Artikel ISSN: 0852-8489
Pola Eskalasi Konflik Pembangunan Infrastruktur: Studi Kasus Pembangunan Waduk Jatigede Kabupaten Sumedang Penulis: Dicky Rachmawan Dipublikasikan oleh: LabSosio, Pusat Kajian Sosiologi FISIP-UI Diterima: Juli 2015; Disetujui: Januari 2016
MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi, diterbitkan oleh LabSosio, Pusat Kajian Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia. Jurnal ini menjadi media informasi dan komunikasi dalam rangka pengembangan sosiologi di Indonesia. Redaksi MASYARAKAT mengundang para sosiolog, peminat sosiologi dan para mahasiswa untuk berdiskusi dan menulis secara bebas dan kreatif demi pengembangan sosiologi di Indonesia. Untuk kriteria dan panduan penulisan artikel maupun resensi buku, silahkan kunjungi tautan berikut: www.journal.ui.ac.id/mjs
Untuk mengutip artikel ini (ASA Style): Rachmawan, Dicky. 2016. “Pola Eskalasi Konflik Pembangunan Infrastruktur: Studi Kasus Pembangunan Waduk Jatigede Kabupaten Sumedang.” MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi, 20(2):193-211.
SK Dirjen Dikti Akreditasi Jurnal No. 80/DIKTI/Kep/2012
Pola Eskalasi Konflik Pembangunan Infrastruktur: Studi Kasus Pembangunan Waduk Jatigede Kabupaten Sumedang1 Dicky Rachmawan Biro Perlindungan Sumber Daya Hutan dan Kelola Sosial Divisi Regional III Jawa Barat & Banten, Perum Perhutani Email:
[email protected]
Abstrak Tulisan ini membahas tentang proses meningkatnya konflik yang timbul akibat pembangunan Waduk Jatigede, khususnya pada masa prakonstruksi, yang dapat dilihat dari aspek struktural dan prosesual dengan menggunakan teori konflik. Sebaliknya, tingkat konflik mengalami deeskalasi (penurunan) ketika dilaksanakan pemberdayaan melalui pelibatan masyarakat serta penetapan kesepakatan yang mengakomodasi kepentingan bersama. Tulisan ini menekankan tiga hal yang dapat memicu munculnya permasalahan dalam pelaksanaan pembangunan waduk, antara lain: jaminan penegakan aturan, implementasi kebijakan, dan anggaran. Selain itu, diperlukan pelibatan masyarakat secara partisipatif dengan pendekatan bottom-up disertai koordinasi, dan pelibatan pihak ketiga untuk melakukan pengawasan serta evaluasi yang transparan. Tulisan ini disusun berdasarkan penelitian yang menggunakan metode kualitatif dengan pengumpulan data menggunakan teknik wawancara mendalam secara purposive. Abstract This article discusses about the prosess of conf lict escalation in Jatigede Dam construction esspecially in pre-construction period from structural and processual point of view using conflict theory. However, height of conflict decreased (deescalation) in empowerment period through community participation and agreement that accomodate community interests. This article emphasizes on the importance of ensuring the rules, policies, and budgets on possibility of problem arising (structural). It is also important to carry out participatory community engagement with bottom-up approach on implementation along with coordination as well as intervention of third party to monitor and to ensure transparent evaluation. This article based on research using qualitative method with porpusive indepth interview. Keywords: conflict, conflict escalation, stuctural, processual, waduk Jatigede. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Yospeh Hilarius Timu Pera, serta Suryawan Setianto selaku ketua tim penelitian Sosekling PU dan Bapak F.X. Hermawan selaku Kepala Pusat Penelitian Sosekling PU yang memberikan kesempatan penulis melakukan penelitian untuk penulisan artikel ini. 1
19 4 |
DIC K Y R AC H M AWA N
PE N DA H U L UA N
Pembahasan konflik infrastruktur dilakukan oleh beberapa tokoh di belahan dunia berdasarkan pentingnya partisipasi komunitas atau masyarakat yang terkena dampak di dalam pelaksanaannya agar keinginan para pemangku kepentingan dapat terakomodasi (Manowong dan Ogunlana 2006; Tam dan Tong 2011; Spang et al. 2012). Dilihat dari pendekatan prosesual, Goulet (2005) dan Koh et al. (2009) membuktikan bahwa konflik pembangunan waduk disebabkan oleh kurang terakomodasinya para pemangku kepentingan yang disebabkan buruknya pelaksanaan. Sementara itu, dilihat dari pendekatan struktural, Mahato et al. (2011) menyebutkan munculnya konflik dalam pembangunan waduk disebabkan tidak tersedianya kebijakan atau aturan untuk mengakomodasi aspirasi para pemangku kepentingan. Hasil studi yang menggunakan satu pendekatan, baik pendekatan prosesual atau struktural kurang mampu menjelaskan penyebab terjadinya konflik pembangunan infrastruktur dan pembangunan waduk secara menyeluruh. Oleh sebab itu, pembahasan mengenai konflik infrastruktur khususnya pembangunan waduk seharusnya dilakukan dengan pendekatan yang lebih komprehensif, yakni pendekatan struktural maupun prosesual. Pentingnya penggunaan kedua pendekatan secara bersamaan ini tidak lepas dari teori strukturasi yang menyebutkan bahwa keterkaitan aktor dalam ranah prosesual dan struktur adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan (Ritzer dan Goodman 2011; Wirutomo 2012). Pembangunan waduk merupakan pembangunan infrastruktur yang berpotensi besar pada terjadinya konflik pertanahan karena harus memindahkan manusia dalam jumlah besar (Goulet 2005). Lebih lanjut, besarnya potensi konflik pertanahan dalam pembangunan waduk karena tanah memiliki nilai secara mendasar dalam kehidupan manusia terkait dengan ruang, terkait ekspresi manusia, hingga sumber daya yang erat kaitannya dengan kemampuan bertahan hidup dan kemakmuran (Kolers 2009). Oleh sebab itu, besarnya potensi konflik pembangunan waduk sangat krusial terhadap warga sekitar lokasi pembangunan waduk. Terdapat studi konflik yang telah dilakukan oleh Setianto (2014) di lokasi yang sama. Akan tetapi, studi yang menjelaskan tentang eskalasi (peningkatan) konflik pada pembangunan waduk masih sangat minim dalam perkembangan ilmu sosial, terutama sosiologi. M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 20, No. 2 , Ju li 2015: 193 -212
