STRATEGI PENGUATAN MASYARAKAT SIPIL DALAM MEMINIMALISASI DISTORSI PENYUSUNAN APBD
ISA WAHYUDI SOPANA
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
STRATEGI PENGUATAN MASYARAKAT SIPIL DALAM MEMINIMALISASI DISTORSI PENYUSUNAN APBD Abstract The purpose of this studi to identification some distortion occured in budgeting APBD at Kota Malang, and then reform civil public strenghtening strategy to eliminize budgeting reform distortion. This study used kualitatif method. Data which need: APBD and Focus Discussion Group result (FGD). FGD participan are NGO, Academic, LPMK, and DPRD. The result study show: First: At least There were five distortion in budgeting reform: (1) a large part APBD benefit by birocratic, APBD alocation not adjust with problem face, APBD alocation not gender perspectif, APBD acces not transparant to public and public participation very minimal. The second, strategy to eliminize distortion accured is the chage of paradigm development planing from goverment (sentralization) to public (desentralization) with manner: 1) structural approach and 2) sosiocultural approach. Key Word: Civil Public, distortion, budgeting reform. A. Latar Belakang Otonomi daerah telah digulirkan oleh Pemerintah Pusat dengan program desentralisasi. Dimulainya proses desentralisasi pada Januari 2001, memicu perubahan besar dalam tata pemerintahan Indonesia. Cepatnya proses berjalan, kurangnya persiapan dan lemahnya kerjasama antar badan pemerintahan dalam menerapkan undang-undang desentralisasi, berakibat kesimpangsiuran di sana sini. Tidaklah mengherankan bila hasil dari beberapa evaluasi terhadap proses ini kurang konsisten. Di satu sisi terlihat adanya peningkatan dinamisme di daerah karena proses-proses tata pemerintahan telah lebih dekat dengan masyarakat. Terdapatnya indikasi positif terhadap meningkatnya partisipasi masyarakat, pembaruan pegawai negeri mulai berjalan, dan terdapatnya peluang lebih besar untuk memanfaatkan sumber daya publik dengan lebih efektif. Namun di sisi lain, terdapat keprihatinan besar bahwa proses desentralisasi ternyata turut mendukung praktek-praktek korupsi, serta makin mendorong upaya eksploitasi sumber alam Indonesia yang kaya ini, tanpa memikirkan keberlanjutannya. Oleh karena itu harus ada kebijakan yang menuntut pengendalian yang lebih kuat dalam artian perumusan perangkat peraturan yang dapat mengendalikan dan mengarahkan arah pembangunan masyarakat secara umum. Proses penyusunan anggaran, saat ini juga tidak lagi disetir oleh Pusat, melainkan menggantungkan pada keharmonisaan hubungan eksekutif (Pemda) dengan legislatif (DPRD). Penyusunan anggaran juga melibatkan peran serta masyarakat. Inisiatif adanya desentralisasi ini telah memberikan perubahan yang dramatis bagi perkembangan kota/kabupaten yang dikelola oleh pemerintahan daerah terutama dalam hal pengelolaan anggaran. Menurut Tocquevilian, pemerintah daerah merupakan tempat berlatih yang sangat kondusif bagi demokrasi dengan asumsi bahwa di daerah, pemerintah lebih dekat dengan masyarakatnya. Kedekatan pemerintah dengan masyarakatnya dapat dipandang sebagai paket dan bagian dalam upaya reformasi menuju demokrasi (Mac Carney, 1996). Menurut Suhirman dan Hariyadi (2005) dengan desentralisasi, maka pemerintah daerah dan kota harus menyusun perencanaan pembangunannya sendiri. Disamping itu, juga terdapat tiga elemen dalam perencanaan daerah dan kota yaitu: (1) Fisik, (2) Sosial, dan (3) Fiskal, ketiganya merupakan hal yang saling membutuhkan dan tidak bisa dipisahkan. Kesuksesan sebuah proses perencanaan sangat tergantung kepada keseimbangan yang tepat antara ketiganya serta kompetensi dalam menggabungkan ketiga hal tersebut. Sektor fisik merupakan sektor yang dominan dalam perencanaan sampai paruh pertama tahun 60-an, setelah beberapa tahun kemudian, sektor fisik
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
