STUDI GENDER DALAM PROGRAM PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA MIKROHIDRO (PLTMH) BAGI RUMAHTANGGA MISKIN (Kasus di Desa Cinta Mekar, Kecamatan Serangpanjang, Kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat)
Oleh: ERNA SAFITRI PURWANINGTYAS A 14204060
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN ERNA
SAFITRI
PURWANINGTYAS.
STUDI
GENDER
DALAM
PROGRAM PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA MIKROHIDRO (PLTMH) BAGI RUMAHTANGGA MISKIN. Kasus di Desa Cinta Mekar, Kecamatan Serangpanjang, Kabupaten Subang, Jawa Barat (Di bawah bimbingan SITI SUGIAH MUGNIESYAH). Pemerintah mengakui belum meratanya pelayanan ketenagalistrikan seperti yang dinyatakan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun (RPJMN) 2004-2009, untuk itu salah satu arah kebijakan pembangunan ketenagalistrikan ditujukan ke arah peningkatan partisipasi investasi swasta, pemerintah daerah, koperasi dan masyarakat dalam menyediakan sarana dan prasarana ketenagalistrikan. Yayasan Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA) merespon kebijakan tersebut dengan mengintroduksikan elektrifikasi pedesaan yang menggunakan sumber energi terbaharui yang dikenal sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro atau PLTMH (Micro Hydropower Plant or
MHP).
Publikasi
berkenaan
keberhasilan
Yayasan
IBEKA
dalam
pemberdayaan miskin belum didasarkan pada suatu penelitian yang bersifat berperspektif gender. Menarik untuk mengetahui secara lebih utuh tentang kegiatan Yayasan IBEKA khususnya dalam konteks peningkatan kualitas sumberdaya manusia, baik laki-laki maupun perempuan, dengan mengacu pada kebijakan pemerintah melalui INPRES Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam pembangunan nasional. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui mengenai: (1) Penetapan target sasaran oleh Yayasan IBEKA dibanding dengan kriteria BPS, (2)
Pelaksanaan program PLTMH berdasar pada prinsip-prinsip pemberdayaan, (3) Akses, kontrol, manfaat dan partisipasi perempuan dan laki-laki dari rumahtangga miskin, serta efek yang ditimbulkan dari program PLTMH, (4) Pemenuhan kebutuhan praktis dan strategis gender dalam program PLTMH, (5) Pemenuhan level kesetaraan gender dan level isu perempuan menurut Kerangka Longwe. Penelitian dilaksanakan di Desa Cinta Mekar, Kecamatan Serangpanjang, Kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat. Dengan pertimbangan bahwa di lokasi ini terdapat program pembangunan PLTMH yang telah dilaksanakan pada periode waktu 2004-2008 serta sebagai proyek percontohan (pilot project) pembangunan PLTMH. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif yang dilengkapi dengan data kualitatif. Data yang diambil mencakup data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan metode survei. Data sekunder diperoleh melalui kegiatan studi dokumentasi, khususnya yang menyangkut potensi desa serta laporan dan dokumentasi, khususnya yang menyangkut potensi desa serta laporan dan dokumentasi lain yang berkenaan dengan pelaksanaan PLTMH di Desa Cinta Mekar. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Mei hingga Juni 2008. Penelitian ini mengacu kepada beragam konsep, pendekatan, dan teoriteori
yang
berkenaan
dengan
gender
dan
pembangunan,
pendekatan
pemberdayaan masyarakat, evaluasi program sistem, serta aspek-aspek berkenaan program PLTMH sebagaimana dirancang oleh Yayasan IBEKA dan PT Hidropiranti Inti Bhakti Swadaya. Dari beragam konsep tersebut dirumuskan variabel-variabel terpengaruh yang meliputi: Tingkat Akses, Kontrol, Partisipasi dan Manfaat yang diperoleh Rumahtangga Miskin Laki-laki dan Perempuan pada
tahapan siklus Program PMLTH. Beberapa faktor yang mempengaruhinya, yaitu Tingkat Pendidikan Formal, Status Bekerja, Tingkat Kekayaan, Status Rumahtangga, Tingkat Kontrol dalam Rumahtangga, Tingkat Dukungan dari Pemerintah, Frekuensi Kunjungan Fasilitator, Jumlah Dana Program dan Tingkat Kesesuaian Program terhadap Kebutuhan RMKL dan RMKP. Selanjutnya, dengan menggunakan pendekatan Kerangka Pemberdayaan Longwe, berdasar semua pencapaian pada semua variabel tidak bebas yang ditemukan dalam penelitian dianalisis Tingkat Kesetaraan dan Tingkat Pengakuan atas “isu-isu perempuan” yang diwujudkan melalui program PLTMH Desa Cinta Mekar. Penerima program PLTMH adalah mereka yang tergolong rumahtangga miskin sesuai dengan kriteria baik yang ditetapkan oleh Yayasan IBEKA maupun BPS, yang meliputi rumahtangga miskin yang dikepalai laki-laki dan perempuan. Tingkat akses RMKL baik terhadap tahap perencanaan, maupun pelaksanaan program mayoritas lebih tinggi dari RMKP, sedangkan pada tahap pemanfaatan program tergolong sedang. Pada RKML mayoritas pengambilan keputusan dilakukan bersama antara suami dan istri yang salah satunya dominan. Untuk kontrol perencanaan, pelaksanaan serta pemanfaatan program, secara umum RMKL dan RMKP mayoritas tergolong sedang. Pada RMKP seluruhnya tergolong rendah, karena pengambilan keputusan sepenuhnya dilakukan oleh istri (perempuan). Untuk tingkat partisipasi program PLTMH, RMKL mayoritas lebih tinggi/lebih berpartisipasi, karena menyangkut jenis pekerjaan fisik. Kebutuhan praktis anggota rumahtangga miskin terbantu dengan adanya pemasangan listrik dan bantuan beasiswa, sedangkan kebutuhan strategis terlihat
dari adanya perempuan yang akses dan kontrol terhadap kelembagaan pendukung PLTMH Mengacu pada Longwe, terlihat bahwa Program PLTMH tampaknya telah memasuki area pemberdayaan pada tingkat akses terhadap sumberdaya program, tingkat kontrol serta partisipasi. Dalam konteks pemberdayaan level isu-isu perempuan, pembangunan PLTMH termasuk pada level negatif. Beberapa kendala dalam Program PLTMH antara lain, adanya pergantian operator
PLTMH
karena
kelalaian
dalam
bertugas,
adanya
isu
yang
mempertanyakan kepemilikan status bangunan sipil PLTMH, dan mengacu pada INPRES No.9 Tahun 2000 tentang PUG, bahwa program PLTMH dinilai belum menintegrasikan gender secara eksplisit di dalam tujuan program, untuk itu perlu adanya saran atau masukan yakni kecermatan pihak Yayasan IBEKA dan Koperasi Mekarsari dalam menentukan operator, perlunya pendekatan ke masyarakat dalam rangka pembentukan rasa memiliki bersama (masalah status bangunan sipil), serta Yayasan IBEKA lebih bisa mengintegrasikan relasi gender pada visi dan misinya dalam program-program yang akan datang.
STUDI GENDER DALAM PROGRAM PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA MIKROHIDRO (PLTMH) BAGI RUMAHTANGGA MISKIN (Kasus di Desa Cinta Mekar, Kecamatan Serangpanjang, Kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat)
Oleh: ERNA SAFITRI PURWANINGTYAS A 14204060
Skripsi Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang ditulis oleh: Nama
: Erna Safitri Purwaningtyas
Nomor Pokok : A14204060 Judul
: Studi Gender Dalam Program Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) Bagi Rumahtangga Miskin (Kasus di Desa Cinta Mekar, Kecamatan Serangpanjang, Kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat)
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Ir. Siti Sugiah Mugniesyah, MS. NIP. 130 779 504
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus Ujian:
PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “STUDI
GENDER
DALAM
PROGRAM
PEMBANGKIT
LISTRIK
TENAGA MIKROHIDRO (PLTMH) BAGI RUMAHTANGGA MISKIN (KASUS DI DESA CINTA MEKAR, KECAMATAN SERANGPANJANG, KABUPATEN SUBANG, PROPINSI JAWA BARAT)” BELUM PERNAH DIAJUKAN
PADA PERGURUAN TINGGI ATAU
MANAPUN
UNTUK TUJUAN
MEMPEROLEH
LEMBAGA LAIN
GELAR AKADEMIK
TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENARBENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK
LAIN
KECUALI
SEBAGAI
BAHAN
RUJUKAN
YANG
DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, September 2008
Erna Safitri Purwaningtyas A14204060
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Wonogiri Propinsi Jawa Tengah pada tanggal 15 Mei 1987, sebagai anak pertama dari pasangan Bapak Widodo dan Ibu Sunarti. Pada tahun 1995 penulis menamatkan pendidikan dasar di SDN 02 Jatinegara Pagi, Kelurahan Jatinegara, Kecamatan Cakung, kemudian pada tahun yang sama penulis melanjutkan ke SLTPN 1 Manyaran, Kecamatan Manyaran, Kabupaten Wonogiri sampai tahun 2001. Pada tahun 2001 penulis melanjutkan pendidikan di SMUN 1 Wonogiri dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis di terima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada Fakultas Pertanian, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian dengan program studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Selama menempuh kegiatan akademik, penulis pernah aktif sebagai staf public relation Koran Kampus IPB pada tahun 2008 dan menjadi pimpinan perusahaan Buletin D’Green Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Pertanian pada tahun 2007. Penulis aktif menjadi panitia kegiatan kemahasiswaan, seperti acara Pekan Olahraga Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Ilmu Penyuluhan pada tahun 2008.
UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah Subhanallohuwataala, yang telah memberikan kekuatan, kesabaran, dan pengetahuan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Studi Gender dalam Program Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) Bagi Rumahtangga Miskin (Kasus di Desa Cinta Mekar, Kecamatan Serangpanjang, Kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat).” Dengan segala ketulusan hati penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada beberapa pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini, terutama kepada : 1. Ir. Siti Sugiah Mugniesyah, MS selaku dosen pembimbing dan dosen pembimbing akademik yang telah memberikan arahan serta bimbingan kepada penulis sejak awal penyusunan proposal hingga penulisan skripsi. 2. Dra. Winati Wigna, MDS, yang bersedia menjadi penguji utama dan memberikan banyak masukan dalam rangka penyempurnaan skripsi ini. 3. Ir. Heru Purwandari, MSi, selaku penguji dari Departemen KPM yang telah memberikan masukan untuk perbaikan skripsi ini. 4. Keluargaku tercinta: Bapak Widodo dan Ibu Sunarti atas segala do’a dan kasih sayangnya, Adikku Ditya yang senantiasa memberikan semangat. 5. Keluarga Paman: Om Agus dan Tante Ani serta Salsa; Om Ali atas kesediaan memberikan fasilitas tempat tinggal dan sarana selama penulis menempuh studi. 6. Ibu Tri Mumpuni, Bapak Iskandar, Bu Yeti, Pak Sapto, dan staf Yayasan IBEKA, atas bantuan data selama penelitian 7. Teman satu bimbingan, Restu Diresika Kisworo atas semangat, kebersamaan dan kerjasama dari awal Studi Pustaka hingga skripsi ini selesai. 8. Teman-teman seangkatan KPM 41, atas pengalaman selama empat tahun bersama- sama menyelesaikan studi dari Departemen Ilmu-ilmu Sosial dan
Ekonomi, Fakultas Pertanian, khususnya: Lutfi, Retno, Nani, Icha, Nurina, Arta, Sani, Yuliya, Munir, dan Ilham 9. Keluarga besar Pusat Informasi Lingkungan Indonesia (PILI), khususnya: Mas Agus, Rifky, Kang Ida, Guli, Mbak Epoy, Dhika, Ninik, yang senantiasa mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini. 10. Farhan Nahdiya, atas dukungan dan semangat yang diberikan kepada penulis sejak penyusunan proposal hingga penyelesaian skripsi. 11. Bapak Wasja, Ibu Yati, Neng Dewi, Bu Yuyun, Mang Ian, Asep, Mang Jek, Mang Upas, Mang Wahdi, Mang Kelip, Mas Anang dan segenap masyarakat Desa Cinta Mekar atas bantuan serta dukungan selama penulis melakukan penelitian. 12. Civitas akademis Sosial Ekonomi Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan pengajaran yang terbaik, juga kepada seluruh staf penunjang khususnya Mbak Maria dan Mbak Nisa yang telah membantu segala administrasi selama perkuliahan serta bagi semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas segala bantuannya.
Bogor, Agustus 2008
Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI.................................................................................................... xi DAFTAR TABEL............................................................................................ xii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiii BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1.2 Perumusan Masalah ............................................................................. 1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................. 1.4 Kegunaan Penelitian ............................................................................
1 1 4 6 7
BAB II PENDEKATAN TEORITIS ............................................................... 2.1 Tinjauan Pustaka .................................................................................. 2.1.1 Pengertian Konsep dan Prinsip Pengembangan Masyarakat......................................................... 2.1.2 Pengertian dan Peranan Gender .................................................. 2.1.3 Pengertian Program dan Evaluasi Program................................. 2.1.4 Teknik Analisis Gender dan Evaluasi Program Berperspektif Gender .................................................................. 2.1.5 Program Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) .................................................... 2.2 Kerangka Pemikiran............................................................................. 2.3 Hipotesis Penelitian.............................................................................. 2.4 Definisi Operasional.............................................................................
9 9
18 19 23 23
BAB III METODOLOGI PENELITIAN......................................................... 3.1 Strategi Penelitian ................................................................................ 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................... 3.3 Pemilihan Subjek Penelitian ................................................................ 3.4 Metode Analisis Data...........................................................................
29 29 30 30 31
BAB IV PROFIL DESA CINTA MEKAR ..................................................... 4.1 Lokasi dan Kondisi Geografis.............................................................. 4.2 Tata Guna Lahan di Desa Cinta Mekar................................................ 4.3 Kondisi Umum Penduduk Desa Cinta Mekar......................................
32 32 33 34
BAB V PROFIL KELEMBAGAAN PROGRAM PLTMH DESA CINTA MEKAR....................................................................... 5.1 Yayasan Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA)............... 5.2 PT Hidropiranti Inti Bhakti Swadaya (PT HIBS) ................................ 5.3 Koperasi Mekarsari ..............................................................................
40 40 42 44
9 11 13 15
BAB VI PROFIL RUMAHTANGGA PADA KOMUNITAS KAMPUNG TANGKIL DI DESA CINTA MEKAR ...................... 6.1 Karakteristik Individu .......................................................................... 6.1.1 Jenis Kelamin .............................................................................. 6.1.2 Umur ........................................................................................... 6.1.3 Tingkat Pendidikan ..................................................................... 6.1.4 Jenis Pekerjaan ............................................................................ 6.1.5 Status Bekerja ............................................................................. 6.2 Karakteristik Rumahtangga.................................................................. 6.2.1 Tingkat Kekayaan ....................................................................... 6.2.2 Status Kategori Rumahtangga..................................................... 6.2.3 Tingkat Kontrol dalam Rumahtangga......................................... 6.3 Kesimpulan ..........................................................................................
47 47 47 48 49 51 52 53 53 54 56 57
BAB VII PENYELENGGARAAN PROGRAM PLTMH CINTA MEKAR . 7.1 Latar Belakang Program PLTMH........................................................ 7.2 Perencanaaan Program ......................................................................... 7.2.1 Persiapan Masyarakat ................................................................. 7.2.2 Pembentukan Kapasitas dan Kepemilikan .................................. 7.3 Pelaksanaan Program ........................................................................... 7.3.1 Pembangunan Fisik/Sipil PLTMH dan Koperasi ....................... 7.3.2 Operasional Pembangkit Listrik.................................................. 7.3.3 Operasional Koperasi Mekarsari................................................. 7.4 Pemanfaatan Program .......................................................................... 7.4.1 Pemasangan Listrik bagi Orang Kurang Mampu........................ 7.4.2 Kesehatan .................................................................................... 7.4.3 Pendidikan................................................................................... 7.4.4 Modal Usaha ............................................................................... 7.4.5 Pembangunan Infrastuktur Desa ................................................. 7.4.6 Biaya Operasional Desa dan Biaya Operasional Koperasi ......... 7.5 Kerangka Pemberdayaan...................................................................... 7.5.1 Level Kesetaraan......................................................................... 7.5.2 Level Pengakuan Atas Isu Perempuan........................................ 7.6 Kesimpulan ..........................................................................................
59 59 61 61 63 64 64 66 67 71 71 73 74 74 75 76 76 76 78 79
BAB VIII STIMULAN, PENGELOLAAN, FAKTOR LINGKUNGAN SERTA PERMASALAHAN PADA PROGRAM PLTMH .......... 8.1 Stimulan Program PLTMH .................................................................. 8.1.1 Tingkat Bantuan Dana Program Pembangunan PLTMH............ 8.1.2 Tingkat Kesesuaian Program terhadap Kebutuhan Rumahtangga Miskin................................................ 8.2 Pengelolaan Program PLTMH dan Faktor Lingkungan ...................... 8.2.1 Frekuensi Kunjungan Pendampingan oleh Fasilitator ................ 8.2.2 Dukungan dari Pemerintah Desa................................................. 8.4 Permasalahan Program PLTMH .......................................................... 8.5 Kesimpulan ..........................................................................................
81 81 81 81 83 83 83 84 86
BAB IX ANALISIS GENDER DALAM PROGRAM PLTMH............... 9.1 Tingkat Akses Rumahtangga Miskin Laki-laki dan Perempuan terhadap Perencanaan Program PLTMH ............................................ 9.2 Tingkat Kontrol Rumahtangga Miskin Laki-laki dan Perempuan terhadap Perencanaan Program PLTMH ............................................ 9.3 Tingkat Akses Rumahtangga Miskin Laki-laki dan Perempuan terhadap Pelaksanaan Program PLTMH............................................. 9.4 Tingkat Kontrol Rumahtangga Miskin Laki-laki dan Perempuan terhadap Pelaksanaan Program PLTMH............................................. 9.5 Tingkat Partisipasi Rumahtangga Miskin Laki-laki dan Perempuan terhadap Pelaksanaan Program PLTMH.......................... 9.6 Tingkat Akses Rumahtangga Miskin Laki-laki dan Perempuan terhadap Pemanfaatan Hasil Program PLTMH................................... 9.7 Tingkat Kontrol Rumahtangga Miskin Laki-laki dan Perempuan terhadap Pemanfaatan Hasil Program PLTMH................................... 9.8 Tingkat Manfaat Rumahtangga Miskin Laki-laki dan Perempuan terhadap Hasil Program PLTMH ........................................................ 9.9 Kesimpulan ..........................................................................................
88 88 89 89 91 91 93 93 94 95
BAB X RELASI GENDER DALAM PROGRAM PLTMH .......................... 98 10.1 Hubungan Antara Karakteristik Rumahtangga ARL dan ARP dengan Tingkat Akses dan Kontrol terhadap Program PLTMH....... 98 10.2 Hubungan Antara Tingkat Akses dan Kontrol Sumberdaya Individu dan Rumahtangga ARL dan ARP dengan Tingkat Partisipasi dalam Pelaksanaan Program PLTMH................ 103 10.3 Hubungan Antara Tingkat Partisipasi ARL dan ARP dalam Pelaksanaan Program PLTMH dengan Tingkat Manfaat dari Program PLTMH ....................................................................... 104 10.4 Hubungan Antara Tingkat Pendampingan Fasilitator dengan Tingkat Akses, Kontrol, Partisipasi dan Manfaat yang diperoleh ARL dan ARP terhadap Program PLTMH ....................................... 105 10.5 Hubungan Antara Stimulan Program PLTMH dengan Tingkat Akses, Kontrol, Partisipasi Dan Manfaat ARL Dan ARP terhadap dan dari Program PLTMH......................................... 106 10.6 Kesimpulan ....................................................................................... 107 BAB XI PENUTUP ......................................................................................... 108 11.1 Kesimpulan ........................................................................................ 108 11.2 Saran................................................................................................... 110 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 112 LAMPIRAN..................................................................................................... 114
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman Teks
Tabel 1. Jumlah dan Persentase Luas Wilayah Menurut Jenis Penggunaan Lahan, Desa Cinta Mekar, Tahun 2007........................ Tabel 2. Jumlah dan Persentase Penduduk Menurut Jenis Kelamin, Desa Cinta Mekar, Tahun 2007 ........................................................ Tabel 3. Jumlah dan Persentase Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin, Desa Cinta Mekar, Tahun 2007......................... Tabel 4. Jumlah dan Persentase Kepala Keluarga (KK) Menurut Jenis Kelamin Kepala Keluarganya, Desa Cinta Mekar, Tahun 2007....... Tabel 5. Jumlah dan Persentase Penduduk Menurut Tingkat Kesejahteraan Keluarganya, Desa Cinta Mekar, Tahun 2007 .......... Tabel 6. Jumlah dan Persentase Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan, Desa Cinta Mekar, Tahun 2007 ........................................................ Tabel 7. Jumlah dan Persentase Penduduk Menurut Jenis Pekerjaan, Desa Cinta Mekar, Tahun 2007 ........................................................ Tabel 8. Program Kegiatan Koperasi Mekarsari, Desa Cinta Mekar, Tahun 2003 ....................................................................................... Tabel 9. Jumlah dan Persentase Anggota Rumahtangga Miskin Menurut Jenis Kelamin, Kampung Tangkil, Tahun 2008................. Tabel 10.Jumlah dan Persentase Rumahtangga Miskin Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Kepala dan Anggota Rumahtangga, Kampung Tangkil, Tahun 2008 ................................ Tabel 11.Jumlah dan Persentase Rumahtangga Miskin Menurut Tingkat Pendidikan serta Jenis Kelamin Kepala dan Anggota Rumahtangga, Kampung Tangkil, Tahun 2008 ................. Tabel 12.Jumlah dan Persentase Rumahtangga Miskin Menurut Jenis Pekerjaan, Jenis Kelamin Kepala dan Anggota Rumahtangga, Kampung Tangkil, Tahun 2008 ................................ Tabel 13.Jumlah dan Persentase Rumahtangga Miskin Menurut Status Pekerjaan serta Jenis Kelamin Kepala dan Anggota Rumahtangga, Kampung Tangkil, Tahun 2008 ................................ Tabel 14.Jumlah dan Persentase Rumahtangga Miskin Menurut Tingkat Kekayaan Jenis Kelamin Kepala Rumahtangga, Kampung Tangkil, Tahun 2008 ........................................................ Tabel 15. Jumlah dan Persentase Status Rumahtangga Miskin Menurut Kategori Kepala Rumahtangga, Kampung Tangkil, Tahun 2008..... Tabel 16.Jumlah dan Persentase Status Rumahtangga Miskin Menurut Ukuran Lokal, Kampung Tangkil, Tahun 2008 ................................ Tabel 17.Jumlah dan Persentase Tingkat Pengambilan Keputusan dalam Penentuan Sumberdaya Program, Kampung Tangkil, Tahun 2008 ....................................................................................... Tabel.18.Persentase Pengalokasian Dana Hasil Penjualan Listrik Tahun 2004 dan Tahun 2007, Koperasi Mekarsari, Desa Cinta Mekar, Tahun 2008 ........................................................
33 34 35 36 36 37 38 45 48 48 50 51 52 53
55 55 70
Tabel 19. Jumlah dan Persentase Tingkat Akses RML dan RMP terhadap Tahap Perencanaan Program PLTMH, Desa Cinta Mekar, Tahun 2008 ........................................................ 88 Tabel 20.Jumlah dan Persentase Tingkat Kontrol RML dan RMP terhadap Tahap Perencanaan Program PLTMH, Desa Cinta Mekar, Tahun 2008 ........................................................ 88 Tabel 21.Jumlah dan Persentase Tingkat Akses RML dan RMP terhadap Tahap Pelaksanaan Program PLTMH Desa Cinta Mekar, Tahun 2008 ....................................................................................... 90 Tabel 22.Jumlah dan Persentase Tingkat Kontrol RML dan RMP terhadap Tahap Pelaksanaan Program PLTMH, Desa Cinta Mekar, Tahun 2008 ........................................................ 91 Tabel 23.Jumlah dan Persentase Tingkat Partisipasi RML dan RMP terhadap Tahap Pelaksanaan Program PLTMH Desa Cinta Mekar, Tahun 2008 ....................................................................................... 92 Tabel 24.Jumlah dan Persentase Tingkat Akses RML dan RMP terhadap Tahap Pemanfaatan Program PLTMH, Desa Cinta Mekar, Tahun 2008 ........................................................ 93 Tabel 25.Jumlah dan Persentase Tingkat Kontrol RML dan RMP terhadap Tahap Pemanfatatan Program PLTMH, Desa Cinta Mekar, Tahun 2008 ........................................................ 94 Tabel 26.Jumlah RML dan RMP Penerima Program PLTMH, Desa Cinta Mekar, Tahun 2008 ........................................................ 95 Tabel 27.Jumlah dan Persentase Tingkat Manfaat RML dan RMP terhadap Hasil Program PLTMH, Desa Cinta Mekar, Tahun 2008.. 95 Tabel 28.Tingkat Akses dan Kontrol RML serta RMP terhadap Program PLTMH Menurut Tingkat Pendidikan Desa Cinta Mekar, Tahun 2008 ........................................................ 99 Tabel 29.Tingkat Akses dan Kontrol RML serta RMP terhadap Program PLTMH Menurut Status Bekerja, Desa Cinta Mekar Tahun 2008... 100 Tabel 30.Tingkat Akses dan Kontrol RML serta RMP Terhadap Program PLTMH Menurut Tingkat Kekayaan, Desa Cinta Mekar Tahun 2008 ....................................................................................... 101 Tabel 31.Tingkat Akses dan Kontrol RML serta RMP Terhadap Program PLTMH Menurut Status Rumahtangga, Desa Cinta Mekar Tahun 2008 ......................................................... 102 Tabel 32.Tingkat Akses dan Kontrol RML dan RMP terhadap Program PLTMH Menurut Tingkat Partisipasi, Desa Cinta Mekar, Tahun 2008 ....................................................................................... 104 Tabel 33.Tingkat Manfaat Program PLTMH bagi RML dan RMP Menurut Tingkat Partisipasi pada Tahap Pelaksanaan Program PLTMH, Desa Cinta Mekar, Tahun 2008......................................... 105
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman Teks
Gambar 1. Kerangka Pemberdayaan Perempuan Longwe dalam Prasojo, dkk (2003) ........................................................................ Gambar 2. Hubungan Antar Variabel dalam Studi Gender Program PLTMH Gambar 3. Struktur Organisasi IBEKA ........................................................... Gambar 4. Susunan Pengurus Koperasi Mekarsari Periode 2006 – 2009........
17 22 41 46
DAFTAR SINGKATAN 5P ARML ARMP BPS IBEKA OKM PLN PLTMH PUG RMKL RMKP RPJMN UNESCAP
: Pro Poor Public Private Partnership : Anggota Rumahtangga Miskin Laki-laki : Anggota Rumahtangga Miskin Perempuan : Badan Pusat Statistik : Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan : Orang Kurang Mampu : Perusahaan Listrik Negara : Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro : Pengarusutamaan Gender : Rumahtangga Miskin yang Dikepalai Laki-laki : Rumahtangga Miskin yang Dikepalai Perempuan : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional : United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Dengan kekayaan alam yang melimpah, Indonesia memiliki potensi energi
yang cukup banyak dan beragam yang dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat luas sebagaimana diamanatkan oleh pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Dalam upaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat, pemanfaatan sumberdaya energi -termasuk di dalamnya tenaga listrik air- berperan besar dalam peningkatan perekonomian masyarakat, namun demikian, pemerintah mengakui belum meratanya pelayanan ketenagalistrikan seperti yang dinyatakan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun (RPJMN) 2004-2009. Dikemukakan pula bahwa rasio elektrifikasi nasional pada tahun 1997 baru mencapai sekitar 50 persen. Pada tahun 1998 pertumbuhan kebutuhan tenaga listrik mengalami penurunan, namun demikian pada periode 1999-2004 meningkat dengan rata-rata 10,5 persen untuk Jawa Madura dan Bali (Jamali) dan 8,5 persen untuk Luar Jamali. Pertumbuhan dalam kurun waktu tersebut lebih rendah dari masa sebelum krisis yang rata-rata tumbuh sekitar 12 persen per tahun. Sejak tahun 1997 sampai dengan tahun 2004 relatif tidak ada penambahan kapasitas baik pada sistem Jamali maupun sistem Luar Jamali. Hal tersebut mengakibatkan cadangan listrik yang lebih rendah dari yang seharusnya ada (25 persen).
Belum semua desa dan masyarakat di Indonesia menikmati listrik. Data Potensi Desa tahun 2003 menyebutkan bahwa lebih dari sekitar 15.000 desa yang telah berlangganan listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN). Angka tersebut hanya setengah dari jumlah rumahtangga di pedesaan. Selain itu, rasio elektrifikasi Indonesia pada tahun 2004 baru mencapai 53,9 persen. Itu sebabnya, salah satu arah kebijakan pembangunan ketenagalistrikan adalah peningkatan partisipasi investasi swasta, pemerintah daerah, koperasi dan masyarakat dalam menyediakan
sarana
dan
prasarana
ketenagalistrikan.
