STUDI PERAN SUBSEKTOR PERIKANAN DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH DI KOTA SIBOLGA
MUHAMMAD ASPAN PANGGABEAN A156110244
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIANBOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Studi Peran Subsektor Perikanan Dalam Pengembangan Wilayah di Kota Sibolga adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor,
Januari 2013
Muhammad Aspan Panggabean NRP A156110244
ABSTRACT
MUHAMMAD ASPAN PANGGABEAN. Study Of Fisheries Subsector in Supporting Regional Development in Sibolga. Under direction of BABA BARUS and SETIA HADI Fisheries subsector is expected to be a strategic sector for future regional development in Sibolga, because this sector based on local resources that can be renewable. The purposes of this study are to: (1) to identify the fisheries subsector development in Sibolga, (2) to analyze the backward and forward linkages of the fisheries subsector economy in Sibolga, (3) to explore the perceptions of stakeholders about fisheries subsector development in Sibolga and (4) to formulate the direction of fisheries subsector development priorities in Sibolga. The data analysis used are descriptive analysis, Hierarcy Analytical Process (AHP), and Input-Output (I-O). The results showed that the fisheries subsector contributes the highest gross regional domestic product up to 22.86% and contributes to the total output up to 17.70%. Fisheries still have a potential to explore 123,63 thousand tons in WPP-572 zones, in addition to the exploitation outside the exclusive economic zone. The aquaculture activities (KJA) still have space 1,276.97 Ha to be used, located in the district of North Sibolga and Sibolga City. Fishieries subsector in total still has small backward and forward linkage. The low linkages fisheries subsector provide a low impact on increasing the output of other sectors directly and indirect linkages to other sectors. The perception of all stakeholders says human resources from fishing activities is a top priority in developing the fisheries subsector, but from analysis human resource aquaculture should be a priority development in fisheries subsector in Sibolga. Keywords: fisheries subsector, regional development, linkages, Sibolga
RINGKASAN
MUHAMMAD ASPAN PANGGABEAN. Studi Peran Subsektor Perikanan dalam Pengembangan Wilayah di Kota Sibolga. Dibimbing oleh BABA BARUS and SETIA HADI Subsektor perikanan merupakan sektor dengan potensi dan diversitas yang besar yang sifatnya dapat diperbaharui. Subsektor ini diharapkan akan terus berkembang menjadi sektor strategis dalam pembangunan wilayah kota Sibolga pada masa yang akan datang. Tujuan penelitian ini adalah: (1) mengidentifikasi pengembangan subsektor perikanan di kota Sibolga; (2) menganalisis peran subsektor perikanan dan keterkaitannya ke belakang dan ke depan (backward and forward linkage) dalam perekonomian kota Sibolga; (3) menggali persepsi stakeholder terhadap pembangunan subsektor perikanan di kota Sibolga dan; (4) merumuskan arah pembangunan subsektor perikanan di kota Sibolga. Potensi sumber daya ikan tahun 2010 di WPP-572 mencapai 565,30 ribu ton. Pemanfaatan potensi ini baru mencapai 441,67 ribu ton (dihitung dari jumlah ikan yang didaratkan di pantai barat sumatera). Artinya masih ada peluang pemanfaatan pengelolan sumber daya ikan sebesar 123,63 ribu ton lagi disamping pemanfaatan perairan lepas di luar Zona Ekonomi Ekslusif pantai barat Sumatera. Kegiatan perikanan budidaya yang dilakukan, terdiri dari budidaya air laut (kegiatan kerambah jaring apung) dan budidaya air tawar (kolam). Untuk perikanan budidaya KJA, nilai ekonomis ikan yang di budidayakan memiliki nilai yang tinggi bila dibandingkan dengan ikan konsumsi lokal. Bila dilihat dari sisi pemanfaatan ruang, perairan laut masih digunakan oleh empat masyarakat pembudidaya dengan pemanfaatan baru sekitar 0,0159 Ha sedangkan potensi pemanfaatan ruang sekitar 1.626,997 Ha hal ini yang mengakibatkan produktivitas KJA masih sangat rendah. Sedangkan perikanan air tawar juga memiliki peluang ekonomi, ini terlihat masih dibutuhkannya impor ikan dari luar daerah untuk memenuhi permintaan pasar di kota Sibolga. Subsektor perikanan memberikan kontribusi peringkat tertinggi PDRB atas dasar harga berlaku tahun 2010 sebesar Rp 352.873,43 juta atau 22,86% dari total PDRB kota Sibolga. Berdasarkan output total seluruh sektor, perikanan tangkap memberikan kontribusi sebesar 16,20% yang menempati peringkat ke-2 setelah sektor perdagangan (18,37%) dan perikanan budidaya memberikan kontribusi sebesar 1,50%. Namun dari output total perikanan tangkap tersebut 4,33% dan perikanan budidaya 5,73% saja yang digunakan untuk memenuhi permintaan antara, sedangkan sisanya digunakan untuk memenuhi permintaan akhir. Hasil analisis direct forward linkage dan direct backrward linkage, subsektor perikanan secara total memiliki keterkaitan sektoral yang masih rendah. Meskipun keterkaitan langsung subsektor perikanan rendah, pengaruh tidak langsung subsektor perikanan ini terhadap sektor-sektor cukup besar. Nilai daya sebar ke belakang (backward linkages effect ratio) perikanan tangkap memiliki kekuatan sebesar 0,7116 dan perikanan budidaya sebesar 1,1086. Sedangkan nilai
derajat kepekaan (forward linkages effect ratio), perikanan tangkap memiliki nilai kekuatan sebesar 0,9296 dan perikanan budidaya sebesar 0,6857. Hasil multiplier effect output perikanan tangkap adalah 1,1013 (peringkat ke-16) sedangkan perikanan budidaya sebesar 1,7158 (peringkat ke-4); multiplier effect nilai tambah bruto perikanan tangkap sebesar 1,0771 (peringkat ke-16) dan perikanan budidaya sebesar 2,3445 (peringkat ke-2); multiplier effect pendapatan perikanan tangkap sebesar 1,0807 (peringkat ke-15) sedangkan perikanan budidaya sebesar 14,4339 (peringkat ke-1). Mengacu pada semua parameter multiplier effect tersebut, pengaruh penggandaan yang signifikan subsektor perikanan terhadap sektor-sektor lain di kota Sibolga yang paling tinggi adalah perikanan budidaya. Hasil analisis terhadap lima faktor yang berpengaruh dalam penentuan kegiatan pembangunan perikanan berdasarkan persepsi stakeholders subsektor perikanan di kota Sibolga, mendapatkan prioritas: (1) Sumber daya manusia dengan skor penilaian 0,270; (2) Sarana dan prasarana dengan skor 0,226; (3) Modal dengan skor 0,214; (4) Sumber daya ikan dengan skor 0,208; dan (5) Pasar skor 0,081. Untuk prioritas kegiatan pengembangan di Kota Sibolga adalah perikanan tangkap (skor 0,431), pengolahan hasil perikanan (skor 0,352), dan budidaya perikanan (skor 0,217). Menurut stakeholder skala prioritas pembangunan subsektor perikanan di kota Sibolga adalah pengembangan kegiatan perikanan tangkap dari sisi peningkatan kualitas sumber daya manusianya. Hasil analisis dari penelitian ini maka, arahan kebijakan pengembangan subsektor perikanan menuju sektor yang strategis berdasarkan kondisi, potensi, peranan dan keterkaitan antar sektor, bahwa prioritas pembangunan subsektor perikanan, kegiatan perikanan budidaya terlebih dahulu menjadi perhatian khusus untuk dikembangkan mengingat nilai multiplier effect yang dihasilkannya dari sistem perekonomian wilayah di kota Sibolga yang lebih tinggi dibandingkan dengan perikanan tangkap, lalu dilanjutkan dengan pengembangan sektor-sektor baru yang dapat memberikan dampak keterkaitan langsung sektoral untuk pertumbuhan perekonomian wilayah di kota Sibolga, baik dari sektor hulu maupun sektor hilir. Untuk mengembangkan prioritas pengembangan ini, diperlukan alokasi ruang yang nantinya diharapkan dituangkan dalam rencana tata ruang daerah. Kata kunci: subsektor perikanan, pengembangan wilayah, kota sibolga
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
STUDI PERAN SEKTOR PERIKANAN DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH DI KOTA SIBOLGA
MUHAMMAD ASPAN PANGGABEAN
TESIS sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar MAGISTER SAINS pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIANBOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. ERNAN RUSTIADI, M. Agr
Judul Tesis
:
Nama NRP Program Studi
: : :
Studi Peran Subsektor Perikanan dalam Pengembangan Wilayah di Kota Sibolga Muhammad Aspan Panggabean A156110244 Ilmu Perencanaan Wilayah
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc Ketua
Dr. Ir. Setia Hadi, MS Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
Tanggal Ujian : 17 Desember 2012
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul Studi Peran Subsektor Perikanan dalam Pengembangan Wilayah di Kota Sibolga dapat diselesaikan. Dalam penyusunan karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada: 1. Bapak Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc dan Bapak Dr. Ir. Setia Hadi, MS selaku ketua dan anggota komisi pembimbing atas segala motivasi, arahan, dan bimbingan yang diberikan mulai dari tahap awal hinga penyelesaian tesis ini 2. Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku penguji luar komisi yang telah memberikan koreksi dan masukan bagi penyempurnaan tesis ini 3. Ketua program studi Bapak Dr. Ir. Santun RP Sitorus, Bapak Didit Oktapribadi, SP, M.Si yang memberikan masukan untuk membantu penulis serta segenap dosen pengajar, asisten dan staf manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB 4. Kepala Pusbindiklatren Bappenas beserta jajarannya atas kesempatan beasiswa yang diberikan kepada penulis 5. Pemerintah kota Sibolga yang telah memberikan izin kepada penulis untuk mengikuti program tugas belajar ini 6. Rekan-rekan PWL kelas Bappenas maupun reguler angkatan 2011 dan semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan Tesis ini Terima kasih yang istimewa khusus disampaikan kepada istriku Tety Herawaty. dan anakku Keisha Anica A. Panggabean beserta seluruh keluarga, atas segala do’a, dukungan, kasih sayang dan pengorbanan yang telah diberikan selama ini. Penulis menyadari adanya keterbatasan ilmu dan kemampuan, sehingga dalam penelitian ini mungkin masih terdapat banyak kekurangan. Akhirnya, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Terimaksih.
Bogor, Januari 2013 Muhammad Aspan Panggabean
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pinangsori, Kabupaten Tapanuli Tengah pada tanggal 16 Agustus 1977 merupakan anak keempat dari enam bersaudara pasangan Bapak Zainal Panggabean (Alm.) dan Nur Cahaya Hui (Almh.). Telah menikah dengan Tety Herawati dan dikaruniai satu orang putri; Keisha Anica A. Panggabean. Tahun 1995 penulis lulus dari SMA Negeri 3 Sibolga dan di terima di Universitas Sumatera Utara (USU) melalui seleksi Ujian Masuk Perguruan Tinggi Neger (UMPTN) di fakultas pertanian jurusan produksi ternak dan lulus tahun 1999. Pada tahun 2006, penulis diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara di tempatkan pada Dinas Perikanan dan Peternakan lalu pada Tahun 2008 penulis pindah tugas ke kota Sibolga dan ditempatkan pada Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan. Penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah pascasarjana pada tahun 2011 dan diterima pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) IPB dengan bantuan pembiayaan dari Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan Perencana Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Pusbindiklatren Bappenas).
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................. iii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... vii I.
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1.2 Perumusan Masalah ............................................................................. 1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................. 1.4 Manfaat Penelitian ...............................................................................
1 4 6 7
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengembangan Wilayah ....................................................................... 9 2.2 Peranan Subsektor Perikanan dalam Pengembangan Wilayah ............ 12 2.3 Permasalahan Pembangunan Perikanan ............................................... 13 2.4 Keterkaitan Sektor ................................................................................ 15 III. METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................... 3.2 Kerangka Pemikiran Penelitian ............................................................ 3.3 Jenis Data dan Alat .............................................................................. 3.4 Metode Analisis Data ........................................................................... 3.4.1 Analisis Deskriptif ..................................................................... 3.4.2 Analisis Peranan Subsektor Perikanan ....................................... 3.4.3 Analytical Hierarcy Process (AHP) ..........................................
19 20 22 23 24 24 30
IV. GAMBARAN UMUM KOTA SIBOLGA 4.1 Sejarah Kota Sibolga ............................................................................ 4.2 Kondisi Fisik Wilayah ......................................................................... 4.2.1 Kondisi Geografis ...................................................................... 4.2.2 Kondisi Topografi dan Iklim ..................................................... 4.2 Pemerintahan dan Sosial Kependudukan ............................................. 4.2.1 Pemerintahan .............................................................................. 4.2.2 Kependudukan dan Tenaga Kerja .............................................. 4.2.3 Sosial Budaya ............................................................................. 4.3 Perekonomian Daerah .......................................................................... 4.3.1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ................................ 4.3.2 Potensi Sektor-Sektor Ekonomi ................................................. 4.3.2.1 Perikanan ...................................................................... 4.3.2.2 Perdagangan, Hotel dan Restoran ..................................
35 36 36 36 37 37 38 41 43 43 44 45 47
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi dan Potensi Perikanan ........................................................... 5.1.1 Perikanan Tangkap .................................................................... 5.1.2 Perikanan Budidaya .................................................................. 5.2 Peranan Subsektor Perikanan dalam Ekonomi Regional .....................
49 49 53 55
ii 5.2.1 Struktur Perekonomian Kota Sibolga ........................................ 5.2.2 Struktur Permintaan dan Penawaran ......................................... 5.2.3 Struktur Output .......................................................................... 5.2.4 Nilai Tambah Bruto ................................................................... 5.2.5 Keterkaitan Sektoral .................................................................. 5.2.6 Multiplier Effect ........................................................................ 5.2.6.1 Multiplier Effect Output ................................................ 5.2.6.1 Multiplier Effect Nilai Tambah Bruto ........................... 5.2.6.1 Multiplier Effect Pendapatan ......................................... 5.3 Isu Sentral Pembangunan Sektor Perikanan ........................................ 5.3.1 Persepsi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ............... 5.3.2 Persepsi Pihak Swasta ............................................................... 5.3.3 Persepsi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) . 5.3.4 Persepsi Dinas Kelautan dan Perikanan .................................... 5.3.5 Persepsi Pihak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ............. 5.3.6 Persepsi Masyarakat .................................................................. 5.3.7 Persepsi Seluruh Stakeholders ................................................... 5.4 Lokasi Pengembangan Sektor Perikanan ............................................ 5.5 Bahasan Umum ...................................................................................
56 60 62 64 67 78 78 79 80 82 82 84 84 85 86 87 88 90 94
VI. SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan ............................................................................................. 101 6.2 Saran .................................................................................................... 102 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 103 LAMPIRAN ..................................................................................................... 107
DAFTAR TABEL
Halaman 1
Tujuan, jenis, sumber data dan cara pengumpulan data serta analisis data ..........................................................................................................
23
Sektor-sektor perekonomian Tabel I-O kota Sibolga hasil update tahun 2010 (16 sektor) ......................................................................................
25
3
Struktur Tabel Input-Output ...................................................................
26
4
Skala perbandingan berpasangan (Saaty 2008) ......................................
33
5
Kemiringan lahan kota Sibolga ...............................................................
37
6
Jumlah penduduk, rumah tangga dan rata-rata anggota rumah tangga menurut kecamatan dan kelurahan di kota Sibolga tahun 2010 ..............
39
Penduduk berumur 15 tahun keatas menurut jenis kegiatan utama di kota Sibolga tahun 2008-2010 ................................................................
41
Indeks dan kualitas pembangunan manusia kota Sibolga tahun 20092010 .........................................................................................................
42
Komponen indeks pembangunan manusia kota Sibolga tahun 20092010 .........................................................................................................
42
10 Laju pertumbuhan PDRB tahun 2006 – 20010 menurut lapangan usaha atas dasar harga konstan 2000 (%) ..........................................................
44
11 Ikan yang didaratkan di Sibolga pada tahun 2010 ..................................
45
12 Produksi ikan budidaya di kota Sibolga tahun 2010 ...............................
46
13 Perkembangan hasil tangkapan ikan tiap triwulan dari tahun 2006-2010 (ton) .........................................................................................................
50
14 Produktivitas kapal dan nelayan di kota Sibolga tahun 2006-2010 ........
50
15 Perkembangan jenis alat tangkap ikan tahun 2006-2010 ........................
51
16 Estimasi potensi sumber daya ikan di zona WPP-572 ............................
52
17 Produksi budidaya ikan kota Sibolga tahun 2010 ...................................
54
18 Laju pertumbuhan PDRB tahun 2006 -2010 menurut lapangan usaha atas dasar harga konstan 2000 (%) ..........................................................
57
19 Distribusi persentase PDRB atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha di kota sibolga Tahun 2006-2010 (%) ..........................................
58
20 PDRB rata-rata kota Sibolga atas dasar harga konstan 2000 menurut lapangan usaha tahun 2006-2010 ............................................................
59
21 Permintaan menurut sektor PDRB kota Sibolga tahun 2010 ..................
61
22 Penawaran menurut sektor PDRB kota Sibolga tahun 2010 ..................
62
2
7 8 9
iv 23 Peringkat output sektor terbesar tahun 2010 ...........................................
63
24 Sepuluh sektor terbesar menurut peringkat output tahun 2010 provinsi Sumatera Utara (Tabel I-O update tahun 2010) ......................................
64
25 Peringkat Nilai Tambah Bruto (NTB) tahun 2010 ..................................
65
26 Komposisi komponen upah dan gaji dari nilai tambah bruto menurut tahun 2010 ...............................................................................................
66
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1
Lokasi penelitian ........................................................................................ 19
2
Kerangka alur berfikir penelitian ............................................................... 22
3
Tahapan metode RAS update tabel I-O kota Sibolga semi survei ............. 25
4
Struktur AHP untuk penentuan kebijakan (diadopsi dan dimodifikasi dari Saaty 2008) ................................................................................................ 31
5
Kerangka analisis penelitian ...................................................................... 34
6
Luas kota Sibolga menurut kecamatan (km2) ............................................ 38
7
Jumlah penduduk dan kepadatan penduduk di tiap kecamatan ................. 39
8
Persentase penduduk yang bekerja menurut golongan umur tahun 2010 ... 40
9
Hasil perikanan tangkap tahun 2006 – 2010 (ton) ..................................... 50
10 Laju pertumbuhan ekonomi kota Sibolga tahun 2006-2010 (%) ............... 56 11 Keterkaitan langsung ke belakang sektor-sektor perekonomian (DBL) ..... 68 12 Keterkaitan langsung ke belakang perikanan tangkap terhadap sektorsektor lain ................................................................................................... 69 13 Keterkaitan langsung ke belakang sektor perikanan budidaya terhadap sektor-sektor lain ........................................................................................ 69 14 Keterkaitan langsung ke depan sektor-sektor perekonomian (DFL) ......... 70 15 Keterkaitan langsung ke depan perikanan tangkap terhadap sektor-sektor lain .............................................................................................................. 71 16 Keterkaitan langsung ke depan perikanan budidaya terhadap sektorsektor lain ................................................................................................... 71 17 Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang sektor-sektor perekonomian (DIBL) ................................................................................ 72 18 Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan sektor-sektor perekonomian (DIFL) ................................................................................ 73 19 Nilai IDP sektor-sektor perekonomian ...................................................... 75 20 Nilai IDK sektor-sektor perekonomian ...................................................... 76 21 Grafik posisi sektor-sektor ekonomi kota Sibolga ..................................... 77 22 Kelompok sektor-sektor ekonomi kota Sibolga ......................................... 78 23 Nilai multiplier effect output sektor-sektor perekonomian ....................... 79 24 Nilai multiplier effect NTB sektor-sektor perekonomian ......................... 80 25 Nilai multiplier effect pendapatan sektor-sektor perekonomian ............... 81
vi 26a Pemilihan alternatif pembangunan subsektor perikanan menurut persepsi anggota DPRD kota Sibolga ...................................................................... 83 26b Hasil AHP penentuan prioritas pengembangan subsektor perikanan menurut persepsi anggota DPRD kota Sibolga ......................................... 83 27a Pemilihan alternatif pembangunan subsektor perikanan menurut persepsi pihak swasta ............................................................................................... 84 27b Hasil AHP penentuan prioritas pengembangan subsektor perikanan menurut persepsi pihak swasta .................................................................. 84 28a Pemilihan alternatif pembangunan subsektor perikanan menurut persepsi Bappeda ..................................................................................................... 85 28b Hasil AHP penentuan prioritas pengembangan subsektor perikanan menurut persepsi Bappeda ......................................................................... 85 29a Pemilihan alternatif pembangunan subsektor perikanan menurut persepsi Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan ................................................ 86 29b Hasil AHP penentuan prioritas pengembangan subsektor perikanan menurut persepsi Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan ................... 86 30a Pemilihan alternatif pembangunan subsektor perikanan menurut persepsi LSM ........................................................................................................... 87 31b Hasil AHP penentuan prioritas pengembangan subsektor perikanan menurut persepsi masyarakat .................................................................... 88 32a Pemilihan alternatif pembangunan subsektor perikanan menurut persepsi seluruh stakeholders .................................................................................. 89 32b Hasil AHP penentuan prioritas pengembangan subsektor perikanan menurut persepsi seluruh stakeholders ...................................................... 89 33 Peta tutupan lahan kota Sibolga ................................................................ 91 34 Arahan lokasi pengembangan perikanan budidaya persepsi stakeholder .. 92 35 Arahan lokasi sarana dan prasarana persepsi stakeholder ......................... 93 36 Sintesis hasil analisis pengembangan subsektor perikanan ....................... 100
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Keterangan kode sektor ekonomi di kota Sibolga .......................................
109
2 Tabel Input-Output kota Sibolga tahun 2010 (dalam juta rupiah) ..............
110
3 Matriks kebalikan Leontief (I-A)-1 ..............................................................
115
4 Kuesioner untuk menganalisa pendapat/persepsi stakeholder ....................
117
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Salah satu tujuan nasional Negara Indonesia adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat, diantaranya melalui pembangunan ekonomi yang berkesinambungan. Pembangunan ekonomi membutuhkan suatu perencanaan pembangunan ekonomi yang baik. Kegiatan ekonomi rakyat yang berbasis potensi lokal yang berkembang di suatu wilayah akan berperan menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat dan menjadi motor penggerak pengembangan wilayah. Keberlangsungan sektor ekonomi tersebut perlu didukung dengan perencanaan wilayah yang efektif dan efisien. Dalam upaya pengembangan ekonomi lokal harus menjadi perhatian dan penting dilaksanakan oleh daerah. Untuk mengembangkan ekonomi lokal perlu adanya keterlibatan pemerintah daerah dan kelompok-kelompok masyarakat setempat dalam mengelola sumberdaya yang ada. Konsep pokok dari pengembangan ekonomi lokal merupakan kegiatan pembangunan yang bertumpu kepada kekuatan endogen dengan memanfaatkan sumberdaya lokal yang ada. Sumber daya perikanan merupakan sumber daya yang penting bagi hajat hidup masyarakat dan memiliki potensi dijadikan sebagai penggerak utama (prime mover) ekonomi nasional. Hal ini didasari pada kenyataan bahwa pertama, Indonesia memiliki sumber daya perikanan yang besar baik ditinjau dari kuantitas maupun diversitas. Kedua, industri di subsektor perikanan memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya. Ketiga, industri perikanan berbasis sumber daya nasional atau dikenal dengan istilah national resources based industries, dan keempat Indonesia memiliki keunggulan (comparative advantage) yang tinggi di subsektor perikanan sebagaimana dicerminkan dari potensi sumber daya yang ada. Undang Undang No. 25 Tahun 1999 jelas menyatakan bahwa daerah otonom memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan,
mengelola
dan
menggunakannya
sendiri
untuk
pembiayaan
pembangunan daerah. Permasalahan yang muncul di daerah adalah, ketika mulai merencanakan anggaran pembangunan sektoral harus memahami potensi-potensi
2 sektoral yang ada di daerah terutama sektor-sektor yang memiliki efek sebar (diffusion effect) untuk menggerakkan sektor-sektor ekonomi lain. Sibolga merupakan tempat yang paling sibuk di pantai barat Sumatera. Status Sibolga saat ini tidak terlepas dari sejarah panjangnya sebagai pusat pengembangan perikanan sejak kolonial Belanda, sesudah kemerdekaan, dan orde baru. Berbicara tentang armada perikanan kelas menengah dan besar di pantai barat Sumatera adalah berbicara tentang nelayan Sibolga. Dengan alat tangkap utamanya purse seine dan long line, nelayan Sibolga menaklukkan perairan pantai barat Sumatera, bahkan sampai ke selatan Jawa Timur Indonesia (Nikijuluw, 2005). Jonny et al. (2011) dalam penelitiannya juga mengatakan bahwa kota Sibolga merupakan salah satu kota yang memiliki usaha perikanan yang relatif besar dibanding kota-kota lainnya di pantai barat Sumatera. Di kota ini pengusaha-pengusaha perikanan telah berperan aktif dalam memajukan produksi perikanan lokal, regional bahkan nasional. Hasil tangkap ikan yang dibongkar dan ditampung di tangkahan-tangkahan atau tempat pendaratan ikan, disamping dipasarkan di pasar lokal, hasil produksi ikan ini juga diekspor keluar daerah. Dengan letaknya yang berada pada wilayah pesisir pantai barat Sumatera Utara, produksi perikanan yang utamanya terbesar berada pada perikanan tangkap. Hal ini dapat dilihat dari produksi hasil penangkapan ikan laut di kota Sibolga dari data BPS mengalami peningkatan sebesar 28,67 persen pada periode 2008 hingga 2010, dari produksi sebesar 40.956,06 ton di tahun 2008 menjadi 52.693,3 ton pada tahun 2010. BPS kota Sibolga (2011b) juga mencatat nilai PDRB tahun 2010 berdasarkan harga berlaku berada pada nilai Rp 1,544 trilyun sedangkan jika dilihat berdasarkan harga konstan 2000 berada pada nilai Rp 740 milyar dengan laju pertumbuhan PDRB berdasarkan harga konstan tahun 2000 sebesar 6,04 persen. Peranan sektoral atas dasar harga berlaku, terlihat bahwa sektor pertanian (subsektor
perikanan)
menjadi
kontributor
terbesar
ekonomi
regional
dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya yaitu sebesar 23,87 persen. Namun demikian dari data statistik tenaga kerja BPS kota Sibolga dari lima jenis lapangan usaha yang tercatat, dengan jumlah angkatan kerja yang berusia di atas 15 tahun
3 ke atas sebesar 59.474 jiwa atau 70,40 persen dari jumlah penduduk, subsektor perikanan yang merupakan bagian dari sektor pertanian (peternakan dan perikanan) hanya menampung tenaga kerja sebesar 10,57 persen atau menduduki peringkat keempat tertinggi dari lima jenis lapangan usaha yang ada. Sektor lain seperti lapangan usaha lainnya yang meliputi pertambangan dan penggalian, listrik, gas dan air, konstruksi/bangunan, angkutan, pergudangan dan komunikasi, keuangan asuransi, usaha persewaan bangunan, tanah dan jasa perusahaan menampung tenaga kerja sebesar 27,43 persen, industri pengolahan menampung sebesar 5 persen dan sektor jasa kemasyarakatan sebesar 11,89 persen. Sedangkan sektor perdagangan, rumah makan dan hotel menampung tenaga kerja dengan angka tertinggi yaitu sebesar 45,11 persen. Dari data ini, peranan subsektor perikanan belum memberikan kontribusi penyerapan tenaga kerja yang tinggi. Pada tahun 2010 BPS mencatat bahwa dengan garis kemiskinan sebesar Rp 286.825 per kapita per bulan jumlah penduduk yang dikategorikan miskin mencapai angka 13.910 jiwa atau sebesar 11,71 persen dari jumlah penduduk kota Sibolga yang ada. Disamping itu juga kota Sibolga yang merupakan daerah penghasil ikan, masih membutuhkan impor ikan untuk memenuhi permintaan pasar. Daryanto dan Hafizrianda (2010) mengatakan bahwa dampak pembangunan suatu sektor ekonomi wilayah tidak dapat dilihat sebatas pada kemampuannya menciptakan PDRB semata, hal yang lebih penting adalah bagaimana sektor tersebut mampu menggerakkan seluruh roda perekonomian wilayah, dengan kata lain bagaimana sektor tersebut mampu memberikan efek lanjut terhadap aktivitas pembangunan sektor lain. Peraturan Presiden No. 13 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Sumatera bahwa kota Sibolga telah ditetapkan sebagai salah satu pusat kegiatan wilayah (PKW) industri pengolahan dan industri jasa hasil perikanan dan juga sebagai kawasan andalan Tapanuli dan sekitarnya yang yang terhubung dengan akses ke dan dari pelabuhan Sibolga. Dengan ketetapan dan dukungan dari pemerintah pusat, kota Sibolga dapat menjadi pusat pertumbuhan yang potensial di wilayah barat Sumatera, khususnya sebagai pendukung perkembangan wilayah Tapanuli dan sekitarnya dengan dukungan pemerintah pusat.
4 Jika dilihat dari fungsi kota yang merupakan tempat pasar dan rantai perdagangan produk dari pedesaan dan wilayah sekitarnya, peningkatan pembangunan ekonomi di perkotaan akan memberikan peluang lapangan pekerjaan, termasuk bagi para migran dari wilayah sekitarnya. Dalam konteks ini pembangunan kota berdampak positif bagi penduduk sekitar kota dalam memperoleh pekerjaan (Sadyohutomo, 2008). Sibolga yang fungsi administrasi fungsionalnya berupa kota dan telah ditetapkannya sebagai salah satu pusat kegiatan wilayah di pantai barat Sumatera menjadi tantangan kedepan bagi perencana wilayah daerah untuk menata dan merencanakan pengembangan sektor-sektor penumbuh perekononian agar tercipta tujuan pembangunan nasional. Letak Sibolga yang berada di posisi teluk Tapian Nauli, dimana lautan di teluk ini sangat tenang, aman serta terlindung dari gelombang laut, juga berada di pertengahan kawasan pantai barat Sumatera, memberikan keuntungan untuk dijadikan sebagai pelabuhan pendaratan ikan. Dengan kata lain sangat potensial untuk dijadikan sebagai kota perikanan. Statusnya sebagai kota perikanan bukan sebagai tempat menangkap ikan, tetapi adalah sebagai tempat pendaratan ikan serta penyedia logistik yang dibutuhkan untuk mendukung sektor perikanan tersebut (Bappeda Kota Sibolga, 2010). Dengan demikian untuk menjadikan subsektor perikanan sebagai motor penggerak sektor riil dalam pengembangan wilayah harus memperhatikan kaidah ekonomi dengan memperhatikan keterkaitan dengan berbagai sektor lain. Untuk pengembangan
subsektor
perikanan
diperlukan
upaya-upaya
yang
berkesinambungan, sistematis dan terencana dalam perencanaan wilayah. Sehingga diharapkan terciptanya pembangunan wilayah yang berkelanjutan. 1.2 Perumusan Masalah Dari latarbelakang yang telah diuraikan sebelumnya, subsektor perikanan perlu dianalisa peranannya terhadap pengembangan wilayah di kota Sibolga dikarenakan subsektor perikanan merupakan sektor dengan peluang yang berpotensi, beragam, serta bersifat dapat diperbaharui (renewable resources). Sehingga pada akhirnya dengan memanfaatkan peluang yang ada, dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menumbuhkan perekonomian wilayah.
5 Dari sejarah Sibolga yang sejak dahulu dijadikan sebagai sentra alir aktivitas barang dan jasa perikanan serta tempat bongkar ikan yang sangat aktif di wilayah pantai barat Sumatera, aktivitas membongkar hasil tangkapan ikan dan memuat kebutuhan nelayan untuk melaut kembali sangat aktif, baik kapal yang berasal dari kota Sibolga maupun kapal-kapal yang hanya menjual hasil tangkapannya di pelabuhan perikanan. Bagi pihak perencana daerah posisi ini menjadi tantangan dalam
menentukan
skala
prioritas
pembangunan.
