BAB IV RELEVANSI KONSEP HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU ZAID DALAM IJTIHAD HUKUM ISLAM
A. Analisis Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid Tentang Konsep Hermeneutika Berangkat dari fenomena wacana agama yang berkembang di Mesir di mana didominasi kelompok tradisional sangat kuat, yaitu kelompok yang tidak menghendaki tidak adanya ijtihad dalam hukum Islam. Mereka menyerukan “tidak ada ijtihad bagi persoalan yang ada nash (teks)nya”. Konsekwensi dari pemikiran yang demikian menjadikan teks beku dan tidak bisa memproduk maknamakna baru. Dengan konsep hakimiyyah, mereka melepaskan teks al-Qur’an dari konteks sejarahnya. Di sinilah titik kritik yang dilontarkan oleh Abu Zaid. Menurut Abu Zaid,teks tidak bisa lepas dari konteks sosio-historisnya. Ketika teks dilepaskan dari konteks sosio-historisnya, maka teks akan kehilangan makna. Kritik dari wacana keagamaan, terutama dalam masalah pembaruan, Abu Zaid, berpendapat merupakan satu keharusan untuk menggali makna-makna baru (ijtihad) dari teks-teks yang ada. Ini merupakan keniscayaan yang harus dilakukan agar hukum Islam tidak mengalami kemandegan (stagnan). Sebagaimana kita ketahui, bahwa hukum Islam adalah dinamis. Watak dinamis inilah yang menuntut upaya ijtihad-ijtihad baru, baik dalam persoalan yang sudah ada nashnya maupun yang belum. Konsentrasi Abu Zaid adalah terhadap masalah-
85
masalah yang sudah ada nashnya, seperti masalah poligami, hak waris perempuan, dan lain-lain. Pemikiran Abu Zaid dengan hermeneutika al-Qur’an yang telah ditawarkannya, dalam wacana pemikiran keislaman, bukanlah hal yang baru. Sudah ada beberapa pendahulu dia yang menggunakan hermeneutika sebagai metode dalam memahami bahasa al-Qur’an. Diantaranya adalah Mohamed Arkoun, Asghar Ali Engineer, Farid Esack, Fazlur Rahman. Yang pada intinya adalah bagaimana memahami al-Qur’an secara benar sesuai dengan kehendak pengarang (author) dan selalu kontekstual. Meski demikian, ada sisi perbedaan dalam menggunakan hermeneutika itu sendiri, tergantung pada latar belakang (background) keilmuan dan pengalaman hidup. Namun, ada sisi perbedaan di antara mereka. Arkoun, lebih memperhatikan pada bagaimana wacana Qur’anik itu berlangsung di tengah-tengah masya-rakat Arab waktu itu. Ketika melakukan pembacaan terhadap al-Qur’an, bukan pada tahap al-Qur’an sebagai mushaf, tetapi pada tahap wacana (khitab qur;aniy, syafahiy). Metode yang digunakan oleh dia adalah metode adalah kritik sejarah (manhajiyyat an-naqd at-tarikhiy).1 Sementara Rahman, menggunakan pendekatan idea-moral untuk menemukan pesan-pesan universal dari al-Qur’an. Dengan memperhatikan kondisi obyektif Arab, sebagai lokus dimana teks itu lahir. Untuk mengetahui idea-moral, terlebih dahulu mengetahui sabab nuzul ayat. Setelah pesan moral ditemukan, maka ditransformasikan pada konteks 1
. Dalam pengantar penyunting Mohammed Arkoun, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama (terjemahan dari Rethinking Islam Today dan makalah-makalah Arkoun di beberapa jurnal), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hlm. x.
