LAPORAN PENELITIAN
Studi Dampak Kualitatif PNPM Generasi dan PKH terhadap Ketersediaan dan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak dan Pendidikan Dasar
Vita Febriany Nina Toyamah Justin Sodo Sri Budiyati
OKTOBER 2010
LAPORAN PENELITIAN
Studi Dampak Kualitatif PNPM Generasi dan PKH Terhadap Ketersediaan dan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak dan Pendidikan Dasar
Vita Febriany Nina Toyamah Justin Sodo Sri Budiyati
Lembaga Penelitian SMERU Jakarta Agustus 2010
UCAPAN TERIMA KASIH Kami mengucapkan terimakasih dan penghargaan kepada Susan Wong, G. Kelik Agus Endarso, dan Lina Marliani dari Bank Dunia yang telah berinisiatif dan mendukung penelitian ini, atas petunjuk teknis, komentar dan saran berharga yang telah diberikan selama studi ini berlangsung. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada semua anggota masyarakat yang telah bersedia menjadi responden dan informan di seluruh wilayah sampel dan telah ikut ambil bagian dalam menyediakan informasi yang sangat berharga dalam penelitian ini. Kami juga sangat menghargai peran camat, pimpinan puskesmas, aparat desa, dan kader posyandu yang telah membantu penuh para peneliti dan menyisihkan waktu mereka yang berharga sehingga memungkinkan kami untuk bertemu dan berdiskusi dengan masyarakat. Penghargaan juga kami berikan kepada aparat pemerintah daerah di tingkat kabupaten/kota dan kecamatan di wilayah studi yang telah berkenan memberikan izin kegiatan penelitian ini. Penghargaan yang tinggi diberikan kepada para peneliti lokal atas dedikasi selama penelitian berlangsung dengan bekerja keras dan bersedia tinggal di desa dengan segala keterbatasan yang ada.
Lembaga Penelitian SMERU
i
ABSTRAK Studi Dampak Kualitatif PNPM Generasi dan PKH terhadap Ketersediaan dan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak dan Pendidikan Dasar Vita Febriany; Nina Toyamah; Justin Sodo; Sri Budiyati Studi ini bertujuan melihat dampak PNPM Generasi dan PKH terhadap ketersediaan dan pemanfaatan pelayanan KIA dan pendidikan dasar. Studi dilakukan di 24 desa di dua provinsi yaitu Jawa Barat dan Nusa Tenggara Timur dengan membagi wilayah penelitian menjadi perlakuan dan kontrol. Metode yang digunakan adalah panel kualitatif dengan membandingkan hasil studi dampak dan studi baseline ketersedian dan pemanfaatan pelayanan KIA dan pendidikan dasar pada 2007. Secara umum studi menemukan peningkatan ketersediaan dan pemanfaatan pelayanan KIA dan pendidikan dasar di sebagian besar wilayah sampel, terutama di wilayah perlakuan PNPM Generasi. Kontribusi PNPM Generasi terhadap ketersediaan pelayanan adalah melalui pembangunan fasililitas fisik atau penunjang KIA dan pendidikan dasar serta insentif bagi penyedia layanan, sedangkan terhadap peningkatan pemanfaatannya pelayanan peran PNPM Generasi terwujud melalui bantuan langsung ke rumah tangga seperti dana melahirkan, dana transport ke posyandu/sekolah, dan perlengkapan sekolah. Kontribusi PKH terhadap peningkatan pemanfaatan pelayanan KIA dan pendidikan dasar hanya ditemui di NTT berupa peningkatan kehadiran ibu di posyandu dan kehadiran murid di kelas. Peningkatan tersebut didorong oleh peran pendamping PKH dalam memotivasi penerima dan adanya ancaman pemotongan atau pencabutan dana PKH bagi penerima, serta proporsi penerima perdesa yang relatif banyak. Meski demikian, secara umum masih dijumpai sejumlah persoalan terkait ketersediaan dan pemanfaatan layanan KIA dan pendidikan dasar, terutama di NTT yakni kendala geografis dan akses fisik, akses ekonomi, ketidaktersediaan pelayanan (bidan desa dan guru), dan kepercayaan terhadap layanan tradisional.
ii
Lembaga Penelitian SMERU
DAFTAR ISI UCAPAN TERIMA KASIH ABSTRAK DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN RINGKASAN EKSEKUTIF I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan Penelitian 1.3 Sekilas PNPM Generasi Sehat dan Cerdas dan Program Keluarga Harapan (PKH) 1.4 Metodologi Penelitian 1.5 Wilayah Penelitian 1.6 Struktur Penulisan Laporan 1.7 Jadwal Penelitian II KARAKTERISTIK WILAYAH PENELITIAN 2.1 Lokasi dan Akses 2.2 Penduduk 2.3 Kondisi Rumah dan Fasilitas Pendukung 2.4 Sumber Daya Alam dan Ekonomi III PNPM GENERASI 3.1 Pelaksanaan PNPM Generasi 3.2 Ketersediaan Pelayanan KIA 3.3 Pemanfaatan Pelayanan KIA 3.4 Ketersediaan Pelayanan Pendidikan Dasar 3.5 Pemanfaatan Pelayanan Pendidikan Dasar IV PROGRAM KELUARGA HARAPAN (PKH) 4.1 Pelaksanaan PKH 4.2 Ketersediaan Pelayanan KIA 4.3 Pemanfaatan Pelayanan KIA 4.4 Ketersediaan Pelayanan Pendidikan Dasar 4.5 Pemanfaatan Pelayanan Pendidikan Dasar LAMPIRAN
i ii iii iv iv v 1 1 1 2 3 5 6 6 7 7 7 8 8 10 10 13 20 25 29 38 38 41 46 51 55 70
Lembaga Penelitian SMERU
iii
DAFTAR TABEL Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6. Tabel 7. Tabel 8. Tabel 9. Tabel 10. Tabel 11. Tabel 12. Tabel 13. Tabel 14. Tabel 15. Tabel 16. Tabel 17. Tabel 18. Tabel 19. Tabel 20. Tabel 21. Tabel 22. Tabel 23. Tabel 24.
Pertanyaan Penelitian 1 Perhitungan Besarnya Nilai Bantuan PKH/RTSM 3 Daftar Informan Kunci, Kelompok FGD, dan Pengamatan 4 Wilayah Penelitian 5 Alokasi Dana PNPM Generasi Tahun 2009 11 Kontribusi Masyarakat terhadap PNPM Generasi Tahun 2009 12 Jenis Fasilitas yang Tersedia di Desa Perlakuan dan Kontrol PNPM Generasi 14 Jumlah Fasilitas Pelayanan KIA yang Dibangun selama 2008-2010 15 Jumlah Dukun Beranak di Desa Perlakuan dan Kontrol PNPM Generasi 18 Biaya Bersalin dan Subsidi Melahirkan dari PNPM Generasi 22 Aktor yang Mendorong Pemanfaatan Layanan KIA di Desa Perlakuan dan Kontrol PNPM Generasi 23 Jumlah SD dan SMP yang Diakses 26 Gambaran Jenis dan Jumlah Pengeluaran Untuk SMP*) 32 Penerapan Denda Uang Bagi Murid SD/SMP yang Absen di Desa Perlakuan PNPM Generasi 34 Aktor-Aktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan Pelayanan Pendidikan Dasar di Desa Perlakuan dan Kontrol PNPM Generasi 36 Jumlah dan Proporsi Penerima PKH 39 Jenis Fasilitas yang Tersedia di Desa Perlakuan dan Kontrol PKH 42 Jumlah Dukun Beranak di Desa Perlakuan dan Kontrol PKH 44 Perbandingan Biaya Bersalin di Bidan dan Dukun Beranak 49 Aktor yang Mendorong Pemanfaatan Layanan KIA di Desa Perlakuan dan Kontrol PKHPerdesaan 50 Aktor yang Mendorong Pemanfaatan Layanan KIA di Desa/Kelurahan Perlakuan dan Kontrol PKH Perkotaan 50 Jumlah SD dan SMP yang Diakses 52 Jenis dan Jumlah Pengeluaran Murid SMP*) (dalam rupiah) 57 Aktor-Aktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan Pelayanan Pendidikan Dasar di Desa Perlakuan dan Kontrol PNPM PKH 60
DAFTAR LAMPIRAN Tabel A1. Tabel A2. Tabel A3. Tabel A4. Tabel A5. Tabel A6. Tabel A7. Tabel A8. Tabel A9.
iv
Daftar Peneliti 71 Akses ke Desa/Kelurahan Sampel 72 Luas, Jumlah Penduduk, dan KK Desa/Kelurahan Sampel 73 Perubahan Kondisi Fasilitas SD dan SMP Sampel di Desa Perlakuan dan Kontrol PNPM Generasi 74 Perubahan Kondisi Fasilitas Pendukung Sekolah Sampel di Desa Perlakuan dan Kontrol PNPM Generasi 75 Perubahan Kondisi Fasilitas SD dan SMP Sampel di Desa Perlakuan dan Kontrol PKH Perdesaan dan Perkotaan Jawa Barat 76 Perubahan Kondisi Fasilitas SD dan SMP Sampel di Desa Perlakuan dan Kontrol PKH Perdesaan dan Perkotaan NTT 77 Perubahan Kondisi Fasilitas Pendukung Sekolah Sampel di Desa Perlakuan dan Kontrol PKH Perdesaan dan Perkotaan Jawa Barat 78 Perubahan Kondisi Fasilitas Pendukung Sekolah Sampel di Desa Perlakuan dan Kontrol PKH Perdesaan dan Perkotaan NTT 79
Lembaga Penelitian SMERU
RINGKASAN EKSEKUTIF Pendahuluan Dalam rangka mengurangi kemiskinan, kematian ibu melahirkan dan balita, dan memastikan pencapaian pendidikan dasar untuk semua, Pemerintah Indonesia pada 2007 meluncurkan PNPM Generasi dan PKH. Meskipun tujuan sama, pendekatan yang digunakan kedua program berbeda. Penentuan jenis penggunaan bantuan PNPM Generasi ada di tingkat masyarakat desa, sebaliknya PKH dikelola langsung oleh rumah tangga penerima. Lembaga Penelitian SMERU bekerja sama dengan Bank Dunia melakukan studi kualitatif untuk melihat kondisi terkini, kecenderungan dan dinamika perubahan ketersediaan (supply) dan pemanfaatan (demand) pelayanaan kesehatan ibu dan anak (KIA) dan pendidikan dasar selama 2007 hingga 2010, serta melihat pengaruh PNPM Generasi dan PKH terhadap perubahan tersebut. Studi ini menggunakan metode panel kualitatif dengan membandingkan hasil studi dampak dengan hasil studi baseline pada 2007. Metode yang digunakan meliputi tiga pendekatan, yaitu 1) wawancara terstruktur; 2) FGD; 3) Pengamatan desa/kelurahan, sekolah, dan posyandu. Wilayah penelitian studi dampak sama dengan wilayah studi baseline, meliputi 24 desa/kelurahan sampel dan dilakukan sejak Januari sampai Agustus 2010.
Karakteristik Wilayah Penelitian Wilayah penelitian di Jawa Barat relatif mudah diakses karena umumnya dilalui angkutan umum. Di NTT hanya dua kelurahan sampel yang mudah diakses, wilayah sampel lainnya relatif sulit dan sangat sulit diakses karena jaraknya jauh dari ibu kota kecamatan, kondisi jalan yang rusak, medan yang naik turun, dan terbatasnya sarana transportasi. Sebagian besar luas desa sampel di Jawa Barat kurang dari 500 ha, sedangkan di NTT lebih dari 1.000 ha sehingga jarak antardusun berjauhan dan saat musim hujan sebagian dusun tidak bisa dijangkau. Dibandingkan 2007, terjadi beberapa perbaikan kondisi jalan di dalam desa dengan dana dari pemda, PNPM Mandiri Perdesaan, dan P2KP. Mata pencaharian sebagian besar penduduk di wilayah studi adalah di sektor pertanian. Kecuali di empat wilayah sampel PKH perkotaan yang bermata pencaharian utama sebagai pedagang, buruh, serta sebagian kecil PNS. Dibandingkan 2007, terdapat penambahan jenis mata pencaharian dan peningkatan partisipasi di beberapa jenis pekerjaan nonpertanian, seperti berdagang, tukang ojek, dan mata pencaharian baru (mencari batu mangan di NTT). Di Jawa Barat sumber air bersih diperoleh dari PDAM dan sumber penerangan dari PLN. Di NTT sumber air bersih berasal dari sungai dan sumur yang pada musim kemarau mengering, dan untuk penerangan sebagian besar warga masih menggunakan lampu minyak tanah, kondisi tersebut tidak banyak berubah dibandingkan 2007.
Temuan Studi PNPM Generasi Pelaksanaan PNPM Generasi
PNPM Generasi dinilai oleh masyarakat, elit desa dan pelaksana program lebih bermanfaat dibandingkan program KIA/pendidikan lainnya karena jenis bantuan banyak, diterima hampir semua warga, dan menjadi pelengkap program KIA/pendidikan yang sudah ada. Program juga dianggap lebih aspiratif dibandingkan program lainnya karena jenis bantuan dan penerima ditentukan di tingkat desa. Pemanfaatan dana PNPM Generasi sudah sesuai ketentuan program, semua terkait langsung KIA dan pendidikan dasar. Dana untuk bidang pendidikan cenderung lebih banyak dialokasikan dalam bentuk bantuan langsung ke murid, sedangkan untuk KIA lebih banyak untuk insentif pemberi layanan Lembaga Penelitian SMERU
v
dan pengadaan sarana pendukung di posyandu/polindes. Pengalokasian dana tersebut menciptakan persepsi masyarakat yang menganggap manfaat PNPM Generasi untuk bidang pendidikan lebih besar daripada untuk KIA. Ditenggarai salah satu faktor rendahnya pengalokasian dana PNPM Generasi untuk peningkatan fasilitas fisik dan penunjang sekolah adalah karena tidak adanya pengelola program di tingkat desa yang berasal dari lingkungan sekolah (guru/kepala sekolah). Sebaliknya untuk bidang KIA, pengelola program banyak yang merupakan kader posyandu. Kontribusi masyarakat terhadap pelaksanaan PNPM Generasi beragam. Di Jawa Barat masyarakat memberikan kontribusi berupa uang, makanan, dan jasa. Sebaliknya, di NTT hanya satu desa yang warganya memberikan kontribusi dalam bentuk barang. Masyarakat di desa lain enggan memberikan kontribusi, karena beranggapan program bantuan berarti mereka menerima bukan memberi dan ada kekhawatiran kontribusi masyarakat akan lebih banyak dinikmati oleh pengelola program. Monitoring rutin 12 indikator keberhasilan program di setiap desa menjadi tugas fasilitator desa (FD). FD yang diwancarai mengatakan bahwa mereka sudah melakukannya secara rutin baik ke sekolah, posyandu/kader dan bidan desa. Namun, pada saat pelaksanaan posyandu peneliti tidak melihat buku kupon yang seharusnya dibawa oleh penerima manfaat dan distempel oleh pemberi layanan setiap kali penerima manfaat melakukan pemeriksaan. Di salah satu desa di NTT, buku ini menumpuk di rumah ketua kader posyandu yang sekaligus sebagai FD. Untuk pengawasan kehadiran murid SMP cenderung sulit dilakukan, karena murid dari satu desa bersekolah di beberapa SMP yang sebagian besar berlokasi di luar desa. Ketersediaan Pelayanan KIA
Jenis dan jumlah penyedia pelayanan KIA yang ada di desa sampel tidak mengalami perubahan sejak 2007. Akan tetapi, PNPM Generasi meningkatkan kondisi pelayanan KIA yang sudah ada melalui pembangunan rumah posyandu/polindes, penambahan perlengkapan di posyandu/polindes, dan pemberian insentif bagi kader posyandu. Pada studi baseline, tidak adanya insentif menjadi salah satu faktor ketidakaktifan kader serta sulitnya merekrut kader baru. Hambatan pelayanan KIA, khususnya bagi kelompok masyarakat di wilayah terpencil di NTT, masih sama seperti 2007 dengan intensitas yang menurun. Hambatan tersebut adalah bidan tidak tinggal di desa atau sering tidak ada ditempat, keterbatasan persediaan obat, luasnya wilayah dan penduduk yang tersebar, buruknya kondisi jalan, minimnya sarana transportasi, dan hambatan kepercayaan/adat naketi (pengobatan tradisional), adat sei (memanggang badan), tatobi (mengompres badan) setelah melahirkan, dan warga yang masih lebih mempercayai dukun. Luasnya wilayah dan tersebarnya penduduk menyebabkan mereka yang tinggal di lokasi terpencil tidak dapat terlayani posyandu dan bidan desa. Pendirian posyandu baru atau penambahan bidan desa di setiap wilayah terpencil terkendala oleh jumlah sasaran KIA per wilayah yang sangat sedikit dan terbatasnya jumlah kader dan tenaga bidan. Peran dukun beranak semakin berkurang terutama dalam membantu persalinan. Di NTT perannya berkurang karena intervensi berupa insentif dana melahirkan dengan bidan dari PNPM Generasi dan pemberlakuan sanksi oleh aparat desa/kecamatan bagi ibu melahirkan dengan bantuan dukun beranak. Di Jawa Barat penurunan peran dukun lebih disebabkan tidak adanya regenerasi dan adanya himbauan pemda untuk tidak menggunakan dukun saat melahirkan. Akan tetapi, peran dukun untuk pelayanan selama hamil dan setelah melahirkan tidak berubah sejak 2007, dukun masih memberi pelayanan pijat untuk membetulkan letak janin dan mengurangi kelelahan atau membantu mengurus bayi/ibu sesudah melahirkan. Persyaratan pelibatan masyarakat melalui musyawarah dan diskusi dalam perumusan program pada PNPM Generasi, Desa Siaga dan bantuan ornop secara formal telah meningkatkan peran masyarakat dalam perumusan pelayanan KIA. Akan tetapi, pengambil keputusan akhir masih lebih banyak dari kalangan elite desa. Perbedaan tingkat pendidikan dan status ekonomi antara elit desa
vi
Lembaga Penelitian SMERU
dan masyarakt biasa, terutama di NTT, ditenggarai menjadi salah satu penyebab masih dominannya peran elit dalam pengambilan keputusan. Pemanfaatan Pelayanan KIA
PNPM Generasi berkontribusi pada peningkatan pemanfaatan pelayanan KIA (posyandu dan bidan desa) karena tersedia subsidi melahirkan, biaya transpor pemeriksaan selama hamil dan pasca melahirkan, serta PMT dan biaya transpor ke posyandu. Faktor pendorong lain peningkatan pemanfaatan pelayanan KIA di wilayah perlakuan dan kontrol adalah meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya KIA dan adanya program pendukung KIA seperti Desa Siaga di Jawa Barat, program revolusi KIA, berbagai bantuan dari LSM serta pengintesifan sanksi denda di NTT. Hambatan utama sebagian ibu tidak memanfaatkan layanan persalinan di bidan adalah karena mahalnya biaya persalinan dengan bidan. Di desa perlakuan hambatan ini terbantu dengan adanya subsidi melahirkan dari PNPM Generasi. Faktor penghambat lain adalah bidan tidak ditempat pada saat dibutuhkan serta adanya rasa malu pada sekelompok masyarakat karena memiliki banyak anak, hamil di luar nikah dan khusus di NTT malu memperlihatkan alat kelamin kepada bidan. Aktor yang mempengaruhi pemanfaatan layanan KIA adalah aparat desa, bidan desa, kader posyandu, tetangga, dan khusus di NTT tokoh agama serta staf ornop. Peran aparat desa antara lain hadir pada saat pelaksanaan posyandu, mengingatkan para ibu untuk hadir di posyandu, dan di Jawa Barat aparat juga menjemput ibu/bayi balita yang belum hadir di posyandu. Di NTT tokoh agama ikut mengingatkan jadwal posyandu pada saat warga berkumpul di gereja. Pihak ornop berperan memberikan pengarahan dan penyadaran tentang pentingnya pelayanan KIA. Secara umum pengetahuan dan kesadaran sebagian besar masyarakat tentang pentingnya KIA semakin membaik karena didorong oleh Program Revolusi KIA dan program Desa Siaga, berbagai penyuluhan dari ornop, dan bantuan dari PNPM Generasi. Peningkatan juga didorong oleh kemudahan mengakses informasi tentang KIA melalui media cetak dan elektronik. Peningkatan kesadaran perempuan diindikasikan dari peningkatan rutinitas ibu ke posyandu dan pengetahuan peserta FGD tentang KIA. Indikasi lain juga terlihat dari alasan peserta FGD memilih bidan desa. Karena perempuan menjadi sasaran utama layanan KIA, hal ini membuat kesadaran perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki. Ketersediaan Pelayanan Pendidikan Dasar
Secara kuantitas ketersedian SD di setiap desa/kelurahan sampel sudah memadai sejak 2007. Hanya terjadi perubahan status satu SD di NTT (dari SD kecil1 menjadi SD mandiri). Di semua desa sampel di Jawa Barat dan NTT juga sudah diselenggarakan minimal satu pendidikan anak usia dini (PAUD) yang didanai antara lain oleh pemda, PNPM Generasi, PNPM Mandiri Perdesaan, ornop dan swadaya masyarakat Ketersediaan SMP di semua wilayah sampel di Jawa Barat sudah memadai dan relatif mudah dijangkau. Di NTT ketersediaan SMP masih menjadi kendala karena jauhnya jarak dan mahalnya biaya transportasi. Dibandingkan 2007, terjadi penambahan satu SMP negeri di salah satu desa kontrol di NTT pada 2008. Dibandingkan 2007, terjadi perbaikan kondisi fisik sekolah (berupa penambahan dan renovasi ruang kelas, perpustakaan, UKS, laboratorium dan aula) serta penambahan fasilitas pendukung belajar mengajar (berupa mebelair, buku, alat bantu audio visual, dan perlengkapan ekstrakulikuler). Sebagian besar dana perbaikan bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK), bantuan Belanda (DBEP), dan 1SD
kecil atau TRK (tambahan ruang kelas) adalah SD yang berinduk pada SD yang sudah lama berdiri. TRK didirikan di dusun terpencil bertujuan untuk menampung murid dari dusun tersebut, terutama murid kelas 1-3 yang kelelahan jika harus berjalan jauh.
Lembaga Penelitian SMERU
vii
Plan International khususnya di NTT. Peran PNPM Generasi lebih banyak berupa penyediaan fasilitas pendukung sekolah, terutama meja dan kursi. Masih terdapat sejumlah hambatan penyediaan layanan pendidikan dasar. Di Jawa Barat hambatan meliputi kurangnya guru bidang studi di SMP, terbatasnya alat bantu, dan tidak meratanya jumlah murid karena preferensi orang tua pada sekolah tertentu. Di NTT hambatan yang dihadapi sekolah lebih berat, yakni rendahnya pendidikan dan kehadiran guru, masih banyak guru berstatus honorer, kurangnya alat bantu mengajar, serta tidak tersedianya listrik dan air bersih di sekolah. Hambatan tersebut, baik di Jawa Barat maupun NTT, diperburuk oleh rendahnya partisipasi orang tua setelah adanya BOS. Di NTT, peran komite terhadap keberadaan PNPM Generasi adalah aktif menyuarakan kebutuhan sekolah agar mendapat pendanaan dari PNPM Generasi. Kehadiran PNPM Generasi juga memberikan alasan dan motivasi bagi komite, aparat desa dan masyarakat untuk mendorong kehadiran murid di sekolah dengan mengintensifkan kembali pemberlakuan sanksi bagi murid yang absen. Sebaliknya di Jawa Barat, karena kesibukan ketua komite, peran komite dalam pelaksanaan PNPM Generasi hanya sebatas mengetahui dan dilibatkan pada saat pendistribusian bantuan. Pemanfaatan Pelayanan Pendidikan Dasar
Tingkat partisipasi anak usia SD di Jawa Barat dan NTT sudah tinggi dan tidak banyak berubah dibandingkan 2007. Tingginya semangat orang tua untuk menyekolahkan anaknya ke SD berimbas ke semangat mereka untuk menyekolahkan anaknya di PAUD/TK. Bahkan, sekolah mulai mensyaratkan kelulusan PAUD/TK untuk mendaftar ke SD. Pemanfaatan PAUD ini berpengaruh terhadap peningkatan kualitas murid SD sehingga menurunkan tingkat putus SD, terutama di NTT. Partisipasi anak usia SMP meningkat karena peningkatan kesadaran orang tua akan manfaat pendidikan dan sejalan dengan tuntutan lapangan kerja yang mensyaratkan minimal tamat SMP (menjadi TKI/TKW, kepala dusun/RT/RW, pekerja pabrik dan supir). Alasan lain adalah karena rasa malu bila tidak sekolah, tersedianya program SMP Terbuka, serta peran aktif guru, komite, dan aparat desa. Peran PNPM Generasi tidak secara langsung meningkatkan partisipasi murid SD/SMP karena bantuan hanya ditujukan bagi anak yang terdaftar di sekolah dan tidak menyentuh anak yang sudah putus sekolah atau tidak mendaftar. Ditenggarai hal ini disebabkan adanya persepsi pelaksana program dan aparat desa yang menganggap bantuan PNPM Generasi untuk pendidikan hanya ditujukan bagi murid yang terdaftar di sekolah, tidak termasuk anak usia SD/SMP yang tidak mendaftar ataupun yang putus sekolah. Pada saat pendataan awal jumlah sasaran perdesa, data yang digunakan adalah jumlah murid yang bersekolah, bukan jumlah anak usia sekolah di desa tersebut Meskipun tidak berperan secara langsung, namun PNPM Generasi meningkatkan semangat dan mendorong murid rajin ke sekolah serta mencegah murid putus sekolah. Bantuan PNPM Generasi berupa baju, sepatu, alat tulis, dapat mengurangi rasa minder, bantuan payung dapat mengatasi hambatan musim hujan, serta bantuan dana transport, asrama dan subsidi dapat mengatasi sebagian beban biaya penunjang sekolah. Alasan utama beberapa anak usia SMP tidak mendaftar atau putus sekolah adalah masalah ekonomi, yaitu tingginya biaya transpor, jajan anak, dan desakan pemenuhan ekonomi keluarga. Alasan lain bagi anak perempuan adalah karena dipaksa menikah, hamil di luar nikah, atau menjadi TKW, sedangkan untuk anak laki-laki karena pengaruh negatif lingkungan. Di NTT jauhnya lokasi SMP bahkan hingga 7 km dan mahalnya biaya transportasi dan asrama membuat beberapa anak tidak didaftarkan atau putus sekolah. Pada beberapa kasus karena berbagai faktor (lingkungan, media informasi, dll) terdapat kecenderungan meningkatnya peran anak dalam memutuskan melanjutkan atau memilih SMP tanpa bisa dipengaruhi orang tua.
viii
Lembaga Penelitian SMERU
PNPM Generasi turut menurunkan tingkat absen murid SD/SMP karena bantuan langsung ke murid meningkatkan semangat dan motivasi murid ke sekolah dan di NTT PNPM Generasi juga mendorong pemberlakuan kembali sanksi denda bagi murid absen. Penurunan absen di NTT juga didorong oleh bantuan dan penyuluhan pendidikan dari ornop. Di Jawa Barat, penurunan absen lebih disebabkan meningkatnya pemantauan dan fasilitas penunjang seperti adanya pagar dan tenaga keamanan di sekolah. Aktor yang berperan dalam pemanfaatan pelayanan pendidikan masih sama dengan 2007, yaitu aparat desa, guru, komite, dan tokoh agama, dan khusus di NTT ada staf ornop dan aparat kecamatan. Namun, peran sebagian besar aktor masih sebatas memberi himbauan formal. Peran pengurus PNPM Generasi dalam mempengaruhi pemanfaatan pelayanan pendidikan dasar hanya terlihat di satu desa perlakuan di Jawa Barat. Di desa lain, peran pengurus hanya sebatas mengurusi bantuan saja.
Temuan Studi PKH Pelaksanaan PKH
Aparat desa, pemberi layanan, dan masyarakat umumnya tidak terlalu mengenal PKH. Elit desa cenderung tidak perduli karena merasa tidak dilibatkan dalam pelaksanaan PKH. Di tingkat masyarakat, karena jumlah penerima PKH sedikit dan kuatir PKH menimbulkan kecemburuan/konflik, keberadaan PKH seolah-olah seperti dirahasiakan, termasuk dalam proses penentuan penerima. Beberapa peserta FGD dan informan kunci mengeluhkan kekurangtercakupan (undercoverage) dan ketidaktepatan sasaran (misstargeting). Secara umum keputusan pengelolaan dana PKH ada di tangan ibu atau perempuan dalam keluarga. Sebagian besar dana PKH dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari. Pemanfaatan untuk pendidikan dilakukan jika waktu pencairan bersamaan dengan tahun ajaran baru. Pemanfaatan dana PKH untuk keperluan KIA jarang dilakukan, sebagian besar penerima PKH tidak memiliki persiapan untuk biaya persalinan. Selain itu, banyak penerima PKH di NTT menggunakan dana PKH untuk membeli aset berupa ternak dengan alasan jika ada keperluan untuk pendidikan atau kesehatan, ternak tersebut dapat dijual. Monitoring kepatuhan penerima PKH terhadap 12 indikator keberhasilan program tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pengisian formulir verifikasi yang dikirim dan diambil oleh kantor pos tidak dipahami oleh pihak sekolah, bidan dan puskesmas. Sebagian pendamping mengakui mengisi sendiri formulir verifikasi setelah mendapatkan informasi dari sekolah, bidan atau puskesmas. Namun, pemberi layanan KIA dan pendidikan dasar umumnya mengaku tidak pernah dimintai data oleh pendamping. Kepatuhan terhadap persyaratan penerimaan PKH sangat dipengaruhi keaktifan pendamping PKH dan banyaknya jumlah penerima perdesa. Di Jawa Barat dan perkotaan di NTT, pendamping umumnya tidak aktif karena wilayah jangkauannya relatif lebih banyak (beberapa desa/kelurahan) dan lokasi penerima tersebar di beberapa desa/kelurahan2. Ketersediaan Pelayanan KIA
Ketersediaan pelayanan KIA di sebagian desa/kelurahan perlakuan dan kontrol meningkat melalui penambahan tenaga bidan, penambahan tempat layanan posyandu dan polindes serta penambahan ruang dan perlengkapan di poskesdes/pustu/polindes, dengan sumber dana dan inisitatif
2Buku
Saku Pendamping PKH menyebutkan bahwa satu pendamping PKH mendampingi kurang lebih 375 penerima PKH.
Lembaga Penelitian SMERU
ix
umumnya dari pemda. Kecuali di satu desa perlakuan dan satu desa kontrol di NTT, ketersediaan pelayanan KIA tidak mengalami perubahan. Hambatan yang masih dihadapi sebagian besar penyedia layanan KIA adalah tidak adanya insentif bagi kader, terbatasnya fasilitas pendukung, ketidaktersediaan bidan desa, penduduk yang tersebar, kondisi jalan yang buruk dan minimnya sarana transportasi, serta pengaruh musim hujan. Ketidaktersediaan tenaga bidan di dua desa di NTT selain karena kekurangan tenaga bidan juga karena bidan tidak mau tinggal di desa terpencil. Pelayanan KIA masih sulit menjangkau beberapa kelompok kecil warga karena jauhnya lokasi tempat tinggal dan masih tingginya kepercayaan pada dukun dan adat di NTT, serta kelompok nelayan di Jawa Barat. Meski demikian, dibandingkan dengan keadaan 2007, jumlahnya sudah berkurang. Peran dukun dalam membantu persalinan cenderung menurun. Di Jawa Barat penurunan disebabkan tidak ada regenerasi dan adanya himbauan pemda kepada dukun untuk tidak memberikan layanan persalinan. Di NTT penurunan lebih disebabkan adanya Program Revolusi KIA yang melarang dukun beranak memberi layanan KIA. Namun demikian, di dua desa di NTT yang tidak memiliki bidan desa, peran dukun dalam membantu persalinan masih tinggi. Selain itu, di semua desa sampel dukun beranak masih berperan memberikan pelayanan selama hamil seperti pijat (untuk membetulkan letak janin dan mengurangi kelelahan saat hamil), pasca melahirkan (mengurus bayi dan ibu setelah melahirkan), serta penyelenggaraan upacara adat. Proses pengambilan keputusan menyangkut penyediaan layanan KIA masih sepenuhnya dilakukan pemerintah (daerah) dan pemberi layanan KIA. Meski demikian, dibandingkan 2007 keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan terkait layanan KIA cenderung meningkat, khususnya di wilayah perdesaan. Di perdesaan NTT, peningkatan didorong keberadaan program Revolusi KIA, sedangkan di Jawa Barat peningkatan hanya terjadi di desa sampel yang sudah aktif melaksanakan program Desa Siaga, karena pelaksanaan program ini banyak melibatkan partisipasi dan swadaya masyarakat. Pemanfaatan Pelayanan KIA
Pengaruh PKH terhadap peningkatan pemanfaatan pelayanan KIA adalah berupa peningkatan kehadiran ibu di posyandu di wilayah perdesaan di NTT. Peningkatan ini karena adanya ancaman sanksi pemotongan dana PKH oleh pendamping jika ibu tidak ke posyandu. Di Jawa Barat dan perkotaan NTT PKH tidak berpengaruh terhadap kehadiran ibu di posyandu. Di Jawa Barat, pemanfaatan posyandu tidak banyak berubah karena di sebagian desa/kelurahan kehadiran ibu di posyandu masih dipengaruhi oleh banyaknya ibu yang menjadi TKW atau merantau ke luar desa. Sebagian warga di wilayah perkotaan, baik di Jawa Barat maupun NTT, tidak memanfaatkan posyandu karena lebih memilih alternatif pelayanan KIA lain yang tersedia. Hambatan pemanfaatan pelayanan bidan adalah karena keterpencilan, hambatan infrastruktrur desa, ketidaktersediaan bidan desa atau bidan sering tidak ada di tempat, serta kepercayaan terhadap dukun beranak dan rasa malu kepada bidan terutama di NTT. Secara umum semua hambatan tersebut masih sama dengan kondisi 2007. Pendamping PKH dan ketua kelompok PKH menjadi aktor baru dalam pemanfaatan pelayanan KIA. Di dua desa perlakuan di NTT, peran pendamping cukup membantu peningkatan pemanfaatan layanan KIA melalui pengarahan kepada penerima dan ancaman sanksi pemotongan dana PKH. Akan halnya dengan ketua kelompok, perannya baru sebatas menyampaikan informasi tanggal pencairan ke anggotanya. Aktor lain yang berperan dalam meningkatkan pamanfaatan pelayanan KIA adalah aparat desa, bidan, kader posyandu, tokoh masyarakat, tetangga serta khusus di NTT tokoh agama dan staf ornop.
x
Lembaga Penelitian SMERU
Keberadaan PKH turut mempengaruhi kesadaran perempuan dan laki-laki mengenai isu KIA terutama di perdesaan NTT karena penyuluhan pendamping PKH dan ancaman sanksi. Faktor lain yang meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya KIA adalah program Desa Siaga dan Revolusi KIA, informasi KIA melalui media cetak/elektronik, saling mengingatkan sesama tetangga dan warga, dan khusus di NTT penyuluhan dari ornop. Ketersediaan Pelayanan Pendidikan Dasar
Ketersediaan dan ketercakupan SD di setiap desa/kelurahan sampel sudah memadai. Dibandingkan 2007 hanya terjadi perubahan status satu SD di NTT (dari SD kecil menjadi SD mandiri) atas inisiatif masyarakat dan guru. Di hampir seluruh desa perlakuan dan kontrol di Jawa Barat dan NTT telah diselenggarakan pendidikan PAUD. Pendidikan pra sekolah ini didanai antara lain oleh swadaya masyarakat, LSM, pemda, danPNPM Mandiri Perdesaan. Ketersediaan SMP di desa sampel tidak berubah dibandingkan 2007. Ketersediaannya masih menjadi masalah terutama di sebagian desa di NTT karena SMP umumnya berada di ibu kota kecamatan dan tidak tersedia transportasi umum sehingga sulit dijangkau dari sebagian desa. Fasilitas pendukung SD dan SMP di semua desa sampel mengalami perbaikan. Jenis perbaikan di NTT meliputi penambahan dan renovasi ruang kelas dan WC dan di Jawa Barat berupa perbaikan ruang perpustakaan, laboratorium, UKS serta fasilitas pendukung seperti buku, mebelair, komputer dan alat bantu mengajar. Sumber dana perbaikan berasal dari pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten serta khususnya di NTT juga dari ornop. Program bantuan yang tersedia belum bisa memecahkan dan menyentuh semua hambatan penyediaan pelayanan pendidikan dasar yang juga dihadapi pada 2007. Di Jawa Barat dan perkotaan NTT hambatan yang dihadapi SD dan SMP adalah keterbatasan ruang belajar karena overcapacity di beberapa sekolah yang dianggap favorit, serta menurunnya partisipasi orang tua setelah adanya BOS. Di perdesaaan di NTT hambatan lebih berat yakni rendahnya pendidikan guru, sebagian besar guru masih berstatus honorer, tidak adanya perpustakaan dan laboratorium, kurangnya alat bantu mengajar, tidak adanya listrik dan air bersih, serta jauhnya lokasi sekolah. Peran komite sekolah dalam membuat keputusan menyangkut pelayanan pendidikan dasar berbeda antara wilayah perkotaan dan perdesaan. Di perdesaan peran komite lebih aktif melalui pemantauan dana BOS, terlibat dalam pembangunan fasilitas sekolah, serta di NTT ikut mengawasi kehadiran murid dan guru. Di perkotaan, komite hanya menghadiri rapat di sekolah dan umumnya tidak mengetahui keberadaan penerima PKH di sekolahnya. Pemanfaatan Pelayanan Pendidikan Dasar
Pelaksanaan PKH tidak meningkatkan partisipasi SD karena sudah tingginya tingkat partisipasi SD sejak 2007. Tingkat partisipasi SMP meningkat karena peningkatan kesadaran orang tua, persyaratan untuk menjadi TKI/TKW dan pekerja pabrik minimal lulusan SMP serta di NTT karena adanya bantuan/bimbingan dari ornop. Peran PKH terhadap peningkatan partisipasi SMP hanya terlihat di perdesaan NTT karena jumlah penerima PKH relatif banyak, aktifnya peran pendamping, dan adanya sanksi jika anak tidak didaftarkan atau putus sekolah. Di satu desa sampel di NTT, pada awal pelaksanaan PKH beberapa anak yang tidak melajutkan ke SMP diminta kembali melanjutkan jika keluarganya ingin mendapatkan PKH Alasan utama anak yang tidak mendaftar dan putus sekolah di tingkat SMP umumnya masih sama dibandingkan 2007 yaitu hambatan ekonomi. Alasan lain adalah dipaksa menikah, hamil di luar nikah, dan menjadi TKW untuk anak perempuan dan untuk laki-laki umumnya karena pengaruh
Lembaga Penelitian SMERU
xi
negatif lingkungan. Di NTT jauhnya lokasi SMP membuat murid sering tidak masuk sekolah dan akhirnya terpaksa putus sekolah. PKH berkontribusi pada peningkatan kehadiran murid SD dan SMP terutama di perdesaan NTT karena adanya ancaman sanksi pemotongan dana PKH jika murid dibiarkan absen. Di wilayah perlakuan PKH perkotaan dan di wilayah kontrol tingkat absen juga turun karena aturan sekolah yang lebih ketat, pemagaran di sekeliling sekolah, dan tersedianya tenaga keamanan sekolah. Alasan beberapa murid absen, baik SD maupun SMP di perdesaan NTT, adalah karena hujan, waktu panen dan hari pasar, serta karena murid kelelahan dan malas. Di perkotaan NTT dan Jawa Barat alasan absen adalah karena pengaruh negatif pergaulan, malas atau tidak diberi uang jajan, murid takut dimarahi guru bila datang terlambat atau tidak mengerjakan pekerjaa rumah, serta beberapa murid absen karena harus ikut orang tua bekerja (seperti pergi melaut). Anak laki-laki lebih banyak yang absen karena pengaruh pergaulan dan kenakalan lebih banyak terjadi pada anak laki-laki. Pendamping PKH menjadi salah satu aktor yang mempengaruhi pemanfaatan pelayanan pendidikan dasar di wilayah perdesaan NTT, karena pendamping aktif memberikan pengarahan dan tekanan tentang pentingnya pendidikan dan satu pendamping hanya fokus menangani satu desa. Aktor lain di desa yang berperan dalam mendorong orang tua untuk menyekolahkan anaknya adalah kepala sekolah, guru, ketua komite, aparat desa (terutama kepala dusun), dan tetangga. Di NTT, tokoh agama serta staf ornop juga banyak berperan memotivasi orang tua untuk menyekolahkan anaknya. Peran aparat desa antara lain menerbitkan surat keterangan tidak mampu (SKTM) agar murid miskin bisa mendapatkan beasiaswa atau pembebasan/keringanan uang komite. Kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan meningkat baik di Jawa Barat maupun di NTT. Lapangan pekerjaan yang mensyaratkan minimal lulus SMP serta pengarahan dari aparat desa, tokoh masyarakat dan ornop turut berperan dalam peningkatan tersebut. Indikasi peningkatan kesadaran tercermin dari tanggapan peserta FGD yang mengungkapkan harapan masa depan yang lebih baik melalui pendidikan, dan kesungguhan orang tua untuk tetap menyekolahkan anak sekalipun bantuan dihentikan. Pada studi baseline umumnya peserta FGD masih melihat manfaat pendidikan hanya sebatas peningkatan kemampuan dasar anak.
Kesimpulan dan Rekomendasi PNPM Generasi
Masyarakat desa secara umum menilai PNPM Generasi bermanfaat bagi mereka karena banyaknya jenis bantuan dan besarnya cakupan penerima: program dapat dinikmati oleh hampir semua warga desa (baik laki-laki maupun perempuan). Meskipun masyarakat miskin juga menerima manfaat dari program, peningkatan pemanfaatan KIA dan pendidikan dasar masih terkendala oleh faktor ekonomi rumah tangga, adat istiadat, pendidikan orang tua serta pengaruh negatif lingkungan terhadap kemauan anak untuk bersekolah. Oleh karena itu, agar pemanfaatan KIA dan pendidikan dasar di kalangan masyarakat miskin lebih tinggi, diperlukan bimbingan dan penyuluhan untuk meningkatkan kesadaran orang tua dan anak serta upaya peningkatan kemampuan ekonomi keluarga. Pemahaman pelaksana program dan aparat desa yang kurang tepat tentang PNPM Generasi menyebabkan pelaksanaan program kurang optimal. Pertama, pemahaman bahwa bantuan PNPM Generasi di bidang pendidikan ditujukan hanya bagi murid yang terdaftar di SD atau SMP menyebabkan bantuan tidak menyentuh anak usia SD/SMP yang tidak mendaftar atau putus sekolah. Kedua, bantuan PNPM Generasi di desa sampel seluruhnya dalam bentuk fisik, baik berupa uang ataupun barang, dan tidak ditemukan bantuan yang sifatnya non-fisik, yang ditujukan untuk peningkatan kesadaran. Kenyataan tersebut menimbulkan kekhawatiran pemberi layanan dan aparat desa bahwa jika bantuan fisik tersebut dihentikan masyarakat akan kembali ke kondisi sebelum adanya program, karena kesadaran yang terjadi hanya berlandaskan untuk mendapatkan bantuan fisik semata.
xii
Lembaga Penelitian SMERU
Berdasarkan kedua kondisi tersebut, direkomendasikan untuk melakukan sosialisasi tambahan bagi pelaksana program dan aparat desa menyangkut sasaran program dan jenis alokasi bantuan. Manfaat PNPM Generasi perlu dioptimalkan melalui upaya pemerintah pusat dan daerah untuk meningkatkan: -
Ketersediaan dan kualitas infrastruktur desa berupa jalan, jembatan, listrik dan air bersih agar masyarakat lebih mudah mengakses pelayanan KIA dan pendidikan dasar.
