ANALISIS DAN MAPPING PEMIKIRAN MODERN: AN-NAIM, ABOU AL-FADL DAN NASR HAMID ABU ZAYD, DALAM WACANA KONSEPTUAL DAN KRITIK Oleh: Dr. Abd. Ghoffar Mahfuz, M. Hum1 Abstrak Dalam hubungan Islam-syari’ah menurut an-Na’im, seolah-olah hubungan transenden, antara Islam sebagai agama, dengan formulasi hukum Islam historis harus “ditangguhkan” terlebih dahulu. Karena syari’ah bukunlah keseluruhan Islam itu sendiri, melainkan hanyalah interpretasi terhadap nash dasarnya. an-Na’im menolak formulasi-formulasi tradisional hukum Islam yang dikembangkan pada masa pertengahan. Hukum Islam sebagai poros dan inti dari agama, saat ini menghadapi trauma modernitas dan kolonialisasi. Dampaknya, sikap sewenang-wenang dalam memberlakukan teks-teks yang berkaitan dengan sumber hukum Islam semakin kontras. Hal ini membuat etos, epistemologi, dan ruh moral yang dijunjung hukum Islam berada di ambang kehancuran, berganti visi positivisme hukum dan “menelantarkan” sensitivitas nilai-nilai primordial kemanusiaan. Abou El-Fadl membedakan pengertian syari’ah dengan fiqh. Syari’ah dalam konteks hukum dan teologi Islam, berarti jalan yang diberikan Tuhan kepada manusia, jalan untuk menentukan kehendak Tuhan. Maka syari’ah tidak hanya sebatas pada hukum positif saja, tetapi juga mencakup nilai moral dan etika serta proses hukum itu sendiri. Sedangkan fiqh (pemahaman), dalam konteks hukum Islam berarti proses penalaran hukum yang dapat melahirkan ketentuan hukum Islam. Secara umum fiqh juga digunakan untuk memahami hukum. Nasr Hamid telah membuka wacana keagamaan yang selama ini tertutup oleh konsep ijtihad. Wacana keagamaan dapat dianalisis dengan ilmu-ilmu lain yang berkembang di Barat, maupun di belahan dunia lainnya. Nasr Hamid menawarkan model pembacaan obyektifproduktif terhadap universalitas al-Qur’an. Nasr memiliki perhatian yang mendalam bidang interpretasi al-Qur’an dan mengukuhkannya untuk bereksplorasi dan elaborasi dengan filsafat Barat, yaitu tentang hermeneutika, sebagai upaya dialog keilmuan antara ilmu ke-Islaman dengan ilmu Barat seperti filsafat, metodologi, politik, sosial dan lainnya. Kata Kunci: pemikiran modern, konseptual, kritik A. Pendahuluan Dalam membicarakan pemetaan (mapping) pemikiran modern (mu’asir) dewasa ini, tentunya tidak terlepas dari beberapa pemikir muslim kontemporer, di antaranya, Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun, Hasan Hanafi, Muhammad Shahrur, Rifat Hasan, Fatimah Marnessi, Amina Wadud, Abdullahi Ahmed an-Na’im, Khaled Abou El-Fadl dan Nasr Hamid Abu Zayd. Mereka tersebut secara konsisten dan kontinyu menyoroti dengan “tajam” paradigma keilmuan Islamic studies, khususnya paradigma keilmuan
1
DLB STAIN SAS Babel dan Kepala Sistem Penjaminan Mutu Internal STKIP-MBB.
fikih. Fikih dan implikasinya pada pranata sosial dalam Islam dianggap terlalu kaku, sehingga kurang responsif terhadap tantangan dan tuntutan zaman, khususnya dalam hal-hal yang terkait dengan persoalan-persoalan hudud, hak asasi manusia, hukum publik, wanita, dan pandangan terhadap non-muslim. Amin Abdullah mengungkapkan, “tegasnya, ilmu-ilmu fikih yang berimplikasi pada tatanan pranata sosial dalam masyarakat muslim, belum berani dan terkesan selalu menahan diri untuk bersentuhan dan berdialog langsung dengan ilmu-ilmu baru yang muncul pada abad ke 18-19 M. seperti Antropologi, Sosiologi, Psikologi, Filsafat.2 Tulisan ini mencoba untuk mengangkat kembali analisis dan berbagai pemetaan (mapping) pemikiran fikih modern (mu’asir), khususnya yang dipelopori oleh ketiga pemikir yang disebut terakhir di atas, yaitu Abdullahi Ahmed an-Na’im, Khaled Abou El-Fadl dan Nasr Hamid Abu Zayd. Dalam kaitan dengan analisis dan pemetaan pemikiran modern, Muhammad Shahrur mengatakan “ … kita harus membangun us}u>l baru jika kita ingin menghasilkan fiqh Islam yang baru”. 3 Ungkapan yang sama, sesungguhnya telah pernah dinyatakan oleh Hasan at-Tura>bi>,4 kemudian hal yang sama juga disampaikan Yusuf al-Qarada>wi>,5 dan juga al-Ja>biri,6 namun, nampaknya ungkapan yang dikemukakan oleh Shahrur memiliki bobot yang jauh lebih tinggi, karena Shahrur tidak hanya mengatakan atau mengajak para ilmuwan Islam untuk merancang-bangun ilmu us}ul fiqh yang baru, tetapi ia melakukan sendiri apa yang ia serukan itu. Pemikir fikih mu’asir (modern) an-Na’im, dalam konteks syari’ah menganjurkan suatu sistem baru hukum Islam yang menyeluruh yang diyakini memberikan dasar yang lebih sesuai dengan kehidupan Islam di dunia kontemporer. Hal ini lanjut an-Na’im merupakan formulasi yang menyeluruh dalam menghadapi struktur politik, tatanan sosial, hukum pidana, hukum internasional dan hak asasi manusia.7 Abou El-Fadl justru mengungkapkan kekhawatirannya, bahwa dewasa ini sisa-sisa khazanah hukum Islam M. Amin Abdullah, al-Ta’wil al-‘Ilmi: Ke Arah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci, dalam, Jurnal al-Jami’ah, 39 (Juli-Desember, 2001), 359. 