STUDI KRITIS ATAS KRITIK MUHAMMAD ‘IMȂRAH TERHADAP HERMENEUTIKA NASR HÂMID ABÛ ZAID Tesis
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Agama (M.Ag)
Oleh: Muhammad Zamri NIM: 2113034000018 Pembimbing: Dr. Yusuf Rahman, MA Dr. Faizah Ali Syibromalisi, MA JURUSAN TAFSIR HADITS PROGRAM MAGISTER FAKULTAS USHULUDDIN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/ 2017 M
LEMBAR PERNYATAAN
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Tesis
yang
berjudul
“Kritik
Muhammad
„Imârah
terhadap
Hermeneutika sebagai Metode Penafsiran al-Qur‟an” yang ditulis oleh Muhammad Zamri, Nomor Induk Mahasiswa: 2113034000018, mahasiswa Program Magister Ushuluddin Konsentrasi Tafsir telah diperiksa dan dinyatakan layak serta disetujui dimajukan ke meja sidang ujian tesis.
Jakarta, 23 Januari 2017 Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Yusuf Rahman, M.A. NIP. 19670213 199203 1 002
Dr. Faizah Ali Syibromalisi NIP. 19550725 200012 2 001
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
iv
KATA PENGANTAR Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah swt. yang telah memberikan rahmat dan nikmatnya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Shalawat beriring salam semoga tetap tercurah buat junjungan alam Nabi Muhammad Saw. Sebagai manusia yang memiliki kekurangan, penulis menyadari bahwa penulis tidak mungkin dapat menyelesaikan tesis ini tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam penelitian tesis ini. Berbagai pihak tersebut antara lain: 1. Rektor Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Dr. Dede Rosyada, M.A. 2. Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A. 3. Ketua Program magister (S2) Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Dr. Atiyatul Ulya , M.A dan Sekretaris progam magister Bapak Maulana, M.Ag. 4. Pembimbing penulis, Dr. Yusuf Rahman, M.A dan Dr. Faizah Syibromalisi, M.A, karena telah membimbing penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Bimbingan, saran, dan masukan yang telah diberikan sangat berguna bagi penulis.
v
5. Para dosen yang telah memberikan ilmunya kepada penulis terkhusus di program magister Fakultas Ushuluddin, yaitu: Prof. Dr. Hamdani Anwar, M.A, Prof. Dr. Zainun Kamaluddin F, M.A, Prof. Masri Mansour, M.A, Ahmad Najib Burhani, S. Ag. M.A, MSc, PhD, Dr. Faizah Syibromalisi, M.A, Dr. Atiyatul Ulya, M.A, Dr. Lilik Umi Kaltsum, M.A, Dr. Akhsin Sakho M. Asyrofuddin, M.A, Dr. Abdul Moqsith Ghazali, M.A, Dr. Mafri Amir, M.A, Bustamin, M.S.i, Dr. Sri Mulyati, M.A, Dr. Media Zainul Bahri, M.A, Dr. Faris Pari, M. Fils., dan Dr. Edwin Syarif, M.A. 6. Seluruh
pegawai
beserta
staf
Perpustakaan
Fakultas
Ushuluddin,
Perpustakaan Pascasarjana UIN Jakarta, Perpustakaan Utama UIN Jakarta, Perpustakaan Pusat Studi al-Qur‟an (PSQ) yang telah memberikan izin dan layanan kepustakaan kepada penulis, sehingga memudahkan penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Di samping itu, kepada seluruh pegawai beserta staf di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada umumnya, dan Fakultas Ushuluddin pada khususnya. 7. Kedua orang tua penulis Ibunda tercinta Hj. Nurhasana, dan ayahanda H. Samsurijal yang selalu mendo‟akan dan memberikan semangat kepada penulis, sehingga penulis mendapatkan semangat untuk menyelesaikan tesis ini. Semoga Allah swt. selalu memberikan rahmat kepada keduanya. 8. Keluarga besar penulis, Uwo Asmawati dan Suaminya Bang Hendrizal, Onga Suprizal, S.Pd.I dan Istrinya Kak Inur, Udo Darlisman, S.Sos dan Istrinya Kak Ernawati, S.Pd, Adinda Nirmala Dewi, S.Pd.I dan Suaminya Afriadi, Uwo Dr. Alfizar dan keluarga, Bapak Muslim, M.Ag dan keluarga.
vi
Keponaan penulis Irsyadur Rifqi, Hibatullah Rusayidi, dan Aidil. Adinda Riko beserta istri,
dan seluruh keluarga besar penulis yang selalu
memberikan semangat dan mendo‟akan penulis. 9. Terima kasih kepada guru-guru penulis, guru-guru Sekolah Dasar Negeri (SDN) 018 Terantang, Pesantren Islamic Centre Kampar, Dosen-dosen UIN SUSKA Riau, dan seluruh guru-guru penulis yang tidak disebutkan satu persatu, penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga, karena selalu memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan studi ini. 10. Terima kasih juga kepada Teman-teman seperjuangan di Jakarta, untuk Buya Muhammad Rudini beserta keluarga kecilnya, M. Ali Nurdin, S.E, Helmi Candra, S.Ud, M.Ag, Bang Awfa Munawwar, S.Ud, M.SI., Zaimizet, Peni S.E, Zaki, Kholil, Kipong, dan teman-teman senasib dan seperjuangan di Jakarta. 11. Teman-teman program magister fakultas Ushuluddin terkhusus lagi angkatan ke-3, Bang Abuzar, Daswandi dan keluarga, Najib, Mas Ceceng dan keluarga, Mas Khumaidi dan keluarga, Aidil Fitriwan, Zibad dan istri, Zainal dan keluarga, Zakiah beserta keluarga, Mas Ali dan Keluarga. Begitu juga teman-teman angkatan ke-1-4, Mas Toto dan keluarga, Azwar, Mamluk, Zukhruf, Mas Ali Topan, Mas Teguh, Mas Baiquni, dan semua teman-teman di fakultas Ushuluddin. 12. Bapak H. Arif dan Ibu drg. Annisaa Putri Ariyani beserta keluarga dan Guru-guru di TK dan SD Nurul Islam tempat penulis pernah membagikan ilmu kepada anak-anak harapan bangsa.
vii
13. Teman-teman Tafsir Hadits kelas Internasional UIN Sultan Syarif Kasim Riau khususnya angkatan ke-2, dan teman-teman alumni Pesantren Islamic Centre
Al-Hidayah
Kampar,
khususnya
angkatan
XVIII
Program
Keagamaan yang selalu saling mendo‟akan. 14. Teman-teman diskusi Komunitas Atap Langit (KOALA) tempat bertukar pikiran dengan beragam perbedaan pendapat, Bang Budzar, Bang Awfa, Bung Yes, Bung Rori, Bang Alven, Mas Yusuf, Angga, Bang Zulfa, Bang Mardian, Eky, Bang Hepta, Bang Yasin, Mas Oga, Bang Mukaddar, dan semua anggota KOALA. Penulis mengharapkan kepada Allah swt. agar pihak-pihak yang telah membantu penulis, baik yang tertulis, maupun yang tidak tertulis dibalas oleh Allah swt. dengan kebaikan yang berlipat. Akhirnya hanya kepada Allah swt. penulis memohon petunjuk dan berserah diri semoga tesis ini bermanfaat bagi pembaca dan menjadi amal kebaikan bagi penulis, âmîn... Jakata, 28 Maret 2017 Penulis,
Muhammad Zamri
viii
ABSTRAK Muhammad Zamri, 2017. “Studi Kritis Atas Kritik Muhammad „Imârah terhadap Hermeneutika Nasr Hâmid Abû Zaid.” Konsentrasi Tafsir Program Magister Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidatatullah Jakarta. Al-Qur‟an adalah kalâm Allah Swt. yang menjadi petunjuk bagi manusia di dunia ini. Oleh karena itu, diperlukan metode penafsiran yang tepat untuk memahami al-Qur‟an agar sejalan dengan fungsinya tersebut. Di dalam Islam telah dikenal seperangkat ilmu untuk menafsirkan al-Qur‟an, yaitu ilmu tafsir dan takwil, namun sebagian cendekiawan muslim merasa belum puas dengan metode tersebut, maka mereka menawarkan metode hermeneutika yang berasal dari Barat untuk memahami kalâm Allah Swt. tersebut. Penggunaan hermeneutika mendapatkan kritik dari sebagian cendekiawan muslim yang lain, di antaranya yaitu Muhammad „Imârah (lahir 1350 H/ 1931 M). „Imârah adalah seorang pemikir dan penulis produktif dari Mesir yang seringkali mengkritik pemikiran Barat, salah satu kritikannya yaitu penggunaan hermeneutika dalam penafsiran alQur‟an khususnya hermeneutika Nasr Hâmid Abû Zaid dan ia memiliki kritikan yang tegas. Tesis ini membuktikan bahwa metode hermeneutika Abû Zaid tidak cocok diterapkan dalam penafsiran al-Qur‟an, dan kritik Muhammad „Imârah terhadap hermeneutika Abû Zaid sangat tegas, namun kritik „Imârah tersebut juga mengandung kelemahan-kelemahan. „Imarah menyarankan agar metode penafsiran al-Qur‟an dikembalikan kepada ilmu tafsir yang telah lama disusun oleh ulama Islam yaitu melalui konsep muhkam dan mutasyâbih di dalam al-Qur‟an dan konsep takwil yang mampu menghilangkan pertentangan antara naql dan akal dan antara sesama naql itu sendiri, yaitu ayat-ayat yang terkesan kontradiksi secara zâhir-nya. Usaha yang dilakukan oleh „Imarah ini bertujuan untuk meyadarkan kembali umat Islam bahwa penafsiran al-Qur‟an mendapat tantangan dari berbagai pihak, salah satunya metode hermeneutika yang berasal dari Barat. Di samping itu, ia juga mengingatkan kita bahwa Islam sebenarnya telah memiliki metode yang mapan dan teruji puluhan abad dalam menafsirkan al-Qur‟an dan telah menghasilkan banyak produk yaitu ilmu tafsir dan takwil. Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library research). Adapun sumber data primer dalam penelitian ini adalah buku-buku karya Muhammad „Imȃrah, terkhusus lagi yang berkaitan dengan hermeneutika di antaranya Qirȃ’at al-Nȃss al-Dînî baina al-Ta’wîl Gharbî wa al-Ta’wîl al-Islȃmî, al-Tafsîr alMarkisî li al-Islȃm, al-Ghazw al-Fikri Wahm am Haqîqah?, Ma`âlim al-Manhaj al-Islâmî, dan lain-lain. Di samping itu, Penulis juga merujuk kepada buku-buku Nasr Hâmid Abû Zaid, seperti Mafhûm al-Nass: Dirâsah fî ‘Ulûm al-Qur’ân,
ix
Naqd al-Khitȃb al-Dînî, Isykâliyyât al-Qirâ’ah wa Aliyyât al-Ta’wîl, al-Nass, alSultah, al-Haqîqah dan lain sebagainya. Adapun data sekundernya yaitu bukubuku, jurnal-jurnal yang berkaitan dengan penelitian ini. Hal ini bertujuan untuk menemukan kritikan „Imȃrah terhadap hermeneutika Abû Zaid dengan menggunakan metode deskriptif analitik, yaitu pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subyek dan objek penelitian. Dengan metode deskriftif penulis menjelaskan segala hal yang berkaitan dengan hermeneutika Abû Zaid, dengan metode analitik digunakan untuk membahas pandangan Muhammad „Imȃrah tentang hermeneutika Abû Zaid tersebut.
ABSTRACT
x
Muhammad Zamri, 2017. Critical study of Muhammad Imârah’s critics about Nasr Hâmid Abû Zaid’s hermeneutics. Concentration Exegesis Master Program Islamic Theology Faculty, State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta. The Quran is the word of Allah (kalâm) as guidance for humanity in the world. Therefore, the correct interpretation method is needed to understand the Quran to comply with these functions. In Islam had been known a set of science to interpret the Quran, they are tafsir and ta’wîl, but some Muslim scholars was not satisfied with that methods. They offer hermeneutics method from the West to understand the word of Allah. The using hermeneutic gets critics from most other Muslim scholars. One of them is Muhammad „Imârah (1350 H/ 1931 M). He is a thinker and a productive writer of Egypt who often criticized Western thought, one his critics is the use hermeneutics in the interpretation of the Quran and especially about Nasr Hâmid Abû Zaid‟s hermeneutics and he has firm criticized. This thesis proves that the methods of Abû Zaid‟s hermeneutics are not suitable to be applied in the interpretation of the Quran and he has firm criticized, but there are weaknesses in „Imârah‟s critics. Imarah suggests that method of interpretation of the Quran returned to the exegesis that has long ready by Islam scholars is through the concept of muhkam and mutasyâbih in the Qur'an and takwîl concept capable of removing contradictions between naql and mind and among naql itself, namely verses of who impressed enacting its contradiction. In this case, „Imârah aims to revive the Muslims that the Quran interpretation get challenged by various parties, one of which hermeneutics method from the West, especially about Nasr Hâmid Abû Zaid‟s hermeneutics. Besides that, he also reminds us that Islam actually has established and proven methods at tens of centuries in interpreting the Quran and Islam has produced many sciences like tafsîr and ta’wîl. This study is a library research. The source of primary data in this study is the books of Muhammad „Imârah, especially those more related with hermeneutic are Qirȃ’at al-Nȃss al-Dînî baina al-Ta’wîl Gharbî wa al-Ta’wîl al-Islȃmî, alTafsîr al-Markisî li al-Islȃm, al-Ghazw al-Fikri Wahm am Haqîqah?, Ma`âlim al-
xi
Manhaj al-Islâmî and the books of Nasr Hâmid Abû Zaid are Mafhûm al-Nass: Dirâsah fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Naqd al-Khitȃb al-Dînî, Isykâliyyât al-Qirâ’ah wa Aliyyât al-Ta’wîl, al-Nass, al-Sultah, al-Haqîqah, and others. The secondary data is books and journals related to this research. It aims to find critics of Imârah against Abû Zaid‟s hermeneutics by using descriptive analytic method. It is solving problems investigated by describing or depicting condition of subject and object research. Through descriptive methods, the writer explains all things about Abû Zaid‟s hermeneutics and to discuss about Imârah‟s view against Abû Zaid‟s hermeneutics.
ملخص البحث
xiv
محمد زمري ".7002نقد محمدعمارة في هيرمينوطيقا نصر حامد أبو زيد :دراسة نقدية".رسالة الماجستير لقسم التفسير والحديث كلية أصول الدين جامعة اإلسالمية شريف هداية اهلل الحكومية بجاكرتا. القرآن الكرمي ىو كالم اهلل و ىدى للناس يف الدنيا ,ولذلك حنتاج إىل منهج صحيح لتفسري القرآن لنحصل على تلك ادلنافع .قد وجد منهج يف اإلسالملفهم القرآن ,مها علوم التفسري و التأويل. لكن ,يرى بعض ادلفكرين ادلسلمينأن ىذا ادلنهج غري كامل ,فاستعملوا اذلريمينوطيقا يف فهم القرآن. حممد عمارة (و1391.م 1930/ه) ىو من معارضي اذلريمينوطيقا و يف ىريمينوطيقا نصر حامد أبو زيد خاصةويقوم بنقد ثابت وقوي. من ىذه الرسالة سنعرف أن ىريمينوطيقا أبو زيد غري مناسب سيكون منهجا لتفسري القرآن ,ونقد عمارة ىريمينوطيقا أبو زيد بنقد عنيف ,لكن ىناك العيوب من نقدعمارة. واحللول يف ىذه ادلشكلة و يقًتح عمارة أن منهجا يف تفسري القرآن يرجع إىل علوم التفسري والتأويل وخصوصا عن "احملكم وادلتشابو" يف القرآن وعلوم التأويل يف إزالة التناقض (يف الظاىر) بني األدلة وبني النقل والعقل كان أم النقل حنوه .و أىداف نقد عمارة على اذلريمينوطيقا ليذكر ادلسلمني أن القرآن الكرمي لو التحدى من جوانب ,منها اذلريمينوطيقا اليت جاءت من الغرب ,و يذكر أن يف اإلسالم ىناك منهجا كامال وثابتا لتفسري القرآن أي علوم التفسري والتأويل الذي حصل على كتب التفاسري اليت قرأناىا حىت اآلن. ىذا البحث من البحث ادلكتبوي .وأما ادلصادر الرئيسية من كتب عمارة اليت تتعلق هبذا البحث,
منها قراءة النص الدين بني التأويل الغريب و التأويل اإلسالمي و التفسري ادلاركسي لإلسالميو الغزو الفكرى وىم أم حقيقة ؟و معامل ادلنهج اإلسالمي وغري ذلك .وكذلك كتب نصر حامد أبو زيد,
منها مفهوم النص دراسة يف علوم القرآن ,نقد اخلطاب الديين ,إشكاليات القرائة وأليات التأويل والنص والسلطة واحلقيقة وغري ذلك .وأما ادلصادر اإلضافية منهاالكتب وجرنال و غري ذلك اليت تتعلق هبذا ادلوضو .ىذه ادلصادر مهمة ليحصل الباحث نقد عمارة على اذلريمينوطيقا أبو زيد بادلنهج الوصفي والتحليلي ,فيبني الباحث األشياء اليت تتعلق ىريمينوطيقا أبو زيدمث يبحث الباحث آراء عمارة عن ىريمينوطيقا أبو زيد.
xv
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN Pedoman transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku Pedoman Akademik Program Magister Fakultas ushuluddin
xvi
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta terbitan tahun 2012 yang secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Konsonan Huruf Arab
Nama
Huruf Latin
Nama
ا
Alif
tidak dilambangkan
tidak dilambangkan
ب
ba‟
b
be
ث
ta‟
t
te
د
tsa‟
ts
te dan es
ج
Jim
j
je
ح
Ha
ẖ
ha (dengan garis di bawah)
ر
Kha
kh
ka dan ha
د
Dal
d
de
ذ
dzal
dz
de dan zet
ر
Ra
r
er
ز
Zai
z
zet
س
Sin
s
es
ش
syin
sy
es dan ye
ص
Sad
s
es (dengan garis di bawah)
ض
Dad
ḏ
de (dengan garis di bawah)
ط
Ta
ṯ
te (dengan garis di bawah)
ظ
Za
ẕ
zet (dengan garis di bawah)
ʹ
koma di atas menghadap ke kanan
ع
„ain
غ
ghain
gh
ge dan ha
ف
fa‟
f
ef
xvii
ق
Qaf
q
qi
ك
Kaf
k
ka
ه
Lam
l
el
م
mim
m
em
ى
nun
n
en
و
wau
w
we
ه
Ha
h
ha
ء
hamzah
`
apostrop
ي
ya‟
y
ye
2. Vocal Vocal Tunggal Nama
Huruf Latin
Nama
َ
Fathah
A
a
َ
Kasrah
I
i
َ
Dammah
U
u
Tanda
Vocal Rangkap Tanda
Nama
Tanda Vocal Latin
Keterangan
َي
fathah dan ya
Ai
a dan i
َو
fathah dan wau
Au
a dan u
Tanda
Nama
Tanda Vocal Latin
Keterangan
َا
fathah dan alif
Â
a (dengan topi di atas)
3. Maddah
xvi
َي
kasrah
Î
i (dengan topi di atas)
َو
dammah
Û
u (dengan topi di atas)
4. Kata Sandang Kata sandang yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu “ ”اهdialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyah maupun qamariyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân.
5. Syaddah (Tasydîd) Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda ( َ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tandah syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata الضَّرورةtidak ditulis ad-darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya. 6. Tâ‟ Marbûtah Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf tâ’ marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na„t) (lihat contoh 2).
xvii
Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3). Contoh: No 1 2 3
Kata Arab طريقت الجاهعت اإلسالهيت وددة الىجىد
Alih Aksara tarîqah al-jâmi„ah al-islâmiyyah Wahdat al-wujûd
7. Huruf Kapital Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. (Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi). Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya. Demikian seterusnya. Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan
xviii
meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak „Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî. 8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism), maupun huruf (harf) ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas: Kata Arab
Alih Aksara
ذهة اْلسخاذ
dzahaba al-ustâdzu
ثبج اْلجر
tsabata al-ajru
الذرمت العصري َّت
al-harakah al-„Asriyyah
أشهد أى َل إله إ ََّل هللا
asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh
هىَلنا هلل الصالخ
Maulânâ Malik al-Sâlih
يؤثِّرمن هللا
yu‟atstsirukum Allâh
الوظاهر العقليَّت
a-mazâhir al-„aqliyyah
اآلياث النىنيَّت
al-âyât al-kauniyyah
الضَّرورة حبيخ الوذظىراث
al-darûrat tubîhu al-mahzûrât
xviii
xix
SINGKATAN
dkk.
: dan kawan-kawan
H.
: Tahun Hujriyah
M.
: Tahun Masehi
h.
: halaman
HR.
: Hadits Riwayat
QS.
: al-Qur‟an Surat
Saw.
: Sallallâhu „Alaihi wa Sallam
Swt.
: Subhânahu wa ta‟âla
tp.
: tanpa penerbit
tt.
: tanpa tahun
ttp.
: tanpa tempat penerbit
xx
DAFTAR ISI Lembar Pernyataan Persetujuan Pembimbing Pengesahan Panitia Ujian Kata Pengantar Abstrak Abstract ملخص البحث Pedoman Transliterasi Singkatan Daftar Isi BAB
BAB
I
II
ii iii iv v ix xi xv xvii xx xxiii
PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Permasalahan 1. Identifikasi Masalah 2. Pembatasan Masalah 3. Perumusan Masalah C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan penelitian 2. Kegunaan penelitian D. Studi Pustaka E. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian 2. Pengumpulan Data 3. Analisis Data 4. Tenik Penulisan F. Sistematika Penulisan
1 10 10 11 11 11 11 12 12 17 18 18 19 19 20
TINJAUAN UMUM ILMU TAFSIR, TAKWIL, DAN HERMENEUTIKA A. Ilmu Tafsir dan Takwil 1. Seputar Ilmu Tafsir 2. Seputar Takwil B. Konsep dan Sejarah Hermeneutika 1. Pengertian Hermeneutika 2. Sejarah Hermeneutika a. Hermeneutika Masa Pengenalan b. Hermeneutika Masa Pembakuan c. Hermeneutika Masa Pengembangan 3. Dari Hermeneutika Romantis hingga Dekonstruksionis
22 23 34 39 40 42 43 43 45 45
21
BAB
BAB
III
C. Persamaan dan Perbedaan Ilmu Tafsir, Takwil, dan Hermeneutika
51
Nasr Hâmid Abû Zaid dan Wacana Hermeneutika al-Qur’an A. Biografi Nasr Hâmid Abû Zaid 1. Riwayat Hidup 2. Karya-karya B. Hermeneutika Nasr Hâmid Abû Zaid 1. Tekstualitas al-Qur’an 2. Kontekstualitas al-Qur’an 3. Teori Interpretasi a. Takwil b. Makna dan Maghzâ 4. Aplikasi Hermeneutika Nasr Hâmid Abû Zaid a. Pembagian Harta Warisan b. Makna Jin, Syaitân, Sihir, dan Hasad
53 53 57 59 61 69 75 75 80 87 87 93
IV Muhammad ‘Imârah dan Hermeneutika A. Profil Singkat Muhammad ‘Imârah 1. Riwayat Hidup Muhammad ‘Imârah 2. Karya-karya Muhammad ‘Imârah a. Karya Sendiri b. Hasil Suntingan c. Karya Bersama Dengan yang Lain B. ‘Imârah dan Kemunculan Hermeneutika C. Kritik terhadap Hermeneutika Abû Zaid 1. Kritik Tekstualitas dan Kontekstualitas al-Qur’an 2. Kritik Penafsiran Abû Zaid a. Hermeneutika Abû Zaid Mendewakan Pembaca dan Akal b. Berlebih-lebihan dalam Menakwilkan Ayat-ayat al-Qur’an c. Menempatkan Penunjuk Makna dan Maghzâ pada Posisi Makna d. Merusak Sendi-sendi Keislaman 3. Pembagian Harta Warisan D. Tawaran Alternatif Muhammad ‘Imârah 1. Konsep Muhkam dan Mutasyâbih 2. Konsep Takwil a. Pemegang Otoritas Penakwilan b. Bentuk-bentuk Penakwilan c. Persyaratan Takwil bagi ‘Imârah d. Antara Takwil Bâtînî, Sufi, dan Hermeneutika
22
98 98 103 103 106 107 108 111 115 120 121 127 129 134 140 143 146 150 151 153 155 158
BAB
V
E. Analisis Kritik ‘Imârah
162
PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran
183 185
DAFTAR PUSTAKA BIOGRAFI PENULIS
187 196
23
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Al-Qur‟an adalah cahaya yang diturunkan Allah Swt. melalui Malaikat Jibril al-Amîn kepada hati Nabi Muhammad Saw.1 Al-Qur‟an memperkenalkan dirinya antara lain sebagai hudan li al-nȃs dan sebagai Kitab yang diturunkan agar manusia keluar dari kegelapan menuju terang benderang (QS 14:1). Salah satu ayatnya menjelaskan bahwa manusia tadinya merupakan satu-kesatuan (ummatan wâhidah), tetapi sebagai akibat lajunya pertumbuhan penduduk serta pesatnya perkembangan masyarakat, maka timbullah persoalan-persoalan baru yang menimbulkan perselisihan dan silang pendapat. Sejak itu, Allah Swt. mengutus nabi-nabi dan menurunkan Kitab Suci, agar mereka-melalui Kitab Suci tersebut-dapat menyelesaikan perselisihan mereka serta menemukan jalan keluar bagi penyelesaian problem-problem mereka.2 Dalam QS. al-Baqarah [2]: 185 Allah Swt. berfirman:
ُ ْ ِٗ ْاٌمُش١ِ أُ ْٔ ِض َي فٞبْ اٌَّ ِز ْب َ ع ٍ َِّٕب١َثَٚ بط َ َِ ُش َسْٙ َؽ ِ َ ْاٌفُشْ لَٚ ُٜ َذٌٙد ِِ َٓ ْا ِ ٌٍَِّٕ ًٜآْ ُ٘ذ “Bulan Ramadan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur‟an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasanpenjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haqq dan yang bâtil).”3
1
„Abd Hayy al-Farmȃwȋ, al-Bidayȃh fȋ al-Tafsȋr al-Maudȗ„ȋ (Kairo: T.pn., 1977), h. 11. M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an (Bandung: Mizan, 2013), h. 139. 3 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya (Bandung: Syamil Cipta Media, 2005), h. 28. 2
1
2
Sebagai kitab hidayah sepanjang zaman, al-Qur‟an memuat informasiinformasi dasar tentang berbagai masalah, baik informasi berupa teknologi, etika, hukum, ekonomi, biologi, kedokteran, dan sebagainya. Hal ini merupakan salah satu bukti tentang keluasan dan keluwesan isi kandungan alQur‟an tersebut.4 Agar
al-Qur‟an
berguna
sesuai
dengan
fungsi-fungsi
yang
digambarkan di atas, al-Qur‟an memerintahkan umat manusia untuk mempelajari dan memahaminya (baca antara lain QS. Sâd [38]: 29), sehingga mereka dapat menemukan-melalui petunjuk-petunjuknya yang tersurat dan tersirat-apa yang dapat mengantar mereka menuju terang benderang.5 Keberadaan al-Qur‟an di tengah-tengah umat Islam, ditambah dengan keinginan mereka untuk memahami petunjuk dan mukjizat-mukjizatnya, telah melahirkan sekian banyak disiplin ilmu keislaman dan metode-metode penelitian. Ini dimulai dengan disusunnya kaidah-kaidah ilmu nahwu oleh Abû al-Aswad al-Dualî atas petujuk „Alî ibn Abî Tâlib (w.661 M), sampai dengan lahirnya Usul al-Fiqh oleh Imâm al-Syâfi„î (767-820 M).6 Di samping itu, salah satu persoalan terbesar dan terus-menerus menjadi agenda pembaruan dalam Islam dan kehidupan kaum Muslim adalah bagaimana
memandang
hubungan
antara
al-turâts
dan
al-hadâtsah
(modernitas). Sikap apa pun, baik menolak maupun menerima rekontruksi
4
Umar Shihab, Kontekstualitas al-Qur‟an (Jakarta: Penamadani, 2005), h. xix-xx. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an, h. 140. 6 Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an, h. 232. 5
3
keduanya dalam kehidupan seorang muslim, tentunya sangat mempengaruhi corak pembaruan yang hendak diadvokasikan.7 Banyak pemikir Muslim dalam masalah ini bersikap reaktif terhadap gagasan-gagasan yang disodorkan oleh modernitas barat. Di antara gagasan tersebut adalah perlunya metode hermeneutika dalam memahami al-Qur‟an.8 Secara etimologis, kata hermeneutika berasal dari kata hermeneuein (Yunani) yang berarti menafsirkan, maka hermeneia (kata benda) dapat diartikan sebagai “penafsiran” atau interpretasi.9 Istilah Yunani ini mengingatkan kita pada tokoh mitologis yang bernama Hermes, yaitu seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Tugas Hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di Gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti manusia. Oleh karena itu, seorang Hermes sangatlah penting, karena jika terjadi kesalahpahaman tentang pesan itu, akibatnya akan fatal bagi umat manusia. Hermes harus mampu menerjemahkan pesan dewa tersebut ke dalam bahasa yang digunakan oleh pendengarnya (manusia), maka Hermes disebut dengan duta yang dibebani suatu misi. Keberhasilan misi tersebut sepenuhnya tergantung bagaimana pesan tersebut disampaikan kepada pendengar.10
7
Ilham B. Saenong, Hermenutika Pembebasan: Metodologi Tafsir al-Qur‟an Menurut Hassan Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002), h. 1. 8 Sibawaihi, Hermenutika al-Qur‟an Fazlur Rahman (Yogyakarta: Jalasutra, 2007), h. 11. 9 E. Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Masalah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 2000), h.23. Richard E. Palmer, Hermeneutika; Teori Baru Mengenai Interpretasi. Penerjemah Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 14. 10 Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Masalah Metode Filsafat, h. 23-24.
4
The New Encyclopedia Britannica menyebutkan hermeneutika adalah The study of the general principles of biblical interpretation to discover the truths and values of the Bible (Studi prinsip-prinsip umum tentang penafsiran Bibel yang bertujuan untuk mencari kebenaran dan nilai-nilai kebenaran dalam Bibel).11 Pembakuan hermeneutika sebagai sebuah perangkat pemahaman tidak bisa dilepaskan dari perkembangan pemikiran tentang bahasa dalam tradisi Yunani. Bahasa dan hermeneutika adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Hermeneutika penting bagi bahasa, karena hermeneutika dianggap sebagai salah satu metode untuk memahami bahasa tersebut. Keterkaitan ini menjadikan hermeneutika sebagai metode untuk mengeluarkan makna kebahasaan sebuah teks. Sebagai teori, hermeneutika berfokus pada problem di sekitar
teori
interpretasi:
bagaimana
menghasilkan
interpretasi
dan
standarisasinya.12 Terdapat banyak macam aliran hermeneutika, misalnya dari segi pemaknaan terhadap obyek penafsiran aliran hermeneutika ada tiga aliran utama: (1) aliran obyektivis, (2) aliran subyektivis, dan (3) aliran obyektiviscum-subyektivis. Adapun defenisi masing-masing aliran tersebut adalah sebagai berikut: 1. Aliran obyektivis adalah aliran yang lebih menekankan pada pencarian makna asal dari obyek penafsiran. Jadi, penafsiran adalah upaya merekonstruksi apa yang dimaksud oleh pencipta teks. 11
“Hermeneutic” dalam The New Encyclopedia Britannica vol V, )Chicago,T.pn., 2002(, h.874. 12 Sibawaihi, Hermenutika al-Qur‟an Fazlur Rahman, h. 6-10.
5
2. Aliran subyektivis adalah aliran yang lebih menekankan pada peranan pembaca/penafsir dalam pemaknaan terhadap teks. 3. Aliran obyektivis-cum-subyektivis adalah aliran yang memberikan keseimbangan antara pencarian makna asal teks dan peran pembaca dalam penafsiran.13 Sebagian pakar muslim modern mendukung metode hermeneutika tersebut, namun sebagian yang lain menolaknya. Menurut sebagian pakar muslim modern, ilmu tafsir yang selama ini dijadikan acuan dalam memahami al-Qur‟an memiliki berbagai keterbatasan. Aktivitas dalam ilmu tafsir yang menekankan pemahaman teks semata, tanpa mau mendialogkannya dengan realitas yang ada ketika teks itu dikeluarkan dan dipahami oleh pembacanya, misalnya mengandaikan bahwa ilmu tafsir tidak menempatkan teks dalam dialetika konteks dan kontekstualisasinya, maka menurut mereka teks alQur‟an akan sulit dipahami oleh berbagai pembaca lintas generasi, karena berbedanya kondisi dan realitas.14 Oleh karena itu, diperlukan sebuah usaha merekonstruksi metodologi penafsiran yang meniscayakan pembaharuan tafsir yang bersifat menyeluruh, maka teks al-Qur‟an dibiarkan berbicara sendiri tanpa disusupi berbagai kepentingan. Hermeneutika kemudian menjadi alternatif baru dalam upaya merekonstruksi keilmuan tafsir itu.15 Di samping itu, adanya makkî madanî, nâsikh mansûkh,dan asbâb alnuzûl dalam pengkajian al-Qur‟an sendiri menunjukkan bahwa adanya 13
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur‟an, (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009), h. 26-27. 14 Sibawaihi, Hermenutika al-Qur‟an Fazlur Rahman, h. 11 15 Sibawaihi, Hermenutika al-Qur‟an Fazlur Rahman, h. 13.
6
interaksi antara teks dengan realitas. Ayat-ayat makkiyyah berbeda dengan ayat-ayat madaniyyah, hal itu disebabkan karena berbedanya karakter masyarakat yang dihadapi al-Qur‟an saat berinteraksi dengan masyarakat Mekah dan Madinah. Demikian pula halnya dengan nâsikh mansûkh yang menunjukkan bahwa adanya perubahan hukum, seperti pembolehan ziarah kubur yang sebelumnya dilarang. Begitu pula halnya dengan asbâb al-nuzûl yang menunjukkan bahwa al-Qur‟an hadir dalam rangka menjawab realitas yang terjadi pada saat ia diturunkan. Dalam ranah fiqh, qaul qadîm dan qaul jadîd imam al-Syâfi‟î menjadi dalil bahwa suatu hukum dapat berubah sesuai kondisi yang dihadapi. Berdasarkan hal-hal di atas, maka Abd Moqsith Ghazali dkk. mengkritik umat Islam yang hanya tunduk kepada makna zâhir teks dengan mengabaikan fenomena sosial, padahal kondisi masyarakat berbeda-beda antara masyarakat awal diturunkan wahyu dengan masyarakat sekarang dan sebagainya. Menurut mereka yang diambil dari suatu ayat adalah “esensi transendental” di balik teks tersebut, karena al-Qur‟an secara historis ia dibentuk dan secara kultural dibangun. Oleh sebab itu, mereka menawarkan pembacaan baru terhadap al-Qur‟an dengan tiga kaidah tafsir alternatif agar pembacaan terhadap al-Qur‟an tidak lagi terjerat oleh makna literal teks, tetapi dengan mempertimbangkan maqâsid al-syarî„ah, kemaslahatan,
dan akal
publik.16
16
Abdul Moqsith dkk juga memaparkan bahwa al-Qur‟an adalah bagian dari fakta historis, karena al-Qur‟an menggunakan bahasa manusia (Arab), keterlibatan Nabi Muhammad Saw. dalam proses penyampaian kepada manusia, banyaknya ayat diturunkan sebagai jawaban dari relaitas yang ada pada waktu itu. Di samping itu, yang memberi makna terhadap sebuah teks
7
Di antara pemikir Muslim yang mengkampanyekan pentingnya penggunaan hermeneutika sebagai teori interpretasi al-Qur‟an adalah Nasr Hȃmid Abû Zaid yang mengusung hermeneutika objektif-historis.17 Selain Abû Zaid terdapat pula Hassan Hanafî di Mesir yang menawarkan hermeneutika pembebasan, baginya hermeneutika bukan hanya sebuah seni interpretasi dan teori pemahaman, namun juga merupakan ilmu yang menjelaskan penerimaan wahyu dari tingkat kata ke tingkat realitas.18 Di samping itu, terdapat pula Muhammad Syahrûr yang menawarkan telaah pemikiran Arab kontemporer terhadap pemahaman teks al-Qur‟an. Menurutnya, para peneliti Islam membuat kesimpulan terlebih dahulu sebelum melakukan penelitian, tidak adanya teori Islam Kontemporer dalam ilmu humaniora yang disimpulkan langsung dari alQur‟an dan lain sebagainya.19 Cendekiawan muslim lainnya, Fazlur Rahman di Pakistan dikenal dengan teori double movement.20 Dari beberapa cendekiawan muslim yang mengagungkan metode hermeneutika di atas, terdapat pemikir yang tidak sependapat dengan hal tersebut, bahkan mengkritiknya secara tegas, salah satunya adalah Muhammad
adalah manusia (mufassir) bukan teks tersebut secara langsung. Adapun Tiga kaidah yang ditawarkannya dalam menafsirkan al-Qur‟an adalah: al-„Ibrah bi al-maqâsid la bi al-alfâz, jawâz naskh al-nusûs (al-juz‟iyyah) bi al-maslahah, dan tanqîh al-nusûs bi „aql al-mujtama„ yajûzu. Lebih lengkapnya lihat Abdul Moqsith Ghazali dkk, Metodologi Studi al-Qur‟an (Jakarta: Gramedia, 2009), h. 111-119, 133-170. 17 Nasr Hȃmid Abû Zaid, Naqd al-Khitȃb al-Dînî, (Mesir: Sina li.al-Nasr, 1994) h. 115. 18 Hassan Hanafî, Dirâsât Islâmiyyah. (Kairo: Maktabah al-Anjilu al-Misriyyah, 1981), h.69. 19 Muhammad Syahrûr, Prinsip dan Dasar Hermeneutika al-Qur‟an Kontemporer. Penerjemah Sahiron Syamsudî dan Burhanudin Dzikri (Yogyakarta: elSAQ, 2004), h. 39-40. 20 Hermeneutika double movement adalah proses penafsiran dengan gerakan ganda: yang pertama dari masa sekarang ke masa saat al-Qur‟an diturunkan, kemudian yang kedua dari masa diturunkannya al-Qur‟an kembali ke masa sekarang Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intelectual Tradition (Chicago: The University of Chicago Press, 1982), h. 5-7.
8
„Imȃrah. Muhammad „Imȃrah adalah seorang pemikir muslim, pengarang buku, muhaqqiq dari Mesir.21 Ia adalah seorang yang sangat produktif, karena terdapat 185 karya yang telah dihasilkannya.22 „Imȃrah adalah seorang penulis yang banyak melakukan penelitian dan penulisan, bahkan di jajaran pengkaji muslim hingga sekarang, ia tergolong paling banyak karya tulisnya dalam bidang keislaman, dan tulisannya sering dipublikasikan di berbagai media massa dan majalah berbahasa Arab, terlebih lagi ia telah men-tahqîq berpuluhpuluh kitab atau karangan.23 „Imârah adalah seorang yang mengalami perubahan pemikiran dari seorang pemikiran sosialis dengan ide-ide markisnya, ia harus masuk dalam penjara selama lima tahun setengah (1959-1965), namun kemudian dia berubah haluan menjadi seorang islamis setelah ia membaca ulang pemikirannya.24 Pemikiran Abû Zaid menarik bagi „Imârah untuk dikaji, karena selama tiga tahun, yaitu antara 1993 hingga 1995 media massa di Mesir dibanjiri opini dan kritik terhadap pemikiran-pemikiran Abû Zaid. Hal tersebutlah yang mendorong „Imârah menulis sebuah buku, yaitu al-Tafsîr al-Markisî li al-Islâm dan menyatakan bahwa akan mengkajinya secara objektif dan ilmiah dan berpegang terhadap prinsip-prinsip keadilan ilmiah dan etika dialog dan bisa
21
Muhammad „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî baina al-Ta‟wîl Gharbî wa al-Ta‟wîl al-Islȃmî (Kairo: Maktabah al-Syurûq al-Dauliyyah, 2006), h. 89. 22 Lihat „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 92-101. 23 „Alî Harb, Kritik Nalar Al-Qur‟an. Penerjemah M. Faisol Fatawi (Yogyakarta: LkiS, 2003), h. 259. 24 http://www.penapembaharu.com/2015/11/22/dr-muhammad-imaroh-dari-sosialis-keislamis/ di akses pada Selasa, 28 Maret 2017 jam 19.09. lihat juga Muhammad „Imȃrah, al-Tafsîr al-Markisî li al-Islȃm (Kairo: Dȃr al-Syurûq, 2002), h. 34.
9
memperjelas kebenaran, mempersatukan perbedaan-perbedaan pada “satu kalimat”25 Berkaitan dengan pemikiran Abû Zaid yang dibawa ke ranah Mahkamah pada 14 Juni 1995 dan memberikan vonis kepada Abû Zaid, bahwa ia telah murtad dari agama Islam dan memisahkan Abû Zaid dengan istrinya Ibtihâl Yûnus, „Imârah melihat bahwa perkara ini adalah masalah pemikiran yang tidak dapat diselesaikan kecuali dengan pemikiran juga. 26 Lebih lanjut „Imârah menyebutkan bahwa keragaman dan perbedaan bukan masalah pilihan, akan tetapi ia adalah sunnatullah di dunia ini. Umat Islam akan menjadi rugi jika tidak memberikan ruang kebebasan berfikir. „Imârah juga menanyakan dengan keputusan pengadilan terhadap Abû Zaid bahwa apakah yang didapatkan oleh Islam dari perceraian antara suami istri?27 Oleh sebab itu, „Imârah mengatakan bahwa mestilah bersikap berhati-hati di dalam menghukumi akidah manusia, sebagaimana perkataan Muhammad „Abduh yang ia kutip bahwa jika terdapat pada sesorang suatu perkataan yang
25
Bagi „Imârah, Abû Zaid adalah seorang kader Sosialis-Markis Arab saat ini. „Imârah pertama kali mengenal Abû Zaid saat dia menghadiri acara takziah, dan dia bertemu dengan Mahmûd al-Amîn „Âlim seorang kader sosialis senior dan memeperkenalkan Abû Zaid kepadanya dengan mengatakan bahwa Abû Zaid ini adalah orang terbaik dalam membedah nass. Pada saat itu „Imârah mengira bahwa teks yang dimaksud adalah teks-teks sastra dan seni. Kemudian ia pun mulai mengikuti tulisan-tulisan Abû Zaid dalam berbagai jurnal yang terbit di Mesir , di antaranya yaitu: Qadâyâ Fikriyyah, Adab wa al-Naqd, al-Yasâr, al-Ahâlî, dan jurnal yang terbit di Beirût seperti Tarîq. Pada tahap ini, „Imârah belum melihat bahwa teks-teks yang dikaji oleh Abû Zaid adalah teks agama (al-Qur‟an). Tetapi, suatu ketika ia berkunjung ke sebuah pameran buku, ia menemukan buku Abû Zaid terbaru berjudul Mafhûm al-Nass: Dirâsah fî Ulûm al-Qur‟ân, maka saat itu ia baru sadar bahwa apa yang dimaksud oleh Mahmûd Amîn dengan “Nass” yang sampaikan pada waktu itu adalah Nass al-Qur‟an. Lihat „Imârah, al-Tafsîr al-Markisî, h. 6. 26 „Imârah, al-Tafsîr al-Markisî, h. 8-9, 32. 27 „Imârah, al-Tafsîr al-Markisî, h. 9.
10
mengandung “kekufuran” pada seratus sisi, dan mengandung “keimanan” dari satu sisi, maka wajiblah membawanya kepada keimanan.28 Dari pemaparan di atas, Penulis melihat bahwa Muhammad „Imȃrah tidak sependapat dengan vonis yang dijatuhkan kepada Abû Zaid dan pemisahan antara dia denga istrinya, namun dari beberapa bukunya „Imârah sangat menentang pemikiran-pemikiran dari Barat, seperti hermeneutika yang dijadikan sebagai metode penafsiran dalam penafsiran al-Qur‟an oleh beberapa cendekiawan muslim, lebih khusus khususnya ia menentang pemikiranpemikiran dari Nasr Hâmid Abû Zaid.29 Oleh karena latar belakang tersebut di atas, Penulis merasa perlu untuk membahas penelitian ini yang berjudul “Studi Kritis Atas Kritik Muhammad „Imȃrah terhadap Hermeneutika Nasr Hâmid Abû Zaid” B. Permasalahan 1. Identifikasi Masalah Penulis perlu melakukan identifikasi masalah yang berkaitan dengan pembahasan tesis ini untuk menghindari pemahaman yang tidak terarah. Berdasarkan latar belakang masalah terdahulu, maka identifikasi masalah dari penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah teori umum hermeneutika? 2. Apakah persamaan dan perbedaan antara hermeneutika, ilmu tafsir, dan takwil?
28
„Imârah, al-Tafsîr al-Markisî, h. 10. Muhammad „Imȃrah menentang pemikiran Nasr Hȃmid Abû Zaid tentang al-Qur‟an dengan menulis sebuah buku yang berjudul al-Tafsîr al-Markisî li al-Islȃm, lihat „Imȃrah, al-Tafsîr al-Markisî, h. 42-54. 29
11
3. Bagaimanakah pandangan „Imârah terhadap awal kemunculan hermeneutika? 4. Bagaimanakah hermeneutika Abû Zaid? 5. Bagaimanakah kritik „Imârah terhadap hermeneutika Abû Zaid? 6. Mengapa „Imârah mengkritik hermeneutika Abû Zaid? 7. Apa solusi yang ditawarkan oleh „Imârah sebagai pengganti hermeneutika? 2. Pembatasan Masalah Dalam penelitian ini, Penulis hanya membatasi kajian pada tiga permasalahan pokok: pertama, kritik Muhammad „Imȃrah terhadap hermeneutika Abû Zaid. Kedua, alasan Muhammad „Imȃrah mengkritik hermeneutika Abû Zaid. Ketiga, tawaran „Imȃrah sebagai pengganti hermeneutika dalam menafsirkan al-Qur‟an. 3. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah utama yang dibahas dalam tesis ini adalah mengungkap argumen-argumen Muhammad „Imȃrah dalam menolak hermeneutika Abû Zaid. Dari permasalahan tersebut, maka perumusan masalahnya adalah:
Bagaimanakah kritik
Muhammad „Imȃrah terhadap hermeneutika Abû Zaid dan apa solusi yang ditawarkannya? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian
12
Setelah melihat batasan dan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana dan mengapa Muhammad „Imȃrah mengkritik hermeneutika Abû Zaid, dan apa solusi yang ditawarkan „Imȃrah sebagai pengganti hermeneutika tersebut. 2. Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Memperoleh deskripsi kritik Muhammad „Imȃrah terhadap hermeneutika Abû Zaid. 2. Memahami argumentasi yang digunakan Muhammad „Imȃrah dalam mengkritik hermeneutika Abû Zaid. 3. Memperoleh solusi yang ditawarkan oleh Muhammad „Imȃrah sebagai pengganti hermeneutika dalam menafsirkan al-Qur‟an. 4. Untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan kuliah Program Magister (S2) di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Konsentrasi Tafsir Hadits. D. Studi Pustaka Studi pendahuluan atau studi pustaka merupakan kegiatan untuk menelaah sumber-sumber yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti. Manfaat dari studi pustaka ini adalah untuk memperjelas masalah, kemungkinan penelitian dilanjutkan atau tidak, mendorong minat peneliti untuk
melanjutkan penelitiannya, mendapatkan sejumlah bahan-bahan
13
penelitian, dan untuk mengetahui apa yang telah dihasilkan bagi penelitian serupa dan bagian mana yang belum terpecahkan.30 Di antara buku yang membahas tentang hermeneutika dan khususnya hermeneutika Nasr Hâmid Abû Zaid adalah buku Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur‟an: Teori Hermeneutika Nasr Hâid Abû Zaid yang ditulis oleh Moch. Nur Ichwan pada 2003. Dalam buku ini, Ichwan menjabarkan tentang hermeneutika yang diusung oleh Abû Zaid beserta dengan contoh-contohnya. Ichwan menuturkan bahwa Abû Zaid mengusulkan beberapa perspektif baru, pertama, dia semakin mempertegas hubungan antara hermeneutika al-Qur‟an dan kritik al-Qur‟an, yaitu kritik historis dan sastra. Kedua, Abû Zaid mendesakralisasi dan mendemistifikasi teks al-Qur‟an dengan menundukkan pada penelitian ilmiah. Ketiga, hakikat teks al-Qur‟an meniscayakan sebuah diskusi tentang wahyu, karena ia dinamis sebagai kitab yang diwahyukan. Keempat, dia melihat bahasa keagamaan sebagai sebuah aspek penting dari studi dan hermeneutika al-Qur‟an.31 Selanjutnya terdapat buku Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur‟an yang ditulis oleh Adnin Armas pada 2005. Dalam buku ini, penulisnya menjelaskan tentang hujatan tokoh-tokoh Kristen terkemuka kepada al-Qur‟an. Ia juga memaparkan para teolog Kristen mengkaji kritis Perjanjian Baru. Kemudian sarjana Barat dan sarjana Muslim menggunakan metode Bibel tersebut untuk memahami al-Qur‟an. Di antara sarjana muslim yang
30
Hamka Hasan, Metodologi Penelitian Tafsir Hadits (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2008), h. 71-72. 31 Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur‟an: Teori Hermeneutika Nasr Abu Zaid (Jakarta: Teraju, 2003), h. 161-164.
14
disebutkannya menggunakan metode tersebut adalah Mohammed Arkoun dan Nasr Hâmid Abû Zaid. Penulis buku ini lebih memaparkan tentang kritikannya terhadap hujatan-hujatan sarjana barat atas al-Qur‟an, baik itu keraguan mereka terhadap Mushaf Utsmânî, maupun kosa kata asing yang terdapat dalam alQur‟an tersebut. Adapun mengenai kritikan terhadap hermeneutika hanya dijelaskan sedikit. Ia menyebutkan bahwa al-Qur‟an bukan teks manusiawi dan tidak sama dengan teks-teks yang lain. Penulis ini juga menyatakan pendapat Abû Zaid yang mengenyampingkan keimanan seseorang untuk mengkaji alQur‟an tidaklah tepat, karena di antara syarat-syarat para mufassir adalah berkaitan dengan keberagamaan dan akhlak, yaitu memiliki akidah yang sahîh, komitmen dengan kewajiban agama dan akhlak Islam.32 Di samping itu, Penulis juga menemukan buku yang ditulis oleh Henri Shalahuddin, al-Qur‟an Dihujat tahun 2007. Di dalam buku ini secara umum mengkritik pemikiran-pemikiran Nasr Hâmid Abû Zaid, tetapi penulisnya tidak secara khusus membahas tentang hermeneutika Abû Zaid.33 Kemudian terdapat pula buku yang ditulis oleh Adian Husaini dan Abdurrahman Al-Baghdadi pada 2007 berjudul Hermeneutika & Tafsir alQur‟an. Husaini dan
Al-Baghdadi memaparkan tentang dampak dari
hermeneutika dalam memahami al-Qur‟an. Mereka mengkitik hermeneutika, karena dengan hermeneutika akan terjadi relativisme tafsir, tidak ada tafsir yang tetap, dan semua tafsir dipandang sebagai produk akal manusia yang relatif, kontekstual, temporal, dan personal. Di samping itu, dampak dari 32
Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur‟an; Studi Kritis (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), h.78-79. 33 Lihat Henri Shalahuddin, al-Qur‟an Dihujat (Depok: Al-Qalam, 2007).
15
hermeneutika adalah curiga dan mencerca ulama Islam. Menurut Husaini dan Al-Baghdadi, biasanya pendukung hermeneutika sangat kritis terhadap ulama Islam, tetapi mereka menjiplak begitu saja berbagai teori hermeneutika atau pemikiran dari para orientalis dan cendekiawan Barat, tanpa kritis sedikit pun. Dampak
selanjutnya
adalah
dekonstruksi
konsep
wahyu,
mereka
mempersoalkan dan menggugat otentisitas al-Qur‟an sebagai Kitab yang lafzan wa ma„nan min Allah (lafaz dan maknanya dari Allah Swt.).34 Di samping itu, terdapat pula karya Qutb al-Raisûnî, yaitu al-Nass alQur‟âniyyu Min Tahâfut al-Qirâ‟ah ila Ufuq al-Tadabbur menyebutkan bahwa metode hermeneutika telah berlebih-lebihan menempatkan pembaca dan akal, sehingga memisahkan wahyu dari sumbernya dan makna dari teks tidak akan ada akhirnya, berlebih-lebihan dalam penakwilan. Hermeneutika juga menyatakan bahwa terdapat kecacatan dalam penyempurnaan teks al-Qur‟an, dan menyamakan al-Qur‟an dengan kitab-kitab suci yang lain, sedangkan alQur‟an sâlih li kulli zamân wa makân. Al-Raisûnî juga mengkritik hermeneutika Abû Zaid yang menganggap di satu sisi bahwa makna teks selalu cair, dan di sisi lain maknanya tetap, tetapi maghzâ-nya bisa berubah, dan hermeneutika juga menafikan hal-hal gaib.35 Selanjutnya buku yang ditulis oleh Fahmi Salim berjudul Kritik Terhadap Studi al-Qur‟an Kaum Liberal pada 2010. Buku ini menjelaskan tentang takwil dan hermeneutika. Penulis buku ini juga memaparkan pemikir 34
Adian Husaini dan Abdur Rahman Al-Baghdȃdî, Hermeneutika & Tafsir al-Qur‟an (Jakarta: Gema Insani, 2007), h.17,30, 31. 35 Qutb al-Raisûnî, al-Nass al-Qur‟âniyy min tahâfut al-Qirâ‟ah ila ufuq al-tadabbur (t.kt: Wazârat al-Syu‟ûn al-Islâmiyyah, 2010), h. 264-289.
16
muslim yang menggunakan metode hermeneutika tersebut seperti Abû Zaid. Buku ini adalah kritikan terhadap metodologi yang digunakan oleh kaum liberal dalam memahami al-Qur‟an. Penulis buku ini menyebutkan bahwa betapa jauhnya metode dari barat tersebut dengan spirit al-Qurȃn, karena bertentangan dengan aksioma di dalam Islam. Menurutnya juga metode tersebut menunjukkan ketidakmampuan metode-metode humaniora Barat kepada hasil apa pun, serta ilmu-ilmu humaniora tidak bisa menjadi hakim dalam studi-studi al-Qur‟an, karena tidak mungkin sesuatu yang relatif dapat mengatur dan menentukan nilai yang absolut.36 Selanjutnya, artikel Tradisi Orientalisme dan Framework Studi alQur‟an ditulis Hamid Fahmy Zarkasyi dalam Tsaqafah: Jurnal Peradaban Islam Vol. 7, No 1, April 2011. Ia menuturkan bahwa setiap teks memiliki latar
belakang
sejarahnya
sendiri,
maka
menerapkan
ktitik
Bibel
(hermeneutika) terhadap kajian al-Qur‟an tidaklah tepat, karena kesimpulannya akan bertentangan dengan esensi al-Qur‟an itu sendiri, dan al-Qur‟an sudah memiliki metodologi sendiri yaitu „ulûm al-Qur‟ân. Ketika kritik Bibel diterapkan dalam al-Qur‟an, maka teks al-Qur‟an dianggap sama dengan teks Bibel, padahal keduanya berbeda secara historis maupun tekstualnya, kajian terhadap al-Qur‟an mensyaratkan unsur keimanan, sedangkan para orientalis mengkaji al-Qur‟an tanpa keimanan, maka kajian mereka akan menimbulkan masalah-masalah.37
36
Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi al-Qur‟an Kaum Liberal (Jakarta: Perspektif, 2010), h. 490. 37 Hamid Fahmy Zarkasyi, “Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur‟an,” Tsaqafah: Jurnal Peradaban Islam Vol. 7, No 1, April 2011, h. 25-26.
17
Penulis juga menemukan artikel yang ditulis oleh Iqbal Hasanuddin dalam
jurnal
Refleksi,
Vol.
13,
Nomor
4,
April
2013
berjudul
“Memertimbangkan Hermeneutik ala Nasr Hâmid Abû Zaid dalam Studi alQur‟an Kontemporer.” Dengan menjelaskan tentang hermeneutika Abû Zaid dan memberikan contoh tentang pembagian harta warisan bahwa al-Qur‟an sebenarnya menginginkan hak waris yang sama antara laki-laki dan perempuan, Hasanuddin menyatakan bahwa pendekatan hermeneutika adalah suatu hal yang tidak bisa ditawar-tawar untuk menghindari kekeliruankekeliruan dalam proses interpretasi dan hermeneutika baginya sangat penting diterapkan dalam memahami al-Qur‟an.38 Berdasarkan data-data di atas, Penulis tertarik untuk membahas salah seorang penentang metode hermeneutika dari Timur Tengah, lebih khususnya hermeneutika Nasr Hâmid Abû Zaid, yaitu Muhammad „Imȃrah. „Imȃrah adalah seorang pemikir moderat kontemporer dari Mesir yang mengalami perubahan pemikiran dari marxis kepada islamis. E. Metodologi Penelitian Metodologi penelitian bermakna seperangkat pengetahuan tentang langkah-langkah sistematis dan logis tentang pencarian data yang berkenaan dengan masalah tertentu untuk diolah, dianalisis, diambil kesimpulan dan selanjutnya dicarikan cara pemecahannya.39
38
Iqbal Hasanuddin, “Memertimbangkan Hermeneutik ala Nasr Hâmid Abû Zayd dalam Studi al-Qur‟ān Kontemporer,” Refleksi, Jurnal Kajian Agama dan Filsafat vol. 13, No. 4, April 2013, h. 547-548. 39 Hasan, Metodologi Penelitian Tafsir Hadits, h. 1. Wardi Bachtiar, Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah (Jakarta: Logos, 1997), h. 1.
