BAB III NASR HAMID ABU ZAYD DAN DEKONSTRUKSI GENDER
A. Biografi Nasr Hamid Abu Zayd Nasr Hamid Abu Zayd adalah seorang pemikir Muslim kontemporer asal Mesir, yang bernama lengkap Nasr Hamid Rizk Abu Zaid. Sebagai seorang pemikir kontemporer sudah barang tentu ia mempunyai latar belakang hidup dan gaya pikir tersendiri, dan tentunya paradigma atau persepsi tersebut tak lepas dari kultur lingkungan dan pendidikan serta karakter dari leluhur Nasr Hamid Abu Zayd yang telah membentuk corak pemikirannya. 1. Sejarah Singkat, Karir Akademik dan Karya-karyanya Nasr Hamid Abu Zayd dilahirkan pada tanggal 10 Juli 1943 di Desa Qahafah dekat Kota Thontha ibukota Propinsi al-Gharbiyah Mesir.1 Orang tuanya memberikan nama Nasr dengan harapan agar ia selalu membawa kemenangan atas lawan-lawannya, mengingat kelahirannya bertepatan dengan Perang Dunia II.2 Religiositas dalam lingkungan keluarganya terbangun, karena bapaknya adalah seorang aktivis Al-Ikhwan al-Muslim dan pernah dipenjara menyusul dieksekusinya Sayyid Quthb. Sebagaimana kebiasaan di Mesir, anak-anak kecil sudah mulai belajar menulis kemudian
1
Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam dari Abu Bakar Hingga Nasrdan Qardhawi, Jakarta: Hikmah (Mizan Publika), 2003, hlm. 348. 2
Nasr Hamid Abu Zayd, Al-Ittijah Al-Aqly fi Al-Tafsir; Dirosah fi Qadhiyyat Al-Majaz fi Al-Qur’an ‘Inda Mu’tazilah, Terj. Abdurrahman Kasdi dan Hamka Hasan, Menalar Firman Tuhan; Wacana majas dalam Al-Qur’an menurut mu’tazilah, Bandung; Mizan, 2003, hlm 10.
48
49
menghafalkan Al-Qur’an. Begitu juga dengan Nasr Hamid, dia mulai belajar dan menulis semenjak umur empat tahun, kemudian menghafal AlQur’an di Kuttab di desanya Qahafah. Dia mampu menghafal Al-Qur’an pada usia delapan tahun, karena itulah, kawan-kawannya memanggil “Syaikh Nasr”.3 Julukan tersebut pantas diberikan kepadanya, melihat minat dan keseriusan Nasr Hamid kecil, baik dalam menghafal Al-Qur’an, belajar membaca, menulis, mengaji, dan mendalami ilmu-ilmu agama yang dapat dikatakan lebih unggul dibandingkan dengan anak-anak di lingkungannya. Di luar pendidikan non formalnya (mengaji), dia juga menempuh pendidikan formal pada Madrasah Ibtida’iyyah (SD) dan menengahnya di Thantha kampung halamannya pada tahun 1951. Setamat dari sini, ia sebenarnya ingin melanjutkan pada sekolah menengah umum, al-Azhar. Namun orang tuanya tidak menghendakinya, dan akhirnya ia memenuhi kehendak orang tuanya dengan melanjutkan pendidikannya di sekolah tekhnologi di Distrik Kafru Zayyad, Propinsi Gharbiyyah.4 Meski gagal masuk di al-Azhar, semangat Nasr Hamid untuk mempelajari pemikiran Islam tidak surut. Di sela-sela aktifitasnya bersekolah, ia menyempatkan untuk membaca buku-buku pemikiran Islam. Antara lain karya Al-Manfaluthy, Yusuf Al-Syiba’iy, Taufiq Al-Hakim, Al-‘Aqqad, Najib Mahfud dan Taha Husein. Bahkan dia sering mengadakan diskusi dengan 3
Moch. Nur Ichwan, Al-Qur’an sebagai Teks; Teori Teks dalam Hermeneutik Qur’an Nasr Hamid Abu Zayd, dalam Abdul Mustaqim dan Sahiran Syamsudin (eds), Studi Al-Qur’an Kontemporer; Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, Yogyakarta; Tiara Wacana, 2002, hlm 105. 4
Hery Sucipto, Op. Cit., hlm 349.
50
pemikir Islam lainnya, semisal Jabir Ushfur, Sayyid Al-Hulwu, Mohammad Mansi Qindil, Farid Abu Sa’dah, M. Shaleh dan Said Kafrawi.5 Selain aktif di dunia pemikiran dan intelektual, Nasr Hamid juga aktif dalam dunia gerakan. Langkah bapaknya yang aktif di Al-Ikhwan alMuslimun kemudian diikuti oleh Nasr Hamid. Di usianya yang masih belia pada umur sebelas tahun, ia bergabung dengan al-Ikhwan alMuslimun yang dipimpin Sayyid Quthb pada tahun 1954. Bertepatan dengan semakin kuat dan menyebarnya gerakan al-Ikhwan yang hampir memiliki cabang di setiap desa.6 Dalam aktifitasnya mengikuti gerakan ini, dia pernah dijebloskan dalam penjara. Ia harus merasakan tahanan penjara selama satu hari disebabkan namanya tercantum dalam daftar anggota ketika pihak keamanan negara melakukan serangkaian penangkapan terhadap para aktifis Ikhwan. Tetapi karena usianya masih di bawah umur, akhirnya dia dibebaskan dari penjara. Pada awalnya, dia tertarik dengan pemikiran Sayyid Qutbh dalam bukunya al-Islam wa al-‘Adalah al-Ijtima’iyyah (Islam dan Keadilan Sosial). Khususnya yang menekankan pada aspek keadilan dalam menafsirkan Islam.7 Tetapi, dalam pengembaraan intelektualnya, akhirnya ia pun berbalik arah dengan mengkritik pemikiran-pemikiran Sayyid Qutbh.
5
Ibid.
6
Nasr Hamid Abu Zayd, Al-Ittijah, Op. Cit., hlm 11.
7
Moch. Nur Ichwan, Op. Cit., hlm 15-16.
51
Setelah kematian bapaknya, ketika ia berusia empat belas tahun (Oktober 1957), dia menjadi tumpuan harapan orang tuanya dan harus bekerja untuk membantu perekonomian keluarga. Pada tahun 1960, dia telah meraih gelar diploma teknik. Namun keinginannya untuk melanjutkan ke sekolah menengah umum pun tidak pernah surut hingga akhirnya lulus ujian akhir persamaan. Dan pada tahun 1961, dia mulai bekerja sebagai teknisi di dinas perhubungan.8 Di tengah-tengah aktifitas bekerja, dia juga rajin menulis artikel. Pada tahun 1964 artikel pertamanya terbit dalam sebuah jurnal yang dipimpin oleh Amin al-Khulli, al-‘Abad. Ini adalah awal hubungan dia dengan seorang pemikir Islam dalam studi Al-Qur’an di Mesir yang menawarkan tentang pendekatan susastra (al-manhaj al-adabi) atas teks Al-Qur’an. Tokoh inilah yang kemudian banyak mempengaruhi pemikiran dia di kemudian hari. Pada tahun 1968, Nasr Hamid melanjutkan studinya ke Fakultas Adab, Jurusan Bahasa Arab di Universitas Kairo. Sambil tetap bekerja di siang hari dan masuk kuliah di malam hari. Pada tahun 1972, dia lulus dengan predikat cumlaude sehingga dia diangkat sebagai dosen tidak tetap (asisten dosen) di almamaternya. Dia mengakui bahwa daya analisis dan kritisnya tumbuh ketika menjadi mahasiswa di perguruan tinggi tetapi dia juga tidak menafikan pengalaman dan petualangannya sebelum menjadi mahasiswa juga cukup berperan
8
Nasr Hamid Abu Zayd, al-Ittijah, Op. Cit., hlm. 10.
52
dalam menata masa depannya. Sejak itulah kurang lebih pada tahun 19611972, wataknya beralih dari watak teknisi menjadi watak akademisi.9 Pada tahun 1992, Nasr Hamid diusulkan untuk dipromosikan menjadi profesor (al-ustadz). Akan tetapi promosinya tersebut ditolak karena tesisnya dianggap telah keluar dari nilai-nilai ajaran Islam. Sejak itu, tepatnya 16 Desember 1993, bermula dari sidang di suatu forum “Universitas Kairo” menyebar hujatan yang ditujukan kepadanya. Terutama dilakukan oleh Dr. Abdus Shabur Syahin sebagai penilai (muqarrir) terhadap makalah-makalah yang terbit di beberapa jurnal kecil, buku-buku yang diajukan Nasr Hamid. Dr. Syahin menilai karya-karya kritis Nasr Hamid berkadar keilmiahan rendah dan telah keluar dari batasbatas keimanan. Menurutnya, ajakan Nasr Hamid kepada umat Islam untuk membebaskan diri dari kekuasaan teks merupakan sebuah ajakan untuk meninggalkan Al-Qur’an dan Sunnah.10 Opini
tentang
kekafiran
Nasr
Hamid
oleh
Dr.
