Artikel ISSN: 0852-8489
Membangun Bencana: Tinjauan Kritis atas Peran Negara dalam Kasus Lapindo Penulis: Anton Novenanto Dipublikasikan oleh: LabSosio, Pusat Kajian Sosiologi FISIP-UI Diterima: Maret 2015; Disetujui: April 2016
MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi, diterbitkan oleh LabSosio, Pusat Kajian Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia. Jurnal ini menjadi media informasi dan komunikasi dalam rangka pengembangan sosiologi di Indonesia. Redaksi MASYARAKAT mengundang para sosiolog, peminat sosiologi dan para mahasiswa untuk berdiskusi dan menulis secara bebas dan kreatif demi pengembangan sosiologi di Indonesia. Untuk kriteria dan panduan penulisan artikel maupun resensi buku, silahkan kunjungi tautan berikut: www.journal.ui.ac.id/mjs Untuk mengutip artikel ini (ASA Style): Novenanto, Anton. 2016. “Membangun Bencana: Tinjauan Kritis atas Peran Negara dalam Kasus Lapindo.” MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi, 20(2):159-192.
SK Dirjen Dikti Akreditasi Jurnal No. 80/DIKTI/Kep/2012
Membangun Bencana: Tinjauan Kritis atas Peran Negara dalam Kasus Lapindo1 Anton Novenanto Jurusan Sosiologi, Universitas Brawijaya, Malang Email:
[email protected]
Abstrak Tulisan ini berangkat dari kemunculan dan perkembangan asumsi yang seolaholah negara tidak hadir dan berperan dalam kasus Lapindo. Tulisan ini bertujuan untuk mempersoalkan ‘kebenaran’ dari asumsi tersebut. Mengikuti definisi “bencana pembangunan” yang ditawarkan Oliver-Smith, argumen tulisan ini adalah bencana bukanlah semata peristiwa, tetapi juga proses yang dapat diurai dengan menelusuri rantai agenda politik yang melingkupinya sehingga dapat memunculkan kesadaran akan pentingnya tindakan preventif terhadap kemunculan suatu bencana. Argumen tulisan ini disusun dari pembacaan ulang terhadap dokumen-dokumen publik seputar kasus Lapindo. Hasil dari pembacaan tersebut menunjukkan bahwa negara adalah salah satu aktor utama dalam kasus ini. Dengan demikian, negara tidak sedang absen, justru apa yang dilakukan negara adalah pada hakikatnya membangun sebuah bencana. Argumen semacam ini penting untuk melengkapi temuan penelitian-penelitian sebelumnya yang berusaha mengidentifikasipara agensi dalam kasus Lapindo sehingga kompleksitas kasus tersebut dapat terurai secara perlahan. Abstract This article begins with the emergence and shared assumptions of the absence of the state in Lapindo case. This article aims to problematize ‘the truth’ of such assumptions. Adopting Oliver-Smith’s definition of “disasters of development,” this article argues that disaster is not just an event but also a process which can be elaborated through an examination of encompassing political agendas. Therefore, it can trigger the awareness of preventive actions prior to a disaster. The argument of the article are based on a series of critical re-reading of public documents related to the case. The result of such reading shows that the state has become one prominent actor of the incident. The state therefore has never been absent; instead, what it has done is essentially a development of a disaster. Such an argument is important in a context to add previous findings in indentifying agency of the Lapindo case so that the complexity of the case can be gradually elaborated. Keywords: environmental hazard, disaster, development, Lapindo case Data yang tersaji dalam artikel ini pernah disampaikan secara acak oleh penulis dalam situs http://korbanlumpur.info, di mana penulis terlibat sebagai relawan aktif sejak 2012. Penulis berterima kasih kepada Bambang Catur Nusantara, Mujtaba Hamdi, Lutfi Amiruddin, dan Prasojo Bayu atas diskusi kritis yang melatarbelakangi penulisan artikel ini. Penulis juga berterima kasih kepada dua mitra bestari yang telah mengingatkan tentang aspek sosiologis artikel ini. 1
16 0 |
A NTON NOVENA NTO
PE N DA H U L UA N Krisis ekologis meliputi pelanggaran sistemik atas hak-hak asasi manusia, sebuah krisis tentang hak-hak asasi yang dampak jangka panjangnya pada masyarakat tak dapat lagi disepelekan. Bahaya diproduksi oleh industri, disebarluaskan oleh ekonomi, diindividualisasi oleh sistem hukum, dilegitimasi oleh ilmu-ilmu alam, dan dibuat seolah-olah jinak oleh politik. (Beck 1996:18)
Tanggal 29 Mei 2014, pada masa kampanye pemilihan presiden, di atas tanggul lumpur Lapindo, Joko Widodo (Jokowi) melantangkan pentingnya kehadiran negara dalam kasus Lapindo. “Dalam kasus [Lapindo] ini, negara seharusnya hadir sebagai representasi dari kedaulatan rakyat,” ujarnya. Pernyataan yang muncul dan seketika diterima sebagai ‘kebenaran’ semacam itu menunjukkan adanya prapengandaian tentang ketidakhadiran negara dalam kasus Lapindo selama ini. Wacana “negara absen” telah bergulir lama tidak hanya di ruang publik, khususnya di kalangan korban, namun juga dalam ranah diskursus ilmiah (lihat Prasetia 2012a). Rantai peristiwa menunjukkan bahwa negara seolah-olah tidak pernah hadir sebagai lembaga politik yang berdaulat untuk mengatasi segala persoalan yang muncul, khususnya yang melibatkan korporasi migas (bandingkan dengan Batubara dan Utomo 2012). Ada juga yang menemukan bahwa ketidakadilan yang diterima sebagian besar korban yang merasa bahwa negara telah membiarkan mereka bertarung sendirian dalam relasi kuasa yang timpang berhadap-hadapan dengan korporasi dan jejaring pendukungnya (Utomo 2009, 2012). Bahkan, ada yang menilai bahwa negara telah lebih berpihak pada korporasi daripada korban dan itu dimaknai sebagai “kekalahan negara” atas korporasi (Gustomy 2012; Kurniawan 2012; Prasetia 2012b). Namun, apakah negara tidak pernah hadir dalam kasus Lapindo? Argumen yang diangkat melalui artikel ini mungkin bertolak belakang dengan keyakinan umum dan argumen yang telah disampaikan dalam penelitian-penelitian sebelumnya tentang ketidakhadiran negara dalam kasus Lapindo. Artikel ini hendak mengajukan argumen tentang peran negara–melalui representasi aparatus birokrasi dan lembaga pemerintahan–sebagai aktor yang penting dalam kasus Lapindo.2 Artikel ini disusun sebagai rintisan awal untuk mengurai tentang peran penting negara dalam kasus M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 20, No. 2 , Ju li 2015: 159-192
MEMBANGUN BENCANA
| 161
Lapindo dengan mengacu pada pemahaman bahwa kasus tersebut dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang disebut Oliver-Smith (2010) “bencana pembangunan” (disasters of development), namun dalam konteks yang berbeda. M E T O DE PE N E L I T I A N
Tulisan ini disusun dari studi pustaka, yaitu pelacakan atas pernyataan-pernyataan yang terarsip dalam dokumen-dokumen publik (antara lain, laporan-laporan lembaga pemerintah, peraturanperaturan pemerintah, surat-surat pernyataan yang dikeluarkan oleh aparatus negara) yang dikumpulkan sejak September 2008 hingga Oktober 2013. Pernyataan-pernyataan itu dihadirkan kembali secara kronologis untuk menunjukkan kehadiran dan peran negara dalam kasus Lapindo. Usaha tersebut dilakukan untuk membangun sebuah argumen bahwa bencana bukan semata peristiwa alamiah, melainkan proses yang dipicu secara sengaja atau tidak sengaja oleh faktor politik, sosial, dan budaya. B E N C A N A S E B AG A I PE R I S T I WA / PRO S E S
Sejak 1980-an, antropolog Amerika Anthony Oliver-Smith memusatkan kajiannya pada tema keberhasilan/kegagalan proses permukiman kembali pasca bencana (Oliver-Smith 1980) dan peran antropologi dan antropolog sebagai agensi mengatasi persoalan ketidakadilan dalam proses tersebut (Oliver-Smith 1990a; 1990b). Memasuki 1990-an, Oliver-Smith menjadi garda depan bagi perkembangan perspektif politik-ekonomi/ekologi dengan menggunakan “kerentanan” sebagai konsep kunci analisis bencana. Perspektif ini mengandaikan bahwa tingkat kebencanaan dapat dilihat dari derajat kerentanan, atau “ke(tidak)mampuan manusia/ masyarakat menyesuaikan diri pada perubahan lingkungan yang terjadi secara cepat, tak terduga, dan destruktif ” (Bankoff 2003; Hilhorst dan Bankoff 2004; Oliver-Smith 1999; 2002). Pendekatan 2
Argumen semacam ini tidak bermaksud meniadakan peran korporasi dan masyarakat sebagai aktor lain bagi pembangunan bencana. Argumen semacam ini sudah banyak dibahas dalam artikel-artikel lain tentang kasus Lapindo yang membahas secara khusus tentang peran korporasi (antara lain Ahmady et al. 2010; Batubara dan Utomo 2012; Gustomy 2012) dan tentang peran masyarakat (Utomo 2010; 2012). M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 20, No. 2 , Ju li 2015: 159-192
162 |
A NTON NOVENA NTO
