STUDI ANALISIS TENTANG HERMENEUTIK SEBAGAI CIKAL BAKAL LAHIRNYA METODOLOGI PENAFSIRAN AL-QUR’AN
Nasaiy Aziz Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry Kopelma Darussalam, Kota Banda Aceh Email:
[email protected]
ABSTRACT From religious as well as historical authenticity perspective, altering materials in the Qur’anic mushaf (its letter, word, sentence, verse (ayah) or chapter (surah) is forbidden since it might doubt the authenticity of the mushaf. The method of interpretation is allowed to use only in terms of looking for its spiritual meaning, although it might also affect on the text of the mushaf. This paper will explore further the method of interpretation (hermeneutic) of the Qur’an. Kata Kunci: Hermeneutik, Interpretasi, al-Qur’an
PENDAHULUAN Walaupun tetap menarik untuk dicermati pengamatan para pakar yang mengatakan bahwa “human science” hanya ada tiga kemungkinan, yaitu ilmu sosial empiris, deskriptif, dan hermeneutis, tetapi penulis ingin memulai pembicaraan tema ini dengan mengutip pendapat Richad J. Bernstein,1 yang mengatakan bahwa abad kita adalah abad interpretasi, sebab pertanyaan mendasar tentang setiap kebudayaan menyangkut persoalan hakikat, strategi, dan konsekuensi-konsekuensi interpretasi. Mengapa hermeneutika menjadi sangat penting dalam abad ini? Ada berapa argumen yang diketengahkan? Makna hermeneutika bagi ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu kemanusiaan menjadi menarik manakala pada abad XIX muncul masalah baru tentang karakteristik dan tata-hubungan antara Naturwissenschaften (ilmu-ilmu kealaman) dan Geisteswissenscahaften (ilmu-ilmu kehidupan). Dari perdebatan antara kedua bidang ilmu ini kemudian muncul suatu kesadaran historis baru bahwa telah terjadi kesalahan yang sangat fundamental yang disebabkan oleh imperialism intelektual, yakni ilmu-ilmu alam (natural sciences) dianggap sebagai satu-satunya model eksplansi dan metodologi bagi seluruh legitimasi ilmiah dan klaim kognitif. Dilthey yang berjasa besar menunjukkan bahwa Geisteswissenscahaften memiliki integritas dan otonomi sendiri, artinya bahwa metode dan pengetahuan yang dicapainya tidak direduksikan dari aturwissenschaften. Geisteswissenscahaften memiliki seni pemahaman dan interpretasi yang kemudian disebut hermeneutika. _____________ 1
Richard J. Bernstein, Hermeneutiecs and The Tradition (Washington, DC: The American Catholic Philosofical Assocation, 1958), 58. Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012
15
Jadi hermeneutika bukan lagi hanya dipandang sebuah disiplin filologi tetapi hermeneutika memberikan model pemahaman tentang kehidupan manusia. Terlepas dari suara skeptis dan kritis, usaha Dilthey mendapat sambutan luar biasa dari para ilmuan sosial. Charles Taylor2 dalam salah satu artikelnya Interpretation and the Srinces of Man menyatakan, bahwa ilmu-ilmu sosial yang naturalistik dan positivistik harus dikoreksi. Ia beranggapan bahwa pemahaman dan interpretasi atas aktivitas manusia memerlukan intersubjektivitas, maknamakna umum, dan ini memerlukan hermeneutika atau metode penafsiran kontemporer. Dalam bidang antropologi budaya misalnya tercatat salah satu tokoh terkenal, yaitu Clifford Geertz yang sudah mempraktekkan pendekatan lingkaran hermeneutika dalam penelitiannya. Geertz mengatakan bahwa hermeneutika digunakan untuk a continuous tasking between the most local detail and the most global of global structure in such a way bring both into new view simultaneously. 