STRATEGI PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI PULP INDONESIA
ASEP HUSNI YASIN ROSADI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini, saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: Strategi Peningkatan Daya Saing Industri Pulp Indonesia adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Bogor, Desember 2005 Yang membuat pernyataan
Asep Husni Yasin Rosadi NIM. 995143
ABSTRAK
ASEP HUSNI YASIN ROSADI. Strategi Peningkatan Daya Saing Industri Pulp Indonesia. Dibawah bimbingan E. GUMBIRA-SA’ID, ILLAH SAILAH, WASRIN SYAFII dan AMRIL AMAN. Industri pulp merupakan industri yang prospektif di masa mendatang serta memberikan sumbangan yang cukup signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Hal tersebut diantaranya karena didukung oleh sumber bahan baku kayu kayu yang potensial. Meskipun demikian, industri pulp Indonesia masih menghadapi masalah daya saing. Kemampuan daya saing industri pulp Indonesia relatif belum teruji dibandingkan dengan industri pulp negara-negara penghasil pulp utama lainnya, seperti Kanada, Finlandia, Swedia, Rusia, Brazil dan Chili, terutama dalam hal pemanfaatan bahan baku, penggunaan faktor produksi dan pengelolaan dampak limbah yang dihasilkannya terhadap lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kemampuan daya saing industri pulp Indonesia dibandingkan dengan industri pulp negara-negara penghasil pulp utama dunia lainnya, serta memberikan usulan berbagai strategi yang relevan untuk meningkatkan kemampuan daya saing tersebut. Kajian kemampuan daya saing dan usulan strategi peningkatan daya saing didasarkan kepada hasil analisa daya saing. Analisa daya saing dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode non-parametrik terutama DEA (Data Envelopment Analysis), OCRA (Operational Competitiveness Rating Analysis) dan metode yang dikembangkan khusus untuk penelitian ini, yaitu metode APD (Analisa Perbandingan Daya Saing). Hasil analisa menunjukkan bahwa dalam hal pemanfaatan bahan baku kayu untuk menghasilkan pulp, industri pulp Indonesia memiliki daya saing yang relatif rendah dibandingkan dengan Kanada, Finlandia, Swedia dan Chili, meskipun sedikit lebih tinggi dibandingkan Brazil dan Rusia. Dalam hal penggunaan faktor produksi, terutama penggunaan biaya produksi dalam memperoleh pendapatan pulp, industri pulp Indonesia memiliki daya saing yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan empat negara penghasil pulp utama lainnya yang telah mapan (Kanada, Finlandia, Swedia dan Rusia) tetapi relatif lebih rendah dibandingkan dengan dua negara Amerika Latin (Brazil dan Chili). Pada sisi lain, dalam hal pengelolaan dampak limbah yang dihasilkan, industri pulp Indonesia memiliki daya saing yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan Finlandia dan Kanada. Dengan memperhatikan faktor-faktor kritis dari daya saing industri pulp Indonesia relatif terhadap industri pulp enam negara penghasil utama pulp lainnya, maka dirumuskan tiga buah strategi peningkatan daya saing. Ketiga strategi tersebut adalah Strategi Optimasi Pengelolaan HTI-Pulp, Strategi Optimasi Penggunaan Biaya Produksi dan Pemanfaatan Kapasitas Produksi serta Strategi Membangun Kepedulian Para Stakeholder Terhadap Lingkungan. Strategi-strategi tersebut kemudian dijabarkan dalam strategi peningkatan skala produksi, strategi optimasi luas areal lahan hutan (HTI-pulp) dan kayu yang diperoleh dari lahan tersebut, strategi efisiensi dalam penggunaan biaya bahan
baku dan energi, serta strategi untuk meningkatkan pengendalian pengelolaan limbah yang dihasilkan industri pulp melalui penerapan audit lingkungan, pembangunan instalasi pengolah limbah yang memadai serta pemberian sanksi kepada pelaku industri pulp yang masih mencemari lingkungan. Kata-kata kunci: strategi, daya saing, industri pulp, bahan baku kayu, faktor produksi, limbah
ABSTRACT ASEP HUSNI YASIN ROSADI. Strategy to Increase the Competitiveness of Indonesian Pulp Industry. Under the supervision of E. GUMBIRA-SA’ID, ILLAH SAILAH, WASRIN SYAFII and AMRIL AMAN. Supported by a huge amount of raw materials, Indonesian pulp industry gives significant contribution to Indonesian economy and has a good prospect in the future. Nevertheless, the industry competitiveness still has many problems. Its competitiveness is still far below the other main pulp producers (Canada, Finland, Sweden, Russia, Brazil and Chile) especially for critical factors, such as using sources of raw material, optimizing capability in the production factors and managing pollutant impact to the environment. This study was aimed at assessing the competitiveness of Indonesian pulp industry among the other main producers, and to give the suggestion of relevant strategies to increase its competitiveness. The assessment on competitiveness and suggested strategies are based on the results of its competitiveness analysis. The analysis used the non-parametric method, especially DEA (Data Envelopment Analysis), OCRA (Operational Competitiveness Rating Analysis) and a special method developed specially for this study, called CA (Competitiveness Analysis). The results of the analysis show that in utilizing the raw material, the competitiveness of the Indonesian pulp industry is relatively low compared to Canada, Finland, Sweden and Chile, but higher than Brazil and Russia. In using the production factors, Indonesian pulp industry has relatively higher competitiveness than the other four main established producers (Canada, Finland, Sweden and Russia) but relatively lower than the other two South American (Brazil and Chile). While in managing the industrial waste, the competitiveness of the Indonesian pulp industry is worse than Finland and Canada. By taking into consideration the critical factors of the Indonesian pulp industry competitiveness toward the other six countries as the major pulp producers in the word, three major strategies can be applied to increase the competitiveness. The three main strategies being proposed are strategy in optimizing planted forest management, strategy in optimizing production cost and utilizing production capacity, and strategy in promoting awareness to stakeholders in managing environment. Keywords: strategy, competitiveness, pulp industry, raw material, production factors, pollutant impact
STRATEGI PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI PULP INDONESIA
ASEP HUSNI YASIN ROSADI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
Judul Disertasi Nama NIM Program Studi
: : : :
Strategi Peningkatan Daya Saing Industri Pulp Indonesia Asep Husni Yasin Rosadi 995143 Teknologi Industri Pertanian
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. E. Gumbira-Sa’id, MADev Ketua
Dr. Ir. Illah Sailah, MSc Anggota
Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, MAgr Anggota
Dr. Ir. Amril Aman, MSc Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian
Dr. Ir. Irawadi Jamaran
Tanggal Ujian: 03 / 10 / 2005
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, MSc
Tanggal Lulus:
04 JAN 2006
PRAKATA
Alhamdullilah, puji dan syukur dipanjatkan ke hadlirat Ilahi Rabbi, karena hanya dengan ridla dan ijin-Nyalah disertasi ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada Nabi akhir jaman, Muhammad saw, keluarganya, sahabatnya serta kaum muslimin sepanjang jaman. Penyusunan disertasi ini, tidak lepas dari bantuan ikhlas yang telah diberikan oleh Komisi Pembimbing dan pihak-pihak lainnya. Oleh karena itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. H. E. Gumbira-Sa’id, MADev, Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, MAgr, Dr. Ir. Illah Sailah, MSc dan Dr. Ir. Amril Aman, MSc, sebagai Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing yang telah mengoreksi dengan teliti setiap tulisan yang diajukan penulis dari mulai proposal penelitian sampai setiap draft disertasi, sehingga penulis dapat belajar banyak mengenai penelitian, metodologi, substansi dan teknik penulisannya. Ucapan terima kasih disampaikan juga untuk Dr. Ir. Irawadi Jamaran, Dr. Ir. Ani Suryani, DEA, dan dosen-dosen pascasarjana TIP atas pelayanan konsultasi, ilmu dan wawasan yang telah mereka berikan; serta Dr. Ir. Anas M. Fauzi, MEng dan Dr. Ir. Sam Herodian, MS dari Dekanat Fateta atas dukungan pelayanan dan pengorbanan waktu dalam Ujian Tertutup dan Ujian Terbuka. Penulis mengucapkan terima kasih juga kepada Prof. Dr. Ir. Marimin, MSc dari Fakultas Teknologi Pertanian IPB yang telah bersedia menjadi Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup, serta Dr. Ir. Bintang Charles Hamonangan, MSc dari Fakultas Kehutanan IPB dan Dr. Hariyatno Dwiprabowo, MSc, PLKom dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan yang telah bersedia menjadi Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka, yang dengan kritis memberikan pertanyaan dan masukan-masukan yang sangat berharga untuk perbaikan disertasi. Selain itu, ucapan terima kasih juga disampaikan untuk Dr. Lukman Hakim, MSc dan Ir. Dyan Vidyatmoko, MSc dari Pusat Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi, Kedeputian PKT BPPT yang telah memberi izin dan dorongan semangat untuk mengikuti program S3; Kepala dan staf Pusdiklat BPPT yang telah memberi izin dan pembiayaan dalam mengikuti program S3; serta rekanrekan pada Pusat Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi, Kedeputian PKT BPPT atas dukungan moril maupun material yang telah mereka berikan. Penelitian untuk disertasi ini tidak lepas dari dukungan para stakeholder dalam industri pulp, terutama Ir. Kahar Haryopuspito dari APKI (Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia), Ir. Benny Wahyudi, MBA dari Departemen Perindustrian, Ir. Teddy Suratmadji, MSc dari PT. Kiani Kertas, Ir. Edward Wahab dari PT. Riau Andalan Pulp and Paper, Njauw Kwet Meen dari PT. Indah Kiat Pulp and Paper, serta Ir. Joedarso Djojosoebroto, MMA, Ir. Hardjono Arisman, MSc dan Ir. Tavip dari PT Musi Hutan Persada yang telah bersedia menerima penulis melakukan kunjungan lapangan dan wawancara. Untuk kesediaan waktu dan tempat yang telah mereka berikan, penulis mengucapkan terima kasih.
Ucapan terima kasih, penulis juga sampaikan kepada rekan-rekan pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian dan rekan-rekan dari program studi lain di Sekolah Pascasarjana IPB berbagai angkatan atas dukungan moral dan material yang telah mereka berikan. Begitu juga ucapan terima kasih disampaikan untuk staf administrasi, baik yang ada di Program Studi Teknologi Industri Pertanian, di Sekolah Pascasarjana, serta di Sekretariat MMA IPB atas bantuan pelayanan administrasi, informasi, penyediaan ruangan dan peralatan lainnya. Tak lupa ucapan terima kasih juga disampaikan kepada pihak-pihak lainnya yang telah membantu secara langsung dan tidak langsung dalam penyelesaian disertasi ini. Selain itu, penyelesaian disertasi ini tak lepas dari dukungan doa dan pengorbanan yang tak terhingga dari keluarga, terutama Ema dan Bapa (almarhum) di Garut yang setiap saat selalu mendoakan kebaikan untuk puteranya. Begitu juga untuk istriku Herni Hayati, serta anak-anaku Rifqi, Riza dan Hanief yang telah bersedia mengorbankan waktu dan perhatian dari suami/ ayah mereka. Mudahmudahan Allah SWT membalas segala kebaikan yang telah mereka berikan. Amien. Akhir kata, penulis berharap semoga Disertasi dengan judul “Strategi Peningkatan Daya Saing Industri Pulp Indonesia” yang merupakan bagian dari penyelesaian studi pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor ini bermanfaat dalam meningkatkan daya saing industri pulp Indonesia pada peta persaingan pulp dunia, serta bermanfaat dalam pengembangan keilmuan, terutama ilmu teknologi industri pertanian.
Bogor, Desember 2005 Penulis, Asep Husni Yasin Rosadi NIM. 995143/ TIP
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Garut pada tanggal 28 Oktober 1966 sebagai anak tunggal pasangan H. Idji ZA (alm) dan Hj. W. Suryati. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Teknik Fisika, Fakultas Teknologi Industri ITB dengan bidang keahlian Kebisingan, dan lulus tahun 1993. Pada tahun 1996 melanjutkan Program Pascasarjana pada Sekolah Tinggi Manajemen PPM dengan konsentrasi Manajemen Keuangan, dan menamatkannya tahun 1998. Tahun 1999 penulis memperoleh beasiswa Proyek Pengembangan dan Peningkatan Kemampuan Personil (PPKP) dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) untuk melanjutkan program doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Sekolah Pascasarjana IPB. Penulis bekerja sebagai peneliti pada Pusat Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi, Kedeputian Pengkajian Kebijakan Teknologi BPPT dengan jabatan Ajun Peneliti Madya. Bidang penelitian yang menjadi kajian diantaranya adalah kebijakan inovasi di industri komponen otomotif dan industri makanan, serta daya saing industri pulp dan gula.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL…………………………………………………………
ii
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………
iv
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………
v
PENDAHULUAN ……………………………………………………….. Latar Belakang ……………………………………………………….. Permasalahan Industri Pulp Indonesia ……………………………….. Tujuan Penelitian …………………………………………………….. Ruang Lingkup Penelitian ..…………………………………… ……..
1 1 4 6 7
TINJAUAN PUSTAKA……………… ………………………………….. Kondisi Daya Saing Industri Pulp di Negara-negara Penghasil Pulp Utama Dunia ……………………………….......................................... Perangkat Analisa Daya Saing Industri …………………………....…. Strategi Peningkatan Daya Saing Industri …………………………….
8 8 53 71
METODOLOGI PENELITIAN ……………………………………………. Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian …….……………………… Metode untuk Memperoleh Data Kondisi Daya Saing Industri Pulp Negara-negara Penghasil Pulp Utama Dunia ……………..… ….……. Metode dalam Melakukan Analisa Daya Saing Pulp … ….……………. Metode Perumusan Strategi Peningkatan Daya Saing Industri Pulp ……
90 93 95
ANALISA DAYA SAING INDUSTRI PULP DI TUJUH NEGARA PENGHASIL PULP UTAMA DUNIA ……………………………………. Analisa Perbandingan Daya Saing …….…………………………..……. Analisa Daya Saing Pemanfaatan Bahan Baku Kayu …….……………. Analisa Daya Saing Penggunaan Faktor Produksi …….……………….. Analisa Daya Saing Pengelolaan Dampak Lingkungan …….
97 100 103 106 119
STRATEGI PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI PULP …..…… Penerapan Metode Formulasi Strategi dalam Peningkatan Daya Saing Industri Pulp Indonesia ..…………………………….. .………………. Strategi Optimasi Pengelolaan HTI-Pulp .………………………… …. Strategi Optimasi Penggunaan Biaya Produksi dan Pemanfaatan Kapasitas Produksi .………………………… ………………….………. Strategi Membangun Kepedulian Para Stakeholder Terhadap Lingkungan ……………………………………………………….……..
84 84
127 128 139 158 168
Halaman KESIMPULAN DAN SARAN ..………… ……………………………... Kesimpulan …….….…………………………………………………. Saran ………………………………………………….. ……………..
174 174 176
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………….
177
LAMPIRAN ………………………………………………………….…...
194
DAFTAR TABEL Halaman 1. Negara-negara penghasil utama pulp dunia tahun 2003 berdasarkan kontribusi pasokan ….………………………………………………….. 2. Luas areal hutan negara-negara penghasil pulp utama dunia …………… 3. Biaya bahan baku untuk menghasilkan satu ton pulp di tujuh negara penghasil pulp utama dunia antara tahun 1999 sampai tahun 2003 …….. 4. Biaya energi untuk menghasilkan satu ton pulp di tujuh negara penghasil pulp utama dunia antara tahun 1999 sampai tahun 2003 ………………... 5. Biaya tenaga kerja untuk menghasilkan satu ton pulp di tujuh negara penghasil pulp utama dunia antara tahun 1999 sampai tahun 2003 …….. 6. Harga jual satuan negara utama penghasil pulp …………………………. 7. Polutan yang ditimbulkan dalam pengolahan pulp ……………………… 8. Perbandingan berbagai perangkat analisa daya saing ………………….. 9. Metode perumusan strategi dengan faktor kunci dan sasaran strategisnya 10. Perumusan strategi bersaing menurut Oral ………………………… 11. Hubungan antara tujuan penelitan, data yang dikumpulkan, sumber data, metode memperoleh data, analisa data dan output ………………………… 12. Keterbatasan pada DEA dan OCRA dan metode baru yang diperlukan ... 13. Potensi dan pemanfaatan sumber bahan baku di tujuh negara utama penghasil pulp ........................................................................................... 14. Daya saing pemanfaatan sumberdaya bahan baku setiap negara penghasil utama pulp ……………............................................................. 15. Biaya dan harga satuan faktor produksi tujuh negara penghasil pulp ....... 16. Daya saing penggunaan faktor produksi setiap negara dengan menggunakan DEA.................................................................................... 17. Perhitungan kinerja (ketidakefisienan) penggunaan sumberdaya produksi dengan menggunakan OCRA ..................................................... 18. Perhitungan kinerja (ketidakefisienan) pembangkitan pendapatan dengan menggunakan OCRA ……………………………………………………. 19. Daya saing (kinerja operasional) penggunaan faktor produksi dengan menggunakan OCRA ………………………………………………..…. 20. Kinerja masing-masing variabel dari pembangkitan output terhadap masing-masing sumberdaya input pulp faktor produksi setiap negara dengan menggunakan APD ............................…………………………. 21. Daya saing penggunaan faktor produksi setiap negara dengan menggunakan metode APD …….……………………………………… 22. Besarnya limbah dan produksi pulp yang dihasilkan oleh tiga negara penghasil pulp antara tahun 1993 sampai tahun 2003 …………………... 23. Daya saing pengelolaan limbah setiap negara dengan menggunakan DEA ……………..……………………………………………………… 24. Kinerja masing-masing variabel limbah sebelum mempertimbangkan faktor pembobot dengan menggunakan APD …………………………… 25. Daya saing pengelolaan limbah dengan menggunakan APD …………… 26. Posisi persaingan tujuh negara penghasil pulp ………………………..
12 22 39 42 44 45 46 56 74 81 88 99 104 106 107 109 111 113 115 116 118 120 122 124 125 131
Halaman 27. Pertumbuhan pasar pulp dari tujuh negara penghasil pulp ……………. 28. Metode formulasi strategi dan keterbatasan penggunaannya dalam peningkatan daya saing industri pulp …..…………………………….. 29. Strategi yang dikembangkan berdasarkan faktor kritis dalam industri pulp ……………………………………..…………………………….. 30. Luas lahan dan realisasi tanaman HTI-pulp …………………………….. 31. Perkembangan persetujuan RPBI IPKH sampai Desember 2003 ………. 32. Rata-rata potensi Acacia mangium umur 5,5 tahun (diameter lebih dari 7 cm) pada uji provenans di Sumatera Selatan ……………………………. 33. Rata-rata riap Acacia mangium umur 5,5 tahun pada uji provenans di Sumatera Selatan ………………………………………………………... 34. Pemanfaatan kapasitas produksi pulp negara-negara utama dunia ……… 35. Strategi peningkatan skala produksi pabrik pulp berdasarkan kemampuan penyediaan bahan baku HTI dan kapasitas produksi pabrik pulp ……………………………………………………………………… 36. Perusahaan pulp dan kertas yang mencemari lingkungan menurut KLH/ .
131 134 137 143 154 155 156 164 165 169
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Besarnya limbah cair yang dihasilkan industri pulp di Kanada …………. 2. Besarnya limbah cair yang dihasilkan industri pulp di Finlandia ……….. 3. Penurunan limbah AOX yang dihasilkan industri pulp Swedia ………… 4. Besarnya limbah uap/gas yang dihasilkan industri pulp di Kanada …….. 5. Besarnya limbah uap/gas yang dihasilkan industri pulp di Finlandia …... 6. Penurunan limbah sulfur yang dihasilkan industri pulp di Swedia …….. 7. Penumpukan limbah padat (landfill) dari industri pulp di Finlandia ……. 8. Perumusan strategi secara komprehensif………………………............... 9. Berbagai metode formulasi strategi………………………....................... 10. Stategi Generik………………………...................................................... 11. Matriks hubungan antara DFCA dan CGS………………………............ 12. Empat tipe strategi dengan distribusi CP………………………............. 13. Kerangka pemikiran konseptual penelitian ……………………………… 14. Alur untuk memperoleh data daya saing industri pulp ………………… 15. Alur analisa daya saing industri pulp ……………………….................. 16. Alur formulasi strategi peningkatan daya saing ……………………… 17. Posisi Indonesia dan negara lainnya dengan Matriks Grand Strategy … 18. Perkembangan luas areal HTI …………………………………………… 19. Perbandingan skala ekonomi antara pabrik pulp dengan pengelolaan hutan tanaman/ HTI ……………………………………………………... 20. Rata-rata volume Acacia mangium rotasi pertama di PT. MHP …………
47 48 49 50 51 51 52 76 77 79 83 83 87 90 94 96 132 141 148 157
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Pertumbuhan ekonomi (PDB) beberapa negara ASEAN dari tahun 1996 sampai tahun 2004 ..................................................................................... 2. Kontribusi setiap sektor dalam PDB selama tahun 1996-2003 …………. 3. Kontribusi setiap subsektor industri pengolahan terhadap PDB selama tahun 2000-2003 ………………………………………………………… 4. Pertumbuhan setiap subsektor industri pengolahan selama tahun 20002003 ……………………………………………………………………... 5. Besarnya ekspor hasil industri selama tahun 2002 sampai tahun 2004 …. 6. Luas hutan di atas 50 ribu ha di beberapa negara ………………………. 7. Produksi pulp berbagai di berbagai negara …………………………….. 8. Ekspor pulp oleh berbagai negara ……………………………………… 9. Surplus (defisit) pulp di berbagai negara ……………………………….. 10. Luas areal hutan sebagai pemasok kayu industri pulp tujuh negara utama 11. Perusahaan HTI-pulp dan area konsesinya ……………………………… 12. Peringkat PROPER KLH industri pulp dan kertas tahun 2004 ………….
194 194 194 195 195 195 196 198 200 204 205 206
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Stabilitas dan pemulihan ekonomi di negara-negara ASEAN sudah mulai terjadi sejak tahun 1999. Negara-negara di kawasan ASEAN yang pada tahun 1997 mengalami krisis ekonomi mulai tumbuh dan bangkit kembali dari keterpurukan yang berkepanjangan. Malaysia yang mengalami krisis ekonomi, sehingga pertumbuhan ekonominya menurun sebesar –7,4% tahun 1998, sejak tahun 1999 perekonomiannya sudah tumbuh kembali menjadi 6,1%. Begitu juga tahun 2000 pertumbuhan ekonominya meningkat menjadi 8,3%. Meskipun pada tahun 2002 hanya tumbuh sebesar 4,2%, namun tahun 2004 sudah kembali mencapai pertumbuhan sebesar 8,0%. Hal yang sama dialami oleh Thailand, tahun 1998 mengalami pertumbuhan ekonomi negatif sebesar –10,5%, tahun 1999 sudah meningkat kembali menjadi 4,4%, tahun 2000 menjadi 4,6%, dan tahun 2003 serta tahun 2004 telah kembali mendekati angka 7%. Di lain pihak, Indonesia setelah mengalami pertumbuhan ekonomi menurun (negatif) sebesar – 13,1% pada tahun 1998, tahun 1999 hanya tumbuh sebesar 0,8% dan tahun 2001 sebesar 3,4%. Meskipun pada tahun 2002 tumbuh lebih tinggi menjadi 3,7%, tetapi pertumbuhan tersebut relatif stagnan pada angka sekitar 4%, yaitu sebesar 4,1% pada tahun 2003 dan 4,3% pada tahun 2004 (Sekretariat ASEAN, 2005). Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, pemulihan ekonomi Indonesia relatif lebih lambat dan belum menunjukkan peningkatan yang berarti. Hal tersebut selain karena stabilitas politik yang mengalami gejolak, juga karena lemahnya fundamental ekonomi, lemahnya sistem keuangan serta relatif kurang terbukanya ekonomi Indonesia (Kawai, 2000; Llyod dan MacLaren, 2000). Dengan lemahnya stabilitas perekonomian, investasi yang masuk juga semakin menurun (Lipsey, 2001) yang kemudian berdampak semakin sulitnya sektorsektor perekonomian untuk bangkit (Feridhanusetyawan dan Pangestu, 2004).
2 Ditinjau dari sisi perekonomian nasional, pemulihan ekonomi suatu negara ditandai dengan adanya pertumbuhan positif dari pendapatan nasional atau Produk Domestik Bruto (PDB). Pertumbuhan PDB adalah pertumbuhan kumulatif dari sektor-sektor ekonomi yang mempengaruhi PDB. Secara umum, terdapat sembilan sektor ekonomi yang mempengaruhi besarnya pertumbuhan PDB di Indonesia, yaitu (1) sektor pertanian, kehutanan dan perikanan; (2) sektor pertambangan; (3) sektor industri pengolahan; (4) sektor listrik, gas, dan air; (5) sektor konstruksi dan perumahan; (6) sektor perdagangan, hotel dan restoran; (7) sektor transportasi dan komunikasi; (8) sektor keuangan dan bisnis; (9) serta sektor jasa lainnya (BPS, 2004). Dibandingkan sektor lainnya, peran sektor industri pengolahan relatif lebih besar (BPS, 2004). Kontribusi sektor industri pengolahan terhadap PDB pada tahun 2003 mencapai 24,6 persen, sementara kontribusi sektor pertanian (urutan kedua) sebesar 16,6 persen dan kontribusi sektor perdagangan-hotel-restoran (urutan ketiga) sebesar 16,3 persen. Begitu juga untuk kurun waktu sebelumnya, peran sektor industri pengolahan terhadap PDB lebih tinggi dibandingkan sektor lainnya dengan kontribusi sebesar 25,6 persen pada tahun 1996, 25,0 persen tahun 1998, 25,0 persen tahun 2002, dan 24,7 persen tahun 2004. Sebagai sektor yang memiliki kontribusi paling besar dalam perekonomian Indonesia, maka memacu pertumbuhan sektor industri pengolahan untuk meningkatkan kinerja ekonomi nasional merupakan pilihan yang rasional. Sektor industri pengolahan dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu industri migas (minyak dan gas bumi) serta industri bukan migas. Industri migas menyumbang sekitar 15 persen terhadap industri pengolahan, sementara industri non migas menyumbang lebih besar lagi, sekitar 85 persen. Kelompok industri non migas dibagi dalam sembilan subkelompok industri, yaitu (1) kelompok industri makanan, minuman dan tembakau; (2) kelompok industri tekstil, barang kulit dan alas kaki; (3) kelompok industri barang dari kayu dan hasil hutan lain; (4) kelompok industri kertas dan barang cetakan; (5) kelompok industri pupuk, kimia dan barang dari karet; (6) kelompok industri semen dan barang galian bukan logam; (7) kelompok industri logam dasar, besi dan baja; (8) kelompok
3 industri alat angkutan, mesin dan peralatan; serta (9) kelompok industri barang lainnya. Kesembilan kelompok industri dalam industri pengolahan tersebut memiliki peluang untuk menggerakan roda perekonomian dan menghasilkan devisa. Meskipun demikian, terdapat beberapa kelompok industri tertentu yang memiliki peran besar terhadap perekonomian Indonesia di masa mendatang. Peran tersebut ditunjukkan diantaranya dengan kontribusi terhadap PDB, besarnya angka pertumbuhan serta besarnya nilai ekspor nettonya. Dengan memperhatikan kontribusinya terhadap PDB selama kurun waktu empat tahun terakhir, kelompok industri makanan, minuman dan tembakau merupakan kelompok industri dengan kontribusi terbesar (sekitar 11,4 persen) dari 24,7 persen kontribusi total industri pengolahan terhadap PDB (BPS, 2004). Kelompok industri dengan peran yang besar lainnya adalah kelompok industri pupuk, kimia dan produk karet dengan kontribusi 3,1 persen; kelompok industri peralatan transportasi dan permesinan dengan 1,9 persen; serta kelompok industri tekstil, kulit dan sepatu dengan 1,5 persen. Kelompok industri pengolahan lainnya seperti industri produk kayu, industri semen dan bahan galian, industri logam dasar dan industri kertas dan barang cetakan relatif memiliki konstribusi yang hampir sama, sekitar 0,7%. Pada sisi lain, dengan memperhatikan besarnya angka pertumbuhan, terdapat beberapa kelompok industri yang memiliki pertumbuhan yang tinggi tahun 2003, yaitu kelompok industri pupuk, kimia dan produk karet dengan pertumbuhan ratarata sebesar 10,4% pertahun serta kelompok industri kertas dan barang cetakan dengan pertumbuhan sebesar 7,9% pertahun. Kelompok industri lainnya memiliki pertumbuhan rata-rata di bawah 5% (BPS, 2004). Berdasarkan besarnya nilai ekspor, terdapat beberapa kelompok industri yang memiliki nilai ekspor yang tinggi pada tahun 2003. Kelompok industri tersebut diantaranya adalah kelompok industri tekstil dan produk tekstil dengan nilai mencapai USD 7,1 milyar, kelompok industri alat listrik, ukur, fotografi dengan nilai sebesar USD 6,3 milyar, kelompok industri kayu olahan dengan nilai ekspor USD 3,1 milyar, kelompok industri minyak nabati dengan nilai ekspor USD 2,9 milyar, kelompok industri barang dari logam dengan nilai ekspor USD 2,5 milyar, kelompok industri karet alam olahan dengan nilai ekspor USD 2,1
4 milyar dan kelompok industri kertas serta barang kertas dengan nilai ekspor lebih dari USD 2,0 milyar (BPS, 2004). Pada sisi lain, berdasarkan besarnya nilai pertumbuhan ekspor, kelompok industri pulp dan kertas merupakan kelompok industri dengan pertumbuhan ekspor yang tinggi dalam kurun tahun 1999-2003. Besarnya pertumbuhan ekspor mencapai 10,7 persen, yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekspor rata-rata komoditas lainnya yang hanya 3,3 persen untuk kurun waktu yang sama (Deperindag, 2004). Paparan di atas menggambarkan bahwa meskipun kontribusi kelompok industri kertas dan barang cetakan terhadap perekonomian nasional relatif masih kecil, tetapi kelompok industri kertas dan cetakan merupakan kelompok industri dengan prospek pertumbuhan dan kontribusi yang besar di masa mendatang. Prospek industri kertas dan barang cetakan yang besar tidak dapat dilepaskan dari dukungan dari industri pulp sebagai penyedia bahan baku utamanya. Sebagai industri utama, industri pulp merupakan industri yang kokoh karena didukung oleh ketersediaan bahan baku kayu yang besar, proses produksi yang stabil serta pasar yang potensial. Dalam hal penyediaan bahan baku untuk pulp, Indonesia merupakan salah satu negara dengan potensi persediaan kayu yang cukup besar di dunia karena memiliki areal lahan hutan serta lahan marjinal yang belum dimanfaatkan dalam jumlah yang luas. Indonesia memiliki hutan dengan luas mencapai 110 juta ha (Departemen Kehutanan, 2004a), yang merupakan negara peringkat kedelapan dengan hutan terluas di dunia setelah Rusia, Brazil, Kanada, Amerika Serikat, R.R. Cina, Australia dan Republik Demokratik Kongo (FAO, 2001). Selain itu, industri pulp juga didukung oleh sumberdaya produksi, seperti energi yang relatif lebih murah dan tenaga kerja yang banyak. 1.2. Permasalahan Industri Pulp Indonesia Meskipun industri pulp merupakan industri yang prospekif, tetapi terdapat beberapa permasalahan serius yang dihadapi oleh industri pulp Indonesia. Permasalahan yang dihadapi industri pulp di Indonesia diantaranya adalah walaupun memiliki potensi lahan hutan yang luas, tetapi kayu untuk bahan baku pulp belum tersedia dalam jumlah yang memadai untuk kebutuhan produksi. Kebutuhan bahan baku kayu untuk pulp yang dipasok dari hutan tanaman industri
5 (HTI-pulp) hanya dapat memenuhi kebutuhan bahan baku bagi sebagian perusahaan pulp saja. Realisasi penanaman HTI-pulp sejak tahun 1989 sampai tahun 2003 secara kumulatif baru mencapai 1,42 juta ha (Departemen Kehutanan, 2004a). Luas hutan tersebut terdiri dari hutan dengan kayu yang siap tebang dan hutan dengan kayu yang masih belum mencukupi usia tebang. Luas hutan dengan kayu yang sudah layak digunakan sebagai bahan baku pulp tahun 2004, mencapai 949 ribu ha. Luas hutan tersebut hanya mampu menghasilkan kayu setara dengan produksi pulp sebanyak empat juta ton pertahun. Pada sisi lain, produksi pulp Indonesia tahun 2004 lebih dari enam juta ton, sehingga secara netto, kayu yang tersedia dari lahan HTI-pulp belum mencukupi kebutuhan produksi pulp. Masalah lain yang dihadapi oleh industri pulp Indonesia adalah semakin meningkatnya biaya untuk memproduksi pulp, meskipun pada periode sebelum tahun 2000-an biaya produksi tersebut relatif lebih murah (Ibnusantoso, 2000). Harga energi (bahan bakar minyak dan gas) setiap tahun dikurangi subsidinya, disesuaikan dengan harga pasar internasional. Begitu juga dengan biaya upah buruh yang setiap tahun terus meningkat. Hal tersebut membuat biaya produksi pulp juga terus meningkat. Pada sisi lain, dengan biaya transportasi (transport cost) dan upah buruh di bagian tanaman yang terus meningkat, menyebabkan biaya penanaman kayu yang dikonversikan menjadi harga kayu berdiri (stumpage value) juga meningkat. Hal tersebut menyebabkan biaya kayu (log cost dan pulp timber cost) juga semakin tinggi. Industri pulp Indonesia juga dihadapkan pada suatu fakta yang menunjukkan bahwa industri pulp merupakan salah satu industri yang mencemari lingkungan dengan berat. Limbah yang dihasilkan dari industri pulp telah mencemari udara, air dan tanah dalam kategori yang cukup membahayakan. Dalam tataran global, penerapan ekolabeling dan ISO seri 14000 sebagai standar pengelolaan lingkungan dalam menghasilkan produk, dijadikan sebagai acuan dalam menentukan perdagangan suatu produk. Oleh karena itu, limbah yang dihasilkan industri pulp yang mencemari lingkungan akan menjadi citra negatif dalam perdagangan pulp Indonesia di pasar internasional.
6 1.3. Tujuan Penelitian Kondisi-kondisi yang dipaparkan di atas merupakan masalah-masalah yang dihadapi oleh industri pulp Indonesia secara serius. Sebagai salah satu negara eksportir utama pulp dunia, apabila masalah tersebut tidak segera ditangani, maka peran Indonesia dalam perdagangan pulp dunia juga akan menurun, karena semakin lemahnya daya saing produk pulp Indonesia terhadap negara lain. Meskipun industri pulp Indonesia memiliki peran yang cukup signifikan dalam peta produksi pulp dunia, tetapi peran tersebut belum didukung oleh daya saing yang memadai dibandingkan dengan industri pulp di negara–negara penghasil pulp utama lainnya. Peran industri suatu negara dalam perdagangan dunia ditentukan oleh daya saing industri negara tersebut dalam memanfaatkan semua sumberdaya yang dimilikinya (bahan baku, faktor produksi, teknologi, pengelolaan lingkungan dan lainnya) dengan efisien untuk menghasilkan produk (output) dengan kualitas yang baik dan harga yang kompetitif serta ramah lingkungan. Oleh karena itu, untuk meningkatkan daya saing industri pulp Indonesia terhadap industri pulp negara lainnya, diperlukan kajian daya saing industri, terutama dalam hal sebagai berikut. 1. Kemampuan industri pulp dalam pengelolaan sumber bahan baku kayu. 2. Kemampuan mengefisienkan penggunaan bahan baku kayu, tenaga kerja dan energi dalam proses produksi, 3. Kemampuan untuk memenuhi tuntutan global terhadap produk yang tidak mencemari lingkungan (clean production). Kajian tersebut dapat mengukur posisi daya saing industri pulp Indonesia terhadap negara lainnya. Supaya kemampuan daya saing industri pulp Indonesia dapat ditingkatkan, maka diperlukan juga kajian untuk merumuskan strategi dalam meningkatkan atau mempertahankan daya saing industri pulp Indonesia. Oleh karena itu, dalam penelitian dirumuskan tujuan sebagai berikut. 1. Membandingkan daya saing industri pulp Indonesia dengan industri pulp negara-negara utama lainnya; 2. Merumuskan strategi peningkatan daya saing industri pulp Indonesia.
7 1.4. Ruang Lingkup Penelitian Berdasarkan paparan masalah yang dihadapi industri pulp Indonesia serta tujuan penelitian yang ingin dicapai, maka terdapat beberapa hal yang menjadi lingkup dari kegiatan penelitian, diantaranya adalah sebagai berikut. 1. Industri yang diteliti adalah industri pulp, yang merupakan agregat dari perusahaan-perusahaan pulp (pulp mills) yang beroperasi di suatu negara. 2. Penelitian berfokus pada komparasi (perbandingan) daya saing industri pulp antara negara-negara penghasil pulp utama dunia serta formulasi strategi peningkatan daya saing industri pulp Indonesia. 3. Perbandingan dilakukan terhadap faktor-faktor yang memiliki pengaruh besar terhadap daya saing industri pulp. 4. Negara-negara penghasil pulp utama dunia ditentukan berdasarkan besarnya peran dari industri pulp negara tersebut terhadap pasokan pulp dunia. 5. Metode analisa daya saing dipilih dari berbagai metode daya saing yang telah luas dan banyak dijadikan rujukan dalam berbagai penelitian sebelumnya. 6. Perumusan strategi peningkatan daya saing industri pulp Indonesia dilakukan dengan mengacu kepada metode formulasi strategi yang telah luas digunakan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Penentuan strategi peningkatan daya saing industri pulp dapat dirumuskan setelah terlebih dahulu dilakukan kajian dan analisa mengenai daya saing dalam industri pulp. Oleh karena itu, bahasan di bawah akan memaparkan berbagai pustaka yang berhubungan dengan kajian analisa daya saing industri dan kajian formulasi strategi peningkatan daya saing industri. Kajian analisa daya saing memerlukan pustaka yang berupa data mengenai kondisi industri pulp di berbagai negara penghasil pulp dunia serta berbagai metode perangkat analisa daya saing industri yang banyak digunakan. Pada sisi lain, kajian formulasi strategi peningkatan daya saing industri memerlukan pustaka mengenai berbagai metode yang digunakan dalam perumusan strategi peningkatan daya saing industri. Tinjauan pustaka kondisi industri pulp di berbagai negara penghasil pulp utama dunia dibagi dalam dua bagian, yaitu paparan mengenai entitas (negara) penghasil pulp utama dunia serta faktor penentu dalam daya saing industri pulp. Bahasan mengenai metode perangkat analisa daya saing industri, memaparkan berbagai perangkat yang digunakan dalam analisa daya saing, terutama metode nonparametrik. Pada sisi lain, bahasan mengenai strategi peningkatan daya saing industri, memaparkan berbagai metode dalam perumusan strategi peningkatan daya saing. 2.1. Kondisi Daya Saing Industri Pulp di Negara-negara Penghasil Pulp Utama Dunia Daya saing merupakan salah satu alat ukur untuk mengetahui posisi setiap entitas (unit, produk, organisasi, perusahaan, industri maupun negara) dalam peta persaingan, baik lingkup industri, nasional, regional maupun internasional. Daya saing banyak digunakan sebagai alat banding masing-masing entitas untuk mengetahui peta keberadaannya terhadap mitra/ pesaingnya. Dengan mengetahui daya saing yang dimiliki oleh entitas tersebut dibandingkan dengan mitra/
9 pesaingnya, maka dapat ditentukan strategi apa yang tepat agar entitas tersebut dapat bertahan atau memenangkan persaingan. Terdapat beberapa definisi daya saing yang telah dikembangkan. Definisi daya saing ada yang lebih berorientasi hasil (output), ada yang berorientasi sumberdaya (input), ada juga yang berorientasi proses, bahkan ada yang merupakan kombinasi dari ketiganya. Beberapa definisi tersebut diantaranya adalah sebagai berikut. 1) Daya saing adalah proses bagi suatu entitas supaya dapat mengungguli lainnya (Khalil, 2000). 2) Daya saing adalah derajat dimana setiap negara, dalam kondisi pasar bebas dan adil, dapat menghasilkan barang dan jasa yang sesuai dengan kebutuhan pasar internasional, sambil secara simultan dapat meningkatkan pendapatan riil penduduknya (Council of Competitiveness, 1994 dikutip dari Khalil, 2000). 3) Daya saing adalah kemampuan produsen untuk memproduksi suatu komoditas dengan mutu yang baik dan ongkos produksi yang rendah, sehingga pada harga-harga di pasar internasional tetap dapat diperoleh laba yang mencukupi, serta dapat mempertahankan kelanjutan kegiatan produksinya (Simanjuntak, 1992) dan mampu memperpanjang pertumbuhannya (Toh dan Tan, 1998). 4) Daya saing adalah kemampuan menerapkan strategi penciptaan nilai yang tidak diterapkan serta tidak dapat ditiru oleh perusahaan lain (Vastag, 2000). 5) Daya saing adalah kombinasi antara hasil akhir (tujuan/ misi) dengan upaya (strategi/ kebijakan) untuk mencapainya (Porter, 1980). 6) Daya saing adalah kombinasi antara tujuan atau competitive strategic goal dengan faktor yang menentukan keberhasilan atau determinant factors of competitive advantage (Li dan Deng, 1999). Dari beberapa definisi di atas, terdapat beberapa kata kunci yang digunakan dalam daya saing, yaitu unggul dari pesaing dalam menggunakan sumberdaya/ produksi, mampu memproduksi barang/ jasa dengan kualitas baik dan harga murah, serta merupakan kombinasi tujuan dengan upaya. Dengan kata-kata kunci di atas, maka daya saing dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk lebih baik
10 dari pesaing dalam menggunakan sumberdaya/ produksi (input) untuk menghasilkan barang/ jasa (output) dengan kualitas dan harga yang kompetetif. Untuk mengetahui daya saing suatu entitas terhadap entitas lainnya, maka dilakukan analisa daya saing. Analisa daya saing memerlukan tiga hal, yaitu entitas (unit) yang terlibat dalam persaingan (para pesaing), faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing (faktor input dan output), serta perangkat yang digunakan dalam mengukur kemampuan persaingan. Pertama, entitas atau unit yang terlibat persaingan dalam persaingan industri pulp antar negara terdiri dari negara-negara yang memiliki dominasi kuat dalam peta pasokan dan perdagangan pulp dunia. Kedua, faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing adalah faktorfaktor yang memiliki peran besar sebagai faktor penentu (faktor kunci) keberhasilan daya saing industri pulp. Faktor kunci keberhasilan daya saing berupa faktor-faktor yang digunakan sebagai sumberdaya (input) serta faktorfaktor yang dihasilkan (output) yang berupa produk (barang atau jasa). Ketiga, perangkat
untuk
mengukur
kemampuan
persaingan
dilakukan
dengan
menggunakan metode yang banyak digunakan dalam pengukuran daya saing. 2.1.1. Entitas/ unit (negara) penghasil pulp utama dunia Data dari organisasi dunia dalam bidang makanan dan pertanian atau Food and Agriculture Organization (FAO, 2004) menunjukkan bahwa terdapat 63 negara di dunia yang merupakan penghasil (produsen) pulp. Negara produsen pulp terbesar di dunia adalah Amerika Serikat yang rata-rata memproduksi sekitar 53 juta ton pertahun, sementara negara penghasil pulp terendah adalah Madagaskar dengan rata-rata produksi sekitar 700 ton pertahun. Selain Amerika Serikat, negara-negara produsen pulp terbesar lainnya adalah Kanada dengan produksi rata-rata sebesar 26 juta ton pertahun, R.R. China dengan 18 juta ton pertahun, Finlandia dan Swedia dengan produksi sekitar 12 juta ton pertahun, dan Jepang dengan produksi 10 juta ton pertahun. Di samping itu, terdapat tiga negara yang memproduksi pulp antara lima sampai sepuluh juta ton pertahun yaitu Brazil, Rusia dan Indonesia, serta lima negara yang memproduksi pulp antara dua sampai lima juta ton pertahun, yaitu India, Chili, Perancis, Norwegia dan Jerman.
11 Besarnya produksi pulp suatu negara belum memberikan gambaran mengenai peran negara tersebut terhadap kebutuhan pulp dunia. Peran terhadap kebutuhan pulp dunia, selain dipengaruhi oleh besarnya produksi juga dipengaruhi oleh besarnya kelebihan pasokan pulp serta besarnya ekspor pulp dari negara yang bersangkutan. Kelebihan pasokan (surplus) pulp menunjukkan perbedaan antara pulp yang dihasilkan (produksi) dengan pulp yang dibutuhkan (konsumsi) oleh negara yang bersangkutan. Semakin besar nilai kelebihan pasokan, semakin besar peran negara tersebut untuk memasok kebutuhan pulp negara lain. Pada sisi lain, besarnya ekspor pulp suatu negara selain menunjukkan bahwa produk pulp merupakan komoditas penting bagi negara tersebut dalam menghasilkan devisa, juga memberi gambaran mengenai besarnya pasokan pulp dari negara tersebut dalam memenuhi kebutuhan pulp negara lain. Berdasarkan angka kelebihan pasokan (surplus) pulp, negara yang memiliki kelebihan pasokan pulp terbesar di dunia adalah Kanada dengan kelebihan ratarata sekitar 11 juta ton pertahun (FAO, 2004). Negara-negara yang memiliki kelebihan pasokan pulp di atas satu juta ton pertahun lainnya adalah Swedia, Finlandia, Brazil, Chili, Indonesia dan Rusia. Selain itu, terdapat negara-negara dengan kelebihan pasokan pulp di atas 400 ribu ton pertahun, diantaranya adalah Afrika Selatan, Portugal, Selandia Baru dan Norwegia. Pada sisi lain, negaranegara penghasil pulp yang besra di dunia seperti Amerika Serikat, R.R. Cina dan Jepang juga merupakan negara-negara yang kekurangan pasokan (defisit) pulp terbesar di dunia. Kebutuhan (konsumsi) pulp negara-negara tersebut lebih besar dari produksi. Setiap tahun, R.R. Cina kekurangan pasokan pulp sekitar enam juta ton, Jepang kekurangan sekitar dua juta ton dan Amerika Serikat sekitar satu juta ton. Peran suatu negara penghasil pulp terhadap kebutuhan pulp dunia juga dipengaruhi oleh besarnya ekspor dari negara yang bersangkutan. Negara yang melakukan ekspor pulp terbesar di dunia adalah Kanada, dengan besarnya eskpor pada tahun 2003 mencapai 11,5 juta ton. Di samping itu negara-negara pengekspor pulp terbesar lainnya adalah Amerika Serikat, Swedia, Brazil, Finlandia, Indonesia, Chili, dan Rusia yang masing-masing pada tahun 2003 mengekspor pulp di atas satu juta ton.
12 Dengan memperhatikan peran negara-negara penghasil utama pulp dunia terhadap kebutuhan pulp dunia, ditunjukkan bahwa ada tujuh negara yang memiliki peran besar dalam pasokan pulp dunia ditinjau dari besarnya produksi, kelebihan pasokan dan besarnya ekspor, yaitu Kanada, Finlandia, Swedia, Brazil, Chili, Rusia dan Indonesia. Negara-negara tersebut rata-rata memproduksi, memiliki surplus serta mengekspor pulp dalam jumlah yang besar, lebih dari satu juta ton pertahun. Angka satu juta ton pertahun sebagai indikator yang menunjukkan besarnya peran negara-negara tersebut terhadap pasokan pulp dunia. Kontribusi negara-negara penghasil utama pulp dunia berdasarkan besarnya produksi, kelebihan pasokan dan ekspor ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Negara-negara utama pulp dunia tahun 2001 sampai 2003 berdasarkan kontribusi pasokan (dalam juta ton) Kanada Swedia Finlandia Brazil Chili Indonesia Rusian Portugal Afrika Selatan Norwegia Spanyol Thailand India Austria Australia AS Perancis Jepang Korea Selatan Jerman R.R. Cina
2001 10.80 2.60 1.57 2.95 2.14 1.13 1.68 0.82 0.14 0.40 0.06 0.02 -0.18 -0.18 -0.27 -1.13 -1.77 -2.49 -2.31 -3.44 -5.42
Surplus 2002 11.67 2.90 2.02 2.16 2.12 1.65 1.76 0.82 0.16 0.39 -0.08 -0.17 -0.22 -0.26 -0.31 -1.10 -1.74 -2.32 -2.52 -3.70 -5.75
2003 10.92 2.91 2.25 2.16 2.10 1.82 1.77 0.83 0.45 0.41 0.05 -0.17 -0.23 -0.25 -0.32 -0.98 -1.71 -2.16 -2.45 -3.81 -6.43
2001 24.91 11.39 11.17 7.39 2.67 4.67 6.02 1.81 1.90 2.27 1.73 1.00 2.60 1.54 1.21 53.03 2.46 10.74 0.55 2.10 18.38
Produksi 2002 25.56 11.71 11.73 7.39 2.69 4.97 6.38 1.93 1.90 2.17 1.73 1.00 2.95 1.56 1.39 52.91 2.43 10.66 0.53 2.15 18.38
2003 26.00 12.10 11.95 9.10 2.76 5.59 6.61 1.94 1.80 2.26 1.91 0.99 3.21 1.63 1.17 52.54 2.32 10.52 0.52 2.45 18.38
2001 11.07 2.91 1.70 3.25 2.17 1.70 1.72 0.98 0.19 0.50 0.80 0.34 0.03 0.33 0.00 5.51 0.45 0.09 0.00 0.43 0.04
Ekspor 2002 11.94 3.28 2.11 2.58 2.15 2.25 1.80 0.96 0.22 0.49 0.72 0.19 0.03 0.32 0.00 5.48 0.49 0.11 0.00 0.52 0.05
2003 11.39 3.30 2.39 2.58 2.11 2.38 1.81 0.96 0.51 0.51 0.83 0.19 0.03 0.30 0.00 5.11 0.46 0.17 0.00 0.47 0.05
Sumber : FAO (2004)
Meskipun Amerika Serikat (AS) merupakan negara produsen terbesar pulp dunia dan merupakan salah satu negara dengan ekspor terbesar, tetapi AS juga merupakan salah satu negara yang kekurangan pasokan pulp terbesar di dunia. Begitu juga dengan R.R. Cina dan Jepang, negara-negara tersebut termasuk
13 kelompok negara produsen pulp tetapi kekurangan pasokan pulp dalam jumlah yang besar. Ketiga negara tersebut menggunakan hampir seluruh produksi pulp mereka untuk kebutuhan dalam negeri. 2.1.2. Faktor penentu daya saing industri pulp Terdapat berbagai pandangan untuk menentukan faktor apa saja yang dijadikan sebagai indikator dalam menentukan daya saing industri/ negara. Pandangan-pandangan tersebut memamparkan mengenai faktor-faktor penentu daya saing antar negara/ kawasan dan daya saing indsutri. Beberapa pandangan tersebut adalah sebagai berikut. Daya saing antar negara/ kawasan 1. Sebagai faktor dalam mengukur daya saing, Council of Competitiveness Amerika Serikat (Khalil, 2000), mengembangkan empat bagian piramida daya saing yang merupakan ukuran dalam daya saing suatu negara, yaitu investasi, produktivitas, perdagangan dan kualitas hidup. 2. Untuk mengukur daya saing kawasan/ regional, Department of Trade and Industry
(2001)
Inggris
menggunakan
14
indikator
(faktor)
yang
dikelompokan dalam lima bagian. Keempat belas indikator tersebut adalah GDP dan pendapatan rumah tangga, produktivitas pekerja sektor manufaktur, pendapatan tambahan, investasi dan output manufaktur, besarnya ekspor barang, pendapatan rata-rata tenaga kerja, jumlah tenaga kerja, banyaknya pengangguran, banyaknya lulusan pendidikan dan kejuruan, besarnya investasi dalam SDM, kemampuan wirausaha, tingkat daya hidup, intensitas dan besarnya pekerjaan litbang di industri teknologi tinggi, biaya transportasi dan biaya industri properti. 3. Suatu negara memiliki indikator keunggulan bersaing dalam suatu industri tertentu ditentukan oleh empat elemen (Porter, 1990), yaitu: (1) kekuatan yang tersedia dalam bidang tertentu, misal bidang teknis tertentu, (2) permintaan (pasar) dalam negeri yang tinggi, (3) ditopang oleh industri dalam negeri, yang berupa industri pendukung (supporting industry) maupun industri yang berhubungan (related industry) serta (4) persaingan domestik yang kuat. Pada
14 sisi lain, hal yang akan mengurangi kemampuan daya saing negara adalah adanya devaluasi, kartel, keamanan produk dan lingkungan yang tidak terjaga, kesepakatan pemasaran bersama, promosi bersama antar perusahaan dan peningkatan kontrak pertahanan. 4. Indikator daya saing dalam pengembangan suatu teknologi antar negara adalah pendanaan, organisasi, penelitian dan pengujian, standar dan arsitektur sistem, sosialisasi dan pemasaran, institusional dan isu hukum, serta perencanaan (French et al., 1994). Daya saing antar industri/ perusahaan Daya saing suatu negara sebagain besar tergantung dari daya saing industri dan perusahaan yang ada dalam batas wilayahnya. Daya saing perusahaan tergantung kepada kemampuan perusahaan tersebut dalam menghasilkan barang atau jasa dengan lebih efisien dibandingkan pesaing. Daya saing tergantung kepada kemampuan perusahaan dalam mengelola ide dan sumberdaya yang dimilikinya dengan biaya yang efektif untuk mencapai tujuan serta menciptakan produk atau jasa yang sesuai atau melebihi harapan dan kepuasan pelanggannya. 1. Daya saing perusahaan terdiri dari serangkaian karakteristik yang khas. Perusahaan yang berhasil menurut Khalil (2000) memiliki ciri diantaranya mampu memperoleh keuntungan; memiliki kemampuan menjadi pemimpin teknologi; sanggup menjaga dan meningkatkan pangsa pasar; memiliki kemampuan mengembangkan dan memperkenalkan inovasi setiap saat; sanggup mendayagunakan teknologi dan menangkap pangsa pasar melalui inovasi produk, proses, sistem informasi atau jasa; sanggup menyeleraskan kekuatan dengan kebutuhan pasar yang lebih baik dibandingkan pesaing; agresif untuk mencapai tujuan yang direncanakan; menguasai teknologi intinya; memahami kekuatan dan kelemahannya; mengetahui kondisi pesaing; memiliki pemimpin yang visioner; mengetahui bagaimana mengoptimalkan kemampuan karyawan serta memberi motivasi dan penghargaan kepada karyawan dengan layak; mengetahui daur hidup teknologi dan bisnis serta tahu kapan mengembangkan proyek baru; selain juga memahami lingkungan sosial, politik dan hukum yang mempengaruhi perusahaannya.
15 2. Upaya untuk mencapai hasil akhir yang merupakan indikator daya saing, digambarkan oleh Porter (1985) sebagai roda strategi bersaing. Roda strategi bersaing bukan hanya merupakan upaya produksi saja (manufacturing, lini produk serta penelitian dan pengembangan), tetapi melibatkan keuangan, pemasaran dan target pasar, penjualan, distribusi, pengadaan dan pembelian barang serta tenaga kerja. Dalam merumuskan kemampuan dan strategi bersaing, ada beberapa hal yang harus dijawab, yaitu apa yang sedang dilakukan perusahaan sekarang, bagaimana dengan kondisi lingkungan (analisa industri, pesaing, sosial-politik, dan kekuatan-kelemahan relatif), dan apa yang seharusnya dilakukan perusahaan. Porter (1980) kemudian mengembangkan lima kekuatan dalam analisa struktur industri, yang dikenal sebagai Lima Kekuatan (Five Forces) yaitu intensitas persaingan dalam industri, tantangan pendatang baru, tekanan produk substitusi, daya tawar pembeli dan daya tawar pemasok. Dari lima kekuatan di atas terdapat tiga strategi dasar keberhasilan, yaitu kepemimpinan biaya (overall cost leadership), diferensiasi (differentiation) dan fokus (focus). 3. Dalam memproduksi suatu komoditi dengan target pasar internasional dimana harga produk di pasar merupakan harga yang sudah tertentu (given), dan produsen hanya menerima harga (price taker), Simanjuntak (1992) mengkaji daya saing dari sisi produksi (ongkos produksi dan mutu produksi) dengan mengembangkan dua indikator daya saing, yaitu ROI (return on investment) sebagai indikator finansial dan Biaya Sumber Daya Domestik (BSD) sebagai indikator ekonomi. 4. Daya saing untuk industri di masa mendatang dengan persaingan global lebih banyak ditentukan oleh indikator teknologi (kemampuan inovasi) dan kerjasama (Yeager 1997). Ada tiga hal di abad 21 yang harus dihadapi agar perusahaan tetap dapat bertahan hidup yaitu populasi penduduk yang tumbuh dengan cepat, keterbatasan sumberdaya alam yang tersedia dan masalah lingkungan. Sebagai solusinya, maka inovasi harus terus dilakukan karena merupakan jalan untuk tetap bertahan hidup. 5. Salah satu upaya dalam mengkaji kemampuan bersaing adalah dengan melakukan benchmarking (Vanharanta, 1994). Benchmarking adalah suatu
16 cara untuk membandingkan faktor kunci sukses yang dimiliki perusahaan terhadap faktor yang dimiliki perusahaan lain dengan pasar atau industri yang sama, dan benchmark keuangan merupakan hal paling mendasar dan paling jelas. 6. Indikator daya saing tidak hanya hal yang berhubungan dengan biaya tetapi juga kegiatan non-biaya seperti fleksibilitas dari sasaran strategis (Li dan Deng, 1999). Terdapat beberapa faktor yang berperan penting, seperti pengembangan teknologi, kontrol harga/ biaya, organisasi dan manajemen, posisi industri, kebijakan dan kondisi lingkungan, formasi keunggulan baru, keunggulan sekarang, serta pencapaian pertumbuhan dan keuntungan. 7. Indikator penting dalam penentuan daya saing terdiri dari dua hal, yaitu keuntungan (profit) dan pangsa pasar (Martin et al., 1991). Dua indikator di atas ditentukan oleh empat faktor yang berpengaruh dalam daya saing, yaitu faktor-faktor yang dapat dikendalikan oleh setiap perusahaan (strategi, produksi, pemasaran, teknologi, pelatihan, litbang, organisasi, biaya dan jaringan); faktor-faktor yang dapat dikendalikan oleh pemerintah (pajak, tingkat suku bunga, nilai tukar, kebijakan perdagangan, kebijakan litbang nasional, pendidikan dan pelatihan, jaringan kerjasama antar institusi, regulasi dan penetapan standar nasional untuk industri); faktor-faktor yang dikendalikan secara quasi (quasi-controllable) yaitu faktor-faktor yang berada diluar kemampuan perusahaan dan pemerintah untuk mengendalikannya seperti perdagangan global/ internasional; serta faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan (musibah yang ditimbulkan oleh lingkungan alam dan kondisi iklim). 8. Indikator sebuah perusahaan memiliki daya saing yaitu apabila perusahaan tersebut menerapkan strategi penciptaan nilai yang tidak diterapkan serta tidak dapat ditiru oleh perusahaan lain, dengan sumber daya yang dimiliki haruslah bernilai dan tidak dapat disubstitusi, berperan dalam peningkatan kemampuan perusahaan, jarang/ khas, sulit untuk direplikasi karena tacit (berbasis keahlian atau SDM yang intensif) dan kompleks secara sosial (Vastag, 2000). 9. Dalam melakukan analisa daya saing, maka hubungan antara kapabilitas teknologi dengan produktivitas adalah indikator penting dalam daya saing
17 (Tremblay, 1994). Untuk kasus industri pulp dan kertas di negara industri (Kanada) dan negara berkembang (India), hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kapabilitas teknologi yang tercermin dalam sistem organisasi mampu menghasilkan pertumbuhan produktivitas, tetapi kapabilitas teknologi yang tercermin dalam sumber daya manusia tidak menunjukkan korelasi positif terhadap pertumbuhan produktivitas. 10. Perubahan daya saing perusahaan dapat dinyatakan sebagai fungsi dari faktor tingkat pertumbuhan total relatif dan keefektifan biaya relatif (Oral et al., 1999). Perusahaan dapat meningkatkan daya saing terhadap pesaing dengan meningkatkan faktor pertumbuhan produktivitas totalnya lebih cepat dari pesaing, atau menjadi lebih efektif mengelola biaya input, atau keduanya. 11. Perbandingan antara perusahaan sejenis dalam hal peningkatan penjualan dan laba menunjukkan daya saing perusahaan dari pesaing. Daya saing suatu perusahaan
dapat
lebih
baik
karena
perusahaan
tersebut
mampu
mengembangkan core product atau produk inti dan core competence atau kompetensi inti (Prahalad dan Hamel, 1990). Kompetensi inti merupakan pembelajaran kolektif dalam organisasi, terutama dalam hal koordinasi berbagai keahlian produksi dengan integrasi dan harmonisasi berbagai aliran teknologi. Pada sisi lain, produk inti merupakan perwujudan dari satu atau lebih kompetensi inti. 12. Indikator penting daya saing adalah identifikasi kompetensi inti dan maksimisasi nilai tambah (Lakhal et al., 1999). Hal yang penting dalam kompetensi inti adalah jaringan bisnis antar perusahaan atau jaringan perusahaan (network company). 13. Hubungan antara struktur kepemilikan dan pertahanan manajemen yang berupa self serving, menghindari resiko, dan komitmen jangka pendek sebagai faktor-faktor kunci yang berkonstribusi atau penghambat dalam daya saing perusahaan (Gadhoum, 1999). 14. Daya saing tidak dapat dipisahkan dari kinerja (performance), dengan indikator kinerja ditentukan oleh empat ukuran, yaitu struktur, proses, penggunaan, serta keuntungan dan kelemahan (Kald dan Nilsson, 2000).