digabungkan dengan kajian mengenai dampak sosial dari perencanaan. Baru kemudian elemen fiskal menjadi pusat perhatian Perhatian terhadap fiskal meningkat seiring dengan meningkatnya kebutuhan terhadap upaya untuk memproyeksikan biaya-biaya dan juga pendapatan (revenues) baik yang dikeluarkan untuk pembangunan maupun rutin (Burchell dan Listokin, 1978). Salah satu fungsi anggaran adalah sebagai alat kebijakan fiskal bagi pemerintah. Sayangnya, selama ini peningkatan kapasitas fiskal lebih diarahkan kepada kemampuannya dalam memperoleh pendapatan, padahal sebelum membahas ke arah sana, pertanyaan yang harus dijawab adalah apakah struktur kelembagaan dari pemerintahan daerah memungkinkan bagi masyarakat (citizenry) untuk menunjukkan preferensinya dan menerima apa yang mereka inginkan dari setiap rupiah yang mereka bayarkan melalui pajak. Langkah penting untuk menilai anggaran adalah dengan menguji dampak fiskal dan ekonomi. Analisis Fiskal dan ekonomi dari anggaran meliputi defisit anggaran, utang serta dampak yang diharapkan dari anggaran tersebut terhadap indikator ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi, dan juga lapangan kerja. Analisis Fiskal merupakan bagian penting dalam analisis anggaran karena kebijakan fiskal merupakan kebijakan untuk mengalokasikan anggaran kepada sektor-sektor dan program-program yang konsern terhadap berbagai kelompok yang terlibat dalam proses-proses pengambilan kebijakan (Shapiro dan Falk, 1999) Penelitian yang dilakukan oleh Prasetyo (2003) di Kota Malang yang menunjukkan hasil bahwa kebijakan yang dibuat oleh eksekutif dan legislatif mengabaikan prinsip-prinsip partisipasi, transparansi dan akuntabilitas publik. Dalam proses penyusunan APBD partisipasi masyarakat masih dalam tahap tokenisme hanya secara formalitas belaka melalui tahapan penentraman, pengiformasian dan konsultasi. Hal ini menyebabkan adanya distorsi dalam proses penyusunan anggaran. Salah satu upaya yang dapat di lakukan adalah membentuk peraturan hukum (Peraturan Daerah) yang mengatur tentang partisipasi rakyat dalam proses penyusunan dan pelaksanaan APBD Kota Malang. Adanya partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan APBD di harapkan akan meminimalisasi terjadinya distorsi dalam penyusunan anggaran. Penelitian lain yang dilakukan oleh Wahyudi dan Sopanah (2004) di Wilayah Malang Raya menunjukan hasil bahwa keterlibatan rakyat dalam mengawasi proses penyusunan dan pelaksanaan anggaran masih sangat kecil (5%) sehingga sangat memungkinkan terjadinya distorsi pada saat penyusunan anggaran. Ketidakefektifan mekanisme partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan APBD secara umum di sebabkan karena tidak adanya sosialisasi dari Pemda, mekanisme partisipasi yang di tempuh hanya formalitas belaka, dan ketidaksadaran dari masyarakat relatif kecil. Hasil lain juga menunjukan bahwa terdapat tiga model partisipasi yang efektif untuk meningkatkan partisipasi masyarakat yaitu: Pendekatan versi pemerintah, Pendekatan versi OMS (Ormas, LSM PT, OKP dll.), dan pendekatan versi multistakeholder. Menurut Wahyudi (2005) di Wilayah Kabupaten Malang menunjukkan setidaknya terdapat lima distorsi yang dapat berupa: sebagian besar anggaran di nikmati oleh kalangan birokrasi, alokasi anggaran yang tidak sesuai dengan problem nyata yang di hadapi, alokasi anggaran yang tidak perspektif gender, tertutupnya akses anggaran kepada publik dan terjadinya kesenjangan antara pendapatan aktual dengan potensinya. Berdasarkan uraian diatas, sangat penting untuk di lakukan penelitian lanjutan sebagai pengembangan penelitian sebelumnya dengan mengambil judul “Strategi Penguatan Masyarakat Sipil dalam Meminimalisasi Distorsi Penyusunan APBD”. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana proses penyusunan APBD di Kota Malang? 2. Distorsi apa saja yang terjadi dalam proses penyusunan APBD di Kota Malang? Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Surabaya Koordinator Jawa Timur
1
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
