1
Studi Investasi untuk Pengembangan Komoditi Pertanian Nasional dan Regional: Pendekatan input-output1 Iwan Nugroho dan Nuhfil Hanani 2
ABSTRACT Study was aimed to determine ICOR’s commodity, and formulate a priority commodities and its investment needs in agricultural development. The study used input-output framework based on the input-output table of National, and East Java and Lampung region in 2000. Analysis methods included (i) ICOR determination using Harrod Domar approach to count ratio of a domestic fixed capital formation to gross domestic (regional) product (GDP/GDRP), (ii) estimation of five year investment needs for commodity development, and (iii) calculation of multiplier for determining commodities priority. The study resulted ICOR values of food crop, estate crop, livestock and forestry in national level each 0.36, 0.52, 0.43, and 1.60 respectively. Those were in East Jawa each 0.61, 1.65, 1.95, and 0.96; and in Lampung each 0.66, 0.25, 3.04 and 0.16. It was also found ICOR’s rice were 1.72, 0.83 and 0.81 each on the national, East Java and Lampung region. In the national level, the priority commodities whose significant welfare impact were rice, poultry, milk, sugarcane and soybean. The next five-year investment of those commodities would be 18.67 trilion rupiahs, equal with 25.6 percent of current GDP. The commodities whose significant value added improvement were on-shore fishery, fruit, tobacco, coffee, and rubber. Those shall need 35.4 trilion rupiahs, equal with 38.4 percent of current GDP, during next five years. The commodities whose significant export impact were off-shore fishery, cocoa, other estate plant. The next five-year investment of those commodities shall need 29.0 trilion rupiahs, equal with 93 percent of current GDP. In East Java region, the priority commodities whose significant welfare impact were rice, sugarcane, milk, egg and soybean. The next five-year investment of those commodities would be 3.9 trilion rupiahs, equal with 28.1 percent of current GDRP. The commodities whose significant value added improvement were fruit, corn, coconut, and vegetables. The next five-year investment of those commodities would achieve 1.13 trilion rupiahs, equal with 8 percent of current GDRP. In Lampung region, the priority commodities whose significant welfare impact were rice, sugarcane, corn, poultry and coffee. The next five-year investment of those 1 Naskah dipublikasi In: Luthfi J. Kurniawan dan Rima Dian Puspita (Eds.). 2009. Ancaman Kedaulatan Pangan. Transisi-Intrans, Malang. 2 Masing masing adalah dosen pada Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Universitas Widyagama dan Fakultas Pertanian Unibraw Malang
2
commodities would be 3.9 trilion rupiahs, equal with 28.1 percent of current GDRP. The commodities whose significant value added improvement were cassava, pepper, coconut, livestock and its products , banana, and oil-palm. The next five-year investment of those commodities would achieve 602 billion rupiahs, equal with 13.3 percent of current GDRP. Keywords: input-output, incremental capital output ratio, investment need, East Java, Lampung province
I. PENDAHULUAN Sektor pertanian nasional menyumbang 20 persen PDB dan 37 persen tenaga kerja (Anonim, 2002). Data tersebut menunjukkan bahwa sektor pertanian beroperasi tidak efisien. Jumlah tenaga kerjanya terlalu banyak dibanding proporsi pendapatan atau nilai tambahnya (PDB). Ilustrasi singkat tersebut menunjukkan bahwa sektor pertanian menghadapi permasalahan sustainability sistem produksi, ancaman kemiskinan, dan terganggunya upaya-upaya peningkatan ketahanan pangan. Pembangunan pertanian saat ini juga menghadapi tantangan upaya pemulihan pertumbuhan ekonomi nasional yang terpuruk akibat krisis yang berkepanjangan. Selain itu, keragaan usaha pertanian dihadapkan pada dualisme pelaku pembangunan pertanian, yaitu pertanian rakyat berskala kecil dan pertanian modern berskala besar komersial. Terdapat lebih dari 32 juta usaha kecil dengan volume usaha kurang dari 2 milyar rupiah per tahun, dimana 90 persen bervolume usaha kurang dari 50 juta rupiah per tahun. Selanjutnya dari 90 persen tersebut lebih dari 21,30 juta unit usaha adalah usaha rumah tangga yang bergerak pada sektor pertanian3. Meminjam pemikiran Williamson4, konsepsi pembangunan pertanian yang berkelanjutan adalah akumulasi investasi secara konsisten. Investasi pada sektor pertanian sangat diperlukan untuk menghasilkan nilai tambah (PDB) dan pertumbuhan ekonomi, serta meningkatkan pendapatan petani5). Agar investasi mengalir efisien dan menimbulkan pengaruh kepada kesejahteraan, perlu diidentifikasi karakteristik ekonomi setiap komoditi pertanian dalam kaitan hulu, hilir maupun penunjang. Kerangka berpikir pendekatan agribisnis tersebut membantu menyediakan alternatif investasi dan penelaahan dalam peran ekonomi (output, nilai tambah, pendapatan), maupun manfaat sosial (tenaga kerja) secara bersamaan. Prosedur perhitungan investasi atas dasar nilai ICOR telah umum dikerjakan. Pada sektor pertanian, ICOR subsektor tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan
3
Deptan (2001) Williamson (1995) 5 Fuglie (1999) 4
3
telah berhasil dihitung6. Namun demikian nilai ICOR tersebut belum mampu menyajikan komoditi prioritas dan kebutuhan investasinya. Perhitungan kebutuhan investasi perlu dilakukan hingga tingkat komoditi agar diperoleh hasil yang rinci dan menghasilkan informasi yang akurat bagi proses perencanaan pengembangan komoditi. Hal ini tentu sangat membantu bagi terlaksananya program-program pengembangan komoditi strategis yang bersifat nasional, regional maupun lokal. Terlebih, keterbatasan anggaran pembangunan menuntut penyusunan prioritas pengembangan komoditi yang dilandasi alasan-alasan yang rasional, antara lain keunggulan komparatif wilayah atau faktor-faktor non ekonomi. Dengan demikian investasi yang jumlahnya relatif terbatas dapat dioptimalkan pada komoditi pertanian tertentu khas wilayah untuk menghasilkan kesejahteraan tertinggi. Tujuan penelitian adalah menghitung nilai-nilai ICOR komoditi pertanian, menghitung kebutuhan investasi atas dasar nilai-nilai ICOR, dan menyusun prioritas kebutuhan investasi pengembangan komoditi pertanian pada tingkat nasional, di propinsi Jawa Timur dan Lampung.