86
kekinian. Hermeneutiak Rahman, disebut dengan dua pergerakan (double movement), dari masa kini ke periode al-Qur’an kembali lagi pada masa kini. Untuk mendapatkan makna obyektif, dan menghindari subyektivitas penafsir (hermeneunt), Rahman menawarkan dua langkah. Pertama, berpegang teguh pada prinsip-prinsip umum yang terkandung di dalam teks (al-Qur’an). Kedua, dengan mempertimbangkan latar belakang atau situasi obyektif masa turunnya al-Qur’an, ketika ia menjadi respon atas situasi obyektif saat itu. Dua langkah metodologis ini diharapkan menghasilkan penafsiran yang obyektif dan mampu mengurangi subyektivitas penafsir.2 Sedangkan Esack dan Angineer yang digolongkan sebagai hermeneutik subyektif, hanya menyampaikan gagasannya berdasarkan pengalaman realitas sosial. Artinya hermeneutika, dalam membaca al-Qur’an tidak bisa lepas dari konteks tertentu (a particular context) dan latar belakang individu. Menurut penulis kedua tokoh terakhir ini tidak menawarkan konsep hermeneutik secara sistematis sebagaimana Rahman dan Arkoun. Ini bisa dipahami karena Esack maupun Engineer merupakan tokoh pembebasan yang hidup dalam kondisi masyarakat yang ditindas. Sehingga pemikiran keduanya lebih pada nuansa perlawanan dan pembebasan dari peradaban manusia yang menindas. Sedang hermeneutika Abu Zaid, memfokuskan pada kajian terhadap teks. Sesuai dengan latar belakang dia sebagai seorang sastrawan Arab. Dia menawarkan konsep bahwa hermeneutika harus berpijak pada pemilahan yang tegas antara makna kesejarahan (a-lma’na al-tarikhiy) dan interpretasi baru (al-maghza) 2
. Syarif Hidayatullah, Intelektualisme dalam Perspektif Neo-Modernisme, Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2000, hlm. 108-109.
87
yang ditarik dari makna kesejarahan obyektif tersebut. Pencarian makna kesejarahan atau makna asli (dalalah ashliyyat) inilah yang menjadi karakteristik pemikirannya. Keinginan dia untuk menghindari pemaknaan al-Qur’an yang “tendensius” sarat dengan nuansa ideologis, dan mencari makna yang “obyektif” dari teks, dengan tanpa mengesampingkan subyektifitas interpreter bisa dilihat dari keinginan keras dia untuk menemukan makna asli. Sebelum ditarik untuk diinterpretasikan sesuai konteks saat ini. Ini sudah dijelaskan dalam bab III. Untuk menemukan makna kesejarahan/makna asli memerlukan kajian sejarah yang mendalam dalam sejarah masyarakat Arab. Disinilah bagi generasi berikut mengalami kesulitan karena adanya keterputusan sejarah. Ulama’ klasik maksimal hanya mengkaji asbab nuzul al-Qur’an. Hermeneutika Abu Zaid hampir sama dengan double movement-nya Rahman. Keduanya sama-sama menghendaki makna yang obyektif dalam menafsirkan al-Qur’an. Mereka juga berangkat dari teks al-Qur’an yang ada. Meski demikian ada sisi sisi perbedaan di antara keduanya. Kalau Rahman, titik pijaknya adalah mengetahui idea-moralnya, yang kemudian dikontekskan dengan saat ini, sedangkan Abu Zaid adalah hendak mencari makna asli (dalalah ashliyyat) sebelum dikaitkan dengan konteks kekinian, untuk memproduk hukum baru. Rahman, dalam menemukan idea-moralnya, didasarkan pada asbab nuzul ayat, sedangkan Abu Zaid, untuk menemukan makna asli, didasarkan pada konteks sosio-historis secara keseluruhan dan kondisi internal teks. Jadi, sisi perbedaannya adalah pada konsistensi Abu Zaid dalam memposisikan teks al-
88
Qur’an sebagai titik pijakan melakukan pembacaan. Dalam arti, keseriusan dia untuk memaknai ulang berdasarkan pemahaman teks awal. Di sinilah letak perbedaan antara pemikiran Rahman dan Abu Zaid, yang sama-sama mencoba mencari makna obyektif dengan menggunakan pendekatan hermeneutika. Dari kedua pemikir ini bisa saling melengkapi, artinya konsep idea-moral Rahman juga dijadikan pertimbangan dalam melakukan pembaharuan hukum Islam. Begitu juga sebaliknya, bahwa pencarian idea-moral tersebut berangkat dari pencarian makna ashliyyat sebagaimana diusulkan oleh Abu Zaid.
