Dampak Kebijakan dalam Pembangunan Waduk Jatigede Impact of Policy in Jatigede Dam Development Dicky Fransisco Simanjuntak1 Masmian Mahida2 Peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan dan Penerapan Teknologi Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Jl.Pattimura No.20 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Email :
[email protected],
[email protected]
Tanggal diterima: 27 Agustus 2015; Tanggal disetujui: 30 Oktober 2015 ABSTRACT The main challenge in the construction of Jatigede Dam is land acquisition. Jatigede construction delays have caused delays in development of public facilities that have impacted the welfare of affected villages. This has led to the rise of disparities between regions in District Jatigede. This study aims to analyze the impact of policy on the development of Jatigede Dam. By studying the impact of a policy during the construction process, different types of potentially adverse impacts can be identified. This study uses a qualitative method by using primary and secondary data. Primary data were obtained from the field observations around Jatigede inundation area. Secondary data were obtained by reviewing previous studies, conflictrelated research, studies and regulations, and news related to the construction of Jatigede Dam. The results showed that a democratic approach is needed in the management of conflict. Operationalization strategy in management of conflict should be through social control by preventive and persuasive methods. It would also require certainty and decisiveness in the implementation of the policies. Keywords: Jatigede Dam, conflict, policies, impact of policies, social control
ABSTRAK Tantangan utama dalam pembangunan Waduk Jatigede adalah pengadaan lahan. Terhambatnya pembangunan Waduk Jatigede telah menyebabkan tersendatnya pembangunan fasilitas publik yang berdampak pada kesejahteraan desa yang terkena dampak. Hal ini menyebabkan munculnya kesenjangan antar wilayah di Kecamatan Jatigede. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa dampak kebijakan pada proses pembangunan Waduk Jatigede. Dengan diketahuinya dampak sebuah kebijakan dalam proses pembangunan, dapat diidentifikasi berbagai jenis dampak yang berpotensi merugikan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan menggunakan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari hasil observasi lapangan di sekitar area genangan Waduk Jatigede. Data sekunder diperoleh dengan mengkaji penelitian terdahulu, penelitian terkait konflik, studi perundangan, dan berita-berita terkait pembangunan Waduk Jatigede. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dibutuhkan pendekatan demokratis dalam penanganan konflik. Strategi operasionalisasi kebijakan penanganan konflik adalah melalui pengendalian sosial secara preventif dan persuasif. Selain itu dibutuhkan juga kepastian dan ketegasan dalam implementasi kebijakan. Kata Kunci : Waduk Jatigede, konflik, kebijakan, dampak kebijakan, pengendalian sosial
PENDAHULUAN Pembangunan infrastruktur Sumber Daya Air, seperti waduk dan bendungan sangat dibutuhkan pada saat ini dalam rangka mendukung program ketahanan pangan nasional ketahanan pangan merupakan dasar bagi ketahanan ekonomi. Untuk dapat melaksanakan pembangunan dengan baik, ketahanan pangan haruslah diwujudkan terlebih dahulu. Sambrani (2014) menyebutkan bahwa ketersediaan infrastruktur yang berkualitas
merupakan sebuah keharusan agar pembangunan ekonomi yang cepat dapat tercapai serta membutuhkan investasi terus menerus.
Data Balai Bendungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menunjukkan hingga tahun 2014 jumlah bendungan besar di Indonesia, berjumlah 208 dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Jumlah seluruh bendungan tersebut mengairi lahan irigasi seluas kurang lebih 827.905 hektar.
161
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.7 No.3, November 2015, hal 161 - 171
Pada praktiknya, pemerintah saat ini yakni Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sedang melakukan program pembangunan 49 bendungan yang direncanakan pada tahun 2014 hingga tahun 2019.
Namun, tantangan pembangunan 49 bendungan di Indonesia sangatlah berat, terutama dari aspek sosial, yakni pembebasan lahan. Permasalahan sosial ini berkaitan kuat karena menimbulkan konflik vertikal, antara pemerintah dengan masyarakat. Selain itu, diperlukan pengendalian sosial untuk menghindarkan konflik yang terjadi atau setidaknya mengurangi konflik lebih lebar. Dari sisi legal aspek, pemerintah menerbitkan Undang-undang No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial yang mengamanahkan penyelesaian perselisihan dalam masyarakat yang dilakukan secara damai dengan mengutamakan musyawarah untuk mufakat dan Pemerintah serta Pemerintah Daerah berkewajiban meredam potensi konflik dalam masyarakat. Namun pada prakteknya di lapangan dengan adanya UU No. 7 Tahun 2012, masih banyak proses penanganan konflik tanah di Indonesia yang berakhir dengan kekerasan negara (represif) daripada dengan transformasi konflik (Susan, 2012).
Beberapa studi terkait konflik menyebutkan bahwa proses alokasi lahan di Indonesia merupakan sebuah proses politik (Nurrochmat et al., 2012) dan diatur oleh kebijakan-kebijakan yang saling bertentangan (Brockhaus et al., 2012). Dalam Qian (2015) dijelaskan bahwa penduduk desa terkadang menolak untuk direlokasi karena berbagai alasan dan hanya sedikit yang terkait dengan kebijakan ganti rugi. Beberapa penduduk desa yang sudah tua telah memiliki keterikatan psikologis yang kuat dengan rumah pedesaan dan lingkungan mereka dan menolak segala jenis perubahan. Konflik baru muncul saat pemerintah lokal bernegoisasi dengan para petani dalam pengadaan lahan untuk kepentingan pribadi dan memberikan ganti rugi tambahan. Kesalahan institusi adalah penyebab utama dari jenis konflik lahan seperti ini. Kesalahan ini disebabkan oleh kontradiksi dan inkonsistensi pada hukum yang mengatur pengadaan lahan (Huia dan Bao, 2012).
Shi (2014) dalam penelitiannya menemukan bahwa dalam proyek infrastruktur hidrolik faktorfaktor kompensasi lahan, penggusuran permukiman yang tidak adil, kerugian usaha ekonomi akibat pengadaan lahan dan penggusuran, dan dampakdampak pembangunan pada usaha ekonomi merupakan resiko-resiko sosial yang paling kritikal.
