Tinggi Muka Air Waduk sebagai Indikator Kekeringan Studi Kasus pada Waduk Kedungombo dan Waduk Cacaban Waluyo Hatmoko1*, Abdul Rauf2 Peneliti, Puslitbang Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum 2 Jabatan Fungsional, BBWS Pemali Juana, Kementerian Pekerjaan Umum *Email:
[email protected] 1
Abstrak Kekeringan merupakan bencana alam yang menimbulkan kerugian sangat besar dengan dampak wilayah yang luas. Kekeringan dapat dibagi atas kekeringan meteorologi, yaitu kekurangan curah hujan; kekeringan pertanian, yaitu kekurangan air pada lengas tanah untuk pertanian; kekeringan hidrologi, kekurangan air di sungai, danau, waduk dan air tanah; dan kekeringan sosial-ekonomi. Mitigasi bencana kekeringan, menentukan tindakan yang harus dilaksanakan, perencanaan antisipasi kekeringan, dan deteksi dini kekeringan memerlukan adanya indeks kekeringan. Indeks kekeringan meteorologi yang disepakati dunia, yaitu Standardized Precipitation Index (SPI), karena hanya bergantung pada curah hujan, pada umumnya masih belum mencerminkan kondisi air yang tersedia di sungai dan danau serta waduk. Untuk itu diperlukan adanya indeks kekeringan hidrologi yang dapat digunakan untuk mendeteksi, memantau dan mengevaluasi kekeringan hidrologi, sebagai dasar pengelolaan kekeringan dalam alokasi air. Sementara itu setiap bulan data tinggi muka air waduk dan debit bendung dikirim dari seluruh pengelola wilayah sungai di Indonesia ke Direktorat Jenderal Sumber Daya Air. Tulisan ini membahas pemanfaatan data tinggi muka air waduk dan danau sebagai indikator dalam indeks kekeringan, untuk mengevaluasi kekeringan yang terjadi dan memberikan peringatan dini akan terjadinya bencana kekeringan. Disimpulkan bahwa tinggi muka air sebagai indikator tingkat kekeringan telah digunakan pada berbagai negara, dalam bentuk penyajian spasial secara sederhana, dan perhitungan indeks kekeringan dalam berbagai metode, antara lain: prosentase kapasitas tampungan, standardized reservoir index, dan reservoir deficiency index. Studi kasus pada waduk Kedungombo dan waduk Cacaban di Jawa Tengah bagian Utara menunjukkan bahwa tinggi muka air waduk dapat digunakan sebagai indikator kekeringan, efektif dalam mendeteksi dini bencana kekeringan, dan memiliki pola yang serupa dengan kekeringan meteorologi. Kata Kunci: indikator kekeringan, indeks kekeringan, pengelolaan kekeringan, alokasi air, pengelolaan sumber daya air
1 Pendahuluan 1.1
Latar Belakang
Kekeringan merupakan bencana alam yang menimbulkan kerugian sangat besar dengan dampak wilayah yang luas. Tabel berikut menyajikan perbandingan banyaknya korban jiwa serta penduduk yang terkena dampak kekeringan dan bencana lainnya di Indonesia pada periode tahun 1907 sampai dengan 2004. Terlihat bahwa walaupun bencana kekeringan termasuk yang jarang terjadi, akan tetapi menempati urutan teratas dalam hal korban jiwa dan penduduk terkena dampak rata-rata setiap kejadian. Tabel 1 Data bencana di Indonesia (1907-2004)
Jenis bencana
Jumlah kejadian
Badai Kekeringan Gempa bumi Banjir Gunung berapi
10 11 78 93 43
Jumlah Rata-rata korban korban jiwa jiwa 1,992 199 9,329 848 21,856 280 4,296 46 17,945 417
Jumlah terkena dampak 19,698 4,894,220 1,723,756 5,069,306 981,853