Programnya
menitikberatkan pada peningkatan aksesibilitas pemerintah daerah, koperasi dan masyarakat terhadap jasa pelayanan sarana dan prasarana ketenagalistrikan. Adapun kegiatan pokok program ini adalah mendorong swasta, koperasi, pemerintah daerah dan masyarakat sebagai pelaku penyedia tenaga listrik terutama di daerah yang belum terlistriki sesuai dengan peraturan yang berlaku (RPJMN 2004-2009). Merespon tawaran pemerintah, Yayasan Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA) adalah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang
kelistrikan
dan
pemberdayaan
ekonomi
masyarakat
desa
yang
berperanserta dalam mengintroduksikan elektrifikasi pedesaan yang menggunakan sumber energi terbaharui yang dikenal sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro atau PLTMH (Micro Hydropower Plant or MHP). Sampai saat ini yayasan ini telah berkontribusi membangun lebih dari 40 PLTMH yang tersebar di beberapa provinsi di Jawa dan Luar Jawa (Publikasi IBEKA, 2004). Salah satu pilot proyek PLMTH telah diintroduksikan Yayasan IBEKA sejak tahun 2004 kepada masyarakat di Desa Cinta Mekar, Kecamatan
3
Serangpanjang, Kabupaten Subang dengan menerapkan pendekatan community partnership (kerjasama komunitas). Pendekatan ini dilandasi oleh prinsip yang menampung aspirasi masyarakat lokal dan diarahkan pada peningkatan kemampuan (teknis dan manajerial), serta kepemilikan penduduk lokal atas PLTMH yang diharapkan mampu menjamin keberlanjutan PLTMH (Kuntoadji, 2007). Yayasan IBEKA mengintroduksikan PLTMH melalui kegiatan-kegiatan pemberdayaan kelembagaan dan masyarakat. Dalam pelaksanaannya, yayasan ini bekerjasama dengan PT Hidropiranti Inti Bhakti Swadaya (PT HIBS), sebagai pihak swasta penyedia komponen dan alat (teknologi) untuk PLMTH dan bertanggungjawab membentuk kelembagaan (Koperasi Mekarsari) secara partisipatif. Telah banyak publikasi mengenai kegiatan yang dilakukan oleh Yayasan IBEKA sebagaimana dikemukakan oleh beragam media massa, bahkan direkturnya terpilih menjadi 10 tokoh nasional oleh Majalah Tempo serta Climate Hero oleh Worldwide Fund for Nature (WWF- International). Namun demikian, informasi yang diperoleh dari beragam media massa tersebut belum sepenuhnya menjelaskan keberhasilan Yayasan IBEKA dalam pemberdayaan masyarakat, khususnya dihubungkan dengan misi Yayasan IBEKA dalam pemerataan listrik dan peningkatan ekonomi masyarakat miskin di pedesaan. Informasi berkenaan keberhasilan Yayasan IBEKA dalam pemberdayaan miskin tersebut belum mencakup informasi seutuhnya, dalam pengertian belum didasarkan pada suatu penelitian yang berperspektif gender. Hal yang terakhir ini penting, mengingat tidak semua pendekatan partisipatif berarti mengikutsertakan setiap individu, lakilaki dan perempuan. Selain itu, tidak semua pendekatan yang mengklaim
dilakukan secara partisipatif mempertimbangkan relasi gender dalam keluarga dan masyarakat, padahal relasi gender merupakan salah satu aspek penting yang menentukan keberhasilan program-program pembangunan (Cornwall, 2003). Oleh karenanya dipandang perlu untuk mengetahui kontribusi Yayasan IBEKA dalam pemberdayaan masyarakat pedesaan, khususnya peningkatan kualitas sumberdaya manusia, baik laki-laki maupun perempuan dalam konteks PLMTH. Hal ini penting mengingat kebijakan pemerintah melalui INPRES Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam pembangunan nasional dan RPJMN 2004-2009 mengamanatkan pengintegrasian potensi, masalah, kebutuhan dan kepentingan subyek pembangunan, laki-laki dan perempuan, ke dalam siklus program/proyek/kegiatan pembangunan sejak perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasinya. Penelitian mengenai kinerja Yayasan IBEKA bermanfaat untuk memperoleh pengetahuan berkenaan model pengembangan masyarakat yang mampu memberdayakan bukan hanya dalam hal pemerataan kelistrikan (aspek teknologi dan sumberdaya energi), tapi juga pemberdayaan kelembagaan koperasi yang dibangun secara partisipatif (membangun dari bawah) dan responsif gender.
1.2
Perumusan Masalah Sebagaimana dinyatakan Yayasan IBEKA, target sasaran PLTMH adalah
individu dalam rumahtangga miskin sesuai dengan kriteria masyarakat setempat. Itu sebabnya, pada tahapan perencanaan pembangunan PLTMH dilakukan penentuan target sasaran rumahtangga miskin berdasar empat kriteria, yakni: tidak mempunyai lahan, pekerjaan tetap dan modal, serta berpendidikan rendah. Di
pihak lain, BPS (2005) memiliki kriteria dalam penentuan rumahtangga miskin berdasar pendekatan kebutuhan dasar. 1 Sehubungan dengan itu, apakah kriteria lokal tersebut juga mencerminkan kriteria rumahtangga miskin menurut BPS (2005)? Selain itu, fakta menunjukkan bahwa keluarga miskin di pedesaan mencakup rumahtangga yang dikepalai laki-laki dan perempuan (BPS, 2005). Oleh karena itu, apakah target sasaran yang telah ditetapkan oleh IBEKA mencakup rumahtangga miskin yang dikepalai laki-laki (RML) dan rumahtangga miskin yang dikepalai perempuan (RMP)? Menurut Kuntoadji (2007) introduksi Program PLTMH dilandasi pendekatan community partnership yang dilakukan melalui langkah persiapan sosial berupa kegiatan sosial kemasyarakatan yang terbagi lagi menjadi tahap kegiatan persiapan masyarakat (community preparation) dan tahap pembentukan kapasitas dan kepemilikan. Di lain pihak, Ife (1995) dalam Nasdian (2003) menyatakan bahwa pengembangan masyarakat akan berkelanjutan jika dilandasi dua prinsip penting: pemberdayaan dan partisipasi. Sehubungan dengan itu, apakah pemberdayaan masyarakat melalui program PLTMH itu juga dilandasi kedua prinsip tersebut? Bagaimanakah prinsip-prinsip tersebut diwujudkan dalam pelaksanaannya ? Para ahli gender dan pembangunan memandang penting aplikasi Teknik Analisis Gender (TAG) untuk menganalisis ada tidaknya ketimpangan (ketidaksetaraan dan ketidakadilan) gender dalam penyelenggaraan program
1
Terdapat 10 indikator untuk menentukan rumahtangga itu miskin atau tidak, mencakup: (1) luas lantai rumah per kapita, (2) jenis lantai rumah, (3) ketersediaan air bersih untuk pemenuhan kebutuhan dasar, (4) ketersediaan jamban/WC (5) kepemilikan aset, ekonomi dan benda berharga, (6) total pendapatan rumahtangga per bulan), (7) pengeluaran rumahtangga untuk makanan, (8) ada tidaknya dan variasi konsumsi lauk pauk dalam menu makan, (9) aspek sandang, dan (10) kegiatan sosial yang diikuti anggota rumahtangga (BPS, 2005)
pembangunan (Biro Perencanaan dan Keuangan Departemen Pertanian, 2004). Sehubungan dengan itu apakah perempuan dan laki-laki pada rumahtangga miskin, baik sebagai kepala maupun anggota rumahtangga memiliki akses, kontrol, manfaat serta partisipasi terhadap PLTMH? Khusus berkenaan dengan manfaat Program PLTMH, apakah Program PLTMH mampu mencapai keluaran sesuai dengan rumusan tujuannya? Apakah ada pengaruh (effect) negatif maupun positif yang ditimbulkan sebagai akibat tercapainya tujuan tersebut ? Seperti yang dikutip Mugniesyah (2004), Moser (1993) menyatakan bahwa tujuan pembangunan diharapkan mampu mencapai pemenuhan kebutuhan praktis dan strategis gender (practical and strategical gender needs). Sehubungan dengan itu, apakah pencapaian tujuan-tujuan program PLTMH telah mampu memenuhi kedua kategori kebutuhan gender tersebut? Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, PLMTH di Desa Cinta Mekar merupakan program pemberdayaan masyarakat. Mengacu pada Kerangka Pemberdayaan Perempuan Longwe (Prasodjo, dkk, 2003) level kesetaraan manakah yang dicapai
serta level isu-isu perempuan manakah yang
diintegrasikan dalam program PLMTH di Desa Cinta Mekar?
1.3
Tujuan Penelitian Terdapat beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh penelitian ini, yakni untuk: 1. Mengetahui ada tidaknya kesesuaian penetapan kriteria rumahtangga miskin yang dipakai Yayasan IBEKA dengan kriteria BPS (2005), serta ketercakupan Rumahtangga Miskin yang dikepalai Laki-laki
(RML) dan Rumahtangga Miskin yang dikepalai Perempuan (RMP) dalam penyelenggaraan program PLTMH di Desa Cinta Mekar. 2. Mengetahui penerapan prinsip-prinsip pemberdayaan dan partisipatif dalam pendekatan community partnership yang dikembangkan PT Hidropiranti Inti Bhakti Swadaya (PT HIBS), termasuk di dalamnya tahap kegiatan persiapan masyarakat (community preparation) dan tahap pembentukan kapasitas dan kepemilikan. 3. Menganalisis akses, kontrol, manfaat dan partisipasi kepala dan anggota rumahtangga miskin, perempuan dan laki-laki, dalam perencanaan dan pelaksanaan serta pencapaian tujuan program PLTMH di Desa Cinta Mekar, serta pengaruh (efek) yang ditimbulkan sebagai akibat tercapainya tujuan program. 4. Mengetahui ketercapaian pemenuhan kebutuhan praktis dan strategis gender oleh program PLMTH di Desa Cinta Mekar, khususnya di kalangan rumahtangga miskin yang menjadi target sasaran program. 5. Mengetahui ketercapaian level kesetaraan gender dan pengintegrasian isu perempuan dalam pelaksanaan program PLTMH di Desa Cinta Mekar.
1.4
Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan memberi kegunaan (manfaat) baik bagi peneliti, akademisi serta bagi penentu kebijakan dan pemangku kepentingan yang meminati bidang Gender dan Pembangunan. Secara rinci kegunaan penelitian tersebut sebagai berikut:
1. Bagi peneliti merupakan sarana untuk menyintesis dan menerapkan beragam konsep, teori dan pendekatan dari beragam disiplin ilmu yang telah diperoleh selama mengikuti kuliah, khususnya dalam pumpunan disiplin Gender dan Pembangunan, dan Pengembangan Masyarakat ke dalam konteks program PLTMH di Desa Cinta Mekar yang menjadi program pengembangan masyarakat di bawah tanggung-jawab Yayasan IBEKA. 2. Bagi kalangan akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan kajian lebih lanjut bagi pengembangan disiplin Gender dan Pembangunan
pada
umumnya
dan
khususnya
bagi
pelaksanaan
pengembangan masyarakat melalui intervensi teknologi yang responsif gender. 3. Bagi para penentu kebijakan, khususnya di lingkungan pemerintahan (PLN, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan) dan juga LSM, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan atau pertimbangan dalam proses penyusunan kebijakan berkenaan gender dalam penyelenggaraan PLMTH.
BAB II PENDEKATAN TEORITIS
2.1 2.1.1
Tinjauan Pustaka Pengertian Konsep dan Prinsip Pengembangan Masyarakat Menurut Conyers (1996) dalam Nasdian (2003) konsep pengembangan
masyarakat (community development) sebagai proses diartikan sebagai semua usaha swadaya masyarakat bersama dengan usaha-usaha pemerintah setempat guna meningkatkan kondisi masyarakat di bidang ekonomi, sosial, dan kultural serta untuk mengintegrasikan masyarakat yang ada ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dan memberi kesempatan yang memungkinkan masyarakat tersebut membantu secara penuh pada kemajuan dan kemakmuran bangsa. Menurut Blackburn (1989) dalam Mugniesyah (2006) pengembangan masyarakat menekankan pada pengambilan keputusan dan pemecahan masalah oleh kelompok, organisasi atau komunitas. Keputusan-keputusan bersifat publik dan dibuat sebagian besar oleh kelompok atau masyarakat. Pengembangan masyarakat dirancang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan belajar kelompok tertentu dalam komunitas. Tujuan program menekankan pada pembentukan infrastruktur dan organisasi sosial yang didukung keterlibatan proses legislatif, dan mencakup perusahaan pendanaan formal dan bisnis. Pada tahun 1962, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengemukakan dua elemen yang harus ada dalam pengembangan masyarakat, yaitu partisipasi dan membuat teknik yang dapat mendorong inisiatif, menolong diri sendiri, dan membuatnya lebih efektif (Nasdian, 2003). Dalam pengembangan masyarakat
terdapat prinsip-prinsip yang merupakan penjabaran dari perspektif ekologi dan keadilan sosial. Prinsip-prinsip ini saling terkait dalam pelaksanaannya. Sulit sekali menjalankan satu prinsip tanpa mengaitkan dengan prinsip yang lainnya. Pemahaman terhadap prinsip tersebut perlu dilakukan agar dalam penerapan pengembangan masyarakat berorientasi tidak hanya bersifat pragmatis tetapi juga mempunyai visi jangka panjang. Di samping itu, sebagaimana dikutip Nasdian (2003), Ife mengemukakan 22 prinsip yang melandasi pelaksanaan pengembangan masyarakat. Dalam konteks program PLTMH, ada dua prinsip yang dominan melandasi pelaksanaannya, yaitu prinsip pemberdayaan (empowerment) dan partisipasi (participation). Pada prinsip yang pertama, makna pemberdayaan berarti “membantu” komunitas dengan sumberdaya, kesempatan, keahlian, dan pengetahuan agar kapasitas komunitas meningkat sehingga dapat berpartisipasi untuk menentukan masa depan warga komunitas. Adapun prinsip yang kedua, bemakna bahwa pendekatan pengembangan masyarakat selalu mengoptimalkan peran serta masyarakat yang maksimal, dimana semua warga ikut terlibat dalam proses pengambilan keputusan pada tahap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan (monitoring) serta evaluasi. Program pengembangan masyarakat yang ideal dapat menghubungkan antara prinsip-prinsip tersebut dan tidak berpikir secara terpisah dari struktur dan proses. Pada tingkatan lokal, tingkat pengambilan keputusan dan aktivitas dapat dilihat dari perspektif individu dimulai dari identifikasi individu kemudian anggota rumahtangga atau keluarga, lingkungan, komunitas dan lokalitas. Jika disusun ke dalam bentuk diagram maka akan didapat bentuk hierarkis yang
berbentuk sarang atau mulai dari lingkaran kecil hingga lingkaran luar yang besar. Pengambilan keputusan tersebut dipengaruhi oleh usia, pekerjaan, etnis, orang di luar komunitas, kemanfaatan serta gender (Uphoff, 1986).
2.1.2 Pengertian dan Peranan Gender Para ahli gender sependapat bahwa istilah seks (jenis kelamin) adalah penandaan berdasar biologis, karenanya diklasifikasikan berdasar karakteristik biologis. Masyarakat kita menggunakan kualitas biologis dan genetik untuk menentukan apakah seseorang itu laki-laki atau perempuan. Penandaan tersebut biasanya didasarkan pada genital eksternal dan organ-organ seks internal. Sebagaimana dikemukakan oleh Wood (2001) dalam Mugniesyah (2004) jenis kelamin itu sendiri ditentukan oleh kromosom yang memprogram bagaimana suatu janin berkembang. Dari 23 kromosom yang menentukan perkembangan manusia, hanya satu pasangan yang menentukan jenis kelamin. Pasangan tersebut selalu terdiri dari X, yang bisa memiliki atau tidak memiliki kromosom Y. Kromosom XX biasanya menghasilkan jenis kelamin perempuan, dan kromosom XY biasanya menghasilkan jenis kelamin laki-laki. Berbeda dari konsep seks atau jenis kelamin, gender diperoleh individu melalui proses interaksi dalam dunia sosial. Banyak ahli mengemukakan bahwa gender itu dikonstruksikan, karena gender bukanlah suatu fakta alamiah, akan tetapi mengambil bentuk kongkrit yang secara historis mengubah hubungan sosial. Sebagaimana dikutip dalam Mugniesyah (2005), terdapat sejumlah definisi gender
yang
dikemukakan
oleh
lembaga,
ahli
atau
peminat
studi
perempuan/gender. Diantaranya konsep gender diartikan sebagai suatu konstruksi
sosial yang bervariasi lintas budaya, berubah sejalan perjalanan waktu dalam suatu kebudayaan tertentu dan bersifat relasional, karena feminitas dan maskulinitas memperoleh maknanya dari fakta dimana masyarakatlah yang menjadikan mereka berbeda (Wood, 2001). Sehubungan dengan itu, unsur-unsur kebudayaan yang didalamnya mencakup adat, aturan, dan harapan untuk berperilaku, menjadi sumber kekuasaan yang mempengaruhi persepsi tentang gender. Ini berarti gender bukan jenis kelamin. Gender juga bukan perempuan. Gender dikonstruksikan secara sosial-budaya. Dengan demikian, gender itu dibentuk, sementara seks itu diberikan (gender must be enacted, while sex is assigned). Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequality). Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur dimana baik kaum laki-laki dan atau perempuan menjadi korban dari sistem tersebut (Fakih, 1996). Moser (1993) dalam Mugniesyah (2004) mengemukakan bahwa dalam perencanaan pembangunan dapat dibedakan dua tujuan pembangunan yakni pemenuhan kebutuhan praktis dan strategis gender (practical and strategical gender needs). Kebutuhan praktis gender mencakup kebutuhan-kebutuhan perempuan yang diidentifikasi dari peranan perempuan secara sosial dalam masyarakatnya. Kebutuhan praktis gender tidak menantang pembagian kerja gender atau posisi subordinasi pembagian kerja perempuan dalam masyarakatnya. Kebutuhan praktis gender merupakan respon terhadap kepentingan yang bersifat segera, diidentifikasi sebagai dalam suatu konteks khusus, bersifat praktis dan sering berkenaan dengan ketidaklayakan kondisi hidup, seperti ketersediaan air, kesehatan dan ketenagakerjaan. Dengan perkataan lain, pemenuhan kebutuhan
praktis gender adalah pemenuhan terhadap kebutuhan yang segera dapat meringankan beban kehidupan perempuan, namun tidak menyinggung masalah ketimpangan yang ada antara laki-laki dan perempuan sebagai akibat pembagian kerja seksual yang mengakar dalam masyarakat. Kebutuhan strategis gender adalah kebutuhan-kebutuhan perempuan yang disebabkan oleh adanya subordinasi posisi perempuan terhadap laki-laki dalam masyarakat. Kebutuhan ini juga beragam tergantung konteksnya, tetapi umumnya berhubungan dengan kemampuan kerja, kekuasaan, kontrol dan bisa berupa isuisu Hak Asasi Manusia (HAM), tindak kekerasan terhadap perempuan, upah yang sama untuk pekerjaan dan waktu yang sama serta kontrol perempuan terhadap tubuh mereka sendiri. Pemenuhan kebutuhan strategis gender akan membantu perempuan kepada pencapaian keadilan dan kesetaraan gender. Diakui bahwa kebutuhan strategis gender merupakan kebutuhan jangka panjang yang berupaya menghilangkan ketimpangan antara perempuan dan laki-laki di dalam dan di luar rumahtangga serta menjamin hak dan peluang perempuan untuk mengungkapkan kebutuhan mereka (seperti undang-undang persamaan hak, persamaan upah untuk pekerjaan yang sama).
2.1.3
Pengertian Program dan Evaluasi Program Gunardi (n.d) dalam Lubis (2004) menyatakan bahwa program (serapan
dari bahasa Inggris dari program atau programme) adalah kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dengan rencana untuk mencapai tujuan. Menurut Raudabough dalam Mugniesyah (2006) program secara sederhana mencakup 2 komponen utama, yaitu komponen perencanaan program dan komponen pelaksanaan
program. Perencanaan program mencakup kegiatan-kegiatan analisis situasi, perumusan masalah, penentuan tujuan dan penyusunan rencana kerja program, sementara pelaksanaan program mencakup pelaksanaan program sesuai dengan rencana kerja yang sudah ditetapkan serta penetapan kemajuan program. Adapun hasil yang ingin dicapai dari suatu program tersebut dibedakan ke dalam output (hasil), effect (pengaruh) dan impact (dampak). Hasil yang dicapai ini sangat dipengaruhi oleh masukan (input) program yang digunakan. Menurut Raudabough sebagaimana dikutip oleh Maunder (1972) dalam Mugniesyah (2006), evaluasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses pencatatan nilai atau jumlah keberhasilan yang dicapai dari suatu tujuan program yang telah ditetapkan. Evaluasi mencakup beberapa tahapan yaitu: formulasi tujuan, identifikasi kriteria yang tepat untuk digunakan dalam mengukur keberhasilan. Kunci elemen konseptual dalam evaluasi adalah nilai atau jumlah dari derajat keberhasilan dan tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, dalam evaluasi terkandung di dalamnya proses pemberian nilai kepada pencapaian tujuan program dan kemudian menetapkan derajat keberhasilan pencapaian tujuan yang dinilai tersebut. Dengan demikian, evaluasi dapat diartikan sebagai pengukuran dari konsekuensi yang dikehendaki dan tidak dikehendaki dari suatu tindakan yang telah dilakukan dalam rangka mencapai beberapa tujuan yang akan dinilai. Menurut Kelsey dan Hearne (1955) dalam Mugniesyah (2006) evaluasi program bermanfaat antara lain untuk: 1) Menguji secara berkala pelaksanaan program, yang mengarahkan perbaikan kegiatan yang berkelanjutan
2) Membantu memperjelas manfaat yang penting dan tujuan-tujuan khusus program serta memperjelas dan mengukur sampai seberapa jauh tujuan-tujuan tertentu tercapai 3) Menjadi pengukur keefektivan metode 4) Menyediakan data dan informasi tentang situasi pedesaan yang penting untuk perencanaan program selanjutnya 5) Menyediakan bukti tentang nilai atau pentingnya program 6) Menyediakan bukti-bukti tentang keberhasilan untuk memberikan rasa puas dan kepercayaan kepada mereka yang terlibat dalam program. 2.1.4 Teknik Analisis Gender dan Evaluasi Program Berperspektif Gender Analisis gender meliputi pemahaman mengenai pola pembagian kerja antara perempuan dan laki-laki dalam rumah tangga. Analisis gender adalah suatu rangkaian proses kegiatan untuk mengetahui latar belakang dan penyebab terjadinya kesenjangan peran antara laki-laki dan perempuan sampai pada upaya pemecahan masalah dan pencapaian sasaran, langkah tindak lanjut untuk mengatasi kesenjangan dalam rangka mencapai persamaan kedudukan dan peranan laki-laki dan perempuan dalam kegiatan pembangunan (Rosalin dkk, 2001 dalam Biro Perencanaan Departemen Dalam Negeri, 1998). Sebagaimana diamanatkan dalam Inpres No. 9 tahun 2000 dan RPJMN 2004-2009. Perspektif gender harus diintegrasikan ke dalam siklus program pembangunan, sejak perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasinya. Perencanaan yang responsif gender adalah perencanaan yang dilakukan dengan memasukkan perbedaan-perbedaan pengalaman, aspirasi, permasalahan dan kebutuhan yang dihadapi perempuan dan laki-laki dalam proses penyusunan
perencanaan program (Biro Perencanaan Departemen Dalam Negeri, 1998). Dalam melakukan perencanaan yang responsif gender, para perencana perlu melakukan analisis gender pada semua kebijakan dan program pembangunan. Tujuan perencanaan yang responsif gender adalah tersusunnya rencana kebijakan/program/ proyek/kegiatan pembangunan yang responsif gender di berbagai bidang/sektor pembangunan. Analisis gender dilakukan dengan memperhatikan 4 (empat) faktor utama guna mengidentifikasi ada tidaknya kesenjangan gender. Keempat faktor tersebut adalah: a) Faktor akses. Apakah perempuan dan laki-laki memperoleh akses yang sama terhadap sumber-sumber daya pembangunan? b) Faktor kontrol. Apakah perempuan dan laki-laki memiliki kontrol (penguasaan) yang sama terhadap sumberdaya pembangunan? c) Faktor partisipasi. Bagaimana perempuan dan laki-laki berpartisipasi dalam program-program pembangunan? d) Faktor manfaat. Apakah perempuan dan laki-laki menikmati manfaat yang sama dari hasil pembangunan? Salah satu kategori utama alat analisis gender adalah kerangka pemberdayaan perempuan (Longwe, 1991 dalam Prasodjo, dkk., 2003; King (n.d.) 2 . Kerangka analisis ini bertujuan untuk mengetahui apakah para perencana pembangunan dalam prakteknya telah memberdayakan perempuan melalui proyek-proyek pembangunan yang mereka laksanakan. Selain itu, juga untuk mengetahui
derajat
komitmen
kelembagaan/organisasi
penyelenggara
pembangunan terhadap pemberdayaan dan kesetaraan perempuan. Menurut March 2
Christine King (n.d.) Gender and rural community development III: tools and frameworks for gender analysis. Diambil dari www.regional.org.au. Diterjemahkan oleh Siti Sugiah Mugniesyah.
dkk. (1999) dalam King (n.d) terdapat dua alat utama dari Kerangka Longwe, yaitu Tingkatan Kesetaraan (levels of equality) dan Tingkatan Pengakuan atas “isu-isu perempuan” (level of recognition of ‘women’s issues’). Tingkatan Kesetaraan dalam Kerangka Pemberdayaan perempuan digunakan untuk menganalisis tahapan perkembangan pemberdayaan perempuan dalam
suatu
merupakan
program/proyek upaya
pemerataan/persamaan
untuk bagi
pembangunan. mengatasi laki-laki
dan
Pemberdayaan
hambatan perempuan,
guna
perempuan mencapai
meliputi
lima
tahapan/tingkatan yang bersifat hierarkis: tingkat kesejahteraan, tingkat akses (terhadap sumberdaya dan manfaat), tingkat penyadaran, tingkat partisipasi aktif (dalam pengambilan keputusan), dan tingkat penguasaan (kontrol). Mekanisme kerja level hierarkis ini berupa pemberian kesejahteraan (berupa materi sebagai pemenuhan kebutuhan), diikuti dengan keteraksesan pada sumberdaya dan manfaat program, baru ke tingkat penyadaran akan ketimpangan gender dalam masyarakat. Tahap selanjutnya berupa peningkatan partisipasi dalam program untuk mencapai tahap puncak berupa kontrol atau penguasaan dalam pelaksanaan dan pemanfaatan program. Pada alat analisis kedua, isu-isu perempuan didefinisikan sebagai semua isu yang berhubungan dengan kesetaraan laki-laki dan perempuan mencakup peranan-peranan sosial, ekonomi, serta kelima level kesetaraan; dibedakan kedalam tiga kategori: negatif, netral dan positif. Disebut level negatif, jika tujuan-tujuan proyek tidak merespon terhadap isu-isu perempuan, sehingga pelaksanaan proyek pembangunan akan berdampak negatif terhadap perempuan. Tergolong level netral, jika isu-isu perempuan diintegrasikan dalam tujuan-tujuan
proyek pembangunan, namun masih diragukan ada tidaknya dampak positif dan negatif pada perempuan. Dikategorikan level positif, jika tujuan-tujuan proyek pembangunan secara positif merespon isu-isu perempuan dan tujuan proyek diarahkan untuk memperbaiki posisi perempuan relatif terhadap laki-laki. Gambar 1.Kerangka Pemberdayaan Perempuan Longwe dalam Prasodjo, dkk (2003) Kriteria Pembangunan Perempuan 5. Penguasaan 4. Partisipasi aktif 3. Penyadaran 2. Akses 1. Kesejahteraan Peningkatan pemerataan
Peningkatan empowerment
Sumber: Prasodjo, dkk; 2003
2.1.5
Program Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) Secara umum sasaran program PLTMH adalah pelibatan private sector,
dan pemerintah dalam pembangunan sosial, terutama dalam penyediaan akses di bidang ketenagalistrikan untuk masyarakat miskin. Sasaran khusus dari program ini adalah sebagai model percontohan elektrifikasi pedesaan sebagai hasil kerjasama antar berbagai pihak. Pembangunan PLTMH di Desa Cinta Mekar, Kecamatan Serangpanjang, Kabupaten Subang melibatkan berbagai pihak, yakni Koperasi Mekarsari sebagai representasi dari warga masyarakat, Yayasan Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA), serta PT Hidropiranti Inti Bhakti Swadaya (HIBS). Setiap
pihak yang berkepentingan mempunyai andil dalam pembangunan serta pengelolaan PLTMH ini. Adanya kegiatan pembangunan PLTMH dipandang sebagai sebuah bentuk introduksi teknologi yang dapat membantu aktivitas sosial ekonomi warga desa. Menurut Kuntoadji (2007) selaku dewan pengurus di Yayasan IBEKA, pembangunan PLTMH Cinta Mekar menggunakan cara community partnership berupa kegiatan sosial kemasyarakatan, yang dibagi menjadi dua bagian, yaitu kegiatan sosial tahap pertama atau biasa disebut dengan kegiatan persiapan masyarakat dan pembentukan kapasitas dan keadilan dalam kepemilikan. Tahap pertama, meliputi dua kegiatan yaitu pencatatan data awal dan pembentukan organisasi. Adapun pada tahap kedua meliputi empat kegiatan utama yaitu: pelatihan dan magang, peningkatan pendapatan, pembentukan wirausaha serta pendidikan anak dan peningkatan peran remaja. Kegiatan pencatatan data awal dilakukan melalui diskusi pada tingkat lokal, yang ditujukan untuk mengidentifikasi permasalahan serta alternatif pemecahan masalah tersebut. Dalam diskusi, teridentifikasi beberapa permasalahan yang meliputi: tingginya kebutuhan listrik di kalangan warga miskin dan tingkat pengangguran, rendahnya kualitas sumberdaya manusia, status ekonomi dan infrastruktur desa, dan kurangnya rasa kekeluargaan (kesatuan atau gotong royong) dalam memecahkan permasalahan warga.
2.2
Kerangka Pemikiran Secara umum, Studi Gender dalam Program PLTMH Bagi Rumahtangga
Miskin (Kasus PLTMH Desa Cinta Mekar, Kecamatan Serangpanjang, Kabupaten
Subang, Jawa Barat) ini mengacu kepada beragam konsep, pendekatan, dan teoriteori dalam bidang-bidang gender dan pembangunan, pendekatan pemberdayaan masyarakat, evaluasi program dan sistem, serta beragam aspek berkenaan Program PLTMH sebagaimana dirancang oleh Yayasan IBEKA dan PT HIBS. Sebagaimana diketahui Program PLTMH Desa Cinta Mekar terdiri dari tiga tahap yakni: perencanaan, pelaksanaan dan pemanfaatan hasil program. Tahap perencanaan terdiri dari kegiatan pencatatan data awal, penetapan tujuan program,
penetapan
rencana
kerja,
penentuan
prioritas
dan
aktivitas,
pengalokasian sumberdaya, diskusi untuk sosialisasi program dan pertemuan dengan pemangku kepentingan (stakeholders). Tahap pelaksanaan program terdiri dari kegiatan-kegiatan: pembangunan sarana fisik, gotong royong, dan pengelolaan organisasi. Adapun pada tahap pemanfaatan hasil program mencakup aktivitas penggunaan atau alokasi dana hasil penjualan listrik bagi masyarakat desa, khususnya untuk: pemasangan sambungan listrik baru bagi rumahtangga miskin, kegiatan produktif, pendidikan, kesehatan, modal usaha, pembangunan infrastruktur desa, biaya operasional koperasi Mekarsari (selaku pengelola), biaya operasional PLTMH, dan biaya operasional desa. Bentuk stimulan dalam program PLTMH Desa Cinta Mekar berupa bantuan dana operasional untuk pembangunan PLTMH. Dana ini berasal dari hibah dari (UNESCAP), pinjaman dari PT HIBS serta dari Yayasan IBEKA. Dengan pertimbangan bahwa penyelenggaraan PLTMH Desa Cinta Mekar seharusnya responsif gender (mampu mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender), dan mengacu pada pedoman TAG tersebut di atas, variabel-variabel tidak bebas atau variabel terpengaruh (dependent variables) pada studi gender dalam
PLTMH Desa Cinta Mekar ini meliputi empat variabel utama, yaitu: Tingkat Akses, Tingkat Kontrol, Tingkat Partisipasi dan Tingkat Manfaat yang diperoleh anggota Rumahtangga Miskin Laki-laki dan Perempuan (selanjutnya ditulis sebagai RMKL dan RMKP) dari Program PMLTH. Lebih lanjut, karena studi ini menelaah tiga tahapan dalam siklus program (perencanaan, pelaksanaan dan keluaran atau manfaat), maka dua variabel pertama dirinci kembali ke dalam beberapa variabel, sehingga dalam studi ini variabel tidak bebasnya meliputi delapan variabel yang meliputi: Tingkat Akses RMKL dan RMKP terhadap Perencanaan Program PLTMH (Y1), Tingkat Akses RMKL dan RMKP terhadap Pelaksanaan Program PLTMH (Y2), Tingkat Akses RMKL dan RMKP terhadap Pemanfaatan Hasil Program PLTMH (Y3), Tingkat Kontrol RMKL dan RMKP terhadap Perencanaan Program PLTMH (Y4), Tingkat Kontrol RMKL dan RMKP terhadap Pelaksanaan Program PLTMH (Y5), Tingkat Kontrol RMKL dan RMKP terhadap Pemanfaatan Hasil Program PLTMH (Y6), Tingkat Partisipasi RMKL dan RMKP terhadap Pelaksanaan Program PLTMH (Y7), dan Tingkat Manfaat yang diperoleh RMKL dan RMKP terhadap Hasil Program PLTMH (Y8). Variabel-variabel terpengaruh tersebut di atas, diduga dipengaruhi oleh beberapa variabel pengaruh atau variabel bebas (independent variables) dari beberapa faktor yang mencakup: karakteristik sumberdaya pribadi dan rumahtangga, stimulan Program PLMTH, pendampingan dari fasilitator, dan lingkungan. Pada karakteristik sumberdaya pribadi, dua variabel yang diduga berpengaruh yaitu: Tingkat Pendidikan Formal (X1) dan Status Bekerja (X2); sementara pada karakteristik sumberdaya rumahtangga meliputi: Tingkat
Kekayaan (X3), Status Rumahtangga (X4), dan Tingkat Kontrol dalam Rumahtangga (X5). Pada faktor pendampingan fasilitator, variabel yang diduga berpengaruh adalah Frekuensi Kunjungan Fasilitator (X6), sementara pada faktor stimulan program terdiri dari variabel-variabel: Jumlah Dana Program PLMTH (X7) dan Tingkat Kesesuaian Program dengan Kebutuhan Rumahtangga Miskin (X8). Adapun pada faktor lingkungan yang diduga berpengaruh adalah Tingkat Dukungan dari Aparat Pemerintah Desa (X9). Selanjutnya, dengan menggunakan pendekatan Kerangka Pemberdayaan Longwe, berdasar semua pencapaian pada semua variabel tidak bebas yang ditemukan dalam penelitian (studi ini) akan dianalisis Tingkat Kesetaraan (levels of equality) dan Tingkat Pengakuan atas “isu-isu perempuan” (level of recognition of ‘women’s issues’) yang diwujudkan melalui Program PLTMH Desa Cinta Mekar. Hubungan antara variabel-variabel bebas dengan variabel tidak bebas dalam penelitian ini selengkapnya disajikan pada Gambar 3.