3 Muhammad Shahrur, Nahwa Us}u>l al-Jadi>dah li al-Fiqh al-Isla>mi>, (Damaskus: alHala>li> li at}-T}a>ba>’ah wa an-Naysr wa at-Tawzi>, 2000), 189. 4 Hasan at-Tura>bi>, Pembaruan Us}u>l Fiqh, hlm., 1-33; at-Tura>bi>, Fiqh Demokratis: Dari Tradisionalisme Kolektif Menuju Modernisme Populis, (Bandung: Arasy, 2003), 50-67. 5 Yusuf al-Qara>dawi>, Fatwa-Fatwa Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), 211213. 6 Abed al-Ja>biri, Agama, Negara dan Penerapan Syari’ah, Terj. (jogjakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001),148-189. 7 Abdullahi Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, (Jogyakarta: LkiS, 1990), ix 2
klasik berada di ambang kepunahan. Lebih lanjut dikatakan, “kenyataan yang menyedihkan ini adalah maraknya otoritarianisme yang sangat parah dalam diskursus hukum Islam kontemporer.8 Sementara itu Nasr Hamid Abu Zayd mengkaji teks agama dengan menggunakan pendekatan kritik sastera dan semiotik. Apa sesungguhnya yang ingin dicapai oleh ketiga pemikir Islam kontemporer tersebut dalam merespon dan memetakan (mapping) fikih mu’asir dewasa ini. Melalui tulisan singkat ini penulis mencoba untuk mengangkat kembali beberapa ide fikih mu’asir dalam rangka pembentukan us}ul al-fiqh baru oleh ketiga pemikir fikih Islam kontemporer di atas. B. Biografi Intelektual Abdullahi Ahmedan-Na’im Dalam biografi yang berkenaan dengan intelektual Abdullahi Ahmed an-Na’im (selanjutnya disebut an-Na’im), ada beberapa hal penting yang patut kita ketahui. Pertama, bagaimana perjalanan pendidikan dan karyanya. Kedua bagaimana kiprahnya sebagai
akademikus
dalam
mengembangkan
ide
pembaharuan
dan
konteks
pembaharuan hukum Islam dengan dunia modern. al-Na’im, kelahiran tanggal 6 April 1946 (walaupun dalam Akte kelahirannya tanggal 19 Nopember 1946), di desa al-Muqawier, Tepi Barat Nile 200 km dari utara Khartoum. Ia merupakan anak pertama dari sebelas bersaudara dari pasangan Ahmed an-Na’im dan Aisha al-Awad Osman. Ayahnya, Ahmed hanya belajar al-Qur’an, belajar menulis dan membaca di madrasah, dan tidak pernah mendapatkan pendidikan formal lainnya, sedangkan ibunya buta huruf. Keluarganya berasal dari wilayah Sudan Utara9. Selama masa kanak-kanak, an-Na’im sudah mulai belajar al-Qur’an di Madrasah kampung, dan sempat menghafal al-Qur’an sampai dua juz. Setelah itu ia melanjutkan Sekolah Dasar dan menengah (tahun 1952 – 1960) di Atabara, sebuah kota sebelah Utara Nile dari desanya, (tempat ayahnya bertugas sebagai tentara). Ketika ayahnya pindah ke Omdurman, an-Na’im belajar di Sekolah Menengah al-Ahfad (1960 – 1965). Setelah itu ia melanjutkan ke Fakultas Hukum, Universitas Khartoum (1965 – 1970), dengan meraih gelar LL.B. pada tahun 1973. Ia meraih gelar LL.M. dan gelar MA.
8
Khaled Abou El-Fadl, Atas Nama Tuhan, Terj. (Jakarta: PT.Serambi Ilmu Semesta, 2003), 1. Mohammad Dahlan, Abdullahi Ahmed an-Na’im: Epistemologi Hukum Islam, (Jogjakarta: Pustka Pelajar, 2009), 42. 9
Pada tahun 1976, ia meraih gelar Ph.D. dalam ilmu hukum dari Universitas Edinburg Skotlandia.10 al-Na’im sangat produktif dalam menulis, karya-karyanya yang telah dihasilkan antara lain: Toward an Islamic Reformation (1990), Human Right in Cross Cultural Persfektif (1992), The Caltural Demantion of Human Right in The Arab World (1993), Human Right Under African Constitution (2003), dan Islam and Secular State: Negotiating the Furure of Sharia (untuk edisi Indonesia): Islam dan Negara Sekuler Menegosiasikan Masa Depan Syari’at (2007).11 An-Na’im adalah salah seorang pembaharu dalam pemikir Islam kontemporer, dan aktivis HAM dalam perspektif budaya. Profesor ilmu hukum di Emory University Atlanta Amerika Serikat. Menurut salah seorang sarjana Amerika yang bekerja di Khartoum pada saat itu, menerangkan an-Na’im sebagai seorang aktivis muda dan juru bicara yang paling cerdas.12 an-Na’im adalah salah seorang murid dari Mahmoud Mohamed Taha pendiri Persaudaraan Republik di Sudan, ia banyak mengembangkan teori naskh–mansukh dari gurunya.
