PEMBANGUNAN SUBSEKTOR TANAMAN BAHAN MAKANAN DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH DI KABUPATEN MAJALENGKA
NUNIK RACHMAWATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pembangunan Subsektor Tanaman Bahan Makanan dalam Pengembangan Wilayah di Kabupaten Majalengka adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Februari 2012 Nunik Rachmawati NRP A156100254
ABSTRACT NUNIK RACHMAWATI. The Development of Food Crops Subsector in Supporting Regional Development in Majalengka Regency. Under direction of SANTUN R.P. SITORUS and DIDIT OKTA PRIBADI Food crops subsector is expected to be a strategic sector for regional development in Majalengka regency in the future because it based on local resources. The purposes of this study are : (1) identifying condition and potency of food crops subsector in Majalengka regency, (2) identifying the role of food crops subsector in regional economy, (3) identifying superior commodities, (4) exploring perceptions of stakeholders regarding food crops development priorities (5) formulating the direction of food crops subsector development for regional development in Majalengka. The data analysis used are Location Quotient (LQ), Shift Share, Input-Output (I-O), Analytical Hierarcy Process (AHP), land suitability and avaibility evaluation. The result showed that food crops subsector is a basis sector with some commodities have superiority in planting area, harvesting area, production and number of trees. Food crops subsector has the highest contribution in gross regional domestic product (GDP) up to 23,80% and contributed to total output up to 16,23%. However, it has low linkages with other sectors. An analysis result in macro, meso and micro levels showed that paddy, corn, soybean, mangos, banana and melinjo are superior commodities in Majalengka regency. Based on stakeholders perception, three of the priority commodities are paddy, corn, and mangos. While, the priority of agribusiness subsystem is on farming system and supporting aspects of the priorities is improving human resources. The direction in the development of food crops subsector are to improve the performance and enhance the role and linkages with other sector. Keywords: food crops subsector, regional economic development, sectoral linkages, Regency of Majalengka
RINGKASAN NUNIK RACHMAWATI. Pembangunan Subsektor Tanaman Bahan Makanan Dalam Pengembangan Wilayah di Kabupaten Majalengka. Dibimbing oleh SANTUN R.P. SITORUS dan DIDIT OKTA PRIBADI. Berlakunya otonomi daerah menimbulkan implikasi bagi daerah untuk lebih kreatif dalam menggali potensi sumberdaya lokal, mengelola dan memanfaatkan potensi tersebut. Keterbatasan sumberdaya yang dimiliki oleh setiap daerah menyebabkan setiap daerah harus mampu mengelola sumberdaya yang dimilikinya secara optimal agar dapat memajukan daerahnya. Salah satu potensi lokal yang perlu dikelola secara optimal adalah sektor pertanian. Subsektor tanaman bahan makan merupakan bagian dari sektor pertanian yang memiliki kontribusi besar terhadap PDRB sektor pertanian di Kabupaten Majalengka sehingga diharapkan akan terus berkembang menjadi sektor strategis dalam pengembangan wilayah Kabupaten Majalengka pada masa yang akan datang. Sektor strategis adalah sektor yang memberikan sumbangan besar dalam perekonomian wilayah dan memiliki keterkaitan kuat secara sektoral maupun spasial. Untuk meningkatkan pembangunan subsektor ini sehingga mampu menjadi sektor yang strategis dalam pengembangan wilayah, maka tujuan penelitian ini adalah : (1) mengetahui kondisi dan potensi subsektor tanaman bahan makanan saat ini di Kabupaten Majalengka, (2) mengetahui peran subsektor tanaman bahan makanan saat ini dalam perekonomian wilayah Kabupaten Majalengka, (3) mengetahui komoditas unggulan subsektor tanaman bahan makanan, (4) mengetahui prioritas pembangunan subsektor tanaman bahan makanan dan (5) merumuskan arahan pembangunan subsektor tanaman bahan makanan dalam pengembangan wilayah di Kabupaten Majalengka. Analisis yang digunakan adalah metode Location Quotient (LQ), Shift Share Analysis, Analisis Input-Output (I-O), Analytical Hierarcy Process (AHP), dan evaluasi kesesuaian dan ketersediaan lahan. Hasil identifikasi dari kondisi dan potensi menunjukkan bahwa subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka merupakan sektor basis di wilayah Propinsi Jawa Barat. Dari hasil analisis LQ dan SSA komoditas subsektor tanaman bahan makanan yang unggul dari aspek luas tanam adalah jagung, kacang hijau dan kembang kol, komoditas yang unggul dari aspek luas panen adalah jagung dan kacang hijau, komoditas yang unggul dari aspek produksi adalah jagung, kedelai, kacang hijau, bawang merah, alpukat, jambu biji, jeruk, mangga, melinjo dan petai, sedangkan komoditas yang unggul dari aspek jumlah pohon adalah alpukat, mangga, durian, jambu biji, pisang, nangka, pepaya, sawo, melinjo, petai, sirsak dan sukun. Peran subsektor tanaman bahan makanan dalam perekonomian wilayah dianalisis berdasarkan sumbangannya terhadap PDRB dan analisis input-output. Berdasarkan sumbangannya terhadap PDRB Tahun 2009, subsektor tanaman bahan makanan memiliki kontribusi sebesar Rp 1.005.886,04 juta atau sebesar 23,80% dari total PDRB Kabupaten Majalengka. Nilai tersebut menempati peringkat ke-1 dari 23 sektor perekonomian. Dari hasil analisis input-output
diketahui bahwa subsektor tanaman bahan makanan memiliki kontribusi sebesar Rp 1.206. 891,18 juta atau 16,23% terhadap total output seluruh sektor ekonomi. Nilai tersebut menempati peringkat ke-2 dari 23 sektor perekonomian. Berdasarkan indikator tersebut subsektor tanaman bahan makanan memiliki peran yang besar dalam preekonomian wilayah Kabupaten Majalengka. Hasil analisis keterkaitan langsung ke depan atau Direct Forward Linkage (DFL) komoditas subsektor tanaman bahan makanan menunjukkan bahwa besarnya peranan subsektor tanaman bahan makanan adalah sebagai berikut : padi memiliki nilai DFL sebesar 0,2561 menempati urutan ke-7, buah-buahan memiliki nilai DFL sebesar 0,0928 menempati urutan ke-15, bahan makanan lainnya memiliki nilai DFL sebesar 0,0823 menempati urutan ke-16, jagung memiliki nilai DFL sebesar 0,0627 menempati urutan ke-21, ubi kayu memiliki nilai DFL sebesar 0,0238 menempati urutan ke-24 dan sayur-sayuran memiliki nilai DFL sebesar 0,0085 serta menempati urutan ke-27. Hasil analisis keterkaitan langsung ke belakang atau Direct Backward Linkage (DBL) komoditas subsektor tanaman bahan makanan menunjukkan bahwa besarnya perananan subsektor tanaman bahan makanan adalah sebagai berikut : jagung memiliki nilai DBL sebesar 0,1394 menempati urutan ke-17, padi memiliki nilai DBL sebesar 0,1106 menempati urutan ke-21, buah-buahan memiliki nilai DBL sebesar 0,0967 menempati urutan ke-24, bahan makanan lainnya memiliki nilai DBL sebesar 0,0940 menempati urutan ke-26, sayursayuran memiliki nilai DBL sebesar 0,0674 menempati urutan ke-27 dan ubi kayu memiliki nilai DBL sebesar 0,0639 serta menempati urutan ke-28. Hasil analisis keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan maupun ke belakang (Direct Indirect Forward/Backward Linkage), Indeks Derajat Kepekaan (IDK) dan Indeks Daya Penyebaran (IDP) serta multiplier effec Output, NTB, Pendapatan dan pajak tak langsung menunjukkan hal yang tidak berbeda jauh dengan hasil analisis DFL dan DBL diatas. Oleh karena itu, berdasarkan parameter keterkaitan ke belakang (DBL, DIBL, dan IDP), keterkaitan ke depan (DFL, DIFL, dan IDK), serta multiplier effect, maka subsektor tanaman masih memiliki peran yang kecil. Namun demikian, subsektor ini memiliki potensi yang baik untuk menjadi sektor strategis dalam perekonomian wilayah Kabupaten Majalengka. Berdasarkan hasil analisis LQ dan SSA pada level makro, analisis keterkaitan dan multiplier effect pada level meso dan analisis luas panen serta produksi pada level mikro maka padi, jagung, kedelai, mangga, pisang dan melinjo ditetapkan sebagai komoditas unggulan subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka. Hasil analisis terhadap persepsi stakeholders dalam menentukan prioritas pembangunan subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka menunjukkan bahwa berdasarkan jenis komoditas unggulan diperoleh urutan prioritas sebagai berikut : (1) padi dengan skor 0,332; (2) jagung dengan skor 0,260; (3) mangga dengan skor 0,177; (4) kedelai dengan skor 0,117; (5) pisang dengan skor 0,066 dan (6) melinjo dengan skor 0,048. Berdasarkan subsistem agribisnis diperoleh urutan prioritas sebagai berikut : (1) subsistem usahatani (0,307); (2) subsistem agribisnis hulu (0,282); (3) subsistem agribisnis hilir (0,257) dan subsistem jasa layanan pendukung (0,155). Berdasarkan aspek pendukung diperoleh urutan : (1) sumberdaya manusia (0,460); (2) sarana prasarana (0,300) dan (3) kelembagaan (0,240).
Berdasarkan seluruh hasil analisis, maka arahan kebijakan pembangunan subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka adalah meningkatkan kinerja subsektor ini dan meningkatkan keterkaitan subsektor tanaman bahan makanan dengan sektor-sektor lain, baik yang memiliki keterkaitan ke depan maupun keterkaitan ke belakang yang mampu memberikan nilai tambah dan mengurangi terjadinya kebocoran wilayah, sehingga perannya dalam perekonomian wilayah menjadi semakin besar. Untuk mendukung hal ini maka pembangunan subsektor tanaman bahan makanan diupayakan fokus pada komoditas unggulan dengan melaksanakan pembangunan subsistem agribisnis secara terpadu dan peningkatan kemampuan sumberdaya manusia, ketersediaan sarana prasarana serta dukungan kelembagaan yang kuat. Arahan wilayah untuk pengembangan padi adalah Kecamatan Ligung, Jatitujuh, Jatiwangi, Dawuan, Kertajati, Kadipaten, Palasah dan Sumberjaya. Arahan wilayah untuk pengembangan jagung adalah Kecamatan Kertajati. Jatitujuh, Ligung, Sumberjaya, Palasah, Jatiwangi, Dawuan, Kadipaten, Kasokandel, Cigasong, Talaga, Banjaran, Cikijing dan Cingambul. Arahan wilayah untuk pengembangan mangga adalah Kecamatan Kertajati, Jatitujuh, Ligung, Jatiwangi, Panyingkiran dan Majalengka.
Kata kunci : subsektor tanaman bahan makanan, pengembangan ekonomi wilayah, keterkaitan sektor, Kabupaten Majalengka
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PEMBANGUNAN SUBSEKTOR TANAMAN BAHAN MAKANAN DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH DI KABUPATEN MAJALENGKA
NUNIK RACHMAWATI
TESIS sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar MAGISTER SAINS pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Setia Hadi, M. Si.
Judul Tesis
:
Nama NRP Program Studi
: : :
Pembangunan Subsektor Tanaman Bahan Makanan dalam Pengembangan Wilayah di Kabupaten Majalengka Nunik Rachmawati A156100254 Ilmu Perencanaan Wilayah
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus Ketua
Didit Okta Pribadi, SP. M.Si. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.
Tanggal Ujian : 24 Januari 2012
Tanggal Lulus :
PRAKATA Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul Pembangunan Subsektor Tanaman Bahan Makanan dalam Pengembangan Wilayah di Kabupaten Majalengka dapat diselesaikan. Dalam penyusunan karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus dan Didit Okta Pribadi, SP., M.Si. selaku ketua dan anggota komisi pembimbing atas segala motivasi, arahan, dan bimbingan yang diberikan mulai dari tahap awal hinga penyelesaian tesis ini 2. Dr. Ir. Setia Hadi, M.Si. selaku penguji luar komisi yang telah memberikan koreksi dan masukan bagi penyempurnaan tesis ini 3. Segenap dosen pengajar, asisten dan staf manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB 4. Kepala Pusbindiklatren Bappenas beserta jajarannya atas kesempatan beasiswa yang diberikan kepada penulis 5. Pemerintah Kabupaten Majalengka yang telah memberikan izin kepada penulis untuk mengikuti program tugas belajar ini 6. Rekan-rekan PWL kelas Bappenas maupun Reguler angkatan 2010 dan semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan Tesis ini Terima kasih yang istimewa khusus disampaikan kepada suamiku Dudung Abdurrohman, SP. dan anakku Aisyah Nurlathifah A. beserta seluruh keluarga, atas segala do’a, dukungan, kasih sayang, dan pengorbanan yang telah diberikan selama ini. Penulis menyadari adanya keterbatasan ilmu dan kemampuan, sehingga dalam penelitian ini mungkin masih terdapat banyak kekurangan. Akhirnya, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Terimaksih.
Bogor, Februari 2012
Nunik Rachmawati
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kabupaten Majalengka pada tanggal 24 Maret 1977 dari pasangan orang tua Bapak U. Samhudi dan Ibu I. Rodiyah (Almarhumah). Penulis merupakan anak keenam dari enam bersaudara. Pendidikan dasar hingga menengah penulis tempuh di Kabupaten Majalengka. Tahun 1996 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Majalengka dan kemudian melanjutkan ke Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI). Penulis diterima di jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian dan menyelesaikan studi pada jenjang sarjana pada Tahun 2000. Pada Tahun 2005, penulis diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Pemerintah Kabupaten Majalengka pada Dinas Pertanian dan Perikanan Kabupaten Majalengka hingga saat ini. Penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah pascasarjana pada tahun 2010 dan diterima pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) IPB dengan bantuan pembiayaan dari Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan Perencana Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Pusbindiklatren Bappenas).
i
DAFTAR ISI
Halaman
I.
DAFTAR TABEL ……………………………………………………....
v
DAFTAR GAMBAR …………………………………………...……...
viii
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………..........
x
PENDAHULUAN 1.1. 1.2. 1.3. 1.4. 1.5. 1.6.
II.
1 6 9 9 9 12
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. 2.2. 2.3. 2.4. 2.5. 2.5.
III.
Latar Belakang …………………………………………………. Perumusan Masalah ……………………………………………. Tujuan Penelitian ………………………………………………. Manfaat Penelitian ……………………………………………... Kerangka Pemikiran …………………………………………… Pengertian/Definisi ……………………………………………...
Pengembangan Wilayah ………………………………………... Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan ………………….. Sektor Basis, Keunggulan Komparatif dan Kompetitif...………. Keterkaitan Sektor …………………………………………….... Komoditas Unggulan …………………………………………... Isu Utama Kebijakan Pengembangan Wilayah …………………
15 18 21 25 28 29
METODE PENELITIAN 3.1. 3.2. 3.3. 3.4. 3.5.
Lokasi dan Waktu Penelitian ………………………………..… Jenis Data dan Tehnik Penarikan Contoh (Sampling Tehnique)……………………………………………………….. Bahan dan Alat…………………………………...……………... Bagan Alir Penelitian ……………………………...…………… Teknik Analisis Data ………………………………..………….. 3.5.1. Analisis Kondisi dan Potensi Sektor Pertanian…..…… 3.5.1.1. Analisis Location Quotient (LQ) ………..…... 3.5.1.2. Shift Share Analysis (SSA) ……………..…… 3.5.2. Analisis Peran Subsektor Tanaman Bahan Makanan ... 3.5.3. Analisis Komoditas Unggulan Subsektor Tanaman Bahan Makanan……………………………...………... 3.5.4. Analisis Prioritas Pembangunan Subsektor Tanaman Bahan Makanan ………………………………………. 3.5.5. Penyusunan Arahan Pembangunan Subsektor Tanaman Bahan Makanan dalam Pengembangan Wilayah………………………………………………..
33 .. 33 35 37 40 40 40 41 42 51 52
56
ii
IV.
GAMBARAN UMUM KABUPATEN MAJALENGKA 4.1.
4.2.
4.3.
V.
Kondisi Fisik Wilayah ……………………………………..…... 4.1.1. Kondisi Geografi ………………………………........... 4.1.2. Kondisi Topografi …………………………………..... 4.1.3. Kondisi Tanah dan Lahan…………………………….. 4.1.4. Iklim ………………………………………………….. 4.1.5. Penggunaan Lahan ………………………………….... Sosial Kependudukan …………………………………………... 4.2.1. Kependudukan ……………………………………….. 4.2.2. Ketenagakerjaan ……………………………………… 4.2.3. Sosial Budaya ………………………………………… Perekonomian Daerah ………………………...……………….. 4.3.1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) …………... 4.3.2. Potensi Sektor-Sektor Ekonomi …………………….... 4.3.2.1. Pertanian ………………………………….. 4.3.2.2. Perdagangan, Hotel dan Restoran ………... 4.3.2.3. Industri Pengolahan ……………………….
59 59 61 63 65 66 67 67 68 69 70 70 72 72 75 75
HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1.
5.2.
5.3.
5.4.
5.5.
Kondisi dan Potensi Subsektor Tanaman Bahan Makanan di Kabupaten Majalengka Terkini ………………………………… 5.1.1. Potensi Daya Saing Subsektor Tanaman Bahan Makanan Kab. Majalengka di Wilayah Propinsi Jawa Barat ………………………………………………….. 5.1.2. Potensi Komoditas Subsektor Tanaman Bahan Makanan Unggulan Kabupaten Majalengka …………. Peranan Subsektor Tanaman Bahan Makanan dalam Perekonomian Kabupaten Majalengka ………………………… 5.2.1. Struktur Perekonomian Kabupaten Majalengka Tahun 2009 …………………………………………………... 5.2.2. Keterkaitan Sektoral ………………………………….. 5.2.3. Multiplier Effect ………………………………………. 5.2.3.1. Multiplier Effect Output …………………... 5.2.3.2. Multiplier Effect Nilai Tambah Bruto …….. 5.2.3.3. Multiplier Effect Pendapatan ……………… 5.2.3.4. Multiplier Effect Pajak Tak Langsung ……. Komoditas Unggulan Subsektor Tanaman Bahan Makanan di Kabupaten Majalengka ………………………………………….. 5.3.1. Analisis Komoditas Unggulan Pada Level Makro ……. 5.3.2. Analisis Komoditas Unggulan Pada Level Meso ..……. 5.3.3. Analisis Komoditas Unggulan Pada Level Mikro ..…… 5.3.4. Penetapan Komoditas Unggulan ……………………… Prioritas Pembangunan Subsektor Tanaman Bahan Makanan ….. 5.4.1. Prioritas Komoditas Unggulan ………………………... 5.4.2. Prioritas Pengembangan Subsistem Agribisnis ……….. 5.4.3. Prioritas Pengembangan Aspek Pendukung …………... Arahan Pengembangan Subsektor Tanaman Bahan Makanan …..
77
77 82 95 96 103 116 117 118 120 121 122 123 128 130 132 134 134 135 138 140
iii
5.6. VI.
Pembahasan Umum ……………………………………………...
149
KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. 6.2.
Kesimpulan ……………………………………………………… Saran ……………………………………………………………..
153 154
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………..
155
LAMPIRAN …………………………………………………………….
159
iv
v
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Perkembangan Kontribusi sektoral terhadap PDRB Kab. Majalengka Atas Dasar Harga Konstan (dalam juta rupiah) ….…………………...
3
Persentase Penduduk yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha di Kabupaten Majalengka Tahun 2005-2009 …………………………….
4
3.
Rincian Data Calon Responden ……………………………………….
34
4.
Tujuan, Jenis, Sumber, Teknik Analisis Data dan Output yang Diharapkan …………………………………………………………….
35
Sektor-sektor Perekonomian Tabel I-O Kabupaten Majalengka Tahun 2009 (28 sektor) …………………………………………..…………...
43
6.
Struktur Dasar Tabel Input-Output ……………………………………
45
7.
Skala Perbandingan Berpasangan ……………………………………..
54
8.
Fluktuasi Iklim di Kabupaten Majalengka Tahun 2009 ………………
64
9.
Penggunaan Lahan di Kabupaten Majalengka Tahun 2009 …………..
65
10.
Jumlah, Laju Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk di Kabupaten Majalengka Tahun 2005 – 2009 ………….…………………………...
66
Jumlah Pencari Kerja Terdaftar di Kabupaten Majalengka Tahun 2009…………………………………………………………….
68
12.
Perkembangan Angka Statistik Ketenagakerjaan ……………………..
68
13.
Perkembangan Nilai PDRB Kabupaten Majalengka Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 dari Tahun 2006-2009 (Dalam Jutaan Rupiah)………………………………………………………………...
71
Perkembangan Luas Panen, Hasil per Hektar dan Produksi Padi Sawah di Kab. Majalengka …………………………………………….............
72
Perkembangan Produksi Palawija di Kabupaten Majalengka (dalam ton) ……………………………………………………………………
73
Perkembangan Produksi Sayuran di Kabupaten Majalengka (dalam kuintal) ………………………………………………………...
73
2.
5.
11.
14.
15.
16.
vi
17.
Perkembangan Produksi Buah-buahan di Kab. Majalengka (dalam kuintal) ………………………………………………………………...
74
18.
Banyaknya Industri Besar dan Sedang di Kabupaten Majalengka ……
75
19.
Nilai LQ Sektor Ekonomi Kabupaten Majalengka ……………………
78
20.
Hasil Analisis Shift Share Sektor Perekonomian di Kabupaten Majalengka Tahun 2005 – 2009 ………………………………………
79
Nilai LQ dan SSA Subsektor Tanaman Bahan Makanan Kab/Kota di Jawa Barat ……………………………………………………………….
81
Hasil Analisis LQ Komoditas Tanaman Pangan di Kabupaten Majalengka ………………………………………………………….....
83
23.
Nilai LQ Luas Tanam Komoditas Sayuran (>1) ………………………
83
24.
Nilai LQ Luas Panen Komoditas Sayuran (>1) ……………………….
84
25.
Nilai LQ Produksi Komoditas Sayuran (>1) …………………………
84
26.
Nilai LQ Jumlah Pohon Komoditas Buah-buahan (>1) ………………
85
27.
Nilai LQ Produksi Komoditas Buah-buahan (>1) ……………………
85
28.
Hasil Analisis Differential Shift Komoditas Tanaman Pangan di Kabupaten Majalengka ………………………………………………..
86
29.
Differential Shift Luas Tanam Komoditas Sayuran Yang Positif ……
87
30.
Differential Shift Luas Panen Komoditas Sayuran Yang Positif ……..
87
31.
Differential Shift Produksi Komoditas Sayuran Yang Positif ………...
88
32.
Differential Shift Jumlah Pohon Komoditas Buah-buahan Yang Positif …………………………………………………………………
88
33.
Differential Shift Produksi Komoditas Buah-buahan Yang Positif ….
89
34.
Nomor SK Pelepasan Varietas Tanaman Buah Unggulan Kab. Majalengka ……………………………………………………………
94
PDRB Kabupaten Majalengka Tahun 2007-2008 Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 (dalam juta rupiah) ……………………………...
96
Persentase Sumbangan Sektoral Terhadap PDRB Kabupaten Majalengka Tahun 2009 Atas Dasar Harga Konstan …………………..
97
21.
22.
35.
36.
vii
37.
Struktur Perekonomian Kabupaten Majalengka Berdasarkan Tabel I-O ……………………………………………………………….
99
Total Output Tiap Sektor Berdasarkan Tabel I-O Kabupaten Majalengka Tahun 2009 ……………………………………………….
101
39.
Hasil Analisis LQ dan Differential Shift Komoditas Tanaman Pangan ..
124
40.
Hasil Analisis LQ dan Differential Shift Komoditas Buah-Buahan …...
125
41.
Hasil Analisis LQ dan Differential Shift Komoditas Sayur-sayuran …..
126
42.
Nilai Multiplier effect Komoditas Subsektor Tanaman Bahan Makanan ………………………………………………………………..
128
43.
Luas Panen dan Produksi Komoditas Tanaman Pangan ………………..
129
44.
Produksi dan Jumlah Pohon Komoditas Buah-buahan ………………….
130
45.
Luas Panen dan Produksi komoditas Sayur-sayuran ……………………
131
46.
Pemilihan Komoditas Unggulan Subsektor Tanaman Bahan Makanan ...
132
38.
viii
ix
DAFTAR GAMBAR
1.
Halaman Kerangka pikir penelitian …………….……………………………… 11
2.
Peta lokasi penelitian ………………………………………………...
32
3.
Bagan alir penelitian ………………………………………………….
38
4.
Tahapan metode RAS ………………………………………………...
44
5.
Struktur hirarki untuk penentuan prioritas pembangunan subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka ………………….
52
Tahapan analisis kesesuaian dan ketersediaan lahan untuk arahan pengembangan komoditas unggulan…………………………………..
56
7.
Peta administrasi Kabupaten Majalengka …………………………….
59
8.
Distribusi luas wilayah per kecamatan (Km2) ………………………...
60
9.
Peta kelas ketinggian Kabupaten Majalengka ………………………...
62
10.
Peta kedalaman efektif tanah Kabupaten Majalengka ……………......
63
11.
Distribusi penduduk Kabupaten Majalengka per Kecamatan Tahun 2009 …………………………………………………………………...
67
12.
Matriks daya saing sektor perekonomian Kabupaten Majalengka …...
80
13.
Matriks daya saing luas tanam komoditas subsektor tanaman bahan makanan Kabupaten Majalengka ……………………………...
90
Matriks Daya Saing Luas Panen Komoditas Subsektor Tanaman Bahan Makanan Kabupaten Majalengka ……………………………..
91
Matriks Daya Saing Produksi Komoditas Subsektor Tanaman Bahan Makanan Kabupaten Majalengka …………………………………......
92
Matriks Daya Saing Jumlah Pohon Komoditas Buah-buahan Kabupaten Majalengka ……………………………………………….
93
17.
Keterkaitan langsung ke depan sektor-sektor perekonomian ………
103
18.
Keterkaitan langsung ke belakang sektor-sektor perekonomian ……...
104
19.
Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan sektor-sektor perekonomian …………………………………………………………
106
6.
14.
15.
16.
x
20.
Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang sektor-sektor perekonomian …………………………………………………………
107
21.
Keterkaitan padi dengan sektor-sektor lainnya ………………………
109
22.
Keterkaitan jagung dengan sektor-sektor lainnya …………………….
110
23.
Keterkaitan buah-buahan dengan sektor-sektor lainnya ……………...
111
24.
Keterkaitan sayur-sayuran dengan sektor-sektor lainnya …………….
111
25.
Nilai Indeks Daya Penyebaran sektor-sektor perekonomian …………
113
26.
Nilai Indeks Daya Kepekaan sektor-sektor perekonomian …………...
114
27.
Nilai Multiplier Effect Output sektor-sektor perekonomian ………….
116
28.
Multiplier Effect Nilai Tambah Bruto (PDRB) sektor-sektor perekonomian …………………………………………………………
118
29.
Multiplier Effect pendapatan sektor-sektor perekonomian …………...
119
30.
Multiplier Effect pajak tak langsung sektor-sektor perekonomian …...
121
31.
Keterkaitan ke depan komoditas subsektor tanaman bahan makanan ..
127
32.
Keterkaitan ke belakang komoditas subsektor tanaman bahan makanan ………………………………………………………………
127
Proporsi Komoditas Buah-buahan dan Bahan Makanan LainTerhadap PDRBnya ……………………………………………………………..
128
34
Hasil AHP dalam penentuan prioritas komoditas unggulan ………….
134
35
Nilai AHP masing-masing subsistem per komoditas ………………....
137
36
Hasil AHP penentuan prioritas aspek pendukung per subsistem ……..
138
37
Hasil AHP dalam penentuan prioritas pembangunan subsektor tanaman bahan makanan berdasarkan persepsi seluruh stakeholder ….
139
38
Peta Arahan Pengembangan Komoditas Padi ………………………...
145
39
Peta Arahan Pengembangan Komoditas Jagung ……………………..
146
40
Peta Arahan Pengembangan Komoditas Mangga ……………………
147
33.
xi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Nilai LQ Luas Tanam Sayur-sayuran Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009 ……………………………………………………………....
159
Nilai LQ Luas Panen Sayur-sayuran Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009 ……………………………………………………………...
160
Nilai LQ Produksi Sayur-sayuran Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009 ……………………………………………………………………...
161
Nilai LQ Jumlah Pohon Tanaman Buah-Buahan Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009 ………………………………………………….
162
Nilai LQ Produksi Tanaman Buah-Buahan Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009 ………………………………………………………..
163
Nilai Differential Shift Luas Tanam Sayur-sayuran Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009 ………………………………………………….
164
Nilai Differential Shift Luas Panen Sayur-sayuran Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009 ………………………………………………….
165
Nilai Differential Shift Produksi Sayur-sayuran Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009 ………………………………………………………..
166
Nilai Differential Shift Jumlah Pohon Tanaman Buah-Buahan Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009 ………………......................
167
10. Nilai Differential Shift Produksi Tanaman Buah-Buahan Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009 ………………………………………………...
168
11
Model RAS Tabel Input-Output Kabupaten Majalengka Tahun 2009
169
12. Tabel Input-Output Kabupaten Majalengka 2009 (dalam juta rupiah) …...
175
13. Keterangan Kode Sektor ………………………………………………....
182
14. Nilai Koefisien Teknis (Matriks A) ……………………………………...
183
15. Matriks Kebalikan Leontief (I-A)-1 ……………………………………...
187
16. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Padi ………………………
191
17. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Jagung …………………...
192
18. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Mangga ………………….
193
xii
I.
1.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional
pada hakekatnya adalah upaya terencana untuk meningkatkan kapasitas pemerintahan daerah sehingga tercipta suatu kemampuan yang andal dan profesional dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat serta kemampuan untuk mengelola sumberdaya ekonomi daerah untuk peningkatan perekonomian daerah dan kesejahteraan masyarakat. Berlakunya otonomi daerah menimbulkan implikasi bagi daerah (kabupaten/kota) untuk lebih kreatif dalam menggali potensi sumberdaya lokal, mengelola dan memanfaatkan potensi tersebut. Keterbatasan sumberdaya yang dimiliki oleh setiap daerah menyebabkan setiap daerah harus mampu mengelola sumberdaya yang dimilikinya secara optimal agar dapat memajukan daerahnya. Salah satu potensi lokal yang perlu dikelola secara optimal adalah sektor pertanian. Namun paradigma pembangunan di negara-negara berkembang yang lebih mengejar pertumbuhan ekonomi cenderung menyebabkan peran sektor pertanian menjadi lebih rendah dibandingkan peran sektor industri. Padahal dengan mengoptimalkan pembangunan sektor pertanian akan mendorong tumbuhnya industri-industri yang berbasis pertanian. Industri yang berbasis pertanian akan lebih banyak menggunakan input produksi dari hasil pertanian yang merupakan sumberdaya lokal sehingga dapat menghasilkan multiplier effect yang besar bagi pertumbuhan wilayah. Berkembangnya sektor pertanian dan industri yang berbasis pertanian ini akan menghasilkan pertumbuhan wilayah yang lebih pro masyarakat dan menghindarkan terjadinya berbagai kesenjangan. Pengembangan pertanian (tanaman pangan dan hortikultura) di Provinsi Jawa Barat salah satunya dilakukan melalui pengembangan komoditas unggulan dengan
pendekatan
pewilayahan
melalui
kawasan
andalan.
Kabupaten
Majalengka merupakan salah satu wilayah pengembangan pertanian di Provinsi Jawa Barat yang termasuk dalam kawasan andalan Ciayumajakuning yaitu Kabupaten
Cirebon,
Indramayu,
(http://www.diperta.jabarprov.go.id).
Majalengka
dan
Kuningan.
2
Kabupaten Majalengka memiliki luas wilayah 120.424 ha dengan jumlah penduduk sebanyak 1.206.702 jiwa. Berdasarkan ketinggian tempatnya, wilayah Kabupaten Majalengka diklasifikasikan dalam 3 (tiga) kelas utama yaitu dataran rendah (0 - 100 m dpl) yang berada di wilayah utara Kabupaten Majalengka, dataran sedang (>100 - 500 m dpl), umumnya berada di wilayah tengah dan dataran tinggi (> 500 m dpl). berada di wilayah selatan Kabupaten Majalengka, termasuk didalamnya wilayah yang berada pada ketinggian diatas 2.000 mdpl yaitu terletak disekitar kawasan kaki Gunung Ciremai (BPS Majalengka, 2010). Adapun bentuk topografi Kabupaten Majalengka sangat bervariasi yaitu ada daerah dengan topografi landai (dataran rendah), berbukit bergelombang, serta perbukitan terjal. Berdasarkan ketinggian dan kondisi topografi tersebut Kabupaten Majalengka memiliki potensi yang cukup besar untuk pengembangan pertanian dengan jenis komoditas yang lebih bervariasi mulai dari komoditas untuk dataran rendah sampai komoditas dataran tinggi. Struktur perekonomian Kabupaten Majalengka yang digambarkan oleh distribusi PDRB atas dasar harga konstan menunjukan bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang masih dominan dan menjadi andalan dalam memberikan nilai tambah bagi perekonomian Kabupaten Majalengka. Dari tahun ke tahunnya, diantara sektor-sektor perekonomian yang ada, sektor pertanian memberikan kontribusi yang paling besar terhadap PDRB Kabupaten Majalengka. Sektor pertanian di Kabupaten Majalengka terdiri atas lima subsektor yaitu subsektor tanaman bahan makanan, tanaman perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan. Kontribusi terbesar sektor pertanian ini berasal dari subsektor tanaman bahan makanan yang besarnya pada Tahun 2009 mencapai 23,80 persen dari total nilai PDRB Kabupaten Majalengka dan 84,89 persen dari total sektor pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa produksi terbesar di Kabupaten Majalengka berasal dari usaha budi daya tanaman bahan makanan. Tanaman bahan makanan dalam hal ini meliputi komoditas tanaman pangan dan hortikultura. Adapun
perkembangan kontribusi
sektoral
terhadap nilai
PDRB
Kabupaten Majalengka atas dasar harga konstan dari Tahun 2007 hingga 2009 dapat dilihat pada Tabel 1.
3
Tabel 1. Perkembangan Kontribusi sektoral terhadap PDRB Kab. Majalengka Atas Dasar Harga Konstan (dalam juta rupiah) No. 1.
Uraian
2008
2009
PDRB Sektoral Pertanian - Tanaman Bahan Makanan
1.093.907,26 1.133.648,71 1.184.973,86 929.860,01
961.993,28 1.005.886,04
- Tanaman Perkebunan
38.294,44
39.596,47
40.575,39
- Peternakan
97.494,29
103.072,99
108.488,65
- Kehutanan
6.178,61
6.351,61
5.976,59
- Perikanan
22.079,91
22.634,36
24.047,19
Pertambangan dan penggalian
159.586,22
166.138,45
162.266,80
Industri pengolahan
657.996,42
691.093,64
724.330,61
26.149,82
27.540,86
28.810,27
Bangunan
175.415,37
185.168,46
195.870,26
Perdagangan, hotel dan restoran
756.470,52
797.726,94
838.517.68
250.435,89
260.476,07
271.937,70
219.085,84
229.950,10
240.097,63
526.643,19
550.497,06
579.121,25
Listrik, gas dan air bersih
Pengangkutan dan komunikasi Keuangan, persewaan &jasa perusahaan Jasa-jasa 2.
2007
PDRB per Kapita
3.253.430,66 3.377.492,37 3.502.046,13
Sumber : Majalengka dalam Angka Tahun 2010
Selain itu, sektor pertanian juga merupakan sumber mata pencaharian sebagian besar penduduk di Kabupaten Majalengka. Hal ini dapat terlihat dari Tabel 2. yang menunjukkan bahwa persentase penduduk yang bekerja di sektor pertanian, jauh lebih besar dibandingkan dengan sektor lainnya. Besarnya jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian ini menunjukkan bahwa ada peluang yang besar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pembangunan di sektor pertanian. Atas peranannya tersebut, pembangunan pertanian di
Kabupaten Majalengka perlu terus
ditumbuhkembangkan melalui pengembangan potensi sumberdaya lokal yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif.
4
Tabel 2. Persentase Penduduk Yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha Di Kabupaten Majalengka Tahun 2005-2009 LAPANGAN USAHA Pertanian Pertambangan dan Penggalian
PENDUDUK YANG BEKERJA MENURUT LAPANGAN USAHA (%) 2005 2006 2007 2008 2009 29,95 31,24 37,61 27,86 30,44 2,29
0,67
0,35
4,17
0,49
18,36
19,39
13,94
17,10
12,13
Listrik, gas dan air minum
0,39
0,10
0,24
0,68
0,29
Konstruksi
7,93
5,36
5,35
4,50
6,54
26,15
26,65
26,61
19,51
29,40
Angkutan dan Komunikasi
5,97
5,80
5,47
6,55
7,27
Keuangan
0,68
0,51
1,19
5,59
1,04
Jasa-jasa Lainnya
8,28
10,27
9,23
13,83
12,40
Industri Pengolahan
Perdagangan
Sumber : Majalengka dalam Angka Tahun 2010
Sektor pertanian sebagai sektor yang berbasis sumberdaya alam diharapkan dapat terus berkembang menjadi sektor strategis dalam pembangunan dan pengembangan wilayah di Kabupaten Majalengka. Menurut Rustiadi et al. (2009), pengertian sektor strategis adalah sektor yang memberikan sumbangan besar dalam perekonomian wilayah dan memiliki keterkaitan kuat secara sektoral maupun spasial. Dengan demikian proses pembangunan wilayah diharapkan akan berlangsung secara efektif dan efisien dalam mencapai tujuan pembangunan wilayah yang berimbang antara growth, equality dan tetap mempertimbangkan aspek keberlanjutan. Pengembangan sektor pertanian yang berbasis sumberdaya lokal diharapkan dapat mengatasi berbagai masalah pengembangan wilayah seperti kemiskinan dan pengangguran. Hal ini akan tercapai dengan mengoptimalkan pembangunan di sektor pertanian, sehingga diharapkan akan terjadi peningkatan pendapatan petani dan terbukanya lapangan kerja di sektor pertanian yang pada akhirnya dapat mengurangi kemiskinan dan pengangguran. Kegiatan ekonomi rakyat yang berbasis potensi lokal dan berkembang di suatu wilayah berperan dalam menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat dan menjadi motor penggerak pengembangan wilayah. Keberlangsungan sektor ekonomi tersebut perlu didukung dengan perencanaan wilayah yang efektif dan
5
efisien. Kajian seksama mengenai perkembangan sektor ini perlu dilakukan untuk menemukan dan mengenali potensi dan kondisi yang ada, dengan demikian peran dan dukungan pemerintah yang dibutuhkan juga akan teridentifikasi dengan baik. Pembangunan sektor pertanian khususnya subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka selama ini telah berjalan dengan baik, namun untuk menilai pembangunan subsektor tanaman bahan makanan ini belumlah cukup jika hanya menilai perkembangannya di dalam wilayah Kabupaten Majalengka. Oleh karena itu, sangatlah perlu untuk mengetahui bagaimana posisi dan daya saing subsektor pertanian tanaman bahan makanan ini dan apa komoditas subsektor tanaman bahan makanan yang menjadi unggulan di Kabupaten Majalengka dibandingkan dengan subsektor tanaman bahan makanan dan komoditasnya di Kabupaten/Kota lainnya di wilayah Jawa Barat. Untuk meningkatkan daya saing subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka, maka pembangunan subsektor tanaman bahan makanan ini perlu diupayakan fokus pada komoditas-komoditas yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif agar dapat bersaing dengan komoditas lain di luar wilayah Kabupaten Majalengka. Selain itu, untuk meningkatkan pembangunan subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka perlu juga diketahui peran subsektor tanaman bahan makanan dalam pengembangan wilayah yang meliputi keterkaitan antar sektor serta nilai multiplier effectnya. Keterkaitan antar sektor ini penting diketahui untuk menentukan sektor-sektor mana saja yang perlu dikembangkan untuk meningkatkan pembangunan sektor subsektor tanaman bahan makanan. Nilai multiplier effect dapat menunjukkan besarnya pengaruh pembangunan subsektor tanaman bahan makanan terhadap pengembangan wilayah yang dalam hal ini ditunjukkan oleh nilai output multiplier, total value added multiplier, Income multiplier dan multiplier pajak. Berdasarkan alasan tersebut maka penelitian ini dilakukan untuk dapat mengetahui kondisi, potensi, keterkaitan subsektor tanaman bahan makanan dengan sektor-sektor lain serta besarnya nilai multiplier effect subsektor tanaman bahan makanan, sehingga bisa diketahui peran subsektor tanaman bahan makanan dalam perekonomian wilayah di Kabupaten Majalengka. Dari hasil analisis
6
tersebut kemudian dilanjutkan dengan melakukan analisis terhadap prioritas pembangunan subsektor tanaman bahan makanan. Berdasarkan hasil analisis dan isu-isu yang berkembang kemudian dapat disusun arahan kebijakan pembangunan subsektor tanaman bahan makanan dalam rangka pengembangan wilayah Kabupaten Majalengka berbasis sektor pertanian.
1.2.
Perumusan Masalah Dalam melaksanakan pembangunan wilayah, Kabupaten Majalengka tidak
terlepas dari masalah-masalah pembangunan wilayah yang bersifat umum maupun strategis kewilayahan. Isu strategis aspek ekonomi dalam pembangunan Kabupaten Majalengka sesuai yang tercantum dalam dokumen RPJMD Kabupaten Majalengka Tahun 2009 diantaranya adalah : 1). Masih tingginya tingkat kemiskinan, 2). Masih tingginya tingkat pengangguran terbuka, 3). Masih rendahnya produksi dan produktivitas pertanian, serta 4). Masih rendahnya pengembangan sektor Usaha Kecil Menengah (UKM) dan Industri Kecil Menengah (IKM) terutama yang berbasis pengolahan hasil pertanian. Isu strategis poin ke-3 dan ke-4 menunjukkan bahwa terdapat permasalahan dalam pengembangan sektor pertanian.
Sektor pertanian di
Kabupaten Majalengka masih didominasi oleh subsektor tanaman bahan makanan sehingga hal ini juga menunjukkan bahwa tingkat produksi dan produktivitas serta UKM dan IKM berbasis pengolahan hasil subsektor tanaman bahan makanan masih rendah. Beberapa permasalahan lainnya yang terjadi dalam pengembangan subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka diantaranya adalah tingginya tingkat persaingan komoditas-komoditas subsektor tanaman bahan makanan, rendahnya tingkat promosi, rendahnya tingkat investasi, dan belum berkembangnya nilai tambah dari komoditas-komoditas subsektor tanaman bahan makanan.
Permasalahan-permasalahan
tersebut
mengindikasikan
bahwa
pembangunan subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka belumlah optimal. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah kemiskinan
dan
pengangguran
adalah
dengan
melaksanakan
kebijakan
pengembangan pertanian. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Diao et al. (2010)
7
mengenai peran pertanian dalam pembangunan di Afrika yang menunjukkan bahwa untuk kawasan perdesaan yang berbasis pertanian, pengembangan pertanian merupakan kebijakan yang lebih pro poor dibandingkan dengan pengembangan industri. Pengembangan sektor pertanian terbukti mampu menurunkan jumlah penduduk miskin serta menyerap tenaga kerja lebih besar dibandingkan dengan pengembangan industri. Berdasarkan hal tersebut diatas maka untuk mengatasi berbagai isu strategis aspek ekonomi di Kabupaten Majalengka tersebut, peran sektor pertanian yang diwakili oleh subsektor tanaman bahan makanan sangatlah penting. Subsektor tanaman bahan makanan ini merupakan subsektor pertanian yang paling berkembang dari aspek produksi di Kabupaten Majalengka. Hal ini bisa dilihat dari sumbangannya yang paling besar terhadap PDRB diantara subsektorsubsektor pertanian lainnya. Tetapi seberapa besar kekuatan subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka mampu mengatasi isu tersebut dan meningkatkan perekonomian Kabupaten Majalengka belum diketahui. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk mengetahui kondisi dan potensi subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka, peran subsektor ini terhadap perekonomian wilayah di Kabupaten Majalengka serta prioritas pembangunan subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka. Upaya-upaya ini perlu dilakukan dalam rangka memacu pertumbuhan subsektor ini. Salah satu sasaran pembangunan ekonomi wilayah dalam jangka panjang adalah terjadinya pergeseran struktur ekonomi wilayah yang terjadi sebagai akibat adanya kemajuan pembangunan suatu wilayah. Tidak semua sektor dalam perekonomian wilayah memiliki kemampuan tumbuh yang sama. Kemampuan suatu sektor untuk memacu pertumbuhan ekonomi wilayah sangat tergantung dari keunggulan atau daya saing sektor-sektor ekonomi di wilayah tersebut. Salah satu indikasi yang biasa digunakan untuk mengetahui potensi suatu sektor dalam mendorong pertumbuhan ekonomi adalah dengan mengetahui keberadaan sektor basis. Oleh karena itu, dalam perencanaan pembangunan wilayah perlu memanfaatkan keberadaan sektor-sektor basis ini. Sektor pembangunan yang strategis dapat dilihat dari besarnya peran dan sumbangannya dalam perekonomian, serta kuatnya keterkaitan secara sektoral
8
maupun spasial dalam suatu wilayah. Setiap sektor memiliki keterkaitan ke belakang maupun ke depan, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan sektor-sektor perekonomian lainnya. Semakin kuat keterkaitan suatu sektor dengan sektor-sektor lainnya akan semakin besar pula pengaruhnya dalam perekonomian suatu wilayah. Oleh karena itu, untuk mengetahui peran dan sumbangan subsektor tanaman bahan makanan dalam perekonomian wilayah serta keterkaitannya dengan sektor lain perlu dilakukan analisis sehingga dapat menyusun arahan pembangunan yang akurat. Paradigma pembangunan yang berkembang saat ini adalah pembangunan yang melibatkan partisipasi dari stakeholder dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasannya. Dalam kaitannya dengan pembangunan subsektor tanaman bahan makanan, stakeholder yang dimaksud adalah masyarakat petani, pemerintah daerah dan pihak swasta. Keterlibatan seluruh stakeholder dalam setiap proses pembangunan diharapkan akan lebih menjamin pembangunan berjalan dengan baik, lancar dan aspiratif. Oleh karena itu, dalam menyusun rencana pembangunan subsektor tanaman bahan makanan, pendapat dan persepsi seluruh stakeholder yang terlibat harus diketahui. Dalam rangka menjadikan subsektor tanaman bahan makanan menjadi sektor strategis di Kabupaten Majalengka sehingga dapat menjawab isu-isu pembangunan bidang ekonomi seperti yang tertuang dalam dokumen RPJMD maka perlu dilakukan kajian mengenai kondisi potensi dan daya saing subsektor tanaman bahan makanan saat ini di Kabupaten Majalengka, peran subsektor tanaman bahan makanan saat ini dalam perekonomian wilayah Kabupaten Majalengka serta hal-hal apa saja yang perlu menjadi prioritas dalam pembangunan subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka. Hasil analisis terhadap kondisi, potensi, daya saing, peran serta persepsi stakeholder mengenai prioritas pembangunan subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menyusun arahan pengembangan wilayah Kabupaten Majalengka yang berbasis pertanian.
9
1.3.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui kondisi dan potensi daya saing subsektor tanaman bahan makanan saat ini di Kabupaten Majalengka. 2. Mengetahui peran subsektor tanaman bahan makanan saat ini dalam perekonomian wilayah Kabupaten Majalengka. 3. Mengetahui komoditas unggulan subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka. 4. Mengetahui prioritas pengembangan subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka. 5. Merumuskan arahan pengembangan subsektor tanaman bahan makanan dalam pengembangan wilayah di Kabupaten Majalengka.
1.4.
Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Gambaran dan informasi mengenai peran subsektor tanaman bahan makanan dalam perekonomian di Kabupaten Majalengka dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam penyusunan rencana pembangunan perekonomian wilayah; 2. Sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan rencana pengembangan wilayah berbasis pertanian di Kabupaten Majalengka.
1.5.
Kerangka Pemikiran Perkembangan suatu wilayah sangat ditentukan oleh perkembangan
aktivitas-aktivitas ekonominya. Wilayah yang berkembang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan antara sektor ekonomi wilayah, dalam arti terjadi transfer input dan output barang dan jasa antar sektor secara dinamis. Peningkatan perekonomian wilayah dapat dilakukan melalui integrasi berbagai sektor ekonomi yang ada dalam wilayah serta dengan memberdayakan sumberdaya lokal yang ada dalam wilayah itu sendiri. Setiap wilayah mempunyai sumberdaya yang berbeda-beda, baik jenis, kualitas maupun kuantitasnya. Keterbatasan sumberdaya yang dimiliki oleh suatu
10
wilayah menyebabkan diperlukan adanya skala prioritas dalam perencanaan pembangunan. Skala prioritas ditetapkan berdasarkan sifat strategis suatu sektor di suatu wilayah. Suatu sektor yang bersifat strategis ditunjukkan dengan besarnya sumbangan sektor tersebut terhadap perekonomian suatu wilayah. Perkembangan sektor strategis tersebut memiliki dampak langsung dan tidak langsung yang signifikan terhadap perkembangan sektor-sektor lainnya (Rustiadi et al. 2009). Subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka merupakan subsektor yang strategis karena menyumbangkan 23,80% terhadap total PDRB Kabupaten Majalengka. Kondisi geografi, topografi dan iklim yang dimiliki oleh Kabupaten Majalengka sangat mendukung untuk pengembangan subsektor tanaman bahan makanan. Topografi Kabupaten Majalengka yang memiliki dataran rendah dan dataran tinggi memungkinkan untuk pengembangan berbagai jenis komoditas pertanian. Potensi sumberdaya alam ini harus dapat dimanfaatkan untuk
peningkatan
perekonomian
wilayah
sehingga
diharapkan
terjadi
peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakatnya. Peranan dan sumbangan subsektor tanaman bahan makanan dalam pembangunan harus dapat dipertahankan dan terus ditingkatkan. Dalam perencanaan pengembangannya perlu memperhatikan kondisi, potensi dan daya saing subsektor tanaman bahan makanan serta keberadaan komoditas-komoditas unggulan yang memiliki peluang untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Selain itu, diperlukan pula keterkaitan antar sektor yang kuat. Keterkaitan antar sektor dapat berupa keterkaitan ke belakang dan ke depan serta efek pengganda atau multiplier effect. Keterkaitan antar sektor menjadi penting dalam pengembangan wilayah karena pengembangan wilayah memandang pentingnya keterpaduan sektoral, spasial serta keterpaduan antar pelaku pembangunan dalam dan antar wilayah. Keterpaduan sektoral menuntut adanya keterkaitan fungsional yang sinergis antar sektor pembangunan sehingga setiap kegiatan sektoral dilaksanakan dalam kerangka pembangunan wilayah. Menurut Todaro (2000) dalam Rustiadi et al. (2009) pembangunan wilayah harus memenuhi tiga komponen dasar yaitu kecukupan memenuhi kebutuhan pokok, meningkatkan rasa harga diri (selfesteem) serta kebebasan (freedom) untuk memilih.
11
Dengan demikian pembangunan subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka perlu dikaji untuk mengetahui seberapa besar dan bagaimana peranannya dalam pembangunan Kabupaten Majalengka. Hal ini penting agar upaya pengembangan subsektor tanaman bahan makanan dapat diarahkan untuk mengoptimalkan potensi lokal yang dimiliki sehingga mampu meningkatkan daya saing komoditas-komoditas subsektor tanaman bahan makanan (tanaman pangan dan hortikultura) yang pada akhirnya diharapkan dapat mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Adapun kerangka berfikir penelitian disajikan pada Gambar 1. Kegiatan Pembangunan Sektor-sektor Perekonomian
Kondisi dan Potensi Daya Saing Subsektor Tanaman Bahan Makanan - Sektor Basis dan Shift Share - Komoditas Basis dan Shift Share
Pembangunan Subsektor Tanaman Bahan Makanan Sekarang
Peran Subsektor Tanaman Bahan Makanan - Keterkaitan Antar Sektor - Multiplier Effect
Komoditas Unggulan Subsektor Tanaman Bahan Makanan
Prioritas Pembangunan Subsektor Tanaman Bahan Makanan
Peta Arahan Pengembangan Komoditas Unggulan
Interpretasi
Arahan Pembangunan Subsektor Tanaman Bahan Makanan
Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian
Persepsi Stakeholders
12
1.6. 1.
Pengertian/Definisi Komoditas Unggulan adalah komoditas yang mampu bersaing dengan produk sejenis dari wilayah lain. Menurut Syafaat dan Supena (2000) dalam Hendayana (2003) dari sisi penawaran, komoditas unggulan dicirikan oleh superioritas dalam pertumbuhannya pada kondisi biofisik, teknologi, dan kondisi sosial ekonomi petani di suatu wilayah.
Dalam penelitian ini
komoditas unggulan ditetapkan dengan menggunakan metode LQ dan SSA serta analisis input-output. 2.
Kawasan Andalan adalah bagian dari kawasan budidaya baik di ruang darat maupun ruang laut yang pengembangannya diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi bagi kawasan tersebut dan kawasan di sekitarnya (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 26 Tahun 2008 pasal 1).
3.
Sektor Strategis adalah sektor yang memiliki sumbangan besar dalam perekonomian wilayah dan memiliki keterkaitan kuat secara sektoral maupun spasial (Rustiadi, et al. 2009).
4.
Keunggulan komparatif (comparative advantage) merupakan keunggulan suatu sektor/komoditas dalam suatu wilayah relatif terhadap sektor/komoditas yang sama pada wilayah lainnya.
5.
Metode Location Quotient (LQ) merupakan perbandingan relatif antara kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih luas dalam suatu wilayah. Metode
LQ dapat digunakan untuk mengetahui keunggulan
komparatif suatu sektor. 6.
Shift Share Analysis (SSA) adalah tehnik analisis yang digunakan untuk melihat tingkat keunggulan kompetitif suatu wilayah dalam cakupan wilayah agregat yang lebih luas, berdasarkan kinerja sektoral di wilayah tersebut.
7.
Evaluasi Kesesuaian Lahan adalah
proses
untuk
menduga
potensi
sumberdaya lahan untuk berbagai penggunaannya dengan membandingkan persyaratan yang diperlukan untuk suatu penggunaan lahan tertentu dengan karakteristik lahan yang dimiliki oleh lahan tersebut (Sitorus, 2004). 8.
