1
Studi Potensi Isolat Kapang Wonorejo Surabaya dalam Mendegradasi Polimer Bioplastik Poly Hydroxy Butyrate (PHB) Talitha Rahma Nathania, Nengah Dwianita Kuswytasari Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 Indonesia e-mail:
[email protected] ABSTRAK PHB merupakan salah satu polimer sintetis berbahan dasar dari sumber daya terbaharukan yang oleh aktivitas mikroorganisme akan disintesis menjadi bioplastik. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui potensi isolat kapang tanah Wonorejo Surabaya dalam mendegradasi polimer bioplastik, khususnya golongan Poly Hydroxy Butyrate (PHB). Parameter yang digunakan untuk pengamatan adalah skrinning rasio zona bening, kehilangan massa plastik, dan pengamatan morfologi menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM). Dari 21 isolat yang diujikan, terdapat 5 isolat yang mampu menghasilkan zona bening. Sehingga dari hasil skrinning tersebut dilakukan uji konfirmasi dengan menggunakan uji degradasi pada medium cair. Adapun penurunan massa plastik pada uji degradasi tersebut, menunjukkan prosentase degradasi yang berbeda-beda, tergantung jenis isolat dan lama waktu degradasi. Pada periode 25 hari Paecilomyces sp.4 menunjukkan prosentase degradasi tertinggi sebesar 98,32%, diikuti nilai terbesar hingga terkecil selanjutnya adalah Fusarium sp. (97,92%), Chaetomium sp. (87,95%), Mortierella sp. (44,92%) dan Gliomastix sp.2 (23,46%). Sedangkan pada periode 35 hari, semua isolat kapang mampu mendegradasi bioplastik PHB dengan prosentase tertinggi 100%. Kata Kunci : degradasi, isolat kapang, Poly Hydroxy Butyrate, zona bening.
ABSTRACT PHB is a synthetic polymer based of renewable resource that synthesized to be bioplastic by microorganisms activity. This research was aimed to find out the potential of isolates mold from Wonorejo Surabaya in polymer bioplastic Poly Hydroxy Butyrate (PHB) degradation. The parameters used to observation is skrinning of clear zone, plastic mass loss, and morphology using Scanning Electron Microscopy (SEM). From 21 isolates tested, there are five isolates capable of producing clear zone. So the result of the skrinning test was conducted to confirmation by using liquid medium degradation test. The decrease of the mass of plastic in the degradation test showing different percentage degradation, depending on the type of isolate and the length of the degradation time. In the period of 25 days, Paecilomyces sp.4 showed the highest percentage of degradation of 98,32%, followed the biggest to smallest value are Fusarium sp. (97,92%), Chaetomium sp. (87,95%), Mortierella sp. (44,92%) and Gliomastix sp. 2 (23,46%). Whereas, in a period of 35 days, all isolates of the mold is able to degrade the highest percentage of PHB bioplastic with 100%. Key word : degradation, mold isolates, Poly Hydroxy Butyrate, clear zone.
2
.I.
PENDAHULUAN
Selama kurun waktu 3-dekade terakhir, penggunaan plastik semakin meningkat dalam kemasan makanan, transportasi, konstruksi, kedokteran dan industri (Kathiresan, 2003). Sebuah informasi menunjukkan bahwa konsumsi plastik (dunia) sebanyak 5 juta ton per tahun pada dekade 50-an dan sekarang penggunaan plastik tersebut mencapai 100 juta ton per tahun (Anonim1, 2006). Meningkatnya jumlah permintaan plastik disebabkan karena plastik memiliki banyak kelebihan dibandingkan bahan lainnya. Bahan berbaku plastik umumnya lebih ringan, bersifat isolator, tahan lama, dan proses pembuatannya lebih murah. Namun dibalik semua kelebihannya, bahan plastik memiliki masalah setelah barang tersebut tidak digunakan lagi. Barang berbahan plastik tidak dapat membusuk, tidak dapat menyerap air, maupun tidak berkarat, dan pada akhirnya tidak dapat diuraikan atau didegradasi dalam tanah sehingga menimbulkan masalah bagi lingkungan (Ermawati, 2011). Penelitian untuk mendapatkan plastik alternatif dilakukan oleh para peneliti, sampai akhirnya ditemukan produk plastik yang dihasilkan dari aktivitas mikroorganisme yang disebut bioplastik. Plastik ini adalah jenis plastik yang dalam pemakaiannya mempunyai sifat dan fungsi yang sama dengan plastik konvensional, namun setelah selesai dipakai dan dibuang ke lingkungan, akan terurai oleh aktivitas mikroba menjadi air dan karbondioksida (Doi, 1990). Salah satu jenis plastik terdegradasi yang saat ini dikembangkan adalah Poly Hidroxy Alkanoat (PHA). Produk golongan PHA yang sangat populer adalah Poly Hidroxy Butyrate (PHB). PHB ini merupakan produk plastik terdegradasi yang dihasilkan oleh mikroorganisme secara in vivo (dalam sel). Adanya keunggulan dari plastik terdegradasi ini jika dibandingkan dengan plastik konvensional, mendorong para peneliti untuk mengembangkan dan memproduksi PHB secara komersial sehingga banyak sekali produk plastik yang diklaim sebagai plastik terdegradasi (Juari, 2006). Bioplastik yang dapat terdegradasi dalam waktu 1-2 tahun, dapat mengalami perlambatan degradasi apabila terdapat perbedaan jenis mikroorganisme, metode produksi, media, cara purifikasi dan campuran zat lain. Adanya perbedaan tersebut menyebabkan perbedaan sifat biodegradibilitasnya. Evaluasi mengenai biodegradibilitas polimer plastik harus dilakukan secara terpadu guna meminimumkan efek negatif yang mungkin timbul akibat biodegradasi plastik di lingkungan (Chrisnayanti, 2000). Penelitian tentang degradasi polimer sintetik dimulai pada awal tahun 1980-an. Biodegradasi dianggap sebagai