ini dikembangkan dari pendekatan studi bencana pada 1950-an dan 1960-an yang menekankan pada pola adaptasi individual dan komunal terhadap gejala alam yang destruktif (lihat Anderson 1968; Moore 1956). Oliver-Smith mendefinisikan “bencana” sebagai“ perjumpaan antara kerentanan sosial-ekonomi suatu masyarakat dan kekuatan destruktif dari lingkungan alamiah, modifikasi, ataupun buatan yang menghasilkan gangguan pada pemenuhan kebutuhan invididual dan sosial” (Oliver-Smith dan Hoffman 2002:3-4). Dengan menggunakan definisi semacam ini, kita dapat memperluas pengertian kekuatan destruktif itu tidak melulu pada gejala “alamiah” (gunung meletus, gempa bumi, tornado, tsunami, dan lain-lain), tetapi juga gejala nonalamiah (ledakan reaktor/bom nuklir, tumpahan minyak, hujan asam, limbah pertambangan, dan lain-lain) yang terjadi akibat campur tangan manusia atas lingkungan. Sepaham dengan Oliver-Smith, sosiolog Amerika Gary A. Kreps mendefinisikan “bencana” sebagai “peristiwa-peristiwa, yang terjadi pada ruang dan waktu tertentu, yang di dalamnya masyarakat atau subunitnya mengalami kerusakankerusakan fisik serta kehilangan dan/atau gangguan fungsi rutin” (1984:312). Dari definisi tersebut, kita dapat mencermati bencana sebagai peristiwa yang menyebabkan komunitas menderita kerusakan fisik dan mengalami kehilangan dan/atau gangguan terhadap fungsi rutinnya. Kunci bagi analisis sosiologi bencana adalah bagaimana pencarian relasi antara peristiwa tersebut dengan struktur dan proses sosial dalam masyarakat (Kreps 1984, 1985; Stallings 2002). Pada titik tertentu, “bahaya” (hazard) adalah produk dari struktur dan proses sosial. Inilah yang dimaksud “bencana antropogenik,” atau bencana yang bahaya lingkungannya dipicu oleh manusia, alih-alih terjadi secara alamiah (confer Oliver-Smith 2010). Kajian atas bencana antropogenik telah dilakukan oleh ilmuwan lain terhadap tragedi Union Carbide di Bhopal, India (Fortun 2001), kekeringan di Afrika (McCabe 2002), tumpahan minyak mentah di Amerika dan Eropa (Button 2010). Bahkan, beberapa ilmuwan berusaha menelusuri kontribusi manusia dalam bencana-bencana masa lalu di Amerika (Rozario 2007) dan di Eropa (Huet 2012). Salah satu pemicu kemunculan dan pesatnya studi semacam ini adalah pemunculan konsep “risiko” oleh sosiolog Jerman, Ulrich Beck, yang didefinisikan sebagai “ancaman yang tidak diketahui M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 20, No. 2 , Ju li 2015: 159-192
MEMBANGUN BENCANA
| 163
dan tidak diperkirakan namun melekat dalam setiap usaha sistemik mengatasi bahaya dan ketidakamanan yang dapat merugikan sekelompok orang atau masyarakat yang lebih luas” (1992:21-22). Konsep ini berkembang pesat pasca kecelakaan Three Mile Island di Pennsylvania, AS (28 Maret 1979) dan ledakan reaktor nuklir di Chernobyl, Ukraina (26 April 1986) yang seolah-olah mengingatkan bahwa setiap teknologi mengandung risiko yang dapat berbahaya pada manusia dan lingkungan jika tidak dikelola dengan baik. Bahkan, Stallings (2002) melihat peningkatan jumlah kecelakaan teknologi berkontribusi pada terciptanya konsensus tidak tertulis di kalangan ilmuwan dan awam untuk melihat bencana sebagai antropogenik. Tulisan ini akan merunut pembahasan bencana antropogenik menurut Oliver-Smith (2010) yang tidak sedang berbicara tentang bahaya lingkungan tidak terduga atau tiba-tiba, tapi lebih menekankan pada proses pemindahan penduduk secara paksa atas nama kemajuan dan kepentingan umum. Fenomena ini disebutnya sebagai “bencana pembangunan”. “B E N C A N A PE M B A N G U N A N ”
Menurut Oliver-Smith, selain menghadirkan infrastruktur baru, pembangunan pada hakikatnya adalah “pencabutan manusia dari penghancuran hunian dan komunitas” (2010:3). Konsep “pembangunan” menjadi sentral dan mendunia pada era pascaPerang Dunia II dan bahkan menjadi agenda politik utama negaranegara Eropa yang hancur dan Amerika Serikat (AS) sebagai negara donor. “Pembangunan menjadi sebuah model bagi pencapaian kemajuan melalui percepatan pertumbuhan dan konsumsi yang didorong oleh investasi negara dan swasta di bidang infrastruktur, kecakapan produksi, dan ekspansi pasar” (Oliver-Smith 2010:6). Tahun 1948, Marshall Plan untuk Eropa diluncurkan dan diikuti oleh pembentukan lembaga-lembaga baru oleh pemerintah demi memudahkan dimulainya “zaman pembangunan” yang tidak lebih dari pembukaan pasar baru dan ekspansi perusahaan Amerika Serikat di Eropa dan di seluruh dunia. Pembangunan yang menjadi industri dan memerlukan biaya sosial atas industri semacam ini adalah eskalasi pertarungan kuasa atas lahan dan ruang publik. Pada tahun yang sama ketika Marshall Plan diluncurkan, PBB didirikan sebagai lembaga antar-bangsa yang M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 20, No. 2 , Ju li 2015: 159-192
16 4 |
A NTON NOVENA NTO
fokus pada hak asasi manusia dengan pendekatan normatif. Belajar dari pelbagai dampak sosial-ekologis akibat pembangunan, PBB merilis “Deklarasi Hak atas Pembangunan” pada 4 Desember 1986. Dokumen tersebut bermaksud memperluas agenda pembangunan yang selama ini dimaknai sebatas pengembangan infrastruktur perekonomian (transportasi, bendungan irigasi, pembangkit energi) dan mulai masuk pada aspek sosial-budaya (pendidikan dasar, layanan kesehatan, ketersediaan pangan, hunian yang layak, pekerjaan) (OliverSmith 2010:23-24). Belakangan, Bank Dunia juga merilis indikatorindikator terkait pembangunan berorientasi sosial-budaya (lihat Cernea 2003). Namun, dalam praktiknya, orientasi sosial-budaya masih sebatas kalimat indah di atas kertas kerja para konseptor dan pelaku pembangunan. Oliver-Smith (2010:27-35) berpendapat bahwa bencana pembangunan dapat dilacak dari praktik pemindahan paksa dan permukiman kembali warga sebagai dampak dari huniannya menjadi lokasi pembangunan. Bencana pembangunan adalah usaha pemindahan penduduk yang dilakukan secara terprogram dan menuntut keterlibatan pemerintah sebagai otorita politik yang melegitimasi praktik tersebut dilakukan secara legal dan demokratis karena kebijakan pemerintahnya selalu “mencerminkan keinginan publik” (Oliver-Smith 2010:13). Padahal, pemerintahan demokrasi menyediakan celah yang efektif bagi para akumulator kapital untuk dengan mudah menyusup dalam “publik” dalam rangka melancarkan industri pembangunan dan ekspansi pasar (bandingkan dengan Habermas 2009). Satu-satunya kelebihan rezim demokrasi, dibandingkan rezim otoritarian, adalah keberadaan ruang perdebatan yang lebih longgar untuk membicarakan hak asasi manusia sebagai landasan etis berhadap-hadapan dengan konsep pasar bebas sebagai basis politik-ekonomi. Argumen Oliver-Smith tentang bencana pembangunan sejalan dengan James Scott (1998) dalam melihat kegagalan-kegagalan usaha manusia memperbaiki kualitas kehidupan melalui pengaturan atas (sumber daya) alam. Pertanian, misalnya, “merupakan sebuah penataan ulang dan penyederhanaan radikal atas tumbuhan agar sesuai dengan tujuan manusia” (Scott 1998:2). Ketika negarabangsa terbentuk, pengaturan atas alam distandardisasi dan semakin disederhanakan, salah satunya melalui pemetaan yang bukan sekadar merepresentasikan wajah bumi di atas kertas, tetapi juga M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 20, No. 2 , Ju li 2015: 159-192
MEMBANGUN BENCANA
| 165
mengindikasikan kehadiran “kuasa negara yang memungkinkan bagaimana realitas [alam] akan dimodifikasi” (Scott 1998:3). Petapeta baru dibuat pemerintah untuk menentukan wilayah-wilayah yang akan diprioritaskan sebagai permukiman, pertanian, industri, infrastruktur, dan masih banyak lagi (bandingkan dengan Crampton 2001). Secara sederhana, resistensi atas pembangunan bermula dari proses pemetaan yang tidak partisipatif karena mengabaikan kepentingan komunitas yang di wilayahnya akan dilaksanakan proyek pembangunan (bandingkan dengan Bryant dan Bailey 1997). Resistensi kerap kali tidak hanya terjadi sebelum, namun sepanjang dan setelah pembangunan, seperti yang terjadi dalam kasus Lapindo. Yang dimaksudkan dengan “pembangunan” dalam kasus Lapindo adalah segala macam pembangunan lingkungan yang dilakukan sebelum dan sesudah semburan lumpur terjadi, termasuk perencanaan dan pengelolaan industri minyak dan gas (migas), usaha menutup semburan, penanganan bencana (penanggulan dan pembuangan lumpur, penanganan dampak sosial), hingga usaha relokasi infrastruktur transportasi yang menuntut pengubahan sosial-ekologis di luar zona bencana. Tulisan ini tidak hendak melanjutkan usaha Scott (1998) dalam menelusuri bagaimana kegagalan demi kegagalan dalam usaha memperbaiki kualitas kehidupan kembali terulang dengan menjelaskan kasus Lapindo. Sebaliknya, tulisan ini hendak menerapkan konsep “pemetaan” yang digagasnya untuk menganalisis politik bencana lumpur Lapindo dan dengan demikian memperluas pengertian “bencana pembangunan” dari Oliver-Smith (2010). M E N E N T U K A N L O K A S I : FA S E PR A S E M BU R A N
Industri minyak dan gas (migas), seperti halnya industri tambang yang lain, tergolong dalam “industri berbahaya” berisiko tinggi dan oleh karenanya tidak boleh diselenggarakan secara sembarangan (Benson dan Kirsch 2010). Pelaksanaan kegiatan industri migas harus direncanakan dan dilakukan dengan mengikuti serangkaian prosedur yang rinci, hati-hati, dan teliti agar tidak justru berdampak fatal bagi manusia dan lingkungan di sekitarnya, rantai sosial-ekologis yang lebih luas, dan khususnya bagi industri itu sendiri. Selain sudah menjadi kewajiban dari industri migas sendiri untuk menjaga keamanan dari kegiatannya yang penuh risiko tersebut, pemerintah bertugas untuk M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 20, No. 2 , Ju li 2015: 159-192
16 6 |
A NTON NOVENA NTO