Evaluasi Ketersediaan Lahan : proses evaluasi untuk menentukan luas lahan yang sesuai dan tersedia untuk suatu penggunaan lahan yang akan diterapkan. Evaluasi ketersediaan dilakukan dengan mengurangi luas keseluruhan lahan
13
yang sesuai dengan luas lahan yang sesuai tetapi tidak dapat digunakan karena telah dialokasikan untuk penggunaan lahan yang lain berdasarkan data penggunaan lahan (landuse) serta tidak sesuai dengan arahan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten Majalengka.
14
15
II.
2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Pengembangan Wilayah Menurut Undang-undang No. 26 Tahun 2007, wilayah adalah ruang yang
merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional. Pengertian
wilayah sangat penting untuk diperhatikan apabila berhubungan
dengan program-program pembangunan yang terkait dengan pengembangan wilayah dan pengembangan kawasan. Pengembangan wilayah mempunyai cakupan yang lebih luas daripada pengembangan kawasan. Pengembangan wilayah mencakup penelaahan keterkaitan antar kawasan. Sementara itu, pengembangaan kawasan terkait dengan pengembangan fungsi tertentu dari suatu unit wilayah, mencakup fungsi sosial, ekonomi, budaya, politik maupun pertahanan keamanan. (Rustiadi et al., 2009). Menurut Riyadi (2002), pengembangan wilayah merupakan upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, penurunan kesenjangan antar wilayah dan pemeliharaan kelestarian lingkungan hidup di suatu wilayah. Upaya ini diperlukan karena setiap wilayah memiliki kondisi sosial ekonomi, budaya dan keadaan geografis yang berbeda-beda, sehingga pengembangan wilayah bertujuan untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah. Optimal berarti dapat tercapainya tingkat kemakmuran yang sesuai dan selaras dengan aspek sosial budaya dan lingkungan yang berkelanjutan. Pengembangan wilayah memandang pentingnya keterpaduan sektoral, spasial serta keterpaduan antar pelaku pembangunan di dalam dan antar wilayah. Keterpaduan sektoral menuntut adanya keterkaitan fungsional yang sinergis antar sektor pembangunan sehingga setiap kegiatan pembangunan dalam kelembagaan sektoral dilaksanakan dalam kerangka pembangunan wilayah. Dalam pandangan sistem industri, keterpaduan sektoral berarti keterpaduan sistem input dan output industri yang efisien dan sinergis. Oleh karena itu, wilayah yang berkembang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan antar sektor ekonomi wilayah, dalam arti terjadi transfer input dan output barang dan jasa antar sektor yang sangat dinamis (Rustiadi et al., 2009).
16
Menurut Tarigan (2008), perencanaan pembangunan wilayah dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu pendekatan sektoral dan pendekatan regional. Pendekatan sektoral dilakukan dengan memfokuskan perhatian pada sektor-sektor
kegiatan
yang
ada
di
suatu
wilayah.
Pendekatan
ini
mengelompokkan kegiatan ekonomi atas sektor-sektor yang dianggap seragam. Pendekatan regional dilakukan dengan melihat pemanfaatan ruang serta interaksi berbagai kegiatan dalam ruang wilayah. Dalam prakteknya, pengembangan wilayah perlu memadukan kedua pendekatan tersebut untuk mendapatkan hasil yang optimal. Pengembangan wilayah merupakan suatu bentuk intervensi positif terhadap pembangunan di suatu wilayah. Strategi pengembangan wilayah dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu supply side strategy dan demand side strategy. Strategi supply side adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang terutama diupayakan melalui investasi modal untuk kegiatan-kegiatan produksi yang berorientasi keluar. Tujuan strategi ini adalah untuk meningkatkan pasokan dari komoditi yang pada umumnya diproses dari sumberdaya lokal. Strategi demand side
adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang diupayakan melalui
peningkatan barang dan jasa dari masyarakat setempat melalui kegiatan produksi lokal. Tujuan strategi ini adalah meningkatkan taraf hidup masyarakat. Peningkatan taraf hidup masyarakat ini diharapkan akan meningkatkan permintaan terhadap barang-barang non pertanian sehingga dapat mendorong berkembangnya
sektor industri dan jasa yang pada akhirnya akan lebih
mendorong berkembangnya suatu wilayah (Rustiadi et al., 2009). Pengembangan suatu wilayah sangat ditentukan oleh karakteristik dan potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah. Menurut Rustiadi et al. (2009), karena keterbatasan sumberdaya yang dimiliki oleh setiap daerah maka setiap daerah perlu menetapkan skala prioritas dalam perencanaan pembangunannya. Skala prioritas tersebut didasarkan atas pemahaman bahwa: (1) setiap sektor memiliki sumbangan langsung dan tidak langsung yang berbeda terhadap pencapaian sasaran pembangunan (penyerapan tenaga kerja, pendapatan wilayah, dll); (2) setiap sektor memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya dengan karakteristik yang berbeda-beda; dan (3) aktivitas sektoral tersebar secara tidak
17
merata dan spesifik, beberapa sektor cenderung memiliki aktivitas yang terpusat dan terkait dengan sebaran sumberdaya alam, buatan dan sosial yang ada. Atas dasar pemikiran tersebut maka di setiap wilayah selalu terdapat sektor-sektor yang bersifat strategis karena besarnya sumbangan yang diberikan sektor tersebut terhadap perekonomian wilayah serta keterkaitan sektoral dan spasialnya. Perkembangan sektor strategis tersebut memberikan dampak langsung dan tidak langsung yang signifikan, dimana dampak tidak langsung terwujud akibat perkembangan sektor tersebut berdampak bagi berkembangnya sektor-sektor lain dan secara spasial berdampak luas di seluruh wilayah sasaran. Pada konsep pembangunan daerah yang berbasis sektor/komoditas unggulan ada beberapa kriteria sektor/komoditas sebagai motor penggerak pembangunan suatu daerah, antara lain : mampu memberikan kontribusi yang signifikan pada peningkatan produksi, pendapatan dan pengeluaran, mempunyai keterkaitan ke depan dan ke belakang (forward dan backward linkages) yang kuat, mampu bersaing
(competitiveness),
memiliki
keterkaitan
dengan
daerah
lain
(complementary), mampu menyerap tenaga kerja, bertahan dalam jangka waktu tertentu, berorientasi pada kelestarian sumberdaya dan lingkungan serta tidak rentan terhadap gejolak eksternal dan internal (Alkadri dan Djajadiningrat, 2002). Dalam konteks pembangunan ekonomi daerah, maka pemerintah seharusnya mengarahkan pengeluaran anggaran kepada sektor-sektor unggulan yang memiliki nilai keterkaitan dan multiplier effect yang besar. Selain itu, investasi pun diharapkan agar diarahkan kepada sektor ungulan sehingga akan meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi daerah. Kinerja pembangunan daerah dapat tercapai apabila penganggaran telah sesuai dengan tujuan daerah itu sendiri antara lain meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengurangi kesenjangan wilayah dan meningkatkan daya beli masyarakat (Suryawardana, 2006) Pengembangan wilayah berbasis pertanian merupakan suatu upaya pengembangan wilayah dengan memanfaatkan potensi sumberdaya lokal. Pengembangan wilayah berbasis pertanian ini diarahkan untuk mengembangkan wilayah-wilayah yang memiliki potensi di bidang pertanian sehingga diharapkan dapat memacu kemajuan pembangunan wilayah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya yang sebagian besar memiliki mata pencaharian dari kegiatan
18
pertanian. Strategi pengembangan wilayah berbasis pertanian lebih diarahkan kepada pemberdayaan masyarakat petani sebagai pelaku pembangunan, bukan hanya mengandalkan investor asing. Hal ini karena investasi asing tersebut kurang bisa memberikan multiplier effect yang besar terhadap penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan daerah dan masyarakat. Salah satu strategi yang yang dapat dilakukan adalah dengan pendekatan konsep agropolitan (Hastuti, 2001).
2.2.
Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan Sektor pertanian sejak tahap awal pembangunan selalu menjadi sektor
yang penting dalam pembangunan di Indonesia. Hal ini didasarkan pada kemampuan sektor pertanian dalam berkontribusi terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang cukup besar dan sebagai sumber pendapatan sebagian besar penduduk serta menyediakan lapangan pekerjaan. Selain itu, sektor pertanian juga menjadi sektor input bagi sektor-sektor ekonomi lainnya seperti industri dan perdagangan. Di samping itu, selama krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia tahun 1997, ternyata sektor tradisional ini yang paling mampu bertahan dan dapat terus memberikan kontribusi dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat. Berdasarkan hasil kajian Zaini (2005), selama masa krisis ekonomi, sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai nilai netto ekspor positif, yang berarti nilai impornya lebih rendah dibandingkan nilai ekspornya. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian memiliki rasio ketergantungan impor yang rendah sehingga mengindikasikan bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang berbasis pada potensi lokal. Hal ini menyebabkan sektor pertanian merupakan sektor yang paling mampu bertahan selama masa krisis ekonomi. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang memiliki potensi untuk dikembangkan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi suatu wilayah serta mampu berperan baik dalam mengurangi terjadinya disparitas ekonomi antar wilayah. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Purnamadewi et al. (2010) yang menyebutkan bahwa prioritas alokasi investasi ke sektor pertanian dan industri berbasis pertanian yang didukung dengan pembangunan infrastruktur atau implementasi strategi pembangunan ADLI (Agricultural Development Led-
19
Industrialisation) menghasilkan dampak terbaik terhadap pertumbuhan ekonomi dan disparitas ekonomi antar wilayah. Menurut Hermanto (2009), pada dasarnya sektor pertanian dapat menjadi basis pembangunan perekonomian wilayah karena memiliki keterkaitan yang baik dengan sektor lainnya, baik keterkaitan ke depan (forward linkage) maupun kaitan ke belakang (backward linkage). Besarnya keterkaitan tergantung pada beberapa faktor diantaranya sumberdaya manusia, akses modal, infrastruktur, iklim usaha, sarana prasarana produksi, dll. Semakin kuat keterkaitan sektor pertanian dengan sektor lain maka posisi sektor pertanian menjadi sangat penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Peran penting sektor pertanian dalam pembangunan perekonomian suatu wilayah antara lain : (1) menyediakan kebutuhan bahan pangan yang diperlukan masyarakat untuk menjamin ketahanan pangan; (2) menyediakan bahan baku industri; (3) sebagai pasar potensial bagi produk-produk industri; (4) sumber tenaga kerja dan pembentukan modal yang diperlukan bagi sektor lain; (5) sumber perolehan devisa; (6) mengurangi kemiskinan dan peningkatan ketahanan pangan; (7) menyumbang pembangunan perdesaan dan pelestarian lingkungan hidup (Harianto, 2007). Sektor pertanian memiliki nilai multifungsi yang besar dalam peningkatan ketahanan pangan, kesejahteraan petani dan menjaga kelestarian hidup. Menurut Sudaryanto dan Rusastra (2006), kemampuan sektor pertanian dalam peningkatan ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan ditentukan oleh tiga faktor yaitu : (1) kemampuan mengatasi kedala pengembangan produksi, (2) kapasitas dalam melakukan reorientasi dan implementasi arah dan tujuan pengembangan agribisnis, (3) keberhasilan pelaksanaan program diversifikasi usahatani di lahan sawah dengan mempertimbangkan komoditas alternatif non padi seperti palawija dan hortikultura. Pembangunan yang selama ini hanya mengejar pertumbuhan ekonomi cenderung mengabaikan peran sektor pertanian. Pembangunan pertanian saat ini belum berhasil mengangkat pertanian dan petani pada posisi yang lebih baik. Kesenjangan kesejahteraan antara petani dengan pekerja lain di luar sektor pertanian semakin melebar. Hal ini menyebabkan para generasi muda cenderung
20
memilih untuk berkerja di luar sektor pertanian sehingga lama kelamaan sektor pertanian ini akan ditinggalkan dan semakin terpuruk. Selain itu, peningkatan produktivitas usahatani dan kualitas produk belum menunjukkan perbaikan yang berarti. Produk-produk pertanian lokal menjadi kurang memiliki daya saing dengan produk-produk pertanian dari luar. Sejauh ini peran sektor pertanian dalam penyerapan tenaga kerja, masih menerima beban yang besar dan tidak berimbang dengan alokasi anggaran, sehingga produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian relatif masih rendah dibandingkan dengan sektor lainnya. Rendahnya tingkat pendidikan tenaga kerja sektor pertanian akan mempengaruhi adopsi teknologi yang pada akhirnya akan berdampak pada rendahnya produktivitas sektor pertanian. Dampak negatif lain dari terpuruknya sektor pertanian ini adalah menurunnya
tingkat
ketahanan
pangan,
meningkatnya
kemiskinan,
ketergantungan pada pangan luar menjadi tinggi, industrialisasi yang terjadi input produksinya sangat tergantung dari
bahan baku impor dan meningkatnya
pengangguran di perdesaan (Harianto, 2007). Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan tersebut perlu perhatian besar dari pemerintah dalam upaya pembangunan sektor pertanian. Revitalisasi pertanian yang digalakkan oleh Kementerian Pertanian menitikberatkan pada program ketahanan pangan untuk menjamin adanya ketersediaan pangan yang cukup, mudah diperoleh, aman dikonsumsi dan harga yang terjangkau. Sektor pertanian yang mempunyai kontribusi terbesar dalam penyediaan pangan bagi masyarakat adalah subsektor tanaman bahan makanan. Oleh karena itu pembangunan pertanian subsektor tanaman bahan makanan menjadi sangat penting dalam menunjang program ketahanan pangan. Selain itu, pangan merupakan salah satu hak dasar bagi rakyat (basic entitlement). Pembangunan subsektor tanaman bahan makanan memiliki potensi yang besar dalam upaya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari potensinya sebagai penyumbang terbesar terrhadap nilai PDRB suatu wilayah dan subsektor ini merupakan subsektor pertanian yang paling banyak digeluti oleh sebagian besar masyarakat terutama masyarakat pedesaan.
21
2.3.
Sektor Basis, Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Berlakunya otonomi daerah membawa implikasi bagi setiap pemerintah
daerah untuk mampu melihat sektor-sektor yang memiliki keunggulan ataupun kelemahan di wilayahnya. Oleh karena itu setelah berlakunya otonomi daerah, setiap daerah memiliki kewenangan dalam menetapkan sektor atau komoditas yang akan menjadi prioritas pengembangan. Sektor atau komoditas yang memiliki keunggulan memiliki prospek yang lebih baik untuk dikembangkan dan diharapkan dapat menjadi push factor bagi sektor-sektor lain untuk berkembang (Tarigan, 2008). Salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan dalam perumusan kebijakan pembangunan daerah adalah keberadaan sektor unggulan. Sektor unggulan merupakan sektor perekonomian yang diharapkan menjadi motor penggerak perekonomian wilayah. Dengan mengetahui dan mengoptimalkan sektor unggulan ini maka diharapkan terdapat efek positif bagi kemajuan aktivitas perekonomian daerah (Syahidin, 2006). Salah satu alat analisis yang bisa digunakan untuk mengetahui keberadaan sektor unggulan ini adalah teori basis ekonomi. Teori basis ekonomi mendasarkan pandangannya bahwa laju pertumbuhan ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh besarnya peningkatan ekspor dari wilayah tersebut. Teori
ini menyatakan bahwa sektor basis dapat membangun dan
memacu penguatan dan pertumbuhan ekonomi lokal sehingga diidentifikasi sebagai mesin ekonomi lokal. Menurut Rustiadi et al. (2009), sektor ekonomi wilayah dapat dibagi dalam dua golongan yaitu sektor basis dimana kelebihan dan kekurangan yang terjadi di dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut menyebabkan terjadinya mekanisme ekspor dan impor antar wilayah. Sektor basis ini akan menghasilkan barang dan jasa, baik untuk pasar domestik daerah maupun pasar luar wilayah sedangkan sektor non basis adalah sektor dengan kegiatan ekonomi yang hanya melayani pasar di wilayahnya sendiri dan kapasitas ekspor wilayah belum berkembang. Metode yang sering dipakai sebagai indikasi sektor basis adalah metode Location Quotient (LQ) dan Shift Share Analysis (SSA). Analisis Location Quotient (LQ) merupakan teknik analisis yang digunakan untuk mengetahui pemusatan suatu aktivitas di suatu wilayah dalam
22
cakupan wilayah agregat yang lebih luas. Metode LQ juga dapat digunakan untuk mengetahui potensi aktivitas ekonomi yang merupakan indikasi sektor basis dan bukan basis karena merupakan perbandingan relatif antara kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih luas dalam suatu wilayah. Suatu wilayah yang memiliki nilai koefisien lokalisasi (LQ) lebih dari satu untuk suatu kegiatan maka wilayah tersebut berpotensi ekspor sehingga dapat memberikan keuntungan ekonomi bagi wilayahnya serta memiliki daya saing ekonomi dibandingkan dengan wilayah lainnya. Dalam konteks perencanaan pengembangan wilayah, upaya untuk mengidentifikasi aktivitas ekonomi basis menjadi bagian yang penting untuk dapat memetakan komoditas atau sektor unggulan.
Asumsi yang digunakan
dalam analisis sektor basis dengan menggunakan metode LQ ini adalah (1) kondisi geografis unit wilayah relatif seragam, (2) pola aktivitas antar unit wilayah bersifat seragam dan (3) setiap aktivitas menghasilkan kualitas produk yang sama dan dinilai dalam satuan yang sama (Pribadi et al., 2010). Analisis LQ juga memberikan gambaran mengenai sektor atau kegiatan ekonomi mana yang terkonsentrasi (memusat) dan yang tersebar. Tarigan (2008) menyatakan bahwa analisis LQ sebagai petunjuk adanya keunggulan komparatif dapat digunakan bagi sektor-sektor yang telah lama berkembang, sedangkan bagi sektor yang baru atau sedang tumbuh apalagi yang selama ini belum pernah ada, metode LQ tidak dapat digunakan karena produk totalnya belum menggambarkan kapasitas riil daerah tersebut. Berkaitan dengan percepatan dan efisiensi pengembangan wilayah, perlu dilakukan penentuan sektor dan komoditas unggulan yang memiliki keunggulan secara komparatif dan kompetitif. Keunggulan komparatif dalam hal ini adalah keunggulan suatu sektor atau komoditas dalam suatu wilayah relatif terhadap sektor atau komoditas pada wilayah lainnya. Upaya pengembangan keunggulan komparatif komoditas pertanian perlu berdasarkan pada sumberdaya lokal. Komoditas yang dikembangkan harus mampu menyerap tenaga kerja lokal dengan didukung oleh kesesuaian lingkungan sumberdaya lokal. Ukuran keunggulan komparatif yang dimaksud pada tulisan ini didasari atas nilai Location Quotient (LQ).
23
Dalam pengembangan wilayah, selain mengetahui keunggulan komparatif perlu diketahui juga keunggulan kompetitif. Pengukuran ini menjadi penting untuk diketahui karena seringkali dalam pengembangan wilayah perlu menentukan sektor mana yang akan dikembangkan. Untuk menentukan hal tersebut selain mengetahui potensi perlu juga diketahui bagaimana kinerja atau tingkat pertumbuhan sektor tersebut dibandingkan dengan wilayah lainnya yang berdekatan dalam sistem wilayah. Keunggulan kompetitif suatu wilayah merupakan keunggulan suatu sektor atau komoditas relatif terhadap sektor atau komoditas lainnya dalam suatu wilayah berdasarkan kinerjanya. Untuk mengetahui keunggulan kompetitif suatu wilayah dapat digunakan analisis shift share dan analisis input-output. Suatu wilayah dikatakan memiliki keunggulan kompetitif apabila dalam waktu tertentu mengalami peningkatan aktivitas yang lebih besar dibandingkan dengan wilayah lain atau memiliki tingkat pertumbuhan yang positif. Shift Share Analysis (SSA) merupakan teknik analisis yang digunakan untuk melihat tingkat keunggulan kompetitif suatu wilayah dalam cakupan wilayah agregat yang lebih luas berdasarkan kinerja sektor lokal di wilayah tersebut. Kinerja sektor lokal menjadi penting karena dapat mendorong pertumbuhan ekonomi lokal wilayah dan memiliki daya tahan terhadap pengaruhpengaruh faktor eksternal. Teknik analisis SSA bertujuan untuk menganalisis pergeseran kinerja suatu sektor di suatu wilayah untuk dipilah berdasarkan sumber-sumber penyebab pergeseran. Ada tiga sumber penyebab pergeseran yaitu : 1. Komponen regional share (komponen laju pertumbuhan total). Komponen ini menunjukkan kontribusi pergeseran total semua sektor di seluruh wilayah yang menunjukkan dinamika total wilayah. 2. Komponen
proportional
shift
(komponen
pergeseran
proporsional).
Komponen ini menunjukkan pergeseran total sektor tertentu di wilayah agregat yang lebih luas yang menunjukkan dinamika sektor/aktivitas total dalam wilayah. 3. Komponen differential shift (komponen pergeseran diferensial). Komponen ini menunjukkan pergeseran suatu sektor tertentu di suatu wilayah tertentu.
24
Komponen ini menggambarkan dinamika (keunggulan/ketakunggulan) suatu sektor/aktivitas tertentu di sub wilayah tertentu terhadap aktivitas tersebut di sub wilayah lain Untuk memetakan sektor unggulan dapat digunakan data PDRB per sektor atau jumlah tenaga kerja per sektor. Data PDRB per sektor dugunkan untuk mengidentifikasi sektor unggulan berdasarkan besaran nilai tambah yang dihasilkan, sementara data tenaga kerja dapat digunakan untuk mengidentifikasi sektor unggulan berdasarkan kemampuannya untuk menyerap tenaga kerja sehingga mampu mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Adapun untuk memetakan potensi komoditas unggulan wilayah, data yang digunakan bisa berupa data produksi atau produktivitas. Data produksi digunakan untuk mengidentifikasi komoditas unggulan bedasarkan kapasitas aktual
dari
aktivitas
produksi.
Data
produktivitas
digunakan
untuk
mengidentifikasi komoditas unggulan berdasarkan kapasitas potensial dari aktivitas produksi (Pribadi et al., 2010). Dengan berlangsungnya perdagangan bebas, maka perdagangan dunia akan cenderung pada spesialisasi perdagangan, dalam hal ini maka setiap negara akan berusaha memperdagangkan produk-produk yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif. Bila
produk
yang diperdagangkan bersifat
komplementer, maka peluang negara yang bersangkutan menikmati manfaat perdagangan bebas akan besar. Namun apabila produk yang diperdagangkan bersifat subtitusi maka manfaat yang diperoleh dari perdagangan bebas akan tergantung dari kemampuan produk tersebut untuk bersaing dengan produk sejenis dari negara lain (Saragih, 2010). Tingkat keunggulan komparatif dan kompetitif suatu komoditas dapat digunakan sebagai ukuran untuk menentukan posisi daya saing komoditas tersebut. Produk-produk pertanian khususnya hortikultura mengalami kesulitan untuk bersaing karena masalah kualitas, kuantitas, kontinuitas pasokan dan tingginya kerusakan selama pengangkutan. Ditinjau dari aspek kuantitas, potensi pengembangan produksi komoditas pertanian masih dapat ditingkatkan melalui pengembangan ketersediaan lahan dan peluang peningkatan adopsi teknologi.
25
Sementara itu, dari aspek kualitas dan kontinuitas pasokan salah satunya dapat diatasi dengan pengembangan teknologi budidaya, panen dan pasca panen. Menurut Saptana et al. (2006), daya saing komoditas pertanian dipengaruhi pula oleh kinerja sumberdaya manusia, terutama kemampuan manajerialnya. Untuk mengatasi hal tersebut salah satunya dapat dilakukan dengan strategi pengembangan kelembagaan kemitraan usaha melalui proses sosial yang matang dan dengan dasar saling mempercayai (trust) di antara para pelaku agribisnis.
2.4.
Keterkaitan Sektor Pengembangan
pengembangan
sektor
wilayah.
memiliki
Suatu
wilayah
relevansi dapat
yang
kuat
dengan
berkembang
melalui
berkembangnya sektor unggulan di wilayah tersebut yang akan mendorong berkembangnya sektor-sektor lainnya. Selanjutnya, sektor-sektor lain yang akan berkembang dan mendorong sektor-sektor yang terkait sehingga membentuk suatu sistem keterkaitan antar sektor. Keterkaitan antar sektor ekonomi dipandang penting dalam pengembangan wilayah. Wilayah yang berkembang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan yang terpadu antar sektor ekonomi, dalam arti terjadi transfer input dan output barang dan jasa antara sektor yang sangat dinamis. Pendekatan yang dipandang relevan untuk menelaah karakteristik struktur ekonomi wilayah yang ditunjukkan dengan distribusi sumbangan sektoral serta keterkaitan antar sektor perekonomian adalah analisis Input–Output (I-O). Tabel input-output (Tabel I-O) pada dasarnya merupakan suatu bentuk matriks yang menyajikan informasi tentang transaksi barang dan jasa serta saling keterkaitan antara sektor yang satu dengan sektor lainnya dalam suatu kegiatan perekonomian di suatu negara/daerah pada suatu periode waktu tertentu. Tabel input-output (I-O) merupakan matriks yang sistem penyajiannya menggunakan dimensi baris dan dimensi kolom. Isian sepanjang baris menunjukkan pengalokasian atau pendistribusian dari output yang dihasilkan oleh suatu sektor dalam memenuhi permintaan antara oleh sektor lainnya dan
26
memenuhi permintaan akhir. Isian sepanjang kolom menunjukkan struktur input yang digunakan oleh masing-masing sektor dalam kegiatan produksinya. Tabel I-O mempunyai kegunaan antara lain untuk : (1) memperkirakan dampak permintaan akhir dan perubahannya (pengeluaran rumah tangga, pengeluaran pemerintah, investasi dan ekspor) terhadap berbagai output sektor produksi, nilai tambah (PDRB), pendapatan masyarakat, kebutuhan tenaga kerja, pajak (PAD) dan sebagainya; (2) mengetahui komposisi penyediaan dan penggunaan barang dan jasa sehingga mempermudah analisis tentang kebutuhan import dan kemungkinan substitusinya; dan (3) memberi petunjuk mengenai sektor-sektor yang mempunyai pengaruh terkuat serta sektor-sektor yang peka terhadap pertumbuhan ekonomi (Pribadi et al., 2010). Secara metodologi tabel I-O mempunyai beberapa keterbatasan karena model I-O dilandasi oleh asumsi-asumsi, antara lain sebagai berikut : (1) Asumsi homogenitas yang mensyaratkan bahwa tiap sektor hanya memproduksi suatu jenis output yang seragam (homogenity) dengan sruktur input tunggal dan antar sektor tidak dapat saling mensubstitusi. (2) Asumsi linieritas/proporsionalitas yang mensyaratkan bahwa dalam proses produksi, hubungan antara input dan output merupakan fungsi linier atau berbanding lurus (proporsionality), yang berarti perubahan tingkat output tertentu akan selalu didahului oleh perubahan pemakaian input yang sebanding. (3) Asumsi aditivitas, yaitu efek keseluruhan dari kegiatan produksi di berbagai sektor merupakan penjumlahan (additivity) dari proses produksi masingmasing sektor secara terpisah. Dengan kata lain, di luar sistem input-output semua pengaruh dari luar diabaikan (Rustiadi et al., 2009). Adanya asumsi tersebut menyebabkan tabel I-O memiliki keterbatasan antara lain : rasio I-O tetap konstan sepanjang periode analisis sehingga produsen tidak dapat menyesuaikan perubahan-perubahan inputnya atau mengubah proses produksi. Asumsi-asumsi tersebut tidak meliput adanya perubahan teknologi ataupun produktivitas yang dapat terjadi dari waktu ke waktu. Meskipun memiliki keterbatasan, analisis I-O tetap merupakan alat analisis yang lengkap dan komprehensif (BPS, 2000).
27
Menurut Daryanto dan Hafizrianda (2010a), pemakaian model I-O akan mendatangkan keuntungan bagi perencanaan pembangunan daerah, antara lain: (1) dapat memberikan deskripsi yang detail mengenai perekonomian nasional atau regional dengan menguantifikasikan ketergantungan antar sektor dan asal dari ekspor dan impor; (2) untuk suatu perangkat permintaan akhir dapat ditentukan besaran output dari setiap sektor dan kebutuhannya akan faktor produksi dan sumber daya; (3) dampak perubahan permintaan terhadap perekonomian baik yang disebabkan oleh swasta maupun pemerintah dapat ditelusuri dan diramalkan secara terperinci; dan (4) perubahan-perubahan permintaan terhadap harga relatif dapat diintegrasikan ke dalam model melalui perubahan koefisien teknik. Menurut Djakapermana (2010), hambatan terbesar yang dihadapi oleh lembaga-lembaga perencanaan, terutama di daerah dalam menggunakan analisis IO antara lain adalah : (1) biaya yang relatif besar dalam pengumpulan data, (2) data pokok yang belum memadai, dan (3) keterbatasan kemampuan teknis. Apabila kendala-kendala tersebut mampu diatasi oleh daerah, maka model analisis I-O merupakan model yang canggih untuk merencanakan pembangunan ekonomi suatu wilayah secara terintegrasi. Keperluan menggunakan model I-O dalam perencanaan pembangunan daerah semakin terasa penting jika dikaitkan dengan pelaksanaan otonomi daerah. Daerah otonom memiliki kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan menggunakannya sendiri untuk pembiayaan pembangunan daerah. Permasalahan yang sering muncul yaitu ketika pemerintah daerah otonom mulai merencanakan anggaran pembangunan untuk tiap sektor. Penempatan anggaran sektoral seringkali tidak sesuai dengan potensi sektor yang ada terutama terkait dengan efek sebar yang dimiliki oleh suatu sektor dalam mewujudkan pembangunan. Suatu sektor, meskipun dilihat dari kontribusinya terhadap perekonomian wilayah sangat besar namun belum tentu memiliki efek sebar yang besar pula dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi wilayah. Padahal dampak pembangunan
ekonomi
suatu
sektor
tidak
cukup
hanya
dilihat
dari
kemampuannya menciptakan PDRB, namun yang lebih penting adalah bagaimana sektor tersebut mampu menggerakkan seluruh roda perekonomian wilayah. Maka, model I-O sangat diperlukan untuk memotret fenomena semacam ini.
28
2.5.
Komoditas Unggulan Penetapan komoditas unggulan nasional dan daerah merupakan langkah
awal menuju pembangunan pertanian yang berpijak pada konsep efisiensi untuk meraih keunggulan
komparatif
dan kompetitif
dalam
menghadapi
era
perdagangan bebas. Menurut Syafaat dan Supena (2000) dalam Hendayana (2003) langkah menuju efisiensi pembangunan pertanian dapat ditempuh dengan mengembangkan komoditas yang mempunyai keunggulan komparatif baik ditinjau dari sisi penawaran maupun permintaan. Dari sisi penawaran komoditas unggulan dicirikan oleh superioritas dalam pertumbuhannya pada kondisi biofisik, teknologi dan sosial ekonomi petani di suatu wilayah, sedangkan dari sisi permintaan komoditas unggulan dicirikan dari kuatnya permintaan di pasar baik pasar domestik maupun internasional. Setiap daerah memiliki karakteristik wilayah, penduduk dan sumberdaya yang berbeda-beda. Hal ini membuat potensi masing-masing daerah akan menjadi berbeda pula dan akan mempengaruhi arah kebijakan pengembangan kegiatan ekonomi di wilayah tersebut. Penetapan komoditas unggulan di suatu wilayah menjadi suatu keharusan dengan pertimbangan bahwa komoditas-komoditas tersebut mampu bersaing secara berkelanjutan dengan komoditas yang sama yang dihasilkan oleh wilayah lain atau komoditas tersebut unggul secara komparatif dan kompetitif serta memiliki keterkaitan antar sektor yang kuat sehingga berpotensi sebagai motor penggerak perekonomian wilayah. Pada lingkup kabupaten/kota, komoditas unggulan kabupaten diharapkan memenuhi kriteria sebagai berikut : (1) mengacu kriteria komoditas unggulan nasional; (2) memiliki nilai ekonomi yang tinggi di Kabupaten; (3) mencukupi kebutuhan sendiri dan mampu mensuplai daerah lain/ekspor; (4) memiliki pasar yang prospektif dan merupakan komoditas yang berdaya saing tinggi; (5) memiliki potensi untuk ditingkatkan nilai tambahnya dalam agroindustri dan (6) dapat dibudidayakan secara meluas di wilayah kabupaten (Sari, 2008). Menurut Daryanto dan Hafizrianda (2010b), kriteria komoditas unggulan adalah sebagai berikut :
29
1. Harus mampu menjadi penggerak utama (prime mover) pembangunan perekonomian. Dengan kata lain, komoditas unggulan tersebut dapat memberikan kontribusi
yang signifikan
pada
peningkatan
produksi,
pendapatan dan pengeluaran. 2. Mempunyai keterkaitan ke depan dan ke belakang (forward and backward linkages) yang kuat, baik sesama komoditas unggulan maupun komoditas lainnya. 3. Mampu bersaing dengan produk sejenis dari wilayah lain (competitiveness) di pasar nasional maupun pasar internasional dalam harga produk, biaya produksi dan kualitas pelayanan. 4. Memiliki keterkaitan dengan wilayah lain (regional linkages), baik dalam hal pasar (konsumen) maupun pemasok bahan baku. 5. Memiliki status teknologi (state-of-the-art) yang terus meningkat, terutama melalui inovasi teknologi. 6. Mampu menyerap tenaga kerja berkualitas secara optimal sesuai dengan skala produksinya. 7. Dapat bertahan dalam jangka panjang tertentu, mulai dari fase kelahiran (increasing), pertumbuhan (growth) hingga fase kejenuhan (maturity) atau penurunan (decreasing). 8. Tidak rentan terhadap gejolak eksternal dan internal. 9. Pengembangannya harus mendapatkan berbagai bentuk dukungan, misalnya keamanan, sosial, budaya, informasi dan peluang pasar, kelembagaan, fasilitas insentif/disinsentif dan lain-lain. 10. Pengembangannya berorientasi pada kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. 2.6.
Isu Utama Kebijakan Pengembangan Wilayah Pembangunan daerah merupakan suatu upaya untuk merubah tatanan
sosial, ekonomi dan budaya melalui berbagai rekayasa dan pengembangan demi menuju ke arah tatanan wilayah yang lebih baik dan produktif di masa yang akan datang.
Perubahan pola dan tatanan perekonomian serta peradaban sangat
dipengaruhi oleh berbagai isu dan permasalahan strategis pembangunan, dimana
30
segenap isu strategis tersebut bukan saja dapat menjadi faktor pendorong terjadinya pembangunan di suatu daerah atau wilayah tetapi juga dapat menjadi faktor kendala pembangunan. Melalui pemberian otonomi yang besar pada daerah, maka saat ini dan masa yang akan datang keberhasilan pengembangan wilayah sangat tergantung pada kebijaksanaan pemerintah daerah itu sendiri terutama dalam menyikapi perubahan-perubahan yang terjadi. Oleh karena itu setiap pemerintah daerah harus mampu mengembangkan visi pengembangan wilayahnya masing-masing yang sesuai dengan nilai, arah dan tujuan yang mampu mengarahkan untuk tercapainya masa depan yang baik bagi masyarakat di wilayah yang bersangkutan. Untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dan dalam rangka pengembangan wilayah maka proses pembangunan perlu diupayakan melalui penguatan kapasitas lokal. Penguatan kapasitas lokal dapat dicapai dengan memaksimalkan keunggulan lokal dan memberdayakan masyarakat yang tinggal di wilayah lokal tersebut. Pembangunan sektor pertanian, khususnya subsektor tanaman bahan makanan yang merupakan sektor basis dalam perekonomian daerah membutuhkan apresiasi tinggi dari pemerintah daerah untuk memprioritaskan pembangunan pertanian tanpa mengabaikan sinerginya dengan sektor lain. Untuk itu, kebijakan pembangunan pertanian subsektor tanaman bahan makanan yang tepat di suatu daerah sangat diperlukan sehingga nilai tambah yang dihasilkan dapat lebih dipastikan akan memberikan manfaat yang maksimal bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Untuk meningkatkan nilai tambah pada pembangunan sektor pertanian, perlu adanya reorientasi kebijakan pertanian dari kebijakan pembangunan pertanian yang bersifat parsial dan eksploitatif ke arah kebijakan yang lebih terintegrasi dengan memperhatikan keterkaitan antar sektor ekonomi dan dalam perspektif pembangunan berwawasan lingkungan dengan memperhatikan daya dukung lingkungan hidup (Hermanto, 2009). Menurut Saragih (2010), pertanian merupakan sektor yang sangat penting dalam perekonomian nasional sehingga pembangunan ekonomi abad ke-21 masih tetap akan berbasis pertanian. Sejalan dengan tahapan-tahapan perkembangan
31
ekonomi maka kegiatan jasa dan bisnis yang berbasis pertanian juga akan meningkat, sehingga agribisnis menjadi paradigma baru dalam pembangunan ekonomi wilayah berbasis pertanian. Agribisnis merupakan cara baru melihat pertanian yang dulu hanya dilihat secara sektoral sekarang menjadi intersektoral. Agribisnis menunjukkan adanya keterkaitan antar subsistem agribisnis serta keterkaitan horizontal dengan sistem atau subsistem lain di luar pertanian seperti jasa perbankan, tranportasi, perdagangan, dll. Permasalahan yang terjadi di Indonesia adalah sebagian besar agribisnis berada dalam skala usaha kecil sehingga dibutuhkan upaya promosi melalui pengembangan organisasi ekonomi agar mampu menangkap peluang bisnis dan menjadi mitra sejajar dengan bisnisbisnis besar lainnya, membenahi kualitas sumberdaya manusia dan teknologi. Selain itu, diperlukan pula upaya menghilangkan sekat-sekat yang ada dalam pengembangan agribisnis seperti sekat administrasi, organisasi dan program. Dalam pelaksanaan globalisasi ekonomi sangat diperlukan kebijakan pemerintah melalui seluruh perangkat yang ada di pusat maupun daerah dalam memberikan perhatian yang lebih besar terhadap sektor pertanian. Dengan membangun keterpaduan kegiatan pertanian di dalam era otonomi daerah diharapkan peningkatan kegiatan agribisnis lebih dapat menghasilkan produkproduk pertanian yang mempunyai daya saing sehingga secara langsung memberikan dampak yang besar bagi perekonomian saat ini maupun di masa yang akan datang (Anugrah, 2003). Pembangunan dan pengembangan sektor pertanian khususnya subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka diupayakan fokus pada komoditas unggulan dengan memerlukan dukungan dari beberapa subsistem yang potensial, antara lain subsistem hulu, subsistem usahatani, subsistem agribisnis hilir dan subsistem jasa layanan pendukung serta diperlukan pula dukungan peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM), sarana prasarana dan kelembagaan dari masing-masing subsistem tersebut. Penentuan prioritas pembangunan sektor pertanian tersebut dapat dilakukan melalui pendekatan yang mengakomodir keinginan (preferensi) dari para pengguna (stakeholders) melalui AHP, dengan mengadopsi langkah-langkah yang dilakukan oleh Saaty (2008). Hasil analisis ini menghasilkan suatu peringkat prioritas atau bobot dari tiap
32
alternatif keputusan atau pilihan yang akan diambil dalam penentuan kebijakan sektor pertanian. Analysis Hierarchy Process (AHP) dilakukan untuk mengetahui isu-isu utama yang akan dijadikan prioritas dalam pengambilan keputusan pembangunan. Tujuan utama yang ingin dicapai dengan metode AHP adalah menjaring persepsi tentang prioritas dalam penentuan kebijakan pembangunan untuk mendukung pengembangan wilayah. Menurut Saaty (2008), model AHP ini banyak digunakan pada pengambilan keputusan dengan banyak kriteria perencanaan, alokasi sumberdaya dan penentuan prioritas strategi yang dimiliki pengambil keputusan dalam situasi konflik. Peralatan utama AHP adalah sebuah hirarki fungsional dengan input utama berupa persepsi manusia. Suatu masalah yang kompleks dan tidak terstruktur dengan hirarki dapat dipecahkan ke dalam kelompok-kelompoknya, kemudian kelompok-kelompok tersebut diatur menjadi suatu bentuk hirarki. Pendekatan AHP merupakan salah satu alat untuk memilih alternatif kebijakan serta dapat digunakan untuk menilai kesesuaian kebijakan. AHP dipilih karena memiliki keunggulan dalam memecahkan permasalahan kompleks dimana aspek atau kriteria dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria alternatif yang dipilih cukup banyak. Selain itu, AHP juga mampu menghitung validasi sampai pada pengambilan keputusan. Peralatan utama AHP adalah sebuah hirarki fungsional dengan input utama berupa persepsi manusia. Dengan hirarki suatu masalah yang kompleks dan tidak terstruktur dapat dipecahkan ke dalam kelompok-kelompoknya, kemudian kelompok-kelompok tersebut diatur menjadi suatu bentuk hirarki. Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan yang kompleks yang tidak terstruktur, strategik dan dinamik menjadi sebuah bagian-bagian yang tertata dalam suatu hirarki. Tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik, secara subjektif tentang arti pentingnya variabel tersebut dan secara relatif dibandingkan dengan variabel lain. Dari berbagai pertimbangan kemudian dilakukan sintesa untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil. (Marimin dan Maghfiroh, 2011)
33
III.
3.1.
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian adalah Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat yang
secara geografis terletak pada koordinat 60 36’ - 70 03’ Lintang Selatan dan 1080 03’ - 1080 25’ Bujur Timur. Kabupaten Majalengka memiliki 26 kecamatan dengan luas wilayah sebesar 120.424 ha. Lokasi penelitian secara spasial dapat dilihat pada Gambar 2. Waktu penelitian mulai dari penyusunan proposal sampai penulisan tesis dilaksanakan pada bulan Mei 2011 sampai dengan Januari 2012
Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian
3.2.
Jenis Data dan Tehnik Penarikan Contoh (Sampling Tehnique) Jenis data terdiri dari data sekunder dan data primer. Data sekunder
diperoleh dari berbagai literatur dan dari Dinas Pertanian dan Perikanan Kabupaten Majalengka, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, Badan Perencana Pembangunan Daerah Kabupaten Majalengka, Badan Pusat
34
Statistik Kab. Majalengka, Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat serta datadata lain dari instansi terkait. Data sekunder tersebut meliputi data PDRB Kabupaten/Kota per sektor seJawa Barat Tahun 2005 dan 2009, data luas tanam, luas panen, produksi dan jumlah pohon komoditas pertanian Kabupaten/Kota se-Jawa Barat Tahun 2005 dan 2009, Peta tanah, Landsystem, RTRW Kab. Majalengka, tabel input-output Kabupaten Ciamis tahun 2008, data harga komoditas tanaman bahan makanan. Data primer meliputi data hasil kuisioner dari para responden. Data primer diperoleh melalui penyebaran kuesioner untuk mengetahui pendapat responden mengenai prioritas pembangunan subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka. Responden yang dimaksud adalah seluruh stakeholder yang terlibat dalam pembangunan subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka yang terdiri dari : unsur-unsur pemerintah daerah meliputi Bappeda, Dinas Pertanian dan Perikanan, Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan
dan
Kehutanan
(BP4K),
bagian
pembangunan
dan
bagian
perekonomian Setda Kabupaten Majalengka, Dinas Bina Marga dan Cipta Karya, dan Dinas Koperasi Usaha Kecil Menengah, Perindustrian dan Perdagangan (KUKMPERINDAG); unsur perbankan diwakili oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI); unsur masyarakat meliputi petani dan tokoh tani; unsur swasta meliputi para pengusaha yang bergerak di bidang pengolahan dan pemasaran hasil pertanian subsektor tanaman bahan makanan. Rincian lengkap mengenai responden disajikan pada Tabel 3. Tehnik sampling yang dipakai untuk menentukan responden adalah purposive sampling dengan jumlah responden keseluruhan sebanyak 21 orang. Pada prinsipnya responden dipilih sedemikian rupa yang memiliki pemahaman baik tentang perkembangan pembangunan sektor pertanian khususnya subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka (expert). Responden diminta pendapatnya mengenai prioritas pembangunan subsektor tanaman bahan makanan melalui metode Analitycal Hierarchy Process (AHP) yang memiliki struktur hierarki terdiri dari 4 level. Pada level 2, responden yang digunakan sebanyak 18 orang yang terdiri dari 8 orang dari unsur pemerintahan, 5 orang dari tokoh tani dan 5 orang dari unsur swasta. Adapun pada level 3 dan 4 digunakan responden sebanyak 21 orang. Tambahan 3 responden
35
merupakan perwakilan dari petani untuk komoditas padi dan kedelai 1 orang, jagung 1 orang dan mangga 1 orang. Tujuan, jenis, sumber data, cara pengumpulan, analisis data serta output yang diharapkan, disajikan pada Tabel 4.
Tabel 3. Rincian Data Calon Responden No. 1.
2. 3.
Asal Responden Unsur Pemerintah : a. Bappeda Kabupaten Majalengka b. Dinas Pertanian dan Perikanan Kabupaten Majalengka c. BP4K Kabupaten Majalengka d. Bagian Pembangunan Setda Kabupaten Majalengka e. Bagian Perekonomian Setda Kabupaten Majalengka f. Dinas Bina Marga dan Cipta Karya g. Dinas KUKMPERINDAG h. BRI Unsur Masyarakat Petani dan Tokoh Tani Unsur Swasta Pengusaha yang bergerak di bidang pengolahan dan pemasaran hasil pertanian Jumlah Responden
3.3.
Jumlah (orang) 1 1 1 1 1 1 1 1 8 5 21
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data-data sekunder dan
primer. Data sekunder meliputi data berbentuk laporan tercetak dan laporan digital yang merupakan data tabular maupun peta-peta Kabupaten Majalengka. Data primer merupakan data hasil kuesioner dan wawancara di lapangan. Alat analisis yang digunakan terdiri dari beberapa software, diantaranya adalah software GAMS, ArcGis 9.3, dan Microsoft Office program Excel.
36
36
Tabel 4. Tujuan, Jenis , Sumber, Teknik Analisis Data dan Output yang diharapkan No. 1.
2.
3.
4.
5.
Tujuan
Jenis Data
Sumber Data
Teknik Analisis Data
Output yang diharapkan
Mengetahui kondisi dan potensi daya saing subsektor tanaman bahan makanan saat ini. a. Mengetahui kondisi dan potensi daya saing subsektor tanaman bahan makanan Kab. Majalengka di wilayah Prop. Jabar b. Mengetahui komoditas subsektor tanaman bahan makanan Kab. Majalengka yang menjadi basis dan memiliki keunggulan komparatif & kompetitif Mengetahui peran subsektor tanaman bahan makanan
Mengetahui komoditas ungulan subsektor tanaman bahan makanan Mengetahui prioritas pembangunan subsektor tanaman bahan makanan Menyusun arahan pembangunan subsektor tanaman bahan makanan dalam pengembangan wilayah
Data PDRB per sektor Kab./Kota di Jabar Tahun 2005 dan 2009
BPS
LQ, SSA
Data luas tanam, luas panen produksi dan jumlah pohon komoditas subsektor tanaman bahan makanan Kab./Kota di Jabar Tahun 2005 dan 2009
Dinas Tanaman Pangan Prop. Jabar
LQ, SSA
Tabel Input-Ouput Kabupaten Majalengka 2009 (hasil RAS dari Tabel I-O Ciamis 2008), PDRB Kab. Majalengka Tahun 2009, Harga Komoditas Tanaman Bahan Makanan. Nilai LQ, SSA , keterkaitan antar sektor dan multiplier effect komoditas Kuesioner
BPS, Dinas Pertanian dan Perikanan Kab. Majalengka
Analisis InputOutput
Pendapat responden
AHP
Data komoditas unggulan, peta Tanah 1:250.000, landsystem 1:250.000, RTRW, Landuse, keterkaitan antar sektor dan multiplier effect komoditas tanaman bahan makanan.
Hasil analisis potensi dan kondisi sektor pertanian saat ini, hasil analisis Input-Output Balai Besar Sumberdaya Lahan, Bappeda Kab. Majalengka
Deskriptif dan sintesis hasil analisis
Hasil analisis LQ, SSA dan tabel input-output
Kondisi dan potensi daya saing subsektor tanaman bahan makanan Kab. Majalengka saat ini di Wilayah Prop. Jabar Potensi komoditas subsektor tanaman bahan makanan Unggulan Kabupaten Majalengka di wilayah Prop. Jabar Backward/Fordward Linkage, Multiplier Effect.
Komoditas unggulan subsektor tanaman bahan makanan Persepsi Stakeholder tentang prioritas pembangunan subsektor tanaman bahan makanan Arahan pengembangan subsektor tanaman bahan makanan dalam pengembangan wilayah
37
3.4.
Bagan Alir Penelitian Penelitian dilakukan dengan menganalisis beberapa permasalahan, yaitu : 1).
Kondisi dan potensi daya saing subsektor tanaman bahan makanan saat ini, yang meliputi analisis basis ekonomi subsektor tanaman bahan makanan dan komoditaskomoditas
subsektor
tanaman
bahan
makanan
di
Kabupaten
Majalengka
dibandingkan dengan subsektor tanaman bahan makanan dan komoditas-komoditas subsektor tanaman bahan makanan yang ada di Kabupaten/Kota lainnya di Jawa Barat, 2). Peran subsektor tanaman bahan makanan Kabupaten Majalengka dalam perekonomian wilayah di Kabupaten Majalengka yang meliputi keterkaitan komoditas-komoditas tanaman bahan makanan dengan sektor-sektor lainnya serta multiplier effect yang ditimbulkannya dan 3). Menentukan komoditas unggulan subsektor tanaman bahan makanan berdasarkan hasil analisis LQ, SSA dan analisis tabel input-output, 4). Persepsi stakeholder mengenai prioritas pembangunan subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka. Untuk mengetahui kondisi dan potensi daya saing subsektor tanaman bahan makanan Kabupaten Majalengka saat ini, dilakukan dengan menggunakan metode analisis Location Quotient (LQ) dan Shift Share Analysis (SSA). Pertama, analisis LQ dan SSA dilakukan untuk mengetahui posisi dan potensi daya saing subsektor tanaman bahan makanan Kabupaten Majalengka dibandingkan dengan sektor-sektor perekonomian lainnya di cakupan wilayah yang lebih luas, dalam hal ini sektor-sektor perekonomian Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat. Analisis dilakukan dengan menggunakan data PDRB Kabupaten/Kota per sektor Tahun 2009 untuk analisis LQ, sedangkan analisis SSA menggunakan dua titik tahun yaitu tahun 2005 dan 2009. Kedua, analisis LQ dan SSA dilakukan untuk mengidentifikasi komoditas-komoditas subsektor tanaman bahan makanan yang menjadi basis Kabupaten Majalengka apabila dibandingkan dengan komoditas-komoditas yang dimiliki oleh Kab./Kota lainnya di wilayah Propinsi Jawa Barat. Analisis dilakukan dengan menggunakan data luas tanam, luas panen dan produksi untuk komoditas tanaman pangan dan sayur-sayuran serta data jumlah pohon dan produksi untuk komoditas buah-buahan. Untuk analisis yang kedua ini juga dilakukan dengan menggunakan data Tahun 2009
38
untuk analisis LQ serta data tahun 2005 dan tahun 2009 untuk analisis SSA. Hasil analisis LQ dan SSA merupakan indikasi keunggulan dan daya saing subsektor tanaman bahan makanan dan komoditas-komoditasnya di Kabupaten Majalengka dibandingkan
dengan
sektor-sektor
perekonomian
dan
komoditas-komoditas
sebsektor tanaman bahan makanan lainnya di wilayah Propinsi Jawa Barat. Keterkaitan komoditas-komoditas subsektor tanaman bahan makanan dengan sektor-sektor lainnya serta multiplier effect yang ditimbulkan terhadap ouput, total nilai tambah, pendapatan dan pajak dianalisis dengan menggunakan tabel inputoutput Kabupaten Majalengka. Tabel input-output Kabupaten Majalengka diperoleh dengan metode RAS dari tabel input-output Kabupaten Ciamis Tahun 2008. Analisis keterkaitan antar sektor dan nilai multiplier effect ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai peran subsektor tanaman bahan makanan dalam perekonomian wilayah di Kabupaten Majalengka. Untuk mengetahui komoditas subsektor tanaman bahan makanan yang menjadi unggulan Kabupaten Majalengka, dilakukan analisis deskriptif terhadap hasil analisis potensi dan kondisi serta hasil analisis keterkaitan dan multiplier effect komoditas subsektor tanaman bahan makanan. Persepsi para stakeholder mengenai prioritas pembangunan subsektor tanaman bahan makanan diidentifikasi dengan menggunakan kuesioner dan hasilnya dianalisis dengan metode AHP. Selanjutnya dari hasil analisis potensi dan kondisi subsektor tanaman bahan makanan saat ini, hasil analisis peran subsektor tanaman bahan makanan dalam perekonomian wilayah, analisis komoditas unggulan dan hasil analisis persepsi stakeholder mengenai prioritas pembangunan subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka akan disusun untuk memberikan informasi dan arahan bagi pembangunan subsektor tanaman bahan makanan dalam pengembangan wilayah di Kabupaten Majalengka. Selain itu, untuk memberikan arahan pembangunan subsektor tanaman bahan makanan secara spasial ditambahkan pula informasi mengenai kesesuaian lahan sebagai arahan lokasi pengembangan komoditas unggulan subsektor tanaman bahan makanan. Adapun tahapan pelaksanaan dari penelitian ini dapat dilihat dalam bagan alir penelitian yang disajikan pada Gambar 3.
39
PDRB per sektor Kab/Kota di Jabar
Luas Tanam/Luas Panen/Produksi Komoditas Tabama Kab/Kota di Jabar
Tabel input –output Kab. Ciamis Tahun 2008, Data PDRB Kab. Majalengka Tahun 2009
Luas Panen, Produksi
Metode RAS Analisis LQ dan SSA Kondisi dan Potensi daya saing Subsektor Tabama Kab. Majalengka di wilayah Jabar
Persepsi Stakeholder
AHP
Analisis LQ dan SSA
Potensi Komoditas Subsektor Tabama Unggulan Kabupaten Majalengka
Tabel input-output Kabupaten Majalengka Tahun 2009
Analisis Tabel Inputoutput
Kondisi dan Potensi Subsektor serta Komoditas Tabama
Peta Tanah dan Peta Landsystem, RTRW, Landuse
Peran, Keterkaitan Komoditas Subsektor Tabama dengan sektor lain dan Multiplier effect
Komoditas Unggulan Subsektor Tabama Peta Kesesuaian Lahan Dan Ketersediaan Lahan
Peta Arahan Pengembangan Komoditas Unggulan
Prioritas Pembangunan Subsektor Tabama
ARAHAN PEMBANGUNAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH KAB. MAJALENGKA
39
Gambar 3. Bagan alir penelitian.