3. Bagaimana strategi penguatan masyarakat sipil dalam meminimalisasi distorsi penyusunan APBD di Kota Malang? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang di ajukan, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Mendapatkan bukti empiris tentang proses penyusunan APBD Kota Malang selama ini ? 2. Mengidentifikasi berbagai distorsi yang terjadi dalam proses penyusunan APBD di Kota Malang? 3. Menyusun strategi penguatan masyarakat sipil dalam mengeliminasi distorsi penyusunan APBD di Kota Malang? D. Manfaat Penelitian 1. Bagi legislatif diharapkan dapat mendorong untuk membuat Peraturan Pemerintah (Perda) yang mengatur tentang partisipasi publik tata cara penyampaian aspirasi rakyat sehingga mengeliminir terjadinya distorsi dalam penyusunan APBD. 2. Bagi masyarakat secara umum dapat meningkatkan kesadaran politik secara kritis untuk terlibat dalam setiap aktivitas publik khususnya dalam proses penyusunan APBD di Kota Malang sehingga mengeliminir terjadinya distorsi dalam penyusunan APBD. 3. Bagi Non Goverment Organization (NGO) diharapkan dapat memberikan input dalam memahami problematika publik khususnya permasalahan tentang proses penyusunan anggaran (APBD) sehingga dapat meningkatkan kemampuan teknis dalam pemantauan dan advokasi anggaran. E. Tinjauan Pustaka 1. Perencanaan Partisipasi Daerah Dalam Penyusunan APBD Sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UUKN), pemerintah perlu melaksanakan kegiatan perencanaan secara terkoordinasi maka Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BAPPENAS dan Menteri Dalam Negeri membuat Surat Edaran Bersama Nomor 1354/M.PPN/03/ 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Forum Musrenbang dan Perencanaan Partisipatif Daerah bahwa : 1. Tahun anggaran 2004 adalah masa transisi pemerintahan, dimana Pemerintah wajib menyusun Dokumen Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan Pemerintah Daerah wajib menyusun Rencana Program dan Anggaran Daerah (Repetada/Retada/AKUAPBD), yang akan dilaksanakan pada tahun 2005. 2. Pelaksanaan UUKN, memiliki konsekuensi pada perubahan siklus penyusunan Rancangan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (RAPBN), dimana penyusunan rancangan RKP dimulai pada bulan Januari hingga April, sedangkan penyusunan RAPBN dimulai pada bulan Mei hingga Nopember. 3. Penyusunan rancangan RKP dilakukan antara lain melalui forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) dalam rangka sinkronisasi kegiatankegiatan antar lembaga pemerintah pusat dan daerah. 4. Dengan memperhatikan waktu yang sangat mendesak, maka penyesuaian di tingkat daerah akan mulai diterapkan mulai tahun 2005 dengan ketentuan sebagai berikut: a. Musyawarah Perencanaan Pembangunan tingkat Desa/Kelurahan (Musrenbang desa/kelurahan), dilaksanakan sepanjang bulan Januari; b. Musyawarah Perencanaan Pembangunan tingkat Kecamatan (Musrenbang Kecamatan) atau dengan nama lain dilaksanakan sepanjang bulan Februari; c. Musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten/Kota (Musrenbangda Kabupaten/Kota) dilaksanakan sepanjang bulan Maret; d. Musyawarah Perencanaan Pembangunan Provinsi sebagai daerah otonom (Musrenbangda Provinsi) dilaksanakan sepanjang bulan Maret; e. Musyawarah Perencanaan Pembangunan Provinsi (Musrenbang Provinsi) dilaksanakan pada bulan April; Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Surabaya Koordinator Jawa Timur 2
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
