STUDI PEMIKIRAN GENDER ABU ZAID DAIAM DAWA-IR AL-KHAUF Yusroh Dosen Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
Abstract The article is trying to understand N~r Hamid Abu Zaid's thoughts in his book Dawa-ir al-Khauf, especially to read some verses in it using women perspective. There are two main reasons in Abu Zaid's view to write the book. First, he believes that the power of Islam in everybody's mind can gUide himlber to reach a holy knowledge and rationality. The mind has important rule to understand religious teachings and to knows Allah's gUidance. Second, faith is the basic of belief and worship. Abu Zaid used contextual readings to read the Quranic verses. The first reading is done in historical and social context. Historical reading can discover the progress of meaning in texts order. The second one is deep narrative reading which can find the inner seman tical signs in the text. The third is rebuilding words order and dictions to understand any main intention out of syntactical order. The contextual readings mentioned is used to research women:S-problems such as the equality between men and women, inheritance, divorce, polygamy, scaif and dress for Muslim women, private body, etc. Keywords: Quranic verses, Dawa-ir al-Khauf
~.Ia..,.:,l>- J)-I }I).:> "-1\.:;5' :; --4j ~I ..vl>- ~ )t>JI a.lW.1 oh yl:5J\ Ih a.:\.:;5' ~ ) .6.JL...; O~\~ ~W~
jkJJ) ,W-I) JWI ~h10L...;')'1 ~
:;
J1t:G ~\
e:\l,6;
~\.;J\ .:.;4\11 o~l}
(>l" ,),1 o~ ~ 4.ii J,}:J1 ~
,~\...\.J.I ~~ J"L..I 4.i1 ~ r-WI ~ ~;, 4.i~ ~..ul a.lL.. )I t~l
:; .;::-? ))':>
.o.:>~I) o~1 y. 0~)'10i ~WI)
Vol. 1, No.1, Juni 2013
1
Yusroh
~
oh",
f}:.ll 0T.;JI ~~ o~l}
i f ~)l>- -.I'~I
<J ~~ o~l} ~j
./=J'w J~ ~ J",yJI~; J~
y.i ~ J",'YI ~~ J>-I f
o~I.;JI 0i '" ,~I <J )..,-JI '" ,.:;\-!~I ~; i f Jfo J",yJI ~; ~ ~l:dl o~I.;JI l.Ai '" ~~I ~; <J ($.".w.1 )yb:ll ~ 0i ~ ~)::JI .($.".w.1 ) yb:ll ~fi ~.;11 I..S ~ J~ ~l!JI 0
.;s1 <J
0\5' } '" ($.".w.1 ~t::J1 ~ 0i ~
,..rdl i f J.>-b J}' - ~ ~ r '"
~~I J~ Jl!J1 '" ~
.($ ~I ~.rJ1 i f ~i J~ ~ ($ y..UI ~.rJI
0!! o)WI
r
Ih 4.!l:S' ~ -4j y.i ~ 4JW1j1WI Loi)
oJyJl ) yW-I ) vl.>.-)) ~..Mj
)
J~I ) 6 J ~I ) ~WI )
JI.>.-)I
.i.5?~1 j1WI i f l..b~ ) J j-I )I",~ ,d.;JI :~, jJ~~ I. Pendahuluan Dalam tradisi Islam, pemahaman terhadap teks al-Qur'an bersifat terbuka karena ada wilayah untuk melakukan pemahaman baru guna mengaktualisasikan pesan-pesan moral al-Qur'an. Hal ini terjadi karena gagasan universal Islam tidak semuanya tertampung dalam bahasa yang bersifat lokal-kultural, serta terungkap melalui tradisi kenabian. Pola pemahaman yang hanya menekankan aspek transendental semata akan melahirkan pemahaman yang bersifat satu arah yaitu antara komunikator (Tuhan) dan teks (al-Qur'an). Sedangkan sisi pembaca teks yang mewakili unsur kesejarahan al-Qur'an menjadi hilang. Dalam hal ini, al-Qur'an lebih dipandan sebahai teks Ilahy ketimbang teks kemanusiaan. Betapapun teks al-Qur'an sud, sesungguhnya ia merupakan teks bahasa yang bersifat manusiawi karena teks yang sud telah menjadi sejarah dan terwadah dalam bahasa local, yakni bahasa Arab, yang itupun terumuskan dalam konteks ruang dan waktu tertentu. Na$r Hamid Abu Zaid (selanjutnya disebut Abu Zaid) adalah pemikir Arab kontemporer penerus eksponen gerakan modemis-
2
INSYIRAH, ]umal Ilmu Bahasa Arab dan Studi Islam
Studi Pemikiran Gender Abu Zaid dalam Dawa-ir Al-Khauf
progresif-liberatif sebagai bagian dari trend pencerahan, sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi sosial, budaya, intelektual dan politik Mesir. Pemikiran kritisnya muncul dari kegelisahannya terhadap model pembacaan teks secara ideologis (talwin) dan respon kritis terhadap tradisi penafsiran teks klasik untuk menampilkan unsur dinamik dan progresivitas dalam realitas pemikiran Islam. Karya-karya Abu Zaid menunjukkan struktur .horizon pemikiran yang dinamis atas berbagai pembacaan teksteks keagamaan di pentas pergulatan pemikiran Islam sebagai refleksi pergeseran paradigma melalui kajian kritik teks keagamaan sehingga melahirkan pergeseran paradigma dari pemikiran yang bersifat normative-reproduktif ke arah pemahaman yang bersifat hermeneutika-produktif. Penekanan telaah Abu Zaid sesungguhnya tidak bergerak ke wilayah teologis, tapi ia lebih melihat pada bahasa dalam konteks lugbab atau langue sebagaimana dimaknai Ferdinand de Saussure 1, yakni bahasa dalam wilayah realitas historis yang merupakan bagian dari kebudayaan. Berdasarkan deskripsi di atas, tulisan ini mencoba untuk menelaah pemikiran Abu Zaid dalam bukunya Dawa~ir al-Kbauf khususnya tentang pemaknaan kembali ayat-ayat yang terkait dengan fiqh wanita dengan perspektif jender. Buku ini dipersembahkan Abu Zaid kepada istri sekaligus ternan dan sahabatnya, Ibtihal Yunus dan semua perempuan serta anak keturunannya. Abu Zaid mengungkapkan pengalamannya ketika dia diusir dari keluarga dan negerinya serta para mahasiswanya, hanya karena ia menulis bukubuku yang membuka pintu perdebatan dan kritik tentang fenomena dan problematika yang dihadapi kaum muslimin kontemporer. Buku ini mengungkapkan ijtihad Abu Zaid dalam memahami al-Qur'an, ajaran Nabi, dan memahami salah satu fenomena masyarakat saat ini, yakni perempuan. 2 Dia mencoba mendekati problema perempuan dalam wacana Arab kontemporer dari sudut yang berbeda meskipun realitasnya untuk menyempurnakan yang sudah ada. Kajiannya dipusatkan pada wacana krisis dengan analisis kritis. Abu Zaid berpesan, agar kita tidak mencari ifrit dalam bukunya, tetapi ia ingin agar kita menanggapi dan menemaninya
Vol. 1, No.1, Juni 2013: 1-26
3
Yusroh
dalam hal memproduksi makna yang hutnanis bagi kebudayaan manusia yang pereaya pada kerja sarna, dialog dan interaksi, yakni budaya yang mampu memperkaya masyarakat untuk dapat membangun dunia yang adil, setara dan bebas diskriminasi. H. Sekilas Tentang Nasr Hamid Abu Zaid