18
1. Jenis Penelitian Penelitian ini adalah kajian tokoh yang objek kajiannya adalah salah satu tokoh pembaharu yang bernama Muhammad „Imȃrah yang mengkritisi hermeneutika Abû Zaid. Penelitian ini adalah kajian tokoh, maka penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif analitik, yaitu Penulis menggambarkan permasalahan dengan didasari pada data-data yang ada, baik data primer maupun data sekunder, kemudian menganalisanya secara proporsional. 2. Pengumpulan Data Penelitian ini digolongkan dalam penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang menggunakan buku-buku, jurnal, internet, dan lain sebagainya yang memuat materi-materi terkait tema pembahasan sebagai sumber datanya.40 Adapun data primer dalam penelitian ini adalah buku-buku karya Muhammad „Imȃrah, terkhusus lagi yang berkaitan dengan hermeneutika, di antaranya Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî baina al-Ta‟wîl Gharbî wa al-Ta‟wîl alIslȃmî, al-Tafsîr al-Markisî li al-Islȃm, Ma`âlim al-Manhȃj al-Islâmî, dan lain-lain. Di samping itu, Penulis juga merujuk kepada buku-buku Nasr Hâmid Abû Zaid, seperti Mafhûm al-Nass: Dirâsah fî „Ulûm al-Qur‟ân, Naqd al-Khitȃb al-Dînî, Isykâliyyât al-Qirâ‟ah wa Aliyyât al-Ta‟wîl, alNass, al-Sultah, al-Haqîqah dan lain sebagainya. Adapun data sekundernya yaitu buku-buku, jurnal-jurnal yang berkaitan dengan penelitian ini. 40
Mastuhu, dkk., Manajemen Penelitian Agama: Perspektif (Jakarta : Badan Litbang Agama, 2000), hal 119.
Teoritis Dan Praktis
19
3. Analisis Data Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut; Penulis berusaha menelusuri, menggali dan mengemukakan data-data yang diperlukan menyangkut hermeneutika Abû Zaid dari buku-buku karyanya, kemudian kritik Muhammad „Imȃrah terhadap hermeneutika Abû Zaid dari buku-buku karyanya yang berkaitan dengan pembahasan ini. Langkah selanjutnya Penulis membandingkan data yang satu dengan data yang lain, yang memiliki relevansi. Kemudian Penulis menganalisa data-data tersebut. Untuk menganalisa data-data tersebut, Penulis menggunakan metode deskriptif analitik,41 yaitu pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subyek dan objek penelitian. Dengan metode deskriftif Penulis menjelaskan segala hal yang berkaitan dengan hermeneutika terkhusus lagi hermeneutika Abû Zaid dan memaparkan biografi Abû Zaid dan Muhammad „Imȃrah. Dengan metode analitik digunakan untuk membahas pandangan Muhammad „Imȃrah tentang hermeneutika al-Qur‟an Abû Zaid. 4. Teknik Penulisan Sebagai pedoman teknik penulisan tesis, Penulis menggunakan buku Pedoman Akademik Program
Magister Fakultas
ushuluddin
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta terbitan 2012.
41
Soejono dan H. Abdurrahman, Metode Penelitian Suatu Pemikiran dan Penerapan, (Jakarta: Rineka Cipta dan Bina Adi Aksara, 2005), h. 23.
20
F. Sistematika Penulisan Penulisan penelitian ini terdiri atas enam bab, yaitu: Bab pertama, adalah pendahuluan. Di dalam bab satu ini Penulis memaparkan tentang latar belakang mengapa Penulis tertarik meneliti pembahasan
ini,
permasalahan
yang mencakup
identifikasi
masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, kemudian tujuan dan kegunaan penelitian, studi pustaka, dan metodologi penelitian. Pembahasan pada bab pertama ini diperlukan agar tergambar alasan Penulis membahas kritik „Imârah terhadap hermeneutika Nasr Hâmid Abû Zaid , dan juga untuk mengetahui permasalahan yang akan dipecahkan dari penelitian ini, tujuan dari penelitian ini dan sebagainya. Hal yang juga penting dalam bab ini adalah metodologi penelitian, karena ini menjadi metode Penulis dalam menyajikan pembahasan selanjutnya. Bab kedua tentang
tinjauan umum ilmu tafsir, takwil dan
hermeneutika serta persamaan dan perbedaan antara ketiganya. Sebelum membahas tentang hermeneutika Abû Zaid dan kritik „Imârah terhadapnya, Penulis merasa perlu terlebih dahulu membahas tentang ilmu tafsir, takwil, dan hermeneutika untuk mengetahui gambaran umum tentang tiga istilah tersebut yang memiliki hubungan erat dengan permasalahan ini. Bab
ketiga,
biografi
Nasr
Hâmid
Abû
Zaid
dan
wacana
hermeneutikanya yang mencakup tekstualitas al-Qur‟an, teori interpretasi, dan aplikasi hermeneutika Abû Zaid. Setelah pada bab sebelumnya Penulis membahas tentang ilmu tafsir, takwil dan hermeneutika, maka pada bab ketiga
21
ini Penulis menjabarkan tentang biografi Abû Zaid dan hermeneutikanya. Pembahasan ini diperlukan sebelum melihat kritik „Imârah terhadap hermeneutika Nasr Hâmid Abû Zaid untuk mendapatkan bagaimana biografi Abû Zaid dan hermeneutika yang ditawarkannya untuk memahami al-Qur‟an, sehingga pada bab selanjutnya dapat dibandingkan dengan kritik „Imârah terhadap hermeneutika Abû Zaid tersebut. Bab keempat adalah seputar profil singkat Muhammad „Imȃrah, pandangan „Imȃrah terhadap awal kemunculan hermeneutika, kritiknya terhadap hermeneutika Nasr Hâmid Abû Zaid. Bab ini juga memaparkan tentang solusi yang ditawarkan „Imȃrah sebagai pengganti hermeneutika tersebut dan analisis terhadap pemikiran „Imârah tersebut. Bab keempat adalah bahasan utama dalam penelitian ini. Setelah mengetahui bagaimana hermeneutika yang diusung oleh Abû Zaid, maka pada bab ini Penulis menjelaskan tentang kritik „Imârah terhadap hermeneutika yang diusung oleh Abû Zaid tersebut dan menganalisa kritik „Imârah tersebut. Bab kelima adalah penutup yang memuat kesimpulan hasil dari penelitian ini dan saran Penulis kepada pembaca. Setelah pada bab sebelumnya Penulis menjelaskan tentang kritik „Imârah terhadap hermeneutika Abû Zaid dan analisis terhadap kritik tersebut, maka pada bab kelima ini Penulis menyimpulkan hasil penelitian ini dan memberikan saran kepada pembaca.
BAB II TINJAUAN UMUM ILMU TAFSIR, TAKWIL, DAN HERMENEUTIKA
Dalam bab II ini Penulis memaparkan sekilas tentang ilmu tafsir dan takwil, kemudian Penulis lanjutkan dengan penjelasan tentang hermeneutika dan seluk-beluknya, yaitu pengertian hermeneutika secara bahasa dan istilah, sejarah hermeneutika Penulis bagi dalam tiga masa; hermeneutika masa pengenalan, hermeneutika masa pembakuan, dan hermeneutika masa pengembangan. Di samping itu, Penulis juga membahas tentang bentuk-bentuk hermeneutika, dan terakhir Penulis menjelaskan tentang persamaan serta perbedaan antara ilmu tafsir, takwil dan hermeneutika tersebut. Pembahasan dalam Bab II ini penting, karena tiga istilah ini sangat erat hubungannya dengan penelitian ini, ilmu tafsir, takwil dan hermeneutika adalah metode yang digunakan untuk memahami ayat-ayat al-Qur‟an. Kritik Muhammad „Imȃrah terhadap hermeneutika merupakan inti dari penelitian ini, maka pembahasan tentang hermeneutika itu sendiri merupakan sesuatu yang mutlak dilakukan, begitu juga halnya dengan ilmu tafsir dan takwil yang telah lama digunakan oleh ulama Islam untuk memahami pesan Tuhan yang terdapat di dalam al-Qur‟an. A. Ilmu Tafsir dan Takwil Al-Qur‟an adalah kalâm Allah Swt. yang diturunkan beberapa abad yang lalu kepada utusan-Nya Nabi Muhammad Saw. Dalam Islam untuk
22
23
memahami kitab al-Qur‟an tersebut telah disusun seperangkat ilmu yang dikenal dengan istilah ilmu tafsir dan takwil. Memahami al-Qur‟an tidak mungkin dilakukan tanpa menggunakan ilmu tafsir dan takwil, karena penerima pertama wahyu tersebut tidak lagi berada di antara kita, sehingga dibutuhkan sebuah perangkat ilmu yang digunakan untuk memahami kandungan mukjizat terbesar Nabi Muhammad Saw. (al-Qur‟an). Ilmu tafsir alQur‟an memiliki posisi yang penting, karena ia adalah ilmu dasar di dalam Islam. Sesuatu disebut dasar apabila terdapat cabang-cabang di atasnya, sehingga ia menjadi sesuatu yang sangat perlu agar cabang-cabangnya tersebut terjaga dengan baik. Ilmu tafsir adalah dasar yang di atasnya dibangun seluruh struktur, tujuan, pengertian dan kebudayaan agama Islam, maka ilmu tafsir mempunyai peran penting dalam membangun syari‟at Islam.1 1. Seputar Ilmu Tafsir Ilmu tafsir merupakan bagian dari „ulûm al-Qur‟ân di samping ilmu qirȃ‟at, ilmu rasam utsmȃnî, ilmu i‟jȃz al-Qur‟ȃn, ilmu gharȋb alQur‟ȃn, ilmu asbȃb al-nuzȗl, ilmu nȃsikh dan mansȗkh, ilmu-ilmu agama, bahasa dan lain-lain.2 Menurut bahasa, kata ilmu adalah masdar dari kata عٍُ – عٍّب٠ -ٍُع yang artinya sinonim pemahaman dan ma‟rifah (pengetahuan). Ilmu juga berarti mendapatkan atau mengetahui sesuatu dengan jelas. Para ahli filsafat mendefenisikan kata ilmu sebagai gambaran tentang sesuatu yang terdapat 1
Wan Mohd Nor Wan Daud “Tafsir dan Takwil sebagai Metode Ilmiah,” Jurnal Islamia Thn 1 no 1, Maret 2004, h. 54. 2 Muhammad „Abdul „Azim al-Zarqȃnȋ, Manȃhil al-Irfȃn fi „Ulûm al-Qur‟ȃn, vol. I (Beirȗt: Dâr al-Kitȃb al-‟Arabȋ,1995), h. 23-24.
24
dalam akal, sedangkan bagi para ahli teologi ilmu adalah suatu sifat, dengan sifat tersebut jelaslah baginya suatu urusan.3 Menurut al-Asfahȃnȋ ilmu
ُ ( اِ ْد َسا.4 adalah memperoleh sesuatu dengan sebenarnya (ِٗمَز١ْ ِذم َ ِ ِء ثْٟ ن اٌ َّؾ Tafsir menurut bahasa artinya al-ȋdah wa al-tabyȋn (penjelasan), alibȃnah, dan al-kasyf.5 Tafsir juga berarti menjelaskan makna yang masuk akal. Kata tafsir terdapat di dalam al-Qur‟an QS. al-Furqȃn [25]: 33.6
ِّ ن ثِ ْبٌ َذ شًا١أَدْ َغ َٓ رَ ْف ِغَٚ ك َ ه ثِ َّضَ ًٍ اِ ََّل ِج ْئَٕب َ ََُٔٛؤْر٠ ََلَٚ “Dan mereka (orang-orang kafir itu) tidak datang kepadamu (membawa) sesuatu yang aneh, melainkan Kami datangkan kepadamu yang benar dan penjelasan yang paing baik.”7 Tafsir adalah ilmu untuk menyingkap makna ayat-ayat al-Qur‟an dan penjelasan yang dimaksud Allah Swt. sesuai kemampuan manusia.8 Adapun ilmu tafsir adalah suatu ilmu untuk memahami Kitab Allah Swt. yang diturunkan kepada nabi-Nya Muhammad Saw., dan menjelaskan maknanya dan mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya.9
3
al-Zarqȃnȋ, Manȃhil al-Irfȃn fi „Ulûm al-Qur‟ȃn, vol. 1, h. 14-15. Abdul Djalal H. A, Ulumul Qur‟an (Surabaya: Dunia Ilmu, 2008), h. 2. Lihat juga Acep Hermawan, Ulumul Qur‟an (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), h. 1. 4 al-Rȃghib al-Asfahȃnȋ, Mufradȃt Alfȃz al-Qur‟ȃn (Beirût: Dâr al-Qalȃm, 2009), h. 580. 5 Abȋ Husain Ahmad ibn Fȃris, Mu„jam Maqȃyis al-Lughah, vol. IV (T.tp.: Dâr al-Fikr: t.t.), h. 504. al-Asfahȃnȋ, Mufradȃt Alfȃz al-Qur‟ȃn, h. 636. Muhammad Husain al-Dzahabȋ, alTafsȋr wa al-Mufassirûn, vol. I (Kairo: Dâr al-Hadȋts, 2005), h. 17. Lihat juga Muhammad Husain al-Dzahabȋ, „Ilmu al-Tafsȋr (T.tp.: Dâr al-Ma„ȃrif, t.t.), h. 5. Musṯafa Muslim, Mabȃhits Tafsȋr alMauḏȗ'ȋ (Beirût: Dâr al-Qalam, 2000), h. 15. al-Zarqȃnȋ, Manȃhil al-„Irfȃn fȋ „Ulȗm al-Qur‟ȃn, jilid II, h. 6. 6 al-Asfahȃnȋ, Mufradȃt Alfȃz al-Qur‟ȃn, h. 636. 7 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya (Bandung: Syamil Cipta Media, 2005), h. 363. 8 Mustafa Muslim, Mabâhits Tafsîr al-Maudû„î, h. 15. al-Zarqȃnȋ, Manȃhil al-„Irfȃn fî „Ulûm al-Qur‟ȃn, vol. II, h. 6. 9 Badr al-Dȋn Muhammad bin „Abd Allȃh al-Zarkasyȋ, al-Burhȃn fȋ „Ulȗm al-Qur‟ȃn (Kairo: Dâr al-Kutȗb al-Misriyyah, 2008), h. 52. Al-Dzahabȋ, „Ilmu al-Tafsȋr, h.6.
25
Allah Swt. memberikan jaminan kepada Rasul-Nya bahwa Dialah yang “bertanggung jawab” melindungi al-Qur‟an dan menjelaskannya, firman Allah Swt. QS. al-Qiyȃmah [75 ] : 17-19.10 )ٔ١( ََُٗٔب١َث
َٕب١ْ ٍَصُ َُّ اِ َّْ َع
)ٔ١( َُٗٔلُشْ آ
ٔ) فَب ِ َرا لَ َش ْأَٔبُٖ فَبرَّجِ ْع١( َُٗٔلُشْ آَٚ َُٕٗب َج ّْ َع١ْ ٍَاِ َّْ َع
“Sesungguhnya Kami yang akan mengumpulkannya (di dadamu) dan yang membacakannya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian sesungguhnya Kami yang akan menjelaskannya.”11 Nabi Muhammad Saw. memahami al-Qur‟an dengan sempurna baik secara global dan terperinci. Rasulullah Saw. menyampaikan apa yang diwahyukan itu kepada para sahabat, dan membacakannya kepada manusia dengan pelan-pelan agar mudah ditirukan, diucapkan dan dipahami rahasiarahasianya. Firman Allah Swt. dalam QS. al-Nahl [16]: 44.12
ُّ َٚ د ُْٚ َ َزَفَ َّىش٠ ُْ ٌٍََُّٙ َعَٚ ُْ ِٙ ١ْ ٌَِبط َِب ُٔ ِّض َي ا َ ١ْ ٌَِأَ ْٔض ٌََْٕب اَٚ اٌضث ُِش ِ َِّٕب١َثِ ْبٌج ِ َّ ٌٍِٕ َِّٓ ١َه اٌ ِّز ْو َش ٌِزُج “(mereka Kami utus) dengan membawa keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan al-Dzikr (al-Qur‟an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan.”13 Pada masa Nabi Muhammad Saw. para sahabat menanyakan tentang tafsir atau makna suatu ayat yang sulit bagi mereka memahaminya kepada Nabi Muhammad Saw, kemudian beliau menjelaskannya.14 Di samping itu, para sahabat juga mampu memahami al-Qur‟an, karena
10
Mannâ„ al-Qaṯṯȃn , Pengantar Studi Ilmu al-Qur‟an. Penerjemah Mifdhol Abdurrahman (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), h. 421. 11 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 577. 12 al-Qaṯṯȃn , Pengantar Studi ilmu al-Qur‟an. h. 421. al-Zarqȃnȋ, Manȃhil al-„Irfȃn fȋ Ulȗm al-Qur‟ȃn, vol. I, h. 29. 13 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 272. 14 Khȃlid „Abd al-Rahmân al-„Ak. Usȗl al-Tafsîr wa Qawâ„iduhu (Beirût: Dâr alNafâis, 1986) h. 32.
26
diturunkan dalam bahasa mereka, sekalipun mereka tidak mengetahui detaildetailnya dan di antara mereka berbeda-beda tingkat pemahamannya.15 Adapun peletak dasar ilmu tafsir adalah Ubai bin Ka„ab, Ibnu Mas„ûd, dan Ibnu „Abbâs, Di antara para sahabat yang banyak menafsirkan al-Qur‟an adalah empat khalifah, Ibnu Mas‟ȗd, Ibnu Abbȃs, Ubai bin Ka‟ab, Zaid bin Tsȃbit, Abȗ Mȗsa al-„Asy‟arȋ, „Abd Allȃh bin Zubair, Anas bin Mȃlik, „Abd Allȃh bin „Umar, Jȃbir bin „Abd Allȃh, „Abd Allȃh bin „Amr bin „As dan „Âisyah.16 Pada masa tâbi‟în juga terdapat banyak pakar di bidang tafsir, mereka berpegang pada sumber-sumber penafsiran pada masa Rasulullah Saw. dan para sahabat, ijtihâd dan pertimbangan nalar mereka sendiri.17 Dengan demikian, ilmu tafsir di masa awal Islam disampaikan dengan jalan talqȋn dan musyȃfahah, dari mulut ke mulut, bukan melalui
15
Pada masa ini, dalam menafsirkan al-Qur‟an para sahabat berpegang pada: pertama, al-Qur‟an itu sendiri, sebab apa yang dikemukakan secara global di satu tempat dijelaskan secara terperinci di tempat lain. Atau terkadang sebuah ayat dalam bentuk umum atau mutlaq, namun kemudian disusul oleh ayat yang membatasi atau mengkhususkannya. Contohnya QS. al-Mȃidah ayat 1 dijelaskan oleh al-Mȃidah ayat 3. Kedua, Nabi Muhammad Saw. sebagai penafsir al-Qur‟an otoritatif. Saat para sahabat kesulitan untuk memahami ayat al-Qur‟an, maka mereka bertanya kepada Nabi Muhammad Saw. Contohnya ketika turun QS. al-An‟ȃm [6]: 82 “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan imannya dengan ke-zâlim-an” Ketika turun ayat ini, para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah di antara kita yang tidak berbuat zâlim terhadap dirinya?” maka Rasulullah Saw. menjelaskan bahwa zâlim di sini maknanya adalah syirik (QS. Lukmȃn [31]: 13). Ketiga, pemahaman dan Ijtihâd. Jika para sahabat tidak mendapatkan tafsir dalam alQur‟an dan Sunnah Rasulullah Saw, maka mereka melakukan ijtihȃd. Ini mengingat mereka menguasai bahasa Arab dan seluk beluknya. Lihat al-Qaṯṯȃn , Pengantar Studi ilmu al-Qur‟an, h. 421-424. 16 al-Qaṯṯȃn , Pengantar Studi ilmu al-Qur‟an, h. 424, al-Zarqȃnȋ, Manȃhil al-„Irfȃn fȋ Ulȗm al-Qur‟ȃn, vol. I, h. 30. 17 Di Mekah berdiri perguruan tinggi Ibnu Abbȃs. Di antara murid-muridnya yaitu Sa„ȋd bin Jubair, Mujȃhid, „Ikrȋmah Maula Ibnu „Abbȃs, Tawus bin Kisân al-Yamȃnȋ dan „Atȃ‟ bin Abȋ Rabah. Di Madinah, di antara murid-murid Ubai bin Ka„ab adalah Zaid bin Aslam, Abȗ „Aliyyah dan Muhammad bin Ka„ab al-Qurazȋ. Di Irak berdiri perguruan tinggi Ibnu Mas‟ȗd. Di antara murid-muridnya yaitu „Alqamah bin Qais, Masrȗq, al-Aswad bin Yazȋd, Murrah al-Hazanȋ, Amir al-Sya‟bȋ, Hasan al-Basrȋ dan Qatȃdah bin Di‟ȃmah al-Sadȗsȋ Lihat al-Qaṯṯȃn , Pengantar Studi ilmu al-Qur‟an, h. 425-427.
27
buku atau tulisan.18 Oleh karena itu, maka ilmu tafsir pada awalnya belum dijadikan sebagai sebuah disiplin ilmu. Pada perkembangan selanjutnya, barulah disusun kitab-kitab dalam berbagai jenis ilmu-ilmu al-Qur‟an, maka sebelum segala sesuatunya, seluruh perhatian diarahkan pada bidang tafsir, yang merupakan induk ilmu-ilmu al-Qur‟an.19 Pada masa Rasulullah Saw., para sahabat bisa bertanya langsung kepada pembawa pesan Tuhan tentang maksud dari sebuah ayat, namun seiring dengan perkembagan zaman dan beragamnya permasalahan yang dihadapi oleh manusia, maka dibutuhkan penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an yang sesuai dengan perkembangan zaman tersebut. Oleh karena itu, jika pada masa awal Islam penafsiran al-Qur‟an hanya bersumber pada riwâyah yang kemudian dikenal dengan tafsȋr bi al-riwȃyah,20 namun kemudian
18
al-Zarqȃnȋ, Manȃhil al-„Irfȃn fȋ Ulȗm al-Qur‟ȃn, vol. I, h. 29. Lihat juga M. Quraish Shihab dkk., Sejarah & Ulum al-Qur‟an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013), h. 42. 19 al-Zarqȃnȋ, Manȃhil al-„Irfȃn fȋ Ulȗm al-Qur‟ȃn, vol. I, h. 31. 20 Tafsȋr bi al-Riwȃyah (tafsȋr bi al-ma‟tsȗr) adalah penafsiran al-Qur‟an yang dilakukan dengan cara menafsirkan al-Qur‟an dengan al-Qur‟an, menafsirkan ayat al-Qur‟an dengan Sunnah, menafsirkan ayat al-Qur‟an dengan pendapat para sahabat, bahkan tâbi„în menurut sebagian ulama. Tafsȋr bi al-ma„tsȗr melalui dua fase: pertama fase periwayatan dengan lisan (syafȃhiyyah/ruwȃiyyah). Pada tahap ini, para sahabat menukil riwayat penafsiran dari Nabi Muhammad Saw. dan menyampaikan kepada sahabat yang lain. Para tâbi„în menukil riwayat dari sahabat dengan penukilan yang sahȋh dan dengan sanad yang kuat. Kedua, fase pengodifikasian (tadwȋn). Riwayat-riwayat yang disebarkan pada fase pertama mulai dibukukan. Beberapa contoh kitab tafsȋr bi al-ma‟tsȗr adalah Jȃmi‟ al-Bayȃn „an takwȋl Ayyi alQur‟ȃn karya Ibn Jarȋr al-Tabarî, Kitab ini sebanyak 15 jilid, Tafsȋr al-Qur‟ȃn al-„Azȋm karya alHȃfiz „Imȃd al-Dȋn Abȋ al-Fidȃ‟ Ismâ‟ȋl bin Katsȋr al-Quraisyȋ al-Dimasyqȋ. Buku ini terdiri atas 4 jilid, Bahru al-„Ulȗm karya Nasr bin Muhammad bin Ahmad Abȗ Laits al-Samarqandȋ, terdiri atas 3 juz. Lihat al-Zarqȃnȋ, Manâhil al-„Irfân fî „Ulûm al-Qur‟ân, vol. II, h. 12, 25-26, alFarmȃwȋ, „Abd Hayy. al-Bidayȃh fȋ al-Tafsȋr al-Maudȗ‟ȋ (Kairo: T.pn., 1977), h. 25-26 Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur‟an (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 333, 344-345.
28
penafsiran al-Qur‟an juga bersumber pada dirâyah yang kemudian disebut tafsȋr bi al-dirȃyah.21 Untuk menafsirkan wahyu Tuhan, seorang mufassir harus menguasai beberapa cabang ilmu agar penafsirannya sesuai kaidah tafsir Islam, karena itu seseorang tidak mempunyai kewenangan untuk menafsirkan al-Qur‟an jika belum memenuhi syarat untuk menjadi seorang mufassir.22 Mannâ„ al-Qaṯṯȃn menyebutkan ada sembilan syarat yang harus dimiliki oleh seorang mufassir, yaitu:
21
23
akidah yang benar,24 bersih dari
Tafsȋr bi al-Dirȃyah (bi al-ra‟yî) adalah penafsiran al-Qur‟an yang dilakukan berdasarkan ijtihȃd setelah seorang mufassir terlebih dahulu memahami perkataan atau bahasa orang Arab beserta metodenya dan aspek-aspek lainnya. Seorang mufassir dibantu oleh syi„ir jahiliyyah, asbȃb al-nuzȗl, nȃsikh mansȗkh dan lain sebagainya. Tafsir ini lebih menekankan sumber penafsirannya pada kekuatan bahasa dan akal fikiran mufassir, maka para ahli ilmu tafsir membedakan tafsȋr bi al-ra‟yȋ ke dalam dua macam yaitu: tafsȋr bi al-ra‟yȋ yang terpuji (al-tafsȋr mahmȗd) dan tafsȋr bi al-ra‟yȋ yang tercela (al-tafsȋr al-madzmȗm). al- tafsȋr mahmȗd memiliki ciri-ciri: pertama, sesuai dengan tujuan al-Syȃri‟ (Allah Swt.). Kedua, jauh atau terhindar dari kesalahan dan kesesatan. Ketiga, dibangun atas dasar kaidah-kaidah kebahasaan yang tepat dengan memperaktekkan gaya bahasa (uslȗb-nya) dalam memahami nass-nass al-Qur‟an. Keempat, tidak mengabaikan kaidah-kaidah penafsiran yang sangat penting seperti sabab al-nuzȗl, ilmu munȃsabah dan lain sebagainya, sedangkan ciri-ciri tafsȋr bi al-ra‟yȋ yang tercela (al-tafsȋr almadzmȗm) adalah: pertama, mufassir-nya tidak mempunyai keilmuan yang memadai. Kedua, tidak didasarkan kepada kaidah-kaidah keilmuan. Ketiga, menafsirkan dengan semata-mata mengandalkan hawa nafsu. Keempat, mengabaikan aturan-aturan bahasa Arab dan aturan syarȋ„ah. Di antara contoh kitab Tafsȋr bi al-Dirȃyah adalah Mafȃtih al-Ghaib karya Muhammad Fakhr al-Dȋn al-Rȃzȋ, Tafsȋr al-Jalȃlain karya Jalȃl al-Dȋn al-Mahallȋ dan Jalȃl al-Dȋn al-Rahmân al-Suyȗtȋ, Rȗh al-Ma‟ȃnȋ karya al-Allȃmah Syihȃb al-Dȋn al-Alȗsȋ, Anwȃr al-Tanzȋl wa Asrȃr alTakwȋl karya al-Baidȃwȋ, dan Lubȃb al-Takwȋl fi Ma‟ȃni al-Tanzȋl karya al-Khȃzin. Lihat al-Farmȃwȋ, al-Bidȃyah fȋ al-Tafsȋr al-Maudȗ‟ȋ, h. 26-29, al-Zarqȃnȋ, Manȃhil alIrfȃn fî „Ulûm al-Qur‟ȃn, vol. II, h. 12, 56, Suma, Ulumul Qur‟an, h. 332, 351-352, 356. 22 Adian Husaini dan AbdurRahman Al-Baghdadi, Hermeneutika & Tafsir al-Qur‟an (Jakarta: Gema Insani, 2007), h.vii. 23 al-Qaṯṯȃn , Pengantar Studi Ilmu al-Qur‟an, h. 414-417. Bandingkan dengan syarat yang dikemukakan oleh al-Farmȃwȋ, al-Bidȃyah fȋ al-Tafsȋr al-Maudȗ‟ȋ, h. 18-19. Ia menyebutkan syarat menjadi mufassir ada 4 syarat, yaitu: Pertama, memiliki akidah yang benar. Kedua, memiliki maksud atau motivasi yang benar, yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. bukan niat yang lain. Ketiga, merujuk pada periwayatan yang berasal dari Nabi Muhammad Saw, sahabatnya dan yang sezaman dengan mereka serta menjauhi periwayatan-periwayatan bid„ah. Keempat, mempunyai ilmu-ilmu yang dibutuhkan oleh seorang mufassir. Sebenarnya apa yang disebutkan oleh al-Farmȃwȋ tersebut tidak jauh berbeda dengan apa yang disebutkan oleh alQattân, lihat juga buku M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 2013), h. 118. Masuri Sirojuddin Iqbal dan A. Fudlali, Pengantar Ilmu Tafsir (Bandung: Angkasa Bandung, 2009), h. 101.
29
hawa nafsu,25 mendahulukan penafsiran
al-Qur‟an dengan al-Qur‟an,26
mencari penafsiran dari Sunnah,27 melihat pendapat para sahabat,28 melihat pendapat tâbi‟în, mengetahui prinsip-prinsip ilmu yang berkaitan dengan alQur‟an.29
24
Akidah yang benar akan mempengaruhi jiwa pemiliknya dan seringkali mendorongnya untuk mengubah nass-nass al-Qur‟an, maka dia tidak jujur dalam menyampaikan berita dan informasi. Ayat-ayat yang tidak sesuai dengan akidahnya dia akan takwilkan dan membawanya kepada madzhab yang bâtil dan memalingkan orang-orang dari jalan yang lurus, lihat al-Qaṯṯȃn , Pengantar Studi Ilmu al-Qur‟an. h. 414. Lihat juga al-Farmȃwȋ, al-Bidȃyah fȋ alTafsȋr al-Maudȗ‟ȋ, h. 17. Ia menambahkan bahwa seseorang yang tidak baik agamanya (keberagamaannya), maka orang tersebut tidak dapat dipercayai untuk menangani urusan dunia, apalagi urusan keagamaan. 25 Seseorang yang mengikuti hawa nafsunya akan membela kepentingan madzhab-nya, sehingga menipu manusia dengan kata-kata yang halus.25 al-Farmȃwȋ menyebutkan bahwa seorang mufassir harus memiliki tujuan semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.. (taqarrub ila Allȃh), bukan untuk mendapatkan pujian dan kasih sayang dari manusia atau motivasi lainnya, lihat al-Farmȃwȋ, al-Bidȃyah fȋ al-Tafsȋr al-Maudȗ‟ȋ, h. 18. 26 Ayat yang masih global pada suatu tempat telah diperinci di tempat lain, dan sesuatu yang diuraikan secara ringkas di suatu tempat, telah diuraikan di tempat yang lain. 27 Nabi Muhammad Saw. sebagai utusan Allah Swt. dalam menyampaikan firman-Nya kepada umat manusia sudah jelas lebih paham dari manusia yang lain, karena beliaulah penerima pertama wahyu Allah Swt. tersebut. Banyak di antara ayat al-Qur‟an yang masih bersifat umum, sunnah Nabi Muhammad Saw. berfungsi sebagai penjelasnya. Firman Allah Swt dalam dalam QS. al-Nahl [16]: 44
ُّ َٚ د ََُْٚزَفَ َّىش٠ ُْ ٌٍََُّٙ َعَٚ ُْ ِٙ ١ْ ٌَِبط َِب ُٔ ِّض َي ا ِ َِّٕب١َثِ ْبٌج ِ ٌٍَِّٕ َِّٓ١َهَ اٌ ِّز ْو َش ٌِزُج١ْ ٌَأَ ْٔضَ ٌَْٕآ ِاَٚ اٌضث ُِش
“(mereka Kami utus) dengan membawa keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitabkitab. Dan Kami turunkan al-Dzikr (al-Qur‟an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan.” Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 272. Firman Allah dalam QS. al-Nisȃ‟[4]: 105 َّ َبط ثِ َّآ أَ َسان ِّ َبة ثِ ْبٌ َذ . ًّب١ص َ هَ ْاٌ ِىز١ْ ٌَِأَِّآ أَ ْٔضَ ٌَْٕآ ا ِ ََٓ خ١َِِٕل رَ ُى ْٓ ٌِ ٍْخَ آئَٚ َُّللا ِ ٌََّٕٓ ا١ْ َك ٌِزَذْ ُى َُ ث “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab (al-Qur'an) kepadamu (Muhammad) membawa kebenaran agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang yang khianat.” Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 95.. 28 Jika tidak menemukan penafsiran dari al-Qur‟an dan Sunnah, maka hendaklah melihat bagaimana pendapat para sahabat. 29 Muhammad Husain al-Dzahabî menyebutkan 15 ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mufassir, yaitu: ilmu bahasa Arab (linguistik Arab), ilmu nahwu (tata bahasa), ilmu sarf (konyugasi), ilmu isytiqȃq (derivasi kata, etimologis), ilmu ma‟ȃnȋ (retorika), ilmu bayȃn (ilmu kejelasan berbicara), ilmu badȋ‟ (efektivitas bicara), ilmu qirȃ‟ah, ilmu usȗl al-dȋn (dasar-dasar agama Islam), ilmu usȗl al-fiqh, ilmu asbȃb al-nuzȗl, ilmu qasas, ilmu nȃsikh mansȗkh, ilmu hadȋts, ilmu mauhibah, yaitu ilmu yang dianugerahkan Allah Swt. kepada siapa saja yang mengamalkan apa yang diketahuinya. Sebagaimana diisyaratkan oleh hadits Nabi Muhammad Saw:
ُْ ٍََ ْع٠ ُْ ٌَْ َسصَُٗ َّللاُ َِبََِٚ ْٓ َع ِّ ًَ ثِ َّب َعٍِ َُ أ
30
Seorang mufassir juga harus menghindari faktor-faktor yang mengakibatkan kekeliruan dalam menafsirkan al-Qur‟an, yaitu: subjektivitas mufassir, tidak memahami konteks, baik sejarah/ sebab turun, hubungan ayat dengan sebelumnya, tidak mengetahui siapa pembicara atau mitra dan siapa yang dibicarakan, kedangkalan pengetahuan menyangkut ilmu-ilmu alat (antara lain bahasa), kekeliruan dalam menerapkan metode dan kaidah, serta kedangkalan pengetahuan tentang materi uraian ayat.30 Dari
pemaparan
di
atas
tergambarlah
bahwa
dibutuhkan
persyaratan yang cukup banyak bagi seseorang yang ingin menafsirkan alQur‟an, sebab al-Qur‟an bukanlah buku bacaan biasa, tetapi ia adalah kalâm
“Siapa saja mengamalkan apa yang diketahuinya, Allah pasti akan memberikan apa-apa yang tidak diketahuinya.” Sedikit berbeda dengan al-Dzahabȋ, al-Zarqȃnȋ, al-Farmȃwȋ, Quraish Shihab dan Masuri Sirojuddin tidak memasukkan ilmu qasas, tetapi menggantinya dengan ilmu fiqh, sedangkan Hasbi As-Siddieqy ia menambahkan seorang mufassir harus mampu menentukan yang mubham dan yang mujmal, umum, khusus, itlaq, taqyîd, petunjuk suruhan, petunjuk larangan dan ilmu kalam. Lihat Muhammad Husain al-Dzahabȋ, al-Tafsȋr wa al-Mufassirûn, vol. I. (Kairo: Dâr al-Hadȋts, 2005), h. 229-231, al-Zarqȃnȋ, Manȃhil al-‟Irfȃn fȋ „Ulȗm al-Qur‟ȃn, vol. II, h. 43, al-Farmȃwȋ, alBidȃyah fȋ al-Tafsȋr al-Maudȗ‟ȋ, h. 19-20, M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami al-Qur‟an (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 395-396, Iqbal dan Fudlali, Pengantar Ilmu Tafsir, h. 102-13, Hasbi As-Siddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), h. 165. 30 Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h. 398-399. Bandingkan dengan pendapat Harun Yahya, dia menyebutkan ada beberapa hal yang menyebabkan kesalahan penafsiran terhadap alQur‟an, yaitu: pertama prasangka, maksud tersembunyi, dan kurang jujur, kedua, kebingungan antara ayat-ayat mutasyâbihât dan muhkamât. ketiga, kurangnya teknik penguasaan dalam menginterpretasi al-Qur‟an. Keempat, kekurangan dalam pengetahuan bahasa Arab. Kelima, tidak adanya hikmah dan pemahaman. Keenam, lemah pikiran. Ketujuh, arogansi dan superioritas. Kedelapan, berusaha untuk menginterpretasi al-Qur‟an dengan tradisi lama. Kesembilan, ketidakmampuan untuk memahami ayat-ayat yang berhubungan dengan sains. Kesepuluh, mencoba untuk menginterpretasikan al-Qur‟an menurut nilai-nilai yang cacat dari susunan yang mapan. Lihat Harun Yahya, Misinterpretasi terhadap al-Qur‟an; Mewaspadai Penyimpangan dalam Menafsirkan al-Qur‟an. Penerjemah Samson Rahman (Jakarta: Robbani Press, 2003), h. 947. Terdapat pula adab-adab yang harus dimiliki oleh seorang mufassir, seperti berniat baik dan bertujuan benar, berakhlak mulia, taat dan mengamalkan ilmunya, jujur dan teliti dalam penukilan, tawâdu‟ dan lemah lembut, berjiwa mulia, berani dalam menyampaikan kebenaran, menjaga adab baik cara duduk, berdiri dan berjalan, bersikap tenang dan jelas, menghargai orang lain dan lain sebagainya, lihat al-Qaṯṯȃn , Pengantar Studi Ilmu al-Qur‟an, h. 417-418.
31
Allah Swt. dan mukjizat terbesar Nabi Muhammad Saw., maka diperlukan seperangkat persyaratan untuk memahami kandungannya. Ilmu tafsir telah melahirkan 4 (empat) metode dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an, yaitu:31 tahlȋlȋ (analisis),32 ijmȃlȋ (global),33 muqȃran (perbandingan),34 dan maudȗ‟ȋ (tematik).35 Dari segi corak penafsiran,
31
al-Farmȃwȋ, al-Bidȃyah fȋ al-Tafsȋr al-Maudȗ‟ȋ, h. 23. lihat juga Qurais Sihab, Kaidah Tafsir, h. 378. 32 Metode yang pertama ini berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur‟an dari berbagai segi, sesuai dengan pandangan, kecendrungan, dan keinginan mufassir-nya yang diuraikan secara runut sesuai dengan urutan ayat-ayat dalam Mushaf. Biasanya yang dihidangkan itu mencakup pengertian umum kosakata ayat, Munȃsabah/ hubungan ayat dengan ayat sebelumnya, sabab al-nuzȗl, makna global ayat, hukum yang dapat ditarik dengan berbagai pendapat ulama madzhab. Ada juga yang memaparkan tentang aneka qirȃ‟ât, i‟rȃb ayat-ayat yang ditafsirkan, serta keistimewaan susunan kata-katanya. Di samping itu, tafsir ini juga membahas tentang apa yang dapat di-istinbât-kan dari ayat yang meliputi hukum fiqh, dalil syar‟ȋ, norma-norma akhlak, akidah, perintah, larangan, janji, ancaman, dan lain sebagainya. Metode tafsir tahlȋlȋ yang juga disebut dengan metode tajzȋ‟ȋ merupakan metode tafsir yang paling tua usianya. Namun, kelemahan terbesar dari metode ini menurut Quraish Shihab adalah kurangnya rambu-rambu metodologis yang harus diindahkan oleh mufassir ketika menarik makna dan pesan ayat-ayat al-Qur‟an. Semua yang terdapat dalam benak penulisnya ingin dihidangkan, sehingga membuat kejenuhan bagi pembacanya dan tidak pernah tuntas, karena mengarahkan hanya pada ayat yang dibahas. Contoh kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah: Jȃmi‟ al-Bayȃn „an ta‟wȋl Ayyi al-Qur‟ȃn karya al-Tabarȋ, al-Durr al-Mantsȗr fȋ al-Tafsȋr bi al-Ma‟tsȗr karya Jalâl al-Dȋn alSuyȗtȋ, al-Mȋzȃn fi Tafsȋr al-Qur‟ȃn karya Muhammad Husein al-Tabȃtaba‟ȋ. Lihat al-Farmȃwȋ, al-Bidȃyah fȋ al-Tafsȋr al-Maudȗ‟ȋ, h. 24, Quraish Shihab, Kaidah Tafsir. h. 378-379, Nur Kholis, Pengantar Studi al-Qur‟an dan Hadits (Yogyakarta: Teras, 2008), h. 143, Suma, Ulumul Qur‟an, h. 379-380. 33 Tafsir al-Ijmȃlȋ adalah penafsiran al-Qur‟an yang dilakukan dengan cara mengemukakan isi kandungan al-Qur‟an melalui pembahasan yang bersifat umum (global), tanpa uraian apalagi pembahasan yang panjang dan luas, dengan bahasa yang mudah dipahami oleh semua orang dan dilakukan terhadap ayat per ayat dan surat per surat sesuai urutannya dalam mushaf. Metode ini hanya menguraikan makna-makna umum yang dikandung oleh ayat yang ditafsirkan, namun sang penafsir diharapkan dapat menghidangkan makna-makna dalam bingkai suasana Qur‟ȃnî. Penafsir dengan metode ini tidak perlu menyinggung asbȃb al-Nuzȗl, maknamakna kosakata, tetapi langsung menjelaskan kandungan ayat secara umum atau hukum dan hikmah yang dapat ditarik. Contoh kitab tafsir menggunakan metode ini antara lain: Tafsir karya „Abd al-Rahmân al-Sa„dȋ Taisȋr al-Karȋm al-Rahmân fȋ Tafsȋr Kalȃm al-Mannȃn, al-Tafsȋr alFarȋd li al-Qur‟ȃn al-Majȋd karya Muhammad „Abd al-Mun„im, al-Tafsȋr al-Wâdih karya Muhammad Mahmud Hijȃzȋ, Fath al-Bayȃn fȋ Maqȃsid al-Qur‟ȃn karya Siddîq Hasan Khȃn. Lihat al-Farmȃwȋ, al-Bidȃyah fȋ al-Tafsȋr al-Maudȗ‟ȋ, h. 43. Suma, Ulumul Qur‟an. h. 381-382, Quraish Shihab, Kaidah Tafsir h. 381. 34 Dalam metode ini, seorang mufassir membandingkan antara ayat-ayat al-Qur‟an yang berbeda redaksi, dan ayat-ayat tersebut berbicara tentang tema yang sama, atau membandingkan antara ayat yang bertentangan secara zâhir dengan hadits Nabi Muhammad Saw dan lain-lain. Di
32
penafsiran al-Qur‟an terbagi kepada: tafsir corak ahkȃm,36 tafsir corak akhlȃqȋ,37 tafsir corak tarbawȋ,38 tafsir corak „ilmȋ,39 tafsir corak tasawwuf,40 tafsir corak falsafȋ,41 dan tafsir corak al-adabȋ al-ijtimȃ‟ȋ.42
antara contoh kitab tafsir Muqȃran adalah: Durrah al-Tanzȋl wa Qurrah al-Ta‟wȋl karya al-Khatîb al-Isykȃfȋ, dan al-Burhȃn fȋ Taujȋh Mutasyȃbih al-Qur‟ȃn karya Tâj al-Qarrȃ‟ al-Kirmȃnȋ. Lihat al-Farmȃwȋ, al-Bidȃyah fȋ al-Tafsȋr al-Maudȗ‟ȋ, h. 45-46. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h. 382. Lihat juga Suma, Ulumul Qur‟an, h. 383, 390. Amin Suma menambahkan Tafsir alMuqâran juga bisa dilakukan dengan cara membandingkan antara aliran-aliran tafsir dan antara mufassir yang satu dengan mufassir yang lain; maupun perbedaan itu didasarkan pada perbedaan metode dan lain sebagainya. 35 Metode ini mengarahkan pandangan kepada satu tema tertentu, lalu menghimpun ayat-ayat al-Qur‟an yang berbicara dengan tema tersebut. Kemudian (kalau mungkin) disusun berdasarkan kronologis turunnya, lalu menjelaskan asbȃb al-nuzȗl-nya, kemudian menganalisanya dan memahaminya ayat demi ayat dan ditambah dengan hadits-hadits yang berkaitan dengan tema tersebut dan dibahas secara tuntas dan sempurna serta istinbȃt dari pokok bahasan tersebut. al-Farmȃwȋ menyebutkan bahwa Muhammad „Abduhlah yang dipandang sebagai pemimpin gerakan penulisan kitab tafsir dengan metode ini, kemudian Mahmȗd Syaltȗt, setelah itu muncullah karya-karya seperti: al-Mar‟ah fȋ al-Qur‟ȃn al-Karȋm, karya „Abbȃs al-Aqqȃd, alRibȃ fȋ al-Qur‟ȃn al-Karȋm, karya Abȗ al-A‟la al- Maudȗdȋ, al- Wasȃyȃ al-„Asyr, karya Mahmȗd Syaltȗt, al-Insȃn fȋ al-Qur‟ȃn al-Karîm, karya Ibrȃhim Mahnȃn, lihat Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h. 385. al-Farmȃwȋ, al-Bidȃyah fȋ al-Tafsȋr al-Maudȗ‟ȋ, h. 52. 36 Tafsir corak ahkȃm merupakan tafsir yang sudah tua dibandingkan dengan tafsir yang lain. Tafsir ini muncul bersamaan dengan tafsȋr bi al-ma‟tsȗr. Tafsir ahkȃm adalah tafsir yang lebih berorientasi kepada ayat-ayat hukum dalam al-Qur‟an. Munculnya tafsir ini sebagai dampak dari perkembangan ilmu fiqh dan terbentuknya madzhab fiqh. Keberadaan tafsir ahkȃm lebih dapat diterima dibandingkan dengan tafsir „ilmî dan tafsir falsafî yang selalu diperdebatkan keberadaannya. Di antara contoh tafsir ahkȃm adalah: Ahkȃm al-Qur‟ȃn karya al-Imȃm Hujjah al-Islȃm Abȋ Bakr Ahmad bin „Alȋ al-Rȃzȋ al-Jassȃs (305-370 H/ 917-980 M), Ahkȃm al-Qur‟ȃn karya Abȋ Bakar Muhammad bin „Abd Allâh/ Ibn al-„Arabȋ (468-543 H/ 1075-1148 M), Tafsȋr Fath alQȃdir karya Muhammad bin „Alȋ bin Muhammad bin „Abd Allâh al-Syaukȃnȋ (1173-1250 H/ 1759-1839 M), Tafsȋr al-Marȃghȋ karya Ahmad Mustafa al-Marȃghȋ (1298 -1373 H/ 1881-1945 M), Tafsȋr Ayat al-Ahkȃm karya Muhammad „Alȋ al-Sayyis. Lihat al-Farmȃwȋ, al-Bidȃyah fȋ al-Tafsȋr al-Maudȗ‟ȋ, h. 21, 33, Suma, Ulumul Qur‟an, h. 399-400, Kholis, Pengantar Studi al-Qur‟an dan Hadits, h. 147. 37 Tafsir corak akhlȃqȋ, yaitu penafsiran yang lebih menitikberatkan pembahasannya kepada ayat-ayat tentang akhlak dan pendekatan ilmu tentang akhlak. Kitab tafsir yang secara khusus yang bercorak akhlȃqi ini masih sedikit. Contoh tafsir corak akhlȃqȋ adalah Tafsȋr alNasafȋ karya al-Imȃm al-Jalȋl al-„Allȃmah „Alȋ al-Barȃkah „Abd Allȃh bin Ahmad bin Mahmȗd alNasafȋ, Amin Suma, Ulumul Qur‟an. h. 399. 38 Corak tafsir yang ketiga ini memfokuskan diri kepada ayat-ayat yang berkaitan tentang pendidikan. Kitab Tafsir corak tarbawȋ ini masih tergolong minim, dan di antara kitab tafsir tarbawȋ adalah: Namȃdzij Tarbawiyyah min al-Qur‟ȃn al-Karȋm karya Ahmad Zakȋ Tafȃhah, dan Manhaj al-Qur‟ȃn fȋ al-tarbiyyah karya Muhammad Syadȋd. 39 Tafsir „ilmȋ merupakan penafsiran al-Qur‟an yang lebih menekankan pembahasannya dengan menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di samping karena dakwah alQur‟an itu adalah dakwah ilmiah, tafsir dengan corak ilmi ini muncul karena kemajuan ilmu pengetahuan. Pengembangan corak tafsir ini mendapat dukungan dari sebagian ulama Islam, tetapi sebagian lainnya menolak. Di antara mereka yang menerima tafsir corak „ilmȋ yaitu al-Ghazȃlȋ
33
(450-505 H/ 1057- 1111 M), Jalȃl al-Dȋn al-Suyȗtȋ (w. 911 H/ 1505 M), Tantȃwȋ Jauharȋ (12871358 H/ 1870-1939 M) dan sebagainya. Adapun kelompok yang lain menolak corak tafsir ini dengan alasan bahwa Allah Swt. tidak menurunkan al-Qur‟an sebagai buku ilmu pengetahuan. Di samping itu, dengan menggunakan corak ini, maka seseorang akan menakwilkan ayat-ayat alQur‟an sesuai dengan ilmu pengetahuan tersebut. Di antara ulama yang keberatan pengembangan tafsir corak „ilmȋ ini adalah al-Syȃtibȋ (w.790 H/ 1388 M), Ibn Taimiyyah (661-728 H/ 1262-1327 M) dan lain sebagainya. Di antara contoh kitab yang mengkaji ayat-ayat al-Qur‟an dengan corak „ilmȋ adalah: Sunan Allâh al-Kauniyyah karya Muhammad Ahmad al-Ghamrȃwȋ, al-Islȃm wa alTibb al-Hadȋts karya „Abd al-„Azȋz Ismâ‟ȋl, dan Riyȃd al-Mukhtȃr karya Ahmad Mukhtȃr alGhȃzȋ. Contoh tafsir „ilmȋ adalah bagaimana al-Qur‟an mengungkapkan kata Yaum (hari) dalam bentuk tunggal diulang sebanyak 365 kali, jumlah hari dalam setahun, sedangkan kata ayyȃm atau yaumâni (hari) dalam bentuk plural atau dua berjumlah 30, sama dengan jumlah hari dalam sebulan. Adapun Syahr (bulan) diulang sebanyak 12 kali, sama dengan jumlah bulan dalam setahun. Lihat Suma, Ulumul Qur‟an, h. 396-397, al-Farmȃwȋ, al-Bidȃyah fȋ al-Tafsȋr alMaudȗ‟ȋ, h. 35-37, 39-40, Kholis, Pengantar Studi al-Qur‟an dan Hadits, h. 149, Gus AA dan Ziyad At-Tubany, Membaca dan Memahami Konstruksi al-Qur‟an (Jakarta: Indomedia Group, 2006), h. 26. 40 Corak tafsir tasawwuf terbagi menjadi dua: Pertama, tafsir tasawwuf yang mencoba meneliti dan mengkaji ayat al-Qur‟an dengan menggunakan teori-teori madzhab-nya dan sesuai dengan ajaran-ajaran mereka. Penafsiran ini terkesan memaksakan kehendak penafsirnya untuk mendukung madzhab yang diyakininya. Kedua, penafsiran sufi yang menafsirkan atau menakwilkan ayat-ayat al-Qur‟an berbeda dengan arti zȃhir-nya, berdasarkan isyarat-isyarat tersembunyi yang hanya tampak jelas oleh pemimpin suluk. Tafsir ini disebut juga dengan tafsir isyȃrȋ. Di antara contoh kitab tafsir dengan corak sufi adalah: Tafsȋr al-Qur‟ȃn al-Karȋm karya al-Tustarȋ (w.383 H), Haqȃiq al-Tafsȋr karya al-Salamȋ (w.383 H), „Arȃis al-Bayȃn fȋ Haqȃiq alQur‟ȃn karya al-Syairȃzȋ (w.606 H). Lihat Kholis, Pengantar Studi al-Qur‟an dan Hadits, h. 146-147, al-Farmȃwȋ, alBidȃyah fȋ al-Tafsȋr al-Maudȗ‟ȋ, h. 29-31. 41 Tafsir falsafȋ ini muncul karena perkembangan ilmu pengetahuan dan penerjemahan kitab filsafat yang mempengaruhi sebagian pihak. Dalam menyikapi tafsir ini umat Islam terpecah menjadi dua golongan. pertama, golongan yang menolak buku-buku karya para filosof dan bahkan ada yang mengharamkannya, karena menurut mereka bertentangan dengan akidah dan agama. Golongan ini mencurahkan hidupnya untuk menolaknya. Kedua, golongan yang memuja filsafat, mereka menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an berdasarkan teori filasafat. Lihat al-Farmȃwȋ, al-Bidȃyah fȋ al-Tafsȋr al-Maudȗ‟ȋ, h. 33-34. Kholis, Pengantar Studi al-Qur‟an dan Hadits, h. 148. 42 Tafsir al-adabȋ al-ijtimȃ‟ȋ adalah corak tafsir yang mengungkapkan balȃghah dan mukjizat al-Qur‟an, menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat al-Qur‟an yang berkaitan langsung dengan problem kehidupan masyarakat Islam pada khususnya dan umat manusia pada umumnya dan bagaimana al-Qur‟an memberikan solusi terhadap permasalahan tersebut dengan bahasa yang mudah dimengerti dan indah. Di antara contoh tafsir dengan corak al-adabȋ al-ijtimȃ‟ȋ adalah Tafsȋr al-Manȃr karya Rasyȋd Ridȃ, Tafsȋr al-Marȃghî karya Mustafa al-Marȃghȋ, Tafsȋr al-Qur‟ȃn al-Karȋm karya Mahmûd Syaltût, dan lain sebagainya. Lihat al-Farmȃwȋ, al-Bidȃyah fȋ al-Tafsȋr al-Maudȗ‟ȋ, h. 42. Kholis, Pengantar Studi alQur‟an dan Hadits, h. 149-150.
34
2. Seputar Takwil Dalam memandang manqȗl dan ma‟qȗl, manusia terbagi menjadi beberapa golongan, sebagian mencukupkan diri mereka dengan makna zâhir teks saja, ada pula yang menolak manqȗl demi ma‟qȗl, dan terdapat pula yang
mengkompromikan
antara
keduanya.43
Untuk
mendapatkan
pemahaman yang komplit dan benar dari redaksi ayat-ayat al-Qur‟an, maka seseorang diperintahkan untuk menggalinya dengan naql dan akal. Takwil adalah alat yang digunakan untuk memahami ayat-ayat al-Qur‟an yang terlihat kontradiksi baik dengan ayat yang lain, maupun dengan akal. Takwil secara etimologis berasal dari kata al-awl (alȋf-wȃwu-lȃm), yang berarti kembali ke awal (ً ْاََلْ وْٝ اٌَوٛ)اٌَشُّ جُو,44 mengembalikan sesuatu kepada tujuan yang dimaksud, baik pengetahuan maupun perbuatan ءٟ(سد اٌؾ فعواٚوخ اٌّوشادح ِٕوٗم عٍّوب أ٠ اٌابٝ)اٌو, penjelasan yang dikehendaki dari suatu teks (ٗدح ِٕوٛزوٗ اٌّمصو٠ يبٞبٔوٗ اٌوز١(ث, makna yang terbaik (ٝ)أدغوٓ ِعٕو, dan terjemah
43
al-Ghazâlî menjelaskan lebih lanjut tentang golongan-golongan tersebut. Kelompok pertama mendewakan manqȗl dan tidak menerima ma‟qȗl. Kelompok pertama ini merasa cukup dan puas dengan makna zâhir teks. Kelompok kedua adalah yang tidak mempedulikan manqȗl, kebalikan dari kelompok yang pertama, maka jika manqȗl sesuai dengan akal mereka, maka mereka akan menerimanya, tetapi jika bertentangan dengan pemikiran mereka, maka mereka akan menolaknya. Ketiga, bagi kelompok ini yang prinsip adalah ma‟qȗl, kelompok ini mirip dengan kelompok kedua, seperti jika bertentangan dengan ma‟qȗl maka mereka akan menolaknya, kecuali al-Qur‟an dan lafaz-lafaz hadits yang dekat takwilnya. Keempat, mereka yang menjadikan manqȗl sebagai prinsip pokok dan tidak banyak mendalami ma‟qȗl. Kelompok terakhir mencari jalan tengah yang mengintegrasikan pencarian terhadap ma‟qȗl dan manqȗl, maka bagi mereka manqȗl dan ma‟qȗl dijadikan prinsip dasar, keduanya sama pentingnya. al-Ghazȃlȋ menyebutkan bahwa kelompok kelima inilah yang mencapai kebenaran. Lihat al-Ghazali, Qanun al-Takwil. Penerjemah M. Mansur dalam Syafa‟atun al-Mirzanah dan Sahiron Syamsuddin, ed. Pemikiran Hermeneutika dalam Tradisi Islam: Reader (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2011), h. 112-117. 44 al-Rȃghib al-Asfahanȋ , Mufradȃt Alfȃẕ al-Qur‟ȃn, h. 99. Al-Dzahabȋ, al-Tafsȋr wa alMufassirȗn, vo. I, h. 19. al-Qaṯṯȃn , Pengantar Studi ilmu al-Qur‟an, h. 409. al-Dzahabȋ,„Ilmu Tafsȋr, h. 7.