162
Dhiaulhaq et al. (2014) menjelaskan ketika konflik terjadi pemegang utama kekuasaan (biasanya perusahaan dan pemerintah) harus berusaha menjamin dilakukan transformasi konflik (mengatasi penyebab dasarnya), daripada menangani permasalahan di permukaan saja. Dhiaulhaq et al. (2015) menjelaskan bahwa mediasi bukanlah senjata paling ampuh dan tidaklah cukup dalam menangani penyebab dasar konflik, terutama ketimpangan struktural. Walaupun mediasi memiliki beberapa keterbatasan, secara alamiah mediasi merupakan metode penanganan konflik yang paling sesuai untuk membawa perubahan dan hasil yang berkelanjutan. Kemudian Suryawan (2014) dalam penelitiannya terkait konflik Jatigede menjelaskan pentingnya pengidentifikasian konflik sebagai dasar untuk meminimalisir potensi konflik.
Hasil-hasil penelitian dan kajian di atas terutama lebih pada aspek identifikasi penyebab konflik terjadi sehingga proses pembebasan lahan untuk pembangunan terkendala. Sementara itu, pada aspek kebijakan atau dampak kebijakan yang telah diambil pemerintah dalam proses pengadaan tanah dalam pembangunan infrastruktur Waduk Jatigede belum ada. Oleh karenanya, sangat penting untuk mengkaji atau menganalisa aspek dampak kebijakan, sehingga hasil kajian ini dapat dipakai sebagai acuan bagi proses pengadaan lahan di tempat lain untuk mempercepat proses pembangunan infrastruktur bidang sumber daya air di Indonesia. Berdasarkan hal di atas, menarik untuk dikaji atau dianalisa lebih dalam terkait dengan dampak kebijakan pada proses pengadaan lahan pada pembangunan infrastruktur sumber daya air, yakni Waduk Jatigede. Untuk itu, pertanyaan yang diajukan adalah : Bagaimana dampak sebuah kebijakan terhadap pembangunan Waduk Jatigede?
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak kebijakan pembangunan Waduk Jatigede terhadap pelaksanaan pembangunan Waduk Jatigede. Sasaran dari penelitian ini yaitu: a) mengetahui pendekatan dan strategi operasionalisasi kebijakan yang tepat dalam penanganan konflik sosial pembangunan; b) mengetahui permasalahan utama penyebab terhambatnya pembangunan Waduk Jatigede; dan c) mengetahui dampak dari terhambatnya pembangunan Waduk Jatigede. Dengan diketahuinya dampak sebuah kebijakan dalam proses pembangunan infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, khususnya Waduk Jatigede maka para pengambil kebijakan akan
Dampak Kebijakan dalam Pembangunan Waduk Jatigede Dicky Fransisco Simanjuntak dan Masmian Mahida
lebih berhati-hati dengan melakukan langkahlangkah yang terencana dan sistematis dalam rangka meminimalisasi berbagai jenis dampak yang berpotensi merugikan kesejahteraan umum serta memaksimalkan dampak positif dengan adanya pembangunan waduk tersebut. KAJIAN PUSTAKA
Kebijakan Publik Nugroho (2012) mendefinisikan kebijakan publik sebagai setiap keputusan yang dibuat oleh negara, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan dari negara. Kebijakan publik adalah strategi untuk mengantar masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk menuju masyarakat yang dicita-citakan. Lebih jauh lagi dijelaskan bahwa kebijakan publik menentukan bentuk suatu kehidupan setiap bangsa dan negara. Kebijakan publik merupakan respons negara terhadap suatu masalah. Keunggulan suatu negara ditentukan oleh kemampuan negara tersebut mengembangkan kebijakan-kebijakan publik yang unggul. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, politik yang menjalankan negara disebut politik pembangunan. Demokrasi Pancasila yang dianut Indonesia memiliki bentuk operasional dalam bentuk politik pembangunan, dan politik pembangunan memiliki bentuk operasional kebijakan publik pembangunan.
Dalam rangka mencapai ketahanan pangan dan ketahanan air, di dalam RPJMN 2015-2019 salah satunya akan dilakukan dengan peningkatan layanan irigasi dengan membangun 49 waduk. Hal ini merupakan salah satu sasaran pembangunan sektor unggulan Indonesia. Sebagai sebuah negara berkembang maka wajar jika kebijakankebijakan di Indonesia merupakan kebijakan publik pembangunan yang bertujuan untuk mencapai sasaran-sasaran pembangunan tersebut. Kebijakan di Indonesia diatur oleh UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang di dalam pasal 7 telah ditetapkan jenis dan hierarkinya. Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan sesuai dengan hierarki tersebut, yang berarti peraturan di bawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan pada hierarki di atasnya.
Nugroho juga menjelaskan bahwa setiap kebijakan publik yang ditetapkan sebagai sebuah dokumen formal dan berlaku mengikat kehidupan bersama, maka kebijakan publik tersebut menjadi hukum. Dengan kata lain hukum merupakan bagian
dari kebijakan publik.
Kebijakan Publik dalam Konflik Dalam konteks konflik, Nugroho memberikan tiga pendekatan terhadap arah kebijakan publik (public policy). Pertama, pendekatan demokratis yang memberikan manfaat bagi mayoritas publik daripada sebagian kecil publik. Pendekatan kedua, yaitu dengan menetapkan tingkat ketercapaian yang tertinggi atau risiko atau kegagalan yang paling rendah. Pendekatan ketiga adalah dengan menetapkan kebijakan yang paling mungkin diterima oleh pihak yang berkonflik. Pendekatan ini hanya sesuai diterapkan pada konflik yang sifatnya horizontal dan fisik.