Yusuf Rahman membagi perkembangan pemikiran Abu Zaid menjadi empat bagian (Yusuf Rahman, 2001: 253-254). a. Perlode Formatif terbagi menjadi dua, Pertama, 1943-1972 (dari Tanta ke Kairo). Hal ini dimulai sejak kelahiran Abu Zaid di Quhafa, sebuah desa keeil dekat Tanta di lembah Nil Mesir pada tanggal 10 Juli 1943. Ia mulai sekolah di Kuttab untuk belajar baea, tulis serta menghafalkan al-Qur'an. Usia 8 tahun, ia hafal al-Qur'an dan dikenal sebagai Syaikh. Tahun 1951, ia sekolah di Madrasah Ubaidiyyah Tanta, dan tahun 1957, beberapa bulan sebelum ayahnya wafat, ia tamat. Tahun 19571960, ia kuliah di Tanta Technical College hingga menyelesaikan diplomanya. Tahun 1961, ia bekerja sebagai teknisi di dinas perhubungan. Tahun 1968-1972, ia kuliah jurusan sastra Arab di Universitas Kairo hingga lulus dengan cumlaude, dan akhimya menjadi asisten tidak tetap di almamatemya.Kedua, 1972-1985 (Ketertarikan pada studi Islam). 1972, ia mulai tertarik kepada studi Islam, antara lain pemikiran Amin al-Khuli tentang studi Islam dan studi al-Qur'an. Tahun 1975-1977, ia belajar bahasa Inggris di Universitas Amerika yang ada di Kairo karena bahasa Inggrisnya kurang. Tahun 1977, ia belajar studi Islam. Tahun 1981, ia menjadi doktor. Ia pemah tinggal di Amerika selama dua tahun (1978-1980), saat memperoleh beasiswa untuk penelitian doktoralnya di Institute of Middle Eastern Studies, University of Pennsylvania, Philadelphia, dan berkesempatan belajar linguistic, sosiologi dan antropologi, oleh karena itu ia menguasai bahasa Inggris lisan maupun tulisan. Revolusi pemikiran Abu Zaid dimulai sejak ia bersentuhan dengan karya sastra Perancis hasil terjemah Musthafa Luthfi al-Manfaluthi, karya sejarah George Zaidan, Yusuf as-Siba'i, Najib Mahfudz, Ibrahim Naji, Ali Mahmud Taha, Jibran Khalil Jibran, al-Barudi, Ahmad Syauqi, Hafidz Shalah Abdus Shabur dan Ahmad Abdul 4
INSYIRAH, }urnal IImu Bahasa Arab dan Studi Islam
Studi Pemikiran Gender Abu Zaid dalam Dawa-ir Al-Khauf
Mu'ti al-Hijazi. Menurutnya, sastrn mampu menjadi gerbang pertama untuk mencerahkan pemikiran manusia. b. Periode Fondasi (1985-1989). Setelah mantap fondasi keilmuannya termasuk dari aspek bahasanya, Ia berani menjadi dosen tamu di Universitas Osaka, Jepang, dan mengajar Bahasa Arab selama empat. Ia mulai menuangkan pemikirannya ke dalam buku dan berbagai makalah, yang sudah dimulainya sejak tahun 1982. c. Periode Polemik terbagi menjadi dua. Pertama, 1989-1993 (Kritik terhadap wacana agama). Ia semakin giat menulis dan mengkritisi berbagai fenomena yang terkait wacana agama terutama terkait ta'wil teks kitab sud. Mei 1992, dia mengajukan promosi profesor di Universitas Cairo. Tanggal 3 Desember 1992, tujuh bulan setelah pengajuan, para penilai yang terdiri dari Dr. Abd Shabur Shahin (profesor dari Univeritas Darul Ulum dan ulama dari masjid Amr Bin Ash), Dr. Mahmud Ali Makki (profesor studi Andalusia, dari Universitas Cairo), Dr. Awni Abd Rauf (Profesor lingusitik dari Universitas 'Ayn Syams) menilai promosi profesomya.Kedua, 1993-1995 (polemic sekitas kasus Abu Zaid). Jum'at, 2 April 1993, Dr. Shahin mendeklarasikan di masjid bahwa Abu Zaid murtad. Harian al-Liwa' al-Islami dalam editorialnya 15 April 1993 mendesak pihak Universitas Kairo agar Abu Zaid segera dipecat karena dikhawatirkan akan meracuni para mahasiswa dengan pikiran-pikirannya yang sesat dan menyesatkan. 16 Juni 1993, Muhamad Samida Abdush Shamad, dari Islamic Lawyer bersama 6 orang anggotanya mengajukan gugatan ke pengadilan Giza akan perceraian Abu Zaid dengan Ibtihal Yunus. Pengadilan membatalkan tuntutan mereka pada 27 Januari 1994. Namun di tingkat banding tuntutan mereka dikabulkan. Pada 14 Juni 1995, dua minggu setelah Universitas Kairo mengeluarkan surat pengangkatannya sebagai profesor, keputusan Mahkamah al-Isti'naf Kairo menyatakan Abu Zaid telah keluar dari Islam dan, karena itu, perkawinannya dibatalkan. Ada ancaman pembunuhan dari Ayman Zawahiri, kelompok teroris, untuk membunuh Abu Zaid. Front Ulama al-Azhar yang beranggotakan 2.000 orang meminta pemerintah turun tangan: Abu Zaid mesti disuruh bertaubat atau -kalau tidak Vol. 1, No.1, Juni 2013: 1-26
5
Yusroh
mau- ia harus dikenakan hukuman mati. Tidak lama kemudian, 26 Juli 1995, bersama istrinya, Abu Zaid terbang pergi ke Madrid, Spanyol, sebelum akhirnya menetap di Leiden, Belanda, sejak 2 Oktober 1995 sampai sekarang. d. Periode Pengasingan C1995-sekarang). Tahun 1995, dia mendapatkan gelar profesor di bidang bahasa Arab dari Leiden University yang didirikan sejak tahun 1575. 5 Agustus 1996, pengadilan tinggi di Mesir menolak banding, dan pada saat yang sarna Mahkamah Agung Mesir mengeluarkan keputusan yang sarna: Abu Zaid dinyatakan murtad dan perkawinannya dibatalkan. Di Leiden, ia semakin bebas menuangkan pikirannya dalam sejumlah tulisan dan buku, dan juga di seminar-seminar Internasional, meskipun tentu ada yang pro dan kontra hingga sekarang. Berikut beberapa karyanya yang dalam bentuk buku: alIttijah al-'Aqly fi at-Tafsir (1982), Falsafah at-Ta'wil: Dirasah fi at-Ta'wil al-Qur'an lnda Muhyi ad-Din bin al-'Araby (1983), Andzimat al-'Alamat fi al-Lughah wa al-Adab wa as-Tsaqafah: Madkhla Ila as-Simiyutik (1986), Majhum an-Nash: Dirasah fi Ulum al-Qur'an (1990), Naqd al-Khitab ad-Diny (1992), ai-Imam asy-Syafi'I wa Ta'sisu al-Idiyulujiyyah al-Wasatiyyah(1992), Isyakaliyat al-Qira'ah wa Aliyat at-Ta'wil (1992), al-Khilafah wa Sulthah al-Ummah (1995), al-Mar'ah fi Khitab al-Azmah (1995), at-Tajkir fi Zaman at-Tajkir: Dhiddul al-Jahli waz-ZaiJi wa alKhurafat (1995), an-Nash, as-Sulthah, al-Haqiqah: al-Fikr ad-Diny Baina !radat al-Ma'rifah wa !radat al-Haimanah (1995), al-Qaulu al-Mufid fi Qafiyati Abi Zaid (1996), Dawa 'ir al-Kbauf (1999), dan al-Khitab wa at-Ta'wil (2000).