f. Mulai pada bulan Mei setiap tahun anggaran, proses Musrenbang di tingkat daerah memasuki tahap penyusunan rencana anggaran dan penyelesaian serta penerbitan dokumen RASKPD. 5. Karena penyesuaian forum Musrenbang di tingkat daerah baru mulai diterapkan pada tahun 2005, maka proses dan tahapan Musrenbang pada tahun 2004 ini tetap berlangsung sesuai dengan jadual yang disepakati antara Pemerintah Daerah dengan DPRD setempat. 6. Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2005 disusun melalui proses pembahasan yang terkoordinasi antara Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas dengan seluruh kementerian/lembaga dan pemerintah daerah melalui dua forum Musrenbang, dengan penjelasan sebagai berikut: a. Musrenbang tingkat Pusat (Musrenbangpus), diagendakan akan diselenggarakan pada tanggal 30-31 Maret 2004; b. Musrenbang tingkat Nasional (Musrenbangnas), diagendakan akan diselenggarakan pada tanggal 19-22 April 2004. 7. Rencana Program dan Anggaran Daerah (Repetada/Retada/AKU-APBD) Tahun 2005 disusun melalui proses perencanaan partisipatif yang melibatkan seluruh unsur pelaku pembangunan di tingkat daerah, sesuai dengan jadual yang disepakati antara Pemerintah Daerah dengan DPRD setempat. 2. Asumsi yang Mendasari Proses Penyusunan APBD Dari sisi proses politik dan kelembagaan, proses penyusunan APBD dilandasi oleh tiga asumsi dasar yaitu: 1) memandang proses penyusunan APBD sebagai proses dalam menjalankan manajemen pemerintahan, 2) birokrat penyusun APBD dianggap tidak mempunyai kepentingan pribadi sehingga dalam penyusunan APBD dianggap mewakili kepentingan umum, dan 3) memandang bahwa suara rakyat telah terwakili oleh lembaga representasi yang telah ada. Asumsi ini tentu saja tidak pernah dikemukakan di depan publik namun dalam praktek, ketiga asumsi ini dianut pada tingkat kognisi dan berpengaruh dalam proses penyusunan APBD. Dengan memandang APBD sebagai proses manajemen pemerintahan maka proses penyusunan APBD dianggap sebagai proses administrasi pemerintahan. Dengan demikian persoalan yang muncul direspon dalam kerangka administrasi dan manajerial. Menurut Gottdiener (1987), pandangan secara lebih luas berarti memandang seluruh persoalan negara sebagai masalah manajerial. Padahal, sebagaimana dikemukakan di latar belakang, APBD merupakan instrumen fiskal. Sebagai instrumen fiskal, maka APBD seharusnya mencerminkan pilihan publik mengenai apa dan berapa masyarakat harus membayar pajak dan retribusi untuk pelayanan langsung dari pemerintah (dari sisi penerimaan) dan berapa besar pemerintah mengalokasikan belanja untuk kepentingan publik (dari segi belanja). Kedua proses ini, seharusnya melewati proses politik yang melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat masyarakat. Asumsi kedua, menganggap birokrat penyusun APBD tidak punya kepentingan pribadi dan karenanya seluruh pertimbangannya dalam penyusunan APBD adalah rasional dan berorientasi pada kepentingan publik. Pandangan ini dikukuhkan dengan berbagai standard normatif kepegawaian yang menyatakan bahwa pejabat/pegawai negeri adalah ‘abdi negara’ dan ‘abdi masyarakat’. Pandangan ini telah dibantah oleh beberapa studi yang menunjukkan bahwa negara dengan biro-bironya bukanlah sebuah entitas yang netral dalam kerangka interaksi antar stakeholder dalam pembangunan. Menurut Niskanen (1971) birokrat sebagaimana juga dengan orang lain, adalah pihak yang memaksimumkan kepuasannya, yaitu gaji, jumlah karyawan, reputasi dan status sosialnya. Karena fungsi utilitas birokrat berkaitan dengan besarnya anggaran, maka seorang birokrat yang berusaha mencapai kepuasan maksimum berarti pula ia merupakan orang yang memaksimumkan anggaran pemerintah. Maksimisasi anggaran ini dapat dilihat dari kecenderungan birokrasi untuk memperbesar anggaran. Birokrasi memperbesar anggaran dengan dua cara yaitu melakukan ekspansi birokrasi dan memaksimumkan pemborosan (McKenzie, 1984). Ekspansi birokrasi dilakukan dengan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Surabaya Koordinator Jawa Timur 3
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