bagian dari degradasi yang didefinisikan sebagai salah satu perubahan fisik atau kimia pada bahan disebabkan oleh faktor lingkungan seperti cahaya, panas, kelembapan, angin, kondisi kimia, dan aktivitas biologi (Yüksel et al., 2004). Biodegradasi polimer dianggap sebagai salah satu solusi untuk pengelolaan sampah plastik saat ini. Menurut definisi, biodegradasi polimer adalah polimer yang didegradasi menjadi karbondioksida, air dan biomassa sebagai akibat tindakan dari organisme hidup seperti fungi yang mengkonsumsi materi tersebut (Ursa et al., 2003). Monomer dari bioplastik PHB terikat oleh ikatan ester sehingga enzim yang mampu untuk memecah ikatan ester tersebut adalah PHB depolimerase dan lipase (Leja, 2010). Kemampuan mikroorganisme untuk menguraikan komponen kimia bahan tersebut sangat dipengaruhi oleh genetik dan kondisi lingkungan (Prasetya, 2005). Kapang merupakan dekomposer utama di ekosistem alami dan mampu membentuk koloni di berbagai kondisi lingkungan. Di alam, kapang merupakan agen-agen kausatif utama dalam proses pembusukan kayu, kapas, kertas dan lain-lain (Pinzari et al., 2006). Kapang berhasil digunakan untuk degradasi plastik dan xenobiotic lainnya (Francesc et al., 2006). Menurut Lee et al. (2005), bioplastik dapat didegradasi oleh berbagai jenis kapang seperti Deuteromycetes yakni dari genus Penicillium dan Aspergillus. Indonesia memiliki iklim tropik dan lembab yang merupakan lingkungan ideal untuk pertumbuhan kapang (Hawksworth, 1991), salah satunya adalah kawasan Wonorejo di pantai timur Surabaya. Dalam penelitian Kuswytasari et al. (2011) telah berhasil diisolasi dan dipurifikasi 37 isolat kapang tanah dari Wonorejo Surabaya. Isolat tersebut berasal dari genus Penicillium, Aspergillus, Paecilomyces, Fusarium, Verticillium, Trichoderma, Scopulariopsis, Curvularia, Stachybotrys, Gliocladium, Gliomastix, Acremonium, Chaetomium, Mortierella, Absidia, Exophiala, dan Cephaliophora. Dari 37 isolat tersebut telah dilakukan uji kemampuan spesies dalam menghasilkan lipase. Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan untuk mengetahui potensi isolat kapang tanah tersebut dalam mendegradasi polimer bioplastik. II. METODOLOGI
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari – April 2013 di Laboratorium Mikrobiologi dan Bioteknologi Jurusan Biologi FMIPA ITS, Surabaya. Alat dan Bahan
3
Alat-alat yang digunakan adalah spidol, kaca pembesar, jarum tanam tajam, kertas label, cawan Petri, labu ukur, erlenmeyer, rotary shaker, neraca analitik, oven, bunsen, refrigerator, autoclave, lemari inkubator, tabung reaksi, LAF, gelas beker, gelas ukur, penggaris, magnetic stirrer, stirring hot plates, kertas indikator universal dan SEM. Bahan-bahan yang digunakan media PDA, PDB, isolat kapang, bioplastik Poly [(R)-3hydroxybutyric acid] (Sigma-Aldrich®), kloroform, hypochlorite 1%, surfaktan Tween 80, agar-agar, aquades, ekstrak khamir, (NH4)2SO4, MgSO4.7H2O, Na2MoO4.2H2O, NaCl, CaCl2.2H2O, FeSO4.7H2O, MnSO4, K2HPO4, dan KH2PO4. Cara Kerja Pembuatan Medium untuk Regenerasi Kapang PDA ditimbang sebanyak 4 gr yang kemudian dilarutkan dalam 100 ml aquades dan dipanaskan hingga larut dan bening di dalam erlenmeyer. Kemudian larutan dimasukkan ke dalam tabung reaksi dengan volume masing-masing 5 ml. Medium disterilisasi dengan autoclave pada suhu 1210 C, tekanan 1,5 atm selama 15 menit. Lalu tabung dikeluarkan dan diposisikan miring sebelum agar memadat. Inokulasi Kapang Kapang diinokulasikan ke medium PDA miring dengan menggunakan jarum tanam tajam, kemudian diinkubasi selama 7 hari. Pengerjaan inokulasi dilakukan secara aseptis menggunakan bunsen. Pembuatan Medium Agar Beremulsi Plastik Pembuatan media agar-agar beremulsikan plastik mengikuti prosedur Chrisnayanti (2000) dan Atiq et al. (2010) yang dimodifikasi. Sebanyak satu gram polimer bioplastik PHB dimasukkan ke dalam satu liter medium dasar yang terdiri atas 100 mg ekstrak khamir, 1 g (NH4)2SO4, 200 mg MgSO4.7H2O, 0,5 mg Na2MoO4.2H2O, 100 mg NaCl, 20 mg CaCl2.2H2O, 10 mg FeSO4.7H2O, 0,5 mg MnSO4, 1,6 g K2HPO4, 200 mg KH2PO4, 0,05 ml surfaktan Tween 80. Agar-agar sebanyak 20 g ditambahkan ke dalam media teremulsi, media disterilkan dalam autoklaf selama 15 menit pada suhu 1210C dan tekanan 1,5 atm, kemudian dituangkan ke dalam cawan Petri. Pertumbuhan Isolat pada Medium Beremulsi Plastik Isolat jamur yang sudah murni, masing-masing kemudian ditumbuhkan pada medium padat beremulsi plastik pada cawan Petri. Kemudian diinkubasi pada suhu 300 C selama 35 hari. Isolat yang membentuk rasio
zona bening kemudian diseleksi lebih lanjut. Rasio zona bening dihitung dengan persamaan : Rasio zona bening =
Pembuatan Biofilm Plastik PHB Biofilm PHB disiapkan dengan menggunakan teknik solution casting. Menurut Allcock dan Lampe (1981), teknik solution casting merupakan pilihan yang cepat dan mudah untuk membuat biofilm plastik pada skala laboratorium. Sebanyak 0,285 gr PHB dilarutkan menggunakan kloroform dengan perbandingan PHBkloroform 1:30 dan dimasukkan ke dalam labu ukur. Untuk mempercepat proses pelarutan PHB ke dalam kloroform maka larutan dipanaskan pada suhu 500 C dan diaduk selama 1 jam menggunakan magnetic stirrer. Dilakukan pemasangan tutup labu ukur untuk mencegah penguapan kloroform ke lingkungan. Kemudian dituangkan pada kaca cetakan 4 x 18 cm. Dibiarkan 15 menit sampai kloroform menguap sehingga didapatkan biofilm berbentuk lembaran tipis. Pengukuran Massa Sampel Plastik Terdegradasi Lima isolat tertinggi yang membentuk zona bening, selanjutnya diuji kemampuan biodegradasinya dengan menumbuhkan isolat-isolat tersebut pada medium cair. Dibuat medium dasar dengan