3 Thomas Khun, seorang ahli fisikawan dalam karyanya The Essential Tension4 menunjukkan, bahwa walaupun dalam karya-karya awalnya tidak pernah disebut hermeneutika, tetapi akhirnya ia menyadari bahwa hermeneutika sangat penting dan berpengaruh dalam menyusun pandangannya yang baru tentang ilmu pengetahuan. PENGERTIAN HERMENEUTIKA Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneuin, diterjemahkan “menafsirkan dan menginterpretasikan,” kata bendanya hermeneuia artinya “tafsiran”.5 Dalam tradisi Yunani kuno, kata hermeneuin dan herneuia dipakai tiga makna, yaitu (1) mengatakan (to say), (2) menjelaskan (to explain), dan (3) menerjemahkan (to translate). Tiga makna inilah yang dalam kata Inggris diekspresikan dalam kata interpret. Dengan demikian, interpretasi menunjukkan pada tiga hal pokok: pengucapan lisan (an oral recitation), penjelasan yang masuk akal (a reasonable explantion), dan terjemahan dari bahasa lain (a translation from another language).6 Aristoteles dalam Organon menggunakan kata peri hermeneias on interpretion.7 Istilah Yunani ini mengingatkan pada tokoh mitologis yang bernama Hermes, yaitu seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan kepada manusia. Tugas Hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dari Dewa di Gunung Olympus ke dalam bahasa yang dimengerti manusia. Oleh karena itu, fungsi Hermes adalah penting sebab bila terjadi kesalahpahaman tentang pesan dewa-dewa akibatnya akan fatal bagi seluruh umat manusia. Hermes harus mampu menginterpretasi atau menyampaikan sebuah pesan ke dalam bahasa yang dipergunakan oleh pendengarnya.8 _____________ 2
Charles Taylor, Interpretation and the Srinces of Man (Colombiya: University of California,1979), 25. 3 Richard J. Bernstein, Hermeneutiecs and The Tradition, 62. 4 Thomas Khun, The Esential Tension: Slected Studies in Scientific Tradition and Change (Chicago: The University of Chicago Press, 1977), xvii-xx. 5 James M. Roninson, “Hermeneutic Since Barth” dalam The New Hermeneutic, ed. JM Robinson dan John B. Cobb (New York: Harper and Row Publisher, 1964), 1. 6 Palmer, Hermeneutics (Evanston, USAA : Northwestern University Press, 1980), 12. 7 Palmer, Hermeneutics, 13-14. 8 Haryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1993), 23. 16
NASAIY AZIZ: STUDI ANALISIS TENTANG HERMENEUTIK …
Sebenarnya hermeneuia memiliki pengertian yang cukup luas yang mencakup pembicaraan, penjelasan tentang sesuatu yang belum jelas menjadi jelas dengan menggunakan ekspresi bahasa, penerjemahan dari sesuatu ke bahasa lain, dan penafsiran (commentary, exegesis), mengeksplisitkan makna yang samarsamar dengan bahasa yang lebih jelas.9 Pengertian terakhir inilah yang kemudian lebih dikenal dibandingkan dengan yang lain. Meskipun terdapat sinonim antara hermenuia atau hermeneutika dengan exegesis, tetapi pada hakekatnya terdapat perbedaan, yakni yang pertama menunjukkan teori atau metodologi penafsiran dan yang terakhir berkaitan dengan aspek praktisnya. Yang pertama adalah exegesis theoretica dan yang terakhir adalah exegesis practica.10 Dalam perkembangannya, kata hermeneutika sekurang-kurangnya memperoleh enam makna. Pertama, hermeneutika berarti teori mengenai tafsir alkitab, artinya hermeneutika menunjuk kepada prinsip-prinsip dasar dalam menafsirkan al-kitab. Pengertian ini pertama kali diperkenalkan ol eh J.C. Dannhauer dalam bukunya Hermeneutica Sacra Sive Methodus Exponendarum Sacrarum Litterarum. Kedua, hermeneutika sebagai metodologi filologi. Disini hermeneutika dianggap sebagai the methods