Diharapkan
dengan
mengembangkan subsektor perikanan, kedepannya sektor ini dapat menjadi sektor strategis daerah untuk meningkatkan pengembangan perekonomian kota Sibolga dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Untuk menjadikan subsektor perikanan sebagai sektor yang strategis bagi perekonomian kota Sibolga, selain melalui peningkatan peranan dan sumbangannya dalam perekonomian, juga harus dilakukan dengan meningkatkan keterkaitan dengan sektor-sektor lain dalam internal wilayah. Keterkaitan subsektor perikanan harus ditingkatkan agar mampu menarik sektor-sektor di hulunya (sektor yang memiliki keterkaitan ke belakang) dan mendorong sektor-sektor di hilirnya (sektor yang memiliki keterkaitan ke depan). Semakin kuat keterkaitan subsektor perikanan dengan sektor-sektor lain, akan makin besar pula pengaruhnya dalam perkembangan wilayah kota Sibolga. Oleh karena itu, untuk mengetahui peranan dan sumbangan subsektor perikanan dalam perekonomian wilayah serta keterkaitannya dengan sektor lain dan prospek serta potensi pengembangan pembangunan wilayah, perlu dilakukan identifikasi sehingga dapat disusun arahan pembangunan yang tepat dan akurat. Untuk mendukung salah satu misi pemerintahan kota Sibolga yaitu “Meningkatkan kesejahteraan masyarakat Sibolga melalui pertumbuhan ekonomi yang lebih merata, mengurangi pengangguran serta penataan ruang yang berwawasan lingkungan” diperlukan optimalisasi pembangunan kearah peningkatan kesejahteraan masyarakat di kota Sibolga, peran partisipasi aktif masyarakat secara langsung dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasannya telah menjadi sasaran utama dalam pencapaian pembangunan yang berkelanjutan. Pelibatan masyarakat dan stakeholders pembangunan akan menjadikan pembangunan berjalan dengan lebih baik dan lebih aspiratif. Dalam kaitannya dengan subsektor perikanan, stakeholders yang dimaksud adalah
6 masyarakat nelayan, pihak swasta, pemerintah daerah dan lembaga swadaya masyarakat. Oleh karena itu dalam menyusun rencana pembangunan subsektor perikanan, pendapat dan persepsi seluruh stakeholders yang terlibat harus dapat diketahui. Dari hasil identifikasi terhadap kondisi dan peluang subsektor perikanan, peranan dan keterkaitannya dengan sektor-sektor perekonomian lain serta persepsi stakeholders perikanan serta lokasi yang tepat dalam pengembangan sarana dan prasarana perikanan maka disusun arahan pengembangan subsektor perikanan di kota Sibolga. Berdasarkan latar belakang dan uraian di atas, penelitian ini diharapkan akan menjawab dan merumuskan permasalahan dan solusi perencanaan wilayah di kota Sibolga dalam meningkatkan perekonomian wilayah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu perlu dicarikan solusi dari pertanyaanpertanyaan sebagai berikut: 1.
Bagaimana pengembangan subsektor perikanan di kota Sibolga?
2.
Bagaimana peran subsektor perikanan dan keterkaitan sektoralnya ke belakang dan ke depan (backward and forward linkage) dalam perekonomian kota Sibolga?
3.
Bagaimana persepsi stakeholders terhadap pembangunan subsektor perikanan di kota Sibolga?
4.
Bagaimana rencana pembangunan dan pengembangan subsektor perikanan, dengan mempertimbangkan kondisi dan potensi subsektor perikanan di kota Sibolga?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian dan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah untuk: 1.
Mengidentifikasi pengembangan subsektor perikanan di kota Sibolga.
2.
Menganalisis peran subsektor perikanan dan keterkaitannya ke belakang dan ke depan (backward and forward linkage) dalam perekonomian kota Sibolga.
3.
Menggali persepsi stakeholders terhadap pembangunan subsektor perikanan di kota Sibolga.
4.
Merumuskan arahan pembangunan subsektor perikanan di kota Sibolga.
7 1.4 Manfaat Penelitian Dengan hasil analisis keterkaitan antar sektor-sektor ekonomi regional kota Sibolga dengan menggunakan analisis tabel Input-Output Tahun 2010 kota Sibolga yang di turunkan dari tabel I-O Provinsi Sumatera Utara 2010 yang merupakan hasil update dengan metode semi survei dan potensi-potensi prospek dimasa yang akan datang dalam pengembangan subsektor perikanan di kota Sibolga, diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan strategi pengembangan pembangunan di kota Sibolga.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengembangan Wilayah Pembangunan merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara terencana dan berkesinambungan untuk mencapai hasil yang lebih baik di masa yang akan datang. Sebagai proses yang bersifat terpadu, pembangunan dilaksanakan berdasarkan potensi lokal yang dimiliki, baik potensi sumber daya alam, manusia, buatan, maupun sumber daya sosial. Pembangunan juga merupakan upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Tujuan akhir pembangunan adalah tercapainya kesejahteraan bagi masyarakat (Rustiadi et al., 2011). Perencanaan pembangunan menurut Riyadi dan Bratakusumah (2004) merupakan upaya untuk memilih dan menghubungkan fakta-fakta serta menggunakan asumsi-asumsi tentang masa yang akan datang dengan jalan menggambarkan dan merumuskan kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan. Pada umumnya suatu perencanaan mengandung beberapa hal pokok yang meliputi: (1) Adanya asumsi-asumsi yang didasarkan pada fakta-fakta yang ada, (2) Adanya alternatif-alternatif atau pilihan-pilihan sebagai dasar penentuan kegiatan yang akan dilakukan, (3) Adanya tujuan yang dicapai sebagai sarana atau alat untuk mencapai tujuan tersebut, (4) Bersifat memprediksi sebagai langkah untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang dapat mempengaruhi pelaksanaan perencanaan, (5) Adanya kebijaksanaan sebagai hasil keputusan yang harus dilaksanakan. Perencanaan dapat dilakukan dengan pendekatan sektoral dan pendekatan regional. Pendekatan sektoral memfokuskan perhatian pada sektor-sektor kegiatan yang ada diwilayah tersebut, sedangkan pendekatan regional memperhatikan penggunaan ruang untuk kegiatan produksi barang dan jasa, memprediksi arah konsentrasi kegiatan, memperkirakan kebutuhan fasilitas untuk masing-masing konsentrasi kegiatan dapat dihubungkan secara efisien. Pendekatan pembangunan
10 wilayah harus tergabung antara pendekatan sektoral dan pendekatan regional (Tarigan, 2005). Pembangunan berbasis sumber daya kelautan dan perikanan harus dijadikan sebagai arus utama pembangunan nasional baik secara ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Hal ini dikarenakan beberapa alasan yaitu: (1) melimpahnya sumber daya yang kita miliki, dengan sejumlah keunggulan komparatif sekaligus kompetitif yang sangat tinggi; (2) keterkaitan yang kuat (backward dan forward linkage) antara industri berbasis kelautan dan perikanan dengan industri dan aktivitas ekonomi lainnya; (3) merupakan sumber daya yang senantiasa dapat diperbaharui sehingga keunggulan komparatif dan kompetitif ini dapat bertahan lama asal diikuti dengan pengelolaan yang arif; (4) dari aspek politik, stabilitas politik dalam dan luar negeri dapat dicapai jika kita memiliki jaminan keamanan dan pertahanan dalam menjaga kedaulatan perairan; dan (5) dari sisi sosial dan budaya, merupakan penemuan kembali (reinventing) aspek kehidupan yang pernah dominan dalam budaya dan tradisi kita sebagai bangsa maritim (Dahuri, 2002). Pengembangan perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi dibidang perikanan dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik (Bahari, 1989 diacu dalam Pulu, 2011). Pengembangan wilayah memandang pentingnya keterpaduan sektoral, spasial serta keterpaduan antar pelaku pembangunan di dalam dan antar wilayah. Keterpaduan sektoral menuntut adanya keterkaitan fungsional yang sinergis antar sektor pembangunan, sehingga setiap kegiatan pembangunan dalam kelembagaan sektoral dilaksanakan dalam kerangka pembangunan wilayah. Dalam pandangan sistem industri, keterpaduan sektoral berarti keterpaduan sistem input dan output industri yang efisien dan sinergis. Oleh karena itu, wilayah yang berkembang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan antar sektor ekonomi wilayah, dalam arti terjadi transfer input dan output barang dan jasa antar sektor yang sangat dinamis (Rustiadi et al., 2011). Menurut Rustiadi et al. (2011), skala prioritas diperlukan dalam suatu perencanaan pembangunan karena keterbatasan sumber daya yang tersedia. Dari
11 dimensi pembangunan, suatu skala prioritas didasarkan atas pemahaman bahwa: (1) setiap sektor memiliki sumbangan langsung dan tidak langsung yang berbeda terhadap pencapaian sasaran pembangunan (penyerapan tenaga kerja, pendapatan wilayah, dan lain-lain); (2) setiap sektor memiliki keterkaitan dengan sektorsektor lainnya dengan karakteristik yang berbeda-beda; dan (3) aktivitas sektoral tersebar secara tidak merata dan spesifik, beberapa sektor cenderung memiliki aktivitas yang terpusat dan terkait dengan sebaran sumber daya. Dalam konteks pembangunan ekonomi daerah, maka pemerintah seharusnya mengarahkan pengeluarannya kepada sektor-sektor unggulan karena mempunyai nilai keterkaitan dan multiplier effect yang besar. Selain pemerintah, peran yang sangat diharapkan adalah dari investasi. Investasi yang mengarah kepada sektor unggulan juga akan meningkatkan laju pertumbuhan perekonomian daerah. Kinerja pembangunan daerah dapat tercapai apabila penganggaran telah sesuai dengan tujuan daerah itu sendiri, diantaranya adalah meningkatnya kesejahteraan masyarakat, mengurangi kesenjangan wilayah, dan meningkatkan daya beli masyarakat (Suryawardana, 2006). Sebaran Nilai Tambah Bruto tiap sektoral yang mencerminkan tingkat berkembangnya struktur perekonomian wilayah, dari struktur ini dapat menjadi dasar untuk penetapan perencanaan pengembangan wilayah suatu daerah. Berdasarkan kontribusi sektoral ini dapat dilihat apakah dominasi struktur ekonomi suatu daerah berbasis SDA (primer), berbasis pada kegiatan ekonomi produktif dan industrialisasi (sekunder), dan atau jasa pelayanan dan perbankan (tersier). Indikator-indikator ekonomi ini penting bagi investor untuk mengetahui kegiatan ekonomi yang berkembang di suatu daerah (Jusuf, 2012). Sebagai penciri struktur ekonomi perkotaan, Jusuf (2012) juga mengatakan bahwa sektor basis yang berkembang di suatu wilayah dengan penyumbang struktur pembentukan ekonomi wilayah terbesar terlihat dari berkembanganya sektor-sektor dengan basis kegiatan yang bergerak pada sektor sekunder dan sektor tersier. Sektor sekunder ini berupa sektor lanjutan dari penunjang sektor primer (manufactur) yang cenderung berkaitan pada sumber daya manusia, modal, teknologi dan bahan baku yang berasal dari sektor primer. Sektor ini meliputi lapangan usaha industri pengolahan, gas, listrik, air minum dan konstruksi.
12 Sedangkan untuk sektor tersier merupakan sektor ekonomi yang berkaitan dengan nilai tambah yang diperoleh dari proses pengolahan informasi, daya cipta, organisasi dan koordinasi antar manusia sehingga tidak memproduksi dalam bentuk fisik melainkan dalam bentuk jasa. Sektor ini meliputi lapangan usaha perdagangan, restoran, hotel, angkutan, keuangan, komunikasi, dan jasa-jasa. 2.2 Peranan Subsektor Perikanan dalam Pengembangan Wilayah Tujuan pokok dari pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana dimaksud dalam UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom adalah untuk mempercepat perkembangan ekonomi daerah. Cara yang efektif dan efisien untuk membangun ekonomi daerah adalah melalui pendayagunaan berbagai sumber daya ekonomi yang dimiliki daerah. Pada saat ini sumber daya ekonomi yang dimiliki dan siap didayagunakan untuk pembangunan ekonomi daerah adalah sumber daya agribisnis seperti sumber daya alam. Perikanan telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah peradaban manusia dari sejak zaman prasejarah, zaman batu (tone age), hingga zaman modern sekarang ini. Bahkan sejak sejak zaman manusia purba (Homo Erectus dan Australophiticus) ikan telah menjadi menu makanan manusia purba tersebut (Zuggarrmudi et al., 1995 diacu dalam Fauzi, 2010). Perikanan di zaman modern tidak meninggalkan peranan utamanya sebagai pemenuhan kebutuhan pangan, khususnya protein hewani sebagaimana telah dilakukan sejak zaman prasejarah. Subsektor perikanan menyediakan rata-rata paling tidak 15 persen protein hewani per kapita kepada lebih dari 2,9 miliar penduduk dunia (Fauzi, 2010). Acherson diacu dalam Fauzi (2010) mengatakan bahwa 200 juta ternak dibutuhkan untuk mensubsidi kebutuhan protein dari ikan tersebut. Serta data FAO menunjukkan hampir 1 milyar penduduk dunia yang umumnya tinggal di negara berkembang sangat menggantungkan protein hewaninya dari hasil perikanan laut. Peranan ekonomi pada subsektor perikanan juga dapat dilihat dari kontribusinya terhadap lapangan pekerjaan. Perikanan baik secara langsung maupun tidak langsung memainkan peranan penting bagi jutaan orang yang
13 bergantung hidupnya pada subsektor perikanan. Data FAO tahun 2009 diperkirakan 43,5 juta orang tahun 2006 secara langsung terlibat dalam kegiatan perikanan baik sebagai pekerja penuh maupun paruh waktu. Perikanan telah menjadi “mesin pertumbuhan” ekonomi regional dibeberapa negara yang secara “budaya” sudah menjadikan ikan sebagai bagian hidup mereka (Fauzi, 2010). 2.3 Permasalahan Pembangunan Perikanan Secara umum sumber daya dapat dikelompokkan sebagai sumber daya alam (natural resources), sumber daya manusia (human resources), sumber daya buatan (man made resources), dan sumber daya sosial (social recources). Dalam pengelompokan ini, sumber daya perikanan tergolong sebagai sumber daya alam yang lebih khusus lagi diklasifikasikan sebagai sumber daya alam flow (alir), dimana jumlah kuantitas fisiknya berubah sepanjang waktu. Dengan kata lain, disebut sumber daya yang dapat diperbaharui (renewable) tergantung pada proses reproduksinya.
Berdasarkan
sifat
persaingan
untuk
memanfaatkan
dan
kemungkinan penguasaannya, maka sumber daya perikanan digolongkan sebagai barang publik (public goods1) karena memiliki dua sifat dominan yaitu nonrivalry dan non-excludable (Fauzi, 2006). Menurut Widodo dan Suadi (2006), beberapa ciri yang dapat menjadi patokan perikanan sedang menuju kondisi overfishing adalah: (1) waktu melaut menjadi lebih panjang dari biasanya; (2) lokasi melaut menjadi lebih jauh dari biasanya; (3) ukuran mata jaring menjadi lebih kecil dari biasanya; (4) produktivitas (hasil tangkapan per satuan upaya atau trip, CPUE) yang menurun; (5) ukuran ikan sasaran yang semakin kecil; dan (6) biaya operasional penangkapan yang semakin meningkat. Fauzi dan Anna (2005) menyatakan bahwa penyebab utama krisis perikanan global adalah buruknya pengelolaan perikanan dilihat dari dua fenomena menonjol, yaitu overcapacity dan destruksi habitat. Dari kedua fenomena itu kemudian muncul berbagai penyebab lain, misalnya subsidi yang massive, 1
Public goods memiliki dua kata kunci. Pertama, dia adalah non-rival yang berarti pemakaian oleh seseorang pengguna tidak mengurangi pasokan yang tersedia bagi yang lainnya. Kedua, dia adalah non-excludable, artinya para pengguna public goods tidak dapat dikecualikan dari penggunaan public goods tersebut.
14 kemiskinan, overfishing dan berbagai turunannya. Overcapacity di subsektor perikanan akan menimbulkan berbagai masalah, yaitu: (1) tidak sehatnya kinerja subsektor perikanan sehingga permasalahan kemiskinan dan degradasi sumber daya dan lingkungan menjadi lebih persisten; (2) menimbulkan tekanan yang intens untuk mengeksploitasi sumber daya ikan melewati titik lestarinya; (3) menimbulkan inefisiensi dan memicu economic waste sumber daya yang ada, di samping menimbulkan komplikasi dalam pengelolaan perikanan, terutama dalam kondisi akses yang terbuka (open acces). Penyusutan sumber daya perikanan di Indonesia makin diperparah oleh adanya otonomi daerah, dimana setiap daerah terus memacu pendapatan setinggi-tingginya melalui eksploitasi sumber daya perikanan tanpa memperhitungkan daya dukungnya. Menurut
Fauzi
dan
Anna
(2005),
permasalahan
perikanan
dan
penyelesaiannya akan sangat tergantung pada bagaimana kita mengambil pelajaran dari kegagalan-kegagalan yang terjadi di masa lalu (path dependency). Dengan demikian maka pembangunan perikanan akan lebih banyak dilaksanakan oleh segenap masyarakat yang didukung oleh pemerintah melalui instansi terkait sebagai penyedia prasarana dan sarana yang bersifat non komersial dan bersifat pembinaan. Sependapat dengan hal tersebut, Widodo dan Suadi (2006) menyatakan bahwa pengelolaan perikanan merupakan proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya, dan implementasi dari aturan-aturan main di bidang perikanan dalam rangka menjamin kelangsungan produktivitas sumber daya dan pencapaian tujuan perikanan lainnya. Fauzi dan Anna (2005) juga menyatakan bahwa kebijakan pengelolaan perikanan tradisional didominasi oleh penentuan tingkat produksi lestari maksimum (Maximum Sustainable Yield, MSY). Pendekatan ini lebih diarahkan pada sisi biologi semata tanpa mempertimbangkan aspek lain dalam pengelolaan perikanan. Dalam kenyataannya, pendekatan MSY sering mengalami kegagalan karena bersifat umum dan abstrak serta didasarkan pada indikator yang tidak jelas (measuring unmeasurable). Oleh karena itu disarankan agar kebijakan pengelolaan perikanan lebih didasarkan pada kapasitas perikanan dibandingkan dengan yang berbasis MSY. Kebijakan berbasis kapasitas ini dikenal dengan
15 istilah CuCme yang merupakan kependekan dari Capacity Utilization dan Capacity Measurement. Kapasitas perikanan dapat diartikan sebagai: (1) kemampuan input (kapital) untuk menghasilkan produksi perikanan; (2) kapasitas optimum hanya bisa dicapai dengan biaya pengelolaan yang minimum; dan (3) jumlah stok ikan maksimum yang dapat dihasilkan jika input yang digunakan dalam kondisi biologi, ekonomi, dan teknologi yang optimum. Pendekatan CuCme bekerja dengan mendeteksi terlebih dahulu penyakit inefisiensi baik dari sisi teknis, ekonomis, maupun biofisik yang menjadi penyebab buruknya kinerja perikanan. Hal ini dilakukan dengan mengukur kapasitas perikanan pada suatu wilayah terlebih dahulu. 2.4 Keterkaitan Sektor Perkembangan perekonomian suatu daerah sangat tergantung pada besar atau kecilnya aliran investasi ke daerah bersangkutan. Semakin besar investasi ke suatu daerah maka akan semakin pesat pula perkembangan perkembangan perekonomiannya, sebaliknya semakin kecil aliran investasi ke suatu daerah maka akan semakin lambat pula perkembangan perekonomiannya. Artinya terdapat hubungan positif antara besarnya realisasi investasi dengan tingkat perkembangan perekonomian suatu daerah (Jusuf, 2012). Untuk melihat suatu wilayah yang berkembang adalah dengan adanya keterkaitan antar sektor ekonomi wilayah, dimana terjadi transfer input dan output barang maupun jasa secara dinamis dan terbuka. Untuk melihat transfer input dan output barang dan jasa antar sektor dapat dipakai tabel input-output (I-O). Melalui model I-O dapat ditunjukkan seberapa besar aliran keterkaitan antar sektor dalam suatu ekonomi. Dari hubungan ekonomi yang sederhana ini jelaslah kelihatan pengaruh yang bersifat timbal balik antara sektor tersebut. Suatu wilayah dapat berkembang melalui berkembangnya sektor-sektor unggulan di wilayah tersebut yang pada akhirnya akan mendorong berkembangnya sektor-sektor lainnya yang selanjutnya sektor sektor tersebut akan turut berkembang dan mendorong sektorsektor terkait sehingga membentuk keterkaitan antar sektor. Menurut Hirschman, 1958 diacu dalam Muflikhati et al., (1996) bahwa keterkaitan (linkage) merupakan aplikasi dari Model Input-Output (I-O) yang penting dalam pembangunan perekonomian. Industri (sektor) yang satu terkait
16 dengan sektor lain dalam dua kaitan, yaitu kaitan ke depan (forward linkage) dan kaitan ke belakang (backward linkage). Kaitan ke depan menunjukkan besarnya output yang dijual kepada sektor lain terhadap total output sektor tersebut. Sedangkan kaitan ke belakang menunjukkan hubungan antara banyaknya pembelian dari sektor lain terhadap keseluruhan input sektor tersebut Bagi perencana daerah penggunaan model I-O menurut Daryanto dan Hafizrianda (2010) dapat mendatangkan keuntungan dalam beberapa hal antara lain: (1) dapat memberikan deskripsi lebih rinci mengenai perekonomian nasional ataupun perekonomian regional dengan menguantifikasikan ketergantungan antar sektor dan asal (sumber) dari ekspor dan impor; (2) untuk suatu perangkat permintaan akhir dapat ditentukan besaran output dari setiap sektor dan kebutuhannya akan faktor produksi dan sumber daya; (3) dampak perubahan permintaan terhadap perekonomian baik yang disebabkan oleh swasta maupun pemerintah dapat ditelusuri dan diramalkan secara terperinci; dan (4) perubahanperubahan permintaan terhadap harga relatif dapat diintegrasikan ke dalam model melalui perubahan koefisien teknik. Model I-O dapat juga dijadikan sebagai alat pengambil keputusan dalam merencanakan pembangunan sektoral. Dari hasil analisis I-O dapat diputuskan sektor-sektor yang dijadikan sebagai leading sector atau sektor pemimpin dalam pembangunan ekonomi. Dengan memfokuskan pembangunan pada sektor-sektor yang menjadi pemimpin maka target pertumbuhan ekonomi yang diharapkan dapat dicapai dengan lebih baik. Suatu sektor yang terindikasi sebagai pemimpin dianggap memiliki kemampuan daya sebar dan kepekaan yang sangat tinggi dalam suatu perekonomian, sehingga efek yang diberikan bersifat ganda (Daryanto dan Hafizrianda 2010). Menurut Setiono (2010), model analisa Input-Output mampu menyajikan gambaran rinci mengenai struktur ekonomi dan hubungan antar sektor dalam perekonomian wilayah pada suatu waktu tertentu. Dengan menggunakan model Input-Output, perencana ekonomi dapat menerapkan beberapa kemungkinan skenario pembangunan dan menilai berbagai dampak yang akan terjadi untuk masing-masing skenario.
17 Secara metodologi tabel I-O mempunyai beberapa keterbatasan hal ini dikarenakan model I-O yang dilandasi oleh asumsi-asumsi dasar sebagai berikut: (Rustiadi et al., 2009) (1) Asumsi homogenitas yang mensyaratkan bahwa tiap sektor hanya memproduksi suatu jenis output yang seragam (homogenity) dengan sruktur input tunggal dan antar sektor tidak dapat saling mensubstitusi. (2) Asumsi linieritas/proporsionalitas yang mensyaratkan bahwa dalam proses produksi, hubungan antara input dan output merupakan fungsi linier atau berbanding lurus (proporsionality), yang berarti perubahan tingkat output tertentu akan selalu didahului oleh perubahan pemakaian input yang sebanding. (3) Asumsi aditivitas, yaitu efek keseluruhan dari kegiatan produksi di berbagai sektor merupakan penjumlahan (additivity) dari proses produksi masingmasing sektor secara terpisah. Dengan kata lain, di luar sistem input-output semua pengaruh dari luar diabaikan. Jika dikaitkan dengan pelaksanaan otonomi daerah yang memiliki kewenangan
untuk
menggali
sumber-sumber
keuangan,
mengelola
dan
menggunakan sendiri pembiayaan pembangunan daerah, model I-O penting sebagai landasan analisis perencanaan pembangunan daerah. Dengan analisis I-O, keterkaitan antar sektor-sektor ekonomi dapat dilihat, sehingga pada saat penetapan alokasi anggaran pembangunan sektoral, pada akhirnya dapat membangkitkan efek sebar yang tinggi dalam mewujudkan pembangunan. Dalam hal kontribusi PDRB, suatu sektor yang memiliki kontribusi ekonomi sangat besar, belum tentu memiliki efek sebar yang besar pula dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi wilayah. Padahal dampak pembangunan ekonomi suatu sektor tidak cukup hanya dilihat dari kemampuannya menciptakan PDRB, namun yang lebih penting adalah bagaimana sektor tersebut mampu menggerakkan seluruh roda perekonomian wilayah. Maka model I-O sangat diperlukan untuk memotret fenomena semacam ini (Daryanto dan Hafizrianda, 2010).
III. METODOLOGI
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilaksanakan di kota Sibolga yang terletak di tepi pantai barat pulau Sumatera bagian Utara di Teluk Tapian Nauli, + 350 km Selatan kota Medan, ibukota Provinsi Sumatera Utara dengan posisi geografis wilayah terletak pada posisi 01º 42’ LU s/d 01º 46’ LU dan 98º 44’ BT s/d 98º 48’ BT dengan batas-batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Tengah, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Tengah, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Tengah dan sebelah barat berbatasan dengan teluk Tapian Nauli/Kabupaten Tapanuli Tengah. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Lokasi penelitian.
20 Waktu Penelitian mulai dari penyusunan proposal sampai penulisan tesis dilaksanakan pada bulan Mei 2012 sampai dengan bulan Nopember 2012. 3.2 Kerangka Pemikiran Penelitian Dalam meningkatan perekonomian daerah dan peningkatan peluang kerja dapat dilakukan melalui integrasi berbagai sektor yang ada di dalam wilayah. Ini berarti bahwa peningkatan perekonomian wilayah harus dilakukan dengan memberdayakan sumberdaya lokal yang ada di wilayah itu sendiri. Dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal yang ada dengan sebaik-baiknya diharapkan dapat meningkatkan proses income multiplication (pendapatan berganda) dan dapat meningkatkan nilai tambah produk sumber daya yang ada. Dengan karakteristik wilayah yang memiliki sumber daya yang berbedabeda, baik jenis maupun kuantitasnya maka keterbatasan sumber daya yang dimiliki suatu wilayah mengharuskan perlunya perencanaan pembangunan dengan menetapkan suatu skala prioritas. Penetapan skala prioritas pembangunan dikarenakan beberapa alasan, antara lain: (1) Setiap sektor memiliki sumbangan langsung dan tidak langsung yang berbeda terhadap pencapaian sasaran pembangunan; (2) Setiap sektor memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya dengan karakteristik yang berbeda-beda; (3) Aktivitas sektoral tersebar secara tidak merata dan spesifik, beberapa sektor cenderung memiliki aktivitas yang terpusat dan terkait dengan sebaran sumber daya (Rustiadi et al., 2011). Sektor prioritas yang unggul di kota Sibolga yang dipilih merupakan suatu upaya dalam mewujudkan perekonomian yang lebih baik dengan harapan akan dapat menyerap tenaga kerja yang lebih banyak dibandingkan sektor lain. Sektor prioritas tersebut akan memiliki kekuatan untuk menarik sektor-sektor lainnya untuk bergerak secara sinergis sehingga dapat meningkatkan perekonomian di kota Sibolga. Penekanan utama penelitian ini adalah mengidentifikasi kondisi, potensi, peranan, dan keterkaitan subsektor perikanan dengan sektor-sektor perekonomian lain sehingga dapat dijadikan dasar perencanaan pengembangan wilayah kota Sibolga untuk meningkatkan kesempatan kerja bagi masyarakat untuk peningkatan kesejahteraan. Untuk melihat peranan aktif sektor ekonomi wilayah dianalisa melalui kontribusi peyediaan PDRB untuk tiap sektoral yang nantinya akan di didapatkan
21 sektor dominan yang berperan aktif dalam perekonomian wilayah. Peran subsektor perikanan sendiri dalam struktur perekonomian kota Sibolga dapat dikaji melalui analisis Tabel Input-Output. Peran tersebut dapat dilihat berdasarkan pembentukan struktur permintaan dan penawaran, konsumsi masyarakat dan pemerintah, investasi, ekspor dan impor, nilai tambah bruto, dan struktur output sektoral, keterkaitan dan kepekaan antar sektor, dampak terhadap multiplier output, pendapatan dan nilai tambah bruto. Analisis keterkaitan ini digunakan untuk melihat hubungan suatu sektor dengan sektor yang lain dalam perekonomian dengan melihat keterkaitan ke belakang dan keterkaitan ke depan. Keterkaitan ke belakang akan melihat hubungan keterkaitan tentang pengaruh yang ditimbulkan oleh satu unit permintaan akhir pada sektor tertentu terhadap total pembelian input semua sektor dalam perekonomian. Keterkaitan ke depan akan melihat hubungan keterkaitan tentang pengaruh yang ditimbulkan oleh suatu unit permintaan akhir suatu sektor terhadap total penjualan output semua sektor dalam perekonomian. Sehingga dari hasil analisis ini nantinya didapatkan sektor-sektor pendukung yang langsung maupun tidak langsung dapat meningkatkan produktivitas sektor-sektor tersebut. Tingkat kepekaan suatu sektor akan dianalisis melalui mekanisme pasar output yang akan dilihat melalui analisis penyebaran. Analisis yang lain yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis multiplier. Analisis tersebut digunakan untuk mengetahui seberapa besar peningkatan dan penurunan output, seberapa besar peningkatan pendapatan akibat perubahan output dalam perekonomian. Di kota Sibolga pelaku-pelaku pembangunan yang terlibat secara langsung terhadap subsektor perikanan di terdiri atas; (1) instansi teknis, yang terdiri atas Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda); (2) unsur legislatif, yaitu anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD); (3) pihak swasta (pengusaha perikanan); (4) masyarakat (nelayan); dan (5) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang diambil pendapatnya mengenai pengembangan subsektor perikanan. Di dalam penentuan responden dilakukan secara sengaja (purposive sampling) untuk dimintai pendapatnya dalam penentuan prioritas pembangunan perikanan yang terpilih
22 dianggap memiliki pemahaman yang baik terhadap permasalahan pembangunan subsektor perikanan. Untuk pengembangan
subsektor perikanan
baik
berupa
budidaya,
penangkapan dan pengolahan hasil produk ikan diidentifikasi lokasi-lokasi yang tepat dan sesuai untuk dikembangkan. Proses analisa lokasi-lokasi-lokasi pengembangan subsektor perikanan ini dilakukan deskriptif informasi stakeholder yang berkepentingan. Dengan melakukan identifikasi terhadap kondisi, potensi, peranan, serta keterkaitan subsektor perikanan menghasilkan gambaran subsektor perikanan aktual dan potensial. Dari hasil analisis yang disintesiskan dengan persepsi stakeholders (pelaku-pelaku pembangunan) dan kebijakan pemerintah serta analisa lokasi-lokasi pengembangan subsektor perikanan, akan menghasilkan arahan pembangunan kota Sibolga untuk perencanaan pembangunan dimasa yang akan datang. Dapat digambarkan kerangka alur berfikir yang digunakan dalam penelitian ini pada Gambar 2. Kegiatan Pembangunan Sektor-Sektor Ekonomi
Kondisi Sumber Daya Perikanan
Keadaan Pembangunan Subsektor Perikanan
ANALISA
INTERPRETASI
Persepsi Stakeholder Prioritas Pembangunan Subsektor Perikanan
Keterkaitan Antar Sektor-Sektor Ekonomi Wilayah Dampak Terhadap Pendapatan Masyarakat
ARAHAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN
Persepsi Stakeholder Lokasi Pengembangan Subsektor Perikanan
Gambar 2 Kerangka alur berfikir penelitian. 3.3 Jenis Data dan Alat Dalam penelitian ini ada dua jenis data yang digunakan yaitu data sekunder dan data primer. Data sekunder dikumpulkan dari Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan kota Sibolga, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Sibolga, Badan Pusat Statistik serta data-data lainnya yang terkait dengan penelitian pada
23 instansi terkait. Data primer dikumpulkan melalui kuisioner dan wawancara terkait dengan pendapat responden mengenai kebijakan pembangunan subsektor perikanan di kota Sibolga serta kegiatan survei untuk analisis input-output. Untuk tujuan, jenis, sumber data, dan cara pengumpulan data serta analisisnya dirangkum pada Tabel 1. Tabel 1 Tujuan, jenis, sumber data dan cara pengumpulan data serta analisis data No.
Tujuan
1.
Mengidentifikasi pengembangan subsektor perikanan di kota Sibolga Menganalisis peran subsektor perikanan dan keterkaitan ke depan dan ke belakang (forward and backward linkage) dalam perekonomian kota Sibolga Menggali persepsi stakeholders terhadap pembangunan subsektor perikanan di kota Sibolga Merumuskan arahan pembangunan subsektor perikanan di Kota Sibolga
2.
3.
4.