18 15. Peningkatkan daya saing industri di pasar internasional yang sering dilakukan adalah dengan cara peningkatan produktivitas, kualitas produk dan sistem operasi (Elzinga et al., 1995). 16. Operasionalisasi suatu unit produksi yang mengubah sumber daya menjadi output berupa barang dan jasa merupakan komponen penting dari daya saing. Efesiensi dalam kegiatan penggunaan sumber daya dan menghasilkan barang/ jasa untuk memperoleh keuntungan mencerminkan daya saing satu unit perusahaan/ organisasi/ negara (Parkan, 1994). 17. Indikator penting dalam daya saing yaitu kesepadanan (commensurability), kesamaan (monotonicity), maksimisasi pendapatan, minimalisasi biaya dan maksimisasi keuntungan (Agrell dan West, 2001). 18. Indikator untuk menentukan daya saing dilakukan dengan mengukur kinerja faktor produksi seperti siklus deliveri yang pendek, pengembangan produk baru yang cepat, fleksibilitas dalam perubahan volume, dan biaya yang rendah (Skiner, 1974; Vokurka, 1998). 19. Indikator daya saing diantaranya diukur dari kinerja manajemen sumber daya manusia terutama komitmen manajemen puncak, komunikasi tujuan, pelatihan pegawai, team lintas sektoral, pelatihan lintas sektoral, otonomi pegawai, tuntutan pegawai, sebaran pekerjaan, organisasi terbuka dan hubungan manajemen buruh yang efesien terhadap kinerja biaya, mutu, fleksibilitas dan waktu (Jayaratam et al., 1999). 20. Indikator daya saing dapat diukur dari besarnya investasi dalam teknologi manufaktur dan pengembangan mekanisme untuk berpartisipasi dalam perumusan strategi bagi manajer (Tracey et al., 1999). 21. Perusahaan dengan praktek manufakturing basis-waktu yang tinggi cenderung memiliki tingkat standarisasi, formalisasi dan integrasi yang tinggi. Perusahaan dengan tingkat standarisasi dan integrasi yang tinggi cenderung untuk memiliki kemampuan daya saing yang baik (Rondeau et al., 2000). 22. Daya saing industri salah satunya diukur dari kekuatan-kelemahan-peluang dan tantangan (strength, weakness, opportunity, threat) yang dimilikinya. Hal tersebut berguna untuk menentukan strategi yang tepat dalam upaya peningkatan daya saing (Gumbira-Sa’id et al., 1998b, 2000).
19 23. Indikator daya saing industri diukur berdasar komitmen terhadap biaya, mutu, deliveri dan fleksibilitas yang dihubungkan dengan kinerja manajemen yang berupa kecermatan, mutu, produktivitas, efesiensi, kuantitas, kepuasan konsumen dan ketepatan waktu (Kathuria, 2000). Paparan di atas menunjukkan terdapat berbagai faktor yang dapat dikelompokkan sebagai penentu daya saing. Faktor-faktor tersebut adalah faktor produksi (biaya produksi, kualitas barang/ jasa, inovasi, teknologi, produktivitas, diferensiasi dan lainnya), faktor pemasaran (pangsa pasar, delivery, pertumbuhan, harga, distribusi dan lainnya), faktor keuangan (likuiditas, profitabilitas, kontrol biaya, proyek baru, dan lainnya), faktor SDM (terutama organisasi dan manajemen, kepemimpinan, optimalisasi karyawan) dan lingkungan bisnis (tingkat persaingan, kerjasama, benchmarking, politik, ekonomi, hukum). Variabel-variabel penting lainnya seperti masalah lingkungan (limbah) dan sosial (dampak terhadap masyarakat sekitar) tampaknya masih belum dipertimbangkan. Padahal tuntutan pasar masa depan yang lebih mengarah kepada produk hijau (green product) dan pengembangan masyarakat (community development) akan semakin besar pengaruhnya. Dengan memperhatikan ketersediaan data dari ketujuh negara penghasil pulp utama dunia, maka faktor-faktor yang digunakan dalam analisa daya saing industri pulp dibatasi hanya kepada tiga faktor, yaitu: (1) kondisi penyediaan bahan baku kayu, (2) kondisi faktor produksi (terutama biaya produksi) dan (3) dampak industri pulp terhadap lingkungan. 2.1.2.1. Kondisi penyediaan bahan baku kayu Bahan baku utama untuk pembuatan pulp sebagian besar (lebih dari 90%) berupa kayu (FAO, 2001). Begitu juga untuk tujuh negara utama penghasil pulp, kayu merupakan bahan baku yang paling banyak digunakan (sekitar 99,7%). Produksi pulp di Finlandia, Swedia, Rusia, Kanada dan Chili seluruhnya menggunakan bahan baku kayu. Bagas (ampas tebu), bambu dan bahan serat lainnya digunakan dalam jumlah yang sangat terbatas yakni kurang dari 0,3% (FAO, 2001).
20 Besarnya penggunaan kayu untuk bahan baku pulp menunjukkan bahwa kayu merupakan bahan yang sangat penting dalam industri pulp. Oleh karena itu, diperlukan analisa mengenai pasokan kayu dan hutan sebagai penyedia persediaan kayu dalam pengadaan bahan baku pulp. Salah satu analisa dalam penyediaan kayu adalah dengan menggunakan pendekatan model pasokan kayu secara global (Global Fiber Supply Model – GFSM) yang dikembangkan oleh FAO (Bull, 1997; FAO, 1997; Pulkki, 1997a; Pulkki, 1997b dan Vichnevetskaia, 1997). GFMS mengukur kemampuan setiap negara dalam menyediakan kayu sebagai bahan baku dengan memperhatikan luas areal hutan, volume kayu (potensi) yang tersedia pada areal hutan tersebut, kecepatan pertumbuhan kayu (riap), intensitas penebangan serta pasokan bahan baku non-kayu dan limbah kertas. Areal hutan sebagai tempat tumbuhnya kayu menurut FAO (FAO, 1998) dibagi dalam dua kategori, yaitu hutan alam (natural forest) dan hutan tanaman (plantation forest). Hutan alam berupa hutan dengan pohon-pohon yang tumbuh secara alami, tanpa campur tangan manusia. Hutan alam tempat tumbuhnya berbagai jenis spesies tanaman yang pada umumnya memiliki spesies dan ukuran yang berbeda. Pada sisi lain, hutan tanaman berupa hutan yang sengaja ditanam oleh manusia sebagai upaya untuk penanaman (afforestation) dan reboisasi atau peremajaan hutan (reforestation). Hutan tanaman dikelola secara intensif dengan satu atau dua jenis spesies kayu, memiliki usia dan diameter yang hampir seragam, dan digunakan untuk keperluan tertentu. Kayu untuk bahan baku pulp dapat diperoleh dari hutan tanaman atau hutan alami yang memiliki keabsahan (legal) untuk diekspoitasi, ekonomis dalam pengelolaan dan dibatasi oleh peraturan lingkungan alam yang ketat. Dalam model GFSM di atas, pengadaan bahan baku kayu dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut. 1. Areal – berupa areal hutan yang memungkinkan untuk memasok kayu, 2. Areal – berupa perubahan areal untuk hutan alam dan hutan tanaman, 3. Volume (potensi) kayu – berupa volume persediaan kayu yang ada di hutan secara keseluruhan (growing stock) dan volume persediaan kayu yang diperuntukan untuk kegiatan komersial (commercial species growing stock),
21 4. Pertumbuhan (riap) – berupa peningkatan atau penambahan bruto tahunan (gross annual increment) dan tingkat kematian (mortality) kayu, 5. Penebangan – berupa intensitas perambahan (harvesting intensity) dan siklus penebangan (cutting cycle), 6. Bahan baku non-kayu dan kertas daur ulang. Dengan menggunakan ukuran di atas, maka ketersediaan bahan baku untuk pulp sangat tergantung kepada faktor-faktor sebagai berikut. 1. Areal lahan untuk bahan baku pulp, dengan memperhatikan luas areal dan perubahan areal. a. Luas areal lahan (dalam ha) yang khusus diperuntukan bagi penyediaan bahan baku pulp pada suatu waktu tertentu. b. Perubahan areal lahan pulp atau rata-rata penambahan atau pengurangan areal lahan pertahun (dinyatakan dalam ha pertahun). 2. Volume kayu sebagai bahan baku, yang terdiri atas volume kayu pertahun, potensi kayu, kecepatan pertumbuhan (riap) dan umur panen kayu. a. Volume kayu, yaitu banyaknya kayu yang dapat disediakan dari areal hutan untuk bahan baku pulp pertahun (dinyatakan dalam meter kubik per tahun atau m3/tahun). b. Potensi kayu, yaitu banyaknya (volume) kayu yang dapat diperoleh dari setiap unit luas lahan hutan (m3/ha). c. Riap, yaitu kecepatan pertumbuhan volume rata-rata kayu yang ada di hutan perluas lahan hutan pertahun (m3/ha/tahun). d. Umur panen kayu, yaitu jangka waktu dari mulai tanam sampai kayu siap untuk dijadikan bahan baku atau siap ditebang (tahun). 3. Ketersediaan bahan baku lainnya. a. Chips atau serpihan kayu sebagai limbah (waste) dari industri kayu seperti industri sawmill, plywood, dan lain-lain (dinyatakan dalam m3 kayu). b. Bahan baku non-kayu seperti baggasse (ampas tebu), jerami, dan bambu (dinyatakan dalam m3 setara kayu). c. Kertas bekas (dalam ton dan dinyatakan dalam m3 setara kayu).
22 1. Areal lahan hutan pulp Dari tujuh negara penghasil pulp utama dunia, Rusia merupakan negara yang memiliki areal hutan terluas di dunia, yaitu seluas 770 juta ha (Petrov, 2001) bahkan 851,4 juta ha (FAO, 2001). Negara-negara yang memiliki hutan luas lainnya adalah Brazil dengan luas 543,9 juta ha (FAO, 2001), Kanada 244,6 juta ha (FAO, 2001) bahkan 417,6 juta ha (FPAC 2002; NRCan, 2002), dan Indonesia 104,9 juta ha (FAO, 2001) hingga 109,9 (Departemen Kehutanan, 2004a). Luas hutan tiga negara penghasil pulp lainnya, yaitu Chili, Finlandia, dan Swedia kurang dari 30 juta ha, dengan luas hutan Chili sekitar 15,6 juta ha (Cartwright, 2002), Finlandia dengan 20,2 sampai 23 juta ha (METLA, 2003; Hannien, 2004) dan Swedia dengan 22,7 juta ha (SI, 2001). Dengan memperhatikan luas areal hutan, dari tujuh negara penghasil utama pulp dunia, empat negara memiliki areal hutan yang relatif luas di atas 100 juta ha, yaitu Rusia, Brazil, Kanada, dan Indonesia (Tabel 2). Keempat negara tersebut memiliki potensi untuk menghasilkan kayu dalam jumlah yang banyak bagi keperluan industri, termasuk industri pulp. Tabel 2. Luas areal hutan negara-negara penghasil pulp utama dunia (dalam juta ha) No. Negara
Total
Areal hutan*) Alam
Tanaman
1,688.9
770.0
752.7
17.3
Areal lahan
1
Rusia
2
Kanada
922.1
417.6
298.6
119.0
3
Brazil
845.7
543.9
538.9
5.0
4
Indonesia
181.2
110.0
52.3
13.7
5
Chili
74.9
15.6
13.4
2.2
6
Finlandia
33.7
20.2
20.2
-
7
Swedia Total 7 negara
41.2 3,787.5
22.7 2,021.5
22.7 1,705.3
316.1
Sumber: FPAC (2002); NRCan (2002); Departemen Kehutanan (2004a); METLA (2003); SI (2001); FAO, (2000). Keterangan: *) Hutan di berbagai negara dikelompokkan tidak hanya berdasarkan hutan alam dan hutan tanaman, tetapi berdasarkan kegunaannya seperti hutan untuk kegiatan komersial (termasuk kegiatan industri) serta hutan non-komersial dan cadangan (FPAC, 2002; NRCan, 2002). Hutan di Indonesia terbagi atas hutan suaka alam dan perairan, hutan lindung, dan hutan produksi, yang diantaranya berupa hutan produksi yang dapat dikonservasi (Departemen Kehutanan 2004a). Hutan di Finlandia dan Swedia dikelompokkan berdasarkan kepemilikan, yaitu yang dimiliki oleh perorangan (private), perusahaan (forest company), pemerintah (state government) dan oleh kelompok lainnya seperti parlemen, pemerintah daerah dan gereja (METLA 2003; SI, 2001).
23 Luas areal hutan dapat memberi indikasi jumlah ketersediaan bahan baku kayu. Semakin luas areal hutan suatu negara semakin besar jumlah kayu yang dapat disediakan negara tersebut. Akan tetapi areal hutan belum dapat mencerminkan besarnya angka riil kayu yang tersedia khusus untuk bahan baku pulp. Untuk mengetahui besarnya persediaan kayu untuk pulp, tidak seluruh luas hutan suatu negara dijadikan dasar, tetapi hanya areal hutan yang khusus disediakan untuk kebutuhan bahan baku pulp yang dijadikan sebagai rujukan. Di Indonesia, hutan tersebut dikelompokan sebagai hutan tanaman industri pulp (HTI)-pulp (Departemen Kehutanan, 2004a). Luas hutan yang khusus disediakan untuk penyediaan pasokan bahan baku pulp untuk setiap negara memiliki karakteristik yang berbeda. Di Indonesia misalnya, kawasan hutan sebagai penyedia kayu untuk bahan baku pulp adalah HTI-pulp. Hutan tersebut berupa hutan tanaman khusus untuk bahan baku pulp. Begitu juga dengan Chili dan Brazil, yang menyediakan khusus lahan untuk tanaman pulp (Cartwright, 2002; May, 2002). Pada sis lain, Kanada, Finlandia, Swedia, dan Rusia dengan industri pulp banyak yang terintegrasi dengan industri hasil hutan lain - seperti industri sawn timber, industri plywood dan lainnya kawasan hutan khusus untuk pulp tidak secara eksplisit dinyatakan (NRCan, 2002; METLA, 2003; SI, 2001; Petrov, 2001). Di negara-negara tersebut, hutan untuk pulp sudah termasuk ke dalam hutan untuk kegiatan komersial secara umum. 1.a. Luas areal lahan hutan untuk pulp Berdasarkan data dari Kementerian Sumberdaya Alam Kanada (Natural Resources Canada - NRCan) dan Asosiasi Hasil Hutan Kanada (The Forest Products Association of Canada – FPAC), dari 417,6 juta ha lahan hutan di Kanada, areal seluas 234 juta ha merupakan hutan yang diperuntukan untuk kegiatan komersial dan jumlahnya relatif tetap sejak tahun 1978 sampai sekarang (NRCan, 1995; NRCan, 2002; FPAC, 2002). Dari jumlah tersebut, hanya 119 juta ha hutan yang diperuntukan untuk kegiatan industri. Hutan untuk kegiatan industri tersebut menyediakan kayu dari 1,03 juta ha lahan yang boleh ditebang setiap tahunnya (annual allowable cut – AAC).
24 Tidak ada data pasti mengenai berapa luas lahan yang diperuntukan khusus sebagai lahan untuk pasokan industri pulp. Data yang ada hanya diperkirakan dari luas lahan yang diperuntukan bagi kegiatan industri seluas 119 juta ha. Pada umumnya industri pulp di Kanada terintegrasi atau satu holding company dengan industri hasil hutan lainnya. Sebagai contoh Abitbi Consolidated Ltd, selain memiliki dua buah pabrik pulp (pulp mill), juga memiliki 14 buah sawmills dan tujuh buah newsprint mills (NRCan, 2000). Data mengenai luas hutan yang diperuntukan bagi pasokan bahan baku pulp diperkirakan dengan melakukan konversi produksi pulp terhadap produksi total industri hasil hutan. Sebagai cotoh, produksi pulp Kanada pada tahun 2000 jumlahnya mencapai 26,8 juta ton, dengan kayu yang digunakan untuk memproduksi pulp tersebut sebagian besar (sekitar 73%) menggunakan bahan baku dari residu industri kayu, dan hanya 27% saja yang berasal dari kayu hutan secara langsung (FPAC, 2002). Dengan demikian ketergantungan industri pulp terhadap hutan sebagai penghasil bahan baku langsung relatif kecil, karena by product (residu) industri hasil hutan lainnya memberikan pasokan bahan baku yang lebih besar. Produksi dari industri pulp membutuhkan sekitar 20% kayu dari jumlah kayu yang boleh untuk ditebang (AAC) setiap tahunnya. Brazil merupakan negara kedua yang memiliki areal hutan terluas di dunia setelah Rusia, dengan luas hutan sebesar 544 juta ha (FAO, 2001). Areal hutan yang digunakan untuk kegiatan komersial jumlahnya mencapai setengah dari luas hutan atau 27% dari luas lahan keseluruhan digunakan sebagai hutan komersial (Seling et al., 2000). Dari areal tersebut, Brazil menyediakan sekitar tujuh juta ha sebagai hutan tanaman industri, yang 30%-nya atau sekitar 2,1 juta ha diperuntukan bagi bahan baku untuk industri pulp dan kertas (WRM, 1998). Chili memiliki lahan hutan seluas 15,6 juta ha (Catwright, 2002). Menurut penelitian IIED - International Institute for Environment and Development (Lendel-Mills dan Ford, 1999) luas lahan hutan alam mencapai 13,4 juta ha dan hutan tanaman seluas 1,8 juta ha. Dari jumlah tersebut, sekitar 8,9 juta ha merupakan lahan untuk kegiatan komersial produktif (termasuk industri pulp) (http://www.forestry.utoronto.ca/for201/For_cons/Chile/chile.htm).
Selain
itu,
sampai tahun 2000 Chili memiliki lahan tanaman untuk kegiatan komersial seluas
25 2,1 juta ha (Catwright, 2002), yang sebagian diantaranya merupakan tanaman pinus (Pinus radiata) dengan luas sekitar 1,5 juta ha (Flynn, 2003) dan sebagian kecil berupa tanaman eucalyptus. Hutan tanaman memasok sekitar 90% dari kebutuhan industri hasil hutan di Chili. Asosiasi Hasil Kayu Chili (Corporacion Chilena de la Madera - CORMA) memprediksi jumlah luas hutan tanaman akan mencapai dua kali lipat dalam dua tahun (www.corma.cl). Lahan hutan untuk pasokan bahan baku bagi industri pulp di Chili seluruhnya berasal dari hutan tanaman dan tidak sedikitpun menggunakan kayu dari hutan alam. Setengah dari hutan tanaman yang ada (atau sekitar 1,1 juta ha) digunakan untuk memasok industri pulp (Borregaard dan Röttger, 2000). Finlandia merupakan negara dengan rasio antara areal hutan terhadap areal lahan keseluruhan yang tertinggi diantara negara-negara penghasil pulp utama di dunia, yaitu sebesar 0,72, atau sekitar 72% dari areal lahannya berupa areal hutan (FAO, 2001). Areal hutan Finlandia luasnya sekitar 21,9 juta ha (FAO, 2001), sementara data lembaga penelitian kehutanan Finlandia (Finnish Forest Research Institute) luas hutan mencapai 23 juta ha (Sevola, 2003). Sekitar 20 juta ha hutan dari luas hutan keseluruhan, dicanangkan untuk menyediakan kayu bagi kebutuhan komersial. Sekitar 65% (13 juta ha) dari hutan tersebut dimiliki oleh swasta non-industri (non-industrial private owners), 20% (4,0 juta ha) dimiliki oleh pemerintah, 9% (1,8 juta ha) dimiliki perusahaan dan sisanya (6%) dimiliki kelompok lainnya (Leppanen, 2001). Peran swasta non-industri sangat besar dalam penyediaan bahan baku bagi kebutuhan industri, termasuk industri pulp. Kepemilikan hutan yang sebagian besar dikuasai swasta non-industri serta pemanfaatan hasil kayu dari hutan yang bukan hanya khusus untuk keperluan industri, tetapi juga untuk keperluan energi dan keperluan lainnya, menyebabkan data yang pasti mengenai areal lahan yang khusus diperuntukan bagi penyediaan bahan baku pulp menjadi sulit untuk ditentukan. Swedia merupakan salah satu negara yang memiliki rasio areal lahan hutan terhadap areal lahan daratan total yang cukup besar, dengan rasio mencapai 66%. Areal hutan Swedia mencapai luas sekitar 27,1 juta ha areal hutan, dan 98% diantarnya berupa hutan alam (SI, 2001). Dari 27,1 juta ha, dengan sekitar 21,3 juta ha diperuntukan untuk kegiatan komersial. Sebanyak 51% (atau sekitar 11,6)
26 juta ha dari hutan komersial dimiliki oleh swasta individu, 8,9 juta ha dimiliki oleh perusahaan, 1,1 juta oleh pemerintah dan sisanya dimiliki oleh kelompok lainnya seperti gereja dan pemerintah lokal (SI, 2001). Dengan kepemilikan lahan hutan yang sebagian besar dikuasai oleh swasta secara individu dan tidak adanya data lengkap mengenai peruntukan kayu untuk setiap industri hasil hutan, maka sulit ditentukan berapa besarnya luas hutan yang khusus disediakan untuk memasok bahan baku industri pulp. Rusia merupakan negara yang memiliki areal lahan hutan terbesar di dunia. Luas hutan Rusia tidak kurang dari 770 juta ha, dengan 98% dari areal hutan tersebut berupa hutan alam (Petrov, 2001). Areal hutan yang digunakan untuk pasokan kayu jumlahnya mencapai 252,2 juta ha. Hutan di Indonesia berdasar UU Kehutanan No. 41/1999, terbagi atas tiga fungsi, yaitu hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi (Pasal 6). Hutan konservasi diantaranya berupa hutan suaka alam, hutan pelestarian alam dan hutan buru. Hutan produksi berupa hutan yang digunakan untuk kegiatan komersial. Sampai tahun 2003 di Indonesia terdapat sekitar 109,96 juta ha hutan, dengan 52,3 juta ha merupakan hutan suaka alam dan hutan lindung dan 57,6 juta ha berupa hutan produksi (Departemen Kehutanan, 2004a). Hutan produksi terdiri dari hutan produksi terbatas seluas 16,2 juta ha, hutan produksi tetap 27,7 juta ha, dan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 13,7 juta ha. Dari areal seluas 13,7 juta ha hutan produksi yang dapat dikonversi atau yang berada dalam kegiatan Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI), sebanyak 4,9 juta ha merupakan hutan tanaman yang diperuntukan bagi hutan tanaman industri (HTI) pulp sebagai penyedia bahan baku untuk industri pulp (BIRO, 2001). Sampai tahun 2003, luas hutan untuk industri pulp yang telah direalisasikan penanamannya mencapai 1,42 juta ha yang dikelola oleh 21 perusahaan (Dephut, 2004a). 1.b. Perubahan areal lahan hutan untuk pulp. Areal lahan hutan secara umum di Kanada selama kurun waktu 1993 sampai tahun 2001 tidak mengalami perubahan (NRCan, 1995; NRCan, 2002), sehingga tidak ada penambahan atau pengurangan dari areal hutan yang telah ada.
27 Meskipun demikian berdasarkan data yang dikeluarkan oleh NRCan (2000) ratarata terjadi penanaman pohon di hutan dengan areal seluas 470.000 ha setiap tahunnya. Selain penanaman kembali, Kanada juga menerapkan kebijakan regenerasi alami dalam pemulihan kembali hutan yang disebabkan oleh perambahan dan penebangan atau yang rusak karena terbakar, terserang hama dan terkena penyakit (NRCan, 2001). Menurut data FAO selama kurun waktu 1990 sampai tahun 2000 Brazil telah kehilangan areal sebanyak 2,3 juta ha/ tahun (FAO, 2001). Meskipun demikian, Brazil juga merupakan salah satu negara yang giat untuk menanam kembali areal hutannya. Rata-rata sekitar 0,14 juta ha areal yang di tanam setiap tahunnya (FAO, 2001). Hal yang sama terjadi di Chili, rata-rata penambahan areal lahan hutan di Chili selama kurun waktu 1990 sampai tahun 2000 mencapai 53 ribu ha setiap tahunnya (Flynn, 2003), sementara menurut CORMA pertumbuhan areal hutan
tanaman
jumlahnya
mencapai
76
ribu
ha
pertahun
(http://www.forestry.utoronto.ca/for201/For_cons/Chile/chile.htm). Setengah dari hutan tanaman tersebut adalah hutan untuk industri pulp, atau penambahan areal hutan tanaman pulp di Chili berkisar antara 38 sampai 43 ribu ha setiap tahunnya. Penambahan areal lahan hutan di Finlandia relatif kecil, jumlahnya selama kurun waktu 1990 sampai tahun 2000 hanya delapan ribu ha/tahun (FAO, 2001) dan merupakan peremajaan terhadap tanaman yang ditebang. Selama kurun waktu antara 1992 sampai 2001 regenerasi tanaman mencapai 277 ribu ha (METLA, 2003). Begitu juga dengan hutan Swedia, penambahan areal hutannya hanya sedikit sekali yaitu sebesar 1.000 ha/tahun (FAO, 2001) dan merupakan peremajaan terhadap tanaman sebelumnya (SI, 2001). Di lain pihak, rata-rata penambahan areal lahan hutan di Rusia selama kurun waktu 1990 sampai tahun 2000 sekitar 135 ribu ha setiap tahunnya (FAO, 2001). Luas areal hutan di Indonesia menurut data FAO (FAO, 2001) telah mengalami pengurangan yang cukup besar mencapai lebih dari 1,3 juta ha setiap tahunnya, selama kurun waktu tahun 1990 sampai 2000. Meskipun demikian, pembangunan hutan dan penanaman hutan kembali yang dilakukan Indonesia terutama untuk hutan tanaman (produksi). Penanaman hutan kembali rata-rata sekitar 0,23 juta ha pertahun (FAO, 2001), sementara pembangunan hutan industri
28 pulp selama kurun waktu 1989 sampai tahun 2003, mencapai jumlah 1,42 juta ha, dengan rata-rata pembangunan HTI-pulp dengan luas 94,7 ribu ha pertahun (Departemen Kehutanan, 2004a). 2. Volume kayu sebagai bahan baku pulp Sebagai bahan baku utama dalam pembuatan pulp, maka ketersediaan kayu dalam jumlah (volume) yang memadai, seusai dengan kapasitas produksi pulp merupakan hal yang sangat penting. Volume kayu (dalam m3) yang dapat digunakan berupa kayu yang tersedia (stock) di hutan yang dapat dijadikan cadangan karena sudah mencapai usia atau diameter tertentu. Global Fiber Supply Model (GFSM) membedakan volume dalam dua hal, yaitu volume kayu secara total yang disediakan oleh hutan (dalam m3) dan volume kayu per areal lahan atau potensi kayu di hutan (dalam m3/ha). Volume kayu per areal lahan (atau potensi) dikelompokan dalam volume yang tersedia secara umum (growing stock) maupun yang tersedia untuk kebutuhan komersial industri (commercial species growing stock) (Bull, 1997). Selain itu hal penting lainnya dari volume persediaan kayu adalah riap atau kecepatan pertumbuhan kayu dan umur kesiapan pohon untuk dijadikan bahan baku pulp. Riap berupa kecepatan pertambahan volume kayu untuk setiap ha lahan hutan pertahunnya (dinyatakan dalam m3/ha/tahun). Riap tersebut disebut sebagai (net) annual increment, yang harus mempertimbangkan faktor penghambat pertumbuhan (annual losses) yang disebabkan oleh faktor alam, seperti penyakit, kebakaran, serangan serangga, longsor, angin dan lainnya (diluar eksploitasi oleh manusia). Umur kayu yang siap diolah untuk menjadi bahan baku pulp adalah lamanya waktu yang dibutuhkan untuk tumbuhnya kayu tersebut dari mulai penanaman sampai siap tebang. Lamanya waktu tebang tergantung dari jenis (spesies) kayu dan tempat kayu tersebut di tanam. Sebagai contoh kayu jenis eucalyptus, untuk daerah subtropis umur siap tebang sekitar 12-15 tahun (Vichnevetskaia, 1997), tetapi untuk daerah tropis waktunya hanya sekitar lima sampai delapan tahun saja (Vichnevetskaia, 1997, Haryopuspito, 2001).
29 2.a. Volume kayu yang dapat disediakan Volume kayu yang berasal dari 1,03 juta ha lahan hutan yang boleh ditebang setiap tahunnya (AAC) di Kanada diperuntukan bagi kebutuhan industri hasil hutan sebanyak 193,2 juta meter kubik (m3) (NRCan, 2002). Terdapat 12.348 buah perusahaan industri hasil hutan yang menggunakan kayu sebagai bahan bakunya, yang terdiri atas 9.541 perusahaan logging, 2.144 perusahaan pengolah kayu (wood product manufacturing), dan 663 perusahaan penghasil pulp dan kertas. Dengan prakiraan luas lahan yang diperuntukan bagi tanaman pulp seluas 24 juta ha, dengan angka potensi/ volume kayu per ha yang digunakan oleh FAO sebesar 120 m3/ha (FAO, 2001) dan data NRCan sebesar 187 m3/ha (NRCan, 2001), maka persediaan kayu untuk bahan baku pulp di Kanada berkisar antara 2,8 sampai 4,5 milyar m3. Dengan produksi pulp Kanada sebanyak 26,8 juta ton, paling sedikit dibutuhkan kayu sebagai bahan baku sebanyak 134 juta m3 kayu, atau sekitar 69% dari total kayu yang boleh ditebang setiap tahunnya. Tetapi karena sebagian besar (73%) bahan baku pembuatan pulp berasal dari residu atau chips industri hasil hutan lainnya, maka bahan baku yang berasal dari kayu yang khusus diperuntukan untuk pulp jumlahnya relatif kecil. Volume kayu yang berasal dari hutan langsung hanya sekitar 36 juta m3 kayu, atau sekitar 18% dari total kayu yang disediakan untuk keperluan industri setiap tahunnya. Setiap tahun tidak kurang dari 300 juta m3 kayu yang dikonsumsi oleh masyarakat Brazil untuk keperluan energi (kayu bakar dan kayu arang) dan keperluan industri (kayu gergajian dan olahan, papan kayu dan pulp-kertas). Sepertiga dari kebutuhan tersebut (100 juta m3) telah dihasilkan dari hutan tanaman
(www.aracruz.com.br/eng/e_tunel_sem.htm).
Volume
kayu
yang
dibutuhkan oleh industri pulp dan kertas pada tahun 2000 mencapai 38,9 juta m3. Volume kayu dari perambahan hutan di Chili pada tahun 2000 sekitar 25 juta m3, dengan 18 juta m3 diantaranya kayu jenis pinus. Dari volume kayu tersebut, 85% diperoleh dari hutan tanaman serta 15% didapat dari hutan alam. Kayu yang diperoleh dari hutan, sekitar 41% digunakan untuk bahan baku industri sawnmill, 31% untuk industri pulp dan sisanya untuk keperluan lain (Catwright, 2002). Dengan memperhatikan angka tersebut maka volume kayu sekitar 7,8 juta m3
30 digunakan untuk keperluan bahan baku industri pulp. Meningkat dari 7,4 juta m3 pada tahun 1998 (http://www.uach.cl/proforma/certfor/ ingles/forestal_i.htm). Lahan hutan untuk keperluan industri di Finlandia seluas 20 juta ha dapat menyediakan sebanyak 1,9 milyar m3 kayu. Penambahan volume kayu (annual increment) untuk hutan tersebut rata-rata sebanyak 74 juta m3 setiap tahunnya. Pada sisi lain, kayu yang dapat ditebang (AAC) untuk keperluan industri rata-rata sebanyak 58 juta m3 setiap tahunnya. Sekitar setengah dari jumlah tersebut, sebanyak 28 juta m3 (1999) dan 28,9 juta m3 (2000) digunakan untuk keperluan industri pulp (Sevola, 2001). Lahan hutan di Swedia menyediakan lebih dari 3 milyar m3 kayu. Jumlah kayu yang ditebang setiap tahunnya rata-rata sekitar 66 juta m3 (FAO, 2001) sampai 80 juta m3 (Skogsindustrierna, 2004). Dari jumlah tersebut yang digunakan untuk kebutuhan industri pulp diperkirakan sebesar 26 juta m3. Volume kayu yang dapat disediakan oleh hutan Rusia jumlahnya sekitar 80 milyar m3 (CFAN, 2002) sampai 81,9 milyar m3 (Petrov, 2001, Smith dan Maximenko, 2002). Volume kayu yang dapat ditebang (AAC) setiap tahunnya mencapai 542 juta m3 (Petrov, 2001) sampai 550 juta m3 (Smith dan Maximenko, 2002). Berdasarkan kajian ekologis keberlanjutan hutan Rusia, besarnya AAC sekitar 200 – 300 juta m3 (van Gelder, 2001). Dari jumlah tersebut yang digunakan untuk keperluan bahan baku industri jumlahnya sekitar 106 juta m3 (CFAN, 2002). Kebutuhan kayu untuk industri pulp jumlahnya sekitar 22 juta m3 (diolah dari data Smith dan Maximenko, 2002). Dengan hutan seluas 109 juta ha, maka hutan Indonesia dapat menyediakan kayu sebanyak 8,2 milyar m3 (FAO, 2001). Dari 4,9 juta ha lahan yang khusus disediakan untuk HTI-pulp, 1,42 juta ha sudah direalisasikan penanamannya (Dephut, 2004a). Sekitar 949 ribu ha dari hutan yang ditanami, menyediakan kayu sebanyak 16,6 juta meter kubik setiap tahunnya. Pada sisi lain, dengan produksi pulp sebanyak enam juta ton pertahun, kebutuhan bahan baku kayu untuk pulp setiap tahun tidak kurang dari 25 juta m3.
31 2.b. Potensi kayu Potensi atau volume kayu persatuan luas lahan bervariasi untuk setiap negara. Potensi kayu di negara-negara Amerika relatif cukup tinggi, yaitu sebesar 120 m3/ha (FAO, 2001) sampai 188 m3/ha (NRCan, 2001) di Kanada, sementara di Brazil sebesar 131 m3/ha (FAO, 2001) dan di Chili sebesar 160 m3/ha (FAO, 2001). Potensi kayu tersebut lebih tinggi apabila dibandingkan dengan negaranegara Eropa, seperti di Finlandia sebesar 89 m3/ha (FAO, 2001) sampai 172 m3/ha untuk kayu jenis spruce (sejenis cemara) dan 101 m3/ha untuk jenis pinus (Sevola, 2001), di Swedia yang rata-rata sebesar 107 m3/ha (FAO, 2001) dan di Rusia sebesar 105 m3/ha (FAO, 2001). Pada sisi lain, potensi kayu di Indonesia berkisar antara 79 m3/ha (FAO, 2001) sampai 200 m3/ha (Haryopuspito, 2001) bahkan sampai 265 m3/ha (Soemitro, 2004). 2.c. Riap atau kecepatan pertumbuh kayu perluas lahan pertahun Riap kayu di suatu lahan tergantung dari iklim dan jenis kayu. Dari tujuh negara penghasil utama pulp, iklim negara-negara tersebut juga berbeda. Ada yang sebagian besar lahan hutannya berada di daerah tropis, seperti Indonesia (100% berada di daerah tropis) dan Brazil (98%). Beberapa negara sebagian besar hutannya berada pada daerah sub-tropis, seperti Chili (54%). Empat negara utama lainnya, sebagian besar hutannya berada pada daerah boreal, yaitu Kanada (74%), Finlandia (98%), Swedia (72%) dan Rusia dengan 86% (FAO, 2001). Di daerah boreal riap kayu relatif lebih lambat, hal tersebut terjadi diantaranya disebabkan oleh banyaknya matahari yang diterima oleh tanaman di daerah tersebut relatif lebih sedikit dibandingkan dengan di daerah tropis atau subtropis. Kayu di daerah boreal seperti di Kanada memiliki riap sekitar 2,4 m3/ha/tahun (FAO, 1997). Begitu juga riap rata-rata di Finlandia berkisar antara 3,7 m3/ha/th (Sevola, 2001) sampai 4,2 m3/ha/th (FAO, 2001), di Swedia antara 4,5 m3/ha/th (FAO, 2001) sampai 5,3 m3/ha/th (SI, 2001), dan di Rusia sekitar 3,5 m3/ha/th (FAO, 2001). Riap atau kecepatan petumbuhan kayu di daerah sub-tropis relatif lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah boreal. Riap rata-rata di Chili misalnya, sekitar 18,8 m3/ha/th untuk eucalyptus dan sebesar 15 m3/ha/th untuk pinus (FAO,
32 3
2001) sampai 24 m /ha/th (Catwright, 2002). Kayu jenis Pinus radiata merupakan kayu dengan pertumbuhan yang sangat tinggi untuk jenis kayu pinus, dengan riap 19 – 32 m3/ha/th (Arnold, 1990). Bahan baku kayu untuk pulp di daerah tropis relatif memiliki pertumbuhan yang tinggi dibandingkan dengan daerah boreal dan sub-tropis. Kayu untuk bahan baku pulp di daerah tropis umumnya adalah kayu jenis eucalyptus dan mangium dengan riap antara 15-64 m3/ha/th dan hanya sedikit kayu jenis pinus dengan riap yang relatif lebih rendah. Di Brazil, kayu eucalyptus yang merupakan kayu yang paling banyak ditanam, memiliki riap antara 15 m3/ha/th sampai 34 m3/ha/th (Brazilian Silviculture Society dalam Seling, 2000) bahkan sampai 46 m3/ha/th (Associação Brasileira Tecnica de Celulose e Papel - Bracelpa, 1999). Kayu lainnya, seperti pinus dan mangium memiliki riap masing-masing sekitar 11 m3/ha/th (FAO, 2000). Di Indonesia, kayu untuk bahan baku pulp sebagian besar berupa kayu mangium (Acacia mangium) yang memiliki riap sekitar 15 m3/ha/th (FAO, 2001) sampai 58 m3/ha/th (Vichnevetskaia, 1997) bahkan dapat mencapai 64 m3/ha/th (Soekotjo, 2004). Pada sisi lain, kayu pinus (Pinus caribaea) rata-rata riapnya antara 4,6 m3/ha/th (Vichnevetskaia, 1997) sampai 7,5 m3/ha/th (FAO, 2001) serta kayu eucalyptus (Eucalyptus urophylla) yang riapnya dapat mencapai 55 m3/ha/th (Vichnevetskaia, 1997). 2.d. Umur panen kayu Seperti juga riap, lamanya waktu panen/ tebang kayu untuk keperluan industri (termasuk pulp) tergantung dari jenis (spesies) kayu dan daerah tempat kayu tersebut di tanam. Lamanya waktu kayu siap tebang untuk bahan baku pulp di daerah boreal relatif lebih lama dibandingkan daerah tropis dan sub-tropis. Di daerah boreal seperti Kanada dengan bahan baku pulp sebagian besar berupa kayu jenis softwood, umur siap tebangnya sekitar 60 - 70 tahun (NRCan, 2002). Begitu juga di Finlandia, yang sebagian besar kayu yang tumbuh adalah jenis softwood seperti pinus dan birch, siap tebang sebagai bahan baku pulp sekitar antara 60 tahun (Sevola, 2001). Hal yang sama terjadi juga di Swedia, dengan kayu jenis softwood yang siap tebang pada umur 60 tahun untuk kawasan selatan Swedia, dan antara 70 tahun untuk kawasan utara Swedia (SI, 2001).
33 Umur tebang kayu untuk bahan baku pulp di daerah tropis dan sub-tropis sekitar enam sampai 15 tahun. Di Chili (daerah sub-tropis) kayu jenis pinus (Pinus radiata) yang sebagian besar digunakan untuk bahan baku (Catwright, 2002) dapat dipanen pada usia kurang dari 15 tahun (Vichnevetskaia, 1997). Pada sisi lain, di daerah tropis seperti di Brazil, kayu jenis eucalyptus dapat ditebang pada umur sekitar tujuh tahun (Vichnevetskaia, 1997), sementara di Indonesia, kayu jenis mangium dapat dipanen antara enam sampai delapan tahun (Haryopuspito, 2001). 3. Ketersediaan bahan baku lainnya Bahan baku pembuatan pulp dapat berasal dari kayu gelondongan langsung dari hutan yang kemudian dicacah menjadi serpihan-serpihan kecil (chips), dapat pula berasal dari chips (residu) yang merupakan by product dari industri pengolah kayu lainnya seperti industri sawn timber, plywood dan lainnya. Selain itu, pulp juga dapat berasal dari bahan baku non-kayu, seperti bagas, jerami, bambu dan lainnya. Pulp digunakan sebagai bahan baku utama dalam pembuatan kertas. Tetapi selain dari pulp, kertas juga dapat dibuat dari bahan lain, seperti kertas bekas. Sebagai produk substitusi pulp, kertas bekas juga memiliki peran yang besar dalam penyediaan kertas. Kertas bekas berperan penting, karena terjadinya kecenderungan penggunaan kertas bekas sebagai bahan baku pembuatan pulp (kertas), dan proses daur ulang (pengolahan) kertas bekas yang relatif telah berkembang (Sailah, 1996). Bahan baku untuk pulp di Kanada seluruhnya berasal dari kayu, dan tidak ada yang berasal dari bahan baku non-kayu (FAO, 2001). Kayu yang langsung dari hutan jumlahnya relatif lebih sedikit apabila dibandingkan dengan kayu yang berasal dari by product (chips/ residu) industri hasil pengolahan hutan lainnya. Jumlah residu tersebut sekitar 73% dari total kebutuhan bahan baku pulp. Selain itu sekitar 20% dari kertas yang dibuat di Kanada berasal dari kertas bekas yang diolah kembali (FPAC, 2002).
34 Persentase penggunaan bahan baku non kayu dalam pembuatan pulp menurut FAO jumlahnya mencapai 0,21% atau setara dengan 0,53 juta m3 dari total produksi pulp Brazil (FAO, 1997). Bahan baku tersebut berupa bagas, bambu dan bahan baku lainnya. Selain itu sebanyak 1,29 juta ton diperoleh dari kertas yang diolah kembali atau setara dengan 3,22 juta m3 kayu (FAO, 1997). Bahan baku untuk pulp di Chili seluruhnya berasal dari kayu, dan tidak ada yang berasal dari bahan baku non-kayu (FAO, 2001). Selain itu Chili juga menghasilkan kayu serpihan yang berasal dari by product industri hasil pengolahan hutan lainnya yang jumlahnya mencapai 1,6 juta m3 (UACh, 2004). Untuk bahan pembuat-an kertas, diperoleh juga dari kertas bekas sebanyak 0,14 juta ton atau setara dengan 0,34 juta m3 kayu (FAO, 1997). Bahan baku untuk pulp di Finlandia seluruhnya berasal dari kayu, dan tidak ada yang berasal dari bahan baku non-kayu (FAO, 2001). Kayu yang berasal dari hutan langsung mencapai 28,9 juta m3, sementara kayu yang berasal dari by product (chips) industri hasil pengolahan hutan lainnya mencapai 10,5 juta m3 (FFIP, 2002). Selain itu untuk bahan pembuatan kertas, diperoleh juga dari kertas bekas sebanyak 0,5 juta ton yang setara dengan 1,2 juta m3 kayu (FAO, 1997). Bahan baku untuk pulp di Swedia seluruhnya berasal dari kayu, dan tidak ada yang berasal dari bahan baku non-kayu (FAO, 2001). Selain itu untuk bahan pembuatan kertas, diperoleh juga dari kertas bekas sebanyak 1,4 juta ton yang diolah kembali dan setara dengan 3,6 juta m3 kayu (FAO, 1997). Bahan baku untuk pulp di Rusia seluruhnya berasal dari kayu, dan tidak ada yang berasal dari bahan baku non-kayu (FAO, 2001). Selain itu untuk bahan pembuatan kertas, diperoleh juga dari kertas bekas sebanyak 1,1 juta ton yang diolah kembali dan setara dengan 2,7 juta m3 kayu (FAO, 1997). 2.1.2.2. Kondisi faktor produksi Penggunaan sumberdaya produksi, dinyatakan dari banyaknya unit produksi yang digunakan serta besarnya biaya produksi. Sumberdaya produksi dalam pembuatan pulp terbagi atas bahan baku (kayu) dan bahan tambahan (kimia); energi; tenaga kerja (Statistics Canada, 2002); serta transportasi dan pemasaran (Ibnusantoso, 2000). Pada paparan di bawah, sumberdaya produksi hanya ditinjau
35 dari aspek biaya produksi dan tidak menyertakan unit (volume) produksi. Hal tersebut dilakukan karena adanya keterbatasan data yang diperoleh. Dalam hal biaya produksipun, biaya yang dikaji hanyalah biaya bahan baku kayu, biaya energi, serta biaya tenaga kerja. Hal tersebut dilakukan, karena keterbatasan kesetaraan data antar negara, sehingga biaya lainnya seperti biaya transportasi, biaya bahan kimia, dan biaya pemasaran tidak dimasukan dalam komponen biaya produksi. Pada sisi lain, pulp yang dihasilkan diukur dari banyaknya pendapatan yang diperoleh dari penjualan pulp. 1. Biaya bahan baku Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahan baku yang banyak digunakan dalam pembuatan pulp di negara-negara penghasil utama pulp adalah kayu. Dalam hal biaya, biaya bahan baku kayu (pulp timber cost) adalah besarnya biaya yang digunakan untuk membeli kayu dalam menghasilkan satu ton pulp. Biaya bahan baku kayu (Riberio et al., 2002) tersebut dipengaruhi oleh biaya pembelian kayu di hutan per satuan volume kayu atau log cost (yang dinyatakan dalam USD/m3 kayu); biaya pengangkutan kayu ke pabrik atau transportation cost (dalam USD/m3 kayu) dan faktor konversi dari kayu menjadi pulp (m3 kayu/ ton selulosa). Besarnya biaya kayu (log cost) dan biaya angkutan kayu ke pabrik pada umumnya berbeda antar negara, begitu juga dengan faktor konversi. Biaya bahan baku dan bahan kimia untuk industri pulp di Kanada mencapai 68% dari total biaya produksi. Biaya bahan baku dan kimia secara total untuk seluruh industri pulp di Kanada jumlahnya meningkat dari USD 2,3 milyar di tahun 1992 menjadi USD 3,8 milyar di tahun 2001, atau terjadi peningkatan ratarata sebesar 5,6% pertahun (Statistics Canada, 2002). Dengan produksi pulp Kanada pada tahun 2001 sebesar 25,1 juta ton (FAO, 2004), maka biaya bahan baku dan biaya bahan kimia berkisar antara USD 155,3 – 156,5 untuk setiap ton pulp yang dihasilkan. Angka tersebut tidak berbeda jauh dengan biaya bahan baku kayu tahun 2003 yang mencapai USD 154 untuk setiap ton pulp (Wright, 2003).
36 Bahan baku kayu untuk industri pulp di Brazil sebagian besar adalah kayu eucalyptus (Eucalyptus grandis dan Eucalyptus urophylla). Harga kayu jenis eucalyptus sekitar USD 13 per meter kubik (Flynn, 2002) atau untuk setiap ton pulp diperlukan biaya bahan baku kayu sebesar USD 55. Pada tahun 2003 harga kayu di Brazil berkisar antara USD 61 (Wright, 2003) sampai USD 75 perton pulp (Flynn, 2003). Kayu untuk bahan baku pulp di Chili terutama terdiri dari dua jenis kayu, sebagian besar berupa kayu pinus terutama Pinus radiata (jenis softwood) dan sebagian lainnya berupa kayu eucalyptus terutama eucalyptus globulus (jenis hardwood). Harga kayu per meter kubik untuk jenis pinus (conifer) sekitar USD 17 dan jenis eucalyptus (non-conifer) mencapai USD 28 (Flynn, 2002), atau biaya kayu untuk setiap ton pulp berkisar antara USD 72 sampai USD 118. Biaya kayu tahun 2003 untuk jenis non-conifer sebesar USD 27 per meter kubik dan conifer sebesar USD 42 perton (Flynn, 2003), sehingga biaya perton pulp sekitar USD 88 sampai USD 113. Biaya kayu untuk pembuatan softwood kraft pulp berdasarkan perhitungan dari RISI untuk setiap ton pulp sekitar USD 130 (Industry Canada, 2002). Konsumsi kayu untuk industri pulp di Finlandia, pada dasarnya terdiri dari tiga jenis kayu roundwood yaitu pinus (pine) dan spruce (jenis softwood) dan birch (kayu jenis hardwood) ditambah dengan kayu yang berasal dari chips (residu) dari industri kayu lainnya (sawmill). Berdasarkan data Finish Forest Research Institute (METLA, 2003) konsumsi kayu untuk bahan baku pulp mencapai 49,5 juta meter kubik (tahun 2002), dengan 38,6 juta meter kubik berupa kayu langsung (roundwood) dan 10,9 juta meter kubik berupa chips. Harga (delivery prices) untuk masing-masing jenis kayu setiap meter kubiknya adalah € 24,6 (USD 25,05) untuk jenis pine, € 31,2 (USD 31,79) untuk jenis spruce, € 24,7 (25,14) untuk jenis birch dan € 32,4 (USD 32,99) untuk chips. Biaya total untuk bahan baku kayu tahun 2002 mencapai € 1,31 milyar atau USD 1,34 milyar. Biaya bahan baku kayu berkisar antara € 112,01 atau USD 114,06 (METLA, 2003) sampai USD 223 untuk setiap ton pulp (Wright, 2003). Seperti juga Finlandia, kayu untuk pulp di Swedia juga terdiri dari kayu pine, spruce dan birch ditambah dengan kayu yang berasal dari chips. Pada tahun 2001
37 konsumsi kayu roundwood untuk pulp mencapai 31,5 juta meter kubik, dengan 24,7 juta meter kubiknya berupa kayu jenis coniferous (Skogsstylersen, 2003). Bahan baku pulp dari chips dan kayu sisa mencapai jumlah 11,2 juta meter kubik. Atau sekitar 26,3% bahan baku untuk pulp berupa chips dan kayu sisa. Rata-rata harga kayu untuk pulp per meter kubik sebesar SEK 234 (Skogsstylersen, 2005) atau sekitar USD 22,65. Kayu jenis pine dengan harga SEK 221 (USD 21,39), kayu jenis spruce sebesar SEK 240 (USD 23,23) dan kayu jenis birch SEK 241 (USD 23,33). Harga chips bervariasi antara SEK 80 – 87 (USD 8,21 – 8,93). Dengan harga tersebut, besarnya biaya untuk bahan baku adalah sekitar USD 73 (Skogsstylersen, 2005) sampai USD 187 (Wright, 20003) untuk setiap ton pulp. Jenis kayu yang digunakan untuk bahan baku pulp di Rusia berupa kayu jenis softwood (pine, spruce), dan jenis hardwood (birch, aspen, oak). Dibandingkan dengan negara penghasil pulp utama di Eropa lainnya, seperti Finlandia dan Swedia, biaya untuk bahan baku kayu dan chips di Rusia relatif lebih murah. Biaya bahan baku untuk kayu jenis softwood sekitar USD 142 (Graves, 2004) dan kayu jenis hardwood berkisar sebesar USD 86,58 per ton pulp tahun 2000 (Infomine, 2004). Kayu untuk bahan baku pulp di Indonesia sebagian besar adalah kayu jenis mangium (terutama Acacia mangium). Kayu mangium digunakan oleh sebagian besar pabrik pulp di Indonesia, seperti PT. Indah Kiat Pulp & Paper (PT. IKPP), PT. Riau Andalan Pulp & Paper (PT. RAPP), PT. Tanjung Enim Lestari (PT. TEL), PT. Kiani Kertas dan lainnya. Biaya kayu untuk PT. Indah Kiat Pulp & Paper rata-rata sebesar USD 19,1 per meter kubik kayu, dengan pembelian kayu dari perusahaan sendiri (PT. Arara Abadi) sebesar USD 7,8 permeter kubik dan dari pihak luar sebesar USD 42,0 per meter kubik (Goh, 2000). Biaya bahan baku kayu untuk PT. Indah Kiat Pulp & Paper mencapai 46% dari total biaya produksi, atau sebesar USD 79,6 per ton pulp. Hasil kajian Harianto (dalam Ibnusantosa, 2000) besarnya biaya bahan baku kayu dalam biaya produksi pulp serat pendek di Indonesia mencapai 31%, atau sekitar USD 111,6 per ton pulp. Biaya bahan baku kayu untuk setiap ton mencapai USD 126,2 dan meningkat menjadi USD 273 pada tahun 2002 (BPS, 2004). Kayu untuk bahan baku pulp di Indonesia menurut kajian Wood Resources International (WRI) sekitar USD 23 per meter kubik
38 (Flynn, 2002) atau untuk menghasilkan satu ton pulp dibutuhkan kayu sebesar USD 97. Biaya bahan baku kayu sampai pabrik di PT. TEL dari PT. Musi Hutan Persada (PT MHP) mencapai USD 35 permeter kubik (Djojosoebroto, 2004), sehingga untuk memproduksi satu ton pulp, diperlukan biaya sekitar USD 147. Pada sisi lain, biaya kayu di Indonesia tahun 2003 mencapai USD 21 permeter kubik (Flynn, 2003) atau sekitar USD 88 perton pulp sampai USD 128 untuk setiap ton pulp (Wright, 2003). Biaya bahan baku pulp untuk ketujuh negara diringkas dalam Tabel 3. Tabel 3. Biaya bahan baku untuk menghasilkan satu ton pulp di tujuh negara penghasil pulp utama dunia antara tahun 1999 sampai tahun 2003 Negara dan tahun Kanada 1999 Kanada 2000 Kanada 2001 Kanada 2003 Brazil 2002 Brazil 2003 Chili 2001 Chili 2002 Chili 2003 Finlandia 1999 Finlandia 2000 Finlandia 2001 Finlandia 2002 Finlandia 2003 Swedia 2001 Swedia 2003 Rusia 2000 Rusia 2002 Indonesia 1999 Indonesia 2000 Indonesia 2001 Indonesia 2002 Indonesia 2003
Biaya rata-rata perton pulp (USD) 165.5 161.1 155,3 154,0 55,0 68,5 130,0 95,0 100,5 114.2 100,0 99.4 114.1 223,0 73,0 187,0 86,6 142,0 125,0 249.9 126.2 185,2 117,5
Referensi Statistics Canada, 2002 Statistics Canada, 2002 Statistics Canada, 2002 Wright, 2003 Flynn, 2002 Flynn, 2003; Wright, 2003 Industry Canada, 2002 Flynn, 2002 Flynn, 2003 METLA, 2003 METLA, 2003 METLA, 2003 METLA, 2003 Wright, 2003 Skogsstylersen, 2005 Wright, 2003 Infomine, 2004 Graves, 2004 Goh, 2000; Ibnusantosa, 2000; BPS, 2000 BPS, 2001 BPS, 2002 Flynn, 2002 dan BPS, 2003 Flynn, 2003; Wright, 2003; Djojosoebroto, 2004
Dari paparan di atas, biaya bahan baku (kayu) untuk menghasilkan satu ton pulp bervariasi antara satu negara dengan negara lainnya dan antara satu waktu dengan waktu lainnya. Biaya bahan baku di tujuh negara utama produsen pulp berkisar antara USD 55 sampai USD 273 untuk menghasilkan setiap ton pulp. Brazil merupakan negara dengan biaya bahan baku yang rendah, berkisar antara USD 55 perton pulp sampai USD 76. Biaya bahan baku rata-rata tertinggi dicapai Finlandia dengan biaya sekitar USD 99 sampai USD 223 untuk setiap ton pulp.
39 Di negara-negara Amerika Utara dan Selatan (Kanada, Brazil dan Chili), biaya bahan baku cenderung stabil (meningkat atau menurun dengan perbedaan yang relatif kecil). Biaya bahan baku untuk industri pulp di Kanada misalnya cenderung mengalami penurunan yang relatif kecil, dari USD 165,5/ ton pulp tahun 1999 menjadi USD 154/ ton pulp tahun 2003. Begitu juga dengan biaya bahan baku di Brazil dan Chili yang relatif mengalami peningkatan yang rendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa di negara-negara Kanada, Brazil dan Chili biaya bahan baku relatif konstan dan tidak menunjukkan pergerakan biaya yang fluktuatif. Negara-negara penghasil pulp utama di Eropa (Finlandia, Swedia dan Rusia) cenderung mengalami peningkatan dalam biaya bahan baku pulp mereka. Finlandia misalnya, biaya bahan baku meningkat dari sekitar USD 99,9 tahun 2000 menjadi USD 223 tahun 2003 untuk setiap ton pulp yang diproduksi, begitu juga dengan Swedia dan Rusia. Dibandingkan dengan negara-negara lainnya, biaya bahan baku pulp di Indonesia cenderung fluktuatif. Tahun 1999 biaya bahan baku sekitar USD 125, sementara tahun 2001 mencapai USD 126, tahun 2002 meningkat menjadi USD 185 dan tahun 2003 menurun menjadi USD 117 per ton pulp yang dihasilkan. 2. Biaya energi Biaya yang dikeluarkan untuk energi dalam mengolah pulp di masingmasing negara penghasil utama pulp dunia menunjukan besaran yang berbeda. Di negara-negara Uni Eropa biaya energi berkisar antar 10 – 15% dari total biaya produksi/ manufacturing (Zollinger, 2004). Ada negara-negara dengan industri pulp yang efisien dalam memanfaatkan energi, tetapi ada juga industri pulp suatu negara yang relatif mengeluarkan anggaran yang cukup besar untuk membeli energi. Biaya untuk bahan bakar dan listrik yang digunakan di industri pulp di Kanada meningkat dari USD 356,1 juta pada tahun 1992 menjadi USD 803,7 juta tahun 2001, atau terjadi peningkatan rata-rata pertahun sebesar 9,5% (Statistics Canada, 2002). Biaya energi tersebut meningkat dari USD 13,8 tahun 1992 menjadi USD 32,0 tahun 2001, dan untuk tahun 2003 besarnya adalah USD 26
40 untuk setiap ton pulp (Wright, 2003). Biaya energi untuk memproduksi pulp di Brazil tahun 2003 cukup rendah, sekitar USD 11 untuk setiap ton pulp yang dihasilkan (Wright, 2003). Hal yang sama terjadi juga di Chili (2001), biaya energinya hanya sekitar USD 8 untuk setiap satu ton pulp (Industry Canada, 2002). Energi yang digunakan untuk industri pulp di Finlandia sebagian besar (84%) menggunakan bahan bakar yang berasal dari proses (lindi hitam), sisa kayu, gas alam dan lumut bakar (peat). Energi yang diperoleh dari lindi hitam (black liquor) mencapai 145.592 TJ (tera joule), sisa kayu 48.881 TJ, gas alam 42.068 TJ, lumut bakar (peat) 17.275 TJ, minyak bakar 15.500 TJ dan batu bara 962 TJ (FFIF, 2004; METLA, 2003). Pada sisi lain, energi tambahan diperoleh dari energi listrik yang dibangkitkan sendiri dan listrik yang dibeli dari pembangkit lain. Besarnya biaya energi tahun 2002 dengan memasukan lindi hitam sebagai energi yang dibeli, jumlahnya mencapai USD 880,3 juta atau untuk setiap ton pulp diperlukan biaya energi sebesar USD 75,1. Tetapi apabila lindi hitam merupakan energi yang diperoleh dari proses pulp sebelumnya, maka besarnya biaya energi mencapai USD 221,3 juta atau biaya energi persatu ton pulp sebesar USD 18,9 (2002). Swedia merupakan salah satu negara yang memanfaatkan bio-massa paling besar di dunia dalam proses pengolahan pulp (Zollinger, 2004). Ada tiga jenis energi
yang
digunakan
dalam
industri
pulp
dan
kertas
di
Swedia
(Skogsindustrierna, 2005), yaitu minyak, tenaga listrik dan biomasa (bio-fuel). Konsumsi minyak dalam proses pembuatan pulp dan kertas menurun setiap tahun dan pada tahun 2001 jumlahnya hanya mencapai 450.000 meter kubik saja, atau setara dengan 0.45 TWh. Konsumsi listrik cenderung meningkat dan tahun 2001 mencapai 21 TWh. Bio-fuel terdiri dari dua bentuk energi, yaitu kayu (terutama kulit kayu) dan spent liquor atau back liquor. Konsumsi energi dari kayu mencapai 0,4 juta ton setara minyak dan back liquor mencapai 2,3 juta ton setara minyak. Dari ketiga jenis sumber energi tersebut, pada tahun 2001 industri pulp dan kertas Swedia membutuhkan energi sebesar 52,5 TWh atau biaya sebesar USD 381,2 juta. Biaya untuk memproduksi pulp antara USD 12 – 16 (Wright, 2003) sampai USD 34,5 per ton pulp (Skogsindustrierna, 2005).