of biblical hermeneutics yang pada dasarnya sinonim dengan teori tentang interpretasi, misalnya dipakai dalam menafsirkan teks-teks klasik dengan tokoh-tokoh utama, misalnya Friedrich August dan Friederich Ast. Ketiga, hermeneutika sebagai ilmu tentang pemahaman linguistik (linguistik understanding). Dalam hal ini Schleiermacher membedakan hermeneutika sebagai ilmu dan sebagai seni pemahaman. Disini hermeneutika memberikan semacam prinsip-prinsip dasar bagi semua penafsiran teks. Inilah awal yang menandai hermeneutika sebagai suatu studi pemahaman dalam arti yang umum. Keempat, hermeneutika sebagai dasar metodologi bagi Geisteswissenscahaften. Wilhelm Dilthey adalah filosof yang memperkenalkan hermeneutika sebagai disiplin yang memfokuskan pada pemahaman mengenai seni, aktivitas-aktivitas dan karya-karya manusia. Dilthey-lah yang memformulasikan hermeneutika sebagai metodologi humanistik bagi ilmu-ilmu kemanusiaan. Kelima, hermeneutika sebagai fenomenologi tentang dasein dan pemahaman eksistensial. Pengertian ini diperkenalkan oleh Martin Heidegger dalam bukunya Being and Time. Dalam buku ini Heidegger menyatakan bahwa analisis being and time adalah sebuah hermeneutika tentang dasein. Keenam, hermeneutika sebagai sistem interpretasi fenomenologi, sebagaimana dimaksud Paul Ricoer dalam karyanya De I’interpretation, di sini hermeneutika dipakai sebagai metode penafsiran bagi ilmu-ilmu sosial.11 BENTUK-BENTUK PENAFSIRAN AL-QUR’AN KONTEMPORER Pembaruan mendasar dalam penafsiran al-Qur’an yang terjadi dalam tiga dekade terakhir, ditengarai dengan adanya perbedaan episteme12 atau paradigma13 _____________ 9
Haryono, Hermeneutik..., 2-10. James M. Robinson, The New Hermeneutic, 10. 11 James M. Robinson, The New Hermeneutic, 34-35. 12 Mohammad Arkoun, Nalar Islami Nalar Modern, terj. Rahayu S. Hidayat (Jakarta: INIS, 1994), 21. 13 Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), 225-226. 10
Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012
17
yang mendasari episteme kontemporer ditandai dengan kesadaran adanya kesejarahan nalar.14 Karakteristik tipikal ini secara terang diakui mampu menawarkan penafsiran al-Qur’an yang menyentuh realitas masyarakat yang sedang berubah. Metode penafsiran kontemporer yang tidak mampu mengantarkan manusia ke arah eksistensial, justru dipertanyakan keabsahannya. Oleh karena itu, upaya-upaya reinterpretasi al-Qur’an selalu menyentuh karakteristik di atas secara niscaya. Walaupun sejarah perkembangan penafsiran kontemporer dapat dilacak sampai ke Yunani Kuno, misalnya dalam karya-karya Aristoteles, tetapi dalam pembahasan di sini difokuskan pada penjelasan bentuk-bentuk metode penafsiran abad XX atau sering disebut hermeneutika kontemporer. Hermeneut ika kontemporer atau penafsiran kontemporer sekurang-kurangnya dapat dibedakan dalam tiga jenis, yakni metode penafsiran sebagai teori, metode penafsiran sebagai filsafat, dan metode penafsiran sebagai kritik. Metode Penafsiran Kontemporer sebagai Teori Metode penafsiran kontemporer sebagai teori atau teori hermeneutika memfokuskan pada problematika teori umum tentang interpretasi sebagai metodologi ilmu-ilmu kemanusiaan (Geisteswissenscahaften, termasuk ilmu-ilmu sosial). Metode verstehen (pemahaman) dianggap sebagai metode yang cocok untuk mengungkapkan kembali pengalaman dan pemikiran tentang apa yang dirasakan dan apa yang dipikirkan pengarang secara original.15 Teori hermeneutika membahas permasalahan bagaimana membuat sesuatu interpretator dan membuat