m. Latar Belakang Pemikiran Nasr Hamid Zaid PenuHsan buku ini dilatarbelakangi oleh dua hal. Pertama, karena keyakinan yang mendalam atas solidaritas Islam dan kekuatannya dalam jiwa manusia ketika mendasari nalar dan kekuatan argumen; dan lemah serta kacaunya Islam jika hanya didasarkan atas penyerahan diri begitu saja. Dalam menyampaikan risalah keagamaan, peran akal sangat penting karena ia satu-satunya cara 6
INSYIRAH, ]urnal Ilmu Bahasa Arab dan Studi Islam
Studi Pemikiran Gender Abu Zaid dalam Dawa-ir Al-Khauf
untuk mendapatkan ilmu yang pada gilirannya merupakan dasar yang kuat bagi terbinanya hidayah. Hal ini memunculkan pikiran di hati Abu Zaid, terkait kegelapan hukum mengenai pemikirannya dan perceraian paksa dengan istrinya. Karena pentingnya peran akal dalam mendasari keimanan dan hidayah, maka Islam sangat mengikat antara akal dan ijtihad. Ketidakbenaran ijtihad bukan berarti menghalangi sampai kepada hakikat yang merupakan sesuatu yang hilang di kalangan mukmin. Padahal Islam membenarkan suatu ijtihad meskipun keliru3 • Menurut Abu Zaid, agama yang memperhatikan kebebasan berpikir berarti agama yang teguh kepada dirinya sendiri, membolehkan ijtihad, penelitian dan pemikiran dan tidak peduli fanatisme agama. Kedua, kepastian iman keagamaan adalah aqidah dan ibadah. Iman tidak menjauhi pemahaman, penjelasan dan interpretasL Menurut Abu Zaid, para ulama berbeda dalam memahami konsep iman, ada yang memaknai bahwa iman menyangkut amall ibadah, dan ada yang memahami bahwa keimanan hanya terbatas pada hatL Beberapa perbedaan pendapat di kalangan ulama sebenamya bukan pada al-ushul, yang pokok, tapi ijtihad yang berbeda dalam memahami al-ushul dan menjelaskannya. Para ulama berbeda dalam menafsiri dan menakwili al-Qur'an antara berpegang kepada makna harfiah dan antara makna takwil dengan melihat kaidah bahasa dan balaghah untuk memahami al-Qur'an. Sebenamya masingmasing mereka tidak mengingkari keiJazan al-Qur'an meskipun diturunkan dengan bahasa Arab dalam konteks dan pengetahuan mereka, tetapi dalam konteks ini para penakwillebih mampu untuk membuka tirai keiJazan dan memperjelas isi al-Qur'an.4 Menurut Abu Zaid, medan ijtihad yang memerlukan kesempuma an ilmu, syarat-syarat, seperangkat ma'rifah, metodologi dan pendekatan seorang mujtahid harus disesuaikan dengan masanya; sehingga tidak logis ketika kita hidup pada abad ke-21 harus tetap berpegang kepada syarat dan kaidah ijtihad yang disampaikan para ulama terdahulu. Selain itu ijtihad yang berarti pemikiran itu sendiri bukanlah sebuah kejahatan karena menyebarkan hasil pemikiran adalah wajib bagi seorang mujtahid baik bagi agama maupun masyarakatnya. Menghukum pemikiran itu sendiri adalah sebuah kejahatan yang lain. Vol. 1, No.1, Juni 2013: 1-26
7
Yusroh
Buku Dawa ~ir al-Khaufini mempunyai tempat khusus dalam diri Abu Zaid karena lahir dari dua periode kehidupannya. Pertama, sebelum 1995, ketika muncul buku pertamanya tentang perempuan (al-Mar~ah fi Khithab al-AzmahJ, di Kairo 1994, dimana dia berusaha menganalisis wacana keagamaan mengenai perempuan dan membandingkannya dengan wacana renaissance Arab-Islam untuk mengungkap yang tersirat di dalam kedua wacana Islam itu. Dalam buku tersebut Abu Zaid belum masuk pada wacana makna teks keagamaan dari al-Qur~an atau hadis nabi. Kedua, setelah tahun 1995, ketika pertanyaan tentang teks keagamaan menjadi urgen khususnya setelah Mahkamah Banding Hukum Keluarga Mesir mengeluarkan keputusan hukum yang merugikannya, dan disebutkan di dalamnya masalah pembelaannya terhadap hak asasi perempuan, khususnya hak untuk mendapatkan bagian yang sarna dengan laki-Iaki dalam hal pewarisan.
w. Konsep Gender J ender5 berasal dari bahasa Inggris gender, berarti jenis kelamin (John M.Echols dan Hassan Shadily, 1983: 265). Dalam Webster's New World Dictionary, jender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku (Victoria Neufeldt (ed.), 1984: 561). Dalam Women's Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa jender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat (Helen Tierney(ed.),: 153). Elaine Showalter mengartikan jender lebih dad sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi social budaya. Ia menekannya sebagai konsep analisis yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu (Elaine Showalter, 1989: 3). Jender merupakan suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari aspek social-budaya. Jender lebih menekankan perkembangan aspek maskulinitasl rujuliyyah atau feminitasl nisa ~iyyah seseorang. Beban jender seseorang tergantung dari nilai-nilai budaya yang berkembang di dalam masyarakatnya.
8
INSYIRAH, Jumal Ilmu Bahasa Arab dan Studi Islam
Studi Pemikiran Gender Abu Zaid dalam Dawa-ir Al-Khauf
v. Metode Pembacaan Kontekstual Nasr Hamid Abu Zaid Metode pembacaan kontekstual dalam ayat-ayat jender bagi Abu Zaid lebih berguna dan efektif dari pada metode istinbat fikih tradisional yang mengandalkan mekanisme qiyas (memindahkan hukum dati asal ke cabangnya atas dasar kesamaan illat). Metode ini (manhaj al-qira-ah as-siyaqiyyah)(Abu Zaid, 2000:202) merupakan pengembangan dati metode ushul-fiqh tradisional dan kelanjutan kerja keras pendukung kebangkitan Islam seperti Muhamad Abduh dan Amin al-Khuli (Amin al-Khuli dan Nasr Hamid Abu Zaid, 2004: ix.). Ulama ushul menerapkan aturan ulum al-Qur'an hingga aspek linguistik sebagai perangkat pokok untuk interpretasi, ' menghasilkan dan melakukan istinbat hukum dati teks. Perangkat ini merupakan bagian terpenting dati sarana metode pembacaan kontekstual Abu Zaid. Jika ulama ushul menekankan pentingnya asbab an-nuzul, untuk memahami suatu makna, maka Abu Zaid melihat permasalahan dati sudut pandang yang lebih luas, yakni keseluruhan konteks social-histotis-abad ke-7 M- turunnya wahyu, karena melalui konteks itulah seorang penafsir dapat menentukan , misalnya dalam bingkai hukum dan syari' ah, antara otentisitas wahyu dengan adat dan kebiasaan keagamaan atau social praIslam. Jika ulama ushul berpendapat bahwa asbab an-nuzul bukan berarti temporalitas hukum dan tidak terbatas sebagai suatu sebab sehingga mereka meletakkan kaidah al- -ibrah bi umum al-laJdzi la bi khusus as-sabab), maka Abu Zaid membuat perbedaan antara makna historis yang diperoleh dati suatu konteks pada satu sisi, dan signifikansi (magza) yang diindikasikan oleh makna dalam konteks sosio-historis penafsiran. Metode pembacaan kontekstual meniscayakan pembedaan antara "makna" dan petunjuk historis yang digali dati konteks, dengan "signifikansi" yang ditunjukkan oleh makna dalam konteks historis-sosiologis di zaman penafsir (Abu Zaid, 202-203). Betikut beberapa level konteks dalam metode pembacaan kontekstual menurut Abu Zaid (Ibid, 203-207.): a. Konteks keruntutan pewahyuan (siyaq tartiban-nuzul) Konteks historis-sosiologis-ekstemal .JeflDecia dengan historis-kronologis pewahyuan yang
Vol. 1, No.1, Juni 2013: 1-26
9
Yusroh
