BAB IV ANALISIS KONSEP TA'WIL NASR HAMID ABU ZAYD RELEVANSINYA DENGAN PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM
A. Landasan Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd dalam Pengembangan Konsep Ta'wil 1. Landasan Ta'wil Abu Zayd Landasan interpretasi Abu Zayd, adalah bahwa al-Qur'an tidaklah dimaksudkan untuk menjawab semua problem manusia. Al-Qur'an tidaklah mengandung segalanya.1 Karenanya, al-Qur'an ataupun hadits Nabi dapat dianalisis dengan menggunakan metode analisis teks. Maka penerapan metode analisis sastra-bahasa terhadap teks keagamaan bukan berarti memaksakan metode yang tak sesuai dengan watak teks itu.2 Menurut beliau, memang banyak hal yang harus diperoleh di luar al-Qur'an. Dengan demikian, interpretasi tidaklah didasarkan atas kebutuhan-kebutuhan aktual dan selalu memenuhi kebutuhan-kebutuhan kekinian. Apabila hal ini tidak diingat, interpretasi akan mudah dimanipulasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan kekinian dan jawabannya sering sekali telah didapatkan justru sebelum interpretasi
1
Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al Qur’an: Teori Hermeneutika Nasr Abu Zayd,Bandung: Teraju, 2003, hlm. 96. 2 Dzulmanni, "Al-Qur'an Sebagai Teks Terbuka", dalam Kompas, Jakarta, 27 Mei 2001.
dilakukan. Kalau ini terjadi, interpretasi tidak lebih merupakan upaya pembenaran atas suatu opini atau posisi tertentu.3 Tiga unsur triadik4 tidaklah mungkin dapat disatukan secara mekanis, karena sesungguhnya keterkaitan antara anasir tersebut merupakan pemisahan problem yang mendasar, yaitu problematika yang ada dalam ta'wil yang memerlukan analisis yang cukup rumit untuk memahaminya. Karena itu salah satu aspek yang dikembangkan Abu Zayd dalam mengatasi persoalan ini adalah menelusuri dan menemukan terlebih dahulu konteks dari suatu teks dan konteks dari suatu penafsiran, begitu pula konteks pembacaan atau sang pengarang, sehingga historical reconstruction dan objective divinatory reconstruction bisa lebih dimungkinkan. Untuk yang pertama dimaksudkan membahas sebuah pertanyaan dalam hubungan dengan bahasa sebagai keseluruhan, sedang yang kedua bermaksud membahas awal mulanya sebuah pernyataan masuk dalam pikiran seseorang. Dalam mengonsepsikan al-muhkam dan al-mutasyabih5 di satu sisi, dan perbedaan di persoalan politik dan keyakinan di sisi yang lain, Abu 3
Moch. Nur Ichwan, op. cit., hlm. 96. Yaitu: Pengarang (muallif), teks (al-nass) sang pengkaji (al-naqid) atau maksud (alqasdu), teks dan penafsiran (al-tafsir). Lihat: Hilman Latief, Kritik Teks Keagamaan, Yogyakarta: eLSAQ press, 2003, hlm. 77. 5 Al-Muhkamat dan al-Mutasyabihat adalah sebagai penuntun rasionalisme. Dari ayatayat mutasyabihat inilah umat Islam diajak untuk melakukan suatu pemikiran yang mendalam dan otomatis penggunaan metode rasional dihalalkan untuk memahami ayat-ayat tersebut, dengan syarat orang yang ingin memahaminya benar-benar mampu. (Lihat: Herman Susilo, "Al-Qur'an dan Rasionalisme", dalam www.lapmidenpasar.s5.com. 2001). 4
Zayd menganggapnya sebagai permasalahan yang cukup penting yang menjadikan perbedaan-perbedaan pada diri si penafsir. Maka dari itu jika si penafsir berbeda dalam mendefinisikan hakekat teks, kedudukan pembacaan yang dilakukan pada teks, serta teks mana sajakah yang bisa diberi tafsiran (mutasyabih) dalam bentuk exegesis dan interpretation, dan mana yang tidak perlu memerlukan pejelasan lebih jauh (muhkam), maka jelas mereka tidak akan sama dalam memunculkan makna yang dikandungnya.6 Berbeda dengan Farid Esack, Asghar Ali Engineer, Hassan Hanafi, dan lain-lain, Abu Zayd masih meyakini adanya makna objektif di balik suatu teks. Baginya, makna objektif yang bersembunyi di balik teks-teks al-Qur'an, mungkin ditemukan setelah proses objektifikasi melalui piranti hermeneutika. Ia mengusulkan agar hermeneutika selalu berpijak pada pemilahan yang tegas antara makna kesejarahan suatu teks (al-ma’nat târîkhî) dan pengertian atau interpretasi baru (al-maghzâ) yang ditarik dari makna kesejarahan yang objektif tersebut. Menurutnya, makna historis itulah yang pertama-tama harus diungkap seorang penafsir, dengan pembacaan pada struktur internal dan dimensi historis (al-bu’dut târîkh) teks tersebut. Setelah itu, baru dilakukan penafsiran yang mungkin menjawab problem-problem kehidupan masa kini. Metode tafsir ini
6
Hilman Latief, op. cit., hlm. 77-78.
memungkinkan al-Qur'an terbuka untuk makna-makna yang baru (qâbil litajaddudil fahm).7 Di sini Abu zayd berusaha mengupas sisi-sisi subjektivitas dari pribadi sang pengarang, untuk menjembatani perbedaan-perbedaan tersebut. Belum lagi jika dikaitkan dengan kajian satra atau aspek linguistiknya yang nampaknya memungkinkan terjadinya perbedaanperbedaan penafsiran. Ia mencoba membuktikannya ketika mencoba menelusuri lapisan-lapisan epistemologis sang penafsir serta wacana yang berkembang darinya, menyangkut teologi maupun filsafat.8 Abu Zayd telah memberi perspektif lain tentang kedudukan alQur'an, lengkap dengan cara membaca dan memahaminya. Setiap kita bisa bersetuju atau menolak. Penerimaan dan penolakan suatu pemikiran tentu hal yang lazim dalam dunia akademis-intelektual. Yang tidak lazim adalah penolakan atas orang yang berbeda pikiran dengan kita, disertai caci maki, lebih-lebih vonis kafir atau murtad. Lantas bagaimana tentang klaim al-Qur'an bahwa dia merupakan:
ﻚ ﺍﻟﹾﻜِﺘَﺎﺏَ ِﺗ ْﺒﻴَﺎﻧًﺎ ﱢﻟ ﹸﻜ ﱢﻞ َﺷﻲ ٍْﺀ َ َﻭَﻧ ﱠﺰﹾﻟﻨَﺎ َﻋ ﹶﻠ ْﻴ:
7
"…penjelasan atas segala sesuatu…"
Abd Moqsith Ghazali, "Agama Sebagai Sumber Kekerasan", dalam www.islamlib.com, 14 September 2004. 8 Hilman Latief, op, cit., hlm. 78-79.