Syahin
dikumandangkan ke seluruh Mesir melalui koran, majalah, bahkan dijadikan tema dalam khotbah jum’at di Masjid. Selanjutnya penilaiannya, diikuti oleh penulis-penulis taqrir (penilaian) lainnya seperti Dr. Muhammad Baltaqi, Dr. Ismail Salim, Dr. Sya’ban Ismail, Dr. Muhammad Syu’kah. Hal ini memaksa pengadilan menjatuhkan vonis
9
Ibid, hlm. 11.
10
Nasr Hamid Abu Zayd, Al-Imam as-Syafi'i wa Ta’sis al-Aidulujiyah al-Wasathiyah, terj. Khairon Nahdliyin, Imam Syafi'i: Moderatisme Eklektisisme Arabisme, Yogyakarta: LKiS, 1997, hlm. vi.
53
“murtad” dan harus bercerai berai dengan istri tercintanya, serta konsekuensi-konsekuensi lain dari kemurtadan.11 Kasus Nasr Hamid membuat gempar Mesir dan dunia Islam pada umumnya. Namun di tengah rintangan yang bertubi-tubi menimpa dirinya, malahan tidak menyurutkan minatnya menghasilkan karya-karya ilmiah kontemporer. Bahkan mendapat penghargaan dari presiden Tunisia sebagai The Republican Order of Merit for the Service to Arab Culture. Kemudian dalam bukunya al-Mar’ah fi al-Kitab al-Azmah (Perempuan Dalam Wacana Krisis). Ia melakukan kritik terhadap wacana patriarkhal tradisional tentang umumnya perempuan-perempuan di dunia Arab Islam. Pemikiran Nasr Hamid, juga tidak dapat lepas dari konteks wacana agama kontemporer dalam menyikapi turats (warisan intelektual) dan gelombang tajdid (pembaharuan). Wacana keagamaan dihadapkan pada posisi dilematis antara memperhatikan identitas diri dan modernisasi. Desakan dari proses modernisasi, telah memunculkan reaksi kuat dari kelompok Islam radikal dengan menyerukan diterapkannya syari’at Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Sementara di sisi lain juga muncul tuntutan untuk menjadikan Islam sebagai basis ideologi. Seruan ini dilakukan oleh Islam moderat sebagai umpan balik dari Islam ekstrim.12 Pada tahun 1955, di tengah kecaman yang tidak kunjung reda, Nasr Hamid
11 12
memperoleh
ke-Profesor-an
penuh
(Guru
Besar).
Setelah
Ibid, hlm. vii.
Sahiron Syamsudin, et. all., Hermeneutika Al-Qur’an Madzhab Yogya, Yogyakarta: Islamika, 2003, hlm. 105.
54
menyelesaikan beberapa karyanya dan menyerahkan sembilan tulisannya kepada panitia promosi yang pada hakekatnya merupakan panitia baru. Baru setelah itu, ia kemudian mengasingkan diri bersama istrinya untuk melanjutkan karier akademiknya sebagai profesor tamu di Lieden University Belanda. Selama di Negeri Kincir Angin itu, ia mendapatkan kebebasan penuh untuk membangun sikap kritisnya. Untuk pertama kalinya Nasr Hamid yang juga bertipikal feminis (Moslem Feminisme) menuangkan pemikirannya dalam Dawa’ir al-Khauf; Qira’ah fi Khitab al Mar’ah (Lingkaran Ketakutan; Pembacaan Atas Wacana Perempuan). Buku ini muncul saat berada di pengasingan dan dipersembahkan secara khusus bagi istri tercintanya DR. Ibtihal Yunis yang dengan penuh kerelaan dan kesetiaan mendampingi di pengasingan. Ia merespon wacana perempuan Arab-Islam yang masih membelenggu dengan kultur patriarkhi tradisional yang masih dominan.13 Nasr Hamid merupakan sosok diri yang kritis. Dari setting keilmuannya, fakultas sastra dan melengkapi kerja intelektualnya dengan perangkat metodologi “analisa wacana”. Semangat utamanya dalam membaca kembali warisan-warisan intelektual Islam sebagai teks-teks keagamaan yang berinteraksi dalam wacana tertentu yang bersifat ideologis. Artinya, kajian tidak berhenti pada terpahaminya makna literal
13
Nasr Hamid Abu Zaydd, Dawa’ir al-Khauf; Qira’ah fi Khitab al-Mar’ah, terj. Nur Ichwan dan Moch. Syamsul Hadi, Dekonstruksi Gender; Kritik Wacana Perempuan dalam Islam, Yogyakarta: Samba, 2003.
55
dari teks namun melangkah ke luar menguak signifikansi sosal, ekonomi, politiknya. Seiring dengan wacana agama yang berkembang, pasca munculnya karya Dawa’ir al-Khauf lahirlah beberapa karya-karya monumentalnya. Baik hasil pemikirannya semasa ia di Mesir maupun selama di Belanda. Nasr Hamid memandang perlu pembacaan ulang terhadap ilmu-ilmu AlQur’an tradisional secara kritis dan dilandasi kesadaran ilmiah terhadap turats. Ada dua tujuan utama dalam upayanya tersebut.14 Pertama, merajut kembali hubungan antara kajian Al-Qur’an dengan kajian-kajian sastra dan kajian-kajian kritis. Kedua, upaya mendefinisikan konsep Islam secara objektif agar tidak terjebak dalam kepentingan–ideologis. Wal hasil, munculnya berbagai kontroversi seputar Nasr Hamid dengan ulama di Kairo Mesir bahkan mungkin dunia Islam pada umumnya adalah kewajaran. Oleh karena tipologi pemikiran yang dimunculkan dengan pendekatan linguistik, semiotik, dan hermeneutik merupakan hal baru. Adanya perbedaan penafsiran (interpretasi) dan cara pandang terhadap wacana agama sebaiknya dijadikan sebagai rahmatal lil ‘alamin. 2. Geneologi Pemikiran Sebagaimana pemikir Muslim kontemporer lainnya, seperti Fazlur Rahman, ‘Abid al-Jabiri, Muhammad Syahrur, dan Muhammad
14
Nasr Hamid Abu Zaydd, Mafhum an-Nash Dirasah fi ‘Ulum Al-Qur’an, terj. Khoiron Nahdliyyin, Tekstualitas Al-Qur’an; Kritik terhadap Ulumul Qur’an, Yogyakarta: LKiS, 2001, hlm. 14.
56
Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd juga berusaha memadukan tradisi berfikir keilmuan kontemporer yang telah memanfaatkan kerangka teori dan metodologi yang digunakan oleh ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Upaya pembaharuan (al-tajdid) Nasr Hamid terhadap tradisi (turats)
tidak
bisa
dilepaskan
dari
konteks
wacana
keagamaan
kontemporer, terutama di dunia Arab–Islam. Menurutnya kesadaran ilmiah terhadap tradisi akan dapat melahirkan perangkat yang efektif dalam melawan gagasan konservatisme dan merupakan prasyarat mendasar bagi keberhasilan kebangkitan dan pembaruan. Gagasan pembaruan itu diwujudkan ketika umat Islam terbingkai –dalam bahasanya Nasr Hamid– dalam peradaban teks. Oleh karena itu, menurutnya salah satu upaya mengubah
pandangan
umat
Islam,
termasuk
dalam
memandang
perempuan, adalah dengan melakukan pembacaan dan penafsiran ulang terhadap teks-teks keagamaan.15 Dalam konteks ini, wacana agama menghadapi tantangan dari proses modernisasi. Di mana pada tingkat sosial, ekonomi, politik, kultural, dan intelektual telah memaksa mereka bersikap moderat atas nama pembaruan dan menjadikan Islam sebagai basis ideologinya. Tentunya fenomena ini tidak saja berimplikasi pada tingkat sosial, ekonomi, budaya, dan politis, tetapi juga pada teks-teks keagamaan itu sendiri. Teks lalu berubah fungsi (menjadi konsumsi sosial, politik, dan
15
Nasr Hamid Abu Zayd, Dawa’ir, Op. Cit., hlm. viii.
