Masrokhin
KONSEP EKOLOGI ISLAM SEYYED HOSSEIN NASR (STUDI KITAB AL-TAHARAH DALAM KAJIAN FIQH) Masrokhin * Abstract This research tries to reveal the basic cause of enviromental crisis and the alternative solution according to Seyyed Hossein Nasr. By summarizing his thoughts about the connection between human and nature that tends to be metaphysics, the writer tries to describe the concept of Islamic ecology in order to show the other side of religion, especially Islam, that is nature-friendly. According to Nasr, humans have a world-view that doesn’t think of the nature’s continuity because of the science desacralization happened in modern age. In such way, nature will not be seen as something to be exploitated for human’s needs anymore, but as an entity that humans will be able to reach a higher position with it. In islamic literature on fiqh, there is a chapter about altaharah. The lecturer of fiqh who has mastered the methodological Dosen Tetap Fakultas Syari’ah dan Sekretaris Prodi Al-Ahwal AlSyakhsiyyah Fakultas Syariah UNHASY Tebuireng, Jombang. *
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
39
Konsep Ekologi Islam
scientific are very able to be guided to care about environment. So, the understanding of the environment is not simply understood as a science, but also reflected in the attitude, it is same with the other religious prays. Keyword : Seyyed Hossein Nasr, concept of Islamic ecology, taharah A. Pendahuluan Apapun yang kita lakukan di atas muka bumi ini harus mempertimbangkan akibatnya atas seluruh makhluk karena adanya kesalingtergantungan di antara semua makhluk. Apa yang dilakukan oleh manusia dapat mempengaruhi alam dan makhluk lain yang hidup di dalamnya. Demikian juga sebaliknya. Apa yang terjadi di alam juga dapat mempengaruhi manusia. Hal ini terlihat dari bagaimana perubahan pada muka bumi ini –baik akibat perbuatan manusia maupun akibat proses alami– dapat berpengaruh pada manusia. Bencana alam yang terjadi dewasa ini berkaitan erat dengan adanya penurunan kualitas lingkungan. Penyebabnya, tidak hanya faktor alam, namun ada juga faktor manusia di situ. Alam dipandang hanya sebagai suatu benda mati yang tidak memiliki nilai lain selain nilai ekonomis. Cara pandang seperti inilah yang menyebabkan ketimpangan dan krisis yang dihadapi oleh manusia modern. Alih-alih membangun dan menjadikan kehidupan lebih baik, manusia justru mengeksploitasi dan mendominasi alam. Inilah yang kemudian membuat lingkungan terus menurun kualitasnya. Memahami bencana dan penyebabnya –dengan manusia sebagai salah satu pelaku utama dalam proses 40
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
Masrokhin
terjadinya bencana, membawa kita pada konsekuensi lebih lanjut; manusia harus mengubah perilaku dan cara pandangnya terhadap alam. Sonny Keraf1 dalam pendahuluan buku Etika Lingkungan dengan tegas menyatakan bahwa “Manusia keliru memandang alam dan keliru menempatkan diri dalam konteks alam semesta seluruhnya”. Untuk itu, pembenahan jelas sangat mendesak untuk dilakukan. Pertanyaan yang kemudian mengemuka adalah, bagaimana seharusnya manusia bersikap? Agama, yang merupakan keyakinan yang diharapkan selalu menjadi landasan dalam setiap langkah penganutnya, ternyata seringkali dituding tidak peduli lingkungan. Ketika agama melalui berbagai ajarannya berusaha mengatur bagaimana manusia sebaiknya bersikap, isu lingkungan tampaknya jarang sekali disentuh, bila tidak bisa dikatakan tidak pernah. Islam, sebagai agama yang paling banyak dianut oleh penduduk Indonesia, selama ini juga tampak acuh tak acuh dengan krisis lingkungan yang terjadi. Islam seolaholah menjadi agama yang tidak peduli pada isu lingkungan. Menanggapi hal tersebut, Seyyed Hossein Nasr –seorang filsuf Islam keturunan Persia, menyatakan ketidaksetujuannya. Menurutnya, di dalam al-Quran telah dijelaskan adanya hubungan tak terpisahkan antara manusia dan alam. Krisis lingkungan yang terjadi dewasa ini bukanlah karena kesalahan agama, melainkan kesalahan manusia yang telah meninggalkan tradisi spiritual (Islam). Menarik kemudian untuk mencermati konsep ekologi Islam menurut Seyyed Hossein Nasr. Kemudian konsep ini dikaitkan dengan salah satu pembahasan dalam kitab 1
A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), xv. Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
41
Konsep Ekologi Islam
al-taharah dalam kajian fiqh dimana salah satunya menyinggung tentang persoalan lingkungan, yaitu genangan air tenang, pohon yang berbuah, pohon rindang dan lubang sarang serangga. B. Konsep Ekologi dan Lingkungan Hidup Dalam al-Quran (al-Baqarah: 143), manusia terus diingatkan tentang perlunya keseimbangan (ummatan wasat}an) dalam setiap segi kehidupan. Lebih lanjut lagi dalam al-Nisa: 126, disebutkan juga konsep keseimbangan yang ada di alam semesta dalam kerangka sifat Tuhan yang dibahasakan dengan wa Alla>h bi kull shay’ muhi>t}a setelah menyebut bahwa kepunyaan Allah-lah seluruh isi bumi dan langit. Dalam hal pandangan dunia yang secara umum masih meyakini superioritas manusia atas alam, menjadi penting untuk ditelaah lebih lanjut. Ekologi berasal dari kata Yunani, yaitu oikos dan logos. Oikos berarti rumah tangga, dan logos berarti ilmu. Istilah ini digunakan pertama kali pada pertengahan tahun 1860-an oleh Haeckel, seorang ahli Biologi.2 Capra dalam bukunya Jaring-Jaring Kehidupan3 mengartikan ekologi sebagai studi mengenai hubunganhubungan yang memperhubungkan segenap anggota rumah-tangga-bumi. Sumaatmadja4 menyatakan ekologi sebagai “ilmu atau studi tentang hubungan makhluk hidup dengan lingkungannya sebagai suatu rumah tangga”. Definisi-definisi ekologi yang telah dipaparkan di atas menunjukkan adanya perbedaan di antara para pakar 2
Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup, dan Pembangunan, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1985), 15. 3 Fritjof Capra, Jaring-Jaring Kehidupan: Visi Baru Epistemologi dan Kehidupan (Saut Pasaribu, pen.), (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001), 53. 4 Nursid Sumaatmadja, Studi Lingkungan Hidup, (Bandung: Penerbit Alumni, 1989), 21.