Keberhasilan pembangunan di suatu negara sangat ditentukan dari kapasitas untuk “menanggung konflik” dan kecakapan untuk mengelola konflik. Dominasi konflik akan merugikan negara berkembang seperti Indonesia. Nugroho menambahkan bahwa kerugian terbesar dari konflik adalah memudarkan social capital dari suatu bangsa, dan habisnya sumber daya dengan sia-sia. Imbasnya adalah stagnasi pembangunan dan akan berpola involutif (jalan di tempat) dan degradatif. Hal ini terlihat pada pembangunan waduk Jatigede yang mengalami hambatan sejak diinisiasi pada tahun 1963. Berdasarkan penjelasan di atas, pendekatan yang diambil untuk memberikan arah kebijakan dalam konflik pembangunan waduk Jatigede merupakan pendekatan demokratis. Pendekatan ini diambil dengan mempertimbangkan bahwa pembangunan Waduk Jatigede akan memberikan manfaat bagi mayoritas masyarakat. Pengendalian Sosial
Zetterberg (2014) mendefinisikan pengendalian sosial sebagai sebuah mekanisme sosial yang melibatkan reaksi sosial atau hukuman terhadap perilaku yang dianggap menyimpang. Harris (2013) menjelaskan lebih lanjut bahwa pelaksanaan terhadap rencana, sama halnya dengan pengendalian sosial, menargetkan perilaku dan kegiatan yang tidak sesuai, melanggar aturan atau bertentangan dengan aturan-aturan penggunaan lahan dan bangunan. Peran utamanya adalah untuk mengembalikan keteraturan dan memperkuat mekanisme pengendalian pembangunan. Pengendalian sosial dapat dibagi menurut proses dan sifatnya seperti dijelaskan oleh Fajar (2015) yaitu sebagai berikut: 1. Berdasarkan sifatnya dibagi menjadi dua, yaitu
163
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.7 No.3, November 2015, hal 161 - 171
preventif dan represif. Upaya preventif adalah berbagai upaya pengendalian sosial yang dilakukan untuk mencegah terjadinya berbagai gangguan terhadap kedamaian dan ketertiban masyarakat. Upaya-upaya preventif dilakukan misalnya melalui proses sosialisasi. Upaya represif adalah berbagai upaya pengendalian sosial yang dilakukan untuk mengembalikan kedamaian dan ketertiban masyarakat yang pernah terganggu. Upaya-upaya represif dilakukan dalam bentuk pemberian sanksi kepada warga masyarakat yang menyimpang atau melanggar norma yang berlaku.
2. D ilihat dari dimensi cara pelaksanaannya, pengendalian sosial bisa dibedakan atas pengendalian sosial yang dilaksanakan secara persuarsif dan pengendalian sosial yang dilakukan secara koersif. Cara persuasif merupakan upaya pengendalian sosial yang dilakukan dengan menekankan pada tindakan yang sifatnya mengajak atau membimbing warga masyarakat agar bersedia bertindak sesuai dengan norma yang berlaku. Cara persuasif cenderung menekankan pada upaya penyadaran masyarakat. Cara koersif merupakan upaya pengendalian sosial yang dilakukan dengan menekankan pada tindakan yang sifatnya memaksa warga masyarakat agar bersedia bertindak sesuai dengan norma yang berlaku. Cara koersif cenderung menekankan pada berbagai upaya pemaksaan masyarakat.
Kirdina (2014) mengatakan bahwa ada hubungan dialektik antara lembaga dan pengendalian sosial. Pandangan umum yang populer adalah lembaga berada di bawah pengendalian sosial, dan kelompok-kelompok sosial mengendalikan lembaga dan perubahannya. Pandangan lain menyebutkan bahwa lembaga mengendalikan perkembangan sosial atau dengan kata lain perkembangan sosial berada di bawah pengendalian lembaga. Kirdina mengatakan bahwa dua pandangan ini berlawanan, namun saling melengkapi karena berada pada tingkatan lingkungan kelembagaan yang berbeda. Kirdina menekankan pentingnya peran lembaga dalam penyusunan kebijakan dan pengendalian sosial. Oleh karena itu, salah satu tugas dalam penyusunan kebijakan sosial dan ekonomi dan masyarakat sipil di setiap negara adalah untuk mendukung kombinasi yang optimal dari lembagalembaga dominan dan pelengkap sesuai dengan karakteristik sejarah negara tersebut. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka sangatlah penting dalam penyusunan kebijakan pembangunan Waduk Jatigede harus memperhatikan lembaga-lembaga dominan maupun pelengkap yang berperan dalam pembangunan dan masyarakat sipil yang terkena
164
dampak pembangunan tersebut.
Rouillard (2014) dalam penelitiannya menemukan bahwa proses partisipatif, yang merupakan contoh pendekatan preventif dan persuasif, dapat berjalan selaras dengan instrumeninstrumen kebijakan lainnya, seperti regulasiregulasi dan instrumen-instrumen ekonomi. Hal ini dapat berkontribusi terhadap meningkatnya pencapaian kebijakan dan hubungan yang lebih baik antara lembaga-lembaga dan pengelola-pengelola lahan. Selain itu, Apipalakul (2015) menyebutkan bahwa manajemen konflik dapat dilakukan melalui proses partisipasi masyarakat. Penelitian tindakan partisipatif merupakan cara yang penting untuk mendapatkan informasi dari masyarakat. Percakapan melalui kuesioner dan focus group dapat lebih menjelaskan tentang permasalahanpermasalahan, kebutuhan-kebutuhan yang merupakan cara yang penting untuk meminimalkan konflik. Manajemen konflik dapat dilakukan dengan negoisasi melalui pendekatan dialog untuk mencapai kesepakatan bersama dengan transparansi dan keadilan. Waduk Jatigede
Waduk Jatigede merupakan sebuah waduk yang berada di Kabupaten Sumedang. Pembangunan waduk ini telah direncanakan sejak tahun 1963. Waduk ini dibangun dengan membendung aliran Sungai Cimanuk di wilayah Kecamatan Jatigede, Kabupaten Sumedang Provinsi Jawa Barat. Lokasi proyek pembangunan Waduk Jatigede merupakan bagian wilayah Sungai CimanukCisanggarung mencakup daerah aliran sungai Kabupaten Garut, Sumedang, Majalengka, Cirebon, Indramayu, Kuningan, dan Brebes di Provinsi Jawa Tengah. Letak dam proyek pembangunan Waduk Jatigede terletak di Kampung Jatigede Kulon Desa Cijeungjing Kecamatan Jatigede Kabupaten Sumedang. Adapun lahan yang dibutuhkan seluas 4.891,13 hektar yang meliputi 5 (lima) kecamatan atau 26 (dua puluh enam) desa (Nureni, 2011).