komposisi per satu liter aquades terdiri atas 100 mg ekstrak khamir, 1 g (NH4)2SO4, 200 mg MgSO4.7H2O, 0,5 mg Na2MoO4.2H2O, 100 mg NaCl, 20 mg CaCl2.2H2O, 10 mg FeSO4.7H2O, 0,5 mg MnSO4, 1,6 g K2HPO4, 200 mg KH2PO4. Larutan medium (250 ml) dimasukkan ke dalam erlenmeyer 500 ml dan disterilisasi selama 15 menit pada suhu 1210C dan 1.5 atm. Setelah dingin, medium diinokulasi dengan 5 ml suspensi spora jamur dengan kepadatan spora 1010. Biofilm PHB ukuran 2 x 2 cm sebanyak 2 lembar dimasukkan ke erlenmeyer berisi 250 ml larutan medium dasar (biofilm plastik disterilisasi terlebih dahulu dengan cara merendamnya pada larutan hypochlorite 1% selama 1 jam dan kemudian dibilas dengan akuades steril). Selanjutnya diinkubasi menggunakan rotary shaker pada suhu 300 C dan 90 rpm. Berat dari masing-masing biofilm dihitung pada periode inkubasi yang berbeda yaitu 5, 15, 25, dan 35 hari. Pada masing-masing waktu inkubasi, biofilm plastik dikumpulkan dan dicuci menggunakan air steril, dioven 450 C dan ditimbang berat keringnya. Kemudian dihitung berat yang hilang dari plastik. Perlakuan kontrol dilakukan dengan tanpa penambahan suspensi jamur. Nilai degradation efficiency (DE) didapatkan dari
4
kehilangan massa awal dan akhir inkubasi dengan persamaan (Hosseini et al., 2010) : DE% = W0 – W1 x 100% W0 Keterangan : DE = Efisiensi degradasi W0 = kehilangan massa awal inkubasi W1 = kehilangan massa akhir inkubasi Perhitungan Biomassa Kapang Biomassa kapang dihitung pada masing-masing waktu inkubasi uji degradasi 5, 15, 25, 35 hari. Sebagai perbandingan, ditumbuhkan tiga isolat tertinggi dalam uji skrinning dalam medium enrichment yaitu PDB liquid 250 ml. Medium PDB diinokulasikan 5 ml suspensi spora jamur dengan kepadatan spora 1010. Pengamatan Morfologi dengan Scanning Electron Microscopy (SEM) Kerusakan morfologi dari hasil uji degradasi polimer diamati dengan menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM) di Laboratorium Robotika ITS Surabaya. Rancangan Penelitian Uji skrining biodegradasi polimer dianalisa dengan menggunakan metode deskriptif. Sedangkan untuk biodegradasi polimer menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan yaitu jenis inokulum kapang yang terdiri dari 5 spesies (A, B, C, D, E) dan kontrol tanpa penambahan inokulum kapang. Masingmasing perlakuan diulang sebanyak dua kali sehingga diperoleh 48 unit percobaan. Parameter yang diamati adalah prosentase efisiensi degradasi. Analisis statistika menggunakan ANOVA dilanjutkan dengan uji Tukey dengan selang kepercayaan 95%.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Isolat pada Medium Beremulsi Plastik Pertumbuhan isolat kapang pada medium beremulsi plastik PHB dapat dilakukan dengan menghitung rasio zona bening. Tahap ini merupakan uji skrinning untuk mengetahui kemampuan kapang tersebut dalam mendegradasi polimer bioplastik PHB. Metode zona terang adalah metode yang mudah dan efektif untuk mengetahui penguraian polimer plastik (Nishida & Tokiwa, 1993). Zona terang yang terbentuk di sekitar koloni kapang menunjukkan kapang tersebut mampu mengeluarkan enzim yang dapat melarutkan emulsi
plastik. Medium beremulsi plastik yang diinokulasikan isolat kapang menunjukkan aktivitas zona bening. Terbentuknya zona bening mengindikasikan adanya penguraian polimer PHB atau kopolimernya. Menurut Augusta dalam Sriwahyono (2004), zona bening terjadi karena adanya pemotongan rantai polimer yang tak larut oleh enzim depolimerase di sekitar koloni menjadi molekul yang larut dalam air Pada saat pengamatan, terlihat bahwa medium padat beremulsi plastik cenderung berwarna putih bening dengan butiran-butiran kecil PHB yang tersebar merata. Sehingga zona bening diindikasikan dengan menghilangnya butiran-butiran PHB di sekitar diameter koloni kapang. Untuk mengetahui pertumbuhan kapang dilakukan pengamatan setiap dua hari sekali, dan pada hari keenam pengamatan ternyata sudah terlihat diameter zona bening. Padahal menurut metode Chrisnayanti (2000), rasio zona bening terlihat setelah dilakukan inkubasi selama 35 hari. Setelah hari keenam masa inkubasi, pertumbuhan diameter kapang semakin lebar melebihi diameter zona bening, sehingga sulit melakukan pengamatan rasio zona bening. Oleh sebab itu, masa inkubasi hari keenam digunakan sebagai acuan perhitungan rasio zona bening meskipun diameter zona bening lebih kecil daripada diameter kapang. Pada Gambar 1 dapat terlihat bahwa dari 21 isolat yang diujikan, terdapat 5 isolat yang menunjukkan aktivitas zona bening. Berdasarkan rasio yang tertinggi urutan kelima isolat kapang tersebut adalah Gliomastix sp.2, Chaetomium sp., Fusarium sp., Mortierella sp., dan Paecilomyces sp.4. Rasio zona bening tertinggi dihasilkan oleh isolat Gliomastix sp. yaitu sebesar 0,982 cm. Dengan asumsi bahwa semakin besar nilai rasio zona bening, semakin banyak enzim yang disekresikan, maka urutan tersebut menunjukkan urutan potensi isolat kapang pendegradasi PHB. Zona bening yang muncul saat pengamatan menunjukkan diameter yang lebih kecil dibandingkan dengan diameter kapang, sehingga hasil rasio zona bening menunjukkan nilai < 1 cm. Menurut Sriwahyono (2004), pertumbuhan koloni dan pembentukan zona bening isolat tersebut ketika ditumbuhkan dalam medium yang mengandung PHB memperlihatkan perbedaan yang kecil, hal ini mengindikasikan bahwa isolat-isolat tersebut mungkin hanya mensekresikan sejumlah kecil enzim selama pertumbuhannya.
5
Gambar 1. Grafik rasio zona bening pada 21 isolat kapang Wonorejo Surabaya pada medium beremulsi bioplastik PHB.