41 Dibandingkan dengan negara-negara Eropa lainnya, biaya energi di Rusia relatif lebih murah. Biaya energi di Rusia mencapai USD 15,5 untuk setiap ton pulp yang dihasilkan (Infomine, 2004). Besarnya biaya energi dalam biaya produksi pulp serat pendek di Indonesia mencapai 13%, atau sekitar USD 46,8 per ton pulp (Ibnusantosa, 2000). Untuk memproduksi pulp sebanyak satu ton diperlukan biaya energi pada tahun 2001 sebesar USD 12,6 (BPS, 2002), tahun 2002 mencapai USD 22 (BPS, 2003) dan tahun 2003 sebesar USD 15 (Wright, 2003). Besarnya biaya yang dikeluarkan untuk energi dalam mengolah pulp di setiap negara penghasil pulp utama dunia ditunjukkan dalam Tabel 4. Tabel 4. Biaya energi untuk menghasilkan satu ton pulp di tujuh negara penghasil pulp utama dunia antara tahun 1999 sampai tahun 2003 Negara dan tahun Kanada 1999 Kanada 2000 Kanada 2001 Kanada 2003 Brazil 2003 Chili 2001 Finlandia 1999 Finlandia 2000 Finlandia 2001 Finlandia 2002 Finlandia 2003 Swedia 2001 Swedia 2003 Rusia 2000 Indonesia 1999 Indonesia 2000 Indonesia 2001 Indonesia 2002 Indonesia 2003
Biaya rata-rata energi perton pulp (USD) 22.29 29.10 32.01 26,00 11,00 8,00 17.84 15.24 17.78 18.86 4,00 34,50 14,00 15,50 29,15 11,40 12,60 22,00 15.00
Referensi Statistics Canada, 2002 Statistics Canada, 2002 Statistics Canada, 2002 Wright, 2003 Flynn, 2003; Wright, 2003 Industry Canada, 2002 METLA, 2003 METLA, 2003 METLA, 2003 METLA, 2003 Wright, 2003 Skogsindustrierna, 2005 Wright, 2003 Infomine, 2004 Ibnusantosa, 2000, BPS, 2000 BPS, 2001 BPS, 2002 BPS, 2003 Wright, 2003
Biaya energi di ketujuh negara tersebut, kecuali Kanada relatif tidak jauh berbeda. Begitu juga dalam hal peningkatan biaya energi di masing-masing negara. Biaya energi di Kanada cenderung meningkat, meskipun dengan kenaikan yang relatif kecil. Biaya energi di Kanada meningkat dari USD 22,29 perton pulp tahun 1999 menjadi sekitar USD 26 perton pulp tahun 2003, atau mengalami peningkatan rata-rata sekitar 6% pertahun. Begitu juga di Finlandia, biaya energi untuk memproduksi satu ton pulp sekitar USD 17, yang relatif stabil. Biaya energi
42 untuk setiap ton pulp di Indonesia juga cenderung mengalami peningkatan, meskipun dengan peningkatan yang tidak terlalu tinggi. 3. Biaya tenaga kerja Secara umum, biaya tenaga kerja di negara-negara maju (Kanada, Finlandia dan Swedia) relatif lebih mahal dibandingkan di negara-negara berkembang (Brazil, Chili dan Indonesia). Biaya yang dikeluarkan untuk tenaga kerja di industri pulp Kanada mencapai jumlah USD 995,5 juta (Statistics Canada, 2002) atau biaya untuk menghasilkan satu ton pulp besarnya sekitar USD 39,7, bahkan dapat mencapai sekitar USD 45 sampai USD 51 USD untuk setiap satu ton pulp (Wright, 2003). Di Finlandia, jumlah biaya untuk membayar SDM di industri pulp mencapai € 612,2 juta atau USD 623,5 juta tahun 2002 dan € 515 juta atau 468,3 juta tahun 2001 (METLA, 2003). Biaya untuk setiap satu ton pulp sebesar € 52,2 atau USD 53,2 tahun 2002 dan € 47,0 atau USD 41,9 tahun 2001. Biaya SDM untuk setiap ton pulp di industri pulp Finlandia tahun 2003 sebesar USD 42 (Wright, 2003). Begitu juga dengan biaya tenaga kerja di Swedia yang jumlahnya mencapai USD 50 untuk setiap ton pulp yang dihasilkan (Wright, 2003). Di negara-negara dengan pendapatan perkapita menengah ke bawah, biaya tenaga kerja di industri pulp relatif lebih rendah dibandingkan dengan negaranegara maju. Di Brazil, biaya tenaga kerja untuk menghasilkan satu ton pulp diperkirakan sekitar USD 13 (Wright, 2003). Begitu juga biaya tenaga kerja di Chili, jumlahnya sekitar USD 11 untuk satu ton pulp (Industry Canada, 2002). Biaya rendah juga terjadi Indonesia, biaya untuk tenaga kerja mencapai nilai Rp. 337,6 milyar atau USD 36,3 juta pada tahun 2002 dan Rp. 326,5 milyar atau USD 31,8 juta pada tahun 2001 (BPS, 2002), atau sekitar USD 6,61 (2002) dan USD 5,80 (2001) untuk setiap ton pulp. Jaakko Poyry (Ibnusantosa, 2000) memperkirakan biaya tenaga kerja untuk setiap ton pulp di Indonesia sebesar USD 8,5 (tahun 1999) dan USD 11 (tahun 2003) untuk setiap ton pulp (Wright, 2003). Biaya tenaga kerja untuk setiap ton pulp berkisar antara USD 4,3 di Indonesia (negara berkembang) sampai USD 53,2 di Finlandia (negara maju). Biaya tenaga kerja untuk menghasilkan setiap satu ton pulp di negara-negara berkembang kurang dari USD 15 (Brazil sekitar USD 13, Chili USD 11, dan
43 Indonesia sekitar USD 8). Pada sisi lain, biaya tenaga kerja pulp di negara-negara maju di atas USD 40 untuk setiap ton pulp yang dihasilkan (Kanada sekitar USD 43, Finlandia USD 44, dan Swedia USD 50). Hal tersebut menunjukkan bahwa biaya tenaga kerja di negara-negara berkembang hanya sekitar 20 persen sampai 30 persen dari biaya tenaga kerja negara-negara maju untuk masing-masing menghasilkan satu ton pulp (Tabel 5). Tabel 5. Biaya tenaga kerja untuk menghasilkan satu ton pulp di tujuh negara penghasil pulp utama dunia antara tahun 1999 sampai tahun 2003 Negara dan tahun Kanada 1999 Kanada 2000 Kanada 2001 Kanada 2003 Brazil 2003 Chili 2001 Finlandia 1999 Finlandia 2000 Finlandia 2001 Finlandia 2002 Finlandia 2003 Swedia 2003 Rusia 2000 Indonesia 1999 Indonesia 2000 Indonesia 2001 Indonesia 2002 Indonesia 2003
Biaya rata-rata tenaga kerja perton pulp (USD) 43.2 40.1 42,4 51,0 13,0 11,0 43.7 35.9 41.9 53.2 42,0 50,0 30,0 9,7 4,3 5,8 5,6 11,0
Referensi Statistics Canada, 2002 Statistics Canada, 2002 Statistics Canada, 2002; Industry Canada, 2002 Wright, 2003 Wright, 2003 Industry Canada, 2002 METLA, 2003 METLA, 2003 METLA, 2003 METLA, 2003 Wright, 2003 Wright, 2003 Prakiraan Ibnusantosa, 2000; BPS 2000 BPS, 2001 BPS, 2002 BPS, 2003 Wright, 2004
Dalam hal stabilitas biaya tenaga kerja, pada umumnya biaya tenaga kerja di setiap negara relatif stabil. Biaya tenaga kerja di Kanada berada pada kisaran USD 40 sampai USD 50 perton pulp. Begitu juga di Finlandia yang biaya tenaga kerjanya berada pada kisaran yang sama dengan Kanada. Biaya tenaga kerja di Indonesia juga cenderung stabil, meskipun menunjukkan kecenderungan peningkatan. 4. Pendapatan dari penjualan pulp Harga jual untuk setiap satu ton pulp setiap negara berbeda. Harga tersebut dipengaruhi oleh fluktuasi harga pulp di pasaran internasional dan harga pulp di setiap negara tujuan. Untuk memperoleh harga jual satuan dalam penelitian
44 digunakan harga satuan ekspor masing-masing negara produsen. Harga satuan ekspor merupakan nilai total yang diperoleh dari ekspor pulp masing-masing negara produsen dibagi dengan banyaknya (volume) ekspor negara tersebut untuk kurun waktu yang sama. Nilai ekspor pulp Kanada misalnya, tahun 2000 mencapai USD 6,65 milyar, yang diperoleh dari ekspor pulp sebanyak 11,8 juta ton, sehingga harga jual satuan pulp Kanada untuk tahun tersebut adalah sebesar USD 559,5 perton. Harga jual satuan pulp di negara-negara penghasil pulp utama dunia berfluktuasi antara USD 239 sampai USD 613 (Tabel 6). Tabel 6. Harga jual satuan pulp negara-negara penghasil pulp No. Negara 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Kanada 1999 Kanada 2000 Kanada 2001 Kanada 2002 Kanada 2003 Brazil 1999 Brazil 2000 Brazil 2001 Brazil 2002 Brazil 2003 Chili 1999 Chili 2000 Chili 2001 Chili 2002 Chili 2003 Finlandia 1999 Finlandia 2000 Finlandia 2001
Harga satuan (USD/ ton) 383.12 559.52 413.07 366.47 545.00 351.87 531.87 373.79 595.94 688.89 339.42 605.13 397.25 382.04 417.82 351.61 558.60 449.40
No. Negara 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Finlandia 2002 Finlandia 2003 Swedia 1999 Swedia 2000 Swedia 2001 Swedia 2002 Swedia 2003 Rusia 1999 Rusia 2000 Rusia 2001 Rusia 2002 Rusia 2003 Indonesia 1999 Indonesia 2000 Indonesia 2001 Indonesia 2002 Indonesia 2003
Harga satuan (USD/ ton) 435.24 488.26 389.31 613.13 494.06 431.62 612.00 239.50 352.16 294.05 295.90 400.00 406.94 532.40 331.46 314.79 511.00
Sumber: FAO (2004), Bracelpa (2004); METLA (2004); Skogindustrierna (2005); BPS (2004)
Pada kurun waktu antara tahun 1999 sampai tahun 2002, harga jual terendah terjadi pada tahun 1999 dan harga tertinggi terjadi pada tahun 2000. Brazil memperoleh harga jual yang relatif tinggi, harga jual ekspor perton pulp mencapai USD 688 tahun 2003 dan USD 595 tahun 2002. Begitu juga dengan Swedia dan Finlandia yang mendapatkan harga jual satuan yang tinggi dibandingkan dengan negara lainnya. Harga jual satuan pulp di kedua negara tersebut rata-rata USD 482 dan USD 455 untuk setiap ton. Rusia mendapatkan harga jual yang relatif rendah dibandingkan dengan negara lainnya.
45 2.1.2.3. Dampak industri pulp terhadap lingkungan Pada dasarnya industri pulp adalah industri yang potensial sebagai sumber pencemar lingkungan. Hampir semua unit dalam proses pengolahan pulp dapat menimbulkan limbah, yang berupa limbah padat, limbah cair maupun limbah gas (Tabel 7). Beberapa unit kegiatan dalam industri pulp yang dapat menghasilkan limbah antara lain unit penyiapan bahan baku, unit pemasakan (pulping), unit pencucian (washing), unit pemutihan (bleaching), unit daur ulang bahan kimia (chemical recovery) dan unit pengolah limbah (waste water treatment facilities). Limbah pada unit penyiapan bahan baku umumnya berupa limbah padat yang berupa kulit kayu, serbuk kayu, dan cacahan kayu yang tidak digunakan (rejected chips). Limbah pada unit pemasakan (digester) berupa bau yang berasal dari metil merkaptan dan dimetil sulfida serta limbah cair yang berasal dari bahan kimia pemasak bekas (black liquor), lignin serta bahan organik. Limbah pada proses pencucian (washing) berupa limbah padat screen reject dan limbah cair (black liquor). Proses pemutihan (bleaching) merupakan unit yang paling potensial dalam mencemari lingkungan terutama apabila proses yang digunakan masih menggunakan klorin (Cl2). Limbah yang dihasilkan pada proses tersebut berupa limbah cair yang mengandung zat yang paling berbahaya yaitu jenis dioxin dan furan. Pada unit daur ulang bahan kimia, limbah yang dihasilkan terutama limbah gas yang berasal dari recovery boiler yang berupa debu (particulate), NOx, SO2, TRS (total reduced sulphur) dan CO2, serta limbah padat yang berupa dreg dan grit (Office of Compliance USA, 2002; Ministry of Environment, 2002; Syafii 2000; World Bank, 1980). Berdasarkan paparan di atas, limbah yang dihasilkan tersebut secara umum dapat dikelompokan sesuai bentuknya, yaitu limbah cair (water pollutant), limbah gas (air pollutant) dan limbah padat (solid pollutant).
46 Tabel 7. Polutan yang ditimbulkan dalam pengolahan pulp Proses
Bahan input
Output proses
Penyiapan bahan baku
Chips kayu
Furnish chips
Furnish chips Pulping (pemasakan)
Washing (pencucian)
Bahan Kimia untuk pemasakan (Na2S), NaOH, lindi putih (dari daur ulang proses kimia) Chemical Pulp dan lindi hitam
Chemical Pulp dan lindi hitam (black liquor)
o Lindi hitam o Chemical Pulp
Chemical Pulp Bleaching (pemutihan)
Fasilitas pengolah limbah cair
Hypochlorite (HClO, NaOCl, Ca(OCl)2) Klorin dioksida (ClO2) Limbah cair
Bahan bakar mineral (batu bara, minyak, dll), kayu Sistem daur ulang bahan kimia Boiler
Evaporator
Lindi hitam
Tungku daur ulang
Lindi hitam pekat
Recausticizing
Gas berbau (smelt)
Bleached pulp
Cairan yg sudah dibersihkan dari effluent Energi
Lindi hitam pekat Energi Gas beracun (smelt) Regenerasi lindi putih Limbah kapur (lime mud)
Output polutan atau parameter polutannya Kulit kayu, serpihan BOD TSS BOD COD AOX VOC TRS Organo-clorine compound TSS BOD TRS Larutan lignin dan karbohidrat COD AOX Inorganic chlorine compounds BOD TSS COD Debu
Padat
SO2, NOx, debu
gas
TRS BOD
Gas Cair
TRS, SO2, NOx
Gas
Ampas Limbah berbentuk lumpur
Padat Cair/ padat
Bentuk Padat Cair Cair
Gas Cair Gas
Cair
Cair
Sumber: Office of Compliance USA (2002); World Bank (1980)
1. Limbah cair Limbah cair yang dihasilkan oleh industri pulp dapat dikarakterisasi berdasarkan parameter lingkungan dan dampaknya bagi perairan yang dimasukinya (World Bank, 1980), seperti biochemical oxygen demand (BOD), chemical oxygen demand (COD), total suspended solids (TSS), adsorbable organic halides (AOX), pH, toksisitas, rasa (taste), bau (odor), dampak panas
(thermal effects) dan bahan organic (organic compound). Parameter yang banyak digunakan dalam mengukur kadar limbah cair pulp di beberapa negara diantaranya adalah BOD, TSS dan AOX (METLA, 2003; FPAC 2003; PT TEL, 1999). BOD menunjukkan jumlah oksigen yang diperlukan oleh mikroorganisma
47 untuk mengurai serat kayu dan efluen lainnya. Nilai BOD yang tinggi menunjukan penyerapan oksigen yang ada di dalam air untuk kebutuhan penguraian effluent juga tinggi, sehingga kadar oksigen di dalam air menipis yang dapat menyebabkan organisme lain di dalam air (seperti ikan) akan kekurangan oksigen. TSS berupa residu yang tidak tersaring, seperti kulit dan serat kayu yang berasal dari proses penyiapan bahan baku dan proses pembuatan pulp selanjutnya. TSS di dalam air akan meningkatkan kekeruhan dan menghalangi masuknya cahaya matahari ke dalam air sehingga menghambat produksi fitolankton yang menjadi makanan ikan. AOX menunjukkan senyawa halogen (seperti klorin) yang ada di dalam air, dan besarnya diprediksi berdasarkan banyaknya klorin (Cl2) dan klor dioksida (ClO2) yang digunakan dalm menghasilkan satu ton pulp kering. 1.a. Limbah cair dari pabrik pulp di Kanada Limbah cair di Kanada, pada umumnya mengalami penurunan yang signifikan sejak tahun 1989. Kandungan BOD dan TSS yang dihasilkan industri pulp di Kanada mengalami penurunan yang besar, begitu juga dengan kandungan AOX. BOD misalnya menurun dari sekitar 25 kg/ ton pulp tahun 1989 menjadi hanya sekitar 1,6 kg/ ton pulp tahun 2001. TSS juga menurun dari sekitar 10 kg/ ton pulp tahun 1989 menjadi 3,5 kg/ton tahun 2001. Hal yang sama ditunjukan oleh kandungan AOX yang menurun dari sekitar 3,9 kg/ ton pulp tahun 1989 menjadi sekitar 0,4 kg/ ton pulp tahun 2001 (FPAC, 2002).
Limbah Cair (ribu ton
210.0
AOX
Suspended Solids
BOD
160.0 110.0 60.0 10.0 (40.0)
1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 Tahun
Gambar 1. Besarnya limbah cair yang dihasilkan industri pulp di Kanada Sumber: FPAC (2003)
48 1.b. Limbah cair dari pabrik pulp di Finlandia Di Finlandia, limbah cair yang ditimbulkan dari industri pulp pada umumnya mengalami penurunan. Kandungan BOD misalnya menurun dari sekitar 100 ribu ton tahun 1985 atau sekitar 40 kg/ ton pulp menjadi 16,45 ribu ton tahun 2003 atau hanya sekitar 2,22 kg/ ton pulp. TSS juga menurun dari sekitar 50 ribu ton tahun 1990 atau sekitar 10 kg/ ton pulp tahun 1990 menjadi 21,74 ribu ton tahun 2003 atau sekitar 2,93 kg/ton. Hal yang sama ditunjukan oleh kandungan AOX yang menurun dari sekitar 2,2 kg/ ton pulp tahun 1989 menjadi sekitar 0,167 kg/
Limbah Cair (ribu ton)
ton pulp tahun 2003 (FFIF, 2004). 40.0 35.0 30.0 25.0 20.0 15.0 10.0 5.0 -
AOX Suspended Solids BOD
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun
Gambar 2. Besarnya limbah cair yang dihasilkan industri pulp di Finlandia Sumber: FFIF (2004)
1.c. Limbah cair dari pabrik pulp di Swedia Limbah cair dari industri pulp di Swedia juga mengalami penurunan. COD yang dihasilkan menurun dari 1,6 juta ton tahun 1980 menjadi hanya sekitar 360 ribu ton tahun 2004. Begitu juga halnya dengan AOX yang juga mengalami penurunan dari sekitar 30 ribu ton tahun 1980 menjadi kurang dari 2,0 ribu ton tahun 2004 (Skogsindustrierna, 2005).
49 Emisi AOX (Ribu Ton) 30 Emisi AOX
20
8
AOX (kg/ton pulp)
10 0
AOX (kg/ton pulp kimiawi) 12
1980
1990
4
2000 2004
0
Gambar 3. Penurunan limbah AOX yang dihasilkan industri pulp Swedia Sumber: Skogsindustrierna (2005)
1.d. Limbah cair dari pabrik pulp di Indonesia Belum ada data lengkap mengenai jumlah limbah cair di Indonesia secara keseluruhan yang ditimbulkan oleh industri pulp. Data mengenai limbah cair dari industri pulp yang diperoleh berupa data parsial berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) untuk beberapa pabrik pulp pada suatu waktu tertentu. Data limbah cair yang diperoleh adalah data dari PT. Inti Indorayon Utama (IIU) tahun 1994, serta data dari PT. Tanjung Enim Lestari (TEL) tahun 1998. Limbah cair BOD yang dialirkan ke sungai dari PT IIU tahun 1994 jumlahnya mencapai 101,2 mg/liter atau sekitar 6,1 kg/ton pulp (PT IIU 1995). Pada tahun 1998 limbah cair BOD yang dikeluarkan oleh PT TEL mencapai 36,6 mg/liter atau 2,2 kg/ton pulp (PT TEL 1999). Dari kedua data tersebut terlihat bahwa terjadi penurunan jumlah BOD. Begitu juga dengan TSS, yang juga mengalami penurunan dari 158 mg/liter atau 9,5 kg/ton pulp tahun 1994 menjadi 63,3 mg/liter atau 3,8 kg/ton pulp (PT IUU, 1995; PT TEL, 1999). Untuk AOX data yang tersedia hanya data tahun 1999, dengan kadar AOx mencapai 98 mg/liter atau 0,48 kg/ton pulp (PT TEL, 1999). 2. Limbah gas/ uap Limbah yang dihasilkan oleh industri pulp dalam bentuk gas diantaranya berupa debu (particulate), NOx, SO2, TRS (total reduced sulphur) dan CO2. Limbah dalam bentuk gas/uap tersebut dapat mengganggu kesehatan mahluk
50 hidup (terutama manusia dan binatang). Oleh karena itu, pengurangan jumlah partikel limbah udara dalam industri pulp menjadi hal yang penting. 2.a. Limbah gas dari pabrik pulp di Kanada Limbah uap dari industri pulp di Kanada relatif mengalami penurunan dalam jumlah dan konsentrasi. Particulate mengalami penurunan dari 3,24 kg/ ton pulp tahun 1992 menjadi sekitar 1,56 kg/ ton tahun 2001. Demikian juga dengan TRS dan Sulfur dioksida (SOx) yang mengalami masing-masing dari dari 0,69 kg/ ton pulp dan 4,29 kg/ ton pulp tahun 1992 menjadi sekitar 0,38 kg/ ton dan 3,45 kg/ ton tahun 2001 (FPAC, 2003). Meskipun penurunan tersebut sifatnya fluktuatif (Gambar 4).
Limbah gas (ribu ton
50.0 40.0 30.0 20.0
SOx TRS Particulate
10.0 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 Tahun
Gambar 4. Besarnya limbah uap/gas yang dihasilkan industri pulp di Kanada Sumber: FPAC (2003)
2.b. Limbah gas dari pabrik pulp di Finlandia Seperti juga di Kanada, kandungan limbah uap/ gas yang dihasilkan oleh industri pulp di Finlandia juga menunjukkan kecenderungan menurun. SOx dan TRS mengalami penurunan dari 7,1 ribu ton tahun 1993 menjadi sekitar 3,2 ribu ton tahun 2003. Begitu juga dengan angka particulate yang menurun dari 11 ribu ton (1993) menjadi 5,3 ribu ton tahun 2003. Pada sisi lain, jumlah NOx relatif konstan, dengan fluktuasi yang tidak besar, dengan angka sekitar 21,3 ribu ton (FFIF, 2004). Limbah persatuan ton pulp yang dihasilkan juag cenderung menurun, sulfur (SOx dan TRS), NOx dan particulate misalnya masing masing
51 menurun dari 0,75 kg/ ton, 2,26 kg/ ton dan 1,17 kg/ ton tahun 1993 menjadi 0,27 kg/ ton, 1,79 kg/ ton dan 0,45 kg/ ton tahun 2003 (Gambar 5).
Limbah uap (ribu ton
23.0 18.0 SOx dan TRS 13.0
NOx Particulate
8.0 3.0 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun
Gambar 5. Besarnya limbah uap/gas yang dihasilkan industri pulp di Finlandia Sumber: FFIF (2004)
2.c. Limbah gas dari pabrik pulp di Swedia Kandungan limbah uap/ gas yang dihasilkan oleh industri pulp Swedia yang diterbitkan oleh Federasi Industri Kehutanan Swedia (Skogsindustrierna) hanya menampilkan limbah sulfur. Besarnya limbah sulfur tersebut menurun dari sekitar 70 ribu ton tahun 1980, menjadi sekitar 6 ribu ton tahun 2004 (Skogsindustrierna, 2005).
Limbah Sulfur (Ribu Ton) 120
Produksi Pulp (Juta Ton) 12 Produksi Pulp
80
8
40
4 Limbah Sulfur
0
1980
1990
2000
0 2004
Gambar 6. Penurunan limbah sulfur yang dihasilkan industri pulp di Swedia Sumber: Skogsindustrierna (2005)
52 2.d. Limbah gas dari pabrik pulp di Indonesia Limbah uap/ gas yang dihasilkan oleh industri pulp Indonesia tercatat di PT TEL tahun 1999 terdiri dari debu (particulate) dan sulfur (TRS dan SOx). Debu dan sulfur tersebut terutama berasal dari power boiler, recovery boiler, lime klin dan dissolving tank. Jumlah debu dari keempat proses tersebut tercatat sebanyak 680 mg/m3 atau setara dengan 3,3 kg/ton pulp, sementara sulfur tercatat sebanyak 876 mg/m3 atau setara dengan 8,15 kg/ton pulp (PT TEL, 1999). 3. Limbah padat Dibandingkan dengan limbah cair dan gas yang dampaknya dapat dirasakan segera, limbah dalam bentuk padat dampaknya terjadi dalam jangka panjang. Sebagai contoh limbah padat yang ditimbun dapat menimbulkan polusi air tanah. Limbah padat dapat terdiri dari limbah yang diolah kembali untuk dibakar (di boiler) dan limbah yang langsung dibuang ke landfill. Limbah padat yang dibuang langsung ke landfill dapat berasal dari instalasi penyiapan bahan kimia (chemical preparation), boiler pembangkit energi (power boiler) dan reacausticizing yang berbentuk endapan lumpur (brine sludge), ampas (dregs dan grits) serta debu (ash dan sand). 3.a. Limbah padat dari pabrik pulp di Finlandia Limbah padat di Finlandia menurun dari sekitar 700 ribu ton tahun 1993, bahkan mencapai 940 ribu ton tahun 1992, kemudian menurun menjadi hanya sekitar 330,8 ribu ton tahun 2003 (FFIF, 2004). Selama kurun waktu sebelas tahun telah terjadi penurunan limbah sebanyak 65%, atau terjadi pengurangan limbah sebesar 9,1% pertahun. L a n d fill (r ib u to n ) 1000
800 600 400
1991
1993
1995
1997
1999
2001
2003
Gambar 7. Penumpukan limbah padat (landfill) dari industri pulp di Finlandia Sumber: FFIF (2004)
53 3.b. Limbah padat dari pabrik pulp di Indonesia Limbah padat (dibuang ke landfill) di Indonesia yang dihasilkan dari PT TEL tahun 1999 jumlahnya mencapai 57,0 ton/ hari, yang berasal dari recausticizing plant sebanyak 18,1 ton/hari, power boiler sebanyak 33,7 ton/hari dan chemical preparation sebanyak 5,2 ton/hari (PT TEL, 1999). 2.2. Perangkat Analisa Daya Saing Industri Dalam banyak hal, perbandingan variabel-variabel yang berpengaruh di dalam daya saing merupakan hal yang kompleks, karena terdapat lebih dari satu faktor yang perlu dianalisa dengan lebih dari satu entitas (unit) yang harus diperbandingkan. Oleh karena itu, di dalam melakukan analisa daya saing diperlukan perangkat analisa yang mampu menghitung peran setiap dan atau keseluruhan variabel tersebut untuk masing-masing entitas. Perangkat atau teknik mengukur daya saing sampai saat ini jumlahnya cukup banyak. Prescott dan Grant (1988) misalnya, telah mengumpulkan dan melakukan evaluasi terhadap 21 perangkat analisa daya saing. Secara umum, perangkat analisa daya saing yang sering digunakan ada yang berbasis model (model based), model matematika (ekonometrik), analisa rasio (indeks) dan metode non-parametrik. a. Perangkat analisa daya saing berbasis model Perangkat analisa daya saing berbasis model pada dasarnya dilakukan dengan mempetakan posisi suatu entitas di dalam chart atau gambar dengan basis faktorfaktor yang mempengaruhi daya saing. Beberapa perangkat analisa daya saing berbasis model yang banyak digunakan diantaranya adalah BCG (Boston Consulting Group) Industry Matrix (David, 2001), Skenario Industri (Industry Scenario), Analisa Persaingan Beragam (Multipoint Competition Analysis), Analisa Rantai Nilai (A Value Chain Analysis), Segmentasi Industri (Industry Segmentation), Kurva Pengalaman (Experience Curves), Pengkodean Pasar (Market Signaling), Analisa Kekuatan dan Kelemahan (Prescott dan Grant, 1988), Balance Scorecard (Kaplan dan Norton 1992, 1996a, 1996b), dan The Competitiveness Assessment Model (Settecase, 1999).
54 b. Perangkat analisa daya saing model ekonometrik Perangkat analisa daya saing lainnya yang banyak digunakan adalah model ekonometrik. Model ekonometrik merupakan model yang sering digunakan, dengan fungsi yang banyak digunakan adalah fungsi produksi Cobb-Dauglas. Pada model tersebut, daya saing dinyatakan sebagai fungsi output dari berbagai faktor (produksi) yang mempengaruhinya (fungsi input). Besarnya pengaruh setiap faktor input terhadap daya saing (output) tergantung dari bagaimana jenis fungsi dan derajat korelasi dari faktor tersebut (Kuntjoro, 1990; Simanjuntak, 1992; Parkan, 1994; Parkan dan Wu, 1999; Vastag, 2000; Murillo-Zamarono dan. Vega-Carvera, 2001). Model ekonometrik memerlukan bentuk fungsional hubungan input-output dengan berbagai asumsi dalam menggambarkan karakteristik setiap unit (DMU – decision making unit). Model ekonometrik umumnya hanya mengestimasi fungsi produksi rata-rata (average production function) dalam menentukan daya saing, meskipun data input dan output yang digunakan dalam estimasi belum tentu mencerminkan definisi fungsi produksi dari setiap unit produksi (Kuntjoro, 1990). Model ekonometrik relatif kompleks dengan melibatkan banyak hitungan dan pengujian statistik. Hal tersebut diantaranya karena sangat sulit mendapatkan data yang dibutuhkan dalam perubahan ekonomi yang dinamis. Data yang digunakan haruslah memenuhi uji statistik, sehingga model yang dihasilkan dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya. c. Perangkat analisa daya saing dengan analisa indeks (rasio) Analisa
rasio
atau
indeks
dalam
daya
saing
dilakukan
dengan
membandingkan antara satu atau beberapa faktor di dalam daya saing terhadap satu atau beberapa faktor lainnya. Rasio perbandingan antara faktor-faktor tersebut dijadikan sebagai alat ukur dalam membandingkan daya saing suatu entitas terhadap entitas lainnya. Beberapa perangkat analisa dengan menggunakan rasio yang banyak digunakan diantaranya adalah Revealed Comparative Advantage - RCA (Ibnusantosa 2000), Produktivitas Faktor Total atau Total Factor Productivity – TFP (Owyong, 1999; Kim, 1999), Analisa Portofolio
55 (Portfolio Analysis), Analisa Laporan Keuangan (Financial Statement Analysis) dan lainnya (Prescott dan Grant, 1988). d. Perangkat analisa daya saing dengan metode non-parametrik Penentuan daya saing dalam metode non-parametrik didasarkan kombinasi dari input dan output, tanpa mengkaji seberapa besar pengaruh setiap input tersebut terhadap output. Hal tersebut didasarkan kepada asumsi bahwa kombinasi sekumpulan input dan output akan menghasilkan suatu kondisi yang memungkinkan diperolehnya kondisi paling baik (best practice frontier) pada sekelompok unit produksi yang diuji (Kuntjoro, 1990; Suhariyanto, 1999). Penggunaan metode non-parametrik dipelopori oleh Farel (1957). Metode non-parametrik yang banyak digunakan dalam mengukur daya saing adalah Data Envelopment Analysis (DEA) yang dikembangkan oleh Charnes et al., (1978) dan Banker et al., (1984). Selain itu terdapat juga beberapa metode non-parametrik seperti Operational Competitiveness Rating Analysis (OCRA) yang dikembangkan Parkan (1994, 1999a, 199b) dan model daya saing industri (Industrial Competitiveness Model) yang dikembangkan oleh Oral (1986, 1993, 1999). Secara umum perbandingan berbagai perangkat analisa daya saing dapat dilihat pada Tabel 8.
56
Tabel 8. Perbandingan berbagai perangkat analisa daya saing Basis model Banyaknya variabel ditentukan oleh metode yang digunakan
Ekonometrik Semakin banyak variabel semakin kompleks dan rumit dalam pembuatan modelnya
Indeks/ Rasio Banyaknya variabel membutuhkan semakin banyak angka pembobotnya
Non-parametrik Pada dasarnya banyak sedikitnya variabel tidak terlalu berpengaruh dalam analisa
Hubungan antar variabel
Setiap variabel pada dasarnya independen, dan masing-masing variabel dihubungkan sesuai dengan keperluan
Variabel daya saing sangat ditentukan oleh variabel bebasnya
Variabel input dan output independen
Variabel input dan output independen
Jumlah unit yang dianalisa
Semakin banyak unit, semakin kompleks dalam penyusunan model dan dalam analisa
Semakin banyak unit, semakin valid persamaan (model) daya saing yang dibuat
Banyak sedikitnya unit tidak terlalu berperan dalam analisa
Semakin banyak unit, semakin valid dalam menggambarkan daya saing
Uji statistik
Tidak diperlukan
Sangat diperlukan untuk menentukan tingkat kepercayaan (level of confidence)
Pada kondisi tertentu diperlukan
Pada dasarnya tidak diperlukan, meskipun dapat dilakukan
Horizon waktu
Waktu tertentu
Waktu tertentu
Waktu tertentu
Dapat menyertakan waktu yang berbeda
Penentuan daya saing
Ditentukan dari angka atau posisi tertinggi
Dari nilai tertinggi yang dicapai
Dari nilai tertinggi yang dicapai
Dari nilai tertinggi yang dicapai
Nilai tertinggi yang dapat dicapai
Tidak ada batas tertinggi dan terendah
Tidak ada batas tertinggi dan terendah
Tidak ada batas tertinggi dan terendah
Nilai tertinggi berupa nilai tertentu seperti 1,00 atau 0,00
Penentuan nilai dalam daya saing
Sesuai dengan nilai yang dapat dicapai oleh masing-masing unit
Sesuai dengan nilai yang dapat dicapai oleh masing-masing unit
Sesuai dengan nilai yang dapat dicapai oleh masing-masing unit
Relatif terhadap unit lain yang dibandingkan
Jumlah variabel
Sumber: Oral (1986, 1993, 1999); Prescott dan Grant (1988); Kuntjoro (1990); Simanjuntak (1992); Kaplan dan Norton (1992, 1996a, 1996b); Parkan (1994); Settecase (1999); Parkan dan Wu (1999); Owyong (1999); Kim (1999); Suhariyanto (1999); Vastag (2000); Ibnusantosa (2000); Murillo-Zamarono dan Vega-Carvera (2001); David (2001).
57 Dari berbagai perangkat analisa daya saing di atas, setiap metode daya saing pada umumnya memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing. Untuk menganalisa daya saing industri yang khusus seperti pulp, maka perlu dipilih dan dikembangkan metode yang tepat yang sesuai dengan karakter industri pulp dan keterbatasan data yang tersedia. Pemilihan metode memerlukan pertimbangan sebagai berikut. 1. Terbukti mampu menggambarkan perbandingan daya saing suatu perusahaan/ industri terhadap perusahaan/ industri lainnya. 2. Terbukti handal dan hasil analisa mudah untuk diinterpretasikan. 3. Mampu menganalisa daya saing dengan data terbatas dan memungkinkan penggunaan satuan data input/ output yang berbeda. 4. Relatif sederhana dengan independensi input dan output yang tinggi. Dengan berbagai pertimbangan di atas, dipilih metode non-parametrik sebagai peangkat analisa daya saing industri pulp. Metode non-parametrik yang digunakan sebagai perangkat analisa adalah DEA dan OCRA. DEA dipilih karena sanggup menggambarkan daya saing suatu unit/perusahaan/industri terhadap unit/perusahaan/industri lainnya dengan satuan input dan output yang berbeda. Selain itu DEA juga sanggup peningkatan/ penuruan kapasitas industri sesuai dengan kapasitas efisiennya. OCRA dipilih, karena relatif sederhana dan tidak membutuhkan data yang terlalu banyak. Selain itu, OCRA juga dapat menentukan peringkat daya saing dari setiap unit (entitas). 2.2.1. Data Envelopment Analysis (DEA) DEA merupakan metode pendekatan berorientasi data (data oriented) yang salah satu fungsinya adalah untuk mengevaluasi kinerja atau daya saing sekumpulan entitas (unit produksi, unit usaha, perusahaan/ organisasi, industri, daerah atau negara) yang dinamai sebagai DMU (decision making unit) dengan melakukan konversi sekumpulan input terhadap sekumpulan output (Copper et al., 2003). DEA diperkenalkan oleh Charnes, Cooper dan Rhodes (Charnes et al., 1978) yang kemudian dikenal dengan DEA CCR dan kemudian oleh Banker, Cooper dan Charnes (Banker et al., 1984) yang dikenal dengan DEA BCC. DEA merupakan metode analisa daya saing non-parametrik yang paling banyak
58 digunakan dan dikembangkan. Sampai tahun 1996 saja tidak kurang dari 1.333 makalah, disertasi dan working paper/ research report yang diterbitkan oleh 198 jurnal ilmiah terkemuka dunia dan berbagai universitas ternama di dunia (http://www.warwick.ac.uk/~bsrlu/). DEA dikembangkan dengan diilhami oleh makalahnya Farrell (1957) dengan judul, “The Measurement of Productive Efficiency” dalam Journal of the Royal Statistical Society (Cooper et al., 2003) yang memerlukan metode dan model untuk mengevaluasi produktivitas. Farrell (1957) mengunakan istilah ukuran efisiensi untuk menggambarkan bagaimana pemanfaatan input - dengan asumsi akses yang sama oleh setiap DMU - dalam menghasilkan output. Pada dasarnya efisiensi adalah perbandingan antara output terhadap input, yang dinyatakan dengan: Efisiensi =
Output Input
(1)
Efisiensi pada persamaan (1) diukur dengan jumlah input dan output masingmasing satu buah. Apabila jumlah input dan output lebih dari satu, maka perhitungan menjadi lebih kompleks. Selain itu, untuk jumlah input dan output yang banyak, peran setiap input atau output terhadap daya saing juga berbeda. Oleh karena itu, Farrell dan Fieldhouse (Dyson et al., 1990) mengembangkan efisiensi hipotesis entitas (unit) dengan memberi pembobotan terhadap input dan output sebagai pernyataan efisiensi unit. Ukuran efisiensi relatif DMU diperluas dan dinyatakan sebagai berikut. Efisiensi =
Jumlah output terbobot Jumlah input terbobot
(1a)
Apabila sejumlah K buah DMU (k = 1,2, ... K) yang dianalisa daya saingnya menggunakan sejumlah I buah input (i = 1,2, .. I) untuk menghasilkan sejumlah J buah output (j = 1,2, ... J), maka efisiensi DMU ke-k pada persamaan (1a) dengan menggunakan notasi dapat dinyatakan sebagai: Efisiensi entity atau unit k =
µ1 y1k + µ 2 y 2 k + ..... + µ J y Jk , ν 1 x1k + ν 2 x 2 k + ...... + ν I y Ik
59 atau : J
Efisiensi DMU ke − k =
∑µ j =1
j
y jk
(2)
I
∑ν i =1
i
xik
dengan: µj = pembobot output j, yjk = nilai output j untuk unit k,
νi = pembobot input i, xik = nilai input i untuk unit k, i
= banyaknya input, dari 1 sampai I,
j
= banyaknya output, dari 1 sampai J,
k
= banyaknya entitas atau unit, dari 1 sampai K.
Nilai efisiensi tersebut berkisar antara 0 sampai dengan 1. 1. DEA berorientasi input Asumsi mendasar dari persamaan (2) di atas adalah bahwa bobot yang diberikan berlaku untuk semua unit. Oleh karena itu, pembobotan untuk input dan output dianggap memiliki satuan yang setara. Padahal mungkin saja dan sering terjadi, masing-masing input dan atau output memiliki satuan yang berbeda. Untuk hal tersebut, Charnes et al., (1978) mengakomodasi perbedaan satuan input dan output tersebut dan menggunakan pembobotan yang berbeda, dan memungkinkan setiap unit dinyatakan sebagai DMU untuk menggunakan sekumpulan set pembobotan sebagai pembanding terhadap unit atau DMU lainnya. Dengan kondisi tersebut, maka efisiensi dari DMU ke-k dapat dinyatakan sebagai berikut. Maksimumkan efisiensi DMU ke-k0, Dengan kendala efisiensi semua DMU lebih kecil atau sama dengan 1. Angka satu (1) menunjukkan bahwa efisiensi maksimum yang dapat dicapai oleh setiap DMU adalah 100% atau satu (1,00). Dengan menggunakan persamaan matematika, pernyataan di atas dapat dituliskan menjadi.
60 Fungsi tujuan: J
MaxZ 0 =
∑µ j =1 I
j
y jk 0
∑ν x
i ik 0
i =1
dengan kendala: (3)
J
∑ µ j y jk j =1 I
∑ν x i =1
i
≤ 1 untuk setiap DMU k
ik
µ jν i ≥ 0 Z0 adalah efisiensi dari unit ke-k0. Efisiensi maksimum yang dapat dicapai oleh setiap entitas adalah 100% (=1). Nilai Z0 = 1, menunjukkan entitas (unit atau DMU) ke-k0 relatif lebih efisien (lebih berdaya saing) dibandingkan dengan DMU lain. Sebaliknya apabila nilai Z0 kurang dari 1, maka terdapat DMU lain yang relatif lebih efisien dibandingkan dengan DMU ke-k0. DMU dengan nilai Z0 sama dengan satu disebut sebagai best practice frontier. Fungsi kendala dinyatakan dalam bentuk pertidaksamaan yang memiliki nilai sama atau kurang dari satu. Hal tersebut menunjukkan bahwa perbandingan antara semua output terbobot terhadap semua input terbobot untuk setiap DMU ke-k, memiliki nilai yang sama atau kurang dari efisiensi maksimum (≤ 1). Nilai pembobot (µj, νi) tidak ditentukan oleh besarnya nilai input dan atau output tetapi tergantung dari hasil perhitungan optimal linear programming (LP) dari setiap DMU. Nilai pembobot untuk masing-masing DMU memiliki angka yang berbeda. Persamaan (3) merupakan program linier pecahan. Dalam menyelesaikannya, persamaan tersebut harus dikonversikan menjadi persamaan/ pertidaksamaan linier sehingga metode LP dapat digunakan. Proses linierisasi dilakukan melalui proses transformasi.
61 Fungsi Tujuan
Memaksimumkan fungsi tujuan yang berupa pecahan sama dengan memaksimumkan kombinasi dari pembilang dan penyebut secara bersama, dan bukan memaksimumkan fungsi pembilang dan penyebut secara sendiri-sendiri. Memaksimumkan fungsi tujuan dengan hanya memaksimumkan fungsi pembilang dapat dilakukan apabila fungsi penyebut dikondisikan konstan (Dyson et al. 1990; Bosetti, et al., 2004). Meskipun demikian, proses transformasi dari fungsi linier pecahan menjadi bentuk program linier, menurut Charnes dan Cooper, (1962, diacu dari Cooper et al., 2003) tidak dapat dilakukan secara langsung. Transformasi dilakukan selain dengan mengkondisikan persamaan fungsi penyebut menjadi konstan, tetapi juga dengan mengubah variabel bobot input dan output, yang dikenal sebagai transformasi Charnes-Cooper (Cooper et al., 2003; Bowlin, 2000; Maital dan Vaninsky, 2001). Dengan mengkondisikan fungsi penyebut
I
∑ν i =1
i
xik 0 dengan nilai satu (= 1)
atau konstan (Dyson et al., 1990; Bosetti, et al., 2004), sama dengan menjumlahkan seluruh biaya input yang dikeluarkan oleh DMU ke-k0 dikondisikan sama dengan 1,00 (Bosetti, et al., 2004). J
Fungsi tujuan: MaxZ 0 =
∑µ j =1 I
∑ν i =1
i
y jk 0
∑ν x i =1
I
j
i
, dilinierkan dengan membuat fungsi penyebut ik 0
xik 0 sama dengan satu, sehingga fungsi tujuan menjadi:
Max h0 =
J
∑µ j =1
j
y jk 0
62 Fungsi Kendala
Linierisasi fungsi kendala dilakukan dengan operasionalisasi aljabar, yaitu dengan mengalikan bagian kiri dan kanan pertidaksamaan dengan fungsi penyebut, kemudian bagian kiri dan kanan pertidaksamaan dikurangkan dengan fungsi penyebut. Fungsi kendala: J
∑µ j =1 I
j
y jk
∑ν x i
i =1
≤1 ik
masing-masing sisi (kiri dan kanan pertidaksamaan) dikalikan dengan fungsi I
penyebut ( ∑ν i xik ), i =1
J
∑µ j =1 I
j
y jk
∑ν x i =1
i
I
I
i =1
i =1
(∑ν i xik ) ≤ ∑ν i xik
ik
sehingga diperoleh: J
I
j =1
i =1
∑ µ j y jk ≤ ∑ν i xik I
masing-masing sisi dikurangkan dengan fungsi penyebut ( ∑ν i xik ), i =1
J
∑µ j =1
j
I
I
I
i =1
i =1
i =1
y jk − ∑ν i xik ≤ ∑ν i xik − ∑ν i xik
sehingga: J
I
j =1
i =1
∑ µ j y jk − ∑ν i xik ≤ 0 Dengan melakukan linierisasi terhadap fungsi tujuan dan fungsi kendala, linear programming persamaan (3) menjadi:
63 Fungsi tujuan: J
Max h0 = ∑ µ j y jk 0
(4)
j =1
dengan kendala: I
∑ν i =1
i
xik 0 = 1 (konstan)
J
I
j =1
i =1
(4a)
∑ µ j y jk − ∑ν i xik ≤ 0 , untuk setiap k,
(4b)
µj, νi ≥ 0
(4c)
Persamaan (4) di atas merupakan pengkondisian terhadap fungsi penyebut (fungsi input) untuk konstan. Pengkondisian fungsi input menunjukan bahwa model lebih berorientasi kepada input (input oriented). Persamaan diatas adalah persamaan LP primal, dan merupakan model DEA dasar yang dikembangkan oleh Charnes, Cooper dan Rhodes (Charnes et al., 1978), yang dikenal dengan DEA CCR primal. Model persamaan (4) memiliki fungsi kendala yang cukup banyak, yaitu kendala sebanyak satu buah untuk persamaan (4a), sebanyak jumlah DMU (K) buah untuk pertidaksamaan (4b), dan sebanyak jumlah variabel input dan output (I + J) untuk pertidaksamaan (4c), sehingga total pertidaksamaan mencapai 1+K+I+J buah. Misalnya apabila jumlah DMU-nya ada 50 buah (K = 50), variabel input sebanyak lima buah (I = 5), dan variabel outputnya sebanyak empat buah (J = 4), maka jumlah kendala mencapai = 50 + 5 + 4 + 1 = 60 buah. Suatu jumlah yang cukup banyak. Untuk menyederhanakan jumlah fungsi kendala yang cukup banyak, maka dapat dilakukan dengan mengubah variabel-variabel kendala dari model primal (persamaan 4) menjadi variabel yang setara (dual). Perubahan dari primal menjadi dual dilakukan dalam linear programming melalui proses transformasi*). *)
Proses transformasi dari primal menjadi dual dilakukan dengan menuliskan fungsi kendala model primal dalam bentuk canonical (untuk fungsi tujuan memaksimumkan, maka fungsi kendala diformat dalam bentuk pertidaksamaan lebih kecil atau sama dengan). Sesudah fungsi kendala primal diubah, kemudian bagian kanan pertidaksamaan fungsi kendala primal dinyatakan menjadi fungsi tujuan dual dengan fungsi meminimumkan (kebalikan fungsi primal), sementara bagian kiri pertidaksamaan fungsi kendala primal menjadi fungsi kendala dual dengan fungsi memaksimumkan (Wu dan Coppins, 1981; Hadley, 1980).
64 Model DEA dual hasil proses transformasi adalah sebagai berikut. Fungsi tujuan:
Min θ dengan kendala: K
∑λ x k
ik
≤ θxik 0
k =1 K
∑λ
k
(5)
y jk ≥ y jk 0
k =1
λk ≥ 0 Model (5) di atas hanya memiliki fungsi kendala sebanyak jumlah variabel input ditambah variabel output, yaitu I + J (untuk contoh di atas hanya 5 + 4 = 9 buah) kendala. Dalam LP, semakin banyak fungsi kendala semakin sulit untuk dipecahkan. Oleh karena itu, model dual lebih mudah dipecahkan dibandingkan dengan model primal tanpa mengubah perolehan hasil. Dalam model dual terdapat variabel perantara yaitu (λk ) yang merupakan harga bayangan (shadow price) yang berhubungan dengan fungsi kendala yang membatasi nilai daya saing (efisiensi) setiap unit (DMU) tidak lebih dari satu.
65 2. DEA berorientasi output
Selain model persamaan (4 dan 5) yang lebih beroreintasi input, model juga dapat dilihat dari sisi output atau berorientasi output (output oriented). Pada model berorientasi output, efisiensi dengan memaksimumkan fungsi output dibagi input sama dengan efisiensi yang meminimumkan fungsi input dibagi output. Model persamaan (3) dapat diubah sebagai berikut. Fungsi tujuan: I
Min Q0 =
∑ν x i =1 J
i ik 0
∑µ
j
y jk 0
j =1
dengan kendala: (6)
I
∑ν x
i ik
≥ 1 untuk setiap DMU k
i =1 J
∑µ j =1
j
y jk
µ jν i ≥ 0 Dalam bentuk linier. Fungsi tujuan:
I
Min Q0 = ∑ν i xik 0 i =1
dengan kendala: J
∑µ
j
(7)
y jk 0 = 1
j =1
I
J
∑ν x − ∑ µ i ik
i =1
j
y jk ≥ 0 untuk setiap k
j =1
µ jν i ≥ 0 Model (7) merupakan model DEA primal.
66 Model DEA dual yang berorientasi output, diperoleh dari model primal dengan melalui proses transformasi, sehingga diperoleh model sebagai berikut. Fungsi tujuan:
Max φ dengan kendala: K
∑λ
k
xik ≤ xik 0
k
y jk ≥ φy jk 0
(8)
k =1 K
∑λ k =1
λk ≥ 0
3. DEA BCC
DEA selain dikembangkan oleh Charnes, Cooper dan Rhodes (Charnes et al., 1978) yang dikenal dengan DEA CCR juga dikembangkan oleh Banker, Cooper dan Charnes (Banker et al., 1984) yang dikenal dengan DEA BCC. Perbedaan antara DEA CCR dengan DEA BCC adalah pada DEA BCC ditambahkannya fungsi kendala:
K
∑λ k =1
k
= 1 , pada model dual baik yang berorientasi input maupun
yang berorientasi output. Oleh karena itu, model persamaan (5) dan (8) berubah sebagai berikut. DEA BCC berorientasi input
Fungsi tujuan
Min θ dengan kendala: K
∑λ x k
ik
≤ θxik 0
k =1 K
∑λ
k
y jk ≥ y jk 0
k =1 K
∑λ
k
k =1
λk ≥ 0
=1
(9)
67 DEA BCC berorientasi output
Fungsi tujuan:
Max φ dengan kendala: K
∑λ
k
xik ≤ xik 0
k =1 K
∑λ
k
(10)
y jk ≥ φy jk 0
k =1 K
∑λ
k
=1
k =1
λk ≥ 0
Penambahan fungsi kendala
K
∑λ k =1
k
= 1 berdampak kepada evaluasi return to scale
(Banker, et al., 2003), sehingga return to scale dapat dikelompokan dengan kategori meningkat (increasing), konstan (constant) atau menurun (decreasing). Dengan model tersebut, maka suatu DMU dapat dievaluasi apakah DMU tersebut sebaiknya meningkatkan, menurunkan atau membuat tetap kapasitasnya. Model DEA BCC lebih kepada VRS - variabel return to scale sementara DEA CCR lebih berupa CRS - constant return to scale (Cooper et al., 2003). 2.2.2. Operational Competitiveness Rating Analysis (OCRA)
Metode OCRA merupakan salah satu metode non-parametrik dalam mengukur daya saing. Metode yang dikembangkan oleh Parkan (1994, kemudian diterapkan oleh Jayanti et al. 1999; Parkan dan Wu, 1999a, 1999b; Agrell dan West
2001)
tersebut
mengukur
daya
saing
berdasarkan
perbandingan
ketidakefisienan relatif antara satu entitas (DMU) dengan DMU lainnya. Perbandingan dilakukan dengan menghitung ketidakefisienan penggunaan sumberdaya (input) dan ketidakefisienan dalam menghasilkan pendapatan (output) dari setiap DMU.
68 Misal, terdapat sejumlah K (k = 1, 2, .... K) DMU yang akan dianalisa daya saingnya, dimana setiap DMU menggunakan sumberdaya (input) sebanyak I (i = 1, 2, .... I) untuk membangkitkan pendapatan (output) sebanyak J (j = 1, 2, .... J), dengan vektor xk = (x1k, x2k, ......., xIk) dan yk = (y1k, y2k, ......., yJk) menyatakan biaya (cost) dan pendapatan (revenue) dari DMU ke-k. Fungsi E dari (x, y) didefinisikan sebagai nilai untuk mengukur daya saing operasional relatif DMU dalam mengubah input sumberdaya menjadi output pendapatan. Suatu DMU ke-k memiliki kinerja (daya saing) terbaik dibandingkan dengan DMU lainnya, apabila nilai fungsi DMU ke-k, Ek = E(xk, yk) adalah yang terkecil, yang menunjukkan bahwa DMU tersebut ketidakefisienannya terendah. Kinerja atau daya saing relatif E(x,y) tersebut merupakan kombinasi antara kinerja penggunaan sumberdaya yang dinyatakan dengan C(x) dengan kinerja pembangkitan pendapatan yang dinyatakan dengan R(y). Oleh karena itu, di dalam OCRA penentuan
daya
mengkombinasikan pembangkitan
saing
operasional
kinerja
masing-masing
pendapatan.
Kinerja
keseluruhan
diperoleh
penggunaan
penggunaan
dengan
sumberdaya
sumberdaya,
dan
kinerja
pembangkitan pendapatan dan kinerja operasional keseluruhan dihitung sebagai berikut. (a) Rating kinerja penggunaan sumber daya dari suatu DMU ke-k, atau Ck, diperoleh dengan menghitung masing-masing rating kinerja penggunaan sumber daya dari semua input ke-i (Cik). C ik =
a i [ xik − min {xik }] k =1, 2 ,..., K
min {xik }
k =1, 2 ,.., K
min {xik } merupakan nilai terkecil dari sumberdaya (input) ke-i untuk
k =1, 2 ,.., K
seluruh DMU, dan ai adalah konstanta kalibrasi. Rating kinerja penggunaan sumber daya untuk setiap DMU (Ck) merupakan penjumlahan dari kinerja penggunaan sumber daya dari semua input (i = 1, 2, ... I) dibandingkan dengan kinerja penggunaan sumber daya terkecil. I I C k = ∑ C ik − min ∑ C ik k =1, 2 ,... K i =1 i =1
69 I
Ck = ∑ i =1
ai [ xik − min {xik }] k =1, 2 ,..., K
min {xik }
k =1, 2 ,.., K
I a i [ xik − min {xik }] k =1, 2 ,..., K − min ∑ k =1, 2 ,... K min {xik } i =1 k =1, 2 ,.., K
(11)
min {C k } adalah nilai ketidakefisienan penggunaan sumber daya terkecil.
k =1, 2 ,.., K
(b) Rating kinerja pembangkitan pendapatan DMU ke-k, atau Rk, diperoleh dengan menghitung masing-masing rating kinerja pembangkitan pendapatan dari semua output ke-j (Rjk). R jk =
b j [ max { y jk } − y jk ] k =1, 2 ,..., K
min { y jk }
k =1, 2 ,.., K
max {y jk } merupakan nilai terbesar dari pendapatan (output) ke-j untuk
k =1, 2 ,.., K
seluruh DMU, dan bj adalah konstanta kalibrasi. Rating kinerja pembangkitan pendapatan untuk setiap DMU (Rk) merupakan penjumlahan dari kinerja pembangkitan pendapatan dari semua output (j = 1, 2, ... J) dibandingkan dengan kinerja pembangkitan pendapatan terbesar. J J Rk = ∑ R jk − max ∑ R jk k =1, 2 ,... K j =1 j =1
J
Rk = ∑ j =1
b j [ max { y jk } − y jk ] k =1, 2 ,..., K
min { y jk }
k =1, 2 ,.., K
J b j [ max { y jk } − y jk ] k =1, 2 ,..., K − min ∑ k =1, 2 ,... K min { y jk } j =1 k =1, 2 ,.., K
(12)
max {Rk } adalah nilai pembangkitan pendapatan terbesar untuk seluruh
k =1, 2 ,.., K
DMU. (c) Rating kinerja operasional DMU ke-k, atau Ek, merupakan penjumlahan antara rating Ck dan Rk yang dihitung setelah kedua rating tersebut diberi bobot, dibandingkan (dikurangkan) dengan nilai terkecilnya. Ek = wc Ck + wr Rk - min { wc Ck + wr Rk} n =1, 2 ,.., K
(13)
wc dan wr merupakan konstanta (pembobot) yang mencerminkan kepentingan relatif dari input dan output. Dengan memasukkan persamaan (11) dan (12) maka persamaan (13) di atas menjadi:
70 I
E k = wc ∑
a i [ xik − min {xik }] k =1, 2 ,..., K
min {xik }
i =1
j =1
k =1, 2 ,.., K
I
min {wc ∑
k =1, 2 ,.. K
i =1
J
+ wr ∑
ai [ xik − min {xik }] k =1, 2 ,..., K
min {xik }
k =1, 2 ,.., K
b j [ max { y jk } − y jk ] k =1, 2 ,..., K
min { y jk }
-
k =1, 2 ,.., K
b j [ max { y jk } − y jk ] k =1, 2 ,..., K + wr ∑ } min { y jk } j =1 J
k =1, 2 ,.., K
(13a) nilai Ek terkecil min {E k } diperoleh dengan membandingkan dengan nilai Ek k =1, 2 ,.., K
lainnya. Semakin kecil rating Ek, semakin kecil ketidakefisienan DMU ke-k, sehingga daya saing operasional relatif DMU tersebut semakin baik. DMU dengan daya saing operasional terbaik memiliki rating operasional daya saing sama dengan nol. Konstanta Kalibrasi Konstanta kalibrasi menggambarkan bagaimana hubungan relatif antara input dan output, dan dinayatakan sebagai berikut. I
∑ aki = i =1
J
∑b j =1
kj
= wc + wr = 1,
(14)
Dalam menentukan konstanta kalibrasi, Parkan (1994) menggunakan asumsi bahwa konstanta kalibrasi proposional terhadap biaya yang dikeluarkan dan pendapatan yang dibangkitkan. Nilai konstanta kalibrasi suatu input, proporsional terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan oleh input tersebut, begitu juga untuk konstanta kalibrasi output. Nilai konstanta kalibrasi mencerminkan kepentingan relatif masing-masing input dan output. Input dengan nilai yang lebih besar dari input lainnya diberi nilai konstanta kalibrasi yang juga relatif besar. Terdapat empat konstanta yang digunakan dalam OCRA, yaitu konstanta kalibrasi input ai dan wc serta konstanta kalibrasi output bj dan wr. Konstantakonstanta kalibrasi tersebut dihitung dengan cara sebagai berikut.
71 (a) Konstanta wc dan wr sebagai pangsa rata-rata total biaya dan pendapatan, dihitung sebagai berikut.