35
((اٌزشجّوخ.45 Atas dasar ini, maka ta‟wȋl al-kalȃm (penakwilan terhadap suatu kalimat) dalam istilah mempunyai dua makna, yaitu: Pertama, takwil kalâm dengan pengertian, sesuatu makna yang menjadi tempat kembali perkataan pembicara, atau sesuatu makna yang kepadanya suatu kalâm dikembalikan, dan kalâm itu biasanya merujuk kepada makna aslinya yang merupakan esensi yang dimaksud. Kedua, ta‟wȋl al-kalȃm maknanya: menafsirkan dan menjelaskan maknanya.46 Takwil secara terminologis menurut ulama salaf adalah penafsiran sebuah kalimat dan penjelasan maknanya, baik makna takwil itu sesuai dengan zȃhir kalimat tersebut atau tidak, maka dalam hal ini takwil sama dengan tafsir, sedangkan takwil dalam tradisi muta‟akhkhirȋn adalah memalingkan makna lafaz yang kuat (rȃjih) kepada makna lafaz yang lemah (marjȗh), karena ada dalil yang menyertainya.47 Firman Allah Swt. dalam QS. Ali Imrȃn [3]: 7 45
al-Asfahȃnȋ, Mufradȃt Alfȃz al-Qur‟ȃn, h. 99. al-Qaṯṯȃn , Pengantar Studi ilmu al-Qur‟an, h. 409-411. 47 al-Dzahabȋ, al-Tafsȋr wa al-Mufassirȗn, vol. I, h. 20-21. al-Qaṯṯȃn , Pengantar Studi ilmu al-Qur‟an, h. 409-411. Bandingkan dengan pendapat Muhammad Abȗ Zahrah, menurutnya takwil adalah mengeluarkan lafaz dari makna zȃhir-nya kepada makna yang lain yang memungkinkan dan makna tersebut tidak zâhir pada teks tersebut, sedangkan bagi Ibnu Rusyd takwil adalah mengeluarkan makna lafaz dari yang haqîqî kepada yang majȃzi tanpa merusak aturan-aturan majâz dalam bahasa Arab. Menakwilkan al-Qur‟an berarti membelokkan atau memalingkan lafaz - lafaz atau kalimat-kalimat yang ada dalam al-Qur‟an dari makna zâhir-nya ke makna lainnya yang lebih sesuai dengan jiwa ajaran al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah Saw. Pada umumnya proses penakwilan dilakukan dalam dua metode: pertama, melalui metode sufistik, metode ini terkait dengan dzauq (intuisi) dan kasyf (visi spiritual), kedua melalui metode teknik pemahaman, yaitu metode analisa yang dilakukan melalui petunjuk-petunjuk yang terdapat pada suatu teks. Lihat Muhammad Abȗ Zahrah, Usȗl al-Fiqh (t.tp: Dâr al-Fikr al-„Arabî, t.th), h. 135, lihat juga Ibn Rusyd, Takwil. Penerjemah Ahmad Baidowi dalam Syafa‟atun al-Mirzanah dan Sahiron Syamsuddin, ed. Pemikiran Hermeneutika dalam Tradisi Islam: Reader (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2011), h. 91, Abu Anwar, Ulumul Qur‟an; Sebuah Pengantar (T.tp.: Amzah, 2009), h. 98-99, Muhammad Nur, “Takwil dalam Pandangan Mulla Sadra,” Kanz Philosophia: A Journal for Islamic Philosophy and Mysticism Vol. 2, No 2, Desember 2012, h. 303. 46
36
ٌ َِٙأُ َخ ُش ُِزَ َؾبثَٚ ة ٌ َّ بد ُِّذْ َى ٌ َ٠َبة ِِ ُْٕٗ َءا بد َ ١ْ ٍَ أَٔ َض َي َعٞ اٌَّ ِزَٛ ُ٘ َ ه ْاٌ ِىز ِ بد ُ٘ َّٓ أُ َُّ ْاٌ ِىزَب ِٗ ٍِ٠ِٚ ْا ْثزِاَآ َء رَؤَٚ ْ َِبرَ َؾبثََٗ ِِ ُْٕٗ ا ْثزِاَآ َء ْاٌفِ ْزَٕ ِخُٛ َ َزَّجِع١َ ٌغ ف٠ْ ُْ َصِٙ ِثٍُُٛ لِٟٓ ف٠ َ فَؤ َ َِّب اٌَّ ِز ْ َءا ََِّٕب ثِ ِٗ ُو ًٌّ ِِّ ْٓ ِعٕ ِذ َسثَِّٕبٛ َ ٌَُُٛم٠ ُِ ٍْ ْاٌ ِعِْٟ فٛ َ اٌشَّا ِع ُخَٚ ٍَُُٗ اَِلَّ َّللا٠ِٚ َْ ْعٍَ ُُ رَؤ٠ َِبَٚ ة ِ ا ْاََ ٌْجَبٌُٛ َُْٚ َّز َّو ُش اَِلَّ أ٠ َِبَٚ “Dialah yang menurunkan Kitab (al-Qur‟an) kepadamu (Muhammad). Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamât, itulah pokok-pokok Kitab (al-Qur‟an) dan yang lain mutasyâbihât. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti mutasyâbihât untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata: “Kami beriman kepadanya (al-Qur‟an), semuanya dari sisi Tuhan kami.” Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal.”48 M. Quraish Shihab menyebutkan hubungan antara ayat ini dengan ayat sebelumnya, bahwa pada ayat sebelumnya QS. Ali „Imrân [3]: 6, Allah Swt. menegaskan keluasan ilmu dan kekuasaan-Nya, antara lain dengan membentuk cara dan substansi bagi segala sesuatu sesuai dengan fungsi yang dikehendaki-Nya, sehingga ia berada dalam keadaan yang sebaikbaiknya, maka dalam ayat ini Allah Swt. menjelaskan bahwa petunjukpetunjuk manusia juga dalam keadaan yang sebaik-baiknya. Manusia dibentuk Allah Swt. berbeda-beda, maka al-Qur‟an juga demikian, ada yang muhkam dan ada yang mutasyâbih, begitu pula sikap manusia terhadap alQur‟an berbeda-beda.49 Sekilas ayat di atas menyebutkan bahwa orang-orang yang menakwilkan ayat-ayat mutasyâbihât adalah mereka yang hatinya condong kepada kesesatan, 48
ْ َْ َِب رَ َؾبثَٗ ِِ ُْٕٗ اِ ْثزِاَبء ْاٌفِ ْزَٕخَُٛزَّجِع١َ ٌغ ف٠ْ ُْ َصِٙ ِْ ثٍُُٛ لْٟ ِ َْٓ ف٠فَؤ َ َِّب اٌَّ ِز...
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 50. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an, cet. I, jilid. 2 (Jakarta: Lentera Hati, 2000), h. 11. 49
37
...ٍْٗ٠ِٚ ْا ْثزِاَبء رَؤَٚ (Adapun
orang-orang yang dalam hatinya condong pada
kesesatan, mereka mengikuti mutasyâbihât untuk mencari-cari takwilnya), namun Wahbah al-Zuhailî menafsirkan ayat tersebut dengan orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan dan
ke-bâtil-an untuk
mengikuti selera mereka, maka mereka mengalihkan makna ayat-ayat mutasyâbihât tersebut kepada tujuan yang salah, dan mereka tidak mengembalikan maknanya kepada ayat-ayat muhkamât. Oleh sebab itu, terdapat ayat-ayat yang hanya diketahui oleh Allah Swt., dan ada pula yang diketahui oleh orang-orang yang ilmunya mendalam (al-râsikhûna fî al„ilmi), mereka tidak sama dengan orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan dan ke-bâtil-an tersebut.50 al-Dzahabȋ menyebutkan bahwa ada dua (2) syarat yang harus dipenuhi
untuk
melakukan
takwil,
yaitu:
pertama,
menjelaskan
kemungkinan lafaz tersebut memiliki makna yang lain, dan makna itulah yang dimaksud. Kedua, menjelaskan dalil yang mewajibkan memalingkan makna suatu lafaz dari maknanya yang rȃjih kepada makna yang marjȗh, jika tidak ada maka takwilnya tidak diterima (fȃsid).51
50
Wahbah al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr fî al-Aqîdah wa al-Syarî„ah wa al-Manhaj, jilid 2 (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2009), h. 165-167. 51 Al-Dzahabȋ, al-Tafsȋr wa al-Mufassirȗn, vol. I, h. 21. Bandingkan dengan syarat yang di ajukan oleh Abȗ Zahrah, ia menyebutkan ada tiga (tiga) syarat takwil: pertama, bahwa teks tersebut kemungkinan memiliki makna yang lain, walaupun makna tersebut jauh dari makna zȃhirnya, tetapi makna itu tidak aneh dari teks tersebut. Kedua, bahwa ada sesuatu hal yang mewajibkan suatu teks tersebut harus ditakwil. Teks yang secara zȃhir bertentangan dengan kaidah yang telah ditetapkan dalam agama, atau bertentangan dengan dalil yang lebih kuat. Maka teks tersebut mesti ditakwil. Ketiga, Sebuah takwil wajib mempunyai sanad, jika tidak ada maka ditolak, lihat Zahrah, Usȗl al-Fiqh, h. 135-136.
38
Takwil terbagi dua macam: pertama, takwil terhadap hadits-hadits dan ayat-ayat yang diduga mengandung bentuk penyamaan sifat Tuhan dengan manusia jika hadits-hadits dan ayat-ayat tersebut tidak ditakwilkan, contohnya adalah firman Allah Swt. QS. al-Fath [48]:10
ُٙ٠ذ٠ق أٛذ َّللا ف٠
(tangan Allah di atas tangan-tangan mereka),52 kata tangan dalam ayat ini ditakwilkan dengan makna sultȃn (kekuasaan).53 Begitu pula takwil pada QS. al-Mȃidah [5]: 64
ُ ُِ ْٕف٠ ِْ غَزَبَُٛ َذاُٖ َِ ْجغ٠ ًَْث َ َؾب ُء٠ ْف َ ١ك َو
(padahal kedua
tangan Allah terbuka; Dia memberi rezeki sebagaimana Dia kehendaki),54 lafaz yad (tangan) dalam ayat tersebut ditakwilkan dengan makna kemurahan hati. Demikian pula pada QS. Tȃha [20]: 5
ٜٛاعز Makna
اٌعشػٍٝاٌشدّٓ ع
(yaitu) Yang Maha Pengasih, yang bersemayam di atas „Arasy).55 istawa
(bersemayam)
ditakwilkan
kepada
makna
istȋlȃ‟
(menguasai).56 Ayat-ayat tersebut termasuk dalam kategori tafsir yang diwajibkan
untuk
menyucikan
zat
Allah
Swt.
yang tinggi
dari
penyerupaannya dari makhluk secara muthlak, karena Allah Swt. laisa kamitslihȋ syai‟ (tidak ada yang serupa dengan-Nya), maka akal harus menakwilkannya, dan hal tersebut telah memenuhi persyaratan dari takwil itu sendiri.57
52
Departemen Agama RI, al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 512. Orang-orang Arab apabila dikatakan kepadanya ٕخ٠ اٌّذٍٝذٖ ع٠ ش١َِظع اٚ (pemimpin itu meletakkan tangannya di atas kota), mereka paham bahwa maksud tangan dalam kalimat tersebut adalah kekuasaan dan menguasai atas kota tersebut, lihat Abȗ Zahrah, Usȗl al-Fiqh, h. 136. 54 Departemen Agama RI, al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 118. 55 Departemen Agama RI, al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 312. 56 Abȗ Zahrah, Usȗl al-Fiqh, h. 136. 57 Abȗ Zahrah, Usȗl al-Fiqh, h. 136. 53
39
Kedua, Takwil nass-nass yang khusus berkaitan dengan hukumhukum taklȋfȋ, yaitu ayat-ayat dan hadits-hadits yang mengandung hukum secara zȃhir terlihat bertentangan. Menggunakan ayat-ayat atau haditshadits tersebut lebih utama daripada mengabaikannya, maka cara untuk menyelesaikan ayat-ayat dan hadits-hadits yang terlihat bertentangan tersebut adalah dengan menakwilkan salah satunya.58 B. Konsep dan Sejarah Hermeneutika Sebuah karya dalam bentuk teks yang telah dituangkan oleh penulisnya „meninggalkan‟ dilema pemahaman bagi penikmat teks tersebut. Penafsiran sebuah teks menjadi pembahasan yang banyak menimbulkan perdebatan, karena masing-masing pembaca menyatakan pemahamannyalah yang paling benar. Penafsiran atau dalam bahasa Inggris „interpretation‟ adalah terjemahan dari kata Latin interpretatio yang berasal dari kata interpres yang secara etimologis berarti „menyebarkan keluar‟ (to spread abroad). Kata interpretatio mempunyai tiga makna, yaitu: meaning (arti), translation (penerjemahan), dan explanation (penjelasan).59 Proses penafsiran adalah upaya menyelesaikan problem epistimologi pemahaman, maka penafsiran berarti membawa kepada pemahaman. Dalam Proses penafsiran terjadi dialetika serta tarik menarik pemahaman antara penafsir dengan teks.60
58
Abȗ Zahrah, Usȗl al-Fiqh, h. 137. Jorge J. E. Gracia, Interpretasi. Penerjemah Sahiron Syamsuddin dalam Syafa‟atun al-Mirzanah dan Sahiron Syamsuddin, ed. Pemikiran Hermeneutika dalam Tradisi Barat: Reader (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2011), h. 120. 60 Emilio Betti, Hermeneutika Sebagai Metode Umum Keilmuan Humaniora. Penerjemah M. Nur Kholis Setiawan dalam Syafa‟atun al-Mirzanah dan Sahiron Syamsuddin, ed. 59
40
Untuk memperoleh pemahaman dari suatu teks diperlukan sebuah metode, maka di antara metode yang ditawarkan oleh para cendekiawan adalah hermeneutika. Hermeneutika merupakan kata yang sering didengar dalam bidang teologi, filsafat, bahkan sastra.61 Hermeneutika menawarkan dirinya sebagai alat untuk menerjemahkan makna yang dikandung oleh sebuah teks yang telah „ditinggalkan‟ pengarangnya dengan memperhatikan tanda-tanda dan simbol-simbol yang terdapat di dalam teks tersebut. 1. Pengertian Hermeneutika Akar kata hermeneutika berasal dari istilah Yunani, yaitu dari kata kerja hermeneuein, yang berarti “menafsirkan”, dan kata benda hermeneia, “interpretasi”62 yang mengasumsikan proses “membawa sesuatu untuk dipahami.”63 Dalam The Catholic Encyclopedia disebutkan: “Hermeneutics is the science of interpreting the meaning and true sense of the book and texts of scripture in accord with the principles of exegesis. It is an aid to understanding something that is not external to the mind but is intersubjectively agreed to by individuals.”64 Hermeneutika adalah suatu ilmu untuk menafsirkan makna dan arti sebenarnya dari sebuah buku dan teks kitab suci sesuai dengan prinsipprinsip penafsiran. Hermeneutika merupakan sebuah alat bantu untuk memahami sesuatu yang berada di luar jangkauan pikiran. Pemikiran Hermeneutika dalam Tradisi Barat: Reader (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2011), h. 65, 67. 61 Richard E. Palmer, Hermeneutika; Teori Baru Mengenai Interpretasi. Penerjemah Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h.3. 62 Palmer, Hermeneutika, h. 14. 63 Palmer, Hermeneutika, h. 15. 64 Robert C. Broderick, “hermeneutics” dalam The Catholic Encyclopedia (New York: Thomas Nelson Publisers, 2006), h. 262.
41
Dalam mitologi Yunani, terdapat dewa Zeus dan Maia yang mempunyai anak bernama Hermes yang dipercaya sebagai utusan atau mediator untuk menjelaskan pesan-pesan para dewa di langit untuk umat manusia, maka dari nama Hermes inilah konsep hermeneutika kemudian digunakan.65 Mediasi dan proses membawa-pesan „agar dipahami‟ ini terkandung di dalam tiga bentuk makna dasar dari hermeneuein dan hermeneia dalam penggunaan aslinya. Tiga bentuk ini menggunakan bentuk verb dari hermeneuein, yaitu: (1) mengungkapkan kata-kata; (2) menjelaskan, seperti menjelaskan sebuah situasi; dan (3) menerjemahkan.66 Fenomena penerjemahan adalah „jantung‟ dari hermeneutika, karena seseorang
mengkonfrontasikan
situasi
dasar
hermeneutika
untuk
mendamaikan bersama-sama makna teks, gramatikal, historis, dan perangkat lain dalam menguraikan teks asli.67
65
Hans-Georg Gadamer, Hermeneutika Klasik dan Filosofis. Penerjemah Syafa‟atun alMirzanah dalam Syafa‟atun al-Mirzanah dan Sahiron Syamsuddin, ed. Pemikiran Hermeneutika dalam Tradisi Barat: Reader (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2011), h. 143. Hamid Fahmy Zarkasyi, “Menguak Nilai Dibalik Hermeneutika,” Jurnal Islamia Thn 1 no 1, Maret 2004, h. 17. 66 Makna pertama dari hermeneuein adalah “to express” (mengungkapkan), “to assert” (menegaskan) atau “to say” (menyatakan). Ini terkait dengan fungsi “pemberitahuan” dari Hermes. Utusan, seperti halnya Hermes membawa keimanan yang diturunkan dari Tuhan. Di dalam “perkataan” atau pernyataannya, ia seperti Hermes, “berada di antara” Tuhan dan manusia, karena menyampaikan pesan Tuhan kepada manusia.” Makna kedua dari kata hermeneuein adalah “to explain,” menjelaskan. Interpretasi sebagai penjelasan menekankan aspek pemahaman diskursif. Ia menitikberatkan pada penjelasan ketimbang dimensi interpretasi ekspresif. Hal yang paling esensial dari kata-kata bukanlah mengatakan sesuatu saja (meskipun hal ini juga terjadi dan ini merupakan tindakan utama interpretasi); menjelaskan sesuatu, merasionalisasikannya, membuatnya jelas. Makna ketiga adalah menerjemahkan (to translate) merupakan bentuk khusus dari proses interpretatif dasar “membawa sesuatu untuk dipahami.” Dalam konteks ini, seseorang membawa apa yang asing, jauh dan tak dapat dipahami ke dalam bahasa seseorang itu sendiri. Seperti Hermes, ia menjadi penerjemah antara bahasa Tuhan dan bahasa manusia. Lihat Palmer, Hermeneutika, h. 15-17, 23, 31. 67 Palmer, Hermeneutika, h. 36.
42
Mengambil istilah dari Hans-Georg Gadamer bahwa hermeneutika adalah sebuah seni,68 maka secara teologis, hermeneutika mengandung arti seni menginterpretasikan kitab-kitab suci secara benar.69 Dari pemaparan di atas, maka hermeneutika adalah suatu seni memahami, menafsirkan makna sebuah teks-baik teks suci maupun teks lainnya- agar dapat dipahami melalui tanda-tanda yang terdapat di dalam teks tersebut. 2. Sejarah Hermeneutika Berdasarkan beberapa buku yang Penulis baca, maka Penulis membagi sejarah hermeneutika menjadi tiga masa, yaitu: hermeneutika masa pengenalan, hermeneutika masa pembakuan, dan hermeneutika masa pengembangan.70
68
Gadamer, Hermeneutika Klasik dan Filosofis, h. 146. Sejalan dengan Gadamer, Schleiermacher menyebutkan bahwa hermeneutika sebagai "seni pemahaman" di mana "pemahaman" yang diangkat ke seni dari disiplin ilmiah. “Schleiermacher viewed hermeneutics as the "art of understanding" where "understanding" is elevated to the art of a scholarly discilpine. He thought hermeneutics sould not, however, concern it self with the specific body of rules found in the hermeneutic treatises of the theologians or jurists” Lihat Kurt Mueller-Vollmer, ed., The Hermeneutics Reader (New York: The Continuum Publising Company, 2002), h. 12. 69 Hans-Georg Gadamer, Hermeneutika Klasik dan Filosofis, h. 147. 70 Richard E. Palmer membagi sejarah hermeneutika menjadi enam, yaitu pertama hermeneutika sebagai teori penafsiran Bibel. Kedua, hermeneutika sebagai metodologi secara umum. Ketiga, hermeneutika sebagai pemahaman linguistik. Keempat, hermeneutika sebagai fondasi metodologi geisteswessenshaften. Kelima, hermeneutika sebagai fenomenologi eksistensi dan pemahaman eksistensial. Keenam, hermeneutika sebagai sistem interpretasi yang digunakan manusia untuk meraih makna di balik mitos dan simbol, lihat Palmer, Hermeneutika, h. 38. Selain itu, di dalam buku Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur‟an, Sahiron Syamsuddin membagi sejarah perkembangan hermeneutika menjadi tiga bagian: (1) sejarah hermeneutika teks mitos. (2) hermeneutika teks Bibel, dan (3) sejarah hermeneutika umum, lihat Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur‟an, (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009), h. 11.
43
a. Hermeneutika Masa Pengenalan Pertama kali hermeneutika diperkenalkan oleh Homeros yang hidup sekitar abad ke-6 SM. Seabad kemudian, Plato menggunakan kata itu dalam karangan filsafatnya, setelah itu Aristoteles dan para filosof mazhab Stoa.71 Hermeneutika tidak muncul tiba-tiba sebagai cabang disiplin ilmu filsafat dalam khazanah ilmu pengetahuan, tetapi merupakan suatu subdisiplin teologi yang sudah muncul sejak awal dalam sejarah peradaban manusia yang mencakup kajian metodologis tentang autentikasi dan penafsiran teks. Namun, dalam kurun berikutnya, ruang lingkupnya berkembang dan mencakup masalah penafsiran secara menyeluruh.72 Sebuah
kalimat
yang
tersaji
dalam
bentuk
tulisan
memungkinkan mengandung berbagai macam makna dan penafsiran, maka tugas hermeneutika tidak terlepas dari dua hal: pertama, memastikan isi dan makna sebuah kata, kalimat, teks, dan sebagainya; kedua, menemukan instruksi-instruksi yang terdapat di dalam bentukbentuk simbolis.73 b. Hermeneutika Masa Pembakuan Istilah hermeneutika pertama kali diperkenalkan ke dalam budaya Barat (Eropa) dalam bentuk kata Latin hermeneutica oleh Johann 71
Abdul Hadi. W.M, Hermeneutika Sastra Barat & Timur (Jakarta: Sadra Press, 2014),
h. 31. 72
Mudjia Raharjo, Dasar-dasar Hermeneutika; antara Intensionalisme & Gadamerian (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), h.53-54. 73 Josef Bleicher, Hermeneutika Kontemporer; Hermeneutika sebagai Metode, Filsafat, dan Kritik. Penerjemah Imam Khoiri (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2007), h.5.
44
Dannhauer, seorang teolog dari Strasbourg setelah abad ke-17.74 Dia memperkenalkan hermeneutika sebagai syarat terpenting bagi setiap ilmu pengetahuan yang mendasarkan keabsahannya pada interpretasi teksteks.75 Bagi Johann Dannhauer hermeneutika mengandung dua pengertian, yaitu hermeneutika sebagai seperangkat prinsip metodologis penafsiran dan hermeneutika sebagai penggalian filosofis dari sifat dan kondisi yang tak bisa dihindarkan dari kegiatan memahami.76 Pada abad inilah istilah hermeneutika berarti sebuah disiplin ilmu yang diperlukan untuk menafsirkan kitab suci Bibel, khususnya akibat “perbedaan” pendapat antara dua golongan Kristen yang muncul di akhir Abad Tengah Eropa: Katolik dan Protestanisme.77 Otoritas penafsiran gereja Katolik Roma menjadi pemicu protes kelompok protestanisme dengan menganggap bahwa setiap orang mempunyai kesempatan untuk menafsirkan teks kitab suci sesuai kemampuannya. Karya pertama yang secara teoritis mengemukakan konsepkonsep hermeneutika menyangkut hubungan antara bahasa dan pikiran manusia dengan melandaskan diri pada doktrin inkarnasi dalam tradisi Kristen adalah De dictrina Christiana risalah Santo Agustinus.78
74
Lihat Jean Grondin, Sejarah Hermeneutik; Dari Plato Sampai Gadamer (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), h. 45-47, ada pula yang menyebut abad ke-17, lihat juga Inyiak Ridwan Muzir, Hermeneutika Filosofis Hans-Georg Gadamer (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), h. 67. 75 Jean Grondin, Sejarah Hermeneutik, h. 45-47. Lihat juga Muzir, Hermeneutika Filosofis Hans-Georg Gadamer, h.61-62. 76 Mudjia Rahardjo, Hermeneutika Gadamerian; Kuasa Bahasa dalam Wacana Politik Gus Dur (Malang: UIN Malang Press, 2007), h. 89. 77 Muzir, Hermeneutika Filosofis Hans-Georg Gadamer, h. 67. 78 Muzir, Hermeneutika Filosofis Hans-Georg Gadamer, h.67-69.
45
c. Hermeneutika Masa Pengembangan Pada
awalnya
hermeneutika
hanya
digunakan
untuk
menafsirkan teks-teks agama (Bibel), namun pada perkembangan selanjutnya hermeneutika menjadi “filsafat penafsiran” kehidupan sosial. F.D.E. Schleiermacher dianggap sebagai “Bapak Hermeneutika”, karena membangkitkan kembali hermeneutika dan membakukannya sebagai metode interpretasi yang tidak hanya terbatas pada kitab suci, tetapi juga seni, sastra, dan sejarah. Selanjutnya, hermeneutika dikembangkang oleh tokoh-tokoh seperti Wilhem Dilthey yang menggagas hermeneutika sebagai landasan bagi ilmu-ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften), kemudian Gadamer yang mengembangkannya menjadi metode filsafat yang diteruskan oleh filosof-filosof kontemporer seperti Paul Ricoeur, Jurgen Habermas, dan Jacques Derrida.79 3. Dari Hermeneutika Romantis hingga Dekonstruksionis Hermeneutika sebagai alat untuk memahami bahasa mengalami perkembangan, hal tersebut terlihat dari beragamnya bentuk hermeneutika itu sendiri. Dari buku yang dibaca, Penulis akan memaparkan beberapa bentuk hermeneutika.80 Pertama, hermeneutika Romantis dengan tokoh
79
Mudjia Rahardjo, Hermeneutika Gadamerian, h. 89. Josep Bleicher membagi hermeneutika menjadi tiga jenis: pertama, Hermeneutika Teoritis (hermeneutical theory) yang berisi aturan metodologis untuk sampai kepada pemahaman yang diinginkan pengarang. Atau hermeneutika yang mencari makna atau pemahaman yang sesuai dengan maksud pengarang teks. Tokoh dari hermeneutika ini adalah Schleiermacher, Dilthey, dan Emilio Betti. Schleiermacher menggunakan dua pendekatan: Pertama, pendekatan linguistik yaitu pendekatan yang di dalam menganalisis teks menggunakan analisis bahasa. Kedua, pendekatan psikologis merupakan pendekatan dengan mengandaikan bahwa pembaca teks tersebut menyamakan posisinya dengan pengarang atau mengalami kembali “proses-proses mental” dari pengarang tersebut, sedangkan Dilthey menggunakan pendekatan historis. Pendekatan ini 80
46
Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher (1768-1834).81 Schleiermacher mengajukan dua teori pemahaman hermeneutikanya, pertama, pemahaman ketata-bahasaan (grammatical understanding) terhadap semua ekspresi. Kedua, pemahaman psikologi terhadap pengarang. Dari bentuk kedua ini, Schleiermacher mengembangkan apa yang ia sebut intuitive understanding yang merupakan suatu rekonstruksi, artinya hermeneutika bertugas untuk merekonstruksi pikiran pengarang.82 Menurut hermeneutika ini, ada lima
menyatakan bahwa teks itu sebenarnya merupakan representasi dari kondisi historikalitas pengarang teks. Adapun Emilio Betti menerapkan pendekatan linguistik, psikologis dan historis yang menyatukan pendekatan Schleiermacher dengan Dilthey. Kedua, hermeneutika Filosofis (hermeneutical philosophy). Hermeneutika jenis kedua ini berbeda dengan jenis pertama. Jika hermeneutika Teoritis berusaha mencari makna yang sesuai dengan maksud pengarang, maka menurut hermeneutika jenis ini adalah sebaliknya. Hermeneutika Filosofis beranggapan bahwa kita tidak akan mungkin menemukan pemahaman yang objektif, karena menurut Gadamer bahwa setiap pembaca teks selalu terlibat dengan prasangka atau prapemahaman (prejudice) terhadap teks tersebut. Di samping itu, menurut Heiddegger bahwa tujuan hermeneutika adalah untuk menghasilkan pemahaman yang baru bukan menemukan makna objektif. Maka hermeneutical philosophy adalah: “the task of philosophical hermeneutic, therefore, is ontological rather than methodological..the question is not what we do or what we sould do, but what happen beyond our willing and doing.” Dalam hermeneutical philosophy petanyaannya bukan apa yang kita lakukan atau apa yang harus kita lakukan, tapi apa yang terjadi di luar keinginan dan perbuatan kita. Ketiga, hermeneutika kritis. Hermeneutika ini berusaha mengungkap “kepentingan” pengarang teks.Teks merupakan hal yang dicurigai, karena bisa saja menyimpan kesadarankesadaran palsu. Menurut Habermes hermeneutika teoritis dan filosofis mengabaikan faktor “ekstra linguistik” yang membentuk konteks pemikiran dan tindakan. Jadi, hermeneutika bukan hanya sebagai aktivitas penafsiran, teks, tetapi juga untuk mengubahnya. Lihat Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu: Klasik Hingga Kontemporer (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h. 196-199, lihat juga Fahruddin Faiz, Hermeneutika al-Qur‟an; Tema-tema Kontroversial (Yogyakarta: elSAQ Press, 2005), h. 7, Hans-Georg Gadamer, Philosophical Hermeneutics (London: University of California Press, 1976), h. xi. 81 Ia adalah seorang filosof, teolog, filolog dan tokoh sekaligus pendiri Protestantisme Liberal. Schleiermacher merupakan filosof Jerman pertama yang terus menerus memikirkan persoalan hermeneutika. Oleh karena itu, ia dianggap sebagai Bapak hermeneutika modern. Schleiermacher lahir pada tanggal 21 November 1768 di Breslau Jerman dan berasal dari keluarga Protestan yang sangat ta‟at. Performansi perkembangan intelektual Schleiermacher semakin menonjol di Universitas Halle, ketika ia bertemu dengan tiga serangkai pemikir yang lain, seperti F.A Wolf sebagai filolog klasik, Reil sebagai profesor kedokteran, dan Steffens sebagai seorang filosof, lihat Rahardjo, Dasar-dasar Hermeneutika, h. 37-38, Mudjia Rahardjo, Hermeneutika Gadamerian, h. 94. 82 Mudjia Rahardjo, Hermeneutika Gadamerian, h. 95.
47
unsur yang terlibat dalam upaya memahami wacana, yaitu: penafsir, teks, maksud pengarang, konteks historis, dan konteks kultural.83 Kedua, hermeneutika Metodis yang mengkritik pokok-pokok pikiran hermeneutika Schleiermacher dengan tokoh Wilhelm Dilthey (18331911), seorang filosof, kritikus sastra, dan ahli sejarah dari Jerman.84 Menurut perspektif ini, manusia bukan sekedar makhluk berbahasa sebagaimana sangat ditonjolkan oleh Schleiermacher, tetapi makhluk eksistensial, maka proses pemahaman bermula dari pengalaman, kemudian mengekspresikannya. Manusia adalah makhluk yang memahami dan menafsirkan setiap aspek kehidupannya. Dalam proses memahami teks, Dilthey berpendapat bahwa makna teks harus ditelusuri dari maksud subjektif pengarangnya. Ketiga, hermeneutika Fenomenologis dengan tokoh Edmund Husserl (1889-1938). Menurutnya, pengetahuan dunia objektif itu bersifat tidak pasti, maka ketika kita tengah berupaya meraih pengetahuan yang pasti tentang “dunia objektif”, sesungguhnya kita sedang memastikan “dunia persepsi kita- dunia fenomena”.85 Menurut hermeneutika Husserl, proses penafsiran harus kembali pada data, bukan pada pemikiran. Interpreter harus melepaskan semua pengandaian dan kepercayaan
83
Proses penafsiran, dengan demikian, berawal dari penafsir hingga ke teks, dan dari penafsir ke teks melalui konteks sejarah dan kultural untuk menangkap kembali maksud penulis aslinya. Menurut Schleiermacher, hasil interpretasi akan semakin baik jika penafsir mengetahui latar belakang sejarah pengarang teks, lihat Rahardjo, Hermeneutika Gadamerian, h. 96. 84 Nama Wilhelm relatif tidak dikenal dalam bidang hermeneutika filosofis. Ia lebih banyak dikenal, karena riset historisnya, lihat Sumaryono, Hermeneutik, h. 43. Rahardjo, Dasardasar Hermeneutika, h. 41. 85 Rahardjo, Hermeneutika Gadamerian, h. 98.
48
pribadinya serta dengan simpati melihat objek yang mengarahkan diri kepadanya, maka proses pemahaman harus mampu membebaskan diri dari prasangka, yakni dengan membiarkan teks “berbicara sendiri”,86 maka Husserl menuturkan: “to understand expression means, on this view, to meet with pertinent mental pictures. where these are absent, an expression is void of sense. These mental pictures are themselves often said to be the meanings of words, and those who say so, claim to be getting at what ordinary speech means by the "meaning of an expression"87 Keempat, hermeneutika Dialektis dengan tokoh Martin Heideger (1889-1976).88 Ia merupakan filosof yang menentang keras gagasan hermeneutika fenomenologis Husserl, karena ia sangat tidak bisa menerima gagasan mengenai netralitas sang penafsir, sebab kerja penafsiran hanya bisa dilakukan dengan didahului oleh prasangka-prasangka mengenai objek, karena prasangka adalah bagian dari eksistensi yang harus dipahami.89 Kelima,
hermeneutika
Dialogis
dengan
tokoh
Hans-Georg
Gadamer (1900-2002).90 Sebenarnya ia tidak mengganggap hermeneutika sebagai metode, sebab baginya pemahaman yang benar adalah pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis, bukan metodologis. Tindakan pemahaman adalah suatu kehendak yang sejauh mungkin bisa melahirkan 86
Rahardjo, Dasar-dasar Hermeneutika, h. 63. Kurt Mueller-Vollmer, ed., The Hermeneutics Reader, h. 178. 88 Heidegger sejak semula sudah sangat tertarik dalam filsafat, khususnya fenomenologi Husserl, lihat Mudjia Rahardjo, Dasar-dasar Hermeneutika, h. 43. 89 Rahardjo, Dasar-dasar Hermeneutika, h. 64. 90 Hans-George Gadamer lahir di Marbug pada 1900. Ia adalah seorang filosof Jerman abad ke-20 yang gagasan-gagasan filosofisnya banyak menarik perhatian orang. Karir puncak Gadamer adalah ketika ia menulis karya yang sangat monumental berjudul “Kebenaran dan Metode” (Wahrheit and Methode) pada 1960 yang menjadi rujukan kajian-kajian filsafat hermeneutika kontemporer, lihat Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa; Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna, dan Tanda (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), h. 164. Rahardjo, Dasar-dasar Hermeneutika, h. 45. 87
49
proses peleburan antara sekurang-kurangnya dua hirizon. Pengarang dan konteks historis dari sebuah teks dipertimbangkan dalam proses interpretif bersama dengan prasangka-prasangka penafsir seperti tradisi, kepentingan praktis, bahasa, dan budaya.91 Keenam, hermeneutika Kritis dengan tokoh Jurgen Habermas (1929-).92 Hermeneutika ini lebih mengedepankan refleksi kritis penafsir dan menolak kehadiran prasangka dan tradisi. Secara metodologis, hermeneutika kritis Habermes dibangun di atas klaim bahwa setiap bentuk penafsiran dipastikan ada bias-bias kepentingan politik, ekonomi, sosial, termasuk bias strata kelas, suku, dan gender.93 Dalam epistemologi Habermas, sumber inspirasi dan alat eksplorasi adalah rasio. Habermas membawa masyarakat Barat ke arah masyarakat rasional, namun dalam Islam sangat berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Habermas, karena akal manusia terbatas. Al-Qur‟an banyak memuat hal-hal yang tidak masuk akal (saintifik), seperti mukjizat-mukjizat para nabi, contohnya cerita Nabi Nuh a.s yang membuat kapal besar, Nabi Ibrahim a.s yang tidak terbakar, Nabi Musa a.s yang membelah laut, peristiwa isra‟ dan mi‟raj Nabi Muhammad Saw. dan lain sebagainya. Peristiwa ini bukan cerita khayalan, tetapi khabar ini dalam Islam disebut sebagai khabar sadîq (benar dan tidak
91
Mudjia Raharjo, Dasar-dasar Hermeneutika; antara Intensionalisme & Gadamerian (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), h. 66. 92 Jurgen Habermas lahir di Gummersbach Jerman pada 1929. Sejak muda, ia tertarik pada bidang kesusasteraan, filsafat, dan sejarah. Di samping itu ia juga menekuni politik. Lihat Rahardjo, Dasar-dasar Hermeneutika, h. 47. 93 Rahardjo, Dasar-dasar Hermeneutika, h. 66-68.
50
diragukan lagi).94 Di samping itu, jika ilmu pengetahuan hanya berdasarkan pada kepentingan individu, maka pengetahuan itu tidak dapat diaplikasikan untuk kepentingan orang lain.95 Ketujuh, hermeneutika Reflektif-Kritis dengan tokoh Paul Ricoeur (1913-).96 Dia dianggap pemersatu filsafat Eropa dan Anglo-Amerika. Ia mencoba mencari integrasi dialektis dari dikotomi Dilthey yaitu penjelasan (explanation) dan pemahaman (understanding). Menurutnya teks berbeda dengan
percakapan,
karena
ia
terlepas
dari
kondisi
asal
yang
menghasilkannya, niat penulisnya sudah kabur, audiennya lebih umum dan referensinya tidak dapat lagi dideteksi. Ketika makna objektif diekspresikan dari niat subjektif pengarang, maka berbagai interpretasi yang dapat diterima menjadi mungkin. Makna tidak diambil hanya menurut pandangan hidup pengarang, tetapi juga menurut pengertian pandangan hidup pembacanya.97 Kedelapan, hermeneutika Dekonstruksionis/ hermeneutika Radikal dengan tokoh Jacques Derrida (1930-)98 yang dikenal sebagai filosof poststrukturalisme. Menurutnya bahwa bahasa, demikian juga sistem simbol yang lain, merupakan sesuatu yang tidak stabil. Oleh karena itu, makna 94
Malki Ahmad Nasir, “Hermeneutika Kritis (Studi Kritis atas Pemikiran Habermas),” Jurnal Islamia Thn 1 no 1, Maret 2004, h. 35-36. 95 Nasir, “Hermeneutika Kritis, h. 36. 96 Paul Ricoeur dilahirkan di Valence, Perancis Selatan pada 1913 M. Ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga kristiani yang taat. Ia pada awalnya mempelajari filsafat dari R. Dalbiez, seorang filosof Jerman bermazhab thomisme. Kemudian dia banyak dipengaruhi oleh pemikiran Gabriel Marcel, Husserl, Heideger, dan Karl Jaspers, lihat Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa, h. 155. 97 Rahardjo, Hermeneutika Gadamerian, h. 103-104. 98 Derrida adalah seorang filosof Perancis kontemporer. Derrida merupakan seorang Yahudi Aljazair, lahir di Aljazair pada 1930 dan pindah ke Perancis pada 1959, lihat Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa, h. 217.
51
tulisan (teks), menurut Derrida, selalu mengalami perubahan tergantung pada konteks dan pembacanya.99 Oleh sebab itu, bagi Derrida interpretasi dinilai berdasarkan kuat atau lemahnya argumentasi, tidak berdasarkan benar-salah. Hermeneutika jenis ini adalah metode “hermeneutika kecurigaan yang mendalam” (deep hermeneutics) dengan cara menganalisis, mengurai, dan membongkar berbagai asumsi dalam teks.100 Suatu pernyataan tidak pernah terpisah dari keadaan tempat pengucapannya (tempat peristiwa terjadi), ketika kita berbicara tentang tingkah laku, berarti kita juga berbicara tentang kebudayaan, organisasi sosial dan lain-lain, maka sosial-budaya berpengaruh besar dalam menafsirkan sebuah teks.101 C. Persamaan dan Perbedaan Ilmu Tafsir, Takwil dan Hermeneutika Berdasarkan pemaparan tentang ilmu tafsir, takwil dan hermeneutika pada pembahasan sebelumnya, menurut Penulis persamaan antara ilmu tafsir, takwil dan hermeneutika adalah ketiganya sama-sama berusaha mencari makna yang terkandung di dalam sebuah teks, dalam hal ini adalah memahami makna ayat-ayat al-Qur‟an. Adapun perbedaan antara tafsir dan takwil adalah bahwa tafsir merupakan pemahaman harfiah terhadap teks yang melihat makna zȃhir dari sebuah teks, sedangkan takwil adalah bentuk lebih intensif dari tafsir.102 Tafsir
99
Rahardjo, Hermeneutika Gadamerian, h. 104-105. Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu, h. 203-204. 101 Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu, h. 200. 102 Hadi. W.M, Hermeneutika Sastra Barat & Timur, h. 153. Ahmad Izzan menambahkan mengapa takwil lebih intensif daripada tafsir, karena tafsir hanya mengacu pada penemuan dan pengungkapan apa-apa yang dimaksudkan oleh ekspresi-ekspresi yang mempunyai lebih dari satu makna, sedangkan takwil mengacu pada makna puncak (yang tertinggi) dari 100
52
lebih umum daripada takwil dan lebih banyak digunakan dalam lafaz-lafaz, sedangkan takwil lebih banyak penggunaannya di dalam makna-makna, tafsir berkaitan dengan riwâyah, sedangkan takwil berkaitan dengan dirȃyah.103 Penulis juga memperhatikan bahwa perbedaan antara takwil dan hermeneutika adalah dalam kajian takwil tidak semua lafaz dapat ditakwilkan, sedangkan dalam tradisi hermeneutika menyamakan semua jenis teks. Dalam takwil hanya lafaz yang memiliki dalil lain yang boleh untuk ditakwilkan, dan makna tersebut masih cocok dengan lafaz zâhir-nya, sedangkan hermeneutika merupakan perpindahan dari “makna” kepada “pemahaman” yang bisa berubah sesuai perkembangan pembaca teks tersebut.104
ungkapan-ungkapan tersebut, lihat Ahmad Izzan, Ulumul Qur‟an: Telaah Tekstualitas dan Kontekstualitas al-Qur‟an (Bandung: Tafakur, 2013), h. 248. 103 Al-Dzahabȋ, al-Tafsȋr wa al-Mufassirûn, vol. I, h. 22-23. Badr al-Dȋn Muhammad bin „Abd Allâh al-Zarkasyȋ, al-Burhȃn fȋ „Ulȗm al-Qur‟ȃn , vol. II (T.tp.: Dâr al-Fikr, 1988), h. 164-165. Al-Zarqȃnȋ, Manȃhil al-Irfȃn fî „Ulûm al-Qur‟ȃn,vol. II, h. 7-8. Lihat Amin Suma, Ulumul Qur‟an, h. 313-315. 104 Fahmi menambahkan bahwa pemahaman (dalam kajian hermeneutika) adalah apa yang diinginkan oleh pembaca, bukan yang dimaksudkan oleh pengarang. Lihat Fahmi Salim, Kritik terhadap Studi al-Qur‟an Kaum Liberal (Jakarta: Perspektif Kelompok Gema Insani, 2010), h. 76.
BAB III NASR HAMID ABÛ ZAID DAN WACANA HERMENEUTIKA AL-QUR’AN
Bab IV ini membahas tentang biografi Nasr Hâmid Abû Zaid dan bagaimana hermeneutika yang diwacanakannya. Pembahasan ini penting dikaji sebelum melihat kritik „Imârah terhadap hermeneutika Nasr Hâmid Abû Zaid tersebut, agar tergambar bagaimana sebenarnya wacana hermeneutika yang diusung oleh Nasr Hâmid Abû Zaid tersebut. A. Biografi Nasr Hâmid Abû Zaid 1. Riwayat Hidup Nama lengkapnya adalah Nasr Hâmid Rizk Abû Zaid, ia dilahirkan di desa Qahâfah dekat kota Tantâ Mesir pada tanggal 10 Juli 1943. Dia diberi nama Nasr oleh orang tuanya dengan harapan agar dia selalu membawa kemenangan atas lawan-lawannya, karena ia lahir saat terjadi Perang Dunia II. Abû Zaid hidup dalam sebuah keluarga yang religius, dan ayahnya adalah seorang aktivis al-Ikhwân al-Muslimûn dan pernah dipenjara. Saat berumur empat tahun, Abû Zaid mulai belajar dan menghafal al-Qur‟an di Kuttâb. Dia telah hafal al-Qur‟an pada umur delapan tahun, sehingga ia dipanggil dengan “Syaikh Nasr”. Pada umur 11 tahun dia ikut bergabung dengan kelompok al-Ikhwân al-Muslimîn (1954), karena ia tertarik dengan pemikiran Sayyid Qutub melalui bukunya al-Islâm wa al-„Adâlah al-
53
54
Ijtimâ„iyyah (Islam dan Keadilan Sosial).1 Gerakan al-Ikhwân alMuslimîn berkembang pesat di daerah Abû Zaid dibesarkan, dan bahkan cabang al-Ikhwân di kampungnya termasuk yang paling aktif di Mesir. Aktivitas al-Ikhwân mendapat simpati dari masyarakat baik kegiatan keagamaan, kebudayaan, olahraga, dan sosial. Oleh sebab itulah Abû Zaid aktif dalam gerakan al-Ikhwân tersebut.2 Abû Zaid menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya di Tantâ, dan setelah lulus sekolah teknik Tantâ pada 1960, dia bekerja
sebagai
seorang teknisi
elektronik
pada
Organisasi
Komunikasi Nasional di Kairo sampai 1972. Dia mulai tertarik kepada kritik sastra saat berumur
dua puluh satu tahun, terlihat
dalam tulisan-tulisannya yang dipublikasikan pada 1964, di dalam jurnal al-Adab yang pimpin oleh Amîn al-Khûlî. Di antara artikelnya saat itu adalah “Haul Adab al-„Ummal wa al-Fallâhin” (Tentang Sastra Buruh dan Petani) dan “Azmah al-Aghniyyah al-Misriyyah”
1
Lihat Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur‟an: Teori Hermeneutika Nasr Abu Zaid (Jakarta: Teraju, 2003), h. 15-16. Lihat juga Fauzi Aseri, dkk, Kesinambungan dan Perubahan dalam Pemikiran Kontemporer tentang Asbâb al-Nuzûl: Studi Pemikiran Muhammad Syahrûr dan Nashr Hâmid Abû Zaid (Banjarmasin: IAIN Antasari Press, 2014), h. 39. Hamka Hasan dalam Nasr Hâmid Abû Zaid, Menalar Firman Tuhan; Wacana Majaz dalam al-Qur‟an Menurut Mu‟tazilah. Penerjemah Abdurrahman Kasdi dan Hamka Hasan (Bandung: Mizan, 2003), h. 10. 2 Hubungan antara Abû Zaid dan al-Ikhwân al-Muslimîn semakin erat ketika Gubernur al-Gharbiyyah, Hasan Hudaibi (penasehat umum/ al-mursyid al-„amm) berkunjung ke markas al-Ikhwân untuk mengadakan muktamar di klub olahraga Tanta. Saat itu Abû Zaid memimpin pertunjukan olahraga besar yang didemonstrasikan oleh al-Asybal (anak-anak di kalangan al-Ikhwân al-Muslimîn), lihat Hasan dalam Abû Zaid, Menalar Firman Tuhan, h. 11.
55
(Krisis Lagu Mesir). Kemudian dia mulai berani mengkritik alIkhwân al-Muslimûn yang pernah ia ikuti sebelumnya.3 Pada 1968, Abû Zaid melanjutkan studinya di jurusan Bahasa dan Sastra Arab Universitas Kairo, dan selesai pada 1972 dengan predikat cum laude, sehingga dia diangkat sebagai dosen tidak tetap di almamaternya. Dari sanalah wataknya berubah dari watak teknisi (1961-1972) menjadi watak akademisi. Pada 1975, Abû Zaid melanjutkan studi magisternya dengan jurusan yang sama dengan beasiswa Ford Foundation di American University di Kairo dan menyelesaikannya selama dua tahun dengan predikat cum laude juga dengan judul tesis al-Ittijâh al-„Aqli fî al-Tafsîr: Dirâsah fî Qadiyyat al-Majâz fi al-Qur‟ân „Inda al-Mu‟tazilah (Rasionalisme dalam Tafsir: Sebuah Studi tentang Problem Metafor menurut Muktazilah), dan setelah itu dia menjadi dosen. Pada 1981, Abû Zaid meraih gelar PhD-nya dalam bidang studi Islam dan Bahasa Arab dengan predikat cum laude. Adapun judul disertasinya adalah Falsafat al-Ta‟wîl: Dirâsah fî Ta‟wîl al-Qur‟ân „inda Muhyi al-Dîn ibn „Arabî (Filasafat Takwil: Studi Hermeneutika al-Qur‟an Muhyi al-Dîn ibnu „Arabî).4 Pada usia 49 tahun, Abû Zaid menikahi Dr. Ibtihâl Ahmad Kamâl Yûnis, profesor Bahasa Perancis dan Sastra Perbandingan di
3
Lihat Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur‟an, h. 16-17. Lihat Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur‟an, h. 17-18. Lihat juga Fauzi Aseri, dkk, Kesinambungan dan Perubahan, h. 39-40. Hasan dalam Abû Zaid, Menalar Firman Tuhan, h. 10-11. 4
56
Universitas Kairo pada April 1992.5 Pada 9 Mei 1992, dia mengajukan promosi profesor penuh di Universitas Kairo. Dia menyerahkan dua bukunya, yaitu al-Imâ al-Syâfi‟i dan Naqd Khitâb al-Dînî, serta sebelas paper akademik kepada panitia penguji. Panitia penguji menolak pengajuan promosinya, karena menganggap bahwa Abû Zaid merusak ortodoksi Islam. Pada akhirnya pada 14 Juni 1995, Pengadilan Banding Kairo menyatakan bahwa Abû Zaid telah murtad dan dia harus diceraikan dengan istriya. 6 Adapun karir dan penghargaan yang didapatkan oleh Abû Zaid di antaranya yaitu ia dipromosikan sebagai asisten profesor pada 1982, dan tahun itu juga dia mendapatkan penghargaan „Abd al-„Azîz al-Ahwânî karena konsernnya pada humanitas dan budaya Arab. Dia juga menjadi profesor tamu di Osaka University of Foreign Studies, Jepang pada 1985-1989, dan ia juga dipromosikan sebagai Associate Profesor pada 1987.7 Di samping itu, pada Mei 1993 dia juga mendapatkan anugerah the Republican Order of Merit for the Service to Arab Culture dari Presiden Tunisia, dan pada 1994 ia ditunjuk sebagai anggota dewan penasehat Encyclopedia of the Qur‟an.8 Abû Zaid memperoleh keprofesoran penuh pada Juni 1995, dan ia bersama istrinya meninggalkan Mesir menuju Leiden, Nederland pada 26 Juli 1995, dan tahun itu juga ia menjadi profesor tamu di
5
Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur‟an, h. 22. Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur‟an, h. 22. 7 Lihat Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur‟an, h. 19-20. 8 Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur‟an, h. 23. 6
57
Universitas Leiden dalam bidang Studi Islam. Ia juga mendapatkan penghargaan dari Jordanian Writers Association Award for Democracy and Freedom pada 1998, dan pada 2000 dikukuhkan sebagai guru besar tetap di Universitas Leiden.9 2. Karya-karya Abû Zaid termasuk cendekiawan yang produktif dalam menghasilkan tulisan-tulisan, sebagian besar karya-karyanya tersebut menimbulkan pro kontra di kalangan umat Islam itu sendiri. Adapun buku-buku Abû Zaid adalah sebagai berikut: a. “Haula Adab al-„Ummâl wa al-Fallâhîn,” Majallah al-Adab 5, thn. 9, Oktober 1964. b. “Azmahal-Ahniyyah al-Misriyyah,” Majallah al-Adab 7, thn. 9, Desember 1964. c. “Asdâ‟ Adabiyyah: Mihnah al-Tsaqafah fî al-Aqâlîm,” Majallah al-Adab 8, thn. 9 Januari 1965. d. Al-Ittijâh al-„Aqlî fî Tafsîr: Dirâsah fî Qadiyyah al-Majâz fî alQur‟ân „inda al-Mu‟tazilah. Thesis di Cairo university; diterbitkan edisi ke-2. Beirut 1983; edisi ke-3. Beirut 1993. e. “al-Tsâbit wa al-Mutahawwil fî ru‟ya Adûnis li al-Turâts,” Fusûl 1: 1, Oktober 1980; diterbitkan ulang dalam Isykâliyyât.
9
Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur‟an, h. 25, 193, 194.
58
f. Falsafat al-Ta‟wîl: Dirâsah fî Ta‟wîl al-Qur‟ân „inda Muhyî alDîn ibnu „Arabî. Disertasi Universitas Kairo; dipublikasikan, Beirut 1983. g. Mafhûm al-Nass: Dirâsah fî al-„Ulûm al-Qur‟ân (Konsep Teks: Studi
tentang
Ilmu-ilmu
al-Qur‟an),
Kairo
1990.
Ia
menyelesaikan buku ini selama periode menjadi profesor tamu di Jepang, Buku ini adalah responnya terhadap interpretasi pragmatis dan ideologis atas al-Qur‟an yang ia temukan pada pemikiran Muktazilah, wacana Sufi, dan wacana religio-politik sejak 1950-an. h. Naqd al-Khitâb al-Dînî. Kairo: Sînâ li al-Nasyr, 1992. Buku ini diterbitkan setelah ia kembali dari Jepang. Kritikannya ini difokuskan pada interpretasi ideologis atas teks-teks keagamaan para Islamis, Islamis moderat, dan kaum liberal Mesir. i. al-Imâm al-Syâfi‟î wa Ta‟sîs al-Aiduyûlujiyâ al-Wasatiyyah. Kairo 1992; diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Khoiron Nahdliyyin, Imam Syafi‟i: Moderatisme, Elektisisme, Arabisme. Yogyakarta: Lkis 1997. j.
Isykâliyyât al-Qirâ‟ah wa Aliyyât al-Ta‟wîl. Edisi ke-2. Beirut: 1992.
diterjemahkan
ke
dalam
bahasa
Muhammad Mansur dan Khorian Nahdliyin,
Indonesia
oleh
Hermeneutika
Inklusif: Mengatasi Problematika Bacaan dan Cara-cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan. Yogyakarta: Lkis 2004.
59
k. al-Mar‟ah fî al-Khitâb al-Azmah. Kairo: Dâr Nusûs li al-Nasyr, 1995. l.
al-Tafîr fî Zamân al-Takfîr. Kairo: Maktabah Madbûlî, 1995.
m. al- Qaul al-Mufîd fî Qadiyyah Abû Zaid (Pendapat Bermanfaat tentang Kasus Abû Zaid) n.
al-Nass, al-Sultah, al-Haqîqah. Beirut: al-Markaz al-Tsaqafî al„Arabî.
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh
Sunarwoto Dema, Teks Otoritas Kebenaran. Yogyakarta: Lkis, 2003.
o. Dawâir al-Khauf: Qirâ‟ah fî Khitâb al-Mar‟ah. Beirut: alMarkaz al-Tsaqafî al-„Arabî, 1999, dan lain-lain.10 B. Hermeneutika Nasr Hâmid Abû Zaid Berbicara mengenai hermeneutika berarti berbicara mengenai penafsiran terhadap teks, baik teks historis maupun teks keagamaan. Hermeneutika berusaha untuk menyelesaikan problem tentang teks, baik di sekitar teks dan hubungannya dengan turâts di satu sisi, dan hubungan teks dengan pengarangnya di sisi yang lain.11 Oleh sebab itu, hermeneutika bagi Abû Zaid adalah persoalan klasik dan modern sekaligus, dan bukan hanya persoalan pemikiran Barat, tetapi juga dalam khazanah (turâts) Arab klasik dan modern.12
10
Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur‟an, h. 20-25, 185-192. Lihat juga Fauzi Aseri, dkk, Kesinambungan dan Perubahan, h. 41-44. 11 Nasr Hâmid Abû Zaid, Hermeneutika Inklusif: Mengatasi Problematika Bacaan dan Cara-cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan. Penerjemah Muhammad Mansur dan Khorian Nahdliyin (Jakarta: ICIP, 2004), h. 3. 12 Abû Zaid, Hermeneutika Inklusif, h. 4.