II. METODE PENELITIAN Kerangka umum studi menggunakan pendekatan input-output. Tabel input output Nasional, Jawa Timur dan Lampung menjadi dasar dilakukan studi. Selanjutnya dilakukan beberapa analisis sebagai berikut. 1. Menyusun tabel IO tahun 1999 hingga 2005. Prosedurnya dilakukan melalui metode RAS berdasarkan tabel IO tahun 20007. Tahapan ini bertujuan untuk memperoleh nilai-nilai investasi dan PDB bagi perhitungan ICOR (pendekatan Harrod Domar), sebagai berikut n
ICORi =
∑K i =1
∂Y
i
i ( n −1)
dimana K dan ∂Y adalah investasi dan perubahan PDB dalam harga konstan tahun 2000, i dalam kurun periode 1998 hingga 2005. Perhitungan nilai ICOR dilakukan pada tahun t, t-1, t-2, dan t-3 hingga ditemukan nilai ICOR yang paling relevan8. 2. Menyusun proyeksi pengembangan sektor pertanian selama periode 2006 hingga 2010. Proyeksi disusun atas dasar pertumbuhan PDB masing-masing sebesar 2, 4, 6 dan 8 persen per tahun pada setiap komoditi. Dengan menggunakan kembali prinsip dasar rumus ICOR, maka dapat dihitung kebutuhan investasi (=KI) pada setiap 6
Anonim (1997; 2002) dan Nuhfil Hanani dan Iwan Nugroho (2004) BPS (2004; 2005a; 2005b). 8 sesuai prosedur BPS (2003) 7
4
komoditi, yakni KI = ICORi x ∆Vi ; dimana ICORi dan ∆Vj adalah nilai ICOR tambahan PDRB setiap komoditi. 3. Menyusun prioritas kebutuhan investasi. Hal ini dilakukan dengan melihat peran relatif komoditi melalui perhitungan nilai pengganda output, pendapatan, dan nilai tambah9.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. 1. Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Penelitian menghasilkan nilai-nilai ICOR dari Tabel IO Nasional, Jawa Timur dan Lampung dalam kelompok tanaman pangan, perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan (Tabel 1). Pada masing-masing subsektor tersebut, diperoleh nilai ICOR sebesar 0.36, 0.52, 0.43, 1.60 dan 0.08 pada tingkat nasional; dan ICOR sebesar 0.61, 1.65, 1.95, 0.96, dan 0.21 di Jawa Timur. Di Lampung ditemukan ICOR sebesar 0.66, 0.25, 3.04 dan 0.16 masing-masing pada subsektor tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan kehutanan. Keragaan ICOR tersebut dapat dijelaskan antara lain: (i) komoditi diproduksi sesuai karakteristik wilayah (misalnya Jawa Timur tidak memproduksi kelapa sawit), (ii) kemampuan mengidentifikasi komoditi saat penyusunan Tabel IO, dan (iii) ketersediaan data yang tidak mendukung (nilai ICOR negatif atau terlalu besar). Data-data ICOR tersebut mencerminkan pengalaman nilai relatif investasi terhadap nilai tambah. Karenanya untuk komoditi yang sama, dapat dibandingkan nilai ICOR antar wilayah. Sebagai contoh, ICOR padi nasional, Jawa Timur dan Lampung sebesar masing-masing 1.72, 0.83 dan 0.81 (Tabel 1). Ini dapat bermakna sistem produksi wilayah Jawa Timur maupun Lampung lebih efisien dibanding Nasional. Atau dapat dijelaskan bahwa kemungkinan investasi padi nasional dicurahkan relatif lebih banyak diperuntukkan di luar dua propinsi tersebut. Penulis mengalami kesulltan memperoleh data investasi regional per komoditi. Penjelasan seperti ini juga berlaku untuk komoditi-komoditi lainnya. Tabel 1. Nilai ICOR Komoditi Pertanian Nasional, Propinsi Jawa Timur dan Lampung No Komoditi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 9
Tanaman pangan Padi Jagung Ketela pohon Ubi jalar Umbi-umbian lainnya Kacang tanah Kedele Kacang-kacangan lainnya Sayur-sayuran Buah-buahan
BPS (2004)
ICOR 0.36 1.72 2.31 0.66 0.88 2.64 0.41 0.17 2.67 0.31 0.14
ICOR Komoditi Indonesia (31 komoditi) Perkebunan 0.52 Karet 1.56 Tebu 0.52 Kelapa 0.17 Kelapa sawit 0.61 Tembakau 3.11 Kopi 1.32 Teh 0.33 Cengkeh 0.24 Kakao 0.16 Jambu mete 0.75
Komoditi Peternakan Ternak & hasil-2nya Susu segar Unggas & hasil-2nya Pemeliharaan hewan lain Kehutanan Kayu Hasil hutan lainnya Perikanan Ikan & hasil laut lainnya Ikan & hsl perairan darat
ICOR 0.43 0.36 2.93 0.38 1.14 1.60 1.88 0.06 0.08 0.14 0.02
5
11 12
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Tanaman Pangan Padi Jagung Ketela pohon Kedelai Sayur-sayuran Buah-buahan Umbi-umbian Kacang tanah Kacang-kacangan lainnya
Tanaman Pangan 1 Padi 2 Jagung 3 Ubi Kayu 4 Tan bahan makanan lain 5 6 7 Sumber: Hasil penelitian
0.61 0.83 0.23 0.86 3.29 0.51 0.11 0.22 0.3 0.79 0.14
0.66 0.81 1.13 0.68 0.17 0.17
Hasil perkebunan lainnya 0.12 Hasil pertanian lainnya 0.35 Jawa Timur (31 komoditi) Perkebunan 1.65 Tebu 3.03 Kelapa 0.72 Cengkeh 0.69 Teh 0.73 Tembakau 1.01 Kopi 1.40 Karet 0.19 Tanaman perkebunan lain 0.25 Kehutanan 0.96 Kayu pertukangan jati 1.07 Kayu pertukangan rimba 0.01 Gondorukem 0.54 Lampung (15 komoditi) Perkebunan 0.25 Kelapa 0.49 Kelapa Sawit 0.02 Kopi 0.20 Cengkeh 0.01 Kakao 0.02 Lada 0.24 Tan perkebunan lainnya 0.26
Udang
0.19
Peternakan Sapi potong Kambing Telur Unggas Kerbau Susu Peternakan lainnya Perikanan Perikanan laut Perikanan tambak Perikanan darat lainnya Pengeringan & pgaraman