menjamin agar kegiatan industri berbahaya itu dilakukan secara prosedural sehingga tidak mengancam warganegaranya. Di Indonesia, pengawasan pemerintah atas kegiatan industri migas tertuang dalam UU Migas Nomor 22 Tahun 2001. Ada dua instansi yang berkewajiban mengawasi kegiatan industri migas: 1) Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Kementerian ESDM (Ditjen Migas) yang memfokuskan pengawasan pada ketaatan kegiatan terhadap peraturan perundangan yang berlaku, dan 2) Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BP Migas) yang mengawasi pelaksanaan kegiatan berdasarkan kontrak kerjasama yang berlaku. Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 02.P/075/M.PE/1992 menyebutkan bahwa setiap kontraktor migas wajib menyampaikan laporan harian secara tertulis mengenai kegiatan pengeboran kepada Ditjen Migas. Lebih lanjut, menurut SK Menteri ESDM Nomor 1088K/20/MEM/2003, Ditjen Migas memiliki kewenangan untuk melakukan investigasi kecelakaan kegiatan eksplorasi dan menentukan apakah kecelakaan tersebut masuk dalam kategori pidana ataukah kecelakaan operasional. Laporan lengkap Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) (2007a:50– 52)3 menyebutkan bahwa Ditjen Migas tidak pernah menerima laporan harian pengeboran Lapindo dan tidak pernah menegur apalagi memberi sanksi pada Lapindo. Ini berarti seluruh kegiatan pengeboran oleh Lapindo, termasuk eksplorasi Sumur Banjar Panji 1, tidak pernah diawasi oleh Ditjen Migas sebagai representasi negara. Dalam konteks demikian, pada 30 Mei sampai 2 Juni 2006, Ditjen Migas melakukan investigasi atas kejadian semburan gas atau uap air di sekitar sumur tersebut dan wajar jika Ditjen Migas tidak berhasil menemukan penyebabnya. Ditjen Migas justru melimpahkan tanggung jawabnya itu kepada Kepolisian Daerah Jawa Timur (Polda Jatim). Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2002 tentang BP Migas mengatur kewenangan BP Migas untuk melakukan pengawasan dan pengendalian kegiatan berdasarkan ketentuan kontrak kerjasama yang berlaku. Seperti yang seharusnya dilakukan Ditjen Migas, setiap kontraktor berkewajiban mengirimkan laporan tertulis secara periodik pada BP Migas terkait pelaksanaan kontrak kerjasama. Untuk memudahkan pengutipan, saya memisahkan “ringkasan eksekutif ” dengan “laporan lengkap” BPK, lihat Daftar Pustaka. 3
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 20, No. 2 , Ju li 2015: 159-192
MEMBANGUN BENCANA
| 167
Namun demikian, dalam proses penyelidikan BPK (2007a:53-56), BP Migas tidak berhasil menunjukkan dokumen yang membuktikan bahwa lembaga tersebut telah: 1) melakukan kajian terhadap program pengeboran Lapindo, dan 2) memberikan persetujuan terhadap program tersebut untuk memastikan kelayakannya dan kesesuaian dengan kaidah teknik pengeboran yang baik (pemilihan tempat, kedalaman pengeboran, kekuatan rig, ukuran, dan rencana pemasangan selubung pengaman). Rencana program pengeboran hanya ditandatangani Lapindo dan subkontraktor pengeboran (PT Medici Citra Nusa). BP Migas hanya terbukti melakukan pengawasan dan pengendalian sebatas biaya operasional. Lapindo pun terbukti tidak rutin mengirimkan laporan harian pengeboran pada BP Migas, termasuk pengeboran pada masa kritis menjelang semburan lumpur (20-29 Mei 2006). BP Migas hanya mendapatkan laporan harian untuk tanggal 22 dan 30 Mei saja. Ketiadaan laporan harian tentunya mempersulit BP Migas melakukan pengawasan atas pengeboran ataupun memberi saran teknis yang mungkin dapat membantu penanggulangan awal permasalahan yang terjadi di Sumur Banjar Panji 1. Dalam ringkasan eksekutifnya, BPK (2007b:6-7) melaporkan pemberian izin lokasi oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sidoarjo sebenarnya menyalahi peraturan. Pertama, lokasi pengeboran Sumur Banjar Panji 1 (dan juga sumur-sumur Lapindo lainnya) tidak sesuai dengan peraturan daerah (Perda) Kabupaten Nomor 16 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Sidoarjo, yang mengatur lokasi tersebut sebagai kawasan pertanian, permukiman, dan perindustrian, bukan pertambangan. Kedua, mengacu pada Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1976 dan UU Pertambangan Nomor 11 Tahun 1967, lokasi pengeboran sumur migas harus berada sekurangkurangnya 100 meter dari jalan umum, permukiman, atau objek yang mudah terbakar. Faktanya, Sumur Banjar Panji 1 berada 5 (lima) meter dari permukiman terdekat, 37 meter dari jalan tol (SurabayaGempol) dan kurang dari 100 meter dari pipa gas Pertamina. Aparatur negara yang terlibat dalam proses ini sampai pada level kepala desa, yaitu saat mendapatkan lahan pengeboran Sumur Banjar Panji 1 di Desa Renokenongo. Sebelum mendapatkan lokasi itu, Lapindo sudah ditolak di dua desa (Siring dan Jatirejo) di Kecamatan Porong. Untuk memudahkan mendapatkan lokasi di Desa Renokenongo, Lapindo dibantu Lurah Renokenongo, Mahmudatul M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 20, No. 2 , Ju li 2015: 159-192
16 8 |
A NTON NOVENA NTO
Fatchiah, yang menyampaikan pada warganya tentang kebutuhan lahan untuk usaha peternakan, bukan untuk pengeboran sumur gas alam (Batubara dan Utomo 2012:74-77). Pada Maret 2006, Lapindo berhasil mendapatkan tanah di wilayah Desa Renokenongo dengan harga berkisar antara Rp 60.000 sampai Rp 125.000 per meter persegi. Berdasarkan pengakuan beberapa warga, uang pembebasan lahan diperoleh dari Lurah Renokenongo, bukan dari Lapindo dan tidak satupun direksi Lapindo yang berhadapan langsung dengan warga dalam proses pembebasan lahan tersebut. Bahkan pemilik tanah, kala itu, tidak memperoleh informasi tentang pengelola tanah mereka dan peruntukannya (Komnas HAM 2012:40-41). Berita tentang semburan air dan gas di sekitar Sumur Banjar Panji 1 mulai muncul di media nasional sejak 30 Mei. Pada hari yang sama, perwakilan Lapindo merilis siaran pers tentang kejadian tersebut (EMP 2006). Hal yang jarang diketahui publik, sejak 1 Juni Lapindo telah berupaya menutup sumur dan pada 4 Juni rig sudah berhasil diturunkan (Adams 2006). BP Migas baru mengirimkan tim ke lokasi pada 5 Juni, setelah sumur ditutup. Artinya, BP Migas tidak sempat memberi bantuan teknis ketika Lapindo melakukan tindakan yang dianggap cukup preventif untuk mengatasi krisis tersebut (BPK 2007a:56). Pada hari yang sama, salah satu pemegang andil Kontrak Kerjasama Blok Brantas Medco melayangkan surat kepada Lapindo menyatakan intensi Lapindo yang sengaja tidak memasang selubung pengaman (safety casing) sesuai rencana awal. Dalam rapat teknis beberapa minggu sebelum insiden (18 Mei), Medco sudah memperingatkan Lapindo untuk memasang selubung itu, tapi diabaikan. Medco mengklaim dalam suratnya bahwa insiden Sumur Banjar Panji 1 terjadi akibat “kelalaian berat” (gross negligence) Lapindo yang tidak mematuhi program pengeboran yang telah disepakati bersama. Dari sini wacana bencana antropogenik bergulir. Menurut beberapa ahli pengeboran, keberhasilan operator menutup sumur justru berdampak pada meningkatnya tekanan di bagian dalam sumur dan menyebabkan keretakan lapisan tanah di sekitarnya, yang diperparah dengan usaha operator untuk melakukan pengeboran ulang pada 2 Juni (lihat Adams 2006; Wilson 2006).4 Bahkan diakui mandor pengeboran Sumur Banjar Panji 1, Syahdun, kebocoran gas pada 29 Mei 2006 itu disebabkan oleh runtuhnya dinding sumur bor bagian dalam (Saputra 2006). Proses itu mengakibatkan menyemburnya gas, air dan lumpur dari titik-titik di M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 20, No. 2 , Ju li 2015: 159-192
MEMBANGUN BENCANA
| 169
sekitar bibir sumur yang pada saat itu telah tertutup rapat. Keretakan dan runtuhnya lapisan tanah di sekitar dinding sumur dapat terjadi akibat tidak dipasangnya selubung pengaman yang memang berfungsi untuk menahan tekanan dalam sumur. Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa negara telah hadir sebelum semburan lumpur Lapindo sebagai aktor pemberi izin kegiatan industri berbahaya melakukan pengeboran tanpa kontrol yang ketat sehingga potensial memicu krisis sosial-ekologis. Hal ini terjadi akibat desakan struktur politik-ekonomi global pembangunan di Dunia Ketiga cenderung mengutamakan ekonomi dan mengabaikan aspek ekologi (Bryant dan Bailey 1997). Dengan demikian, pada fase pra semburan peran negara adalah menentukan lokasi terjadinya suatu bencana. M E L E TA K K A N P O N DA S I : FA S E T I M N A S
Selama ini, publik menganggap negara tidak banyak berperan menangani semburan lumpur sedari awal. Salah satu alasannya adalah pembiayaan penanganan awal yang dibebankan pada Lapindo dan mayoritas publik mengatakan bahwa pembebanan itu sebagai “hukuman”. Akan tetapi, hal itu juga dapat dilihat sebagai pemberian keistimewaan pada Lapindo untuk bebas melakukan apapun. Bagian ini mengurai rangkaian fakta secara kronologis dengan motif mengungkap keterlibatan negara dalam merancang desain mitigasi bencana lumpur Lapindo yang potensial bagi kelahiran bencana pembangunan yang lebih sistemik di Porong. Pada 12 Juni 2006, Bupati Sidoarjo, Win Hendrarso, membentuk tim terpadu untuk menangani luapan lumpur Lapindo (BPK 2007a:70). Tim dibagi menjadi tiga bagian koordinatif: Koordinasi Pengendalian Situasi di bawah wewenang Dandim 0816 Sidoarjo, Koordinasi Teknis oleh Lapindo dan BP Migas, dan Koordinasi Rehabilitasi Sosial dan Kehumasan menjadi tanggung jawab Wakil Bupati Sidoarjo (Komnas HAM 2012:65). Hampir bersamaan dengan itu, pada 14 Juni 2006, Kementerian ESDM membentuk tim yang diketuai Rudi Rubiandini dari Jurusan Teknik Perminyakan, ITB untuk Dari kubu Lapindo, yang meyakini semburan diakibatkan proses alamiah (gempa bumi), muncul beberapa sanggahan atas kesimpulan kecelakaan industrial tersebut (lih. Istadi et al. 2009; Sawolo et al. 2009, 2010). 4
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 20, No. 2 , Ju li 2015: 159-192
170 |
A NTON NOVENA NTO