42
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
Masrokhin
dalam menjelaskan apa itu ekologi. Meski demikian, berbagai definisi itu memiliki persamaan yang mendasar, yaitu pengakuan adanya hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan lingkungannya. Oleh karena itulah, pembahasan mengenai ekologi tidak dapat dipisahkan dengan pembahasan mengenai lingkungan hidup. Harun M. Husein5 menggambarkan lingkungan hidup sebagai “tempat, wadah atau ruang yang ditempati oleh makhluk hidup dan tak hidup yang berhubungan dan saling pengaruh-mempengaruhi satu sama lain, baik antara makhluk-makhluk hidup itu sendiri maupun antara makhluk-makhluk itu dengan alam sekitarnya”. Deskripsi ini merupakan kesimpulan yang ditarik olehnya berdasarkan pendapat-pendapat para ahli bidang lingkungan hidup sebagaimana dijelaskan di bukunya. Ditilik dari berbagai definisi atas lingkungan hidup yang diberikan oleh para pakar lingkungan, tampak betapa luas cakupan lingkungan. Untuk membedakannya dengan ekologi, secara singkat kita bisa menyimpulkan bahwa ekologi terkait dengan “semua spesies yang hidup, habitat, dan ekosistem”, sementara lingkungan terkait dengan “konteks kehidupan sosial, ekonomi dan material manusia”6 Dalam penggunaannya sehari-hari, alam dianggap sebagai lingkungan hidup manusia.7 Dalam kajian ilmiah, lingkungan hidup manusia dibedakan menjadi tiga, yaitu lingkungan alam (natural environment), lingkungan sosial 5
Harun M. Husein, Lingkungan Hidup: Masalah Pengelolaan dan Penegakan Hukumnya, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), 6. 6 Rodney L. Petersen, “Membentuk Kesetaraan dalam Konsumsi, Kependudukan, dan keberlanjutan dalam Audrey R. Chapman, dkk., Bumi yang Terdesak (terjemahan Dian Basuki dan Gunawan Admiranto), (Bandung: Mizan, 2000), 418. 7 Robert P. McIntosh, The Background of Ecology: Concept and Theory, (New York: Cambridge University Press, 1985), h. 289. Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
43
Konsep Ekologi Islam
(social environment), dan lingkungan budaya (cultural environment). Ketiga jenis lingkungan ini dianggap mempengaruhi kelangsungan hidup manusia. C. Hubungan Agama (Islam) dan Konsep Ekologi Islam menurut Seyyed Hossein Nasr Jauh sebelum permasalahan lingkungan menjadi sepopuler sekarang, Seyyed Hossein Nasr telah membahasnya dalam pemikirannya mengenai berbagai krisis yang dialami manusia modern. Dia termasuk pelopor dalam perdebatan mengenai hubungan agama, ilmu, dan krisis lingkungan. Nasr menggarisbawahi tantangan ilmu modern dan pandangan sekuler. Ia di satu sisi mengagumi kemajuan ilmu modern yang demikian pesat, namun di sisi lain ia menyayangkan pemikiran yang sekuler dan penuh reduksi menyangkut alam, yang dalam pandangannya menjadi penyebab pokok terjadinya krisis lingkungan. Nasr lahir di Iran dan mempelajari fisika dan matematika di Institute of Technology, Amerika Serikat. Setelah meraih gelar doktor di bidang ilmu dan filsafat dari Harvard, ia kembali ke Iran dan menjadi rektor Universitas Aryamehr. Setelah revolusi Khomeini pada tahun 1979, dia mulai mengajar kajian Islam di Amerika Serikat. Meskipun kebanyakan bukunya bertemakan seputar peradaban Islam, ada beberapa bukunya yang menjabarkan tentang krisis spiritual yang dihadapi manusia dewasa ini, seperti Man and Nature (1968) dan Religion and the Order of Nature (1996). Nasr memandang krisis yang dialami manusia, salah satunya yaitu krisis lingkungan, itu terjadi karena manusia modern cenderung untuk meninggalkan dimensi spiritualitasnya. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjadi ciri modernitas yang berkembang di Barat
44
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
Masrokhin
membuat manusia memperlakukan alam secara mekanis, dan melupakan unsur spiritualitasnya. Dimensi spiritualitas dalam pandangan Nasr memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan secara umum demi keberlangsungan bumi dan kehidupan di dalamnya. Melalui berbagai tulisannya, khususnya kedua bukunya yang banyak menyoroti permasalahan lingkungan, Nasr menjelaskan sebab-sebab utama dan mendasar sehubungan dengan makin meluasnya krisis lingkungan yang dihadapi peradaban modern. Nasr menekankan pentingnya perumusan kembali hubungan Manusia, Alam, dan Tuhan demi mewujudkan tatanan kehidupan yang lebih seimbang. Kerusakan lingkungan dalam pandangan Nasr merupakan akibat dari upaya manusia modern untuk memandang lingkungan alam sebagai tatanan realitas yang berdiri sendiri, terpisah dari Lingkungan Ilahiah. Padahal, dengan begitu alam menjadi terkurangi daya hidupnya. Oleh karena itu, bagi Nasr, resakralisasi alam semesta (resacralization of nature) sangat penting untuk dilakukan untuk menggantikan mekanisasi gambaran dunia (mechanization of the world picture) yang terjadi sejak Renaisans dan Revolusi Ilmiah tiga abad lalu. Demi tercapainya cita-cita tersebut, Nasr menekankan pentingnya membangun kosmologi baru yang berbasis kepada tradisi spiritualitas agama yang sarat makna dan kaya kearifan. Agama pun, pada gilirannya, bisa menjadi sumber visi, inspirasi dan motivasi bagi pemerhati lingkungan untuk mengonstruksi etika lingkungan sebagaimana juga program-program konservasi alam. Dalam pandangan Nasr, membangun etika lingkungan
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
45
Konsep Ekologi Islam
