Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid tentang Kontroversi Takwil dalam Kitab Mafhum al-Nash
KONTROVERSI TA`WIL DALAM KITAB MAFHUM AL NASH
Studi Atas Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid
Achmad Sudja`i UIN Walisongo - Semarang
[email protected] Abstrak: Tradisi Islam telah menyodorkan dua metodologi pembacaan terhadap teks (nash al-Quran), yakni tafsir dan takwil. Meski demikian, tradisi Islam juga menunjukkan, bahwa tafsirlah yang mendominasi pembacaan teks (nash alQuran) selama ini. Sedangkan takwil oleh mayoritas ulama justru dianggap sebagai ”tafsir sesat”, karena itu terlarang. Padahal menurut Nasr Hamid Abu Zaid, takwil merupakan metodologi pembacaan al-Quran yang sangat produktif dalam rangka menjawab persoalan-persoalan kontemporer umat Islam. Kata Kunci: al-Quran, Tafsir, Takwil, dan Teks. Latar Belakang Al-Quran, dalam perspektif/pandangan Nasr Hamid Abu Zaid, merupakan teks inti (core texts) dalam tradisi agama Islam. Karena alQuran merupakan teks inti maka ia menempati posisi sentral dan memiliki signifikansi khusus dalam membentuk peradaban islam. Sehingga, Nasr Hamid Abu Zaid menyebut peradaban yang terbangun dalam tradisi ArabIslam sebagai peradaban teks1. Meski demikian, bukan berarti teks (al-Quran) an sich yang memproduksi peradaban Arab-Islam. Sebab teks apapun tidak dapat membangun peradaban dengan sendirinya, kecuali jika teks (al-nash) tersebut berdialektika dengan realitas (budaya) dan manusia secara produktif. Lantas dialektika antara manusia, realitas, dan teks (nash alQuran) tersebut akan melahirkan yang namanya peradaban Arab-Islam.
Makalah dipresentasikan pada diskusi dosen STIT Muhammadiyah Kendal, Selasa, 5 April 2016 Penulis adalah Wakil Ketua II STIT Muhammadiyah Kendal, Ketua Majlis Tarjih Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Kendal, Direktur Pondok Pesantren Darul Arqom Caruban Kabupaten Kendal. 1 Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstulitas Al-Quran: Kritik terhadap Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Lkis, 2001), hlm. 2 JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 19 Volume 8 Nomor 2 – Agustus 2016
Achmad Sudja`i
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa peradaban Arab-Islam merupakan suatu peradaban yang landasan epistemologinya dibangun melalui dialektika manusia dengan realitas kesejarahannya di satu sisi dan proses dialog kreatif manusia dengan teks (nash al-Quran) disisi lain. Jika demikian maka kebutuhan akan sebuah metodologi untuk membaca teks (nash al-Quran) adalah suatu keniscayaan. Lebih jauh, metodologi ini diharapkan mampu membaca teks (nash al-Quran) secara objektif, epistemologis, dan paradigmatik, sehingga umat islam mampu menjawab dan menghadapi problem-problem kontemporer yang komplek. Pada akhirnya, teks (nash al-Quran) mampu menjadi hudan bagi menyelesaikan problem-problem kemanusiaan masa kini dan al-Quran sholihun likulli jaman wa makan. Pada titik inilah Nasr Hamid Abu Zaid menawarkan takwil sebagai sebuah metodologi pembacaan terhadap teks (nash al-Quran) yang produktif. Sebagai diketahui tradisi Islam memang telah menawarkan dua metodologi pembacaan terhadap teks (nash al-Quran) yang dikenal dengan nama tafsir (al-tafsir) dan takwil (al-takwil). Akan tetapi, menurut Nasr Hamid Abu Zaid, dalam bukunya, Mafhum al-Nash: Dirosah fi Ulum al-Quran, Tekstualitas al-Quran (Kritik terhadap Ulumul Qur’an), takwil sebagai metodologi pembacaan teks (nash alQuran) justru oleh mayoritas ulama dianggap ”sesat” dan karena itu terlarang. Sehingga tafsirlah yang kemudian mendominasi pembacaan teks (nash al-Quran) selama ini. Padahal bagi Nasr Hamid abu Zaid, takwil merupakan metodologi pembacaan terhadap teks (nash al-Quran) yang produktif dibanding dengan tafsir. Oleh karena itu, kajian seputar teks (nash al-Quran), tidak akan bisa terlepas dari kajian terhadap tafsir (al-tafsir) atau takwil (al-takwil). Keduanya bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Perjalanan Intelektual Qahâfah, 19 Juli 1943. Nasr Abu Zaid lahir. Ia berasal dari sebuah keluarga biasa. Ayahnya seorang petani. Pada akhirnya sang ayah menjual sebidang tanahnya dan kemudian membuka toko kecil untuk menjual sebagian kebutuhan masyarakat pada waktu itu. Ia adalah putra pertama dari tiga bersaudara. Sebagai pemuda muslim di Mesir, baginya mencari ilmu adalah sebuah kebutuhan primer. Bertandang ke kuttâb (lembaga pendidikan tradisional) untuk menghafal al-Qur'ân dan ilmu-ilmu lainnya adalah program harian yang tak dapat ditinggalkan begitu saja. Maka sudah menjadi konsekuensi logis, di usia yang cukup muda ia telah hafal alQurân.