I ∑ xik ∑ k =1 i =1 wc = K
J I ∑ xik + ∑ y jk j =1 i =1 K
J ∑ y jk ∑ k =1 j =1 K
wr =
(15)
J I ∑ xik + ∑ y jk j =1 i =1 = 1 − wc K
(b) Konstanta kalibrasi ai dan bj dihitung dengan:
K
ai =
I
∑ x ∑ x k =1
ik
i =1
ik
K
y jk ∑ k =1 bj = K
J
∑y j =1
K
jk
, i = 1,2,...., I
(16)
, j = 1,2,...., J
konstanta kalibrasi ai sebagai pangsa biaya rata-rata dari biaya kategori ke-i dan bj adalah pangsa pendapatan rata-rata dari pendapatan kategori ke-j. 2.3. Strategi Peningkatan Daya Saing Industri
Strategi dipengaruhi dan mempengaruhi daya saing suatu organisasi. Di dalam perumusan strategi, faktor-faktor penentu daya saing mempengaruhi perumusan dan pemilihan strategi (David, 2001; Li dan Deng, 1999; Quezada et al., 1999; Render dan Heizer, 1997, Schroeder, 1993; Oral, 1993; Porter, 1980, 1990). Begitu juga strategi organisasi memberikan pengaruh yang besar dalam peningkatan daya saing organisasi sehingga organisasi tersebut memiliki keunggulan kompetitif dibandingkan dengan para pesaingnya (Demeter, 2003; Tracey et al., 1999; Tunalv, 1992). Strategi dan strategi bersaing bagi organisasi dipengaruhi oleh tujuan yang akan dicapai oleh organisasi tersebut dan cara untuk mencapainya. Dalam merumuskan strategi daya saing, para peneliti umumnya memaparkan definisi
72 strategi sehingga dapat ditentukan arah yang akan dicapai organisasi. Terdapat berbagai definisi mengenai strategi, diantaranya strategi sebagai suatu rencana aksi/ visi/ cara organisasi untuk mencapai misi atau tujuan/ goal/ objective jangka panjang (Porter, 1990, Schroeder, 1993; Render dan Heizer, 1997; David, 2001) supaya organisasi memiliki keunggulan kompetitif dibandingkan dengan pesaingnya (Schroeder, 1993). Dalam perumusan strategi ada berbagai metode yang dikembangkan. Pada dasarnya dalam perumusan strategi, setiap metode melakukan analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing industri yang dikenal sebagai faktor kunci (key factors - David, 2001), atau faktor determinan (determinant factors - Li dan Deng, 1999), atau faktor utama (major factors - Oral, 1993, 1986), atau kompetensi yang berbeda (distinctive competencies - Porter, 1990, 1980; Schroeder, 1993), atau faktor sukses kritis (critical success factors - Quezada et al., 1999), atau tugas-tugas penting (Render dan Heizer, 1997). Dari faktor-faktor tersebut atau kombinasi faktor-faktor tersebut dapat dirumuskan strategi yang tepat untuk mempertahankan atau meningkatkan keunggulan bersaing. Strategi yang dirumuskan berupa penanganan khusus kepada faktor-faktor tersebut supaya perannya lebih optimal dengan cara yang efektif. Beberapa metode perumusan strategi, faktor yang dianalisa, faktor kunci, formulasi strategi dan sasaran yang hendak dicapai digambarkan dalam Tabel 9.
74
Tabel 9. Metode perumusan strategi dengan faktor kunci dan sasaran strategisnya Metode Formulasi Strategi Strategi Generik (Porter)
Analisa Terhadap Struktur industri dan positioning dalam industri
Faktor Kunci/ Kritis Key distinctive competencies
Formulasi Strategi Dari kombinasi key distinctive competencies
Sasaran Meningkatkan kemampuan key distinctive competencies
SWOT (David)
Faktor internal dan eksternal
Critical key factors
Dari kombinasi critical key factors
Meningkatkan kemampuan critical key factors
Matriks BCG
Pangsa pasar dan laju pertumbuhan industri
Key factors
Dari kombinasi key factors
Meningkatkan kemampuan key factors
Grand Strategy
Posisi Persaingan dan Pertumbuhan Pasar
Key factors
Dari kombinasi key factors
Meningkatkan kemampuan key factors
Strategi Operasi (Schroeder)
Faktor eksternal dan internal serta visi Dramatic effects organisasi
Dari kombinasi dramaitic effects
Meningkatkan kemampuan dramatic effects
Strategi Daya Saing (Oral)
Perbedaan antara tingkat daya saing sekarang dan daya saing potensial
Major factors
Dari major factors
Meningkatkan kemampuan major factors
Strategi C-P (Li dan Deng)
Keunggulan kompetitif dan tujuan strategis
Determinant factors
Dari kombinasi determinant factors dengan strategic goals
Meningkatkan kemampuan determinant factors
Sumber: David (2001); Li dan Deng (1999); Oral (1993, 1986); Porter (1990, 1980); Schroeder (1993); Quezada et al. (1999); Render dan Heizer (1997)
75 Bahasan di bawah memaparkan secara ringkas beberapa metode perumusan strategi seperti yang telah dipaparkan pada Tabel. Metode perumusan strategi tersebut diantaranya adalah (1) perumusan strategi dengan menggunakan Matriks SWOT, Matriks SPACE, Matriks BCG, Matriks IE dan Matriks Grand Startegy (David, 2001; Quezada et al., 1999); (2) perumusan strategi bersaing dengan metode Strategi Generik (Porter, 1990, 1980); (3) formulasi strategi dengan model daya saing industri (Oral, 1993, 1986); dan perumusan strategi dengan distribusi C-P (Li dan Deng, 1999). Formulasi-formulasi strategi tersebut dijelaskan di bawah ini. 2.3.1. Perumusan Strategi Menggunakan Matriks SWOT, Matriks SPACE, Matriks BCG, Matriks IE dan Matriks Grand Startegy
Dalam merumuskan strategi, adanya misi yang jelas dari organisasi (business mission) atau nilai yang dianut (scale of values) merupakan hal yang penting (David, 2001; Quezada et al., 1999). Selain itu, perumusan strategi juga memerlukan adanya dukungan gambaran mengenai faktor eksternal yang berpengaruh terhadap industri, faktor internal yang dimiliki organisasi, dan tujuan jangka panjang dari organisasi (long term objective). Misi organisasi menggambarkan mengenai bisnis (nilai dan prioritas) yang dianut oleh organisasi dan lingkup kegiatan operasi organisasi yang membedakannya dari para pesaing. Faktor eksternal adalah faktor-faktor di luar kendali organisasi yang dapat mempengaruhi jalannya organisasi. Terdapat lima kelompok kekuatan yang termasuk dalam faktor eksternal, yaitu (1) kekuatan ekonomi; (2) kekuatan sosial, budaya, demografi dan lingkungan; (3) kekuatan politik, pemerintah dan hukum; (4) kekuatan teknologi; dan (5) kekuatan persaingan. Faktor eksternal memberi gambaran kepada organisasi mengenai kesempatan (opportunities) dan ancaman (threats) yang ditimbulkan dari lima kelompok kekuatan tersebut yang harus dihadapi oleh organisasi. Faktor internal adalah faktor-faktor yang dimiliki oleh organisasi yang dapat organisasi kendalikan untuk mencapai tujuan organisasi. Terdapat banyak hal dalam organisasi yang dapat dikendalikan organisasi seperti kemampuan manajemen,
kemampuan
produksi,
kemampuan
pemasaran,
kemampuan
76 keuangan, kemampuan inovasi, kemampuan sistem informasi, kemampuan SDM dan lainnya. Faktor internal memberi gambaran mengenai kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses) dari berbagai kemampuan yang dimiliki organisasi tersebut dibandingkan relatif terhadap para pesaing. Tujuan jangka panjang organisasi merupakan hasil yang spesifik yang ingin dicapai oleh organisasi. Tujuan merupakan hal penting dalam keberhasilan organisasi karena memberikan arah, membantu untuk evaluasi, menciptakan sinergi, membuka prioritas, memungkinkan adanya koordinasi, dan menjadi dasar dalam perencanaan, pengorganisasian, pemberian motivasi dan pengendalian kegiatan secara efektif. Dengan berdasarkan kepada misi organisasi, faktor eksternal, faktor internal, dan tujuan jangka panjang dari organisasi maka strategi organisasi dapat dibuat (David, 2001; Schroeder, 1993) seperti terlihat pada Gambar 8.
Kondisi Faktor Kondisi Faktor Eksternal Eksternal
Misi Organisasi Misi Organisasi
Tujuan Jangka Tujuan Jangka Panjang Panjang
Perumusan, Perumusan, Evaluasi dan Evaluasi dan Pemilihan Pemilihan Strategi Strategi
Penentuan Penentuan Kebijakan, Kebijakan, Pengalokasian Pengalokasian Sumber Daya Sumber Daya
Ukur dan Ukur dan Evaluasi Kinerja Evaluasi Kinerja
Kemampuan Kemampuan Faktor Internal Faktor Internal
Gambar 8. Perumusan strategi secara komprehensif Sumber: David (2001)
Perumusan strategi dilakukan dengan menggunakan Matriks SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats), Matriks SPACE (Strategic Position and Action Evaluation), Matriks BCG (Boston Consulting Group), Matriks I-E (Internal-External), dan Matriks Grand Strategy (David, 2001). Matriks strategi dapat dilihat pada Gambar 9.
77 Pangsa Pasar Relatif
Faktor Internal Kekuatan (S) Kelemahan (W) Peluang Faktor (O) Eksternal Ancaman (T)
Strategi SO Strategi SO
Strategi WO Strategi WO
Strategi ST Strategi ST
Strategi WT Strategi WT
Rendah
Rendah
Strategi Quetion Strategi Quetion Mark Mark
Strategi Strategi Cash Cow Cash Cow
Strategi Strategi Anjing Anjing
b. Strategi dengan Matriks BCG
Pertumbuhan Pasar Tinggi
Kekuatan Keuangan
Strategi: Pengembangan pasar Penetrasi pasar Pengembangan Produk Integrasi horizontal Likuidasi
Strategi Agresif
Keunggulan kompetitif
Strategi Bertahan
Strategi Strategi Bintang Bintang
Laju Pertumbuhan Penjualan Industri
a. Strategi dengan Matriks SWOT
Strategi Konservatif
Tinggi
Tinggi
Strategi Kompetitif
Stabilitas Lingkungan
Strategi: Pengembangan pasar Penetrasi pasar Pengembangan Produk Integrasi horizontal Diversifikasi konsentrik
Posisi Posisi Kekuatan Persaingan Persaingan Strategi: Industri Kuat Lemah Strategi: Pengurangan Integrasi horizontal Integrasi horizontal Diversifikasi konsentrik Diversifikasi konsentrik Diversifikasi konglomerasi Diversifikasi Joint venture konglomerasi Likuidasi Pertumbuhan Pasar Rendah d. Strategi dengan Matriks Grand Strategy
c. Strategi dengan Matriks SPACE
Gambar 9. Berbagai metode formulasi strategi Sumber: David (2001)
2.3.2. Perumusan Strategi Generik (Generic Strategy)
Strategi bersaing (competitive strategy) ditentukan dari upaya untuk menciptakan keunggulan kompetitif dari setiap faktor dimana organisasi tersebut bersaing (Porter, 1987). Organisasi dengan strategi bersaing, berupaya untuk memperkokoh
kemampuan
bersaingnya
dalam
industri,
sehingga
dapat
memperoleh keuntungan dan atau dapat bertahan. Strategi suatu organisasi ditunjukkan dari bisnis yang dilakukan organisasi tersebut dan bagaimana upaya mengelolanya. Tidak ada satu strategi bersaing yang berlaku universal (Porter, 1990), dan hanya strategi yang dirumuskan untuk suatu industri tertentu yang dapat berhasil. Dalam menyusun strategi bersaing, ada faktor kunci yang perlu diperhatikan yaitu struktur industri dimana perusahaan-organisasi bersaing dan positioning dalam industri (Porter, 1990, 1980). Struktur industri menunjukkan kemampuan
78 organisasi untuk mempengaruhi lima kekuatan persaingan (ancaman pendatang baru, ancaman poduk substitusi, daya tawar pemasok, daya tawar pembeli dan persaingan diantara para kompetitor dalam industri), sehingga organisasi dapat lebih baik atau lebih buruk dari posisi sekarang. Struktur industri dalam persaingan internasional memberi gambaran: (1) perlu adanya persyaratan yang berbeda untuk berhasil dalam suatu industri yang berbeda; (2) struktur industri yang menarik yang ditunjukan dengan adanya entry barrier dalam hal teknologi, keahlian, akses pasar, reputasi merk, serta produktivitas tenaga kerja yang besar; (3) perubahan struktur menciptakan kesempatan bagi pesaing dari berbagai negara untuk masuk dalam industri. Di dalam struktur industri terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu daya tarik (attractiveness) industri, biaya masuk industri, dan kemampuan untuk melakukan bisnis dengan lebih baik (Porter, 1987). Positioning memiliki dua variabel penting yaitu keunggulan kompetitif (competitive advantage) dan lingkup kompetitif (competitive scope). Keunggulan bersaing memungkinkan organisasi mencapai produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan pesaing. Terdapat dua tipe dasar dalam keunggulan bersaing, yaitu biaya yang rendah (lower cost) dan diferensiasi (differentiation). Biaya yang rendah memungkinkan organisasi mendesain, memproduksi dan memasarkan produk lebih efisien dari para pesaing. Diferensiasi adalah kemampuan untuk menghasilkan nilai yang unik dan superior bagi pembeli, dalam hal kualitas produk, features atau pelayanan purna jual. Lingkup kompetitif berupa kemampuan untuk memposisikan organisasi dalam industri. Hal tersebut penting karena pada dasarnya setiap industri telah tersegmentasi, dengan perbedaan varietas produk, saluran distribusi yang berbeda, dan berbagai tipe pembeli. Setiap organisasi dalam industri dapat memilih lingkup kompetitif yang berbeda, yang pada dasarnya terdiri dari lingkup yang luas (broad scope) dan fokus pada suatu segmen (narrow target). Dengan menggunakan keunggulan kompetitif dan lingkup kompetitif dapat dirumuskan strategi bersaing yang dikenal dengan Strategi Generik (Gambar 10).
79 Keunggulan Bersaing Biaya yang Rendah
Target Luas
Diferensiasi
Kepemimpinan Biaya Kepemimpinan Biaya (Cost Leadership) (Cost Leadership)
Diferensiasi Diferensiasi (Differentiation) (Differentiation)
Fokus Biaya Fokus Biaya (Cost Focus) (Cost Focus)
Diferensiasi Fokus Diferensiasi Fokus (Focused Differentiation) (Focused Differentiation)
Lingkup Bersaing Target Sempit
Gambar 10. Strategi Generik Sumber:Porter (1990)
Strategi generik menunjukkan tidak ada satu tipe strategi yang cocok untuk setiap industri. Tentu saja, strategi yang berbeda dapat bersama-sama berhasil dalam berbagai industri. Terdapat berbagai variasi strategi yang mungkin tergantung kondisi difenesiasi dan fokusnya. Keunggulan bersaing merupakan jantung dari setiap strategi, dan untuk mencapai keunggulan dapat ditentukan keunggulan bersaing sesuai dengan lingkup yang dipilih. Selain itu Porter (1987) juga mengajukan empat konsep dalam strategi, yaitu manajemen portofolio, restrukturisasi, transfer keahlian dan membagi (sharing) aktivitas. Kesalahan yang banyak ditemukan dalam penerapan strategi adalah menempatkan organisasi pada selalu posisi pertengahan (stuck in the midle) agar organisasi dalam keadaan aman. Selain itu, kesalahan dalam penerapan strategi adalah mencoba secara simultan menerapkan semua strategi. Hal tersebut menyebabkan organisasi tidak dapat mencapai apa yang diinginkannya, karena adanya kontradiksi.
80 2.3.3. Perumusan Strategi dengan Model Daya Saing Industri
Strategi peningkatan daya saing menurut Oral (1993, 1986) dilakukan dengan memperhatikan perbedaan antara tingkat daya saing sekarang (current competitiveness level) yang diberi simbol LA dengan tingkat daya saing potensial (potential competitiveness level) tang diberi simbol Lp. Tingkat daya saing sekarang menunjukkan kemampuan organisasi sekarang dibandingkan dengan pesaing, dalam hal penggunaan sumberdaya yang dimiliki dan digunakan. Tingkat daya saing potensial menunjukkan potensi daya saing organisasi jika fasilitas dan sumberdaya organisasi yang ada sekarang didayagunakan secara lebih efisien. Tingkat daya saing dinyatakan sebagai fungsi dari faktor utama, yaitu kepakaran di industri (industrial mastery) dan superioritas biaya (cost superiority). Besarnya perbedaan antara tingkat daya saing sekarang dengan tingkat daya saing potensial menentukan strategi apa yang harus digunakan. Terdapat delapan buah strategi yang dapat dikembangkan sesuai dengan besarnya perbedaan antara Lp dengan LA serta nilai dari Lp dengan LA. Perbedaan antara Lp dengan LA yang besar menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan antara daya saing potensial dengan daya saing sekarang. Semakin besar perbedaan tersebut dengan nilai Lp dan LA positif, menunjukkan semakin besar upaya yang harus dilakukan oleh organisasi untuk memperbaiki daya saingnya. Hal tersebut karena potensi yang dimiliki organisasi belum dapat dimanfaatkan dengan optimal. Pada sisi lain, perbedaan Lp dengan LA yang besar dengan nilai Lp atau LA negatif menunjukkan adanya kesalahan yang dilakukan oleh organisasi terhadap para pesaingnya, sehingga organisasi dalam keadaan merugi. Perbedaan Lp dengan LA yang kecil menunjukkan organisasi sangat menyadari potensi yang dimilikinya, meskipun organisasi sudah berada pada posisi yang baik atau daya saing aktual dan potensialnya lemah. Rumusan strategi bersaing tersebut dapat dilihat pada Tabel 10.
81 Tabel 10. Perumusan strategi bersaing menurut Oral Perbedaan antara Lp dengan LA
Indikasi
Strategi
1
Besar dan positif dg LA > 1
Menunjukkan bahwa organisasi yang dianalisa belum mampu memanfaatkan potensi yang dimilikinya, meskipun organisasi tersebut mampu bersaing dengan organisasi lain dalam jangka waktu tertentu
Mempertahankan posisi
2
Besar dan negatif dg LP > 1
Menunjukkan bahwa para pesaing tidak menyadari potensi yang mereka miliki.
Tidak perlu ada perubahan dari yang ada sekarang, tetapi harus tetap mengawasi secara dekat pesaing dan mempersiapkan investasi baru untuk meningkatkan daya saing potensial
3
Besar dg LP > 1 dan LA < 1
Menunjukkan organisasi yang dianalisa memiliki potensi, tetapi kurang diketahui.
Meningkatkan kemampuan daya saingnya
4
Besar dg LP < 1 dan LA > 1
Menunjukkan bahwa organisasi yang dianalisa mampu bersaing dengan baik, sementara itu pesaing tidak menyadari potensi yang dimilikinya.
No.
5 6
Besar dan positif dg LP < 1 Besar dan negatif dg LA < 1
7
Kecil dg LP > LA > 1
8
Kecil dg LP < LA < 1
Menunjukkan organisasi yang dianalisa berada dalam masalah. Menunjukkan organisasi yang dianalisa membuat kesalahan langkah terhadap pesaing Menunjukkan organisasi yang dianalisa secara aktual dan potensial berada dalam posisi yang sangat baik Menunjukkan organisasi yang dianalisa sangat menyadari potensi yang dimilikinya, tetapi daya saing aktual dan potensialnya lemah.
Mempersiapkan langkah investasi straegis (pabrik baru, teknologi baru, sistem distribusi baru, mneningkatkan tenaga penjualan, dan lainnya) Secepatnya mendorong kinerja organisasi dan memanfaatkan potensi yang dimilikinya. Membuat strategi investasi baru untuk memanfaatkan potensi yang dimiliki Tidak perlu melakukan investasi baru Sangat diperlukan investasi strategis baru
Sumber: Oral (1986, 1993)
2.3.4. Perumusan Strategi dengan Distribusi C-P
Berbeda dengan Porter (1990) yang menyatakan bahwa salah satu kesalahan dalam perumusan dan penerapan strategi adalah dengan menerapkan kombinasi berbagai strategi yang mungkin, Li dan Deng (1999) dan para peneliti lainnya (White, 1986; Corsten dan Will, 1993) menunjukkan bahwa kombinasi strategi secara simultan adalah hal yang baik dan layak. Keunggulan bersaing suatu organisasi dapat dicapai dengan satu strategi atau kombinasi berbagai strategi, tergantung kepada faktor-faktor determinan keunggulan kompetitif (determinant factors of competitive advantage – DFCA) dan menghubungkannya dengan tujuan strategis kompetitif (competitive strategic goals – CSG).
82 Faktor-faktor determinan keunggulan kompetitif (DFCA) merupakan faktor penting yang menentukan keberhasilan suatu organisasi. Faktor-faktor tersebut dapat berupa diferensiasi produk; mutu, pelayanan dan harga; fleksibilitas; dominasi pasar; inovasi; dan metode pertumbuhan. Li dan Deng (1999) mengklasifikasikan faktor-faktor tersebut dalam variabel: (1) pengembangan teknologi (TD); (2) pengendalian harga/ biaya (PC); (3) organisasi dan manajemen (OM); (4) pemasaran (MK); (5) posisi industri (IP); (6) pengaruh kebijakan (PI); dan keunggulan lingkungan (EA). Di dalam pasar dengan tingkat persaingan yang tinggi, suatu organisasi tidak hanya menentukan satu tujuan, tetapi dapat lebih dari satu, karena adanya berbagai pesaing dan perubahan pada DFCA. Organisasi dapat menetapkan tujuan memperoleh laba, tetapi pada saat bersamaan juga menetapkan keunggulan yang berkelanjutan, menciptakan keunggulan baru dan mencapai pertumbuhan yang tinggi di masa mendatang sebagai tujuannya. Li dan Deng (1999) merumuskan tujuan strategis kompetitif (CSG) diantaranya variabel (1) pembentukan keunggulan kompetitif baru (NCA); (2) mempertahankan keunggulan kompetitif yang ada (CCA); (3) pencapaian pertumbuhan organsasi (FGP); dan (4) pencapaian keuntungan yang ada (CPA). Dengan menghubungkan antara setiap variabel DFCA dengan CSG dalam bentuk matriks (Gambar 11) sehingga diperoleh jumlah nilai untuk setiap variabel DFCA dan CSG (P1, …, P4 dan C1, …., C7). Dari nilai C dan P tersebut kemudian dibuat empat buah kuadran yang menggambarkan empat buah tipe strategi (strategi tipe I, II, III, dan IV) yang dapat digunakan (Gambar 12). Strategi Tipe I adalah strategi dimana organisasi dapat meraih peluang kompetitifnya dan secara rasional mengalokasikan sumberdaya secara terbatas dari keunggulan bersaingnya untuk mencapai tujuan-tujuan strategisnya. Organisasi pada Strategi Tipe II berada dalam posisi terbaik, sehingga tidak hanya dapat mencapai keunggulan kompetitif pada tingkat tertinggi tetapi juga dapat memanfaatkan DFCA-nya untuk mencapai tujuan organisasi secara efektif. Strategi Tipe III adalah upaya organisasi untuk memperkecil hambatan yang ada di dalam dan luar organisasi supaya DFCAnya dapat digunakan untuk meningkatkan keunggulan kompetitif
83 organisasi. Posisi Tipe IV adalah posisi dimana organisasi berada pada kondisi terburuk, sehingga strategi yang dijalankan sangat sulit untuk dilakukan.
CGS
NCA CCA FGP CPA Jumlah
TD p11 P21 ... P41 P1
PC P12 ... ... ... P2
MK ... ... ... ... P3
DFCA OM IP ... ... ... ... ... ... ... ... P4 P5
PI ... ... ... ... P6
EA p17 ... ... P47 P7
Gambar 11. Matriks hubungan antara DFCA dan CSG Sumber: Li dan Deng (1999)
C S t ra t e g i T ipe I
S t ra t e g i T ipe II
S t ra t e g i T ipe III
S t ra t e g i T ipe IV
P Gambar 12. Empat tipe strategi dengan distribusi C-P Sumber: Li dan Deng (1999)
Jumlah C1 C2 C3 C4
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Salah satu langkah yang sangat penting dalam melakukan penelitian adalah dengan menyusun metodologi penelitian. Metodologi penelitian merupakan proses yang diperlukan dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian dengan menggunakan kerangka pemikiran dan metode yang tepat dalam memperoleh data dan informasi. Metodologi penelitian digunakan sebagai kerangka untuk melakukan penelitian sehingga hasilnya dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah, karena bersifat obyektif, logis dan sistematis. Dalam metodologi penelitian terdapat beberapa hal yang penting, yaitu kerangka pemikiran serta metode dan alat penelitian. Penelitian daya saing industri pulp termasuk dalam metode deskriptif, karena penelitian dilakukan untuk membuat deskripsi, gambaran sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat serta hubungan antar fenomena dengan interpretasi yang tepat. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana kondisi dan posisi daya saing industri pulp Indonesia sekarang dibandingkan dengan kondisi dan posisi industri pulp negara produsen utama lainnya dan bagaimana upaya yang semestinya dilakukan agar daya saing industri pulp Indonesia dapat menjadi lebih baik lagi di masa mendatang dibandingkan dengan negara lain. Penggunaan metode deskriptif dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi-kondisi sebagai berikut. 1. Sulitnya melakukan kontrol dan manipulasi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing industri pulp, karena faktor-faktor tersebut berada di luar kemampuan peneliti untuk mengendalikannya. 2. Metode penelitian deskriptif komparatif bersifat ex post facto, artinya data dikumpulkan setelah kejadian selesai berlangsung, dan di dalam penelitian ini, karena kejadiannya bersifat kontinyu (berkesinambungan dan merupakan proses yang tidak pernah selesai), maka batas kejadian ditentukan sampai pada
85 suatu waktu tertentu, sehingga fenomena yang digambarkan adalah fenomena yang terjadi sampai waktu tersebut. Kejadian setelah waktu tersebut, berada di luar lingkup penelitian. 3. Perangkat analisa untuk melakukan komparasi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing industri telah banyak dikembangkan. 4. Perangkat lunak komputer untuk memudahkan analisa telah banyak dikembangkan, sehingga perhitungan dari model yang kompleks dan rumit dapat dengan mudah dikerjakan. 3.1. Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian Kerangka pemikiran dari kegiatan penelitian adalah sebagai berikut. Pertama dilakukan kajian pustaka yang relevan yang berhubungan dengan peran industri pulp dalam perekonomian Indonesia, kondisi industri pulp di berbagai negara maupun pustaka mengenai daya saing. Dengan kajian tersebut kemudian dirumuskan masalah, tujuan penelitian dan lingkup kegiatan. Kedua untuk menjawab permasalahan dan mencapai tujuan penelitian, maka disusun rancangan penelitian serta metode untuk memperoleh data. Ketiga, dilakukan penelusuran literatur untuk menggali data-data yang mempengaruhi daya saing industri pulp. Penelusuran dilakukan dengan menggunakan berbagai sumber informasi yang relevan dan memiliki kredibilitas, sehingga diperoleh data-data yang sahih yang dapat mendukung kemampuan daya siang industri pulp. Keempat, dari data yang terkumpul kemudian dianalisa dengan menggunakan perangkat analisa yang tepat. Kelima, dari hasil analisa daya saing kemudian dirumuskan strategi peningkatan daya saing dengan menggunakan metode perumusan strategi. Berdasarkan Tinjauan Pustaka terhadap peran industri pulp dalam perekonomian Indonesia terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi industri pulp Indonesia. Masalah-masalah tersebut dijabarkan dalam Permasalahan Industri Pulp Indonesia. Permasalahan tersebut digunakan sebagai dasar dalam menentukan Tujuan Penelitian, yang merupakan intisari dari kegiatan penelitian. Supaya kegiatan penelitian lebih terfokus kepada tujuan penelitian, maka diperlukan adanya pembatasan Ruang Lingkup Penelitian. Ruang Lingkup
86 Penelitian merupakan batasan dari kegiatan, sehingga penelitian berada pada koridor yang telah ditentukan. Data-data dan informasi yang dikumpulkan harus relevan dan sahih (valid). Relevan artinya sesuai dengan apa yang dibutuhkan, dan sahih berarti data tersebut berasal dari Sumber Data resmi yang dapat dipertanggungjawabkan dan telah diakui keabsahan dan kredibilitas keilmiahannya. Untuk mendapatkan data, digunakan Metode Memperoleh Data supaya setiap informasi dan data yang diperlukan dapat digali dengan efektif dan mendalam. Data-data yang diperlukan dalam penelitian ini terutama data-data mengenai Kondisi Industri Pulp Negara-negara Penghasil Pulp Utama. Data yang diperoleh kemudian diolah dengan menggunakan beberapa Perangkat Analisa Daya Saing. Perangkat analisa daya saing dipilih berdasarkan kesesuaiannya dalam mengkaji daya saing industri pulp dengan data yang diperoleh. Data yang diolah dengan perangkat analisa daya saing kemudian dianalisa untuk mengetahui bagaimana peta posisi industri pulp Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lainnya dalam Analisa Daya Saing Negara-Negara Penghasil Pulp Utama Dunia. Faktor mana saja dari daya saing industri pulp Indonesia lebih baik dari negara lain, dan faktor mana saja yang lebih lemah dari produsen pulp negara-negara lainnya. Dengan memperhatikan posisi dan kondisi daya saing Indonesia sekarang dibandingkan dengan negara penghasil pulp utama lainnya, maka dirumuskan Strategi
Peningkatan
Daya
Saing
Industri
Pulp
Indonesia
dengan
menggunakan metode perumusan strategi. Kerangka pemikiran konseptual penelitian dari studi pustaka sampai strategi peningkatan daya saing diilustrasikan dalam Gambar 13. Pada sisi lain, keterkaitan antara tujuan penelitan, data yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan tersebut, sumber tempat diperolehnya data, metode untuk memperoleh data, perangkat pengolah dan analisa data serta output (keluaran) yang dihasilkan dari kegiatan pengolahan data tersebut diperlihatkan pada Tabel 11.
87
Studi Pustaka Studi Pustaka Permasalahan Permasalahan Tujuan Tujuan Penelitian Penelitian Perangkat Analisa Perangkat Analisa Daya Saing Daya Saing Metode Perumusan Metode Perumusan Strategi Peningkatan Strategi Peningkatan Daya Saing Daya Saing
Ruang Lingkup Ruang Lingkup Penelitian Penelitian Analisa Daya Saing Analisa Daya Saing Industri Pulp Industri Pulp
Strategi Peningkatan Strategi Peningkatan Daya Saing Industri Daya Saing Industri Pulp Indonesia Pulp Indonesia
Metode Memperoleh Metode Memperoleh data data Data Kondisi Daya Data Kondisi Daya Saing Industri pulp di Saing Industri pulp di Negara-negara Negara-negara Penghasil Pulp Penghasil Pulp Utama Dunia Utama Dunia
Sumber-sumber Data Sumber-sumber Data dan Informasi dan Informasi
Gambar 13. Kerangka pemikiran konseptual penelitian
Penentuan NegaraPenentuan Negaranegara Penghasil negara Penghasil Pulp Utama Dunia Pulp Utama Dunia Faktor-faktor Faktor-faktor Penentu Daya Saing Penentu Daya Saing
88
Tabel 11. Hubungan antara tujuan penelitan, data yang dikumpulkan, sumber data, metode memperoleh data, analisa data dan output Tujuan Penelitian
Data yang Dikumpulkan Kemampuan penyediaan bahan baku
Membandingkan daya saing industri pulp Indonesia dengan industri pulp negara utama lainnya
Membuat formulasi strategi peningkatan daya saing industri pulp Indonesia
Faktor produksi
Pencemaran yang dihasilkan industri pulp terhadap lingkungan
Sumber Data
Metode Memperoleh Data
Asosiasi pulp masing-masing negara, lembaga pemerintah, lembaga penelitian Studi literatur dan lembaga internasional untuk masingmasing negara penghasil pulp Asosiasi pulp dan pelaku industri utama dunia serta masing-masing negara, lembaga studi literatur, pemerintah, lembaga penelitian pulp, wawancara dan lembaga internasional survey lapangan untuk industri Asosiasi pulp dan pelaku industri pulp Indonesia masing-masing negara, lembaga pemerintah, lembaga penelitian pulp, lembaga internasional
Hasil analisa daya saing industri pulp Indonesia dibandingkan dengan industri pulp dari negaranegara penghasil pulp lainnya
Hasil olahan data
Faktor-faktor kritis yang menentukan daya saing industri pulp
Hasil analisa data
Perangkat Analisa Data
Perangkat analisa daya saing (DEA, OCRA dan perangkat analisa daya saing yang dikembangkan APD)
Output Tabel dan analisa daya saing penyediaan bahan baku industri pulp setiap negara Tabel dan analisa daya saing penggunaan faktor produksi dari industri pulp setiap negara Tabel dan analisa daya saing pengelolaan pencemaran lingkungan setiap negara Faktor-faktor kritis yg menentukan daya saing industri pulp Indonesia dibandingkan dengan industri pulp dari negara-negara penghasil pulp utama lainnya
Metode formulasi peningkatan daya saing
Strategi peningkatan daya saing industri pulp Indonesia
90 3.2. Metode untuk Memperoleh Data Kondisi Daya Saing Industri Pulp Negara-negara Penghasil Pulp Utama Dunia Data kondisi daya saing industri pulp negara-negara penghasil pulp utama dunia (dipaparkan pada Bab II bagian 2.1) yang digunakan dalam penelitian berupa data sekunder dan data primer. Data-data tersebut merupakan data yang diperoleh dari berbagai sumber dengan menggunakan metode memperoleh data. Sumber-sumber data dan informasi yang dijadikan rujukan merupakan sumber yang relevan dan kredibilitasnya dapat dipercaya, sehingga diperoleh data-data yang sahih. Dalam memperoleh data digunakan beberapa metode sesuai dengan sifat data dan sumber data. Alur perolehan data kondisi industri pulp di berbagai negara terlihat pada Gambar 14.
Literatur Daya Saing Literatur Daya Saing Industri Industri
Perangkat Analisa Perangkat Analisa Daya Saing Industri Daya Saing Industri
Literatur Industri Pulp Literatur Industri Pulp Internasional Internasional
Faktor Penentu Faktor Penentu Daya Saing Industri Daya Saing Industri Data Kondisi Daya Saing Data Kondisi Daya Saing Industri Pulp di Negara-negara Industri Pulp di Negara-negara Penghasil Pulp Utama Dunia Penghasil Pulp Utama Dunia Metode Memperoleh Metode Memperoleh Data Data
Negara-negara Penghasil Negara-negara Penghasil Pulp Utama Dunia Pulp Utama Dunia
Sumber-sumber Data dan Sumber-sumber Data dan Informasi Pulp di Negara-negara Informasi Negara-negara Penghasil Pulp pulp di Utama Dunia Penghasil pulp Utama Dunia
Gambar 14. Alur untuk memperoleh data daya saing industri pulp di negaranegara penghasil pulp utama dunia Jenis data, metode untuk memperolehnya serta sumber data yang digunakan dipaparkan sebagai berikut. 3.2.1. Data sekunder Data sekunder merupakan data utama dalam kegiatan penelitian ini. Data sekunder diperoleh dengan melakukan penelusuran terhadap berbagai literatur yang telah diterbitkan. Data sekunder berupa data dan informasi dalam bentuk. 1. Data-data historis. 2. Data-data statistik.
91 3. Data-data hasil analisa. Data sekunder untuk penelitian ini mencakup data-data tentang industri pulp di Indonesia dan industri pulp di negara-negara produsen utama lainnya. Data sekunder diperoleh dari sumber-sumber resmi dan sumber-sumber yang diakui keabsahannya. Sumber data sekunder tersebut diantaranya adalah sebagai berikut. 1. Terbitan dan situs resmi instansi pemerintah dari negara produsen utama pulp. a) Pusat statistik seperti BPS - Badan Pusat Statistik (Indonesia), Statistics Finland (Finlandia), Statistiska Centralbyrån (Swedia), State Committee of The Russian Federation on Statistics (Rusia), IBGE - Instituto Brasileiro de Geografia e Estatística (Brazil), INE - Instituto Nacional de Estadísticas (Chili), dan Statistics Canada (Kanada). b) Lembaga pemerintah di tujuh negara penghasil pulp, seperti Departemen Perindustrian, Depertemen Kehutanan, Kementrian Lingkungan Hidup, Natural Resources Canada (NRCan), The National Board of Forestry (Skogsstyrelsen), Bank Sentral, dan lainnya. c) Lembaga penelitian seperti BBS - Balai Besar Selulosa (Indonesia), CIDA - Canadian International Development Agency (Kanada), STFI - Swedish Pulp & Paper Research Institute (Swedia), FFRI/ METLA - Finnish Forest Research Institute (Finlandia), dan lainnya. 2. Terbitan pelaku industri dan asosiasi di negara-negara penghasil utama pulp dunia dalam bentuk: company profile, laporan keuangan dan website. a) Asosiasi, seperti APKI - Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (Indonesia), FPAC - The Forest Products Association of Canada (Kanada), FFIF Finnish Forest Industries Federation (Finlandia), Skogsindustrierna Swedish Forest Industries Federation (Swedia), Confederation of Associations, Enterprises and Organizations of the Forestry Industrial Complex of the North-Western Federal Area (Russia), CORMA Corporacion Chilena de la Madera (Chili) dan BRACELPA - Associação Brasileira de Celulose e Papel (Brazil), PIMA - Paper Industry Management Association (internasional). b) Pelaku industri seperti PT. Indah Kiat Pulp and Paper dan PT. Riau Andalan Pulp and Paper, PT. Tanjungenim Lestari, PT. Musi Hutan
92 Persada (Indonesia), Abitbi Consolidated (Kanada), Storna Enso (Finlandia), Svenska Cellulose (Swedia), Ilim Pulp (Rusia), Arauco (Chili) dan Aracruz (Brazil). 3. Terbitan lembaga riset dan organisasi internasioanl, seperti: FAO (Food and Agriculture Organization), CIFOR (Center for International Forestry Research), PPI (Pulp and Paper International), WRI (World Resources International), RISI (Resource Information Systems Inc), UACh (Universidad Austral de Chile), WRM (World Rainforest Movement), PaperMaker, Jaakko Poyry, dan lainnya. 4. Hasil penelitian sebelumnya, yang diperoleh dari jurnal, buku, kajian ilmiah lainnya dan daftar paten. 3.2.2. Data primer. Data primer merupakan data yang dikumpulkan untuk melengkapi kekurangan data sekunder, konfirmasi (cek silang) kebenaran data sekunder, serta menggali informasi secara lebih mendalam. Pencarian data primer hanya ditujukan kepada pelaku industri pulp dan institusi yang berhubungan dengan pulp yang ada di Indonesia. Data primer diperoleh dengan metode wawancara dan penelitian lapangan. a. Wawancara Wawancara dilakukan sebagai cross check dan pendalaman terhadap materi serta menggali informasi yang belum diperoleh dengan jelas. Wawancara dilakukan terutama kepada instansi pemerintah, manajemen perusahaan yang bergerak dalam industri pulp serta kepada para pengurus APKI (Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia). 1. Instansi pemerintah, yang diwawancarai adalah Departemen Perindustrian, terutama Bapak Ir. Benny Wahyudi, MBA, Dirjen Industri Agro dan Kimia. 2. Asosiasi, wawancara dilakukan dengan Ir. Kahar Haryopuspito, Sekretaris Jenderal APKI. 3. Pelaku industri, wawancara dilakukan dengan jajaran manajemen perusahaan pulp dan HTI pendukungnya seperti Ir. Edward Wahab, Technical Manager
93 PT. Riau Andalan Pulp & Paper; Ir. Teddy Suratmadji, MSc, Direktur Produksi PT. Kiani Kertas; Njauw Kwet Meen, Managing Director PT. Indah Kiat Pulp and Paper; Ir. Joedarso Djojosoebroto, MMA dan Ir. Hardjono Arisman, MSc, Direktur Utama dan Direktur Pengembangan PT Musi Hutan Persada. Wawancara yang dilakukan terutama mengenai kondisi-kondisi yang mempengaruhi daya saing industri pulp Indonesia sekarang dan prospeknya di masa mendatang, serta bagaimana strategi mereka dalam menghadapi persaingan perdagangan yang semakin terbuka. b. Penelitian Lapangan Penelitian lapangan dilakukan dengan mengadakan kunjungan langsung ke pabrik pulp, untuk memahami proses yang terjadi serta menggali informasi langsung. Kunjungan lapangan juga lebih memperjelas hal-hal yang tidak atau belum dipaparkan oleh pengambil kebijakan dan manajemen perusahaan. Oleh karena itu, selain memperoleh data dan informasi mengenai pengelolaan HTI, proses produksi pulp, proses pengolahan limbah, kegiatan manajemen, kunjungan lapangan juga memberi tambahan informasi berdasarkan wawancara langsung dengan para stakeholder lainnya seperti karyawan perusahaan dan masyarakat sekitar perusahaan (pabrik). Kunjungan lapangan dilakukan terhadap tiga perusahaan pulp yang, yaitu: PT. Riau Andalan Pulp & Paper di Riau, PT. Indah Kiat Pulp and Paper di Tanggerang, Tbk, dan PT. Tanjung Enim Lestari (PT. Musi Hutan Persada) di Palembang. 3.3. Metode dalam Melakukan Analisa Daya Saing Industri Pulp Negaranegara Penghasil Pulp Utama Dunia Analisa daya saing industri pulp negara-negara penghasil pulp utama dunia dilakukan terhadap data kondisi industri pulp negara-negara penghasil pulp utama dengan menggunakan perangkat analisa daya saing. Perangkat analisa daya saing (dibahas pada Bab II bagian 2.2) yang digunakan adalah perangkat analisa daya saing non-parametrik yang banyak digunakan, yaitu DEA (Data Envelopmen Analysis) dan OCRA (Operational Competitiveness Rating Analysis). Perangkat
94 analisa daya saing tersebut kemudian dikaji untuk mengetahui kelebihannya dalam analisa serta keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya. Perangkat analisa daya saing juga dikaji kompatibilitasnya dengan data industri pulp yang diperoleh, untuk mengetahui data yang dapat dianalisa dan data mana yang sulit dianalisa dengan perangkat analisa yang ada. Dengan memperhatikan keterbatasan-keterbatasan yang melekat pada perangkat analisa daya saing yang ada dan terdapatya kumpulan data yang sulit untuk dianalisa dengan perangkat tersebut, maka dikembangkan perangkat analisa daya saing baru yang mampu memenuhi kebutuhan analisa data (dibahas pada Bab IV bagian 4.1). Perangkat tersebut dikembangkan untuk melengkapi analisa data dengan lebih fleksibel dan komprehensif. Dengan menggunakan perangkat analisa daya saing tersebut, kemudian dilakukan analisa daya saing industri pulp negara-negara penghasil pulp utama sesuai data kondisi industri pulp yang diperoleh (dipaparkan pada Bab IV bagian 4.2, 4.3 dan 4.4). Alur analisa daya saing terlihat pada Gambar 15.
Perangkat Analisa Daya Perangkat Analisa Daya Saing Non-Parametrik yg Saing Non-Parametrik yg Banyak Digunakan Banyak Digunakan (DEA, OCRA) (DEA, OCRA)
Analisa Kegunaan dan Analisa Kegunaan dan Keterbatasan Perangkat Keterbatasan Perangkat Analisa Daya saing Analisa Daya saing
Data Kondisi Daya Saing Data Kondisi Daya Saing Industri Pulp Negara-negara Industri Pulp Negara-negara Penghasil Pulp Utama Dunia Penghasil Pulp Utama Dunia
Kompatibilitas Data Kompatibilitas Data dengan Perangkat Analisa dengan Perangkat Analisa Daya Saing Daya Saing
Pengembangan Perangkat Pengembangan Perangkat Analisa Daya Saing Sesuai Analisa Daya Saing Sesuai Data yang Tersedia Data yang Tersedia
Analisa Daya Saing Industri Pulp Analisa Daya Saing Industri Pulp Negara-negara Penghasil Pulp Negara-negara Penghasil Pulp Utama Dunia Utama Dunia
Gambar 15. Alur analisa daya saing industri pulp negara-negara penghasil pulp dunia
95 3.4. Metode Perumusan Strategi Peningkatan Daya Saing Industri Pulp Formulasi atau perumusan strategi peningkatan daya saing industri pulp disusun berdasarkan hasil analisa daya saing industri pulp dari tujuh negara penghasil pulp utama. Hasil analisa daya saing menjelaskan mengenai posisi daya saing industri pulp Indonesia terhadap industri pulp dari enam negara penghasil pulp lainnya. Posisi tersebut berdasarkan perbandingan antara faktor-faktor kritis dari industri pulp Indonesia dan enam negara penghasil pulp lainnya. Faktor mana saja yang menunjukkan industri pulp Indonesia lebih efisien dari enam negara penghasil pulp lainnya, serta faktor mana yang menunjukkan industri pulp Indonesia masih belum efisien. Pada sisi lain, berbagai literatur tentang formulasi strategi yang telah banyak dikembangkan dan digunakan dibahas pada Bab II bagian 2.3. Formulasi strategi tersebut diantaranya Strategi Generik yang dikembangkan Porter (1990, 1980), strategi dengan menggunakan Matriks SWOT, Matriks SPACE dan Matriks Grand Strategy (David, 2001; Quezada et al., 1999), Strategi dengan Model Daya Saing Industri yang dikembangkan Oral (1993, 1986) serta Strategi dengan Distribusi C-P yang dikembangkan oleh Li dan Deng (1999). Secara umum, formulasi strategi tersebut mensyaratkan adanya faktor kunci/ faktor determinan/ faktor utama/ faktor sukses kritis sebagai dasar dalam perumusan strategi. Berdasarkan faktor kritis/ faktor kunci yang disyaratkan dari setiap metode formulasi strategi dan faktor kritis yang diperoleh dari hasil analisa daya saing industri pulp, kemudian dilakukan kajian kesesuaian dan keterbatasan faktor kritis dalam perumusan strategi. Apabila faktor kritis dari hasil analisa daya saing industri pulp tidak sesuai dengan persyaratan formulasi strategi yang ada, maka dalam penelitian ini dilakukan penyesuaian dengan formulasi strategi peningkatan daya saing yang relevan (dipaparkan pada Bab V bagian 5.1). Formulasi strategi dirumuskan sebagai upaya untuk meningkatkan daya saing faktor-faktor kritis, sehingga industri pulp Indonesia memiliki keunggulan kompetitif dibandingkan dengan industri pulp negara lainnya (dibahas pada Bab V bagian 5.2 sampai 5.4). Alur formulasi strategi peningkatan daya saing industri pulp Indonesia terlihat pada Gambar 16.
96
Formulasi Strategi yg Banyak Digunakan Formulasi Strategi yg Banyak Digunakan (Strategi Generik Porter, Matriks SWOT, (Strategi Generik Porter, Matriks SWOT, Matriks SPACE, Matriks Grand Strategy, Matriks SPACE, Matriks Grand Strategy, Formulasi Strategi Oral, Tipe Strategi Li Formulasi Strategi Oral, Tipe Strategi Li dan Deng dan Deng
Penentuan Faktor Kunci/ Penentuan Faktor Kunci/ Determinan/ Kritis dalam Determinan/ Kritis dalam Daya Saing Industri Daya Saing Industri
Hasil Analisa Daya Saing Hasil Analisa Daya Saing Industri Pulp Negara-negara Industri Pulp Negara-negara Penghasil Pulp Dunia Penghasil Pulp Dunia
Faktor Kritis Daya Saing Industri Faktor Kritis Daya Saing Industri Pulp Indonesia terhadap NegaraPulp Indonesia terhadap Negaranegara Penghasil Pulp Lainnya negara Penghasil Pulp Lainnya
Kesesuaian dan Keterbatasan Faktor Kritis Kesesuaian dan Keterbatasan Faktor Kritis Daya Saing Industri Pulp dalam Formulasi Daya Saing Industri Pulp dalam Formulasi Strategi Daya Saing yang telah Ada Strategi Daya Saing yang telah Ada
Pengembangan Formulasi Strategi Pengembangan Formulasi Strategi Peningkatan Daya Saing Industri Pulp Peningkatan Daya Saing Industri Pulp
Strategi Peningkatan Daya Saing Strategi Peningkatan Daya Saing Industri Pulp Indonesia Industri Pulp Indonesia
Gambar 16. Alur formulasi strategi peningkatan daya saing industri pulp Indonesia
BAB IV ANALISA DAYA SAING INDUSTRI PULP DI TUJUH NEGARA PENGHASIL PULP UTAMA DUNIA
Analisa daya saing bertujuan untuk mengkaji kemampuan industri pulp setiap negara penghasil pulp utama dunia. Analisa daya saing dilakukan dengan membandingkan komponen daya saing, yaitu efisiensi dalam penggunaan input (sumber daya produksi) untuk menghasilkan output (pulp) serta meminimisasi atau mencegah output yang tidak diharapkan (limbah pencemar lingkungan). Analisa daya saing terutama dalam hal efisiensi pemanfaatan sumber bahan baku, penggunaan faktor produksi, dan pengelolaan lingkungan dari negara-negara penghasil pulp utama dunia (Kanada, Brazil, Chili, Finlandia, Swedia, Rusia dan Indonesia). Perangkat analisa daya saing yang digunakan adalah perangkat analisa nonparamerik terutama Data Envelopment Analysis (DEA) dan Operational Competitiveness Rating Analysis (OCRA). Kedua perangkat analisa tersebut memiliki beberapa kelemahan dalam penggunaannya, sehingga seringkali untuk data tertentu kedua metode tersebut sulit digunakan. DEA sebagai metode yang paling banyak digunakan, memiliki kelemahan dalam hal persyaratan jumlah DMU. DEA mensyaratkan jumlah DMU harus lebih besar dari jumlah variabel (jumlah variabel input ditambah dengan jumlah variabel output) sebesar tiga kali (Charnes dan Cooper, 1990) bahkan sampai lima kali (Fernandez-Cornejo, 1994). Apabila hal tersebut tidak tercapai, maka sebagian besar DMU akan memiliki nilai efisiensi tertinggi (nilai 1,00). Banyaknya DMU yang memiliki nilai 1,00 menyulitkan dalam analisa daya saing relatif antara satu DMU dengan DMU lainnya. Sulit untuk menentukan DMU mana yang lebih baik dan dapat dijadikan sebagai benchmark dari DMU lainnya. Sebagai contoh dalam pemanfaatan bahan baku kayu, data yang digunakan terdiri atas enam buah variabel (lima buah variabel input, yaitu luas hutan pulp, banyaknya kayu yang dapat ditebang, potensi kayu, riap dan umur tebang kayu
98 serta satu buah variabel output, yaitu produksi pulp), serta tujuh buah DMU (jumlah negara, yaitu Swedia, Finlandia, Rusia, Kanada, Brazil, Chili dan Indonesia). Jumlah DMU yang hampir sama dengan jumlah variabel menyebabkan semua DMU memiliki nilai 1,00, sehingga sulit dianalisa negara mana yang memiliki kemampuan paling baik dalam pemanfaatan bahan baku. Oleh karena itu, analisa daya saing dengan menggunakan DEA tidak dapat diterapkan Kelemahan lain dari DEA, yaitu DEA hanya mencari efisiensi setiap DMU relatif terhadap lainnya. Nilai yang diperoleh dari analisa DEA terdiri dari sekumpulan DMU yang efisien (jumlahnya lebih dari satu buah), serta sekumpulan DMU lain yang kurang efisien. DMU yang efisien mempunyai nilai 1,00 (disebut sebagai best practice frontier serta membentuk envelop), sementara DMU yang kurang efisiesn mempunyai nilai kurang dari 1,00 dan berada di dalam envelop. Nilai-nilai efisiensi tersebut tidak diurut dalam bentuk rating daya saing relatif, sehingga sulit membedakan daya saing satu DMU terhadap DMU lainnya, terutama DMU-DMU yang memiliki nilai yang sama (nilai 1,00). DEA juga memiliki keterbatasan dalam hal variabel (input atau output) suatu DMU memiliki nilai yang berbeda sangat besar (ekstrim) dengan DMU lainnya, yang dikenal sebagai outlier problem (Parkan dan Wu, 1999a). Hal tersebut terjadi karena dalam menentukan bobot untuk input dan output dalam DEA dihitung berdasarkan nilai yang paling efisien dari sekumpulan nilai variabel input dan output untuk setiap DMU. Untuk nilai variabel yang berbeda sangat ekstrim, maka nilai bobot tersebut menjadi bias, karena tidak terdistribusi dengan merata, sehingga nilai efisiensi juga menjadi bias. Perangkat daya saing lainnya (OCRA) juga memiliki kelemahan. Salah satu kelemahan utama OCRA adalah ketidakmampuan dalam menganalisa daya saing sekumpulan DMU dengan satuan masing-masing input dan satuan masing-masing output yang berbeda. Hal tersebut karena dalam menghitung nilai pembobot atau konstanta kalibrasi seperti pada persamaan (15) dan (16), hanya dapat dilakukan apabila satuan masing-masing input dan output sama. Padahal dalam analisa daya saing pemanfaatan bahan baku kayu misalnya, satuan masing-masing variabel input dan output berbeda. Riap, dinyatakan dengan satuan m3/ha/tahun, begitu
99 3
juga dengan potensi dalam satuan m /ha, atau umur tebang kayu yang dinyatakan dalam satuan tahun, sementara satuan outputnya yaitu produksi pulp dinyatakan dalam ton pulp. Dengan kondisi tersebut, maka analisa daya saing dengan menggunakan OCRA tidak dapat dilakukan. Selain itu, analisa daya saing dengan OCRA hanya mengukur daya saing relatif antara setiap DMU sesuai dengan ratingnya, tetapi sulit untuk menentukan kondisi terbaik yang dapat dicapai oleh setiap DMU terhadap DMU yang paling efisien (best practice frontier). Oleh karena itu, tidak dapat ditentukan kapasitas optimum yang dapat dicapai oleh suatu DMU. Berdasarkan kondisi di atas, maka diperlukan perangkat analisa daya saing lain yang mampu menganalisa daya saing dengan data terbatas dan mampu menutupi kelemahan metode sebelumnya. Oleh karena itu, dalam penelitian ini juga dikembangkan metode analisa daya saing yang dinamakan Analisa Perbandingan Daya Saing atau disingkat APD. APD dimaksudkan untuk menganalisa daya saing industri antar negara dengan data terbatas. Perbandingan metode DEA, OCRA serta APD diperlihatkan pada Tabel 12. Tabel 12. Keterbatasan pada DEA dan OCRA dan metode baru yang diperlukan DEA
OCRA
Metode baru (APD)
Minimal 3 kali
Tidak ada batasan
Tidak ada batasan
Boleh berbeda
Harus sama
Boleh berbeda
Penentuan konstanta pembobotan
Tergantung perhitungan setiap unit
Outlier problem
Mempengaruhi hasil analisa
Tergantung kepada nilai variabel dari setiap unit Diredam oleh konstanta pembobotan
Ukuran daya saing
Efisiensi relatif
Rating unit Peningkatan kapasitas
Tidak Ya Membentuk envelop
Tergantung variabel dan total seluruh unit Dapat diredam dengan konstanta pembobot Ketidak-efisienan relatif Ya Tidak
Ya Ya
Hanya satu
Hanya satu
Perbandingan jumlah unit (DMU) terhadap banyaknya variabel (jumlah variabel input ditambah output) Satuan setiap variabel input dan output
Best practice frontier
Efisiensi relatif
100 4.1. Analisa Perbandingan Daya Saing (APD) Analisa Perbandingan Daya Saing (APD) digunakan untuk mengatasi kelemahan yang ada dalam DEA dan OCRA. Berbeda dengan OCRA, APD tidak mensyaratkan satuan masing-masing input dan output yang sama. Perhitungan efisiensi didasarkan kepada perbandingan antara masing-masing output terhadap masing-masing input tanpa memperhatikan satuannya, sehingga setiap input dan atau output tidak harus memiliki satuan yang sama. Begitu juga dalam hal jumlah minimum DMU. Tidak seperti DEA, APD tidak membatasi jumlah minimum DMU terhadap banyaknya variabel (jumlah variabel input ditambah jumlah variabel output). Dengan jumlah DMU yang sama atau lebih kecil dari jumlah variabel, perhitungan efisiensi tetap dapat dilakukan. Efisiensi dalam APD dihitung berdasarkan nilai efisiensi relatif masing masing DMU terhadap lainnya. Meskipun demikian, APD juga tetap menggunakan konsep dasar yang dikembangkan dalam metode non-parametrik. Daya saing (efisiensi) dalam APD, seperti juga dalam DEA dan OCRA dihitung dengan mencari nilai tertinggi relatif yang dapat dicapai dari sekumpulan DMU dengan menggunakan variabel input dan output. Efisiensi suatu DMU dihitung sebagai perbandingan antara sejumlah ouput terbobot terhadap sejumlah input terbobot. Efisiensi terbaik dihitung dengan cara memaksimumkan efisiensi DMU ke-k dengan menggunakan kendala efisiensi semua DMU lebih kecil dari efisiensi tertinggi (100% atau 1,00). Nilai tertinggi yang diperoleh merupakan nilai tertinggi relatif terhadap sekumpulan DMU yang dianalisa. Konsep tersebut digunakan dalam APD untuk menghitung daya saing (efisiensi) relatif. Efisiensi (daya saing) dalam APD Terdapat sejumlah K buah DMU (k = 1, 2, ..., K) yang akan dikaji daya saingnya, dan setiap DMU menggunakan sejumlah I buah variabel input (i = 1,2, ..., I) untuk menghasilkan J buah variabel output (j = 1,2, ..., J). Variabel-variabel input dan output dinyatakan dalam bentuk vektor: xik = (x1k, x2k, ...., xIk) menunjukkan variabel input, yjk = (y1k, y2k, ...., yJk) menunjukan variabel output.
101 Dengan menggunakan konsep efisiensi seperti pada persamaan (1) yaitu: Efisiensi =
Output Input
maka efisiensi DMU ke-k, dari output ke-j terhadap input ke-i (yang disimbolkan dengan eijk) dapat dinyatakan sebagai: eijk =
y jk
(17)
xik
yang merupakan efisiensi pribadi setiap DMU k, dari output ke-j terhadap input ke-i. Efisiensi pribadi setiap DMU ke-k tersebut akan bersifat relatif terhadap DMU lainnya (dari 1 sampai K) untuk setiap input ke-i dan output ke-j apabila efisiensi setiap DMU tersebut dibandingkan. Perbandingan akan setara apabila ada suatu faktor (konstanta) pembobotan yang mampu menghitung kesetaraan kontribusi relatif setiap DMU yang disebabkan oleh masing-masing output dan inputnya. Perbandingan kesetaraan tersebut dengan memperhatikan nilai maksimum dan minimum efisiensi yang diperoleh oleh setiap DMU dari perbandingan setiap output terhadap setiap input. Perbedaan nilai maksimum dan minimum yang tinggi dari suatu variabel menunjukkan bahwa tidak ada kesetaraan efisiensi antara satu DMU dengan DMU lainnya, yang dalam DEA dikenal dengan outlier problem. Outlier problem tersebut dalam DEA akan sangat mempengaruhi keabsahan hasil perhitungan efisiensi, dan membuat DEA tidak dapat digunakan untuk analisa. Tetapi dalam APD, problema tersebut tetap diakomodasi dengan memberi bobot yang kecil bagi efisiensi dengan perbedaan nilai maksimum dan minimum yang besar. Hal tersebut dinyatakan dengan menempatkan perbedaan antara nilai maksimum dan minimum efisiensi antara masing-masing DMU yang disebabkan oleh input ke-i dan output ke-j dalam posisi penyebut untuk persamaan konstanta pembobotan, sehingga semakin besar perbedaan nilai maksimum dan minimum efisiensi, semakin kecil nilai konstanta pembobotan. Nilai konstanta pembobotan dinyatakan sebagai: a ij* =
eij 0
max {eijk }− min {eijk }
k =1, 2 ,... K
k =1, 2 ,... K
untuk setiap k.
