan Status Kepemilikan No Klasifikasi Nelayan Frekuensi Persentase (%) 1 Toke 8 11,11 2 Juragan 8 11,11 3 Anak Buah Kapal 56 77,78 Jumlah 72 100,00 Sumber : Data Primer Tahun 2011 Status kepemilikan musim tertentu apabila hasil mempengaruhi jumlah perolehan tangkapan kurang memadai atau hasil yamg diterima oleh masingminim, maka yang berlaku “sistem masing nelayan (toke,juragan,dan bagi gotok” yaitu penjualan hasil ABK). Di mana status kepemilikan tangkapan hanya dibagi untuk menentukan nilai bagian yang nelayan yang menggunakan sampan diterimanya. Dan pembagian dari tersebut. Sedangkan bagian toke jumlah penjualan dari hasil digunakan untuk membayar biaya tangkapan disebut dengan “sistem belanja. bagi hasil”. Pengeluaran yang Pada umumnya , sistem bagi dipergunakan oleh nelayan per- Hari hasil yang berlaku adalah sebagai , biasanya tergantung pada berikut : untuk toke 2 bagian, juragan banyaknya pendapatan yang 1½ bagian, ABK 1 bagian dan untuk dihasilkan. Biaya tersebut anak itik (orang yang bertugas dipergunakan untuk membeli beras, membersihkan alat tangkap yang Lauk Pauk dan Sayur mayur. Dari umumnya dikerjakan oleh anakhasil penelitian yang diperoleh rataanak). Sistem bagi seperti ini berlaku rata pengeluaran dipergunakan untuk pada saat hasil tangkapan nelayan membeli beras, lauk pauk dan biaya yang diperoleh dalam keadaan kebutuhan lainnya. normal. Namun, dalam musimTabel 2. Biaya Kebutuhan Pokok Responden Sehari-hari No Biaya Kebutuhan Pokok F Persentase (%) 1 Rp.900.000 – Rp.950.000 25 34,72 2 Rp. 1.000.000 – Rp.1.100.000 34 47,22 3 RP. 1.200.000 – Rp. 1.500.000 13 18,05 Jumlah 72 100,00 Sumber : Data Primer 2011 Biaya tersebut dikeluarkan ini hanya untuk memenuhi untuk membeli beras, lauk pauk dan kebutuhan pokok saja, belum lagi kebutuhan pokok lainnya, untuk kebutuhan sekolah anak-anak kehidupan mereka sehari-hari. Biaya mereka. Dari pendapatan yang sangat a.
6
rendah para responden hanya dapat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari saja. Itu pun dengan keadaan makanan yang sekedarnya. Biaya rata-rata yang dikeluarkan responden untuk kebutuhan pokok sehari-hari adalah Rp.980.000 perbulan.
yang disebabkan karena kurangnya modal serta kurang berani masyarakat nelayan dalam mengambil resiko untuk melakukan pekerjaan sampingan. Jenis pekerjaan sampingan yang dilakukan responden , selruhnya berjualan. Dengan pendapatan rata-rata perhari sebesar Rp.10.000. Ini dikarenakan usaha yang dilakukan tergolong usaha kecil , hanya cukup untuk menambah biaya kebutuhan hidup.
b. Kerja Sampingan Yang dimiliki Responden Kerja sampingan merupakan aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh responden selain menjalankan 3. Tingkat Pendidikan Anak profesi nelayan sebagai pekerja Responden utamanya. Kerja sampingan Pada umumnya semakin berpengaruh pada rata-rata jam kerja tinggi tingkat pendidikan uyang mingguan yang dilakukan oleh dimiliki seseorang, maka akan nelayan. Jam kerja normal rata-rata semakin tinggi pula tingkat seminggu selama 35 jam aktif, dapat kesejahteraan orang tersebut. Dan, tercapai bila responden memiliki sebaliknya semakin rendah tingkat kerja sampingan lain dan tergolong pendidikan seseorang maka semakin sebagai pengangguran terpaksa ( rendah pula tingkat masih mencari pekerjaan/bersedia kesejahteraannya. Sebab dengan menerima pekerjaan). Selain itu kerja pendidikan seseorang dapat sampingan juga berpengaruh pada memperoleh wawasan dan perolehan pendapatan yang pengetahuan serta keterampilan yang mendukung pendapatan dari hasil dapat dimanfaatkan dalam melaut. Untuk memenuhi kebutuhan melakukan pekerjaan. keluarga, apakah responden memiliki Pendidikan anak pertama usaha atau kerja sampingan selain biasanya di peroleh dari orang tua, usaha yang dilakukannya. ini merupakan pendidikan awal bagi Dari hasil penelitian dapat anak, dan selanjutnya diperoleh dari diketahui bahwa responden paling bangku sekolah, yang merupakan banyak adalah tidak memiliki pendidikan wajib yang harus di pekerjaan sampingan sebanyak 60 peroleh oleh anak untuk responden (83,33%). Dan yang kesejahteraan hidupna kelak. memiliki pekerjaan sampingan Berdasarkan hasil angket yang sebanyak 12 responden (16,67%), dikumpulkan dari responden maka dimana terlihat jelas bahwa masih tingkat pendidikan terakhir yang banyak masyarakat nelayan yang diperoleh anak nelayan dapat dilihat tidak memiliki usaha sampingan pada tabel 3. Tabel 3.Tingkat Pendidikan Anak Responden No Tingkat Pendidikan Anak Frekuensi Persentase ( % )
7
1. 2. 3. 4.