20 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 8 Nomor 2 – Agustus 2016
Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid tentang Kontroversi Takwil dalam Kitab Mafhum al-Nash
Ketika Nasr Hamid Abu Zaid berumur 14 tahun ayahnya meninggal dunia. Sebelum ajal menjemput sang ayah berpesan kepadanya, “Wahai anakku, kamu bukan anak kecil lagi, kalau seumpanya saya meninggal malam ini, diesok hari kamu harus tetap pergi ke sekolah untuk mengikuti ujian. Karena ujian ini merupakan tangga untuk dapat memasuki sekolah lanjutan pertama (I’dâdiyah). Ini sebuah namudzaj yang sangat bagus dari kasih-sayang seorang ayah supaya anaknya kelak dapat menjadi panutan masyarakat. Akhirnya sang ayah pulang ke rahmatullah, karena serangan jantung. Pada tahun 1954, usianya menjelang 10 tahun. Ia bergabung dengan organisasi Ikhwân Muslimîn cabang Qahâfah. Disana ia berjumpa dengan Hudlaybiy yang saat itu sebagai pengarah umum Ikhwân Muslimîn. Kedatangannya disambut baik oleh masyarakat Thanthâ. "Pada waktu itu saya dipilih sebagai pemimpin barisan, karena suara saya lantang sekali. Di barisan pertama saya melantunkan Allâhu Akbar, Allâhu Akbar, Walillâhu alhamdu", tegasnya. Ketika ia berjalan di depan podium, seseorang mengangkatnya untuk duduk di depan podium, kemudian Hudlaybiy menyalaminya dan memberinya sebuah kompas. Hudlaybiy berharap, "Kompas ini nanti bisa menunjukkan hidupmu di masa mendatang". Nashr kecil sangat bahagia sekali di kala itu, tapi di kemudian hari seorang anak mencuri kompas pemberian Hudhaibiy tadi, sampai akhirnya tidak ia temukan. Ia pulang ke rumah dengan tetesan air mata. Perasaan sedih itu menghilang, ketika pembimbing umum Ikhwân Muslimîn merangkulnya. Pada hari berikutnya, ia berangkat ke Ibrahim Rajab, pengawas sekolah dasar di Qahâfah hanya untuk meminta agar meletakkannya pada usrah Ikhwân Muslimin, tapi Ibrahim Rajab berkata, "Kamu masih kecil", Nasr kecil menyangkalnya, "Tidak, kamu harus meletakkan saya di keluarga Ikhwân Muslimîn. Akhirnya Ibrâhïm Rajab memenuhi permintaannya dan memasukkannya pada usrah Umar bin Khatthâb. Di sinilah awal mula Nasr kecil diringkus oleh pihak keamanan karena dituduh terlibat dalam kecamuknya politik pada tahun 1945, namanya termaktub sebagai anggota Ikhwân Muslimîn. Pada tahun 1957, setelah menerima ijazah sekolah dasar ia berkeinginan untuk bisa melanjutkan sekolah ke Azhar, layaknya seorang yang hafal al-Qurân. Namun keinginan hanya tinggal keinginan saja, ia melanjutkan ke sekolah umum jurusan pabrik, hal ini karena dipengaruhi oleh pamannya yang kebetulan sebagai kepala sekolah umum jurusan pabrik di Kufru al-Ziyâd. Kendatipun demikian, ia masih menyisihkan waktu untuk membaca karya al-Manfaluthiy secara sembunyi-sembunyi. Selain itu
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 21 Volume 8 Nomor 2 – Agustus 2016
Achmad Sudja`i
ia juga membaca karyanya Yusuf al-Sibâ’iy, Taufîq al-Hakîm, al-’Aqqâd, Najîb Mahfûd dan Thahâ Husein. Kebiasaan yang setiap hari dipupuknya itu justru menjadi motivasi bagi Nasr Hamid Abu Zaid untuk melanjutkan sekolah lanjutan atas umum. Kemudian, ia memasuki jurusan di mana Thaha Husein menjadi gurunya. Setelah meraih diploma di sekolah pabrik, ia bekerja di sebuah perusahaan kabel dan non kabel dari tahun 1961 hingga/sampai tahun 1968. Pekerjaan inipun tidak banyak menjadi penghambat untuk mengembangkan kreasinya di bidang keilmuan, namun justru mengadakan kegiatan ilmiah bersama Jabîr ‘Ushfûr, Jâr al-Nâbiy, Sayyid al-Hulwu, Moh. Mansi Qindîl, Farîd Abu Sa’dah, Moh. Shâleh dan Sa’îd Kafrâwiy. Pada tahun 1968 Nasr Hamid Abu Zaid berhasil menyelesaikan sekolah Tsânawiah umum, kemudian Nasr Hamid Abu Zaid melanjutkan studi ke universitas Kairo fakultas Adab. Tahun 1972 Nasr Hamid Abu Zaid lulus dengan predikat natijah Imtiyâz. Kemudian meraih gelar magister dengan judul tesis Qadliyatu al-Majâz fi al-Qur’ân ‘inda al-Mu’tazilah pada tahun 1976 dengan predikat natijah Imtiyâz juga. Pada tahun 1981, ia telah menyelesaikan disertasinya untuk meraih gelar doktoral dengan dengan judul Ta’wîlu al-Qur’ân inda Muhyiddîn al-Arabiy, dengan natijah Martabah Ma’a al-Syaraf al-ûla. Sampai disini, petualangan menuntut ilmu secara akademis berhenti, sebab ia diangkat menjadi asisten dosen. Ia pun menulis buku, Mafhum al-Nash: Dirosah fi Ulum al-Quran, Tekstualitas alQuran (Kritik terhadap Ulumul Qur’an) . Keinginannya untuk meraih gelar profesor sangat menggebu-gebu, sehingga akhirnya mencoba untuk mengajukan karya-karyanya. Namun pada bulan Maret tahun 1993 pengajuannya mentok berdasarkan keputusan Dr. Abd. Shabûr Syâhîn. Baru kemudian gelar profesor tadi dapat diraih pada tanggal 31 juli 1995 dengan pergantian pembimbing dan kaidah-kaidah dasar yang dilakukan oleh pembimbing. Berselang dua minggu kemudian, Mahkamah Pembanding Kairo mengeluarkan keputusan tentang penceraian akad nikah Nashr Abu Zaid dengan istrinya, Ibtihâl Yûnis, alumnus fakultas Adab jurusan bahasa Prancis pada tahun 1988 yang menulis disertasi al-Harbu al-Ahliyyah alIsbaniyyah wa al-Mutsaqqif al-Faransiy. Ibtihal Yûnis masih saja bersikeras untuk hidup berdampingan dengan sang suami, kendatipun harus hengkang ke Belanda setelah mendapatkan suaka politik dan mengajar di sebuah universitas di sana. Kepada wartawan al-’Arabiy ia mengungkapkan, bahwa sikapnya itu bukan semata-mata sebagai konpensasi dari Mesir, maksudnya kalau nanti ia diminta untuk kembali ke Mesir, niscaya akan menerimanya, sebagaimana keluar dari Mesir tidak
22 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 8 Nomor 2 – Agustus 2016
Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid tentang Kontroversi Takwil dalam Kitab Mafhum al-Nash