-
Ketersediaan dan kualitas pelayanan KIA dan pendidikan dasar meliputi keberadaan bidan desa, ketersediaan obat di polindes, pendidikan guru dan status guru honor.
Kedua hal tersebut tidak dapat disediakan melalui PNPM Generasi. PKH
PKH kurang berpengaruh terhadap peningkatan pemanfaatan pelayanan KIA dan pendidikan dasar karena: (i) kurang tersedianya pelayanan KIA dan pendidikan dasar (khususnya SMP); (ii) buruknya atau tidak tersedianya infrastruktur dasar seperti jalan, jembatan, listrik, dan air bersih, khususnya di daerah terpencil. (iii) kurangnya dukungan dari sekolah, bidan dan kader terhadap PKH; (iv) lemahnya peran pendamping dalam membimbing dan mengawasi kepatuhan penerima program; (v) adanya potensi kecemburuan dan konflik dari nonpenerima terutama di desa/kelurahan dengan jumlah penerima PKH relatif sedikit; Agar manfaat program dapat ditingkatkan maka perlu: i. Peningkatan ketersediaan pelayanan KIA dan SMP diakses oleh semua warga.
yang memadai dan dapat dengan mudah
ii. Peningkatan infrastruktur desa meliputi jalan, jembatan, listrik, dan air bersih. iii. Resosialisasi PKH terhadap aparat desa, pemberi layanan dan rumah tangga penerima dan nonpenerima. Serta pelibatan sekolah, bidan dan kader dalam pemantauan penerima program. iv. Mendekatkan pendamping dengan penerima program antara lain dengan menetapkan wilayah kerja pendamping tidak hanya berdasarkan jumlah penerima program tetapi juga mempertimbangkan luas wilayah serta jumlah desa/kelurahan dampingan. v. Transparansi penetapan penerima dan sosialisi terhadap penerima dan nonpenerima.
Lembaga Penelitian SMERU
xiii
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam rangka mencapai target MDGs 2015, Pemerintah Indonesia pada pertengahan 2007 memulai dua program conditional cash transfers (bantuan tunai bersyarat). Dua program tersebut adalah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Generasi Sehat dan Cerdas (PNPM GSC/PNPM Generasi), atau yang juga dikenal sebagai Community Conditional Cash Transfer dan Program Keluarga Harapan (PKH) atau dikenal sebagai Household Conditional Cash Transfer. Kedua program didisain untuk mencapai tujuan yang sama yaitu: 1) Mengurangi kemiskinan; 2) Mengurangi kematian ibu melahirkan; 3) Mengurangi kematian bayi dan anak balita; dan 4)Memastikan pencapaian pendidikan dasar untuk semua. Setelah PNPM Generasi dan PKH dilaksanakan selama dua setengah tahun, Lembaga Penelitian SMERU bekerja sama dengan Bank Dunia melakukan studi kualitatif untuk melihat kondisi terkini dan perubahan ketersediaan dan penggunaan pelayanaan KIA dan pendidikan dasar selama 2007 hingga 2010. Pada 2007, Lembaga Penelitian SMERU bekerja sama dengan Bank Dunia juga melakukan studi kualitatif baseline ketersediaan dan penggunaan pelayanan KIA dan pendidikan dasar. Hasil kedua studi ini kemudian dibandingkan untuk melihat dampak PNPM Generasi dan PKH terhadap ketersediaan dan pemanfaatan pelayanan KIA dan pendidikan dasar.
1.2 Tujuan Penelitian Tujuan dari studi ini adalah untuk melihat dampak PNPM Generasi dan PKH terhadap perubahan ketersediaan dan penggunaan pelayanan KIA dan pendidikan dasar. Secara khusus penelitian ini menjawab pertanyaan besar yaitu: bagaimana akses terhadap fasilitas KIA dan fasilitas pendidikan dasar (SD dan SMP) berubah sejak dilaksanakannya PNPM Generasi dan PKH pada 2007. Perubahan akses dilihat dari dua pendekatan yaitu sisi penyediaan (supply) dan pemanfaatan (demand). Pertanyaan turunan dari kedua pertanyaan besar yang ingin dijawab pada studi ini, disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Pertanyaan Penelitian Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)
Pelayanan Pendidikan SD dan SMP
Sisi Penyediaan Bagaimana perubahan ketersediaan pelayanan KIA dibandingkan 2007? Apa saja hambatan dalam menyediakan pelayanan KIA? Bagaimana dampak PNPM Generasi dan PKH terhadap perubahan ketersediaan pelayanan KIA? Sisi Permintaan Bagaimana perubahan akses perempuan terhadap pelayanan KIA dibandingkan 2007? Apa alasan perempuan untuk menggunakan atau tidak menggunakan pelayanan KIA ? Faktor apa saja yang masih menghambat perempuan dalam menggunakan pelayanan KIA? Bagaimana dampak PNPM Generasi dan PKH terhadap pemanfaatan pelayanan KIA?
Sisi Penyediaan Bagaimana perubahan ketersediaan pelayanan pendidikan SD dan SMP? Apa saja hambatan dalam menyediakan pelayanan pendidikan SD dan SMP? Bagaimana dampak PNPM Generasi dan PKH terhadap perubahan ketersediaan pelayanan pendidikan SD dan SMP? Sisi Permintaan Bagaimana perubahan partisipasi terhadap pendidikan dasar dibandingkan 2007? Apa alasan anak tidak didaftarkan atau putus sekolah dari SD dan SMP? Bagaimana perubahan tingkat kehadiran murid di sekolah dibandingkan 2007? Apakah ada perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan? Bagaimana dampak PNPM Generasi dan PKH terhadap pemanfaatan pelayanan SD dan SMP? Keterlibatan Aktor Lainnya (Pemerintah Desa, NGOs, dsb) Bagaimana peran aktor lain dalam mempengaruhi orang tua untuk mengirim anaknya ke sekolah dan tidak membiarkan anaknya absen dari sekolah?
Keterlibatan Aktor Lainnya (Pemerintah Desa, NGOs, dsb) Bagaimana peran aktor lain dalam mempengaruhi perempuan mengakses pelayanan KIA?
Lembaga Penelitian SMERU
1
Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) Interaksi antara Pengguna dan Pemberi Pelayanan Bagaimana perubahan keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan menyangkut penyediaan pelayanan KIA?
Pelayanan Pendidikan SD dan SMP Interaksi antara Pengguna dan Pemberi Pelayanan Bagaimana perubahan keterlibatan komite sekolah dalam mengelola sekolah baik untuk SD maupun SMP?
1.3 Sekilas PNPM Generasi Sehat dan Cerdas dan Program Keluarga Harapan PNPM Generasi dan PKH merupakan dua program bantuan tunai bersyarat dengan sasaran rumah tangga sangat miskin (RTSM). Kedua program menargetkan 12 indikator KIA dan pendidikan dasar sebagai syarat penerimaan rutin program. Indikator KIA meliputi: 1. Ibu hamil melakukan empat kali pemeriksaan ke fasilitas kesehatan 2. Ibu hamil mendapatkan serta mengkonsumsi suplemen tablet Fe 3. Persalinan dengan pertolongan tenaga kesehatan 4. Ibu nifas melakukan dua kali pemeriksaan kesehatan (ibu dan bayinya) 5. Bayi diimunisasi lengkap 6. Berat badan bayi bertambah setiap bulan 7. Anak usia 0-59 bulan ditimbang sebulan sekali 8. Mengkonsumsi vitamin A dua kali setahun untuk anak 6-59 bulan Indikator pendidikan meliputi: 9. Semua anak usia 7-12 terdaftar di SD 10. Tingkat kehadiran murid SD di sekolah minimal 85% dari jumlah hari sekolah 11. Semua anak usia 13-15 terdaftar di SMP 12. Tingkat kehadiran murid SMP di sekolah minimal 85% dari jumlah hari sekolah Perbedaan antara PNPM Generasi dan PKH terletak pada pendekatan dalam pelaksanaan program dan lembaga pelaksana. PNPM Generasi merupakan bantuan tunai bersyarat bagi kelompok masyarakat. Pada dasarnya, PNPM Generasi mengadopsi bentuk kegiatan dan kapasitas yang telah terbangun dari program pengembangan kecamatan (PPK). Setiap desa penerima program mendapat bantuan langsung kepada masyarakat (BLM) yang besarnya tergantung dari jumlah sasaran di desa: jumlah ibu hamil, balita serta anak usia SD dan SMP. Jenis penggunaan BLM diputuskan berdasarkan kesepakatan bersama masyarakat desa dengan ketentuan penggunaannya harus bertujuan untuk peningkatan ketersediaan dan penggunaan fasilitas KIA dan pendidikan dasar dalam rangka pencapaian 12 indikator keberhasilan program. BLM disalurkan ke rekening bank kolektif di tingkat kecamatan. Uji coba PNPM Generasi dilakukan dengan dua pendekatan yaitu: dengan sistem insentif dan tanpa insentif. Bagi desa penerima PNPM Generasi dengan insentif ada penghargaan berupa tambahan BLM bagi desa yang berhasil memenuhi 12 indikator keberhasilan program. Sampai 2010 PNPM Generasi telah diujicobakan di lima provinsi yang meliputi 20 kabupaten, 129 kecamatan dan 1.625 desa. Di tingkat pusat program ini dikelola oleh Departemern Dalam Negeri di bawah Direktorat Jendral Pemberdayaan Masyarakat Desa (Ditjen PMD). Pengelola program di tingkat desa terdiri dari fasilitator desa/kader pemberdayaan masyarakat desa (FD/KPMD) dan tim pertimbangan musyawarah desa (TPMD)3. PKH merupakan bantuan tunai bersyarat bagi rumah tangga sangat miskin (RTSM). PKH mengadopsi program serupa yang sudah lebih dari sepuluh tahun dilaksanakan dan sudah dianggap berhasil di negara-negara Amerika Latin, seperti program ‘Oportunidades’ di Mexico atau ‘Bolsa Familia’ di Brasil. 3FD
adalah warga masyarakat yang bersedia dipilih dan ditetapkan oleh masyarakat desa untuk mendampingi PNPM Generasi. TPMD adalah tim yang dibentuk dan dipercaya masyarakat untuk menyusun kegiatan-kegiatan program..
2
Lembaga Penelitian SMERU
Pemilihan rumah tangga penerima PKH dilakukan dua tahap. Pertama, penentuan RTSM melalui survei rumah tangga di desa penerima program dengan menggunakan indikator kemiskinan multidimensi. Data RTSM tersebut kemudian disaring kembali berdasarkan syarat kepersetaan PKH, yaitu rumah tangga yang memiliki anak usia 0-15 tahun atau anak 15-18 tahun yang belum menyelesaikan pendidikan dasar sembilah tahun, dan atau ibu hamil. Rumah tangga penerima PKH wajib memenuhi indikator keberhasilan program sesuai dengan syarat kepersetaan masing masing rumah tangga. Rumah tangga yang memiliki anak usia pendidikan dasar, misalnya, harus mendaftarkan anaknya di SD/SMP dengan tingkat kehadiran di sekolah lebih dari 85%. Besarnya dana PKH yang diterima RTSM bergantung pada komposisi anggota rumah tangga, dengan nilai bantuan minimum Rp600.000 dan maksimum Rp2.200.000 pertahun, (lihat tabel 2). Pembayaran dana PKH dilakukan tiga kali dalam setahun, melalui kantor pos terdekat. Di tingkat pusat PKH dikelola oleh Departemen Sosial di bawah Direktorat Jaminan Kesejahteraan Sosial. Di tingkat provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan dibentuk Unit Pelaksana PKH (UPPKH). Untuk meningkatkan efektifitas program, penerima PKH didampingi oleh pendamping yang maksimal mendampingi 375 penerima. Guna menjamin pelaksanaan dan koordinasi antara pendamping dan penerima, pada setiap 25 atau lebih penerima PKH dibentuk sebuah kelompok yang ketuanya dipilih diantara anggota. Sampai awal 2010 PKH sudah dilaksanakan di 20 provinsi meliputi 90 kabupaten/kota, 781 kecamatan dan mencakup kurang lebih 816.000 RTSM. Tabel 2. Perhitungan Besarnya Nilai Bantuan PKH/RTSM Skenario Bantuan Bantuan tetap
Bantuan per RTSM per Tahun*) Rp200.000
Bantuan RTSM yang memiliki: a. Anak usia dibawah 6 tahun
Rp800.000
b. Ibu hamil/ibu menyusui
Rp800.000
c. Anak Usia SD/MI
Rp400.000
d. Anak Usia SMP/MTs
Rp800.000
Rata-rata bantuan/RTSM
Rp1.390.000
Bantuan minimum per RTSM
Rp600.000
Bantuan maksimum per RTSM Keterangan: *) dibayarkan setiap empat bulan Sumber: Pedoman Umum PKH, 2008
Rp2.200.000
1.4 Metodologi Penelitian Penelitian dampak PNPM Generasi dan PKH menggunakan metode panel kualitatif dengan cara membandingkan perubahan yang terjadi di wilayah perlakuan (penerima PNPM Generasi atau PKH) dengan wilayah kontrol (bukan penerima PNPM Generasi maupun PKH ). Analisis perubahan dilakukan dengan membandingkan kondisi pada 2007 (hasil studi baseline) dengan kondisi pada 2010 (hasil studi dampak). Penelitian ini juga menganalisis bagaimana dan mengapa dinamika perubahan terjadi, serta bagaimana kontribusi PNPM Generasi dan PKH terhadap perubahan tersebut. Metode pengumpulan informasi yang digunakan dalam studi dampak (dan baseline) meliputi tiga pendekatan yaitu: 1) Wawancara terstruktur dengan informan kunci di tingkat kecamatan dan desa/kelurahan; 2) FGD dengan masyarakat miskin penerima dan nonpenerima program; 3) Pengamatan kondisi desa/kelurahan, sekolah (SD dan SMP), serta posyandu. Wawancara mendalam, FGD, serta pengamatan fasilitas dilakukan dengan menggunakan instrumen terstruktur yang telah disiapkan untuk masing-masing informan kunci/FGD/fasilitas. Informan kunci yang diwawancarai meliputi aparat kecamatan dan desa/kelurahan, penyedia pelayanan KIA dan pendidikan dasar, serta komite sekolah, dan tokoh masyarakat di tingkat desa/kelurahan. Pada survei dampak juga dilakukan wawancara terhadap pelaksana program PKH dan PNPM Generasi di tingkat kecamatan dan Lembaga Penelitian SMERU
3
desa/kelurahan. Jumlah keseluruhan informan kunci yang diwawancarai perdesa adalah antara 16 sampai 18 informan. Di setiap desa dilakukan FGD dengan delapan kelompok yang berbeda: empat FGD terkait pelayanan KIA dan empat lainnya terkait pelayanan pendidikan dasar. Satu kelompok FGD terdiri dari delapan sampai sepuluh ibu/bapak penerima dan nonpenerima program dari rumah tangga miskin yang dipilih secara acak. FGD dilakukan dengan memisahkan kelompok ibu dan bapak dengan tujuan untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap serta menangkap persepsi dari sudut pandang laki-laki dan perempuan. Aktivitas pengamatan dilakukan terhadap kondisi desa, fasilitas dan kegiatan posyandu, serta fasilitas dan pelaksanaan belajar mengajar di satu SD dan satu SMP yang paling banyak diakses. Pengamatan terhadap posyandu tidak dapat dilaksanaan di setiap desa/kelurahan karena jadwal penyelenggaraan posyandu, yang dilakukan sebulan sekali, tidak bertepatan dengan tanggal pelaksaaan studi lapangan. Daftar informan kunci/FGD/dan pengamatan disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Daftar Informan Kunci, Kelompok FGD, dan Pengamatan Wawancara informan kunci
Tingkat kecamatan: Camat Kepala cabang Dinas Pendidikan Kepala puskesmas Kepala sekolah SMP/MTs Guru SMP/MTs Ketua komite sekolah SMP/MTs Pendamping PKH/fasilitator PNPM Generasi
1 1 1 1 1 1 1
Tingkat desa/kelurahan: Kepala desa/lurah Tokoh masyarakat Bidan Dukun beranak Kader posyandu Kepala sekolah SD/MI Guru SD/MI Ketua komite SD/MI Ketua Kelompok PKH/PK PNPM Generasi Diskusi kelompok terarah (FGD)
Total: Ibu dari anak usia sekolah dasar (8 orang) Bapak dari anak usia sekolah dasar (8 orang) Ibu dari anak usia sekolah menengah pertama (8 orang) Bapak dari anak usia sekolah menengah pertama (8 orang) Wilayah dengan posyandu: Ibu dari anak usia bawah lima tahun (8 orang) Bapak dari anak usia bawah lima tahun (8 orang) Wilayah tanpa posyandu (dusun jauh): Ibu dari anak usia bawah lima tahun (8 orang) Bapak dari anak usia bawah lima tahun (8 orang)
1 1
Total: Observasi/ pengamatan
1 1 1 1 1 1 1 1 1 16 1 1 1 1
Posyandu SD/MI SMP/MTs Kondisi desa Total:
1 1 8 1 1 1 1 4
Pada studi dampak diupayakan untuk mewawancarai informan yang sama serta mengamati fasilitas yang juga dikunjungi pada studi baseline. Namun demikian, saat di lapangan hampir separuh dari informan lama tidak bisa ditemui, karena sudah pensiun, mutasi, atau sedang tidak ditempat, sehingga peneliti mewawancarai informan lain dengan posisi/jabatan yang sama. Selain itu, sebagian fasilitas yang dikunjungi juga berubah, seperti perubahan lokasi pengamatan posyandu karena menyesuaikan dengan jadwal posyandu dan penyesuaian dan/atau penambahan SD dan SMP yang diamati karena beberapa sekolah yang diamati pada studi baseline dinilai kurang tepat atau tidak banyak diakses warga
4
Lembaga Penelitian SMERU
desa sampel. Secara keseluruhan studi lapangan di setiap desa/kelurahan dilakukan selama 8-9 hari dan melibatkan tiga orang peneliti (satu koordinator dan dua peneliti lokal), nama seluruh peneliti yang terlibat dapat dilihat pada lampiran 1. Agar informan kunci dan peserta FGD tidak bias dalam menjawab pertanyaan, maka selama melakukan pengumpulan informasi di lapangan, tim peneliti tidak menyebutkan bahwa penelitian ini bertujuan untuk melihat dampak PNPM Generasi dan PKH, tetapi untuk melihat perubahan ketersediaan dan pemanfaatan pelayanan KIA dan pendidikan dasar. Pertanyaan yang diajukan baik dalam wawancara mendalam maupun FGD juga tidak ada yang secara langsung menyinggung pelaksanaan dan dampak kedua program tersebut, kecuali wawancara terhadap pelaksana program yang dilakukan pada hari terakhir studi lapangan.
1.5 Wilayah Penelitian Wilayah penelitian studi dampak adalah sama dengan wilayah studi baseline, yaitu di Provinsi Jawa Barat dan NTT. Di Jawa Barat studi dilakukan di Kabupaten Sumedang sebagai wilayah penerima PNPM Generasi dan Kabupaten Cirebon sebagai wilayah penerima PKH perdesaan/perkotaan. Di NTT studi dilakukan di Kabupaten Timor Tengah Utara/TTU sebagai wilayah penerima PNPM Generasi dan Kabupaten Timor Tengah Selatan/TTS sebagian wilayah penerima PKH perdesaan serta Kota Kupang sebagai wilayah penerima PKH perkotaan. Di setiap kabupaten/kota penelitian dilakukan di dua sampai tiga kecamatan yang terbagi menjadi kecamatan perlakuan dan kontrol. Di setiap kecamatan studi dilakukan terhadap satu sampai dua desa/kelurahan. Secara total studi dilakukan di dua provinsi, lima kabupaten/kota, 14 kecamatan dan 24 desa/kelurahan (lihat tabel 4). Tabel 4. Wilayah Penelitian No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Provinsi – Kabupaten/Kota Jawa Barat
Kecamatan
Rancakalong Sumedang
Cirebon
Buahdua
PNPM Generasi-Kontrol
Gegesik
PKH-Perlakuan Perdesaan
Susukan
PKH-Kontrol Perdesaan
Biboki Utara
Timor Tengah Selatan (TTS) Kota Kupang
PNPM Generasi -Perlakuan Tanpa Insentif PNPM Generasi- Perlakuan Mendapat insentif
Darmaraja
Gunung Jati Mundu Nusa Tenggara Timur (NTT)
Timor Tengah Utara (TTU)
Kategori
Insana
PKH-Perlakuan Perkotaan PKH-Kontrol Perkotaan PNPM Generasi- Perlakuan Tanpa Insentif PNPM Generasi- Perlakuan Mendapat Insentif
Bikomi Tengah
PNPM-Kontrol
Kie
PKH-Perlakuan Perdesaan
Molo Selatan
PKH-Kontrol Perdesaan
Alak Kelapa Lima
PKH-Perlakuan Pekotaan PKH-Kontrol Perkotaan
Desa/Kelurahan Nagarawangi Pamekaran Buahdua Bojongloa Sukaratu Neglasari Gegesik Kulon Jagapura Kidul Susukan Tangkil Mertasinga Mundu Pesisir Taunbaen Hauteas Sekon Susulaku A Oenenu Induk Kuanek Oenai Falas Bisene Biloto Fetufeto Tode Kisar
Keterangan: arsiran menunjukan desa/kelurahan baru/pengganti.
Lembaga Penelitian SMERU
5
Dalam pelaksanaan penelitian lapangan terjadi perubahan tiga desa/kelurahan kontrol PKH di NTT. Penggantian desa/kelurahan dilakukan karena ketiganya menerima PKH sehingga tidak layak lagi sebagai wilayah kontrol PKH. Ketiga wilayah tersebut adalah Kelurahan Naikolan Kecamatan Maulaffa Kota Kupang sebagai kontrol PKH perkotaan, serta Desa Boentuka dan Desa Oehela di Kecamatan Batu Putih Kabupaten TTS sebagai kontrol PKH perdesaan. Untuk mengganti Kelurahan Naikolan, tim peneliti mengalami kesulitan karena di Kota Kupang hanya tersisa dua kelurahan yang tidak mendapat PKH, yaitu Kelurahan LLBK dan Kelurahan Tode Kisar (keduanya berada di Kecamatan Kelapa Lima). Secara karakteristik (jumlah penduduk, jumlah RTSM serta luas wilayah) kedua kelurahan tersebut tidak terlalu mirip dengan karakteristik Kelurahan Fatufeto sebagai kelurahan perlakuan PKH di Kota Kupang. Akhirnya, tim memutuskan memilih Kelurahan Tode Kisar dengan pertimbangan memiliki relatif lebih banyak RTSM dibandingkan Kelurahan LLBK. Sebaliknya pemilihan desa pengganti untuk kontrol PKH perdesaan relatif lebih mudah. Dari 32 kecamatan yang ada di Kabupaten TTS, baru 13 yang menerima PKH sehingga masih tersedia 19 alternatif kecamatan pengganti. Dengan mempertimbangkan proporsi penduduk miskin, jenis mata pencaharian serta akses ke lokasi yang relatif mirip dengan desa perlakuan, kecamatan yang terpilih sebagai pengganti adalah Kecamatan Molo Selatan. Di kecamatan ini kemudian dipilih dua desa, satu desa dengan akses mudah yaitu Desa Biloto, dan satu desa dengan akses sulit, yaitu Desa Bisene. Di samping terjadi penggantian tiga desa/kelurahan, adanya pemekaran desa/kecamatan menyebabkan berubahnya wilayah administratif satu kecamatan/desa penelitian. Desa Oenenu dan Kuanek (wilayah kotrol PNPM Generasi) di Kabupaten TTU yang pada studi baseline adalah bagian dari Kecamatan Miomafo Timur, setelah kecamatan ini dimekarkan pada 2007 menjadi bagian dari Kecamatan Bikomi Tengah. Selain itu Desa Taunbaen di Kecamatan Biboki Utara Kabupaten TTU juga sedang persiapan untuk dimekarkan menjadi dua desa. Salah satu dusun di desa ini, dengan penduduk 136 KK, akan menjadi satu desa baru. Desain pengaturan wilayah penelitian juga sedikit terdistorsi karena dua desa yang masuk kategori perlakuan PNPM Generasi ternyata sejak 2007 juga menerima PKH. Kedua desa tersebut adalah Desa Nagarawangi dan Desa Pamekaran di Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang Jawa Barat. Kedua desa tersebut tetap diperlakukan sebagai desa perlakuan PNPM Generasi, tetapi dengan mempertimbangkan keberadaan PKH.
1.6 Struktur Penulisan Laporan Laporan ini terbagi menjadi lima bab. Bab I menyajikan pendahuluan yang berisi latar belakang penelitian, tujuan yang ingin dicapai, metodologi yang digunakan, serta penentuan wilayah dan jadwal penelitian. Bab II membahas karakteristik wilayah penelitian meliputi aspek lokasi dan akses, penduduk, kondisi rumah dan fasilitas pendukung, serta sumber daya alam dan ekonomi. Bab III membahas PNPM Generasi meliputi aspek pelaksanaan, ketersediaan dan pemanfaatan pelayanan KIA dan pendidikan dasar di wilayah perlakuan dan kontrol PNPM Generasi. Bab IV membahas PKH meliputi aspek pelaksanaan, ketersediaan dan pemanfaatan pelayanan KIA dan pendidikan dasar di wilayah perlakuan dan kontrol PKH. Analisis pada bab III dan IV difokuskan pada perubahan, penyebab perubahan, serta dampak PNPM Generasi atau PKH terhadap perubahan. Bab V berisi kesimpulan dan rekomendasi.
1.7 Jadwal Penelitian Secara keseluruhan penelitian dilakukan selama tujuh bulan mulai Januari sampai Juli 2010. Pada bulan Januari dilakukan persiapan studi, meliputi persiapan instrumen penelitian lapangan, rekruitmen peneliti lokal, serta pengurusan perizinan lapangan. Penelitian lapangan di Jawa Barat dilaksanakan pada 2-21 Februari 2010, dilanjutkan di NTT pada 9-28 Maret 2010. Penyusunan draft laporan dilaksanakan selama April sampai pertengahan Juni, dilanjutkan dengan finalisasi draft sampai akhir Juli 2010.
6
Lembaga Penelitian SMERU
II KARAKTERISTIK WILAYAH PENELITIAN 2.1 Lokasi dan Akses Lokasi penelitian dibedakan berdasarkan aksesibilitas yaitu jarak dan keterjangkauan desa/kelurahan dari pusat kecamatan (lihat lampiran 2). Pusat kecamatan menjadi acuan karena di pusat kecamatan inilah umumnya sarana kesehatan (puskesmas) dan sarana pendidikan lanjutan (SMP dan SMA) berada. Enam desa yang masuk kategori mudah diakses di Jawa Barat berada atau berbatasan langsung dengan ibu kota kecamatan. Sarana transportasi umum dari dan menuju enam desa ini sangat mudah karena semua desa dilintasi jalan provinsi atau kabupaten. Enam desa lainnya di Jawa Barat yang masuk kategori sulit diakses berjarak terjauh tujuh kilometer dari ibu kota kecamatan. Kondisi jalan menuju keenam desa ini relatif baik karena sudah diaspal. Hanya beberapa dusun di dalam desa yang masih agak sulit diakses. Angkutan dalam kota merupakan sarana transportasi yang paling banyak digunakan karena biayanya relatif murah. Alternatif angkutan lainnya adalah ojek terutama untuk transportasi antardusun. Dibandingkan 2007, perubahan yang terjadi adalah perbaikan dan peningkatan kondisi jalan terutama dibiayai oleh PNPM Mandiri Perdesaan. Program tersebut diterima di beberapa desa baik perlakuan maupun kontrol PNPM Generasi/PKH. Sementara di NTT, dari enam desa/kelurahan yang masuk kategori mudah diakses, hanya dua kelurahan di Kota Kupang yang benar-benar mudah diakses. Empat desa lainnya (di Kabupaten TTU dan TTS), meskipun jarak desa ke ibukota kecamatan kurang dari dua kilometer, akan tetapi karena kondisi jalan yang sebagian rusak serta masih jarang dilalui angkutan umum membuat akses menuju empat desa tersebut menjadi sulit. Enam desa yang masuk kategori sulit diakses berjarak minimal enam kilometer dari ibu kota kecamatan. Kondisi ini diperparah dengan jalan yang rusak, medan yang naik turun, dan terbatasnya sarana transportasi menuju ke desa. Di empat desa sudah ada angkutan yang masuk meskipun baru 1-2 trayek per hari. Dua desa lainnya yaitu Falas dan Bisene di Kabupaten TTS masih belum diakses oleh angkutan umum, sehingga warga harus berjalan kaki sejauh 7-9 km (1,5 jam) untuk mencapai ibu kota kecamatan. Luasnya desa (umumnya lebih dari 1.000 ha) menyebabkan jarak antardusun berjauhan. Beberapa desa bahkan dilalui sungai besar, memiliki wilayah hutan, serta topografi yang naik turun sehingga lebih menyulitkan akses ke dusun-dusun terpencil. Pada saat musim hujan sebagian dusun tidak bisa dijangkau sekalipun oleh kendaraan roda dua. Kondisi tersebut sangat berpengaruh terhadap akses warga ke fasilitas KIA dan sekolah. “Masalahnya ialah bagaimana bidan bisa langgar (menyeberangi) sungai yang sedang banjir, atau kalaupun bisa, bayi tidak bisa tunggu untuk ke luar...ini masalahnya” (FGD Bapak-NTT). “Kalau banjir kami bantu kasih langgar, kami pikul anak, nanti pas jam pulang sekolah kami tunggu mereka di kali dan kami kasih langgar anak dong lagi baru kita pulang sama-sama” (FGD Bapak-NTT). Dibandingkan 2007 kondisi jalan menuju desa umumnya tidak banyak berubah. Namun, telah ada beberapa perbaikan jalan di dalam desa yang didanai oleh APBD II dan swadaya masyarakat. Beberapa ojek sudah mulai masuk ke desa sejak 2009, tetapi ongkosnya masih relatif mahal (Rp25.000 sekali jalan). Sarana komunikasi seluler juga sudah mulai dapat digunakan di beberapa desa. “Tahun 2007 kami tidak bisa jemput ibu bidan karena belum ada ojek dan belum ada HP” (FGD Ibu-NTT).
2.2 Penduduk Secara umum, dibandingkan 2007, terjadi pertambahan jumlah penduduk di hampir semua wilayah studi dengan tingkat pertumbuhan di NTT relatih lebih tinggi dibandingkan di Jawa Barat (lihat lampiran 3). Di semua desa/kelurahan sampel tidak terjadi perpindahan penduduk yang signifikan (baik penduduk yang pindah ke dalam maupun ke luar desa). Di beberapa desa di Jawa Barat banyak warga (umumnya laki-laki) yang pergi merantau ke Jakarta atau perempuan menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di Arab Saudi dan Malaysia. Fenomena ini sudah terjadi sejak 2007.
Lembaga Penelitian SMERU
7
Dilihat dari jenis kelamin, tidak ada perbedaan proporsi yang signifikan antara jumlah penduduk perempuan dan laki-laki di semua wilayah penelitian. Jumlah anggota keluarga di Jawa Barat rata-rata 3-4 orang sedangkan di NTT 4-5 orang. Proporsi rata-rata kepala rumah tangga perempuan per desa adalah sekitar 15%, yang sebagian besar berstatus janda ditinggal mati. Berdasarkan tingkat pendidikan, baik di Jawa Barat maupun di NTT, sebagian besar penduduk hanya tamat SD, sebagian lainnya tamat SMP atau SMA, dan sebagian kecil penduduk putus sekolah SD (kelas 4 atau 5 SD). Kondisi terseubut tidak banyak berubah dibandingkan 2007.
2.3 Kondisi Rumah dan Fasilitas Pendukung Di Jawa Barat kondisi rumah warga di desa sampel relatif baik, sebagian besar rumah beratap genting, berdinding tembok, dan berlantai ubin, semen atau keramik. Kondisi ini tidak banyak berubah dibandingkan 2007. Di NTT, rumah penduduk di desa penelitian sebagian besar beratap alang-alang atau seng, berdinding bebak atau bambu, dan berlantai tanah. Dibandingkan 2007, kondisi rumah di NTT sebagian kecil mengalami peningkatan, jumlah rumah yang berdinding tembok dan belantai semen sudah bertambah. Sumber air bersih sebagian besar rumah di Jawa Barat adalah PDAM, sebagian lain dari sumur gali, sumur pompa atau mata air. Pada musim kemarau warga di sebagian desa di Kabupaten Cirebon terpaksa harus membeli air dengan harga Rp1.500/jerigen, karena sumur mereka kering dan sudah terintrusi air laut. Sebagian besar rumah sudah memiliki MCK dan sebagian kecil lainnya memanfaatkan MCK umum atau memanfaatkan sungai. Untuk sumber penerangan seluruh rumah sudah menggunakan listrik dari PLN. Perubahan yang terjadi dibandingkan 2007 adalah lebih banyaknya rumah yang terlayani PDAM dan memiliki MCK. Bertambahnya kepemilikan MCK selain karena usaha warga juga karena adanya bantuan seperti dari program WSSLIC (Water Supply and Sanitation for Low Income Communities). Di NTT, kecuali di dua kelurahan sampel di Kota Kupang, kondisi sarana air bersih, MCK, dan listrik masih menjadi persoalan. Sumber air bersih warga umumnya adalah sumur, baik pribadi maupun umum, serta dari sungai. Pada musim kemarau sebagian besar warga mengalami kesulitan air dan harus berjalan 3-4 km untuk mengambil air di mata air atau sungai. Sebagian warga sudah memiliki MCK di pekarangan rumah. Penyediaan sarana air bersih dan MCK di NTT banyak dibantu lembaga internasional seperti Plan International, WVI dan CWS, sehingga dibandingkan 2007 kondisi sarana air bersih dan MCK sudah sedikit lebih baik. Sumber penerangan utama sebagian besar warga masih menggunakan pelita dari minyak tanah. Tiga desa penelitian di Kabupaten TTS sama sekali belum tersentuh listrik, sedangkan di tujuh desa lainnya sebagian kecil warga sudah memiliki listrik (dari PLN dan genset). Bantuan genset di dua desa kontrol diperoleh dari PNPM Mandiri Perdesaan pada 2009. Keterbatasan fasilitas pendukung sangat berpengaruh terhadap kondisi ketersedian dan pemanfaatan pelayanan KIA dan pendidikan dasar. “Ibu bidan tidak mau tinggal di desa Falas karena disini tidak ada listrik dan tidak ada air” (FGD IbuNTT). “Tidak ada air di sekolah, jadi anak-anak harus bawa air ke sekolah. Setiap minggu ada dua kelas yang selalu bawa air untuk WC sekolah” (Kepala Sekolah-NTT).
2.4 Sumber Daya Alam dan Ekonomi Mata pencaharian sebagian besar penduduk di wilayah studi, baik di Jawa Barat maupun di NTT adalah di bidang pertanian. Di wilayah perdesaan di Jawa Barat jenis tanaman yang banyak diusahakan warga adalah padi, palawija, dan sayuran. Hasil panen umumnya dijual ke pasar (bukan sebagai petani subsisten). Luas lahan garapan umumnya kurang dari 1 ha dengan perbandingan jumlah petani sebagai pemilik dan penggarap (buruh tani) hampir sama. Keterlibatan perempuan (istri) dalam pertanian adalah membantu laki-laki (suami) saat musim tanam dan panen. Di perdesaan NTT, jenis tanaman
8
Lembaga Penelitian SMERU
yang paling banyak ditanam warga adalah jagung, kacang-kacangan, dan umbi-umbian dengan luas lahan rata-rata 5 ha. Sebagian warga juga mengumpulkan hasil hutan seperti asam dan kemiri. Hasil panen sebagian untuk dikonsumsi dan sisanya dijual ke pasar. Dalam mengusahakan pertanian, perempuan memiliki beban kerja yang sama dengan laki-laki. Di luar pertanian perempuan juga bekerja sebagai penenun, hasil tenun dipakai keluarga maupun dijual ke pasar. Selain pertanian, sebagian penduduk di wilayah pesisir Kabupaten Cirebon dan Kota Kupang juga bekerja sebagai nelayan. Di wilayah ini laki-laki pergi mencari ikan, kerang, dan kepiting ke laut, sedangkan perempuan membantu mengupas kerang, membersihkan ikan, dan menjual hasil tangkapan suami ke pasar. Pekerjaan nelayan ini banyak melibatkan anak usia sekolah, baik laki-laki maupun perempuan. Di beberapa desa di Jawa Barat (terutama di Kabupaten Cirebon) banyak perempuan yang bekerja menjadi TKW dengan tujuan utama Arab Saudi dan Malaysia. Penduduk laki-laki banyak yang merantau ke Jakarta bekerja sebagai buruh bangunan, sopir, pembantu, atau berdagang. Khusus di dua kelurahan sampel PKH perkotaan di NTT, mata pencaharian utama warga adalah sebagai pedagang, buruh, serta sebagian PNS terutama guru dan pegawai pemerintah daerah (pemda). Dibandingkan 2007, terdapat penambahan jenis mata pencaharian dan peningkatan partisipasi di beberapa jenis pekerjaan nonpertanian. Di Jawa Barat, warga yang bekerja sebagai pengojek, buruh dan pemilik warung jumlahnya meningkat, sedangkan jumlah petani (terutama petani pemilik) semakin menurun. Di beberapa desa di NTT, ojek dan menggali batu Mangan4 menjadi mata pencaharian baru sejak 2008/2009. Penggalian batu Mangan tidak hanya melibatkan orang tua tetapi juga anak-anak usia sekolah.
4Penggalian
batu Mangan mulai diperkenalkan oleh pengusaha Korea Selatan. Batu Mangan yang dikumpulkan dijual warga ke pengumpul dengan harga sekita Rp1,000/kg. Dalam satu hari satu keluarga (istri, suami dan anak) bisa mengumpulkan 25-60 Kg.
Lembaga Penelitian SMERU
9
III PNPM GENERASI 3.1 Pelaksanaan PNPM Generasi Dari 24 desa/kelurahan sampel, delapan desa menerima PNPM Generasi sejak 2007. Di kedelapan desa tersebut PNPM Generasi cukup dikenal baik di kalangan aparat maupun masyarakat. Peserta FGD yang sebagian besar adalah rumah tangga miskin umumnya mengenal nama PNPM Generasi. Sebagian menyebut program ini sebagai ‘GSC’, sebagian lainnya menyebut sebagai Generasi atau hanya PNPM tanpa sebutan Generasi di belakangnya. Masyarakat umumnya mengenal program dari sosialisasi yang dilakukan oleh fasilitator pada saat awal program diluncurkan tahun 2007, dan ketika anggota keluarga (anak atau istri) menerima bantuan dari program tersebut. “Saya tahu PNPM karena dari fasilitator di desa ini”(FGD Ibu-NTT). “PNPM yang paling terasa karena kalau yang lain kami tidak tau” (FGD Bapak-NTT). Manfaat program umumnya disambut positif baik di tingkat elit desa dan pemberi layanan KIA (bidan, puskesmas, kader) dan pendidikan dasar (kepala sekolah dan guru) maupun masyarakat. Program dinilai lebih bermanfaat dibandingkan program KIA/pendidikan lainnya karena jenis bantuannya banyak dan diterima tidak hanya oleh sebagian besar warga desa, tetapi juga pemberi layanan melalui honor kader posyandu dan guru serta subsidi melahirkan ke bidan. Program juga dianggap menjadi pelengkap program sejenis yang sudah ada di desa seperti BOS, Jamkesmas, dan berbagai program kesehatan dan pendidikan dari lembaga nonpemerintah di NTT (Plan International, WVI, CARE, WFP, GMIT, Bantuan Belanda, LSM Sanggar Perempuan, dsb). Program juga dianggap lebih aspiratif dibandingkan program BOS atau Jamkesmas karena jenis bantuan dan penerima ditentukan di tingkat desa. “GSC bisa memecahkan masalah utama kaum ibu pada masa hamil, melahirkan dan nifas. Selama ini masyarakat kesulitan untuk mendapatkan biaya ketiga layanan tersebut” (FGD Bapak-NTT). “PNPM berdampak langsung karena kami dapat langsung bantuannya. BOS terlalu tertutup.” (FGD Bapak-NTT). Meskipun secara formal perumusan penentuan jenis bantuan sudah dilakukan di tingkat desa, pengambilan keputusan masih banyak ditentukan oleh pelaksana program dan elit desa. Keterlibatan perempuan dalam perumusan jenis bantuan PNPM Generasi juga masih relatif rendah karena meskipun secara formal perempuan sudah terwakili, namun ketika berdiskusi dengan laki-laki di tingkat desa, laki-laki lebih banyak bicara dan kalangan elite desa juga umumnya laki-laki.
”Dalam musyawarah, intervensi birokrasi masih tinggi. Terutama mendorong peserta musyawarah untuk lebih memprioritaskan infrastruktur” (FD-Jawa Barat). “Penentuan sasaran PNPM melibatkan aparat dusun, RT hingga ke desa. Ada saja aparat dusun, RT atau desa menunjuk sasaran yang masih ada hubungan kekerabatannya supaya masuk menjadi sasaran dan mendapat bantuan” (Bidan-Jawa Barat). “Pengurus PNPM berjalan sendiri. Bantuan yang diberikan PNPM terhadap sasaran ditentukan sendiri oleh pengurus PNPM” (Bidan-NTT). “Jadi di musdus didominasi para ibu (hampir 90%), sementara laki-laki yang hadir hanya berasal dari pihak aparat desa saja. Sebaliknya di musdes lebih dominan laki-laki” (Kader-Jawa Barat). “Rata-rata ibu-ibu tidak tahu karena tidak diajak rapat. Yang lebih banyak ikut rapat adalah laki-laki dan kalaupun ada perempuan yang ikut rapat, laki-laki lebih banyak bicara (FGD Ibu-Jawa Barat).