patokan interpretasi. Asumsi dasar teori hermeneutika adalah sebagai pembaca teks tidak memiliki akses langsung kepada penulis atau pengarang teks, karena perbedaan ruang, waktu dan tradisi. Pengekspresian diri dalam bahasa teks, dengan demikian ada makna subjektif. Masalahnya bagaimana membawa keluar makna subjektif sebagai ekspresi objektif kepada orang lain. Boleh dikatakan, bahwa hermeneutika adalah mengungkapkan horizon masa lalu kepada dunia masa kini. Pemikir yang mengembangkan teori hermeneutika adalah Wilhelm Dilthey dan Emilio Betti. Sesudah kematian Schleiermacher tahun 1883, proyek pengembangan hermeneutika umum menjadi agak kendor. Dalam periode ini memang ada beberapa tokoh yang memberikan perhatian kepada hermeneutika seperti Von Humboldt, Heymarin Steinthal, August Bockh, dan lain-lain, tetapi hermeneutika kembali digunakan untuk disiplin khusus seperti dalam filologi. Barulah kemudian muncul seorang filosof dan ahli sejarah Wilhelm Dilthey, yang kembali melihat hermeneutika sebagai dasar bagi Geisteswissenscahaften, yang mencakup ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora) dan ilmu-ilmu sosial. Tujuan Dilthey mengembangkan teori hermeneutika adalah di samping untuk menemukan suatu vadilitas interpretasi yang obyektif terhadap expression of inner life (ekspresiekspresi kehidupan batin), juga sebagai reaksi dan cara berpikir ilmu kealaman. Meneruskan pandangan idealisme kritis Kant, Dilthey tidak termasuk ke dalam Neo-Kantian, yang menulis Cristique of Pure Reasen sebagai dasar epistemologi bagi ilmu-ilmu kemanusiaan. Problem pemahaman manusia bagi _____________ 14
Mohammad Arkoun, Nalar Islami Nalar Modern, 31. J. Bleicher, Contemporary Hermeneutics, Routletge & Kegen Paul (London: London University Press, 1980), h. 1 15
18
NASAIY AZIZ: STUDI ANALISIS TENTANG HERMENEUTIK …
Dilthey adalah recovering a consciousness terhadap suatu historikalitas (Geschich-tlichkeif). Pandangan Dilthey tentang sejarah berangkat dari proposisi, bahwa siapa manusia di sini? Jawaban Dilthey sangat penting untuk memahami teorinya tentang metode penafsiran kontemporer. Pertama, manusia dalam memahami dirinya tidak melalui introspeksi, tetapi melalui objektivikasi hidup, sejarah what man Islam only historis can tell him. Oleh karena itu manusia tidak dapat memahami dirinya secara langsung, tetapi melalui aktivitas penafsiran kontemporer. Kedua, hakikat manusia bukan suatu a fixed essence. Dalam hal ini Delthey setuju dengan Nietzsche bahwa man Islam the “not-yet –determinited anmal” (noch nichfestgestelle Tier). Manusia tidak atau belum ditentukan akan menjadi apakah dia, apa yang dapat ia kerjakan adalah menunggu keputusan sejarah. Konsekuensi dari pandangan ini adalah bahwa manusia tidak bisa lari dari sejarah. Untuk apakah ia dan apakah ia ada dalam dan melalui sejarah, the totality of man’s nature Islam only history.16 Dalam The Introduction of the Human Sciences, Dilthey menunjukkan bahwa untuk mengetahui dunia kemanusiaan pada umumnya harus melalui an act of interpretation, a hermneutic act (aktivitas interpretasi). Dalam ilmu-ilmu sosial, hidup dan pengalaman mengatasi investigasi, empiris, tetapi tidak demikian halnya dengan ekspresi kehidupan dan pengalaman. Produk-produk pengalaman manusia, kata Dilthey termasuk arsitektur, sistem-sistem hukum, dokumendokumen seperti juga konsepsi musik, boleh dipandang teks dan harus diinterpretasi.17 Tujuan seluruh pemikiran Dilthey adalah memungkinkan metode memperoleh interpretasi yang