(QS. Al-Nahl, ayat 89),9
ﺏ ِ ﱠﻣﺎ ﹶﻓ ﱠﺮ ﹾﻃﻨَﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟ ِﻜﺘَﺎ:
"…Atau tidaklah kami
alpakan sesuatu pun dalam kitab ini…" (QS. Al-An'am, ayat 38),10 dalam menginterpretasikan ayat-ayat ini Abu Zayd mengatakan bahwa segala sesuatu dalam ayat ini berarti "(segala) sesuatu dalam kerangka agama", karena al-Qur'an adalah kitab agama, bukan buku filsafat, sains atau teknik.11 Dalam mengkaji dan menginterpretasikan al-Qur'an secara objektif Abu Zayd mengajukan dua premis: premis mayor dan premis minor, yang keduanya terkait dengan bahasa keagamaan teks. Premis mayor (almuqaddimah
al-kubra)
mengatakan
bahwa
bahasa
al-Qur'an
menderivikasikan otoritasnya dari bahasa Arab (al-lisan al-Arabi) secara umum, dan dari penggunaan historisnya di Semenanjung Arabia sebelum Islam. Adapun premis minor (al-muqaddimah al-sughra) mengatakan bahwa teks al-Quran telah mengubah sejumlah makna terminologi Arab pra-Islam (yakni bahasa pra Islam) dan memberinya makna keagamaan (al-dalalah al-syariyyah) yang baru. Misalnya kata al-shalah, al-Zakah, dan al-shawm kini dipergunakan sebagai terma-terma dan praktik
9
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: CV. ALWAAH, 1993, hlm. 415. 10 Ibid, hlm. 192. 11 Moch. Nur Ichwan, op. cit., hlm. 96.
peribadatan dan ritual keagamaan Islam yang berbeda dari makna-makna originalnya pada masa pra Islam.12 Di atas dasar kedua premis tersebut Abu Zayd melontarkan hipotesis bahwa bahasa teks al-Qur'an, yang berasal "dari bahasa ibu" (bahasa pra-al-Qur'an), mempunyai spesifiknya sendiri yang tidak hanya mengubah makna sejumlah kata-kata dari konvensi-konvensi linguistik pra-Islam (pra al-Qur'an) menjadi terma-terma keagamaan, namun juga melampaui horison yang lebih luas; bahasa al-Qur'an berusaha untuk membangun sistem linguistiknya sendiri. Orisinalitas dan tingkat kreativitas teks diarahklan oleh perkembangan dalam sistem linguistik dan dalam realitas13 dan budaya. Berdasarkan analisis wacana (discourse analisis), ada dua prinsip penting yang harus diperhatikan oleh penafsir/pembaca. Pertama, wacanawacana yang diproduksi dalam konteks budaya dan sejarah tertentu termasuk wacana al-Qur'an, bukanlah wacana tertutup atau terisolasi oleh wacana-wacana lainnya?14 Hal ini membuka peluang untuk penakwilan yang produktif pada satu sisi dan kajian intertekstual atas teks al-Qur'an pada sisi yang lain. Kedua, semua wacana sama dalam hakekatnya sebagai 12
Ibid, hlm. 97. Realitas adalah kondisi sosio politik yang mencakup tindakan-tindakan manusia yang menjadi sasaran teks, termasuk penerima teks, yang pertama, Nabi Muhammad; sementara budaya adalah dunia konsep yang terbentuk dalam bahasa, bahasa yang sama dengan bahasa al-Quran. Ini berati bahwa teks tidak dapat dipisahkan dari realitas kultural linguistik pasa satu sisi dan memproduksi sebuah kode spesifik yang, pada gilirannya, membentuk bahasa dan budaya pada sisi lain. Lihat Moch Nur Ikhwan Ibid. 14 Ibid, hlm. 98. 13
wacana. Tidak satupun yang berhak mengklaim kebenaran karena ketika suatu wacana melakukannya, ialah telah menunjukkan bahwa ia adalah wacana palsu. Hal ini terjadi dalam wacana keagamaan.15 Keberadaan wacana ilahi (al-Qur'an) dari aspek sumbernya tidaklah berarti bahwa ia tidak dapat dianalisis dengan wacana ilahi yang sudah masuk dalam bahasa manusia dengan segala problematika konteks sosial, kultural, dan historisnya. 2. Pengembangan Metode Ta'wil Proses decoding interpretasi yang tak henti-henti, yang merupakan konsekuensi universalitas pesan Islam, sebagaimnana diyakini kaum muslimin, yang ditujukan kepada seluruh manusia.16 Hukun Islam sendiri tidak mengklaim validitas universal.17 Hal ini meniscayakan diversitas interpretasi. Interpretasi terhadap teks adalah dealektika kreatif antara masa lalu dan masa kini. Abu Zayd yakin bahwa menyadari perbedaan antara makna kontekstual original, yang hampir-hampir baku (fixed) disebabkan karena historisitasnya, dan signifikansi yang secara kuat terkait dan secara rasional berhubungan dengan makna itu, akan memproduksi interpretasi yang lebih valid. Setelah itu, analisis juga diarahkan kepada kata-kata yang "terkatakan" (al-maskut 'anhu), yang
15
Ibid. Ibid., hlm. 102. 17 Joseph Schacht, an Introduction to Islamic Law. Terj. Islamika "Pengantar Hukum Islam", Jogjakarta: Islamika, 2003, hlm. 297-298. 16
mana dibedakan dari signifikansi. Signifikansi masih terkait dengan makna, tetapi yang tak tekatakan muncul dari proses pembacaan, dengan memperhatikan arah teks-teks yang dibaca.18 Pengembangan ta'wil Abu Zayd dapat dirumuskan sebagai berikut: a. Prosedur penafsiran tematik dipergunakan, meskipun tidak sepenuhnya. Ayat-ayat lain yang setema dipertimbangkan, tetapi tetap dengan menghargai kekhasan masing-masing ayat. Itu disebabkan karena perbedaan-perbedaan konteks historis dan lingguistiknya. Tidak semua ayat dipertimbangkan, hanya ayat-ayat yang mewakili saja. Untuk mendapatkan ayat-ayat yang mewakilli ini, tentu harus dilakukan pembacaan terhadap semua ayat terkait, kemudian dilakukan kategorisasi. Prosedur ini banyak menggunakan analisis linguistik dan sastrawi. b. Menganalisis ayat-ayat itu untuk dilihat level maknanya apakah hanya menunjuk kepada bukti atau fakta historis (syawahid tarikhiyyah), yang tidak dapat diinterpretasikan secara metaforis; atau makna itu menunjuk kepada bukti atau fakta historis dan dapat diinterpretasikan secara metaforis; atau makna itu dapat diperluas berdasarkan atas signifikansi yang dapat diungkap dari sosiokultural di mana teks itu
18
Moch. Nur Ikhwan, op. cit., hlm. 102.
berada. Kritik historis diterapkan di sini untuk melihat makna original teks, dan untuk melihat kemungkinan level makna. Adapun analisis linguistik dan sastrawi untuk melihat kemungkinan adanya makna metaforis dan signifikansi. c. Memperhatikan arah teks-teks yang dibaca, diperlukan pengetahuan mengenai konteks penurunan ayat, mana yang diturunkan lebih dahulu dan mana yang belakanagan. d. Mencari aspek-aspek yang tak terkatakan di dalam teks-teks itu. Ini dapat diperoleh dari keseluruhan pembacaan teks, yang harus dilakukan berkali-kali dengan mempertimbangkan arah teks. Di sini pun kritik historis dan satrawi bermain secara serentak dalam proses pembacaan. e.