POLA ESK ALASI KONFLIK
| 195
Melihat kecenderungan munculnya fenomena konflik pada aspek yang sangat teknis merupakan celah bagi perkembangan sosiologi yang tidak hanya pada penggunaan satu pendekatan, namun juga penggunaan pendekatan struktural dan prosesual dalam menganalisis terjadinya peningkatan konflik pembangunan di Waduk Jatigede. Studi ini bermaksud menyumbang pengetahuan secara lebih mendalam dan komprehensif bagi kajian konflik pembangunan infrastruktur. Dalam kasus pembangunan Waduk Jatigede, studi tersebut ditekankan pada peningkatan konflik, khususnya pada masa prakonstruksi, yang dilihat dari aspek prosesual dan struktural. Pembahasan hanya dibatasi pada masa prakonstruksi karena pada masa itu terjadinya proses pembebasan lahan yang erat kaitannya dengan konflik pertanahan (PU 2009). M E T O DE PE N E L I T I A N
Tulisan ini berdasarkan penelitian yang menggunakan metode kualitatif. Penulis melakukan wawancara mendalam dengan aktoraktor, baik dari pemerintah maupun masyarakat, yang terlibat aktif dalam konflik di Waduk Jatigede. Informan terdiri dari 6 orang dari unsur pemerintahan (Satker Jatigede, SAMSAT Jatigede dan Pemerintah Desa) dan 5 orang informan dari unsur masyarakat (tokoh masyarakat dan pemimpin kelompok masyarakat). Untuk melengkapinya, penulis juga mengumpulkan publikasi-publikasi (artikel dan buku elektronik) yang mengandung informasi konflik pembangunan Waduk Jatigede dan data sekunder dari Badan Penelitian dan Pengembangan Sosekling (Sosial Ekonomi dan Lingkungan) Kementerian Pekerjaan Umum yang memang sudah pernah melakukan studi di Waduk Jatigede. E S K A L A S I KO N F L I K DA N FA K T O R-FA K T O R T E R J A DI N Y A E S K A L A S I KO N F L I K
Pada dasarnya terjadinya konflik memang dipengaruhi oleh pertentangan kepentingan antara dua belah pihak (Krisberg 1998). Studi-studi sebelumnya hanya menjelaskan faktor-faktor penyebab konflik. Oleh sebab itu, tulisan ini berusaha menjelaskan terjadinya eskalasi konflik sebagai inti dari pembahasan dinamika konflik yang M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 20, No. 2 , Ju li 2015: 193 -212
19 6 |
DIC K Y R AC H M AWA N
dapat dipetakan dan diprediksi sehingga dapat dibuat pola eskalasi konflik (Prayogo 2008; Winstok 2013). Pola eskalasi konflik terutama diukur dari tingkat kekerasan (degree of violence) (Prayogo 2008) yang terdiri dari enam tingkatan pada dua kategori, antara lain: kategori lisan (keresahan, keluhan) dan kategori tindakan (laporan, tekanan, ancaman, perusakan hingga terjadinya pembunuhan). Terjadinya eskalasi konflik disebabkan, terutama, oleh terjadinya peningkatan kepentingan setiap kelompok yang terlibat di dalamnya (Krisberg 1998, Prayogo 2008). Namun, banyak faktor yang saling terkait satu sama lain dalam aspek struktural dan prosesual (Lobell dan Mauceri 2004; Wirutomo 2012; Ritzer dan Goodman 2011). Seperti bagan di bawah ini: Bagan 1. Kerangka Pikir Tulisan Resolusi Konflik
Bentuk Interaksi Bentuk Interaksi
Aspek Struktural
Aspek Prosesual
Eskalasi Konflik Peran Pemimpin/ provokator
Peningkatan Kepentingan Meluasnya Isu
Aspek Struktural
Aspek Prosesual
Komposisi anggota kelompok
Keterlibatan Kelompok lain
Sumber: Penulis
Di antara sekian banyak faktor, penting untuk terlebih dahulu melihat peran kelompok-kelompok di luar kelompok yang terlibat di dalam konflik (Zartman dan Fuare 2005, Jeong 2008, Ganguly 2011) yang ternyata tidak hanya berpengaruh terhadap aspek struktural, seperti munculnya suatu kebijakan, namun juga terhadap aspek prosesual, seperti di dalam proses ganti rugi, meluasnya isu yang juga berpengaruh terhadap bentuk interaksi, bahkan terhadap peran pemimpin di dalam eskalasi konflik. Hal itu karena peran kelompok eksternal dapat memanipulasi kepentingan dengan menambahkan kepentingan mereka pada kelompok yang berkonflik (Krisberg 1998; Lobell dan Mauceri 2004; Zartman dan Faure 2005; Colaresi 2008; M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 20, No. 2 , Ju li 2015: 193 -212
POLA ESK ALASI KONFLIK
| 19 7
Ganguly 2011). Namun demikian, keterkaitan dan keterlibatan kelompok eksternal pun juga berpengaruh terhadap bentuk interaksi ke arah resolusi konflik (Zartman & Fuare 2005, Jeong 2008, Ganguly 2011). Aspek struktural (kebijakan atau aturan) dan aspek prosesual (pelaksanaan pembangunan) pada masa prakonstruksi dalam studi ini dianggap memengaruhi ketinggian kepentingan (Lobell & Mauceri 2004; Wirutomo 2012). Terdapat faktor lain yang juga berpengaruh terhadap meningkatnya kepentingan di dalam konflik yaitu komposisi anggota kelompok yang berdampak pada munculnya kecemburuan sosial. Tingginya kepentingan antarkelompok yang terlibat di dalam konflik pembangunan Waduk Jatigede dapat terakomodasi melalui interaksi yang dilakukan antar kelompok. Terakhir, bentuk interaksi (tanggapan) baik berupa akomodasi kepentingan atau belum terlaksananya pengakomodasian juga dipengaruhi oleh aspek sturktural dan prosesual. Dalam bentuk interaksi pun aspek struktural mempengaruhi besarnya potensi terjadinya peningkatan konf lik. Begitu juga aspek prosesual, seperti ketersediaan aturan dan biaya, juga efektivitas pelaksanaan pembangunan. Jika bentuk interaksi yang terjadi adalah akomodasi kepentingan, maka akan terjadi resolusi konflik tanpa adanya eskalasi konflik, begitu pun sebaliknya. Akan tetapi, dalam kondisi eskalasi konflik juga dapat terjadi resolusi konflik dengan adanya bentuk interaksi yang mengakomodasi sehingga terjadinya penurunan tingkat konflik atau biasa disebut dengan deeskalasi konflik (Jeong, 2008). Di sisi lain, bentuk interaksi juga dipengaruhi oleh peran pemimpin yang juga dapat berperan sebagai provokator untuk memobilisasi massa yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh peningkatan kepentingan dan adanya keterlibatan kelompok eksternal (Krisberg 1998; Jeong 2008). PE M B A N G U N A N WA DU K J AT IG E DE DA N P O T E N S I KO N F L I K PE R TA N A H A N