menginvestigasi insiden tersebut (Schiller, Lucas, dan Sulistiyanto 2008). Pada awal September 2006, tim tersebut mengumumkan hasil investigasi bahwa semburan lumpur terjadi akibat kelalaian Lapindo yang tidak memasang selubung pengaman sesuai rencana ketika mengebor Sumur Banjar Panji 1 (Tim Walhi 2008:2). Dengan kata lain, pemerintah (dalam hal ini tim investigasi) menyatakan bahwa semburan lumpur Lapindo adalah antropogenik, sebagai akibat dari kecelakaan industrial pengeboran migas. Selang beberapa hari, pada 8 September 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 13 Tahun 2006 tentang Tim Nasional Penanggulangan Lumpur Panas di Sidoarjo (Timnas PLPS) yang direncanakan bertugas selama 6 (enam) bulan. Terlepas dari kontroversi yang melingkupinya terkait status keputusan presiden yang berada di luar struktur hukum formal di Indonesia (Batubara dan Utomo 2012; Gustomy 2012), Keppres itu adalah peraturan pertama yang dikeluarkan pemerintah pusat untuk menangani lumpur Lapindo. Keppres Nomor 13 Tahun 2006 mempertegas kesimpulan tim investigasi bahwa semburan lumpur terkait dengan kegiatan industri migas (kecelakaan teknologi). Hal ini dapat dilacak dari peraturan perundangan yang melatarbelakanginya: UU Migas Nomor 22 Tahun 2001, PP Nomor 19 Tahun 1973 tentang Pengaturan dan Pengawasan Keselamatan Kerja di Bidang Pertambangan, PP Nomor 11 Tahun 1979 tentang Keselamatan Kerja pada Pemurnian dan Pengolahan Minyak dan Gas Bumi, dan PP Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi jo PP Nomor 34 Tahun 2005. Timnas adalah lembaga mitigasi pertama yang dibentuk khusus untuk mengatasi lumpur Lapindo dan melihat komposisi undangundang dan peraturan yang ada Timnas bekerja dalam koridor kegiatan industri migas, bukan mitigasi bencana. Timnas bekerja di bawah supervisi Menteri ESDM, representasi Presiden untuk industri migas.5 Setelah enam bulan Timnas bekerja belum tampak tandatanda lumpur berhenti. Pada 8 Maret 2007 Presiden mengeluarkan Keppres Nomor 5 Tahun 2007 tentang perpanjangan masa tugas Timnas selama satu bulan dan kerja Timnas berakhir pada 8 April 2007 berbarengan dengan penerbitan Peraturan Presiden Nomor 14 BPLS berada di bawah pengawasan Menteri PU; lihat pembahasan pada bagian selanjutnya. 5
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 20, No. 2 , Ju li 2015: 159-192
MEMBANGUN BENCANA
| 171
Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang menggantikan Timnas. Timnas dibentuk untuk melaksanakan tiga tugas: a) menutup semburan lumpur, b) menangani luapan lumpur, dan c) menangani masalah sosial. Segala biaya yang diperlukan Timnas dibebankan pada anggaran Lapindo. Klausul terkait pembiayaan ini sangat problematis. Sekilas, publik akan melihat politik anggaran semacam ini adalah sesuatu yang baik dan benar karena publik meyakini semburan disebabkan oleh Lapindo sehingga wajar jika Lapindo yang menanggung seluruh biayanya. Akan tetapi, politik anggaran semacam ini membuat tindakan penanganan awal menjadi sangat tergantung pada jajaran direksi Lapindo (Schiller et al. 2008; Tim Walhi 2008). Lebih-lebih, laporan BPK (2007a:73) menilai Lapindo tidak pernah serius membiayai usaha penanganan awal tersebut dan kegagalan menutup semburanperlu dilihat dari kacamata politikekonomi sebuah perusahaan yang tidak mau merugi. Lumpur panas adalah faktor alam yang memaksa pindahnya penduduk, tetapi luapan itu tidak akan terus terjadi jika usaha menutup semburan berhasil dilakukan. Satu teknik telah diusahakan: mengebor “sumur pertolongan” (relief well), yaitu mengebor sumur lain dari titik lain untuk memotong sumur utama dan menginjeksi cairan khusus untuk menghentikan kebocoran yang ada.6 Teknik ini dikenalkan pada 1930-an di Texas, Amerika Serikat. Laporan BPK (2007a:59-60) menyebutkan bahwa telah dilakukan pengeboran tiga sumur pertolongan dan tiga sumur observasi sebagai rangkaian usaha menutup semburan lumpur Lapindo. Usaha menutup semburan dipimpin oleh William Abel, konsultan pengeboran dari Houston, Texas, AS. Dalam wawancara pada bulan September 2006, Abel sangat yakin bahwa teknik itu akan berhasil, “Dalam sejarah pengeboran, belum pernah ada blowout yang gagal diatasi” (dikutip dalam Normile 2006). Sayangnya, usaha itu gagal. Agak sedikit berbeda, ahli pengeboran Lapindo mengklaim bahwa sebelum mengebor sumur pertolongan telah dilakukan dua metode lain: a) mengebor ulang Sumur Banjar Panji 1 (snubbing unit), dan b) mengebor lubang lain secara miring untuk memotong Sumur Banjar Panji 1 (sidetracking well) (Istadi et al. 2009). Namun, pengeboran ulang yang dilakukan pada 2 Juni 2006 merupakan kesalahan fatal karena merusak konstruksi sumur (Adams 2006:57). Sementara itu, pengeboran miring perlu dilihat sepaket dengan teknik sumur pertolongan karena tindakan tersebut dilakukan untuk memperoleh data awal sebelum mulai mengebor sumur pertolongan (Rubiandini 2007). 6
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 20, No. 2 , Ju li 2015: 159-192
172 |
A NTON NOVENA NTO
Pada 13 Desember 2006, Timnas menyatakan pengeboran sumur pertolongan harus dihentikan karena permukaan tanah tidak stabil sehingga dapat membahayakan para awak (Hadimuljono 2007:6365). Alasan itu bisa jadi benar, tetapi Rudi Rubiandini, ketua tim investigasi yang juga turut bertanggung jawab menutup semburan, berpendapat bahwa tidak berlanjutnya usaha menutup semburan juga disebabkan ihwal non-teknis, yaitu ketidakseriusan menutup semburan yang dapat dilihat dari ketidaksesuaian usaha tersebut dengan kaidah keilmuwan (Komnas HAM 2012:64; Mudhoffir 2013:26). BPK pun menemukan kendala administrasi keuangan sebagai penyebab kegagalan usaha menutup semburan. Timnas dan/atau Lapindo tidak memperkirakan biaya total yang akan dikeluarkan, yang mencapai Rp 237,91 milyar. Tentang penutupan semburan, BPK berpendapat: Penyusunan anggaran dan kegiatan oleh Timnas tidak didasarkan pada kemampuan penyandang dana [Lapindo], hal ini menunjukkan tidak adanya kejelasan likuiditas dana yang tersedia. Semua alternatif penanganan tidak akan efektif berjalan jika terhalang keterbatasan dana dan hanya dilaksanakan setengah jalan. (2007a:75). Keppres 13/2006 memang tidak mengatur secara jelas tentang kewenangan Timnas untuk memaksa Lapindo melakukan seluruh pembayaran tepat waktu. Akan tetapi, itu bukan berarti negara tidak berperan dalam urusan menutup semburan. Justru, negara (dalam hal ini presiden) adalah aktor utama yang memerintahkan pembiayaan penutupan semburan tersebut pada Lapindo. Ditambah lagi, negara (dalam hal ini Timnas) merupakan aktor yang melegitimasi penghentian usaha penutupan semburan dan dengan demikian negara berperan penting dalam memunculkan bencana pembangunan yang lain, pemindahan paksa penduduk. “Pemindahan paksa” menjadi kata kunci dalam pembahasan bencana pembangunan danproses itu tidak terjadi secara tiba-tiba, bahkan direncanakan (Oliver-Smith 2010), sebuah pola yang terulang dalam kasus Lapindo. Kegagalan menutup semburan berdampak pada meluasnya luapan lumpur panas dan memaksa puluhan ribu warga sekitar untuk pindah dari hunian mereka. Volume semburan lumpur mencapai 70.000-150.000 m3/hari dengan suhu mencapai 70o Celcius (Davies et al. 2007). Dalam waktu tiga minggu saja, lumpur sudah M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 20, No. 2 , Ju li 2015: 159-192
MEMBANGUN BENCANA
| 173
mengubur 90 ha area padat penduduk dan memaksa lebih dari 2.000 penduduk mengungsi. Jeda seminggu setelah itu, area yang terbenam lumpur mencapai 145 Ha dan semakin banyak orang yang harus pergi dari rumah mereka. Pada bulan September 2006, area yang terendam mencapai 240 ha. Pada akhir tahun 2006, luasan wilayah terdampak berlipat ganda menjadi 450 ha, menyusul ledakan pipa gas bawah tanah milik Pertamina yang meruntuhkan tanggul di Timur Laut pada 22 November dan mengakibatkan lumpur menggenangi kompleks perumahan padat huni, Perumahan Tanggulangin Asri Sejahtera (PerumTAS). Sekalipun usaha membendung dan membuang sebagian lumpur ke Selat Madura, melalui Kali/Kanal Porong sudah dilakukan7, luapan lumpur tidak kunjung surut. Luas area yang tergenang lumpur terus melebar seiring dengan kegagalan upaya menutup pusat semburan. Selain persoalan lumpur, dampak ekologis lain yang kasat mata adalah deformasi (penurunan/kenaikan) dan pergeseran (yang mengakibatkan keretakan) permukaan tanah, semburan-semburan kecil gas yang mudah terbakar, serta degradasi kualitas air tanah dan udara. Dampak kolateral tersebut telah menyebabkan wilayah di luar tanggul lumpur menjadi kawasan tidaklayak hunidan mengakibatkan para penduduk sekitarnya harus mengungsi ke tempat lain. Berdasarkan layanan peta satelit GoogleEarth, kita dapat memperkirakan wilayah terdampak langsung itu mencapai lebih dari 1.500 Ha, yang mencakup 15 desa/kelurahan di 3 (tiga) kecamatan (Porong, Tanggulangin dan Jabon) di Kabupaten Sidoarjo. Pada dua tahun pertama, diperkirakan jumlah penduduk yang terusir paksa mencapai 39.000 jiwa. Jumlah ini belum termasuk tambahan pasca terbitnya Perpres Nomor 68 Tahun 2011 (sekitar 3.000 jiwa), serta Perpres Nomor 37 Tahun 2012 dan Perpres Nomor 33 Tahun 2013 (belum ada estimasi jumlah warga berdasarkan kedua perpres terakhir tersebut). Pemerintah tidak pernah merilis berapa jumlah resmi penduduk akibat lumpur Lapindo, sejak 2006 sampai artikel ini diperbaiki (April 2015). Negara menjadi aktor penting dalam menentukan siapa yang harus pindah dan siapa yang harus bertahan melalui proses yang disebut D a mp a k d a r i p e m bu a n g a n it u a d a l a h p e rc e p a t a n s e d i me nt a s i d i sepanjang Kanal Porong dan terbentuknya pulau baru seluas sekitar 45 hektar di muara, hanya dalam kurun kurang dari 9 (sembilan) ta hun. 7