memiliki maksud tertentu untuk bernaung di bawah buaian barat seperti yang dilaksanakan oleh Taslima Nasreen dan Salman Rusydi.2 Tafsir dan Takwil Sebagaimana penulis katakan, tafsir dan takwil merupakan warisan metodologis pembacaan terhadap teks (nash al-Quran) dalam tradisi islam. Karena itu, Nasr Hamid Abu Zaid berusaha untuk menyajikan kembali kajian tentang tafsir dan takwil dari perspektif yang berbeda dengan para ulama kuno (salaf). Kajian ini ia tuangkan dalam bukunya, Mafhum al-Nash: Dirosah fi Ulum al-Quran, Tekstualitas al-Quran (Kritik terhadap Ulumul Qur’an). Dimana ia mencoba untuk mendudukan secara proporsional hubungan antara tafsir dan takwil sebagai metodologi pembacaan terhadap teks (nash al-Quran). Nasr memandang, selama ini tradisi pembacaan terhadap teks (nash al-Quran) lebih condong pada tafsir, dan mengabaikan, bahkan memberangus akan takwil sebagai pembacaan terhadap teks (nash al-Quran) yang absah. Buku tersebut, dalam edisi Indonesia diterjemahkan oleh Khoirron Nahdhliyyin dan diterbitkan oleh LkiS Yogyakarta tahun 2001 dengan judul Tekstualitas al-Quran (kritik terhadap ulumul qur’an). Secara garis besar buku ini dibagi dalam 3 bagian : 1. Format dan formatisasi teks yang membahas tentang konsep wahyu dan wahyu al-Quran, penerima pertama, makki dan madany, asbab alnuzul, dan nasikh mamnsukh. 2. Membahas tentang i’jaz, munasabah antar ayat dan surat, ambiguitas dan distingsi, ‘aam dan khash, dan membahas tafsir dan takwil. 3. Membahas tentang pembagian ilmu dari al-Quran ala pemikiran imam al-Ghazali. Tafsir Tafsir secara etimologis, sebagaimana dijelaskan Nasr Hamid Abu zaid, berasal dari kata fasara, yufsiru, fasran. Ibnu mandzur dalam karyanya, Lisan al-Arab menyatakan kata al-fasr bermakna “pengamatan dokter terhadap air.” Sedangkan at-tafsirah adalah “urine yang dipergunakan untuk menunjukkan adanya penyakit, dan para dokter meneliti berdasarkan warnanya untuk menunjukkan adanya penyakit bagi si sakit3.” 2
Sketsa kehidupan Nasr Hamid Abu Zaid ini dimabil dari www.muslims.net/KMNU Copyright © KMNU Cairo – Egypt, tanggal 10 January 2016. 3 Abu al-Fadl, Jamaluddin Muhammad bin Mukram Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), jilid V, hlm. 55 JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 23 Volume 8 Nomor 2 – Agustus 2016
Achmad Sudja`i
Berpijak dari makna etimologis ini, Nasr Hamid Abu zaid memandang ada dua hal yang perlu dicermati berkaitan dengan kata “tafsir”: 1. Tafsirah, yakni materi yang diamati dokter untuk menyingkap penyakit. Materi yang dicermati tersebut berfungsi sebagai “medium” yang digunakan oleh dokter untuk menemukan penyakit. “Melalui medium/urine” itulah sang dokter berusaha mendiagnosa dan mengungkap penyakit sang pasien. Dengan lain kata, tafsir membutuhkan tafsirah yaitu medium yang dicermati oleh mufassir sehingga ia dapat menyingkapkan makna yang dikehendakinya. 2. Tindakan pengamatan dari pihak dokter yaitu tindakan yang memungkinkannya meneliti meteri dan menyingkapkan penyakit. Jika begitu tafsir berarti menemukan penyakit, menuntut adanya materi atau objek, dan pengamatan atas objek. Jelasnya, tafsir adalah mengungkapkan sesuatu yang tersembunyi (madlul/makna) melalui medium (dalil/tafsirah) yang dianggap tanda bagi mufassir4. Teks Penafsir
Menafsir
Makna
Dalam kamus al-Munjid fi al-LughahMedium wa al-‘alam dinyatakan tafsir bermakna: at-ta’wil, al-kasyfu, al-idhah, al-bayan dan al-syarhu5. Yusuf Qordhawi menyatakan tafsir menurut bahasa artinya menjelaskan dan menerangkan. Contohnya arti tafsir adalah terdapat dalam firman Allah :”tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melinkan kami datangkan kepadamu suatut yang benar dan yang paling baik penjelasannya (tafsirnya) (al-Furqan : 33)”. Dengan demikian tafsir digunakan dalam bahasa Arab berkaitan dengan usaha membuka secara inderawi ataupun membuka secara maknawi dengan memperjelas arti-arti yang tertangkap dari zahir redaksional6. Adapun tafsir secara terminologi, sebagaimana kata al-Khiby dalam kitab at-tashiel, adalah mensyarahkan al-Quran, menerangkan maknanya, dan menjelaskan apa yang dikehendakinya dengan nashnya atau isyaratnya atau tujuannya. Sedangkan al-Jurjani menjelaskan tafsir secara bahasa berati membuka (al-kasyfu) dan menjelaskan (al-idhhar) serta melahirkan. 4 Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstulitas Al-Quran: Kritik terhadap Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Lkis, 2001), hlm. 283. 5 Louis Makhluf, al-Munjid fi al-Lugah wa al-A’lam, (Dar al-Masyriq, 1986) Cet. 18, hlm. 204 6 Yusuf Qordhawi, Berinteraksi dengan al-Quran, (Jakarta: Gema Inasni Press, 1998), hlm. 283
24 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 8 Nomor 2 – Agustus 2016
Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid tentang Kontroversi Takwil dalam Kitab Mafhum al-Nash
Menurutnya secara istilah tafsir adalah menjelaskan makna ayat, urusannya, kisahnya, dan sebab karenanya diturunkan ayat dengan lafadz yang menunjuk kepadanya secara terang7. Al-Zarkasyi sebagaimana dikutip oleh Nasr Hamid Zaid menyatakan tafsir adalah ilmu tentang turunnya ayat, surat dan cerita-cerita yang berkenaan dengan ayat, isyarat yang ada didalamnya, kronologi makiyyah dan madaniyyah, muhkam dan mutasyabih, nasikh dan mansukh, khos dan ‘am, mutlak dan muqayyad , mujmal dan mufassal8. Dari berbagai definisi tafsir yang dikemukakan tersebut, Nasr Hamid Abu Zayd memandang bahwa tafsir hanya terkait erat dengan aspek-aspek umum yang eksternal dari teks (nash al-Quran) seperti pengetahuan asbab al-nuzul, cerita tetang makiyyah dan madaniyyah dan lainnnya. Semua itu berdimensi naqliyyah yang didasarkan pada riwayat menurut ulama kuno (salaf). Karena tafsir terkait dengan dimensi naqliyyah maka dalam tradisi tafsir peluang untuk berijtihad menjadi sangat sempit, jika tidak dikatakan tidak ada tempat untuk berijtihad. Dengan demikian mufassir tak mempunyai peran aktif dan kreatif pada aspek semantik, ijthadiyyah9. Karena peluang ijtihad tidak mendapatkan tempat dalam tradisi tafsir, maka secara umum tafsir didominasi oleh naql dan riwayat10. Konsekuensinya mufassir hanya bekerja dalam batas-batas ilmu-ilmu alQuran dan ilmu bahasa (ilmu semioka). Untuk mengetahui ilmu al-Quran maka seorang mufassir harus berpegang pada riwayat para ulama salaf sedang dalam ilmu bahasa mufassir menggantungkan diri pada pendapat ahli bahasa. Berbekal dengan ulumul Quran dan ilmu bahasa itulah mufassir berusaha mengungkap dan menyingkap simbul-simbul atau makna-makna (madlul) yang tersembunyi di balik teks11 al-Quran al-Karim. Takwil Nasib takwil memang tragis ditangan mayoritas ulama, takwil mendapat label –negatif- sebagai “tafsir sesat”. Ia dianggap tidak sesuai dengan ajaran al-Qur”an dan al-Hadits serta menyimpang dari tradisi al7 T.M. Hasbhi Ash-Syiddiqie, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Quran/Tafsir, cet. 12 Bulan Bintang, 1989, hlm. 178. 8 Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstulitas Al-Quran: Kritik terhadap Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Lkis, 2001). hlm. 294 9 Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstulitas Al-Quran: Kritik terhadap Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Lkis, 2001), hlm. 294-295 10 Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstulitas Al-Quran: Kritik terhadap Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Lkis, 2001), hlm. 296 11 Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstulitas Al-Quran: Kritik terhadap Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Lkis, 2001), hlm.299-300