Manfaat dari Waduk Jatigede yang diharapkan adalah mengairi areal irigasi seluas 90.000 hektar; pengendalian banjir daerah Indramayu, Cirebon, dan sekitarnya; dan melayani kebutuhan air bersih Kabupaten Cirebon, Indramayu, dan kawasan Balongan dengan kapasitas 3.500 liter/detik. Terkait penyediaan air irigasi dan pengendalian banjir, pertimbangannya adalah Indonesia merupakan negara tropis dan memiliki curah hujan yang relatif besar namun tidak merata. Jika air yang banyak itu tidak dibendung terlebih dahulu, maka banyak volume air yang hanya akan mengalir
Dampak Kebijakan dalam Pembangunan Waduk Jatigede Dicky Fransisco Simanjuntak dan Masmian Mahida
begitu saja. Jika dibendung, maka air tersebut dapat dimanfaatkan potensinya untuk keperluan seharihari dan sebagai cadangan di musim kemarau. METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah metode kualitatif dengan menggunakan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari hasil observasi lapangan di sekitar area genangan Waduk Jatigede. Data primer ini sangat berguna dalam menggambarkan kondisi faktual lapangan, sehingga menunjang kualitas hasil penelitian. Observasi dilakukan di daerah terkena dampak langsung pembangunan Waduk Jatigede, yakni sektor barat, timur, utara, dan selatan dengan maksud untuk memperoleh keterwakilan antar wilayah (seperti gambar 1). Sedangkan tabel 1 berikut adalah namanama area desa yang telah dilakukan penelitian. Sedangkan untuk data sekunder diperoleh dengan mengkaji penelitian terdahulu, penelitian terkait Tabel 1. Desa berbatasan langsung dengan Waduk Jatigede No Desa Sektor 1 Cienteung Barat 2 Cisitu Barat 3 Jemah Timur 4 Mekarasih Timur 5 Kadujaya Utara 6 Pajangan Utara 7 Ranggon Selatan 8 Sirnasari Selatan 9 Sukapura Selatan Sumber : Lapangan, 2014
konflik, studi perundangan, dan media elektronik. Studi literatur sumber sekunder dilakukan untuk mendukung analisis hasil pengkajian dan untuk memperoleh aspek kebaharuan. Selain itu, dengan mempelajari dokumen-dokumen terkait akan diperoleh informasi terkait pola sebuah peraturan diterapkan pada masyarakat secara objektif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian Validasi Biaya Hidup Beberapa kebijakan terkait percepatan pembangunan Waduk Jatigede banyak dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah. Salah satunya pada tahun 2014 telah dilaksanakan advis sosial ekonomi lingkungan terkait Validasi Kebutuhan Biaya Hidup di Sekitar Waduk Jatigede. Advis ini dilaksanakan dalam rangka penyelesaian masalah sosial ekonomi lingkungan pembangunan waduk Jatigede. Validasi dilakukan terhadap perhitungan kebutuhan biaya hidup orang terkena dampak (OTD) pembangunan waduk jatigede yang telah dilakukan oleh tim independen sebagai dasar dari rancangan peraturan presiden.
Penelitian dilaksanakan di desa yang berbatasan langsung dengan waduk Jatigede, yakni Desa Cienteung, Cisitu, Jemah, Mekarasih, Kadujaya, Pajangan, Ranggon, Sirnasari, Sukapura. variabelvariabel yang diriset adalah yang terkait dengan kebutuhan pokok sehari-hari ini dibagi ke dalam 10 subkategori, yakni (1) beras, (2) gula putih/ pasir, (3) kopi, teh, dan susu, (4) gula merah, (5) minyak goreng, (6) bumbu dapur, (7) sayur-mayur, (8) lauk-pauk, (9) gas elpiji, dan (10) biaya listrik. Hasil kegiatan tersebut bahwa rata-rata kebutuhan per desa diperoleh angka sebesar Rp 1.813.540 per KK/bulan (dengan rentang Rp 1.382.483 – Rp 2.202.614). Nilai tersebut akan dijadikan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan terkait salah satu besaran ganti rugi dari aspek kebutuhan pokok masyarakat.