Waduk Jatigede terletak di Kampung Jatigede Kulon, Desa Cijeunjing, Kecamatan Jatigede, Kabupaten Sumedang. Pembangunan Waduk Jatigede dinilai memiliki beberapa manfaat (Sosekling PU 2012 dan Samsat 2014), yaitu sebagai irigasi seluas 90 hektar di Kabupaten Subang, Indramayu dan sebagian Kabupaten Majalengka, M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 20, No. 2 , Ju li 2015: 193 -212
19 8 |
DIC K Y R AC H M AWA N
pengendali banjir seluas 14.000 hektar, menyediakan air baku untuk daerah hilir 3.500 liter/detik dan pembangkit listrik tenaga air 110 MW. Di balik manfaat yang telah diperkirakan dan diperhitungkan terdapat kebutuhan lahan yang tidak sedikit, yaitu seluas 4.946 hektar yang mencakup 5 kecamatan yang terdiri dari 26 desa. Kebutuhan tanah tersebut tidak hanya mencakup tanah milik masyarakat, namun tanah milik Perhutani pun terkena dampak. Seperti tabel dibawah ini: Tabel 1. Desa-Desa Terkena Dampak Pembangunan Waduk Jatigede Hampir semua atau Kecamatan terendam seluruhnya (desa) Sukakersa, Mekarasih Jatigede
Darmaraja Wado Cisitu
Pakualam, Cipaku, Jatibungur, Leuwihideung, Cibogo Padajaya -
Jatinunggal -
Sebagian lahan pertanian tergenang (desa) Cijeungjing, Ciranggem Karangpakuan, Sukamenak, Cikeusi, Neglasari, Darmaraja Pajagan, Cisitu, Situmekar dan Cijantung -
Sebagian lahan pertanian & pemukiman tergenang (desa) Jemah Sukaratu dan Tarunajaya
Wado dan Cisurat
Sirnasari dan Pawenang
Sumber: diolah dari Basuki (2013) dan Bisri (2013)
Dampak sosial sangat jelas dirasakan oleh masyarakat Kabupaten Sumedang karena 33% di antara mereka bekerja di sektor pertanian (Kabupaten Sumedang dalam Angka 2014), terlebih pada kecamatankecamatan yang terkena dampak umumnya merupakan daerah pertanian, yaitu hilangnya sumber penghidupan dan terkuburnya identitas atas tanah leluhur. Risiko-risiko itu merupakan konsekuensi logis yang mengarah pada konflik pertanahan, khususnya dalam pembebasan lahan pada masa prakonstruksi pembangunan Waduk Jatigede. Hal itulah yang memicu terjadinya peningkatan konflik jika kepentingan-kepentingan masyarakat tidak diakomodasi.
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 20, No. 2 , Ju li 2015: 193 -212
POLA ESK ALASI KONFLIK
| 19 9
P O L A E S K A L A S I KO N F L I K PE M B A N G U N A N WA DU K J AT IG E DE PA DA M A S A PR A KO N S T RU K S I
Tahapan prakonstruksi pembangunan Waduk Jatigede dimulai sejak tahun 1982 dan masih berlangsung hingga tahun 2015, sementara tahapan konstruksi dilakukan sejak tahun 2008. Panjangnya masa prakonstruksi tersebut berada dalam kondisi sosialpolitik yang berbeda, yaitu masa Orde Baru dan masa Reformasi, sehingga pembahasan tentang peningkatan konflik tidak terlepas dari aspek sejarah (Colaresi 2008). Sebelum membahas eskalasi konflik, perlu diketahui tahapan prakonstruksi Waduk Jatigede yang terdiri dari tiga tahapan, antara lain: survei (sosialisasi & inventarisasi aset), pembebasan lahan, dan perpindahan penduduk yang terjadi pada masa Orde Baru dan masa Reformasi (Basuki 2013; Bisri 2013). Ma sa S osia l i sa si , Inv e n t a r i sa si d a n Ma sa Pe mba y a r a n pa d a E r a O r d e B a r u Masa sosialisasi dan inventarisasi pertama kali dilakukan pada tahun 1982-1986 dan tahun 1994-1997. Selama periode tersebut, terdapat beberapa permasalahan dalam buruknya pelaksanaan (prosesual), antara lain: 1) tidak adanya sosialisasi rencana proyek; 2) tidak ada sosialisasi aset kepada masyarakat; 3) pendataan aset yang dilakukan tidak transparan; dan 4) data yang tidak akurat (Albanik 2013). Selain buruknya pelaksanaan, situasi yang sarat tekanan, seperti penggunaan kekuatan militer pada saat musyawarah harga, pun dirasakan oleh masyarakat ketika terdapat pihak dari masyarakat yang mencoba menyalurkan aspirasi tentang penaikan harga ganti rugi. Adanya aspirasi tersebut bersumber dari keresahan masyarakat terkena dampak karena buruknya pelaksanaan inventarisasi aset yang dianggap merugikan masyarakat. Konflik yang muncul dimulai dari tingkat keresahan yang berubah menjadi pelaporan pada periode tahun 1982-1986 dan 1994-1997 (wawancara penulis dengan Kml, 2014). Pelaporan atas kepentingan masyarakat yang tidak diakomodasi karena terdapat indikasi adanya tekanan yang dilakukan oleh oknumoknum pemerintah pada masa tersebut. Kuatnya tekanan pemerintah hingga menggunakan kekuatan militer membuat masyarakat mau M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 20, No. 2 , Ju li 2015: 193 -212
200 |
DIC K Y R AC H M AWA N