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 25 Volume 8 Nomor 2 – Agustus 2016
Achmad Sudja`i
salaf al-awwal. Dimana tradisi al-salaf al-awwal dalam memahami dan menginterpretasikan teks-teks keagamaan senantiasa menjauhi takwil. Imam Malik (w.795 M) misalnya, tidak membenarkan orang berkata : “langit menurunkan hujan” , pernyataan ini harus diyakini bahwa yang menurunkan hujan adalah Allah SWT12. Karenanya menggunakan takwil dalam memahami teks-teks keagamaan (khususnya seperti nash al-Quran maupun al-Hadits) adalah penyimpangan atau pencemaran atas roh suci syari’at. Sebab wahyu adalah “titah Tuhan” yang absolut, benar dan mutlak. Sebagian ulama besar berpendapat –dalam persoalan ayat-ayat mutasyabih- bahwa ta’wilnya tidak diketahui oleh siapapun kecuali Allah. Oleh karena itu mereka mengharamkan takwil dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah. Alasannnya takwil tak lain dan tidak bukan merupakan pekerjaan orang-orang yang dalam hatinya terdapat kecenderungan sesat13. Sehingga pendukung takwil oleh pendukung mainstream ulama divonis sebagai “gerakan sesat”, “ilhad”, “zindiq” dan “bid’ah/herersy”, yang bertentangan dengan ahlu al-sunnah wa al-jama’ah 14. Akibatnya istilah takwil dalam pemikiran agama resmi atau ideologi penguasa diposisikan marjinal. Istilah takwil berubah menjadi istilah yang “dibenci” bahkan “dimusuhi”. Maka terjadilah distorsi besarbesaran dan pemberangusan terhadap “takwil” atas nama “tafsir”. Suara yang menyerukan takwil harus menghadapi tekanan (represi) baik dari ulama atau penguasa yang berkolaborasi dengan ulama . Istilah ta’wil menjadi sangat tabu untuk dibicarakan dan menjdi wacana yang terpinggirkan. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kompleksitas problematika yang melilit umat islam “suara Ta’wil” kembali muncul kepermukaan. Sebab “tafsir resmi” dinilai kurang bisa atau tidak mampu merespon perkembangan serta tantangan jaman yang semakin menunjukkan intensitasnya. Sebenarnya kebutuhan akan perlunya penggunaan ta’wil dalam memahami dan menggali spirit teksteks keagamaan sudah tumbuh. Sebab solusi atas problem kontemporer tak cukup hanya berpegang teguh pada interpretasi generasi awal yang hanya mengandalkan pada naql dan riwayat saja. 12
May Rahmawatie & Yudie R. Haryono (editor), Tafsir dan Modernisasi dalam AlQuran, Buku yang Menyesatkan dan Buku yang Mencerahkan, (Jakarta: Gugus Press, 2002), hlm. 213. 13 Subhi al-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu al-Quran, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993) Cet. IV. hlm. 372. 14 Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstulitas Al-Quran: Kritik terhadap Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Lkis, 2001), hlm. 276
26 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 8 Nomor 2 – Agustus 2016
Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid tentang Kontroversi Takwil dalam Kitab Mafhum al-Nash
Untuk itu perlu adanya inovasi dan kreatifitas serta kerja ektra dari pemikir kontemporer untuk menginterpretasi teks-teks keagamaan yang semakin hari kehilangan elan vitalnya. Hal itu bisa terwujud apabila ada keseimbangan fungsi antara “takwil” dan “tafsir”. Dengan demikian menghidupkan kembali takwil adalah satu keniscayaan untuk merealisasikan islam sebagai rahmat bagi alam semesta. Kebutuhan akan menghidupkan takwil ini juga dinyatakan oleh Yusuf Qordhawi: “Takwil adalah kebutuhan yang tak dapat ditinggalakan. Ia dapat diwajibkan oleh akal, syariat, atau bahasa arab. Orang yang menolak itu berarti telah keluar dari jalur yang benar dan terperososk dalam lubang kesalahan seperti yang dilakukan kelompok zahiriyah15”. Meski demikian, takwil masih juga menjadi menjadi istilah yang dicurigai, dianggap “tafsir sesat” dan terancam eksistensinya oleh wacana agama resmi. Padahal kebutuhan akan ta’wil sangat mendesak bagi pemecahan problem kontemporer saat ini. Ini jika menghendaki islam bisa survive dan jargon “islam rahmatan lil’akamiin” serta “islam salihun likulli zamanin wa makanin” membumi. Kondisi semacam ini oleh Nasr Hamid Abu Zaid dianggap sebagai fenomena kemunduran umat Islam. Dimana umat islam hanya mengekor dan mereproduksi produk-produk intelektual generasi tua—yang tentunya cocok untuk jaman mereka-- tanpa mau menelurkan produk yang relevan dengan tuntutan kontemporer16. Sehingga yang terjadi bukan persoalan berkurang dan terselesaikan, justru persoalan semakin ruwet. “Merasa cukup dengan hasil interpretasi generasi petama terhadap teks dan membatasi peran mufassir modern hanya dengan meriwayatkannya dari ulama kuno membawa konsekuensi yang berbahaya dalam kehidupan sosial, mungkin masyarakat akan memegangi interpretasi tersebut secara literal dan menjadikannya sebagai aqidah dan akibatnya merasa cukup dengan kebenaran – kebenaran azali atau imanen, sebagai kebenaran-kebenaran final dan menjauhi metode ‘eksperimental’ dalam mengkaji fenomenafenemona alam dan kemanusiaan dan mungkin ilmu pengetahuan berubah menjadi agama dan kemudian agama berubah menjadi 15
Yusuf Qordhawi, Berinteraksi dengan al-Quran, (Jakarta: Gema Inasni Press, 1998),
hlm. 412 16
Dalam bukunya Naqd Al-Khithâb Al-Dînî, menyatakan tradisi umat Islam yang membebek di balik otoritas salaf dan tradisi (turâts) merupakan salah salah penyebab kemunduran peradaban islam. Lihat Nashr Hâmid Abû-Zayd, Naqd Al-Khitâb Al-Dînî, (Cairo: Madbûlî, cet. 3, th. 1995), hlm. 67-68 JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 27 Volume 8 Nomor 2 – Agustus 2016
Achmad Sudja`i