Pengalamannya sebagai mahasiswa dan pengacara yang terlibat dalam
masalah-masalah sosial di Sudan telah membentuk pemikirannya. Pengaruh terbesar adalah keterlibatannya dalam Persaudaraan Republik (The Republican Brotherhood) di Sudan. Organisasi itu didirikan Mahmoud Muhamed Taha sebagai Partai Republik di tengah-tengah perjuangan nasionalis Sudan pada akhir Perang Dunia II. Taha mulai menekankan perlunya transformasi Islam dan pembebasan dari dominasi kekuatankekuatan sektarian.13 C. Konteks Pembaharuan Hukum Islam an-Na’im Upaya an-Na’im dalam melakukan pembaharuan Hukum Islam sudah dimuali sejak di Sudan, tepatnya pada masa hidup gurunya, Taha. An-Na’im terlibat langsung dalam mengembangkan dan menyebarkan gagasan-gagasan pembaharuan hukum Islam Taha. Kegiatannya baru terhenti ketika Taha dipenjara bersama 50 orang pengikutnya dan pada saat yang sama an-Na’im juga dipenjara selama 2,5 tahun tanpa melalui proses pengadilan, karena melakukan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah Ja’far
10
Ibid., 43. Tholhatul Choir dan Ahwan Fanani (ed). Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 330. 12 Paul Magnarella, “The Republican Brothers: A Reformist Movement in the Sudan”, Muslim Word,72, Januari 1982,15. 13 Ibid., Abdullahi Ahmed an-Na’im, Toward... terj. Dekonstruksi Syari’ah, x-xi. 11
Numeiri yang memberlakukan hukum Islam (tradisional). An-Na’im terus mendalami studi hukum Islam, dan kini merupakan salah satu tokoh pembaru di bidang studi hukum Islam. Ia aktif memberikan kuliah dan melakukan riset di bidang hukum Islam. Di samping itu, pergulatan intelektualnya dilakukan di berbagai negara, termasuk akhirakhir ini di Indonesia.14 Dalam hubungan Islam syari’ah menurut an-Na’im, sifat hubungan yang seolaholah transenden, antara Islam sebagai agama, dengan formulasi hukum Islam historis, yang selama ini dikenal sebagai syari’ah, harus “ditangguhkan” terlebih dahulu. Karena bagi an-Na’im nampaknya syari’ah bukunlah keseluruhan Islam itu sendiri, melainkan hanyalah interpretasi terhadap nash dasarnya yang dipahami dalam konteks historis tertentu. Dengan demikian, an-Na’im menolak formulasi-formulasi tradisional dari hukum Islam yang dikembangkan pada masa pertengahan. Hal tersebut dikarenakan syari’ah (hukum Islam historis) yang dikembangkan dan dipahami oleh muslim selama ini didadsarkan pada ayat-ayat dan pengalaman kongkrit masyarakat Islam di Madinah pada abad ke 7.15 Lebih lanjut an-Na’im mengatakan bahwa terdapat dasar-dasar lain dalam Islam yang memungkinkan adanya perubahan hukum Islam agar sesuai dengan zaman modern. Dasar alternatif ini adalah wahyu kepada nabi Muhammad pada fase pertama ketika beliau berdakwah di Mekkah. Kenapa banyak ayat-ayat Mekkah dihapus dan tidak menjadi dasar pertimbangan ijtihad hukum? Pesan Mekkah bagi an-Na’im merupakan pesan Islam yang abadi dan fundamental, yang menekankan martabat yang inheren pada seluruh umat manusia, tanpa membedakan jenis kelamin (gender), keyakinan keagamaan, ras dan lain-lainnya. Pesan Mekkah memuat persamaan antara laki-laki dan perempuan serta kebebasan penuh dalam beragama dan beriman. Prinsipnya adalah Ishmah, kebebasan untuk memilih tanpa adanya ancaman. Sedangkan pesan Madinah adalah kompromi praktis dan realistik, ketika tingkat tertinggi dari pesan Mekkah tidak dapat diterima oleh masyarakat (sejarah abad VII M). Dengan demikian ayat-ayat yang turun pada priode Mekkah
disebut
sebagai
ayat-ayat
universal-egalitarian-demokratik
(ayat-ayat
kulliyyat), sedangkan ayat-ayat Madinah dinamakan ayat-ayat sectarian-diskriminatif16
Bambang Wisudo dan Imam Prihadiyiko, “Perjalanan Seorang Pemikir Islam,” Kompas (23) Januari 2003. 15 Ibid., Abdullahi Ahmed an-Na’im,Toward … terj. Dekonstruksi Syari’ah, viii. 16 Ibid., Abdullahi Ahmed an-Na’im,Toward … terj. Dekonstruksi Syari’ah, viii-ix 14
(ayat-ayat juziyyat). Berkenaan dengan pernyataan an-Na’im di atas, kemudian ia mengkritisi teori nash-mansukh, yang biasa dipahami ulama us}ul al-fiqh selama ini, dengan mengajukan tesis bahwa ayat-ayat Makiyyah yang lebih menekankan pada bobot nilai universal kemanusiaan tidak dapat dihapus begitu saja oleh ayat-ayat Madaniyyah, yang lebih berorientasi kepada persoalan yang lebih praktis-spesipik.17 Umat Islam seringkali salah dalam memahami ajaran agamanya. Mereka memahami agama dalam arti syari’ah (jalan hidup prakis), bukan agama dalam arti bangunan dasar. Akibatnya, mereka mengalami kesulitan dan kekakuan dalam menerapkan ajaran agama, (dalam sejarahnya, mereka sering melakukan pelanggaran terhadap hak pihak lain dalam menentukan nasibnya sendiri.