Rata-rata terkena dampak 1,970 444,929 22,099 54,509 22,834
Sumber: The Earth Institute, Columbia University
Dalam mitigasi bencana kekeringan, untuk menentukan tindakan apa yang harus dilaksanakan,
perencanaan
antisipasi
kekeringan,
dan
deteksi
dini
kekeringan
memerlukan adanya indeks kekeringan, yaitu sebuah bilangan yang menyatakan tingkat keparahan kekeringan, serupa dengan skala Richter pada kekuatan gempa bumi. Indeks kekeringan meteorologi yang telah disepakati masyarakat dunia, yaitu Standardized Precipitation Index (SPI), karena hanya bergantung pada curah hujan, pada umumnya masih belum mencerminkan kondisi air yang tersedia di sungai dan danau serta waduk. Untuk itu diperlukan adanya indeks kekeringan hidrologi yang dapat digunakan untuk mendeteksi, memantau dan mengevaluasi kekeringan hidrologi, sebagai dasar pengelolaan kekeringan dalam alokasi air. Sementara itu setiap bulan data tinggi muka air waduk dan debit bendung dikirim dari seluruh pengelola wilayah sungai di Indonesia ke Direktorat Jenderal Sumber Daya Air. Untuk itu perlu dikembangkan suatu indeks kekeringan, yang berdasarkan tinggi muka air waduk.
2
1.2
Maksud dan Tujuan
Tulisan ini membahas penggunaan data tinggi muka air waduk dan danau sebagai indikator dalam indeks kekeringan, untuk mengevaluasi kekeringan yang telah terjadi dan memberikan peringatan dini akan terjadinya bencana kekeringan. Indeks kekeringan ini diharapkan akan dapat dikembangkan untuk digunakan dalam pemantauan kekeringan di Indonesia
2 Pengertian Kekeringan 2.1
Definisi Kekeringan
Kekeringan berbeda dengan bencana alam lainnya, yaitu: 1) Karena kekeringan merayap, berakumulasi secara lambat, maka awal dan akhir terjadinya sulit ditentukan; 2) Tiadanya definisi yang tepat dan berlaku umum membuat kerancuan apakah telah terjadi kekeringan, dan jika terjadi bagaimana tingkat keparahannya. Walaupun banyak terdapat definisi tetapi belum ada yang dapat sekaligus memberikan arti yang tepat untuk para ilmuwan, pengambil keputusan, dan masyarakat luas; 3) Dampak kekeringan bersifat non-struktural, tidak seperti banjir, tanah longsor dan badai yang menimbulkan kerusakan struktur secara nyata. Dampak kekeringan menyebar lebih luas, tidak terlokalisir seperti bencana alam lainnya; 4) Terdapat berbagai jenis kekeringan, dengan parameter yang berbeda, antara lain kekeringan meteorologi, kekeringan pertanian, dan kekeringan hidrologi (Wilhite, 2010) Secara umum kekeringan didefinisikan oleh UN-ISDR (2009) sebagai kekurangan curah hujan dalam suatu periode waktu, bisa berupa sebuah musim atau lebih, yang menyebabkan kekurangan air untuk berbagai kegiatan, kelompok, atau sektor lingkungan. Kekeringan meteorologi didefinisikan sebagai kekurangan hujan dari yang normal atau diharapkan selama periode waktu tertentu. Sedangkan kekeringan pertanian dicirikan dengan kekurangan lengas tanah, parameter yang menentukan potensi produksi tanaman. Kekeringan hidrologi didefinisikan sebagai kekurangan pasok air permukaan dan air tanah dalam bentuk air di danau dan waduk, aliran sungai, dan muka air tanah. Wilhite (2010) menyatakan perbedaan dari berbagai jenis kekeringan tersebut pada Error! Reference source not found..