B. Relevansi Metode Hermeneutika Dalam Ijtihad Hukum Islam Dalam kajian ushul fiqh, untuk memahami syari’at Islam ada dua macam bentuk pendekatan: pertama, dengan menggunakan kaidah-kaidah bahasa (gramatika); kedua, menggunakan pendekatan tujuan syari’at (maqashid alsyari’ah). Abu Zaid dalam memahami al-Qur’an, penulis berpendapat bahwa dia hendak memadukan antara dua pendekatan tersebut. Pendekatan yang mengandalkan kaidah-kaidah bahasa dan pendekatan melalui pemahaman maqashid al-syari’ah. Pendekatan kebahasaan yang dilakukan oleh Abu Zaid tercermin dalam usaha dia mencari makna asli ayat al-Qur’an (dalalah ashliyyat), sedangkan pendekatan maqashid al-syari’ah tercermin dari upaya melacak konteks kesejarahan dan kemudian dikontekskan dengan keadaan zaman saat ini yang bertumpu pada tujuan disyari’atkannya hukum.
89
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab III, pendekatan hermeneutika Abu Zaid adalah pertama, hendak menemukan makna asli dalam konteks kesejarahan masa lalu. Dalam melakukan pencarian terhadap makna asli tersebut, yang harus dilakukan adalah melakukan pembacaan pada struktur internal teks pada dimensi historis. Oleh karena itu, pemahaman terhadap tata bahasa sangat diperlukan. Pemahaman tentang nasakh-mansukh, makki-madani, muhkama-mutasyabihat, muthlaq-muqayyad dan lain sebagainya. Mengenai pembahasan ini, Abu Zaid telah menjelaskan dalam kitab Mafhum al-Nash. Kedua, dari makna asli tersebut kemudian ditarik untuk diinterpretasikan sesuai dengan kebutuhan dan tantangan zaman saat ini. Dalam kaidah ushuliyyah dikenal istilah taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azminah wa alamkinah. Setelah membaca pemikiran Abu Zaid tentang konsep hermeneutika. Penulis, berpendapat bahwa dalam melakukan pembaharuan hukum Islam, beberapa sisi menarik dari konsep ini. Pertama, menempatkan teks sebagai titik sentralnya. Kedua, melakukan pembaharuan hukum Islam dari masalah-masalah yang sudah ada teksnya sekalipun. Dengan menggunakan pendekatan kebahasaan dan budaya. Ketiga, produk hukum yang dihasilkan tidak meninggalkan dari yang diinginkan oleh teks. Sementara qiyas, yang dipelopori oleh Imam Al-Syafi’i fokus kajianmya dalam memproduk hukum Islam adalah untuk masalah-masalah hukum yang tidak ada nashnya. Tentunya, ini berbeda dengan gagasan Abu Zaid. Di sinilah letak keberanian Abu Zaid. Sedangkan Taha dengan nasakh mansukhnya, hanya
90
menghendaki ayat-ayat makiyyah yang universal dijadikan sebagai landasan hukum dengan menafikan ayat-ayat madaniyyah yang sektarian. Jelas, menurut penulis, pemikiran Abu Zaid relatif lebih tajam dalam melakukan pembaharuan hukum Islam. Kaitannya dengan tujuan disyariatkannya hukum (Al-Syatibi), dalam kalangan ulama’ klasik maupun modern tidak ada pertentangan. Semua sepakat bahwa tujuan syariat adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat di dunia maupun di akhirat. Yang menjadi persoalan adalah metode atau cara yang terjadi perbedaan (khilafiyah). Dengan menggunakan kerangka berfikir yang ditawarkan oleh Abu Zaid dalam berijtihad, diharapkan produk yang dihasilkan tidak sebatas memenuhi kepentingan ideologi suatu kelompok, tetapi lebih pada merupakan pembacaan obyektif. Sebagaimana contoh yang telah dikemukakan pada bab III tentang bagian waris untuk perempuan dan poligami. Kesimpulan akhir yang dikatakan oleh Abu Zaid, bahwa perempuan berhak mendapatkan sama dengan laki-laki dan poligami hukumnya tidak boleh. Pendapat ini sangat berbeda dengan ulamaulama klasik yang memperbolehkan poligami, dan masih menempatkan perempuan sebagai second line subordinasi laki-laki. Dalam warisan hanya mendapatkan separoh dari bagian laki-laki. Kerangka berfikir seperti ini didasarkan pada metode hermeneutika yang telah disampaikan di atas bahwa konsep hermeneutika Abu Zaid yatiu mencari
91
makna asal sesuai dengan konteks sosio-historisnya. Kemudian, menarik makna asli tersebut kepada konteks masyarakat saat ini dan tujuan praktisnya. Dalam kasus ahli waris perempuan, Abu Zaid mengawali dengan membaca fakta historis yang terjadi pada saat itu. Di mana, posisi perempuan secara kultur maupun struktur sangatlah lemah. Kejadian semacam ini tidak hanya di masyarakat Arab, tetapi terjadi di seluruh belahan dunia. Bahkan, terjadi fenomena yang mengerikan pada saat itu, bayi perempuan dikubur hidup-hidup. Karena dianggap hanya akan memberatkan keluarga saja dan dianggap tidak mampu mencari nafkah. Kondisi semacam ini, sudah jauh berbeda dengan sekarang, dimana perempuan sudah mampu mandiri dalam hal mendapatkan nafkah, bahkan banyak juga perempuan yang menjadi tulang punggung dari kehidupan keluarga. Dan untuk kasus waris, perempuan jika ditinggal meninggal dunia suaminya, ia tidak mendapat warisan sedikitpun, bahkan dia menjadi harta warisan. Dalam budaya masyarakat semacam ini al-Qur’an turun. Ayat yang menjadi dasar bagi pembagian wariasan ini adalah surat An-Nisa’ ayat 11: ﻴﻭﺼﻴﻜﻡ ﺍﷲ ﻓﻰ ﺍﻭﻻﺩﻜﻡ ﻟﻠﺫﻜﺭ ﻤﺜل ﺤﻅ ﺍﻻﻨﺜﻴﻴﻥ Artinya: allah telah mensyari’atkan kepada kamu tentang (pembagian pusaka) untuk anak-anak kamu. Yaitu: bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan. Dalam konteks kebahasaan, ayat tersebut di atas menunjukkan “laki-laki mendapat bagian satu”, sedang “perempuan mendapat bagian separo dari bagian laki-laki”. Awalnya, bagian warisan laki-laki tidak dibatasi, lalu dengan turunnya ayat tersebut, bagian laki-laki menjadi dibatasi “satu”. Secara sederhana,
92