1.95 1.85 0.83 2.86 0.32 2.88 0.47 0.10 0.21 0.10 0.77 0.23 0.09
Peternakan Peternakan&hasil-hasilnya Unggas & hasil-hasilnya Kehutanan Kayu Hasil hutan lainnya
3.04 3.06 3.03 0.16 0.22 0.09
Nilai ICOR padi tersebut relatif lebih kecil dibanding studi sebelumnya10 sebesar 3.39. Hal ini lebih banyak disebabkan karena perbedaan sumber data; penelitian ini menggunakan data 1999 hingga 2004/5 yang memiliki nilai investasi relatif lebih rendah untuk menghasilkan nilai tambah dibanding data investasi 1994 hingga 2002. Keadaan ini dapat dijelaskan melalui dua fenomena. Pertama, pemulihan ekonomi pasca krisis belum diarahkan untuk investasi komoditi seperti periode sebelumnya. Dalam beberapa pustaka sebelumnya nilai ICOR padi berkisar angka 411. Kedua, diduga sistem produksi sudah stabil dan efisien menghasilkan nilai tambah. Fenomena ini didukung produksi padi dalam tiga tahun terakhir mencapai di atas 54 juta ton gabah kering giling, dengan pertumbuhan 1.7 persen per tahun (www.deptan.go.id). Berdasarkan kelompok komoditi, pada tingkat nasional maupun Jawa Timur, nilai ICOR tanaman pangan lebih rendah dibanding perkebunan dan peternakan. ICOR tanaman pangan umumnya kurang dari satu menunjukkan bahwa sektor tersebut relatif efisien sehingga memungkinkan diusahakan oleh sebagian besar petani. Mereka juga umumnya berskala kecil atau berkemampuan investasi kecil dibanding petani tebu, kopi, karet tanaman serat, atau peternak. Petani tanaman perkebunan atau peternak umumnya memiliki kemampuan kewirausahaan lebih baik, serta mampu mengakses pasar, modal dan industri pengolahan. Sebaliknya, nilai ICOR subsektor tanaman pangan di propinsi Lampung agaknya lebih tinggi dibanding perkebunan. Fenomena ini sejalan dengan tingginya share nilai 10 11
Nuhfil Hanani dan Iwan Nugroho (2004) Anonim (1997; 2002) dan Nuhfil Hanani dan Iwan Nugroho (2004)
6
tambah tanaman padi, jagung maupun ubikayu (diuraikan dalam bahasan berikutnya). Hal ini bermakna bahwa petani atau pelaku usaha tanaman pangan tersebut telah menerapkan kewirausahaan (aspek-aspek komersial) sehingga menghasilkan insentif yang lebih baik dibanding usaha tanaman perkebunan. unumnya.berlawanan dengan fenomena di atas. berlawanan Secara keseluruhan nilai ICOR subsektor perikanan kurang memuaskan. Angkanya relatif kecil (bahkan tidak terhiitung) dibanding studi-studi sebelumnya yang berkisar 412. Hal tersebut menunjukkan bahwa investasi pada subsektor perikanan dalam periode 1999 hingga 2005 relatif rendah, bahkan tidak tercatat pada propinsi Lampung. Hal ini menandakan bahwa pemulihan ekonomi pada subsektor perikanan belum signifikan dilaksanakan. Karena itu, dalam bahasan berikutnya nilai ICOR menggunakan ukuran nasional hasil penelitian sebelumnya13, yakni perikanan laut 4.97, perikanan darat 2.68 dan udang 2.98; atau secara keselurusan nilai ICOR perikanan sebesar 3.83. III.2. Kebutuhan Investasi Nilai ICOR memiliki implikasi penting bagi perencanaan pembangunan sektor pertanian. Dari nilai ICOR secara kasar atau sektoral dapat dihitung kebutuhan investasi untuk menghasilkan target pertumbuhan PDB tertentu. Berikut disajikan hasil studi kebutuhan investasi selama lima tahun (2005 hingga 2010) pada tingkat nasional, Jawa Timur dan Lampung . Secara nasional, pada pertumbuhan rata-rata 4 persen per tahun, tanaman pangan memerlukan investasi sebesar 9.5 triliun rupiah (Tabel 2). Angka ini kurang lebih 7.8 persen nilai PDB tahun 2005. Ini dapat bermakna bahwa 7.8 persen dari PDB saat sekarang harus disiapkan untuk kebutuhan investasi lima tahun ke depan untuk menghasilkan pertumbuhan 4 persen per tahun. Dengan analogi yang sama, untuk menghasilkan pertumbuhan 8 persen per tahun maka kebutuhan investasi lima tahun ke depan adalah sebesar 16.9 persen dari PDB sekarang. Sementara itu, dengan tingkat pertumbuhan 4 persen, kebutuhan investasi lima tahunan untuk subsektor perkebunan, peternakan dan perikanan masing-masing adalah 8.7, 9.3 dan 83 persen dari nilai PDB saat sekarang. Sementara bila ingin mencapai pertumbuhan 8 persen pada subsektor yang sama, kebutuhan investasinya mencapai 18.8, 20.2 dan 180 persen. Di propinsi Jawa Timur, dengan pertumbuhan rata-rata 4 persen per tahun, subsektor tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan perikanan memerlukan investasi lima tahunan sebesar 3.15, 2.92, 1.76 dan 3.38 triliun rupiah. Angka ini kurang lebih 13.2, 35.7, 42.2 dan 83 persen nilai PDRB tahun 2005. Ini dapat bermakna bahwa sebesar 13.2, 35.7, 42.2 dan 83 persen nilai PDRB Jawa Timur saat sekarang harus disiapkan untuk kebutuhan investasi lima tahun ke depan untuk menghasilkan pertumbuhan 4 persen per tahun pada empat subsektor yang sama. Dengan analogi yang 12 13
Anonim (1997; 2002) dan Nuhfil Hanani dan Iwan Nugroho (2004) Nuhfil Hanani dan Iwan Nugroho (2006)
7