2.2
Pengelolaan Kekeringan Pengelolaan kekeringan diselenggarakan untuk mengurangi resiko parahnya kejadian
kekeringan, dan hasilnya adalah berkurangnya dampak kerugian akibat kekeringan. Strategi pengelolaan kekeringan telah diidentifikasikan oleh Wilhite et al. (2006) bahwa ada empat komponen penting di dalamnya, yaitu: 1) tersedianya informasi yang tepat
3
waktu dan dapat diandalkan pada para pengelola dan pengambil kebijakan; 2) kebijakan dan pengaturan kelembagaan yang mendukung pengkajian, komunikasi dan penerapan informasi tersebut; 3) tersedianya kumpulan upaya pengelolaan resiko untuk para pengambil kebijakan; dan 4) tindakan oleh para pengambil keputusan yang efektif dan konsisten dalam mendukung strategi kekeringan nasional.
Berkurangnya infiltrasi, larian, perkolasi, imbuhan air tanah
Meningkatnya evaporasi dan transpirasi
Waktu
Berkurangnya lengas tanah
Tanaman mengalami stress kekurangan air, berkurangnya panen
Berkurangnya aliran sungai, air di danau, waduk, kolam, berkurangnya lahan basah, habitat satwa liar
Dampak ekonomi
Dampak sosial
Kekeringan sosio-ekonomi
Suhu tinggi, angin kencang, kelembaban rendah, sinar matahari terik, tiada awan
Kekeringan hidrologi Kekeringan pertanian
Berkurangnya hujan (jumlah,intensitas, waktu)
Kekeringan Meteorologi
Variabilitas Iklim
Dampak lingkungan
Gambar 1 Kekeringan meteorologi, pertanian, hidrologi dan sosio-ekonomi (Wilhite, 2010)
2.3
Indikator dan Indeks Kekeringan Pengelolaan kekeringan yang efektif bergantung pada indeks kekeringan dan pemicu
kekeringan. Indeks kekeringan merupakan suatu perangkat utama untuk mendeteksi, memantau, dan mengevaluasi kejadian kekeringan Pemicu kekeringan adalah ambang batas indeks untuk mendefinisikan dan mengaktifkan tindakan mitigasi. Contoh penggunaan indeks kekeringan di Australia adalah bahwa petani akan mendapat bantuan pemerintah jika indeks kekeringan desil berada pada desil 1 dan 2. 4
Persyaratan indeks kekeringan yang ideal untuk sistem pemantauan kekeringan adalah (Rossi et al., 2007): a) menyatakan kekurangan air dalam komponen meteorologi dan hidrologi; b) menggunakan data hidro-meteorologi yang mudah diperoleh secara tepat waktu; c) dapat menjelaskan kondisi kekeringan, walau masih dalam tahap awal kekeringan; d) dapat membandingkan berbagai kondisi kekeringan yang berbeda waktu dan lokasi; e) menjelaskan dampak kekeringan; dan f) dapat menilai tingkat kekeringan untuk memandu tindakan yang harus dilakukan. 2.3.1
Indeks kekeringan untuk perencanaan
Menyatakan kekeringan untuk perencanaan memerlukan informasi mengenai probabilitas terjadinya, sehingga dapat dikaitkan dengan kala ulang sebagaimana pada analisis banjir rencana. Untuk mendapatkan kekeringan rencana ini, secara sederhana dapat dilakukan analisis frekuensi pada data aliran minimum tahunan yang saling bebas, dan tidak memerlukan data seri yang urut. Sebagai ilustrasi, untuk menyatakan kondisi kekeringan debit aliran sungai berdasarkan probabilitas, dapat digunakan: 1) aliran yang dengan prosentase kejadian tertentu (kurva durasi aliran); dan 2) aliran yang diharapkan terjadi sekali dalam beberapa tahun (analisis frekuensi debit aliran rendah). Kelemahan kedua cara tersebut adalah belum dapat memberikan informasi mengenai berapa lama kejadian kekeringan terjadi.