Analisa Perundangan dan Kebijakan Pemerintah Daerah
Dampak
Manfaat Waduk Jatigede begitu besar bagi kepentingan umum yang mana direncanakan untuk dimanfaatkan sebagai pengaman banjir 14.000 hektar, jaringan air irigasi 90.000 hektar, Pembangkit Listrik Tenaga Air 110 Megawatt, dan air baku 3.500 liter per detik. Gambar 1. Empat sektor observasi lapangan Waduk Jatigede Sumber : Lapangan, 2014
Namun, dalam praktiknya proses pengadaan tanah untuk pembangunan Waduk Jatigede yang telah dilakukan dari tahun 1982 yang mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri No 15 tahun 1975 mengalami berbagai kendala, hingga berakhir
165
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.7 No.3, November 2015, hal 161 - 171
dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Pembangunan Waduk Jatigede. Dengan terbitnya Peraturan Presiden tersebut maka ditetapkan peraturan turunannya, yakni Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 258/KPTS/M/2015 dan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor S-396/MK.02/2015. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 1 Tahun 2015
Keputusan Menteri PUPR Nomor 258/KPTS/M/2015
SK Menteri Keuangan Nomor S-396/MK.02/2015
SK Gubernur Jawa Barat Nomor 611.1/Kep.386Bappeda/2015 Gambar 2. P roses penetapan dan realisasi ganti rugi orang terkena dampak Waduk Jatigede. Sumber : Hasil Analisis, 2015
Kemudian direalisasikan dalam kebijakan daerah Provinsi yang tertuang dalam Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 611.1/ Kep.386-Bappeda/2015 yang menetapkan kriteria masyarakat terkena dampak pembangunan Waduk Jatigede yang memperoleh uang ganti rugi dan uang kerohiman/santunan. Penetapan realisasi melalui surat keputusan gubernur Jawa Barat tersebut perlu dioperasionalkan secara tepat sehingga dapat meminimalisir timbulnya konflik sosial, yang antara lain disebabkan kurang tahunya masyarakat terhadap adanya surat keputusan tersebut dan kurang jelasnya prosedur dalam proses ganti rugi dalam surat keputusan gubernur tersebut. Lebih dalam lagi, jika operasionalisasinya tidak tepat dapat menganggu proses percepatan pembangunan waduk tersebut. Gambar 2 menjelaskan proses penetapan hukum hingga realisasi ganti rugi terhadap masyarakat terkena dampak pembangunan Waduk Jatigede, dimana besaran nilai uang tunai masyarakat yang terkena dampak pembangunan Waduk Jatigede ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan usulan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Kriteria penduduk yang menerima ganti rugi dan santunan ditetapkan oleh Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat berdasarkan hasil verifikasi dan validasi yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
Dijelaskan dalam tabel 2 tersebut bahwa sejak diterapkannya Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat
Tabel 2. Beberapa Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat terkait Pembangunan Waduk Jatigede dari segi operasionalisasi dan realisasinya No Tahun Realisasi Kebijakan Daerah
166
Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 181.1/SK 1267 / Pem.Um/1981
Operasionalisasi Kebijakan Realisasi Dampak Sosial Kebijakan Sebagian warga mengikuti Melarang masyarakat setiap pemegang peraturan kebijakan tersebut, hak atas tanah dan bangunan pada namun sebagian lain menolak areal yang diproyeksikan sebagai lokasi dengan tetap melakukan kegiatan di Proyek Waduk Jatigede untuk atas areal proyek lokasi waduk memindahtangankan atau melakukan tindakan perubahan lain pada tanah Jatigede. maupun bangunannya.
1
1981
2
Sebagian warga mengikuti 2000 Surat keputusan Gubernur No. melarang masyarakat setiap pemegang hak atas tanah dan bangunan pada peraturan kebijakan tersebut, 36 tahun 2000 tentang namun sebagian lain menolak pelarangan membangun di areal yang diproyeksikan sebagai lokasi Proyek Jatigede untuk dengan tetap melakukan kegiatan di daerah genangan. memindahtangankan atau melakukan atas areal proyek lokasi waduk tindakan perubahan lain pada tanah Jatigede. maupun bangunannya.
Dampak Kebijakan dalam Pembangunan Waduk Jatigede Dicky Fransisco Simanjuntak dan Masmian Mahida
No Tahun
Realisasi Kebijakan Daerah Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 611.1/Kep.78-sarek/2006 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pembangunan Waduk Jatigede.
Operasionalisasi Kebijakan Realisasi Dampak Sosial Kebijakan Menunjang kelancaran tugas dan fungsi Dilaksanakan dengan kerjasama Tim Koordinasi Pembangunan waduk antar unsur yang menjadi anggota Jatigede, khususnya dalam penanganan dalam Tim Koordinasi Pembangunan dampak sosial dan lingkungan Waduk Jatigede. pembangunan Waduk Jatigede dengan anggota seluruh pejabat berwenang di Pusat dan Provinsi Jawa Barat.
Menunjang kelancaran tugas dan fungsi Dilaksanankan dengan kerjasama Tim Koordinasi Pembangunan Waduk antar unsur yang menjadi anggota Jatigede, khususnya dalam penanganan dalam Tim Koordinasi Pembangunan Waduk Jatigede. dampak sosial dan lingkungan pembangunan Waduk jatigede dengan seluruh pejabat berwenang di pusat dan Provinsi Jawa Barat.
3
2006
4
2010
Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 611.1/Kep.1373-Admrwk/2010 tentang Perubahan atas Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 611.1/Kep.78Sarek/2006 tentang pembentukan Tim Koordinasi Pembangunan Waduk Jatigede.
5
2010
Surat Keputusan Gubernur Melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, Percepatan dengan kerjasama antar Jawa barat Nomor dan fasilitasi percepatan penangan unsur yang menjadi anggota dalam 611.1/Kep.1058-Admrek/2010 dampak sosial dan lingkungan Tim Koordinai Pembangunan Waduk tntang Satuan Tugas pembangunan Waduk Jatigede. Jatigede dalam penanganan dampak Percepatan Pembangunan sosial pembangunan Waduk Waduk Jatigede. jatigede.
6
2012
Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 611.1/Kep.1068/Admrek/2012
7
2015
Surat Keputusan Gubernur Memberikan penangan dampak sosial Jawa Barat No. 611.1/Kep.386- kepada masyarakat terhadap dampak Bappeda/2015 pembangunan waduk Jatigede dengan uang ganti rugi dan uang santunan yang layak dengan masyarakat penerima yang telah ditentukan.
Tim satuan Manunggal Satu Atap (SAMSAT) telah enyelesaikan laporan hasil evaluasi dan verifikasi data atas permasalahan penanganan dampak sosial dan lingkungan Pembangunan Waduk Jatigede.
masih terdapat warga yang menolak dengan melakukan demonstrasi di kantor bupati Sumedang karena tidak setuju dengan hasil evaluasi dan verifikasi. Masyarakat menerima pembangunan Waduk Jatigede karena untuk kepentingan umum dengan menerima uang ganti rugi dan uang santunan, namun beberapa kelompok masyarakat menolak karena relokasi saat ini secara keseluruhan belum ditangani dengan baik, seperti persoalan mata pencaharian dan akses fasilitas umum di tempat relokasi.