Laju pembentukan zona bening atau laju penguraian PHB adalah fungsi dari empat faktor seperti laju pertumbuhan kapang, sekresi enzim, aktivitas enzim, dan difusi enzim ke media agar. Sifat fisika kimia polimer juga mempengaruhi proses penguraian, seperti komposisi monomer, kristalinitas, dan strukturnya. Konsentrasi agar-agar juga diduga dapat membatasi proses penguraian ketika jumlahnya lebih dari 3% w/v (Sriwahyono, 2004). Menurut penelitian Dikma (2012) terhadap aktivitas enzim lipase kapang Wonorejo Surabaya, terdapat tujuh isolat yang menghasilkan zona berpendar (menunjukkan bahwa isolat yang digunakan menghasilkan enzim lipase dengan adanya penambahan rhodamine B pada medium) dengan intensitas pendaran yang tertinggi yaitu Mortierella sp., Penicillium sp.1, Fusarium sp., Gliomastix sp.1, Gliomastix sp.2, Mycelia sterilia (LM 1040), dan Mycelia sterilia (LM 1041). Dari kelima isolat yang menghasilkan zona bening pada uji skrinning, terdapat tiga isolat yang termasuk memiliki aktivitas lipase tertinggi yaitu Mortierella sp. dengan aktivitas lipase tertinggi sebesar 0,0077 U/mL, Gliomastix sp.2 (0,0034 U/mL) dan Fusarium sp. (0,0032 U/mL). Namun jika dibandingkan dengan aktivitas rasio zona bening pada medium beremulsi plastik PHB dalam penelitian ini, terdapat isolat yang tidak termasuk dalam kategori ‘tujuh isolat tertinggi penghasil enzim lipase’ yang menunjukkan aktivitas rasio zona bening yaitu Paecilomyces sp.4 dan Chaetomium sp. Hal ini dimungkinkan terdapat aktivitas enzim selain lipase yang mampu mendegradasi bioplastik PHB yaitu PHB depolimerase. Menurut Leja (2010), monomer dari bioplastik PHB terikat oleh ikatan ester, sehingga enzim yang mampu untuk memecah ikatan ester tersebut adalah PHB depolimerase dan lipase. Studi degradasi enzimatik PHB secara umum berfokus pada pemanfaatan depolimerase. PHB rusak
oleh intraseluler PHB (i-PHB) dan ekstraseluler PHB (ePHB) yang disekresikan oleh mikroorganisme. Enzim ekstraseluler akan memecah ikatan rantai panjang polimer menjadi molekul yang larut dalam air sehingga mampu melintasi membran sel kapang. Sedangkan enzim intraseluler akan mengubah molekul menjadi bentuk yang dapat masuk dalam rangkaian jalur metabolisme seluler. Dalam sistem daur ulang PHB, materi PHB akan didegradasi secara enzimatik menjadi oligomer atau monomer oleh PHB depolimerase, dan menghasilkan senyawa hasil penguraian yang kemudian akan dimanfaatkan oleh mikroorganisme. PHB depolimerase merupakan jenis enzim hidrolase yang secara spesifik bertindak untuk menghidrolisis ikatan carboxylic ester. Nama sistematik dari kelas enzim ini adalah poly [(R)-3hydroxybutanoate] hydrolase (Contreras, 2012). Lipase adalah enzim yang berfungsi dalam mengkatalisasi hidrolisis ester asam lemak gliserol. Enzim ini merupakan jenis enzim watersoluble yang mampu bereaksi dengan substrat insoluble, sehingga enzim ini mampu bereaksi pada substrat yang tidak larut dalam air tetapi larut pada pelarut organik lainnya. Enzim lipase dapat diklasifikasikan berdasarkan spesifikasinya seperti regioselectivity, substrat, atau enantioselectivity. Regioselektivitas dari lipase berdasarkan pada posisi spesifik terbagi menjadi dua yaitu lipase nonspesifik, bertanggung jawab atas hidrolisis acak dari semua ikatan gliserida yang terbentuk antara asam lemak dan gliserol, serta lipase spesifik 1,3 dengan posisi spesifik pada ikatan ester di posisi 1,3 triasilgliserol. Lipase juga telah diteliti dalam degradasi poliester, dimungkinkan bahwa enzim lipase pertamatama akan menghidrolisis molekul polimer pada permukaan partikel sehingga terbentuk kompleks enzimsubstrat. Laju pengikisan PHB oleh enzim lipase sangat tergantung pada kristalinitas sampel PHB (Contreras, 2012). Penelitian mengenai uji zona bening pada medium beremulsi plastik dan aktivitas enzim PHB depolimerase pada kapang belum banyak dilakukan, sehingga hasil penelitian ini belum bisa dibandingkan dengan penelitianpenelitian sebelumnya. Dari kelima genus isolat kapang tersebut, yang paling sering ditemukan dalam penelitian degradasi polimer plastik pada medium cair adalah genus Chaetomium, Paecilomyces dan Fusarium (Gaweely (2011), Brandl et al. (1995), dan Cuevas (1997)). Genus Gliomastix, dan Mortierella masih belum ditemukan penelitian mengenai degradasi plastik. Sehingga hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai wacana baru tentang potensi kelima isolat tersebut dalam mendegradasi plastik.
6
Menurut Gaweely (2011), Aspergillus niger mempunyai kemampuan dalam mendegradasi plastik. Dimana spesies ini dalam penelitian Dikma (2012) menunjukkan aktivitas enzim lipase sebesar 0,0063 U/mL. Namun pada uji skrinning degradasi plastik PHB, isolat A. niger tidak dapat mendegradasi plastik. Ini menunjukkan bahwa perbedaan strain kapang memberikan pengaruh terhadap kuantitas dan aktivitas enzim yang dihasilkan. Pada uji skrining degradasi lignin terdapat 16 isolat kapang yang tidak menghasilkan zona bening, tetapi isolat kapang tersebut mampu tumbuh pada medium beremulsi plastik. Hal ini dapat dilihat pada Trichoderma sp.2 (LM 1039) yang memiliki diameter paling besar dari seluruh kapang yaitu 8,6 cm. Melihat pertumbuhan tersebut, maka diduga isolat tersebut menggunakan sumber karbon selain PHB, sehingga isolat kapang masih dapat tumbuh dalam medium beremulsi plastik. Karena medium yang digunakan adalah medium dasar yang mengandung sedikit yeast extract. Pengukuran Massa Sampel Plastik Terdegradasi Lima isolat tertinggi yang membentuk zona bening, selanjutnya diuji kemampuan biodegradasinya dengan menumbuhkan isolat-isolat tersebut pada medium cair. Dalam uji ini akan diketahui pengurangan massa sampel bioplastik PHB akibat aktivitas enzim pendegradasi. Menimbang massa polimer sebelum dan setelah proses biodegradasi selama selang waktu tertentu merupakan metode kuantitatif yang paling sederhana untuk mengkarakterisasi terjadinya biodegradasi suatu polimer (Owen, 1995). Sebelumnya dilakukan pembuatan biofilm plastik PHB dengan metode solution casting. Menurut Allcock dan Lampe (1981), teknik solution casting merupakan pilihan yang cepat dan mudah untuk membuat biofilm plastik pada skala laboratorium. Dengan menggunakan metode tersebut dihasilkan biofilm tipis plastik PHB seperti terlihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Biofilm Plastik PHB.