khurafat, kelakar dan sisa-sisa masa lalu. Kedua sikap tersebut masing-masing eksis dalam realitas dan yang jejak-jejaknya kita rasakan dalam perdebatan antara kelompok sekuler dan pemuka agama17” demikian Nasr Hamid Abu Zaid menyatakan keprihatinannya. Untuk itu, Nasr Hamid Abu Zaid menghendaki agar umat islam mengakji kembali tafsir dan takwil serta mendudukannya secara proporsional. Sehingga dalam melakukan pembacaan terhadap teks-teks agama (khususnya al-Quran) melahirkan “tafsir yang produktif” untuk menghadapi tantangan jaman global ini. Berdasarkan gugusan pemikiran di atas, lebih jauh perlu adanya pemahaman tentang ta’wil secara proporsional sehingga kita atau para mufassir tidak terjebak pada konflik yang tidak produktif sebagaimana pengalaman masa lalu. Kaitannya dengan metodologi pembacaan terhadap teks (nash alQuran) Nasr Hamid Abu Zaid lebih banyak menggunakan istilah takwil dari pada istilah tafsir. Istilah tafsir ini lebih populer di kalangan ulama Ahl Sunnah wal Jama’ah. Dalam tradisi Ahl Sunnah wal Jama’ah istilah takwil dinisbatkan pada pemahaman kelompok-kelompok yang mereka nilai ‘menyimpang’, “sesat,” seperti tradisi takwil Mu’tazilah, Khawarij, filsafat, dan tasawuf. Padahal, menurut Nasr Hâmid Abu Zaid, Al-Quran sendiri lebih banyak memakai istilah takwil dari pada tafsir. Kalimat tafsîr, hanya muncul satu kali dalam Al Quran, sedangkan kata takwil muncul dalam alQuran sebanyak 17 kali. Ini menunjukkan kata ta’wil lebih populer pemakaiannya dalam bahasa pada umumnya dan khususnya pada teks (nash al-Quran) daripada kata tafsir. Selain itu, sebenarnya penggunaan istilah tafsir baru populer sejak abad IV Hijriyah, setelah sebelumnya pengunaan istilah takwil lebih populer. Pelabelan yang negatif dan tendesius pada istilah takwil ini dalam tradisi Islam Sunni lebih disebabkan benturan politik dan ideologi18. Hasil analisis Nasr Abu Zaid menyatakan bahwa takwil dalam alQuran mengambil dua bentuk: 1. Takwil yang membutuhkan mediator (tafsirah). Yakni ta’wil yang berkaitan dengan mimpi (ahlam), ahadis dan ru’yah. Dalam konteks ini, takwil dilakukan atas ungkapan-ungkapan verbal 17
Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstulitas Al-Quran: Kritik terhadap Ulumul Quran, (Yogyakarta: Lkis, 2001), hlm. 280. 18 Nashr Hamid Abu-Zaid, al-Khithâb wa al-Ta’wîl, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqâfî al‘Arabî, cet. I, th. 2000), hlm. 174-176)
28 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 8 Nomor 2 – Agustus 2016
Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid tentang Kontroversi Takwil dalam Kitab Mafhum al-Nash
(ahadis) yang digunakan oleh orang-orang yang bermimpi untuk menjelaskan gambar-gambar yang dilihat dalam tidurnya. Di sini focus takwil adalah gambar-gambar yang dijelaskan lewat mediator / tafsirah yang berupa ahadis/cerita (QS: 12:6,44,15,100)19. 2. Takwil yang tidak membutuhkan mediator (tafsirah). Takwil model ini bisa dilihat dalam kasus kisah nabi Yusuf yang mampu memberitahukan sesuatu yang sebelum terjadi. Di sini takwil adalah memberitahukan “kejadian” sebelum terjadi secara faktual. Dimana makna peristiwa tersebut dapat ditemukan dan diprediksi secara langsung sebelum peristiwa tersebut terjadi20. Sejalan dengan takwil ini adalah takwil terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh Khidzir bersama nabi Musa. Pertama, khidzir melubangi kapal yang mereka tumpangi. Kedua, Khidzir membunuh anah kecil. Dan ketiga, Khidzir memperbaiki tembok rumah yang akan runtuh. Takwil atas perbuatan-perbuatan Khidzir “yang khariqul ‘adah” adalah upaya mengungkapkan makna yang tersembunyi dibalik perbuatanperbuatan tersebut21. Dengan demikian, usaha mengungkapkan makna atau tujuan-tujuan yang tersembunyi dari perbuatan-perbuatan tersebut -atau berusaha mentakwilkannya- berarti berusaha mengungkapkan sebab–sebab hakiki. Upaya mengungkapkan sebab-sebab hakiki tersebut berarti mengungkapkan asal-usul (dasar-dasar) perbuatan-perbuatan tersebut22. Takwil dalam konteks ini sejalan dengan kata ta’wil yang secara etimologis berasal dari kata al-awl, yang berarti kembali/pulang, ruju’. Kata ‘ala, ya’ulu, awlan, ma’alan, yang berarti raja’a. sedangkan kata ta’wil sendiri merupakan bentuk taf’il. Dari kata awwala, yu’awwilu, ta’wilan, yang bentuk dasarnya dari ‘ala, ya’ulu, yang berarti pulang/kembali23. Sachiko Murata menyatakan bahwa takwil berasal dari akar kata yang sama dengan awwal, “pertama,” yang merupakan nama salah satu 19
Nashr Hamid Abu-Zaid, al-Khithâb wa al-Ta’wîl, (Beirut: al-Markaz ‘Arabî, cet. I, th. 2000), hlm. 286 20 Nashr Hamid Abu-Zaid, al-Khithâb wa al-Ta’wîl, (Beirut: al-Markaz ‘Arabî, cet. I, th. 2000), hlm. 287 21 Nashr Hamid Abu-Zaid, al-Khithâb wa al-Ta’wîl, (Beirut: al-Markaz ‘Arabî, cet. I, th. 2000), hlm. 288 22 Nashr Hamid Abu-Zaid, al-Khithâb wa al-Ta’wîl, (Beirut: al-Markaz ‘Arabî, cet. I, th. 2000), hlm. 289 23 Nashr Hamid Abu-Zaid, al-Khithâb wa al-Ta’wîl, (Beirut: al-Markaz ‘Arabî, cet. I, th. 2000), hlm. 289. Lihat juga Sayyid Husain Thabathaba’i, Rahasia al-Quran, (Bandung: Mizan, 1993), Cet. V, hlm. 51-52
al-Tsaqâfî alal-Tsaqâfî alal-Tsaqâfî alal-Tsaqâfî alal-Tsaqâfî alMengungkap
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 29 Volume 8 Nomor 2 – Agustus 2016
Achmad Sudja`i
Tuhan (Allah). Karena Tuhan adalah yang Pertama, maka takwil adalah membawa sesuatu kembali kepada yang Pertama. Perbedaan takwil dengan tafsir menurut Murata adalah takwil merupakan metodologi pembacaan terhadap teks (nash al-Quran) dengan memperhatikan implikasi-implikasi yang tersembunyi dibalik makna harfiah teks. Sedangkan tafsir adalah pembacaan terhadap teks (nash al-Quran) berdasarkan atas apa yang diturunkan pada kita lewat tradisi (naql/riwayat), sementara takwil menambahkan perenungan pribadi 24. Artinya dengan takwil seseorang melakukan pembacaan terhadap teks (nash al-Quran) berdasarkan naql / riwayat plus melakukan ijtihad intekeltual untuk mengungkap makna, tujuan, atau maksud yang dikehendaki Yang Pertama (Tuhan). Dengan demikian, secara harfiah pengertian takwil adalah kembali pada asal-usul sesuatu; apakah itu berbentuk perbuatan atau cerita. Kembali pada asal-usul dimaksudkan untuk mengunkap makna dan signifikansinya. Khidzir, misalnya, mentakwilkan perbuatan-perbuatannya dengan mengungkapkan sebab-sebab dan alasan-alasan yang sebenarnya dari perbuatan-perbuatannya. Juru ta’wil mimpi juga mengungkapkan “asal-usul” sebenarnya yang tersembunyi di balik gambar-gambar (mimpi) yang dilihat oleh orang yang tidur. Sebab setiap peristiwa, perbuatan atau cerita memiliki sisi “yang zahir dan yang batin”. Sisi “yang batin” hanya dapat diungkap melalui ta’wil dengan cara mengembalikan “apa yang zahir” pada asal usul dan sebab-sebab yang sebenarnya25 atau pada Yang Pertama. Takwil, selain bermakna kembali pada yang asal, takwil juga berarti sampai pada tujuan, memperbaiki dan menata sesuatu agar sampai pada tujuan. Kembali pada asal merupakan gerak balik (set back) sedangkan sampai kepada tujuan yang hendak dicapai adalah gerak dinamis. Pada bagian lain, takwil bisa berarti akibat atau konsekuensi (QS 17:35)26. Dari pemaparan rrti takwil, baik “kembali ke asal usul”, “sampai pada tujuan” atau “konsekuensi” disatukan oleh makna morfologi ari bentuk taf’il yang mengacu makna gerak. Jelasnya, takwil adalah menggerakkan sesuatu atau gejala; apakah kembali pada asal usulnya, atau merawat dan mengatur tujuan dan “akibatnya”. Gerak ini bukan gerak materi, namun gerak mental-intelektual dalam menangkap gejala atau fenomena. Hal ini 24 . Sachiko Murata, The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, (Bandung: Mizan, 2000), Cet. VIII, hlm. 300 25 Nashr Hamid Abu-Zaid, al-Khithâb wa al-Ta’wîl, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqâfî al‘Arabî, cet. I, th. 2000), hlm. 289 26 Nashr Hamid Abu-Zaid, al-Khithâb wa al-Ta’wîl, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqâfî al‘Arabî, cet. I, th. 2000), 289-290