Sumber : Hasil analisa berbagai sumber, 2015
167
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.7 No.3, November 2015, hal 161 - 171
tersebut dari tahun 1981 hingga 2015 mengalami berbagai kendala terutama dalam hal realisasi kebijakan yang menyebabkan dampak sosial, yakni secara garis besarnya adalah resistensinya masyarakat terkena dampak pembangunan Waduk Jatigede karena dari besaran uang ganti rugi hingga relokasi yang menurut sebagian masyarakat masih belum jelas terkait bagaimana dengan mata pencaharian mereka di tempat baru. Pengendalian Sosial Waduk Jatigede
Dengan adanya Peraturan Presiden No.1 Tahun 2015 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Pembangunan Waduk Jatigede hingga direalisasikan dalam sebuah kebijakan yang tertuang dalam Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 611.1/Kep.386-Bappeda/2015, tentu akan menjadi solusi bagi percepatan pembangunan Waduk Jatigede. Karena Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam peraturan presiden ini mengakomodasi dampak sosial masyarakat terutama orang terkena dampak pada area genangan waduk. Namun, operasionalisasi kebijakan
pada saat operasionalisasi kebijakan yang dilakukan dengan pendekatan preventif dan persuasif.
Berikut tabel 3 dijelaskan bagaimana strategi dan pendekatan utama yang dilakukan di awal dalam proses penanganan dampak sosial pembangunan Waduk Jatigede sehingga dapat meminimalisir konflik sosial. Indikator Dampak Kebijakan
Konflik sosial pembangunan Waduk jatigede yang terjadi sehingga berdampak pada proses berlarutnya pembangunan Waduk Jatigede tersebut merupakan permasalahan utama. Dalam kasus pembangunan Waduk Jatigede, hasil analisa menunjukkan bahwa terdapat iklim ketidakpastian dan ketidaktegasan terhadap implementasi pada hampir setiap kebijakan Kepala Daerah, yakni pada Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat sejak tahun 1981 hingga tahun 2012. Iklim tersebut
ketidakpastian dan ketidaktegasan secara langsung akan berpengaruh
Tabel 3. Strategi dan pendekatan dalam proses penanganan dampak sosial pembangunan Waduk Jatigede Strategi Pengendalian Sosial Preventif
Persuasif
Pelaksana lapangan, yakni Pemerintah Pelaksana lapangan, yakni Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian Pusat dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Umum dan Perumahan Rakyat dan dan kementerian /lembaga terkait kementerian /lembaga terkait bersama Pemerintah Daerah, yakni Pemerintah bersama Pemerintah Daerah, yakni Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Daerah Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Operasionalisasi Kabupaten Sumedang melakukan mengajak Pemerintah Daerah Kabupaten Kebijakan Surat para tokoh agama (toma), tokoh Sumedang melakukan sosialisasi tentang Keputusan Gubernur masyarakat (toma), tokoh adat (toda), dan tata cara atau segala macam proses Jawa Barat terkait memberikan arahan kepada masyarakat dalam penanganan dampak sosial pembangunan terkena dampak pembangunan waduk pembangunan Waduk Jatigede. Waduk Jatigede jatigede bahwa manfaat waduk sangat baik bagi kepentingan umum dan memastikan secara legal aspect bahwa relokasi ditempat baru akan diberikan jaminan layak hidup minimal seperti sebelum relokasi, terkait hak mata pencaharian dan akses fasilitas umum.
Sumber : Hasil analisa pendekatan Roucek, 2015
tersebut, jika tidak dilakukan dengan strategi tepat yang berdasar pada perilaku sosial masyarakat dapat berakhir dengan konflik. Dalam kasus ini, dibutuhkan langkah atau strategi, yakni pendekatan demokratis untuk kepentingan umum pada saat menentukan arah kebijakan publik. Kemudian dengan melakukan strategi pengendalian sosial
168
terhadap status tanah desa, khususnya tanah tempat dibangunnya Waduk Jatigede, yakni di Desa Cijeungjing Kecamatan Jatigede yang mengakibatkan tersendatnya pembangunan beberapa fasilitas publik atau prasarana umum dan sarananya yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan desa tersebut. Indikator tersebut dapat dilihat pada tabel
Dampak Kebijakan dalam Pembangunan Waduk Jatigede Dicky Fransisco Simanjuntak dan Masmian Mahida
4 di bawah ini, yakni tidak adanya pembangunan prasarana pengairan, seperti bangunan irigasi teknis untuk mengairi sawah di Desa Cijeungjing. Kemudian, dalam data Kecamatan Jatigede Dalam Angka tahun 2014 sawah di Kecamatan Jatigede khususnya di Desa Cijeungjing masih diairi dengan irigasi non teknis dengan luas terkecil, yakni 34 hektar dibanding dengan desa lainnya di Kecamatan Jatigede. Secara tidak langsung, seperti tercermin dalam data BPS Kabupaten Sumedang dalam Statistik Daerah Kecamatan Jatigede, 2014 menunjukkan bahwa potensi pertanian di Kecamatan Jatigede terdiri dari lahan sawah 1.629,00 ha pada tahun 2010 terdapat penurunan pada tahun 2011, 2012, 2013 dimana lahan sawah menjadi 1.609 ha. Dari luas lahan sawah tersebut diperoleh produksi padi pada tahun 2013 sebesar 18,301 kwintal, seperti terlihat pada tabel 5. Desa Karedok merupakan penghasil padi terbesar di Kecamatan Jatigede, sedangkan Desa Cijeungjing merupakan desa yang paling sedikit menghasilkan padi. Sehingga dengan kecilnya luas sawah dengan jenis bangunan pengairannya secara tidak langsung berdampak pada tingkat kesejahteraan masyarakat desa Cijeungjing.