10
Lembaga Penelitian SMERU
Dari segi jenis penggunaan dana, tidak ditemukan penggunaan dana PNPM Generasi yang menyimpang dari ketentuan program, semua jenis penggunaan berkaitan dengan KIA dan pendidikan dasar. Dalam satu tahun desa umumnya mengalokasikan dana paling sedikit untuk delapan jenis penggunaan, baik untuk KIA maupun pendidikan. Jenis penggunaan dana dibagi dalam tiga kategori: bantuan langsung ke rumah tangga, insentif bagi pemberi layanan, serta pembangunan fasilitas fisik dan pengadaan sarana pendukung KIA dan pendidikan dasar. Penggunaan dana PNPM Generasi untuk KIA, kecuali pada 2009, lebih banyak dialokasikan untuk insentif pemberi layanan (kader dan bidan) atau pengadaan sarana pendukung di posyandu/polindes. Bantuan langsung ke rumah tangga di bidang KIA umumnya berupa dana transpor pemeriksaan kehamilah, PMT untuk balita gizi buruk serta subsidi biaya melahirkan yang dananya ditransfer langsung ke bidan. Sedangkan pada 2009, karena dana PNPM Generasi dapat digunakan untuk pembangunan fasilitas fisik dan jumlah alokasi dana per desa yang jauh lebih besar, maka hampir sebagian besar dana di semua desa sampel dialokasikan untuk pembangunan fisik, terutama membangun rumah posyandu. Di salah satu desa di Jawa Barat misalnya, dari Rp90,8 juta dana PNPM Generasi pada 2009, 96% nya dialokasikan untuk pembangunan enam rumah posyandu. Untuk bidang pendidikan, dana PNPM Generasi cenderung lebih banyak dialokasikan dalam bentuk bantuan langsung ke murid, seperti untuk seragam dan perlengkapan sekolah, biaya transpor, biaya photo copy, serta subsidi biaya asrama dan beasiswa bagi murid miskin. Alokasi untuk pemberi layanan pendidikan hanya ditemukan di tiga desa di NTT dalam bentuk pembayaran guru honorer. Alokasi untuk penunjang sekolah hampir semuanya dalam bentuk mebeler sekolah yaitu berupa kursi dan meja murid. Ditenggarai rendahnya alokasi dana PNPM Generasi untuk peningkatan fasilitas fisik dan penunjang sekolah antara lain disebabkan tidak adanya pengelola program di tingkat desa yang berasal dari lingkungan sekolah (guru/kepala sekolah). Berbeda dengan bidang KIA, pengelola program banyak yang merupakan kader posyandu. Tabel 5. Alokasi Dana PNPM Generasi Tahun 2009 Desa
Total Dana
Pendidikan
KIA
Jawa Barat Nagarawangi
90.809.700
4%
96%
Pamekaran
66.953.700
41%
59%
Buah Dua
210.508.000
55%
49%
Bojong Loa
167.257.000
46%
34%
NTT Taunbaen
293.328,419
71%
29%
Hauteas
298.000.000
68%
32%
Sekon
111.897.901
37%
63%
Susulaku
128.000.000
33%
61%
Terdapat kecenderungan masyarakat di desa sampel, terutama di NTT, yang menilai manfaat PNPM Generasi untuk bidang pendidikan lebih tinggi dibandingkan untuk KIA. Terdapat dua hal yang melatarbelakangki munculnya persepsi tersebut. Pertama, penggunaan dana untuk pendidikan lebih banyak berupa bantuan langsung ke murid, sedangkan untuk KIA lebih banyak diterima oleh pemberi layanan dan untuk pengadaan fasilitas penunjang di posyandu/polindes, sehingga manfaat bantuan bidang KIA tidak terlalu dirasakan langsung di tingkat rumah tangga. Alasan kedua adalah karena jumlah penerima bantuan KIA relatif lebih sedikit dibandingkan penerima bantuan pendidikan. Bantuan KIA hanya diterima oleh kelompok sasaran tertentu. Misalnya
Lembaga Penelitian SMERU
11
program makanan tambahan (PMT) hanya diberikan kepada balita penderita gizi buruk saja atau subsidi melahirkan hanya khusus untuk ibu hamil, sedangkan bantuan di bidang pendidikan, seperti seragam, buku dan alat tulis diberikan kepada semua murid. Jumlah keluarga yang mempunyai anak usia SD dan SMP jauh lebih banyak dibandingkan mereka yang hamil atau memiliki balita gizi buruk. Manfaat PNPM Generasi bidang pendidikan “PNPM dibagi secara adil dan semua dapat dan jumlahnya besar khususnya untuk bidang pendidikan” (FGD Ibu-NTT). Manfaat PNPM Generasi bidang KIA “Kalo untuk kesehatan hanya terbatas saja, dan tidak merata” (FGD Ibu-NTT). “Orangtua yang gizi anaknya baik kecewa karena tidak dapat bantuan makanan, padahal anak yang sehat seharusnya mendapat perhatian juga karena sudah berusaha keras rajin ke posyandu, jangan hanya memperhatikan anak gizi buruk saja” (FGD Bapak-NTT). “PNPM Generasi lebih membantu hanya untuk bidang pendidikan. Ada dampak dari PNPM Generasi bidang kesehatan, namun dampak tersebut sangat minim” (Kepala Desa-NTT). Dilihat dari tingkat kontribusi masyarakat dalam pelaksanaan PNPM Generasi, terdapat perbedaan yang signifikan antara di Jawa Barat dan NTT. Di Jawa Barat masyarakat di ketiga desa sampel berkontribusi dalam bentuk uang dan di satu desa sampel lainnya dalam bentuk makanan dan jasa. Sebaliknya, di NTT dari empat desa penelitian, hanya satu desa yang warganya memberikan kontribusi dalam bentuk barang (lihat Tabel 6). Di desa lainnya masyarakat enggan memberikan kontribusi karena beranggapan program bantuan berarti mereka menerima bukan memberi, dan ada kekhawatiran kontribusinya akan lebih banyak dinikmati oleh pengelola program. “Mereka punya kebiasaan bahwa yang namanya proyek bantuan itu mereka harus terima bantuan, bukan beri bantuan. Jadi kalau ada diminta kontribusi, masyarakat sudah berpikiran bahwa pasti aparat sudah melakukan korupsi atau penyelewengan. Itu sudah berlangsung dari dul.” (PK PNPM Generasi-NTT). Tabel 6. Kontribusi Masyarakat terhadap PNPM Generasi Tahun 2009 Desa
Nagarawangi Pamekaran Buah Dua Bojong Loa Taunbaen Hauteas Sekon Susulaku A
Kontribusi Masyarakat Jenis Kontribusi
Besaran
Jawa Barat Rp11.400.000 Rp 3.500.000 Rp 8.839.800 Membawa makanan dan minuman, meminjamkan Makanan dan jasa kendaraan NTT Tidak ada Tidak ada Tidak ada Saat membangun posyandu, masyarakat menyumbang material seperti papan, kayu bulat, Tenaga dan material tenaga dan waktu. Dalam penyediaan PMT para ibu membantu memasak. Uang Uang Uang
Sumber: Rekapitulasi hasil wawancara dan FGD
12
Lembaga Penelitian SMERU
Berdasarkan petunjuk teknis operasional (juknis) PNPM Generasi bahwa setiap bulan FK bersama FD/KPMD dan tim kerja TPMD akan melakukan monitoring tingkat pencapaian desa dalam memenuhi 12 indikator keberhasilan, yaitu dengan merekapitulasi kupon pemantauan KIA dan daftar hadir murid untuk pemantauan bidang pendidikan. FD yang diwancarai mengatakan bahwa mereka secara rutin sudah melakukan pengumpulan data ke sekolah, posyandu/kader dan bidan desa. Namun, saat tim peneliti melakukan observasi di beberapa posyandu, buku kupon yang seharusnya ada bersama dengan buku KIA dan distempel oleh bidan/pemberi layanan setiap kali penerima manfaat melakukan pemeriksaan tidak dilakukan. Di salah satu desa di NTT, buku ini menumpuk di rumah ketua kader posyandu yang sekaligus sebagai FD. Untuk pengawasan kehadiran murid SMP cenderung sulit dilakukan, karena murid dari satu desa bersekolah di beberapa SMP yang sebagian besar berlokasi di luar desa. Rendahnya honor juga menjadi kendala bagi pelaksana program (terutama di NTT) dalam melakukan monitoring kehadiran murid di SMP.
“Sedangkan untuk siswa SMP hanya dengan cara mengumpulkan orang tua siswa, umumnya masyarakat di sini mengetahui secara pasti anak siapa saja yang bersekolah di SMP, kami tidak melakukan pengecekan langsung ke SMP karena membutuhkan biaya transportasi yang besar jika kami harus datang langsung ke sekolah tersebut” (FD-NTT). Pembedaan antara PNPM Generasi dengan insentif dan tanpa insentif tidak terdengar gaungnya di tingkat desa maupun di tingkat kecamatan. Dari empat desa sampel penerima PNPM Generasi dengan insentif, tiga FD tidak memahami mengenai sistem insentif ini, hanya di satu desa di NTT yang FD-nya memahami tentang insentif dan menjelaskan bahwa: ”Pada 2009, dari dana PNPM GSC sebesar Rp128 juta, Rp108 juta merupakan dana utama dan sebesar Rp20 juta adalah bonus/insentif (20% dari dana utama). Besarnya insentif akan berkurang apabila pencapaian indikator kurang dari patokan yang telah ditetapkan, misalnya absensi murid kurang dari 85%”. Di tingkat aparat desa dan masyarakat, istilah insentif dan noninsentif ini pun sama sekali tidak dikenal. Selain itu, pembedaan insentif ini juga sulit dilakukan karena jumlah dana PNPM Generasi yang diterima di semua desa sampel meningkat setiap tahun, baik bagi desa dengan insentif maupun tanpa insentif. Misalnya, Desa Hauteas di Kabupaten TTU adalah desa penerima PNPM Generasi tanpa insentif, pada 2007 desa ini menerima dana PNPM Generasi sebesar Rp60 juta, pada 2008 naik menjadi Rp 160 juta, dan pada 2009 menjadi Rp298 juta. Hambatan pelaksanaan program yang banyak dikeluhkan oleh FD adalah keterlambatan dan ketidaktepatan pencairan dana bantuan. Misalnya, bantuan seragam sekolah atau uang sekolah sangat dibutuhkan orang tua murid pada awal tahun ajaran, namun bantuan tersebut baru turun pada November atau Desember. Selain itu, kecilnya biaya opersional bagi FD juga dikeluhkan, terutama untuk desa-desa di NTT karena jarak desa yang jauh sehingga dana operasional sering habis hanya untuk biaya transportasi, bahkan terkadang tidak mencukupi: “Tahun 2009, insentif kami Rp115.000/bulan. Ojek saja sekali jalan bisa dapat Rp20.000 dan sebulan bisa 6 kali jalan saja sudah dapat Rp120.000” (FD PNPM Generasi-NTT).
3.2 Ketersediaan Pelayanan KIA Meski tidak terdapat penambahan jenis maupun tenaga layanan KIA baik di wilayah perlakuan maupun kontrol, secara umum studi menemukan berbagai perubahan/perbaikan kondisi pelayanan KIA yang sudah ada sejak 2007. Perubahan/perbaikan dimaksud adalah peningkatan fasilitas fisik, peningkatan sarana pendukung, peningkatan kinerja penyedia layanan, serta penurunan layanan tradisional/dukun beranak. Sumber dana perbaikan adalah dari pemerintah daerah dan pusat, termasuk PNPM Generasi dan PNPM Mandiri Perdesaan, maupun dari dana nonpemerintah/ornop. Akan tetapi, berbagai perubahan tersebut belum sepenuhnya dapat menjangkau semua penduduk miskin terutama mereka yang tinggal di wilayah terpencil karena pelayanan KIA masih harus menghadapi hambatan akses fisik atau geografis, minimnya tenaga
Lembaga Penelitian SMERU
13
KIA, terbatasnya sarana/prasarana penunjang, ketidaktersediaan listrik dan air bersih, menyebarnya lokasi penduduk, serta masih adanya peran dukun beranak. Hasil studi juga menemukan bahwa keberadaan PNPM Generasi membuat perubahan ketersediaan pelayanan KIA di wilayah perlakuan secara umum lebih tinggi dibandingkan di wilayah kontrol. Kontribusi PNPM Generasi terhadap perubahan pelayanan KIA adalah berupa tambahan/peningkatan fasilitas fisik tempat layanan, tambahan fasilitas penunjang layanan, serta pemberian insentif bagi pemberi layanan KIA. 3.2.1 Kondisi dan Perubahan Ketersediaan Pelayanan KIA serta Permasalahannya Secara umum jenis layanan KIA dan tenaga kesehatan yang tersedia di sebagian besar desa sampel tidak berubah dibandingkan 2007, yaitu meliputi bidan desa, pos bersalin desa (polindes) atau pos kesehatan desa (poskesdes)5, dan pos pelayanan terpadu (posyandu) dengan kadernya. Beberapa desa memiliki puskesmas pembantu (pustu) dan di seluruh ibu kota kecamatan tersedia puskesmas. Selain jenisnya, jumlah layanan KIA dan tenaga kesehatan yang tersedia di setiap desa sampel juga tidak bertambah, hanya di satu desa kontrol di NTT ada penambahan satu layanan posyandu yang dibentuk bersamaan dengan pemekaran dusun (lihat tabel 7). Pejelasan berikut menggambarkan kondisi setiap jenis layanan, perubahan yang terjadi dibandingkan 2007, dan hambatan yang dihadapi setiap jenis layanan. Tabel 7. Jenis Fasilitas yang Tersedia di Desa Perlakuan dan Kontrol PNPM Generasi Kategori
Jawa Barat -Perlakuan Jawa Barat -Kontrol
NTTPerlakuan
NTTKontrol
Nama Desa
Jumlah Posyandu
Bidan Desa
b)
2007
2010
2007
2010
1. Nagarawangi 2. Pamekaran 3. Buahdua 4. Bojongloa
8 5 4 4
8 5 4 4
Ada Ada Ada Ada
1. Sukaratu
4
4
Ada
4 3 4
3 3 4
2
2
Ada Ada Ada Ada (di luar desa)
Ada Ada d) Ada Ada Ada (di luar desa) Ada Ada Ada
2. Neglasari 1. Taunbaen 2. Hauteas 3. Sekon
a)
4. Susulaku A
2
2
Ada
1. Oenenu Induk
1
2
2. Kuanek
1
1
Ada Ada (di luar desa)
Ada Ada (di luar desa) Ada Ada (di luar desa)
Keberadaan Fasilitas KIA lainnya Polindes -
Poskesdes √ √ -
√ √
Puskesc) mas √ √ -
-
√
-
-
√ √
√ -
√ -
√ -
√
-
-
-
√
-
-
-
√
-
-
-
√
-
-
-
Pustu
Keterangan : a) Satu posyandu di satu dusun pindah ke wilayah desa baru. b) (Ada) berarti bidan berada di dalam desa. c) (–) mengakses puskesmas di luar desa atau puskesmas yang berada di ibukota kecamatan. d) Tidak lagi dirangkap oleh bidan puskesmas. Sumber: Rekapitulasi hasil wawancara, FGD dan observasi
Posyandu terdapat di setiap dusun atau RW di semua desa sampel di Jawa Barat, sedangkan di NTT jumlah posyandu masih terbatas dan belum menjangkau wilayah/dusun yang letaknya terpencil. Seperti halnya ketika studi baseline 2007, posyandu menjadi tempat layanan utama kesehatan anak balita dengan sistim pelayanan lima meja yang meliputi pendaftaran, penimbangan, pencatatan, 5Polindes
hanya utuk pelayanan ibu hamil dan melahirkan, sedangkan poskesdes untuk semua layanan kesehatan secara umum sehingga masyarakat tidak lagi selalu harus ke puskesmas. Sejalan dengan Program Desa Siaga, seluruh polindes di Jawa Barat telah menjadi poskesdes.
14
Lembaga Penelitian SMERU
penyuluhan gizi, dan pelayanan kesehatan (imunisasi, pemberian vitamin A serta penanganan anak kurang gizi dan gizi buruk). Penyelenggaraan layanan posyandu dilakukan secara rutin setiap bulan dan satu posyandu dikelola rata-rata oleh 5 orang kader bekerja sama dengan bidan desa. Perubahan pada layanan di posyandu dibandingkan kondisi 2007 adalah dibangun/diperbaikinya beberapa tempat layanan posyandu di semua desa perlakuan dan di sebagian desa kontrol (lihat tabel 8). Di desa perlakuan pembangunan rumah posyandu seluruhnya didanai PNPM Generasi. Di sebagian desa sampel PNPM Generasi juga memberikan berbagai perlengkapan posyandu seperti timbangan, alat tensi darah, meja, kursi, tempat tidur, alat permainan anak, dan alat tulis. Layanan posyandu juga semakin lengkap dengan adanya pemberian makanan tambahan (PMT) terutama bagi anak yang kekurangan gizi atau bergizi buruk. Di sebagian desa kontrol, pembangunan rumah posyandu didanai oleh PNPM Mandiri Perdesaan (lihat tabel 8), namun program ini tidak memberikan bantuan perlengkapan posyandu, PMT, dan insentif bagi kader. Dengan dibangunnya rumah posyandu, pelaksanaan pelayanan posyandu tidak lagi menumpang di kantor desa, rumah kader atau staf desa dan tidak lagi terganggu atau mengganggu kegiatan lainnya. Demikian pula ibu dan balita merasa lebih nyaman di posyandu dan pelaksanaan layanan juga menjadi lebih leluasa dan waktu pelayanan lebih panjang. “Kami senang dengan PNPM Generasi karena posyandu di dusun sebelah sudah bisa dibangun” (FGD Bapak-NTT). “Anak-anak sekarang lebih betah berada di Posyandu karena ada alat permainan bantuan dari program PNPM Generasi” (Kader posyandu-Jawa Barat). Tabel 8. Jumlah Fasilitas Pelayanan KIA yang Dibangun selama 2008-2010 Desa Perlakuan Nama Desa
1. Nagarawangi 2. Buahdua
Desa Kontrol
Jumlah fasilitas yang didanai dari PNPM Generasi
Nama Desa
Jawa Barat: 6 posyandu dari 8 posyandu 1. Sukaratu 3 posyandu dari 4 posyandu
3. Pamekaran
2 posyandu dari 5 posyandu
4. Bojongloa
4 posyandu
1. Sekon
2 ruang bersalin di polindes
2. Hauteas
1 polindes
3. Susulaku A
1 posyandu dari 2 posyandu 1 posyandu dari 3 posyandu; 1 polindes
2. Neglasari
Jumlah fasilitas yang didanai dari PNPM Mandiri Perdesaan 2 posyandu dari 4 posyandu; 1 poskesdes 1 poskesdes
NTT:
4. Taunbaen
1. Oenenu Induk
1 polindes
2. Kuanek
1 posyandu dari 1 posyandu
Sumber: Rekapitulasi hasil wawancara, FGD dan observasi
PNPM Generasi juga menyediakan insentif untuk kader posyandu. Ketika studi baseline 2007, tidak adanya insentif bagi kader banyak dikeluhkan bidan karena mereka mengalami kesulitan dalam merekrut kader baru yang dituntut bekerja secara sukarela. Adanya insentif menjadi daya tarik dan bentuk apresiasi atas kerja kader sekaligus meningkatkan motivasi mereka. Kader di beberapa desa, misalnya, menjadi lebih aktif untuk mendatangi rumah ibu bayi balita yang tidak hadir di posyandu. Keberadaan insentif ini juga diakui bidan lebih memudahkan mereka dalam merekrut kader posyandu. Besarnya insentif kader dari dana PNPM Generasi di Jawa Barat adalah Rp15.000 Rp25.000 per bulan, sedangkan di NTT hanya diberikan di dua desa perlakuan yang besarnya Rp5.000 dan Rp10.000 per bulan. Periode pemberian insentif berbeda antardesa, ada yang diberikan secara rutin sejak dimulainya PNPM Generasi dan ada juga yang hanya diberikan pada periode/tahun tertentu saja.
Lembaga Penelitian SMERU
15
“Kalau sekarang ada PNPM generasi yang sangat membantu ibu-ibu yang hamil dan mempunyai anak balita, selain itu juga kader termotifasi karena ada intensif walaupun kecil “(Bidan-Jawa Barat). Upaya peningkatan pelayanan posyandu (termasuk yang dilakukan PNPM Generasi) baru dilakukan di sebagian posyandu dan belum sepenuhnya dapat memecahkan masalah yang dihadapi posyandu. Di sebagian desa kontrol kegiatan posyandu masih menumpang di rumah kader atau fasilitas lain yang ada di desa. Sebagian posyandu juga belum memiliki perlengkapan utama seperti meja dan kursi. Selain itu, minimnya pengetahuan kader juga masih menjadi kendala karena program pelatihan kader tidak diselenggarakan secara khusus dan rutin. Rendahnya dukungan dan perhatian aparat desa terhadap penyelenggaraan kegiatan posyandu masih menjadi persoalan di sebagian desa sampel, baik di desa perlakuan maupun kontrol. Seperti halnya posyandu, kondisi fisik sebagian polindes/poskesdes dan perlengkapannya juga semakin meningkat.6 Di desa perlakuan pembangunan atau perbaikan fasilitas poskesdes/polindes dan penambahan perlengkapannya didanai PNPM Generasi, sementara di desa kontrol didanai PNPM Mandiri Perdesaan (lihat tabel 8). Namun, jumlah fasilitas KIA yang didanai dari PNPM Generasi cenderung lebih banyak dibandingkan fasilitas yang didanai PNPM Mandiri Perdesaan. Satu polindes di desa perlakuan juga mendapat bantuan berupa listrik dari alokasi dana desa (ADD), dan sumur dari Plan International. Sementara di satu desa kontrol di NTT, polindes mendapatkan bantuan dari dinas kesehatan kabupaten berupa tempat tidur, lemari obat, meja dan kursi, timbangan, dan alat pengukur tekanan darah. Terdapat kecenderungan bahwa di NTT PNPM Generasi lebih banyak membangun dan melengkapi sarana polindes/poskesdes daripada posyandu. Karena di desa perlakuan di Jawa Barat umumnya telah tersedia bangunan poskesdes dengan perlengkapan yang lebih memadai. Karena upaya peningkatan pelayanan polindes/poskesdes tersebut belum dapat dilakukan secara menyeluruh, layanan di sebagian polindes/poskesdes masih terkendala masalah yang sama seperti pada 2007, yaitu: ketidakhadiran bidan desa, minimnya perlengkapan yang tersedia, dan khusus di NTT masih sulit menjangkau masyarakat di dusun terpencil. Bidan desa menjadi pelayan utama pemeriksaan kehamilan dan pasca persalinan, pertolongan persalinan, serta imunisasi, bahkan menjadi pemberi layanan kesehatan umum bagi masyarakat desa. Seperti kondisi 2007, semua desa sampel telah memiliki bidan desa walaupun tidak semua bidan tinggal di dalam desa. Dibandingkan 2007, perubahan kualitas layanan bidan desa dipengaruhi oleh tempat tinggal bidan, kelengkapan alat yang dimiliki bidan, dan lamanya bidan bertugas. Di sebagian desa perlakuan di Jawa Barat dan NTT, layanan bidan meningkat karena bidan desa tidak lagi dirangkap oleh bidan puskesmas dan karena bidan tinggal di desa dan tidak lagi sering meninggalkan polindes seperti bidan desa sebelumnya. Khusus di Jawa Barat, layanan sebagian bidan juga meningkat karena telah memiliki perlengkapan seperti alat ultrasonografi (USG). Di NTT, layanan bidan di sebagian desa perlakuan telah dilengkapi alat tes kehamilan dan pendeteksian detak jantung janin (doppler) dari PNPM Generasi. Permasalahan dan hambatan terkait keberadaan bidan desa lebih banyak dihadapi desa sampel di NTT dan kondisinya tidak banyak berubah dibandingkan 2007. Bagi masyarakat di desa sampel di Jawa Barat, keterbatasan pelayanan bidan desa tidak terlalu menjadi masalah karena tersedia pilihan tempat praktik pribadi bidan di luar desa yang mudah dijangkau.. Di wilayah terpencil dengan akses sulit di NTT (kondisi jalan yang buruk, sarana transportasi yang minim, dan jarak antar dusun yang jauh), tidak semua bidan desa bersedia tinggal di dalam desa, sehingga pelayanan polindes sering tidak aktif. Kondisi desa semakin tidak menarik karena rumah dinas bidan rusak serta tidak tersedia air bersih dan listrik. Selain itu, alasan bidan tidak bersedia tinggal di desa adalah karena tidak mau jauh dari keluarga atau harus mengurus keluarganya yang tinggal di desa lain. 6Sebelum
diperbaiki, kondisi polindes di desa sampel di NTT umumnya sempit dan sebagian masih berdinding bebak dan beratap alang-alang, sehingga di waktu hujan seringkali bocor. Ketika studi dilakukan, pembangunan posyandu dan polindes/poskesdes di sebagian desa perlakuan sedang dalam tahap penyelesaian atau menunggu penyerahan resmi dari pengelola program kepada masyarakat.
16
Lembaga Penelitian SMERU
Kondisi tersebut menyebabkan seringnya ibu tidak terlayani terutama di malam hari atau di saat darurat. Bidan yang sudah tinggal di desa pun sering tidak memberikan pelayanan maksimal di polindes karena luasnya cakupan wilayah kerja dan penduduk yang tersebar sehingga polindes harus tutup jika bidan melakukan kunjungan ke dusun terpencil. Selain itu bidan terpaksa harus meninggalkan desa apabila ada kegiatan/rapat di puskesmas dan dinas kesehatan kabupaten. Hambatan lain menyangkut penyediaan layanan KIA adalah keterbatasan persediaan obat di polindes/poskesdes dan pelayanan masih sulit menjangkau sebagian kecil warga yang masih mempercayai adat, seperti budaya sei/tatobi (memanggang/mengompres badan) setelah melahirkan atau yang masih lebih mempercayai dukun. Prasarana dan sarana puskesmas yang diakses masyarakat di desa sampel umumnya juga telah diperbaiki atau dibangun ruang pelayanan baru dan mendapat penambahan perlengkapan perawatan. Di satu kecamatan perlakuan, puskesmas menempati gedung baru yang lebih luas dan lengkap. Peningkatan kondisi fasilitas puskesmas tersebut sepenuhnya dibiayai pemerintah pusat dan daerah melalui DAK dan APBD. Namun demikian, bagi masyarakat di beberapa desa sampel di NTT keberadaan puskesmas tidak banyak berpengaruh dan tidak banyak diakses warga karena letaknya yang jauh dan terbatasnya sarana transportasi. Di Jawa Barat dan di wilayah yang relatif tidak terpencil di NTT, apabila ibu mengalami komplikasi kandungan atau komplikasi saat melahirkan yang tidak bisa ditangani bidan desa atau dokter/bidan di puskesmas masih memungkinkan menjangkau RSU (rumah sakit umum) terdekat yang berada di ibukota Kabupaten. Kelompok masyarakat yang belum terjangkau layanan KIA
Secara umum penyedia pelayanan KIA sudah dapat menjangkau hampir semua kelompok masyarakat, kecuali beberapa kelompok kecil warga di NTT yang masih sulit di jangkau, dengan jumlah yang cenderung semakin berkurang dibandingkan 2007. Kelompok dimaksud meliputi: (i) warga yang tinggal jauh dari pusat permukiman, dan (ii) beberapa warga yang masih memegang teguh adat seperti budaya sei dan tatobi. Pada studi baseline 2007 masih ditemukan kelompok rumah tangga di desa perlakuan di NTT yang membawa serta keluarga (termasuk balita) tinggal di kebun dalam waktu yang cukup lama terutama di saat musim panen sehingga ibu tidak mengakses pelayanan KIA terutama posyandu. Pada studi dampak kelompok tersebut tidak lagi ditemukan karena mereka umumnya menyempatkan diri pulang ke desa ketika jadwal pelayanan posyandu. Selain itu adanya intervensi dari sisi pemanfaatan layanan seperti pemberlakuan sanksi denda serta bantuan PNPM Generasi turut mendorong perubahan perilaku tersebut. Pendirian posyandu baru atau penambahan bidan desa di setiap wilayah terpencil (terutama di NTT) terkendala baik dari sisi permintaan maupun ketersediaan. Kendala dari sisi permintaan adalah jumlah sasaran KIA per wilayah, yaitu jumlah ibu hamil dan bayi balita, yang sedikit (bisa kurang dari 10 ibu). Kondisi tersebut disebabkan pola permukiman penduduk di wilayah perdesaan NTT yang tersebar dan jauh dari pusat desa, sebagian warga bahkan tinggal di lereng-lereng bukit. Sedangkan hambatan dari sisi ketersediaan adalah terbatasnya jumlah kader dan tenaga bidan yang memberi pelayanan di posyandu. Kedua kondisi tersebut ditenggarai menjadi salah satu alasan mengapa bantuan PNPM Generasi lebih ditujukan untuk perbaikan kondisi fisik dan prasaran penunjang di posyandu yang sudah ada, selain karena kondisi dan fasiltias di posyandu yang sudah ada tersebut memang masih kekurangan. 3.2.2 Ketersediaan Pelayanan KIA Tradisional (Dukun Beranak) Pelayanan dukun beranak masih tersedia di semua desa sampel. Di satu desa perlakuan di Jawa Barat walaupun tidak ada lagi dukun beranak di dalam desa, masyarakat tetap mengakses dukun di desa lain. Pelatihan dukun beranak yang diberikan oleh dinas kesehatan tidak lagi dilakukan sejak sebelum 2007, baik di Jawa Barat maupun NTT. Alasan ditiadakannya pelatihan bagi para dukun adalah menghindari terjadinya kontraproduktif dengan upaya peningkatan layanan
Lembaga Penelitian SMERU
17
bidan/medis. Seperti disampaikan bidan koordinator di salah satu puskesmas di NTT bahwa “Keberadaan pelatihan justru mendorong para dukun kampung untuk memberikan layanan persalinan dan semakin meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada para dukun karena adanya label sudah terlatih. Dibandingkan kondisi 2007, baik di Jawa Barat maupun di NTT, peran dukun dalam membantu persalinan berkurang, sementara peran untuk pelayanan selama hamil dan pasca melahirkan relatif tidak berubah. Di Jawa Barat penurunan jumlah dan peran dukun beranak disebabkan tidak adanya regenerasi, sementara dukun yang ada umumnya sudah tua dan sakit-sakitan (lihat tabel. 9). Adanya himbauan pemda Provinsi Jawa Barat untuk tidak menggunakan dukun tanpa didampingi bidan7 turut berperan menurunkan peran dukun. Himbauan tersebut sering disampaikan bidan dalam bentuk ancaman hukum jika dukun membantu ibu melahirkan tanpa didampingi bidan. Di NTT, jumlah dukun beranak yang masih memberikan pelayanan relatif tidak berubah, kecuali di satu desa perlakuan jumlahnya berkurang karena satu dukun meninggal dunia. Di sebagian besar desa sampel, dukun masih memberikan pertolongan pada saat melahirkan, meskipun perannya secara bertahap telah digantikan oleh bidan desa. Tabel 9. Jumlah Dukun Beranak di Desa Perlakuan dan Kontrol PNPM Generasi Kategori
Jawa BaratPerlakuan
Jawa BaratKontrol
NTTPerlakuan
NTT-Kontrol
Nama Desa
Jumlah Dukun Beranak
Keterangan
2007
2010
1. Nagarawangi
3 orang
3 orang
-
2. Pamekaran
2 orang
1 orang
Seorang dukun telah meninggal
3. Buahdua
Tidak ada
Tidak ada
Mengakses dukun dari luar desa
4. Bojongloa
4 orang
2 orang
Dua orang sudah meninggal
1. Sukaratu
1 orang
1 orang
Menderita stroke
2. Neglasari
3 orang
2 orang
Seorang dukun telah meninggal
1. Taunbaean
6 orang
6 orang
Seorang tidak terlatih
2. Hauteas
6 orang
4 orang
Dua orang sudah meninggal
3. Sekon
1 orang
1 orang
-
4. Susulaku A
3 orang
3 orang
-
1. Oenenu Induk
2 orang
2 orang
Seorang tidak terlatih & keduanya tidak memberikan layanan di dalam desa
2. Kuanek
3 orang
3 orang
Hanya satu dukun yang terlatih
Sumber: Rekapitulasi hasil FGD
Keberadaan insentif dana melahirkan dengan bidan dari PNPM Generasi turut berkontribusi pada penurunan peran dukun di NTT. Dukun yang diwawancarai juga menegaskan bahwa perannya dalam membantu persalinan semakin berkurang setelah adanya PNPM Generasi, karena tidak ada penggantian biaya melahirkan dengan dukun. Penurunan peran dukun juga dipengaruhi oleh pemberlakuan sanksi oleh aparat desa dan kecamatan bagi ibu yang melahirkan dengan dibantu dukun beranak. Pemberlakuan sanksi ini semakin diintensifkan dengan adanya Program Revolusi KIA Pemda Provinsi NTT dan PNPM Generasi. Adanya penyuluhan kesehatan dari ornop seperti Plan International juga turut berperan dalam menyadarkan masyarakat akan risiko melahirkan dengan dukun beranak. Terjadinya kasus kematian ibu melahirkan dengan dukun di satu desa perlakuan mengurangi kepercayaan sebagian warga terhadap pelayanan dukun beranak. “Menurut program (PNPM) tidak boleh ada dukun terlatih yang menolong kelahiran, yang kerja hanya bidan, tidak ada biaya untuk dukun” (Dukun Beranak-NTT).
7Himbauan
disampaikan sejak 2005, kemudian pada 2007 diberlakukan kerjasama ”Tri Mitra” antara bidan, paraji dan kader dalam pertolongan persalinan sebagai salah satu bentuk pelaksanaan Program Desa Siaga di seluruh desa/kelurahan di Kabupaten Sumedang.
18
Lembaga Penelitian SMERU
“Siapa yang ketahuan masih menggunakan dukun beranak maka selanjutnya tidak akan mendapat pelayanan kesehatan apapun dari bidan lagi. Selain itu sejak adanya Program Revolusi KIA, dibuat pula peraturan desa“ (Bidan Desa-NTT). Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa di semua wilayah sampel dukun masih berperan untuk pelayanan selama hamil dan setelah melahirkan. Selama hamil dukun memberi pelayanan pemijatan untuk membetulkan letak janin dan mengurangi kelelahan ibu, sedangkan setelah melahirkan dukun berperan membantu mengurus ibu dan bayinya. Dukun juga membantu penyelenggaraan upacara adat selama hamil dan setelah melahirkan. Kebutuhan terhadap pelayanan dukun tersebut lebih karena kebiasaan dan kenyamanan yang dirasakan ibu dan keluarganya karena keahlian dukun tersebut tidak dimiliki bidan. “Saya sering dipanggil juga untuk urut ibunya dan mandikan bayi setelah melahirkan, dan itu sudah menjadi tradisi selama 40 hari setelah melahirkan dan masih berlangsung hingga kini” (Dukun BeranakJawa Barat). ”Untuk saat ini mereka kebanyakan menggunakan jasa dukun beranak kalau mau urut saja. Saat melahirkan mereka pasti menggunakan jasa bidan dan kalaupun melahirkan dirumah biasanya dukun dan bidan bekerja sama. Tetap menggunakan jasa dukun beranak jika bidan tidak berada di tempat” (Kepala Desa-NTT). 3.2.3 Keterlibatan Masyarakat dalam Pembuatan Keputusan Menyangkut Pelayanan KIA Baru sebagian masyarakat yang terlibat dalam pembuatan keputusan menyangkut pelayanan dasar di tingkat desa (termasuk pelayanan KIA). Sebagian lainnya tidak terlibat secara langsung karena mereka masih lebih mementingkan urusan pekerjaan atau mencari nafkah. Di NTT keterlibatan masyarakat juga terkendala jauhnya jarak ke lokasi pertemuan. Keberadaan PNPM Generasi, PNPM Mandiri Perdesaan, Program Desa Siaga dan bantuan ornop yang mensyaratkan pelibatan masyarakat dalam penentuan kegiatannya secara formal telah meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan menyangkut pelayanan dasar di tingkat desa, walaupun pengambilan keputusan masih lebih banyak dilakukan oleh elit desa dan pelaksana program. Perbedaan tingkat pendidikan dan status ekonomi antara elit desa dan masyarakt biasa, terutama di NTT, ditenggarai menjadi salah satu penyebab masih dominannya peran elit dalam pengambilan keputusan Di Jawa Barat sebelum PNPM Generasi dilaksanakan, sudah diperkenalkan Program Desa Siaga, baik di desa perlakuan maupun kontrol. Program Desa Siaga menitikberatkan pada peran serta masyarakat dalam membuat keputusan dan pembiayaan kesehatan. Meningkatnya peran kader posyandu merupakan salah satu pencapaian dalam Program Desa Siaga. PNPM Generasi juga mensyaratkan adanya pelibatan masyarakat dalam membuat keputusan termasuk menyangkut pelayanan KIA melalui penyelenggaraan musyawarah di tingkat dusun (musdus) yang kemudian dirumuskan di musyawarah tingkat desa (musdes). Di desa kontrol terdapat pula PNPM Mandiri Perdesaan yang dalam proses penetapan kegiatannya juga melalui musyawarah/rembug desa seperti PNPM Generasi. Di NTT, pelaksanaan PNPM Generasi didukung Program Revolusi KIA yang dimulai pada pertengahan 2009 mendorong keterlibatan masyarakat dalam pembuatan kesepakatan serta penerapan sanksi dan denda bila tidak mengakses layanan medis dan posyandu. Di dua desa perlakuan, kesepakatan dan penerapan sanksi dirumuskan dalam forum musrenbang dan sedang dalam proses pembuatan perdesnya. Hal yang sama juga berlangsung di dua desa kontrol, namun yang lebih berperan dalam membuat keputusan masih sebatas aparat desa dan bidan saja. ”….ada kesepakatan bahwa ibu hamil harus periksa setiap bulan serta harus ikut posyandu untuk anak balita dan apa bila mereka tidak ikut, maka apa yang menjadi hak mereka lewat program PNPM GSC tidak diberikan serta saat mau melahirkan tidak dilayani oleh bidan...” (Kepala Desa-NTT).
Lembaga Penelitian SMERU
19
PNPM Generasi, secara khusus juga mensyaratkan keterlibatan perempuan dalam perumusan jenis bantuan yang akan dibiayai program. Baik di Jawa Barat maupun di NTT, secara formal perempuan sudah terwakili dalam proses pengambilan keputusan program tersebut. Bahkan, untuk tujuan menjaring ide yang secara murni muncul dari kalangan perempuan diadakan diskusi terpumpun khusus untuk perempuan. Akan tetapi, ketika peserta laki-laki dan perempuan digabung dalam musyawarah desa (Musdes), laki-laki tetap lebih banyak bicara dan kondisi ini juga dimungkinkan karena kalangan elite desa umumnya laki-laki. Selain terlibat dalam membuat keputusan terkait pelayanan KIA, masyarakat juga berpartisipasi dengan menyumbang uang, jasa dan material bangunan untuk mendukung pelaksanaan PNPM Generasi.
3.3 Pemanfaatan Pelayanan KIA Secara umum studi menemukan peningkatan pemanfaatan pelayanan KIA di desa perlakuan dan kontrol. Peningkatan pemanfaatan umumnya lebih tinggi di desa perlakuan dengan hadirnya PNPM Generasi melalui berbagai bantuan dan insentif. Meski demikian, masih terdapat sejumlah kendala lain dalam peningkatan pemanfaatan pelayanan KIA modern yang belum teratasi baik oleh PNPM Generasi maupun oleh program pemerintah atau nonpemerintah lainnya. Kendala tersebut umumnya terkait dengan terbatasnya jumlah tenaga layanan KIA, kondisi akses fisik atau geografis, kepercayaan pada dukun beranak, ekonomi keluarga, dan juga persoalan psikologis ibu. 3.3.1 Perubahan Tingkat Pemanfaatan Layanan KIA Modern Layanan KIA yang dimanfaatkan masyarakat meliputi pemeriksaan kehamilan, pelayaan persalinan, pemeriksaan pasca persalinan, imunisasi, penimbangan dan perawatan gizi buruk bayi dan balita. Untuk layanan pemeriksaan kehamilan dan pasca melahirkan, masyarakat memanfaatkan baik layanan bidan maupun dukun, karena keduanya memiliki peran yang saling melengkapi. Untuk melahirkan, sebagian besar ibu sudah menggunakan layanan bidan, sementara peran dukun sebatas membantu bidan. Layanan bidan diperoleh di polindes/poskesdes, posyandu atau di tempat praktik bidan. Untuk pelayanan imunisasi dan penimbangan balita hampir seluruhnya dilayani di posyandu oleh bidan dan kader. Di desa sampel di Jawa Barat, seluruh balita sudah mendapatkan imunisasi dan ditimbang di posyandu secara rutin dan hampir semua ibu hamil dan ibu pasca melahirkan memeriksakan diri ke bidan dan mendapat pertolongan tenaga medis di saat melahirkan. Karena pemanfaatan layanan KIA sudah tinggi sejak 2007, maka peningkatan pemanfaatan layanan KIA di Jawa Barat tidak terlalu tampak, namun terdapat kecenderungan peningkatan intensitas tingkat pemanfaatan layanan KIA yang lebih tinggi di desa perlakuan PNPM Generasi dibandingkan di desa kontrol. Adanya PMT dan fasilitas posyandu yang lebih baik dari PNPM Generasi meningkatkan motivasi ibu untuk lebih rajin ke posyandu. “Peningkatan pesat dan sekaligus dorongan kuat terjadi pada 2008 dan 2009 dengan adanya pemberian makanan tambahan dari kegiatan PMT di posyandu yang dibiayai dari dana PNPM Generasi” (KaderJawa Barat). “Partisipasi para ibu dan anak meningkat semenjak adanya insentif PMT dari PNPM” (Kader-Jawa Barat). Di NTT, peningkatan pemanfaatan layanan KIA terlihat lebih jelas terutama dari bertambahnya jumlah ibu yang melahirkan dengan bantuan bidan dibandingkan 2007. Intensitas peningkatan pemanfaatan layanan KIA di NTT tersebut berbeda antardesa sampel tergantung ketersedian dan jangkauan pelayanan KIA, khususnya bidan desa, serta faktor lain seperti keterpencilan wilayah dan keberadaan bantuan baik dari PNPM Generasi, PNPM Mandiri Perdesaan, maupun dari ornop.