2.3.2
Indeks kekeringan untuk pemantauan dan evaluasi
Monitoring kekeringan adalah mengamati perubahan alam dalam dimensi waktu dan ruang untuk mendeteksi terjadinya kekeringan, dan kegiatan monitoring ini biasa dilaksanakan dengan bantuan indeks kekeringan (Dracup, 1991). Yevjevich (1967) memperkenalkan aplikasi cabang ilmu statistika yang dinamakan theory of run untuk mengkaji kejadian kekeringan. Metode yang memerlukan data seri yang urut ini dinamakan juga sebagai Sequent Peak Algorithm dan lazim digunakan dalam menentukan kapasitas tampungan waduk berdasarkan data air masuk waduk dan air keluar dari waduk yang diharapkan. Prinsip dasar metode ini adalah bahwa ketika terjadi kekeringan, yaitu muka air di bawah batas yang ditetapkan, maka dinyatakan kekeringan kerjadi, dan akan berakumulasi jika data berikutnya juga berada di bawah batas, dan jika sebaliknya data selanjutnya diatas batas, maka dinyatakan bahwa kekeringan telah berakhir. Metode ini diilustrasikan pada Gambar 2.
5
Gambar 2 Kekeringan yang parah (1), lama (2) dan intens (3) dari Mishra et al. (2010)
Beberapa jenis indeks kekeringan meteorologi, hidrologi, pertanian, dan gabungan disajikan pada gambar berikut.
Gambar 3 Berbagai jenis indeks kekeringan
3 Tinggi Muka Air Waduk sebagai Indikator Kekeringan Penggunaan data tinggi muka air waduk dan danau sebagai indikator kekeringan dapat langsung dilakukan dalam bentuk peta tematik, seperti yang diterapkan antara lain di Inggris, Turki, dan Brasilia; atau dalam bentuk indeks kekeringan yang dapat digunakan untuk evaluasi dan pemantauan. Muka air waduk memang mudah diukur, akan pada umumnya perlu dikonversi menjadi volume tampungan waduk dengan suatu persamaan regresi. Kelemahan lainnya adalah bahwa data yang tersedia pada umumnya tidak panjang seperti halnya data curah hujan dan debit aliran sungai.
6
3.1
Indikator Kekeringan terkait dengan waduk di berbagai negara
Pengelolaan kekeringan di Inggris (Calver, 2011) didasarkan secara sederhana pada indikator kekeringan yang berupa peta status kondisi air di sungai, waduk dan danau, muka air tanah, dan lengas tanah, sebagaimana disajikan pada . Pengelolaan kekeringan ini secara umum mengikuti rencana yang disusun oleh Uni Eropa (EC Network, 2008). Penyajian peta status kekeringan ini masih belum dapat menggambarkan durasi dan tingkat keparahan kekeringan yang terjadi.
Gambar 4 Tinggi muka air waduk dan danau sebagai indikator kekeringan di Inggris (Calver, 2011)
Indeks kekeringan di Turki (Ceylan, 2009) menggunakan kombinasi antara hujan dan tampungan air di waduk. Status kekeringan adalah: (1) Normal jika hujan berada dalam kondisi normal, dan air tampungan di waduk memenuhi untuk 120 hari; (2) Awas, jika hujan dibawah normal, dan air tampungan di waduk antara 90 sampai 120 hari; (3) Waspada, jika hujan dibawah normal dan air di waduk hanya cukup untuk 60 sampai 90 hari; dan (4) Darurat, jika hujan dibawah normal, dan tampungan air di waduk hanya
7
mampu untuk paling banyak 60 hari. Indeks kekeringan hidrologi tersebut selanjutnya dipetakan pada gambar berikutGambar 5.
Gambar 5 Peta kekeringan hidrologi di Turki (Ceylan, 2009)
Gambar 6 Tinggi muka air waduk di DAS Ceara, Brasilia
8
Pada negara bagian Ceara, di bagian Timur Laut Brasilia memiliki iklim kering semiarid, dengan
curah hujan hanya 800 mm/tahun dan evaporasi 2.000 mm/tahun.