Tabel 1 menunjukkan bahwa pada periode 5 hari, penurunan massa plastik pada semua spesies berbeda
nyata dengan kontrol, kecuali Mortierella sp. Nilai prosentase efisiensi degradasi tertinggi dicapai oleh Chaetomium sp. sebesar 6,10%. Setelah inkubasi 15 hari, prosentase degradasi dari terendah hingga tertinggi yaitu Mortierella sp. (5,28%), Gliomastix sp.2 (6,87%), Fusarium sp. (30,73%), Chaetomium sp. (47,73%), dan Paecilomyces sp.4 (61,18%). Masing-masing isolat menunjukkan hasil prosentase degradasi berbeda nyata kecuali spesies Mortierella sp. dan Gliomastix sp. Selanjutnya pada inkubasi 35 hari, spesies Paecilomyces sp.4 tetap menunjukkan prosentase tertinggi sebesar 98,32%. Pada periode ini masing-masing isolat menunjukkan prosentase yang cukup tinggi, terutama pada spesies Chaetomium sp, Fusarium sp., dan Paecilomyces sp. Kenaikan prosentase degradasi semakin meningkat hingga periode 35 hari, dimana semua isolat menunjukkan kemampuan degradasi sebesar 100%. Tabel 1. Prosentase degradasi PHB pada berbagai periode waktu degradasi. Spesies Prosentase degradasi (%) 5 15 25 35 hari hari hari hari Kontrol 0,63 a 0,38 a 0,74 a 0,65 a c ab ab 6,87 23,46 100 b Gliomastix sp.2 6,06 ab bc c 2,35 30,73 97,92 100 b Fusarium sp. c cd c 47,73 87,95 100 b Chaetomium sp. 6,10 a ab b 1,68 5,28 44,92 100 b (*) Mortierella sp. bc d c 5,59 61,18 98,32 100 b (*) Paecilomyces sp.4 Keterangan : angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada setiap kolom menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Tukey pada selang kepercayaan 95%.
Pada tabel 1 terlihat tanda (*) pada waktu inkubasi 35 hari (Mortierella sp. dan Paecilomyces sp.) menunjukkan bahwa pada saat itu plastik PHB masih menunjukkan butiran-butiran kecil saat pengambilan sampel untuk dilakukan penimbangan kehilangan massa sampel. Saat pengambilan sampel PHB untuk diketahui prosentase penurunan biomassa, secara bersamaan juga dilakukan penyaringan terhadap biomassa sel kapang. Sehingga terjadi kesulitan untuk memisahkan plastik PHB yang telah mengalami degradasi dalam bentuk butiran-butiran kecil (Gambar 3). Hal ini terjadi di periode 35 hari pada isolat kapang Mortierella sp. dan Paecilomyces sp.4. Untuk memudahkan pemberian skoring, maka kedua isolat tersebut dianggap mengalami prosentase degradasi plastik sebesar 100%. Pada Paecilomyces sp.4 dengan periode inkubasi 25 hari telah terjadi efisiensi degradasi sebesar 98,32 % yang menunjukkan nilai cukup tinggi, tetapi setelah memasuki
7
periode 35 hari, plastik PHB tidak seluruhnya terdegradasi secara sempurna dan hanya menyisakan butiran-butiran kecil PHB. Menurut Rohaeti (2002), keadaan tersebut kemungkinan disebabkan oleh bagian molekul polimer yang dapat diserang oleh kapang semakin sedikit karena bagian permukaan polimer telah jenuh tertutupi oleh produk biodegradasi. Selain itu, juga dapat disebabkan oleh gugus fungsi yang dapat diserang atau dihidrolisis oleh enzim yang berasal dari kapang semakin sedikit.
Gambar 3. Plastik PHB yang terdegradasi dalam bentuk butiran kecil pada medium cair.
Berdasarkan Anova dan dilanjutkan uji Tukey, hasil prosentase degradasi pada perlakuan kontrol menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada tiap periode. Pada kontrol terlihat ada angka yang menunjukkan nilai prosentase degradasi, sehingga dapat diasumsikan terjadi penurunan biomassa plastik karena adanya faktor fisik akibat kocokan dari rotary shaker selama masa inkubasi. Spesies Gliomastix sp. dan Mortierella sp. adalah isolat yang menunjukkan aktivitas degradasi terendah pada masa inkubasi 15, dan 25 hari. Hal ini disebabkan pola pertumbuhan yang tidak cepat akibat fase adaptasi terhadap sumber karbon baru yaitu PHB. Mortierella sp. merupakan spesies yang cepat tumbuh dengan morfologi berwarna putih hingga putih keabuan, penampakan miseliumnya lembut, dan sering membentuk zona yang luas. Sporangiosporanya tegak, halus, tinggi 80-250 µm, dan lebar 6-20 µm (Hibbett, 2007). Sedangkan Gliomastix sp. merupakan spesies dengan proporsi terkecil dari semua biota jamur. Spesies ini tergolong anamorf, koloni yang terbentuk pada medium PDA berwarna putih dengan hifa teratur seperti kapas halus, miselium dengan hifa bercabang, memiliki septum, halus, dan memiliki lebar 3-5 µm (Lechat, 2010). Kedua spesies ini sering menunjukkan pertumbuhan yang lambat dalam bereproduksi di bawah kondisi laboratorium, terutama pada medium tanpa sumber nutrisi. Pertumbuhannya lambat tetapi sporangia berlimpah, hal ini disebabkan oleh faktor kelaparan yang menyebabkan proses
pertumbuhannya lambat. Jika dikaitkan dengan kemampuan spesies ini dalam mendegradasi PHB, pada awal inkubasi menunjukkan prosentase degradasi yang rendah hingga periode 25 hari disebabkan kemampuan adaptasi terhadap sumber karbon PHB yang rendah. Namun pada periode 35 hari, spesies ini mampu menunjukkan nilai prosentase degradasi yang tinggi hingga mencapai 100% dimungkinkan aktivitas selnya sudah meningkat untuk memanfaatkan PHB sebagai sumber karbon. Kemampuan adaptasinya yang rendah menyebabkan sedikitnya penelitian tentang kemampuan kedua isolat tersebut dalam mendegradasi plastik. Chaetomium sp. adalah spesies yang termasuk dalam ordo Sordariales yang hidup sebagai saprotrop pada kayu, kotoran, dan tanah. Ascomata berwarna gelap, perithecia terbentuk secara individual dan tanpa stroma. Konsentrasi airborne sporanya sangat rendah, hal ini disebabkan karena spora dibentuk di dalam tubuh berbentuk labu (perichetia) dan tidak terkena udara (Landecker, 1996). Kemampuan mereka untuk menghasilkan sejumlah enzim untuk menghancurkan bahan organik menyebabkan spesies ini sering digunakan untuk uji degradasi, hal ini terlihat pada uji degradasi polimer PHB yang menunjukkan spesies ini mampu mendegradasi dengan nilai prosentase yang cukup tinggi. Fusarium sp. dicirikan dengan struktur tubuh berupa miselium bercabang, hialin, dan bersekat (septat) dengan diameter 2-4 µm. Kapang ini juga memiliki struktur fialid yang berupa monofialid ataupun polifialid dan berbentuk soliter ataupun merupakan bagian dari sistem percabangan yang kompleks. Reproduksi aseksualnya menggunakan mikrokonidia yang terletak pada konidiospora yang tidak bercabang dan makrokonidia yang terletak pada konidiospora bercabang dan tak bercabang. Makrokonidia dibentuk dari fialid, memiliki struktur halus serta bentuk silindris, dan terdiri dari 2 atau lebih sel yang memiliki dinding sel tebal. Sedangkan mikrokonidia yang dihasilkan umumnya terdiri dari 1-3 sel, berbentuk bulat atau silinder, dan tersusun menjadi rantai atau gumpalan (Munkvold, 2003). Koloninya tumbuh dengan cepat dengan warna yang terang dan beberapa memiliki miselium aerial, kapang ini bersifat patogen dan terdistribusi hampir di seluruh dunia. Kemampuan spesies ini dalam beradaptasi dan tumbuh dengan cepat terlihat pada beberapa penelitian yang menjadikan Fusarium sp. termasuk sebagai agen bioremediasi terutama dalam mendegradasi plastik. Paecilomyces sp.4 adalah spesies yang menunjukkan prosentase degradasi tertinggi pada periode 25 hari. Koloninya cepat berkembang, konidiofor muncul
8
dari hifa aerial, memiliki 2-7 fialid, dan membentuk susunan berkarang. Fialid Paecylomyces memiliki formasi yang lebih renggang dan leher yang lebih panjang dibandingkan fialid pada Penicillium. Fialid ditemukan dengan basis silindris atau elips sedangkan pada bagian ujung menyempit membentuk semacam leher memanjang. Konidia terdapat sebagai rantai panjang, unicellular, berbentuk semi bulat, elips, berdinding halus, berwarna hialin (transparan), memiliki hifa transparan dan bersepta (Domsch, 1980). Spesies ini mampu beradaptasi dengan baik pada medium tercekam terlihat dari prosentase degradasinya yang tinggi di inkubasi 15 hari hingga 35 hari. Sehingga spesies ini memiliki potensi terbaik dalam mendegradasi polimer PHB. Perbandingan prosentase efisiensi degradasi plastik PHB pada periode inkubasi dapat dilihat pada Gambar 4. Uji degradasi bioplastik PHB pada medium cair menunjukkan hasil bahwa periode 35 hari merupakan masa inkubasi maksimal dalam mendegradasi PHB sebesar 100%.
Gambar 4. Grafik perbedaan prosentase efisiensi degradasi pada tiap periode.
Proses degradasi plastik PHB ini disebabkan oleh adanya sekresi enzim PHB depolimerase. Menurut Sudesh (2000), biodegradasi PHB melalui dua tahap proses yaitu tahap adsorpsi dan tahap reaksi hidrolisis. Mikroorganisme yang terdapat dalam media sebagian mampu bertahan dan memproduksi PHB depolimerase yang merupakan enzim pemecah PHB. Mula-mula mikroorganisme ini teradsorpsi pada permukaan PHB karena adanya perlakuan fisik yaitu digoyang menggunakan shaker, kemudian PHB mengalami reaksi hidrolisis menjadi bagian-bagian rantai pendek seperti monomer dan oligomer yang larut dalam air dan dapat menjadi sumber karbon bagi mikroorganisme dalam media. Biomassa Isolat Kapang
Selama masa perhitungan penurunan biomassa plastik PHB, secara bersamaan dilakukan penimbangan biomassa kapang. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui pola pertumbuhan kapang apabila ditumbuhkan dalam medium tercekam tanpa sumber karbon kecuali PHB. Selain itu untuk membandingkan pertumbuhan kapang, juga dilakukan penghitungan biomassa pada kapang yang ditumbuhkan di medium enrichment yaitu PDB liquid.
Gambar 5. Grafik berat kering kapang pada medium uji biodegradasi PHB dan medium PDB liquid.
Pada Gambar 5 terlihat bahwa berat kering kelima isolat kapang pada medium uji biodegradasi PHB sangat kecil dibandingkan dengan berat kering di medium PDB. Dari grafik tersebut terlihat bahwa terjadi kenaikan yang lambat pada setiap periode degradasi, hal ini menunjukkan bahwa kapang tersebut mampu memanfaatkan bioplastik PHB tersebut sebagai sumber karbon untuk proses pertumbuhannya. Dari kelima isolat, hanya tiga isolat yaitu spesies Fusarium sp., Gliomastix sp.2, dan Chaetomium sp. yang menunjukkan penurunan biomassa sel di periode 35 hari karena pada saat itu PHB telah habis didegradasi sehingga terjadi penurunan biomassa sel. Sedangkan dua isolat lain yaitu Mortierella sp., dan Paecilomyces sp.4 masih menunjukkan kenaikan berat kering sel karena pada saat periode 35 hari plastik PHB masih belum sempurna terdegradasi, selain itu PHB
9