Gender dalam Program PLTMH Cinta Mekar Karakteristik Sumberdaya Pribadi X1: Tingkat Pendidikan Formal X2: Status Bekerja
Karakteristik Sumberdaya Rumahtangga X3: Tingkat Kekayaan X4: Status Rumahtangga X5: Tingkat Kontrol dalam Rumahtangga
Y1: Tingkat Akses RMKL dan RMKP terhadap Perencanaan Program PLTMH Y2: Tingkat Akses RMKL dan RMKP terhadap Pelaksanaan Program PLTMH Y3: Tingkat Akses RMKL dan RMKP terhadap Pemanfaatan Hasil Program PLTMH Y4: Tingkat Kontrol RMKL dan RMKP terhadap Perencanaan Program PLTMH Y5: Tingkat Kontrol RMKL dan RMKP terhadap Pelaksanaan Program PLTMH Y6: Tingkat Kontrol RMKL dan RMKP terhadap Pemanfaatan Hasil Program PLTMH Y7:Tingkat Partisipasi RMKL dalam Pelaksanaan Program PLTMH Y8: Tingkat Manfaat RMKL dan RMKP terhadap Hasil Program PLTMH
Faktor Lingkungan X9: Tingkat Dukungan dari Pemerintah
Pendampingan Fasilitator X7: Frekuensi Kunjungan Fasilitator
Stimulan Program PLTMH X8: Jumlah Dana Program X9: Tingkat Kesesuaian Progran terhadap Kebutuhan RMKL & RMKP
Kerangka Pemberdayaan Perempuan • Level Kesetaraan • Level Isu Perempuan
Gambar 3. Hubungan antar variabel dalam studi gender program PLTMH
Keterangan: : Analisis kuantitatif : Analisis kualitatif
2.3
Hipotesis Penelitian Hipotesis Kerja: 1) Semakin rendah variabel-variabel pada karakteristik sumberdaya individu dan sumberdaya RMKL dan RMKP, semakin tinggi akses dan kontrol mereka terhadap Program PLTMH. 2) Semakin tinggi frekuensi kunjungan fasilitator semakin tinggi akses, kontrol, partisipasi dan manfaat yang diperoleh RMKL dan RMKP terhadap Program PLTMH. 3) Semakin tinggi jumlah dana Program PLMTH dan tingkat kesesuaian, program dengan kebutuhan rumahtangga miskin semakin tinggi akses, kontrol, partisipasi dan manfaat RMKL dan RMKP terhadap Program PLTMH. 4) Semakin tinggi akses dan kontrol RMKL dan RMKP terhadap Program PLTMH, semakin tinggi tingkat partisipasi mereka dalam pelaksanaan Program PLTMH. 5) Semakin tinggi tingkat partisipasi RMKL dan RMKP dalam pelaksanaan Program PLTMH semakin tinggi manfaat yang mereka peroleh mereka dari Program PLMTH.
2.4
Definisi Operasional Di bawah ini dikemukakan definisi operasional dari semua variabel tidak bebas dan bebas pada penelitian ini. 1) Tingkat Akses RMKL dan RMKP terhadap Perencanaan Program PLTMH (Y1) adalah jumlah total skor yang diperoleh RMKL dan RMKP dalam
mengikuti tahap persiapan, dibedakan ke dalam kategori: (a) rendah, jika skornya antara satu sampai dengan dua, (b) sedang, jika skornya antara tiga sampai dengan empat, dan (c) tinggi, jika skornya lima. 2) Tingkat Akses RMKL dan RMKP terhadap Pelaksanaan Program PLTMH (Y2) adalah jumlah total skor yang diperoleh RMKL dan RMKP dalam mengikuti tahap pelaksanaan program sesuai dengan rencana kerjanya, yang dibedakan ke dalam kategori: (a) rendah, jika skornya nol, (b) sedang, jika skornya satu, dan (c) tinggi, jika skornya lebih dari satu. 3) Tingkat Akses RMKL dan RMKP terhadap Pemanfaatan Hasil Program PLTMH (Y3) adalah jumlah total skor yang diperoleh RMKL dan RMKP dalam menggunakan/menikmati hasil program PLTMH, yang dibedakan ke dalam kategori: (a) rendah, jika skornya satu, (b) sedang, jika skornya antara dua hingga tiga, dan (c) tinggi, jika skornya empat. 4) Tingkat Kontrol RMKL dan RMKP terhadap Perencanaan Program PLTMH (Y4) adalah peranserta RMKL dan RMKP dalam pengambilan keputusan terhadap sumberdaya program pada tahap perencanaan Program PLTMH; dibedakan ke dalam tiga kategori: (a) rendah, jika hanya suami atau istri sendiri yang berperanserta, (b) sedang, jika suami dan istri berperanserta, tetapi salah seorang (suami atau isteri) dominan, dan (c) tinggi, jika suami dan istri berperan serta, tanpa adanya dominasi salah seorang diantara mereka. 5) Tingkat Kontrol RMKL dan RMKP terhadap Pelaksanaan Program PLTMH (Y5) adalah peranserta ARMKL/ARMKP dalam pengambilan keputusan pada setiap kegiatan tahap pelaksanaan Program PLMTH,
dibedakan ke dalam tiga kategori: (a) rendah, jika hanya suami sendiri atau istri sendiri yang berperanserta, (b) sedang, jika suami dan istri keduanya berperan serta, namun salah seorang diantara mereka dominan, dan (c) tinggi, jika suami dan istri berperanserta, tanpa adanya dominasi salah seorang diantara mereka. 6) Tingkat Kontrol RMKL dan RMKP terhadap Pemanfaatan Hasil Program PLTMH (Y6) adalah peranserta ARMKL/ARMKP dalam pengambilan keputusan pada setiap kegiatan dalam pemanfaatan hasil Program PLTMH; dibedakan ke dalam tiga kategori: (a) rendah, jika hanya suami atau istri yang berperanserta, (b) sedang, jika suami dan istri berperanserta, namun salah seorang diantara mereka dominan, dan (c) tinggi, jika suami dan istri berperanserta, tanpa adanya dominasi salah seorang diantara mereka. 7) Tingkat Partisipasi RMKL dan RMKP dalam Pelaksanaan Program PLTMH (Y7) adalah peranserta RMKL dan RMKP dalam semua kegiatan dalam
pelaksanaan
Program
PLTMH,
(berupa
peranserta
dalam
pembangunan fisik, menjadi pengurus dalam kelembagaan, dan gotong royong) dibedakan ke dalam kategori: (a) rendah, jika skornya nol, (b) sedang, jika skornya satu, dan (c) tinggi jika skornya lebih dari satu. 8) Tingkat Manfaat RMKL dan RMKP terhadap Hasil Program PLTMH (Y8) adalah pola pemanfaatan hasil program PLTMH oleh anggota RMKL dan RMKP, dibedakan ke dalam kategori: (a) rendah, jika yang memperoleh manfaat hanya salah seorang dari anggota RMKL dan RMKP, (b) sedang, jika yang menikmati program PLTMH dua orang
anggota RMKL dan RMKP, dan (c) tinggi, jika yang menikmati program seluruh atau semua anggota RMKL dan RMKP. 9) Tingkat Pendidikan Formal (X1) adalah lamanya (tahun) pendidikan yang dinikmati anggota RMKL dan RMKP di bangku sekolah; dibedakan ke dalam tiga kategori: (a) rendah, jika tidak lulus SD atau tamat SD), (b) sedang, jika tamat SMP dan SMA), dan (c) tinggi, jika tamat akademi/perguruan tinggi. 10) Status Bekerja (X2) adalah kondisi bekerja yang dialami individu dalam hubungannya dengan ada tidaknya dukungan tenaga kerja lainnya, dibedakan ke dalam: (a) rendah, jika berstatus sebagai pekerja keluarga atau bekerja tanpa upah, (b) sedang, jika bekerja selaku buruh tidak tetap atau berusaha sendiri tanpa bantuan orang lain/pekerja keluarga, dan (c) tinggi, jika bekerja sebagai karyawan PNS/swasta (dengan gaji tetap) dan/atau berusaha sendiri dengan bantuan pekerja upahan. 11) Tingkat
Kekayaan
(X3)
adalah
kumulatif
dari
faktor-faktor:
pendapatan/penghasilan dan pemilikan barang-barang berharga RMKL dan RMKP yang mencakup kepemilikan perhiasan, barang elektronik, dan kendaraan bermotor yang dinilai setara rupiah sesuai nilai pada saat penelitian berlangsung; dibedakan kedalam tiga kategori: (a) rendah, jika jumlah kekayaan dibawah Rp.6.722.216,0 (enam juta tujuh ratus dua puluh dua ribu dua ratus enam belas rupiah), (b) sedang, jika jumlah kekayaan antara Rp.6.722.216,0 sampai dengan Rp.15.532.583,0 (enam juta tujuh ratus dua puluh dua ribu dua ratus enam belas rupiah sampai dengan lima belas juta lima ratus tiga puluh dua ribu lima ratus delapan
puluh tiga rupiah), dan (c) tinggi, jika jumlah kekayaan diatas Rp.37.787.383,0 (tiga puluh tujuh juta tujuh ratus delapan puluh tujuh ribu tiga ratus delapan puluh tiga rupiah). 12) Status Rumahtangga (X4) adalah kondisi rumahtangga miskin berdasarkan kriteria rumahtangga miskin menurut kriteria lokal yang mencakup ciriciri tidak mempunyai lahan, tidak bermodal, tidak mempunyai pekerjaan tetap, dan tidak berpendidikan tinggi. Dibedakan ke dalam tiga kategori: (a) Kategori Miskin I: memiliki semua karakteristik kriteria lokal, (b) Kategori Miskin II: memiliki kombinasi tiga kriteria rumahtangga miskin lokal, (c) Kategori Miskin III: memiliki dua karakteristik kriteria rumahtangga miskin lokal, dan (d) Kategori Miskin IV, jika hanya memiliki salah satu karakteristik dari kriteria rumahtangga miskin secara lokal. Status rumahtangga miskin menurut kriteria BPS 2000/2005 dibedakan ke dalam: (a) miskin, jika memenuhi lima atau lebih dari variabel kemiskinan yang berskor satu dan (b) tidak miskin, jika lebih dari lima variabel kemiskinan yang berskor satu. 13) Tingkat Kontrol dalam Rumahtangga (X5) adalah dominasi anggota RMKL dan RMKP dalam menentukan kegiatan/penggunaan sumberdaya dalam rumahtangga, dibedakan ke dalam tiga kategori, yakni: (a) rendah, jika hanya suami sendiri atau istri sendiri, (b) sedang, jika suami dan istri tapi suami dominan atau suami dan istri tapi istri dominan, dan (c) tinggi, jika suami dan istri setara.
14) Frekuensi Kunjungan Fasilitator (X6) adalah jumlah kedatangan fasilitator selama pelaksanaan PLTMH kepada RMKL dan RMKP sejak program diintroduksikan sampai berjalannya program hingga penelitian dilakukan, dibedakan ke dalam tiga kriteria: (a) rendah jika tidak ada kunjungan,(b) sedang, jika sekali kunjungan tiap minggu, dan (c) tinggi, jika lebih dari sekali kunjungan. 15) Jumlah Dana Program (X7) adalah total rupiah bantuan materi dari Program PLTMH yang diperoleh RMKL dan RMKP. Dalam hal ini, bantuan dana program dialokasikan untuk pembangunan PLTMH. Jumlah dana program keseluruhan sebesar US$ 225.000 (dua ratus dua puluh lima ribu dolar Amerika) atau setara dengan Rp.633.750.000,00; (enam ratus tiga puluh tiga juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah). 16) Tingkat Kesesuaian Program dengan Kebutuhan RMKL dan RMKP (X8) adalah kecocokan antara pelaksanaan program dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.Dibedakan menjadi (a) sesuai, jika program PLTMH dinilai sesuai dengan harapan dan mengatasi kebutuhan RMKL dan RMKP, (b) tidak sesuai, jika program PLTMH dinilai tidak memenuhi harapan dan tidak mengatasi kebutuhan RMKL dan RMKP 17) Tingkat Dukungan Aparat Pemerintah Desa (X9) adalah peranserta aparat Desa Cinta Mekar dalam perencanaan dan pelaksanaan Program PLTMH, baik peranserta dalam sosialisasi dan pengawasan kegiatan-kegiatan pada semua tahapan pelaksanaan Program PLTMH; dibedakan ke dalam (a) rendah, jika aparat desa tidak pernah hadir dalam rapat atau musyawarah program, (b) sedang, jika aparat desa hanya sekali menghadiri rapat atau
musyawarah program, dan (c) tinggi, jika aparat desa lebih dari sekali menghadiri rapat atau musyawarah program.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1
Strategi Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian evaluasi hasil (sumatif) dengan
menggunakan teknik pengumpulan data kuantitatif dan kualitatif. Dalam pendekatan kuantitatif digunakan metode survei dengan pengambilan sampel secara purposif, yakni hanya meliputi rumahtangga miskin penerima Program PLTMH. Metode survei digunakan untuk memperoleh data yang mencakup akses, kontrol, dan partisipasi RMKL dan RMKP terhadap program PLTMH, serta manfaat yang mereka peroleh dari program PLTMH. Pengumpulan data pada kedua metode tersebut dilakukan dengan menggunakan kuesioner terstruktur yang diadaptasi dari kuesioner Penelitian Riset Unggulan Terpadu atau RUT VIII dari Mugniesyah dkk. (2001). Adapun pengumpulan data kualitatif menggunakan teknik wawancara mendalam (in-depth interview) dan observasi. Kuesioner terstruktur dan pedoman wawancara mendalam selengkapnya disajikan pada Lampiran 1 dan Lampiran 2. Survei dilakukan untuk mengumpulkan data yang akan dapat menjelaskan ada tidaknya hubungan antar faktor atau variabel penelitian, sementara wawancara mendalam dimaksudkan untuk memperoleh informasi yang mampu menjelaskan peranan kelembagaan (pemerintah desa, koperasi, Yayasan IBEKA serta PT HIBS) dalam pelaksanaan pembangunan PLTMH. Data dalam penelitian ini mencakup data primer dan sekunder. Data primer dalam penelitian ini meliputi: (a) semua variabel bebas dan tidak bebas
yang tercantum pada Gambar 3, dan (b) beragam informasi berkenaan penyelenggaraan program PLTMH yang diperoleh dari informan dan hasil observasi. Adapun data sekunder berupa data yang diperoleh melalui kegiatan studi dokumentasi, khususnya berupa Potensi Desa Cinta Mekar serta laporan dan dokumentasi dari: internet, Yayasan IBEKA, Koperasi Cinta Mekar dan PT HIBS
3.2
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Desa Cinta Mekar, Kecamatan Serangpanjang,
Kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat. Lokasi penelitian ini dipilih secara sengaja (purposive). Dengan pertimbangan bahwa di lokasi ini terdapat program pembangunan PLTMH yang dilaksanakan pada periode 2004-2008 dan dinyatakan Yayasan IBEKA sebagai proyek percontohan (pilot project) pembangunan PLTMH. Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu pada bulan Mei sampai dengan Juni 2008. Adapun jadwal penelitian dapat dilihat pada Lampiran 3.
3.3
Pemilihan Subjek Penelitian Populasi sampling pada penelitian ini adalah seluruh rumahtangga warga
Desa Cinta Mekar. Adapun populasi sasaran pada penelitian ini adalah seluruh rumahtangga miskin penerima program PLTMH.yang berdomisili di Kampung Tangkil yang berada di wilayah Dusun II, Desa Cinta Mekar. Total populasi sampel terdiri atas 100 rumahtangga, khususnya yang berdomisili di RT 05 sampai dengan RT 08. Responden pada rumahtangga miskin pada RMKL adalah suami dan isteri, sementara pada RMKP hanya isterinya saja, karena mereka
terdiri atas janda mati dan cerai. Responden pada koperasi Mekarsari terdiri atas sekretaris koperasi, adapun untuk mengetahui operasional PLTMH respondennya terdiri dari operator, andir dan penjaga taman. Adapun informan terdiri atas pengurus koperasi lainnya (tiga orang), fasilitator (seorang), serta aparat pemerintahan desa (dua orang). 3.4
Metode Analisis Data Data primer yang telah terkumpul diedit, untuk kemudian di-“entry” ke
dalam komputer dengan menggunakan program Microsoft Excel 2003. Dengan program yang sama, selanjutnya data diedit, diolah ke dalam bentuk tabel-tabel frekuensi dan silang, khususnya untuk mengetahui kecenderungan diterima tidaknya hipotesis penelitian ini. Selanjutnya, hasil pengolahan data tersebut dianalisis dengan mengacu kepada pendekatan dan teori yang dikemukakan di atas. Adapun proses analisis data kualitatif mencakup klasifikasi data dari catatan lapangan dan analisis data, yang ditujukan untuk memperjelas atas ada tidaknya hubungan antar variabel sebagaimana tertuang dalam hipotesis penelitian dan Gambar 3.
BAB IV PROFIL DESA CINTA MEKAR
4.1
Lokasi dan Kondisi Geografis Desa Cinta Mekar merupakan desa hasil pemekaran Desa Leles
Kecamatan Serangpanjang, Kabupaten Subang. Sejak tanggal 15 Mei 2008, secara administratif desa ini termasuk wilayah Kecamatan Serangpanjang, sebelumnya termasuk wilayah Kecamatan Segalaherang. Secara geografis, desa ini berbatasan dengan Desa Curugagung Kecamatan Kalijati di sebelah Utara dan dengan Desa Dayeuhkolot Kecamatan Lembang di sebelah Selatan. Di sebelah Timur desa ini berbatasan dengan Desa Leles Kecamatan Jalancagak, sementara di sebelah Barat berbatasan dengan Desa Telagasari Kecamatan Wanayasa. Peta Desa Cinta Mekar dapat dilihat pada Lampiran 4. Desa Cinta Mekar terdiri dari empat dusun, delapan Rukun Warga (RW) dan 16 Rukun Tetangga (RT) yang tersebar di lima wilayah kampung, yaitu: Cimute, Tangkil, Malingping, Nyalindung dan Karapyak. Antara satu kampung dengan yang lainnya dipisahkan oleh areal pertanian sawah atau oleh jalan perkampungan yang sudah diaspal. Secara umum topografi Desa Cinta Mekar berupa dataran tinggi atau pegunungan. Suhu rata-rata harian di Desa Cinta Mekar sekitar 25° C, dengan ketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut. Desa Cinta Mekar berjarak sejauh lima kilometer dari ibukota Kecamatan Serangpanjang, 28 km dari ibukota Kabupaten Subang dan 45 km dari ibukota Propinsi Jawa Barat. Dari ibukota kabupaten, desa ini dapat dicapai selama satu jam perjalanan jika menggunakan kendaraan bermotor (roda dua dan roda empat),
baik dengan menggunakan kendaraan pribadi maupun umum. Kendaraan umum yang tersedia berupa angkutan umum dengan trayek Jalancagak-Wanayasa yang setiap harinya beroperasi sejak pukul 05.00 sampai dengan pukul 18.00 WIB.
4.2
Tataguna Lahan di Desa Cinta Mekar Luas wilayah desa Cinta Mekar sekitar 171,12 hektar, dengan peruntukkan
lahan seperti yang tercantum pada Tabel 1. Tabel 1. Jumlah dan Persentase Luas Wilayah Menurut Jenis Penggunaan Lahan, Desa Cinta Mekar, Tahun 2007 Jenis Penggunaan Lahan Persawahan
Luas (Ha)
Persentase (%)
117,00
68,37
34,55 Lahan kering 10,00 Pemukiman 3,00 Kuburan 3,00 Pekarangan 2,00 Prasarana umum lainnya 1,50 Taman 0,07 Perkantoran 171,12 Total Sumber: Laporan Pendataan Profil Desa Cinta Mekar Tahun 2007
20,19 5,84 1,75 1,75 1,16 0,87 0,04 100,00
Seperti terlihat pada Tabel 1, lebih dari dua pertiga wilayah Desa Cinta Mekar merupakan areal persawahan. Setengah wilayah persawahan di desa ini tergolong sawah beririgasi teknis yang memanfaatkan air dari Sungai Ciasem. Rata-rata luas lahan pertanian yang diusahakan oleh warga Desa Cinta Mekar sekitar kurang dari satu hektar per rumahtangga. Sebagian besar warga petani di Desa Cinta Mekar membudidayakan padi sawah. Selain itu, mereka juga berbudidaya talas, padi ladang (tumpangsari) dan ubijalar. Terdapat beberapa komoditi buah-buahan yang dibudidayakan oleh warga desa ini, diantaranya pisang, rambutan, pepaya, kokosan (sejenis duku) dan nangka.
Peruntukan lahan terluas kedua di Desa Cinta Mekar yaitu sebagai lahan kering. Warga Desa Cinta Mekar tidak membudidayakan komoditas perkebunan besar seperti teh, kelapa, kelapa sawit, cengkeh karet dan sebagainya, melainkan berupa tanaman buah-buahan yang dibudayakan di areal kebun dekat rumah. Wilayah pemukiman menempati peruntukkan lahan terluas ketiga di desa Cinta Mekar. Namun demikian, pemukiman penduduk terkonsentrasi pada wilayahwilayah tertentu yang dipisahkan oleh areal persawahan serta jalan desa. Pada rumahtangga yang memiliki lahan pekarangan, ada mereka yang beternak ayam kampung, domba dan kerbau, meskipun jumlahnya sedikir. Namun demikian, di desa ini juga dijumpai lahan yang menjadi sarana budidaya ayam ras secara komersil untuk memproduksi telurnya. Mengingat desa ini tergolong desa lahan kering, di desa ini tidak dijumpai adanya warga yang berusaha di sektor perikanan. Sebagaimana terlihat pada Tabel 1, peruntukkan lahan yang mempunyai persentase yang tidak terlalu besar digunakan untuk kuburan, pekarangan, perkantoran dan lain-lain.
4.3
Kondisi Umum Penduduk Desa Cinta Mekar Sampai dengan bulan Januari 2007, jumlah penduduk Desa Cinta Mekar
tercatat sebanyak 2.313 jiwa. Dengan total Kepala Keluarga (KK) sebanyak 688 KK, kepadatan penduduk di desa ini sebesar 13,52 jiwa per hektar. Seperti terlihat pada Tabel 2, jumlah penduduk berjenis kelamin laki-laki sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk perempuan (0,82 persen).
Tabel 2. Jumlah dan Persentase Penduduk Menurut Jenis Kelamin, Desa Cinta Mekar, Tahun 2007 Jumlah (jiwa)
Persentase (%)
Laki-laki
Jenis Kelamin
1166
50,41
Perempuan
1147
49,59
Total 2313 Sumber: Laporan Pendataan Profil Desa Cinta Mekar Tahun 2007
100,00
Tabel 3 menyajikan data penduduk Desa Cinta Mekar menurut kelompok umur. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa mayoritas penduduk desa ini berada pada kelompok umur muda dan produktif (15 tahun sampai dengan 54 tahun), yakni sebesar 59,46 persen. Tabel 3. Jumlah dan Persentase Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin, Desa Cinta Mekar, Tahun 2007 Kelompok Umur (tahun) 0–4
Laki-laki Jumlah % (jiwa) 73
6,26
Perempuan Jumlah % (jiwa) 79
Total Jumlah (jiwa)
%
6,89
152
6,57
5–9 99 8,49 95 8,28 10 – 14 99 8,49 82 7,15 15 – 19 83 7,12 91 7,93 20 – 24 86 7,38 86 7,50 25 – 29 91 7,80 82 7,15 30 – 34 93 7,98 83 7,24 35 – 39 65 5,57 71 6,19 40 – 45 84 7,20 94 8,20 46 – 49 84 7,20 98 8,54 50 – 54 98 8,40 86 7,50 55 – 59 78 6,69 80 6,97 60 – 64 41 3,52 35 3,05 65 – 69 38 3,26 35 3,05 ≥ 70 54 4,63 50 4,36 Sumber: Laporan Pendataan Profil Desa Cinta Mekar Tahun 2007
194 181 174 172 173 176 136 178 182 184 158 76 73 104
8,39 7,83 7,52 7,44 7,48 7,61 5,88 7,70 7,87 7,96 6,83 3,29 3,16 4,50
Secara keseluruhan, persentase tertinggi penduduk desa, baik laki-laki maupun perempuan berada pada kelompok umur produktif, yakni kelompok umur
antara 15-19 tahun hingga 50-54 tahun (59,46 persen) Adapun mereka yang tergolong di bawah lima tahun hingga 14 tahun sebesar 22,79 persen Kemudian bila dibandingkan dengan kelompok umur muda, yaitu antara 0-4 tahun hingga 10-14 tahun. Yang menarik, untuk kelompok umur tua (manula, 60 tahun ke atas) sebagaimana terlihat pada Tabel 3, menunjukkan persentase yang lebih rendah dari RMKL sebesar sekitar satu persen Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa hampir semua rumahtangga di Desa Cinta Mekar adalah rumahtangga yang dikepalai oleh laki-laki, dan sisanya adalah rumahtangga yang dikepalai oleh perempuan. Tabel 4. Jumlah dan Persentase Kepala Keluarga (KK) Menurut Jenis Kelamin Kepala Keluarganya, Desa Cinta Mekar, Tahun 2007 Jenis Kelamin KK Laki-laki Perempuan
Jumlah (KK)
Persentase (%)
662
96,22
26
3,78
Total 688 Sumber: Laporan Pendataan Profil Desa Cinta Mekar Tahun 2007
100,00
Pada Tabel 5 disajikan data rumahtangga di Desa Cinta Mekar menurut tingkat kesejahteraan keluarga/rumahtangga menggunakan kriteria Badan Kesejahteraan Keluarga Berencana (BKKBN). Tabel 5. Jumlah dan Persentase Penduduk Menurut Tingkat Kesejahteraan Keluarganya, Desa Cinta Mekar, Tahun 2007 Tingkat Kesejahteraan
Jumlah (Rumahtangga)
Persentase (%)
Keluarga Pra-sejahtera (Pra - KS)
217
31,54
Keluarga Sejahtera I (KS I)
452
65,70
Keluarga Sejahtera II (KS II) 8 Keluarga Sejahtera III (KS III) 10 Keluarga Sejahtera III Plus (KS III-Plus) 1 Total 688 Sumber: Laporan Pendataan Profil Desa Cinta Mekar Tahun 2007
1,16 1,45 0,15 100,00
Pada Tabel 5 diketahui bahwa mayoritas rumahtangga Desa Cinta Mekar tergolong Keluarga Sejahtera I (KS I), yang jumlahnya lebih tinggi sekitar 34 persen dibanding mereka yang tergolong Keluarga Pra-Sejahtera (Pra-KS). Dengan demikian, hampir seluruh rumahtangga di desa ini tergolong keluarga miskin (97,24 persen), karena menurut kriteria BKKBN, yang tergolong keluarga miskin adalah mereka yang termasuk Pra-KS dan KS I. Tabel 6 di bawah ini menyajikan data penduduk Desa Cinta Mekar menurut tingkat pendidikan. Tabel 6. Jumlah dan Persentase Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan, Desa Cinta Mekar, Tahun 2007 Tingkat Pendidikan
Laki-laki Jumlah % (jiwa)
Perempuan Jumlah % (jiwa)
Total Jumlah (jiwa)
%
SD
280
44,23
260
43,33
540
43,79
SMP
215
33,97
216
36,00
431
34,95
240 12 10 1233
19,46 0,97 0,83 100,00
SMA 120 18,96 120 20,00 Diploma 11 1,73 1 0,17 Strata 1 7 1,11 3 0,50 Total 633 100,00 600 100,00 Sumber: Laporan Pendataan Profil Desa Cinta Mekar Tahun 2007
Secara umum diketahui bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan semakin menurun persentase penduduk yang menikmati pendididikan tersebut. Namun demikian, diketahui bahwa mayoritas penduduk di desa ini tamat SD, yang jumlahnya lebih tinggi sebesar 8.8 persen dibanding mereka yang lulus SMP. Program Wajib Belajar Wajib Belajar 12 tahun yang dicanangkan pemerintah tampaknya berhubungan dengan relatif tingginya persentase penduduk yang berpendidikan SD dan SLTP. Relatif lebih rendahnya persentase penduduk desa yang menikmati pendidikan menengah, tampaknya disebabkan oleh relatif
jauhnya lokasi gedung SLTP dan SMA, yakni berjarak sekitar 10 kilometer dari Desa Cinta Mekar. Selain itu, juga karena masih relatif banyaknya rumahtangga miskin di desa ini. Untuk diketahui, biaya transportasi ke sekolah (pulang-pergi) kalau menggunakan mobil umum sebesar Rp.4.000,0 (empat ribu rupiah), sebelum harga BBM naik sebesar Rp.3.000,0 (tiga ribu rupiah) setiap harinya, sementara jika memanfaatkan jasa tukang ojek sebesar Rp.6.000,0 (enam ribu rupiah) yang sebelumnya hanya Rp.4.000,0 (empat ribu rupiah). Data penduduk Desa Cinta Mekar menurut jenis mata pencaharian mereka disajikan pada Tabel 7 di bawah ini. Tabel 7. Jumlah dan Persentase Penduduk Menurut Jenis Pekerjaan, Desa Cinta Mekar, Tahun 2007 Mata Pencaharian
Jumlah (Jiwa)
Persentase (%)
702
30,35
Pedagang
25
1,08
Pegawai Negeri
11
0,48
4
0,17
Petani
TNI/POLRI
Pensiunan TNI/POLRI 8 Buruh/karyawan pabrik 30 Pengrajin/Industri Kecil 55 Tukang Bangunan 30 Supir Angkutan (Mobil) 30 Buruh Tani 687 Pengangguran 731 Total 2.313 Sumber: Laporan Pendataan Profil Desa Cinta Mekar Tahun 2007
0,35 1,30 2,38 1,30 1,30 29,70 31,60 100,00
Seperti terlihat pada Tabel 7 persentase tertinggi penduduk Desa Cinta Mekar ditempati oleh pengangguran. Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa mata pencaharian penduduk di sektor formal (pegawai negeri, TNI/POLISI, dan pensiunan TNI/POLRI) jumlahnya kurang dari satu persen. Jenis pekerjaan
pengangguran memiliki persentase sedikit lebih besar 1,3 persen dibandingkan dengan petani. Para buruh (baik tani dan non-tani) bisa bekerja seminggu penuh atau bisa juga meliburkan diri selama satu bulan penuh dikarenakan sedang tidak ada proyek. Dengan demikian sulit menentukan hari atau waktu kerja dalam satu bulan. Mayoritas pemuda yang berusia produktif di desa tidak mempunyai mata pencaharian yang jelas, terkadang hanya menghabiskan waktu bermain bersama teman-temannya. Akan tetapi ada juga beberapa pemuda yang meninggalkan desa untuk mencari pekerjaan, walaupun hanya sedikit jumlahnya. Mata pencaharian petani yang merupakan dominan kedua, yang meliputi penduduk desa yang berusia sekitar 40 tahun ke atas. Ada juga yang bermata pencaharian sebagai sopir angkutan serta sopir pribadi. Profesi sebagai tukang bangunan juga ditemukan di Desa Cinta Mekar dengan presentase yang kecil. Sebagian kecil penduduk Desa Cinta Mekar lainnya bermata pencaharian sebagai tukang bangunan dan swasta. Mata pencaharian sebagai tukang ojek menjadi pilihan lain bagi penduduk Desa Cinta Mekar karena mudahnya proses dalam memiliki motor dengan cara kredit dan angsuran yang tidak begitu besar. Didukung oleh tidak adanya angkutan umum hingga ke pelosok desa, ojek menjadi sarana utama transportasi desa. Menurut Pendataan Profil Desa Cinta Mekar Tahun 2007, seluruh penduduk desa memeluk agama Islam. Prasarana peribadatan yang dimiliki oleh desa berupa lima buah masjid, serta 10 langgar/surau/mushola yang letaknya menyebar di setiap dusun. Pada hari Jumat dan hari Minggu sering diadakan pengajian serta majelis taklim ibu-ibu.