tidak mau menerima harga ganti rugi yang telah ditetapkan. Bahkan, warga yang menolak harga yang ditetapkan pemerintah dianggap telah dibebaskan melalui pembayaran di pengadilan negeri (wawancara dengan Kml, 2014). Buruknya pelaksanaan pembangunan pada masa sosialisasi hingga pembayaran ganti rugi pada masa Orde Baru dipengaruhi oleh keterlibatan spekulan dari oknum-oknum (keterlibatan kelompok eksternal) yang seharusnya memperlancar proses pelaksanaan, tetapi malah mencari keuntungan dengan mengambil alih uang pembayaran ganti rugi yang seharusnya diterima oleh pihak dari masyarakat (wawancara penulis dengan Kml, 2014). Keterlibatan kelompok eksternal akhirnya berdampak terhadap semakin tidak terakomodasinya kepentingan masyarakat untuk mendapatkan harga ganti rugi yang diinginkan, terlebih adanya beberapa kasus warga tidak menerima ganti rugi. Pelaksanaan pembangunan pada masa sosialisasi dan inventarisasi yang buruk pada era Orde Baru juga dipengaruhi oleh aspek struktural berupa keterbatasan anggaran pada saat pembayaran ganti rugi dan pelaksanaan perpindahan penduduk melalui transmigrasi dan relokasi yang tidak dijelaskan oleh Lobell dan Mauceri (2004). Keterbatasan anggaran tersebut menjadikan tidak tuntasnya proses perpindahan penduduk dan tidak terjadinya penundaan pembebasan lahan pada tahun 1987-1993 dan 1997-2001. Buruknya pelaksanaan pemindahan penduduk dan ketidakjelasan kelanjutan pembangunan Waduk Jatigede berimplikasi terhadap kembalinya masyarakat yang dipindahkan ke lokasi semula. Kondisi demikian menunjukkan bahwa kepentingan mereka di lokasi baru tidak terakomodasi. Meningkatnya kepentingan dan keresahan masyarakat dalam pelaksanaan inventarisasi aset hingga pembayaran pada masa Orde Baru ini yang kemudian mengakibatkan munculnya konflik terpendam (Colaresi 2008). Ma sa S osia l i sa si d a n Inv e n t a r i sa sa i pa d a E r a R e fo r m a si Seteleh tertundanya pembebasan lahan untuk pembangunan Waduk Jatigede sebanyak dua kali dengan kondisi yang kurang kondusif, maka tahapan prakonstruksi pembangunan Waduk Jatigede pun dimulai kembali pada tahun 2000-an. Masih adanya konflik terpendam karena pengalaman masa lalu (Coralesi 2008) yang M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 20, No. 2 , Ju li 2015: 193 -212
POLA ESK ALASI KONFLIK
| 2 01
menciptakan suatu kondisi yang rawan berakibat pada terjadinya penghalangan kepada Tim 9 (Satuan Kerja atau Satker Jatigede)2 yang akan melaksanakan sosialisasi dan inventarisasi kebutuhan tanah di Desa Cibogo untuk pembangunan waduk pada Era Reformasi. Upaya penghalangan tersebut dilakukan oleh masyarakat di Desa Cibogo dengan tindakan penghadangan akses jalan bagi Tim 9, seperti bermain bola di tengah jalan menuju lokasi inventarisasi. Tingkat penghalangan ini yang tidak dijelaskan oleh Prayogo (2008) di dalam derajat kekerasan yang berguna untuk mengukur eskalasi konflik. Penghalangan ini tergolong pada kategori tindakan yang tingkatannya berada sebelum adanya tingkatan tekanan. Penghalangan yang dilakukan oleh masyarakat terkena dampak di Desa Cibogo kemudian diakomodasi oleh Tim 9 dengan upaya-upaya pelibatan masyarakat melalui pemberian tanggapan positif, perhatian ke masyarakat dan menerima saran dari warga, seperti meminta izin untuk bisa melewati jalan, perhitungan kembali aset, dan penentuan harga ganti rugi yang dilakukan melalui musyawarah yang panjang untuk menawar harga “kabetahan” (Jeong 2008). Hasilnya, baik dari sudut pandang pemerintah dan masyarakat menganggap proses sosialisasi, inventarisasi aset, dan musyawarah berjalan baik (wawancara penulis dan tim Sosekling PU dengan Str, 2014). Adanya pelibatan masyarakat di tahap sosialisasi, inventarisasi, dan musyawarah harga ganti rugi tanah menyebabkan penurunan tingkat konflik dari penghalangan menjadi pelaporan semisal kesalahan perhitungan luas tanah. Ma sa Pe mba y a r a n pa d a E r a R e for m a si Memasuki masa pembayaran pada Era Reformasi, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya peningkatan kepentingan di masyarakat. Pertama, buruknya pelaksanaan tahap prakonstruksi selama era Orde Baru berupa ketiadaan pelibatan masyarakat pada masa sosialisasi dan inventarisasi aset. Hal itu terlihat dari munculnya beberapa permasalahan, seperti kesalahan perhitungan luas lahan dan pembayaran tanah. Hal-hal tersebut kemudian dilaporkan oleh masyarakat. Namun, sebelum Satker Jatigede dapat Tim 9 merupakan panitia Pengadaan Tanah yang terdiri atas pihak Dinas Pertanian, Dinas Kehutanan, Dinas Pekerjaan Umum, hingga Kepala Desa setempat. 2
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 20, No. 2 , Ju li 2015: 193 -212
2 02 |
DIC K Y R AC H M AWA N
menanggapi dan menyelesaikan hal tersebut, terdapat tuntutan baru dari warga terdampak yang meminta pembayaran kembali tanah mereka karena kesalahan klasifikasi pembayaran pada masa lalu. Terdapat dua klasifikasi pembayaran yang digunakan pada periode itu, yaitu tanah darat/kebun yang dibayarkan pada pemukiman dan tanah sawah untuk persawahan. Sementara itu, dalam pembayaran ganti rugi pada tahun 2000-an terdapat klasifikasi “pemukiman” yang harganya lebih mahal dari pada tanah sawah. Kesalahan klasifikasi yang dimaksud dianggap terjadi karena inkonsistensi atau ketidaksamaan aturan untuk pengklasifikasian lahan yang digunakan pada pembebasan tahun 1982-1984, 1994-1997 dan tahun 2000-an Kondisi demikian merupakan aspek struktural yang tidak dijelaskan oleh Lobell dan Mauceri (2004) dalam studinya. Di sisi lain, kondisi demikian juga merupakan refleksi dari kecemburuan sosial yang tidak dijelaskan dalam studi Krisberg (1998) dan Prayogo (2008). Keterbatasan aturan (struktural) untuk menyelesaikan hal tersebut berakibat pada belum diselesaikannya permasalahan tuntutan-tuntutan setelah dilaporkan. Hal itu merefleksikan lambannya penyelesaian (Prayogo 2008) yang berpotensi pada terjadinya peningkatan konflik. Kedua, terjadinya dua kali penundaan pembebasan lahan sejak puluhan tahun dari pelaksanaan pembebasan lahan pertama kali pada tahun 1986 hingga masa pembayaran pada tahun 2004 menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah penduduk di areal yang belum dibebaskan. Pertambahan penduduk tersebut terlihat dari peningkatan jumlah tegakan bangunan atau rumah di areal yang belum dibebaskan yang jelas berbeda dengan perhitungan pada era Orde Baru. Kemunculan rumah-rumah itu menjadi kepentingan baru atau tuntutan masyarakat untuk turut dibebaskan. Walaupun demikian, ketiadaan pembahasan pembebasan lahan dari munculnya bangunan baru di lokasi yang sudah ditetapkan untuk pembangunan Waduk Jatigede sebagai suatu kondisi struktural (Lobell & Mauceri 2004) menjadikan Satker Jatigede enggan untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat. Di tengah masalah pembebasan lahan tersebut, muncul keterlibatan oknum (kelompok eksternal) yang memiliki kepentingan untuk mendapatkan suara warga pada pilkada yang akan dilaksanakan di Kabupaten Sumedang. Tokoh masyarakat yang ada juga berkepentingan untuk mendapatkan ganti rugi dari rumah yang telah dibangun di tanah proyek yang belum dibebaskan. Keterlibatan M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 20, No. 2 , Ju li 2015: 193 -212
POLA ESK ALASI KONFLIK
| 2 03
itu diwujudkan dengan dorongan untuk melakukan upaya advokasi melalui jalur hukum ke Pengadilan Negeri Kabupaten Sumedang. Pengadvokasian tersebut memiliki slogan “masyarakat Cibogo menggugat”. Upaya advokasi itu akhirnya dimenangkan sehingga rumah tumbuh pun “wajib” dibayarkan oleh Satker (wawancara penulis dengan Kml, 2014). Pengalaman pembayaran rumah warga Cibogo yang terdampak pada terjadinya peningkatan kepentingan untuk mendapatkan ganti rugi dari lahan-lahan yang belum dibebaskan di luar areal genangan di jalan lingkar Waduk Jatigede yang masih belum dibebaskan. Kondisi demikian menjadi celah bagi oknum, warga bahkan pihak yang berada di luar wilayah proyek pembangunan Waduk Jatigede (kelompok eksternal) dengan membangun belasan ribu unit rumahrumah baru (‘rumah hantu’/rumah tidak berpenghuni atau rumah harapan tunai) di beberapa desa seperti Paku Alam, Karang Pakuan, Cikeusi, Taruna Jaya, Jatibungur hingga Wado dan Sukakersa agar mendapatkan keuntungan ekonomi dari pembayaran ganti rugi. Berbeda dengan kasus rumah terdampak di Desa Cibogo yang telah memiliki dasar hukum (struktural) melalui advokasi di pengadilan negeri Kabupaten Sumedang, rumah hantu belum memiliki dasar hukum yang jelas agar dapat dibayarkan. Tidak berbeda dengan tuntutan “salah klasifikasi” yang masih belum memiliki dasar hukum, maka tuntutan “rumah hantu” pun masih belum dapat diakomodasi oleh Satker Jatigede dan SAMSAT Jatigede. Perbedaan cara mengakomodasi kepentingan pembayaran rumah di Desa Cibogo dan penolakan pembayaran ‘rumah hantu’ kemudian memunculkan kecemburuan sosial dan berdampak pada peningkaatan kepentingan yang tidak dijelaskan oleh Kribserg (1998). Kecemburan sosial tersebut dapat dilihat dari keheranan tokoh masyarakat yang mempertanyakan perbedaan respon ganti rugi terhadap sebagian rumah hantu dibayar, sementara sebagian lainnya lagi tidak diganti rugi (wawancara penulis dengan Amd, 2014). Kecemburuan sosial pun muncul tidak hanya pada aspek pembayaran, namun juga pada kecemburuan pelaksanaan pemukiman kembali yang disebabkan perbedaan aturan atau aspek struktural (Lobell dan Mauceri 2004) dari mereka yang memiliki satu identitas agar tidak dibeda-bedakan dalam penangannya sehingga menyebabkan kecemburuan sosial antara satu kelompok dengan kelompok lainnya M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 20, No. 2 , Ju li 2015: 193 -212
204 |
DIC K Y R AC H M AWA N
(Krisberg 1998) yaitu OTD (Orang Terkena Dampak) pembangunan Waduk Jatigede (wawancara penulis dengan Djy, 2014). Perbedaan aturan di dalam pelaksanaan pemukiman kembali terlihat pada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 15 tahun 1975 untuk pembebasan tahun 1982-1986 yang mengharuskan pelaksanaan relokasi tertera pada Pasal 13 ayat 1, sedangkan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 55 Tahun 1993 (pembebasan lahan tahun 1994-1997) & Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36 Tahun 2005 (pembesan lahan tahun 2005-2011) tidak menyebutkan secara jelas tentang pemukiman kembali. Kondisi demikian menjadi suatu keterbatasan struktural yang kemudian menjadi faktor yang menyebabkan timbulnya keresahan masyarakat sehingga meningkatkan kepentingan. Ketiga, buruknya proses pemindahan penduduk yang mengakibatkan kembalinya masyarakat yang sudah dipindahkan memperlihatkan aspek prosesual dari peningkatan kepentingan warga terdampak. Buruknya proses pemindahan terlihat dari adanya keterlibatan oknum yang mencari keuntungan dengan memanipulasi data penduduk yang akan ikut transmigrasi dari Desa Cipaku ke Arinem. Keterlibatan oknum ini berbaur dengan calo-calo tanah hingga manipulasi arah minat lokasi di dalam proses penentuan lokasi untuk pemukiman kembali. Minimnya koordinasi dari upaya pemindahan penduduk terjadi di tingkat pemerintah daerah (Kabupaten Sumedang) dan pemerintah pusat yang menjadikan proses relokasi di Conggeang dan Padajaya untuk pembebasan tahun 1982 baru diupayakan di tahun 2011 hingga 2015. Namun demikian, proses relokasi ini juga masih belum selesai. Aspek struktural lainnya yang menyebabkan lambannya relokasi adalah keterbatasan anggaran pemerintah daerah untuk menyukseskan relokasi dan pergantian pemimpin yang berdampak pada lambannya penyelesaian dari tuntutan masyarakat. Hal itu diperparah dengan adanya warga yang masih belum dipindahkan serta minimnya upaya pelarangan mendirikan bangunan di areal yang belum dibebaskan. Permasalahan yang muncul dan menjadi tuntutan masyarakat yang terkena dampak pembangunan Waduk Jatigede, seperti tuntutan penyelesaian pembayaran masa lalu akibat kesalahan klasifikasi, kekurangan pembayaran dan tidak menerima ganti rugi, tuntutan dibayarkannya ‘rumah hantu’ dan tuntutan relokasi, masih terkendala penyelesaian karena berbenturan dengan aturan-aturan terkait M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 20, No. 2 , Ju li 2015: 193 -212