Untuk itu, Taha
membangun metodologi baru dalam memahami ajaran hukum Islam, yaitu perpindahan dari ayat-ayat madaniyyah yang nisbi ke ayat-ayat makiyyah yang absolute (universal). Hal ini merupakan “pendekatan naskh yang baru” dalam memperbaharui hukum Islam.18 Konsepsi baru tersebut menjadi penting, karena al-Qur’an dan tradisi nabi Muhammad hanya dapat dipahami dalam konteks historis tertentu, sehingga ketika konteks itu telah berubah secara drastis di kalangan masyarakat Islam, maka sejumlah aspek hukum publik yang dikenal dengan syari’ah, harus direformasi supaya tetap relevan dan dapat diterapkan. Kebaruan pendekatan teori hukum Islam itulah yang mendorong an-Na’im untuk mempublikasikan dan mengembangkan ide-ide Taha. AnNa’im mulai mempublikasikan karya monumental Taha dengan cara menerjemahkan dari bahasa Arab buku al-Risa>lah al-tsa>niyah min al-Isla>m (1967), ke bahasa Inggeris; The Second Message of Islam.19 D. Biografi Ringkas Khaled Abou El-Fadl Khaled Abou El-Fadl, (kelahiran tahun 1963 di Kuwait), adalah salah seorang profesor Hukum Islam di Universitas California Los Anggeles (UCLA) Amerika Serikat. Khaled Abou El-Fadl (selanjutnya disebut Abou El-Fadl), lulusan Yale dan Princeton. Sebelum menjadi Profesor hukum Islam di UCLA, beliau menekuni studi keislamannya di Kuwait dan Mesir. Abou El-Fadl adalah salah seorang yang sangat Amin Abdullah, “al-Ta’wilal-‘Ilmi”, 360. Mahmud Muhammad Taha, dalam, Moh.Dahlan, Epistemologi Hukum Islam, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 66-67. 19 Buku ini juga telah diterbitkan oleh LkiS dalam versi bahasa Indonesia tahun 2003, dengan judul: Arus Balik Syari’ah, terj. oleh Khairon Nahdiyyin. (Yogyakarta: LkiS, 2003). 17 18
cerdas dalam menganalisis, menguraikan dan mempresentasikan nilai-nilai Islam klasik dalam konteks modern. Bahkan Abou El-Fadl disebut-sebut sebagai “an enlightened paragon of liberal Islam”20. Abou El-Fadl juga dikenal sebagai seorang penulis yang produktif, di samping menulis tema universal, moralitas dan kemanusiaan, dia juga dikenal sebagai pembicara publik terkemuka. Kemudian Abou El-Fadl juga aktif dalam berbagai organisasi seperti hak asasi manusia. Sebagai seorang penulis yang produktif, Abou El-Fadl telah mempublikasikan karya-karyanya seperti; Rebellian and Violence in Islamic Law (2001), Musyawarah Buku (Serambi 2002), Melawan Tentara Tuhan (Serambi, 2003), Islam and Challenge of Democracy (2003), Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women (2003) diterjemahkan dengan; Atas Nama Tuhan Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, dan buku The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists (2005) diterjemahkan dengan: Selamatkan Islam dari Muslim Puritan.21 E. Pemikiran Pembaruan Abou El-Fadl Menurut Abou El-Fadl, hukum Islam sebagai poros dan inti agama, saat ini menghadapi trauma modernitas dan kolonialisasi. Dampak buruknya adalah sikap sewenang-wenang dalam memperlakukan teks-teks. Wujudnya ketika dalam proses pembacaan, pembaca lebur menjadi satu dengan pengarang. Integritas teks dan pengarang diabaikan.Teks menjadi tidak relevan, dan si pembaca lalu mengklaim sebagai “penguasa kebenaran”. Hal ini membuat etos, epistemologi, dan ruh moral yang dijunjung hukum Islam berada di ambang kehancuran, berganti visi positivisme hukum dan menelantarkan sensitivitas nilai-nilai primordial kemanusiaan.22 Dengan menggali dan memberdayakan kembali khazanah Islam klasik, Abou El-Fadl mengajukan sebuah metodologi yang “canggih” dan mendalam demi mengatasi kesewenangan-kesewenangan
semacam
itu.
Tujuannya
adalah
untuk
“mempersandingkan” kembali kesucian shari’at dengan keindahan Tuhan, menjaga agar “permata” khazanah peradaban Islam yang memukau itu tetap kemilau. Abou El-Fadl menurut Haryono sudah mulai memasuki fase baru dalam kajian keagamaan, tepatnya setelah ilmu penafsiran teks-teks yang lazim disebut hermenutic
20
Khaled Abou El-Fadl, Atas Nama Tuhan, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2004) halaman
belakang. 21 22
Ibid., halaman sampul belakang. Ibid. halaman sampul belakang.