tanpa wawasan spiritual terhadap kosmos adalah tidak mungkin sekaligus tidak ada gunanya.8 Hilangnya pengetahuan metafisik, dalam pandangan Seyyed Hossein Nasr,9 bertanggung jawab atas hilangnya keharmonisan antara manusia dan alam. Padahal tiadanya harmoni antara manusia dengan alam menyebabkan timbulnya “perang” di antara keduanya, ditandai dengan keduanya saling mengancam kelangsungan hidup yang lain. Sejarah dunia modern menunjukkan betapa manusia yang meniadakan kesakralan demi kepentingan makhluk hidup tidaklah bisa hidup selaras dengan alam. Eksploitasi atas alam yang dilakukan oleh manusia menyebabkan alam tidak dapat berfungsi maksimal demi terciptanya keseimbangan di dunia. Dalam hal ini Nasr mengatakan : “one of the consequences of the metaphysical doctrine of the meaning of the cosmos and man’s role in the religious universe in which he lives is confirmation of the rapport between sacred rites and harmony of the order of nature10(Salah satu konsekuensi ajaran metafisika mengenai makna kosmos dan peranan manusia di alam tempat ia hidup adalah penegasan hubungan antara ritual keagamaan dan harmoni tatanan alam.” Nasr menegaskan bagaimana manusia tidak dapat memandang enteng ritual keagamaan karena ritual itu ternyata terkait erat dengan harmoni tatanan alam. Lebih lanjut mengenai hal ini, ia menyatakan: “...man’s prayers, celebration of God’s praise and other ritual practices, whose final goal is the remembrance of God, form parts of 8
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man, (London: Allen and Unwin, 1968), 21. 9 Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature, (New York: Oxford University Press, 1996), 83. 10 Ibid, 278.
46
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
Masrokhin
the chorus of the praise of God by the whole of Creation and a melody in the harmony of “voices” celebrating the Divine, celebration which on the deepest level is the very substance of all beings.”11 (...ibadah manusia, puja-puji atas Tuhan dan praktek ritual (keagamaan) lainnya, yang tujuan akhirnya adalah mengingat Tuhan, membentuk elemen-elemen paduan suara yang berisikan puji-pujian atas Tuhan oleh segenap makhluk dan melodi dalam harmoni “suara” merayakan Dzat Ilahiah, perayaan yang dalam level terdalam merupakan hakikat segala yang ada). Dalam Islam sendiri, terdapat kepercayaan bahwa Tuhan menempatkan manusia di bumi yang melalui kehadiran mereka, ritual dan ibadah yang diajarkannya menggambarkan tatanan alam. Menurut al-Quran (al-Baqarah : 30; al-An’am : 165; Yunus : 14 dan 73; Fatir: 39), perintah untuk mengelola bumi atas nama Tuhan telah dipercayakan pada manusia. Manusia seharusnya peduli dengan apakah sumber daya alam yang dibutuhkan kehidupan dikonservasi dan apakah bumi digunduli karena rasa haus manusia atas kekuatan dan dominasi. Karena itu, tanggung jawab manusia atas dunia mencakup segala makhluk, tidak hanya manusia yang lain, namun juga binatang, tanaman, dan segala yang ada di bumi. Ritual dalam Islam dalam hal ini tidak hanya demi tatanan sosial, namun juga memungkinkan manusia hidup selaras dengan alam. Sebagai misal ritual harmonis tersebut yang paling besar adalah sholat. Sholat dipandang tidak hanya memperbarui jiwa dan badan manusia, namun juga menegaskan harmoni kehidupan manusia dengan ritme alam, dan juga melengkapi keseimbangan alam. Pada bagian lain, sebuah Hadis menunjuk larangan membuang air besar di genangan air tenang, di bawah 11
Ibid, 281.
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
47
Konsep Ekologi Islam
pohon berbuah, pohon rindang dan di lobang serangga. Dan melanggar larangan tersebut berarti sebuah pelanggaran yang terkait dengan masalah lingkungan yang kemudian diposisikan pada tindak kejahatan yang berkonsekuensi hukuman. Renaisans membawa akibat pada dipisahkannya filsafat dengan teologi, akal dengan iman, mistisisme dengan gnosis. Mistisisme di sini bukan merujuk pada penampakan mistik, namun lebih pada pengetahuan illuminatif. Pada abad pertengahan Kristen, sebagaimana Islam, banyak dipengaruhi tradisi. Namun sejak Barat menekankan logika pemikiran Aristotelian yang kaku, segi kesakralannya mulai berkurang. Sebelum abad ke-17, ilmu tentang kosmos menjadi sekuler. Revolusi ilmu membuat pandangan Barat menjadi mekanis, dan, dengan munculnya August Comte, menimbulkan uji coba atas manusia dan masyarakat sebagai elemen yang dapat diukur dengan tujuan manipulasi dan dapat diramalkan. Setiap tradisi (keagamaan) memiliki kekayaan pengetahuan dan pengalaman sehubungan dengan tatanan alam. Tradisi Yahudi dan Kristen yang berkembang di Barat, dipandang telah tenggelam dalam hingar bingar pandangan materialistik terhadap alam. Berbeda dengan kedua tradisi agama tersebut, agama-agama Timur (nonwestern religions)12 –termasuk Islam di dalamnya, dalam pandangan Nasr memiliki pandangan yang menyegarkan seputar alam, yang bisa jadi akan sangat berguna dalam upaya menyelamatkan lingkungan. Kalaupun dewasa ini tradisi-tradisi agama tersebut tampak tidak banyak memiliki peran dalam kampanye lingkungan, itu tidak lain 12
Dalam literatur studi-studi agama terdapat perbedaan penyebutan dalam kategorisasi agama. Islam, Kristen, Yahudi disebut sebagai agama Barat. Sedangkan agama Timur seperti Hindu, Buddhisme, Shinto dan Konfusianisme. Lihat Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama, Sebuah Pengantar, (Bandung: Mizan, 2003), 24.