Tidak Sekolah Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Jumlah Sumber : Data Primer, 2011 Dari tabel 3 diatas dapat terlihat bahwa tingkat pendidikan terakhir yang diperoleh oleh anak nelayan masih sangat tergolong rendah, sebanyak 35 responden ( 48,61% ) dengan hanya menamatkan sekolah dasar. 20 responden (27,78 % ) anaknya hanya sekolah sampai dibangku SMP , kemudian hanya 12 responden ( 16,67 % ) anaknya mampu menamatkan bangku SMA. Dan terdapat 5 responden (6,94%) anaknya tidak sekolah. Keadaan seperti ini sudah sangat lumrah dikeluarga nelayan, anak-anak mereka hanya dapat sekolah sampai dengan bangku sekolah dasar. Bagi mereka yang terpenting sudah dapat membaca dan menulis, itu sudah cukup untuk modal mereka bekerja. Hal ini juga disebabkan karena banyaknya jumlah anak yang dimiliki oleh keluarga nelayan, sehingga mereka tidak mampu menyekolahkan anaknya pada kelas tertinggi. Hasil penelitian diperoleh jumlah anak dalam tanggungan responden yaitu Kurang dari 3 orang sebanyak 3 responden ( 4,17 % ), 3 – 5 orang sebanyak 40 responden (55, 56%), Lebih dari 5 orang sebanyak 29 responden (40,28 % ). Dan dapat diketahui bahwa ratarata keluarga nelayan memiliki anak antara 3 sampai 5 orang yang berarti jumlah yang banyak dari keluarga berencana. Hal ini disebabkan oleh minimnya pengetahuan masyarakat
5 35 20 12 72
6,94 48,61 27,78 16,67 100,00
tentang keluarga berencana. Ada anggapan bahwa banyak anak banyak rejeki. Penyebab lainnya adalah ketidakmampuan responden untuk menyekolahkan anaknya pada tingkat yang lebih oleh karena rendahnya tingkat pendapatan para responden yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari – hari. Faktor lain yang menyebabkan rendahnya tingkat pendidikan anak responden karena pemikiran para orang tua mereka yang masih primitif dan tradisional, “anak perempuan tidak perlu sekolah sampai tinggi pada akhirnya kedapur juga”. Pemikiran seperti ini masih berlaku pada masyarakat nelayan di Kelurahan Pematang Pasir. Pola pikir dan bertindak warga masyarakat masih bersifat tradisional yang tidak mau menerima cara/pola berpikir hidup yang modern. Faktor lain yang menyebabkan rendahnya tingkat pendidikan pada anak nelayan , karena tidak adanya kemauan dari anak untuk melanjutkan sekolah mereka. Mereka berpikir lebih baik bekerja membantu orang tua mereka ke laut dari pada sekolah. Mereka lebih senang mencari uang. Keadaan seperti ini sangat memprihatinkan, karena bila anak hanya tamat SD , maka akan sulit baginya untuk memperbaiki masa depannya nanti. Di era globalisasi
8
seperti ini persaingan begitu ketat, siapa yang pintar maka dia akan sukses kedepannya. . 