BAB V PROFIL KELEMBAGAAN PROGRAM PLTMH DESA CINTA MEKAR
5.1
Yayasan Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA) Yayasan Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA) merupakan
lembaga non-pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) (nongovernment organization) yang bergerak di bidang ekonomi dan permasalahan energi di pedesaan. Aktivitas utamanya adalah menerapkan elektrifikasi pedesaan dengan menggunakan energi terbaharui, membangun infrastruktur untuk tujuan pengembangan desa, riset atas sumber energi yang dapat diperbaharui, pengembangan dan pelatihan program PLTMH serta menciptakan kegiatan ekonomi di pedesaan. Salah satu instrumen untuk mencapai tujuan tersebut adalah penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) / ( Micro Hydro Power Plant or MHP) (Profil Yayasan IBEKA, 2004). Secara hukum, Yayasan IBEKA didirikan pada 18 Maret 1993 dengan akta notaris No.120, oleh Wiratni Ahmadi, SH. Kantor Yayasan IBEKA terletak di Kampung Panaruban RT 023/05 Desa Cicadas Kecamatan Sagalaherang Kabupaten Subang Jawa Barat dan Jl. Sulaiman No. 7A1,RT 02/03, Kelurahan Sukabumi Utara, Jakarta Barat. Struktur organisasi IBEKA dapat dilihat pada Gambar 4. Kegiatan yang telah dilaksanakan oleh IBEKA antara lain berupa program membersihkan persediaan air mulai pada tahun 1999, dan proyek energi alternatif lainnya. Sejak itu, lebih dari 40 sumber daya pembangkit listrik (PLTMH) menyebar di berbagai provinsi, antara lain Aceh, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Sumatera Selatan, dan Jawa Barat.
PLTMH di masing-masing provinsi tersebut berkapasitas di bawah 250 Watt kilo. Masing-masing sumber daya pembangkit diatur dan dirawat oleh Koperasi Unit Desa (KUD). Gambar 4. Struktur Organisasi IBEKA
Executive Director Tri Mumpuni Iskandar
Managing Director S t N h
Environmental Division Adi Laksono
Finance Division Yety Sovi Rahayu
Project and Planning Division Dede Cahyadi
Social Division Guruh Aryo
Programme Oficer Yety Sovi Rahayu
Environmenta l Division Sumpena
Finance Division Isti Kristianto
Engineering and Construction Haris Y D Bayu Megantara K Cristianus Legowan
Social Division Aman
Programme Division Aan Suparmin Soleh
Sumber: Publikasi IBEKA, 2004
Pengalaman IBEKA di bidang pelatihan meliputi pelaksanaan pelatihan mikro hidro untuk mahasiswa dan koperasi sebanyak 23 kali, lima kali untuk staf
Kementerian Energi dari 11 provinsi di Indonesia, dua kali untuk peserta dari India, Pakistan, Sri Lanka dan Nepal dan dua kali untuk LSM Indonesia, serta staf pemerintah lokal dari lima provinsi. Peran IBEKA dan keterlibatannya dalam proyek PLMTH berstatus sebagai pengembang, pelatih (trainer) pada pelatihan PLTMH, panitia pelaksana pada seminar PLTMH dan perencana pengembangan komunitas. Dalam merealisir Program PLMTH, yayasan ini mengalokasikan dana sekitar 10.000 sampai dengan 655.000 dolar Amerika Dana yang dialokasikan Yayasan IBEKA tersebut diperoleh dari beragam sumber, antara lain dari: Pemerintah Jepang, Japan International Cooperation Agency (JICA), dan Tokyo Electric Power Company. Pendapatan Yayasan IBEKA selama tiga tahun terakhir berjumlah rata-rata 150.000 US$ (seratus lima puluh ribu dolar Amerika) per tahun. Kegiatan yang dilakukan oleh IBEKA tidak hanya pada bidang teknis atau mekanikal saja, melainkan juga di bidang sosial, seperti peningkatan usaha produktif masyarakat melalui pembuatan gula aren.
5.2
PT Hidropiranti Inti Bhakti Swadaya (PT HIBS) Secara legal Perseroan Terbatas Hidropiranti Inti Bhakti Swadaya (PT
HIBS) terbentuk pada tanggal 29 November 2005, sesuai Akta Notaris Galuh Candrarini, SH dengan nomor C-31366 HT 01 01 TH 2006. Badan usaha ini berkedudukan di Kampung Panaruban Desa Cicadas Kecamatan Sagalaherang, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Tujuan pembentukan PT HIBS adalah berusaha dalam bidang jasa, perdagangan, percetakan dan transportasi. Kegiatan usaha yang dilakukan badan usaha ini secara umum antara lain meliputi:
13) Menjalankan
usaha-usaha
dalam
bidang
perdagangan,
termasuk
perdagangan ekspor dan impor antar pulau dan lokal, serta antar negara. 14) Menjalankan usaha-usaha dalam bidang kontraktor umum untuk segala macam dan segala jenis komoditi, terutama bangunan, gedung, jembatanjembatan, jalan-jalan, bandara, dermaga, instalasi air dan listrik, telekomunikasi, konstruksi besi dan baja, dan irigasi serta pekerjaanpekerjaan sipil lainnya dan bertindak sebagai pengembang. Kegiatan PT HIBS pada awalnya ialah membina bengkel-bengkel kecil untuk dapat mengeksploitasi kemampuan dan keahlian mereka. Kemudian berkembang ke kegiatan pengembangan teknologi mesin untuk produksi seperti penghasil gula dan pembuat singkong goreng. Hasilnya dijual ke luar negeri sesuai dengan standar barang yang diminta pemesan. Kegiatannya lebih kearah pengemasan dan pengawasan mutu. PT HIBS juga pernah mengekspor turbin ke luar negeri. Kepengurusan PT HIBS terdiri dari: Direktur
: Iskandar B Kuntoadji
Komisaris I
: Tri Mumpuni
Komisaris II : Sapto Nugroho Komisaris III : Yeti Sovia Rahayu Direksi bertanggungjawab penuh dalam melaksanakan tugasnya untuk kepentingan perseroan dalam mencapai maksud dan tujuan perseroan Direktur berhak dan berwenang bertindak untuk dan atas nama direksi serta mewakili perseroan. Adapun komisaris melakukan pengawasan dan kebijaksanaan direksi dalam menjalankan perseroan serta memberikan nasihat kepada direksi.
5.3
Koperasi Mekarsari Pada bulan Mei 2003, Yayasan IBEKA mengadakan sosialisasi rencana
pembangunan PLTMH kepada masyarakat Cinta Mekar. Sosialisasi terkait dengan pemberian hibah oleh UNESCAP yang akan digunakan untuk pembangunan PLTMH di desa ini. Pada tanggal 7 Juni 2003, pihak UNESCAP, Yayasan IBEKA, dan PT HIBS meninjau lokasi Rencana Pembangunan PLTMH di ini sekaligus melakukan pertemuan dengan masyarakat untuk membahas tentang prosedur dan rencana pemanfaatan hasil keuntungan dari PLTMH yang akan dibangun. Selanjutnya, hasil musyawarah masyarakat Desa Cinta Mekar pada tanggal 2 Agustus 2003, menyepakati pembentukan lembaga koperasi dengan nama Koperasi Mekarsari dengan jumlah anggota pendiri sebanyak 50 orang. Pada saat musyawarah itu juga dilakukan rapat yang hasilnya berupa: (1) Pembentukan Pengurus dan Badan Pengawas, (2) Penentuan Simpanan Pokok sebesar Rp. 10.000,00 dan Simpanan Wajib sebesar Rp.1.000,00 per bulan, dan (3) Penetapan Rencana Program Kerja Koperasi. Musyawarah tersebut selanjutnya diikuti oleh kegiatan verifikasi dan peninjauan ke lokasi PLTMH yang dilakukan Dinas Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah Kabupaten Subang pada tanggal 29 Maret 2004. Pada saat yang sama juga dilakukan penandatanganan Anggaran Dasar Koperasi. Terdapat sejumlah kegiatan yang telah dilaksanakan oleh Koperasi Mekarsari (Tabel 8).
Tabel 8.Program Kegiatan Koperasi Mekarsari, Desa Cinta Mekar, Tahun 2003 Prioritas
Program
Persentase
I
Listriki bagi Orang Kurang Mampu (OKM)
II
Pendidikan
8,00
III
Modal Usaha
8,00
IV Kesehatan V Infrastruktur VI Operasional Koperasi VII Operasional Desa Sumber: Publikasi Profil Koperasi Mekarsari Tahun 2003
62,50
4,00 5,00 10,00 2,50
Masing-masing rincian program ada rincian pengalokasian dananya. Pada program pendidikan terbagi lagi menjadi pelatihan dan beasiswa untuk SD dan SMP. Program kesehatan terdiri atas kartu sehat, posyandu dan pengobatan kronis. Infrastuktur berupa pembangunan saluran air bersih di Leuwikopo, Solokan Sado, Solokan Baru, Solokan Citatah dan Leuwi Halang; bangunan posyandu, bangunan TK Al Quran serta jalan kampung. Pada tanggal 30 Maret 2004, Koperasi Mekarsari resmi terdaftar di Dinas Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah Kabupaten Subang dengan Akta Pendirian Koperasi 539/BH/KDK.10.11/III/2004. Hingga saat ini Koperasi Mekarsari telah berganti kepengurusan sebanyak dua kali, yakni periode tahun 2003– 2006 dan periode 2006 – 2009. Koperasi Mekarsari memiliki gedung atau bangunan koperasi yang letaknya tidak jauh dari rumah pembangkit mikrohidro. Kepengurusan Koperasi Mekarsari untuk periode tahun 2006 – 2009 dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Susunan Pengurus Koperasi Mekarsari Periode 2006 - 2009 Pembina Kepala Desa
Ketua Endang S
Badan Pengawas (BP)
Sekretaris Asep Kusnanto
Bidang Pendidikan Ade Saodi
Bendahara Entin Sutini
Bidang Kesehatan Bidan Desa
Bidang Modal Usaha/SP Yuyun Yunengsih
Bidang Infrastruktur Para Kepala Dusun
Sumber: Publikasi Profil Koperasi Mekarsari Tahun 2003
Bidang Urusan Listrik A. Wawan
BAB VI PROFIL RUMAHTANGGA PADA KOMUNITAS KAMPUNG TANGKIL DI DESA CINTA MEKAR Bab ini mendeskripsikan profil rumahtangga miskin hasil survei yang dilakukan di Kampung Tangkil yang berada di Dusun II, khususnya di empat RT, dari RT 05 sampai dengan RT 08. Profil rumahtangga miskin ini mencakup karakteristik sumberdaya individu dan rumahtangga. Karakteristik individu meliputi jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan status bekerja, sementara karakteristik rumahtangganya meliputi tingkat kekayaan, status kategori rumahtangga, dan pola pengambilan keputusan. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, jumlah rumahtangga yang dicacah meliputi 100 rumahtangga, dengan jumlah anggota rumahtangga sebanyak 354 orang.
6.1 6.1.1
Karakteristik Individu Jenis Kelamin Dari 100 rumahtangga penerima program PLTMH, terdapat 89
Rumahtangga yang Dikepalai oleh Laki-laki (RMKL) dan 11 Rumahtangga yang Dikepalai Perempuan (RMKP). Duapertiga dari jumlah RMKP terdiri atas janda yang ditinggal meninggal suaminya, sedang sisanya janda cerai ditinggal suami. Sebagaimana terlihat pada Tabel 9, berdasar jenis kelaminnya, dari sejumlah 354 orang ART, persentase ART Perempuan (ARTP) sedikit lebih tinggi daripada ART Laki-laki (ARTL), yakni sebesar 2,82 persen. Hal ini berbeda dengan kondisi umum penduduk di Desa Cinta Mekar, dimana persentase penduduk laki-laki lebih tinggi sekitar 0,82 persen dibanding penduduk perempuan (Tabel 2).
Tabel 9. Jumlah dan Persentase Anggota Rumahtangga Miskin Menurut Jenis Kelamin, Kampung Tangkil, Tahun 2008 RMKL
RMKP
Total
Jenis Kelamin
n
%
n
%
n
%
Laki-laki
165
50,30
17
65,38
182
51,41
Perempuan Total
163 328
49,70 100,00
9 26
34,62 100,00
172 354
48,59 100,00
Dari 100 rumahtangga miskin contoh atau dari total rumahtangga miskin contoh, terdapat 354 anggota rumahtangga. Dengan perkataan lain, rata-rata anggota per rumahtangga sebesar 3.54 atau lebih kecil dari empat. Diduga sebagian besar rumahtangga di Dusun Tangkil telah mengikuti Program Keluarga Berencana (KB). Dapat dilihat pada Tabel 9 bahwa mayoritas RMKL dan RMKP mempunyai anggota rumahtangga laki-laki lebih banyak jika dibandingkan dengan anggota rumahtangga perempuan.
6.1.2 Umur Tabel 10 menyajikan data kondisi rumahtangga miskin menurut kelompok umur. Tabel 10. Jumlah dan Persentase Rumahtangga Miskin Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Kepala dan Anggota Rumahtangga, Kampung Tangkil, Tahun 2008 RMKL Lakilaki
RMKP Lakilaki
Total Lakilaki
Perempuan
Kelompok Umur (Tahun)
n
%
n
%
n
%
n
%
%
%
≤ 14
47
28,48
54
32,73
4
57,14
3
17,65
29,65
31,31
15 - 64
98
59,39
97
58,79
3
42,86
9
52,94
58,72
58,42
≥ 65
20
12,12
14
8,48
0
0,00
5
29,41
11,63
10,45
165 100,00
165
100,00 7
100,00
17 100,00
100,00
100,00
Total
Perempuan
Perempuan
Sebagaimana terlihat pada Tabel 10, mayoritas rumahtangga miskin di Kampung Tangkil, baik pada RMKL maupun RMKP tergolong kelompok umur produktif. Khusus di kalangan RMKL, sebaran ARTL dan ARTP menunjukkan kecenderungan yang sama, yakni persentase tertinggi dijumpai pada kelompok umur produktif dan yang terendah pada kelompok umur di atas 55 tahun. Adapun di kalangan RMKP diketahui bahwa kecenderungan tersebut hanya dijumpai pada ARTP. Sebaliknya pada RMKL, ARTL pada kelompok umur lebih muda menunjukkan persentase tertinggi (57 persen) dan tidak dijumpai adanya mereka yang ada pada umur ≥55 tahun. Sebagai tambahan, data pada Tabel 10 dapat digunakan untuk menghitung analisis ketergantungan individu (dependency ratio) * , dengan cara membagi jumlah penduduk berusia 0-14 tahun dan 65 tahun ke atas dibagi dengan jumlah penduduk usia 15-64 tahun (Rusli, 1996). Berdasarkan analisis tersebut diketahui bahwa tingkat ketergantungan anggota rumahtangga miskin di Kampung Tangkil tergolong rendah (kurang dari satu), artinya jumlah penduduk usia kerja lebih banyak daripada jumlah penduduk yang bukan usia kerja, yaitu penduduk usia muda dan tua (lansia) dengan tingkat ketergantungan sebesar 0,71.
6.1.3
Tingkat Pendidikan Seperti kondisi masyarakat pedesaan pada umumnya yang kurang akses
pada pendidikan, warga Desa Cinta Mekar mayoritas diantaranya hanya lulusan Sekolah Dasar (SD). Kecenderungan yang sama juga dijumpai pada kedua * Rumus untuk menghitung depedency ratio = Jumlah penduduk umur 0 – 14 tahun dan 65 tahun ke atas Jumlah penduduk umur 15 – 64 tahun
kategori rumahtangga miskin di Kampung Tangkil, sebagaimana terlihat pada Tabel 11. Tabel 11. Jumlah dan Persentase Rumahtangga Miskin Menurut Tingkat Pendidikan serta Jenis Kelamin Kepala dan Anggota Rumahtangga, Kampung Tangkil, Tahun 2008 RMKL
Tingkat Pendidikan
RMKP Laki-laki
Perempuan
Total LakiPeremlaki puan
Laki-laki
Perempuan
n
n 10
% n 6,06 0
% 0,00
n 6
% 35,29
% 0,58
% 8,79
Tidak Sekolah
1
% 0,61
Belum Sekolah
19
11,52
19
11,52 1
14,29
1
5,88
11,63
10,99
Bersekolah di SD
17
10,30
26
15,76 3
42,86
1
5,88
11,63
14,84
Bersekolah di SMP
9
5,45
11
6,67 0
0,00
1
5,88
5,23
6,59
Bersekolah di SMA
0
0,00
2
1,21 0
0,00
0
0,00
0,00
1,10
Tamat SD
76
46,06
70
42,42 1
14,29
5
29,42
44,77
41,21
Tamat SMP
28
16,97
18
10,91 1
14,29
3
17,65
16,86
11,54
Tamat SMA Tamat Akademi/ Universitas
14
8,48
8
4,85 0
0,00
0
0,00
8,14
4,40
1
0,61
1
0,61 1
14,29
0
0,00
1,16
0,55
165 100,00 7 100,00 17 100,00
100,00
100,00
165 100,00
Total
Secara umum, mayoritas ARTL dan ARTP pada kedua kategori rumahtangga miskin, berpendidikan lulusan/tamat SD, kecuali pada ART pada RMKL mayoritas masih bersekolah di SD. Kondisi ini dimungkinkan, mengingat sebagian besar rumahtangga di Desa Cinta Mekar tergolong miskin (Pra KS dan KS-1); tidak terkecuali mereka yang berdomisili di Kampung Tangkil. Selain itu, masih dijumpai adanya sebagian warga yang masih beranggapan bahwa pendidikan bukanlah hal yang penting dan belum tentu dapat menjamin masa depan; bahkan ada pula yang enggan menyekolahkan anaknya, karena anggapan bahwa lebih baik mengalokasikan uang yang dimiliki untuk modal usaha daripada untuk sekolah.
6.1.4
Jenis Pekerjaan Pada Tabel 12 disajikan data mengenai kondisi rumahtangga berdasarkan
jenis pekerjaannya. Tabel 12. Jumlah dan Persentase Rumahtangga Miskin Menurut Jenis Pekerjaan, Jenis Kelamin Kepala dan Anggota Rumahtangga, Kampung Tangkil, Tahun 2008 RMKL
RMKP
Total Laki- Peremlaki puan
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki
Perempuan
n
%
n
%
n
%
n
%
%
%
55
33,33
41
3,03
2
28,57
10
29,41
33,13
28,02
1
0,61
0
0,00
0
0,00
0
0,00
0,58
2,75
Petani Pemilik Petani Penggarap
11 12
6,67 7,27
6 0
3,64 0,00
0 0
0,00 0,00
0 0
0,00 0,00
6,40 6,98
3,30 0,00
Buruh Tani
39
23,64
19
11,52
0
0,00
1
5,88
22,67
10,99
Pedagang
8
4,85
7
4,24
0
0,00
1
5,88
4,65
4,40
Warung
0
0,00
3
1,82
0
0,00
2
11,76
0,00
2,75
28
16,96
0
0,00
5
71,43
0
0,00
19,18
0,00
Tukang Ojek
9
5,45
0
0,00
0
0,00
0
0,00
5,23
0,00
Supir Ibu rumahtangga
2 0
1,21 0,00
0 89
0,00 53,94
0 0
0,00 0,00
0 3
0,00 17,65
1,16 0,00
0,00 50,54
165 100,00 165 100,00 7 100,00 17 100,00 100,00
100,00
Jenis Pekerjaan Tidak Bekerja PNS/ABRI
Kuli Bangunan
Total
Tabel 12 menunjukkan bahwa persentase tertinggi ARTL pada RMKL ditempati tidak bekerja atau pengangguran. Ditambah lagi dengan banyaknya anggota rumahtangga yang berusia sekolah sehingga dapat digolongkan pada kriteria tidak bekerja. Pada RMKP, ARTL mayoritas sebagai kuli bangunan, untuk ARTP mayoritas tidak bekerja, karena dominan anggota rumahtangga usia sekolah, sedangkan mayoritas ARTP bekerja sebagai ibu rumahtangga, yang menarik pada RMKP jenis pekerjaan mayoritas ARTP ialah tidak bekerja, hal ini dikarenakan banyaknya anggota rumahtangga berusia lansia dan balita
Persentase terbesar kedua pada ARTL dalam RMKL ialah buruh tani,. Hal ini berkaitan dengan kepemilikan lahan atau sawah untuk diolah. Pada Kampung Tangkil hanya beberapa orang yang mempunyai lahan atau sawah pertanian, itu pun letaknya agak jauh dari kampung. Kondisi tersebut dimanfaatkan oleh anggota rumahtangga yang ingin bekerja menjadi buruh tani, dengan rata-rata upah harian Rp.25.000,0 (dua puluh lima ribu rupiah) tanpa makan. Pekerjaan sebagian buruh tani ini berumur 30 tahun ke atas. Penduduk yang berusia muda kurang meminati pekerjaan ini, mereka lebih suka menghabiskan waktu untuk berkumpul dan main bersama teman-teman sebayanya.
6.1.5
Status Bekerja Berdasarkan Tabel 13, RMKL dan RMKP, baik ARTL dan ARTP,
persentase tertinggi ditempati oleh status pekerjaan lainnya. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 13 berikut. Tabel 13. Jumlah dan Persentase Rumahtangga Miskin Menurut Status Pekerjaan serta Jenis Kelamin Kepala Rumahtangga, Kampung Tangkil, Tahun 2008 Status Bekerja Rendah Sedang Tinggi Total
n 43 36 10 89
RMKL % 48,31 40,45 11,24 100,00
RMKP n % 8 72,73 3 27,27 0 0,00 11 100,00
Total n 51 39 10 100
% 51,00 39,00 10,00 100,00
Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 13, baik pada RMKL dan RMKP termasuk kategori status pekerjaan rendah (pekerja keluarga tanpa upah). Pada RMKP mayoritas ARTL berstatus buruh atau karyawan, sedangkan ARTP mayoritas berstatus sebagai pekerja keluarga. Status karyawan/buruh adalah mereka yang bekerja sebagai buruh tani, PNS, dan kuli bangunan. Mereka yang
bekerja serabutan dan tidak tetap waktunya kategorikan sebagai buruh tani/non tani atau keduanya; dan status bekerjanya sebagai karyawan atau buruh.
6.2 6.2.1
Karakteristik Rumahtangga Tingkat Kekayaan Tingkat kekayaan pada rumahtangga miskin dihitung berdasarkan nilai
rupiah dari kepemilikan barang-barang berharga RMKL dan RMKP. Kepemilikan barang-barang berharga mencakup kepemilikan perhiasan, barang elektronik, dan kendaraan bermotor. Data tingkat kekayaan rumahtangga miskin dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Jumlah dan Persentase Rumahtangga Miskin Menurut Tingkat Kekayaan dan Jenis Kelamin Kepala Rumahtangga, Kampung Tangkil, Tahun 2008 Tingkat Kekayaan Rendah Sedang Tinggi Total
n 51 26 11 89
RMKL % 57,95 29,54 12,51 100,00
n 11 0 0 11
RMKP % 100,00 0,00 0,00 100,00
Total n 62 26 11 100
% 62,00 26,00 11,00 100,00
Dari Tabel 14 dapat dilihat bahwa tingkat kekayaan mayoritas RMKL dan RMKP termasuk kategori rendah. Seluruh RMKP termasuk golongan rendah. Kondisi rumah pada rumahtangga miskin penerima Program PLTMH sebagian besar berkeramik dan bertembok. Meskipun sebagian besar tingkat kekayaan mereka tergolong rendah, diketahui bahwa dari 100 KK rumahtangga miskin di Dusun Tangkil, sebagian besar rumah mereka berstatus milik sendiri, berupa bangunan rumah tunggal, berdinding tembok, berlantai keramik dan beratap dari genting. Yang menarik, hampir semua rumahtangga miskin ini ternyata memiliki barang-barang elektronik
seperti televisi, Video Compact Disc (VCD) , kursi tamu dan lemari pajangan3. 3 . Dengan demikian, meskipun secara umum tergolong miskin, namun tampaknya gaya hidup mereka menyamai mereka yang tidak tergolong miskin. Selain sebagai media hiburan bagi semua anggota rumahtangga, tampaknya kepemilikan barangbarang elektronik dan rumah berlantai keramik tersebut juga dimungkinkan karena adanya persaingan gengsi antar rumahtangga miskin. Adanya kenyataan dimana sebagian besar jenis pekerjaan anggota rumahtangga miskin bekerja sebagai buruh tani dan non-tani (serabutan) hanya 38 persen yang memiliki lahan dengan luas rata-rata 84,84 bata atau sekitar 350 m2 4. 4
Lahan tersebut sebagian besar milik sendiri dan diperoleh melalui warisan dan
membeli. Sebanyak 13 persen rumahtangga miskin yang memiliki ternak berupa kambing, domba, bebek dan ayam55 . Ada persaingan gengsi antar rumahtangga miskin dalam hal kepemilikan barang elektronik dan kondisi tempat tinggal, seperti lantai keramik, kursi tamu dan lemari pajangan.
6.2.2
Status Kategori Rumahtangga Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, kategori rumahtangga
miskin dalam studi ini menggunakan indikator yang ditetapkan BPS (Lampiran 3) dan ukuran lokal (Yayasan IBEKA). Tabel 15 menyajikan data status rumahtangga menggunakan indikator BPS pada kedua kategori rumahtangga, 3
Harga perhiasan rata-rata yang dimiliki anggota rumahtangga miskin sebesar Rp. 250.000,0. Harga rata-rata untuk barang elektronik, televisi: Rp.500.000,0 VCD: Rp. 300.000,0 kursi tamu: Rp.175.000,0 lemari pajangan: Rp.100.000,0. Untuk harga kendaraan bermotor berkisar antara Rp.7.000.000,0 hingga Rp.10.500.000,0. 4 Untuk masyarakat Desa Cinta Mekar, 1 bata setara dengan 14 m2 dengan harga perbata rata-rata Rp.500.000,0 sementara itu, harga tanah permeter persegi rata-rata Rp.50.000,0 harga bangunan rumah rata-rata antara Rp.1.000.000,0 hingga Rp.3.000.000,0. 5 Harga hewan ternak (rata-rata) berukuran sedang, kambing: Rp 500.000,0/ekor; domba:Rp 500.000,0/ekor; bebek: Rp.20.000,0/ekor; ayam: Rp.15.000,0/ekor;.
RMKL dan RMKP. Seperti terlihat pada Tabel 15, mayoritas kedua kategori rumahtangga tergolong rumahtangga miskin menurut kriteria BPS. Meskipun jumlah RMKP yang tergolong bukan miskin lebih rendah dibanding RMKL, namun persentase RMKP yang tergolong bukan miskin menurut kriteria BPS tersebut lebih tinggi dibanding RMKL (sekitar 30 persen). Tabel 15. Jumlah dan Persentase Status Rumahtangga Miskin Menurut Kategori Kepala Rumahtangga, Kampung Tangkil, Tahun 2008 RMKL
RKMP
Total
Status Kategori Rumahtangga
n
%
n
%
%
Miskin
84
94,38
7
63,64
91,00
Tidak Miskin
5
5,62
4
36,36
9,00
Total
89
100,00
11
100,00
100,00
Sesuai dengan kriteria rumahtangga miskin hasil diskusi kelompok terarah (diskorah) antara pihak penyelenggara Program PLTMH dengan masyarakat desa, didapat empat kriteria miskin, yakni (a) Kategori Miskin I: tidak mempunyai lahan, tidak bermodal, tidak mempunyai pekerjaan tetap, dan tidak berpendidikan tinggi, (b) Kategori Miskin II: memenuhi 3 kriteria di atas (bisa berupa kombinasi), (c) Kategori Miskin III: memenuhi 2 kriteria di atas (bisa berupa kombinasi) dan (d) Kategori Miskin IV: memenuhi salah satu kriteria dari empat kriteria di atas. Tabel 16 menyajikan data status rumahtangga di Kampung Tangkil menurut kriteria lokal. Tabel 16. Jumlah dan Persentase Status Rumahtangga Miskin Menurut Ukuran Lokal, Kampung Tangkil, Tahun 2008 RMKL
RMKP
Total
Kategori Rumahtangga Miskin
n
%
n
%
n
%
Miskin I
53
59,55
10
90,91
63
63,00
Miskin II
35
39,33
1
9,09
36
36,00
Miskin IV
1
1,12
0
0,00
1
1,00
Total
89
100,00
11
100,00
100
100,00
Berdasar data pada Tabel 15 dan Tabel 16, diketahui bahwa meskipun mayoritas rumahtangga di Kampung Tangkil tergolong miskin, ternyata dengan menggunakan ukuran lokal status rumahtangga miskin juga bersifat lebih terdiferensiasi. Hal ini dimungkinkan karena dimensi yang diukur melalui ukuran lokal lebih bersifat kualitatif, sementara pada indikator BPS cenderung kuantitatif. Namun demikian, setidaknya indikator lokal pun tidak terlalu menyimpang dari indikator BPS. Ini berarti penetapan partisipan program PLMTH telah memenuhi kriteria baik indikator lokal maupun BPS.