Jenis Data
Data yang dikumpulkan
Sumber Data
Analisis Data
Sekunder
Hasil-hasil survey dan penelitian sebelumnya
BPS KKP Bappeda DKPP
Deskriptif
Sekunder dan Primer
Tabel InputOutput Kota Sibolga Tahun 2010 (Semi Survei)
BPS
InputOutput
Primer
Kuesioner
Pendapat responden (expert)
AHP
Ramuan dari seluruh analisis sebelumnya
Alat yang digunakan dalam penelitian ini berupa komputer dengan software pembantu alat analisa berupa GAMS, Input Output Analysis for Practitioners (IOAP), MS-Office dan ArcGIS. 3.4 Metode Analisis Data Penelitian ini menggunakan pengolahan data dengan menggunakan tiga metode analisis, yaitu; analisis deskriptif, Input-Output (I-O) dan Analytical Hierarcy Process (AHP). Analisis deskriptif untuk mengetahui kondisi dan potensi perikanan serta peranannya dalam pembangunan; analisis Input-Output (IO) untuk mengetahui peranan subsektor perikanan dan keterkaitannya dengan
24 sektor-sektor lain; dan Analytical Hierarcy Process (AHP) untuk analisis penetapan prioritas pembangunan subsektor perikanan. 3.4.1 Analisis Deskriptif Analisis deskriptif dilakukan untuk mengetahui kondisi
subsektor
perikanan, potensi pengembangannya, peranannya dalam perekonomian wilayah serta kajian analisa lokasi-lokasi pengembangan subsektor perikanan. Kondisi aktual subsektor perikanan dianalisis dari data produksi hasil perikanan, sarana dan prasarana pendukung, serta data-data lain yang mencerminkan keragaan data subsektor perikanan di kota Sibolga. Potensi pengembangan subsektor perikanan dianalisis berdasarkan data kondisi perikanan dan peluang yang tersedia serta faktor-faktor lain yang mendukung. Untuk melihat peranan subsektor perikanan dalam perekonomian dianalisis dari struktur produk domestik regional bruto (PDRB) kota Sibolga. Analisis terhadap struktur PDRB dapat menunjukkan peranan masing-masing sektor perekonomian. Hasil analisis terhadap kondisi perikanan tersebut selanjutnya dihubungkan dengan peluang dan faktor-faktor lain yang berpengaruh, sehingga diperoleh potensi subsektor perikanan secara umum. 3.4.2 Analisis Peranan Subsektor Perikanan Untuk melihat peranan subsektor perikanan terhadap keterkaitannya dengan sektor-sektor lain di kota Sibolga dilakukan menggunakan analisis Input-Output (I-O). Secara teknis analisis I-O ini dapat menjelaskan karakteristik struktur ekonomi wilayah serta keterkaitan sektoral perekonomian wilayah itu sendiri. Dari analis ini juga dapat menentukan sektor unggulan pada perekonomian di kota Sibolga. Metode penyusunan tabel I-O kota Sibolga tahun 2010, menggunakan tehnik semi survei dimana subsektor perikanan akan dipecah menjadi dua sektor lagi yaitu perikanan tangkap dan perikanan bididaya. Tabel I-O kota Sibolga tahun 2010 diagregasi menjadi 16 sektor (Tabel 2) yang didapatkan dari penurunan tabel I-O dari tabel I-O provinsi Sumatera Utara tahun 2003 atas dasar harga produsen di update ke tahun 2010 dan diturunkan menjadi tabel I-O kota
25 Sibolga tahun 2010 atas dasar harga produsen dengan menggunakan metode RAS. Untuk melakukan metode ini, data yang diperlukan berupa PDRB provinsi Sumatera Utara tahun 2003 dan 2010, PDRB kota Sibolga tahun 2010, total input provinsi Sumatera Utara tahun 2003 dan 2010. Data yang terkait juga yang sangat penting dalam melakukan metode RAS adalah data PDRB penggunaan provinsi Sumatera Utara dan PDRB penggunaan kota Sibolga yang berisikan data ekspor dan impor wilayah. Tahapan metode RAS update tabel I-O kota Sibolga semi survei dapat dilihat pada Gambar 3. Tabel 2 Sektor-sektor perekonomian Tabel I-O kota Sibolga hasil update tahun 2010 (16 sektor) Kode I-O 1 2 3 4
Sektor Peternakan dan Hasil-hasilnya Perikanan Tangkap Perikanan Budidaya Pertambangan dan Penggalian
Kode I-O 9 10 11 12
5 6 7
Industri Bukan Migas Listrik, Gas dan Air Bersih Konstruksi/Bangunan
13 14 15
8
Perdagangan Besar & Eceran
16
Tabel I-O Provinsi SUMUT 2003 (71 X 71 sektor)
Sektor Perhotelan Restoran Angkutan Jalan Raya Angkutan Laut, Sungai, Danau dan Penyeberangan Jasa Penunjang Angkutan Komunikasi Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan Jasa-Jasa Perintah dan Swasta
Tabel I-O SUMUT 2010 (21 X 21 sektor)
Matriks A SUMUT 2010 (21X21 sektor)
RAS
Disesuaikan dengan Sektor Sibolga (15X15)
Agregasi (21 X21 sektor)
Matriks A SUMUT 2003 (21X21 sektor)
Survei Lapang Keterkaitan Subsektor Perikanan
Survei Lapang 1. Perikanan Tangkap 2. Perikanan Budidaya
Tabel I-O SIBOLGA 2010 (15 X 15 sektor)
Tabel I-O Kota Sibolga 2010 (16X16 sektor)
Penyeimbangan Keterkaitan Matriks A (15X15)
Analisis Tabel I-O Kota Sibolga Tahun 2010
Gambar 3 Tahapan metode RAS update tabel I-O kota Sibolga semi survei.
26 Dalam model I-O pengaruh interaksi ekonomi dapat diklasifikasikan kedalam tiga jenis yaitu: (1) pengaruh langsung; (2) pengaruh tidak langsung; dan (3) pengaruh total. Pengaruh langsung atau direct effect merupakan pengaruh yang secara langsung dirasakan oleh suatu sektor yang outputnya digunakan sebagai input dalam produksi sektor yang bersangkutan. Pengaruh tidak langsung atau indirect effect menunjukkan pengaruh tidak langsung yang dirasakan oleh suatu sektor yang outputnya tidak digunakan sebagai input dalam sektor yang bersangkutan. Sedangkan pengaruh total atau total effect adalah pengaruh secara keseluruhan dalam perekonomian dimana sektor yang bersangkutan berada. Berdasarkan ketiga pengaruh diatas, dengan model I-O kita bisa menelusuri ke mana saja output dari suatu sektor itu didistribusikan dan input apa saja yang digunakan oleh sektor tersebut secara langsung. Tabel 3 Struktur Tabel Input-Output
1
1 X11
2 …
… …
j X1j
… …
n X1n
C C1
G G1
I I1
Permintaan Eksternal Wilayah E E1
X21
…
…
X2j
…
X2n
C2
G2
I2
E2
X2
:
…
…
…
…
…
…
…
…
…
…
…
Permintaan Internal Wilayah
Output
Permintaan Antara
Total Output X1
Input Antara
Permintaan Akhir
2
n
Xn1
…
…
Xnj
…
Xnn
Cn
Gn
In
En
Xn
Nilai Tambah
Input Internal Wilayah
Input
W
W1
…
…
Wj
…
Wn
CW
GW
IW
EW
W
T
T1
…
…
Tj
…
Tn
CT
GT
IT
ET
T
S
S1
…
…
Sj
…
Sn
CS
GS
IS
ES
S
M
M1
…
…
…
…
Mn
CM
GM
IM
-
M
X1
…
…
Xj
…
Xn
C
G
I
E
X
Input Eksternal Wilayah Total Input
i
…
…
…
Xij
…
…
Ci
Gi
Ii
Ei
Xi
:
…
…
…
…
…
…
…
…
…
…
…
Sumber : Rustiadi et al., (2011) Keterangan : ij : sektor ekonomi Xij : banyaknya output sektor i yang digunakan sebagai input sektor j Xi : total output sektor i Xj : total output sektor j; untuk sektor yang sama (i=j), total output sama dengan total input Ci : permintaan konsumsi rumah tangga terhadap output sektor i Gi : permintaan konsumsi (pengeluaran belanja rutin) pemerintah terhadap output sektor i Ii : permintaan pembentukan modal tetap netto (investasi) dari output sektor i; output sektor i yang menjadi barang modal
27 Ei : ekspor barang dan jasa sektor i, output sektor i yang diekspor/dijual ke luar wilayah, permintaan wilayah eksternal terhadap output sektor i Yi : total permintaan akhir terhadap output sektor i ( Yi=Ci+Gi+Ii+Ei) Wj : pendapatan (upah dan gaji) rumah tangga dari sektor j, nilai tambah sektor j yang dialokasikan sebagai upah dan gaji anggota rumah tangga yang bekerja di sektor j Tj : pendapatan pemerintah (Pajak Tak Langsung) dari sektor j, nilai tambah sektor j yang menjadi pendapatan asli daerah dari sektor j Sj : surplus usaha sektor j, nilai tambah sektor j yang menjadi surplus usaha Mj : impor sektor j, komponen input produksi sektor j yang diperoleh/dibeli dari luar wilayah Analisis yang dilakukan terhadap Tabel I-O adalah analisis keterkaitan dan angka pengganda sektoral. Hasil perhitungan ini menghasilkan koefisien teknis (matriks A) dan invers matriks Leontief (matriks B) yang selanjutnya diolah kembali sehingga diperoleh data mengenai keterkaitan sektoral dan angka pengganda (multiplier). Koefisien teknologi sebagai parameter yang paling utama dalam analisis I-O secara matematis diformulasikan sebagai rumus berikut:
di mana : : rasio antara banyaknya output sektor i yang digunakan sebagai input sektor j (
atau disebut pula sebagai
koefisien input. Beberapa parameter teknis yang dapat diperoleh melalui analisis I-O adalah: 1. Keterkaitan langsung ke belakang (direct backward linkage) ( ) yang menunjukkan efek permintaan suatu sektor terhadap perubahan tingkat produksi sektor-sektor yang menyediakan input antara bagi sektor tersebut secara langsung. ∑ untuk mengukur secara relatif (perbandingan dengan sektor lainnya) terdapat ukuran normalized
yang merupakan rasio antara kaitan langsung ke
belakang sektor j dengan rata-rata backward linkage sektor-sektor lainnya.
28
∑
∑ Nilai
> 1 menunjukkan bahwa sektor j memiliki keterkaitan ke belakang
yang kuat terhadap pertumbuhan sektor-sektor lain dalam memenuhi turunan permintaan yang ditimbulkan oleh sektor ini. 2. Keterkaitan
langsung
ke
depan
(direct
forward
linkage)
yang
menunjukkan banyaknya output suatu sektor yang dipakai oleh sektor-sektor lain. ∑ Normalized
atau
∑
dirumuskan sebagai berikut : ∑
∑ Nilai
> 1 menunjukkan bahwa sektor i memiliki keterkaitan ke depan yang
kuat terhadap pertumbuhan sektor-sektor lain dalam suatu wilayah. 3. Keterkaitan ke belakang langsung dan tidak langsung (indirect backward linkage) (
) yang menunjukkan pengaruh tidak langsung dari kenaikan
permintaan akhir satu unit sektor tertentu yang dapat meningkatkan total output seluruh sektor perekonomian. ∑ di mana
adalah elemen-elemen matriks B atau
yang merupakan
matriks Leontief. 4. Keterkaitan ke depan langsung dan tidak langsung (indirect forward linkage) (
), yaitu peranan suatu sektor dalam memenuhi permintaan akhir dari
seluruh sektor perekonomian. ∑ 5. Daya sebar ke belakang atau indeks daya penyebaran (backward linkages effect ratio) ( ) yang menunjukkan kekuatan relatif permintaan akhir suatu
29 sektor dalam mendorong pertumbuhan produksi total seluruh sektor perekonomian. ∑ ∑ ∑ Besaran nilai
∑ ∑ ∑
dapat mempunyai nilai sama dengan 1; lebih besar dari 1
atau lebih kecil dari 1. Bila
=1, hal tersebut berarti bahwa daya penyebaran
sektor j sama dengan rata-rata daya penyebaran seluruh sektor ekonomi. Nilai
>1 menunjukkan bahwa daya penyebaran sektor j berada di atas rata-
rata daya penyebaran seluruh sektor ekonomi; dan sebaliknya
<1
menunjukkan daya penyebaran sektor j lebih rendah dari rata-rata daya penyebaran seluruh sektor ekonomi. 6. Indeks derajat kepekaan atau sering disebut derajat kepekaan saja (forward linkages effect ratio) menjelaskan pembentukan output di suatu sektor yang dipengaruhi oleh permintaan akhir masing-masing sektor perekonomian. Ukuran ini digunakan untuk melihat keterkaitan kedepan (forward linkage). ∑ ∑ ∑ Nilai
∑ ∑ ∑
>1 menunjukkan bahwa derajat kepekaan sektor i lebih tinggi dari
rata-rata derajat kepekaan seluruh sektor ekonomi, dan sebaliknya
<1
menunjukkan derajat kepekaan sektor i lebih rendah dari rata-rata seluruh sektor ekonomi. 7. Multiplier adalah koefisien yang menyatakan kelipatan dampak langsung dan tidak langsung dari meningkatnya permintaan akhir suatu sektor sebesar satu unit terhadap produksi total semua sektor ekonomi suatu wilayah. a. Output multiplier, merupakan dampak meningkatnya permintaan akhir suatu sektor terhadap total output seluruh sektor di suatu wilayah.
b. Total value added multiplier atau PDRB multiplier adalah dampak meningkatnya permintaan akhir suatu sektor terhadap peningkatan PDRB. Diasumsikan Nilai Tambah Bruto (NTB) atau PDRB berhubungan dengan output secara linier.
30 ̂ dimana
: matriks NTB ̂ : matriks diagonal koefisien NTB :matriks output, X = (I-A)-1.Fd
c. Income multiplier, yaitu dampak meningkatnya permintaan akhir suatu sektor terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga di suatu wilayah secara keseluruhan. ̂ dimana
: matriks income ̂ : matriks diagonal koefisien income :matriks output, X = (I-A)-1.Fd
3.4.3 Analytical Hierarcy Process (AHP) Analytical Hierarcy Process (AHP), yang artinya dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah Proses Hierarki Analitik (PHA) atau Jenjang Keputusan (AJK). Kebijakan merupakan dasar pelaksanaan kegiatan atau pengambilan keputusan dengan maksud membangun landasan yang jelas dalam mengambil keputusan dan langkah yang akan diambil. Analisis ini akan menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa, sehingga dapat memberikan landasan bagi para pembuat kebijakan dalam mengambil keputusan. Model AHP digunakan pada pengambilan keputusan dengan banyak kriteria perencanaan, alokasi sumber daya dan penentuan prioritas strategi yang dimiliki pengambil keputusan. Dalam perkembangannya metode ini tidak saja digunakan untuk penentuan prioritas pilihan dengan banyak kriteria (multikriteria) tetapi dalam penerapannya telah meluas sebagai metode alternatif untuk menyelesaikan bermacam-macam masalah. Hal ini dimungkinkan karena metode AHP dapat digunakan dengan cukup mengandalkan intuisi atau persepsi sebagai masukan utamanya, namun intuisi atau persepsi tersebut harus datang dari orang yang mengerti permasalahan, pelaku dan pembuat keputusan yang memiliki cukup informasi dan memahami masalah keputusan yang dihadapi. Metode sampling yang dipakai adalah purposive sampling dengan respondennya
yang
merupakan
stakeholder
terkait
kegiatan
perikanan.
31 Respondennya terdiri atas unsur-unsur pemerintah daerah, tokoh masyarakat nelayan, anggota legislatif, pengurus organisasi nelayan (LSM), dan pihak swasta. Pemilihan responden dilakukan sedemikian rupa terhadap pihak-pihak yang memiliki pemahaman baik terkait dengan pembangunan perikanan di kota Sibolga. Langkah awal proses AHP ini adalah merinci tujuan atau permasalahan kedalam komponen-komponen, kemudian diatur kedalam tingkatan-tingkatan hirarki. Hirarki yang paling atas diturunkan kedalam beberapa set kriteria atau elemen, sehingga diperoleh elemen-elemen spesifik yang mempengaruhi alternatif pengambilan keputusan. Setelah hirarki tersusun, langkah selanjutnya adalah menentukan prioritas elemen-elemen pada masing-masing tingkatan. Kemudian dibangun set matriksmatriks perbandingan dari semua elemen pada suatu tingkat hirarki dan pengaruhnya terhadap elemen pada tingkatan yang lebih tinggi untuk menentukan prioritas serta mengkonversi penilaian komparatif individu ke dalam pengukuran skala rasio. Penentuan tingkat kepentingan pada tiap hirarki dilakukan dengan teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparison) yang menghasilkan suatu matriks peringkat relatif untuk masing-masing tingkat hirarki. Pembangunan Perikanan Kota Sibolga
Tujuan Level-1
Faktor
Level-2
Kegiatan
Sumber Daya Ikan
Sumber Daya Manusia
Penangkapan
Sarana dan Prasarana
Budidaya
Modal
Pasar
Pengolahan
Level-3
Gambar 4 Struktur AHP untuk penentuan kebijakan (diadopsi dan dimodifikasi dari Saaty 2008). Struktur hirarki dari permasalahan yang ingin diteliti yaitu pemilihan prioritas pembangunan perikanan di kota Sibolga didasarkan atas lima faktor, yaitu potensi sumber daya perikanan (SDI), sumber daya manusia (SDM), sarana
32 dan prasarana (Sarpras), ketersediaan Modal dan faktor pemasaran atau permintaan konsumen (Pasar) (Gambar 4). Level 1 merupakan tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan yang dilakukan pada level 3. Faktor-faktor pada level 2 diukur dengan perbandingan berpasangan berarah ke level 1. Misalnya di dalam pemilihan kegiatan pembangunan, mana yang lebih penting antara sumber daya perikanan dan sumber daya manusia, antara sumber daya perikanan dengan sarana prasarana, pasar, modal dan seterusnya. Faktor-faktor yang berpengaruh pada level 2 dapat dijelaskan sebagai berikut : 1.
Faktor SDI, menunjukkan ketersediaan dan potensi sumber daya ikan meliputi beraneka macam jenis ikan dan wilayah laut yang menjadi area kegiatan penangkapan nelayan.
2.
Faktor SDM, sebagai pelaku utama berbagai aktivitas perikanan meliputi nelayan, pembudidaya ikan dan pengolah hasil perikanan.
3.
Faktor Sarpras, merupakan fasilitas pendukung untuk kelancaran usaha perikanan, antara lain; tempat pendaratan ikan, pabrik es, cold storage, docking dan slipway serta unit pengolahan ikan.
4.
Faktor Modal, merupakan komponen untuk investasi dan operasional pelaksanaan kegiatan usaha perikanan; dapat disediakan oleh lembaga keuangan Bank maupun non Bank.
5.
Faktor Pasar, menentukan tingkat permintaan produk hasil perikanan. Pasar dapat berupa pasar lokal, regional maupun internasional. Pendekatan AHP menggunakan skala Saaty mulai dari nilai bobot 1 sampai
dengan 9. Nilai bobot 1 menggambarkan sama penting, ini berarti bahwa atribut yang sama skalanya nilai bobotnya 1, sedangkan nilai bobot 9 menggambarkan kasus atribut yang paling absolut dibandingkan yang lainnya. Tabel skala banding secara berpasangan menurut Saaty (2008) disajikan pada Tabel 4. Langkah selanjutnya dilakukan pengolahan untuk menyusun prioritas elemen keputusan dan prioritas pengaruh tiap elemen pada tingkat hirarki tertentu terhadap tujuan utama. Untuk evaluasi dan estimasi keabsahan nilai matriks berpasangan dilakukan dengan menghitung nilai rasio konsistensi.
33 Jumlah pertanyaan perbandingan berpasangan adalah
karena saling
berbalikan dan diagonalnya selalu bernilai satu. Notasi n merupakan banyaknya elemen atau faktor dalam setiap level. Oleh karena itu pada level 2 terdapat 10 pertanyaan perbandingan berpasangan untuk 5 faktor yang tersedia, sedangkan pada level 3 terdapat masing-masing 3 pertanyaan. Penjelasan penentuan skala perbandingan berpasangan menurut Saaty (2008) dapat dilihat pada Tabel 4 defenisi dari tiap-tiap tingkat kepentingan dari masing-masing skor yang di tanyakan kepada responden. Dari Tabel 4 ini juga dijelaskan keterwakilan skor yang mewakili skor yang ada. Tabel 4 Skala perbandingan berpasangan (Saaty 2008) Tingkat Definisi Kepentingan 1 Kedua elemen pentingnya
Penjelasan
sama Dua elemen mempunyai pengaruh yang sama besar terhadap tujuannya 3 Elemen yang satu sedikit Pengalaman dan penilaian sedikit lebih penting dari elemen mendukung satu elemen dibanding yang lain elemen yang lain 5 Elemen yang satu lebih Pengalaman dan penilaian sangat penting dari elemen yang kuat mendukung satu elemen lain dibanding yang lain 7 Elemen yang satu jelas Satu elemen dengan kuat lebih penting dari elemen didukung dan dominan terlihat yang lain dalam praktek 9 Elemen yang satu mutlak Bukti yang mendukung elemen lebih penting dari elemen yang satu terhadap elemen yang yang lain lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan 2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua nilai Nilai ini diberikan bila ada pertimbangan yang kompromi diantara dua pilihan berdekatan Kebalikan Reciprocals Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktivitas j, mempunyai nilai kebalikan bila dibandingkan dengan i Sumber: Saaty (2008) Alur analisis penelitian baik secara deskriptif terhadap kondisi dan potensi pengembangan subsektor perikanan, analisis I-O untuk mengetahui peranan dan
34 keterkaitan subsektor perikanan terhadap sektor lain, serta AHP untuk mengetahui persepsi stakeholders perikanan disajikan pada Gambar 5. Kajian Kondisi Pemanfaatan dan Potensi SDI
Kajian Pembangunan Sektor Perikanan
Analisis Deskriptif - Perikanan Tangkap - Perikanan Budidaya - Pengolahan Hasil Perikanan
Hasil Analisis Pembangunan Berbasis Potensi
Sudah Sesuai
Kajian Perencanaan Pembangunan
Analisis I-O - Peranan Sektoral - Keterkaitan Sektor - Multiplier Effect
Kondisi Pembangunan Eksisting
Belum Sesuai
Arahan Kegiatan Pembangunan
- Analisis Persepsi Stakeholders - Analisis Deskriptif Lokasi
Gambar 5 Kerangka analisis penelitian.
IV. GAMBARAN UMUM KOTA SIBOLGA
4.1 Sejarah Kota Sibolga Kota Sibolga dahulunya merupakan bandar kecil di teluk Tapian Nauli dan terletak di pulau Poncan Ketek. Pulau kecil ini letaknya tidak jauh dari pusat kota Sibolga yang sekarang. Diperkirakan bandar tersebut berdiri sekitar abad ke-18 dan sebagai penguasa adalah "Datuk Bandar". Kemudian pada zaman pemerintahan kolonial Belanda, pada abad 19 didirikan bandar baru, yaitu kota Sibolga yang sekarang ini ada. Hal ini dikarena pemerintahan kolonial Belanda menganggap bandar di pulau Poncan Ketek akan sulit berkembang. Disamping pulaunya terlalu kecil juga tidak memungkinkan menjadi kota pelabuhan yang fungsinya bukan saja sebagai tempat bongkar muat barang dan juga hasil perikanan tangkap, tetapi juga akan berkembang sebagai kota perdagangan. Akhirnya bandar pulau Poncan Ketek mati, bahkan bekas peninggalannyapun tidak terlihat lagi saat ini. Sebaliknya bandar baru, yaitu kota Sibolga yang sekarang berkembang pesat menjadi kota pelabuhan dan perdagangan. Bukan hanya sebagai pelabuhan jasa barang dan penumpang, kota yang berada di teluk Tapian Nauli ini juga berkembang menjadi pelabuhan yang beraktivitas pada kegiatan perikanan tangkap. Pada zaman pemerintahan kolonial Belanda, kota Sibolga menjadi ibukota keresidenan Tapanuli dibawah pimpinan seorang residen dan membawahi beberapa "Luka" atau Bupati. Pada zaman revolusi fisik, Sibolga juga menjadi tempat kedudukan Gubernur militer wilayah Tapanuli dan Sumatera Timur bagian selatan. Kemudian dengan dikeluarkannya surat keputusan Gubernur Sumatera Utara nomor 102 tanggal 17 Mei 1946, Sibolga menjadi daerah otonom tingkat D yang luas wilayahnya ditetapkan dengan surat keputusan residen Tapanuli Nomor 999 tanggal 19 Nopember 1946, yaitu daerah kota Sibolga yang sekarang. Sedangkan desa-desa sekitarnya yang sebelumnya masuk wilayah Sibolga On Omne Laden menjadi atau masuk daerah kabupaten Tapanuli Tengah. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang nomor 8 tahun 1956, Sibolga ditetapkan menjadi daerah Swatantra tingkat II dengan nama kota Praja Sibolga
36 yang dipimping oleh seorang Walikota, dan daerah wilayahnya sama dengan surat keputusan residen Tapanuli nomor 999 tahun 1946. Selanjutnya dengan undang-undang nomor 18 tahun 1956, daerah swatantara tingkat II kotapraja Sibolga diganti sebutannya menjadi kotamadya daerah tingkat II Sibolga yang pengaturannya selanjutnya ditentukan oleh undangundang nomor 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah. Kemudian dengan undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah yang kemudian dirubah dengan undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah sebutan kotamadya daerah tingkat II Sibolga berubah menjadi kota Sibolga yang statusnya daerah otonom yang dipimpin oleh Walikota. 4.2 Kondisi Fisik Wilayah Beberapa gambaran umum dari kondisi fisik kota Sibolga yang merupakan wilayah studi adalah kondisi geografis dan kondisi topografi dan iklim. 4.2.1 Kondisi Geografis Sibolga terletak di pantai barat Sumatera, sejauh 344 km dari kota Medan dengan jalur kearah selatan provinsi Sumatera Utara. Kota ini berada pada sisi pantai teluk Tapian Nauli menghadap kearah laut Hindia. Secara geografis berada antara 1042’ – 1046 LU dan 98044’ – 98048’ BT. Bentuk kota memanjang dari utara ke selatan mengikuti garis pantai, dimana disebelah timur terdiri dari gunung yang cukup terjal dan curam sedangkan disebelah barat berbatasan langsung dengan lautan. Luas wilayah administrasi keseluruhan seluas 3.536 ha atau 35,36 km2, memiliki lima buah pulau dengan luas total 238,32 ha daratan dan laut seluas 2.171,01 ha. Wilayah administrasi berbatasan dengan wilayah kabupaten Tapanuli Tengah di sebelah utara, timur dan selatan, sedangkan sebelah barat berbatasan dengan teluk Tapian Nauli atau Samudera Hindia. 4.2.2 Kondisi Topografi dan Iklim Kota Sibolga berada antara 1-50 meter diatas permukaan laut dan beriklim cukup panas dengan suhu maksimum mencapai 32,80C pada bulan maret dan mei 2010 dengan dengan curah hujan yang cenderung tidak teratur di sepanjang
37 tahunnya. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan nopember sebesar 810,5 mm dengan hari hujan terbanyak juga terjadi pada bulan nopember yaitu selama 28 hari. Untuk kelembaban udara tertinggi terjadi pada bulan nopember sebesar 87 persen dengan rata-rata kelembaban udara tahun 2010 sebesar 83 persen. Sebagian besar lahan di sebelah selatan Sibolga lebih didominasi oleh lereng datar dengan kemiringan lahan 0-2% dengan luas 313.8 ha atau 29.14% dari total luas kawasan Sibolga, sedangkan pada bagian utara berupa perbukitan dengan kemiringan lahan lebih dari 40%, luas daerah ini sendiri diperkirakan mencapai 632.2 ha atau 59.26%, data ini dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Kemiringan lahan kota Sibolga Luas (ha) Daratan Daratan Jumlah (ha) Sumatera Kepulauan 1 0-2 218.80 95.00 313.8 2 2-15 73.00 18.00 91.0 3 15-40 13.00 21.00 34.0 4 >40 584.36 53.84 638.2 Total 889.16 187.84 1077.0 Sumber : BAPPEDA kota Sibolga (2010) No
Kemiringan
Persentase (%) 29.14 8.45 3.16 59.26 100.00
4.2 Pemerintahan dan Sosial Kependudukan Pada bagian pemerintahan dan sosial kependudukan ini diuraikan mengenai gambaran administrasi pemerintahan kota Sibolga dan kependudukan dan ketenagakerjaan. Masing-masing bahasan tersebut akan diuraikan tersendiri pada bagian di bawah ini. 4.2.1 Pemerintahan Dari sisi administrasi pemerintahan kota Sibolga terdiri dari empat kecamatan dan 17 kelurahan. Kecamatan Sibolga Utara terdiri dari lima kelurahan yaitu Sibolga Ilir, Simare-mare, Angin Nauli, Hutabarangan dan Huta tongatonga. Untuk kecamatan Sibolga Kota jumlah kelurahannya terdiri dari empat yang terdiri dari Kota Baringin, Pasar Baru, Pancuran Gerobak dan Pasar Belakang. Kecamatan Sibolga Sambas juga terdiri atas empat kelurahan yaitu Pancuran Kerambil, Pancuran Pinang, Pancuran Dewa dan Pancuran Bambu. Dan yang
38 terakhir adalah kecamatan Sibolga Selatan yang terdiri dari kelurahan Aek Habil, Aek Muara Pinang, Aek Parombunan dan Aek Manis. Distribusi luas wilayah tiap kecamatan di kota Sibolga disajikan pada Gambar 6. Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat bahwa luas wilayah tiap kelurahan cenderung merata.
Sibolga Selatan, 3,14
Sibolga Sambas, 1,57
Sibolga Utara, 3,33
Sibolga Kota, 2,73
Gambar 6 Luas kota Sibolga menurut kecamatan (km2). 4.2.2 Kependudukan dan Tenaga Kerja Sasaran utama dari pembangunan adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan ini akan tercapai jika pemerintah dapat memecahkan permasalahan kependudukan dengan memahami besaran jumlah penduduk dan sebaran kepadatannya. Disamping kependudukan kondisi sosial masyarakat juga tidak kalah pentingnya diperhatikan untuk mewujudkan sasaran pembangunan tersebut. Tenaga kerja merupakan modal pergerakan roda pembangunan suatu wilayah. Jumlah dan komposisi tenaga kerja akan terus mengalami perubahan. Peningkatan jumlah penduduk akan diikuti dengan penambahan jumlah angkatan kerja yang akan menuntut peningkatan penyediaan tenaga kerja. Jumlah penduduk kota Sibolga pada tahun 2010 dari data BPS (2011a) tercatat sebesar 84.481 jiwa yang terdiri dari 42.408 jiwa penduduk laki-laki dan 42.408 jiwa perempuan sedangkan jumlah rumahtangga tercatat sebesar 18.128 dengan rata-rata laju pertumbuhan tahun 2000 hingga tahun 2010 sebesar 0,3 persen. Jumlah penduduk, rumahtangga dan rata-rata
anggota rumah tangga
menurut kecamatan dan kelurahan di kota Sibolga tahun 2010 dapat dilihat pada
39 Tabel 6. Jumlah dan kepadatan penduduk ditiap kecamatan dapat dilihat pada Gambar 7. Tabel 6 Jumlah penduduk, rumah tangga dan rata-rata anggota rumah tangga menurut kecamatan dan kelurahan di kota Sibolga tahun 2010
Kecamatan
Jumlah Penduduk (jiwa)
Kelurahan
1 Sibolga Utara Sibolga Ilir Angin Nauli Huta Tonga-tonga Huta Barangan Simare-mare 2 Sibolga Kota Kota Baringin Pasar Baru Pasar Belakang Pancuran Gerobak 3 Sibolga Selatan Aek Habil Aek Manis Aek Parombunan Aek Muara Pinang 4 Sibolga Sambas Pancuran Pinang Pancuran Kerambil Pancuran Dewa Pancuran Bambu Sumber : BPS kota Sibolga (2011a)
Jumlah Rumah Tangga (KK)
19.970 6.123 3.533 2.677 2.209 5.428 14.304 2.173 1.487 5.397 5.247 30.082 6.325 9.038 9.871 4.848 20.125 4.724 2.914 4.971 7.516
4.510 1.301 832 650 520 1.207 3.289 523 397 1.157 1.212 6.111 1.278 1.916 1.917 1.000 4.218 980 651 1.058 1.529
Rata-rata Anggota Rumah Tangga (jiwa) 4 5 4 4 4 4 4 4 4 5 4 5 5 5 5 5 5 5 4 5 5
35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0 Sibolga Utara
Sibolga kota
Jumlah Penduduk (jiwa)
Sibolga Selatan
Sibolga Sambas
Kepadatan Penduduk (jiwa/km2)
Gambar 7 Jumlah penduduk dan kepadatan penduduk di tiap kecamatan.
40 Dengan luas wilayah kota Sibolga, tingkat kepadatan penduduk ditahun 2010 mencapai 7.844 jiwa/km2, dengan sebaran kepadatan ditiap kecamatan bervariasi. Kepadatan penduduk terbesar pada tahun 2010 berada pada kecamatan Sibolga Sambas dengan tingkat kepadatan 12.818 jiwa/km2, diikuti dengan kecamatan Sibolga Selatan sebesar 9.580 km2 lalu kecamatan Sibolga Utara sebesar 5.997 km2 dan kecataman Sibolga Kota sebesar 5.240 km2. Pasar tenaga kerja di kota Sibolga selalu mengalami penurunan sejak tahun 2008, yang tergambar dari turunnya persentase penduduk usia kerja yang bekerja. Sektor perdagangan, rumah makan dan hotel mendominasi pasar tenaga kerja di Sibolga, dengan persentase 34,88 persen pada tahun 2010, dan selalu meningkat dari tahun sebelumnya, diikuti sektor jasa kemasyarakatan 25,42 persen, kemudian sektor lainnya 18,56 persen. Persentase penduduk yang bekerja menurut golongan umur pada tahun 2010, dapat dilihat pada Gambar 8. 40-44 tahun
12,65
35-39 tahun
13,14
30-34 tahun
15,21
25-29 tahun
14,69
20-24 tahun
11,65 0
2
4
6
8
10
12
14
16
Gambar 8 Persentase penduduk yang bekerja menurut golongan umur tahun 2010.
