1
Studi Cost Benefit Tata Kelola Sampah di Darat dan di Laut Danang M. Pratomo, Firmanto Hadi, S.T., M.Sc. dan Siti Dwi Lazuardi, S.T Jurusan Teknik Perkapalan, Fakultas Teknologi Kelautan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 Indonesia e-mail:
[email protected]
Abstrak—Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Benowo merupakan satu-satunya tempat pemrosesan akhir sampah Kota Surabaya dengan luas wilayah 34,7 ha. Kapasitas eksisting TPA saat ini hanya bisa menampung sampah maksimal 1.200 ton/hari. Data jumlah penduduk Surabaya pada tahun 2012 mencapai 3,1 juta jiwa dan diproyeksikan akan mencapai 3,6 juta jiwa pada tahun 2022. Dengan begitu pada tahun 2012-2012 akan terjadi peningkatan pertumbuhan penduduk sebesar 16,6%. Hal ini menyebabkan perkiraan umur operasional TPA tidak akan lebih lama dari umur perencanaannya. Sebagai solusi untuk mengantisipasi keterbatasan lahan dan kapasitas TPA adalah dengan menggunakan Material Recovery Facilities (MRF) Apung. MRF Apung merupakan penerapan konsep MRF pada sebuah moda apung yang beroperasi di laut dengan radius pengolahan yang diijinkan dalam MARPOL 73/78 Annex V. Untuk mengetahui dampak dari pengoperasian dari MRF Apung dalam penelitian ini digunakan metode Cost – Benefit Analysis. Dimana setiap komponen biaya dan manfaatnya dihitung baik internal maupun eksternal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa total biaya yang diperlukan dalam pengolahan sampah di laut (MRF Apung) adalah sebesar 542,2 milyar rupiah. Manfaat dari konsep pengolahan sampah di laut adalah sebesar 54,7 milyar rupiah. Berdasarkan analisis biaya dan manfaat menunjukkan hasil dimana rasio B/C sebesar 0,10 yang berarti konsep MRF Apung tidak layak untuk dilaksanakan pada saat harga tanah masih senilai 1.5 juta rupiah per m2. Namun pada saat harga tanah telah mencapai 13,9 juta rupiah per m2 yang diestimasikan pada tahun 2021, maka alternatif pengolahan sampah dengan menggunakan MRF Apung akan layak dijalankan.
Kata Kunci—Sampah Kota, Kapasitas TPA, MRF Apung, Cost Benefit Analysis
I. PENDAHULUAN
K
ONDISI TPA di Surabaya ini sudah mengalami keterbatasan kapasitas sehingga tidak mampu lagi menampung sampah yang dihasilkan di kota Surabaya. TPA Benowo merupakan satu satunya tempat pemrosesan akhir sampah Kota Surabaya dengan luas area 34,7 ha [1]. Kapasitas eksisting TPA saat ini hanya bisa menampung sampah maksimal 1.200 ton/hari. Data jumlah penduduk Surabaya pada tahun 2012 mencapai 3,1 juta jiwa dan diproyeksikan akan mencapai 3,6 juta jiwa pada tahun 2022 [2]. Dengan begitu pada tahun 2012-2012 akan terjadi peningkatan pertumbuhan penduduk sebesar 16,6%. Hal ini
akan berdampak pada produksi jumlah sampah yang semakin meningkat. Sehingga akan menyebabkan perkiraan umur operasional TPA tidak akan lebih lama dari umur perencanaannya. Di TPA inilah sampah yang ditampung kemudian diolah secara land disposal (penyingkiran dan pemusnahan limbah ke dalam tanah). Namun sistem land disposal ini terdapat dampak pencemaran air tanah. Sehingga sistem pengolahan tersebut tidak baik untuk diterapkan secara terus menerus di kota Surabaya. Untuk membantu kinerja TPA Benowo, maka volume sampah yang masuk harus dikurangi. Pengurangan jumlah volume sampah yang masuk dapat dilakukan dengan adanya Material Recovery Facilities (MRF). MRF ini pada dasarnya berfungsi untuk mengurangi volume sampah yang masuk ke TPA dengan cara sampah tersebut diolah sehingga memilikki nilai yang lebih tinggi dari asalnya. Adanya MRF di darat memiliki masalah yang sama dengan adanya TPA di darat dari aspek lingkungan, sosial, dan faktor pembebasan lahan yang sukar didapat [3]. Hal ini memunculkan inovasi untuk mengintegrasikan MRF di atas kapal sehingga dampak sosial dan keterbatasan lahan dapat dikurangi. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian terhadap tata kelola sampah antara di darat dengan di laut. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui strategis kedepan nilai tambah atau seberapa besar biaya dan manfaat sesungguhnya yang dihasilkan dari dua pengelolaan tersebut. II. METODE PENELITIAN Metode pengumpulan data dalam penelitian adalah metode pengumpulan data secara langsung (primer), dan tidak langsung (sekunder). Pengumpulan data ini dilakukan dengan mengambil data terkait dengan permasalahan dalam penelitian. Tahap perhitungan dalam penelian ini adalah perhitungan setiap komponen yang berhubungan dengan biaya dan manfaat baik internal maupun eksternal dari pengoperasian pengolahan sampah apung. Tahap analisis dalam penelian ini meliputi analisis mengenai perbandingan manfaat dan biaya dari pengoperasian pengolah sampah apung. Dari analisis ini akan dihasilkan seberapa besar nilai rasio dari manfaat yang didapat dibanding biaya yang dikeluarkan.
2 III. ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Jenis Sampah yang Diolah Jenis sampah yang akan ditangani MRF Apung nantinya merujuk pada komposisi sampah di kota Surabaya. Komposisi terbanyak sampah berada pada jenis sampah basah. Sedangkan untuk sampah kering yang masih bisa dimanfaatkan seperti kertas, plastik, alumunium dan kaca akan dikirim ke MRF untuk dipilah dan diolah. Sampah yang memiliki nilai jual rendah seperti kain dan logam yang tidak dapat diproses kembali akan ditransfer ke TPA. Gambar 1 adalah persentase jumlah sampah yang diolah dari total keseluruhan sampah yang masuk.
8,57%
91,43%
Jumlah Sampah yang Diolah
Gambar. 3. Skema Mekanisme Pengolahan Sampah
C. Radius Pengolahan yang Diijinkan Peletakan lokasi area pengolahan merujuk pada aturan MARPOL 73/78 Annex V yakni minimal 12 nautical mil dari pantai terdekat. Pengolahan sampah dilakukan di area pada lokasi antara pulau Jawa dan di selatan pulau Madura dimana titik penempatan terlebih dahulu sudah diukur jarak miniman yang diijinkan dari pantai-pantai terdekat sehingga didapat lokasi seperti pada gambar berikut:
Tidak Diolah
Gambar. 2. Persentase Komposisi Sampah yang diolah MRF Apung
B. Jenis Pengolahan Sampah Proses pengolahan sampah yang dilakukan di dalam MRF dibagi menjadi dua jenis yaitu pengolahan sampah basah dan sampah kering dengan terlebih dahulu melewati proses pemilihan. Salah satu fokus utama untuk mereduksi jumlah sampah di dalam MRF adalah dengan jalan pengolahan sampah basah yang efektif. Karena sampah basah memiliki porsi paling besar dalam komposisi sampah kota Surabaya. Gambar 3 menunjukkan skema mekanisme pengolahan di MRF Apung. Secara rinci pengolahan MRF terdiri dari: a. Pengolahan sampah basah menjadi briket b. Pengolahan kertas menjadi bal c. Pengolahan plastik menjadi bal d. Pengolahan alumunium menjadi bal e. Pengolahan kaca menjadi bal f. Pengolahan kayu, kulit, residu kertas, residu plastik, residu alumunium, residu kaca menjadi briket
Gambar. 4. Lokasi untuk Area Pengolahan Sampah yang Dipilih
D. Konsep MRF Apung Konsep operasi MRF Apung ini dimulai dari sampah rumah tangga dari masing-masing kecamatan kota Surabaya diangkut menggunakan gerobak sampah menuju ke TPS. Dari tiap TPS di Surabaya, sampah diangkut dengan Compactor Truck menuju Depo Transfer. Sedangkang sampah lama dari TPA diangkut menggunakan Dump Trailer Truck. Selanjutnya sampah yang tekumpul di Depo Transfer akan dipindahkan di tongkang pengangkut sampah menuju MRF Apung di area pengolahan. Setelah sampah diproses menjadi produk dan residu, tongkang pengangkut produk akan mengangkut hasil olahan dan tongkang pengangkut sampah mengangkut residu yanh akan dibawa ke depo. Dari depo residu akan dibawa lagi ke TPA dengan menggunakan truk. Gambar 5 menunjukkan konsep operasi pengolahan sampah apung.