48
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
Masrokhin
karena sudah sedemikian tertanamnya keyakinan mengenai keharusan bagi Timur untuk mengejar kemajuan ala Barat. Hal itu berimplikasi pada makin ditinggalkannya ajaran tradisional yang melihat alam sebagai sesuatu yang suci, dan dimulainya keinginan untuk mengeksploitasi alam. Untuk itulah, dipandang perlunya menggali kembali ajaran-ajaran tradisional itu, dan menggunakannya sebagai dasar dalam upaya penyelamatan lingkungan. Dalam Islam terdapat banyak aliran pemikiran yang berhubungan dengan alam. Yang bisa ditarik dari perbedaan-perbedaan yang ada tersebut adalah bagaimana para ilmuwan Islam berusaha menghubungkan ilmu alam dengan pemahaman agamanya, sehingga ilmu alam yang berkembang di antara ilmuwan Islam pun tidak menyalahi prinsip-prinsip dasar Islam. Islam melihat alam dengan cinta dan tanggungjawab, karena pada alam terkandung banyak pengetahuan dan kebijaksanaan. Alam juga sarat dengan simbol dan pesan spiritual. adalah sumber belajar dan kearifan, sarat makna simbolik, dan kaya pesan spiritual. Menurut Nasr, Alam semesta merupakan teofani yang menyelubungi sekaligus menyingkapkan Tuhan. Dalam pandangan Nasr, pemisahan ilmu dari sesuatu yang dianggap sakral menghasilkan sikap yang saling bertolak belakang dari manusia-manusia yang hidup di dalamnya. Di satu sisi, bisa saja para politisi sepakat dengan gagasan-gagasan dan upaya-upaya menyelamatkan lingkungan, namun di sisi lain para pengembang (developer) menebangi hutan dan mengancam keberlangsungan hidup spesies tertentu. Tidak ada kekuatan yang lebih besar untuk menghalangi tindakan yang merusak itu.
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
49
Konsep Ekologi Islam
Hal ini berbeda dengan keadaan di negeri Islam. Menurut Nasr, dalam masyarakat Islam yang sebenarnya, pemimpin politik dapat bertindak sesuai dengan syari’ah sebagaimana yang disusun oleh para ahli hukum. Jika para ahli hukum itu menyatakan bahwa industri yang menghasilkan polusi dan beberapa jenis pembangunan bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam, pemimpin politik dapat menekan pihak-pihak yang melanggar ketentuan tersebut. Sayangnya, Nasr menilai bahwa dominasi Barat atas ekonomi dunia menyebabkan Islam disibukkan dengan agenda untuk bereaksi atas Barat, baik secara ekonomi maupun secara politik, sehingga saat ini sangat sulit ditemui pemimpin Islam yang mengampanyekan gerakan peduli lingkungan dengan berlandaskan keyakinan agamanya. Menurut Nasr, orang Islam adalah jenis masyarakat pertengahan, baik secara geografis dan metafisis ada di antara tradisi Timur dan Kristen Barat. Hierarki pengetahuan Islam dipadukan dengan prinsip keesaan (tauhid), menjadi poros bagi setiap bentuk pengetahuan dan cara mengada. Ilmu-ilmu seperti ilmu hukum, sosial, teologi, gnostik, dan metafisika didasarkan pada Al Quran. Dalam peradaban Islam, juga dikembangkan ilmu filsafat, alam, dan matematika yang dipadukan dengan pandangan Islam. Pada tiap jenis pengetahuan, alam dilihat dengan cara tertentu, tergantung ilmunya. Bagi ahli hukum, alam dilihat sebagai latar belakang tindak perbuatan manusia, bagi ilmuwan, alam merupakan sesuatu untuk dianalisa, dan bagi ahli metafisika, alam merupakan objek kontemplasi. Pada akhirnya, semua ilmu Islam menegaskan kesatuan Ilahiah. Nasr menemukan dalam sejarah Islam hubungan yang erat antara dimensi metafisis tradisi dan kajian alam. Ilmuwan Islam adalah ahli Sufi. Dalam peradaban Islam sebagaimana peradaban Cina, observasi atas alam dan 50
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
Masrokhin
bahkan percobaan secara umum didasarkan pada sisi gnostik dan mistik tradisi. Dalam Islam hubungan tak terbagi antara manusia dengan alam dan antara agama dan ilmuwan sebagaimana tertera dalam al-Quran, Logos ataupun firman Tuhan. Dengan menolak memisahkan manusia dan alam sepenuhnya, Islam meneguhkan pandangan yang utuh tentang alam semesta dan melihat adanya karunia Tuhan dalam urat nadi kosmos dan tatanan alam. Manusia dapat belajar merenungkannya, tidak sebagai kenyataan yang berdiri sendiri, melainkan sebagai cerminan yang memantulkan kenyataan yang lebih tinggi.13 Dalam Islam, alam tidak pernah dianggap profan. Orang seperti Ibnu Sina bisa menjadi ahli fisika sekaligus filsuf yang mencari pengetahuan melalui iluminasi. Kenyataan bahwa ilmu pengetahuan modern tidak berkembang dalam Islam bukanlah pertanda kemerosotan, melainkan penolakan Islam atas segala bentuk pengetahuan sekuler dan terpisah dari tujuan utama eksistensi manusia. Nasr dalam buku-bukunya tidak hanya menjelaskan tentang tradisi Islam saja, melainkan juga tradisi agamaagama lain. Dari dialog antar-agama tersebut, didapatkan suatu pemahaman yang berbeda seputar bentuk dan makna dunia yang sakral dengan cara menjaga tradisi kita sendiri. Dengan begitu, ia bukannya hendak memaksakan pandangan dan tradisi Islam dalam memandang alam sebagai upaya menyelamatkan lingkungan, namun lebih pada mengajak manusia untuk menengok kembali pada tradisi masing-masing dan mendapatkan gambaran yang lebih utuh tentang alam. Di satu sisi Nasr sebenarnya juga mengakui bahwa kerusakan lingkungan juga terjadi di Timur seperti halnya di Barat. Namun dalam pandangannya, dalam kerusakan 13
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature, 95.