mulai diadopsi oleh sebagian umat Islam. Kajian kritis gaya hermeneutic ini merupakan tradisi Yunani, yang kemudian diadopsi pula oleh Kristen yang digunakan untuk menghadapi teks-teks Bible.23 Menurut Abdurrahman Kasdi, dalam studi ke-Islaman, pendekatan hermeneutik telah dirintis oleh tokoh muslim terkenal Ibn Khaldun, kemudian dilanjutkan oleh cendikiawan muslim lainnya seperti Mohammad Arkoun. Khaldun berpendapat bahwa sebuah tradisi akan mati, kering dan mandeg, apabila tidak dihidupkan secara konsisten melalui penafsiran ulang yang sejalan dengan dinamika sosial.24 Abou El-Fadl memandang, al-Qur’an yang berposisi sebagai teks suci bagi umat Islam, sangat memerlukan analisis-analisis ke-Islaman dalam mengembangkan pemahaman terhadap makna yang terkandung dalam al-Qur’an. Hal ini berarti bahwa hermeneutik dapat dijadikan sebagai disiplin kolaborasi keilmuan antara teori interpretasi teks dan kultur serta kesejahteraan umat Islam. Oleh karena itu, Abou El-Fadl dalam bukunya; Atas Nama Tuhan, mengemukakan pertanyaan pokok yang berkenaan dengan hal tersebut; bagaimana sesungguhnya hubungan antara teks (tex) atau nas} penulis atau pengarang (author), dan pembaca (reader), dalam dinamika pergumulan pemikiran hukum Islam (Islamic Jurisprodence) pada khususnya dan pemikiran-pemikiran dalam studi keIslaman pada umumnya.25 Jika syari’ah dikehendaki mampu memiliki relevansi yang berkesinambungan dengan berbagai konteks dan zaman, maka hukum Islam harus menganut gagasan tentang pergerakan aktif dalam pembentukan makna. Sesungguhnya seperti yang telah didiskusikan sebelumnya, budaya hukum telah menegaskan bahwa kehendak Tuhan dapat ditemukan melalui penyelidikan komulatif dan terus-menerus, dan bahwa sumbersumber Islam tunduk pada berbagai interpretasi dinamis.26 Apa yang digagaskan Abou El-Fadl ini menunjukkan bahwa fiqh yang bersumber pada al-Qur’an dan sunah sesungguhnya dapat mengalami perubahan ketentuannya (hukum), sesuai dengan situasi pembacaan teksnya. Kenyataan seperti ini sesungguhnya telah dilakukan oleh Imam Sha>fi’i dengan munculnya istilah qaul jadid terhadap permasalahan yang sama, tapi
23
Haryono, E, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, (Yokyakarta, 1993), 23. Abdurrahman Kasdi, Membangun Peradaban Umat, Perspektif Sosial, Politik dan Humanisme dalam Islam, (Mesir: Lekpesdam, 2001), 18. 25 Ibid., Khaled Abou El-Fadl, viii. 26 Ibid., Khaled Abou El-Fadl, 212. 24
dengan kondisi dan latar belakang yang berbeda muncul pula qaul qadim (pendapat baru). Oleh karena itu, Abou El-Fadl membedakan pengertian syari’ah dengan fiqh. Syari’ah dalam konteks hukum dan teologi Islam, berarti jalan yang diberikan Tuhan kepada manusia, jalan untuk menentukan kehendak Tuhan. Maka syari’ah tidak hanya sebatas pada hukum positif saja, tetapi juga mencakup nilai moral dan etika serta proses hukum itu sendiri. Sedangkan fiqh (pemahaman), dalam konteks hukum Islam berarti proses penalaran hukum yang dapat melahirkan ketentuan hukum Islam. Secara umum fiqh juga digunakan untuk memahami hukum.27 Banyak masalah hukum yang patut untuk dilakukan pembaruan, berkenaan dengan kondisi, ruang dan zaman modern seperti sekarang ini, sebagai upaya untuk menyesuaikan makna hukum shariah sebagai hukum Tuhan yang sesungguhnya. Sebagai contoh, banyak fatwa ulama yang disampaikan bersifat monolitik-linier dan tidak peka terhadap perkembangan zaman dan umat. Bahkan ulama tersebut dengan angkuhnya mengatakan bahwa seseorang tidak perlu berfikir tentang hal-hal seperti gender, atau fatwa-fatwa tentang perempuan. Pada hal itu menurut Abou El-Fadl fatwa ulama yang problematic antaralain, mengenai pelarangan terhadap wanita menziarahi makam suaminya, mengeraskan suara dalam berdo’a, mengendarai mobil sendiri, bepergian tanpa muhrim dan lain-lainnya. Fatwa-fatwa tersebut menurut Abou El-Fadl dianggap sebagai tindakan merendahkan atau bahkan menindas kaum perempuan, yang tidak dapat ditoleransi pada masa sekarang ini. Itulah contoh-contoh fatwa yang berlindung di bawah teks (nas}), yang mengklaim bahwa itulah sebenaranya yang “dikehendaki oleh Tuhan”. Menurut Amin, kompetensi dasar yang dimiliki seseorang, kelompok, organisasi atau institusi keagamaan yang berani mengatas-namakan diri atau lembaga sebagai pemegang tunggal penafsir dan sekaligus pelaksana perintah Tuhan.28 Di samping contoh-contoh di atas, nampaknya Abou El-Fadl juga ingin melakukan pembaruan terhadap fatwa-fatwa ulama yang otoritarianisme terhadap tafsir dengan menggunakan “kekuasaan Tuhan”. Otoritarianisme ulama yang membenarkan tindakan
sewenang-sewenang,
serta
sempitnya
dalam
memahami
dan
menginterpretasikan teks al-Qur’an dan hadits terhadap persoalan kontemporer. Hal ini 27
Ibid., Khaled Abou El-Fadl, 542. M. Amin Abdullah, Pendekatan Hermeneutik dalam Studi Fatwa-Fatwa Keagamaan, (Yogyakarta: 2004), 2. 28