20
Lembaga Penelitian SMERU
“Dibandingkan tahun 2007, semakin banyak ibu bayi balita yang datang ke posyandu. Tahun 2007 tingkat partisipasi sekitar 80% sedangkan tahun 2010 naik menjadi 95% dari total ibu bayi balita. Sisa 5% yang tidak rutin ke posyandu adalah ibu bayi balita dari dusun jauh atau mereka yang harus pergi ke kebun (Bidan Desa-NTT). PNPM Generasi berkontribusi terhadap peningkatan pemanfaatan pelayanan KIA baik layanan di posyandu maupun layanan bidan desa di poskesdes/polindes. Kontribusi PNPM Generasi terhadap layanan di posyandu selain peningkatan kondisi fisik/tempat layanan juga berupa penyediaan PMT dan khusus di NTT ada biaya transpor ibu ke lokasi posyandu. Di sebagian desa perlakuan, PMT hanya diberikan kepada balita kurang gizi sedangkan di sebagian desa lainnya diberikan kepada seluruh balita di posyandu. Pemberian PMT umumnya dikelola langsung oleh pengelola program di tingkat desa yang di dalamnya termasuk kader posyandu. Di Jawa Barat PMT umumnya diberikan berupa biskuit dan susu senilai Rp1.500 hingga Rp2.000 per balita, sedangkan di NTT diberikan berupa makanan jadi yang terdiri dari nasi dan lauk-pauk. Sementara biaya transpor ibu ke lokasi posyandu hanya diberikan di satu desa perlakuan di NTT sebesar Rp10.000 untuk 12 kali kunjungan bagi ibu dari dusun terjauh. “…. Ada pula kontribusi dari keberadaan PNPM Generasi dan PKH karena jika tidak hadir takut bantuan yang ada akan ditarik kembali” (Kader Posyandu-Jawa Barat). Faktor lain yang mendorong peningkatan pemanfaatan posyandu adalah tingginya kesadaran masyarakat dan adanya program pendukung seperti Desa Siaga di Jawa Barat, bantuan PMT dari WFP serta pemberlakuan sanksi tidak diberi bantuan dan denda berupa uang jika bayi balita tidak rutin ke posyandu di NTT. Sedangkan di desa kontrol, selain perbaikan fasilitas kesehatan dari PNPM Mandiri Perdesaan, faktor pendorong lainnya, terutama di NTT, adalah bantuan PMT dan penyuluhan tentang KIA dari CARE dan WVI, serta pemberlakuan denda bagi ibu yang tidak hadir di posyandu. ”......Kalo ada makanan tambahan lebih banyak yang hadir. Kalo tidak ada, sedikit yang datang” (Kader Posyandu-NTT). Selain itu, ada pula aturan jika tidak hadir dalam kegiatan posyandu maka akan dikenakan denda Rp5.000” (Kader Posyandu-NTT). Faktor pendorong peningkatan pemanfaatan layanan bidan adalah tingginya kesadaran masyarakat dan adanya program pendukung seperti Desa Siaga di Jawa Barat, dan pemberlakuan sanksi tidak diberi bantuan dan denda berupa uang jika ibu hamil tidak rutin ke polindes. Di desa kontrol, selain perbaikan fasilitas kesehatan dari PNPM Mandiri Perdesaan terutama di NTT, faktor pendorong lainnya adalah adanya kasus kematian ibu melahirkan yang ditolong dukun beranak pada 2008. Dengan demikian, faktor pendorong peningkatan pemanfaatan layanan bidan lebih besar di desa perlakuan dan lebih terlihat nyata di NTT. Peningkatan pemanfaatan layanan bidan juga disebabkan adanya dana subsidi melahirkan, biaya pemeriksaan, dan transpor pemeriksaan selama hamil dan pasca melahirkan dari PNPM Generasi. Besarnya dana subsidi melahirkan di Jawa Barat mencapai Rp200.000 dan di NTT Rp200.000-250.000. Subsidi tersebut di Jawa Barat menutupi sekitar 3060% biaya melahirkan di bidan, sedangkan di NTT subsidi dapat menutupi seluruh biaya melahirkan di bidan (lihat tabel 10). Untuk biaya pemeriksaan dan transport selama hamil (empat kali) dan pasca melahirkan (dua kali) besar dana yang diterima rata-rata sekitar Rp25.000 untuk sekali pemeriksaan. ”Sejak adanya PNPM GSC tidak memakai dukun terlatih lagi, karena mereka tidak dibayar program” ”Yang dibayar hanya melahirkan dengan bidan” (FGD Ibu-NTT).
“Sebelum tahun 2007, bidan dan dukun kerja sama, kemudian program PNPM hanya bayar ke bidan saja, jadi kami datang ke bidan saja, tidak pakai dukun lag.”(FGD Ibu-NTT).
Lembaga Penelitian SMERU
21
“Kalau mereka tidak menerima PNPM ada kemungkinan mereka melahirkan sendiri dibantu oleh suami” (Puskesmas-NTT). Tabel 10. Biaya Bersalin dan Subsidi Melahirkan dari PNPM Generasi Provinsi
Biaya bersalin di
Subsidi melahirkan di bidan
bidan
dari PNPM Generasi
% subsidi
Jawa Barat
Rp400.000-Rp700.000
Rp200.000
30-60%
NTT
Rp150.000-Rp250.000
Rp200.000-Rp250.000
100%
Sumber: Rekapitulasi hasil FGD
3.3.2 Alasan Memilih Pelayanan KIA Modern dan Tradisional serta Hambatan Mengakses Layanan KIA Alasan masyarakat memilih layanan KIA modern terutama bidan, baik di desa perlakuan maupun kontrol, adalah lebih terjaminnya keselamatan ibu karena bidan didukung keahlian, obat-obatan, serta perlengkapan dan peralatan medis. Bidan juga bisa memberi surat rujukan ke rumah sakit bila ibu hamil atau ibu melahirkan menghadapi kondisi gawat darurat. Selain itu, bidan menyediakan layanan pembuatan akte lahir bayi sebagai tambahan pelayanan yang sudah termasuk dalam biaya melahirkan. Alasan tersebut tidak mengalami perubahan dibandingkan 2007, baik di Jawa Barat maupun di NTT. Sebaliknya, alasan sebagian masyarakat masih menggunakan pelayanan dukun beranak khususnya ketika melahirkan, adalah karena bidan tidak bisa diakses, biaya layanan dukun lebih murah dan lokasi lebih dekat, faktor adat dan kepercayaan serta kedekatan emosional (memberi ketenangan) terhadap dukun. Alasan utama ibu menggunakan dukun beranak selama hamil adalah karena mereka percaya dukun memiliki keahlian dalam menentukan umur kehamilan dan membetulkan letak janin. Untuk layanan pasca melahirkan, keberadaan dukun membantu meringankan beban ibu dalam mengurus diri dan bayinya serta memberikan layanan urut dan doa-doa yang memberikan rasa aman bagi ibu. ”Jika pemerintah ingin agar semua ibu hamil melahirkan bayinya di posyandu, bidan desa atau puskesmas, turunkan biaya terlebih dahulu” (Kader Posyandu-Jawa Barat). “Ada juga karena terpaksa su mau melahirkan bidan tidak ada maka panggil dukun beranak” (FGD Bapak-NTT). “Karena su dari dulu jaman nenek moyang kami pakai dukun, su jadi kebiasaan” (FGD BapakNTT). ”...inikan sudah merupakan kebiasaan dari dulu sehingga kita tidak bisa menghindar. Dulu kami dilahirkan dengan jasa dukun tapi kami masih hidup sehat sampai sekarang” (Tokoh MasyarakatNTT). Khusus di NTT, baik di desa perlakuan maupun kontrol, kesulitan untuk mengakses bidan terutama disebabkan jarak yang jauh dari pelayanan, kondisi jalan yang buruk dan sulit dilalui terutama di musim hujan, serta ketiadaan transportasi. Selain itu, bidan sering tidak ada di tempat karena tidak tinggal di desa atau karena cakupan wilayah pelayanan yang luas. Faktor lain yang juga masih menjadi penghambat baik di Jawa Barat maupun NTT adalah kepercayaan dan kedekatan yang masih tinggi terhadap dukun beranak.dan rasa malu karena memiliki banyak anak, hamil di luar nikah dan khusus di NTT karena malu memperlihatkan alat kelamin kepada bidan. Di desa kontrol, baik di Jawa Barat maupun NTT, akses terhadap bidan juga masih terkendala mahalnya biaya pelayanan persalinan di bidan. Di desa perlakuan, baik di Jawa Barat maupun NTT, hambatan ekonomi untuk mendapatkan layanan bidan bagi keluarga miskin terbantu oleh dana subsisi dari PNPM Generasi yang dibayarkan langsung kepada bidan desa oleh pengelola program.
22
Lembaga Penelitian SMERU
Terkait hambatan pemanfaatan posyandu, di sebagian desa sampel masih ditemukan 1-2 kasus balita yang tidak diimunisasi secara lengkap di posyandu dengan alasan orang tua takut badan anaknya menjadi demam. Demikian pula untuk penimbangan bayi di posyandu, sebagian kecil ibu belum melakukannya secara rutin dengan alasan karena anak sakit, kegiatan di posyandu membosankan, dan timbangan anaknya tidak naik. Penyebab lain adalah karena pada jadwal posyandu ibu ada kepentingan keluarga atau keluarga yang sakit atau meninggal. Selain itu, ibu dengan jumlah anak balita 2-3 anak terutama di NTT kesulitan membawa semua anaknya ke posyandu. Di semua desa sampel di Jawa Barat, jarak ke posyandu dan polindes/poskesdes serta beban pekerjaan di dalam dan di luar rumah tidak lagi menjadi hambatan bagi ibu hamil dan balita ke posyandu atau polindes. Sebaliknya, di sebagian desa sampel di NTT, sebagain tempat tinggal warga jauh dari posyandu dan kesibukan urusan rumah tangga masih menjadi penghambat ibu untuk datang ke posyandu secara rutin. Budaya se’i (pemanggangan) yang mengharuskan ibu dan bayinya tinggal di rumah bulat selama 40 hari juga masih menjadi penghambat dalam mengakses layanan posyandu dan bidan. ”....tetapi enggannya mereka datang ke posyandu karena layanan yang diberikan posyandu hanya itu-itu saja, selain itu timbangan anaknya tidak naik-naik jadi buat apa datang ke posyandu...” (Kader PosyanduJawa Barat). “Pekerjaan rumah wajib, posyandu juga wajib, tidak ada salah satunya menghambat yang lainnya” (FGD Ibu-Jawa Barat). “Pokoknya kami tau ibu, tanggal 15 kami ke sana (posyandu), kalau naik (berat badan) saya senyum, kalau tidak naik saya asam-asam” (FGD Ibu-NTT). “..memang ada ibu yang karena jarak kelahiran terlalu dekat sehingga sedikit repot mengurus anak.... kadang terlambat, tapi tetap pasti datang” (FGD Bapak-NTT). “…kami semua ini dibesarkan dari sei dan tatobi ini....” (FGD Bapak-NTT). 3.3.3 Aktor-Aktor yang Memengaruhi Pemanfaatan Pelayanan KIA Aktor yang berperan dalam mempengaruhi pemanfaatan layanan KIA, baik di desa perlakuan maupun kontrol adalah aparat desa, bidan desa, kader posyandu, dan tetangga. Khusus di NTT ada juga tokoh agama serta staf ornop (CWS, WVI, WFP dan Plan). Keberadaan aktor tersebut tidak banyak berubah dibandingkan 2007. Peran aparat desa (kepala desa, kepala dusun, ketua RT/RW) yang umumnya laki-laki sebenarnya belum menyentuh langsung ke aspek KIA. Peran mereka lebih kepada mengawasi dan mengingatkan para ibu untuk datang ke posyandu atau kadang-kadang menyempatkan diri hadir di posyandu dan di Jawa Barat berperan menjemput ibu/bayi balita yang belum hadir di posyandu menggunakan motor dinas. Khusus di NTT aparat desa terlibat langsung membuat kebijakan desa penerapan perdes tentang sanksi denda bagi ibu yang tidak menggunakan layanan bidan dan tidak datang ke posyandu. Tokoh agama berperan dalam mengingatkan jadwal posyandu pada saat warga berkumpul di gereja. Pihak ornop selain memberikan bantuan berupa makanan dan susu kepada balita serta perlengkapan posyandu, juga memberikan pengarahan dan penyadaran tentang pentingnya pelayanan KIA. Keberadaan PNPM Generasi tidak menambah aktor yang mempengaruhi pemanfaatan pelayanan KIA di tingkat desa karena pelaksana program umumnya adalah kader posyandu dan tokoh masyarakat setempat yang sebelumnya juga sudah menjadi bagian dari aktor. Tabel 11. Aktor yang Mendorong Pemanfaatan Layanan KIA di Desa Perlakuan dan Kontrol PNPM Generasi Kategori JabarPerlakuan
Nama Desa
Aktor di Tingkat Desa
Nagarawangi
Kepala puskesmas, kader, aparat desa
Pamekaran
Kader, bidan, aparat desa
Buahdua
Kader, bidan, petugas puskesmas, aparat desa (RT, RW), tetangga/teman
Bojongloa
Bidan, kader, tetangga
Lembaga Penelitian SMERU
23
Kategori JabarKontrol
NTTPerlakuan
NTT-Kontrol
Nama Desa
Aktor di Tingkat Desa
Sukaratu
Kader, kelompok PKK, tetangga
Neglasari
Bidan, kader, kepala desa, kelompok PKK
Taunbaean
Aparat desa, kader, bidan, petugas puskesmas, ornop (Plan)
Hauteas
Kader, bidan, dokter, aparat desa (kades), tetangga
Sekon
Aparat desa, kader, bidan, petugas puskesmas
Susulaku A
Kader, bidan, kepala Desa, petugas puskesmas, staff ornop
Oenenu Induk
Bidan, kader, aparat desa (kades), pihak gereja, CARE dan WVI, tetangga
Kuanek
Kader, bidan, WVI dan CARE, aparat desa
Sumber: Rekapitulasi hasil FGD
Di tingkat keluarga, keputusan untuk mengakses layanan posyandu sepenuhnya menjadi keputusan istri. Keputusan mengakses layanan KIA lainnya umumnya juga diinisiasi oleh pihak istri dengan meminta persetujuan suami terutama terkait biaya. Keputusan dan inisiatif lebih banyak dari istri terjadi di Jawa Barat, sementara di NTT keputusan diambil berdasarkan kesepakatan antara suami dan istri dan juga masih mempertimbangkan pendapat orangtua dan saudara. Di kalangan Suku Dawan di Kabupaten TTU, misalnya, ada tradisi bahwa ”Atoin Amaf” (paman dari ibu melahirkan) memiliki peran sentral dalam proses pengambilan keputusan dalam rumah tangga. “Kaum ibu sudah memiliki kepercayaan diri untuk memutuskan mana yang terbaik untuk kesehatan ibu dan balitanya, biasanya kaum bapak setuju2 saja” (Kader Posyandu-Jawa Barat). “Istri cenderung takut sama laki-laki...........contoh bila anak sakit tiba-tiba di rumah dan bapaknya ada di kebun, mamanya tidak akan berani untuk membawa ke rumah sakit atau puskesmas bila tanpa ada keputusan dari bapak” (Kepala Desa-NTT). 3.3.4 Perubahan Kesadaran Perempuan dan Laki-Laki Mengenai Isu KIA Secara umum pengetahuan dan kesadaran sebagian besar masyarakat tentang pentingnya KIA semakin membaik. Keberadaan berbagai bantuan dan penyuluhan KIA dari ornop yang diperkuat dengan Program Revolusi KIA serta bantuan PNPM Generasi di NTT, keberadaan program Desa Siaga dan juga PNPM Generasi di Jawa Barat, turut berkontribusi terhadap peningkatan kesadaran perempuan dan laki-laki tentang isu KIA. Peningkatan kesadaran juga disebabkan bertambahnya jumlah ibu muda yang berpendidikan relatif lebih tinggi dan kemudahan masyarakat mengakses informasi tentang KIA melalui media cetak dan elektronik. Peningkatan kesadaran kaum perempuan cenderung lebih dominan dibandingkan laki-laki karena perempuan menjadi sasaran langsung berbagai program KIA, sementara bapak lebih dominan sebagai pencari nafkah. ”Kesadaran akan pentingnya kesehatan bagi kaum perempuan sebenarnya sudah ada sejak lama,.... Perubahan kesadaran kaum laki-laki juga sebenarnya sudah lama, mereka mau mengantar untuk imunisasi, mereka juga sekarang mau ber KB....” (Kader Posyandu-Jawa Barat). “Ada PNPM masyarakat jadi berubah” (Tokoh Masyarakat-Jawa Barat). “Memang adanya program PNPM Generasi su banyak berpengaruh terhadap perilaku masyarakat yaitu sekarang dong (dia orang) kalau sakit langsung pi (pergi) berobat”; “…dengan adanya bantuan maka masyarakat mulai sadar akan hidup seha.” (FGD Bapak-NTT). “…tapi tidak 100% kesadaran masyarakat tentang isu-isu kesehatan disini di pengaruhi oleh PNPM karena ada juga program lain seperti dari Plan dan Dinas Kesehatan… Selain itu juga ada aturan-aturan dan kebijakan di desa” (Bidan Desa-NTT). Peningkatan kesadaran perempuan diindikasikan dari meningkatnya rutinitas ibu ke posyandu dan ibu hamil memeriksakan kandungannya ke bidan serta meningkatnya pengetahuan peserta FGD tentang KIA. Indikasi peningkatan kesadaran juga terlihat dari alasan peserta FGD dalam
24
Lembaga Penelitian SMERU
memanfaatkan layanan bidan desa, yaitu pengetahuan bidan dan alat yang dimilikinya lebih lengkap dan aman dibandingkan dukun. Alasan karena rasa takut terhadap bidan jika ibu melahirkan dibantu dukun tidak lagi menjadi alasan yang banyak dikemukakan peserta. Namun, tidak dapat dipungkiri masih ada ibu yang rendah tingkat kesadarannya karena masih lebih mementingkan kerja di ladang atau malas ke posyandu karena harus berjalan jauh, terutama di sebagian desa sampel di NTT. Sementara itu, peningkatan kesadaran laki-laki terlihat dari dukungan moril kepada istrinya dalam bentuk mengingatkan ibu akan jadwal posyandu dan atau mengantar istrinya ke tempat layanan KIA dan bahkan ikut mengantar anak ke posyandu. ”...., ibu-ibu makin sadar. Sekarang bapak-bapak mendorong ibu-ibunya ke Posyandu, dulu tidak peduli” (Tokoh Masyarakat-Jawa Barat). Walaupun peserta FGD menegaskan bahwa dalam mengakses layanan KIA tidak akan terpengaruh apabila bantuan dihentikan, informan kunci di tingkat desa dan kecamatan masih meragukannya. Mereka berpendapat masyarakat datang ke posyandu umumnya hanya termotivasi untuk mendapatkan PMT dan melahirkan oleh bidan karena ada bantuan biaya. “Setelah mendapat bantuan PMT untuk gizi buruk, ibu ibu jadi punya pengetahuan untuk mengelola makanan”; “meskipun bantuan berhenti masih tetap semangat, semangat terus ke polindes, bukan karena bantuan tapi karena untuk menjaga kesehatan” (FGD Ibu-NTT). “ Masyarakat tetap mengakses pelayanan kesehatan karena mereka sudah sadar pentingnya kesehatan mereka” (Sekretaris Desa-NTT). “Kesehatan itu penting” “Tetap pergi, tidak malas ke posyandu”; “Biar tidak ada bantuan, kami tetap timbang” (FGD Ibu-NTT).
3.4 Ketersediaan Pelayanan Pendidikan Dasar Secara umum studi menemukan berbagai perubahan ketersediaan layanan pendidikan dasar di semua wilayah sampel dengan sumber dana beragam baik dari pemerintah daerah dan pusat maupun dari nonpemerintah. Perubahan ketersediaan tidak hanya terjadi di wilayah perlakuan, tapi juga di wilayah kontrol. Perubahan ketersediaan yang dimaksud adalah penambahan satu SMP baru dan perbaikan kondisi sarana dan prasarana kegiatan belajar mengajar pada SD/SMP yang ada di wilayah sampel. Kehadiran PNPM Generasi membuat perubahan ketersediaan di wilayah perlakuan secara umum lebih tinggi dibandingkan di wilayah kontrol. Kecuali di satu sekolah yang mengalami penambahan ruang kelas, sebagian besar perubahan ketersediaan yang bersumber dari dana PNPM Generasi adalah berupa penambahan mebelair di ruang kelas. Namun demikian, seluruh perubahan ketersediaan yang terjadi sejak 2007 belum sepenuhnya mengatasi sejumlah hambatan yang dihadapi sekolah, di antaranya masih terbatasnya jumlah dan kualitas guru, masih minimnya sarana/prasarana KBM, menurunnya dukungan dan partisipasi masyarakat dan orangtua setelah hadirnya program BOS, dan khusus di NTT hambatan geografis serta ketidaktersediaan listrik dan air bersih di sekolah. 3.4.1
Kondisi dan Perubahan Ketersediaan Pelayanan Pendidikan Dasar
Jumlah SD yang ada di desa sampel, baik di Jawa Barat maupun di NTT, sudah memadai sejak 2007. Di setiap desa terdapat minimal satu SD, dan SD yang tersedia bisa menampung semua murid yang ingin mendaftar. Khusus di NTT ketersediaan SD banyak terbantu melalui penyelenggaraan SD kecil atau tambahan ruang kelas (TRK) yang menginduk pada SD mandiri di desa bersangkutan. Pendirian TRK adalah atas usul masyarakat, desa, dan sekolah dengan tujuan
Lembaga Penelitian SMERU
25
untuk menjangkau murid yang tinggal di wilayah terpencil. Ketika jumlah murid sudah relatif mencukupi dan jumlah kelas mencapai kelas enam, TRK meningkat statusnya menjadi SD mandiri setelah disetujui Dinas Pendidikan setempat. Dibandingkan 2007, tidak ada penambahan SD di desa sampel, tetapi terjadi perubahan satu TRK menjadi SD mandiri di NTT. Ketersediaan SMP berbeda antara di Jawa Barat dan di NTT. Di Jawa Barat, ketersediaan SMP relatif memadai karena jumlah dan penyebaran SMP cukup merata serta aksesibilitasnya relatif mudah dijangkau. Kehadiran SMP terbuka yang menyediakan layanan pendidikan gratis, bantuan perlengkapan sekolah, dan jadwal yang lebih longgar meningkatkan aksesibilitas layanan pendidikan terutama bagi masyarakat miskin. Sebaliknya di NTT ketersediaan SMP di sebagian desa masih menjadi persoalan karena jauhnya jarak sekolah, SMP umumnya terletak di ibu kota kecamatan, dan mahalnya biaya transportasi karena hanya tersedia ojek. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan ketersediaan SMP di NTT adalah dengan didirikannya SMP satu atap (Satap). Dikatakan satu atap karena pada awal berdirinya SMP tersebut menempel dan menggunakan ruang, fasilitas penunjang sekolah, serta guru milik SD setempat. Tabel 12. Jumlah SD dan SMP yang Diakses Kategori
Jabar-Perlakuan PNPM Jabar-Kontrol PNPM NTT-Perlakuan PNPM NTT-Kontrol PNPM
Nama Desa Nagarawangi Pamekaran Buahdua Bojongloa Sukaratu Neglasari Taunbaen Hauteas Sekon Susulaku Oenenu Kuanek
SD atau sederajat Di dalam Di luar desa desa 3 3 1 3 1 2 1 3 1 2 2 2 2 1 1 1 2 1 2
SMP atau sederajat Di dalam Di luar desa desa 2 2 1 7 5 5 4 1 3 1 (satap) 4 4 ( 1 Satap) 4 1 2 3
Sumber: Rekapitulasi hasil FGD
Dibandingkan 2007, di desa sampel terdapat penambahan satu SMP Satap di desa kontrol (SMP Satap Oenenu) pada 2008. Pendirian SMP Satap ini dilatarbelakangi jauhnya jarak desa ke SMP, akses jalan yang buruk, dan tidak tersedianya transportasi umum, serta banyaknya anak yang tidak melanjutkan dan putus SMP. Pendirian SMP tersebut sepenuhnya atas inisiatif masyarakat dan dengan bantuan pemda. Ruang SMP Satap ini masih menggunakan tiga ruang milik SD yang sudah tidak digunakan. Namun demikian, untuk menyediakan SMP (Satap) di setiap desa di NTT terkendala oleh jumlah penduduk per desa yang relatif sedikit dan keterbatasan guru dan sarana prasarana penunjang sekolah. Di semua desa sampel tidak tersedia sarana pendidikan nonformal setara SD (kejar paket A), SMP (kejar paket B) dan SMA (kejar paket C). Pendidikan jenis ini umumnya berada di ibu kota kecamatan. Mereka yang mengakses pendidikan informal tersebut sebagian besar adalah yang bukan berusia pendidikan dasar, seperti aparat desa atau kecamatan yang memerlukan ijazah SMP/SMA untuk kepetingan jabatannya. Khusus di Jawa Barat hampir di setiap desa tersedia pendidikan nonformal keagamaan, yaitu madrasah diniyah (MD). MD umumnya diakses oleh murid SD dan SMP setelah jam sekolah. Selain itu, di semua desa perlakuan dan kontrol di Jawa Barat dan NTT diselenggarakan pendidikan anak usia dini (PAUD) yang didanai antara lain oleh PNPM Generasi, PNPM Mandiri Perdesaan, lembaga nonpemerintah, dan swadaya masyarakat. Ketersediaan guru di semua sekolah sampel di desa perlakuan dan kontrol relatif tidak mengalami perubahan. Meski demikian, tingkat pendidikan guru mengalami peningkatan terutama termotivasi program sertifikasi guru. Di Jawa Barat sebagian besar guru SD minimal lulusan D2
26
Lembaga Penelitian SMERU
sedangkan guru SMP sudah banyak yang bergelar sarjana. Status sebagian besar guru di Jawa Barat adalah PNS, hanya 1-3 guru saja di setiap sekolah yang masih berstatus honorer. Di NTT masih banyak guru SD dan SMP yang hanya lulusan SMA dan di sebagian sekolah masih banyak guru yang berstatus honorer atau kontrak. Di dua desa perlakuan di NTT, PNPM Generasi berkontribusi terhadap ketersediaan guru melalui pengalokasian dana program tersebut untuk pembayaran insentif guru honor di tingkat SMP. Meskipun hanya terdapat penambahan satu SMP, di sebagian besar SD dan SMP yang sudah ada terjadi perbaikan kondisi fisik dan penambahan fasilitas penunjang sekolah, baik di wilayah perlakuan maupun kontrol. Perbaikan kondisi fisik tersebut berupa penambahan atau renovasi ruang kelas, perpustakaan, laboratorium, pagar sekolah, UKS dan WC sekolah (lihat lampiran 4). Dana pembangunan fisik bersumber dari APBD, dana alokasi khusus (DAK), khusus di NTT dari bantuan Belanda (DBEP) dan Plan International. Pengalokasian dana PNPM Generasi untuk pembangunan fisik sekolah hanya terjadi di satu desa sampel di NTT, yaitu berupa pembangunan dua ruang kelas SD pada 2009. Selain itu, di satu desa di Jawa Barat meskipun PNPM Generasi tidak meningkatkan kondisi fisik sekolah, kondisi jalan (gang) menuju sekolah meningkat. Di desa tersebut dua gang menuju sekolah disemen dengan dana PNPM Generasi pada 2009. Kondisi jalan sebelumnya adalah tanah sehingga becek dan licin pada saat hujan. Penambahan fasilitas penunjang sekolah antara lain berupa buku pelajaran/bacaan, mebeler, alat bantu mengajar, peralatan laboratorium, komputer dan audio visual, sarana air bersih, serta perlengkapan olah raga dan kesenian (lihat lampiran 5). Sumber dana peningkatan fasilitas penunjang sekolah adalah dari BOS (baik pusat maupun provinsi), Dana SDSN Dekon Provinsi, DAK, dan PNPM Generasi, khusus di NTT ditambah dari Plan International dan bantuan Belanda (DBEP). Penambahan fasilitas penunjang yang sifatnya berteknologi tinggi, seperti alat bantu mengajar berupa CD player atau alat audiovisual, di sebagian sekolah belum optimal karena tidak tersedia guru pengampu dan khusus di NTT pemanfaatan fasilitas penunjang bertenaga listrik di beberapa sekolah seperti komputer, laptop, dan alat musik terkendala karena belum ada listrik. Kontribusi PNPM Generasi dalam peningkatan fasilitas penunjang sekolah hampir semuanya dalam bentuk mebeler, terutama kursi dan meja murid di kelas. Ditenggarai mebeler merupakan fasilitas penunjang yang paling dibutuhkan di SD dan SMP sehingga pengadaannya banyak diusulkan orang tua dan sekolah untuk dibiayai melalui PNPM Generasi. Selain itu, di salah satu desa sampel terdapat pengurus PNPM Generasi yang sekaligus pemilik usaha mebeler. Tidak diketahui secara pasti apakah perusahaan mebeler tersebut berdiri karena keberadaan PNPM Generasi atau tidak. Hanya di satu desa di NTT dana PNPM Generasi juga dialokasikan untuk fasilitas penunjang lain, yaitu berupa buku bacaan untuk murid SD. Buku bacaan disediakan untuk mengisi perpustakaan yang baru dibangun di SD tersebut dengan dana dari bantuan hibah Belanda pada 2009. “Sejak sekolah ini berdiri, baru tahun ini kami memiliki perpustakaan langsung dengan buku, ruangan, lemari dan meja kursinya”(Guru SD-NTT). 3.4.2 Hambatan Penyediaan Pelayanan Pendidikan Dasar Meningkatnya fasilitas fisik dan penunjang sekolah bukan berarti bisa menyelesaikan semua permasalahan yang dihadapi sekolah. Terbatasnya alokasi dana peningkatan yang diterima setiap sekolah menyebabkan sekolah masih menghadapi sebagian permasalahan yang sama seperti pada 2007. Sekolah (terutama di NTT) juga masih menghadapi hambatan lain yang disebabkan kondisi geografis, ketersediaan infrastruktur dasar, serta kondisi sosial ekonomi masyarakat tempat di mana sekolah tersebut berada. Di Jawa Barat, baik di wilayah perlakuan maupun kontrol, hambatan yang dihadapi SD dan SMP umumnya terkait masih kurangnya fasilitas penunjang sekolah seperti buku paket, buku bacaan di perpustakaan, sarana pendukung pelajaran ekstrakurikuler, serta khusus untuk
Lembaga Penelitian SMERU
27
SMP terbatasnya komputer dan perlengkapan multimedia. Selain itu, sekolah juga menghadapi masalah rendahnya partisipasi orang tua dalam pembiayaan sekolah akibat adanya anggapan masyarakat bahwa BOS telah mengganti seluruh biaya sekolah. “Ungkapan “Sekarang mah sudah ada program BOS” sering terlontar dari anggota masyarakat” (Kepala sekolah-Jawa Barat). Salah satu SMP sampel juga menghadapi permasalahan terkait rencana pembangunan waduk yang wilayahnya mencakup area sekolah. Rencana pembangunan waduk tersebut menyebabkan ketidakpastian keberlanjutan lokasi sekolah. Di NTT, hambatan yang dihadapi SD dan SMP meliputi permasalahan guru, masih minimnya fasilitas fisik dan sarana penunjang sekolah, serta luasnya cakupan sekolah. Permasalahan guru meliputi masih kurangnya tenaga guru, rendahnya pendidikan dan pelatihan guru, serta guru yang sering terlambat. Keterlambatan guru terutama disebabkan rumah guru jauh dari sekolah, terbatasnya sarana transportasi umum, dan sebagian guru disibukan kuliah. Sekolah juga mengeluhkan terbatasnya buku pelajaran yang tersedia sehingga satu buku harus berbagi untuk lima murid. Sebagian SMP (terutama di wilayah kontrol) juga masih kekurangan meja dan kursi. Di dua SMP sampel masih menghadapi keterbatasan ruang karena harus berbagi dengan sekolah lain. Satu SMP harus berbagi dengan SD Satapnya, sedangkan SMP lainnya berbagi dengan SMK. ”Distribusi guru di sini pincang. Di kota guru PNS berlimpah, satu rombongan belajar bisa diajar oleh 7-8 guru dengan sistim bidang studi. Sementara kami di sini satu kelas satu orang saja tidak bisa” (Guru SD-NTT). Keterjangkauan sekolah juga masih menjadi permasalahan di sebagian desa di NTT. Untuk SD, meskipun sudah tersedia di setiap desa, namun luasnya cakupan sekolah menyebabkan kelompok masyarakat miskin yang tinggal di tempat terpencil dan jauh dari pemukiman umum sulit mengakses fasilitas pendidikan. Lokasi SMP yang umumnya terletak di pusat kecamatan menyebabkan sulit menjangkau murid yang tinggal di perdesaan dan dusun terpencil. Di sebagian SMP tersedia asrama dengan kondisi yang sangat minim, daya tampung yang terbatas, dan adanya iuran bulanan yang bagi sebagian orang tua dirasakan memberatkan. Beberapa orangtua murid mengatasi masalah jarak dengan menitipkan anaknya di kerabat yang tinggal di sekitar SMP terdekat. Di salah satu desa, pada 2006 pernah diupayakan pembentukan SMP Terbuka, namun gagal karena tidak tersedia guru dan minimnya fasilitas penunjang. Sekolah ini hanya berlangsung selama setahun. Pendirian SMP (terbuka) di setiap desa juga terkendala sedikitnya jumlah anak usia SMP per desa, akibat rendahnya jumlah penduduk dan luasnya wilayah desa. Hambatan lain yang juga cukup memengaruhi ketersediaan layanan pendidikan baik di Jawa Barat maupun di NTT adalah keterlambatan dana BOS. Sebagai sumber pembiayaan utama sekolah, keberadaan BOS menjadi penting. Kepala sekolah mengeluhkan keterlambatan dana BOS saat mereka harus membiayai kegiatan operasional sekolah. Tidak jarang kepala sekolah akhirnya memanfaatkan dana kas atau tabungan murid untuk sementara, sambil menunggu pencairan dana BOS. Selain masalah keterlambatan, ketatnya peraturan pemanfaatan BOS juga menyulitkan pihak sekolah dalam mengatur pemanfaatan BOS. Baik di Jawa Barat maupun di NTT, PNPM Generasi tidak banyak memecahkan masalah keterbatasan fasilitas fisik dan penunjang sekolah, kecuali untuk mebelair (meja dan kursi di kelas). Hal tersebut disebabkan dana PNPM Generasi bidang pendidikan lebih banyak difokuskan untuk bantuan langsung ke murid. 3.4.3 Peran Komite Sekolah dalam Pelayanan Pendidikan Dasar Secara umum tingkat keaktifan komite sangat bergantung pada kapasitas individu ketua komite dan kepala sekolah serta kondisi sosial ekonomi masyarakat di mana sekolah tersebut berada. Di Jawa Barat, baik di wilayah perlakuan maupun kontrol, peran komite relatif kurang aktif. Komite umumnya hanya sebagai penghubung antara orang tua dan sekolah atau sekedar hadir pada pertemuan rutin yang diselenggarakan sekolah. “Kalo ada panggilan, baru datang ke sekolah,” (kepala sekolah-Jawa Barat). Namun, berbeda dengan di
28
Lembaga Penelitian SMERU
sekolah lainnya, karena peran ketua yang aktif, komite di salah satu SMP sampel sangat aktif. Komite di SMP tersebut membuat usulan ke Dinas Pendidikan Kabupaten untuk penambahan ruang kelas dan perbaikan fasilitas olah raga di sekolah. Komite juga terlibat dalam pembiayaan kegiatan try out ujian nasional. Di NTT komite umumnya cukup berperan dalam mengawasi kehadiran murid dan pembangunan di sekolah. Salah satu SD sampel di desa kontrol pernah mendapat penghargaan sebagai komite terbaik se-kabupaten, karena komite dinilai berhasil meningkatkan mutu sekolah dan mengawasi kehadiran murid. Komite di beberapa sekolah menggalang kerja sama dengan lembaga ornop untuk membangun fasilitas di sekolah, seperti asrama dan aula sekolah. Meski demikian, seperti telah dijelaskan sebelumnya, keaktifan komite sangat bergatung pada individu ketua. Di salah satu SD sampel di NTT komite sama sekali tidak berperan karena ketuanya tidak aktif. Ketidakatifan komite tersebut dikeluhkan oleh kepala sekolah dan para guru. “Jangankan mencari anak yang alpa, datang ke sekolah saja untuk lihat kami tidak pernah” ungkap seorang guru SD. Peran komite terhadap keberadaan PNPM Generasi di NTT adalah aktif menyuarakan kebutuhan sekolah agar dapat dibiayai dana PNPM Generasi. Kehadiran PNPM Generasi juga memberikan alasan dan motivasi bagi aparat desa, masyarakat, dan komite untuk mendorong kehadiran murid di sekolah dengan mengintensifkan kembali pemberlakuan sanksi bagi murid yang absen. Mereka beralasan jika sudah mendapat bantuan dari PNPM Generasi, sudah tidak ada alasan lagi bagi murid untuk tidak masuk sekolah kecuali karena sakit atau atas izin sekolah. Pengintensifan sanksi dilakukan melalui peningkatan jumlah denda dan penguatan dasar hukum sanksi dengan membuat rancangan peraturan desa (perdes) tetang sanksi absen. Sebaliknya, di Jawa Barat karena kesibukan ketua komite, peran komite dalam pelaksanaan PNPM Generasi hanya sebatas mengetahui dan dilibatkan pada saat pendistribusian bantuan. Menurut beberapa ketua komite, pengelolaan PNPM Generasi sepenuhnya dilakukan oleh pengelola dan aparat desa, sedangkan sekolah dan komite tidak banyak dilibatkan.
3.5 Pemanfaatan Pelayanan Pendidikan Dasar Secara umum studi menemukan bahwa sejak 2007 program dari pemerintah dan nonpemerintah turut mempengaruhi tingkat partisipasi anak usia SD/SMP, kehadiran murid di sekolah, peran serta masyarakat, serta tingkat kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan di semua wilayah sampel. Peningkatan pemanfaatan umumnya lebih tinggi terjadi di wilayah perlakuan dengan keberadaan PNPM Generasi. Meski demikian, masih terdapat sejumlah kendala dalam peningkatan pemanfaatan pelayanan pendidikan dasar yang belum sepenuhnya teratasi baik oleh PNPM Generasi maupun oleh program pemerintah atau nonpemerintah lainnya. Kendala tersebut umumnya terkait dengan persoalan biaya, persoalan individu anak, kendala akses fisik atau geografis, maupun peran aktor dan orang tua. 3.5.1 Perubahan Tingkat Partisipasi Anak Usia SD/SMP Secara umum patisipasi anak usia SD sudah tinggi sejak 2007, sedangkan partisipasi anak usia SMP meningkat di semua desa sampel. Di Jawa Barat, baik di desa perlakuan maupun kontrol, alasan meningkatnya partisipasi SMP adalah karena tuntutan dan motivasi orang tua dan anak untuk mendapatkan pekerjaan yang mensyaratkan minimal tamat SMP. Sebagai contoh, TKW/TKI yang sebelumnya bisa dilakukan oleh mereka yang tamat SD, dua tahun terakhir mensyaratkan minimal tamat SMP. Meningkatnya partisipasi SMP juga karena rasa malu baik di kalangan orang tua maupun anak bila mereka tidak sekolah. Keberadaan SMP terbuka meningkatkan partisipasi anak dari keluarga miskin karena selain biaya sekolah di SMP terbuka gratis, murid juga menerima bantuan berupa alat tulis dan seragam dan waktu sekolah yang lebih pendek, siang sampai sore, sehingga anak bisa bekerja atau membantu orang tua sebelum berangkat sekolah.