(18)
102 dengan eij0 merupakan efisiensi maksimum yang dapat dicapai suatu DMU dari input ke-i dan output ke-j, dengan nilai sama dengan 1,00. Jika jumlah keseluruhan bobot dikonversikan dengan nilai 1, maka nilai bobot dari input ke-i dan output ke-j menjadi: aij =
aij* I
J
∑∑ a i =1 j =1
(19) * ij
dengan I
J
∑∑ a i =1 j =1
ij
=1
Untuk menyetarakan nilai efisiensi setiap DMU k yang dihasilkan oleh input ke-i dan output ke-j sesuai dengan kontribusi relatif masing-masing efisiensi DMU, maka nilai efisiensi tersebut dikonversikan dengan mengalikan nilai efisiensi dengan nilai konstanta pembobotnya. Hal tersebut berguna untuk mendapatkan nilai efisiensi terbobot tanpa mengubah pola efisiensi setiap DMU. Dengan demikian, nilai efisiensi DMU ke-k dari input ke-i dan output ke-j menjadi: * eijk = eijk .a ij ,
∀ i, j, k
(20)
Untuk mengetahui kinerja masing-masing DMU dari input ke-i dan output ke-j, maka dilakukan perbandingan efisiensi masing-masing DMU terhadap efisiensi DMU terbesar dari setiap input ke-i dan output ke-j. Kinerja tersebut dinyatakan sebagai: p ijk =
* eijk
{ }
* max eijk
k =1, 2 ,... K
(21)
dimana pijk adalah kinerja relatif DMU ke-k dari input ke-i dan output ke-j. Nilai pijk = 1,00, menunjukkan bahwa DMU ke-k mampu memanfaatkan sumberdaya input ke-i untuk menghasilkan output (value) ke-j secara optimal, relatif lebih baik (lebih efisien) dibandingkan dengan DMU lainnya yang menggunakan sumber daya input (i) untuk menghasilkan output (j) yang sama.
103 Nilai kinerja DMU ke-k keseluruhan dari semua output (j = 1,2, ... J) dan semua input (i = 1,2,... I) untuk setiap k merupakan penjumlahan dari masingmasing kinerja DMU ke-k dari setiap input ke-i dan output ke-j. I
J
p k* = ∑∑ p ijk
(22)
i =1 j =1
Untuk membandingkan kinerja relatif dari setiap DMU terhadap DMU lainnya, maka ditetapkan suatu nilai (acuan) yang dapat dijadikan sebagai dasar. Apabila nilai dasar tersebut adalah nilai 1,00 yang merupakan nilai kinerja tertinggi yang dapat dicapai oleh suatu DMU, maka nilai kinerja setiap DMU harus dibandingkan dengan nilai kinerja DMU terbesar yang diperoleh, sehingga kinerja (daya saing) masing-masing DMU menjadi: p k* pk = max p k* k =1, 2 ,... K
{ }
(23)
Nilai pk = 1,00 menunjukan bahwa DMU ke-k memiliki kinerja (daya saing) yang relatif lebih baik dibandingkan dengan DMU lainnya karena mampu memanfaatkan semua sumberdaya input (i = 1,2, ... I) secara efektif untuk menghasilkan semua output (j = 1,2, ... J) secara optimal. 4.2. Analisa Daya Saing Pemanfaatan Bahan Baku Kayu Berdasarkan paparan mengenai sumber bahan baku dari tujuh negara penghasil pulp utama dunia, diperoleh data mengenai areal lahan hutan untuk pulp dan volume kayu yang dapat disediakan oleh hutan untuk bahan baku pulp. Luas areal hutan terutama luas hutan komersial dan hutan yang disediakan khusus untuk penyediaan kayu bahan baku pulp dan perubahan areal hutan menunjukan besarnya potensi kayu dalam penyediaan bahan baku pulp. Volume kayu untuk bahan baku pulp yang terdiri atas volume kayu yang dapat ditebang pertahun, potensi kayu, kecepatan pertumbuhan (riap), umur panen kayu dan ketersediaan bahan baku lainnya (dalam hal ini chips atau serpihan kayu sebagai limbah dari industri pengolah kayu lainnya) menunjukan seberapa besar kemampuan hutan dalam menyediakan kayu setiap tahunnya untuk kebutuhan bahan baku pulp. Data potensi bahan baku kayu ketujuh negara penghasil pulp utama dunia terlihat pada Tabel 13.
104 Tabel 13. Potensi dan pemanfaatan sumber bahan baku di tujuh negara utama penghasil pulp No. Negara 1
Swedia
Luas Hutan Pulp (juta ha)
Kayu yg Ditebang (juta m3/th)
8.0
80.0
Potensi Riap kayu 3 3 (m /ha) (m /ha/th) 107.0
4.9
Umur Tebang Kayu (tahun)
Produksi pulp (juta ton)
60
12.10
2
Finlandia
8.0
58.0
130.5
4.0
60
11.95
3
Rusia
20.0
542.0
105.0
3.5
50
6.61
4
Kanada
24.0
193.2
154.0
2.4
60
26.00
5
Brazil
2.1
300.0
131.0
22.6
7
9.10
6
Chili
1.1
25.0
160.0
19.5
15
2.76
7
Indonesia
1.4
61.0
172.0
20.0
8
5.59
Sumber: METLA (2004); FAO (2004); Soemitro (2004); Departemen Kehutanan (2004a); FFIF (2004); Sevola (2003); Catwright (2002); NRCan (2002); FPAC (2002); Smith dan Maximenko (2002); van Gelder (2001); Haryopuspito (2001); FAO (2001); BIRO (2001); SI (2001); Petrov (2001); Borregaard dan Röttger (2000); Seling et al. (2000); www.aracruz.com.br/eng/ e_tunel_sem.htm; http://www.wrm.org.uy/bulletin/13/Brazil.html
Analisa daya saing pemanfaatan bahan baku kayu dari ketujuh negara penghasil pulp utama dunia dilakukan dengan memperhatikan data-data di atas Analisa daya saing hanya menggunakan metode non-parametrik Analisa Perbandingan Daya Saing (APD). Dua metode lainnya (DEA dan OCRA) memiliki kebatasan yang untuk menganalisa data pemanfaatan bahan baku. Satuan masing-masing variabel input dan output pada data di atas berbeda, sehingga metode OCRA tidak dapat digunakan. Pada sisi lain, jumlah DMU hanya tujuh buah yang hampir sama dengan jumlah variabel sebanyak enam buah, sehingga metode DEA yang mensyaratkan jumlah DMU minimum tiga kali jumlah variabel tidak terpenuhi. Analisa daya saing dengan menggunakan metode APD terhadap data di atas digambarkan pada Tabel 14. Tabel 14 menghitung efisiensi relatif dari pemanfaatan luas hutan pulp, banyaknya kayu yang ditebang, potensi kayu per areal hutan, riap, dan umur tebang kayu dalam menghasilkan pulp. Nilai-nilai yang tertera dalam Tabel 14, menunjukkan nilai efisiensi relatif untuk setiap DMU (negara). Semakin besar nilai efisiensi (mendekati atau sama dengan 1,00), semakin optimal negara tersebut dalam menggunakan salah satu (atau keseluruhan) potensi bahan bakunya. Begitu juga sebaliknya semakin kecil angka efisiensi suatu negara, semakin tidak optimal negara tersebut dalam pemanfaatan
105 potensi bahan bakunya, dan juga menunjukan bahwa negara tersebut masih memiliki potensi yang besar untuk memproduksi pulp. Tabel 14. Daya saing pemanfaatan sumberdaya bahan baku setiap negara penghasil utama pulp (tanpa satuan) No. Negara 1 2 3 4 5 6 7
Swedia Finlandia Rusia Kanada Brazil Chili Indonesia
Luas Hutan Kayu yg Pulp Ditebang 0.35 0.71 0.35 1.00 0.08 0.06 0.26 0.66 1.00 0.14 0.59 0.54 0.91 0.44
Potensi kayu 0.64 0.54 0.37 1.00 0.40 0.10 0.19
Riap 0.22 0.28 0.17 1.00 0.04 0.01 0.03
Umur Tebang Kayu 0.68 0.67 1.00 0.31 0.11 0.73 0.19
Efisiensi 0.81 0.88 0.52 1.00 0.52 0.61 0.55
Potensi produksi 14.51 13.56 12.74 26.19 16.98 4.51 10.05
Sumber: hasil pengolahan
Tabel 14 menunjukkan bahwa secara umum industri pulp Kanada mampu memanfaatkan sumberdaya bahan bakunya dengan lebih efisien (optimal) dibandingkan dengan industri pulp di enam negara lainnya. Hal tersebut ditunjukan dengan nilai efisiensi yang mencapai angka 1,00. Dengan keterbatasan sumberdaya yang ada, seperti umur tebang kayu yang relatif lama (sekitar 60 tahun) dan riap yang kecil, Kanada sanggup memanfaatkan ketersediaan kayu untuk menghasilkan pulp dalam jumlah yang besar. Kemampuan pemanfaatan sumberdaya bahan baku Kanada relatif lebih baik dibandingkan dengan dua negara penghasil pulp yang telah mapan lainnya di Skandinavia (Swedia dan Finlandia). Kemampuan Kanada terutama dalam hal pemanfaatan potensi kayu dan riapnya. Industri pulp negara lainnya yang telah memanfaatkan sumberdaya bahan baku relatif lebih baik adalah Swedia dan Finlandia, dengan efisiensi pemanfaatkan sumberdaya bahan baku masing-masing 81% dan 88% relatif terhadap Kanada. Kemampuan kedua negara tersebut terutama dalam hal pemanfaatan kayu yang dapat ditebang setiap tahunnya (AAC) dan pemanfaatan umur tebang kayu. Umur tebang kayu yang lama dari kedua negara tersebut bukan merupakan hambatan untuk mengoptimalkan sumberdaya yang dimilikinya. Selain industri pulp di Kanada, Finlandia dan Swedia, industri pulp di empat negara lainnya relatif masih belum optimal dalam memanfaatkan sumberdaya bahan bakunya, seperti Chili (dengan efisiensi 0,61), Indonesia (0,55), Brazil (0,52) dan Rusia (0,52).
106 Diantara tujuh negara penghasil pulp utama dunia, daya saing pemanfaatan sumberdaya bahan baku kayu industri pulp Indonesia relatif rendah (hanya 0,55) atau sekitar 55% dari kemampuan Kanada. Pemanfaatan bahan baku kayu untuk pulp di Indonesia relatif kurang efisien terutama dalam hal pemanfaatan riap, umur tebang kayu dan potensi kayu. Efisiensi pemanfaatan riap hanya sebesar 0,03 (atau sekitar 3% dari pemanfaatan riap di Kanada). Padahal riap kayu (Acacia mangium) di Indonesia paling tinggi dibandingkan dengan kayu di negara-negara lainnya. Begitu juga dengan efisiensi umur tebang kayu dan potensi kayu dengan nilai di bawah 0,20, padahal umur tebang kayu untuk bahan baku pulp di Indonesia paling pendek dan potensi kayu juga lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa riap yang tinggi, potensi kayu yang besar dan umur tebang yang pendek belum dapat dimanfaatkan secara optimal dalam menghasilkan pulp. Apabila kemampuan pemanfaatan bahan baku kayu di Indonesia mencapai kemampuan industri pulp Kanada, maka Indonesia memiliki peluang untuk memproduksi pulp sekitar 10 juta ton pertahun. 4.3. Analisa Daya Saing Penggunaan Faktor Produksi Penggunaan sumberdaya produksi, dinyatakan dari banyaknya unit produksi yang digunakan serta besarnya biaya produksi atau biaya perunit produksi dibandingkan dengan pendapatan (output) dari hasil produksi. Biaya produksi adalah besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi pulp dalam kurun waktu satu tahun, sementara biaya perunit produksi adalah biaya satuan yang digunakan untuk menghasilkan satu ton pulp pada suatu kurun waktu. Pendapatan hasil produksi adalah pendapatan total dari hasil produksi selama kurun waktu satu tahun, sementara pendapatan persatuan unit produksi adalah pendapatan yang diperoleh dari penjualan setiap ton pulp pada suatu kurun waktu. Biaya dan pendapatan yang digunakan untuk analisa di bawah, adalah biaya dan pendapatan persatuan unit produksi. Biaya perunit produksi hanya dibatasi pada tiga komponen biaya, yaitu biaya bahan baku kayu, biaya energi dan biaya tenaga kerja. Pendapatan perunit produksi adalah pendapatan rata-rata dari penjualan setiap satu ton pulp. Oleh karena itu, analisa daya saing penggunaan faktor produksi terdiri atas empat buah variabel (tiga variabel input dan satu
107 variabel output) serta 19 buah unit (DMU) yang dianalisa. Keempat buah variabel tersebut terdiri dari tiga buah variabel input, yaitu biaya bahan baku, biaya energi dan biaya tenaga kerja, serta satu buah variabel output, yaitu pendapatan perunit pulp atau harga jual persatu ton pulp. Keempat buah variabel tersebut memiliki satuan yang sama yaitu USD/ton pulp. Jumlah DMU adalah banyaknya negara dan tahun analisa. Terdapat tujuh negara yang dianalisa yaitu Kanada, Brazil, Chili, Finlandia, Swedia, Rusia dan Indonesia untuk kurun waktu lima tahun (dari 1999 sampai 2003), sehingga jumlah DMU sebanyak 35 buah. Meskipun demikian, tidak semua data untuk masing-masing negara dan kurun waktu tersedia. Negara-negara yang sumber datanya relatif lengkap adalah Kanada, Finlandia dan Indonesia, sementara empat negara lainnya, yaitu Brazil, Chili, Swedia dan Rusia datanya sangat teratas, sehingga hanya diwakili oleh satu atau dua kurun waktu saja. Oleh karena itu, DMU yang dianalisa bukan 35 buah tetapi hanya 19 buah. Besarnya biaya produksi dan pendapatan perunit pulp dari setiap DMU (negara dan tahun) terlihat pada Tabel 15. Tabel 15. Biaya dan harga satuan faktor produksi tujuh negara penghasil pulp Biaya satuan faktor produksi (USD/ton pulp) Harga satuan Bahan baku Tenaga kerja Energi (USD/ ton pulp) Kanada 1999 165.5 43.2 22.3 383.1 Kanada 2000 161.1 40.1 29.1 559.5 Kanada 2001 155,3 42.4 32.0 413.1 Kanada 2003 154.0 51.0 26.0 545,0 Brazil 2003 68.5 13.0 11.0 688.9 Chili 2001 130.0 11.0 8.0 397.3 Finlandia 1999 114.2 43.7 17.8 351.6 Finlandia 2000 100.0 35.9 15.2 558.6 Finlandia 2001 99.4 41.9 17.8 449.4 Finlandia 2002 114.1 53.2 18.9 435.2 Finlandia 2003 223.0 42.0 4.0 488.3 Swedia 2001 73.0 60.0 34,5 494.1 Swedia 2003 187.0 50.0 14.0 612.0 Rusia 2000 86,6 30.0 15,5 352.2 Indonesia 1999 125.0 9.7 29.2 406.9 Indonesia 2000 249.9 4,3 11,4 532.4 Indonesia 2001 126.2 5,8 12,6 331.5 Indonesia 2002 185.2 5,6 22,0 314.8 Indonesia 2003 117.5 11.0 15.0 511.0 Sumber: BPS (2000); BPS (2001); BPS (2002); BPS (2003); Djojosoebroto (2004); Flynn (2002); Flynn (2003); Gobdirect (2000); Graves (2004); Ibnusantosa (2000); Industry Canada (2002); Infomine (2004); METLA (2003); Skogsindustrierna (2005); Skogsstylersen (2005); Statistics Canada (2002); Wright (2003); Negara dan tahun
108 Empat buah jumlah variabel (tiga variabel input dan satu variabel output) serta 19 buah DMU memungkinkan analisa dengan menggunakan DEA dapat digunakan, karena persyaratan jumlah DMU sedikitnya tiga kali lipat jumlah variabel dapat dipenuhi. Selain itu, karena masing-masing variabel input dan output memiliki satuan yang sama (USD/ton), analisa dengan menggunakan OCRA juga dapat dilakukan. Begitu juga dengan APD, perangkat ini yang tidak memerlukan persyaratan khusus untuk analisa. Oleh karena itu, analisa daya saing penggunaan faktor produksi dilakukan dengan menggunakan perangkat analisa DEA, OCRA dan APD. 4.3.1. Analisa daya saing penggunaan faktor produksi dengan DEA Analisa daya saing penggunaan faktor produksi pulp menggunakan DEA model BCC berorientasi input, dengan VRS (variabel return to scale) dan tipe dual. Model BCC digunakan dengan pertimbangan untuk sekaligus mengevaluasi kapasitas produksi suatu negara. Orientasi input digunakan karena ingin diketahui bagaimana
efisiensi
penggunaan
sumberdaya
produksi
(input)
dalam
menghasilkan output. VRS dipilih sebab dapat digunakan untuk menentukan peningkatan, atau penurunan kapasitas produksinya. Tipe dual digunakan untuk lebih mempermudah dalam penyelesaian linear programing-nya. Analisa daya saing penggunaan faktor produksi dengan DEA BCC berorientasi input tipe dual (persamaan 9) dilakukan terhadap tiga buah variabel input, yaitu bahan baku, energi dan tenaga kerja (i = 3), satu buah variabel output, yaitu pendapatan (j = 1), serta 19 buah DMU negara dan tahun (k = 19). Daya saing (efisiensi) DMU ke-k0 relatif terhadap keseluruhan DMU seperti pada persamaan (9) dikerjakan dengan menggunakan bantuan software DEAFrontier™ yang dikembangkan oleh Joe Zhu dari Department of Management - Worcester Polytechnic Institute (www.deafrontier.com/frontierfree.html). Hasil analisa daya saing terlihat pada Tabel 16. Tabel 16 menunjukkan bahwa daya saing terbaik (nilai efisiensi sama dengan 1,00) diperoleh oleh Brazil tahun 2003, Finlandia tahun 2003 dan Indonesia tahun 2000. Dari ketiga nilai daya saing terbaik tersebut, Brazil 2003 menjadi rujukan (benchmark) terbaik bagi hampir seluruh DMU. Hal tersebut menunjukan bahwa
109 Brazil 2003 lebih efisien dibandingkan dengan DMU lainnya dalam penggunaan faktor produksi untuk menghasilkan output. Tabel 16. Daya saing penggunaan faktor produksi setiap negara dengan menggunakan DEA (tanpa satuan) DMU ke. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Negara Kanada 1999 Kanada 2000 Kanada 2001 Kanada 2003 Brazil 2003 Chili 2001 Finlandia 1999 Finlandia 2000 Finlandia 2001 Finlandia 2002 Finlandia 2003 Swedia 2001 Swedia 2003 Rusia 2000 Indonesia 1999 Indonesia 2000 Indonesia 2001 Indonesia 2002 Indonesia 2003
Efisiensi
λk
Return to Scale
λk Optimal
Benchmark terbaik
0.27 0.35 0.26 0.35 1.00 0.78 0.31 0.58 0.45 0.38 1.00 0.67 0.61 0.40 0.67 1.00 0.76 0.62 0.77
1.417 2.409 1.673 2.285 1.000 0.171 0.658 1.075 0.810 0.823 1.000 0.877 1.179 0.332 0.370 1.000 0.572 0.775 0.824
Decreasing Decreasing Decreasing Decreasing Constant Increasing Increasing Decreasing Increasing Increasing Constant Increasing Decreasing Increasing Increasing Constant Increasing Increasing Increasing
1.348 2.409 1.673 2.285 1.000 0.164 0.653 1.060 0.810 0.823 1.000 0.877 0.874 0.332 0.174 1.000 0.142 0.092 0.469
Brazil 2003 Brazil 2003 Brazil 2003 Brazil 2003 Brazil 2003 Brazil 2003 Brazil 2003 Brazil 2003 Brazil 2003 Brazil 2003 Finlandia 2003 Brazil 2003 Brazil 2003 Brazil 2003 Brazil 2003 Indonesia 2000 Brazil 2003 Brazil 2003 Brazil 2003
Sumber: hasil pengolahan
Tabel 16 juga menggambarkan indusri pulp Indonesia (rata-rata dari tahun 1999 sampai 2003) memiliki daya saing yang lebih baik dibandingkan dengan industri pulp di negara Kanada, Finlandia, Swedia dan Rusia. Hal tersebut ditunjukkan dari nilai efisiensi yang dicapai industri pulp Indonesia yang relatif lebih baik dibandingkan dengan industri pulp negara-negara lain. Daya saing (efisiensi) Indonesia rata-rata di atas 0,62, yang lebih baik apabila dibandingkan dengan Kanada (1999 sampai 2003) dengan efisiensi antara 0,26 sampai 0,35, Finlandia (kecuali tahun 2003) dengan efisiensi antara 0,31 sampai 0,58, Swedia dengan efisiensi antara 0,61 sampai 0,67 dan Rusia dengan efisiensi 0,40. Meskipun relatif masih di bawah Chili, dengan efisiensi 0,78. Paparan di atas menunjukkan bahwa dalam penggunaan faktor produksi untuk menghasilkan pulp, industri pulp Indonesia lebih berdaya saing relatif dibandingkan dengan negara-negara yang telah mapan dalam industri pulp dunia
110 (Kanada dan Skandinavia). Tingginya daya saing tersebut karena biaya produksi pulp di Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan di negara-negara tersebut. Selain itu, dengan memperhatikan skala ekonomi (return to scale), kapasitas produksi industri pulp Indonesia secara umum masih dapat ditingkatkan (increasing return to scale). Hal tersebut berbeda apabila dibandingkan dengan Kanada, Finlandia dan Swedia yang pada batas tertentu sudah harus diturunkan (decreasing return to scale). 4.3.2. Analisa daya saing penggunaan faktor produksi dengan OCRA Analisa daya saing penggunaan faktor produksi dengan menggunakan OCRA dilakukan dengan menghitung komponen-komponen yang berperan. Komponenkomponen tersebut adalah: 1. Konstanta kalibrasi, yang dinyatakan dalam am, bh, wc dan wr. 2. Rating kinerja penggunaan sumber daya DMU ke-k, Ck, 3. Rating kinerja pembangkitan pendapatan DMU ke-k, Rk, 4. Rating kinerja operasional DMU ke-k keseluruhan, Ek. Berdasarkan data-data input (bahan baku, energi dan tenaga kerja) serta output (harga satuan penjualan), perhitungan komponen-komponen tersebut adalah sebagai berikut. 1. Konstanta kalibrasi Dari persamaan (15), yaitu: 3 ∑ ∑ xik k =1 i =1 wc = 19
19
19
∑ ∑ y wr =
k =1
j =1
jk
3 ∑ xik + y k i =1 K 3 ∑ xik + y k i =1 = 1 - wc K
diperoleh nilai wc = 0.28971 dan wr = 0.71029.
111 Dengan menggunakan persamaan (16), ∑ xik k =1 ai = 19
yk ∑ k =1 bj = 19
3
∑x i =1
ik
K
;
i =1, 2, 3,
;
j =1
1
∑y j =1
jk
K
k = 1,2, ..., 19
didapatkan nilai a1 = 0.72979, a2 = 0.10417, a3 = 0.16604, dan b1 = 1,00. 2. Rating kinerja (ketidakefisienan) penggunaan sumber daya DMU ke-k. Penggunaan sumberdaya atau penggunaan input (bahan baku, energi dan tenaga kerja) untuk setiap negara pada suatu kurun waktu (DMU ke-k) atau Ck dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (11), yaitu: I
Ck = ∑ i =1
ai [ xik − min {xik }] k =1, 2 ,..., K
min {xik }
k =1, 2 ,.., K
I a i [ xik − min {xik }] k =1, 2 ,..., K − min ∑ k =1, 2 ,... K min {xik } i =1 k =1, 2 ,.., K
sehingga diperoleh nilai Ck untuk setiap DMU (Tabel 17). Tabel 17. Perhitungan kinerja (ketidakefisienan) penggunaan produksi dengan menggunakan OCRA (tanpa satuan)
sumberdaya
No
Negara (DMU)
Bahan baku
Energi
Tenaga kerja
CCk
Ck
Rating
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Kanada 1999 Kanada 2000 Kanada 2001 Kanada 2003 Brazil 2003 Chili 2001 Finlandia 1999 Finlandia 2000 Finlandia 2001 Finlandia 2002 Finlandia 2003 Swedia 2001 Swedia 2003 Rusia 2000 Indonesia 1999 Indonesia 2000 Indonesia 2001 Indonesia 2002 Indonesia 2003
1.03 0.99 0.92 0.91 0.00 0.66 0.49 0.34 0.33 0.49 1.65 0.05 1.26 0.19 0.60 1.93 0.61 1.24 0.52
0.48 0.65 0.73 0.57 0.18 0.10 0.36 0.29 0.36 0.39 0.00 0.79 0.26 0.30 0.65 0.19 0.22 0.47 0.29
1.50 1.38 1.47 1.80 0.34 0.26 1.52 1.22 1.45 1.89 1.46 1.96 1.76 0.99 0.21 0.00 0.06 0.05 0.26
3.01 3.02 3.12 3.29 0.52 1.02 2.37 1.85 2.14 2.76 3.10 2.80 3.29 1.48 1.46 2.13 0.90 1.76 1.07
2.49 2.50 2.61 2.77 0.00 0.50 1.85 1.33 1.62 2.24 2.58 2.28 2.77 0.97 0.95 1.61 0.38 1.24 0.55
14 15 17 18 1 3 11 8 10 12 16 13 19 6 5 9 2 7 4
Sumber: hasil pengolahan
112 Tabel 17 menunjukkan bahwa industri pulp Brazil (tahun 2003) paling rendah ketidakefisienannya dalam penggunaan bahan baku kayu, sehingga industri pulp Brazil memiliki daya saing yang tinggi relatif terhadap industri pulp negara lainnya. Nilai ketidakefisiensian penggunaan bahan baku kayu yang dicapai industri pulp Brazil sama dengan 0,00, lebih rendah dibandingkan dengan nilai yang dicapai industri pulp Swedia (antara 0,05 sampai 1,26), Rusia (0,19), Finlandia (antara 0,33 sampai 1,65), Chili (0,65), Indonesia antara (0,52 sampai 1,93), dan Kanada (antara 0,91 sampai 1,03). Dalam hal penggunaan energi, industri pulp Finlandia 2003 memiliki ketidakefisienan penggunaan energi paling rendah dibandingkan industri pulp negara lainnya (nilai 0,00). Nilai tersebut lebih baik dari Chili 2001 (nilai ketidakefisienan 0,10), Brazil 2003 (0,18), Indonesia 2000 (0,19), Swedia 2003 (0,26), Rusia 2000 (0,29) dan Kanada 1999 (0,48). Secara rata-rata industri pulp Finlandia juga paling rendah ketidakefisienan dalam penggunaan energinya (rataratanya sekitar 0,28), dibandingkan dengan Swedia (0,53), Rusia (0,30), Indonesia (0,36) dan Kanada (0,61). Paparan nilai ketidakefisiensian penggunaan energi di atas mengindikasikan industri pulp Finlandia yang kemudian diikuti oleh industri pulp Chili dan Brazil merupakan negara-negara yang memiliki daya saing yang tinggi karena mampu memperkecil ketidakefisienan penggunaan energi dalam proses produksi pulp. Industri pulp Indonesia 2000 adalah DMU dengan ketidakefisienan penggunaan biaya sumberdaya manusia (tenaga kerja) terendah, dibandingkan dengan industri pulp negara lainnya. Selain itu, secara rata-rata ketidakefisiensian penggunaan biaya tenaga kerja di industri pulp Indonesia juga terendah (sekitar 0,11) dibandingkan dengan Chili (0,26), Brazil (0,34), Rusia (0,99), Finlandia (1,51), Kanada (1,54) dan Swedia (1,86). Hal tersebut menunjukkan bahwa daya saing penggunaan tenaga kerja di Indonesia lebih baik dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Meskipun daya saing tersebut lebih banyak disebabkan oleh upah buruh yang relatif murah. Secara umum rata-rata ketidakefisienan penggunaan faktor produksi (bahan baku, energi dan tenaga kerja) dari industri pulp Brazil paling rendah (nilai ketidakefisiensian 0,00 dan rating 1) dibandingkan dengan negara-negara lainnya.
113 Kemudian diikuti oleh Chili (0,50), Indonesia (0,94), Rusia (0,97), Finlandia (1,93), Swedia (2,53) serta Kanada (2,59). Pada sisi lain, ketidakefisienan penggunaan faktor produksi industri pulp Indonesia relatif lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara Amerika Selatan (Brazil dan juga Chili), meskipun lebih baik apabila dibandingkan dengan Kanada, Finlandia, Swedia dan Rusia. 3. Rating kinerja (ketidakefisienan) pembangkitan pendapatan DMU ke-k. Output hanya terdiri dari satu variabel, yaitu variabel pendapatan persatu ton pulp, Rk, yang dihitung dengan menggunakan persamaan (12). Oleh karena variabel output hanya satu (h = 1), maka persamaan disederhanakan menjadi: Rk =
b1 [ max { y k } − y k ] k =1, 2 ,...,19
min { y k }
k =1, 2 ,..,19
Dari persamaan tersebut, R untuk setiap DMU (Rk) dapat dihitung seperti terlihat pada Tabel 18. Tabel 18. Perhitungan kinerja (ketidakefisienan) pembangkitan pendapatan dengan menggunakan OCRA (tanpa satuan) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Negara Kanada 1999 Kanada 2000 Kanada 2001 Kanada 2003 Brazil 2003 Chili 2001 Finlandia 1999 Finlandia 2000 Finlandia 2001 Finlandia 2002 Finlandia 2003 Swedia 2001 Swedia 2003 Rusia 2000 Indonesia 1999 Indonesia 2000 Indonesia 2001 Indonesia 2002 Indonesia 2003
Sumber: hasil pengolahan
Output 383.12 559.52 413.07 545.00 688.89 397.25 351.61 576.80 449.46 402.86 600.00 494.06 612.00 352.16 406.94 532.40 331.46 314.79 511.00
Rk 0.051 0.022 0.046 0.024 0.000 0.049 0.056 0.019 0.040 0.048 0.015 0.033 0.013 0.056 0.047 0.026 0.060 0.063 0.030
Rating 15 5 11 6 1 14 17 4 10 13 3 9 2 16 12 7 18 19 8
114 Tabel 18 menunjukkan industri pulp Brazil tahun 2003 memiliki ketidakefisienan relatif paling rendah (0,00) dan rating paling tinggi untuk pembangkitan
pendapatan.
Nilai
ketidakefisienan
tersebut
lebih
rendah
dibandingkan dengan industri pulp di negara-negara Skandinavia (Swedia dengan nilai ketidakefisiensian 0,02 dan Finlandia 0,04). Apabila dibandingkan dengan industri pulp negara lain, ketidakefisiensian pembangkitan pendapatan industri pulp Indonesia relatif lebih tinggi. 4. Rating ketidakefisienan (kinerja operasional) DMU ke-k keseluruhan, Ek. Rating kinerja DMU ke-k (Ek) adalah kombinasi antara kinerja penggunaan sumberdaya (input) dengan kinerja pembangkitan pendapatan (output). Dengan menggunakan persamaan (13), yaitu: Ek = wc Ck + wr Rk - min { wc Ck + wr Rk} n =1, 2 ,.., K
I
E k = wc ∑
a i [ xik − min {xik }]
i =1
k =1, 2 ,..., K
min {xik }
I
k =1, 2 ,.. K
j =1
k =1, 2 ,.., K
min {wc ∑ i =1
J
+ wr ∑
ai [ xik − min {xik }] k =1, 2 ,..., K
min {xik }
k =1, 2 ,.., K
b j [ max { y jk } − y jk ] k =1, 2 ,..., K
min { y jk }
-
k =1, 2 ,.., K
b j [ max { y jk } − y jk ] k =1, 2 ,..., K } min { y jk } j =1 J
+ wr ∑
k =1, 2 ,.., K
diperoleh rating kinerja operasional setiap DMU (Ek) yang dinyatakan dalam Tabel 19. Tabel 19 menunjukkan bahwa secara umum kinerja operasional faktor produksi setiap DMU, industri pulp Brazil memiliki ketidakefisienan yang lebih rendah (Ek = 0,00). Hal tersebut menunjukkan bahwa industri pulp Brazil memiliki daya saing yang lebih baik dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Selain Brazil, negara yang memiliki industri pulp dengan ketidakefisienan relatif rendah lainnya adalah Chili dan Indonesia. Chili memiliki kinerja operasional, Ek sebesar 0,18. Kinerja operasional industri pulp Indonesia relatif lebih baik apabila dibandingkan dengan industri pulp Rusia (0,32), Finlandia (0,40 sampai 0,76), Swedia (0,68 sampai 0,81) dan Kanada (0,74 sampai 0,82).
115 Tabel 19. Daya saing (kinerja operasional) penggunaan faktor produksi dengan menggunakan OCRA (tanpa satuan) No
Negara
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Kanada 1999 Kanada 2000 Kanada 2001 Kanada 2003 Brazil 2003 Chili 2001 Finlandia 1999 Finlandia 2000 Finlandia 2001 Finlandia 2002 Finlandia 2003 Swedia 2001 Swedia 2003 Rusia 2000 Indonesia 1999 Indonesia 2000 Indonesia 2001 Indonesia 2002 Indonesia 2003
Ck
Rk
Ek
Urutan
2.49 2.50 2.61 2.77 0.00 0.50 1.85 1.33 1.62 2.24 2.58 2.28 2.77 0.97 0.95 1.61 0.38 1.24 0.55
0.05 0.02 0.05 0.02 0.00 0.05 0.06 0.02 0.04 0.05 0.01 0.03 0.01 0.06 0.05 0.03 0.06 0.06 0.03
0.76 0.74 0.79 0.82 0.00 0.18 0.58 0.40 0.50 0.68 0.76 0.68 0.81 0.32 0.31 0.48 0.15 0.40 0.18
16 14 17 19 1 3 11 7 10 12 15 13 18 6 5 9 2 8 4
Sumber: hasil pengolahan
4.3.3. Analisa daya saing penggunaan faktor produksi dengan APD Daya saing relatif penggunaan faktor produksi dengan menggunakan metode APD diukur berdasarkan kinerja masing-masing variabel output dan input secara mandiri maupun kombinasi variabel secara keseluruhan. Dalam hal pengukuran daya saing untuk masing-masing variabel, kinerja suatu DMU diukur berdasarkan perbandingan antara setiap output terhadap setiap input. Pada sisi lain, daya saing keseluruhan suatu DMU diukur dari kombinasi seluruh variabel output terbobot tehadap seluruh variabel input terbobot. Analisa daya saing setiap variabel dilakukan untuk mengetahui kinerja masing-masing DMU dalam menghasilkan setiap output dengan menggunakan setiap input. Kinerja (efisiensi) sebuah DMU ke-k (yang disimbolkan dengan eijk), dalam menghasilkan output ke-j dengan menggunakan input ke-i diukur dengan menggunakan persamaan (17). Kinerja DMU ke-k suatu variabel atau eijk merupakan efisiensi dari variabel output ke-j dengan menggunakan input ke-i. Kinerja setiap variabel untuk menghasilkan output (pendapatan dari penjualan
116 pulp) dengan menggunakan masing-masing sumberdaya input (biaya bahan baku, energi dan tenaga kerja) terlihat pada Tabel 20. Tabel 20. Kinerja masing-masing variabel dari pembangkitan output terhadap masing-masing sumberdaya input pulp faktor produksi setiap negara dengan menggunakan APD (tanpa satuan) No
Negara
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Kanada 1999 Kanada 2000 Kanada 2001 Kanada 2003 Brazil 2003 Chili 2001 Finlandia 1999 Finlandia 2000 Finlandia 2001 Finlandia 2002 Finlandia 2003 Swedia 2001 Swedia 2003 Rusia 2000 Indonesia 1999 Indonesia 2000 Indonesia 2001 Indonesia 2002 Indonesia 2003
Output/input (eijk) untuk input: Bahan baku Energi Tenaga kerja 2.31 17.19 8.86 3.47 19.23 13.97 2.66 12.90 9.75 3.54 20.96 10.69 10.06 62.63 52.99 3.06 49.66 36.11 3.08 19.71 8.05 5.59 36.65 15.58 4.52 25.28 10.72 3.82 23.08 8.19 2.19 122.06 11.63 6.77 14.32 8.23 3.27 43.71 12.24 4.07 22.72 11.74 3.26 13.96 42.17 2.13 46.70 123.81 2.63 26.31 57.15 1.70 14.31 56.21 4.35 34.07 46.45
Sumber: hasil pengolahan
Hasil perhitungan pada tabel di atas menunjukkan bahwa dalam hal penggunaan sumberdaya bahan baku untuk menghasilkan output, industri pulp Brazil tahun 2003 memiliki nilai kinerja yang lebih tinggi dari negara lainnya, dengan nilai mencapai 10,06. Nilai tersebut lebih tinggi apabila dibandingkan dengan negara-negara lainnya yang rata-rata sekitar 3,00 sampai 4,00. Dalam hal ini, industri pulp Brazil tahun 2003 mampu mengefisienkan biaya bahan bakunya lebih baik untuk menghasilkan output yang setara. Nilai kinerja pemanfaatan bahan baku untuk menghasilkan output pulp yang tinggi juga dicapai oleh industri pulp Swedia (tahun 2001) dengan nilai 6,77 dan Finlandia (tahun 2000) dengan nilai 5,59. Industri pulp negara-negara penghasil pulp utama lainnya (Rusia, Chili, Indonesia dan Kanada) memiliki kinerja relatif lebih rendah rata-rata kurang dari 4,00.
117 Dalam hal penggunaan energi untuk menghasilkan pulp, industri pulp Finlandia 2003 memiliki kinerja yang relatif lebih tinggi dari industri pulp negaranegara lainnya dengan nilai mencapai 122,06. Nilai pemanfaatan energi yang tinggi lainnya dicapai oleh Brazil 2003 dengan nilai mencapai 62,63 dan Chili 2001 dengan nilai sekitar 49,66. Kinerja pemanfaatan energi dari industri pulp negara lainnya relatif kecil, kurang dari 45,00. Hal tersebut menunjukkan bahwa Finlandia, Brazil dan Chili memiliki daya saing yang relatif lebih baik dalam memanfaatkan energi dalam memproduksi pulp. Dalam hal pengunaan tenaga kerja untuk menghasilkan pulp, Indonesia tahun 2000 memiliki kinerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara penghasil pulp utama lainnya, dengan nilai 123,81. Negara lainnya yang memiliki kinerja pemanfaatan tenaga kerja dengan baik adalah Brazil dengan nilai 52,99 dan Chili dengan nilai 36,11. Pada sisi lain, negara-negara penghasil pulp utama liannya seperti Kanada, Finlandia, Swedia dan Rusia, nilai kinerja penggunaan tenaga kerjanya rata-rata kurang dari 15,00. Hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia, Brazil dan Chili mampu memanfaatkan biaya tenaga kerjanya lebih efisien dibandingkan dengan empat negara lainnya. Analisa daya saing secara keseluruhan yang merupakan kombinasi dari seluruh variabel input terbobot dan variabel output terbobot dari suatu DMU ke-k diukur dengan mempertimbangkan kesetaraan kontribusi relatif dari masingmasing variabel output dan inputnya. Dengan menggunakan persamaan (23), kinerja relatif keseluruhan dari DMU ke-k, atau pk, diukur. Nilai pk = 1,00 menunjukan bahwa DMU ke-k memiliki efisiensi (daya saing) yang relatif lebih baik dibandingkan dengan DMU lainnya karena mampu memanfaatkan semua sumberdaya input (i = 1,2, ... I) untuk menghasilkan semua output (j = 1,2, ... J) secara optimal. Dengan menggunakan data input (bahan baku, energi dan tenaga kerja) dan output (pendapatan dari penjualan pulp), daya saing relatif penggunaan faktor produksi setiap DMU terlihat pada Tabel 21.
118 Tabel 21. Daya saing penggunaan faktor produksi setiap negara dengan menggunakan metode APD (tanpa satuan) No
Negara
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Kanada 1999 Kanada 2000 Kanada 2001 Kanada 2003 Brazil 2003 Chili 2001 Finlandia 1999 Finlandia 2000 Finlandia 2001 Finlandia 2002 Finlandia 2003 Swedia 2001 Swedia 2003 Rusia 2000 Indonesia 1999 Indonesia 2000 Indonesia 2001 Indonesia 2002 Indonesia 2003
Bahan baku 0.23 0.35 0.26 0.35 1.00 0.30 0.31 0.56 0.45 0.38 0.22 0.67 0.33 0.40 0.32 0.21 0.26 0.17 0.43
Output/input Energi Tenaga kerja 0.14 0.07 0.16 0.11 0.11 0.08 0.17 0.09 0.51 0.43 0.41 0.29 0.16 0.07 0.30 0.13 0.21 0.09 0.19 0.07 1.00 0.09 0.12 0.07 0.36 0.10 0.19 0.09 0.11 0.34 0.38 1.00 0.22 0.46 0.12 0.45 0.28 0.38
Kumulatif
Efisiensi
Rating
0.44 0.62 0.45 0.61 1.94 1.00 0.53 0.98 0.74 0.63 1.31 0.86 0.78 0.69 0.78 1.59 0.94 0.74 1.09
0.23 0.32 0.23 0.31 1.00 0.52 0.27 0.51 0.38 0.33 0.68 0.44 0.40 0.35 0.40 0.82 0.48 0.38 0.56
19 15 18 16 1 5 17 6 11 14 3 8 9 13 10 2 7 12 4
Sumber: hasil pengolahan
Table 21 menunjukkan bahwa daya saing penggunaan faktor produksi relatif tertinggi dicapai industri pulp Brazil 2003 dengan nilai tertinggi 1,00. Hal tersebut karena industri pulp Brazil mampu menggunakan semua faktor produksinya dengan optimal (nilai efisiensi mencapai 1,00). Selain itu, industri pulp Brazil juga mampu memanfaatkan penggunaan bahan baku kayunya dengan optimal dibandingkan dengan industri pulp negara lainnya. Pemanfaatan bahan baku yang tinggi juga dicapai oleh Swedia tahun 2001 dan Finlandia tahun 2000, dengan nilai di atas 0,50. Pada sisi lain, efisiensi pemanfaatan bahan baku industri pulp negara-negara penghasil lainnya (Kanada, Chili, Rusia dan Indonesia) relatif lebih rendah (kurang dari 0,50). Dalam hal pemanfaatan energi, industri pulp Finlandia (tahun 2003) paling efisien dibandingkan negara lainnya. Efisiensi pemanfaatan energi oleh industri pulp Finlandia mencapai nilai maksimum (1,00). Industri pulp negara lainnya yang mampu memanfaatkan dengan optimal penggunaan energi adalah Brazil (tahun 2003) dengan nilai di atas 0.50. Pada sisi lain, kemampuan penggunaan
119 biaya energi dari industri pulp negara-negara lainnya (Kanada, Chili, Swedia, Rusia dan Indonesia) relatif masih rendah. Dalam hal penggunaan biaya sumberdaya tenaga kerja untuk menghasilkan output, kinerja industri pulp Indonesia relatif lebih tinggi (efisiensi rata-rata 0,51) dibandingkan dengan industri pulp negara lainnya. Kemampuan tersebut merupakan kemampuan tertinggi yang dicapai Indonesia, dan melebihi kemampuan penggunaan biaya tenaga kerja industri pulp negara lainnya, seperti Kanada (rata-rata 0,07), Brazil (rata-rata 0,43), Chili (rata-rata 0,29), Finlandia (rata-rata 0,09), Swedia (rata-rata 0,09), dan Rusia (rata-rata 0,09). Paparan di atas menunjukkan bahwa secara keseluruhan kinerja penggunaan faktor produksi dari industri pulp di Brazil, Chili dan Indonesia memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan industri pulp di empat negara penghasil utama pulp lainnya, sehingga daya saing industri pulp ketiga negara tersebut relatif lebih tinggi. Kinerja industri pulp Brazil merupakan yang tertinggi dengan nilai 1,00, kemudian industri pulp Indonesia dengan kinerja rata-rata 0,53, dan industri pulp Chili dengan nilai 0,52. Nilai tersebut lebih baik dari kinerja industri pulp Finlandia dengan nilai rata-rata 0,43, Swedia (rata-rata 0,42), Rusia (rata-rata 0,35) dan Kanada (rata-rata 0,27). Daya saing industri pulp negara-negara berkembang (Brazil, Chili dan Indonesia) secara umum lebih tinggi dibandingkan dengan industri pulp negara-negara yang sudah mapan (Kanada, Finlandia, Swedia dan Rusia). 4.4. Analisa Daya Saing Pengelolaan Dampak Lingkungan Terdapat empat negara yang menyediakan data limbah industri pulp yang dapat diakses, yaitu Kanada, Finlandia, Swedia dan Indonesia. Dari keempat negara tersebut, Kanada dan Finlandia menyediakan data limbah yang relatif lengkap. Swedia hanya menyajikan data sulfur untuk limbah gas dan data AOX dan COD untuk limbah cair. Pada sisi lain data limbah Indonesia sangat terbatas dan hanya diwakili oleh satu perusahaan (PT. TEL). Oleh karena itu, analisa daya saing pengelolaan lingkungan hanya mengkaji industri pulp di tiga negara (Kanada, Finlandia dan Indonesia). Limbah pulp di Finlandia tersedia sejak tahun 1993 sampai 2003 (sebelas buah DMU), begitu juga di Kanada yang tersedia sejak
120 tahun 1993 sampai 2001 (sembilan buah DMU), sementara Indonesia dengan data limbah yang terbatas hanya diwakili oleh PT TEL pada tahun 1999 (satu buah DMU), sehingga total DMU mencapai 21 buah. Dalam hal variabel yang dianalisa, terdapat beberapa variabel yang dikelompokkan dalam limbah gas, limbah cair dan limbah padat. Limbah gas terdiri dari empat buah variabel, yaitu SOx, TRS (total reduced sulphur), NOx dan debu (particulate). Begitu juga dengan limbah cair yang terdiri dari empat buah variabel untuk, yaitu BOD (biochemical oxygen demand), COD (chemical oxygen demand), TSS (total suspended solids), dan AOX (adsorbable organic halides), sementara limbah padat hanya satu buah variabel, yaitu limbah yang dibuang ke landfill. Dari kesembilan variabel tersebut, data NOx, COD dan limbah padat untuk Kanada tidak tersedia. Pada sisi lain, limbah SOx dan TRS, di Finlandia digabungkan menjadi limbah sulfur. Berdasarkan ketersediaan data, maka variabel limbah yang dianalisa ada lima buah, yaitu sulfur dan debu untuk limbah gas dan BOD, TSS dan AOX untuk limbah cair. Besarnya limbah yang dihasilkan oleh setiap DMU terlihat pada Tabel 22. Tabel 22. Besarnya limbah dan produksi pulp yang dihasilkan oleh tiga negara penghasil pulp antara tahun 1993 sampai tahun 2003 No. DMU 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Kanada 1993 Kanada 1994 Kanada 1995 Kanada 1996 Kanada 1997 Kanada 1998 Kanada 1999 Kanada 2000 Kanada 2001 Finlandia 1993 Finlandia 1994 Finlandia 1995 Finlandia 1996 Finlandia 1997 Finlandia 1998 Finlandia 1999 Finlandia 2000 Finlandia 2001 Finlandia 2002 Finlandia 2003 Indonesia 1999
Limbah gas (ribu ton) Sulfur Debu 53,43 39,57 60,69 36,12 60,33 30,23 55,26 32,90 44,85 31,90 45,12 18,71 45,58 24,73 52,31 19,79 49,71 20,25 7,10 11,00 6,60 9,40 5,00 7,80 5,20 7,00 5,00 6,30 4,60 6,10 4,20 6,00 4,00 5,80 3,70 4,43 3,80 4,60 3,22 5,31 30,10 12,20
Sumber: FPAC (2003); FFIF (2004); PT TEL (1999)
Limbah cair (ribu ton) Produksi pulp BOD AOX TSS (ribu ton) 201,72 21,36 85,44 22.871 177,72 16,59 71,09 24.679 185,91 13,28 79,67 25.429 161,95 12,15 67,48 24.604 39,01 7,80 52,01 25.075 26,15 7,85 39,23 23.844 25,28 6,45 37,92 25.382 21,19 5,35 40,76 26.696 23,14 6,23 45,45 25.110 40,00 6,54 4,65 9.339 34,00 3,98 4,49 9.962 30,00 3,43 4,27 10.088 21,00 2,91 3,29 9.693 20,00 2,55 3,59 11.089 19,00 2,61 3,46 11.355 18,70 2,44 3,26 11.590 14,96 1,88 2,80 11.920 14,96 1,76 2,76 11.169 14,96 1,85 2,66 11.731 16,45 2,00 3,06 11.948 8,13 1,77 14,04 3.694
121 Variabel limbah pulp merupakan variabel output yang tidak diharapkan (undesirable outputs) yang didalamnya terkandung biaya lingkungan (Hailu dan Veeman, 2001; McClelland dan Horowitz, 1999). Selain itu, limbah juga dapat dipandang sebagai variabel yang harus diminimisasi (dikurangkan) atau sumber yang memerlukan/ mengkonsumsi biaya/ resource consumption (Bosetti, et al., 2004; Parkan dan Wu, 1999). Oleh karena itu, dalam analisa di bawah, variabel limbah dianggap sebagai variabel input yang harus diefisienkan (dikurangkan). Sebagai variabel output digunakan jumlah pulp yang dihasilkan. Dengan jumlah variabel sebanyak enam buah (lima buah variabel input/ limbah dan satu buah variabel output/ pulp yang dihasilkan) dan jumlah DMU sebanyak 21 buah, analisa daya saing dengan menggunakan DEA dapat digunakan (jumlah DMU lebih dari tiga kali lipat jumlah variabel). Pada sisi lain, analisa dengan menggunakan OCRA tidak dapat digunakan, karena biaya atau harga (dalam USD/ton) masing-masing variabel input dan output berbeda. Biaya satuan limbah BOD berbeda dengan biaya satuan limbah debu atau harga jual satuan output (harga jual pulp). Metode APD yang tidak memerlukan persyaratan kesamaan satuan biaya atau minimal jumlah DMU, dapat diterapkan untuk menganalisa daya saing pengelolaan limbah. Oleh karena itu dalam analisa daya saing pengelolaan limbah, perangkat analisa yang digunakan adalah DEA dan APD. 4.4.1. Analisa daya saing pengelolaan limbah dengan metode DEA DEA yang digunakan dalam analisa pengelolaan limbah adalah DEA model BCC yang berorientasi input, dengan CRS (constant return to scale) dan tipe dual. Analisa dilakukan dengan menggunakan lima buah variabel input (i = 5) dan satu buah variabel output (j = 1) serta sebanyak 21 buah DMU (k = 21). Dengan menggunakan persamaan (9) diperoleh nilai efisiensi untuk setiap DMU (negaratahun) seperti ditunjukkan pada Tabel 23.
122 Tabel 23. Daya saing pengelolaan limbah setiap negara dengan menggunakan DEA (tanpa satuan) No. DMU 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Efisiensi
Kanada 1993 Kanada 1994 Kanada 1995 Kanada 1996 Kanada 1997 Kanada 1998 Kanada 1999 Kanada 2000 Kanada 2001 Finlandia 1993 Finlandia 1994 Finlandia 1995 Finlandia 1996 Finlandia 1997 Finlandia 1998 Finlandia 1999 Finlandia 2000 Finlandia 2001 Finlandia 2002 Finlandia 2003 Indonesia 1999
0.23 0.27 0.33 0.32 0.65 0.83 0.90 1.00 0.91 0.48 0.59 0.65 0.68 0.78 0.85 0.94 1.00 1.00 1.00 1.00 0.40
λk Return to Scale λk Optimal Benchmark terbaik 1.950 2.104 2.168 2.097 1.505 1.178 1.204 1.000 1.054 0.783 0.836 0.846 0.813 0.937 0.957 0.972 1.000 0.952 1.000 1.000 0.171
Decreasing Decreasing Decreasing Decreasing Decreasing Decreasing Decreasing Constant Decreasing Increasing Increasing Increasing Increasing Increasing Increasing Increasing Constant Constant Constant Constant Increasing
1.950 2.104 2.168 2.097 0.483 0.670 0.746 1.000 0.849 0.783 0.836 0.701 0.813 0.502 0.667 0.963 1.000 0.952 1.000 1.000 0.112
Finlandia 2002 Finlandia 2002 Finlandia 2002 Finlandia 2002 Kanada 2000 Kanada 2000 Kanada 2000 Kanada 2000 Kanada 2000 Finlandia 2000 Finlandia 2000 Finlandia 2000 Finlandia 2000 Finlandia 2000 Finlandia 2000 Finlandia 2000 Finlandia 2000 Finlandia 2002 Finlandia 2002 Finlandia 2003 Kanada 2000
Sumber: hasil pengolahan
Dari Tabel 23 ditunjukkan bahwa pada umumnya limbah yang dihasilkan industri pulp Finlandia relatif lebih rendah dibandingkan dengan industri pulp Kanada dan Indonesia. Efisiensi rata-rata pengelolaan limbah pulp di Finlandia sekitar 0,82 yang lebih tinggi dibandingkan dengan efisiensi rata-rata di Kanada yang mencapai sekitar 0,60, dan Indonesia yang hanya 0,40. Selain itu, efisiensi pengelolaan limbah di Finlandia dan Kanada cenderung mengalami peningkatan. Efisiensi pengelolaan limbah di Kanada meningkat dari 0,22 tahun 1993 menjadi 1,00 tahun 2000 dan 0,91 tahun 2001. Begitu juga dengan Finlandia, efisiensi pengelolaan limbahnya menurun dari 0,47 tahun 1993 menjadi 1,00 sejak tahun 2000 sampai 2003. Hal tersebut menunjukkan bahwa kedua negara tersebut sangat peduli dalam menurunkan limbah yang dihasilkan oleh industri pulp mereka. Kepedulian dalam menurunkan jumlah limbah terhadap pulp yang dihasilkan merupakan tuntutan industri pulp di masa mendatang.
123 Dibandingkan dengan Finlandia dan Kanada, efisiensi pengelolaan limbah yang dilakukan industri pulp Indonesia relatif masih rendah. Pada tahun 1999 efisiensi pengelolaan limbah pulp Indonesia mencapai 0,40, yang lebih rendah dibandingkan dengan efisiensi industri pulp Finlandia yang mencapai 0,94 dan industri pulp Kanada dengan 0,90. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan limbah pulp di Indonesia masih belum mendapatkan perhatian yang memadai. Selain itu, keterbatasan data (hanya satu data tahun 1999) menyulitkan dalam analisa kecenderungan peningkatan atau penurunan efisiensi pengelolaan limbah di Indonesia. 4.4.2. Analisa daya saing pengelolaan limbah dengan metode APD Analisa daya saing pengelolaan limbah dengan APD dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama berupa analisa terhadap masing-masing variabel untuk mengetahui kinerja setiap DMU dalam menghasilkan satu variabel (output) yang diharapkan (produksi pulp) dengan mengurangkan setiap variabel (input) yang memerlukan biaya (limbah). Kinerja (efisiensi) sebuah DMU ke-k (yang disimbolkan dengan eijk), dalam menghasilkan output ke-j dengan menggunakan input ke-i diukur dengan persamaan (17). Kinerja eijk merupakan efisiensi variabel dari
output
ke-j
dan
input
ke-i
untuk
setiap
DMU
ke-k
sebelum
mempertimbangkan faktor pembobot. Kinerja setiap variabel dari pembangkitan output (pulp yang dihasilkan) terhadap masing-masing variabel yang memerlukan biaya input (limbah yang dihasilkan) ditunjukkan pada Tabel 24. Dari Tabel 24 ditunjukkan bahwa untuk setiap variabel input, jumlah pulp yang diproduksi industri pulp Finlandia memiliki kinerja lebih tinggi dibandingkan dengan industri pulp di Kanada dan Indonesia. Kinerja industri pulp Finlandia lebih tinggi terutama dalam pengelolaan limbah sulfur, debu, AOX dan TSS. Untuk pengeloaan limbah BOD, industri pulp Kanada memiliki kinerja yang relatif lebih baik. Limbah BOD untuk memproduksi satu ton pulp dari industri pulp Kanada jumlahnya relatif kecil.
124 Tabel 24. Kinerja masing-masing variabel limbah sebelum mempertimbangkan faktor pembobot dengan menggunakan APD (tanpa satuan) No. DMU 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Kanada 1993 Kanada 1994 Kanada 1995 Kanada 1996 Kanada 1997 Kanada 1998 Kanada 1999 Kanada 2000 Kanada 2001 Finlandia 1993 Finlandia 1994 Finlandia 1995 Finlandia 1996 Finlandia 1997 Finlandia 1998 Finlandia 1999 Finlandia 2000 Finlandia 2001 Finlandia 2002 Finlandia 2003 Indonesia 1999
Sulfur 428.0 406.7 421.5 445.2 559.1 528.4 556.8 510.3 505.1 1,315.4 1,509.4 2,017.6 1,864.0 2,217.8 2,468.5 2,759.5 2,980.0 3,018.6 3,087.1 3,710.6 122.7
Output/input (eijk) untuk input: Debu BOD AOX 578.0 113.4 1,070.8 683.3 138.9 1,487.8 841.2 136.8 1,915.0 747.9 151.9 2,025.6 786.0 642.8 3,214.0 1,274.6 911.8 3,039.4 1,026.3 1,004.0 3,937.4 1,349.1 1,259.7 4,992.5 1,240.2 1,085.2 4,027.7 849.0 233.5 1,414.8 1,059.8 293.0 2,477.1 1,293.3 336.3 2,914.6 1,384.7 461.6 3,302.0 1,760.2 554.5 4,312.1 1,861.5 597.6 4,312.9 1,931.7 619.8 4,717.8 2,055.2 797.0 6,286.4 2,519.5 746.8 6,333.9 2,551.5 784.4 6,334.4 2,250.5 726.2 6,039.1 302.8 454.5 2,083.3
TSS 267.7 347.2 319.2 364.6 482.1 607.9 669.4 655.0 552.4 3,669.4 4,552.6 4,890.3 5,269.2 5,904.1 6,499.0 7,232.3 7,712.7 6,720.7 7,413.4 6,510.9 263.2
Sumber: hasil pengolahan
Tahap kedua berupa analisa daya saing secara menyeluruh yang merupakan kombinasi semua variabel input dan output untuk seluruh DMU. Kinerja setiap DMU diukur dengan mempertimbangkan kesetaraan kontribusi relatif setiap DMU yang disebabkan oleh masing-masing output dan inputnya. Dengan menggunakan persamaan (23), kinerja relatif dari DMU ke-k, atau pk, diukur dari kemampuan DMU tersebut dalam meminimalkan semua sumberdaya (input) untuk menghasilkan output. Nilai pk = 1,00 menunjukan bahwa DMU ke-k memiliki efisiensi (daya saing) yang relatif lebih baik dibandingkan dengan DMU lainnya karena mampu meminimalkan semua variabel yang memerlukan biaya. Daya saing relatif pengelolaan limbah tiga negara penghasil pulp ditunjukkan dalam Tabel 25.