Indikator lain, yakni panjang prasarana jalan pada Desa Cijeungjing lebih pendek dari pada desa lain yang ada di kecamatan Jatigede (seperti tabel 6), yakni 0,8 kilometer. Jika dilihat dari densitas jalan pada tabel 7, Desa Cijeungjing merupakan desa dengan nilai densitas jalan terendah di antara desa-desa lain di Kecamatan Jatigede, yaitu hanya 0,15 km/km2. Sehingga dengan pendeknya panjang Tabel 4. Luas Sawah Menurut Jenis Pengairan Dirinci Per Desa Tahun 2013 Desa
Tabel 5. Luas Panen, Produksi dan Hasil Per Hektar Tanaman Padi dan Palawija
Komoditas
Luas Panen (ha) 2.863
Produksi (kw) 18.301
63,92
Padi Ladang
450
16.01
35,57
Jagung
586
29.19
49,81
Ubi kayu
570
84.96
149,05
Kedelai
197
3.72
18,88
Kacang hijau
31
370
11,94
Ubi jalar
16
1.64
102,50
Kacang tanah
915
11.74
12,83
Padi
Hasil/ha
Sumber : Kecamatan Jatigede Dalam Angka, 2014
jalan dapat mengakibatkan kurangnya aksesibilitas dan mobilitas masyarakat ke daerah lain yang berdampak pada kesenjangan antar wilayah di Kecamatan Jatigede tersebut. Secara keseluruhan nilai densitas jalan Kecamatan Jatigede hanya 1,09 km/km2, yang menunjukkan salah satu dampak berlarut-larutnya penyelesaian pembangunan Waduk Jatigede di daerah tersebut.
Proses pembangunan Waduk Jatigede yang memakan waktu hampir 34 tahun ini tentu memiliki dampak sosial maupun dampak ekonomi dan dampak lingkungan. Oleh karenanya, dalam konteks konflik pendekatan yang paling tepat adalah pendekatan demokratis dalam menentukan arah kebijakan publik dimana pendekatan ini aspek Tabel 6. Panjang Jalan Desa (km) Dirinci Per Desa Tahun 2013 Panjang Jalan (km)
Luas Desa (ha)
Aspal
6,00
796
4,00
Diperkera s 2,00
Tanah
Sukakersa Mekarasih
11,17
1.153,70
3,55
7,62
0,00
Ciranggem
11,15
1.147,6
5,15
0,00
6,00
Cisampih
8,50
1.027,18
1,00
3,50
4,00
Kadu
15,90
795,52
2,90
9,00
4,00
Lebaksiuh
11,80
791,22
2,40
9,40
0,00
Cintajaya
10,63
682,30
5,00
4,63
1,00
Cipicung
10,80
678,57
8,80
2,00
0,00
145
Jemah
10,30
1.445,84
1,00
8,10
1,20
34
Cijeungjing
0,80
524,13
0,80
0,00
0,00
5,00
663,14
5,00
0,00
0,00
Teknis
Non Teknis
Jumlah
Sukakersa
0
154
154
Mekarasih
0
185
185
Ciranggem
0
177
177
Cisampih
0
130
130
Kadu
0
127
127
Lebaksiuh
0
151
151
Cintajaya
0
120
120
Cipicung
0
93
93
Jemah
0
145
Cijeungjing
0
34
Desa
Jenis Permukaan 0,00
Kadujaya
0
78
78
Kadujaya
Karedok
0
215
215
Karedok
19,50
1.491,81
3,80
15,70
0,00
Jumlah
0
1.609
1.609
Jumlah
121,55
11.197,01
39,60
50,05
31,90
Sumber : Kecamatan Jatigede Dalam Angka, 2014
Sumber : Kecamatan Jatigede Dalam Angka, 2014
169
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.7 No.3, November 2015, hal 161 - 171
Tabel 7. Densitas Jalan Per Desa Di Kecamatan Jatigede Tahun 2013 Desa
Panjang Jalan (km)
Luas Desa
Densitas Jalan
(km2)
(km/km2)
Sukakersa
6
7,96
0,75
Mekarasih
11,17
11,54
0,97
Ciranggem
11,15
11,48
0,97
Cisampih
8,5
10,27
0,83
Kadu
15,9
7,96
2,00
Lebaksiuh
11,8
7,91
1,49
Cintajaya
10,63
6,82
1,56
Cipicung
10,8
6,79
1,59
Jemah
10,3
14,46
0,71
Cijeungjing
0,8
5,24
0,15
Kadujaya
5
6,63
0,75
Karedok
19,5
14,92
1,31
Jumlah
121,55
111,97
1,09
Sumber : Kecamatan Jatigede Dalam Angka, 2014
kepentingan umum/asas manfaat bagi mayoritas publik adalah mutlak dilakukan. Terbitnya Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Pembangunan Waduk Jatigede membuktikan aspek kepentingan umum sangat dijunjung, namun tetap bergantung implementasi di lapangan karena kondisi sosial masyarakat di sekitar Waduk Jatigede yang dinamis. KESIMPULAN
Berdasarkan data dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa jika operasionalisasi kebijakan pembangunan Waduk Jatigede dilakukan tanpa pendekatan yang tepat, maka berpotensi memicu konflik sosial terutama pada masyarakat terkena dampak pembangunan. Dalam hal konflik pembangunan Waduk Jatigede, pendekatan kebijakan yang diambil merupakan pendekatan demokratis dengan mengutamakan aspek kepentingan umum, yaitu asas manfaat bagi mayoritas publik. Strategi operasionalisasi kebijakan pembangunan Waduk Jatigede yang tepat adalah melalui pengendalian sosial dengan menggunakan cara preventif dan persuasif. Dampak kurang pasti dan tegasnya implementasi kebijakan oleh pemerintah menyebabkan proses pembangunan Waduk Jatigede berlarut-larut hingga hampir 34 tahun sejak pertama kali Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat dikeluarkan tahun 1982 hingga yang terbaru tahun 2015. Selama ini ketidakpastian dan ketidaktegasan terhadap implementasi kebijakan pemerintah daerah terkait pembangunan Waduk Jatigede berpengaruh pada
170