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 20, No. 2 , Ju li 2015: 159-192
174 |
A NTON NOVENA NTO
James Scott (1998) sebagai “pemetaan,” yang merupakan kuasa manusia untuk melakukan modifikasi atas alam, serta manusia yang tinggal di atasnya. Dalam kasus Lapindo, perkembangan wilayah yang terbenam lumpur dapat ditelusuri dari bagaimana pemerintah memprioritaskan pembangunan atas dasar, lagi-lagi, “kepentingan umum”. Pada bulan-bulan awal semburan, prioritas itu adalah melindungi ruas jalan tol Porong-Gempol, urat nadi perekonomian Jawa Timur. Proyek mitigasi kemudian ditujukan agar lumpur tidak meluap hingga ke jalan tol. Kalaupun hal itu terjadi, pemerintah akan mengusahakan agar jalan tol dapat segera digunakan lagi. Salah satunya adalah membangun tanggul untuk menghalangi laju lumpur. Tidak jelas kapan upaya penanggulan secara resmi dilakukan. Mengacu catatan BPLS, pada masa sebelum keberadaan Timnas, proyek penanggulangan dilakukan oleh satuan militer Kodam V Brawijaya dengan uang dari Lapindo (Karyadi, Soegiarto, dan Harnanto 2012).8 Negara tidak hanya berperan aktif sejak awal proyek penanggulan, tetapi juga sebagai aktor yang menentukan nilai tukar dan mekanisme kompensasi yang diberikan pada korban Lapindo. Mengacu sebuah studi, nilai kompensasi bagi korban Lapindo datang dari Saiful Illah, kala itu Wakil Bupati Sidoarjo (sekarang, Bupati Sidoarjo), sekitar bulan September 2006 (Karib 2012:67-68). Pada waktu itu, pemerintah membutuhkan sebidang tanah di Desa Jatirejo untuk membangun tanggul di sisi Barat semburan agar mampu menahan luapan lumpur ke rel kereta api dan jalan raya Porong. Wakil Bupati Sidoarjo saat itu didampingi aparat militer menemui 12 (duabelas) warga Jatirejo dan meminta mereka untuk menjual tanah beserta rumahnya untuk kepentingan bersama dengan menawarkan uang sejumlah Rp 1,5 juta per meter persegi bangunan dan Rp 1 juta Wakil Bupati Sidoarjo saat itu berargumen harga tersebut jauh di atas harga normal sebelum lumpur menyembur yang berkisar antara Rp 75.000 dan Rp 150.000 per meter persegi. Warga yang berada di Biaya pembangunan dan pemeliharaan tanggul menjadi beban Lapindo secara sah sejak 8 September 2006 (Keppres 13/2006) sampai 23 September 2009 (Perpres 40/2009, yang menandai peralihan tanggung jawab keuangan atas tanggul kepada APBN). Ini berarti selama lebih dari tiga tahun Lapindo dengan leluasa mengendalikan proyek penanggulan. Laporan Humanitus Sidoarjo Fund (HSF) menyebutkan bahwa sampai Maret 2011 Lapindo telah mengeluarkan dana sebesar Rp 1,35 Trilyun untuk penanganan luapan lumpur (Richard 2011:96). 8
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 20, No. 2 , Ju li 2015: 159-192
MEMBANGUN BENCANA
| 175
bawah tekanan fisik dan psikologis tidak memiliki opsi lain kecuali menerimanya. Informasi tentang harga tersebut menyebar cepat di kalangan korban lainnya yang pada saat itu juga sedang menuntut Lapindo untuk mengompensasi kerugian mereka tapi masih belum ada kepastian tentang mekanisme dan nilai kompensasi. Belakangan, nilai tanah dan bangunan yang ditawarkan dan mekanisme jualbeliitu diterapkan juga kepada seluruh korban Lapindo. Timnas yang dibentuk belakangan semakin membuktikan kehadiran negara dalam proses pemindahan paksa itu. Dari beberapa dokumen yang ada, terlihat jelas bagaimana peran Timnas sebagai perantara bagi warga dan Lapindo dalam rangka negosiasi nilai kompensasi dan mekanismenya. Salah satunya adalah Surat Pernyataan tertanggal 13 November 2006 yang ditandatangani Ketua Pelaksana Timnas, Basuki Hadimuljono. Di dalam surat itu tertulis bahwa Basuki, atas nama Timnas, bersedia memfasilitasi dan meneruskan permintaan ganti rugi dengan cara tunai (cash and carry) kepada Lapindo. Tidak hanya itu, tertulis juga: “proses verifikasi data, negosiasi ganti rugi tanah dan bangunan, serta realisasi pembayaran tersebut akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Maret 2007”. Turut membubuhkan tanda tangan dalam surat itu adalah Bupati Sidoarjo Win Hendrarso. Pada 27 November 2006, Timnas melayangkan surat resmi kepada pimpinan Lapindo terkait penyelesaian dampak sosial-ekonomi akibat lumpur Lapindo. Surat itu berisi empat butir: 1) masyarakat menghendaki ganti rugi dengan cara tunai (cash and carry); 2) masyarakat menghendaki pernyataan kesanggupan dari Lapindo untuk penanggulangan masalah sosialekonomi; dan 3) ganti rugi dihitung berdasarkan nilai berikut: Rp 1 (satu) juta per meter persegi tanah, Rp 1,5 juta per meter persegi bangunan (termasuk bangunan tingkat); dan 4) ganti rugi tanah sawah ditentukan sebesar Rp 120.000 per meter persegi. Dari surat itu, terlihat bagaimana representasi aktor negara hadir untuk menuntut Lapindo mengompensasi kerugianwarga dan terlihat komunikasi politik yang terjadi adalah antara negara dan Lapindo, bukan antara warga dan Lapindo. Surat Timnas itu mendapatkan balasan pada 4 Desember 2006. Lapindo melayangkan surat kepada Timnas, u.p. Basuki Hadimuljono. Dalam surat itu, Lapindo menyatakan kesanggupannya untuk mengompensasi warga atas kerugian yang dideritanya sebagai M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 20, No. 2 , Ju li 2015: 159-192
176 |
A NTON NOVENA NTO
bentuk “kepedulian sosial dan tanggung jawab moral” perusahaan.9 Nilai yang disepakati sama seperti yang ditulis dalam surat Timnas, sementara mekanisme yang disanggupi oleh Lapindo adalah mekanisme jual-beli yang berarti terjadi peralihan kepemilikan aset dari warga ke Lapindo. Hal yang menarik lagi, surat yang ditandatangani oleh Manajer Umum Lapindo Imam Agustino itu diarahkan bukan kepada warga, melainkan kepada Timnas (sebagai lembaga representasi negara) dengan tembusan kepada lembaga negara yang lain (Presiden, Wakil Presiden, Ketua dan Anggota Tim Pengarah Timnas, Bupati Sidoarjo, dan Ketua DPRD Sidoarjo. Tidak disebutkan sama sekali bahwa surat itu sedang ditujukan pada warga sehingga semakin jelas bagaimana sebenarnya posisi negara dalam komunikasi politik yang terjadi. Hal lain yang tidak kalah menarik adalah jika kita melihat Peta Area Terdampak 4 Desember 2006 yang menjadi lampiran surat itu (lihat Gambar 1).
Sampai saat ini dasar hukum kesanggupan Lapindo untuk “membeli” tanah dan bangunan warga tidak pernah dilontarkan secara jelas dan terjadi inkonsistensi dari perwakilan Lapindo dalam menyatakan alasan pembelian itu (“perintah Ibunda Bakrie,” “tanggung jawab sosial perusahaan,” “mengikuti Perpres 14/2007,” “murni transaksi jual beli,” “sedekah,” dsb.). Namun, berdasarkan analisis atas konteks historis kemunculan surat Lapindo tersebut, saya membuat dugaan sederhana. Surat itu dirilis pada masa Timnas, yang berarti dasar hukum bagi seluruh keputusan seharusnya mengacu pada peraturan perundangan yang melandasi Keppres 13/2006, yaitu seputar kegiatan industri migas. Ini berarti dasar keputusan jual beli aset warga dilakukan dalam logika perusahaan migas mengompensasi warga, yang memang diatur dalam peraturan perundangan yang melandasi Keppres 13/2006, yaitu PP 35/2004 (khususnya Pasal 62 s.d. Pasal 71). PP 35/2004 mengatur tentang penggunaan tanah dalam kegiatan industri migas. Disebutkan bahwa pemegang hak atas tanah “wajib mengizinkan Kontraktor untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi di atas tanah yang bersangkutan” (Pasal 62 Ayat 2). Untuk kebutuhan itu, ada beberapa cara yang bisa diterapkan, yaitu: “jual beli, tukar menukar, ganti rugi yang layak, pengakuan atau bentuk penggantian lain” (Pasal 63 Ayat 2) dengan “memperhatikan Nilai Jual Objek Pajak terakhir” (Pasal 65 Ayat 1). Status tanah tersebut “menjadi milik negara” (Pasal 67 Ayat 1) dan kontraktor berhak membangun fasilitas mereka di atas tanah tersebut (Pasal 69 Ayat 2), yang koheren dengan UU Pokok Agraria 5/1960 (Pasal 26 & Pasal 27). Jadi, keputusan Lapindo membeli tanah dan bangunan warga dilandaskan pada logika perusahaan migas yang sedang mencari lahan untuk mendukung kegiatan eksplorasi dan/atau eksploitasi. Dugaan ini mungkin berbeda dengan pendapat yang selama ini bergulir yang membahas proses jual beli itu hanya mengacu pada UU Pokok Agraria 5/1960 (lih. Kurniawan 2012; Putro and Yonekura 2014). Yang patut dicatat, sekalipun UU Pokok Agraria adalah peraturan perundangan tertinggi tentang persoalan pertanahan di Indonesia, dia tidak pernah secara eksplisit menjadi landasan hukum bagi peraturan terkait kasus Lapindo. 9
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 20, No. 2 , Ju li 2015: 159-192
MEMBANGUN BENCANA
| 17 7
Gambar 1. Peta Area Terdampak 4 Desember 2006
Sumber: BPLS
Peta yang dibuat oleh Lapindo dan disetujui oleh Basuki Hadimuljono menentukan wilayah mana saja yang akan dibeli Lapindo. Di dalam peta itu juga Basuki menambahkan suatu wilayah yang ditandainya dengan huruf “A” sebagai wilayah yang juga harus dibeli oleh Lapindo. Sekalipun hanya selembar kertas, peta itu memiliki efek kuasa yang menentukan pemindahan paksa para penduduk yang tinggal di atas wilayah yang akan dibeli oleh Lapindo karena “pembelian” adalah bahasa lain untuk pengosongan suatu wilayah. Peta itu disetujui oleh negara (dalam hal ini Timnas). Peta adalah politik. Peta telah menjadi instrumen paling efektif dalam proses pemindahan paksa korban Lapindo. Peta 4 Desember 2006 tidak mencantumkan wilayah yang baru terkena dampak luapan lumpur Lapindo pasca meledaknya pipa gas bawah tanah Pertamina 22 November 2006 malam. Ledakan yang mengakibatkan belasan orang meninggal dunia itu juga menyebabkan runtuhnya tanggul sisi Utara dan membuat lumpur meluas ke perumahan padat huni PerumTAS. Gelombang kedua pengungsi datang, jumlah korban pun melonjak pesat. Para korban baru ini menuntut agar tanah dan bangunan mereka yang terbenam lumpur Lapindo juga harus M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 20, No. 2 , Ju li 2015: 159-192