57
kultural) dan pembacaan teks menjadi tidak produktif (muntijah) tetapi tendensius–ideologis (mugridah–talwiniyyah).16 Nasr Hamid dari sisi pemikiran banyak dipengaruhi oleh para pemikir yang mengikuti trend kritik sastra sebagaimana telah disebutkan pada sejarah singkat, karier akademik dan karya-karyanya. Perspektif yang paling mendesak dalam kajian susastra (balaghoh) adalah wacana tentang majas yang menghendaki analisis historis yang independen, terutama jika dikaitkan dengan signifikansi Al-Qur’an dalam membentuk ungkapan sastra yang unggul (al-i’tibar al-baligh).17 Oleh karena itu Nasr Hamid berusaha memperbaharui konsep nash (mafhum an-nash) Al-Qur’an, yang menurutnya bisa dipandang sebagai teks sastra Arab yang teragung dalam sejarah (kitab al-fanni al-‘Arabi al-aqdas).18 Nasr Hamid juga pernah belajar dari Sayyid Qutbh (1906–1966), pemimpin gerakan islamis moderat (Al-Ikhwan Al-Muslimin). Tetapi pemikiran Sayyid Qutbh tidak dikembangkan oleh Nasr Hamid. Bahkan pada akhirnya dia tidak sepakat dengan pola pikir yang dikembangkan oleh organisasi tersebut. Dan dia lebih condong pada pemikiran kelompokkelompok sekularis yang diwakili oleh Syaikh ‘Ali ‘Abd al-Raziq, Thoha Husayn, Zaki Najib Mahmud, Mahmud Nuwayhi, Muhammad ‘Abduh, Fu’ad Zakariya, Faraj Fudah, Muhammad Sa’ad Al-‘Asymawi dan Hasan Hanafi.
16
Sahiron Syamsuddin, Loc. Cit.
17
Nasr Hamid Abud Zayd, Al-Ittijah, Op. Cit., hlm. 19.
18
Sahiron Syamsuddin, et. all., Op. Cit., hlm. xx.
58
Artinya, latar belakang dari lingkungan tempat ia bertempat tinggal dan universitas Kairo yang menjadikan pergulatan bagi tumbuh berkembangnya pemikiran, ditambah lagi berkecimpungnya dengan teori interpretasi dan hermeneutika Barat sangat berpengaruh dalam membentuk corak pemikiran yang dikembangkan melalui perangkat analisisnya. Berawal dari pergulatannya mencari jati diri dalam hal pemikiran maka muncullah semangat untuk melakukan pembacaan ulang (rereading) terhadap Islam secara objektif. Mengingat “teks-teks keagamaan” seperti karya-karya Imam Madzhab merupakan warisan intelektual Islam yang dibentuk dalam bingkai historis dan idiologis dalam konteks sosio– kultural saat itu. Seiring dengan perubahan waktu dan jaman, tidak mungkin saat ini memahami Islam sebagaimana yang dipahami Imam Madzhab tersebut. Oleh karena itu diperlukan pembacaan kembali warisanwarisan intelektual (turats) untuk dapat diperoleh signifikansi sosial, ekonomi dan politiknya sehingga pengertian dan pemahaman objektif terhadap Islam dapat diwujudkan. Dengan berbagai pendekatan barunya, terutama bidang linguistik, Nasr Hamid berusaha memahami teks dengan pemahaman ilmiah, bukan pemahaman yang gaib–mitologis. Ia memperlakukan teks (nash) sebagai produk budaya (muntaj tsaqafi), yang berpijak pada metode yang dilandasi realitas dalam memahami teks dengan analisis kritisnya. Maka dialektika antara teks dan realitas budaya diistilahkan dengan semiotika Al-Qur’an.
59 Semiotika –sebagaimana pemaparan M. Shohibuddin19 mengutip– pendapat Nasr Hamid ada dua pengertian; pertama, terlepas dari sumber ilahiyahnya. Teks Al-Qur’an mendasarkan acuannya pada sistem kebahasaan kolektif yang melatarinya, yaitu bahasa Arab, terutama dalam penggunaan historisnya di Jazirah Arab abad 6 M. Dalam arti ini, teks AlQur’an sesungguhnya hanya bagian saja dari “semiotika sosial” yang berlaku pada zamannya dan mendapatkan pengertiannya disana. Kedua, dalam pada itu, teks Al-Qur’an sebagai pengungkapan individual (“parole”/kalam) dari sistem kebahasaan kolektif (“language”/lisan), bukanlah teks yang pasif dan menyalin begitu saja apa yang sudah baku dan mapan dalam realitas, melainkan teks yang mampu menciptakan sistem linguistiknya sendiri yang spesifik, yang bukan saja menyimpang dari bahasa induknya tetapi juga mengubah dan mentransformasikannya dalam gerak realitas sosial–historis. Dari kedua pengertian itu, kemudian Nasr Hamid membedakan dua fase teks Al-Qur’an –bukan memisahkan– karena teks yang sejati yakni teks yang mampu membebaskan dari konteks semula, kemudian memunculkan karakternya sendiri serta terlepas dari norma-norma yang berasal dari luar. Dua fase teks Al-Qur’an yang menggambarkan interaksi dan dialektika teks dengan realitas sosial–budayanya. Pertama, ketika teks mengkonstruksikan dirinya secara struktural dalam sistem budaya, di mana sistem bahasa merupakan bagiannya sebagai periode keterbentukan
19
Ibid. hlm. 112–113.
60
(marhalah at-tasyakkul) sebagai produk kebudayaan. Kedua, fase ketika teks membentuk dan mengkonstruksi ulang sistem budaya, yaitu dengan menciptakan sistem kebahasaan spesifik yang menyimpang dari bahasa induksinya, yang menimbulkan efek perubahan pada sistem kebudayaan lain sebagai periode pembentukan (marhalah at-tasykil). Teks yang semula merupakan produk kebudayaan, kini berubah menjadi produsen kebudayaan.20 Adalah semangat utama yang kemudian menggerakkan Nasr Hamid untuk membaca warisan-warisan intelektual Islam sebagai “teks keagamaan” yang bereaksi di dalam wacana tertentu yang selama ini bersifat ideologis. Artinya kajian ini tidak berhenti pada terpahaminya makna literal teks, tetapi juga melangkah jauh keluar untuk melihat signifikansi sosial-ekonomi-maupun politiknya. Dari sini dapat dipahami bahwa Nasr Hamid menggunakan metode analisis wacana.21 Karena ia menyadari bahwa selama ini telah terjadi hegemoni teks yang secara tidak sadar dilakukan oleh kelompok yang mengatasnamakan penjaga tradisi intelektual Islam yang hanya bisa menjelaskan isi teks tanpa dibarengi dengan tinjauan secara kritis. Perlunya analisis wacana memang karena dijumpai banyak kelemahan
20 21
Ibid.