cara memperbesar organisasi, memperbanyak prosedur, dan memasukkan kegiatan yang dapat disediakan pasar menjadi kegiatan yang dimonopoli oleh pemerintah. Sedangkan pemborosan dilakukan dengan cara memperbesar biaya per-unit pelayanan, memperbanyak perjalanan, dan menambah jumlah pegawai untuk menjalankan fungsi pelayanan umum (Paul, 1991). Asumsi ketiga memandang suara rakyat terwakili oleh lembaga representasi yang telah ada. Pemerintah menganggap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) merupakan lembaga representasi di tingkat Kota/Kab sedangkan di tingkat Kel/Desa telah direpresentasikan oleh Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (LPMK) dan Badan Perwakilan Desa (BPD). Dengan mengikutsertakan kedua lembaga tersebut pemerintah merasa sudah mengikutsertakan seluruh komponen masyarakat. DPRD memang mencerminkan representasi masyarakat masyarakat pada tataran politik. Tetapi keberadaan DPRD sebagai representasi politik tidak dapat menyisihkan pelibatan berbagai komponen masyarakat masyarakat dan organisasi profesi dalam proses perencanaan. Sedangkan keberadaan LPMK/BPD sebagai representasi masyarakat layak dipertanyakan. Hal ini dikarenakan LPMK/BPD merupakan lembaga yang diinisiasi oleh pemerintah untuk mendukung berbagai program pemerintah. Dengan kata lain, kelembagaan representasi yang dilibatkan dalam proses penyusunan APBD masih merupakan cerminan dari tatanan kelembagaan di Indonesia yang, meminjam terminologi G.O’Donnell dan Muchtar Mas’ud, masih merupakan negara birokratik (bureaucratic state) dan koorporatis (coorporate state) (Hikam, 1999). 3. Distorsi dalam Proses Penyusunan APBD Distorsi dalam proses penyusunan APBD adalah terjadinya penyimpangan aturan dalam setiap proses penyusunan APBD termasuk didalamnya adalah penghilangan salah satu proses yang seharusnya dilakukan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa proses penyusunan anggaran menggunakan tiga asumsi dasar. Jika asumsi tersebut tidak digunakan maka dapat dipastikan akan menyebabkan terjadinya berbagai distorsi dalam proses penyusunan APBD. Sebagai konsekwensinya, secara konseptual distorsi yang terjadi dapat berupa: pemborosan anggaran untuk kepentingan birokrasi, alokasi anggaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan, alokasi anggaran yang tidak responsif gender, tertutupnya akses terhadap informasi anggaran, rendahnya tingkat akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah dan lain-lain. Terjadinya distorsi dalam proses penyusunan anggaran akan menyebabkan anggaran tidak efektif dan tidak efisien karena fungsi-fungsi anggaran akan menyimpang. Secara teoritis terjadinya distorsi dalam proses penyusunan anggaran akan mengurangi pelayanan publik setidaknya 30%. Hal penting yang dapat dilakukan untuk mengeliminasi distorsi tersebut beserta implikasinya adalah melakukan penguatan masyarakat sipil dalam proses penyusunan APBD. 4. Penguatan Masyarakat Sipil Anggaran sebagai instrumen terpenting dari kebijakan fiskal merupakan formulasi kebijakan untuk mengalokasikan sumber daya publik. Selain itu proses kebijakan untuk alokasi sumber daya publik bukan semata-mata persoalan administrasi dan manajerial. Proses kebijakan harus dipandang sebagai produk dari hubungan sosial yang kompleks sebagai media masyarakat untuk mengartikulasikan ide dan pemikirannya yang kemudian akan menuntut ke arah pemanfaatan sumber daya bersama (allocatory power) dan penegakkan aturan (regulatory power) (Giddens, A., 1984). Dengan demikian, pelaksanaan pemerintahan dan keputusan publik harus dibuat seterbuka mungkin dengan partisipasi aktif dari masyarakat. Anggaran merupakan dokumen kebijakan ekonomi pemerintah yang sangat penting sehingga transparansi dan partisipasi dalam proses penyusunan anggaran menjadi sangat penting. Pentingnya transparansi anggaran karena: (1) Dapat mengidentifikasi sedini mungkin terhadap kelemahan dan kekuatan dari suatu kebijakan (2) Meningkatkan akuntabilitas dalam praktek pemerintahan (3) Meningkatkan kohesi Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Surabaya Koordinator Jawa Timur 4
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