3 Sampah
INPUT Sampah Lama
Sampah Baru
TPA
Sampah Rumah Tangga
PROSES
Depo Transfer Produk/Residu MRF Apung
OUTPUT
Residu
Bal
Briket
16
Gambar. 5. Konsep Operasi Pengolahan
E. Perhitungan Operasional MRF Apung Perhitungan operasional MRF Apung meliputi jumlah sampah yang diolah (Tabel 1), perhitungan operasional moda laut (Table 2) dan perhitungan operasional moda darat (Tabel 3).
F. Perhitungan Biaya MRF Apung Dalam perhitungan biaya dan manfaat MRF Apung meliputi internal maupun eksternal. Terlebih dahulu dilakukan perhitungan biaya internal MRF Apung yang meiliputi biaya depo transfer, biaya trucking, biaya pengapalan, biaya MRF Apung dan biaya eksternal meliputi biaya emisi TPA, biaya ketidaknyamanan, dan biaya emisi pengangkutan. 1) Biaya Depo Transfer Biaya pembangunan depo transfer dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu: a) Biaya modal Biaya modal mencakup biaya pembangunan depo transfer, pembangunan dermaga untuk sandar kapal, dan alat bongkar muat. b) Biaya operasional Biaya operasional depo adalah biaya rumah tangga depo yang mencakup biaya penggunaan air, listrik, telepon, dan biaya gaji pegawai depo. Gambar 1 menunjukkan grafik total biaya depo transfer.
Tabel. 1. Jumlah Sampah yang Diolah Jumlah Sampah yang Diolah Total Ton Sampah yang dikelola (net)
1.337
ton/hari
Densitas
300
kg/m3
Total Volume Sampah yang dikelola (net)
4.458
m3/hari
Tabel. 2. Perhitungan Operasional Moda Laut Kapal
Tongkang Sampah+Residu
Jumlah armada Kapasitas muatan Docking Onhire Roundtrip Muatan (diangkut) Jumlah sampah (diangkut) Kapasitas (angkut) Utilisasi
Pengolah Apung
Tongkang Produk
1 2.000
1 2.700
1 2.000
20 345 344 559.923
20 345 345 720.37 3 418.92 3 720.37 3 58%
20 345 416 191.809
hari hari kali/th ton/th
418.923
ton/th
831.927
ton/th
418.923 688.324 61%
50%
Tabel. 3. Perhitungan Moda Darat Moda Darat Truk Pengangkut sampah TPA + Residu Onhire
345
hari
Ritasi per hari
5
rit/hari
Ritasi per tahun
1725
rit/tahun
Kapasitas Angkut
30
ton
Kapasitas angkut/tahun
103.500
ton/tahun
Muatan terangkut/tahun
101.506
ton/tahun
2
Unit Truck Utilisasi
Keterangan
98%
unit %
unit ton
%
Gambar. 1. Grafik Total Biaya Operasional Depo Transfer
2) Biaya Trucking Biaya sewa truk bisa dikategorikan menjadi 2, yaitu: a) Biaya sewa Biaya sewa ini adalah biaya untuk menyewa truk atau disebut trucking yang digunakan untuk pengangkutan sampah TPA dan residu. b) Biaya perjalanan Biaya perjalanan yaitu biaya bahan bakar yang ditanggung pihak penyewa. Biaya bahan bakar dihitung dengan memperhitungkan konsumsi bahan bakar truk ketika beroperasi. c) Biaya operasional Biaya operasional kapal terdiri dari biaya gaji sopir dan crew yang mengoperasikan truk, dan biaya perawatan truk. Gambar 2 yang menunjukkan grafik total biaya trucking.