sama, untuk menghasilkan pertumbuhan 8 persen per tahun maka kebutuhan investasi lima tahun ke depan adalah sebesar 28.6, 77.4, 91.5 dan 180 persen dari PDB sekarang. Di propinsi Lampung, dengan pertumbuhan rata-rata 4 persen per tahun, subsektor tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan perikanan memerlukan investasi lima tahunan sebesar 1.27, 0.24, 0.82, dan 1.3 triliun rupiah. Angka ini kurang lebih 14.3, 5.4, 65.9 dan 83 persen nilai PDRB Lampung tahun 2005. Ini dapat bermakna bahwa sebesar proporsi yang sama saat sekarang harus disiapkan untuk kebutuhan investasi lima tahun ke depan untuk menghasilkan pertumbuhan 4 persen per tahun pada empat subsektor yang sama. Dengan analogi yang sama, untuk menghasilkan pertumbuhan 8 persen per tahun maka kebutuhan investasi lima tahun ke depan adalah sebesar 31.0, 11.7, 142.7 dan 183 persen dari PDB sekarang. Tabel 2. ICOR, PDB dan Kebutuhan Investasi Nasional Lima Tahun (2006 – 2010) SubSektor
ICOR
Kebutuhan investasi Lima tahun Kebutuhan investasi Lima tahun (2006-2010) berdasar tingkat (2006-2010) dibanding PDB 2002 pertumbuhan berdasar tingkat pertumbuhan 0.02 0.04 0.06 0.08 0.02 0.04 0.06 0.08 --------------- miliar rupiah1 -------------------------- persen ---------------
PDB 2005
Indonesia Tanaman pangan 0.36 122326 Perkebunan 0.43 41438 Peternakan 0.43 32559 Kehutanan 1.60 19897 Perikanan2 3.83 89398 Jawa Timur Tanaman Pangan 0.61 23864 Perkebunan 1.65 8155 Peternakan 1.95 4160 Kehutanan 0.96 1029 Perikanan2 3.83 4073 Lampung Tanaman Pangan 0.66 8865 Perkebunan 0.25 4473 Peternakan 3.04 1248 Kehutanan 0.16 180 Perikanan2 3.83 1566 1 atas dasar harga konstan tahun 2000 2 menggunakan data Nuhfil Hanani dan Iwan Sumber: Hasil penelitian
4583 1725 1457 3313 35637
9541 14895 20668 3591 5606 7779 3033 4735 6571 6897 10767 14941 74181 115807 160696
3.7 4.2 4.5 16.7 39,9
7.8 8.7 9.3 34.7 83,0
12.2 13.5 14.5 54.1 129,5
16.9 18.8 20.2 75.1 179,8
1515 1400 844 103 1624
3154 2915 1757 214 3380
4924 4551 2743 334 5276
6832 6315 3807 464 7322
6.3 17.2 20.3 10.0 39.9
13.2 35.7 42.2 20.8 83.0
20.6 55.8 66.0 32.5 129.5
28.6 77.4 91.5 45.1 179.8
609 116 395 3 624
1268 242 822 6 1300
1979 378 1284 10 2029
2746 525 1781 13 2815
6.9 2.6 31.6 1.7 39.9
14.3 5.4 65.9 3.5 83.0
22.3 8.5 102.8 5.4 129.5
31.0 11.7 142.7 7.5 179.8
Nugroho (2006)
III.3. Prioritas Kebutuhan Investasi Pertimbangan penyusunan prioritas mengkombinasikan hasil-hasil analisis IO (khususnya nilai pengganda, Tabel 3) dengan ukuran absolut share komoditi (Tabel 4). Nilai pengganda suatu sektor merupakan ukuran relatif perubahan akibat perubahan (eksogen) yang terjadi pada permintaan akhir. Nilai pengganda yang tinggi (selain output), sesuai dengan formulanya, umumnya diakibatkan oleh rendahnya koefisien input upah/gaji dan nilai tambah. Oleh sebab itu nilai pengganda merupakan kriteria relatif yang dapat dikombinasikan dengan ukuran-ukuran absolut dalam menyusun prioritas. Secara umum nilai pengganda relatif bervariasi dengan sebaran peringkat agak tidak bebas di antara ukuran output, pendapatan, dan nilai tambah (Tabel 3). Nilai dan
8
peringkat pengganda relatif tinggi ditemukan pada kopi, unggas, tembakau dan karet dalam tiga aspek yang dipelajari. Hasil ini sejalan dengan studi sebelumnya14 dan sedikit berbeda dengan studi Anonim (2002) yang menghasilkan komoditi karet, tembakau, pemotongan hewan dan kopi. Lima komoditi dengan nilai pengganda output tertinggi ditempati oleh kopi, unggas, tembakau, karet dan hasil pertanian lain. Nilai pengganda kopi sebesar 3.02 bermakna bahwa kenaikan permintaan akhir kopi sebesar satu kali akan meningkatkan output sebesar 3.02 kali. Lima komoditi tersebut dapat menjadi prioritas untuk dikembangkan dalam rangka meningkatkan output nasional. Hal yang sama, yakni lima komoditi tersebut juga memiliki nilai pengganda nilai tambah yang tinggi Hasil perkebunan lain, kopi, unggas, susu dan hasil pertanian lain adalah komoditi dengan nilai pengganda pendapatan tertinggi. Nilai pengganda sebesar 3.54 berarti kenaikan permintaan akhir komoditi hasil perkebunan lain sebesar satu kali akan meningkatkan pendapatan sebesar 3.54 kali. Lima sub sektor tersebut dapat menjadi prioritas untuk dikembangkan dalam rangka meningkatkan pendapatan. Di Jawa Timur, ukuran pengganda ouput yang signifikan menyajikan komoditikomoditi tebu, jagung, padi, jedelai dan ketela pohon. Sementara untuk pengganda pendapatan dan nilai tambah menghasilkan komoditi-komoditi yang relatif sama, yakni telur, pemotongan hewan (daging), susu, dan peternakan lainnya. Di Lampung, ukuran pengganda output tertinggi ditempati oleh tebu, kelapa sawit, perikanan darat, karet dan udang. Sementara untuk pengganda pendapatan dan nilai tambah menghasilkan komoditi-komoditi yang relatif sama, yakni udang, kelapa sawit, kayu dan hasil hutan lainnya Secara umum, hasil analisis pengganda tersebut menghasilkan prioritas pengembangan komoditi sebagai berikut. Di tingkat nasional subsektor peternakan dan perkebunan menyajikan ukuran pengganda relatif tinggi (menempati empat besar) dibanding subsektor tanaman pangan maupun perikanan. Di Jawa Timur, komoditikomoditi dengan nilai pengganda komoditi yang signifikan menyebar subsektor tanaman pangan, perkebunan dan peternakan. Sementara di Lampung, komoditi dengan nilai pengganda yang signifikan ditemukan pada subsektor perkebunan, kehutanan, dan perikanan. Tabel 3. Sepuluh Komoditi dengan Nilai Pengganda Output, Pendapatan dan Nilai Tambah terbesar pada wilayah Nasional, Jawa Timur dan Lampung No
