ISSN : 1978-0362
JURNAL
SOSIOLOGI REFLEKTIF
Laboratorium Sosiologi Fakultas IImu Sosial dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
JURNAL SOSIOLOGI REFLEKTIF
Laboratorium Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Volume 7, Nomor 2, April 2013
PENGELOLA JURNAL Ketua Penyunting : Muryanti,M.A Sekretaris Penyunting : Napsiah,M.Si Penyunting Pelaksana : Dadi Nurhaedi,M.si, Ahmad Zainal Arifin, M.A, M.Si, Drs.Musa,M.Si, Sulistyaningsih,M.Si, Ambar Sari Dewi,M.Si, Dr. Yayan Suryana,M.Ag Sekretariat : Lusiana, MM, Listiyana,S.Sos Desain Sampul & Tata Letak : Gramasurya Diterbitkan oleh : Laboratorium Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Alamat Redaksi : Laboratorium Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Jl. Marsda Adisucipto No.1, Yogyakarta Telp (0274) 51957: Fax. (0274) 519571 Email:
[email protected] dan
[email protected] Sosiologi Reflektif adalah jurnal yang dikelola oleh Laboratorium Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Media ini menekankan kajian seputar persoalan-persoalan sosial. Redaksi juga menerima tulisan seputar dinamika sosial baik yang bersifat teoritis, kritik, reflektif, opini, dan berbagai ide-ide dinamika sosial kemasyarakatan. Tulisan minimal 20 halaman kuarto, spasi ganda, dilengkapi dengan abstrak (Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia), catatan kaki, dan daftar pustaka. Penulis juga harus menyertakan nama lengkap bersama asal universitas atau lembaga profisional, alamat lengkap dan alamat email, nomor telepon, dan beberapa kalimat biografi penulis.
ISSN : 1978-0362
JURNAL
SOSIOLOGI REFLEKTIF DAFTAR ISI Transformasi Tarekat Konvensional di Indonesia: Bertasawuf Ala Habib Muhammad Luthfi Bin Yahya Achmad Zainal Arifin..............................................................................
1
Civil Religion: Antara Rousseau dan Bellah Ahmad Norma Permata...........................................................................
29
Kiai dan Politik: Keterlibatan Kiai Madura dalam Politik Praktis Muh. Syamsuddin...................................................................................
47
Revitalisasi Tradisi, Pariwisata dan Skema Ekonomi-Politik Kota Akhmad Ramdhon ..................................................................................
73
Dampak Pembangunan Desa Wisata terhadap Nelayan: Di Pangandaran, Ciamis, Jawa Barat Zessy Ardinal Barlan...............................................................................
87
Pengembangan Sumberdaya Manusia dalam Pembangunan Aryan Torrido.......................................................................................... 101 Penguatan Kelembagaan Masyarakat Pasca Bencana Sudaru Murti ......................................................................................... 119 Peranan Perempuan dalam Kehidupan Sosial Ekonomi Keluarga: Di Tempursari, Ngawen, Klaten, Jawa Tengah Nur Hidayah, Puji Lestari, V. Indah Sri Pinasti, Poerwanti Hadi Pratiwi........................................................................... 133 Model Kerjasama Lembaga Swasta, Pemerintah dan Pendidikan Tinggi Derajad S.Widhyharto, Ambar Pertiwiningrum, Oki Rahadianto Sutopo............................................................................ 157
Sinergisitas Masyarakat-Pemerintah-Swasta dalam Program Penataan Kawasan Kumuh Perkotaan Yudha P. Heston, Ahmad Yusuf Aljunaid.............................................. 181 Ilmu Pengetahuan dan Perkembangan Peradaban: Studi Pemikiran Ibn Khaldun Syarifuddin Jurdi..................................................................................... 201 Gagasan Jürgen Habermas dalam Empat Puisi Mustofa Bisri Mustari ................................................................................................... 233 Dialektika Teori Kritis Mazhab Frankfurt dan Sosiologi Pengetahuan Andy Dermawan..................................................................................... 247 Ironi Strategi (Survive) Petani Garam di Desa Gersik Putih Khalifi....................................................................................................... 263 Agama dan Pariwisata Adrian M. Puasa..................................................................................... 283
iv|
Sosiologi Reflektif, Volume 7, No. 2, April 2013
PENGANTAR REDAKSI Assalamualaikum wr.wb. Alhamdulillah, dengan segala puji dan rahmat Allah SWT., Jurnal Reflektif Volume 7, Nomor 2, April 2013 ini dapat terbit di hadapan pembaca yang budiman. Volume ini memiliki perbedaan yang signifikan daripada edisi yang sebelumnya. Niat kami yang teguh untuk menjadikan jurnal ini lebih berkualitas dengan menjadi “jurnal yang terakreditasi” memotivasi kami untuk melakukan perbaikan. Kami mohon dukungan dan doa restu dari pembaca budiman untuk menjadikan Jurnal Sosiologi Reflektif yang kita cintai ini menuju jurnal yang terakreditasi. Beberapa artikel yang dimuat dalam edisi ini mengkaji fenomena sosial yang komplek. Ahmad Zainal Arifin menulis tentang Transformasi Tarekat Konvensional di Indonesia: Bertasawuf ala Habib Muhammad Luthfi Bin Yahya. Pada masa sekarang banyak berkembang keberagamaan Islam. Termasuk pertumbuhan popularitas tasawuf di Indonesia yang dikembangkan dengan cara modern; workshop, pelatihan dan training. Hal ini menunjukan meningkatnya komitmen umat Islam terhadap kesalehan lahiriah. Akan tetapi pada kenyataannya tumbuh gerakan Neo Salafi, notabene menentang pertumbuhan gerakan tasawuf tersebut. Dengan demikian muncul kategori keberagamaan; (1) Tasawuf Konvensional (Tarekat); (2) Tasawuf Non Tarekat dan (3) Neo Salafi. Zainal Arifin akan membahas tentang transformasi tarekat konvensional dalam rangka memenuhi tuntutan masyarakat modern sebagaimana yang ditulis oleh Habib Lutfi. Ahmad Norma Permata menulis tentang Civil Religion; antara Rousseau dan Bellah. Dalam analisisnya disimpulkan bahwa konsep agama sipil yang ditawarkan oleh J. J. Rousseau dan dikembangkan lebih lanjut oleh Robert Bellah merupakan terobosan baru untuk membangun mekanisme hubungan yang lebih baik antara agama dan politik. Upaya tersebut perlu dilakukan, dalam situasi kehidupan yang plural. Agama dan politik bukan hanya saling menjaga untuk menghadirkan kedamaian namun juga saling memrovokasi untuk menghasilkan kekacauan.