178 |
A NTON NOVENA NTO
dimasukkan ke dalam peta area terdampak sehingga mereka juga mendapatkan kompensasi atas kerugian yang mereka derita. Pada 22 Maret 2007, peta baru dirilis (lihat Gambar 2). Peta itu dibuat oleh Timnas dan ditandatangani oleh Ketua Tim Pelaksana Timnas Basuki Hadimuljono. Kali ini, semakin banyak representasi negara yang turut menyetujuinya, yaitu: Gubernur Jawa Timur Imam Utomo, Ketua DPRD Jawa Timur Fatur Rosyid, Ketua Pansus Lumpur di DPRD Jawa Timur Y. A. Widodo, Bupati Sidoarjo Win Hendrarso, dan Ketua DPRD Sidoarjo Arly Fauzi. Dengan demikian, Peta Area Terdampak 22 Maret 2007, yang kemudian menjadi acuan bagi Perpres Nomor 14 Tahun 2007, dilegitimasi 6 (enam) aparatus negara. Pada 8 April 2007, masa kerja Timnas berakhir dan Timnas digantikan oleh BPLS seperti tertulis dalam Perpres Nomor 14 Tahun 2007. Publik bisa saja menilai Timnas bekerja dalam keterbatasannya karena seluruh pembiayaan mengikuti anggaran Lapindo, namun bagaimanapun juga Timnas telah meletakkan pondasi bagi pola mitigasi lumpur Lapindo yang potensial bagi terjadinya pemindahan penduduk secara paksa. Pola tersebut terus berlanjut pada masa kerja BPLS, representasi negara dalam memperluas bencana pembangunan tersebut. Gambar 2. Peta Area Terdampak 22 Maret 2007
Sumber: BPLS
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 20, No. 2 , Ju li 2015: 159-192
MEMBANGUN BENCANA
| 179
M E M PE R L UA S PE M B A N G U N A N: FA S E B A DA N PE N A N G G U L A N G A N L U M PU R S I D OA R JO ( B PL S)
Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) adalah lembaga negara yang dibentuk khusus untuk menangani lumpur Lapindo melalui penerbitan Perpres Nomor 14 Tahun 2007 pada 8 April 2007. Pembentukan BPLS menunjukkan betapa istimewa kasus Lapindo dibandingkan bencana lain di Indonesia, semisal gempa bumi Yogyakarta/Jawa Tengah 27 Mei 2006 yang untuk penanganannya pemerintah tidak membentuk lembaga ad hoc penanganan bencana.10 BPLS menunjukkan bahwa negara adalah lembaga politik yang paling rasional untuk membantu warganya yang tertimpa bencana (Faure 2007; Sugarman 2007; Zack 2009). Tugas BPLS tidak jauh beda dengan Timnas, yakni: menangani upaya penanggulangan semburan lumpur; menangani luapan lumpur; dan menangani masalah sosial dan infrastruktur. BPLS berkewajiban untuk melaporkan pelaksanaan tugasnya itu kepada Presiden; namun, segala arahan, pembinaan, dan pengawasan pelaksanaan tugas dilakukan oleh Dewan Pengarah BPLS, bukan oleh Presiden. Terdapat perbedaan struktur pengorganisasian BPLS dibandingkan dengan Timnas. Timnas berada di bawah supervisi yang diketuai Menteri ESDM, sementara ketua Dewan Pengarah BPLS adalah Menteri Pekerjaan Umum dengan Menteri ESDM sebagai salah satu anggotanya. Struktur semacam ini menandai perubahan orientasi penanganan lumpur Lapindo oleh BPLS yang lebih fokus pada infrastruktur, yang juga dapat dilacak dalam Perpres 14/2007. Jika Keppres Nomor 13 Tahun 2006 dilandasi oleh peraturan perundangan terkait industri migas, maka landasan hukum Perpres Nomor 14 Tahun 2007 adalah manajemen tata ruang. Perpres itu disusun dengan mengingat UU Tata Ruang Nomor 24 Tahun 2007, UU Lingkungan Hidup Nomor 23 Tahun 1997, UU Migas Nomor 22 Tahun 2001, UU Pemerintahan Daerah Nomor 32 Tahun 2004 jo UU Nomor 8 Tahun 2005. Seperti halnya Timnas, BPLS juga tidak sedang dibentuk atas logika “penanganan bencana.” Namun tidak seperti Timnas yang bekerja dalam konteks kecelakaan 10
Dalam sejarahnya baru sekali, Pemerintah Indonesia membentuk lembaga yang khusus menangani bencana, yaitu Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) untuk menangani dampak tsunami 26 Desember 2004 yang melanda Aceh dan Nias. M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 20, No. 2 , Ju li 2015: 159-192
18 0 |
A NTON NOVENA NTO
industri migas, agenda kerja BPLS lebih berorientasi pada pengelolaan wilayah dan infrastruktur. Satu klausul penting dalam Perpres Nomor 14 Tahun 2007 adalah ihwal pembagian tanggung jawab penanganan masalah sosial kemasyarakatan antara pemerintah dan Lapindo. Perpres itu mengatur bahwa Lapindo hanya bertanggung jawab pada wilayah yang masuk dalam Peta 22 Maret 2007, sementara kewajiban atas wilayah di luar peta tersebut dibebankan pada APBN. Perpres itu juga mengatur pembagian kewajiban penanganan dampak fisik: penanggulangan semburan lumpur dan upaya pembuangan lumpur ke Kali Porong menjadi kewajiban Lapindo dan relokasi infrastruktur menjadi kewajiban pemerintah. Hingga kini, tidak pernah jelas dasar hukum bagi pembagian kewajiban semacam itu. Sampai Oktober 2013, telah terjadi lima kali perubahan atas Perpres Nomor 14 Tahun 2007 melalui penerbitan perpres baru, yaitu pada 17 Juli 2008 (Perpres Nomor 48 Tahun 2008), 23 September 2009 (Perpres Nomor 40 Tahun 2009), 27 September 2011 (Perpres Nomor 68 Tahun 2011), 5 April 2012 (Perpres Nomor 37 Tahun 2012), dan 8 Mei 2013 (Perpres Nomor 33 Tahun 2013). Jika kita melihat struktur perundangan yang melandasi revisi tersebut, maka kita menemukan bahwa revisi tersebut dilandaskan pada peraturan terkait pengelolaan keuangan negara, yaitu UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU APBN (2008, 2009, 2011, 2012, dan 2013). Hal semacam itu dapat dilihat bahwa revisi atas Perpres Nomor 14 Tahun 2007 terkait penambahan biaya untuk membeli wilayah “di luar peta” yang juga harus dikosongkan akibat dampak luapan lumpur yang terus meluas. Pengosongan wilayah semacam itu berarti juga pemindahan paksa para penghuninya. Hal yang tidak kalah menarik adalah reduksi kewajiban Lapindo untuk membiayai upaya penanggulangan semburan dan pembuangan lumpur ke Kali Porong, sehingga biaya semacam itu dibebankan pada anggaran negara. Hal itu disampaikan dalam Perpres Nomor 40 Tahun 2009 dengan menghapus pasal yang mengatur kewajiban itu dan menambahkan pasal baru yang berbunyi: “Biaya tindakan mitigasi yang dilakukan oleh Badan Pelaksana BPLS untuk melindungi keselamatan masyarakat dan infrastruktur dibebankan kepada APBN” (Pasal 15 Ayat 7). M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 20, No. 2 , Ju li 2015: 159-192
MEMBANGUN BENCANA
| 181
Tabel 1. APBN untuk Kasus Lapindo (2007—2015, dalam milyar rupiah) Tahun 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Anggaran BPLS Sekretariat 15,64 17,25 n.a. 17,52 22,80 n.a. 30,11 29,53 n.a.
Operasi Sosial Infrastruktur Jumlah 111,84 372,50 499,98 272,78 227,75 583,89 1.101,67 n.a. n.a. n.a. 1.147,70 182,43 197,17 818,97 1.216,09 139,11 558,37 565,81 1.286,09 n.a. n.a. n.a. 1.533,41 160,63 1.915,57 150,56 2.256,87 158,50 589,15 67,95 845,13 n.a. n.a. n.a 843,23 10.730,17
Anggaran non-BPLS Pos Jumlah
Pajak Lapindo
205,00
Pinjaman 781,69 Lapindo 986,69
Sumber: diolah dari beberapa sumber, antar lain: website BPLS, Nota Keuangan APBN (Perubahan) 2007-2015 © Anton Novenanto, 2015
Sejak September 2009 seluruh biaya penanggulangan lumpur Lapindo ditanggung oleh pemerintah. Mengacu penggalanpenggalan data yang tersaji acak di situs BPLS (bpls.go.id), dan Nota Keuangan APBN (Perubahan) 2007-2015, kita bisa mengalkukasi secara sederhana jumlah dana yang dianggarkan pemerintah terkait penanganan lumpur Lapindo, yang sejak 2007 sampai 2015 secara akumulatif mencapai nilai Rp 11,72 trilyun (lihat Tabel 1). Anggaran tersebut disalurkan, terutama, melalui BPLS dan politik anggaran semacam itu menunjukkan peran aktif negara dalam kasus Lapindo. Akan tetapi, peran yang paling problematis adalah ketika negara menjadi legitimator pemindahan paksa penduduk melalui penerbitan peta. Representasi Lapindo dan aparatus negara akan merujuk Peta 22 Maret 2007 jika berbicara tentang “area terdampak lumpur Lapindo.” Secara naif, mereka menyebut wilayah di luar peta tersebut bukanlah“area terdampak” hanya “tak layak huni”.11 Sekalipun beda istilah, praktik di lapangan sama: pengosongan wilayah melalui mekanisme jual beli. Revisi pertama atas Perpres Nomor 14 Tahun 2007, Perpres Nomor 48 Tahun 2008 mengatur penambahan Penentuan area “tidak layak huni” pun sangat problematik, terutama jika kita memperhatikan batas-batas wilayah tersebut yang terkadang hanya dipisahkan oleh jalan desa selebar lima meter, seperti yang terjadi pada beberapa wilayah di Desa Glagaharum di sisi Timur tanggul. 11
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 20, No. 2 , Ju li 2015: 159-192
182 |
A NTON NOVENA NTO