POLA ESK ALASI KONFLIK
| 2 05
(struktural). Oleh sebab itu, warga terdampak dengan dorongan melakukan upaya advokasi ke ranah hukum agar kepentingan mereka (termasuk kepentingan kelompok eksternal) dapat diakomodasi. Akan tetapi, upaya hukum tersebut ditolak/dikalahkan hingga di tingkat Mahkamah Agung (wawancara penulis dengan Dhr, 2014). Kekalahan masyarakat di ranah hukum merupakan cara rasional yang membuat semakin besarnya kekecewaan yang mereka rasakan (Krisberg 1998, Spang 2012). Kondisi demikian menjadi semacam pembenaran untuk memunculkan kemarahan yang diprovokasi oleh pemimpin masyarakat (entrapment) dengan menggunakan tindakan yang kurang rasional di luar jalur hukum, seperti demonstrasi pada tanggal 13 Juli 2010 dan 30 September 2010 yang diorganisasi oleh tokoh-tokoh masyarakat setempat. Proses dilakukannya tindakan kurang rasional suatu kelompok sebagai respon terhadap kekalahan dalam menghadapi tindakan rasional tersebut yang tidak dijelaskan oleh Zartman dan Faure (2005). Dengan demikian, eskalasi konflik dari pelaporan pada tahap sosialisasi hingga menjadi demonstrasi yang diprakarsai oleh para pemimpin komunitas pada tahap pembayaran terjadi karena lambannya penyelesaian terkait ranah struktural (dikalahkannya masyarakat, keterbatasan anggaran) dan prosesual (minimnya koordinasi dan keterlibatan spekulan) (Krisberg 1998, Prayogo 2008). Dalam proses eskalasi konflik itu, peran para pemimpin komunitas yang signifikan untuk memobilisasi massa dipengaruhi oleh kuatnya kekuatan jaringan (modal sosial) dan status “tokoh masyarakat (modal kultural), seperti yang dijelaskan oleh Foucault dalam Achwan (2014), walaupun tindakan demonstrasi malah menjadi suatu alat penodong bagi para pemimpin kelompok itu untuk mencari keuntungan ekonomi dari pemerintah (Wawancara penulis dengan Kml, 2014). Peningkatan konf lik pun tidak berhenti sampai di tingkat demonstrasi. Terdapat faktor lain yang akhirnya membuat konflik semakin tingginya dalam pembangunan Waduk Jatigede pada tahap prakonstruksi, khususnya pada masa pembayaran. Dalam hal itu, faktor struktural (aturan) berpengaruh pada terhambatnya pelaksanaan upaya penyelesaian (aspek prosesual) kepentingan masyarakat. Akan tetapi, faktor prosesual pun memiliki pengaruh bagi faktor struktural yang menjadikan semakin tingginya kepentingan hingga menyebabkan peningkatan konflik. Kedua faktor tersebut dipengaruhi oleh adanya oknum-oknum pemerintah daerah (keterlibatan kelompok M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 20, No. 2 , Ju li 2015: 193 -212
206 |
DIC K Y R AC H M AWA N
eksternal) yang meskipun tidak didorong mencari keuntungan secara langsung, tetapi berkepentingan secara struktural untuk ‘melaksanakan perannya secara maksimal” di mata pemerintah pusat dengan membuat laporan ‘Asal Bapak Senang’ (ABS). Para oknumoknum pembuat laporan ABS itu menyebutkan bahwa sudah tidak ada permasalahan di dalam “pembebasan lahan” (masa pra konstruksi di tahap pembayaran) pembangunan Waduk Jatigede. Laporan ABS yang dibuat oleh oknum-oknum ini pun direspon oleh pemerintah pusat yang sebenarnya kurang mengerti kondisi di lapangan, namun pemerintah kemudian mencanangkan kebijakan (struktural) agar penggenangan Waduk Jatigede segera dilaksanakan (wawancara penulis dengan Ddn, 2014). Munculnya kebijakan akan dilaksanakannya penggenangan Waduk Jatigede memunculkan isu akan segera dilakukannya uji coba penggenangan yang tersebar melalui informasi pada media massa (kelompok lain yang tidak memiliki kepentingan mencari keuntungan di dalam konflik namun berdampak pada semakin tingginya konflik) (Ganguly 2011) dan dari pemerintah aparat pemerintah di daerah (wawancara penulis dengan Djy, 2014). Berbanding terbalik dengan laporan ABS tersebut, kondisi masyarakat terdampak saat itu justru tetap melakukan tuntutan-tuntutan melalui demonstrasi karena telah dinyatakan kalah melalui jalur hukum. Isu penggenangan pada tanggal 1 Oktober 2013 yang jelas tidak mengindahkan kepentingan-kepentingan masyarakat ditafsirkan oleh masyarakat sebagai bentuk ancaman bagi kepentingan mereka. Hal tersebut berdampak pada kekecewaan, kegelisahan, dan kemarahan yang jauh lebih besar dari yang pernah dirasakan sebelumnya (Krisberg 1998; Ganguly 2011). Kondisi psikologis semacam itu ditambah dengan semakin tingginya kepentingan masyarakat merupakan ‘bahan bakar’ untuk menjustifikasi upaya tokoh masyarakat dan kepala desa dari 33 desa untuk ‘ mempersiapkan mobilisasi massa yang lebih besar yang melibatkan 2.500 orang dibanding demonstrasi-demonstrasi sebelumnya hingga menimbulkan kerugian materil (diperkirakan 1 milyar rupiah per hari) dengan penghentian proyek pembangunan waduk ditutup selama 23 hari (wawancara penulis dengan Kml, 2014). Tindakan itu menegaskan peran pemimpin yang sangat penting di dalam sebuah komunitas dengan menggunakan modal sosial dan budaya yang mereka miliki hingga menjadi ‘provokator’ yang dapat memancing amarah masyarakat (Krisberg 1998; Jeong 2008). M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 20, No. 2 , Ju li 2015: 193 -212
POLA ESK ALASI KONFLIK
| 207