Untuk partisipasi angkatan kerja, BPS kota Sibolga (2011b) mencatat untuk penduduk yang yang berumur 15 tahun keatas pada tahun 2008 mencapai 57,31 persen, 63,13 persen di tahun 2009 dan 70,40 persen di tahun 2010 dengan tingkat pengangguran terbuka ditahun 2008 sebesar 13,69 persen, tahun 2009 17,14 persen dan 17,50 persen ditahun 2010. Penduduk berumur 15 tahun keatas menurut jenis kegiatan utama di kota sibolga dapat dilihat pada Tabel 7. Persentase tingkat pengangguran terbuka, statistik tenaga kerja kota Sibolga meningkat sejak tahun 2008 hingga tahun 2010. Di tahun 2008 persentase masyarakat yang berstatus sebagai pengangguran terbuka mencapai 13,69 persen, dan tahun 2009 sebesar 17,14 persen dan di tahun 2010 sebesar 17,50 persen.
41 Tabel 7 Penduduk berumur 15 tahun keatas menurut jenis kegiatan utama di kota Sibolga tahun 2008-2010 Jenis Kegiatan Utama I. Angkatan Kerja 1. Bekerja 2. Penganggur II. Bukan Angkatan Kerja 1. Sekolah 2. Mengurus Rumah Tangga 3. Lainnya Jumlah Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Tingkat Pengangguran Terbuka Sumber : BPS kota Sibolga (2011b)
2008 37.519 32.383 5.136 27.951 7.942 13.502 6.507 65.470 57,31% 13,69%
2009 42.441 35.167 7.274 24.785 9.009 12.255 3.521 67.226 63,13% 17,14%
2010 43.510 35.894 7.616 18.295 4.038 9.471 4.786 61.805 70,40% 17,50%
4.2.3 Sosial Budaya Pembangunan kualitas hidup penduduk kota Sibolga menjadi prioritas pembangunan daerah. Perkembangan kualitas sumber daya manusia (SDM) kota Sibolga menunjukkan perkembangan yang semakin membaik, hal tersebut antara lain ditunjukkan dengan pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM dihitung berdasarkan tiga indikator yaitu Indeks Pendidikan, Indeks Kesehatan, dan Indeks Daya Beli. IPM sangat berperan penting dalam perencanaan pembangunan di daerah, karena dengan diketahuinya IPM maka dapat terlihat tingkat kesejahteraan masyarakat
di
daerah
tersebut.
Pemanfaatan
IPM
dalam
perencanaan
pembangunan daerah antara lain : 1. Pedoman untuk mengidentifikasi permasalahan pembangunan daerah 2. Sebagai sistem informasi pembangunan manusia 3. Alat pemantau program-program pembangunan manusia IPM kota Sibolga secara umum pada periode tahun 2009 – 2010 mengalami peningkatan. Pada tahun 2009 IPM kota Sibolga sebesar 74,82 kemudian ditahun 2010 meningkat menjadi 75,08. Peningkatan nilai IPM ini tentunya sangat ditentukan oleh ketiga komponen IPM itu sendiri, yaitu komponen peluang hidup (dilihat dari angka harapan hidup), komponen pendidikan (dilihat dari angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah) dan komponen daya beli (dilihat dari pengeluaran per kapita). Terjadinya kenaikan pada setiap komponen tersebut berpengaruh pula pada kenaikan nilai IPM. Indeks pembangunan manusia di kota Sibolga dari tahun 2009 – 2010 dapat dilihat pada Tabel 8.
42 Tabel 8 Indeks dan kualitas pembangunan manusia kota Sibolga tahun 2009-2010 Tahun IPM 2009 74,82 2010 75,08 Sumber : BPS Kota Sibolga (2011c)
Status Menengah Atas Menengah Atas
Perhitungan angka IPM tahun 2010 di Provinsi Sumatera Utara terdiri dari 25 kabupaten dan 8 kota yang dapat dibandingkan tingkat kemajuan pembangunan manusianya. Dari 8 kota yang ada, IPM kota Pematang Siantar (77,51) paling besar dibanding 7 kota yang lain. Dari 25 kabupaten yang ada, kabupaten Nias Barat memiliki IPM terendah yaitu sebesar 66,46. Secara umum, pada tahun 2010 IPM tertinggi di Sumatera Utara adalah kota Pematang Siantar dan nilai IPM terendah adalah kabupaten Nias Barat. Nilai IPM untuk kota Sibolga (75,08) berada diatas nilai IPM provinsi Sumatera Utara (74,19) dan berada pada posisi 9 dari 33 kabupaten/kota di Sumatera Utara. Nilai IPM kota Sibolga tahun 2009 – 2010 berdasarkan komponennya dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Komponen indeks pembangunan manusia kota Sibolga tahun 2009-2010 Komponen Angka Harapan Hidup (tahun) Angka Melek Huruf (%) Rata-rata Lama Sekolah (tahun) Pengeluaran Riil Per Kapita yang telah disesuaikan (Rp 000) IPM
2009 70,17 99,29 9,63
2010 70,23 99,29 9,63
626,42
629,45
74,82
75,08
Sumber : BPS Kota Sibolga 2011c Budaya yang berkembang umumnya dapat dilihat dan disaksikan pada berbagai upacara-upacara seremonial yang dilaksanakan, seperti dalam upacara adat, perkawinan, perayaan dihari-hari bersejarah, festival dan lainnya. Dari sisi sejarah, yang pertama kali mendiami kota Sibolga adalah keturunan batak yang bermarga Hutagalung yang turun dari Silindung, sehingga berbagai corak budaya dari etnis lain serta agama yang dianut, maka terjadilah perpaduan yang mewarnai kebudayaan di Sibolga. Salah satu contoh yang jelas terlihat dari pengaruh perpaduan ini adalah “adat Sumando”, dimana adat ini merupakan campuran dari ajaran islam, adat minangkabau dan adat batak.
43 Berbagai adat yang sering dilaksanakan khususnya
dalam upacara
perkawinan antara lain: -
Budaya Batak Toba, Angkola dan Mandailing dengan filosofinya “Dalihan Na Tolu” serta instrumennya berupa tarian tor-tor, musik gondang dan kain ulos.
-
Budaya Melayu, Minangkabau yang merupakan bagian dari budaya Minangkabau dengan menyerap budaya asli daerah setempat.
-
Budaya Nias, yang umumnya merupakan bawaan dari budaya pada masyarakat di pulau Nias dengan mengadakan penyesuaian terhadap masyarakat Sibolga.
-
Budaya Cina, yang umumnya dilaksanakan oleh masyarakat etnis Cina yang tinggal di Sibolga.
4.3 Perekonomian Daerah Gambaran mengenai perekonomian daerah yang menjadi fokus dalam bahasan ini adalah meliputi produk domestik regional bruto (PDRB) dan potensi sektor-sektor ekonomi. 4.3.1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu wilayah dalam suatu periode tertentu dapat ditunjukkan oleh Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDRB didefinisikan sebagai jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu wilayah tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. Jika dilihat pertumbuhan dari masing-masing sektor ekonomi, sebagian sektor ekonomi di kota Sibolga tahun 2010 mengalami pertumbuhan yang lebih rendah dan sebagian lagi mengalami pertumbuhan yang lebih tinggi dibanding tahun 2009. Sektor ekonomi yang mengalami pertumbuhan lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya adalah sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, dan sektor jasa-jasa, sedangkan sektor ekonomi lainnya mengalami pertumbuhan yang lebih rendah dibanding tahun sebelumnya (Tabel 10). Pada tahun 2010, sektor yang mengalami laju pertumbuhan tertinggi dibandingkan dengan sektor lainnya masih didomonasi oleh sektor angkutan dan
44 komunikasi yang mencapai 12,19 persen. sektor pertambangan dan penggalian merupakan sektor ekonomi dengan pertumbuhan paling rendah yaitu sebesar 0,54 persen. Sektor perdagangan, hotel dan restoran ditahun 2010 masih sedikit lebih lambat pertumbuhannya yaitu sebesar 4,96 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 5,03 persen. Berbeda halnya dengan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan dimana pertumbuhannya sudah bergerak lebih cepat yaitu sebesar 6,16 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya mencapai 3,94 persen. Tabel 10 Laju pertumbuhan PDRB tahun 2006 – 20010 menurut lapangan usaha atas dasar harga konstan 2000 (%) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagang, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Jasa-jasa PDRB
2006 3,80 0,37 5,64 2,33 5,19 4,12 9,77 6,26 5,16 5,22
2007 4,61 1,95 5,62 2,59 5,99 4,44 9,98 6,38 4,80 5,53
Tahun 2008 4,95 1,41 5,47 2,71 5,92 5,24 10,26 6,32 4,93 5,85
2009 5,06 0,97 5,22 2,81 5,97 5,03 11,37 3,94 4,61 5,70
2010 4,96 0,54 5,26 2,99 4,10 4,96 12,19 6,16 5,22 6,04
Sumber: BPS kota Sibolga (2011d) Laju pertumbuhan yang tinggi dari suatu kelompok ekonomi tidak berarti bahwa sektor yang bersangkutan merupakan sumber pertumbuhan yang tinggi pula. Bila diurutkan berdasarkan laju pertumbuhan maka sektor pengangkutan dan komunikasi berada di peringkat teratas diikuti oleh sektor keuangan, persewaan dan jasa, sektor industri pengolahan, sektor jasa -jasa, sektor pertanian, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor bangunan, sektor listrik gas dan air bersih, serta sektor pertambangan dan penggalian. 4.3.2 Potensi Sektor-Sektor Ekonomi Potensi sektor-sektor ekonomi yang dijelaskan dalam bahasan ini adalah potensi sektor-sektor ekonomi yang memiliki sumbangan terbesar terhadap PDRB di kota Sibolga yaitu sektor pertanian, sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor industri pengolahan.
45 Dari struktur ekonomi sektoral, kontribusi atau peranan sektor-sektor ekonomi di kota Sibolga, peranan sektor pertanian tetap dominan dalam pembentukan PDRB daerah seperti halnya pada tahun-tahun sebelumnya. Kontribusi sektor ini paling besar dibandingkan sektor-sektor ekonomi lainnya yaitu mencapai 23,13 persen. Faktor yang menyebabkan tingginya kontribusi sektor ini berasal dari subsektor perikanan khususnya perikanan tangkap. 4.3.2.1 Perikanan Aktivitas kegiatan perikanan di kota Sibolga yang dominan ada pada kegiatan perikanan tangkap. Ini dapat dilihat dari produksi ikan yang dihasilkan. Dari total produksi ikan pada tahun 2010, produksi ikan tangkap mencapai nilai 52,69 ribu ton, sedangkan produksi perikanan budidaya hanya sebesar 6,31 ton atau 99,99 persen produksi ikan ada pada kegiatan perikanan tangkap. Untuk produksi ikan yang didaratkan di kota Sibolga pada tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Ikan yang didaratkan di kota Sibolga pada tahun 2010 Jenis alat tangkap
Triwulan I (Ton)
Triwulan II (Ton)
Triwulan III (Ton)
Triwulan IV (Ton)
Pukat tarik Pukat cincin Jaring insang hanyut jaring insang tetap Jaring tiga lapis Bagan perahu Rawai tetap Pancing ulur Bubu Jumlah
3.057,50 4.334,3 209,0 639,0 139,6 1.885,1 695,9 1.579,5 598,3 13.138,2
2.843,50 4.030,9 194,3 594,2 129,8 1.753,2 647,1 1.468,0 556,5 12.217,5
3.213,10 4.554,9 219,6 671,5 146,7 1.981,1 731,3 1.659,9 628,8 13.806,9
3.148,90 4.463,8 215,2 658,1 143,7 1.941,5 716,6 1.626,7 616,2 13.530,7
Tahun 2010 (Ton) 12.263,00 17.383,9 838,1 2.562,8 559,8 7.560,9 2.790,9 6.334,1 2.399,8 52.693,3
Sumber : DKPP kota Sibolga (2011)
Ikan yang didaratkan di Sibolga didominasi dari hasil tangkapan pukat udang. Alat tangkap ini merupakan alat tangkap yang cukup banyak beroperasi di Sibolga. Jika dibandingkan dari jumlah armada penangkapannya, pukat cincin merupakan alat tangkap yang mendominasi di Sibolga, namun hasil tangkapan pukat cincin masih berada di bawah pukat udang. Hal ini dapat terjadi karena kebanyakan pukat udang di Sibolga merupakan modifikasi dari trawl yang sudah
46 dilarang beroperasi di pantai Barat Sumatera. Hasil tangkapan pukat udang nelayan Sibolga memiliki keanekaragaman yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan pukat cincin. Perdagangan perikananan tangkap di Sibolga tentunya didukung oleh sumberdaya ikan yang didaratkan di pelabuhan perikanan. Untuk pasar lokal (dalam negeri) sebagian besar ikan ini dijual langsung ke Belawan, Padang dan Pekanbaru. Untuk pasar ekspor luar negeri ikan biasanya dimasukkan dalam sterofoam dan langsung dikirim melalui pelabuhan Belawan. DKPP kota Sibolga (2011) mencatat bahwa untuk perikanan budidaya, komoditi ikan yang diproduksi terdiri dari beberapa spesies ikan. Untuk ikan budidaya air tawar, jenis ikan yang dipelihara terdiri dari lima jenis ikan yaitu ikan Mas, Nila, Mujahir, Lele dan Garing/Merah dengan angka produksi di tahun 2010 sebesar 6,3 ton dengan nilai produksi sebesar Rp 89.810.000, sedangkan untuk komoditi ikan budidaya air laut, jenis ikan yang dibudidayakan terdiri dari lima jenis ikan diantaranya ikan Kerapu, Kakap, Baronang, Kuwe dan Kepiting dengan angka produksi di tahun 2010 sebesar 17,65 ton dengan nilai produksi sebesar Rp 139.815.000. Produksi ikan budidaya di kota Sibolga tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Produksi ikan budidaya di kota Sibolga tahun 2010 Jenis Budidaya Budidaya Air Tawar Mas Nila Mujahir Lele Garing/Merah Budidaya Air Laut Kerapu Kakap Baronang Kuwe Kepiting
Triwulan II III TON
I
IV
Total Nilai Produksi (Rp)
0 0,220 0 0,785 0
0.005 0,565 0,060 1,315 0,015
0,050 0,725 0,125 1,928 0,020
0 0 0 0,500 0
990.000 19.365.000 3.085.000 65.495.000 875.000
0 0 0 0 0
0,050 0,035 0,100 0,400 0,030
1,500 0,010 1,100 0,950 0,030
0,180 0,025 0,300 0,300 0,015
68.740.000 2.800.000 29.400.000 37.750.000 1.125.000
Sumber : DKPP kota Sibolga (2011)
47 4.3.2.2 Perdagangan, Hotel dan Restoran Untuk sektor perdagangan, hotel dan restoran, jumlah perusahaan/usaha yang terdaftar di Dinas Perindustrian dan Perdagangan di tahun 2010 terdiri dari 96 perusahaan perorangan, 26 dalam bentuk CV, 25 PT dan 4 koperasi. Dari perusahaan/usaha terdaftar tersebut, 72,46 persennya terdiri dari sektor perdagangan besar, eceran, rumah makan dan hotel, sedangkan 10,86 persen ada pada sektor bangunan, serta 2,17 persen sisanya bergerak pada sektor pertanian, perkebunan, kehutanan dan perikanan.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Kondisi dan Potensi Perikanan Kegiatan perikanan yang memberikan sumbangan produksi tertinggi di kota Sibolga yang cukup tinggi ada pada perikanan tangkap dibandingkan dengan perikanan budidaya. Kondisi ini memberikan implikasi penetapan subsektor perikanan menjadi sektor unggulan pembangunan di kota Sibolga selain sektor kepariwisataan dan sektor perhubungan laut (DKPP Kota Sibolga, 2011). Lebih lanjut diuraikan bahwa untuk pengembangan subsektor perikanan, yang dapat diandalkan dalam pengembangannya di kota Sibolga adalah kegiatan perikanan tangkap, perikanan budidaya dan kegiatan pengolahan hasil perikanan. Prioritas pembangunan perikanan di tiga sektor tersebut sesuai dengan pernyataan Dahuri (2002). Dari sisi penangkapan dan budidaya, kegiatan ini langsung terkait dengan produksi ikan, sedangkan pengolahan lebih ditekankan pada peningkatan nilai tambah hasil produksi yang diperoleh melalui penangkapan maupun budidaya. 5.1.1 Perikanan Tangkap Usaha perikanan tangkap menghasilkan produksi sebesar 99,99 persen dari total produksi perikanan di kota Sibolga, sisanya diperoleh melalui kegiatan budidaya. Produksi perikanan tangkap yang dihasilkan, merupakan hasil aktivitas yang dilakukan di laut, sedangkan perikanan tangkap di perairan umum seperti sungai dan danau di kota Sibolga tidak ada. Kondisi ini dapat dipahami mengingat kota Sibolga tidak memiliki sungai yang berpotensi untuk perikanan tangkap diperairan umum. Perkembangan produksi ikan di kota Sibolga dari tahun 2006 hingga 2010 meningkat dari tahun ke tahunnya. Gambaran produksi ikan ini dapat dilihat pada Gambar 9. Pada Tabel 13 terlihat bahwa setiap tahunnya produksi ikan selalu meningkat. Ini menunjukkan peluang penangkapan ikan masih cukup tinggi. Produksi hasil rata-rata dalam lima tahun terakhir hasil tangkapan ikan laut sebesar 41.656,67 ton. Nilai produksi tertinggi dicapai pada tahun 2010 dengan
50 jumlah 52.693,30 ton atau senilai Rp 879,41 Miliyar, sedangkan pada tahun 2006 produksi mencapai angka terendah yaitu 29.207,50 ton. 60.000 52.217,67
40.000
52.693,30
40.956,06 20.000
29.207,50
31.620,00
2006
2007
2008
2009
2010
Gambar 9 Hasil perikanan tangkap tahun 2006 – 2010 (ton). Tabel 13 Perkembangan hasil tangkapan ikan tiap triwulan dari tahun 2006-2010 (ton) Triwulan
2006 I 7.166,25 II 7.740,00 III 7.965,00 IV 6.336,25 Sumber : DKPP Kota Sibolga (2011)
2007 8.152,00 7.929,30 7.794,30 7.744,40
Tahun 2008 12.045,90 10.038,25 10.841,31 8.030,60
2009 14.074,80 13.793,32 11.963,73 12.385,82
2010 13.138,20 12.217,50 13.806,90 13.530,70
Peningkatan produksi dari tahun 2006 hingga tahun 2010 memiliki angka pertumbuhan rata-rata sebesar 17,31 persen, artinya produksi ikan hasil tangkapan yang didaratkan di pelabuhan perikanan di kota Sibolga meningkat setiap tahunnya. Angka pertumbuhan produksi ditahun 2007, 2008, 2009 dan 2010 berturut-turut adalah 8,26 persen, 29,53 persen, 27,50 persen dan 0,91 persen. Untuk melihat produktivitas tiap nelayan dapat dihitung melalui pembagian antara jumlah produksi ikan dengan jumlah nelayan. Angka produduktivitas nelayan di kota Sibolga lima tahun dari tahun 2006 hingga tahun 2010 sebesar 5,34 ton/tahun (Tabel 14). Tabel 14 Produktivitas kapal dan nelayan di kota Sibolga tahun 2006-2010 Tahun
Nelayan (Jiwa)
Kapal Penangkap (Unit)
Produksi (Ton)
2006 7.131 608 29.207,50 2007 9.742 586 31.620.00 2008 7.606 566 40.956,06 2009 8.360 544 52.217,67 2010 7.014 614 52.693,30 Sumber : Data BPS (2011a) data diolah.
Produktivitas Kapal (Ton/Kapal/Tahun)
Produktivitas Nelayan (Ton/Jiwa/Tahun)
48,04 53,96 72,36 95,99 88,41
4,10 3,25 5,38 6,25 7,74
51 Jika dilihat dari angka produktivitas nelayan dan produktivitas kapal setiap tahunnya, angka produktivitas tertinggi dicapai pada tahun 2009, dan angka produktivitas terendah berada ditahun 2006. Angka produktivitas kapal tahun 2009 mencapai dua kali angka produktivitas kapal tahun 2006. Fluktuasi angka produksi yang diikuti oleh fluktuasi produktivitas tiap kapal maupun nelayan diduga bukan dikarenakan oleh gejala penyusutan sumber daya perikanan atau overfishing seperti pendapat Stobutzki et al. (2006) maupun Widodo dan Suadi (2006). Keadaan yang mengakibatkan fluktuasi produksi ini tidak tetap dikarenakan faktor cuaca yang sering sekali berubah-ubah, disamping itu juga kemampuan armana penangkapan yang terbatas untuk memperluas wilayah penangkapan ikan serta jumlah armada penangkapan (terutama kapal) dengan jumlah yang berubah-ubah (Tabel 15). Tabel 15 Perkembangan jenis alat tangkap ikan tahun 2006-2010 No
Jenis Alat Tangkap
2006
2007
2008
2009
2010
1 Pukat Cincin 164 2 Bagan Terapung 96 3 Bagan Tancap 25 4 Rawai Tetap 39 5 Gillnet 125 6 Pukat Ikan 38 7 Pancing Ulur 55 8 Bubu 41 9 Tramel net 21 10 Serok 18 Sumber : DKPP Kota Sibolga (2011)
102 74 25 5 124 30 62 38 26 18
105 104 64 1 53 20 62 34 6 37
105 104 42 1 53 20 74 27 6 37
105 104 42 1 62 20 78 26 6 37
Perkembangan (%) -35,97 8,33 68,00 -97,43 -50,40 -47,36 41,81 -36,58 -71,42 105,55
Perkembangan jenis alat tangkap ikan selama tahun 2006-2010 di Sibolga sebagaimana tercantum pada Tabel 15, terlihat adaya penurunan jumlah alat tangkap pada pukat cincin. Menurut Sitanggang (2012) hal ini terjadi diakibatkan banyaknya armada penangkap ikan yang dijual oleh pemiliknya. Untuk alat tangkap bagan apung, pukat cincin, pukat ikan, trammel net, rawai tetap dan serok merupakan armada yang jumlahnya cenderung stabil dari tahun 2008 sampai 2010. Berdasarkan data dari peta keragaman perikanan tangkap tahun 2010 yang dikeluarkan oleh KKP-RI tahun 2011 yang mencatat bahwa estimasi potensi sumber daya ikan di zona WPP-572 yang meliputi perairan laut Sumatera bagian
52 barat dan selat Sunda, mencapai 565,30 ribu ton per tahunnya (rincian data potensi perikanan dapat dilihat pada Tabel 16), dan jika dihitung dari data hasil tangkapan ikan yang didaratkan pada tahun 2010 di wilayah zona penangkapan WPP 572 baru mencapai 441,67 ribu ton (KKP, 2011b), ini artinya masih ada peluang pemanfaatan pengelolaan sumberdaya ikan sebesar 123,63 ribu ton lagi. Angka ini masih sangat tinggi untuk dapat dimanfaatkan. Disamping potensi perikanan yang berada di luar Zona Ekonomi Ekslusif pantai barat Sumatera yang langsung menghadap pada perairan laut lepas Samudera Hindia. Tabel 16 Estimasi potensi sumber daya ikan di zona WPP-572 No 1 2 3 4 5 6 7
Kelompok Sumber Daya Ikan Ikan Pelagis Besar Ikan Pelagis Kecil Ikan Demersal Udang Penaeid Ikan Karang Konsumsi Lobster Cumi-cumi Jumlah Sumber : KKP (2011a)
Potensi (ribu ton/tahun) 164,9 315,1 68,1 4,9 8,9 0,7 1,8 565,3
Menurut Sparre dan Vanema, (1999) beberapa aspek yang mengakibatkan produksi ikan yang rendah adalah kurangnya peningkatan teknologi, kurangnya perluasan pasar dan biaya operasional yang tinggi. Untuk itu diperlukan bantuan dari berbagai pihak untuk menyediakan modal usaha atau modal operasional yang meringankan nelayan dalam melaksanakan kegiatannya. Mengingat masih banyak lembaga keuangan yang membatasi kredit atau penyaluran modal bagi usaha bidang perikanan, terutama perikanan tangkap. Wilayah pantai barat Sumatera merupakan bagian laut Indonesia yang stategis karena langsung berhadapan dengan laut lepas yaitu Samudera Hindia. Potensi yang cukup tinggi belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh kapal-kapal penangkap ikan yang beroperasi di wilayah penangkapan tersebut. Potensi sumber daya ikan yang ada di zona ini, khususnya perairan laut barat Sumatera yang cukup tinggi ini memancing kapal-kapal asing masuk masuk dan melakukan penangkapan ikan. Dengan teknologi penangkapan yang dibenahi mesin kapal yang kuat, kapal-kapal asing ini secara cepat dan langsung melarikan diri ketika tertangkap dan dikejar oleh angkatan laut Indonesia (Ferdi dan Delfiyanti, 2010).
53 Ferdi dan Delfiyanti (2010) juga mengatakan bahwa intensitas kegiatan penangkapan ikan di sekitar wilayah pantai barat Sumatera semakin meningkat seiring dengan semakin sedikitnya jumlah ikan di wilayah laut negara lain. Hal inilah yang mendorong banyak kapal-kapal penangkap ikan negara lain mencari wilayah penangkapan baru. Salah satunya di wilayah pantai barat Sumatera yang terdapat di laut Teritorial (laut wilayah) dan Zona Ekonomi Eksklusif memiliki potensi perikanan yang besar. Indonesia mengalami kerugian sebesar USD 2 milar atau sekitar Rp 19 triliun per tahun akibat tindakan illegal fishing yang dilakukan baik laut teritorial dan ZEE Indonesia. Dengan kata lain, 22 persen produksi illegal fisihing di seluruh dunia berasal dari Indonesia. Lebih lanjut Ferdi dan Delfiyanti (2010) mengatakan bahwa potensi ikan cakalang di sebelah barat pulau Sumatera sebesar 129.930 ton/tahun dengan potensi penangkapan lestari baru mencapai sebesar 50 persen dan ikan tenggiri tingkat penangkapannya baru sebesar 35 persen dari tingkat produksi lestarinya sebesar 19.673 ton/tahun. Potensi perikanan tersebut tentu saja telah mengundang minat dari kapal-kapal penangkap ikan asing untuk masuk serta melakukan penangkapan ikan tanpa izin dan tanpa sepengetahuan pemerintah daerah setempat. Kegiatan illegal fishing yang dilakukan khususnya oleh kapal-kapal penangkap ikan asing di Indonesia telah banyak terjadi di wilayah pantai barat Sumatera. Kegiatan illegal fishing ini sudah pada tahap memprihatinkan. Pasalnya perairan disekitar pantai barat Sumatera tersebut merupakan laut terbuka yang sangat mudah dimasuki oleh kapal-kapal asing. Permasalahan utama yang kerap dihadapi adalah pencurian ikan oleh kapal penangkap ikan asing (illegal fishing), gejala penangkapan ikan yang dilakukan secara berlebihan (over fishing), pencemaran laut, pembuangan limbah secara illegal dan degradasi habitat lingkungan. Diantara berbagai permasalahan tersebut maka yang paling banyak mendapat sorotan adalah kegiatan illegal fishing. 5.1.2 Perikanan Budidaya Kegiatan budidaya yang dilakukan masyarakat kota Sibolga terdiri atas dua jenis kegiatan yaitu budidaya air laut dan air tawar. Lokasi budidaya laut terkonsentrasi seluruhnya di kelurahan Sibolga Ilir kecamatan Sibolga Utara. Sedangkan lokasi budidaya air tawar tersebar diseluruh kecamatan dan beberapa
54 kelurahan di kota Sibolga. Data produksi ikan dari kegiatan perikanan budidaya dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Produksi budidaya ikan kota Sibolga tahun 2010 Jenis Ikan Budidaya Ikan Budidaya Air Tawar Mas Nila Mujahir Lele Garing/Merah Ikan Budidaya Laut Kerapu Kakap Baronang Kuwe Kepiting Jumlah Sumber : DKPP (2011)
Jumlah (ton)
Nilai Produksi (Rp)
0,055 1,510 0,185 4,528 0,035
990.000 19.365.000 3.085.000 65.495.000 875.000
1,730 0,070 1,500 1,650 0,075 11,338
68.740.000 2.800.000 29.400.000 37.750.000 1.125.000 229.625.000
Untuk komuditas budidaya ikan laut yang dipelihara adalah jenis ikan kerapu, kuwe, kakap, kepiting dan baronang. Dari hasil wawancara langsung kepada masyarakat, alasan untuk memelihara kelima komoditas ikan ini dikarenakan nilai jual ikan yang relatif lebih tinggi dengan harapan mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Sedangkan sumber bibit yang digunakan diperoleh dari hasil tangkapan ikan yang berasal dari bagan tancap milik warga, sehingga biaya dari sisi pengadaan bibit menjadi lebih rendah. Berdasarkan informasi yang didapatkan langsung dari pembudidaya ikan laut, bahwa hasil panen ikan yang dipelihara oleh masyarakat di kecamatan Sibolga Ilir ini akan langsung dijual kepada pengusaha eksportir yang ada di wilayah daerah tetangga yaitu kabupaten Tapanuli Tengah melalui perusahaan PT. 99 yang juga bergerak dibidang budidaya ikan laut. Rata-rata nilai penjualan ikan, menurut masyarakat pembudidaya, untuk keseluruhan total produksi ikan di kecamaran Sibolga Ilir ini mencapai Rp 100.000.000.- per tahunnya dari empat rumah tangga. Memelihara ikan laut di perairan laut di kota Sibolga menurut masyarakat pembudidaya yang diwawancarai tersebut masih sangat baik dilakukan. Dari hasil
55 pengalaman Bapak Makmur Rajagukguk (pembudidaya) selama enam tahun memulai usaha, kondisi air laut di perairan kota Sibolga sangat cocok untuk dilakukan kegiatan budidaya, dengan alasan terlindungnya lokasi budidaya dari ombak besar dan angin yang kencang dikarenakan posisi laut Sibolga yang berada di teluk. Rendahnya produktivitas budidaya ikan air laut khususnya Keramba Jaring Apung (KJA) dikarenakan jumlah kepemilikannya yang masih kecil. Hal ini dikarenakan rendahnya Sumber Daya Manusia (SDM) masyarakat yang mengetahui tatacara budidaya ikan air laut yang baik. Disamping itu modal usaha yang terbatas untuk melakukan usaha budidaya oleh masyarakat kota Sibolga yang sangat terbatas juga menjadi faktor yang mengakibatkan kurang berkembangnya jumlah rumah tangga perikanan budidaya air laut ini. Disamping itu rendahnya produktivitas budidaya KJA ini juga dikarenakan pemanfaatan ruang perairan laut baru termanfaatkan oleh empat orang masyarakat pembudidaya dengan alokasi pemanfaatan baru sekitar 0,0159 ha sedangkan potensi ruang ada sekitar 1.626,99 ha. Sedangkan kegiatan budidaya air tawar yang dilakukan di kota Sibolga, sebahagian besar berlokasi dibagian utara Sibolga, seperti kecamatan Sibolga Utara dan Sibolga Selatan. Di lokasi-lokasi ini masih sangat mendukung dilakukannya budidaya ikan air tawar, karena sumber air yang masih cukup banyak tersedia. Disamping dukungan potensi alam, permintaan yang masih cukup tinggi akan komoditi ikan air tawar ini ditunjukkan dari masih tergantungnya pemenuhan akan ikan air tawar dari daerah-daerah luar seperti kabupaten Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara dan Tapanuli Selatan. Rata-rata ikan air tawar berupa ikan mas, ikan lele, ikan nila dan ikan mujahir masuk ke pasarpasar kota Sibolga sebesar + 500 kg tiap minggunya artinya dalam setahunnya ikan air tawar yang harus masuk ke kota Sibolga untuk memenuhi permintaan pasar sebanyak 26.071 kg setiap tahunnya. 5.2 Peranan Subsektor Perikanan dalam Ekonomi Regional Untuk mengetahui peranan subsektor perikanan dalam perekonomian wilayah kota Sibolga dapat dilihat dari kontribusinya terhadap perekonomian wilayah melalui nilai sektoral pada PDRB. Dari tabel Input-Output akan terlihat
56 transaksi barang dan jasa dari berbagai sektor ekonomi di kota Sibolga yang saling berkaitan dan mempunyai hubungan saling terkait. Pada penelitian ini, penyusunan tabel I-O kota Sibolga updating tahun 2010 dimaksudkan untuk mengetahui peranan sektor ekonomi didalam usahanya terhadap perekonomian wilayah kota Sibolga. 5.2.1 Struktur Perekonomian Kota Sibolga Salah satu indikator untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu wilayah dalam suatu periode tertentu dapat ditunjukkan oleh PDRB. PDRB didefinisikan sebagai jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu wilayah tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekomomi disuatu wilayah (BPS Sibolga, 2011d). Pertumbuhan riil perekonomian kota Sibolga pada tahun 2010 yang ditunjukkan oleh laju pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan 2000 mengalami percepatan sebesar 6,04 persen. Laju pertumbuhan ini mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan tahun 2009 dengan angka sebesar 5,70 persen atau senilai Rp 697.916,30 juta di tahun 2009 dan 740.037,16 juta di tahun 2010. Laju pertumbuhan ekonomi dari tahun 2006 sampai 2010 dapat dilihat pada Gambar 10. 2010
6,04%
2009
5,70%
2008
5,85%
2007
5,53%
2006 4,8%
5,22% 5,0%
5,2%
5,4%
5,6%
5,8%
6,0%
6,2%
Laju Pertumbuhan Ekonomi
Gambar 10 Laju pertumbuhan ekonomi kota Sibolga tahun 2006-2010 (%). Jika dilihat dari pertumbuhan dari masing-masing sektor ekonomi, sebagian sektor ekonomi di kota Sibolga tahun 2010 mengalami pertumbuhan yang lebih rendah dan sebagian lagi mengalami pertumbuhan yang lebih tinggi dibanding tahun 2009. Sektor ekonomi yang mengalami pertumbuhan lebih tinggi dibanding
57 tahun sebelumnya adalah sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, dan sektor jasa-jasa, sedangkan sektor ekonomi lainnya mengalami pertumbuhan yang lebih rendah dibanding tahun sebelumnya. Pada tahun 2010, berdasarkan lapangan usaha sektor yang mengalami laju pertumbuhan tertinggi dibandingkan dengan sektor lainnya masih didomonasi oleh sektor angkutan laut, sungai, danau dan penyeberangan yang mencapai 12,19 persen. Sektor Peternakan dan Hasil-hasil lainnya merupakan sektor ekonomi dengan pertumbuhan paling rendah yaitu sebesar 0,03 persen. Subsektor perikanan laju pertumbuhannya ditahun 2010 hanya sebesar 5,05 persen saja atau berada pada posisi ke-5. Meskipun laju pertumbuhan berada di posisi ke-5, subsektor perikanan merupakan penyumbang 22,86 persen PDRB kota Sibolga di Tahun 2010 tertinggi. Laju pertumbuhan PDRB tahun 2006 – 2010 berdasarkan harga konstan tahun 2000 dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Laju pertumbuhan PDRB tahun 2006 – 2010 menurut lapangan usaha atas dasar harga konstan 2000 (%) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Lapangan Usaha Angkutan Laut, Sungai, Danau dan Penyeberangan Komunikasi Angkutan Jalan Raya Jasa Penunjang Angkutan Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan Industri Bukan Migas Jasa-jasa Pemerintah dan Swasta Perikanan Perdagangan Perhotelan Konstruksi/Bangunan Restoran Listrik, Gas dan Air Bersih Pertambangan dan Penggalian Peternakan dan Hasil-hasil Lainnya Tanaman Bahan Makanan Jumlah PDRB
2006
2007
Tahun 2008
2009
2010
12,96
12,52
12,39
12,56
18,61
5,45 11,74 8,51
5,31 12,37 8,9
6,06 12,42 9,07
6,96 15,22 7,62
13,02 8,54 8,15
6,26
6,38
6,32
3,94
6,16
5,64
5,62
5,47
5,22
5,26
5,16
4,8
4,93
4,61
5,22
3,85 4,42 1,7 5,19 2,14 2,33 0,37
4,68 4,69 1,74 5,99 3,69 2,59 1,96
5,02 5,57 1,92 5,92 3,81 2,71 1,4
5,13 5,07 5,7 5,97 3,47 2,81 0,98
5,05 5,03 4,82 4,11 3,73 2,99 0,53
0,89
0,68
0,77
0,52
0,03
2,42 5,22
0,96 5,53
0,51 5,85
0,82 5,70
0 6,04
Sumber : BPS kota Sibolga (2011d) data diolah
58 Tingginya laju pertumbuhan sektor angkutan laut, sungai, danau dan penyeberangan, dikarenakan secara geografis posisi kota Sibolga merupakan tempat transit para penumpang dan memiliki fasilitas terminal angkutan darat dan fasilitas penyeberangan laut. Jika asal penumpang datangnya dari arah utara yang akan melanjutkan perjalanannya ke pulau Nias, kabupaten Tapanuli Tengah maupun ke wilayah kabupaten Tapanuli Selatan akan transit terlebih dahulu di kota Sibolga, sedangkan penumpang yang berasal dari arah selatan, juga akan transit ke kota Sibolga untuk kembali melanjutkan perjalanannya ke arah utara yaitu kota medan. Untuk distribusi persentase PDRB atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha di kota Sibolga tahun 2006 – 2010 dapat dilihat pada Tabel 19. Rata-rata PDRB kota Sibolga pada tahun 2006 – 2010 atas dasar harga konstan dapat terlihat pada Tabel 20. Tabel 19 Distribusi persentase PDRB atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha di kota sibolga tahun 2006 – 2010 (%) No.