30 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 8 Nomor 2 – Agustus 2016
Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid tentang Kontroversi Takwil dalam Kitab Mafhum al-Nash
berpijak dari penggunaan kata ta’wil yang senantiasa berkaitan dengan ahadis, ahlam, ru’ya, hubb atu f’il. Keterkaitan ini menunjukkan bahwa ta’wil merupakan gerak “mental-intelektual” yang dimiliki seseorang mufassir untuk “mengungkapkan asal usulnya,” ”makna yang sebenarnya” dengan merujuk “kembali ke belakang,” ”kembali ke Yang Pertama,” atau sampai pada tujuan melalui “pengaturan”27. Sedangkan pengertian takwil secara terminologi ada beberapa pendapat, antara lain; dalam Ensiklopedi Islam, Cyril Glasse menyatakan takwil merupakan penafsiran yang khas, yakni sebuah penelitian untuk mencapai pengertian yang hakiki akan sebuah ungkapan teks (nash) alQuran atau teks lainnya yang kebanyakan bercorak mistis28. Berdasarkan pembahasan di atas, di sini takwil bisa kita dipahami sebagai sebuah upaya untuk menyingkap sesuatu yang hakiki yang tersembunyi dibalik teks. Sedangkan bercorak mistis merupakan lebel yang simplifikasi. Sebab, kata Yusuf Qardhawi, tidak ada madzhab dalam Islam -dalam ilmu kalam, fikih, atsar, atau tasawuf- yang tidak melakukan takwil meskipun mereka berbeda-beda dalama kadar penggunaannya ada yang meluaskan dan ada yang menyempitkannya sekupnya29. Takwil menurut Imam al-Qasim bin Habib an-Naisaburi, dan alBaghawi serta al-Kawasib sebagaimana dikutip oleh az-Zarkasyi adalah mengalihkan ayat pada makna yang sesuai dengan yang sebelumnya dan sesudahnya makna yang dimungkinkan tak bertentangan dengan al-Kitab dan al-Sunah melalui ijtihad3031. Yusuf Qardhawi menyatakan, takwil adalah mengalihkan lafal dari makna zahirnya ke makna lain yang lemah yang ia kandung karena ada dalil yang membuat makna lemah tersebut menjadi kuat32. Rachmat Taufiq Hidayat dalam buku Khazanah Istilah al-Quran menyatakan bahwa takwil adalah mengartikan kata-kata (ayat-ayat) alQuran tidak secara literal (harfiyah); atau memberikan makna lain 27
Nashr Hamid Abu-Zaid, al-Khithâb wa al-Ta’wîl, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqâfî al‘Arabî, cet. I, th. 2000), hlm. 291 28 Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam (ringkas), pengantar Prof. Huston Smith, Penj. Ghufran A. Mas’adi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 391. 29 Yusuf Qordhawi, Berinteraksi dengan al-Quran, (Jakarta: Gema Inasni Press, 1998), hlm. 412 30 Nashr Hâmid Abû-Zaid, al-Nash, al-Sulthah, al-Haqîqah: al-Fikr al-Dînî Bayna Irâdah al-Ma‘rifah, Wa Irâdah al-Haymanah, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqâfî al-‘Arabî, cet. 2, th. 1997), hlm. 68-74 31 Nashr Hamid Abu-Zaid, al-Khithâb wa al-Ta’wîl, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqâfî al‘Arabî, cet. I, th. 2000), hlm. 295 32 Yusuf Qordhawi, Berinteraksi dengan al-Quran, (Jakarta: Gema Inasni Press, 1998), hlm. 409 JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 31 Volume 8 Nomor 2 – Agustus 2016
Achmad Sudja`i
terhadap suatu ayat al-Quran yang berbeda dengan makna yangh tersurat sebagai hasil penalaran33. Dari pemaran definisi takwil tersebut dapat Nasr Hamid Abu Zaid menyatakan bahwa takwil berkaitan erat dengan istinbath, ijtihad, sementara tafsir umumnya hanya mengandalkan dalil naql dan riwayat. Perbedaan ini mengandung satu dimensi penting bagi proses takwil itu sendiri, yaitu peran pembaca dalam menghadapi atau membaca teks (nash al-Quran) dan dalam menemukan maknanya. Peran pembaca atau mu’awwil disini bukan peran mutlak, dalam pengertian melalui takwil teks lantas ditundukkan pada kepantingan subyektif. Kenapa bukan peran mutlak? Karena menurut Nasr Hamid Abu Zaid, takwil harus didasarkan pada pengetahuan mengenai beberapa ilmu yang berkaitan dengan tesk (nash) yang masuk dalam lingkup tafsir 34. Dengan demikian, mu’awwil harus mempunyai kompetensi sebagai penafsir, sehingga ia bisa melakukan takwil secara obyektif. Hal ini juga menunjukkan bahwa takwil tidak bisa meninggalkan tafsir. Untuk melakukan takwil seseorang harus menapaki jenjang tafsir dulu. Nasr Hamid Abu Zaid menegaskan lagi, takwil harus didasarkan pada pengetahuan mengenai beberapa ilmu yang berkaitan dengan teks (tata bahasa dan balaghah) yang termasuk dalam konsep tafsir. Maka mu’awwil harus mengetahui benar tentang ilmu tafsir sehinga ia dapat memberi ta’wil yang diterima terhadap teks. Yakni ta’wil yang tidak menundukkan teks pada kepentingan pribadi kelompok dan ideologinya. Karenanya takwil yang tidak berdasarkan pada tafsir menurut Nasr Hamid Abu Zaid adalah tafsir yang ditolak (yang dilarang oleh ulama kuno). Sebab istinbath tidak sekadar didasarkan pada asumsi saja dan tidak pula upaya menundukkan teks pada kepentingan dan ideologi mufassir. Istinbath harus didasarkan pada fakta-fakta teks pada satu sisi dan data –data bahasa pada sisi lain. Baru setelah itu tidak terjadi persoalan apabila beralih dari makna ke tujuan, bukan langsung mengadakan lompatan pada tujuan yang bertentangan dengan atau pada makna teks35. Gambaran di atas menunjukkan bahawa pintu gerbang untuk sampai pada takwil adalah tafsir. Ilmu tafsir merupakan ilmu yang menghimpun semua ilmu yang mengantar menjadi takwil dengan 33 Rachmat Taufiq Hidayat, Khazanah Istilah al-Quran, (Bandung: Mizan, 1989) Cet. I, hlm. 142-143 34 Nashr Hamid Abu-Zaid, al-Khithâb wa al-Ta’wîl, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqâfî al‘Arabî, cet. I, th. 2000), hlm. 296 35 Nashr Hamid Abu-Zaid, al-Khithâb wa al-Ta’wîl, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqâfî al‘Arabî, cet. I, th. 2000), hlm. 297
32 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 8 Nomor 2 – Agustus 2016
Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid tentang Kontroversi Takwil dalam Kitab Mafhum al-Nash
demikian tafsir merupakan bagian dari proses takwil itu sendiri. Hal ini menunjukkan takwil lebih luas wilayah jangkauannya daripada tafsir36. Perbedaan tafsir dan takwil No 1. 2.
3. 4.