yang dalam bentuk butiran kecil ikut tersaring dan tertimbang saat pengukuran berat kering sel karena sulit untuk dipisahkan. Biomassa sel kapang pada medium enrichment yaitu PDB menunjukkan berat yang cukup tinggi dibandingkan biomassa sel pada medium uji biodegradasi PHB. Pada awal inkubasi, berat biomassa relatif lebih tinggi, kemudian terjadi penurunan seiring dengan lama waktu inkubasi. Dapat diketahui bahwa pada periode 5 hari, pertumbuhan kapang kemungkinan terjadi pada 2 fase yaitu eksponensial atau stasioner. Namun pada isolat kapang Gliomastix sp.2 dan Mortierella sp. biomassa tertinggi terjadi pada periode 15 hari yang kemudian disusul penurunan pada periode 25 hari. Sedangkan pada periode 35 hari terjadi kenaikan berat biomassa, padahal diindikasikan bahwa pada hari ke-25 sudah terjadi fase kematian sel. Kenaikan dan penurunan tidak signifikan pada grafik biomassa ini disebabkan karena terjadinya perubahan temperatur. Temperatur merupakan salah satu faktor penting dalam pertumbuhan kapang, dimana kapang dapat tumbuh baik pada kisaran temperatur 250370C. Pada saat penelitian, medium pertumbuhan sempat dikeluarkan dari ruang inkubator sehingga kemungkinan terjadinya grafik yang tidak stabil pada kedua isolat tersebut karena terjadinya perubahan temperatur. Menurut Suriawiria (1986), perubahan temperatur secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi pertumbuhan sel kapang. Paecilomyces sp. pada medium PDB menunjukkan biomassa yang cukup tinggi pada hari ke-5, seiring lamanya waktu inkubasi, sel mulai mengalami fase kematian. Biomassa merupakan kumpulan miselia atau filamen-filamen kapang baik yang hidup maupun mati. Diperkirakan bahwa pertumbuhan spesies ini sangat cepat dengan kemampuan aktivitas sel yang tinggi akibat dari penguraian substrat, sehingga hari ke-5 diperoleh biomassa sebesar 0,73 gr. Sedangkan Chaetomium sp. menunjukkan biomassa terkecil dibandingkan spesies lainnya yaitu sebesar 0,16 gr pada masa inkubasi 5 hari. Biomassa kapang menunjukkan berat yang tidak terlalu besar, kemungkinan pembentukan biomassa tertinggi terjadi sebelum hari ke-5 inkubasi pada spesies Fusarium sp., Chaetomium sp., dan Paecilomyces sp. Hal ini didukung oleh penelitian Suciatmih (2010) yang menyatakan bahwa hari 1-2 masa inkubasi merupakan fase eksponensial pada Fusarium sp. sehingga pada saat itu sel-sel aktif membelah, sedangkan hari ke-3 dan seterusnya merupakan fase stasioner yang diikuti oleh fase kematian sel. Sedangkan Gliomastix sp. dan Mortierella sp. merupakan spesies yang pertumbuhannya tidak begitu cepat sehingga kemungkinan pembentukan
biomassa tertinggi adalah pada masa inkubasi setelah hari ke-5 inkubasi. Dari Gambar 5 dapat diketahui bahwa biomassa kapang pada medium dasar dengan penambahan plastik PHB memiliki berat yang sangat rendah dibandingkan dengan medium PDB. Sehingga dapat diasumsikan bahwa pada medium tercekam dengan sumber karbon dari PHB dapat mempengaruhi pertumbuhan kapang. Perubahan Morfologi Permukaan Proses biodegradasi dapat menyebabkan perubahan morfologi permukaan (Sudesh, 2000). Pada penelitian ini perubahan morfologi permukaan diamati dengan analisis menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM).
Gambar 6. Morfologi permukaan PHB. Keterangan: A. Sebelum uji degradasi, B. Setelah uji degradasi pada medium cair masa inkubasi 25 hari (Gliomastix sp.2), 1. Perbesaran 2000X, 2. Perbesaran 8000X.
Gambar 6 menunjukkan hasil SEM untuk sampel yang belum mengalami proses biodegradasi dan sampel yang telah mengalami proses biodegradasi pada periode 25 hari. Sampel yang digunakan untuk perlakuan biodegradasi 25 hari adalah sampel pada spesies Gliomastix sp.2. Sampel tidak diambil pada perlakuan dengan prosentase degradasi tertinggi karena dikhawatirkan terjadi pelelehan sampel sebelum tervisualisasikan saat diuji SEM. Karena selang beberapa menit saja, sampel yang sangat tipis akan mudah meleleh disebabkan adanya faktor pantulan elektron. Pada gambar tersebut terlihat adanya perubahan morfologi setelah terjadi proses biodegradasi, dimana permukaan sampel PHB memperlihatkan serabut kecil acak yang menutup pori-pori. Pada tahap ini diduga sudah terjadi proses penguraian polimer. Pada perbesaran 8000X terlihat bahwa serabut kecil pada bagian luar
10
terkelupas atau terlepas dari pelat utama PHB. Polimer merupakan molekul yang terbentuk dari perulangan satuan-satuan sederhana monomernya, sehingga gambar B menunjukkan bahwa perulangan dari monomernya hilang atau terputusnya ikatan sehingga terbentuk poripori pada permukaan sampel. Struktur polimer yang terdapat dalam PHB mengalami perubahan yang cukup penting, yang menyebabkan perubahan sifat kelarutannya dalam air sehingga bagian-bagian pelat PHB terlepas dan menyebabkan timbulnya pori yang makin besar. Ukuran pori-pori yang makin besar dengan makin lamanya waktu inkubasi juga diamati oleh Wang et al. (2004) dalam penelitiannya tentang biodegradasi PHB. IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan dari penelitian ini bahwa berdasarkan parameter terbentuknya zona bening dapat terlihat bahwa dari 21 isolat kapang Wonorejo Surabaya yang diujikan terdapat lima isolat yang mampu mendegradasi bioplastik Poly Hydroxy Butyrate. Setelah dilakukan uji degradasi pada medium cair sebagai konfirmasi dari uji skrinning sebelumnya, pada periode 25 hari, kelima isolat menunjukkan prosentase degradasi yang berbeda-beda. Paecilomyces sp.4 menunjukkan prosentase degradasi tertinggi sebesar 98,32% diikuti nilai terbesar hingga terkecil selanjutnya adalah Fusarium (97,92%), Chaetomium sp. (87,95%), Mortierella sp. (44,92%) dan Gliomastix sp.2 (23,46%). Sedangkan pada periode 35 hari, semua isolat kapang mampu mendegradasi bioplastik PHB dengan prosentase tertinggi 100%. Saran untuk penelitian selanjutnya yaitu mengenai kemampuan kapang tersebut dalam mendegradasi plastik sintetis serta aktivitas enzim lipase dan PHB depolimerase yang mempengaruhi kemampuan degradasinya dapat dilakukan. Selain itu pengaruh suhu dan pH dapat dilakukan untuk mengetahui lingkungan optimum kapang dalam mendegradasi PHB. DAFTAR PUSTAKA Allcock, H.R. dan F.W. Lampe. 1981. Contemporary Polymer Chemistry. Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey. Anonim1. 2006. Plastics Recycling Information Sheet. http://www.wasteonline.org.uk/resources/Informati onSheets/Plastics [11 September 2012]. Atiq, N., Safia A., M.Ishtiaq A., Saadja A., Bashir A., and Geoffery R., 2011. Isolation and Identification of Polystyrene Biodegrading