4. Kondisi fisik Rumah Responden Pada umumnya pemukiman nelayan di Kelurahan Pematang Pasir berdekatan langsung dengan sungai, sehingga kondisinya sanga padat dan kumuh. Dan mengenai kondisi rumah tempat tinggal keluarga nelayan sebagian besar berada pada kategori semi permanen dan sederhana. Berdasarkan kondisi fisiknya, rumah-rumah yang dimiliki oleh responden (nelayan) di Kelurahan Pematang Pasir dibagi dalam empat kategori, yaitu : sebanyak 10 responden (13,89%) rumah tempat tinggal yang kondisinya permanen, 23 responden (31,94%) semi permanen dan 30 responden (41,66%) sederhana sedangkan 9 responden (12,50%) tempat tinggalnya dalam kondisi darurat. Jenis rumah ini dapat dipakai untuk mengidentifikasi status sosial ekonomi pemiliknya. Rumah permanen dimiliki oleh responden yang memiliki sampan “toke” atau juragan. Dan rumah sederhana ratarata dimiliki oleh responden yang berstatus ABK. Pada umumnya, ukuran rata-rata rumah ABK adalah 5 x 6 m dan hanya memiliki satu ruang tempat tidur. Atap rumah dari rumbia atau nipah, dinding terbuat dari tepas dan berlantai tanah. Hasil penelitian diperoleh bahwa sebanyak 22 responden (30,55%) memiliki rumah sendiri , sebanyak 35 responden (48,61%)
masih mengontrak / menyewa, dan sebanyak 15 responden (20,83%) memiliki rumah dari warisan orang tua. Status kepemilikan rumah yang berbeda maka berbeda pula fasilitas rumah yang dimiliki responden. Pada umumnya responden yang memiliki rumah sendiri dan dari warisan orang tua telah memiliki fasilitas rumah yang memadai dan kamar mandi didalam rumah. Karena pada umumnya responden yang memiliki rumah sendiri merupakan toke atau juragan.Sedangkan responden dengan status mengontrak pada umumnya tidak memiliki fasilitas yang memadai biasanya mereka hanya memiliki WC umum yang dipakai secara bersama-sama. Tetapi tidak semua yang menggunakan WC umum ada juga yang memiliki WC sendiri. Biasanya status mengontrak ini dimiliki oleh responden yang berstatus ABK , karena pendapatan mereka tidak cukup untuk membeli rumah sendiri. a.
Sumber Air Bersih Yang di Gunakan Responden Keperluan akan air pada umumnya dicukupi dari berbagai sumber, seperti air sumur, air sungai, dan air ledeng yang diselenggarakan oleh perusahaan. Oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), baik itu diperlukan perorangan seperti memasak. Mencuci, mandi, maupun untuk keperluan masyarakat. Karena air dibutuhkan manusia untuk kelangsungan kehidupan sehariharinya, dan dengan sendirinya air
9
memiliki hubungan yang erat dengan kesehatan. sebagian besar responden yaitu 40 responden ( 55,55% ) sudah menggunakan sumber air PDAM untuk kegiatan rumah tangga seharihari, yang menggunakan sumur bor sebanyak 20 responden (27,77%), dan 12 responden (16,67%) menggunakan air sungai b. Tempat Keluarga Responden Membuang Kotoran Secara umum aktivitas kehidupan responden dimulai pada pagi hari. Warga yang pemukimannya berdekatan dengan sungai, baik orang dewasa maupun anak-anak membuang hajat kesungai. Responden yang pemukimannya agak jauh dari sungai pada umumnya mereka sudah memiliki WC atau kamar mandi di rumah masingmasing. Sedangkan sebagian lain masih memanfaatkan keberadaan WC umum yang dilengkapi dengan sumur bor. Sebagian besar responden sudah memiliki WC milik sendiri untuk membuang tinja (kotoran) yaitu sebanyak 47 responden (65,27%), sebagian kecil memanfaatkan WC umum 16 responden (22,22%) dan WC cemplung 9 responden (12,50%).
2.
3.