Muh. Syamsuddin mengkaji tentang Kiai dan Politik: Keterlibatan Kiai Madura dalam Politik Praktis. Paska lengsernya Suharto muncul elit-elit baru dan mulai naiknya para kiai dalam kancah politik di Madura. Adanya tokoh-tokoh politik yang berasal dari pesantren tersebut dapat dilihat dari beberapa sisi. Kekuatan jaringan kiai pada aspek sosiokultural dan agama berasal dari santri, wali kiai sebagai penentu bangunan kharismatik kiai. Dalam kedudukannya tersebut kiai memiliki peran ganda, yakni sebagai elit agama dan elit politik. Akan tetapi keberadaan mereka pun tidak lepas dari kritik karena berpolitiknya kiai mengalami pergeseran dari nilai-nilai kultural menuju pada orientasi nilai ekonomi. Sehingga menurut penulis politik kiai perlu dikembalikan pada nilai-nilai keislaman. Akhmad Ramdhon menulis Revitalisasi Tradisi, Pariwisata dan Skema Ekonomi, Politik Kota. Menurut penulis skema politik pariwisata diharapkan menjadi energi positif bagi proses lanjutan pengembangan kota secara makro. Sekaligus mampu menggerakkan juga sektor riil yang menjadi titik tolak gerakan ekonomi masyarakat secara luas. Zessy Ardinal Barlan menulis artikel yang berjudul Desa Wisata dan Dampaknya terhadap Masyarakat Nelayan (di Pangandaran, Ciamis, Jawa Barat). Menurut penulis pembangunan pariwisata saat ini digiatkan oleh pemerintah daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli daerah (PAD). Akan tetapi pada kenyataannya peningkatan pendapatan itu hanya dinikmati oleh kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat dan justru menyingkirkan masyarakat yang seharusnya meningkat kesejahteraannya, yakni nelayan. Aryan Torrido menulis Pengembangan Sumberdaya Manusia dalam Pembangunan. Manusia mmerupakan sumber daya yang menjadi modal pembangunan. Tentunya jika manusia tersebut berkualitas. Akan tetapi menjadi beban jika tidak berkualitas. Oleh karena itu sumber daya manusia perlu terus dikembangkan. Terutama tingkat pendidikan, keterampilan dan semangat hidup serta etos kerjanya, yaitu etos kerja yang mencuat dari orientasi nilai-nilai budaya masyarakat. Sudaru Murti menulis Penguatan Kelembagaan Masyarakat Pasca Bencana. Penulis menyimpulkan bahwa penguatan penanganan pasca bencana tanpa langkah profesional baik melalui sistem interaksi dan sistem tindakan sesuai dengan struktur yang ada, dapat dikatakan sebagai jejaring sosial. Ketangguhan dan ketegaran masing-masing kelompok dan individu, sebagai pijakan dalam memanage keragaman kepribadian di lokasi kebencanaan. Oleh karena itu penguatan vi|
Sosiologi Reflektif, Volume 7, No. 2, April 2013
kelembagaan dalam kebersamaan kehidupan, berlandaskan pada nilainilai religi seperti cinta kasih, tawakal, sabar dan nilai-nilai luhur seperti; peduli, tanggap dan terampil sebagai modal dalam menyikapi setiap musibah kebencanaan sangat perlu dilestarikan. Nur Hidayah, Puji Lestari, V. Indah Sri Pinasti dan Poerwanti Hadi Pratiwi menulis tentang Peranan Perempuan dalam Kehidupan Sosial Ekonomi Keluarga. Kajian yang dilakukan penulis adalah sosiologi keluarga. Mereka menekankan bahwa keluarga adalah bagian dari sistem sosial yang paling kecil. Dengan demikian masingmasing anggota keluarga memiliki peranannya masing-masing yang mendukung keberadaan sistem tersebut. Hasil analisis menunjukan bahwa perempuan masih berperan dalam kerja-kerja domestik, sedangkan laki-laki masih mendominasi untuk bekerja di sektor publik. Walaupun demikian, peranan perempuan dalam mendukung kehidupan sosial ekonomi tidaklah bisa dipandang sebelah mata. Derajad S.Widhyharto, Ambar Pertiwiningrum dan Oki Rahadianto Sutopo menulis artikel Model Kerjasama Lembaga Swasta, Pemerintah dan Pendidikan Tinggi. Penulis menekankan bahwa lembaga dalam berbagai bentuk; organisasi internasional, perusahaan maupun pemerintah pusat tidak berdiri sendiri. Lembaga tersebut menganggap kerjasama sebagai ”arena” yang terlekat dengan struktur serta konteks sosial yang melingkupinya. Dengan demikian pengembangan SOP (standar operating procedur) perlu dipertimbangkan sesuai dengan konteks serta kekhususan masing-masing lembaga. Yudha P. Heston dan Ahmad Yusuf Aljunaid menulis artikel Peningkatan Peran, Kapasitas dan Sinergi Masyarakat-PemerintahSwasta dalam Program Penataan Kawasan Kumuh Perkotaan. Artikel ini menekankan bahwa keberhasilan program penataan kawasan kumuh perkotaan sangat tergantung pada kemampuan masyarakat dalam partisipasi pembangunan infrastruktur. Hal terpenting proses pelibatan masyarakat secara penuh dalam proses pembangunan melalui pembentukan kelompok usaha dan sejenisnya. Artikel yang ditulis oleh Syarifuddin Jurdi berjudul mengkaji Ilmu Pengetahuan dan Perkembangan Peradaban: Studi atas Pemikiran Ibn Khaldun. Ilmu pengetahuan yang berkembang dalam masyarakat tidak bisa dipisahkan dari cara berpikir (metode ilmiah). Dengan menggunakan metode ilmiah merupakan langkah awal untuk melakukan kajian ilmiah. Ibnu Khaldun yang bernama lengkap Abdurrahman Abu Zaid Waliuddin Ibnu Khaldun adalah sosok ilmuwan pioner dalam Sosiologi Reflektif, Volume 7, No. 2, April 2013
|vii
berpikir ilmiah. Ibnu Khaldun melakukan kritik terhadap cara berpikir ilmuwan terdahulu. Mustari menulis Gagasan Jürgen Habermas dalam Empat Puisi Mustofa Bisri. Dalam analisisnya penulis menegaskan bahwa dalam menyampaikan gagasan kritisnya kedua penulis memiliki perbedaan. Terkait dengan paradigma kritis, Habermas mengatakan bahwa manusia diobyektifikasi dengan menggunakan bahasa, sedangkan Bisri menyimpulkan bahwa penguasa sangat “menguasai” rakyatnya, sedangkan rakyat tidak berkuasa atas apa pun, hanya membebek saja. Andy Dermawan menulis Dialektika Teori Kritis Mazhab Frankfurt dan Sosiologi Pengetahuan Perspektif Sosiologi. Penulis menjelaskan tugas teori adalah menciptakan sejarah babak baru manusia yang terbebas dari dominasi apapun. Teori kritis dan sosiologi pengetahuan, bukan sekadar berurusan dengan benar atau salah tentang fakta atau suatu realitas sosial yang terjadi, tetapi bertugas memberikan proses penyadaran atau perspektif tentang bagaimana kepercayaan masyarakat membentuk realitas sosial. Dengan kata kunci implementasi teori kritis dan sosiologi pengetahuan adalah kesadaran. Demikian gambaran secara umum jurnal yang akan sidang pembaca nikmati edisi ini. Semoga apa yang tertuang dalam kajian ini memberikan sumbangan yang berarti bagi pengetahuan. Selamat membaca. Wallahu a’lam bi shawab Wassalamualaikum wr. wb Redaksi
JURNAL
SOSIOLOGI REFLEKTIF
MODEL KERJASAMA LEMBAGA SWASTA, PEMERINTAH DAN PENDIDIKAN TINGGI Derajad S.Widhyharto
Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UGM Alamat Email:
[email protected]
Ambar Pertiwiningrum
Fakultas Peternakan, UGM Alamat Email:
[email protected]
Oki Rahadianto Sutopo
Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UGM Alamat Email:
[email protected]