Pemantauan kekeringan hidrologi dilakukan pada muka air 134 buah waduk-waduk yang ada sebagaimana pada gambar berikut yang merupakan tampilan dari situs hidrologi Brazilia http://www.hidro.ce.gov.br/
(Magalhaes et al., 2011). Sistem ini merupakan
penyajian data yang komprehensif, akan tetapi belum memenuhi syarat untuk disebut sebagai indeks kekeringan hidrologi. 3.2
Indeks Kekeringan berdasarkan Tinggi Muka Air Waduk
Indeks kekeringan yang berdasarkan tinggi muka air waduk antara lain adalah Prosentase Kapasitas Tampungan, Reservoir Deficit Index (RDI), dan Days of Supply Remaining (DSR). 3.2.1
Prosentase Kapasitas Tampungan
Prosentase Kapasitas Tampungan dihitung secara sederhana dengan membagi tampungan saat ini dengan tampungan terkait dengan tinggi muka air konservasi. 3.2.2
Reservoir Deficit Index (RDI)
The Reservoir Deficit Index (RDI) merupakan rasio antara tinggi muka air waduk saat ini dengan median dari muka air waduk pada bulan yang sama. RDI = (wl – Mwl) / Mwl
3.2.3
Days of Supply Remaining (DSR)
Days of Supply Remaining (DSR) diperkenalkan oleh Palmer (1997) sebagai indeks untuk pengambilan keputusan pengelolaan kekeringan. DSR mempertimbangkan kondisi tampungan waduk saat ini, prakiraan air masuk waduk dan aliran local lainnya, serta kebutuhan air. Indeks ini dapat dijadikan sasaran kondisi sistem, dan mempermudsah komunikasi antar stakeholders.
9
4 Studi Kasus: Waduk Kedung Ombo dan Waduk Cacaban 4.1
Kondisi Wilayah Studi
Waduk Kedungombo dan Waduk Cacaban berada di Provinsi Jawa Tengah bagian Utara. Waduk Kedungombo dibangun tahun 1985-1989, dengan daerah tangkapan air seluas 614 km2, muka air tertinggi 96 m pada volume tampungan 728 juta m3, mengairi 59.645 ha sawah, dan juga berfungsi sebagai pembangkit listrik tenaga air 23 MWh/tahun, dan air baku 6,5 m3/s. Waduk Cacaban dibangun tahun 1952-1958, dengan luas daerah tangkapan air 60,66 km2, muka air tertinggi 77.50 m pada volume 49 juta m3, melayani 26.241 ha irigasi dan juga berfungsi untuk pengendali banjir.
Jepara
BrebesTegal
Pemalang
Batang
Rembang
Pati
Kudus
Demak
Kendal
Semarang
Waduk Cacaban
Blora
Purwodadi
Ungaran
Waduk Kedungombo
Purwokerto
Temanggung
Salatiga
Banjarnegara
Ngawi
Wonosobo
Banyumas
Sragen
Magelang
Boyolali
Surakarta
Karanganyar Madiun
Kebumen
Magetan
Sukoharjo
Gambar 7 Lokasi Waduk Kedungombo dan Waduk Cacaban
4.2
Analisis Kekeringan berdasarkan Tinggi Muka Air Waduk
Berdasarkan data tinggi muka air waduk Kedungombo tengah-bulanan dari tahun 1989 sampai dengan 2010, dilakukan perhitungan median, dan disajikan grafik runtut waktu pada Gambar 8. Walaupun terlihat penyimpangannya terhadiap median, namun masih belum jelas bilamana terjadi kekeringan, dan seberapa parah kekeringan yang terjadi. Pengolahan data muka air waduk berdasarkan metode theory of run dengan pemotongan pada median, maka dihasilkan grafik keparahan kekeringan sebagaimana disajikan pada Gambar 9. Terlihat jelas bahwa kekeringan terjadi pada tahun 1941, 1997, 2002-2004, dan 2006-2007. Hal ini sesuai dengan berbagai literatur, antara lain Republik Indonesia (2007) serta Harrison et al. (2009) yang menyatakan bahwa Indonesia mengalami bencana kekeringan pada tahun 1982, 1987, 1991, 1994, 1997, 2004, 2004, dan 2006-2007.