KESIMPULAN 1. Pada umumnya masyarakat nelayan di KelurahanPematang Pasir berprofesi sebagai nelayan penuh yang seluruh pendapatannya berasal dari kegiatan melaut dengan pendapatan rata-rata Rp.1.000.000 perbulan. Yang
menurut kriteria Sajogyo (1996) dan UMK Kota Tanjung Balai tahun 2011 sebesar Rp.1.020.000 adalah tergolong penghasilan yang sangat rendah dan tergolong nelayan miskin. Dan bila dilihat dari biaya pengeluaran untuk kebutuhan pokok sehari-hari rata-rata perbulan sebesar Rp.930.000. ini hanya untuk kebutuhan pokok dalam melangsungkan kehidupan mereka sehari-hari. Pendidikan anak pada masyarakat nelayan di Kelurahan Pematang Pasir masih sangat rendah, yakni sebanyak 48,61% responden anaknya hanya tamat SD. Hanya sebagian kecil saja anak nelayan yang menyelesaikan pendidikan sampai tingkat SMA yaitu sebesar 16,67% responden tamat SMP sebesar 27,78% responden, dan yang tidak sekolah sebesar 6,94% responden. Hal ini dikarenakan rendahnya pendapatan para responden sehingga tidak dapat menyekolahkan anak-anak mereka. Kondisi Fisik Rumah masyarakat nelayan juga sangat memprihatinkan, dengan kondisi sederhana, hanya beberapa responden saja yang memiliki rumah permanen yang pada umumnya responden yang berstatus sebagai “toke”.
DAFTAR PUSTAKA
10
Abdullah, Taufik, 1983. Dasar-dasar Kependidikan. Banda Aceh : IKIP Aceh Aulia, Tessa . F. “Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan dan Kemiskinan Aspek Sosial Budaya”. Draft Laporan Final Hibah Multidisiplin UI. 2009. Bouman, P.J. 1999, Ilmu Masyarakat Umum. Jakarta : PT. Pembangunan. Dahuri, Rokhmin. 2001 ”Kata Pengantar” dalam Pemberdayaan Masyarakat Nelayan, Ary Wahyono, dkk (ed.). Yogyakarta. Media Pressindo Evers, S. 1982. Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok, Jakarta : CV. Rajawali. Joko, Tri dan Sri Haryono. 2005 . Studi Tentang Diversifikasi Pekerjaan Keluarga Nelayan Sebagai Salah Satu Strategi Kelangsungan Hidup Nelayan . Jurnal Pesisir dan Lautan Volume 7 No.2 tahun 2005 Kusnadi, 2003, Akar Kemiskinan Nelayan. Yogyakarta. LKIS. Marlina, Sri, 2002, Dampak Pembangunan Peumahan Nelayan Terhadap Perubahan Sosial Ekonomi Penghuninya di Kelurahan Nelayan Indah Kecamatan Medan Labuhan. Skripsi : FIS UNIMED Marbun, Leonardo dan Krishnayanti, Ika N, 2002, Masyarakat Pinggiran Yang Kian Terlupakan, Medan. Jala Konpalindo. Mubyarto, dkk . 1984. Nelayan dan Kemiskinan: Studi Ekonomi
Antropologi di Dua Desa Pantai. Jakarta, Rajawali Press. Resosudarmo, B.P,D.Hartono, T.Ahmad, N.I.L. Subiman, Olivia, A.Noegroho, 2002. Analisa Penentu Sektor Prioritas Di Kelautan Dan Perikanan Indonesia, Jurnal Pesisir dan Lautan Volume 4 No.3 tahun 2002 Sajogyo, 1990. Kehidupan dan Pendapatan Masyarakat Nelayan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Sajogyo, 1996. Masalah Kecukupan Pangan dan Jalur Pemerataan,. Jakarta : Bina Cipta. Situmorang, Rosta, 2000, Peranan Ibu Rumah Tangga Nelayan Dalam Meningkatkan Ekonomi Keluarga di Desa Sialang Buah Kecamatan Teluk Mengkudu Kabupaten Deli Serdang. Skripsi : FIS Unimed. Smith dan Maharuddin, 1986. Ekonomi Perikanan, Jakarta : Penerbit PT. Gramedia. Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Cetakan 38. Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2005. Suharto, Edi. 2005 “Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Kajian Strategis Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial”. Bandung: Refika Aditama. Suharto, Edi, 2007, Kebijakan Sosial sebagai kebijakan public, Alfabeta, Bandung. Supriatna, Tjahya, 1997, Birokrasi Pemberdayaan dan Pengentasan Kemiskinan,
11
Bandung, Humaniora Utama Press. Solihin, Akhmad. “Musim Paceklik Nelayan dan Jaminan Sosial“.( online ) Waringsih, Sarifah,2006, Studi Sosial Ekonomi dan Lingkungan Masyarakat Nelayan Tradisional Di Desa Nagur Kecamatan Tanjung Beringin, Kabupaten Serdang Bedagai. Skripsi : FIS Unimed
12