4
Gambar. 4. Total Biaya MRF Apung Gambar. 2. Grafik Total Biaya Trucking
Pada tahun 2022 grafik total biaya trucking menunjukkan kenaikan yang signifikan, hal ini disebabkan adanya penambahan armada dari sebelumya tahun 2012-2021 berjumlah 2 unit bertambah menjadi 3 unit di tahun 2022 untuk menangani jumlah sampah yang semakin meningkat. 3) Biaya Shipment (Pengapalan) Biaya pengapalan digolongkan menjadi 4 biaya [4], yaitu: 1. Biaya sewa 2. Biaya operasional 3. Biaya pelayaran 4. Biaya bongkar muat Dalam perencanaan Pengolah Sampah Apung ini, biaya bongkar muat tidak termasuk dalam komponen biaya. Hal tersebut disebabkan karena kapal melakukan aktivitas bongkar di terminal milik sendiri sehingga tidak ada biaya bongkar muat. Gambar 3 menunjukkan perhitungan biaya pengapalan. Pada grafik tersebut memperlihatkan tren biaya yang menurun setiap tahunnya, hal ini disebabkan jumlah sampah yang semakin meningkat berdampak pada waktu roundtrip yang bertambah sehingga jumlah roundtrip per tahun menjadi lebih sedikit.
5) Biaya Emisi TPA Sampah yang ditimbun setiap harinya di TPA menjadi salah satu penyebab dari timbulnya polusi udara yaitu dengan terlepasnya metana dari proses anaerobik ke udara. Emisi metana yang ditimbulkan dari penimbunan sampah di TPA dapat dihitung dengan metode yang terdapat pada Clean Development Mechanism (CDM) [5]. Gambar 5 menunjukkan perhitungan biaya emisi TPA.
Gambar. 5. Biaya Emisi TPA
6) Biaya Dampak Ketidaknyamanan Dampak Ketidaknyamanan (Disamenity Impact) yang dimaksud adalah ketidaknyamanan yang berhubungan dengan keberadaan maupun pengoperasian dari TPA. Istilah ketidaknyamanyan meliputi dampak seperti kebisingan, debu sampah, bau, adanya hama, gangguan visual, persepsi risiko terhadap kesehatan manusia karena letaknya dekat dengan TPA [6]. Gambar 6 menunjukkan perhitungan biaya ketidaknyamanan.