Abstract The dynamics of development has opened the chance for every institutions to do cooperation, especially among private, government and higher education institution. In reality, it is not easy to maintain cooperations between each institution. Because of different culture and norm setting, It needs readiness and mutual understanding between institutions. This research wants to show the process of cooperation and its modification that happened because of different culture and norm setting in each institution. As a result, transformation happened from inclusive to exclusive. This conditions shows that cooperation has deviate from its goal and its ideal type. Otherwise, it goes towards an absurd modification in the process of cooperation between institutions. Key Words: Cooperation Modification, SOP, Institution and Comparative
Intisari Dinamika pembangunan membuka peluang bagi setiaplembaga untuk melakukan kerjasama, terutama di kalangan swasta, pemerintah dan institusi pendidikan tinggi. Pada kenyataannya, tidak mudah untuk mempertahankan kerjasama antara masing-masing lembaga. Karena budaya yang
Derajad S. Widhyharto, Ambar Pertiwiningrum, Oki Rahadianto Sutopo
berbeda dan pengaturan norma, perlu kesiapan dan saling pengertian antar lembaga. Penelitian ini menunjukkan proses kerjasama dan modifikasi yang terjadi karena budaya yang berbeda dan pengaturan norma di masing-masing lembaga mengakibatkan transformasi inklusif dan eksklusif. Kondisi ini menunjukkan kerjasama yang telah menyimpang dari tujuan dan tipe ideal nya. Atau sebaliknya, bentuk kerjasama ini mengalami modifikasi. Kata Kunci: Model Kerjasama, SOP, Kelembagaan dan Komparatif
Pendahuluan Dalam hubungan sosial baik dilakukan oleh individu, komunitas, lembaga maupun negara selalu terdapat dua sisi, yang pertama bahwa hubungan tersebut mempunyai potensi positif yang kemudian berujung pada bentuk kerjasama, di sisi yang lain hubungan mempunyai potensi negatif, artinya potensial memunculkan hambatan dan pada tingkat yang ekstrem berujung pada konflik. Relasi dualistik tersebut akan terurai ketika masing-masing pihak mampu memetakan persoalan dan sekaligus mencari solusinya. Dalam kontek hubungan sosial yang dilakukan oleh lembaga terutama terkait dengan universitas, kedua sisi tersebut juga terus muncul sepanjang dinamika perjalanan kerjasama antar lembaga. Universitas sebagai sebuah lembaga pendidikan tinggi yang berada dalam kontek sosial tidak dapat tercerabut, berada pada menara gading ataupun mengasingkan diri dari interaksi dengan dunia luar, namun sebaliknya keterkaitan (linkage) antara global-nasional maupun lokal membuat universitas harus membuka diri dengan berbagai macam peluang kerjasama dengan lembaga lain, baik itu sebagai representasi organisasi internasional, perusahaan, pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun masyarakat. Yang perlu ditanyakan lebih lanjut adalah cenderung ke bentuk mana hubungan sosial antara lembaga universitas dengan lembaga lain? Jika hubungan berujung pada konsensus maka kerjasama akan lebih dominan dilakukan dan hambatan lebih dapat direduksi, namun sebaliknya hubungan dapat bersifat tidak produktif jika hambatan lebih mendominasi. Artinya kemudian, perlu studi lebih lanjut mengenai bentuk-bentuk kerjasama serta hambatan yang telah dilalui oleh
158|
Sosiologi Reflektif, Volume 7, No. 2, April 2013
Model Kerjasama antara Lembaga Swasta, Pemerintah dan ....
universitas dengan lembaga lain selama ini, serta kemudian merumuskan mekanisme formal (standart operating procedure) yang seperti apa yang relevan untuk memfasilitasi kerjasama dan meminimalisir hambatan dalam hubungan antar lembaga. Dengan mempertimbangkan kontek di atas, tulisan ini ingin menunjukkan mengenai bentuk-bentuk kerjasama yang telah dilakukan salah satu lembaga universitas dengan lembaga lain (perusahaanpemerintah pusat-organisasi internasional), hambatan yang terkait dengan kerjasama tersebut, serta mengusulkan beberapa poin terkait dengan pengembangan SOP dalam kerjasama berdasarkan temuan penelitian. Proses penelitian diawali dengan studi pustaka terhadap literaturliteratur yang terkait dengan SOP kerjasama serta bentuk-bentuk SOP kerjasama yang telah ada sebelumnya. Output dari studi pustaka ini kemudian diterjemahkan dalam interview guide yang berguna sebagai pedoman dalam menggali data lebih mendalam di lapangan. Hal ini dilakukan untuk melihat kesenjangan antara konsep dengan realitas empiris yang terjadi di tiga lembaga yang merepresentasikan perusahaan, organisasi internasional dan pemerintah pusat. Beberapa lembaga yang dipilih sebagai representasi adalah BD (organisasi internasional), PT. AL (perusahaan), KP dan KPD (pemerintah pusat). Selain keempat lembaga di atas, terdapat dua lembaga yang kurang merespon penelitian. Analisis yang dilakukan bersifat dinamis dan integrative antara sistem dan prosedur. Arah analisis merujuk pada upaya identifikasi proses kerjasama sebagai “arena” kontestasi kepentingan dan produksi. Konsepsi arena tersebut menegaskan bahwa kerjasama bersifat kontektual, yang menjurus pada persinggungan dimensi-dimensi seperti struktur institusi, setting institusi dan aktor yang terlibat. Persinggungan tersebut, nampak dalam gambar 1 :
Sosiologi Reflektif, Volume 7, No. 2, April 2013
|159
Derajad S. Widhyharto, Ambar Pertiwiningrum, Oki Rahadianto Sutopo
Skema 1 Analisis integrative Kerjasama
Gambar tersebut mewakili analisis integrasi tentang dinamika kerjasama lembaga pemerintah, swasta dan internasional. Setidaknya terdapat kontestasi antara tiga aspek yakni: struktur institusi (nilai, norma, pengetahuan, status dan peran), setting institusi berupa kampus sebagai by design society dan aktor dalam pemikiran siapa melakukan apa. Pertautan ketiga aspek tersebut hendaknya dalam logika lingkaran proses yang dimulai dari keterlekatan kejelasan konsep kerjasama lembaga masing-masing dengan sistem dan prosedur yang berlaku, idealnya ketiganya diasumsikan bersinggungan satu dengan yang lain, sehingga relasi tersebut dapat menjamin berputarnya sistem dan prosedur yang konsisten. Sebaliknya jika dalam prosesnya dua atau salah satu aspeknya belum bersinggungan maka kegiatan belum dapat dianggap terintegrasi. Untuk menuju konsep ideal tersebut memang tidak mudah, perlu upaya keras untuk mencapainya. Jika gagal maka dugaannya adalah terjadi modifikasi kerjasama antara konsep dengan kondisi lokal lembaga, sehingga mendorong kesenjangan konsep dan praktik. Ini memperlihatkan semakin kabur pencapaian tujuan kerjasama yang sebenarnya. Analisis integratif kerjasama merujuk pada tiga langkah sebagai berikut, 1) deskripsi, upaya untuk menjelaskan kondisi saat ini (existing condition) terkait dengan dinamika struktur institusi, setting institusi dan keterlibatan aktor. Hal penting dilakukan untuk memberikan potret awal kondisi kerjasama. 2) tendensi, upaya untuk mengetahui kecenderungan-kecenderungan yang muncul dari berbagai kerjasama. 160|
Sosiologi Reflektif, Volume 7, No. 2, April 2013
Model Kerjasama antara Lembaga Swasta, Pemerintah dan ....
Hal ini dilakukan dengan melakukan penegasan dan highlight isuisu penting terkait dengan kerjasama. 3) interpretasi, upaya untuk melakukan justifikasi terhadap potret dan kecenderungan yang terjadi dalam pelaksanaan kerjasama. Tahap ketiga ini peneliti mencoba untuk mengabungkan teori kelembagaan dengan fakta lapangan, sehingga akan diperoleh analisis yang menyeluruh terhadap proses kerjasama.