Melakukan kritik idiologis terhadap pembacaannya sendiri, sejauh mana idiologi dan kecenderungan-kecenderungan pragmatisnya berpengaruh dalam penafsirannya. Idiologi dan kecenderungan ini dapat mungkin ditekan agar tidak merusak objektivitas19 interpretasi. Ini menjelaskan bahwa dalam pembacaan kontekstualnya, dia lebih
menekankan pada konteks teks, yakni konteks historis dan linguistiknya,
19
Objektivitas harus dicari dalam institusi dan tradisi kritik sesuatu disiplin. Hanya dengan saling memberi dan menerima kritik terbuka serta saling mempengarui antara bermacammacam bias, sehingga kita berharap akan munculnya sesuatu yang mendekati objektivitas. Dengan kata lain, bahwa objektivitas hakiki adalah sesuatu disiplin yang diusahakan dan ditingkatkan secara kumulatif dari masa ke-masa. (lihat: David Kaplan dan Albert A. Manners, The Theory Of Culture, Terj. Pustaka Pelajar "Teori Budaya", Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, hlm. 32-33).
ketimbang konteks kekinian teks itu. Ini barangkali merupakan konsekuensi dari pendekatan linguistik dan sastrawinya di satu sisi, dan pandangannya yang hati-hati terhadap idiologi penafsir, yang sering berangkat dari konteks masa kini, pada sisi lain. Ini merupakan perbedaan yang
paling
menonjol
antara
hemeneutika
Abu
Zayd
dengan
hermeutikanya Fazlur Rahman, Hasan Hanafi dan Farid Esack. Menjelaskan
bahwa
Abu
Zayd
mempresentasikan
sebuah
pergeseran dari paradigma lama tentang tekstualitas al-Qur'an yang didasarkan spekulasi teologis, kepada paradigma baru yang didasarkan kepada teori sastra modern; pergeseran dari buku mushhaf tertutup kepada teks-nash terbuka. Dia juga menyentuh isu yang paling sensitif sekaligus paling penting dalam studi al-Qur'an secara khusus dan Islam secara umum, yakni tekstualitas al-Qur'an. Penggunaan kritik sastra telah membimbingnya untuk mempelakukan teks al-Qur'an sebagai sebuah produk kultural dan sebuah teks linguistik-historis-manusiawi. Namun dia juga mengatakan bahwa tidak semua interpretasi diperkenankan. Interpretasi harus bebas dari kepentingan-kepentingan idiologis dan harus didasarkan atas metode kajian ilmiah yang obyektif.20 Abu Zayd juga menawarkan metode baru sebagai wahana penafsiran ayat-ayat al-Qur'an. Metodologi baru yang diusung adalah
20
Moch. Nur Ikhwan, op. cit., hlm. 104-106.
hermeneutika21 al-Qur'an. Sebagaimana kita ketahui bahwa kajian hermeneutikanya
ini
merupakan
proyek
besar
dalam
perjalanan
hidupnya.22 Dalam kaitan ini ada beberapa hal yang patut diperhatikan: 1) Pengarang atau pemberi pesan (Tuhan). Tuhan sebagai "pengarang" teks ada pada posisi sama sekali berbeda, baik dengan Muhammad sebagai penerima pesan. Tuhan adalah Dzat Maha Tinggi dan Tak Terbatas; sedang Muhammad dan elemen lain yang digunakan untuk menyampaikan pesan (bahasa dan teks) dalam posisi yang serba terbatas. 2) Bahasa dan teks sebagai medium guna menyampaikan pesan wahyu, meski mempunyai keistimewaan, namun ia tetap merupakan produk budaya yang mempunyai sifat terbatas. Di sini, kita tentu boleh bertanya, apakah gagasan Tuhan yang sifatnya tak terbatas itu dapat terangkum secara keseluruhan dengan menggunakan medium (bahasa) yang terbatas? Tentu tidak. Menyamakan ide Tuhan hanya sebatas yang terungkap dalam simbol bahasa dan teks sama artinya mengecilkan Tuhan, karena dengan itu berarti kita telah "membatasi" Tuhan, padahal Dia tak terbatas. Dengan demikian, bahasa dan teks ibarat gunung es, makna yang tidak tampak 21
Hermeneutika adalah sebuah alat yang memainkan sebuah bagian perdamaian dari agama menuju revolusi dan menyatukan dua legalitas (agama dan revolusi) menjadi satu . Hermeneutika juga merupakan kebenaran dalam menafsirkan masa lampau untuk kepentingan masa yang akan datang, dan alat untuk membaca tradisidalam kepentingan revolusi. (lihat Hasan Hanafi, Hermeneutic, Liberation and Revolution, Terj. PRISMA SOPHIE PUSTAKA UTAMA "Bongkar Tafsir: Liberalisasi, Revolusi, Hermeneutik", Jogjakarta: PRISMA SOPHIE PUSTAKA UTAMA, 2003, hlm. 103-104). 22 Moch. Nur Ikhwan, op. cit., hlm. 84.
lebih banyak daripada makna yang muncul ke permukaan. 3) Audiens, yaitu pihak-pihak yang menerima pesan, baik Muhammad sebagai rasul maupun umat dan generasi sesudahnya. Manusia sebagai audiens yang menerima wahyu Tuhan senantiasa ada dalam situasi yang terus berubah.23 Sedangkan keterbatasan teks sebenarnya dapat dilihat dari beberapa sifat yang ada dalam teks itu sendiri, antara lain: Pertama, teks dalam banyak kasus mempunyai sifat ambigu, karena itu ia selalu membuka kemungkinan adanya pluralitas makna. Kedua, pada saat lain teks bisa menyembunyikan makna. Apa yang terungkap secara eksplisit belum tentu merupakan makna sebenarnya yang ingin disampaikan. Ketiga, teks bisa menunda makna, artinya makna yang ada dalam teks bisa saja baru diketahui pada saat yang tidak dapat ditentukan, karena tidak mungkin ada pesan Tuhan yang disampaikan kepada manusia tetapi hanya Tuhan yang tahu makna dari pesan itu.24 Dalam sudut pandang Abu Zayd tentang teks tampak bahwa ia mendapat pengaruh dari berbagai disiplin ilmu semantik "interpretasi" barat yang dikembangkan oleh Schleiermacher, Dilthey, bahkan G. Gadamer. Sangat jalas kiranya dari bagaimana cara pandangnya terhadap al-Qur'an yang menurutnya sebuah teks produk budaya. Sebuah teks yang 23 24
Rumadi, "Menepis Hegemoni Teks Agama", dalam Kompas, 13 September 2002. Moch. Nur Ikhwan, op. cit., hlm.
sangat terpengaruhi oleh lingkungan lokalitas, sebagaimana bukti penurunan al-Qur'an secara gradual dan aspek-aspek asbab an-nuzul yang melingkupi ayat. Maka teks-teks agama secara umum dianggapnya laiknya teks sastra yang tidak terpisah dari struktur budaya tempat ia terbentuk. Teksteks illahiyah tidak dapat dikesampingkan dari unsur teks linguistik dan segala konsekuensi logis implikasi kebahasaannya; "teks selalu terkait dengan ruang dan waktu dalam pengertian historis dan sosiologis."25 Dia tampak melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi dalam ranah dialektika interpretasi. Dekonstruksinya diawali dengan pembongkaran terhadap konsep teks ala ulama klasik yang hanya sebagai sesuatu yang tersurat (gramatikal) dan sifanya illahiyah dan tak tersentuh. Sementara rekonstruksinya dibangun dengan menggabungkan (membuat sintesis) dari tafsir dan ta'wil dalam sebuah format hermeneutika al-Qur'an. Metode yang juga dinamakan ta'wil ini mencoba menciptakan sebuah versi lain dari penafsiran produktif yang dibedakan dari interpretasi idiologis. Melalui penggabungan kedua metodologi klasik itu Abu Zayd tampak ingin menentukan makna obyektif sekaligus merumuskan makna signifikansi teks-teks al-Qur'an yang disesuaikan dengan konteks kontemporer.26 25 26
Ibid, hlm. 84. Ibid., hlm. 62-63.
Dan perlu diperhatikan, bahwa dalam membaca teks suci, dalam diri manusia ada sejumlah situasi, kemampuan, kecerdasan, referensi, dan sebagainya yang bisa jadi berbeda satu dengan yang lain. Persepsi sebelum membaca teks, vested interest serta pengalaman hidup dan religius akan mempengaruhi seseorang dalam mengungkap makna teks. Kerangka itulah yang sebenarnya ingin menunjukkan adanya relativitas kebenaran makna teks. Secanggih apa pun proses pencarian makna teks, ia harus diletakkan dalam altar relativisme, sehingga ia senantiasa terbuka untuk dikoreksi (qabil al-taghyir wa al-niqash). Dalam kaitan ini, pencarian makna dapat dilakukan dengan melampaui teks itu guna mengungkap kebenaran lain dari "pucuk gunung es" teks.27 Bagaimanapun Ta'wil Abu Zayd, sebagaimana dikemukakan di atas, menunjukkan adanya pembaharuan metode ta'wil. Dan hal ini akan sangat membantu dalam memahami al-Qur'an di tengah kehidupan modern dewasa ini dan masa-masa yang akan datang. Dan perlu kita garisbawahi bahwa tidaklah tepat men-ta'wil-kan suatu ayat, semata-mata berdasarkan pertimbangan akal dan mengabaikan faktor kebahasaan yang terdapat dalam teks ayat, lebih-lebih bila bertentangan dengan prinsipprinsip kaidah kebahasaan. Karena, hal ini berarti mengabaikan ayat itu sendiri.