wilayah baru yang harus dikosongkan untuk kebutuhan pembangunan tanggul dan saluran pembuangan lumpur ke Kali Porong. Istilah populer untuk menyebut wilayah tersebut adalah “wilayah 3 desa” yang merujuk pada 3 (tiga) desa (Besuki, Pejarakan, dan Kedungcangkring) di Kecamatan Jabon. Mekanisme bagi penduduk ketiga desa tersebut sama seperti sebelumnya: jual beli tanah dan bangunan. Bedanya, pembelinya bukan lagi Lapindo namun pemerintah. Nilai tukar aset bagi wilayah ini mengacu pada besaran yang dibayarkan Lapindo, atau jamak disebut “harga Lapindo”. Perpres Nomor 48 Tahun 2008 juga mengatur tentang status tanah dan bangunan yang dibeli tersebut akan menjadi “Barang Milik Negara” yang dikelola Menteri Keuangan dan digunakan BPLS. Disebutkan pula, proses jual beli aset tersebut mengabaikan PP Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum jo PP Nomor 65 Tahun 2006 yang menunjukkan ketidakjelasan dasar hukum dan tujuan pembelian lahan tersebut. Untuk memperjelas wilayah mana saja yang harus dikosongkan, sebuah peta baru dibuat oleh BPLS (lihat Gambar 3).12 Perpres Tahun 40 Tahun 2009 mencantumkan wilayah baru yang dimasukkan sebagai area “tidak layak huni”. Wilayah ini kemudian populer dengan sebutan “wilayah 9 RT”, mengacu pada jumlah RT (rukun tetangga) di tiga desa (Siring, Jatirejo, dan Mindi) yang terdampak oleh deformasi tanah dan semburan gas berbahaya. Wilayah tersebut harus dikosongkan segera dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun dan bagi penduduknya pemerintah akan memberi bantuan sosial (uang kontrak rumah, tunjangan hidup, dan biaya evakuasi). Perpres Nomor 40 Tahun 2009 tidak menyebutkan tentang hak warga menerima kompensasi, warga hanya diminta untuk segera mengosongkan wilayah tersebut. Kompensasi bagi warga di “wilayah 9 RT” baru diatur dalam perubahan ketiga atas Perpres Nomor 14 Tahun 2007 Berdasarkan data yang tersaji acak di situs BPLS (diakses terakhir Februari 2015), terdapat 1.804 berkas klaim masuk untuk “wilayah 3 Desa.” Sampai Desember 2012, 1.793 berkas dinyatakan sudah lolos verifikasi dengan nilai tukar total mencapai Rp 627,78 milyar dan 1.768 berkas sudah lunas dibayar (senilai Rp 511,32 milyar). Beberapa berkas masih bermasalah dan tidak lolos verifikasi dipicu oleh sengketa tanah seputar kepemilikan dan juga jenis tanah (sawah atau pekarangan). Selain itu, persoalan tanah komunal (tanah kas desa, fasilitas umum, dan fasilitas sosial) juga menyisakan pertanyaan pada siapakah yang berhak atas kompensasi mengingat penduduk tercerai-berai di hunian barunya. 12
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 20, No. 2 , Ju li 2015: 159-192
MEMBANGUN BENCANA
| 183
(Perpres Nomor 68 Tahun 2011). Mekanisme yang berlaku tetap sama (jual beli aset) dan penghitungan nilai kompensasi juga disamakan dengan wilayah sebelumnya. Gambar 3. Peta Area Tiga Desa Terdampak (17 Juli 2008)
Sumber: BPLS M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 20, No. 2 , Ju li 2015: 159-192
18 4 |
A NTON NOVENA NTO
Gambar 4. Peta Kerja BPLS (Oktober 2011)
Sumber: www.crisp.nus.edu.sg
Pepres Nomor 68 Tahun 2011 dan baru pada bulan Oktober 2011 BPLS merilis sebuah peta baru yang mencantumkan “wilayah 9 RT” (lihat gambar 4).13 Selain mengatur pemberian kompensasi bagi “wilayah 9 RT,” Perpres ini juga menjadi dasar pembentukan tim terpadu oleh Dewan Pengarah BPLS untuk mengkaji perluasan dampak lumpur Data di situs BPLS menyebutkan bahwa dari total 789 berkas klaim “wilayah 9 RT,” 769 berkas telah lolos verifikasi (senilai Rp 436,80 milyar). Pada Desember 2012, sejumlah 757 berkas (Rp 376,07 milyar) sudah terbayar. Sisanya masih bermasalah pada hal yang sama (sengketa kepemilikan, debat luas dan jenis tanah sawah/pekarangan, dan tanah komunal). 13
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 20, No. 2 , Ju li 2015: 159-192
MEMBANGUN BENCANA
| 185
Lapindo. Hasilnya adalah pemetaan wilayah baru yang harus segera dikosongkan karena dianggap tak layak huni dan itu dicantumkan dalam Perpres Nomor 37 Tahun 2012 (perubahan keempat Perpres Nomor 14 Tahun 2007). Area baru tersebut dikenal dengan “wilayah 65 RT” mengacu pada jumlah RT (rukun tetangga) yang harus dikosongkan di 8 (delapan) desa (Besuki, Mindi, Pamotan, Gedang, Ketapang, Gempolsari, Kalitengah, dan Wunut).14 Pemindahan paksa besar-besaran lainnya yang dilakukan negara namun luput dari amatan publik adalah yang terkait pembebasan lahan untuk relokasi infrastruktur (jalan tol dan jalan raya). Relokasi infrastruktur mensyaratkan pembebasan lahan baru dan menandai fase lain pemindahan paksa dalamkasus Lapindo. Pada Juli 2007, Gubernur Jawa Timur menerbitkan SK Gubernur No. 188/260/ KPTS/013/2007 tentang wilayah yang akan dibebaskan untuk proyek relokasi tersebut. Menurut rencana tersebut, infrastruktur baru akan melintasi wilayah di 15 (lima belas) desa yang meliputi 11 (sebelas) desa di Kabupaten Sidoarjo dan 4 (empat) desa di Kabupaten Pasuruan. Luas lahan yang dibutuhkan mencapai 132,16 ha. Namun, setelah melakukan penghitungan riil dan beberapa kesepakatan dengan instansi yang lain, pada April 2010 disepakati bahwa lahan yang dibutuhkan “hanya” 123,77 Ha (Tabel 2). Seperti proyek pembangunan infrastruktur makro lain, permasalahan terkait pembebasan lahan yang paling kentara adalah tingginya nilai kompensasi yang diminta sebagian warga dibandingkan dengan yang ditawarkan pemerintah. Beberapa warga meminta kompensasi setara “harga Lapindo.” Beberapa bahkan menuntut nilai yang lebih tinggi lagi karena asetnya terletak di jalan utama. Beberapa tanah yang status kepemilikannya dipegang banyak orang berujung pada sengketa internal sehingga mempersulit proses pemberian kompensasi. Pelbagai masalah pembebasan lahan Pada 8 Mei 2013, terbit Perpres 33/2013 tentang perubahan kelima atas Perpres 14/2007 yang merinci batas-batas area yang sebelumnya sudah diatur dalam Perpres 37/2012 dan menambahkan satu RT di Kelurahan Porong yang kemudian membuat wilayah itu sekarang disebut “wilayah 66 RT.” Selain merinci batas dan penambahan wilayah baru, Perpres 33/2013 juga mengatur kompensasi tanah wakaf yang menjadi kewenangan Kementerian Agama. BPLS menargetkan sekitar 5.000 berkas klaim masuk, sampai Desember 2012 BPLS telah menerima 4.422 berkas klaim dengan nilai tukar mencapai Rp 451,93 milyar, dan baru 3.556 berkas yang terbayar (Rp 261,33 milyar). BPLS memperkirakan masih ada sekitar seribu berkas lagi, sayang situs BPLS tidak mencantumkan data terbaru terkait kelanjutan proses pembayaran tersebut 14
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 20, No. 2 , Ju li 2015: 159-192
18 6 |
A NTON NOVENA NTO
berdampak pada parsialitas proses pembangunan relokasi infrastruktur beroperasi penuh sejak Maret 2012. Percepatan relokasi infrastruktur itu dilandasi oleh motif ekonomi makro, yaitu mengurangi hambatan transportasi dari/ke Pelabuhan Tanjung Perak dari/ke wilayah industri besar di Jawa Timur bagian Selatan dan Timur. Atas nama “kepentingan umum” lagi-lagi rakyat harus dikorbankan melalui pemindahan paksa. Negara, lagi-lagi, hadir sebagai aktor yang menentukan dan melegitimasi pemindahan paksa yang tidak perlu terjadi jika saja negara tidak pernah memberi izin Lapindo untuk melakukan pengeboran migas di kawasan padat huni. Tabel 2. Kebutuhan Lahan untuk Relokasi Infrastruktur (dalam ha; status November 2011) Lokasi
Sidoarjo
Pasuruan
Total
Status Tanah
Kebutuhan Lahan
Tanah Warga Tanah Kas Desa Tanah Fasum Tanah Warga Tanah Kas Desa Tanah Fasum Tanah Warga Tanah Kas Desa Tanah Fasum Jumlah
82,03 13,72 6,43 18,88 1,96 0,76 100,90 15,68 7,19 123,77
Belum Sudah Sepakat Sepakat 1,73
5,93
7,66
7,66
80,30 13,72 6,43 12,94 1,96 0,76 93,24 15,68 7,19 116,11
Sumber: Laporan Pelaksanaan Kegiatan BP BPLS 2011:60-62
K E S I M PU L A N
Presiden Jokowi telah memerintahkan para menteri di kabinet untuk mewujudkan kontrak politiknya dengan korban Lapindo, yaitu memberikan pinjaman bersyarat pada Lapindo yang gagal melaksanakan kewajibannya membayar warga sebesar Rp781,69 milyar. Syarat yang diberikan adalah Lapindo harus menyerahkan 13.327 berkas aset warga sebagai jaminan dan Lapindo diberi waktu empat tahun untuk mengembalikan pinjaman tanpa bunga itu. Jika Lapindo gagal mengembalikannya, aset itu akan diambil negara, yang adalah suatu keputusan yang ambigu karena seperti sudah banyak dibahas, mengacu pada UU Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, tanah yang dibeli Lapindo itupun secara hukum statusnya adalah M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 20, No. 2 , Ju li 2015: 159-192
MEMBANGUN BENCANA
| 18 7
“tanah negara” (Kurniawan 2012; Novenanto 2015; Putro dan Yonekura 2014), sehingga muncul pertanyaan: bagaimana mungkin negara menyita asetnya sendiri? Rencana negara menalangi hutang Lapindo itu diklaim sebagai bukti “kehadiran negara” setelah sebelumnya absen. Namun, seperti disampaikan dalam rangkaian artikel ini, negara sebenarnya terlibat sebagai aktor kunci dalam kasus Lapindo, bahkan sebelum lumpur menyembur pada 29 Mei 2006 melalui pemberian izin kegiatan industri berbahaya di kawasan padat huni. Kasus Lapindo merupakan bukti karut-marut pengelolaan industri migas di Indonesia, tidak hanya pada proses perizinan tapi juga tata kelola penanganan risiko industrial yang mungkin terjadi. Hal itu menunjukkan penekanan pada aspek ekonomis yang melampaui aspek sosial-ekologis dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di Dunia Ketiga (Bryant dan Bailey 1997). Tulisan ini menawarkan perspektif untuk melihat kasus Lapindo sebagai proses dengan cara mengurai rantai peristiwa politik yang melingkupinya. Hanya dengan demikian kita dapat membaca proses pembangunan sebuah bencana dan yang terpenting adalah mulai memikirkan agar proses semacam ini tidak terulang pada lain waktu dan tempat yang berbeda.