Lembaga Penelitian SMERU
29
“Alasan memilih SMP Terbuka: “Karena gratis semuanya, sampe pakaian dan peralatan sekolah juga gratis” (FGD Bapak-NTT). “Kebanyakan yang sekolah di SMP Terbuka adalah mereka yang berasal dari golongan tidak mampu dan miskin” (FGD Bapak-NTT). DI NTT, selain tingkat partisipasi anak usia SMP meningkat, murid SD yang putus sekolah juga menurun. Salah satu penyebab penurunan angka putus sekolah murid SD adalah karena adanya PAUD atau kelompok belajar yang menempel di lokasi SD sejak beberapa tahun terakhir. Pemanfaatan PAUD ini dapat membantu meningkatkan kualitas murid SD. Salah satu alasan murid SD putus sekolah adalah karena tidak bisa membaca dan menulis, sehingga harus tinggal kelas beberapa kali dan akhirnya putus sekolah “Dengan adanya PAUD, dia sudah terbiasa mengenal gurunya, sudah mengenal ruang kelas sejak dini, sudah mengenal lingkungan belajar, terutama sudah mengenal huruf dan angka sejak dini” (Kepala Sekolah SD-NTT). Sama seperti di Jawa Barat, peningkatan partisipasi SMP di NTT didorong oleh meningkatnya persyaratan lapangan pekerjaan, di antaranya menjadi kepala desa/dusun/RT/RW, pekerja pabrik, dan bahkan untuk menjadi supir memerlukan ijazah SMP. Peningkatan partisipasi SMP juga dipicu oleh keberadaan SMP baru. Di satu desa kontrol partisipasi SMP meningkat drastis setelah dibangun SMP Satap di dalam desa pada 2008. Sebelumnya lokasi SMP jauh dan hanya bisa diakses oleh masyarakat yang relatif mampu. Berbagai bimbingan dan bantuan terkait pendidikan yang diberikan World Vision International (WVI) dan Plan International juga mempengaruhi semangat dan kesadaran orang tua akan pentingnya sekolah. Di dua desa kontrol WVI memberi bantuan kepada rumah tangga (murid) binaan berupa uang sekolah, seragam, buku tulis, dan perlengkapan sekolah lainnya. Plan International di tiga desa perlakuan, selain memberikan bantuan fasilitas fisik dan penunjang sekolah, juga memberikan bantuan langsung ke murid berupa seragam dan alat tulis. Partisipasi SD “Sepengetahuan saya, tidak ada anak usia SD yang tidak bersekolah, bahkan sebelum umur itu sudah masuk sekolah, bahkan sekarang sudah ada PAUD” (FGD Bapak-Jawa Barat). Partisipasi SMP ”...dapat ijazah SMP bisa menjadi kader, kepala desa, LKMD, jadi RT RW saja perlu Izajah” (FGD Ibu-NTT). “Sekarang untuk kerja SMP aja udah ngga laku, apalagi cuma SD,” (FGD Ibu-Jawa Barat). “Orang tua cendrung malu kalau anaknya tidak lanjut ke SMP” (FGD Bapak-Jawa Barat). “Pada tahun 2007 masih ada yang tidak sekolah dengan alasan biaya, sebab belum ada SMP terbuka”. (FGD Ibu-Jawa Barat). Baik di Jawa Barat maupun di NTT, orang tua umumnya sudah tidak membedakan pendidikan dasar antara anak perempuan dan laki-laki. Perbedaan perlakuan terlihat pada saat anak akan melanjutkan pendidikan di tingkat SMA atau perguruan tinggi. Anak laki-laki cenderung mendapat prioritas karena mereka masih dianggap sebagai penanggung jawab utama yang akan menafkahi keluarganya bila telah menikah, dan khusus di NTT karena masih kentalnya budaya patriarkal yang memandang laki-laki sebagai penerus dan penjaga martabat serta nama baik keluarga. PNPM Generasi tidak secara langsung meningkatkan partisipasi murid SD/SMP karena bantuan hanya ditujukan bagi anak yang sudah terdaftar di sekolah dan tidak menyentuh anak yang sudah putus sekolah atau tidak mendaftar di SD/SMP. Hal ini ditenggarai karena adanya pemahaman pelaksana program dan elit desa bahwa bantuan PNPM Generasi bidang pendidikan ditujukan hanya bagi murid yang sudah terdaftar di
30
Lembaga Penelitian SMERU
sekolah, tidak termasuk anak usia SD/SMP yang tidak mendaftar ataupun yang putus sekolah. Pada saat pendataan di awal program, data jumlah sasaran perdesa yang digunakan adalah jumlah murid yang bersekolah, bukan jumlah anak usia SD/SMP yang ada di desa tersebut, sehingga anak yang putus sekolah atau tidak mendaftar sudah tidak diperhitungankan dari awal. Selain itu, orang tua yang anaknya putus sekolah umumnya dari rumah tangga sangat miskin yang suaranya tidak terwakili dalam diskusi penentuan jenis bantuan PNPM Generasi. "Karena PNPM-GSC ini kan tidak fokus pada masyarakat, tapi dia fokus pada anak sekolah, ibu hamil dan bayi balita" (TPK-NTT). “Mengambil data dari awal, seperti jumlah siswa melalui kepala sekolah” (TPK-NTT). Namun demikian, bantuan PNPM Generasi dapat mencegah murid yang sudah terdaftar agar tidak putus sekolah serta meningkatkan semangat dan mendorong murid rajin ke sekolah. Hal tersebut dimungkinkan karena bantuan PNPM Generasi (seragam, perlengkapan sekolah, uang komite, uang transport, uang asrama) mengatasi sebagian beban orang tua untuk biaya penunjang sekolah. Bantuan langsung ke murid juga mengurangi rasa minder yang disebabkan anak tidak memiliki baju seragam, sepatu, dan alat tulis sehingga semangat dan motivasi anak ke sekolah meningkat. “Anak jadi bersemangat pergi sekolah karena pakaian menjadi lebih bagus dan lebih bersih, anak lebih percaya diri, karena tidak diejek oleh teman karena pakaian mereka juga bagus” (FGD IbuNTT). ”Kami senang karena semua anak sekolah bisa berseragam, kalau sebelumnya anak-anak ke sekolah banyak yang tidak berseragam, mereka pakai pakaian bebas seadanya, sehingga kalau anak yang orang tuanya mampu pasti pakaiannya bagus, tetapi sekarang semua sudah punya seragam” (FGD BapakNTT). “Anak saya sekarang kelas I SMP, dapat bantuan transportasi dari PNPM, saya rasa bersyukur....” (FGD Ibu-NTT). 3.5.2 Hambatan dalam Pemanfaatan Pelayan Pendidikan Dasar Hambatan orang tua dalam menyekolahkan anak di SD relatif lebih ringan dibandingkan di SMP. Karena lokasi SD mudah dijangkau dan biaya sekolah yang harus dikeluarkan orang tua lebih ringan dari biaya di SMP. Untuk tingkat SMP, alasan orang tua yang tidak mendaftarkan anaknya atau putus sekolah umumnya masih sama dibandingkan 2007, yaitu karena masalah ekonomi, kemalasan dan kenakalan anak, serta di NTT karena jauhnya jarak dan akses ke sekolah. Dibandingkan 2007, hambatan ekonomi dan jarak relatif sama intensitasnya sedangkan hambatan kenakalan dan kemalasan anak cenderung meningkat akibat pengaruh negatif lingkungan dan perkembangan teknologi. Di Jawa Barat, masalah ekonomi merupakan alasan utama orang tua tidak mendaftarkan anaknya ke SMP. Alasan ekonomi meliputi biaya transport dan jajan anak, biaya penunjang sekolah, dan pemenuhan kebutuhan ekonomi rumah tangga. Jajan dan transpor anak ke sekolah merupakan biaya rutin yang harus disiapkan sebagian besar orang tua agar anaknya mau berangkat ke sekolah. Banyak orang tua mengeluhkan anaknya tidak mau ke sekolah jika tidak diberi uang jajan. Biaya penunjang sekolah yang harus dikeluarkan orang tua murid berbeda antarsekolah, antara lain meliputi biaya buku paket, LKS, fotokopi, uang karya wisata, dan berbagai kegiatan ekstrakulikuler (lihat tabel 13). Meski murid SD dan SMP di desa perlakuan menerima berbagai bantuan fasilitas penunjang sekolah dari PNPM Generasi, jumlah dan jenisnya belum memadai dan belum sepenuhnya dapat mengatasi beban biaya yang harus dikeluarkan orang tua. Selain itu, kondisi ekonomi rumah tangga yang pas-pasan menyebabkan anak usia sekolah harus ikut bekerja untuk pemenuhan kebutuhan keluarga. Di desa perlakuan
Lembaga Penelitian SMERU
31
dan kontrol banyak orang tua yang membawa serta anaknya yang masih SD atau SMP bekerja di Jakarta sehingga status pendidikannya tidak diketahui oleh aparat desa setempat. Beberapa anak yang terdaftar di sekolah juga masih harus membantu orang tua mencari uang sepulang sekolah. Kondisi ini seringkali juga menjadi cikal bakal anak putus sekolah. Tabel 13. Gambaran Jenis dan Jumlah Pengeluaran Untuk SMP*) Jenis Pengeluaran Uang pendaftaran
SDN (Perlakuan PNPM Generasi) Rp 30.000
SMPN (Kontrol PNPM Generasi)
Seragam (Nasional, batik, olah raga, atribut sekolah)
Rp 75.000
Rp112.000
Buku/LKS/Foto Copy
Rp 76.000
Rp1.000/sewa/buku
Ujian/Ulangan
Rp 500/ulangan harian
Olah raga
Rp11.000-15.000
Uang kas kelas
Rp2.000/bulan
Uang perpisahan
Rp15.000
Sumbangan (Mesjid, hari besar dll) Jajan/transpor
Rp2.000/bulan Rp4.000/hari
Keterangan: *)Hanya sebagai ilustrasi, jenis pengeluaran yang disebutkan peserta FGD tidak lengkap. Sumber: Rekapitulasi hasil FGD
Selain masalah ekonomi, alasan murid putus SMP, terutama anak perempuan, adalah karena menikah atau dipaksa menikah oleh orangtua atau karena hamil di luar nikah. Selain karena anak tersebut malu, sekolah juga tidak mengizinkan murid yang hamil atau sudah menikah untuk tetap bersekolah. Alasan tidak melanjutkan atau putus sekolah bagi anak laki-laki adalah karena kemalasan dan kenakalan, terutama karena pengaruh pergaulan dan kurangnya pengawasan orang tua. Di beberapa desa banyak orang tua yang merantau ke Jakarta atau menjadi TKI/TKW, sementara anak dititipkan pada nenek atau kerabat lainnya sehingga pendidikan anak kurang mendapat perhatian. Di satu desa sampel murid yang ditinggal orang tuanya bisa mencapai 30%. Kepala sekolah dan guru mengeluhkan murid yang ditinggal orang tua banyak yang kurang motivasinya dalam belajar, cenderung lebih nakal, sering absen, tidak naik kelas, dan bahkan ada yang putus sekolah. Di NTT alasan utama orang tua tidak mendaftarkan anaknya ke SMP atau putus sekolah, baik di desa perlakuan maupun kontrol adalah beban biaya sekolah seperti biaya fotokopi buku pelajaran, ongkos transpor, dan biaya asrama. Adanya bantuan dari PNPM Generasi dan Plan International di tiga desa perlakuan dan bantuan dari WVI dan PNPM Mandiri Perdesaan di desa kontrol dapat mengurangi beban orang tua terhadap biaya pendidikan, namun belum sepenuhnya bisa mengatasi hambatan ekonomi. Hambatan lainnya yang menyebabkan orang tua tidak mendaftarkan anaknya ke SMP adalah aksesbilitas terhadap SMP. Di tiga desa perlakuan dan satu desa kontrol belum ada SMP di dalam desa sehingga murid harus tinggal di asrama atau berjalan jauh ke sekolah. Minimya fasilitas dan pengawasan di asrama serta murid yang terlalu lelah juga menjadi penyebab putus sekolah. Peralihan budaya rural ke urban yang terjadi baik di desa perlakuan maupun kontrol membawa pengaruh buruk bagi motivasi anak bersekolah. Sebagian anak (terutama anak laki-laki) memilih untuk menjadi pengemudi ojek atau kondektur bis karena ingin mencari uang untuk membeli barang konsumtif seperti telepon genggam atau DVD player. Banyak terungkap bahwa sekarang keputusan bersekolah atau tidak merupakan keinginan anak dan jika anak memutuskan untuk berhenti sekolah, orang tua terkadang tidak bisa mencegahnya. Hambatan ekonomi ”Sekolah berarti penambahan beban uang saku dan uang transport bagi orang tua untuk anaknya”(FGD Bapak-Jawa Barat).
32
Lembaga Penelitian SMERU
”Saya mah pengennya sekolah kayak dulu...buku gak beli, kenapa sekarang harus beli, mata pelajaran juga berubah-ubah juga bukunya”(FGD Bapak-Jawa Barat). ”Anak saya kerja setelah pulang sekolah, bantu-bantu di mebel, seminggu bisa dapat 50 ribu”. “Anak laki-laki saya ngojek, tapi setelah pulang sekolah, buat tambah-tambah uang jajan” (FGD Ibu-Jawa Barat). Kenakalan anak “Layar komputer di lab multimedia dicorat-coret pake spidol. Meja komputer digoyang-goyang. Akhirnya patah dan monitornya pecah, dan tembok tinggi yang kami bangun itu juga maksudnya untuk mencegah murid-murid yang suka kabur” (Kepala sekolah-Jawa Barat). “Bila tidak sekolah, anak laki-laki umumnya main, miara domba atau ngarit” (FGD Bapak-Jawa Barat). “Tapi kalau anak sudah tidak ingin sekolah, kami juga tidak bisa paksa” (FGD Ibu-NTT). Bantuan PNPM Generasi meringankan hambatan ekonomi “Tiba-tiba saya harus jual ayam untuk beli seragam anak, tapi tidak jadi karena dapat seragam dari PNPM” (FGD Bapak-NTT). “Jika ada siswa yang belum bayar uang komite maka akan diambil dari dana PNPM Generasi ini” (Komite SM-NTT). Anak saya sekarang kelas I SMP, dapat bantuan transportasi dari PNPM, saya rasa bersyukur, tetapi kalaupun PNPM tidak ada lagi sekolah anak saya harus jalan terus.... (FGD Ibu-NTT). Uang Pendaftaran Sekolah Masih Menghambat Akses Bersekolah Di satu desa di kecamatan sampel di NTT, sekelompok anak dari keluarga minoritas tertentu terpaksa harus mendaftarkan anaknya di sekolah yang berjarak 3 km karena tidak mampu membayar uang pendaftaran Rp80.000 di salah satu SD Negeri terdekat. Sekolah lain yang tidak jauh dari SDN tersebut pun tidak dapat diakses karena tidak tersedia pelajaran agama yang dianut oleh kelompok keluarga minoritas tersebut. Karena itu, mereka kemudian terpaksa memilih salah satu SDN lain yang terletak 3 km dari tempat tinggal mereka karena uang pendaftaranya lebih murah yakni Rp25.000 dan tersedia pelajaran agama yang dianutnya. Demi mengurangi biaya pendaftaran para orangtua tersebut terpaksa mengambil keputusan yang cukup berisiko bagi anaknya. Risiko dimaksud antara lain jauhnya jarak yang harus ditempuh setiap hari dengan kondisi jalan yang buruk dan terjal serta belum tersedia sarana transportasi. Konsekuensi negatif yang bisa terjadi bagi anak adalah terlambat masuk sekolah, keletihan berjalan, serta keamanan dalam perjalanan,. Bandingkan risiko ini dengan selisih biaya yang harus mereka tanggung yakni Rp55.000 bila mendaftar di SDN terdekat?
3.5.3 Perubahan Tingkat Absen dan Penyebab Murid Absen Dibandingkan 2007, secara umum tingkat absensi murid SD dan SMP di semua desa sampel di Jawa Barat dan NTT menurun. Namun demikian, masih terdapat 1-2 murid yang absen dengan rata-rata lama hari absen 1-3 hari. Di Jawa Barat penurunan tingkat absen murid, baik SD maupun SMP, lebih banyak didorong oleh semakin ketatnya aturan sekolah, meningkatnya pemantauan dari sekolah dan orangtua, serta peningkatan fasilitas penunjang sekolah. Beberapa sekolah misalnya membuat pagar di sekeliling sekolah sehingga murid tidak mudah ‘kabur’ dari sekolah. Di NTT baik di desa perlakuan maupun kontrol, menurunnya tingkat absensi murid SD karena meningkatnya kesadaran orang tua akan pentingnya menyekolahkan anak dan mendorong mereka lebih peduli tentang kehadiran anak di sekolah. Bantuan dan bimbingan terkait pendidikan dari Plan International dan WVI juga turut meningkatkan kepedulian orang tua terhadap pendidikan anak. Bantuan PNPM Generasi berkontribusi terhadap penurunan tingkat absensi murid melalui dua mekanisme: bantuan langsung ke murid dan peningkatan perhatian aparat desa dan
Lembaga Penelitian SMERU
33
masyarakat terhadap kehadiran murid. Bantuan langsung ke murid dari PNPM Generasi menurunkan tingkat absen melalui: - Bantuan payung dan tambahan pakaian seragam mengatasi sebagian hambatan musim hujan yang menyebabkan murid absen di NTT. - Bantuan uang transpor bagi murid miskin, mengatasi hambatan biaya transpor ke sekolah. Di NTT meskipun bantuan uang traspor ini tidak benar-benar digunakan untuk transportasi, karena tidak tersedianya/masih jarangnya transportasi umum, tetapi dapat memotivasi murid untuk lebih rajin datang ke sekolah. - Bantuan seragam, sepatu, tas dan alat tulis, meningkatkan semangat murid ke sekolah dan mengurangi rasa minder karena tidak memiliki baju, sepatu dan alat tulis. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, keberadaan PNPM Generasi di NTT menjadi faktor pendorong bagi aparat desa/kecamatan untuk mengintensifkan kembali keberadaan sanksi denda bagi murid yang absen. Denda sudah ada sejak lama, namun diintensifkan kembali bersamaan dengan pelaksanaan PNPM Generasi. Besar denda perhari absen berbeda antar desa dan denda SD lebih besar dari SMP (lihat tabel 14). Meskipun sanksi denda ini dinilai efektif untuk menurunkan tingkat absen murid, akan tetapi keberadaannya pernah menyebabkan seorang murid SD putus sekolah karena malu tidak bisa membayar uang denda sebesar Rp500,000 dan satu ekor kambing. Alasan murid tersebut sering absen karena jarak rumah yang jauh dari sekolah. “saya pu anak juga pernah alpa 2 kali jadi bayar sa pu anak denda sama dengan Pak Min pu anak sebesar Rp 20.000” (FGD Bapak_NTT). Tabel 14. Penerapan Denda Uang Bagi Murid SD/SMP yang Absen di Desa Perlakuan PNPM Generasi Nama Desa Sekon Taunbaen Susulaku A
Hauteas
SD/SMP
Besarnya Denda
SD
Rp5.000/hari atau Rp25.000/tiga hari berturut-turut Rp5.000/hari
SMP
Rp10.000/hari
SD
Pembuat kesepakatan Desa, &komite
Keterangan Denda dinaikkan tahun 2009, sebelumnya Rp1.000
Sekolah & orang tua
SD
Rp1.000/hari
SMP
Rp2.000/hari
Sekolah & orang tua
SD
Rp5.000/hari
Sekolah
SMP
Rp10.000
Sekolah
Denda dinaikan tahun 2010, sebelumnya Rp1.000
Ketika sanksi absen justru menjadi penyebab murid putus sekolah Penerapan kebijakan sanksi untuk tujuan menekan tingkat absen murid di sekolah menjadi kontrapoduktif. Kondisi yang dialami seorang murid di salah satu wilayah sampel di NTT menjadi salah satu bukti empiris. Seorang murid kelas 2 SD karena rumah orangtuanya terletak di kaki bukit dan berjarak 5 km dari sekolah, ia lalu dititipkan di salah satu kerabat yang tinggal tidak jauh dari sekolah. Ini dilakukan agar ia tidak lagi telat atau absen dari sekolah. Karena usianya yang masih kecil dan tentunya masih membutuhkan kasih sayang orangtuanya, upaya ini tampaknya tidak berhasil. Ia masih kerap absen dan kembali tinggal di rumah orangtuanya di kaki bukit. Selama beberapa bulan lamanya, orangtua kurang memperdulikan keabsenan anaknya di sekolah karena sibuk bekerja di kebun. Suatu ketika orangtuanya dipanggil pihak sekolah dan aparat desa untuk mempertanggungjawabkan ketidakhadiran anak tersebut. Sesuai sanksi ia dan keluarganya harus menanggung denda sebesar Rp500.000 dan ditambah seekor kambing. Tunduk pada aturan, orangtua miskin ini pun rela membayar sanksi tersebut dan sekaligus memohon agar anaknya diperkenankan untuk berhenti dari sekolah. Orangtuanya mengaku bila diteruskan, mereka tidak akan sanggup untuk menjamin anaknya tetap sekolah dan karena itu mereka memilih untuk berhenti bersekolah. Pihak sekolah dan aparat pun kemudian menyetujui permohonan ini setelah seluruh denda dilunaskan.
34
Lembaga Penelitian SMERU
Meskipun secara umum tingkat absen sudah menurun, masih ada murid SD/SMP yang absen. Di Jawa Barat penyebab utama adalah karena kenakalan, kemalasan, dan pengaruh buruk pergaulan. Murid yang absen umumnya pamit kepada orang tua untuk sekolah, namun di tengah jalan mereka mampir di tempat penyewaan playstation atau nongkrong di warung bersama temantemannya. Selain itu, terdapat murid yang absen karena ikut orang tua mengunjungi kerabat atau karena ada keperluan keluarga di luar desa. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, uang jajan merupakan salah satu faktor penting yang memotivasi murid ke sekolah, sehingga anak yang tidak diberi uang jajan bisa menyebabkan mereka mogok sekolah. Di sebagian desa di Jawa Barat, tingkat absen murid SMP meningkat pada saat musim panen karena murid harus membantu orang tua memanen atau menjaga adik di rumah ketika kedua orang tua sibuk di sawah. “.. Kalo tidak mau sekolah biasanya juga karena gak bisa kerjakan PR, takut sama gurunya karena belum ngerjakan PR” (FGD Bapak ). “Sering terlena maen PS, jadi lupa ngerjain PR” (Guru SMP-Jawa Barat). ”..yang penting anak mah asal dikasih jajan pasti rajin sekolah...” (FGD Ibu-Jawa Barat). Di NTT alasan utama murid SD absen adalah karena kelelahan saat harus berjalan jauh ke sekolah. Meskipun SD sudah ada di dalam desa, luas desa yang besar serta penduduk yang menyebar menyebabkan jauhnya jarak sekolah dari beberapa dusun terpencil (sekitar 5 km). Jumlah murid SD yang absen juga meningkat pada saat hujan dan hari pasar. Musim hujan masih menjadi kendala kehadiran murid karena kondisi jalan yang becek dan permukaan sungai yanga naik sehingga tidak bisa disebrangi karena tidak ada jembatan. Pada hari pasar banyak murid yang ikut orang tua ke pasar atau mereka pergi bersama teman-temannya dan absen dari sekolah. Sama seperti di Jawa Barat, alasan utama murid SMP absen adalah karena malas dan kenakalan terutama karena pengaruh buruk pergaulan. Murid laki-laki lebih sering absen dari murid perempuan karena murid laki-laki cenderung lebih malas dan nakal. Alasan absen karena kenakalan anak meningkat intensitasnya dibandingkan 2007 dan mulai menghawatirkan orang tua baik di desa perlakuan maupun kontrol. 3.5.4 Aktor-Aktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan Pelayanan Pendidikan Dasar Di tingkat rumah tangga di semua desa sampel di Jawa Barat, keputusan menyekolahkan anak dan memilih sekolah umumnya dilakukan berdasarkan kesepakatan antara suami dan istri. Untuk hal-hal yang tidak menyangkut keuangan umumnya istri yang lebih berperan, sebaliknya jika sudah terkait uang umumnya suami yang lebih berperan. Selain itu, ada kecenderungan keinginan anak menjadi salah satu faktor penentu keputusan melanjutkan dan memilih sekolah, terutama untuk tingkat SMP. ”...yang sering motivasi ibunya, karena bapaknya jarang dirumah, kerja diluar” (FGD Bapak-Jawa Barat). ”Jelas ibunya, karena ibu lebih banyak dirumah lebih tau masalah anak, kalo bapaknya tugasnya cari nafkah, yang bantu untuk mengerjakan PR juga ibunya, bapaknya tidak pernah, karena pulang kerja sore sudah cape duluan” (FGD Bapak-Jawa Barat). “Ditanya dulu anaknya, mau lanjut ga?, Karena kalau anaknya yang mau pasti sekolah tapi kalau dipaksa-paksa, dari rumah pergi tapi tidak nyampe ke sekolah “ (FGD Bapak_Jawa Barat). Di luar keluarga, aktor yang berperan dalam mendorong rumah tangga untuk menyekolahkan anaknya adalah aparat desa, guru, kepala sekolah dan komite. Peran para aktor tersebut sebatas menyarankan dan memberikan informasi kepada orang tua agar menyekolahkan anaknya. Selain itu, ada peran tetangga terutama untuk mengingatkan orang tua jika anaknya tidak disekolahkan atau dibiarkan
Lembaga Penelitian SMERU
35
absen. Khusus di daerah perlakuan, pengelola PNPM Generasi juga berperan dalam mendorong warga memanfaatkan layanan pendidikan dasar, seperti melalui penyuluhan dan memotivasi orang tua agar memperhatikan pendidikan anaknya. ”Ada pak Kadus, dua bulan sekali keliling ke masyarakat untuk manganjurkan warga untuk menyekolahkan anaknya” (FGD Bapak-Jawa Barat). “... seperti dari PNPM ada penyuluhan supaya anaknya sekolah tidak buta huruf” (FGD Bapak-Jawa Barat). “Ada, tetangga ngomong ke anak saya mending sekolah daripada ga, udah ketauan orangtua gitu –miskinsiapa tahu ningkat” (FGD Bapak-Jawa Barat). Di NTT, pada tingkat rumah tangga kedua orang tua berperan dalam memutuskan sekolah anak. Namun demikian, keputusan juga tidak jarang tergantung pada pilihan anak. “Bersama Bapak dan Mama. Tapi kalau anak sudah tidak ingin sekolah, kami juga tidak bisa paksa” (FGD Ibu). Selain keluarga inti, keputusan menyekolahkan anak juga datang dari anggota keluarga lain yang telah berpendidikan tinggi. Mereka memotivasi orang tua dan anak tentang manfaat pendidikan. Mereka juga umumnya dijadikan contoh bagi orang tua dalam memotivasi anaknya bersekolah. Aktor di luar keluarga yang mempengaruhi orang tua dan anak dalam memanfaatkan pelayanan pendidikan dasar adalah kepala desa melalui pengarahan pada saat rapat desa atau pertemuan di sekolah. Khusus di desa perlakuan, adanya kesepakatan dengan kepala desa mengenai murid absen merupakan bukti kuat peran dari kepala desa terhadap pemanfaatan pelayanan pendidikan. Aktor yang juga cukup berperan di kedua desa kontrol adalah petugas dari WVI, yang selain memberi bantuan, juga memberikan bimbingan tentang pentingnya pendidikan. Tabel 15 berikut menjelaskan aktor-aktor yang mendorong pemanfaatan pelayanan pendidikan di semua wilayah sampel. Tabel 15. Aktor-Aktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan Pelayanan Pendidikan Dasar di Desa Perlakuan dan Kontrol PNPM Generasi Kategori
Nama Desa Nagarawangi
Perlakuan – Jabar
Pamekaran Buahdua Bojongloa Sukaratu
Kontrol –Jabar Neglasari Taunbaean Hauteas Perlakuan -NTT
Sekon Susulaku Oenenu
Kontrol -NTT Kuanek
36
Aktor yang Mendorong Pemanfaatan Pelayanan Pendidikan -Kepala dusun -Guru -Tokoh agama -Tokoh masyarakat -Guru -Komite sekolah -Aparat desa -Pengurus PNPM Generasi -Kepala desa -Keluarga/kerabat -Tokoh masyarakat -Kepala desa -Komite sekolah -Guru -Saudara/tetangga - Kepala Desa - Komite - Guru -Pihak desa -Tokoh agama -Kecamatan -Pemerintahan desa -Kepala desa -Kepala Dusun. -RT -Guru -Kecamatan -Tokoh masyrakat -Kepala desa -Guru-guru -Komite sekolah -Kepala sekolah -Aparat desa -Kepala desa -Tokoh agama -Kecamatan -Ornop ( CARE & WVI ) -Guru -Sesama orang tua -Kepala desa -Ornop (WVI) -Guru - PNPM Mandiri Perdesaan -Komite sekolah - Kecamatan
Lembaga Penelitian SMERU
3.5.5 Perubahan Kesadaran Ibu dan Bapak dalam Menyekolahkan Anak Secara umum di Jawa Barat, kesadaran akan pentingnya pendidikan di kalangan orangtua sudah tinggi. Hal ini membuat orang tua tidak membedakan perlakuan anak perempuan dan laki-laki dalam menyekolahkan anaknya di SD dan SMP. Keterbatasan danalah yang seringkali menjadi alasan sebagian orang tua lebih memprioritaskan pendidikan yang lebih tinggi pada anak laki-laki. “Kalo sampai SMP ya harus diusahain biar ngutang...kalo ke atasnya SMP ya yang laki-laki. Saya anggap anak laki akan punya tanggung jawab besar, jadi jangan modal otot aja seperti saya, capek kerjanya” (FGD SMP-Jawa Barat). ”Manfaatnya bagi laki-laki untuk menghidupi istri bertanggung jawab, menanggung. Kalau bagi perempuan nanti ada yang menghidupi, ditanggung” (FGD Ibu_Jawa Barat). Sama seperti di Jawa Barat, di semua wilayah sampel di NTT, tingkat kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anaknya meningkat dibandingkan pada 2007. Peningkatan ini terlihat dari ungkapan peserta FGD dalam manfaat menyekolahkan anak seperti: “supaya dapat izajah SD sampai SMA” “...supaya bisa kuliah” (FGD Ibu SD-NTT) “Bisa bekerja di kantor, di perusahaan atau jadi TKI/TKW” (FGD Bapak-NTT). Kesadaran juga terlihat dari jawaban yang merefleksikan pengalaman orang tua yang kurang pendidikannya: “Sekolah anak itu sangat penting karena kami sudah rasakan susahnya tidak sekolah” (FGD Ibu-NTT). Peningkatan kesadaran juga dipengaruhi oleh keberadaan program pendidikan, seperti PNPM Generasi di desa perlakuan dan WVI di desa perlakuan dan kontrol. Berbagai program tersebut selain memberikan bantuan fisik juga terdapat unsur penyuluhan dan penyadaran baik secara langsung maupun tidak langsung yaitu melalui perhatian khusus yang diberikan penyelenggara program terhadap bidang pendidikan.
Lembaga Penelitian SMERU
37
IV PROGRAM KELUARGA HARAPAN (PKH) 4.1 Pelaksanaan PKH Dari 24 desa/kelurahan sampel, PKH dilaksanakan di delapan desa/kelurahan. Enam desa/kelurahan di antaranya memang wilayah studi yang didisain sebagai perlakuan PKH sejak 2007, sedangkan dua desa lainnya adalah perlakuan PNPM Generasi yang ternyata kemudian juga menerima PKH, sehingga dua desa tersebut menerima baik PNPM Generasi maupun PKH. Karena di kedua desa tersebut informasi tentang PKH tidak digali secara mendalam, pembahasan PKH berikut lebih bersumber dari enam desa/kelurahan yang memang didisain sebagai perlakuan PKH. Dari enam desa/kelurahan perlakuan PKH, empat desa adalah perlakuan PKH perdesaan dan dua lainnya perlakuan PKH perkotaan. Di tingkat masyarakat, terutama di Jawa Barat dan di perkotaan NTT, keberadaan PKH tidak terlalu dikenal. Selain karena sedikitnya jumlah penerima PKH, potensi kecemburuan dan konflik yang tinggi dari nonpenerima menyebabkan keberadaan PKH ini seolah-olah seperti dirahasiakan. Peserta FGD nonpenerima PKH di Jawa Barat dan di perkotaan di NTT, umumnya baru mengetahui keberadaan PKH di desanya pada saat mengikuti FGD. ”..di bidang sosialisasi dilakukan secara diam-diam biar tidak menimbulkan pergolakan di masyarakat” (Pendamping PKH-Jawa Barat). “Penerima PKH sangat terbatas jumlahnya sehingga penerima PKH sudah dipesan oleh pedamping agar tidak memberi tahu kepada tetangga yang lain karena dikhawatirkan akan menimbulkan kecemburuan”(Ketua Kelompok PKH-Jawa Barat). “Mungkin ada tapi diam-diam saja, sekarang saja kami baru tahu kalau ada yang dapat bantuan PKH disini..... kenapa mereka dapat kami tidak padahal hidup kami sama dengan mereka bahkan di bawah mereka” (FGD Ibu-NTT Perkotaan). Di tingkat aparat desa/dusun dan pemberi layanan KIA dan pendidikan dasar terdapat kecenderungan adanya ketidakpuasan terhadap PKH karena mereka tidak dilibatkan. Di lima desa/kelurahan penerima PKH, semua bidan yang diwawancarai mengeluhkan bahwa mereka tidak dilibatkan dalam PKH, salah satu bidan bahkan tidak mengetahui tentang keberadaan PKH di kelurahannya. ”Untung pemberian uangnya kepada sasaran lewat kantor pos, jadi kita bisa mengatakan bahwa desa tidak terlibat dalam PKH. Kalau lewat kantor desa, bisa ribut masyarakatnya” (Kepala Desa-Jawa Barat). “Yang mengetahui keberadaan PKH di kelurahan ini hanya para penerimanya saja, karena pelaksanaan program dilakukan secara diam-diam” (Lurah-NTT). ”Harusnya ada koordinasi dengan bidan untuk masalah kehadiran ibu hamil di posyandu, tidak ada sama sekali” (Bidan-NTT). ”...apakah kami ini hanya bertugas kumpul data saja, dinas saja tidak tahu, bagaimana lagi dengan kami yang di bawah” (Bidan-NTT). Jumlah penerima PKH di setiap desa/kelurahan studi relatif sedikit. Dibandingkan jumlah KK, penerima PKH untuk desa di Jawa Barat dan wilayah perkotaan di NTT proporsinya hanya sekitar 2% dari total KK, hanya di dua desa di Kabupaten TTS proporsinya lebih besar yaitu 25% dan 33% dari total KK (lihat tabel 16). Baik di NTT maupun di Jawa Barat, peserta FGD dan informan kunci mengeluhkan masih adanya rumah tangga yang kondisi ekonominya sama atau lebih miskin dari penerima PKH, tetapi tidak mendapatkan PKH (kekurangtercakupan/ undercoverage), dan ada pula beberapa penerima yang dinilai
38
Lembaga Penelitian SMERU
tidak layak mendapatkannya (ketidaktepatan sasaran/miss targeting). Peserta FGD, penerima maupun nonpenerima, dan informan mengaku tidak mengetahui bagaimana penerima PKH dipilih. Tabel 16. Jumlah dan Proporsi Penerima PKH Jumlah KK
Jumlah Penerima PKH
Proporsi
Gegesik Kulon
1.819
45
2%
Jagapura Kidul
2.612
57
2%
Mertasinga
2.000
25
1%
Oenai
740
184
25%
Falas
576
191
33%
Fatufeto
935
22
2%
Nama Desa Jawa Barat
NTT
Sumber: Rekapitulasi data desa
Dari segi penggunaan, dana PKH sebagian besar digunakan untuk kebutuhan seharihari rumah tangga penerima. Jika dana PKH turun bersamaan waktunya dengan tahun ajaran baru, maka sebagian dana dialokasikan untuk keperluan anak sekolah seperti untuk membeli seragam, sepatu, tas, alat tulis, buku, serta membayar uang SPP/komite untuk anak SMP. ”Bahkan ada juga yang istilahnya menggadaikan kartu PKH-nya untuk meminjam keperluan konsumsi, begitu bantuan turun langsung habis untuk bayar hutang” (Pendamping PKH-Jawa Barat). “Tetapi kalau waktu turunnya dana jauh dari masa kebutuhan sekolah, dananya biasanya sudah habis untuk kebutuhan rumah tangga lain” (Ketua Kelompok PKH-Jawa Barat). Pemanfaatan dana PKH untuk keperluan KIA jarang dilakukan bahkan hampir tidak ada. Karena waktu pencairan sering tidak bertepatan pada saat dana dibutuhkan (misalnya saat melahirkan), sehingga ibu cenderung mengabaikan aspek KIA walaupun rumah tangga tersebut menerima dana PKH untuk balita atau ibu hamil. Bidan yang bertugas di desa penerima PKH mengeluh bahwa ibu hamil penerima PKH sebagian besar tidak memiliki persiapan untuk biaya persalinan. Selain itu, di satu desa pemanfaatan dana PKH untuk KIA juga terhambat karena tidak ada bidan desa. Di desa tersebut sebagian besar penerima PKH tidak mengakses layanan bidan. ”Dana yang diberikan sebelum melahirkan sudah habis, tidak ada lagi dana untuk melahirkan” (Bidan Desa-NTT). ”Bahkan jika saatnya ibu melahirkan, tidak punya apa-apa karena uangnya sudah habis terpakai” (Bidan Desa-NTT). ”Uang yang didapat tidak cukup untuk kesehatan hanya untuk pendidikan saja”(FGD Ibu-NTT). Selain itu banyak penerima PKH di NTT yang menggunakan dana PKH untuk membeli aset berupa ternak seperti ayam, babi, atau bahkan sapi dengan alasan jika ada keperluan untuk pendidikan atau kesehatan, ternak tersebut dapat dijual. Dalam praktiknya penggunaan hasil penjualan aset ternak tersebut belum dapat diverifikasi. “Kalau lebih bisa beli babi 1 ekor, Rp150 ribu supaya bisa di jual lagi untuk keperluan anak sekolah” (FGD Ibu-NTT).
Lembaga Penelitian SMERU
39
“Untuk PKH bantuan tepat sasaran tapi salah dalam pemanfaatan karena para penerima bantuan tidak fokus digunakan untuk pendidikan dan kesehatan tapi dipakai untuk membayar hutang, pesta, beli minuman keras dan untuk acara adat” (kepala Desa-NTT). Meskipun secara umum dari sisi penggunaan belum dapat dinilai tepat, dari segi pengelolaan sebagian besar sudah sesuai dengan ketentuan, yaitu oleh ibu atau perempuan dalam keluarga. Selain karena ibu yang mengambil dana langsung dari kantor pos, umumnya para ibu juga langsung membelanjakan sebagian uang tersebut di pasar. Di satu desa di NTT pengelolaan dana PKH oleh perempuan menimbulkan kecemburaan para bapak sehingga mereka berharap dana BLT yang diterima dan dikelola oleh kepala keluarga dapat kembali dicairkan. “Mudah-mudahan BLT dapat lagi supaya bapak-bapak yang terima, masa kok bantuan hanya untuk ibu-ibu, tidak ada untuk bapak-bapak (Pendamping PKH-NTT). “Pemanfaatan dana ibu yang mengelola dan menggunakannya karena ibu-ibu yang lebih dekat, lebih tahu kondisi anak-anak dan sehari-harinya dapat memantau anak di rumah, hanya ada 1-2 orang saja yang dikelola oleh suami karena istri masih tunduk sama suami, juga ada karena istrinya meninggal maka PKH di kelola oleh suaminya” (Pendamping PKH-NTT). “...dana PKH dipertanggung jawabkan oleh ibu-ibu, suami tidak dijinkan untuk ikut serta”(FGD BapakNTT). Keberadaan serta keaktifan pendamping PKH memegang peranan penting dalam memotivasi penerima untuk mematuhi 12 indikator keberhasilan program maupun dalam pengalokasian penggunaan dana PKH. Pendamping sering memberikan arahan agar penerima mematuhi ketentuan program dan menggunakan dana untuk keperluan KIA dan pendidikan. Salah satu cara yang dilakukan pendamping adalah dengan memberi penekanan atau ancaman kepada penerima bahwa uang PKH-nya akan dipotong atau bahkan status sebagai penerima dicabut jika ibu hamil atau bayi balita tidak ke posyandu dan atau jika anak sering absen dari sekolah. Cara ini dinilai pendamping cukup efektif dalam mendorong kepatuhan penerima di wilayah perdesaan di NTT. “Saya menjelaskan kepada penerima PKH jika tidak datang ke posyandu untuk yang terima PKH akan didenda Rp50.000, jika tidak hadir di posyandu sebanyak 3 kali akan dicoret sebagai penerima.” (Pendamping PKH-NTT). “Ada upaya agar anak masuk sekolah, PKH kalau alpha potong Rp.50.000 jaga anak supaya sekolah jangan alpha. Setia sekolah takut denda” (FGD Bapak-NTT). Namun demikian, pendamping PKH tidak selalu ada dan aktif di semua desa penerima. Banyaknya wilayah dampingan menjadi salah satu penyebab tidak fokus dan aktifnya pendamping. Sedikitnya jumlah penerima PKH per desa/kelurahan di Jawa Barat dan di perkotaan di NTT menyebabkan satu pendamping harus mendampingi beberapa desa/kelurahan. Bahkan, terdapat satu pendamping yang mendampingi sampai tujuh desa/kelurahan8. Selain itu di satu kelurahan sampel di NTT, misalnya, sejak Agustus 2009 pendamping mengundurkan diri, sehingga pendamping di kelurahan ini dirangkap oleh pendamping dari wilayah lain. Peran ketua kelompok PKH, yang dipilih diantara penerima PKH dan membawahi ratarata sekitar 20-25 penerima, hanyalah sebagai penghubung antara pendamping dan penerima PKH. Jika pendamping memiliki informasi yang ingin disampaikan kepada anggota, seperti tanggal pertemuan sebelum pencairan dana, biasanya mereka cukup mengirim sms kepada ketua kelompok untuk kemudian menyampaikan informasi tersebut ke anggota kelompoknya. Monitoring kepatuhan penerima PKH terhadap 12 indikator keberhasilan program tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pengisian formulir verifikasi yang dikirim dan diambil oleh kantor pos tidak dimengerti oleh sebagian guru/kepala sekolah, bidan dan puskesmas karena 8Buku
Saku Pendamping PKH menyebutkan bahwa satu pendamping PKH mendampingi kurang lebih 375 penerima PKH.
40
Lembaga Penelitian SMERU
mereka tidak pernah mendapatkan penjelasan mengenai tujuan dan cara pengisian formulir. Untuk mengatasi hal tersebut, sebagian pendamping mengaku mengisi formulir verifikasi sendiri setelah mendapatkan informasi dari sekolah, bidan atau puskesmas untuk pemenuhan persyaratan administriasi. Akan tetapi, sebagian guru/kepala sekolah, bidan dan staf puskesmas yang diwawancara mengaku tidak pernah dimintai data oleh pendamping. “Pada awalnya seluruh proses ini menggunakan form verifikasi yang dikirim lewat pos, tetapi karena pengiriman seringkali terlambat sama pihak sekolah juga sering tidak diisi, akhirnya pendamping yang melakukan inisiatif untuk memonitoring seluruh aktivitas tersebut....” (Pendamping PKH-Jawa Barat).
4.2 Ketersediaan Pelayanan KIA Studi menemukan sejumlah peningkatan ketersediaan pelayanan KIA dibandingkan 2007. Peningkatan ini sebagian didorong oleh keberadaan program atau bantuan dari pemerintah (pusat dan daerah) maupun dari nonpemerintah. Meski terdapat sejumlah perubahan positif atas ketersediaan pelayanan KIA, namun masih terdapat sejumlah hambatan ketersediaan layanan KIA modern di sebagian wilayah sampel lainnya baik wilayah perlakuan maupun kontrol, seperti terbatasnya jumlah kader dan bidan, terbatasnya sarana pendukung KIA, hambatan akses fisik dan geografis, serta ketidaktersediaan listrik dan air bersih. Beberapa kelompok kecil perempuan, yang karena jenis pekerjaannya seperti melaut di Jawa Barat serta masyarakat yang tinggal di wilayah terpencil dan memiliki kepercayaan yang kuat pada dukun khususnya di NTT, masih sulit dijangkau oleh layanan KIA modern. 4.2.1 Kondisi dan Perubahan Permasalahannya
Ketersediaan
Pelayanan
KIA
serta
Jenis layanan KIA yang tersedia di wilayah perlakuan dan kontrol PKH meliputi posyandu dan polindes/poskesdes, serta penyedia layanan yaitu bidan desa dan kader posyandu. Sebagian desa juga memiliki pustu dan di seluruh ibu kota kecamatan tersedia puskesmas (lihat tabel 17). Di sebagian desa/kelurahan di wilayah perkotaan telah tersedia dokter praktik umum dan dokter spesialis anak dan kandungan. Di semua desa sampel di Jawa Barat, layanan posyandu tersedia di setiap dusun atau RW. Di NTT layanan posyandu masih sulit menjangkau wilayah atau dusun terpencil, bahkan di satu desa kontrol hanya tersedia satu posyandu. Terbatasnya jumlah posyandu selain karena kecilnya jumlah sasaran (ibu hamil dan balita) dan tersebarnya lokasi penduduk, juga karena terbatasnya jumlah kader dan tenaga bidan desa/puskesmas yang memberi pelayanan di posyandu. Seperti halnya ketika studi baseline 2007, posyandu menjadi tempat layanan utama kesehatan anak balita. Hampir seluruh posyandu berjalan secara aktif dengan sistim pelayanan lima meja dan dilakukan sekali sebulan. Namun, di sebagian desa sampel, jumlah kader tersedia masih kurang dari minimum lima orang yang disyaratkan, karena sulitnya merekrut kader yang mau bekerja secara sukarela. Dibandingkan 2007, terdapat penambahan satu layanan posyandu di satu desa perlakuan di Jawa Barat dan dua layanan posyandu di satu desa kontrol di NTT. Penambahan satu layanan posyandu di Jawa Barat tersebut bertujuan agar layanan tersedia lebih merata karena jumlah warga yang harus dilayani cukup banyak. Penambahan dua layanan posyandu di desa kontrol di NTT dilakukan sejalan dengan pemekaran dusun. Di sebagian desa/kelurahan sampel lainnya, baik di wilayah perdesaan maupun perkotaan di NTT, telah dibangun rumah atau lopo posyandu yang dilengkapi berbagai sarana pendukungnya seperti meja dan kursi, tempat tidur, lemari, rak obat, buku, dan timbangan yang diperoleh dari bantuan Church World Service (CWS).
Lembaga Penelitian SMERU
41
Tabel 17. Jenis Fasilitas yang Tersedia di Desa Perlakuan dan Kontrol PKH Kategori Sampel
Nama Desa Sampel
Jabar-Perdesaan -Perlakuan Jabar-Perdesaan -Kontrol Jabar-Perkotaan -Perlakuan Jabar-Perkotaan -Kontrol NTT-Perdesaan -Perlakuan NTT-Perdesaan -Kontrol NTT-Perkotaan -Perlakuan NTT-Perkotaan -Kontrol
Jumlah Posyandu
Bidan Desa
a)
Keberadaan Fasilitas KIA lain
Ada Ada Ada Ada
Polindes √ -
Poskesdes √ c) c) √ √ -
√ √
Puskesb) mas √ -
Ada
Ada
-
-
-
√
5
Ada
Ada
-
√
-
-
3 3 1
3 3 1
Biloto
2
4
Ada Tidak ada Tidak ada Ada (di luar desa)
Ada Tidak ada Tidak ada Ada (di luar desa)
√ -
-
-
-
-
√
-
√
Fatufeto
4
4
Ada
Ada
-
-
√
-
Tode Kisar
2
2
Ada (di luar desa)
Ada (di luar desa)
-
-
-
-
2007
2010
2007
2010
Gregesik Kulon Jagapura Kidul Susukan Tangkil
5 7 8 6
5 8 8 6
Ada Ada Ada Ada
Mertasinga
6
6
Mundu Pesisir
5
Oenai Falas Bisene
Pustu
Keterangan : a) (Ada): berarti bidan berada di dalam desa. b) (–): mengakses puskesmas di luar desa atau puskesmas berada di ibukota kecamatan. c) Merupakan bentuk layanan dari puskesmas keliling dengan menggunakan rumah salah seorang warga sebagai tempat layanan. Sumber: Rekapitulasi hasil wawancara, observasi dan FGD.