27
Rumadi, op. cit.
3. Implikasi Metodologis Diskursus tradisional tentang al-Qur'an, kadang-kadang tafsir dalam kapasitas dan cirinya diserupakan dengan ilmu-ilmu al-Qur'an berupa nasikh mansukh, asbab an-nuzul, al-makki dan al-madani, dan seterusnya. Semua itu disebut unsur an-naqli, karena mencakup berbagai pengetahuan instrumental yang digunakan dalam proses interpretasi. Hal ini agaknya dikaitkan dengan fungsi ilmu-ilmu tersebut sebagai mediator pemahaman. Sementara itu, ta'wil demi penekanan yang lebih besar pada aspek reflektif dalam proses interpretasi, lebih tepat jika disebut sebagai proses ijtihad atau dirayah secara lebih hakiki.28 Sedangkan penekanan pada aspek nalar dan ijtihad dalam ta'wil lebih dominan ketimbang pemahaman melalui bahasa dan penggunaan metode problematika (ilmu-ilmu al-Qur'an) tertentu, maka dalam wacana studi al-Qur'an tradisional terdapat juga pemilihan yang idiologis antara termenologi tafsir dan ta'wil. Yang pertama dianggap dapat menghasilkan penafsiran al-Qur'an yang lebih valid dan obyektif yang diwakili oleh mereka yang lebih kuat berpegang pada riwayat atau teks (naql) yang disebut ahl-assunah. Sementara yang terakhir, sebaliknya, dituduh mengikuti tendensi idiologis dalam penafsiran, seperti yang disinyalir dalam ayat "fi qulubihim zaygh fayattabi'una ma tasyabah minh ibtigha 28
Ilham B. Saenong, Hermeneutka Pembebasan, Metodologi Tafsir Menurut Hasan Hanafi, Bandung: Teraju, cet. ke I, 2002, hlm. 61.
al-fitnah". Yang terakhir ini kemudian disematkan kepada golongan Mu'tazilah (sayap rasional ummah) dan kaum sufi pada umumnya.29 Sedangkan ta'wil dalam pengetian klasik sangat berbeda dengan ta'wil dalam pengertian kontemporer. Sebab ta'wil kontemporer ini diserupakan dengan hermeneutika teoritis dan dipertentangkan dengan istilah talwin.30 Terlepas dari kategori dan kriterium subjektif-objektif, valid dan tidaknya, serta kemungkinan tendensi idiologis dalam kerangka epistimologis tersebut, hermeneutika al-Qur'an tradisional tetap saja mengabaikan sebagai struktur triadik dalam hermeneutika.31 Sebab keduanya tidak memenuhi unsur-unsur dalam hubungan dialektis antara teks, penafsirdan realitas dalam kegiatan interpretasi yang menurut hermeneutika modern tidak mungkin diabaikan dalam menetukan makna.32 Penafsiran yang dikembangkan dalam ta'wil mengabaikan struktur teks dan konteks sejarahnya, dan sebaliknya, memberikan prioritas yang besar kepada kesadaran intiutif mufassir. Dalam hal ini, makna yang 29
Ibid, hlm. Talwin: Ialah interpretasi yang berusaha mencari pengertian objektif yang didasarkan kepada pembagian antara makna (dilalah) dan signifikansi (al-maghza), talwil dianggap representasi penafsiran idiologis karena mengaburkan kedua unsur tersebut akibat menguatnya pengaruh kepentingan mufassir ketimbang otonomi teks itu sendiri. Ibid., 31 Penerapan hermeneutik sangat luas yaitu meliputi bidang teologi, filosofi, linguistik dan hukum. Secara mendasar hermeneutik adalah filosofi sebab merupakan bagian seni berfikir. (Lihat: Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996, hlm. 85). 32 Op. cit.,, hlm. 63. 30
diperoleh secara langsung dari teks (al-makna al-zhahir) dilampaui menuju makna di balik teks (al-makna al-bathin) yang diapresiasi oleh penafsir. Begitu pula konteks historis yang menjadi latar belakang turunnya suatu ayat tidak mampu menghalangi kreativitas penafsiran pada idiom-idiom mistis yang pengertiannya sama sekali baru.33 Dalam hal ini, adalah subjek yang berdaulat yang bebas memilih makna, bahkan kadang tanpa sadar, dalam bentuk-bentuk ekspresi simbolik yang bagi pembaca biasa mungkin tidak dapat dipahami. Akan tetapi, searbriter apapun makna yang diputuskan ta'wil, tetap dianggap oleh pemilik atau pendukungnya sebagai klaim kebenaran. Alasannya adalah penaffsir telah mencapai taraf tradisi transendental (maqam alma'rifah, syathh). Masalahnya tentu bukan saja terletak pada benar salahnya klaim kebenaran penafsiran yang dihasilkan dari ta'wil. Tapi yang perlu disoroti adalah bahwa di samping mengabaikan tekstualitas al-Qur'an (yang mencakup juga konteks sejarahnya), ta'wil gagal mengacu pada kepentingan pemirsa dan lebih senang melakukan eskapisme ke realitas metafisis yang bagi masyarakat umum tidak akan banyak membantu dalam menghadapi masalah-masalah sosial dalam kehidupan. Pendasaran ta'wil pada pentingnya realitas metafisis memang menunjukkan secara
33
Ibid, hlm. 66.
eksplisit hubungan-hubungan triadik dalam skema hermeneutisnya. Namun skema tersebut menjadi tidak sempurna karena hanya mencerminkan hubungan trilogis yang bersifat formal di mana realitas yang diacu bersifat semu dan ahistoris.34 Berdasarkan kerangka penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa hermeneutika al-Qur'an tradisional dalam bentuk tafsir atau ta'wil, pada dasarnya tidak memenuhi kriteria yang dianggap memadai dalam hermeneutika modern. Di satu pihak tafsir menempatkan penelitian sejarah dan linguistik sebagai kriterium dalam menjamin kebenaran objektif sebuah interpretasi, sementara gagal dalam mengeksplisitkan fungsi performatif pemirsa. Di pihak lain ta'wil yang demikian idealistik hanya mengandalkan intuisi dan kenyataan transendental sebagai sumber klaim validitas penafsirannya. Padahal pengabaian realitas kekinian pada tafsir, dan peneguhan realitas imajiner dalam ta'wil bukan hanya keliru, bahkan sangat berbahaya karena dengan mudah memunculkan truth claims yang semata-mata didasarkan pada pandangan yang semata-mata objektivistik, atau yang sangat subjektivistik. 35 Meskipun Abu Zayd sangat kritis terhadap pembacaan-pembacaan ideologis atas teks-teks keagamaan, sebagian besar tulisannya, pada kenyataannya, bersifat ideologis pula. Ada dua ideologi penting yang 34 35
Ibid., Ibid, hlm. 67.