urutan bacaan surat dan ayat dalam mushaf al-Qur'an. Metode pembacaan kontekstual adalah metode yang memperhatikan dua konteks dalam rumusan holistic-kontrustif yang tidak mengabaikan perbedaan antara kedua konteks tersebut. Pembacaan historis mampu menyingkap perkembangan makna dalam struktur teks, sedangkan pembacaan kronologis (alqira'ah at-tatabu'iyyah) berhasil mengungkap pengaruh makna keseluruhan walaupun dalam banyak kesempatan, ia mengabaikan masalah perkembangan makna (at-tathowwur al-ma 'nawi). b. Konteks naratif (siyaq as-sard) Yakni konteks semantik-internal dari teks. Ia berusaha memindahkan cakupan konsep konteks dari luar batasan klasik (seperti ilmu nasikh-mansukh, asbab nuzul, dan ilmu-ilmu bahasa) ke dalam konteks historis-sosiologis turunnya wahyu, untuk tujuan pemilahan hukum syariah antara yang benarbenar ciptaan wahyu dengan yang berasal dari adat dan tradisi sosial religius pra-Islam (Ibid, 202). Nasr Hamid memandang tahap kedua dari metode kontekstual sebagai inti ijtihadnya. Yakni konteks yang lebih luas meliputi sesuatu yang dianggap perintah atau larangan syara'. Pentingnya konteks ini menurut Abu Zaid terlihat dalam pemantapan seorang pengkaji dalam membedakan antara apa yang muncul melalui tasyri' secara substansial dan yang muncul melalui gaya bahasa perdebatan, deskripsi, ancaman dan janji, serta pelajaran dan peringatan. c. Level struktur kebahasaan (mustawa at-tartib al-lughawy) Yakni level yang lebih komplit daripada susunan gramatikal yang menjadi perhatian para penafsir, karena ia memerlukan analisis terhadap relasi sepertijasl, wasl, taqdim, ta'khir, idlmar, idhar, adz-dzikr wa al-hadzf, at-tikrar dan lainnya. Semua itu merupakan unsur makna yang mendasar dalam menyingkap level makna. 6 VI. Nasr Hamid Abu Zaid Tentang Fiqh Perempuan
Abu Zaid mencoba mendiskusikan ayat-ayat jender dalam al-Quran secara analitis kritis historis. Metode itu jika diterima akan menjadi 10
INSYIRAH, Jurnal Ilmu Bahasa Arab dan Studi Islam
Studi Pemikiran Gender Abu Zaid dalam Dawa-ir Al-Khauf
solusi atas dilema yang dihadapi pemikiran Islam kontemporer. Ia berkesimpulan bahwa banyak hukum Islam terkait hak-hak perempuan yang menjadi sasaran serangan orang Barat temyata secara historis bukanlah aturan hukum yang dibawa oleh al-Quran (Ibid.:206). Dengan metode historis kritis tersebut, untuk mengetahui posisi Islam sesungguhnya dalam menyikapi hak asasi manusia, terutama hak wanita, sewajamya dilakukan kajian perbandingan sejarah antara hak wanita di masa pra-Islam danhak-hak baru yang ditentukan pasca kehadiran Islam. Antara kedua fase tersebut ada area bersama yang menjadi titik pertemuan antara nilai lama dan baru. Proses kreatif inilah yang dinamakan proses pemerolehan kembali makna orisinil Cistradah al-ma~na al-asly) melalui rekonstruksi konteks historis 14 abad silam. Sehingga secara latah kita mengelabui banyak orang bahwa semua hal yang disinggung al-Qur'an tentang wanita adalah tasyri' padahal bukan. Terkait dengan isu tersebut, ada dua buah buku yaitu alMar'ah fi Khithab al-Azmah dan Dawa'ir al-Khauf Dua buku tersebut itulah yang menunjukkan indikasi perhatiannya pada isu perempuan. Beberapa gagasan jender Abu Zaid dapat dikaji lewat studinya tentang teks-teks hukum yang berkaitan dengan perempuan yang banyak terekam dalam surat al-Nisa. Ada banyak isu, namun yang ditekankan di sini khususnya tentang pemikahan dan talaq, poligami, pewarisan, serta hijab dan aurat. Hal ini karena isu terse but termasuk kontroversial dengan pemikiran intelektual muslim yang lain dari dulu sampai sekarang dalam menginterpretasi ayat alQur'an yang terkait topik tersebut. Tentang konsep qawamah Ckemampuan memimpin) dalam Q.S. al-Nisa: 34, titik sentral ayat ini adalah superioritas laki-laki atas perempuan. Namun yang perlu digarisbawahi, menurut Abu Zaid, adalah penyebab hal tersebut yaitu kontribusi laki-laki dalam pemenuhan kebutuhan hidup, bukan karena derajat lakilaki yang memang superior. Oleh karena itu, masih menurut Abu Zaid, pada zaman modem seperti sekarang ini, karena perubahan yang berpengaruh pada lingkup sosial institusi yang kemudian
Vol. 1, No.1, Juni 2013: 1-26
11
Yusroh
menjalar ke tataran struktur sosial, perempuan dengan demikian dapat dianggap sebagai qawwamun selarna ia berperan sebagai sumber kehidupan utama dalam keluarga (Nasr Hamid Abu Zaid dan Esther R Nelson. 2004: 173-176). Secara tegas dan berulang, dalam berinteraksi dengan ayat-ayat tentang perempuan, Abu Zaid menekankan· konsep keadilan. Menurutnya, jika beberapa .praktik dalam al-Qur'an terlihat bertentangan dengan konsep keadilan ini, maka pada saat yang sama konteks lah yang bertindak sebagai juru bicara. Kembali pada isu feminis laki-Iaki, jika kita menilik argumen-~. argumen mereka yang kontra atau skeptis akan totalitas laki-Iaki sebagai feminis dengan dalih bahwa laki-laki yang mengaku sebagai seorang feminis, mereka tak ubahnya'seorang oportunis yang hanya berusaha mempelajari feminisme untuk keuntungan tertentu seperti sosial, politik, atau bahkan akademik. Terlepas dati kapasitas Abu Zaid sebagai seorang akademisi, yang menarik untuk difahami adalah penjiwaan Abu Zaid terhadap pengalarnan hidupnya yang menjadikan ia mampu mengembangkan gagasan-gagasan jender, nya dengan bantuan al-Qur'an. Dawd-ir al-Khaufmerupakan bukti nyata kontribusi serius dan penghargaanAbu Zaid bagi perempuan.
a. Kesetaraan laki-laki dan perempuan Menurut Abu Zaid, isu perempuan perlu dianalisis karena ada diskursus persamaan antara laki-Iaki dan perempuan (al-musawah baina ar-rajul wa al-mar'ahJ (AbuZaid, Dawa'irul-Khauj, 207). Abu Zaid menegaskan bahwa hukum tersebut hendaknya dipahami dengan jiwa dari surat tersebut yang termaktub dalam pembukaannya yakni jiwa musawah (persarnaan). Dibandingkan dengan Taurat ketika Hawa digambarkan yang menggoda Adam untuk rnakan buah larangan bujukan setan, al-Qur'an lebih jelas menyatakan bahwa Adam dan Hawa sarna-sarna mendapat ganjaran. Menurut Abu Zaid, kisah Taurat dan Israiliyyat mempengaruhi para mufassir awal (Ibid, 1724.). Selain itu, teks al-Qur'an menunjukkan bahwa Adam dan Hawa diciptakan dari najs wabidah (al-Qur'an 4:1 dan 7:189). Hal ini kontras dengan Taurat yang menyatakan bahwa Hawa merupakan bagian dari Adam. 12
INSYIRAH, Jurnal Dmu Bahasa Arab dan Studi Islam
Studi Pemikiran Gender Abu Zaid dalam Dawa-ir Al~Khauf
Dalam al-Qur'an 3:195, 4:124, 9:71-72 dan 16:97 dijelaskan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki tugas dan kewajiban yang sarna secara religius untuk mendapatkan pahala dan balasan. Tentang tema ini, sebelumnya ada pendapat Riffat Hassan (Yusuf Rahman' Jan-Mei 1987: 182.),/disebutkan bahwa dalam Genesis 2:18-24, perempuan itu diciptakan dari laki-Iaki, sehingga berarti Adam adalah manusia pertama. Namun teks al-Qur'an jelas menyatakan kata Anta (Adam) wa Zaujuka (AlQur'an (2:35 dan 7:19)). Menurut ruffat, Adam bukan manusia pertama, dan belum tentu dia seorang laki-Iaki. Terkait dengan turunnya Adam dan Hawa dari surga, al-Qur'an menjelaskan dengan kata ihbitha (20: 123) dan ihbithu (2:36,38). Menurut Abu Zaid, tafsir yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam dan penyebab turunnyaAdam dari surga adalah Hawa, itu adalah tafsir khurafat khususnya tafsir Thabary (Abu Zaid, Dawair al-Khauj, 23.). Menurutnya, persamaan gender berdasarkan ayat-ayat mendasar al-Qur'an, namun ada ayat perkecualian yang menunjukkan ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan (Ibid, 90-91.). Misalnya al-Qur'an 16:58-597 tentang kelahiran bayi perempuan, menurut Abu Zaid itu harus dilihat dari konteks kontes, siyaq sijaly (Ibid, 207-211). lnL adalah konteks al-Qur'an bisa merubah situasi, karena ayat ini diakhiri dengan kalimat 'ala sa 'a ma yahkumun. Di samping itu, ada ayat-ayat yang mengindikasikan inferioritas wanita seperti statemen ibu Maryam nadzartu ketika ia melahirkan bayi perempuan (QS 3:35-36).