60
Abû Zaid melihat bahwa terdapat pemisahan antara tafsîr bi alma‟tsûr dan tafsîr bi al-ra‟yi atau takwil. Tafsîr bi al-ma‟tsûr diasumsikan sebagai tafsir yang bertujuan untuk mencapai makna teks secara obyektif melalui sejumlah dalil historis dan kebahasaan, sedangkan tafsîr bi al-ra‟yi atau takwil diasumsikan sebagai tafsir yang tidak obyektif karena mufassir-nya tidak berangkat dari fakta-fakta historis dan kebahasaan.13 Namun, lebih lanjut Abû Zaid memaparkan bahwa kitab tafsîr bi al-ma‟tsûr sendiri tidak luput dari berbagai ijtihâd penafsiran, dan sebaliknya kitab tafsîr bi al-ra‟yi atau takwil tidak meninggalkan fakta historis dan kebahasaan sebagaimana disangkakan kepadanya. Kedua model penafsiran tersebut memiliki kecenderungan yang berbeda-beda, tafsîr bi al-ma‟tsûr mengabaikan dan memarginalkan eksistensi mufassir, karena berpegang teguh terhadap teks dan berbagai fakta historis serta kebahasaan, sementara tafsîr bi al-ra‟yi atau takwil tidak melupakan hubungan semacam itu, tetapi menegaskannya dengan tingkat penegasan dan aktifitas yang berlainan antar berbagai kelompok dan kecendrungan.14 Untuk mencapai sebuah pemahaman obyektif tidaklah mudah, karena pemahaman obyektif tersebut adalah pemahaman sebagaimana yang dipahami atau ingin dipahami oleh penciptanya. Permasalahan akan
13 14
Abû Zaid, Hermeneutika Inklusif, h. 6. Abû Zaid, Hermeneutika Inklusif, h. 7-8.
61
lebih rumit jika pengarang dan kritikus dua-duanya tumbuh sampai dua waktu dan realitas yang berbeda.15 Setelah penulis membaca karya-karya Abû Zaid, Penulis menemukan pemikirannya tentang hermeneutika yang Penulis bagi menjadi dua hal, yaitu tekstualitas al-Qur‟an dan teori interpretasi. 1. Tekstualitas al-Qur’an
Abû Zaid menyebut peradaban Arab Islam adalah peradaban teks,16 hal ini ada benarnya karena Islam dikenalkan oleh Rasulullah Saw. melalui al-Qur‟an yang telah berbentuk teks di tangan kaum muslimin kepada manusia pada saat itu, dan dengan teks pula umat Islam dapat mengenal agamanya hingga saat ini. Kemudian, yang menjadi persoalan adalah apakah al-Qur‟an sebagai kitab suci umat Islam tersebut dibentuk oleh budaya atau tidak. Sebelum mengkaji hal tersebut, Abû Zaid mengkritik reaksi kelompok terhadap pemikiran yang berlawanan dengan apa yang mereka yakini selama ini, terlebih lagi jika yang beraksi tersebut adalah kaum cendekiawan terpelajar. Satu di antara pemikiran yang mengakar kuat dan sepertinya tidak boleh berubah adalah pemikiran bahwa al-Qur‟an yang diturunkan Allah Swt. melalui perantaraan malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Saw. adalah teks yang qadîm dan azali, dan merupakan salah satu sifat Tuhan, karena al-Qur‟an adalah kalâm (perkataan) Allah, maka ia juga qadîm sebagaimana 15
Abû Zaid, Hermeneutika Inklusif, h. 9-10. Nasr Hâmid Abû Zaid, Mafhûm al-Nass: Dirâsah fî „Ulûm al-Qur‟ân (t.tp, alHai‟ah al-Misriyyah al-Âmmah li al-Kitâb, 1993), h. 11. 16
62
Dzat Tuhan yang azali dan sifat-sifat-Nya. Oleh sebab itu, orang yang menentang hal ini diberikan predikat kafir atau murtad.17 Dalam membahas masalah ini, Abû Zaid menyatakan bahwa permasalahan
ini
bermula
dari
perdebatan
antara
kelompok
Muktazilah dan Asy‟ari tentang status al-Qur‟an itu sendiri. Apakah al-Qur‟an itu qadîm atau baru, maka bagi kelompok Asy‟ari al-Qur‟an tersebut qadîm, karena al-Qur‟an adalah kalâm Ilahi dan merupakan salah satu sifat zat Ilahi, sedangkan kaum Muktazilah menganggap bahwa ia baru, karena merupakan salah satu tindakan Ilahi, bukan sifat, karena al-Qur‟an adalah perkataan Allah dan perkataan tersebut termasuk tindakan.18 Lebih lanjut Abû Zaid menjelaskan pendapat Muktazilah bahwa al-Qur‟an masuk dalam kategori “sifat-sifat tindakan Tuhan” (sifât al-af„âl al-ilâhiyyah), bukan “sifat-sifat Dzat” (sifât al-dzât). “sifat-sifat tindakan Tuhan” memiliki wilayah interaksi antara Tuhan dan dunia, sedangkan “sifat-sifat dzat” adalah wilayah 17
Nasr Hâmid Abû Zaid, Teks Otoritas Kebenaran. Penerjemah Sunarwoto Dema (Yogyakarta: Lkis, 2003), h. 85-86. 18 Nasr Hâmid Abû Zaid, Tekstualitas al-Qur‟an: Kritik terhadap Ulumul Qur‟an. Penerjemah Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta: Lkis, 2002), h. 119-120. Abû Zaid, Teks Otoritas Kebenaran, h. 86. Abû Zaid, Hermeneutika Inklusif, h. 102. „Abd. Sabûr Syâhin dalam bukunya menyebutkan bahwa Aliran Muktazilah yang mengatakan al-Qur‟an adalah makhluk muncul tepatnya pada tahun duapuluhan abad ke-2 Hijriyyah dan juga pernah dibrantas pada abad yang sama. Pada awalnya, aliran ini memusatkan kegiatannya dalam bidang agama, tetapi kemudian mereka mengalihkan kegiatannya ke bidang politik. Adapun pendiri aliran ini adalah Wasil bin Ata‟. Di samping itu, „Abd. Sabûr Syâhin juga menjelaskan bahwa kekhalifahan Makmun adalah masa keemasan kekhalifahan Islamiyyah yang sebenarnya, tetapi karena beliau mendukung pendapat yang mengatakan bahwa alQur‟an adalah makhluk dan „Ali bin Abi Tâlib adalah manusia paling mulia setelah Nabi Muhammad Saw, maka predikat tersebut lenyap seketika. Al-Makmun diangkat sebagai khalifah pada 198 H. Orang-orang dari berbagai aliran berada di sisinya, dan tokoh Muktazilah berhasil memengaruhi Makmun dengan pemikirannya. Khalifah Makmun juga lebih condong kepada aliran Syi‟ah. lihat „Abd. Sabûr Syâhin, Saat al-Qur‟an Butuh Pembelaan: Sebuah Analisis Sejarah. Penerjemah Khoirul Amru Harahap dan Akhmad Faozan (Jakarta: Erlanggga, 2006), h. 358-362.
63
keunikan dan kekhususan eksistensi Tuhan dalam dzat-nya sendiri dan tidak terkait dengan dunia. Berdasarkan hal tersebut, maka Muktazilah melihat al-Qur‟an termasuk “sifat-sifat tindakan Tuhan” karena adanya interaksi antara Tuhan dan dunia.19 Begitu pula Abû Zaid menyatakan bahwa lauh mahfûz (al-Qur‟an tercatat di dalamnya) bukan qadîm, tetapi baru sebagaimana juga al-„arsy dan al-kursiy, karena jika lauh mahfûz tersebut qadîm, maka akan terdapat banyaklah Dzat yang qadîm itu, karena yang qadîm hanyalah Allah Swt. Jika lauh mahfûz itu baru, maka al-Qur‟an juga baru, karena mana mungkin al-Qur‟an itu qadîm, sedangkan tempat al-Qur‟an sendiri (lauh mahfûz) itu baru.20 Kaum Muktazilah juga tidak membedakan secara tajam antara kalâm manusia dengan kalâm Ilahi, maka bagi mereka kalâm Ilahi adalah tindakan yang terkait dengan pembicaraan dengan manusia untuk mewujudkan kepentingan mereka. Oleh karena itulah mereka menyebut bahwa bahasa adalah produk manusia.21 Dalam menilai masalah ini, Abû Zaid menyatakan bahwa perbedaan pandangan ini sebenarnya lebih karena masalah politik kekuasaan. Khalifah al-Makmun melalui kekuasaannya pernah memaksakan pemikiran Muktazilah kepada ulama dan fuqahâ‟. Di lain pihak juga demikian dengan adanya pemaksaan pemikiran Asy„ariyyah tentang posisi al-Qur‟an tersebut yang menyatakan 19
Abû Zaid, Teks Otoritas Kebenaran, h. 86-88. Abû Zaid, Teks Otoritas Kebenaran, h. 92. 21 Abû Zaid, Mafhûm al-Nass, h. 173. 20
64
bahwa adanya dua aspek al-Qur‟an, pertama aspek yang bersifat qadîm, dan kedua al-Qur‟an yang dibaca saat ini yang merupakan salinan dari yang pertama tersebut.22 Dalam menimbang dua pemikiran tentang al-Qur‟an di atas, Abû Zaid lebih condong dan memenangkan pemikiran Muktazilah, dan dia memberikan bagan tentang pendapat Muktazilah tersebut.23
Dzat Tuhan
Sifat-sifat Dzat yang qadîm
Ilmu
Kuasa
Qadîm
Hidup
Sifat-sifat perbuatan
Firman
Mencipta dan mewujudkan
Al-Qur‟an al-Karim
Oleh karena al-Qur‟an adalah tindakan Tuhan sebagaimana yang dijelaskan di atas, maka ia merupakan fenomena sejarah, karena
22 23
Abû Zaid, Teks Otoritas Kebenaran, h. 88, 95. Abû Zaid, Teks Otoritas Kebenaran, h. 95.
65
semua tindakan Tuhan adalah tindakan “di dunia” yang tercipta dan baru atau bersifat historis, maka al-Qur‟an adalah fenomena sejarah.24 Keotentikan al-Qur‟an sebagai wahyu Allah Swt. tidak diragukan lagi karena ia tidak mengalami kritik sejarah sebagaimana yang dialami oleh kitab suci yang lain, karena ia telah dijamin penjagaannya oleh Allah Swt. sendiri sejak penurunannya kepada Nabi Muhammad Saw. hingga akhir zaman melalui hapalan dan tulisan. Namun, walaupun keotentikan al-Qur‟an tidak diragukan, bagi Abû Zaid teks-teks al-Qur‟an tersebut telah termanusiawikan.25 Menurutnya, teks al-Qur‟an dibentuk oleh peradaban Arab di satu sisi dan berangkat dari konsep-konsep yang diajukan teks itu sendiri mengenai dirinya di sisi lain. Teks (al-Qur‟an) terbentuk dalam realitas dan budaya dalam rentang waktu lebih dari dua puluh tahun, maka Abû Zaid menyebut al-Qur‟an sebagai produk budaya. Selain alasan di atas, Abû Zaid menyebutkan bahwa saat Allah Swt. mewahyukan al-Qur‟an kepada Rasulullah Saw., Ia telah memilih sistem bahasa tertentu (bahasa Arab) sesuai dengan bahasa penerimanya, dan pemilihan bahasa tersebut tidak berangkat dari ruang kosong, karena bahasa adalah perangkat sosial yang paling 24
Abû Zaid, Teks Otoritas Kebenaran, h. 96. Abû Zaid menjelaskan bahwa suatu teks ditentukan oleh hukum-hukum yang mapan. Teks-teks agama tidak dapat melepaskannya dari hukum-hukum ini, sebab tek-teks tersebut “termanusiawikan” semenjak ia mewujud dalam sejarah dan bahasa, dan sejak lafaz dan maknanya ditujukan kepada manusia di dalam realitas sejarah tertentu. Teks ditentukan oleh dialektika konstanta (yang tetap) dan transforma (yang berubah). Dengan demikian fenomena al-Qur‟an tidak terpisah dari realitas, tidak melangkahi, atau melampaui hukum-hukum realitas, lihat Nasr Hâmid Abû Zaid, Kritik Wacana Agama, penerjemah Khoiron Nahdiyyin (Yogyakarta: LkiS, 2003), h. 87, 211, 244, lihat juga Abû Zaid, Tekstualitas al-Qur‟an, 33. 25
66
penting dalam menangkap dan mengorganisasi dunia. Oleh karena itu, bahasa adalah bagian dari budaya dan realitas, maka pembicaraan mengenai tentang teks tidak mungkin tidak membicarakan tentang budaya dan realitas. Di samping itu, karena teks tersebut terbentuk dalam realitas dan budaya maka realitas dan budaya tersebut memiliki peran dalam membentuk teks tersebut (al-Qur‟an).26 Cendekiawan Muslim lainnya memaparkan bahwa al-Qur‟an mengalami proses editing melalui tadwîn oleh suatu kepanitiaan, bahkan nama al-Qur‟an sendiri menurutnya merupakan hasil dari kesepakatan panitia.27 Al-Qur‟an diturunkan berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad Saw. dan dicatat oleh Zaid bin Tsabit di pelapah kurma, tulang dan sebagainya. Di samping itu, dari sisi teknisnya, alQur‟an mengalami evolusi. Pada awalnya al-Qur‟an ditulis dengan huruf Arab tanpa titik dan syakl, pada perkembangan selanjutnya barulah dengan titik dan syakl. Dengan demikian, menurut pendukung hermeneutika ada peranan editor dalam perkembangan tulisan alQur‟an dari pra-EYD (ejaan yang disempurnakan) menuju sistem yang sudah EYD.28
26
Abû Zaid, Tekstualitas al-Qur‟an, h. 19, 21. Mudhofir Abdullah menjelaskan lebih lanjut dengan mengutip dari Jalâl al-Dîn al-Suyûtî dalam buku al-Itqân fî „Ulûm al-Qur‟ân, vol. I. bahwa pada awalnya al-Qur‟an bernama “Mushaf” yang diusulkan oleh ibnu Mas‟ûd. Nama “Mushaf” ini sangat populer di kalangan Muslim saat itu hingga diganti namanya menjadi al-Qur‟an oleh kepanitiaan yang dibentuk Khalifah Utsmân. Sebelum itu, kitab suci ini pernah dikenal dengan “Injil” dan “Sifr”. Lihat Mudhofir Abdullah, “Kesejarahan al-Qur‟an dan Hermeneutika” Journal of Qur‟an and Hadith Studies, vol. 3, No. 1, 2014, h. 60. 28 lihat Abdullah, “Kesejarahan al-Qur‟an dan Hermeneutika,”h. 60-61. 27
67
Al-Qur‟an tetaplah menjadi kalâm Tuhan, namun bagi Yusuf Rahman, ia juga disebut sebagai karya sastra, karena memiliki tiga elemen, yaitu: pertama, al-Qur‟an memiliki keindahan gaya bahasa. Kedua, ketika membaca dan mendengar keindahan gaya bahasa alQur‟an, banyak orang yang takjub karenanya. Ketiga, respon pembaca atau pendengar terhadap kedua elemen di atas dan interpretasi mereka terhadapnya.29 Di sisi lain, jika dilihat dari sisi penerima dan penyampai wahyu (al-Qur‟an) pertama, yaitu Nabi Muhammad Saw., maka Abû Zaid menyebutnya sebagai bagian dari realitas dan masyarakat, karena Nabi Muhammad Saw. dilahirkan, tumbuh, dan berkembang di Mekah sebagai anak yatim di perkampungan Badui.30 Dari sini menurut Abû Zaid teks berbicara kepada Nabi Muhammad Saw. dan merespon keresahan-keresahannya.31 Lebih lanjut bagi Abû Zaid, Nabi Muhammad Saw. bukanlah penerima yang pasif, karena dalam dirinya juga terdapat harapan-harapan masyarakat untuk masa depan.32 Berkaitan dengan pernyataan di atas bahwa al-Qur‟an adalah produk budaya yang berbentuk teks, maka sebagaimana teks-teks lainnya al-Qur‟an juga bisa dikaji secara ilmiah, namun karena pengirim al-Qur‟an (Allah Swt.) tidak mungkin dijadikan objek kajian
29
Yusuf Rahman, “Kritik Sastra dan Kajian al-Qur‟an,”dalam Kusmana dan Syamsuri, ed. Pengantar Kajian al-Qur‟an: Tema Pokok, Sejarah dan Wacana Kajian (Jakarta: Pustaka al-Husna Baru, 2004), h. 218-220. 30 Abû Zaid, Mafhûm al-Nass, h. 11., h. 67-68. 31 Abû Zaid, Mafhûm al-Nass,, h. 79. 32 Abû Zaid, Tekstualitas al-Qur‟an, h. 73.
68
ilmiah, maka pintu masuk untuk kajian ilmiah tersebut adalah realitas dan budaya.33 Dengan demikian Abû Zaid meletakkan al-Qur‟an pada dua posisi, pertama, al-Qur‟an sebagai produk budaya, yaitu fase pembentukan dan kematangan al-Qur‟an itu sendiri. Hal ini juga bermakna bahwa al-Qur‟an adalah teks yang bersumber dari dan mengekspresikan budaya. Kedua al-Qur‟an sebagai produsen budaya, yaitu teks al-Qur‟an menjadi acuan dan landasan bagi teks-teks yang lain.
Sehingga,
al-Qur‟an
disebut
juga
dengan
teks
yang
mempengaruhi dan mengubah budaya.34 Pada fase pembentukan teks dalam kebudayaan, yang menjadi agent-nya adalah kebudayaan, sedangkan affect-nya dalah teks. Kemudian pada fase pembentukan kebudayaan oleh teks, teks berubah menjadi agent, dan kebudayaan menjadi affect.35 Berdasarkan hal-hal di atas, maka Abû Zaid mengatakan bahwa al-Qur‟an telah termanusiawikan dan dia adalah produk budaya karena menurutnya al-Qur‟an terbentuk dalam realitas dan budaya dalam rentang waktu yang lama, dan Allah telah memilih sistem bahasa Arab untuk al-Qur‟an sesuai dengan bahasa penerimanya. Di samping itu, dari segi penerimanya Nabi Muhammad Saw. bukanlah penerima yang pasif, karena dalam dirinya juga terdapat harapanharapan masyarakat untuk masa depan. 33
Abû Zaid, Mafhûm al-Nass, h. 27. Abû Zaid, Mafhûm al-Nass, h. 28. 35 Abû Zaid, Tekstualitas al-Qur‟an, h. 220. 34
69
2. Kontekstualitas al-Qur’an Peradaban Arab-Islam adalah peradaban teks, tetapi menurut Abû Zaid yang membangun peradaban tersebut bukan teks semata, dialektika manusia dengan realitas di satu sisi, dan dialognya dengan teks di sisi lain juga mempunyai peran, maka Abû Zaid menyatakan al-Qur‟an memiliki peran budaya dalam membentuk wajah peradaban.36 Pendukung hermeneutika menyebutkan bahwa al-Qur‟an mengalami proses dari lisan ke tulisan dan berada dalam suatu ruang, waktu, latar belakang, sejarah, dan sebagainya yang menunjukkan alQur‟an terikat oleh ruang-waktu, yakni masyarakat Arab pada waktu wahyu diturunkan, maka dengan demikian berarti al-Qur‟an mengalami sejarah.37 Di antara ayat-ayat al-Qur‟an diturunkan oleh Allah Swt. adalah sebagai jawaban dari realitas yang ada saat itu. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah memungkinkan alQur‟an yang hanya terdiri atas 114 surat tersebut mampu menjawab semua permasalahan dari waktu ke waktu dan kondisi yang berbeda dengan pemahaman saat wahyu itu diturunkan beberapa abad yang lalu? Ataukah diperlukan metode baru untuk menyelaraskannya dengan realitas yang selalu berubah? Oleh sebab itu bagi pendukung hermeneutika, teks lahir bukan dalam ruang yang kosong, tetapi ia
36
Abu Zaid menjelaskan bahwa al-Qur‟an hadir dalam kaitannya dengan realitas tempat ayat-ayat suci itu diturunkan, lihat Abû Zaid, Tekstualitas al-Qur‟an, h. 1-2 lihat juga lihat Abû Zaid, Kritik Wacana Agama, h. 242-245.z 37 Abdullah, “Kesejarahan al-Qur‟an dan Hermeneutika,” h. 58.
70
selalu muncul seiring konteks sosiologis yang terus berkembang, maka manusia telah diberi kesempatan dan ruang sebagai mediator untuk mendamaikan antara teks dan konteks.38 Di samping itu, cendekiawan Muslim lainnya, seperti Arkoun39 melihat kitab-kitab suci dari sisi historis, sosiologis dan antropologis, ia menantang semua penafsiran yang mensakralkan dan mentransendensikan
yang
dihasilkan
oleh
penalaran
teologis
tradisional,40 maka menurutnya al-Qur‟an tidak harus ditafsirkan sama persis jika konteksnya berbeda. Al-Qur‟an perlu ditafsirkan
38
Dalam perkembangan studi ilmu al-Qur‟an kemudian muncullah ilmu asbâb al-nuzûl (sebab-musabab turunnya al-Qur‟an), prinsip al-tadarruj fî al-tasyrî„ (penahapan datangnya syarî„ah), nâsikh mansûkh (teks ayat yang satu dapat mengganti kedudukan hukum ayat yang lain), al-ta‟arud wa al-tarjîh (mekanisme seleksi jika terjadi pertentangan antara teks) sebagai hasil menyikapi antara teks dan konteks, lihat Abu Yasid, Nalar & Wahyu: Interrelasi dalam Proses Pembentukan Syari„at (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007), h. 70-71. 39 Mohammed Arkoun lahir pada 1 Februari 1928 di Taourirt- Mimoun, Kabilia Aljazâir. Ia menyelesaikan sekolah dasar di desanya, Kabilia dan kemudian melanjutkan sekolah menengahnya di kota pelabuhan Oran, Aljazâir bagian Barat. Setelah itu dia melanjutkan ke Universitas Aljir (1950-1954) dengan jurusan bahasa dan sastra Arab, lalu melanjutkan pendidikannya di Paris saat perang pembebasan Aljazâir dari pemerintah kolonial Perancis (1954-1962) dengan jurusan yang sama dengan sebelumnya. Selanjutnya Arkoun menyelesaikan program doktoralnya bidang Sastra pada 1969 di Universitas Sorbonne, Paris. Pada 1961-1969 Arkoun menjadi dosen pada Universitas Sorbonne tersebut. Pada 1970-1972 ia mengajar di Universitas Lyon, lalu kembali ke Paris sebagai guru besar Sejarah Pemikiran Islam dan pada 1993 ia diangkat menjadi guru besar tamu di Universitas (Kotapraja) Amsterdam. Arkoun hidup dalam tiga dunia: Arab, Islam dan Eropa, ia juga menghindari hubungan erat dengan Orientalisme, tetapi ia juga menghindari regim-regim nasionalistik yang memaksakan politik dan agama ortodoks serta membatasi kebebasan berfikir. Di samping itu, Arkoun juga menghadapi dua serangan, yaitu melawan mitologisasi dan ideologisasi Islam, lihat Suadi Putro, Mohammed Arkoun tentang Islam & Modernitas (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 11, 15, 17, lihat juga Robert D. Lee dalam Mohammed Arkoun, Rethinking Islam. Penerjemah Yudian W. Asmin dan Lathiful Khuluq (Yogyakarta: LPMI, 1996), h. x-xi, xxiv. 40 Mohammed Arkoun, Rethinking Islam. Penerjemah Yudian W. Asmin dan Lathiful Khuluq (Yogyakarta: LPMI, 1996), h. 58.
71
dengan metode hermeneutika karna dapat memperkaya kapasitas makna teks.41 Berkaitan dengan hal tersebut, Abû Zaid menjelaskan tentang makkî dan madanî dalam kajian al-Qur‟an yang merupakan perbedaan antara dua fase penting dalam membentuk teks. Hal tersebut merupakan hasil dari interaksinya dengan realitas yang dinamishistoris.42 Oleh karena itu, dengan memperhatikan konsep makkî dan madanî terlihat bahwa teks al-Qur‟an fase Madinah berbeda dengan teks fase Mekah dari segi kandungan dan gaya bahasanya.43 Lebih lanjut Abû Zaid menuturkan bahwa konsep asbâb alnuzûl memberitahukan kita turunnya teks sebagai respon atas realitas dan menegaskan hubungan “dialogis” dan “dialektik” antara teks dengan realitas. Di samping itu, diturunkannya wahyu secara berangsung-angsur (tidak sekaligus) selama lebih dari dua puluh tahun menjadi bukti bahwa al-Qur‟an hadir dalam rangka merespon realitas yang terjadi pada masa itu. Seorang mufassir harus memahami realitas-realitas yang memproduksi teks al-Qur‟an tersebut (asbâb alnuzûl) untuk memahami makna teks al-Qur‟an tersebut.44 Al-Qur‟an diturunkan secara bertahap juga untuk pemantapan hati Nabi 41
Abdullah, “Kesejarahan al-Qur‟an dan Hermeneutika”, h. 75. Moralitas bersifat normatif sekaligus kontekstual, ketika konteksnya berubah, mungkin saja tidak tepat memperaktekkan moralitas dalam bentuknya yang lama, tetapi mungkin dengan bentuk moralitas yang baru dengan tidak mengorbankan kandungan normatifnya, lihat Ahmad Baidowi, “Hermeneutika al-Qur‟an Asghar Ali-Engineer” al-Jami‟ah: Journal of Islamic Studies, vol. 41, No. 2, 2003, h. 386. 42 Abû Zaid, Mafhûm al-Nass, h. 85. 43 Abû Zaid, Tekstualitas al-Qur‟an, h. 8. 44 Abû Zaid, Mafhûm al-Nass, h. 109.
72
Muhammad Saw. sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS. alFurqân [25]: 32
ُ ْ ِٗ ْاٌمُش١ْ ٍَْ ََل ُٔ ِّض َي َعٌَٛ اَُٚٓ َوفَش٠لَب َي اٌَّ ِزَٚ َ ه ٌُِٕضَج ِٗ ِِّذ ث َ ٌِاد َذحً َو َٰ َز ِ َٚ ًآْ ُج ٍَّْخ ً َسرَّ ٍَْٕبُٖ رَشْ ِرَٚ فُ َئادَن ا١ “Dan, orang-orang yang kafir itu berkata: Mengapa alQur‟an tidak diturunkan kepadanya sekaligus. Demikianlah, agar Kami memperteguh hatimu (Muhammad) dengannya dan Kami membacakannya secara tartîl (berangsur-angsur, perlahan dan benar).”45 Berdasarkan ayat ini Abû Zaid menengaskan bahwa kondisi penerima pertama teks juga dipertimbangkan, karena proses komunikasi yang amat sulit bagi Nabi Muhammad Saw. Komunikasi yang amat sulit bagi Nabi Muhammad Saw. disebabkan karena beliau adalah seorang ummi, tidak dapat baca tulis walaupun makna ummi di sini para ulama berbeda dalam memahaminya. Di samping itu, turunnya al-Qur‟an secara bertahap dalam rangka menyesuaikan dengan budaya yang berjalan pada waktu, yaitu budaya lisan, maka tidak masuk akal apabila al-Qur‟an yang terdiri atas tiga puluh juz tersebut diturunkan sekaligus.46 Al-Qur‟an merupakan mukjizat terbesar Nabi Muhammad Saw. yang berbeda dengan mukjizat nabi-nabi yang lain. Dari sini terlihat bahwa terdapat dialog antara teks dan kebudayaan. Oleh karena itu, mukjizat Nabi Isa as. adalah menyembuhkan penyakit dan menghidupkan orang yang telah meninggal dunia, karena kebudaan 45 46
Al-Qur‟an dan terjemahannya, h. 362. Abû Zaid, Tekstualitas al-Qur‟an, h. 116-117.
73
yang menonjol pada waktu itu adalah tentang kausalitas. Kaum Nabi Musa as. memiliki keunggulan dalam bidang sihir, maka mukjizat Nabi Musa as. mengalahkan sihir-sihir tersebut tentunya dengan sesuatu yang “mirip” sihir tersebut, dan begitu pula bangsa Arab yang memiliki keunggulan dalam bidang puisi dan syair, maka mukjizat yang diberikan kepada Nabi Muhammad berupa teks (al-Qur‟an) yang susunan kata-katanya sangat indah dan mampu mengalahkan syairsyair pada masa itu.47 Oleh karenanya, al-Qur‟an menantang manusia untuk membuat semisal dengan al-Qur‟an tersebut. Firman Allah Swt. dalam QS. Hûd [11]: 13
ِٓ َِ ْ اٛا ْد ُعَٚ د ٍ َب٠ ٍس ِِ ْضٍِ ِٗ ُِ ْفزَ َشَٛ ا ثِ َع ْؾ ِش ُعَُْٛ ا ْفزَ َشاُٖ لًُْ فَؤْرٌَُُٛٛم٠ َْ َأ َّ ِْ ٚا ْعزَطَ ْعزُ ُْ ِِّ ْٓ ُد َٓ١ِلب ِدل َ ُْ َُّللاِ اِ ْْ ُو ْٕز “Bahkan mereka mengatakan, “Dia (Muhammad) telah membuat-buat al-Qur‟an itu”, Katakanlah , “(Kalau demikian), datangkanlah sepuluh surat semisal dengannya (alQur‟an) yang dibuat-buat, dan ajaklah siapa saja di antara kamu sanggup selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”.48 Bahkan dalam QS. al-Baqarah [2]: 23 disebutkan:
ِٗ ٍِ َس ٍح ِِ ْٓ ِِ ْضُٛا ثِغُٛ َع ْج ِذَٔب فَؤْرٍَٝت ِِ َّّب َٔ َّض ٌَْٕب َع ٍ ٠ْ َسِٟاِ ْْ ُو ْٕزُ ُْ فَٚ َٓ١ِلب ِدل َ ُْ َُّللا اِ ْْ ُو ْٕز ِ َّ ِْ َٚذَا َء ُو ُْ ِِ ْٓ ُدٙا ُؽٛا ْد ُعَٚ “Dan jika kamu meragukan (al-Qur‟an) yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surat semisal dengannya dan ajaklah penolong47
Abû Zaid menambahkan bahwa i‟jaz dalam al-Qur‟an, pertama terletak pada perbedaannnya dengan teks-teks lain dalam genre, karena ia tidak termasuk tipe prosa, puisi sajak, dan lain sebagainya. Kedua, terletak pada pola susunan dan penyusunanya, di mana tidak ditemukan perbedaan taraf susunan dan penyusunannya meskipun panjang dan bervariasi temanya. Abû Zaid, Tekstualitas al-Qur‟an, h. 170, 171, 185, 186. 48 Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 223.
74
penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”.49 Begitu juga yang terdapat pada QS. al-Tûr [52]: 33-34
ْْ ِش ِِ ْضٍِ ِٗ ا ٍ ٠ْ ْ ا ثِ َذ ِذَُٛؤْر١ٍْ َ) ف33( َْ ُِِْٕٛ ُْئ٠ ٌَُٗ ثًَْ ََّلَّٛ ََْ رَمٌَُُٛٛم٠ َْ َأ )33( َٓ١ِلب ِدل َ اَُٛٔوب “Ataukah mereka berkata, “Dia (Muhammad) merekarekanya. “Tidak! Merekalah yang tidak beriman. Maka cobalh mereka membuat semisal dengannya (al-Qur‟an) jika mereka orang-orang yang benar”.50 Oleh sebab itu Allah Swt. menegaskan dalam QS. al-Isrâ‟ [17]: 88
ِْ ا ثِ ِّ ْض ًِ ََٰ٘ َزا ْاٌمُشْ آَُٛؤْر٠ ْْ َ أَٰٝ ٍَ ْاٌ ِج ُّٓ َعَٚ ُاْل ْٔظ ِ لًُْ ٌَئِ ِٓ اجْ زَ َّ َع ِْ ذ َ ْط شًا١ِٙ ظ ُ ْ َوبَْ َث ْعٌََٛٚ ِٗ ٍَِْ ِث ِّ ْضَُٛؤْر٠ ََل ٍ ُ ُْ ٌِ َجعٙع “Katakanlah, “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa dengan al-Qur‟an ini, mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun mereka menjadi saling membantu satu sama lain”51 Demikian pula dalam QS. al-Baqarah [2]: 24
ُ ْاٌ ِذ َجب َسحَٚ ُ ُدَ٘ب إٌَّبطُٛلَٚ ِٟا إٌَّب َس اٌَّزُٛا فَبرَّمٌٍَُٛ ْٓ رَ ْف َعَٚ اٍُٛفَب ِ ْْ ٌَ ُْ رَ ْف َع ْ أ ُ ِع َّذ َٓ٠د ٌِ ٍْ َىبفِ ِش “Jika kamu tidak dapat membuatnya, dan (pasti) tidak akan mampu, kamu takutlah kamu akan api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir”.52
49
Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 4. Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 525. 51 Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 291. 52 Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 4. 50
75
3. Teori Interpretasi
Sebelumnya Penulis telah memaparkan bagaimana pemikiran Abû Zaid mengenai al-Qur‟an. Selanjutnya Penulis akan memaparkan bagaimana teori interpretasi Abû Zaid terhadap al-Qur‟an. a. Takwil
Dalam memahami makna sebuah teks, Abû Zaid terlebih dahulu membedakan antara empat hal, yaitu pola gradasi dari yang distingsi ke ambigu. Teks yang paling jelas disebut dengan nass, karena tidak mengandung kemungkinan makna kecuali satu dan lawan dari nass adalah mujmal yaitu dua makna yang memiliki kemungkinan sama dan sulit di-tarjîh. Kemudian terdapat pula istilah zâhir yang lebih dekat dengan nass, karena makna yang diunggulkan adalah makna yang dekat, sedangkan mu‟awwal lebih dekat dengan mujmal, karena makna yang diunggulkan adalah makna yang jauh. Dari deretan ini, maka muhkam terletak di antara nass dan zâhir, sementara mutasyâbih terletak di antara mu‟awwal dan mujmal. Walaupun demikian, bagi Abû Zaid hubungan antara yang tersurat dengan makna, tidak terbatas hanya pada klasifikasi empat poros tersebut.53 Penerimaan
bahwa
peradaban
Arab-Islam
adalah
peradaban teks, maka bagi Abû Zaid peradaban Arab-Islam berarti juga peradaban takwil, karena takwil adalah sisi lain dari teks itu
53
Abû Zaid, Mafhûm al-Nass, h. 203.
76
sendiri. Abû Zaid mengkritik aliran tradisional yang meremehkan takwil demi mempertahankan tafsir. Pemikiran seperti ini menurut Abû Zaid sejalan dengan pernyataan bahwa semua gerakan oposisi menentang kebijakan pemerintah disebut sebagai gerakan yang membuat kekacauan. Padahal, tidak setiap gerakan oposisi yang membuat kekacauan, tetapi banyak juga memberikan masukan yang membangun bagi pemerintah. Oleh sebab itu, penakwilan di luar pemikiran resmi disebut dengan penakwilan yang keliru atau paling tinggi disebut dengan tafsir bi al-ra‟yi al-madzmûm (tafsir dengan akal yang tercela), sedangkan penakwilan dari pemikiran resmi disebut dengan tafsir. Di samping itu, menurut Abû Zaid terdapat dua aliran pemikiran oposisi yang dianggap musuh, yaitu Muktazilah dan Tasawwuf. Aliran Muktazilah dianggap salah dalam menakwilkan al-Qur‟an dalam dua hal, yaitu dalîl dan madlûl, sedangkan kelompok sufi dianggap salah dalam dalîl bukan madlûl.54 Oleh sebab itu, Abû Zaid menuturkan bahwa mengangkat kedudukan tafsir dengan mengorbankan takwil adalah kekeliruan kelompok Ahlussunnah.55
54
Lebih lanjut Abû Zaid menjelaskan bahwa kelompok Ahlussunnah melihat kesalahan Muktazilah pada makna-makna yang mereka pegangi dalam mengartikan katakata al-Qur‟an, sehingga kesalahan mereka berasal dari kekeliruan makna dan dalam mengartikan kata-kata al-Qur‟an dengan makna-makna tersebut. Adapun kesalahan kelompok sufi berasal dari kata-kata al-Qur‟an yang diartikan dengan berbagai makna yang sebenarnya benar, namun kata-kata tersebut tidak mengacu kepada makna-makna tersebut, lihat Abû Zaid, Tekstualitas al-Qur‟an, h. 276, 277, 279. 55 Abû Zaid, Mafhûm al-Nass, h. 252.
77
Di dalam al-Qur‟an, kata takwil lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan kata tafsir. Kata takwil ditemukan sebanyak 17 kali, sedangkan tafsir hanya sekali saja. Hal ini menunjukkan bahwa pemakaian kata takwil lebih populer dibandingkan dengan kata tafsir, dan hal ini mungkin dikarenakan konsep takwil telah dikenal dalam kebudayaan pra-Islam.56 Arti kata takwil adalah kembali kepada asal usul sesuatu; apakah itu berbentuk perbuatan ataukah cerita. Hal tersebut bertujuan untuk mengungkapkan makna dan signifikansinya. Di samping itu, kata takwil juga berarti sampai pada tujuan, atau memperbaiki dan menata sesuatu agar sampai pada maksud dan tujuan akhirnya (akibat). Firman Allah Swt. dalam QS. al-Isrâ‟ [17]: 35.
ُٓ أَدْ َغَّٚ ٌش١ْ ه َخ َ ٌِ ُ َٰ َر١ِ بط ْاٌ ُّ ْغزَ ِم ِ َا ثِ ْبٌمِ ْغطُٛٔ ِصَٚ ُْ ُ ًَ اِ َرا ِو ٍْز١ْ ا ْاٌ َىُْٛ فَٚأَٚ ً ِٚ ْرَؤ ا٠ “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan timbangan yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”57 Dalam melihat perbedaan antara tafsir dan takwil, Abû Zaid mengungkapkan bahwa takwil berkaitan dengan istinbât, sedangkan tafsir pada umumnya lebih banyak berkaitan dengan naql dan riwayat. Di antara problem takwil adalah peran pembaca dalam menghadapi teks dan dalam menemukan maknanya, maka seorang mu‟awwil harus mengetahui tentang tafsir beserta ilmu56 57
Abû Zaid, Tekstualitas al-Qur‟an, h. 285. Al-Qur‟an dan terjemahannya, h. 285.
78
ilmunya sehingga penakwilan yang ia lakukan tidak menundukkan teks pada kepentingan subjektif dan menjadikan takwilnya terlarang.58 Lebih lanjut Abû Zaid menuturkan bahwa takwil yang tidak didasarkan pada tafsir maka takwil tersebut ditolak atau tidak diterima, sebab istinbât mesti berdasarkan fakta-fakta teks di satu sisi, dan data-data bahasa di sisi lain. Oleh sebab itu, peralihan dari makna kepada signifikansi tidak menjadi masalah apabila telah melewati proses itu.59 Terdapat hubungan yang erat dan kesamaan antara ijtihâd dan takwil, karena antara takwil dan ijtihâd sama-sama didasarkan pada gerak nalar untuk menembus ke kedalaman teks tersebut. Oleh karena itu, Abû Zaid mengkritik ulama tradisional yang membedakan
antara
keduanya,
dimana
mereka
lebih
mengedepankan konsep ijtihâd dibandingkan dengan takwil. Penerimaan ulama tradisional mengenai kebebasan perbedaan pendapat yang terjadi dalam wilayah fiqh yang menerima berbagai ijtihâd, maka seharusnya demikian pula penakwilan terhadap teks.60 Berdasarkan hal tersebut di atas, Abû Zaid menawarkan kepada mu‟awwil untuk mengikuti apa yang telah dilakukan oleh fuqahâ‟ yang menyadari perubahan dan gerak realitas dalam ruang dan waktu, begitu juga memperluas makna-makna teks agar sejalan 58
Abû Zaid, Mafhûm al-Nass, h. 264-265. Abû Zaid, Mafhûm al-Nass, h. 266. 60 Abû Zaid, Tekstualitas al-Qur‟an, h. 300-301. 59
79
dengan realitas itu sendiri melalui konsep ijtihâd dan qiyâs dan mempertimbangkan kemaslahatan.61 Abû Zaid melihat bahwa pada era sekarang, pemikiran keagamaan tunduk kepada penguasa, sehingga keputusan akan suatu hal mesti sejalan dengan keinginan penguasa, maka menurutnya sudah menjadi keharusan untuk meninjau kembali konsep ijma‟. Oleh sebab itu, semestinya yang didahulukan
adalah
kepentingan
mayoritas
umat,
bukan
kepentingan segolongan penguasa dengan memperhatikan realitas di samping aspek bahasa tentunya.62 Melalui teori hermeneutikanya, Abû Zaid membedakan antara istilah takwil dan talwin. Takwil adalah pemaknaan terhadap teks yang didasarkan pada prinsip-prinsip obyektifitas dari sebuah teks, sedangkan talwîn adalah pemaknaan terhadap teks yang didasarkan
pada
subyektifitas
(ideologisasi).
Abû
Zaid
menyebutkan bahwa penakwilan terhadap teks mesti berangkat dari dua hal yang saling terkait, pertama, dari sudut sejarah dalam pengertian
epistemologis
untuk
menempatkan
teks
dalam
konteksnya, begitu juga dengan konteks linguistik. Kedua, dari sudut konteks sosiologis-budaya
saat ini yang berguna untuk
membedakan antara makna asli dengan signifikansi (maghzâ).63
61
Abû Zaid, Mafhûm al-Nass, h. 271-272. Abû Zaid, Mafhûm al-Nass, h. 272-273. 63 Nasr Hȃmid Abû Zaid, Naqd al-Khitȃb al-Dînî, (Mesir: Sina li.al-Nasr, 1994) h. 62
142-143.
80
b. Makna dan Maghzâ Dalam melihat hubungan antara teks agama (al-Qur‟an) dengan struktur budaya, Abû Zaid berpendapat bahwa teks agama tersebut tidak terpisah dari struktur budaya tempat ia terbentuk. Dengan demikian, maka al-Qur‟an tidak terpisah dari budaya masyarakat pada waktu itu. Dengan keyakinan seperti itu, maka alQur‟an tidak mengesampingkan status sebagai teks linguistik dan teks yang terkait dengan ruang dan waktu (historis dan sosiologis).64 Abû Zaid melihat bahwa terdapat kekeliruan yang terjadi pada sikap Ahlussunnah, karena mereka mengaitkan “makna” teks dan signifikansinya dengan masa keemasan, kenabian, risalah, dan masa turunnya wahyu atau dengan istilah lain “terlalu terlena dengan kejayaan masa silam” sehingga sebuah teks dimaknai sebagaimana saat masa kejayaan dahulu tersebut. Dengan sikap seperti ini, maka bagi Abû Zaid hal ini menegaskan temporalitas wahyu bukan hanya dari sisi terbentuknya teks, tetapi juga makna dan signifikansinya. Di samping itu, Ahlussunnah juga telah mendukung keterbelakangan, anti kemajuan, dan progresivitas.65 Perbedaan zaman, waktu, dan budaya menjadi alasan untuk mengkaji signifikansi dari sebuah hukum dan sebagainya.
64 65
Abû Zaid, Teks Otoritas Kebenaran, h. 112-113. Abû Zaid, Mafhûm al-Nass, h. 252.
81
Oleh sebab itu, Abû Zaid membedakan antara makna dan signifikansi (maghzâ) dalam menafsirkan teks dan keduanya saling berkaitan.
Maghzâ
tidak
terlepas
dari
pengaruh
makna,
sebagaimana maghzâ juga berorientasi pada dimensi makna. Namun, bagi Abû Zaid maghzâ tidaklah bersifat final, tetapi bisa diubah, ditolak sesuai hasil pembacaan dari pembacanya. Hal tersebut agar pembacaan terhadap teks selalu produktif sesuai dengan perkembangan zaman.66 Berkaitan dengan makna dan maghzâ ini, Abû Zaid menjabarkan tiga level makna dalam teks-teks agama, pertama adalah level makna yang hanya merupakan bukti-bukti historis yang tidak bisa diinterpretasi secara metaforis, kedua level makna yang dapat diinterpretasi secara metaforis, dan ketiga level makna yang dapat diperluas berdasarkan maghzâ-nya.67 Menemukan maghzâ dari sebuah hukum tidak dapat dilepaskan dari asbâb al-nuzûl dari ayat-ayat al-Qur‟an itu sendiri. Memahami asbâb al-nuzûl dari ayat-ayat al-Qur‟an adalah sebuah keharusan bagi mufassir, karena mengetahuinya bukan sekedar bukti sejarah begitu saja, tetapi lebih dari itu yaitu pengetahuan tentang sebab akan melahirkan pengetahuan tentang akibat, dari sinilah menurut Abû Zaid akan muncullah hikmah tasyrî‟ (mengapa aturan itu diturunkan), dan melalui hikmah ini para 66 67
Abû Zaid, Kritik Wacana al-Qur‟an, h. 122-124. Abû Zaid, Naqd al-Khitȃb al-Dînî, h. 210.
82
ulama mentransformasikan suatu hukum bagi suatu peristiwa kepada peristiwa lainnya dengan menggunakan qiyâs dalam usûl al-fiqh.68 Demikian pula dari sini pula mampu menemukan maghzâ dari hukum tersebut. Lebih lanjut Abû Zaid memberikan contoh bagaimana „Umar bin Khattâb memahami hikmah tasyrî‟, misalnya mengenai pemberian zakat bagi muallaf. „Umar memahami pemberian zakat kepada muallaf bukan dari struktur teks tersebut, tetapi dari konteks umum teks, maka menurutnya seorang muallaf diberikan zakat agar memperkuat posisi Islam yang saat itu masih lemah, tetapi setelah posisi Islam telah kuat dan telah luas penyebarannya, maka hikmah tersebut tidak ditemukan lagi. Contoh lainnya adalah sikap Umar yang tidak memberikan “hukuman” kepada dua budak yang mencuri harta tuannya karena kelaparan.69 Jika dilihat lebih lanjut, hubungan antara teks (al-Qur‟an) dan realitas juga terlihat dalam pentahapan syari‟at, misalnya dalam pengharaman khamr diturukan secara bertahap melalui tiga fase:70 Pertama, al-Qur‟an pada tahap awal tidak secara langsung mengharamkan khamr yang telah menjadi tradisi masyarakat pada saat itu, tetapi hanya memberikan pengetahuan bahwa khamr tersebut memiliki kemudaratan yang lebih besar daripada manfaatnya. Firman Allah dalam QS. al-Baqarah [2]: 219 68
Abû Zaid, Mafhûm al-Nass, h. 115-116. Abû Zaid, Mafhûm al-Nass, h. 117. 70 Abû Zaid, Mafhûm al-Nass, h. 117-119. 69
83
بط َ ٌَََُٔٛغْؤ٠ ِ ٌٍَِّٕ ََِٕبفِ ُعَٚ ٌش١ َّب اِ ْص ٌُ َو ِجِٙ ١ِ ِغ ِشلًُْ ف١ْ َّ ٌ ْاَٚ ه ع َِٓ ْاٌ َخ ّْ ِش ه َ ٌِ َو َٰ َزَٛ َْ لُ ًِ ْاٌ َع ْفُُٛ ْٕفِم٠ َٔهَ َِب َراٌََُٛغْؤ٠َٚ َّبِٙ ُ َّب أَ ْوجَ ُش ِِ ْٓ َٔ ْف ِعُّٙ اِ ْصَٚ َّ ُِّٓ ١ُ َج٠ َُْٚد ٌَ َعٍَّ ُى ُْ رَزَفَ َّىش ِ َب٠٢َّللاُ ٌَ ُى ُُ ْا “Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamr dan judi. Katakanlah “Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya.” Dan mereka menanyakan kepadamu (tentang0 apa yang (harus) mereka infakkan. Katakanlah “Kelebihan (dari apa yang diperlukan).” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu memikirkan.”71 Kedua, pada tahap ini al-Qur‟an melarang sesorang menjalankan ibadah shalat dalam keadaan mabuk, karena pada saat itu terdapat sahabat yang melaksanakan shalat dalam keadaan mabuk dan salah dalam membaca ayat al-Qur‟an, firman Allah dalam QS. al-Nisâ [4]: 43
اُّٛ ٍَ رَ ْعَّٝ َدزٜأَ ْٔزُ ُْ ُع َىب َسَٚ َا اٌص ََّاحُٛا ََل رَ ْم َشثَُِٕٛ ََٓ آ٠َب اٌَّ ِزُّٙ٠ََب أ٠ ُْ ُاِ ْْ ُو ْٕزَٚ اٍُٛ رَ ْازَ ِغًَّٝ َدز١ ٍ ِ َعجٞ ََل ُجُٕجًب اِ ََّل عَبثِ ِشَٚ ٌََُُِْٛٛب رَم ُُ ُْ ََل َِ ْغزَْٚ َجب َء أَ َد ٌذ ِِ ْٕ ُى ُْ َِِٓ ْاٌ َابئِ ِػ أَٚ َعفَ ٍش أٍَْٝ َعَٚ أٝظ َ َِْش ُْ ِ٘ ُىُٛجُٛ ِا ثُٛجًب فَب ِْ َغذ١ِّ َذًا غ١ل ِع َ اُّٛ َّّ ١َ َا َِب ًء فَزٚإٌِّ َغب َء فٍََ ُْ رَ ِج ُذ َّ َّْ ِ ُى ُْ ا٠ ِذ٠ْ َأَٚ ًساُٛا َيفًّٛ َُّللاَ َوبَْ َعف “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati shalat, ketika kamu dalam keadaaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan, dan jangan pula (kamu hampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub kecuali sekedar melewati untuk jalan saja, sebelum kamu mandi (mandi junub). Adapun jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau sehabis buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapa air, maka bertayamumlah kamu dengan yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu 71
Al-Qur‟an dan terjemahannya, h. 34.
84
denfan (debu) itu. Sungguh Allah Maha Pemaaf, Maha Pengampun.”72 Selanjutnya
pada
tahap
ketigalah
al-Qur‟an
baru
menegaskan pengharaman khamr tersebut, dengan menyatakan agar menjauhi khamr tersebut karena merupakan perbuatan setan. Firman Allah Swt dalam QS. al-Mâidah [5]: 90-91
َ ْ َٚ ِغ ُش١ْ َّ ٌ ْاَٚ ا أَِّ َّب ْاٌ َخ ّْ ُشٰٛٓ َُِٕ َٓ َءا٠َب اٌَّ ِزُّٙ٠َٰٓؤ٠َٰ ٌ ْاََ ْص ٌَٰ ُُ ِسجْ ظَٚ ُصبة َ َٔا ُٓ َْٰط١ ُذ اٌ َّؾ٠ ُِش٠ ) أَِّ َّب١ٓ( َُُْٖٛ ٌَ َعٍَّ ُى ُْ رُ ْفٍِذُٛ َْٰط ِٓ فَبجْ زَ ِٕج١ِِّ ْٓ َع َّ ًِ اٌ َّؾ ُْ ص َّذ ُو ُ َ٠َٚ ِغ ِش١ْ َّ ٌ ْاَٚ ْاٌ َخ ّْ ِشِٝعبٰٓ َء ف َ ْاٌ َج ْاَٚ َحَٚ َٕ ُى ُُ ْاٌ َع َٰذ١ْ َلِ َع ثُٛ٠ َْأ َٰ عَٓ ر ْوش َّ ٌع َِٓ اَٚ ِٗ اٌٍّـ )١ٔ( ًَََُْْٛٙ أَٔزُُ ُِّٕزَٙ ِح فَٰٛ ٍَص ِ ِ “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatanperbuatan) itu agar kamu beruntung. Dengan miuman keras dan judi itu, setan hanyalah bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu, dan menghalang-halangi kamu dari mengingat Allah dan melaksanakan shalat, maka tidakkah kamu mau berhenti?”73 Berdasarkan hal di atas, makna sebuah teks bagi Abû Zaid adalah hasil interaksi dalam proses pembentukan teks oleh aspek bahasa dan realitas. Abû Zaid juga menjelaskan bahwa tidak mungkin melihat teks secara umum sedangkan ia turun karena kejadian yang khusus, di sinilah baginya fungsi asbâb al-nuzûl dalam memahami ayat-ayat al-Qur‟an.74
72
Al-Qur‟an dan terjemahannya, h. 85. Al-Qur‟an dan terjemahannya, h. 123. 74 Abû Zaid, Mafhûm al-Nass, h. 117-122. 73
85
Di samping asbâb al-nuzûl, konsep naskh dalam studi alQur‟an menurut Abû Zaid adalah bukti yang akurat adanya dialektika hubungan antara wahyu dan realitas. Pernyataan ini tidak mengada-ada karena dengan adanya naskh berarti berlakunya pembatalan hukum, baik teksnya masih tetap ada, maupun teksnya dihapus juga berbarengan dihapus hukumnya.75 Di dalam al-Qur‟an terdapat ayat-ayat yang menjelaskan konsep naskh tersebut, yaitu pertama firman Allah Swt. dalam QS. al-Nahl [16]: 98-103
َّ ِد ْاٌمُشْ آَْ فَب ْعزَ ِع ْز ث َ فَب ِ َرا لَ َش ْأ ُ١ِ َْٰط ِٓ اٌ َّش ِج١بَّللِ َِِٓ اٌ َّؾ ﴾ أَِّ َّب١١﴿ ٍَُْٛ َّوَٛ َز٠َ ُْ ِٙ َس ِّثَٰٝ ٍَ َعَٚ إَُِٛ َٓ َءا٠ اٌَّ ِزٌٍََٝ ۥُٗ ع ٍُْ َٰط ٌٓ َع اِ َراَٚ ﴾ٔٓٓ﴿ ََْٛٓ ُُ٘ ثِ ِٗ ُِ ْؾ ِش ُو٠اٌَّ ِزَٚ ُْ َٔٗۥٌََّٛٛ َز٠َ َٓ٠ اٌَّ ِزٍَٝع ٍُْ َٰطُٕ ۥُٗ َع َّ َٚ َ ٍخ٠َخً َِّ َىبَْ َءا٠ثَ َّذ ٌَْٕبٰٓ َءا َ َا أَِّ َّبٰٓ أٰٛٓ ٌَُُٕ ِّض ُي لَب٠ َّللاُ أَ ْعٍَ ُُ ثِ َّب ًْٔذ ُِ ْفزَ ٍش َث
ْظ َ ١ٌَ ُٗأَِّ ۥ
﴾١١﴿
ِّ ط ِِٓ َّسثِّهَ ثِ ْبٌ َذ ك ِ ُح ْاٌمُ ُذَُْٚ ﴿ٔٓٔ﴾ لًُْ َٔ َّضٌَٗۥُ سُّٛ ٍََ ْع٠ أَ ْوضَ ُشُ٘ ُْ ََل َ ُضَج١ٌِ ُُ ٌٍََمَ ْذ َٔ ْعَٚ ﴾ٕٔٓ﴿ َٓ١ِّ ٍِ ٌِ ٍْ ُّ ْغَٰٜ ثُ ْؾ َشَٚ ًُٜ٘ذَٚ إَُِٛ َٓ َءا٠ِّذ اٌَّ ِز ُ ُ َعٍِّ ُّ ۥُٗ ثَ َؾ ٌشٌِّ َغ٠ َْ أَِّ َّبٌَُُٛٛم٠ ُْ ََُّٙٔأ َٰ٘ َزاَٚ ٌّٝ ِّ ِٗ أَ ْع َج١ْ ٌََِْ اٚ ٍُْ ِذ ُذ٠ ٜبْ اٌَّ ِز ﴾ٖٔٓ﴿
ٌ ُِّ ِجٌّٝ ِبْ َع َشث ٌ ٌِ َغ ٓ١
“Maka, apabila engkau (Muhammad) hendak membaca al-Qur‟an, mohonlah perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. Sungguh setan itu tidak akan berpengaruh terhadap orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhan. Pengaruhnya hanyalah terhadap orang yang menjadikannya pemimpin dan terhadap orang yang mempersekutukannya dengan Allah. Dan apabila Kami mengganti suatu ayat dengan ayat yang lain, dan Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) hanya mengada-ada saja.” Sebenarnya 75
Abû Zaid, Tekstualitas al-Qur‟an, h. 141.
86
kebanyakan mereka tidak mengetahui. Katakanlah, “Rohulkudus (Jibril) menurunkan al-Qur‟an itu dari Tuhanmu dengan kebenaran, untuk meneguhkan (hati) orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang yang berserah diri (kepada Allah).” Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata, “Sesungguhnya al-Qur‟an itu hanya diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad).” Bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa Muhammad belajar) kepadanya adalah bahasa „Ajam, padahal ini (al-Qur‟an) adalah dalam bahasa Arab yang jelas.”76 Kedua, dalam QS. al-Baqarah [2]: 105-108
َُٕ َّض َي٠ ْْ ََٓ أ١ ََل ْاٌ ُّ ْؾ ِش ِوَٚ ة ِ ا ِِ ْٓ أَ ْ٘ ًِ ْاٌ ِىزَبَُٚٓ َوفَش٠ ُّد اٌَّ ِزَٛ ٠َ َِب َّ َٚ َ َؾب ُء٠ ْٓ َِ ِٗ َِ ْخزَصُّ ثِ َشدْ َّز٠ َُّللا َّ َٚ ُْ ٍْش ِِ ْٓ َسثِّ ُى١ ُى ُْ ِِ ْٓ َخ١ْ ٍََع َُّللا ٍْش١د ِث َخ ِ َْب َٔؤْٙ ُٔ ْٕ ِغََٚ ٍخ أ٠ٓٔ﴾ َِب َٔ ْٕ َغ ْخ ِِ ْٓ آ٥﴿ ُ١ِ ْاٌفَعْ ًِ ْاٌ َع ِظُٚر َّ َّْ ََب أٌََ ُْ رَ ْعٍَ ُْ أٍِْٙ ِِ ْضََٚب إْٔٙ ِِ ُْ ٌََٓٔ﴾ أ٦ ﴿ ٌش٠ ٍء لَ ِذْٟ ُو ًِّ َؽَٰٝ ٍََّللاَ َع َّ ِْ ٚ َِب ٌَ ُى ُْ ِِ ْٓ ُدَٚ ض َّ َّْ َرَ ْعٍَ ُْ أ ُ ٍْ ُِ ٌَُٗ ََّللا َِّللا ِ اَٚ ه اٌ َّغ َّب ِ ْ ْاََسَٚ د ٌَ ُى ُْ َو َّبُٛا َسعٌََُْٛ أَ ْْ رَغْؤٚ ُذ٠ٓٔ﴾ أَ َْ رُ ِش١﴿ ش١ ِ َٔ ََلَٚ ٍّٟ ٌَِٚ ْٓ ِِ ٍ ص ا َءَٛ ظ ًَّ َع َ َّب ِْ فَمَ ْذ٠بْل ِ ْ َِزَجَ َّذ ِي ْاٌ ُى ْف َش ث٠ ْٓ َِ َٚ ًُ ِِ ْٓ لَ ْجَٰٝ َعُِٛ ًَ ُِعئ ﴾ٔٓ١﴿
ً١ ِ ِاٌ َّغج
“ Orang-orang yang kafir dari ahli kitab dan orangorang musyrik tidak menginginkan diturunkannya kepadamu suatu kebaikan dari Tuhanmu. Tetapi secara khusus Allah memberikan rahmat-Nya kepada orang yang Dia kehendaki. Dan Allah pemilik karunia yang besar. Ayat yang kami batalkan atau Kami hilangkan dari ingatan, pasti Kami ganti dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu tahu bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu? Tidakkah kamu tahu bahwa Allah memilikikerajaan langit dan bumi? Dan tidak ada bagimu pelindung dan penolong selain Allah. Ataukah kamu hendak meminta kepada Rasulmu (Muhammad) seperti halnya Musa (pernah) diminta (Bani Israil) dahulu? Barang siapa mengganti iman dengan kekafiran, maka sungguh dia telah tersesat dari jalan yang lurus.”77 76 77
Al-Qur‟an dan terjemahannya, h. 278-279. Al-Qur‟an dan terjemahannya, h. 16-17.