Lapangan usaha
1 2 3
Perikanan Perdagangan Jasa-jasa Pemerintah dan Swasta Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan Industri Bukan Migas Angkutan Jalan Raya Konstruksi/Bangunan Komunikasi Angkutan Laut, Sungai, Danau dan Penyeberangan Jasa Penunjang Angkutan Listrik, Gas dan Air Bersih Perhotelan Restoran Peternakan dan Hasil-hasil Lainnya Pertambangan dan Penggalian Tanaman Bahan Makanan Jumlah PDRB
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
2006 23,729 19,631 16,553
2007 24,091 19,971 15,442
Tahun 2008 24,402 20,655 14,582
2009 23,349 20,977 14,932
2010 22,858 21,213 14,788
9,418
9,335
9,198
9,164
9,336
9,010 4,527 5,352 3,939
8,971 4,765 5,425 4,096
8,911 5,063 5,416 3,877
8,773 5,454 5,619 3,847
8,510 5,924 5,562 3,826
2,563
2,690
2,818
2,895
3,151
1,674 1,185 1,163 0,869
1,766 1,175 1,099 0,812
1,808 1,125 1,040 0,766
1,853 1,082 1,020 0,727
1,883 1,019 0,982 0,673
0,380
0,351
0,328
0,300
0,270
0,008 0,002 100
0,008 0,002 100
0,007 0,002 100
0,007 0,002 100
0,006 0 100
Sumber : BPS kota Sibolga (2011d) data diolah Sektor perdagangan dari tahun 2006 - 2010 tetap menempati urutan ke dua diantara 16 sektor. Di tahun 2010 sektor perdagangan ini menyumbang 21,21 persen dalam pembentukan PDRB. Besarnya nilai tambah pada sektor ini disebabkan besarnya pasokan barang perdagangan dari luar daerah, hal ini
59 disebabkan kota Sibolga termasuk pusat perdagangan dan juga sebagai penyedia barang dagangan untuk daerah di luar kota Sibolga seperti kabupaten Tapanuli Tengah, kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Selatan (BPS Kota Sibolga, 2011d). Berikutnya sektor jasa-jasa memberikan kontribusi sebesar 14,79 persen, pertambangan dan penggalian serta sektor listrik, gas dan air bersih merupakan sektor
dengan
kontribusi
paling
kecil,
dimana
kontribusinya
terhadap
pembentukan PDRB daerah tidak lebih dari 2 persen, yaitu masing-masing sebesar 0,01 persen dan 1,02 persen saja. Tabel 20 PDRB rata-rata kota Sibolga atas dasar harga konstan 2000 menurut lapangan usaha tahun 2006-2010 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Lapangan Usaha Perikanan Perdagangan Jasa-jasa Pemerintah dan Swasta Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan Industri Bukan Migas Konstruksi/Bangunan Angkutan Jalan Raya Komunikasi Angkutan Laut, Sungai, Danau dan Penyeberangan Jasa Penunjang Angkutan Listrik, Gas dan Air Bersih Perhotelan Restoran Peternakan dan Hasil-hasil Lainnya Pertambangan dan Penggalian Tanaman Bahan Makanan Jumlah
Nilai
Rata-rata (%)
290.912,74 253.541,85 186.711,74 114.305,71 108.432,00 67.596,43 64.415,48 48.087,32
23,63 20,590 15,163 9,283 8,806 5,489 5,231 3,905
35.181,71
2,857
22.275,23 13.630,42 12.932,60 9.331,84 3.931,29 86,25 18,14 1.231.390,74
1,809 1,107 1,050 0,758 0,319 0,007 0,001 100
Sumber : BPS Kota Sibolga (2011d) data diolah Perkembangan rata-rata PDRB sektor-sektor ekonomi di kota Sibolga dari tahun 2006 – 2010 masih di tempati oleh sektor primer (subsektor perikanan). Tidak dipungkiri bahwa subsektor ini memiliki potensi yang cukup besar dikarenakan letak posisi secara geografis kota Sibolga yang terletak di wilayah pantai barat Sumatera dengan aktivitas perikanan yang cukup besar dari tahunketahunnya. Sebagai penciri kota, Sibolga juga memiliki perkembangan sektor tersier yang cukup besar. Ini terlihat dari rata-rata PDRB di tempati oleh sektor perdagangan yang berada pada posisi kedua. Seperti yang dikatakan oleh Jusuf (2012) bahwa suatu daerah dengan sektor jasa, perdagangan dan industri yang berkembang merupakan daerah yang memiliki penciri sebagai kota. Dari
60 pernyataan ini kota Sibolga memiliki keterwakilan perkembangan di dua sektor sebagai penciri kota yaitu sektor perdagangan dan sektor jasa, dan kecenderungan menuju penciri kota ini terlihat dari laju pertumbuhan sektoralnya (Tabel 18). Dari Tabel 18 ini terlihat bahwa laju pertumbuhan sektor-sektor tersier selalu mengalami peningkatan dari tahun 2006 – 2010. Studi kasus Jusuf (2012) mengatakan bahwa kota Tarakan pasca diberlakukannya otonomi daerah telah berkembang menjadi daerah yang lebih maju dari keadaan perekonomian sebelumnya. Kota Tarakan telah berubah pesat menjadi daerah dengan penciri sektor ekonomi perkotaan. Ini terlihat dari meningkatnya sektor-sektor tersier berupa perkembangan yang sangat pesat menuju kota yang berciri modern dan metropolitan, ini terlihat dengan perkembangan sektor-sektor jasa, perdagangan dan industri yang terus meningkat dari tahun 2001 hingga 2005. Perkembangan yang pesat ini tidak terlepas dari posisi kota Tarakan sebagai pusat transit dan pusat perkembangan di bagian utara Kalimantan Timur. Dari sini terlihat posisi suatu daerah memegang peranan penting dalam pengambangan ekonomi suatu wilayah. Kota Sibolga sendiri dengan letak cukup strategis sebagai tempat transit dari beberapa kabupaten, dapat berpeluang berkembang kedepannya menjadi kota yang lebih maju secepat perkembangan kota Tarakan dengan catatan keterpaduan sektoral, spasial, serta keterpaduan antar pelaku pembangunan dalam wilayah harus berjalan sinergi dan seimbang. 5.2.2 Struktur Permintaan dan Penawaran Tabel I-O kota Sibolga 2010 (Lampiran 3) yang didapat update dari tabel IO provinsi Sumatera Utara 2003 merupakan salah satu instrumen data yang bersifat lengkap dan komprehensif untuk melihat struktur ekonomi wilayah. Tabel ini dapat memperlihatkan saling ketergantungan antara suatu sektor dengan sektor-sektor lainnya. Permintaan terhadap barang dan jasa kota Sibolga mencapai Rp 2.331.619,71 juta. Jumlah permintaan tersebut merupakan permintaan oleh sektor-sektor produksi, permintaan oleh konsumen akhir domestik serta untuk memenuhi permintaan ekspor baik ke kabupaten lain maupun ke propinsi lain. Permintaan barang dan jasa oleh sektor produksi dalam rangka memenuhi permintaan kegiatan sektor produksi (permintaan antara) mencapai Rp
61 689.638,997 juta atau sekitar 29,58 persen dari seluruh permintaan. Selanjutnya permintaan akhir oleh konsumen domestik sebesar Rp 1.281.133,95 juta atau 54,95 persen dan untuk permintaan ekspor mencapai Rp 360.846,76 juta atau 15,48 persen dari total permintaan akhir. Rincian permintaan menurut sektor PDRB di kota Sibolga tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21 Permintaan menurut sektor PDRB kota Sibolga tahun 2010 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Sektor Peternakan dan Hasil Lainnya Perikanan Tangkap Perikanan Budidaya Pertambangan dan Penggalian Industri Bukan Migas Listrik, Gas dan Air Bersih Konstruksi/Bangunan Perdagangan Perhotelan Restoran Angkutan Jalan Raya Angkutan Laut, Sungai, Danau dan Penyeberangan Jasa Penunjang Angkutan Komunikasi Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa Pemerintah dan Swasta JUMLAH
Antara 7.336,33 16.360,56 2.005,62
Permintaan Akhir Domes-tik
Jumlah
Ekspor -
-
7.336,33
211.035,79 150.282,49 32.705,81 267,42
377.678,83 32.973,22
169,26
-
-
169,26
256.595,36
49.442,86
51.703,44
357.741,66
30.192,92
16.263,34
-
46.456,26
183.632,74 149.639,97 158.593,42 17.926,35 19.720,53 120.957,81 -
208.762,71 428.325,96 25.385,33 20.883,43 157.161,24
25.129,96 120.092,57 7.458,98 1.162,90 36.203,43 8.708,36
86.809,21
-
95.517,56
33.792,35
13.961,26
-
47.753,61
21.014,80
56.161,50
-
77.176,30
71.911,51
104.420,17
-
176.331,68
51.504,09
218.456,62
-
269.960,71
689.639,00 1.281.133,95 360.846,76
2.331.619,71
Dari sisi penawaran barang dan jasa (Tabel 22) yang dibutuhkan untuk memenuhi seluruh permintaan disamping dari produksi domestik, produksi luar daerah (impor) juga dibutuhkan. Total output barang dan jasa yang ditawarkan di kota Sibolga sebesar Rp 2.331.619,71 juta (jumlah permintaan) yang mampu disediakan dari kota Sibolga (domestik) sebesar Rp 2.333.415,71 juta (dikurangi impor), ini berarti 95,79 persen dari seluruh kebutuhan terhadap barang dan jasa
62 di
kota Sibolga
mampu
disediakan dari
produksi
sendiri,
sedangkan
kekurangannya sebesar Rp 98.204 juta atau hanya 4,21 persen didatangkan dari luar daerah (impor). Tabel 22 Penawaran menurut sektor PDRB kota Sibolga tahun 2010 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Sektor Peternakan dan Hasil-hasil Lainnya Perikanan Tangkap Perikanan Budidaya Pertambangan dan Penggalian Industri Bukan Migas Listrik, Gas dan Air Bersih Konstruksi/Bangunan Perdagangan Perhotelan Restoran Angkutan Jalan Raya Angkutan Laut, Sungai, Danau dan Penyeberangan Jasa Penunjang Angkutan Komunikasi Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa Pemerintah dan Swasta JUMLAH
Penawaran Prod. Impor Domestik
Jumlah
56,22
7.280,11
7.336,33
12.472,53 47,03 74.522,26 4.887,39 979,78 353,90 154,47 23,34 856,23 3.783,59
365.460,75 34.724,41 122,23 283.219,39 41.568,87 207.782,93 427.972,07 25.230,86 20.860,09 156.305,01
402.722,99 9.934,69 169,26 357.741,66 46.456,26 208.762,71 428.325,96 25.385,33 20.883,43 157.161,24
32,48
91.733,97
95.517,56
20,67 7,62
47.721,13 77.155,63
47.753,61 77.176,30
6,49
176.324,06
176.331,68
98.204,00
269.954,21 2.233.415,71
269.960,71 2.331.619,71
Pada subsektor perikanan apabila dilihat dari sisi penawarannya perikanan tangkap 96,76 persen dapat dipenuhi dari produksi domestik, hanya 3,24 persen dari total permintaan yang di impor masuk ke kota Sibolga. Begitu juga perikanan budidaya hanya sebesar 0,73 persen saja yang diimpor masuk ke kota Sibolga, 99,27 persen mampu di produksi di dalam daerah. 5.2.3 Struktur Output Output merupakan nilai produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh sektor-sektor ekonomi di kota Sibolga. Dengan menganalisa besarnya output yang diciptakan oleh masing-masing sektor yang mampu memberikan sumbangan yang besar dalam pembentukan output keseluruhan di kota Sibolga. Berdasarkan klasifikasi 16 sektor ekonomi, terlihat bahwa sektor perdagangan merupakan sektor terbesar menurut peringkat outputnya. Output
63 sektor tersebut memberikan andil 18,37 persen. Peringkat kedua diduduki oleh perikanan tangkap dengan andil sebesar 16,20 persen dari total output. Dimaklumi bahwa sektor perdagangan menduduki peringkat pertama dikarenakan Sibolga yang berada di jalur lintas antar beberapa kabupaten, sehingga transaksi di sektor perdagangan sangat tinggi dibandingkan transaksi lainnya. Perikanan tangkap tidak kalah tingginya memberikan sumbangan outputnya terhadap transaksi ekonomi di kota Sibolga. Jika dilihat dari tabel transaksi I-O, tingginya stuktur output mengindikasikan tingginya tingkat transaksi dalam daerah, yang berarti tingkat permintaan domestik maupun ekspor juga tinggi. Data peringkat output sektor terbesar tahun 2010 di kota Sibolga dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23 Peringkat output sektor terbesar tahun 2010 Peringkat
Kode I-O
1 2 3 4 5
8 2 5 16 7
6
15
7
11
8
12
9 10 11 12 13 14 15 16
14 13 6 9 10 3 1 4
Nama Sektor Perdagangan Perikanan Tangkap Industri Bukan Migas Jasa-jasa Pemerintah dan Swasta Konstruksi/Bangunan Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan Angkutan Jalan Raya Angkutan Laut, Sungai, Danau dan Penyeberangan Komunikasi Jasa Penunjang Angkutan Listrik, Gas dan Air Bersih Perhotelan Restoran Perikanan Budidaya Peternakan dan Hasil-hasil Lainnya Pertambangan dan Penggalian Jumlah
Nilai (Juta Rp) 428.325,96 377.678,83 357.741,66 269.960,71 208.762,71
Peranan (%) 18,37 16,20 15,34 11,58 8,95
176.331,68
7,56
157.161,24
6,74
95.517,56
4,10
77.176,30 47.753,61 46.456,26 25.385,33 20.883,43 34.978,85 7.336,33 169,26 2.331.619,71
3,31 2,05 1,99 1,09 0,90 1,50 0,31 0,01 100
Industri bukan migas masuk kedalam peringkat ketiga tertinggi dari penyusun total output dari transaksi ekonomi. Salah satu sektor industri yang cukup berkembang di kota Sibolga adalah industri pemindangan ikan dan pengawetan ikan (ikan asin). Produk-produk yang dihasilhan berupa ikan rebus dan ikan asin, dimana hasil produksi industri ini banyak di ekspor keluar daerah kota Sibolga. Sektor industri bukan migas, jika dilihat dari struktur output sektoral ekonomi (Tabel 24) provinsi Sumatera Utara menduduki peringkat tertinggi dari
64 sektor-sektor lain. Output sektor industri bukan migas memberikan andil sebesar 38,21 persen. Sektor perdagangan merupakan sektor kedua yang memberikan kontribusi sebesar 11,61 persen. Untuk sektor primer dalam hal ini sektor tanaman perkebunan memberikan kontribusi pembentukan output pada peringkat kelima dengan nilai sebesar 6,19 persen. Dari struktur pembentukan output kegiatan sektoral di provinsi Sumatera Utara dapat dikategorikan bahwa perekonomian sektoralnya mencirikan perekonomian perkotaan, hal ini terlihat peranan sektorsektor tersier dalam sumbangan terhadap pembentukan output total berada pada posisi empat tertinggi. Kota Sibolga sendiri juga telah memiliki penciri wilayah perkotaan, hal ini terlihat dari sektor-sektor pembentuk output yang mirip dengan perekonomian provinsi Sumatera Utara. Tabel 24 Sepuluh sektor terbesar menurut peringkat output tahun 2010 provinsi Sumatera Utara (Tabel I-O update tahun 2010) Peringkat 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Nama Sektor Industri Bukan Migas Perdagangan Konstruksi/Bangunan Jasa-jasa Pemerintah dan Swasta Tanaman Perkebunan Tanaman Bahan Makanan Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan Angkutan Jalan Raya Restoran Industri Migas Jumlah (1 s/d 10) Sektor Lainnya Jumlah
Nilai (Juta Rp) 206.489.800,00 62.751.220,00 47.253.720,00 36.410.520,00 33.432.570,00 27.062.380,00 22.633.100,00 21.403.940,00 13.765.110,00 11.805.160,00 483.007.520,00 57.434.081,37 540.441.601,37
Peranan (%) 38,21 11,61 8,74 6,74 6,19 5,01 4,19 3,96 2,55 2,18 89,37 10,63 100,00
5.2.4 Nilai Tambah Bruto Nilai tambah bruto merupakan balas jasa terhadap faktor produksi yang tercipta dikarenakan adanya proses produksi. Kelompok yang masuk kedalam NTB berupa; 1). Upah dan gaji, 2). Surplus usaha, 3). Penyusutan dan 4). Pajak tak langsung. Besaran NTB di setiap sektor ditentukan oleh besarnya output (nilai produksi) yang dihasilkan serta jumlah biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi. Tetapi sektor yang memiliki output yang besar belum tentu memiliki nilai tambah yang besar, hal ini dipengaruhi oleh biaya produksi yang dikeluarkan (BPS Prov. SUMUT, 2004).
65 Berdasarkan struktur output, sektor perdagangan menduduki peringkat pertama tetapi jika dilihat dari struktur NTB-nya, perikanan tangkap menduduki peringkat pertama dengan nilai Rp 338.331,14 juta atau 21,92 persen dari total NTB yang terbentuk (Tabel 25). Ini berarti perikaan tangkap di kota Sibolga memberikan nilai tertinggi memberikan nilai tambah. Kegiatan perikanan tangkap dengan satuan unit usahanya dapat memberikan nilai tambah yang tinggi dari output usahanya jika dibandingkan dengan kegiatan lainnya. Tabel 25 Peringkat Nilai Tambah Bruto (NTB) tahun 2010 Peringkat
Kode I-O
1 2 3
2 8 16
4
15
5 6 7 8
5 11 7 14
9
12
10 11 12 13 14
13 6 10 3 9
15
1
16
4
Nama Sektor Perikanan Tangkap Perdagangan Jasa-jasa Pemerintah dan Swasta Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan Industri Bukan Migas Angkutan Jalan Raya Konstruksi/Bangunan Komunikasi Angkutan Laut, Sungai, Danau dan Penyeberangan Jasa Penunjang Angkutan Listrik, Gas dan Air Bersih Restoran Perikanan Budidaya Perhotelan Peternakan dan Hasil-hasil Lainnya Pertambangan dan Penggalian Jumlah
Nilai (Juta Rp) 338.331,14 327.477,02 228.293,29
Peranan (%) 21,92 21,21 14,79
144.131,10
9,34
131.367,89 91.447,96 85.869,21 59.065,49
8,51 5,92 5,56 3,83
48.641,77
3,15
29.068,89 15.732,84 15.157,01 14.542,29 10.387,27
1,88 1,02 0,98 0,94 0,67
4.170,48
0,27
93,06 1.543.776,71
0,01 100
Untuk perikanan budidaya sendiri dari sisi struktur outputnya hanya menduduki peringkat ke-14 dan stuktur pembentukan NTB-nya yang berada pada posisi ke-13, ini dimaklumi bahwa kegitan perikanan budidaya di kota Sibolga masih terbilang kecil. Kegiatan perikanan budidaya dapat dikatakan belum berkembang di kota Sibolga sehingga nilai output yang dihasilkan dari kegiatan ini masih sangat kecil bila dibandingkan dengan perikanan tangkap.Jika dilihat dari sisi pembentuk output maupun penghasil nilai tambah yang diciptakan, perikanan tangkap dan sektor perdagangan merupakan sektor utama atau sektor kunci (key sector) di kota Sibolga.
66 Untuk stuktur komponen upah dan gaji merupakan suatu komponen nilai tambah yang langsung diterima (dibawa pulang) oleh pekerja, sebaliknya surplus usaha merupakan komponen yang diterima oleh pengusaha. Untuk pajak taklangsung merupakan nilai yang tambah yang masuk ke kas negara sebagai penghasilan negara, sedangkan biaya penyusutan akan dinikmati oleh sektor jasa dan sektor perdagangan sebagai penyedia input. Komposisi komponen NTB dari analisis tabel I-O tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26 Komposisi komponen upah dan gaji dari nilai tambah bruto menurut tahun 2010 Peringkat
Kode I-O
1 2
2 8
3
16
4
15
5
5
6 7 8 9
11 7 14 12
10
13
11
6
12 13 14 15 16
10 3 9 1 4
Nama Sektor Perik. Tangkap Perdagangan Jasa Pemerintah dan Swasta Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan Industri Bukan Migas Angk. Jalan Raya Konstruksi Komunikasi ASDP Jasa Penunjang Angkutan Listrik, Gas dan Air Bersih Restoran Perik. Budidaya Perhotelan Peternakan Pertambangan
Komponen Nilai Tambah Bruto (Rp juta) Upah dan Surplus Pajak Tak Penyusutan Gaji Usaha Langsung 86.386,98 244.038,85 6.092,89 1.812,41 70.089,29 217.837,90 27.777,77 11.772,07 167.671,76
37.557,10
20.187,38
2.877,05
30.101,12
97.958,40
12.932,85
3.138,73
21.283,83
97.687,93
9.383,69
3.012,44
25.581,32 45.402,43 21.287,00 16.322,25
53.984,17 29.865,21 26.798,79 25.587,52
10.601,81 6.597,12 10.677,86 5.999,27
1.280,66 4.004,45 301,85 732,73
7.643,11
18.194,32
3.178,42
53,05
6.182,81
4.479,94
4.118,86
951,23
4.586,55 345,19 2.936,63 1.156,27 21,35
9.078,85 13.657,93 6.112,36 2.945,44 67,24
971,55 302,50 983,64 54,57 3,71
520,06 236,67 354,64 14,20 0,76
Dari Tabel 26 untuk komponen nilai tambah bruto untuk upah dan gaji perikanan tangkap berada pada nilai Rp 86.386,98 juta, sedangkan nilai surplus usaha mencapai Rp 244.038,85 juta atau 2,8 kali lebih besar dari komponen upah dan gaji. Surplus usaha sendiri merupakan komponen keuntungan yang dihasilkan dari kegiatan perikanan tangkap itu sendiri atau akibat adanya investasi pada kegiatan perikanan tangkap. Surplus usaha yang dihasilkan belum tentu dapat dinikmati oleh tenaga kerja. Tetapi jika surplus usaha ini kembali dijadikan
67 kembali sebagai investasi usaha, maka akan berdampak pada peningkatan tenaga kerja. Kondisi ideal untuk pengembangan wilayah berdasarkan struktur NTB, seharusnya menempatkan proporsi komponen upah dan gaji lebih besar dari komponen-komponen lain, dikarenakan komponen ini dapat langsung dinikmati oleh masyarakat secara langsung. Namun demikian, proporsi komponen surplus usaha yang besar dibandingkan dengan upah dan gaji ini tetap baik apabila keuntungan usaha tersebut diinvestasikan kembali di wilayah tersebut, karena investasi ini memberikan pengaruh positif bagi wilayah keseluruhan, serta mampu mengurangi kekmungkinan terjadinya kebocoran wilayah. 5.2.5 Keterkaitan Sektoral Salah satu model yang dapat digunakan untuk mengetahui keterkaitan sektoral ini adalah analisis input-output (I-O). Dari hasil analisis I-O dapat diketahui sektor-sektor mana saja yang bisa dijadikan leading sector atau sektor pemimpin dalam pembangunan ekonomi sehingga dengan memfokuskan pembangunan pada sektor-sektor yang menjadi pemimpin maka target pertumbuhan ekonomi yang diharapkan dapat dicapai dengan lebih baik. Pertumbuhan perekonomian akan bersinergi dengan baik dengan adanya keterkaitan antar sektor-sektor ekonomi yang ada. Makin kuat keterkaitan antar sektor-sektor ekonomi yang ada, maka akan makin kecil ketergantungan sektor tersebut pada impor. Hal ini akan memperkecil terjadinya kebocoran wilayah, sehingga nilai tambah yang dihasilkan dapat dinikmati oleh masyarakat di wilayahnya sendiri. Analisis keterkaitan antar sektor pada dasarnya melihat dampak output dan kenyataan bahwa sektor-sektor dalam perekonomian tersebut saling mempengaruhi (Rustiadi et al., 2011). Parameter teknis yang bisa diketahui dari analisis I-O adalah keterkaitan langsung ke belakang, keterkaitan langsung ke depan, keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang, keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan, indeks penyebaran dan indeks kepekaan. Dengan analisis tersebut dapat diketahui tingkat hubungan atau keterkaitan teknis antar sektor-sektor perekonomian suatu wilayah. Keunggulan suatu sektor dapat dilihat dari tingkat keterkaitan antara sektor tersebut dengan sektor lainnya dalam aktivitas perekonomian (Daryanto
68 dan Hafizrianda, 2010). Keterkaitan yang kuat dari suatu sektor ditandai dengan nilai-nilai parameter keterkaitan yang tinggi. Sektor yang mempunyai keterkaitan ke depan yang kuat berarti mampu mendorong aktivitas sektor-sektor perekonomian yang ada di hilirnya (depan), sedangkan sektor dengan angka keterkaitan ke belakang yang tinggi menunjukkan bahwa peningkatan output sektor tersebut dapat menarik aktivitas sektor-sektor di belakangnya (hulu). Keterkaitan langsung ke belakang atau Direct Backward Linkage (DBL) menunjukkan akibat dari kenaikan produksi dari suatu sektor tertentu terhadap sektor-sektor yang menyediakan input bagi sektor tersebut secara langsung per unit kenaikan permintaan akhir. Keterkaitan langsung ke belakang sektor-sektor perekonomian ditampilkan pada Gambar 11. Nilai DBL yang memiliki nilai indeks ≥1 hanya ada pada sektor perhotelan dengan nilai DBL sebesar 0,5847. Untuk perikanan tangkap sendiri memiliki nilai sebesar 0,0718, sedangkan perikanan budidaya bernilai 0,5770. Jika dilihat dari kegiatan perikanan tangkap diartikan bahwa untuk menghasilkan output sebesar Rp 1 maka penggunaan input antara dari sektor-sektor lain yang menyediakan input ke perikanan tangkap digunakan sebesar Rp 0,0718, sedangkan sisanya sebesar Rp 0,9282 (=Rp 1 – Rp 0,0718) di ambil dari input primer. Untuk kegiatan perikanan budidaya sendiri input antara yang digunakannya sebesar Rp 0,5770 per peningkatan output sebesar Rp 1 dan sisanya sebesar Rp 0,4230 (= Rp 1 – Rp 0,5770). Jasa-jasa Pemerintah dan Swasta 0,1543 Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan 0,1826 Komunikasi 0,2344 Jasa Penunjang Angkutan 0,3906 Angkutan Laut, Sungai, Danau dan… 0,4511 Angkutan Jalan Raya 0,4127 Restoran 0,2731 Perhotelan 0,5847 Perdagangan 0,2346 Konstruksi/Bangunan 0,5840 Listrik, Gas dan Air Bersih 0,5561 Industri Bukan Migas 0,4245 Pertambangan dan Penggalian 0,1724 Perikanan Budidaya 0,5770 Perikanan Tangkap 0,0718 Peternakan dan Hasil-hasil Lainnya 0,4239 0,0
0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
Gambar 11 Keterkaitan langsung ke belakang sektor-sektor perekonomian (DBL).