secara objektif sah, tentang ekspresi-ekspresi kehidupan batin. Interpretasi adalah kegiatan memecahkan arti tanda-tanda ekspresi yang merupakan manifestasi hidup atau kegiatan jiwa. Proses memahami, bagi Dilthey tidak dapat dirumuskan ke dalam peraturan karena proses verstehen bukanlah suatu proses logis semata. Sebagai seorang sejarawan hukum, ketertarikan Betti terhadap penafsiran kontemporer bukan muncul dari keinginan filosofis untuk menemukan kebenaran dalam karya-karya seni seperti Gadamer, atau ingin menemukan suatu pemahaman tentang hakikat. Ada seperti Heidegger atau ingin menemukan makna dari kitab suci seperti Bultman dan Ebeling. Betti menginginkan suatu model penafsiran dalam ilmu-ilmu kemanusiaan dan untuk memperluaskan prinsipprinsip dasar dengan menginterpretasikan aktivitas manusia dan objek-objeknya.18 Betti mencoba untuk menyusun suatu prinsip penafsiran dengan segala objeknya, dengan membidik suatu objektivitas. Hal ini bukan berarti ia meniadakan atau mengabaikan subjek sebagai penafsir, tetapi ia menandaskan bahwa objek tetap objek, objek pada hakikatnya otonom, karena suatu bentuk penafsiran yang sah secara objektif tentang objek tersebut dapat diusahakan. 19 Dalam hal ini Betti membedakan antara sinngebung (memberi arti pada objek).20 Menurut Betti pemikir-pemikir Jerman arahnya masih kepada sinngebung. _____________ 16
Palmer, Hermeneutics, 115-117. Palmer, Hermeneutics, 118. 18 Palmer, Hermeneutics, 56. 19 Palmer, Hermeneutics, 149. 20 Palmer, Hermeneutics, 56. 17
Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012
19
Mengikuti pandangan revolusi copernikan kedua dari Kant, Betti berpendapat, bahwa pengetahuan pada hakikatnya bukanlah cermin pasif realitas, tetapi objek-objek ditentukan oleh bagaimana memahaminya,21 maka penafsiran pun tidak bersifat pasif, melainkan senantiasa bersifat rekognitif dan rekonstruktif serta melibatkan pengalaman penafsir tentang dunia, titik berdiri penafsir dan minatnya pada masa kini. Metode Penafsiran Kontemporer sebagai Filsafat Filsafat penafsiran kontemporer tidak bertujuan untuk menemukan suatu pengetahuan objektif dengan prosedur metodologis umum, tetapi merupakan sebuah eksplisitasi dan historitasnya. Filsafat penafsiran kontemporer diperkenalkan Heidegger yang kemudian popular dengan sebutan penafsiran kontemporer eksistensial-ontologis. Dalam karya terbesarnya Sein und Zeit (Ada dan Waktu, Being and Time), Heidegger menandaskan bahwa ontologi tentang dasein membawa kepada ilmu tentang interpretasi. Analisis utama dalam buku ini adalah suatu pembedahan ontologis (the ontological different) antara sein (being, ada) dengan seindes (ada khusus), tetapi perhatian ulama interpretasi eksistensialontoligis tetap masalah sein.22 Metode Penafsiran Kontemporer sebagai Kritik Kritik penafsiran kontemporer memberikan reaksi hebat terhadap asumsiasumsi idealis baik teori penafsiran kontemporer maupun filsafat penafsiran kontemporer yang menolak pertimbangan–pertimbangan ekstra-linguistik sebagai faktor yang ikut membentuk dan menentukan konteks pikiran dan aksi, seperti kerja dan kekuasaan. Tokoh terpenting penyokong penafsiran kontemporer kritik adalah Habermas berhasil memadukan sebuah metode dan pendekatan objektif dengan usaha pengetahuan yang praktis relevan. Kritik hermeneutika lebih banyak memperhatikan faktor bahasa dan aspek-aspek ideologis dalam penafsiran. Pembicaraan penafsiran kontemporer Habermas dapat dimulai dari skematisasi Habermas tentang ilmu pengetahuan dilihat