membuat kegelisahan akademik bagi Abou El-Fadl, dan kemudian ingin “membongkar” otoritarianisme dalam proses penafsiran teks keagamaan tersebut. Selain itu muncul pula kegelisahan teologis, karena adanya “sikap ulama” yang sewenang-wenang melakukan monopoli makna dan maksud teks, melakukan klaim serta perampasan atas hak-hak Tuhan, atau pelaksana perintah Tuhan, serta menjadikan diri mereka sebagai Tuhan (pengarang teks/Author), atau sebaliknya menggunakan kekuasaan Tuhan untuk berbicara, bertindak dan bersikap atas nama Tuhan.29 Inilah di antara sekian banyaknya ide dan konsep-konsep pembaruan hukum Islam (fiqh), tentang “otoritas” yang digagas oleh Abou El-Fadl. Ia tidak merujuk pada otoritas kelembagaan, tetapi menekankan pada otoritas persuasive dan otoritas moral. Apa yang dilakukan Abou El-Fadl, adalah sebuah keinginan untuk mengembalikan ilmu yurisprodensi hukum Islam sebagai sebuah epistemology, dan sekaligus sebagai metode penelitian dalam mengembangkan keilmuan ke-Islaman (studi Islam). F. Biografi Ringkas Nasr Hamid Abu Zayd Nasr Hamid Abu Zayd adalah orang Mesir asli, lahir tanggal 10 Juli tahun 1943, di Quhafa sebuah desa kecil dekat Tanta di lembah Nil. Saat usia 8 tahun Nasr Hamid kecil telah menghafal al-Qur’an 30 juz, seperti layaknya anak-anak muslim di negaranya. Pendidikan tinggi pada jurusan sastra Arab, dari S1 sampai S3, diselesaikannya di Universitas Al-Azhar Kairo, kemudian ia mengabdi di Universitas Al-Azhar sebagai dosen sejak tahun 1972. Namun, ia pernah tinggal di Amerika selama dua tahun (1978-1980), saat memperoleh beasiswa untuk penelitian doktoralnya di Institute of Middle Eastern Studies, University of Pennsylvania, Philadelphia. Karena itu, ia menguasai bahasa Inggris lisan maupun tulisan. Ia juga pernah menjadi dosen tamu di Universitas Osaka, Jepang. Di sana ia mengajar Bahasa Arab selama empat tahun (Maret 1985-Juli 1989).30 Karya tulis Nasr Hamid yang telah diterbitkan sampai tahun 1999 ada tujuh buah karyanya, ditaranya: al-Ittijah al-'Aqliy fi-t Tafsir: Dirasah fi Mafhum al-Majaz 'inda al-Mu'tazilah, (Rasionalisme dalam Tafsir: Studi Konsep Metafor Menurut Mu'tazilah, Beirut 1982); Falsafat at-Ta'wil: Dirasah fi Ta'wil al-Qur'an 'inda
29 30
M. Amin Abdullah, dalam, Kata Pengantar, Atas Nama Tuhan, vi. http://inci73.multiply.com/reviews/item/16 (diakses pada tanggal 7 April 2010).
Muhyiddin ibn 'Arabi, (Filsafat Hermeneutika: Studi Hermeneutika al-Qur’an menurut Muhyiddin ibn 'Arabi', Beirut 1983); dan lain-linnya. Pada tahun 1992, Nasr Hamid menikah dengan Dr. Ebtehal Younes pada usia 49 tahun. Pada tahun itu juga tepatnya bulan Mei 1992 Nasr Hamid mengajukan promosi untuk menjadi guru besar di fakultas sastra Universitas Kairo, beserta berkas yang diperlukan ia melampirkan semua karya tulisnya yang sudah diterbitkan. Nasr Hamid oleh para penilainya dianggap tidak layak menjadi profesor, karyakaryanya dinilai kurang bermutu bahkan menyimpang dan merusak karena isinya melecehkan ajaran Islam, menghina Rasulullah SAW, meremehkan al-Quran, dan menghina para ulama salaf. Atas penilaian ini Nasr Hamid tidak bisa menerima dan protes. Beberapa bulan kemudian, pada Jumat 2 April 1993, Profesor Abd. Shabur Shahin, yang juga salah seorang anggota tim penilai, dalam khutbahnya di Masjid 'Amru bin 'Ash menyatakan bahwa Nasr Hamid murtad dari Islam. Tak pelak, pernyataan Prof. Shahin diikuti oleh para khatib di masjid-masjid pada khutbah Jumat berikutnya. Kehidupan Nasr Hamid mulai terganggu dengan ancaman yang mengarah kepada keselamatan pribadinya. Sekelompok anggota teroris yang dipimpin Ayman Zawahiri mengancam akan membunuhnya. Merasa kehidupannya di Mesir tidak aman, Nasr beserta istri memutuskan untuk keluar dari Mesir, dan negara pertama yang dituju adalah Spanyol. Pada tanggal 3 Juli 1995 Nasr beserta istri pergi ke Madrid Spanyol, mereka berdua tinggal di sana untuk beberapa bulan. Selanjutnya keduanya pada akhir Oktober tepatnya tanggal 25 Oktober 1995 mulai tinggal di Leiden Belanda.31 G. Pemikiran Keagamaan Nasr Hamid Abu Zayd Terhadap Wacana Keagamaan Apa yang dilakukan Nasr Hamid telah membuka wacana baru keagamaan yang selama ini tertutup oleh konsep ijtihad. Wacana keagamaan dapat dianalisis dengan ilmu-ilmu lain yang berkembang di Barat maupun di belahan dunia lainnya. Wacana keagamaan yang semula tidak menyeluruh mengupas seluruh aspek hidup dan kehidupan masyarakat, dapat menyentuh dan berdiskusi dengan aspek tersebut secara keseluruhan. Nasr Hamid menawarkan model pembacaan obyektif-produktif terhadap universalitas al-Qur’an. Nasr Hamid Abu Zayd
dengan segala keterbatasan dan
kemampuannya memiliki perhatian yang mendalam di bidang interpretasi al-Qur’an dan 31
Nasr Hamid and Esther, ibid. hal 8 – 9.