6.2.3
Tingkat Kontrol dalam Rumahtangga Tingkat Kontrol dalam Rumahtangga adalah dominasi anggota RMKL dan
RMKP dalam menentukan kegiatan/penggunaan sumberdaya dalam rumahtangga. Seperti terlihat pada Tabel 16, dari 100 rumahtangga, lebih dari dua pertiganya merupakan keluarga inti (terdiri dari suami (ayah), istri (ibu) dan anak). Dari survei, diketahui bahwa jika anak belum menikah maka keputusan dalam rumahtangga didapat dari kesepakatan atau hasil musyawarah antara suami dan istri (ayah dan ibu). Tingkat kontrol rumahtangga pada RMKL dan RMKL berbeda, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Jumlah dan Persentase Tingkat Kontrol Rumahtangga Miskin dalam Penentuan Sumberdaya Program, Kampung Tangkil, Tahun 2008 RMKL
RMKP
Total
Tingkat Kontrol Pengambilan Keputusan
n
%
n
%
n
%
Rendah
11
12,36
11
100
22
22
Sedang
43
48,31
0
0
43
43
Tinggi
35
39,33
0
0
35
35
Total
89
100
11
100
100
100
Adanya keragaman relasi gender pada RMKL menjadikan pola pengambilan keputusannya juga beragam. Namun demikian, persentase tertinggi rumahtangga miskin memiliki Tingkat Kontrol Rumahtangga yang tergolong kategori sedang; sementara persentase tertinggi berikutnya tergolong kategori tinggi. Jika dilihat menurut
kategori kepala rumahtangganya, tingkat kontrol
sedang dan tinggi tersebut hanya dijumpai pada RMKL. Hal ini dimungkinkan karena
pada RMKL
pengambilan keputusan dalam penentuan sumberdaya
program cenderung melibatkan kedua pihak, suami dan isteri; karena masyarakat di Kampung Tangkil, Desa Cinta Mekar adalah masyarakat Sunda yang sistim kekerabatannya tergolong bilateral. Adapun pada RMKP, tingkat kontrol tergolong rendah karena semua kepala rumahtangga berstatus janda, dan tidak memiliki anggota rumahtangga laki-laki yang tergolong dewasa yang dapat dimintai kepala rumahtangga dalam proses pengambilan keputusan.
6.3
Kesimpulan Pada 100 rumahtangga penerima program PLTMH yang disurvei,
mayoritas tergolong RMKL (89 persen), dimana jumlah ARTP lebih tinggi sebesar 77 persen dibanding ARTL. Berdasar kelompok umurnya, sebagian besar ART tergolong kelompok umur produktif dengan rasio ketergantungan individu kurang dari satu. Mayoritas rumahtangga sampel tergolong miskin, baik itu menurut indikator BPS maupun lokal, meskipun menurut kriteria lokal ada sedikit diferensiasi. Fakta dimana sebagian besar rumahtangga tergolong miskin baik itu menurut indikator lokal maupun BPS bersamaan dengan ketiadaan gedung sekolah lanjutan (SLTP dan SMA) di desa Cinta Mekar, menyebabkan ART pada
kedua kategori rumahtangga (RMKL dan RMKP) memiliki akses yang rendah terhadap pendidikan karena mayoritas berpendidikan tamat SD. Namun demikian, terdapat kecenderungan dimana persentase ARTP dan ARTL pada RMKL lebih akses terhadap pendidikan lanjutan dan tinggi daripada mereka yang tergolong RMKP. Sebagian besar ARTL dan ARTP pada RMKL bekerja sebagai buruh serabutan atau buruh tidak tetap dan pengangguran, sedang pada RMKP tergolong tidak bekerja karena berstatus sebagai ibu rumahtangga dengan ARTP yang belum sekolah. Menurut status pekerjaannya, ART pada kedua kategori rumahtangga miskin lebih banyak berstatus pekerja keluarga, karena terdiri dari ibu rumahtangga, anak-anak, pengangguran, pelajar dan lanjut usia. Adanya kecenderungan persaingan dalam hal “gengsi” antar rumahtangga, tingkat kekayaan rumahtangga sampel di desa ini hampir homogen, khususnya dalam hal kepemilikan barang-barang berharga. Yang menarik adalah bahwa karena penduduk desa terdiri dari etnik Sunda yang bersistim kekerabatan bilateral, terdapat kecenderungan bahwa pola pengambilan keputusan dalam rumahtangga tergolong lebih setara karena melibatkan suami dan isteri baik setara maupun salah seorang diantaranya dominan. Sebaliknya, pada RMKP perempuan baik itu sebagai isteri maupun anak, dominan dalam pengambilan keputusan dalam rumahtangga mereka.
BAB VII PENYELENGGARAAN PROGRAM PLTMH DESA CINTA MEKAR
Pada bab ini akan diuraikan proses pembangunan PLTMH yang terdiri dari beberapa tahapan. Dimulai dengan latar belakang adanya program PLTMH, aspek-aspek
yang
menyertai
konsep
pembangunan
PLTMH,
kemudian
dilanjutkan dengan tahapan program seperti tahap perencanaan, pelaksanaan serta pemanfaatan program.
7.1
Latar Belakang Program PLTMH Dihadapkan pada fakta dimana sekitar 100 juta penduduk Indonesia,
khususnya di perdesaan, belum menerima aliran listrik, sementara di pihak lain terdapat potensi sumber daya alam yang cukup besar untuk menghasilkan pembangkit tenaga air skala mikro, Yayasan IBEKA dan PT HIBS bekerjasama dengan UNESCAP dalam membangun pembangkit listrik skala kecil untuk masyarakat miskin perdesaan melalui konsep kemitraan swasta untuk masyarakat miskin yang dikenal dengan konsep Pro Poor Public Private Partnership/5P. Konsep tersebut sebelumnya (tahun 1998) telah lama dipikirkan oleh Iskandar Kuntoadji (PT HIBS) yang diistilahkan dengan konsep “profit sharing risk taking”. Gagasan dibalik konsep ini adalah bahwa dalam pelaksanaan program/proyek pembangunan, masyarakat mendapatkan bagian dari investasi pendanaan atau hasil program. Selama ini pemerintah kurang memperhatikan hal tersebut, bahkan cenderung menyingkirkan masyarakat lokal dari sumberdaya lokal sebagai aset program. Menurut Kuntoadji, seharusnya investor sebagai
pemilik modal ‘bersimbiosis mutualis’ dengan masyarakat sebagai pemilik sumberdaya
(resources),
sehingga
hasil
pembangunan
seharusnya
menguntungkan kedua belah pihak. Selanjutnya, pada tahun 2002 konsep tersebut berubah nama menjadi public private partnership. Konsep tersebut diusulkan Tri Mumpuni (Yayasan IBEKA) ke forum internasional dalam bentuk program PLTMH dan mendapat perhatian dari UNESCAP Usulan Tri Mumpuni meyakinkan UNESCAP, sehingga lembaga PBB tersebut bersedia menghibahkan dana sebesar U$ 75.000 untuk aplikasi PLTMH yang dikembangkan melalui konsep kemitraan swasta untuk masyarakat miskin. Berdasar prinsip 5P tersebut terciptalah
suatu
model
pengelolaan
bersama
PLTMH
yang
saling
menguntungkan melalui pendekatan kesejahteraan sosial masyarakat. Konsep ini pertama kali dicanangkan melalui pertemuan dunia World Summit on Sustainable Development di Johannesburg tahun 2002. Sesuai kesepakatan dengan pihak UNESCAP, dalam pelaksanaan program tersebut diharapkan bahwa pada bulan September 2003 telah ada sektor swasta sebagai bagian dari pelaksana PLTMH. Dengan tenggat waktu yang pendek, akhirnya PT HIBS “dipaksa” menjadi pihak sektor swasta tersebut. Direktur PT HIBS adalah Iskandar Kuntoadji yang notabene adalah suami dari Tri Mumpuni. Sementara Yayasan IBEKA menjadi lembaga swadaya masyarakat yang bertindak sebagai fasilitator utama dalam mengembangkan kemitraan berbasis kerakyatan tersebut atau penghubung antara masyarakat dengan pihak yang berkepentingan (stakeholders).
7.2 Perencanaaan Program 7.2.1 Persiapan Masyarakat Setelah matang pada tahap konseptual, program PLTMH dipandang telah siap untuk diterapkan di lapangan. Kegiatan ini diawali dengan forum pertemuan antara pihak Yayasan IBEKA dan PT HIBS dengan masyarakat desa Cinta Mekar, yang dimaksudkan sebagai tahap sosialisasi awal untuk menginformasikan adanya program PLTMH yang akan dibangun di desa tersebut. Dalam pertemuan tersebut Yayasan IBEKA mengundang tokoh-tokoh masyarakat sebagai perwakilan dari setiap dusun yang ada di Desa Cinta Mekar. Menurut informan, karena mayoritas mereka berstatus pemimpin formal (kepala desa, kepala dusun, tokoh karang taruna), tokoh agama, serta guru, karenanya mayoritas undangan berjenis kelamin laki-laki. Namun demikian, terdapat seorang perempuan (Ibu Mrd) yang mewakili suaminya yang berhalangan hadir dalam pertemuan tersebut; karena masih bekerja di sawah. Dalam pertemuan tersebut pihak Yayasan IBEKA dan PT HIBS mengemukakan bahwa pembangunan PLTMH akan memanfaatkan air Sungai Ciasem dengan cara membendungnya, sehingga mampu menghasilkan tenaga listrik. Oleh karena mayoritas besar warga desa berbudidaya padi di sawah beririgasi teknis yang juga bersumber dari Sungai Ciasem, awalnya warga Desa Cinta Mekar tidak setuju dengan adanya program PLTMH, karena mereka khawatir PLTMH akan mengganggu sistem pengairan bagi sawah mereka dan berdampak pada gagal panen. Namun demikian, setelah adanya penjelasan dari pihak IBEKA dan PT HIBS serta bantuan dari aparat desa untuk menyakinkan warga, maka warga pun mau “berbagi air” untuk pembangunan PLTMH.
Setelah tahap sosialisasi awal, kemudian warga desa dipertemukan dengan para pemangku kepentingan seperti Perusahaan Listrik Negara (PLN), UNESCAP, dan PT HIBS untuk membicarakan kesepakatan teknis pembangunan PLTMH, antara lain berkenaan penetapan lokasi, jalan yang akan dilalui, interkoneksi serta bangunan fisik. Seiring dengan berjalannya tahap sosialisasi program, IBEKA melakukan pendataan awal rumahtangga di Cinta Mekar yang mencakup 420 rumahtangga. Metode yang digunakan berupa survei dengan menggunakan kuesioner rumahtangga. Pewawancaranya ialah masyarakat setempat yang mengerti mengenai kuesioner tersebut dan ingin berpartisipasi. Untuk biaya pewawancara diberi uang insentif sebesar Rp.3.000,0 (tiga ribu rupiah) per kuesioner. Dari data awal tersebut diketahui bahwa karakteristik rumahtangga berdasarkan pendapatan serta pengeluaran per bulan. Dari indikator tersebut ditetapkan rumahtangga yang kurang mampu, yang kemudian diundang untuk berdiskusi kelompok terarah (diskorah) atau yang lebih dikenal warga dengan istilah penggalian gagasan. Tujuan dari diskorah ini adalah menentukan tingkat kesejahteraan, permasalahan yang dihadapi mereka serta upaya penanggulangannya. Selain itu, dalam diskusi ini disosialisasikan kembali program PLTMH. Pada pelaksanaan diskorah tidak hanya dihadiri oleh laki-laki (suami) saja melainkan istri juga hadir. Istri menghadiri diskorah dikarenakan suami berhalangan hadir, sehingga istri mewakili. Ada beberapa istri yang membawa anak mereka, karena usia yang masih balita. Dari diskorah ini didapat enam permasalahan yakni: (1) kebutuhan listrik bagi warga miskin, (2) tingkat pengangguran yang tinggi, (3) kualitas sumberdaya manusia yang rendah, (4)
status ekonomi yang rendah, (5) rendahnya infrastruktur desa, dan (6) rasa kekeluargaan yang kurang (kesatuan) dalam memecahkan permasalahan umum. Dalam diskorah tersebut tergali informasi tentang harapan-harapan rumahtangga miskin untuk dapat mengatasi permasalahan lokal melalui program PLTMH. Setelah adanya sosialisasi program, diupayakan penguatan kelembagaan sosial dan ekonomi yang menjadi bagian dari penanggulangan permasalahan lokal tersebut. Untuk itu diadakan musyawarah desa guna membentuk lembaga ekonomi pengelola keuangan hasil penjualan listrik, yang hasilnya berupa kesepakatan untuk mendirikan Koperasi Mekarsari dengan segala atribut lembaga yang ditentukan oleh musyawarah desa yang didampingi oleh Yayasan IBEKA. Selain itu, disepakati bahwa penguatan lembaga koperasi juga dilakukan oleh lembaga pemerintahan desa dalam bentuk upaya sosialisasi yang ditujukan untuk memperlancar pembangunan PLTMH.
7.2.2
Pembentukan Kapasitas dan Kepemilikan Tahap pembentukan kapasitas dan kepemilikan dibagi menjadi empat
kegiatan utama seperti yang dijelaskan sebelumnya, yakni: (1) pelatihan dan magang, (2) peningkatan pendapatan, (3) inisiatif wirausaha, serta (4) pendidikan anak dan remaja. Bantuan dalam bentuk beasiswa pendidikan yang diprogramkan oleh koperasi. ini bersifat jangka panjang. Tahap pembentukan ini merupakan kegiatan
pembangunan
keberlanjutan.
Kegiatan
desa
yang
pelatihan
mengarah dilakukan
pada
pemberdayaan
sebagai
upaya
dan untuk
menyebarluaskan pengetahuan mengenai PLTMH kepada pihak luar yang ingin mengetahui lebih lanjut mengenai PLTMH. Magang biasanya diperuntukkan bagi
operator maupun pihak luar yang ingin mengetahui mengenai mekanikal dan elektrikal pembangkit. Kegiatan pembentukan wirausaha dan peningkatan pendapatan dapat dikategorikan sebagai bagian dari aspek modal usaha pada tahap pemanfaatan program. Dengan adanya modal usaha maka diharapkan dapat menumbuhkan
keinginan
warga
untuk
berwirausaha
sehingga
dapat
meningkatkan pendapatan. Pendidikan anak dan remaja didalamnya termasuk memberikan bantuan dana beasiswa per tiga bulan kepada anggota rumahtangga usia SD dan SLTP yang membutuhkan.
7.3 Pelaksanaan Program 7.3.1 Pembangunan Fisik/Sipil PLTMH dan Koperasi Bangunan fisik PLTMH berupa bendungan, saluran pembawa/air, bak penenang, bak pengendap, serta rumah pembangkit. Penyediaan material difasilitasi oleh PT HIBS selaku kontraktor bangunan serta alat-alat mekanik dan elektrik. Pihak IBEKA mengatur jadwal kerja serta sumberdaya manusia yang akan dipergunakan. Dalam pembangunan fisik sarana PLTMH, dikerjakan oleh tenaga ahli dari luar desa. Masyarakat desa hanya berperan sebagai tenaga kasar dan lapangan saja. Dengan adanya tenaga ahli dari luar, maka jumlah warga desa yang
ikut
berpartisipasi
hanya
sedikit.
Hal
tersebut
dilakukan
untuk
mengefisienkan waktu, tenaga dan biaya. Jumlah keseluruhan tenaga yang digunakan sebanyak 40 orang, yang terdiri dari 20 orang tenaga dari luar desa (dari Desa Curugagung, Kecamatan Kalijati) dan sisanya dari warga desa setempat.
Kebanyakan warga yang berpartisipasi adalah mereka yang mempunyai lahan yang dilewati saluran pembawa/air. Tanah yang digunakan untuk membangun rumah pembangkit merupakan tanah warga yang dibeli dengan menggunakan uang hasil hibah. Upah untuk pekerja rata-rata per hari sebesar Rp.25.000,0;(dua puluh lima ribu rupiah), tanpa makan yang dibayarkan kepada pekerja setiap minggu. Untuk jam kerja dimulai pada pukul 07.00 WIB dan diakhiri pukul 16.00 WIB, istirahat pada pukul 12.00 WIB hingga 13.00 WIB. Untuk kebutuhan konsumsi, ada pekerja yang membawa bekal, ada pula yang makan di rumahnya sendiri karena dekatnya jarak rumah mereka dengan lokasi pekerjaan. Dari empat dusun yang ada di desa, pekerja yang paling banyak berpartisipasi berasal dari Dusun I dan Dusun II, sementara dari Dusun III hanya beberapa orang, bahkan dari dusun IV tidak ada yang ikut, karena letaknya yang jauh dari lokasi pekerjaan. Dikarenakan pekerjaan fisik yang berat dan anggapan bahwa perempuan tidak layak untuk melakukannya, tidak ada seorangpun perempuan yang berpartisipasi dalam kegiatan ini. Bangunan fisik PLTMH dapat diselesaikan dalam waktu hampir satu tahun, dan kemudian diresmikan oleh Menteri Sumberdaya dan Energi, Purnomo Yusgiantoro pada 17 April 2004. Bangunan koperasi berupa rumah sebagai kantor koperasi beserta meja dan kursi. Rumah yang digunakan berupa rumah hasil membeli dari salah seorang warga yang menjual rumahnya. Khusus untuk bangunan kantor koperasi, diperoleh dengan cara membeli sebuah rumah yang dijual pemiliknya. Rumah ini kemudian menjadi kantor Koperasi Mekarsari yang diresmikan oleh Drs Eep Hidayat, Bupati Subang pada tanggal 17 April 2004.
7.3.2
Operasional Pembangkit Listrik Tenaga kerja yang digunakan dalam PLTMH terdiri atas dua orang
operator, dua orang andir serta satu orang penjaga taman. Tugas operator adalah mengontrol berjalannya semua peralatan mekanik (antara lain turbin, runner, dan bearing) dan elektrik (antara lain generator dan panel kontrol). Ada persyaratan khusus untuk menjadi operator yakni mempunyai pengetahuan dasar mengenai listrik, minimal STM atau SMA (IPA), dan mempunyai pengalaman sebelumnya di bidang elektrik. Selama berjalan kurang lebih empat tahun, hanya sekali terjadi penggantian operator. Andir bertugas menjaga saluran pembawa/air dari sampah serta mengatur debit air dari bendungan. Dalam pembagian kerja setiap satu operator berpasangan dengan satu andir. Pekerjaan operator dimulai pukul 06.00 WIB dan diakhiri pukul 06.00 WIB keesokan harinya, untuk digantikan operator lainnya. Waktu istirahat pada saat pukul 12.00 WIB. Diperlukan stamina yang tinggi untuk menjadi operator dan andir. Penjaga taman bertugas menata dan merawat taman yang berada di sekitar rumah pembangkit. Dalam kondisi tertentu, seluruh pekerja PLTMH, baik operator, andir dan penjaga taman biasa bekerja bersama untuk merawat dan menjaga kebersihan saluran pembawa, bak, serta rumah pembangkit. Penjaga taman ini bekerja setiap hari mulai pukul 07.00 WIB hingga pukul 12.00 WIB. Dengan demikian, operator dan andir jumlah hari kerja dalam satu bulan adalah 15 hari kerja. Untuk penjaga taman sebanyak 30 hari kerja dalam sebulan. Kepada tenaga teknis diberikan gaji tetap bulanan. Gaji operator sebesar Rp.900.000,0 (sembilan ratus ribu rupiah) per bulan, andir sebesar Rp.550.000,0 (lima ratus
lima puluh ribu rupiah) per bulan, penjaga taman sebesar Rp.400.000,0 (empat ratus ribu rupiah) perbulan. Setiap harinya rata-rata dihasilkan listrik sebesar 100 kW. Pihak PLN Purwakarta membelinya dengan harga Rp. 432,0 (empat ratus tiga puluh dua rupiah) perkW. Tugas operator adalah mencatat kWh yang dihasilkan per harinya serta memantau kinerja mesin. Selain itu juga melakukan perawatan instalasi yang dilakukan secara berkala, yakni pada setiap hari Jumat. Jika ada pelatihan, operator bertugas menerangkan kepada peserta pelatihan keseluruhan bagian dari PLTMH, baik tentang mesin, bangunan rumah, serta saluran pembawa. Dalam pelatihan dilakukan pendampingan oleh PT HIBS, khususnya jika ada kendala atau kesulitan dalam hal aspek-aspek mekanik dan elektrik, seperti penyediaan alat-alat yang telah rusak. Kesemua tenaga kerja dalam pembangkit berjenis kelamin laki-laki. Tidak ada perempuan satu pun. Hal ini dikarenakan adanya anggapan masyarakat lokal yang menganggap bahwa perempuan tidak cocok dengan pekerjaan yang berbau teknologi dan kelistrikan. Pandangan bahwa tugas perempuan hanya mengurus rumah, suami dan anak, bersamaan anggapan bahwa untuk tugas-tugas operator,andir dan taman membutuhkan orang dengan stamina yang kuat, menyebabkan adanya bias gender dalam operasionalisasi PLTMH.
7.3.3
Operasional Koperasi Mekarsari Partisipasi masyarakat dalam program ini dilakukan melalui Koperasi
Mekarsari sebagai wakil masyarakat Desa Cinta Mekar. Koperasi merupakan pengelola sekaligus mitra swasta dalam pengoperasian PLTMH. Keberadaan
kantor koperasi dimaksudkan untuk memudahkan akses masyarakat terhadap pelaksanaan program PLTMH. Hari kerja pengurus (seperti yang terlihat pada Gambar 5) setiap hari Rabu dan Sabtu, dengan jam kerja dimulai pukul 09.00 WIB dan berakhir pukul 12.30 WIB. Yang menarik, mayoritas warga desa yang mempunyai keperluan enggan datang ke kantor koperasi melainkan mendatangi rumah pengurus koperasi. Hal ini disebabkan pada hari kerja koperasi ada saja keperluan dari para anggota sehingga mereka berhalangan hadir ke koperasi. Secara struktural pengurus harian koperasi terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara dan bidang usaha. Pengangkatan pengurus koperasi dilakukan melalui musyawarah antara masyarakat dengan pemerintah desa. Hingga saat ini telah berganti dua kali kepengurusan koperasi. Pada periode tahun 2006 – 2009, ketua dan sekretaris berjenis kelamin laki-laki, sedangkan bendahara dan bidang usaha berjenis kelamin perempuan. Dengan demikian, tidak ada bias gender dalam lembaga koperasi ini. Pada pelaksanaan kesehariannya terkadang hanya sekretaris, bendahara dan bidang usaha saja yang hadir ke kantor, ketua hadir jika kondisi tertentu, misalnya rapat-rapat penting atau musyawarah mengenai pelaksanaan program. Pada periode Agustus 2003 hingga 2005, koperasi mengalami stagnasi karena tidak memiliki biaya operasional (pembangkit belum menghasilkan listrik untuk dijual, karena ada kerusakan mesin). Selain itu, karena koperasi harus mengurus administrasi dengan PLN Purwakarta sebagai pihak pembeli listrik hasil PLTMH. Baru pada Desember 2005 pembangkit listrik bisa beroperasi dan koperasi bisa melayani kebutuhan listrik masyarakat setempat.
Ketua bertugas mengorganisir pengurus, sekretaris bertugas mewakili ketua dan mengurus administrasi koperasi, sementara bendahara bertugas menyelenggarakan pembukuan, mencatat angsuran dan pinjaman serta segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan. Adapun bidang usaha bertugas mengurusi pelaksanaan berjalannya program koperasi secara umum. Penentuan AD ART pun ditentukan dalam rapat anggota dengan pendampingan dari Yayasan IBEKA. Sampai saat ini baru dua kali Rapat Anggota Tahunan (RAT). Syarat sebagai anggota Koperasi Mekarsari ialah tercatat sebagai waga desa Cinta Mekar serta membayar iuran pokok dan wajib. Terdapat pro dan kontra berkenaan iuran pokok dan wajib anggota koperasi ini, yakni adanya anggapan bahwa seluruh masyarakat desa secara otomatis masuk menjadi anggota koperasi tanpa harus membayar iuran pokok dan wajib, karena sudah mendapat bantuan dari UNESCAP sebesar U$75.000 (tujuh puluh lima ribu dolar Amerika). Akhirnya, pengurus mengantisipasinya dengan memotong uang pinjaman anggota baru sebagai iuran wajib dan pokok koperasi. Rapat anggota tahunan dilaksanakan pada tahun 2006 dan 2007 yang dihadiri oleh kurang lebih dua pertiga dari anggota koperasi. RAT dilaksanakan di Sekolah Dasar pada hari Minggu, masyarakat ada yang malas untuk datang karena berbagai alaasan. Rapat dengan PT HIBS dan IBEKA berjalan setahun sekali. Rapat istimewa sering diadakan untuk membahas masalah-masalah khusus seperti pengangkatan pengurus baru. Rapat rutin anggota tidak ada. Saat ini terdapat 242 orang anggota koperasi yang terdaftar. Untuk gaji pengurus dibayarkan per tiga bulan sebesar Rp.150.000,0.
Data hasil penjualan listrik sejak periode 2004 sampai dengan 2008 selengkapnya disajikan pada Lampiran 7. Pembayaran tunai hasil penjualan listrik dilakukan setiap dua sampai lima bulan sekali. Rata-rata hasil penjualan listrik tergantung dari jumlah kW yang dihasilkan oleh PLTMH. Rata-rata per bulan sekitar Rp.12.000.000,0 (dua belas juta rupiah) dengan demikian rata-rata per tahun sekitar Rp. 144.000.000,0 (seratus empat puluh empat juta rupiah). Dana yang diperoleh dari hasil penjualan listrik dialokasikan untuk beberapa kegiatan. Untuk lebih jelasnya, data pengalokasiaan dana hasil peualan listrik Desa Cinta Mekar dapat dilihat pada Tabel. 18. Tabel.18 Persentase Pengalokasian Dana Hasil Penjualan Listrik Tahun 2004 dan Tahun 2007, Koperasi Mekarsari, Desa Cinta Mekar, Tahun 2008 Program Koperasi Pemasangan sambungan listrik Pendidikan Kesehatan Modal usaha Infrastuktur Biaya Operasional Desa Biaya Operasional Koperasi Total (persen)
Tahun 2004 (dalam persen)
Tahun 2007 (dalam persen)
62,50 8,00 4,00 8,00 5,00 3,00 10,00 100,00
0,00 9,50 5,00 60,00 6,00 3,50 16,00 100,00
Perawatan bangunan koperasi dilakukan secara bersama-sama oleh pengurus koperasi, biasanya setiap bulan sekali. Pemeliharaan gedung beserta isinya merupakan tugas dan tanggung jawab pengurus bersama. Ada pengalokasian dana khusus untuk perawatan dan pemeliharaan bangunan koperasi. Koperasi Mekarsari merupakan lembaga sosial bukan lembaga ekonomi, karena kegiatannya mayoritas bergerak di bidang sosial, kegiatan ekonomi hanya sedikit.
7.4 Pemanfaatan Program 7.4.1 Pemasangan Listrik bagi Orang Kurang Mampu Dari pendataan awal diketahui ada 127 kepala keluarga kurang mampu yang rumahnya belum terpasangi listrik. Kemudian perwakilan dari rumahtangga kurang mampu tersebut diundang untuk menghadiri musyawarah desa guna mendapat bantuan pemasangan listrik. Undangan dibuat oleh Yayasan IBEKA dan para tokoh masyarakat setempat. Yang hadir dalam rapat mayoritas para suami, kalaupun ada perempuan, maka hanya mewakili suami yang berhalangan hadir karena kesibukan mereka. Dalam musyawarah tersebut dipertimbangkan kemampuan rumahtangga untuk membayar tagihan bulanan selanjutnya dan tingkat
kategori
rumahtangga
miskin.
Kategori
rumahtangga
miskin
mempengaruhi tingkat bantuan yang didapat, semakin tinggi kategori atau status rumahtangga maka bantuan yang diterima akan lebih sedikit.. Adapun tingkat bantuan pemasangan listrik bagi rumahtangga miskin dibedakan ke dalam empat kategori, yakni: 1. Mendapat hibah 100 %, jika termasuk Rumahtangga MiskinI 2. Membayar 25 %, jika termasuk Rumahtangga Miskin II 3. Membayar 50%, jika termasuk Rumahtangga Miskin III dan 4. Membayar 75%, jika termasuk Rumahtangga Miskin IV. Proses pemasangan listrik dilakukan dalam dua tahap. Pada tahap awal dipasang untuk sebanyak 127 rumahtangga dan tahap kedua sebanyak 29 rumahtangga. Daya yang terpasang pada setiap rumahtangga sebesar 450 W. Pada pemasangan tahap pertama, tarif pemasangan dari PLN sebesar Rp.500.000,0 (lima ratus ribu rupiah), sedang untuk pemasangan tahap kedua sebesar
Rp.750.000,0 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) , atau lebih mahal karena rentang waktu dengan tahap pertama jauh, sehingga tarif telah naik. Selain itu, juga dikarenakan terbatasnya dana untuk pemasangan atau operasional listrik. Untuk menutup kekurangan biaya (pada pemasangan tahap pertama) pada bulan April 2004 koperasi meminjam dana ke Bank Rakyat Indonesia (BRI) sebesar 60 juta rupiah, yang harus dilunasi pada Desember 2007. Pada akhir tahun 2007 telah terpasang listrik pada 156 rumahtangga, yang berarti
melebihi target awal
pemasangan semua (122 KK rumahtangga). Pembayaran tagihan listrik bulanan rata-rata yang dibayar per rumahtangga sebesar antara Rp.25.000,0 (dua puluh lima ribu rupiah) hingga Rp.30.000,0 (tiga puluh ribu rupiah). Pemanfaatan
listrik
digunakan
untuk
keperluan
seluruh
anggota
rumahtangga, baik anggota rumahtangga laki-laki dan perempuan, khususnya untuk penerangan, belajar, maupun membantu pekerjaan rumahtangga. Dengan adanya pemasangan listrik di desa, salah seorang kepala rumahtangga bekerja ke luar kota untuk mencari nafkah, tanpa harus mengkhawatirkan istri dan anakanaknya, karena sudah ada listrik. Listrik pun membantu kegiatan anggota rumahtangga lainnya seperti yang diakui oleh salah seorang responden. “Ya seneng Neng, dulu mah gelap sebelum ada listrik, sekarang jadi terang, enak” (Uce, 28tahun) “Anak-anak bisa belajar, bisa nonton tv, masak bisa pake “rice cooker”, kitanya gak cape” (Ela, 38tahun)
Terjadi perubahan kepemilikan barang elektronik seperti televisi dan rice cooker, tetapi jumlahnya hanya sedikit. Ada tujuh RMKL dari 89 RMKL yang mempunyai televisi sejak mendapat bantuan pemasangan listrik. Kepemilikan rice cooker hanya ditemui pada tiga rumahtangga responden (RMKL). Bantuan
pemasangan lstrik dimanfaatkan oleh seluruh anggota rumahtangga baik laki-laki dan perempuan.