40
3.5.
Teknik Analisis Data Tehnik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dikaitkan dengan
tujuan penelitian adalah : analisis LQ dan SSA untuk mengetahui kondisi dan potensi daya saing subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka saat ini; analisis Input-Output untuk mengetahui peran subsektor tanaman bahan makanan yang meliputi keterkaitan komoditas-komoditas subsektor tanaman bahan makanan dengan sektor-sektor lain serta multiplier effectnya; Analytical Hierarcy Process (AHP) digunakan untuk mengetahui prioritas pembangunan subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka dan hasil ketiganya digunakan untuk menyusun arahan pembangunan subsektor tanaman bahan makanan dalam pengembangan wilayah di Kabupaten Majalengka. 3.5.1. Analisis Kondisi dan Potensi Daya Saing Subsektor Tanaman Bahan Makanan Analisis kondisi dan potensi daya saing subsektor tanaman bahan makanan dilakukan dengan metode LQ dan SSA. Metode ini dilakukan untuk mengetahui sektor basis, keunggulan komparatif dan kompetitif subsektor tanaman bahan makanan dan komoditas-komoditasnya di Kabupaten Majalengka dibandingkan dengan cakupan wilayah yang lebih luas, dalam hal ini kabupaten/kota yang ada di Jawa Barat. Hasil analisis ini menunjukkan indikasi daya saing subsektor tanaman bahan makanan dan komoditas-komoditasnya yang dimiliki Kabupaten Majalengka dibandingkan dengan wilayah lain di Propinsi Jawa Barat. 3.5.1.1. Analisis Location Quotient (LQ) Analisis dengan model LQ ini digunakan untuk melihat sektor basis atau non basis pada suatu wilayah perencanaan sehingga dapat digunakan untuk mengidentifikasi
sektor
dan
komoditas
unggulan
atau
mengidentifikasi
keunggulan komparatif suatu sektor/komoditas di suatu wilayah. Metode analisis LQ pada penelitian ini. menggunakan data PDRB per sektor dan data luas tanam, luas panen serta produksi untuk komoditas tanaman pangan dan sayur-sayuran, sedangkan untuk tanaman buah-buahan menggunakan data jumlah pohon dan produksi. Analisis dilakukan terhadap seluruh komoditas subsektor tanaman
41
bahan makanan di Kabupaten/Kota di Jawa Barat. Metode LQ dirumuskan sebagai berikut :
LQ
IJ
X X
IJ
/
.J
/
X X
I. ..
Dimana : LQij : Indeks kuosien lokasi kabupaten i untuk sektor/komoditas j. Xij : PDRB/Luas Tanam/Luas Panen/Produksi masing-masing sektor/komoditas j di kabupaten i. Xi. : PDRB/Luas Tanam/Luas Panen/Produksi total di kabupaten i. X.j : PDRB/Luas Tanam/Luas Panen/Produksi total sektor/komoditas j di Jawa Barat. X.. : PDRB/Luas Tanam/Luas Panen/Produksi total seluruh sektor/ komoditas di Jawa Barat. Kriteria penilaian dalam penentuan ukuran derajat basis/keunggulan komparatif adalah jika nilai indeks LQ lebih besar atau sama dengan satu (LQ≥1), maka sektor tersebut merupakan sektor basis/unggulan, sedangkan apabila nilainya kurang dari satu (LQ<1), berarti sektor yang dimaksud termasuk ke dalam sektor non basis pada kegiatan perekonomian wilayah Kabupaten Majalengka.
3.5.1.2. Shift Share Analysis (SSA) Shift Share Analysis merupakan salah satu analisis untuk memahami pergeseran struktur aktivitas di suatu lokasi tertentu yang dibandingkan dengan suatu referensi (cakupan wilayah yang lebih luas) dalam dua titik waktu, juga menjelaskan kemampuan berkompetisi (competitiveness) aktivitas tertentu di suatu wilayah tertentu serta menjelaskan kinerja aktivitas tertentu di wilayah tertentu. Gambaran kinerja ini dapat dijelaskan dari 3 komponen hasil analisis, yaitu : 1. Komponen Laju Pertumbuhan Total (komponen regional share). Komponen ini menyatakan pertumbuhan total wilayah pada dua titik waktu yang menunjukkan dinamika total wilayah.
42
2. Komponen Pergeseran Proporsional (komponen proportional shift). Komponen ini
menyatakan
pertumbuhan
total
aktivitas
tertentu
secara
relatif,
dibandingkan dengan pertumbuhan secara umum dalam total wilayah yang menunjukkan dinamika sektor/aktivitas total dalam wilayah. 3. Komponen Pergeseran Diferensial (komponen differential shift). Ukuran ini menjelaskan bagaimana tingkat kompetisi (competitiveness) suatu aktivitas tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan total sektor/aktivitas tersebut dalam
wilayah.
Komponen
ini
menggambarkan
dinamika
(keunggulan/ketakunggulan) suatu sektor/aktivitas tertentu di sub wilayah tertentu terhadap aktivitas tersebut di sub wilayah lain. Persamaan SSA adalah sebagai berikut :
SSA
X .. X ..
( t1)
(t 0)
a
1
X X
X .. X ..
. j ( t1)
( t1)
. j (t 0)
(t 0)
b
X X
X X
ij ( t1) ij ( t 0 )
. j ( t1) . j (t 0)
c
dimana : a b c X.. X.j Xij t1 t0
: : : : : : : :
Komponen share Komponen proportional shift Komponen differential shift, dan Nilai total aktivitas dalam total wilayah Nilai total aktivitas tertentu dalam total wilayah Nilai aktivitas tertentu dalam unit wilayah tertentu Titik tahun akhir Titik tahun awal
Metode SSA yang dilakukan dalam penelitian ini hanya mengambil komponen differential shift. Hal ini dilakukan karena ingin benar-benar melihat tingkat kompetisi (competitiveness) suatu aktivitas tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan total sektor/aktivitas tersebut dalam wilayah tanpa ada pengaruh dari pertumbuhan total wilayah (regional share) maupun pertumbuhan sektoral (proportional shift).
3.5.2. Analisis Peran Subsektor Tanaman Bahan Makanan Analisis peran subsektor tanaman bahan makanan dilakukan dengan menggunakan analisis Input-Output (I-O). Analisis input-output secara teknis
43
dapat menjelaskan karakteristik struktur ekonomi wilayah yang ditunjukkan dengan distribusi sumbangan sektoral serta keterkaitan sektoral perekonomian wilayah. Selain itu, analisis input-output dapat digunakan untuk menentukan sektor/komoditas unggulan pada perekonomian Kabupaten Majalengka. Tabel input-output yang digunakan dalam penelitian ini adalah tabel inputoutput Kabupaten Majalengka Tahun 2009 sebanyak 28x28 sektor yang diturunkan dari tabel input-output Kabupaten Ciamis Tahun 2008 sebanyak 45x45 sektor. Asumsi yang digunakan adalah bahwa terdapat kemiripan struktur ekonomi antara Kabupaten Majalengka dengan Kabupaten Ciamis sebagai Kabupaten tetangga. Metode yang digunakan untuk mendapatkan tabel input-output Kabupaten Majalengka 2009 dari Tabel input-output Kabupaten Ciamis 2008 adalah dengan metode RAS. Untuk melakukan RAS, tabel input-output Kabupaten Ciamis 2008 (45x45) sektor diagregasi terlebih dahulu menjadi 28x28 sektor. Proses agregasi dilakukan untuk menyesuaikan jumlah sektor yang terdapat dalam tabel inputoutput Kabupaten Ciamis 2008 dengan jumlah klasifikasi sektor (lapangan usaha) yang terdapat pada data PDRB Kabupaten Majalengka Tahun 2009. Untuk menguraikan subsektor tanaman bahan makanan menjadi beberapa komoditas, yaitu : padi, jagung, ubi kayu, buah-buahan dan sayur-sayuran, sesuai dengan tabel input-output Kabupaten Ciamis 2008 diperlukan data PDRB masingmasing komoditas tersebut. Data PDRB masing-masing komoditas tersebut diperoleh berdasarkan hasil perkalian antara jumlah produksi dengan harga (di tingkat petani) komoditas tanaman bahan makanan yang kemudian diproporsikan terhadap data PDRB subsektor tanaman bahan makanan. Untuk komoditas tanaman pangan, buah-buahan dan sayura-sayuran lainnya yang memiliki share kecil terhadap PDRB subsektor tanaman bahan makanan ditampilkan dalam bentuk komoditas bahan makanan lainnya. Sektor-sektor perekonomian hasil agregasi dan penyesuaian dengan tabel input-output Kabupaten Ciamis 2008, yang akan digunakan menjadi sektor-sektor dalam Tabel I-O Kabupaten Majalengka tahun 2009 ditampilkan pada Tabel 5.
44
Tabel 5 Sektor-sektor Perekonomian Tabel I-O Kabupaten Majalengka Tahun 2009 (28 sektor) Kode Sektor I-O 1 Padi 2 Jagung 3 Ubi Kayu 4 Buah-buahan 5 Sayur-sayuran 6 Bahan Makanan Lainnya 7 Tanaman Perkebunan 8 Peternakan dan Hasil-hasilnya 9 Kehutanan 10 Perikanan 11 Pertambangan dan Penggalian 12 Industri Pengolahan 13 Listrik 14 Air Bersih Sumber : Hasil Analisis (2011)
Kode I-O 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Sektor Bangunan Perdagangan Besar dan Eceran Hotel Restoran Angkutan Jalan Raya Jasa Penunjang Angkutan Komunikasi Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya Sewa Bangunan Jasa Perusahaan Pemerintahan Umum dan Pertahanan Jasa Sosial Kemasyarakatan Jasa Hiburan dan Rekreasi Jasa Perorangan dan Rumah Tangga
Untuk melakukan metode RAS, diperlukan data PDRB Kabupaten Majalengka Tahun 2009, total input Kabupaten Majalengka 2009 dan matriks koefisien teknologi tabel input-output dasar (tabel input-output Kabupaten Ciamis 2008).
Data-data tersebut merupakan data yang telah diagregasi menjadi 28
sektor. Matriks koefisien teknologi digunakan untuk menduga tabel input-output Kabupaten Majalengka tahun 2009 yang berukuran 28x28 sektor. Total input Kabupaten Majalengka 2009 diduga dengan nilai PDRB sektoral Kabupaten Majalengka Tahun 2009 berdasarkan proporsi dari total input Kabupaten Ciamis 2008 dengan PDRB sektoral Kabupaten Ciamis 2008. Selain itu, diperlukan pula data total impor, total PDRB dan total permintaan akhir Kabupaten Majalengka Tahun 2009.
Data total impor
Kabupaten Majalengka Tahun 2009 diperoleh dari hasil analisis LQ terhadap PDRB sektoral Kabupaten Majalengka dengan PDRB sektoral Jawa Barat. Asumsi yang digunakan adalah jika nilai LQ lebih besar dari satu menunjukkan surplus sektor i dalam arti beberapa produknya dapat diekspor ke daerah lain. Sebaliknya, jika nilai LQ kurang dari satu maka produknya harus didatangkan (diimpor) dari daerah lain. Adapun data total permintaan akhir diperoleh dari penjumlahan nilai total PDRB sektoral dengan total impor Kabupaten majalengka
45
Tahun 2009. Selanjutnya, setelah data-data tersebut sudah tersedia maka siap di RAS dengan menggunakan software GAMS dengan prinsip iterasi. Tahapan metode RAS ditampilkan pada Gambar 4.
Tabel Input Output Kabupaten Ciamis Tahun 2008 (45X45 sektor)
Proses Agregasi menjadi Tabel Input Output Kabupaten Ciamis Tahun 2008 (28X28 sektor)
Matriks Koefisien Teknis Tabel Input Output Kabupaten Ciamis Tahun 2008 (28X28 sektor)
Kabupaten Majalengka 2009 (28X28 sektor) PDRB Kab. Majalengka 2009 Total input dugaan Kab. Majalengka 2009 berdasarkan proporsi Data PDRB dan Total Input Kabupaten Ciamis 2008 Data total impor Data Permintaan Akhir
Sumber : Diadopsi dan dimodifikasi dari Sumunaringtyas 2010
Metode RAS
Tabel Input Output Kabupaten Majalengka Tahun 2009 (28X28 sektor)
Gambar 4. Tahapan metode RAS
Hasil dari metode RAS adalah tabel input-output Kabupaten Majalengka Tahun 2009. Data yang diperoleh secara langsung dari hasil metode RAS adalah input antara masing-masing sektor (tabel I-O kuadran I), total input/output 28 sektor, total impor 28 sektor dan permintaan akhir 28 sektor. Untuk mendetilkan data input primer (nilai tambah) menjadi upah dan gaji, surplus usaha, penyusutan dan pajak tak langsung maka didekati dengan nilai proporsi upah dan gaji, surplus usaha, penyusutan dan pajak tak langsung terhadap total input primer (nilai tambah) dari tabel input-output dasar (Tabel I-O Kabupaten Ciamis 2008). Struktur dasar tabel input-output wilayah digambarkan pada Tabel 6.
46
Tabel 6. Struktur Dasar Tabel Input-Output Output
Permintaan Internal Wilayah Permintaan Antara
Input Antara Nilai Tambah
Input Internal Wilayah
Input
Input Eksternal Wilayah Total Input
Permintaan Akhir
Permintaan Eksternal Wilayah E E1
Total Output
1
1 X11
2 …
… …
j X1j
… …
n X1n
C C1
G G1
2
X21
…
…
X2j
…
X2n
C2
G2
I2
E2
X2
:
…
…
…
…
…
…
…
…
…
…
…
i
…
…
…
Xij
…
…
Ci
Gi
Ii
Ei
Xi
I I1
X1
:
…
…
…
…
…
…
…
…
…
…
…
n
Xn1
…
…
Xnj
…
Xnn
Cn
Gn
In
En
Xn
W
W1
…
…
Wj
…
Wn
CW
GW
IW
EW
W
T
T1
…
…
Tj
…
Tn
CT
GT
IT
ET
T
S
S1
…
…
Sj
…
Sn
CS
GS
IS
ES
S
M
M1
…
…
…
…
Mn
CM
GM
IM
-
M
X1
…
…
Xj
…
Xn
C
G
I
E
X
Sumber : Rustiadi et al. 2009.
Keterangan : ij : sektor ekonomi Xij
: banyaknya output sektor i yang digunakan sebagai input sektor j
Xi
: total output sektor i
Xj
: total output sektor j; untuk sektor yang sama (i=j), total output sama dengan total input
Ci
: permintaan konsumsi rumah tangga terhadap output sektor i
Gi
: permintaan konsumsi (pengeluaran belanja rutin) pemerintah terhadap output sektor i
Ii
: permintaan pembentukan modal tetap netto (investasi) dari output sektor i; output sektor i yang menjadi barang modal
Ei
: ekspor barang dan jasa sektor i, output sektor i yang diekspor/dijual ke luar wilayah, permintaan wilayah eksternal terhadap output sektor i
Yi
: total permintaan akhir terhadap output sektor i ( Yi=Ci+Gi+Ii+Ei)
Wj
: pendapatan (upah dan gaji) rumah tangga dari sektor j, nilai tambah sektor j yang dialokasikan sebagai upah dan gaji anggota rumah tangga yang bekerja di sektor j
Tj
: pendapatan pemerintah (Pajak Tak Langsung) dari sektor j, nilai tambah sektor j yang menjadi pendapatan asli daerah dari sektor j
Sj
: surplus usaha sektor j, nilai tambah sektor j yang menjadi surplus usaha
47
Mj
: impor sektor j, komponen input produksi sektor j yang diperoleh/dibeli dari luar wilayah Analisis yang dilakukan terhadap tabel I-O adalah analisis keterkaitan
antar sektor dan angka pengganda sektoral (multiplier effect). Analisis ini dilakukan berdasarkan hasil perhitungan koefisien teknis (matriks A) dan invers matriks Leontief (matriks B) yang diperoleh dari perhitungan tabel I-O. Selanjutnya matrik tersebut diolah kembali sehingga diperoleh data mengenai keterkaitan sektoral dan angka pengganda (multiplier).
Koefisien teknologi
sebagai parameter yang paling utama dalam analisis I-O secara matematis diformulasikan dengan rumus sebagai berikut : aij
X ij X
atau
X ij
aij .X j
j
di mana : aij : rasio antara banyaknya output sektor i yang digunakan sebagai input sektor j (
atau disebut pula sebagai koefisien input.
Beberapa parameter teknis yang diperoleh melalui analisis I-O adalah : 1. Kaitan langsung ke belakang (direct backward linkage) (Bj) yang menunjukkan efek permintaan sektor pertanian terhadap perubahan tingkat produksi sektor-sektor yang menyediakan input antara bagi sektor tersebut secara langsung. Kaitan langsung ke belakang secara matematis dirumuskan sebagai berikut :
n
Bj
aij i
untuk mengukur secara relatif (perbandingan dengan sektor lainnya) terdapat ukuran normalized B *j yang merupakan rasio antar kaitan langsung ke belakang sektor j dengan rata-rata backward linkage sektor-sektor lainnya yang diformulasikan dengan rumus sebagai berikut :
B*j
Bj i n
n.B j Bj
j
Bj j
48
2. Kaitan langsung ke depan (direct forward linkage) (Fi) yang menunjukkan banyaknya output sektor pertanian yang dipakai oleh sektor-sektor lain. Kaitan langsung ke depan (Fi) dihitung dengan rumus sebagai berikut : n
xij
j
xj
Fi
aij j
Sementara itu, Normalized Fi atau Fi * dirumuskan sebagai berikut :
Fi
Fi*
1 n
nFi Fi
Fi i
i
3. Kaitan ke belakang langsung dan tidak langsung (indirect backward linkage) (
) yang menunjukkan pengaruh tidak langsung dari kenaikan permintaan
akhir satu unit sektor pertanian yang dapat meningkatkan total output seluruh sektor perekonomian, dihitung dengan rumus sebagai berikut : n
BL j
bij i
di mana bij adalah elemen-elemen matriks B atau (I-A)-1 yang merupakan matriks Leontief. 4. Kaitan ke depan langsung dan tidak langsung (indirect foreward linkage) (FLi), yaitu peranan sektor pertanian dapat memenuhi permintaan akhir dari seluruh sektor perekonomian, dihitung dengan rumus sebagai berikut :
FLi
bij j
5. Daya sebar ke belakang atau indeks daya penyebaran (backward power of dispersion) (βj) menunjukkan kekuatan relatif permintaan akhir sektor pertanian dalam mendorong pertumbuhan produksi total seluruh sektor perekonomian, dihitung dengan rumus sebagai berikut : bij
n
i j
bij i
1 n
bij i
j
bij i
j
49
6. Kepekaan terhadap signal pasar permintaan akhir atau indeks daya kepekaan (foreward power of dispersion) ( .i) menunjukkan sumbangan relatif sektor pertanian
dalam
memenuhi
permintaan
akhir
keseluruhan
sektor
perekonomian yang diformulasikan dengan rumus sebagai berikut : bij j i
1 n
bij i
j
7. Multiplier adalah koefisien yang menyatakan kelipatan dampak langsung dan tidak langsung dari meningkatnya permintaan akhir sektor pertanian sebesar satu unit terhadap produksi total semua sektor ekonomi suatu wilayah. Jenisjenis multiplier diantaranya dijabarkan dengan rumus sebagai berikut : a. Output multiplier, merupakan dampak meningkatnya permintaan akhir suatu sektor terhadap total output seluruh sektor di suatu wilayah yang diformulasikan sebagai berikut :
X
(I
A) 1.F d
b. Total value added multiplier atau PDRB multiplier adalah dampak meningkatnya permintaan akhir suatu sektor terhadap peningkatan PDRB. Diasumsikan Nilai Tambah Bruto (NTB) atau PDRB berhubungan dengan output secara linier yang dapat diformulasikan sebagai berikut :
V
vˆ. X
dimana V : matriks NTB vˆ : matriks diagonal koefisien NTB
X : matriks output, X = (I-A)-1.Fd c. Income multiplier, yaitu dampak meningkatnya permintaan akhir suatu sektor terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga di suatu wilayah secara keseluruhan. Income multiplier dapat dihitung dengan rumus :
W
ˆ .X w
50
dimana W : matriks income wˆ : matriks diagonal koefisien income
X : matriks output, X = (I-A)-1.Fd d. Tax multiplier, yaitu dampak meningkatnya permintaan akhir suatu sektor terhadap peningkatan pajak tak langsung. Tax multiplier dapat dihitung dengan rumus :
T dimana
tˆ. X
T : matriks jumlah tenaga kerja tˆ : matriks diagonal koefisien Tax
X : matriks output, X = (I-A)-1.Fd
Analisis input-output (I-O) memberikan informasi yang penting bagi perencanaan pembangunan daerah. Hasil analisis input-output yang meliputi keterkaitan ke depan, keterkaitan ke belakang, keterkaitan ke depan langsung dan tidak langsung, keterkaitan ke belakang langsung dan tidak langsung, indeks daya penyebaran, indeks daya kepekaan serta multiplier effect dapat memberikan informasi mengenai keterkaitan antar sektor perekonomian dan potensi dampak ganda bagi berbagai indikator pembangunan. Oleh karena itu, hasil analisis inputoutput dapat digunakan sebagai indikator pengembangan wilayah. Perkembangan suatu wilayah salah satunya ditentukan oleh perkembangan aktivitas-aktivitas sektor perekonomiannya. Hasil analisis berbagai nilai keterkaitan sektor perekonomian dalam analisis input-output dapat menjadi indikator perkembangan aktivitas perekonomian suatu wilayah yang pada akhirnya dapat memberikan gambaran mengenai perkembangan/pembangunan suatu wilayah. Selain itu, analisis input-output ini juga dapat memberikan arahan dalam menetapkan sektor-sektor prioritas dalam pembangunan wilayah. Analisis multiplier effect dapat menjadi indikator pengembangan wilayah karena
dapat
digunakan
untuk
melihat
pertumbuhan
dan
pemerataan
pembangunan ekonomi suatu wilayah. Misalnya, analisis keterkaitan komoditaskomoditas tanaman bahan makanan dengan sektor-sektor lainnya dapat menjadi
51
indikator pengembangan perekonomian wilayah karena dapat mengetahui hubungan antar komoditas tanaman bahan makanan dengan sektor lainnya dan bagaimana solusi untuk meningkatkan keterkaitan tersebut dalam rangka meningkatkan perekonomian wilayah. Income multiplier dapat menjadi indikator pengembangan wilayah karena dapat melihat besarnya peningkatan pendapatan masyarakat yang berarti terjadinya peningkatan kesejahteraan dan penurunan kemiskinan. Dengan demikian, hasil analisis keterkaitan antar sektor dan multiplier effect ini dapat menjawab isu-isu strategis yang disebutkan dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Majalengka khususnya mengenai isu kemiskinan.
3.5.3. Analisis Komoditas Unggulan Subsektor Tanaman Bahan Makanan Analisis komoditas unggulan subsektor tanaman bahan makanan dilakukan secara deskriptif berdasarkan hasil analisis kondisi, potensi daya saing dan peran subsektor tanamaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka yang telah dilakukan pada tahap sebelumnya. Penetapan komoditas unggulan dilakukan dengan menganalisis potensi komoditas-komoditas subsektor tanaman bahan makanan pada level makro, meso dan mikro. Pada level makro dilakukan sintesis dari hasil analisis LQ dan SSA (differential shift) yang membandingkan komoditas subsektor tanaman bahan makanan yang ada di Kabupaten Majalengka dengan komoditas subsektor tanaman bahan makanan yang ada di Kabupaten/Kota lainnya di Jawa Barat. Dari hasil sintesis ini akan diperoleh beberapa komoditas subsektor tanaman bahan makanan yang merupakan komoditas basis serta memiliki keunggulan secara komparatif dan kompetitif dari berbagai aspek yang dinilai yaitu luas tanam, luas panen, jumlah pohon dan produksi. Pada level meso dilakukan sintesis dari hasil analisis tabel input-output Kabupaten Majalengka Tahun 2009. Pada level ini bertujuan untuk melihat tingkat keterkaitan dan multiplier effect komoditas-komoditas subsektor tanaman bahan makanan dalam perekonomian wilayah Kabupaten Majalengka. Dari hasil sintesis ini akan diperoleh beberapa komoditas yang memiliki keterkaitan dan nilai multiplier effect yang lebih besar dibandingkan komoditas subsektor tanaman
52
bahan makanan lainnya. Pada level mikro dilakukan analisis terhadap angka luas panen dan produksi pada Tahun 2009. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui komoditas apa saja yang menjadi pilihan masyarakat dalam berusahatani. Selain itu luas panen dan produksi juga merupakan resultante kesesuaian tumbuh dengan kondisi agroekologi serta memenuhi kriteria unggul dari sisi penawaran. Selanjutnya, berdasarkan penilaian dari setiap level kriteria tersebut dilakukan sintesis untuk memilih komoditas yang menjadi unggulan. Dalam penentuan komoditas unggulan, komoditas subsektor tanaman bahan makanan dikelompokkan menjadi tiga yaitu kelompok komoditas tanaman pangan, buahbuahan dan sayuran-sayuran. Komoditas yang akan ditetapkan sebagai komoditas unggulan adalah komoditas yang memenuhi kriteria unggul di setiap levelnya
3.5.4. Analisis Prioritas Pembangunan Subsektor Tanaman Bahan Makanan Analisis prioritas pembangunan subsektor tanaman bahan makanan dilakukan
dengan
menggunakan
Analytical
Hierarchy
Process
(AHP).
Pengambilan keputusan atau kebijakan akan lebih mudah bila menggunakan model kebijakan karena merupakan sajian sederhana mengenai aspek terpilih dari situasi problematik didasari atas tujuan-tujuan khusus. Ada beberapa model yang dapat digunakan dalam merumuskan kebijakan namun masing-masing model memfokuskan perhatian pada aspek yang berbeda. Salah satu model analisis data yang dapat digunakan untuk menelaah kebijakan adalah AHP. Model ini banyak digunakan pada pengambilan keputusan dengan banyak kriteria perencanaan, alokasi sumberdaya dan penentuan prioritas strategi yang dimiliki pengambil keputusan dalam situasi konflik. Dalam perkembangannya metode ini tidak saja digunakan untuk penentuan prioritas pilihan dengan banyak kriteria (multikriteria) tetapi dalam penerapannya telah meluas sebagai metode alternatif untuk menyelesaikan bermacam-macam masalah. Hal ini dimungkinkan karena metode AHP dapat digunakan dengan cukup mengandalkan intuisi atau persepsi sebagai masukan utamanya, namun intuisi atau persepsi tersebut harus datang dari orang yang mengerti permasalahan, pelaku dan pembuat keputusan yang memiliki cukup informasi dan memahami masalah keputusan yang dihadapi.
53
Langkah awal dari proses ini adalah merinci tujuan/permasalahan kedalam komponen-komponen dan kemudian diatur ke dalam tingkatan-tingkatan hirarki. Hirarki yang paling atas diturunkan ke dalam beberapa set kriteria/elemen, sehingga diperoleh elemen-elemen spesifik yang mempengaruhi alternatif pengambilan keputusan. Setelah hirarki tersusun, langkah selanjutnya adalah menentukan prioritas elemen-elemen pada masing-masing tingkatan. Kemudian dibangun set matriksmatriks perbandingan dari semua elemen pada suatu tingkat hirarki dan pengaruhnya terhadap elemen pada tingkatan yang lebih tinggi untuk menentukan prioritas serta mengkonversi penilaian komparatif individu ke dalam pengukuran skala rasio. Penentuan tingkat kepentingan pada tiap hirarki dilakukan dengan teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparison) yang menghasilkan suatu matriks peringkat relatif untuk masing-masing tingkat hirarki.
Pembangunan Subsektor Tanaman Bahan Makanan Kabupaten Majalengka
Jagung
Padi
Subsistem Agribisnis Hulu
Kedelai
Mangga
Subsistem Usahatani
SDM
Subsistem
Agribisnis Hilir
Sapras
Melinjo
Pisang
Subsistem Jasa Layanan Pendukung
Kelembagaan
Gambar 5. Struktur hirarki untuk penentuan prioritas pembangunan subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka
Struktur hirarki yang dibangun dalam penelitian ini bertujuan untuk menentukan prioritas pembangunan subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka. Gambaran dari struktur hirarki yang akan diteliti dapat
54
dilihat pada Gambar 5. Struktur hirarki tersusun atas 4 level. Level 1 merupakan tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan di level 2, 3 dan 4. Level 2 merupakan tahapan untuk menentukan komoditas unggulan yang menjadi prioritas untuk dikembangkan dalam rangka pencapaian tujuan di level 1. Level 3 merupakan tahapan untuk menentukan subsistem mana yang diprioritaskan untuk mendukung level 2. Level 4 merupakan tahapan untuk menentukan aspek pendukung mana yang menjadi prioritas untuk mendukung level 2 dan 3. Faktor-faktor pada level 2, 3 dan 4 dinilai dengan cara perbandingan berpasangan. Misalnya untuk perbandingan pada level 2 yaitu pemilihan komoditas unggulan, mana yang lebih penting antara pengembangan komoditas padi dan jagung, antara komoditas padi dan kedelai, antara komoditas unggulan padi dan mangga dan seterusnya. Faktor-faktor yang berpengaruh pada level 3 dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Subsistem
Agribisnis
Hulu,
menunjukkan
kegiatan
ekonomi
yang
menghasilkan sarana produksi primer dan perdagangan sarana produksi pertanian seperti industri pembibitan/perbenihan, pupuk, obat-obatan, alat dan mesin pertanian, dll. 2. Subsistem Usahatani menunjukkan kegiatan ekonomi yang menggunakan sarana produksi pertanian untuk menghasilkan komoditas pertanian primer. 3. Subsistem Agribisnis Hilir menunjukkan kegiatan ekonomi yang mengolah komoditas pertanian primer menjadi produk-produk olahan baik berupa produk intermediate maupun produk akhir beserta kegiatan perdagangannya. 4. Subsistem
Jasa
Layanan
Pendukung,
menunjukkan
kegiatan
yang
menghasilkan dan menyediakan jasa yang dibutuhkan seperti perbankan, transportasi, penelitian dan pengembangan, layanan informasi agribisnis, kebijakan pemerintah, penyuluhan dan konsultasi, dll. Faktor-faktor yang berpengaruh pada level 4 dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Faktor SDM menunjukkan pengetahuan dan keterampilan dari para pelaku kegiatan pertanian. Sumberdaya Manusia (SDM) sebagai pelaku utama aktivitas pertanian meliputi petani, dan pelaku pengolahan serta pemasaran hasil pertanian.
55
2. Faktor Sarana Prasarana (Sapras) menunjukkan fasilitas pendukung yang berupa sarana dan prasarana untuk mendukung kelancaran kegiatan pembangunan pertanian. 3. Faktor Kelembagaan menunjukkan organisasi dan norma-norma yang berlaku di dalam kegiatan pertanian. Kelembagaan menjadi penting karena dapat meningkatkan posisi tawar petani. Untuk memperoleh bobot
dari
tiap-tiap
kriteria
AHP digunakan
perbandingan berpasangan (pairwise comparison) dengan skala 1 sampai 9. Nilai bobot 1 menggambarkan sama penting, ini berarti bahwa atribut yang sama skalanya nilai bobotnya 1, sedangkan nilai bobot 9 menggambarkan kasus atribut yang paling absolut dibandingkan yang lainnya.
Tabel skala perbandingan
berpasangan menurut Saaty (2008) disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 Skala Perbandingan Berpasangan Tingkat Kepentingan 1
Definisi
Penjelasan
Kedua elemen sama pentingnya
Dua elemen mempunyai pengaruh yang sama besar terhadap tujuannya
3
Elemen yang satu sedikit lebih penting dari elemen yang lain
5
Elemen yang satu lebih penting dari elemen yang lain
7
Elemen yang satu jelas lebih penting dari elemen yang lain
Pengalaman dan penilaian sedikit mendukung satu elemen dibanding elemen yang lain Pengalaman dan penilaian sangat kuat mendukung satu elemen dibanding yang lain Satu elemen dengan kuat didukung dan dominan terlihat dalam praktek
9
Elemen yang satu mutlak lebih penting dari elemen yang lain
2,4,6,8
Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan Reciprocals
Kebalikan
Sumber: Saaty 2008
Bukti yang mendukung elemen yang satu terhadap elemen yang lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan Nilai ini diberikan bila ada kompromi diantara dua pilihan Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktivitas j, mempunyai nilai kebalikan bila dibandingkan dengan i
56
3.5.5. Penyusunan Arahan Pembangunan Subsektor Tanaman Bahan Makanan dalam Pengembangan Wilayah Arahan pengembangan subsektor tanaman bahan makanan dalam pengembangan wilayah di Kabupaten Majalengka akan disusun berdasarkan hasil dari analisis sebelumnya yang meliputi hasil analisis kondisi dan potensi daya saing subsektor tanaman bahan makanan yang dilakukan berdasarkan analisis Location Quotient (LQ) dan Shift Share Analysis (SSA), analisis peran subsektor tanaman bahan makanan yang dilakukan dengan menggunakan analisis inputoutput,
analisis
penentuan komoditas
unggulan
serta
analisis
prioritas
pembangunan subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka dengan menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP). Selanjutnya hasil analisis tersebut dipadukan dengan analisis kesesuaian dan ketersediaan lahan untuk tiga komoditas unggulan terpilih sehingga diperoleh lokasi arahan untuk pengembangan komoditas tersebut. Analisis kesesuaian dan ketersediaan lahan untuk komoditas unggulan dilakukan melalui pengolahan peta dengan sistem informasi geografis. Analisis kesesuaian lahan diperoleh dengan mengolah data peta tanah dan peta landsystem dengan persyaratan tumbuh masing-masing komoditas unggulan. Kriteria persyaratan tumbuh mengacu pada kriteria yang ditetapkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat (2003) yang disajikan pada Lampiran 16. 17 dan 18. Kesesuaian lahan ditetapkan pada tingkat ordo. Pada tingkat ordo kesesuaian lahan dibedakan atas ordo S (Sesuai) dan ordo N (Tidak Sesuai). Lahan yang tergolong ordo S adalah lahan yang dapat digunakan dalam jangka waktu yang tidak terbatas. Lahan yang tergolong ordo N adalah lahan yang mempunyai kesulitan atau faktor pembatas/penghambat yang berat sehingga tidak dapat digunakan untuk tujuan penggunaan tertentu (Sitorus, 2004; Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Selanjutnya, peta kesesuaian lahan ditumpangtindihkan dengan peta penggunaan lahan (landuse) dan RTRW untuk mengetahui lokasi-lokasi lahan yang memiliki kriteria sesuai berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian dan tersedia untuk pengembangan suatu komoditas karena belum dialokasikan untuk penggunaan lain ataupun telah dialokasikan untuk penggunaan lahan pertanian
57
serta telah sesuai dengan arahan tata ruang wilayah Kabupaten Majalengka. Evaluasi kesesuaian dan ketersdiaan lahan tersebut digunakan untuk mendapatkan peta arahan pengembangan komoditas unggulan yang sesuai dan tersedia. Adapun tahapan pengolahan data untuk analisis kesesuaian dan ketersediaan lahan untuk arahan pengembangan komoditas unggulan dapat dilihat pada Gambar 6.
Persyaratan Tumbuh Komoditas Unggulan
Peta Tanah dan Landsystem
Peta Kesesuaian Lahan
Peta Landuse Dan RTRW
Overlay
Peta Lahan Sesuai dan Tersedia
Gambar 6. Tahapan analisis kesesuaian dan ketersediaan lahan untuk arahan pengembangan komoditas unggulan
Pertanian bagi penduduk Kabupaten Majalengka memiliki peranan penting karena selain merupakan salah satu bentuk warisan budaya dari para leluhur juga merupakan sumber mata pencaharian sebagian besar penduduk, penyedia utama kebutuhan pangan masyarakat dan industri serta penyeimbang ekosistem lingkungan hidup. Oleh sebab itu maka pelaksanaan pembangunan pertanian harus dilaksanakan dengan baik dan terencana. Pembangunan sektor pertanian di Kabupaten Majalengka perlu terus ditumbuhkembangkan dengan diupayakan fokus pada pengembangan komoditaskomoditas yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif agar mampu bersaing dengan komoditas-komoditas pertanian dari wilayah lainnya. Dari hasil analisis kondisi dan potensi sektor pertanian akan disusun arahan jenis-jenis
58
komoditas unggulan dan wilayah-wilayah yang berpotensi untuk pengembangan komoditas tersebut. Selain itu kebijakan peningkatan keterkaitan sektor pertanian dengan sektor-sektor lainnya perlu dilakukan dalam rangka pengembangan wilayah. Hal ini sejalan dengan pendapat Rustiadi et al., (2009) yang menyatakan bahwa keterpaduan sektoral menuntut adanya keterkaitan fungsional yang sinergis antara sektor
perekonomian
sehingga
setiap
kegiatan
pembangunan
sektoral
dilaksanakan dalam kerangka pembangunan wilayah. Peran sektor pertanian dalam pengembangan wilayah juga dapat terlihat dari nilai multiplier effect yang diciptakan
sektor
menggambarkan
ini,
peran
misalnya, sektor
multiplier
pertanian
effect
dalam
pendapatan
peningkatan
dapat
pendapatan
masyarakat yang dalam hal ini berimplikasi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat sedangkan multiplier effect tenaga kerja dapat memberikan gambaran peran sektor pertanian dalam penyerapan tenaga kerja yang berimplikasi terhadap penurunan tingkat pengangguran. Dari hasil analisis input-output akan disusun arahan untuk peningkatan peran sektor pertanian dalam pengembangan wilayah di Kabupaten Majalengka. Paradigma pembangunan ke depan diarahkan sebesar-besarnya kepada peningkatan peran dan partisipasi masyarakat serta menuntut adanya perubahan peran pemerintah yaitu semula berperan sebagai pelaku sekarang menjadi fasilitator, akselerator dan regulator pembangunan. Berdasarkan hal tersebut maka untuk menentukan prioritas pembangunan sektor pertanian di Kabupaten Majalengka dilakukan dengan melibatkan peran dan partisipasi masyarakat. Berdasarkan pada hal-hal tersebut diatas maka pembangunan sektor pertanian di Kabupaten Majalengka perlu diarahkan agar mampu berkontribusi secara optimal dalam pengembangan wilayah terutama bagi pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya.
59
IV. 4.1.
GAMBARAN UMUM KABUPATEN MAJALENGKA Kondisi Fisik Wilayah Beberapa gambaran umum dari kondisi fisik Kabupaten Majalengka yang
merupakan wilayah studi adalah kondisi geografi, topografi, tanah dan lahan, iklim, dan penggunaan lahan. Masing-masing bahasan tersebut diuraikan tersendiri pada bagian di bawah ini.
4.1.1. Kondisi Geografi Kabupaten Majalengka merupakan bagian dari wilayah administrasi Provinsi Jawa Barat dengan Luas wilayah 120.424 Hektar atau sekitar 2,71% luas wilayah Provinsi Jawa Barat. Jarak dari Ibukota Kabupaten Majalengka ke Ibukota Provinsi Jawa Barat adalah ± 91 Kilometer. Secara geografis Kabupaten Majalengka terletak diantara 60 36’ sampai dengan 70 03’ Lintang Selatan dan 1080 03’ sampai dengan 1080 25’ Bujur Timur. Adapun batas wilayah administrasinya adalah sebagai berikut : sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Indramayu, sebelah selatan dengan Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Tasikmalaya, sebelah barat dengan Kabupaten Sumedang, dan Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Cirebon. Wilayah Kabupaten Majalengka secara administratif terdiri dari 26 kecamatan,13 kelurahan dan 334 desa. Pemekaran wilayah di Kabupaten Majalengka terjadi pada tahun 2007 yaitu pemekaran kecamatan dan pemekaran desa. Jumlah kecamatan semula 23 menjadi 26 kecamatan sedangkan jumlah desa yang semula 318 menjadi 334 desa. Kecamatan yang baru hasil pemekaran yaitu Kecamatan Kasokandel yang merupakam pemekaran dari Kecamatan Dawuan, Kecamatan Sindang pemekaran dari Kecamatan Sukahaji dan Kecamatan Malausma yang merupakan pemekaran dari Kecamatan Bantarujeg. Secara spasial batas administrasi masing-masing Kecamatan di Majalengka dapat dilihat pada Gambar 7.
60
Gambar 7. Peta administrasi Kabupaten Majalengka
Distribusi luas wilayah tiap kecamatan di Kabupaten Majalengka disajikan pada Gambar 8. Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat bahwa luas wilayah per Kecamatan di Kabupaten Majalengka cenderung merata. Kecamatan
61
yang memiliki luas wilayah paling luas adalah Kecamatan Kertajati sedangkan kecamatan yang memiliki luas wilayah terkecil adalah Kecamatan Kadipaten.
Gambar 8. Distribusi luas wilayah per kecamatan (Km2)
4.1.2. Kondisi Topografi Kondisi topografi Kabupaten Majalengka sangat bervariasi yaitu ada daerah dengan topografi landai (dataran rendah), berbukit bergelombang, serta perbukitan terjal. Kondisi bentang alamnya melandai ke daerah Barat Laut, menyebabkan aliran sungai dan mata air mengalir ke arah Utara. Sehingga pada wilayah bagian Utara Kabupaten Majalengka terdapat banyak persawahan. Perbukitan dengan lereng yang curam terdapat di lereng Gunung Ciremai.
62
Kemiringan lahan di Kabupaten Majalengka di klasifikasikan kedalam 3 kelas yaitu 0 – 15 %, 15 – 40 % dan > 40 %. Berdasarkan klasifikasi kelas kemiringan lahan, 13.21 % dari luas wilayah Kabupaten Majalengka mernpunyai kemiringan lahan di atas 40%, sedangkan kontribusi kelas kemiringan lahan mayoritas adalah pada kelas kemiringan lahan 0 - 15%, yaitu 82.207 Ha atau 68.26% luas wilayah Kabupaten Majalengka, dan daerah ini merupakan daerah yang relatif datar (Bappeda Majalengka, 2005). Kondisi topografis ini sangat berpengaruh pada pemanfaatan ruang dan potensi pengembangan wilayah. Selain itu juga mengakibatkan terdapatnya daerah yang rawan terhadap gerakan tanah yaitu daerah yang mempunyai kelerengan curam. Distribusi ketiga bagian topografi yang ada di Kabupaten Majalengka sebagaimana disebutkan di atas, adalah sebagai berikut : 1.
Dataran rendah, mempunyai kemiringan tanah antara 0 - 15%, yaitu meliputi kecamatan Cigasong, Jatitujuh, Jatiwangi, Kadipaten, Kertajati, Ligung dan Palasah.
2.
Berbukit Gelombang, kemiringan tanahnya berkisar antara 15% - 40%, yaitu metiputi Kecamatan Argapura, Banjaran, Bantarujeg, Cikijing, Cingambul, Dawuan, Lemahsugih, Maja, Majalengka, Rajagaluh, Sindangwangi, Sukahaji dan Talaga.
3.
Perbukitan Terjal, kemiringan tanahnya lebih dari 40%, sebagian besar merupakan daerah-daerah di sekitar Gunung Ciremai yaitu meliputi Kecamatan
Agapura,
Banjaran,
Bantarujeg,
Cikijing,
Cingambul,
Lemahsugih, Leuwimunding, Maja, Majalengka, Panyingkiran, Rajagaluh, Sindangwangi, Sukahaji, Sumberjaya dan Talaga. Berdasarkan ketinggian tempatnya, wilayah Kabupaten Majalengka yang mempunyai ketinggian di atas 2000 mdpl terletak di sekitar kawasan kaki Gunung Ciremai. Adapun wilayah yang mempunyai ketinggian 25-100 m dpl mendominasi pada bagian Utara Kabupaten Majalengka, yang dimanfaatkan untuk pertanian lahan basah. Sebaran ketinggian wilayah yang lebih rinci disajikan secara spasial pada Gambar 9.
63
Gambar 9. Peta kelas ketinggian Kabupaten Majalengka
4.1.3. Kondisi Tanah dan Lahan Tanah merupakan sumber daya alam yang sangat penting bagi kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan. Jenis tanah memegang peranan penting dalam menentukan sifat dan tingkat kesuburan tanah dalam menunjang kegiatan
64
pertanian di suatu daerah. Kemampuan tanah berdasarkan kedalaman efektif tanah merupakan kondisi dimana tanaman dapat tumbuh karena perakaran tanaman dapat menembusnya secara vertikal. Kedalaman efektif tanah dipengaruhi oleh tingkat erosi yang dapat mengakibatkan lapisan atas tanah (top soil) terkikis air ke tempat yang lebih rendah (Hardjowigeno, 2007).
Gambar 10. Peta kedalaman efektif tanah Kabupaten Majalengka
65
Kedalam efektif tanah di Kabupaten Majalengka dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok. Adapun sebaran kedalaman efektif tanah secara rinci dapat dilihat pada Gambar 10. 4.1.4. Iklim Kondisi iklim di wilayah Kabupaten Majalengka termasuk kedalam iklim tropis dengan suhu udara rata-rata berdasarkan data Tahun 2009 berkisar antara 25,9oC sampai dengan 29,3oC. Suhu udara maksimum terjadi pada bulan Oktober yaitu 35,9oC, sedangkan suhu udara minimum terjadi pada bulan Agustus dengan suhu sebesar 22,2oC. Variasi curah hujan bulanan pada Tahun 2009 antara 60 mm sampai 419 mm dengan jumlah hari hujan antara 2 sampai 26 hari setiap bulan. Dengan menggunakan pembagian tipe hujan dari Oldeman, maka Kabupaten Majalengka termasuk tipe iklim C yaitu daerah yang memiliki bulan basah 5-6 bulan. Curah hujan tertinggi di Kabupaten Majalengka terjadi pada bulan Februari 2009 yang mencapai 419 mm dengan jumlah hari hujan 26 hari, sedangkan kemarau terjadi pada bulan Agustus dan September. Adapun data iklim di Kabupaten Majalengka selama Tahun 2009 disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Fluktuasi Iklim di Kabupaten Majalengka Tahun 2009 Suhu Udara (oC) No.
Maks.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Hujan
Bulan
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember
Min.
Rata-rata
Curah Hujan (mm)
Hari Hujan
Penyinaran Matahari (%)
31,1 30,6 33,3 33,1 32,7 32,7 33,1 34,2 35,9 35,2 33,9 32,9
23,7 23,4 23,6 24,1 24,1 22,5 22,3 22,2 23,6 24,8 24,9 24,4
26,6 25,9 26,7 27,5 27,3 27,2 26,9 27,5 29,2 29,3 28,4 27,6
234 419 293 217 90 60 ttu*) 0 0 69 364 219
22 26 23 14 14 6 2 0 0 8 18 23
35 27 66 61 78 81 85 89 86 72 53 56
Jumlah
398,7
283,6
330,1
1965
156
789
Rata-rata
33,2
23,6
27,5
178,64
13
65,8
Sumber : Majalengka dalam Angka Tahun 2010 *) ttu=tidak terukur
66
4.1.5. Penggunaan Lahan Pada dasarnya penggunaan lahan suatu wilayah merupakan perwujudan fisik dari semua kegiatan sosial ekonomi penduduk. Pengenalan pola penggunaan lahan ini sangat diperlukan baik untuk memperoleh gambaran mengenai organisasi tata ruang maupun untuk mengetahui pola distribusi kegiatan sosial ekonomi serta intensitas penggunaan lahan dan berbagai kegiatan yang ada. Sebagai daerah agraris, penggunaan lahan di Kabupaten Majalengka masih didominasi oleh kegiatan pertanian baik pertanian lahan basah maupun kering. Penggunaan lahan di Kabupaten Majalengka disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Penggunaan Lahan di Kabupaten Majalengka Tahun 2009 No Penggunaan Lahan Luas (Ha) 1 1.1
1.2
2
LAHAN PERTANIAN Lahan Sawah 1. Irigasi teknis 2. Irigasi ½ teknis 3. Irigasi sederhana 4. Irigasi Desa / Non PU 5. Tadah hujan Jumlah Lahan Sawah Lahan Bukan Sawah 1. Tegal (kebun) 2. Ladang (huma) 3. Perkebunan 4. Ditanami pohon/hutan rakyat 5. Tambak 6. Kolam/tebat/empang 7. Padang penggembalaan/rumput 8. Sementara tidak diusahakan 9. Lainnya (pekarangan yang ditanami tanaman pertanian, dll) Jumlah Lahan Bukan Sawah LAHAN BUKAN PERTANIAN 1. Rumah, bangunan dan halaman sekitar 2. Hutan Negara 3. Rawa-rawa (tidak ditanami) 4. Lainnya (Jalan, sungai, danau, lahan tandus) Jumlah Lahan Bukan Pertanian Luas Lahan Keseluruhan
Sumber : Majalengka dalam Angka Tahun 2010
17.982 7.970 5.534 7.901 12.512 51.899 27.275 370 4.739 543 693 28 2.584 36.232 12.025 17.217 99 2.952 32.293 120.424
Proporsi (%)
14,93 6,62 4,60 6,56 10,39 43,10 22,65 0,31 3,94 0,45 0,58 0,02 2,15 30,09 9,99 14,30 0,08 2,45 26,82 100,00
67
4.2.
Sosial Kependudukan Pada bagian sosial kependudukan ini dikemukakan gambaran mengenai
penduduk dan ketenagakerjaan yang ada di Kabupaten Majalengka. Masingmasing bahasan tersebut diuraikan tersendiri pada bagian di bawah ini. 4.2.1. Kependudukan Kesejahteraan penduduk merupakan sasaran utama dari pembangunan. Sasaran ini tidak mungkin tercapai bila pemerintah tidak dapat memecahkan permasalahannya. Permasalahan tersebut diantaranya besarnya jumlah penduduk dan tidak meratanya penyebaran penduduk. Jumlah penduduk Kabupaten Majalengka pada tahun 2009 berdasarkan hasil Susenas 2009 adalah 1.206.702 jiwa terdiri dari 600.396 jiwa laki-laki dan 606.306 jiwa perempuan atau meningkat 0,83% bila dibandingkan jumlah penduduk tahun sebelumnya. Dari data tersebut terlihat bahwa jumlah penduduk perempuan masih lebih tinggi dibandingkan jumlah penduduk laki-laki dengan sex ratio 99.02%. Jumlah penduduk, Laju Pertumbuhan Penduduk dan kepadatan penduduk di Kabupaten Majalengka selama kurun 2005-2009 dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10.
Jumlah, Laju Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk di Kabupaten Majalengka Tahun 2005 - 2009
PENDUDUK
2005
2006
2007
2008
2009
1.169.337
1.179.136
1.188.189
1.196.811
1.206.702
Laki-laki (Jiwa)
577.633
582.474
588.321
594.981
600.396
Perempuan (Jiwa)
591.704
596.662
599.868
601.830
606.306
Laju Pertumbuhan Penduduk (persen) Kepadatan (Jiwa/ Km2)
0,82
0,84
0,76
0,73
0,83
971
979
987
994
1002
Jumlah (Jiwa)
Sumber : Majalengka dalam Angka Tahun 2010
Persebaran penduduk di Kabupaten Majalengka belum merata di tiap kecamatan.
Kecamatan Jatiwangi, Majalengka dan Cikijing adalah tiga
kecamatan yang memiliki jumlah penduduk terbanyak. Di lain pihak, Kecamatan Sindang merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk yang paling sedikit.
68
Adapun distribusi jumlah penduduk per kecamatan menurut jenis kelamin disajikan pada Gambar 11.
Gambar 11. Distribusi penduduk Kabupaten Majalengka per Kecamatan Tahun 2009
Kepadatan penduduk di Kabupaten Majalengka bervariasi antara satu kecamatan dengan kecamatan lainnya. Secara keseluruhan rata-rata kepadatan penduduk Kabupaten Majalengka pada tahun 2009 adalah 1.002 Jiwa/Km 2, kepadatan penduduk tertinggi berada di Kecamatan Jatiwangi dengan kepadatan 2.096 Jiwa/Km2 dan kepadatan terendah berada di Kecamatan Kertajati dengan kepadatan 333 Jiwa/Km2.
4.2.2. Ketenagakerjaan Tenaga kerja adalah modal bagi geraknya roda pembangunan. Jumlah dan komposisi tenaga kerja akan terus mengalami perubahan seiring dengan berlangsungnya proses demografi. Peningkatan jumlah penduduk umumnya diikuti pula dengan penambahan jumlah angkatan kerja yang tentunya menuntut peningkatan penyediaan lapangan kerja. Pencari kerja terdaftar selama tahun 2009 di Kabupaten Majalengka sebanyak 13.417 orang, yang terdiri dari 6.897 orang perempuan dan 6.520 orang laki-laki. Rincian tentang pencari kerja terdaftar dan yang telah ditempatkan selama tahun 2009 di Kabupaten Majalengka berdasarkan tingkat pendidikannya dapat dilihat pada Tabel 11.
69
Tabel 11. Jumlah Pencari Kerja Terdaftar di Kabupaten Majalengka Tahun 2009 Tingkat Pendidikan
Pencari Kerja (Orang)
Persentase (%)
1.158 1.550 6.305 1.523 2.881 13.417
8,63 11,53 46,99 11,35 21,47 -
SD SLTP SLTA D1, D2, D3 Sarjana Pasca Sarjana Jumlah
Belum Ditempatkan (Orang) 847 1.361 6.252 1.523 2.881 12.864
Telah Ditempatkan (Orang) 311 189 53 553
Sumber : Majalengka dalam Angka Tahun 2010
Perkembangan angka statistik ketenagakerjaan yang meliputi tingkat partisipasi angkatan kerja, persentase penduduk usia kerja, tingkat pengangguran, upah minimum regional dan persentase penduduk yang bekerja berdasarkan kelompok sektor di Kabupaten Majalengka dari Tahun 2007 sampai Tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Perkembangan Angka Statistik Ketenagakerjaan Uraian Partisipasi
Tingkat Angkatan Kerja Tingkat Pengangguran Bekerja (%) UMR (Rp) Bekerja di Sektor Primer (%) Bekerja di Sektor Sekunder (%) Bekerja di Sektor Tersier (%)
2007 69,06
2008 62,23
2009 66,48
7,46 92,54 555.000 37,96 19,53 42,51
7,98 92,02 605.000 31,05 23,38 45,57
6,74 93,26 680.000 30,94 18,96 50,10
Sumber : Statistik Daerah Kab. Majalengka Tahun 2010
Berdasarkan kelompok sektornya, angkatan kerja yang bekerja di sektor primer selama periode Tahun 2007 – 2009 cenderung menurun yaitu dari 37,96 persen pada Tahun 2007 menjadi 30,94% pada Tahun 2009. Sebaliknya untuk kelompok sektor tersier cenderung meningkat yaitu dari 42,51% pada Tahun 2007 menjadi 50,10% pada Tahun 2009.