mendasari karya-karyanya, yaitu sekularisme36 dan akademisme, dengan tanpa mengatakan bahwa kedua ideologi ini, dan pengaruh dari keduanya, berdampak negatif. Di sini hanya bermaksud menunjukkan bahwa, secara sadar atau tidak ideologi dan subjektivitas Abu Zayd hadir dalam tulisantulisannya. Memang, klaim ideologis itu dapat dikenakan kepada siapa saja, karena klaim itu sendiri merefleksikan ideologi tertentu. Sebagaimana tertulis bahwa Abu Zayd memosisikan dirinya sebagai seorang intelektual Muslim yang sekularis. Meskipun dia mendefinisikan sekularisme sebagai sebuah “interpretasi sejati dan ilmiah atas Agama, ini tidak berarti bahwa sekularisme bukan sebuah ideologi “Kepercayaan Abu Zayd akan otoritas nalar, objektivitas, dan akademisme membimbingnya untuk menjadi wakil sah dari pengikut rasionalis pencerahan modern. Namun, fakta bahwa dia terkadang mengadopsi konsep-konsep posmodernisme tidaklah terbantahkan. Fouad Ajami, misalnya, mengatakan, bahwa Abu Zayd sangat “at home dengan metode dan bahasa Michel Foucault dan Antonio Gramsci”, dan Edward Said mengatakan, bahwa “utang terhadap Foucoult adalah 36
Arti istilah sekularisme mendapat istilah berbeda-beda sesuai dengan konteks masalah yang sedang aktual menurut penelitiian golongan atau bangsa yang berkepentingan. Pada abad ke18 pengertiannya dikaitkan dengan dengan masalah kekuasaan dan kekayaan duniawi yang dimiliki rohaniawan, kemudian pada abad ke-19 dia berarti "penyerahan kekuasaan dan hak miliki gereja kepada negara atau yayasan duniawi. Sedangkan pada abad ke-20 inipengertiannya cukup mantap, yaitu menjadi bahwa "urusan agama dan duniawi tak bisa dicampur baurkan; masingmasing harus ditangani sendiri. (Lihat; Hendropuspito, Sosiologi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1983, hlm. 135-136).
jelas” ketika Abu Zayd menggunakan konsep “wacana” dalam (buku) “Naqd al-Khithab al-Dini” (Kritik atas Wacana Keagamaan). Namun, tidak dapat dikatakan bahwa Abu Zayd bekerja dalam kerangka posmodernisme, yang justru menolak sentralitas nalar, objektivitas, dan akademisme, hal yang justru paling dibela Abu Zayd.37 Sementara itu kesadaran akan pentingnya relasi triadik antar teks, penafsir dan realitas baru muncul belakangan di tangan pemikir-pemikir muslim kontemporer, seperti Arkoun, Hanafi, Fazlur Rahman, farid Esack, Amina Wadud Muhsin, dan Abu Zayd. Sebagaimana dicatat Wahidur Rahman, sebelumnya terdapat juga pemikir-pemikir modernis, seperti Syyid Ahmad Khan dan Muhammad Abduh, yang menyadiri pentingnya membiarkan al-Qur'an berbicara tentang realitas. Hanya saja apa yang mereka lakukan tidak lebih sekadar jawaban instan terhadap "kebutuhan-kebutuhan
aktual
masyarakat
Muslim
dalam
rangka
memelihara (solidarits) mereka, atau pada saat mereka menganggap Islam membutuhkan
pertahanan
dari
serangan
(luar).
Konsekuensinya,
pemikiran yang mereka ajukan bersifat apologetis karena tidak berangkat dari dasar-dasar metodologis yang adekuat untuk disebut sebagai sebuah hermeneutika.
37
Ahmad Fuad Fanani, "Muhammadiyah dan Imaji Intelektual Kritis", dalam Republika, 17 Oktober 2003.
Abu Zayd perlu merekontruksi ilmu-ilmu al-Qur'an tradisional secara kritis dan dilandasi kesadaran ilmiyah sebagai ilmu yang bersentuhan langsung dengan teks al-Qur'an yaitu ulum al-Qur'an merupakan ilmu-ilmu induk ('ulum al-usullal-ummahat) di mana teks sebagai kajiannya. Pertama, mengaitkan kembali studi al-Qur'an dengan kajian sastra sebagai tindak lanjut seruan Amin Al-Kulli untuk mengkaji al-Quran dengan memperlakukannya sebagai kitab al-Arabiyyah Al-Akbar. Kedua, mengkaji al-Qur'an secara obyektif. Aspek metodologis dari rekonstruksi dan pembaharuan Abu Zayd: Merekonstruksi konsep teks dengan pendekatan linguistik (al-manhaj attahlil al-lugawi) dalam pengertian luas, termasuk hermeneutik dan semeotik.
Pendekatan
ini
mengandung
konsekuensi-konsekuensi
mendasar dalam persepsi Abu Zayd tentang sifat dan karakteristik alQur'an.38 Abu Zayd berpendapat bahwa perbedaan metode pendekatan terhadap al-Qur'an pada hakekatnya adalah konsekuensi logis dari perbedaan dalam menentukan watak dan karakter teks. Di sinilah ia mengkritik paradigma lama yang bersifat teologis-spekulatif yang disebut sebagai "dealektika turun" (habit), yaitu mendekati teks al-Qur'an dari
38
Ilham B. Saenong, op. cit., hlm. 107.
sudut pandang penutur teks (qa'Islam an-nass) dalam bahasa ushul fikih disebut sebagai maqasid asy-syari'ah sebagai lawan dari paradigma baru sebagai bentuk "dealektika naik" (sa'id), yaitu mendekati teks dengan realitas empirik39 serta kulturalnya40 sehingga dapat dikaji secara obyektif ilmiah.41 Rekonstruksi konsep teks (mafhum an-nass) merupakan agenda penting. Pentingnya perumusan konsep teks dalam pandangan Abu Zayd tersebut adalah perlunya membanggun dasar ontologis teks al-Qur'an atas dasar fakta-fakta historis empiris. Karenanya, Abu Zayd menolak konsep al-lawh al-mahfuz karena keberadaan teks dalam konteks ini secara empiris tidak dapat dibuktikan. Pembuktian kebenarannya hanya diakui secara subyektif bagi kaum beriman. Ini sejalan dengan pandangan dari Arkoun bahwa kebenaran wahyu hanya bisa dicapai lewat pembuktian linguistik. Ta'wil yang disebut Abu Zayd sebagai sisi lain dari teks akan menjadi salah satu mekanisme kultural dan peradaban yang penting dalam melahirkan pengetahuan. Secara implisit, hal ini menunjukkan bahwa dengan karakteristiknya yang khas, teks secara epistemologis merupakan salah satu sumber ilmu pengetahuan. Bagi Abu Zayd, ta'wil berbeda
39
Realitas: Sosial, ekonomi, dan politik masyarakat Arab ketika turunnya Al-Qur'an. Budaya: Yaitu menyangkut dunia konsepsi (pandangan dunia) yang terjelma dalam bentuk bahasa (Arab). 41 Ilham B. Saenong, op. cit., hlm., 108. 40
dengan tafsir. Ta'wil berkaitan dengan istinbat (penggalian makna) dan menekankan pada peran pembaca atau penafsir teks dalam mengungkap internal teks. Sedangkan tafsir berdasarkan pada dalil atau riwayat atau pada sisi eksternal teks. Antara keduanya harus saling berkaitan. Peran pembaca atau penafsir tidak mutlak, sehingga menjadikan penafsirnya subyektif, maka ia harus mengetahui ilmu-ilmu yang berkaitan dengan teks, termasuk di dalamnya ulum al-Qur'an dalam pengertian tradisional. Pandangan ini menunjukkan bahwa baginya tafsir berarti tafsir bi al-ma'sur dan ta'wil adalah tafsir bi al-ra'yi. Di samping itu Abu Zayd memandang ta'wil sebagai pembacaan produktif dan obyektif sebagai lawan dari talwin, yaitu pembacaan tendensius-idiologis. Kedua model pembacaan ini dibedakan dengan keterkaitan makna asli (meaning/ma'na) dan makna baru (significance/magza). Ketika makna asli tidak memiliki keterkaitan (setidaknya dari sisi semantis) dengan makna baru, makna pembacaan tersebut masuk dalam kategori tafsir dan sebaliknya. Sebab keterkaitan tersebut harus berdasarkan pada level konteksnya. Pengabaian berbagai konteksnya berakhir pada pembacaan tendensius.42 Sedangkan historisitas teks yang menjadi perhatian Abu Zayd, tampaknya
memiliki
kesamaan
dengan
proyek
fenomenologi
hermeneutika Heideger yang termaktub dalam karyanya "Being and 42
Sahiron Syamsuddin, Dkk, Hermeneutika Al-Qur'an; Mazhab Yogya, Yogyakarta, Islamika, 2003, hlm. 109-110.