87
Dengan demikian, maghzâ bagi Abû Zaid bukanlah tujuan-tujuan umum, tetapi ia adalah hasil pengukuran gerak yang ditimbulkan oleh teks dalam struktur bahasa, kebudayaan dan realitas. Oleh sebab itu, maghzâ selalu bergerak karena persentuhannya dengan realitas,78 karena realitas selalu berubah sesuai dengan perubahan zaman. Adanya asbâb al-nuzûl dan naskh dalam kajian al-Qur‟an, bagi Abû Zaid sudah menjadi bukti yang valid bahwa realitas menjadi dasar timbulnya hukum. 4. Aplikasi Hermeneutika Nasr Hâmid Abû Zaid Dari beberapa contoh aplikasi hermeneutika Abû Zaid, Penulis hanya membahas dua contoh saja, yaitu pembagian harta warisan, dan makna jin syaitân, sihir, dan hasad. a. Pembagian Harta Warisan Pembahasan mengenai pembagian harta warisan untuk perempuan selalu menarik untuk dikaji, karena di satu sisi teks alQur‟an secara jelas memaparkan perbedaan bagian bagi laki-laki dan perempuan, dan di sisi lain hal ini dianggap bertentangan dengan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam memperoleh warisan keluarganya. Dalam menyelesaikan masalah pembagian warisan ini, Abû Zaid menawarkan konsepnya tentang perbedaan antara
78
Abû Zaid, Naqd al-Khitȃb al-Dînî, h. 222.
88
makna dan maghzâ (signifikansi).79 Sebelum mengkaji lebih mendalam
tawaran
Abû
Zaid
tersebut,
mengemukakan terlebih dahulu ayat-ayat
Penulis
akan
al-Qur‟an
yang
berkaitan dengan masalah ini. Adapun
ayat
al-Qur‟an
yang
membahas
tentang
pembagian warisan antara laki-laki dan perempuan adalah QS. alNisâ‟ [4]: 7-11
ٌت١ص ِ َٔ ٌٍِِّٕ َغب ِءَٚ َُْٛ ْاََ ْل َشثَٚ ِْ اٌِذَاَٛ ٌتٌ ِِ َّّب رَ َشنَ ْا١ص ِ َٔ ٌٍِ ِّش َجب ِي جًب١ص ِ َٔ ْ َوضُ َشََْٚ ِِ َّّب لَ ًَّ ِِ ُْٕٗ أُٛ ْاََ ْل َشثَٚ ِْ اٌِذَاَٛ ٌِِ َّّب رَ َشنَ ْا َٰٝ َِ َزَب١ٌ ْاَٚ َٰٝ َ ا ٌْمُشْ ثٌُُٛٚع َش ْاٌمِ ْغ َّخَ أ ً َُِٚ ْفش َ اِ َرا َدَٚ ﴾١﴿ ظب ُ ْاٌ َّ َغب ِوَٚ ؼ َ َ ْخ١ٌْ َٚ ﴾١﴿ فًبُْٚ ًَل َِ ْعشَُٛ ُْ لٌَٙ اٌُُٛٛلَٚ ُْٕٗ ِِ ُْ ُُ٘ٛٓ فَبسْ ُصل١ َّ اَُٛزَّم١ٍْ َ ُْ فِٙ ١ْ ٍَا َعُٛظ َعبفًب َخبف ِ ًَّخ٠ ُْ ُر ِّسِٙ ِا ِِ ْٓ َخ ٍْفْٛ رَ َش ُوٌَٛ َٓ٠اٌَّ ِز ََّللا ظُ ٍْ ًّبَٰٝ َِ َزَب١ٌا َي ْاَٛ ِْ ََْ أٍَُٛؤْ ُو٠ َٓ٠﴾ اِ َّْ اٌَّ ِز١﴿ ذًا٠ْ ًَل َع ِذَٛا لٌَُُٛٛم١ٌْ َٚ ُُ ُى١لُٛ ِ ٠ ﴾ٔٓ﴿ شًا١ْ َْ َع ِعٍَٛ َْص١ َعَٚ ُْ َٔبسًاِٙ ُِٔٛ ثُطَِْٟ فٍَُٛؤْ ُو٠ أَِّ َّب َّ ٌِ ُْ ْ ََل ِد ُوَٚ أَِّٟللاُ ف َّ ِّ ٍز َو ِش ِِ ْض ًُ َد ق َ َْٛ ِٓ فَب ِ ْْ ُو َّٓ ِٔ َغب ًء ف١ْ ١َ َع ْاَُ ْٔض ْ َٔاِ ْْ َوبَٚ َ َُّٓ صٍُُضَب َِب رَ َشنٍََٙ ِْٓ ف١َْاصَٕز َبٍََٙا ِد َذحً فَٚ ذ ُ ْإٌِّص ٌَُٗ َْن اِ ْْ َوب َ ُ َّب اٌ ُّغ ُذطُ ِِ َّّب رَ َشْٕٙ ِِ ا ِد ٍذَٚ ًِّ ِٗ ٌِ ُى٠ْ َٛ َ ََِثَٚ ف ُ ٍُُّاُٖ فَ ِِلُ ِِّ ِٗ اٌضَٛ َ ِسصَُٗ أَثَٚ َٚ ٌَ ٌذَٚ ٌَُٗ ْٓ َ ُى٠ ُْ ٌَ ْْ ِ ٌَ ٌذ فَبَٚ ٌَُٗ َْش فَب ِ ْْ َوب ُْ ٍٓ آثَب ُإ ُو٠ْ ْ َدََٚب أِٙ ثٟل ِ ُٛ٠ َّ ٍخ١ل ِ َٚ حٌ فَ ِِلُ ِِّ ِٗ اٌ ُّغ ُذطُ ِِ ْٓ ثَ ْع ِذَٛ اِ ْخ َّ َِِٓ ًعخ َّْ َِّللاِ ا َ ٠ُ ُْ أَ ْل َشةُ ٌَ ُى ُْ َٔ ْفعًب فَ ِشُّٙ٠ََْ أُٚأَ ْثَٕب ُإ ُو ُْ ََل رَ ْذسَٚ َّ ﴾ٔٔ﴿ ًّب١د ِى َ ًّب١ٍَِّللاَ َوبَْ َع “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, dan bagi 79
Abû Zaid, Naqd al-Khitȃb al-Dînî, h. 222-224.
89
perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir beberapa kerabat, anak-anak yatim dan orang-orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekadarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik. Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar. Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zâlim, sebenarnya mereka itu, menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyalanyala (neraka). Allah mensyari‟atkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masingmasing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu bapak-nya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.80
Sebelum
melihat
analisa
Abû
Zaid
mengenai
permasalahan ini, menarik untuk diperhatikan bahwa menurutnya di dalam wacana agama sebenarnya terdapat watak graduasi wacana al-Qur‟an sebagaimana penahapan larangan minum khamr melalui tiga tahap. Hal ini menunjukkan bahwa teks al-
80
Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 78.
90
Qur‟an telah mengajarkan bagaimana al-Qur‟an tidak secara langsung menetapkan sebuah hukum, tetapi melalui penahapanpenahapan.81 Hal ini karena meminum khamr telah menjadi budaya masyarakat saat itu, maka untuk merubah kebiasaan buruk tersebut al-Qur‟an berusaha tahap demi tahap agar tujuannya tercapai dan dapat diterima umat manusia. Masalah penahapan pengharaman khamr ini telah Penulis jelaskan pada pembahasan sebelumnya. Sebagaimana yang disebutkan di atas, Abû Zaid menawarkan konsep makna dan maghzâ untuk menyelesaikan masalah pembagian warisan bagi laki-laki dan perempuan. Melalui konsep makna dan maghzâ yang diwacanakan oleh Abû Zaid, dia memulai menjelaskan kedudukan perempuan pada praIslam. Pada zaman tersebut perempuan adalah makhluk yang tidak memiliki kecakapan, maka nilainya bersumber dari mahram-nya (ayah, saudara laki-laki, atau suaminya). Karena kaum perempuan pada waktu itu tidak memiliki kecakapan, maka masyarakat Arab enggan mewariskan harta mereka kepada anak perempuan dan anak kecil laki-laki karena mereka berdua tidak pandai menunggang kuda, tidak kuat memikul beban berat, dan tidak bisa melawan musuh saat berperang. dan hal-hal tersebutlah yang dibutuhkan pada zaman itu. Hal ini menurut Abû Zaid
81
Abû Zaid, Naqd al-Khitȃb al-Dînî, h. 223.
91
normanya adalah kemampuan produksi dan tanggung jawab. Di samping itu, kaum perempuan saat itu sangat lemah, sehingga kaum perempuan tidak mampu berkata “tidak” apabila diperintah laki-laki.82 Hal di atas menunjukkan bahwa kaum perempuan pada zaman jahiliyyah memiliki kedudukan yang sangat rendah dibandingkan laki-laki. Oleh sebab itu, masyarakat saat itu enggan mewariskan hartanya kepada anak perempuan, karena kelemahan tersebut. Dalam kondisi seperti ini ayat al-Qur‟an hadir memberikan hak kepada perempuan walaupun hanya separuh dari bagian laki-laki. Bagian setengah dari laki-laki ini bisa dimaknai dengan tahapan awal dari penyamaan warisan bagi laki-laki dan perempuan. Zaman pra-Islam tidaklah sama dengan zaman Islam abad modern sebagaimana yang telah diutarakan diatas. Berdasarkan kondisi tersebut, maka ayat al-Qur‟an yang memberikan bagian kepada perempuan dalam warisan dianggap usaha Islam untuk menghargai hak-hak perempuan saat itu, dan bagian separuh untuk perempuan dibandingkan laki-laki saat itu menunjukkan
bahwa
adanya
penahapan
syari‟at
Islam.
Masyarakat Arab yang sebelumnya tidak mau mewariskan
82
Abû Zaid, Naqd al-Khitȃb al-Dînî, h. 224.
92
hartanya kepada anak perempuan tidaklah mungkin secara serta merta mendapatkan warisan sama seperti laki-laki.83 Dari penahapan tersebut, Abû Zaid masih melihat ada yang tersembunyi atau yang tidak tertuliskan dalam masalah warisan mengingat posisi perempuan pada zaman sekarang tidak seperti pada zaman pra-Islam tersebut. Oleh sebab itu, untuk memudahkan pemahaman menarik untuk melihat diagram yang dibuat oleh Moch. Nur Ichwan sebagai berikut:84
Dalam budaya pra-Islam: Perempuan tidak mendapatkan warisan
Makna Islam membatasi bagian laki-laki: “seperti bagian dua perempuan” (QS. al-Nisâ [4]: 11)
Bagian laki-laki maksimum, Signifikans
Bagian perempuan minimum i
83
Abû Zaid, Naqd al-Khitȃb al-Dînî, h. 224. Abû Zaid, Naqd al-Khitȃb al-Dînî, h. 224. Ichwan, Meretas Keserjanaan Kritis al-Qur‟an, h. 148. 84
93
Perempuan berhak mendapatkan bagian yang sama
“Yang tak terkatakan”
Berdasarkan diagram di atas terlihat bahwa menurut hermeneutika Abû Zaid, teks al-Qur‟an mengenai pembagian harta
warisan
bagi
laki-laki
dan
perempuan
memiliki
signifikansi bahwa bagian laki-laki tersebut adalah maksimum dan bagian perempuan minimumnya, dan dari teks tersebut terdapat pesan al-Qur‟an yang tak terkatan, yaitu perempuan berhak mendapatkan bagian yang sama dengan laki-laki. b. Makna Jin, Syaitân, Sihir, dan hasad
Abû Zaid berusaha menganalisis konsep-konsep tentang jin, syaitân, sihir, dan hasad dalam konteks sosio historisnya. Menurut Abû Zaid, di antara teks yang maknanya harus dianggap sebagai bukti-bukti sejarah adalah teks-teks yang terkait dengan jin, syaitân, sihir, dan hasad. Abû Zaid mengkritisi Muhammad „Abduh dan Rasyîd Ridâ yang menyatakan bahwa jin dan syaitân adalah sebagian dari potensi-potensi psikis. Menurut Abû Zaid pemaknaan seperti itu hanya bertujuan untuk menghilangkan kontradiksi antara agama dan sains.85
85
Abû Zaid, Kritik Wacana Agama, h. 224-225.
94
Istilah-istilah jin, syaitân, sihir, dan hasad adalah kosakata yang terdapat pada suatu lingkungan masyarakat dan terkait dengan fase tertentu dari perkembangan pemikiran manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, menurut Abû Zaid sebenarnya Islam melalui al-Qur‟an telah mengubah pola pikir manusia mengarah kepada sesuatu yang lebih rasional, yaitu dengan mengubah “syaitân” menjadi “kekuatan-kekuatan penghalang” dan mengubah “sihir” menjadi “perangkat syaitân untuk menyerobot manusia. Isyarat-isyarat al-Qur‟an tentang sihir hanya dalam bentuk narasi historis, dimana masyarakat yang memiliki keyakinan tentang sihir pada waktu itu.86 Berdasarkan
hal
tersebut,
maka
menarik
untuk
memperhatikan diagram-diagram yang dibuat oleh Moch. Nur Ichwan mengenai hal ini sebagai berikut: 1. Transformasi makna syaitân87 Makhluk Jahat Metaforisasi Kekuatan Penghalang
86 87
Abû Zaid, Kritik Wacana Agama, h. 225-226. Ichwan, Meretas Keserjanaan Kritis al-Qur‟an, h. 120.
95
2. Transformasi makna sihir88 Magik
Metaforisasi Alat yang pergunakan oleh kekuatan penghalang untuk mengganggu manusia 3. Transformasi makna Hasad89 Pandangan jahat Metaforisasi Dengki atau cemburu
4. Interpretasi tentang jin90 Jin memperoleh berita dari langit dan memberikan inspirasi kepada penyair dan kâhin
Jin memperoleh berita dari langit dan memberikan inspirasi kepada penyair dan kâhin
88
Ichwan, Meretas Keserjanaan Kritis al-Qur‟an, h. 120. Ichwan, Meretas Keserjanaan Kritis al-Qur‟an, h. 124. 90 Ichwan, Meretas Keserjanaan Kritis al-Qur‟an, h. 122. 89
96
Rasionalisasi dengan mengklarifikasikan jin menjadi dua: muslim dan kafir
Jin kafir
Jin muslim
Terhumanisasi: bersifat manusiawi, tetapi bukan manusia
Jin tidak ada dalam realitas nyata
Ter-syaitân-kan: menjadi syaitân, tidak lagi beraktivitas sebagai jin
“Yang tak terkatakan”
Berdasarkan diagram-diagram di atas, Abû Zaid ingin menunjukkan bahwa sebuah teks hadir karena adanya realitas. Al-Qur‟an hadir untuk merespon masyarakat pada waktu itu. AlQur‟an membicarakan tentang jin dan sebagainya adalah penahapan menuju manusia yang lebih rasional, namun al-Qur‟an tidak secara serta merta mengatakan bahwa jin tersebut tidak ada, tetapi ia berusaha perlahan-lahan untuk menyadarkan manusia akan hal tersebut.
BAB IV MUHAMMAD ‘IMÂRAH DAN HERMENEUTIKA
Pada Bab IV ini Penulis menyajikan permasalahan yang berkaitan dengan bagaimana pandangan „Imȃrah terhadap hermeneutika, baik itu tentang awal kemunculan hermeneutika dan kritikannya terhadap hermeneutika Nasr Hâmid Abû Zaid, maupun solusi yang ditawarkan „Imarâh sebagai pengganti hermeneutika yang diagung-agungkan oleh cendekiawan muslim dewasa ini dalam penafsiran al-Qur‟an. „Imȃrah merupakan seorang cendekiawan muslim yang sangat intens melakukan kajian terhadap pembaharuan pemikiran dalam Islam. Hermeneutika merupakan sebuah hal yang menarik bagi „Imȃrah untuk dikupas lebih tajam lagi, karena anjuran penggunaan hermeneutika sebagai metode untuk menafsirkan alQur‟an semakin gencar dilakukan oleh beberapa cendekiawan muslim dan khususnya Abû Zaid sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya. Sebelum melihat pandangan Muhammad „Imârah tentang hermeneutika, terlebih dahulu Penulis akan membahas biografinya, baik yang berkaitan tentang perjalanan hidupnya, pendidikan dan karirnya, maupun karya-karyanya. Hal ini menurut Penulis perlu untuk dibahas, karena penelitian ini berkaitan langsung dengan pandangan Muhammad „Imârah terhadap hermeneutika Abû Zaid. Mengkaji profil tokoh ini sudah menjadi keharusan agar kita mendapatkan
97
98
gambaran umum bagaimana kehidupan dan bagaimana karir pendidikannya, sehingga dia mengkritik dan menolak hermeneutika Abû Zaid. A. Profil Singkat Muhammad ‘Imârah Penelitian ini berkaitan dengan pemikiran Muhammad „Imârah dalam memandang hermeneutika, maka sudah menjadi keharusan untuk mengenal sosok Muhammad „Imârah sebelum memahami pemikiran-pemikirannya. Di bawah ini Penulis akan menguraikan tentang riwayat hidup Muhammad „Imârah beserta karya-karya yang dihasilkannya. 1. Riwayat Hidup Muhammad ‘Imârah Muhammad „Imârah adalah seorang pemikir muslim, penulis buku, muhaqqiq dan anggota Perkumpulan Pengkajian Keislaman di al-Azhar.1 Ia dilahirkan di perkampungan Sarwah di daerah Qalîn Provinsi Kafur Syeikh, Mesir pada tanggal 27 Rajab pada 1350 H, bertepatan dengan tangggal 8 Desember 1931 M. dalam keluarga yang sederhana. Keluarganya bekerja sebagai petani dan taat beragama.2 Sebelum kelahirannya, ayahnya bernazar kepada Allah Swt., apabila anaknya laki-laki akan diberi nama Muhammad dan akan dibekali dengan ilmu agama dengan menuntut ilmu di al-Azhar.3 Muhammad „Imârah sudah hafal al-Qur‟an waktu masih muda, ia juga telah belajar agama sejak kecil di Kuttâb yang terdapat di desanya. Pada 1364 H/ 1945 M. dia belajar di ma„had Dasûqî dan dia mendapat 1
Muhammad „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî baina al-Ta‟wîl Gharbî wa al-Ta‟wîl alIslȃmî. (Kairo: Maktabah al-Syurûq al-Dauliyyah, 2006), h. 89. Lihat juga Muhammad „Imȃrah, Tsaurah 25 Yanȃyir wa Kasr Hȃjiz al-Khauf: al-Masyrû„iyyah..al-Syubhȃt..Khatȃyȃ alMȃdî..(Kairo: Dâr al-Salȃm, 2011), h. 137. 2 „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 89. „Imȃrah, Tsaurah 25 Yanȃyir, h. 137. 3 „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 89. „Imȃrah, Tsaurah 25 Yanȃyir, h. 137.
99
ijazah ibtidâiyyah pada 1368 H/1949 M. Pada masa-masa sekolah ini dia telah mulai aktif dalam berbagai kegiatan kenegaraan dan keislaman, kesusasteraan, dan kebudayaan, di antaranya ia ikut dalam memperjuangkan kemerdekaan Mesir dan isu Palestina. Di samping itu, „Imârah juga mulai berkhutbah di masjid-masjid dan menyuarakan gagasannya di surat kabar. Tulisan pertamanya yang dimuat di surat kabar Misr al-Fatâh berjudul “Jihâd” di Palestina pada bulan April 1948 M.4 Pada 1949 „Imârah melanjutkan studinya ke ma‟had Tanta al-Ahmadî dan selesai pada 1373 H/ 1954 M. Pada masa ini perhatiannnya dalam masalah politik, sastra dan budaya berkembang. Dia juga aktif menulis artikel di surat kabar dan majalah Misr al-Fatâh, Minbâr al-Syarq, al-Misr dan al-Kâtib.5 Pada 1374 H/ 1954 M „Imârah melanjutkan studinya ke Universitas al-Azhar Kairo di fakultas Dâr al-Ulûm. Pada saat itu, dia disibukkan oleh dunia politik, sehingga dia baru memperoleh gelar sarjananya pada 1965 M. jurusan Bahasa Arab dan Pengkajian Keislaman.6 „Imârah menyelesaikan magisternya pada 1390 H/ 1970 M. di Fakultas Dâr al-Ulûm dengan konsentrasi filsafat Islam dengan judul tesis “al-Mu„tazilah wa Musykilat alHurriyyah al-Insâniyyah” (Muktazilah dan Masalah Kebebasan Manusia), dan ia mendapat gelar doktor pada 1395 H/ 1975 M, dengan judul disertasi “al-Islâm wa Falsafat al-Hukm” (Islam dan Filsafat Hukum).7
4
„Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 89. „Imȃrah, Tsaurah 25 Yanȃyir, h. 137. „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 89-90. „Imȃrah, Tsaurah 25 Yanȃyir, h. 138. 6 „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 90. „Imȃrah, Tsaurah 25 Yanȃyir, h. 138. 7 „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 91. „Imȃrah, Tsaurah 25 Yanȃyir, h. 139. 5
100
Muhammad „Imârah aktif di berbagai lembaga penelitian dan pengkajian ilmiah, di antaranya:8 1. Majlis Tinggi Kementrian Agama Islam di Mesir 2. Institut Pemikiran Islam Antarbangsa 3. Pusat Pengkajian Tamadun di Mesir 4. Badan Kerajaan Penelitian Tamadun Islam di Jordan, dan 5. Badan Penelitian Keislaman di al-Azhar Berbagai penghargaan telah diraih oleh „Imârah, di antaranya adalah:9 1. Penghargaan Persatuan Sahabat Penulis di Lebanon pada 1972 M. 2. Penghargaan Negara sebagai tokoh terbaik di Mesir pada 1976 M. 3. Penghargaan sebagai terbaik pertama dalam bidang Sains dan Kesenian di Mesir pada 1976 M. 4. Penghargaan „Alî dan Utsmân Hâfiz dalam bidang pemikiran pada 1993M. 5. Penghargaan Kerajaan Badan Penelitian Tamadun pada 1997 M. 6. Penghargaan Pemikiran Islam dalam Kategori Kepemimpinan pada 1998 M, dan 7. Penghargaan Lembaga Ahmad Kanu dalam Penelitian Keislaman di Bahrain pada 2005 M. 8. Terakhir Penulis menemukan sebuah artikel yang menyebutkan bahwa „Imârah mendapatkan penghargaan medali “Jamâl al-Dîn al-Afghânî”
8 9
„Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 91. „Imȃrah, Tsaurah 25 Yanȃyir, h. 139-140. „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 91. „Imȃrah, Tsaurah 25 Yanȃyir, h. 140.
101
pada 7 Februari 2017 yang diberikan oleh Muhammad Asyraf Ghânî (Presiden Republik Islam Afghanistan).10 Penghargaan terakhir di atas diberikan kepada „Imârah berkat usaha ilmiahnya dalam menyebarkan pemikiran Islam moderat dan juga karena karya-karya tentang Jamâl al-Dîn al-Afghânî. Di antara karya-karyanya yaitu adalah al-A‟mâl al-Kâmilah li Jamâl al-Dîn al-Afghânî, Jamâl al-Dîn al-Afghânî al-Muftara „Alaih, Jamâl al-Dîn al-Afghânî Baina Haqâ‟iq alTârîkh, Jamâl al-Dîn al-Afghânî; Muqidzu Syarqi wa Failusuf Islâm. Hal di atas membuktikan bahwa pemikiran moderat „Imârah memiliki dampak positif bagi umat Islam, sehingga umat Islam merasakan dari karya-karyanya tersebut. Dengan membaca pemikiran-pemikiran „Imârah, umat Islam juga dapat membandingkan pemikiran-pemikiran yang berasal dari Barat dan yang terdapat dalam khazanah Islam. Di sisi lain pembedaan pemikiran Barat dan Islam kurang tepat, karena lawan dari kata Barat adalah Timur dan lawan kata Islam adalah non Islam. „Imârah juga terlalu membedakan antara pemikiran yang berasal dari Barat dan Islam. Pemikiran-pemikiran Muhammad „Imârah mendapat tantangan, di antaranya tulisan „Imârah yang pada awalnya dijanjikan dimuat oleh koran yang diterbitkan Departemen Kebudayaan pada 30 September 2014, tetapi pimred koran baru, Mahmûd Hasan melarang tulisan „Imârah tersebut. Pelarangan tulisan „Imârah tersebut dikarenakan berbagai media di Mesir
10
Lihat http://www.penapembaharu.com/2017/02/08/pemikir-islam-prof-dr-muhammadimarah-menerima-penghargaan-dari-presiden-afghanistan/ diakses pada Selasa, 28 Maret 2017, jam 18: 38.
102
saat itu dikuasai oleh pihak Sekuler.11 Di samping itu, „Imârah yang menjadi pemimpin redaksi majalah al-Azhar mendapatkan tekanan dan intimidasi dari kantor Syeikh al-Azhar, Ahmad Thayib sebagaimana diungkapkan melalui anaknya Khâlid „Imârah. Khâlid mengungkapkan bahwa „Imârah diberikan pilihan untuk mengubah isi yang terdapat dalam Majalah AlAzhar agar tidak bertentangan sengan kudeta militer atau mundur dari jabatannya, yaitu pemimpin majalah tersebut.12 Muhammad „Imârah dikenal sebagai pemikir muslim produktif yang selalu membandingkan dan membedakan antara pemikiran Barat dan Islam. Di antara yang menarik perhatian „Imârah adalah hermeneutika yang dijadikan sebagai metode penafsiran al-Qur‟an oleh beberapa cendekiawan muslim. Oleh karena itu, ia menulis sebuah buku berjudul Qirâ‟at al-Nass al-Dînî baina Ta‟wîl al-Gharbî wa al-Ta‟wîl al-Islâmî. Di dalam buku ini „Imârah memaparkan tentang awal kemunculan hermeneutika, kritikannya terhadap hermeneutika dan membandingkan dengan konsep takwil yang terdapat dalam keilmuan Islam. Di samping itu, lebih khususnya dia mengkritik pemikiran Nasr Hâmid Abû Zaid, sebagaimana terdapat dalam karyanya al-Tafsîr al-Markisî li al-Islȃm.13
11
Muhammad Syarief, “Media Dikuasai Sekuler, Tulisan Cendikiawan Mesir Muhammad „Imârah dilarang Terbit,” lihat http://www.dakwatuna.com/2014/10/01/57649/mediadikuasai-sekuler-tulisan-cendikiawan-mesir-muhammad-imarah-dilarang-terbit/#axzz4eDfq3Zd7, artikel diakses pada Jum‟at, 14 April 2017 jam 17: 47. 12 Rio Erismen, “Bersikap Objektif dan Ilmiah, Dr. Muhammad „Imârah Diintimidasi Kantor Syeikh Al-Azhar”. Lihat http://www.dakwatuna.com/2014/04/15/49633/bersikap-objektifdan-ilmiah-dr-muhammad-imarah-diintimidasi-kantor-syeikh-al-azhar/#axzz4eDfq3Zd7 . artikel diakses pada Jum‟at, 14 April 2017 jam 17: 48. 13 Lihat Muhammad „Imârah, al-Tafsîr al-Markisî li al-Islȃm , Kairo: Dȃr al-Syurûq, 2002. „Imârah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dinî.
103
2. Karya-karya Muhammad ‘Imârah Muhammad „Imârah merupakan seorang penulis yang banyak melakukan penelitian dan penulisan, bahkan di jajaran pengkaji muslim hingga sekarang, ia tergolong yang paling banyak karya tulisnya dalam bidang keislaman, dan tulisannya sering dipublikasikan di berbagai media massa dan majalah berbahasa Arab,14 terlebih lagi ia telah menulis dan mentahqîq 180 buku. Jumlah tersebut belum termasuk tulisan-tulisan di majalah dan sebagainya. Buku-buku „Imârah telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, yaitu bahasa Turki, Melayu, Farsi, Urdu, Inggris, Francis, Rusia, Spanyol, Jerman, Albania dan Bosnia.15 Di antara karya-karyanya yaitu: a. Karya Sendiri 1. Ma„âlim al-Manhaj al-Islâmî, (Kairo: Dâr al-Rasyâd, 1997), (Kairo: Dâr al-Syurûq, 2009) 2. al-Islâm wa al-Mustaqbal, (Kairo: Dâr al-Rasyâd, 1997). 3. Nahdatunâ al-Hadîtsah baina al-„Ilmâniyyah wa al-Islâm, (Kairo: Dâr al-Rasyâd, 1997) 4. Ma„ârik al-„Arab Didda al-Ghazâh, (Kairo: Dâr al-Rasyâd, 1998) 5. al-Ghârah al-Jadîdah „ala al-Islâm, (Kairo: Dâr al-Rasyâd, 1998). 6. al-Syaikh Muhammad al-Ghazâli: al-Mauqi„ al-Fikrî wa al-Ma'ârik al-Fikriyyah, (Kairo: Dâr al-Rasyâd, 1998) 7. al-Turâts wa al-Mustaqbal, (Kairo: Dâr al-Rasyâd, 1997). 8. Al-Islâm wa al-Amnu al-Ijtimâ„î (Dâr al-Syurûq, 1998) 14 15
„Alî Harb, Kritik Nalar al-Qur‟an (Yogyakarta: LkiS, 2003), h. 259. „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 91.
104
9. al-Islâm wa al-Ta„addudiyyah: al-Tanawwu„ wa al-Ikhtilâf fî Itâr alWihdah, (Kairo: Dâr al-Rasyâd, 1997) 10.
al-Islâm wa al-Siyâsah: al-Radd „Ala Syubhât „Ilmâniyyîn, (Kairo:
Dâr al-Rasyâd, 1997) 11.
al-Islâm wa Falsafat al-Hukm (Kairo: Dâr al-Syurûq, 2006)
12.
al-Ghazw al-Fikrî Wahm am Haqîqah (Kairo: Dâr al-Syurûq,
1997), (Kairo: Lajnah al-„Ulyâ li al-Da„wah al-Islâmiyyah, t.t.) 13.
Tayyârât al-Fikr al-Islâmî (Kairo: Dâr al-Syurûq, 1997)
14.
al-Tafsîr al-Markisî li al-Islâm (Kairo: Dâr al-Syurûq, 2002)
15.
al-Islâm baina al-Tanwîr wa al-Tazwîr (Kairo: Dâr al-Syurûq,
2002) 16.
Ma„rakat al-Mustalahât baina al-Gharb wa al-Islâm. (Kairo:
Nahdah Misr, 1928, 2006) 17.
al-Gharb wa al-Islâm (Kairo: Nahdah Misr, 1997)
18.
Ibn Rusyd baina al-Gharb wa al-Islâm (Kairo: Nahdah Misr, 1997)
19.
al-Manhaj al-„Aqlî fî Dirâsât al-„Arabiyyah (Kairo: Nahdah Misr,
1997) 20.
Uzmah al-Fikr al-Islâmî al-Hadîts (Kairo: Nahdah Misr, 2006)
21.
Syubhât Haula al-Qur‟ân al-Karîm (Kairo: Nahdah Misr, 2003)
22.
al-Hiwâr baina al-Islâmiyyîn wa al-„Ilmâniyyîn, (Kairo: Nahdah
Misr, 2000). 23.
al-Nass al-Islâmî baina al-Ijtihâd wa al-Jumûd wa al-Târîkhiyyah,
(Damaskus: Dâr al-Fikr, 1998).
105
24.
al-Islâm baina al-„Ilmâniyyah wa al-Sultah al-Dîniyyah (Kairo:
Dâr Tsâbit, 1982) 25.
al-„Ilmâniyyah baina al-Gharb wa al-Islâm (Kairo: Dâr al-Wafâh,
1996) 26.
Rihlah fî „Âlam al-Duktûr Muhammad „Imârah- Hiwâr (Beirût:
Dâr al-Kitâb al-Hadîts, 1989) 27.
al-Islâm wa al-„Urûbah wa al-„Ilmâniyyah, (Beirût: Dâr al-
Wahdah, 1981). 28.
Mustaqbalunâ baina al-Tajdîd al-Islâmî wa al-Hadâtsah al-
Gharbiyyah. (Kairo: Maktabah al-Syurûq al-Dauliyyah, 2003, 2004) 29.
al-Gharb wa al-Islâm: aina al-Khata‟? wa aina al-Sawâb?(Kairo:
Maktabah al-Syurûq al-Dauliyyah, 2004) 30.
Haqâiq al-Islâm fî Muwâjahah Syubhât al-Musyakkikîn (Majlis
Tinggi Keislaman, 2002) 31.
al-Islâh bi al-Islâm (Kairo: Nahdah al-Misr, 2005)
32.
al-Dîn wa al-Hadârah, „Awâmil Imtiyâz al-Islâm (Kairo: Maktabah
al-Syurûq al-Dauliyyah, 2006) 33.
Qirâ‟at al-Nass al-Dînî baina Ta‟wîl al-Gharbî wa al-Ta‟wîl al-
Islâmî (Kairo: Maktabah al-Syurûq al-Dauliyyah, 2006), dan lainlain.16
16
„Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 92-101.
106
b. Hasil Suntingan 1. al-A„mâl al-Kâmilah li Rifâ`ah al-Tahtâwî, (Beirût: Lembaga Kajian Arab, 1973). 2. al-A„mâl al-Kâmilah li Jamâl al-Dîn al-Afghânî, (Beirût: Lembaga Kajian Arab, 1979). 3. al-A„mâl al-Kâmilah li al-Imâm Muhammad „Abduh, (Kairo: Dâr alSyurûq,1993). 4. al-A„mâl al-Kâmilah li „Abdu al-Rahmân al-Kawâkibî, (Kairo: Dâr alSyurûq, 2006). 5. Rasâ‟il al-„Adl wa al-Tauhîd, (Kairo: Dâr al-Syurûq, 1987). 6. Kitâb al-Amwâl li „Ubaid al-Qâsim ibn Salâm, (Kairo: Dâr al-Syurûq, 1989). 7. al-Islâm wa al-Mar‟ah fî Ra‟yi al -Imâm Muhammad „Abduh, (Kairo: Dâr al-Rasyâd, 1997). 8. Fasl al-Maqâl fî Mâ baina al-Hikmah wa al-Syarî„ah min al-Ittisâl li ibn Rusyd, (Kairo: Dâr al-Ma„ârif, 1999). 9. al-Taufîqât al-Ilhâmiyyah fî Muqâranah al-Tawârîkh li Muhammad Mukhtâr Bâsyâ al-Misrî, (Beirût: Dewan Tinggi Arab, 1980). 10.
al-Syarî„ah al-Islâmiyyah Sâlihah li Kulli al-Zamân wa Makân li
al-Syaikh Muhammad al-Khadr Husain, (Kairo: Nahdah Misr, 1999). 11.
al-Sunnah wa al-Bid„ah li al-Syeikh Muhammad al-Khadr Husain,
(Kairo: Nahdah Misr, 1999).
107
12.
Rûh al-Hadârah al-Islâmiyyah li Syaikh al-Fâdil ibn „Âsyûr,
(Kairo: Nahdah Misr, 2003). 13.
Silah al-Islâm bi Islâh al-Masîhiyyah li Syaikh Amîn al-Khûlî
(Kairo: Nahdah Misr, 2006) dan lain-lain.17 c. Karya Bersama Dengan yang Lain 1. al-Harakah al- Islâmiyyah: Ru‟yah Mustaqbaliyyah, (Kuwait, 1989). 2. al-Qur‟ân, (Beirût: Lembaga Kajian Arab, 1972). 3. Muhammad Salla Allâh „Alaih wa Sallam.,(Beirût: Lembaga Kajian Arab, 1972). 4. „Umar ibn Khattâb, (Beirût: Lembaga Kajian Arab, 1973). 5. „Alî ibn Abî Tâlib, (Beirût: Lembaga Kajian Arab, 1974). 6. Qâri„ah Sibtimbir, (Kairo: Maktabah al-Syurûq al-Dauliyyah, 2002).18 Dari biografi di atas, penulis melihat bahwa penguasaan ilmu agama „Imȃrah tidak diragukan lagi, sebab ia mempelajari ilmu agama sejak kecil hingga doktoral. Di samping itu, ia juga hidup dalam keluarga yang taat beragama, sehingga ia terdidik menjadi muslim yang taat pula. „Imȃrah kecil telah menjadi aktivis, aktif dalam dunia perpolitikan Mesir dan seorang yang berani mengemukakan ide-idenya melalui surat kabar dan majalah. Dari buku-buku karangannya, tergambar bahwa „Imȃrah adalah pemikir muslim yang produktif. „Imȃrah dapat digolongkan kepada pemikir moderat, karena ia menyuarakan ideide pembaharuan dan lain sebagainya.
17 18
„Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 99-100. „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 100.
108
B. ‘Imȃrah dan Kemunculan Hermeneutika Pada pembahasan sebelumnya, Penulis telah memaparkan tentang biografi „Imȃrah dan karya-karyanya, selanjutnya Penulis akan menjelaskan bagaimana awal kemunculan hermeneutika dan menjadi metode dalam penafsiran al-Qur‟an. „Imȃrah berpendapat bahwa hermeneutika lahir dari penakwilan terhadap teks. Secara etimologis menurut „Imȃrah takwil artinya kembali; mengetahui sumber, sesuatu yang tidak dapat dipahami secara tekstual, maka ia memerlukan dalil untuk menyingkap makna tersirat dari teks tersebut. Adapun menurut terminologis takwil adalah memindahkan makna lafaz dari makna zâhir-nya kepada makna yang dikandungnya (makna bâtin), karena adanya dalil yang menunjukkan makna yang dikandung tersebut. 19 Lebih lanjut „Imȃrah menjelaskan bahwa takwil merupakan sebuah upaya pembaca untuk melepaskan diri mereka dari belenggu teks. Pembaca yang merasa dibelenggu oleh teks tersebut berusaha untuk melepaskan diri dari ikatan makna zâhir dari teks tersebut, sehingga apa yang mereka pahami tidak bertentangan dengan teks itu sendiri.20 Oleh sebab itu, „Imȃrah menyebutkan bahwa di antara tujuan seseorang menakwilkan sebuah teks, yaitu: 1. Menyamakan antara teks dengan pendapatnya 2. Menyelaraskan antara pemahaman tekstual dengan akal. 3. Ingin memperjelas Kitab Suci untuk memperdalam pengetahuan.21
19
„Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 7, 29-33. „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 7. 21 „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 7-8. 20
109
Selanjutnya teks-teks apa sajakah yang ditakwilkan, dan apakah semua teks ditakwilkan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Penulis menganalogikan pada sebuah benda, maka sebuah benda yang mempunyai nilai dan berharga akan diperebutkan banyak orang, dan segala hal yang memiliki pengaruh dan berperan penting dalam suatu permasalahan tentu lebih diperhatikan daripada yang tidak memiliki pengaruh, karena sesuatu itu akan menghasilkan efek dan dampak bagi suatu permasalahan tersebut. Begitu juga halnya dengan teks, maka bagi „Imârah teks yang ditakwilkan adalah semua teks yang mempunyai kekuatan atau mempengaruhi pemikiran serta kehidupan sosial.22 Hal itu disebabkan karena teks tersebut memiliki pengaruh terhadap kehidupan misalnya, atau mempengaruhi pemikiran masyarakat atau tatanan sosial. Ketika teks tersebut bertentangan dengan pemikiran seorang penakwil, maka dia berusaha untuk mengalihkan maknanya (menakwilkannya), sehingga apa yang berada dalam pemikirannya sejalan dengan maksud teks tersebut. Oleh karena itu, penakwilan terhadap teks tidak hanya pada teks-teks agama saja, tetapi semua teks yang mempunyai pengaruh, baik dalam budaya atau masyarakat atau teks-teks yang berkaitan dengan hukum.23 Hal ini sudah jelas menjadi perhatian lebih mengingat suatu hukum bisa berubah seratus delapan puluh derajat dengan adanya penakwilan berbeda terhadap teks hukum tersebut. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa menurut „Imârah takwil memindahkan makna lafaz dari makna zâhir suatu teks kepada makna yang 22 23
„Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 7. „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 8.
110
dikandung oleh teks tersebut,
maka dengan demikian takwil berusaha
mengalihkan suatu teks dari makna zâhir-nya kepada makna bâtin, atau menukar makna haqîqî-nya menjadi makna majâz.24 Misalnya penakwilan yang dilakukan oleh kaum Yahudi pada Perjanjian Lama dengan menakwilkan „Abraham‟ (Ibrâhîm) menjadi cahaya (akal), atau menakwilkan „Sarah‟ menjadi keutamaan.25 Di antara tujuan seseorang menakwilkan sebuah teks adalah untuk melepaskan belenggu makna zâhir teks tersebut, namun bagi „Imȃrah pada awalnya takwil dalam pemikiran Barat tidak ada upaya untuk memisahkan antara pembaca (penakwil), sumber teks dan penulisnya, karena penakwilanpenakwilan tersebut hanya untuk mencari hakikat makna dan maksud redaksi suatu teks dan tidak berlebih-lebihan. Pemisahan tersebut baru muncul pada masa pencerahan Barat yang menjadi cikal bakal ilmu hermeneutika yang lahir pada abad ke-18 M.26 Berdasarkan pembacaan Penulis, istilah hermeneutika pertama kali diperkenalkan ke dalam budaya Barat dalam bentuk kata Latin hermeneutica oleh Johann Dannhauer, seorang teolog dari Strasbourg setelah abad ke-17.27 Dia memperkenalkan hermeneutika sebagai syarat terpenting bagi setiap ilmu pengetahuan yang mendasarkan keabsahannya pada interpretasi teks-teks.28
24
„Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 8-9. „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 9. 26 „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 11-12. 27 lihat Jean Grondin, Sejarah Hermeneutik; Dari Plato Sampai Gadamer (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), h. 45-47, ada pula yang menyebut abad ke-17, lihat juga Inyiak Ridwan Muzir, Hermeneutika Filosofis Hans-Georg Gadamer (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), h. 67. 28 Grondin, Sejarah Hermeneutik, h. 45-47. Lihat juga Muzir, Hermeneutika Filosofis Hans-Georg Gadamer, h.61-62. 25
111
Bagi Johann Dannhauer hermeneutika mengandung dua pengertian, yaitu hermeneutika sebagai seperangkat prinsip metodologis penafsiran dan hermeneutika sebagai penggalian filosofis dari sifat dan kondisi yang tak bisa dihindarkan dari kegiatan memahami.29 Pada abad inilah istilah hermeneutika berarti sebuah disiplin ilmu yang diperlukan untuk menafsirkan kitab suci Bibel, khususnya akibat “perbedaan” pendapat antara dua golongan Kristen yang muncul di akhir Abad Tengah Eropa: Katolik dan Protestanisme. 30 Posisi hermeneutika penting dalam tradisi penakwilan Barat, sehingga „Imarâh mengibaratkan hermeneutika tersebut bagaikan puncak gunung.31 Puncak adalah sesuatu yang paling tinggi daripada yang lain, maka sesuatu yang berada di puncak sangat menentukan apa yang ada di bawahnya. Begitulah permulaan dan perkembangan takwil yang pada hari ini telah menjelma menjadi hermeneutika, walaupun di sisi lain takwil sendiri masih dapat dijumpai dalam tradisi penafsiran umat Islam sampai saat ini. Objek kajian hermeneutika berpusat pada teks yang memiliki kekuatan pengaruh terhadap pemikiran, sosial kemasyarakatan dan lain sebagainya. Kemudian seiring perjalanan waktu, hermeneutika mulai menyapa teks suci alQur‟an. C. Kritik terhadap Hermeneutika Abû Zaid Hasil pemikiran Abû Zaid telah mengantarkannya kepada vonis murtad dan pemisahan dia dengan istrinya dari Mahkamah Mesir. Setelah 29
Mudjia Rahardjo, Hermeneutika Gadamerian; Kuasa Bahasa dalam Wacana Politik Gus Dur (Malang: UIN Malang Press, 2007), h. 89. 30 Muzir, Hermeneutika Filosofis Hans-Georg Gadamer, h. 67. 31 „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 7.
112
vonis tersebut, Abû Zaid membuat pernyataan sebagaimana yang dikutip oleh „Imârah yang menyatakan bahwa Abû Zaid mengaku seorang muslim, dan bangga dengan keislamannya, percaya kepada Allah Swt, Rasul Saw., hari akhir, Qada dan Qadr yang baik dan buruk. Demikian pula ia bangga dengan hasil ijtihâd-nya, maka dia tidak akan menarik hasil penelitiannya tersebut, kecuali
telah
terbukti
kesalahannya
berdasarkan
dalil-dalil
yang
menyatakannya salah.32 Pengakuan dari Abû Zaid tersebut adalah pernyataan yang jelas bahwa ia seorang muslim dan bangga dengan keislamannya, maka tidak boleh diragukan sama sekali. Namun, „Imârah melihat bahwa tulisantulisan Abû Zaid tersebut tidak sejalan dengan prinsip-prinsip akidah Islam yang telah disepakati oleh seluruh umat Islam sepanjang sejarah. Oleh sebab itu, „Imârah membuka pintu dialog sebagaimana yang diungkapkan juga oleh Abû Zaid kesediaan berdialog dan kembali menarik ijtihâd-nya jika terjadi kesalahan.33 Sebelum Penulis memaparkan tentang kritik „Imârah terhadap hermeneutika Abû Zaid, terlebih dahulu Penulis akan menjelaskan bagaimana posisi al-Qur‟an menurut „Imârah. „Imârah menyebutkan bahwa al-Qur‟an diturunkan dari Allah Swt. melalui al-Rûh al-Amîn (Jibril) ke hati Rasulullah Saw. selanjutnya disampaikan kepada manusia,34 maka posisi al-Qur‟an di
32
„Imârah, al-Tafsîr al-Markisî, h. 32. „Imârah, al-Tafsîr al-Markisî, h. 32-33. 34 „Imârah mengutip beberapa ayat al-Qur‟an mengenai hal tersebut, di antaranya QS. al-Baqarah[2]: 176 33
ّ َرٌِهَ ثِؤ َ َّْ َّللا. . ّ ٔضي ْاٌ ِىزَبة ثِب ٌْ َذ ...ك
Yang demikian itu karena Allah telah menurunkan Kitab (al-Qur‟an) dengan (membawa) kebenaran..
113
dalam Islam adalah kitab wahyu dan rujukan agama.35 Al-Qur‟an terjaga kemurniannya dan tidak tergantikan (QS. al-Hijr [15]: 9),36 kemuliannya terpelihara di Lauh al-Mahfûz (QS. al-Burûj [85]: 21-22).37 Al-Qur‟an menjadi pemersatu umat dan penghasil peradaban, nilai-nilai, akhlak, kebudayaan, menjadi rujukan bagi bahasa (khususnya bahasa Arab) dan lain sebagainya.38 Nabi Muhammad Saw. telah bersabda:
ُ رَ َش ْو ِٗ ٌِ ُْٛ ُعَّٕخَ َسعَٚ َِبة َّللا َ َّب ِوزِٙ ِْ ا َِب رَ َّ َّغ ْىزُ ُْ ثٍُّٛع ِ َ ِٓ ٌَ ْٓ ر٠ْ ُى ُْ أَ ِْ َش١ْ ِذ ف
“Aku telah tinggalkan kepada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.”39
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya (Bandung: Syamil Cipta Media, 2005), h. 26. QS. al-Syu‟arâ‟ [26]: 192-194
َٓ٠ْ ْ َْ َِِٓ ْاٌ ُّ ْٕ ِز ِسٛ لَ ٍْجِهَ ٌِزَ ُىٍَٝ َع. ُْٓ١ِِ َْ ُح ْاَلٚ ُّ َٔضَ َي ثِ ِٗ اٌش.ْٓ١ِّ ًٌَْ َسةّ ْاٌ َعب٠أَُِّٗ ٌِزَ ْٕ ِضَٚ
“Dan sungguh, (al-Qur‟an) ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan seluruh alam. Yang dibawa turun oleh al-Rûh al-Amîn (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar engkau termasuk orang yang memberi peringatan). Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 375. QS. al-Nisâ [4]: 136 ...ِٗ ٌِ ُْٛ َسعٍَْٝ َٔ َّض َي عٞ ْاٌ ِىزَبة اٌَّ ِزَٚ ِٗ ٌِ ُْٛ َسعَٚ ِْ ا ثِبَّللُِِٕٛ آ... “..Tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya (Muhammad) dan kepada Kitab (al-Qur‟an) yang diturunkan kepada Rasul-Nya... Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 100. Lihat „Imârah, al-Tafsîr al-Markisî, h. 42. 35 Lihat „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 23. Lihat juga Miftah Faridh dan Agus Syihabuddin, al-Qur‟an Sumber Hukum Islam yang Pertama (Bandung: Penerbit Pustaka, 1989), h. 3. 36
َْ ُْٛ أَِّب ٌَٗ ٌَذفِظَٚ أَِّب َٔذْ ُٓ َٔ َّض ٌَْٕب اٌ ّز ْو َش
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur‟an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya.” Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 262. 37
ٌ ْ لُشَٛ ُ٘ ًَْث ْ ٍظُٛح َِّذْ ف ٍ ٌَْٛ ْٟ ِ ف. ٌذ١ْ آْ َِّ ِج
“Bahkan (yang didustakan itu) ialah al-Qur‟an yang mulia. Yang (tersimpan) dalam (tempat) yang terjaga (Lauh Mahfuz)” Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 590. Lihat Ali Romdhoni, al-Qur‟an dan Literasi (Depok: Literatur Nusantara, 2013), h. 59. 38 „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 23. Lihat juga Ali Romdhoni, h. 58. 39 Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah dalam Sunannya, Abû Dâud dalam Sunannya, Imâm Mâlik dalam Muwatta‟, dan Imâm Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya, lihat Wensinck, al- Mu„jam al-Mufahras li Alfâz al-Hadîts al-Nabawî , jilid I (Leiden: Maktabah Bariel,
114
Al-Qur‟an menjadi magnet tersendiri bagi para pengkajinya, karena ia memuat berbagai informasi yang menjadi petunjuk bagi kehidupan manusia. Kemudian yang menarik adalah bagaimana kitab yang diturunkan beberapa abad yang silam bisa dipahami serta diamalkan di abad yang modern ini. Hermeneutika sebagaimana yang telah Penulis paparkan pada bab sebelumnya menawarkan cara pembacaan baru terhadap al-Qur‟an agar ia mampu menjawab berbagai permasalahan umat yang terus berubah dari waktu ke waktu, namun di sisi lain hermeneutika juga menghadirkan permasalahan baru dalam penafsiran al-Qur‟an itu sendiri. Hampir semua ulama akan mengatakan bahwa tafsir terbaik adalah menafsirkan al-Qur‟an dengan al-Qur‟an itu sendiri, atau hadits Nabi Muhammad Saw., namun karena pentingnya dialek dan tata bahasa dalam memahami makna al-Qur‟an, maka metode penafsiran al-Qur‟an mengalami perkembangan sejalan dengan berkembangnya pemikiran manusia (mufassir) itu sendiri.40 Tantangan umat Islam dalam berinteraksi dengan al-Qur‟an semakin besar, yaitu dalam menemukan metodologi untuk menentukan sejauh mana suatu konteks dipandang relevan bagi sebuah penafsiran dan kapan mendahulukan prinsip-prinsip yang umum atas aturan-aturan yang khusus.41 Oleh karena hal-hal di atas, pemahaman terhadap al-Qur‟an perlu menjadi perhatian lebih mendalam, sehingga al-Qur‟an dapat berfungsi 1936), h. 270. Lihat juga Imâm Mâlik, Muwatta‟ al-Imâm Mâlik (UEA: Muassasah bi Sultan alInhiyan li a„mal khoyriyyah, 2004), h. 1323. 40 Ingrid Mattson, Ulumul Quran Zaman Kita: Pengantar Untuk Memahami Konteks, Kisah, dan Sejarah al-Qur‟an. Penerjemah R. Cecep Lukman Yasin (Jakarta: Zaman, 2013), h. 292. 41 Mattson, Ulumul Quran Zaman Kita, h. 316.
115
sebagaimana mestinya, yaitu menjadi petunjuk bagi manusia sepanjang zaman, bukan hanya pada saat al-Qur‟an itu diturunkan. Pembahasan terhadap teks tidak akan pernah selesai dibahas, begitu pula hubungan antara pengarang, teks, dan pembaca tidak dapat dielakkan demi mencapai sebuah pemahaman. Fenomena hermeneutika tidak dapat dinafikan, baik digunakan untuk menafsirkan “karya manusia” maupun untuk memahami “karya Tuhan”. Di samping itu, hermeneutika telah memberikan “angin segar” bagi sebagian cendikiawan untuk memahami al-Qur‟an dengan lebih “berani”. Al-Qur‟an sebagai kalâm Ilâhi tidak luput dari “pantauan hermeneutika” dalam mengungkapkan makna yang tersirat di dalam ayatayatnya. Dalam
pembahasan
ini
Penulis
memaparkan
tentang
kritik
Muhammad „Imȃrah terhadap hermeneutika Abû Zaid. Setelah Penulis membaca karya-karya „Imȃrah, Penulis menemukan kritik-kritik „Imȃrah terhadap hermeneutika Abû Zaid sebagai berikut: 1. Kritik Tekstualitas dan Kontekstualitas al-Qur’an Al-Qur‟an adalah kalâm atau perkataan Allah Swt. yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw. yang telah dipilih-Nya menjadi utusan untuk menyampaikan kalâm Ilâhi tersebut kepada umat manusia dengan tujuan menuntun mereka agar tidak tersesat dalam mengarungi kehidupan di dunia dan akhirat. Di antara yang menarik perhatian „Imȃrah adalah pernyataan Abû Zaid tentang al-Qur‟an, karena bagi Abû Zaid al-Qur‟an itu terbentuk dan
116
sempurna dalam realitas, dan realitas itu adalah asal, maka dari realitas itulah terbentuknya teks (al-Qur‟an) melalui budaya lisan.42 Oleh sebab itu, Abû Zaid menyebut bahwa al-Qur‟an adalah produk budaya, karena terbentuk dalam realitas dan budaya dalam rentang waktu lebih dari dua puluh tahun. Di samping itu, Allah Swt. menurunkan al-Qur‟an kepada Rasulullah Saw. dan telah memilih sistem bahasa tertentu (bahasa Arab) sesuai bahasa penerimanya. Oleh karena itu, berbicara mengenai bahasa berarti berbicara mengenai budaya dan realitas, begitu pula tidak mungkin berbicara tentang teks terpisah dari budaya dan realitas selama teks berada dalam kerangka budaya sistem bahasa, maka dalam konteks ini Abû Zaid menyebut al-Qur‟an sebagai produk budaya.43 Al-Qur‟an menurut Abû Zaid hanyalah nass bahasa yang terbentuk di dalam realitas dan peradaban, dan dia dipengaruhi oleh realitas. Menurutnya juga penyebab keterbelakangan pemikiran dalam peradaban Arab Islam, yaitu menjadikan al-Qur‟an sebagai nass suci dan menjauhkan dari sifat asalnya, yaitu sebagai nass bahasa.44 Dalam menghadapi tuduhan-tuduhan yang dilontarkan oleh Abû Zaid tentang tekstualitas al-Qur‟an, Penulis melihat „Imȃrah dengan tegas membantah apa yang disampaikan oleh Abû Zaid tersebut, seperti teks alQur‟an dibentuk oleh realitas.45 „Imârah mengatakan bahwa al-Qur‟an tidak
42
Nasr Hȃmid Abû Zaid, Naqd al-Khitȃb al-Dînî, (Mesir: Sina li.al-Nasr, 1994) h. 130. „Imȃrah, al-Tafsîr al-Markisî, h. 43-45, 49-50. 43 Nasr Hâmid Abû Zaid, Tekstualitas al-Qur‟an: Kritik terhadap Ulumul Qur‟an. Penerjemah Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta: Lkis, 2005), h. 20. 44 „Imârah, al-Tafsîr al-Markisî, h. 46. 45 „Imȃrah, al-Tafsîr al-Markisî, h. 59.