sosial dan komitmen dari setiap stakeholder dalam pilihan-pilihan sosial dari kebijakan anggaran yang saling meniadakan (trade off) (4) Meningkatkan iklim investasi karena adanya keamanan yang tercipta melalui kejelasan dari kebijakan pemerintah serta tindakan-tindakan yang akan dilakukannya (Shapiro et al, 2000). Uraian diatas menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan anggaran serta transparansi sangat di butuhkan untuk meminimalisasi terjadinya distorsi dalam penyusunan anggaran. Karena pentingnya keterlibatan masyarakat dan transparansi maka penguatan masyarakat sipil sangat dibutuhkan. Selama ini proses penyusunan anggaran yang terjadi jauh dari pelibatan masyarakat dan transparansi. Sementara masyarakat sipil tidak dapat berbuat apa-apa untuk melawan hal ini, sehingga diperlukan strategi penguatan masyarakat sipil untuk mengeliminasi terjadinya distorsi anggaran. F. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskritif kualitatif. Lokasi penelitian dilakukan di Kota Malang Jawa Timur yang terdiri dari 57 Kelurahan dan tersebar dalam 5 Kecamatan yaitu Kecamatan Blimbing, Kecamatan Kedung Kandang, Kecamatan Lowok Waru, Kecamatan Sukun, dan Kecamatan Klojen. Data yang di butuhkan adalah APBD dan hasil Focus Discussion Group (FGD). Peserta FGD adalah masyarakat yang pernah terlibat dalam proses penyusunan APBD diantaranya LPMK, LSM, PT, ORMAS, dan beberapa anggota DPRD. FGD dilakukan 5 kali dengan jumlah peserta 93 selama bulan April dan Mei. Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan pendekatan diskriptif . G. Hasil Penelitian 1. Perencanaan Partisipasi dan Proses Penyusunan APBD di Kota Malang Semenjak diberlakukannya Kepmendagri 29/2002 dengan format performance budget, struktur APBD berubah yang terdiri dari tiga komponen utama, yaitu: Pendapatan, Belanja dan Pembiayaan. Sementara Belanja terbagi menjadi dua yaitu belanja aparatur daerah dan belanja pelayanan publik. Sebelum reformasi keuangan daerah dan penganggaran, proses penyusunan APBD secara keseluruhan berada di tangan Sekretraris Daerah. Perubahan aras birokrasi di era reformasi membuat legislatif (DPRD) mempunyai kewenangan yang sama dan keterlibatan masayarakat menjadi faktor domino dalam penyusunan APBD. Eksekutif dan Legislatif membuat Arah Kebijakan Umum (AKU) APBD yang mengacu pada dokumen perencanaan daerah (Renstra, Propeda, Poldas dan Rapetada) serta hasil penjaringan aspirasi masyarakat. Proses penyusunan belanja aparatur dan pelayanan publik dilakukan oleh masingmasing dinas yang terkait pada saat membuat RASK yang telah di sinkronisasikan dengan program usulan masyarakat melalui penentuan strategi dan prioritas APBD. Penjaringan aspirasi masyarakat denga pola buttom up dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) yang terbagi dalam beberapa tahap. Tahap 1: Musrenbang Kelurahan. Ini adalah forum dimana masyarakat mengajukan program-program pembangunan. Lurah bertanggung jawab mengkoordinasikan seluruh proses ini. Jadwal pelaksanaan mestinya bulan Januari Tahap 2: Musrenbang Kecamatan. Program-program yang masuk dari berbagai kelurahan “dimantapkan” dan “dipadukan” dengan kelurahan yang lainnya. Camat bertanggung jawab untuk seluruh proses ini. DPRD dari daerah pemilihat tersebut mengawal proses Musrenbang Kecamatan. Pada tahap ini sangat mungkin terjadi distorsi karena siapa yang memilih dan menentukan jenis dan komposisi program yang akan dibahas dalam Musrenbang Kota/Kab. Jadwal pelaksanaan mestinya bulan Pebruari Tahap 3: Musrenbang Kota/Kab. Semua program yang masuk dibahas dan dikoordinasikan oleh Tim Anggaran (eksekutif). Di sini terjadi penyatuan dan penyamaan program yang berasal dari penjaringan aspirasi masyarakat (bottom-up) dan dari pemerintah dalam bentuk RASK dengan pola (topIkatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Surabaya Koordinator Jawa Timur
5
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