Meskipun sudah terjadi beberapa peningkatan, di sebagian desa sampel, baik perlakuan maupun kontrol, pelayanan posyandu masih terkendala karena seringnya pergantian kader. Penyebab utamanya adalah karena tidak tersedia insentif yang memadai bagi kader. Di Jawa Barat kader lama lebih memilih menjadi buruh atau TKW. Pergantian kader juga terkait langsung dengan pergantian kepala desa/lurah. Di satu desa kontrol di Jawa Barat, karena sulitnya mencari kader, setiap posyandu hanya dikelola oleh 2-3 orang kader. Padahal, apabila mengikuti sistim pelayanan lima meja, seharusnya ada 5 orang kader untuk setiap posyandu. Permasalahan lain dalam pelayanan posyandu adalah belum tersedianya lokasi dan bangunan khusus posyandu di sebagian desa/kelurahan sampel sehingga pemberian layanan masih diselenggarakan di rumah kader atau aparat desa. Akibatnya, para ibu dan balita merasa kurang nyaman selama berada di posyandu. “Hambatannya masyarakat masih belum merasa nyaman ketika di poyandu, puskesmas, polindes, dikarenakan anak-anaknya tidak nyaman dan merasa terganggu” (Bidan Desa-Jawa Barat). Selain itu warga yang berdomisili di lokasi/RT terpencil harus berjalan berjam-jam untuk mengakses posyandu terdekat. Alasan pergantian kader “Ada warga yang menyatakan bahwa lebih baik meka (mengupas kulit rajungan), daripada menjadi kader posyandu, capek doang tidak ada duitnyan” (Bidan Desa-Jawa Barat). “Keaktifan kader dipengaruhi oleh pergantian kepala desa maupun jabatan suami kader sebagai perangkat desa dan karena kader bersangkutan memilih berangkat ke Arab Saudi” (Bidan DesaJawa Barat). Layanan polindes/poskesdes atau pustu di sebagian desa/kelurahan sampel juga mengalami perbaikan berupa penambahan jumlah bidan desa, penambahan layanan poskesdes atau pusling dan khusus di NTT pembangunan gedung dan penambahan sarana pendukungnya. Di perdesaan Jawa Barat, di satu desa perlakuan dan satu desa kontrol, bidan desa bertambah sehingga masing-masing desa memiliki dua bidan. Bertambahnya bidan di salah satu desa tersebut mendorong ketersediaan layanan poskesdes yang dijadwalkan seminggu sekali. Di wilayah perkotaan layanan poskesdes meningkat dengan tersedianya pemeriksaan laboratorium. Pilihan layanan KIA bertambah sejalan dengan bertambahnya jumlah layanan praktik bidan (swasta) di dalam dan luar desa. Namun demikian, sebagian besar
42
Lembaga Penelitian SMERU
desa sampel di Jawa Barat masih menghadapi masalah belum tersedianya tempat khusus untuk layanan pusling/poskesdes yang terpaksa diselenggarakan di kantor desa atau di rumah salah seorang warga. Di sebagian desa sampel baik perlakuan maupun kontrol juga menghadapi masalah berkurangnya hari layanan poskesdes karena bidan sedang melanjutkan pendidikan. DI NTT, peningkatan pelayanan KIA tidak terjadi di semua desa sampel. Di sebagian desa sampel baik di wilayah perdesaan maupun perkotaan, telah dilakukan perbaikan/pembangunan gedung poskesdes, penambahan ruang pemeriksaan dan persalinan di pustu, serta penambahan perlengkapan untuk poskesdes seperti meja dan kursi, tempat tidur, lemari, rak obat, buku, dan timbangan. Peningkatan fasilitas layanan KIA tersebut didanai APBD kabupaten dan provinsi melalui dinas kesehatan setempat. Di satu desa kontrol terdapat penambahan layanan poskesdes di satu dusun terjauh, karena masyarakat di dusun ini sulit mengakses layanan KIA yang tersedia di pusat desa. Sebaliknya, ketersediaan pelayanan KIA di satu desa perlakuan dan satu desa kontrol relatif tidak berubah. Di kedua desa ini juga tidak ada bidan desa dan bahkan di desa perlakuan pusling ditiadakan sejak 2008 karena tidak tersedia dana operasional. Di desa perlakuan tersebut bidan desa tidak ada sejak 2002. Selain karena kekurangan tenaga bidan, ketidaktersediaan bidan juga karena bidan tidak mau tinggal di desa. Alasan bidan tidak mau tinggal di desa adalah karena tidak tersedia fasilitas air bersih dan listrik serta lokasi desa yang jauh dari puskesmas dengan kondisi jalan yang rusak dan medan yang berat (berbukit-bukit). Pelayanan bidan desa juga terhambat oleh penduduk yang tersebar dengan cakupan wilayah yang luas, minimnya infrastruktur desa yang diperburuk pengaruh musim hujan, serta masih kurangnya fasilitas pelayanan (tempat dan peralatan posyandu/polindes). Pelayanan puskesmas di wilayah perlakuan dan kontrol di Jawa Barat dan NTT meningkat melalui renovasi gedung puskesmas, penambahan ruang perawatan/persalinan atau unit khusus kebidanan, serta penambahan staff dan fasilitas pendukung lainnya dari dana APBD kabupaten/kota dan provinsi. Namun demikian, karena upaya perbaikan di setiap puskesmas hanya dilakukan secara parsial, permasalahan di pusksesmas belum dapat sepenuhnya diatasi. Di di Jawa Barat, beberapa puskesmas masih menghadapi hambatan terbatasnya jenis layanan, jumlah bidan dan staf, perlengkapan medis dan penunjangnya, serta belum adanya ruang khusus rawat inap. Di NTT hambatan yang dihadapi adalah berkurangnya petugas gizi, terutama di perkotaan yang berdampak pada lemahnya upaya pemantauan dan pendeteksian kasus anak kurang gizi dan gizi buruk, serta lambat dan terbatasnya penyediaan berbagai peralatan persalinan, termasuk bahan habis pakai. Akan tetapi, di setiap ibukota kabupaten/kota tersedia satu atau lebih RS milik pemda dan swasta untuk merujuk pasien yang mengalami komplikasi yang tidak bisa ditangani bidan desa atau bidan dan dokter puskesmas. PKH mensyaratkan komitmen pemerintah daerah penerima untuk menjamin ketersediaan pelayanan KIA di daerahnya. Berdasarkan informasi di tingkat desa dan kecamatan, tidak ditemukan hubungan antara peningkatan layanan dengan keberadanan PKH. Peningkatan ketersediaan pelayanan KIA berlangsung baik di sebagian desa/kelurahan perlakuan maupun kontrol dengan sumber dana dari APBD dan bantuan dari ornop. Demikian pula, asumsi adanya peningkatan ketersediaan sebagai antisipasi dan respon terhadap kenaikan pemanfaatan pelayanan KIA dari penerima PKH tidak terlihat dalam studi, misalnya di satu desa penerima PKH, layanan bidan desa tetap saja tidak tersedia meskipun desa tersebut menerima PKH sejak 2007. Kelompok masyarakat yang belum terjangkau layanan KIA
Pelayanan KIA masih sulit menjangkau beberapa kelompok kecil warga karena faktor jarak, adat istiadat dan pekerjaan. Dibandingkan 2007, jumlah mereka semakin berkurang. Di NTT beberapa warga tinggal di lokasi terpencil yang sulit dijangkau bidan dan kader posyandu. Bidan dan kader juga masih mengalami kesulitan menjangkau beberapa warga yang masih mempercayai adat seperti budaya sei (memanggang/memanaskan badan selama 40 hari setelah melahirkan) atau warga yang lebih mempercayai dukun (naketi). Di Jawa Barat pelayanan posyandu belum dapat menjangkau ibu (dan balita) yang ikut membantu suaminya melaut. Selain itu, lebih banyak ibu
Lembaga Penelitian SMERU
43
yang pergi ke sawah pada saat musim panen sehingga menghambat pelaksanaan pelayanan posyandu yang kadang terpaksa ditiadakan karena ibu yang bisa hadir hanya sedikit. 4.2.2 Ketersediaan Pelayanan KIA Tradisional Secara umum jumlah dukun beranak di sebagian besar desa/kelurahan sampel, baik di Jawa barat maupun NTT, sejak 2007 cenderung tetap. Hanya di dua desa/kelurahan perlakuan jumlah dukun beranak berkurang dan sebaliknya di dua desa kontrol jumlahnya bertambah karena ada beberapa dukun baru (lihat tabel 18). Peran dukun beranak dalam membantu persalinan di Jawa Barat cenderung berkurang. Kalaupun dilibatkan dalam proses persalinan, peran dukun hanya membantu bidan. Penurunan peran dukun dalam membantu persalinan disebabkan adanya himbauan pemda kepada dukun untuk tidak memberikan layanan persalinan. Selain itu sebagian dukun sudah tua sehingga tidak aktif lagi memberikan layanan dan tidak ada regenerasi. “Kebanyakan ketika ibu melakukan persalinan akan mengundang ibu dukun dan bidan untuk membantu proses persalinan” (Kader Posyandu-Jawa Barat). Tabel 18. Jumlah Dukun Beranak di Desa Perlakuan dan Kontrol PKH Kategori Jabar-Perdesaan -Perlakuan Jabar-Perdesaan -Kontrol Jabar-Perkotaan -Perlakuan Jabar-Perkotaan -Kontrol NTT-Perdesaan -Perlakuan NTT-Perdesaan -Kontrol NTT-Perkotaan -Perlakuan NTT-Perkotaan -Kontrol
Gegesik Kulon
Jumlah Dukun Beranak 2007 2010 1 orang 1 orang
Jagapura Kidul
3 orang
2 orang
Susukan
5 orang
5 orang
Tangkil
3 orang
4 orang
Mertasinga
2 orang
2 orang
Nama Desa
Keterangan Warga juga mengakses dukun dari luar desa Seorang sudah meninggal dan warga juga mengakses dukun dari luar desa Dua orang tidak terlatih Dua orang tidak terlatih, termasuk seorang dukun baru. Seorang kurang aktif karena sudah tua
Mundu Pesisir
2 orang
2 orang
Seorang tidak terlatih
Oenai Falas Bisene Biloto
9 orang 6 orang 1 orang t.a.d
9 orang 6 orang 5 orang 3 orang
Lima orang tidak terlatih Empat orang dukun baru Ketiganya tidak terlatih
Fatufeto
5 orang
3 orang
-
Tode Kisar
2 orang
2 orang
Salah seorang sudah tua dan tidak lagi memberikan pelayanan
Sumber: Rekapitulasi hasi FGD
Sebaliknya di NTT, jumlah dukun beranak di setiap desa/kelurahan sampel masih cukup banyak, sebagian belum terlatih dan masih memberikan layanan persalinan, terutama di dua desa (satu perlakuan dan satu kontrol). Di kedua desa ini peran dukun masih relatif tinggi karena tidak ada bidan desa sehingga keberadaan Program Revolusi KIA tidak dapat mencegah ibu memanfaatkan layanan dukun beranak, karena kondisi wilayah yang sulit dan masyarakat tidak memiliki pililihan selain kepada dukun beranak. Selain itu masih dilaksanakannya budaya naketi9 di satu desa kontrol juga menjadikan peran dukun masih kuat. “Tidak ada bidan di desa, sehingga kami memilih ke dukun, bidan tinggal jauh di Kecamatan Kie” (FGD Ibu-NTT). “... karena kepercayaan mereka masih kuat (budaya Naketi) dan karena bidan tidak ada yang menetap di desa sehingga mereka tidak bisa menggunakan bidan pada saat mau melahirkan. Mereka 9Upacara
44
naketi dilakukan melalui penyelenggaraan doa-doa dan pemberian obat-obatan tradisional.
Lembaga Penelitian SMERU
juga tidak pernah menemukan masalah dengan dukun yang sering membantu ini” (Bidan Puskesmas-NTT). ”Kami di Fatufeto ini hampir di semua lingkungan ada dukun beranaknya, ....ibu-ibu disini masih menggunakan dukun untuk bantuan urut dan melahirkan, jika ada hambatan baru lari ke bidan atau RSU tapi umumnya jarang ada hambatan (Tokoh Masyarakat-NTT). “.. masih ada ibu hamil/melahirkan yang menggunakan layanan dukun beranak. Namun, dukun yang masih aktif tersebut pun selalu membawa anaknya jika melakukan pertolongan persalinan” (Bidan Desa-NTT). Untuk pelayanan nonpersalinan, baik di Jawa Barat maupun NTT, dukun beranak masih berperan memberikan pelayanan pijat selama hamil (untuk membetulkan letak janin dan mengurangi kelelahan) dan pelayanan setelah melahirkan (mengurus bayi dan ibu). Dukun juga menjadi pelaksana upacara adat yang masih dilakukan sebagian besar masyarakat seperti upacara kehamilan (4 bulanan dan 7 bulanan), puputan (upacara setelah 7 hari ditandai lepasnya tali pusar bayi) atau matang puluh dinaan (40 hari). Karena itu, sebagian peserta FGD menegaskan bahwa dukun beranak masih menjadi pelengkap layanan bidan desa sehingga ibu dan keluarganya merasa lebih nyaman dan puas. “...Untuk ibu-ibu yang melahirkan, biasanya setelah melahirkan sampai usia 40 hari Mbok Ti’ah mengurut (memijit) sebanyak 3 (tiga) kali. (Dukun Beranak-Jawa Barat). “Masih ada, biasanya mereka datang ke dukun bayi untuk di karag (diurut ketika usia kandungan 8-9 bulan). Selain itu mereka juga meminta dukun bayi untuk melakukan perawatan setelah melahirkan” (Bidan Desa-Jawa Barat). “.. Mereka di urut oleh dukun untuk memperkuat kandungannya” (Kader Posyandu-NTT). 4.2.3 Keterlibatan Masyarakat dalam Pembuatan Keputusan Menyangkut Pelayanan Kesehatan Proses pengambilan keputusan menyangkut penyediaan layanan KIA masih sepenuhnya dilakukan pemerintah (daerah) dan pemberi layanan. Meski demikian, dibandingkan 2007 keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan terkait layanan KIA cenderung meningkat, khususnya di wilayah perdesaan. Di wilayah sampel perdesaan di NTT, kehadiran Program Revolusi KIA memotivasi aparat kecamatan dan desa dengan melibatkan masyarakat (terutama ibu di posyandu) untuk membuat kesepakatan/aturan yang mengharuskan ibu melahirkan dibantu bidan di polindes. Semua desa sampel di NTT memberlakukan kesepakatan tersebut dan jika dilanggar, dikenai denda uang yang cukup besar. Keberadaan sanksi denda dianggap cukup efektif karena masyarakat masih perlu diberi “tekanan” agar melahirkan dengan bantuan tenaga medis. Meski demikian, kesepakatan tersebut sulit dilaksanakan di desa yang tidak tersedia bidan desa. “…ada kesepakatan antara kader, bidan dan ibu hamil (disepakati awal maret 2010 ), bahwa kalau ada ibu yang melahirkan tidak dibantu petugas kesehatan maka harus bayar Rp250,000”, “Nilai denda ini lebih kecil dibandingkan yang ditetapkan kecamatan (Rp500,000) karena di Desa Falas belum ada bidan desa” (Bidan Puskesmas). Di Jawa Barat, peningkatan keterlibatan masyarakat hanya terjadi di desa sampel yang sudah aktif melaksanakan program Desa Siaga. Pelaksanaan Program Desa Siaga di Kabupaten Cirebon menjadi awal dimulainya pelibatan langsung masyarakat dalam membuat keputusan menyangkut pelayanan KIA di tingkat desa. Di salah satu desa kontrol, misalnya, masyarakat menyepakati bahwa kendaraan milik warga dapat digunakan apabila terdapat anggota masyarakat tidak mampu yang harus dibawa ke rumah sakit.
Lembaga Penelitian SMERU
45
“Pada 2010 ini ada Program Desa Siaga dengan bentuk kegiatannya mengembangkan Tabungan Ibu Bersalin (Tabulin) dan Dana Solidaritas Dari Masyarakat (Dasolin), agar masyarakat sendiri bisa mempersiapkan diri secara baik menghadapi persalinan” (Bidan Desa-Jawa Barat). “Peran serta masyarakat dikomuniasikan dalam setiap pertemuan warga atau para ketua RT, RW dan kepala dusun. Kesepakatannya bahwa setiap warga yang memiliki kendaraan diharapkan berpartisipasi untuk menyediakan kendaraan setiap waktu bila ada masayarakat kecil yang membutuhkan layanan kesehatan ke rumah sakit. Biaya bensin dan lain-lain untuk sementara ditanggung oleh kas desa atau secara pribadi atau bantuan langsung dari saya” (Kepala Desa-Jawa Barat). Di wilayah perkotaan, baik di NTT maupun di Jawa Barat, belum terlihat adanya keterlibatan langsung masyarakat dalam pembuatan keputusan menyangkut pelayanan KIA. Masyarakat sepenuhnya masih sebagai pengguna layanan KIA yang tersedia. Pelaksanaan Program ‘Desa Siaga’ di perkotaan di Jawa Barat baru tahap sosialisasi dan pembentukan kepengurusan. Di NTT, Program Revolusi KIA juga belum banyak dikenal di kalangan masyarakat perkotaan di NTT.
4.3 Pemanfaatan Pelayanan KIA Secara umum studi menemukan peningkatan pemanfaatan layanan KIA, peningkatan peran serta masyarakat, serta peningkatan kesadaran perempuan dan laki-laki mengenai pentingnya mengakses layanan KIA. Meski terjadi peningkatan pemanfaatan, hambatan pemanfaatan layanan KIA tidak berubah perubahan dibandingkan 2007, yaitu hambatan fisik/geografis, faktor musim, terbatas jumlah tenaga layanan KIA, kepercayaan pada dukun beranak, kondisi ekonomi keluarga, dan persoalan psikologis ibu. Kontribusi PKH pada peningkatan pemanfaatan layanan KIA, yaitu kehadiran ibu di posyandu hanya terjadi di wilayah sampel perdesaan NTT, karena jumlah penerima PKH yang relatif banyak serta aktifnya peran pendamping PKH dalam memotivasi penerima. 4.3.1 Perubahan Tingkat Pemanfaatan KIA Modern Jenis pelayanan KIA yang dimanfaatkan masyarakat desa/kelurahan perlakuan dan kontrol PKH adalah sama seperti yang dimanfaatkan di desa perlakuan dan kontrol PNPM Generasi. Untuk layanan pemeriksaan kehamilan dan pasca persalinan ibu umumnya memanfaatkan layanan bidan dan dukun, sedangkan untuk pelayanan persalinan sebagian besar ibu sudah memanfaatkan layanan bidan. Untuk kesehatan anak/balita yang meliputi imunisasi, penimbangan dan perawatan gizi buruk, sebagian besar layanan diperoleh masyarakat di posyandu. Perubahan tingkat pemanfaatan pelayanan KIA (posyandu dan bidan desa) berbeda antara Jawa Barat dan NTT, antara wilayah perdesaan dan perkotaan, serta antara perlakuan dan kontrol. Di beberapa desa di Jawa Barat, tingkat pemanfaatan layanan posyandu cenderung meningkat, peningkatan dipengaruhi adanya pemberian vitamin dan PMT dari pemerintah desa. Namun, di beberapa desa lainnya pemanfaatan layanan posyandu masih dipengaruhi oleh banyaknya ibu yang menjadi TKW atau bekerja/merantau ke luar desa, dan para ibu yang sibuk berkerja di sawah saat musim panen padi. Ketika TKW banyak yang pulang, pemanfaatan posyandu terlihat meningkat sebaliknya ketika musim panen padi tiba, kegiatan posyandu sering ditunda atau ditiadakan. Di wilayah perkotaan, pemanfaatan layanan KIA cenderung tetap rendah bahkan masih ada orangtua yang menolak anaknya untuk diimunisasi sehingga bidan masih harus selalu mengingatkan warga untuk hadir di posyandu. “Perilakunya seperti belum merasa butuh untuk tahu perkembangan berat badan bayi”; “Bidan dan kader harus berkeliling lebih banyak untuk ‘ngoprak-ngoprak’ atau sweeping bahkan terkadang pelaksanaan posyandu harus 2 kali dilaksanakan” (Bidan Desa-Jawa Barat). Untuk pemanfaatan layanan bidan, di seluruh desa sampel di Jawa Barat sudah tinggi. Namun demikian, di dusun terjauh di satu desa perlakuan, beberapa persalinan masih dibantu dukun beranak.
46
Lembaga Penelitian SMERU
Demikian pula di desa yang terletak di daerah pesisir, meskipun sudah bercirikan perkotaan dan banyak tersedia pilihan layanan KIA modern, masih ada sebagian kecil ibu yang melahirkan dengan pertolongan dukun beranak, karena tingkat kesadaran mereka yang relatif masih rendah. Berbeda dengan di Jawa Barat, di wilayah perdesaan di NTT tingkat pemanfaatan posyandu menunjukkan peningkatan yang cukup nyata. Faktor pendorong pemanfaatan layanan posyandu adalah bantuan makanan di posyandu (berupa beras, minyak goreng, indomie) dari WFP dan CWS, pemberlakuan denda dari kader/desa sebesar Rp5.000 bagi ibu yang tidak hadir dan Rp1.000 bagi yang terlambat serta adanya peraturan desa yang mengharuskan persalinan dilakukan dan menggunakan fasilitas kesehatan/rumah inap. PKH turut berkontribusi pada peningkatan pemanfaatan posyandu di wilayah perdesaan di NTT karena selain jumlah penerima PKH yang jauh lebih banyak, juga ada penekanan pemotongan dana PKH sebesar Rp50.000 oleh pendamping jika penerima tidak rutin ke posyandu. “Saya menjelaskan kepada penerima PKH jika tidak datang ke posyandu untuk yang terima PKH akan di denda Rp. 50.000, jika tidak hadir di posyandu sebanyak 3 kali akan di coret sebagai penerima” (Pendamping PKH-NTT). Sementara itu, tingkat pemanfaatan layanan bidan di saat melahirkan berbeda antara kedua desa perlakuan di NTT. Di satu desa perlakuan, pemanfaatan bidan meningkat secara signifikan karena adanya perdes yang mengharuskan ibu melahirkan di polindes dan bila melanggar akan dikenai denda Rp500.000. Sebaliknya, di perlakuan lainnya meskipun sanksi denda sebesar Rp250.000 diberlakukan, tingkat pemanfaatan bidan tidak berubah karena tidak ada bidan desa dan bahkan sebagian besar penerima PKH masih melahirkan dibantu dukun beranak. Hal yang sama juga terjadi di satu desa kontrol. Sebagian besar ibu melahirkan masih dibantu dukun beranak karena tidak ada bidan desa. Di satu dusun terpencil di desa kontrol lainnya tingkat kepercayaan dan keyakinan sebagian masyarakat terhadap dukun masih tinggi, sehingga mereka masih mengandalkan dukun beranak walaupun tersedia layanan bidan desa. “Dukun dekat, sedangkan bidan jauh, bidan tidak ada di Desa Falas”; “Perlu bidan tapi bidan jauh” (FGD Ibu). “Tahun 2007 lalu hampir semua pakai dukun, tahun 2008 dan pertengahan 2009 sudah ke bidan namun karena bidan pindah maka semua kembali ke dukun” (Kader Posyandu-NTT). Di wilayah perkotaan di NTT, tingkat pemanfaatan layanan posyandu di kelurahan perlakuan dan kontrol tidak mengalami perubahan dan cenderung tetap rendah. Jumlah ibu dan balita yang rutin datang ke posyandu diperkirakan hanya separuh dari jumlah sasaran. Rendahnya pemanfaatan layanan posyandu antara lain dipengaruhi penyelenggaraan pendidikan bagi anak usia dini (PAUD), sehingga anak usia 3-4 tahun tidak lagi rutin ditimbang di posyandu karena mereka mengikuti aktivitas PAUD. Faktor lain yang menyebabkan rendahnya pemanfaatan layanan posyandu adalah karena ibu bekerja (berdagang dan pembantu rumah tangga) sehingga tidak ada yang mengantar anak ke posyandu. Ibu juga menjadi malas ke posyandu karena merasa malu berat badan anaknya tidak meningkat. Ditemukan pula sebagian ibu yang tidak lagi datang ke posyandu setelah anaknya menerima imunisasi campak karena beranggapan anaknya sudah memperoleh imunisasi secara lengkap. “Yang datang itu yang punya Jamkesmas. Yang sibuk kerja kantoran, dagang itu tidak datang” (FGD Ibu-NTT). “Malu, karena anak kurang gizi, berat badan anak turun” (FGD Ibu-NTT). “Lebih banyak ibu-ibu menggendong bayi yang ke posyandu, sementara anak balita kurang. Ada kecenderungan jika anak sudah diimunisasi mereka enggan ke posyandu kalau hanya untuk timbang saja” (Tokoh Masyarakat-NTT). “Orang kaya, malu ke posyandu, perginya ke dokter” (FGD Ibu-NTT). Lembaga Penelitian SMERU
47
4.3.2 Alasan Memilih Pelayanan KIA Modern dan Tradisional serta Hambatan Mengakses Layanan KIA Alasan menggunakan layanan bidan adalah lebih terjaminnya keselamatan ibu karena didukung keahlian, obat-obatan serta perlengkapan dan peralatan medis. Bidan juga bisa memberi surat rujukan ke rumah sakit bila ibu hamil atau ibu melahirkan menghadapi kondisi gawat darurat. Bidan juga menyediakan layanan pembuatan akte lahir bayi. Khusus di perdesaan di NTT, larangan dan denda jika ibu melahirkan hanya dibantu oleh dukun turut mendorong sekaligus menjadi alasan ibu menggunakan layanan bidan. “karena orang sudah takut dengan adanya sanksi yang sudah ditetapkan oleh kepala desa yaitu Rp200.000 jika tidak menggunakan bidan saat melahirkan (FGD Ibu-NTT). “Imunisasi dengan bidan di Posyandu”, “Karena bidan lebih pengalaman urus orang melahirkan”, “Karena alat-alat komplit dan steril”, “ada obat” (FGD Ibu-Jawa Barat). Sedangkan alasan utama ibu melahirkan dibantu dukun adalah karena alasan ekonomi, adat/kebiasaan, dan khususnya di NTT karena faktor keterpencilan wilayah dan ketidaktersediaan bidan desa. Alasan lainnya adalah karena dukun adalah kerabat dekat ibu yang akan melahirkan dan adanya arahan orang tua untuk menggunakan dukun. Di satu desa perlakuan dan dua desa kontrol di NTT karena tidak tersedia layanan bidan desa, sebagian besar ibu melahirkan, termasuk penerima PKH, masih dibantu dukun beranak. Bahkan, masih terjadi persalinan yang ditolong suami atau orang tua saja. Di kedua desa tersebut kepercayaan masyarakat terhadap keahlian yang dimiliki dukun beranak masih tinggi, dan adat masih dipegang teguh seperti budaya sei (pemanggangan badan) pasca melahirkan dan budaya naketi masih dilakukan. Sebagian ibu juga mengakses dukun karena alasan malu sudah memiliki banyak anak atau jarak kehamilan terlalu dekat, hamil di luar nikah, serta malu dan tabu jika bagian tubuh yang sangat pribadi dilihat bidan.10 Di wilayah perkotaan di NTT, sebagian ibu beralasan bahwa selama ini layanan dukun beranak tidak menimbulkan masalah karena ibu dan bayi selamat dan sehat. “Karena tidak bisa telpon ibu bidan waktu tengah malam” “Karena dukun bantu dalam doa” “Karena lebih dekat” (FGD Ibu-NTT). “Semua melahirkan dengan menggunakan dukun, karena dukun dekat di sini” (FGD Bapak-NTT). “...waktu perut sakit saya langsung melahirkan tanpa bantuan bidan dan hanya bantuan dukun saja”, “karena biaya yang harus ditanggung, dan juga karena alasan jarak. Bidannya tinggal terlalu jauh. “Kalo anak saya sakit saya naketi dulu dan setelah itu baru doa, dan kemudian baru dibawa ke posyandu atau ke puskesmas” (FGD Bapak-NTT). “Malu karena anak hamil di luar nikah”, “Mahal (di rumah sakit/praktek bidan) harus keluar biaya inap, makan, minum” (FGD Ibu-NTT). Biaya melahirkan di bidan yang cukup mahal, terutama di Jawa Barat dan di wilayah perkotaan di NTT, masih menjadi alasan sebagian ibu menggunakan layanan dukun beranak (perbandingan biaya bidan dan dukun lihat tabel 19). Keberadaan PKH tidak mengurangi hambatan biaya bagi ibu dalam mengakses pelayanan bidan. Hal ini terjadi antara lain karena pencairan dana PKH sering tidak bertepatan pada saat dana dibutuhkan (misalnya saat melahirkan). Oleh karena itu, dana PKH umumnya digunakan untuk keperluan lain yang dianggap lebih mendesak seperti pemenuhan konsumsi rumah tangga harian. ”Sudah ke dukun saja, mama juga dulu tidak apa-apa”, ”biaya melahirkan oleh bidan adalah sekitar Rp500 ribu sedangkan ke dukun tidak menetapkan besarnya biaya dan bisa dibayar dengan kain dan uang hanya sekitar Rp100 ribu saja” (Kader Posyandu-NTT).
10Jika
melahirkan dengan dukun, baik oleh dukun perempuan maupun laki-laki, ibu tidak perlu mempelihatkan alat kelaminnya, karena posisi melahirkan jongkok dan tubuh ibu ditutupi kain sarung.
48
Lembaga Penelitian SMERU
Tabel 19. Perbandingan Biaya Bersalin di Bidan dan Dukun Beranak Wilayah sampel
Biaya bersalin Di bidan
Jawa Barat
Rp400-Rp700 ribu
NTT perdesan
Rp150-Rp200 ribu
NTT perkotaan
Rp500-Rp800 ribu
Di dukun Rp100.-Rp200 ribu Rp10-Rp50 ribu atau sirih pinang Rp50-Rp100 ribu
Sumber: Rekapitulasi hasi wawancara dan FGD
4.3.3 Aktor-Aktor yang Memengaruhi Pemanfaatan Pelayanan KIA Sama seperti di desa perlakuan dan kontrol PNPM Generasi, aktor yang berperan dalam mempengaruhi pemanfaatan pelayanan KIA di wilayah perlakuan dan kontrol PKH adalah aparat desa, bidan, kader posyandu, tokoh masyarakat, tetangga serta khusus di NTT ada juga tokoh agama, staf ornop, petugas puskesmas serta di desa perlakuan ada pendamping PKH (lihat tabel 20). Peran aparat desa sebenarnya belum menyentuh langsung ke aspek KIA, namun lebih kepada mengawasi dan mengingatkan para ibu untuk datang ke posyandu. Mereka juga kadang-kadang menyempatkan untuk hadir di posyandu. Khususnya di NTT aparat desa terlibat langsung dalam membuat kebijakan desa khususnya berupa penerapan perdes tentang sanksi atau denda bagi ibu yang tidak menggunakan layanan bidan dan tidak datang ke posyandu. Tokoh agama berperan dalam mengingatkan jadwal posyandu pada saat warga berkumpul di gereja. Pihak ornop selain memberikan bantuan juga memberikan bimbingan dan penyadaran tentang pentingnya pelayanan KIA. ”Kalau untuk itu kami dapat dukungan dari pihak desa sehingga waktu posyandu itu kalau ada yang tidak datang maka kepala desa pi cari di rumah dan tarik bawa datang ke posyandu jadi dari situ semua sudah takut dan rajin datang” (Kader Posyandu-NTT). “Bapak desa biasa menghimbau supaya harus rajin ke posyandu” “Bapak desa, Ibu PKH juga bilang harus ke posyandu, melahirkan harus ke bidan, kalau tidak uang PKH dipotong” (FGD BapakNTT). Di wilayah perkotaan, baik di Jawa Barat maupun NTT, umumnya aparat desa/kelurahan tidak berperan dalam memengaruhi pelayanan KIA. Kader posyandu merupakan aktor utama yang banyak disebutkan peserta FGD di wilayah perkotaan (lihat tabel 21). Peran pendamping PKH dalam mempengaruhi pemanfaatan pelayanan KIA hanya terlihat di dua desa sampel perdesaan di NTT. Hal ini karena pendamping di kedua desa tersebut hanya menangani satu desa dan pendamping aktif memberikan pengarahan dan tekanan tentang pentingnya KIA. Di perdesaan di Jawa Barat dan perkotaan NTT, sedikitnya jumlah penerima per desa/kelurahan menyebabkan wilayah kerja seorang pendamping meliputi banyak desa/kelurahan, sehingga lebih banyak disibukkan oleh tugas administrasi dan kurang bisa fokus melakukan pendampingan. Peran ketua kelompok PKH hanya menyampaikan informasi (terutama tanggal pencairan) dari pendamping ke anggotanya. Bahkan, di sebagian daerah pembentukan kelompok penerima hanya formalitas saja dan tidak memiliki kegiatan yang bermanfaat bagi anggota. Di dalam keluarga keputusan untuk mengkases layanan posyandu sepenuhnya menjadi keputusan istri dan keputusan awal untuk mengakses layanan KIA lainnya (bidan, puskesmas, rumah sakit, dokter) umumnya juga datang dari pihak istri dengan meminta persetujuan suami terutama karena terkait biaya. Khusus di satu desa perlakuan dan satu desa kontrol PKH di NTT, peran suami masih lebih dominan dalam memutuskan jenis layanan KIA yang diakses.
Lembaga Penelitian SMERU
49
Tabel 20. Aktor yang Mendorong Pemanfaatan Layanan KIA di Desa Perlakuan dan Kontrol PKH-Perdesaan Kategori Jabar-Perlakuan Jabar-Kontrol
Nama Desa Gregesik Kulon
Kader, bidan, aparat desa
Jagapura Kidul
Bidan, aparat Desa
Susukan
Bidan, aparat desa (kadus, kades)
Tangkil
Bidan, kader, aparat desa (RT, kadus)
Oenai
Kader, aparat desa (kadus, kades), petugas puskesmas, bidan, tokoh masyarakat, tokoh Agama/Gereja, ornop (WFP), tetangga, pendamping PKH
Falas
Kader, aparat desa (kades, RT, RW), bidan, ornop (CSW, Plan, WFP), pendamping PKH
Bisene
Kader, aparat desa, bapak penatua, bidan, dokter, tetangga
Biloto
Kader, aparat desa (kadus), bidan, petugas puskesmas, ornop (CWS)
NTT-Perlakuan
NTT-Kontrol
Aktor di Tingkat Desa
Sumber: Rekapitulasi hasi FGD
Tabel 21. Aktor yang Mendorong Pemanfaatan Layanan KIA di Desa/Kelurahan Perlakuan dan Kontrol PKH Perkotaan Kategori
Nama Desa
Aktor di Tingkat Desa
Jabar-Perlakuan
Mertasinga
Bidan, kepala dusun, kader, kepala desa
Jabar-Kontrol
Mundu Pesisir
Kader
NTT-Perlakuan
Fatufeto
Kader , bidan, tetangga
NTT-Kontrol
Tode Kisar
Kader
Sumber: Rekapitulasi hasi FGD
4.3.4 Perubahan Kesadaran Perempuan dan Laki-Laki Mengenai Isu KIA Secara umum pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran sebagian besar masyarakat di wilayah sampel tentang pentingnya pelayanan KIA terutama layanan bidan desa dan posyandu semakin meningkat. Peningkatan kesadaran di semua wilayah sampel, baik perlakuan maupun kontrol, didorong oleh program Desa Siaga dan Revolusi KIA, informasi KIA melalui media cetak maupun elektronik serta saling mengingatkan di antara tetangga dan warga. Khusus di wilayah perdesaan di NTT, peningkatan kesadaran juga dipicu aturan persalinan harus dibantu bidan dan pemberlakuan denda/sanksi apabila melahirkan dibantu dukun beranak. Bantuan dan penyuluhan tentang kesehatan dari ornop seperti Plan International dan WFP, serta peran aktif aparat desa dan petugas kesehatan juga meningkatkan kesadaran masyarakat tentang isu KIA. Keberadaan PKH turut mempengaruhi kesadaran perempuan dan laki-laki mengenai isu KIA terutama di perdesaan NTT, karena adanya penyuluhan dari pendamping dan ketentuan sanksi pemotongan dana PKH sebesar Rp50.000 bila tidak mengakses layanan atau tidak membawa anaknya ke posyandu. Peningkatan kesadaran tercermin dari meningkatnya rutinitas ibu ke posyandu, meningkatnya pengetahuan ibu tentang KIA, serta seringnya para bapak mengingatkan ibu mengenai jadwal posyandu dan bahkan ikut mengantar atau menggantikan istri ke posyandu. Di desa perlakuan di wilayah perkotaan Jawa Barat, kesadaran untuk membatasi kelahiran anak semakin meningkat, terutama di kalangan ibu, walaupun dengan biaya sendiri. Di satu desa perlakuan dan satu desa kontrol di NTT, walaupun belum memiliki bidan desa, kesadaran ibu sudah terlihat meningkat dengan adanya upaya mereka untuk mulai mengakses bidan puskesmas. “Saya baru-baru mau lapor ke puskesmas Siso untuk hadirkan ibu bidan di sini karena memang disini masyarakat sudah sangat sulit”
50
Lembaga Penelitian SMERU
(Tokoh Masyarakat-NTT). Peningkatan kesadaran perempuan cenderung lebih dominan dibandingkan laki-laki karena perempuan menjadi sasaran langsung berbagai program. Selain itu, peran laki-laki cenderung pasif dan menyerahkan urusan KIA kepada istrinya. Namun demikian, semakin banyak suami yang mengantar istrinya memeriksakan kandungannya dan mengantar anak balitanya ke posyandu dan tidak ada lagi suami yang melarang istrinya untuk memanfaatkan layanan KIA. “…semua program yang ada sebagai suatu pembelajaran kesehatan buat kita” (FGD Bapak-NTT). “…suami-suami yang terkadang mengingatkan untuk mengimunisasi. Ketika ada di rumah suami mau menggantikan pekerjaan rumah tangga, memasak, misal menggoreng tempe, saat ada kegiatan posyandu” (FGD Ibu-Jawa Barat). “Untuk bapak-bapak dibandingkan 2007 kesadarannya sama saja, karena mereka memang sudah membolehkan istrinya ke posyandu dan juga membantu mengingatkan ibu-ibu ke posyandu” (Kader Posyandu-Jawa Barat). “Bapak-bapak diam saja, tapi kalo istrinya ke Arab ada yang mau datang ke posyandu” (FGD IbuJawa Barat). Tingkat kesadaran masyarakat di wilayah perkotaan di NTT tidak setinggi tingkat kesadaran masyarakat di wilayah perdesaan dalam mengakses layanan bidan dan posyandu. Di kelurahan kontrol beberapa ibu terutama dari kalangan ekonomi menengah ke atas lebih memilih layanan KIA lainnya yang lebih ‘mahal’ daripada datang ke posyandu. Beberapa kalangan ekonomi lemah baru rajin datang ke posyandu jika ada program/bantuan. Faktor kesibukan ibu di dalam rumah atau di luar rumah (bekerja) membuat sebagian ibu di kedua kelurahan sampel mengabaikan kondisi berat badan anaknya. “Kurang kesadaran, sewaktu-waktu datangnya kalau tidak ada bantuan, ini sekarang semua full, karena ada BLM P2KP” (Kader Posyandu-NTT). “Karena sibuk kerja di rumah, jadi tidak ke posyandu”, “Saya ada usaha kios tidak datang ke posyandu” (FGD Ibu-NTT). Sebagian pemberi layanan dan aparat (desa/kelurahan dan kecamatan) masih mengaitkan antara tingginya kesadaran ibu dalam memanfaatkan layanan KIA dengan keberadaan bantuan. Mereka mereka merasa pesimis jika berbagai bantuan termasuk PKH ditiadakan, masyarakat (miskin) akan tetap memiliki kesadaran untuk selalu hadir di posyandu dan memeriksakan kehamilannya ke bidan. Sebaliknya, penerima PKH memastikan bahwa apabila berbagai bantuan termasuk PKH sudah tidak ada, mereka akan tetap mengakses layanan KIA.
4.4 Ketersediaan Pelayanan Pendidikan Dasar Selama periode 2007 sampai 2010 di wilayah studi tidak ada penambahan sekolah, kecuali perubahan status satu SD. Meskipun demikian, terdapat berbagai perubahan kondisi prasarana dan sarana penunjang sekolah di hampir semua SD dan SMP sampel, baik di wilayah perlakuan maupun kontrol. Namun, Perubahan/peningkatan yang terjadi, belum sepenuhnya mengatasi sejumlah hambatan yang dihadapi sekolah, yaitu: masih terbatasnya jumlah sarana/prasarana pendukung KBM, terbatasnya jumlah dan rendahnya kualitas guru, hambatan geografis, masalah listrik dan air khususnya di NTT, dan minimnya peran komite sekolah khususnya di wilayah perkotaan. Secara umum hambatan ketersediaan pelayanan pendidikan dasar di perdesaan di NTT lebih tinggi dibandingkan dengan hambatan di perkotaan NTT dan Jawa Barat.