117
diciptakan dari realitas dan bukan produk budaya, karena Allah Swt. menurunkan al-Qur‟an secara lafaz dan makna serta diturunkan dalam berbahasa Arab, firman Allah Swt. dalam QS. Yûsuf [12]: 2
َْ ًٍُِّْٛب ٌَ َعٍَّ ُى ُْ رَ ْعم١أَِّآ أَ ْٔ َض ٌَْٕبُٖ لُشْ آًٔب َع َش ِث “Sesungguhnya
Kami menurunkannya berbahasa Arab, agar kamu mengerti.”
berupa
Qur‟an
Begitu juga yang terdapat pada QS. Tâha [20]: 113
َْْٚ َْ أَُٛزَّم٠ ُْ ٍَُّٙ ِذ ٌَ َع١ْ ِعَٛ ٌ ِٗ َِِٓ ْا١ْ ِل َّش ْفَٕب ف َ ٌِ َو َزاَٚ َ َٚ ًّب١ِه أَ ْٔ َض ٌَْٕبُٖ لُشْ آًٔب ع ََشث ُ ُذْ ِذ٠ ُ ُْ ِر ْو ًشاٌَٙ س “Dan demikianlah Kami menurunkan al-Qur‟an dalam bahasa Arab, dan Kami telah menjelaskan berulang-ulang di dalamnya sebagian dari ancaman, agar mereka bertakwa, agar (al-Qur‟an) itu memberi pengajaran bagi mereka” Demikian pula dalam QS. al-Syûra [42]: 7,46 dan QS. al-Zukhrûf [43]: 3.47 Bagi „Imȃrah tidak ada pertentangan antara al-Qur‟an di satu sisi sebagai teks bahasa, karena al-Qur‟an itu berbahasa Arab dan al-Qur‟an itu wahyu Ilâhi dan suci di sisi yang lain.48 „Imȃrah juga menegaskan bahwa kaum muslimin percaya bahwa al-Qur‟an diturunkan dari Allah Swt., maka sebelum ia diturunkan al-Qur‟an berada di sisi Allah Swt. Dengan demikian al-Qur‟an berasal dari Allah Swt. bukan dari realitas sebagaimana yang 46
..ًّب١ِه لُشْ آًٔب َع َشث َ ١ْ ٌََِٕب ا١ْ ْ َدَٚه أ َ ٌِ َو َزاَٚ
“Dan demikianlah Kami wahyukan al-Qur‟an kepadamu dalam bahasa Arab..” 47
َْ ًٍُِّْٛب ٌَ َعٍَّ ُى ُْ رَ ْعم١ِأَِّب َج َع ٍَْٕبُٖ لُشْ آًٔب َع َشث
“Kami menjadikan al-Qur‟an dalam bahasa Arab agar kamu mengerti” Lihat „Imȃrah, al-Tafsîr al-Markisî, h. 50-51. 48 „Imȃrah, al-Tafsîr al-Markisî, h. 44-46.
118
disangkakan oleh Abû Zaid. Kaum muslimin juga mengimani bahwa alQur‟an adalah wahyu terakhir yang dijaga Allah Swt. dari perubahan. Kaum muslimin meyakini bahwa al-Qur‟an bukanlah dan tidak mirip dengan syair.49 Kaum Muslimin sepakat bahwa Arabnya al-Qur‟an baik lafaz maupun susunannya adalah perbuatan Ilahi, bukan perbuatan manusia, bukan juga Rasulullah Saw., tetapi Allahlah yang menurunkannya berbahasa Arab, dan mewahyukannya berbahasa Arab, dan menjadikannya bahasa Arab.50 Abû Zaid menyatakan bahwa al-Qur‟an terbentuk oleh atau berasal dari realitas. Dengan demikian al-Qur‟an naik dari realitas, bukan turun ke realitas. Sebelum dibaca Nabi Saw., al-Qur‟an tidak memiliki bentuk di luar realitas yang membentuknya, maka realitas tersebut mempengaruhinya dan terpengaruh. Oleh karena itu, baginya al-Qur‟an adalah buah dari realitas, karena ia dibentuk oleh realitas dan budaya. Nass (al-Qur‟an) terbentuk 49
„Imȃrah menyebutkan firman Allah Swt. yang mendukung pernyataannya tersebut, yaitu QS. Yâsin [36]: 69
ٌ ْ لُشَٚ اِ ََّل ِر ْو ٌشَٛ ُ٘ ْْ ِ ٌَُٗ اَٟ ْٕجَ ِا٠ َِبَٚ َِب عٍََّ َّْٕب ُٖ اٌ ِّؾع َْشَٚ ٌْٓ ١آْ ُِّ ِج
“Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah pantas baginya. Al-Qur‟an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang jelas.” Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 444. Demikian juga dalam QS. al-Hâqah [69]: 40-43
.ْ ُْٚ ًْا َِّب رَ َز َّوش١ٍَِْ ِي َوب ِ٘ ٍٓ لَٛ ََل ثِمَٚ . َْ ُِِْٕٛ ًْا َِب رُ ْئ١ٍَِْ ِي َؽب ِع ٍش لَٛ ثِمَُٛ ٘ َِبَٚ .ٍُْ ٠ْ ٍي َو ِشُْٛ ُي َسعَٛأَِّٗ ٌَم .ْٓ١ِّ ٌَ ًٌ ِِّ ْٓ َسةِّ ْاٌ َعب٠ْ رَ ْٕ ِض “Sesungguhnya ia (al-Qur‟an itu) benar-benar wahyu (yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia. Dan ia (al-Qur‟an) bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran darinya. Ia (al-Qur‟an) adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan seluruh alam.” Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 568. Lihat „Imȃrah, al-Tafsîr al-Markisî, h. 47-48, 53-54. 50 „Imârah, al-Tafsîr al-Markisî, h. 50.
119
melalui budaya syafâhiyyah (lisan), maka budaya dan bahasa mempengaruhi nass (al-Qur‟an). „Imârah menegaskan bahwa Terdapat banyak ayat-ayat alQur‟an yang muhkamât yang menerangkan bahwa al-Qur‟an diturunkan Allah Swt. melalui perantaraan malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Saw.51 Dengan demikian al-Qur‟an bukan dibentuk oleh realitas sebagaimana yang diungkapkan oleh Abû Zaid. Dalam menjawab hermeneutika Abû Zaid yang menyatakan „kontekstualitas dan historisitas al-Qur‟an‟, „Imârah menyatakan bahwa alQur‟an memiliki kekayaan kandungan yang mampu menjawab realitas yang selalu berubah dari masa ke masa,52
karena al-Qur‟an adalah mukjizat
terbesar Nabi Muhammad Saw. yang menjadi petunjuk sampai akhir zaman. Di samping itu, „Imârah menuturkan bahwa ayat al-Qur‟an terdiri atas 6236 ayat dan yang memiliki asbâb al-nuzûl hanya sedikit yaitu tidak sampai 472 ayat atau 7,5 % dari total ayat al-Qur‟an. Dengan demikian, ayat-ayat al-Qur‟an yang diturunkan tanpa sabab al-nuzûl lebih dari 90 %.53 Ini membuktikan bahwa al-Qur‟an tidak berasal dari realitas, tetapi diturunkan oleh Allah Swt. Lebih lanjut „Imârah mengkritik pemikiran Abû Zaid bahwa dengan diterimanya khitâb al-Qur‟an adalah historis dan nass al-Qur‟an berubah dari tanzîl menjadi takwil, akan menjadikan al-Qur‟an sebagai nass manusia, bukan lagi nass Ilahi, dan al-Qur‟an bukanlah “tanzîl” yang dijanjikan Allah Swt menjaganya, karena dia nass bahasa, dia berubah dari 51
„Imârah, al-Tafsîr al-Markisî, h. 42-44. „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 23. 53 „Imârah, al-Tafsîr al-Markisî, h. 78. 52
120
nass Ilahi menjadi nass insânî. Oleh sebab itu, al-Qur‟an menjadi kitab manusia, bukan kitab Allah.54 Penulis melihat bahwa pemikiran Abû Zaid tentang al-Qur‟an di atas telah keliru, karena menganggap al-Qur‟an adalah produk budaya, sehingga menyamakan teks al-Qur‟an dengan teks-teks lainnya, sedangkan al-Qur‟an adalah mukjizat terbesar Nabi Muhammad Saw. yang diturunkan oleh Allah Swt. yang lafaz dan maknanya dari Allah Swt. 2. Kritik Penafsiran Abû Zaid Hermeneutika bagi „Imȃrah adalah bentuk pengembangan dari takwil yang telah dikenal dalam dunia Islam sejak berabad-abad yang lalu. Namun, hermeneutika yang dikenal dalam pemikiran Barat sejak abad Yunani tersebut telah memutuskan hubungan moralitas umat dengan Tuhan, dan dasar pemutusan hubungan tersebut adalah karena pemikiran “kematian Tuhan”, dan menakwilkan teks agama dengan penakwilan yang menjauhkan pemahaman pembaca dari maksud Tuhan tersebut.55 Pada mulanya hermeneutika muncul dari filsafat Yunani, dan berkembang menjadi penakwilan yang berlebih-lebihan serta menganggap pengarang sebuah teks telah mati, sehingga menghapus tujuan pengarang tersebut. Selanjutnya hermeneutika berusaha “memanusiakan” teks agama, hingga sampailah kepada seruannya yang keji dan mungkar, yaitu “sungguh Allah telah mati”56
54
„Imârah, al-Tafsîr al-Markisî, h. 65. „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 7, 13. 56 „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 22. 55
121
Dalam kaitannya dengan hermeneutika Abû Zaid, „Imârah menjelaskan bahwa bagi Abû Zaid realitas adalah asal, dari realitas terbentuk nas (al-Qur‟an), dari bahasa realitas dan peradaban realitas tersebut terbentuk konsep-konsep al-Qur‟an. Di samping itu, karena terdapat interaksi manusia dengan al-Qur‟an, maka dilâlah-nya selalu baru karena manusia selalu berubah. Realitas adalah yang pertama, karena ia dibentuk oleh realitas. Kedua juga realitas, dan terakhir pun realitas.57 Wacana pembacaan al-Qur‟an ini berbeda dengan wacana pembacaan al-Qur‟an kontemporer lainnya, karena pendekatan-pendekatan kontemporer lainnya masih membahas tentang Allah sebagai qâ‟il al-nass (pembicara), Nabi Saw. sebagai al-mustaqbal al-awwal (penerima pertama), kemudian setelah itu barulah realitas. Pembacaan seperti ini adalah dialektika turun (hâbit), yaitu dari Allah kemudian Nabi Muhammad Saw. dan realitas. Adapun pendekatan Abû Zaid kebalikannya, yaitu dialektika naik (sâ„id), yaitu berasal dari realitas, karena al-Qur‟an terbentuk oleh realitas.58 Setelah
Penulis
membaca
karya-karya
„Imârah,
penulis
menemukan kritikan-kritikannya terhadap metode penafsiran Abû Zaid, yaitu sebagai berikut: a. Hermeneutika Abû Zaid Mendewakan Pembaca dan Akal Sebagaimana yang telah Penulis kemukakan pada pembahasan sebelumnya bahwa hermeneutika berusaha mendialogkan antara pengarang, teks dan pembaca. Namun, seiring dengan perkembangannya, hermeneutika 57 58
„Imârah, al-Tafsîr al-Markisî, h. 44. „Imârah, al-Tafsîr al-Markisî, h. 45.
122
lebih menekankan kepada peran pembaca dalam menghasilkan makna dari sebuah teks. Lebih ekstrim lagi bagi „Imȃrah, hermeneutika menempatkan pembaca sebagai posisi pengarang, dan menjadikan pembaca ini penghasil atau produser teks.59 Hermeneutika memberikan jalan pemahaman yang luas bagi pembaca, yaitu dengan memperhatikan penunjuk makna, tetapi pertanyaan selanjutnya yang mesti dijawab adalah dari mana munculnya penunjuk makna tersebut? Apakah dari penutur (pengarang), pembaca atau teks?60 Bagi „Imȃrah jika penunjuk tersebut muncul dari pembaca, maka akan mengubah makna teks yang satu kepada makna yang beragam yang disebabkan oleh beragamnya pembaca terhadap teks tersebut.61 Begitu pula hermeneutika yang diusulkan oleh Abû Zaid, dan jika metode ini diterapkan dalam menafsirkan al-Qur‟an, maka menurut „Imârah akan menghasilkan berbagai bacaan karena beragamnya pembaca al-Qur‟an tersebut dengan cara mengalihkan lafaz-lafaz-nya setelah mengosongkan makna-makna yang telah diturunkan Allah Swt. 62 Di samping itu, „Imârah melihat bahwa hermeneutika Abû Zaid telah mendewakan akal, karena ketika terdapat ayat al-Qur‟an secara zâhir bertentangan dengan akal, maka hermeneutika akan mendahulukan akal. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa bagi „Imârah hermeneutika Abû Zaid akan menghasilkan berbagai makna karena beragamnya pembaca terhadap al-Qur‟an tersebut dengan cara mengalihkan lafaz-lafaz-nya
59
„Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 14. „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 15. 61 „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 15. 62 „Imârah, al-Tafsîr al-Markisî, h. 62. 60
123
setelah membuang makna-makna yang telah diturunkan Allah Swt.63 Berdasarkan ini, maka
hermeneutika Abû Zaid juga mendewakan akal
dalam proses penafsirannya, sehingga yang diperoleh dari al-Qur‟an adalah hasil pemahaman setiap pembaca yang beragam karena beragamnya pembaca terhadap al-Qur‟an tersebut dan hal tersebut dia dapatkan setelah mengenyampingkan makna yang diturunkan langsung oleh Allah Swt. dan menghadirkan
makna
baru.
Hal
ini
menunjukkan
bahwa
dalam
hermeneutika Abû Zaid setiap pembaca menggunakan akalnya secara lepas untuk menghadirkan makna baru dan mengenyampingkan makna yang diturunkan Allah Swt. Pada dasarnya akal di dalam Islam menempati posisi yang tinggi, karena Allah Swt. telah menciptakan manusia dengan bentuk yang sempurna dan dibekali dengan akal dan nafsu. Dengan akal manusia mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, dan dengan akal pula manusia mampu mengemban tugas sebagai khalifah di bumi ini,64 dan al-
63
„Imârah, al-Tafsîr al-Markisî, h. 62. Dengan kemulian itulah Allah Swt. memerintahkan kepada para malaikat dan iblis untuk sujud kepada manusia (Adam a.s). Firman Allah dalam QS. al-Baqarah [2]: 30. 64
ُ ِ ْغف٠َ َٚ َبٙ١ْ ُِّ ْف ِغ ُذ ف٠ ْٓ َِ َبٙ١ْ ِْ آ اَرَجْ َع ًُ فٌُٛفَخً لَب١ْ ٍِ َض خ ه َ َاِ ْر لَٚ ِ ْ ْاَلَسْٟ ِ َجب ِعًٌ فْٟ ِِّٔبي َسثُّهَ ٌِ ٍٍّْئِ َى ِخ ا َْ ُّْٛ ٍَ اَ ْعٍَ ُُ َِب ََل رَ ْعْٟ ُِِّٔٔمَذِّطُ ٌَهَ لَ ًَ اَٚ ََٔذْ ُٓ ُٔ َغجِّ ُخ ِث ِذ ّْ ِذنَٚ اٌ ِّذ َِب َء
“Dan (Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 6. Begitu juga kemuliaan dan ilmu pengetahuan yang diberikan oleh Allah Swt. kepada Nabi Sulaiman as. telah menjadikan ia menjadi raja yang kaya raya dan semua makhluk tunduk akan perintahnya. Kisah lebih lengkap lihat Ahmad Bahjat, Nabi-Nabi Allah. Penerjemah Muhtadi Kadi dan Musthofa Sukawi (Jakarta: Qisthi Press, 2007), h. 35-54, 387- 410.
124
Qur‟an selalu mengajak manusia untuk senantiasa menggunakan akalnya.65 Oleh sebab itu, menurut „Imȃrah akal adalah objek taklîf, maka seseorang yang tidak berakal tidak akan dibebani syari‟at,66 karena dengan akal tersebut dia mampu mengetahui bahwa al-Qur‟an, Sunnah, dan ijmâ‟ itu sebagai hujjah.67 Lebih jauh, akal juga mengantarkan jalan menuju keimanan,68 contohnya kisah Nabi Ibrahim.69 Perdaban Yunani Kuno atau peradaban Barat modern, filosof berangkat dari kekuatan akal yang dijakian satu-satunya alat untuk 65
Di dalam al-Qur‟an terdapat ungkapan-ungkapan yang memerintahkan manusia menggunakan akalnya, seperti: memandang secara seksama (nazar), berfikir (tafakkur), merenungkan (tadabbur), mengambil pelajaran (i‟tibâr), menyadari (tadzakkur), dan mendalami pemahaman (tafaqquh), seperti: QS. Sâd [38]: 29
ٌ بس ة َ َهَ َِج١ْ ٌَِِوزَبةٌ اَ ْٔضَ ٌَْٕبُٖ ا ِ ا ْاٌجَبٌَُُٛٚزَ َز َّو َش ا١ٌَِٚ ِٗ َِز٠ْ آ اٚ َُ َّذثَّش١ٌِّ ن
“ Kitab (a-Qur‟an) yang Kami turunkan kepadamu, penuh berkah agar supaya mereka menghayati ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran.” Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 455. Lihat Hasan Yusufian dan Ahmad Husain Sharifi, Akal & Wahyu: Tentang Rasionalitas dalam Ilmu, Agama, dan Filsafat (Jakarta: Sadra Press, 2011), h. 243. 66 Muhammad „Imȃrah, al-Ghazwu al-Fikri: Wahm am Haqîqah (Kairo: Lajnah al„Ulyâ li al-Da„wah al-Islâmiyyah, t.t), h. 45. 67 „Imȃrah, al-Ghazwu al-Fikri, h. 50, lihat juga Abdul Moqsith Ghazali, Menegaskan Kembali Pembaruan Pemikiran Islam dalam Tantowi Anwari dan Evi Rahmawati, ed. Pembaruan Pemikiran Islam Indonesia (Jakarta: KEMI, LSAF, Hivos, 2011), h. 12. 68 „Imȃrah, al-Ghazwu al-Fikri, h. 49. 69 Nabi Ibrahim berdakwah kepada ayahnya, kaumnya (penduduk Carrhae-Huran) yang menyembah bintang, bulan, dan matahari, penduduk Babilonia yang menyembah patung. Dengan akal yang dimilikinya, Nabi Ibrahim berusaha mengajak kaumnya untuk menggunakan akal dalam mencari Tuhan yang patut disembah. Pada awalnya ia menyerukan umatnya agar meninggalkan penyembahan berhala, karena berhala tidak memberikan apa-apa kepada manusia. Kemudian Ibrahim menyeru agar menyembah bintang-bintang yang bercahaya. Tetapi kemudian Ibrahim menyerukan bahwa bintang-bintang tersebut telah terbenam pada siangnya dan dia tidak suka dengan Tuhan yang terbenam, firman Allah dalam QS. al-An„âm [6]: 74-75). Kemudian dia mengumumkan kembali bahwa bulan adalah Tuhannya, namun kemudian membantahnya kembali karena terbit dan terbenam, firman Allah Swt. dalam QS. al-An„âm [6]: 76-77. Setelah itu, Nabi Ibrahim mengajak untuk menyembah matahari, karena ia adalah bintang yang paling besar, namun ia kembali membantah tatkala matahari terbenam. Pada akhirnya Nabi Ibrahim berusaha menyadarkan kaumnya bahwa semuanya itu bukanlah Tuhan, tetapi Tuhannya adalah Allah Swt. (lihat QS. al-An„âm [6]: 78-79). Lihat Sâlim bin „Ied al-Hilali, Kisah Shahih Para Nabi. Penerjemah M. Abdul Ghaffar E. M (Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi„i, 2009), h. 237, 240-243, 246-264, lihat juga Nafron Hasjim, Kisasul Anbiya: Karya Sastra yang Bertolak dari Qur‟an serta Teks Kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Musa (Jakarta: Intermasa, 1993), 248. Lihat juga Ahmad Bahjat, Nabi-nabi Allah, h. 92, 96-101.
125
memperoleh pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu.70 Posisi akal di dalam Islam memang tinggi, namun bagi „Imârah akal tidak berdiri sendiri sebagaimana pemikiran Yunani Barat, tetapi ia berdiri bersama dengan alQur‟an, Sunnah, dan ijmâ‟, maka akal dan Naql adalah dua hal yang bisa menjadi dalil.71 Hal inilah bagi „Imȃrah yang membedakan antara peradaban Arab Islam dan Barat.72 Oleh sebab itu, bagi „Imȃrah al-Qur‟an tidak bertentangan dengan akal dengan beberapa alasan, pertama bahwa posisi akal di dalam Islam menempati tempat yang tinggi, karena akal menjadi syarat keberagamaan dalam Islam. Kedua, mukjizat al-Qur‟an merupakan mukjizat „aqliyyah, karena diperlukannya akal untuk memahaminya, dan untuk membedakan antara ayat yang muhkam dan mutasyâbih, dan begitu juga di dalam menafsirkannya. Ketiga, akal merupakan jalan keimanan adanya Allah Swt. dan keesaan serta sifat-sifat-Nya dan lain sebagainya.73 Terdapat perbedaan antara pemikiran Islam dan Barat mengenai posisi akal, sebagaimana disebutkan di atas bahwa akal di dalam Islam tidak mampu berdiri sendiri tanpa adanya naql, maka hermeneutika yang berasal dari Barat tersebut menurut „Imȃrah telah berlebih-lebihan dalam menempatkan akal dalam memahami al-Qur‟an. Akal yang diberikan oleh Allah Swt. kepada manusia untuk berfikir telah digunakan berlebih-lebihan 70
Muhammad „Imârah, Perang Terminologi Islam Versus Barat. Penerjemah Musthalah Maufur (Jakarta: Robbani Press, 1998), h. 217. 71 „Imȃrah, al-Ghazwu al-Fikri, h. 49. 72 „Imȃrah, al-Ghazwu al-Fikri, h. 51. 73 Muhammad „Imȃrah, “Haula Tanâqud al-Naql-al-Qur‟ân-Ma„a al-Naql,” dalam Ali Jum‟ah Muhammad, ed., Haqâiq al-Islâm fî Muwâjahât al-Musyakkikîn (Kairo: Jumhûriyyah Misr al-„Arabiyyah wizârah al-Aufâq al-Majlis al-A‟lâ li Syu‟ûn al-Islâmiyyah, 2002), h. 400-402. Lihat juga Muhammad „Imȃrah, Ma„rakah al-Mustalahât baina al-Gharb wa al-Islâm (Kairo: Nahdah Misr, 1928), h. 158-160, Muhammad „Imȃrah, Mustaqbalunâ baina al-Tajdîd al-Islâmî wa al-Hadâtsah al-Gharbiyyah (Kairo: Maktabah al-Syurûq al-Dauliyyah, 2003), h. 22.
126
oleh manusia itu sendiri, sedangkan akal sebagai ciptaaan Allah Swt. memiliki kelemahan-kelemahan sebagaimana juga manusia yang menjadi tempat akal itu diciptakan.74 Pada poin yang pertama ini, „Imârah ingin menjelaskan bahwa hermeneutika Abû Zaid telah berusaha menempatkan pembaca menjadi penulis atau pengarang dari sebuah teks. Akibat dari pemahaman ini adalah dengan hermeneutika Abû Zaid kita tidak mengetahui adanya makna yang benar bagi teks tersebut, karena begitu besarnya peran pembaca dalam menghasilkan makna teks tersebut dan beragamnya makna teks yang dikarenakan banyaknya cara pandang setiap pembaca terhadap teks tersebut. Seorang pembaca mungkin memiliki pemahaman yang berbeda dengan pembaca lainnya sesuai dengan latar belakang pendidikan, sosial dan kemampuannya memahami sebuah teks. Semakin banyak pembacanya, kemungkinan keberagaman makna terhadap suatu teks akan bermacammacam pula. Dengan demikian, makna yang dimaksudkan oleh pengarang sebuah teks akan semakin kabur dan tidak jelas. Demikian pula bahwa hermeneutika Abû Zaid telah mendewakan akal. Pada dasarnya „Imȃrah meyakini bahwa akal menempati posisi yang penting di dalam Islam, karena ia adalah penyebab taklîf, mengantarkan jalan menuju keimanan, serta dibutuhkan untuk memahami ayat-ayat alQur‟an. Akan tetapi, menurut „Imȃrah akal manusia yang terbatas tidak mampu untuk mengetahui segala hal, maka mendewakan akal dalam
74
„Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h.73-74.
127
hermeneutika merupakan suatu usaha yang berlebih-lebihan dalam menyingkap makna kalâm Tuhan. b. Berlebih-lebihan dalam Menakwilkan Ayat-ayat al-Qur’an Hakikat kalâm Allah Swt. (al-Qur‟an) tidak kita ketahui, karena akal manusia terbatas, namun dalam masalah penafsiran, kita dapat menjangkau sekelumit dari kalâm-Nya tersebut dikarenakan al-Qur‟an diturunkan dalam bahasa manusia (bahasa Arab). Firman Allah Swt. QS. alZukhrûf [43]: 3:75
َْ ًٍُِْٛب ٌَ َعٍَّ ُى ُْ رَ ْعم١ِّأَِّب َج َع ٍَْٕبُٖ لُشْ آًٔب َع َشث “Sesunggguhnya Kami menjadikannya (Kalâm Allah Swt.) berupa al-Qur‟an yang berbahasa Arab agar kamu dapat memahami (pesan-pesannya).”76 Oleh karena al-Qur‟an diturunkan dalam bahasa manusia, maka alQur‟an tersebut dapat dipahami dengan mempelajarinya lebih mendalam berikut dengan ilmu yang berkaitan dengannya.
Namun, „Imârah
berpendapat bahwa metode hermeneutika telah membuka pintu berlebihlebihan dalam penakwilan, sehingga tidak terdapat lagi makna yang tetap di dalam teks-teks tersebut.77 Dengan demikian, hermeneutika telah berhasil memutuskan makna yang dibawa teks-teks turâts tersebut (tujuan pengarangnya).78
75
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami al-Qur‟an (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 44-45. 76 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 489. 77 „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 16. 78 „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 17.
128
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa hermeneutika yang diterapkan dalam teks agama menganggap Tuhan telah mati dan pembaca diberikan kebebasan berlebih dalam menakwil, karena pembaca dinilai sebagai yang mengeluarkan teks agama tanpa sama sekali membedakan antara wahyu Tuhan dan teks-teks yang telah diubah dan dikembangkan oleh manusia, hermeneutika memperlakukan teks agama yang mutlak sebagai sesuatu yang nisbî.79 Demikian
pula
halnya
dengan
kritik
„Imârah
terhadap
hermeneutika Abû Zaid dengan sebuah pertanyaan apa yang akan terjadi jika tidak membatasi makna-makna yang telah dibatasi wahyu, sehingga melampaui makna yang seharusnya, maka maknanya akan berubah dari hakikat kepada majâz. Oleh sebab itu, alam ghaib, surga, neraka, hari perhitungan, pembalasan, pahala, azab, bahkan ketuhanan, ketauhidan, penciptaan, malaikat dan lain sebagainya akan berubah menjadi majâz.80 Berdasarkan pemaparan di atas, Penulis menyimpulkan bahwa alQur‟an tetaplah firman Tuhan yang tidak akan berubah menjadi perkataan manusia dan lainnya. Penafsiran Nabi Muhammad Saw. terhadap al-Qur‟an adalah bimbingan Rasulullah Saw. dalam menjabarkan makna al-Qur‟an yang belum dimengerti oleh para sahabat. Ulama tafsir telah berusaha semaksimal mungkin menafsirkan al-Qur‟an agar bermanfaat sepanjang zaman dengan menggunakan seperangkat ilmu yang disebut dengan ilmu 79
„Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 19-20. „Imȃrah, al-Tafsîr al-Markisî, h. 69. Majâz adalah lawan dari kata haqîqah yang berarti sesuatu yang ditempatkan penggunaannya tidak pada asal tempatnya. Lihat Abû al-Fadl Jamâl al-Dîn Muhammad ibn Mukarram ibnu Manzûr, Lisân al-„Arab, jilid x (Kairo: Dâr alMa„ârif, 1119), h. 52. 80
129
tafsir dan takwil. Ilmu Tafsir dan takwil berbeda dengan hermeneutika yang berusaha memisahkan antara pengarang teks (Allah Swt.) dan makna alQur‟an itu sendiri. Di samping itu, hermeneutika Abû Zaid telah berlebihlebihan dari berbagai hal, berlebih-lebihan dalam menakwilkan ayat-ayat alQur‟an, sehingga tidak ada lagi makna yang tetap bagi teks-teks tersebut. c. Menempatkan Penunjuk Makna dan Maghzâ pada Posisi Makna Sebuah metode penafsiran digunakan untuk mempermudah memahami kandungan ayat-ayat al-Qur‟an agar makna yang dikehendaki Allah Swt. dapat dipahami dengan baik. Oleh sebab itu, para ulama Islam telah menyusun ilmu tafsir dan takwil untuk memahami kalâm Allah Swt., dan ilmu tersebut berbeda dengan hermeneutika, karena menurut „Imȃrah hermeneutika merupakan ilmu memahami teks dimana penunjuk makna dan maghzâ menempati posisi makna yang dimaksud penulis atau pengarang,81 padahal penunjuk makna (dilâlah) dan maghzâ tersebut merupakan pemahaman individu pembaca terhadap sebuah teks.82 Hermeneutika telah membuka peluang besar munculnya beragam penunjuk makna yang disebabkan karena beragamnya pembaca terhadap suatu teks, dan pada tahap selanjutnya hermeneutika pun menjadi bermacam-macam pula, karena beragamnya pembaca tersebut.83 Oleh karena itu, dalam hermenutika seorang pembaca teks telah menempati posisi pengarang, maka pembacalah yang telah menghasilkan makna dari teks tersebut. Hermeneutika adalah
81
„Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 7. „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 14. 83 „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 14. 82
130
kematian pengarang dan menghapus tujuan-tujuan dan makna-makna yang terkandung dalam sebuah teks, maka seorang pembaca tidak lagi menuju kepada tujuan penulis, tetapi memproduksi penunjuk makna yang baru dan tentunya dengan makna yang baru pula.84 Di dalam menafsirkan al-Qur‟an, menurut „Imârah Abû Zaid menerapkan metode hermeneutika dialektis dalam pengkajian al-Qur‟an.85 Dalam buku-buku Abû Zaid, Penulis menemukan bahwa Abû Zaid melakukan pembacaan ulang al-Qur‟an dalam mencari makna historis di satu sisi dan makna sekarang di sisi lain.86 Hermeneutika telah mengalihkan perhatian dari al-Qur‟an kepada peran mufassir, maka hermeneutika dialektis Gadamer dianggap sebagai titik permulaan untuk melihat hubungan mufassir dengan teks agar dapat melihat bagaimana berbagai pandangan itu bisa berbeda-beda, juga untuk melihat jangkauan pengaruh pandangan setiap zaman melalui lingkungannya terhadap teks Qur‟ani, dan di sisi lain dapat mengungkap sikap berbagai kecendrungan kontemporer terhadap penafsiran teks al-Qur‟an.87 Abû Zaid tidak sepenuhnya mengikuti hermeneutika Gadamer, karena Gadamer tidak mementingkan metode, sedangkan Abû Zaid mementingkannya, maka dia mengikuti Ricoeur dalam hal ini.88 Dalam perkara lain, Abû Zaid mengikuti hermeneutika Hirsh, di mana bagi suatu 84
„Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 16. „Imȃrah, al-Tafsîr al-Markisî, h. 63-64. 86 Nasr Hâmid Abû Zaid, Hermeneutika Inklusif: Mengatasi Problematika Bacaan dan Cara-cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan, penerjemah Muhammad Mansur dan Khorian Nahdliyin. Jakarta: ICIP, 2004, h. 50-63. 87 Abû Zaid, Hermeneutika Inklusif, h. 63. 88 Abû Zaid, Hermeneutika Inklusif, h. 54-60. 85
131
teks terdapat dua hal, yaitu makna (meaning) dan target akhir (significance). Hirsh melihat bahwa magzhâ (significance) dari teks bisa berbeda tetapi maknanya tetap.89 Menurut Abû Zaid dalam membedakan antara makna dan maghzâ tidak boleh berhenti pada makna saja, tetapi harus menyingkapkan “signifikansi” (maghzâ) nya. Makna adalah apa yang dipahami secara langsung dari ujaran teks, ia merupakan arti historis teks dalam konteks keterbentukannya. Oleh sebab itu, perbedaan antara makna dan maghzâ bagi Abû Zaid adalah, pertama makna dapat diraih hanya dengan pengetahuan yang cermat mengenai konteks linguistik (internal) dan konteks kulturalsosiologis (eksternal), sementara maghzâ merupakan hasil dari pembacaan masa di luar masa (terbentuknya teks). Kedua, makna memiliki aksentuasi yang relatif stabil, sedangkan maghzâ memiliki corak yang bergerak seiring dengan perubahan horison-horison pembacaan. Namun demikian, maghzâ tidak dapat dipisahkan dari makna dan saling bersentuhan dan berangkat dari makna tersebut.90 Penulis memperhatikan bahwa „Imârah sangat tegas mengkritik hermeneutika Abû Zaid, karena menurutnya dengan hermeneutika Abû Zaid akan menjadikan khitâb al-Qur‟an menjadi historis, sehingga akan menjadikan makna-makna ayat al-Qur‟an yang hakikat pada masa turunnya al-Qur‟an tersebut menjadi majâz, karena berbedanya kondisi masyarakat saat wahyu diturunkan dengan kondisi masyarakat sekarang, sehingga orang akan beranggapan bahwa alam gaib, surga, neraka, hari pembalasan, 89
Abû Zaid, Hermeneutika Inklusif, h. 61. Nasr Hâmid Abû Zaid, Kritik Wacana Agama, penerjemah Khoiron Nahdiyyin (Yogyakarta: LkiS, 2003), h. 210, 239-240. 90
132
ketuhanan, malaikat, dan lain sebagainya akan berubah menjadi sekedar majâz, karena ayat-ayat tersebut dianggap hanya diturunkan untuk masyarakat pada waktu itu. „Imȃrah juga mengatakan Abû Zaid telah berlebih-lebihan dalam membawa makna kepada maghzâ, sehingga maknanya bisa bermacam-macam tergantung pembacanya.91 Abû Zaid berbicara tentang historisitas makna dan kontiniutas maghzâ di dalam nass-nass. Ini adalah pemikiran Hirsch yang telah disebutkan di atas, di mana Hirsch mengaplikasikannya di dalam kritik sastra, sehingga muncullah hermeneutika dialektis, setelah itu Abû Zaid menerapkan hermeneutika ini dalam memahami al-Qur‟an. Menurut Abû Zaid khitâb al-Qur‟an historis, dan yang tetap itu adalah makna, sedangkan maghzâ-nya berubah, maka maghzâ tergantung kepada hubungan antara nass dan pembaca, sedangkan maknanya berdiri sendiri.92 Dengan menggunakan hermeneutika Abû Zaid di atas, maka makna-makna al-Qur‟an dan dilâlah lafaz-lafaz-nya yang hakikat pada masa pewahyuan dan tanzîl menjadi majâz.93 Lebih lanjut „Imârah menyebutkan bahwa dengan konsep historisitas, atau membawa makna hakikat kepada majâz, dan membawa makna kepada maghzâ, maka akan gugurlah banyak hukum syari‟at dan menjadikan kisah-kisah al-Qur‟an hanya sebagai seni dan tidak ada hubungannya dengan hakikat dan begitu pula dengan akidah islamiyyah.94 „Imârah juga melihat bahwa jika konsep historisitas ini
91
„Imȃrah, al-Tafsîr al-Markisî, h. 69-71. „Imârah, al-Tafsîr al-Markisî, h. 63-64. 93 „Imârah, al-Tafsîr al-Markisî, h. 64. 94 „Imȃrah, al-Tafsîr al-Markisî, h. 70. 92
133
diterapkan dalam nass, maka akan memanusiakan wahyu, kenabian, akidah, dan syari‟at.95 Penulis sendiri berpendapat jika makna ayat-ayat al-Qur‟an hanya berlaku pada waktu penurunannya, maka pertanyaan Penulis adalah di manakah letak kemukjizatan al-Qur‟an tersebut? Oleh sebab itu, makna ayat-ayat al-Qur‟an tidak hanya untuk manusia saat wahyu itu diturunkan, tetapi berlaku sepanjang zaman. Penggunaan hermeneutika Abû Zaid sebagai metode penafsiran alQur‟an telah menimbulkan banyak permasalahan, karena dalam menghadapi interpretasi, hermeneutika Abû Zaid meniscayakan beragamnya penunjuk makna dengan beragamnya pembaca bagi satu teks.96 Dengan demikian, Penulis melihat bahwa hermeneutika Abû Zaid bagi „Imârah telah berusaha menjauhkan makna sebuah teks dari tujuan pengarangnya sendiri, karena hermeneutika menempatkan penunjuk makna dan maghzâ menempati posisi makna yang dimaksud penulis atau pengarang tersebut, sedangkan penunjuk makna (dilâlah) dan maghzâ menjadi beraneka ragam, karena berbedanya pemahaman pembaca terhadap sebuah teks. Dengan demikian hermeneutika menghilangkan makna sebenarnya dari sebuah teks yang disebabkan karena beragamnya takwil bagi suatu teks, maka hermeneutika telah membuka peluang yang luas terjadinya konflik dalam penakwilan. Jika masalah ini dibiarkan, maka akan terdapat banyak sekali penakwilan terhadap suatu teks dan mungkin saling 95 96
„Imȃrah, al-Tafsîr al-Markisî, h. 70. „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 18.
134
bertententangan
antara
penakwilan
yang
satu
dengan
lainnya.
Pertanyaannya adalah takwil manakah yang boleh diambil? Apakah membenarkan semua bentuk penakwilan yang terkadang antara penakwilan yang satu dengan takwil lainnya saling kontradiksi? Ketika kita memilih sebuah pilihan secara otomatis kita mengabaikan pilihan yang lain, bagaimana mungkin kita membenarkan suatu pilihan makna dan juga secara bersamaan mengimani makna yang lain, sedangkan kedua makna tersebut saling bertentangan? Hermeneutika Abû Zaid telah membuka pintu penakwilan yang seluas-luasnya, karena setiap pembaca menghasilkan makna melalui penunjuk makna dan maghzâ yang didapatkan dari pemahaman masingmasing pembaca, maka semakin banyak pembaca terhadap sebuah teks, maka semakin banyak pula penunjuk maknanya dan semakin beragam pula makna yang dihasilkan dari sebuah teks tersebut, dan terkadang antara makna-makna tersebut saling bertentangan antara satu dan lainnya. d. Merusak Sendi-sendi Keislaman Dalam hermeneutika setiap pembaca adalah sebagai yang didewakan, sedangkan penulis dianggap telah mati, begitu juga makna dan tujuan yang ingin disampaikan oleh penulis dianggap mati juga. Oleh sebab itu, „Imârah melihat bahwa hermeneutika berusaha menghapus nilai-nilai dan hukum-hukum yang dibawa turâts, dan merubah makna teks dari makna asli yang dikandung teks kepada pemahaman pembaca. Hal tersebut terjadi karena beragamnya penunjuk makna yang disebabkan beragamnya
135
pembaca. Oleh sebab itu, dengan menggunakan metode hermeneutika, sebuah teks memiliki makna yang beragam, karena beragamnya pembaca terhadap teks tersebut, maka hermeneutika telah menjadikan bermacamnya khayalan (fiksi) pembaca dari teks tersebut.97 Lebih lanjut „Imârah menuturkan bahwa takwil dalam Islam adalah sebuah upaya untuk menguatkan iman dengan dasar-dasar keyakinan agama, serta untuk menghilangkan keraguan. Takwil tidak bertujuan untuk menentang keimanan, dan tidak pula untuk memisahkan teks agama dari agama itu sendiri, sebagaimana yang terjadi pada hermeneutika Barat.98 Schleiermacher misalnya, ia mengembangkan apa yang ia sebut intuitive understanding yang merupakan suatu rekonstruksi, artinya, hermeneutika bertugas untuk merekonstruksi pikiran pengarang.99 Schleiermacher menggunakan dua pendekatan: Pertama, pendekatan linguistik yaitu pendekatan yang di dalam menganalisis teks menggunakan analisis bahasa. Kedua,
pendekatan
psikologis
merupakan
pendekatan
dengan
mengandaikan bahwa pembaca teks tersebut menyamakan posisinya dengan pengarang atau mengalami kembali “proses-proses mental” dari pengarang tersebut.100 Tokoh lain, Gadamer berpendapat bahwa pemahaman yang benar adalah pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis, bukan metodologis. Tindakan pemahaman adalah suatu kehendak yang sejauh mungkin bisa melahirkan proses peleburan antara sekurang-kurangnya dua 97
„Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 17. „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 55. 99 Rahardjo, Hermeneutika Gadamerian, h. 95. 100 Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu: Klasik Hingga Kontemporer (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h. 197. 98
136
hirizon. Pengarang dan konteks historis dari sebuah teks dipertimbangkan dalam proses interpretatif bersama dengan prasangka-prasangka penafsir seperti tradisi, kepentingan praktis, bahasa, dan budaya. 101 Dengan demikian, bagi „Imârah hermeneutika merupakan penakwilan yang buruk, berlebih-lebihan, dan sia-sia, karena ia menginginkan menuhankan manusia dan memanusiakan Tuhan (Allah Swt.), agama, wahyu, kenabian, dan halhal gaib. Hermeneutika menyebabkan kehancuran Nasrani Barat dan kehampaan agama di Eropa, dan menyatakan bahwa Ateisme adalah dasar wahyu, serta penyimpangan adalah makna asli dari sebuah keimanan.102 Hermeneutika sekuler cenderung bergerak menggiring agama dari nilai-nilai ketuhanan menuju nilai-nilai kealaman, dari dunia metafisika ke dunia fisika, serta dari wahyu menuju akal (rasio) dan eksperimen panca indera.103 Hermeneutika berusaha menghilangkan keyakinan akan kebenaran Islam, sehingga selalu memandang kerelativan kebenaran Islam, menghancurkan bangunan ilmu pengetahuan Islam yang lahir dari al-Qur‟an dan Sunnah yang telah teruji ratusan tahun.104 Dalam memperhatikan hermeneutika Abû Zaid, „Imârah melihat bahwa bagi Abû Zaid realitas adalah asal, dari realitas terbentuk nas (alQur‟an), dari bahasa realitas dan peradaban realitas tersebut terbentuk 101
Mudjia Raharjo, Dasar-dasar Hermeneutika; antara Intensionalisme & Gadamerian (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), h. 66. 102 „Imȃrah menambahkan bahwa hermeneutika juga berupaya keras mengucilkan nilai spiritual, akhlak serta hukum-hukum agama dari sumbernya (Tuhan). Dengan demikian hermeneutika telah memposisikan agama buatan manusia menempati agama yang diturunkan Tuhan, lihat „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h.69, 81. 103 „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h.69. 104 Adian Husaini dan Abdurrahman Al-Baghdadi, Hermeneutika & Tafsir al-Qur‟an (Jakarta: Gema Insani, 2007), h. 20.
137
konsep-konsep al-Qur‟an. Di samping itu, karena terdapat interaksi manusia dengan al-Qur‟an, maka dilâlah-nya selalu baru karena manusia selalu berubah. Realitas adalah yang pertama, karena ia dibentuk oleh realitas. Kedua juga realitas, dan terakhir pun realitas.105 Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa bagi Abû Zaid alQur‟an terbentuk dari realitas, dari bahasa dan peradaban konsep-konsep alQur‟an dibentuk dan dari geraknya karena pengaruh manusia, dilâlah alQur‟an selalu terjadi pembaharuan. Oleh sebab itu, maka realitas beserta pondasinya (ekonomi, sosial, politik, dan peradaban) adalah faktor yang mempengaruhi nass al-Qur‟an tersebut. Hal itulah yang disebut dengan dialektika naik, yaitu dari realitas, maka semuanya adalah realitas. Dalam menafsirkan konsep nubuwwah (kenabian), Abû Zaid juga menggunakan pendekatan yang sama. Menurutnya, konsep kenabian bukanlah i‟jâz terpisah dari hukum materi dan realitas, tetapi kenabian hanyalah imajinasi manusia, sebagaimana penyair, dan sufi yang sama-sama memiliki imajinasi. Adapun perbedaan antara kenabian dengan penyair, dan sufi terletak pada derajat imajinasinya, maka urutan dari tertinggi adalah Nabi, kemudian sufi, dan terakhir penyair. Oleh sebab itu, nabi, kenabian, rasul, dan kerasulan adalah hasil dari realitas, bukan dari Allah Swt.106 Adapun akidah dan syari‟ah menurut „Imârah dibuat oleh Allah Swt. yang diwahyukan oleh Allah Swt. kepada Rasulullah Saw., namun bagi Abû Zaid dengan pendekatan materialisme melihat bahwa akidah dibangun 105 106
„Imârah, al-Tafsîr al-Markisî, h. 44. „Imârah, al-Tafsîr al-Markisî, h. 55-57. „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h.72.
138
dengan berbagai persepsi dalam peradaban sekelompok manusia dan dia berkembang dengan perubahan manusia itu sendiri.107 Demikian pula halnya dengan syari‟at yang diyakini oleh orang-orang Islam dibuat oleh Ilahi dan dibawa oleh Nabi Saw., namun bagi Abû Zaid syari‟at tersusun dengan sendirinya sejalan dengan gerakan realitas Islam yang selalu berubah. 108 Dengan menggunakan hermeneutika dialektis yang diusulkan oleh Abû Zaid, maka menurut „Imârah makna-makna al-Qur‟an dan dilâlah lafaz-lafaz-nya yang hakikat pada masa pewahyuan dan tanzîl menjadi majâz.109 Begitu juga jika pemikiran-pemikiran Abû Zaid ini diterapkan, di mana teks dibentuk oleh realitas, dan hukum serta undang-undang hasil dari kondisi sosial, maka tidak sesuatu pun yang bersal dari Allah Swt,110 maka syari‟at Islam hanya tinggal historis saja. „Imârah menegaskan bahwa Allah Swt. menyebutkan keabadian alQur‟an sebagaimana termaktub dalam QS. al-Hijr [15]: 9, dan keabadian tersebut dari sisi lafaz, susunan, dan dilâlah al-Qur‟an. Inilah bagi „Imârah keyakinan Islam tentang keabadian al-Qur‟an (bukan historis) makna-makna dan hukum-hukumnya.111 Poin terakhir yang menjadi argumentasi „Imârah menolak hermeneutika Abû Zaid adalah karena ia meyakini bahwa hermeneutika Abû Zaid telah merusak sendi-sendi keislaman yang selama ini telah kokoh menjadi keyakinan umat Islam, yaitu kenabian, wahyu, syari‟at dalan lain 107
„Imârah, al-Tafsîr al-Markisî, h. 58. „Imârah, al-Tafsîr al-Markisî, h. 59. 109 „Imârah, al-Tafsîr al-Markisî, h. 64. 110 „Imârah, al-Tafsîr al-Markisî, h. 68. 111 „Imârah, al-Tafsîr al-Markisî, h. 61. 108
139
sebagainya, maka bagi „Imârah semua ini berasal dari Allah Swt. bukan sebagaimana yang disangkakan oleh Abû Zaid tersebut. Berdasarkan argumentasi-argumentasi yang disampaikan oleh „Imȃrah
dalam
menolak
hermeneutika
Abû
Zaid,
maka
„Imȃrah
menyimpulkan bahwa ada tiga alasan yang menyebabkan munculnya pemikiran-pemikiran Abû Zaid tersebut, yaitu: a. Kurangnya ilmu b. Niat dan pemahaman yang buruk c. Kekacauan metodologi.112 „Imârah berharap bahwa Abû Zaid menarik kembali pemikiran dalam buku-bunya dan konsisten dengan pengakuan keimanannya yang dia umumkan kepada manusia. Namun, ia menolak semua bentuk pemaksaan, baik pemaksaan atas kebatilan, maupun pemaksaan terhadap kebenaran, karena pemaksaan tidak membangun keimanan, dan tidak membuahkan hasil kecuali kemunafikan yang justru lebih bahaya dan mendatangkan kemudaratan daripada kafir sekalian.113 Dari pemaparan di atas, kritik „Imârah terhadap hermeneutika Abû Zaid terkonsentrasi kepada dua hal, pertama tentang pandangan Abû Zaid mengenai al-Qur‟an itu sendiri, kedua mengenai metode penafsiran terhadap al-Qur‟an tersebut. Bagi „Imârah, pemikiran Abû Zaid mengenai al-Qur‟an tidaklah tepat, karena al-Qur‟an bukanlah tercipta dari realitas, tetapi datang dari Allah Swt. secara lafaz dan maknanya 112 113
Lebih lengkapnya lihat „Imȃrah, al-Tafsîr al-Markisî, h. 76-115 „Imârah, al-Tafsîr al-Markisî, h. 119, 120, 126.
140
dengan menggunakan bahasa Arab. Mengenai teori penafsiran, „Imârah juga mengkritik hermeneutika Abû Zaid yang menurutnya telah mendewakan pembaca dan akal, berlebih-lebihan dalam menakwilkan alQur‟an, membawa makna kepada maghzâ, dan dari makna hakikat kepada majâz, karena dengan begitu maka akan membuat hal-hal gaib menjadi hanya sekedar majâz, padahal syarat keimanan di dalam Islam di antaranya yaitu beriman kepada hal-hal gaib, dan merusak sendi-sendi keislaman, karena dengan hermeneutika Abû Zaid maka hukum-hukum syari‟at Islam akan menjadi historis dan lain sebagainya. Munculnya pemikiran-pemikiran Abû Zaid ini menurut „Imârah disebabkan karena kurangnya ilmu, niat dan pemahaman yang buruk, serta kekacauan metodologi. 3. Pembagian Harta Warisan Di antara contoh hermeneutika yang dikemukakan oleh Abû Zaid dan dikritik oleh „Imârah adalah tentang pembagian harta warisan bagi perempuan. Adapun ayat al-Qur‟an yang dijadikan alasan dalam masalah ini adalah QS. al-Nisâ‟ [4]: 7-11
تٌ ِِ َّّب١ص َ تٌ ِِ َّّب رَ َش١ص ِ َٔ ٌٍِِّٕ َغب ِءَٚ َُْٛا ََْ ْل َشثَٚ ِْ اٌِذَاَٛ ٌن ْا ِ َٔ ٌٍِ ِّش َجب ِي جًب١ص ِ َٔ ْ َوضُ َشََْٚ ِِ َّّب لَ ًَّ ِِ ُْٕٗ أُٛ ْاََ ْل َشثَٚ ِْ اٌِذَاَٛ ٌرَ َشنَ ْا ُ ْاٌ َّ َغب ِوَٚ َٰٝ َِ َزَب١ٌ ْاَٚ َٰٝ َ ا ٌْمُشْ ثٌُُٛٚع َش ْاٌمِ ْغ َّخَ أ ٓ١ ً َُِٚ ْفش َ اِ َرا َدَٚ ﴾١﴿ ظب اْٛ رَ َش ُوٌَٛ َٓ٠ؼ اٌَّ ِز َ ْخ١َ ٌْ َٚ ﴾١﴿ فًبُْٚ ًَل َِ ْعشَُٛ ُْ لٌَٙ اٌُُٛٛلَٚ ُْٕٗ ِِ ُْ ُُ٘ٛفَبسْ ُصل َّ اَُٛزَّم١ٍْ َ ُْ فِٙ ١ْ ٍَا َعُٛظ َعبفًب َخبف ْ ًَلَٛا لٌَُُٛٛم١ٌْ َٚ ََّللا ِ ًَّخ٠ ِّ ُْ ُرسِٙ ِِِ ْٓ َخ ٍْف َِْٟ فٍَُٛؤْ ُو٠ ظُ ٍْ ًّب أَِّ َّبَٰٝ َِ زَب١َ ٌا َي ْاَٛ ِْ ََْ أٍَُٛؤْ ُو٠ َٓ٠﴾ اِ َّْ اٌَّ ِز١﴿ ذًا٠َع ِذ
141
َّ َِّٟللاُ ف ُُ ُى١ل َٔبسًا َْ ٍَْٛ َْص١ َعَٚ ِ ُٛ٠ ﴾ٔٓ﴿ ًشا١َع ِع َّ ٌِ َُّٓ صٍُُضَبٍََٙ ِٓ ف١ْ َق ْاصَٕز َ َْٛ ِٓ فَب ِ ْْ ُو َّٓ ِٔ َغب ًء ف١ْ ١َ ٍَز َو ِش ِِ ْض ًُ َدعِّ ْاَُ ْٔض
ُْ ِٙ ِٔ ُٛثُط ُْ ْ ََل ِد ُوَٚأ
ْ َٔاِ ْْ َوبَٚ ن ُ َْب إٌِّصٍََٙاد َذحً ف ُ َّبْٕٙ ِِ ا ِد ٍذَٚ ًِّ ِٗ ٌِ ُى٠ْ َٛ َ ََِثَٚ ف َ َِب رَ َش ِ َٚ ذ َ اٌ ُّغ ُذطُ ِِ َّّب رَ َش ُٖاَٛ َ ِسصَُٗ أَثَٚ َٚ ٌَ ٌذَٚ ٌَُٗ ْٓ َ ُى٠ ُْ ٌَ ْْ ِ ٌَ ٌذ فَبَٚ ٌَُٗ َْن اِ ْْ َوب ُ ٍُُّفَ ِِلُ ِِّ ِٗ اٌض ٟل ِ ُٛ٠ َّ ٍخ١ل ِ َٚ حٌ فَ ِِلُ ِِّ ِٗ اٌ ُّغ ُذطُ ِِ ْٓ ثَ ْع ِذَٛ ش فَب ِ ْْ َوبَْ ٌَُٗ اِ ْخ ً عخ َ ٠ُ ُْ أَ ْل َشةُ ٌَ ُى ُْ َٔ ْفعًب فَ ِشٙ٠ُّ ََْ أُٚأَ ْثَٕب ُإ ُو ُْ ََل رَ ْذسَٚ ُْ ٍْٓ آثَب ُإ ُو٠ْ َدََٚب أِٙث ﴾ٔٔ﴿
َّ َِِٓ ًّب١ ًّب َد ِى١ٍَِّللا َوبَْ َع َ َّ َّْ َِّللاِ ا
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir beberapa kerabat, anak-anak yatim dan orang-orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekadarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik. Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar. Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zâlim, sebenarnya mereka itu, menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyalanyala (neraka). Allah mensyari‟atkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu bapak-nya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak
142
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.114
Abû Zaid melihat bahwa tidak boleh berhenti pada makna yang disebutkan oleh al-Qur‟an, tetapi membawanya kepada maghzâ. Pembedaan pembagian warisan di dalam al-Qur‟an menurut Abû Zaid karena situasi sosial saat itu yang buruk bagi perempuan, tetapi di sana sebenarnya mengarah kepada penyamaan antara bagian laki-laki dan perempuan. „Imârah mengkritik pemahaman Abû Zaid ini dengan pertanyaan yang menyanggahnya bahwa bagaimana mungkin jika tidak berhenti pada istilah yang telah disebutkan oleh wahyu dan menganalisa makna dan dilâlah-nya, hal tersebut bisa sâlih li kulli zamân wa makân? Bukankah dengan demikian akan menyatakan bahwa al-Qur‟an hanya sâlih pada zaman turunnya, dan tidak pada zaman-zaman lainnya? Dengan mengaplikasikan hermeneutika Abû Zaid, maka ijtihâd tidak terhenti dengan batasan yang dibatasi oleh wahyu dan akan banyak hukum-hukum syari‟at yang gugur dengan menggunakan teori ini. Jika sudah demikian tidak ada sesuatu pun yang berasal dari Allah Swt.115 Berdasarkan hal di atas, „Imârah tidak sepakat mencari makna di luar makna yang telah “jelas” dalam al-Qur‟an, karena dengan mencari makna lain tersebut, maka akan banyak sekali hukum syari‟at berubah.
114 115
Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 78. „Imârah, al-Tafsîr al-Markisî, h. 67-68.
143
D. Tawaran Alternatif Muhammad ‘Imȃrah Pembahasan tentang hermeneutika tidak dapat dipisahkan dengan kajian tentang teks, karena hermeneutika adalah seni memahami sesuatu, dan teks adalah objek yang perlu dipahami secara mendalam agar didapatkan makna yang sebenarnya. Setidaknya terdapat dua macam teks, yaitu: pertama teks manusiawi dan kedua teks Ilâhi. Teks manusiawi adalah teks yang dihasilkan oleh peradaban manusia baik yang berupa sastra, ilmu pengetahuan dan lain sebagainya, sedangkan teks Ilâhi merupakan teks yang berasal dari Tuhan yang diperuntukkan untuk umat manusia. Al-Qur‟an sebagai perkataan Allah Swt. termasuk teks Ilâhi yang memiliki perbedaan-perbedaan dengan teks-teks lainnya, baik yang berkaitan dengan sumbernya maupun kemukjizatan yang terdapat di dalamnya. Di samping itu, al-Qur‟an merupakan wahyu yang diturunkan dalam rentang waktu yang lama, yaitu dua puluh tiga tahun secara berangsur-angsur, di mana keberangsuran turunnya itu memiliki makna penting bagi kesuksesan dakwah Nabi Muhammad Saw.116 Al-Qur‟an bersumber dari Allah Swt. Yang Maha Agung dan terjaga keasliannya dari penurunnya sampai menjadi mushaf hingga saat ini. Al-Qur‟an merupakan mukjizat bagi Nabi Muhammad Saw. yang mengalahkan karya-karya syair pada zaman tersebut dan sampai sekarang, karena keindahan sastra pada al-Qur‟an telah membuka mata dan hati para penduduk Mekah dan Madinah untuk menjadi pengikut Nabi Muhammad 116
Malik Ben Nabi, Fenomena al-Qur‟an: Pemahaman Baru Kitab Suci Agama-agama Ibrahim. Penerjemah Farid Wajdi (Bandung: Marja‟, 2002), h. 90-91.