Analisis wacana digunakan oleh Nasr Hamid sebagai perangkat ideologinya. Hal ini dilakukannya, berawal dari semangat dalam upayanya mengkaji tradisi, khususnya tradisi keagamaan (at-Turats ad-Dini). Misalnya, mengenai konteks wacana tradisional, terbetik dalam pemikiran Nasr Hamid untuk mempertanyakan “konsep teks” dan problematika interpretasi. Lihat Khoiron Nahdiyyin (Pengantar Redaksi), dalam Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab ad-Dini, terj. Khoiron Nahdiyyin, Kritik Wacana Agama, Yogyakarta: Lkis, 2003, hlm. xvi
61
tafsir. Sehingga dapat ditekankan, analisis wacana memberikan akar metodologi guna melakukan ijtihad yang terlepas dari belenggu ideologis-mitologis yang berkembang. B. Dekonstruksi Gender Nasr Hamid Abu Zayd Sebelum masuk pembahasan, perlu dijelaskan lebih dahulu bahwa yang dimaksud dengan istilah dekonstruksi gender ini bukanlah meninjau kembali apakah gender dalam Islam diperlukan atau tidak. Akan tetapi, ia lebih diarahkan kepada penyorotan benang kusut posisi dan peran perempuan, baik dalam ranah domestik maupun publik, dengan mengajukan sebuah kerangka gagasan dari nilai-nilai humanisme. Tentunya dalam hal ini, tidak bisa lepas dari pembacaan kembali (re-reading) terhadap Al-Qur’an sebagai kitab suci dengan semangat pembebasan. Makna-makna patriarkis dan misoginis yang diklaim berasal dari AlQur’an merupakan hasil dari siapa, bagaimana, dan dalam konteks apa orang membaca dan menyimpulkannya. Makna-makna itu juga terkait erat dengan peran masyarakat penafsir dan negara dalam membentuk pengetahuan dan otoritas keagamaan yang memungkinkan diterapkannya model pembacaan yang patriarkis dan misoginis. Maka tidak menutup kemungkinan bahwa praktek kebudayaan Muslim yang selama ini bercorak patriarkis dan misoginis pada dasarnya bukan bersumber dari teks kitab suci melainkan dari penafsirannya. Kritik Nasr Hamid atas wacana perempuan dalam Islam merupakan bagian dari upaya dekonstruksi gender-nya yang dapat dijumpai dalam master
62 piece-nya Dawair al-Khauf: Qira’ah fi Khitab al-Mar’ah,22 di samping itu juga karya-karyanya yang lain.23 Tulisan kritik wacana perempuan dalam Islam ini muncul setelah ada dorongan dari sahabat karibnya Prof. Hasan Yagi, seorang direktur penerbitan di pusat kebudayaan Arab (al-Markaz asSaqafi al-‘Arabi) melalui pertemuannya di dalam pameran buku internasional Frankfurt. Pada saat itulah Nasr Hamid menyerahkan semua tulisannya dalam bahasa Arab –baik yang sudah dipublikasikan maupun yang belum– di mana sebagian besarnya ditulis sebelum dikeluarkannya “vonis pengadilan” terhadap aspek-aspek pemikirannya.24 Dalam tulisannya ia menjelaskan bahwa persoalan mendasar dalam wacana keagamaan adalah wacana tentang perempuan yang bersifat sektarianrasialistik, dalam pengertian bahwa ia memperbincangkan keabsolutan perempuan dan menempatkannya dalam hubungan komparatif dengan keabsolutan laki-laki. Ketika suatu pola hubungan bahwa antara laki-laki dan perempuan saling berhadapan atau bertentangan telah terdefinisikan, dan dari situ salah satunya harus tunduk dan takluk pada yang lain dan masuk secara patuh ke 22
Dijumpai upaya dekonstruksi gender oleh NasrHamid Abu Zayd meliputi issu penting dalam wacana feminisme Muslim. Diawali dengan prolog yang meninjau kembali kisah Adam dan Hawa yang berkembang dalam masyarakat, dengan melakukan kritik terhadap penafsiran at-Tabari terhadap kisah itu yang dianggapnya banyak bersumber dari Bibel. Hal ini menghantarkan dekonstruksi gender-nya yang terbagi dalam dua bagian, yakni pertama: perempuan dalam wacana krisis. Bagian kedua; kekuasaan dan hak: idealitas teks dan krisis realitas. Yang masing-masing terdiri dari beberapa bab. Lebih jelasnya lihat dalam NasrHamid Abu Zayd, Dawair al-Khauf: Qira’ah fi Khitab al-Mar’ah, Terj. Moch. Nur Ichwan dan Moch. Syamsul Hadi, Dekonstruksi Gender: Kritik Wacana Perempuan dalam Islam, Yogyakarta: SAMHA, 2003. 23
Karya-karya yang mendukung karakteristik analisisnya dalam Dawair al-Khauf juga dipengaruhi oleh karya terdahulunya tentang perempuan yang berjudul al-Mar’ah fi Khitab alAzmah (Perempuan di dalam wacana krisis) di Kairo pada 1994. Kemudian teks al-Ittijah al-‘Agli fi al-Tafsir: Dirasah fi Qadhiyyat al-Majaz fi Al-Qur’an ‘Inda al-Mu’tazilah (Rasionalisme dalam tafsir, studi problem metafor menurut Mu’tazilah). 24
Nasr Hamid Abu Zayd, Dawair al-Khauf …, Op. Cit., hlm. xxxiv
63
dalam wilayah otoritasnya. Menurutnya, di dalam penekanan wacana “ekualitas” (al-musawah) dan “kemitraan” (al-musyarakah) adanya rasa superior, yakni wacana tentang sentralitas laki-laki. Ketika perempuan dikatakan mempunyai posisi sejajar maka yang dimaksud adalah kesejajaran yang diukur dengan ukuran laki-laki. Dan ketika perempuan dibolehkan bekerjasama maka yang dimaksud adalah bahwa ia mengabdi kepada laki-laki.25 Kritik Nasr Hamid terhadap wacana perempuan dalam Islam dilakukan melalui ijtihadnya mengenai pemahaman, interpretasi dan tafsir aqidah berangkat dari kesadaran yang tidak mungkin diingkari oleh kaum muslimin, baik historis, sosiologis, politis, intelektual, dan kultural. Dengan mempublikasikan kajian-kajian mengenai metodologi tafsir dan takwil di dalam budaya Arab-Islam pada satu sisi dan Barat-Kristen pada sisi yang lain.26 Nasr Hamid melontarkan kritik sebagai implementasi dari ijtihadnya itu dengan bahasa yang terang-terangan tanpa ditutup-tutupi sebagaimana pengakuannya dalam pengantar buku.27 Di dalam keterusterangannya ia berpijak pada dua titik tolak utama. Pertama, kepercayaan yang mendalam akan solidaritas Islam dan kekuatannya dalam jiwa manusia jika didasarkan
25
Ibid, hlm. 3.
26
Nasr Hamid Abu Zayd membedakan antara tafsir dan takwil, yakni; al-tafsir berarti mengungkap sesuatu yang tersembunyi melalui tanda yang bermakna bagi mufassir melalui mana ia dapat sampai pada makna yang tersembunyi atau samar. Sedang al-ta’wil berarti kembali kepada sesuatu (perbuatan atau perkataan) untuk menyingkap makna yang ditujukan (dilalah) atau sumber (al-ashl), dan signifikansi (al-maghza) atau implikasi (al-‘aqibah). Lihat Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan; Metodologi Tafsir Al-Qur’an Menurut Hassan Hanafi, Jakarta: Teraju, 2002, hlm. 59 27
Ibid, hlm. xxvi.
64
atas akal dan kekuatan argumen dan lemah serta kacaunya Islam. Kedua, dengan adanya iman pada diri seseorang tidak menjauhi pemahaman, penjelasan dan interpretasi karena kepastian-kepastian iman keagamaan adalah aqidah dan ibadah. Adapun pengujian dan hipotesis dilakukan melalui dua pendekatan: pertama, membaca apa yang ditulis ulama terdahulu. Kedua, memperbincangkan pendapat-pendapat mereka dalam perspektif kontemporer. Hal tersebut dilakukan, mengingat tradisi pemikiran yang sebelumnya dilakukan dengan pembacaan kritis dengan wujud karya-karya monumentalnya dalam konteks ruang lingkup dan interaksi budayanya, harus kehilangan makna daya kritisnya akibat ketertundukan pada belenggu tradisi yang diyakini kebenaran sahihnya. Sehingga kecenderungan untuk sekedar mengulang-ulang bahkan meringkasnya tampak lebih dominan dibandingkan dengan upaya kritis membaca kembali warisan-warisan intelektual (turats) dalam konteks kekinian. Dengan demikian, kajian gender tentang perempuan dalam Islam mutlak dilakukan pembacaan ulang. Bahwa selama ini kajian gender yang terkodifikasi hanya sekedar kutipan dan ringkasan dari apa yang sudah dilakukan ulama terdahulu, semisal dari an-Nawawi dalam kitabnya, Uqudul Lujain fi Bayani Huquqi Zaujain, tanpa mau melihat setting sosialnya, di mana tantangan kultural dan sosiologis masa sekarang sangat berbeda jauh dari tantangan yang pernah dihadapi pada masa silam ketika tersusunnya karya tersebut. Realitas adanya perubahan kondisi sosial dan membaiknya kedudukan perempuan dalam masyarakat, maka tidak menutup kemungkinan
65
untuk membaca teks-teks keagamaan dalam makna historisnya dengan maksud menemukan esensi dan mengungkapkan yang tetap (immutable), ketentuan-ketentuan yang tidak bisa berubah (unchangeable dictates) yang tersembunyi di balik kesementaraan dan perubahan.28 Konteks sosio-kultural mempunyai andil besar dalam menafsirkan sebuah kitab ( Al-Qur’an). Ketika “teks” harus dipaksa untuk berpisah dengan kondisi obyektif-historisnya ke dalam wilayah politik untuk melindungi dari kehancuran dan kemusnahan. Sehingga dalam kondisi seperti ini, Al-Qur’an akhirnya hanya menjadi mushaf yang kering dan terpisahkan antara teks dan realitas.29 Imbasnya teks-teks agama mengalami transformasi dari obyek yang harus dipahami dan ditafsirkan sekedar menjadi hiasan yang antik. Padahal, seperti apa yang dikatakan oleh Nasr Hamid bahwa Al-Qur’an sebagai produk budaya (muntaj tsaqafi) dan pada akhirnya membentuk budaya (muntij tsaqafi) yang mempunyai peluang untuk dikaji dan ditafsirkan, karena ekspresi hubungan dialektiknya antara teks budaya dan realitas dengan konteks historisnya. Al-Qur’an itu sebenarnya historis meski di dalamnya ada kehendak Tuhan yang suprahistoris. Al-Qur’an itu sendiri historis karena diturunkan di tanah Arab dengan menggunakan bahasa Arab yang digunakan saat itu. Selanjutnya, implikasi dari paradigma yang bersifat pasif terhadap warisan intelektual (turats) Arab-Islam dalam kajian gender menjadi jalan di tempat (stagnant) tanpa tersentuh sedikitpun upaya pembaruan (al-tajdid). Hal 28 29
Ibid, hlm. 42.