125 Tabel 25. Daya saing pengelolaan limbah dengan menggunakan APD (tanpa satuan) No. DMU 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Kanada 1993 Kanada 1994 Kanada 1995 Kanada 1996 Kanada 1997 Kanada 1998 Kanada 1999 Kanada 2000 Kanada 2001 Finlandia 1993 Finlandia 1994 Finlandia 1995 Finlandia 1996 Finlandia 1997 Finlandia 1998 Finlandia 1999 Finlandia 2000 Finlandia 2001 Finlandia 2002 Finlandia 2003 Indonesia 1999
Output/input (pijk) untuk input: Kumulatif Efisiensi Rating Sulfur Debu BOD AOX TSS 0.12 0.23 0.09 0.17 0.03 0.64 0.14 21 0.11 0.27 0.11 0.23 0.05 0.77 0.17 20 0.11 0.33 0.11 0.30 0.04 0.90 0.20 18 0.12 0.29 0.12 0.32 0.05 0.90 0.20 17 0.15 0.31 0.51 0.51 0.06 1.54 0.35 16 0.14 0.50 0.72 0.48 0.08 1.92 0.44 14 0.15 0.40 0.80 0.62 0.09 2.06 0.47 12 0.14 0.53 1.00 0.79 0.08 2.54 0.58 9 0.14 0.49 0.86 0.64 0.07 2.19 0.50 11 0.35 0.33 0.19 0.22 0.48 1.57 0.36 15 0.41 0.42 0.23 0.39 0.59 2.04 0.46 13 0.54 0.51 0.27 0.46 0.63 2.41 0.55 10 0.50 0.54 0.37 0.52 0.68 2.62 0.59 8 0.60 0.69 0.44 0.68 0.77 3.17 0.72 7 0.67 0.73 0.47 0.68 0.84 3.39 0.77 6 0.74 0.76 0.49 0.74 0.94 3.68 0.83 5 0.80 0.81 0.63 0.99 1.00 4.23 0.96 4 0.81 0.99 0.59 1.00 0.87 4.27 0.97 2 0.83 1.00 0.62 1.00 0.96 4.42 1.00 1 1.00 0.88 0.58 0.95 0.84 4.26 0.96 3 0.03 0.12 0.36 0.33 0.03 0.88 0.20 19
Sumber: hasil pengolahan
Tabel 25 menunjukkan nilai kinerja relatif tertinggi dicapai oleh industri pulp Finlandia tahun 2002, dengan nilai 1,00. Hal tersebut menunjukkan bahwa industri pulp Finlandia tahun 2002 mampu memproduksi pulp dengan jumlah limbah yang relatif lebih sedikit dibandingkan dengan negara dan atau tahun lainnya. Secara umum kinerja industri pulp Finlandia (dari tahun 1999 sampai 2003) juga relatif lebih baik dibandingkan dengan industri pulp Kanada dan Indonesia. Nilai kinerja relatif industri pulp Finlandia dalam mengelola limbah berkisar antara 0,36 (tahun 1993) sampai 1,00 (tahun 2002), yang lebih efisien dibandingkan dengan Kanada dengan kinerja relatif antara 0,14 (tahun 1993) sampai 0,58 (tahun 2000), dan lebih tinggi dari Indonesia yang hanya sekitar 0,20 (tahun 1999). Berdasarkan kurun waktu, pada umumnya kinerja pengelolaan limbah industri pulp Finlandia dan Kanada cenderung mengalami peningkatan. Kinerja pengelolaan limbah di Finlandia terus meningkat dari 0,36 (tahun 1993) menjadi 1,00 (tahun 2002) dan 0,96 (tahun 2003). Begitu juga dengan Kanada, kinerja
126 pengelolaan limbahnya meningkat dari 0,14 (tahun 1993) menjadi 0,58 (tahun 2000) dan 0,50 (tahun 2001). Meningkatnya kinerja pengelolaan limbah menunjukkan bahwa kedua negara tersebut memiliki kepedulian yang tinggi dalam mengurangi limbah yang dihasilkan oleh industri pulpnya. Dengan data yang terbatas (hanya satu data), peningkatan atau penurunan kinerja pengelolaan limbah industri pulp Indonesia sulit untuk ditentukan. Tetapi apabila dibandingkan dengan indusri pulp Finlandia dan Kanada untuk tahun yang sama (tahun 1999), kinerja pengelolaan limbah pulp industri pulp Indonesia relatif lebih rendah (hanya sekitar 0,20), sementara kinerja industri pulp Finlandia mencapai 0,83 dan Kanada 0,47. Rendahnya kinerja pengelolaan limbah di Indonesia menunjukkan bahwa dibandingkan kedua negara lainnya (Finlandia dan Kanada), industri pulp di Indonesia masih memiliki tingkat pencemaran yang tinggi. Kondisi tersebut menyebabkan daya saing industri pulp Indonesia menjadi rendah, dan hal tersebut dapat merugikan perkembangan industri pulp di masa mendatang.
127
BAB V STRATEGI PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI PULP
Hasil analisa daya saing industri pulp yang dilakukan terhadap tujuh negara penghasil pulp utama dunia menunjukkan bahwa dari tiga faktor yang dianalisa, posisi daya saing industri pulp Indonesia relatif lebih rendah dibandingkan dengan industri pulp di enam negara lainnya. Dalam hal pemanfaatan potensi bahan baku kayu, daya saing industri pulp Indonesia lebih rendah dibandingkan indsutri pulp Kanada, Finlandia, Swedia dan Chili, meskipun lebih tinggi dibandingkan Brazil dan Rusia. Begitu juga halnya dalam pengelolaan dampak lingkungan, meskipun hanya dibandingkan terhadap dua negara (Kanada dan Finlandia), daya saing pengelolaan limbah industri pulp Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan pengelolaan limbah yang dilakukan industri pulp Finlandia dan Kanada. Pada sisi lain, dalam hal penggunaan faktor produksi, industri pulp Indonesia memiliki daya saing yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan Kanada, Finlandia, Swedia, dan Rusia, meskipun relatif lebih rendah dibandingkan dengan Brazil dan Chili. Daya saing penggunaan faktor produksi relatif rendah terutama dalam hal efisiensi biaya bahan baku kayu dan biaya energi terhadap pendapatan. Faktor-faktor pemanfaatan potensi bahan baku kayu, penggunaan faktor produksi dan pengelolaan dampak lingkungan merupakan faktor-faktor kritis dalam industri pulp. Ketiga faktor tersebut memberi gambaran mengenai kemampuan industri pulp Indonesia terhadap enam negara penghasil pulp lainnya. Hasil analisa ketiga faktor kritis tersebut mengindikasikan bahwa daya saing industri pulp Indonesia masih lemah. Relatif lemahnya daya saing dalam penggunaan faktor-faktor kritis tersebut apabila dibiarkan akan berdampak pada kelangsungan industri pulp Indonesia di masa mendatang. Oleh karena itu, supaya industri pulp Indonesia memiliki keunggulan bersaing terhadap industri pulp negara-negara penghasil pulp lainnya, diperlukan upaya yang serius. Upaya tersebut berupa strategi peningkatan daya saing yang komprehensif, yang disusun dengan menggunakan dasar faktor-faktor kritis dan mempertimbangkan dampaknya terhadap keunggulan bersaing.
128 5.1. Penerapan Metode Formulasi Strategi dalam Peningkatan Daya Saing Industri Pulp Indonesia Dalam melakukan formulasi strategi peningkatan daya saing, terdapat berbagai metode perumusan strategi yang telah banyak dikaji dan digunakan. Beberapa metode formulasi strategi seperti telah dipaparkan pada bahasan sebelumnya, diantaranya adalah Strategi Generik (Porter, 1990); Matrik SWOT, Matriks SPACE, Matriks Grand Strategy (David, 2001); Strategi dengan model daya saing industri (Oral, 1993, 1986); dan Strategi dengan distribusi C-P (Li dan Deng, 1999). Kompatibilitas penggunaan formulasi strategi tersebut dengan hasil analisa daya saing industri pulp dipaparkan sebagai berikut. 5.1.1. Strategi Generik (Porter) Formulasi strategi dengan menggunakan metode Strategi Generik memiliki dua bagian penting, yaitu keunggulan bersaing (competitive advantage) dan lingkup persaingan (competitive scope). Keunggulan bersaing dijabarkan dalam dua buah variabel utama yaitu biaya yang rendah (lower cost) dan diferensiasi (differentiation). Pada sisi lain, lingkup persaingan dinyatakan dalam lingkup (pasar) yang luas (broad scope) dan fokus pada suatu segmen (narrow target). Keunggulan bersaing dalam industri pulp lebih ditekankan kepada biaya (produksi dan pemasaran) yang rendah dibandingkan dengan pemberian nilai tambah pada produk (diferensiasi). Hal tersebut merupakan ciri dari industri yang menekankan kepada skala ekonomi (economies of scale). Industri pulp merupakan industri yang sudah memiliki standar produk yang baku sesuai dengan teknologi yang digunakannya, sehingga kualitas dan nilai tambah relatif tidak jauh berbeda antara satu perusahaan (negara) dengan perusahaan (negara) lainnya. Hasil analisa keunggulan bersaing pada biaya (produksi) diperoleh dari hasil analisa daya saing penggunaan faktor produksi. Lingkup persaingan dalam Strategi Generik ditekankan kepada target pasar yang dituju oleh industri (perusahaan). Target tersebut dapat berupa target pasar yang luas (pasar pada lokasi/ geografi dan perusahaan/ demografi di mana saja) serta target pasar yang berfokus pada segmen tertentu saja. Kajian mengenai pasar dalam analisa daya saing industri pulp tidak dilakukan, sehingga tidak diperoleh
129 gambaran mengenai pasar yang dituju oleh industri pulp Indonesia dan enam negara lainnya. Untuk pasar dari industri pulp Indonesia, belum dilakukan analisa apakah pasar lebih tersebar ke berbagai negara ataukah pasarnya hanya ditujukan kepada negara atau kawasan negara tertentu saja. Dengan demikian, strategi yang dirumuskan untuk peningkatan daya saing industri pulp Indonesia dengan menggunakan Strategi Generik (Porter) tidak dapat dilakukan. 5.1.2. Strategi dengan Matriks SWOT dan Matriks SPACE (David) Formulasi strategi dengan menggunakan Matriks SWOT memerlukan data faktor kunci yang berupa kekuatan (S) dan kelemahan (W) yang ada pada industri pulp Indonesia dibandingkan dengan industri pulp negara lainnya, serta peluang (O) dan hambatan (T) yang dihadapi industri pulp Indonesia untuk meningkatkan kemampuan bersaingnya. Kekuatan dan kelemahan industri pulp Indonesia terutama dalam hal pemanfaatan potensi bahan baku, penggunaan faktor produksi dan pengelolaan limbah dibandingkan dengan enam negara lainnya telah diperoleh berdasarkan hasil analisa daya saing industri pulp. Pada sisi lain, peluang dan hambatan yang dihadapi industri pulp Indonesia baik yang berasal dari pengaruh ekonomi, sosial, budaya, demografi, politik, kebijakan pemerintah, hukum dan teknologi belum dilakukan kajian. Oleh karena itu, formulasi strategi dengan menggunakan Matriks SWOT tidak dapat dilakukan. Hal yang sama didapatkan dalam melakukan formulasi strategi dengan menggunakan Matriks SPACE. Pada Matriks SPACE diperlukan kajian mengenai (1) kondisi keuangan perusahaan (industri) seperti return on investment (ROI), likuiditas, cash flow dan lainnya sebagai komponen kekuatan keuangan (financial strength); (2) perubahan teknologi, tingkat inflasi, elastisitas harga dan lainnya sebagai komponen stabilitas lingkungan (environmental stability); (3) pangsa pasar, kualitas produk, loyalitas konsumen sebagai komponen keunggulan kompetitif (competitive advantage); serta (4) potensi pertumbuhan, profit, stabilitas keuangan, alokasi sumberdaya sebagai komponen kekuatan industri (industry strength). Analisa daya saing terhadap variabel-variabel tersebut tidak dilakukan dalam analisa daya saing industri pulp, sehingga strategi dengan menggunakan Matrik SPACE tidak dapat dirumuskan.
130 5.1.3. Strategi dengan Matriks Grand Strategy (David) Fomulasi strategi dengan menggunakan Matriks Grand Strategy memerlukan kajian dalam dua hal, yaitu posisi persaingan (competitive position) dan pertumbuhan pasar (market growth). Dalam hal daya saing industri pulp, posisi persaingan memberi gambaran mengenai daya saing industri pulp Indonesia dibandingkan dengan industri pulp di enam negara lainnya, apakah berada pada posisi yang lemah (weak position) ataukan posisi kuat (strong position). Pada sisi lain, pertumbuhan pasar mengindikasikan besarnya pertumbuhan pasar pulp Indonesia dan besarnya pertumbuhan pasar negara-negara penghasil pulp lainnya. Pertumbuhan pasar digambarkan dengan tingkat kecepatan pertumbuhan pasar, yaitu di atas rata-rata atau cepat (rapid growth) dan di bawah rata-rata/ lambat (slow growth). Berdasarkan hasil analisa daya saing industri pulp, secara umum daya saing industri pulp Indonesia berada pada posisi yang lemah (weak competitive position). Dalam hal pemanfaatan potensi bahan baku kayu, daya saing industri pulp Indonesia sekitar 0,55 (atau 55%) dari industri pulp Kanada (best practice frontier untuk pemanfaatan bahan baku). Begitu juga dalam hal pengelolaan limbah, dengan daya saing sekitar 0,40 (dengan menggunakan metode DEA) dan 0,20 (dengan metode APD) dari yang diperoleh Finlandia tahun 2002 (best practice frontier). Daya saing dalam penggunaan faktor produksi, industri pulp Indonesia memiliki nilai rata-rata sekitar 0,76 dengan menggunakan DEA, 0,30 dengan menggunakan OCRA dan 0,53 dengan menggunakan APD dari yang diperoleh industri pulp Brazil (best practice frontier). Dengan menggunakan nilai daya saing hasil analisa APD dari pemanfaatan potensi bahan baku, penggunaan faktor produksi dan pengelolaan limbah, secara umum daya saing industri pulp Indonesia memiliki nilai sekitar 0,43. Nilai tersebut berada di bawah 0,50, sehingga industri pulp Indonesia dikategorikan dalam posisi lemah (weak position). Posisi persaingan industri pulp Indonesia dan enam negara penghasil pulp utama lainnya terlihat pada Tabel 26 di bawah.
131 Tabel 26. Posisi persaingan tujuh negara penghasil pulp utama dunia Daya saing industri pulp (tanpa satuan) dalam hal Pemanfaatan Potensi Penggunaan Faktor Pengelolaan Bahan Baku Produksi Dampak Limbah Swedia 0.81 0.42 Finlandia 0.88 0.43 0.74 Rusia 0.52 0.35 Kanada 1.00 0.27 0.34 Brazil 0.52 1.00 Chili 0.61 0.52 Indonesia 0.55 0.53 0.20 Negara
Rata-rata 0.62 0.69 0.44 0.54 0.76 0.57 0.43
Sumber: Hasil pengolahan
Dalam hal pertumbuhan pasar, besarnya pertumbuhan pasar pulp suatu negara ditunjukkan dari besarnya pertumbuhan ekspor pulp dari negara tersebut. Dengan menggunakan data ekspor impor pulp setiap negara (FAO, 2004), diperoleh besarnya pertumbuhan ekspor rata-rata tujuh negara penghasil pulp antara tahun 2001 – 2003. Data tersebut memperlihatkan bahwa pertumbuhan pasar (ekspor) pulp Indonesia, Finlandia dan Brazil relatif lebih tinggi dibandingkan dengan ekspor pulp dari empat negara lainnya, yaitu Kanada, Swedia, Rusia dan Chili (Tabel 27). Hal tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan pasar pulp Indonesia termasuk tinggi (rapid growth) dibandingkan dengan rata-rata tujuh negara penghasil pulp. Tabel 27. Pertumbuhan pasar (ekspor) pulp dari tujuh negara penghasil pulp Negara Finlandia Swedia Rusia Kanada Brazil Chili Indonesia Jumlah 7 negara
Banyaknya ekspor (ribu ton) Pertumbuhan rata-rata (%) 2001 2002 2003 2001-2003 1.699 2.114 2.385 18,50 3.041 3.378 3.426 6,14 1.785 1.885 1.905 3,31 11.302 12.106 11.512 0,93 3.333 3.450 4.500 16,19 2.173 2.152 2.110 -1,46 1.699 2.245 2.376 18,26 25.032 27.331 28.215 6,17
Sumber: FAO, 2004 diolah
Dengan menggunakan dua sisi dalam Matriks Grand Strategy (posisi persaingan dan pertumbuhan pasar) maka dapat dipetakan posisi industri pulp Indonesia dan enam negara lainnya. Matriks Grand Strategy menunjukan bahwa
132 posisi industri pulp Indonesia berada pada Quadran II, karena memiliki posisi persaingan yang lemah dan pertumbuhan pasar yang tinggi (Gambar 17). Menurut David (2001), industri pada posisi tersebut harus melakukan evaluasi terhadap segmentasi pasar secara serius. Meskipun memiliki pertumbuhan yang tinggi, organisasi pada posisi tersebut tidak mampu bersaing secara efektif. Oleh karena itu, diperlukan kajian mendalam mengenai penyebab ketidakefisienan.
Pertumbuhan Pasar Tinggi
Indonesia
Finlandia 18
Brazil 14
Kuadran II
Kuadran I 10
Swedia Posisi Bersaing Lemah
0,2
0,4
Rusia
0,6
0,8
Posisi Bersaing Kuat
4
Kuadran IV
Kuadran III
Kanada 0
Chili Pertumbuhan Pasar Rendah
Gambar 17. Posisi Indonesia dan enam negara penghasil pulp utama lainnya pada Matriks Grand Strategi Strategi yang dapat diterapkan untuk posisi tersebut adalah strategi intensif, strategi integrasi horizontal dan strategi divestasi. Strategi intensif merupakan pilihan pertamanya apabila posisi daya saing tidak terlalu lemah (sekitar 0,50), tetapi apabila daya saingnya sangat lemah, diperlukan integrasi horizontal. Pilihan strategi selanjutnya adalah divestasi atau likuidasi apabila organisasi tersebut sangat sulit untuk diselamatkan. Untuk kasus industri pulp Indonesia, meskipun posisi daya saing industri pulp Indonesia relatif lemah dibandingkan dengan negara-negara penghasil pulp lainnya, tetapi tidak terlalu lemah sekali (nilai rata-
133 rata sekitar 0,43 dan mendekati pertengahan). Oleh karena itu, pilihan strategi yang relevan adalah strategi intensif. Strategi intensif yang dapat dilakukan diantaranya adalah pengembangan pasar, penetrasi pasar dan pengembangan produk. Kajian peningkatan daya saing industri pulp Indonesia yang menggunakan analisa daya saing pemanfaatan bahan baku kayu, penggunaan faktor produksi dan pengelolaan lingkungan serta tidak melakukan analisa daya saing pasar, maka strategi intensif tersebut tidak relevan untuk digunakan. Pengembangan pasar, penetrasi pasar dan pengembangan produk lebih tepat dilakukan apabila dalam kajian, juga dilakukan kajian daya saing pemasaran. Oleh karena itu, meskipun hasil formulasi strategi tersebut dapat terbentuk, tetapi penggunaannya tidak relevan untuk meningkatkan faktor-faktor kritis dalam daya saing industri pulp Indonesia. 5.1.4. Strategi dengan Model Daya Saing Industri (Oral) Menentukan strategi yang tepat untuk meningkatkan daya saing dengan Model Daya Saing Industri Oral, dilakukan dengan mempertimbangkan perbedaan antara tingkat daya saing sekarang dengan tingkat daya saing potensial. Daya saing potensial diukur dengan menggunakan variabel-variabel penggunaan setiap sumberdaya (input) terbaik yang dapat dicapai, biaya setiap input terendah yang dapat diperoleh serta jumlah setiap output yang dapat dihasilkan dengan menggunakan kemampuan terbaik yang dapat dilakukan oleh organisasi dan para pesaing. Ukuran-ukuran tersebut tidak dikaji dalam analisa daya saing industri pulp, sehingga ukuran-ukuran tersebut tidak didapatkan. Oleh karena itu, perumusan strategi dengan menggunakan Model Daya Saing Industri Oral tidak dilakukan. 5.1.5. Strategi dengan Distribusi C-P (Li dan Deng) Strategi Distribusi C-P, dilakukan dengan menghitung besarnya nilai C (derajat keterpenuhan seluruh tujuan organisasi) dan P (seluruh kekuatan dari keunggulan bersaing organisasi). Hal tersebut berguna untuk mengetahui tipe strategi apa yang tepat untuk diterapkan. Nilai C dan P diantaranya dihitung dengan memperhatikan besarnya kontribusi setiap faktor determinan keunggulan
134 kompetitif (DFCA) terhadap setiap tujuan strategis kompetitif (CSG) dan besarnya bobot setiap CSG terhadap CSG keseluruhan. Nilai-nilai tersebut tidak diukur di dalam analisa daya saing industri pulp, sehingga formulasi strategi dengan menggunakan Distribusi C-P tidak dapat dilakukan. Keterbatasan berbagai metode formulasi strategi yang telah dipaparkan di atas (Strategi Generik; strategi menggunakan Matrik SWOT, Matriks SPACE dan Matriks Grand Strategy; strategi dengan model daya saing industri; dan strategi dengan distribusi C-P) digambarkan pada Tabel 28. Pada Tabel 28 juga disertakan formulasi strategi dengan menggunakan faktor kritis sebagai basis dalam perumusan strategi. Strategi berdasarkan faktor kritis dibahas pada paparan di bawah. Tabel 28. Metode formulasi strategi dan keterbatasan penggunaannya dalam peningkatan daya saing industri pulp Metode Formulasi Strategi
Analisa Terhadap
Strategi Generik (Porter)
Struktur industri dan positioning dalam industri
SWOT (David)
Faktor internal dan eksternal
Matriks SPACE
Kekuatan keuangan, stablitas lingkungan, keunggulan kompetitif dan kekuatan industri
Grand Strategy Strategi Daya Saing (Oral)
Posisi Persaingan dan Pertumbuhan Ekspor Perbedaan antara tingkat daya saing sekarang dan daya saing potensial
Keterbatasan penggunaan dalam formulasi strategi peningkatan daya saing industri pulp Target pasar tidak ditentukan, karena analisa daya saing pasar tidak dilakukan Faktor eksternal terutama kondisi ekonomi makro, kebijakan pemerintah, kondisi politik, dan pengaruh teknologi tidak dianalisa Kekuatan keuangan, stablitas lingkungan, keunggulan kompetitif dan kekuatan industri tidak dianalisa
Strategi dapat diformulasikan Daya saing potensial tidak diukur
Strategi C-P (Li dan Deng)
Keunggulan kompetitif dan tujuan strategis
Kontribusi setiap faktor determinan dan besarnya bobot tujuan strategis tidak diukur
Strategi berdasarkan faktor kritis
Faktor penentu dalam daya saing industri
Strategi dapat diformulasikan
5.1.6. Strategi Berdasarkan Faktor Kritis Meskipun dari berbagai formulasi strategi yang telah dipaparkan di atas tidak ada yang tepat digunakan untuk meningkatkan daya saing industri pulp, tetapi filosofi dari setiap metode perumusan strategi dapat digunakan untuk membuat formulasi yang khas. Seperti telah dipaparkan pada bab sebelumnya,
135 perumusan strategi sangat ditentukan oleh (1) kondisi faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing industri yang dikenal sebagai faktor kunci (key factors - David, 2001), atau faktor determinan (determinant factors - Li dan Deng, 1999), atau faktor utama (major factors - Oral, 1993, 1986), atau kompetensi yang berbeda (distinctive competencies - Porter, 1990, 1980; Schroeder, 1993), atau faktor sukses kritis (critical success factors - Quezada et al., 1999), atau tugastugas penting (Render dan Heizer, 1997) serta (2) adanya perlakukan khusus terhadap faktor-faktor kritis supaya perannya dapat lebih optimal. Dengan menggunakan filosofi dan dasar metode formulasi strategi, perumusan strategi peningkatan daya saing industri pulp dilakukan dengan memberikan penanganan yang optimal terhadap faktor-faktor kritisnya. Dengan menggunakan kondisi faktor-faktor kritis yang mempengaruhi daya saing industri pulp, dikembangkan tiga buah strategi. Ketiga buah strategi dan kondisi yang mendukungnya adalah sebagai berikut. 1. Daya saing pemanfaatan potensi bahan baku kayu. Kondisi: telah terjadi penelantaran potensi kayu, hutan penyedia bahan baku kayu pulp dikelola dengan manajemen yang buruk, pengelolaan penebangan dan pengangkutan kayu pasca panen dilakukan dengan tidak efisien. Sasaran: mengoptimalkan pemanfaatan potensi kayu, riap, dan umur tebang; memanfaatkan konsesi HTI yang ditelantarkan; membenahi pengelolaan HTI dan manajemen penebangan Strategi: optimasi pengelolaan hutan tanaman industri pulp. 2. Daya saing penggunaan faktor produksi. Kondisi: pengelolaan kegiatan penanganan biaya produksi pabrik pulp meskipun cukup baik, tetapi perlu ditingkatkan terutama dalam hal pengelolaan biaya bahan baku kayu dan biaya energi. Selain itu, perlu juga penanganan pemanfaatan kapasitas produksi dengan lebih optimal. Sasaran: meningkatkan efisiensi biaya produksi dan memanfaatkan kapasitas produksi terpasang serta potensi penyediaan bahan baku kayu. Strategi: optimasi penggunaan biaya produksi dan pemanfaatan kapasitas produksi.
136 3. Daya saing pengelolaan dampak lingkungan. Kondisi: penanganan limbah yang dilakukan oleh industri pulp Indonesia masih rendah dan belum serius dilakukan. Sasaran: meningkatkan kesadaran para pelaku industri pulp dan para stakeholder dalam pengelolaan lingkungan. Strategi: membangun kepedulian para stakeholder terhadap lingkungan. Ketiga strategi di atas, yaitu strategi optimasi pengelolaan hutan tanaman industri pulp, strategi optimasi penggunaan biaya produksi dan pemanfaatan kapasitas produksi serta strategi membangun kepedulian para stakeholder terhadap lingkungan besarta penjabaran strateginya digambarkan pada Tabel 29. Rincian secara mendetil masing-masing strategi tersebut dipaparkan pada bahasan di bawah.
137
Tabel 29. Strategi yang dikembangkan berdasarkan faktor kritis dalam industri pulp Faktor Kritis
Sasaran
Strategi
Pemanfaatan Bahan Baku Kayu Riap
Mengoptimalkan pemanfaatan potensi kayu, riap, dan umur tebang; memanfaatkan konsesi HTI yang ditelantarkan; membenahi pengelolaan HTI dan manajemen penebangan
Optimasi pengelolaan HTI-pulp 1. Optimasi hasil kayu a. Optimasi banyaknya kayu yang dapat ditebang b. Optimasi potensi kayu c. Pemanfaatan potensi riap yang tinggi d. Penentuan umur tebang kayu yang optimal 2. Optimasi areal lahan pulp a. Mensyaratkan setiap pabrik pulp untuk membangun HTI sesuai dengan kapasitas produksinya b. Menjalin kerjasama pembangunan HTI dengan berbagai stakeholder lainnya (i) Kerjasama pembangunan HTI-pulp antara pemegang ijin pengusahaan HTI-pulp dengan pabrik pulp (ii) Kerjasama pembangunan HTI-pulp antara pemegang perijinan HTI-pulp dengan masyarakat sekitar c. Memberikan ijin HTI kepada rakyat dengan pengelolaannya dilakukan oleh kelompok masyarakat d. Mendorong perusahaan pulp mendirikan untuk pabriknya di daerah dengan potensi bahan baku yang tinggi e. Menyediakan dana pembangunan HTI yang memadai Optimasi penggunaan biaya produksi dan pemanfaatan kapasitas produksi 1. Efisiensi penggunaan dan biaya bahan baku 2. Efisiensi proses dan penggunaan energi 3. Peningkatan skala produksi pulp a. Meningkatkan utilitas produksi b. Meningkatkan kapasitas produksi dari pabrik yang telah ada dan membangun pabrik baru di lokasi yang potensial Membangun kepedulian para stakeholder terhadap lingkungan 1. Membangun instalasi pengolahan limbah yang memadai 2. Audit lingkungan wajib diikuti oleh seluruh pabrik pulp di Indonesia 3. Adanya mekanisme kontrol limbah yang kuat
Potensi Kayu Umur Tebang Luas lahan
Meningkatkan efisiensi biaya Penggunaan Faktor produksi dan memanfaatkan Produksi Biaya Bahan Baku Kayu kapasitas produksi terpasang serta potensi penyediaan bahan Biaya Energi baku kayu Skala Produksi Meningkatkan kesadaran para Limbah yang Mencemari pelaku industri pulp dan para stakeholder dalam pengelolaan Lingkungan lingkungan
Pengelolaan Limbah
139 5.2. Strategi Optimasi Pengelolaan Hutan Tanaman Industri Pulp Analisa pemanfaatan bahan baku kayu menunjukkan bahwa pemanfaatan potensi sumberdaya bahan baku industri pulp Indonesia relatif masih rendah dibandingkan dengan enam negara penghasil pulp lainnya. Efisiensi pemanfaatan potensi sumber bahan baku di Indonesia baru sekitar 55% dibandingkan dengan Kanada. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat potensi pemanfaatan bahan baku di Indonesia yang belum dilakukan secara optimal. Apabila potensi pemanfaatan bahan baku tersebut dapat dioptimalkan, secara best practice terdapat potensi produksi pulp Indonesia yang relatif cukup besar. Dengan mengacu kepada kemampuan potensi bahan baku kayu di Kanada, potensi produksi pulp Indonesia dengan menggunakan APD dapat ditingkatkan hingga mencapai 10 juta ton pertahun. Untuk meningkatkan daya saing pulp di pasar internasional, maka salah satu cara yang dilakukan industri pulp Indonesia adalah dengan memanfaatkan secara optimal sumber bahan baku kayu. Potensi bahan baku kayu yang belum dimanfaatkan dengan optimal berdasarkan paparan bab sebelumnya terdiri dari dua hal, yaitu optimasi luas areal lahan untuk tanaman kayu pulp dan optimasi kayu yang dapat diperoleh dari luas areal tersebut. 5.2.1 Optimasi areal lahan pulp Pembangunan areal lahan pulp (HTI-pulp) secara umum diatur oleh Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 tahun 1990 tentang Pembangunan HTI dengan sasaran untuk merehabilitasi hutan-hutan produksi yang rusak dan tidak produktif. Terdapat beberapa persayaratan yang diperlukan dalam manajemen pembangunan HTI, diantaranya adalah dapat: (1) memasok bahan baku secara lestari dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan pabrik (pulp); (2) memenuhi kualitas yang ditentukan pabrik (pulp); (3) melakukan pengiriman sesuai dengan waktu yang telah disepakati; (4) memberikan harga yang kompetitif baik di pasar internasional maupun dometik; (5) memberikan kesempatan kerja masyarakat sekitar kawasan HTI; dan (6) memperbaiki lingkungan alam sekitar (Iskandar, 2004). Persyaratan di atas relatif berat, karena perusahaan pembangun dan pengelola HTI bukan hanya dituntut untuk menyediakan kayu dalam jumlah,
140 kualitas, delivery dan harga yang sesuai dengan kebutuhan pabrik (pulp), tetapi juga mengemban tugas sosial (kesempatan kerja masyarakat sekitar) dan pelestarian lingkungan alam. Sehingga dalam pembangunan HTI bukan hanya diperlukan penyediaan dana yang besar, tetapi juga kajian yang menyeluruh mengenai kondisi alam, lingkungan dan masyarakat sekitar HTI. Lahan areal tanaman pulp sampai akhir tahun 2003 mencapai 1,42 juta ha (Departemen Kehutanan, 2004a) dari 4,9 juta ha yang diperuntukan untuk hutan tanaman industri (HTI)-pulp. Areal lahan HTI-pulp yang sudah ditanam dikelola oleh 18 perusahaan yang memperoleh ijin. Rendahnya penanaman areal lahan pulp, diantaranya karena biaya penanaman areal HTI cukup besar. Biaya pembangunan HTI-pulp pada tahun 2003 adalah Rp. 2,95 juta perha, yang terdiri dari biaya penencanaan, biaya budidaya dan pengolahan lahan, biaya pemeliharaan tanaman, dan biaya kewajiban lingkungan sosial (Soemitro, 2004). Apabila satu perusahaan pengelola HTI-pulp memperoleh konsesi seluas 100.000 ha, diperlukan dana untuk pembangunan (dan penanaman) HTI sebesar Rp. 295 milyar, di luar biaya pembangunan sarana dan prasarana serta biaya investasi lainnya. Pembangunan HTI yang relatif memerlukan persyaratan yang cukup berat tercermin dari realisasi penanaman HTI-pulp yang baru mencapai 28% dari luas areal yang dicadangkan. Pembangunan HTI-pulp antara tahun 1989 sampai tahun 2003 rata-rata hanya sekitar 94,7 ribu ha pertahun. Pembangunan HTI-pulp terus meningkatkan sejak tahun 1989 sampai sebelum krisis ekonomi terjadi (1997) dan mencapai angka tertinggi pada tahun 1996 dengan 172,3 ribu ha. Setelah krisis terjadi, pembangunan HTI pulp terus mengalami penurunan, dan mencapai titik terendah tahun 2001 dengan areal yang dibangun hanya sekitar 56,3 ribu ha. Pembangunan HTI pulp mulai meningkat kembali pada tahun 2003 dengan dibangunnya areal HTI seluas 100,5 ribu ha. Secara kumulatif, luas hutan HTIpulp meningkat, dari 29 ribu ha pada tahun 1989 menjadi 1,42 juta ha pada tahun 2003. atau selama kurun waktu 14 tahun telah terjadi peningkatan penanaman HTI-pulp sebanyak 49 kali (Gambar 18). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa meskipun Indonesia memiliki peluang yang besar untuk meningkatkan produksi pulp dengan dukungan hutan yang
141 disediakan khusus untuk pulp juga cukup luas, tetapi dalam pelaksanaan pembangunannya mengalami berbagai hambatan. Peluang dan potensi saja tidak cukup, tetapi perlu disertai dengan kemampuan yang memadai. Mengoptimalkan luas areal lahan hutan pulp perlu didukung dengan berbagai strategi yang memadai.
Luas Penanaman
Luas HTI Kumulatif
180
1,420
160
1,220
140
1,020
120
820
100
620
80
420
60
Luas Penanaman Pertahun (ribu ha) Luas HTI Kumulatif (ribu ha)
40 20
220 20
1989199019911992 199319941995 1996199719981999 2000200120022003
Gambar 18. Perkembangan luas areal HTI di Indonesia (Sumber: Departemen Kehutanan, 2004a)
Terdapat berbagai strategi pembangunan HTI-pulp, sebagai berikut. 1. Mensyaratkan setiap pabrik pulp untuk membangun HTI sesuai dengan kapasitas produksinya. 2. Menjalin kerjasama pembangunan HTI dengan berbagai stakeholder lainnya. 3. Memberikan ijin HTI kepada rakyat dengan pengelolaannya dilakukan oleh kelompok masyarakat. 4. Mendorong perusahaan pulp mendirikan untuk pabriknya di daerah dengan potensi bahan baku yang tinggi. 5. Menyediakan dana pembangunan HTI (dana reboisasi (DR), kredit perbankan, modal ventura dan lainnya) yang memadai.
142 5.2.1.1. Mensyaratkan setiap pabrik pulp untuk membangun HTI sesuai dengan kapasitas produksinya Pembangunan HTI oleh pabrik pulp sudah merupakan suatu keharusan, dan dalam perundangan dinyatakan dalam PP No. 7/1990. Dalam PP tersebut telah diatur bahwa untuk mendirikan industri pulp, bahan baku (kayu) harus diperoleh dari HTI yang dikelolanya atau melakukan kerjasama penyediaan bahan baku dengan pengelola HTI. Pabrik pulp diharuskan untuk mengelola kegiatan HTI atau memiliki saham dalam pengelolaan HTI. Kepemilikan saham perusahaan pulp di perusahaan pengelola HTI secara langsung merupakan salah satu bentuk strategi integrasi (David, 2001). Kepemilikan saham dapat berupa perusahaan HTI-pulp menjadi anak perusahaan dari perusahaan pulp (induk perusahaan), atau dikenal dengan integrasi vertikal. Selain itu, dapat pula perusahaan pengelola HTI merupakan suatu perusahaan mandiri, tetapi perusahaan pengolah pulp memiliki saham pada perusahaan HTI, yang dikenal dengan integrasi horizontal. Dalam integrasi vertikal, perusahaan pemegang HTI-pulp merupakan anak perusahaan dari perusahaan pengolah pulp. Seluruh produk hasil dari HTI-pulp hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku dari perusahaan induknya. Pengelolaan HTI diatur, dikelola dan ditujukan hanya untuk memasok keperluan perusahaan pulp induknya, dan bukan untuk memasok keperluan pasar bahan baku secara umum. Dengan demikian dana pembangunan HTI-pulp disediakan oleh perusahaan induk. Pola integrasi vertikal dilakukan diantaranya oleh PT. Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP) sebagai pabrik pengolah pulp dengan PT. Arara Abadi (AA) sebagai pengelola HTI. Bahan baku kayu yang dihasilkan oleh PT. AA sepenuhnya dicadangkan dan digunakan untuk keperluan bahan baku pulp PT. IKPP. Dalam integrasi horizontal, perusahaan pengolah pulp memiliki saham di perusahaan pengelola HTI-pulp. Kayu yang dihasilkan oleh pengelola HTI pada dasarnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pabrik pulp yang bersangkutan, selain dapat digunakan untuk keperluan lainnya. Kondisi tersebut memungkinkan pabrik pulp memperoleh kepastian pasokan bahan baku. Begitu juga perusahaan pengelola HTI memperoleh kepastian pasar. Dana pembangunan HTI diperoleh diantaranya dari perusahaan pulp sebagai bentuk penyertaan modal. Pola integrasi
143 horizontal diantaranya dilakukan oleh PT. Tanjung Enim Lestari (TEL) sebagai perusahaan pengolah pulp dengan PT. Musi Hutan Persada (MHP) sebagai pengelola HTI. PT. MHP didirikan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku kayu bagi PT. TEL. Meskipun demikian PT. MHP bukan merupakan anak perusahaan PT. TEL, meskipun PT. TEL memiliki saham di PT. MHP. Kepemilikan saham sebagai modal disetor PT. MHP terdiri atas PT. TEL sebanyak 60% dan PT. Inhutani V sebanyak 40% (Iskandar, 2004). Pembangunan HTI sesuai dengan kapasitas produksinya (dalam integrasi vertikal maupun horizontal) relatif masih terbatas. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah areal yang diperuntukan untuk HTI dibandingkan dengan luas lahan yang telah ditanami. Selain itu, untuk mengetahui kemampuan pasokan HTI dalam memenuhi kebutuhan produksi pulp, dari areal yang telah ditanami dapat dihitung banyaknya kayu yang dihasilkan setiap tahunnya dibandingkan dengan kebutuhan kayu untuk kegiatan produksi pulp. Hal tersebut terlihat pada Tabel 30 di bawah. Tabel 30. Luas areal HTI yang ditujukan untuk memasok kebutuhan pabrik pulp dan realisasi penanamannya Produksi Luas lahan (ha) Kayu pertahun (ribu m3) pulp (ton/th) Konsesi Ditanam Produksi Kebutuhan Selisih PT. Inti Indorayon Utama PT. Toba Lestari 240,000 269,060 49,166 1,229.2 1,008.0 221.2 PT. Riau Andalan P&P PT. Riau Andalan P&P 850,000 159,500 105,160 2,629.0 3,570.0 -941.0 PT. Arara Abadi 299,975 183,304 4,582.6 PT. Indah Kiat P&P 1,781,000 7,480.2 -2,877.2 PT. Satria Perkasa Agung 90,715 816 20.4 PT. Wirakarya Sakti PT. Lontar Papyrus 545,000 78,240 84,703 2,117.6 2,289.0 -171.4 PT. Musi Hutan Persada 1) PT. Tanjung Enim Lestari 450,000 296,400 193,500 4,837.5 1,890.0 2,947.5 PT. Pakerin PT. Pakerin 150,000 43,700 17,250 431.3 630.0 -198.8 PT. Tanjung Redep Hutani PT. Kiani Kertas 525,500 180,300 77,342 1,933.6 2,207.1 -273.6 Sumber: 1) Simon dan Arisman (2004) Iskandar (2004), BIRO (2001) Perusahaan HTI
Pabrik pulp
Tabel 30 menunjukkan bahwa sebagian besar HTI (dengan pola integrasi horizontal dan vertikal) belum mampu memenuhi kebutuhan bahan baku untuk kegiatan produksi pabrik pulp. Sebagai contoh, PT. Riau Andalan P&P (RAPP) kekurangan bahan baku sekitar 941 ribu m3 kayu setiap tahunnya. Begitu juga dengan PT. Indah Kiat P&P yang kekurangan sekitar 2,88 juta m3, PT. Lontar Papyrus kekurangan 171,4 ribu m3, PT. Pakerin kekurangan 198,8 ribu m3, dan PT. Kiani Kertas kekurangan sebanyak 273,6 m3 kayu setiap tahunnya. Kekurangan kayu tersebut jumlahnya sangat besar untuk pabrik pulp. Kondisi
144 tersebut akan menggangu kelangsungan produksi pabrik pulp serta merangsang penebangan liar dan pencurian kayu yang melibatkan masyarakat. Untuk menutup kekurangan bahan baku pulp, ada beberapa strategi yang dilakukan oleh PT. RAPP diantaranya dengan meningkatkan areal HTI menjadi 300 ribu ha, melalui peningkatan realisasi tanaman yang ada, kerjasama dengan masyarakat melalui hutan tanaman rakyat (HTR) dan mengelola HTI patungan (joint venture) dengan mitra lainnya (RAPP, 2001a dan 2001b). Keberhasilan pembangunan HTI-pulp oleh pabrik pulp tidak dapat dilepaskan dari berbagai faktor yang mempengaruhinya. Berdasarkan pengalaman PT. MHP, faktor-faktor yang menentukan keberhasilan pembangunan HTI diantaranya adalah: (1) jaminan kepastian kawasan dari Pemerintah Pusat (Departemen Kehutanan) dan Pemerintah Daerah (Propinsi dan Kabupaten); (2) rencana kegiatan pembangunan hutan disusun secara komprehensif, yang dapat diikuti dengan jelas oleh semua pihak; (3) kegiatan pembangunan hutan dilaksanakan oleh tenaga-tenaga profesional yang cukup, peralatan yang memadai dan organisasi yang efektif-efisien; (4) tersedia dana yang memadai dan dana tersebut akan mendatangkan keuntungan; dan (5) ada kepastian pasar untuk kayu yang akan dihasilkan, dengan harga yang layak dan menguntungkan kedua belah pihak (Simon dan Arisman, 2004). Oleh karena itu, strategi yang mensyaratkan pabrik pulp untuk membangun HTI-nya tidak dapat dilepaskan dari kondisi di atas. Bagi HTI yang terintegrasi (vertikal dan horizontal) dengan pabrik pulp, faktor no (5) bukan merupakan hambatan, karena pasarnya sudah pasti. Jaminan kepastian kawasan dari Pemda, pengelolaannya dilakukan oleh tenaga profesional, serta dana yang memadai merupakan hal yang cukup berat bagi pengelola HTI. Dalam perizinan pengelolaan kawasan HTI, selain memperoleh izin dari Menteri Kehutanan (berdasarkan SK Menhut), perlu juga mendapat jaminan kepastian kawasan dari Pemda (SK Gubernur/ Bupati) tempat HTI dilaksanakan. Jaminan kepastian kawasan ini sangat penting, apalagi setelah berlakunya UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, dimana daerah memiliki peran yang besar dalam mengelola sumberdaya yang ada di daerahnya. Tidak adanya jaminan kepastian
145 kawasan dari Pemerintah Pusat dan Daerah akan menyebabkan konflik kepentingan dan sengketalahan di masa mendatang. Hal tersebut tentu saja akan menyebabkan kerugian, terutama bagi pengelola HTI yang telah mengeluarkan dana yang sangat besar untuk pembangunannya. Pembangunan HTI juga memerlukan dukungan tenaga-tenaga professional dalam bidang kehutanan dan bidang penunjang lainnya. Dukungan tersebut secara umum belum memadai jumlah dan sebarannya. Tenaga profesional lulusan perguruan tinggi atau akademi dalam bidang kehutanan jumlahnya terbatas. Begitu juga dalam hal penyebarannya. Perguruan tinggi yang memiliki bidang kehutanan sebagian besar berada di Jawa, sementara di daerah-daerah HTI jumlahnya terbatas. Sebagai contoh, di Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Riau dan Jambi dimana sekitar 1,4 juta ha areal HTI pulp diperuntukan hanya terdapat tiga buah perguruan tinggi dalam bidang kehutanan (satu sekolah tinggi dan dua program studi pada universitas). 5.2.1.2. Menjalin kerjasama pembangunan HTI dengan berbagai stakeholder lainnya Kerjasama pembangunan HTI dengan berbagai stakeholder lainnya dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa mekanisme sebagai berikut. 1. Kerjasama
pembangunan
HTI-pulp
antara
pemegang
perijinan
pengusahaan hutan tanaman pulp dengan pabrik pulp Kerjasama antara pemegang ijin HTI-pulp dengan pabrik pulp dilakukan sebagai dua perusahaan yang terpisah dan tidak memiliki keterkaitan langsung (kepemilikan saham). Kerjasama yang dilakukan berupa hubungan mitra antara pemasok bahan baku dan pengolah bahan baku. Perusahaan pengelola HTI-pulp memasok bahan baku bagi pabrik pulp, dengan jumlah, kualitas dan delivery sesuai dengan kebutuhan pabrik (pulp). Untuk meningkatkan kemampuan perusahaan pengelola HTI, pabrik pulp dapat memberikan bantuan dalam bentuk: (1) fasilitas kredit kepada pemasok (pengelola HTI) dalam jangka waktu tertentu, sehingga pengelola HTI dapat memanfaatkannya untuk kegiatan budidaya atau kegiatan panen; dan (2)
146 menjamin penyerapan pasokan bahan baku, yang dapat dijadikan jaminan bagi pengelola HTI untuk mengajukan kredit ke lembaga keuangan (bank). 2. Kerjasama
pembangunan
HTI-pulp
antara
pemegang
perijinan
pengusahaan hutan tanaman pulp dengan masyarakat sekitar Peran masyarakat dalam pembangunan HTI-pulp memiliki potensi yang besar. Pembangunan HTI dengan melibatkan masyarakat banyak dilakukan oleh para pengusaha HTI di Indonesia meskipun dalam jumlah areal yang terbatas. PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) membangun sekitar 20 ribu ha lahannya dengan melibatkan masyarakat sekitar (RAPP, 2001b). PT. MHP memiliki program mengelola hutan bersama masyarakat (MHBM) dan mengelola hutan rakyat (MHR). MHBM dibangun pada lahan HTI yang menjadi konsesi PT. MHP yang pelaksanaannya dilakukan dengan bermitra bersama masyarakat sekitar hutan. Sampai tahun 2003, luas hutan yang dikelola dengan MHBM mencapai 88,16 ribu ha yang melibatkan masyarakat pada 56 desa. Pada sisi lain, MHR dibangun pada lahan rakyat di sekitar kawasan PT. MHP, dengan modal dan bantuan teknis dari PT. MHP, sementara pengelolaannya dilakukan oleh pemilik lahan yang bersangkutan. Sampai tahun 2003, luas lahan yang dikelola dengan pola MHR mencapai 1.453,7 ha yang melibatkan sekitar 609 kepala keluarga (Simon, 2004). Pembangunan HTI dengan melibatkan masyarakat di masa mendatang menjadi pola yang harus terus dikembangkan. Hal tersebut dapat mencegah konflik sosial yang sering terjadi antara perusahaan dengan masyarakat sekitar. Konflik umumnya dipicu oleh kesenjangan pendapatan, perebutan lahan, penggunaan sumberdaya alam (air tanah, sungai), limbah yang mengotori lingkungan masyarakat, serta masalah sosial lainnya. Selain itu, dengan melibatkan masyarakat, beban pengelola HTI dalam penyediaan faktor produksi pembangunan HTI juga berkurang, karena sebagian dananya ditanggung oleh masyarakat yang terlibat.
147 5.2.1.3. Memberikan ijin HTI kepada rakyat dengan pengelolaannya dilakukan oleh kelompok masyarakat Ijin pengelolaan HTI-pulp sampai tahun 2004 masih diberikan kepada perusahaan, dengan luas areal HTI untuk setiap perusahaan tidak kurang dari 100.000 ha. Dari 4,94 juta areal lahan yang dicanangkan untuk HTI-pulp, konsesi hanya diberikan kepada 26 perusahaan (Lampiran 11). Rata-rata setiap perusahaan pemegang ijin HTI memperoleh hak pengusahaan hutan sekitar 190 ribu ha. Hal tersebut tentu saja merupakan ketimpangan dalam penguasaan lahan, karena areal hutan hanya dikuasai oleh segelintir perusahaan/ orang saja. Pada sisi lain, masyarakat yang bermukim di sekitar hutan, jumlahnya jauh lebih banyak. Sehingga apabila lahan seluas 4,94 juta ha tersebut dikelola oleh masyarakat, dengan rata-rata 10 ha untuk setiap kepala keluarga, maka hutan tersebut dapat melibatkan dan menjadi tumpuan hidup bagi sebanyak 494 ribu kepala keluarga yang dapat menghidupi sekitar 1.976.419.jiwa. Angka tersebut jauh lebih besar dibandingkan hanya dikelola oleh 26 perusahan. Padahal semakin banyak masyarakat yang berada di sekitar kawasan HTI dan tidak memiliki kekuasaan sedikitpun terhadap hutan yang ada dalam lingkungan daerah mereka dapat memicu konflik antara perusahaan HTI dengan masyarakat. Pengelolaan HTI dan pengusahaan hutan pada dasarnya dilakukan dengan pandangan skala ekonomi (economies of scale). Dalam skala ekonomi, semakin luas kawasan hutan yang dikelola, semakin murah biaya produksinya dan semakin efisien pengelolanya. Pandangan tersebut tidak sepenuhnya terbukti. Pengelolaan HTI sangat berbeda dengan pengelolaan pabrik pulp. Dalam kegiatan produksi pabrik pulp, skala ekonomi memang sangat menentukan. Dengan produksi pulp yang semakin besar, maka biaya produksinya akan cenderung semakin menurun. Hal tersebut terjadi karena untuk membangun pabrik pulp diperlukan investasi awal (peralatan proses produksi) yang sangat mahal dan biaya tetap (fixed cost) dari operasional pabrik dan peralatannya juga sangat tinggi. Hal tersebut berbeda dengan pengelola hutan, dimana skala ekonomi tidak memiliki pengaruh yang signifikan. Pada hutan tanaman yang lebih mengandalkan natural capital yang sifatnya slow yielding dan umumnya tidak menggunakan alat-alat yang mahal dan berat, maka efisiensi yang berasal dari biaya tetap relatif tidak terpengaruh oleh
148 kapasitas produksi tebangan atau luas lahan (Soemitro, 2004). Hal tersebut terlihat dari long run average cost (biaya rata-rata persatuan) yang relatif datar (Kurva B pada Gambar 19). Pada kurva B penentuan titik K2 (kapasitas produksi atau luas HTI minimal) relatif lebih longgar dibandingkan dengan penentuan K1 pada kurva A (skala produksi pabrik pulp). Sehingga pada hutan tanaman yang luas lahannya kecil sekalipun (Q < Q2), biaya produksi perluas lahan relatif tidak berbeda (P ≈ P2).
Biaya persatuan produksi (Rp/ton atau Rp/m3 atau Rp/ha)
K1
P1
Kurva A: Pabrik Pulp
P2
Kurva B: Hutan Tanaman Industri (HTI) K2
Q2
Q1 Skala produksi (ton/tahun atau m3/tahun)
Gambar 19. Perbandingan skala ekonomi antara pabrik pulp dengan pengelolaan hutan tanaman/ HTI (sumber: Soemitro, 2004) Biaya pengelolaan lahan HTI relatif konstan dan tidak tergantung dari luas areal lahan. Oleh karena itu, merupakan hal yang bijaksana apabila perijinan HTI tidak hanya diberikan kepada perusahaan atau kelompok perusahaan tertentu, tetapi juga kepada masyarakat atau kelompok masyarakat sekitar hutan. Hal tersebut sangat penting selain untuk menyangga perekonomian masyarakat sekitar hutan juga untuk menditribusikan biaya pembangunan HTI kepada lebih banyak stakeholder. Peran hutan sangat penting dalam menyangga perekonomian masyarakat, karena menjadi sumber mata pencaharian. Selain itu, dengan didistribusikannya HTI kepada masyarakat dalam jumlah yang banyak, maka biaya pembangunan HTI menjadi beban dari banyak orang yang diberi ijin
149 membangun HTI, dan bukan hanya menjadi beban sekelompok kecil perusahaan besar. Model penyediaan bahan baku untuk kegiatan industri yang dikerjakan oleh masyarakat telah lama dilakukan di Indonesia terutama untuk industri kelapa sawit dan industri gula. Di industri kelapa sawit misalnya, sekitar 40% dari 9,1 juta ton produksi minyak sawit tahun 2003 dihasilkan dari perkebunan rakyat (BPS, 2004). Begitu juga di industri gula, lebih dari 80% areal lahan perkebunan gula adalah areal lahan petani (DGI, 2003, 2004). Sehingga penyediaan bahan baku untuk kebutuhan industri yang dilakukan oleh masyarakat/ petani bukanlah hal yang sulit 5.2.1.4. Mendorong perusahaan pulp mendirikan untuk pabriknya di daerah dengan potensi bahan baku yang tinggi Sumatera memiliki areal yang terbatas, tetapi jumlah pabrik pulpnya relatif banyak. Areal lahan yang diperuntukan untuk kegiatan HTI-pulp di Sumatera luasnya sekitar 1,6 juta ha atau sekitar 32% luas areal total HTI (BIRO, 2001). Pada sisi lain, sebagian besar pabrik pulp yang beroperasi di Indonesia terletak di Sumatera dengan angka produksi lebih dari empat juta ton pertahun atau lebih dari 82% produksi pulp total. Dengan demikian, Sumatera yang memiliki 32% areal HTI-pulp harus memenuhi 82% produksi pulp. Kondisi di Sumatera sangat berbeda dengan Kalimantan dan Papua yang memiliki areal peruntukan HTI-pulp yang luas. Kalimantan yang memiliki areal HTI seluas 1,98 juta ha atau 40% luas areal total HTI, dan baru memproduksi pulp sekitar 564 ribu ton pertahun (11% total produksi). Bahkan Papua dengan luas HTI mencapai 1,4 juta ha (28% areal HTI total) tidak memiliki satupun pabrik pulp. Ketimpangan lokasi sumber bahan baku dengan lokasi pabrik pengolah, menyebabkan realisasi pembangunan HTI di lokasi yang tidak ada atau hanya sedikit pabrik pulpnya berlangsung relatif lambat. Di Kalimantan misalnya, realisasi pembangunan HTI baru sekitar 482 ribu ha (atau sekitar 29,6% dari areal yang disediakan untuk HTI). Realisasi penanaman HTI pulp di Papua bahkan belum ada sama sekali. Belum adanya realisasi penanaman HTI pulp di Papua
150 diantaranya karena tidak ada satupun pabrik pulp yang berlokasi di sana. Hal tersebut berbeda misalnya dengan realisasi penanaman di Sumatera yang sudah mencapai sekitar 46% dari total areal HTI di kawasan tersebut. Pesatnya pembangunan HTI di Sumatera karena kebutuhan akan bahan baku dari pabrik pulp yang berlokasi di Sumatera yang begitu besar, ehingga pabrik pulp dan perusahaan HTI berupaya untuk segera merealisasikan penanaman HTI, supaya kebutuhan bahan baku pulp mereka dapat terpenuhi. Percepatan pembangunan HTI salah satu diantaranya dilakukan dengan mendorong perusahaan pulp (baik perusahaan pulp baru ataupun perluasan kapasitas produksi) untuk mendirikan pabriknya di Kalimantan dan Papua. Dengan adanya pabrik pulp yang membutuhkan pasokan bahan baku di daerah tersebut, maka pembangunan HTI juga dapat lebih dipercepat. Pembangunan HTI dan pabrik pulp dan tentu saja membutuhkan dukungan sarana dan prasarana seperti jalan, jembatan, pelabuhan, saluran air bersih, pasokan listrik, saluran telekomunikasi dan lainnya yang memadai. Pembangunan prasarana menjadi salah satu tugas pemerintah (pusat dan daerah), supaya pabrik-pabrik pulp yang dibangun di daerah tersebut dapat menghemat biaya untuk pembangunan infrastruktur penunjangnya. 5.2.1.5. Menyediakan dana pembangunan HTI (dana reboisasi (DR), kredit perbankan, modal ventura dan lainnya) yang memadai Salah satu penyebab lambatnya pembangunan HTI pulp diantarnya karena biaya yang diperlukan cukup tinggi. Biaya pembuatan HTI tahun 2003 sekitar Rp. 2,95 juta perha (Soemitro, 2004). Pembangunan HTI seluas 100 ribu ha paling tidak membutuhkan dana sebesar Rp. 295 milyar. Biaya tersebut belum termasuk biaya kegiatan pendukung lainnya - seperti biaya pengendalian kebakaran hutan, biaya litbang, biaya pemeliharaan prasarana, biaya administrasi umum, dan biaya kewajiban terhadap negara serta biaya investasi seperti biaya bangunan dan peralatan pendukung, biaya pembangunan sarana dan prasarana (jalan, jembatan, gorong-gorong dan lainnya), potret udara, biaya pembatas dan lainnya. Besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk kegiatan pembangunan HTI, membuat para pengelola HTI kesulitan untuk merealisasikannya. Untuk
151 mengurangi kebutuhan dana dalam pembangunan HTI, maka perlu dicarikan sumber dana yang dapat membantunya. Dana awal yang harus dikeluarkan oleh pengelola dalam membangun HTI adalah modal yang mereka miliki ditambah dengan dana yang berasal dari pihak luar. Oleh karena itu, pemberian ijin HTI dan luas konsesi HTI seharusnya didasarkan kepada dana (modal awal) yang telah dimiliki oleh penerima ijin tersebut. Sumber dana lainnya untuk pembangunan HTI berupa dana reboisasi, kredit perbankan, modal ventura, dan sumber dana lainnya. Sampai tahun 2001, dana reboisasi (DR) yang telah disalurkan untuk proyek HTI mencapai Rp. 6,0 trilyun (BIRO, 2001). Selain itu selama tahun 2001 sampai tahun 2003, Dephut mengeluarkan dana reboisasi sebesar Rp. 1,1 trilyun (dari Rp. 3,5 trilyun yang dianggarkan pada periode 2001-2004) untuk membangun HTI seluas 244 ribu ha antara tahun 2001-2003 (dari 750 ribu ha yang dicanangkan). Dana reboisasi merupakan dana penyertaan dari pemerintah, yang umumnya dalam bentuk tanpa bunga atau dengan bunga komersial. Dalam pembangunan HTI besarnya dana reboisasi dapat mencapai sekitar 65%, seperti yang terjadi di PT. MHP. Sebagai perusahaan campuran (swasta dan BUMN), PT. MHP memperoleh dana untuk kegiatan pembangunan HTI dari pemerintah (penyertaan modal pemerintah) sebesar 14%, swasta 21%, dana reboisasi dengan bunga 0% sebanyak 32,5% dan dana reboisasi dengan bunga komersial sebanyak 32,5%. Dana reboisasi ini berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Kehutanan dan Menteri Keuangan No. 496/Kpts-II/9 dan No. 533/KMK.017/1994 hanya diberikan kepada perusahaan pengelola HTI patungan antara BUMN (PT. Inhutani) dan swasta (Iskandar, 2004). Dari sejumlah perusahaan pengelola HTIpulp, terdapat delapan perusahaan yang merupakan perusahaan patungan antara PT. Inhutani dengan swasta (Dephut, 2004a). Oleh karena itu, dalam pembangunan HTI-pulp, maka peran dana reboisasi ini sangat penting. Ketepatan waktu dan jumlah yang memadai dari dana reboisasi akan mampu meningkatkan pembangunan HTI secara signifikan. Selain dana reboisasi, sumber dana lain yang banyak digunakan dalam pembangunan HTI pulp adalah kredit perbankan. Berbeda misalnya dengan kredit bagi para petani tebu yang memperoleh kredit murah dari pemerintah, dalam
152 pembangunan HTI, kredit yang diberikan perbankan adalah kredit dengan bunga komersial. Meskipun bunga yang diberikan berupa bunga komersial, tetapi tingkat pengembalian pembangunan HTI di PT. MHP menunjukkan nilai yang positif. Hal tersebut diantaranya ditunjukan dengan nilai NPV (net present value), BCRasio dan IRR (internal rate of return) yang relatif tinggi. NPV dan BC Rasio selama periode delapan tahun untuk setiap ha areal HTI masing-masing sebesar Rp. 5,64 juta dan 2,16 (untuk tingkat diskonto sebesar 9%) serta Rp. 2,6 juta dan 1,61 dengan tingkat diskonto 15% (Soemitro, 2004). Begitu juga dengan IRR mencapai 20% yang lebih tinggi dari bunga pinjaman bank komersial (sekitar 1416%). Nilai NPV, BC dan IRR yang tinggi menunjukkan pembangunan HTI layak secara perbankan (bankable). Oleh karena itu, diperlukan cara supaya perbankan bersedia memberikan kreditnya dalam pembangunan HTI. Sumber dana lainnya yang layak diperhatikan adalah modal ventura, meskipun modal ventura tersebut lebih cocok digunakan untuk pembiayaan usaha kecil. Oleh karena itu, pembangunan HTI dengan konsesi yang relatif terbatas (misal 10 ha) yang diberikan kepada setiap keluarga cocok untuk dibiaya dengan modal ventura. Modal ventura berupa penyertaan modal dari perusahaan ventura terhadap kegiatan pembangunan HTI yang diselengarakan oleh masyarakat. Dengan memperhatikan nilai NVP, BC-Rasio dan IRR perha yang tinggi, pembangunan HTI oleh masyarakat layak untuk didanai modal ventura. 5.2.2 Optimasi hasil kayu Hasil kayu dari hutan seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti banyaknya kayu yang sengaja atau diizinkan untuk ditebang pertahun (annual allowable cut), potensi kayu atau volume kayu persatuan luas, riap atau kecepatan tumbuh kayu, serta umur tebang kayu. Banyaknya kayu yang ditebang pertahun (dalam m3/tahun) tergantung dari kebijakan pemerintah dan ketersediaan kayu. Potensi kayu menunjukan banyaknya kayu untuk satuan luas areal hutan (dalam m3/ha) yang tergantung dari jenis kayu dan jarak antara tanaman kayu. Riap atau kecepatan tumbuh kayu (dalam m3/ha/tahun) dipengaruhi oleh jenis kayu dan iklim tempat kayu tersebut ditanam. Begitu juga dengan umur tebang kayu (dalam tahun), yang menunjukan
153 pada usia berapa suatu jenis kayu layak ditebang untuk bahan baku pulp sangat tergantung dari jenis kayu dan iklim tempat kayu tersebut ditanam. Sampai saat ini, pemanfaatan banyaknya kayu yang ditebang, besarnya potensi kayu, tingginya riap, serta pendeknya umur tebang kayu di Indonesia belum dapat dimanfaatkan dengan optimal. Hal tersebut ditunjukan dengan dengan nilai efisiensi relatif faktor-faktor tersebut terhadap negara lain yang relatif rendah. Oleh karena itu, optimasi hasil kayu pada dasarnya adalah bagaimana
mengoptimalkan
banyaknya
kayu
yang
dapat
ditebang,
mengoptimalkan potensi kayu yang besar, memanfaatkan riap yang tinggi, serta menentukan umur tebang kayu yang optimal. 5.2.2.1. Optimasi banyaknya kayu yang dapat ditebang Kayu yang dapat ditebang pada kawasan HTI-pulp jumlahnya tidak ditentukan, tetapi tergantung kepada kesiapan kayu untuk dijadikan bahan baku. Meskipun demikian, Departemen Kehutanan (2004b) telah membuat persetujuan RPBI (Rencana Penebangan Bahan Baku Industri) IPKH (Industri Pengolahan Kayu Hulu) untuk setiap daerah yang memiliki HTI. Volume kayu yang dapat ditebang berdasarkan RPBI IPKH untuk keperluan bahan baku pulp jumlahnya mencapai 5,96 juta meter kubik tahun 2003. Dari jumlah tersebut 3,5 juta m3 dari daerah Riau dan 1,1 juta m3 dari Jambi dan sisanya dari daerah lain seperti Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Papua, Aceh dan Sumatera Utara (Tabel 31). Jumlah kayu untuk bahan baku pulp sebanyak 5,96 juta m3 hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan produksi sebanyak 1,3 juta ton pulp pertahun. Dengan produksi pulp tahun 2003 yang mencapai enam juta ton, masih terdapat kekurangan bahan baku sebanyak 19 juta meter kubik. Jumlah tersebut belum dapat dipenuhi dari lahan HTI yang ada, sehingga sebagian dari kebutuhan bahan baku tersebut diperoleh dari sumber lain, seperti hutan rakyat atau dari sumber kayu lainnya yang mungkin diperoleh secara tidak sah. Padahal apabila lahan HTI-pulp dapat direalisasikan penanamannya, terdapat potensi bahan baku kayu sebanyak 86,8 juta meter kubik setiap tahunnya. Hal tersebut tentu saja mencukupi kebutuhan bahan baku industri pulp.