terdapat pembatasan maksimal warisan bagi laki-laki. Sedang untuk perempuan, yang dulunya tidak mendapat warisan sama sekali. Kemudian turun ayat yang memberikan bagian warisan kepada perempuan, yaitu “separo dari bagian lakilaki”. Dapat dipahami dari kondisi tidak mendapat warisan sama sekali menjadi mendapat warisan separo dari laki-laki sebagai adanya batasan minimal hak warisan bagi perempuan. Yang dulunya, laki-laki berhak mendapat warisan tanpa batas, dengan turunnya ayat tersebut bagian laki-laki dibatasi. Begitu juga dengan perempuan dulunya tidak mendapat bagian warisan, dengan turunnya ayat tersebut menjadi mendapatkan warisan. Dengan mengacu pada konteks kebahasaan dan kondisi masyarakat saat itu, ditemukan makna asli “adanya pembatasan hak waris bagi laki-laki dan diberinya hak waris bagi perempuan”. Bagian untuk laki-laki adalah batas maksimum sementara bagian untuk perempuan adalah batas minimum. Hal ini berangkat dari tidak adanya batas maksimum untuk laki-laki dan tidak adanya batas minimum untuk perempuan. Dari bacaan tersebut, Abu Zaid menemukan signifikansi “yang tak terkatakan” yaitu perempuan berhak mendapat bagian yang sama dengan laki-laki. Pendapat semacam ini, pasti akan memunculkan reaksi yang kuat terutama dari kaum laki-laki. Jelas kepentingan untuk mendapatkan warisan lebih banyak untuk kaum laki-laki terancam jika terjadi pemahaman yang demikian. Kepentingan ideologi semacam inilah yang terkadang menjadikan hukum tidak “obyektif” dan sarat kepentingan kelompok.
93
Begitu juga dalam hal poligami, fakta sejarah peradaban masyarakat Arab, bahkan masyarakat dunia menunjukkan tidak ada batasan maksimum bagi lakilaki untuk beristri. Tercerminkan dengan banyaknya istri para nabi, raja, kaesar, saudagar, dan lain sebagainya. Fakta sejarah ini juga bisa dilihat dari kisah para nabi yang mempunyai istri ada yang sampai seratus istri. Bahkan, nabi Muhammad memiliki istri lebih dari empat. Dalam kondisi budaya masyarakat yang semacam ini al-Qur’an surat annisa’ ayat 3 turun. ﻭﺍﻥ ﺨﻔﺘﻡ ﺍﻻ ﺘﻘﺴﻁﻭﺍ ﻓﻰ ﺍﻟﻴﺘﻤﻰ ﻓﺎﻨﻜﺤﻭﺍ ﻤﺎﻁﺎﺏ ﻟﻜﻡ ﻤﻥ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﻤﺜﻨﻰ ﻭﺜﻼ ﺜﻰ ﻭﺭﺒﺎﻋﻰ ﻓﺎﻥ ﺨﻔﺘﻡ ﺍﻻ ﺘﻌﺩ ﻟﻭﺍ ﻓﻭﺍﺤﺩﺓ ﺍﻭﻤﺎﻤﻠﻜﺕ ﺍﻴﻤﺎﻨﻜﻡ ﺫﻟﻙ ﺍﺩﻨﻰ ﺍﻻ ﺘﻌﻭﻟﻭﺍ Artinya: dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hakhak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka kawinilah seorang saja3. Dari sisi bahasa, memerintahkan kepada laki-laki untuk menikahi perempuan, dua, tiga atau empat. Memang, untuk kata matsna, wa tsulatsa, wa ruba’a, juga terjadi banyak tafsir. Tetapi yang jelas ada pembatasan bagi lakilaki untuk mempunyai istri. Jika dikaitkan dengan budaya yang berkembang saat itu, makna dapat ditemukan makna asal “batas maksimal laki-laki boleh beristri adalah empat”. Ini pun dengan persyaratan yang sangat ketat, harus bisa berbuat adil. Dalam ayat berikutnya dijelaskan bahwa manusia tidak mungkin bisa berbuat adil dalam poligami. 3
. Sebelum turun ayat ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum nabi Muhammad s.a.w. Ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja.