Makna teks (nash) dengan mushaf (buku) terdapat perbedaan. Distingsi teks lebih merujuk kepada “makna” (dalalah) yang memerlukan pemahaman, penjelasan dan interpretasi sedangkan mushaf lebih merujuk kepada “benda” baik yang bersifat estetik maupun mistik.
66
itu disebabkan adanya kecenderungan berpegang pada tradisi lama (konservatif) yang masih sangat kuat. Persoalan teks menjadi sangat penting dalam peradaban umat Islam. Ada beberapa hal yang menjadi titik pijakan. Pertama, bahwa sumber hukum Islam termanifestasikan dalam wujud teks ( Al-Qur’an dan Hadits); kedua, sebagai pedoman hidup (way of life) umat Islam yang juga peraturannya tertuang dalam teks; ketiga, peradaban Arab-Islam adalah peradaban teks sebagaimana ungkapan Nasr Hamid Abu Zayd. Menurut Nasr Hamid, Al-Qur’an merupakan pesan (risalah) dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad yang meniscayakan adanya proses komunikasi antara pengirim dan penerima melalui kode, atau sistem bahasa. Dalam penggunaan bahasa inilah tidak akan mungkin lepas dari budaya yang telah berkembang di masyarakat tersebut. Watak risalah (pesan) yang terkandung dalam teks hanya dapat dipahami melalui analisis fakta-fakta bahasanya dalam bingkai realitas di mana teks terbentuk. Untuk membuktikan bahwa Al-Qur’an merupakan teks yang dapat dipahami melalui bahasa (linguistik), maka ia menunjukkan adanya proses komunikasi antara komunikan (Allah) dan makhluk sebagai komunikator. Melalui malaikat Jibril sebagai media perantara untuk menyampaikan wahyu (Allah) kepada penerima wahyu (Muhammad) untuk manusia. Akan semakin jelas dengan menunjukkan watak dan karakteristik tekstualitas Al-Qur’an yang terekspresikan dalam Al-Qur’an sendiri. Ada tiga hal yang menunjukkan watak tekstual Al-Qur’an. Pertama, Al-Qur’an merupakan risalah wahyu di
67
mana pewahyuannya merupakan proses komunikasi yang melibatkan pengirim (Allah), penerima (Muhammad), perantara (malaikat Jibiril), dan kode komunikasi (bahasa Arab). Kedua, antara urutan surat serta ayatnya yang berbeda dengan kronologis turunnya wahyu Al-Qur’an. Dalam hal ini, persoalannya bukan siapa yang menyusun Al-Qur’an, tetapi mengapa dan atas dasar norma dan nilai apa Al-Qur’an disusun kembali?, bagaimana korelasi antar ayat satu dengan ayat yang lain atau dengan surat? Sebuah genre spesifik dalam ilmu Al-Qur’an antara ayat dan surat (ilmu munasabah). Hal demikian memungkinkan antara pembaca teks dan teks itu sendiri berinteraksi secara aktif. Ketiga, sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Qur’an itu sendiri, terdapat ayat-ayat muhkam dan ayat-ayat mutasyabih. Satu ayat tertentu yang dianggap muhkam dan mutasyabih oleh seseorang atau kelompok tidak demikian halnya bagi yang lain atau sebaliknya, hal demikian menjadikan teks lebih dinamis.30 Fakta yang tak terbantahkan adalah ada perbedaan karakter antara ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan di Mekkah dan ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan di Madinah. Sebagaimana diungkapkan Ahmad Abdullah anNaim, pesan ayat-ayat Mekkah merupakan pesan Islam yang abadi dan fundamental, yang menekankan martabat yang inheren pada seluruh manusia, tanpa membedakan jenis kelamin (gender), keyakinan keagamaan, ras dan lain-lain. Persamaan laki-laki dan perempuan, kebebasan penuh untuk memilih dalam beragama sangat dijunjung tinggi dalam era ini. Prinsip yang
30
Sahiron Syamsuddin, Op. Cit., hlm. 108.
68
diterapkan adalah ishmah, kebebasan untuk memilih tanpa ancaman ataupun paksaan. Sedangkan ayat-ayat Madinah mengandung pesan kompromi praktis dan realistik. Semacam ini lebih popular dengan sebutan, periode Mekkah merupakan ayat-ayat universal-egalitarian-demokratik, sedangkan ayat-ayat Madinah merupakan ayat-ayat sektarian-diskriminatif.31 Berangkat dari rumusan bahwa teks, tak terkecuali Al-Qur’an adalah produk budaya masyarakat yang tidak lepas dari konteks sosiokulturalnya, Nasr Hamid menjelaskan tentang cara memahami teks agar menghasilkan “sesuatu” yang objektif. Rumusan ini berawal dari konsep wacana agama kontemporer yang berkembang di Mesir. Bahwa wacana agama yang berkembang di Mesir sarat dengan kepentingan-kepentingan ideologis dan selalu mengklaim benar (truth claim) atas wacana agama yang dikembangkan. Serta adanya beberapa kelompok atau golongan yang bertarung dalam masalah wacana agama tersebut. Dari aliran kiri sampai aliran kanan, Islam tekstualis dan Islam rasionalis, Islam tradisional dan Islam sekuler, serta Islam salafiyun dan Islam kontemporer. Melihat kondisi semacam ini, gerah juga dan akhirnya masuklah ia ke dalam gelanggang pertarungan pemikiran dengan melakukan kritik terhadap wacana agama yang berkembang. Salah satu kritiknya adalah terhadap wacana perempuan dalam Islam. Di mana argumentasi sejarah digunakan oleh Nasr Hamid dalam melihat bagaimana Islam berbicara tentang gender pada umumnya dan perempuan pada khususnya. Argumentasi
31
Dalam pengantar Abdullah Ahmad an-Naim, Dekonstruksi Syari’ah; Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam, Yogyakarta: LKiS, 2001, hlm. VIII-IX.
69
sejarah yang dimaksud adalah pengungkapan karakter politik tekstual dan seksual yang berkembang di kalangan masyarakat Islam, terutama proses yang telah menghasilkan tafsir-tafsir di dalam Islam yang memiliki kecenderungan patriarkis. Menurutnya, salah satu aspek penting yang diabaikan dalam problematika teks agama yang barangkali secara umum paling penting adalah dimensi sejarah teks-teks tersebut. Demensi sejarah di sini bukanlah ilmu sebab-sebab turun (asbabun-nuzul) –hubungan teks dengan realitas atau ilmu an-nasakh wa al-mansukh– mengubah hukum karena perubahan situasi dan kondisi –atau ilmu–ilmu Al-Qur’an lainnya.32 Dimensi sejarah yang dimaksud oleh Nasr Hamid berkaitan dengan historisitas konsep-konsep yang dilontarkan teks melalui aspek tersuratnya. Historisitas bahasa, terletak pada sosiologitasnya. Dengan membaca konsep historisitas bahasa Nasr Hamid, dapat dipahami bahwa dimensi sosial sangat berpengaruh terhadap karakter teks, dan apabila dimensi sosial ini diabaikan maka makna teks juga akan terabaikan. Ia juga memberi catatan bahwa berpegang teguh pada historisitas teks bukan berarti menunjukkan ketidakmampuan teks untuk memproduksi makna, atau tidak mampu untuk berbicara pada masa berikutnya atau kepada masyarakat lain. Hal ini disebabkan dalam melakukan pembacaan teks didasarkan pada dua mekanisme yang integral, yakni: menyembunyikan (al-ikhfa’) dan menyingkap (al-kasyaf).33 Dalam artian menyembunyikan sesuatu yang tidak substansial dan menyingkap sesuatu yang substansial.
32
Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab ad-Dini, terjemahan Khoirun Nahdiyin, Kritik Wacana Agama, Yogyakarta; LKiS, 2003, hlm. 85 33
Ibid, hlm. 86.