Sektor/Komoditi
Output Sektor/Komoditi
PendaSektor/Komoditi patan
NilaiTa mbah
Indonesia 1 2 3 4 5
6
7 8
14
Kopi Unggas & hasil-2nya Tembakau Karet Hasil pertanian lainnya Padi Susu segar Tebu
3.02 2.78 2.70 2.66 2.41 2.33 2.33 2.21
Hasil perkebunan lainnya Kopi Unggas & hasil-2nya Susu segar Hasil pertanian lainnya Udang Kacang-kacangan lainnya Tembakau
Nuhfil Hanani dan Iwan Nugroho (2005)
3.54 2.14 2.09 2.08 2.04 1.99 1.97 1.94
Kopi Unggas & hasil-2nya Tembakau Karet Hasil pertanian lainnya Susu segar Padi Kelapa sawit
3.15 2.90 2.59 2.23 2.23 2.18 2.04 1.88
9
9
Kelapa sawit
10
Udang
1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jawa Timur Tebu
Jagung
Padi Kedelai Ketela pohon Telur Tembakau Teh Kelapa Perikanan laut Lampung Tebu Kelapa Sawit Perikanan darat Karet Udang Unggas & hasil-2nya Perikanan laut Kopi
Jagung 10 Padi Sumber: Hasil penelitian
2.19 Ternak & hsl2nya kecuali susu sagar 2.14 Padi
1.91 Udang
1.86
1.80 Tebu
1.83
2.32 2.23 2.19 2.14 2.06 2.05 2.01 1.98 1.92 1.81
Pemotongan hewan Telur Peternakan lainnya Susu Kerbau Teh Ketela pohon Karet Tanaman perkebunan lain Tebu
3.53 1.83 1.80 1.69 1.59 1.55 1.46 1.46 1.46 1.45
2.92 2.84 2.79 2.63 2.58 2.51 2.45 2.44 2.43 2.36
Hasil hutan lainnya Udang Kelapa Sawit Kayu Tan bahan makanan lain Kakao Sayur-sayuran Perikanan laut Unggas & hasil-2nya Nanas
2.34 2.23 2.21 2.21 2.19 2.15 2.13 2.13 2.06 1.99
Telur Pemotongan hewan Teh Tebu Peternakan lainnya Susu Padi Ketela pohon Sayur-sayuran
2.41 2.17 1.86 1.74 1.68 1.66 1.62 1.59 1.58 1.58
Kelapa Sawit Tebu Kayu Udang Hasil hutan lainnya Perikanan darat Sayur-sayuran Unggas & hasil-2nya Perikanan laut Tan bahan makanan lain
2.18 2.13 2.12 2.02 2.01 1.93 1.81 1.81 1.80 1.78
Jagung
Ukuran absolut prioritas komoditi dapat disajikan dalam share output, nilai tambah, ekspor atau pendapatan (Tabel 4). Secara nasional, padi, unggas, perikanan darat, sayuran dan buah-buahan memiliki pengaruh kesejahteraan yang besar karena mendominasi dalam share pendapatan dan nilai tambah. Jumlah petani berskala kecil atau petani rakyat dalam sektor tersebut relatif besar. Ada sejumlah 21.9 persen tenaga kerja pada sektor tersebut15 setara dengan kurang lebih 25 juta pekerja atau 100 juta jiwa. Dengan demikian, komoditi tersebut juga menyimpan aspek politik dan perlu mendapat perhatian penting dalam kebijakan investasi oleh pemerintah. Sementara itu hasil perikanan laut, kakao, hasil perkebunan lain dan hasil hutan lain menyajikan share ekspor yang relatif tinggi. Di Jawa Timur, komoditi padi, buah-buahan, jagung, kelapa dan tebu merupakan penyumbang pendapatan dan nilai tambah terbesar. Komoditi tersebut, ditambah sayursayuran juga penyumbang ekspor utama di Jawa Timur. Di Lampung, komoditi padi, kopi, jagung, dan ubi kayu merupakan penyumbang pendapatan dan nilai tambah terbesar. Komoditi unggas dan lada masing-masing juga ikut menyumbang pendapatan dan nilai tambah. Sementara itu penyumbang ekspor utama Lampung adalah kelapa, unggas, peternakan dan hasil-hasilnya, pisang dan jagung. Tabel 4. Share output, ekspor, pendapatan dan nilai tambah di Indonesia, Jawa Timur dan Lampung N
15
Indonesia
Anonim (2002)
Jawa Timur
Lampung
10
o
miliar permiliar perKomoditi Komoditi rp sen rp sen Output Output Output 1 Padi 56223 2.09 Padi 10414 2.62 Padi 2 Ikan&hsl perairan 48445 Pemotongan hewan 8647 Jagung darat 1.80 2.18 3 Unggas & hasil-2nya 39333 1.46 Buah-buahan 6543 1.65 Kopi 4 Buah-buahan 28977 1.08 Kelapa 4112 1.04 Unggas & hasil-2nya 5 Ikan dan hasil laut lain 26403 0.98 Sayur-sayuran 3613 0.91 Ubi kayu Ekspor Ekspor Ekspor 1 Ikan dan hasil laut lain 2310 0.41 Buah-buahan 2314 1.92 Kelapa 2 Kakao 1920 0.34 Jagung 2024 1.68 Unggas & hasil-2nya 3 Hasil perkebunan lain 1658 Padi 1670 Peternakan& hasil0.30 1.38 2nya 4 Hasil hutan lainnya 477 0.09 Tebu 1336 1.11 Pisang 5 Ternak & hsl lain keci 261 Sayur-sayuran 1120 Jagung susu 0.05 0.93 Pendapatan Pendapatan Pendapatan 1 Padi 15306 3.89 Padi 5731 8.61 Padi 2 Unggas & hasil-2nya 9494 2.42 Buah-buahan 2543 3.82 Kopi 3 Ikan&hsl perairan 5987 Jagung 1953 Jagung darat 1.52 2.93 4 Karet 5227 1.33 Kelapa 1826 2.74 Unggas & hasil-2nya 5 Sayur-sayuran 5044 1.28 Tebu 1300 1.95 Ubi kayu Nilai Tambah Nilai Tambah Nilai Tambah 1 Padi 46211 3.56 Padi 8779 5.17 Padi 2 Ikan&hsl perairan 39195 Buah-buahan 4219 Kopi darat 3.02 2.49 3 Buah-buahan 25458 1.96 Kelapa 3812 2.25 Jagung 4 Ikan dan hasil laut lain 20227 1.56 Jagung 3108 1.83 Lada 5 Unggas & hasil-2nya 16848 1.30 Tebu 1970 1.16 Ubi kayu Sumber: Tabel Input output Nasional, Jawa Timur, Lampung tahun 2000, diolah Komoditi