mengukuhnya untuk bereksplorasi dan elaborasi dengan filsafat Barat, yaitu tentang hermeneutika, sebagai upaya dialog keilmuan antara ilmu ke-Islaman dengan ilmu Barat seperti filsafat, metodologi, politik, sosial dan lainnya. Hasil eksplorasinya memunculkan beragam tudingan miring tentang dia antara lain: 1. Menentang keras al-Qur’an dan al-Sunnah 2. Menghujat para sahabat, terutama Uthman Ibn ‘Affan. Nasr Hamid Abu Zayd dianggap demikian karena ia berpendapat bahwa Uthman Ibn ‘Affan, mempersempit bacaan al-Qur’an yang beragam menjadi satu versi bacaan, Quraysh. Upaya Uthman Ibn ‘Affan ini menurut Nasr sebagai upaya melanggengkan hegemoni kaum Quraysh terhadap kaum muslimin. 3. Menghujat al-Qur’an dan mengingkarinya sebagai kitab yang bersumber dari Tuhan. Tekstualitas al-Qur’an bukan dari zaman azali ataupun dan lawh al-Mahfudz. Nasr Hamid Abu Zayd dianggap demikian karena pendapatnya tentang tekstualitas alQur’an. Ia menyatakan bahwa teks-teks agama (al-Qur’an) tidak lain adalah teks bahasa, dalam arti bahwa teks tersebut berkembang pada bangunan budaya tertentu. Teks al-Qur’an tidak terlepas dari aturan dan realitas bahasa budaya dimana sebuah teks itu muncul. Oleh karena itu, pemaknaan al-Qur’an sangat terbuka untuk di interpretasikan kembali bersamaan dengan perubahan dunia “pembacaan teks” yang sangat bergantung pada realitas bahasa dan budaya. 4. Mengingkari bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu. Dianggap demikian, karena Nasr menyatakan bahwa Allah adalah sebab pertama. 5. Nasr juga dianggap mengingkari sesuatu yang ghaib, padahal percaya akan hal-hal yang ghaib merupakan syarat iman. Tuduhan tersebut, karena pendapat Nasr tentang Sihir, Hasud, Jin, dan Syetan. Dia menyatakan bahwa .Jinn (dan sebangsanya) tidak ada dalam realitas nyata. 6. Membela marxisme dan sekularisme, pemikirannya dianggap sesat karena dia menafsirkan atheisme dalam ajaran tersebut. 7. Membela Salman Rushdi. Dalam hal ini Nasr berpendapat bahwa “ayat-ayat syetan” karya Salman Rushdi adalah sebuah karya krilik Sastra. Jadi tidak cukup alasan menentang hasil karya ilmiah yang barangkali justru lebih dekat dengan sifat obyektif.32 32
Ibid., Membaca Naqd al-Khitab, Nasr Hamid Abu Zayd.
Tuduhan-tuduhan tersebut muncul sebagai reaksi terhadap tulisan-tulisan Nasr tentang interpretasi al-Qur’an, terutama Naqd al-Khitab al-Diny, edisi pertama, 1992. Kemudian Nasr memberikan komentar atas tuduhan tersebut dalam bukunya yang sama edisi II, 1994. Keberanian Nasr menggugah wacana keagamaan yang sudah mapan, merupakan hasil kerja kerasnya yang cukup panjang dalam mengamati realitas wacana keagamaan Islam disertai dengan dialog yang intens terhadap paradigma ilmu humanities termasuk di dalamnya filsafat, bahasa, sastra, sains, dan ilmu sosial. H. Rangkuman 1. Abdullahi Ahmed an-Na’im mengemukakan beberapa pemikirannya tentang fiqh mu’asir, antara lain; Pesan Mekkah bagi an-Na’im merupakan pesan Islam yang abadi dan fundamental, karena tanpa membedakan jenis kelamin (gender).Keyakinan keagamaan, ras dan persamaan antara laki-laki dan perempuan serta kebebasan penuh dalam beragama dan beriman.Sedangkan pesan Madinah adalah kompromi praktis dan realistik.Ayat-ayat yang turun pada priode Mekkah disebut sebagai ayatayat universal-egalitarian-demokratik (ayat-ayat kulliyyat), sedangkan ayat-ayat Madinah dinamakan ayat-ayat sectarian-diskriminatif (ayat-ayat juziyyat). An-Na’im kemudian mengkritisi teori nash-mansukh, yang biasa dipahami ulama us}ul al-fiqh selama ini, dengan mengajukan tesis bahwa ayat-ayat Makiyyah yang lebih menekankan pada bobot nilai universal kemanusiaan tidak dapat dihapus begitu saja oleh ayat-ayat Madaniyyah, yang lebih berorientasi kepada persoalan yang lebih praktis-spesipik.An-Na’im mereformulasi hukum Islam tradisional tersebut melalui kritik sumber, metode, dan aplikasi pemikiran hukum kontekstual. Reformulasi ini dilakukan olehnya untuk memberikan jawaban alterntif dalam menghadapi perkembangan situasi dan kondisi aktual. 2. Khaled Abou El-Fadl menawarkan pemikiran fiqhnya dengan; Melakukan pembaruan terhadap fatwa-fatwa ulama yang otoritarianisme terhadap tafsir dengan menggunakan “kekuasaan Tuhan”. Otoritarianisme ulama yang membenarkan tindakan sewenang-sewenang, serta sempitnya dalam memahami dan menginterpretasikan teks al-Qur’an dan hadits terhadap persoalan kontemporer. Hukum memainkan peran sentral di dalam Islam, sampai-sampai banyak muslim yakin bahwa tanpa hukum, agama Islam tidak akan ada. Meskipun demikian,