154 Tabel 31. Perkembangan persetujuan RPBI IPKH sampai Desember 2003 (dalam meter kubik) Rencana Produksi Kayu Olahan Pulp Chips MDF Pulp & kertas Total Pulp Nangroe Aceh Darussalam 209,691.0 209,691.0 Sumatera Utara 52,668.0 52,668.0 Riau 21,635.5 3,507,297.8 3,528,933.4 Jambi 3,800.0 1,130,000.0 1,133,800.0 Sumatera Selatan 450,000.0 450,000.0 Kalimantan Timur 22,500.0 215,000.0 161,758.5 399,258.5 Papua 184,000.0 184,000.0 Daerah lain Jumlah 228,135.5 218,800.0 5,511,415.3 5,958,350.9
No. Propinsi 1 2 3 4 5 6 7 8
Sumber: Departemen Kehutanan (2004b)
5.2.2.2. Optimasi potensi hutan Potensi kayu atau volume kayu yang dapat diperoleh persatuan luas lahan (dalam satuan m3/ha) di Indonesia relatif lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Di Indonesia potensi tersebut dapat mencapai lebih dari 200 m3/ha, sementara di negara-negara lain rata-rata kurang dari 200 m3/ha. Tetapi potensi kayu yang tinggi tersebut belum dapat dimanfaatkan dengan optimal untuk digunakan mendukung penyediaan bahan baku pulp dengan optimal. Hal tersebut diantaranya karena belum jenis kayu yang memiliki potensi yang tinggi ditanam secara merata. Padahal di Indonesia, telah dikembangkan jenis kayu unggulan untuk bahan baku pulp, yaitu mangium. Dibandingkan dengan jenis kayu lainnya, seperti Eucalyptus yang memiliki potensi sekitar 130 – 160 m3/ha, kayu mangium dapat memiliki potensi yang tinggi hingga mencapai 355,4 m3/ha pada umur 5,5 tahun (Soekotjo, 2004). Kayu jenis mangium banyak ditanam di areal HTI-pulp di Indonesia dibandingkan jenis kayu bahan baku pulp lainnya, seperti eucalyptus, pinus, meranti dan lainnya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hardiyanto (Hardiyanto et al., 2000) di PT. MHP terhadap berbagai provenans mangium di berbagai lokasi di Sumatera Selatan, potensi kayu antara 244,2 m3/ha sampai 355,4 m3/ha (Soekotjo, 2004). Provenans yang memiliki potensi tertinggi adalah provenans Oriomo yang mencapai 355,4 m3/ha, kemudian Olive dengan 347,6 m3/ha, Wipin dengan 346,8 m3/ha, dan Lake Muarray dengan potensi 337,9 m3/ha. Provenans
155 3
3
lainnya memiliki potensi di bawah 325 m /ha, meskipun masih di atas 255 m /ha (Tabel 32). Sebagian besar provenans tersebut berasal dari PNG (Papua New Guinea) dan beberapa diantaranya dari QLD (Queensland – Australia) yang dikembangkan di Sumatera Selatan dengan hasil yang baik. Tabel 32. Rata-rata potensi Acacia mangium umur 5,5 tahun (diameter > 7 cm) pada uji provenans di Sumatera Selatan No.
Provenan
Asal
1
Oriomo R,
PNG
Potensi (m3/ha) 355.4
2
Olive R.
QLD
3
Wipin
4
Lake Muarray
5
No.
Provenan
Asal
10
Malam
PNG
Potensi (m3/ha) 312.2
347.5
11
Derideri
PNG
310.2
PNG
346.8
12
Arufi Vill
PNG
304.2
PNG
337.9
13
Dimisisi
PNG
301.4
Kini
PNG
323.3
14
Kuru
PNG
300.5
6
Kiriwo
PNG
316.1
15
Keru
PNG
298.7
7
Biniadebun
PNG
315.6
16
Mata
PNG
295.5
8
Bensbanch
PNG
314.9
17
Caludie R.
QLD
274.7
9
Muting
Papua
314.5
18
Tully Mission
QLD
257.4
Sumber: Hardiyanto et al., 2000 dalam Soekotjo, 2004
Potensi kayu hasil uji coba yang relatif tinggi tersebut perlu dikembangkan sebagai tanaman utama penghasil bahan baku pulp. Meskipun hasil uji coba tersebut, akan mengalami sedikit penurunan apabila ditanam dalam areal yang lebih luas dengan kondisi pengontrolan yang lebih longgar. Dengan memperhatikan hasil yang telah dicapai oleh PT. MHP pada rotasi pertama (tahun 1990 – 1998) yang menunjukkan nilai potensi kayu mangium yang tinggi, penanaman kayu mangium akan memberi dampak yang besar dalam penyediaan bahan baku kayu untuk pulp. Penanaman kayu yang memiliki potensi kayu yang besar di masa mendatang akan mampu menyediakan volume kayu yang memadai untuk kebutuhan bahan baku pulp. Dari 4,9 juta ha yang ditetapkan untuk areal HTI-pulp, yang digunakan untuk tanaman produksi sekitar 60% saja, dengan rotasi tanaman selama delapan tahun, setiap tahun dapat ditebang kayu untuk kebutuhan bahan baku pulp dari areal seluas 367 ribu ha. Dengan potensi kayu rata-rata sebesar 200 m3/ha, dapat diperoleh kayu sebanyak 74 juta meter kubik setiap tahun, yang mampu mencukupi kebutuhan produksi pulp sebanyak 17,5 juta ton pertahun.
156 5.2.2.3. Pemanfaatan potensi riap yang tinggi Salah satu keungulan Indonesia dibandingkan negara lainnya dalam penyediaan kayu adalah kecepatan tumbuh kayu. Sebagai negara tropis, kayukayu yang ada di Indonesia memperoleh air (hujan) dan panas matahari (untuk fotosintesis) dalam jumlah yang cukup, yang mampu memacu pertumbuhan tanaman lebih baik. Riap atau kecepatan tumbuh tanaman di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di negara lain. Riap kayu jenis mangium dapat mencapai 64,6 m3/ha/tahun (Soekotjo, 2004) dibandingkan misalnya jenis eucalyptus di Brazil yang juga tinggi yang dapat mencapai 34 sampai 46 m3/ha/tahun (Bracelpa, 1999). Dari berbagai provenans mangium yang telah diuji coba di PT. MHP, provenans Oriomo, Olive, Wipin, dan Lake Muarray memiliki riap yang sangat tinggi, masing-masing sebesar 64,4, 63,2, 63,1 dan 61,4 m3/ha/tahun (Tabel 33). Tabel 33. Rata-rata riap Acacia mangium umur 5,5 tahun pada uji provenans di Sumatera Selatan Riap (m3/ha/th) 64.6
No.
Provenan
10
Malam
Riap (m3/ha/th) 57.2
63.2
11
Derideri
56.8
Wipin
63.1
12
Arufi Vill
56.4
4
Lake Muarray
61.4
13
Dimisisi
55.3
5
Kini
58.8
14
Kuru
54.8
6
Kiriwo
57.5
15
Keru
54.6
7
Biniadebun
57.4
16
Mata
54.3
8
Bensbanch
57.4
17
Caludie R.
53.7
Muting
57.3
18
Tully Mission
49.9
No.
Provenan
1
Oriomo R,
2
Olive R.
3
9
Sumber: Hardiyanto et al., 2000 dalam Soekotjo, 2004
Riap kayu yang tinggi tersebut sebagian diantaranya belum dapat dimanfaatkan dengan optimal. Pemanfaatan kayu yang memiliki riap yang tinggi di masa mendatang akan meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk kebutuhan industri pulp di Indonesia. Oleh karena itu dalam optimasi riap, maka yang perlu dilakukan adalah mengurangi kemungkinan penurunan riap dari skala uji coba di areal terbatas ke skala komersial dengan areal yang sangat luas (di atas 100 ribu ha). Selain itu, optimasi riap juga dilakukan dengan mensosialisasikan kayu yang
157 memiliki riap yang tinggi, seperti mangium, untuk ditanam di perkebunan HTIpulp di berbagai wilayah di Indonesia. 5.2.2.4. Penentuan umur tebang kayu yang optimal Umur tebang kayu untuk bahan baku pulp pada dasarnya tidak tergantung pada umur kayu. Meskipun demikian, untuk optimasi antara volume kayu, biaya budidaya, serta kandungan fisik kayu perlu ditentukan umur tebang kayu yang optimal. Umur tebang kayu untuk bahan baku pulp di negara tropis seperti Indonesia relatif lebih singkat dibandingkan dengan kayu di negara-negara yang berada di kawasan sub-tropis, temperate maupun boreal. Umur tebang optimal mangium rata-rata antara lima sampai delapan tahun, yang lebih singkat apabila dibandingkan dengan umur tebang kayu softwood jenis spruce atau birch di negara-negara Skandinavia yang dapat mencapai 60 tahun. Dengan memperhatikan umur kayu terhadap volume kayu, pada umumnya pertumbuhan kayu jenis mangium terus meningkat dengan pesat pada tahun pertama sampai tahun ketujuh dan relatif melandai setelah usia delapan tahun. Apabila volume kayu yang diharapkan sekitar 200 m3/ha, maka umur tebang kayu yang layak adalah sekitar 5-6 tahun, tetapi apabila diharapkan volume kayu lebih dari 250 m3/ha, maka umur tebang dapat mencapai 7-8 tahun (Gambar 20). Meskipun demikian, terdapat banyak provenans mangium yang memiliki potensi (volume) di atas 250 m3/ha pada usia sekitar 5,5 tahun.
Volume kayu (m3/ha
280.0 240.0 200.0 160.0 120.0 80.0 40.0 0.0 1
2
3
4
5
6
7
8
Umur (tahun) Sumber: Soemitro, 2004
Gambar 20. Rata-rata volume Acacia mangium rotasi pertama di PT. MHP
158 5.3.
Strategi Optimasi Penggunaan Biaya Produksi dan Pemanfaatan Kapasitas Produksi Dengan memperhatikan hasil analisa daya saing biaya faktor produksi (bahan
baku, energi dan tenaga kerja) untuk memperoleh pendapatan pulp, pada umumnya daya saing industri pulp Indonesia relatif lebih baik dibandingkan dengan negara lainnya. Dengan menggunakan metode DEA nilai daya saing yang dicapai industri pulp Indonesia rata-rata di atas 0,76, relatif lebih baik dibandingkan dengan Kanada, Finlandia 4, Swedia dan Rusia. Meskipun daya saing Indonesia, relatif rendah apabila dibandingkan dengan Brazil dan Chili. Begitu juga analisa daya saing dengan menggunakan metode OCRA, ketidakefisienan industri pulp Indonesia relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara lain, kecuali dengan Brazil dan Chili. Ketidakefisienan relatif produksi pulp Indonesia rata-rata sekitar 0,31, yang relatif lebih rendah apabila dibandingkan dengan industri pulp Rusia, Finlandia, Swedia, dan Kanada, meskipun lebih tinggi apabila dibandingkan dengan industri pulp Chili dan Brazil. Analisa daya saing dengan menggunakan metode APD juga menunjukkan hal yang hampir sama. Secara umum kinerja (daya saing) industri pulp Indonesia relatif lebih baik dari negara lainnya, selain Brazil yang memiliki efisiensi relatif tertinggi. Efisiensi relatif industri pulp Indonesia rata-rata sebesar 0,53, yang lebih baik dibandingkan Chili, Finlandia, Swedia, Rusia dan Kanada. Dari biaya ketiga faktor produksi yang dianalisa (bahan baku, energi dan tenaga kerja) terhadap pendapatan pulp, daya saing industri pulp Indonesia relatif lebih tinggi dibandingkan dengan negara lainnya terutama dalam hal biaya tenaga kerja. Penggunaan biaya tenaga kerja di Indonesia untuk menghasilkan satu ton pulp, relatif lebih murah dibandingkan dengan negara lainnya. Kinerja penggunaan biaya tenaga kerja di Indonesia dengan menggunakan metode APD rata-rata hanya sebesar 0,53, yang relatif lebih baik dibandingkan dengan Chili, Brazil, Rusia, Finlandia, Swedia dan Kanada. Dalam hal penggunaan biaya bahan baku kayu dan energi, industri pulp Indonesia relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara lainnya. Dalam penggunaan biaya bahan baku kayu, kinerja industri pulp Indonesia paling rendah diantara negara penghasil utama pulp. Daya saing penggunaan biaya bahan baku
159 kayu oleh industri pulp Indonesia (dengan metode APD) hanya rata-rata sebesar 0,28, yang lebih rendah dibandingkan dengan Kanada, Finlandia, Swedia, Chili, Rusia dan Brazil. Dalam hal penggunaan biaya energi, meskipun harga energi di Indonesia relatif murah, tetapi biaya energi industri pulp di Indonesia relatif lebih tinggi dibandingkan negara lainnya. Kinerja penggunaan biaya energi oleh industri pulp Indonesia dengan nilai rata-rata 0,22 (dengan metode APD), hanya lebih baik dibandingkan dengan Kanada dan Swedia. Kinerja tersebut kurang efisien dibandingkan dengan Rusia, Finlandia, Brazil dan Chili. Selain itu, secara umum dengan menggunakan DEA dan APD, skala ekonomi (return to scale) kapasitas produksi pulp di Indonesia masih dapat ditingkatkan (increasing return to scale). Hal tersebut berbeda apabila dibandingkan dengan Kanada, Finlandia dan Swedia yang pada batas tertentu sudah mencapai decreasing return to scale. Dengan memperhatikan paparan di atas, maka optimasi faktor produksi lebih diarahkan kepada bagaimana mengefisienkan penggunaan dan biaya bahan baku dan energi, serta bagaimana meningkatkan skala produksi industri pulp. 5.3.1. Efisiensi penggunaan dan biaya bahan baku Biaya bahan baku kayu (pulp timber cost) adalah besarnya biaya yang digunakan untuk membeli kayu dalam menghasilkan satu ton pulp. Biaya bahan baku kayu dinyatakan dengan nilai mata uang perton selulosa yang dihasilkan (USD/ ton selulosa). Biaya bahan baku kayu (Riberio et al., 2002) ini dipengaruhi oleh biaya pembelian kayu di hutan per satuan volume kayu atau biaya kayu (log cost yang dinyatakan dalam USD/m3 kayu); biaya pengangkutan kayu ke pabrik atau transportation cost (dalam USD/m3 kayu) dan faktor konversi dari kayu menjadi pulp (m3 kayu/ ton selulosa). Biaya tersebut dinyatakan sebagai berikut. Y = (C – F) T dengan Y = biaya bahan baku kayu (pulp timber cost); C = biaya kayu (log cost); F = biaya pengangkutan kayu (transport cost); dan T = faktor konversi dari kayu menjadi pulp. Besarnya biaya kayu (log cost) dan biaya angkutan kayu ke pabrik pada umumnya berbeda antar negara. Begitu juga dengan faktor konversi, yang
160 umumnya dibedakan antara kayu jenis softwood dengan kayu jenis hardwood. Biaya kayu (log cost) dan biaya pengangkutan (transport cost) di Indonesia terdiri harga kayu berdiri (stumpage value), biaya penebangan atau pemanenan, biaya penyaradan dari tempat penebangan ke TPN (tempat penimbunan kayu), biaya pengangkutannya dari TPN ke pintu gerbang pabrik (delivery gate) serta biaya administrasi dan resiko pengangkutan (Soemitro, 2004). Dalam pelaksanaannya di perusahaan HTI pulp, kegiatan penebangan, penyaradan dan pengangkutan sebagian diantaranya dilakukan oleh pihak ketiga. Harga kayu berdiri (stumpage value), terdiri dari biaya pembuatan tanaman (stumpage cost) dan margin keuntungan pada pembuatan hutan tanaman (timber growing business). Dalam hal faktor konversi dari kayu menjadi selulosa, secara umum faktor konversi dipengaruhi oleh kadar selulosa kayu dan masa jenis atau rapat masa (density) kayu, dan dinyatakan sebagai: T=
1 ( Sρ )
dengan T = faktor konversi dari kayu menjadi pulp (m3 kayu/ ton selulosa); S = kadar selulosa di dalam kayu (%) dan ρ = rapat masa (density) dari kayu (ton/m3). Kadar selulosa yang dinyatakan dengan kandungan heloselulosa dan selulosa alfa menunjukkan banyaknya pulp yang dikandung/ dihasilkan dari kayu (besarnya rendemen kayu). Rapat massa mengindikasikan besarnya kadar non-air di dalam kayu. Rapat masa merupakan perbandingan berat kayu terhadap volume kayu. Rapat masa kayu jenis mangium di berbagai daerah di Indonesia berkisar antara 0,38 sampai 0,56 ton/ m3 pada umur antara tiga sampai tujuh tahun (Marsoem, 2004; BBS, 1995). Pada usia kurang dari tujuh tahun kayu mangium termasuk kelompok kayu sedang, dengan rapat masa antara 0,36 sampai 0,50 ton/m3 (BBS, 1995). Untuk kayu dengan umur tujuh tahun ke atas, maka mangium sebagai kelompok kayu berat dengan rapat masa lebih dari 0,5 ton/m3 (Marsoem, 2004). Kadar selulosa yang terkandung dalam kayu, untuk kayu jenis hardwood (seperti mangium), kandungan selulosanya (selulosa alfa) rata-rata sekitar 45% (Blum, 1996). Kadar selulosa (selulosa alfa) kayu mangium berkisar antara 44,0 –
161 47,2% (Marsoem, 2004). Penelitian lain menunjukan angka selulosa alfa yang lebih tinggi, yaitu 45,53-47,72% (BBS, 1995). Dengan memperhatikan paparan di atas, maka upaya untuk mengefisienkan penggunaan dan biaya kayu untuk menghasilkan pulp adalah dengan memperhatikan faktor-faktor yang berperan di dalam penentuan biaya bahan baku kayu (pulp timber cost). Mengefisienkan penggunaan dan biaya kayu adalah meminimalkan biaya pembelian kayu di pabrik yang terdiri dari harga beli kayu berdiri (stumpage value), biaya penebangan, biaya penyaradan, dan biaya pengangkutan) dan atau memperbesar faktor konversi dari kayu menjadi pulp yang terkait dengan kondisi kayu (kadar selulosa dan rapat masa kayu). Dalam meminimalkan biaya pembelian kayu, dilakukan dengan meminimalkan biaya kayu berdiri (berhubungan kemampuan pembuatan hutan tanaman) serta biaya penebangan dan pengangkutan kayu ke pabrik (berhubungan dengan jarak tempuh dan efisiensi penebangan). Untuk memperbesar faktor konversi, maka perlu dioptimalkan kayu dengan rapat masa dan kadar selulosa yang tinggi sesuai dengan jenis kayu, umur kayu dan lokasi hutan tanaman. Oleh karena itu, dalam efisiensi penggunaan dan biaya bahan baku, maka strategi yang dapat dilakukan pabrik pulp diantaranya adalah efisiensi dalam pengelolaan HTI sehingga biaya penanaman kayu (stumpage cost) menjadi lebih rendah. Apabila margin keuntungan pengelolaan HTI tetap, maka harga beli kayu berdiri (stumpage value) juga akan mengecil. Selain itu, untuk mengurangi biaya transportasi dari TPN ke pintu gerbang pabrik, atau biaya pengangkutan kayu dari hutan ke pabrik dapat ditekan, maka dilakukan dengan mendekatkan lokasi pabrik (pulp) ke lokasi HTI. Pendirian pabrik di lokasi HTI-pulp di Kalimantan dan Papua diantaranya menjadi pilihan yang baik. Untuk meningkatkan faktor konversi dari kayu menjadi pulp, maka dalam pembangunan hutan tanaman perlu dipilih jenis kayu yang memiliki riap yang cepat dengan kandungan selulosa yang tinggi, supaya pulp yang dihasilkan lebih banyak (dalam hal ini perlu juga dipertimbangkan karakteristik fisik dan kimia kandungan kayu agar pulp yang dihasilkan memiliki kualitas yang tinggi).
162 5.3.2. Efisiensi proses dan penggunaan energi Proses pengolahan pulp dapat dilakukan secara mekanis (mechanical), semikimia (semi-chemical), dan kimia (chemical). Di Indonesia, sebagian besar pulp yang dihasilkan adalah pulp yang diolah secara kimiawi. Proses pemasakan kimiawi dalam pembuatan pulp yang paling banyak digunakan di dunia adalah proses kraft/sulfat. Proses kraft merupakan proses yang paling ekonomis untuk kapasitas produksi di atas seribu ton per hari, karena dapat menghasilkan pulp dengan kualitas yang baik, dapat mengolah hampir semua jenis bahan baku, dan dapat mendaur ulang bahan kimia pemasak secara efisien (Wistara, 2000). Industri pulp, terutama yang menggunakan proses kimia dengan teknologi kraft dapat memanfaatkan energi secara efisien. State-of-the-art dari pabrik pulp sekarang dengan proses bleached kraft menggunakan uap sekitar 40% dan listrik sekitar 5% lebih rendah dibandingkan dengan pabrik yang dibangun pada tahun 1980-an (Zollinger, 2004). Energi untuk proses diperoleh dari bahan organik dari lindi hitam (black liquor) yang dihasilkan dari proses pemasakan (di dalam digester) dan proses pencucian/ washer (Syafii, 2000) yang jumlahnya mencapai 70% sementara sisanya sekitar 30% diperoleh dari energi lain seperti listrik, gas, dan energi biomasa seperti pembakaran kulit kayu, kayu, dan lainnya (Suratmadji, 2001). Strategi efektif yang dilakukan dalam program pengurangan energi, haruslah memiliki database mengenai penggunaan energi dan pemakaian air, dan mengidentifikasi segala kemungkinan untuk memperoleh biaya murah dan investasi dalam penghematan energi (Zollinger 2004). Efisiensi dalam proses dan penggunaan energi adalah mengoptimalkan energi yang digunakan dalam setiap tahapan proses. Selain itu, dalam penentuan setiap tahapan proses, juga perlu memilih teknologi yang tepat untuk digunakan dalam kegiatan proses produksi sehingga mampu menghasilkan pulp dengan biaya proses dan energi yang murah. Pada dasarnya teknologi yang diterapkan di suatu industri (perusahaan) diperoleh dengan cara membeli, lisensi atau melakukan R&D sendiri. Teknologi produksi yang diterapkan di pabrik pulp Indonesia sebagian besar berupa teknologi yang dibeli bersamaan dengan plant-nya.
163 Selain itu, beberapa teknologi baru yang digunakan dalam proses pembuatan pulp seperti TCF (total clorine free) dan bio-pulping (Gumbira-Sa’id et al., 1998a; Syafii, 2000) dapat terus dikembangkan seiring dengan kemajuan dalam kegiatan produksi. Perkembangan teknologi yang cepat dan persaingan di masa mendatang yang semakin ketat mengharuskan kegiatan inovasi dalam produk dan proses pulp lebih intensif digiatkan. Ketertinggalan teknologi dari negara lain akan semakin memperlemah daya saing industri pulp Indonesia di masa mendatang. 5.3.3. Meningkatkan skala produksi industri pulp Berdasarkan analisa daya saing terhadap penggunaan faktor produksi dengan menggunakan metode DEA, tergambar bahwa dalam hal peningkatan kapasitas produksi, industri pulp di Indonesia masih memerlukan peningkatan kapasitas produksi (increasing return to scale). Hal tersebut menunjukkan bahwa kapasitas produksi pulp di Indonesia masih perlu ditingkatkan dibandingkan relatif terhadap industri pulp negara utama lainnya. Peningkatan produksi tersebut juga tergambar pada analisa mengenai pemanfaatan sumber bahan baku dengan metode APD, dimana dibandingkan relatif terhadap industri pulp negara utama lainnya, produksi pulp Indonesia masih dapat ditingkatkan hingga mencapai 10 juta ton pertahun. Peningkatan skala produksi pulp dilakukan mengingat masih rendahnya pemanfaatan potensi pendukung industri tersebut. Peningkatan skala produksi dilakukan diantaranya dengan berbagai strategi, seperti meningkatkan utilitas produksi, meningkatkan kapasitas produksi dari pabrik yang telah ada, serta membangun pabrik baru di lokasi yang potensial. 5.3.3.1. Meningkatkan utilitas produksi Utilitas produksi atau tingkat pemanfaatan kapasitas produksi pulp untuk menghasilkan pulp di Indonesia relatif masih rendah. Hal tersebut dapat dilihat dari perbandingan dengan enam negara penghasil utama pulp lainnya. Pemanfaatan kapasitas produksi pulp Indonesia hanya mencapai 77,4% saja dari rata-rata tujuh negara penghasil utama pulp dunia yang mencapai 86,4% (tahun
164 2001). Hal tesebut berbeda misalnya dengan Chili yang sudah mencapai 99,8%, Brazil dengan 91,7%, Swedia dengan 91% bahkan Rusia dengan 81,9% (Tabel 34). Tabel 34. Pemanfaatan kapasitas produksi pulp negara-negara utama dunia Kapasitas Produksi (ribu ton)
Negara Chili Brazil Swedia Kanada Rusia Finlandia Indoneisa Total tujuh produsen utama Prosentase terhadap dunia (%)
2,928 8,075 12,094 28,500 7,600 13,875 5,587 78,659 45.02
Produksi (ribu ton) 2000 2001 2,840 7,463 11,517 26,871 5,890 11,920 4,089 70,590 37.73
2,921 7,405 11,000 24,918 6,225 11,169 4,326 67,964 37.89
Utilitas (%) 2000 2001 97.0 92.4 95.2 94.3 77.5 85.9 73.2 89.7
99.8 91.7 91.0 87.4 81.9 80.5 77.4 86.4
Sumber: diolah dari Pulp and Paper International (PPI), 2002
Rendahnya utilitas produksi pulp di Indonesia, salah satunya disebabkan oleh pasokan bahan baku yang masih terbatas. Hal tersebut seperti telah dijelaskan pada bahasan sebelumnya terjadi karena pembangunan HTI-pulp yang relatif lambat apabila dibandingkan dengan kebutuhan produksi pulp. Pabrik pulp dibangun, sementara realisasi penanaman HTI belum disiapkan dengan baik. Untuk itu supaya utilitas produksi pulp dapat ditingkatkan untuk mencapai angka yang lebih tinggi (di atas 90%), maka pemenuhan kebutuhan bahan baku, dengan pembangunan HTI-nya harus segera dilakukan. 5.3.3.2. Meningkatkan kapasitas produksi dari pabrik yang telah ada dan membangun pabrik baru di lokasi yang potensial Sampai tahun 2003 terdapat sebanyak tiga belas buah pabrik pulp yang beroperasi di Indonesia (IPPA, 2003). Ke-13 pabrik tersebut memiliki kapasitas produksi pertahun sebesar 6,3 juta ton. Pabrik-pabrik pulp tersebut tersebar di berbagai lokasi di Indonesia, terutama sebagian besar di Sumatera (Sumatera Utara, Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan) dan sedikit di Kalimantan. Pada sisi lain, HTI-pulp sebagai pemasok bahan baku tersebar di berbagai wilayah Indonesia terutama Sumatera, Kalimantan dan Papua. Dengan memperhatikan
165 sebaran pabrik pulp dan HTI-pulp pendukungnya, tampak bahwa terdapat ketimpangan penyebaran pabrik pulp dengan HTI-pulp. Kapasitas produksi pabrik pulp relatif sudah jenuh untuk Sumatera (terutama Riau, Jambi dan Sumatera Selatan) dan masih relatif kurang untuk Kalimantan dan Papua terhadap potensi dukungan bahan bakunya. Oleh karena itu, perlu dirumuskan strategi yang memungkinkan peningkatan skala produksi pulp sesuai dengan ketersediaan bahan baku HTI (Tabel 35). Tabel 35. Strategi peningkatan skala produksi pabrik pulp berdasarkan kemampuan penyediaan bahan baku HTI dan kapasitas produksi pabrik pulp Banyaknya kayu (ribu m3/th)
Luas HTI (ha)
Kapasitas Pabrik (ton/th)
NAD
207,899
165,000
3,378.4
693.0
2,685.4
Sumatera Utara
412,060
240,000
6,696.0
1,008.0
5,688.0
Riau Jambi
550,190 78,240
3,781,000 1,205,000
8,940.6 1,271.4
Sumatera Selatan
340,100
645,000
5,526.6
2,709.0
2,817.6
Kalimantan Barat
735,306
120,500
11,948.7
506.1
11,442.6
Kalimantan Tengah
185,511
72,000
3,014.6
302.4
2,712.2
Kalimantan Timur
773,903
825,000
12,575.9
3,465.0
9,110.9
Kalimantan Selatan
268,585
-
4,364.5
-
4,364.5
Papua
1,389,200
-
22,574.5
-
22,574.5
Total
4,940,994
7,053,500
80,291.2
29,625
50,666.5
Daerah
Pasokan Kebutuhan
Selisih
Strategi
Sumatera
15,880.2 (6,939.6) 5,061.0 (3,789.6)
Memasok bahan baku untuk Riau Memasok bahan baku untuk Riau Meningkatkan kapasitas produksi
Kalimantan Membangun pabrik pulp baru Membangun pabrik pulp baru Meningkatkan kapasitas produksi dan Membangun pabrik pulp baru Membangun pabrik pulp baru Membangun pabrik pulp baru
Sumber: Departemen Kehutanan dan APKI, 2001 yang telah diolah
Kekurangan bahan baku kayu di suatu daerah produksi pulp, karena tingginya permintaan kayu di daerah tersebut, dapat diatasi diantaranya dengan mengalihkan pasokan kayu dari daerah lain. Untuk kawasan Sumatera, daerah Riau dan Jambi merupakan daerah-daerah yang selalu kekurangan pasokan bahan baku, karena kebutuhan kayu untuk produksi pulp di Riau lebih banyak dari pasokan HTI yang ada di daerah tersebut. Luas lahan HTI-pulp di Riau sekitar
166 550,2 ribu ha, apabila 65% dari lahan tersebut yang dapat dikonversi sebagai lahan tanaman produktif, dan setiap ha lahan memiliki potensi kayu sebesar 200 m3 dengn siklus masa tanam selama delapan tahun, maka setiap tahun daerah tersebut mampu menyediakan kayu sebanyak 8,9 juta m3. Apabila faktor konversi dari kayu menjadi pulp rata-rata sebesar 4,2 (satu ton pulp dihasilkan dari 4,2 m3 kayu), maka dari 8,9 juta m3 kayu yang tersedia hanya mampu memenuhi kebutuhan pabrik pulp untuk berproduksi sebanyak 2,1 juta ton pulp pertahun. Pasokan kayu tersebut relatif kurang apabila dibandingkan dengan kapasitas produksi yang ada di Riau yang mencapai 3,78 juta ton. Sehingga industri pulp di Riau kekurangan bahan baku sebanyak 6,94 juta m3 kayu setiap tahunnya. oleh karena itu, untuk mencukupi kebutuhan kayunya, industri pulp di Riau harus mendapatkan pasokan kayu dari daerah lainnya yang dekat, seperti NAD dan Sumatera Utara. Kondisi yang sama terjadi juga di Jambi, yang setiap tahun potensial kekurangan bahan baku sebanyak 3,8 juta m3. Selain strategi pengalihan pasokan kayu dari daerah lain, strategi yang dapat diterapkan kedua daerah tersebut adalah dengan tidak membangun pabrik baru dan atau tidak menambah kapasitas produksi yang telah ada. PT. Riau Andalan P&P, PT. Indah Kiat P&P dan PT. Lontar Papyrus apabila akan memperbesar kapasitas produksinya, sebaiknya tidak dilakukan di Riau tetapi di daerah lainnya di Indonesia. Untuk daerah Sumatera Selatan, dengan luas lahan HTI sebesar 340 ribu ha, terdapat potensi pasokan bahan baku kayu setiap tahunnya sebanyak 5,5 juta m3. Kayu tersebut mampu memenuhi kebutuhan bahan baku untuk memproduksi pulp sebanyak 1,3 juta ton pertahun. Kapasitas produksi dua pabrik yang ada yaitu PT. Tanjung Enim Lestari (PT TEL) dan PT Pakerin hanya sebesar 640 ribu ton, sehingga terdapat potensi untuk menambah kapasitas produksi sebanyak 670 ribu ton. Potensi peningkatan kapasitas produksi tersebut terutama untuk PT. TEL, karena dukungan bahan baku dari PT. MHP sebagai pengelola HTI untuk kebutuhan PT. TEL mencapai 4,8 juta m3 pertahun, yang mampu memasok bahan baku untuk produksi pulp sebanyak 1,15 juta ton pertahun. Dengan memperhatikan kemampuan penyediaan HTI dan kapasitas pabrik pulp untuk setiap daerah, maka strategi peningkatan skala produksi untuk daerah
167 lainnya (terutama untuk Kalimantan dan Papua) pada umumnya adalah pembangunan pabrik pulp baru. Potensi pasokan bahan baku dari HTI di kedua pulau tersebut sangat besar, sementara kapasitas produksi pulp masih kurang bahkan di Papua belum ada sama sekali. Sebagai contoh di Kalimantan Barat, lahan HTI yang disediakan mencapai 735,3 ribu ha yang mampu memasok kebutuhan kayu sebanyak 11,9 juta m3 pertahun. Pasokan bahan baku kayu tersebut mampu memenuhi kebutuhan produksi pulp sebanyak 2,8 juta ton pulp pertahun. Padahal kapasitas pabrik pulp yang ada (PT. Kertas Bekasi Teguh) hanya sebesar 90 ribu ton petahun. Besarnya potensi pasokan bahan baku, memungkinkan di daerah tersebut untuk meningkatkan kapasitas produksi atau membangun pabrik pulp baru. Hal yang sama berlaku untuk daerah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Untuk Kalimantan Selatan dan Papua pembangunan pabrik pulp bahkan dapat menjadi hal penting, karena di kedua daerah tersebut belum ada pabrik pulp yang beroperasi, padahal potensi penyediaan bahan bakunya sangat tinggi. Strategi pembangunan pabrik pulp di Nangroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara relatif berbeda dibandingkan dengan daerah lainnya. Secara umum, kedua daerah tersebut memiliki kelebihan pasokan bahan baku kayu dibandingkan dengan kapasitas produksi pabrik pulp yang ada. Tetapi sebaiknya di kedua daerah tersebut tidak dilakukan peningkatan kapasitas produksi pabrik dan atau pembangunan pabrik pulp baru, karena dengan kedekatan jarak maka kelebihan pasokan bahan baku akan lebih efektif apabila digunakan untuk memasok kebutuhan pabrik pulp yang ada di Riau. Apalagi hal tersebut ditunjang dengan kelompok kepemilikan saham pada pengelolaan HTI dan pabrik pulp. PT. Sumatera Sinar Plywood dan PT. Inti Indorayon Utama di Sumatera Utara serta PT. Riau Andalan di Riau adalah pengelola HTI di bawah kelompok Raja Garuda Mas. Kelompok tersebut juga mengelola pabrik pulp PT. Toba Lestari di Sumatera Utara dan PT. RAPP di Riau, sehingga kelebihan pasokan bahan baku dari PT. Sumatera Sinar Plywood dan PT. Inti Indorayon Utama di Sumatera Utara digunakan untuk kebutuhan bahan baku kayu bagi PT. RAPP di Riau.
168 5.4. Strategi
Membangun
Kepedulian
Para
Stakeholder
Terhadap
Lingkungan Dengan memperhatikan pengelolaan limbah pulp di Indonesia yang memiliki nilai kinerja yang relatif rendah dibandingkan dengan negara lainnya (dalam hal ini Finlandia dan Kanada), maka perlu dilakukan berbagai upaya supaya daya saing pengelolaan limbah industri pulp Indonesia menjadi lebih efisien. Kinerja pengelolaan limbah pulp Indonesia relatif rendah untuk semua jenis limbah yang dihasilkan, terutama untuk limbah sulfur, debu dan TSS yang nilai kinerjanya paling rendah dibandingkan dengan Finlandia dan Kanada sejak tahun 1993. Artinya limbah sulfur, debu dan TSS yang dihasilkan industri pulp Indonesia untuk setiap pulp yang diproduksi pada tahun 1999 sangat tinggi apabila dibandingkan dengan limbah yang sama yang dihasilkan Finlandia dan Kanada. Kepatuhan industri pulp (dan kertas) Indonesia dalam mengelola dan mengurangi limbah juga cenderung relatif tidak berubah sejak tahun 1995 sampai tahun 2004. Hal tersebut diantaranya ditunjukkan dari penilaian ketaatan industri pulp (dan kertas) untuk mengurangi limbah melalui Program Proper KLH. KLH telah membuat peringkat ketaatan industri terhadap pengeloaan lingkungan yang dikenal dengan PROPER (Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan), yang diamanatkan oleh UU No. 22/1997 tentang Lingkungan Hidup. Sejak tahun 1995 PROPER telah dilaksanakan. Antara tahun 1995 sampai tahun 1997, program tersebut dikenal dengan nama PROPER Prokasih (Program Kali Bersih) yang khusus melihat ketaatan perusahaan dalam mengendalikan pencemaran air (Bapedal 1997). Program tersebut kemudian dilanjutkan kembali tahun 2002-2004 dengan program PROPER Super Kasih (Surat Pernyataan Kali Bersih) yang diperluas menjadi ketaatan perusahaan secara keseluruhan, mencakup pengendalian pencemaran air, pencemaran udara, pengolahan limbah B3 dan persyaratan AMDAL (KLH dan UI 2003; Anonim 2004; KLH 2004). Proper KLH telah membuat peringkat ketaatan perusahaan terhadap lingkungan dalam lima kategori yaitu: emas, hijau, biru, merah dan hitam. Peringkat merah dan hitam merupakan katagori perusahaan yang mencemari lingkungan dengan berat dan sangat berat, sementara peringkat biru, hijau dan emas menunjukkan bahwa limbah perusahaan relatif aman bagi lingkungan. Dari
169 28 perusahaan pulp dan kertas yang dianalisa tahun 2004, dua buah perusahaan berperingkat hijau, sembilan perusahaan berperingkat biru, sepuluh perusahaan berperingkat merah dan tujuh perusahaan berperingkat hitam. Hasil peringkat ketaatan perusahaan pulp dan kertas dari tahun 1995 sampai 2004 terlihat pada Tabel 36 di bawah (peringkat lengkap untuk tahun 2004 digambarkan pada Lampiran 12). Kepatuhan dalam pengelolaan limbah oleh industri pulp yang relatif masih rendah perlu didorong oleh pemerintah agar industri pulp memiliki program pengurangan limbah serta dorongan masyarakat internasional agar pengelolaan limbah menjadi keharusan yang standar. Dalam hal dorongan pemerintah, diantaranya dilakukan dengan mewajibkan seluruh industri pulp (dan kertas) di Indonesia untuk mengikuti Program Proper KLH setiap tahun, membantu membangun instalasi pengolah limbah yang memadai, serta adanya mekanisme kontrol yang kuat dan sanksi dalam pelaksanaan pengolahan limbah. Dorongan masyarakat internasional diantaranya dilakukan dengan mensyaratkan industri pulp Indonesia supaya melaksanakan green production dan ekolabeling. Tabel 36. Perusahaan pulp dan kertas yang mencemari lingkungan menurut KLH Nama perusahaan Tanjung Enim Lestari, PT Lontar Papyrus, PT Indah Kiat Pulp & Paper, PT Riau Andalan Pulp & Paper, PT Kertas Leces, PT Kimsari Paper Indonesia, PT Kertas Basuki Rachmat, PT Kertas Kraft Aceh,PT Setia Kawan, CV Tjiwi Kimia, PT Jaya Kertas, PT Eureka Aba Paper Factory, PT Pelita Cengkareng Paper, PT Kertas Padalarang, PT (Persero) Papyrus Sakti Paper Aspex Kumbang Kertas Bekasi Teguh, PT
2004 Hijau Hijau Biru Biru Biru Biru Merah Merah Merah Merah Hitam Hitam Hitam Hitam
Sumber : Bapedal 1997, Anonim 2004, KLH 2004
Peringkat 1997 Merah Merah Merah Merah Merah Merah Merah Hitam Merah -
1996 Merah Merah Merah Merah Hitam Merah -
1995 Merah Merah Merah Merah Merah Merah -
170 5.4.1. Mewajibkan seluruh industri pulp (dan kertas) di Indonesia untuk mengikuti Program Proper KLH setiap tahun Kewajiban bagi setiap industri pulp untuk mengikuti program PROPER KLH dapat dijadikan sebagai landasan untuk mengetahui kesungguhan industri pulp dalam memperbaiki mutu limbah yang dihasilkannya, karena kesungguhan industri pulp untuk memperbaiki pengelolaan limbah belum nampak. Hal tersebut diantaranya terlihat dari banyaknya industri pulp dan kertas pada tahun 2004 yang masih berperingkat merah dan hitam, dengan jumlah sebanyak 17 perusahaan atau sekitar 61% dari total industri pulp dan kertas yang dianalisa dalam program tersebut. Selain itu, beberapa perusahaan belum memperbaiki peringkat penanganan limbahnya, seperti PT. Eureka Aba Paper Factory, yang sejak tahun 1995 sampai 2004 tetap berperingkat merah. Begitu juga dengan PT. Pelita Cengkareng Paper yang peringkatnya selalu merah dan hitam. PT. Kertas Padalarang malah mengalami penurunan ketaatan dalam penanganan limbah, apabila tahun 1995, 1996 dan 1997 peringkatnya hanya merah, maka tahun 2004 peringkatnya menurun menjadi hitam. Relatif rendahnya kesungguhan industri pulp dan kertas untuk memperbaiki mutu lingkungannya dapat diperbaiki dengan melakukan penilaian terus menerus terhadap industri pulp untuk mentaati lingkungan melalui program PROPER KLH. Dengan penilaian terus menerus, maka akan dapat dipantau bagaimana ketaatan industri pulp dan kertas dalam mengelola limbah mereka. Selain itu perlu juga ditentukan batas waktu yang jelas untuk perusahaan pulp mencapai peringkat biru, hijau atau emas. Sehingga dorongan untuk mengelola limbah dengan benar dapat lebih mudah diukur. 5.4.2. Membangun instalasi pengolah limbah yang memadai Setiap perusahaan pulp disyaratkan untuk memiliki instalasi pengolah limbah (IPL), terutama limbah dalam bentuk cair (IPAL – instalasi pengolah air limbah). Instalasi pengolah limbah tersebut harus dibuat berdasarkan standar baku mutu pengolahan limbah, yang pelaksaannya diawasai oleh pihak yang berwenang (misal KLH). Pembangunan IPL merupakan bagian dari kegiatan investasi perusahaan pulp, dan merupakan aset tetap yang harus dimiliki oleh
171 perusahaan. Tidak adanya aset IPL dijadikan catatan hitam bagi perusahaan yang bersangkutan. Selain itu, IPL juga harus selalu diawasi (diaudit) pelaksanaannya oleh lembaga pengawas yang independen, yang kredibilitasnya diakui oleh pemerintah, perusahaan maupun masyarakat. Audit pengelolaan limbah, harus menjadi keharusan sebagai mana audit pengelolaan keuangan (finansial) untuk perusahaan terbuka. Bagi industri pulp yang memiliki potensi besar untuk mencemari lingkungan, maka audit limbah merupakan kaharusan yang tidak bisa ditolelir. Audit limbah (lingkungan) yang obyektif dan transparan, akan memungkinkan keberadaan limbah dari industri pulp selalu dapat diawasi dan dijaga. Kasus seperti yang menimpa pabrik pulp PT. Inti Indorayon Utama di Medan dapat dihindari apabila sejak dini limbah yang dihasilkan oleh pabrik pulp dapat diawasi dengan benar. 5.4.3. Mekanisme kontrol yang kuat oleh pemerintah serta sanksi dalam pelaksanaan pengolahan limbah Pelaksanaan pengawasan pengelolaan limbah harus didukung oleh perangkat kebijakan pemerintah yang kuat. Pengelolaan limbah tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada pabrik pulp yang bersangkutan, tetapi perlu diawasi dengan ketat berdasarkan peraturan yang jelas dan mengikat. Salah satu kelemahan dalam pelaksanaan kegiatan perundangan adalah belum jelasnya mekanisme tugas dan wewenang antara lembaga pelaksana dan lembaga pengawas. Selain itu, peraturan juga belum berfungsi dengan baik karena penerapan sanksi yang masih belum diterapkan dengan sungguh-sungguh. Dengan dampak yang besar bagi lingkungan dan kehidupan manusia, maka penanganan pengelolaan limbah dapat dikategorikan sebagai kegiatan yang sangat penting. Kerusakan lingkungan hidup dan penurunan kualitas SDM salah satunya faktor utamanya disebabkan oleh tidak terkontrolnya limbah yang dihasilkan industri. Oleh karena itu, pelaksanaan kontrol yang didukung oleh peraturan perundangan dan sanksi yang jelas dan tegas bagi perusahaan yang mencemari lingkungan menjadi suatu prasayarat dalam kegiatan pengelolaan limbah industri.
172 5.4.4. Industri pulp Indonesia harus melaksanakan green production dan ekolabeling Masalah lingkungan ini menjadi masalah yang serius pada produk-produk industri di masa mendatang. Tuntutan pasar terutama pasar negara-negara maju mengharuskan produk yang masuk ke negara tersebut memiliki persyaratan tidak mencemari lingkungan. Salah satu persyaratan tidak mencemari lingkungan adalah menggunakan konsep green production dan ekolabeling (eco-labeling). Green production merupakan suatu konsep supaya produk, dihasilkan oleh suatu perusahaan melalui proses yang ramah lingkungan. Seluruh kegiatan dan proses produksinya diharuskan untuk tidak mencemari lingkungan. Wawasan lingkungan juga menjadi dasar ekolabeling, dengan pemberian label ramah lingkungan pada produk yang dihasilkan. Label tersebut merupakan tanda yang mengandung informasi bahwa produk tersebut dalam proses produksinya telah memenuhi standar pelestarian lingkungan (Suratmo, 2000). Terdapat dua macam ekolabeling yang umum dikenal sebagai berikut. (1) Single issue assessment yang berupa pemberian label pada satu atau beberapa produk, misal label pada produk kayu yang berupa sustainable forest management; (2) Life cycle assessment (LCA) berupa pemberian label yang sifatnya komprehensif dari mulai penanganan bahan baku, proses pengolahan (proses produksi), sampai produk dan limbah yang dihasilkannya atau meliputi seluruh daur hidup produk (from the cradle to the grave). Sistem ekolabeling ini kemudian berkembang menjadi ISO seri 14000 (ISO 14020 – 14024) atau label lingkungan (environmental labeling). Mendapatkan labeling (ekolabeling) pada produk hasil hutan termasuk pulp, meliputi kegiatan sejak (1) proses pengolahan hutannya (HTI dan cara mendapatkan kayu), (2) pengangkutan kayu dari hutan ke pabrik, (3) proses dalam industri, yang berupa tahapan dalam pengolahan pulp, penanganan limbah, penghematan sumber daya lingkungan (air dan energi) dan juga kesejahteraan stakeholder (karyawan dan masyarakat sekitar pabrik), (4) produk yang dihasilkan tidak merusak ketika digunakan, (5) proses
173 pengangkutan dari pabrik ke pasar, dan (6) limbah yang dihasilkan tidak merusak dan mencemari lingkungan. Ekolabeling dan green production akan terus menjadi tuntutan di masa mendatang. Dengan kondisi pasokan bahan baku kayu yang sebagian dipertanyakan asal-usulnya, dan beberapa pabrik yang masih berperingkat mencemari lingkungan dengan berat, maka masalah lingkungan akan menjadi masalah yang cukup besar. Oleh karena itu penanganan yang serius terhadap permasalahan ini perlu dilakukan dengan segera.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan Daya saing industri pulp Indonesia dalam memanfaatkan sumber bahan baku pada umumnya relatif masih rendah dibandingkan dengan Kanada, Finlandia, Swedia dan Chili, meskipun sedikit lebih tinggi dibandingkan Brazil dan Rusia. Rendahnya daya saing pemanfaatan potensi bahan baku, terutama dalam hal pemanfaatan potensi kayu, riap serta umur tebang kayu. Secara umum, daya saing penggunaan faktor produksi industri pulp Indonesia relatif lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara Skandinavia (Finlandia dan Swedia), Rusia dan Kanada, tetapi relatif lebih rendah dibandingkan dengan industri pulp negara-negara Amerika Latin (Brazil dan Chili). Daya saing penggunaan faktor produksi industri pulp Indonesia relatif tinggi dalam hal biaya tenaga kerja, tetapi relatif rendah dalam penggunaan biaya bahan baku dan biaya energi. Daya saing pengelolaan dampak limbah industri pulp Indonesia relatif kurang efisien dibandingkan dengan Finlandia dan Kanada. Rendahnya daya saing industri pulp Indonesia dalam pengelolaan lingkungan, terutama untuk mengelola limbah sulfur, TSS (total suspended solids) dan debu. Mengingat relatif masih rendahnya daya saing industri pulp Indonesia dibandingkan dengan industri pulp negara lain, maka dirumuskan strategi peningkatan daya saing untuk meningkatkan kemampuan industri pulp Indonesia. Perumusan strategi peningkatan daya saing dilakukan dengan memperhatikan faktor-faktor kritis dalam industri pulp. Strategi yang dirumuskan tersebut terdiri dari tiga buah, yaitu (1) strategi optimasi pengelolaan hutan tanaman industri pulp, (2) strategi optimasi penggunaan biaya produksi dan pemanfaatan kapasitas produksi, serta (3) strategi membangun kepedulian para stakeholder terhadap lingkungan.
175 Strategi optimasi pengelolaan hutan tanaman industri pulp dijabarkan dalam dua buah strategi rincian, yaitu optimasi bahan baku dan optimasi faktor produksi. Dalam optimasi bahan baku, dilakukan dengan beberapa strategi yaitu: optimasi areal lahan pulp atau pembangunan HTI-pulp serta optimasi hasil kayu. Pembangunan HTI-pulp diantaranya dilakukan dengan (1) mensyaratkan setiap pabrik pulp untuk membangun HTI sesuai dengan kapasitas produksinya; (2) menjalin kerjasama pembangunan HTI dengan berbagai stakeholder lainnya; (3) memberikan ijin HTI kepada rakyat dengan pengelolaannya dilakukan oleh kelompok masyarakat; (4) mendorong perusahaan pulp mendirikan untuk pabriknya di daerah dengan potensi bahan baku yang tinggi; serta (5) menyediakan dana pembangunan HTI yang memadai. Pada sisi lain, optimasi hasil kayu dilakukan dengan melakukan: (1) optimasi banyaknya kayu yang dapat ditebang; (2) optimasi potensi kayu yang ada; (3) pemanfaatan potensi riap yang tinggi; dan (4) penentuan umur tebang kayu yang optimal. Strategi optimasi penggunaan biaya produksi dan pemanfaatan kapasitas produksi dijabarkan dalam strategi (1) efisiensi penggunaan dan biaya bahan baku; (2) efisiensi proses dan penggunaan energi; serta (3) meningkatkan skala produksi industri pulp. Dalam hal meningkatkan skala produksi industri pulp, dilakukan dengan meningkatkan utilitas produksi serta dengan meningkatkan kapasitas produksi dari pabrik yang telah tersedia dan membangun pabrik baru di lokasi yang potensial. Strategi membangun kepedulian para stakeholder terhadap lingkungan diantaranya dilakukan dengan (1) mewajibkan seluruh industri pulp (dan kertas) di Indonesia untuk mengikuti Program Proper KLH setiap tahun; (2) membantu membangun instalasi pengolah limbah yang memadai; (3) adanya mekanisme kontrol limbah yang kuat, serta sanksi apabila limbah industri pulp mencemari lingkungan; dan (4) mendorong industri pulp Indonesia untuk melaksanakan green production dan ekolabeling.
176 6.2. Saran Untuk penelitian yang sejenis sebaiknya menggunakan data dari salah satu sumber, seperti dari WRI (World Resources International), RISI (Resource Information Systems Inc), Paperloop, Jaako Poyry dan lainnya untuk keseragaman data. Penggunaan data dari lembaga-lembaga tersebut tidak dilakukan dalam penelitian ini, karena mahalnya harga data yang mereka tawarkan. Selain itu, untuk kesempurnaan analisa, diperlukan juga data dalam satuan bobot atau volume untuk faktor produksi dan bukan hanya data dalam satuan biaya. Analisa dalam satuan bobot atau volume memungkinkan diperolehnya efisiensi penggunaannya. Perlu penelitian lebih lanjut, untuk mengkaji secara lebih mendetil daya saing industri pulp dalam hal pemanfaatan bahan baku (termasuk konversi biaya untuk setiap variabel sumberdaya bahan baku kayu), penggunaan faktor produksi (satuan teknis dan biaya, dengan tambahan variabel lain seperti bahan kimia, transportasi dan lainnya) serta pengelolaan lingkungan (termasuk konversi biaya lingkungan), sehingga akan diperoleh gambaran yang lebih mendalam dari faktorfaktor tersebut. Dalam perumusan strategi peningkatan daya saing, selain dikaji aspek penyediaan bahan baku kayu, faktor produksi dan pengelolaan lingkungan, perlu juga dikaji aspek teknologi dan inovasi teknologi dalam industri pulp, analisa pasar serta kebijakan pemerintah, supaya strategi yang dirumuskan dapat lebih komprehensif.