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
51
Konsep Ekologi Islam
lingkungan yang terjadi di kedua tempat itu memiliki karakter yang berbeda. Krisis lingkungan di Barat menurutnya merupakan konsekuensi dari pandangan dunia modern yang sekuler,14 sedangkan kerusakan yang terjadi di Timur terjadi karena adanya hegemoni Barat atas Timur yang menyebabkan Timur senantiasa terpaksa untuk mengikuti apa yang sedang berkembang di Barat agar bisa disebut “maju”. Untuk mengatasi krisis lingkungan yang kini telah menjadi permasalahan global, Nasr mengajak manusia untuk menengok kembali pada ajaran dan tradisi Timur, salah satunya Islam. Islam yang dimaksudkan di sini adalah Islam dalam pengertian profetik dan sekaligus sebagai sebuah tradisi peradaban. Islam dalam makna profetiknya memberi pengertian Islam beserta seluruh ajarannya sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW, termasuk tauhid, etika, dan kosmologi. Ayat Tuhan sendiri ada 2 (dua) macam, yaitu ayat qawliyyah dan ayat kawniyyah. Ayat qawliyyah merujuk pada ayat yang tertulis di dalam kitab suci, yaitu al-Quran, sedangkan ayat kawniyyah yaitu ayat yang tidak tertulis, melainkan mewujud dalam alam semesta. Selama ini, ayat Tuhan yang lebih banyak dikenal yaitu ayat Tuhan yang mengacu pada al-Quran. Seharusnya, kedua ayat tersebut perlu ditelaah dan diresapi maknanya karena keduanya sama-sama mengandung pengetahuan dari Tuhan yang dapat mengantarkan manusia sampai pada-Nya. Bisa dikatakan tujuan ilmu Islam adalah untuk menunjukkan kesatuan dan hubungan timbal balik antara segala yang ada. Dalam merenungkan kesatuan kosmos, manusia bisa jadi diarahkan pada kesatuan Prinsip Ilahiah, yang digambarkan dalam kesatuan alam. Kesatuan alam dan manusia dalam kaca mata metafisika dianggap 14
Seyyed Hossein Nasr, Religion, 22.
52
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
Masrokhin
sebagai tindak penciptaan Tuhan. Dalam pandangan Islam, alam dipandang sebagai tanda-tanda Tuhan, menunjukkan asal-usul segala sesuatu yang bersifat Ilahiah. Alam dianggap sebagai sesuatu yang suci dan penuh makna. Alam juga menggambarkan tatanan hierarkis di alam. Untuk menjelaskan hal ini, Nasr menggambarkan bagaimana terbentang jarak antara prinsip dasar dan perwujudannya. D. Fiqh Lingkungan dari Kitab al-Taharah Islam, sebagai agama yang paling banyak dianut oleh penduduk Indonesia, selama ini juga tampak acuh tak acuh dengan krisis lingkungan yang terjadi. Islam seolaholah menjadi agama yang tidak peduli pada isu lingkungan. Menanggapi hal tersebut, Seyyed Hossein Nasr menyatakan ketidaksetujuannya. Menurutnya, di dalam al-Quran telah dijelaskan adanya hubungan tak terpisahkan antara manusia dan alam. Krisis lingkungan yang terjadi dewasa ini bukanlah karena kesalahan agama, melainkan kesalahan manusia yang telah meninggalkan tradisi spiritual (Islam). Tujuan tiap ritual keagamaan yang dilakukan manusia adalah untuk mengingat Tuhan, terlepas dari apa agamanya. Ibadah manusia melengkapi puji-pujian yang dilakukan segenap makhluk di bumi pada Tuhan. Upacara dan ritual keagamaan yang dipraktekkan oleh manusia turut berperan serta dalam ritual yang dilakukan oleh seluruh makhluk, dan penolakan manusia untuk melakukan ritual tersebut dapat menghancurkan harmoni di alam. Lebih lanjut lagi, menghancurkan alam dan menyebabkan kepunahan tanaman dan binatang sebagai akibat ketidakpedulian manusia sama saja dengan membunuh para penyembah Tuhan dan membungkam doa
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
53
Konsep Ekologi Islam
segenap makhluk pada Tuhan.15 Ini seperti mencoba meniadakan tujuan Tuhan menciptakan alam. Ini berarti, merusak alam sama saja dengan merusak baik manusia yang melakukan dosa tersebut dan sifat alamiah kemanusiaan tersebut. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, upacara keagamaan yang dilakukan manusia memainkan peranan sentral dalam menjaga harmoni di alam tempat manusia menempati posisi sentral tanpa diperbolehkan merebut kekuasaan atas kebenaran mutlak yang hanya dimiliki Tuhan. Ketika manusia menolak melakukan ritual keagamaan, elemen pusat harmoni alam rusak dan manusia menjadi “tidak berharga” dan “tidak berguna” lagi sepanjang tujuan utama makhluk ciptaan Tuhan menyangkut mencintaiNya dan pada akhirnya mengenalNya. Tujuan utama manusia –dan juga makhluk lainnya– dengan sendirinya dimungkinkan dapat dicapai dengan mengikuti hukum dan perintah agama, yang intinya adalah ritual (keagamaan). Dalam hal ini, memperoleh keturunan dianggap seperti menambah jumlah orang di dunia yang mengimani bahwa tiada Tuhan selainNya. Menentang tujuan ini tidak hanya menjadikan “tidak berguna” dalam pandangan agama, namun juga menjadikannya pembuat kerusakan di bumi. Nasr percaya, jika seseorang menolak mengikuti syari’ah dan menjalankan ritual yang diajarkannya, maka itu berarti dia tidak lagi bisa memenuhi fungsinya sebagai wakil Tuhan di muka bumi16 Doktrin ini berguna untuk 15
Lihat misalnya sebutan wa in min shay illa yusabbihu bihamdih dalam al-Isra : 44. Juga tunjukan Hadis bahwa al-Namlah di sarangnya dan al-Hut turut mendo’akan para pengajar dan penganjur kebaikan. Lihat al-Turmudzi, Sunan al-Turmudzi, no indeks 2609. 16 Seyyed Hossein Nasr, Religion, 281.