Lembaga Penelitian SMERU
51
4.4.1 Perubahan Ketersediaan Pelayanan Pendidikan Dasar Secara kuantitas, ketersediaan SD di setiap wilayah sampel baik di Jawa Barat maupun di NTT sudah memadai sejak 2007. Di setiap desa/kelurahan minimal terdapat satu SD. Di Jawa Barat, karena kemudahan akses jarak dan transportasi, ketersediaan SD tidak hanya bergantung dari SD yang ada di dalam desa, tetapi masyarakat juga mengakses SD yang ada di luar desa terutama SD yang dinilai favorit. Di NTT, ketercukupan SD terbantu dengan didirikannya SD kecil atau TRK (tambahan ruang kelas) di dusun terpencil. Pendirian SD kecil ini umumnya merupakan inisiatif masyarakat, sekolah, dan desa dengan tujuan untuk meningkatkan partisipasi murid SD yang berasal dari dusun terjauh. SD kecil ini kemudian berubah menjadi SD mandiri, setelah ruang kelas, jumlah murid, dan ketersediaan guru di SD kecil tersebut memadai dan mendapat dukungan, terutama biaya dan tenaga pengajar, dari pemda. Di bandingkan 2007 di wilayah sampel terdapat satu TRK yang berubah menjadi SD mandiri pada 2008. Di tingkat SMP, jumlah sekolah yang ada di desa/kelurahan tidak berubah dibandingkan 2007. Sebagian desa tetap tidak memiliki SMP di dalam desa (lihat tabel 22). Di Jawa Barat, ketidaktersediaan SMP di dalam desa tidak menjadi masalah karena SMP yang ada di luar desa umumnya mudah diakses. Sebaliknya, di NTT tidak tersedianya SMP di dalam desa masih menjadi persoalan karena jauhnya jarak sekolah (SMP umumnya terletak di ibukota kecamatan) dan tidak tersedianya transportasi umum. Bila menggunakan jasa ojek, biayanya sangat mahal. Salah satu cara yang dilakukan untuk mengatasi masalah ketersediaan SMP di NTT adalah dengan didirikannya SMP Satap (satu atap). Sekolah ini dikatakan ‘Satap’ karena lokasi SMP yang sama dengan lokasi SD, sebagian ruangannya menggunakan ruang SD dan sebagian guru dirangkap guru SD. Namun demikian, karena keterbatasan sumber daya, terutama tenaga pengajar serta jumlah penduduk perdesa yang relatif sedikit, tidak semua desa di NTT bisa memiliki SMP Satap. Tabel 22. Jumlah SD dan SMP yang Diakses Kategori
Jabar-Perlakuan PKH Jabar-Kontrol PKH Jabar-Kontrol PKH Jabar-Perlakuan PKH NTT-Perlakuan PKH NTT-Kontrol PKH NTT-Perlakuan PKH NTT-Kontrol PKH
Nama Desa Gegesik Kulon Jagapura kidul Susukan Tangkil Mundu Pesisir Mertasinga Oenai Falas Biloto Bisene Fatufeto Todekisar
SD atau sederajat Di dalam Di luar desa desa
SMP atau sederajat Di dalam Di luar desa desa
4
-
-
5
2
2
-
3
2 3
3 1
1 -
4 5
5
3
2
4
2 3 3 4 SD (1 TRK) 1 2 -
1 1 -
1 1 1(Satap)
2 2
-
1
4
7
-
6 7 9
11
Sumber: Rekapitulasi hasi FGD
Ketersediaan pendidikan nonformal umumnya berada di tingkat kecamatan dan tidak banyak diakses oleh warga di wilayah studi. Sekolah jenis ini umumnya banyak diakses oleh mereka yang bukan berusia pendidikan dasar, seperti oleh aparat desa/dusun yang diharuskan memiliki ijazah SMP. Di Jawa Barat, hampir di setiap desa diselenggarakan pendidikan nonformal keagamaan 11Meski jumlah SMP yang diakses di beberapa kecamatan/desa di NTT lebih banyak, namun jumlah warga desa yang mengakses setiap SMP tersebut umumnya sangat sedikit, karena pilihan SMP sangat tergantung padan lokasi dimana kerabat yang bisa dititipi anak berada.
52
Lembaga Penelitian SMERU
yaitu madrasah diniyah (MD). MD umumnya diakses oleh murid SD dan SMP setelah jam sekolah. Selain itu, di hampir seluruh desa perlakuan dan kontrol di Jawa Barat dan NTT telah diselenggarakan pendidikan PAUD. Pendidikan prasekolah ini didanai antara lain oleh swadaya masyarakat, ornop, pemda, dan PNPM Mandiri Perdesaan. Ketersediaan guru di semua sekolah sampel di desa/kelurahan perlakuan dan kontrol relatif tidak mengalami perubahan. Meski demikian, tingkat pendidikan guru mengalami peningkatan terutama termotivasi program sertifikasi guru. Di Jawa Barat sebagian besar guru SD minimal lulusan D2 dan berstatus PNS dan jumlah guru honor rata-rata 1-3 orang. Di NTT sebagian besar guru lulusan setara SMA dan jumlah guru PNS lebih sedikit dibandingkan guru honor. Ketika studi dilakukan, beberapa guru SMP di sekolah sampel sedang menempuh pendidikan D2 yang diselenggarakan dinas pendidikan setempat. Tingkat kehadiran guru masih menjadi masalah di hampir semua wilayah. Faktor penghambat utama ketidakhadiran guru di Jawa Barat adalah ketidakdisiplinan, sedangkan di NTT adalah faktor jarak, tidak tersedianya transportasi umum ke sekolah, status sebagai guru honorer, serta tidak tersedianya air bersih dan WC di sekolah. Meskipun tidak terjadi penambahan sekolah di desa sample, kondisi fisik dan fasilitas penunjang sekolah yang ada umumnya bertambah dan semakin membaik. Dari segi fisik sekolah terdapat penambahan dan perbaikan ruang di SD dan SMP sampel baik di desa/kelurahan perlakuan maupun kontrol (lihat lampiran 6 dan lampiran 7). Perbaikan di tingkat SD umumnya berupa perbaikan ruang kelas serta penambahan WC, sedangkan di tingkat SMP berupa penambahan ruang penunjang seperti perpustakaan, laboratorium dan ruang multimedia. Perubahan kondisi fisik sekolah lebih banyak terjadi di wilayah perdesaan karena kondisi fisik sekolah di perkotaan umumnya relatif sudah memadai. Tidak terlihat perbedaan signifikan perbaikan fisik sekolah antara desa perlakuan dan kontrol. Sumber dana penambahan dan perbaikan fisik umumnya berasal dari BOS, APBD kabupaten/kota, Block Grant pemerintah pusat, dana komite, DAK, APBD Provinsi, dan dana Co-sharing dana pemerintah pusah dan daerah. Khusus di NTT sumber dana juga berasal dari bantuan nonpemerintah seperti: Yayasan GMIT, Bantuan Australia, ornop Sanggar Perempuan, dan DBEP. Terkait fasilitas pendukung kegiatan belajar mengajar, semua SD dan SMP sampel di wilayah perdesaan dan perkotaan di Jawa Barat dan NTT mengalami penambahan fasilitas pendukung (lihat lampiran 8 dan lampiran 9). Penambahan fasilitas di tingkat SD umumnya lebih ditujukan untuk peningkatan mata pelajaran ekstrakurikuler seperti pramuka dan kesenian, sedangkan di tingkat SMP lebih pada pemanfaatan teknologi audiovisiual penunjang kegiatan belajar mengajar. Sumber dana penambahan fasilitas pendukung di Jawa Barat umumnya berasal dari BOS dan APBN. Di wilayah perdesaan di NTT sumber dana sebagian besar berasal dari lembaga ornop seperti bantuan dari Plan International, DBEP, dan Sanggar Suara Perempuan. Di wilayah perkotaan di NTT sumber dana umumnya berasal dari komite sekolah, BOS, dan APBD Provinsi dan tidak ditemukan sumber dana yang berasal dari lembaga ornop seperti yang terjadi di wilayah perdesaan. Secara umum tidak ada perbedaan perbaikan fasilitas pendukung antara sekolah di wilayah perlakuan dan kontrol. 4.4.2 Hambatan Penyediaan Pelayanan Pendidikan Dasar Meski terdapat penambahan dan peningkatan fasilitas fisik dan pendukung sekolah, peningkatan tersebut belum sepenuhnya dapat memecahkan semua persoalan pelayanan pendidikan dasar. Selain itu, penambahan ruang seperti ruang laboratorium atau ruang multimedia serta penyediaan fasiltas pendukung seringkali tidak disertai dengan ketersediaan alat dan guru pengampu. Di NTT pemanfaatan fasilitas pendukung belajar mengajar juga masih terkendala karena tidak adanya listrik di sekolah. Secara umum jenis hambatan tidak berbeda antara yang dihadapi sekolah di wilayah perlakuan dan kontrol. Perbedaan hambatan terlihat antara sekolah di Jawa Barat dan di NTT karena pengaruh perbedaan geografis, ketersediaan infrastruktur, dan kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Lembaga Penelitian SMERU
53
Masalah utama yang banyak dikeluhkan kepala sekolah SD dan SMP adalah keterbatasan dana operasional sekolah. Dana BOS yang diterima dianggap tidak mencukupi dan jenis penggunannya terhalang oleh syarat dan ketentuan pemanfaatan dana BOS, seperti tidak untuk membiayai pembangunan ruang baru. Penghitungan dana BOS yang didasarkan pada jumlah murid yang terdaftar di sekolah juga dirasakan memberatkan bagi sekolah yang memiliki jumlah murid sedikit. Keterbatasan dana sekolah juga disebabkan rendahnya partisipasi orang tua setelah adanya BOS. Pihak sekolah mengeluhkan larangan dinas pendidikan untuk memungut dana rutin (SPP) dari orang tua murid. “Kami sebetulnya setuju untuk tidak memungut (dana) orangtua murid, buat kami juga ringan. Tapi kebutuhan kami tolong penuhi, Pemda harus siapkan” (Kepala sekolah SD). Di wilayah perkotaan di Jawa Barat dan NTT, SD dan SMP masih menghadapi hambatan ketidakmerataan jumlah murid antarsekolah. Beberapa SD dan SMP mengalami keterbatasan ruang belajar karena meningkatnya jumlah murid yang mendaftar. Peningkatan jumlah murid ini akibat preferensi orang tua terhadap sekolah tertentu. Sebagian SD di Jawa Barat terpaksa menyewa ruang kelas milik madrasah setempat atau menampung murid melebihi kapasitas kelas. Sebaliknya, sekolah (terutama SD) yang kurang diminati mengalami kekurangan murid dan menerima dana BOS yang lebih sedikit. Meskipun secara umum fasilitas SMP yang ada di wilayah perkotaan sudah lebih memadai, sekolah menghadapi kebutuhan fasilitas pendukung yang lebih canggih seperti komputer, fasilitas laboratorium bahasa Inggris, perlengkapan multimedia dan guru pengampu yang memiliki keahlian khusus sesuai tuntutan sekolah bertaraf internasional. Khusus di wilayah perdesaan di NTT, meskipun dibandingkan 2007 SD dan SMP sudah mengalami peningkatan dan penambahan fasilitas fisik dan pendudukung, kondisi sekolah yang masih jauh dari layak dan jumlah bantuan yang terbatas menyebabkan sebagian sekolah masih menghadapi hambatan mendasar. Hambatan mendasar yang dimaksud antara lain kurangnya meja dan kursi yang layak pakai, tidak adanya ruang perpustakaan, ruang laboratorium, serta kurangnya alat bantu mengajar. Sebagian sekolah di perdesaan di NTT juga belum memiliki fasilitas air bersih dan listrik. Tidak adanya listrik di sekolah menyebabkan tidak dapat difungsikannya alat bantu mengajar yang menggunakan listrik, sedangkan ketidaktersediaan air bersih menyebabkan murid harus membawa air dari rumah, padahal mereka harus berjalan jauh ke sekolah. Sekolah di perdesaan di NTT juga masih mengalami hambatan minimnya jumlah guru, rendahnya mutu guru dan kurangnya pelatihan guru. Rendahnya mutu guru ini diungkapkan baik oleh kepala sekolah maupun kepala desa: ”Kita ingin anak-anak pintar tapi kualitas gurunya belum memadai”(Kepala sekolah-NTT) “Bagaimana mungkin baru tamat SMA mengajar di SMP” (Kepala desa-NTT). Masalah lain menyangkut guru adalah seringnya guru terlambat dan absen ke sekolah. Penyebab guru terlambat dan sering absen adalah karena jauhnya tempat tinggal guru dan tidak tersedianya transportasi umum. Rendahnya pendidikan guru serta status guru sebagai honorer berpengaruh terhadap rendahnya kualitas belajar mengajar dan kehadiran guru di sekolah, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap prestasi murid. Di sebuah SMP sampel di NTT, misalnya, dari 49 siswa yang ikut Ujian Nasional tahun 2008, hanya satu murid yang lulus, murid lainnya terpaksa harus ikut ujian paket, mengulang, atau terpaksa memilih untuk tidak memiliki izajah SMP. 4.4.3 Peran Komite Sekolah dalam Pembuatan Keputusan Menyangkut Pelayanan Pendidikan Dasar Secara umum terdapat perbedaan peran komite sekolah SD dan SMP antara di wilayah perdesaan dan perkotaan. Di wilayah perdesaan, baik di Jawa Barat maupun di NTT, peran komite relatif aktif antara lain membantu pembiayaan pembangunan fasilitas sekolah (seperti pembangunan WC atau pagar sekolah) melalui sumbangan orang tua murid, melakukan pemantauan dan turut menentukan penggunaan dana BOS, serta khusus di NTT komite mengawasi kehadiran murid dan guru. Ketua komite di wilayah perdesaan, terutama tingkat SD, umumnya dijabat orang setempat di desa/dusun sekolah tesebut berada. Komite di sekolah di perdesaan juga umumnya dikenal serta didukung oleh orang tua murid dan aparat desa. Namun demikian, peran komite juga sangat dipengaruhi oleh individu ketua komite dan kepala sekolah. Di satu SD sampel di perdesaan di NTT, misalnya, komite
54
Lembaga Penelitian SMERU
sekolah kurang berperan karena kepala sekolah menolak peran komite terutama dalam mengawasi penggunaan dana BOS yang dianggap menjadi hak sekolah sepenuhnya. Peran komite sekolah terkait PKH umumnya sebatas mengetahui keberadaan penerima PKH di sekolahnya tetapi komite tidak dilibatkan dalam pengawasan tingkat kehadiran murid penerima PKH tersebut. Di wilayah perkotaan, peran komite umumnya sebatas formalitas menghadiri rapat-rapat sekolah dan sebagai penghubung antara sekolah dan orang tua. Sebelum adanya BOS, peran komite sekolah lebih sebagai pencari dana, sehingga sejak adanya dana BOS banyak komite sekolah yang tidak berfungsi secara optimal. Kepala sekolah umumnya mengeluhkan rendahnya peran komite dan partisipasi masyarakat setelah adanya BOS. Kondisi ini diduga akibat adanya persepsi sebagian sekolah (baik SD maupun SMP) yang memandang peran komite hanya sebatas dalam urusan mengorganisir pemasukan sekolah dari orang tua murid. Peran komite sekolah untuk urusan lain, terutama pengawasan belajar mengajar, sering diabaikan bahkan cenderung ditolak oleh sekolah. Di wilayah perkotaan ketua komite umumnya dijabat oleh orang tua murid yang memiliki kesibukan pekerjaan yang tinggi, sehingga tidak banyak waktu yang dialokasikan untuk urusan komite. Komite sekolah di perkotaan umumnya tidak mengetahui keberadaan penerima PKH di sekolahnya.
4.5 Pemanfaatan Pelayanan Pendidikan Dasar Tingkat partisipasi anak usia SD/SMP, tingkat kehadiran, maupun tingkat kesadaran orang tua akan arti pentingnya pendidikan secara umum cenderung meningkat di semua wilayah sampel. Peningkatan ini didorong oleh berbagai faktor, di antaranya karena keberadaan program pemerintahan dan ornop. Pengaruh PKH bagi peningkatan pemanfaatan pelayanan pendidikan dasar hanya terlihat di wilayah perdesaan NTT, terutama terhadap tingkat kehadiran murid. Masih terdapat sejumlah kendala dalam pemanfaatan pelayanan pendidikan dasar yang belum sepenuhnya teratasi baik oleh kehadiran PKH maupun program pemerintah atau nonpemerintah lainnya. Kendala tersebut umumnya terkait dengan persoalan biaya, persoalan individu anak, dan kendala geografis. 4.5.1
Perubahan Tingkat Partisipasi Anak Usia SD/SMP
Tingkat partisipasi anak usia SD di Jawa Barat dan di NTT baik untuk anak laki-laki maupun perempuan sudah tinggi sejak 2007. Peserta FGD dan informan menyebutkan bahwa seluruh anak normal usia SD sudah terdaftar di sekolah. Selain itu, tingginya semangat orang tua untuk menyekolahkan anaknya ke SD sudah berimbas ke semangat mereka untuk menyekolahkan anaknya di PAUD/TK baik di wilayah perkotaan maupun perdesaan di Jawa Barat dan NTT. Bahkan, beberapa sekolah mulai mensyaratkan kelulusan PAUD/TK untuk mendaftar ke SD. Tidak terlihat perbedaan tingkat partisipasi anak usia SD antara wilayah penerima PKH dengan kontrolnya. Tingkat partisipasi SMP meningkat di hampir semua desa sampel. Peningkatan partisipasi terutama disebabkan meningkatnya kesadaran orang tua. Peningkatan kesadaran orang tua ini dipicu oleh peningkatan persyaratan untuk menjadi TKI/TKW, pekerja pabrik, dan menjadi aparat dusun, desa dan ketua RT/RW, minimal harus memiliki izajah setara SMP. Khusus di NTT peningkatan kesadaran orang tua juga karena adanya bantuan dan bimbingan terkait pendidikan dari berbagai ornop terutama dari Plan International. Keberadaan dan akses terhadap SMP juga sangat menentukan tingkat partisipasi. Didirikannya SMP Satap di salah satu desa sampel di NTT pada 2006 meningkatkan proporsi anak yang melanjutkan ke SMP di desa ini. Sebelum adanya SMP Satap tersebut, partisipasi SMP kurang dari 50% karena SMP terdekat berada di ibukota kecamatan dengan jarak sekitar 8 km dari pusat desa, sedangkan pada 2009 hampir semua murid tamat SD di desa ini melanjutkan ke SMP Satap. Di Jawa Barat, kehadiran SMP terbuka yang didanai oleh pemda juga meningkatkan partisipasi anak usia SMP di wilayah sekitar tempat SMP terbuka tersebut berada. Murid yang
Lembaga Penelitian SMERU
55
sekolah di SMP terbuka tidak dipungut biaya, dan bahkan mendapat bantuan perlengkapan sekolah. Selain itu, jadwal sekolah yang dilakukan sore hari dan lebih pendek sehingga murid keluarga miskin banyak terbantu dengan keberadaan SMP terbuka ini. ”...dapat ijazah SMP bisa menjadi kader, kepala desa, LKMD, jadi RT RW saja perlu Izajah” (FGD Ibu-NTT)”. “Kesadaran meningkat karena tuntutan dunia kerja minimal pendidikan SMA untuk kerja di pabrik” (FGD Bapak-Jawa Barat). ”Karena tahun-tahun sekarang biayanya gratis jadi semangat” (FGD Ibu-Jawa Barat). Hanya di satu desa kontrol partisipasi SMP cenderung tidak berubah dan tetap rendah. Tingkat melanjutkan SMP di desa ini kurang dari 40%. Tidak seperi di tiga desa lainnya, di desa ini tidak ada ornop yang memberikan perhatian dan bantuan khusus untuk bidang pendidikan. Sayangnya PKH juga tidak diterima desa ini. Jauhnya jarak ke sekolah juga menjadi faktor penghambat semangat orang tua untuk menyekolahkan anaknya.ke SMP. SMP terdekat berjarak 9 km dari pusat desa, tidak ada sarana transportasi umum sehingga murid harus bejalan kaki dan tidak tersedia fasilitas asrama di SMP. Beberapa orang tua yang masih bersemangat menyekolahkan anaknya menyiasati kendala ini dengan menitipkan anaknya pada keluarga atau kerabat yang tinggal dekat dengan SMP. Selain itu di desa ini orang tua masih memiliki kencenderungan untuk memprioritaskan anak laki-laki bersekolah dibandingkan anak perempuan. “Mereka lebih memilih anak laki-laki, karena mereka takut anak perempuan mudah hamil jadi rugi-rugi saja kalau kasih sekolah anak perempuan, anak laki-laki haru sekolah untuk melanjutkan marga” (Guru SD-NTT). Peran PKH terhadap peningkatan partisipasi murid terlihat untuk tingkat SMP dan khususnya di wilayah perdesaan di NTT, sedangkan untuk anak usia SD tidak terlihat karena tingkat partisipasi dan semangat orang tua untuk menyekolahkan anaknya ke SD sudah tinggi. Dampak PKH tersebut hanya terlihat di perdesaan di NTT karena aktifnya peran pendamping terutama dalam memberikan ancaman akan diberhentikannya dana PKH jika anak tidak didaftarkan atau putus sekolah. Faktor lainnya adalah karena tingkat partisipasi SMP di perdesaaan di NTT sebelumnya belum terlalu tinggi, serta relatif banyaknya jumlah rumah tangga penerima PKH. Studi juga menemukan di satu desa sampel di NTT, pada awal pelaksanaan PKH (tahun 2007) beberapa anak yang tidak melanjutkan ke SMP diminta untuk kembali melanjutkan jika keluarganya ingin mendapatkan PKH. Untuk tahun selanjutnya, PKH hanya bersifat mencegah murid dari keluarga penerima PKH agar tidak putus sekolah dan mereka yang tamat SD melanjutkan ke SMP. Hal tersebut disebabkan karena rumah tangga penerima PKH di desa sampel umumnya tetap (tidak ada penambahan) dari tahun 2007-2010. 4.5.2 Hambatan dalam Pemanfaatan Pelayan Pendidikan Dasar dan Alasan Anak Tidak Mendaftar atau Putus Sekolah Secara umum tidak ada hambatan yang berarti bagi orang tua untuk menyekolahkan anaknya di tingkat SD. Jarak SD relatif sudah dekat dan sekolah umumnya tidak memungut banyak biaya rutin dan biaya penunjang sekolah. Namun demikian, masih ditemukan beberapa kasus anak usia SD yang putus sekolah dengan alasan anak tidak mampu mengikuti pelajaran sehingga sering tidak naik kelas dan akhirnya putus sekolah (terutama untuk kasus di NTT). Kurangnya asupan gizi, anak sering tidak sarapan sebelum ke sekolah, dan anak yang kelelahan karena harus berjalan jauh menyebabkan mereka sulit berkonsetrasi menerima pelajaran. Selain itu, terdapat juga beberapa kasus anak SD (terutama kelas 5 atau 6 dan umumnya laki-laki) terpengaruh negatif lingkungan menyebabkan mereka menjadi malas sekolah dan akhirnya putus sekolah. Adanya ancaman pemotongan dana PKH bisa mencegah anak dari keluarga penerima PKH putus sekolah, karena perhatian orang tua terhadap pendidikan anak menjadi meningkat.
56
Lembaga Penelitian SMERU
Untuk tingkat SMP alasan anak yang tidak didaftarkan dan putus sekolah di Jawa Barat dan NTT umumnya masih sama dibandingkan 2007 baik di wilayah perlakuan maupun kontrol yaitu karena faktor ekonomi, faktor kenakalan dan kemalasan anak, serta di NTT karena jauhnya jarak dan akses ke SMP. Jika dibandingkan 2007, hambatan ekonomi dan jarak relatif sama intensitasnya (dengan kecenderungan menurun), sedangkan hambatan kenakalan dan kemalasan anak justru meningkat. Hambatan ekonomi yang menyebabkan anak tidak didaftarkan atau putus dari SMP adalah tingginya biaya yang harus dikeluarkan orang tua, meliputi biaya rutin, biaya penunjang sekolah, serta uang jajan anak ke sekolah. Sebagian SMP terutama SMP swasta (beberapa diakses di desa sampel di NTT) masih memungut biaya rutin bulanan. Selain itu, tingginya biaya penunjang sekolah seperti biaya fotokopi buku pelajaran, seragam, perlengkapan sekolah, ekstrakulikuler, serta biaya lainnya sangat dirasakan memberatkan bagi orang tua (lihat Tabel 22). Di Jawa Barat, orang tua juga terbebani biaya jajan dan ongkos anak ke sekolah. Anak sering mogok sekolah jika tidak diberi uang jajan. Beban orangtua murid miskin kian bertambah dengan adanya diskriminasi perhatian guru terhadap murid miskin. Guru dinilai lebih memperhatikan murid dari golongan mampu melalui kunjungan dan komunikasi intens tentang perkembangan anak dengan orang tua dari keluarga mampu, tetapi hal yang sama tidak pernah dialami oleh para orangtua miskin. Tabel 23. Jenis dan Jumlah Pengeluaran Murid SMP*) (dalam rupiah) Jenis Pengeluaran Pendaftaran Iuran perbulan Uang komputer/tahun Uang les kelas tiga/bulan Uang ujian Uang pamit/Izajah Photo copy/mata pelajaran Seragam -Putih Biru -Olah raga Sepatu Tas Buku & alat tulis/semester
SMP Sampel 1 10.000
25.000 50.000
60.000 40.000 25.000 40.000
SMP Sampel 2 100.000 20.000 25.000 50.000 75.000 50.000 35.000
SMP Sampel 3 45.000 15.000 100.000
100.000 25.000 75.000 55.000
Keterangan: Hanya sebagai ilustrasi, jenis pengeluaran yang disebutkan peserta FGD mungkin tidak lengkap. Sumber: Rekapitulasi hasi FGD
Keberadaan dana PKH cukup membantu meringankan hambatan ekonomi orantua dalam menyekolahkan anaknya, terutama jika turunnya dana PKH bersamaan dengan dibutuhkannya biaya untuk sekolah. Selain itu, di kedua desa perlakuan dan satu desa kontrol di NTT, Plan International juga banyak memberikan bantuan berupa perlengkapan sekolah dan uang transpor/komite untuk beberapa murid miskin. Di Jawa Barat program beasiswa untuk murid miskin yang didanai oleh pemda dan swasta (seperti dari Yayasan Sampoerna dan bantuan amal zakat (BAZ) juga cukup membantu, hanya saja jumlah penerimanya masih terbatas. Hambatan ekonomi lainnya adalah anak yang diharuskan bekerja atau memilih untuk bekerja karena harus membantu orang tua memenuhi kebutuan ekonomi keluarga. Di wilayah nelayan (di Jawa Barat dan NTT) alasan anak tidak melanjutkan atau putus SMP adalah karena anak dilibatkan orang tua mencari ikan di laut atau bekerja sebagai anak buah kapal milik orang lain. Di Jawa Barat beberapa anak perempuan terpaksa menjadi TKW. Meskipun persyaratan TKW minimal harus tamat SMP, tapi untuk keperluan tersebut izajah SMP kadang-
Lembaga Penelitian SMERU
57
kadang dipalsukan. Di wilayah perkotaan (Jawa Barat dan NTT) juga banyak anak usia sekolah yang menjadi tukang ojek, kondektur bis, atau buruh di pasar. Pada awalnya mereka hanya bekerja sepulang sekolah, namun kemudian terlena dan akhirnya putus sekolah. Alasan lain anak tidak mau melanjutkan sekolah atau putus sekolah adalah karena faktor kenakalan atau kemalasan anak yang salah satunya disebabkan karena pengaruh buruk lingkungan. Faktor ini umumnya lebih sering terjadi pada anak laki-laki dan di wilayah perkotaan. Terdapat juga beberapa kasus anak yang tidak melanjutkan ke SMP karena orang tuanya bercerai atau anak tidak diperhatikan karena ditinggal orang tua menjadi TKI/TKW. Alasan lain untuk anak perempuan adalah karena dipaksa menikah oleh orang tua atau anak yang hamil di luar nikah. Selain karena malu memiliki anak di luar nikah, peraturan sekolah juga tidak memperbolehkan anak perempuan yang sedang hamil atau sudah memiliki anak untuk bersekolah. Khusus di wilayah perdesaan di NTT, hambatan lain yang kerap membuat orangtua kurang bersemangat menyekolahkan anaknya adalah jauhnya jarak ke sekolah. Meskipun di tiga desa (dua perlakuan dan satu kontrol) sudah tersedia SMP, luasnya wilayah serta tempat tinggal penduduknya yang tersebar menyebabkan murid dari dusun terpencil harus berjalan sampai dua jam ke sekolah. Jauhnya jarak dan lamanya waktu yang ditempuh membuat anak kelelahan dan sering absen. Pada akhirnya beberapa anak terpaksa putus sekolah. Khusus di satu desa kontrol, hambatan yang dihadapi jauh lebih berat karena tidak adanya SMP di dalam desa dan SMP terdekat berjarak 9 km dari pusat desa. Selain itu, di desa ini juga tidak ada bantuan ornop yang khusus untuk pendidikan sehingga tingkat kesadaran orang tua masih relatif rendah dan anak usia sekolah masih banyak dilibatkan orangtua untuk membantu bekerja di kebun. Tingginya biaya penunjang sekolah “Masih ada anak yang tidak mau sekolah dan alasan ekonomi karena tidak semua biaya digratiskan/ditanggung dana BOS” (FGD Ibu-Jawa Barat). ”Ada juga yang tidak ada biaya,... sekarang cari duit juga sulit!” (FGD Ibu-Jawa Barat). “Dengan adanya BOS, SPP di sekolah gratis. Tapi tetap aja berat untuk ongkos anak dan terutama buku LKS harus beli, kalo tidak beli LKS nilai anak tidak dikeluarkan katanya ga bisa dinilai..” (FGD Ibu-Jawa Barat). ”Kalo ke SD, semua daftar tapi kalo SMP tergantung orangtua dan anak. Kadang-kadang anaknya mau tapi orang tua tidak mampu, atau sebaliknya” (FGD Bapak-Jawa Barat). Anak harus bekerja “Mereka tetap mendaftar ke sekolah namun ditengah perjalanan mereka putus sekolah, biasanya karena faktor ekonomi. Pada akhirnya mereka memilih bekerja (FGD Bapak-Jawa Barat). Perempuan banyak yang ‘menunggu usia’ untuk menjadi TKI di Arab Saudi. Atau bahkan jika badan mereka besar, ijazah bisa SMP dipalsukan” (FGD Ibu-Jawa Barat). “Walaupun ada karena faktor ekonomi. Biasanya kalau ada anak yang tidak didaftarkan sekolah, anak tersebut membantu orang tua bekerja” (FGD Ibu-Jawa Barat). “..sudahlah bu anak saya ke Arab saja karena ga ada yang membiayai” (Guru SMP-Jawa Barat) “Mereka tidak sekolah tapi menjadi alang-alang, ikut jadi orang laut” (FGD Ibu-Jawa Barat). Kenakalan dan kemalasan anak “laki-laki lebih malas, sementara perempuan yang putus sekolah dikarenakan alasan bekerja di luar negeri (TKI) dan kawin” (FGDIbu-Jawa Barat). Sebelum ada BOS, banyak anak putus sekolah karena faktor miskin atau ekonomi. Pada saat ini, kalo putus sekolah umumnya karena anaknya malas, bandel dan tidak mau diatur (FGD BapakJawa Barat).
58
Lembaga Penelitian SMERU
“Mereka sebenarnya 100% didaftar di sekolah, kalo orangtuanya benar mendidik anak, pasti anaknya tidak akan mbolos atau putus sekolah” (FGD Bapak-Jawa Barat). “Kalo perempuan rata-rata tidak bermasalah. Bila terjadi pada anak perempuan, hal itu karena hamil atau dipaksa ke Arab oleh orangtuanya” (FGD Ibu-Jawa Barat). 4.5.3 Perubahan Tingkat Absen dan Penyebab Murid Absen Secara umum, tingkat absensi murid di SD dan SMP baik di wilayan perlakuan maupun kontrol di Jawa Barat dan NTT menurun. Meskipun demikian, masih ada 1-2 murid yang absen dengan rata-rata lama hari absen 1-3 hari dan anak laki-laki lebih sering absen dibandingkan anak perempuan. PKH berperan dalam menurunkan tingkat absen murid, terutama bagi penerima di wilayah perdesaan di NTT. Di Jawa Barat (perlakuan dan kontrol) penurunan tingkat absensi murid SD dan SMP terutama disebabkan semakin ketatnya aturan sekolah. Beberapa sekolah, misalnya, membuat pagar di sekeliling sekolah dan menguncinya selama jam pelajaran. Terdapat juga sekolah yang merekrut tenaga keamanan yang tugas utamanya adalah mengawasi absen murid. Namun demikian, masih ada saja murid yang absen (terutama tingkat SMP) dengan penyebab utama adalah karena kenakalan, kemalasan dan pengaruh buruk lingkungan. Kehadiran tempat penyewaan playstation di sekitar sekolah banyak dikeluhkan guru dan orang tua murid, karena murid absen umumnya menghabiskan waktu dengan bermain playstation atau hanya ‘nongkrong’ di warung. Seorang bapak peserta FGD mengungkapkan “Anak-anak itu dari rumah sebenarnya sudah memakai seragam dan ijin berangkat ke sekolah, tapi kenyataannya mereka tidak sampai ke sekolah. Biasanya mereka bermain di tempat rental playstation” (FGD Bapak-Jawa Barat). Alasan lain yang juga menjadi penyebab murid SD dan SMP absen adalah anak harus menjaga adik (yang masih bayi) di rumah pada saat orang tua ke sawah. Di desa nelayan, terdapat juga anak yang membantu orang tua melaut. Anak yang ikut orang tua melaut umumnya laki-laki dan tingkat SMP atau akhir SD. Pengaruh PKH terhadap tingkat absen murid di Jawa Barat tidak terlalu terlihat dalam studi. Pertama karena jumlah penerima PKH yang relatif sedikit dan tersebar di sekolah yang berbeda sehingga sebagian guru tidak mengetahui siapa penerima PKH di sekolahnya, alih alih mengawasi kehadiran murid tersebut. Selain itu, kurangnya pengawasan pendamping PKH juga meyebabkan tidak berpengaruhnya PKH terhadap tingkat absen murid dari keluarga penerima PKH. Di NTT, hampir di seluruh wilayah sampel tingkat absensi murid menurun, hanya di satu desa (kontrol) tingkat kehadiran murid tetap rendah. Penyebab penurunan absen murid adalah meningkatnya kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan sehingga orang tua lebih peduli terhadap tingkat kehadiran anaknya di sekolah. Penurunan absensi juga disebabkan meningkatnya kontrol dari sekolah dan aparat desa. Aparat desa, kepala dusun dan ketua RW sering dilibatkan oleh sekolah dalam memecahkan masalah murid yang sering absen. Aparat desa yang kemudian memanggil dan menegur orang tua agar lebih mengawasi anaknya. Peningkatan kesadaran orang tua dan peningkatan peran aparat desa juga disebabkan adanya bantuan dan penyuluhan terkait pendidikan dari ornop. Bantuan PKH turut berpengaruh terhadap peningkatan kehadiran murid di sekolah. Penekanan dari pendamping bahwa dana PKH yang diterima akan dipotong Rp 50.000 per hari absen meningkatkan kepedulian dan pengawasan orang tua penerima. Seorang Bapak mengungkapkan: “Ada upaya agar anak masuk sekolah, PKH kalau alpha potong Rp.50.000 jaga anak supaya sekolah jangan alpha. Setia sekolah takut denda” (FGD Bapak-NTT). Penjelasan tidak berubahanya tingkat absensi murid (terutama SMP) di satu desa kontrol adalah karena kondisi desa yang relatif lebih terisolasi dan tertinggal dibandingkan desa sampel lainnya di NTT. Dari desa ini murid harus berjalan lebih dari 9 km ke SMP terdekat, dan tidak tersedia transportasi umum. Selain itu, di desa ini juga tidak ada bantuan ornop yang terkait pendidikan sehingga kesadaran orang tua tentang pentingnya pendidikan umumnya tidak banyak berubah. Sangat disayangkan PKH juga tidak ada di desa ini.
Lembaga Penelitian SMERU
59
Tidak berbeda dengan di Jawa Barat, di NTT juga masih ada murid SD dan SMP yang absen dengan alasan sedikit berbeda dibandingkan di Jawa Barat terutama karena perbedaan kondisi geografis dan sosial ekonomi. Di wilayah perdesaan NTT alasan utama murid absen adalah karena musim hujan, musim panen, dan hari pasar. Musim hujan masih menjadi kendala kehadiran murid, karena kondisi jalan yang becek, permukaan sungai yang naik sehingga tidak bisa diseberangi (karena tidak ada jembatan), ataupun karena pakaian seragam, sepatu, dan alat tulis yang basah terkena hujan. Pada musim hujan murid bisa absen hingga seminggu karena menunggu surutnya permukaan sungai. Pada saat musim panen dan tanam, terdapat murid (terutama SMP) yang masih harus membantu orang tua di ladang. Pada hari pasar beberapa murid harus membantu orang tua membawa hasil pertanian ke pasar, beberapa murid lainnya absen dari sekolah karena ingin bermain-main dan menikmati keramaian pasar. Jauhnya lokasi sekolah dari tempat tinggal juga menyebabkan murid absen. Untuk tingkat SD, meskipun sekolah sudah ada di tingkat desa, mereka yang tinggal di dusun terpencil masih harus berjalan sampai satu jam sehingga murid sering kelelahan dan tidak masuk sekolah. Di beberapa sekolah juga ditemui murid absen karena guru yang sering absen dan tidak datang ke sekolah. Di wilayah perkotaan di NTT, alasan murid absen tidak berbeda dengan di Jawa Barat, yaitu karena kenakalan dan kemalasan murid, karena murid main playstation, tidak mengerjakan PR atau datang ke sekolah telat sehingga takut dimarahi guru. 4.5.4 Aktor-Aktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan Pelayanan Pendidikan Dasar Terdapat keragaman aktor yang memengaruhi pemanfaatan pelayanan pendidikan dasar baik di Jawa Barat maupun di NTT. Keragaman tidak hanya pada jenis aktor, tetapi juga intensitas dan jenis peran dari masing-masing aktor dalam mempengaruhi pemanfaatan pelayanan pendidikan. Peran dan jumlah aktor di wilayah perdesaan relatif lebih tinggi dibandingkan di perkotaan, berlaku untuk Jawa Barat dan NTT. Khusus di wilayah perlakuan perdesaan di NTT terdapat aktor baru, yaitu pendamping PKH, yang turut berperan dalam mendorong orang tua (penerima PKH) untuk lebih memperhatikan sekolah anak mereka. Tabel 24. Aktor-Aktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan Pelayanan Pendidikan Dasar di Desa Perlakuan dan Kontrol PNPM PKH Kategori Wilayah
Aktor yang Mendorong Pemanfaatan Pendidikan
Desa
Jawa Barat Perlakuan Perdesaan
Gregesik Kulon
Guru
Jagapura Kidul
Guru, aparat desa, kepala sekolah
Susukan
Guru, aparat desa
Tangkil
Kepala desa, kepala dusun, Ketua RT
Perlakuan Perkotaan
Mertasinga
Tetangga
Kontrol Perkotaan
Mundu Pesisir
Teman, tetangga
Kontrol Perdesaan
NTT Oenai Perlakuan Perdesaan Falas Kontrol Perdesaan
Bisene
Perlakuan Perkotaan
Fatufeto
Kontrol Perkotaan
Tode Kisar
Biloto
Kepala desa, Kadus, Ketua RT, tokoh agama & masyarakat, pihak sekolah, ornop (Plan) Aparat desa, tokoh masayarakat, komite sekolah, kepala sekolah, guru, ornop (Pidra, WFP, CWS & Plan) Kepala desa, komite sekolah, tokoh masyarakat, guru, tokoh agama/gereja Kepala Desa, kadus, komite sekolah, tokoh agama/gereja Tokoh agama, ketuan RT Tetangga dekat, tokoh masyarakat, pihak kelurahan
Sumber: Rekapitulasi hasi FGD
60
Lembaga Penelitian SMERU
Di wilayah perdesaan di Jawa Barat, baik di perlakuan maupun kontrol, aktor yang memengaruhi pemanfaatan pelayanan pendidikan dasar adalah kepala sekolah, guru, ketua komite, aparat desa (terutama kepala dusun), serta tetangga. Peran pihak sekolah misalnya menetapkan kebijakan menahan izajah murid jika murid bersangkutan tidak melanjutkan ke tingkat SMP. “..kalo tidak melanjutkan ijazahnya ditahan oleh sekolah supaya melanjutkan” (FGD Bapak_Jawa Barat). Peran aparat desa cenderung menurun, perannya lebih sebatas memberikan pengarahan kepada orang tua pada rapat di tingkat desa atau pertemuan di sekolah. Menurunnya peran aparat desa salah satunya disebabkan karena kesadaran masyarakat yang dianggap sudah meningkat. ”Untuk menjaring anak yang putus sekolah dengan kerjasama lebe dan RT setiap tahun ajaran baru akan tetapi hal ini sudah lama tidak dilakukan lagi, terakhir dilakukan saat sekolah ini masih gabung atau yang disebut lebe sering dilakukan, namun kini sudah tidak pernah lagi dilakukan” (FGD Bapak-Jawa Barat). Di wilayah perkotaan di Jawa Barat, baik di desa perlakuan maupun kontrol, aktor yang berperan dalam mendorong orang tua untuk menyekolahkan anak adalah komite dan aparat desa. Peran keduanya hanya sebatas mendorong dan menasehati anak dan orang tua. Aparat desa di sebuah desa sampel juga berperan membantu pembuatan surat keterangan miskin (SKM) yang dapat digunakan orang tua murid untuk mendapatkan beasiswa dari sekolah. Selain itu, tetangga dekat juga berperan dalam mengingatkan dan ikut menasehati orang tua jika anaknya tidak rajin ke sekolah. Di wilayah perdesaan di NTT, kepala desa dan aparat desa lainnya (kepala dusun, RW dan RT) menjadi aktor yang paling sering disebut, baik di desa perlakuan maupun kontrol. Dibandingkan di perdesaan di Jawa Barat, peran aparat desa di NTT lebih menonjol, tidak hanya mendorong tapi juga mengawasi orang tua agar memperhatikan pendidikan anaknya. Aparat desa juga sering dilibatkan sekolah untuk menangani permasalahan kenakalan murid dan murid yang sering absen. Tokoh lain yang berperan adalah pendeta di gereja. Mereka umumnya mengingatkan orang tua dan murid akan pentingnya pendidikan pada saat kebaktian di gereja. Komite sekolah (terutama ketua) juga aktif memberikan motivasi terhadap orang tua, baik secara individu maupun melalui pertemuan-pertemuan di sekolah. Di perdesaan NTT, peran lembaga ornop juga cukup besar dalam memotivasi orang tua. Selain memberikan bantuan ke sekolah, ornop juga memberikan beasiswa bagi siswa miskin, juga dukungan dan pengarahan agar orang tua menyekolahkan anak mereka. Selain itu, pendamping PKH juga cukup aktif dalam memotivasi orang tua penerima agar tetap menyekolahkan anaknya dan memperhatikan kehadiran anak di sekolah. Dibandingkan wilayah perdesaan, di wilayah perkotaan di NTT aktor yang peduli dengan pendidikan, baik di perlakuan maupun kontrol, tidak banyak. Aktor di wilayah perkotaan antara lain pihak gereja, ketua RT, tetangga, dan tokoh masyarakat. Selain karena tingkat kesadaran orang tua yang relatif sudah tinggi, budaya urban, serta tidak adanya ornop yang bergerak di bidang pendidikan, di wilyah perkotaan isu pendidikan lebih sering menjadi urusan internal masing masing rumah tangga. 4.5.5 Perubahan Kesadaran Ibu dan Bapak dalam Menyekolahkan Anak Baik di Jawa Barat maupun NTT, lapangan pekerjaan yang mensyaratkan minimal lulus SMP serta pengarahan dari aparat desa dan tokoh masyarakat serta ornop turut meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan. Indikasi peningkatan kesadaran tercermin dari tanggapan peserta FGD yang mengungkapkan harapan masa depan yang lebih baik melalui pendidikan anak mereka. Sebagai perbandingan, pada studi baseline peserta FGD umumnya masih melihat manfaat pendidikan hanya sebatas peningkatan kemampuan dasar anak yaitu hanya cukup bisa membaca, menulis dan berhitung. Kesadaran orang tua dalam menyekolahkan anak juga tercermin dari kesungguhan mereka untuk tetap menyekolahkan anak sekalipun bantuan dihentikan. Kesadaran orang tua yang relatif tinggi ini juga menyebabkan mereka tidak membedakan pendidikan dasar antara anak perempuan dan laki-laki. Untuk pendidikan SMA atau yang lebih tinggi, sebagian
Lembaga Penelitian SMERU
61
orang tua masih memprioritaskan anak laki-laki, hal ini terutama disebabkan terbatasnya sumber daya ekonomi orang tua. Peningkatan kesadaran akan pentingnya pendidikan ”Harusnya sekolah agar tidak buta hurup, bisa kerja lebih baik, tidak lagi bekerja sebagai tukang macul.. sekarang kan banyak PT …perusahaan. Banyak yang kerja di perusahaan di Cakung, Cileunyi, Bandung…, minimal harus lulus SMP (FGD SMP-perlakuan-Jawa Barat).” “..kadang-kadang anak saya bisa kasih tau saya karena dia lebih ngerti, kalo hitung-hitungan dia lebih tahu dan cepat (FGD Ibu-Jawa Barat). ”Saya amati, orang tua mau banting tulang bekerja keras asal anak mau sekolah baik-baik. Mereka menaruh harapan besar pada anak-anak mereka Laki-laki maupun perempuan diberi kesempatan sama, tergantung kemampuan otak anak” (Kepala Sekolah SD-N TT). Tidak membedakan anak laki-laki dan perempuan Tidak ada perbedaan perlakuan antara anak laki-laki dan perempuan untuk bersekolah, semua sekolah. Orang tua saat ini maupun 3 tahun lalu memiliki keseriusan yang sama untuk menyekolahkan anak, baik laki-laki maupun perempuan (Kepala sekolah SD-NTT). “Siapa saja mau laki-laki atau perempuan tidak ada bedanya, semuanya boleh menjadi pintar (FGD Ibu-Jawa Barat). Namun demikian, masih ditemukan orang tua yang belum mementingkan pendidikan anaknya. Di wilayah nelayan di Jawa Barat, tingkat kesadaran sebagian orang tua belum banyak berubah. Sekolah masih mengeluhkan rendahnya dukungan sebagian orangtua terhadap pendidikan anaknya. Latar belakang pekerjaan orangtua sebagai nelayan dengan pendidikan yang terbatas membuat rendahnya perhatian mereka terhadap pendidikan anak. Keterbatasan ekonomi orang tua menyebabkan mereka tidak melarang anak ikut melaut dan cenderung mengabaikan sekolah. Selain itu, di satu desa kontrol di NTT kesadaran orang tua akan manfaat pendidikan, terutama ibu, masih rendah. Di desa ini orang tua cenderung masih memprioritaskan anak laki-laki untuk bersekolah di SMP. Di desa ini, jarak ke lokasi SMP 9 km, tidak ada bantuan ornop khusus pendidikan, serta masyarakat masih memprioritaskan kebutuhan adat dan menggangap anak lakilaki yang harus sekolah untuk melanjutkan marga. “Mereka lebih memilih anak laki-laki, karena mereka takut anak perempuan mudah hamil jadi rugi-rugi saja kalau kasih sekolah anak perempuan, anak laki-laki haru sekolah untuk melanjutkan marga” (Guru SD-NTT) Kesadaran di masyarakat pesisir yang masih rendah “.....masyarakat pesisir lebih bersikap acuh, dukungan masyarakat kurang akan hal ini. Meskipun pihak guru terus menekan dan memberikan pengarahan serta menghimbau agar anak terdaftar ke sekolah dan rajin ke sekolah mereka tetap cuek” (Guru SD-Jawa Barat). “Mereka ngga ngerti mau diajak kerjasama untuk kebaikan anaknya… yang ada bukan itu, mereka melindungi anaknya meskipun salah. Akhirnya tidak ada solusi karena mereka tidak mau open…” (Kepala Sekolah SD-Jawa Barat). PKH, terutama di perdesaan di NTT, berkontribusi meningkatkan kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anakya. Di perdesaan di NTT pendamping PKH turut memberikan pengarahan atau anjuran kepada orang tua tentang pentingnya sekolah. Meskipun PKH lebih melibatkan istri, informasi yang diperoleh disampaikan juga kepada suami sehingga tidak hanya pengetahuan dan kesadaran istri yang meningkat tapi juga suami.