Bacteria from Soil. African Journal of Microbiology Research. 4: 1537-1541. Brandl, H., R. A. Gross, R. W. Lenz and R. C. Fuller. 1995. Pseudomonas oleovarus as Source of PolyHydroxyalkanoates for Potential Application as Biodegradable Polyester. Appl. Environmental Microbial. 54: 1977- 1982. Chrisnayanti, E., Efrida M., Rofiq S., Lies D., Hardaning P., dan Yutaka T. 2000. Kerentanan Poliester Alifatik Terhadap Biodegradasi. Jurnal Mikrobiologi Indonesia September 2000. Vol 5, No.1. Contreras, A.R., Margarita, C.M., and Maria, S.M. 2012. Enzimatic Degradation of Poly (3hydroxybutyrate-co-4-hydroxybutyrate) by Commercial Lipase. Polymer Degradation and Stability. 97: 597-604. Cuevas V, Managilod R. 1997. Isolation of Decomposer Fungi with Plastic Degrading Ability. Pak. J. Sci., 126: 132-140. Dikma, N., Seleksi Isolat Kapang Tanah Wonorejo Penghasil Enzim Lipase. Skripsi. Institut Teknologi Sepuluh Nopember: Surabaya (2012). Doi, Y. 1990. Microbial Polyesters. VCH. NewYork. Domsch, K.H., W. Gams, and T.H. Anderson. 1980. Compendium of Soil Fungi. Volume 1. Academic Press. London. Ermawati, R. 2011. Konversi Limbah Plastik sebagai Sumber Energi Alternatif. Jurnal Riset Industri. Vol. V, No.3, 2011, Hal. 257-269. Francesc, X., P. Boldu, R. Summerbell, and G. S. D. Hoog. 2006. Fungi growing on aromatic hydrocarbons: biotechnology’s unexpected encounter with biohazard. FEMS. Microbiol. Rev. 30: 109-130. Geweely, N.S and Salama, A.O. 2011. Enhancement of Fungal Degradation of Starch Based Plastic Polymer by Laser Induced Plasma. African Journal of Microbiology Research. 5(20): 32733281. Hawksworth, D.L. 1991. The Fungal Dimension Biodiversity. Mycological Research. 95(6):641645. Hibbett, Yao, Y.-J. & Zhang. 2007. A Higher-level Phylogenetic Classification of the Fungi. Mycological Research. 509–547. Juari. 2006. Pembuatan dan Karakterisasi Bioplastik dari Poly-3-hidroksialkanoat (PHA) yang dihasilkan Ralstonia eutropha pada Hidrolisat Pati Sagu dengan Penambahan Dimetil Flalat
11
(DMF). Skripsi. Departemen Teknologi Industri Pertanian FTP IPB. Bogor. Kathiresan, K. 2003. Polythene and Plastics-degrading Microbes from The Mangrove Soil. Rev. Biol. Trop. 51 (3): 629-634. Kuswytasari, N. D., Shovitri, M., and Andriyadi, R. D. 2011. Soil Molds Diversity in The Coastal Wonorejo Surabaya. Proceeding International Conference on mathematics and Science (ICOMS). Surabaya. Landecker, E.M. 1996. Fundamental of The Fungi. Prentice Hall. New Jersey. Lechat, C., David F.F., Yuuri H., Andrew M.M., and Amy Y.R. 2010. A New Species of Hydropisphaera, H. Babbusicola, is The Sexual State of Gliomastix fusigera. Mycotaxon. 111: 95102. Lee K, Gimore D, Huss M 2005. Fungal Degradation of the Bioplastic PHB (Poly-3-hydroxybutyric acid). J. Polymer Environ. 13: 33-40. Leja, K. and G. Lewandowicz. 2010. Polymer Biodegradation and Biodegradable Polimers – a Review. Polish J. Of Environ. Stud. Vol 19, 2 : 255-266. Munkvold, G.P. 2003. Epidemiology of Fusarium Diseases and Their Mycotoxins in Maize Ears. European Journal of Plant Pahtology. 109:7. ISBN 978-1-4020-1533-5. Nishida, H. & V. Tokiwa. 1993. Distribution of polyhydroxybutyrate and poly- a-caprolactone aerobic degrading micro organisms in different environments. J. Environ. Polvm. Degrad. 1:227233. Owen, S., M. Masaoka, R. Kawamura, and N. Sakota. 1995. Biodegradation of Poly-D,L-Lactic Acid Polyurethanes.Marcel Dekker Inc., New York. Pinzari, F., G. Pasquariello, and A. D. Mico. 2006. Biodeterioration of Paper: A SEM Study of Fungal Spoilage Reproduced Under Controlled Conditions. Macromol. Symp. 238: 57-66. Prasetya, B. 2005. Mencermati Proses Pelapukan Biomassa untuk Pengembangan Proses dan Produk Ramah Lingkungan (White Biotechnology). Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Rohaeti, N.M.Surdia, C.L.Radiman, E.Ratnaningsih. 2002. Biodegradasi Poliuretan hasil Sintesis dari Amilosa - PEG400 - MDI Menggunakan Lumpur Aktif. Prosiding Seminar Nasional Kimia. Bandung, 311-317.
Sriwahyono. 2004. Uji Kemampuan Bakteri Termofil Kompos dalam Menguraikan Poly (3Hydroxybutyrate) dan Kopolimernya dengan Menggunakan Metode Polymer Overlay. J.Tek.Ling. P3TL-BPPT. 5(3):174-186. Stacy, W. Sachsenheimer and O. Hrabak. 1989. Biodegradable Natural Synthetic Polymer. Graft Copolymer. Antec, Lafayette. Suciatmih. 2010. Pengaruh Konsentrasi Antimikroorganisme, Media Fermentasi, dan Waktu Inkubasi Terhadap Pertumbuhan Absidia corymbifera (Cohn) Sacc.& Trotter dari Jamur Endofit Fusarium Nivale (Fr.)Ces.Media Litbang Kesehatan. Vol XX Nomor 1. Sudesh K, Abe H., and Doi Y. 2000. Synthesis, Structure and Properties of Polyhydroxyalkanoates : Biological Polyester. Riken Institute, Hirosiwa Wako-shi, Saitama 351-0198. Japan. Suriawiria, Unus. 1986. Mikrobiologi Air. PT. Alumni. Bandung. Ursa, K., Jozefa F., and Andrej K. 2003. Polyamide – 6 fibre degradation by lignolytic fungus, Polymer degradation and stability. 97: 99-104. Wang Y.W., Mo,W.,Yao,H.,Wu,Q.,Chen,J., and Che,G.Q., 2004. Biodegradation Studies of Poly (3-Hydroxybutyrate-co-3 hydroxyhexanoate. Polymer Degradation and Stability. 85:815-821. Yüksel Orhan,a Jasna Hrenović,b and Hanife Büyükgüngöra. 2004. Biodegradation of plastic compost bags under controlled soil conditions. Acta Chimica Slovenica. 51: 579−588.