4.2.3. Sosial Budaya Pembangunan kualitas hidup penduduk Kabupaten Majalengka menjadi prioritas pembangunan daerah. Perkembangan kualitas sumber daya manusia (SDM) Kabupaten Majalengka menunjukkan perkembangan yang semakin
70
membaik, hal tersebut antara lain ditunjukkan dengan pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM dihitung berdasarkan tiga indikator yaitu Indeks Pendidikan, Indeks Kesehatan, dan Indeks Daya Beli. IPM Kabupaten Majalengka pada tahun 2007 mencapai 69,25 kemudian meningkat kemudian meningkat sebesar 0,15 poin menjadi 69,40 di Tahun 2008. Peningkatan cukup besar terjadi pada Tahun 2009 yaitu meningkat sebesar 0,5 poin menjadi sebesar 69,94. Tetapi di lain pihak dari sisi peringkatnya, diantara 26 Kabupaten/Kota di Jawa Barat, Kabupaten Majalengka menduduki peringkat ke-22 pada Tahun 2009. Hal ini menunjukkan bahwa IPM Kabupaten Majalengka masih berada pada kelompok bawah. Untuk mendongkrak
IPM tersebut
diperlukan upaya-upaya nyata sehingga pembangunan yang dilaksanakan dapat benar-benar mengangkat kualitas hidup masyarakat Kabupaten Majalengka. Dalam bidang seni dan budaya, pembangunan ditujukan untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaan daerah serta mempertahankan jati diri dan nilai-nilai budaya daerah di tengah-tengah semakin derasnya arus informasi dan pengaruh negatif budaya global. Selain itu kesenian dan kebudayaan merupakan cerminan dari seberapa tinggi peradaban manusia yang dimiliki. Adapun budaya yang masih dapat dijumpai dalam kehidupan masyarakat di Kabupaten Majalengka yaitu diantaranya upacara sambut pengantin, upacara guar bumi, upacara mapag sri, dan beberapa tradisi budaya yang masih dilestarikan oleh perorangan yang merupakan tradisi budaya dalam kehidupannya.
4.3.
Perekonomian Daerah Gambaran mengenai perekonomian daerah yang menjadi fokus dalam
bahasan ini adalah meliputi produk domestik regional bruto (PDRB) dan potensi sektor-sektor ekonomi. 4.3.1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan dasar pengukuran atas nilai tambah yang mampu diciptakan karena adanya berbagai aktivitas ekonomi dalam suatu wilayah. Selain itu, data PDRB merupakan gambaran atas kemampuan suatu wilayah dalam mengelola sumber daya alam dan sumber daya
71
manusia yang dimilikinya. Oleh karena itu besarnya nilai PDRB dari suatu wilayah akan sangat tergantung pada kedua faktor tersebut, sehingga dengan beragamnya kondisi dan keterbatasan dari kedua faktor di atas menyebabkan nilai PDRB bervariasi antar daerah. PDRB merupakan ukuran produktivitas wilayah yang paling umum dan paling dapat diterima secara luas sebagai standar ukuran pembangunan suatu wilayah, sehingga walaupun dianggap memiliki berbagai kelemahan tetapi PDRB ini merupakan tolak ukur yang paling operasional karena tidak ada satu wilayah pun yang tidak melakukan pengukuran nilai PDRB. Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Majalengka dapat dilihat dari laju PDRB atas dasar harga konstan yang mengalami peningkatan, nilai ini menunjukan terjadinya peningkatan produk yang dihasilkan dibandingkan tahun
sebelumnya. Stuktur
perekonomian
Kabupaten
Majalengka
yang
digambarkan oleh distribusi PDRB atas dasar harga berlaku menunjukan bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang masih dominan dan menjadi andalan dalam memberikan nilai tambah PDRB Kabupaten Majalengka, dimana kontribusi yang diberikan sektor ini cukup besar. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Majalengka atas dasar harga konstan tahun 2000 pada kurun waktu tahun 2006-2009 mengalami kenaikan setiap tahunnya. Hal ini didukung oleh kenaikan hampir semua sektor lapangan usaha dengan dominasi sektor pertanian diikuti sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor industri pengolahan. Pada tahun 2006 PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000 mencapai Rp. 3.686.235.930.000, tahun 2007 sebesar
Rp.3.865.690.520.000,
dan
pada
tahun
2008
sebesar
Rp.
4.041.007.620.000 serta pada tahun 2009 sebesar Rp. 4.225.926.070.000. Selanjutnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita Kabupaten Majalengka atas dasar harga konstan tahun 2000 setiap tahun mengalami kenaikan dari Rp. 3.126.217,78 pada tahun 2006 menjadi Rp. 3.502.046,13 pada tahun 2009. Kenaikan PDRB per kapita menunjukkan bahwa kondisi perekonomian Kabupaten Majalengka meningkat, sejalan dengan jumlah penduduk dan keadaan penduduk pada tahun berjalan. Gambaran mengenai perkembangan kontribusi sektoral dan nilai PDRB per kapita Kabupaten Majalengka atas dasar harga konstan dapat dilihat pada Tabel 13.
72
Tabel 13. Perkembangan Nilai PDRB Kabupaten Majalengka Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 dari Tahun 2006-2009 (Dalam Jutaan Rupiah) No. 1
LAPANGAN USAHA PDRB atas dasar harga konstan thn 2000 (Jutaan Rupiah) Pertanian Pertambangan dan Galian Industri Pengolahan Listrik, Gas, Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan Jasa
2
PDRB per Kapita
SATUAN
Rp.000.000,00 % Rp.000.000,00 % Rp.000.000,00 % Rp.000.000,00 % Rp.000.000,00 % Rp.000.000,00 % Rp.000.000,00 % Rp.000.000,00 % Rp.000.000,00 % (Rp)
TAHUN 2006 3.686.235,93
2007 3.865.690,52
2008 4.042.240,29
2009 4.225.926,07
1.046.430,59 (28,39) 150.590,75 (4,09) 624.229,78 (16,93) 24.480,32 (0,66) 165.831,17 (4,50) 724.540,91 (19,66) 238.842,61 (6,48) 205.604,05 (5,58) 505.685,75 (13,72) 3.126.217.78
1.093.907,26 (28,30) 159.586,22 (4,13) 657.996,42 (17,02) 26.149,82 (0,68) 175.415,37 (4,54) 756.470,52 (19,57) 250.435,89 (6,48) 219.085,84 (5,67) 526.643,19 (13,62) 3.253.430,66
1.133.648,71 (28,05) 166.138,45 (4,11) 691.093,64 (17,10) 27.540,86 (0,68) 185.168,46 (4,58) 797.726,94 (19,73) 260.476,07 (6,44) 229.950,10 (5,69) 550.497,06 (13,62) 3.377.492,37
1.184.973,86 (28,04) 162.266,80 (3,84) 724.330,61 (17,14) 28.810,27 (0.68) 195.870,28 (4,63) 838.517,68 (19,84) 271.937,70 (6,43) 240.097,63 (5,68) 579.121,25 (13,70) 3.502.046,13
Sumber : BPS Kabupaten Majalengka Tahun 2010
Nilai tambah terbesar bagi PDRB Kabupaten Majalengka pada Tahun 2009 berasal dari sektor pertanian yaitu sebesar 1,184 trilyun rupiah atau sebesar 28,04 % dimana sebagian besar penduduk berusaha di sektor pertanian. Sektor perdagangan hotel dan restoran memberikan kontribusi terbesar kedua yaitu sebesar 838 milyar atau sebesar 19,84%. Sektor industri pengolahan memberikan kontribusi terbesar ketiga yaitu sebesar 724 milyar atau sebesar 17,14%. 4.3.2. Potensi Sektor-Sektor Ekonomi Potensi sektor-sektor ekonomi yang dijelaskan dalam bahasan ini adalah potensi sektor-sektor ekonomi yang memiliki sumbangan terbesar terhadap PDRB di Kabupaten Majalengka yaitu sektor pertanian, sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor industri pengolahan. 4.3.2.1. Pertanian Pertanian di Kabupaten Majalengka secara umum memiliki potensi yang besar dan variatif, serta didukung oleh kondisi agroekosistem yang cocok untuk
73
pengembangan komoditas pertanian. Potensi ini dapat dilihat dari besarnya sumbangan sektor pertanian terhadap PDRB. Dominasi sektor pertanian dalam perekonomian Kabupaten Majalengka sangat dimungkinkan dengan besarnya luas lahan yang digunakan untuk kegiatan-kegiatan pertanian. Hal ini dapat dilihat dari rincian penggunaan lahan di Kabupaten Majalengka yaitu dari luas wilayah Kabupaten Majalengka sebesar 120.424 hektar tersebut terdiri atas lahan sawah 51.370 hektar, lahan bukan sawah 33.362 hektar dan lahan bukan pertanian 35.692 hektar. Berdasarkan data tersebut maka 73,18% luas lahan di Kabupaten Majalengka digunakan sebagai lahan pertanian. Kontribusi terbesar sektor pertanian adalah berasal dari sub sektor tanaman bahan makanan yang rata-rata mencapai 23,80% dari nilai PDRB Kabupaten Majalengka, hal ini berarti produksi terbesar di Kabupaten Majalengka berasal dari usaha budi daya tanaman bahan makanan. Tanaman bahan makanan terdiri dari tiga jenis komoditas yaitu padi dan palawija, sayuran serta buah-buah. Kinerja dari sub sektor tanaman bahan makanan ini dapat dilihat dari perkembangan angka produksi beberapa komoditasnya. Tabel 14 menggambarkan besarnya luas panen, hasil per hektar dan produksi padi sawah di Kabupaten Majalengka. Dari tabel ini tergambar bahwa pada Tahun 2009 produksi padi telah mencapai 567.796 ton. Bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, ternyata produksi padi mengalami peningkatan sebesar 10,77%. Peningkatan produksi ini karena bertambahnya luas panen dari 88.503 ha menjadi 93.517 ha atau meningkat sebesar 5,67% serta juga disebabkan oleh meningkatnya produktivitas atau hasil per hektar sebesar 4,83 %. Tabel 14. Perkembangan Luas Panen, Hasil per Hektar dan Produksi Padi Sawah di Kab. Majalengka Tahun 2008 2009 Laju
Luas Panen (Ha) 88.503 93.517 5,67
Hasil per Hektar (Kuintal) 57,92 60,72 4,83
Produksi (Ton) 512.596 567.796 10,77
Sumber : Majalengka dalam Angka Tahun 2010
Perkembangan produksi tanaman palawija pada Tahun 2009 ditunjukkan dalam Tabel 15. Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa pada umumnya
74
tanaman palawija mengalami pertumbuhan yang positif, bahkan komoditas jagung dan ubi jalar pada Tahun 2009 mengalami peningkatan yang cukup pesat dari tahun sebelumnya yaitu masing-masing sebesar 59,29 % dan 53,95%. Tabel 15. Perkembangan Produksi Palawija di Kabupaten Majalengka (dalam ton) Komoditas Jagung Ubi Kayu Ubi Jalar Kacang Tanah Kedelai
2008 69.479 42.575 11.409 1.769 2.825
2009 110.674 46.461 17.564 1.531 3.378
Laju 59,29 9,13 53,95 13,45 19,57
Sumber : Majalengka dalam Angka Tahun 2010
Seperti yang telah disebutkan diatas, selain padi dan palawija, tanaman lain yang termasuk dalam sub sektor tanaman bahan makanan adalah sayuran dan buah-buahan. Perkembangan produksi sayuran dan buah-buahan pada Tahun 2009 disajikan pada Tabel 16 dan Tabel 17.
Tabel 16. Perkembangan Produksi (dalam kuintal) Komoditas Bawang merah Bawang daun Cabe Tomat
Sayuran
2008 330.150 864.640 128.330 67.560
di
Kabupaten 2009 316.790 419.600 97.740 103.440
Majalengka Laju -4,05 -51,47 -23,84 53,11
Sumber : Majalengka dalam Angka Tahun 2010
Dari Tabel 16 terlihat bahwa sebagian besar komoditas sayuran mengalami penurunan produksi, yang mengalami peningkatan produksi hanya komoditas tomat yaitu meningkat sebesar 53,11%. Bawang merah menurun sebesar 4,05 %, kemudian komoditas bawang daun juga menurun sebesar sebesar 51,47 % dan cabe menurun sebesar 23,84 %. Selanjutnya Tabel 17 menunjukkan perkembangan produksi buah-buahan di Kabupaten Majalengka. Seperti halnya sayuran, komoditas buah-buahan pun sebagian besar menunjukkan penurunan, yang mengalami peningkatan dantaranya adalah mangga dan pisang. Komoditas mangga meningkat sebesar 3,07 % dan pisang meningkat cukup pesat yaitu mencapai 125,10 %.
75
Tabel 17. Perkembangan Produksi Buah-buahan di Kab. Majalengka (dalam kuintal) Komoditas Alpukat Jambu biji Mangga Nangka Pisang Jeruk besar
2008 62.193 30.374 452.235 61.215 122.094 1.456
2009 46.156 26.568 466.103 33.587 274.838 482
Laju -25,78 -12,53 3,07 -45,13 125,10 -66,89
Sumber : Majalengka dalam Angka Tahun 2010
4.3.2.2. Perdagangan, Hotel dan Restoran Sektor perdagangan di
Kabupaten Majalengka
pengembangannya
difokuskan pada sistem distribusi barang dan peningkatan akses pasar, baik pasar daerah maupun pasar luar daerah. Pengembangan sistem distribusi diarahkan untuk memperlancar arus barang dan jasa, memperkecil kesenjangan antar daerah, mengurangi fluktuasi harga dan menjamin ketersediaan barang yang terjangkau oleh masyarakat. Berdasarkan data yang tercatat di BPS (2010), beberapa fasilitas perdagangan yang terdapat di Kabupaten Majalengka meliputi pasar desa sebanyak 33 buah yang tersebar di beberapa Kecamatan dengan frekuensi hari pasar sebanyak 2 kali seminggu sampai dengan harian, pasar milik Pemerintah Daerah sebanyak 4 buah yang terdapat di Kecamatan Cigasong, Sumberjaya, Talaga dan Kadipaten,
jumlah kelompok pertokoan sebanyak 3.440 buah,
Supermarket (Pasar Swalayan, Toserba, Minimarket) sebanyak 27 buah, Restoran (Rumah Makan, Kedai Makanan) sebanyak 21 buah, sedangkan sarana akomodasi meliputi penginapan sebanyak 9 buah yang terdiri atas 192 kamar, sementara jumlah restoran sebanyak 21 buah. 4.3.2.3. Industri Pengolahan Sektor industri pengolahan memegang peranan yang sangat penting dalam peningkatan pembangunan ekonomi suatu daerah, karena sektor ini selain cepat meningkatkan nilai tambah juga sangat diharapkan perkembangannya dalam menunjang perekonomian, terutama dalam upaya mengatasi pengangguran. Selain itu, sektor ini pun merangsang kegiatan ekonomi sektor lainnya seperti sektor
76
jasa, angkutan dan perdagangan. Sebagai gambaran pada PDRB Kabupaten Majalengka Tahun 2009 sektor industri memberikan kontribusi sebesar 17,14 %. Sektor industri pengolahan yang berkembang di Kabupaten Majalengka saat ini mayoritas berupa industri berskala mikro, kecil dan menengah, antara lain industri kerajinan dan industri olahan makanan. Sementara industri besar perkembangannya relatif lebih lambat. Banyaknya perusahaan industri besar dan sedang berdasarkan produksi utamanya yang ada di Kabupaten Majalengka dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Banyaknya Industri Besar dan Sedang di Kabupaten Majalengka Tahun
Produksi Utama (unit) Kerajinan Genteng Rotan 318 25
Bola Sepak 1
Pakaian
Makanan
Lainnya
2005
3
4
2006
3
6
324
50
1
18
2007
11
8
401
50
1
17
2008
23
8
450
64
2
23
2009
15
8
395
22
1
13
18
Sumber : Majalengka dalam Angka Tahun 2010
Apabila dilihat dari produksi utamanya, industri pengolahan di Kabupaten Majalengka didominasi oleh industri genteng. Pada tahun 2009, industri genteng ini mencapai 395 unit atau sebesar 87% dari industri yang ada. Keberadaan industri genteng ini terpusat di Kecamatan Jatiwangi.
77
V.
5.1.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi dan Potensi Daya Saing Subsektor Tanaman Bahan Makanan di Kabupaten Majalengka Terkini Kondisi dan potensi daya saing subsektor tanaman bahan makanan yang
akan disajikan dalam hasil dan pembahasan ini adalah kondisi dan potensi daya saing subsektor tanaman bahan makanan Kabupaten Majalengka berdasarkan hasil analisis dari data Tahun 2009. Pembahasan mengenai kondisi dan potensi daya saing subsektor tanaman bahan makanan terkini penting untuk disajikan karena bermanfaat untuk mengetahui kondisi terbaru dari subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka sehingga dapat menentukan strategi dan arahan bagi pengembangan wilayah Kabupaten Majalengka yang berbasis pertanian.
5.1.1. Potensi Daya Saing Subsektor Tanaman Bahan Makanan Kab. Majalengka di Wilayah Provinsi Jawa Barat Kemampuan suatu wilayah dalam memacu pertumbuhan ekonomi, salah satunya sangat tergantung dari keunggulan dan daya saing sektor-sektor ekonomi di wilayahnya. Kemampuan setiap sektor ekonomi dalam memacu pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah berbeda-beda. Sejalan dengan hal diatas maka dalam suatu perencangan pengembangan wilayah perlu kiranya diketahui sektor-sektor yang mampu menjadi penggerak perekonomian (prime mover) di suatu wilayah. Menurut Rustiadi et al. (2009), sektor ekonomi suatu wilayah terbagi dalam dua golongan. Pertama, sektor basis yaitu sektor dengan kegiatan ekonomi yang mampu menghasilkan barang dan jasa baik untuk keperluan pasar domestik daerah maupun pasar luar daerah. Dalam sektor basis, terjadi kelebihan dalam pemenuhan kebutuhan untuk wilayahnya sendiri sehingga memungkinkan untuk terjadinya mekanisme ekspor. Kedua, sektor non basis yaitu sektor dengan kegiatan ekonomi yang hanya mampu melayani pasar di wilayahnya sendiri sehingga kapasitas ekspor daerah belum berkembang. Salah satu sasaran pembangunan ekonomi wilayah dalam jangka panjang adalah terjadinya pergeseran struktur ekonomi wilayah yang terjadi sebagai akibat
78
dari kemajuan pembangunan yang dicapai oleh suatu wilayah. Tidak semua sektor ekonomi memiliki kemampuan tumbuh yang sama. Oleh karena itu dalam perencanaan pembangunan suatu wilayah diantaranya harus dapat memanfaatkan keberadaan sektor-sektor basis yang dianggap bisa menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui potensi aktivitas ekonomi yang merupakan indikasi sektor basis dan non basis adalah melalui metode Location Quotient (LQ). Metode ini merupakan perbandingan relatif antara kemampuan sektor yang sama pada daerah yang cakupannya lebih luas dalam suatu wilayah sehingga metode LQ juga dapat menunjukkan keunggulan komparatif suatu aktivitas di suatu wilayah. Variabel yang digunakan sebagai ukuran untuk menentukan potensi aktivitas ekonomi sektor pertanian di Kabupaten Majalengka dalam analisis LQ adalah nilai PDRB sektoral Kabupaten Majalengka Tahun 2009 dengan wilayah referensi Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan hasil analisis LQ dapat diketahui bahwa terdapat 8 sektor dari 13 sektor yang dianalisis, yang menjadi sektor basis di Kabupaten Majalengka. Kedelapan sektor tersebut adalah sektor pertanian tanaman bahan makanan, tanaman perkebunan, peternakan dan hasil-hasilnya, pertambangan
dan
penggalian, bangunan, pengangkutan dan komunikasi, keuangan persewaan dan jasa perusahaan serta sektor jasa-jasa. Berdasarkan hal tersebut maka terdapat pemusatan aktivitas ekonomi pada kedelapan sektor tersebut di Kabupaten Majalengka sehingga sektor-sektor tersebut memiliki potensi dan daya saing yang lebih baik dibandingkan dengan sektor yang sama di wilayah lainnya atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa sektor tersebut memiliki keunggulan komparatif di wilayah Jawa Barat. Sektor yang menjadi sektor non basis di Kabupaten Majalengka ada 5 sektor yaitu kehutanan, perikanan, industri pengolahan, listrik gas dan air bersih serta perdagangan hotel dan restoran. Hasil analisis LQ secara lengkap disajikan pada Tabel 19.
79
Tabel 19. Nilai LQ Sektor Ekonomi Kabupaten Majalengka Sektor Pertanian a. Tanaman Bahan Makanan b. Tanaman Perkebunan c. Peternakan dan Hasil-Hasilnya d. Kehutanan e. Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa
Nilai LQ
Keterangan
2,74 1,20 1,50 0,81 0,60 1,41 0,41 0,30 1,45 0,91 1,25 1,70 1,94
Sektor Basis Sektor Basis Sektor Basis Sektor Non Basis Sektor Non Basis Sektor Basis Sektor Non Basis Sektor Non Basis Sektor Basis Sektor Non Basis Sektor Basis Sektor Basis Sektor Basis
Sumber : Diolah dari BPS Jabar (2010)
Selain menggunakan metode LQ, kondisi dan potensi daya saing aktivitas ekonomi di suatu wilayah juga dapat diketahui dengan metode Shift Share Analysis (SSA). Analisis SSA merupakan teknik analisis yang dapat digunakan untuk melihat tingkat keunggulan kompetitif. Analisis ini juga dapat digunakan untuk menganalisis pergeseran kinerja suatu sektor di suatu wilayah yang dipilah berdasarkan sumber-sumber penyebab pergeseran. Ada tiga sumber penyebab pergeseran yaitu : komponen regional share (komponen laju pertumbuhan total), komponen proportional shift (komponen pergeseran proporsional) dan Komponen differential shift (komponen pergeseran diferensial). Untuk mengetahui posisi, daya saing dan kinerja subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka dibandingkan dengan sektor lain di wilayah Provinsi Jawa Barat digunakan metode SSA. Analisis SSA yang dimaksud dalam pembahasan ini hanya ditinjau dari komponen differential shift. Hal ini dilakukan karena ingin mengetahui pertumbuhan sektor-sektor ekonomi di kabupaten Majalengka yang hanya dipengaruhi oleh pertumbuhan/pergeseran aktivitas sektor-sektor tersebut di wilayah Kabupaten Majalengka itu sendiri apabila dibandingkan dengan wilayah lain di Provinsi Jawa Barat, bukan karena pengaruh pertumbuhan proporsional (proportional shift) maupun pertumbuhan total (regional share). Apabila komponen differential shift bernilai positif maka suatu wilayah dapat dikatakan memiliki keunggulan kompetitif karena pada dasarnya
80
masih memiliki potensi untuk terus tumbuh dan berkembang meskipun faktorfaktor eksternal (komponen proportional shift dan regional share) tidak mendukung. Variabel yang digunakan untuk mengetahui keunggulan kompetitif ini adalah nilai PDRB sedangkan rentang waktu yang digunakan untuk melihat pergeseran adalah 5 tahun sehingga data PDRB yang digunakan adalah data PDRB Tahun 2005 dan 2009. Hasil analisis SSA menunjukkan ada 7 sektor yang memiliki nilai differential shift yang positif yaitu subsektor tanaman bahan makanan, tanaman perkebunan, peternakan dan hasil-hasilnya, pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, keuangan, persewaan dan jasa perusahaan serta jasa-jasa. Berdasarkan hal tersebut maka keenam sektor tersebut memiliki tingkat pertumbuhan yang relatif lebih tinggi daripada sektor lainnya sehingga keenam sektor tersebut merupakan sektor yang memiliki keunggulan kompetitif untuk wilayah Kabupaten Majalengka. Hasil analisis SSA secara lengkap disajikan pada Tabel 20.
Tabel 20.
Hasil Analisis Shift Share Sektor Perekonomian di Kabupaten Majalengka Tahun 2005 - 2009 Sektor
Pertanian a. Tanaman Bahan Makanan b. Tanaman Perkebunan c. Peternakan dan Hasil-Hasilnya d. Kehutanan e. Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa
Nilai Differential Shift
Keunggulan Kompetitif
0,009 0,327 0,062 -0,070 -0,081 0,040 0,005 -0,043 -0,007 -0,141 -0,085 0,649 0,003
Positif Positif Positif Negatif Negatif Positif Positif Negatif Negatif Negatif Negatif Positif Positif
Sumber : Diolah dari BPS Jabar (2010)
Hasil analisis LQ dan shift share dapat dikombinasikan sehingga memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai pengelompokkan sektor-sektor
81
berdasarkan keunggulan komparatif dan kompetitifnya. Pengelompokkan sektorsektor tersebut disajikan dalam bentuk matriks pada Gambar 12. Dari matriks pengelompokkan sektor-sektor tersebut terdapat 6 sektor yang memiliki potensi dan daya saing tinggi karena memiliki keunggulan secara komparatif dan kompetitif yaitu sektor pertanian tanaman bahan makanan, perkebunan, peternakan, pertambangan dan penggalian, keuangan persewaan dan jasa perusahaan serta jasa-jasa.
KEUNGGULAN KOMPARATIF Sektor Non basis - Industri pengolahan
Sektor Basis - Tanaman bahan makanan
- Pertambangan dan galian - Keuangan, persewaan & jasa perusahaan
Positif
- Peternakan dan hasil-hasilnya
- Jasa-jasa - Kehutanan - Bangunan
- Listrik, gas dan air bersih
- Pengangkutan dan Komunikasi
- Perdagangan, hotel & restoran
Negatif
- Perikanan
KEUNGGULAN KOMPETITIF
- Tanaman perkebunan
Gambar 12. Matriks daya saing sektor perekonomian Kabupaten Majalengka
Berdasarkan kombinasi hasil analisis LQ dan SSA yang tersaji pada matriks daya saing sektor perekonomian Kabupaten Majalengka diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa subsektor ini memiliki potensi dan daya saing yang baik dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Majalengka. Adapun gambaran potensi subsektor tanaman bahan makanan Kabupaten Majalengka apabila dilihat dan dibandingkan dengan subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi Jawa Barat dapat dilihat dari hasil analisis LQ dan SSA yang disajikan pada Tabel 21. Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa Kabupaten Majalengka merupakan salah satu kabupaten yang memiliki pemusatan aktivitas dan kinerja yang baik pada subsektor tanaman
82
bahan makanan yang ditandai dengan nilai LQ > 1 dan nilai differential shift yang positif. Hal ini menunjukkan bahwa subsektor tanaman bahan makanan Kabupaten Majalengka merupakan sektor yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif sehingga memiliki posisi, daya saing dan potensi yang baik dibandingkan dengan subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten/kota lainnya di wilayah Provinsi Jawa Barat.
Tabel 21. Nilai LQ dan SSA Subsektor Tanaman Bahan Makanan Kab/Kota di Jawa Barat Nilai Differential Nilai Differential No Kab/Kota No Kab/Kota Shift Shift LQ LQ 1 Garut 14 Purwakarta 4,81 Negatif 0,84 Positif 2 Cianjur 15 Bandung Barat 4,01 Negatif 0,70 Negatif 3
Tasikmalaya
3,41
Positif
16
Bandung
0,59
Negatif
4
Kuningan
3,07
Negatif
17
Kota Tasikmalaya
0,37
Negatif
5
Majalengka
2,74
Positif
18
Bogor
0,31
Positif
6
Sukabumi
2,39
Negatif
19
Kota Sukabumi
0,16
Negatif
7
Subang
2,29
Negatif
20
Bekasi
0,14
Positif
8
Sumedang
2,29
Negatif
21
Kota Depok
0,06
Negatif
9
Ciamis
2,27
Negatif
22
Kota Bekasi
0,04
Negatif
10
Cirebon
2,04
Positif
23
Kota Bogor
0,02
Negatif
11
Indramayu
1,56
Positif
24
Kota Cirebon
0,02
Negatif
12
Kota Banjar
1,29
Positif
25
Kota Bandung
0,01
Negatif
13
Karawang
1,10
Positif
26
Kota Cimahi
0,01
Negatif
Sumber : Hasil Analisis (2011)
5.1.2. Potensi Komoditas Subsektor Tanaman Bahan Makanan Unggulan Kabupaten Majalengka Identifikasi komoditas pertanian unggulan Kabupaten Majalengka ini perlu dilakukan dalam rangka pengembangan wilayah berbasis sektor pertanian khususnya sub sektor tanaman bahan makanan yang merupakan salah satu subsektor yang memiliki potensi untuk menggerakkan perekonomian wilayah di Kabupaten Majalengka. Ukuran keunggulan yang digunakan dalam tulisan ini adalah keunggulan komparatif dan kompetitif yang didasarkan atas nilai LQ dan SSA dengan
83
menggunakan data luas tanam, luas panen dan produksi untuk komoditas tanaman pangan dan sayur-sayuran serta data jumlah pohon dan produksi untuk komoditas buah-buahan. Data-data tersebut digunakan sebagai representasi dari sumberdaya lokal yang dimiliki. Cakupan wilayah analisis adalah Kabupaten/Kota se-Jawa Barat, sedangkan data yang digunakan adalah data-data pada Tahun 2005 dan 2009. Kriteria penilaian dalam menentukan komoditas basis/keunggulan komparatif adalah jika nilai indeks LQ lebih besar atau sama dengan satu (LQ≥1), maka komoditas tersebut merupakan komoditas basis/unggulan, sedangkan apabila nilainya kurang dari satu (LQ<1), berarti komoditas tersebut termasuk ke dalam komoditas non basis/bukan unggulan. Nilai LQ yang lebih besar atau sama dengan 1 untuk variabel luas tanam menggambarkan bahwa ada pemusatan luas lahan yang digunakan untuk usahatani suatu komoditas. Hal ini menunjukkan bahwa komoditas tersebut unggul dalam aspek luas lahan yang digunakan untuk budidaya. Nilai LQ yang lebih besar atau sama dengan 1 untuk variabel luas panen menggambarkan bahwa ada pemusatan luas panen suatu komoditas. Hal ini menunjukkan bahwa komoditas tersebut unggul dalam aspek frekuensi panen yang juga berarti komoditas tersebut sangat produktif. Nilai LQ yang lebih besar atau sama dengan 1 untuk variabel produksi menggambarkan bahwa ada pemusatan jumlah produksi dari suatu komoditas. Hal ini menunjukkan bahwa komoditas tersebut unggul dalam aspek jumlah produksi Adapun hasil analisis LQ untuk komoditas tanaman pangan di Kabupaten Majalengka secara lengkap disajikan pada Tabel 22. Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa komoditas tanaman pangan yang unggul secara komparatif dari aspek luas tanam, luas panen dan produksi hanya ada dua komoditas yaitu jagung dan kacang hijau. Komoditas lainnya, seperti padi hanya unggul pada aspek produksi, kedelai unggul dari aspek luas panen dan produksi sedangkan komoditas kacang tanah, ubi jalar dan ubi kayu tidak unggul dari aspek ketiganya yaitu aspek luas tanam, luas panen maupun produksi.
84
Tabel 22.
Hasil Analisis LQ Komoditas Tanaman Pangan di Kabupaten Majalengka
No 1 2 3 4 5 6 7
Komoditas
Luas Tanam 0,97 1,91 0,96 0,32 2,28 0,50 0,56
Padi Jagung Kedelai Kacang Tanah Kacang Hijau Ubi Kayu Ubi Jalar
Nilai LQ Luas Panen 0,97 2,15 1,10 0,33 2,25 0,48 0,63
Produksi 1,03 2,32 1,17 0,31 1,91 0,43 0,77
Sumber : Diolah dari Dinas Pertanian TP Prop. Jabar (2010)
Hasil analisis LQ untuk komoditas sayuran di Kabupaten Majalengka secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 1, 2 dan 3. Dari hasil analisis tersebut dapat dilihat bahwa dari aspek luas tanam terdapat 6 komoditas dari 20 jenis komoditas sayuran yang dianalisis yang memiliki nilai LQ lebih besar dari satu. Keenam komoditas tersebut dapat dilihat pada Tabel 23. Hal ini menunjukkan bahwa ketujuh komoditas sayuran tersebut merupakan komoditas sayuran Kabupaten Majalengka yang memiliki keunggulan komparatif dari aspek luas tanam.
Tabel 23. Nilai LQ Luas Tanam Komoditas Sayuran (>1) No. 1 2 3 4 5 6
Komoditas
Nilai LQ
Bawang Merah Bawang Daun Kembang Kol Cabe Rawit Kubis Cabe Besar
3,95 2,48 1,15 1,13 1,10 1,05
Sumber : Diolah dari Dinas Pertanian TP Prop. Jabar (2010)
Apabila dilihat dari aspek luas panen, terdapat 5 komoditas sayuran yang memiliki nilai LQ lebih dari satu. Kelima komoditas tersebut dapat dilihat pada Tabel 24. Hal ini menunjukkan bahwa kelima komoditas sayuran tersebut merupakan komoditas sayuran Kabupaten Majalengka yang memiliki keunggulan komparatif dari aspek luas panen.
85
Tabel 24. Nilai LQ Luas Panen Komoditas Sayuran (>1) No. 1 2 3 4 5
Komoditas
Nilai LQ
Bawang Merah Bawang Daun Cabe Rawit Cabe Besar Kubis
4,06 2,36 1,42 1,18 1,08
Sumber : Diolah dari Dinas Pertanian TP Prop. Jabar (2010)
Namun, apabila dilihat dari aspek produksi terdapat 3 komoditas sayuran yang memiliki nilai LQ lebih dari satu. Ketiga komoditas tersebut dapat dilihat pada Tabel 25. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga komoditas sayuran tersebut merupakan komoditas sayuran Kabupaten Majalengka yang memiliki keunggulan komparatif dari aspek jumlah produksi.
Tabel 25. Nilai LQ Produksi Komoditas Sayuran (>1) No. 1 2 3
Komoditas
Nilai LQ
Bawang Merah Bawang Daun Cabe Rawit
6,44 3,74 1,10
Sumber : Diolah dari Dinas Pertanian TP Prop. Jabar (2010)
Berdasarkan Tabel 23, Tabel 24 dan Tabel 25 dapat dilihat bahwa ada tiga jenis komoditas sayuran yang memiliki nilai LQ lebih dari satu baik dari aspek luas tanam, luas panen dan produksi. Ketiga jenis komoditas tersebut adalah bawang merah, bawang daun dan cabe rawit. Hasil analisis LQ untuk komoditas buah-buahan di Kabupaten Majalengka secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 4 dan 5. Dari hasil analisis tersebut dapat dilihat bahwa dari aspek jumlah pohon terdapat 15 komoditas dari 22 jenis komoditas buah-buahan yang dianalisis yang memiliki nilai LQ lebih besar dari satu. Kelima belas belas komoditas tersebut dapat dilihat pada Tabel 26. Hal ini menunjukkan bahwa ada banyak komoditas buah-buahan di Kabupaten Majalengka yang memiliki keunggulan komparatif dari aspek jumlah pohon yang ditanam.
86
Tabel 26. Nilai LQ Jumlah Pohon Komoditas Buah-buahan (>1) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Komoditas
Nilai LQ
Melinjo Mangga Nangka Alpukat Petai Belimbing Sukun Durian Jambu Biji Jambu Air Jeruk Pisang Pepaya Sawo Sirsak
8,06 4,49 3,26 3,10 2,70 2,38 2,30 2,12 2,02 1,99 1,31 1,26 1,09 1,04 1,01
Sumber : Diolah dari Dinas Pertanian TP Prop. Jabar (2010)
Apabila dilihat dari aspek produksi terdapat 7 komoditas buah-buahan yang memiliki nilai LQ lebih dari satu. Ke tujuh komoditas tersebut dapat dilihat pada Tabel 27. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terlalu banyak komoditas buahbuahan di Kabupaten Majalengka yang memiliki keunggulan komparatif dari aspek jumlah produksi apabila dibandingkan dengan aspek jumlah pohon. Tabel 27. Nilai LQ Produksi Komoditas Buah-buahan (>1) No. 1 2 3 4 5 6 7
Komoditas
Nilai LQ
Melinjo Mangga Petai Alpukat Nangka Jambu Biji Jeruk
9,73 3,56 2,45 1,59 1,19 1,17 1,09
Sumber : Diolah dari Dinas Pertanian TP Prop. Jabar (2010)
Berdasarkan Tabel 26 dan Tabel 27 diketahui bahwa ada 7 komoditas yang memiliki nilai LQ lebih besar dari satu baik dari aspek jumlah pohon dan produksi. Ketujuh komoditas tersebut adalah melinjo, mangga, alpukat, petai, nangka, jambu biji dan jeruk.
87
Selain mengetahui keunggulan komparatif yang dimiliki oleh setiap komoditas pertanian di kabupaten Majalengka perlu pula diketahui bagaimana tingkat keunggulan kompetitif yang juga menunjukkan kinerja dan tingkat pertumbuhan dari komoditas-komoditas tersebut. Adapun ukuran yang digunakan untuk mengetahui komoditas yang memiliki keunggulan kompetitif dalam penelitian ini adalah jika komponen differential shift bernilai positif. Hasil analisis differential shift untuk komoditas tanaman pangan di Kabupaten Majalengka secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 28. Tabel 28. Hasil Analisis Differential Shift Komoditas Tanaman Pangan di Kabupaten Majalengka No 1 2 3 4 5 6 7
Komoditas Padi Jagung Kedelai Kacang Tanah Kacang Hijau Ubi Kayu Ubi Jalar
Nilai Differential Shift Luas Tanam Luas Panen Produksi -0,33 -0,02 -0,09 0,24 0,18 0,12 0,23 -0,04 0.08 -0,44 -0,38 -0,48 0,36 0,31 0.05 -0,18 -0,19 -0,35 -0,31 -0,33 -0,30
Sumber : Diolah dari Dinas Pertanian TP Prop. Jabar (2010)
Berdasarkan nilai differential shift komoditas tanaman pangan tersebut dapat diketahui bahwa komoditas yang memiliki pertumbuhan positif dari aspek luas tanam, luas panen dan produksi hanya ada 2 komoditas yaitu jagung dan kacang hijau. Hal ini mengindikasikan bahwa kedua komoditas tersebut unggul secara kompetitif dibandingkan dengan komoditas lainnya dari aspek luas tanam, luas panen dan jumlah produksinya. Hasil analisis differential shift untuk komoditas sayuran di Kabupaten Majalengka secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 6, 7 dan 8. Dari hasil analisis tersebut dapat diketahui bahwa terdapat 5 komoditas yang memiliki nilai differential shift positif berdasarkan aspek luas tanam. Kelima komoditas tersebut dapat dilihat pada Tabel 29. Hal ini menunjukkan bahwa kelima komoditas sayuran tersebut mengalami pertumbuhan luas tanam yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan komoditas lain sehingga tingkat pertumbuhan luas tanamnya positif. Oleh karena itu, kelima komoditas tersebut merupakan
88
komoditas sayuran Kabupaten Majalengka yang memiliki keunggulan kompetitif dari aspek luas tanam. Tabel 29. Differential Shift Luas Tanam Komoditas Sayuran Yang Positif No.
Komoditas
1 2 3 4 5
Nilai Differential Shift
Kentang Terung Sawi Tomat Kembang Kol
6,80 0,86 0,64 0,50 0,20
Sumber : Diolah dari Dinas Pertanian TP Prop. Jabar (2010)
Apabila dilihat dari aspek luas panen terdapat 6 komoditas sayuran yang memiliki nilai differential shift positif. Keenam komoditas tersebut dapat dilihat pada Tabel 30. Hal ini menunjukkan bahwa keenam komoditas sayuran tersebut mengalami pertumbuhan luas panen yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan komoditas lain sehingga memiliki tingkat pertumbuhan yang positif. Oleh karena itu, keenam komoditas tersebut merupakan komoditas sayuran Kabupaten Majalengka yang memiliki keunggulan kompetitif dari aspek luas panen. Tabel 30. Differential Shift Luas Panen Komoditas Sayuran Yang Positif No. 1 2 3 4 5 6
Komoditas Terung Sawi Tomat Labu siam Wortel Kembang kol
Nilai Differential Shift 0,61 0,58 0,43 0,19 0,03 0,005
Sumber : Diolah dari Dinas Pertanian TP Prop. Jabar (2010)
Selanjutnya, dilihat dari aspek produksi terdapat 7 komoditas sayuran yang memiliki nilai differential shift positif. Ketujuh komoditas tersebut dapat dilihat pada Tabel 31. Hal ini menunjukkan bahwa ketujuh komoditas sayuran tersebut mengalami pertumbuhan produksi yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan komoditas lain sehingga memiliki tingkat pertumbuhan yang positif. Oleh karena itu, ketujuh komoditas tersebut merupakan komoditas sayuran Kabupaten Majalengka yang memiliki keunggulan kompetitif dari aspek produksi.
89
Tabel 31. Differential Shift Produksi Komoditas Sayuran Yang Positif No.
Komoditas
1 2 3 4 5 6 7
Nilai Differential Shift
Terung Buncis Kacang panjang Sawi Kentang Bawang merah Kembang Kol
0,99 0,26 0,25 0,17 0,10 0,09 0,02
Sumber : Diolah dari Dinas Pertanian TP Prop. Jabar (2010)
Berdasarkan Tabel 29, Tabel 30 dan Tabel 31 dapat dilihat bahwa ada tiga jenis komoditas sayuran yang memiliki nilai differential shift positif baik dari aspek luas tanam, luas panen dan produksi. Ketiga jenis komoditas tersebut adalah terung, sawi dan kembang kol. Hasil analisis differential shift untuk komoditas buah-buahan di Kabupaten Majalengka secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 9-10. Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat dilihat bahwa dari aspek jumlah pohon terdapat 16 komoditas dari 22 jenis komoditas buah-buahan yang dianalisis yang memiliki nilai differential shift positif. Keenam belas belas komoditas tersebut dapat dilihat pada Tabel 32. . Tabel 32. Differential Shift Jumlah Pohon Komoditas Buah-buahan Yang Positif No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Komoditas Sukun Mangga Alpukat Salak Sawo Jambu biji Petai Durian Nenas Pepaya Pisang Melinjo Nangka Dukuh Rambutan Sirsak
Sumber : Diolah dari Dinas Pertanian TP Prop. Jabar (2010)
Nilai Differential Shift 0,91 0,58 0,55 0,53 0,41 0,38 0,36 0,25 0,21 0,13 0,11 0,05 0,05 0,04 0,04 0,03
90
Hal ini menunjukkan bahwa keenam belas komoditas sayuran tersebut mengalami pertumbuhan jumlah pohon yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan komoditas lain sehingga memiliki tingkat pertumbuhan yang positif. Oleh karena itu, keenam belas komoditas tersebut merupakan komoditas buah-buahan Kabupaten Majalengka yang memiliki keunggulan kompetitif dari aspek jumlah pohon. Selain itu, hal ini juga menunjukkan bahwa ada banyak komoditas buahbuahan di Kabupaten Majalengka yang memiliki keunggulan kompetitif dari aspek jumlah pohon yang ditanam. Selanjutnya, dilihat dari aspek produksi terdapat 12 komoditas buahbuahan yang memiliki nilai differential shift positif. Kedua belas komoditas tersebut dapat dilihat pada Tabel 33. Hal ini menunjukkan bahwa kedua belas komoditas sayuran tersebut mengalami pertumbuhan produksi yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan komoditas lain sehingga memiliki tingkat pertumbuhan yang positif. Oleh karena itu, kedua belas komoditas tersebut merupakan komoditas buah-buahan Kabupaten Majalengka yang memiliki keunggulan kompetitif dari aspek produksi. Tabel 33. Differential Shift Produksi Komoditas Buah-buahan Yang Positif No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Komoditas Manggis Melinjo Jambu biji Petai Jambu Air Mangga Salak Alpukat Rambutan Pisang Sukun Jeruk
Nilai Differential Shift 1,99 1,75 1,21 0,93 0,82 0,48 0,47 0,45 0,42 0,31 0,23 0,15
Sumber : Diolah dari Dinas Pertanian TP Prop. Jabar (2010)
Berdasarkan Tabel 32 dan Tabel 33 dapat dilihat bahwa ada sembilan jenis komoditas buah-buahan yang memiliki nilai differential shift positif baik dari aspek jumlah pohon dan produksi. Komoditas-komoditas tersebut adalah mangga, alpukat, sukun, salak, jambu biji, petai, pisang, melinjo dan rambutan.
91
Hasil analisis LQ dan shift share dari luas tanam, luas panen, produksi dan jumlah pohon kemudian dikombinasikan untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai pengelompokkan komoditas berdasarkan keunggulan komparatif dan kompetitifnya. Pengelompokkan komoditas-komoditas tersebut disajikan dalam bentuk matriks daya saing. Hasil pengelompokkan komoditas berdasarkan luas tanam tersaji pada Gambar 13.
KEUNGGULAN KOMPETITIF
- Bawang merah - Bawang daun - Kubis - Cabe besar - Cabe rawit
Negatif
- Padi - Kacang tanah - Ubi kayu - Ubi jalar - Wortel - Lobak - Kacang merah - Kacang panjang - Buncis - Ketimun - Labu siam - Kangkung
Postif
KEUNGGULAN KOMPARATIF Komoditas Non basis Komoditas Basis - Kedelai - Jagung - Kentang - Kacang hijau - Sawi - Kembang kol - Tomat - Terung
Gambar 13. Matriks Daya Saing Luas Tanam Komoditas Subsektor Tanaman Bahan Makanan Kabupaten Majalengka
Dari matriks daya saing komoditas berdasarkan luas tanam diatas terdapat tiga komoditas yang memiliki potensi dan daya saing tinggi karena memiliki keunggulan secara komparatif dan kompetitif dari aspek luas tanam yaitu jagung, kacang hijau dan kembang kol. Hasil pengelompokkan komoditas berdasarkan luas panen tersaji pada Gambar 14. Dari matriks daya saing komoditas berdasarkan luas panen tersebut terdapat dua komoditas yang memiliki potensi dan daya saing tinggi karena
92
memiliki keunggulan secara komparatif dan kompetitif dari aspek luas panen yaitu jagung dan kacang hijau.
KEUNGGULAN KOMPARATIF Komoditas Non basis Komoditas Basis
KEUNGGULAN KOMPETITIF
- Kedelai - Bawang merah - Bawang daun - Kubis - Cabe besar - Cabe rawit
Negatif
- Padi - Kacang tanah - Ubi kayu - Ubi jalar - Kentang - Lobak - Kacang merah - Kacang panjang - Buncis - Ketimun - Kangkung
- Jagung - Kacang hijau Positif
- Kembang kol - Sawi - Wortel - Tomat - Terung - Labu siam
Gambar 14. Matriks Daya Saing Luas Panen Komoditas Subsektor Tanaman Bahan Makanan Kabupaten Majalengka
Adapun hasil pengelompokkan komoditas berdasarkan produksi tersaji pada Gambar 15. Dari matriks daya saing komoditas berdasarkan produksi tersebut terdapat sepuluh jenis komoditas yang memiliki potensi dan daya saing tinggi karena memiliki keunggulan secara komparatif dan kompetitif dari aspek produksi yaitu jagung, kedelai, kacang hijau, bawang merah, alpukat, jambu biji, jeruk, mangga, melinjo dan petai.
93
Positif KEUNGGULAN KOMPETITIF
Negatif
KEUNGGULAN KOMPARATIF Komoditas Non basis Komoditas Basis - Kentang - Jagung - Kembang kol - Kedelai - Sawi - Kacang hijau - Kacang panjang - Bawang merah - Terung - Alpukat - Buncis - Jambu biji - Jambu air - Jeruk - Manggis - Mangga - Pisang - Melinjo - Rambutan - Petai - Sukun - Salak - Kacang tanah - Belimbing - Ubi kayu - Duku - Padi - Ubi jalar - Durian - Bawang daun - Kubis - Jeruk Besar - Cabe rawit - Wortel - Nenas - Nangka - Lobak - Pepaya - Kacang merah - Sawo - Cabe besar - Markisa - Tomat - Sirsak - Ketimun - Labu siam - Kangkung
Gambar 15. Matriks Daya Saing Produksi Komoditas Subsektor Tanaman Bahan Makanan Kabupaten Majalengka
Adapun hasil pengelompokkan komoditas buah-buahan berdasarkan jumlah pohon tersaji pada Gambar 16. Dari matriks daya saing komoditas buahbuahan berdasarkan jumlah pohon terdapat 12 jenis komoditas yang memiliki potensi dan daya saing tinggi karena memiliki keunggulan secara komparatif dan kompetitif dari aspek jumlah pohon yaitu alpukat, mangga, durian, jambu biji, pisang, nangka, papaya, sawo, melinjo, petai, sirsak dan sukun.
94
KEUNGGULAN KOMPETITIF
- Belimbing - Jambu air - Jeruk
Negatif
- Jeruk besar - Manggis - Markisa
Positif
KEUNGGULAN KOMPARATIF Komoditas Non basis Komoditas Basis - Duku - Alpukat - Nenas - Mangga - Sawi - Durian - Rambutan - Jambu biji - Salak - Pisang - Nangka - Pepaya - Sawo - Melinjo - Petai - Sirsak - Sukun
Gambar 16. Matriks Daya Saing Jumlah Pohon Komoditas Buah-buahan Kabupaten Majalengka
Berdasarkan matriks daya saing, maka untuk komoditas non basis tetapi memiliki nilai differential shift positif (kuadran II), komoditas-komoditas tersebut sebetulnya masih memiliki potensi untuk dikembangkan karena memiliki pertumbuhan yang diatas rata-rata pertumbuhan komoditas lain maupun komoditas sejenis di wilayah lain di provinsi Jawa Barat. Hanya saja diperlukan usaha untuk terus meningkatkan kapasitasnya secara keseluruhan agar menjadi komoditas basis. Begitupula dengan komoditas yang berada di kuadran IV (basis tetapi differential shift negatif), komoditas ini sebetulnya masih memiliki potensi untuk dikembangkan karena memiliki aktivitas yang memusat (basis), hanya saja diperlukan usaha untuk meningkatkan aktivitas tersebut agar mengalami peningkatan/pertumbuhan dari tahun ke tahun secara positif. Selain memiliki potensi luas tanam, luas panen, produksi dan jumlah pohon atas komoditas-komoditas diatas, Kabupaten Majalengka juga memiliki potensi atas beberapa komoditas yang menjadi varietas unggul. Menurut Dirjen Hortikultura (2010), varietas unggul adalah varietas yang telah dilepas oleh
95
pemerintah yang Surat Keputusannya ditandatangani oleh Mentri Pertanian. Keunggulan varietas itu sendiri dicirikan oleh adanya superioritas dan atau keunikan satu atau lebih karakter yang dibuktikan dari hasil pengujian dengan mengikuti prosedur baku. Beberapa varietas unggulan Kabupaten Majalengka tersebut adalah Perwira, Bokor dan Siriwig untuk komoditas Durian dan Gedong untuk komoditas mangga. Adapun nomor Keputusan Mentri Pertanian tentang pelepasan masing-masing varietas tersebut dapat dilihat pada Tabel 34. Tabel 34. Nomor SK Pelepasan Varietas Tanaman Buah Unggulan Kab. Majalengka No. Jenis/Varietas No. KEPMENTAN Pengusul I Durian BPSBTPH Jabar 1 Perwira 458/Kpts/TP.240/7/1993 BPSBTPH Jabar 2 Bokor 460/Kpts/TP.240/7/1993 BPSBTPH Jabar 3 Siriwig 461/Kpts/TP.240/7/1993 BPSBTPH Jabar II Mangga 1 Gedong 28/Kpts/TP.240/I/1995 BPSBTPH Jabar Sumber : Dirjen Hortikultura, (2011)
5.2.
Peranan Subsektor Tanaman Bahan Makanan dalam Perekonomian Kabupaten Majalengka Peranan subsektor tanaman bahan makanan dalam perekonomian wilayah
Kabupaten Majalengka dapat diketahui melalui analisis Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan analisis Input-Output (I-O). Analisis PDRB digunakan untuk mengetahui struktur perekonomian Kabupaten Majalengka Tahun 2009 sedangkan analisis I-O digunakan untuk mengetahui keterkaitan sektoral dan multiplier effect. Analisis I-O yang dilakukan dalam pembahasan ini didasarkan pada Tabel IO Kabupaten Majalengka Tahun 2009 yang diperoleh dari hasil RAS Tabel I-O Kabupaten Ciamis 2008. Metode RAS dilakukan atas asumsi ada kemiripan struktur ekonomi antar Kabupaten Ciamis dengan Kabupaten Majalengka. Kabupaten Ciamis dipilih karena berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, Tabel I-O Kabupaten Majalengka Tahun 2009 yang berasal dari hasil RAS Tabel I-O Provinsi Jawa Barat Tahun 2003 kurang memiliki kemiripan struktur perekonomian dengan kondisi yang ada di Kabupaten Majalengka. Hal tersebut terlihat
dari
adanya
dominasi
sektor-sektor
urban
dalam
struktur
96
perekonomiannya. Adapun Tabel I-O Kabupaten Majalengka yang diperoleh berdasarkan hasil RAS dari Tabel I-O Kabupaten Ciamis menunjukkan adanya peran sektor pertanian dalam perekonomiannya sehingga dianggap lebih mempunyai kemiripan struktur perekonomian dengan Kabupaten Majalengka.
5.2.1. Struktur Perekonomian Kabupaten Majalengka Tahun 2009 Salah satu indikator yang dapat menggambarkan perekonomian wilayah adalah PDRB. Data PDRB merupakan dasar pengukuran atas nilai tambah yang mampu diciptakan karena adanya berbagai aktivitas ekonomi dalam suatu wilayah atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi (BPS Majalengka, 2010). Pada Tabel 35 ditampilkan data PDRB menurut lapangan usaha Kabupaten Majalengka Tahun 2007 – 2009 atas dasar harga konstan Tahun 2000. Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa pada Tahun 2007 sampai Tahun
2009, sektor perekonomian yang menjadi
penyumbang terbesar bagi PDRB Kabupaten Majalengka adalah sektor pertanian. Apabila dilihat lebih jauh maka sektor pertanian yang menjadi penyumbang terbesar adalah subsektor tanaman bahan makanan. Adapun lima sektor penyumbang terbesar bagi PDRB Kabupaten Majalengka dalam kurun waktu 2007-2009 berturut-turut adalah subsektor tanaman bahan makanan, industri non migas, perdagangan besar dan eceran, pemerintahan umum dan pertahanan serta restoran. Tabel 36 menampilkan persentase nilai PDRB sektor-sektor perekonomian di Kabupaten Majalengka Tahun 2009 yang terdiri dari 28 sektor dengan subsektor tanaman bahan makanan yang dirinci per komoditas. Pemecahan sektor perekonomian menjadi 28 sektor ini karena disesuaikan dengan sektor-sektor yang ada dalam Tabel I-O Kabupaten Ciamis Tahun 2008 yang menjadi dasar/basis untuk penyusunan Tabel I-O Kabupaten Majalengka Tahun 2009. Untuk subsektor tanaman bahan makanan dipecah menjadi enam sektor yang terdiri dari padi, jagung, ubi kayu, buah-buahan dan sayur-sayuran.