pembangunan sarana dan prasana Desa Cijeungjing sehingga berdampak bagi kesejahteraan masyarakat Desa Cijeungjing khususnya dan secara umum desadesa di Kecamatan Jatigede. Dalam mendukung percepatan pembangunan infrastruktur waduk terutama bagi masyarakat/ orang terkena dampak (OTD), perlu dibuatkan sebuah badan khusus yang tugasnya adalah memastikan OTD dapat pindah di tempat yang layak secara sosial ekonomi dan lingkungan. Dengan adanya badan khusus tersebut, diharapkan dapat menjawab setiap permasalahan pembangunan infrastruktur waduk khususnya, dan infrastruktur bidang Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pada umumnya.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Tim Advis Validasi Kebutuhan Biaya Hidup Warga di Sekitar Waduk Jatigede atas terlaksananya penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Apipalakul, Chanya et al. 2015. Development of Community Participation on Water Resource Conflict Management. Procedia - Social and Behavioral Sciences Journal Volume 186 May 2015: 325 – 330. http://dx.doi. org/10.1016/j.sbspro.2015.04.048 (diakses 28 September 2015) Brockhaus, Maria et al. 2012. An overview of forest and land allocation policies in Indonesia: Is the current framework sufficient to meet the needs of REDD+?. Forest Policy and Economics Journal Volume 18 May 2012: 30–37. http://dx.doi.org/10.1016/j. forpol.2011.09.004 (diakses 1 Agustus 2015) Dhiaulhaq, Ahmad et al. 2014. Transforming conflict in plantations through mediation: Lessons and experiences from Sumatera, Indonesia. Forest Policy and Economics Journal Volume 41 April 2014: 22–30. http:// www.sciencedirect.com/science/article/pii/ S1389934114000161 (diakses 1 Agustus 2015) Dhiaulhaq, Ahmad et al. 2015. The use and effectiveness of mediation in forest and land conflict transformation in Southeast Asia: Case studies from Cambodia, Indonesia and Thailand. Environmental Science & Policy Journal Volume 45 January 2015: 132–145. http://www.sciencedirect.com/science/ article/pii/S1462901114002019 (diakses 1 Agustus 2015) Fajar, Rachmaty. Definisi Pengendalian Sosial.
Dampak Kebijakan dalam Pembangunan Waduk Jatigede Dicky Fransisco Simanjuntak dan Masmian Mahida
https://www.academia.edu/7432695/ Definisi_Pengendalian_Sosial (diakses 3 Agustus 2015) Harris, Neil. 2013. Surveillance, social control and planning: citizen-engagement in the detection and investigation of breaches of planning regulations. The Town Planning Review Journal Volume 84(2) Maret 2013: 171-196. http://dx.doi.org/10.3828/tpr.2013.11 (diakses 1 Agustus 2015) Hui, Eddie C.M., dan Haijun Bao. 2012. The logic behind conflicts in land acquisitions in contemporary China: A framework based upon game theory. Land Use Policy Journal Volume 30 Issue 1 January 2013: 373–380. http://www.sciencedirect.com/science/ article/pii/S0264837712000622 (diakses 1 Agustus 2015) Kecamatan Dalam Angka Tahun 2014. BPS Kabupaten Sumedang. Kirdina, Svetlana. 2014. Institutions and the Importance of Social Control in a Nation’s Development. Journal Of Economic Issues Vol. XLVIII No. 2 June 2014: 309-322. http://e-resources.perpusnas.go.id:2057/ docview/1534086054?pq-origsite=summon (diakses 1 Agustus 2015) Nugroho, Riant. 2012. Public Policy. PT Elex Media Komputindo. Jakarta. Nureni, Lela. 2011. Dampak Pembangunan Bendungan Jatigede Terhadap Reorientasi Mata Pencaharian Masyarakat Di Daerah Calon Genangan Jatigede Kabupaten Sumedang. Skripsi. Tidak Dipublikasikan. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Nurrochmat, Dodik R. et al. 2012. Ekonomi politik kehutanan: Mengurai mitos dan fakta pengelolaan hutan. INDEF. Qian, Zhu. 2015. Land acquisition compensation in post-reform China: Evolution, structure and challenges in Hangzhou. Land Use Policy Journal Volume 46 Juli 2015: 250–257. http:// www.sciencedirect.com/science/article/pii/ S0264837715000605 (diakses 1 Agustus 2015) Rouillard, J. J., et al. 2014. The role of public participation in encouraging changes in rural land use to reduce flood risk. Land Use Policy Journal Volume 38 Mei 2014: 637-645. http://dx.doi.org/10.1016/j. landusepol.2014.01.011 (diakses 28 September 2015) Sambrani, Vinod N. 2014. PPP from Asia and African Perspective towards Infrastructure Development: A Case Study of Greenfield Bangalore International Airport, India. Procedia - Social and Behavioral Sciences
Journal Volume 157 November 2014:285– 295. http://dx.doi.org/10.1016/j. sbspro.2014.11.031 (diakses 28 September 2015). Setianto, Suryawan. 2014. Konflik Sosial Dalam Pembangunan Infrastruktur SDA Kasus Waduk Jatigede. Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum Vol. 6 No. 3 November 2014: 181-192. Shi, Qian. 2014. On the management of social risks of hydraulic infrastructure projects in China : A case study. International Journal of Project Management Volume 33 Issue 3 April 2015: 483-496. http://dx.doi.org/10.1016/j. ijproman.2014.06.003 (diakses 28 September 2015) Susan, Novri. 2012. Scenario Building on Law No. 7 of 2012 about Social Conflict Intervention: The Possible Future of Land Conflict Management in Indonesia. Procedia Environmental Sciences Journal Volume 17 2013:870–879. http:// www.sciencedirect.com/science/article/pii/ S1878029613001072 (diakses 1 Agustus 2015) Zetterberg, L., et al. 2014. The compliant court— Procedural fairness and social control in compulsory community care. International Journal of Law and Psychiatry Volume 37 Issue 6 November–December 2014: 543–550. http://dx.doi.org/10.1016/j.ijlp.2014.02.027 (diakses 1 Agustus 2015)
171