94
Dan, jika kamu takut tidak bisa berbuat adil, maka monogami. Titik tekan dari ayat tersebut adalah monogami. Jadi makna baru (signifikansi)/tujuan (ghayah) dengan menyingkap makna yang tak terkatakan adalah monogami. Tentu, pendapat ini akan membuat kaget bagi mereka yang masih kuat berpegang teguh pada makna teks al-Qur’an secara lettelijk. Dan memang ini sangat bertetangan dengan pemahaman kebanyakan ulama klasik bahkan saat ini pun juga masih banyak yang memaknai al-Qur’an secara tekstualis. Belum lagi, jika dibenturkan dengan kepentingan ideologis kaum laki-laki yangh merasa dirugikan dalam hal ini. Persoalannya akan semakin rumit. Berbagai perangkat metodologi dalam pembaharuan hukum Islam telah disuguhkan oleh ulama klasik. Baik dengan pendekatan kebahasaan, seperti ‘am, khash, mutlaq, muqayyad, mubayyan, muhkam, mufassar, mutasyabih, nash, zhahir, nasikh, mansukh, amr, nahy, maupun yang menggunakan pendekatan maqashid al-syari’ah seperti ijma’, qiyas, istihsan, istishlah, istishhab, zari’ah, ‘urf. Ini bukan berarti menutup akan munculnya metode-metode baru yang dikembangkan
oleh
ulama
kontemporer.
Dengan
munculnya
wacana
hermeneutika dalam ijtihad hukum Islam, sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, merupakan tawaran baru dalam pembaharuan hukum Islam. Tetapi bukan berarti metode ijtihad yang telah terdahulu tidak mencukupi. Atau metode masa lalu sudah tidak bisa dipakai lagi. Tawaran ini lebih pada memperbanyak metode yang bisa dipakai oleh umat Islam sesuai dengan kebutuhan. Artinya, semua tawaran metode bisa saling melengkapi.
95
Sisi positif dari metode hermeneutika adalah, memposisikan teks-teks keagamaan (al-Qur’an dan Hadits) sebagai titik sentral dalam merumuskan suatu hukum. Dan mampu membedakan antara makna asli dan makna hasil interpretasi. Ini penting, karena diakui atau tidak bahwa saat ini, mayoritas umat Islam lebih mendahulukan teks hasil interpretasi (karya-karya ulama’ masa lalu) untuk dijadikan pedoman. Banyak alasan yang dipakai, mulai dari ketidak mampuan untuk menggali secara langsung dari al-Qur’an dan Hadits sampai pada anggapan bahwa saat ini tidak mungkin memenuhi syarat untuk menjadi mujtahid yang telah dirumuskan oleh ulama dahulu. Problem inilah yang menjadi kebekuan dalam hukum Islam, sehingga terkesan hukum Islam stagnan, dan hanya merujuk pada pendapat-pendapat ulama’ terdahulu tanpa ada upaya untuk melakukan pembaharuan-pembaharuan. Padahal, jika dilihat lebih jernih, gagasan yang disampaikan oleh Abu Zaid, ini meniscayakan seorang mujtahid, harus memahami konteks sosial budaya masa lalu. Kalau dikatkan ini sebagai persyarata, ulama klasik belum merumuskan persyaratan yang satu ini. Paling banter, mengetahui asbab nuzul al-Qur’an. Disamping syarat-syarat lain; memahami al-Qur’an dan Hadits, mampu berbahasa Arab dan lain sebagainya. Pemikiran Abu Zaid ini, meski titik sentralnya adalah teks, bukan berarti memaknai teks secara literal. Tetapi juga mencari sisi tersirat dari teks tersebut. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa teks al-Qur’an maupun Hadits terdiri dari dua unsur penting, yaitu transforma dan konstanta. Sesuatu yang tersurat dan yang tersirat. Dalam memproduk hukum Islam, hermeneutika
96