h. Pewarisan Dalam konteks surat an-Nisa' dan dalam konteks penguatan hak-hak anak yatim secara khusus serta larangan mernakan harta mereka, dan pentingnya menjaga harta itu untuk kemudian mengembalikannya setelah mereka dewasa kelak, datanglah hukum waris sebagaimana dalam an-Nisa': 7-11. 8 Dengan pemilahan antara "makna" dan "magza/ signifikansi", teks primer dan sekunder, yang terkait hukum pembagian waris bagi perempun, bagi Abu Zaid, melalui tahap-tahap yang tidak teratur dan tumpang tindih satu sarna lain. "Makna"
Vol. 1, No.1, Juni 2013: 1-26
13
Yusroh
ditafsirkan oleh Abu Zaid secara bebas dan tidak ditunjuk sama sekali oleh teks mantuqnya. Makna bagian waris perempuan 1/2 dari laki-Iaki adalah: laki-Iaki tidak boleh diberikan jatah waris lebih dari dua kali lipat bagian perempuan, dan perempuan tidak boleh diberikan jatah waris kurang dari 1/2 bagian lakilaki. "Signiftkansi" genderequalityadalah salah satu tujuan dasar tasyri'. Teks-teks persamaan religius dan humanitas laki-Iaki dan perempuan adalah teks yang bersifat fmal dan mengikat (qath'l). Dengan demikian teks-teks itu mengizinkan mujtahid untuk menetapkan bahwa gender equality antara laki-Iaki dan perempuan tidak melanggar batasan dan ketetapan Allah. "Ijtihad" atas dasar pemikiran di atas, kehaiusan pemerataan jatah bagian waris laki-Iaki dan perempuan dengan pertimbangan realitas kontemporer yang mengharuskan demikian, sehingga, bagi Abu Zaid, "tidak bisa diterima ijtihad berhenti pada batas yang ditentukan oleh wahyu karena jika tidak demikian maka klaim kecocokan Islam di segala tempat dan waktu akan gugur dan jurang .pemisah antara realitas yang terus berubah dan teks-teks yang difahami secara harfiah oleh diskursus agama kontemporer semakin menganga lebar. Bagi Abu Zaid, setiap ijtihad yang menghendaki terciptanya persamaan penuh Cantara laki-Iaki dan perempuan) merupakan . ijtihad yang mulia dan selaras dengan orientasi tujuan-tujuan umum tasyri'. Sedangkan ijtihad atau takwil yang terpaku pada cakrawala momen historis wahyu, keduanya terjebak ke dalam kekeliruan epistemologis terlepas dari faktor niat baik dan ketulusan dogma. Karena itu, jika batasan dan ketetapan Tuhan yang tidak boleh kita langgar yaitu kita tidak boleh memberikan jatah waris laki-Iaki lebih dari dua kali lipat jatah perempuan dan kita tidak boleh memberi perempuan kurang dari setengah jatah laki-Iaki, maka hal itu tidak melanggar ketetapan Allah. Persamaan artinya adalah persamaan batas maksimal laki-Iaki dan batas minimal perempuan tidak melanggar apa yang telah ditentukan Allah. Secara otomatis pula hal ini mencakup semua bidang fikih Islam yang selama ini dimaknai salah kaprah, berangkat dari gambaran nilai perempuan setengah nilai laki-Iaki dengan sample masalah warisan. Di antara bidang14
INSYIRAH, Jumal nmu Bahasa Arab dan Studi Islam
Studi Pemikiran Gender Abu Zaid dalam Dawa-ir Al-Khauf
bidang itu adalah: kesaksian di depan pengadilan, kelayakan perempuan untuk mengisi bidang yang dikuasainya seperti bidang advokasi dan hakim pengadilan. Konsep ijtihad yang ditawarkan oleh Abu Zaid adalah ijtihad di Iuar pakem teks. Cukup jelas kiranya bahwa tawaran model ijtihad "modem" ala Abu Zaid yang berpihak secara total kepada realitas manusia dan meminggirkan teks, semacam kredo atas aliran positifis-liberal yang sarna sekali menyingkirkan hakikat dan batasan-batasan teks (batasan-batasan "makna", dalam istilah Abu Zaid). . Berbeda dengan kredo Abu Zaid tentang ijtihad modem, di dalam fiqih Islam, ijtihad harns berangkat dari obligasi dan mandatori teks primer al-Qur'an dan Sunnah. Ijtihad tidak dibenarkan dalam masalah yang sudah tegas dijelaskan oleh nash yang shanh atau qath'i, seperti ayat-ayat hukum yang diperjelas oleh ayat atau sunnah Nabi sehingga tidak menerima takwillain maka tidak diperkenankan ijtihad liberal tanpa batas secara kode etik keilmuan yang sederhana sekalipun. Anehnya, Abu Zaid dalam banyak kasus, mengkategorikan ayat-ayat hukum sebagai teks sekunder di bawah teks-teks keimanan dan dogma sebagai teks primer. Dalam konteks deskripsi, siyaqul-wasfi, menurnt Abu Zaid, ayat qiwama (4:34) harns dipahami dalam regulasi Islam, laki-Iaki memimpin wanita seperti ayat bima fadldlalallahu ba'dhahum ba'dhan. Hal ini bukan ketentuan mutlak Tuhan, qadrun ilahy, tapi untuk menunjukkan bahwa tujuan al-Qur'an adalah untuk mengedepankan persamaan (Abu Zaid, 214). Jika dilihat dari aspek linguistik, kata qiwama berarti memimpin tanggung jawab ekonomi dan social. Hal tersebut karena lakilaki lebih utama untuk memberi nafkah. Ayat qiwama terkait isu ayat wanita, karena qiwama didasarkan pada kemampuan memberi nafkah, maka porsi bagian warisan laki-laki lebih besar. Menurnt Abu Zaid, asbabun-nuzul QS 4:7-11 ialah bahwa warisan pada masa pra-Islam hanya untuk laki-Iaki saja (Abu Zaid, 233-234.), kemudian Islam memberi bagian wajib untuk perempuan (QS.4:7). Oleh karena itu hak-hak warisan perempuan barn ada pada masa Islam, dan hak laki-Iaki dua kali hak perempuan. Interpretasi yang salah terhadap surat 2:2829 Vol. 1, No.1, Juni 2013: 1-26
15
Yusroh
tentang saksi dalam transaksi muamalah, konteksnya berubah karena ini terkait partisipasi perempuan dalam aspek kerja dan kehidupan (Ibid, 235.). c. Talaq
Dalam hal ini, Abu Zaid menyampaikan pendapat Muhammad Abduh yang menuntut persamaan hak cerai antara perempuan dan laki-laki pada satu sisi, dan dalam menghentikan hak talaq yang membabi buta bagi laki-Iaki dengan meminta persyaratan bahwa talaq tidak terjadi tanpa ada putusan hakim (pengadilan).l0 Menurut Abduh, tidak ada talaq kecuali diputuskan di depan· qad/i atau orang yang diberi izin dan dengan kehadiran dua orang saksi, dan itupun setelah ditunda selama seminggu untuk dipikirkan kembali, dan setelah mengajukan dua penasihat hokum, dari pihak suami dan istri untuk meyakinkan qadli bahwa suami istri tersebut tidak mungkin lagi bergaul dan gagal bersatu kembali. Abu Zaid mencontohkan pula dokumen perkawinan yang diberlakukan di Andalusia pada abad ke-4 Hill M yang mengungkapkan dengan jelas hak-hak yang didapatkan perempuan melalui teks perjanjian syarat aqad nikah dalam sebagian masyarakat Islam, hal yang menekan bahwa perolehan hak bagi perempuan yang sampai pada kategori kesetaraan dengan laki-laki tidaklah bertentangan dalam syari' at Islam.