54
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
Masrokhin
mengatasi krisis lingkungan yang terjadi dewasa ini. Selain itu, pandangan yang percaya bahwa tidak peduli seberapa besar dunia sekuler mengungkapkan betapa tidak relevannya ritual keagamaan dengan proses alam dan sifat/keadaan kosmos dalam kerangka pandangan yang mengaitkan hukum moral dan hukum kosmos. Bahkan, bisa dikatakan bahwa makna agama tidak hanya untuk menertibkan nafsu dan menghilangkan sifat buruk dalam diri manusia –yang memberikan kekuatan untuk perusakan lingkungan, namun juga menetapkan ritual yang –selain untuk menyelamatkan jiwa perorangan– memainkan peranan penting dalam menjaga harmoni tatanan alam. Bagi Nasr17 menghancurkan alam dan menyebabkan kepunahan tumbuhan dan binatang dengan ketidakpedulian manusia merupakan pembunuhan para penyembah Tuhan dan pembungkaman doa segenap makhluk pada kekuasaan Tuhan. Ini mengingkari tujuan awal dunia ini diciptakan –menurut Nasr tujuan Tuhan menciptakan dunia adalah agar Ia dikenal, dan doa segenap makhluk ciptaanNya tidak lain sebagai bukti mereka mengetahui adanya Tuhan. Ini berarti bahwa menghancurkan alam sama saja dengan menghancurkan kemanusiaan –dengan melakukan dosa, sekaligus lingkungan tempat ia tumbuh. Dalam kajian kitab fiqh tentang kegiatan bersuci (taharah) terdapat salah satu bagian yang sangat kental dengan muatan pesan peduli-lingkungan. Keterkaitan hajat hidup dengan hak guna atas fasilitas umum menjadi fokus utama.
17
ibid
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
55
Konsep Ekologi Islam
Al-Imam Ahmad ibn al-Husein menulis dalam Taqribnya :18
ويجتنب البول والغائط في الماء الراكد وتحت الشجرة المثمرة.... .... وفي الطريق والظل والثقب “... hindari buang air-kecil dan air-besar pada wilayah perairan yang tidak mengalir, di bawah pohon yang berbuah, di jalanan, di shelter tempat berteduh orang, dan di lubang sarang serangga ... “ Al-Ima>m Ibn Qa>sim memberikan penjabaran mengenai volume air yang baik sedikit atau banyak, meskipun mengalir, tidak disarankan untuk digunakan melakukan aktifitas al-bawl atau al-gha>it}.19 Bahkan alImam Nawawi al-Jawi menyebut keharaman buang air di air meskipun mengalir kecuali aliran itu menuju ke laut dan tidak mengganggu kenyamanan (... illa> an yastabhira bi haythu la ta’a>fahu al-anfus).20 Must}afa> Dib al-Bigha dalam al-Tadzhibnya melansir sandaran dalil mengenai persoalan bawl dan ghait dengan menampilkan banyak hadis. Disamping itu dia juga menampilkan bahwa larangan dalam bawl dan ghait yang mengganggu lingkungan bersifat haram.21 Hadis-hadis yang ditampilkan dalam al-Tadzhib adalah :
عن جابر عن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم أنه هنى أن يبال يف املاء الراكد18
Ahmad ibn al-Husein, Matn Taqrib, dicetak bersama dalam Qu>t al-H{abi>b al-Ghari>b (Indonesia : Dar Ihya> al-Kutub al‘Arabiyyah, t.th), 19. 19 Muhammad Ibn Qasim, Fath al-Qarib al-Mujib dicetak bersama dalam Qu>t al-H{abi>b al-Ghari>b (Indonesia : Dar Ihya> al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.th), 19. 20 Muhammad Nawawi al-Jawi, Qu>t al-H{abi>b al-Ghari>b (Indonesia : Dar Ihya> al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.th), 19. 21 Must}afa> Dib al-Bigha, al-Tadzhi>b fi Adillat Matn al-Gha>yat wa al-Taqrib, (Surabaya : al-Hidayah, t.th.), 18-19.