62
Lembaga Penelitian SMERU
V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 5.1.1 PNPM Generasi Secara umum pelaksanaan PNPM Generasi memberikan manfaat bagi sebagian besar warga desa penerima baik dari sisi ketersediaan melalui penambahan dan perbaikan fasilitas fisik layanan maupun dari sisi pemanfaatan melalui kemudahan mengakses pelayanan KIA dan pendidikan dasar. Peningkatan ketersediaan dan pemanfaatan layanan berlangsung pula di wilayah kontrol karena dukungan program lain baik dari pemerintah (pusat dan daerah) maupun nonpemerintah (LSM dan bantuan luar negeri). Meskipun terdapat peningkatan di kedua sisi, masih ditemukan sejumlah hambatan ketersediaan dan pemanfaatan, terutama di NTT. Ketersediaan Pelayanan KIA
Meski tidak ada penambahan jenis dan jumlah tempat pemberi layanan, peningkatan fasilitas fisik dan fasilitas penunjang KIA yang didanai oleh PNPM Generasi dan bantuan lainnya dinilai mampu meningkatkan pelayanan KIA dibandingkan pada 2007. Posyandu telah tersedia di semua dusun dan dikelola aktif oleh para kader setiap bulan. Layanan posyandu semakin meningkat, terutama di wilayah perlakuan, karena adanya bantuan PNPM Generasi berupa pembangunan/perbaikan rumah posyandu, penambahan fasilitas pendukung, tersedia insentif bagi kader dan PMT bagi balita. Bidan desa merupakan pemberi layanan KIA yang utama di desa, namun hambatan pelayanan bidan tidak banyak berkurang dibandingkan keadaan 2007. Hal ini akibat dari kondisi akses yang sulit, luasnya wilayah layanan, minimnya fasilitas dasar, terbatasnya obat, dan bidan tidak bersedia tinggal di desa atau sering tidak ditempat. Terdapat dua kelompok masyarakat yang masih sulit dijangkau layanan KAI yaitu (1) kelompok masyarakat yang tinggal jauh dari pusat permukiman, dan (2) warga yang masih memegang teguh adat seperti se’i, atau naketi. Dibandingkan 2007 jumlah mereka sudah berkurang. Dukun beranak masih tetap ada namun perannya semakin berkurang terutama dalam membantu persalinan. Pemberian insentif dana melahirkan dari PNPM Generasi, tidak adanya regenerasi, adanya sanksi dari aparat bagi ibu melahirkan dengan dukun, serta himbauan dari pemda menjadi faktor yang menurunkan peran dukun beranak. Pelibatan masyarakat, termasuk juga perempuan, dalam penentuan kegiatan pelayanan KIA baru terjadi pada tahapan formalitas dengan hadirnya PNPM Generasi, Desa Siaga dan bantuan LSM. Kalangan elit desa dan pelaksana program, terutama kaum laki-laki, masih mendominasi dalam proses pengambilan keputusan.
Pemanfaatan Pelayanan KIA
Pemanfaatan layanan KIA (bidan dan posyandu) meningkat sejalan dengan meningkatnya pengetahuan dan kesadaran perempuan dan laki-laki tentang pentingnya KIA. Peningkatan pengetahuan dan kesadaran tersebut didorong oleh berbagai program/bantuan pemerintah dan nonpemerintah serta peningkatan pendidikan dan kemudahan mengakses informasi tentang KIA. PNPM Generasi berkontribusi pada peningkatan pemanfaatan pelayanan KIA karena tersedia subsidi melahirkan di bidan, biaya transpor pemeriksaan selama hamil dan pasca melahirkan, serta PMT dan biaya transpor ke posyandu. Secara umum masyarakat lebih memilih bidan dibandingkan dukun untuk layanan KIA karena peralatan dan obat bidan yang relatif lengkap, bidan dapat memberi surat rujukan ke
Lembaga Penelitian SMERU
63
rumah sakit (RS), biaya persalinannya dapat dicicil, dan bidan bisa memberikan tambahan fasilitas lain seperti akta kelahiran. Namun demikian, terdapat beberapa penyebab sebagian kecil ibu tidak memanfaatkan pelayanan bidan yaitu karena keterpencilan wilayah, mahalnya biaya persalinan di bidan dan kepercayaan/kedekatan yang masih tinggi terhadap dukun beranak. Faktor lain adalah rasa malu karena memiliki banyak anak, hamil di luar nikah, dan khusus di NTT malu memperlihatkan alat kelamin kepada bidan. Secara umum alasan tersebut tidak banyak perubahan dibandingkan temuan pada 2007. Alasan tidak mengakses posyandu tidak berbeda dengan kondisi 2007, yakni karena anak sakit, imunisasi sudah lengkap, tidak ada pemberian makanan tambahan (PMT), tidak ada tempat bermain anak, sibuk bekerja (jadi buruh, berdagang), tidak ada yang mengantar, malu karena memiliki anak banyak, atau banjir pada musim hujan. Namun demikian, jumlah yang tidak mengakses menurun dibandingkan pada keadaan 2007. Aktor yang berperan mempengaruhi pemanfaatan layanan KIA tidak bertambah meski sudah ada PNPM Generasi. Hal ini karena pelaksana kegiatan PNPM Generasi umumnya adalah kader posyandu dan tokoh masyarakat setempat.
Ketersediaan Pelayanan Pendidikan Dasar
Jumlah SD di setiap desa/kelurahan sampel sudah mencukupi dan tidak banyak berubah sejak 2007. Ketersediaan SMP di Jawa Barat sudah memadai sejak 2007 dan relatif mudah dijangkau. Sebaliknya di NTT, ketersediaan SMP masih menjadi kendala karena masalah jarak dan biaya transportasi, sementara penambahan SMP hanya terjadi di satu desa kontrol, yaitu satu SMP negeri Satu Atap (Satap). Prasarana fisik dan penunjang SD dan SMP mengalami peningkatan dibandingkan 2007 dengan sumber dana dari pemerintah dan nonpemerintah. Peran PNPM Generasi lebih banyak berupa penyediaan mebelair sekolah, dan pembayaran guru honor di beberapa SMP di NTT. Hambatan penyediaan pelayanan pendidikan dasar yang dihadapi pada 2007 belum sepenuhnya dapat diatasi, terutama ketersediaan dan kualitas guru, kehadiran guru di kelas, dan status guru. Di NTT, hambatan lebih berat karena ditambah dengan tidak tersedianya listrik dan air bersih di sekolah. Secara umum komite sekolah belum berfungsi secara optimal dan tingkat keaktifannya sangat bergantung pada kapasitas individu ketua komite dan kepala sekolah serta kondisi sosial ekonomi masyarakat di mana sekolah tersebut berada. Terdapat tiga kelompok masyarakat yang masih sulit dijangkau pelayanan pendidikan SMP yaitu (1) kelompok masyarakat miskin, (2) kelompok masyarakat di wilayah terpencil, dan (3) kelompok anak nakal/malas.
Pemanfaatan Pelayanan Pendidikan Dasar
64
Tingkat partisipasi anak usia SD sudah tinggi sejak 2007, sedangkan partisipasi di SMP meningkat karena meningkatnya kesadaran orangtua, tuntutan lapangan pekerjaan, pengarahan/bantuan fasilitas pendidikan dari pemerintah (termasuk PNPM Generasi) dan nonpemerintah, rasa malu bila tidak sekolah, peran aktif guru, komite dan aparat desa, dan tersedianya SMP Terbuka, dan tidak adanya perbedaan perlakuan bagi anak laki-laki atau anak perempuan dalam mengenyam pendidikan SMP. Meski PNPM Generasi tidak secara langsung meningkatkan partisipasi murid SD/SMP karena bantuan hanya ditujukan bagi anak yang sudah terdaftar di sekolah, PNPM Generasi meningkatkan kehadiran murid ke sekolah karena bantuan tersebut dapat mengurangi rasa minder murid, mengatasi hambatan musim hujan seperti di NTT, serta mengatasi sebagian beban biaya penunjang sekolah untuk murid SMP, sehingga dapat mencegah murid putus sekolah.
Lembaga Penelitian SMERU
Faktor yang menjadi penyebab masih adanya beberapa anak usia SMP tidak mendaftar atau putus sekolah adalah faktor ekonomi/biaya dan kondisi akses fisik atau keterpencilan (khusus di NTT). Untuk anak perempuan, faktor lain adalah karena dipaksa menikah atau hamil di luar nikah dan untuk anak laki-laki karena pengaruh negatif lingkungan. Di desa perlakuan, hambatan ekonomi sedikit berkurang karena berbagai jenis bantuan dari PNPM Generasi. Tingkat absensi murid SD/SMP menurun dibandingkan 2007. Keberadaan PNPM Generasi meningkatkan semangat murid ke sekolah dan khusus di NTT mendorong aparat desa/kecamatan mengintensifkan kembali keberadaan sanksi denda bagi murid yang absen Aktor di tingkat desa yang turut mendorong orang tua untuk menyekolahkan anaknya tidak berubah sejak 2007 dan peran sebagian besar aktor masih sebatas memberi himbauan formal.
5.1.2
Program Keluarga Harapan (PKH)
Secara umum, studi menemukan bahwa manfaat PKH hanya dirasakan di tingkat rumah tangga penerima PKH, tidak ada penyebaran dampak kepada nonpenerima. Bahkan, nonpenerima dan sebagian penyedia layanan KIA dan pendidikan dasar kurang mengenal PKH karena keberadaan PKH seolah-olah seperti dirahasiakan mengingat adanya kecemburuan dan potensi konflik dari nonpenerima PKH. Namun demikian, di desa dengan jumlah penerima yang relatif banyak (di NTT) dan peran pendamping yang aktif, PKH berkontribusi terhadap meningkatnya kehadiran ibu di posyandu dan kehadiran murid di sekolah. Ketersediaan Pelayanan KIA
Ketersediaan layanan KIA meningkat hanya di sebagian wilayah sampel, sedangkan di dua desa sampel terpencil di NTT ketersediaan pelayanan KIA tidak berubah, tidak tersedia bidan sejak 2007 dan jumlah posyandu masih terbatas. Bidan desa merupakan pemberi pelayanan KIA yang utama di desa. Di wilayah terpencil di NTT, absennya pelayanan bidan adalah akibat dari kondisi akses ke desa yang sulit, luasnya wilayah layanan, minimnya fasilitas dasar, dan bidan tidak bersedia berpisah dengan keluarga yang tinggal di desa lain. Meski pelayanan posyandu telah rutin diselenggarakan setiap bulan dan menunjukkan peningkatan di sebagian posyandu, pengelolaan sebagian posyandu lainnya masih terhambat minimnya jumlah kader karena tidak adanya insentif kader serta kurangnya sarana dan fasilitas pendukung pelayanan di posyandu. Terdapat beberapa kelompok kecil warga yang masih sulit dijangkau pelayanan KIA, yakni (1) warga yang tinggal jauh dari pusat permukiman, (2) warga yang masih mempercayai dukun atau adat seperti budaya sei, (3) ibu yang ikut membantu suaminya melaut, dan (4) ibu yang pergi ke sawah untuk ikut panen. Dibandingkan 2007 jumlah mereka semakin berkurang. Peran dukun beranak untuk membantu persalinan semakin berkurang. Di Jawa Barat penurunan peran dukun disebabkan tidak ada regenerasi dan himbauan pemda dan di NTT karena adanya Program Revolusi KIA yang melarang dukun memberi layanan. Akan tetapi, di semua wilayah sampel, dukun beranak masih berperan dalam pelayanan selama hamil dan pasca melahirkan serta dalam penyelenggaraan upacara adat. Keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan KIA meningkat dengan adanya program Revolusi KIA di NTT dan Program Desa Siaga di Jawa Barat.
Pemanfaatan Pelayanan KIA
PKH berpengaruh pada peningkatan pemanfaatan posyandu di wilayah perdesaan NTT, karena peran aktif pendamping dan ancaman pemotongan dana PKH jika penerima tidak rutin ke posyandu. Di wilayah perlakuan di Jawa Barat dan perkotaan NTT, peran pendamping dalam meningkatkan pemanfaatan posyandu hampir tidak ada.
Lembaga Penelitian SMERU
65
Keberadaan PKH tidak berpengaruh dalam mengatasi hambatan ibu mengakses pelayanan bidan, karena pencairan dana PKH umumnya tidak bertepatan saat dana dibutuhkan (misalnya saat melahirkan) dan di satu desa karena tidak tersedia bidan desa. Alasan sebagian ibu tidak memanfaatkan layanan bidan adalah terbatasnya akses fisik atau keterpencilan, terbatasnya akses keuangan, bidan tidak ada di tempat, dan kepercayaan se’i atau kepercayaan dan kedekatan yang masih tinggi terhadap dukun beranak di NTT, hambatan tersebut tidak banyak berubah dibandingkan 2007. Alasan sebagian ibu tidak hadir di posyandu adalah karena ibu bekerja sebagai buruh, pedagang atau TKW dan karena lebih memilih pelayanan KIA lain yang banyak tersedia. Aktor yang berperan dalam mempengaruhi pemanfaatan KIA adalah aparat desa, bidan, kader posyandu, tokoh masyarakat, tetangga serta khusus di NTT tokoh agama dan staf LSM. Pendamping PKH menjadi aktor baru yang mempengaruhi pemanfaatan pelayanan KIA hanya di dua desa sampel perdesaan di NTT.
Ketersediaan Pelayanan Pendidikan Dasar
Jumlah SD di seluruh desa/kelurahan sampel sudah memadai dan tidak berubah sejak 2007. Ketersediaan SMP di Jawa Barat sudah memadai sejak 2007 dan relatif mudah dijangkau. Sebaliknya di NTT, ketersediaan SMP masih menjadi masalah karena jauhnya jarak dan mahalnya biaya transportasi dan tidak ada penambahan SMP sejak 2007. Kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana penunjang KBM di SD dan SMP meningkat dibandingkan 2007, dengan sumber dana dari pemerintah dan nonpemerintah. Hambatan penyediaan pelayanan pendidikan dasar yang dihadapi pada 2007 belum sepenuhnya dapat diatasi, terutama di wilayah perdesaan NTT, yakni keterbatasan jumlah, kualitas dan status guru, tidak tersedianya listrik dan air bersih di sekolah, serta terbatasnya sarana/prasarana dan alat bantu mengajar di sekolah. Terdapat kendala untuk menjangkau kelompok masyarakat tertentu dalam mengakses layanan pendidikan dasar di SMP yakni (1) kelompok masyarakat nelayan, (2) kelompok masyarakat di wilayah terpencil, dan (3) kelompok anak nakal/malas. Secara umum komite sekolah belum berfungsi secara optimal, terutama di wilayah perkotaan. Di wilayah perdesaan, komite berperan memantau dana BOS, pembangunan fasilitas sekolah, serta khusus di NTT pengawasan kehadiran murid dan guru.
Pemanfaatan Pelayanan Pendidikan Dasar
66
Tingkat partisipasi anak usia SD sudah tinggi sejak 2007, sedangkan partisipasi di SMP meningkat karena peningkatan kesadaran orangtua, tuntutan lapangan pekerjaan, dan bimbingan dan bantuan ornop. Peran PKH terhadap partisipasi SMP hanya terlihat di perdesaan NTT karena jumlah penerimanya yang relatif banyak, adanya sanksi serta aktifnya peran pendamping. Terdapat sejumlah faktor yang mendorong beberapa anak usia SMP tidak mendaftar atau putus sekolah, yakni faktor ekonomi/biaya, kondisi akses fisik atau keterpencilan, mahalnya biaya transportasi. Untuk anak perempuan, faktor lain adalah karena dipaksa menikah atau hamil di luar nikah atau menjadi TKW dan untuk anak laki-laki karena pengaruh negatif lingkungan dan kenakalan remaja. Secara umum, rata-rata murid absen di sekolah 1-3 hari. Terdapat perbedaan alasan absen antara murid di perdesaan dan perkoataan baik di NTT maupun Jawa Barat. Alasan absen di perdesaan NTT adalah karena hujan, waktu panen, hari pasar, kelelahan dan malas. Di perkotaan NTT dan Jawa Barat alasan murid absen adalah pengaruh negatif pergaulan, anak malas, tidak diberi uang saku, serta anak harus membantu orang tua bekerja. PKH meningkatkan kehadiran murid SD dan SMP terutama di perdesaan NTT, karena penekanan dan ancaman sanksi pemotongan dana PKH oleh pendamping. Tingkat absen juga turun karena aturan sekolah yang lebih ketat, pemagaran di sekeliling sekolah dan tersedianya tenaga keamanan sekolah.
Lembaga Penelitian SMERU
Aktor di desa yang turut mendorong orang tua menyekolahkan anaknya adalah kepala sekolah, guru, ketua komite, aparat desa, dan tetangga. Di NTT, tokoh agama serta ornop juga ikut berperan.
5.2 Saran 5.2.1
Secara umum, PNPM Generasi hanya dapat memecahkan sebagian hambatan ketersediaan dan pemanfaatan pelayanan KIA dan pendidikan dasar. Dari beberapa kesimpulan tentang ketersediaan dan pemanfaatan layanan KIA dan pendidikan dasar di atas, terdapat beberapa tindakan dan kebijakan yang perlu dilakukan pemerintah pusat dan daerah agar manfaat program dapat lebih ditingkatkan yakni (i) Meningkatkan ketersediaan dan kualitas infrastruktur desa berupa jalan, jembatan, listrik dan air bersih agar masyarakat lebih mudah mengakses pelayanan KIA dan pendidikan dasar; dan (ii) Meningkatkan ketersediaan dan kualitas pelayanan KIA dan pendidikan dasar meliputi keberadaan bidan desa, ketersediaan obat di polindes, pendidikan guru, dan status guru honor. Untuk mengurangi hambatan dan sekaligus meningkatkan pemanfaatan layanan KIA dan pendidikan dasar, diperlukan bimbingan dan penyuluhan tambahan terutama bagi peningkatan kesadaran orang tua dan anak akan manfaat dan pentingnya KIA dan pendidikan dasar serta upaya-upaya peningkatan kemampuan ekonomi keluarga. Pemahaman pelaksana program dan aparat desa yang kurang tepat tentang PNPM Generasi menyebabkan pelaksanaan program kurang optimal. Pertama, pemahaman bahwa bantuan PNPM Generasi di bidang pendidikan ditujukan hanya bagi murid yang terdaftar di SD atau SMP menyebabkan bantuan tidak menyentuh anak usia SD/SMP yang tidak mendaftar atau putus sekolah. Kedua, bantuan PNPM Generasi di desa sampel seluruhnya dalam bentuk fisik, baik berupa uang ataupun barang. Tidak ditemukan bantuan yang sifatnya non-fisik, yang ditujukan untuk peningkatan kesadaran, seperti penyuluhan tentang pentingnya pendidikan atau pelatihan menyangkut KIA. Oleh karena itu, sebagian pelaksana program dan aparat desa mengkhawatirkan jika bantuan fisik tersebut dihentikan masyarakat akan kembali ke kondisi sebelum adanya program karena sifat kesadaran yang terjadi hanya berorientasi untuk mendapatkan bantuan fisik semata. Berdasarkan kedua kondisi tersebut, direkomendasikan untuk melakukan sosialisasi tambahan bagi pelaksana program dan aparat desa menyangkut sasaran program dan jenis alokasi bantuan.
5.2.2
PNPM Generasi
PKH
Belajar dari pengalaman di wilayah perlakuan perdesaan NTT bahwa secara umum dampak PKH sangat ditentukan oleh besanya jumlah penerima di satu desa, dukungan dan pelibatan aktif masyarakat dan aparat desa, dan peran aktif pendamping progam. Temuan ini dapat menjadi pelajaran berharga untuk diterapkan di wilayah penerima PKH lainnya. Meski demikian, upaya penguatan faktor lain terkait program baik dari sisi ketersediaan maupun pemanfaatan masih perlu ditingkatkan. Untuk meningkatkan dampak PKH terhadap pemanfaatan layanan KIA dan pendidikan diperlukan upaya-upaya berikut. (i) Peningkatan ketersediaan pelayanan KIA dan SMP yang memadai dan dapat dengan mudah diakses oleh semua warga. (ii) Peningkatan infrastruktur desa meliputi jalan, jembatan, listrik, dan air bersih. (iii) Resosialisasi PKH terhadap aparat desa, pemberi layanan dan rumah tangga penerima dan nonpenerima. Serta pelibatan sekolah, bidan dan kader dalam pemantauan penerima program.
Lembaga Penelitian SMERU
67
(iv) Mendekatkan pendamping dengan penerima program antara lain dengan menetapkan wilayah kerja pendamping tidak hanya berdasarkan jumlah penerima program tetapi juga mempertimbangkan luas wilayah serta jumlah desa/kelurahan dampingan. (v) Transparansi penetapan penerima dan sosialisi terhadap penerima dan nonpenerima.
68
Lembaga Penelitian SMERU
DAFTAR REFERENSI Buku Panduan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Generasi Sehat dan Cerdas 2008: Untuk Fasilitator Desa dan Tim Pengelola Kegiatan, Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia Kusumastuti Rahayu, Sri et al. (2008) ‘Studi Baseline Kualitatif PNPM Generasi dan PKH: Ketersediaan dan Penggunaan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak dan Pendidikan Dasar di Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Nusa Tenggara Timur.’ Jakarta: Lembaga Penelitian SMERU. Pedoman Umum Program Keluarga Harapan 2008, Tim Penyusun Pedoman Umum PKH Lintas Kementrian dan Lembaga, Jakarta, 2007 Unit Pelaksana Program Keluarga Harapan (2009) ‘Profil Program Keluarga Harapan (PKH)’. Jakarta: Departemen Sosial.
Lembaga Penelitian SMERU
69
LAMPIRAN
70
Lembaga Penelitian SMERU
LAMPIRAN 1 Tabel A1. Daftar Peneliti Kecamatan
Desa/Kelurahan
Koordinator
Tim Peneliti Peneliti Lokal
Kabupaten Sumedang (Jawa Barat) 1. Nagarawangi
Sri Budyati
2. Pamekaran
Nina Toyamah
3. Buah Dua
Meuthia R.
4. Bojongloa
Justin Sodo
5. Sukaratu
Ruhmaniati
6. Neglasari
Adri Amiruddin
Rancakalong
Buah Dua
Darmaraja
Hendra W. Wardhana Harso Yuliantena Kartawi Amah Majidah VD Didi Supardi Ida Dewi Yuliawati Dedi Ali Ahmad Urilawati D. A. Lihiang Heru P. Wardhana Sintawaty Asep Kurniawan Juliawati
Kabupaten Cirebon (Jawa Barat) 7. Gegesik Kulon
Sri Budiyati
8. Jagapura Kidul
Nina Toyamah
9. Susukan
Justin Sodo
10. Tangkil
Meuthia Rosfadhila
Mundu
11. Mundu Pesisir
Ruhmaniati
Gunung Jati
12. Mertasinga
Adri Amiruddin
Gegesik
Susukan
Hendra W. Wardhana Harso Yuliantena Kartawi Amah Majidah VD Dedi Ali Ahmad Urilawati D. A. Lihiang Didi Supardi Ida Dewi Yuliawati Heru P. Wardhana Sintawaty Asep Kurniawan Juliawati
Kabupaten Timor Tengah Utara (NTT) 13. Taumbaen
Adri Amiruddin
14. Hauteas
Justin Sodo
15. Sekon
Vita Febriany
16. Susulaku A
Nina Toyamah
17. Oenenu Induk
Hendra W. Wardhana
18. Kuanek
Ruhmaniati
Biboki Utara
Insana
Bikomi Tengah
Ida Dewi Yuliawati Theo Wetangterah Maria HKT Sorywotun Patje Oktofianus T Edu Mungga Timoryani Samauna Yohanes Ghewa Yakomina W Nguru Ronny Modena Erlina Dangu Yans Koliham Yeanny Marlina BM
Kabupaten Timor Tengah Selatan (NTT) 19. Oenai
Hendra W. Wardhana
20. Falas
Vita Febriany
21. Biloto
Adri Amiruddin
22. Bisene
Justin Sodo
Alak
23. Fetufetto
Nina Toyamah
Kelapa Lima
24. Tode Kisar
Ruhmaniati
Kie
Molo Selatan
Ronny Modena Erlina Dangu Edu Mungga Timoryani Samauna Ida Dewi Yuliawati Theo Wetangterah Maria HKT Sorywotun Patje Oktofianus T
Kota Kupang (NTT)
Lembaga Penelitian SMERU
Yohanes Ghewa Yakomina W Nguru Yans Koliham Yeanny Marlina BM
71
LAMPIRAN 2 Tabel A2. Akses ke Desa/Kelurahan Sampel Kecamatan
Desa
Jarak Desa ke Pusat Kecamatan (km)
Kabupaten Sumedang (Jawa Barat) 1. Rancakalong 2. Buahdua 3. Darmaraja
1. Nagarawangi
0
2. Pamekaran
2
3. Buahdua
0
4. Bojongloa
3
5. Sukaratu
0,3
6. Neglasari
2
7. Gegesik Kulon
<1
8. Jagapura Kidul
6–7
Kabupaten Cirebon (Jawa Barat) 4. Gegesik 5. Susukan
9. Susukan
0
10. Tangkil
5
6. Gunung Jati
11. Mertasinga
6
7. Mundu
12. Mundu Pesisir
2
Kabupaten Timor Tengah Utara (NTT) 8. Biboki Utara 9. Insana 10. Bikomi Tengah
13. Taunbaen
12
14. Hauteas
2
15. Sekon
6
16. Susulaku A
6
17. Oenenu Induk 18. Kuanek
1.5 8
Kabupaten Timor Tengah Selatan (NTT) 11. Kie 12. Molo Selatan
19. Oenay
6
20. Falas
7
21. Biloto
5
22. Bisene
10
Kota Kupang (NTT) 13. Alak
23. Fetufetto
0
14. Kelapa Lima
24. Tode Kisar
0
Sumber: Studi baseline dan verifikasi lapangan pada studi dampak
72
Lembaga Penelitian SMERU
LAMPIRAN 3 Tabel A3. Luas, Jumlah Penduduk dan KK Desa/Kelurahan Sampel Desa
Luas (Ha)
Jumlah Penduduk 2007
2010
Jumlah KK ∆(%)
2007
2010
∆(%)
1. Nagarawangi
436
4131
4367
6
1416
1533
8
2. Pamekaran
375
3027
3107
3
1026
1110
8
3. Buahdua
372
3332
3428
3
998
1134
14
4. Bojongloa
535
3208
3552
11
t.a.d
1145
-
5. Sukaratu
130
2576
2796
9
812
789
-3
6. Neglasari
169
t.ad
2442
-
t.a.d
615
-
7. Gegesik Kulon
401
t.a.d
5565
-
-
1819
-
8. Jagapura Kidul
500
7411
8148
10
2248
2612
16
9. Susukan
130
6708
6711
0.04
1619
1619
0
10. Tangkil
304
6906
5822
-16
1780
1812
2
74
6088
6323
t.a.d
1271
2000
-
11. Mertasinga 12. Mundu Pesisir
155
6016
5743
-5
1285
1294
1
13. Taunbaen
1.970
1432
1554
9
339
366
8
14. Hauteas
2.220
1739
1862
7
391
403
3
15. Sekon
1.800
867
994
15
223
225
1
650
943
1041
10
225
231
3
1.200
738
884
20
184
237
29
16. Susulaku A 17. Oenenu Induk 18. Kuanek
433
510
612
20
154
163
6
1.800
2439
2624
8
717
740
3
20. Falas
1.650
2038
2044
0.3
535
576
8
21. Biloto
3.000
t.a.d
602
-
155
176
14
22. Bisene
1.700
1684
1708
1
407
427
5
53
4652
4445
-4
1037
935
-10
0.11
1039
965
-7
285
285
0
19. Oenai
23. Fetufetto 24. Tode Kisar
Lembaga Penelitian SMERU
73
LAMPIRAN 4 Tabel A4. Perubahan Kondisi Fasilitas SD dan SMP Sampel di Desa Perlakuan dan Kontrol PNPM Generasi Kategori
Desa
SD/SMP
Sumber Dana
Jenis Perubahan
Tahun
Jawa Barat Nagarawangi dan Pemekaran Perlakuan Buahdua dan Bojongloa
Kontrol
Sukaratu dan Neglasari
SDN 1 Nagarawangi SDN Cikeusik SMPN 1 Rancakalong SDN Buahdua SDN Bojongloa 2 SMPN 1 Buahdua SDN Cakrawati SDN Neglasari SMPN 2 Darmaraja SDK Lurasik
Hauteas dan Taubaen Perlakuan
Susulaku dan Sekon
Oenenu dan Kuanek
APBD
2008
Renonvasi ruang kelas
2008 2009
Tidak ada perubahan
APBD DAK dan BOS -
Renovasi berat 4 kelas
DAK
2008
Renovasi ruang kelas
DAK
2008
Renovasi ruang kelas
DAK
2007
DAK
2009
DAK
2009
Renovasi 4 ruang
Renovasi ruang kelas & 2 WC baru Renovasi berat ruang kelas & WC guru/TU NTT 1 ruang kelas baru, 1 perpustakaan, 1 UKS
SDN Oeekam
2 ruang kelas baru
SDN Taunbaen
2 ruang kelas baru, perpustakaan, UKS
SMPN 1 Lurasik
Aula /ruang doa baru
SDN Sekon SDK Susulaku SMPK Oelolok SDK Oenenu
Kontrol
Renovasi ruang kelas
SDN Kuanek SMPN *) Oenenu SMPN Oelneke
3 ruang baru untuk perpustakaan dan guru Renovasi 3 ruang kelas Tidak ada perubahan 4 ruang lokal baru dan renovasi ruang kelas Ruang kelas dan perpustakaan baru
DAK dan DBEP PNPM Generasi Plan International dan DBEP Komite sekolah Plan International DBEP DBEP dan Dekon Prov DAK
-
2008 2009 2008 2008 2008 2009 2008 2007 2009
Tidak ada perubahan
-
-
Tidak ada perubahan
-
-
*)
Keterangan: Didirikan pada 2008 dan menumpang pada SDK Aloysius.
74
Lembaga Penelitian SMERU
LAMPIRAN 5 Tabel A5. Perubahan Kondisi Fasilitas Pendukung Sekolah Sampel di Desa Perlakuan dan Kontrol PNPM Generasi Kategori
SD/SMP
Tahun
SDN Cikeusik SDN Sukamaju SDN Buahdua SDN Bojongloa 2
30 set kursi dan meja, buku pelajaran *) komputer
SMPN 1 Rancakalong SMPN 1 Buahdua
Peralatan olahraga, buku perpustakaan, alat musik, mebel,
BOS
2008 & 2009
Buku pelajaran/perpustakaan
BOS
2009
Sarana dapur sekolah, dan mebel Buku Buku pelajaran, CD player, komputer, meja dan kursi
DAK BOS Provinsi BOS DAK
2007 2008 2008 & 2009
Tidak ada penambahan/perubahan
-
-
SDN Cakrawati Kontrol
Sumber Dana
Jawa Barat Mebel, alat peraga, CD player, laptop, komputer (tidak ada operator), alat kesenian, alat laboratorium, dan TV Tidak ada penambahan/perubahan Mebel 2 unit komputer
SDN Nagarawangi
Perlakuan
Jenis Perubahan
SDN Neglasari SMPN 2 Darmaraja
PNPM Generasi, BOS dan SDSNDekon Prov PNPM Generasi Alumni/komite PNPM Generasi BOS DAK
2008
2009 2008 2009
NTT
Perlakuan
SDK Lurasik
Meja dankursi baru, buku perpustakaan, komputer, alat peraga, dan TV/VCD
SDK Oenali
Meja/kursi 70 set, dan papan tulis,
SDN Sekon SDK Boni SMPN 1 Lurasik
Kontrol
Meja/kursi, buku pelajaran/perpustakaan, dan lemari sekolah Meja, kursi, buku pelajaran, dan lemari Pagar sekolah dan alat kesenian dan buku pelajaran untuk guru
PNPM Generasi, DAK, APBD & Plan International DBEP & PNPM Generasi Plan International & PNPM Generasi DBEP dan BOS BOS & DBEP
2007 & 2008 2008 & 2009 2009 2010 2008 & 2009
APBD & PNPM Generasi
SMPK Oelolok
2 komputer
SDK Aloysius, Oenenu SDN Oefui
Media pembelajaran/VCD, komputer **) dan printer Tidak ada penambahan/perubahan
-
SMPN Oenenu
5 meja dan kursi
BOS
SMPN Oelneke
Buku pelajaran, buku perpustakaan, ***) TV dan genset
BOS buku, DBEP, WVI, dan APBD
APBD
2008, 2009 & 2010 2008 & 2009 t.a.d
*
Keterangan: ) Karena takut hilang komputer disimpan di rumah kepala sekolah. **)
Tidak berfungsi karena tidak ada listrik.
***)
Tidak berfungsi karena tidak ada listrik dan kapasitas genset kurang.
Lembaga Penelitian SMERU
75
LAMPIRAN 6 Tabel A6. Perubahan Kondisi Fasilitas SD dan SMP Sampel di Desa Perlakuan dan Kontrol PKH Perdesaan dan Perkotaan Jawa Barat Kategori
Perlakuan
Kontrol
Nama Desa
Gegesik Kulon dan Jagapura Kidul
Susukan dan Tangkil
SD/SMP
Wilayah Perdesaan SDN 2 Renovasi ruang kelas & Gegesik penambahan WC SDN 2 Renovasi ruang kelas Jagapura Kidul SMPN 1 Ruang kelas dan ruang Gegesik laboratorium baru SMPN 2 Ruang kelas dan ruang Gegesik laboratorium baru SDN 1 Renovasi 3 ruang kelas Susukan Ruang perpustakaan baru SDN Tangkil dan renovasi ruang kelas SMPN 1 Susukan
Perlakuan
Kontrol
76
Mertasinga
Mundu Pesisir
Jenis Perubahan
Renovasi 5 ruang kelas dan 2 ruang laboratorium
Wilayah Perkotaan SDN 1 Renovasi 2 ruang kelas Mertasinga Penambahan ruang SMPN laboratorium dan ruang Mertasinga multimedia SDN 3 Mundu Renovasi 3 ruang kelas Pesisir Ruang laboratorium dan SMPN 1 multimedia dan 3 ruang kelas Mundu baru
Sumber Dana
Tahun
BOS
2009
APBD
2009
block grant dan komite
2008
DAK
2007
APBD Provinsi
2008
DAK
2008
Co-sharing (pusat dan kabupaten)
2009
Co-sharing
2008
APBD Provinsi
2007
DAK
2009
APBN
2008 & 2009
Lembaga Penelitian SMERU
LAMPIRAN 7 Tabel A7. Perubahan Kondisi Fasilitas SD dan SMP Sampel di Desa Perlakuan dan Kontrol PKH Perdesaan dan Perkotaan NTT Kategori
Nama Desa
SD/SMP
Sumber dana
Jenis perubahan
Tahun
Wilayah Perdesaan
Perlakuan PKH
Kontrol PKH
Oenai dan Falas
Biloto dan Bisene
SD GMIT Oenai
Renovasi kelas
BOS
SDN Fatubia
Renovasi 3 ruang kelas
SMP Satap Fatubia
Pembangunan perpustakaan
SMPN Oenai
Ruang kelas baru
SD GMIT Biloto
Renovasi WC
SD Inpres Bisene
1 ruang kelas baru dan renovasi 7 ruang
Sanggar Suara Perempuan DAK dan DBEP
SMPN Siso
3 ruang kelas baru
APBD
*)
2008/2009
Yayasan GMIT Bantuan Australia
2010 2009
-
2008 2009 2008 & 2009 2008 & 2009
Wilayah Perkotaan Perlakuan
Kontrol
Fatufeto
SD Inpres 2 Fatufeto
Tidak ada perubahan
-
-
SMPN 6 Kupang
Tidak ada perubahan
-
-
SDN Oeba 2
Tidak ada perubahan
-
-
SMPN 2 Kupang
Renovasi kelas dan ruang guru
BOS
2008
Todekisar
Keterangan: *) Alihfungsi ruang dari sebelumnya ruang guru menjadi ruang kelas
Lembaga Penelitian SMERU
77
LAMPIRAN 8 Tabel A8. Perubahan Kondisi Fasilitas Pendukung Sekolah Sampel di Desa Perlakuan dan Kontrol PKH Perdesaan dan Perkotaan Jawa Barat Kategori
SD/SMP
SDN 2 Gegesik
Perlakuan
Kontrol
2008 2007 & 2008
BOS
SMPN 1 Gegesik
Alat multimedia, buku, alat olahraga, alat kesenian dan drumband
SMPN Gegesik 2
Buku pelajaran UN
SDN 1 Susukan
Alat olahraga dan marching band
SDN Tangkil
Meja/kursi dan komputer Alat audiovisual, perpustakaan, parabola, TV Buku Wilayah Perkotaan Buku perpustakaan & paket, alat peraga Alat praktik, alat peraga, dan komputer
Block grant, APBD dan BOS BOS dan APBD Provinsi Komite sekolah dan BOS BOS SSNDepdiknas*) BOS
SMPN Mundu
Tahun
BOS
Meja dan kursi murid
SDN 1 Mertasinga SMPN Mertasinga SDN 3 Mundu Pesisir
Kontrol
Wilayah Perdesaan Komputer/printer, alat peraga, alat olahraga, dan alat pramuka
Sumber Dana
SDN Jagapura Kidul
SMPN 1 Susukan
Perlakuan
Jenis Perubahan
2009 2008 2008 & 2009 2009 2009
BOS
2008 & 2009
APBN
2008 & 2009
120 kursi dan 60 meja & buku
BOS
2008 & 2009
Buku pelajaran untuk UN
BOS
2008 & 2009
*)
Keterangan: SSN (Sekolah Standar Nasional) adalah salah satu kualifikasi sekolah yang ditetapkan Depdiknas.
78
Lembaga Penelitian SMERU
LAMPIRAN 9 Tabel A9. Perubahan Kondisi Fasilitas Pendukung Sekolah Sampel di Desa Perlakuan dan Kontrol PKH Perdesaan dan Perkotaan NTT Kategori
SD/SMP
SD GMIT Oenai Perlakuan
Jenis Perubahan Wilayah Perdesaan Alat peraga, bangun data matematika, alat musik/organ*) dan olah raga, buku pelajaran, lemari, meja dan kursi
SD Fatubia
Buku pelajaran, alat musik*)
SMP SATAP **) Fatubia
Tidak ada penambahan/perubahan
SMPN Oenai
SDN Biloto
2008 & 2009 2010 -
Lemari, meja/kursi, komputer , dan alat peraga
DBEP
2008 & 2009
Air bersih/PAM, buku pelajaran
LSM Sanggar Suara Perempuan & Plan International
2009
Kursi dan meja baru
DBEP
2007
Alat laboratorium Biologi Wilayah Perkotaan
DBEP
2008
SD Inpres 2 Fatufeto
Fasilitas air PAM & perpustakaan keliling
Komite sekolah
2008
SMPN 6 Kupang
Buku pelajaran, alat peraga & meja kursi
BOS Komite sekolah
SDN 2 Oeba
Keterangan:
Tahun
-
SD Inpres Bisene SMPN Siso
Kontrol
DBEP, Plan Interntional & BOS Plan International
*)
Kontrol
Perlakuan
Sumber Dana
SMPN 2 Kupang
Tidak ada perubahan Meja, kursi, alat laboratorium, media pembelajaran (TV, LCD, komputer), buku pelajaran cetak dan elektronik.
-
2007 & 2008/200 9 -
APBD Provinsi & BOS
2008 & 2009
*)
Fasilitas pendukung belum bisa dimanfaatkan karena tidak ada listrik.
**)
SMP baru berdiri pada tahun 2008, sehingga belum ada tambahan fasilitas pendukung.
Lembaga Penelitian SMERU
79