d. Poligami Dalam kajian Qur'ani-nya terhadap isu poligami, Abu Zaid menyatakan bahwa al-Qur'an tidak menyokong poligami. Poligami merupakan sebuah praktik yang sangat populer jauh sebelum munculnya Islam. Karenanya, sebuah kesalahan jika dikatakan bahwa poligami adalah bagian dari Islamic revelation. Yang perlu ditekankan dalam Q.S.an-Nisa:3 11 adalah katakata anak yatim (al-yatama) yang menggunakan bentuk jamak. Pada abad ke-7, orang Arab memperlakukan anak-anak yatim dengan semena-mena. Mereka merampas hak asasi anak-anak yatim, mengambil hak warisnya, dan menjadikannya budak. Ayat ini kemudian, menurut Abu Zaid, mengundang al-Qur'an
16
INSYIRAH, Jurnal Ilmu Bahasa Arab dan Studi Islam
Studi Pemikiran Gender Abu Zaid dalam Dawa-ir Al-Khauf
untuk meminta kepada mereka yang semena-mena, "]ika kamu wahai orang Arab sangat rakus, maka mengapa kamu tidak nikahi mereka?" Dengan demikian yang melatarbelakangi adanya poligami adalah sebagai hasil dari pencarian solusi dari problem sosial pada abad ke-7 yaitu problem anak-anak yatim. Abu Zaid, selanjutnya menyesalkan mengapa dalam wacana keIslam-an, yang selalu didengungkan adalah: "Apakah poligami diperkenankan dalam al-Qur'an? Apakah ia legal?". Menurutnya, justru sudah sepantasnya sekarang ini yang kita pertanyakan adalah nasib dan imbas yang akan diperoleh anak-anak dalam kasus ini. Menurut Abu Zaid, konteks wahyu dan struktur linguistik teks jelas menunjukkan bahwa poligami bukan sesuatu yang legal permanen, namun temporal. Ditinjau dari asbabun-nuzul surat 4:2-3 diturunkan di Madinah setelah perang Uhud, karena ketika itu banyak pasukan Muslim yang gugur (Abu Zaid, Dawa'ir al-Khauf, 217.). Dalam kondisi tersebut, al-Qur'an membolehkan poligami. Selain itu, pada masa ]ahiliyyah, menikahi lebih dari satu istri tidak ada batasan, sehingga ayat ini diturunkan untuk membatasi hanya empat saja, hanya dalam situasi emergency dan harus adil (QS 4:3), namun manusia akan sulit untuk berlaku adil (QS 4:129) (Ibid. 254).
e. Hijab dan Aurat Ayat tentang hijab dapat dilihat dalam QS 24: 31.12 Yang menjadi catatan adalah kita aurat dan himar. Menurut Abu Zaid, aurat bukan konsep yang pasti, tetapi berkaitan dengan struktur budaya dalam konteks sosio-historis (Ibid. 236). Yang menjadi problem menurut Abu Zaid ialah pertama, berkembangnya aliran politik yang menggunakan symbol Islam, khususnya di Iran sejak revolusi rakyat menentang rezim syah. Pakaian perempuan (tutup kepala dan cadar) adalah salah satu tanda dan symbol yang dihidupkan oleh gerakan revolusioner sebagai pemyataan pertentangan atas tanda dan symbol Barat. Kedua, keputusan pengadilan Perancis tentang pelarangan perempuan Muslim yang menutup kepalanya dengan hijab karena peraturan yang ada di sekolah, dengan tuduhan bahwa pakaian ini
Vol. 1, No.1, Juni 2013: 1-26
17
Yusroh
termasuk eksklusivisme agama yang tidak diperbolehkan di dalam peraturan pendidikan sekuler di Perancis. Abu Zaid membatasi makna perhiasan yang ada dalam teks surat an-nur sebagai keseluruhan tubuh perempuan. Dia mengutip pendapat Syahrur (Muhammad Syahrur; 606-607.) yang mengklasifikasi tubuh perempuan (perhiasan) menjadi dua: perhiasan yang tampak yakni berdasarkan atas interpretasi tubuh perempuan yang tampak pada penciptaannya yaitu seperti kepala, perut, pinggang, kedua kaki dan kedua tangan. Bagian lain adalah bagian yang tidak tampak pada penciptaan, yakni Allah menyembunyikannya di dalam struktur tubuh dan organ perempuan. Bagian yang disembunyikan itu adalah juyub, yakni sesuatu yang ada di antara buah dada, di bawah kedua ketiak, kemaluan dan dua pantat. Bagian tubuh perempuan yang selain itu adalah perhiasan luar yang tidak termasuk dalam konsep aurat. Konsep aurat bukanlah konsep yang terpisah dari struktur kebudayaan di dalam konteks sosio-historisnya. Menurut Abu Zaid, jika dilihat dari konteks al-Qur'annya, terlepas dari konteks historis turunnya teks, aurat hanyalah organ seksual dari orang yang hidup dan ia adalah tubuh dari orang yang mati. Dalam hal ini Abu Zaid menyitir pendapat Abduh bahwa soal bijab (dalam arti menutup diri dari bercampur dengan laki-laki) adalah hak yang khusus bagi istri-istri Nabi, bukan umum untuk semua perempuan. 13 Selain isu perempuan khusus di atas, berikut beberapa hal yang dibahas Abu Zaid dalam Dawa'ir al-Kbauf a. Hawa' di antara agama dan mitos
Di antara tafsir yang penuh dengan riwayat khurafat (isra'iliyyat) ialah tafsir Imam Thabary. Sebenamya riwayat tersebut mengungkapkan keyakinan manusia pada masa tersebut dan sangat ada unsur saling pengaruh antara Islam dan agama-agama sebelumnya dari aspek budaya dan pemikiran. Sebagaimana diketahui bahwa orang Yahudi yang memeluk Islam, mereka masih mencampuradukkan antara tradisi dan
18
INSYIRAH, Jumal Ilmu Bahasa Arab dan Studi Islam
Studi Pemikiran Gender Abu Zaid dalam Dawa-ir Al-Khauf
warisan Yahudi dan aqidah Islam. Hal ini Nampak jelas dalam karya tafsir ketika itu, khususnya ayat yang berisi kisah-kisah dengan menyebutkan perincian dan detail cerita yang tidak ada dalam al-Qur'an semisal kisah para Nabi, umat terdahulu dan awal penciptaan manusia. Yang akan dibuka lagi oleh Abu Zaid ialah penafsiran tidak logis terkait kisah keluamya Adam dan Hawa' dari surga setelah keduanya digoda setan agar memakan buah dari pohon larangan. Kisah tersebut oleh Thabary diambil dari Wahab bin Munabbih, seorang Yahudi yang memeluk Islam, dan tampak sebagai kisah tafsiriyyah ta'liliyyab. Biasanya kisah ta'liliyyab menafsirkan fenomena yang melemahkan manusia dalam fase sejarah yang dibatasi dari penafsiran ilmiyyah. Keluamya Adam dan Hawa dari surga karena dua fenomena alami. Pertama, fenomena siklus· bulanan perempuan,14 dan hamil serta melahirkan. Hal ini kemudian dimaknai bahwa perempuan kurang aqal dan agamanya. Kedua, fenomena ular sebagai binatang berbahaya dan disamakan dengan Hawa karena keduanya membantu setan untuk menggoda Adam yang notabenenya laki-Iaki, sehingga ia berbuat dosa dan keluar dari surga (Kisah selengkapnya lihat Thabary, 335). Beberapa catatan Abu Zaid terkait kisah tersebut (Abu Zaid, Dawa 'fr alKbauf, 21-24):
i. Pertama, flablTuhan yang digambarkan dalam kisah tersebut ialah flab yang ada dalam Taurat, bukan Allah yang ada dalam keyakinan Islam. Ini alamiah karena aspek pengaruh sejarah yang sampai kepada kita. Dalam kisah tersebut ditunjukkan bagaimana Adam dihadapi oleh Iblis, Hawa' dan ular, dan setelah Adam tergoda, Tuhan mengintograsinya. Selain itu ganjaran keras yang diberikan Tuhan tidak hanya kepada Adam dan Hawa, tapi juga kepada anak cucunya. Hal ini tentu saja bertolak belakang dari tabiat yang dibangun Islam tentang sifat Allah dari satu aspek, dan dari aspek yang lain hubungan Allah dengan manusia. ii. Kedua, buah pohon terlarang yang disinyalir oleh Iblis sebagai tanda kekekalan malaikat ketika mereka memakannya, hal
Vol. 1, No.1, Juni 2013: 1-26
19
Yusroh
ini bertolak belakang dari konsep aqidah tentang tabiat malaikat yang tidak makan. Persyaratan yang disampaikan Hawa agar makan buah tersebut ketika Adam menginginkan tidur bersama, sehingga menjerumuskannya berbuat maksiat, hal ini menunjukkan bahwa Adam sebagai korban dan seharusnya tidak dihukum dengan pengusiran dari surga. Seharusnya cukup hanya Iblis yang dikeluarkan dari surga. Adam sebagai laki-Iaki dianalogikan dengan kebaikan dan Hawa sebagai perempuan dianalogikan dengan kejahatan. iii. Ketiga, terkait dengan logika jender, dimana tiap bulan Hawa dihukum dengan haid karena kesalahannya makan buah larangan, dan kepintarannya dihilangkan sehingga dianggap bodoh. iv. Keempat, terkait dengan hubungan antara Hawa' dan ular, menunjukkan permusuhan antara Bani Adam (terbatas lakilaki saja) dan ular.