97
Tabel 35. PDRB Kabupaten Majalengka Tahun 2007-2008 Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 (dalam juta rupiah) No
Lapangan Usaha
2007
2008
1
PERTANIAN a. Tanaman Bahan Makanan b. Tanaman Perkebunan c. Peternakan dan hasil-hasilnya d. Kehutanan e. Perikanan PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN a. Minyak dan Gas Bumi b. Pertambangan Tanpa Migas c. Penggalian INDUSTRI PENGOLAHAN a. Industri Migas 1. Pengilangan Minyak Bumi 2. Gas Alam Cair b. Industri Non Migas LISTRIK, GAS DAN AIR BERSIH a. Listrik b. Gas c. Air Bersih BANGUNAN PERDAGANGAN, HOTEL DAN RESTORAN a. Perdagangan Besar dan Eceran b. H o t e l c. Restoran PENGANGKUTAN DAN KOMUNIKASI a. Angkutan 1. Angkutan Rel 2. Angkutan Jalan Raya 3. Angkutan Laut 4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr. 5. Angkutan Udara 6. Jasa Penunjang Angkutan b. Komunikasi KEUANGAN, PERSEWAAN DAN JASA PERUSAHAAN a. Bank b. Lembaga Keuangan Bukan Bank c. Jasa Penunjang Keuangan d. Sewa Bangunan e. Jasa Perusahaan JASA-JASA a. Pemerintahan umum & pertahanan b. Swasta 1) Sosial Kemasyarakatan 2) Hiburan dan Rekreasi 3) Perorangan dan Rumah tangga PDRB DENGAN MINYAK DAN GAS BUMI PDRB TANPA MINYAK DAN GAS BUMI
1.093.907,26 929.860,01 38.294,44 97.494,29 6.178,61 22.079,91 159.586,22 79.999,73 79.586,49 657.996,42 657.996,42 26.149,82 24.581,92 1.567,90 175.415,37 756.470,52 518.476,56 1.419,45 236.574,51 250.435,89 218.909,88 203.174,35 15.735,53 31.526,01 219.085,84 83.767,96 19.121,65 96.859,03 19.337,20 526.643,19 384.323,14 142.320,05 26.190,13 7.850,60 108.279,32 3.865.690,53 3.785.690,80
1.133.648,71 961.993,28 39.596,47 103.072,99 6.351,61 22.634,36 166.138,45 83.519,72 82.618,73 691.093,64 691.093,64 27.540,86 25.835,14 1.705,72 185.168,46 797.726,95 547.326,06 1.453,53 248.947,36 260.476,07 226.173,66 209.818,15 16.355,51 34.302,41 229.950,11 88.151,52 20.305,72 101.285,49 20.207,38 550.497,06 399.104,80 151.392,26 27.559,87 8.211,73 115.620,66 4.042.240,31 3.958.720,59
2
3
4
5 6
7
8
9
Sumber : PDRB Kabupaten Majalengka Menurut Lapangan Usaha Tahun 2005-2009
2009 1.184.973,86 1.005.886,04 40.575,39 108.488,65 5.976,59 24.047,19 162.266,81 72.402,41 89.864,40 724.330,61 724.330,61 28.810,28 26.997,72 1.812,56 195.870,26 838.517,68 573.594,47 1.516,95 263.406,26 271.937,70 236.860,72 219.799,89 17.060,83 35.076,98 240.097,64 92.341,18 21.016,42 105.737,04 21.003,00 579.121,25 419.799,12 159.322,13 28.817,80 8.507,05 121.997,28 4.225.926,09 4.153.523,68
98
Tabel 36. Persentase Sumbangan Sektoral Terhadap PDRB Majalengka Tahun 2009 Atas Dasar Harga Konstan No
Sektor Perekonomian
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Industri Pengolahan Perdagangan Besar dan Eceran Padi Pemerintahan umum dan Pertahanan Restoran Angkutan Jalan Raya Bangunan Sayur-sayuran Pertambangan dan Penggalian Buah-buahan Jasa Perorangan dan Rumah Tangga Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya Peternakan dan hasil-hasilnya Sewa Bangunan Jagung Tanaman Perkebunan Komunikasi Bahan makanan lainnya Jasa Sosial Kemasyarakatan Listrik Perikanan Jasa Perusahaan Jasa Penunjang Angkutan Ubi Kayu Jasa Hiburan dan Rekreasi Kehutanan Air Bersih Hotel Total
Nilai (Juta Rupiah) 724,330.61 573,594.47 571,755.68 419,799.12 263,406.26 219,799.89 195,870.26 193,180.41 162,266.81 127,978.88 121,997.28 113,357.60 108,488.65 105,737.04 68,983.66 40,575.39 35,076.98 32,842.18 28,817.80 26,997.72 24,047.19 21,003.00 17,060.83 11,145.22 8,507.05 5,976.59 1,812.56 1,516.95 4,225,926.09
Kabupaten Persentase (%) 17.14 13.57 13.53 9.93 6.23 5.20 4.63 4.57 3.84 3.03 2.89 2.68 2.57 2.50 1.63 0.96 0.83 0.78 0.68 0.64 0.57 0.50 0.40 0.26 0.20 0.14 0.04 0.04 100.00
Sumber : Diolah dari Majalengka dalam Angka 2010
Berdasarkan tabel 36, besarnya perananan subsektor tanaman bahan makanan adalah sebagai berikut : padi berkontribusi sebesar 13,53 %, menempati urutan ke-3, sayur-sayuran berkontribusi sebesar 4,57%, menempati urutan ke-8, buah-buahan berkontribusi sebesar 3,03%, menempati urutan ke-10, jagung berkontribusi sebesar 1,63%, menempati urutan ke-15, bahan makanan lainnya berkontribusi sebesar 0,78%, menempati urutan ke-18 dan ubi kayu berkontribusi sebesar 0,26% serta menempati urutan ke-24. Kontribusi keenam jenis komoditas sektor tanaman bahan makanan tersebut apabila digabungkan mencapai 23,80%
99
dari total PDRB Kabupaten Majalengka Tahun 2009 atau menempati peringkat ke-1 dari 23 sektor perekonomian Adapun lima sektor yang memberikan sumbangan paling tinggi terhadap PDRB Kabupaten Majalengka Tahun 2009 berturut-turut adalah; sektor industri pengolahan (17,14%), perdagangan besar dan eceran (13,57%), padi (13,53%), pemerintahan umum dan pertahanan (9,93%) dan restoran (6,23%). Sektor industri pengolahan menempati peringkat tertinggi karena di Kabupaten Majalengka terdapat beberapa industri yang cukup berkembang. Industri-industri tersebut diantaranya adalah industri genteng yang banyak terkonsentrasi di Kecamatan Jatiwangi, kerajinan rotan yang banyak terdapat di Kecamatan Rajagaluh dan industri pengolahan makanan yang banyak terdapat di Kecamatan Cikijing. Selain itu sektor industri pengolahan itu sendiri merupakan salah satu sektor yang tergolong cepat memberikan nilai tambah bagi perekonomian. Selain melalui PDRB, peranan sektor ekonomi dapat dilihat melalui analisis Tabel input-output. Tabel input-output Kabupaten Majalengka Tahun 2009 terdiri atas 28 sektor yaitu : (1) padi, (2) jagung, (3) ubi kayu, (4) buahbuahan, (5) sayur-sayuran, (6) bahan makanan lainnya, (7) tanaman perkebunan, (8) peternakan dan hasil-hasilnya, (9) kehutanan, (10) perikanan, (11) pertambangan dan penggalian, (12) industri pengolahan, (13) listrik, (14) air bersih, (15) bangunan, (16) perdagangan besar dan eceran, (17) hotel,
(18)
restoran, (19) angkutan jalan raya, (20) jasa penunjang angkutan, (21) komunikasi, (22) bank dan lembaga keuangan lainnya, (23) sewa bangunan, (24) jasa perusahaan, (25) pemerintahan umum dan pertahanan, (26) jasa sosial kemasyarakatan, (27) jasa hiburan dan rekreasi dan (28) jasa perorangan dan rumah tangga. Struktur perekonomian Kabupaten Majalengka berdasarkan Tabel input-output Tahun 2009 yang terdiri dari 28x28 sektor disajikan pada Tabel 37. Berdasarkan Tabel 37 tersebut dapat diketahui bahwa dari struktur output Kabupaten Majalengka sebesar Rp 7.437.306,17 juta, sebanyak 26,99% (Rp 2.007.422,80 juta) merupakan permintaan antara dan sebanyak 73,01% (Rp 5.429.883,37 juta) merupakan permintaan akhir. Secara umum, komponen permintaan akhir yang terdiri dari konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap dan perubahan stok menggambarkan transaksi
100
domestik, sedangkan komponen ekspor menggambarkan kegiatan transaksi antar wilayah. Besarnya nilai permintaan akhir dibandingkan dengan permintaan antara menggambarkan besarnya permintaan terhadap sektor-sektor ekonomi untuk keperluan konsumsi, pemerintah, investasi dan ekspor. Nilai permintaan antara yang kecil menggambarkan kecilnya permintaan yang terjadi antar sektor ekonomi yang berarti menunjukkan lemahnya keterkaitan antar sektor ekonomi dalam daerah sehingga akumulasi nilai tambah tidak terjadi di dalam wilayah.
Tabel 37. Struktur Perekonomian Kabupaten Majalengka Berdasarkan Tabel I-O No.
1 2 3 4 5
Uraian
Jumlah (Juta Rupiah)
Struktur Output Jumlah Permintaan Antara Jumlah Permintaan Akhir Total Output Struktur Input Jumlah Input Antara Jumlah Input Primer/Nilai Tambah Bruto - Upah dan Gaji - Surplus Usaha - Penyusutan - Pajak Tak Langsung
2.007.422,80 5.429.883,37 7.437.306,17 2.007.422,80 121.997,28 36.879,18 73.480,52 6.997,97 4.639,60
Persentase (%) 26,99 73,01 100,00
100,00 30,23 60,23 5,74 3,80
Sumber : Hasil Analisis (2011)
Struktur Tabel I-O dengan nilai total output yang lebih banyak dialokasikan sebagai permintaan akhir menunjukkan bahwa output yang ada cenderung digunakan untuk konsumsi secara langsung baik oleh masyarakat maupun belanja pemerintah, investasi dan langsung diekspor daripada digunakan untuk transaksi antar sektor dalam proses produksi. Berdasarkan struktur inputnya, perekonomian Kabupaten Majalengka Tahun 2009 terdiri atas input antara sebesar 94,27% (Rp 2.007.422,80 juta) dan input primer sebesar 5,73% ( Rp 121.997,28 juta). Input primer merupakan selisih antara total input dengan input antara. Input primer sering disebut juga nilai tambah bruto (NTB). Nilai Tambah Bruto (NTB) adalah balas jasa pemakaian faktor-faktor produksi yang terdiri atas komponen upah dan gaji, surplus usaha,
101
penyusutan dan pajak tak langsung. Berdasarkan struktur input primer atau NTB, sebanyak 30,23% dari NTB merupakan upah gaji (Rp 36.879,18 juta), 60,23% merupakan surplus usaha (Rp 73.480,52 juta), 5,74% merupakan penyusutan (Rp 6.997,97 juta) dan 3,80% adalah pajak tak langsung (Rp 4.639,60 juta). Komponen surplus usaha yang besar menunjukkan besarnya surplus atau keuntungan yang diperoleh dari investasi di wilayah tersebut. Investasi akan bermanfaat bagi suatu daerah jika dilakukan dengan memanfaatkan sumberdaya lokal yang ada di daerah tersebut. Adapun struktur tabel input-output Kabupaten Majalengka Tahun 2009 secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 11. Pada Tabel 38 ditampilkan total output tiap sektor berdasarkan Tabel I-O Kabupaten Majalengka Tahun 2009. Berdasarkan tabel tersebut, maka peran subsektor tanaman bahan makanan adalah sebagai berikut : padi memberikan kontribusi sebesar Rp 684.744,12 juta atau 9,21%, sayur-sayuran memberikan kontribusi sebesar Rp. 233.993,77 juta atau 3,15%, buah-buahan memberikan kontribusi sebesar Rp 150.744,16 juta atau 2,03%, jagung memberikan kontribusi sebesar Rp 87.616,79 juta atau 1,18%, bahan makanan lainnya memberikan kontribusi sebesar Rp 37.418,21 juta atau 0,50% dan ubi kayu memberikan kontribusi sebesar Rp 12.374,13 juta atau 0,17 %. Secara keseluruhan kontribusi dari keenam komoditas sektor tanaman bahan makanan tersebut apabila digabungkan adalah sebesar Rp 1.206.891,18 juta atau 16,23% dari total output seluruh sektor perekonomian atau menempati peringkat ke-2 dari 23 sektor perekonomian. Adapun lima sektor yang memberikan sumbangan paling tinggi terhadap total output Kabupaten Majalengka Tahun 2009 berturut-turut adalah : sektor industri pengolahan, perdagangan besar dan eceran, bangunan, padi serta pemerintahan umum dan pertahanan. Kontribusi paling besar disumbangkan oleh sektor industri pengolahan yaitu sebesar Rp 1.937.571,83 juta atau 26,05% .
102
Tabel 38. Total Output Tiap Sektor Berdasarkan Tabel I-O Kabupaten Majalengka Tahun 2009 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Sektor Perekonomian Industri pengolahan Perdagangan besar dan eceran Bangunan Padi Pemerintahan umum dan pertahanan Angkutan jalan raya Restoran Sayur-sayuran Peternakan dan hasil-hasilnya Pertambangan dan penggalian Perorangan dan rumah tangga Bank dan lembaga keuangan lainnya Sewa bangunan Buah-buahan Jagung Listrik Tanaman perkebunan Jasa sosial kemasyarakatan Komunikasi Perikanan Bahan makanan lainnya Jasa perusahaan Jasa penunjang angkutan Jasa hiburan dan rekreasi Ubi kayu Kehutanan Hotel Air bersih
Total Output (Juta rupiah) 1.937.571,83 800.083,26 687.069,09 684.744,12 681.837,89 433.929,60 410.117,34 233.993,77 207.747,73 200.775,78 182.386,59 176.271,41 157.957,08 150.744,16 87.616,79 75.661,82 51.427,38 49.757,97 48.083,54 47.874,81 37.418,21 31.944,81 23.020,48 14.441,16 12.374,13 6.946,69 3.078,32 2.430,40
Persentase (%) 26,05 10,76 9,24 9,21 9,17 5,83 5,51 3,15 2,79 2,70 2,45 2,37 2,12 2,03 1,18 1,02 0,69 0,67 0,65 0,64 0,50 0,43 0,31 0,19 0,17 0,09 0,04 0,03
7.437.306,17
100,00
Jumlah Sumber : Hasil Analisis (2011)
Berdasarkan struktur PDRB dan total output, sektor industri pengolahan dan perdagangan besar dan eceran memiliki peran yang cukup besar dalam perekonomian wilayah Kabupaten Majalengka. Peran tersebut akan menjadi lebih baik jika industri pengolahan yang ada merupakan industri yang menggunakan sumberdaya lokal yang ada di Kabupaten Majalengka.
103
5.2.2. Keterkaitan Sektoral Karakteristik struktur ekonomi wilayah yang ditunjukkan oleh distribusi sumbangan sektoral serta keterkaitan sektoral perekonomian wilayah merupakan salah satu hal yang perlu dipertimbangkan dalam rangka pengembangan wilayah. Salah satu model yang dapat digunakan untuk mengetahui keterkaitan sektoral ini adalah analisis input-output (I-O). Dari hasil analisis I-O dapat diketahui sektorsektor mana saja yang bisa dijadikan leading sector atau sektor pemimpin dalam pembangunan ekonomi sehingga dengan memfokuskan pembangunan pada sektor-sektor yang menjadi pemimpin maka target pertumbuhan ekonomi yang diharapkan dapat dicapai dengan lebih baik. Beberapa parameter teknis yang bisa diketahui dari analisis I-O adalah keterkaitan langsung ke belakang, keterkaitan langsung ke depan, keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang, keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan, indeks penyebaran dan indeks kepekaan. Dengan analisis tersebut dapat diketahui tingkat hubungan atau keterkaitan teknis antar sektor-sektor perekonomian suatu wilayah. Keunggulan suatu sektor dapat dilihat dari tingkat keterkaitan antara sektor tersebut dengan sektor lainnya dalam aktivitas perekonomian (Daryanto dan hafizrianda 2010a). Keterkaitan yang kuat dari suatu sektor ditandai dengan nilai-nilai parameter keterkaitan yang tinggi. Sektor dengan angka keterkaitan ke belakang yang tinggi menunjukkan bahwa peningkatan output sektor tersebut dapat menarik aktivitas sektor-sektor di belakangnya (hulu). Sektor yang mempunyai keterkaitan ke depan yang kuat berarti mampu mendorong aktivitas sektor-sektor perekonomian yang ada di hilirnya. Adanya keterkaitan antar sektor dapat menunjukkan adanya sinergi yang baik dalam roda perekonomian suatu wilayah. Hal ini menunjukkan bahwa antar sektor ekonomi dapat saling melengkapi dengan memanfaatkan seoptimal mungkin sumberdaya domestik. Makin kuat keterkaitan antar sektor, makin kecil ketergantungan sektor tersebut pada impor, sekaligus memperkecil kemungkinan terjadinya kebocoran wilayah sehingga nilai tambah yang dihasilkan dapat dinikmati oleh masyarakat di wilayahnya sendiri. Analisis keterkaitan antar sektor
104
pada dasarnya melihat dampak output dan kenyataan bahwa sektor-sektor tersebut saling mempengaruhi dalam roda perekonomian (Rustiadi et al. 2009). Keterkaitan langsung ke depan menunjukkan banyaknya output suatu sektor yang digunakan oleh sektor-sektor lain. Keterkaitan ini menunjukkan akibat suatu sektor tertentu terhadap sektor-sektor yang menggunakan sebagian output tersebut secara langsung per unit kenaikan permintaan akhir. Pada Gambar 17 ditampilkan keterkaitan langsung ke depan atau Direct Forward Linkage (DFL) sektor-sektor perekonomian yang ada di Kabupaten Majalengka. Nilai DFL di atas rata-rata adalah yang memiliki indeks ≥ 1. Berdasarkan Gambar 17 diketahui bahwa sektor yang memiliki nilai DFL ≥ 1 adalah sektor perdagangan besar dan eceran yaitu memiliki nilai DFL sebesar 1,2292 sedangkan sektor lainnya memiliki indeks < 1. Urutan sektor yang memiliki nilai DFL tertinggi adalah (1) perdagangan besar dan eceran, (2) industri pengolahan, (3) bank dan lembaga keuangan lainnya, (4) jasa perorangan dan rumah tangga, (5) bangunan.
Gambar 17. Keterkaitan langsung ke depan sektor-sektor perekonomian
105
Adapun besarnya peran subsektor tanaman bahan makanan berdasarkan Gambar 17 adalah sebagai berikut : padi memiliki nilai DFL sebesar 0,2561 menempati urutan ke-7, buah-buahan memiliki nilai DFL sebesar 0,0928 menempati urutan ke-15, bahan makanan lainnya memiliki nilai DFL sebesar 0,0823 menempati urutan ke-16, jagung memiliki nilai DFL sebesar 0,0627 menempati urutan ke-21, ubi kayu memiliki nilai DFL sebesar 0,0238 menempati urutan ke-24 dan sayur-sayuran memiliki nilai DFL sebesar 0,0085 serta menempati urutan ke-27. Berdasarkan nilai DFL ini maka subsektor tanaman bahan makanan yang memiliki potensi sebagai komoditas unggulan adalah padi, buah-buahan dan bahan makanan lainnya. Ketiga komoditas tersebut memiliki nilai DFL diatas komoditas tanaman bahan makanan lainnya dan diatas subsektor perikanan, tanaman perkebunan dan kehutanan yang merupakan bagian dari sektor pertanian.
Gambar 18. Keterkaitan langsung ke belakang sektor-sektor perekonomian
106
Keterkaitan langsung ke belakang atau Direct Backward Linkage (DBL) menunjukkan akibat dari suatu sektor tertentu terhadap sektor-sektor yang menyediakan input bagi sektor tersebut secara langsung per unit kenaikan permintaan akhir. Keterkaitan langsung ke belakang sektor-sektor perekonomian ditampilkan pada Gambar 18. Nilai DBL di atas rata-rata adalah yang memiliki nilai indeks ≥1. Berdasarkan gambar tersebut, semua sektor memiliki nilai DBL <1, hal ini menunjukkan bahwa semua sektor memiliki nilai di bawah rata-rata. Sektor yang memiliki nilai DBL yang tertinggi adalah sektor industri pengolahan, hotel dan bangunan. Adapun besarnya peranan subsektor tanaman bahan makanan berdasarkan nilai DBLnya secara berurutan adalah sebagai berikut : jagung memiliki nilai DBL sebesar 0,1394 menempati urutan ke-17, padi memiliki nilai DBL sebesar 0,1106 menempati urutan ke-21, buah-buahan memiliki nilai DBL sebesar 0,0967 menempati urutan ke-24, bahan makanan lainnya memiliki nilai DBL sebesar 0,0940 menempati urutan ke-26, sayur-sayuran memiliki nilai DBL sebesar 0,0674 menempati urutan ke-27 dan ubi kayu memiliki nilai DBL sebesar 0,0639 serta menempati urutan ke-28. Berdasarkan nilai DBL ini maka komoditas subsektor tanaman bahan makanan yang memiliki potensi sebagai komoditas unggulan adalah jagung dan padi. Kedua komoditas tersebut memiliki nilai DBL diatas komoditas tanaman bahan makanan lainnya dan diatas subsektor kehutanan yang juga merupakan bagian dari sektor pertanian. Hampir semua komoditas subsektor tanaman bahan makanan memiliki nilai DBL yang lebih besar bila dibandingkan dengan nilai DFL-nya, kecuali sektor padi yang memiliki nilai DFL lebih besar dibandingkan dengan nilai DBLnya. Hal ini berarti untuk komoditas jagung, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi kayu dan bahan makanan lainnya lebih banyak menggunakan output dari sektor lain untuk digunakan sebagai input bagi sektornya daripada dapat menghasilkan output yang digunakan sebagai input bagi sektor lainnya secara langsung. Berbeda dengan padi, komoditas ini lebih banyak menghasilkan output yang dapat digunakan oleh sektor lain sebagai input secara langsung dibandingkan menggunakan output dari sektor lain untuk digunakan sebagai input sektornya sendiri.
107
Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan atau Direct Indirect Forward Linkage (DIFL) menunjukkan akibat dari suatu sektor tertentu terhadap sektor-sektor yang menggunakan output sektor tersebut secara langsung dan tidak langsung per unit kenaikan permintaan akhir. Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan (DIFL) sektor-sektor perekonomian ditampilkan pada Gambar 19. Lima sektor yang memiliki nilai DIFL tertinggi berturut-turut adalah (1) perdagangan besar dan eceran, (2) industri pengolahan, (3) bank dan lembaga keuangan lainnya, (4) jasa perorangan dan rumah tangga, (5) padi.
Gambar 19.
Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan sektor-sektor perekonomian
Berdasarkan Gambar 19 tersebut, besarnya peranan subsektor tanaman bahan makanan adalah sebagai berikut : padi memiliki nilai DIFL sebesar 1,4751 menempati urutan ke-5, buah-buahan memiliki nilai DIFL sebesar 1,1173 menempati urutan ke-15, bahan makanan lainnya memiliki nilai DIFL sebesar 1,0960 menempati urutan ke-17, jagung memiliki nilai DIFL sebesar 1,0716
108
menempati urutan ke-21, ubi kayu memiliki nilai DIFL sebesar 1,0271 menempati urutan ke-24 dan sayur-sayuran memiliki nilai DIFL sebesar 1,0089 serta menempati urutan ke-28. Berdasarkan nilai DIFL ini maka komoditas subsektor tanaman bahan makanan yang memiliki potensi sebagai komoditas unggulan adalah padi, buah-buahan dan bahan makanan lainnya. Keempat komoditas tersebut memiliki nilai DIFL diatas komoditas tanaman bahan makanan lainnya dan diatas subsektor tanaman perkebunan dan kehutanan yang juga merupakan bagian dari sektor pertanian. Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang atau Direct Indirect Backward Linkage (DIBL) menunjukkan akibat dari suatu sektor tertentu terhadap sektor-sektor yang menyediakan input bagi sektor tersebut secara langsung dan tidak langsung per unit kenaikan permintaan akhir. Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang (DIBL) sektor-sektor perekonomian ditampilkan pada Gambar 20.
Gambar 20. Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang sektor-sektor perekonomian
109
Berdasarkan Gambar 20 tersebut, sektor yang memiliki nilai DIBL tertinggi adalah sektor industri pengolahan dengan nilai 1,5798. Adapun besarnya peranan subsektor tanaman bahan makanan adalah sebagai berikut : jagung memiliki nilai DIBL sebesar 1,1772 menempati urutan ke-17, padi memiliki nilai DIBL sebesar 1,1315 menempati urutan ke-22, buah-buahan memiliki nilai DIBL sebesar 1,1217 menempati urutan ke-25, bahan makanan lainnya memiliki nilai DIBL sebesar 1,1110 menempati urutan ke-26, sayur-sayuran memiliki nilai DIBL sebesar 0,0860 menempati urutan ke-27 dan ubi kayu memiliki nilai DIBL sebesar 1,0814 serta menempati urutan ke-28. Berdasarkan nilai DBL ini maka komoditas subsektor tanaman bahan makanan yang memiliki potensi sebagai komoditas unggulan adalah jagung dan padi. Kedua komoditas tersebut memiliki nilai DIBL diatas komoditas tanaman bahan makanan lainnya dan diatas subsektor kehutanan yang juga merupakan bagian dari sektor pertanian. Sebagian besar komoditas subsektor tanaman bahan makanan memiliki nilai DIBL yang lebih besar bila dibandingkan dengan nilai DIFL-nya, kecuali komoditas padi yang memiliki nilai DIFL lebih besar dibandingkan dengan nilai DIBL-nya. Hal ini berarti untuk komoditas jagung, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi kayu dan bahan makanan lainnya lebih banyak menggunakan output dari sektor lain secara langsung dan tidak langsung untuk digunakan sebagai input bagi sektornya daripada dapat menghasilkan output yang digunakan sebagai input bagi sektor lainnya. Berbeda dengan komoditas padi, komoditas ini lebih banyak menghasilkan output yang dapat digunakan oleh sektor lain sebagai input secara langsung dan tidak langsung dibandingkan menggunakan output dari sektor lain. Nilai DBL dan DIBL jagung, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi kayu dan bahan makanan lainnya yang lebih besar dibandingkan dengan nilai DFL dan DIFL menunjukkan bahwa sektor-sektor tersebut lebih banyak menggunakan input dari sektor lain daripada outputnya digunakan sebagai input sektor lain. Nilai DFL dan DIFL padi yang lebih besar dibandingkan dengan nilai DBL dan DIBL menunjukkan bahwa output komoditas padi lebih banyak digunakan sebagai input oleh sektor-sektor lainnya dan lebih sedikit menggunakan input dari sektor lain.
110
Selanjutnya, sektor-sektor manakah yang terkait dengan komoditaskomoditas subsektor tanaman bahan makanan secara langsung disajikan pada Gambar 21, 22, 23 dan 24. Keterkaitan langsung komoditas padi dengan sektorsektor lainnya baik keterkaitan ke depan maupun ke belakang di sajikan pada Gambar 21.
(a) Keterkaitan Langsung ke Depan
(b) Keterkaitan Langsung ke Belakang
Gambar 21. Keterkaitan padi dengan sektor-sektor lainnya
Keterkaitan ke depan komoditas padi tertinggi adalah dengan sektor industri pengolahan. Besarnya keterkaitan ke depan komoditas padi dengan industri pengolahan adalah sebesar 87,50% dari total permintaan antara. Hal ini berarti output komoditas padi banyak digunakan sebagai input oleh industri pengolahan. Industri pengolahan yang menggunakan input komoditas padi yang berkembang di Kabupaten Majalengka adalah industri makanan, penggilingan padi dan pembuatan bata merah. Output komoditas padi yang digunakan dalam pembuatan bata merah adalah sekam padi, dimana sekam padi diperlukan sebagai salah satu bahan campuran pembuatan bata merah serta digunakan untuk proses pembakaran bata merah. Komoditas padi ini juga memiliki keterkaitan ke depan dengan sektor peternakan dan hasilnya karena limbah dari komoditas padi ini banyak digunakan sebagai pakan ternak. Keterkaitan ke belakang komoditas padi tertinggi adalah dengan komoditas padi itu sendiri diikuti oleh sektor perdagangan besar dan eceran. Besarnya keterkaitan ke belakang komoditas padi dengan komoditas padi itu
111
sendiri adalah sebesar 65,05% dari total input antara. Komoditas padi ini memerlukan sarana produksi sebagai inputnya. Pemenuhan kebutuhan akan sarana produksi (bibit, pupuk, dll) dapat dipenuhi dari sektor padi itu sendiri dan sektor perdagangan besar dan eceran. Keterkaitan langsung antara komoditas jagung dengan sektor-sektor lainnya baik keterkaitan langsung ke depan maupun ke belakang disajikan pada Gambar 22. Keterkaitan langsung tertinggi baik keterkaitan langung ke depan maupun ke belakang komoditas jagung adalah dengan komoditas jagung itu sendiri. Adapun besarnya keterkaitan ke depan dan ke belakang komoditas jagung dengan komoditas jagung itu sendiri berturut-turut sebesar 29,30% dari permintaan antara dan 30,59% dari total input antara. Komoditas jagung banyak membutuhkan input dari komoditas jagung itu sendiri sebagai benih, membutuhkan sarana produksi lainnya dari perdagangan besar dan eceran serta membutuhkan limbah (kotoran) dari peternakan sebagai pupuk organik. Output komoditas jagung ini juga digunakan untuk sektor perikanan dan peternakan sebagai pakan ternak serta sebagian diolah oleh industri pengolahan.
(a) Keterkaitan Langsung ke Depan
(b) Keterkaitan Langsung ke Belakang
Gambar 22. Keterkaitan jagung dengan sektor-sektor lainnya
Keterkaitan langsung komoditas buah-buahan dengan sektor-sektor lainnya baik keterkaitan ke depan maupun ke belakang disajikan pada Gambar 23.
112
(a) Keterkaitan Langsung ke Depan
(b) Keterkaitan Langsung ke Belakang
Gambar 23. Keterkaitan buah-buahan dengan sektor-sektor lainnya
Keterkaitan tertinggi ke depan maupun ke belakang komoditas buahbuahan adalah dengan komoditas buah-buahan itu sendiri. Komoditas buahbuahan banyak membutuhkan input dari komoditas buah-buahan itu sendiri sebagai benih, membutuhkan sarana produksi lainnya dari perdagangan besar dan eceran serta membutuhkan limbah (kotoran) dari peternakan sebagai pupuk organik. Output komoditas buah-buahan ini juga digunakan oleh sektor jasa sosial kemasyarakatan, hiburan dan rekreasi serta hotel dan restoran untuk dikonsumsi. Selain itu juga sebagian digunakan untuk industri pengolahan. Keterkaitan antara komoditas sayur-sayuran dengan sektor-sektor lainnya baik keterkaitan ke depan maupun ke belakang di sajikan pada Gambar 24.
(a) Keterkaitan Langsung ke Depan
(b) Keterkaitan Langsung ke Belakang
Gambar 24. Keterkaitan sayur-sayuran dengan sektor-sektor lainnya
113
Komoditas sayuran memiliki keterkaitan ke depan yang tinggi dengan komoditas sayuran itu sendiri. Besarnya keterkaitan ke depan komoditas sayuran dengan komoditas sayuran itu sendiri adalah sebesar 77,98% dari total permintaan antara. Komoditas sayuran ini tidak memiliki keterkaitan ke depan dengan industri pengolahan melainkan memiliki keterkaitan ke depan dengan sektor hotel, restoran, pemerintahan umum, jasa sosial kemasyarakatan serta hiburan dan rekreasi. Hal ini menunjukkan bahwa komoditas sayuran merupakan komoditi yang lebih banyak dikonsumsi langsung. Komoditas sayuran memiliki keterkaitan ke belakang yang tinggi dengan sektor perdagangan besar dan eceran, angkutan jalan raya serta peternakan dan hasil-hasilnya. Hal ini menunjukkan bahwa sektor tersebut mempunyai peran yang besar dalam penyediaan input sarana produksi bagi komoditas sayuran. Besarnya keterkaitan ke belakang komoditas sayuran dengan sektor perdagangan besar dan eceran adalah sebesar 52,35% dari total input antara Sektor yang memiliki kemampuan untuk mendorong pertumbuhan sektorsektor hulu atau hilir baik melalui mekansime transaksi pasar output maupun pasar input sangat dibutuhkan dalam pembangunan ekonomi wilayah yang berkelanjutan. Untuk mengetahui sektor-sektor tersebut dapat dianalisis dengan menggunakan dua indeks keterkaitan yaitu daya penyebaran dan derajat kepekaan. Nilai indeks daya penyebaran dan indeks daya kepekaan ini merupakan nilai keterkaitan kangsung dan tidak langsung yang sudah dinormalkan dengan cara membagi nilai keterkaitan suatu sektor dengan rata-rata nilai keterkaitan seluruh sektor. Dari nilai keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan akan diperoleh indeks daya kepekaan sedangkan dari nilai keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang akan diperoleh indeks daya penyebaran. Indeks daya penyebaran (IDP) menunjukkan kekuatan relatif permintaan akhir suatu sektor dalam mendorong pertumbuhan produksi total seluruh sektor perekonomian. Nilai indeks daya penyebaran lebih besar dari satu menujukkan bahwa sektor tersebut memiliki kemampuan untuk meningkatkan pertumbuhan sektor hulunya atau meningkatkan output sektor lainnya yang digunakan sebagai input oleh sektor tersebut, sedangkan nilai kurang dari satu menunjukkan bahwa sektor tersebut kurang mampu menarik sektor hulunya. Pada Gambar 25
114
ditampilkan nilai indeks penyebaran sektor-sektor perekonomian. Berdasarkan gambar tersebut semua komoditas subsektor tanaman bahan makanan memiliki nilai IDP kurang dari satu yang menunjukkan bahwa komoditas-komoditas subsektor tanaman bahan makanan kurang mampu meningkatkan pertumbuhan produksi bagi sektor-sektor hulunya. Komoditas yang memiliki nilai IDP terbesar diantara komoditas lain dalam sektor tanaman bahan makanan adalah komoditas jagung dengan nilai IDP sebesar 0,9395 dan padi dengan nilai IDP sebesar 0,9030.
Gambar 25. Nilai Indeks Daya Penyebaran sektor-sektor perekonomian
Indeks daya kepekaan (IDK) menunjukkan sumbangan relatif suatu sektor dalam memenuhi permintaan akhir keseluruhan sektor perekonomian. Nilai indeks daya kepekaan lebih besar dari satu menunjukkan bahwa sektor tersebut memiliki kemampuan untuk mendorong pertumbuhan produksi sektor hilirnya yang memakai input dari sektor tersebut. Menurut Rustiadi et al. (2009), jika suatu sektor memiliki karakteristik indeks daya kepekaan > 1, maka sektor tersebut
115
merupakan salah satu sektor yang strategis karena secara relatif dapat memenuhi permintaan akhir diatas kemampuan rata-rata sektor yang lain. Nilai indeks daya kepekaan sektor-sektor perekonomian ditampilkan pada Gambar 26.
Gambar 26. Nilai Indeks Daya Kepekaan sektor-sektor perekonomian
Pada Gambar 26 terlihat bahwa komoditas padi merupakan satu-satunya komoditas sektor tanaman bahan makanan yang memiliki IDK lebih besar dari satu (1,1773). Artinya komoditas padi ini merupakan komoditas yang strategis dan memiliki kemampuan untuk mendorong pertumbuhan produksi sektor hilirnya. Komoditas jagung, ubi kayu, buah-buahan, sayur-sayuran dan bahan makanan lainnya memiliki nilai IDK kurang dari satu. Hal ini menunjukkan bahwa komoditas-komoditas tersebut kurang mampu mendorong pertumbuhan sektor hilirnya.
116
Komoditas dengan nilai Indeks Daya Penyebaran (IDP) dan Indeks Daya Kepekaan (IDK) tinggi merupakan suatu komoditas yang memiliki basis domestik yang baik dari sisi input maupun output. Artinya komoditas-komoditas tersebut lebih banyak menggunakan input antara yang berasal dari produksi domestiknya dan lebih banyak menjual outputnya untuk memenuhi kebutuhan input antara dari sektor produksi domestik. Dengan kata lain komoditas tersebut lebih sedikit menggunakan input yang berasal dari impor dan sedikit digunakan untuk memenuhi permintaan ekspor. Sektor yang mempunyai IDP tinggi memberikan indikasi bahwa sektor tersebut mempunyai pengaruh terhadap sektor lain. Sebaliknya, sektor yang mempunyai IDK yang tinggi berarti sektor tersebut akan cepat terpengaruh bila terjadi perubahan pada sektor lainnya. Berdasarkan IDP dan IDK, komoditas subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka yang memiliki basis domestik yang baik hanyalah komoditas padi. Komoditas padi ini memiliki basis domestik dari sisi output. Artinya komoditas ini lebih banyak menjual outputnya untuk memenuhi kebutuhan input antara sektor-sektor domestik. Selain itu komoditas ini juga merupakan komoditas yang akan cepat terpengaruh dengan adanya perubahan di sektor lainnya.
5.2.3. Multiplier Effect Multiplier terbagi menjadi multiplier Tipe I dan multiplier Tipe II. Multiplier Tipe I dihitung berdasarkan inverse matriks Leontief (I-A)-1, dimana sektor rumah tangga diperlakukan secara exogenous, sedangkan multiplier Tipe II tidak hanya menghitung dampak langsung dan tidak langsung, tetapi termasuk pula dampak induksi, yaitu dampak dari perubahan pola konsumsi rumah tangga akibat peningkatan terhadap kinerja sistem perekonomian wilayah. Analisis multiplier effect yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis multiplier Tipe I. Analisis multiplier effect dari sektor-sektor perekonomian wilayah Kabupaten Majalengka berdasarkan Tabel I-O Tahun 2009 terdiri atas multiplier output, NTB, pendapatan (income) dan pajak tak langsung.
117
5.2.3.1. Multiplier Effect Output Multiplier Effect Output menunjukkan dampak meningkatnya permintaan akhir suatu sektor terhadap total output seluruh sektor di suatu wilayah. Hasil analisis Multiplier Effect Output sektor-sektor perekonomian disajikan pada Gambar 27.
Gambar 27. Nilai Multiplier Effect Output sektor-sektor perekonomian
Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat diketahui bahwa peran komoditas-komoditas subsektor tanaman bahan makanan terhadap output perekonomian adalah : jagung memiliki nilai multiplier effect output sebesar 1,1772 yang menempati urutan ke-17, padi memiliki nilai multiplier effect output sebesar 1,1315 yang menempati urutan ke-22, buah-buahan memiliki nilai multiplier effect output sebesar 1,1217 yang menempati urutan ke-25, bahan makanan lainnya memiliki nilai multiplier effect output sebesar 1,1110 yang menempati urutan ke-26, sayur-sayuran memiliki nilai multiplier effect output
118
sebesar 1,0860 yang menempati urutan ke-27 dan ubi kayu memiliki nilai multiplier effect output sebesar 1,0814 yang menempati urutan ke-28. Berdasarkan nilai multiplier effect output tersebut maka komoditas subsektor tanaman bahan makanan yang memiliki potensi sebagai komoditas unggulan adalah jagung dan padi. Kedua komoditas tersebut memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan komoditas lainnya dan kedua komoditas tersebut memiliki nilai diatas subsektor kehutanan yang merupakan bagian dari sektor pertanian. Nilai multiplier effect output jagung sebesar 1,1772 berarti bahwa setiap peningkatan permintaan akhir jagung sebesar satu satuan, maka output perekonomian wilayah Kabupaten Majalengka akan meningkat sebesar ekivalen 1,1772. Dengan kata lain, apabila permintaan akhir jagung meningkat 1 milyar rupiah maka dampak terhadap perekonomian wilayah (output) meningkat sebesar 1,1772 milyar rupiah.
5.2.3.2. Multiplier Effect Nilai Tambah Bruto Multiplier Effect Nilai Tambah Bruto (NTB) atau PDRB Multiplier adalah dampak meningkatnya permintaan akhir suatu sektor terhadap peningkatan NTB. Nilai Tambah Bruto (NTB) atau PDRB adalah input primer yang merupakan bagian dari input secara keseluruhan. Dalam tabel I-O diasumsikan NTB atau PDRB berhubungan dengan output secara linier. Artinya peningkatan atau penurunan output akan diikuti secara proporsional oleh kenaikan atau penurunan NTB. Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui besarnya peranan subsektor tanaman bahan makanan terhadap peningkatan nilai tambah bruto/PDRB yaitu komoditas jagung memiliki nilai multiplier NTB sebesar 1,1447 menempati urutan ke-18, padi memiliki nilai multiplier NTB sebesar 1,1189 menempati urutan ke-20, bahan makanan lainnya memiliki nilai multiplier NTB sebesar 1,0965 menempati urutan ke-24, buah-buahan memiliki nilai multiplier NTB sebesar 1,0953 menempati urutan ke-25, sayur-sayuran memiliki nilai multiplier NTB sebesar 1,0660 menempati urutan ke-27 dan ubi kayu memiliki nilai multiplier NTB sebesar 1,0597 menempati urutan ke-28. Berdasarkan nilai multiplier NTB tersebut maka komoditas subsektor tanaman bahan makanan yang
119
memiliki potensi sebagai komoditas unggulan adalah jagung dan padi. Kedua komoditas tersebut memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan komoditas tanaman bahan makanan lainnya dan kedua komoditas tersebut memiliki nilai diatas subsektor tanaman perkebunan dan kehutanan yang merupakan bagian dari sektor pertanian. Nilai NTB multiplier jagung sebesar 1,1447 berarti bahwa apabila permintaan akhir komoditas jagung meningkat 1 milyar rupiah maka dampak terhadap nilai tambah/PDRB akan meningkat sebesar 1,1447 milyar rupiah. Multiplier Effect NTB/PDRB sektor-sektor perekonomian di Kabupaten Majalengka ditampilkan pada Gambar 28.
Gambar 28. Multiplier Effect Nilai Tambah Bruto (PDRB) sektor-sektor perekonomian
120
5.2.3.3.
Multiplier Effect Pendapatan Nilai
dari
Multiplier
Effect
Pendapatan
menunjukkan
dampak
meningkatnya permintaan akhir suatu sektor terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga di suatu wilayah. Nilai multiplier effect pendapatan sektor-sektor perekonomian di Kabupaten Majalengka ditampilkan pada Gambar 29.
Gambar 29. Multiplier Effect pendapatan sektor-sektor perekonomian Dari Gambar 29 dapat diketahui besarnya peranan subsektor tanaman bahan makanan terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga yaitu komoditas jagung memiliki nilai multiplier effect pendapatan sebesar 1,2260 menempati urutan ke-15, buah-buahan memiliki nilai multiplier effect pendapatan sebesar 1,2201 menempati urutan ke-16,
ubi kayu memiliki nilai multiplier effect
pendapatan sebesar 1,1503 menempati urutan ke-21, padi memiliki nilai multiplier effect pendapatan sebesar 1,1437 menempati urutan ke-22, sayur-sayuran memiliki nilai multiplier effect pendapatan sebesar 1,1309 menempati urutan ke-
121
26 dan bahan makanan lainnya memiliki nilai multiplier effect pendapatan sebesar 1,1127 menempati urutan ke-28. Berdasarkan nilai multiplier effect pendapatan tersebut maka komoditas subsektor tanaman bahan makanan yang memiliki potensi sebagai komoditas unggulan adalah jagung dan buah-buahan. Kedua komoditas tersebut memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan komoditas tanaman bahan makanan lainnya dan kedua komoditas tersebut memiliki nilai diatas subsektor tanaman perkebunan dan kehutanan yang merupakan bagian dari sektor pertanian. Nilai multiplier effect pendapatan untuk komoditas jagung bernilai 1,2260 berati bahwa untuk setiap penambahan permintaan akhir komoditas jagung sebesar satu satuan akan meningkatkan pendapatan rumah tangga yang bekerja di sektor komoditas jagung sebanyak 1,2260 kali. . Selain itu, berdasarkan nilai multiplier effect pendapatan terlihat bahwa untuk komoditas ubi kayu memiliki nilai multiplier effect pendapatan pada urutan ke-3 diantara komoditas tanaman bahan makanan lainnya dan menempati posisi diatas komoditas padi, hal ini karena komoditas ubi kayu merupakan komoditas yang relatif mudah ditanam dan tidak terlalu membutuhkan banyak input serta perlakuan khusus dalam membudidayakannya tetapi hasilnya sangat dibutuhkan untuk konsumsi penduduk maupun untuk bahan baku industri sehingga dapat memberikan tambahan pendapatan bagi petani. Adapun komoditas padi merupakan komoditas yang menjadi bahan makanan pokok bagi masyarakat sehingga campur tangan pemerintah dalam mengendalikan komoditas ini cukup besar termasuk dalam pengendalian harga jual yang mengakibatkan komoditas padi tidak memberikan multipier effect yang besar terhadap peningkatan pendapatan.
5.2.3.4.
Multiplier Effect Pajak Tak Langsung Adanya sumber pendapatan yang terbatas di daerah untuk melaksanakan
pembangunan mengharuskan pemerintah daerah mampu mengelola potensi sumber-sumber pendapatan yang ada di daerah. Salah satu potensi sumber pendapatan daerah adalah pajak sebagai bagian dari penerimaan asli daerah. Multiplier Effect pajak tak langsung menunjukkan dampak meningkatnya
122
permintaan akhir suatu sektor terhadap peningkatan pajak tak langsung pada sektor tersebut. Artinya, apabila terjadi peningkatan permintaan akhir pada suatu sektor tertentu sebesar satu rupiah, maka akan berdampak pada meningkatnya pajak tak langsung sebesar nilai pengganda pajak di sektro tersebut. Nilai multiplier effect pajak tak langsung sektor-sektor perekonomian di Kabupaten Majalengka ditampilkan pada Gambar 30.
Gambar 30. Multiplier Effect pajak tak langsung sektor-sektor perekonomian
Dari nilai multiplier effect pajak tak langsung tersebut dapat diketahui besarnya peranan subsektor tanaman bahan makanan terhadap peningkatan pajak tak langsung adalah : komoditas buah-buahan memiliki nilai multiplier effect pajak sebesar 1,5827 menempati urutan ke-11, jagung memiliki nilai multiplier effect pajak sebesar 1,4884 menempati urutan ke-13, ubi kayu memiliki nilai multiplier effect pajak sebesar 1,2911 menempati urutan ke-17, padi memiliki nilai multiplier effect pajak sebesar 1,2145 menempati urutan ke-20, sayur-
123
sayuran memiliki nilai multiplier effect pajak sebesar 1,1925 menempati urutan ke-22 dan bahan makanan lainnya memiliki nilai multiplier effect pajak sebesar 1,1536 menempati urutan ke-24. Nilai multiplier effect pajak untuk komoditas buah-buahan bernilai 1,5827 berati bahwa untuk setiap penambahan permintaan akhir komoditas buah-buahan sebesar satu satuan akan meningkatkan pajak tak langsung sebesar ,1536 kali. Berdasarkan nilai multiplier effect pajak tak langsung tersebut maka komoditas sektor tanaman bahan makanan yang memiliki potensi sebagai komoditas unggulan adalah jagung dan buah-buahan. Kedua komoditas tersebut memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan komoditas tanaman bahan makanan lainnya dan kedua komoditas tersebut memiliki nilai diatas subsektor kehutanan yang merupakan bagian sektor pertanian. Hotel memiliki nilai multiplier effect pajak tak langsung yang paling tinggi, hal ini karena tabel input-output Kabupaten Majalengka 2009 merupakan hasil turunan dari tabel input-output Kabupaten Ciamis 2008, sehingga hasil perhitungan multiplier effect pajak tak langsung sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi di Kabupaten Ciamis. Kabupaten Ciamis memiliki potensi kunjungan wisata yang tinggi karena memiliki beberapa obyek wisata andalan seperti pantai pangandaran, batu hiu, karang nini dan green canyon (cukang taneuh). Hal tersebut menjadi potensi yang dapat mengakibatnya tingginya nilai multiplier effect pajak tak langsung dari sektor hotel. Adapun untuk Kabupaten Majalengka multiplier effect pajak tak langsung sektor hotel yang tinggi kurang mencerminkan kondisi yang ada di lapangan hal ini salah satu penyebabnya karena potensi wisata di Kabupaten Majalengka masih rendah. Berdasarkan seluruh indikator keterkaitan dan multiplier effect melalui analisis I-O di atas diketahui bahwa secara umum komoditas-komoditas subsektor tanaman bahan makanan masih memiliki nilai keterkaitan dan multiplier effect yang rendah, sehingga upaya pembangunan subsektor tanaman bahan makanan yang dapat dilakukan dalam mewujudkannya menjadi salah satu sektor unggulan yang strategis adalah dengan meningkatkan keterkaitan subsektor tanaman bahan makanan dengan sektor-sektor lain dalam internal wilayah Kabupaten Majalengka.
124
Peningkatan keterkaitan subsektor tanaman bahan makanan dengan sektorsektor lain dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik peningkatan keterkaitan ke belakang maupun ke depan. Peningkatan keterkaitan ke belakang subsektor tanaman bahan makanan dengan subsektor peternakan misalnya adalah dengan pengembangan program komoditas tanaman bahan makanan organik dengan cara memanfaatkan penggunaan pupuk kandang sebagai pupuk organik. Keterkaitan dengan industri pengolahan misalnya dengan pengembangan industri kemasan dan labelling untuk meningkatkan nilai jual komoditas-komoditas tanaman bahan makanan. Dan keterkaitan dengan sektor bank dan lembaga keuangan lainnya dalam bentuk kemudahan untuk mengakses kredit atau pinjaman modal usaha. Adapun peningkatan keterkaitan ke depan subsektor tanaman bahan makanan dapat dilakukan dengan cara pengembangan industri pengolahan hasil pertanian yang menggunakan bahan baku lokal, peningkatan keterkaitan dengan sektor restoran dengan himbauan untuk menggunakan bahan baku lokal sebagai menu hidangannya, pengembangan sektor perdagangan besar dan eceran maupun sektor angkutan yang dapat menunjang mobilitas hasil-hasil pertanian.
5.3.
Komoditas Unggulan Subsektor Tanaman Bahan Makanan di Kabupaten Majalengka Pengembangan komoditas ungulan daerah merupakan salah satu upaya
untuk meningkatkan pendapatan daerah dan pendapatan masyarakat dalam rangka meningkatkan perekonomian dan pengembangan wilayah. Penetapan komoditas unggulan daerah diperlukan agar program dan kebijakan pembangunan serta pemanfaatan sumberdaya pertanian lebih efektif dan efisien karena terfokus pada pengembangan komoditas unggulan tersebut. Untuk menentukan komoditas subsektor tanaman bahan makanan yang menjadi unggulan di Kabupaten Majalengka dilakukan dengan menganalisis potensi dan daya saing komoditas subsektor tanaman bahan makanan pada level makro, meso dan mikro. Analisis potensi dan daya saing komoditas dilakukan pada level makro bertujuan untuk melihat potensi dan kondisi komoditas secara makro yaitu dalam hal ini potensi komoditas subsektor tanaman bahan makanan Kabupaten Majalengka di wilayah Provinsi Jawa Barat. Analisis di level meso bertujuan untuk melihat kondisi dan
125
potensi komoditas subsektor tanaman bahan makanan dalam perekonomian wilayah di Kabupaten Majalengka sedangkan analisis di level mikro bertujuan untuk melihat potensi dan kondisi komoditas-komoditas subsektor tanaman bahan makanan yang ada di wilayah Kabupaten Majalengka dalam hal ini dilihat dari aspek produksi dan luas panen.
5.3.1. Analisis Komoditas Unggulan Pada Level Makro Pada level makro, kriteria yang digunakan adalah komoditas tersebut merupakan komoditas basis yang memiliki keunggulan secara komparatif dan kompetitif. Penilaian pada level makro dilakukan berdasarkan hasil analisis LQ dan SSA (differential shift) yang membandingkan komoditas subsektor tanaman bahan makanan yang ada di Kabupaten Majalengka dengan komoditas subsektor tanaman bahan makanan yang ada di Kabupaten/Kota di Jawa Barat. Hasil analisis LQ dan SSA (differential shift) untuk komoditas tanaman pangan tersaji pada Tabel 39.
Tabel 39. Hasil Analisis LQ dan Differential Shift Komoditas Tanaman Pangan No.
Komoditas
1 2 3 4 5 6 7
Padi Jagung Kedelai Kacang Tanah Kacang Hijau Ubi Kayu Ubi Jalar
Luas Tanam 0,97 1,91 0,96 0,32 2,28 0,50 0,56
Nilai LQ Luas Produksi Panen 0,97 1,03 2,15 2,32 1,10 1,17 0,33 0,31 2,25 1,91 0,48 0,43 0,63 0,77
Differential Shift Luas Luas Produksi Tanam Panen -0,03 -0,02 -0,09 0,24 0,18 0,12 -0,04 0,23 0,08 -0,44 -0,38 -0,48 0,36 0,31 0,05 -0,18 -0,19 -0,35 -0,31 -0,33 -0,30
Sumber : Hasil Analisis (2011)
Berdasarkan Tabel 39 tersebut maka komoditas tanaman pangan yang merupakan komoditas basis dan memiliki keunggulan secara komparatif dan kompetitif adalah padi, jagung, kedelai dan kacang hijau. Untuk komoditas padi terlihat
bahwa
secara
produksi
komoditas
ini
merupakan
komoditas
basis/memiliki keunggulan komparatif tetapi tidak unggul secara kompetitif atau nilai differential shiftnya negatif, hal ini dimungkinkan karena sejak awal
126
komoditas ini sudah memiliki angka luas tanam, luas panen maupun produksi yang sudah cukup besar sehingga tingkat pertumbuhan/pergeserannya kecil (negatif) sehingga dalam hal ini tetap dikategorikan sebagai komoditas basis. Hasil analisis LQ dan SSA (differential shift) untuk komoditas buahbuahan tersaji pada Tabel 40. Berdasarkan Tabel 40 terlihat banyak sekali komoditas buah-buahan yang memiliki nilai LQ > 1 dan differential shift positif sehingga komoditas buah-buahan yang merupakan komoditas basis dan memiliki keunggulan secara komparatif dan kompetitif adalah alpukat, durian, jambu biji, jambu air, jeruk, mangga, nangka, papaya, pisang, sawo, sirsak, sukun, melinjo dan petai.