70
Argumentasi sejarah yang berkaitan dengan politik tekstual dalam Islam tampak, misalnya, ketika Nasr Hamid mencoba menguraikan hubungan AlQur’an dan tafsirnya. Menurut dia, ada dua moment yang berdialektika antara satu sama lain. Pertama, perlu menemukan kembali makna asli (dalalat alashliyyat) dari teks dalam konteks sosio–hstoris kemunculannya. Kedua, mengklarifikasi berbagai bingkai sosiologis budaya sekarang ini dan tujuan praktisnya mendorong dan mengarahkan berbagai penafsiran, sehingga dapat membedakan kandungan ideologis interpretasi dari makna orisinil historisnya.34 Sebuah pembacaan produktif mencapai hasil, ketika kedua langkah ini diletakkan berhubungan satu sama lain dalam sebuah “dialektika” yang tanpa henti. Selanjutnya, Nasr Hamid menjelaskan bahwa pembacaan produktif dalam memaknai ulang (reinterprestasi) Al-Qur’an didasarkan pada dua konsep penting yaitu makna (dalalah) dan signifikansi (maqhza). Kedua hal tersebut harus tetap berdialektika terus menerus tanpa henti. Karena upaya untuk melakukan pembacaan produktif dalam mencapai makna dapat dilakukan melalui penyingkapan makna. Penyingkapan makna mencerminkan upaya kembali kepada makna asal, sementara untuk sampai pada signifikansi mencerminkan tujuan dan sasaran dari tindak pembacaan.35 Gerakan antara makna dan signifikansi terjadi bolak-balik dan berulang-ulang. Gerakan ini diawali dari realitas untuk menyingkap makna teks masa lalu, kemudian makna tersebut kembali lagi untuk menetapkan signifikansi dan mengubah titik permulaan agar sesuai dengan konteks kekinian. 34
Ibid, hlm. 121.
35
Ibid, hlm. 122–123.
71 Dengan melihat metode yang dikembangkan oleh Nasr Hamid,36 bahwa sebelum memproduk hukum dari teks Al-Qur’an maupun Hadits, seorang mujtahid harus mampu terlebih dahulu menyingkap makna asli teks tersebut dalam konteks realitas ketika teks turun. Setelah makna asli ditemukan, seorang mujtahid berusaha untuk mengkontekskan dengan realitas saat ini. Seperti halnya pendapat ulama-ulama Islam klasik maupun modern, Nasr Hamid apabila dilihat dari corak pemikirannya tidak berbeda dengan Barlas yang tetap berpendapat bahwa Al-Qur’an sebagai wacana suci pada dasarnya adalah wacana yang tidak bisa ditiru, diganggu dan diperdebatkan, namun pemahaman (tafsir) terhadap kitab suci tersebut bisa diperdebatkan. Pandangan demikian mengingatkan pada pandangan seorang tokoh – sebagaimana deskripsi Syafiq Hasyim– dalam sebuah pengantar mengutip pendapat Abdul Karim Soroush yang memisahkan antara agama (religion) dan pengetahuan agama (religious knowledge). Kalau agama adalah kebenarannya tidak bisa diganggu gugat, sedangkan pengetahuan akan agama adalah bentuk penafsiran seseorang terhadap agama tersebut, yang kebenarannya sangat relatif dan bisa diperdebatkan.37
36
Para pemikir Muslim modern dalam hal metodologis dapat dibedakan menjadi dua kategori, yakni; pertama, berangkat dari upaya menjelaskan makna-makna teks secara kurang lebih objektif dan baru setelah itu beralih kepada realitas kekinian untuk kontekstualisasinya. Ini diwakili pemikir seperti: Fazlur Rahmah, Muhammed Arkoun, dan Nasr Hamid Abu Zayd. Kedua, berangkat dari realitas kontemporer umat Islam menuju pemahaman yang sesuai dengan ajaranajaran yang mungkin diperoleh dari penafsiran Al-Qur’an ini diwakili pemikir progresif seperti: Farid Esack, Asghar Ali Engineer, dan Amina Wadud Muhsin. Lihat Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir Al-Qur’an Menurut Hasan Hanafi, Jakarta: Teraju, 2002, hlm. 94. 37
Asma Barlas, Believing Women in Islam, terj. R. Cecep Lukman Yasin, Cara Qur’an Membebaskan Perempuan, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003, hlm. 12.
72 Sebagaimana pengantar awal dalam kajian ini38 –ketika muncul berbagai kerancuan konseptual tentang kodrat antara laki-laki dan perempuan– Nasr Hamid melakukan pembongkaran terhadap wacana Arab–kontemporer melalui dua wacana yakni, wacana nahdah dan wacana krisis.39 Dalam konteks gerakan umum kemunduran secara ekonomi, sosial, dan pemikiran yang gerakan umum muncul di dalam realitas Mesir khususnya, dan realitas Arab umumnya, pada malam kekalahan Juni 1967, terjadilah kemunduran dalam segala prestasi yang pernah dicapai sejarah Arab modern. Pada masamasa kemunduran dan keruntuhan, pengaburan “perempuan sebagai mitra laki-laki” dan klaim bahwa perempuan “inferior dalam akal dan agama” semakin sempurna. Suatu hal yang menegaskan titik tolak analisis sejak awal, analisis yang menafsirkan penyerangan terhadap perempuan sebagai keterlukaan masyarakat Arab yang patriarkis. Seruan “ketiadaan persamaan” bermula dari beberapa realitas perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan. Wacana keagamaan yang menjadikan
teks-teks
keagamaan
sebagai
referensi
utamanya
dalam
mendiskusikan segala persoalan berusaha menandingi wacana Nahdah dalam menyerukan persamaan antara laki-laki dan perempuan. Dalam seruannya ini, ia mengandalkan otoritas –sebagaimana telah dijelaskan– teks-teks yang 38
Lihat pada pendahuluan (bab I) pada bagian latar belakang yang dijadikan pijakan secara umum dalam kajian ini. 39
Perlu dijelaskan bahwa kedua wacana ini berkaitan dengan Eropa sebagai “yang lain”. Wacana Nahdah (wacana kebangkitan) merupakan wacana terbuka yang dapat melihat “yang lain” dalam kemajuan dan rasionalisasinya, dan dalam waktu yang sama sangat sadar akan ambisi ekonomi dan politiknya. Sebaliknya, wacana krisis (wacana keagamaan) mengambil sikap permusuhan secara mutlak terhadap Eropa dengan berpegang pada turast yang telah menjadi jubah “identitas” dan “spesifisitas” yang bermakna perbedaan (distinction). Lihat, Nasr Hamid Abu Zayd, Dawa’ir, Op. Cit., hlm. 34.