7.4.2
Kesehatan Bentuk program kesehatan berupa pemberian makanan tambahan, bantuan
biaya persalinan, hepatitis, serta kasus akut atau penyakit lainnya. Pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang kurang mampu bisa lapor ke RT kemudian pengurus koperasi dan ke bidan. Biaya pengobatan masyarakat yang dilakukan di bidan desa bagi masyarakat yang kurang mampu mendapat ganti dari koperasi, jika telah terdaftar sebagai anggota koperasi. Seperti biaya persalinan bagi warga desa, akan mendapat bantuan sebesar Rp.100.000;(seratus ribu rupiah) setiap kali melahirkan untuk kasus akut atau penyakit yang lain akan mendapat bantuan Rp.50.000;(lima puluh ribu rupiah) perkunjungan Pemberian makanan tambahan ditujukan untuk balita sebesar Rp.50.000;(lima puluh ribu rupiah) perbulan. Jumlah balita pada dusun II sejumlah 25 orang. Pemberian makanan tambahan berupa bubur kacang hijau atau pisang goreng. Tidak ada keterbatasan penerima makanan tambahan baik laki-laki atau perempuan, anggota atau bukan anggota koperasi. “Alhamdulillah, dibantu koperasi pas ngalahirkeun, ongkosna te sadayana mung sapalihna, ngabantulah Neng” (Zub, 44tahun)
Pemanfaatan program kesehatan ditujukan kepada anggota rumahtangga yang membutuhkan saja. Khusus untuk biaya persalinan hanya ditujukan untuk istri, sehingga pemanfaat program hanya istri saja. Pemanfaatan bentuk program kesehatan yang lainnya sebatas yang membutuhkan, baik balita, dewasa, laki-laki dan perempuan.
7.4.3
Pendidikan Program pendidikan berupa pemberian beasiswa untuk tingkat Sekolah
Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Besarnya bantuan program beasiswa yaitu untuk SD sebesar Rp.30.000,0 (tiga puluh ribu rupiah) dan Rp.60.000,0 (enam puluh ribu rupiah) untuk beasiswa SMP. Beasiswa ini dibayarkan tiap tiga bulan sekali, sehingga setahun hanya ada empat kali pemberian beasiswa. Pemberian beasiswa ini bergilir, sehingga tidak ada anggota rumahtangga (usia SD dan SMP) yang mendapat beasiswa dua kali. Beasiswa yang didapat biasanya digunakan untuk membeli peralatan dan perlengkapan sekolah. “Uangnya itu untuk membeli peralatan sekolah, seperti buku tulis, tas, atau sepatu, supaya anak tidak menangis” (Ups, 50tahun)
Pemanfaat program ini adalah anggota rumahtangga usia SD dan SMP baik lakilaki dan perempuan. Diakui dari beberapa responden bahwa beasiswa pendidikan sangat membantu memperlancar kegiatan belajar anak-anak mereka.
7.4.4
Modal Usaha Bantuan modal usaha berupa simpan pinjam untuk modal berusaha. Syarat
bagi anggota rumahtangga yang ingin meminjam adalah harus menjadi anggota koperasi. Saat ini ada 90 anggota yang ikut simpan pinjam. Mayoritas berjenis kelamin laki-laki (suami). Besarnya pinjaman pun beragam antara Rp.50.000,0 (lima puluh ribu rupiah) hingga Rp.1.000.000,0 (satu juta rupiah). “Dulu teh kurang modal, warung rek bangkrut. untung aya simpan pinjam, jadi dilanjutkeun deui, meser deui daganganna ka pasar atawa ka mobil nu nguriling” (Ai, 30tahun)
Sistem pengembaliannya bisa perminggu atau perbulan. Bunga pengembalian pinjaman sebesar 2 persen. Ada kendala dalam pengembalian pinjaman, beberapa warga enggan untuk mengembalikan pinjaman tepat waktu. Ada saja alasan untuk menghindar. Jika sudah dua bulan tidak, menyicil maka akan didatangi ke rumahnya. Namun demikian, dapat dikatakan koperasi ini berjalan dengan baik. Adanya simpan pinjam pun memberi keuntungan bagi penjual lotek sehingga dapat menambah modal untuk berjualan. “Abdi mah nuhunkeun aya simpan pinjam, nu nginjeumkeun artos pikeun modal dagang” (Mak Inh, 50tahun)
Pemanfaat program ini berupa anggota rumahtangga yang menjadi anggota koperasi, baik laki-laki maupun perempuan. Tidak ada perbedaan dalam hal akses untuk meminjam. Jumlah pinjaman tergantung kemampuan pengembalian uang pinjaman. Sikap dan perilaku dalam masyarakat menjadi pertimbangan bendahara untuk memberikan pinjaman.
7.4.5
Pembangunan Infrastuktur Desa Pembangunan infrastruktur desa sampai saat ini belum terealisasikan.
Rencana awal, dana yang dialokasikan akan digunakan untuk air bersih di dusun empat. Untuk merealisasikannya diperlukan waktu yang tidak sedikit serta biaya yang sangat besar. Akhirnya dana untuk pembangunan infrastruktur desa disimpan dalam bentuk tabungan yang jumlahnya sekitar Rp.6.000.000,0 (enam juta rupiah).
7.4.6
Biaya Operasional Desa dan Biaya Operasional Koperasi Untuk biaya operasional desa diberikan kepada aparat desa yang
sepenuhnya digunakan untuk keperluan operasional desa. Pembayaran dilakukan pertiga bulan sekali. Dana program dipergunakan untuk biaya administrasi kantor antara lain pembelian ATK, serta keperluan kantor lainnya. Biaya operasional koperasi digunakan untuk administrasi koperasi, penyediaan ATK, dan keperluan-keperluan kegiatan koperasi. Dana ini dipergunakan juga untuk membayar pengurus harian serta membayar Badan Pengawas yaitu sebesar Rp.150.000,0 (seratus lima puluh ribu rupiah) yang dibayarkan per tiga bulan.
7.5 Kerangka Pemberdayaan 7.5.1 Level Kesetaraan Mengacu kepada konsep Moser mengenai pemenuhan kebutuhan yang dicapai melalui pembangunan, di bawah ini dijelaskan apa yang mampu diwujudkan oleh program PLTMH Desa Cinta Mekar. Kebutuhan praktis gender mencakup kebutuhan perempuan yang diidentifikasi dari peranan perempuan secara sosial dalam masyarakat. Melalui program PLTMH kebutuhan praktis yang dapat dipenuhi berupa listrik, bantuan kesehatan, simpan pinjam dan beasiswa. Keempat jenis bantuan ini segera dapat meringankan beban kehidupan dalam rumahtangga secara langsung tanpa menyinggung masalah ketimpangan antara laki-laki dan perempuan akibat pembagian kerja dalam masyarakat. Kebutuhan strategis yang terpenuhi dengan adanya program PLTMH ialah kedudukan perempuan dalam kelembagaan masyarakat. Dalam Koperasi Mekarsari ada dua perempuan yang memiliki posisi
yang sangat penting yakni bendahara dan pengelola program hasil dana penjualan listrik (bidang usaha). Tanpa mereka operasional koperasi akan berjalan sangat lamban. Hal ini berhubungan pula dengan kemampuan kerja yang berhubungan dengan koperasi, misalnya kompetensi pengurus dalam bidang administrasi dan pembukuan yang dinilai oleh perwakilan Yayasan IBEKA serta musyawarah masyarakat Desa Cinta Mekar. Tingkatan proses pembangunan PLTMH diawali dengan tahap: (1) sosialisasi program, (2) peningkatan akses terhadap sumberdaya program, (3) peningkatan kontrol terhadap sumberdaya program, (4) partisipasi warga berupa peranserta aktif warga dalam pelaksanaan, dan (5) peningkatan kesejahteraan melalui program-program yang dikelola oleh koperasi. Dengan mengacu pada Kerangka Pemberdayaan Longwe, khususnya Level Kesetaraan, tampaknya Program PLTMH tidak menempuh jenjang kesetaraan sebagaimana dikemukakan Longwe. Hal ini disebabkan oleh berbedanya tahapan proses pembangunan yang dilakukan oleh PLTMH dengan yang dimaksud oleh Longwe. Seperti diketahui, program PLTMH dilaksanakan tidak dimulai dengan pemberian kesejahteraan akan tetapi dimulai dengan tahap sosialisasi
program
yang
sebagaimana
dijelaskan
sebelumnya
lebih
mengutamakan pada identifikasi rumahtangga miskin yang akan dijadikan target program. Setelah itu memang program PLTMH ini dilakukan untuk meningkatkan akses rumahtangga miskin terhadap sumberdaya, khususnya listrik kesehatan, modal usaha, infrastruktur, dan biaya pendidikan. Namun demikian, proses pengalokasiannya
tidak
menggunakan
perspektif
gender,
oleh
karena
menggunakan unit analisis rumahtangga. Meskipun, untuk hal-hal yang
menyangkut akses sumberdaya tersebut, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya mengenai 11 rumahtangga RMKP, dan ada sejumlah 19 perempuan penerima beasiswa. Level pemberdayaan tahap ketiga sebagaimana dimaksudkan oleh Longwe juga tidak dilakukan oleh program PLTMH, oleh karena sejak semula proyek ini netral gender dan berbasis rumahtangga. Yang menarik, meskipun pada Longwe partisipasi aktif itu dianggap sebagai level kesetaraan tahap keempat, namun dalam program ini partisipasi aktif masyarakat laki-laki dan perempuan itu sudah ada, baik sejak tahap sosialisasi maupun dalam pelaksanaannya, sebagaimana tercermin dari adanya perempuan yang turut dalam tahap sosialisasi, kelembagaan koperasi dan sebagai target sasaran. Diakui bahwa perempuan yang berpartisipasi aktif jumlahnya sangat terbatas. Dalam hal level pemberdayaan berkenaan kontrol, dalam program PLTMH Desa Cinta Mekar pengambilan keputusan telah ada sejak tahap sosialisasi hingga pelaksanaan. Pengambilan keputusan ada jika rumahtangga telah akses terhadap tahapan program. Dengan perkataan lain, level kesetaraan belum terwujud sebagaimana dimaksud oleh Longwe.
7.5.2
Level Pengakuan Atas Isu Perempuan Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, menurut Longwe terdapat tiga
kategori yakni negatif, netral dan positif. Dengan mengacu pada proses perencanaan dan pelaksanaan program PLTMH Desa Cinta Mekar, tampaknya program ini tergolong level negatif, dalam artian bahwa program PLTMH dalam perencanaannya tidak secara eksplisit mengakui adanya isu-isu perempuan. Namun demikian dalam pelaksanannya, program ini sebagaimana telah dijelaskan
di atas, menangkau 11 RMKP dan sebanyak 19 anggota rumahtangga perempuan penerima beasiswa pendidikan dan 35 anggota rumahtangga perempuan penerima modal usaha. Dulunya perempuan hanya bekerja sebagai ibu rumahtangga, dengan adanya program simpan pinjam hasil PLTMH, perempuan bisa berusaha produktif seperti misalnya, berjualan gorengan, berdagang, dan membuka warung.
7.6
Kesimpulan Pembangunan PLTMH dilandasi oleh prinsip 5P. Pihak yang terlibat yakni
Yayasan IBEKA, UNESCAP, PT HIBS, dan PLN Purwakarta. Pelaksanaan program PLTMH terbagi atas dua aspek, yakni aspek teknis dan aspek sosial. Program ini bertujuan untuk pemberdayaan masyarakat Desa Cinta Mekar. Tahapan pembangunan PLTMH terdiri atas tahap perencanaan, pelaksanaan dan pemanfaatan program, yang melibatkan anggota rumahtangga laki-laki dan perempuan. Tahap perencanaan berupa sosialisasi program kepada masyarakat desa untuk mendapat dukungan serta bantuan memperlancar tercapainya tujuan program. Peran laki-laki cenderung lebih besar daripada perempuan, hal tersebut terlihat dari undangan rapat serta kehadiran dalam musyawarah. Pada tahap pelaksanaan program, tenaga kerja laki-laki pada pembangunan fisik/sipil lebih diperlukan daripada tenaga kerja perempuan karena berhubungan dengan kemampuan fisik. Pada tahap pemanfaatan hasil, ada yang dimanfaatkan seluruh anggota keluarga adapula yang hanya dinikmati anggota keluarga yang membutuhkan.
Kebutuhan praktis yang terpenuhi melalui program PLTMH berupa kebutuhan listrik, bantuan kesehatan, simpan pinjam dan beasiswa, sedangkan kebutuhan strategisnya ialah kedudukan perempuan dalam kelembagaan masyarakat. Pengurus koperasi ada yang berjenis kelamin perempuan dan mempunyai peranan yang sangat penting dalam pengelolaan koperasi. Mengacu pada Kerangka Pemberdayaan Longwe, program PLTMH tidak menempuh jenjang kesetaraan. Program PLTMH yang dilaksanakan tidak dimulai dengan pemberian kesejahteraan akan tetapi dimulai dengan tahap sosialisasi program. Setelah itu meningkatkan akses rumahtangga miskin terhadap sumberdaya, khususnya listrik kesehatan, modal usaha, infrastruktur, dan biaya pendidikan. Level pemberdayaan tahap ketiga sebagaimana dimaksudkan oleh Longwe juga tidak dilakukan oleh program PLTMH, oleh karena sejak semula proyek ini netral gender dan berbasis rumahtangga. Partisipasi aktif masyarakat laki-laki dan perempuan sudah ada, baik sejak tahap sosialisasi maupun dalam pelaksanaannya. Level pemberdayaan berkenaan kontrol, dalam program PLTMH Desa Cinta Mekar pengambilan keputusan telah ada sejak tahap sosialisasi hingga pelaksanaan. Program PLTMH Desa Cinta Mekar tergolong level negatif, dilihat dari level pengakuan atas isu perempuan.
BAB VIII STIMULAN, PENGELOLAAN, FAKTOR LINGKUNGAN SERTA PERMASALAHAN PADA PROGRAM PLTMH Ada beberapa aspek yang diduga mempengaruhi program PLTMH dalam hal akses, kontrol, partisipasi dan manfaat program PLTMH. Antara lain adalah stimulan program, pengelolaan, dan faktor lingkungan dalam program PLTMH Stimulan program berupa rangsangan program agar program dapat berjalan lancar dan mencapai tujuan. Pengelolaan program termasuk bagian dari pelaksanaan program PLTMH. Faktor lingkungan berupa pengaruh dari luar sistem.
8.1 8.1.1
Stimulan Program PLTMH Tingkat Bantuan Dana Program Pembangunan PLTMH Seperti yang dijelaskan di awal, program pembangunan PLTMH
merupakan realisasi dari konsep 5P. Program PLTMH pun termasuk bentuk program kemitraan yang melibatkan berbagai pihak. Sumber dana program berasal dari UNESCAP, Yayasan IBEKA dan PT HIBS, yang besarnya masingmasing US$ 75.000,0 (tujuh puluh lima ribu dolar Amerika). Dana yang berasal dari UNESCAP merupakan dana hibah yang disumbangkan untuk Koperasi Mekarsari. Dana dari IBEKA dialokasikan untuk bangunan fasilitas pelatihan dan penyebaran pembangkit mikrohidro. PT HIBS merupakan pemilik 50 persen saham badan usaha patungan. Indikator dari keberhasilan program ini antara lain memberdayakan masyarakat di bidang ekonomi (rumahtangga) dengan memanfaatkan bantuan program PLTMH. Caranya melalui program bantuan modal usaha yang berbentuk pinjaman modal. Dana pinjaman berasal dari simpanan anggota koperasi serta
alokasi dari penghasilan penjualan listrik ke PLN. Adanya program PLTMH ini merupakan inisiatif dari pihak Yayasan IBEKA yang kemudian mencari mitra kerjasama. Untuk mendukung berjalannya program, maka diperlukan dukungan dari pihak yang bermodal, seperti lembaga donor atau fundation. Bantuan program yang diterima masyarakat berupa bantuan dana pendirian atau pembangunan PLTMH hingga selesai pengerjaannya. Masyarakat Cinta Mekar hanya tinggal menikmati hasil dari program PLTMH. Hibah dari UNESCAP yang sering disebut sebagai peranserta yang mewakili warga Cinta Mekar dalam pembangunan PLTMH. Dapat dikatakan bahwa tingkat bantuan dana program merata bagi seluruh warga Desa Cinta Mekar, karena pada dasarnya hasil program PLTMH dinikmati bersama khususnya bagi rumahtangga miskin.
8.1.2
Tingkat Kesesuaian Program terhadap Kebutuhan Rumahtangga Miskin Pada awal tahap perencanaan telah dilaksanakan diskorah atau penggalian
gagasan oleh warga Desa Cinta Mekar. Dari hasil penggalian gagasan tersebut, disimpulkan ada beberapa permasalahan lokal yang dianggap krusial atau penting. Penyusunan prioritas permasalahan pun dilakukan bersama-sama, sehingga upaya penanggulangannya dapat diprediksi. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh koperasi merupakan upaya untuk mengatasi permasalahan yang ada. Misalnya beasiswa diupayakan dapat meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Secara umum tingkat kesesuaian program telah tercapai, dikarenakan rumahtangga miskin sendiri yang menilai dalam forum diskorah.
8.2 Pengelolaan Program PLTMH dan Faktor Lingkungan 8.2.1 Frekuensi Kunjungan Pendampingan oleh Fasilitator Fasilitator merupakan pihak luar yang aktif membantu terlaksananya program. Fasilitator yang bertugas di Cinta Mekar berjumlah satu orang. Fasilitator yang bekerja sekarang tergolong baru, sehingga kurang mengetahui tahap
perencanaan
mendampingi
dan
koperasi
pelaksanaan dan
program.
operasional
Fasilitator
PLTMH.
ini
bertugas
Fasilitator
tersebut
bertanggungjawab kepada pihak Yayasan IBEKA, karena merupakan karyawan IBEKA. Setiap minggu minimal satu kali fasilitator ini mengunjungi rumah pembangkit (PLTMH). Biasanya setiap hari Senin dan Jumat ketika ada perawatan berkala. Fasilitator bertugas mengecek kelengkapan administrasi untuk penjualan listrik ke PLN. Seperti misalnya catatan kW harian. Fasilitator pun bertugas sebagai perantara jika ada saran atau masukan dari masyarakat setempat mengenai operasional koperasi serta PLTMH. Fasilitator sering mengikuti rapat koperasi serta kegiatan yang diadakan oleh koperasi dan Yayasan IBEKA. Fasilitator kurang dekat dengan penerima program, dan hanya bertugas untuk mengantar kunjungan dari pihak luar yang ingin mengetahui mengenai program PLTMH.
8.2.2 Dukungan dari Pemerintah Desa Pada awalnya pembangunan PLTMH Desa Cintamekar mendapat tentangan dari warga desa karena takut kehilangan air sebagai irigasi yang mengaliri sawah mereka. Pemerintah desa berusaha menyakinkan warga agar
berpikir kedepan sehingga warga desa akan maju. Sosialisasi pun dilakukan dengan cara mengumpulkan masing-masing kepala dusun atau mendatangi tiaptiap kampung. Pemerintah desa mendukung pembangunan PLTMH karena berpikir jangka panjang demi kemajuan Desa Cinta Mekar. Keterlibatan aparat desa terlihat dari hadir atau tidaknya dalam musyawarah atau rapat yang berhubungan dengan PLTMH. Kehadiran pihak aparat desa tentu tidak keseluruhan staf, melainkan hanya wakilnya saja. Pada kenyataannya setiap rapat pasti selalu dihadiri pihak aparatur pemerintahan desa, walaupun hanya seorang saja yang merangkap sebagai Badan Pengawas koperasi (Bapak Asp). Dapat dikatakan tingkat dukungan aparat tinggi, hal ini dibuktikan dengan kehadiran dalam rapat atau musyawarah PLTMH. Pelibatan pemerintahan desa tidak hanya pada tahap perencanaan, melainkan hingga tahap pelaksanaan dan pemanfaatan hasil. Dalam pemilihan operator BPD juga turut dilibatkan. Tahap pemanfaatan program pemerintah desa memberikan data rumahtangga yang kurang mampu sehingga dapat menerima dana bantuan program. Pada tahun 2008 telah berganti kepemerintahan desa. Dengan bergantinya kepala desa membuat pemerintahan desa yang sekarang kurang memahami betul proses pembangunan PLTMH mulai dari awal program berjalan.
8.3
Permasalahan Program PLTMH Program berjalan kurang lebih selama empat tahun. Diakui dari pengurus
koperasi dan PLTMH hingga saat ini belum dijumpai permasalahan yang besar dalam pelaksanaan program PLTMH. Dari segi kepengurusan PLTMH pernah ada
pergantian operator sekali, hal ini dilakukan karena kelalaian operator dalam bertugas. Hal ini sempat membuat kondisi memanas, penyelesaian yang dilakukan berupa musyawarah internal yang dilakukan oleh tokoh masyarakat, pihak koperasi dan IBEKA. Hal ini berhubungan dengan seleksi operator beserta pengurus PLTMH yang lainnya. Dalam kepengurusan koperasi, tidak ada kendala besar. Kepengurusan koperasi telah berganti satu kali. Untuk urusan teknis PLTMH, seperti jika ada kerusakan mesin, maka operator sendiri yang harus bisa memperbaikinya, jika tidak bisa maka alat yang rusak tersebut dibawa ke bengkel di luar kota untuk diperbaiki. Dalam hal ini PT HIBS juga ikut serta membantu. Pernah juga muncul isu yang mempertanyakan kejelasan status bangunan atau fasilitas PLTMH seperti gedung koperasi. Ada anggapan bahwa sebetulnya hibah dari UNESCAP bisa saja dibagikan secara tunai kepada tiap-tiap kepala keluarga. Rumahtangga yang kurang mampu sangat terbantu dengan adanya program PLTMH ini. Diakui oleh mereka beban hidup sedikit berkurang, bahkan terbantu dengan adanya dana simpan pinjam yang dapat merangsang anggota rumahtangga untuk berusaha produktif. Namun demikian, ada beberapa rumahtangga yang telat membayar pinjaman sehingga menghambat aliran dana pinjaman walaupun setiap tiga bulan ada dana tetap. Terbatasnya jumlah bantuan dana untuk beasiswa yang diberikan tiap tiga bulan sekali tidak menimbulkan polemik dalam masyarakat. Walaupun dirasakan kurang, akan tetapi cukup membantu beban orang tua yang menyekolahkan anaknya.
8.4
Kesimpulan Tingkat bantuan dana program dan tingkat kesesuaian program terhadap
kebutuhan rumahtangga miskin merupakan bagian dari stimulan program PLTMH yang mempengaruhi tingkat akses, kontrol, partisipasi dan manfaat program PLTMH. Disimpulkan bahwa tingkat bantuan dana program seragam, dimana jumlah bantuan dana yang diperoleh berupa bangunan fisik/sipil lengkap dengan peralatan untuk PLTMH. Tingkat kesesuaian program tergolong tinggi karena rumahtangga miskin sendiri yang menentukan sesuai tidaknya program dengan kebutuhan atau permasalahan yang dihadapinya dalam forum penggalian gagasan. Fasilitator rutin memeriksa PLTMH dan sering berdiskusi dengan penguruspengurusnya (operator, andir dan penjaga taman), dengan demikian frekuensi kunjungan pendampingan fasilitator pada program PLTMH tergolong tinggi. Tingkat dukungan aparat desa tergolong tinggi, hal tersebut dibuktikan dengan kehadiran perwakilan aparat pemerintahan desa dalam rapat atau musyawarah mengenai PLTMH. Permasalahan program hingga saat ini terkendali, akan tetapi pernah ada masalah pergantian operator karena kelalain kerja, kurangnya pengintegrasian gender pada tujuan program, walaupun pada pelaksanaannya melibatkan laki-laki dan perempuan, akan tetapi masih terkonsentrasi pada taha-tahap tertentu program. Munculnya isu atau gosip yang mempertanyakan status kepemilikan bangunan sipil PLTMH dan koperasi akibat dana yang digunakan berupa dana hibah dari UNESCAP.
BAB IX ANALISIS GENDER DALAM PROGRAM PLTMH
Mengacu pada teknik analisis gender, indikator-indikator keberhasilan Program PLTMH, dapat dilihat melalui akses dan kontrol rumahtangga miskin terhadap Program PLTMH, serta partisipasi dan manfaat yang diperoleh rumahtangga miskin (baik laki-laki maupun perempuan) dari penyelenggaraan Program PLTMH. Khususnya dalam perencanaan dan pelaksanaan progra, penjelasan berkenaan dengan empat aspek analisis gender dalam Program PLTMH di Desa Cinta Mekar tersebut didasarkan pada hasil pengolahan data survei pada 60 rumahtangga miskin yang mendapat bantuan program Koperasi Mekarsari.
9.1
Tingkat Akses RMKL dan RMKP terhadap Perencanaan Program PLTMH Tahapan awal program pembangunan berupa perencanaan program. Akses
RMKL dan RMKP terhadap perencanaan program dapat dilihat dari tingkat akses rumahtangga pada masing-masing komponen kegiatan, yakni tahap persiapan, penetapan tujuan program, penetapan rencana kerja, penentuan prioritas dan aktivitas, pengalokasian sumberdaya, diskusi sosialisasi program dan pertemuan dengan stakeholders. Tabel 19 menyajikan data mengenai tingkat akses RMKL dan RMKP terhadap tahap perencanaan program PLTMH.
Tabel 19.
Jumlah dan Persentase Tingkat Akses RMKL dan RMKP terhadap Tahap Perencanaan Program PLTMH, Desa Cinta Mekar, Tahun 2008
Tingkat Akses Perencanaan Rendah Sedang Tinggi Total
n 38 4 7 49
RMKL % 77,55 8,16 14,29 100,00
n 11 0 0 11
RMKP % 100,00 0,00 0,00 100,00
Total n 49 4 7 60
% 81,67 6,67 11,66 100,00
Dari Tabel 19 diketahui bahwa tingkat akses mayoritas RMKL dan RMKP terhadap tahap perencanaan program tergolong rendah. Namun demikian, pada RMKL ditemukan adanya mereka yang tingkat akses terhadap Tahap Perencanaan Program PLTMH tergolong tinggi. Dikatakan tinggi karena ARTL dan ARMP dalam RMKL mempunyai peluang yang lebih besar untuk dapat akses ke dalam tahap perencanaan program, hal ini dikarenakan status sosial yang ada dalam masyarakat lebih banyak ditemukan pada RMKL.
9.2
Tingkat Kontrol Rumahtangga Miskin Laki-laki dan Perempuan terhadap Perencanaan Program PLTMH Tingkat kontrol RMKL dan RMKP terhadap perencanaan program
ditentukan dari peranserta RMKL dan RMKP dalam pengambilan keputusan pada sumberdaya pada tahap perencanaan Program PLTMH. Termasuk didalamnya siapa yang harus hadir musyawarah atau rapat dan mengeluarkan pendapat atau tanggapan dalam diskusi. Untuk data yang selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Jumlah dan Persentase Tingkat Kontrol RMKL dan RMKP terhadap Tahap Perencanaan Program PLTMH, Desa Cinta Mekar, Tahun 2008 Tingkat Kontrol Perencanaan Rendah Sedang Tinggi Total
n 2 36 11 49
RMKL % 4,08 73,47 22,45 100,00
n 11 0 0 11
RMKP % 100,00 0,00 0,00 100,00
Total n 13 36 11 60
% 21,67 60,00 18,33 100,00
Terlihat dari Tabel 20, pada RKML mayoritas pengambilan keputusan dilakukan bersama antara suami dan istri yang salah satunya dominan. Pada dasarnya untuk tingkat kontrol dan sedang termasuk pada tingkat bersama, yakni adanya keikutsertaan laki-laki dan perempuan dalam pengambilan keputusan. Pada RMKP seluruhnya tergolong rendah, karena pengambilan keputusan sepenuhnya dilakukan oleh istri (perempuan). Hal tersebut dimungkinkan, karena pada RMKP, mayoritas ARTnya terdiri dari anak balita dan remaja yang dianggap belum dewasa dan belum bisa mengambil keputusan sendiri tanpa campurtangan orang tua (ibu).
9.3
Tingkat Akses Rumahtangga Miskin Laki-laki dan Perempuan terhadap Pelaksanaan Program PLTMH Tahap pelaksanaan antara lain berupa kegiatan operasional PLTMH dan
operasional koperasi. Operasional PLTMH dimaksudkan berupa kegiatan harian PLTMH dalam upaya menghasilkan listrik yang akan dijual. Dalam pelaksanaannya dilakukan oleh pengurus PLTMH yang terdiri dari operator, andir dan penjaga taman, koperasi sebagai pengelola keuangan hasi penjualan listrik. Bentuk kegiatan pada tahap pelaksanaan berupa peluang atau kesempatan untuk menjadi operator, andir, penjaga taman, pengurus koperasi dan kegiatan gotong royong. Kegiatan-kegiatan pada tahap pelaksanaan lebih terbatas dibandingkan kegiatan-kegiatan pada tahap perencanaan. Diketahui, tidak ada pengurus PLTMH maupun koperasi merangkap jabatan kepengurusan ..
Tabel 21.
Jumlah dan Persentase Tingkat Akses RMKL dan RMKP terhadap Tahap Pelaksanaan Program PLTMH Desa Cinta Mekar, Tahun 2008
Tingkat Akses Pelaksanaan Rendah Sedang Tinggi Total
n 16 31 2 49
RMKL % 32,65 63,27 4,08 100,00
n 11 0 0 11
RMKP % 100,00 0,00 0,00 100,00
n 27 31 2 60
Total % 45,00 51,67 3,33 100,00
Pada Tabel 21 secara umum dapat diketahui bahwa dari total rumahtangga contoh, mayoritas diantara mereka memiliki tingkat akses terhadap tahap pelaksanaan Program PLTMH yang tergolong sedang. Namun demikian, jika dilihat menurut kategori jenis kelamin kepala rumahtangganya diketahui bahwa mereka yang memiliki tingkat akses terhadap tahap pelaksanaan Program PLTMH yang tergolong sedang tersebut hanya dijumpai pada RMKL dengan persentase sebanyak 63,27 persen atau sekitar 31 persen lebih tinggi dari RMKL yang memiliki akses terhadap pelaksanaan program yang tergolong kategori rendah. Hal ini dimungkinkan karena keterlibatan ART dalam RMKL lebih banyak jika dibandingkan dengan keterlibatan ART dalam RMKP mengingat komposisi anggota rumahtangga pada RMKL lebih banyak jika dibandingkan dengan RMKP. Lebih lanjut, adanya RMKL dengan tingkat akses terhadap tahap pelaksanaan Program PLTMH yang tergolong tinggi dimungkinkan karena adanya dua orang RMKL yang bertugas menjadi pengurus operasional PLTMH. Berbeda halnya dengan RMKP yang seluruhnya tergolong rendah. Hal ini terjadi karena jenis kegiatan dalam tahap pelaksanaan lebih banyak menggunakan, tenaga laki-laki daripada perempuan.