69 Perikanan tangkap memiliki keterkaitan langsung kebelakang (Gambar 12) dengan tujuh sektor ekonomi lain yang ada di kota Sibolga dengan urutan tiga sektor tertinggi berturut-turut ada pada sektor perdagangan, keuangan, real estate dan jasa perusahaan serta konstruksi dan bangunan. Jasa-jasa Pemerintah dan Swasta Keuangan, Real Estat dan Jasa… Komunikasi Angkutan Jalan Raya Perdagangan Konstruksi/Bangunan Listrik, Gas dan Air Bersih
0,0037 0,0064 0,0004 0,0015 0,0517 0,0046 0,0034
0,0
0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
Gambar 12 Keterkaitan langsung ke belakang perikanan tangkap terhadap sektor-sektor lain. Perikanan budidaya memiliki keterkaitan langsung ke belakang dengan tujuh sektor lain (Gambar 13). Keterkaitan tiga sektor tertinggi ada pada perikanan tangkap dengan nilai sebesar 0,337011 diikuti oleh sektor perdagangan sebesar 0,186231 kemudian perikanan budidaya sebesar 0,052913. Komunikasi Angkutan Jalan Raya Perdagangan Konstruksi/Bangunan Listrik, Gas dan Air Bersih Perikanan Budidaya Perikanan Tangkap
0,000077 0,000514 0,186231 0,000231 0,000004 0,052913 0,337011 0,0
0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
Gambar 13 Keterkaitan langsung ke belakang sektor perikanan budidaya terhadap sektor-sektor lain. Perikanan budidaya memiliki keterkaitan kebelakang dengan perikanan tangkap bahkan perikanan budidaya itu sendiri. Output perikanan tangkap digunakan sebagai input perikanan budidaya berupa pakan ikan serta sumber bibit (untuk kegiatan KJA). Disisi perikanan budidaya outputnya digunakan sebagai input perikanan budidaya sebagai sumber bibit ikan air tawar. Keterkaitan langsung ke depan menunjukkan banyaknya output suatu sektor yang digunakan oleh sektor-sektor lain atau dengan kata lain bahwa peranan suatu
70 sektor untuk memenuhi permintaan akhir seluruh sektor perekonomian. Keterkaitan ini menunjukkan akibat suatu sektor tertentu terhadap sektor-sektor yang menggunakan sebagian output tersebut secara langsung per unit kenaikan permintaan akhir. Pada Gambar 14 ditampilkan keterkaitan langsung ke depan atau Direct Forward Linkage (DFL) sektor-sektor perekonomian yang ada di kota Sibolga. Nilai DFL yang tertinggi ada pada sektor industri bukan migas dengan nilai 2,0203. Sedangkan dari subsektor perikanan sendiri, nilai DFL yang tertinggi itu ada pada perikanan tangkap dengan nilai 0,3937. Nilai ini menunjukkan bahwa apabila output subsektor perikanan budidaya naik Rp 1, maka akan mampu mensuplai input sektor-sektor yang terkait langsung terhadap sektor tersebut sebesar Rp 0,3937. Perikanan budidaya yang bernilai DFL 0,0578 yang berarti juga bahwa dengan naiknya output perikanan budidaya sebesar Rp 1, maka akan mampu mensuplai input sektor-sektor yang terkait langsung terhadap sektor tersebut sebesar Rp 0,0578. Rendahnya nilai DFL secara total pada subsektor perikanan ini menunjukkan bahwa keterkaitan subsektor perikanan ini dengan sektor ekonomi lain di kota Sibolga masih kecil. Ini berarti masih minimnya sektor-sektor ekonomi yang ada di kota Sibolga yang membutuhkan output subsektor perikanan untuk dijadikan input produksi sektor tersebut. Jasa-jasa Pemerintah dan Swasta Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan Komunikasi Jasa Penunjang Angkutan Angkutan Laut, Sungai, Danau dan… Angkutan Jalan Raya Restoran Perhotelan Perdagangan Konstruksi/Bangunan Listrik, Gas dan Air Bersih Industri Bukan Migas Pertambangan dan Penggalian Perikanan Budidaya Perikanan Tangkap Peternakan dan Hasil-hasil Lainnya
0,0
0,3765 0,3568 0,2075 0,3437 0,0644 0,1982 0,0097 0,0724 1,0171 0,2653 0,2478 2,0203 0,0103 0,0578 0,3937 0,0863
0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
Gambar 14 Keterkaitan langsung ke depan sektor-sektor perekonomian (DFL).
71 Untuk keterkaitan langsung ke depan perikanan tangkap (Gambar 15) terkait pada lima sektor lain. Keterkaitan tertinggi ada pada perikanan budidaya dengan nilai sebesar 0,3370 diikuti oleh sektor perhotelan sebesar 0,0268, sektor angkutan laut sungai, danau dan penyeberangan sebesar 0,0166 lalu sektor restoran sebesar 0,0072 dan terakhir adalah sektor industri bukan migas sebesar 0,0060. Ini berati ada keterkaitan langsung antara perikanan tangkap dengan perikanan budidaya, dimana output perikanan tangkap digunakan sebagai input kegiatan perikanan budidaya. Sebagai contoh hubungannya adalah penggunaan bibit ikan yang berasal dari perikanan tangkap juga penggunaan ikan tangkap sebagai pakan perikanan budidaya (budidaya KJA). Angkutan Laut, Sungai, Danau dan… 0,0166 Restoran
0,0072
Perhotelan
0,0268
Industri Bukan Migas
0,0060
Perikanan Budidaya
0,3370 0,0
0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
Gambar 15 Keterkaitan langsung ke depan perikanan tangkap terhadap sektorsektor lain. Untuk keterkaitan langsung ke depan (Gambar 16) perikanan budidaya terkait dengan tiga sektor ekonomi lain yang ada di kota Sibolga dengan urutan tertinggi berturut-turut ada pada perikanan budidaya, restoran dan perhotelan. Restoran Perhotelan Perikanan Budidaya
0,0038 0,0008 0,0529 0,0
0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
Gambar 16 Keterkaitan langsung ke depan perikanan budidaya terhadap sektorsektor lain. Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang atau Direct Indirect Backward Linkage (DIBL) menunjukkan akibat dari naiknya output produksi suatu sektor tertentu, maka akan menaikkan secara langsung dan tidak langsung output sektor-sektor lain yang menyediakan input bagi sektor tersebut per unit
72 kenaikan permintaan akhir. Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang (DIBL) sektor-sektor perekonomian ditampilkan pada Gambar 17. Jasa-jasa Pemerintah dan Swasta Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan Komunikasi Jasa Penunjang Angkutan Angkutan Laut, Sungai, Danau dan… Angkutan Jalan Raya Restoran Perhotelan Perdagangan Konstruksi/Bangunan Listrik, Gas dan Air Bersih Industri Bukan Migas Pertambangan dan Penggalian Perikanan Budidaya Perikanan Tangkap Peternakan dan Hasil-hasil Lainnya 0,0
1,2398 1,2797 1,3837 1,6065 1,7050 1,5973 1,4240 1,9167 1,3555 1,9125 1,9165 1,6676 1,2672 1,7158 1,1013 1,6727 1,0
2,0
3,0
4,0
5,0
Gambar 17 Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang sektor-sektor perekonomian (DIBL). Berdasarkan Gambar 17 terlihat bahwa sektor yang memiliki nilai DIBL tertinggi adalah sektor perhotelan dengan nilai 1,9167. Untuk besarnya peranan subsektor perikanan sebagai berikut: perikanan tangkap memiliki nilai DIBL sebesar 1,1013 menempati urutan ke-16 dan perikanan budidaya memiliki nilai DIBL sebesar 1,7158 dan menempati urutan ke-4. Dari nilai DIBL terlihat bahwa subsektor perikanan mampu menstimulasi peningkatan output sektor-sektor ekonomi lainnya untuk meningkat persatuan peningkatan output subsektor perikanan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk menggerakkan stuktur perekonomian domestik wilayah kota Sibolga sebesar nilai DIBL tersebut. Angka DIBL sebesar 1,7158 pada perikanan budidaya akan memberikan pengaruh terhadap angka pengganda output sebesar nilai tersebut. Pengertiannya jika terjadi perubahan permintaan akhir pada perikanan budidaya sebesar Rp 1, sementara permintaan akhir pada sektor lainnya tidak berubah, maka output perekonomian kota Sibolga akan meningkat sebesar Rp 1,7158. Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan atau Direct Indirect Foreward Linkage (DIFL) menunjukkan akibat dari naiknya produksi suatu sektor
73 tertentu, akan menaikkan penggunaan output sektor tersebut terhadap sektorsektor lain secara langsung dan tidak langsung (secara total) per unit kenaikan produksi. Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan (DIFL) sektor-sektor perekonomian ditampilkan pada Gambar 18. Dari Gambar 18 tersebut bila di ranking terlihat bahwa perikanan tangkap memiliki nilai DIFL sebesar 1,4387, sedangkan perikanan budidaya memiliki nilai DIFL sebesar 1,0613 yang berada pada urutan ke-6 dan ke-14. Sedangkan tiga sektor yang berada pada posisi teratas berturut-turut ada pada sektor industri bukan migas (4,2996), perdagangan (2,5374) dan keuangan, real estate dan jasa perusahaan (1,6312). Berdasarkan nilai DIFL subsektor perikanan, maka sektor perikanan tangkap memiliki potensi sebagai komoditas unggulan dengan output yang dihasilkan dapat mengerakkan sektor-sektor ekonomi wilayah di kota Sibolga secara langsung maupun tidak langsung. Dapat diartikan bahwa jika terjadi kenaikan permintaan akhir pada perikanan tangkap sebesar Rp 1 akan meningkatkan pasokan input antara secara menyeluruh dalam perekonomian kota Sibolga sebesar Rp 1,4387. Jasa-jasa Pemerintah dan Swasta Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan Komunikasi Jasa Penunjang Angkutan Angkutan Laut, Sungai, Danau dan… Angkutan Jalan Raya Restoran Perhotelan Perdagangan Konstruksi/Bangunan Listrik, Gas dan Air Bersih Industri Bukan Migas Pertambangan dan Penggalian Perikanan Budidaya Perikanan Tangkap Peternakan dan Hasil-hasil Lainnya 0,0
1,5355 1,6312 1,3022 1,4410 1,0969 1,3703 1,0156 1,1011 2,5374 1,3777 1,3998 4,2996 1,0120 1,0613 1,4387 1,1416 1,0
2,0
3,0
4,0
5,0
Gambar 18 Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan sektor-sektor perekonomian (DIFL). Dari hasil analisis terlihat keterkaitan subsektor perikanan dengan sektorsektor lainnya secara langsung terhadap peningkatan output sektor-sektor lain masih relatif rendah. Dengan adanya aktivitas subsektor perikanan di kota Sibolga
74 terlihat bahwa keterkaitan tidak langsung terhadap sektor-sektor lain cukup tinggi. Secara global bahwa dengan adanya aktivitas subsektor perikanan ini, sektorsektor lain yang tidak berhubungan langsung akan turut meningkat persatuan peningkatan output subsektor perikanan. Besarnya daya penyebaran menunjukkan dampak perubahan permintaan akhir suatu sektor terhadap output seluruh sektor perekonomian di suatu wilayah. Sektor yang memiliki kemampuan untuk mendorong pertumbuhan sektor-sektor hulu atau hilir baik melalui mekansime transaksi pasar output maupun pasar input sangat dibutuhkan dalam pembangunan ekonomi wilayah yang berkelanjutan. Untuk mengetahui sektor-sektor yang memiliki kemampuan mendorong pertumbuhan sektor-sektor hulu atau hilir baik melalui mekanisme transaksi pasar output maupun pasar input, dianalisa mengunakan daya penyebaran dan derajat kepekaan. Daya penyebaran adalah jumlah dampak akibat perubahan permintaan akhir suatu sektor terhadap output seluruh sektor ekonomi. Derajat kepekaan sendiri merupakan jumlah dampak terhadap suatu sektor sebagai akibat perubahan seluruh sektor perekonomian. Indeks daya penyebaran (IDP) menunjukkan kekuatan relatif permintaan akhir suatu sektor dalam mendorong pertumbuhan produksi total seluruh sektor perekonomian. Daya penyebaran ini merupakan ukuran untuk melihat keterkaitan kebelakang sektor-sektor yang ada. Sektor yang memiliki daya penyebaran yang tinggi (>1) sebagai indikasi memiliki keterkaitan kebelakang yang tinggi atau memiliki daya tarik yang kuat untuk mendorong sektor-sektor di belakang (sektor hulu). Untuk membandingkan dampak yang terjadi pada setiap sektor, maka daya penyebaran maupun derajat kepekaan harus dinormalkan dengan cara membagi dengan rata-rata dampak suatu sektor dengan rata-rata dampak seluruh sektor. Maka dari proses tersebut didapatkan Indeks Daya Penyebaran (IDP) dan Indeks Derajat Kepekaan (IDK). Hasil analisis I-O pada Gambar 19 untuk nilai IDP menunjukkan bahwa perikanan budidaya memiliki nilai IDP > 1 yang berarti subsektor ini memiliki daya penyebaran yang tinggi. Bila diilustrasikan, bahwa perikanan budidaya ini
75 memiliki kekuatan relatif secara rata-rata dibandingkan dengan sektor lainnya secara total sebesar 1,0878 satuan pada sektor-sektor hulu secara langsung dan tidak langsung. Perikanan tangkap hanya memiliki daya penyebaran sebesar 0,7116. Sektor yang memiliki daya penyebaran yang tinggi ada pada sektor perhotelan dengan nilai 1,2385. Jasa-jasa Pemerintah dan Swasta Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan Komunikasi Jasa Penunjang Angkutan Angkutan Laut, Sungai, Danau dan… Angkutan Jalan Raya Restoran Perhotelan Perdagangan Konstruksi/Bangunan Listrik, Gas dan Air Bersih Industri Bukan Migas Pertambangan dan Penggalian Perikanan Budidaya Perikanan Tangkap Peternakan dan Hasil-hasil Lainnya 0,0
0,8011 0,8269 0,8941 1,0381 1,1017 1,0321 0,9202 1,2385 0,8759 1,2358 1,2383 1,0775 0,8188 1,1086 0,7116 1,0808 0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
3,0
Gambar 19 Nilai IDP sektor-sektor perekonomian. Indeks Daya Kepekaan (IDK) merupakan ciri yang menunjukkan sumbangan relatif suatu sektor dalam memenuhi permintaan akhir keseluruhan sektor perekonomian. Nilai indeks daya kepekaan lebih besar dari satu menunjukkan bahwa sektor tersebut memiliki kemampuan untuk mendorong pertumbuhan produksi sektor hilirnya yang memakai input dari sektor tersebut. Menurut Rustiadi et al. (2011), jika suatu sektor memiliki karakteristik indeks daya kepekaan > 1, maka sektor tersebut merupakan salah satu sektor yang strategis karena secara relatif dapat memenuhi permintaan akhir diatas kemampuan rata-rata dari sektor yang lain. Nilai indeks daya kepekaan sektor-sektor perekonomian di kota Sibolga menurut analisis I-O ditampilkan pada Gambar 20. Disini terlihat bahwa subsektor perikanan masih mememiliki indeks daya penyebaran yang kecil. IDK perikanan tangkap yang bernilai 0,7116 berarti bahwa kekuatan rata-rata untuk mensuplai input terhadap sektor-sektor hilir lain secara keseluruhan sebesar
76 0,7116 satuan, sedangkan sektor perikanan budidaya dengan nilai IDK 1,1086 memiliki kekuatan di atas rata-rata terhadap sektor lainnya.
Jasa-jasa Pemerintah dan Swasta Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan Komunikasi Jasa Penunjang Angkutan Angkutan Laut, Sungai, Danau dan… Angkutan Jalan Raya Restoran Perhotelan Perdagangan Konstruksi/Bangunan Listrik, Gas dan Air Bersih Industri Bukan Migas Pertambangan dan Penggalian Perikanan Budidaya Perikanan Tangkap Peternakan dan Hasil-hasil Lainnya 0,0
0,9922 1,0540 0,8414 0,9311 0,7088 0,8854 0,6563 0,7115 1,6395 0,8902 0,9045 2,7782 0,6539 0,6857 0,9296 0,7377
0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
3,0
Gambar 20 Nilai IDK sektor-sektor perekonomian. Sektor dengan nilai IDP dan IDK tinggi merupakan suatu sektor yang memiliki basis domestik, baik itu dari sisi input maupun output. Artinya sektorsektor tersebut lebih banyak menggunakan input antara yang berasal dari produksi domestik dan lebih banyak digunakan output-nya untuk memenuhi kebutuhan input antara dari sektor produksi domestik. Dengan kata lain sektor tersebut lebih sedikit menggunakan input yang berasal dari impor dan sedikit digunakan untuk memenuhi permintaan ekspor. Sektor yang dengan nilai IDP tinggi memberikan indikasi bahwa sektor tersebut mempunyai pengaruh yang nyata terhadap sektor lain. Sebaliknya, sektor yang mempunyai IDK tinggi berarti sektor tersebut akan cepat terpengaruh bila terjadi perubahan pada sektor lainnya. Berdasarkan daya penyebaran dan derajat kepekaan, sektor-sektor produksi pada perekonomian kota Sibolga dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu: 1. Kelompok I (K-I) adalah sektor yang memiliki derajat kepekaan dan daya penyebaran yang tinggi (diatas rata-rata) 2. Kelompok II (K-II) adalah sektor yang memiliki derajat kepekaan tinggi (diatas rata-rata) dan daya penyebaran yang rendah (dibawah rata-rata)
77 3. Kelompok III (K-III) adalah sektor yang memiliki derajat kepekaan dan daya penyebaran rendah (dibawah rata-rata) 4. Kelompok IV (K-IV) adalah sektor yang memiliki daya penyebaran tinggi tetapi derajat kepekaan rendah. Gambaran posisi IDP dan IDK seluruh sektor-sektor perekonomian di kota Sibolga yang didasari dari klasifikasi 16 sektor ekonomi dapat dilihat pada Gambar 21 dan Gambar 22. Dari gambar ini akan terlihat kekuatan mendorong
Indeks Derajat Kepekaan (IDK) 0,5 1,0 1,5
2,0
dan kemampuan mensuplai sektor-sektor ekonomi yang ada di kota Sibolga.
9
5 8
0,0
6 7 12 1 11 13 3 10 14 16 15 4 2
0,0
0,5
1,0 1,5 2,0 Indeks Derajat Penyebaran (IDP)
2,5
3,0
Gambar 21 Grafik posisi sektor-sektor ekonomi kota Sibolga. Sektor-sektor yang memiliki koefisien keterkaitan ke belakang dan ke depan paling tinggi dapat dikatakan sebagai sektor-sektor yang memiliki basis domestik baik dari sisi input maupun output. Artinya sektor tersebut memiliki kemampuan untuk menggerakkan perekonomian regional domestik. Hasil analisis tabeil I-O ini dapat dilihat bahwa sektor yang memiliki kekuatan menggerakkan perekonomian wilayah kota Sibolga baik dari sisi hulu dan sisi hilir adalah sektor industri migas. Sektor ini terlihat mampu menggerakkan sektor-sektor hulu maupun hilir dari sistem perekonomian di kota Sibolga.
Tinggi Rendah
DERAJAT KEPEKAAN
78
-
DERAJAT PENYEBARAN Rendah Tinggi Listrik, Gas dan Air Bersih (6) Perhotelan (9) Konstruksi/Bangunan (7) Angkutan Laut Sungai dan Penyeberangan (12) - Industri Bukan Migas (5) Perikanan Budidaya (3) Peternakan dan Hasil Lainnya (1) Jasa Penunjang Angkutan (13) Angkutan Jalan Raya (11)
- Restoran (10) - Komunikasi (14) - Jasa-jasa Pemerintah dan Swasta (16) - Pertambangan dan Penggalian (4) - Perikanan Tangkap (2)
- Perdagangan (8) - Keuangan, Real Estate dan Jasa Perusahaan (15)
Gambar 22 Kelompok sektor-sektor ekonomi kota Sibolga. 5.2.6 Multiplier Effect Multiplier effect adalah koefisien yang menyatakan kelipatan dampak langsung dan tidak langsung dari meningkatnya permintaan akhir suatu sektor sebesar satu unit terhadap produksi total semua sektor ekonomi suatu wilayah. Multiplier terbagi menjadi multiplier Tipe I dan multiplier Tipe II. Multiplier Tipe I dihitung berdasarkan inverse matriks Leontief (I-A)-1, dimana sektor rumah tangga diperlakukan secara exogenous yang berarti rumah tangga dianggap dapat menentukan pola konsumsinya di luar sistem ekonomi, sedangkan multiplier Tipe II tidak hanya menghitung dampak langsung dan tidak langsung, tetapi termasuk pula dampak induksi, yaitu dampak dari perubahan pola konsumsi rumah tangga akibat peningkatan terhadap kinerja sistem perekonomian wilayah. Analisis multiplier effect yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis multiplier Tipe I. Analisis multiplier effect dari sektor-sektor perekonomian wilayah kota Sibolga berdasarkan Tabel I-O Tahun 2010 terdiri atas multiplier output, NTB, dan pendapatan (income). 5.2.6.1 Multiplier Effect Output Multiplier Effect Output menunjukkan dampak meningkatnya permintaan akhir suatu sektor terhadap total output seluruh sektor di suatu wilayah. Hasil analisis multiplier effect sektor perekonomian wilayah kota Sibolga berdasarkan
79 tabel input-output perekonomian tahun 2010, menjelaskan bahwa terdapat sektor yang memiliki multiplier effect terhadap output yang tinggi dan juga memiliki multiplier effect terhadap output yang rendah. Pada Gambar 23 ditampilkan secara rinci nilai multiplier effect terhadap output masing-masing sektor perekonomian. Jasa-jasa Pemerintah dan Swasta Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan Komunikasi Jasa Penunjang Angkutan Angkutan Laut, Sungai, Danau dan… Angkutan Jalan Raya Restoran Perhotelan Perdagangan Konstruksi/Bangunan Listrik, Gas dan Air Bersih Industri Bukan Migas Pertambangan dan Penggalian Perikanan Budidaya Perikanan Tangkap Peternakan dan Hasil-hasil Lainnya 0,0
1,2398 1,2797 1,3837 1,6065 1,7050 1,5973 1,4240 1,9167 1,3555 1,9125 1,9165 1,6676 1,2672 1,7158 1,1013 1,6727 0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
3,0
Gambar 23 Nilai multiplier effect output sektor-sektor perekonomian. Hasil analisis yang didapatkan terlihat bahwa nilai multiplier effect output untuk perikanan tangkap angka terendah sebesar 1,1013 yang menduduki peringkat ke-16 sedangkan perikanan budidaya sebesar 1,7158 di peringkat ke-4. Berdasarkan nilai tersebut maka kegiatan dari subsektor perikanan yang memiliki potensi sebagai komoditas yang dapat diunggulkan dari sisi pembentukan output terbesar adalah perikanan budidaya. Jika di artikan hal ini berarti bahwa setiap peningkatan akhir sektor perikanan budidaya sebesar satu satuan, maka output perekonomian wilayah kota Sibolga secara total akan meningkat sebesar 1,7158 satuan. Sektor yang memiliki nilai multiplier effect output tertinggi ada pada sektor perhotelan dengan nilai 1,9167 diikuti sektor listrik, gas dan air bersih dan peringkat ke-3 tertinggi ada pada sektor konstruksi dan bangunan. 5.2.6.1 Multiplier Effect Nilai Tambah Bruto Multiplier Effect Nilai Tambah Bruto (NTB) atau PDRB multiplier adalah dampak meningkatnya permintaan akhir suatu sektor terhadap peningkatan NTB.
80 Nilai Tambah Bruto (NTB) atau PDRB adalah input primer yang merupakan bagian dari input secara keseluruhan. Dalam tabel I-O diasumsikan NTB atau PDRB berhubungan dengan output secara linier. Artinya peningkatan atau penurunan output akan diikuti secara proporsional oleh kenaikan atau penurunan NTB. Nilai multiplier effect NTB sektor-sektor perekonomian di kota Sibolga dapat dilihat pada Gambar 24. Jasa-jasa Pemerintah dan Swasta Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan Komunikasi Jasa Penunjang Angkutan Angkutan Laut, Sungai, Danau dan… Angkutan Jalan Raya Restoran Perhotelan Perdagangan Konstruksi/Bangunan Listrik, Gas dan Air Bersih Industri Bukan Migas Pertambangan dan Penggalian Perikanan Budidaya Perikanan Tangkap Peternakan dan Hasil-hasil Lainnya 0,0
1,1530 1,2043 1,2719 1,5757 1,7893 1,6621 1,3283 2,1665 1,2745 2,1470 2,3917 1,9517 1,2621 2,3445 1,0771 1,5930 0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
3,0
Gambar 24 Nilai multiplier effect NTB sektor-sektor perekonomian. Berdasarkan Gambar 24 terlihat bahwa perikanan budidaya memberikan peranan lebih tinggi dari pada perikanan tangkap terhadap kelipatan peningkatan nilai tambah bruto/PDRB dengan nilai 2,3445 atau berada pada peringkat ke-2, yang berarti bahwa apabila permintaan akhir perikanan budidaya meningkat satu kali, maka dampak peningkatan nilai tambah bruto/PDBR kota Sibolga akan naik sebesar 2,3445 kali lipat. Peningkatan permintaan akhir satu kali dari perikanan tangkap, hanya menghasilkan peningkatan nilai tambah bruto/PDRB sebesar 1,0771 saja. 5.2.6.1 Multiplier Effect Pendapatan Nilai
dari
multiplier
effect
Pendapatan
menunjukkan
dampak
meningkatnya permintaan akhir suatu sektor terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga di suatu wilayah. Nilai multiplier effect pendapatan sektor-sektor perekonomian nilainya dapat dilihat pada Gambar 25.
81 Hasil analisis, empat sektor tertinggi yang memberikan multiplier effect pendapatan tertinggi adalah sebagai berikut: perikanan budidaya bernilai 14,4339 lalu sektor industri bukan migas bernilai 2,4141 diikuti angkutan jalan raya bernilai 2,0686 dan yang ke-4 ada pada sektor listrik, gas dan air bersih dengan nilai 2,0207. Untuk perikanan tangkap nilai multiplier effect yang dihasilkan sebesar 1,0807 yang berada pada posisi ke-15. Dari nilai multiplier effect tersebut berarti dengan peningkatan permintaan akhir perikanan budidaya sebesar satu satuan, maka akan meningkatkan total pendapatan dari seluruh akumulasi pendapatan sektor-sektor ekonomi di kota Sibolga sebesar Rp 14,4339 satuan. Dapat diilustrasikan bahwa jika kegiatan perikanan budidaya diberikan injeksi anggaran untuk meningkatkan total outputnya sebesar Rp 1 miliyar dengan ketentuan bahwa sektor-sektor lain tetap pada posisi anggarannya, maka pendapatan yang dihasilkan dari seluruh kegiatan sektoral perekonomian kota Sibolga secara total akan naik sebesar Rp 14,43 miliyar. Pendapatan yang dihasilkan dari perikanan tangkap dengan kenaikan yang sama hanya mencapai kelipatan Rp 1,08 miliyar. Dari hasil ini terlihat bahwa fakta penyumbang pembentukan peningkatan nilai penggandaan pendapatan secara total seluruh sektor ada pada perikanan budidaya. Jasa-jasa Pemerintah dan Swasta Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan Komunikasi Jasa Penunjang Angkutan Angkutan Laut, Sungai, Danau dan… Angkutan Jalan Raya Restoran Perhotelan Perdagangan Konstruksi/Bangunan Listrik, Gas dan Air Bersih Industri Bukan Migas Pertambangan dan Penggalian Perikanan Budidaya Perikanan Tangkap Peternakan dan Hasil-hasil Lainnya
0,0
1,0646 1,2996 1,2480 1,7111 1,6633 2,0686 1,3306 1,9411 1,3603 1,4902 2,0207 2,4141 1,3290 14,4339 1,0807 1,4689
2,0
4,0
6,0
8,0 10,0 12,0 14,0 16,0
Gambar 25 Nilai multiplier effect pendapatan sektor-sektor perekonomian.
82 Berdasarkan seluruh indikator keterkaitan dan multiplier effect melalui analisis I-O di atas diketahui bahwa secara umum subsektor perikanan khususnya perikanan budidaya memiliki peluang untuk meningkatkan perekonomian wilayah kota Sibolga khususnya peningkatan pendapatan. Untuk itu pengembangan kegiatan perikanan budidaya perlu menjadi bahan pertimbangan pemerintah daerah. Disamping itu terlihat bahwa masih relatif rendahnya jumlah sektor-sektor yang terkait langsung dengan subsektor perikanan ini pada sistem perekonomian wilayah di kota Sibolga. Untuk pengembangan subsektor perikanan di kota Sibolga perlu dilakukan peningkatan keterkaitan subsektor perikanan dengan sektor-sektor lain dalam internal wilayah kota Sibolga, untuk itu perlu diciptakan sektor-sektor ekonomi baru yang terkait langsung maupun tidak langsung kedepan maupun
kebelakang
menggunakan
output
subsektor
perikanan
untuk
meningkatkan perekonomian wilayah di kota Sibolga. 5.3 Isu Sentral Pembangunan Sektor Perikanan Untuk menentukan prioritas pembangunan pada subsektor perikanan di kota Sibolga diketahui dengan cara melakukan penilaian dengan penentuan skoring atas jawaban yang didapatkan melalui Analytic Hierarchy Process (AHP). Semakin tinggi nilai yang diperoleh menandakan bahwa faktor tersebut lebih diprioritas dibandingkan dengan faktor lain yang memiliki nilai lebih rendah. Stakeholders yang diminta persepsinya terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), pihak swasta, Badan perencanaan pembangunan daerah (Bappeda), Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan (DKKP), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan masyarakat perikanan (nelayan). Stakeholders tersebut dianggap cukup mewakili karena mengerti terhadap permasalahan, sebagai pelaku dan pembuat keputusan yang memiliki informasi dan memahami permasalahan perikanan. 5.3.1 Persepsi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Persepsi anggota DPRD dianggap sebagai cerminan perwakilan persepsi masyarakat secara umum di kota Sibolga (Gambar 26). Dari lima faktor yang berpengaruh terhadap pembangunan sektor perikanan, yaitu; sumber daya perikanan (SDI), sumber daya manusia (SDM), sarana dan prasarana (Sarpras),
83 pemasaran
(Pasar)
dan
pembiayaan
(modal),
anggota
DPRD
lebih
memprioritaskan faktor SDM sebagai faktor yang paling mempengaruhi pembangunan subsektor perikanan di kota Sibolga dengan skor 0,515, kemudian Sarpras dengan nilai 0,247, Modal dengan skor 0,123, SDI dengan skor 0,073 dan terakhir faktor Pasar dengan skor 0,041. Pada alternatif kegiatan yang dapat dilakukan dalam pembangunan subsektor perikanan di kota Sibolga dikategorikan menjadi tiga kelompok, yaitu; kegiatan perikanan tangkap, perikanan budidaya, dan pengolahan hasil perikanan. Hasil analisis menunjukkan bahwa berdasarkan semua faktor penentu kebijakan pembangunan subsektor perikanan, perikanan budidaya menjadi prioritas kegiatan untuk dikembangkan dengan persentase rata-rata sebesar 72,35% diikuti oleh perikanan tangkap dengan angka 19,32% dan terakhir pengolahan hasil perikanan dengan nilai rata-rata 8,33%.
MODAL PASAR SARPRAS SDM SDI
SDI (0,073)
0,123 0,041
SDM (0,515)
0,247 0,515 0,073 0,0
Tangkap
0,2 Budidaya
(a) Gambar 26
0,4
0,6
Pengolahan
Pemb. Sektor Perikanan
Sarpras (0,247) Pasar (0,041) Modal (0,123)
Tangkap (0,193)
Budidaya (0,724)
Pengolahan (0,083)
(b)
(a) Pemilihan alternatif pembangunan subsektor perikanan menurut persepsi anggota DPRD kota Sibolga. (b) Hasil AHP penentuan prioritas pengembangan subsektor perikanan menurut persepsi anggota DPRD kota Sibolga.
Untuk faktor SDI, pengembangan perikanan budidaya lebih dipilih dengan persentase 72,35%, diikuti oleh perikanan tangkap 19,32% dan pengolahan hasil perikanan 8,33%. Menurut anggota DPRD bahwa untuk mengantisipasi ketergantungan akan hasil tangkap yang ketersediaannya sepenuhnya tergantung kepada iklim, maka pengembangan perikanan budidaya merupakan alternatif penyediaan sumber daya ikan di kota Sibolga disaat produksi ikan tangkap menurun.
84 5.3.2 Persepsi Pihak Swasta Persepsi dari pihak swasta di kota Sibolga dari hasil analisa AHP, pembangunan subsektor perikanan memprioritaskan faktor Modal sebagai faktor paling berpengaruh dengan skor 0,441; diikuti faktor SDI dengan skor 0,285; SDM dengan skor 0,130; Sarpras 0,095; dan yang terakhir faktor Pasar dengan skor 0,049 (Gambar 27). Berdasarkan faktor-faktor yang berpengaruh dalam penentuan kebijakan pembangunan sektor tersebut, kegiatan perikanan tangkap dipilih sebagai prioritas untuk dikembangkan dengan skor rata-rata sebesar 72,35%; diikuti oleh kegiatan pengolahan hasil perikanan dengan skor 19,32%; dan kegiatan perikanan budidaya dengan nilai rata-rata 8,33%. SDI (0,285)
MODAL PASAR SARPRAS SDM SDI
0,441
SDM (0,130)
0,049 0,095 0,130
Pemb. Sektor Perikanan
0,285 0,0
Tangkap
0,2 Budidaya
(a) Gambar 27
0,4
0,6
Pengolahan
Sarpras (0,095) Pasar (0,049) Modal (0,441)
Tangkap (0,7235)
Budidaya (0,0833)
Pengolahan (0,1932)
(b)
(a) Pemilihan alternatif pembangunan subsektor perikanan menurut persepsi pihak swasta. (b) Hasil AHP penentuan prioritas pengembangan subsektor perikanan menurut persepsi pihak swasta.