Persamaan Kerjasama Di antara ketiga representasi dari perusahaan, organisasi internasional serta pemerintah pusat, terdapat beberapa aspek persamaan dalam melakukan kerjasama, lebih lanjut dijelaskan dalam skema di bawah ini : Tabel 1 Persamaan Melakukan Kerjasama Lembaga
Penentuan Kerjasama Industri (AL) Relasi Strategis Organisasi Relasi Internasional Strategis (BD) Pemerintah (KP dan KPD)
Relasi Strategis
Bentuk Kerjasama Perguruan Tinggi Perusahaan Mitra Lokal Pemerintah Civil Society Perusahaan
Hambatan
Penyelesaian
Internal Komunikasi Mitra Pelaksanaan Program Internal Komunikasi Mitra Masyarakat NGO Organisasi Internal Komunikasi Internasional Mitra Perguruan Pelaksanaan Tinggi Program Antar Kementrian
Sumber: Analisis Data Primer
Ketiga lembaga baik perusahaan, organisasi internasional serta pemerintah pusat sama-sama menjalin kerjasama dengan berbagai pihak termasuk perguruan tinggi sebagai salah satu mitra utama. PT. AL misalnya menjalin kerjasama dengan berbagai perguruan tinggi dalam memberikan beasiswa serta program magang bagi mahasiswa, selain itu senada dengan kerjasama yang dilakukan KPD, perguruan tinggi dapat berperan dalam kerjasama mengembangkan masyarakat lokal, baik aspek ekonomi, sosial maupun budaya. Dengan BD, sebagaimana Sosiologi Reflektif, Volume 7, No. 2, April 2013
|161
Derajad S. Widhyharto, Ambar Pertiwiningrum, Oki Rahadianto Sutopo
dijelaskan dalam partnership strategy 2009-2012 perguruan tinggi juga dapat menjadi mitra utama dalam keterlibatan inti-sektor pendidikan. Dalam melakukan kerjasama, baik PT.AL, BD maupun KPD, KP berinteraksi dengan berbagai pihak sesuai dengan kebutuhan dalam pencapaian target mereka. Namun kasus lain terjadi, misalnya PT.AL tidak melakukan kerjasama dengan pemerintah, hal ini berbeda dengan mainstreaming dari BD yang menjadikan pemerintah sebagai partner utama, begitu juga KPD dan KP yang disyaratkan untuk melakukan kerjasama antar kementerian. Persamaan selanjutnya antara ketiga lembaga tersebut adalah dalam hal penentuan kerjasama, faktor relasi strategis mempunyai peran yang sangat penting. Dalam kasus PT. AL misalnya, prosedur kerjasama yang diawali dengan gentleman meeting merupakan salah satu aspek yang menunjukkan pentingnya relasi strategis tersebut, sebagaimana dijelaskan di atas bahwa : ”Pemilihan pihak yang diajak kerjasama sangat dimungkinkan berdasarkan pihak yang telah dikenal sebelumnya”1. Dalam hal ini terwujud relasi strategis berdasarkan peran dan status dalam sebuah lembaga sehingga menjadi semacam kemudahan dalam pengambilan keputusan. Kasus ini muncul dalam kerjasama KPD, KP dengan perguruan tinggi. Dalam kasus BD juga menggunakan pola yang sama, bahkan relasi strategis tersebut telah terjalin lama semenjak Indonesia berpindah ke pemerintahan Orde Baru. Kasus lain terlepas dari kontek kelembagaan, pemilihan partner kerjasama juga dimungkinkan misalnya karena hubungan pertemanan pada saat menempuh pendidikan sebelumnya. Ini menjadi faktor penting dalam tumbuhnya trust untuk memperlancar proses komunikasi. Menurut Berger dan Luckman (1966) antara kedua belah pihak telah ada tipifikasi dalam stock of knowledge mereka. Persamaan ketiga lembaga tersebut terletak pada hambatan kerjasama, dimana hampir semua menjelaskan bahwa hambatan timbul terutama dari faktor internal mitra yang diajak bekerjasama. Kasus PT.AL misalnya, keterlambatan dalam mengajukan laporan keuangan serta pada pelaksanaan program oleh mitra menjadi masalah yang menghambat kerjasama. Dalam kasus KP, hambatan utama dalam komunikasi-koordinasi, perubahan lembaga yang bertanggung jawab serta ketidaksepakatan budget. Karena kasus yang diambil dalam kajian 1
162|
Wawancara Pak F, tahun 2011
Sosiologi Reflektif, Volume 7, No. 2, April 2013
Model Kerjasama antara Lembaga Swasta, Pemerintah dan ....
ini adalah kerjasama luar negeri, maka konteknya kedutaan dari negara mitra yang diajak bekerjasama oleh pemerintah Indonesia. Kasus BD, dimana permasalahan tidak secara implisit ditimpakan kepada pemerintah. Menurut Pak RM2 dengan mencontohkan pada pembebasan tanah, BD melihat masyarakat lokal sebagai bagian dari penghambat. Namun menurut BD, pemerintah merupakan pihak yang seharusnya memecahkan masalah tersebut. Faktor lain yang menjadi penghambat kerjasama dalam kontek BD adalah perlawanan dari NGO kritis. NGO melihat lembaga itu sebagai kepanjangan tangan negara adidaya. Mereka melihat bahwa BD dengan program-programnya tidak membuat Indonesia terlepas dari kemiskinan. Akan tetapi menyebabkan jurang kesenjangan sosial semakin lebar, hutang negara semakin banyak. Menyebabkan kebijakan Indonesia didikte oleh BD, terutama kebijakan publik; swastanisasi, privatisasi serta deregulasi3. Persamaan lain mengenai pelaksanaan kerjasama antara ketiga lembaga tersebut dalam penyelesaian masalah kerjasama. Ketigatiganya menggunakan jalan komunikasi sebagai cara terbaik untuk penyelesaian. Kasus PT.AL, komunikasi dilakukan langsung dengan pihak mitra, terkait pelaksanaan program maupun perihal keuangan. Komunikasi ini digunakan sebagai jalan untuk mencapai solusi dan menghasilkan rekomendasi yang merupakan concern bersama baik PT.AL maupun mitra. Masih dalam aspek komunikasi, dalam kasus KP misalnya komunikasi dengan pihak internasional kemudian ditempuh melalui jalur diplomasi, hal ini kemudian sepenuhnya menjadi wewenang Kemenlu serta Dubes negara yang bersangkutan untuk menindaklanjuti. Kasus KP, penyelesaian masalah dilakukan dengan komunikasi terutama dengan mekanisme rapat koordinasi guna mencapai musyarawarah mufakat. Sedangkan kasus BD, komunikasi dilakukan dengan pihak strategis pengambilan kebijakan. Misalnya departemen keuangan ataupun Bappenas. Melalui kedua pihak strategis ini diteruskan ke bagian-bagian dibawahnya. Sehingga dalam kontek IFC, mereka melakukan intervensi dari tingkat atas.