9.4
Tingkat Kontrol RMKL dan RMKP terhadap Pelaksanaan Program PLTMH Sama halnya dengan tingkat kontrol ARTL dan ARTP terhadap
perencanaan program, tingkat kontrol RML dan RMP terhadap Pelaksanaan Program PLTMH ditentukan oleh pengambilan keputusan dalam rumahtangga terhadap kegiatan pada tahap pelaksanaan. Sehubungan dengan total skor akses yang relatif kecil, pada tingkat kontrol pun ikut terpengaruh dengan tingkat akses. Tabel 22. Jumlah dan Persentase Tingkat Kontrol RMKL dan RMKP terhadap Tahap Pelaksanaan Program PLTMH, Desa Cinta Mekar, Tahun 2008 Tingkat Kontrol Pelaksanaan Rendah Sedang Tinggi Total
n 48 1 0 49
RMKL % 97,96 2,04 0,00 100,00
n 11 0 0 11
RMKP % 100,00 0,00 0,00 100,00
n 59 1 0 60
Total % 98,33 1,67 0,00 100,00
Dari Tabel 22 dapat dilihat bahwa baik pada RKML dan RKMP, mayoritas kontrol pelaksanaan program tergolong rendah. Hal ini dikarenakan anggota rumahtangga yang terlibat dalam tahap pelaksanaan (mayoritas suami saja) memutuskan sendiri mengenai aktivitas yang akan diikuti pada tahap pelaksanaan, seperti ikut menjadi buruh dalam pembangunan PLTMH. Namun demikian gaji yang diperoleh dari buruh tersebut dipergunakan untuk membiayai seluruh anggota keluarga.
9.5
Tingkat Partisipasi Rumahtangga Miskin Laki-laki dan Perempuan terhadap Pelaksanaan Program PLTMH Tingkat partisipasi diukur dari peranserta aktif anggota rumahtangga, baik
laki-laki maupun perempuan dalam kegiatan pelaksanaan program. Partipasi RMKL dan RMKP dilihat dari kepengurusan PLTMH serta Koperasi Mekarsari,
dan turut ikut gotong royong dalam kegiatan PLTMH. Partisipasi warga desa Cinta Mekar juga ditunjukkan dengan menjadi anggota Koperasi Mekarsari. Hal tersebut tidak menjadi ukuran dalam tahap ini, karena secara langsung anggota rumahtangga miskin yang menerima bantuan program merupakan anggota koperasi Mekarsari. Pada awalnya ada persyaratan bahwa jika ingin mendapat bantuan program, harus menjadi anggota koperasi terlebih dahulu. Hal ini menjadi polemik warga, sehingga disiasati dengan cara memberikan bantuan program tanpa syarat, akan tetapi ada potongan untuk membayar iuran wajib dan pokok sebagai anggota koperasi. Tabel 23 menyajikan data mengenai tingkat partisipasi RMKL dan RMKP terhadap tahap pelaksanaan program PLTMH. Tabel 23. Jumlah dan Persentase Tingkat Partisipasi RMKL dan RMKP terhadap Tahap Pelaksanaan Program PLTMH Desa Cinta Mekar, Tahun 2008 Tingkat Partisipasi Rendah Sedang Tinggi Total
n 20 27 2 49
RMKL % 40,82 55,10 4,08 100,00
RMKP n % 10 90,91 1 9,09 0 0,00 11 100,00
n 30 28 2 60
Total % 50,00 46,67 3,33 100,00
Dari Tabel 23 dapat disimpulkan bahwa partisipasi RMKL terhadap pelaksanaan program PLTMH mayoritas tergolong sedang, sedangkan pada RMKP tergolong rendah. Pada RMKL ditemukan adanya 4,08 persen yang tergolong tinggi karena ikut serta dalam kepengurusan operasional PLTMH. Partisipasi pada RMKL dan RMKP berbeda karena pada tahap pelaksanaan program, khususnya gotong royong, lebih banyak pekerjaan fisik daripada nonfisik, sehingga anggota RMKL lebih berperanserta dibanding dengan anggota
RMKP yang dominan terdiri dari anggota rumahtangga berjenis kelamin perempuan dan balita.
9.6
Tingkat Akses Rumahtangga Miskin Laki-laki dan Perempuan terhadap Pemanfaatan Hasil Program PLTMH Tingkat akses pada pemanfaatan program berupa peluang anggota RMKL
dan RMKL untuk mendapat bantuan program. Bantuan program yang dilaksanakan meliputi bantuan pemasangan listrik, bantuan kesehatan, bantuan beasiswa pendidikan serta bantuan simpan pinjam. Tabel 24. Jumlah dan Persentase Tingkat Akses RMKL dan RMKP terhadap Tahap Pemanfaatan Program PLTMH, Desa Cinta Mekar, Tahun 2008 Tingkat Akses Pemanfaatan Rendah Sedang Tinggi Total
n 13 34 2 49
RMKL % 26,53 69,39 4,08 100,00
n 5 6 0 11
RMKP % 45,45 54,55 0,00 100,00
Total n 18 40 2 60
% 30,00 66,67 3,33 100,00
Dari Tabel 24 dapat diketahui bahwa baik RMKL dan RMKP mayoritas tergolong sedang dalam akses pemanfaatan program. Hal ini dikarenakan setiap rumahtangga miskin terdiri dari anggota rumahtangga yang heterogen, sehingga akan mempengaruhi akses terhadap program yang dinilai sesuai untuk pemenuhan kebutuhannya.
9.7
Tingkat Kontrol Rumahtangga Miskin Laki-laki dan Perempuan terhadap Pemanfaatan Hasil Program PLTMH Tingkat kontrol ARTL dan ARTP terhadap pemanfaatan program
ditentukan dari peranserta ARML/ARMP dalam pengambilan keputusan pada
setiap kegiatan dalam tahap memanfatkan hasil Program PLTMH. Pemanfaatan program terdiri dari bantuan pemasangan listrik, beasiswa, kesehatan serta simpan pinjam. Tabel 25. Jumlah dan Persentase Tingkat Kontrol RMKL dan RMKP terhadap Tahap Pemanfatatan Program PLTMH, Desa Cinta Mekar, Tahun 2008 Tingkat Kontrol Pemanfaatan Rendah Sedang Tinggi Total
RMKL n % 4 8,16 29 59,18 16 32,65 49 100,00
n 11 0 0 11
RMKP % 100,00 0,00 0,00 100,00
n 15 29 16 60
Total % 25,00 48,33 26,67 100,00
Tabel 25 memperlihatkan data mengenai pola pengambilan keputusan dalam pemanfaatan program. Dapat diketahui bahwa kontrol RMKL dalam tahap pemanfaatan program mayoritas tergolong sedang. Berbeda halnya dengan RMKP yang seluruhnya tergolong rendah. Hal ini terjadi karena pada RMKL terdiri dari suami dan istri, sedang pada RMKP mayoritas terdiri dari istri saja dengan anakanak yang berusia balita dan remaja, sehingga peranserta laki-laki dalam RMKL cenderung lebih besar jika dibandingkan dengan RMKP yang pengambilan keputusan masih ditentukan oleh istri (ibu) seorang.
9.8
Tingkat Manfaat Rumahtangga Miskin Laki-laki dan Perempuan terhadap Hasil Program PLTMH Tingkat manfaat ARTL dan ARTP terhadap hasil program PLTMH
ditentukan dari pola pemanfaatan hasil program PLTMH oleh ARTL dan ARTP. Penerima manfaat program dapat dilihat pada Tabel 26.
Tabel 26. Jumlah RMKL dan RMKP Penerima Program PLTMH, Desa Cinta Mekar, Tahun 2008 Bantuan Program Listrik Beasiswa Simpan pinjam Kesehatan
RMKL 25 26 32 11
RMKP 5 4 3 3
Total 30 30 35 14
Pada Tabel 26 dapat dilihat jumlah RMKL dan RMKP penerima program PLTMH. Bantuan terbanyak diperoleh dari bantuan simpan pinjam dengan jumlah total penerima RMKL dan RMKP sebesar 36 rumahtangga. Masing-masing rumahtangga bisa mendapatkan lebih dari satu bantuan program PLTMH. Tabel 27 menyajikan data mengenai tingkat manfaat RMKL dan RMKP terhadap hasil Program PLTMH. Tabel 27. Jumlah dan Persentase Tingkat Manfaat RMKL dan RMKP terhadap Hasil Program PLTMH, Desa Cinta Mekar, Tahun 2008 Tingkat Manfaat Rendah Sedang Tinggi Total
n 4 5 40 49
RMKL % 8,16 10,20 81,63 100,00
RMKP n % 0 0,00 5 45,45 6 54,55 11 100,00
n 4 10 46 60
Total % 6,67 16,67 76,66 100,00
Dari Tabel 27 dapat diketahui bahwa tingkat pemanfaatan program baik pada RMKL maupun RMKP mayoritas tergolong tinggi. Namun demikian, RMKP yang tingkat manfaat dari hasil program PLTMH-nya tergolong tinggi menunjukkan persentase yang lebih rendah dibanding RMKL (sebanyak sekitar 27 persen). Sebaliknya, pada RMKP, mereka yang memiliki tingkat manfaat yang tergolong sedang lebih tinggi 35 persen dibandingkan dengan RMKL. Hal ini dimungkinkan karena pada umumnya bantuan yang diperoleh oleh RMKL dan
RMKP dimanfaatkan untuk kebutuhan seluruh keluarga kecuali untuk bantuan beasiswa dan kesehatan.
9.9
Kesimpulan Meskipun tingkat akses mayoritas RMKL dan RMKP terhadap tahap
perencanaan program tergolong rendah, namun persentase RMKL yang akses pada tahap perencanaan lebih besar. Sebaliknya, tidak adanya RMKP yang akses dimungkinkan karena tidak satu pun diantara mereka berstatus sebagai tokoh desa. Pada RKML mayoritas pengambilan keputusan tergolong sedang, sementara. pada RMKP seluruhnya tergolong rendah, karena pengambilan keputusan sepenuhnya dilakukan oleh istri (perempuan). Mayoritas akses RMKL dalam tahap pelaksanaan tergolong sedang. Berbeda halnya dengan RMKP yang seluruhnya tergolong rendah. Hal ini terjadi karena jenis kegiatan dalam tahap pelaksanaan lebih banyak menggunakan tenaga laki-laki daripada perempuan. Baik pada RKML dan RKMP, mayoritas kontrol pelaksanaan program tergolong rendah. Tingkat partisipasi pada RMKL terhadap pelaksanaan program mayoritas tergolong rendah. Pada kategori RMKL dan RMKP mayoritas tergolong sedang dalam akses pemanfaatan program. Kontrol RMKL dalam tahap pemanfaatan program mayoritas tergolong sedang. Berbeda halnya dengan RMKP yang seluruhnya tergolong rendah. Tingkat pemanfaatan program baik pada kedua kategori rumahtangga contoh mayoritas tergolong tinggi. Sebaliknya, pada RMKP yang tergolong sedang lebih tinggi 35 persen dibandingkan dengan RMKL pada kategori yang sama.
Secara umum, disimpulkan bahwa tingkat akses tergolong rendah, tingkat kontrol sedang dan tingkat partisipasi bervariasi antara RMKL dan RMKP, namun demikian pada tingkat manfaat tinggi, hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antar tahapan program. Keterlibatan masyarakat hanya pada beberapa tahap tertentu saja.
BAB X RELASI GENDER DALAM PROGRAM PLTMH
Relasi gender dalam program PLTMH mencakup semua variabel yaitu Tingkat Akses RMKL dan RMKP terhadap Perencanaan Program PLTMH, Tingkat Akses RMKL dan RMKP terhadap Pelaksanaan Program PLTMH, Tingkat Akses RMKL dan RMKP terhadap Pemanfaatan Hasil Program PLTMH, Tingkat Kontrol RMKL dan RMKP terhadap Perencanaan Program PLTMH , Tingkat Kontrol RMKL dan RMKP terhadap Pelaksanaan Program PLTMH, Tingkat Kontrol RMKL dan RMKP terhadap Pemanfaatan Hasil Program PLTMH, Tingkat Partisipasi RMKL dan RMKP terhadap Pelaksanaan Program PLTMH , dan Tingkat Manfaat yang diperoleh RMKL dan RMKP terhadap Hasil Program PLTMH, serta variabel-varabel yang mempengaruhinya dari setiap faktor yang diduga berhubungan dengan relasi gender dalam proram PLTMH tersebut yakni Karakteristik Sumberdaya Individu dan Sumberdaya RMKL dan RMKP, Frekuensi Kunjungan Fasilitator, Jumlah Dana Program PLMTH dan Tingkat Kesesuaian Program dengan Kebutuhan Rumahtangga Miskin
10.1
Hubungan Antara Karakteristik Individu dan Rumahtangga (ARML dan ARMP) dengan Tingkat Akses dan Kontrol terhadap Program PLTMH Sub-bab ini akan menyajikan data dan informasi berkenaan dengan
hubungan antara peubah tingkat pendidikan dan status bekerja dari individuindividu ART pada kedua kategori rumahtangga contoh dengan enam variabel yang menunjukkan Tingkat Akses dan Tingkat Kontrol mereka terhadap
perencanaan, pelaksanaan dan pemanfaatan Program PLTMH. Selengkapnya data tersebut disajikan pada Tabel 28. Tabel 28. Tingkat Akses dan Kontrol RMKL serta RMKP terhadap Program PLTMH Menurut Tingkat Pendidikan, Desa Cinta Mekar, Tahun 2008 Tingkat Pendidikan Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi
RMKL Rendah Sedang Tinggi Rendah Akses terhadap Perencanaan Program 8,16 44,89 24,49 90,90 0,00 12,24 8,16 9,10 0,00 2,04 0,00 0,00 Kontrol terhadap Perencanaan Program 2,04 57,14 18,37 90,90 2,04 14,29 4,08 9,10 0,00 2,04 0,00 0,00 Akses terhadap Pelaksanaan Program 26,53 46,94 4,08 90,90 4,08 16,33 0,00 9,10 2,04 0,00 0,00 0,00 Kontrol terhadap Pelaksanaan Program 77,56 0,00 0,00 90,90 20,40 0,00 0,00 9,10 0,00 2,04 0,00 0,00 Akses terhadap Pemanfaatan Program 18,36 55,10 4,08 36,36 6,12 14,28 0,00 9,10 2,04 0,00 0,00 0,00 Kontrol terhadap Pemanfaatan Program 8,16 44,89 24,48 90,90 0,00 12,24 12,24 9,10 0,00 2,04 0,00 0,00
RMKP Sedang
Tinggi
0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00
54,54 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00
Pada Tabel 28, dapat terlihat ada beberapa rumahtangga pada RMKL yang memiliki tingkat pendidikan rendah justru memiliki tingkat akses dan kontrol terhadap program PLTMH cenderung tinggi. Namun demikian, secara umum tingkat pendidikan tidak berhubungan dengan tingkat akses dan kontrol, karena tingkat pendidikan RMKL dan RMKP secara umum homogen sehingga tidak dapat dilakukan analisis hubungan. Jika dilihat berdasarkan jenis kelamin rumahtangga, tingkat akses dan kontrol pada RMKL lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat akses dan kontrol
pada RMKP. Dapat dikatakan tingkat akses dan kontrol RMKL dan RMKP terhadap program PLTMH lebih dipengaruhi oleh jenis kelamin kepala rumahtangga penerima program PLTMH, dimana rumahtangga yang dikepalai laki-laki lebih akses dan kontrol terhadap program PLTMH jika dibandingkan dengan rumahtangga yang dikepalai perempuan. Tabel 29. Tingkat Akses dan Kontrol RMKL serta RMKP terhadap Program PLTMH Menurut Status Bekerja, Desa Cinta Mekar, Tahun 2008 Status Bekerja Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi
RMKL Rendah Sedang Tinggi Rendah Akses terhadap Perencanaan Program 6,12 0,00 0,00 54,54 69,38 8,16 12,24 45,46 2,04 0,00 2,04 0,00 Kontrol terhadap Perencanaan Program 0,00 4,08 2,04 54,54 4,08 65,31 20,41 45,46 0,00 4,08 0,00 0,00 Akses terhadap Pelaksanaan Program 0,00 6,12 0,00 54,54 30,61 57,14 2,04 45,46 2,04 0,00 2,04 0,00 Kontrol terhadap Pelaksanaan Program 6,12 0,00 0,00 0,00 89,79 0,00 0,00 0,00 2,04 2,04 0,00 0,00 Akses terhadap Pemanfaatan Program 0,00 6,12 0,00 36,36 24,49 63,27 2,04 9,10 2,04 0,00 2,04 0,00 Kontrol terhadap Pemanfaatan Program 2,04 2,04 2,04 54,54 6,12 55,10 28,57 45,46 0,00 2,04 2,04 0,00
RMKP Sedang
Tinggi
0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00
18,20 36,36 0,00
0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00
Pada Tabel 29 dapat dilihat hubungan tingkat akses dan kontrol RMKL dan RMKL berdasarkan status pekerjaan. Berdasarkan status pekerjaan, diketahui bahwa sebagian besar dari RMKL dan RMKP penerima program PLTMH memiliki status pekerjaan tergolong sedang. Diantaranya bekerja sebagai buruh tani dan pekerja tak tetap atau buruh serabutan. Secara umum disimpulkan bahwa tingkat akses dan kontrol RMKL dan RMKP terhadap program PLTMH tidak
dipengaruhi oleh status pekerjaan pada RMKL dan RMKP. Tidak ada hubungan antara status dengan akses dan kontrol program PLTMH. Informasi yang berkenaan dengan hubungan antara peubah tingkat kekayaan dan status rumahtangga dari rumahtangga miskin pada kedua kategori rumahtangga contoh dengan enam variabel yang menunjukkan Tingkat Akses dan Tingkat Kontrol mereka terhadap perencanaan, pelaksanaan dan pemanfaatan Program PLTMH.Selengkapnya data tersebut disajikan pada Tabel 30. Tabel 30. Tingkat Akses dan Kontrol RMKL dan RMKP terhadap Program PLTMH Menurut Tingkat Kekayaan, Desa Cinta Mekar, Tahun 2008 Tingkat Kekayaan
RMKL Rendah
Sedang
RMKP Tinggi
Rendah
Sedang
Tinggi
Akses terhadap Perencanaan Program Rendah
38,78
6,12
10,20
100,00
0,00
0,00
Sedang
28,56
2,04
2,04
0,00
0,00
0,00
Tinggi
10,20
0,00
2,04
0,00
0,00
0,00
Kontrol terhadap Perencanaan Program Rendah
2,04
42,86
10,20
100,00
0,00
0,00
Sedang
0,00
22,45
10,20
0,00
0,00
0,00
Tinggi
2,04
8,16
2,04
0,00
0,00
0,00
Akses terhadap Pelaksanaan Program Rendah
24,49
30,61
0,00
100,00
0,00
0,00
Sedang
6,12
24,49
2,04
0,00
0,00
0,00
Tinggi
2,04
8,16
2,04
0,00
0,00
0,00
Kontrol terhadap Pelaksanaan Program Rendah
55,10
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
Sedang
32,65
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
Tinggi
10,20
2,04
0,00
0,00
0,00
0,00
Akses terhadap Pemanfaatan Program Rendah
12,24
40,80
2,04
45,54
64,46
0,00
Sedang
10,20
22,45
0,00
0,00
0,00
0,00
Tinggi
4,08
6,12
2,04
0,00
0,00
0,00
Kontrol terhadap Pemanfaatan Program Rendah
2,04
32,65
20,41
100,00
0,00
0,00
Sedang
6,12
22,45
4,08
0,00
0,00
0,00
Tinggi
0,00
4,08
8,16
0,00
0,00
0,00
Dari Tabel 30 dapat diketahui bahwa tidak ada hubungan yang nyata antara tingkat kekayaan dengan tingkat akses dan kontrol terhadap program PLTMH. Hal tersebut dikarenakan tingkat kepemilikan kekayaan hampir seragam pada seluruh rumahtangga miskin penerima program PLTMH. Status rumahtangga yang digunakan untuk menentukan hubungan atau pengaruh menggunakan status rumahtangga berdasarkan hasil diskorah. Terlihat pada Tabel 31 bahwa tingkat akses dan kontrol RKML dan RKMP terhadap PLTMH tidak dipengaruhi oleh status rumahtangga tersebut. Hal ini dikarenakan baik RMKL dan RMKP secara umum tergolong miskin, walaupun berbeda tingkatan. Tabel 31. Tingkat Akses dan Kontrol RMKL dan RMKP terhadap Program PLTMH Menurut Status Rumahtangga, Desa Cinta Mekar, Tahun 2008 Status Rumahtangga Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi
RMKL Rendah Sedang Tinggi Rendah Akses terhadap Perencanaan Program 51,02 6,12 6,12 90,90 24,49 2,04 8,16 9,10 2,04 0,00 0,00 0,00 Kontrol terhadap Perencanaan Program 2,04 48,98 12,24 90,90 2,04 22,45 10,20 9,10 0,00 2,04 0,00 0,00 Akses terhadap Pelaksanaan Program 20,41 42,86 0,00 90,90 10,20 20,41 4,08 9,10 2,04 0,00 0,00 0,00 Kontrol terhadap Pelaksanaan Program 63,27 0,00 0,00 0,00 34,69 0,00 0,00 0,00 0,00 2,04 0,00 0,00 Akses terhadap Pemanfaatan Program 14,29 46,94 2,04 45,45 10,20 22,45 2,04 0,00 2,04 0,00 0,00 0,00 Kontrol terhadap Pemanfaatan Program 4,08 38,78 20,41 90,90 4,08 18,37 12,24 9,10 0,00 2,04 0,00 0,00
RMKP Sedang
Tinggi
0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00
45,45 9,10 0,00
0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00
Dengan demikian dari tabulasi silang yang menunjukkan bahwa baik karakteristik individu dan karakteristik rumahtangga tidak berpengaruh terhadap tingkat akses dan kontrol terhadap program PLTMH.
10.2
Hubungan Antara Tingkat Akses dan Kontrol Sumberdaya Individu dan Rumahtangga ARML dan ARMP dengan Tingkat Partisipasi dalam Pelaksanaan Program PLTMH Tingkat partisipasi berupa peranserta aktif anggota RMKL dan RMKP
pada pelaksanaan program PLTMH. Tingkat partisipasi pada RMKL cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat partisipasi RMKP. Hal ini karena jumlah anggota RMKL lebih banyak berjenis kelamin laki-laki bila dibandingkan dengan anggota rumahtangga yang berjenis kelamin perempuan. Pada tahap pelaksanaan program kegiatannya lebih ke arah pekerjaan fisik, sehingga anggota rumahtangga berjenis kelamin laki-laki lebih akses bila dibandingkan dengan perempuan. Dari Tabel 32 diketahui bahwa tingkat partisipasi pada RMKL tergolong sedang, sedangkan pada RMKP tergolong rendah. Disimpulkan pula bahwa tingkat akses dan kontrol RMKL dan RMKP tidak berpengaruh terhadap tingkat partisipasi pada pelaksanaan program. Hal ini disebabkan anggota rumahtangga yang berpartisipasi dalam tahap pelaksanaan lebih banyak anggota rumahtangga di luar penerima program.
Tabel 32. Tingkat Akses dan Kontrol RMKL dan RMKP terhadap Program PLTMH Menurut Tingkat Partisipasi, Desa Cinta Mekar, Tahun 2008 Tingkat Partisipasi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi
10.3
RMKL Rendah Sedang Tinggi Rendah Akses terhadap Perencanaan Program 32,65 0,00 8,16 90,90 44,89 8,16 2,04 9,10 0,00 0,00 2,00 0,00 Kontrol terhadap Perencanaan Program 4,08 30,61 6,12 90,90 0,00 38,78 16,33 9,10 0,00 4,08 0,00 0,00 Akses terhadap Pelaksanaan Program 22,45 18,37 0,00 90,91 10,20 44,89 0,00 9,10 0,00 0,00 4,08 0,00 Kontrol terhadap Pelaksanaan Program 38,78 2,04 0,00 90,90 55,10 0,00 0,00 9,10 4,08 0,00 0,00 0,00 Akses terhadap Pemanfaatan Program 2,04 36,73 2,04 45,45 24,49 30,16 0,00 0,00 0,00 2,04 2,04 0,00 Kontrol terhadap Pemanfaatan Program 4,08 24,49 12,24 90,90 4,08 32,65 18,37 9,10 0,00 2,04 2,04 0,00
RMKP Sedang
Tinggi
0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00
45,46 9,10 0,00
0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00
Hubungan Antara Tingkat Partisipasi ARML dan ARMP dalam Pelaksanaan Program PLTMH dengan Tingkat Manfaat dari Program PLTMH Tingkat pemanfaatan program ditentukan dari pola pemanfaatan program
hasil PLTMH bagi anggota rumahtangga miskin. Program hasil PLTMH yang sedang berjalan yaitu pemasangan listrik, bantuan beasiswa, bantuan kesehatan dan simpan pinjam. Untuk tingkat partisipasi ditentukan dari keterlibatan anggota rumahtangga pada tahap pelaksanaan program.
Tabel 33. Tingkat Manfaat Program PLTMH bagi RMKL dan RMKP Menurut Tingkat Partisipasi pada Tahap Pelaksanaan Program PLTMH, Desa Cinta Mekar, Tahun 2008 Tingkat Partisipasi Tingkat Manfaat Rendah Sedang Tinggi
Rendah 2,04 4,08 34,69
RMKL Sedang 6,12 6,12 42,86
Tinggi 0,00 0,00 4,08
Rendah 0,00 36,360 54,54
RMKP Sedang 0,00 9,10 0,00
Tinggi 0,00 0,00 0,00
Pada Tabel 33 terlihat bahwa tidak ada hubungan antara tingkat partisipasi dengan tingkat manfaat program. Hal ini berkaitan dengan fakta bahwa anggota rumahtangga yang berpartisipasi dalam tahap pelaksanaan program berjumlah sangat sedikit (hanya 10 orang anggota rumahtangga laki-laki) sedangkan pemanfaat program hampir seluruh anggota rumahtangga miskin di Kampung Tangkil.
10.4
Hubungan Antara Tingkat Pendampingan Fasilitator dengan Tingkat Akses, Kontrol, Partisipasi dan Manfaat yang diperoleh ARML dan ARMP terhadap Program PLTMH Fasilitator yang sedang bekerja sekarang merupakan fasilitator baru,
sehingga tidak mengerti tahap perencanaan. Frekuensi kunjungan dilakukan minimal seminggu sekali untuk mengecek opersional PLTMH, seperti pengecekan laporan harian hasil kW serta kinerja pengurus PLTMH. Fasilitator juga menghadiri rapat-rapat yang dilakukan oleh koperasi. Dapat dikatakan bahwa frekuensi kunjungan fasilitator tergolong tinggi, karena fasilitator karena dilakukan rutin. Namun demikian, seperti hasil wawancara dengan Bapak Ups, Bapak Whd, dan Bapak Ujg, mereka menyatakan bahwa pendampingan fasilitator tidak berhubungan dengan akses, kontrol, partisipasi dan manfaat yang diperoleh dari program PLTMH, karena fasilitator
hanya berperan sebagai pendamping pada kegiatan operasional pembangkit saja tidak menyangkut kepada penerima program bantuan. Dengan demikian pengelolaan program PLTMH tidak berhubungan dengan tingkat akses, kontrol, partisipasi dan manfaat program PLTMH.
10.5
Hubungan Antara Stimulan Program PLTMH dengan Tingkat Akses, Kontrol, Partisipasi dan Manfaat ARML dan ARMP terhadap dan dari Program PLTMH Stimulan program PLTMH terdiri atas tingkat bantuan dana program serta
tingkat kesesuaian program terhadap kebutuhan rumahtangga miskin. Tingkat bantuan dana secara langsung telah dialokasikan seluruhnya dalam proses pembangunan PLTMH, sehingga dana bantuan tidak secara individu dibagikan langsung kepada rumahtangga miskin. Kesepakatan ini terbentuk setelah adanya musyawarah dengan Yayasan IBEKA dengan masyarakat Desa Cinta Mekar. Karakteristik stimulan program PLTMH yang kedua yaitu tingkat kesesuaian program terhadap kebutuhan rumatangga miskin. Diketahui bahwa tingkat kesesuaian program terhadap kebutuhan rumahtangga miskin tergolong tinggi, karena program dibentuk berdasarkan keinginan masyarakat sendiri hasil penggalian gagasan. Seperti yang didapat dari wawancara peneliti dengan respoden Ibu Yun bahwa masyarakat Kampung Tangki, khususnya rumahtangga miskin yang mendapat bantuan program merasa terbantu. Dengan demikian, terdapat hubungan antara tingkat kesesuaian program dengan tingkat akses, kontrol, partisipasi dan manfaat terhadap dan dari program PLTMH.
10.6
Kesimpulan Pelaksanaan program PLTMH yang dilandasi nilai kesetaraan gender
dilihat dari tingkat akses, kontrol, partisipasi dan manfaat terhadap dan dari program PLTMH. Karakteristik individu dan karakteristik rumahtangga tidak berpengaruh terhadap tingkat akses dan kontrol terhadap program PLTMH. Tingkat akses dan kontrol RMKL dan RMKP tidak berpengaruh terhadap tingkat partisipasi pada pelaksanaan program. Hal ini karena anggota rumahtangga yang berpartisipasi dalam tahap pelaksanaan program berjumlah sangat sedikit. Tidak ada hubungan antara tingkat partisipasi dengan tingkat manfaat program. Pengelolaan program PLTMH tidak berhubungan dengan tingkat akses, kontrol, partisipasi dan manfaat program PLTMH. Terdapat hubungan antara tingkat kesesuaian program dengan tingkat akses, kontrol, partisipasi dan manfaat dan dari program PLTMH.