Gambar. 3. Biaya Pengapalan
4) Biaya MRF Apung Biaya MRF Apung dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu: 1. Biaya modal MRF Apung 2. Biaya operasional MRF Apung 3. Biaya produksi MRF Apung Gambar 4 menunjukkan grafik total biaya MRF Apung. Gambar. 6. Biaya Dampak Ketidaknyamanan
7) Biaya Emisi Pengangkutan
5 Banyaknya emisi karbon dapat dihitung menggunakan perhitungan Energi Panas/Satuan berat bahan bakar dan Kandungan CO2/ Satuan energi. Sehingga didapatkan 1 Liter solar menghasilkan 2848,32 gram CO2, 1 Liter MFO menghasilkan 3253,453 gram CO2 [7]. Gambar 7 menunjukkan perhitungan biaya emisi pengangkutan. Pada tahun 2022 grafik menunjukkan kenaikan yang signifikan, hal ini disebabkan adanya penambahan armada darat dari 2 menjadi 3 unit sehingga jumlah emisi yang dihasilkan semakin meningkat. Gambar. 8. Grafik Penghematan Biaya Kebutuhan Lahan
Gambar. 7. Biaya Emisi Pengangkutan
8) Asumsi-Asumsi Pokok Asumsi-asumsi pokok yang digunakan dalam perhitungan Ini disajikan dalam Tabel 4. Tabel. 4. Asumsi-Asumsi Pokok Item Nilai 345 Onhire MRF Apung 10 Umur Operasional MRF Apung 65.000 Provision 8.360 Harga MFO 9.955 Harga MDO 12.000 Harga Air Tawar 10,50 Tingkat suku bunga 100 Skema pinjaman 10 Lama angsuran
2. Penghematan Biaya Dampak Kesehatan Penghematan biaya dampak kesehatan dapat dihitung dengan total biaya dampak kesehatan dengan memakai konsep kondisi eksisting dikurangi biaya dampak kesehatan setelah pengoperasian MRF Apung. Biaya dampak kesehatan dapat dihitung dengan mengalikan jumlah kasus penyakit akibat penimbunan sampah di TPA dengan Tarif Indonesian - Case Based Groups (Tarif INA – CBGs). Tarif INA – CBGs adalah besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan atas paket layanan yang didasarkan kepada pengelompokan diagnosis penyakit [8]. Gambar 9 menunjukkan perhitungan penghematan biaya dampak kesehatan.
Satuan Tahun Tahun Rp/orang/hari Rp/liter Rp/liter Rp/m3 % % Tahun
9) Manfaat MRF Apung 1. Penghematan Biaya Kebutuhan Lahan Penghematan kebutuhan lahan dihitung dari selisih antara lahan yang dibutuhkan dalam pengelolaan sampah di darat dibandingkan dengan kebutuhan lahan setalah menggunakan MRF Apung. Gambar 8 menunjukkan grafik total manafaat penghematan dari kebutuhan lahan. Pada tahun awal grafik manfaat penghematan menunjukkan nilai negatif hal ini dikarenakan kebutuhan awal lahan untuk membangun depo transfer.
Gambar. 9. Grafik Penghematan Biaya Dampak Kesehatan
3. Penambahan Nilai Sampah Penambahan nilai sampah setelah diolah didapat dengan memvaluasi nilai produk hasil olahan sampah menurut jenis produk dan harga yang ada di pasaran. Dengan menggunakan harga komponen sampah kering yang dapat didaur ulang yang berlaku di Kota Surabaya, nilai ekonomi sampah di Kota Surabaya dapat diperkirakan. Estimasi nilai jual jenis sampah kering, yang terdiri atas plastik, kertas, kaca/gelas, dan logam sebesar Rp. 337.050.000/hari. Untuk mengetahui nilai tambah sampah setelah melalui proses pengolahan di MRF Apung yaitu dengan mengalikan total berat masing-masing jenis produk olahan dengan estimasi nilai jual jenis sampah. Khusus briket jenis biobriket harga yang ada di pasaran adalah 3000 rupiah per kilogram. Gambar 10 menunjukkan hasil perhitungan nilai tambah sampah setelah diolah di MRF Apung.
6 IV. KESIMPULAN
Gambar. 10. Grafik Penambahan Nilai Sampah
4. Benefit Cost Ratio Berdasarkan hasil perhitungan manfaat MRF Apung didapatkan total manfaat sebesar Rp. 54,7 milyar/tahun. Sedangkan hasil perhitungan biaya MRF Apung didapatkan total biaya sebesar Rp 542,2 milyar/tahun. Setelah didapat hasil perhitungan dari masing-masing komponen manfaat dan biaya maka langkah terakhir dari analisis ini adalah menentukan nilai benefit – cost ratio (BCR), dimana dari perhitungan sebelumnya seluruh analisis diekivalenkan ke dalam nilai sekarang(present value) tahun 2013 dengan tingkat suku bunga sebesar 10,50%, inflasi diabaikan dan 10 tahun umur perencanaan operasional sehingga diperoleh nilai rasio B/C sebesar 0,10. Karena nilai BCR < 1 maka bisa disimpulkan bahwa MRF Apung tidak layak dijalankan untuk saat ini. 5. Analisis Sensitivitas Analisis sensisitivitas dilakukan untuk mengetahui variable yang mempengaruhi biaya operasional pengelolaan sampah di darat dengan di laut. Variable yang berpengaruh pada biaya operasional kedua pengelolaan sampah tersebut adalah harga tanah seperti yang ditunjukkan pada Gambar 11.