h. Antropologi Bahasa dan Eksistensi yang Terluka Wacana seputar perempuan di dunia Arab kontemporer membicarakan tentang kemutlakan perempuan dan menempatkannya dalam perbandingannya dengan kemutlakan laki-laki. Wacana Arab modem tidak terlepas dari struktur bahasa Arab, dimana bahasa ini membedakan antara nama dalam bahasa Arab dengan non-Arab, antara lain adanya tanda tanwin dalam nama Arab dan non-Arab tidak menerima tanwin (Misalnya muhammadun, aliyyun (Isim Arab, ditanwin) , sedangkan nama Ibrahim, Isma'i/ (non Arab, tidak ditanwin). Demikian pula pembedaan nama laki-laki dan perempuan dalam bahasa Arab. Dalam hal ini nama perempuan disamakan dengan nama non-Arab (Misalnya Zainab, AisyahJ. Ideologi bahasa tidak hanya dalam pembedaan tersebut, tetapi juga misalnya dalam hal pembentukan jarnak, dimana kata yang dipakai bentuk jamak laki-laki meskipun kata itu menunjukkan fenomena hanya ada satu laki-laki dari beberapa perempuan. Dalam sejarah, menurut mazhab Maliky, perempuan memiliki hak mensyaratkan kepada calon suami untuk tidak menikah dengan perempuan lain. Bahkan sebagian mereka mensyaratkan 20
INSYIRAH, Jumal Ilmu Bahasa Arab dan Studi Islam
Studi Pemikiran Gender Abu Zaid dalam Dawa-ir Al-Khauf
bahwa mereka meiniliki hak meminta suami menceraikan istri bam yang dinikahi suami tanpa sepengetahuannya. Selain itu, mereka juga mensyaratkan suami untuk tidak jauh dari keluarganya kecuali untuk keperluan dan masa tertentu. Dalam masa kemunduran, perempuan kian jauh dari hadis bahwa mereka saudara kandung laki-laki, bahkan masa ini, kian kuat slogan tentang kekurangan mereka dalam nalar dan agama. Perempuan hams dijauhi ketika mereka haidl. Kisah keluamya Adam dari surga karena Hawa menyatu dengan ular dan setan. Masa ini pula, ditonjolkan ayat-ayat yangmendeskriditkan perempuan, seperti ~ .:/'J..$', bahwa tipu daya mempakan sifat yang melekat pada diri perempuan. Kisah Yusuf menunjukkan nafsu sebagai insting perempuan. Ketika kelompok kedl, sektarianisme, dan eksklusivisme agama menyatu, makamereka tidak akan dapat menyatu, justru yang muncul adalah teror, dan ia menjadi sebuah biara tanpa jendela yang dapat mengungkapkan dirinya, kecuali melalui jendela 'aku' itu sendiri. Perempuan tidak boleh keluar bekerja kecuali karena faktor ekonomi yang sifatnya darurat. Ayat 'al-Qarar'tentang keharusan perempuan untuk tinggal di rumah, yang sejatinya untuk para istri Rasulullah, menurut mufassir juga berlaku untuk seluruh perempuan. Bahkan di Mesir sempat ada larangan wanita bekerja, karena ketika sarjana kian banyak dan mereka mencari pekerjaan sangat sulit apalagi kalau harus bersaing dengan perempuan, maka lebih baik perempuan yang dilarang bekerja. Islam telah memberikan hak-hak perempuan sejak 14 abad yang lalu, jauh sebelum Barat. Islam memberikan kebebasan kepemilikan, membelanjakan hartanya, kekuasaan di pasar, mufti agama, keluar untuk berjihad dan mengobati orangorang yang terluka. Demikianlah, ada istilah khatha' Ckesalahan), bahwa kesalahan itu dari Hawa ketika mendengar bisikan setan, dan khathi'ah (dosa), yakni Adam melakukan dosa. Hal ini bisa dilihat dari dua aspek, pertama, bahwa kesalahan Hawa ialah kesalahan alami Badui, dia bertanggung jawab atas segal a kesalahan manusia, karena dia mengeluarkan Adam dari surga.
Vol. 1, No.1, Juni 2013: 1-26
21
Yusroh
Kedua, pertukaran makna, dimana perempuan' dianalogikan sebagai Saddam Husain yang diserang Amerika, sebagai analogi dari kelaki-lakian Adam (Abu Zaid, Dawa':'ir, 51). c. Perempuan dan Hukum Keluarga: Wacana Legislasi di Tunisia Perubahan undang-undang hukum keluarga di Tunisia terbit tahun 1957 dan pelaksanaannya dimulai pada bulan Januari. Perubahan dalam undang-undang tersebut antara lain sebagai berikut (Ibid, 283-285.): i. Larangan poligami bagi laki-Iaki yang menikah padahal ia dalam keadaan beristri dan akad nikah sebelumnya belum rusak, maka" yang melanggar dihukum penjara selama 1 tahun dan membayar denda 240 ribu Frank, atau dihukum dngan salah satu dari keduanya ii. Kewajiban suami dalam member nafkah dan melindungi istri, dan jika istri mempunyai harta, ia ikut andil dalam pemberian nafkah keluarga. iii. Tidak terjadi talaq kecuali berdasarkan wewenang pengadilan. Talaq bias diputuskan berdasarkankesepakatan antara suami-istri atau permohonan dari salah satu pihak. iv. Perempuan boleh menolak hadlanah (pemeliharaan anak), dan dia tidak bias dipaksa, kecuali tidak ada orang lain yang mau memelihara anak itu. v. Nasab ditetapkan berdasarkan hubungan biologis pengakuan ayah atau persaksian dua saksi yang dapat dipercaya. Vll.Penutup
Demikianlah kontribusi pemikiran Abu Zaid tentang wacana fiqh perempuan kontemporer perspektif jender melalui pembacaan kontekstualnya terhadap teks ayat sud al-Qur'an terutama yang terkait dengan isu perempuan dalam bukunya, Dawa'iral-Khauf Qira'ah Ii Khitab al-Mar'ah. Kontribusinya sangat besar dalam studi Islam khususnya studi al-Qur'an, terlepas dari pro-kontra khususnya dari kalangan muslimin baik di Mesir, dunia Islam dan seantero dunia termasuk Indonesia. 22
INSYIRAH, Jurnal nmu Bahasa Arab dan Studi Islam
Studi Pemikiran Gender Abu Zaid dalam Dawa-ir Al-Khauf
Menarik statemen beliau dalam pidato ulang tahunnya di Belanda, "Ibtihal adalah jendela hidupku". Boleh jadi, apresiasinya yang serius bagi isu jender disebabkan oleh cinta hidup mati Ibtihal terhadap dirinya, di mana Ibtihal tidak meninggalkannya dan selalu setia menemani Abu Zaid ketika pengadilan mengharuskan cerai sampai terpaksa meninggalkan Kairo. Dalam konteks itu, Abu Zaid memang wajib berterima kasih pada perempuan, dan salah satu bentuk penghargaannya, ialah Dawa~ir al-Khauf
Daftar Pustaka EcholsJohn M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1983. Al-Himsi, Muhammad Hasan. Mufradat al-Qur~an: Tafsir wa Bayan. Damaskus: Dar ar-Rasyid, TT. Hoeseini, Ziba Mir. Islam and Gender, London: I.B Tauris Publishers, 2000. al-Jurjani, Abdul Qahir. Dala ~il al-rjaz. Tashih oleh Ahmad Mustafa al-Maraghi. Dar al-'Arabiyah wa Matba'atuha, 1948. al-Khuli, Amin dan Nasr Hamid Abu Zaid,_ Metode Tafsir Sastra. Penerjemah Khairon Nahdliyyin.Yogyakarta: Adab Press, 2004. Latif Hilman. Nasr Hamid Abu Zaid: Kritik Teks Keagamaan. Yogyakarta: elSAQ Press, 2003. Neufeldt, Victoria (ed.), Webster'sNew WorldDictionary. New York: Webster's New World Clevenland, 1984. Rahman, Yusuf. "The Hermeneutical Theory of Nasr Hamid Abu Zaid: An Analytical Study of His Method of Interpreting the Qur'an" (Montreal Canada: Institute ofIslamic Studies, 2001). De Saussure, Ferdinand. Course in General Linguistic. Terjemahan Wade Baskin. New York: McGraw Hill Book Company, 1966. Syahrur, Muhammad. Al-Kitabwaal-Qur~an: Qira~ahMu'ashirah. et.II.Damaskus: Arabiyyah Ii at-Tiba'ah wa an-Nasyri, 1990. Showalter, Elaine. Speaking of Gender. New York and London: Routledge, 1989. Thabary, Tafsir at-Tbabary, juz I, Beirut:Dar al-Fikr, 1984.