Demonstrasi besar di atas pun berhasil menarik perhatian sejumlah media elektronik tingkat nasional yang dapat dikatakan berperan sebagai pengawas kinerja pemerintah (Ganguly 2011). Hal tersebut mendorong upaya kesepakatan yang dilakukan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah kepada masyarakat, tidak hanya mengenai penolakan uji coba penggenangan Waduk Jatigede, namun juga mengenai kesepakatan yang mengarah pada partisipasi masyarakat, sebagaimana tuntutan-tuntutan yang mereka sampaikan. Dari penjelasan tersebut, berbeda dari tokoh lainnya, Krisberg (1998), Lobell dan Mauceri (2004), Zartman & Faure (2005), Colaresi (2008), Ganguly (2011) melihat keterlibatan kelompok lain juga berdampak pada konflik yang bersifat membangun melalui kesepakatan. Ma sa Pe mbe r d a y a a n Terdapat kesepakatan yang mengarah pada partisipasi masyarakat melalui pelibatan masyarakat. Pelibatan ini disetujui oleh pemerintah daerah yaitu Bupati Kabupaten Sumedang. Pelibatan masyarakat pun direncanakan dalam bentuk pembuatan tim dengan peran untuk melaksanakan pendataan “rumah hantu”, tanah-tanah yang terlewat, dan arah minat untuk dilaksanakannnya pemukiman kembali (wawancara penulis dan Tim Sosekling PU dengan Ksm, 2014). Disepakatinya pembatalan uji coba dan disetujuinya pembuatan tim yang melibatkan masyarakat dengan fungsi untuk mendata kembali arah minat dan kekurangan-kekurangan yang menjadi tuntutan masyarakat kepada SAMSAT Jatigede, Satker. Jatigede dan Pemerintah Kabupaten Sumedang. Hal tersebut menyebabkan tingkatan konf lik pada masa pemberdayaan berada di tingkat komplain-komplain (laporan-laporan). Dari pemaparan tersebut dapat dilihat bahwa pemerintah memiliki peran yang paling strategis untuk mengakomodir kepentingan masyarakat sehingga dapat menurunkan tingkatan konflik dari demonstrasi disertai kerugian material secara signifikan menjadi tingkat pelaporan. Paparan tersebut menjelaskan cara atau strategi dalam upaya penurunan tingkat konflik (deeskalasi) dari tingkat demonstrasi yang menyebabkan kerugian materil ke tingkat pelaporan (Jeong 2008). Lebih lanjut partisipasi publik dan koordinasi yang efektif antara pemerintah dan masyarakat pada pelatihan-pelatihan ekonomi mikro hingga komplain-komplain menjadikan semakin kondusifnya kondisi M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 20, No. 2 , Ju li 2015: 193 -212
208 |
DIC K Y R AC H M AWA N
konflik (Jeong 2008). Meskipun pelatihan yang dilakukan bersifat responsif dari pemerintah daerah karena pelatihan tersebut merupakan inisiatif masyarakat melalui pengajuan kepada pemerintah daerah. Adanya pemberdayaan semakin ‘memperjelas’ berjalannya proyek pembangunan Waduk Jatigede dari situasi yang tidak jelas selama 30 tahun penundaan apabila dihitung sejak tahun 1980-an. Dengan adanya kejelasan dan merefleksikan keseriusan pemerintah pun maka masyarakat juga akhirnya menerima dan percaya dari apa yang dilakukan oleh pemerintah. Kondisi yang kondusif antara pemerintah dan masyarakat di masa pemberdayaan tersebut tetap memiliki potensi terjadinya peningkatan konflik apabila kurangnya koordinasi antar kedua belah pihak yang dapat menimbulkan keresahan dan menjadikan munculnya kemarahan yang diprakarsai oleh para pemimpin komunitas seperti yang disebutkan Krisberg (1998) dan data dilapangan. K E S I M PU L A N
Dari keseluruhan penjabaran tersebut maka dapat dibuat pola eskalasi konflik pembangunan Waduk Jatigede pada masa pra konstruksi di era Reformasi (tahun 2000-an) seperti gambar dibawah ini: Gambar 3. Pola Eskalasi Konflik Pembangunan Waduk Jatigede Pada Masa Prakonstruksi tahun 2000-an
Sumber: Penulis M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 20, No. 2 , Ju li 2015: 193 -212
POLA ESK ALASI KONFLIK
| 209
Grafik di atas memperjelas bahwa eskalasi konf lik dimulai dari kegelisahan, keluhan, dan pelaporan yang terjadi sejak masa sosialisasi dan inventarisasi pada masa Orde Baru. Sementara itu, pada masa Reformasi tingkatan konflik yang muncul hingga tingkat penghalangan akibat eksploitasi dan pengalaman di masa lalu (Colaresi 2008) tidak dijelaskan oleh Prayogo (2008). Berjalannya musyawarah secara efekif di masa sosialisasi dan inventarisasi pada masa Reformasi (aspek prosesual) dipengaruhi oleh kondisi sosial politik yang demokratis. Akan tetapi, kondisi sosial politik tersebut juga berpengaruh pada semakin tingginya posisi tawar masyarakat untuk memberikan keluhan-keluhan mereka kepada pemerintah. Bahkan, kondisi sosial politik yang menjamin kebebasan berpendapat tersebut berkembang menjadi demonstrasi disertai kerugian materil yang dirasakan pemerintah di masa pembayaran. Eskalasi konf lik pembangunan Waduk Jatigede mencapai puncaknya pada masa pembayaran yang berada di tingkat demonstrasi yang disertai kerugian materil. Tingginya tingkat konflik terjadi disebabkan aspek struktural (keterbatasan aturan, perbedaan aturan, keterbatasan anggaran, pergantian kepemimpinan, dan kemunculan isu penggenangan) yang berimplikasi pada aspek prosesual (lambannya upaya penyelesaian, keterlibatan kelompok lain) berkaitan dengan peran aktor (provokator dan spekulan) untuk mencari keuntungan atau pun tidak mencari keuntungan, ditambah dengan buruknya koordinasi. Dari paparan tersebut dapat dilihat konflik yang muncul di dalam pembangunan infrastruktur memiliki keterkaitan yang kuat antara aspek struktural dan prosesual yang tidak dijelaskan oleh Lobel & Mauceri (2004), Zartman & Faure (2005), Prayogo (2008) maupun Ganguly (2011). Pada masa pemberdayaan, dapat dilihat terjadi deeskalasi (penurunan) konflik yang sangat signifikan dari tingkat demonstrasi pada masa pembayaran dengan kerugian materil menjadi pelaporan. Meskipun terdapat potensi terjadinya peningkatan konflik kembali, terjadinya penurunan konflik yang sangat signifikan didorong oleh adanya kesepakatan antara masyarakat dan pemerintah melalui pengakomodasian kepentingan-kepentingan warga terdampak (Jeong 2008). Pengakomodasian kepentingan tersebut dilakukan melalui rapat dengar pendapat, pembentukan tim pelibatan masyarakat, dan adanya pelatihan ekonomi mikro, hingga koordinasi antara masyarakat intansi terkait (aspek prosesual) serta pengakomodasian M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 20, No. 2 , Ju li 2015: 193 -212