10
95
90
85
meter
80
75
70
65
60 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 TMA
Median
Gambar 8 Fluktuasi tinggi muka air waduk Kedungombo
Gambar 10 menyajikan tingkat keparahan kekeringan dengan pendekatan yang sama, akan tetapi diterapkan pada volume tampungan waduk. Terlihat bahwa tidak terdapat perbedaan pola terjadinya kekeringan antara pendekatan dengan muka air waduk dan dengan tampungan waduk. Untuk waduk Cacaban sementara ini baru diperoleh data volume tampungan tengah bulanan dari tahun 2007 sampai dengan 2011. Penggambaran data runtut waktu volume dan median pada Gambar 11 telah memperlihatkan penyimpangan grafik volume tampungan waduk terhadap median, akan tetapi seberapa parah kekeringan dapat diperiksa pada Gambar 12, yang menunjukkan bahwa kekeringan kerjadi pada tahun 2007 dan 2008. Dengan menggambarkan grafik keparahan kekeringan yang berdasarkan kapasitas volume tampungan waduk Kedungombo dan waduk Cacaban, terlihat jelas bahwa kedua waduk memiliki pola yang serupa, dan menyatakan bahwa kekeringan terjadi di sekitar tahun 2007. Menarik untuk disimak bahwa waduk Kedungombo mengalami kekeringan terlebih dahulu, yaitu pada tahun 2006, sedangkan waduk Cacaban mengalami kekeringan yang berkepanjangan dari tahun 2007 dan tahun 2008 dalam bentuk dua kejadian kekeringan yang nampaknya bisa dipandang sebagai satu kesatuan kejadian. Masih diperlukan pengembangan analisis untuk menyatukan beberapa kejadian
11
kekeringan yang berurutan menjadi sebuah fenomena kekeringan yang sebenarnya terjadi, yang dikenal sebagai fenomena pengelompokan atau pooling.
0
-0.5
-1
-1.5
-2
-2.5
-3
-3.5 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Gambar 9 Keparahan kekeringan waduk Kedungombo berdasarkan tinggi muka air 0
-2
-4
-6
-8
-10
-12
-14
-16 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Gambar 10 Keparahan kekeringan waduk Kedungombo berdasarkan volume
12
60,000,000
50,000,000
m3
40,000,000
30,000,000
20,000,000
10,000,000
0 2007
2008
2009 Volume
2010
2011
Median
Gambar 11 Fluktuasi volume tampungan waduk Cacaban
0
-2
-4
-6
-8
-10
-12
-14
-16 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Cacaban
Kedungombo
Gambar 12 Keparahan kekeringan waduk Kedungombo dan waduk Cacaban
13
5 Kesimpulan Disimpulkan bahwa indikator dan indeks kekeringan hidrologi berperan penting dalam pengelolaan sumber daya air, khususnya pada alokasi air, yaitu sebagai pemicu dilaksanakannya suatu tindakan pengelolaan kekeringan. Pada waduk, tinggi muka air waduk merupakan data yang dapat digunakan langsung sebagai indikator kekeringan dalam bentuk peta tematik kondisi muka air waduk, sehingga dapat diketahui gambaran kekeringan yang ada pada suatu wilayah. Untuk dapat mengevaluasi kejadian kekeringan yang telah dan terjadi, dan untuk pemantauan kekeringan, maka dapat digunakan indeks kekeringan yang merupakan fungsi dari tinggi muka air waduk. Studi kasus pada waduk Kedungombo dan waduk Cacaban, menunjukkan bahwa indeks kekeringan dari muka air waduk dengan theory of run dapat digunakan untuk mengevaluasi kejadian kekeringan, dan mendeteksi dini kekeringan yang akan terjadi. Masih diperlukan usaha untuk mengembangkan indikator dan indeks kekeringan hidrologi yang sederhana, transparan, dan dapat digunakan pada seluruh wilayah sungai di Indonesia.