5.3.3 Persepsi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Persepsi unsur Bappeda dalam pencapaian tujuan pembangunan subsektor perikanan di kota Sibolga lebih memprioritaskan faktor SDM dengan nilai 0,518 diikuti oleh faktor sarana dan prasarana pendukung, faktor sumber daya ikan, faktor pasar dan terakhir faktor Modal dengan nilai berturut-turut 0,236; 0,132; 0,079; dan 0,035. Berdasarkan angka tersebut pihak Bappeda berpendapat bahwa peningkatan sumber daya manusia yang perlu di tingkatkan terlebih dahulu, dengan modal keahlian diharapkan dapat meningkatkan produktivitas masyarakat nelayan itu sendiri maupun pihak-pihak yang terlibat langsung pada kegiatan ini. Berdasarkan lima faktor-faktor pengembangan pembangunan subsektor perikanan di atas, kegiatan pengolahan hasil perikanan menjadi prioritas untuk
85 dikembangkan dengan skor 0,602 atau 1,8 kali lebih prioritas dibandingkan dengan kegiatan perikanan budidaya yang memiki skor 0,332 serta 9,1 kali lebih prioritas dari kegiatan perikanan tangkap dengan (0,066). Gambar 28 memperlihatkan hasil AHP pihak Bappeda yang menunjukkan skala prioritas pembangunan. Bappeda berpendapat bahwa untuk meningkatkan nilai tambah hasil perikanan, peningkatan kegiatan pengolahan hasil perikanan harus menjadi prioritas pembangunan pada subsektor perikanan di kota Sibolga. Dengan cara ini, secara langsung maupun tidak langsung kegiatan sektor-sektor ekonomi lainnya akan turut berkembang, dan akhirnya peningkatan penyerapan tenaga kerja juga akan meningkat. MODAL
SDI (0,132)
0,035
PASAR
0,079
SARPRAS
SDM (0,518)
0,236
SDM
0,518
SDI
0,132 0,0
Tangkap
0,2 Budidaya
0,4
Pemb. Sektor Perikanan
0,6
Pengolahan
(a) Gambar 28
Sarpras (0,236) Pasar (0,079) Modal (0,035)
Tangkap (0,066)
Budidaya (0,332)
Pengolahan (0,602)
(b)
(a) Pemilihan alternatif pembangunan subsektor perikanan menurut persepsi Bappeda. (b) Hasil AHP penentuan prioritas pengembangan subsektor perikanan menurut persepsi Bappeda.
5.3.4 Persepsi Dinas Kelautan dan Perikanan Persepsi Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan sebagai instansi teknis yang langsung terkait dengan kebijakan pembangunan subsektor perikanan menganggap alternatif pembangunan subsektor perikanan di kota Sibolga sangat dipengaruhi oleh faktor SDI dengan skor sebesar 0,391 diikuti oleh faktor Modal (0,286); Pasar (0,202); dilanjutkan dengan faktor SDM dengan skor 0,074; dan terakhir faktor Sarana dan Prasarana dengan skor 0,048. Gambar 29 memperlihatkan distribusi skor faktor prioritas yang berpengaruh terhadap pemilihan kegiatan pada subsektor perikanan yang akan dikembangkan.
86 Dari lima kriteria di atas, maka alternatif pembangunan perikanan tangkap lebih mendapat prioritas dibandingkan dengan perikanan budidaya dan pengolahan hasil perikanan. Skor masing-masing alternatif terpilih adalah 0,661 untuk perikanan tangkap, 0,134 untuk perikanan budidaya, dan 0,205 untuk pengolahan hasil perikanan.
MODAL
SDI (0,391)
0,286
PASAR
0,202
SARPRAS
0,236
SDM
0,074
SDM (0,074) Pemb. Sektor Perikanan
SDI
0,391 0,0
Tangkap
0,2 Budidaya
0,4
0,6
Pengolahan
Sarpras (0,236) Pasar (0,202) Modal (0,286)
(a) Gambar 29
Tangkap (0,661)
Budidaya (0,134)
Pengolahan (0,205)
(b)
(a) Pemilihan alternatif pembangunan subsektor perikanan menurut persepsi Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan. (b) Hasil AHP penentuan prioritas pengembangan subsektor perikanan menurut persepsi Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan.
5.3.5 Persepsi Pihak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Gambar 30 menunjukkan persepsi dari pihak LSM sebagai mitra pemerintah yang diwakili oleh HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia) kota Sibolga menekankan prioritas pembangunan subsektor perikanan ada pada pilihan peningkatan sarana dan prasarana pendukung perikanan dengan nilai 0,521 diikuti faktor SDM (0,125), faktor SDI (0,125), faktor modal dengan skor 0,080 dan faktor pasar sebesar 0,040. Untuk alternatif kegiatan yang menjadi prioritas, kegiatan pengolahan dipilih dengan skor sebesar 0,724 diikuti kegiatan perikanan tangkap sebesar 0,193 dan selanjutnya kegiatan perikanan budidaya sebesar 0,083. Menurut persepsi LSM, kegiatan budidaya perikanan menjadi pilihan terakhir untuk dikembangkan, dikarenakan ruang wilayah administrasi kota Sibolga yang cukup terbatas. Kegiatan pengolahan hasil perikanan menjadi prioritas yang perlu dikembangkan, hal ini disamping meningkatkan nilai tambah dari hasil perikanan
87 tersebut juga dapat meningkatkan lapangan kerja. Menurut persepsi LSM tersebut perlu dikembangkannya industri-industri pengolahan hasil perikanan di kota Sibolga. MODAL
SDI (0,125)
0.000
PASAR
0.000
SARPRAS
SDM (0,234)
0.000
SDM
Pemb. Sektor Perikanan
0.000
Sarpras (0,521)
Tangkap (0,199)
Budidaya (0,093)
0.000
SDI 0,0 Tangkap
0,2 Budidaya
0,4
Pengolahan
(a) Gambar 30
0,6
Pasar (0,040) Modal (0,080)
Pengolahan (0,708)
(b)
(a) Pemilihan alternatif pembangunan subsektor perikanan menurut persepsi LSM. (b) Hasil AHP penentuan prioritas pengembangan subsektor perikanan menurut persepsi LSM.
5.3.6 Persepsi Masyarakat Masyarakat merupakan pihak yang langsung terjun di lapangan dan selalu terkait terhadap akibat kebijakan pembangunan subsektor perikanan. Masyarakat dalam penelitian ini diwakili oleh nelayan penangkap ikan yang menggantungkan hidupnya dari hasil perikanan di kota Sibolga. Gambar 31 menunjukkan persepsi masyarakat dalam pembangunan subsektor perikanan menganggap modal sebagai faktor yang paling penting untuk di tingkatkan dengan skor 0,479. Faktor berikutnya adalah sarpras (0,192), faktor SDI merupakan faktor selanjutnya dengan skor 0,144 lalu faktor SDM dengan skor 0,134 dan yang terakhir yaitu faktor pasar sebesar 0,051. Dari sisi pasar, nelayan berpendapat bahwa pemasaran ikan segar yang menjadi hasil tangkapan dan budidaya di kota Sibolga ini hingga saat ini tidak pernah menjadi kendala. Faktor pasar tidak berpengaruh signifikan dikarenakan pasar selama ini telah terbentuk dan berjalan dengan baik, justru hasil produktivitas perikananlah yang perlu ditingkatkan dengan bantuan modal usaha, sehingga masyarakat nelayan menempatkan faktor modal sebagai faktor prioritas utama dikarenakan biaya atau modal usaha menjadi faktor utama yang perperan
88 dalan meningkatkan hasil produksi hasil perikanan baik perikanan tangkap maupun perikanan budidaya. SDI (0,144)
0,479
MODAL PASAR SARPRAS SDM SDI
0,051 0,192 0,134 0,014 0,0
Tangkap
0,2 Budidaya
0,4
SDM (0,134) Pemb. Sektor Perikanan
0,6
Pengolahan
(a) Gambar 31
Sarpras (0,192)
Pasar (0,051) Modal (0,479)
Tangkap (0,724)
Budidaya (0,083)
Pengolahan (0,193)
(b)
(a) Pemilihan alternatif pembangunan subsektor perikanan menurut persepsi masyarakat. (b) Hasil AHP penentuan prioritas pengembangan subsektor perikanan menurut persepsi masyarakat.
Menurut kriteria yang telah ditetapkan di atas, alternatif pembangunan perikanan tangkap lebih menjadi prioritas dibandingkan dengan perikanan budidaya dan pengolahan hasil perikanan. Skor masing-masing alternatif terpilih adalah 0,724 untuk perikanan tangkap, 0,083 untuk perikanan budidaya, dan 0,193 untuk pengolahan hasil perikanan. Pembangunan kegiatan pengolahan perikanan sudah harus menjadi pertimbangan menurut persepsi masyarakat mengingat tidak stabilnya harga hasil produksi ikan di kota Sibolga, dimana pada saat produksi ikan meningkat, harga ikan cenderung akan turun, hal inilah yang membuat nelayan mengalami kerugian. Jika industri pengolahan perikanan berkembang di kota Sibolga, alternatif penjualan ikan bukan hanya sepenuhnya tergantung kepada pedagang maupun diekspor keluar kota, hasil perikanan juga dapat ditampung oleh industri-industri perikanan yang ada di kota Sibolga nantinya. 5.3.7 Persepsi Seluruh Stakeholders Dalam pengembangan subsektor perikanan di kota Sibolga, persepsi seluruh stakeholders yang didasarkan pada lima faktor yang berpengaruh dalam penentuan kegiatan pembangunan perikanan bahwa seluruh faktor kecuali faktor pasar selayaknya menjadi prioritas untuk dikembangkan di kota Sibolga. Skor yang ditunjukkan dari hasil analisis, ketiga faktor tersebut tidak jauh berbeda.
89 Tetapi secara kumulatif bahwa faktor SDM merupakan faktor prioritas yang perlu dikembangan terlebih dahulu dengan skor sebesar 0,2697 diikuti oleh faktor sarana prasarana dengan skor 0,226, lalu faktor biaya dengan skor 0,2147, kemudian faktor sumber daya ikan dan yang terakhir adalah faktor pasar. Hal ini memiliki arti bahwa peningkatan SDM sebagai subjek dalam pembangunan subsektor perikanan akan mempengaruhi pengelolaan dan memanfaatkan sumber daya perikanan serta penguasaan teknologi penangkapan. Kualitas SDM dapat ditingkatkan antara lain melalui pelatihan dan peningkatan pengetahuan tentang inovasi teknologi penangkapan. Analisis persepsi seluruh stakeholders dapat dilihat pada Gambar 23. MODAL PASAR SARPRAS SDM SDI
SDI (0,208)
0,215 0,081
SDM (0,270)
0226 0,270 0,208 0,0
0,2
Tangkap
0,4
Budidaya
Pemb. Sektor Perikanan
Pasar (0,081)
0,6
Modal (0,214)
Pengolahan
(a) Gambar 32
Sarpras (0,226)
Tangkap (0,431) Budidaya (0,217) Pengolahan (0,352)
(b)
(a) Pemilihan alternatif pembangunan subsektor perikanan menurut persepsi seluruh stakeholders. (b) Hasil AHP penentuan prioritas pengembangan subsektor perikanan menurut persepsi seluruh stakeholders.
Kegiatan
perikanan
yang
menjadi
prioritas
untuk
dikembangkan
pembangunanya di kota Sibolga berdasarkan hasil analisis AHP dari seluruh persepsi stakeholder adalah perikanan tangkap dengan skor 0,431 lalu prioritas kedua kegiatan pengolahan dengan skor sebesar 0,352 dan yang terakhir adalah kegiatan budidaya dengan skor 0,217. Bila dianalisis, bahwa persepsi stakeholder secara rata-rata pendapat menyatakan bahwa prioritas pembangunan subsektor perikanan di kota Sibolga pada kegiatan perikanan tangkap dengan aspek peningkatan SDM nelayan. Hasil analisis persepsi ini berbeda dengan fakta analisis tabel I-O. Dari hasil analisis terlihat bahwa yang memiliki peluang dan berpotensi meningkatkan perekonomian masyarakat maupun perekonomian regional ada pada perikanan budidaya. Kendala tidak berkembangnya usaha perikanan budidaya ini dari sisi
90 kecakapan SDMnya dan kendala modal usaha perlu menjadi perhatian. Kegiatan perikanan budidaya (khusus KJA) masih belum berkembang mengingat potensi ruang yang masih cukup besar. Secara keruangan potensi yang masih berpeluang di wilayah perairan kecamatan Sibolga Utara dan kecamatan Sibolga Kota ada sebesar 1.626,99 Ha dengan pemanfaatan ruang baru sekitar 0,25 persen saja. 5.4 Lokasi Pengembangan Sektor Perikanan Dalam UU Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007 disebutkan bahwa didalam merancang tata ruang suatu wilayah, pihak perencana harus memaknai misi dari penataan ruang. Misi dari penataan ruang tersebut harus mengandung beberapa prinsip yaitu: (1) mewujudkan pemanfaatan ruang yang berhasil guna dan berdaya guna serta mampu mendukung pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan, (2) tidak terjadi pemborosan pemanfaatan ruang, dan (3) tidak menyebabkan terjadinya penurunan kualitas ruang. Dengan misi undang-undang penataan ruang tersebut, masukan dari enam stakeholder yang diambil pendapatnya terkait lokasi untuk pengembangan kegiatan perikanan budidaya dan lokasi pengembangan sarana dan prasarana pendukung perikanan. Pendapat ini merupakan hasil dari pengalaman dan observasi lapang yang dimiliki masing-masing stakeholder. Untuk melihat gambaran umum peta tutupan lahan dapat dilihat pada Gambar 33. Dari pengumpulan masing-masing persepsi stakeholder yang ada, diambil rata-rata keterwakilan pendapatnya yang kemudian dituangkan kedalam arahan lokasi pengembangan subsektor perikanan sebagai masukan terhadap penataan ruang di kota Sibolga. Aspek pengembangan subsektor perikanan yang diambil terdiri dari lokasi budidaya baik itu budidaya perikanan laut maupun perikanan darat (air tawar), lokasi pembangunan sarana dan prasarana pendukung di sektor perikanan dan lokasi penangkapan ikan. Hasil analisis persepsi untuk kegiatan budidaya air laut (Gambar 34), enam stakeholder sepakat memilih wilayah laut di kecamatan Sibolga Utara dan kecamatan Sibolga Kota sebagai lokasi pengembangan kegiatan budidaya laut untuk dikembangkan. Sedangkan lokasi budiaya air tawar (darat), 92 persen memilih kelurahan Angin Nauli, 68 persen kelurahan Huta Tongatonga, 67 persen kelurahan Aek Parombunan dan 17 persen di kelurahan Pancuran Dewa cocok sebagai lokasi untuk dikembangkan. Pendapat ini didasari dari kegiatan budidaya
91 yang berlangsung selama ini, menunjukkan produktivitas yang selalu meningkat di tiap-tiap tahunnya.
Gambar 33 Peta tutupan lahan kota Sibolga. Dominasi budidaya seperti halnya kerambah jaring apung (KJA) yang berada di kecamatan Sibolga utara telah berlangsung cukup lama. Penelitian terkait kesesaian budidaya ikan air laut di lokasi tersebut memang masih belum
92 ada, tetapi berdasarkan pengalaman pembudidaya (hasil wawancara) yang selama ini melakukan kegiatan budidaya mengatakan bahwa perairan di lokasi budidaya saat ini masih mendukung untuk dilakukannya budidaya ikan air laut. Disamping itu juga faktor pendukung lainnya adalah letak georafis perairan laut Sibolga yang posisinya berada di kawasan teluk Tapian Nauli yang memberikan perlindungan akan arus laut, angin dan ombak yang besar sepanjang tahun.
Gambar 34 Arahan lokasi stakeholder.
pengembangan
perikanan
budidaya
persepsi
93 Komoditas ikan yang sering dibudidayakan oleh masyarakat di kecamatan Sibolga Utara tersebut merupakan komoditas ikan berkualitas ekspor. Nilai jual dari ikan-ikan budidaya tersebut diatas rata-rata harga jual ikan konsumsi lokal. Untuk arahan lokasi pengembangangan sarana dan prasarana perikanan di kota Sibolga berdasarkan hasil analisis dapat dilihat pada Gambar 35. Dari gambar 35 tersebut dapat dilihat lokasi ruang yang disarankan sebagai tempat yang cocok untuk pengembangangan sarana dan prasarana pendukung.
Gambar 35 Arahan lokasi sarana dan prasarana persepsi stakeholder.
94 Untuk alokasi ruang untuk pengembangan sarana prasarana pendukung subsektor perikanan persepsi stakeholder yang dijaring melalui wawancara dan kuesioner berpendapat bahwa sebanyak 17 persen memilih lokasi di kelurahan sibolga ilir, 17 persen di kelurahan Pasar Belakang, 33 persen di kelurahan Aek Muara Pinang, sedangkan untuk kelurahan Aek Manis, kelurahan Pancuran Dewa dan kelurahan Pancuran Bambu 100 persen stakeholder memilih tempat ini yang lebih tepat untuk dikembangkan sarana dan prasarana pendukung sektor perikanan, khususnya perikanan tangkap. Sarana prasarana pendukung dimaksud nantinya dapat mendukung kegaiatan subsektor perikanan untuk lebih produktif lagi. Pengembangan
sarana
dan
prasarana
dimaksud
disini
berupa,
pengembangan sarana cold storage, pabrik es, sarana tambat labuh (TPI), Pasar Ikan dan jasa perbaikan kapal. Menurut Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan kota Sibolga, selama ini nelayan Sibolga sepenuhnya masih menggantungkan jasa penyimpanan ikan beku (cold storage) dan es batangan pada kabupaten Tapanuli Tengah. Diharapkan dengan adanya alokasi ruang untuk pengembangan sarana dan prasarana tersebut, sehingga kedepannya ketergantungan akan jasa jasa tersebut dapat diminimalisir. Dari sisi ketenagakerjaan, dengan adanya pengembangan sektor pendukung ini dapat memberikan peluang kerja kepada masyarakat sehingga akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 5.5 Bahasan Umum Dalam proses pengembangan wilayah sangat penting memandang keterpaduan sektoral, spasial, serta keterpaduan antar pelaku pembangunan dalam wilayah. Keterpaduan sektoral menuntut adanya keterkaitan fungsional yang sinergis antar sektor pembangunan, sehingga setiap sektor kegiatan pembangunan dalam kelembangaan sektoral dilaksanakan dalam kerangka pembangunan wilayah. Salah satu bentuk terjadinya kegagalan pemerintah yang umum adalah kegagalan menciptakan keterpaduan sektoral yang sinergis, didalam kerangka pembangunan wilayah (Rustiadi et al., 2011). Kota Sibolga yang dikenal sebagai pusat pengembangan perikanan di wilayah pantai barat Sumatera (Nikijuluw, 2005) memiliki peran penyumbang pembentukan PDRB tertinggi di kota Sibolga. Dari hasil analisis rata-rata
95 sumbangan terhadap pembentukan PDRB dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2010 memiliki nilai sebesar 23,69 persen (Atas Dasar Harga Berlaku). Pada tahun 2010 sumbangan PDRB subsektor perikanan ini mencapai 22,86 persen, yang merupakan penyumbang tertinggi dibandingkan dengan sektor-sektor lain. Tetapi untuk peringkat pembentukan total output, kegiatan perikanan tangkap berada pada posisi ke-2 dan perikanan budidaya berada pada posisi ke-14 dari klasifikasi 16 sektor di kota Sibolga. Untuk posisi pembentukan output tertinggi ditempati oleh sektor perdagangan (18,37 persen). Artinya bahwa subsektor perikanan khususnya perikanan tangkap masih memberikan kontribusi terbesar ke-2 untuk pembentukan transaksi permintaan domestik maupun ekspor di kota Sibolga. Meskipun sumbangan PDRB ada pada subsektor perikanan cukup tinggi, tetapi secara total keterkaitan langsung ke depan (DFL) dan keterkaitan langsung ke belakang (DBL) subsektor perikanan ini dengan sektor-sektor lain masih rendah. Ini mengindikasikan bahwa subsektor perikanan secara keseluruhan masih memiliki hubungan keterkaitan penggunaan input maupun output yang rendah dengan sektor-sektor pembentuk ekonomi wilayah di kota Sibolga. Perikanan tangkap terkait dengan sektor-sektor hulu yang ada di kota Sibolga sebanyak tujuh sektor dengan total indeks keterkaitan sebesar 0,0718 (Gambar 12), angka ini masih kecil penggunaannya bila dibandingkan dengan total pengunaan input primer. Untuk keterkaitan ke sektor hulu, perikanan tangkap terkait dengan lima sektor dengan total indeks keterkaitan sebesar 0,3937 (Gambar 15). Begitu juga perikanan budidaya yang terkait dengan sektor-sektor hulu sebanyak tujuh sektor dengan nilai indeks keterkaitan sebesar 0,5770 (Gambar 13) dan terkait dengan sektor hilir sebanyak tiga sektor dengan nilai indeks keterkaitan sebesar 0,05578 (Gambar 16). Dalam proses pembentukan output sektoral selain penggunaan input antara, suatu sektor juga memerlukan input primer dalam proses produksi. Dari struktur tabel I-O (khususnya pada kuadran I) semakin banyak jumlah keterkaitan sektoral terhadap suatu sektor dan nilai keterkaitannya juga tinggi, maka dapat dikatakan bahwa sektor tersebut memiliki kemampuan untuk menggerakkan sektor-sektor domestik dalam wilayah. Dengan semakin banyaknya keterkaitan suatu sektor terhadap sektor-sektor lain akan berdapak positif terhadap
96 peningkatan keterkaitan sektor-sektor lain secara tidak langsung ke sektor hulu maupun hilir dengan sektor tersebut. Dengan nilai keterkaitan langsung (DBL dan DFL) yang rendah, tetapi subsektor perikanan memiliki pengaruh cukup tinggi terhadap dampak tidak langsung berkembangnya sektor-sektor lain. Ini terlihat dari nilai DIBL dan DIFL. Hal
ini
menunjukkan
bahwa
subsektor
perikanan
mampu
mendorong
produktivitas sektor-sektor lainnya secara tidak langsung dalam sistem perekonomi wilayah. Jika jumlah sektoral yang terkait langsung dengan subsektor perikanan ini dapat ditingkatkan lagi maka dapat pastikan juga akan meningkatkan nilai indeks DIBL maupun DIFL seluruh sektor perekonomian wilayah di kota Sibolga. Dari sisi indeks penyebaran (IDP) kegiatan perikanan budidaya memiliki kemampuan untuk meningkatkan pertumbuhan sektor hulu (penyedia input) yang terkait langsung maupun tidak langsung kebelakang secara total, dengan kata lain mampu meningkatkan output sektor lainnya yang digunakan sebagai input oleh kegiatan tersebut. Kegiatan perikanan tangkap masih kurang mampu menarik sektor hulunya untuk meningkatkan produksinya dalam hal penyediaan input pada sektor-sektor lain secara total. Sektor yang strategis dari hasil analisis I-O ini adalah sektor industri bukan migas (Gambar 21). Sektor industri bukan migas memiliki kemampuan menggerakkan kinerja sektoral dari sisi hulu maupun hilir. Sektor industri bukan migas ini juga jika dilihat struktur I-O memiliki keterkaitan langsung dengan subsektor perikanan, artinya jika jumlah subsektor yang ada pada sektor industri bukan migas ditingkatkan maka akan mampu memberikan added value yang lebih besar lagi dalam perekonomian wilayah di kota Sibolga. Lebih lanjut dari hasil analisis menunjukkan bahwa untuk indeks kepekaan (IDK), kegiatan perikanan tangkap maupun perikanan budidaya masih memiliki kemampuan yang masih rendah untuk mendorong pertumbuhan produksi sektor hilir yang menggunakan input subsektor perikanan. Dengan kata lain subsektor perikanan ini masih kurang memiliki kemampuan untuk mendorong sektor-sektor hilir yang menggunakan output subsektor perikanan sebagai input produksinya. Keterkaitan ke depan subsektor perikanan dengan sektor industri bukan migas (khususnya industri pengolahan) baru mencapai nilai indeks sebesar 0,0060
97 dan hanya terkait pada perikanan tangkap saja. Industri bukan migas khususnya pengolahan hasil perikanan masih kecil di kota Sibolga dan hanya ada pada kegiatan pemindangan dan pengasinan. Output subsektor perikanan sangat besar digunakan di luar daerah (dilihat dari nilai ekspor). Hal ini merupakan salah satu indikasi
terjadinya
kebocoran
wilayah.
Dimungkinkan
apabila
kegiatan
pengolahan dapat lebih berkembang dalam daerah, tentu saja akan lebih bermanfaat bagi masyarakat di dalam wilayah dan juga bagi wilayah itu sendiri. Oleh sebab itu industri yang dikembangkan dapat berupa industri skala kecil maupun menengah yang dapat dikelola oleh kelompok-kelompok masyarakat, bahkan industri dengan skala besar yang nantinya mampu meningkatkan pendapatan serta menampung tenaga kerja. Peranan pemerintah daerah untuk meningkatkan keterpaduan sektoral ini masih rendah yang mengakibatkan lemahnya keterkaitan subsektor perikanan di kota Sibolga dengan sektor-sektor lainnya. Penelitian Jonny et al. (2011) yang menyatakan bahwa kota Sibolga merupakan salah satu kota yang memiliki usaha perikanan yang relatif besar bila dibandingkan dengan kota-kota lainnya di pantai barat Sumatera masih belum sepenuhnya disadari oleh pemerintah daerah untuk mengembangan subsektor ini lebih optimal lagi, khususnya peningkatan keterkaitan sektoralnya. Tugas dari pemerintah daerah saat ini adalah bagaimana upaya untuk menciptakan sektor-sektor yang mampu terhubung secara langsung sebagai pengguna output maupun penyedia input kepada subsektor perikanan dengan sektor-sektor lain, sehingga potensi yang dimiliki daerah dapat lebih dioptimalkan. Seperti halnya pendapat Reis dan Rua (2006) bahwa suatu sektor dengan keterkaitan ke depan dan ke belakang yang besar terhadap sektor-sektor lain, akan memiliki potensi kobocoran wilayah yang relatif kecil bila dibandingkan dengan sektor yang memiliki nilai keterkaitan ke depan dan ke belakang yang lebih kecil dengan sektor-sektor lainnya. Meningkatkan maupun memunculkan keterkaitan langsung ke depan maupun ke belakang yang baru pada akhirnya akan lebih meningkatkan keterkaitan secara tidak langsung sektor-sektor ekonomi di kota Sibolga. Untuk itu perlu adanya kebijakan pemerintah daerah untuk memikirkan perencanaan
98 pembangunan industri-industri pengolahan ikan yang hingga saat ini masih belum ada. Dengan adanya industri-industri pengolahan perikanan (industi pengalengan ikan, pabrik tepung ikan, dll.) dengan sendirinya akan menciptakan keterkaitan sektor-sektor yang baru yang dapat meningkatkan keterkaitan sektor-sektor ekonomi yang telah ada sebelumnya baik langsung maupun tidak langsung terhadap subsektor perikanan. Simulasi upaya pengembangan subsektor perikanan serta peningkatan keterkaitan subsektor perikanan ini dapat dilihat pada Gambar 36. Upaya menciptakan kondisi pengembangan subsektor perikanan perlu kerjasama stakeholder untuk menyamakan persepsi dalam menentukan skala prioritas pembangunan subsektor perikanan ini di kota Sibolga, sehingga tujuan pembangunan
wilayah
dapat
tercapai
untuk
mewujudkan
kesejahteraan
masyarakat di wilayah tersebut. Kenyataan yang ada dari hasil analisis pendapat terhadap stakeholder yang ada, terdapat perbedaan persepsi untuk skala prioritas pengembangan pada subsektor perikanan ini. Adanya perbedaan yang mencolok dari persepsi antar stakeholder menunjukkan masih kurangnya pemahaman akan konsep pembangunan dan sosialisasi perencanaan pembangunan khususnya subsektor perikanan di kota Sibolga. Persepsi yang berbeda-beda ini akan berdampak negatif terhadap pengembangan subsektor perikanan. Pemerintah daerah sebagai fasilitator pembangunan daerah memiliki tugas untuk menciptakan kondisi agar proses pembangunan di daerah dapat berjalan bersinergi antara pelaku-pelaku usaha perikanan dengan pelaku-pelaku usaha di sektor-sektor ekonomi lainnya. Untuk arahan alokasi ruang pemanfaatan ruang, pemerintah daerah harus melibatkan masyarakat untuk turut serta berpartisipasi aktif dalam menyusun rencana tata ruang sehingga tercipta penyamaan persepsi terhadap arahan pembangunan daerah. Seperti yang diamanatkan Undang-Undang Tata Ruang No. 26 Tahun 2008 bahwa dalam proses perencanaan rencana tata ruang wilayah, perlu adanya partisipasi masyarakat yang terlibat dan sifatnya transparan terbuka untuk publik. Dokumen rencana tata ruang yang sifatnya sebagai dokumen publik ini diisaratkan juga dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik No. 14 Tahun 2008.
99 Pemanfaatan ruang untuk pengembangan subsektor perikanan nantinya harus menjadi pertimbangan pemerintah daerah dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah. Alokasi ruang nantinya diharapkan dapat lebih meningkatkan produktivitas subsektor perikanan dan dapat lebih meningkatkan keterkaitan sektor-sektor lain, bahkan dapat menumbuhkan sektor baru di kota Sibolga. Sebagai kota yang memiliki pelabuhan bongkar muat barang dan jasa penyeberangan, penataan kawasan teluk Tapian Nauli mutlak dituangkan dalam rencana penataan ruang wilayah. Penataan kawasan ini selayaknya tidak terlepas dari sisi daya dukung ruang, alokasi pemanfaatan ruang serta penataan jalur pelayaran. Kerjasama antar pemerintah daerah dengan manajemen PT. PELINDO perlu dijalin untuk menghasilkan kesepakatan bersama dalam menata kawasan tersebut. Dengan penataan yang optimal yang didasarkan pada kajian-kajian ilmiah yang ada, dipastikan akan dapat menumbuhkembangkan produktivitas ekonomi wilayah di kota Sibolga menuju kota perikanan untuk pencapaian pembangunan wilayah yang berkelanjutan. Penataan ini seyogyanya tidak hanya diselenggarakan untuk memenuhi tujuan-tujuan sektoral yang bersifat parsial, namun lebih dari itu, pembangunan diselenggarakan untuk memenuhi tujuantujuan pengembangan wilayah yang bersifat komprehensif dan holistik dengan mempertimbangkan keserasian antara berbagai sumber daya sebagai unsur utama pembentuk ruang, yang didukung oleh sistem hukum dan sistem kelembagaan yang melingkupinya. Disamping itu konsep perencanaan penataan wilayah ini tidak sebatas hanya menghasilkan output dokumen fisik RTRW kota Sibolga semata, tapi bagaimana RTRW tersebut dapat diekspresikan dalam wujud pelaksanaan RTRW tersebut, dan yang tidak kalah pentingnya adalah adanya upaya-upaya kerjasama seluruh stakeholder yang terkait langsung maupun tidak langsung turut serta mewujudkan dan mengawasinya.
100
Income Multiplication ( −−− )
IMPOR Jasa Perdagangan
- Pabrik Pakan
Jasa-jasa Pemerintah dan… 0,0004
0,0064
0,0037
0,3
∑ DBL = 0,0718 Komunikasi
0,1
0,0034
0,0046
0,0517
0,0015
Keuangan, Real Estat dan…
Konstruksi/Bangunan
Perdagangan
Angkutan Jalan Raya
-0,1
Listrik, Gas dan Air Bersih
0,1
0,3
0,5
0,5
0,000077 0,000514 0,186231 0,000231 0,000004 0,052913 0,337011
∑ DBL = 0,5770
-0,1
Komunikasi Angkutan Jalan Raya Perdagangan Konstruksi/Bangunan Listrik, Gas dan Air Bersih Perikanan Budidaya Perikanan Tangkap
DFL (+++)
0,7
0,7
Perikanan Tangkap
Perikanan Budidaya
Alokasi Ruang
PDRB (+++)
Restoran
0,0268
0,0072
0,0166
0,3
0,5
0,5
0,3370
∑ DBL = 0,3937 Perhotelan
0,1
0,0060
Angkutan Laut, Sungai,…
-0,1
Perikanan Budidaya
Industri Bukan Migas
0,0038 0,0008 0,0529 0,1
0,3
∑ DBL = 0,0576 Restoran Perhotelan
-0,1
Perikanan Budidaya
Peningkatan SDM
0,7
0,7
- Industri Makanan - Pabrik Tepung Ikan - Cold Storage
( +++ ) - Tenaga Kerja - Kesejahteraan - Income Multiplication
Arahan Pemanfaatan Ruang
Sosialisasi Informasi Publik
Ekspansi Penangkapan ke luar ZEE
DBL (+++)
DIFL (+++)
Partisipasi Stakeholder
DIBL (+++)
IDK (+++)
- Pabrik Es - Doking Kapal - Tempat Pendaratan Ikan - Fasilitas Uji Mutu
IDP (+++)
Keterangan : [ − ] Lemah/Tidak Kuat [ +++ ] Memperkuat
Gambar 36 Sintesis hasil analisis pengembangan subsektor perikanan.