mencoba mencari sesuatu yang tersirat dari yang tersurat. Memproduk hukum baru dari yang “tak terkatakan” dari teks. Salah satu kritik yang dikemukakan Abu Zaid untuk ahli fiqih salaf, mereka tidak menyingkap signifikansi dari makna asli. Mereka hanya membicarakan tujuan-tujuan umum (al-maqashid al-kulliyyah) yakni memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Hermeneutika, memang mampu melahirkan pembacaan produktif yang menghasilkan produk-produk baru dalam hukum Islam. dan mampu menghasilkan produk hukum yang obyektif, tidak hanya di dasarkan pada kepentingankepentingan kelompok tertentu. Namun, terlepas dari sisi kelebihannya, hermeneutk ini juga mengalami persoalan yang cukup serius ketika menghadapi persoalan-persoalan yang tidak ada nash-nya (la nashsha fih). Karena hermeneutika sangat tergantung pada teks. Ini, tidak menjadi persoalan ketika menghadapi kasus yang gantungan hukumnya (manath al-hukmi) berupa teks al-Qur’an maupun Hadis. Ini problem serius hermeneutika dalam pembaharuan hukum Islam, lebihlebih dalam al-Qur’an ayat-ayat yang berbicara masalah hukum sangatlah sedikit. Dari 6360 ayat al-Qur’an, hanya 368 ayat yang berkaitan dengan aspekaspek hukum. 4 Menurut penulis, keterbatasan teks ini juga cukup menjadi kendala bagi seorang mujtahid untuk melakukan ijtihad hukum Islam. Maksud dari keterbatasan teks adalah bahwa ayat al-Qur’an maupun Hadits jumlahnya tetap
4
. Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 1984, hlm. 7
97
dan tidak mungkin bertambah, belum lagi ayat-ayat tentang hukum yang jumlahnya sangat sedikit. Sehingga, menurut penulis hermeneutika hanya mampu menghidupkan teks-teks dari keadaannya yang mati, dan memposisikan teks secara dinamis dari sisi tersiratnya. Sehingga sifat shalikhun li kulli zaman wa makan tetap melekat dalam al-Qur’an. Untuk menghadapi masalah-masalah yang tidak ada nash-nya, penulis lebih sepakat untuk konsep qiyas Imam Syafi’i dipakai untuk berijtihad. Kemudian, jika ingin tetap menggunakan hermeneutika pada masalah yang tidak ada gantungan hukumnya, terpaksa harus melakukan analogi (qiyas) terlebih dahulu dan kemudian baru menggunakan hermeneutika sebagai kerangka untuk ijtihad hukum Islam. Satu kritik untuk Abu Zaid adalah dari konsep hermeneutikanya, adalah dia tidak memaparkan dengan jelas dan sistematis tentang bagaimana cara menemukan makna kesejarahan tersebut. Memang dari beberapa karya dia sebelumnya, dalam Mafhum Al-Nash banyak diungkapkan tentang makna Makki Madani, Nasakh Mansukh akan tetapi penjelasan itu tidak dilakukan secara utuh dalam menemukan makna asli (makna kesejarahan). Ini yang mengharuskan para peminat pemikiran Abu Zaid untuk bekerja lebih serius mencari jawaban bagaimana cara mencari makna kesejarahan tersebut. Menurut penulis, ada beberapa hal penting yang harus dilakukan dalam mencari makna tersebut. Pertama, harus melakukan riset tentang kondisi sosiohistoris masyarakat Arab, ketika al-Qur’an turun. Kajian ini berusaha mengungkap sejarah yang telah terpendam sedemikian lama. Kedua, adalah
98
untuk menemukan makna asli, harus memahami tentang kaidah-kaidah kebahasaan yang digunakan dalam bahasa al-Qur’an. Analisis secara bahasa meniscayakan
pemahaman
terhadap-kaidah-kaidah
bahasa
Arab.
Tanpa
menguasai kaidah-kaidah bahasa Arab, rasanya sulit untuk menemukan makna kesejarahan/makna asli.
99