DAFTAR PUSTAKA
Agrell, P.J dan B. M. West. 2001. “A caveat on the measurement of productive efficiency”, dalam Int. J. Production Economics, Vol 69, hlm. 1-14 Anonim, 1999. “Perlawanan terhadap UU Kehutanan yang baru” dalam Down to Earth No. 42, August 1999, [http://www.dte.gn.apc.org/] Anonim, 2003. “forest certification in Chile: description of Chilean forest resources”, [http://www.uach.cl/proforma/certfor/ingles/forestal_i.htm] Anonim, 2004. “Menghukum industri nakal, tanpa palu hakim”, dalam Serasi Edisi Mei-Juni Arnold, R.J. 1990. “Control pollinated radiata pine seed - a comparison of seedling and cutting options for large scale deployment”, dalam New Zealand Forestry 35 (3), hlm 12-17. ASEAN Secretariat, 2005. ASEAN Statistical Indicators: Gross Domestic Product. dalam [http://www.aseansec.org/macroeconomic/aq_gdp21.htm, 1 Maret 2005] Banker, R.D, A. Charnes dan W.W. Cooper, 1984, “Some models for estimating technical and scale inefficiencies in data envelopment analysis”, dalam Management Science, Vol 30, hlm 1078-1092. Banker, R. D., W. W. Cooper, L. M. Seiford dan J. Zhu, 2003. “Returns to scale in DEA”, dalam W.W. Cooper, L.M. Seiford and J. Zhu (ed) Handbook on Data Envelopment Analysis, Boston: Kluwer Academic Publishers Barr, C. 2001. “The financial collapse of Asia Pulp & Paper: Moral hazard and implications for Indonesia’s forests”, dalam Asian Development Forum-3, Bangkok, 12 Juni. [Balai Besar Selulosa] BBS, 1995. Penelitian Pembuatan Pulp dari Kayu Acacia angium Berbagai Umur. Kerjasama Antara PT. Musi Hutan Persada dengan Balai Besar Selulosa. Bandung: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Selulosa. Binakarya Dayakusuma, 2000. “Laporan Akhir Studi Hutan Tanaman Industri (HTI) Berkelanjutan (Sustainable) Sebagai Jaminan Pemenuhan Bahan Baku Bagi Industri Pulp”, Jakarta: Direktorat Industri Pulp dan Kertas, Deperindag
178 BIRO, 2001. Indonesian Pulp and Paper Industry. Jakarta: PT. Biro Data Indonesia Blum, L. 1996. The Production of Bleached Kraft Pulp. Environmental Defence Fund. http://www.paperloop.com/db_area/archive/p_p_mag/2001/0007/coating.ht m dan http://www.edf.org/pubs/Reports/ptf/index.html Borregaard, N. dan A. Röttger, 2000. "Pulp and paper sector domestic resource cost study", [http://www.cipma.cl/hyperforum/firstatools.htm] Bosetti, V., M. Cassinelli dan A. Lanza, 2004. “Using Data Envelopment Analysis to evaluate environmentally conscious tourism management”, dalam NRM – Natural Resources Management, The Fondazione Eni Enrico Mattei Note di Lavoro Series Index: http://www.feem.it/Feem/Pub/Publications/WPapers/default.htm Bowlin, W. F. 2000. “Measuring performance: an introduction to Data Envelopment Analysis (DEA)”, dalam Journal of Cost Analysis [Badan Pusat Statistik] BPS, 2001. Statistik Industri Besar dan Sedang 1999. Jakarta: Badan Pusat Statistik [Badan Pusat Statistik] BPS, 2002. Statistik Industri Besar dan Sedang 2000. Jakarta: Badan Pusat Statistik [Badan Pusat Statistik] BPS, 2003. Statistik Industri Besar dan Sedang 2001. Jakarta: Badan Pusat Statistik [Badan Pusat Statistik] BPS, 2004a. Statistik Industri Besar dan Sedang 2002. Jakarta: Badan Pusat Statistik [Badan Pusat Statistik] BPS, 2004b. Statistik Indonesia 2003. Jakarta: Badan Pusat Statisik Bracelpa, 1999. “The state of the industry: Brazil” dalam FAO Advisory Committe on Paper and Wood Products, 40th Session, 27-28 April 1999, São Paulo, Brazil. Bracelpa, 2004. Desempenho do setor em 2003. [www.bracelpa.org.br] Bull, G. 1997. “The FAO Global Fiber Supply Study: Assumption, Methods, Models and Definition” Working Paper GFSS/WP/01. dalam Duinker, P.N. (ed). 1997. Global Fiber Supply Study: Working Paper Series. Rome: FAO Campbell-Hunt, C. 2000. “What have we learned about generic competitive strategy ? A meta-analysis”, dalam Strategic Management Journal, Vol. 21, hlm. 127-154
179 Canadian Industry Statistcs, 2004. Pulp Industry Canada: Pulp Mills (NAICS 32211). [http://strategis.ic.gc.ca/canadian_industry_statistics/cis.nsf/idE/ cis32211empE. Html] Cartwright, D. 2002. "Chile's forest products markets - a plantation success story", dalam UNECE/ FAO Forest Products Annual Market Review 2000 2001. Rome: FAO [CIDA Forestry Advisers Network] CFAN, 2002. “Forestry Profiles: Cooperation in the Development and Conservation of Russia's Forests” dalam CIDA, September [http://www.rcfa-cfan.org/english/profile.17.htm] Charnes A., W.W. Cooper dan E. Rhodes, 1978. “Measuring the efficiency of decision making units”, European Journal of Operation Research, Vol. 2, hlm. 429-444. Charnes, A. dan W.W. Cooper, 1962, “Programming with linear fractional functionals”, dalam Naval Research Logistics Quarterly, Vol. 9, hlm. 181185. Charnes, A. dan W.W. Cooper, 1990. “Data envelopment analysis”, dalam H. E. Bradly (ed). Operation Research ’90. Oxford: Pergamon Press Cohen, M.R. dan E. Nagel. 1988. “Hipotesis dan Metode Ilmiah” dalam C.A. Qadir (Ed). Ilmu Pengetahuan dan Metodenya. Terjemahan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Cooper, M. W., Lawrence, M. Seiford dan J. Zhu, 2003. “Data Envelopment Analysis: history, models and interpretations”, dalam W.W. Cooper, L.M. Seiford dan J. Zhu (ed) Handbook on Data Envelopment Analysis, Boston: Kluwer Academic Publishers Cooperation in the Development and Conservation of Russia's Forests, http://www.rcfa-cfan.org/english/profile.17.htm Corsten, H. dan T. Will, 1993. “Competitive strategy and production concepts”, dalam Management International Review, Vol 33 (4), hlm. 315-334 Creswell, J.W. 1994. Research Design: Qualitative & Quantitative Approaches. California: SAGE Publicaion, Inc. David, F.R. 2001. Strategic Management: Concepts and Cases. New Jersey: Prentice Hall Inc., Demeter, K. 2003. “Manufacturing strategy and competitiveness”, dalam International Journal of Production Economics, Vol. 81–82, hlm. 205–213
180 Departemen Kehutanan, 2004a. Statistik Kehutanan Indonesia 2003. Jakarta: Departemen Kehutanan [http://www.dephut.go.id/INFORMASI/ STATISTIK/ Stat2003/Stat_03.htm] Departemen Kehutanan, 2004b. Eksekutif Data Strategis Kehutanan Tahun 2004. Jakarta: Departemen Kehutanan [http://www.dephut.go.id/ INFORMASI/ BUKU2/Eks_04/ Eks_04.htm] Departemen Kehutanan, 2003. Statistik Kehutanan Indonesia 2002. Jakarta: Departemen Kehutanan [http://www.dephut.go.id/INFORMASI/STATISTIK/ Stat2002/Stat_02.htm] Department of Trade And Industry. 2001. Regional Competitiveness Indicators. London: Department of Trade And Industry Deperindag dan APKI, 2001. Industri Pulp dan Kertas 1999-2003: Realisasi 1999-2000 dan Proyeksi 2001-2003. Jakarta: Direktorat Industri Pulp dan Kertas, Deperindag [Dewan Gula Indonesia] DGI, 2003. Perusahaan-Perusahaan Gula. Jakarta: Sekretariat DGI [Dewan Gula Indonesia] DGI, 2004. Data Areal, Produksi dan Produktivitas Per Perusahaan Gula dan Pabrik Gula di Indonesia Tahun 2001-2003. Jakarta: Sekretariat Dewan Gula Indonesia Deperindag, 2004. Buletin Statistik Perdagangan Luar Negeri: Edisi September 2004. Jakarta: Ditjen Perdagangan Luar Negeri Djojosoebroto, J. 2004. Hasil Wawancara Ketika Kunjungan ke Kantor Pusat PT. Musi Hutan Persada (MHP) di Jakarta Tanggal 31 Maret 2004, dan Ketika Kunjungan ke Lahan PT. MHP di Palembang, Tanggal 19-21 April 2004 Dyson, R. G., E. Thanassoulis and A. Boussofiane, 1990. Data Envelopment Analysis (DEA). [http://www.deazone.com/tutorial/index.htm] Elzinga, D.J., T. Horak, C-Y Lee dan C. Bruner. 1995. “Business process management: survey and methodology”, dalam IEEE Transaction on Engineering Management, Vol 42, No. 2, May, hlm 119-128. [Food and Agriculture Organization] FAO, 1997. Global Fiber Supply Model. Rome: FAO [Food and Agriculture Organization] FAO, 1998. FRA 2000: Terms and Definitions. Working Paper 1. Rome: Forest Resources Assessment Programme, Forest Department, FAO. [Food and Agriculture Organization] FAO, 1998. Pulp and Paper capacities:
181 Survey 1997-2000. Rome: FAO of United Nations. [Food and Agriculture Organization] FAO, 2000. The global outlook for future wood supply from forest plantations. Working paper GFPOS/WP/03,Rome, Italy. [Food and Agriculture Organization] FAO, 2001. Global Fiber Resources Assessment 2000. Rome: FAO [Food and Agriculture Organization] FAO, 2004. Statistics of Forest Products. [http://faostat.fao.org/faostat/form?collection= Forestry.Derived&Domain= Forestry&servlet=1&hasbulk=&version=ext& language=EN] Farrell, M.J., 1957, “The measurement of productive efficiency”, dalam Journal of Royal Statistical Society, Vol. A 120, hlm 253-281. Fernandez-Cornejo, J. 1994. “Nonradial technical efficiency and chemical input use in agriculture”, dalam Agricultural and Resources of Economics Review, Vol. hlm. 11-21 [Finnish Forest Industries Federation] FFIF, 2004. Environmental Report Statistics for 2003. Helsinki: Finnish Forest Industries Federation Flynn, B. 2002. “Update on the international woodchip market”, dalam International Forest Products Marketing Conference, Seattle, Washington, 26-27 September 2002 Flynn, R. 2003. “Update on Chile’s forest products industry” dalam International Forest Products Marketing Conference, Sea Tacc, 16-17 Oktober 2003. [The Forest Products Association of Canada] FPAC, 2002. Thinking Out of the Box: 2002 Annual Review. Ottawa: The Forest Products Association of Canada French, R.L. 1994. “International competitiveness in IVHS: Europe, Japan and the United States”. Dalam Conference Proceeding: 1994 for Vehichle Navigation and Information Systems. Yokohama: Augst. Gadhoum, Y. 1999. “Potential effect’s managers’ entrenchment and shareholdings on competitiveness”, dalam European Journal of Operational Research, Vol. 118, Issue 2, October, hlm. 332-349 van Gelder, J.W. 2001. “Sector Case Study: Russian pulp and paper industry” dalam Focus on Finance Newsletter, Juni 2001 Goh, G.K. Ometraco Research, 2000. Indah Kiat: Company Update. Agustus. [www.gobdirect.com.sg [1 Agustus 2000]]
182 Graves, 2004. ILIM PULP and The Russian Perspective. Vancouver: Pricewaterhousecoopers Gumbira-Sa’id, E., M. Rahayuningsih dan D. Wihatno. 1998a. “Biopulping dengan Fungi Phanerochaete chrysosporium pada Kayu Pinus (Pinus merkusii), Albizzia (Paraserianthes falcataria) dan Samoso (Maesopsis eminii)”, dalam Seminar Nasional Bioteknologi, Malang: September. Gumbira-Sa’id, E., N. Sandaya dan J. Nijsen. 1998b. “Strategy formulation to improve Indonesian tuna competitiveness”, dalam Jurnal Agribisnis Universitas Jember, Vol 2, No.2. Gumbira-Sa’id, E., N. Sandaya dan J. Nijsen. 2000. “Strategy to improve the competitiveness of the Indonesian shrimp industry”, dalam Indonesian Journal of Tropical Agriculture, Vol 9, No. 2. Hadley, G. 1980. Linear Programming. Massachusetts: Addison-Wesley Hailu, A. dan T. S. Veeman, 2001. “Non-parametric productivity analysis with undesirable outputs: an application to the Canadian pulp and paper industry”, dalam Amer. J. Agr. Econ, 83 (3), hlm. 605-616 Hannien, R (ed). 2004. Finnish Forest Sector Economic Outlook 2004–2005. Helsinki: Finnish Forest Research Institute Hardiyanto, E. B. dan H. Arisman (ed), 2004. Pembangunan Hutan Tanaman Acacia Mangium: Pengalaman di PT. Musi Hutan Persada Sumatera Selatan. Palembang: PT. Musi Hutan Persada Hardiyanto, E. B., S. Th. Siregar, R. Wahyono, dan M. Rohim. 2000. “Hasil uji provenans Acacia mangium umur 5,5 tahun di Setuntung”. Technical Notes, Publikasi R&D PT. Musi Hutan Persada, Vol. 10 (15) Haryupuspito, K. 2001. “Prospek industri pulp Indonesia dan pengamanan pasok bahan baku lewat reforestasi”, Jakarta: APKI Ibnusantosa, G. 2000. “Prospek dan Tantangan Pengembangan Industri Pulp dan Kertas Indonesia dalam Era Ekolabeling dan Otonomi Daerah”. Dalam Prosiding Seminar: Prospek dan Tantangan Agribisnis Pulp dan Kertas dalam Era Ekolabeling dan Otonomi Daerah. Penyunting Sipayung, T. (dkk) Bogor: Pusat Studi Pembangunan – IPB, hlm 1-28. [Indonesian Pulp and Paper Association] IPPA, 1999. Indonesian Pulp & Paper Trade Directory 1999, Jakarta: APKI-PT Gramedia, [Indonesian Pulp and Paper Association] IPPA, 2001. Indonesian Pulp & Paper Trade Directory 2001, Jakarta: APKI-PT Gramedia,
183 [Indonesian Pulp and Paper Association] IPPA, 2003. Indonesian Pulp & Paper Trade Directory 2003, Jakarta: APKI-PT Gramedia, Industry Canada, 2002. Pulp, Paper and Paperboard Mills: Input to the AMG Working Group Studying the Impact of Greenhouse Gas Abatement on the Competitiveness of Canadian Industries. Ottawa: Manufacturing Industries Branch, Industry Canada Infomine, 2004. Paper and Pulp Production in Russia Within First Quarter 2000 (http://www.infomine.ru/eng/produc/chem/pulp.shtml, 8 Juni 2004) Iskandar, U. 2004. “Kebijakan pembangunan hutan tanaman industri”, dalam E. B. Hardiyanto dan H. Arisman (ed), 2004. Pembangunan Hutan Tanaman Acacia Mangium: Pengalaman di PT. Musi Hutan Persada Sumatera Selatan. Palembang: PT. Musi Hutan Persada Jayanthi, S., B. Kocha, dan K.K. Sinha. 1999. “Competitive analysis of manufacturing plants: an application to the us processed food industry”, dalam European Journal of Operational Research, Vol. 118, Issue 2, October, hlm 217-234 Jayataram, J., C. Droge dan S.K. Vickery. 1999. “The impact of human resource management practices on manufacturing performance”, dalam Journal of Operations Management, Vol 18, hlm 1-20. Kald, M dan F. Nilsson. 2000. “Performance measurement at Nordic companies”, dalam European Management Journal, Vol 18 No. 1, hlm 113-127. Kaplan, R. S. dan D. P. Norton. 1992. “The Balance Scorecard – measures that drive performance”, dalam Harvard Business Review, edisi JanuariFebruari Kaplan, R. S. dan D. P. Norton. 1996a. “Using the Balance Scorecard as a strategic management system”, dalam Harvard Business Review, edisi Januari-Februari Kaplan, R. S. dan D. P. Norton. 1996b. The Balance Scorecard: Translating Strategy Into Action. Massachusetts: Harvard Business School Press Kartodihardjo, H. 1996. “Pengembangan industri pulp dan kertas: keuntungan siapa ?”, dalam Jurnal Teknologi Hasil Hutan, Vol. IX, No. 2, hlm 47-61. Kathuria, R. 2000. “Competitive priorities and managerial performance: a taxonomy of small manufacturers”, dalam Journal of Operations Management, Vol 18, hlm 627-641 Kawai, M. 2000. “The resolution of the East Asian crisis: financial and corporate sector restructuring”, dalam Journal of Asian Economics, Vol. 11, hlm
184 133–168 Kenny, Jim. 1997. “Kiani Kertas : A Mill That Just Keeps Getting Bigger” Dalam Pulp And Paper International, Edisi May. Khalil, T. M. 2000. Management Of Technology: The Key To Competitiveness And Wealth Creation. Singapore: McGraw-Hill Book Co. Kim, Won-Kyu, 1999. “Total factor productivity and competitiveness in Korea” dalam APO Productivity Journal, Edisi Summer 1999, hlm 30-48 Kirano, S. 1995. “Metodologi Penelitian” Disampaikan pada Kursus Metodologi Penelitian di BPPT. Jakarta: BPPT [Kementerian Lingkungan Hidup] KLH dan UI, 2003. Penyusunan Pedoman Pelaksanaan dan Pengembangan Kegiatan Super Kasih: Laporan Akhir. Jakarta: Kementrian Lingkungan Hidup [Kementerian Lingkungan Hidup] KLH, 2004. Bahan Press Briefing: Program Penilaian Kinerja Perusahaan (PROPER) Oktober 2004. Jakarta: Kementrian Lingkungan Hidup Kuntjoro, A. 1990. “Perkembangan metode frontier production function sebagai perangkat pengukuran inefisiensi: suatu tinjauan kepustakaan”, dalam Anwar, M.A. dan I.J. Azis (editor). Bunga Rampai Konsep Ekonomi. Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI. Lakhal, S., A. Martel, M. Oral, dan B. Montreuil. 1999. ”Network companies and competitiveness: a framework for analysis”, dalam European Journal of Operational Research, Vol. 118, Issue 2, October, hlm 278-294 Leal, L.C. 2001. “A road beset by challenges, or a challenge that leads us down many roads”, CELPA Lembaga Penelitian UI, 2001. Laporan Studi Pola Pengembangan Industri Produk Kertas Indonesia. Jakarta: Direktorat Industri Pulp dan Kertas, Deperindag Lendel-Mills dan Ford, 1999. “Country profile for Chile: Working paper not for citation”, IIED, March 1999. [www.iied.org] Leppanen, J. 2001. “Roundwood markets” dalam Hanninen, R. (ed). 2002. Finnish Forest Sector Economic Outlook 2000 2001. Helsinki: Finnish Forest Research Institute. Li, Y. dan S. Deng. 1999. “A methodology for competitive advantage analysis and strategy formulation: an example in a transitional economy”, dalam European Journal of Operational Research, Vol. 118, Issue 2, October, hlm 259-270
185 Lipsey, R. E, 2001. “Foreign direct investors in three financial crises”, Working Paper 8084. dalam National Bureau of Economic Research, Cambridge, January [www.nber.org/papers/w8084] Llyod, P. J. dan D. MacLaren, 2000. “Openness and growth in East Asia after the Asian crisis”, dalam Journal of Asian Economics, Vol. 11, hlm 89-105 Mabee, W. E. dan H. Pande, 1997. “Recovered and Non-wood Fibre: Effects of Alternative Fibres on Global Fibre Supply” Working Paper GFSS/WP/04 dalam Duinker, P.N. 1997. Global Fiber Supply Study: Working Paper Series. Rome: FAO Maital, S dan A. Vaninsky, 2001. “Data envelopment analysis with resource constraints:an alternative model with non-discretionary factors”, dalam European Journal of Operational Research Vol. 128, hlm 206-212 Marmolejo-de-Baset, M. R. 1998. “Chile economy slows but producers forge ahead”, dalam PIMA’s Papermaker, Vol. 80, May, hlm 40-44. Marsoem, 2004. “Pemanfaatan hasil hutan tanaman Acacia mangium”, dalam E. B. Hardiyanto dan H. Arisman (ed), 2004. Pembangunan Hutan Tanaman Acacia Mangium: Pengalaman di PT. Musi Hutan Persada Sumatera Selatan. Palembang: PT. Musi Hutan Persada. Martin, L, Westgren dan van Duren, E. 1991. “Agribusiness competitiveness across national boundaries” dalam American Journal of Agricultural Economics. December, hlm 1456-1464. May, P.H. 2002. “Forest Certification in Brazil: Trade and Environmental Enhancement”, makalah yang dipersiapkan untuk memenuhi permintaan the Consumer Choice Council, Brazil. McClelland, J. D. dan J. K. Horowitz, 1999. “The cost of water pollution regulation in the pulp and paper industry”, dalam Land Economics, 75 (2), hlm 220-232 Mendes, A. M. S.C. 2002. “Trade offs involved in sustainable forest management as they are perceveid by end users”, dalam Project Imacford Task B2Sustainable Management Of Mediterranean Forests, di Lisbon, ISA, 2-3 December 2002. [Metsäntutkimuslaitoksen] METLA, 2003. Finnish Statistical Yearbook of Forestry 2003. Helsinki: Finnish Forest Research Institute Miller, D.C. 1991. Handbook of Research Design and Social Measurement. Fifth Eds. California: SAGE Publicaion, Inc. Ministry of Environment, 2002. Indonesian Thematic Research on Utilization of
186 Economic Instruments: Case Study on Pulp and Paper Industry. Jakarta: Kementrian Lingkungan Hidup Murillo-Zamarono, L. R. dan J.A. Vega-Carvera. 2001. “The use of parametric and non-parametric frontier methods to measure the productive efficiency in the industrial sector: a comparative study”, dalam Int. J. Production Economics, Vol 69, hlm 265-275 Nazir, M. 1999. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia [Natural Resources Canada] NRCan, 1994. The State of Canada’s Forests 19931994: Forests in the New Millenium. Ottawa: NRC. [http://nrcanc.gc.ca/cfs/proj/ppiab/sof/sof.html] [Natural Resources Canada] NRCan, 2000. The State of Canada’s Forests 1999 2000: Forests in the New Millenium. Ottawa: NRC. [http://nrcanc.gc.ca/cfs/proj/ppiab/sof/sof.html] [Natural Resources Canada] NRCan, 2001. The State of Canada’s Forests 2000 2001. Ottawa: NRC. [http://nrcanc.gc.ca/cfs/proj/ppiab/sof/sof.html] [Natural Resources Canada] NRCan, 2002. The State of Canada’s Forests 2001 2002. Ottawa: NRC. [http://nrcanc.gc.ca/cfs/proj/ppiab/sof/sof.html] Office of Compliance USA, 2002. EPA Office of Compliance Sector Notebook Project: Profile of the Pulp and Paper Industry, 2nd Edition. Washington: Office of Enforcement and Compliance Assurance, US Environmental Protection Agency Oral, M dan A. Martel. 1999. “Editorial: competitiveness analysis for strategy formulation”, dalam European Journal of Operational Research, Vol. 118, Issue 2, October, hlm 213-216 Oral, M. 1986. “An industrial competitiveness model”, dalam IIE Transactions, June, Hlm 148-157. Oral, M. 1993. “A methodology for competitiveness analysis and strategy formulation in glass industry”, dalam European Journal of Operational Research, Vol. 66, Issue 14, hlm 9-22. Oral, M., U. Cinar, dan H. Chabchoub. 1999. ”Linking industrial competitiveness and productivity at the firm level”, dalam European Journal of Operational Research, Vol. 118, Issue 2, October, hlm 271-277 Owyong, D.T.,1999, “Productivity growth: Theory and measurement”, dalam APO Productivity Journal, Edisi Summer 1999, hlm 19-29
187 Parkan, C. 1994. “Operational competitiveness rating of production units”, dalam Managerial and Decision Economics, Vol. 15, hlm 201-221. Parkan, C. dan M. Wu. 1999a. “Measuring the performance of operations of Hong Kong's manufacturing industries”, dalam European Journal of Operational Research, Vol. 118, Issue 2, October, hlm 235-258 Parkan, C. dan M. Wu. 1999b. “Measurement of the performance of an investment bank using operational competitiveness rating procedure”, dalam Omega, Vol. 27, hlm 201-217 Petrov, 2001. “Financing Sustainable Forest Management in Russia and the Commonwealth of Independent States Countries: Alternative Mechanisms to Finance Participatory Forest and Protected Areas Management”, dalam International Workshop of Experts on Financing Sustainable Forest Management, Oslo, Norway, 22 – 25 January 2001 [Paper Industry Management Association] PIMA’s Papermaker. 1999. “Why the pulp industry needs and deserve a spot market”, dalam PIMA’s Papermaker, Vol. 80, No. 5, May, hlm 29-32. Porter, M. E. 1980. Competitive Strategy: Techniques for Analyzing Industries and Competitors. New York: The Free Press. Porter, M. E. 1985. Competitive Advantage. New York: The Free Press. Porter, M. E. 1987. “From competitive advantage to corporate strategy” dalam Harvard Business Review, Edisi May-June, hlm 43-59 Porter, M. E. 1990. Competitive Advantage of Nations. New York: The Free Press. Prahalad, C.K. dan G. Hamel. 1990. “The core competence of corporation”, dalam Harvard Business Review, Edisi May-June, hlm 79-91. Prescott, J.E. dan J.H. Grant. 1988. “A manager’s guide for evaluating competitive analysis techniques”, dalam Interfaces, Vol. 18, No.3, hlm 1022 Pulkki, R. E. 1997a. “Literature synthesis on logging impacts in moist tropical forests”, Working Paper GFSS/WP/06 dalam Duinker, P.N. (ed). 1997. Global Fiber Supply Study: Working Paper Series. Rome: FAO Pulkki, R. E. 1997b. “Modeling future availability of non-coniferous veneer logs and saw logs in tropical forests”, Working Paper GFSS/WP/05 dalam Duinker, P.N. (ed). 1997. Global Fiber Supply Study: Working Paper Series. Rome: FAO
188 [Pulp and Paper International] PPI, 2001. “Annual review: another monumental year for global pulp and paper figures”, dlm Pulp And Paper International, July dan [www.paperloop.com/annualreview2001] Quezada, L. E., F. M. Cordova, S. Widmer, dan C O.Brien, 1999. “A methodology for formulating a business strategy in manufacturing firms”, dalam International Journal of Production Economics, Vol. 60–61, hlm 87–94 [PT. Riau Andalan Pulp & Paper] RAPP, 2001a. “RAPP antisipasi peningkatan produksi 2 juta ton” dalam Warta Riau Kompleks, No. 4, April-Juni, hlm 78. [PT. Riau Andalan Pulp & Paper] RAPP, 2001b. “Strategi pemenuhan bahan baku industri pulp dan kertas” dalam Warta Riau Kompleks, No. 4, AprilJuni, hlm 9-11. Render, B. dan J. Heizer. 1997. Operation Management Principles. New Jersey: Prentice Hall, Inc. Riberio, A.R.B.M., L.C.E. Rodriguez dan D. Zylbersztanz. 2002. “Timber supply for pulp production: an application of the Transaction Cost Economics principles”, dalam Rondeau, P. J., M.A. Vonderembse dan T.S. Ragu-Nathan. 2000. “Exploring work system practise for time-based manufacturers: their impact on competitive capabilities”, dalam Journal of Operations Management, Vol 18, hlm 509-529. Ryan, R. 2000. “Asia: on the road back” dalam PIMA’s Papermaker, Vol. 82, No. 5, May, hlm 33-38. Sailah, I., T.P. Basuki dan Jenny. 1996. “Fraksionasi serta kertas bekas untuk meningkatkan kualitas kertas” dalam Jurnal Teknologi industri Pertanian, Vol. 6, No. 2, hlm 70-74. Saragih, B dan T. Sipayung. 2000. “Membangun daya saing agribisnis pulp dan kertas dalam era ekolabeling dan otonomi daerah”. dalam Prosiding Seminar: Prospek dan Tantangan Agribisnis Pulp dan Kertas dalam Era Ekolabeling dan Otonomi Daerah. Penyunting Sipayung, T. (dkk) Bogor: Pusat Studi Pembangunan – IPB, hlm 35-42. Schroeder, R. G. 1993. Operations Management: Decision Making in the Operations Function. Singapura: McGraw-Hill Book Co. Sekaran, U. 1992. Research Methoods for Business: A Skill-Building Approach. 2nd Edition. New York: John Willey & Sons, Inc.
189 Seling, I., Spathelf, P. dan Nutto, L. 2000. “Eucalypts dominate Brazil's plantations. What are the issues ?”. [http://www.itto.or.jp/newsletter/v11n3/6.html] Settecase, M. 1999. “The competitiveness assessment model: a thoughtstructuring approach to analysis”, dalam Competitive Intelegent Review, Vol. 10. No. 3, hlm 43-50. Sevola, Y. 2001. “Utilization of wood resources” dalam Hanninen, R. (ed). 2002. Finnish Forest Sector Economic Outlook 2000 2001. Helsinki: Finnish Forest Research Institute. Shapiro, J.F. 1999. “On the connections among activity-based costing, mathematical programming models for analyzing strategic decisions, and the resource-based view of the firm”, dalam European Journal of Operational Research, Vol. 118, Issue 2, October, hlm 295-314 SI [Swedish Industry], 2001. Swedish Industry: Forestry and the Forest Products Industry. Stockholm: the Swedish Institute, Simanjuntak, R. B. 1992. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijaksanaan Pemerintah Terhadap Daya Saing Perusahaan Kelapa Sawit Indonesia. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Simon, H. 2004, “Problema social dan pendekatan pemecahannya”, dalam E. B. Hardiyanto dan H. Arisman (ed), 2004. Pembangunan Hutan Tanaman Acacia Mangium: Pengalaman di PT. Musi Hutan Persada Sumatera Selatan. Palembang: PT. Musi Hutan Persada. Simon, H. dan H. Arisman, 2004, “Sejarah penggunaan lahan di Sumatera Selatan dan pembangunan hutan tanaman Acacia mangium”, dalam E. B. Hardiyanto dan H. Arisman (ed), 2004. Pembangunan Hutan Tanaman Acacia Mangium: Pengalaman di PT. Musi Hutan Persada Sumatera Selatan. Palembang: PT. Musi Hutan Persada. Siry, J.P., T.G. Harris dan S.S. Baldwin, 2003. “How globalization affect the US South’s forest industry”, dipresentasikan dalam 57th Forest Products Society Annual Meeting di Seattle, 25 juni 2003 Smith, M dan M. Maximenko. 2002. “Russian Federation Solid Wood Products Annual 2002”, dalam Global Agriculture Information Network, GAIN Report #RS2009, USDA. Skogsindustrierna, 2005. The Swedish Forest Industries: Facts and Figures 2004. Stockholm: Swedish Forest Industries Federation Skogsindustrierna, 2004. The Forest Industry: An Industry of the Future. Stockholm: Swedish Forest Industries Federation
190 [http://www.forestindustries.se/eng/framtid/default.htm, 8 Juli 2004] Skogsstylersen, 2005. Forest Statistics, Roundwood Price: Pulpwood (pine, spruce, birch). [http://www.svo.se/fakta/stat/ssi/engelska/] Smith, W. B. dan R. M. Sheffield, 2000. “A Brief Overview of the Forest Resources of the United States, 1997”, July Soekotjo, 2004, “Silvikultur hutan tanaman: prinsip-prinsip dasar”, dalam E. B. Hardiyanto dan H. Arisman (ed), 2004. Pembangunan Hutan Tanaman Acacia Mangium: Pengalaman di PT. Musi Hutan Persada Sumatera Selatan. Palembang: PT. Musi Hutan Persada. Soemitro, A. 2004. “Prospek investasi dan analisis finansial ekonomi hutan tanaman”, dalam E. B. Hardiyanto dan H. Arisman (ed), 2004. Pembangunan Hutan Tanaman Acacia Mangium: Pengalaman di PT. Musi Hutan Persada Sumatera Selatan. Palembang: PT. Musi Hutan Persada. Solow, R. M. 1957, “Technical changes and the aggregate production function”, dalam The Review of Economics and Statistics, Vol. 39, hlm 312 - 320 Suhariyanto, 1999. Productivity Growth, Efficiency and Technical ChangeiIn Asian Agriculture: A Malmquist Index Analysis. [disertasi] London: Department of Agriculture and Food Economics, The University of Reading. Suratmadji, T. 2001. “Perkembangan teknologi proses pembuatan pulp & kertas menyongsong era kesadaran lingkungan global: EDP & ECF”, Dalam Seminar Menyongsong Perkembangan 10 Tahun KTT Bumi, Peran Penguasaan Teknologi Lingkungan, Jakarta: BPPT. Syafii, W. 2000. “Perkembangan teknologi dalam industri pulp dan kertas untuk menghadapi era ekolabeling”, dalam Jurnal Teknologi Hasil Hutan, Vol. XIII, No. 1, hlm 26-35. [PT. Tanjungenim Lestari Pulp & Paper] PT. TEL, 1999. Laporan Utama Analisis Dampak Lingkungan Industri Pulp: PT Tanjungenim Lestari Pulp & Paper di Kabupaten Muara Enim, Propinsi Dati I Sumatera Selatan. Jakarta: PT. TEL Thomson, G. 1998. “Market pulp” dalam PIMA’s Papermaker, Vol. 80, No. 2, Feb, hlm 37-39. Tracey, M., M.A. Vonderembse dan J.S. Lim. 1999. “Manufacturing technology and strategy formulation: keys to enhancing competitiveness and improving performance”, dalam Journal of Operations Management, Vol 17, hlm 411428.
191 Tremblay, P. 1994. Comparative Analysis of Technological Capability and Productivity Growth in the Pulp and Paper Industry in Industrialized and Industrialising Countries. [desertasi]. SPRU, University of Sussex Tunalv, C., 1992. “Manufacturing strategy - plans and business performance”, dalam International Journal of Operations and Production Management, Vol. 12 (3), hlm 4–24. [Universidad Austral de Chile] UACh, 2004. Forest Certification in Chile: Description of Chilean Forest Resources. [http://www.uach.cl/proforma/certfor/ingles/forestal_i.htm, 8 Juli 2004] Vanharanta, H. 1994. “Competitive financial benchmarking with hyperknowledge”, dalam Proceedings of the Twenty-Seventh Annual Hawaii International Conference on System Science. Vastag, G. 2000. “The theory of performance frontiers”, dalam Journal of Operations Management, Vol 18, hlm 353-360. Vichnevetskaia, 1997. “Factor Affecting productivity of tropical forest plantations: acacia, eucalypt, teak, pine” Working Paper GFSS/WP/02. dalam Duinker, P.N. (ed). 1997. Global Fiber Supply Study: Working Paper Series. Rome: FAO White, R. W. 1986. “Generic business strategies, organizational context and performance an empirical investigation”, dalam Strategic Management Journal, Vol. 7 (3), hlm 217-231 Whitney, F.L. 1980. The Element of Research. Osaka: Overseas Book Co. Wistara, N.J. 2000. “Kemampuan teknologi pulp dan kertas mutakhir dalam mewujudkan suatu green industry”. dalam Prosiding Seminar: Prospek Dan Tantangan Agribisnis Pulp Dan Kertas Dalam Era Ekolabeling Dan Otonomi Daerah. Penyunting Sipayung, T. (dkk) Bogor: Pusat Studi Pembangunan – IPB, hlm 100-111. World Bank, 1980. Environmental Considerations in the Pulp and Paper Industry. Vancouver: Beak Consultants Limited [World Rainforest Movement] WRM, 1998. “Brazil: the paradigmatic case of Aracruz”, dalam WRM's Bulletin No. 13, July [http://www.wrm.org.uy/bulletin/13/Brazil.html] Wright, H. 2000. “Asian Market Pulp” dalam PPI Market Pulp 12, Mei 2000 Wright, H. 2003. Aracruz for Company's Cost Bar. [www.aracruz.com.br] Wu, N dan R. Coppins, 1981. Linear Programming and Extentions. New York: McGraw-Hill
192 Yeager, K. E. 1997. “Competitiveness through technology and cooperation”, dalam IEEE Power Engineering Review, September Yin, R. 1999. “Production efficiency and cost competitiveness of pulp producers in the Pacific Rim”, dalam Forest Product Journal, Vol 49, No. 7/8, hlm 43-49. Zhu, J., 2000, “Setting scale efficient targets in DEA via returns to scale estimation methods”, dalam Journal of the Operational Research Society, Vol. 51, No. 3, hlm 376-378. Zollinger, J. 2004, “Reducing energy costs”, dalam Pulp & Paper International, edisi March 2004 Power & Energy, [http://www.paperloop.com/db_area/archive/ ppi_mag/2004/03/01.html]
Alamat situs pulp di internet: 1. Pusat statistik negara-negara penghasil pulp utama o Statistics Finland – Finlandia - www.stat.fi o Statistiska Centralbyrån – Swedia - www.scb.se o State Committee of the Russian Federation on Statistics– Rusia www.gks.ru o Statistics Canada – Kanada – www.statcan.ca o Instituto Brasileiro de Geografia e Estatístics (IBGE) – Brazil – www.ibge.gov.br o Instituto Nacional de Estadísticas (INE) – Chili – www.ine.cl o Badan Pusat Statistik (BPS) - Indonesia - www.bps.go.id 2. Asosiasi/ federasi industri pulp negara-negara utama o Finnish Forest Industries Federation (FFIF) – Finlandia www.forestindustries.fi o The Swedish Forest Industries Federation (Skogsindustrierna) – Swedia www.forestindustries.se atau www.skogsindustrierna.org, o Confederation of Associations, Enterprises and Organizations of the Forestry Industrial Complex of the North-Western Federal Area – Rusia www.lemo.ru o Forest Products Association of Canada (FPAC)- Kanada - www.fpac.ca o Associação Brasileira de Celulose e Papel (BRACELPA) - Brazil www.bracelpa.com.br o Corporacion Chilena de la Madera (CORMA) - Chili - www.corma.cl
193 o Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) – Indonesia 3. Lembaga riset/ kajian pulp dan kertas internasional o Food and Agriculture Organization (FAO) – www.fao.org o Finnish Forest Research Institute (METLA) – www.metla.fi o Center for International Forestry Research, (CIFOR) – www.cifor.cigar.org o World Resources International (WRI) – www.wri-ltd.com o Resource Information Systems Inc (RISI) – www.risi.com o Pulp and Paper International (PPI) – www.paperloop.com o www.forestry.utoronto.ca/for201/For_cons/Chile/chile.htm o www.gobdirect.com.sg o www.greenspirit.com/key_issues/the_log.cfm?booknum=6&page=3 o www.infomine.ru/eng/produc/chem/pulp.shtml, o www.rcfa-cfan.org/english/profile.17.htm o www.uach.cl/proforma/certfor/ingles/forestal_i.htm o www.wrm.org.uy/bulletin/13/Brazil.html 4. Pabrik pulp o www.aracruz.com.br o www.domtar.com o www.cascades.com o www.abicon.com o www.m-real.com o www.storaenso.com o www.upm-kymmene.com o www.app.co.id atau www.app.com.sg o www.april.com.sg
194 Lampiran 1.
Pertumbuhan ekonomi (PDB) beberapa negara ASEAN dari tahun 1996 sampai tahun 2004 (dalam %)
Negara
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
Brunei Kamboja Indonesia Laos Malaysia Myanmar Filipina Singapura Thailand Viet Nam
1.01 4.60 7.82 6.89 10.00 6.44 5.85 7.71 5.90 9.34
3.60 -3.99 4.29 3.70 4.70 -13.13 6.91 3.99 7.32 -7.36 5.74 5.77 5.19 -0.59 8.51 -0.86 -1.37 -10.51 8.15 5.83
2.56 10.78 0.79 7.28 6.14 10.92 3.41 6.42 4.45 4.71
2.83 7.03 4.92 5.81 8.55 13.70 4.38 9.41 4.65 6.76
3.00 5.67 3.44 5.76 0.32 9.90 4.52 -2.37 1.94 6.93
3.21 5.48 3.66 5.91 4.12 5.00 4.43 2.25 5.25 7.04
3.20 5.00 4.10 5.90 5.31 5.10 4.70 1.09 6.75 7.24
b.a b.a 4.32 b.a 8.01 b.a 6.15 12.55 6.29 b.a
Sumber: ASEAN Secretariat (http://www.aseansec.org/macroeconomic/aq_gdp21.htm, [1 Maret 2005]) Keterangan: b.a: data belum ada di Sekretariat ASEAN
Lampiran 2. Kontribusi setiap sektor dalam PDB selama tahun 1996-2003 (dalam persen). No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Sektor Pertanian, kehutanan, perikanan Pertambangan Industri pengolahan Listrik, gas, dan air Konstruksi Perdagangan, hotel, restoran Transportasi dan komunikasi Keuangan dan bisnis Jasa lainnya Total PDB (dalam Trilyun Rp)
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
16.67 8.65 25.62 1.29 7.89 16.36 6.56 8.26 8.69 532.6
16.09 8.85 26.79 1.25 7.44 15.86 6.14 8.66 8.92 627.7
18.08 19.61 17.23 16.67 17.09 16.58 12.59 10.00 13.86 13.23 11.91 10.70 25.00 25.99 24.90 24.98 25.01 24.65 1.18 1.22 1.31 1.46 1.81 2.22 6.46 6.15 6.05 5.88 5.74 6.00 15.35 15.99 15.74 16.16 16.08 16.32 5.43 5.02 4.93 5.23 6.05 6.25 7.31 6.48 6.36 6.31 6.56 6.88 8.59 9.54 9.63 9.75 9.38 10.39 955.8 1,099.7 1,264.9 1.279.2 1,433.8 1,594.9
Sumber: BPS (2004)
Lampiran 3. Kontribusi setiap subsektor industri pengolahan terhadap PDB selama tahun 2000-2003 (atas dasar harga berlaku) No Industri Pengolahan 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Total Industri pengolahan bukan minyak Makanan, minuman dan tembakau Tekstil, produk kulit dan alas kaki Produk kayu Kertas dan barang cetakan Pupuk, kimia dan produk karet Semen dan bahan galian bukan logam Logam dasar dan besi-baja Peralatan transportasi, mesin dan peralatan Produk pengolahan lainnya
Sumber: BPS (2004)
2000 20.61 11.31 1.66 0.79 0.56 3.04 0.60 0.78 1.81 0.05
Kontribusi (%) 2001 2002 21.59 21.71 11.86 12.06 1.64 1.61 0.90 0.87 0.60 0.58 2.95 3.01 0.71 0.78 0.80 0.73 2.06 2.01 0.06 0.07
2003 20.84 11.38 1.50 0.82 0.58 3.13 0.78 0.67 1.90 0.07
2003
195 Lampiran 4. Pertumbuhan setiap subsektor industri pengolahan selama tahun 2000-2003 (atas dasar harga berlaku). No Industri Pengolahan 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Total Industri pengolahan bukan minyak Makanan, minuman dan tembakau Tekstil, produk kulit dan alas kaki Produk kayu Kertas dan barang cetakan Pupuk, kimia dan produk karet Semen dan bahan galian bukan logam Logam dasar dan besi-baja Peralatan transportasi, mesin dan peralatan Produk pengolahan lainnya
Pertumbuhan (%) 2000 2001 2002 7.02 3.95 3.68 3.57 2.29 2.55 8.04 4.32 4.55 6.87 (0.24) (0.01) 2.55 (5.71) 2.96 7.15 4.96 7.02 5.47 12.26 10.13 13.05 (0.32) 3.23 43.53 20.27 4.79 12.81 21.02 10.22
2003 3.83 2.14 3.72 1.89 7.87 10.40 6.36 (1.63) 4.27 7.92
Sumber: BPS (2004)
Lampiran 5. Besarnya ekspor hasil indutri selama tahun 2002 sampai tahun 2004 No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Komoditas Tekstil dan produk tekstil Alat listrik, ukur, fotografi Kayu olahan Minyak nabati Barang dari logam (non mulia) Karet alam olahan Kertas dan barang kertas Lainnya Total Non-migas
Nilai ekspor (dalam juta USD) 2002 2003 2004*) 6,963.1 7,102.3 3,471.6 6,271.2 6,304.2 3,119.1 3,251.6 3,161.4 1,535.8 2,548.7 2,910.1 1,778.3 1,902.5 2,493.3 1,587.2 1,560.6 2,089.6 1,387.7 2,097.5 2,007.3 1,022.3 14,134.4 14,811.7 7,744.8 38,729.6 40,879.9 21,646.8
Sumber: Ditjen Perdagangan Luar Negeri Deperindag, 2004 Keterangan: *) data sampai Juni 2004
Lampiran 6. Luas hutan di atas 50 ribu ha di beberapa negara Negara Rusia Brazil Kanada Amerika Serikat R.R. Cina Australia Kongo (Rep Dem) Indonesia Anggola Peru India Sudan Meksiko Bolivia Sumber: FAO (2001)
Areal lahan (ha) 1,688,851 845,651 922,097 915,895 932,743 768,230 226,705 181,157 124,670 128,000 297,319 237,600 190,869 108,438
Luas hutan (ha) 851,392 543,905 244,571 225,993 163,480 154,539 135,207 104,986 69,756 65,215 64,113 61,627 55,205 53,068
Persentase (%) 50.4 64.3 26.5 24.7 17.5 20.1 59.6 58.0 56.0 50.9 21.6 25.9 28.9 48.9
Persentase (%) 2003 2004*) 17.4 16.0 15.4 14.4 7.7 7.1 7.1 8.2 6.1 7.3 5.1 6.4 4.9 4.7 36.2 35.8 100.0 100.0
196 Lampiran 7. Produksi pulp di berbagai negara tahun 2001 sampai 2003 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49
Negara Amerika Serikat Kanada China Sweden Finland Japan Brazil Russian Federation Indonesia India Chile Germany France Norway Portugal Spain South Africa Austria New Zealand Australia Poland Thailand Argentina Czech Republic Italy Korea, Republic of United Kingdom Belgium Slovakia Colombia Mexico Pakistan Iran, Islamic Rep of Viet Nam Romania Turkey Venezuela,Bolivar Rep of Switzerland Philippines Swaziland Slovenia Netherlands Malaysia Egypt Croatia Morocco Korea, Dem People's Rep Bulgaria Kenya
2001 53,025,142 24,909,000 18,381,000 11,386,000 11,168,000 10,735,000 7,390,000 6,021,700 4,665,920 2,603,000 2,668,000 2,103,000 2,460,750 2,273,000 1,806,000 1,733,000 1,903,000 1,536,000 1,501,000 1,206,000 977,000 999,000 785,000 685,000 619,000 554,000 492,000 405,000 671,000 346,000 385,000 335,000 45,000 314,000 268,000 292,000 348,000 279,510 202,000 191,000 153,000 129,500 123,700 120,000 115,000 112,000 106,000 102,000 66,000
2002 52,913,585 25,562,000 18,381,000 11,712,000 11,729,000 10,664,000 7,390,000 6,377,000 4,969,000 2,949,000 2,687,000 2,148,000 2,427,750 2,174,000 1,929,000 1,733,000 1,903,000 1,558,000 1,551,000 1,394,000 1,025,000 999,000 785,000 702,000 614,803 534,000 524,000 466,000 453,000 358,000 385,000 335,000 311,000 314,000 274,000 278,000 265,000 279,736 202,000 191,000 153,000 118,000 123,700 120,000 122,000 112,000 106,000 102,000 87,000
2003 52,541,713 26,003,000 18,381,000 12,095,200 11,948,000 10,519,000 9,104,000 6,605,000 5,482,000 3,212,400 2,759,000 2,450,000 2,315,000 2,255,000 1,935,000 1,906,000 1,804,000 1,625,000 1,419,000 1,170,000 1,029,000 990,000 919,000 721,000 647,000 523,000 504,000 491,000 479,000 379,000 374,000 335,000 324,000 314,000 290,000 278,000 268,000 264,000 202,000 191,000 153,000 124,000 123,700 120,000 119,000 112,000 106,000 102,000 87,000
197 Lampiran 7. Produksi pulp di berbagai negara tahun 2001 sampai 2003 (lanjutan) No. 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75
Negara Ukraine Estonia Belarus Tanzania, United Rep of Serbia and Montenegro Zimbabwe Bangladesh Uruguay Nigeria Sri Lanka Peru Hungary Angola Israel Nepal Myanmar Iraq Tunisia Costa Rica Ethiopia Jordan Honduras Madagascar Algeria Ecuador Cuba
Sumber: FAO 2004
2001 68,000 51,700 58,000 54,000 150,400 42,000 37,000 35,000 23,000 21,100 17,000 22,000 15,000 15,000 15,000 47,000 11,000 10,000 9,800 9,400 8,000 7,000 2,700 2,000 2,200 52,000
2002 68,000 65,300 59,000 54,000 154,000 42,000 37,000 35,000 23,000 21,100 17,000 22,000 15,000 15,000 15,000 18,200 11,000 10,000 9,800 9,400 8,000 7,000 2,700 2,000 2,200 1,000
2003 68,000 67,100 60,600 54,000 43,000 42,000 37,000 35,000 23,000 21,100 17,000 16,000 15,000 15,000 15,000 13,800 11,000 10,000 9,800 9,400 8,000 7,000 2,700 2,000 2,000 1,500
198 Lampiran 8. Ekspor pulp oleh berbagai Negara antara tahun 2001 sampai 2003 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49
Negara Kanada Amerika Serikat Sweden Brazil Finland Indonesia Chile Russian Federation Portugal Spain New Zealand Belgium South Africa Norway Germany France Czech Republic Netherlands Austria Argentina Morocco Swaziland Thailand Japan Slovakia Switzerland Singapore Bulgaria China Romania Croatia Slovenia Mexico Poland India Italy Israel Hungary Malaysia Tunisia United Kingdom Greece Australia Serbia and Montenegro Colombia Belize Denmark Turkey Nepal
2001 11,069,000 5,506,573 2,909,190 3,253,800 1,699,484 1,698,000 2,173,000 1,715,000 982,000 796,800 795,000 711,820 194,800 499,000 433,000 449,055 318,000 266,400 329,000 245,000 63,000 191,000 341,000 93,000 94,000 133,310 86,300 59,850 37,808 25,400 38,000 39,200 37,100 36,100 25,500 23,000 17,082 9,000 0 8,800 2,818 1,568 2,000 26,300 700 500 3,084 0 245
2002 11,944,000 5,477,121 3,281,165 2,579,000 2,114,380 2,245,066 2,152,000 1,800,000 962,000 720,000 768,000 685,333 223,300 485,000 520,000 490,341 332,000 137,200 321,000 258,000 115,000 191,000 191,000 107,000 101,000 124,529 86,300 59,850 45,868 30,100 43,000 26,564 37,100 28,500 25,500 17,176 17,082 12,000 992 7,700 13,364 1,408 3,500 28,200 700 1,430 3,099 1,581 492
2003 11,392,421 5,113,620 3,295,681 2,579,000 2,385,112 2,376,975 2,110,000 1,806,000 961,000 825,000 662,000 610,069 512,703 506,439 465,000 456,253 338,000 309,100 295,000 258,000 214,098 191,000 191,000 167,600 119,000 94,580 86,300 59,850 51,517 48,800 40,000 37,955 37,100 34,200 25,500 18,848 17,082 16,000 8,632 7,700 6,798 4,458 3,000 3,000 1,974 1,839 1,663 1,581 923
199 Lampiran 8. Ekspor pulp oleh berbagai Negara antara tahun 2001 sampai 2003 (lanjutan) No. 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82
Negara Sierra Leone Latvia Moldova, Republic of Uruguay Tanzania, United Rep of Korea, Dem People's Rep Sri Lanka Georgia Ireland Chad Belarus Kazakhstan Philippines Angola Congo, Dem Republic of Somalia El Salvador Iran, Islamic Rep of Bosnia and Herzegovina Uzbekistan Djibouti Sudan Barbados Afghanistan Bhutan Cyprus Guatemala Réunion Albania Central African Republic Dominica Fiji Islands Malta
Sumber: FAO 2004
2001 1,339 0 642 600 50 400 300 297 4,000 248 0 0 300 178 0 23 0 0 44 40 26 0 0 0 19 0 0 2 1 0 1 0 0
2002 624 0 642 600 50 400 300 297 415 248 300 0 200 178 4 20 0 0 44 40 26 0 0 0 19 15 0 2 1 0 1 0 0
2003 904 780 642 600 412 400 300 297 269 248 200 200 200 178 178 73 68 60 44 40 26 25 20 19 19 10 9 2 1 1 1 1 1
200 Lampiran 9. Surplus (defisit) pulp di berbagai negara No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45
Negara Kanada Swedia Finlandia Brazil Chili Russia Indonesia Afrika Selatan Portugal New Zealand Norway Swaziland Morocco Argentina Czech Republic Spain Bulgaria Croatia Romania Singapore Slovakia Latvia Moldova, Republic of Chad Angola Georgia Somalia Sierra Leone Sudan Dominica Armenia Fiji Islands Bolivia Faeroe Islands Benin New Caledonia French Polynesia Togo Iceland Brunei Darussalam Mauritania Zambia Gambia Congo, Dem Republic of Mongolia
Surplus (defisit) 2001 2002 11,039,000 11,839,851 2,732,430 2,990,908 1,512,132 1,967,116 3,017,100 2,157,800 2,136,000 2,122,900 1,752,000 1,838,000 1,134,450 1,419,500 541,700 575,400 817,000 822,000 774,000 762,000 531,000 522,000 191,000 191,000 31,400 88,910 145,770 184,970 184,000 170,000 71,143 (65,000) 49,850 47,850 36,000 41,000 20,300 18,100 28,400 28,400 20,000 16,000 (66) (43) 540 540 248 248 166 166 102 102 23 20 470 582 (2) (2) 1 1 (17,000) (30) (1) (1,600) (1) (1) (7) (7) (2,000) (2,000) (2) (2) (100) (5) (21) (21) (19) (16) (16) (15) (196) (22) (22)
2003 11,036,139 3,026,208 2,198,938 2,157,800 2,095,000 1,857,000 1,647,681 989,487 833,000 657,000 544,000 191,000 186,389 184,970 170,000 66,500 47,850 38,000 33,600 28,400 12,000 729 540 248 160 102 73 34 8 1 (1) (2) (2) (2) (3) (7) (12) (13) (16) (17) (22) (22)
201 Lampiran 9. Surplus (defisit) pulp di berbagai negara (lanjutan) No.
Negara
46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90
Réunion Timor-Leste Azerbaijan, Republic of Malawi Nepal Aruba Netherlands Antilles Burundi Congo, Republic of Luxembourg Madagascar Mozambique Uganda Martinique Bahamas Nicaragua Belize Sao Tome and Principe Gabon Honduras Yemen Ghana Central African Republic Samoa Tanzania, United Rep of Estonia Senegal Malta Afghanistan Paraguay Mali Barbados Bhutan Cameroon Vanuatu Macedonia,The Fmr Yug Rp Myanmar Qatar Kazakhstan Guatemala Mauritius Uzbekistan Kyrgyzstan Panama Oman
Surplus (defisit) 2001 2002 (26) (26) (14) (14) (20) (20) (34) (34) (34) (34) (44) (44) (416) (416) (70) (8) (60) (60) (1) (1) (100) (100) (100) (106) (125) (1,499) (569) (36) (36) (30) (200) (200) (200) (400) (200) (7) (7) (31) (291) (4,406) (2) (300) (300) (350) (350) (196) (383) (400) (400) (400) (400) (800) (664) (487) (487) (1,500) (500) (500) (500) (2,475) (776) (300) (400) (28) (40) (2,310) (200) (800) (269) (1,001) (901) (1,175) (1,175) (1,300) (1,500) (1,500) (2,600) (1,800)
2003 (26) (26) (30) (34) (38) (44) (45) (46) (47) (57) (60) (80) (84) (100) (114) (136) (160) (169) (196) (200) (200) (220) (240) (285) (288) (294) (300) (350) (365) (400) (400) (412) (487) (500) (500) (518) (521) (523) (800) (851) (1,143) (1,175) (1,300) (1,500) (1,800)
202 Lampiran 9. Surplus (defisit) pulp di berbagai negara (lanjutan) No. 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135
Negara Bosnia and Herzegovina Lithuania Libyan Arab Jamahiriya Cuba Djibouti Trinidad and Tobago Cyprus Albania Kenya Niger Bangladesh Zimbabwe Costa Rica Sri Lanka El Salvador Serbia and Montenegro Ethiopia Bahrain Algeria Lebanon Uruguay Kuwait Nigeria United Arab Emirates Ireland Ecuador Jordan Peru Pakistan Viet Nam Syrian Arab Republic Belarus Korea, Dem People's Rep Tunisia Philippines Denmark Malaysia Iran, Islamic Rep of Ukraine Saudi Arabia Egypt Greece Venezuela,Bolivar Rep of Israel Slovenia
Surplus (defisit) 2001 2002 (1,818) (1,818) (3,667) (2,390) (2,157) (2,157) (2,400) (2,400) (3,274) (3,274) (6,300) (3,580) (2,553) (4,118) (4,316) (4,316) (2,900) (1,595) (897) (7,232) (14,700) (5,146) (8,900) (8,900) (9,100) (9,100) (13,185) (9,347) (19,200) (19,200) 10,600 13,200 (11,500) (11,500) (2,000) (353) (8,600) (17,000) (14,000) (14,000) (15,800) (14,200) (14,500) (14,500) (16,500) (16,500) (17,500) (17,500) (25,720) (23,927) (18,300) (19,522) (55,200) (24,700) (26,000) (35,000) (31,100) (31,100) (84,500) (33,200) (20,700) (12,969) (36,700) (38,200) (44,800) (44,800) (37,300) (50,400) (55,700) (54,920) (50,000) (59,457) (60,100) (60,100) (52,500) (48,605) (64,550) (73,030) (93,700) (93,700) (74,700) (61,360) (98,859) (100,142) (123,200) (123,000) (138,668) (138,668) (119,570) (141,631)
2003 (1,818) (2,000) (2,157) (2,400) (3,274) (3,550) (4,118) (4,316) (5,069) (7,293) (8,514) (8,900) (9,100) (9,292) (9,836) (10,000) (11,500) (12,338) (13,620) (14,000) (14,200) (14,500) (16,500) (17,500) (22,139) (23,100) (24,700) (30,000) (31,100) (33,200) (34,243) (39,300) (44,800) (50,400) (58,800) (58,837) (72,331) (72,597) (87,090) (93,700) (98,778) (101,099) (109,000) (138,668) (148,330)
203 Lampiran 9. Surplus (defisit) pulp di berbagai negara (lanjutan) No. 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155
Negara Colombia Hungary Thailand Austria India Australia Belgium Switzerland Turkey Poland Mexico United States of America Netherlands United Kingdom France Japan Korea, Republic of Italy Germany China
Surplus (defisit) 2001 2002 (110,100) (177,400) (171,000) (175,000) (44,000) (230,000) (164,000) (260,000) (230,000) (299,305) (291,000) (337,500) (413,350) (382,023) (309,240) (327,935) (301,000) (366,898) (257,500) (338,900) (608,600) (608,600) (1,072,009) (901,507) (633,500) (895,500) (1,596,060) (1,570,735) (1,782,332) (1,774,594) (2,582,300) (2,379,250) (2,307,300) (2,527,000) (3,310,000) (3,241,464) (3,650,000) (3,915,000) (5,782,442) (6,100,082)
2003 (171,099) (207,000) (230,000) (263,000) (325,079) (340,000) (350,427) (350,783) (366,898) (379,800) (608,600) (765,358) (835,000) (1,466,866) (1,706,905) (2,237,000) (2,450,000) (3,364,281) (4,032,000) (6,858,313)
204 Lampiran 10. Luas areal hutan sebagai pemasok kayu industri pulp tujuh negara utama (tahun 2000) No. 1 2 3 5 6 4 7
Negara Rusia Brazil Kanada Swedia Finlandia Indonesia Chili Total tujuh negara
Luas Hutan*) (juta ha) 770.0 543.9 244.6 27.1 21.9 110.0 15.5 2,039
Perubahan Areal Total*) (ribu ha) 135 (2,309) 1 8 (1,312) (20) (3,052)
Hutan Komersial (juta ha) 252.2*) b.a 119.0# 22.7*) 20.2*) 57.6Ψ 8.9ζ 712
Keterangan sumber: *) : Petrov, 2001 # : Kementrian Sumberdaya Kanada (NRCAN, 2002) ζ : http://www.forestry.utoronto.ca/for201/ For_cons/ Chile/chile.htm § : prakiraan dari kapasitas produksi pulp θ : [http://www.wrm.org.uy/bulletin/ 13/Brazil.html] γ : Borregaard dan Röttger, 2000 Ψ : Dephut, 2004a η : Binakarya Dayakusuma, 2000 b.a : data belum tersedia
Luas Hutan Pulp (juta ha) b.a 2.1θ 24.0§ b.a 8.0§ 4.9η 1.1γ 110
Perubahan Areal Pulp (ribu ha) b.a 140.0 b.a b.a b.a 58.2Ψ 40.0§ 238
205 Lampiran 11. Perusahaan HTI-pulp dan area konsesinya Perusahaan HTI
Lokasi
PT. Tusam Hutan Lestari PT. Aceh Nusa Indrapuri PT. Sumatera Sinar Plywood PT. Inti Indorayon Utama PT. Wirakarya Sakti PT. Arara Abadi PT. Satria Perkasa Agung PT. Riau Andalan Pulp & Paper PT. Musi Hutan Persada PT. Pakerin PT. Menara Hutan Buana PT. Tanjung Redep Hutani PT. Adindo Hutani Letari PT. Surya Hutani Jaya PT. Fajar Surya Swadaya PT. ITCI Hutan Manunggal PT. Nityasa Idola PT. Sinar Kalbar Raya PT. Finantara Intiga PT. Aspex Kumbang PT. Permata Warna Timur PT. Wana Kerta Eka Lestari PT. Maharani Rayon Raya PT. Okaba Rimba Makmur PT. Eucalyptus Tanaman Lestari PT. Merauke Hutan Lestari
DI Aceh DI Aceh Sumatera Utara Sumatera Utara Jambi Riau Riau Riau Sumatera Selatan Sumatera Selatan Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Kalimantan Timur Kalimantan Timur Kalimantan Timur Kalimantan Timur Kalimantan Barat Kalimantan Barat Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Papua Papua Papua Papua Papua Papua
Sumber: BIRO 2001
Areal HTIPulp (Ha) 96,899 111,000 143,000 269,060 78,240 299,975 90,715 159,500 296,400 78,240 268,585 180,300 191,487 183,300 66,659 161,127 113,196 72,315 299,700 92,150 300,000 300,000 206,800 283,500 298,900 300,000
Realisasi Persentase Penanaman (%) (Ha) 24,630 30,660 10,262 49,166 84,703 183,304 816 105,160 193,500 17,250 113,952 77,342 29,116 130,620 88,439 1,753 7,765 33,267 -
25.42 27.62 7.18 18.27 108.26 61.11 0.90 65.93 65.28 22.05 42.43 42.90 15.21 71.26 0.00 54.89 1.55 10.74 11.10 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
206 Lampiran 12. Peringkat PROPER KLH industri pulp dan kertas tahun 2004 No Perusahaan
Lokasi Pabrik Industri
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Jambi Palembang Serang Tangerang Medan, Bekasi, Karawang, Kediri, Riau Riau Probolinggo Mojokerto Kudus Mojokerto Nganjuk Surabaya, Gresik, Kediri Gresik Sidoarjo Tangerang Gresik, Subang, Bogor, Bandung Bandung Bekasi Magelang,
PT. Lontar Papyrus Pulp and Paper Mill,Tbk PT. Tanjung Enim Lestari, Tbk PT. Indah Kiat Pulp & Paper – PT. Indah Kiat Pulp & Paper – PT. Kimsari Paper Mill PT. Fajar Surya Wisesa PT. Pindo Deli II PT. Surya Zigzag PT. Riau Andalan Pulp & Paper, Tbk (Mill) PT. Indah Kiat Pulp & PaperPT. Kertas Leces PT. Eureka Aba PT. Pura Nusapersada PT. Pabrik Kertas Indonesia (Pakerin) PT. Jaya Kertas PT. Suparma PT. Adi Prima Suraprinta PT. Surya Pamenang PT. Surya Agung PT. Tjiwi Kimia, PT. Pelita Cengkareng PT. Surabaya Mekabox PT. Papertech Indonesia PT. Aspex Kumbong PT. Papyrus Sakti Paper Mill PT. Kertas Padalarang PT. Kertas Bekasi Teguh PT. Kertas Blabag
Pulp & Paper Pulp & Paper Pulp & Paper Pulp & Paper Kertas Kertas Kertas Kertas Pulp & Paper Pulp & Paper Pulp & Paper Pulp & Paper Kertas Kertas Kertas Kertas Kertas Kertas Kertas Kertas Kertas Kertas Kertas Kertas Kertas Kertas Kertas Kertas
Peringkat Proper HIJAU HIJAU BIRU BIRU BIRU BIRU BIRU BIRU BIRU BIRU BIRU MERAH MERAH MERAH MERAH MERAH MERAH MERAH MERAH MERAH MERAH HITAM HITAM HITAM HITAM HITAM HITAM HITAM