BAB XI PENUTUP
11.1
Kesimpulan Hampir semua rumahtangga penerima program PLTMH adalah mereka
yang tergolong rumahtangga miskin sesuai dengan kriteria baik yang ditetapkan oleh Yayasan IBEKA maupun BPS. Rumahtangga penerima program sudah mencakup rumahtangga miskin yang dikepalai laki-laki maupun perempuan. Yayasan IBEKA bergerak di bidang elektrifikasi pedesaan serta pemberdayaan ekonomi pedesaan. Yayasan IBEKA merupakan lembaga pionir dalam pembangunan PLTMH. Sampai saat ini, lebih dari 40 sumber daya pembangkit listrik (PLTMH) menyebar di berbagai provinsi, antara lain Aceh, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Sumatera Selatan, dan Jawa Barat. PLTMH di masing-masing provinsi tersebut berkapasitas di bawah 250 Watt kilo. Kelembagaan
Koperasi
Mekarsari
merupakan
kelembagaan
yang
terbentuk untuk memperkuat operasional PLTMH Desa Cinta Mekar. Sejak awal pembentukannya (tahun 2003), kepengurusan koperasi telah berganti dua kali. Kepengurusan koperasi melibatkan perempuan sebagai pengurus harian. Dalam pelaksanaan pembangunan fisik PLTMH, khususnya yang berhubungan dengan teknologi elektrik dan mekanik, sepenuhnya menjadi tanggung jawab
PT HIBS, sementara bertindak Yayasan IBEKA berperan
sebagai fasilitator utama. Adapun Koperasi Mekarsari bertindak sebagai
representasi atau perwakilan masyarakat Desa Cinta Mekar dan PT HIBS sebagai private sector yang mendukung pembangunan PLTMH Cinta Mekar. Tingkat akses RMKL baik terhadap tahap perencanaan, maupun pelaksanaan program mayoritas lebih tinggi dari RMKP, sedangkan pada tahap pemanfaatan program tergolong sedang. Pada RKML mayoritas pengambilan keputusan dilakukan bersama antara suami dan istri yang salah satunya dominan. Untuk kontrol perencanaan, pelaksanaan serta pemanfaatan program, secara umum RMKL dan RMKP mayoritas tergolong sedang, dalam artian ada keterlibatan laki-laki dan perempuan dalam menentukan pengambilan keputusan. Namun demikian, dijumpai pada tahap pemanfaatan dalam RMKL yang lebih dominan adalah laki-laki karena status laki-laki dalam RMKL sebagian besar sebagai kepala keluarga, sehingga lebih berhak untuk mengambil keputusan. Pada RMKP seluruhnya tergolong rendah, karena pengambilan keputusan sepenuhnya dilakukan oleh istri (perempuan). Untuk tingkat partisipasi program PLTMH, RMKL mayoritas lebih tinggi/ lebih berpartisipasi, karena menyangkut jenis pekerjaan yang dilaksanakan ada tahap ini berupa pekerjaan fisik. Pada tingkat manfaat program, ditemukan bahwa RMKL lebih tinggi 27 persen jika dibandingkan dengan RMKP, hal ini karena pengaruh jumlah anggota keluarga yang turut memanfaatkan hasil program. Mengacu pada pelaksanaan program, tingkat manfaat pada sebagian kebutuhan rumahtangga miskin yang terpenuhi. Pada kebutuhan praktis, anggota rumahtangga miskin terbantu dengan adanya pemasangan listrik, sehingga mereka dapat mengerjakan tugas rumah dengan cepat, misalnya dengan menggunakan rice cooker. Bantuan beasiswa pun dapat membantu orang tua yang kurang
mampu dalam memenuhi kebutuhan peralatan sekolah anaknya. Untuk kebutuhan strategis terlihat dari adanya perempuan yang akses dan kontrol terhadap kelembagaan pendukung PLTMH Mengacu pada Longwe serta INPRES No.9 Tahun 2000, Yayasan IBEKA lebih menekankan pada introduksi teknologi tanpa mempertimbangkan relasi gender pada visi dan misinya. Tanpa mengecilkan kontribusi Yayasan IBEKA, dalam penelitian ini terlihat bahwa Program PLTMH tampaknya telah memasuki area pemberdayaan pada tingkat akses terhadap sumberdaya program, tingkat kontrol serta partisipasi. Dalam konteks pemberdayaan level isu-isu perempuan, pembangunan PLTMH termasuk pada level negatif, dalam arti Program PLTMH dalam perencanaannya tidak secara eksplisit mengakui adanya isu-isu perempuan. Namun demikian kenyataan menunjukkan bahwa meskipun Program PLTMH pada awalnya tidak menyatakan secara eksplisit sebagai responsif terhadap isu-isu perempuan, dalam pelaksanaannya dimungkinkan menjadi lebih merespon kepada isu perempuan.
11.2
Saran Program PLTMH telah berjalan selama kurang lebih empat tahun,
beberapa kendala dalam pelaksanaannya antara lain, adanya pergantian operator PLTMH karena kelalaian dalam bertugas, adanya isu yang mempertanyakan kepemilikan status bangunan sipil PLTMH, mengacu pada tinjauan teoritis dari Longwe, program ini termasuk pada level negatif, dalam arti tidak secara eksplisit menyertakan isu perempuan dalam pelaksanaannya (walaupun kenyataan dalam tahap pelaksanaan berbeda).
.
Beberapa hal yang dapat menjadi masukan atau saran dalam pelaksanaan
program PLTMH ini menyangkut pemanfaatan program yakni kecermatan pihak Yayasan IBEKA dan Koperasi Mekarsari dalam menentukan operator, perlunya pendekatan ke masyarakat dalam rangka pembentukan rasa memiliki bersama (masalah
status
bangunan
sipil),
serta
Yayasan
IBEKA
lebih
bisa
mengintegrasikan relasi gender pada visi dan misinya dalam program-program yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA Biro Perencanaan dan Keuangan Departemen Pertanian 2004. Pedoman Umum Pengarusutamaan Gender Dalam Penyusunan Rencana Aksi Pembangunan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Biro Perencanaan Departemen Dalam Negeri 1998. Perencanaan Pembangunan Berwawasan Jender (P2BJ). Prepared by Project Gender Responsive Development Planning. Biro Pusat Statistik 2005. Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan Tahun 2005. Katalog BPS; 2320. Jakarta. Cornwall, Andrea 2003. Whose Voices? Reflections on Gender and Participatory Development. World Development Vol. 31 No.8, pp.1325-1342. http://www.elsevier.com/locate/worlddev. Diakses Sugiah Mugniesyah Christine King (n.d.) Gender and rural community development III: tools and frameworks for gender analysis. Dalam www.regional.org.au Diterjemahkan oleh Siti Sugiah Mugniesyah Directorate General for Internacional Co-operation. Netherlands Ministry of Foreign Affaire February, 1994. Gender Assesment Study. A Guide for Policy Staff. Special Programme Women and Development. Fakih, Mansour 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Pustaka Belajar. Yogyakarta. Hartini, Titi 2005. Input Teknologi Tepat Guna dan Perempuan Usaha Kecil, Memarginalkan / Membebaskan? dalam www.PenulisLepas.com. Diakses tanggal 27 Februari 2008. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional 2007. Diambil dari http://www.menegpp.go.id/. Diakses tanggal 15 November 2007. Koperasi Mekarsari 2003. Publikasi Profil Koperasi Mekarsari. Desa Cinta Mekar, Kecamatan Serangpanjang, Kabupaten Subang. Kuntoadji, Iskandar 2007. PLTMH Berbasis Masyarakat dalam Pikiran Rakyat, Senin 21 Mei 2007. Bandung. Lubis, Djuara P dan Sarwiti S. Agung 2004. Bahan Kuliah Perencanaan dan Evaluasi Partisipatif. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan.
Mies Grijns, Ines Smyth, Anita van Velzen, Sugiah Machfud, Pudjiwati Sajogyo 1991. Different Women Different Work. Gender and Industrialisation in Indonesia. Averbury Ashgate Publishing Group. Gower House, Croft Road, Aldershot Hampshire GU 17 3HR, England. Mugniesyah, Siti Sugiah M. 2004. Gender, Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan dalam Adiwibowo, dkk. Ekologi Manusia. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. ____________ 2006. Diktat Mata Kuliah Ilmu Penyuluhan. Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan. ____________ 2005. Teks Kuliah Komunikasi Gender. Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Departemen Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan. Nasdian, Fredian Tonny 2003. Diktat Mata Kuliah Pengembangan Masyarakat (Community Development). Bagian Ilmu-ilmu Sosial Komunikasi Dan Ekologi Manusia Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004 – 2009. Republik Indonesia. Prasojo, dkk 2003. Modul Mata Kuliah Gender dan Pembangunan. Jurusan Ilmuilmu Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan. Said, Rusli 1996. Pengantar Ilmu Kependudukan. LP3ES. Jakarta. Singarimbun, Masri & Effendi, Sofian (Editor) 1990. Metode Penelitian Survai. LP3ES. Jakarta. United Nations Development Programme January, 2001. Gender in Development Programme Learning and Information Pack. Gender Analysis. Uphoff, Norman 1986. Local Institutional Development: An Analytical Sourcebook with cases. Kumarian Press. Yayasan IBEKA 2004. Publikasi Program PLTMH. Kabupaten Subang.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian 6
6
Sebelumnya Desa Cinta Mekar termasuk Kecamatan Segalagerang, sejak 15 Mei 2008 termasuk Kecataman Serangpanjang.
Lampiran 2. Rencana Kegiatan Penelitian Kegiatan I. Proposal Dan Kolokium Penyusunan Draft dan Revisi Konsultasi Proposal Kolokium dan Perbaikan II. Penelitian Lapang Pengumpulan Data Pengolahan dan Analisis Data III. Penulisan Laporan Penyusunan Draft dan Revisi Konsultasi Laporan IV. Ujian Sripsi Ujian Perbaikan Laporan
Maret I II III IV
I
April II III
IV
I II
Mei III
IV
I II
Juni III
IV
I
Juli II III IV
I
Agustus II III
Lampiran 3. Kriteria Rumahtangga Miskin BPS Dibawah ini adalah daftar variabel terpilih menurut kelompok, klasifikasi dengan penentuan skor 1 yang mengacu pada sifat-sifat kemiskinan dan skor 0 mengacu pada sifat-sifat yang mencirikan ketidakmiskinan. Skor maksimum delapan untuk yang paling miskin dan skor minimum yaitu nol untuk yang paling tidak miskin. Skor batas kemiskinan adalah lima. I. Ciri tempat tinggal 1) Luas lantai per kapita: ≤ 8m2 (skor 1) dan > 8 m2 (skor 0) 2) Jenis lantai: Tanah (skor 1) dan bukan tanah (skor 0) 3) Air minum/ketersediaan air bersih: air hujan.sumur tidak terlindung (skor 1) dan ledeng/PAM/sumur terlindung (skor 0) 4) Jamban/WC: tidak ada (skor 1) dan bersama/sendiri (skor 0) II Kepemilikan Aset 1) Kepemilikan aset: tidak punya aset (skor 1) dan punya aset (skor 0) Kepemilikan aset meliputi: aset produktif (sawah, kebun, ternak, ojek, angkutan), dan aset non produktif (TV, radio, perhiasan, mebel, sepeda, kendaraan bermotor bukan untuk usaha) III. Aspek Pangan (makanan) 1) Konsumsi lauk pauk (daging, ikan, telur, ayam) tidak ada/ada, tapi tidak bervariasi (skor 1) dan ada, bervariasi (skor 0) IV. Aspek sandang 1) Aspek sandang: dalam satu tahun membeli pakaian minimal satu stel pakaian: ya (skor 0) dan tidak (skor 1) V. Kegiatan sosial 1) Kegiatan sosial: pernah hadir dalam acara arisan, rapat RT, rapat sekolah/BP3, undangan perkawinan dalam tiga bulan terakhir: ya (skor 0) dan tidak (skor 1)
∗
STUDI GENDER DALAM PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT ) (Kasus Evaluasi Pelaksanaan Program PLTMH di Desa Cinta Mekar, Sagala Herang, Subang)
A
KUESIONER PROFIL RUMAHTANGGA
Rahasia
I. Keterangan Tempat Tinggal Responden Propinsi/Kabupaten : Jawa Barat/Subang Kecamatan/Desa : Segala herang/Cinta Mekar Dusun : I / II / III / IV Kampung / RT /RW : Nama Responden : Nomor Responden : Nama Kepala Keluarga (KK) : Jumlah Anggota Rumahtangga : Pria Wanita
II. Kunjungan Pewawancara Tanggal Wawancara : Nama Pewawancara : Nama Pemeriksa : I. PROFIL RUMAHTANGGA RESPONDEN 1. Karakteristik Anggota Rumahtangga Jenis Kelamin 1)
Nama
Hub. dgn KK 2)
Status Perkawinan 3)
Umur (thn)
Tgkt Pend 4)
A. SERUMAH TANGGUNGAN KK 1........................... 2.......................... 3.........................
4............................ 5.........................
6...................... 7...................... 1) Isikan: 1. Laki-laki 2) Isikan: 1. KK 2.Isteri/Suami 6. Ayah/Ibunya Suami
2. Perempuan 3. Anak 4. Menantu 7. Lainnya, sebutkan……..
5.Ayah/Ibunya Isteri
∗) Kuesioner ini diambil dari Kuesioner Riset Unggulan Terpadu (RUT). Mugniesyah dkk., 2001. Pusat Studi Wanita, Lembaga Penelitian, IPB
Jenis Pek 5)
Status Pek 6)
Jenis Nama Kelamin 1) B. TIDAK SERUMAH TANGGUNGAN KK
Hub. dgn KK 2)
Status Perkawinan 3)
Umur (thn)
Tgkt Pend 4)
Jenis Pek 5)
Status Pek 6)
1...................
2............................... C. TIDAK SERUMAH MANDIRI 1..........................
2............................ 3) Isikan: 1. Kawin 2. Belum Kawin 3. Janda/Duda Cerai 4. Janda/Duda Mati 4) Isikan: 1. Tak Sekolah 2. Belum Sekolah 3. Bersekolah di SD kelas… 4. Bersekolah di SLTP kelas.... 5. Bersekolah di SMU/K kelas... 6. Tamat SD 7. Tamat SLTP 8. Tamat SMU 9. Akademi/Universitas tak tamat 10. Tamat Akademi/Univ. 11. Sedangmesantren tingkat.....di..........(...tahun) 12. Tamat pesantren tingkat.......di ....... 13. Lainnya, sebutkan........................... 5)Isikan: 0.Tidak bekerja, karena................... 1. PNS/ABRI 2. Pensiunan PNS/ABRI 3. Petani Pemilik 4. Petani Penggarap 5.Buruh Tani 6. Pedagang 7. Industri RMT 8. Dagang………. 9. Warung…….. 10. Buruh Angkut….. 11. Kombinasi, sebutkan……… 12. Lainnya, sebutkan……… 6) Isikan: 1. Berusaha Sendiri 2. Berusaha+TK.Keluarga 3. Berusaha+TK Upahan 4. Karyawan/Buruh 5. Pekerja Keluarga 6.Lainnya, sebutkan………
II. PENGUASAAN LAHAN Nama Blok
Lokasi
Tahun Dimiliki
Luas (Are)
Pemilik 1)
Cara 2)
Harga Taksiran
1. Sawah 2. Kebun Desa 3. Pekarangan 4. Kolam 1) Isikan: 1. Milik Sendiri 2) Isikan: 1. Jual Beli
2. Gaduhan, dari….. 2. Warisan
3. Lainnya, sebutkan……. 3. Milik Orang Lain
4. Lainnya, sebutkan……..
III. KEPEMILIKAN TERNAK Ternak 1.Kerbau 2. Kambing 3. Domba 4. Ayam 5.Bebek/Angsa
DJ
1) Isikan: 1. Milik Sendiri
Jumlah DB Anak
Sumber 1)
Tahun Pemeliharaan
2. Gaduhan dari penduduk desa
Saat Beli
3. Gaduhan IDT
Harga Sekarang
4. Lainnya, sebutkan.......
IV. PEMILIKAN BENDA BERHARGA Pemilikan Benda 1. Motor 2. Sepeda 3. TV Berwarna 4. Handphone (HP) 4. Radio / Kaset 5. Mobil 6. Lemari Pajangan 7. Kursi Tamu 8. Lemari Pakaian 9. Perhiasan
Jumlah
Tahun Memiliki
Harga Pembelian
Harga Taksiran sekarang
V. KETERANGAN UMUM RUMAHTANGGA 1. Pemilikan rumah: 1. Milik Sendiri 2. Sewa 3. Lainnya, sebutkan................. 2. Jenis atap rumah: 1. Asbes/beton 2. Genting 3. Kayu 4. Ijuk 5. Daun-daunan 6. Lainnya,sebutkan............... 3. Jenis dinding rumah: 1. Tembok 2. Bambu 3. Kayu 4. Lainnya, sebutkan…………….. 4. Jenis lantai rumah terluas: 1. Keramik/teraso 2. Ubin/semen 3. Kayu/papan 4. Bambu/tanah 5. Lainnya, sebutkan................ 5. Penerangan: 1. Listrik 2. Petromak 3. Lampu tempel 4. Lainnya, sebutkan............... 6. Jenis bangunan fisik: 1. Bangunan tunggal 2. Bangunan gandeng 2/kopel 3. Bangunan gandeng banyak 4. Bangunan bertingkat 5. Bangunan tak bertingkat 7. Jumlah ruangan dalam rumah ini (isikan angka menurut keadaan) 8. Jumlah rumahtangga di dalam bangunan ini (isikan angka keadaannya) 9. Luas lantai bangunan :......................m2 10. Rata-rata luas hunian per kapita:............. 11. Bahan bakar untuk masak: 1. Listrik 2. Gas 3. Minyak tanah 4. Kayu bakar 5. Lainnya, sebutkan...... 12. Sumber air minum: 1. Ledeng 2. Air pompa 3. Sumur 4. Mata air 5. Sungai 6. Air hujan 13. Sumber air untuk mandi/cuci: 1. Ledeng 2. Air pompa 3. Sumur 4. Mata air 5. Sungai 6. Air hujan 14. Tempat mandi: 1. Kamar mandi sendiri 2. Kamar mandi bersama 3. Kamar mandi utama 4. Lainnya, sebutkan……….. 15. Tempat buang air besar: 1.Tengki septik 2. Kolam/Sawah 3. Sungai/danau 4. Lubang tanah 5. Pantai/tanah terbuka 6. Lainnya, sebutkan.........................
STUDI GENDER DALAM PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT (Kasus Evaluasi Pelaksanaan Program PLTMH di Desa Cinta Mekar, Serangpanjang, Subang) B
KUESIONER AKSES, KONTROL, MANFAAT DAN PARTISIPASI RUMAHTANGGA MISKIN TERHADAP PROGRAM PLTMH
Pertanyaan: • Akses (A): Apakah dalam keluarga ini/anggota keluarga (Suami/Istri/Anak Lakilaki (AL)/Anak Perempuan (AP)) yang memperoleh/mempunyai kesempatan dalam mengikuti............... (Isikan: 1. Ya; 2. Tidak) • Kontrol (K): Siapakah anggota keluarga (Suami/Istri/Anak Laki-laki (AL)/Anak Perempuan (AP)) turut mengambil keputusan untuk menentukan atas komponen/kegiatan......(Isikan: 1.Ya; 2. IBEKA; 3. Kepala Desa; 4. PLN; 5..PT. HIBS; 6.Lainnya, sebutkan...........)
Kegiatan
PERENCANAAN PROGRAM Suami Istri A K A K
AL A K
A. Persiapan Masyarakat A.1 Pencatatan data awal: -Identifikasi Rumahtangga Miskin A.2 Pembentukan Organisasi: ● Koperasi Mekarsari - Pertemuan 1 - Pertemuan 2 - Pertemuan 3 - Pertemuan 4 B. Penetapan Tujuan Program C. Penetapan Rencana Kerja D. Penentuan Prioritas dan Aktivitas E. Pengalokasian Sumberdaya F. Diskusi untuk Sosialisasi Program - Pertemuan 1 - Pertemuan 2 - Pertemuan 3 - Pertemuan 4 - Pertemuan 5 G. Pertemuan dengan Stakeholders (PLN, DGEEU, IBEKA, HIBS) - Pertemuan 1 - Pertemuan 2 - Pertemuan 3
● Partisipasi (P) : Apakah dalam keluarga ini/anggota keluarga (Suami/Istri/Anak
Laki-laki (AL)/Anak Perempuan (AP)) yang turut berperan serta dalam kegiatan………..(Isikan: 1. Ya; 2. Tidak)
AP A K
Keterangan
Pelaksanaan Program Suami Istri A K P A K P
Kegiatan A. Pembangunan fisik/sipil PLTMH B.Operasional PLTMH • Operator PLTMH • Andir • Penjaga Taman C. Kegiatan Gotong Royong
A
AL K P
A
AD K P
Keterangan
∗ Kolom keterangan pada isikan jumlah jam atau hari kerja (dalam jama/hari) serta upah yang didapat (dalam rupiah)
● Manfaat (M): Siapakah dalam keluarga ini/anggota keluarga (Suami/Istri/Anak Laki-laki (AL)/Anak Perempuan (AP)) yang turut menikmati/menggunakan hasil dari…………(Isikan: 1. Suami saja; 2. Istri saja; 3. Anak Laki-laki; 4. Anak Perempuan; 5. Keluarga (seluruh anggota); 6. Lainnya, sebutkan….................. PEMANFAATAN PROGRAM Suami Istri A K M A K M
Kegiatan 1. Pemasangan sambungan listrik untuk rumahtangga yang kurang mampu 2. Kegiatan Produktif ● Kredit usaha ● Kewirausahaan 3. Pendidikan a. Beasiswa - Sekolah Dasar, Rp............./bulan - Sekolah Menengah Pertama, Rp............./bulan b. Pelatihan........ ● Pelatihan 1 ● Pelatihan 2 ● Pelatihan 3 4. Kesehatan a. Biaya ganti persalinan, Rp................ b. Pemberian Makanan Tambahan (PMT) c. Vaksinasi Hepatitis B d. Kasus akut 5. Modal (dalam bentuk simpan pinjam dari koperasi)
∗ Kolom keterangan isikan jumlah uang (Rupiah) yang diterima dari program
AL A K M
AD A K M
Keterangan
Kegiatan A. Pengelolaan Organisasi A.1 PLTMH ● Operator/Kepala Turbin ● Andir ● Penjaga taman A.2 Koperasi ● Pengurus Harian
PELAKSANAAN PROGRAM Suami Istri A K P A K P
KUESIONER PENGURUS LEMBAGA/ORGANISASI
C
A
AL K P
A
AD K P
Keterangan
● Anggota Koperasi ● Mengadiri rapat koperasi............kali B. Perawatan Bangunan/Komponen B.1 PLTMH ● Generator ● Turbin ● Pipa Saluran ● Bendungan/dam ● Rumah pembangkit B.2 Koperasi ● Gedung Koperasi * Kolom keterangan isikan jam kerja,hari kerja (dalam jam/hari) serta upah pekerja (dalam rupiah)
PEMANFAATAN PROGRAM Suami Istri AL A K M A K M A K M
AD Kegiatan A K M 1. Biaya Operasional Koperasi a. Biaya administrasi b. Gaji pengurus c. Simpanan untuk anggota 2. Biaya Operasional PLTMH a. Gaji operator b. Gaji teknisi • Kolom keterangan isikan besarnya biaya iuran dan biaya yang diterima (dalam rupiah)
Keterangan
Lampiran 5: Dokumentasi Program PLTMH
1.a*
b.
c.
d.
2.a
b.
Keterangan Foto : 1. Tahap perencanaan program a. Sosialisasi kepada tokoh masyarakat b. Rapat di kantor desa c. Focus Group Discussion (FGD) 1 d. Penggalian gagasan (FGD) 2
2. Bagian Pelaksanaan Program a. Pembangunan fisik b. Bangunan PLTMH (dari depan)
* Foto 1a hingga 2a merupakan dokumentasi dari pihak IBEKA, selebihnya dokumentasi penulis.
c.
d.
3.a
b.
c. Keterangan Foto: 2. Bagian Pelaksanaan Program: c. Bangunan PLTMH (dari belakang) d. Gedung/bangunan koperasi 3. Bagian Pemanfaatan Hasil: a. Pemberian Makanan Tambahan (bubur kacang hijau)
b. Simpan Pinjam c. Penerima Pemasangan Listrik pada Orang Kurang Mampu (OKM)
Lampiran 6 : Usaha Produktif Usaha Warung (Teh Ai, 30thn) Warung Teh Ai terletak tidak jauh dari koperasi, barang yang dijual berupa kopi, mie instan, roti, rokok serta makanan kecil lainnya. Teh Ai ke pasar membeli dagangan setiap dua kali seminggu, pada hari Senin dan Kamis, akan tetapi terkadang membeli di mobil yang keliling ke desa. Modal dagang (pinjam dari koperasi Rp.500.000;) Siklus usaha produktif dapat diketahui dengan melihat hasil pembelian barang dagangan terakhir. Berikut nama barang yang dibeli terakhir: Tabel 1. Barang dagangan yang dibeli terakhir Teh Ai, Desa Cinta Mekar, Tahun 2008 Nama Item Jumlah (buah) Harga Beli (Rp) Harga Jual (Rp) Kopi ABC 10 7500 10000 Opelet 10 6000 7000 Liong 10 8000 10000 Mie Indomie 10 10000 15000 Sakura 10 8000 10000 Sedap 10 12000 14000 Rokok Djinggo 3 9300 10500 Djarum 3 16200 18000 Sampurna 2 10800 12000 Chiki 10 9000 1000 Roti 10 4000 5000 100800 112500 Jumlah Sumber : Dikumpulkan oleh penulis berdasarkan survei tahun 2008
Tidak selalu barang dagangan habis langsung pada satu minggu, akan tetapi setidaknya ada uang yang berputar (siklus berjalan). Ada beberapa tetangga yang berhutang, mulanya hanya Rp.500; akan tetapi terus bertumpuk, sehingga akan menjadi banyak. Tak jarang ada yang “purapura” lupa jika berhutang. Setiap kali Teh Ai ke pasar, keuntungan bersih yang diperolehnya perminggu sebesar Rp.25.100; dengan demikian keuntungan perbulan sebesar Rp.100.400; (rata-rata). Jika membeli di mobil keliling, maka tidak mengeluarkan untuk ongkos ojek.Ongkos ojek sebesar Rp.10.000; untuk pulang dan pergi. Sebelum ada kenaikan BBM hanya Rp.6.000; untuk pulang dan pergi. Setiap kali ke pasar atau berbelanja Ibu membawa uang sebesar Rp.100.000; hingga Rp.200.000; dan selalu habis.
Keuntungan perbulan yang didapat sebesar Rp.150.000; ditambah dengan jika keuntungan membeli dari mobil keliling. Usaha Dagang Pisang dan Kelapa (Mang Snb, 55thn) Mang Snb telah berjualan pisang dan selama kurang lebih 3 tahun. Mang Snb membeli pisang dan kelapa dari warga desa kemudian menjualnya lagi ke pasar setiap hari Senin dan Kamis. Jenis pisang yang dijual berupa pisang nangka dan ambon. Seminggu dua kali berdagang. Modal awal Mang Snb Rp.150.000; hasil pinjaman dari koperasi. Rincian pembelian pisang dan kelapa dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Nama dan Harga Barang Dagangan Mang Snb, Desa Cinta Mekar, Tahun 2008 Nama Item Harga Beli (Rp) Harga Jual (Rp) Ongkos (Rp) Pisang 1 kg 500 700 7000 Kelapa 1 gedeng (2 buah) 1000 3000 Sumber : Dikumpulkan oleh penulis berdasarkan survei tahun 2008
Untuk kelapa Mang Snb memanjat sendiri pohon kelapa yang akan dibelinya. Setiap kali hari pasar, Mang Snb biasanya membawa 70 kg pisang. Dengan demikian perhitungan untuk penjualan pisang sebagai berikut: Pembelian : 70kg x Rp.500; = Rp.35.000; Penjualan : 70kg x Rp.700; = Rp.49.000; Ongkos angkot : Rp. 7.000; Untung : Rp. 7.000; Keuntungan perbulan sebesar Rp. 56.000; Untuk kelapa terkadang hanya membawa 5 gedeng (10 buah), sehingga keuntungannya: Pembelian : 5 x Rp.1.000; = Rp.5.000; Penjualan : 5 x Rp.3.000; = Rp.15.000; Ongkos : Rp.7.000; Untung : Rp.3.000; Kentungan perbulan sekitar Rp. 24.000; Tidak ada perubahan harga pisang dan kelapa ketika BBM naik, hanya ongkos angkot yang naik. Sebelum BBM naik ongkosnya Rp.6.000; untuk pulang dan pergi, setelah BBM naik menjadi Rp.7.000;. Pedagang Gorengan (Bu Han, 30thn) Jenis gorengan yang dijual berupa bala-bala, combro, peuyeum goreng dan pisang goreng. Bu Han membeli bahan-bahan seminggu dua kali (pada hari pasar). Rincian bahan-bahan serta harga dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Bahan dan harga pembuatan gorengan (sekali goreng) Bu Han, Desa Cinta Mekar, Tahun 2008 Nama Bahan Jumlah Harga Beli (Rp) Terigu 4 kg 28000 Pisang 5kg 5000 Wortel 0,5 kg 2500 Kol 1,5 kg 5000 Tape 2,5 kg 5000 Singkong 5 kg 2500 Oncom + bumbu 2000 Minyak 2 kg 24000 Total 74000 Sumber : Dikumpulkan oleh penulis berdasarkan survei tahun 2008
Dari bahan di atas dihasilkan: Bala-bala : 200 buah Pisang goreng : 100 buah Tape : 50 buah Combro : 70 buah Setiap buah dijual dengan harga Rp.250; untuk penjual keliling dihargai Rp.200; sisanya Rp.50; untuk penjual tersebut. Bu Han berjualan setiap hari. Sehari dua kali goreng. Setelah BBM naik harga ongkos angkot pun naik yang semula berharga Rp. 6.000; menjadi Rp.8.000;. Dengan demikian keuntungan persekali goreng sebesar: Harga beli : Rp. 74.000; Harga jual : Rp. 105.000; Keuntungan persekali goreng sebesar Rp. 31.000; Seminggu penuh bekerja tanpa ada hari libur. Keuntungan perminggu : Rp.217.000; - Rp. 18.000; = Rp.199.000; jika dihitung keuntungan perbulan : Rp. 796.000;. Pedagang Lotek (Mak Inh, 50thn) Mak Inh telah berjualan lotek lebih dari tiga tahun. Selain berkeliling, Mak Inh pun berjualan di rumahnya. Bahan-bahan yang dipergunakan terlihat pada Tabel 4. Tabel 4. Bahan dalam pembuatan lotek (sekali keliling) Mak Inh, Desa Cinta Mekar, Tahun 2008 Nama Bahan Jumlah Harga Kacang 0,5 kg 8000 Gula Jawa 0,5 kg 4000 Cabe & garam 1000 Lalap 5000 Total 18000 Sumber : Dikumpulkan oleh penulis berdasarkan survei tahun 2008
Bahan Tambahan : Lepet : Rp.5.000;
Krupuk : Rp. 12.500; Mak Inh berjualan setiap hari, dari bahan-bahan di atas dapat dibuat sebanyak 15 piring lotek dengan harga loteknya sebesar Rp. 3.000;. Keuntungan Mak Inh perhari sebesar : Rp. 45.000; - Rp. 18.000; = Rp. 27.000;. Keuntungan perminggu sebesar Rp.171.000;. Sama halnya dengan pedagang kelapa dan pisang, kenaikan BBM hanya berdampak pada naiknya ongkos angkot ke pasar. Dokumentasi usaha produktif
Foto : Usaha Warung Teh Ai
Foto: Usaha Dagang Pisang Mang Snb
Foto: Usaha Gorengan Bu Han
Foto : Usaha Lotek Mak Inh