Tabel 40. Hasil Analisis LQ dan Differential Shift Komoditas Buah-Buahan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Komoditas Alpukat Belimbing Dukuh/langsat Durian Jambu Biji Jambu Air Jeruk Jeruk Besar Mangga Manggis Nangka Nenas Pepaya Pisang Rambutan Salak Sawo Markisa Sirsak Sukun Melinjo Petai
Sumber : Hasil Analisis (2011)
Nilai LQ Jml Pohon Produksi 3,10 1,59 0,97 2,38 0,17 0,11 0,93 2,12 2,02 1,17 0,91 1,99 1,31 1,09 0,57 0,31 4,49 3,56 0,18 0,05 3,26 1,19 0,02 0,00 0,29 1,09 0,59 1,26 0,78 0,25 0,04 0,04 0,89 1,04 0,08 0,00 0,18 1,01 0,62 2,30 8,06 9,73 2,70 2,45
Differential Shift Jml Pohon Produksi 0,55 0,45 -0,02 -0,28 -0,19 0,04 -0,23 0,25 0,38 1,21 -0,04 0,82 -0,15 0,15 -0,24 -1,88 0,58 0,48 -0,34 1,99 -0,60 0,05 -0,60 0,21 -1,20 0,13 0,11 0,31 0,04 0,42 0,53 0,47 -0,56 0,41 -0,09 -0,97 -0,07 0,03 0,91 0,23 0,05 1,75 0,36 0,93
127
Komoditas sayur-sayuran yang merupakan komoditas basis dan unggul secara komparatif dan kompetitif adalah bawang merah dan kembang kol. Hasil analisis LQ dan SSA (differential shift) untuk komoditas sayur-sayuran secara lengkap tersaji pada Tabel 41.
Tabel 41. Hasil Analisis LQ dan Differential Shift Komoditas Sayur-sayuran No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Komoditas Bawang Merah Bawang Putih Bawang Daun Kentang Kubis Kembang Kol Sawi Wortel Lobak Kacang Merah Kacang Panjang Cabe Besar Cabe Rawit Tomat Terung Buncis Ketimun Labu Siam Kangkung Bayam
Luas Tanam 3,95 0,00 2,48 0,97 1,10 1,15 0,57 0,23 0,07 0,31 0,15 1,05 1,13 0,43 0,80 0,35 0,39 0,16 0,03 0,01
Nilai LQ Luas Produksi Panen 4,06 6,44 0,00 0,00 2,36 3,74 0,86 0,97 0,60 1,08 0,90 0,95 0,61 0,93 0,25 0,09 0,00 0,00 0,37 0,39 0,17 0,14 0,72 1,18 1,42 1,10 0,43 0,38 0,89 0,94 0,39 0,38 0,50 0,35 0,48 0,08 0,03 0,01 0,01 0,04
Differential Shift Luas Luas Produksi Tanam Panen -0,03 -0,12 0,09 0,00 0,00 0,00 -0,16 -0,34 -0,22 -0,01 6,80 0,10 -0,21 -0,32 -0,49 0,20 0,005 0,02 0,64 0,58 0,17 -0,06 -0,36 0,03 -0,56 -0,84 -0,77 -0,25 -0,28 -0,27 -0,45 -0,51 0,25 -0,13 -0,14 -0,60 -0,38 -0,27 -0,91 -0,74 0,50 0,43 0,86 0,61 0,99 -0,01 -0,07 0,26 -0,26 -0,16 -0,22 -0,47 -1,14 0,19 -0,64 -0,39 -1,19 0,00 0,00 0,00
Sumber : Hasil Analisis (2011)
Walaupun berdasarkan hasil analisis tersebut ada beberapa komoditas yang memiliki nilai LQ > 1 dan differential shift positif selain bawang merah dan kembang kol namun tidak dikategorikan komoditas basis dan unggul secara komparatif dan kompetitif karena komoditas-komoditas tersebut hanya unggul secara komparatif saja (LQ>1) ataupun unggul secara kompetitif saja (differential shift positif).
128
5.3.2. Analisis Komoditas Unggulan Pada Level Meso Pada level meso, kriteria yang digunakan adalah komoditas tersebut memiliki keterkaitan dan nilai multiplier effect yang besar. Penilaian pada level meso ini dilakukan berdasarkan hasil analisis tabel input-output Kabupaten Majalengka Tahun 2009. Dari hasil analisis keterkaitan ke depan (Direct Forward Linkage/DFL) seperti tersaji pada Gambar 31, terlihat bahwa komoditas yang memiliki keterkaitan tinggi adalah padi, buah-buahan dan bahan makanan lainnya.
Gambar 31. Keterkaitan ke depan komoditas subsektor tanaman bahan makanan
Berdasarkan analisis keterkaitan ke belakang (Direct Backward Linkage/ DBL) seperti tersaji pada Gambar 32, terlihat bahwa komoditas yang memiliki keterkaitan tinggi adalah jagung, padi dan buah-buahan.
Gambar 32.
Keterkaitan ke belakang komoditas subsektor tanaman bahan makanan
129
Apabila dilihat dari besarnya kontribusi masing-masing komoditas buahbuahan dan bahan makanan lainnya terhadap total PDRB komoditasnya masingmasing maka dapat diketahui bahwa yang dimaksud komoditas buah-buahan dalam hal ini adalah mangga, pisang, durian dan melinjo. Adapun yang dimaksud sektor tanaman bahan makanan lainnya adalah ubi jalar, kedelai dan kacang hijau (Gambar 33 dan Gambar 34)
b. Proporsi Bahan Makanan Lainnya
a. Proporsi Buah-buahan
Gambar 33. Proporsi Komoditas Buah-buahan LainTerhadap PDRB per komoditasnya
dan
Bahan
Makanan
Adapun hasil analisis multiplier effect dari komoditas subsektor tanaman bahan makanan dapat dilihat pada Tabel 42.
Tabel 42. Nilai Multiplier effect Komoditas Subsektor Tanaman Bahan Makanan No 1
Komoditas
Multiplier Effect Pendapatan
Pajak
PDRB
Output
1,14
1,21
1,12
1,13
2
Padi Jagung
1,23
1,49
1,14
1,18
3
Ubi Kayu
1,15
1,29
1,06
1,08
4
Buah-buahan
1,22
1,58
1,10
1,12
5
Sayur-sayuran
1,13
1,19
1,07
1,09
1,11
1,15
1,10
1,11
Bahan makanan lainnya 6 Sumber : Hasil Analisis (2011)
130
Dari tabel tersebut maka komoditas yang memiliki nilai multiplier effect pendapatan diatas rata-rata adalah jagung dan buah-buahan, komoditas yang memiliki nilai multiplier effect pajak diatas rata-rata adalah jagung dan buahbuahan, komoditas yang memiliki nilai multiplier effect PDRB diatas rata-rata adalah padi dan jagung serta komoditas yang memiliki nilai multiplier effect Output diatas rata-rata adalah padi dan jagung. Berdasarkan hal tersebut maka komoditas yang memiliki nilai multiplier effect yang besar adalah padi, jagung dan buah-buahan.
5.3.3. Analisis Komoditas Unggulan Pada Level Mikro Pada level mikro kriteria yang digunakan adalah komoditas tersebut banyak diusahakan oleh petani. Penilaian pada level mikro ini dilakukan berdasarkan angka luas panen dan produksi komoditas subsektor tanaman bahan makanan yang ada di Kabupaten Majalengka pada Tahun 2009. Data yang digunakan luas panen dan produksi karena data ini dapat menunjukkan komoditas apa saja yang menjadi pilihan masyarakat dalam berusahatani. Selain itu angka luas panen dan produksi juga merupakan resultante kesesuaian tumbuh dengan kondisi agroekologi serta memenuhi kriteria unggul dari sisi penawaran. Tabel 43 menunjukkan angka luas panen dan produksi komoditas tanaman pangan Kabupaten Majalengka Tahun 2009. Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa komoditas yang memiliki luas panen dan produksi tinggi adalah padi, jagung, ubi kayu dan kedelai.
Tabel 43. Luas Panen dan Produksi komoditas Tanaman Pangan Luas Panen (Ha) Padi 97.204 Jagung 15.174 Kedelai 2.365 Kacang Tanah 1.049 Kacang Hijau 1.625 Ubi Kayu 2.721 Ubi Jalar 1.080 Sumber : Hasil Analisis (2011) Komoditas
Produksi (Ton) 568.955 89.541 3.459 1.372 1.519 44.382 17.730
Keterangan Tinggi Tinggi Tinggi Rendah Rendah Tinggi Rendah
131
Untuk komoditas buah-buahan tidak tersedia data luas panen sehingga untuk komoditas buah-buahan analisis dilakukan hanya pada data produksi. dan jumlah pohon. Tabel 44 menunjukkan data produksi dan jumlah pohon komoditas buah-buahan di Kabupaten Majalengka Tahun 2009.
Tabel 44. Produksi dan Jumlah Pohon Komoditas Buah-buahan Komoditas Mangga Pisang Melinjo Petai Alpukat Nangka/Cempedak Jambu Biji Rambutan Durian Jeruk Pepaya Jambu Air Sukun Sawo Belimbing Salak Sirsak Manggis Jeruk Besar Nenas Dukuh/langsat Markisa
Produksi (kuintal) 466.103 274.838 141.197 46.603 44.156 33.587 27.427 22.502 22.077 18.003 10.619 8.715 8.271 4.482 4.271 1.764 869 558 503 350 343 -
Jumlah Pohon 905.247 1.641.108 602.552 222.671 172.992 151.896 111.897 91.860 168.586 108.171 56.652 47.322 52.824 12.317 24.481 22.981 19.692 5.636 3.183 36.698 3.084 70
Keterangan Tinggi Tinggi Tinggi Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah
Sumber : Hasil Analisis (2011)
Dari Tabel 44 terlihat bahwa komoditas buah-buahan yang memiliki angka produksi dan jumlah pohon yang tinggi adalah mangga, pisang dan melinjo. Tabel 45 menunjukkan angka luas panen dan produksi komoditas sayur-sayuran Kabupaten Majalengka Tahun 2009. Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa komoditas yang memiliki luas panen dan produksi tinggi adalah bawang merah, bawang daun dan cabe besar.
132
Tabel 45. Luas Panen dan Produksi komoditas Sayur-sayuran Komoditas Bawang Merah Bawang Daun Cabe Besar Kubis Kentang Cabe Rawit Sawi Ketimun Terung Tomat Kacang Merah Buncis Kacang Panjang Wortel Kembang Kol Labu Siam Kangkung Bayam Bawang Putih Lobak Sumber : Hasil Analisis (2011)
Luas Panen (Ha) 2.588 1.982 1.114 818 759 605 466 396 277 255 226 139 123 96 56 51 12 2 -
Produksi (Ton) 37.338 35.120 7.026 8.380 14.754 5.507 8.736 3.490 3.775 7.477 1.426 1.505 821 517 729 551 37 128 -
Keterangan Tinggi Tinggi Tinggi Sedang Sedang Sedang Sedang Rendah Rendah Sedang Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah
5.3.4. Penetapan Komoditas Unggulan Untuk menetapkan komoditas mana yang akan dijadikan komoditas unggulan, maka hasil analisis pada level makro, meso dan mikro dirangkum seperti yang tersaji pada Tabel 46. Berdasarkan tabel tersebut maka komoditas yang unggul di level makro, meso dan mikro untuk komoditas tanaman pangan adalah padi, jagung dan kedelai, sedangkan untuk komoditas buah-buahan adalah mangga, pisang dan melinjo. Adapun untuk komoditas sayur-sayuran hanya ada satu komoditas yang unggul di level makro dan mikro yaitu komoditas bawang merah. Komoditas sayur-sayuran tidak unggul di level meso karena nilai keterkaitan antar sektor dan multiplier effectnya kecil. Hal ini dimungkinkan karena komoditas sayur-sayuran yang ada di Kabupaten Majalengka selama ini sebagian besar digunakan untuk konsumsi maupun untuk dijual dalam bentuk segar serta belum ada penangan lebih lanjut seperti pengemasan maupun pengolahan. Oleh karena itu, maka komoditas sayur-sayuran tidak dipilih untuk
133
menjadi komoditas unggulan subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka. Namun, apabila ditinjau dari aspek besarnya keuntungan yang diperoleh dari kegiatan usahatani komoditas sayur-sayuran, maka komoditas ini memiliki potensi dan peluang yang besar dalam peningkatan kesejahteraan petani dan pengembangan wilayah di Kabupaten Majalengka. Komoditas sayur-sayuran yang perlu dipertimbangkan untuk menjadi komoditas unggulan karena memiliki potensi yang besar di Kabupaten Majalengka adalah komoditas bawang merah. Dalam penelitian ini, komoditas sayuran tidak terpilih menjadi komoditas unggulan disebabkan karena keterbatasan kriteria yang dibangun. Kriteria yang digunakan untuk memilih komoditas unggulan adalah komoditas-komoditas tersebut harus unggul pada ketiga level analisis yaitu pada level makro, meso dan mikro.
Tabel 46. Pemilihan Komoditas Unggulan Subsektor Tanaman Bahan Makanan Komoditas Tanaman Pangan
Buah-buahan
Sayur-sayuran
Komoditas Terpilih Menurut Analisis Makro Meso Mikro Padi Padi Padi Jagung Jagung Jagung Kedelai Kedelai Kacang Hijau Bahan Makanan lain Ubi Kayu Ubi Jalar Alpukat Kedelai Mangga Durian Kacang Hijau Pisang Jambu Biji Melinjo Jambu Air Buah-buahan Jeruk Mangga Mangga Pisang Nangka Durian Pepaya Melinjo Pisang Sawi Sirsak Sukun Melinjo Petai Bawang merah Kembang kol
Sumber : Hasil Analisis (2011)
Bawang merah Bawang daun Cabe Besar
Komoditas Unggulan Padi Jagung Kedelai
Mangga Pisang Melinjo
134
Berdasarkan Tabel 46 maka komoditas unggulan subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka adalah padi, jagung, kedelai, mangga, pisang dan melinjo. Selanjutnya, keenam komoditas terpilih tersebut akan dianalisis lebih lanjut untuk melihat urutan prioritas komoditas dan arah pengembangannya berdasarkan pendapatan para pemangku kepentingan di bidang pengembangan pertanian. 5.4.
Prioritas Pembangunan Subsektor Tanaman Bahan Makanan Prioritas pembangunan subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten
Majalengka ditentukan melalui Analytical Hierarchy Process (AHP).
Proses
AHP dilakukan untuk mendapatkan nilai (skor) prioritas dari struktur hirarki permasalahan yang dibangun. Struktur hirarki permasalahan yang akan ditentukan prioritasnya dalam pembangunan subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka terdiri dari tiga permasalahan utama. Permasalahan pertama adalah menentukan jenis komoditas unggulan yang akan diprioritaskan menurut pendapat para responden. Kedua adalah menentukan subsistem mana yang perlu diprioritaskan dalam pengembangan komoditas-komoditas unggulan tersebut. Ketiga adalah menentukan aspek pendukung yang perlu diprioritaskan dalam pengembangan masing-masing subsistem. Semakin tinggi nilai yang diperoleh menandakan kriteria atau faktor tersebut lebih prioritas dibandingkan dengan faktor lain. Adapun nilai prioritas dari masing-masing permasalahan tersebut diuraikan pada bahasan di bawah ini.
5.4.1. Prioritas Komoditas Unggulan Dalam melaksanakan pembangunan subsektor tanaman bahan makanan perlu diupayakan fokus pada komoditas unggulan agar dapat memberikan kontribusi yang signifikan pada peningkatan perekonomian wilayah. Selain itu, adanya keterbatasan anggaran yang dimiliki oleh setiap daerah membuat setiap daerah perlu menetapkan prioritas-prioritas dalam melaksanakan program dan kebijakan pembangunan yang akan dilaksanakan. Berdasarkan hasil analisis komoditas unggulan yang telah dilakukan pada tahap sebelumnya diperoleh enam komoditas yang menjadi unggulan di Kabupaten Majalengka. Selanjutnya, dari
135
keenam komoditas tersebut, perlu diketahui mana yang menurut para stakeholder perlu diprioritaskan dalam rangka pembangunan subsektor tanaman bahan makanan di wilayah Kabupaten Majalengka. Hal ini penting untuk diketahui agar pengembangan komoditas unggulan selaras dengan kebutuhan dan persepsi para stakeholdernya. Dari enam komoditas unggulan terpilih berdasarkan hasil analisis yaitu komoditas padi, jagung, kedelai, mangga, pisang dan melinjo, para stakeholder memilih komoditas padi sebagai prioritas pertama dengan skor penilaian sebesar 0,324, jagung sebagai prioritas kedua dengan skor 0,250, mangga sebagai prioritas ketiga dengan skor 0,180, kedelai sebagai prioritas keempat dengan skor 0,122, pisang sebagai prioritas kelima dengan skor 0,071 dan melinjo sebagai prioritas terakhir dengan skor 0,052.
Gambar 34 menunjukkan hasil persepsi para
stakeholder dalam menentukan prioritas komoditas unggulan.
Gambar 34. Hasil AHP dalam penentuan prioritas komoditas unggulan Alasan utama para stakeholder memilih komoditas padi menjadi prioritas pertama kemungkinan karena padi merupakan bahan makanan pokok masyarakat sehingga berhubungan erat dengan ketahanan pangan Kabupaten Majalengka.
5.4.2. Prioritas Pengembangan Subsistem Agribisnis Agribisnis sebagai suatu sistem merupakan konsep pengelolaan pertanian secara luas, utuh dan terdiri dari beberapa subsistem. Menurut Saragih (2010), agribisnis sebagai bentuk modern pertanian mencakup empat subsistem yaitu (1) subsistem agribisnis hulu, yaitu kegiatan ekonomi yang menghasilkan sarana produksi pertanian primer, (2) subsistem usahatani yang juga disebut sebagai
136
sektor pertanian primer, (3) subsistem agribisnis hilir yaitu kegiatan ekonomi yang mengolah hasil pertanian primer menjadi produk olahan baik untuk siap dimasak maupun siap dikonsumsi beserta kegiatan perdagangannya serta (4) subsistem jasa layanan
pendukung
seperti
lembaga
keuangan,
penyuluhan,
penelitian
pengembangan dan kebijakan pemerintah. Dalam melaksanakan pembangunan subsektor tanaman bahan makanan, dibutuhkan keterkaitan yang erat dan utuh antar subsistem-subsistem tersebut. Namun kenyataan di lapangan seringkali ditemukan adanya ketimpangan perkembangan diantara subsistem tersebut. Hal ini menyebabkan kegiatan usahatani tidak memberikan hasil yang maksimal bagi para petani sebagai pelaku utamanya. Oleh karena itu, dalam melaksanakan pembangunan subsektor tanaman bahan makanan sesuai konsep agribisnis, diperlukan arahan untuk mengetahui prioritas pengembangan subsistem agribisnis yang dibutuhkan berdasarkan pengalaman para stakeholder di lapangan. Persepsi para stakeholder pertanian di Kabupaten Majalengka berdasarkan Gambar 35 tersebut, menunjukkan bahwa untuk pengembangan komoditas padi yang perlu diprioritaskan adalah pengembangan subsistem agribisnis hulu diikuti dengan pengembangan subsistem usahatani, agribisnis hilir dan jasa layanan pendukung. Para stakeholder lebih memprioritaskan subsistem agribisnis hulu karena subsistem agribisnis hulu menyangkut ketersediaan benih yang bermutu, pupuk, obat-obatan dan sarana produksi lainnya yang sangat menentukan tingkat keberhasilan petani dalam melakukan usahatani padi. Urutan prioritas subsistem dalam pengembangan komoditas jagung berturut-turut adalah subsistem agribisnis hilir, usahatani, agribisnis hulu dan jasa layanan pendukung. Hal ini menunjukkan bahwa aspek pasca panen, pengolahan dan pemasaran hasil komoditas jagung merupakan aspek yang menjadi prioritas untuk dikembangkan. Untuk pengembangan kedelai yang perlu diprioritaskan secara berturut-turut adalah subsistem usahatani, agribisnis hilir, sgribisnis hulu dan jasa layanan pendukung. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan usahatani kedelai yang selama ini dilakukan belum optimal sehingga masih dibutuhkan dukungan program-program pemerintah misalnya berupa pembinaan dan
137
penyuluhan yang intensif dalam hal tehnik budidaya yang baik dan benar untuk memperoleh hasil yang maksimal. Persepsi stakeholder dalam pengembangan mangga menunjukkan bahwa subsistem agribisnis hulu sebagai prioritas pertama kemudian subsistem agribisnis hilir, usahatani dan jasa layanan pendukung. Dari hasil analisis persepsi tersebut menunjukkan bahwa ketersedian sarana produksi merupakan hal yang masih sangat diperlukan untuk pengembangan mangga sebagai komoditas unggulan. Berdasarkan wawancara di lapangan diketahui bahwa subsistem hulu dipilih menjadi
prioritas dalam pengembangan mangga
karena
banyak sekali
permasalahan yang terkait dengan hama penyakit sehingga ketersediaan dan kemudahan
untuk
mendapatkan
obat-obatan
menjadi
hal
yang
perlu
diprioritaskan. Adapun untuk pengembangan pisang persepsi stakeholder menunjukkan bahwa yang perlu diprioritaskan secara berturut-turut adalah subsistem agribisnis hilir, usahatani, hulu dan jasa layanan pendukung, demikian pula untuk pengembangan melinjo, subsistem agribisnis hilir menempati prioritas pertama kemudian diikuti dengan subsistem
usahatani, jasa layanan pendukung dan
agribisnis hulu. Hal ini menunjukkan bahwa untuk pengembangan pisang dan melinjo aspek pengolahan dan pemasaran hasil menjadi prioritas yang diperlukan. Nilai dari masing-masing prioritas pengembangan subsistem agribisnis per komoditas berdasarkan hasil Analytical Hierarchy Process (AHP) disajikan pada Gambar 35. Berdasarkan pertimbangan untuk pengembangan keseluruhan komoditas unggulan maka subsistem usahatani merupakan subsistem yang terpilih sebagai prioritas pertama untuk dikembangkan dengan skor 0,287 kemudian subsistem agribisnis hulu dengan skor 0,275, subsistem agribisnis hilir dengan skor 0,273 dan subsistem jasa layanan pendukung dengan skor 0,166. Hal ini menunjukkan bahwa menurut persepsi para stakeholder, dalam pengembangan komoditas unggulan di Kabupaten Majalengka masih diperlukan peningkatan tehnik-tehnik budidaya yang efektif dan efisien untuk meningkatkan kualitas, kuantitas maupun kontinuitas hasil produksi.
138
Gambar 35. Nilai AHP masing-masing subsistem per komoditas
5.4.3. Prioritas Pengembangan Aspek Pendukung Dalam pembangunan subsektor tanaman bahan makanan selain dibutuhkan pengembangan dan keterkaitan antar subsistem agribisnis juga dibutuhkan aspekaspek pendukung lain yang tak kalah pentingnya, diantaranya yaitu sumberdaya manusia, sarana prasarana dan kelembagaan. Sumberdaya manusia merupakan aspek yang penting dalam pembangunan subsektor tanaman bahan makanan karena sumberdaya manusia merupakan aktor atau pelaku utama dalam kegiatan pembangunan subsektor ini. Pembangunan subsektor tanaman bahan makanan ini sangat tergantung dari kemampuan dan kualitas sumberdaya manusianya. Salah satu sarana yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia adalah melalui pendidikan, baik formal maupun informal. Aspek sarana prasarana merupakan fasilitas pendukung yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan usahatani tanaman bahan makanan. Aspek sarana prasarana ini menentukan kelancaran kegiatan budidaya, panen dan pasca panen serta mobilitas sarana produksi dan hasil-hasil usahatani tanaman
139
bahan makanan. Aspek kelembagaan berfungsi untuk mengorganisasikan, memfungsikan dan mengatur setiap aktivitas usahatani tanaman bahan makanan. Dalam melaksanakan pembangunan subsektor tanaman bahan makanan ini diperlukan dukungan kelembagaan untuk dapat meningkatkan posisi tawar petani. Hasil analisis AHP menunjukkan bahwa untuk pengembangan subsistem hulu stakeholder memberi prioritas yang hampir sama besar terhadap peran dan pengembangan sarana prasarana dan sumberdaya manusia yaitu dengan skor masing-masing sebesar 0,100 dan 0,097. Adapun persepsi stakeholder dalam pengembangan subsistem usahatani dan subsistem agribisnis hilir menunjukkan bahwa sumberdaya manusia menjadi prioritas pertama yang perlu dikembangkan diikuti dengan aspek sarana prasarana dan kelembagaan. Untuk pengembangan subsistem agribisnis jasa layanan pendukung, para stakeholder memprioritaskan pengembangan kelembagaan kemudian sumberdaya manusia dan sarana prasarana. Nilai hasil AHP untuk penentuan prioritas aspek pendukung per subsistem secara lengkap disajikan pada Gambar 36.
Gambar 36. Hasil AHP penentuan prioritas aspek pendukung per subsistem
Dari keseluruhan subsistem tersebut maka aspek pendukung yang terpilih untuk diprioritaskan adalah aspek sumberdaya manusia (SDM) dengan skor 0,448 kemudian aspek sarana prasarana dengan skor 0,303 dan aspek kelembagaan
140
dengan skor 0,249. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pengembangan sistem agribisnis faktor sumber daya manusia merupakan faktor yang paling penting untuk dikembangkan. Dalam hal ini, perlu ditingkatkan pengetahuan, kemampuan dan keterampilannya. Hasil analisis AHP secara keseluruhan disajikan pada Gambar 37.
Pembangunan Subsektor Tanaman Bahan Makanan
Padi (0,324)
Jagung (0,250)
Subsistem Agribisnis Hulu (0,275)
Kedelai (0,122)
Subsistem Usahatani (0,287)
Sumberdaya Manusia (0,448)
Mangga (0,180)
Pisang (0,071)
Subsistem Agribisnis Hilir (0,273)
Sarana Prasarana (0,303)
Melinjo (0,052)
Subsistem Jasa Layanan Pendukung (0,166)
Kelembagan (0,249)
Gambar 37. Hasil AHP dalam penentuan prioritas pembangunan subsektor tanaman bahan makanan berdasarkan persepsi seluruh stakeholder.
5.5.
Arahan Pengembangan Subsektor Tanaman Bahan Makanan Arahan pengembangan subsektor tanaman bahan makanan dalam rangka
pengembangan wilayah di Kabupaten Majalengka disusun berdasarkan hasil analisis kondisi dan potensi subsektor tanaman bahan makanan yang diperoleh dari analisis Location Quotient (LQ) dan Shift Share Analysis (SSA), analisis peran subsektor tanaman bahan makanan yang dilakukan dengan menggunakan analisis input-output, analisis penentuan komoditas unggulan serta analisis prioritas pembangunan subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka dengan menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP). Selanjutnya hasil
141
analisis tersebut dipadukan dengan analisis kesesuaian dan ketersediaan lahan untuk tiga komoditas unggulan terpilih sehingga diperoleh lokasi arahan untuk pengembangan komoditas tersebut. Pembangunan subsektor tanaman bahan makanan perlu diarahkan dalam upaya mengoptimalkan pembangunan subsektor ini agar dapat menjadi sektor unggulan yang mampu menjadi motor penggerak perekonomian wilayah dengan berbasis potensi lokal dan berdimensi kerakyatan. Pembangunan subsektor tanaman bahan makanan yang ada selama ini masih berlangsung secara parsial sehingga hasil yang dicapai belum optimal. Oleh karena itu, dalam melaksanakan pembangunan subsektor ini lebih lanjut memerlukan dukungan dari berbagai pihak secara konsisten dan terintegrasi baik dari berbagai instansi pemerintah yang terlibat maupun dari masyarakat. Berdasarkan hasil analisis potensi dan kondisi subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka dapat diketahui bahwa subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka merupakan sektor basis dengan memiliki beberapa komoditas yang unggul dari aspek luas tanam, luas panen maupun produksi. Namun dari komoditas-komoditas yang ada tidak selalu unggul dari ketiga aspek tersebut sehingga arahan yang disarankan untuk peningkatan nilai keunggulan komoditas-komoditas subsektor tanaman bahan makanan adalah dengan melakukan peningkatan kinerja subsektor tanaman bahan makanan. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk meningkatan kinerja subsektor ini adalah : 1) Peningkatan teknologi budidaya untuk mendorong peningkatan produksi dan produktivitas serta menghasilkan produk yang berkualitas. 2) Peningkatan kapasitas sumber daya manusia yang bergerak di subsektor tanaman bahan makanan baik petani maupun petugas, antara lain melalui pendidikan pelatihan dan penyuluhan yang kontinyu. 3) Pengelolaan sumberdaya lahan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi lahan secara bijak dengan memperhatikan asas kelestarian lingkungan. 4) Pengembangan ketersediaan sarana produksi seperti pupuk, dan benih yang bermutu sehingga dapat menjamin keberlangsungan usahatani.
142
5) Pengembangan sarana prasarana pendukung kegiatan usahatani seperti pembuatan dan perbaikan saluran irigasi yang dapat menjamin ketersediaan air untuk pertanaman, perbaikan jalan usaha tani dan pembangunan jalan desa untuk memudahkan mobilitas sarana produksi dan hasil panen serta penyediaan alat mesin pertanian baik alat mesin untuk kegiatan budidaya maupun alat mesin untuk kegiatan panen, pasca panen dan pengolahan. 6) Pengembangan kelembagaan diantaranya dilakukan melalui peningkatan manajamen kelembagaan petani, maupun kemudahan untuk mengakses lembaga-lembaga permodalan dan lembaga pemasaran. Kajian terhadap peran beberapa komoditas subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka melalui analisis tabel
input-output
menunjukkan bahwa keterkaitan antar sektor serta nilai multiplier effect yang dimiliki oleh beberapa komoditas subsektor tanaman bahan makanan masih rendah. Hasil analisis terhadap struktur output juga menunjukkan bahwa jumlah permintaan antara lebih kecil (26,99%) dibandingkan dengan jumlah permintaan akhir (73,01%). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar produk dikonsumsi dan diekspor dalam bentuk segar. Arahan peningkatan peran subsektor tanaman bahan makanan dalam meningkatkan perekonomian wilayah adalah dengan meningkatkan keterkaitan subsektor tanaman bahan makanan dengan sektorsektor lainnya baik yang memiliki keterkaitan ke depan maupun ke belakang sehingga mampu mengurangi terjadinya kebocoran wilayah. Adapun sektor-sektor yang memiliki potensi untuk didorong peningkatan keterkaitannya adalah sektor industri pengolahan, peternakan, perikanan, restoran, hotel, hiburan dan rekreasi karena sektor-sektor tersebut memiliki keterkaiatan ke depan maupun ke belakang dengan komoditas-komoditas subsektor tanaman bahan makanan. Dengan memperhatikan segala keterbatasan yang dimiliki oleh setiap daerah serta untuk melaksanakan pembangunan subsektor tanaman bahan makanan yang efektif dan efisien maka pembangunan subsektor ini diupayakan fokus pada komoditas unggulan. Berdasarkan hasil analisis secara makro, meso dan mikro maka pembangunan subsektor tanaman bahan makanan diarahkan untuk fokus pada komoditas padi, jagung, kedelai, mangga, pisang dan melinjo.
143
Pembangunan subsektor tanaman bahan makanan yang bijaksana dan mengikuti azas partisipatif perlu dilaksanakan dengan melibatkan stakeholders dalam menentukan aspek-aspek yang perlu diprioritaskan. Tiga komoditas unggulan yang mendapat prioritas dari stakeholders adalah padi, jagung dan mangga dengan subsistem agribisnis yang menjadi prioritas untuk dikembangkan adalah subsistem usahatani, dan aspek sumberdaya manusia menjadi prioritas pertama yang diperlukan dalam pengembangan subsistem agribisnis tersebut. Berdasarkan hal tersebut maka arahan dalam pembangunan subsektor tanaman bahan makanan adalah peningkatan teknologi budidaya komoditas unggulan dan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia sebagai pelaku usahatani. Arahan untuk lokasi pengembangan tiga komoditas unggulan terpilih yang menjadi prioritas dari stakeholders disajikan pada Gambar 38, 39 dan 40. Arahan untuk lokasi pengembangan tiga komoditas unggulan tersebut didasarkan pada aspek kesesuaian dan ketersediaan lahan dari masing-masing komoditas. Aspek kesesuaian lahan dipilih menjadi faktor yang digunakan untuk menentukan arahan lokasi pengembangan komoditas karena pengembangan komoditas pada lahan yang sesuai diharapkan akan mampu meningkatkan produksi dan produktivitas dari komoditas tersebut. Aspek ketersediaan lahan digunakan dalam menentukan lokasi arahan karena pengembangan komoditas tersebut perlu disesuaikan dengan penggunaan lahan yang ada serta arahan tata ruang wilayah Kabupaten Majalengka. Pada penelitian ini dilakukan evaluasi kesesuaian lahan pada tingkat ordo yang mengacu pada kerangka evaluasi lahan FAO Tahun 1976 dalam Sitorus (2004).
Menurut konsep dasar kerangka evaluasi lahan (FAO, 1976) sesuai
dengan tujuannya kesesuaian lahan dibedakan atas kesesuaian lahan secara fisik (kualitatif) dan kesesuaian lahan secara ekonomik (kuantitatif). Dalam penelitian ini evaluasi lahan hanya secara fisik (kualitatif). Kriteria atau persyaratan tumbuh tanaman yang digunakan dalam evaluasi kesesuaian lahan ini mengacu pada dokumen yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Litbang Pertanian (Djaenudin et al., 2003) yang secara rinci tersaji pada Lampiran 15, 16 dan 17. Namun, dalam penelitian ini tidak menggunakan semua kriteria yang
144
dipersyaratkan tersebut hal ini disebabkan karena keterbatasan data. Evaluasi lahan yang dilakukan pada penelitian ini hanya didasarkan pada kriteria fisik lahan tidak mempertimbangkan kriteria kimia lahan. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa sifat fisik lahan merupakan sifat yang relatif tidak akan berubah dalam jangka waktu yang lama sedangkan sifat kimia dan kondisi alamiah lainnya relatif lebih mudah berubah dalam jangka waktu yang pendek sehingga tidak bisa dijadikan acuan kesesuaian lahan untuk jangka panjang Evaluasi kesesuaian lahan untuk pengembangan komoditas padi, jagung dan mangga didasarkan atas kriteria kepekaan erosi, lereng, tekstur, singkapan batuan dan drainase.
Evaluasi ketersediaan lahan dilakukan dengan proses
tumpang susun peta kesesuaian lahan dengan peta penggunaan lahan dan peta RTRW Kabupaten Majalengka. Dari hasil evaluasi tersebut akan diperoleh lokasi lahan yang memiliki kriteria sesuai dan tersedia, yaitu lahan yang berdasarkan sifat fisiknya memiliki kriteria sesuai untuk pengembangan komoditas yang dimaksud serta tersedia karena lahan tersebut belum dialokasikan untuk penggunaan lahan yang lain berdasarkan data penggunaan lahan (landuse) serta telah sesuai dengan arahan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten Majalengka. Berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian dan ketersediaan lahan untuk komoditas padi maka arahan untuk menjadi lokasi pengembangan padi adalah Kecamatan Ligung, Jatitujuh, Jatiwangi, Dawuan, Kertajati, Kadipaten, Palasah, Sumberjaya dan sebagian kecil kecamatan Kasokandel, Panyingkiran, Sukahaji, Talaga, Cikijing dan Cingambul (Gambar 38). Dari hasil analisis dapat diketahui bahwa lahan yang sesuai dan tersedia untuk budidaya padi adalah sebesar 12,08% dari total luas wilayah Kabupaten Majalengka. Hasil evaluasi kesesuaian dan ketersediaan lahan untuk komoditas jagung menunjukkan bahwa lahan yang sesuai dan tersedia untuk pengembangan komoditas jagung adalah sebesar 29,03% dari total luas wilayah Kabupaten Majalengka. Berdasarkan Gambar 39, maka arahan pengembangan komoditas jagung adalah wilayah Kabupaten Majalengka bagian utara yang meliputi Kecamatan Kertajati, Jatitujuh, Ligung, Sumberjaya, Palasah, Jatiwangi, Dawuan, Kadipaten, Kasokandel, Panyingkiran, Cigasong, Sukahaji dan Kabupaten
145
Majalengka bagian selatan yang meliputi Kecamatan Talaga, Banjaran, Cikijing dan Cingambul. Berdasarkan Gambar 40 dapat diketahui bahwa lahan yang sesuai dan tersedia untuk pengembangan komoditas mangga sebesar 29,03% dari total luas wilayah Kabupaten Majalengka. Dari hasil evaluasi kesesuaian dan ketersediaan lahan untuk komoditas mangga tersebut maka arahan untuk lokasi pengembangan komoditas mangga adalah Kecamatan Kertajati, Jatitujuh, Ligung, Jatiwangi, Panyingkiran dan Majalengka.
146
Gambar 38. Peta Arahan Pengembangan Komoditas Padi
147
Gambar 39. Peta Arahan Pengembangan Komoditas Jagung
148
Gambar 40. Peta Arahan Pengembangan Komoditas Mangga
149
5.6.
Pembahasan Umum Tujuan pembangunan pada hakekatnya adalah untuk menciptakan sebesar-
besarnya kesejahteraan bagi masyarakat. Bagi daerah-daerah perdesaan yang berbasis pertanian pelaksanaan pembangunan terus diupayakan untuk mengurangi kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan yang timbul antara desa dengan kawasan perkotaan. Kemajuan pembangunan daerah diantaranya dapat dilihat dari indikator ekonomi dan indikator sosial. Kemajuan perekonomian daerah seringkali dijadikan landasan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, sehingga strategi peningkatan kesejahteraan masyarakat dilakukan dengan mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan mengoptimalkan potensi wilayah. Berlakunya otonomi daerah menyebabkan setiap daerah berlomba-lomba untuk dapat mengangkat potensi spesifik lokasi yang dimiliki agar mampu bersaing dengan daerah lainnya. Kabupaten Majalengka merupakan salah satu wilayah di Provinsi Jawa Barat yang memiliki potensi lokal di sektor pertanian. Apabila dilihat dari indikator ekonomi berupa PDRB, maka subsektor pertanian yang memiliki kontribusi terbesar terhadap PDRB Kabupaten Majalengka adalah subsektor tanaman bahan makanan. Untuk itu subsektor ini perlu mendapat perhatian khusus dengan berbagai kebijakan pembangunan serta didukung oleh ketersediaan data dan informasi yang akurat tentang potensi subsektor ini di wilayah Kabupaten Majalengka. Syafruddin et al. (2004) mengemukakan bahwa untuk membangun sektor pertanian yang kuat, tingkat produksi tinggi, efisien, berdaya saing tinggi dan berkelanjutan, perlu dilakukan penataan sistem pertanian dan penetapan komoditas unggulan di setiap wilayah pengembangan disertai kebijakan pemerintah daerah yang tepat. Untuk itu maka berbagai hasil analisis dalam penelitian ini diperlukan untuk menyusun arahan pengembangan subsektor tanaman bahan makanan sebagai masukan bagi para pembuat kebijakan dalam rangka pengembangan wilayah di Kabupaten Majalengka. Arahan pengembangan subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka berdasarkan hasil dari beberapa analisis dalam penelitian ini adalah :
150
1.
Fokus pada pengembangan komoditas unggulan yang meliputi : padi, jagung, mangga, kedelai, pisang dan melinjo.
2.
Peningkatan keterkaitan antara subsektor tanaman bahan makanan dengan sektor-sektor lainnya.
3.
Peningkatan kinerja subsektor tanaman bahan makanan yang diarahkan pada penerapan konsep agribisnis. Peningkatan kinerja komoditas subsektor tanaman bahan makanan
dilakukan agar komoditas-komoditas subsektor tanaman bahan makanan Kabupaten Majalengka senantiasa selalu dapat bersaing dengan komoditaskomoditas dari wilayah lainnya di Provinsi Jawa Barat. Peningkatan kinerja subsektor tanaman bahan makanan diarahkan pada penerapan konsep agribisnis. Berdasarkan hasil analisis prioritas kebijakan pengembangan subsektor tanaman bahan makanan menurut persepsi para stakeholder, diketahui bahwa permasalahan yang ada di Kabupaten Majalengka masih berada pada
subsistem usahatani
sehingga subsistem ini mendapat prioritas pertama untuk dikembangkan diikuti oleh subsistem agribisnis hulu, hilir dan jasa layanan pendukung. Pengembangan subsistem usahatani diarahkan pada peningkatan produksi, produktivitas dan kualitas hasil produksi. Hal ini sejalan dengan isu strategis yang tercantum dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD, 2009) yang menyebutkan bahwa tingkat produksi dan produktivitas komoditas pertanian di Kabupaten Majalengka masih rendah. Secara lebih rinci pengembangan subsistem ini dilakukan melalui : a. Peningkatan kapasitas sumberdaya manusia baik petani maupun petugas pertanian terkait, dilakukan melalui pendidikan, pelatihan dan penyuluhan yang kontinyu. Dalam hal ini, peningkatan kapasitas sumberdaya manusia diarahkan pada transfer teknologi budidaya yang efektif dan efisien. b. Pengembangan sarana prasarana, diarahkan pada pengembangan sarana irigasi dan peralatan panen. Pengembangan sarana irigasi dimaksudkan untuk menjamin ketersediaan air sedangkan pengembangan peralatan panen dimaksudkan untuk mengurangi terjadinya kehilangan hasil dan menjaga kualitas produk.
151
c. Pengembangan kelembagaan, diarahkan pada pengembangan kerjasama kelompok tani untuk meningkatkan skala usaha sehingga diharapkan dapat meningkatkan posisi tawar petani. Khusus untuk peningkatan produksi padi, menurut Ilham (2008) peningkatan produksi padi membutuhkan dukungan teknologi yang diprioritaskan pada sistem irigasi. Keterbatasan dana yang dimiliki oleh pemerintah menyebabkan pembangunan sistem irigasi ini perlu melibatkan peranserta masyarakat. Peranserta masyarakat diperlukan untuk menjaga keberlanjutan sistem irigasi yang telah dibangun oleh pemerintah. Selain itu, keberadaan sistem penyuluhan diperlukan sebagai pendukung peningkatan produksi. Pengembangan subsistem agribisnis hulu diarahkan pada ketersediaan sarana produksi bermutu. Penggunaan sarana produksi yang berkualitas baik akan mendukung terwujudnya peningkatan produksi, produktivitas dan kualitas produk yang baik pula. Selain itu, adanya jaminan ketersediaan sarana produksi yang bermutu dapat meningkatkan partisipasi petani dalam melakukan usahatani. Hal ini terungkap dari hasil penelitian Zakaria et al. (2010) yang menyebutkan bahwa rendahnya tingkat partisipasi petani dalam melakukan usahatani kedelai terkendala oleh kurang tersedianya benih unggul bermutu sehingga resiko usahatani cukup tinggi dan tidak adanya jaminan harga jual yang layak. Sesuai dengan hasil analisis prioritas pembangunan berdasarkan persepsi stakeholders maka pengembangan subsistem agribisnis hulu secara berurutan diprioritaskan pada : pengembangan sarana prasarana, peningkatan kapasitas sumberdaya manusia dan pengembangan kelembagaan. Pengembangan subsistem agribisnis hilir diarahkan pada pengembangan kegiatan pengolahan dan pemasaran hasil komoditas subsektor tanaman bahan makanan. Secara berurutan prioritas pengembangan subsistem ini berdasarkan persepsi stakeholder adalah : pengembangan sumberdaya manusia (pelaku pemasaran dan pengolahan hasil pertanian), pengembangan sarana prasarana dan pengembangan kelembagaan. Selain pengembangan ketiga subsistem agribisnis diatas, menurut Jaya (2009), pengembangan agribisnis memerlukan dukungan dari lembaga penunjang seperti kebijakan pemerintah, pembiayaan/permodalan, pendidikan, penelitian,
152
perhubungan dan pertanahan. Lembaga pendidikan dan pelatihan mempersiapkan para pelaku agribisnis yang profesional, sedangkan lembaga penelitian memberikan sumbangan teknologi dan informasi. Pengembangan subsistem agribisnis jasa layanan pendukung yang diperlukan di Kabupaten Majalengka lebih ditekankan pada masalah permodalan. Hal ini dapat dilakukan melalui pengembangan kelembagaan permodalan di kawasan-kawasan sentra produksi, pengembangan sarana prasarana untuk memudahkan petani mengakses informasi permodalan serta peningkatan kapasitas sumberdaya manusia untuk lebih memahami mengenai masalah-masalah permodalan. Menurut Supriatna (2009), pola pelayanan kredit (permodalan) yang ideal bagi petani yaitu menghindari penetapan agunan sertifikat tanah, memberikan kredit berbentuk uang tunai, memberikan kredit jangka pendek dengan pengembalian musiman, jumlah plafon kredit mencukupi untuk membeli benih, pupuk dan obat-obatan serta pengajuan/penyaluran kredit melalui kelompok tani. Di sisi lain petani perlu memahami prinsip penggunaan kredit yang benar, berusaha membangun modal sendiri dan menciptakan diversifikasi usaha yang memberikan penerimaan secara harian, mingguan atau musiman. Dengan dilaksanakannya pengembangan subsistem-subsistem agribisnis tersebut di Kabupaten Majalengka, diharapkan dapat meningkatkan kinerja subsektor tanaman bahan makanan dan meningkatkan keterkaitannya baik keterkaitan antar subsistem maupun keterkaitan dengan sektor lainnya diluar subsistem
agribisnis
sehingga
pada
akhirnya
mampu
menggerakkan
perekonomian wilayah dan mengatasi isu-isu strategis aspek ekonomi yang tercantum dalam dokumen RPJMD. Peningkatan ekonomi wilayah diharapkan mampu menjadi landasan bagi pengembangan wilayah yang berbasis pertanian di Kabupaten Majalengka.
153
VI.
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan Berdasarkan pada hasil analisis dan pembahasan yang dilakukan serta dengan memperhatikan kaitannya dengan tujuan penelitian maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut : 1. Subsektor tanaman bahan makanan merupakan sektor basis di Kabupaten Majalengka sehingga memiliki posisi, daya saing dan potensi yang baik dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya di wilayah Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan hasil analisis LQ dan SSA komoditas subsektor tanaman bahan makanan yang unggul dari aspek luas tanam adalah jagung, kacang hijau dan kembang kol, komoditas yang unggul dari aspek luas panen adalah jagung dan kacang hijau, komoditas yang unggul dari aspek produksi jagung, kedelai, kacang hijau, bawang merah, alpukat, jambu biji, jeruk, mangga, melinjo dan petai, sedangkan komoditas yang unggul dari aspek jumlah pohon adalah alpukat, mangga, durian, jambu biji, pisang, nangka, pepaya, sawo, melinjo, petai, sirsak dan sukun. Kondisi dan potensi yang baik ini membawa implikasi bagi Kabupaten Majalengka untuk lebih memberi perhatian dan prioritas terhadap pembangunan subsektor tanaman bahan makanan agar mampu menjadi motor penggerak pengembangan wilayah di masa yang akan datang. 2. Subsektor tanaman bahan makanan memiliki peran yang besar dalam perekonomian wilayah Kabupaten Majalengka berdasarkan sumbangannya terhadap PDRB (23,80%) dan pembentukan output total (16,23%). Walaupun subsektor tanaman bahan makanan memiliki nilai yang rendah untuk semua indikator keterkaitan dan multiplier effect, namun demikian, subsektor ini memiliki potensi yang baik untuk menjadi sektor strategis dalam perekonomian wilayah Kabupaten Majalengka. 3. Komoditas padi, jagung, kedelai, mangga, pisang dan melinjo merupakan komoditas unggulan Kabupaten Majalengka berdasarkan analisis pada level makro, meso dan mikro. 4. Prioritas pengembangan subsektor tanaman bahan makanan berdasarkan jenis komoditas unggulan secara berturut-turut adalah padi, jagung, mangga,
154
kedelai, pisang dan melinjo. Dalam mendukung pengembangan komoditas unggulan tersebut, subsistem usahatani merupakan prioritas pertama diikuti oleh subsistem agribisnis hulu, subsistem agribisnis hilir dan subsistem jasa layanan
pendukung.
pengembangan
Berdasarkan
subsistem-subsistem
faktor
yang
agribisnis
diperlukan
tersebut
maka
dalam faktor
sumberdaya manusia harus menjadi perhatian utama diikuti dengan faktor sarana prasarana dan kelembagaan. 5. Arahan
pengembangan
subsektor
tanaman
bahan
makanan
dalam
pengembangan wilayah adalah meningkatkan kinerja subsektor ini dan meningkatkan keterkaitan subsektor tanaman bahan makanan dengan sektorsektor lain sehingga perannya dalam perekonomian wilayah menjadi semakin besar. Untuk mendukung hal ini maka pembangunan subsektor tanaman bahan makanan diupayakan fokus pada komoditas unggulan dengan meningkatkan peran masing-masing subsistem agribisnis dan peningkatan kemampuan sumberdaya
manusia, ketersediaan sarana
prasarana
serta
dukungan
kelembagaan yang kuat. Selain itu, arahan untuk lokasi pengembangan komoditas unggulan adalah pada lahan-lahan yang memiliki kriteria sesuai untuk pengembangan komoditas tersebut.
6.2. Saran Beberapa saran yang dapat disumbangkan berdasarkan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Peningkatan keterkaitan subsektor tanaman bahan makanan dengan sektorsektor lain agar terus dilakukan, baik yang memiliki keterkaitan ke depan maupun ke belakang sehingga mampu meningkatkan nilai tambah di dalam wilayah serta mengurangi terjadinya kebocoran wilayah. 2. Perlu dikembangkan rantai sistem agribisnis dalam pengembangan subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka sehingga dapat terbangun keterkaitan antar subsistem agribisnis maupun antar sektor lainnya. 3. Perlu dilakukan survey tanah yang lebih detil sehingga informasi mengenai evaluasi kesesuaian lahan untuk lokasi pengembangan komoditas subsektor tanaman bahan makanan akan lebih akurat.
155
DAFTAR PUSTAKA Alkadri, Djajadiningrat HM. 2002. Bagaimana Menganalisis Potensi Daerah, Konsep dan Contoh Aplikasinya. Dalam: Ambardi UM, Prihawantoro S, (Editor). Pengembangan Wilayah dan Otonomi Daerah. Ed ke-1. Jakarta: Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah. hlm 9-26 Anonim. 2007. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Jakarta: Ditjen Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum. Anonim. 2008. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Jakarta: Ditjen Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum Anugrah IS. 2003. Asean Free Trade Area (AFTA). Otonomi Daerah dan Daya Saing Perdagangan Komoditas Pertanian Indonesia. Forum Peneliti Agro Ekonomi 21(1):1-11. [Bappeda Majalengka]. Badan Perencana dan Pembangunan Daerah Kabupaten Majalengka. 2005. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Majalengka 2005-2015. Majalengka: Bappeda Kabupaten Majalengka. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2000. Teknik Penyusunan Tabel Input-Output. Jakarta : Badan Pusat Statistik. [BPS Majalengka]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Majalengka. 2010. Kabupaten Majalengka Dalam Angka. Majalengka: Badan Pusat Statistik. [BPS Majalengka]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Majalengka. 2010. Produk Domestik Regional Bruto Menurut Lapangan Usaha Tahun 2005-2009. Majalengka: Badan Pusat Statistik. [BPS Jabar]. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. 2010. Produk Domestik Regional Bruto Menurut Lapangan Usaha Tahun 2005-2009. Bandung: Badan Pusat Statistik. Daryanto A, Hafizrianda Y. 2010a. Analisis Input-Output dan Social Accounting Matrix untuk Pembangunan Ekonomi Daerah. Bogor: IPB Press. Daryanto A, Hafizrianda Y. 2010b. Model-Model Kuantitatif untuk Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah. Bogor: IPB Press. Diao X, Hazzell P, Thurlow J. 2010. The Role of Agriculture in African Development. World Development 38(10): 1375-1383.
156
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. 2011. Wilayah Pengembangan Kawasan Andalan Agribisnis dan Komoditas Unggulan. Bandung. http://www.diperta.jabarprov.go.id. [20 April 2011]. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. 2010. Database Hortikultura Tahun 2010. Bandung : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. 2010. Database Tanaman Pangan. Bandung : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. Djaenudin. D., Marwan H., Subagjo H., Hidayat, A. 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian. Balai Penelitian Tanah, Puslitbangtanak. Djakapermana, RD. 2010. Pengembangan Wilayah Melalui Pendekatan Kesisteman. Bogor: IPB Press. Harianto. 2007. Peranan Pertanian dalam Ekonomi Perdesaan. Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Perdesaan, IPB. http://pse.litbang.deptan. go.id/. [11 April 2011] Hardjowigeno S, Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tata Guna Lahan. Yogyakarta:Gadjah Mada University Press. Hastuti HI. 2001. Model Pengembangan Wilayah dengan Pendekatan Agropolitan: kasus Kabupaten Banjarnegara Provinsi Jawa Tengah [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hendayana. 2003. Aplikasi Metode Location Quotient (LQ) dalam Penentuan Komoditas Unggulan Nasional. Informatika Pertanian 12:1-21. http://www.litbang.deptan.go.id/warta-ip/pdf-file/rahmadi-12.pdf. [26 Mei 2011] Hermanto. 2009. Reorientasi Kebijakan Pertanian dalam Perspektif Pembangunan Berwawasan Lingkungan dan Otonomi Daerah. Analisis Kebijakan Pertanian 7:369-383. Ilham N. 2008. Profil Teknologi pada Usahatani Padi dan Implikasinya Terhadap Peran Pemerintah. Analisis Kebijakan Pertanian 6:335-351. Jaya, A. 2009. Kebocoran Wilayah dalam Sistem Agribisnis Komoditas Kayu Manis Rakyat serta Dampaknya Terhadap Perekonomian Wilayah : Kasus Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi. [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Kementrian Pertanian. 2010. Pedoman Pelepasan Varietas Hortikultura. Jakarta : Direktorat Jenderal Hortikultura.