Persamaan Mekanisme Monitoring Evaluasi Kerjasama Kesamaan antar ketiga lembaga tersebut meliputi bentuk kerjasama serta hambatan, penyelesaian masalah dan mekanisme 2
Wawancara Pak RM, tahun 2011
3
Wibowo.I dan F Wahono, Neoliberalisme. (Yogyakarta: Cindelaras, 2003)
Sosiologi Reflektif, Volume 7, No. 2, April 2013
|163
Derajad S. Widhyharto, Ambar Pertiwiningrum, Oki Rahadianto Sutopo
monev. Ketiga lembaga tersebut sama-sama mempunyai dua bentuk monev yaitu internal dan eksternal. Kasus PT.AL, berkaitan dengan mitra maka mekanisme monev dilakukan secara intern terutama oleh divisi-divisi yang terkait, misalnya jika melakukan program CSR, kepala divisi pemberdayaan masyarakat beserta tim yang bertanggung jawab melakukan monev. Sedangkan posisi PT.AL sebagai lembaga publik maka monev dilakukan oleh pihak eksternal, terutama dari pakarpakar independen di bidangnya masing-masing. Hal ini menjadi bahan pertanggungjawaban dan bentuk transparansi laporan tahunan. Kasus BD, monev dilakukan melalui mekanisme internal maupun eksternal. Mekanisme internal apabila terkait dengan sektor ataupun project yang sedang dilakukan oleh BD. Kepala masing-masing sektor atau project bertanggung jawab dalam melakukan monev, laporan mengenai monev dilaporkan ke BD di Jakarta. Prosesnya, setiap tahun cabang BD di Jakarta melaporkan ke BD Pusat di Washington. Setiap komite mempunyai penanggung jawabnya masing-masing di tingkat pusat, sebagai mekanisme membantu direktur eksekutif. Selain itu dalam kontek global, monev dilakukan oleh lembaga audit internasional. Pemerintah pusat juga melakukan mekanisme monev yang sama yaitu internal dan eksternal. Misalnya KP melakukan monev dari berbagai program yang dilakukan secara internal lembaga. Sedangkan terkait kerjasama luar negeri monev dilakukan oleh Kemenlu berdasarkan asas manfaat. Hal yang sama dilakukan oleh KPD, mereka melakukan monev secara intern dikarenakan staf KPD dianggap lebih memahami seluk beluk program. Skema mengenai persamaan Monev kerjasama digambatkan dibawah ini: Skema 2 Persamaan Mekanisme Monitoring dan Evaluasi Kerjasama
164|
Sosiologi Reflektif, Volume 7, No. 2, April 2013
Model Kerjasama antara Lembaga Swasta, Pemerintah dan ....
Perbedaan Basis, Penentuan serta Proses Kerjasama Di antara ketiga lembaga yang dikaji, selain memiliki kesamaan dalam pelaksanaan kerjasama juga menunjukkan perbedaan. Berbagai macam perbedaan dalam hal basis, penentuan serta proses kerjasama terutama terkait dengan kontek yang berbeda antar lembaga. Kasus PT.AL, tidak hanya faktor relasi strategis yang menjadi penentu kerjasama namun juga ditunjang dengan track record lembaga serta profesionalisme dalam melakukan kerjasama. Artinya ketiga faktor yang telah disebutkan bersifat saling melengkapi. Meeting informal menjadi mekanisme untuk mewujudkan mutual understanding antara pihak yang bekerjasama, mutual understanding tersebut terutama menuju prinsip 4K yang dijunjung oleh PT.AL. Setelah kesepahaman bersama dicapai, tahap selanjutnya adalah rasionalisasi dalam hal budget kerjasama. Proses pengambilan keputusan dilakukan secara intern oleh pihak-pihak yang bertanggung jawab di perusahaan, apabila terjadi kesepakatan maka basis kerjasama kemudian termanifestasi dalam bentuk kontrak kerjasama. Kasus BD, dominasi ekonomi politik menjadi penentu utama kerjasama dilakukan, selain relasi strategis. Hal ini dikarenakan posisi negara Indonesia sebagai pihak yang mendapatkan bantuan pinjaman dari BD, sebagaimana dalam strategi kemitraan dengan pemerintah 2009-2012, BD bahkan menentukan prioritas program apa yang akan dilakukan dalam kerjasama. Dalam hubungan antara BD dengan Pemerintah sangat sulit dikatakan bahwa relasi bersifat equal dikarenakan pihak pemerintah sebagai peminjam. Artinya hubungan kemudian dalam pendekatan konflik menjadi bersifat dominatif. BD merupakan pihak dominan, sebaliknya pemerintah berada dalam posisi subordinat. Konsultasi menjadi bagian dalam proses pelaksanaan kerjasama serta basis tercapainya kesepakatan dengan munculnya kontrak antar pihak. Kasus pemerintah pusat, selain relasi strategis menjadi faktor utama juga terdapat faktor pendukung kerjasama yang lain yaitu Undang-undang. Subjek dalam penelitian ini KP bagian kerjasama luar negeri misalnya dengan adanya UU No 24 tahun 2000 kemudian harus melakukan kerjasama dengan pihak internasional serta dengan antar kementrian (misalnya Kemenlu). Mekanisme dalam proses kerjasama antar kementrian biasanya didahului oleh rapat-rapat kordinasi, sedangkan dengan pihak internasional dengan jalur diplomasi terutama melalui duta besar di masing-masing negara. Kesepakatan dalam Sosiologi Reflektif, Volume 7, No. 2, April 2013
|165
Derajad S. Widhyharto, Ambar Pertiwiningrum, Oki Rahadianto Sutopo
kerjasama kemudian ditandai dengan penandatanganan MoU antar pihak. Perbedaan basis, penentuan serta proses kerjasama dijelaskan dalam skema di bawah ini: Tabel 2 Perbedaan Basis, Penentuan serta Proses Kerjasama Lembaga
Basis Kerjasama
Perusahaan
Mutual Understanding Kontrak
Organisasi Internasional
Kontrak
Pemerintah Pusat
MoU
Penentuan Kerjasama Track record (internal) Profesionalisme (internal)
Proses Kerjasama Meeting informal
Dominasi Ekonomi Politik (eksternal) Undang-Undang Nasional (eksternal)
Konsultasi Rapat Kordinasi
Sumber: Analisis Data Primer
Perbedaan Faktor Eksternal Pendukung Kerjasama Ketiga lembaga tersebut sebagai representasi dari perusahaan, pemerintah serta organisasi internasional tidak bisa terlepas dari struktur objektif ataupun makro struktur yang bersifat sui generis (berada di luar entitas lembaga) sebagaimana dijelaskan oleh Durkheim dalam Ritzer (2003). Struktur objektif berupa Undang-Undang kemudian menjadi semacam keharusan bagi lembaga untuk menerapkan. Dalam kasus PT.AL misalnya, adanya Undang-Undang CSR membuat perusahaan tersebut harus merangkul masyarakat lokal sebagai mitra, misalnya dengan program IG yang terkait dengan perkebunan plasma sawit. Selain itu, PT.AL diharuskan untuk memberikan support bagi masyarakat lokal melalui institusi antara (mediating institutions) yaitu Lembaga Keuangan Mikro (LKM) untuk memberikan pinjaman kepada masyarakat lokal terkait usaha perkebunan sawit mereka. Undang-Undang pendidikan nasional juga menyaratkan bagi perusahaan untuk berpartisipasi dalam menyukseskan pembangunan melalui pendidikan. PT.AL tidak hanya membangun sekolah dasar di berbagai daerah perkebunan mereka, namun juga memberikan beasiswa serta memfasilitasi proses magang mahasiswa, supaya terintegrasi antara dunia pendidikan dengan dunia kerja. Berbagai peraturan 166|
Sosiologi Reflektif, Volume 7, No. 2, April 2013
Model Kerjasama antara Lembaga Swasta, Pemerintah dan ....
eksternal ini kemudian membuat PT.AL bekerjasama dengan perguruan tinggi serta masyarakat lokal. Kasus BD, adanya charter internasional yang mensyaratkan pemberian bantuan pembangunan bagi negara-negara dunia ketiga menjadi faktor eksternal yang menjadi legitimasi bagi Bank Dunia untuk melakukan pekerjaannya. Salah satunya adalah dengan Indonesia sebagai negara dunia ketiga yang baru terlepas dari penjajahan Belanda serta cengkeraman Blok Timur terutama Soviet pada masa pemerintahan orde lama waktu itu, serta pasca beralihnya kekuasaan ke dalam rezim orde baru. Dalam kontek pemerintahan pusat, sebagaimana dijelaskan di atas UU no 24 tahun 2000 misalnya kemudian mengharuskan KP melakukan kerjasama dengan pihak internasional melalui Kemenlu RI serta kemudian dalam ranah nasional dengan mitra ataupun kementrian yang lain. Skema mengenai perbedaan faktor eksternal pendukung kerjasama digambakan di bawah ini: Tabel 3 Perbedaan Faktor Eksternal Pendukung Kerjasama Lembaga Perusahaan Organisasi Internasional Pemerintah Pusat
Pendukung Eksternal Undang-undang CSR Undang-undang Pendidikan Nasional Charter UU Imunitas Organisasi Internasional Undang-undang mengenai kerjasama baik dalam negeri maupun luar negeri
Dampak Kerjasama dengan perguruan tinggi Pelibatan masyarakat lokal Kerjasama dengan pemerintah Indonesia Kerjasama dengan mitra internasional, nasional maupun lokal.