210 |
DIC K Y R AC H M AWA N
melalui aturan dari pemerintah, yaitu Peraturan Presiden Nomor 1 tahun 2015 (aspek struktural). Lebih rinci, dalam pembahasan peningkatan konf lik atau eskalasi konflik pada aspek prosesual penting untuk melihat peran aktor sebagai ‘aspek cair’ yang dapat mengurangi (fasilitator) atau meningkatkan konflik. Peran aktor juga dapat menjadi sebab atau akibat di dalam peningkatan kepentingan yang menjadi dasar terjadinya eskalasi konflik. Dalam hal itu, peran pemimpin di dalam konflik pembangunan Waduk Jatigede menjadi sangat signifikan untuk dilihat karena memiliki kapasitas (modal sosial dan modal kultural) untuk menggerakan massa, selain mampu menjustifikasi kegelisahan (entrapment) sebagai ‘bahan bakar’ terjadinya eskalasi konflik. Aspek lain yang juga penting untuk dilihat adalah kemungkinan terjadinya permasalahan yang muncul (aspek struktural) sebelum dilaksanakannya pembangunan waduk khusunya masa prakonstruksi, di mana sangat penting dilakukannya pelibatan masyarakat yang bersifat partisitif dengan pendekatan bottom-up (dari bawah ke atas). Hal tersebut bertujuan untuk menjaring kepentingan-kepentingan yang muncul khususnya pada masa inventarisasi dan pembayaran. Pelaksanaan pembangunan yang efektif juga harus dilakukan melalui koordinasi, pengawasan, dan evaluasi pelaksanaan yang transparan sebagai wujud aspek prosesual. Kemudian untuk mengetahui potensi konflik perlu dilakukan pemetaan sosial sebelum dilaksanakan proses pembangunan guna mengidentifikasi peran aktor dan kepentingan-kepentingan di dalamnya agar dapat menegosiasikan dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang muncul. Studi ini bermanfaat untuk mencegah atau setidaknya mengurangi terjadinya potensi peningkatan konflik atau eskalasi konflik.
DA F TA R PU S TA K A
Achwan, Rochman. 2014. Sosiologi Ekonomi di Indonesia. Jakarta: UI-Press. Basuki, Tulus Hery. 2013. Laporan Pelaksanaan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (PKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 20, No. 2 , Ju li 2015: 193 -212
POLA ESK ALASI KONFLIK
| 211
Hidup (RPL) Pembangunan Waduk Jatigede. Sumedang: PT. Indra Karya Pesero. Bisri, Hasan. 2013. Laporan Pelaksanaan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (PKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL) Pembangunan Waduk Jatigede. Sumedang: PT. Indra Karya Pesero. Colaresi, Michael P., Karen Rasler dan William R. Thompson. 2008. Strategic Rivalries in World Politics: Position, Space and Conflik Escalation. New York: Cambridge University Press. Ganguly, Sumit dan William R. Thompson. 2011. Asian Rivalries: Confict, Escalation and Limitation on Two-Level Games. California: Standford University Press. Goulet, Denis. 2005. “Global Governance, Dam Conflict and Participation.” Human Rights Quarterly 27(3):881-907. Koh, Jaekyung, Koun Kim, dan Minhong Lee. 2009. “Consensus Building in The Resolution Complex Environmental Issues a Case Study of The Hantan River Dam.” International Review of Public Administration 13(3):89-105. Kolers, Avery. 2009. Land, Conflict and Justice: A Political Theory of Territory. Cambridge: Cambridge University Press. Krisberg, Louis. 1998. Constructive Conflict: From Escalating to Resolution. Boston Way: Rowman & Littlefield Publisher, Inc. Lobell, Steven E. dan Philip Mauceri. 2004. Ethnic Conflict and International Politics. New York: Palgrave Macmillan. Mahato, Braj Kishor dan Stephen O. Ogunlana. 2011. “Conflict Dynamics in a Dam Construction Project: A Case Study.” Built Environment Project and Asset Management 1(2):176-194. Manowong, Ektewan dan Stephen O. Ogunlana. 2006. “Public Hearing in Thailand’s Infrastructure Projects: Effective Participation.” Engineering, Construction and Architectural Management 13(4):343-363. Prayogo, Dody. 2008. Konflik antara Korporasi dengan Komunitas Lokal. Depok: FISIP UI Press. Kementerian Pekerjaan Umum (PU). 2009. Pedoman Rekayasa Sosial Pembangunan Bendungan. Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana. M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 20, No. 2 , Ju li 2015: 193 -212
212 |
DIC K Y R AC H M AWA N
Spang, Konrad, Stafan Riemann dan Helmut Kőntges. 2012. “Cooperative Mechanism for Solving Conflicts in Infrastructure Project.” Organization, Technology and Management in Construction an International Journal 4(2):552-559. Tam, C.M. dan Thomas K. L. Tong. 2011. “Conflict analysis study for public engagement programme in infrastructure planning.” Built Environment Project and Asset Management 1(1):45-60. Winstok, Zeev. 2013. Partner Violence: A New Paradigm fo Understanding Conflict Escalation. New York: Springer Science & Business Media. Wirutomo, Paulus. 2012. Sosiologi untuk Jakarta: Menuju Pembangunan Sosial-Budaya. Jakarta: Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Jakarta. Zartman, I. William dan Guy Oliver Faure. 2005. Escalation and Negotiation in International Conflict. New York: Cambridge University Press.
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 20, No. 2 , Ju li 2015: 193 -212