157
Kementrian Pertanian. 2011. Daftar Varietas Hortikultura. Jakarta : Direktorat Jenderal Hortikultura. Marimin, Maghfiroh N. 2011. Aplikasi Teknik Pengambilan Keputusan dalam Manajemen Rantai Pasok. Bogor: IPB Press. [Pemkab Majalengka] Pemerintah Daerah Kabupaten Majalengka. 2009. Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2009-2013. Majalengka: Pemerintah Kabupaten Majalengka. Pribadi DO, Panuju DR, Rustiadi E, Pravitasari, AE. 2010. Permodelan Perencanaan Pengembangan Wilayah, Bahan Kuliah Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah. [Tidak dipublikasikan]. Purnamadewi YL, Tambunan M, Oktaviani R, Daryanto A. 2010. Dampak Perubahan Produktivitas Sektoral Berbasis Investasi Terhadap Disparitas Ekonomi Antar Wilayah dan Kondisi Makroekonomi di Indonesia. Jurnal Manajemen dan Agribisnis. l7(2): 146-154. Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2009. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta: Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia. Riyadi DS. 2002. Pengembangan Wilayah, Teori dan Konsep Dasar. Dalam: Ambardi UM, Prihawantoro S, (Editor). Pengembangan Wilayah dan Otonomi Daerah. Ed ke-1. Jakarta: Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah. hlm 47-65. Saaty TL. 2008. Making Decisions in Hierarchic and Network Systems. Int. J. Applied Decision Sciences 1(1):24-79. Saptana, Sunarsih, Indraningsih KS. 2006. Mewujudkan Keunggulan Komparatif Menjadi Keunggulan Kompetitif Melalui Pengembangan Kemitraan Usaha Hortikultura. Forum Penelitian Agro Ekonomi 24(1):61-76. Saragih B. 2010. Agribisnis Cara Baru Melihat Pertanian. Dalam: Pambudy R, Dabukke FBM, (Editor). Agribisnis, Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian. Ed ke-3. Bogor: IPB Press. hlm 21-32. Sari DR. 2008. Pemodelan Multi-Kriteria Untuk Pengembangan Wilayah Berbasis Komoditas Unggulan di Kabupaten Lampung Timur. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sitorus, S.R.P. 2004. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Bandung: Penerbit Tarsito. Sudaryanto T, Rusastra IW. 2006. Kebijakan Strategis Usaha Pertanian Dalam Rangka Peningkatan Produksi dan Pengentasan Kemiskinan. Jurnal Litbang Pertanian 25(4):115-122.
158
Supriatna, A. 2009. Pola Pelayanan Pembiayaan Sistem Kredit Mikro Usaha Tani di Tingkat Pedesaan. Jurnal Litbang Pertanian 28(3):111-118. Suryawardana, MI. 2006. Analisis Keterkaitan Sektor Unggulan dan Alokasi Anggaran untuk Penguatan Kinerja Pembangunan Daerah di Provinsi Jawa Timur. [Tesis}. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Syafrudin, Kairupan AN, Negara A, Limbongan J. 2004. Penataan Sistem Pertanian dan Penetapan Komoditas Unggulan Berdasarkan Zona Agroekologi di Sulawesi Tengah. Jurnal Litbang Pertanian 23(2):61-67. Syahidin, A. 2006. Studi Kebijakan Pembangunan Berbasis Sektor Unggulan : Kasus di Kabupaten Kebumen Provinsi Jawa Tengah. [Tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tarigan R. 2008. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta: Bumi Aksara. Zaini A. 2005. Dampak Peningkatan Eksport Sektor-sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Indonesia pada Masa Krisis Ekonomi, SAM Analisis. Frontir 19(1):12-17. Zakaria AK, Sejati WK, Kustiari R. 2010. Analisis Daya Saing Komoditas Kedelai Menurut Agroekosistem: Kasus di Tiga Provinsi di Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi. 28(1): 21-37.
159
LAMPIRAN
Kabupaten/Kota
Bogor Sukabumi Cianjur Bandung Garut Tasikmalaya Ciamis Kuningan Cirebon Majalengka Sumedang Indramayu Subang Purwakarta Karawang Bekasi Bandung Barat Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Kota Cimahi Kota Tasikmalaya Kota Banjar
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Bawang Merah
0,09 0,04 0,93 0,53 2,01 9,95 3,95 0,25 1,73 0,15 0,03 0,16
Bawang Putih
2,83 2,36 -
Bawang Daun
0,62 0,65 1,77 1,11 0,74 1,00 1,17 4,41 2,48 0,64 0,51 0,52 0,40 0,37 1,32 1,29 0,20 0,22
Kentang
0,00 0,02 0,03 2,99 1,75 0,01 0,11 0,97 0,19 0,06 0,53 -
Kubis
0,03 0,33 0,54 2,36 1,69 0,13 0,05 0,25 1,10 1,32 0,15 0,02 0,47 -
Kembang Kol
0,07 0,96 2,08 0,92 0,81 0,14 1,15 1,15 0,30 1,05 1,22 0,13 6,31 7,34 -
Wortel
0,61 0,33 3,45 1,66 1,02 0,04 0,01 0,66 0,23 0,12 0,13 0,22 0,76 -
Lobak
0,09 2,90 2,14 0,08 0,33 0,07 2,10 1,79 3,65 3,00 -
1,54 1,79 0,94 0,11 0,36 1,93 2,15 0,57 0,22 0,15 0,79 2,76 4,40 3,32 4,93 0,86 1,87 1,58 2,29 1,89 1,92 0,18 2,33 0,81 2,26 3,12
Kacang Merah Kacang Panjang
0,26 0,42 0,37 1,39 2,04 0,46 1,91 0,18 0,31 4,57 0,87 0,52 1,59 1,47
Cabe Besar
0,50 1,33 1,23 0,32 1,45 1,69 1,56 0,55 2,16 1,05 1,38 1,23 0,72 0,68 0,18 0,39 0,78 0,47 0,66 0,77 0,78 0,03 0,12 0,55 1,43 0,42
0,62 1,50 1,32 0,22 1,05 0,83 1,57 1,99 0,11 1,13 1,23 2,96 1,36 1,68 3,09 0,05 1,77 1,10 2,14 0,44 0,07 1,30 0,15 1,15
Cabe Rawit
Nilai Location Quotien t (LQ) Luas Tanam
1,30 2,68 1,32 1,11 0,72 0,54 0,25 0,87 0,57 0,56 0,29 0,36 0,60 0,84 1,50 0,85 1,21 5,38 1,27 3,47 3,71 1,43 1,00
Sawi
Lampiran 1. Nilai LQ Luas Tanam Sayur-sayuran Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009
Tomat
0,62 1,38 1,05 0,92 1,66 1,19 1,05 0,86 0,02 0,43 1,43 0,45 0,93 0,78 1,38 1,38 1,76 1,56 0,83 0,11 0,26
Terung
1,70 1,72 1,02 0,08 0,65 1,65 1,70 0,13 1,26 0,80 0,56 3,25 2,41 2,02 2,90 0,78 1,29 2,43 0,81 2,87 1,46 0,22 3,47 1,42 1,23 0,96
Buncis
1,54 1,85 1,85 0,37 0,75 3,54 1,51 1,23 0,35 0,52 1,64 1,11 1,96 2,56 0,42 1,42 1,53 1,85 -
Ketimun
1,39 1,56 0,95 0,26 0,31 2,14 1,32 0,48 0,47 0,39 1,20 3,11 2,35 2,89 3,80 2,05 1,93 1,36 2,17 0,22 2,38 0,21 2,00 0,17 3,02 2,47
Labu Siam
1,34 1,43 0,86 0,23 1,27 2,54 1,10 0,29 0,16 1,21 0,22 3,00 1,69 0,29 3,67 8,53 9,74 1,43
Kangkung
4,71 0,11 0,34 0,15 0,21 0,96 1,19 0,02 0,15 0,03 0,23 0,71 0,83 2,02 1,03 7,66 0,27 4,29 0,77 0,92 7,49 9,23 8,48 1,57 2,62 4,01
Bayam
5,23 0,07 0,24 0,09 0,13 1,01 1,91 0,01 0,01 0,72 0,50 1,72 0,33 8,60 0,57 3,69 0,07 7,84 9,86 7,23 4,30 3,66 2,58
160
Kabupaten/Kota
Bogor Sukabumi Cianjur Bandung Garut Tasikmalaya Ciamis Kuningan Cirebon Majalengka Sumedang Indramayu Subang Purwakarta Karawang Bekasi Bandung Barat Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Kota Cimahi Kota Tasikmalaya Kota Banjar
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Bawang Merah
0,09 0,04 1,03 0,56 2,07 10,86 4,06 0,28 1,81 0,14 0,03 0,16
Bawang Putih
2,66 2,39 -
Bawang Daun 0,68 0,63 1,93 1,02 0,84 1,01 1,21 4,54 2,36 0,70 0,57 0,50 0,38 0,39 1,30 1,47 0,06 0,19
Kentang 0,00 0,02 0,03 3,11 1,60 0,00 0,10 0,86 0,18 0,07 0,49 -
Kubis 0,03 0,31 0,56 2,34 1,68 0,13 0,05 0,24 1,08 1,35 0,16 0,01 0,46 -
Kembang Kol 0,09 0,81 2,06 0,94 0,89 0,12 1,36 0,90 0,34 1,19 1,17 0,13 5,95 7,54 -
Wortel 0,63 0,34 3,64 1,53 1,01 0,04 0,01 0,61 0,25 0,13 0,16 0,20 0,64 -
Lobak 0,09 2,72 2,01 0,05 0,08 2,31 1,55 4,58 2,80 -
1,58 1,84 0,92 0,10 0,34 1,90 1,93 0,54 0,24 0,17 0,78 2,77 4,35 3,15 4,78 0,87 1,65 1,64 2,44 1,68 1,79 0,22 2,85 0,73 2,20 2,91
Kacang Merah Kacang Panjang 0,26 0,42 0,38 1,31 2,08 0,46 1,86 0,08 0,37 4,80 0,79 0,56 1,52 0,05 1,40
Cabe Besar 0,54 1,31 1,14 0,33 1,39 1,62 1,73 0,58 2,06 1,18 1,36 1,29 0,69 0,96 0,16 0,39 1,46 0,48 0,68 0,49 0,79 0,02 0,10 0,57 1,61 0,58
0,75 1,52 1,52 0,23 0,98 0,83 1,44 2,22 0,11 1,42 1,16 2,45 1,18 1,47 2,84 0,04 1,75 0,77 1,83 0,59 0,05 1,57 0,26 1,53
Cabe Rawit
Nilai Location Quotient (LQ) Luas Panen
1,33 2,55 1,36 1,04 0,69 0,59 0,29 0,97 0,61 0,52 0,29 0,38 0,57 0,86 1,75 0,70 1,20 5,12 1,42 3,63 3,56 1,49 0,95
Sawi
Lampiran 2. Nilai LQ Luas Panen Sayur-sayuran Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009
Tomat 0,62 1,37 0,99 0,96 1,68 1,12 0,99 0,92 0,02 0,43 1,37 0,37 0,98 0,68 1,35 1,35 1,70 1,59 1,02 0,26
Terung
1,81 1,81 0,97 0,07 0,65 1,58 1,53 0,13 1,22 0,89 0,52 3,19 2,45 2,16 3,12 0,67 1,13 2,25 0,89 2,00 1,33 0,26 3,92 1,63 1,22 1,00
Buncis 1,58 2,04 1,75 0,36 0,74 3,52 1,61 1,34 0,39 0,58 1,75 1,10 1,65 2,02 0,42 1,75 1,25 1,99 -
Ketimun 1,44 1,56 0,88 0,24 0,31 2,19 1,52 0,49 0,48 0,50 1,15 3,03 2,12 2,76 3,65 2,17 1,81 1,58 2,08 2,22 0,19 2,04 0,16 2,97 2,44
Labu Siam 0,82 0,91 0,77 1,06 1,41 1,27 0,35 0,63 0,48 0,84 0,13 2,19 1,02 2,88 15,95 7,69 0,73
Kangkung 4,23 0,09 0,38 0,15 0,22 0,99 1,65 0,11 0,27 0,03 0,23 0,93 0,72 1,97 1,11 7,16 0,26 4,31 1,40 7,45 9,13 7,26 1,34 2,44 3,97
Bayam 4,93 0,07 0,31 0,09 0,15 0,98 1,15 0,01 0,74 0,47 1,76 0,44 8,33 0,48 3,93 8,08 10,00 6,63 3,67 3,48 2,45
161
Kabupaten/Kota
Bogor Sukabumi Cianjur Bandung Garut Tasikmalaya Ciamis Kuningan Cirebon Majalengka Sumedang Indramayu Subang Purwakarta Karawang Bekasi Bandung Barat Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Kota Cimahi Kota Tasikmalaya Kota Banjar
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Bawang Merah
0,14 0,03 0,71 0,42 1,80 16,92 6,44 0,33 2,10 0,32 0,03 0,54
Bawang Putih
1,88 1,96 -
Bawang Daun
0,49 0,75 1,65 0,72 0,78 0,67 0,73 7,27 3,74 0,63 0,59 0,59 0,36 0,25 1,46 1,46 0,18 0,41
Kentang
0,00 0,02 0,03 2,13 1,43 0,00 0,10 0,97 0,18 0,06 0,29 -
Kubis
0,04 0,26 0,46 1,78 1,47 0,10 0,07 0,24 0,60 2,06 0,10 0,02 0,32 -
Kembang Kol
0,16 0,53 1,83 0,83 0,73 0,08 1,58 0,95 0,23 1,81 0,34 0,17 5,56 7,78 -
1,33 2,93 1,29 1,01 0,74 0,69 0,28 1,25 0,93 0,55 0,32 0,34 0,65 0,67 1,78 0,57 0,72 4,26 1,48 4,08 3,20 1,41 1,20
Sawi
Wortel
0,55 0,26 3,00 1,40 0,89 0,04 0,01 0,69 0,09 0,20 0,01 0,23 0,51 -
Lobak
0,07 2,98 1,73 0,03 0,03 1,57 1,53 4,93 1,53 -
1,94 2,02 1,15 0,13 0,39 2,12 2,03 0,40 0,26 0,14 1,10 3,48 4,89 5,55 7,74 1,08 1,21 2,11 2,61 2,18 5,51 0,49 6,15 0,56 3,03 2,94
Kacang Merah Kacang Panjang
0,11 0,37 0,40 1,09 1,94 0,51 0,90 0,05 0,39 4,84 0,35 0,58 1,96 0,08 1,07
Cabe Besar
0,39 0,97 1,06 0,43 1,44 2,90 3,93 0,33 2,11 0,72 1,06 1,07 1,00 0,68 0,14 0,07 1,33 0,94 0,55 0,51 1,09 0,06 0,12 0,59 2,24 0,78
0,33 0,84 1,94 0,18 0,94 0,95 1,79 2,00 0,08 1,10 1,47 2,51 1,88 1,30 3,72 0,00 3,03 0,91 1,90 0,39 0,17 1,63 0,29 1,99
Cabe Rawit
Nilai Location Quotient (LQ) Produksi
Lampiran 3. Nilai LQ Produksi Sayur-sayuran Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009
Tomat
0,32 1,12 1,12 1,26 1,40 0,72 1,05 0,47 0,00 0,38 1,09 0,18 0,99 0,46 0,47 0,91 0,65 0,73 0,86 0,20
Terung
2,21 2,47 1,29 0,08 0,91 2,23 1,75 0,10 1,34 0,94 0,60 4,73 2,75 1,75 2,54 0,32 0,94 3,02 0,93 2,56 1,09 0,42 3,61 0,68 1,23 1,21
Buncis
1,01 1,58 2,03 0,35 0,83 4,08 1,90 1,04 0,38 0,48 2,36 1,30 2,14 2,68 0,42 2,13 0,29 2,21 -
Ketimun
1,50 1,54 1,02 0,32 0,34 2,48 1,81 0,43 0,93 0,35 2,08 4,30 2,48 3,50 4,52 4,05 1,78 1,58 2,28 3,16 0,28 1,71 0,01 5,04 3,83
Labu Siam
0,11 2,24 0,79 1,33 0,77 0,39 0,12 0,27 0,08 0,20 0,11 0,67 0,16 5,01 5,33 1,22 0,50
Kangkung
7,50 0,04 0,30 0,21 0,21 1,31 1,73 0,24 0,42 0,01 0,37 2,21 0,65 3,05 1,66 8,48 0,22 6,74 8,29 7,42 10,77 10,96 1,21 2,55 4,31
Bayam
10,39 0,05 0,15 0,06 0,13 0,88 0,82 0,00 0,03 0,04 0,02 0,41 0,75 1,92 0,61 10,30 0,23 4,78 7,80 14,39 6,79 13,66 1,92 3,65
162
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Pisang
Pepaya
Nenas
Nangka
Manggis
Mangga
Jeruk
Jambu Air
Jambu Biji
Durian
Duku
Belimbing
Alpukat
Nilai Location Quotient (LQ) Jumlah Pohon Petai
Melinjo Sukun
Sirsak
Markisa
Sawo
Salak
Rambutan
Bogor 1,27 3,64 8,48 4,07 2,36 2,58 0,57 0,33 0,33 5,02 2,99 0,72 4,11 0,85 3,80 0,10 1,13 0,78 1,38 1,26 1,03 2,37 Sukabumi 1,14 1,38 1,02 1,80 1,17 2,00 1,45 1,47 1,20 1,64 2,00 0,06 5,16 2,24 1,02 0,06 2,55 1,54 1,72 0,59 0,17 0,81 Cianjur 1,10 0,75 0,45 1,19 1,25 1,03 0,70 0,62 0,59 0,24 1,04 0,08 0,62 2,68 0,39 0,09 1,49 - 2,64 0,59 0,54 1,22 Bandung 13,38 3,49 0,14 2,45 5,18 4,80 1,75 8,89 1,19 0,81 4,09 0,00 2,11 1,22 0,55 0,02 5,34 3,03 1,75 8,93 1,19 3,19 Garut 5,46 1,24 0,78 1,03 1,42 1,14 10,14 0,66 1,89 0,35 1,48 0,02 2,02 1,63 0,83 0,01 1,39 5,26 2,28 1,55 0,74 1,48 Tasikmalaya 0,43 0,34 0,88 0,83 0,35 0,27 0,70 0,23 0,26 2,26 0,45 0,03 0,60 0,61 0,76 4,80 0,73 0,13 1,27 0,75 0,24 0,59 Ciamis 0,97 1,28 3,88 1,50 0,90 1,74 0,91 2,39 0,69 1,96 0,93 0,09 1,06 2,24 1,08 0,28 0,16 10,36 1,81 1,79 0,75 2,87 Kuningan 0,57 0,76 0,20 1,87 2,25 0,63 0,98 0,26 3,52 0,11 1,82 0,02 0,89 1,45 1,61 0,22 0,23 - 1,05 3,36 8,50 2,82 Cirebon 0,12 1,80 0,15 0,44 7,49 4,14 0,71 0,11 9,64 - 1,58 0,00 3,74 0,94 0,41 0,02 2,76 - 0,87 0,85 3,02 0,50 Majalengka 3,10 2,38 0,17 2,12 2,02 1,99 1,31 0,57 4,49 0,18 3,26 0,02 1,09 1,26 0,78 0,04 1,04 0,08 1,01 2,30 8,06 2,70 Sumedang 2,24 0,50 0,47 1,63 1,04 0,43 1,11 9,39 1,85 0,40 2,45 0,04 1,04 1,52 1,09 1,31 5,41 - 0,44 1,06 1,54 2,73 Indramayu 0,09 5,07 - 0,01 2,81 4,06 0,48 0,11 11,48 - 2,62 - 0,91 0,81 0,03 0,01 2,10 - 1,35 3,45 4,07 1,58 Subang 0,02 0,10 0,02 0,12 0,07 0,09 0,22 0,02 0,07 0,13 0,06 2,66 0,10 0,19 0,47 0,00 0,05 - 0,09 0,05 0,06 0,04 Purwakarta 0,15 0,65 0,45 1,24 1,09 1,01 0,32 0,74 0,54 3,91 0,63 0,05 0,47 2,59 2,82 0,01 0,67 0,19 0,84 0,35 0,81 0,76 Karawang 0,05 6,86 0,06 3,96 3,77 8,75 0,97 0,14 4,87 0,24 3,58 0,04 2,50 0,95 4,14 0,00 2,31 - 5,00 2,35 1,69 2,44 Bekasi 0,01 3,13 12,75 0,78 3,48 6,46 0,44 - 2,40 0,06 2,82 - 1,17 1,75 3,33 0,16 1,20 - 0,80 2,08 2,14 0,94 Bandung Barat 3,26 0,98 0,45 1,39 2,93 0,96 0,81 1,30 0,33 0,77 1,69 0,50 1,78 1,78 1,62 0,15 1,40 0,22 1,04 2,64 1,16 0,85 Kota Bogor 1,20 10,03 1,95 1,43 10,20 9,63 2,89 3,07 0,37 1,25 1,70 0,16 11,70 1,22 2,12 0,02 3,60 - 3,50 1,25 0,50 0,25 Kota Sukabumi 3,94 2,72 - 4,19 0,83 5,53 - 2,87 3,21 8,83 - 4,55 1,04 1,96 - 0,64 8,39 0,36 10,35 3,01 3,80 Kota Bandung 3,91 14,33 0,09 1,86 7,07 11,85 4,28 17,54 3,40 - 5,78 - 5,18 0,37 1,50 - 4,97 - 6,04 14,17 3,39 2,24 Kota Cirebon 0,18 5,96 9,12 0,16 7,31 11,04 1,25 - 10,48 0,11 1,96 - 1,30 0,40 0,28 - 3,87 - 2,41 2,54 3,33 2,61 Kota Bekasi 0,32 16,73 7,27 5,20 7,39 11,37 0,64 5,12 1,85 0,14 3,04 0,01 6,84 0,33 8,91 0,01 7,91 - 2,15 1,44 5,23 0,50 Kota Depok 0,49 64,70 0,09 2,68 8,65 1,99 1,61 2,33 1,03 0,90 4,03 0,14 14,96 0,55 4,99 0,06 3,50 - 0,36 0,14 1,03 0,05 Kota Cimahi 3,50 14,24 6,21 4,36 6,14 9,54 1,35 1,85 1,96 1,07 2,73 - 4,39 0,23 2,92 0,03 1,86 12,72 1,55 19,52 1,18 11,20 Kota Tasikmalaya 0,37 0,39 1,11 2,33 0,77 0,52 0,20 0,01 1,29 0,44 3,31 0,00 0,34 0,24 3,80 4,01 0,29 0,10 0,42 6,05 0,99 2,23 Kota Banjar 0,14 0,32 - 2,56 0,28 0,66 0,21 0,16 1,03 0,11 0,91 0,01 0,27 2,33 3,57 0,04 2,13 - 0,66 0,38 4,06 1,05
No Kabupaten/Kota
Jeruk Besar
Lampiran 4. Nilai LQ Jumlah Pohon Tanaman Buah-Buahan Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009
163
Kabupaten/Kota
Bogor Sukabumi Cianjur Bandung Garut Tasikmalaya Ciamis Kuningan Cirebon Majalengka Sumedang Indramayu Subang Purwakarta Karawang Bekasi Bandung Barat Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Kota Cimahi Kota Tasikmalaya Kota Banjar
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Alpukat
0,57 0,46 0,47 6,11 5,57 0,25 0,58 0,76 0,17 1,59 0,86 0,01 0,04 0,07 0,03 0,00 2,54 1,33 3,63 4,69 0,08 0,27 0,86 1,74 0,43 0,40
Belimbing
5,07 0,43 0,45 3,93 0,45 0,29 0,43 0,16 1,11 0,97 0,28 1,50 0,11 0,26 2,67 2,19 0,31 7,06 1,94 8,05 4,20 8,95 77,84 6,85 0,53 0,07
Duku
6,04 0,37 0,83 0,37 0,99 1,20 4,41 0,34 0,07 0,11 1,13 0,06 0,35 0,23 0,43 1,11 4,04 2,70 4,18 0,36 0,72 4,59
Durian
4,23 0,64 0,82 1,18 1,34 1,12 1,40 4,15 0,65 0,93 1,67 0,02 0,17 0,47 1,54 0,03 0,47 2,78 3,04 1,74 2,92 2,35 11,21 0,09 7,01
Jambu Biji
2,89 0,95 0,99 2,97 0,75 0,28 0,53 1,06 8,84 1,17 0,43 1,15 0,10 0,50 3,56 4,79 1,81 6,14 1,36 0,90 3,00 2,52 5,59 3,59 0,36 0,27
Jambu Air
1,26 0,68 0,72 4,13 0,53 0,40 1,10 0,37 1,58 0,91 0,16 2,70 0,09 0,90 12,74 10,33 1,56 6,18 0,48 4,01 7,85 15,98 0,45 10,70 0,22 1,14
Jeruk
0,36 0,73 0,57 1,87 4,93 0,25 0,82 1,75 0,17 1,09 0,96 0,06 0,17 0,23 1,17 0,82 2,09 3,48 9,14 0,75 0,73 0,19 0,99 0,09
0,55 2,28 0,92 9,56 0,20 0,35 1,74 0,31 0,12 0,31 5,39 0,12 0,01 0,43 0,25 0,51 4,45 33,28 5,11 0,02 0,82 0,19
Jeruk Besar Mangga
0,17 0,67 0,19 0,40 0,79 0,09 0,32 1,75 4,18 3,56 2,02 6,24 0,43 0,14 2,14 2,25 0,12 0,31 0,75 0,75 3,89 0,73 0,14 0,24 2,20 0,49
Manggis
3,32 0,25 0,10 0,01 0,24 6,95 1,33 0,01 0,05 0,02 0,54 0,87 0,04 0,00 0,28 0,94 0,13 0,03 0,25 0,07 0,14
Nangka
2,78 1,17 0,74 3,40 0,46 0,68 0,65 1,38 1,54 1,19 3,57 0,71 0,18 0,30 2,32 1,87 1,80 1,16 14,25 4,64 5,82 2,13 1,96 0,80 2,31 1,14
Nenas
0,21 0,01 0,01 0,00 0,00 0,01 0,01 0,01 0,00 0,00 0,00 4,73 0,01 0,01 0,13 0,05 0,00 0,03 0,00 0,00
Pepaya
3,59 7,22 0,29 1,13 0,34 0,47 0,43 0,35 0,95 0,29 0,27 0,14 0,05 0,09 1,22 0,42 0,19 5,96 4,52 2,19 0,29 2,00 5,33 0,70 0,48 0,44
0,60 1,36 2,04 0,92 1,37 0,85 1,77 0,96 0,32 0,59 0,90 0,16 0,25 1,70 0,27 0,49 1,13 0,59 0,39 0,38 0,30 0,23 0,19 0,07 0,30 0,77
Pisang
Nilai Location Quotient (LQ) Produksi
Lampiran 5. Nilai LQ Produksi Tanaman Buah-Buahan Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009
Rambutan
2,63 0,05 0,16 0,20 0,27 0,34 0,32 0,67 0,10 0,25 0,42 0,02 2,27 2,49 2,36 2,72 3,07 0,86 0,51 0,30 0,06 3,72 2,03 1,04 0,77 2,87
Salak
0,11 0,01 0,01 0,01 0,01 9,36 0,45 0,16 0,00 0,04 1,82 0,00 0,01 0,01 0,00 0,04 0,03 0,02 0,02 0,02 8,62 0,07
Sawo
0,90 1,55 0,94 2,41 0,61 0,76 1,43 0,10 1,58 0,89 3,25 1,56 0,18 0,54 1,60 1,24 0,78 3,19 4,68 2,63 3,83 0,92 0,36 0,49 4,48
Markisa
0,85 1,40 7,80 2,42 0,08 7,69 0,04 0,02 9,17 -
Sirsak
0,85 1,19 1,52 2,09 3,04 1,71 0,98 0,72 0,60 0,18 0,18 0,35 0,06 0,42 4,14 0,10 0,66 0,97 0,28 3,86 1,88 0,48 0,10 0,22 1,14 0,72
Sukun
0,95 0,45 0,15 2,72 0,32 2,59 0,31 1,42 0,90 0,62 0,16 9,39 0,07 0,14 1,12 1,05 0,68 0,42 0,58 5,40 1,84 0,26 0,05 16,09 2,61 0,86
Melinjo
0,67 0,24 0,26 0,99 0,10 0,13 0,12 5,75 4,40 9,73 0,94 0,74 0,15 0,64 0,54 1,55 2,08 1,97 0,54 1,47 2,31 4,73 0,64 0,33 0,83 7,02
Petai
1,78 0,29 0,46 2,65 0,97 0,53 2,13 2,62 0,65 2,45 3,87 0,55 0,09 0,94 4,18 0,94 0,32 0,29 0,40 0,75 2,32 0,62 0,03 8,15 2,29 2,46
164
Kabupaten/Kota
Bogor Sukabumi Cianjur Bandung Garut Tasikmalaya Ciamis Kuningan Cirebon Majalengka Sumedang Indramayu Subang Purwakarta Karawang Bekasi Bandung Barat Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Kota Cimahi Kota Tasikmalaya Kota Banjar
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Bawang Merah
0,31 2,71 -0,39 0,58 -0,94 -0,16 0,27 -0,03 -0,14 0,24 -0,94 -0,94 0,04 -
Bawang Putih
-0,02 0,07 -
Bawang Daun
0,20 -0,07 -0,01 0,48 0,03 0,37 -0,32 -0,32 -0,16 -0,23 0,89 0,50 0,38 -0,19 -0,79 0,65 -0,39 -0,11
Kentang
-0,07 -0,59 -0,25 -0,08 0,17 -0,47 -0,74 6,80 -0,34 -0,74 -0,46 0,05 -
Kubis
-0,21 0,18 0,02 -0,15 0,36 0,19 -0,20 0,01 -0,21 0,27 0,24 0,88 -0,17 -
Sawi
Kembang Kol
4,46 0,28 19,46 -0,15 7,16 0,00 -0,32 -0,10 1,47 0,15 -0,07 -0,07 - -0,27 1,80 -0,07 0,20 0,64 0,46 -0,24 0,71 2,11 0,15 - -0,45 0,56 -0,27 0,32 1,04 - -0,21 - -0,80 - #DIV/0! - -0,16 - #DIV/0! - -0,09 - -0,20 - -0,33
0,10 0,58 0,09 -0,20 0,29 -0,10 -0,66 -0,12 -0,06 0,25 0,18 0,04 -0,71 -
Wortel
Lobak
-0,78 0,15 -0,23 -0,63 -0,28 -0,56 0,85 6,72 3,53 0,01 -0,78 -0,78
Kacang Merah
-0,06 -0,12 -0,07 -0,02 0,23 -0,32 0,09 0,97 -0,89 -0,25 -0,29 -0,89 0,65 -0,38 -0,14 -0,89 -0,89 -0,49
Kacang Panjang
-0,15 -0,12 0,63 -0,34 0,46 -0,01 -0,17 0,94 -0,53 -0,45 0,10 -0,07 -0,21 0,33 0,03 -0,24 0,37 -0,10 -0,27 0,29 0,37 -0,21 -0,07 8,14 -0,11 1,61
0,03 0,51 0,70 -0,55 0,17 -0,07 0,21 0,55 -0,13 -0,13 0,16 -0,26 0,11 0,32 -0,14 0,32 -0,46 -0,63 -0,12 3,06 0,06 0,06 -0,70 14,06 -0,10 -0,42
Cabe Besar
Nilai Differential Shif t Luas Tanam
Lampiran 6. Nilai Differential Shift Luas Tanam Sayur-sayuran Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009
Cabe Rawit
0,04 -0,29 -0,21 -0,12 0,04 -0,10 0,08 0,66 -0,30 -0,38 -0,14 7,35 -0,27 1,28 0,42 8,92 0,35 0,66 -1,08 1,42 -0,79 -0,08 -0,58 0,15
Tomat
-0,07 0,03 0,10 -0,32 0,22 0,10 -0,01 0,23 -0,47 0,50 0,08 0,27 0,17 0,44 -0,14 -0,37 -0,36 4,20 -0,80 1,53 0,20 -0,09
Terung
-0,18 -0,25 0,53 -0,49 0,52 -0,22 -0,20 -0,45 -0,43 0,86 0,07 0,31 0,22 0,18 -0,07 0,05 0,40 -0,35 -0,82 0,24 -0,30 -0,19 1,59 -0,16 -0,24
Buncis
-0,07 -0,14 0,08 -0,30 0,19 0,09 -0,08 1,11 -0,01 0,30 -0,05 0,11 -0,10 0,24 -0,65 2,22 4,88 -0,05 -0,78
Ketimun
-0,32 -0,13 0,81 0,94 -0,06 -0,25 -0,47 0,32 -0,49 -0,26 -0,05 0,39 -0,33 0,31 0,14 -0,10 2,04 -0,12 -0,56 -0,55 -0,05 -0,19 0,17 -0,14 5,55
Labu Siam
0,41 0,46 0,33 -0,38 0,22 -0,21 3,33 0,18 -0,47 0,27 1,45 0,81 -0,51 -0,29 -0,67 0,83
Kangkung
0,66 -0,64 0,24 -0,16 -0,05 -0,41 -0,65 -1,22 -0,84 -0,64 0,12 1,49 -0,26 0,40 -0,70 0,12 -0,03 -0,52 -0,95 -1,04 0,20 -0,29 -0,22 0,92 0,00 0,40
Bayam
0,79 -0,63 -0,23 -0,80 -0,05 -0,36 -0,37 -1,27 -0,61 13,13 -0,16 0,49 -1,00 0,19 -0,53 -0,88 -1,27 0,16 -0,27 -0,32 1,87 0,27 -0,46
165
Kabupaten/Kota
Bogor Sukabumi Cianjur Bandung Garut Tasikmalaya Ciamis Kuningan Cirebon Majalengka Sumedang Indramayu Subang Purwakarta Karawang Bekasi Bandung Barat Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Kota Cimahi Kota Tasikmalaya Kota Banjar
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Bawang Merah
0,30 2,13 -0,27 0,57 -0,87 -0,13 0,22 -0,12 -0,09 0,31 -0,87 -0,16 -
Bawang Putih
-0,02 0,06 -
Bawang Daun
0,13 -0,04 0,07 0,50 0,14 0,61 -0,21 -0,32 -0,34 -0,16 1,35 0,54 0,22 0,13 -0,70 6,88 -0,78 0,08
Kentang
-0,26 -0,71 -0,20 -0,01 0,08 -0,72 -0,86 -0,60 -0,01 -0,46 -0,54 -0,08 -
Kubis
-0,07 0,16 0,03 -0,11 0,35 0,55 -0,20 -0,04 -0,32 0,21 0,39 0,01 -0,28 -
Kembang Kol
5,50 5,91 -0,21 1,54 0,10 2,22 0,005 0,27 0,76 -0,30 -
Sawi
0,14 -0,20 0,04 -0,09 0,05 0,11 -0,11 0,00 0,58 -0,38 1,44 0,22 -0,32 0,84 0,10 1,32 -0,20 -0,77 0,06 -0,10 -0,04 -0,23
0,09 0,65 0,10 -0,20 0,25 -0,02 -0,65 -0,21 0,03 0,26 0,61 -0,01 -
Wortel
Lobak
-0,84 0,08 -0,26 -0,74 -0,70 -0,84 1,33 6,16 -0,05 -0,84 -0,84
Kacang Merah
-0,18 -0,10 -0,05 0,03 0,20 -0,21 0,38 0,00 -0,89 -0,28 -0,28 -0,89 -0,06 -0,26 0,31 -0,89 -0,84 -0,45
Kacang Panjang
-0,20 -0,13 0,66 -0,20 0,34 0,04 -0,24 0,83 -0,59 -0,51 0,05 -0,12 0,00 0,32 0,05 -0,29 0,07 -0,09 -0,25 -0,46 0,21 0,10 0,55 2,47 -0,10 0,61
0,09 0,49 0,74 -0,48 0,10 -0,01 0,42 0,94 -0,25 -0,14 0,07 -0,36 -0,05 0,69 -0,17 -0,23 -0,28 -0,62 0,02 -0,05 0,08 -0,25 -0,74 -0,15 0,45
Cabe Besar
Nilai Differential Shift Luas Panen
Lampiran 7. Nilai Differential Shift Luas Panen Sayur-sayuran Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009
Cabe Rawit
0,00 -0,38 -0,08 0,22 -0,17 -0,11 0,00 1,32 -0,59 -0,27 -0,32 5,95 -0,41 0,92 1,53 8,74 0,21 0,36 -1,26 1,24 -0,83 -0,26 -0,59 1,24
Tomat
-0,04 0,04 0,09 -0,27 0,18 0,10 0,09 0,38 -0,58 0,43 0,00 0,06 -0,02 0,43 -0,15 -0,35 -0,41 1,09 -0,91 3,84 -0,91 -0,05
Terung
-0,08 -0,30 0,53 -0,40 0,48 -0,08 -0,42 -0,56 -0,59 0,61 -0,08 0,29 0,53 0,37 -0,04 0,13 -0,10 -0,47 -0,90 2,84 0,09 -0,10 0,22 2,84 -0,53 -0,36
Buncis
-0,06 -0,07 -0,03 -0,24 0,16 0,23 -0,06 1,13 -0,07 0,33 0,11 0,15 -0,25 0,16 -0,67 3,20 3,87 -0,15 -0,80
Ketimun
-0,40 -0,16 0,74 1,20 -0,10 -0,14 -0,30 0,31 -0,53 -0,16 -0,11 0,09 -0,37 0,35 0,15 0,11 1,72 0,04 -0,60 -1,12 -0,17 -0,15 0,42 -0,16 0,36
Labu Siam
0,65 0,07 0,00 0,17 0,26 -0,74 0,69 10,69 0,19 0,03 2,40 0,47 -1,31 -0,34 0,52 0,19
Kangkung
0,40 -0,74 0,40 -0,05 -0,19 -0,26 -0,41 -0,86 -0,37 -0,39 0,11 3,17 -0,53 0,57 -0,70 0,05 -0,16 -0,43 -0,58 -1,39 0,09 -0,16 -0,05 14,61 -0,08 0,76
Bayam
0,54 -0,64 0,07 -0,34 0,12 -0,33 -0,61 -1,28 -1,28 13,12 -0,28 0,54 -0,81 0,10 -0,81 -0,77 -1,28 0,17 -0,10 -0,13 2,52 0,33 -0,49
166
Kabupaten/Kota
Bogor Sukabumi Cianjur Bandung Garut Tasikmalaya Ciamis Kuningan Cirebon Majalengka Sumedang Indramayu Subang Purwakarta Karawang Bekasi Bandung Barat Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Kota Cimahi Kota Tasikmalaya Kota Banjar
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Bawang Merah
0,38 0,41 -0,38 0,64 -1,04 -0,08 0,14 0,09 0,18 0,04 -1,04 -0,26 -
Bawang Putih
-0,01 0,03 -
Bawang Daun
-0,04 0,02 -0,30 0,49 0,42 0,71 -0,34 0,10 -0,22 0,08 2,72 0,66 0,27 0,11 -0,57 32,74 -0,48 0,98
Kentang
-0,47 -0,78 -0,38 0,00 0,04 -0,73 -0,90 -0,66 0,10 -0,45 -0,61 -
Kubis
0,10 -0,08 -0,20 -0,07 0,40 0,78 -0,24 0,02 -0,49 0,64 0,29 0,11 -
Kembang Kol
13,97 3,99 -0,12 1,64 0,09 3,71 0,018 0,69 -0,07 -
Sawi
0,26 -0,19 -0,25 -0,11 0,41 0,64 0,04 0,23 0,17 0,04 1,79 0,21 -0,43 1,28 0,05 0,43 -0,07 -0,65 0,51 0,14 -0,38 -0,47
0,07 0,16 -0,17 -0,01 0,68 0,16 -0,51 0,13 -0,36 1,80 -0,48 0,29 -
Wortel
Lobak
-0,77 -0,04 -0,13 -0,69 -0,70 -0,77 1,20 6,46 -0,06 -0,77 -0,77
Kacang Merah
-0,45 -0,47 -0,56 0,12 0,21 0,44 -0,62 -0,24 -0,97 -0,27 -0,17 -0,97 -0,26 0,56 -0,04 -0,97 -0,86 -0,85
Kacang Panjang
-0,04 -0,27 0,22 -0,38 0,62 0,28 -0,20 0,92 -0,15 0,25 0,49 -0,21 -0,05 0,59 0,24 -0,48 -0,34 2,57 -0,23 -0,38 0,07 0,02 1,73 1,37 -0,46 -0,53
-0,29 -0,17 0,48 -0,14 0,19 -0,34 1,03 0,36 0,26 -0,60 -0,01 -0,26 1,31 0,26 0,11 -0,31 0,09 2,50 0,25 0,00 -0,16 -0,25 -0,68 -0,65 -0,20
Cabe Besar
Nilai Differential Shift Produksi
Lampiran 8. Nilai Differential Shift Produksi Sayur-sayuran Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009
Cabe Rawit
-0,69 -1,16 -0,11 1,41 -0,10 -0,58 1,75 0,75 0,10 -0,91 0,09 9,90 0,68 0,71 7,93 -0,54 2,11 5,79 -1,54 1,38 -1,23 0,53 -1,15 0,13
Tomat
-0,58 -0,42 0,13 -0,10 0,29 -0,38 0,56 0,38 -0,90 -0,74 0,49 3,35 2,85 0,59 -0,59 3,98 -0,88 0,75 -1,45 7,90 -1,45 -0,70
Terung
0,61 -0,39 0,10 -0,51 1,22 -0,41 -0,58 -0,40 -0,42 0,99 0,40 0,14 0,27 0,44 -0,34 -0,65 -0,36 1,42 -0,68 5,72 0,09 0,11 -0,62 0,67 -0,94 -0,70
Buncis
-0,05 -0,17 -0,21 -0,22 0,70 0,36 -0,06 1,83 0,26 0,53 1,06 0,36 -0,21 0,80 -0,52 2,72 1,27 -0,45 -0,68
Ketimun
-0,46 -0,25 0,32 0,65 0,33 -0,33 -0,42 0,28 0,70 -0,22 0,06 0,13 -0,19 0,84 0,42 -0,32 1,25 2,33 -0,46 -1,00 -0,03 0,00 -0,57 -0,28 -0,06
Labu Siam
-1,16 2,87 0,71 -0,18 1,62 -0,87 0,76 24,68 -1,14 -0,56 1,86 -0,34 -1,36 -0,29 1,15 -0,01
Kangkung
1,00 -1,23 0,23 -0,90 0,01 -0,41 -0,93 0,57 -0,88 -1,19 -0,46 2,31 -1,14 3,13 -0,99 0,69 -0,82 7,09 5,43 -1,54 -0,10 0,06 -0,76 -0,01 -1,21 -0,68
Bayam
0,65 -1,07 -0,74 -1,20 0,21 -0,69 -0,86 -1,14 -0,34 2,03 0,10 0,68 -0,78 0,41 -1,12 0,17 -1,66 -0,11 -0,10 -1,32 25,78 -1,04 -1,23
167
Kabupaten/Kota
Bogor Sukabumi Cianjur Bandung Garut Tasikmalaya Ciamis Kuningan Cirebon Majalengka Sumedang Indramayu Subang Purwakarta Karawang Bekasi Bandung Barat Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Kota Cimahi Kota Tasikmalaya Kota Banjar
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Alpukat
0,54 0,00 0,16 -0,02 -0,14 -0,17 -0,22 1,50 0,10 0,55 0,09 -0,80 0,53 -0,08 -0,19 -0,67 -0,04 -0,43 -0,20 -0,17 -0,32 0,28 0,18 -0,06 0,46 -0,05
Belimbing
0,02 0,24 0,05 -0,04 -0,01 0,12 -0,09 -0,11 -0,29 -0,02 0,00 -0,01 0,00 0,04 0,07 -0,06 -0,06 -0,24 -0,03 0,04 -0,42 0,09 0,09 0,01 -0,06 0,03
Duku
0,00 0,37 -0,06 -0,13 -0,33 0,16 -0,07 -0,06 -0,12 0,04 0,24 0,19 0,04 0,06 0,06 -0,17 -0,47 0,06 -0,40 -0,93 79,00 2,23 -0,94
Durian
0,12 -0,01 -0,04 -0,10 -0,03 0,18 -0,21 -0,21 -0,27 0,25 -0,28 -0,22 0,81 0,03 1,11 0,65 -0,10 -0,60 -0,03 -0,18 -0,38 -0,39 -0,20 0,41 -0,43 -0,29
Jambu Biji
0,09 0,01 -0,15 -0,05 -0,07 -0,07 -0,18 -0,13 0,37 0,38 0,35 -0,09 0,09 -0,19 0,15 -0,12 -0,05 1,02 -0,21 -0,06 -0,20 -0,13 0,00 -0,11 -0,25 -0,40
Jambu Air
0,03 0,19 -0,01 -0,12 -0,02 0,04 -0,19 0,09 1,11 -0,04 0,03 -0,03 -0,07 -0,16 -0,01 0,01 -0,08 0,64 1,18 0,00 -0,03 0,03 0,09 0,28 -0,20 -0,29
Jeruk
-0,60 -0,17 -0,21 -0,42 0,54 0,47 -0,01 -0,24 -0,13 -0,15 -0,15 -1,03 0,22 -0,03 0,51 -0,43 -0,13 1,10 -1,08 -0,08 -0,35 -0,17 -0,12 -0,06 -0,28 -0,07
Jeruk Besar
-0,06 -0,06 -0,51 -0,25 -0,42 -0,48 0,10 -1,25 -1,41 -0,24 0,65 -0,68 -0,36 -0,46 0,00 -1,60 -0,17 -0,73 -0,60 -0,34 -0,57 -0,48 0,72
Mangga
-0,17 0,50 0,42 0,00 -0,10 -0,01 -0,13 -0,10 -0,23 0,58 0,09 -0,22 -0,19 0,37 0,44 0,27 -0,01 -0,49 0,13 -0,17 -0,06 -0,20 -0,13 0,35 -0,43 -0,23
Manggis
0,68 0,74 -0,33 -0,22 -0,13 -0,09 -0,43 -0,46 -0,34 2,68 -0,01 0,26 1,60 -0,34 -0,33 -0,60 0,11 -0,63 -0,92 -0,34 1,65 -0,56 0,33
Nangka
-0,10 0,58 0,05 -0,19 0,17 0,13 -0,27 0,07 -0,22 0,05 -0,03 0,01 0,05 0,11 0,11 0,26 -0,18 0,12 0,01 0,06 0,00 -0,22 0,07 -0,07 -0,15 -0,19
Nenas
0,47 0,00 0,21 0,00 0,12 0,62 0,26 0,00 -0,43 0,21 0,16 -0,01 0,15 0,32 -0,62 0,04 -0,10 0,09 0,28 0,34 0,70
Pepaya
-0,43 1,13 0,09 -0,08 0,06 0,31 -0,03 0,12 1,34 0,13 0,19 0,01 -0,44 0,29 0,67 0,09 -0,19 1,09 -0,39 0,22 -0,49 0,16 -0,06 0,25 0,15 0,43
-0,28 0,14 -0,10 0,85 0,24 0,13 -0,15 0,16 -0,19 0,11 0,12 -0,15 -0,16 -0,03 -0,51 0,42 0,87 2,77 0,32 0,09 0,05 -0,07 -0,17 -0,37 0,02 0,05
Pisang
Nilai Differential Shift Jumlah Pohon
-0,05 0,26 0,04 -0,05 0,01 0,28 -0,30 -0,02 -0,30 0,04 -0,01 0,41 -0,13 0,08 0,91 0,00 -0,02 -0,54 0,29 -0,06 -0,08 -0,25 -0,08 1,20 -0,20 0,19
Rambutan
Lampiran 9. Nilai Differential Shift Jumlah Pohon Tanaman Buah-Buahan Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009
Petai
Melinjo
Sukun
Sirsak
Markisa
Sawo
Salak
0,17 0,16 0,22 0,35 -0,33 0,31 2,57 0,79 0,78 1,53 -0,25 0,83 -0,02 -0,01 0,32 0,35 - -0,11 0,03 0,17 0,00 -0,12 0,65 1,72 -0,24 0,44 -0,16 0,06 0,26 0,41 -0,15 0,02 -0,03 -0,09 -0,08 0,01 0,50 1,44 0,25 0,22 0,19 0,04 -0,55 -0,66 - -0,02 -0,40 -0,48 -0,28 0,35 0,40 - -0,03 -0,33 0,05 -0,27 11,70 0,21 - -0,39 -0,64 0,07 -0,40 0,53 0,41 -0,09 0,03 0,91 0,05 0,36 0,19 1,02 - -0,08 1,61 0,08 0,01 17,13 0,55 - 0,11 -0,35 0,09 -0,14 0,90 0,38 - 0,00 -0,49 -0,26 -0,45 0,04 0,69 3,47 0,11 -0,02 0,23 1,26 -0,37 0,76 - 0,05 -0,16 0,88 0,43 0,01 0,07 - -0,11 1,26 0,12 -0,77 -0,11 0,83 1,82 -0,16 0,48 -0,19 0,04 -0,67 0,18 -0,20 -0,27 -0,31 -0,41 -0,12 - 0,32 1,28 0,56 2,43 0,11 -0,08 - 0,32 - 0,07 -0,29 0,07 -0,37 - 0,19 - -0,08 0,09 -0,09 -0,31 -0,02 0,34 - 0,46 -0,01 -0,22 0,02 -0,23 0,28 - 0,29 0,07 0,21 -0,34 0,87 0,29 2,13 0,34 5,42 0,47 17,47 -0,11 0,27 - -0,02 -0,27 0,10 2,04 0,15 0,57 - 0,02 0,03 -0,10 -0,59
168
Kabupaten/Kota
Bogor Sukabumi Cianjur Bandung Garut Tasikmalaya Ciamis Kuningan Cirebon Majalengka Sumedang Indramayu Subang Purwakarta Karawang Bekasi Bandung Barat Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Kota Cimahi Kota Tasikmalaya Kota Banjar
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Alpukat
-0,52 0,75 -0,10 -0,49 -0,07 0,37 2,61 0,00 8,60 0,45 1,25 2,53 1,94 0,34 -0,11 -0,14 0,06 1,64 -0,24 1,72 2,91 1,44 3,45 0,94 9,49 2,63
Belimbing
-0,46 1,45 -0,30 1,99 0,17 0,27 0,98 0,10 2,56 -0,28 1,53 4,73 -0,33 0,85 0,96 0,46 0,27 0,75 -0,66 1,76 0,23 -0,27 -0,13 1,68 0,12 -0,95
Duku
2,84 3,72 -0,16 0,32 8,70 0,28 -0,32 6,52 14,27 -0,19 6,03 0,26 -0,26 -0,21 2,39 1,13 -0,65 -0,52 3,27 -0,19 0,48
Durian
2,70 -1,20 -0,86 0,83 7,50 -0,02 4,03 -0,60 -0,23 2,62 12,73 -0,73 1,15 1,42 -1,82 0,49 1,18 -1,55 -0,47 -1,91 -1,54 0,33 0,96
Jambu Biji
-0,44 2,59 -0,75 -0,26 -0,49 -0,23 1,78 0,29 1,23 1,21 0,31 3,88 0,87 0,36 -0,11 -0,73 1,06 2,44 -0,76 -1,34 0,44 -1,06 -0,58 1,90 -0,93 -0,39
Jambu Air
-1,19 0,27 0,51 0,29 -0,80 1,54 1,89 -1,06 2,89 0,82 0,52 1,28 -0,98 0,69 -0,51 0,40 1,25 -0,54 -1,28 -0,46 4,38 0,70 -1,35 5,45 -0,99 0,13
Jeruk Besar
Jeruk
-0,03 -0,56 2,85 8,10 -0,88 -1,08 0,39 -1,07 -0,02 -2,08 0,55 -1,27 3,51 13,43 -0,06 -1,91 10,35 15,32 0,15 -1,88 1,57 -0,14 -1,20 7,11 0,11 -2,70 1,73 -0,65 9,67 0,25 1,67 4,03 -1,24 3,40 9,94 -1,25 0,84 5,94 -1,06 -2,97 0,85 20,99 -1,25 ##### -0,79 -1,96
Mangga
-0,29 8,40 -0,48 -0,54 -0,81 1,06 0,17 -0,68 0,81 0,48 5,58 -0,37 0,35 0,48 -0,45 0,71 0,87 1,00 -0,92 -0,68 0,47 -1,02 1,38 66,80 0,33
Manggis
-0,64 5,75 0,62 -0,48 2,20 0,35 -0,46 -1,57 1,99 -0,55 0,17 -1,18 -0,17 -1,68 1,04 -0,54 -0,94 -1,65 -0,60 -0,75 -0,24
Nangka
-0,25 0,68 -0,06 0,26 -0,12 -0,26 -0,52 -0,67 1,46 -0,60 4,15 -0,71 0,09 -0,70 -0,46 -0,87 1,02 0,20 1,21 10,45 2,85 -0,99 -0,44 1,84 10,37 0,34
Nenas
2,86 -0,99 -0,70 25,30 -0,43 0,16 0,06 -0,57 0,44 -0,60 -0,51 -0,01 0,04 1,15 -1,49 24,19 5,79 1,51 -0,65 -0,04 0,42
-1,39 4,39 -0,87 -0,80 0,12 -0,23 -0,81 -0,75 3,84 -1,20 -0,56 0,01 -1,41 -1,05 -0,58 -1,61 -0,93 4,09 -1,40 -1,05 -0,89 -0,17 -1,27 -0,46 -0,19 -0,63
Pepaya
Nilai Differential Shift Produksi
-0,18 1,42 -0,38 0,12 1,03 0,24 0,17 0,35 0,56 0,31 0,14 0,60 -0,32 0,44 -0,49 -0,13 1,00 21,92 0,66 0,67 0,56 1,01 -0,39 -0,27 0,57 -0,45
Pisang
Lampiran 10. Nilai Differential Shift Produksi Tanaman Buah-Buahan Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2009
Petai
Melinjo Sukun
Sirsak
Markisa
Sawo
Salak
Rambutan
0,05 1,49 -0,37 0,07 0,90 0,00 -0,71 0,85 -1,28 0,13 2,32 32,55 3,15 21,30 5,97 1,97 -1,43 0,30 0,47 - -0,41 0,08 -0,54 0,12 8,03 0,62 -0,21 9,22 1,74 2,27 3,11 1,60 -0,43 1,03 -0,51 -0,75 0,00 -1,93 0,52 0,21 -1,20 -0,10 -0,12 55,03 1,03 3,71 -0,32 0,18 -1,82 0,85 -0,78 - 0,65 -1,09 -0,70 0,32 -1,20 1,53 -0,98 - 0,18 -2,06 -0,75 -1,05 4,72 3,31 0,34 - 7,74 13,93 1,22 1,07 0,42 0,47 -0,56 -0,97 -0,07 0,23 1,75 0,93 0,63 2,96 1,44 - 0,88 5,73 -0,15 1,14 -1,93 - 1,62 - 0,29 -0,42 3,92 1,48 0,73 5,46 0,02 - 0,75 -0,28 -0,73 -1,09 0,51 1,10 1,02 - -0,03 0,10 0,66 1,05 0,53 5,01 -0,05 - 1,66 -0,98 1,38 0,28 -0,70 3,99 3,54 - -0,26 10,90 0,83 10,99 11,11 2,09 0,72 19,53 2,24 10,69 1,78 2,48 -0,71 2,07 1,19 - 5,68 11,77 77,32 78,59 8,28 - -0,97 6,11 - 48,59 - 0,77 - 0,96 -1,91 0,19 -0,96 -0,02 - 3,38 - 7,45 28,84 4,61 28,17 -1,85 - -0,40 - -0,28 -2,19 0,33 3,28 -0,88 -0,41 -0,61 - -0,19 -2,02 0,96 8,97 7,97 4,21 -0,59 3,92 -0,26 69,46 0,13 25,39 2,38 12,00 7,09 - 2,11 6,15 18,29 53,16 2,08 1,21 2,59 - -0,12 -0,62 43,97 3,07
169
170
Lampiran 11. Model RAS Tabel Input-Output Kabupaten Majalengka Tahun 2009 * * * * *
Model RAS Tabel IO Kab. Majalengka Tahun 2009 Basis data : Tabel IO Kabupaten Ciamis Tahun 2008 Struktur Tabel RAS : 28 sektor Disusun oleh : Ir. Didit Okta Pribadi, MSi., Nunik Rachmawati, STP. P4W - IPB, PWL - IPB
SETS i sektor input antara/1*28/; ALIAS (i,j); SCALAR
TotM Total Impor Kabupaten Majalengka 2009/1431172.30/ TotF Total Final Demand Kabupaten Majalengka 2009/5657098.39/ TotV Total PDRB Kabupaten Majalengka 2009/4225926.09/ ;
PARAMETERS Q2009(j) total input tabel I-O Kabupaten Majalengka 2009 28 sektor/ 1 683918.28 2 87653.96 3 12369.83 4 150740.73 5 234157.97 6 37406.56 7 47947.86 8 207710.37 9 6582.15 10 47780.95 11 200825.31 12 1977424.09 13 75602.69 14 2429.71 15 692121.10 16 801109.60 17 2524.03 18 411572.29 19 434160.99 20 23024.01 21 48116.59 22 176294.88 23 158052.44 24 31919.45 25 684827.31 26 49821.69 27 14465.24 28 182467.53 / PDRB2009(j) PDRB Kabupaten Majalengka tiap sektor tahun 2009/ 1 571755.68 2 68983.66 3 11145.22 4 127978.88 5 193180.41 6 32842.18 7 40575.39 8 108488.65 9 5976.59 10 24047.19
171
Lampiran 11. (Lanjutan) 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
162266.81 724330.61 26997.72 1812.56 195870.26 573594.47 1516.95 263406.26 219799.89 17060.83 35076.98 113357.60 105737.04 21003.00 419799.12 28817.80 8507.05 121997.28
/;
TABLE A2008(i,j) Koefisien Teknis Kabupaten Ciamis Tahun 2008
28 Sektor
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
1 0.0721 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0011 0.0000 0.0000 0.0000 0.0051 0.0000 0.0000 0.0001 0.0201 0.0000 0.0000 0.0011 0.0000 0.0000 0.0081 0.0000 0.0001 0.0000 0.0000 0.0000 0.0028
2 0.0000 0.0426 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0264 0.0000 0.0000 0.0000 0.0083 0.0000 0.0000 0.0019 0.0289 0.0000 0.0000 0.0123 0.0000 0.0000 0.0062 0.0000 0.0015 0.0000 0.0000 0.0000 0.0120