Sumber: Analisis Data Primer
Pola Kerjasama Ketiga Lembaga Paska analisa persamaan dan perbedaan dalam berbagai aspek yang menyangkut kerjasama antar lembaga, muncul kecenderungan pola kerjasama diantara ketiga lembaga tersebut. Baik perusahaan, organisasi internasional maupun pemerintah pusat cenderung menggunakan relasi strategis dalam melakukan kerjasama. Kasus ketiga lembaga yang dikaji, relasi strategis tidak hanya dalam hal strategis dalam peran dan status di lembaga namun juga Sosiologi Reflektif, Volume 7, No. 2, April 2013
|167
Derajad S. Widhyharto, Ambar Pertiwiningrum, Oki Rahadianto Sutopo
mengenai unsur relasi sosial yang telah berlangsung lama. Baik perusahaan besar seperti PT.AL misalnya, melihat faktor relasi sosial menjadi hal yang utama selain tentu saja diimbangi oleh aspek profesionalitas serta kesepahaman bersama. Namun terlepas dari kedua syarat tadi, dengan relasi sosial yang telah terjalin lama maka akan lebih mudah dalam mencapai kesepahaman dalam prinsip/ nilai serta akan lebih fleksibel dalam hal penentuan budget program. Tidak jauh berbeda dengan perusahaan, organisasi internasional juga cenderung menggunakan relasi strategis sebagai salah satu penentu dalam kerjasama. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari kontek ekonomi politik sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Dalam kasus pemerintahan pusat, relasi strategis juga menjadi faktor penting dalam penentuan kerjasama. Relasi strategis kemudian secara luas dimaknai tidak hanya strategis dalam kapasitas sebagai decisions maker, namun juga strategis karena telah menjadi semacam habitus 4 yang mana kerjasama berlangsung secara terus menerus sehingga kemudian berimplikasi pada minimalisasi hambatan dalam kerjasama. Artinya kemudian kesamaan pengetahuan serta persepsi ikut terbentuk seiring dengan proses reproduksi yang termanifestasi dalam kerjasama antar relasi strategis tersebut. Faktor relasi strategis ini kemudian juga membuat prosedur standar kerjasama tidak menjadi indikator utama melainkan hanya sebagai syarat administratif atau prosedural. Hal ini kemudian menunjukkan sebagaimana dalam analisa integratif di atas bahwa penentuan kerjasama lebih terkait dengan aktor serta keterlekatannya pada struktur institusi. Skema kecenderungan penentu kerjasama antar lembaga digambarkan dibawah ini:
4 Pierre Bourdieu, and Wacquant L, An Invitation to Reflexive Sociology, (Cambridge: Polity Press, 1992)
168|
Sosiologi Reflektif, Volume 7, No. 2, April 2013
Model Kerjasama antara Lembaga Swasta, Pemerintah dan ....
Skema 3 Kecenderungan Penentu Kerjasama Antar Lembaga
Kecenderungan Penyelesaian Masalah dalam Kerjasama Kecenderungan lain yang ditemukan dalam penelitian ini selain peran relasi strategis dalam penentuan kerjasama, juga mengenai penyelesaian masalah dalam kerjasama yang ketiga-tiganya menggunakan mekanisme komunikasi. Mekanisme komunikasi termanifestasi dalam beberapa tipe, misalnya representasi pemerintah pusat memaknai komunikasi sebagai musyawarah mufakat sebagaimana dalam era orde baru saat itu, meskipun juga mereka berpegang pada asas manfaat. Sedangkan dalam kasus PT.AL, komunikasi lebih ditempatkan dalam kontek nilai-nilai profesionalisme yang sebelumnya telah disyaratkan dalam kontrak kerja serta gentleman meeting. Logika yang digunakan sangat jelas yaitu cost-benefit logic di mana kemudian tuntutan terhadap mitra yang dianggap tidak memenuhi ”kalkulasi” biaya dan hasil yang didapat menjadi lebih banyak dan mitra harus mampu memenuhi tuntutan tersebut. Output dari komunikasi tersebut kemudian berupa solusi yang dalam keterangan Pak F (wawancara, 2011) harus menjadi concern bersama, dan tindak lanjut terhadap solusi juga harus sesegera mungkin. Dalam kasus organisasi internasional, mekanisme penyelesaian masalah lebih cenderung diselesaikan melalui komunikasi dengan departemen tingkat atas, misalnya Kemenkeu ataupun Bappenas. Di lain pihak, apabila hambatan terjadi dalam sektor atau project maka komunikasi juga dilakukan antara pihak yang bertanggung jawab dalam masing-masing pekerjaan tersebut. Pedoman fomal tentu saja Sosiologi Reflektif, Volume 7, No. 2, April 2013
|169
Derajad S. Widhyharto, Ambar Pertiwiningrum, Oki Rahadianto Sutopo
menggunakan standart operating procedure yang dimiliki namun dalam penelitian ini tidak dapat dijelaskan lebih lanjut karena termasuk dalam sembilan dokumen terlarang yang tidak dapat diakses (catatan lapangan, 2011). Skema kecenderungan penyelesaian masalah dalam kerjasama digambarkan dibawah ini: Skema 4 Kecenderungan Penyelesaian Masalah dalam Kerjasama
Interpretasi terhadap Kasus PT.AL Paska analisa deskripsi dan tendensi, maka langkah ketiga melakukan interpretasi, untuk melakukan justifikasi terhadap potret dan kecenderungan yang terjadi dalam pelaksanaan kerjasama. Tahap ini, keterkaitan antara teori dan praktek menjadi perhatian utama. Sebagaimana dijelaskan dalam kerangka analisis integratif di atas, kerjasama dilihat sebagai arena yang kemudian terkait dengan struktur institusi, setting institusi serta aktor yang berperan. Ketiga subjek yang merepresentasikan perusahaan, organisasi internasional serta pemerintah pusat berdasarkan temuan lapangan memiliki setting serta kontek yang berbeda-beda. Dalam kasus PT.AL misalnya, status sebagai sebuah perusahaan kemudian menuntut penerapan nilai-nilai profesionalime serta tidak terlepas dari rasionalitas ekonomi dalam arti pencapaian profit. Meskipun nilai-nilai tersebut menjadi hal yang utama namun yang menarik adalah dalam proses kerjasama ternyata perusahaan tersebut tidak mempunyai standart operating procedure yang baku/ rigid. Perusahaan lebih menggunakan mekanisme informal yang termanifestasi dalam gentleman meeting, dan mengedepankan komunikasi untuk mencapai kesepahaman. Proses awal berupa gentleman meeting ini menurut peneliti merupakan entry point utama dalam suksesnya pelaksanaan kerjasama, karena dalam 170|
Sosiologi Reflektif, Volume 7, No. 2, April 2013
Model Kerjasama antara Lembaga Swasta, Pemerintah dan ....