Daftar Pustaka 1.
Tallaksen, Lena M, and Henrik Madsen. 1997. “On the Definition and Modelling of Streamflow Drought Duration and Deficit Volume.” Hydrological Sciences-]ournaldes Sciences Hydrologiques 42(1) (February): 15–34.
2.
Calver, A. 2011, UK Drought Management and Monitoring, WMO/ISDR Expert Group Meeting on Hydrological Drought Indices, Geneva 1-2 September 2011
3.
Ceylan, Abdullah. 2009. “Drought management plan for Ankara, Turkey.” Meteo World, June 2009.
4.
EC Network, Water Scarcity and Droughts Expert. 2008. Drought Management Plan Report Including Agricultural, Drought Indicators and Climate Change Aspects, Technical Report - 2008 - 023.
5.
Hayes, Michael J, 2007. “Drought Indices”, July 2007.
6.
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), 2007. Climate Change 2007: Synthesis Report, An Assessment of the Intergovernmental Panel on Climate Change, WMO, Geneva.
7.
Jayasuriya, D. 2011. Quantification of Hydrological Drought – Key Issues. In Expert Group Meeting on Hydrological Drought Indices, 1-2 September 2011, Geneva, Switzerland.
8.
Keyantash, John, and John A. Dracup. 2002. “The Quantification of Drought: An Evaluation of Drought Indices.” American Meteorological Society (August).
9.
Keyantash, JA, and John A. Dracup. 2004. “An aggregate drought index: Assessing drought severity based on fluctuations in the hydrologic cycle and surface water
14
storage.” Water Resour. Res 40: 1-14. doi:10.1029/2003WR002610. http://www.geo.oregonstate.edu/classes/ecosys_info/readings/2003WR002610.pdf. 10.
Magalhães, A. R., E. S. Martins, 2011. Drought and Drought Policy in Brazil, Towards a Compendium on National Drought Policy, Proceedings of an Expert Meeting, July 14-15, 2011, Washington DC, USA.
11.
Mallebrera, M A Urrea, A Merida Abril, and S Garcia Galiano. 2010. Segura River Basin: Spanish Pilot River Basin Regarding Water Scarcity and Droughts. In Agricultural Drought Indices. Proceedings of an Expert Meeting 2-4 June, 2010, Murcia, Spain.
12.
Mishra, Ashok K, and Vijay P Singh. 2010. “A review of drought concepts” Journal of Hydrology 391 (1-2): 202-216. doi:10.1016/j.jhydrol.2010.07.012. http://dx.doi.org/10.1016/j.jhydrol.2010.07.012.
13.
Republik Indonesia. 2007. “Rencana aksi nasional dalam menghadapi perubahan iklim.”
14.
UN-ISDR, 2009. Drought Risk Reduction Framework and Practices. United Nations International Strategy for Disaster Reduction.
15.
Wilhite, D A, dan C L Knutson. 2006. Drought management planning : Conditions for success.” Option Mediteraneane, Series A-80 (80): 141-148.
16.
Wilhite, D A, 2010. Quantification of Agricultural Drought for Effective Drought Mitigation, in Agricultural Drought Indices, Proceedings of an Expert Meeting 2-4 June, 2010, Murcia, Spain, WMO, Geneva.
17.
Yevjevich, Vujica. 1967. “An Objective Approach to Definitions and Investigations of Continental Hydrologic Droughts” Hydrology Papers Colorado State University Fort Collins, Colorado (August).
15