miliar perrp sen 5417 7.90 1803 2.63 1743 2.54 1328 1.94 1299 1.90 239 2.45 153 1.56 152 1.56 130 1.34 93 0.95 973 13.5 348 4.82 276 3.82 191 2.64 190 2.64 3721 15.6 1178 4.93 1156 4.83 998 4.17 981 4.10
Secara umum, hasil tersebut di atas menghasilkan implikasi sebagai berikut. Pertama, padi menjadi penyumbang utama di tingkat nasional, Jawa Timur dan Lampung dalam share output, pendapatan dan nilai tambah. Hal ini bermakna bahwa komoditi yang bernilai strategis sejenis padi perlu mendapatkan prioritas pengembangannya. Alasan yang mendasarinya dapat berupa jumlah tenaga kerja yang terlibat, beban impor, atau alasan stabilitas ekonomi dan politis lainnya. Tabel IO nasional memperlihatkan, nilai impor komoditi pertanian terbesar di Indonesia meliputi tanaman serat (untuk tekstil, 5.5 triliun rupiah), padi-padian (untuk industri tepung, 4.2 triliun rupiah), buah-buahan (1.6 triliun rupiah), kedele (1.49 triliun rupiah), jagung (1.45 triliun rupiah), dan hasil ternak kecuali susu segar (daging atau sejenis, 1.0 triliun rupiah). Komodii strategis lainnya adalah tebu mengingat kebutuhan akan impor gula per tahun rata-rata mencapai 1.5 juta ton. Komoditi penting tersebut sepanjang memenuhi kelayakan ekonomis dan ekologis, dapat diprioritaskan pengembangannya. Kedua, komoditi penyumbang ekspor sudah selayaknya dikembangkan. Hal tersebut diarahkan tidak hanya untuk perolehan devisa atau peningkatan kapasitas ekonomi wilayah, tetapi juga untuk peningkatan nilai tambah dalam wilayah. Tingginya share ekspor nasional oleh hasil perikanan laut, kakao, hasil perkebunan lain dan hasil hutan lain, sesungguhnya belum memberi manfaat signifikan. Hal ini disebabkan komoditi tersebut tidak memiliki basis usaha tani yang kuat, karena tidak ada yang menjadi penyumbang utama dalam share output, pendapatan, maupun nilai
11
tambah. Kecuali pada hasil perkebunan lain, nilai pengganda komoditi perikanan laut, kakao, dan hasil hutan lain tidak masuk dalam sepuluh besar (Tabel 3). Hal demikian juga teramati dalam komoditi penyumbang ekspor di Lampung, yakni kelapa, unggas, peternakan, dan pisang. Kecuali unggas, komoditi lainnya juga tidak masuk nilai pengganda sepuluh besar. Sebaliknya hal yang cukup baik ditampilkan di Jawa Timur, dimana komoditi ekspornya juga siginifikan dalam share output, pendapatan dan nilai tambah. Padi, tebu dan jagung memiliki nilai penggada relatif besar. Secara keseluruhan kombinasi kriteria relatif (atas dasar nilai pengganda) dan absolut (atas dasar share pendapatan, nilai tambah dan ekspor), menghasilkan komoditikomoditi yang dapat diprioritaskan sebagai berikut (Tabel 5). Prioritas pengembangan komoditi nasional dikelompokkan menjadi tiga, yakni komoditi berdampak kesejahteraan, komoditi penghasil nilai tambah dan komoditi penhasil devisa. Sementara prioritas pengembangan komoditi di tingkat propinsi hanya masuk dua kelompok pertama. Komoditi yang masuk kelompok 1 dilandasi pertimbangan memiliki share (output, pendapatan dan nilai tambah) yang signifikan, termasuk kategori komoditi strategis (termasuk ketergantungan impor tinggi, menampung tenaga kerja yang signifikan) dan untuk pengembangan agribisnis/agroindustri. Kelompok 2 dilandasi pertimbangan memiliki share dan nilai pengganda yang tinggi khususnya dalam nilai tambah dan pendapatan. Kelompok 3 dilandasi pertimbangan memiliki share ekspor yang signifikan karenanya tidak satupun komoditi ditemukan di tingkat propinsi (Tabel 5). Di tingkat nasional, pengembangan kelompok komoditi I; yakni padi, unggas, susu, tebu dan kedele pada tingkat pertumbuhan 4 persen membutuhkan investasi lima tahunan sebesar 18.67 triliun rupiah, setara dengan 25.6 persen dari PDB tahun sekarang (Tabel 5). Pengembangan kelompok komoditi II; yakni ikan dan hasil perikanan darat, buah-buahan, tembakau, kopi dan karet membutuhkan investasi lima tahunan sebesar 35.4 triliun agar dapat tumbuh sebesar 4 persen, setara dengan 38.1 persen dari PDB tahun sekarang. Pengembangan kelompok komoditi III; yakni ikan laut dan hasil laut lainnya, kakao dan hasil perkebunan lain membutuhkan investasi lima tahunan sebesar 29.0 triliun agar perolehan devisa tumbuh sebesar 4 persen per tahun, setara dengan 93 persen dari PDB tahun sekarang. Di propinsi Jawa Timur, pengembangan kelompok komoditi I; yakni padi, tebu, susu, telur dan kedele pada tingkat pertumbuhan 4 persen membutuhkan investasi lima tahunan sebesar 3.9 triliun rupiah, setara dengan 28.1 persen dari PDRB tahun sekarang. Pengembangan kelompok komoditi II; yakni buah-buahan, jagung, kelapa dan sayursayuran membutuhkan investasi lima tahunan sebesar 1.13 triliun agar dapat tumbuh sebesar 4 persen, setara dengan 8.0 persen dari PDRB tahun sekarang. Di propinsi Lampung, pengembangan kelompok komoditi I; yakni padi, tebu, jagung, unggas dan hasil-hasilnya, dan kopi pada tingkat pertumbuhan 4 persen membutuhkan investasi lima tahunan sebesar 1.99 triliun rupiah, setara dengan 23.8 persen dari PDRB tahun sekarang. Pengembangan kelompok komoditi II; yakni ubikayu, lada, kelapa, peternakan dan hasil-hasilnya, pisang dan kelapa sawit