proses inilah proses internalisasi serta eksternalisasi5 berlangsung secara intens guna mencapai kesepahaman terkait prinsip 4K yang selalu dipegang teguh oleh PT.AL. Proses ini kemudian secara teoritis dapat diartikan sebagai proses saling mengenali serta memahami pengetahuan antar kedua pihak yang akan bekerja sama, semakin banyak kesamaan pengetahuan maka peluang untuk keberhasilan dalam kerjasama semakin besar. Oleh karena itu PT.AL kemudian melihat relasi strategis, terutama kedekatan sosial dalam jangka waktu yang lama menjadi faktor yang penting karena hal tersebut mempermudah pemahaman bersama. Terkait dengan penyusunan SOP kerjasama bagi lembaga, faktor informalitas terutama dalam hal memberikan kesan positif serta kemampuan komunikasi yang bagus dalam fase gentleman meeting menjadi poin penting yang perlu dipertimbangkan. Ini artinya, diperlukan tim pendukung yang handal bagi relasi strategis yang menjadi key person dalam proses kerjasama, sehingga kesepahaman serta kerjasama akan lebih berpeluang besar untuk tercapai. Proses selanjutnya terkait administrasi ataupun laporan keuangan kemudian menjadi semacam syarat prosedural pelengkap saja. Faktor signifikan lainnya yang kemudian menjadi penting selain kesepahaman pengetahuan adalah aspek budget. Dalam hal ini budget kemudian dinilai oleh PT.AL berdasarkan logika rasional, dimana secara common sense dapat dikatakan ”Jika kami mengeluarkan uang sebesar ini kira-kira hasil yang kami dapat sesuai atau tidak? ”. Hal ini kemudian menjadi poin penting dalam penyusunan SOP kerjasama bagi Lembaga menyangkut keahlian dalam merasionalisasi budget yang menawarkan jalan tengah antara rasionalitas subtantif (nilai/ pengetahuan hasil kesepahaman bersama) dengan rasionalitas instrumental (cost-benefit logic). Kemampuan dalam memformulasi serta menerjemahkan antara nilai dengan budget yang saling menguntungkan antara kedua pihak yang bekerjasama merupakan aspek penting dalam semakin lancarnya kerjasama. Selain itu keahlian staff dalam mempersiapkan budget dalam waktu cepat menjadi hal yang perlu diperhatikan pula mengingat PT.AL juga mempunyai jadwal sendiri terkait pembicaraan mengenai budget program. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa logika perusahaan tidak terlepas dari cost-benefit logic sehingga tuntutan terbesar adalah apakah program dilaksanakan sesuai tujuan ideal serta biaya yang 5 Peter.L Berger and Thomas Luckman, The Social Construction of Reality. USA: Basic Book, 1966)
Sosiologi Reflektif, Volume 7, No. 2, April 2013
|171
Derajad S. Widhyharto, Ambar Pertiwiningrum, Oki Rahadianto Sutopo
dikeluarkan, hal ini perlu menjadi pertimbangan dalam penyusunan SOP kerjasama, terutama terkait dengan indikator standart keberhasilan yang ditawarkan oleh lembaga kepada pihak perusahaan, sehingga kemudian tidak terjadi eksploitasi terhadap pekerja yang melaksanakan program di lapangan. Terkait dengan penyelesaian masalah menggunakan mekanisme komunikasi yang biasa dilakukan oleh perusahaan menunjukkan bahwa perusahaan tidak berada dalam posisi konflik dengan mitra, artinya perusahaan lebih mementingkan pencapaian solusi maka kemampuan komunikasi terutama dalam memformulasikan win win solution oleh relasi strategis serta tim pendukung merupakan aspek penting yang perlu dipertimbangkan dalam menjamin pelaksanaan SOP kerjasama. Sebagaimana dijelaskan dalam analisa integratif di atas, bahwa faktor setting lembaga juga berpengaruh dalam kerjasama, hal ini dalam kasus PT.AL ditunjukkan dalam akomodasi mereka terhadap UU mengenai CSR serta UU Pendidikan Nasional. Hal ini menjadi titik masuk yang positif bagi perguruan tinggi untuk melakukan kerjasama baik dalam program CSR perusahaan ataupun mengintegrasikan antara dunia pendidikan dengan dunia kerja.
172|
Sosiologi Reflektif, Volume 7, No. 2, April 2013
Model Kerjasama antara Lembaga Swasta, Pemerintah dan ....
Skema 5 Keterkaitan antara Temuan Lapangan dengan Kebutuhan SOP Kerjasama (Kasus PT.AL)
Interpretasi terhadap Kasus Organisasi Internasional Kehadiran organisasi internasional dalam kerjasama pembangunan tidak lepas dari kepentingan internasional terhadap bangsa ini. Peran awalnya melakukan fasilitasi dan pendampingan Sosiologi Reflektif, Volume 7, No. 2, April 2013
|173
Derajad S. Widhyharto, Ambar Pertiwiningrum, Oki Rahadianto Sutopo
stakeholders pembangunan. Namun, seiring dengan dinamika pembangunan organisasi internasional telah merasuk dan terlekat dalam program pembangunan itu sendiri. Tak hanya mendanai, tetapi juga mejadi pelaksana program, mengawasi, bahkan sampai melaporkannya6. Peran dominatif tersebut mendorong posisi organisasi internasional menjadi sentral. Pemahaman akan posisi BD sebagai sebuah lembaga perlu memperhatikan kontek ekonomi politik dalam scope makro. Setting BD dalam hal ini sebagai aktor supra-state yang pada perkembangannya seiring dengan menguatnya sistem ekonomi neoliberal menjadi aktor dominan. BD sebagai pihak yang memberikan bantuan pinjaman tentu saja akan menggunakan prinsip ”tidak ada makan siang yang gratis”, hal ini telah terbukti dalam kontek Indonesia terutama dengan adanya privatisasi, deregulasi serta swastanisasi pasca krisis ekonomi yang menimpa pada tahun 19987. Ini artinya relasi kuasa dari awalnya sudah tidak menunjukkan keseimbangan, sehingga kemudian yang terjadi BD-lah yang membuat persyaratan serta penilaian akan program yang harus dilaksanakan ataupun keberhasilan suatu program. Dalam hal ini tidak ada pilihan lain apabila ingin melakukan proses kerjasama selain memformulasikan SOP yang sesuai dengan syarat-syarat yang diinginkan oleh BD. Syarat-syarat ini tidak hanya mencakup hard aspect (administrasi keuangan, monev dan lain-lain) namun juga soft aspect dalam hal ini pengetahuan (saat proses konsultasi), dalam arti lembaga sebagai mitra misalnya harus mengetahui wacana yang dibentuk oleh BD, misalnya terkait dengan demokratisasi, good governance, transparansi dan lain-lain. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa relasi strategis juga menjadi penentu kerjasama, maka kerjasama yang dikembangkan nantinya perlu mempertimbangkan mekanisme serta kemampuan lobby dari relasi strategis terhadap mitra dan bagaimana menjaga trust tersebut di masa depan. Terkait dengan mekanisme pemecahan masalah yang mengedepankan komunikasi maka di dalam SOP kerjasama perlu mempertimbangkan kemampuan komunikasi yang berbasiskan problem solving. Dalam struktur yang dominatif, tidak banyak ruang yang dapat 6 Don,K Marut, Can Indonesia Exit from AID?, Jakarta: INFID, 2011) 7 Oki Rahadianto Sutopo, Biaya-Biaya Manusiawi dalam Era Neoliberal : Sebuah Imperatif. Jurnal Pemikiran Sosiologi Vol. 1 No1 Mei. Department of Sociology. Gadjah Mada University 2012
174|
Sosiologi Reflektif, Volume 7, No. 2, April 2013
Model Kerjasama antara Lembaga Swasta, Pemerintah dan ....