56
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
Masrokhin
عن أيب هريرة أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال اتقوا اللعانني قالوا ومااللعاانن اي رسول هللا قال الذي يتخلى يف طريق الناس أو يف ظلهم عن قتادة عن عبد هللا بن سرجس أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم هنىأن يبال يف اجلحر Dalam hal ini, meski seseorang punya hak menggunakan fasilitas umum tetapi tidak diperbolehkan memonopoli apalagi sampai merusak fasilitas umum tersebut sehingga menghalangi pemanfaatan berikutnya, shingga dalam pekuburan umum tidak boleh dibangun pemakaman atau di sungai tidak boleh dikotori dan dicemari. Wacana fiqih klasik telah lebih berbicara dan mengedepankan larangan membuang air besar di genangan air tenang, di bawah pohon berbuah, pohon rindang dan di lobang serangga. Sayangnya, dalam masalah ini, umumnya fiqih masih memposisikan pada dataran etika atau al-adab (adab al-istinja’) dan belum tergagas dalam sebuah pelanggaran yang terkait dengan masalah lingkugan yang kemudian diposisikan pada tindak kejahatan yang berkonsekuensi hukuman. Seharusnya bisa dikoleksi masalah-masalah yang menyangkut lingkungan dalam arti luas, kemudian diklasifikasi menjadi beberapa kelompok, sehingga jelaslah bahwa berbagai masalah lingkungan menjadi sebuah ajaran dan doktrin agama yang berkekuatan hukum sama dengan masalah ibadah lain. Bahkan, dalam teori mashlahah yang terkait dengan “al-khayr al-muta’addi” (kebaikan menyeluruh) dan “al-Khayr al-qashir” (kebaikan terbatas), masalah lingkungan banyak terkait dengan al-khair al -muta’addi. Qa’idah fiqhiyah
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
57
Konsep Ekologi Islam
menyebut bahwa al-khayr al-muta’addi afdlal min alqashir.22 Ilmu fiqh merupakan satu diantara beberapa ilmu Islam yang sangat dominan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Ali Yafie, fiqh pada dasarnya adalah penjabaran nyata dan rinci dari nilai-nilai ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qur’an dan Hadis yang digali terus menerus oleh para ahli yang menguasai hukum-hukumnya dan mengenal baik perkembangan, kebutuhan, serta kemaslahatan umat dan lingkungannya dalam bingkai ruang dan waktu yang meliputinya.23 Tetapi kecenderungan sebagian masyarakat masih memandang fiqh sebagai kebenaran ortodoksi dimana semua realitas ditundukkan pada kebenaran fiqh sehingga konsep empat mazhab sampai saat ini menjadi kitab ketiga setelah alQur’an dan Hadis. Mengutip bahasa kyai Sahal,24 seorang mujtahid tidak hanya harus menguasai dalil-dalil hukum, tapi juga harus mempunyai kepekaan sosial yang tinggi. Dengan demikian hukum akan berjalan dengan efektif dan kontekstual sesuai dengan kebutuhan, situasi dan kondisi sosial. Oleh karenanya, melalui pengajaran kitab-kitab fiqh, peran para pengajarnya yang telah menguasai ilmu-ilmu metodologi sangat bisa diarahkan kepada persoalan peduli-lingkungan sekaligus melaksanakan core fiqh yang semestinya dinamis dan harus berkembang. Sebagaimana dipesankan oleh al-Imam al-Nakhai :
22
Al-Suyu>t}i, al-Ashbah wa al-Nadzair, (Indonesia : Dar Ihya> alKutub al-‘Arabiyyah, t.th), 99. 23 Ali Yafie, Menggagas Fikih Sosial, (Bandung: Mizan, 2000), 223225. 24 M. Sahal Mahfudz, Nuansa Fikih Sosial, (Yogjakarta : LKIS, 2004), 24.
58
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
Masrokhin
ُ طور في ْال ُكتُب ُ علَى ْال َم ْس ع ْمرك بَ ْل إذَا َجا َءك ُ طو َل َ و َل تَجْ ُم ْد..... َ ُْع ْرف بَلَدك َواسْأَله ْ َ ْ َ َر ُجل م ْن ُ على َ غيْر أ َ ْهل إقليمك يَ ْستَفتيك َل تَجْ ره ع ْرف بَلَدك َو ْال ُمقَ َّرر في ُ َعلَيْه َوأ َ ْفته به دُون ُ ع ْن َ ع ْرف بَلَده َواجْ ره َ ْ ْ ْ ْ َ َ َ ُعلى ال َم ْنق ض ََلل في َ ولت أبَدًا َ ُُكتُبك فَ َهذَا ُه َو ال َحق ال َواض ُح َوال ُج ُمود ْ ..... َسلَف ال َماضين َّ علَ َماء ْال ُمسْلمينَ َوال ُ الدين َو َج ْهل ب َمقَاصد ”Sepanjang usiamu janganlah selalu bersikap statis terhadap apa yang tertulis dalam kitab-kitab. Jika ada problem dari luar wilayahmu, berikan jawaban solutif, bukan memaksakan apa yang telah baku telah ada pada dirimu untuk yang masih selalu berkembang. Beginilah yang seharusnya. Sikap statik menerima yang telah ada saja terhadap pendapat-pendapat para ulama' merupakan kesesatan dan ketidakmengertian terhadap tujuan mulia para ulama' [dengan pandangannya itu]25. Sayang sekali perangkat-perangkat metodologi yang banyak dikuasai dalam pandangan kaum santri terlanjur diyakini sebagai pengetahuan yang hanya dengan mempelajarinya akan mendatangkan pahala dan ganjaran yang akan mengantarkannya kerumah idaman, surga. Artinya, perangkat metodologi baik berupa usul al-fiqih maupun ulum al-tafsir hanya dipelajari, dikhatamkan tanpa memiliki keberanian untuk sesekali menggunakannya dalam melakukan istinbat al-ahkam. Naifnya ketika ada seorang yang memiliki kemampuan dan keberanian untuk menggunakannya segera saja diklaim sebagai liberal, ngeminteri dan label olok-olok lainya. E. Kesimpulan Bagi orang beragama secara umum, dan pemeluk Islam khususnya, sangatlah penting mendapatkan dasar religius untuk setiap tindakannya. Oleh karena itu, upaya Ahmad Ibn Idris al-Qarafi, Anwa>r al-Buru>q fi Anwa>’ alFuru>q , (Riya>d}: Da>r al-Sala>m, t.th.) juz 2, 229. 25
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
59
Konsep Ekologi Islam