Time", "pemahaman merupakan cara berada (mode of being) desein sendiri" atau sebagai ada-dalam-dirinya dari desein yang membentuk keterbatasan dan historistasnya.43 Pada paradigma inilah Abu Zayd memposisikan pendekatan linguistiknya. Sebagai konsekuensinya, pandangan Abu Zayd mengenai watak karakter teks al-Qur'an berbeda dengan kaum Muslim yang memandangnya bersifat azali-qadim (kekal tak bermula). Dia sendiri mengakui bahwa al-Qur'an adalah kalam Allah, tapi dari segi linguistik, ia merupakan teks bahasa (nas al-lugawi) yang secara historis terbentuk selama masa dua puluh tahun lebih. Namun pada peran al-Qur'an dalam membentuk realitasnya, teks merupakan produsen budaya. Hal yang demikian menyebabkannya menolak paradigma klasik tentang keabadian al-Qur'an dan juga konsep al-lawh al-mahfuz. Konsep-konsep tersebut justru dipandangnya sebagai akar dari penafsiran tendensius (qira'ah mugridah aydulujiyyah). Watak tekstual al-Qur'an merupakan sisi penting untuk dipahami. Menurutnya setidaknya ada tiga hal watak al-Qur'an: Pertama, bahwa alQur'an adalah risalah wahyu di mana pewahyuannya merupakan proses komunikasi yang melibatkan pengirim, penerima dan perantara dan kode komunikasi (bahasa Arab). Kedua, antara urutan surat serta ayatnya yang 43
Trisno A. Sutanto, Historisitas Pemahaman, Majalah Driyarkara, Tahun XXV No. 2, Jakarta: Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, hlm. 23.
berbeda dengan kronologis turunnya wahyu al-Qur'an. Hal demikian memungkinkan antara pembaca teks dan teks itu sendiri berinteraksi secara aktif. Ketiga, terdapatnya ayat-ayat muhkam dan ayat-ayat mutasyabih. Hal demikianlah yang menyebabkan teks lebih dinamis.44 Namun perlu dicatat segera bahwa melalui kajian mengenai teks khususnya mengenai ta'wil Abu Zayd pada bahasan ini, bukan secara otomatis menjawab semua dimensi al-Qur'an. Tapi kajian ini setidaknya menjadi permulaan kajian ilmiah. Karena Abu Zayd dalam pendekatan linguistik yang dimaksudkannya adalah dalam pengertian luas. B. Contoh Implementasi Ta’wil Nasr Hamid Abu Zayd Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam 1. Tentang Poligini45 Poligini telah menjadi salah satu isu penting dalam pembaharuan hukum Islam dan gerakan feminisme. Sedangkan locus interpretasi dan reinterpretasinya adalah ayat pologini berikut:46
44
Moch. Nur Ichwan, op cit, hlm. 108. Term poligini ini lebih tepat daripada term yang selama ini dipkai, poligami. Poligini adalah perlawinan antara seorang laki-laki dengan lebih dari satu perempuan di aktu yang sama (bukan kawin cerai). Kebalikannya adalah poliandri, yakni perkawinan antara seorang perempuan lebih dari satu laki-laki. Kedua praktik itu sisebut poligami. Seringlaki kata poligami dipakai dengan maksud poligini. Ini tampaknya karena bias gender masyarakat yang mengasumsikan yang seakan-akan tidak mungkin perempuan menikah lebih dari satu laki-laki (poliandri). Dengan maraknya gelombang feminisme, ketiga intilah ini harus dipertegas pemakainnya. Lihat Ibid, hlm. 154. 46 Ibid, hlm. 137. 45
ﺙ ﻼ ﹶ ﺏ ﻟﹶﻜﹸﻢ ﱢﻣ َﻦ ﺍﻟﱢﻨﺴَﺎﺀ ﻣَﺜﹾﻨَﻰ َﻭﺛﹸ ﹶ َ ﺤﻮﹾﺍ َﻣﺎ ﻃﹶﺎ ُ ﺴﻄﹸﻮﹾﺍ ﻓِﻲ ﺍﹾﻟَﻴﺘَﺎﻣَﻰ ﻓﹶﺎﻧ ِﻜ ِ َﻭِﺇ ﹾﻥ ِﺧ ﹾﻔُﺘ ْﻢ ﹶﺃ ﱠﻻ ُﺗ ﹾﻘ ﻚ ﹶﺃ ْﺩﻧَﻰ ﹶﺃ ﱠﻻ َﺗﻌُﻮﻟﹸﻮﹾﺍ َ ﺖ ﹶﺃْﻳﻤَﺎُﻧ ﹸﻜ ْﻢ ﹶﺫِﻟ ْ ﻉ ﹶﻓِﺈ ﹾﻥ ِﺧ ﹾﻔُﺘ ْﻢ ﹶﺃ ﱠﻻ َﺗ ْﻌ ِﺪﻟﹸﻮﹾﺍ ﹶﻓﻮَﺍ ِﺣ َﺪ ﹰﺓ ﹶﺃ ْﻭ ﻣَﺎ َﻣ ﹶﻠ ﹶﻜ َ َﻭﺭُﺑَﺎ Artinya: "Jika kalian takut akan tidak bisa berlaku adik terhadap perempian yatim, maka nikahilah perempuan-peremuan yang kamu sukai: dua, tiga, atau empat; namun jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adail, maka satu saja, atau ‘yang dimiliki tangan kananmu (budak perempuan atau tawanan perang). Yang demikian itu 0adalah lebih dekat kepada perbuatan yang tidak anaiaya." (QS. Al-Nisa’ ayat 3).47 Abu Zayd mendiskusikan ayat poligini (QS. An-Nisa’ ayat 3) di atas dalam tiga langkah. Pertama, konteks teks ini sendiri. Dia memulai dengan mengontraskan absennya praktek hukum memiliki ‘yang dimiliki tangan kananmu’ (budak perempuan atau tawanan perang) sebagai selir dalam wacana islamis pada satu sisi, dan untuk mempertahankan poligini: maka nikahilah perempuan-perempuan yang kamu sukai: dua, tiga, atau empat, pada sisi lain. menurut Abu Zayd, ada sesuatu yang hilang, yakni kesadaran atas historisitas teks-teks keagamaan, bahwa ia adalah teks linguistik. Dan bahwa bahasa adalah sebuah produk sosial dan kultural. Sebagaimana Muhammad Abduh, Abu Zayd berargumen bahwa izin bagi laki-laki untuk menikah dengan hingga empat istri haruslah diletakkan dalam konteks hubungan antar manusia, khususnya hubnungan antar laki-
47
Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 115.