DA F TA R PU S TA K A
Adams, Neal. 2006. Causation Factors for the Banjar Panji No 1 Blowout. Jakarta: Laporan Tidak Dipublikasikan. Ahmady, Irhash et al. 2010. Java Collapse: Dari Kerja Paksa Hingga Lumpur Lapindo. Yogyakarta: INSISTPress & Walhi. Anderson, Jon W. 1968. “Cultural Adaptation to Threatened Disaster.” Human Organization 27(4):298-307. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). 2007a. Laporan Pemeriksaan Atas Penanganan Semburan Lumpur Panas Sidoarjo. Jakarta: Badan Pemeriksa Keuangan. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). 2007b. Ringkasan Eksekutif Laporan Pemeriksaan Atas Penanganan Semburan Lumpur Panas Sidoarjo. Jakarta: Badan Pemeriksa Keuangan. M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 20, No. 2 , Ju li 2015: 159-192
18 8 |
A NTON NOVENA NTO
Bankoff, Greg. 2003. Cultures of Disaster: Society and Natural Hazard in the Philippines. London & New York: Routledge Curzon. Batubara, Bosman, dan Paring Waluyo Utomo. 2012. Kronik Lumpur Lapindo: Skandal Bencana Industri Pengeboran Migas Di Sidoarjo. Yogyakarta: INSISTPress. Beck, Ulrich. 1992. Risk Society: Towards a New Modernity. London, Newbury Park, New Delhi: Sage Publication. Beck, Ulrich. 1996. “World Risk Society as Cosmopolitan Society? Ecological Questions in a Framework of Manufactured Uncertainties.” Theory, Culture & Society 13(4):1-32. Benson, Peter, and Stuart Kirsch. 2010. “Corporate Oxymorons.” Dialectical Anthropology 34:45-48. Bryant, Raymond L, dan Sinéad Bailey. 1997. Third World Political Ecology. New York: Routledge. Button, Gregory V. 2010. Disaster Culture: Knowledge and Uncertainty in the Wake of Human and Environmental Catastrophe. Walnut Creek: Left Coast Press. Cernea, Michael M. 2003. “For a New Economics of Resettlement: A Sociological Critique of the Compensation Principle.” International Social Science Journal 55(175):37-45. Crampton, Jeremy W. 2001. “Maps as Social Constructions: Power, Communication and Visualization.” Progress in Human Geography 25(2):235-52. Davies, Richard J, Richard E. Swarbrick, Robert J. Evans, dan Mad Huuse. 2007. “Birth of a Mud Volcano: East Java, 29 May 2006.” GSA Today 17(2):4-9. Energi Mega Persada (EMP). 2006. “ENRG Reports Well Control Issues at Banjarpanji-1 Stabilizing, Losses Minimized.” Faure, Michael G. 2007. “Financial Compensation for Victims of Catastrophes: A Law and Economics Perspective.” Law and Policy 29(3):339-67. Fortun, Kim. 2001. Advocacy after Bhopal: Environmentalism, Disaster, New Global Orders. Chicago & London: The University of Chicago Press. Gustomy, Rachmad. 2012. “Menjinakkan Negara, Menundukkan Masyarakat: Menelusuri Jejak Strategi Kuasa PT Lapindo Brantas Dalam Kasus Lumpur Panas Di Sidoarjo.” Hlm. 31–97 dalam Lumpur Lapindo: Kekalahan Negara dan Masyarakat Sipil dalam Penanganan Lumpur Lapindo. Depok: Yayasan Desantara. M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 20, No. 2 , Ju li 2015: 159-192
MEMBANGUN BENCANA
| 189
Habermas, Jürgen. 2009. The Structural Transformation of the Public Sphere. Cambridge: Polity Press. Hadimuljono, Basuki. 2007. Semburan Lumpur Panas Sidoarjo: Pelajaran Dari Sebuah Bencana. Jakarta: Spirit Komunika. Hilhorst, Dorothea, and Greg Bankoff. 2004. “Introduction: Mapping Vulnerability.” Hlm. 1–9 dalam Mapping Vulnerability: Disasters, Development & People. London: Earthscan. Huet, Marie-Hélène. 2012. The Culture of Disaster. Chicago & London: The University of Chicago Press. Istadi, Bambang P., Gatot H. Pramono, Prihadi Sumintadireja, dan Syamsu Alam. 2009. “Modeling Study of Growth and Potential Geohazard for LUSI Mud Volcano: East Java, Indonesia.” Marine and Petroleum Geology 26:1724-1739. Karib, Fathun. 2012. Programming Disaster: Switching Network, Village Politics and Exclusion beyond Lapindo Mudflow. University of Passau, Germany: Tesis Tidak Dipublikasikan. Karyadi, Soegiarto, dan Aris Harnanto. 2012. Pengaliran Lumpur Sidoarjo Ke Laut Melalui Kali Porong. Malang: Bayumedia Publishing. Komnas HAM. 2012. Laporan Tim Komnas HAM Terhadap Peristiwa Lumpur Panas Lapindo. Jakarta: Komnas HAM. Kreps, Gary A. 1984. “Sociological Inquiry and Disaster Research.” Annual Review of Sociology 10:309-30. _____. 1985. “Disaster and the Social Order.” Sociological Theory 3(1):49-64. Kurniawan, Joeni Arianto. 2012. “Lumpur Lapindo: Sebuah Potret Mitos Tentang Negara Hukum Indonesia.” Hlm. 99-148 dalam Lumpur Lapindo: Kekalahan Negara dan Masyarakat Sipil dalam Penanganan Lumpur Lapindo. Jakarta: Yayasan Desantara. McCabe, J. Terrence. 2002. “Impact of and Response to Drought among Turkana Pastoralists: Implications for Anthropological Theory and Hazards Research.” Hlm. 213–236 dalam Catastrophe and Culture. Santa Fe & Oxford: School of American Research & James Currey. Moore, Harry Estill. 1956. “Toward a Theory of Disaster.” American Sociological Review 21(6):733-737. Mudhoffir, Abdil Mughis. 2013. “Berebut Kebenaran: Politik Pembentukan Subjek Pada Kasus Lapindo.” Hlm. 17–48 dalam M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 20, No. 2 , Ju li 2015: 159-192
19 0 |
A NTON NOVENA NTO
Membingkai Lapindo: Pendekatan Konstruksi Sosial atas Kasus Lapindo. Jakarta & Yogyakarta: MediaLink & Kanisius. Normile, Dennis. 2006. “Mud Eruption Threatens Villagers in Java.” Science 313(5795):1865. Novenanto, Anton. 2015. “Manusia Dan Tanah: Kehilangan Dan Kompensasi Dalam Kasus Lapindo.” Bhumi 1(1):1-11. Oliver-Smith, Anthony. 1980. “Successes and Failures in Post-Disaster Resettlement.” Disasters 15(1):12-23. _____. 1990a. “Applied Anthropology and Disaster Research and Management.” Disasters 14(4):366-369. _____. 1990b. “Post-Disaster Housing Reconstruction and Social Inequality: A Challenge to Policy and Practice.” Disasters 14(1):719. _____. 1999. “‘What Is a Disaster?’: Anthropological Perspectives on a Persistent Question.” Hlm. 18-34 dalam The Angry Earth: Disaster in Anthropological Perspective. New York & London: Routledge. _____. 2002. “Theorizing Disasters: Nature, Power, and Culture.” Hlm. 23-47 dalam Catastrophe and Culture: the Anthropology of Disaster. Santa Fe & Oxford: School of American Research & James Currey. _____. 2010. Defying Displacement: Grassroot Resistance and the Critique of Development. Austin, TX: University of Texas Press. _____ dan Susanna M. Hoffman. 2002. “Introduction: Why Anthropologists Should Study Disasters.” Hlm. 3-22 dalam Catastrophe and Culture: the Anthropology of Disaster. Santa Fe & Oxford: School of American Research & James Currey. Prasetia, Heru, ed. 2012a. Bencana Industri: Kekalahan Negara Dan Masyarakat Sipil Dalam Penanganan Lumpur Lapindo. Jakarta: Yayasan Desantara. _____. 2012b. “Editorial.” Pp. v–xix dalam Bencana Industri: Kekalahan negara dan masyarakat sipil dalam penanganan lumpur Lapindo. Jakarta: Yayasan Desantara. Putro, Prasojo Bayu Suwondo, dan Hitoshi Yonekura. 2014. “Human Insecurities Caused by the Lack of Governance: A Case Study of the Sidoarjo Mudflow Disaster in East Java.” Journals of Human Securities Studies 3(1):26–51. Richard, J. R. 2011. Report into the Past, Present and Future Social Impacts of Lumpur Sidoarjo. Humanitus Sidoarjo Fund. M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 20, No. 2 , Ju li 2015: 159-192
MEMBANGUN BENCANA
| 191
Rozario, Kevin. 2007. The Culture of Calamity: Disaster and the Making of Modern America. Chicago: The University of Chicago Press. Rubiandini, Rudi. 2007. Kejadian dan Penanggulangan Semburan Lumpur Di Sekitar Sumur Banjarpanji-1 Lapindo Brantas Inc. Bandung. Saputra, Laksana Agung. 2006. “Sumur Gas Bocor, Penduduk Diungsikan.” Kompas, diakses 30 Mei 2014. (http://www2. kompas.com/kompas-cetak/0605/30/daerah/2687880.htm). Sawolo, Nurrochmat, Edi Sutriono, Bambang P. Istadi, and Agung B. Darmoyo. 2009. “The LUSI Mud Volcano Triggering Controversy: Was It Caused by Drilling?” Marine and Petroleum Geology 26:1766–1784. _____. 2010. “Was LUSI Caused by Drilling? -Authors Reply to Discussion.” Marine and Petroleum Geology 27:1658-1675. Schiller, Jim, Anton Lucas, and Priyambudi Sulistiyanto. 2008. “Learning from the East Java Mudflow: Disaster Politics in Indonesia.” Indonesia 85(April):51-77. Scott, James C. 1998. Seeing Like a State: How Certain Schemes to Improve the Human Condition Have Failed. New Haven & London: Yale University Press. Stallings, Robert A. 2002. “Weberian Political Sociology and Sociological Disaster Studies.” Sociological Forum 17(2):281-305. Sugarman, Stephen D. 2007. “Roles of Government in Compensating Disaster Victims.” Issues in Legal Scholarship 6(3):1-33. Tim Walhi. 2008. Lapindo: Tragedi Kemanusiaan Dan Ekologi. Jakarta: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. Utomo, Paring Waluyo. 2009. “Menggapai Mimpi Yang Terus Tertunda: Menelusuri Proses ‘Ganti Rugi’ Terhadap Korban Lumpur Lapindo.” Disastrum 1(1):27-45. Utomo, Paring Waluyo. 2010. “Seni Dan Gerakan Sosial.” Desantara Foundation, diakses 30 Mei 2014 (http://www.desantara. or.id/08-2010/1093/seni-dan-gerakan-sosial/). _____. 2012. “Bangkit Di Tengah Keterpurukan: Perjalanan Geppres Menuntut Hak.” Hlm. 183-243 dalam Bencana Industri: Kekalahan negara dan masyarakat sipil dalam penanganan lumpur Lapindo. Depok: Yayasan Desantara.
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 20, No. 2 , Ju li 2015: 159-192
19 2 |
A NTON NOVENA NTO
Wilson, Simon. 2006. Preliminary Report on the Factors and Causes in the Loss of Well Banjar Panji-1. Jakarta: Laporan Tidak Dipublikasikan. Zack, Naomi. 2009. Ethics for Disaster. Lanham, Maryland: Rowman & Littlefield Publishers.
M A S YA R A K AT Ju rna l Sosiologi Vol. 20, No. 2 , Ju li 2015: 159-192