walau memiliki arti penting, hukum juga merupakan aspek keyakinan Islam yang paling sedikit dimengerti oleh muslim maupun non-muslim”. Ide dan konsep-konsep pembaruan hukum Islam (fiqh), tentang “otoritas” yang digagas oleh Abou El-Fadl. Ia tidak merujuk pada otoritas kelembagaan, tetapi menekankan pada otoritas persuasive dan otoritas moral. Apa yang dilakukan Abou El-Fadl, adalah sebuah keinginan untuk mengembalikan ilmu yurisprodensi hukum Islam sebagai sebuah epistemology, dan sekaligus sebagai metode penelitian dalam mengembangkan keilmuan ke-Islaman (studi Islam). 3. Dalam perspektif Nasr, baik Islam radikal maupun Islamis moderat memiliki paradigma dan mekanisme berpikir yang sama. Paradigma berfikirnya merujuk pada Hakimiyyah (Tahkim al-Nas) dan Pembacaan Nas}, teks yang subyektif. Nasr Hamid Abu Zayd menawarkan hermeneutika sebagai paradigma takwil. Pembacaan teks melampaui dua “dunia”, “dunia”author, penulis dan “dunia” interpreter. Ada lima macam (paling tidak) kontribusi Nasr Hamid Abu Zayd terhadap wacana keagamaan: a. Membuka wacana keagamaan baru yang tertutup (karena pintu ijtihad tertutup). b. Ilmu-ilmu keagamaan dapat bekerjasama
dengan wacana ilmu filsafat,
metodologi, politik, sosial dan lainnya. c. Wacana keagamaan dapat masuk dan berdialog, berdiskusi dengan aspek hidup dan kehidupan ummat manusia secara bersama-sama. d. Menawarkan pembacaan obyektif-produktif terhadap Universalitas al-Qur’an, untuk memperoleh hakikat sebenarnya dalam penerapan hukum. e. Dalam berinteraksi dengan al-Qur’an, Nasr Hamid menolak aspek teologis dan kaedah-kaedah baku penafsiran al-Qur’an, seperti menafsirkan ayat dengan ayat, ayat dengan Hadits, dst. Sebaliknya, dia mengharuskan agar pembaca memaknainya berdasarkan kondisi politik, ekonomi, sosial dan budaya yang melatarbelakanginya. Menurutnya, teks al-Qur’an berasal dari realitas dan konteks sejarah. Teks tidak pernah ada, jika konteks dan peristiwa-peristiwa yang melatarbelakanginya juga tidak ada. Artinya, teks harus tunduk pada konteks. Sebab kontekslah yang lebih berkuasa atas teks. Jadi, jika konteks masyarakatnya berubah seperti zaman sekarang ini, maka makna teksnya pun harus diubah.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, M. Amin. al-Ta’wil al-‘Ilmi: Ke Arah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci. Dalam Jurnal al-Jami’ah. 39 (juli-Desember. 2001). -------------, Pendekatan Hermeneutik dalam Studi Fatwa-Fatwa Keagamaan. (Yogyakarta: 2004). Abou El-Fadl, Khaled. Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women.Terj.Atas Nama Tuhan.(Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta. 2004). ----------, The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists.Terj.Selamatkan Islam dari Muslim Puritan. (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006). Abu Zaid, Nasr Hamid and Esther R Nelson. Voice of an Exile; Reflection on Islam (London: Greenwood Publishing. 2004). Ahmed, Abdullahi an-Na’im. Toward an Islamic Reformation Civil Liberties, Human Right and International Law.Terj. Dekonstruksi Syari’ah. (Yogyakarta: LkiS. 1990). Choir, Tholhatul dan Ahwan Fanani (ed). Islam dalam Berbagai Pembacaan Kongtemporer. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009). Dahlan, Mohammad. Abdullahi Ahmed an-Na’im: Epistemologi Hukum Islam. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009). Haryono, E. Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat. (Yokyakarta. 1993). Al-Ja>biri, Abed. Agama, Negara dan Penerapan Syari’ah.Terj. (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru. 2001). Kasdi, Abdurrahman.Membangun Peradaban Umat, Perspektif Sosial, Politik dan Humanisme dalam Islam. (Mesir: Lekpesdam. 2001). Magnarella, Paul, “The Republican Brothers: A Reformist Movement in the Sudan”. Muslim Word. 72. Januari 1982. Shahrur, Muhammad. Nahwa Us}u>l al-Jadi>dah li al-Fiqh al-Isla>mi>. (Damaskus: al-Hala>li> li at}-T}a>ba>’ah wa an-Naysr wa at-Tawzi>.2000). Salahuddin, Henri. Al-Qur’an Dihujat (Jakarta: Al Qalam. 2007). at-Tura>bi>, Hasan.Pembaruan Us}u>l Fiqh.; at-Tura>bi. Fiqh Demokratis: Dari Tradisionalisme Kolektif Menuju Modernisme Populis. (Bandung: Arasy. 2003). al-Qara>dawi>, Yusuf. Fatwa-Fatwa Kontemporer.(Jakarta: Gema Insani Press. 1995). Syamsuddin, Arif. Kisah Intelektual Nasr Hamid Abu Zayd. (http://inci73.multiply.com/reviews/item/16) diakses pada 7 April 2010. http://newsgroups.derkeiler.com/Archive/Soc/soc.culture.indonesia/200712/msg02650.html. Membaca “Naqdal-Khitab” Nasr Hamid Abu Zayd, tulisan, Grya Gaten, awal November 2008, diakses tanggal 6 April 2010.