12
membutuhkan investasi lima tahunan sebesar 602 miliar, setara dengan 13.3 persen dari PDRB. Tabel 5. Susunan Prioritas dan Kebutuhan Investasi Pengembangan Komoditi No
Sektor/Komoditi
Nasiomal Kelompok I 1 Padi 2 Unggas & hasil-2nya 3 Susu segar 4 Tebu 5 Kedele Kelompok II 1 Ikan&hsl perairan darat 2 Buah-buahan 3 Tembakau 4 Kopi 5 Karet Kelompok III 1 Ikan&hasil laut lainnya 2 Kakao 3 Hasil perkebunan lainnya Jawa Timur Kelompok I 1 Padi 2 Tebu 3 Susu 4 Telur 5 Kedelai Kelompok II 1 Buah-buahan 2 Jagung 3 Kelapa 4 Sayur-sayuran Lampung Kelompok I 1 Padi 2 Tebu 3 Jagung 4 Unggas & hasil-2nya 5 Kopi Kelompok II 1 Ubi Kayu 2 Lada 3 Kelapa 4 Peternakan&hasil-2nya 5 Pisang 6 Kelapa sawit Sumber: Hasil penelitian
ICOR
PDB 2005
Kebutuhan investasi Lima tahun (2006-2010) berdasar tingkat pertumbuhan 0.02 0.04 0.06 0.08 -----------miliar rupiah---------
Kebutuhan investasi Lima tahun (2006-2010) dibanding PDB 2002 berdasar tingkat pertumbuhan 0.02 0.04 0.06 0.08 --------------persen-------------
72896 1.72 42155 0.38 22944 2.93 663 0.52 5058 0.17 2076 92927 2.68 51524 0.14 28182 3.11 661 1.32 1148 1.56 11412 31184 4.97 26843 0.16 2331 0.12 2010
8967 7547 907 202 274 37 17008 14372 411 214 158 1853 13950 13886 39 25
18665 15709 1889 421 570 76 35402 29917 855 445 328 3857 29037 28904 81 52
29138 24523 2949 657 890 119 55266 46704 1334 695 512 6021 45331 45123 126 82
40433 34029 4092 912 1234 166 76689 64807 1852 964 711 8355 62902 62614 175 113
12.3 17.9 4.0 30.5 5.4 1.8 18.3 27.9 1.5 32.4 13.7 16.2 44.7 51.7 1.7 1.2
25.6 37.3 8.2 63.5 11.3 3.7 38.1 58.1 3.0 67.4 28.6 33.8 93.1 107.7 3.5 2.6
40.0 58.2 12.9 99.1 17.6 5.7 59.5 90.6 4.7 105.2 44.6 52.8 145.4 168.1 5.4 4.1
55.5 80.7 17.8 137.5 24.4 8.0 82.5 125.8 6.6 146.0 62.0 73.2 201.7 233.3 7.5 5.6
13976 0.83 10147 3.03 2116 0.47 405 0.48 439 3.29 870 14129 0.11 4897 0.23 3413 0.72 4324 0.51 1495
1884 877 667 20 22 298 541 56 82 324 79
3921 1825 1389 41 46 620 1126 117 170 674 165
6119 2848 2168 64 71 968 1758 182 265 1053 258
8494 3953 3009 89 99 1344 2440 253 368 1461 358
13,5 8.6 31.5 4.9 5.0 34.2 3,8 1.1 2.4 7.5 5.3
28,1 18.0 65.6 10.2 10.4 71.3 8,0 2.4 5.0 15.6 11.0
43,8 28.1 102.5 15.9 16.2 111.3 12,4 3.7 7.8 24.4 17.2
60,8 39.0 142.2 22.1 22.5 154.4 17,3 5.2 10.8 33.8 23.9
8354 4434 365 1384 871 1299 4524 1193 1111 896.5 377 569 377
954 374 115 163 275 27 289 84 28 46 120 10 1
1985 778 240 339 572 56 602 176 58 95 250 21 2
3099 1215 374 529 893 88 939 274 90 149 390 33 3
4299 1685 519 734 1239 122 1302 381 125 206 541 45 4
11.4 8.4 31.5 11.8 31.5 2.1 6.4 7.1 2.5 5.1 31.8 1.8 0.2
23.8 17.5 65.6 24.5 65.6 4.3 13.3 14.7 5.2 10.6 66.3 3.7 0.4
37.1 27.4 102.5 38.2 102.5 6.8 20.8 23.0 8.1 16.6 103.5 5.7 0.7
51.5 38.0 142.2 53.0 142.2 9.4 28.8 31.9 11.3 23.0 143.6 8.0 0.9
0.81 3.03 1.13 3.03 0.2 0.68 0.24 0.49 3.06 0.17 0.02
Prioritas pengembangan komoditi berimplikasi penting terhadap dua hal. Pertama, peran dunia usaha swasta mengembangkan komoditi dalam semua kelompok semakin penting di masa mendatang. Kebijakan harga (pricing policy) sesudah momentum
13
reformasi memberikan insentif yang cukup pada hampir semua komoditi, khususnya padi dan tebu (gula), melalui instrumen yang mempertimbangkan bargaining power petani; sementara distorsi harga pada komoditi yang lain telah jauh menurun. Hal ini telah menghasilkan pembelajaran bagi pelaku usaha tani untuk berperilaku rasional memilih usaha taninya. Melalui kemampuan wirausaha dan manajemen produksi yang efisien, mereka akan memperoleh nilai tambah yang cukup signifikan bagi pengembangan komoditi ke depan. Hal ini juga tidak lepas dari kinerja ekonomi makro yang semakin membaik. Hal ini diharapkan menjadi modal yang baik dalam kerangka kebijakan pengembangan agribisnis dan revitalisasi pembangunan pertanian nasional. Kedua, pengembangan agribisnis komoditi dalam kelompok I dan II menunjukkan keterkaitan yang tinggi dengan industri pengolahan. Komoditi tersebut tidak hanya kelompok tanaman pangan dan perkebunan, tetapi telah bergeser ke peternakan (unggas, susu dan telur) dan perikanan (ikan darat dan laut). Pada tanaman pangan, komoditi jagung muncul di di Jawa Timur dan Lampung sebagai prioritas sebagai penghasil nilai tambah. Pengembangan komoditi jagung dalam beberapa tahun terakhir telah melibatkan bentuk kerjasama yang menguntungkan antara petani dan industri jagung hibrida. Penyebaran jenis komoditi yang terkait dengan industri pengolahan memberi peluang