144
Saw. yang membawa kitab suci tersebut. Ayat-ayat al-Qur‟an mengalahkan syair Badui, sehingga jiwa mereka terpesona, karena keindahan sastranya, maka fenomena al-Qur‟an tersebut menyerupai sebuah ledakan revolusioner dalam sejarah semua bahasa.117 Walaupun al-Qur‟an berbahasa Arab, namun sifat bahasa al-Qur‟an sedikit banyak berbeda dengan sifat bahasa Arab yang digunakan oleh masyarakat Arab ketika al-Qur‟an turun. Bahasa Arab yang digunakan oleh orang Arab tersebut memiliki tingkat dan kualitas susastra yang berbeda-beda. Al-Qur‟an merupakan kalâm Ilâhi yang serupa tingkat kefasihan dan keindahan susastranya antara satu ayat dengan ayat lainnya, maka ia berbeda dengan bahasa Arab pada waktu itu.118 Kemukjizatan al-Qur‟an juga dapat dijumpai dari kandungan yang terdapat di dalam al-Qur‟an itu sendiri, di mana al-Qur‟an membahas segala aspek kehidupan manusia, sehingga al-Qur‟an benar menjadi petunjuk bagi kehidupan seorang muslim dan mukmin. Hal tersebut sudah jelas berbeda dengan teks-teks yang dihasilkan oleh manusia, karena teks manusia 117
Ben Nabi, Fenomena al-Qur‟an, h. 96-97. Quraish Shihab menjelaskan lebih lanjut bahwa al-Qur‟an bukanlah syair, puisi atau prosa, namun al-Qur‟an sangat menyentuh akal dan kalbu. Ia mengutip perkataan „Alî bin Abî Talib: 118
ِٓ ئ١ظ ؽ١ٌ وّب..ؾجٗ واَ اٌجؾش٠ ٍٗ َل٠ٚ رؤٚ واَ َّللاٛ٘ٚ ؾجٗ ثىاَ اٌجؾش٠ ً٠سة رٕض ء ِٓ واِٗ ثاَ اٌجؾشٟؾجٗ ؽ٠ َلٚ ء ِٓ افعبي اٌجؾشٟ ؽٌٝؾجٗ فعٍٗ رعب٠ ٗ وزٌه َلٙؾج٠ ٗخٍم ًرعٚ ٍهُٙ فا رؾجٗ واَ َّللا ثىاَ اٌجؾش فزٌٙواَ اٌجؾش افعبٚ ٗ لفزٌٝفىاَ َّللا رعب “Bisa jadi ada yang diturunkan Allah sepintas terlihat serupa dengan ucapan manusia, padahal itu adalah ucapan (firman) Allah sehingga pengertiannya tidak sama dengan pengertian yang ditarik dari ucapan manusia. Sebagaimana tidak satu pun dari makhluk-Nya yang serupa dengan-Nya, demikian juga tidak serupa perbuatan Allah dengan sesuatu pun dari perbuatan manusia. Firman Allah adalah sifat-Nya, sedang ucapan manusia adalah perbuatan/aktivitas mereka, karena itu juga jangan sampai engkau mempersamakan firman-Nya dengan ucapan manusia sehingga mengakibatkan engkau binasa dan tersesat/menyesatkan” Lihat Shihab, Kaidah Tafsir, h. 36-37.
145
diciptakan oleh manusia yang memiliki akal yang terbatas, maka teks manusia tersebut tidak akan bisa sama dengan teks yang berasal dari Allah Swt. yang menciptakan manusia itu sendiri. Kalâm Allah Swt. (al-Qur‟an) berbeda dengan kalâm manusia, namun hermeneutika telah menyamakan semua jenis teks, sedangkan teks manusia tersebut pasti berbeda dengan teks yang hadir dari Pencipta, karena perbedaan tersebut akan berbeda pula metode dalam menafsirkannya. Bahasa al-Qur‟an memiliki tingkat sastra yang tinggi jika dibandingkan dengan syair-syair jahiliyah. Di samping itu, ayat-ayat al-Qur‟an yang tergolong muhkamât sudah jelas berbeda dengan mutasyâbihât, sedangkan hermeneutika menyamakan antara ayat-ayat muhkamât dan mutasyâbihât tersebut. Pemahaman terhadap al-Qur‟an mesti mengikuti
metode pada
masa diturunkan al-Qur‟an tersebut seperti menafsirkan ayat al-Qur‟an dengan ayat al-Qur‟an lainnya atau dengan hadits Nabi Muhammad Saw., dan begitu pula memahaminya mestilah dengan petunjuk lafaz-lafaz pada masa pewahyuan. Metode ini berlaku sepanjang zaman, karena jika ia bersifat sementara otomatis menafikan keabadian al-Qur‟an baik maknanya, maupun syari‟atnya.119 Dari buku-buku „Imârah, Penulis melihat bahwa bagi „Imârah penafsiran al-Qur‟an tidak memerlukan metode hermeneutika, karena di dalam keilmuan Islam sendiri telah terdapat konsep muhkam dan
119
„Imȃrah, al-Tafsîr al-Markisî, h. 60-61.
146
mutasyâbih, serta takwil yang mampu untuk memahami kandungan ayatayat al-Qur‟an tersebut. 1. Konsep Muhkam dan Mutasyâbih Ayat-ayat al-Qur‟an terdiri atas ayat-ayat muhkamât dan ayat-ayat mutasyâbihât sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS. Ali „Imrân [3]: 7
ٌ َِٙأُخَ ُش ُِزَ َؾبثَٚ بد ُ٘ َّٓ أُ َُّ ْاٌ ِىزَبة ٌ َّ بد ُِذْ َى ٌ َ٠َبة ِِ ُْٕٗ آ بد َ هَ ْاٌ ِىز١ْ ٍَْ أَ ْٔضَ َي َعٞاٌَّ ِزَٛ ُ٘ ٍََُ ْع٠ َِبَٚ ٍْٗ٠ِٚ ْا ْثزِاَبء رَؤَٚ ْ َْ َِب رَ َؾبثَٗ ِِ ُْٕٗ اِ ْثزِاَبء ْاٌفِ ْزَٕخَُٛزَّجِع١َ ٌغ ف٠ْ َ ُْ صِٙ ِْ ثٍُُٛ لْٟ َِٓ ف٠ْ فَؤ َ َِّب اٌَّ ِز ّ ٍُُٗ اِ ََّل٠ْ ِٚ ْرَب ٌَُُٛٚ ّز َّو ُش َّاَل أ٠ َِبَٚ ْ َْ آ ََِّٕب ثِ ِٗ ُوًٌّ ِِ ْٓ ِع ْٕ ِذ َسثَِّٕبٌُٛ َُْٛم٠ ُِ ٍْ ْاٌ ِعْٟ ِْ َْ فَّٛاع ُخ ِ اٌشَٚ َّللا ْاَ ٌْجَبة “Dialah yang menurunkan Kitab (al-Qur‟an) kepadamu (Muhammad). Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamât, itulah pokokpokok Kitab (al-Qur‟an) dan yang lain mutasyâbihât. Adapun orangorang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti mutasyâbihât untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata: “Kami beriman kepadanya (al-Qur‟an), semuanya dari sisi Tuhan kami.” Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal.”120 Dalam ayat di atas Allah Swt. mengabarkan bahwa ayat-ayat alQur‟an ada yang jelas dilâlah-nya dan ada pula yang tidak jelas, maka ayat-ayat yang jelas dilâlah-nya tersebut diistilahkan dengan muhkam dan yang tidak jelas dinamakan mutasyâbih.121 Menurut „Imȃrah muhkam itu adalah ummu al-kitâb, maknanya bahwa muhkam adalah asal dan tiang.. Dari muhkam ini lahirlah ayat mutasyâbih, dan kepada muhkam pula dikembalikan makna ayat mutasyâbih tersebut. Jumhûr ulama mengatakan bahwa tidak ada mutasyâbih di dalam al-Qur‟an, kecuali kabar gaib, 120
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 50. Wahbah al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr fî al-Aqîdah wa al-Syarî„ah wa al-Manhaj, jilid 2 (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2009), h. 163. 121
147
seperti berita tentang akhirat dan keadannya berupa nikmat dan azab,122 Hal
tersebut
karena
ayat-ayat
mutasyâbihât
tersebut
maknanya
dikembalikan kepada ayat-ayat muhkamât. Adapun mutasyâbih bagi „Imȃrah adalah hal-hal yang diisyaratkan Allah Swt. mencakup keadaan akhirat atau lafaz-lafaz yang makna zâhirnya berbeda dengan makna yang dimaksud, maka ayat-ayat berupa berita tentang hal-hal gaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Swt., sedangkan ayat-ayat tentang sifat-sifat zâhir yang bertentangan dengan muhkam mampu diketahui oleh orang-orang yang berilmu melalui kata-kata yang diberikan Allah Swt. dalam ayat-ayat mutasyâbihât dan berbagai penunjuk yang terdapat dalam ayat-ayat muhkamât.123 Semua ayat al-Qur‟an bisa disebut muhkam, jika kita memandang muhkam secara bahasa yang berarti kuat, kokoh, rapih, indah susunannya dan tidak mengandung kelemahan, sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS. Hûd [11]:1
ْ َّ آٌش ِوزَبةٌ أُدْ ِى َُُٗبر٠ذ َءا “Kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi.”124 Semua ayat al-Qur‟an bisa juga disebut mutasyâbih, jika kita maksudkan adalah kesamaan ayat-ayatnya dalam segi balâghah, i„jâz, dan
122
Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 40. „Imȃrah menambahkan bahwa keberadaan mutasyâbih pada masalah akhirat dalam al-Qur'an tidak dapat dipungkiri, karena di antara dasar-dasar agama dan tujuan wahyu adalah mengabarkan keberadaan akhirat. Di samping itu, penakwilan yang banyak dilakukan mencakup lafaz-lafaz yang makna zâhir-nya berbeda dengan yang dimaksudkan, lihat Imȃrah, Qirȃ‟at alNass al-Dînî, h. 40-41, 44. 124 Departemen Agama RI, al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 221. 123
148
dalam segi kesukaran membedakan mana bagian-bagian al-Qur‟an yang afdal. Firman Allah Swt. dalam QS. al-Zumar [39]: 23.
رَ ْم َؾ ِع ُّشَٟ ًِٔب َِضَبِٙش ِوزَبثًب ُِزَ َؾبث ِ ٠ْ ََّللاُ َٔ َّض َي أَدْ َغ َٓ ْاٌ َذ ِذ “Allah Swt. telah menurunkan tutur kata (berupa) Kitab (alQur‟an) yang serupa (mutu ayat-ayatnya), lagi berulang-ulang.”125 Muhkam dan mutasyâbih yang dimaksud di sini bukanlah makna yang disebutkan di atas. Tetapi, makna yang mengacu kepada QS. Ali „Imrân [3]: 7.126 Di
dalam
al-Qur‟an,
terdapat
ayat-ayat
muhkamât
dan
mutasyâbihât, namun terdapat perbedaan pendapat ulama mengenai perbedaan antara muhkam dan mutasyâbih tersebut, yaitu pertama ada yang mengatakan ayat muhkam diketahui maksudnya baik secara zâhir maupun takwil, sedangkan mutasyâbih hanya Allah Swt. yang mengetahuinya. Kedua, muhkam jelas maknanya, sedangkan mutasyâbih tidak jelas. Ketiga, muhkam tidak mengandung penakwilan, sedangkan mutasyâbih sebaliknya. Keempat, muhkam maknanya masuk akal, sedangkan mutasyâbih tidak. Kelima, muhkam bisa berdiri sendiri, sedangkan mutasyâbih tidak berdiri 125
Subhi al-Sâlih, Membahas Ilmu-ilmu al-Qur‟an. Penerjemah Tim Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h. 398. 126
ٌ َِٙ اُخَ ُش ُِزَ َؾبثَٚ ة ٌ َّ بد ُِّذْ َى ٌ َ٠َبة ِِ ُْٕٗ ا ْٟ َِٓ ف٠ْ بد فَب َ َِّب اٌَّ ِز َ هَ ْاٌ ِىز١ْ ٍَْ اَ ْٔضَ َي َعٞ اٌَّ ِزَُٛ ٘ ِ بد ٘ َُّٓ اُ َُّ ْاٌ ِىزَب ْ ْ ْٟ ِْ َْ فَّٛاع ُخ ِ اٌشَٚ ٍَُٗ اِ ََّل َّللا٠ْ ِٚ َ ْعٍَ ُُ رَؤ٠ َِبَٚ ٍِٗ٠ْ ِٚ ا ْثزِاَب َء رَؤَٚ ْ َْ َِب رَ َؾبثََٗ ِِ ُْٕٗ ا ْثزِاَب ِء ْاٌفِ ْزَٕ ِخَُٛزَّجِع١َّ ٌغ ف٠ْ َ ُْ صِٙ ِْ ثٍُُٛل ْ ٌْا ة ِ ْاَلَ ٌْجَبٌَُُٛٚ َّز َّو ُش اِ ََّل ا٠ َِبَٚ ْ َْ ا ََِّٕب ثِٗ ُوًٌّ ِِّ ْٓ ِع ْٕ ِذ َسثَِّٕبٌُٛ َُْٛم٠ ُِ ٍع
“Dialah yang menurunkan Kitab (al-Qur‟an) kepadamu (Muhammad). Di antaranya ada ayat-ayat yang Muhkamât, itulah pokok-pokok Kitab (al-Qur‟an) dan yang lain Mutasyâbihât. Adapun orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti yang Mutasyâbihât untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata, “Kami beriman kepadanya (al-Qur‟an), semuanya dari sisi Tuhan kami.” Tidak ada yang dapat menambil pelajaran kecuali orang yang berakal.”
149
sendiri. Keenam, ayat-ayat muhkam maknanya diturunkan, sedangkan mutasyâbih tidak diketahui kecuali dengan takwil. Ketujuh, ayat-ayat muhkam tidak diulang-ulang lafaz-nya yang berbeda dengan mutasyâbih. Kedelapan. Ayat-ayat muhkam berkaitan dengan farâid, wa„ad dan wa„îd, sedangkan mutasyâbih tentang kisah-kisah dan amtsâl.127 Oleh sebab itu, dapat dipahami bahwa muhkam bermakna jelas, sedangkan mutasyâbih tidak jelas.128 Menurut „Imȃrah ayat-ayat muhkam adalah ayat-ayat yang dapat dipahami oleh akal tanpa memerlukan takwil, sedangkan mutasyâbih membuka
peluang
bagi
akal
orang-orang
yang
berilmu
untuk
menakwilkannya.129 al-Râghib al-Asfahânî membagi ayat-ayat mutasyâbih menjadi tiga, yaitu: pertama, ayat-ayat mutasyâbih yang tidak dapat diketahui makna hakikatnya seperti waktu datangnya kiamat dan sebagainya, hanya Allah Swt. yang mengetahuinya. Kedua, ayat-ayat mutasyâbih yang mungkin diketahui oleh manusia maknanya, seperti lafaz-lafaz gharîbah dan hukumhukum yang tertutup. Ketiga, ayat-ayat mutasyâbih yang khusus hanya diketahui maknanya oleh sebagian orang yang berilmu.130 „Imȃrah
mengibaratkan
muhkam
sebagai
dasar,
sedangkan
mutasyâbih adalah cabangnya, dengan makna bahwa mayoritas ayat alQur‟an adalah muhkam. Mutasyâbih adalah ayat-ayat secara zâhir
127
al-Hâfiz Jalâl al-Dîn al-Suyûti, al-Itqân fî „Ulûm al-Qur‟ân (t.kt: Wazârat al-Syu‟ûn al-Islâmiyyah wa al-Auqâf wa al-Da„wah wa al-Irsyâd al-Mamlakah al-„Arabiyyah al-Su‟ûdiyyah, t.th), jilid III, h. 3-4. 128 al-Sâlih, Membahas Ilmu-ilmu al-Qur‟an, h. 399. 129 „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 23. 130 al-Suyûti, al-Itqân fî „Ulûm al-Qur‟ân, jilid III, h. 11.
150
maknanya bertentangan dengan muhkam, maka dikembalikanlah makna ayat mutasyâbih tersebut kepada ayat muhkam, sehingga yang tersisa dari mutasyâbih adalah ayat-ayat tentang perkara gaib, seperti berita tentang akhirat dan sebagainya. Oleh sebab itu, ayat-ayat mutasyâbihât yang tidak berkaitan dengan kabar gaib tersebut mampu diketahui oleh orang-orang yang berilmu melalui tanda-tanda di dalam ayat tersebut atau indikasi lainnya. „Imârah memahami muhkam dengan ayat yang bermakna jelas, sehingga tidak memerlukan takwil, sedangkan mutasyâbih tidak jelas, maka memerlukan takwil untuk mengungkapkan makna yang terkandung di dalamnya. 2. Konsep Takwil Sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, bahwa takwil menurut „Imârah adalah memindahkan makna lafaz dari makna zâhir suatu teks kepada makna bâtin, karena adanya dalil yang menunjukkan makna yang dikandung tersebut.131 Oleh sebab itu, „Imârah menuturkan bahwa takwil dalam tradisi Islam adalah cara untuk mempertahankan keimanan dengan dasar-dasar keyakinan agama, karena berusaha mengalihkan makna zâhir suatu ayat yang bertentangan dengan makna ayat muhkam, maka takwil merupakan metode untuk menghilangkan keragu-raguan dan menguatkan keyakinan bahwa tidak ada ayat yang bertentangan dengan logika. Oleh sebab itu, takwil tidak bertujuan untuk membatalkan keimanan atau menjauhkan agama dari iman, dan bukan pula mengosongkan teks agama dari agama itu sendiri sebagaimana yang terjadi 131
„Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 29-33.
151
pada hermeneutika Barat, tetapi takwil dalam Islam bertujuan untuk mencapai ketenangan dalam beragama.132 Dari uraian di atas, Penulis melihat bahwa menurut „Imȃrah takwil dalam tradisi Islam merupakan metode untuk mendamaikan antara teks-teks agama (al-Qur‟an dan hadits) yang terlihat secara zâhir bertentangan atau antara teks-teks agama tersebut dengan akal, maka digalilah makna tersirat dari ayat-ayat yang ditakwilkan tersebut. Takwil dalam Islam juga bertujuan untuk menghilangkan keragu-raguan dan menguatkan keyakinan bahwa tidak ada ayat yang bertentangan dengan ayat lain atau dengan logika. a. Pemegang Otoritas Penakwilan Penulis telah memaparkan bahwa ayat-ayat al-Qur‟an terdiri atas ayat-ayat muhkamât dan ayat-ayat mutasyâbihât, seperti yang tercantum dalam QS. Ali Imrân [3]: 7. Namun, pertanyaan selanjutnya adalah siapakah yang mempunyai otoritas untuk menakwilkan ayat-ayat mutasyâbihât tersebut? Apakah hanya Allah Swt. sebagai sumber teks, atau mampu diketahui oleh semua manusia? Allah Swt. berfirman dalam QS. Ali „Imrân [3]: 7
ٌ َِٙأُ َخ ُش ُِزَ َؾبثَٚ بد ُ٘ َّٓ أُ َُّ ْاٌ ِىزَبة ٌ َّ بد ُِذْ َى ٌ َ٠َبة ِِ ُْٕٗ آ بد َ ١ْ ٍَْ أَ ْٔ َض َي َعٞاٌَّ ِزَٛ ُ٘ َ ه ْاٌ ِىز َِبَٚ ٍْٗ٠ِٚ ْا ْثزِاَبء رَؤَٚ ْ َْ َِب رَ َؾبثَٗ ِِ ُْٕٗ اِ ْثزِاَبء ْاٌفِ ْزَٕخَُٛزَّجِع١َ ٌغ ف٠ْ ُْ َصِٙ ِْ ثٍُُٛ لْٟ ِ َْٓ ف٠فَؤ َ َِّب اٌَّ ِز ّ ٍُُٗ اِ ََّل٠ْ ِٚ َْ ْعٍَُ رَب٠ َِبَٚ ْ َْ آ ََِّٕب ثِ ِٗ ُو ًٌّ ِِ ْٓ ِع ْٕ ِذ َسثَِّٕبٌُٛ َُْٛم٠ ُِ ٍْ ْاٌ ِعْٟ ِْ َْ فٛاٌشَّا ِع ُخَٚ َّللا ْاَ ٌْجَبةٌَُُٛٚ ّز َّو ُش َّاَل أ٠ “Dialah yang menurunkan Kitab (al-Qur‟an) kepadamu (Muhammad). Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamât, itulah pokok-pokok Kitab (al-Qur‟an) dan yang lain mutasyâbihât. 132
„Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 37, 55.
152
Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti mutasyâbihât untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata: “Kami beriman kepadanya (al-Qur‟an), semuanya dari sisi Tuhan kami.” Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal.”133
Untuk menentukan apakah hanya Allah Swt. yang mengetahui takwil ayat-ayat mutasyâbihât tersebut atau mampu diketahui oleh semua manusia, maka terlebih dahulu harus dikaji lebih mendalam apakah alrâsikhûna fî al-„ilm dalam ayat di atas „ataf kepada kalimat Allâh atau tidak, maka di kalangan ahli tafsir terdapat perbedaan pendapat dalam masalah ini.134 Menurut „Imȃrah sendiri terdapat „ataf, di sana, karena terdapat ayat-ayat yang tidak diketahui takwilnya kecuali Allah Swt., dan ada juga ayat-ayat yang diketahui takwilnya oleh orang-orang yang berilmu. Adapun orang yang berilmu di sini menurut „Imârah adalah orang-orang yang memiliki pikiran yang berkualitas, pendapat yang bagus, dan akal mereka terbebas dari sesuatu yang tidak baik, serta mengetahui sampai ke akar permasalahan dan dapat menempatkan penakwilan dengan baik.135 al-Râsikhûna fî „ilm berusaha mencari makna-makna yang sejalan dengan dasar-dasar agama Islam, mereka harus menyadari batasan-batasan akal tentang hal-hal gaib yang tidak dapat dijangkau oleh akal. Oleh sebab itu, mereka hanya mampu menakwilkan ayat-ayat mutasyâbihât yang berkaitan dengan hukum133
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 50. „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 24, 25, 39, lihat juga al-Zuhailî, al-Tafsîr alMunîr, h. 161-162. 135 „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 24, 25, 39, 43. 134
153
hukum alam yang zâhir saja. Di samping itu, al-Râsikhûna fî „ilm juga memiliki tingkatan-tingkatan, ada yang sudah sampai kepada maqâm yang jelas, namun sebagian yang lain belum sampai, karena terbatasnya tanda-tanda bagi mereka.136 Di samping itu semua, metode yang digunakan oleh orang-orang yang berilmu yaitu dengan cara menganalisa sesuai kemampuannya dalam membangun alasan yang pasti, tidak ta‟assuf dalam menakwilkan, kemudian dia berkata:
إِٓب ثٗ وً ِٓ عٕذ
سثٕب.137 Menurut „Imârah terdapat ayat-ayat yang tidak diketahui takwilnya kecuali Allah Swt., dan ada pula ayat-ayat yang diketahui takwilnya oleh al-Râsikhûna fî „ilmi, yaitu orang-orang yang memiliki pikiran yang berkualitas dan mengetahui sampai ke akar permasalahan takwil tersebut. Mereka juga tidak ta‟assuf kepada mazhab tertentu dalam menakwilkan, maka hasil penakwilannya pun menjadi lebih objektif. b. Bentuk-bentuk Penakwilan Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa bagi „Imȃrah muhkam merupakan dasar, sedangkan mutasyâbih adalah cabangnya, maka ayat-ayat mutasyâbihât dikembalikan maknanya kepada ayat-ayat muhkamât. Oleh sebab itu, menurut „Imȃrah takwil dalam Islam
136 137
seolah-olah menjadikan seluruh ayat-ayat al-Qur‟an itu
„Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 25, 53, 62. „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 53.
154
muhkamât, karena takwil itu mengembalikan ayat-ayat mutasyâbihât kepada ayat-ayat muhkamât, maka takwil dalam Islam bermakna mengembalikan cabang-cabang kepada dasarnya.138 Lebih lanjut „Imârah menyebutkan bahwa muhkamât adalah ayat-ayat yang tidak terdapat keraguan di dalamnya, dan hanya mengandung satu makna, dan adapun mutasyâbihât adalah ayat-ayat yang mempunyai banyak makna. Ketika kita melakukan takwil terhadap ayat mutasyâbih tersebut, maka secara otomatis mutasyâbih tersebut menjadi muhkam, karena maknanya menjadi satu. Oleh sebab itu, muhkam selamanya menjadi dasar dan asal, di mana kepadanya makna ayat mutasyâbih dikembalikan.139 Takwil berusaha untuk mengalihkan makna zâhir teks kepada makna bâtin karena adanya dalil yang mengharuskannya. Adapun bentuk-bentuk
penakwilan
menurut
„Imȃrah,
yaitu:
pertama,
mengalihkan lafaz mutasyâbih dari makna zâhir-nya kepada salah satu makna yang masyhûr, karena banyaknya penggunaan lafaz pada makna yang bukan makna zâhir-nya tersebut. Kedua, sesuatu yang memiliki makna lafaz lebih populer dari takwilnya, akan tetapi terdapat indikasiindikasi dan dalil-dalil yang mewajibkannya untuk dilepaskan dari makna zâhir-nya, contohnya kata-kata aidî dan a‟yun di dalam firman Allah Swt. QS. al-Zâriyât ayat 47 dan al-Tûr ayat 48.140 Kata-kata aidî dan a„yun mesti ditakwilkan, karena ditakutkan masyarakat awam
138
„Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 37. „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 37. 140 Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 42-43. 139
155
menganggap bahwa Allah Swt. sama seperti makhluk, sementara Allah Swt. tiada yang serupa dengannya. Dari pemaparan di atas, Penulis melihat bahwa menurut „Imârah takwil islami menjadikan semua ayat al-Qur‟an menjadi muhkam, karena makna ayat yang ditakwilkan tersebut dikembalikan kepada ayat-ayat muhkam.
„Imârah membagi bentuk penakwilan menjadi dua macam
dengan memperhatikan makna lafaz dan makna takwilnya, pembagian pertama dengan bentuk makna takwilnya lebih populer daripada makna lafaz-nya, sedangkan yang kedua kebalikannya, justru makna lafaz lebih populer dari makna takwilnya, tetapi tetap harus ditakwilkan, karena adanya dalil yang mengharuskannya. c. Persyaratan Takwil bagi ‘Imȃrah Takwil adalah metode penafsiran di samping ilmu tafsir. Takwil berasal dari tradisi keislaman, maka ia pun terikat dengan syarat-syarat yang erat kaitannya dengan keilmuan keislaman. Adapun syarat-syarat takwil bagi „Imȃrah yaitu: 1. Orang yang menakwilkan adalah al-râsikhûna fî al-„ilm yaitu orangorang yang berilmu. 2. Takwil dilakukan terhadap ayat-ayat al-Qur'an yang mutasyâbihât. 3. Ayat-ayat yang ditakwilkan tersebut bertentangan dengan ayat-ayat muhkamât, maka semua ayat mutasyâbihât tentang sifat-sifat Allah Swt. yang diduga (ditakutkan) adanya penyerupaan dengan makhluk mesti dilakukan takwil untuk menjaga ayat-ayat muhkamât yang
156
menyatakan bahwa Allah Swt. tidak serupa dengan makhluk. Adapun tentang alam gaib yang tidak dapat dijangkau oleh akal manusia, maka manusia dicukupkan untuk beriman dengan alam gaib tersebut.141 4. Makna teks tersebut harus masih memungkinkan bermakna lain. 5. Sesuai dengan logika pembentukan bahasa. 6. Hasil penakwilannya harus sesuai dengan ayat-ayat muhkamât dan hadits mutawâtir, karena inti dari takwil adalah mengembalikan ayatayat mutasyâbihât kepada ayat-ayat muhkamât. 7. Meyakini bahwa takwil hanyalah sebuah upaya di bawah maksud penulis. 8. Mengalihkan lafaz kepada makna yang marjûh disyaratkan adanya dalil yang menguatkan makna marjûh tersebut. 9. Takwil harus terus mengikuti ruang lingkup makna yang dikandung lafaz. Takwil tersebut mengarahkan kata kepada salah satu makna yang terkandung dalam lafaz tersebut bukan kepada makna yang tidak terkandung dalam lafaz tersebut. 10. Keilmuan yang menyeluruh bagi mereka yang menakwilkan.142
141
„Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 24. „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 30, 33-34. „Imȃrah juga memaparkan pemikiran Imam al-Ghazâlî (450-505 H/1058-1111 M), yaitu orang pertama yang membuat aturan terperinci takwil dalam Islam. Aturan-aturan takwil yang disebutkan oleh al-Ghazâlî sebagaimana dikutip oleh „Imȃrah adalah sebagai berikut: Pertama, tidak ada tokoh Islam yang tidak memerlukan takwil, hingga mereka yang tidak menekuni analisa secara rasional, seperti Ahmad bin Hambal yang telah menakwilkan tiga Hadits saja. Kedua, tidaklah mudah membedakan sesuatu yang dapat ditakwilkan dan yang tidak dapat ditakwilkan, bahkan hanya dapat dilakukan oleh orang yang mahir,cemerlang dalam ilmu bahasa, mengetahui dasar-dasar bahasa, tradisi orang Arab dalam penggunaan bahasa serta metode dalam membuat perumpamaan. Ketiga, beberapa kelompok Islam telah sepakat bahwa penakwilan hanya diperbolehkan ketika memiliki dalil akan kemustahilan menggunakan makna zâhir. Keempat, mereka sepakat bahwa jika dalil tersebut telah pasti, maka diberikan keringanan diberikan untuk penakwilan, meskipun menggunakan makna 142
157
Persyaratan yang ditawarkan oleh „Imârah dalam menakwilkan al-Qur‟an terbagi kepada dua sisi, pertama bagi orang yang menakwilkan al-Qur‟an tersebut disyaratkan al-râsikhûna fî al-„ilm yaitu orang-orang yang memiliki keilmuan secara menyeluruh tentang al-Qur‟an dan tafsir, serta ia meyakini bahwa takwil hanyalah sebuah upaya di bawah maksud penulis. Sisi kedua, takwil hanya dilakukan terhadap ayat-ayat al-Qur'an yang mutasyâbihât, dan ayat-ayat tersebut bertentangan dengan ayat-ayat muhkamât kecuali ayat-ayat tentang alam gaib, maka cukup diimani saja, makna teks tersebut juga harus masih memungkinkan bermakna lain dan jauh. Jika belum pasti, maka tidak diberikan keringanan kecuali hanya pada penakwilan makna terdekat yang memudahkan pemahaman. Kelima, mereka sepakat bahwa tingkatan yang diterima hanya lima, yaitu wujud dzâtî, hissî, khayâlî, aqlî, syibhî, yang menjadi tingkatan dalam penakwilan. Keenam, Para penakwil dikelompokkan menjadi dua tingkat, yaitu: tingkatan awam dan tingkatan analis. Ketujuh, mereka yang menakwilkan tanpa dalil dalam masing-masing tingkatan belum tentu dianggap kufur, tetapi tergantung apakah penakwilannya berkaitan dengan permasalahan akidah atau tidak, dan akan dianggap kafir ketika berkaitan dengan masalah akidah. Kedelapan, sebuah makna yang bertentangan terkadang bertentangan dengan makna mutawatir dan dianggap sebagai makna yang ditakwilkan, akan tetapi disebutkan sebagai sebuah penakwilan yang tidak memiliki dasar bahasa, maka dianggap kufur dan orang yang melakukannya berdosa, meskipun ia menyangka bahwa makna itu adalah makna yang ditakwilkan. Kesembilan, jika seseorang mengingkari makna yang ditetapkan berdasarkan hadis ahad, maka tidaklah dianggap kafir. Jika ditetapkan berdasarkan berdasarkan ijmâ, maka dipertimbangkan terlebih dahulu, lihat „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 45-48. „Imȃrah juga mengutip pendapat Ibnu Rusyd tentang takwil. Pendapat Ibn Rusyd tentang takwil secara ringkas adalah sebagai berikut: Pertama, Takwil diperbolehkan. Kedua, takwil hanya diperbolehkan pada makna yang memiliki dalil kemustahilan penggunaan makna zâhir. Ketiga, sesuai dengan persyaratan majâz dalam bahasa Arab, yang mengeluarkan penunjuk makna kata-kata dari makna sebenarnya menjadi makna majâz. Keempat, tidak ada kesepakatan ijmâ' yang diyakini bahwa yang dimaksudkan adalah makna zâhir. Kelima, adanya dukungan penunjuk makna zâhir dari teks- teks yang menguatkan penakwilan. Keenam, menggabungkan antara yang ma‟qûl dan manqûl, bukan menentangkan antara keduanya, melampaui salah satu ataupun menafikannya. Ketujuh, takwil berlaku hanya untuk orang-orang khusus yang berilmu. Tidak diperbolehkan bagi kalangan umum. Tidak boleh dituliskan dalam buku-buku umum, kecuali apabila penakwilannya telah benar-benar valid dan memenuhi syarat-syarat dan ke-dâbitan takwil. Kedelapan, adapun berita tentang alam gaib, mukjizat, dasar-dasar syari'ah, dan segala yang tidak mampu diketahui oleh akal manusia untuk dapat mengetahui essensinya, Ibn Rusyd mengharuskan mengambil makna zâhir-nya, tidak ditakwilkan. Kesembilan, berita tentang yang gaib dan dasar-dasar syari'at serta mukjizat tidak boleh ditakwilkan, meskipun oleh para filosof, „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 49-50. Lihat juga Muhammad „Imȃrah, Ibn Rusyd baina alGharb wa al-Islam (Kairo: Dâr Nahdah Misr, 1997), h. 38.
158
disyaratkan adanya dalil yang menguatkan makna tersebut sesuai dengan logika pembentukan bahasa, serta penakwilan mesti sejalan dengan ayatayat muhkamât dan hadits mutawâtir. d. Antara Takwil Bâtînî, Sufi dan Hermeneutika Dalam tradisi Islam sebagaimana yang telah Penulis jabarkan pada pembahasan sebelumnya bahwa takwil diperlukan ketika terdapat ayat-ayat yang kurang jelas maknanya atau bertentangan dengan dalil yang lain, maka dialihkanlah makna zâhir teks tersebut kepada makna bâtin-nya. Selanjutnya yang menarik untuk dibahas adalah bagaimana dengan penakwilan yang dilakukan oleh kelompok Bâtînî dan Sufi, apakah penakwilan mereka sama seperti hermeneutika? Dalam membahas masalah ini, „Imârah membedakan antara penakwilan yang dilakukan oleh aliran Bâtînî dan Sufi. Menurutnya, aliran
Bâtînî
yaitu
kelompok
yang
berlebih-lebihan
di
dalam
menakwilkan, karena mereka menakwilkan semua yang zâhir menjadi bâtin, dan tidak menggunakan kaidah-kaidah takwil dari sisi ke-dâbit-an bahasa Arab dan kaidah-kaidah Islam.143 Penakwilan aliran Bâtînî sama seperti penakwilan hermeneutika tanpa membedakan antara yang muhkam dan yang mutasyâbih, tidak menganggap peran bahasa, logika, ketetapan keagamaan dan keyakinan, sehingga menjauhkan agama dari subtansinya dengan cara sia-sia.144 Contohnya aliran Ismâ'îliyah yang 143
„Imȃrah, Ma„rakah al-Mustalahât, h. 216. „Imȃrah menambahkan bahwa hal tersebut telah dilakukan hermeneutika pada perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dalam turâts Barat, lihat „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 63. 144
159
penakwilannya hampir menghapus ajaran Islam, karena bagi mereka makna yang bâtin menghapus yang zâhir, hingga mereka menempatkan syari'at bâtin pada syari'at zâhir yang dibawa oleh penutup para nabi dan rasul yaitu Nabi Muhammad Saw.145 Contohnya dalam QS. al-Baqarah [2]:
35
(wakulâ
minhâ
raghadan
haitsu
syi‟tumâ),
mereka
menakwilkannya dengan Muhammad bin Ismâ‟îl dan ayahnya Ismâ‟îl, begitu juga mereka menakwilkan QS. al-Baqarah [2]: 35 (walâ taqrabâ hâdzihi al-syajarah) dengan Imâm Mûsa al-Kâzim bin Ja‟fâr al-Sâdiq.146 Dalam masalah penakwilan, kaum Sufi berbeda dengan kelompok Bâtînî, karena bagi „Imârah walaupun pembacaan kaum sufi terhadap teks-teks agama tidak sama dengan pembacaan mufassir alQur'an, namun mereka tidaklah berlebih-lebihan dalam menakwilkan teks-teks seperti yang dilakukan oleh aliran Bâtînî. Hal tersebut dikarenakan kaum Sufi berusaha membaca teks untuk sampai pada penulis dan maksud tulisannya, sedangkan takwil aliran Bâtînî mengenyampingkan
maksud
pengarang,
sebagaimana
juga
yang
dilakukan hermeneutika.147 Lebih mendalam „Imârah menuturkan bahwa dalam pembacaan teks, kaum Sufi terbagi menjadi tiga maqâm. Seluruh maqâm ini dalam setiap pembacaan mereka selalu mencari penulis, berusaha sampai pada
145
„Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 64. „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 64. 147 „Imȃrah menambahkan pembacaan kaum sufi terhadap teks agama berusaha menanggapai esensi dasar teks dan menggapai dunia teks tersebut tanpa mengorbankan ketentuan bahasa ataupun keimanan, lihat „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 59. 146
160
sumber dan mencari esensi maksudnya, sedangkan aliran Bâtînî tidak.148 Penakwilan dalam Sufi hanya diberlakukan bagi kaum khawâs, atau khawâsul khawâs, dan Allahlah yang menunjukkan mereka.149 Takwil dalam Sufi adalah pembacaan hati yang menerima limpahan dan ilham Tuhan, sedangkan akal hanyalah sekedar menjadi saksi.150 Dengan demikian, antara takwil Bâtînî dan hermeneutika memiliki kesamaan dan bahkan mirip, karena Bâtînî dan hermeneutika sama-sama menakwilkan semua yang zâhir menjadi bâtin dan tidak membedakan antara yang muhkam dan mutasyâbih, serta tidak menggunakan kaidah-kaidah takwil dari sisi ke-dâbit-an bahasa Arab dan kaidah-kaidah Islam. Adapun takwil Sufi berbeda dengan takwil Bâtînî dan hermeneutika, karena takwil Sufi tidak berlebih-lebihan dalam menakwilkan teks-teks seperti yang dilakukan oleh aliran Bâtînî dan hermeneutika. Kaum sufi berusaha membaca teks untuk sampai pada pengarang dan maksud tulisannya, sedangkan takwil bagi aliran Bâtînî mengesampingkan maksud pengarang. Pada pembahasan sebelumnya Abû Zaid menuturkan bahwa terdapat hubungan yang erat dan kesamaan antara ijtihâd dan takwil,
148
Tiga maqâm tersebut yaitu: pertama, maqâm „ârifîn min al-mu‟minîn (mukmin yang telah ma„rifah), yaitu orang yang telah sampai atau bertemu Allah Swt. melalui kalâm Allâh dan mengetahui makna khitâb-nya, maka pembacaan di sini telah sampai atau berjumpa dengan pembicara. Kedua, maqâm „umûm al-muqarrabîn (muqarrabîn umum), yaitu yang menyaksikan dengan hati mereka seakan-akan Allah Swt. berdialog dengan kelembutannya, dan mereka mendengarkan dan mengerti. Ketiga, maqâm ashâb al-yamîn, yaitu yang melihat diri mereka telah bermunajat kepada Tuhan, lihat „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 59-60. 149 „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 60. 150 Tujuan penakwilan adalah sampai pada tingkatan tertinggi pemahaman atas tujuan penulis, tidak dengan menyerukan matinya pembicara secara jelas atau dengan berlebih-lebihan yang sia-sia di dalam menakwilkan teks-teks, lihat „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 61-62.
161
karena antara takwil dan ijtihâd sama-sama didasarkan pada gerak nalar untuk menembus ke kedalaman teks tersebut. Oleh karena itu, Abû Zaid mengkritik ulama tradisional yang membedakan antara keduanya, dimana mereka lebih mengedepankan konsep ijtihâd dibandingkan dengan takwil. Penerimaan ulama tradisional mengenai kebebasan perbedaan pendapat yang terjadi dalam wilayah fiqh yang menerima berbagai ijtihâd, maka seharusnya demikian pula penakwilan terhadap teks.151 Berkaitan dengan ijtihâd tersebut, „Imârah memaparkan bahwa kata ijtihâd tersebut memiliki hubungan dengan kata jihad, karena samasama berasal dari kata dasar jahada (ذٙ )جyang secara etimologi berarti mengupayakan dengan segala kemampuan untuk mencapai sesuatu perkara yang tidak lepas dari jerih payah dan beban berat, dan dalam melakukannya, seorang mujtahid merasakan dirinya tidak mampu lagi melakukan lebih dari apa yang ia usahakan tersebut. Ijtihâd menurut para ahli Usul al-Fiqh adalah jerih payah yang dilakukan oleh ulama fiqh untuk mendapatkan satu rumusan hukum syar‟i.152 Lebih lanjut „Imârah menyebutkan bahwa ulama memberikan syarat-syarat bagi seorang yang akan ber-ijtihâd, secara umum adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui usûl (al-Qur‟an dan Sunnah) 2. Mengetahui metode penyimpulan hukum 151 152
Abû Zaid, Tekstualitas al-Qur‟an, h. 300-301. „Imârah, Perang Terminologi Islam Versus Barat, h. 230.
162
3. Mengetahui dasar-dasar penalaran akal 4. Mengetahui sisi deduksinya.153 E. Analisis Kritik ‘Imârah Fenomena pembacaan hermeneutika atas al-Qur‟an didasari oleh perkembangan ilmu humaniora Barat yang bertujuan untuk merombak metode pembacaan al-Qur‟an dari kaidah-kaidah metodologis yang telah disusun oleh ulama Islam. Agama Islam telah sempurna diturunkan oleh Allah kepada nabiNya Muhammad Saw. Agama Islam dilengkapi dengan mukjizat terbesar nabi akhir zaman tersebut yaitu al-Qur‟an yang menjadi penyempurna dari kitabkitab yang telah diturunkan Allah Swt. sebelumnya. Sebagai kitab terakhir, alQur‟an menawarkan dirinya sebagai petunjuk bagi manusia dan membawa manusia dari kegelapan menuju cahaya terang benderang. Al-Qur‟an yang terdiri atas seratus empat belas surat dan terbagi menjadi tiga puluh juz memuat ajaran-ajaran akidah, syari‟at, mu‟amalah dan lain sebagainya. Ia juga banyak mengungkapkan fakta-fakta ilmiah yang membuat para ilmuan terkagumkagum karenanya. Allah Swt. memilih bahasa Arab sebagai bahasa penghubung antara Ia dan makhluknya. Rasulullah Saw. telah memberikan penafsiran terhadap ayatayat al-Qur‟an yang kurang dipahami oleh para sahabat. Pada perkembangan
153
„Imârah juga menjealskan syarat-syarat terperinci bagi mujtahid, yaitu: pertamai, menguasai bahasa Arab, sehingga mampu memahami al-Qur‟an dan Sunnah Nabi Saw. Kedua, Memahami dan mendalami ayat-ayat hukum dalam al-Qur‟an yang mencapai lima ratus ayat yang secara tegas menunjukkan pada sejumlah hukum. Ketiga, Benar-benar memahami sunnah Nabi Saw. serta ilmu-ilmunya, baik riwâyah, maupun dirâyah, sanad maupun matan. Keempat, mengetahui nâsikh dan mansûkh, „am dan khas, mutlaq dan muqayyad dalam al-Qur‟an maupun sunnah Nabi Saw. Kelima, benar-benar memahami jiwa syari‟at Islam dan tujuan-tujuannya. Lihat „Imârah, Perang Terminologi Islam Versus Barat, h. 230-231.
163
selanjutnya, para ulama menyusun disiplin ilmu yang disebut dengan ilmu tafsir dan takwil untuk mengatur penafsiran al-Qur‟an tersebut agar sesuai dengan semangat al-Qur‟an itu sendiri. Pada abad terkini, sarjana-sarjana muslim tidak puas dengan ilmu tafsir dan takwil tersebut, mereka menawarkan metode baru yang didapatkan dari Barat yaitu hermeneutika. Hermeneutika sebagai metode dalam penafsiran al-Qur‟an telah memancing perdebatan di antara cendekiawan muslim itu sendiri, sebagian mendukung metode tersebut sedangkan
yang lain
menolaknya. Muhammad „Imȃrah adalah salah satu cendekiawan muslim yang menentang ide hermeneutika. Dalam karya-karyanya ia sangat gigih membandingkan pemikiran Barat dan Islam dan menjelaskan kerapuhan pemikiran-pemikiran Barat tersebut. Di antara pemikiran Barat yang sangat ia soroti adalah wacana hermeneutika khususnya hermeneutika Nasr Hâmid Abû Zaid. „Imârah melihat ada agenda besar dibalik wacana hermeneutika Abû Zaid tersebut, yaitu untuk meruntuhkan sendi-sendi agama Islam yang telah kokoh dibangun oleh Nabi Muhammad Saw. Al-Qur‟an adalah kalâm Allah Swt., bukan teks manusia, karena benar-benar diturunkan oleh Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw. melalui perantaraan malaikat Jibril dan terjaga hingga akhir zaman. Allah Swt. adalah zat Yang Maha Hidup sebagaimana sifat yang dimilikinya, dan Dia tidak pernah mati sampai kapanpun, karena ia baqâ‟ (kekal) selamanya, tidak memiliki awal dan akhir. Penggunaan hermeneutika dalam penafsiran al-
164
Qur‟an menurut „Imârah secara tidak langsung menganggap bahwa Allah Swt. tidak ada dan ini bertentangan dengan sifat Allah Swt. tersebut. Hermeneutika telah menganggap Tuhan mati, sehingga pembaca bisa secara leluasa menentukan makna dari teks yang dibacanya. Menurut Penulis, oleh karena alQur‟an tersebut adalah perkataan Allah Swt., maka cara memahaminya mesti berdasarkan pemahaman yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. sebagai penerima wahyu pertama (al-Qur‟an), yaitu dengan menafsirkannya dengan ayat-ayat al-Qur‟an lainnya, atau dengan hadits Nabi Muhammad Saw. dan sebagainya. Ilmu tafsir dan takwil yang telah lama dikenal di dalam Islam masih dianggap belum lengkap bagi sebagian cendekiawan Muslim. Oleh sebab itu, menurut „Imârah hermeneutika yang berasal dari pengembangan dari takwil terus menunjukkan eksistensinya. Hermeneutika kemudian digunakan oleh cendekiawan Muslim tersebut untuk menafsirkan teks agama, sehingga hermeneutika tidak membedakan antara teks Ilâhi dengan teks manusia. Hermeneutika menurut „Imȃrah telah mengingkari sesuatu yang mutlak, sehingga hermeneutika memperlakukan teks agama yang mutlak tersebut sebagai sesuatu yang nisbî.154 Ketika hermeneutika diterapkan pada teks Taurat, maka ia diperlakukan seperti halnya teks sastra dan seni atau teks-teks lainnya.155 Begitu pula yang terjadi terhadap teks-teks kaum Nasrani, di mana hermeneutika digunakan juga untuk menafsirkan teks-teks kaum Nasrani tersebut, sehingga agama Kristen dianggap tidak lebih dari penakwilan atas 154 155
„Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 19. „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 20.
165
Yahudi dan Perjanjian Lama. Hermeneutika telah menghasilkan berbagai macam versi Injil yang berbeda antara yang satu dengan lainnya, dan ini dianggap sebagai buah dari berbagai perbedaan penakwilan di antara orangorang yang menulis Injil tersebut.156 Lebih lanjut „Imârah menegaskan bahwa hermeneutika tidak hanya menyamakan antara teks agama dan teks manusia, hermenutika juga menyamakan antara teks yang muhkam dan mutasyâbih, padahal ayat-ayat muhkamât dan mutasyâbihât itu memiliki perbedaan, di mana ayat-ayat muhkamât itu tidak menerima takwil, sedangkan ayat mutasyâbihât sebaliknya.157 Berdasarkan penelitian terhadap pemikiran „Imârah mengenai hermeneutika Abû Zaid, Penulis melihat bahwa „Imȃrah adalah sosok yang tegas dalam bersikap, dan tegas terhadap hal-hal yang menurutnya tidak sejalan atau bertentangan dengan syari‟at Islam. Hal tersebut tergambar dari pemikiran-pemikirannya
yang
tertulis
dalam
karya-karyanya
yang
memperlihatkan hal itu, terlebih kritikannya terhadap hermeneutika yang ditawarkan oleh Abû Zaid. Dalam mengkritik hermeneutika Abû Zaid, „Imârah berusaha untuk menghadirkan dalil-dalil logika di samping dalil-dalil dari alQur‟an dan Sunnah tentunya. Hal ini adalah sebagai upaya agar kritikannya ini mampu dipahami dan diterima oleh semua kalangan pembaca, baik bagi muslim maupun non muslim, orang yang sangat memegang dalil naql, maupun orang yang hanya menggunakan akalnya.
156 157
„Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 21. „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 14, 18.
166
Penulis memperhatikan bahwa kritik „Imârah terhadap hermeneutika Abû Zaid muncul untuk menjawab permasalahan terkait dengan pemikiranpemikiran Abû Zaid yang menjadi bahan pembicaraan di media massa, ada yang pro ada juga yang kontra, hingga akhirnya pengadilan menyatakan bahwa Abû Zaid telah keluar dari Islam dan ia harus diceraikan dengan istrinya, karena statusnya yang murtad tersebut. „Imârah menyarankan agar tidak gegabah dalam menetapkan seseorang itu murtad.
Kritik ini juga untuk
meyakinkan umat Islam bahwa metode hermeneutika Abû Zaid tidak cocok diterapkan dalam penafsiran al-Qur‟an. Adapun wacana hermeneutika Abû Zaid yaitu berkenaan dengan tekstualitas al-Qur‟an, teks-teks al-Qur‟an tersebut telah termanusiawikan.158 Menurutnya, teks al-Qur‟an dibentuk oleh peradaban Arab. Teks (al-Qur‟an) terbentuk dalam realitas dan budaya dalam rentang waktu lebih dari dua puluh tahun, maka Abû Zaid menyebut al-Qur‟an sebagai produk budaya. Allah Swt. juga telah memilih sistem bahasa tertentu (bahasa Arab) sesuai dengan bahasa penerimanya, dan bahasa adalah bagian dari budaya dan realitas.159 Begitu juga halnya jika dilihat dari sisi Nabi Muhammad Saw. sebagai penerima wahyu pertama, maka Abû Zaid menyebutnya sebagai bagian dari realitas.160 Lebih lanjut bagi Abû Zaid, Nabi Muhammad Saw. bukanlah penerima yang pasif, 158
Abû Zaid menjelaskan bahwa suatu teks ditentukan oleh hukum-hukum yang mapan. Teks-teks agama tidak dapat melepaskannya dari hukum-hukum ini, sebab tek-teks tersebut “termanusiawikan” semenjak ia mewujud dalam sejarah dan bahasa, dan sejak lafaz dan maknanya ditujukan kepada manusia di dalam realitas sejarah tertentu. Teks ditentukan oleh dialektika konstanta (yang tetap) dan transforma (yang berubah). Dengan demikian fenomena al-Qur‟an tidak terpisah dari realitas, tidak melangkahi, atau melampaui hukum-hukum realitas, lihat Abû Zaid, Kritik Wacana Agama, h. 87, 211, 244, lihat juga Abû Zaid, Tekstualitas al-Qur‟an, 33. 159 Abû Zaid, Tekstualitas al-Qur‟an, h. 19, 21. 160 Nasr Hâmid Abû Zaid, Mafhûm al-Nass: Dirâsah fî „Ulûm al-Qur‟ân (t.tp, al-Hai‟ah al-Misriyyah al-Âmmah li al-Kitâb, 1993), h. 11., h. 67-68.
167
karena dalam dirinya juga terdapat harapan-harapan masyarakat untuk masa depan.161 Selanjutnya Abû Zaid juga mengungkapkan tentang kontekstualitas al-Qur‟an. Abû Zaid mengatakan bahwa peran budaya terdapat dalam alQur‟an dalam membentuk peradaban,162 sehingga al-Qur‟an terikat oleh ruangwaktu, yaitu masyarakat Arab pada waktu itu, maka menurut mereka al-Qur‟an mengalami sejarah.163 Berkaitan dengan hal tersebut, Abû Zaid menjelaskan tentang makkî dan madanî dalam kajian al-Qur‟an yang merupakan perbedaan antara dua fase penting dalam membentuk teks. Hal tersebut merupakan hasil dari interaksinya dengan
realitas
yang
dinamis-historis.164
Oleh
karena
itu,
dengan
memperhatikan konsep makkî dan madanî terlihat bahwa teks al-Qur‟an fase Madinah berbeda dengan teks fase Mekah dari segi kandungan dan gaya bahasanya.165 Lebih lanjut Abû Zaid menuturkan bahwa konsep asbâb al-nuzûl memberitahukan kita turunnya teks sebagai respon atas realitas dan menegaskan hubungan “dialogis” dan “dialektik” antara teks dengan realitas. Di samping itu, diturunkannya wahyu secara berangsung-angsur (tidak sekaligus) selama lebih dari dua puluh tahun menjadi bukti bahwa al-Qur‟an hadir dalam rangka merespon realitas yang terjadi pada masa itu. Seorang
161
Abû Zaid, Tekstualitas al-Qur‟an, h. 73. Abû Zaid, Tekstualitas al-Qur‟an, h. 1-2. 163 Mudhofir Abdullah, “Kesejarahan al-Qur‟an dan Hermeneutika” Journal of Qur‟an and Hadith Studies, vol. 3, No. 1, 2014,” h. 58. 164 Abû Zaid, Mafhûm al-Nass, h. 85. 165 Abû Zaid, Tekstualitas al-Qur‟an, h. 8. 162
168
mufassir harus memahami realitas-realitas yang memproduksi teks al-Qur‟an tersebut (asbâb al-nuzûl) untuk memahami makna teks al-Qur‟an tersebut.166 Selain itu, al-Qur‟an menjadi mukjizat terbesar Nabi Muhammad Saw. karena pada waktu itu masyarakat sangat kagum dengan syair-syair yang indah, maka untuk merespon hal tersebut maka datangnya al-Qur‟an yang memiliki keindahan bahasa dan susunannya yang mampu mengalahkan syairsyair pujangga waktu itu. mukjizat yang diberikan kepada Nabi Muhammad berupa teks (al-Qur‟an) yang susunan kata-katanya sangat indah dan mampu mengalahkan syair-syair pada masa itu.167 Dari sini terlihat bahwa terdapat dialog antara teks dan kebudayaan. Oleh sebab itu, Abû Zaid membedakan antara makna dan signifikansi (maghzâ) dalam menafsirkan teks dan keduanya saling berkaitan. Maghzâ tidak terlepas dari pengaruh makna, sebagaimana maghzâ juga berorientasi pada dimensi makna. Namun, bagi Abû Zaid maghzâ tidaklah bersifat final, tetapi bisa diubah, ditolak sesuai hasil pembacaan dari pembacanya. Hal tersebut agar pembacaan terhadap teks selalu produktif sesuai dengan perkembangan zaman.168 Al-Qur‟an merupakan teks wahyu yang berbeda dengan teks-teks lainnya. Jika menggunakan metode hermeneutika dan termasuk hermeneutika Abû Zaid, maka akan menjadikan al-Qur‟an sama dengan teks-teks manusia 166
Abû Zaid, Mafhûm al-Nass, h. 109. Abû Zaid menambahkan bahwa i‟jaz dalam al-Qur‟an, pertama terletak pada perbedaannnya dengan teks-teks lain dalam genre, karena ia tidak termasuk tipe prosa, puisi sajak, dan lain sebagainya. Kedua, terletak pada pola susunan dan penyusunanya, di mana tidak ditemukan perbedaan taraf susunan dan penyusunannya meskipun panjang dan bervariasi temanya. Abû Zaid, Tekstualitas al-Qur‟an, h. 170, 171, 185, 186. 168 Abû Zaid, Kritik Wacana al-Qur‟an, h. 122-124. 167
169
lainnya,169 sedangkan al-Qur‟an adalah kitab suci yang tidak memiliki trauma sejarah keagamaan, sehingga Islam tidak mengalami benturan antara akal dan agama. Di samping itu, karena berbedanya al-Qur‟an dengan teks yang lain, maka cara menafsirkan al-Qur‟an berbeda pula dengan teks-teks lain tersebut.170 Dalam menjawab tuduhan hermeneutika Abû Zaid yang menyatakan bahwa al-Qur‟an adalah produk budaya, „Imârah menegaskan bahwa al-Qur‟an tidak diciptakan dari realitas dan bukan produk budaya, karena Allah Swt. menurunkan al-Qur‟an secara lafaz dan makna serta diturunkan dalam berbahasa Arab, sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS. Yûsuf [12]: 2171
َْ ًٍُِّْٛب ٌَ َعٍَّ ُى ُْ رَ ْعم١ِأَِّآ أَ ْٔض ٌََْٕبُٖ لُشْ آًٔب َع َشث
“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Qur‟an berbahasa Arab, agar kamu mengerti.”172
„Imȃrah juga menegaskan bahwa sebelum al-Qur‟an diturunkan, ia berada di sisi Allah Swt. Dengan demikian al-Qur‟an berasal dari Allah Swt., bukan dari realitas sebagaimana yang disangkakan oleh pendukung hermeneutika.173 Dalam menjawab hermeneutika Abû Zaid yang menyatakan
169
Fahmi Salim, Tafsir Sesat; 58 Essai Kritis Wacana Islam di Indonesia. (Jakarta: Gema Insani, 2013), h. 258-259. 170 Husaini dan Al-Baghdadi, Hermeneutika & Tafsir al-Qur‟an, h. 6. 171 „Imȃrah, al-Tafsîr al-Markisî, h. 50-51. 172 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 235. 173 „Imȃrah menyebutkan firman Allah Swt yang mendukung pernyataannya tersebut, yaitu QS. Yâsin [36]: 69
ٌ ْ لُشَٚ اِ ََّل ِر ْو ٌشَُٛ ٘ ْْ ِ ٌَُٗ اَٟ ْٕجَ ِا٠ َِبَٚ َِب عٍََّ َّْٕب ُٖ اٌ ِّؾع َْشَٚ ٌْٓ ١ِآْ ُِّج
“Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah pantas baginya. Al-Qur‟an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang jelas.” Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 444. Demikian juga dalam QS. al-Hâqah [69]: 40-43
170
„kontekstualitas dan historisitas al-Qur‟an‟, „Imârah menyatakan bahwa alQur‟an memiliki kekayaan kandungan yang mampu menjawab realitas yang selalu berubah dari masa ke masa,174
karena al-Qur‟an adalah mukjizat
terbesar Nabi Muhammad Saw. yang menjadi petunjuk sampai akhir zaman. Al-Qur‟an adalah perkataan Tuhan yang berbeda cara memperlakukannya dengan teks-teks lainnya. Apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw. bagaimana menafsirkan al-Qur‟an dan ilmu tafsir serta takwil yang telah disusun oleh ulama Islam adalah metode yang ampuh untuk mengungkap makna ayat-ayat al-Qur‟an tersebut, sehingga tidak diperlukan lagi hermeneutika yang banyak memicu permasalahan di kalangan umat Islam sendiri. Adapun argumentasi „Imârah mengkritik hermeneutika Abû Zaid adalah bahwa hermeneutika Abû Zaid mendewakan pembaca dan akal. Jika metode hermeneutika Abû Zaid ini diterapkan dalam menafsirkan al-Qur‟an, maka menurut „Imârah akan menghasilkan berbagai bacaan karena beragamnya pembaca al-Qur‟an tersebut dengan cara mengalihkan lafaz-lafaz-nya setelah mengosongkan makna-makna yang telah diturunkan Allah Swt.