laki dengan perempuan sebelum kedatangan Islam. dalam periode pra Islam, hukum kesukuan sangat dominan, poligini tidaklah dibatasi.48 Dalam konteks ini, izin untuk memiliki istri sampai empat harus dipahami
sebagai
awal
dari
sebuah
upaya
pembebasan.49
Dia
menyarankan bahwa pembahasan ini haruslah dilihat sebagai suatu perubahan ke arah pembebasan perempuan dari dominasi laki-laki.50 Dengan demikian, dalam konteks ini tetaplah dalam semangat al-Qur’an jika kaum muslim pada saat ini mendukung bahwa seorang laki-laki cukup menikahi seorang istri.51 Kedua, meletakkan teks dalam konteks al-Qur’an secara keseluruhan. Dengan melakukan ini Abu Zayd berharap bahwa yang tak terkatakan atau yang implisit dapat diungkapkan. Teks al-Qur’an sendiri
48
Op. cit, hlm. 139. Penafsiran terhadap dominasi historis laki-laki harus bertitik tolak dari antropologi perkembangan ketimbang ilmu alam biologis. Kecenderungan pada pandangan-pandangan kelompok hewan, jika benar pengiasan manusia dengan hewan , mengabaikan hakekat eksistensi manusia sebagai entitas kultural. Kesimpulan dari lontaran problematika semacam ini adalah bahwa oligami 'yang asing" menjadi sebuah hukum alam. Tetapi kita harus mengatakan bahwa lontaran semacam itu mempersempit eksistensi manusia dalam kerangka entitas biologis semata, yang tidak mempunyai sejarah kecuali sejarah alam, dan tidak pula mempunyai kebudayaan yang sejarahnya terlepas dari sejarah entitas-entitas alam yang lain. (lihat, Nasr Hamid Abu Zaid, Dawaair Al-Khauf: Qira'ah Fi Khitab Al-Mar'ah, Terj. SAMHA "Dekonstruksi Gender: Kritik Wacana Perempuan dalam Islam", Yogyakarta: SAMHA, 2003, hlm. 205). 50 Penolakan terhadap feminisme yang sampai sekarang ini paling artikulatif itu dilakukan oleh kaum fundamentalisme, sebagai protes pada beberapa aspek dari modernitas yang sekular yang merupakan salah satu kekuatan dalam masyarakat yang sangat kuat menolak feminisme. Secara umum misi kaum fundamental;isme dalam hal ini adalah penguatan kembali sistem patriarki dengan lelaki sebagai pusat kekuasaan sedang perempuan sebagai yang dipimoin, dihigemoni. Walaupun dalam banyak kasus ternyata cara pikir dan tindakan mereka yang menolak tersebut tidak bertentangan dengan feminisme. (Lihat: Ulumul Qur'an, Feminisme Sebagai counter-Culture, Jakarta: Lembaga Studi Agama dalam Filsafat (LSAF), vol. V, 1994, hlm. 3). 51 Op. cit., 49
juga menyarankan hanya memiliki seorang istri, jika suami tidak bisa berbuat adil. Analisis linguistik menyarankan bahwa bersikap adil di antara para
istri
tidaklah
mungkin.
Penggunaan
klausa
kondisional
(pengandaian). Dan menggunakan partikel kondisional law (jika) menandakan penegasian terhadap jawab al-syarth (konklusi dari klausa kondisional) disebabkan karena adanya penegasian terhadap kondisi (syarth) itu. Yang paling penting diperhatikan adalah penggunaan partikel lan (tidak akan pernah) yang berfungsi sebagai koroborasi (ta’yid) di awal kalimat, ini menunjukkan bahwa dapat bertindak adil tidak akan pernah terjadi. Di sini Abu Zayd menyimpulkan bahwa terdapat negasi ganda: pertama, negasi total terhadap kemungkinan bertindak adil terhadap dua iatri atau lebih, dan kedua, negasi terhadap ekmungkinan memiliki keinginan yang kuat untuk berlaku adil terhadap mereka. Abu Zayd meminjam distingsi Adil Dhahir tentang mabda’ (prinsip), qa’idah (kaidah), hukm (hukum). Keadilan, kebebasan, hak untuk hidup dan kebhagiaan termasuk dalam kategori mabda’. Qa’idah adalah derivasi dari mabda’ itu dan tidak boleh bertentangan dengannya. Dalam konteks poligini, keadilan adalah mabda’. Sementara untuk memiliki sampai 4 istri adalah hukm. Hukm tidak bisa menjadi qa’idah apalagi menjadi mabda’. Hukm adalah peristiwa spesifik dan relatif,
tergantung pada perubahan kondisi yang melingkupinya. Ketika terdapat kontradiksi antara mabda’ dan hukm, yang terakhir ini haruslah dikalahkan untuk mempertahankan yang pertama. Walau al-Qur’an tidak memerintahkan untuk mempertahankan yang pertama. Al-Qur’an tidaklah menetapkan hukm (tasyri’) terkait dengan masalah poligini, namun memang mengungkapkan sebuah limitasi terhadap poligini. Abu Zayd berpendapat bahwa al-Qur’an melarang poligami secara tersamar dengan kata lain limitasi itu sesungguhnya mengindikasikan pelarangan secara tersamar (al-tahrim al-Dhimni). Pada langkah ketiga, berdasarkan atas kedua langkah di atas Abu Zayd mengusulkan pada sebuah pemabaharuan hukum Islam. Berdasarkan atas distingsi Adil Dhahir di atas, bahwa poligini haruslah diperlakukan sebagai hukm, yang tidak dapat menjadi sebuah qa’idah, apalagi mabda’. Keadilanlah yang dapat menjadi mabda’ yang harus dipertahankan dalam level qa’idah dan hukm. Walaupun Abu Zayd memberikan konklusi yang mengambang tentang argumennya tentang poligini ini namun pelarangan secara tersamar di atas, dan poligini sebagai hukm yang tidak boleh merusak qa’idah dan mabda’, dapat disimpulkan bahwa poligini dilarang.52
52
Ibid, hlm. 140-142
Wacana al-Qur'an tentang poligini mempunyai level makna ketiga, di mana pemahaman haruslah melampaui makna historisnya dengan menguak signifikansi masa kininya. Bahkan mampu menguak dimensi 'yang tak terkatakan' dari suatu pesan. Akhirnya penggunaan distingsi Adhil Dhahir tentang mabda', qa'idah dan hukm untuk mendukung argumennya menarik untuk dicermati. Dengan penggunaan distingsi ini, pandangan bahwa poligini adalah dilarang dapat dengan mudah dan sistematis dipahami. Diagram yang diberikan Moch. Nur Ikhwan tentang poligini: 53 Praktek poligini pra-Islam: Poligini tidak terbatas Arah teks Islam membatasi poligini: empat isteri dengan syarat suami bisa bertindak adil.
Makna
Sikap adil dalam poligini tidaklah mungkin: Monogami lebih ditekankan. Tujuan akhir legislasi Islam: Monogami
Poligini dilarang
53
Ibid, hlm. 143.