Backwash Effect
EKSPOR
FAKTA
STRATEGI PERENCANAAN
DAMPAK (Output)
VI. SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang dilakukan serta kaitannya dengan tujuan penelitian maka dapat disimpulan hal-hal sebagai berikut: 1. Peningkatan produksi perikanan tangkap masih memiliki peluang pemanfaatan pada zona WPP-572 dengan potensi yang masih ada sebesar 123,63 ribu ton/tahun, selain eksplotasi ke laut lepas di luar ZEE. Kegiatan perikanan budidaya (KJA), ruang untuk mengembangkan kegiatan ini masih tersedia sebesar 1.276,97ha yang berada di kecamatan Sibolga utara dan Sibolga Kota yang bebas dari jalur pelayaran. 2. Subsektor perikanan secara total masih memiliki keterkaitan langsung ke depan dan ke belakang yang kecil. Perikanan tangkap terkait ke belakang dengan tujuh sektor dan ke depan terkait lima sektor. Untuk perikanan budidaya terkait ke belakang dengan tujuh dan ke depannya dengan tiga sektor. Dengan minimnya keterkaitan ini, subsektor perikanan memberikan pengaruhnya yang rendah terhadap peningkatan output sektor lainnya secara langsung, sehingga juga berdampak rendah terhadap keterkaitan tidak langsung sektor-sektor lainnya. Namun demikian perikanan budidaya memiliki nilai multiplier effect yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan perikanan tangkap. Nilai penggandaan pendapatan yang dihasilkan dari kegiatan perikanan budidaya ini mencapai 14,43 yang merupakan nilai tertinggi dari seluruh sektor ekonomi yang ada di kota Sibolga. 3. Penetapan skala prioritas pengembangan subsektor perikanan di kota Sibolga berdasarkan hasil penjaringan seluruh stakeholder tidak terdapat perbedaan yang mencolok antara faktor SDM, sarana dan prasarana, dan modal. Menurut seluruh
stakeholder
ketiga
faktor
tersebut
perlu
diprioritaskan
pengembangannya, tetapi dari hasil analisis seluruh stakeholder, prioritas tertinggi terpilih adalah peningkatan SDM pada kegiatan perikanan tangkap. Berbeda dari fakta hasil analisis bahwa pengembangan kegiatan perikanan budidaya dari sisi peningkatan kualitas SDM selayaknya menjadi sorotan skala prioritas pembangunannya di kota Sibolga dikarenakan kegiatan ini memiliki
102 dampak penggandaan secara total output dan pendapatan yang cukup tinggi terhadap sektor-sektor lainnya. 4. Berdasarkan hasil analisis beberapa arahan pengembangan untuk pembangunan subsektor perikanan diantaranya; (1) perikanan budidaya (khususnya KJA) selayaknya menjadi prioritas untuk dikembangkan. Dari sisi potensi ruang, pembentukan nilai penggandaan dan pendapatan lebih tinggi bila dibandingkan dengan perikanan tangkap. Untuk arahan lokasi pengembangan kegiatan perikanan budidaya ini pemanfaatan ruang yang potensial berada pada wilayah perairan laut kecamatan Sibolga Utara dan kecamatan Sibolga Kota; (2) untuk meningkatkan perekonomian regional kota Sibolga, sektor-sektor baru perlu di kembangkan hal ini akan berdampak peningkatan keterkaitan sektoral langsung maupun tidak langsung nantinya terhadap subsektor perikanan. 6.2 Saran Beberapa saran berdasarkan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Pemerintah daerah perlu melakukan kegiatan pelatihan teknis budidaya untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang teknis budidaya yang pada akhirnya diharapkan dapat memunculkan semangat enterpreunership (jiwa kewirausahaan) masyarakat untuk melakukan kegiatan budidaya.
2.
Pemanfaatan ruang untuk alokasi kawasan budidaya (khususnya KJA) dan kawasan pengembangan sarana dan prasarana perlu menjadi bahan pertimbangan pemerintah daerah untuk ditata sedemikian rupa dan disosialisasikan
kepada
masyarakat
sehingga
pencapaian
tujuan
pengembangan subsektor perikanan dapat berhasil guna dalam peningkatan perekonomian wilayah di kota Sibolga. 3.
Perlu penelitian tentang daya dukung dan daya tampung ruang di perairan laut kota Sibolga untuk pengembangan kegiatan perikanan kerambah jaring apung serta kesesuaian komuditas ikan yang sesuai untuk dikembangkan di lokasi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Acherson, JM. 1975. The lobster Fish Ekonomic and Ecologocal Effect of Teritoriarity in the Maine Lobster Industry. J. Human Ecology Ekology 3(3):183-207 Bahari R. 1989. Peran Koperasi Perikanan dalam Pengembangan Perikanan Rakyat. Presiding Temu Karya llmiah Perikanan Rakyat, Jakarta, 18 - 19 Desember 1989. Pusat Penelitian dan Pengembangan perikanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta: Departemen Pertanian.: 3-7. [BAPPEDA] Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kota Sibolga, 2010. Profil Kota Sibolga Tahun 2010. Kota Sibolga Negeri Berbilang Kaum. Sibolga: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Sibolga. [BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara. 2004, Tabel Input Output Provinsi Sumatera Utara Tahun 2003 (Updating). Medan: Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara. [BPS] Badan Pusat Statistik Kota Sibolga. 2011a, Sibolga Dalam Angka 2010. Sibolga: Badan Pusat Statistik Kota Sibolga. [BPS] Badan Pusat Statistik Kota Sibolga. 2011b, Statistik Tenaga Kerja Sibolga Tahun 2010. Sibolga: Badan Pusat Statistik Kota Sibolga. [BPS] Badan Pusat Statistik Kota Sibolga. 2011c, Indeks Pembangunan Manusia Kota Sibolga Tahun 2010. Sibolga: Badan Pusat Statistik Kota Sibolga. [BPS] Badan Pusat Statistik Kota Sibolga. 2011d, PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Kota Sibolga 2006-2010. Sibolga: Badan Pusat Statistik Kota Sibolga. [BPS] Badan Pusat Statistik Kota Sibolga. 2011e, PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Menurut Penggunaan Kota Sibolga 2006-2010. Sibolga: Badan Pusat Statistik Kota Sibolga. Dahuri R. 2002. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Daryanto A, Hafizrianda Y. 2010. Analisis Input-Output dan Social Accounting Matrix untuk Pembangunan Ekonomi Daerah. Bogor: IPB Press. DKPP Kota Sibolga, 2011. Statistik Kelautan Perikanan dan Peternakan Kota Sibolga. Sibolga: Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan.
104 Fauzi A. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan. Isu, Sintesis dan Gagasan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Fauzi A, Anna S. 2005. Permodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan untuk Analisis Kebijakan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Fauzi A. 2006. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Fauzi A. 2010. Ekonomi Perikanan. Teori, Kebijakan dan Pengelolaan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Ferdi, Defrianti. 2010. Penanggulangan Terhadap Kegiatan Illegal Fishing Oleh Kapal-kapal Penangkap Ikan Asing di Wilayah Pantai Barat Sumatera. Jurnal Hukum 17(1): 1-21. Hirschman AO. 1958. The Strategy of Economic Development. New Haven: Yale University Press. Jonny Z, Syaifuddin, Yudi A. 2011. Efisiensi Pemanfaatan Fasilitas di Tangkahan Perikanan Kota Sibolga. Jurnal Perikanan dan Kelautan 16(1): 1-11. Jusuf SK. 2012. Otonomi Daerah di Persimpangan Jalan. Jakarta: Pustaka Spirit. [KKP] Kementerian Kelautan Perikanan. 2011. Peta Keragaan Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI). Jakarta; KKP Dirjen Perikanan Tangkap. [KKP] Kementerian Kelautan Perikanan. 2011. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia 2010. Jakarta; KKP Dirjen Perikanan Tangkap. Nikijuluw VPH. 2005. Politik Ekonomi Perikanan, Bagaimana dan Kemana Bisnis Perikanan. Jakarta: PT. Fery Agung Corporation (FERACO). Pulu J. 2011. Kebijakan pengembangan perikanan tangkap dikawasan perbatasan Kabupaten Kepulauan Talaud [disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Muflikhati I, Fannayanti N, Yulianto G. 1996. Peranan Subsektor Perikanan dalam Perekonomian Wilayah Jawa Barat. Bogor: Buletin Ekonomi Perikanan 2(3): 1-14. Reis H, Rua A. 2006. An Input-Output Analysis : Linkages vs Leakages. Working Papers. Banco de Portugal Eurosistema. Riyadi, Bratakusumah DS. 2004. Perencanaan Pembangunan Daerah. Jakarta: PT. Gramedia Pustakan Utama.
105 Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2011. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta: Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia. Saaty TL. 2008. Making Decisions in Hierarchic and Network Systems. Int. J. Applied Decision Sciences 1(1): 24-79. Setiono DNS. 2010. Ekonomi Pengembangan Wilayah Teori dan Aplikasi. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sadyohutomo M. 2008. Manajemen Kota dan Wilayah (Tantangan dan Realita). Jakarta: PT. Bumi Aksara. Sitanggang LP. 2012. Pengembangan Perikanan Bubu Untuk Keberlanjutan Usaha Nelayan Sibolga [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sparre P, Venema SC. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Kerjasama Organisasi Pangan Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan perikanan. Jakarta: Hal. 303-324. Stobutzki IC, Silvestre GT, Garces LR. 2006. Key issues in coastal fisheries in south and southeast asia, outcomes of a regional initiative. J. Fisheries Research 78(2): 109–118. Suryawardana MI. 2006. Analisis Keterkaitan Sektor Unggulan dan Alokasi Anggaran untuk Penguatan Kinerja Pembangunan Daerah Di Provinsi Jawa Timur [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tarigan R. 2005. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Widodo J, Suadi. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Zuggarrmudi A, Parin MA, Lupin HM. 1995. Economic Engineering Applied to the Fishery Industri. FAO Technical Paper 351. FAO, Rome Italy.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Keterangan kode sektor ekonomi di kota Sibolga
Kode 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 190 409 201 202 203 204 209 210 301 302 303 304 305 309 310
Sektor Peternakan dan Hasil-hasil Lainnya Perikanan Tangkap Perikanan Budidaya Pertambangan dan Penggalian Industri Bukan Migas Listrik, Gas dan Air Bersih Konstruksi/Bangunan Perdagangan Perhotelan Restoran Angkutan Jalan Raya Angkutan Laut, Sungai, Danau dan Penyeberangan Jasa Penunjang Angkutan Komunikasi Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa Pemerintah dan Swasta Total Input Antara Impor Upah dan Gaji Surplus Usaha Penyusutan Pajak Tak Langsung Total Nilai Tambah/PDRB Total Input Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi Pemerintah Pembentukan Modal Tetap Perubahan Stok Ekspor Total Permintaan Akhir (Final Demand) Total Permintaan (output total)
110 Lampiran 2 Tabel Input-Output kota Sibolga tahun 2010 (dalam juta rupiah) Kode Sektor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 190 409 201 202 203 204 209 210
1 74,97
2.112,69 19,08 40,51 789,66 7,79 14,99 28,40 21,55 3.109,63 56,22 1.156,27 2.945,44 54,57 14,20 4.170,48 7.336,33
2
3
1.299,13 1.751,66 19.511,17 577,06 163,25 2.427,51 1.399,83 27.129,61 12.218,09 86386,98 244038,85 6092,89 1812,41 338.331,14 377.678,83
11.788,26 1.850,82 0,13 8,09 6.514,13 17,97 2,71 20.182,11 254,44 345,19 13657,93 302,50 236,67 14.542,29 34.978,85
4 1,67 12,87 0,21 0,39 3,15 0,61 3,25 1,88 0,19 1,12 1,67 2,18 29,18 47,03 21,35 67,24 3,71 0,76 93,06 169,26
5
6
5.183,57 2.151,69 167,59 83.204,74 5.045,20 301,90 31.885,30 1.010,09 187,61 9.101,66 1.656,48 1.059,71 2.363,94 6.207,35 2.324,66 151.851,50 74.522,26 21.283,83 97.687,93 9.383,69 3.012,44 131.367,89 357.741,66
8.075,21 5.072,05 4.006,14 6.052,63 29,35 46,43 505,92 7,30 115,43 829,25 1.096,33 25.836,03 4.887,39 6.182,81 4.479,94 4.118,86 951,23 15.732,84 46.456,26
111 Lampiran 2 (lanjutan) Kode Sektor
7
8
9
10
11
12
1
-
-
1.277,54
110,07
-
515,07
2
-
-
680,99
151,34
-
1.588,29
3
-
-
21,57
79,65
-
-
4
-
-
-
-
-
-
5
78.159,87
24.539,80
8.555,58
1.866,10
7.678,32
11.074,04
6
254,87
9.006,84
209,05
239,63
1.174,96
1.579,69
7
686,96
3.135,38
118,60
178,50
416,52
772,34
8
33.260,29
4.061,30
3.364,73
636,56
1.131,01
2.805,59
9
722,85
-
21,41
288,00
2.649,29
-
10
79,80
235,02
3,26
11,71
145,51
39,63
11
1.032,86
11.424,11
259,68
45,35
8.954,76
372,37
12
223,09
2.220,52
3,04
23,86
1.367,53
2.532,05
13
369,50
3.632,58
-
697,85
7.681,64
15.016,69
14
1.136,29
4.760,08
90,71
523,18
2.041,01
2.165,78
15
3.900,19
33.174,84
132,47
259,65
5.060,73
3.076,51
16
2.087,14
4.304,59
104,96
591,63
26.555,77
1.554,15
121.913,72 100.495,05 14.843,59
5.703,08
64.857,05
43.092,20
190 409
979,78
353,90
154,47
23,34
856,23
3.783,59
201
45.402,43
70.089,29
2.936,63
4.586,55
25.581,32
16.322,25
202
29.865,21 217.837,90
6.112,36
9.078,85
53.984,17
25.587,52
203
6.597,12
27.777,77
983,64
971,55
10.601,81
5.999,27
204
4.004,45
11.772,07
354,64
520,06
1.280,66
732,73
209
85.869,21 327.477,02 10.387,27
15.157,01
91.447,96
48.641,77
210
208.762,71 428.325,96 25.385,33
20.883,43
157.161,24
95.517,56
112 Lampiran 2 (lanjutan) Kode Sektor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 190 409 201 202 203 204 209 210
13 4.314,22 604,37 1.527,78 847,51 298,06 170,17 659,82 128,41 3.925,18 3.026,03 1.379,65 1.771,05 18.652,24 32,48 7.643,11 18.194,32 3.178,42 53,05 29.068,89 47.753,61
14 2.990,58 1.661,83 4.409,89 1.153,75 1.421,37 57,81 327,63 61,09 189,57 3.000,59 1.577,46 1.238,60 18.090,14 20,67 21.287,00 26.798,79 10.677,86 301,85 59.065,49 77.176,31
15 4.548,70 1.082,99 6.633,41 1.284,72 478,86 128,79 2.491,36 271,93 354,40 1.114,02 11.451,75 2.352,05 32.192,96 7,62 30.101,12 97.958,40 12.932,85 3.138,73 144.131,10 176.331,68
16 175,11 53,59 19.462,63 2.942,90 1.141,90 6.791,05 531,31 57,17 414,66 211,19 865,05 510,68 2.404,09 6.099,61 41.660,92 6,49 167.671,76 37.557,10 20.187,38 2.877,05 228.293,29 269.960,70
180 7.336,33 16.360,56 2.005,62 169,26 256.595,36 30.192,92 25.129,96 120.092,57 7.458,98 1.162,90 36.203,43 8.708,36 33.792,35 21.014,80 71.911,51 51.504,09 689.639,00 98.204,00 506.997,89 885.851,95 119.863,87 31.062,99 1.543.776,71 2.331.619,71
113 Lampiran 2 (lanjutan) Kode Sektor
301
302
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 190
211.035,79 32.326,08 38.505,85 14.698,41 1.232,60 109.160,96 16.925,97 17.690,27 112.091,20 1.562,16 13.809,09 48.248,57 101.298,59 76.018,50 874.604,03
537,13 1.564,93 1.472,11 1.327,65 1.000,38 2.030,26 8.866,60 5.247,05 152,17 7.912,93 3.121,58 141.293,47 174.526,26
303 6.310,99 180.928,03 30.884,79 1.144,64 219.268,45
304 379,73 4.088,90 8.266,58 12.735,20
305 150.282,49 267,42 51.703,44 158.593,42 360.846,76
114 Lampiran 2 (lanjutan) Kode Sektor
309
310
600
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 190
361.318,28 32.973,22 101.146,30 16.263,34 183.632,74 308.233,39 17.926,35 19.720,53 120.957,81 86.809,21 13.961,26 56.161,50 104.420,17 218.456,62 1.641.980,71
7.336,33 377.678,83 34.978,85 169,26 357.741,66 46.456,26 208.762,71 428.325,96 25.385,33 20.883,43 157.161,24 95.517,56 47.753,61 77.176,30 176.331,68 269.960,71 2.331.619,71
7.280,11 365.460,75 34.724,41 122,23 283.219,39 41.568,87 207.782,93 427.972,07 25.230,86 20.860,09 156.305,01 91.733,97 47.721,13 77.155,63 176.324,06 269.954,21 2.233.415,71
115 Lampiran 3 Matriks kebalikan Leontief (I-A)-1 Kode Sektor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Total
1
2
3
4
5
6
7
8
1,0164 0,0026 0,0000 0,0002 0,4063 0,0138 0,0099 0,1518 0,0028 0,0004 0,0182 0,0030 0,0043 0,0055 0,0259 0,0116 1,6727
0,0002 1,0001 0,0000 0,0000 0,0099 0,0056 0,0062 0,0551 0,0002 0,0001 0,0038 0,0004 0,0009 0,0014 0,0121 0,0055 1,1013
0,0004 0,3560 1,0559 0,0000 0,0238 0,0075 0,0054 0,2217 0,0004 0,0002 0,0086 0,0014 0,0029 0,0035 0,0221 0,0060 1,7158
0,0020 0,0010 0,0000 1,0100 0,1160 0,0052 0,0048 0,0332 0,0047 0,0002 0,0252 0,0125 0,0056 0,0093 0,0177 0,0198 1,2672
0,0199 0,0083 0,0000 0,0006 1,3407 0,0259 0,0072 0,1302 0,0050 0,0009 0,0412 0,0076 0,0093 0,0125 0,0389 0,0194 1,6676
0,0051 0,0022 0,0000 0,0002 0,3340 1,1342 0,1027 0,1988 0,0030 0,0016 0,0292 0,0033 0,0056 0,0094 0,0483 0,0389 1,9165
0,0081 0,0034 0,0000 0,0002 0,5262 0,0163 1,0100 0,2155 0,0059 0,0009 0,0269 0,0051 0,0082 0,0133 0,0501 0,0225 1,9125
0,0016 0,0008 0,0000 0,0000 0,1020 0,0277 0,0150 1,0273 0,0016 0,0008 0,0339 0,0065 0,0131 0,0149 0,0902 0,0200 1,3555
116 Lampiran 3 (lanjutan) Kode Sektor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Total
9 0,0583 0,0303 0,0009 0,0002 0,4942 0,0231 0,0113 0,1929 1,0032 0,0006 0,0309 0,0039 0,0059 0,0107 0,0336 0,0168 1,9167
10 0,0084 0,0100 0,0041 0,0001 0,1536 0,0189 0,0151 0,0562 0,0154 1,0009 0,0097 0,0025 0,0387 0,0310 0,0243 0,0354 1,4240
11
12
13
14
15
16
0,0029 0,0014 0,0001 0,0001 0,1181 0,0160 0,0105 0,0321 0,0197 0,0014 1,0670 0,0107 0,0602 0,0207 0,0468 0,1897 1,5973
0,0089 0,0185 0,0000 0,0001 0,2110 0,0285 0,0218 0,0642 0,0030 0,0013 0,0159 1,0294 0,1789 0,0391 0,0531 0,0312 1,7050
0,0032 0,0014 0,0000 0,0001 0,1773 0,0228 0,0440 0,0505 0,0096 0,0042 0,0240 0,0046 1,0934 0,0752 0,0458 0,0504 1,6065
0,0026 0,0012 0,0000 0,0001 0,1084 0,0289 0,0643 0,0437 0,0201 0,0010 0,0103 0,0018 0,0047 1,0430 0,0312 0,0222 1,3837
0,0012 0,0006 0,0000 0,0000 0,0675 0,0099 0,0425 0,0237 0,0038 0,0009 0,0191 0,0024 0,0044 0,0088 1,0750 0,0197 1,2797
0,0024 0,0008 0,0002 0,0001 0,1106 0,0157 0,0072 0,0403 0,0026 0,0004 0,0064 0,0017 0,0050 0,0039 0,0162 1,0264 1,2398
117 Lampiran 4 Kuesioner untuk menganalisa pendapat/persepsi stakeholder
KUESIONER PENELITIAN
ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) Judul Penelitian :
PEMBANGUNAN SUBSEKTOR PERIKANAN DALAM UPAYA PENGEMBANGAN WILAYAH DI KOTA SIBOLGA
IDENTITAS RESPONDEN Nama
: ..........................................................
Tingkat Pendidikan
: ..........................................................
Pekerjaan/Jabatan
: ..........................................................
Tandatangan
: ..........................................................
MUHAMMAD ASPAN PANGGABEAN NRP A156110244 Komisi Pembimbing: Dr. Ir. BABA BARUS, MSc. (Ketua) Dr. Ir. SETIA HADI, MS. (Anggota)
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR TAHUN 2012
118
PENGANTAR
Untuk menyelesaikan studi ilmu perencanaan wilayah di sekolah pascasarjana institiut pertanian Bogor dan memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister, dengan ini saya : Nama
: Muhammad Aspan Panggabean
NRP
: A156110224
Program Studi : Ilmu Perencanaan Wilayah Melakukan penelitian dengan berjudul: Studi Peran Sektor Perikanan dalam Pengembangan Wilayah di Kota Sibolga. Sehubungan dengan tugas akhir tersebut, saya menyusun kuisioner yang berkaitan dengan upaya perencanaan pembangunan subsektor perikanan di kota Sibolga, maka dari itukami mohon kepada Bapak/Ibu untuk menjawab seluruh pertanyaan yang ada dalam kuisioner ini dengan jawaban yang benar dan akurat sesuai dengan pengalaman dan pengamatan Bapak/Ibu selama ini, agar data tersebut
dapat
diolah/dianalisadan
menghasilkan
informasi
yang
dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Atas perhatian dan bantuan Bapak/Ibu serta kesediaan dalam meluangkan waktu untuk mengisi kuisioner ini, kami ucapkan terima kasih.
Hormat Saya,
Muhammad Aspan Panggabean
119 BAGIAN I
Diberi tanda [X] pada kotak pilihan yang tersedia. 1. Apakah Bapak/Ibu mengetahui tentang istilah-istilah berikut : Sektor Unggulan
a.
Ya
b. Tidak
Potensi Lokal
a.
Ya
b. Tidak
Sektor Perikanan
a.
Ya
b. Tidak
Pengembangan Wilayah
a.
Ya
b. Tidak
Sumberdaya Perikanan
a.
Ya
b. Tidak
Sumberdaya Perikanan
a.
Ya
b. Tidak
Sumberdaya Manusia
a.
Ya
b. Tidak
Sarana dan Prasarana Perikanan
a.
Ya
b. Tidak
Perikanan Tangkap
a.
Ya
b. Tidak
Perikanan Budidaya
a.
Ya
b. Tidak
Pengolahan Hasil Perikanan
a.
Ya
b. Tidak
Pasar/Konsumen
a.
Ya
b. Tidak
2. Apakah Bapak/Ibu mengetahui sektor unggulan Kota Sibolga ? a. Tidak Tahu b.
3.
Tahu Mohon Bapak/Ibu memberikan pejelasan singkat.
Apakah Bapak/Ibu mengetahui potensi perikanan di kota Sibolga? a. Tidak Tahu b.
Tahu Mohon Bapak/Ibu memberikan pejelasan singkat.
120 4.
Apakah Bapak/Ibu mengetahui tentang strategi kebijakan pembangunan di kota Sibolga? a. Tidak Tahu b.
Tahu Mohon Bapak/Ibu memberikan pejelasan singkat.
5.
Apakah Bapak/Ibu mengetahui tentang strategi kebijakan pembangunan sektor perikanan di kota Sibolga? a. Tidak Tahu b. Tahu
6.
(jika pertanyaan No. 12 dijawab tahu) Dalam perumusan kebijakan pembangunan sektor perikanan apakah memperhatikan potensi lokal yang ada? a. Tidak Tahu b.
7.
Apakah Bapak/Ibu mengetahui prioritas pembangunan sektor perikanan di kota Sibolga ? a. Tidak Tahu b.
8.
Tahu Mohon Bapak/Ibu memberikan pejelasan singkat.
Tahu Mohon Bapak/Ibu memberikan pejelasan singkat.
Apakah menurut Bapak/Ibu kebijakan pembangunan perikanan sudah cukup baik dan kondusif untuk mendukung perkembangan wilayah di kota Sibolga? a. Sudah b. Belum
121 9. (jika pertanyaan No. 15 dijawab belum) Kebijakan apa saja yang dibutuhkan untuk mendorong peranan sektor perikanan, dan bagaimana prioritasnya ?
10. Menurut Bapak/Ibu apa saja kelemahan kebijakan pembangunan perikanan di Kota Sibolga dan bagaimana cara mengatasinya?
122 BAGIAN II
Cara Menjawab Kuisioner : Responden hanya menentukan nilai antara 1-9. Mohon diberi tanda silang (X) pada nilai yang dipilih. Ketentuan pembobotan masing-masing nilai seperti pada tabel di bawah ini :
Nilai
Penjelasan
1
Kedua elemen sama pentingnya
3
Elemen yang satu sedikit lebih penting dari elemen yang lain
5
Elemen yang satu lebih penting dari elemen yang lain
7
Elemen yang satu jelas lebih pentingdari elemen yang lain
9
Elemen yang satu mutlak lebih penting dari elemen yang lain Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan dengan nilai sebelum dan setelahnya
2,4,6,8
Contoh : Jika faktor A mutlak lebih penting dari faktor B, maka diisi Faktor A
9 8 7 6 5 4 3 2
1
2 3 4 5 6 7 8 9
Faktor B
Atau, Faktor B lebih penting dari Faktor A, maka diisi : Faktor A
9 8 7 6 5 4 3 2
1
2 3 4 5 6 7 8 9
Selanjutnya dilakukan pemilihan skala prioritas seperti contoh diatas.
Faktor B
123 DAFTAR PERTANYAAN Diisi sesuai petunjuk dan skala prioritas kepentingan. 1. Dalam menentukan skala Prioritas Pembangunan Subsektor Perikanan di kota Sibolga, ada lima faktor yang perlu dipertimbangkan yaitu: (1) Sumber Daya Perikanan (SDI); (2) Sumber Daya Manusia (SDM); (3) Sarana dan Prasarana (Sarpras); (4) Pasar/Konsumen; dan (5) Pembiayaan/Permodalan (Biaya). Menurut Bapak/Ibu bagaimana perbandingan prioritas kepentingan dari setiap faktor tersebut? SDI
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
SDM
SDI
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Sarpras
SDI
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Pasar
SDI
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Biaya
SDM
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Sarpras
SDM
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Pasar
SDM
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Biaya
Sarpras
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Pasar
Sarpras
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Biaya
Pasar
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Biaya
2. Berdasarkan faktor Sumber Daya Perikanan terdapat tiga kemungkinan kegiatan pengembangan pembangunan perikanan yaitu : (1) Perikanan Tangkap; (2) Perikanan Budidaya; dan (3) Pengolahan Hasil Perikanan. Menurut Bapak/Ibu kegiatan mana yang lebih dipertimbangkan? Tangkap
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Budidaya
Tangkap
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Pengolahan
Budidaya
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Pengolahan
3. Sesuai dengan ketersediaan Sumber Daya Manusia, juga terdapat tiga kegiatan pembangunan perikanan yang dapat dikembangkan, yaitu: (1) Perikanan Tangkap; (2) Perikanan Budidaya; dan (3) Pengolahan Hasil Perikanan. Menurut Bapak/Ibu bagaimana perbandingan tiga kegiatan tersebut? Tangkap
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Budidaya
Tangkap
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Pengolahan
Budidaya
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Pengolahan
124 4. Berhubungan dengan dukungan Sarana dan Prasarana yang tersedia, maka kegiatan pembangunan perikanan yang berpeluang besar untuk dikembangkan dimasa yang akan datang adalah: (1) Perikanan Tangkap; (2) Perikanan Budidaya; dan (3) Pengolahan Hasil Perikanan. Menurut Bapak/Ibu bagaimana perbandingan kegiatan-kegiatan tersebut ? Tangkap
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Budidaya
Tangkap
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Pengolahan
Budidaya
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Pengolahan
5. Faktor Pasar/Konsumen mempengaruhi kebijakan pembangunan sektor perikanan, menjadi: (1) Perikanan Tangkap; (2) Perikanan Budidaya; dan (3) Pengolahan Hasil Perikanan. Menurut Bapak/Ibu bagaimana perbandingan kegiatan-kegiatan tersebut ? Tangkap
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Budidaya
Tangkap
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Pengolahan
Budidaya
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Pengolahan
6. Faktor Biaya turut menentukan jenis kegiatan pembangunan perikanan menjadi tiga sektor yaitu: (1) Perikanan Tangkap; (2) Perikanan Budidaya; dan (3) Pengolahan Hasil Perikanan. Menurut Bapak/Ibu bagaimana perbandingan kegiatan-kegiatan tersebut ? Tangkap
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Budidaya
Tangkap
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Pengolahan
Budidaya
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Pengolahan
125 BAGIAN III
Pada bagian ini Bapak/Ibu dimohon untuk memberikan pendapat berdasarkan pengalaman dan pengamatan di lapang berdasarkan aktivitas subsektor perikanan untuk memilih lokasi yang tepat untuk pengembangan subsektor perikanan tersebut. Lokasi dimaksud disini adalah tempat untuk pengembangan sarana dan prasarana pendukung subsektor perikanan serta kegiatan-kegitan perikanan lainnya. DAFTAR PERTANYAAN
1. Apakah Bapak/Ibu setuju jika kota Sibolga dijadikan sebagai kota perikanan seperti hal yang dicanangkan pemerintah daerah? a. Ya b. Tidak Jelaskan alasan singkatnya.
2. Apakah Bapak/Ibu mengetahui lokasi-lokasi aktivitas perikanan di kota Sibolga? a. Ya b. Tidak Jika jawaban Ya, lanjut ke pertanyaan berikutnya. 3.
Pilih kelurahan sebagai lokasi aktivitas perikanan di kota Sibolga yang Bapak/Ibu ketahui. (pilih beberapa lokasi yang Bapak/Ibu ketahui). 1. Sibolga Utara a. Sibolga Ilir
2. Sibolga Kota a. Kota Baringin
b.
Simaremare
b. Pasar Baru
c.
Huta Tongatonga
c. Pasar Belakang
d.
Angin Nauli
d. Pancuran Gerobak
e.
Huta Barangan
3. Sibolga Sambas a. Pancuran Dewa
4. Sibolga Selatan a. Aek Habil
b.
Pancuran Bambau
b. Aek Manis
c.
Pancuran Kerambil
c. Aek Parombunan
d.
Pancuran Pinang
d. Aek Muara Pinang
126 4.
Dari beberapa kelurahan yang Bapak/Ibu pilih, kegiatan perikanan apa saja yang dilakukan di kelurahan tersebut dan sangat tepat untuk dilakukan pengembangan subsektor perikanan? (bila perlu, pilih lebih dari satu jawaban, coret jika lokasi tidak mendukung). Mohon ditandai pada peta yang ada pada nomor 6. Industri Perikanan
Pengolahan Hasil Perikanan
Tempat Bongkar / Muat Ikan dari Kapal Perikanan Budidaya Perairan
Perikanan Budidaya Darat
Perikanan Tangkap
Kelurahan
Sibolga Ilir Simaremare Huta Tongatonga Angin Nauli Huta Barangan Kota Baringin Pasar Baru Pasar Belakang Pancuran Gerobak Pancuran Dewa Pancuran Bambu Pancuran Kerambil Pancuran Pinang Aek Habil Aek Manis Aek Parombunan Aek Muara Pinang
5. Menurut Bapak/Ibu, apa saja infrastruktur subsektor perikanan yang perlu di benahi dan dikembangkan di kota Sibolga? (berikan catatan pada kotak tersedia).
127 6. Lanjutan dari pertanyaan 4, mohan Bapak/Ibu sket pada peta yang ada dan memberikan keterangannya pada kolom tersedia.
128 7.
Dengan keterbatasan ruang yang ada, untuk mengembangkan sarana dan prasarana khususnya di subsektor perikanan, menurut Bapak/Ibu kebijakan apa yang tepat dilakukan pada masyarakat yang memiliki hak milik lahan sebagai tempat pengembangan sarana dan prasarana tersebut agar program peningkatan subsektor perikanan ini dapat terwujud? (berikan pendapat Bapak/Ibu pada kotak tersedia).
8.
Jika industri perikanan di kembangkan, apakah masyarakat telah siap untuk menerimanya? Bagaimana kesiapan SDM masyarakat dan jika pekerja disektor industry ini menyerap tenaga kerja dari luar daerah dikarenakan persaingan kualitas SDM, bagaimana menurut Bapak/Ibu akan hal ini? (berikan pendapat Bapak/Ibu pada kotak tersedia).