digunakan untuk memunculkan daya tawar. Ini artinya kemudian standardisasi dalam pelayanan suatu lembaga juga menjadi tidak begitu relevan karena aspek prosedural kemudian akan sangat mudah ditaklukkan oleh kapital politik (politics capital). Hal ini kemudian juga menjadi semacam paradoks mengapa dalam relasi yang dominatif kemudian diperlukan standar operasional, apakah hanya menjadi prosedur formalitas ataukah bisa menjadi instrumen yang subtantif? Kritik terhadap perspektif intitutionalisme baru ini sebagaimana dijelaskan oleh Hadiz (2005) tidak peka terhadap unsur power. Skema 6 Keterkaitan antara Temuan Lapangan dengan Kebutuhan SOP Kerjasama (Kasus Organisasi Internasional)
Sosiologi Reflektif, Volume 7, No. 2, April 2013
|175
Derajad S. Widhyharto, Ambar Pertiwiningrum, Oki Rahadianto Sutopo
Interpretasi Terhadap Kasus Pemerintah Pusat Kasus pemerintah pusat, keberhasilan proses kerjasama merupakan perpaduan antara relasi strategis dengan kesesuaian syarat administratif sesuai dengan MOU serta asas manfaat. Setting dari pemerintah pusat terutama terkait dengan kontek perundang-undangan sebagai struktur objektif yang bersifat mengikat, hal ini kemudian menjadi penting pula untuk diperhatikan. Relasi strategis berperan penting dalam proses rapat koordinasi sebagai basis pencapaian kesepahaman dalam kerjasama termasuk dengan berbagai kementrian lain yang terkait, yang kemudian setelah tercapai kesepakatan akan dituangkan dalam MoU. Namun di lain pihak sebagaimana dalam kasus KPD, rapat koordinasi juga menjadi faktor penghambat. Oleh karena itu dalam pengembangan SOP kerkasama, perlu memperhatikan aspek tawaran-tawaran kerjasama yang berbasiskan manfaat, mudah dipahami, sesuai pedoman pelaksanaan serta bersifat solutif. Peraturan dari pemerintah pusat yang bersifat mutlak selain harus diikuti namun juga perlu ditawarkan kesepakatan yang berasaskan manfaat dan memudahkan bagi pihak pemerintah. Salah satu yang menjadi faktor penting terutama terkait pedoman pelaksanaan adalah masalah pelaporan keuangan. Dijelaskan oleh salah seorang informan bahwa proses pelaksanaan pelaporan keuangan disusun berdasarkan termin yang turun sesuai rencana serta proses pengambilan keputusan mengacu pada pedoman pelaksanaan, pihak yang berwenang terkait dengan pejabat pembuat komitmen serta panitia pengadaan barang dan jasa, oleh karena itu dalam pengembangan kerjasama perlu memperhatikan aspek komunikasi antar pihak guna memudahkan dalam koordinasi. Selain itu, tim pendukung relasi strategis perlu ditingkatkan keahlian dalam menyusun serta melaporkan keuangan sesuai dengan pedoman pelaksanaan yang disyaratkan oleh pemerintah pusat. Dalam aspek pemecahan masalah, tidak berbeda dengan pihak perusahaan maupun organisasi internasional yaitu menggunakan mekanisme komunikasi, oleh karena itu SOP kerjasama perlu mempertimbangkan kemampuan dalam hal komunikasi yang bermuara pada usulan yang solutif. Aspek pengetahuan terutama terkait tugas dan fungsi masing-masing kementrian menjadi penting supaya tidak terjadi overlap ataupun miskomunikasi dengan mereka. Akan sangat solutif jika SOP kerjasama yang dikembangkan nantinya juga mempertimbangkan aspek sinergisitas antar kementrian serta bidang-bidang yang ada di 176|
Sosiologi Reflektif, Volume 7, No. 2, April 2013
Model Kerjasama antara Lembaga Swasta, Pemerintah dan ....
bawahnya, masalah koordinasi serta sinergi menurut peneliti menjadi aspek yang belum terselesaikan dalam dunia birokrasi di Indonesia. Skema 7 Keterkaitan antara Temuan Lapangan dengan Kebutuhan SOP Kerjasama (Kasus Pemerintah Pusat)
Sosiologi Reflektif, Volume 7, No. 2, April 2013
|177
Derajad S. Widhyharto, Ambar Pertiwiningrum, Oki Rahadianto Sutopo
Penutup Kesimpulan dari kajian terhadap ketiga lembaga tersebut ditinjau dari aspek informalitas dalam arti keterlekatan terhadap kontek sosial serta di sisi lain mekanisme prosedural formal berjalan beriringan, bahkan saling bernegasi satu sama lain. Keduanya ibarat dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan, mereduksi salah satu aspek pada prosesnya hanya akan mengganggu keseimbangan sebuah sistem yang telah terlembaga. Jalan tengah mendamaikan kedua aspek ini melalui cara komunikasi serta membangun relasi sosial yang berkesinambungan sehingga aspek sustainability terwujud dalam kerjasama di masa depan. Organisasi internasional, perusahaan maupun pemerintah pusat pada kenyataannya tidak berada dalam ruang hampa. Mereka menganggap kerjasama sebagai ”arena” yang berhubungan dengan struktur serta kontek sosial yang melingkupinya. Oleh karena itu pengembangan SOP (standar operating procedur) ke depan harus mempertimbangkan kontek serta kekhususan masing-masing lembaga. Metode ini dilakukan supaya aspek subtantif dari sebuah kerjasama dapat dikomunikasikan dengan mitra, tidak hanya terjebak pada prosedural formal dan mengabaikan tujuan utama bekerjasama.
Daftar Bacaan Bahagijo, Sugeng (ed). (2006). Globalisasi Menghempas Indonesia. LP3ES dan Perkumpulan Prakarsa. Jakarta. BD dan IFC. (2008). Strategi Kemitraan Negara untuk Indonesia 2009-2012Mendukung Institusi Indonesia yang Inklusif untuk Pembangunan yang Berkelanjutan. Jakarta. Berger, Peter.l and Thomas Luckman. (1966). The Social Construction of Reality. Basic Book. USA. Bourdieu, Pierre and Wacquant L. (1992). An Invitation to Reflexive Sociology. Polity Press. Cambridge. Sutopo, Oki Rahadianto. (2012). Biaya-Biaya Manusiawi dalam Era Neoliberal : Sebuah Imperatif. Jurnal Pemikiran Sosiologi Vol. 1 No1 Mei. Department of Sociology. Gadjah Mada University Hadiz, Vedi. (2008). Dinamika Kekuasaan : Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto. Pustaka LP3ES. Jakarta. Marut, Don,K. (2011). Can Indonesia Exit from AID?, INFID, Jakarta PT. AL. 2010. Intensifying The Future. Annual Reports. Jakarta. ---------------. 2010. Sharing Nature for Prosperity and Sustainability. Sustainability Reports. Jakarta. 178|
Sosiologi Reflektif, Volume 7, No. 2, April 2013
Model Kerjasama antara Lembaga Swasta, Pemerintah dan ....
Ritzer, George. (2003). Classical Sociological Theory. McGrawwHill. USA. Stiglitz, Joseph. (2006). Dekade Keserakahan Era 90an dan Awal Mula Petaka Ekonomi Dunia. Marjin kiri. Tangerang. Thee, Kian Wie. (2004). Pembangunan, Kebebasan dan Orde Baru. Kompas. Jakarta. Wibowo.I dan F Wahono. (2003). Neoliberalisme. Cindelaras. Yogyakarta.
Sosiologi Reflektif, Volume 7, No. 2, April 2013
|179