Signifikansi
"Yang tak terkatakan"
2. Perbudakan antara 'Ubudiyyah dan 'Ibadiyah Abu Zayd menganalisis penggunaan kata 'abd yang berarti budak (hamba), manusia, dan laki-laki dalam al-Qur'an sebagai berikut:54 1. Kata 'abd tidak berarti budak (orang yang tak merdeka) kecuali pada tiga tempat. Pertama, secara langsung:
ﺤ ﱢﺮ ﻭَﺍﹾﻟ َﻌ ْﺒ ُﺪ ﺑِﺎﹾﻟ َﻌ ْﺒ ِﺪ ُ ﺤ ﱡﺮ ﺑِﺎﹾﻟ ُ ﺹ ﻓِﻲ ﺍﹾﻟ ﹶﻘ ْﺘﻠﹶﻰ ﺍﹾﻟ ُ ﺐ َﻋ ﹶﻠ ْﻴﻜﹸﻢُ ﺍﹾﻟ ِﻘﺼَﺎ َ َﻳﺎ ﹶﺃﱡﻳﻬَﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳ َﻦ ﺁ َﻣﻨُﻮﹾﺍ ﻛﹸِﺘ ﻭَﺍﻷُﻧﺜﹶﻰ ﺑِﺎﻷُﻧﺜﹶﻰ Artinya: "Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu qishash, budak ('abd) dengan budak, perempuan dengan budak…" (QS. Al-Baqarah, ayat 178).55 Kedua, secara implisit:
ﺸ ِﺮ ٍﻙ ْ ﺠَﺒﻜﹸﻢْ َﻭﹶﻟ َﻌ ْﺒ ٌﺪ ﱡﻣﺆْﻣِﻦٌ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣﱢﻦ ﱡﻣ َ َْﹶﻟ ْﻮ ﹶﺃﻋ Artinya: "Seorang budak yang beriman sungguh lebih baik ketimbang orang musyrik kendatipun ia menarik hatimu…" (QS. AL-Baqarah, ayat 221).56 Ketiga, maknanya dibatasi oleh penafsiran:
ﻲ ٍء ْ ﺷ َ ﻋﻠَﻰ َ ﻼ ﻋَ ْﺒﺪًا ﱠﻣ ْﻤﻠُﻮآًﺎ ﱠﻻ َﻳ ْﻘ ِﺪ ُر ً ب اﻟﻠّ ُﻪ َﻣ َﺜ َ ﺿ َﺮ َ Artinya: "Allah memberi perumpamaan seorang budak yang dimiliki yang tidak dapat melakukan apapun…" (QS. An-Nahl, ayat: 75).57
54
Ibid, hlm. 133. Depag RI., op. cit., hlm. 43. 56 Ibid, hlm. 53. 57 Ibid, hlm. 413. 55
2. Bentuk jamak "'abid" digunakan dalam maknanya yang literal (al-dalalah al-harfiyyah) hanya ada dalam lima tempat, yang kesemuanya menunjukkan ketidakmungkinan Allah berbuat zalim (zhulm) terhadap 'abid. "Wa anna Allaha laysa bi zhallamin li al-'abid (dan bahwa Allah tidaklah bebuat zalim terhadap hambanya (al-'abid) (QS Ali Imran ayat 182; Al-Anfal ayat 51; Al-Hajjayat 10). 3. Bentuk jamak 'ibad secara umum dipergunakan dalam al-Qur'an namun tidak pernah pengertian literalnya kecuali pada satu tempat:
ﲔ ِﻣ ْﻦ ِﻋﺒَﺎ ِﺩ ﹸﻛ ْﻢ َﻭِﺇﻣَﺎِﺋ ﹸﻜ ْﻢ َﺤ ِ َﻭﺃﹶﻧ ِﻜﺤُﻮﺍ ﺍﹾﻟﹶﺄﻳَﺎﻣَﻰ ﻣِﻨ ﹸﻜ ْﻢ ﻭَﺍﻟﺼﱠﺎِﻟ Artinya: "…dan doronglah orang-orang yang sendirian di antara kalian, dan orang- orang yang pantas dari budak-budak lelakimu ('ibadi-kum) dan budak- budak perempuanmu..." (QS. Al-Nur, ayat 32).58 4. Biasanya kata 'abd dalam al-Qur'an berarti manusai:
ﺐ ٍ ﻚ ﻟﹶﺂَﻳ ﹰﺔ ﱢﻟ ﹸﻜ ﱢﻞ َﻋ ْﺒ ٍﺪ ﱡﻣﻨِﻴ َ ِﺇ ﱠﻥ ﻓِﻲ ﹶﺫِﻟ Artinya: "…Sungguhanaya pada yang demikian itu terdapat tanda bagi setiap manusia ('abd) yang kembali kepadanya…" (QS. Saba', ayat 9).59
ﺐ ٍ ﺼ َﺮ ﹰﺓ َﻭ ِﺫ ﹾﻛ َﺮﻯ ِﻟ ﹸﻜ ﱢﻞ َﻋ ْﺒ ٍﺪ ﱡﻣﻨِﻴ ِ َﺗ ْﺒ Artinya: "…untuk menjadi pelajaran dan peringata bagi tiap-tiap manusia ('abd) yang kembali mengingat Allah…" (QS. Qaf ayat 8).60 58 59
Ibid, hlm. 549. Ibid, hlm. 684.
Juga atau kata 'abd atau bentuk pluralnya 'ibad diikuti oleh kata ganti yang merujuk kepada Allah, ia menunjuk pada pengertian manusia: 'abduhu, 'badina, 'abdan min 'ibadina. Perbedaan antara dua bentuk jamak 'abid dan 'ibad tidaklah dikenal dalam bahasa Arab pra al-Qur'an. Kata 'abd yang diderivasi dari 'ibad juga hanya dikenal dari teks al-Qur'an. Abu Zayd melihat fenomena ini sebagai trasformasi makna (al-tahwil al-dalali) dari penggunaan kata pra al-Qur'an kepada kata al-Qur'an. Al-Qur'an membedakan orang budak (al-'abd) dan manusia merdeka (al-hurru) ketika berbicara mengenai perbudakan-dan ini , seperti tersebut di atas hanya terjadi pada tiga ayat. Namun al-Qur'an memberi pengertian baru pada kata 'abid dan 'ibad "yang pertama merujuk pada orang yang tak ada iman dalam hatinya", sedangkan yang terakhir merujuk pada orang yang beriman dalam hatinya". Jadi, penekanannya adalah pada keimanan ketimbang pada masalah merdeka atau tidak erdeka. Akar kata 'abd menunjuk kepada manusia (al-insan), baik yang merdeka atau yang tidak merdeka (budak). Berdasarkan atas trasformasi makna kata 'abd dan berkaitan dengan fakta bahwa teks menekankan pada persamaan (al-musawah) antar umat manusia dan menetapkan ketakwaan dan perilaku baik sebagai dasar yang membedakan, Abu Zayd menyimpulkan bahwa Islam pada hakekatnya
60
Ibid, hlm. 852.
menolak sistem perbudakan. Dia juga menyatakan bahwa pandangan alQur'an tentang perbudakan, menurut zamannya saat itu, sangatlah maju. hubungan antara Allah dan manusia lebih didasarkan atas prinsip 'ibadiyah (penyembahan, peribadatan) ketimbang prinsip 'ubudiyah (perbudakan) seperti yang diyakini Sayyid Qutb dan para islamisis lainnya. Pendapat yang hampir serupa mengenai wacana al-Qur'an tentang perbudakan dilontarkan oleh Fazlur Rahman dan Muhammad Shahrour, yang keduanya berargumen bahwa perubahan menuju penghapusan sistem perbudakan tidak bisa terjadi secara seketika. Terlebih lagi karena sistem itu telah mapan, bukan hanya di semenanjung Arabia tetapi juga di seluruh belahan dunia.61 Dalam analisa Abu Zayd bahwa wacana al-Qur'an tentang perbudakan mempunyai level makna kedua, yakni wacana tentang perbudakan sangat diperlakukan sebagai bukti historis yang bisa diinterpretasikan secara metaforis. Namun wacana perbudakan ini sebenarnya bisa dimasukkan pada level yang ketiga karena kita bisa menderivikasikan sebuah signifikansi pada masa kini dari makna historisnya, bahkan dari interpretasi metaforisnya. Yakni, bahwa arah teks menganjurkan penghapusan perbudakan.
61
Moch Nur Ikhwan, op. cit., hlm. 135.
Diagram yang diberikan Moch. Nur Ikhwan tentang 'Ubudiyyah dan 'Ibadiyah:62 Dalam budaya pra-Islam: Perbudakan adalah sistem sosio-ekonomi yang telah lama mapan
Perbudakan diatur secara berbeda: membebaskan perbudakan sangat dianjurkan
Arah teks
Perbudakan bukan lagi menjadi bagian sistem sosio-ekonomi
Wacana Al-Qur'an tentang perbudakan dikaji sebagai bukti sejarah Tujuan akhir legislasi penghapusan perbudakan
Signifikansi "yang tak terkatakan"
Contoh-contoh tersebut mengindikasikan bahwa implementasi ta'wil Abu Zayd sangatlah inovatif dan selayaknya mendapatkan apresiasi yang setinggi-tingginya. Karena hal ini sejalan dengan pengembangan dan pembaharuan hukum Islam di masa kini dan yang akan datang. Semoga.
62
Ibid, hlm. 137.