Tafsir Butuh medium (tafsirah) Berdasarkan Naql dan riwayat
Takwil Tidak selalu butuh medium Berdasarkan pada Naql, Riwayat, dan Istinbath atau ijtihad Berkaitan dengan eksternal Berbasis pada ilmu tafsir teks, seperti ilmu-ilmu bahasa Berhenti pada makna dhahir Berpijak pada makna dhahir teks teks menuju makna batin
Mekanisme Takwil Sebagaimana dijelaskan oleh Nasr Hamid Abu Zaid, bahwa takwil tidak boleh menundukkan teks dibawah kepentingan politik maupun ideologis muawwil, maka ia mensyarakatkan bahwa sebelum sampai pada takwil, mufassir terlebih dahulu harus bekerja dalam batas-batas ilmu alQuran dan ilmu bahasa. Untuk itu seorang mufassir harus menafsirkan menafsir al-Quran berdasarkan riwayat sedangkan yang berkaitan dengan tata bahasa mufassir harus memahami kaidah-kaidah bahasa (arab). Dimana kedua wilayah kajian ilmu ini, baik riwayat maupun ilmu bahasa, berkaitan erat dengan teks37. Lantas Nasr menentukan mekanisme-mekanisme takwil sebagai berikut: Pertama, seseorang menjadi pembaca. Pembaca tidak hanya sekedar menjadi pembaca, namun ia harus membekali dirinya dengan ilmu-ilmu al-Quran dan ilmu tata bahasa jika mampu menyingkap makna teks (nash) al-Quran. Artinya, seorang pembaca harus menguasai konteks linguistik teks Seperti ilmu Nahw, Sharaf, dan Balaghah. Sehingga kita kita bisa menganalisis teks-teks tersebut sekaligus mengkategorisasikan. Seperti al-taqdîm, al-ta’khîr, al-hadzf, al-idlmâr al-fashl, al-washl, al-kinâyah, al-isti‘ârah, al-majâz, dan lain-lain.29 Disamping menguasai konteks linguistik seorang pembaca juga disyaratkan menguasai ilmu-ilmu alQuran, seperti asbab al-nuzul, nasikh mansukh, dan lainnya. 36
Nashr Hamid Abu-Zaid, al-Khithâb wa al-Ta’wîl, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqâfî al‘Arabî, cet. I, th. 2000), hlm. 295 37 Nashr Hamid Abu-Zaid, al-Khithâb wa al-Ta’wîl, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqâfî al‘Arabî, cet. I, th. 2000), hlm. 299 JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 33 Volume 8 Nomor 2 – Agustus 2016
Achmad Sudja`i
Kedua, pada tingkatan ini pembaca menjadi mufassir. Meskipun mufassir telah mampu menyingkap makna teks, namun ada dimensidimensi semantik yang lebih dalam yang memerlukan penakwilan. Nasr menyatakan: ”Dengan pengetahuan mengenai ilmu-ilmu ini (ilmu al-Quran dan ilmu tata bahasa) serta penguasaannya secara baik pembaca akan mampu menyingkap makna teks. Dengan ilmu tersebut ia beralih dari tingkatan pembaca menjadi seorang mufassir. Akan tetapi di dalam teks tetap ada dimensi-dimensi semantik yang lebih dalam dan memerlukan gerak “mental intelektual” atau nalar dalam menghadapi teks. Dimensi-dimensi tersebut memerlukan gerak takwil setelah mufassir dengan segala perangkat ilmiahnya menguras segala kemungkinan makna yang dapat diungkapkan melalui ilmu-ilmu tersebut. Hal ini mengingatkan kita pada perbedaan secara bahasa antara tafsir dan takwil, dimana yang pertama membutuhkan medium (tafsirah), sementara medium tidak menjadi keharusan bagi yang kedua (takwil). Tafsirah di sini adalah ilmu-ilmu agama dan bahasa yang dibutuhkan oleh mufassir dalam menguak makana teks, yaitu makna yang menjadi titik tolak mu’awwil dalam menyelami kedalamn teks melalui “gerak mental intelektual” atau ijtihad”38. Mu’awwil dalam melakukan pembacaan terhadap teks (nash alQuran) dan berupaya menyingkap mesteri-misteri dibalik teks (nash alQuran) harus melalui tingkat pertama sebagai pembaca, kemudian naik pada pembacaan dalam tingkatan analitis (menafsir). Melalui tingkat analitis ini akan lahir “kata-kata kunci teks” dan makna-makna sentralnya. Kemudian, produk tafsir inilah yang selanjutnya digunakan mu’awwil melakukan takwil untuk mengungkap beberapa misteri teks-teks keagamaan (nash al-Quran). Selain itu, dalam melakukan pembacaan interpretatif pembaca harus secara total “tenggelam” dan menyelami dunia teks. Hal ini untuk menghindari takwil yang ceroboh dan dangkal. Dengan kata lain antara pembaca dan teks terjadi “kemanunggalan”39. Jika mekanisme yang disyaratkan Nasr Hamid Abu Zaid tersebut dipenuhi maka dalam melakukan takwil, mu’awwil benar-benar memenuhi syarat-syarat ilmiah-obyektif, tidak sekedar menundukkan teks-teks keagamaan pada kepentingan politis dan ideologis idelogis semata. 38
Nashr Hamid Abu-Zaid, al-Khithâb wa al-Ta’wîl, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqâfî al‘Arabî, cet. I, th. 2000), hlm. 300 39 Nashr Hamid Abu-Zaid, al-Khithâb wa al-Ta’wîl, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqâfî al‘Arabî, cet. I, th. 2000), hlm. 302
34 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 8 Nomor 2 – Agustus 2016
Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid tentang Kontroversi Takwil dalam Kitab Mafhum al-Nash
Karena pada dasarnya problem pembacaan terhadap teks (nash alQuran) baik dengan tafsir atau takwil adalah dari pembacaan konteks internal teks. Dimana pembacaan terhadap teks, memiliki dua problem. Pertama, pluralitas pembaca, penafsir atau interpreter. Kedua, subjektifitas pembaca, penafsir atau interpreter. Pluralitas pembaca, penafsir atau interpreter merupakan kenyataan membaca teks yang dilakukan oleh banyak penafsir yang memiliki latar belakang yang beranekaragam. Dan masing-masing pembaca atau penafsir tersebut membawa pengaruh disiplin ilmu yang digeluti, kelas sosial, perbedaan visi misi, pengalaman hidup dan lain-lain40. Karena itu untuk menghindari subyektifitas pembaca atau penafsir Nasr Hamid Abu Zaid mensyaratkan mekanisme-mekanisme tersebut. Contoh-contoh Takwil Faktor utama yang mendorong para ulama melakukan ta’wil adalah untuk menyelaraskan nash-nash dalam kitab suci al-Quran yang secara tekstual atau zahirnya bertentangan satu sama lainnya. Sebab banyak teks-teks keagamaan yang sepintas saling bertentangan pada level redaksionalnya. Dalam konteks ini takwil merupakan kebutuhan yang mendesak. Rasulullah saw. bersabda dalam sebuah hadits: “tidak beriman seorang yang berzina saat ia melakukan perzinaan itu, dan tidak beriman orang yang minum khamer saat ia meminumnya, dan tidak beriman orang yang mencuri saat ia melakukan pencurian”. Dan “ tidak beriman salah seorang dari kalian hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya”. Berdasarkan arti hadits di atas, dalam memahami maksud hadis tersebut, para ulama menakwilkan bahwa keimanan yang dinafikan yang dimaksud adalah keimanan yang sempurna. Hal ini berdasarkan petunjuk dari nash-nash lain bahwa para pelaku maksiat tidak keluar dari lingkup keimanan41. Sedangkan contoh ta’wil yang bias ideologi; takwil yang menundukkan teks pada kepentingan subyektif, kecenderungan pribadi dan kepentingan kelompok, antara lain yang dilakukan oleh sekte Syi’ah. Seperti:” binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya ia akan biinasa (al-Lahab: 1)”. Mereka menakwilakan: “keduanya” adalah Abu Bakar