Vol. 1, No.1, Juni 2013: 1-26
23
Yusroh
Tierney, Helen (ed.), Women's Studies Encyclopedia New York: Green World Press, Tf. Turabian, Kate L. a Manual for Writers (Cicago and London: The University of Chicago Press, Edisi V, 1996. Umar Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif alQur ~an. Jakarta:Paramadina, 1999. Wadud, Amina. Inside the Genderjihad, Women ~s Reform in Islam. Oxford: Oneworld Publications, 2006. Zaid, Nasr Hamid Abu, Dawa~ir al-Khauf, al-Markaz as-Saqafi al- Araby, cetakan II, 2000. -------. an-Nash, as-Sulthah, al-Haqiqah. Alih bahasa Indonesia. Sunarwoto Dema. Teks Otoritas Kebenaran. Yogyakarta: LKIS, 2003. -------. Naqd al-Khitab ad-Diny. Alih bahasa Indonesia. Khoron Nahdliyyin. Kritik Wacana Agama. Yogyakarta: LKIS, 2003. http·//inci73 multiply com/reviews/item/16
Catatan Akhir 1 Ferdinand De Saussure membedakan bahasa menjadi Langage, Langue dan Parole. Langage (bersifat abstrak) digunakan untuk menyebut bahasa sebagai system lambang bunyi yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara verbal di antara sesamanya. Langue Cbersifat abstrak) dimaksudkan sebagai system lambang bunyi yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat tertentu untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesamanya. Parole bersifat kongkret karena parole merupakan peklaksanaan dari langue dalam bentuk ujaran yang dilakukan anggota masyarakat dalam berinteraksi dengan sesamanya (Course in General Linguistic. Terjemahan Wade Baskin (New York: McGraw Hill Book Company, 1966). 2 Perhatian Abu Zaid kepada perempuan semula dituangkan dalam buku pertamanya al-Mar-ah fi Khitah al-Azmah, namun karena buku tersebut hanya diterbitkan oleh Dar an-Nusus dan karena alasan yang tidak jelas terhenti penerbitannya, tentu saja buku itu tidak dapat terdistribusi secara meluas. Akhirnya atas jasa baik Hasan Yaghi, ketika bertemu di pameran tahunan bagi penulis di Frankfurt, maka buku pertama tersebut dimasukkan sebagai bagian pertarr.a dalam Dawa -ir al-Khauf Nasr Hamid Abu Zaid (Beirut: al-Markaz asSaqafy al--Araby, Edisi II, 2000), 13 3 Man ijtahada fa akhtha-a falahu ajrun (Orang yang berijtihad dan salah hasilnya, maka baginya satu pahala). Hal ini karena kesalahan adalah
24
INSYIRAH, Jurnal Ilmu Bahasa Arab dan Studi Islam
Studi Pemikiran Gender Abu Zaid dalam Dawa-ir Al-Khauf
sarana menuju kebenaran dalam wacana pemikiran yang bebas dan tanpa kekhawatiran. (Abu Zaid, 6) 4 Dalam hal ini, Abu Zaid mencontohkan Abdul Qahir al-Jurjani dengan kitab Data-if Ijaz al-Qur-an al-Karim-nya karena beliau termasuk pelopor fa-wil dan az-Zamakbsyari dengan al-Kasysyaj-nya. (Abu Zaid, 7-8) 5 Meskipun istilah jender belum dimasukkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, namun istilah ini sudah lazim digunakan dan ditulis dengan 'jender' serta diartikan sebagai interpretasi mental dan cultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-Iaki dan perempuan yang tampak antara laki-Iaki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. 6 Unsur makna itulah yang dipergunakan Abdul Qahir al-Jurjani dalam kitab Dala-if al-Ijazbab an-Nadlam. Abu Zaid menganalisis konsep ini dalam Ilmu al-Uslub dalam kajian tersendiri. !;.. _
~~
J.
",,.
A-!
.. .,..
'"
-
"",
L. ~J- IX -tj.iJ1 ~ ~JB ~ ~
y..j
I
,
J"" ,
..
:."0:11 4ll .~J.:.s1S" ur;
J.e....
..II
",
..
!....
J
... , . . . .
~
t ..... J.
J ..
,p
7
b!,
.:if" 1':Ij' . , "r ' 'j;.. ';' ",t 2 '-I'J" "- ,<4..;...l..o..- r:->Y' ..r >~ l
~ : ~ G '1.:. \~ ,,~ •
~
~ ,.
J J..
I~;';' >.1 I "
:J u).t
_
,
.!l) G \ill ~ ~I ..;~ ~~ ..
..
~
..
J".. ..
(,j;!}~1 ..
..."
J!.. ,fJJJ ..
J;.;.
b..
J
..
~~;f r----.
;:,t? u~ ~.!.1J1 ~t~ ~I;.f ;~-!jj =:Jj ,~ ~;j u~ ~=:Jj >~ ;:,t? uj ~j ~ ~~I ~ ~'j $! ~;''ij ,..,
JJ-t/J-
,.J '"''
"
J ... .. t J~ .. , ... 4 ... t_ J r ~ ~ ...-"'
",I;" '"
.. t.,.,
.. ,. ~~
~ ~~ : t?:&1 u~ JI ·'&' 1 ~ ---:' ~., " U t.,,, J.';.-:, .. J" ~ u l ~1.:yJ1 ~ up? ~ ,:lbl.;'I, (I.» .;4-', t;..s;:i ~ t
_ ... I '"
....,.
oS
...
'"
oM
~
"'..
~~~ IX
,,.
.....
.:t-..I.:f-
J
""
9
J
IJ.y.:.::.lj
~ ~lS)-~T ~,l;.j.#lli ~,l;.J ~ 10 Dalam hal ini, Abduh mengutip pendapat mazhab Maliki dan Hanafi bahwa terdapat kesepakatan mengenai kebolehan perempuan dalam akad nikah untuk mensyaratkan penulisan perjanjian untuk menegaskan hak cerainya kapanpun ia menginginkannya. '1ft...
')fl ~
... ba
0).t
..J
_...
J
..
~
",.
.......
J
.. J
~!
J.,.
~jj Uj ;jt. ~L.:';11 ;; ~ yu. G I~u ~I...J I~ '11 ~
0r;
11
Qll};5 ~f ~f.ll!'~ ~~f.:.S:t G;f ~~~ l}~
Vol. 1, No.1, Juni 2013: 1-26
25
Yusroh
Menurut Abduh, tidak adanya kebolehan hijab bagiselain istri-istri Nabi dengan pertimbangan bahwa: istri Nabi berbeda dengan perempuan lain (QS.33:33), mengindikasikan tidak adanya keinginan mempersamakan mereka dalam hukum ini, dan menyadarkan kita bahwa tidak adanya hukum hijab mengharuskan kita untuk dapat mengambil pelajaran dan memuliakan istri Nabi. 14 Dalam kisah isra-iliyyat, dikisahkan dialog Tuhan dan Adam. Allah: Wahai Adam, mengapa engkau mengingkari perintahKu. Adam menjawab: Tuhan, ini karena Hawa-. Allah: Aku akan mengganjamya dengan dai"ah bulanan dan Aku akan membuatnya bodoh setelah sebelumnya ia pintar. Aku juga akan membuatnya hamil dan melahirkan dengan penuh kepayahan padahal sebelumnya Aku menjadikannya mudah. Thabary, Tafsir at-Thabary, juz I, (Beirut:Dar al-Fikr, 1984), 237. 13
26
INSYIRAH, Jurnal Ilmu Bahasa Arab dan Studi Islam