3 0.0000 0.0000 0.0165 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0124 0.0000 0.0000 0.0000 0.0084 0.0000 0.0000 0.0000 0.0207 0.0000 0.0000 0.0031 0.0000 0.0000 0.0009 0.0000 0.0001 0.0000 0.0000 0.0000 0.0020
4 0.0000 0.0000 0.0000 0.0320 0.0000 0.0000 0.0000 0.0258 0.0000 0.0000 0.0000 0.0053 0.0000 0.0000 0.0004 0.0262 0.0000 0.0000 0.0035 0.0000 0.0000 0.0012 0.0000 0.0000 0.0000 0.0003 0.0000 0.0024
5 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0058 0.0000 0.0000 0.0101 0.0000 0.0000 0.0001 0.0031 0.0000 0.0000 0.0009 0.0359 0.0000 0.0000 0.0115 0.0000 0.0000 0.0004 0.0000 0.0002 0.0000 0.0000 0.0000 0.0002
6 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0597 0.0000 0.0060 0.0000 0.0000 0.0000 0.0023 0.0000 0.0000 0.0009 0.0162 0.0000 0.0000 0.0052 0.0000 0.0000 0.0017 0.0000 0.0004 0.0000 0.0000 0.0000 0.0017
7 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0124 0.0013 0.0002 0.0000 0.0000 0.0068 0.0002 0.0000 0.0285 0.0175 0.0000 0.0022 0.0085 0.0001 0.0001 0.0023 0.0001 0.0001 0.0000 0.0000 0.0000 0.0049
8 0.0030 0.0008 0.0007 0.0003 0.0000 0.0022 0.0003 0.0664 0.0000 0.0000 0.0000 0.1090 0.0006 0.0000 0.0013 0.0744 0.0000 0.0001 0.0139 0.0000 0.0000 0.0007 0.0000 0.0000 0.0000 0.0001 0.0000 0.0007
+ 1 2 3 4 5 6 7 8 9
9 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0103
10 0.0000 0.0126 0.0006 0.0000 0.0001 0.0005 0.0000 0.0012 0.0031
11 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
12 0.1729 0.0037 0.0019 0.0136 0.0000 0.0053 0.0572 0.0232 0.0068
13 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
14 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
15 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0001 0.0000 0.0160
16 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
172
Lampiran 11. (Lanjutan) 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
0.0000 0.0000 0.0019 0.0008 0.0000 0.0164 0.0075 0.0008 0.0053 0.0046 0.0000 0.0001 0.0028 0.0000 0.0043 0.0000 0.0000 0.0000 0.0089
0.0315 0.0000 0.1226 0.0008 0.0000 0.0129 0.0849 0.0000 0.0009 0.0033 0.0000 0.0000 0.0105 0.0005 0.0016 0.0000 0.0002 0.0000 0.0003
0.0000 0.0660 0.0004 0.0000 0.0000 0.0016 0.0360 0.0000 0.0000 0.0094 0.0000 0.0000 0.0004 0.0000 0.0005 0.0000 0.0000 0.0000 0.0004
0.0120 0.0068 0.0366 0.0034 0.0001 0.0007 0.1256 0.0002 0.0015 0.0079 0.0008 0.0003 0.0047 0.0004 0.0016 0.0001 0.0002 0.0000 0.0019
0.0000 0.1153 0.0147 0.0075 0.0000 0.0003 0.1347 0.0002 0.0004 0.0005 0.0000 0.0007 0.0053 0.0002 0.0017 0.0003 0.0008 0.0000 0.0120
0.0000 0.0000 0.0093 0.0335 0.0113 0.0052 0.0174 0.0012 0.0005 0.0045 0.0011 0.0007 0.0066 0.0010 0.0138 0.0000 0.0021 0.0000 0.0028
0.0000 0.0017 0.1262 0.0003 0.0001 0.0008 0.1447 0.0012 0.0094 0.0078 0.0008 0.0013 0.0051 0.0015 0.0045 0.0002 0.0009 0.0000 0.0059
0.0000 0.0000 0.0045 0.0147 0.0005 0.0000 0.0095 0.0073 0.0102 0.0291 0.0033 0.0104 0.0213 0.0575 0.0036 0.0002 0.0024 0.0000 0.0107
+ 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
17 0.0000 0.0003 0.0001 0.0006 0.0004 0.0040 0.0001 0.0435 0.0002 0.0085 0.0000 0.0858 0.0113 0.0006 0.0046 0.0671 0.0003 0.0012 0.0011 0.0008 0.0062 0.0027 0.0004 0.0114 0.0031 0.0018 0.0015 0.0012
18 0.0000 0.0013 0.0025 0.0078 0.0006 0.0061 0.0036 0.0156 0.0001 0.0162 0.0000 0.0980 0.0027 0.0006 0.0010 0.0728 0.0000 0.0003 0.0011 0.0001 0.0005 0.0012 0.0014 0.0020 0.0006 0.0004 0.0005 0.0025
19 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0179 0.0015 0.0002 0.0028 0.0377 0.0007 0.0105 0.0243 0.0107 0.0013 0.0274 0.0027 0.0047 0.0034 0.0005 0.0008 0.0974
20 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0123 0.0012 0.0002 0.0010 0.0237 0.0019 0.0086 0.0006 0.0160 0.0026 0.0086 0.0010 0.0185 0.0004 0.0011 0.0001 0.0045
21 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0021 0.0137 0.0006 0.0001 0.0043 0.0016 0.0024 0.0037 0.0084 0.0272 0.0351 0.0017 0.0283 0.0005 0.0029 0.0018 0.0153
22 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0019 0.0053 0.0001 0.0007 0.0046 0.0013 0.0050 0.0141 0.0026 0.0047 0.0966 0.0015 0.0291 0.0059 0.0029 0.0002 0.0649
23 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0033 0.0013 0.0003 0.1247 0.0037 0.0011 0.0008 0.0065 0.0023 0.0038 0.0401 0.0078 0.0268 0.0149 0.0013 0.0000 0.0221
24 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0041 0.0046 0.0003 0.0039 0.0110 0.0024 0.0129 0.0089 0.0079 0.0069 0.0612 0.0037 0.0163 0.0244 0.0228 0.0000 0.0242
+ 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
25 0.0000 0.0001 0.0000 0.0030 0.0001 0.0003 0.0000 0.0004 0.0000 0.0002
26 0.0000 0.0004 0.0002 0.0237 0.0011 0.0024 0.0002 0.0123 0.0000 0.0045
27 0.0010 0.0004 0.0012 0.0109 0.0003 0.0005 0.0001 0.0010 0.0000 0.0000
28 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0003 0.0000 0.0009 0.0000
173
Lampiran 11. (Lanjutan) 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 ;
0.0000 0.0107 0.0079 0.0004 0.0318 0.0254 0.0074 0.0359 0.0139 0.0089 0.0028 0.0102 0.0014 0.0068 0.0033 0.0055 0.0000 0.0395
0.0000 0.0411 0.0021 0.0004 0.0067 0.0583 0.0003 0.0042 0.0019 0.0005 0.0050 0.0080 0.0015 0.0150 0.0038 0.0331 0.0015 0.0072
0.0000 0.0612 0.0034 0.0005 0.0006 0.0400 0.0002 0.0059 0.0029 0.0018 0.0012 0.0137 0.0029 0.0113 0.0018 0.0515 0.0468 0.0052
0.0000 0.0132 0.0047 0.0002 0.0007 0.0530 0.0005 0.0071 0.0054 0.0014 0.0009 0.0051 0.0130 0.0078 0.0004 0.0035 0.0000 0.0024
PARAMETERS TB(i) Original estimate for sectoral Total Output or Input cells 2009 QB(i,j) Original estimate for intersectoral IO transaction cells 2009 VB(j) Original estimate for sectoral Value Added cells 2009 MB(j) Original estimate for sectoral Import cells 2009 FB(i) Original estimate for sectoral Final Demand cells 2009 TW(i) Weight for sectoral Total Output or Input cells QW(i,j) Weight for sectoral intersectoral IO transaction cells VW(j) Weight for sectoral Value Added cells MW(j) Weight for sectoral Import cells FW(i) Weight for sectoral Final Demand cells; Lampiran 11. (Lanjutan)
TB(i) QB(i,j) VB(j) MB(j) FB(i)
= = = = =
Q2009(i); A2008(i,j)*TB(j); PDRB2009(j); TB(j)-VB(j)- Sum(i,QB(i,j)); TB(i)-Sum(j,QB(i,j));
TW(i)$(TB(i) GT 0) QW(i,j)$(QB(i,j) GT 0) VW(j)$(VB(j) GT 0) MW(j)$(MB(j) GT 0) FW(i)$(FB(i) GT 0)
= = = = =
1; 1; 1; 1; 1;
TW(i)$(TB(i) EQ 0) QW(i,j)$(QB(i,j) EQ 0) VW(j)$(VB(j) EQ 0) MW(j)$(MB(j) EQ 0) FW(i)$(FB(i) EQ 0)
= = = = =
0; 0; 0; 0; 0;
VARIABLES SSDEV T(i) 2009 Q(i,j) M(j) F(i) FM FF
Sum of Squared Deviation estimating Information Gain Optimal estimates for Sectoral Total Output or Input cells Optimal Optimal Optimal Optimal Optimal
estimates estimates estimates estimates estimates
for for for for for
Intersectoral Transaction cells 2009 Sectoral Import cells 2009 Sectoral Final Demand cells 2009 Final Demand for Import cells 2009 Final Demand for Final Demand cells 2009;
174
Lampiran 11. (Lanjutan) POSITIVE VARIABLES T,Q,M,F,FM,FF; EQUATIONS OBJ CBal(j) RBal(i) TBal TM TF
Objective Function Column Balance Constraint Function Row Balance Constraint Function total Balance Constraint Function Total Import Constraint Function Total Final Demand Constraint Function;
OBJ .. SSDEV=E=Sum((i,j)$ (QW(i,j) GT 0), QW(i,j)* SQR(Q(i,j)QB(i,j) )/QB(i,j))+ Sum((i)$ (TW(i) GT 0), TW(i)* SQR(T(i)- TB(i))/TB(i)) + Sum((j)$ (MW(j) GT 0), MW(j)* SQR(M(j)- MB(j))/MB(j)) + Sum((i)$ (FW(i) GT 0), FW(i)* SQR(F(i)- FB(i))/FB(i)); CBal(j) ..T(j)=E=Sum(i,Q(i,j)$(QB(i,j) GT 0))+ M(j)$ (MB(j) GT 0) + VB(j); RBal(i) ..T(i)=E=Sum(j,Q(i,j)$(QB(i,j) GT 0))+ F(i); TM
..Sum(j,M(j)$ (MB(j) GT 0))+FM=E=TotM;
TF
..Sum(i,F(i))+FF=E=TotF;
TBal
..TotV+TotM - TotF=E=0;
Lampiran 11. (Lanjutan) MODEL ModelRAS/ALL/; Q.L(i,j)=QB(i,j)$QW(i,j) ; T.L(i)=TB(i)$TW(i) ; M.L(i)=MB(i)$MW(i) ; F.L(i)=FB(i)$FW(i) ; OPTION NLP OPTION RESLIM OPTION ITERLIM
= MINOS5 ; = 9000 ; = 100000 ;
SOLVE ModelRAS USING NLP MINIMIZING SSDEV; SETS Item/MP2009,FD2009,TO2009 /; PARAMETERS HslL (i,Item) Tabel Hasil Level Optimal HslM (i,Item) Tabel Hasil Marginal Value ; HslL(i,"MP2009")=M.L(i) ; HslL(i,"FD2009")=F.L(i) ; HslL(i,"TO2009")=T.L(i) ; HslM(i,"MP2009")=M.L(i); HslM(i,"FD2009")=F.L(i); HslM(i,"TO2009")=T.L(i); DISPLAY Q.L, Q.M, T.L, M.L, F.L, HslL, HslM, FM.L, FM.M, FF.L, FF.M;
175
Lampiran 12. Tabel Input-Output Kabupaten Majalengka 2009 (dalam juta rupiah) Kode Sektor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 190 200 201 202 203 204 205 209 210
1
2
3
4
5
49.250,965 3.735,642 204,031 4.823,594 1.359,069
759,479
2.299,463
153,756
3.877,858
2.341,870
23,360 3.479,581
714,251
69,187
165,840
13.766,205
2.496,657
764,491
102,917
787,076
710,126
60,248
209,122
254,596
3.905,931
8.255,857
1.078,522
38,694
529,580
2.684,423
5.610,314
541,770
11,195
180,946
93,048
68,875
130,326
1,237
46,258 45,413
1.940,852
1.049,402
24,898
362,173
46,560
75.709,949
12.211,873
791,324
14.572,819
15.769,693
37.278,496
6.421,258
437,583
8.192,458
25.043,671
104.777,936
12.473,960
1.111,991
13.739,471
31.660,103
448.457,744
55.404,408
9.948,077
113.288,793
157.380,678
9.883,938
468,363
11,284
374,780
979,228
8.636,065
636,934
73,865
575,837
3.160,405
-
-
-
-
-
571.755,684
68.983,665
11.145,217
127.978,881
193.180,414
684.744,129
87.616,796
12.374,124
150.744,158
233.993,778
176
Lampiran 12. (Lanjutan) Kode Sektor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 190 200 201 202 203 204 205 209 210
6
7
8
9
10
616,328 167,257
611,234
144,970
28,834
62,481 4,869 2.232,476 224,901
455,798 551,407
25,638
94,484
13.789,488
7,408
24,038 57,827 64,041
39,287 1.502,143
85,185
490,330
22.366,066
20,960
5.838,014
14,568
125,021
8,906
38,679
33,806
2.074,234
270,540
182,432
622,925
602,316
1.265,088
15.325,468
82,926
4.058,313
4,828 196,210
160,511
20,888
59,087
43,621
620,493
2.905,886
51,308
160,073
7,273 7,291 63,926
167,518
1,114 145,838
31,168
7,287 14,956
507,593 24,188
7,256
47,704 20,915
76,913 9,706
63,975
357,068
145,951
99,114
14,514
3.517,751
5.832,216
56.588,533
653,588
13.662,771
1.058,275
5.019,776
42.670,547
316,508
10.164,853
7.303,314
6.843,117
40.215,273
785,692
9.073,978
24.792,923
33.364,260
67.116,162
5.013,562
13.799,018
170,770
97,003
345,262
124,854
899,171
575,171
271,010
811,952
52,481
275,023
-
-
-
-
-
32.842,179
40.575,390
108.488,650
5.976,590
24.047,190
37.418,205
51.427,382
207.747,730
6.946,686
47.874,814
177
Lampiran 12. (Lanjutan) Kode Sektor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 190 200 201 202 203 204 205 209 210
11
12
13
14
15
349.197,820 7.600,544 3.867,307 27.833,217 10.791,849 50.187,799
28,850
47.348,504 3.883,192
2.900,307
24.241,429 13.257,740
13.977,348
8.745,408
78,797
73.832,314
1.093,504
22,297
86.757,746
6.961,498
566,577
81,562
209,412
27,448
69,643
204,289
1.191,425
319,698
1.431,514
22,635
12,645
557,738
7.119,414
254.319,563
10.059,009
41,879
99.858,735
103,259
3,400
0,664
194,521
3.078,625
30,293
1,220
6.577,763
16.227,035
37,897
10,992
5.462,617
2,672
557,111
1.886,852
1.634,223 615,142
52,960
1,707
908,806
80,014
9.621,990
400,327
16,067
3.559,530
819,452
15,117
2,436
1.047,655
99,448
3.257,598
127,677
33,404
3.123,069
205,416
22,739
410,992
60,663
5,132
630,587
80,077
3.892,653
907,103
6,821
4.121,054
22.922,040
915.544,572
22.145,309
266,946
217.896,643
15.586,927
297.696,648
26.518,789
350,894
273.302,183
75.779,555
125.853,765
5.937,103
180,559
59.428,047
83.697,942
526.739,843
19.752,772
1.494,951
110.351,013
2.113,325
56.440,449
861,922
79,232
15.182,823
675,989
15.296,553
445,923
57,818
10.908,377
-
-
-
-
-
162.266,810
724.330,610
26.997,720
1.812,560
195.870,260
200.775,777
1.937.571,830
75.661,818
2.430,400
687.069,086
140,074
178
Lampiran 12. (Lanjutan) Kode Sektor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 190 200 201 202 203 204 205 209 210
16
17
18
19
20
1,180
537,418
0,391
1.023,726
2,354
3.212,104
1,577
248,964
15,639
2.498,875
0,243
606,479
170,336
6.405,777
0,408
10,470
33,059
6.582,139
3.595,828
333,387
39.759,894
7.631,077
279,586
11.926,359
44,344
1.112,410
649,429
27,699
404,725
2,351
246,627
86,388
4,606
18,037
411,488
1.210,744
23,054
7.620,291
261,374
29.650,492
16.134,742
540,802
1.394,173
0,591
67,734
9,983
8.295,754
4,717
123,908
4.557,342
199,002
23.686,615
4,326
454,705
10.555,735
13,895
2.671,035
3,135
41,102
4.621,507
368,441
8.450,226
24,354
206,311
563,688
60,105
17.278,744
10,594
494,338
11.861,304
198,483
46.677,069
1,570
577,135
1.169,643
23,096
2.903,968
44,569
819,220
2.023,011
424,549
162,803
12,191
248,034
1.477,010
9,264
1.954,416
7,081
165,423
217,296
25,486
5,907
207,138
348,280
2,321
8.686,577
4,711
1.030,668
42.196,676
103,938
145.708,583
1.008,426
96.674,845
105.371,606
2.314,310
80.780,202
552,943
50.036,241
108.758,108
3.645,345
178.016,575
285,868
74.608,408
125.744,604
3.949,131
294.590,436
609,965
96.912,108
66.979,986
11.187,915
64.523,810
618,747
44.810,813
15.802,786
859,917
36.463,649
2,370
47.074,931
11.272,514
1.063,867
-
-
-
-
-
573.594,470
1.516,950
263.406,260
219.799,890
17.060,830
800.083,255
3.078,319
410.117,346
433.929,604
23.020,485
179
Lampiran 12. (Lanjutan) Kode Sektor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 190 200 201 202 203 204 205 209 210
21
22
23
24
25
68,783 2.055,558 69,040 204,479 273,288 135,206 99,418
329,931
513,618
129,527
7.222,973
658,659
934,614
205,475
147,567
5.415,538
28,779
17,593
47,307
9,602
273,566
4,802
123,285
19.685,054
124,955
21.771,954
204,361
801,880
578,110
348,853
17.212,635
17,310
51,778
39,237
17,671
1.148,622
115,673
883,903
126,760
414,853
24.670,991
178,476
2.494,666
1.030,779
286,451
9.560,166
402,884
457,396
362,664
252,828
6.086,500
1.309,670
830,054
601,521
221,681
1.922,314
1.687,284
17.032,352
6.337,246
1.963,015
6.991,269
81,778
264,664
1.233,553
118,763
960,264
1.352,667
5.101,721
4.211,303
519,874
4.634,392
24,120
1.043,921
2.362,984
785,368
2.269,795
139,951
513,322
206,250
734,164
3.784,525
87,017
35,463
736,054
11.451,929
3.495,304
776,824
27.095,001
7.128,903
42.368,472
41.037,165
6.851,996
143.826,859
5.877,661
20.545,342
11.182,878
4.089,819
118.211,911
11.789,692
29.328,640
27.582,980
6.489,440
88.711,069
19.118,391
75.374,384
38.771,806
9.588,216
223.945,206
2.031,160
3.890,490
34.069,209
4.451,655
96.117,211
2.137,737
4.764,086
5.313,045
473,689
11.025,634
-
-
-
-
-
35.076,980
113.357,600
105.737,040
21.003,000
419.799,120
48.083,544
176.271,414
157.957,083
31.944,815
681.837,890
180
Lampiran 12. (Lanjutan) Kode Sektor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 190 200 201 202 203 204 205 209 210
26
27
28
180
14,206
399.079,319
19,946
5,783
12.747,787
9,879
17,185
5.296,323
1.177,267
156,988
39.323,563
55,058
4,354
1.742,931
118,590
7,163
16.348,907
4,043
0,585
609,228
14,361
22,338
51.427,382 78.420,620
41,573 220,534
6.946,686 32.714,510 37.195,281
2.011,266
868,329
2.371,286
261.525,284
104,365
48,992
857,429
30.139,103
19,833
7,188
36,401
1.486,346
332,554
8,635
127,542
49.874,668
2.864,070
569,748
9.558,049
507.757,364
3,335
0,642
20,570
3.078,318
209,249
85,228
1.298,487
50.957,875
94,739
41,927
988,398
82.045,951
24,789
25,875
254,795
17.774,230
248,862
17,317
164,435
16.207,558
397,525
197,383
930,276
86.411,057
74,589
41,811
2.372,968
55.513,038
741,114
161,876
1.414,690
31.387,675
189,487
26,025
73,218
9.052,449
1.651,207
744,899
640,921
11.968,349
74,959
678,100
358,051
74,977
438,116
109.561,041
11.614,539
3.819,577
21.611,492
2.007.422,800
9.325,627
2.114,530
38.777,814
1.203.957,287
8.836,258
348,141
36.879,185
1.087.733,855
18.152,049
7.038,014
73.480,519
2.606.351,141
1.534,774
724,149
6.997,972
364.465,098
294,719
396,747
4.639,605
167.375,996
-
-
-
-
28.817,800
8.507,050
121.997,280
4.225.926,090
49.757,966
14.441,157
182.386,586
7.437.306,177
1.439,185
181
Lampiran 12. (Lanjutan) Kode Sektor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 190
309
310
285.664,805
684744,124
74.869,003
87616,791
7.077,804
12374,127
111.420,596
150744,159
232.250,844
233993,774
21.069,301
37418,208 51427,383
129.327,111
207747,731
15.160,304
47874,814
163.580,495
200775,776
1.676.046,544
1937571,831
45.522,719
75661,819
944,055
2430,400
637.194,419
687069,087
292.325,892
800083,257
6946,686
3078,317 359.159,468
410117,344
351.883,652
433929,604
5.246,253
23020,482
31.875,985
48083,543
89.860,354
176271,412
102.444,046
157957,084
557,141
31944,814
672.785,442
681837,890
37.789,618
49757,968
13.001,974
14441,159
72.825,546
182386,587
5.429.883,371
7.437.306,171
182
Lampiran 13. Keterangan Kode Sektor Kode 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 190 200 201 202 203 204 205 209 210 180 309 310
Sektor Padi Jagung Ubi Kayu Buah-buahan Sayur-sayuran Bahan makanan lainnya Tanaman Perkebunan Peternakan dan hasil-hasilnya Kehutanan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik Air Bersih Bangunan Perdagangan Besar dan Eceran Hotel Restoran Angkutan Jalan Raya Jasa Penunjang Angkutan Komunikasi Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya Sewa Bangunan Jasa Perusahaan Pemerintahan umum dan pertahanan Jasa Sosial Kemasyarakatan Jasa Hiburan dan Rekreasi Jasa Perorangan dan Rumah tangga Jumlah Input Antara Impor (Dari nilai LQ) Upah dan Gaji Surplus Usaha Penyusutan Pajak tak Langsung Subsidi NTB / PDRB Total Input Jumlah Permintaan Antara Permintaan Akhir (Final Demand ) Jumlah Permintaan (Total Output )
183
Lampiran 14. Nilai Koefisien Teknis (Matriks A) Kode Sektor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 190 200 201 202 203 204 205 209 210
1
2
3
4
5
6
7
8
9
0,0719
-
-
-
-
-
-
0,0030
-
-
0,0426
-
-
-
-
-
0,0008
-
-
-
0,0165
-
-
-
-
0,0007
-
-
-
-
0,0320
-
-
-
0,0003
-
-
-
-
-
0,0058
-
-
-
-
-
-
-
-
-
0,0597
-
0,0022
-
-
-
-
-
-
-
0,0107
0,0001
-
0,0011
0,0262
0,0124
0,0257
0,0100
0,0060
0,0018
0,0664
-
-
-
-
-
-
-
0,0001
-
0,0092
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
0,0001
-
-
-
-
0,0051
0,0082
0,0083
0,0052
0,0030
0,0023
0,0095
0,1077
0,0030
-
-
-
-
-
-
0,0003
0,0006
0,0013
-
-
-
-
-
-
-
-
-
0,0001
0,0019
-
0,0004
0,0009
0,0009
0,0403
0,0013
0,0263
0,0201
0,0285
0,0206
0,0259
0,0353
0,0161
0,0246
0,0738
0,0119
-
-
-
-
-
-
-
-
0,0007
-
-
-
-
-
-
0,0031
0,0001
0,0085
0,0011
0,0123
0,0031
0,0035
0,0115
0,0052
0,0121
0,0140
0,0074
-
-
-
-
-
-
0,0001
-
-
-
-
-
-
-
-
0,0001
-
0,0002
0,0082
0,0062
0,0009
0,0012
0,0004
0,0017
0,0033
0,0007
0,0045
-
-
-
-
-
-
0,0001
-
-
0,0001
0,0015
0,0001
-
0,0002
0,0004
0,0001
-
0,0069
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
0,0003
-
-
-
0,0001
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
0,0028
0,0120
0,0020
0,0024
0,0002
0,0017
0,0069
0,0007
0,0143
0,1106
0,1394
0,0639
0,0967
0,0674
0,0940
0,1134
0,2724
0,0941
0,0544
0,0733
0,0354
0,0543
0,1070
0,0283
0,0976
0,2054
0,0456
0,1530
0,1424
0,0899
0,0911
0,1353
0,1952
0,1331
0,1936
0,1131
0,6549
0,6323
0,8039
0,7515
0,6726
0,6626
0,6488
0,3231
0,7217
0,0144
0,0053
0,0009
0,0025
0,0042
0,0046
0,0019
0,0017
0,0180
0,0126
0,0073
0,0060
0,0038
0,0135
0,0154
0,0053
0,0039
0,0076
-
-
-
-
-
-
-
-
-
0,8350
0,7873
0,9007
0,8490
0,8256
0,8777
0,7890
0,5222
0,8604
1,0000
1,0000
1,0000
1,0000
1,0000
1,0000
1,0000
1,0000
1,0000
184
Lampiran 14 (Lanjutan) Kode Sektor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 190 200 201 202 203 204 205 209 210
10
11
12
13
14
15
16
-
-
0,1802
-
-
-
-
0,0128
-
0,0039
-
-
-
-
0,0006
-
0,0020
-
-
-
-
-
-
0,0144
-
-
-
-
0,0001
-
-
-
-
-
-
0,0005
-
0,0056
-
-
-
-
-
-
0,0259
-
-
0,0000
-
0,0012
-
0,0244
-
-
-
-
0,0008
-
0,0020
-
-
0,0042
-
0,0314
-
0,0125
-
-
-
-
-
0,0660
0,0072
0,1156
-
0,0017
-
0,1219
0,0004
0,0381
0,0145
0,0092
0,1263
0,0045
0,0008
-
0,0036
0,0075
0,0336
0,0003
0,0149
-
-
0,0001
-
0,0113
0,0001
0,0005
0,0130
0,0016
0,0007
0,0003
0,0052
0,0008
-
0,0848
0,0355
0,1313
0,1329
0,0172
0,1453
0,0095
-
-
0,0001
0,0000
0,0003
0,0003
0,0017
0,0009
-
0,0016
0,0004
0,0005
0,0096
0,0104
0,0033
0,0094
0,0084
0,0005
0,0045
0,0080
0,0296
-
-
0,0008
-
0,0011
0,0008
0,0033
-
-
0,0003
0,0007
0,0007
0,0013
0,0106
0,0106
0,0004
0,0050
0,0053
0,0066
0,0052
0,0216
0,0005
-
0,0004
0,0002
0,0010
0,0015
0,0583
0,0016
0,0005
0,0017
0,0017
0,0137
0,0045
0,0036
-
-
0,0001
0,0003
-
0,0002
0,0002
0,0002
-
0,0002
0,0008
0,0021
0,0009
0,0024
-
-
-
-
-
-
-
0,0003
0,0004
0,0020
0,0120
0,0028
0,0060
0,0109
0,2854
0,1142
0,4725
0,2927
0,1098
0,3171
0,1821
0,2123
0,0776
0,1536
0,3505
0,1444
0,3978
0,1010
0,1895
0,3774
0,0650
0,0785
0,0743
0,0865
0,2225
0,2882
0,4169
0,2719
0,2611
0,6151
0,1606
0,3682
0,0188
0,0105
0,0291
0,0114
0,0326
0,0221
0,0806
0,0057
0,0034
0,0079
0,0059
0,0238
0,0159
0,0456
-
-
-
-
-
-
-
0,5023
0,8082
0,3738
0,3568
0,7458
0,2851
0,7169
1,0000
1,0000
1,0000
1,0000
1,0000
1,0000
1,0000
185
Lampiran 14 (Lanjutan) Kode Sektor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 190 200 201 202 203 204 205 209 210
17
18
19
20
21
22
23
-
-
-
-
-
-
-
0,0004
0,0013
-
-
-
-
-
0,0001
0,0025
-
-
-
-
-
0,0008
0,0078
-
-
-
-
-
0,0005
0,0006
-
-
-
-
-
0,0051
0,0061
-
-
-
-
-
0,0001
0,0015
-
-
-
-
-
0,0553
0,0156
-
-
-
-
-
0,0001
0,0000
-
-
-
-
-
0,0107
0,0160
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
0,1083
0,0969
0,0176
0,0121
0,0021
0,0019
0,0033
0,0144
0,0027
0,0015
0,0012
0,0137
0,0053
0,0013
0,0008
0,0006
0,0002
0,0002
0,0006
0,0001
0,0003
0,0059
0,0010
0,0028
0,0010
0,0001
0,0007
0,1246
0,0849
0,0723
0,0372
0,0235
0,0043
0,0045
0,0037
0,0002
-
0,0002
0,0004
0,0004
0,0003
0,0002
0,0015
0,0003
0,0105
0,0086
0,0024
0,0050
0,0008
0,0014
0,0011
0,0243
0,0006
0,0037
0,0142
0,0065
0,0010
0,0001
0,0107
0,0160
0,0084
0,0026
0,0023
0,0079
0,0005
0,0013
0,0026
0,0272
0,0047
0,0038
0,0034
0,0012
0,0273
0,0086
0,0351
0,0966
0,0401
0,0005
0,0014
0,0027
0,0010
0,0017
0,0015
0,0078
0,0145
0,0020
0,0047
0,0184
0,0281
0,0289
0,0267
0,0040
0,0006
0,0034
0,0004
0,0005
0,0059
0,0150
0,0023
0,0004
0,0005
0,0011
0,0029
0,0029
0,0013
0,0019
0,0005
0,0008
0,0001
0,0018
0,0002
-
0,0015
0,0025
0,0972
0,0045
0,0153
0,0650
0,0221
0,3276
0,2357
0,2428
0,1005
0,1483
0,2404
0,2598
0,1796
0,1220
0,2506
0,1584
0,1222
0,1166
0,0708
0,0929
0,1819
0,2898
0,1715
0,2452
0,1664
0,1746
0,1981
0,2363
0,1544
0,4860
0,3976
0,4276
0,2455
0,2010
0,1093
0,0364
0,0374
0,0422
0,0221
0,2157
0,0008
0,1148
0,0260
0,0462
0,0445
0,0270
0,0336
-
-
-
-
-
-
-
0,4928
0,6423
0,5065
0,7411
0,7295
0,6431
0,6694
1,0000
1,0000
1,0000
1,0000
1,0000
1,0000
1,0000
186
Lampiran 14 (Lanjutan) Kode Sektor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 190 200 201 202 203 204 205 209 210
24
25
26
27
28
-
-
-
0,0010
-
-
0,0001
0,0004
0,0004
-
-
-
0,0002
0,0012
-
-
0,0030
0,0237
0,0109
-
-
0,0001
0,0011
0,0003
-
-
0,0003
0,0024
0,0005
-
-
-
0,0001
0,0000
0,0001
-
0,0004
0,0122
0,0010
-
-
-
-
-
0,0002
-
0,0002
0,0044
-
-
-
-
-
-
-
0,0041
0,0106
0,0404
0,0601
0,0130
0,0046
0,0079
0,0021
0,0034
0,0047
0,0003
0,0004
0,0004
0,0005
0,0002
0,0039
0,0319
0,0067
0,0006
0,0007
0,0109
0,0252
0,0576
0,0395
0,0524
0,0006
0,0017
0,0001
0,0000
0,0001
0,0130
0,0362
0,0042
0,0059
0,0071
0,0090
0,0140
0,0019
0,0029
0,0054
0,0079
0,0089
0,0005
0,0018
0,0014
0,0069
0,0028
0,0050
0,0012
0,0009
0,0615
0,0103
0,0080
0,0137
0,0051
0,0037
0,0014
0,0015
0,0029
0,0130
0,0163
0,0068
0,0149
0,0112
0,0078
0,0246
0,0033
0,0038
0,0018
0,0004
0,0230
0,0056
0,0332
0,0516
0,0035
-
-
0,0015
0,0470
-
0,0243
0,0397
0,0072
0,0052
0,0024
0,2145
0,2109
0,2334
0,2645
0,1185
0,1280
0,1734
0,1874
0,1464
0,2126
0,2031
0,1301
0,1776
0,0241
0,2022
0,3001
0,3284
0,3648
0,4874
0,4029
0,1394
0,1410
0,0308
0,0501
0,0384
0,0148
0,0162
0,0059
0,0275
0,0254
-
-
-
-
-
0,6575
0,6157
0,5792
0,5891
0,6689
1,0000
1,0000
1,0000
1,0000
1,0000
187
Lampiran 15. Matriks Kebalikan Leontief (I-A)-1 Kode Sektor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 Total
1
2
3
4
5
6
7
8
1,07871
0,00269
0,00212
0,00191
0,00103
0,00075
0,00328
0,02717
0,00003
1,04462
0,00006
0,00007
0,00003
0,00002
0,00008
0,00143
0,00001
0,00005
1,01680
0,00004
0,00002
0,00001
0,00005
0,00102
0,00010
0,00022
0,00017
1,03322
0,00009
0,00006
0,00029
0,00217
0,00000
0,00000
0,00000
0,00000
1,00584
0,00000
0,00000
0,00000
0,00004
0,00015
0,00010
0,00013
0,00006
1,06349
0,00013
0,00324
0,00016
0,00036
0,00028
0,00025
0,00014
0,00010
1,01129
0,00334
0,00146
0,02975
0,01383
0,02874
0,01094
0,00696
0,00253
1,07451
0,00002
0,00004
0,00002
0,00002
0,00002
0,00001
0,00036
0,00026
0,00009
0,00019
0,00015
0,00013
0,00008
0,00006
0,00029
0,00161
0,00011
0,00020
0,00014
0,00014
0,00023
0,00008
0,00033
0,00128
0,00622
0,01335
0,01071
0,00934
0,00514
0,00377
0,01683
0,12221
0,00047
0,00078
0,00045
0,00057
0,00066
0,00035
0,00102
0,00271
0,00002
0,00003
0,00002
0,00002
0,00003
0,00001
0,00003
0,00007
0,00033
0,00242
0,00025
0,00074
0,00126
0,00116
0,04123
0,00250
0,02338
0,03614
0,02412
0,03114
0,03835
0,01901
0,03528
0,09920
0,00005
0,00007
0,00005
0,00006
0,00007
0,00004
0,00008
0,00019
0,00038
0,00078
0,00036
0,00046
0,00060
0,00033
0,00422
0,00168
0,00222
0,01511
0,00435
0,00525
0,01328
0,00651
0,01428
0,01979
0,00016
0,00038
0,00016
0,00019
0,00030
0,00016
0,00052
0,00072
0,00033
0,00051
0,00029
0,00038
0,00047
0,00025
0,00067
0,00122
0,01060
0,00899
0,00195
0,00253
0,00200
0,00284
0,00556
0,00524
0,00146
0,00240
0,00148
0,00191
0,00233
0,00119
0,00247
0,00603
0,00062
0,00230
0,00037
0,00034
0,00059
0,00070
0,00092
0,00112
0,00012
0,00022
0,00007
0,00008
0,00012
0,00008
0,00017
0,00026
0,00013
0,00025
0,00010
0,00044
0,00014
0,00009
0,00022
0,00048
0,00001
0,00002
0,00001
0,00001
0,00001
0,00001
0,00002
0,00002
0,00431
0,01521
0,00296
0,00363
0,00216
0,00293
0,00960
0,00474
1,13152
1,17723
1,08135
1,12172
1,08600
1,11097
1,15175
1,38420
188
Lampiran 15. (Lanjutan) Kode Sektor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 Total
9
10
11
12
13
14
15
0,00163
0,02627
0,00024
0,20365
0,00330
0,00228
0,02629
0,00005
0,01435
0,00001
0,00451
0,00008
0,00005
0,00060
0,00004
0,00092
0,00000
0,00217
0,00004
0,00003
0,00031
0,00021
0,00205
0,00003
0,01562
0,00031
0,00025
0,00215
0,00001
0,00011
0,00000
0,00000
0,00000
0,00000
0,00001
0,00012
0,00139
0,00001
0,00631
0,00012
0,00009
0,00090
0,00024
0,00355
0,00003
0,02746
0,00045
0,00031
0,00361
0,00044
0,00547
0,00005
0,02847
0,00054
0,00040
0,00393
1,00944
0,00119
0,00001
0,00215
0,00005
0,00005
0,00455
0,00027
1,03419
0,00003
0,01361
0,00027
0,00019
0,00196
0,00034
0,00147
1,07080
0,00888
0,12513
0,00441
0,00336
0,00840
0,13520
0,00125
1,04824
0,01699
0,01172
0,13531
0,00185
0,00321
0,00066
0,00632
1,01000
0,03483
0,00365
0,00003
0,00008
0,00003
0,00020
0,00009
1,01145
0,00023
0,02684
0,01477
0,00205
0,00350
0,00174
0,00578
1,00283
0,01970
0,11165
0,03956
0,15092
0,14421
0,02600
0,16938
0,00075
0,00022
0,00007
0,00034
0,00031
0,00034
0,00061
0,00943
0,00277
0,00060
0,00376
0,00227
0,00126
0,01209
0,00884
0,00896
0,01162
0,01524
0,00664
0,00605
0,01513
0,00031
0,00072
0,00029
0,00170
0,00070
0,00148
0,00185
0,00056
0,00144
0,00048
0,00216
0,00245
0,00125
0,00346
0,00672
0,01694
0,00200
0,01291
0,01059
0,00980
0,01257
0,00150
0,00730
0,00240
0,00952
0,00895
0,00274
0,01182
0,00773
0,00329
0,00092
0,00335
0,00319
0,01489
0,00659
0,00031
0,00037
0,00012
0,00051
0,00065
0,00052
0,00074
0,00036
0,00072
0,00015
0,00081
0,00140
0,00273
0,00170
0,00002
0,00002
0,00001
0,00002
0,00002
0,00002
0,00003
0,01643
0,00450
0,00224
0,00748
0,01551
0,00534
0,01123
1,12257
1,40311
1,13567
1,57981
1,35600
1,14425
1,43689
189
Lampiran 15. (Lanjutan) Kode Sektor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 Total
16
17
18
19
20
21
22
0,00173
0,02435
0,02083
0,00446
0,00286
0,00080
0,00102
0,00006
0,00114
0,00207
0,00012
0,00008
0,00003
0,00004
0,00005
0,00045
0,00279
0,00008
0,00006
0,00002
0,00003
0,00031
0,00280
0,00973
0,00050
0,00035
0,00022
0,00028
0,00001
0,00052
0,00061
0,00001
0,00001
0,00001
0,00001
0,00015
0,00633
0,00718
0,00023
0,00016
0,00006
0,00010
0,00025
0,00335
0,00430
0,00063
0,00040
0,00012
0,00016
0,00059
0,06287
0,02005
0,00088
0,00062
0,00026
0,00036
0,00006
0,00043
0,00027
0,00009
0,00004
0,00002
0,00004
0,00034
0,01278
0,01798
0,00052
0,00036
0,00014
0,00022
0,00206
0,00310
0,00141
0,00059
0,00037
0,00188
0,00090
0,00888
0,12437
0,10693
0,02297
0,01472
0,00409
0,00527
0,01600
0,01714
0,00470
0,00324
0,00201
0,01492
0,00689
0,00057
0,00087
0,00068
0,00028
0,00024
0,00066
0,00016
0,00781
0,00759
0,00250
0,00412
0,00158
0,00076
0,00178
1,01828
0,11398
0,09313
0,05016
0,02835
0,00993
0,01330
0,00182
1,00043
0,00018
0,00029
0,00051
0,00043
0,00040
0,01155
0,00365
1,00172
0,01268
0,00957
0,00360
0,00725
0,03218
0,00766
0,00567
1,02801
0,00212
0,00539
0,01752
0,00424
0,00193
0,00066
0,01170
1,01665
0,00928
0,00368
0,01162
0,00969
0,00167
0,00234
0,00329
1,02865
0,00595
0,02936
0,01006
0,00550
0,03424
0,01227
0,04304
1,11121
0,06034
0,00751
0,00707
0,00724
0,00292
0,00285
0,00368
0,00716
0,01648
0,00314
0,00753
0,01986
0,03131
0,03394
0,00162
0,00465
0,00088
0,00409
0,00105
0,00165
0,00762
0,00308
0,00336
0,00086
0,00144
0,00181
0,00422
0,00457
0,00007
0,00205
0,00054
0,00089
0,00013
0,00198
0,00027
0,01823
0,00582
0,00522
0,10376
0,00667
0,02040
0,07570
1,23843
1,45535
1,32829
1,30309
1,12904
1,18669
1,30234
190
Lampiran 15. (Lanjutan) Kode Sektor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 Total
23
24
25
26
27
28
0,00428
0,00182
0,00419
0,00954
0,01486
0,00307
0,00010
0,00008
0,00027
0,00073
0,00078
0,00008
0,00006
0,00006
0,00014
0,00034
0,00145
0,00005
0,00048
0,00095
0,00391
0,02611
0,01429
0,00040
0,00001
0,00004
0,00013
0,00116
0,00039
0,00001
0,00017
0,00023
0,00072
0,00299
0,00118
0,00016
0,00059
0,00027
0,00063
0,00138
0,00191
0,00055
0,00073
0,00092
0,00195
0,01577
0,00432
0,00064
0,00059
0,00005
0,00020
0,00014
0,00016
0,00028
0,00037
0,00050
0,00116
0,00547
0,00130
0,00036
0,00074
0,00084
0,00138
0,00087
0,00119
0,00086
0,02201
0,00936
0,02156
0,04883
0,07071
0,01580
0,00268
0,00610
0,00933
0,00386
0,00519
0,00590
0,00037
0,00038
0,00048
0,00048
0,00061
0,00025
0,12685
0,00587
0,03297
0,00816
0,00223
0,00297
0,02937
0,02046
0,04176
0,07281
0,05852
0,05815
0,00041
0,00068
0,00180
0,00023
0,00018
0,00023
0,00398
0,01540
0,03793
0,00591
0,00774
0,00816
0,01034
0,01190
0,01689
0,00569
0,00642
0,00791
0,00330
0,00899
0,00970
0,00118
0,00251
0,00189
0,00503
0,00817
0,00373
0,00640
0,00251
0,00180
0,04947
0,07178
0,01474
0,01346
0,02009
0,00899
1,01045
0,00573
0,00470
0,00616
0,00687
0,01671
0,03024
1,02026
0,00878
0,01704
0,01423
0,00913
0,01631
0,02586
1,00387
0,00461
0,00274
0,00100
0,00266
0,02486
0,00639
1,03518
0,05664
0,00410
0,00004
0,00009
0,00006
0,00166
1,04938
0,00002
0,02934
0,03261
0,04400
0,01088
0,00945
1,00526
1,35097
1,27428
1,27339
1,30703
1,35785
1,15476
191
Lampiran 16. Kriteria Kesesuaian Lahan Komoditas Padi Sawah Irigasi (Oryza sativa ) Persyaratan penggunaan lahan/ karateristik lahan Temperatur (tc) 0
Temperatur rerata ( C) Ketersediaan air (wa) Kelembapan (%) Media perakaran (rc) Drainase Tekstur Bahan kasar (%) Kedalaman tanah (cm) Gambut : Ketebalan (cm) Ketebalan (cm) Jika ada sisipan bahan mineral/ pengkayaan Kematangan
Kelas kesesuaian lahan S2 S3
S1 24 - 29
22 - 24 29 - 32
18 - 22 32 - 35
33 - 90
30 - 33
< 30 ; <90
agak terhambat, sedang halus, agak halus <3 > 50
terhambat, baik sedang 3 - 15 40 - 50
sangat terhambat agak cepat agak kasar 15 - 35 25 - 40
cepat
< 60 < 140
60 - 140 140 - 200
140 - 200 200 - 400
> 200 > 200
saprik,
hemik,
fibrik
+
+
saprik
+
hemik Retensi hara (nr) KTK liat (cmol) Kejenuhan basa (%) pH H2 O C-organik (%) Tosisitas (xc) Salinitas (dS/m) Sodisitas (xn) Alkalinitas /ESP (%) Bahaya sulfidik (xs) Kedalaman sulfidik (cm) Bahaya erosi (eh) Lereng (%) Bahaya erosi Bahaya banjir (fh) Genangan Penyiapan lahan (lp) Batuan dipermukaan (%) Singkapan batuan (%) keterangan :
S4
fibrik
< 18 > 35
kasar > 35 < 25
> 16 > 50 5,5 - 8,2
≤ 16 35 - 50 4,5 - 5,5 8,2 - 8,5 0,8 - 1,5
< 35 < 4,5 > 8,5 < 0,8
<2
2-4
4-6
>6
< 20
20 - 30
30 - 40
> 40
> 100
75 - 100
40 - 75
< 40
<3 sangat rendah
3-5 rendah
5-8 sedang
>8 berat
F0,F11,F12 F21,F23,F31,F32
F13,F22,33 F41,F42,43
F14,F24,F34 F44
F15,F25 F35,F45
<5 <5
5 - 15 5 - 15
15 - 40 15 - 25
> 40 > 25
Saprik+ , hemik+ ,fibrik+ = saprik, hemik, fibrik dengan sisipan bahan mineral/pengkayaan
192
Lampiran 17. Kriteria Kesesuaian Lahan Komoditas Jagung (zea mays ) Persyaratan penggunaan lahan/ karateristik lahan Temperatur (tc) Temperatur rerata (0 C) Ketersediaan air (wa) Curah hujan tahunan (mm) Kelembaban (%) Ketersediaan oksigen (oa) Drainase Media perakaran (rc) Tekstur Bahan kasar (%) Kedalaman tanah (cm) Gambut : Ketebalan (cm) Ketebalan (cm) Jika ada sisipan bahan mineral/ pengkayaan Kematangan Retensi hara (nr) KTK liat (cmol) Kejenuhan basa (%) pH H2 O C-organik (%) Tosisitas (xc) Salinitas (dS/m) Sodisitas (xn) Alkalinitas /ESP (%) Bahaya sulfidik (xs) Kedalaman sulfidik (cm) Bahaya erosi (eh) Lereng (%) Bahaya erosi Bahaya banjir (fh) Genangan Penyiapan lahan (lp) Batuan dipermukaan (%) Singkapan batuan (%)
S1 20 - 26
500 - 1.200
Kelas sesuaikan lahan S2 S3 16 - 20 26 - 30 30 - 32
S4 < 16 > 32
> 42
1.200 - 1.600 400 - 500 36 - 42
> 1.600 300 - 400 30 - 36
baik, agak terhambat
agak cpat, sedang
terhambat
hangat terhambat, cepat
halus, agak halus, sedang < 15 > 60
-
agak kasar
kasar
15 - 35 40 - 60
35 - 55 25 - 44
> 55 < 25
< 60 < 140
60 - 140 140 - 200
140 - 200 200 - 400
> 200 > 400
saprik+
saprik, + hemik
hemik + fibrik
fibrik
> 16 > 50 5,8 - 7,8
≤ 35 5,5 7,8
16 - 50 - 5,8 - 8,2
< 300 < 30
<3 5 < 5,5 > 8,2
> 0,4
≤ 0,4
<4
4-6
4-8
>8
<15
15 - 20
20 - 25
> 25
>100
75 - 100
40 - 75
< 40
16 - 30 berat
> 30 sangat berat
<8 8 - 16 sangat rendah rendah-sedang F0
-
F1
> F2
<5 <5
5 - 15 5 - 15
15 - 40 15 - 25
> 40 > 25
193
Lampiran 18. Kriteria Kesesuaian Lahan Komoditas Mangga (Mangifera indica L .) Persyaratan penggunaan lahan/ karateristik lahan Temperatur (tc) Temperatur rerata (0 C)
S1 22 - 28
Kelas kesesuaian lahan S2 S3 28 - 34 34 - 40 18 - 22 15 - 18
N > 40 < 15
Ketersediaan air (wa) Curah hujan tahunan (mm)
1.250 - 1.750
Kelembaban (%) Ketersediaan oksigen (oa) Drainase
1.750 - 2.000 1.000 - 1.250 36 - 42
baik, sedang
agak terhambat
sedang, agak halus, halus < 15 > 100
-
agak kasar
kasar
15 - 35 75 - 100
35 - 55 50 - 75
> 55 <50
< 60 <140
60 - 140 140 - 200
140 - 200 200 - 400
> 200 > 400
saprik+
saprik hemik+
hemik fibrik+
fibrik
> 16 > 35 5,5 - 7,8 > 1,2
≤ 16 20 - 35 5,0 - 5,5 7,8 - 8,0 0,8 - 1,3
< 20 < 5,0 > 8,0 < 0,8
<4
4-6
6-8
>8
< 15
15 - 20
20 - 25
>5
> 125
100 - 125
60 - 100
<60
<8 Sr
8 - 16 rendah - sedang
16 - 30 berat
>30 sangat berat
F0
-
-
> F0
<5 <5
5 - 15 5 - 15
15 - 40 15 - 25
> 40 > 25
Media perakaran (rc) Tekstur Bahan kasar (%) Kedalaman tanah (cm) Gambut : Ketebalan (cm) Ketebalan (cm) Jika ada sisipan bahan mineral/ pengkayaan Kematangan Retensi hara (nr) KTK liat (cmol) Kejenuhan basa (%) pH H2O C-organik (%) Tosisitas (xc) Salinitas (dS/m) Sodisitas (xn) Alkalinitas /ESP (%) Bahaya sulfidik (xs) Kedalaman sulfidik (cm) Bahaya erosi (eh) Lereng (%) Bahaya erosi Bahaya banjir (fh) Genangan Penyiapan lahan (lp) Batuan dipermukaan (%) Singkapan batuan (%)
2.000 - 2.500 750 - 1.000 30 - 36
>2.500 <750 <30
terhambat, sangat terhamagak terhambat bat, sepat