40
Nashr Hâmid Abû-Zaid, al-Nash, al-Sulthah, al-Haqîqah: al-Fikr al-Dînî Bayna Irâdah al-Ma‘rifah, Wa Irâdah al-Haymanah, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqâfî al-‘Arabî, cet. 2, th. 1997), hlm. 108 41 Yusuf Qordhawi, Berinteraksi dengan al-Quran, (Jakarta: Gema Inasni Press, 1998), hlm. 414-415 JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 35 Volume 8 Nomor 2 – Agustus 2016
Achmad Sudja`i
dan Uamar. Dan “ …..dan segala sesuatu kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Yasiin: 12). Mereka menafsirkan : dalam diri Ali bin Abi Thalib42. Dari takwil yang dipergunakan sekte syi’ah tersebut secara jelas berseberangan dengan data-data bahasa maupun alat-alat bantu ilmu tafsir, seperti ilmu asbab al-nuzul dan lainnya. Takwil kontemporer yang mengabaikan data-data bahasa dapat kita jumpai pada takwil yang dilakukan, misalnya, oleh Mustafa Mahmud. Ia menakwilkan larangan Tuhan “mendekati pohon” kepada Adam dan Hawa sebagai larangan hubungan seksual43. Menurut Mahmud, redaksi sebelum mereka mendekati pohon adalah bentuk mutsanna (QS 2:35). Namun setelah mereka memakannya (melakukan hubungan seksual) maka redaksi beralih ke bentuk jamak (….turunlah kamu …QS 2:36). Logikanya, Adam dan Hawa tadinya hanya berdua. Namun setelah mereka berhubungan seksual (menerjang larangan) hawa lantas mengandung. Dengan demikian setelah Hawa mengandung mereka menjadi bertiga (Adam, Hawa dan anak yang dikandungnya). Maka wajar bila redaksi yang semula mutsanna beralih ke bentuk jamak.Meskipun logika yang dipakai Mahmud adalah berpijak dari kebahasaan, namun ini bertentangan dengan kaidah bahasa. Sebab ibu meskipun mengandung tetap dianggap sebagai wujud tunggal 44. Takwil seperti inilah yang oleh ulama kuno sebagai takwil yang terlarang karena bertentangan dengan teks baik yang tersurat maupun yang tersirat. Nasar menyatakan: Dalam takwil semacam itu, teks berubah menjadi alat ideologis bagi mu’awwil karena mengabaikan data-data bahasa dan literal. Selain itu, taakwil semacam itu menjadikan teks hanya sekadar sebagai “pesan” khusus yang untuk mengurainya hanya dapat dilakukan oleh sang Imam yang ma’sum saja.45 Yusuf Qordhawi menyatakan: Az-Zarkasyi menceritakan dari Ibnu Daqiq al-Aid. Ia berkata “kami berkata tentang lafal-lafal yang sulit dipahami ia adalah benar dan menurut bentuk yang dikehendaki oleh Allah SWT. Dan siapa yang menakwilkan sesuatu darinya jika takwilnya itu dekat dengan apa yang dipahami dari bahasa arab, dan dipakai dalam kalilmaty42
Yusuf Qordhawi, Berinteraksi dengan al-Quran, (Jakarta: Gema Inasni Press, 1998),
hlm. 426 43
May Rahmawatie & Yudie R. Haryono (editor), Op. Cit., hlm. 213 May Rahmawatie & Yudie R. Haryono (editor), Ibid. h. 214 45 Nashr Hamid Abu-Zaid, al-Khithâb wa al-Ta’wîl, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqâfî al‘Arabî, cet. I, th. 2000), hlm. 296 44
36 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 8 Nomor 2 – Agustus 2016
Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid tentang Kontroversi Takwil dalam Kitab Mafhum al-Nash
kalaimat mereka maka kami tidak mengingkarinya dan tidak menyempatkan suatu stempelm bid’ah kepadanya. Dan jika takwilnya jauh maka kami menolaknya dan menjauhui darinya dan kembali kepada kaidah dalam iman dengan maknanya sambil membersihkan akidah kami.46 Simpulan Berdasarkan pemaparan tentang kontroversi takwil dalam kitab Mafhum al-Nash di atas, diperoleh simpulan bahwa dalam melakukan pembacaan terhadap teks (nash al-Quran) Nasr Hamid Abu Zaid menghendaki agar umat islam mengembangkan takwil sebagai upaya mengembangkan tafsir dalam tradisi islam. Kelebihan takwil adalah ia meniscayakan pelacakan akar (al-’awdah ila al-ash) dan pencapaian maksud (ittijah al-ghayah). Jika seorang penafsir hanya berhenti pada proses penukilan (naql) dan periwayatan (riwayat), maka mu’awwil mencoba mencari kesimpulan yang bersifat konstektual. Selain itu takwil juga membutuhkan intervensi nalar (istinbath/ Ijtihad) dalam menghasilkan makna. Dari hasil penakwilan tersebut menurut Nasr Hamid Abu Zaid diharapkan dapat menghasilkan dua hal: (1) makna (al-makna) yaitu makna bahasa yang dikandung dalam teks (nash al-Quran). (2) signifikansi (almaghya), yakni makna konstekstual. Dengan mengembangkan takwil diharapkan umat islam akan mampu melakukan pembacaan terhadap teks (nash al-Quran) secara produktif. Sehingga mampu menjawab problemaproblema kontemporer yang dihadapi umat Islam.
DAFTAR PUSTAKA Abu al-Fadl, Jamaluddin Muhammad bin Mukram Ibnu Mandzur, Lisan alArab, Beirut: Dar al-Fikr, 1990. Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam (ringkas), pengantar Prof. Huston Smith, Penj. Ghufran A. Mas’adi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996. Hasbhi Ash-Syiddiqie Prof. T.M., Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Quran/Tafsir, cet. 12 Bulan Bintang, 1989. Louis Makhluf, al-Munjid fi al-Lugah wa al-A’lam, Dar al-Masyriq, 1986. May Rahmawatie & Yudie R. Haryono (editor), Tafsir dan Modernisasi dalam Al-Quran, Buku yang Menyesatkan dan Buku yang Mencerahkan, Jakarta: Gugus Press, 2002. 46
Yusuf Qordhawi, Berinteraksi dengan al-Quran, (Jakarta: Gema Inasni Press, 1998),
hlm. 412. JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 37 Volume 8 Nomor 2 – Agustus 2016
Achmad Sudja`i
Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstulitas al-Quran: Kritik terhadap Ulumul Qur’an, Yogyakarta: Lkis, 2001. Nashr Hâmid Abû-Zaid, al-Nash, al-Sulthah, al-Haqîqah: al-Fikr al-Dînî Bayna Irâdah al-Ma‘rifah, Wa Irâdah al-Haymanah, Beirut: Al-Markaz AlTsaqâfî Al-‘Arabî, cet. 2, th. 1997. Nashr Hâmid Abû-Zayd, Naqd al-Khitâb al-Dînî, Cairo: Madbûlî, cet. 3, th. 1995. Rachmat Taufiq Hidayat, Khazanah Istilah al-Quran, Bandung: Mizan, 1989. Sayyid Husain Thabathaba’i, Mengungkap Rahasia al-Quran, Bandung: Mizan, 1993. Subhi al-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu al-Quran, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993. www.muslims.net/KMNU - Copyright © KMNU Cairo – Egypt, tanggal 10 January 2016.
38 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 8 Nomor 2 – Agustus 2016
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 113 Volume 8 Nomor 2 – Agustus 2016