dari segi konteks eksistensi manusia yang sosial dan historis. Uraian berikut ini mengacu pada tulisan Rick Roderick Habermas and the Foundation of Critical Theory dan makalah Sastrapatedja Beberapa Aspek Perkembangan Ilmu Pengetahuan. Manusia mengorganisir pengalamannya menurut kepentingan kognitif (kognitif interest). Habermas mengatakan bahwa kepentingan kognitif memiliki fungsi transendental tetapi timbul dari tatanan aktual hidup manusia. Secara singkat dapat dirumuskan manusia memiliki tiga kepentingan kognitif yaitu teknis, praktis dan emansipatoris. Tiga kepentingan ini menjadi kondisi yang memungkinkan tiga ilmu pengetahuan, empiris analitis, historis hermeneutis dan kritis. Ketiga kategori ilmu pengetahuan ini berperan mensistematisir dan memformulakan yang dituntut oleh kegiatan dasar manusia yaitu mengendalikan lingkungan luar, berkomunikasi dan berefleksi yang dibutuhkan bagi kelangsungan eksistensi manusia. Ilmu-ilmu alam secara fundamental dan struktural diarahkan pada produksi pengetahuan teknis. Ilmu pengetahuan historis-penafsiran kontemporer mencoba menangkap penafsiran terhadap kenyataan dengan tujuan menciptakan _____________ 21
J. Blecher, Contemporary Hermeneutics, 20. Palmer, Hermeneutics, 98-99.
22
20
NASAIY AZIZ: STUDI ANALISIS TENTANG HERMENEUTIK …
pemahaman inter subjektif-timbal balik. Catatan penting mengenai ilmu-ilmu historis - penafsiran kontemporer terkait dengan kepentingan, yaitu kepentingan manusia untuk mencari saling pengertian dan kesepakatan sehingga konflik interpretasi dan kesalahpahaman dapat diatasi. Peranan ilmu historis penafsiran kontemporer mencegah ilmu-ilmu empiris-analitis dari bahaya determenisme atau naturalisme yang berlebihan. Disamping itu mencegah ilmu-ilmu sosial kritis dan bahaya rasionalisme dan kritisisme yang tanpa arah.23 VALIDITAS DAN KAIDAH PENAFSIRAN Mempelajari penafsiran kontemporer sebagai metode keilmuan tentu akan menimbulkan pertanyaan, antara lain sejauhmana validitas penafsiran kontemporer sebagai metode? Kalau masing-masing interpretator memiliki kemampuan penafsiran kontemporer yang tidak sama karena perbedaan latar belakang sejarah, budaya, bahasa, dan konteks tertentu, bagaimana dicapai suatu kebenaran dengan pendekatan penafsiran kontemporer? Walaupun Gadamer dalam buku Truth and Method bagian final menyatakan, bahwa penafsiran kontemporer dianggap sebagai sebuah “disiplin” dan ia mengklaim ada suatu universal hermeneutics, tetapi banyak pemikir yang menyangkal pandangan Gadamer tersebut. Hirch dalam bukunya Validiti in Interpretation24 berpendapat, bahwa penafsiran kontemporer sebagaimana cabang ilmu pengetahuan yang lain, hasil-hasil yang dicapainya tidak lebih dari probability judgments: an interpretative hypothesis is ultimately a probability judgments that Islam supported by evidence. Persoalan selanjutnya yang amat penting adalah bagaimana seharusnya sikap penafsir dalam menafsirkan sebuah karya atau data. Gadamer dalam Madison,25 memberikan beberapa kriteria sebagai kaidah dasar dalam penafsiran. Pertama, penafsiran harus koheren, artinya menafsirkan sebuah karya harus koheren dalam dirinya sendiri. Penafsiran harus menghadirkan gambaran yang terpadu dan tidak ada kontradiksi di dalamnya; “The Harmony of all the detail with the whole is the criterion correct understanding. The failure to achieve this harmony means that understanding has failed”. Kedua, penafsiran harus komprehensif, artinya bahwa menafsir harus memandang pikiran pengarang secara