73
menunjukkan persamaan dalam mendapatkan pahala di akhirat kelak berdasarkan atas prinsip ketaatan beragama dan khususnya dalam persoalan pelaksanaan syari’at.40 Namun ketika teks-teks lain tidak mendukung persamaan itu, seperti soal warisan, sanksi di depan pengadilan, talak, poligami dan lain-lain, maka sikap wacana ini tampak berlebih-lebihan menjustifikasinya. Sebagaimana dalam persoalan poligami, waris, dan talak. Menurut Nasr Hamid, kedudukan tidak setara antara laki-laki dan perempuan yang terdapat dalam Al-Qur’an lebih didasarkan atas hubungan- hubungan patriarkhal kesukuan. Ayat yang biasa dijadikan rujukan dalam hal poligami adalah:
ﺙ ﻼ ﹶ ﻭﺛﹸ ﹶ ﻰﻣﹾﺜﻨ ﺎﺀﻨﺴﻦ ﺍﻟ ﻣ ﺏ ﹶﻟﻜﹸﻢ ﺎ ﻃﹶﺎﻮﹾﺍ ﻣﻰ ﻓﹶﺎﻧ ِﻜﺤﺎﻣﻴﺘﺴﻄﹸﻮﹾﺍ ﻓِﻲ ﺍﹾﻟ ِ ﺗ ﹾﻘ ﻢ ﹶﺃﻻﱠ ﺘﻭِﺇ ﹾﻥ ِﺧ ﹾﻔ ﻮﻟﹸﻮﺍﺗﻌ ﻰ ﹶﺃﻻﱠﺩﻧ ﻚ ﹶﺃ ﻢ ﹶﺫِﻟ ﻧ ﹸﻜﺎﻳﻤﺖ ﹶﺃ ﻣﹶﻠ ﹶﻜ ﺎﻭ ﻣ ﺪ ﹰﺓ ﹶﺃ ﺍ ِﺣﻌ ِﺪﻟﹸﻮﹾﺍ ﹶﻓﻮ ﺗ ﻢ ﹶﺃﻻﱠ ﺘﻉ ﹶﻓِﺈ ﹾﻥ ِﺧ ﹾﻔ ﺎﺭﺑ ﻭ (3 : ﻨﺴﺎﺀ)ﺍﻟ Artinya: ”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hakhak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita- wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.41 (Q.S An- Nisa’: 3)
40
Kebanyakan penulis membedakan antara konsep “syari’ah” dan konsep “fiqh”, dengan dasar bahwa syari’ah menunjuk kepada kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip universal (al-qawa’id wa al-mabadi al-kulliyyah) yang diwahyukan dari Allah SWT. Sedangkan fiqh menunjuk kepada ijtihad-ijtihad manusiawi dari para ulama dalam membumikan prinsip-prinsip universal ke dalam realitas-realitas aktual, pada berbagai waktu dan tempat. 41
Departemen Agama RI, Al- Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Pelita III, 1984, hlm. 115
74
Menurut Nasr Hamid, konteks pewahyuan ayat ini jika dinisbatkan pada konteks struktur kebahasaan –bentuk kondisional yang menghubungkan antara kebolehan (al- ibahah) dan ketakutan akan tidak bisa bersikap adil terhadap anak yatim– menegaskan bahwa kata perintah itu bukanlah kata perintah tasyri’ yang abadi, melainkan pensyariatan yang terikat oleh waktu untuk mengatasi suatu problem yang muncul.42 Namun yang membuat rancu adalah bahwa tradisi “poligami” merupakan tradisi yang ada sebelum Islam di mana tidak tunduk terhadap aturan apapun. Apabila Islam meletakkan aturan- aturan dan kaidah-kaidah terhadap adat untuk berpoligami dengan menganggapnya sebagai kesenangan, maka interpretasi fiqhi terhadap aturan dan kaidah ini telah keluar dari konteks kesetaraan, dan menanamkan masa kembali dalam konteks dominasi laki-laki dan kesemena-menaannya terhadap eksistensi perempuan.43 Demikian juga halnya dalam masalah waris, ayat yang sering dijadikan rujukan adalah:
ﺍ ِﻥﺍِﻟﺪﻙ ﺍﹾﻟﻮ ﺮ ﺗ ﺎﻣﻤ ﺐ ﻧﺼِﻴ ﺎﺀﻨﺴﻭﻟِﻠ ﻮ ﹶﻥﺮﺑ ﺍ َﻷ ﹾﻗﺍ ِﻥ ﻭﺍِﻟﺪﻙ ﺍﹾﻟﻮ ﺮ ﺗ ﺎﻣﻤ ﺐ ﺼِﻴﺎ ِﻝ ﻧﺮﺟ ﻟﱢﻠ ﻭﻟﹸﻮﹾﺍ ﻤ ﹶﺔ ﹸﺃ ﺴ ﺮ ﺍﹾﻟ ِﻘ ﻀ ﺣ ﻭِﺇﺫﹶﺍ {7} ﻭﺿﹰﺎﻣ ﹾﻔﺮ ﻧﺼِﻴﺒﹰﺎ ﺮ ﻭ ﹶﻛﺜﹸ ﹶﺃﻨﻪﺎ ﹶﻗﻞﱠ ِﻣﻮ ﹶﻥ ِﻣﻤﺮﺑ ﺍ َﻷ ﹾﻗﻭ ﺶ ﺨ ﻴﻭﹾﻟ {8} ﻭﻓﹰﺎﻌﺮ ﻣ ﻮ ﹰﻻ ﻢ ﹶﻗ ﻬ ﻭﻗﹸﻮﻟﹸﻮﹾﺍ ﹶﻟ ﻪ ﻨﻢ ﻣﺯﻗﹸﻮﻫ ﺭ ﻓﹶﺎﺎ ِﻛﲔﻤﺴ ﺍﹾﻟﻰ ﻭﺎﻣﻴﺘﺍﹾﻟﻰ ﻭﺮﺑ ﺍﹾﻟ ﹸﻘ ﻮ ﹰﻻ ﻴﻘﹸﻮﻟﹸﻮﹾﺍ ﹶﻗﻭﹾﻟ ﻪ ﺘﻘﹸﻮﺍ ﺍﻟﹼﻠﻴﻢ ﹶﻓ ﹾﻠ ﻴ ِﻬﻋﹶﻠ ﺎﻓﹸﻮﹾﺍﺎﻓﹰﺎ ﺧﺿﻌ ِ ﹰﺔﻳﻢ ﹸﺫﺭ ﺧ ﹾﻠ ِﻔ ِﻬ ﻦ ﺮﻛﹸﻮﹾﺍ ِﻣ ﺗ ﻮ ﻦ ﹶﻟ ﺍﱠﻟﺬِﻳ
42
Nasr Hamid Abu Zayd, Dawa’ir, Op. Cit., hlm. 195
43
Ibid
75
ﺎﺭﹰﺍﻢ ﻧ ﺑﻄﹸﻮِﻧ ِﻬ ﻳ ﹾﺄ ﹸﻛﻠﹸﻮ ﹶﻥ ﻓِﻲ ﺎﻧﻤﻰ ﹸﻇﻠﹾﻤﹰﺎ ِﺇﺎﻣﻴﺘﺍ ﹶﻝ ﺍﹾﻟﻣﻮ ﻳ ﹾﺄ ﹸﻛﻠﹸﻮ ﹶﻥ ﹶﺃ ﻦ { ِﺇﻥﱠ ﺍﱠﻟﺬِﻳ9} ﺳﺪِﻳﺪﹰﺍ ﻴ ِﻦ ﹶﻓﺈِﻥﻴﻆ ﺍﻷُﻧﹶﺜ ﺣ ﱢ ﻢ ﻟِﻠﺬﱠ ﹶﻛ ِﺮ ِﻣﹾﺜﻞﹸ ﻭ ﹶﻻ ِﺩﻛﹸ ﻪ ﻓِﻲ ﹶﺃ ﻢ ﺍﻟﻠﹼ ﻮﺻِﻴ ﹸﻜ{ ﻳ10} ﺳﻌِﲑﹰﺍ ﻮ ﹶﻥ ﺼﹶﻠ ﻴﺳ ﻭ ﻳ ِﻪﻮ ﺑﻭ َﻷ ﻒ ﺼ ﺎ ﺍﻟﻨﺪ ﹰﺓ ﹶﻓﹶﻠﻬ ﻭﺍ ِﺣ ﺖ ﻧﻭﺇِﻥ ﻛﹶﺎ ﻙ ﺮ ﺗ ﺎﻦ ﹸﺛﹸﻠﺜﹶﺎ ﻣ ﻴ ِﻦ ﹶﻓﹶﻠﻬﺘﻨﻕ ﺍﹾﺛ ﻮ ﺎﺀ ﹶﻓ ِﻧﺴﹸﻛﻦ ﻭ ِﺭﹶﺛﻪ ﻭ ﺪ ﻭﹶﻟ ﻪ ﻳﻜﹸﻦ ﱠﻟ ﻢ ﺪ ﹶﻓﺈِﻥ ﱠﻟ ﻭﹶﻟ ﻙ ﺇِﻥ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﹶﻟﻪ ﺮ ﺗ ﺎﺱ ِﻣﻤ ﺪ ﺎ ﺍﻟﺴﻬﻤ ﻨﻣ ﺍ ِﺣ ٍﺪِﻟ ﹸﻜﻞﱢ ﻭ ﻭ ﺎ ﹶﺃﻳﻮﺻِﻲ ِﺑﻬ ﻴ ٍﺔﺻ ِ ﻭ ﻌ ِﺪ ﺑ ﺱ ﻣِﻦ ﺪ ﻣ ِﻪ ﺍﻟﺴ ُﻮﹲﺓ ﹶﻓﻸ ﺧ ِﺇﺚ ﹶﻓﺈِﻥ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﹶﻟﻪ ﻣ ِﻪ ﺍﻟﺜﱡﹸﻠ ﹸ ُﻩ ﹶﻓﻸ ﺍﺑﻮﹶﺃ ﻪ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﻦ ﺍﻟﹼﻠ ِﻪ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﹼﻠ ﻣ ﻀ ﹰﺔ ﻧﻔﹾﻌﹰﺎ ﹶﻓﺮِﻳ ﻢ ﹶﻟ ﹸﻜﺮﺏ ﻢ ﹶﺃ ﹾﻗ ﻬ ﻳﻭ ﹶﻥ ﹶﺃﺪﺭ ﺗ ﻢ ﹶﻻ ﺅ ﹸﻛ ﻭﺃﹶﺑﻨﺎ ﻢ ﺅ ﹸﻛ ﺂﻳ ٍﻦ ﺁﺑﺩ (11-7: ﺴﺎﺀﺣﻜِﻴﻤﹰﺎ )ﺍﻟﻨ ﻋﻠِﻴﻤﺎ Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibubapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu- bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin,maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik. Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta.dan untuk orang ibu-bapak, bagi masingmasingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (pembagian-pembagian tersebut diatas) sesudah
76
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. 44 (Q.S An-Nisa’: 7-11) Dengan melihat ayat tersebut diatas, Nasr Hamid menunjukkan dua hal yang patut dicatat dalam memahami wacana Al-Qur’an mengenai warisan. Pertama, bahwa Al-Qur’an memerintahkan untuk memberikan bagian-bagian shadaqah kepada kerabat (aqrabun), anak-anak yatim, dan orang-orang miskin yang merupakan kelompok di mana tidak mendapat warisan, apabila mereka hadir pada saat pembagian warisan. Kedua, AlQur’an menekankan bahwa hubungan klan (asabiyyah) bukanlah hubungan kemanusiaan yang paling penting sebagaimana yang dipahami orang-orang masa pra-Islam.45 Nasr Hamid, juga melihat posisi perempuan dalam masyarakat pra-Islam dari aspek konteks sosio historisnya. Petanda dari sebagian besar
hukum
signifikansinya,