peningkatan nilai tambah bagi pengembangan agribisnis. Gunawan16 memberikan wacana atau panduan yang cukup komprehensif dalam kerangka pengembangan agribisnis. Investasi dalam aspek produksi masih terbuka peluang dalam komoditi kedele, ubikayu (casava), tembakau, tebu, mete, unggas (ayam lokal), sapi dan bebek. Penyediaan domestik komoditi tersebut umumnya masih dibantu suplai impor, dan masih perlu dikembangkan untuk mendukung konsumsi langsung atau permintaan industri pengolahannya. Hasil telaah tersebut menyajikan hasil yang relevan dengan studi ini. Dalam subsistem agribisnis produksi, prospek investasi terjadi pada produk-produk peternakan, tebu, dan kedele. Sementara dalam agribisnis pengolahan hampir semua komoditi prioritas memiliki prospek yang baik. IV. KESIMPULAN Secara nasional, ICOR subsektor tanaman pangan, perkebunan, peternakan, dan kehutanan masing-masing sebesar 0.36, 0.52, 0.43, dan 1.60. Hal yang sama di Jawa Timur diperoleh ICOR sebesar 0.61, 1.65, 1.95, dan 0.96; dan di Lampung ditemukan ICOR sebesar 0.66, 0.25, 3.04 dan 0.16. Diperoleh pula nilai ICOR padi nasional, Jawa Timur dan Lampung sebesar masing-masing 1.72, 0.83 dan 0.81. Secara nasional, untuk menghasilkan pertumbuhan rata-rata 4 persen per tahun, kebutuhan investasi lima tahun ke depan pada subsektor tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan perikanan mencapai masing-masing sebesar 7.8, 8.7, 9.3 dan 83 persen dari nilai PDB tahun sekarang. Kebutuhan yang sama di Jawa Timur, mencapai 13.2, 35.7, 42.2 dan 83 persen dari nilai PDRB tahun sekarang. Sementara di lampung, jumlah investasi mencapai 14.3, 5.4, 65.9 dan 83 persen dari nilai PDRB tahun sekarang. 16
Gunawan (2001)
14
Susunan prioritas kebutuhan investasi dalam periode 2006 hingga 2010 dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 4 persen per tahun adalah sebagai berikut. i. Di tingkat nasional, pengembangan komoditi yang berdampak besar bagi kesejahteraan; yakni padi, unggas, susu, tebu dan kedele; membutuhkan investasi sebesar 18.67 triliun rupiah, setara dengan 25.6 persen dari PDB. Pengembangan kelompok komoditi yang berdampak kepada peningkatan nilai tambah; yakni ikan dan hasil perikanan darat, buah-buahan, tembakau, kopi dan karet membutuhkan sebesar 35.4 triliun, setara dengan 38.1 persen dari PDB. Pengembangan kelompok komoditi penghasil devisa (ekspor); yakni ikan laut dan hasil laut lainnya, kakao dan hasil perkebunan lain membutuhkan investasi sebesar 29.0 triliun, setara dengan 93 persen dari PDB. ii. Di propinsi Jawa Timur, pengembangan komoditi yang berdampak besar bagi kesejahteraan; yakni padi, tebu, susu, telur dan kedele membutuhkan investasi sebesar 3.9 triliun rupiah, setara 28.1 persen dari PDRB. Pengembangan komoditi yang berdampak kepada peningkatan nilai tambah; yakni buah-buahan, jagung, kelapa dan sayur-sayuran membutuhkan investasi sebesar 1.13 triliun, setara dengan 8.0 persen dari PDRB. iii. Di propinsi Lampung, pengembangan komoditi yang berdampak besar bagi kesejahteraan; yakni padi, tebu, jagung, unggas dan hasil-hasilnya, dan kopi membutuhkan investasi sebesar 1.99 triliun rupiah, setara dengan 23.8 persen dari PDRB. Pengembangan komoditi yang berdampak kepada peningkatan nilai tambah; yakni ubikayu, lada, kelapa, peternakan dan hasil-hasilnya, pisang dan kelapa sawit membutuhkan investasi lima tahunan sebesar 602 miliar, setara dengan 13.3 persen dari PDRB.
15
DAFTAR PUSTAKA Anonim. Kajian Perkiraan Kebutuhan Investasi Pertanian dan Pemenuhannya dalam Repelita VII. Kerjasama PPUP Biro Perencanaan Deptan dengan Puslit Sosektan Balitbang Deptan. 1997. Anonim. Perumusan Kebijakan Rasionalisasi Anggaran Pembangunan Pertanian Kerjasama Deptan dengan Pusat Pengembangan Agribisnis Unibraw, 2002. BPS. Tabel Input-output Indonesia 2000. BPS Pusat Jakarta. 2004. BPS. Tabel Input-output Jawa Timur 2000. BPS Propinsi Jawa Timur, Surabaya. 2005a. BPS. Tabel Input-output Lampung 2000. BPS Propinsi Lampung, Bandar Lampung. 2005b. BPS. ICOR Industri Manufaktur. BPS Pusat Jakarta. 2003. Departemen Pertanian RI. Program Pembangunan Pertanian. Jakarta. 2001. Fuglie, K. O. Investing in agricultural productivity in Indonesia. Forum Agro Ekonomi. Tahun 1999, 19(2): 1-16 Nuhfil Hanani dan Iwan Nugroho. Kebutuhan Investasi untuk Pengembangan Sektor Pertanian: Suatu pendekatan Input-output. AGRIVITA FP-UNIBRAW (Juni 2004) 26(2):161-171 Nuhfil Hanani dan Iwan Nugroho. Kebutuhan Investasi Sektor Pertanian Berbasis Pengembangan Komoditi: Pendekatan input-output. AGRIVITA FP-UNIBRAW (Juni 2006) 28(2): 114-126
LPEM UI (Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia). Kursus Perencanaan Pembangunan Daerah. 1999. Williamson, O. E. 1995. The institutions and governance of economic deve-lopment and reform. Proceeding of the World Bank Annual Conference on Development Economics 1994. IBRD-World Bank, Washington, DC. 171-197