menyeluruh. Ketiga, penafsiran harus teliti, artinya penafsiran yang baik harus berusaha untuk menjawab dan menggarap semua pertanyaan yang dimiliki bagi suatu penafsiran teks. Keempat, harus kontekstual, artinya penafsiran harus melihat dan membaca pikiran pengarang dalam konteks, baik dalam konteks sejarah, maupun dalam konteks kebudayaan. Kelima, penafsiran harus sugestif, artinya harus merangsang peneliti dan penafsir lain untuk melakukan penelitian dan penafsiran lebih lanjut. Keenam, penafsiran harus potensial, artinya validitas penafsiran terkait dengan masa depan.26 KESIMPULAN Menutup uraian ini, penulis ingin mengingatkan satu masalah yang besar dan cukup mendasar, yakni apa makna dan manfaat yang dapat diambil dari _____________ 23
Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan (Jakarta: LP3S,1987), 36. Hirch, Validity in Interpretation (New Haven: Yale University Press, 1976), 180. 25 G.B Madison, The Hermeneutics of Postmodernity (Bicomington and Indianapolis: Indiana University Press, 1983), 23-30 . 26 G.B Madison, The Hermeneutics of Postmodernity, 45. 24
Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012
21
pembicaraan tentang penafsiran kontemporer bagi pemaknaan al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari. Pertama-tama perlu diingatkan bahwa memasuki abad ke XXI ini menempatkan tafsir al-Qur’an dalam ujian yang sangat berat, khususnya ujian epistemologi. Ujian semacam ini sebenarnya dialami juga oleh bukan hanya tafsir al-Qur’an, tatapi juga oleh bentuk–bentuk istinbath hukum lain. Fungsi dan pendekatan kepada pemaknaan al-Qur’an di pertanyakan, apakah makna alQur’an harus diterima secara harfiah, ataukah harus dilakukan suatu penyeberangan ke balik ungkapan-ungkapan linguistiknya, kemudian dilakukan penafsiran? Mampukah al-Qur’an memberikan jawaban atas kegelisahankegelisahan yang memang selalu menyertai proses transformasi dan transmutasi masyarakat? Hal inilah yang kiranya membenarkan adanya pikiran tentang perlunya suatu kajian penafsiran kontemporer untuk mengaktualisasikan peran alQur’an sebagai Kalam Ilahi agar tidak saja dipahami sebagai sumber hukum pertama dan utama dari segala-galanya, tetapi juga untuk mengefektifkan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat.
DAFTAR PUSTAKA Arkoun, Mohammad, Nalar Islami Nalar Modern, terj. Rahayu S. Hidayat, Jakarta: INIS, 1994. Bernstein, Richard J. Hermeneutiecs and The Tradition, Washington, DC: The American Catholic Philosofical Assocation, 1958. Blecher, J. Contemporary Hermeneutics, Routletge & Kegen Paul, London: University Press, 1980. Hirch, Validiti in Interpretation, New Haven: Yale University Press, 1976. Kleden, Ignas, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, Jakarta: LP3S, 1987. Khun, Thomas, The Esential Tension: Slected Studies in Scientific Tradition and Change, Chicago: The University of Chicago Press, 1977. Madison, G.B., The Hermeneutics of Posmodernity, Indianapolis: Indiana University Press, 1983.
Bicomington and
Maryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1993 M. Amin, Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995. M. Roninson, James, “Hermeneutic Since Barth” dalam The New Hermeneutic, ed. JM Robinson dan John B. Cobb, New York: Harper and Row Publisher, 1964. Palmer, Hermeneutics, Evanston, USAA: Northwestern University Press, 1980. Taylor, Charles, Interpretation and the Srinces of Man, Colombiya: University of California, 1979. 22
NASAIY AZIZ: STUDI ANALISIS TENTANG HERMENEUTIK …