Pengoperasian pengelolaan sampah yang mengintegrasikan MRF dengan kapal atau disebut MRF Apung dapat diterapkan sebagai salah satu solusi penanganan sampah perkotaan di Surabaya. Teknologi yang digunakan bertujuan mereduksi jumlah sampah dengan cara diolah sebelum dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA), sehingga dapat mengurangi kebutuhan lahan, dampak lingkungan dan sosial. Berdasarkan analisis biaya dan manfaat menunjukkan hasil dimanan rasio B/C sebesar 0,10 yang berarti konsep MRF Apung tidak layak untuk dilaksanakan pada saat harga tanah masih senilai 1.5 juta rupiah per m2. Namun pada saat harga tanah telah mencapai 13,9 juta rupiah per m2 yang diestimasikan pada tahun 2021, maka alternatif pengolahan sampah dengan menggunakan MRF Apung akan layak dijalankan. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak yang telah membantu proses penelitian ini. Kepada Allah SWT, kepada keluarga, kepada Dosen pembimbing 1 (Firmanto Hadi, ST., M.Sc.) dan Dosen pembimbing 2 (Siti Dwi Lazuardi S.T.), Dosen dan Karyawan Jurusan Teknik Perkapalan dan Jurusan Transportasi Laut, teman-teman Laksamana P-49 serta Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Surabaya, Dinas Kebersihan dan Pertamanan Surabaya dan UPTD TPA Benowo atas semua bantuan dan dukungan yang diberikan terkait penyelesaian artikel ilmiah ini. DAFTAR PUSTAKA [1]
[2]
[3] [4] [5]
[6]
[7] Gambar. 11. Grafik Hubungan Harga Tanah terhadap Biaya Pengelolaan Sampah
Berdasarkan grafik tersebut dapat diketahui bahwa biaya pengelolaan sampah di laut pada awalnya akan lebih besar dibanding dengan pengelolaan sampah di darat pada kondisi eksisitng. Namun pada saat harga tanah mencapai 13,9 juta rupiah per m2 (tahun 2021), maka alternatif pengolahan sampah dengan menggunakan MRF Apung akan layak dijalankan.
[8]
Kelompok Kerja Sanitasi Kota Surabaya. 2011. Memorandum Program Sektor Sanitasi Kota Surabaya 2011. Surabaya: Kelompok Kerja Sanitasi Kota Surabaya. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya, “Proyeksi Kependudukan Kota Surabaya,” Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya, Surabaya, 2012. Muafaq, “Desain Konseptual Sistem Pengolah Sampah Apung,” ITS, Surabaya, 2014 Wijnolst, N., & Wergeland, T. . 1997. Shipping. Netherlands: Delft University Press Shailesh, “How do Municipal Solid Waste Disposal Sites Emit Methane?,” 27 Februari 2013. [Online]. Available: http://greencleanguide.com/2013/02/27/how-municipal-solid-wastedisposal-sites-emit-methane/. G. Turner, D. Handley, J. Newcombe dan E. Ozdemiroglu, “Valuation of the external costs and benefits to health and environment of waste management options,” Defra, London, 2004. A. E. Prasetyo, “Analisis Pemindahan Moda Angkutan Barang di Jalan Raya Pantura Pulau Jawa : Studi Kasus Koridor Surabaya – Jakarta,” ITS, Surabaya, 2013. Menteri Kesehatan Republik Indonesia, “Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 2013,” Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, 2013.