penyelamatan lingkungan akan sangat kurang menyentuh kehidupan manusia beragama bila tidak ditemukan suatu ajaran –dalam agamanya, yang menyatakan perlunya menjaga kelestarian lingkungan. Upaya penyelamatan lingkungan akan jadi seperti gagasan besar yang kurang mengena, kalau tidak justru dianggap menghambat kemajuan. Di sinilah pentingnya perumusan konsep ekologi yang didasarkan pada ajaran agama. Dengan tersistematisasinya pemahaman ekologis yang didasarkan satu agama tertentu akan sangat membantu pemeluk agama untuk memahami pentingnya upaya penyelamatan lingkungan. Apalagi dengan mengaitkannya dengan kehidupan spiritual mereka, konsep ini akan lebih mudah diterima dan –semoga, lebih mengakar dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, dengan memaknai agama dan ritualnya sebagai bagian tak terpisahkan dalam kehidupan, menyegarkan kembali pandangan keagamaan kita menjadi sangat terkait erat dengan usaha penyelamatan lingkungan. Tuhan tidak lagi sekedar dipandang sebagai penguasa manusia, tetapi lebih dari itu, Tuhan adalah pencipta segala yang ada di dunia ini. Karena berasal dari satu sumber, manusia bisa menyadari adanya kesalingterkaitan antara dirinya dan makhluk ciptaan Tuhan yang lain. Dengan demikian, argumen penyelamatan lingkungan tidak lagi hanya berkutat di dimensi moral, tetapi juga di dimensi keagamaan sehingga dapat menyentuh lebih dalam pemikiran manusia yang lebih luas. Nasr melihat pentingnya membangun suatu cara pandang baru yang didasarkan atas tradisi spiritualitas agama, baik Islam maupun agama lainnya, dikarenakan cara pandang terhadap alam yang ada sekarang ini justru makin memperparah krisis lingkungan yang terjadi. Bagi 60
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
Masrokhin
Nasr, agama memiliki potensi besar untuk turut serta dalam upaya menyelamatkan bumi. Meski Nasr juga menjelaskan peran agama selain Islam dalam mengatasi krisis lingkungan, namun ia banyak menekankan pandangan Islam mengenai lingkungan. Dengan meninjau ulang tradisi (spiritual Islam) dan menekankan pentingnya perumusan kembali hubungan antara manusia dan alam berdasarkan pengetahuan spiritual, Nasr berusaha memunculkan wajah Islam yang ramah lingkungan. Dengan meyakini sifat unitas Islam, yang di sini mengandung pengertian bahwa tidak ada pembedaan antara hal yang religius dan yang profan, usaha untuk menyelamatkan bumi ini bisa juga dipandang sebagai tugas suci, yang bernilai tidak kurang dari ibadah jenis yang lain. Di sini letak pentingnya konsep ekologi Islam Nasr. Dengan meyakini keterkaitan antara gerakan penyelamatan bumi dengan keberagamaan seseorang, diharapkan gerakan ini dapat diikuti lebih banyak lapisan masyarakat, sehingga menunjukkan hasil yang lebih nyata. Di samping itu, pemahaman lingkungan tidak sekedar difahami secara ilmu saja, melainkan tercermin dalam prilaku, sama dengan ibadah yang lain. Shalat difahami sebagai kewajiban. Shalat butuh wudlu dan wudlu butuh air. Sedangkan air jelas terkait dengan masalah lingkungan. Mengapa orang yang memboroskan air sekedar dihukumi “haram” karena mubadzir yang dekat dengan bahasa agama dan belum bersentuhan dengan bahasa lingkungan. Wa Allah A’lam
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
61
Konsep Ekologi Islam
Daftar Pustaka Abu Syuja’, al-Husein, Ahmad ibn. t.th. Matn Taqrib, Indonesia : Dar Ihya> al-Kutub al-‘Arabiyyah. al-Bigha, Mustafa Dib. t.th. al-Tadzhib fi Adillat Matn alGhayat wa al-Taqrib, (Surabaya : al-Hidayah. Capra, Fritjof. , 2001. Jaring-Jaring Kehidupan: Visi Baru Epistemologi dan Kehidupan (Saut Pasaribu, pen.), Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru. Al-Gha>zy, t.th. Muhammad Ibn Qasim, Fath al-Qarib al-Mujib, Indonesia : Dar Ihya> al-Kutub al‘Arabiyyah. Husein, Harun M. 1993. Lingkungan Hidup: Masalah Pengelolaan dan Penegakan Hukumnya, Jakarta: Bumi Aksara. Al-Jawi, Muhammad Nawawi. t.th. Qu>t al-H{abi>b alGhari>b, Indonesia : Dar Ihya> al-Kutub al‘Arabiyyah. Keraf, A. Sonny. 2002. Etika Lingkungan, Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Mahfud, M. Sahal. 2004. Nuansa Fikih Sosial, Yogjakarta : LKIS. McIntosh, Robert P. 1985. The Background of Ecology: Concept and Theory, New York: Cambridge University Press. Nasr, Seyyed Hossein. 1968. Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man, London: Allen and Unwin. _________________1996. Religion and the Order of Nature, New York: Oxford University Press.
62
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
Masrokhin
Petersen, Rodney L. “Membentuk Kesetaraan dalam Konsumsi, Kependudukan, dan keberlanjutan dalam Audrey R. Chapman, dkk. 2000. Bumi yang Terdesak (terjemahan Dian Basuki dan Gunawan Admiranto), Bandung: Mizan. Al-Qarafi, Ahmad Ibn Idris. t.th. Anwa>r al-Buru>q fi Anwa’ al-Furu>q, Riyad: Dar al-Sala>m. Rakhmat, Jalaluddin. 2003. Psikologi Agama, Sebuah Pengantar, Bandung: Mizan. Soemarwoto, Otto. 1985. Ekologi, Lingkungan Hidup, dan Pembangunan, Jakarta: Penerbit Djambatan. Sumaatmadja, Nursid. 1989. Studi Lingkungan Hidup, Bandung: Penerbit Alumni. Al-Suyuti, t.th. al-Ashbah wa al-Nadzair, Indonesia : Dar Ihya> al-Kutub al-‘Arabiyyah. Yafie, Ali. 2000. Menggagas Fikih Sosial, Bandung: Mizan.
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
63