175
Menurut
„Imârah hermeneutika Abû Zaid akan menghasilkan berbagai makna karena
ًْا َِّب١ٍَِْ ِي َوب ِ٘ ٍٓ لَٛ ََل ثِمَٚ . َْ ُِِْٕٛ ًْا َِب رُ ْئ١ٍَِْ ِي َؽب ِع ٍش لَٛ ثِمَٛ ُ٘ َِبَٚ .ٍُْ ٠ْ ٍي َو ِشُْٛ ُي َسعَٛأَِّٗ ٌَم .ْٓ١ِّ ٌَ ًٌ ِِّ ْٓ َسةِّ ْاٌ َعب٠ْ رَ ْٕ ِض.ْ ُْٚرَ َز َّوش
“Sesungguhnya ia (al-Qur‟an itu) benar-benar wahyu (yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia. Dan ia (al-Qur‟an) bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran darinya. Ia (al-Qur‟an) adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan seluruh alam.” Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 568. Lihat „Imȃrah, al-Tafsîr al-Markisî, h. 47-48, 53-54. 174 „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 23. 175 „Imârah, al-Tafsîr al-Markisî, h. 62.
171
beragamnya pembaca terhadap al-Qur‟an tersebut dengan cara mengalihkan lafaz-lafaz-nya setelah membuang makna-makna yang telah diturunkan Allah Swt.176 Berdasarkan ini, maka hermeneutika Abû Zaid juga mendewakan akal dalam proses penafsirannya, sehingga yang diperoleh dari al-Qur‟an adalah hasil pemahaman setiap pembaca yang beragam karena beragamnya pembaca terhadap al-Qur‟an tersebut dan hal tersebut
dia dapatkan setelah
mengenyampingkan makna yang diturunkan langsung oleh Allah Swt. dan menghadirkan makna baru. Hermeneutika Abû Zaid menurut „Imârah juga berlebih-lebihan dalam menakwilkan ayat-ayat al-Qur‟an. Jiika tidak membatasi makna-makna yang telah dibatasi wahyu, sehingga melampaui makna yang seharusnya, maka maknanya akan berubah dari hakikat kepada majâz. Kritik „Imârah selanjutnya terhadap hermeneutika Abû Zaid adalah hermeneutikanya telah menempatkan penunjuk makna dan maghzâ pada posisi makna. Hermeneutika merupakan ilmu memahami teks dimana penunjuk makna dan maghzâ menempati posisi makna yang dimaksud penulis atau pengarang,177 padahal penunjuk makna (dilâlah) dan maghzâ tersebut merupakan
pemahaman
individu
pembaca
terhadap
sebuah
teks.178
Hermeneutika telah membuka peluang besar munculnya beragam penunjuk makna yang disebabkan karena beragamnya pembaca terhadap suatu teks, dan pada tahap selanjutnya hermeneutika pun menjadi bermacam-macam pula, karena beragamnya pembaca tersebut.179
176
„Imârah, al-Tafsîr al-Markisî, h. 62. „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 7. 178 „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 14. 179 „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h. 14. 177
172
Penulis memperhatikan bahwa „Imârah sangat tegas mengkritik hermeneutika Abû Zaid, karena menurutnya dengan hermeneutika Abû Zaid akan menjadikan khitâb al-Qur‟an menjadi historis, sehingga akan menjadikan makna-makna ayat al-Qur‟an yang hakikat pada masa turunnya al-Qur‟an tersebut menjadi majâz, karena berbedanya kondisi masyarakat saat wahyu diturunkan dengan kondisi masyarakat sekarang, sehingga orang akan beranggapan bahwa alam gaib, surga, neraka, hari pembalasan, ketuhanan, malaikat, dan lain sebagainya akan berubah menjadi sekedar majâz, karena ayat-ayat tersebut dianggap hanya diturunkan untuk masyarakat pada waktu itu.180 Hermeneutika Abû Zaid menurut „Imârah akan merusak sendi-sendi keislaman, karena menjadikan makna-makna al-Qur‟an dan dilâlah lafaz-lafaznya yang hakikat pada masa pewahyuan dan tanzîl menjadi majâz.181 Lebih lanjut „Imârah menyebutkan bahwa dengan konsep historisitas, atau membawa makna hakikat kepada majâz, dan membawa makna kepada maghzâ, maka akan gugurlah banyak hukum syari‟at dan begitu pula dengan akidah Islamiyyah.182 Penulis sendiri berpendapat jika makna ayat-ayat al-Qur‟an hanya berlaku pada waktu penurunannya, maka pertanyaan Penulis adalah di manakah letak kemukjizatan al-Qur‟an tersebut? Oleh sebab itu, makna ayatayat al-Qur‟an tidak hanya untuk manusia saat wahyu itu diturunkan, tetapi berlaku sepanjang zaman.
180
„Imȃrah, al-Tafsîr al-Markisî, h. 69-71. „Imârah, al-Tafsîr al-Markisî, h. 64. 182 „Imȃrah, al-Tafsîr al-Markisî, h. 70. 181
173
Hermeneutika Abû Zaid akan merusak sendi-sendi keislaman. Menurut Abû Zaid, konsep kenabian hanyalah imajinasi manusia, sebagaimana penyair, dan sufi yang sama-sama memiliki imajinasi, walaupun tingkatannya berbeda. Oleh sebab itu, nabi, kenabian, rasul, dan kerasulan adalah hasil dari realitas, bukan dari Allah Swt.183 Adapun akidah dan syari‟ah menurut „Imârah dibuat oleh Allah Swt. yang diwahyukan oleh Allah Swt. kepada Rasulullah Saw., namun bagi Abû Zaid bahwa akidah dibangun dengan berbagai persepsi dalam peradaban sekelompok manusia dan dia berkembang dengan perubahan manusia itu sendiri.184 Demikian pula halnya dengan syari‟at yang diyakini oleh orang-orang Islam dibuat oleh Ilahi dan dibawa oleh Nabi Saw. bagi Abû Zaid juga tersusun dengan sendirinya sejalan dengan gerakan realitas Islam yang selalu berubah.185 Jika pemikiran-pemikiran Abû Zaid ini diterapkan, di mana teks dibentuk oleh realitas, dan hukum serta undang-undang hasil dari kondisi sosial, maka tidak sesuatu pun yang bersal dari Allah Swt,186 maka syari‟at Islam hanya tinggal historis saja. Kritik „Imârah terhadap hermeneutika Abû Zaid sangat tegas dan yakin,
sehingga
kita
mengetahui
dengan
mudah
sikapnya
terhadap
hermeneutika Abû Zaid tersebut, sebagaimana yang telah Penulis jelaskan sebelumnya. Kerancuan hermeneutika Abû Zaid sebagaimana disampaikan oleh „Imârah benar adanya karena hermeneutika Abû Zaid mendewakan pembaca dan akal. Begitu juga bahwa hermeneutika Abû Zaid berlebih-lebihan
183
„Imârah, al-Tafsîr al-Markisî, h. 55-57. „Imȃrah, Qirȃ‟at al-Nass al-Dînî, h.72. „Imârah, al-Tafsîr al-Markisî, h. 58. 185 „Imârah, al-Tafsîr al-Markisî, h. 59. 186 „Imârah, al-Tafsîr al-Markisî, h. 68. 184
174
dalam menakwilkan ayat-ayat al-Qur‟an, menempatkan maghzâ pada posisi makna, serta merusak sendi-sendi keislaman. Penulis melihat bahwa sekilas wacana hermeneutika Abû Zaid ini sangat menarik, namun sangat rapuh. Allah yang menurunkan al-Qur‟an beberapa abad yang lalu pasti sudah tahu apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Jika ayat-ayat al-Qur‟an disesuaikan dengan perkembangan zaman, otomatis akan menurunkan derajat al-Qur‟an itu sendiri, padahal ia merupakan kalâm Ilâhi, dan penafsiran yang dipaksakan agar sesuai dengan zaman membuat al-Qur‟an kehilangan mukjizat teksnya. Sebuah hukum contohnya, jika sebuah hukum berdasarkan kondisi sosial masyarakat maka dimanakah letak al-Qur‟an sâlih likulli zamân wa makân? Dalam tradisi Islam sendiri telah dikenal ilmu tafsir dan takwil sebagai alat untuk memahami kitab al-Qur‟an. Apa yang telah disusun oleh para ulama Islam tentang metodologi penafsiran al-Qur‟an telah mumpuni menjawab tantangan zaman. Di samping itu, Ayat-ayat dalam al-Qur‟an terbagi dua kelompok sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu muhkam dan mutasyâbih. Ayat-ayat muhkamât telah jelas maknanya sehingga ia tidak memerlukan takwil, sedangkan mutasyâbihât sebaliknya. Adapun metode hermeneutika telah menyamakan antara ayat-ayat muhkamât dan mutasyâbihât yang jelas-jelas berbeda. Manusia adalah makhluk yang memiliki kelebihan dan kekurangan. Di antara kelebihan manusia yaitu dibekali dengan akal, sedangkan kekurangannya bahwa akal tersebut terbatas tidak mampu mengetahui hal-hal
175
di luar jangkauannya. Penulis meyakini bahwa tidak ada pertentangan antara akal dan naql, karena keduanya sama-sama diciptakan oleh sang pemberi akal dan menurunkan naql, maka tidak mungkin terdapat pertentangan antara keduanya yang berasal dari yang satu. Allah Swt. adalah Tuhan pencipta alam semesta, Dia Maha Mengetahui apa yang tidak diketahui manusia atau makhluk lainnya. Ia tidak mungkin menurunkan al-Qur‟an hanya untuk penduduk Mekah dan Madinah saja, karena al-Qur‟an menjadi hidayah kepada kaum muslimin di mana pun dan sampai kapan pun. Pemahaman manusia terhadap teks berbeda-beda, begitu pula penafsiran mufassir terhadap al-Qur‟an. Hal itu bisa dikarenakan perbedaan sumber penafsiran atau corak penafsirannya. Namun, yang bisa kita garisbawahi adalah perbedaan tersebut hanyalah seputar variasi makna kata dan bukan pertentangan yang jauh. Penafsiran para mufassir al-Qur‟an juga tidak bertentangan dengan hukum-hukum Islam yang telah disepakati dan mapan. Pemaknaan al-Qur‟an secara harfiah saja tentu akan membuat penafsiran al-Qur‟an menjadi kaku, tetapi bukan berarti menafsirkan al-Qur‟an secara bebas tanpa batas. Di samping itu, penafsiran al-Qur‟an haruslah melihat kaidah-kaidah penafsiran yang telah dirumuskan oleh ulama begitu juga dengan ilmu yang harus diketahui. Oleh sebab itu, mustahil diterima oleh akal bahwa seseorang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan seputar al-Qur‟an dan tafsirnya mampu untuk menafsirkan al-Qur‟an itu sendiri.
176
Cendekiwan muslim senantiasa melakukan penelitian untuk menolak hermeneutika yang berasal dari Barat tersebut, termasuk hermeneutika Abû Zaid. Nabi Muhammad Saw. bersabda:
جُذْ ِشِٝا فٍُْٛ َد َخٌَٛ َّٝ ِر َساعًب ثِ ِز َسا ٍ َدزَٚ ٓ ِِ ْٓ لَ ْجٍِ ُى ُْ ِؽ ْجشًا ثِ ِؾج ٍْش٠ َ ٌَزَزَّجِع َُّٓ َعٕ ََٓ اٌَّ ِز َّ َيَُٛب َسع٠ ُ٘ ُْ م لُ ٍَْٕبُّٛ ُظتٍّ َلَرَّجَ ْعز ْٓ َّ َ ف: لَب َيٜصب َس َ ٌَّٕاَٚ َدَُٛٙ١ٌَّللاِ ْآ َ “ Kalian sungguh akan mengikuti jalan-jalan kaum sebelum kalian, sehasta demi sehasta, sejengkal demi sejengkal, sehingga apabila mereka masuk lubang biawak sekalipun kalian akan mengikutinya juga.” Kemudian Rasulullah Saw. ditanya, “Apakah mereka (yang diikuti) itu kaum Yahudi dan Nasrani?” Rasulullah menjawab, “Siapa lagi (kalau bukan mereka)?”187 Hamid
Fahmy
Zarkasyi
memberikan
pandangannya
terhadap
cendekiawan Muslim yang menggunakan hermeneutika dalam penafsiran alQur‟an: “Tren di kalangan modernis Muslim untuk mengadopsi filsafat hermeneutika sebagai alternatif tafsir al-Qur‟an adalah absurd. Kritik-kritik mereka terhadap tafsir dan „ulûm al-Qur‟ân hakikatnya adalah bukti kegagalan mereka menangkap konsep “tafsir” atau “memahami” (tafaqquh) dalam tradisi intelektual Islam. Kegairahan mereka menggunakan hermeneutika dalam kajian Islam tidak disertai pemahaman terhadap presuposisi-presuposisi metafisis, epistemologis dan ontologis yang mendasarinya. Mereka nampaknya juga tidak mencoba memahami konsep realitas dan kebenaran yang mendasari konsep teori hermeneutika dan membedakannya dengan konsep Islam. Akibatnya, secara tidak sadar mereka telah melakukan “dekonstruksi” dan bukan rekonstruksi Islam dan elemen-elemen pandangan hidupnya.”188 Lebih lanjut Fami Salim menanyakan dan memberikan tawaran:
187
Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhârî dan Muslim, lihat Wensinck, al-Mu„jam alMufahras li Alfâz al-Hadîts al-Nabawî, jilid II (Leiden: Maktabah Bariel, 1936), h. 555, Abû „Abd Allâh Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Kitâb al-I„tisâm bi al-Kitâb wa alSunnah, Hadits No. 7320 (Riyâd: Bait al-Afkâr al-Dauliyyah, 1998), h. 1396. Abû al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Sahîh Muslim, Kitâb al-„Ilm, Hadits No. 2669 (Beirût: Dâr al-Fikr, 2003), h. 1313. 188 Hamid Fahmy Zarkasyi, “Menguak Nilai Dibalik Hermeneutika,” Jurnal Islamia Thn 1 no 1, Maret 2004, h. 29.
177
“Apakah tidak sebaiknya upaya pembacaan dan pemaknaan ulang wacana agama itu diarahkan sebagai pembaruan metode dakwah Islam dan revitalisasi sarana-sarana pendukungnya di era kontemporer ini, sesuai dengan perkembangan zaman? Kita sangat memerlukan pemikiran segar dan cemerlang untuk mendakwahkan prinsip-prinsip dan pandangan hidup Islam dengan metode yang cocok dengan kemajuan zaman. Jika ini terjadi, kita dengan senang hati menyambut seruan ini.”189 Berdasarkan pemaparan di atas, argumentasi yang digunakan oleh „Imârah terhadap hermeneutika Abû Zaid dalam penafsiran al-Qur‟an kritis dan tegas. Namun, Penulis juga melihat kekurangan dari kritikan-kritikan tersebut, yaitu „Imârah tidak mendefenisikan hermeneutika terlebih dahulu secara jelas, tetapi hanya menjelaskan bahwa hermeneutika muncul dari penakwilan terhadap teks dan menjelaskan makna takwil tersebut, semestinya sebelum melakukan kritikan terhadap sesuatu mestilah diawali dengan menjelaskan defenisi sesuatu tersebut secara jelas. Berkaitan dengan makna dan maghzâ ini, Abû Zaid menjabarkan tiga level makna dalam teks-teks agama, pertama adalah level makna yang hanya merupakan bukti-bukti historis yang tidak bisa diinterpretasi secara metaforis, kedua level makna yang dapat diinterpretasi secara metaforis, dan ketiga level makna yang dapat diperluas berdasarkan maghzâ-nya.190 Berdasarkan ini, maka tidak semua makna yang dapat diperluas berdasarkan maghzâ-nya. Oleh sebab itu, kritik „Imârah terhadap hermeneutika Abû Zaid juga berlebihan dan megeneralkan semua lafaz dapat diperluas maknanya berdasarkan maghzâ-nya. Di
samping itu, melalui teori hermeneutikanya, Abû Zaid
membedakan antara istilah takwil dan talwin. Takwil adalah pemaknaan 189 190
Fahmi Salim, Tafsir Sesat, h. 245. Abû Zaid, Naqd al-Khitȃb al-Dînî, h. 210.
178
terhadap teks yang didasarkan pada prinsip-prinsip obyektifitas dari sebuah teks, sedangkan talwîn adalah pemaknaan terhadap teks yang didasarkan pada subyektifitas (ideologisasi).191 Namun, dalam kritikannya, „Imârah tidak membahas masalah ini yang semestinya harus dilakukan karena Abû Zaid sendiri membedakannya. Dalam
memberikan
contoh
penafsiran
dengan
menggunakan
hermeneutika, Abû Zaid menjelaskan tentang pembagian harta warisan bagi perempuan. Adapun ayat al-Qur‟an yang dijadikan landasan dalam masalah ini Adapun ayat al-Qur‟an yang membahas tentang pembagian warisan antara laki-laki dan perempuan adalah QS. al-Nisâ‟ [4]: 7-11.192
191
Abû Zaid, Naqd al-Khitȃb al-Dînî, h. 142-143.
192
َُْٛ ْاََ ْل َشثَٚ ِْ اٌِذَاَٛ ٌن ْا َ تٌ ِِ َّّب رَ َش١ص َ تٌ ِِ َّّب رَ َش١ص ِ َٔ ٌٍِِّٕ َغب ِءَٚ َُْٛ ْاََ ْل َشثَٚ ِْ اٌِذَاَٛ ٌن ْا ِ َٔ ٌٍِ ِّش َجب ِي ُٓ١ ْاٌ َّ َغب ِوَٚ َٰٝ َِ َزَب١ٌ ْاَٚ َٰٝ َ ْاٌمُشْ ثٌُُٛٚع َش ْاٌمِ ْغ َّخَ أ ً ُٚجًب َِ ْفش١ص َ اِ َرا َدَٚ ﴾١﴿ ظب ِ َٔ ْ َوضُ َشَِِٚ َّّب لَ ًَّ ِِ ُْٕٗ أ ظ َعبفًب َ َ ْخ١ٌْ َٚ ﴾١﴿ فًبُْٚ ًَل َِ ْعشَُٛ ُْ لٌَٙ اٌُُٛٛلَٚ ُْٕٗ ِِ ُْ ُُ٘ٛفَبسْ ُصل ِ ًَّخ٠ ُْ ُر ِّسِٙ ِا ِِ ْٓ َخ ٍْفْٛ رَ َش ُوٌَٛ َٓ٠ؼ اٌَّ ِز َّ اَُٛزَّم١ٍْ َ ُْ فِٙ ١ْ ٍَا َعَُٛخبف ظُ ٍْ ًّب أَِّ َّبَٰٝ َِ َزَب١ٌا َي ْاَٛ ِْ ََْ أٍَُٛؤْ ُو٠ َٓ٠﴾ اِ َّْ اٌَّ ِز١﴿ ذًا٠ْ ًَل َع ِذَٛا لٌَُُٛٛم١ٌْ َٚ ََّللا َّ ُُ ُى١ل ِّْ ََل ِد ُو ُْ ٌٍِ َّز َو ِش ِِ ْض ًُ َدعَٚ أَِّٟللاُ ف ِ ُٛ٠ ﴾ٔٓ﴿ ًشا١ْ َْ َع ِعٍَٛ َْص١ َعَٚ ُْ َٔب ًساِٙ ُِٔٛ ثُطَِْٟ فٍَُٛؤْ ُو٠ ْ ٔاِ ْْ َوبَٚ َ َُّٓ صٍُُضَب َِب رَ َشنٍََٙ ِٓ ف١ْ َق ْاصَٕز ِٗ ٠ْ َٛ َ ََِثَٚ َُب إٌِّصْ فٍََٙا ِد َذحً فَٚ َذ َ َْٛ ِٓ فَب ِ ْْ ُو َّٓ ِٔ َغب ًء ف١ْ َ١َْاَُ ْٔض ِٗ ِِّ ُاُٖ فَ ِِلَٛ َ ِسصَٗ ُ أَثَٚ َٚ ٌَ ٌذَٚ ٌَُٗ ْٓ َ ُى٠ ُْ ٌَ ْْ ِ ٌَ ٌذ فَبَٚ ُ ٌَٗ َْن اِ ْْ َوب َ ُ َّب اٌ ُّغذُطُ ِِ َّّب رَ َشْٕٙ ِِ ا ِد ٍذَٚ ًِّ ٌِ ُى ُ ٍُُّاٌض أَ ْثَٕب ُإ ُو ُْ ََلَٚ ُْ ٍٓ آثَب ُإ ُو٠ْ ْ َدََٚب أِٙ ثٟل ِ ُٛ٠ َّ ٍخ١ل ِ َٚ حٌ فَ ِِلُ ِِّ ِٗ اٌ ُّغذُطُ ِِ ْٓ ثَ ْع ِذَٛ ش فَب ِ ْْ َوبَْ ٌَُٗ اِ ْخ َّ َّْ َِّللاِ ا َّ َِِٓ ًعخ ﴾ٔٔ﴿ ًّب١ ًّب َد ِى١ٍَِّللاَ َوبَْ َع َ ٠ُ ُْ أَ ْل َشةُ ٌَ ُى ُْ َٔ ْفعًب فَ ِشُّٙ٠ََْ أُٚرَ ْذس “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir beberapa kerabat, anak-anak yatim dan orang-orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekadarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik. Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar. Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zâlim, sebenarnya mereka itu, menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). Allah mensyari‟atkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian
179
Pada pembahasan terdahulu telah dijelaskan bahwa bagi Abû Zaid, perempuan di masa jahiliyyah tidak mendapatkan hak mewarisi harta orang tuanya dikarenakan status mereka sebagai orang yang tidak dihargai pada waktu itu. Kemudian Islam datang untuk merubah hal tersebut dengan perlahan, yaitu dengan memberikan setengah bagian dari bagian laki-laki. Hal ini menurut Abû Zaid belum berhenti di sana, tetapi sejalan dengan perkembangan zaman dan posisi wanita di dalam masyarakat, hingga yang tidak terkatakan dalam ayat tersebut adalah bahwa ayat tersebut menuju persamaan bagian warisan bagi laki-laki dan perempuan. Dalam menanggapi pemikiran Abû Zaid di atas, „Imârah menyatakan bahwa dengan hermeneutika Abû Zaid di atas, maka akan berdampak alQur‟an hanya sâlih pada zaman turunnya, dan tidak pada zaman-zaman setelahnya. Dengan demikian, maka hukum-hukum syari‟at Islam akan hilang dengan menggunakn teori ini. Jika sudah demikian tidak ada sesuatu pun yang berasal dari Allah Swt. Sedangkan al-Qur‟an berasal dari Allah Swt. berikut dengan syari‟at Islam dan lain sebagainya. Dalam melihat kritik „Imârah ini, Penulis merasa alasan yang diberikan oleh „Imârah masih kurang, karena dia tidak menjelaskan kaitannya seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu bapak-nya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (pembagianpembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana Lihat Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 78.
180
dengan realitas yang ada pada saat ini atau tidak menjelaskan mengapa bagian laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Di samping itu, Penulis menemukan tulisan „Imârah yang kontradiktif dengan pendapatnya di atas. Di dalam sebuah bukunya, „Imârah membahas tentang Islam dan persamaan, baginya persamaan adalah kesamaan dalam kedudukan sosial, di depan hukum, dalam menanggung beban responsibilitas, dan dalam mendapatkan kesempatan untuk mengaktualisasikan diri di tengah masyarakat, dalam kadar yang sama di antara seluruh anggota masyarakat, hal itu diungkapkan dengan istilah sawwa al-syai‟a bi al-syai‟i artinya menjadikan sesuatu sama persis sepertinya, sehingga keduanya seperti dua kembar. Oleh sebab itu, kata sawa menunjukkan keseimbangan dan keadilan.193 Lebih lanjut „Imârah mengungkapkan bahwa sejak prinsip persamaan hak dideklarasikan sebagai salah satu prinsip hak-hak asasi manusia yang dikeluarkan oleh Revolusi Perancis pada 1789, pembicaraan mengenai persamaan hak ini telah banyak dilakukan dalam pemikiran peradaban Barat dan
menjadi
undang-undang
dan
perjanjian-perjanjian
internasional.
Persamaan tersebut mencakup dalam berbagai bidang.194 „Imârah menyadari bahwa konsep-konsep tersebut sulit diterapkan dalam masyarakat mana pun. Oleh sebab itu, dia menawarkan konsep persamaan yang dianggapnya paling realistis dan kemungkinan diwujudkannya dalam masyarakat, yaitu:
193
Muhammad „Imârah, Islam dan Keamanan Sosial. Penerjemah Abdul Hayyie alKattani (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 120-121. Buku ini diterjemahkan dari judul aslinya Al-Islâm wa al-Amnu al-Ijtimâ„î. Dâr al-Syurûq, 1998. 194 „Imârah, Islam dan Keamanan Sosial, h. 121.
181
1. Persamaan manusia di depan hukum, yaitu dalam bentuk kesamaan yang menghapuskan keistimewaan faktor tempat lahir, pewarisan, warna kulit, ras, gender, dan kepercayaan. 2. Persamaan dalam mendapatkan kesempatan bagi seluruh warga negara, seluruh bangsa, suku, dan seluruh negara.195 Dari uraian di atas, Penulis melihat bahwa „Imârah sangat menjunjung tinggi persamaan di antara manusia, baik antara individu, maupun negara sekalipun. Dengan menggunakan prinsip kesamaan „Imârah di atas, maka bagian warisan bagi perempuan dan laki-laki akan sama. Berdasarkan argumentasi-argumentasi yang disampaikan oleh „Imȃrah dalam menolak hermeneutika Abû Zaid, maka „Imȃrah menyimpulkan bahwa ada tiga alasan yang menyebabkan munculnya pemikiran-pemikiran Abû Zaid tersebut, yaitu: kurangnya ilmu, niat dan pemahaman yang buruk, dan kekacauan metodologi.196 Menurut Penulis, untuk poin pertama, yaitu kurangnya ilmu sepertinya tidaklah mungkin, karena Abû Zaid adalah seorang yang pintar sejak kecil, dan dia telah hafal al-Qur‟an pada usia 8 tahun. Dia juga pernah belajar pada jurusan Bahasa dan Sastra Arab pada jenjang S1 nya, bidang bahasa Arab dan Studi Islam saat program magister dan doktornya, dan sederet prestasinya yang menyatakan bahwa dia adalah orang yang pintar dalam bidangnya. Oleh sebab itu, mengatakan bahwa Abû Zaid kurang ilmu dalam mengkaji Islam bagi Penulis adalah asumsi yang mengada-ada.
195 196
„Imârah, Islam dan Keamanan Sosial, h. 122. Lebih lengkapnya lihat „Imȃrah, al-Tafsîr al-Markisî, h. 76-115
182
Hal yang patut kita tiru dari sosok „Imârah adalah dia adalah seseorang yang sangat berhati-hati dalam menghukumi seseorang „murtad‟, dan dia tidak setuju dengan permasalahan pemikiran Abû Zaid dibawa ke pengadilan, tetapi menurutnya harus dihadapi dengan pemikiran pula. Ini adalah sikap seorang akademis yang tidak memaksakan pendapatnya kepada orang lain.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari penelitian tentang kritik „Imȃrah terhadap hermeneutika sebagai metode penafsiran al-Qur‟an ini, Penulis menyimpulkan beberapa hal, yaitu: 1. „Imarah mengkritik hermeneutika Abû Zaid, karena jika metode hermeneutika digunakan dalam penafsiran al-Qur‟an, maka syari‟at-syari‟at Islam yang terdapat dalam al-Qur‟an bisa berubah, apalagi ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum. 2. Adapun Kritik „Imȃrah terhadap hermeneutika Abû Zaid terkonsentrasi kepada dua hal, yaitu kontekstualitas al-Qur‟an dan teori penafsirannya. Mengenai tekstualitas al-Qur‟an, „Imârah melihat bahwa hermeneutika Abû Zaid menempatkan al-Qur‟an sebagai produk budaya, padahal bagi „Imârah al-Qur‟an lafaz dan maknanya berasal dari Allah Swt. Adapun tentang teori interpretasi, maka „Imârah memberikan argumentasinya, yaitu pertama, hermeneutika Abû Zaid mendewakan pembaca dan akal, karena setiap pembaca menghasilkan makna sesuai bacaannya yang mungkin bisa berbeda dengan bacaan orang lain. Kedua, Abû Zaid berlebih-lebihan dalam menakwilkan ayat-ayat al-Qur‟an. Ketiga, hermeneutika Abû Zaid menempatkan penunjuk makna dan maghzâ pada posisi makna. Keempat, hermeneutika merusak sendi-sendi keislaman, karena kenabian, syari‟at dan
183
184
lain sebagainya akan menjadi hanya sebuah historis saja dan dihasilkan oleh realitas, bukan diturunkan oleh Tuhan. 3. Adapun solusi yang disampaikan oleh „Imȃrah adalah dengan mendalami konsep muhkam dan mutasyâbih di dalam al-Qur‟an. Hal tersebut dikarenakan ayat-ayat al-Qur‟an tidak semuanya mutasyâbihât, sehingga dengan mengetahui hal tersebut maka ayat-ayat yang bisa ditakwilkan hanyalah ayat-ayat mutasyâbihât. Lebih lanjut „Imȃrah juga menawarkan konsep takwil yang mampu menghilangkan pertentangan (secara zâhir teks) antara satu ayat dengan ayat yang lain, atau antara naql dan akal, sehingga setiap muslim mampu mengamalkan al-Qur‟an dengan sempurna tanpa dibayang-bayangi oleh pertentangan tersebut. 4. Adapun kekurangan kritik „Imârah terhadap hermeneutika Abû Zaid adalah, pertama: kritik „Imârah terhadap hermeneutika Abû Zaid berlebihan dan mengeneralkan semua lafaz yang dapat diperluas maknanya berdasarkan maghzâ-nya, sedangkan bagi Abû Zaid tidak semua lafaz. Kedua, Abû Zaid membedakan antara istilah takwil dan talwin. Namun, dalam kritikannya, „Imârah tidak membahas masalah ini. Ketiga, alasan yang diberikan oleh „Imârah pada contoh aplikasi hermeneutika Abû Zaid masih kurang, karena „Imârah tidak menjelaskan kaitannya dengan realitas yang ada pada saat ini atau tidak menjelaskan mengapa bagian laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Di samping itu, Penulis menemukan tulisan „Imârah yang kontradiktif dengan pendapatnya tersebut.
185
B. Saran Penafsiran al-Qur‟an akan selalu menarik dibahas mengingat al-Qur‟an adalah dalil utama di dalam agama Islam. Di samping itu, Indonesia dengan penduduk mayoritas muslim dan terbanyak di dunia membuat kajian terhadap al-Qur‟an tidak akan padam. Lebih lanjut Indonesia adalah negara yang sangat menjunjug tinggi hak asasi setiap orang, hak untuk berkumpul, hak mengeluarkan pendapat dan hak-hak lainnya. Hermeneutika akan selalu hangat diperbincangkan, karena di satu sisi diklaim sebagai metode yang mampu menjawab tantangan zaman, namun di sisi lain dianggap sebagai bahaya laten bagi agama Islam itu sendiri. Abû Zaid adalah cendekiawan cerdas yang berani menyuarakan ide-ide hermeneutikanya yang bertentangan dengan klaim umat Islam selama ini. Terlepas dari pro dan kontra, hermeneutika Abû Zaid memberikan gambaran kepada umat Islam bahwa pembacaan terhadap al-Qur‟an mendapat tantangan untuk dipahami berdasarkan realitas yang terjadi. Dalam memandang sesuatu, setiap orang tidak akan terlepas dari dua hal yaitu antara mendukung dan menentang. Apa yang dilakukan oleh „Imȃrah adalah usahanya untuk membentengi al-Qur‟an dari metode yang tidak sejalan dengan spirit al-Qur‟an itu sendiri terkhusus lagi hermeneutika Abû Zaid yang menurutnya telah merusak sendi-sendi keislaman. Penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, Penulis mengharapkan agar penelitian tentang penafsiran al-Qur‟an khususnya tentang
186
hermeneutika Abû Zaid tidak berhenti di tangan Penulis, masih banyak kajian tentang hermeneutika yang belum dikaji lebih mendalam.
DAFTAR PUSTAKA
AA, Gus dan Ziyad At-Tubany. Membaca dan Memahami Konstruksi al-Qur‟an. Jakarta: Indomedia Group, 2006. Abdullah, Mudhofir. “Kesejarahan al-Qur‟an dan Hermeneutika” Journal of Qur‟an and Hadith Studies, vol. 3, No. 1, 2014. Abȗ Zahrah, Muhammad. Usȗl al-Fiqh. t.tp: Dâr al-Fikr al-„Arabî, t.th. Abû Zaid, Nasr Hâmid. Hermeneutika Inklusif: Mengatasi Problematika Bacaan dan Cara-cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan, penerjemah Muhammad Mansur dan Khorian Nahdliyin. Jakarta: ICIP, 2004. ________. Kritik Wacana Agama, penerjemah Khoiron Nahdiyyin. Yogyakarta: LkiS, 2003.
________. Mafhûm al-Nass: Dirâsah fî „Ulûm al-Qur‟ân. t.tp, al-Hai‟ah alMisriyyah al-Âmmah li al-Kitâb, 1993. ________. Naqd al-Khitȃb al-Dînî. Mesir: Sina li.al-Nasr, 1994. ________. Tekstualitas al-Qur‟an: Kritik terhadap Ulumul Qur‟an. Penerjemah Khoiron Nahdliyyin. Yogyakarta: Lkis, 2005. ________. Teks Otoritas Kebenaran. Penerjemah Sunarwoto Dema. Yogyakarta: Lkis, 2003. al-„Ak, Khȃlid Abd al-Rahmȃn. Usȗl al-Tafsîr wa Qawâ„iduhu. Beirût: Dâr alNafâ‟is, 1986. Anwar, Abu. Ulumul Qur‟an; Sebuah Pengantar. T.tp.: Amzah, 2009. Arif, Syamsuddin. Orientalis & Diabolisme Pemikiran. Jakarta: Gema Insani, 2008. Arkoun, Mohammed. Rethinking Islam. Penerjemah Yudian W. Asmin dan Lathiful Khuluq. Yogyakarta: LPMI, 1996. Armas, Adnin. Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur‟an; Studi Kritis. Jakarta: Gema Insani Press, 2005.
187
188
Aseri,
Fauzi. Dkk. Kesinambungan dan Perubahan dalam Pemikiran Kontemporer tentang Asbâb al-Nuzûl: Studi Pemikiran Muhammad Syahrûr dan Nashr Hâmid Abû Zaid. Banjarmasin: IAIN Antasari Press, 2014.
al-Asfahȃnȋ, Al-Rȃghib. Mufradȃt Alfȃz al-Qur‟ȃn. Beirût: Dâr al-Qalȃm, 2009. As-Siddiqy, Muhammad Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009. Bachtiar, Wardi. Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah. Jakarta: Logos, 1997. Bahjat, Ahmad. Nabi-Nabi Allah. Penerjemah Muhtadi Kadi dan Musthofa Sukawi. Jakarta: Qisthi Press, 2007. Baidowi, Ahmad. “Hermeneutika al-Qur‟an Asghar Ali-Engineer” al-Jami‟ah: Journal of Islamic Studies, vol. 41, No. 2, 2003. Betti, Emilio. Hermeneutika Sebagai Metode Umum Keilmuan Humaniora. Penerjemah M. Nur Kholis Setiawan dalam Syafa‟atun al-Mirzanah dan Sahiron Syamsuddin, ed. Pemikiran Hermeneutika dalam Tradisi Barat: Reader. Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2011. Bleicher, Josef. Hermeneutika Kontemporer; Hermeneutika sebagai Metode, Filsafat, dan Kritik. Penerjemah Imam Khoiri. Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2007. Broderick, Robert C. “hermeneutics” dalam The Catholic Encyclopedia. New York: Thomas Nelson Publisers, 2006. al-Bukhârî, Abû „Abd Allâh Muhammad bin Ismâ‟îl. Sahîh al-Bukhârî. Riyâd: Bait al-Afkâr al-Dauliyyah, 1998. Daud, Wan Mohd Nor Wan . “Tafsir dan Takwil sebagai Metode Ilmiah,” Jurnal Islamia Thn 1 no 1, Maret 2004.
Djalal H. A, Abdul. Ulumul Qur‟an. Surabaya: Dunia Ilmu, 2008. al-Dzahabȋ, Muhammad Husain. „Ilmu al-Tafsȋr. T.tp.: Dâr al-Ma‟ȃrif, t.t. ________. al-Tafsȋr wa al-Mufassirun, vol. I. Kairo: Dâr al-Hadȋts, 2005. Erismen, Rio “Bersikap Objektif dan Ilmiah, Dr. Muhammad „Imârah Diintimidasi Kantor Syeikh Al-Azhar”. Lihat http://www.dakwatuna.com/2014/04/15/49633/bersikap-objektif-danilmiah-dr-muhammad-imarah-diintimidasi-kantor-syeikh-al-
189
azhar/#axzz4eDfq3Zd7 . artikel diakses pada Jum‟at, 14 April 2017 jam 17: 48. Faiz,
Fahruddin. Hermeneutika al-Qur‟an; Yogyakarta: elSAQ Press, 2005.
Tema-tema
Kontroversial.
al-Farmȃwȋ, „Abd Hayy. al-Bidayȃh fȋ al-Tafsȋr al-Maudȗ‟ȋ. Kairo: T.pn., 1977. Faridh, Miftah dan Agus Syihabuddin. al-Qur‟an Sumber Hukum Islam yang Pertama. Bandung: Penerbit Pustaka, 1989. Gadamer, Hans-Georg. Hermeneutika Klasik dan Filosofis. Penerjemah Syafa‟atun al-Mirzanah dalam Syafa‟atun al-Mirzanah dan Sahiron Syamsuddin, ed. Pemikiran Hermeneutika dalam Tradisi Barat: Reader. Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2011. ________. Philosophical Hermeneutics. London: University of California Press, 1976. Ghazali, Abdul Moqsith. Menegaskan Kembali Pembaruan Pemikiran Islam dalam Pembaruan Pemikiran Islam Indonesia. Ed. Tantowi Anwari dan Evi Rahmawati. Jakarta: KEMI, LSAF, Hivos, 2011. Ghazali, Abdul Moqsith dkk. Metodologi Studi al-Qur‟an. Jakarta: Gramedia, 2009. al-Ghazâlî. Qanun al-Takwil. Penerjemah M. Mansur dalam Syafa‟atun alMirzanah dan Sahiron Syamsuddin, ed. Pemikiran Hermeneutika dalam Tradisi Islam: Reader. Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2011. Gracia, Jorge J. E. Interpretasi. Penerjemah Sahiron Syamsuddin dalam Syafa‟atun al-Mirzanah dan Sahiron Syamsuddin, ed. Pemikiran Hermeneutika dalam Tradisi Barat: Reader. Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2011. Grondin, Jean. Sejarah Hermeneutik; Dari Plato Sampai Gadamer. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012. Hadi, Abdul W.M. Hermeneutika Sastra Barat & Timur. Jakarta: Sadra Press, 2014. Hanafî, Hassan. Dirâsât Islâmiyyah. Kairo: Maktabah al-Anjilu al-Misriyyah, 1981.
190
Hasan, Hamka. Metodologi Penelitian Tafsir Hadits. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2008. Hasan, Hamka dalam Nasr Hâmid Abû Zaid, Menalar Firman Tuhan; Wacana Majaz dalam al-Qur‟an Menurut Mu‟tazilah. Penerjemah Abdurrahman Kasdi dan Hamka Hasan. Bandung: Mizan, 2003. Hasanuddin, Iqbal. “Memertimbangkan Hermeneutik ala Nasr Hâmid Abû Zayd dalam Studi al-Qur‟ān Kontemporer,” Refleksi, Jurnal Kajian Agama dan Filsafat vol. 13, No. 4, April 2013. Harb, „Alî. Kritik Nalar Al-Qur‟an. Penerjemah M. Faisol Fatawi. Yogyakarta: LkiS, 2003. Hasjim, Nafron. Kisasul Anbiya: Karya Sastra yang Bertolak dari Qur‟an serta Teks Kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Musa. Jakarta: Intermasa, 1993. Hermawan, Acep. Ulumul Qur‟an. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011. Hidayat, Asep Ahmad. Filsafat Bahasa; Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna, dan Tanda. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009. al-Hilali, Sâlim bin „Ied. Kisah Shahih Para Nabi. Penerjemah M. Abdul Ghaffar E. M. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi„i, 2009. Husaini, Adian dan Abdurrahmȃn Al-Baghdȃdi. Hermeneutika & Tafsir alQur‟an. Jakarta: Gema Insani, 2007. Ibn Fȃris, Abȋ Husain Ahmad. Mu„jam Maqȃyis al-Lughah, vol. IV. T.tp.: Dâr alFikr: t.t. Ibnu Manzûr, Abû al-Fadl Jamâl al-Dîn Muhammad ibn Mukarram. Lisân al„Arab. Kairo: Dâr al-Ma„ârif, 1119. Ibn Rusyd. Takwil. Penerjemah Ahmad Baidowi dalam Syafa‟atun al-Mirzanah dan Sahiron Syamsuddin, ed. Pemikiran Hermeneutika dalam Tradisi Islam: Reader. Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2011. Ichwan, Moch. Nur. Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur‟an: Teori Hermeneutika Nasr Abû Zayd. Jakarta: Teraju, 2003. „Imȃrah, Muhammad. al-Ghazw al-Fikr: Wahm am Haqîqah. Kairo: Lajnah al„Ulyâ li al-Da„wah al-Islâmiyyah, t.t.
191
________. “Hawla Tanâqud al-Naql-al-Qur‟ân-Ma‟a al-Naql,” dalam Ali Jum‟ah Muhammad, ed., Haqâiq al-Islâm fî Muwâjahât al-Musyakkikîn. Kairo: Jumhûriyyah Misr al-„Arabiyyah wizârah al-Aufâq al-Majlis al-A‟lâ li Syu‟ûn al-Islâmiyyah, 2002. ________. Ibn Rusyd baina al-Gharb wa al-Islâm. Kairo: Dâr Nahdah Misr, 1997. ________. „Imârah, Islam dan Keamanan Sosial. Penerjemah Abdul Hayyie alKattani. Jakarta: Gema Insani Press, 1999. ________. al-Islâm baina al-Tanwîr wa al-Tazwîr. Kairo: Dâr al-Syurûq, 2002. ________. Ma‟rakah al-Mustalahât baina al-Gharb wa al-Islâm. Kairo: Nahdah Misr, 1928. ________. Mustaqbalunâ baina al-Tajdîd al-Islâmyî wa al-Hadâtsah alGharbiyyah. Kairo: Maktabah al-Syurûq al-Dauliyyah, 2003. ________. Perang Terminologi Islam Versus Barat. Penerjemah Musthalah Maufur. Jakarta: Robbani Press, 1998. ________. al-Tafsîr al-Markisî li al-Islȃm , Kairo: Dȃr al-Syurûq, 2002. ________. Qirȃ‟at al-Nass al-Dinî baina al-Ta‟wîl Gharbî wa al-Ta‟wî al-Islȃmî. Kairo: Maktabah al-Syurûq al-Dauliyyah, 2006. ________. Tsaurah 25 Yanȃyir wa Kasr Hȃjiz al-Khauf: al-Masyrû„iyyah..alSyubhȃt..Khatȃyȃ al-Mȃdî..Kairo: Dâr al-Salȃm, 2011. Iqbal, Masuri Sirojuddin dan A. Fudlali. Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung: Angkasa Bandung, 2009. Izzan, Ahmad. Ulumul Qur‟an: Telaah Tekstualitas dan Kontekstualitas alQur‟an . Bandung: Tafakur, 2013. Kholis, Nur. Pengantar Studi al-Qur‟an dan Hadits. Yogyakarta: Teras, 2008. Lee, Robert D. dalam Mohammed Arkoun, Rethinking Islam. Penerjemah Yudian W. Asmin dan Lathiful Khuluq. Yogyakarta: LPMI, 1996. Lubis, Akhyar Yusuf. Filsafat Ilmu: Klasik Hingga Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers, 2014. Mâlik, Imâm. Muwatta‟ al-Imâm Mâlik. UEA: Muassasah bi Sultan al-Inhiyan li a„mal khoyriyah, 2004.
192
Mastuhu, dkk. Manajemen Penelitian Agama: Perspektif Teoritis Dan Praktis. Jakarta : Badan Litbang Agama, 2000. Mattson, Ingrid. Ulumul Quran Zaman Kita: Pengantar Untuk Memahami Konteks, Kisah, dan Sejarah al-Qur‟an. Penerjemah R. Cecep Lukman Yasin. Jakarta: Zaman, 2013. Muslim, Musṯafa. Mabȃhits Tafsȋr al-Mauḏȗ'ȋ. Beirût: Dâr al-Qalam, 2000. Muzir, Inyiak Ridwan. Hermeneutika Filosofis Hans-Georg Gadamer. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008. Nabi, Malik Ben. Fenomena al-Qur‟an: Pemahaman Baru Kitab Suci Agamaagama Ibrahim. Penerjemah Farid Wajdi. Bandung: Marja‟, 2002. al-Naisâbûrî, Abû al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî. Sahîh Muslim. Beirût: Dâr al-Fikr, 2003. Nasir, Malki Ahmad. “Hermeneutika Kritis (Studi Kritis atas Pemikiran Habermas),” Jurnal Islamia Thn 1 no 1, Maret 2004. Nur, Muhammad. “Takwil dalam Pandangan Mulla Sadra,” Kanz Philosophia: A Journal for Islamic Philosophy and Mysticism Vol. 2, No 2, Desember 2012. Palmer, Richard E. Hermeneutika; Teori Baru Mengenai Interpretasi. Penerjemah Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Putro, Suadi. Mohammed Arkoun tentang Islam & Modernitas. Jakarta: Paramadina, 1998. al-Qaṯṯȃn, Mannâ‟. Pengantar Studi Ilmu al-Qur‟an. Penerjemah Mifdhol Abdurrahman. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005. Raharjo, Mudjia. Dasar-dasar Hermeneutika; antara Intensionalisme & Gadamerian. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008. ________. Hermeneutika Gadamerian; Kuasa Bahasa dalam Wacana Politik Gus Dur. Malang: UIN Malang Press, 2007. Rahman, Yusuf. Kritik Sastra dan Kajian al-Qur‟an dalam Kusmana dan Syamsuri, ed. Pengantar Kajian al-Qur‟an: Tema Pokok, Sejarah dan Wacana Kajian. Jakarta: Pustaka al-Husna Baru, 2004.
193
Rahman, Fazlur. Islam and Modernity: Transformation of an Intelectual Tradition. Chicago: The University of Chicago Press, 1982. al-Raisûnî, Qutb. al-Nass al-Qur‟âniyy min tahâfut al-Qirâ‟ah ila ufuq altadabbur. t.kt: Wazârat al-Syu‟ûn al-Islâmiyyah, 2010. Romdhoni, Ali. al-Qur‟an dan Literasi: Sejarah Rancang-Bangun Ilmu-ilmu Keislaman. Depok: Literatur Nusantara, 2013. Saenong, Ilham B. Hermenutika Pembebasan: Metodologi Tafsir al-Qur‟an Menurut Hassan Hanafi. Jakarta: Teraju, 2002. al-Sâlih, Subhi. Membahas Ilmu-ilmu al-Qur‟an. Penerjemah Tim Pustaka Firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008. Salim, Fahmi. Kritik terhadap Studi al-Qur‟an Kaum Liberal. Jakarta: Perspektif Kelompok Gema Insani, 2010. ________. Tafsir Sesat; 58 Essai Kritis Wacana Islam di Indonesia. Jakarta: Gema Insani, 2013. Shalahuddin, Henri. al-Qur‟an Dihujat. Depok: Al-Qalam, 2007. Shihab, M. Quraish. Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami al-Qur‟an. Tangerang: Lentera Hati, 2013. ________. Membumikan al-Qur‟an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 2013. ________. Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an. Jakarta: Lentera Hati, 2000. Shihab, M. Quraish. dkk. Sejarah & Ulum al-Qur‟an. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013. Shihab, Umar. Kontekstualitas al-Qur‟an. Jakarta: Penamadani, 2005. Sibawaihi. Hermenutika al-Qur‟an Fazlur Rahman. Yogyakarta: Jalasutra, 2007. Soejono dan H. Abdurrahman. Metode Penelitian Suatu Pemikiran dan Penerapan, Jakarta: Rineka Cipta dan Bina Adi Aksara, 2005. Suma, Muhammad Amin. Ulumul Qur‟an. Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
194
Sumaryono, E. Hermeneutik Sebuah Masalah Metode Filsafat . Yogyakarta: Kanisius, 2000. al-Suyûti, al-Hâfiz Jalâl al-Dîn. al-Itqân fî „Ulûm al-Qur‟ân. t.kt: Wazârat alSyu‟ûn al-Islâmiyyah wa al-Auqâf wa al-Da„wah wa al-Irsyâd alMamlakah al-„Arabiyyah al-Su‟ûdiyyah, t.th. Syâhin, „Abd. Sabûr. Saat al-Qur‟an Butuh Pembelaan: Sebuah Analisis Sejarah. Penerjemah Khoirul Amru Harahap dan Akhmad Faozan. Jakarta: Erlanggga, 2006. Syahrûr,
Muhammad. Prinsip dan Dasar Hermeneutika Kontemporer. Penerjemah Sahiron Syamsuddin dan Burhanuddin Dzikri. Yogyakarta: elSAQ Press, 2004.
Syarief, Muhammad “Media Dikuasai Sekuler, Tulisan Cendikiawan Mesir Muhammad „Imârah dilarang Terbit,” lihat http://www.dakwatuna.com/2014/10/01/57649/media-dikuasai-sekulertulisan-cendikiawan-mesir-muhammad-imarah-dilarang terbit/#axzz4eDfq3Zd7, artikel diakses pada Jum‟at, 14 April 2017 jam 17: 47. Syamsuddin, Sahiron. Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur‟an. Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009. The New Encyclopedia Britannica vol V, Chicago,T.pn., 2002. Vollmer, Kurt Mueller ed. The Hermeneutics Reader. New York: The Continuum Publising Company, 2002. Wensinck. al- Mu„jam al-Mufahras li Alfâz al-Hadîts al-Nabawî, jilid II. Leiden: Maktabah Bariel, 1936. Yasid, Abu. Nalar & Wahyu: Interrelasi dalam Proses Pembentukan Syari‟at. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007. Yahya, Harun. Misinterpretasi terhadap al-Qur‟an; Mewaspadai Penyimpangan dalam Menafsirkan al-Qur‟an. Penerjemah Samson Rahman. Jakarta: Robbani Press, 2003. Yusufian, Hasan dan Ahmad Husain Sharifi. Akal & Wahyu: Tentang Rasionalitas dalam Ilmu, Agama, dan Filsafat. Jakarta: Sadra Press, 2011. al-Zarkasyȋ, Badr al-Dȋn Muhammad bin „Abd Allâh. al-Burhȃn fȋ „Ulȗm alQur‟ȃn , vol. II. T.tp.: Dâr al-Fikr, 1988.
195
Zarkasyi, Hamid Fahmy. “Menguak Nilai Dibalik Hermeneutika,” Jurnal Islamia Thn 1 no 1, Maret 2004. ________. “Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur‟an,” Tsaqafah: Jurnal Peradaban Islam Vol. 7, No 1, April 2011. al-Zarqȃnȋ, Muhammad „Abdul „Azim. Manȃhil al-Irfȃn fi „Ulûm al-Qur‟ȃn, vol. I. Beirȗt: Dâr al-Kitȃb al-„Arabȋ,1995. al-Zuhailî, Wahbah. al-Tafsîr al-Munîr fî al-Aqîdah wa al-Syarî„ah wa alManhaj. Damaskus: Dâr al-Fikr, 2009. http://www.penapembaharu.com/2017/02/08/pemikir-islam-prof-dr-muhammadimarah-menerima-penghargaan-dari-presiden-afghanistan/ diakses pada Selasa, 28 Maret 2017, jam 18: 38. http://www.penapembaharu.com/2015/11/22/dr-muhammad-imaroh-dari-sosialiske-islamis/ di akses pada Selasa, 28 Maret 2017 jam 19.09.
BIODATA PENULIS
Muhammad Zamri lahir pada 15 Oktober 1990 di Desa Terantang, Ke. Tambang, Kab. Kampar-Riau. Anak ketujuh dari delapan bersaudara ini menyelesaikan jenjang pendidikan dasarnya di SDN 018 Terantang pada 2002, kemudian melanjutkan pendidikannya di tingkat menengah pertama dan menengah atas di MTs dan MA Pondok pesantren Islamic Centre al-Hidayah Kampar (di bawah asuhan KH. Bachtiar Daud, setelah wafat dilanjutkan oleh anaknya KH. Muhammad Abdih, Lc. M.A) dan tamat pada 2009. Setelah menamatkan Aliyah, penulis melanjutkan ke jenjang Strata Satu (S1) di UIN Sultan Syarif Kasim Riau di Fakultas Ushuluddin jurusan Tafsir Hadits Kelas Internasional dan selesai pada 2013, kemudian melanjutkan Strata Dua (S2) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Program Magister Fakultas Ushuluddin jurusan Tafsir Hadits dan selesai pada 2017. Di antara organisasi-organisasi yang diikuti penulis, yaitu OSIS pondok pesantren Islamic Centre Al-Hidayah Kampar pada 2007/2008 sebagai Sekretaris Umum, Ikatan Pelajar Terantang Islamic Centre Al-Hidayah Kampar (IPTICK) pada 2007/2008 sebagai Ketua, Himpunan Mahasiswa Jurusan Tafsir Hadits (HMJ-TH) UIN Sultan Syarif Kasim Riau pada 2009/2010 sebagai Koordinator Humas, Ikatan Pelajar Mahasiswa Terantang (IKAPERMATA) sebagai Wakil Ketua, Himpunan Mahasiswa Tafsir Hadits Kelas Internasional (THI) UIN Sultan Syarif Kasim Riau pada 2010-2011 sebagai seksi keagamaan, BEM Fakultas
196
197
Ushuluddin UIN Sultan Syarif Kasim Riau sebagai Koordinator Humas pada 2011-2012. Mengenai riwayat pekerjaan, penulis pernah menjadi tenaga pengajar di Yayasan Pendidikan SD dan SMP Nurul Islam Kelapa Dua-Tangerang pada 20142016. Selama mengajar di Nurul Islam, penulis juga dipercaya menjadi Wakil Kepala Sekolah Sie. Keagamaan pada 2014/2015 dan Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan pada 2015/2016. Adapun prestasi yang pernah diraih oleh penulis adalah Juara III pada lomba pidato Bahasa Indonesia se-UIN SUSKA Riau (2009), Juara Harapan III Menulis Makalah Ilmu Al-Qur‟an (M2IQ) pada MTQ Kota Pekanbaru (2012), Juara I Menulis Makalah Ilmu Al-Qur‟an (M2IQ) pada MTQ Kota Pekanbaru (2013), Peserta Musabaqah Makalah Ilmu Al-Qur‟an (M2IQ) pada MTQ Tingkat Provinsi Riau di Kabupaten Rokun Hulu (2013), dan Guru Terbaik SD Nurul Islam Kelapa Dua, Tangerang (2015). Di antara seminar dan Workshop yang pernah diikuti oleh penulis adalah: sebagai utusan UIN Sultan Syarif Kasim Riau pada MUNAS Forum Komunikasi Mahasiswa Tafsir Hadits Se-Indonesia (FKMTHI) di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2012), Panitia Seminar Nasional Fakultas Ushuluddin di UIN Sultan Syarif Kasim Riau (2012), Utusan SD Nurul Islam dalam acara Daurah Pengajaran al-Qur‟an dan Bahasa Arab ditaja oleh Lafazh Book Centre (2015), dan Narasumber dalam Kajian Keislaman (Tafsir) di Kelapa Dua, Tangerang (2016). Penulis bisa dihubungi via email:
[email protected]