Islam tidak
yang
berkaitan
dengan
bisa
diungkap
tanpa
perempuan,
juga
mempertimbangkan
kebudayaan Arab pra-Islam. Dalam budaya masyarakat Arab praIslam, perempuan tidak mempunyai hak untuk memiliki. 46 Karena tidak produktif, perempuan tidak mendapatkan warisan; bahkan sebaliknya mereka dapat diwariskan layaknya harta warisan. 44
Departemen Agama RI, Op. Cit., hlm. 116
45
Nasr Hamid Abu Zayd, Op. Cit., hlm. 207
46
Syafiq Hasyim, Hal-Hal Yang Tak Terpikirkan tentang Isu-Isu Keperempuanan dalam Islam, Bandung: Mizan, 2001, hlm. 238
77
Di mana aturan standarnya terkait dengan produktifitas masalah ekonomi, sebagaimana yang mereka katakan: “kita tidak memberikan warisan kepada orang yang tidak bisa menunggang kuda, tidak kepayahan, dan tidak melukai musuh”. 47 Ini mengekspresikan sebuah kebudayaan yang menganggap bahwa peperangan tidak saja hanya untuk mendapatkan kekuasaan tetapi juga harta kekayaan hasil dari rampasan perang (ghanimah) dan budak tawanan. Dalam kebudayaan semacam ini AlQur’an menyatakan bahwa perempuan mendapatkan warisan setengah dari bagian laki-laki. Selanjutnya, menurut pendapat syekh Muhammad al-Ghazali bahwa persamaan mutlak antara laki-laki dan perempuan merupakan hal yang mustahil. Lebih lanjut al-Ghazali menegaskan kemustahilan persamaan dalam konteks pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan yang tergantung pada perbedaan-perbedaan biologis antara keduanya. Kesimpulan dari adanya perbedaan dalam hal kemampuan fisik adalah menjadikan laki-laki dalam hal fungsi anggota tubuh lebih mampu menangani pekerjaan yang dirasa sulit dilakukan oleh perempuan.48 Dengan dalih pada pengurangan rasa sakit dari “makhluk keras” dan mengkondisikan iklim rumah tangga yang kondusif bagi perempuan untuk hidup, bekerja, dan berkreasi. Kondisi tersebut seringkali dianggap sebagai takdir yang tidak akan bisa berubah, hanya karena ada tuntutan untuk melindungi perempuan dari kekerasan 47 48
Nashr Hamid Abu Zayd, Dawa’ir, Op. Cit., hlm. 208
Ibid., hlm. 80–81.
78
pekerjaan. Sehingga eksistensi perempuan terpasung dalam temboktembok rumah untuk mengurus keluarga dan berperan sebagai ibu, sedangkan tugas publik menjadi wilayah aktivitas laki-laki. Dalam konteks demikian, pendasaran diri pada perbedaan seksual antara laki-laki dan perempuan merupakan pembenar terhadap kondisi tersebut.49 Nasr Hamid juga memaparkan bahwa di antara hal yang muncul dalam konteks deskriptif Al-Qur’an, tetapi dianggap sebagai legislasi (syari’ah) adalah masalah kepemimpinan (qawamah) laki-laki atas perempuan yang dipahami sebagai tanggung jawab laki-laki terhadap perempuan dengan segala implikasinya dari kewenangan menghukum yang dilakukan laki-laki untuk mendidik istrinya (mendiamkan dan memukul).50 Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya QS. an-Nisaa’ ayat 34:
ﻦ ﺎ ﺃﹶﻧ ﹶﻔﻘﹸﻮﹾﺍ ِﻣﻭِﺑﻤ ﺾ ٍ ﻌ ﺑ ﻋﻠﹶﻰ ﻢ ﻬ ﻀ ﻌ ﺑ ﻪ ﻀ ﹶﻞ ﺍﻟﻠﹼ ﺎ ﹶﻓﺎﺀ ِﺑﻤﻨﺴﻋﻠﹶﻰ ﺍﻟ ﻮ ﹶﻥﺍﻣﺎ ﹸﻝ ﹶﻗﻮﺮﺟ ﺍﻟ ﺎﻓﹸﻮ ﹶﻥﺗﺨ ﻼﺗِﻲ ﺍﻟ ﱠﻪ ﻭ ﻆ ﺍﻟﻠﹼ ﺣ ِﻔ ﹶ ﺎﺐ ِﺑﻤ ِ ﻴﻐ ﺕ ﱢﻟ ﹾﻠ ﺎِﻓﻈﹶﺎﺕ ﺣ ﺎﺕ ﻗﹶﺎِﻧﺘ ﺎﺎِﻟﺤﻢ ﻓﹶﺎﻟﺼ ﺍِﻟ ِﻬﻣﻮ ﹶﺃ ﻮﹾﺍﺒﻐﺗ ﻼ ﻢ ﹶﻓ ﹶ ﻨﻜﹸﻌ ﹶﻓِﺈ ﹾﻥ ﹶﺃ ﹶﻃﻫﻦ ﻮﺿ ِﺮﺑ ﺍﺎ ِﺟ ِﻊ ﻭﻤﻀ ﻓِﻲ ﺍﹾﻟﻫﻦ ﻭﺠﺮ ﻫ ﺍ ﻭﻫﻦ ﹶﻓ ِﻌﻈﹸﻮﻫﻦ ﺯ ﻮﻧﺸ {34 :ﻴﹰﺎ ﹶﻛﺒِﲑﹰﺍ }ﺍﻟﻨﺴﺎﺀﻋِﻠ ﻪ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﻼ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﹼﻠ ﺳﺒِﻴ ﹰ ﻦ ﻴ ِﻬﻋﹶﻠ Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri dibalik pembelakangan suaminya oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatiri nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka, 49
Ibid, hlm. 82.
50
Ibid, hlm. 190.
79
dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Suci lagi Maha Besar”. (QS. An-Nisa: 34) 51 Selanjutnya
Nasr
Hamid
mengungkap
bahwa
orang
yang
mencerminkan riwayat yang disampaikan oleh as-Suyuti tentang sebab turunnya ayat, niscaya akan mengetahui masalah perhatian wahyu terhadap kondisi audiensinya yang kemudian dipergunakan dalam pengungkapan wahyu. Sebuah riwayat menceritakan bahwa seorang perempuan datang kepada Nabi SAW untuk mengadukan suaminya yang telah memukulnya, maka Nabi berkata: “dia tidak berhak untuk melakukan itu (memukul istri)” dan Nabi memutuskan hukum agar perempuan tersebut meng-qishash suaminya. Hal ini menunjukkan prinsip kesetaraan yang mendasar dalam Islam tetapi karena audiensinya tersebut tidak mampu untuk memikul kesetaraan itu, maka turunlah ayat qawamah tersebut.52 Namun dengan mudah sebagian orang ber–istinbat dan inilah yang terjadi secara praksis dari aspek lahiriah firman Allah “Karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain”, bahwa qawamah disandarkan kepada keputusan muthlak Ilahi untuk melebihkan laki-laki atas perempuan; yang oleh karenanya qawamah menjadi hukum ilahi yang tidak boleh diperdebatkan.53
51
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Pelita III, 1984, hlm. 123.
52
Nasr Hamid Abu Zayd, Dawa’ir, Op. Cit., hlm. 191.
53
Ibid.
80
Karena tidak ada upaya kompromi dari dua pemahaman yang berbeda, mengakibatkan hilangnya dialektika teks dan realitas–historis. Padahal, Allah meninggikan sebagian manusia atas sebagian yang lain harus dipahami sebagai ungkapan deskriptif realitas yang harus diubah demi mewujudkan kesetaraan yang fundamental.