down). Jadwal pelaksanaan mestinya bulan Maret. Pada tahap ini juga sangat mungkin terjadi distorsi karena ada pemilahan program mana yang selanjutnya akan dibahas pada tahap berikutnya. DPRD juga terlibat dalam proses ini maka sangat dimungkinkan terjadi politisasi anggaran dan perjuangan (perebutan) wilayah pembangunan. Tahap 4: Penyusunan Dokumen Rancangan Proyek. Di sini tujuan, kerangka logis, jadual kegiatan dirumuskan. Dokumen Rancangan proyek ini kemudian menjadi Daftar Usulan Program Daerah (DUPDA) yang menjadi bagian integral dari Daftar Skala Prioritas. Tahap 5: Selanjutnya Dokumen Rancangan Proyek ini juga dibawa ke Musrenbang Propinsi dan mestinya dilaksanakan bulan April. Pada tahap ini koordinasi dilakukan oleh Bappeda dan dinilai apakah program-program yang ada cukup biayai oleh Pemkot, Pemprov, Bantuan Luar Negeri atau APBN. DPRD Propinsi dari daerah pemilihan masing-masing mengawal proses tersebut. Tahap 6: Hasil tahap 5 dibawa ke Konsultansi Regional Pembangunan. Di sini programprogram itu dinilai mana yang layak dibiayai Pemda TK I, APBN dan Bantuan Luar Negeri Tahap 7: Hasil tahap 6 dibahas dalam Konsultasi Nasional Pembangunan. Dari sinilah kemudian Daftar Usulan Daerah (DUPDA) dan Daftar Kegiatan Daerah (DUKDA). Hasil tahap 5, 6 dan 7 menjadi Daftar Usulan Program Daerah yang bersama-sama dengan hasil tahap 1 sampai 4 menjadi Daftar Skala Prioritas. Daftar Skala Prioritas juga sudah memasukan Daftar Usulan Kegiatan Daerah (Belanja aparatur) yang disusun oleh Bagian Keuangan Pemda. Integrasi DUPDA dan DUKDA dalam DSP menjadi Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. RAPBD ini kemudian melalui sebuah proses politik di parlemen menjadi APBD yang kemudian ditetapkan oleh sebuah Peraturan Daerah (Perda). Dari semua tahapan tersebut diatas, penyusunan dan pengesahan RAPBD Kota Malang mengalami keterlambatan, hal ini disebabkan karena ada proses politik di tubuh DPRD Kota Malang yang ternyata lebih mementingkan bagi-bagi kekuasaan sehingga penetapan APBD mengalami kemoloran dan baru awal bulan April APBD di tetapkan. Hal ini berdampak kepada tidak terlaksananya program dan kegiatan Pemerintahan Kota Malang sampai dengan akhir bulan Maret 2005 2. Beberapa Masalah dalam Proses Penyusunan APBD Kota Malang Selama ini, proses penyusunan APBD diklaim sebagai proses yang sudah melibatkan masyarakat. Klaim ini pada dasarnya diawali oleh proses penyusunan anggaran secara bottom-up, lewat forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kelurahan dan Kecamatan (Musrenbangkel/kec). Klaim ini layak dipertanyakan, jika kita melihat proporsi forum perencanaan yang melibatkan masyarakat dibandingkan dengan forum-forum perencanaan lainnya melibatkan birokrat. Dari 7 tahapan perencanaan, hanya 2 forum saja yang sebenarnya melibatkan masyarakat, yaitu tahap Musrenbangkel/kec. Lima tahap berikutnya dapat dipastikan jauh dari partisipasi maupun pengawasan masyarakat. Pada dua tahap perencanaan yang dihadiri oleh masyarakat, partisipasi dan representasi masyarakat masih dapat dipertanyakan. Dalam forum Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) terungkap bahwa di tingkat kelurahan dan kecamatan, masyarakat baru menyampaikan aspirasinya setelah aparat pemerintah terlebih dahulu mengemukakan rencana-rencana pembangunan pemerintah di wilayah tersebut. Forum juga lebih banyak dihadiri oleh para elit masyarakat dan pemerintah desa. Kelompok masyarakat miskin serta kaum wanita tidak pernah tersentuh dan justru jarang menghadiri forum perencanaan pembangunan, kalau pun mereka hadir, mereka juga jarang bersuara. Masalah lain yang terjadi dalam proses penyusuanan APBD tahun 2005, adalah: Pertama, dari sisi kesesuaian antara alokasi anggaran dengan AKU yang telah ditetapkan, masih banyak yang tidak sesuai (bisa dilihat dalam anggaran persektor). Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Surabaya Koordinator Jawa Timur 6
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
Kedua, dari sisi peraturan perundang-undangan banyak yang tidak taat. misalnya seperti dalam UU No 17/2003, UU No 1/2004, UU No 32/2004. Dalam beberapa pasal dalam Undang-Undang di atas menjelaskan bahwa APBD Kota Malang jelas mengalami keterlambatan dalam proses penyusunannya, tidak partisipatif, tidak melampirkan dokumen pendukung seperti hasil Musbangkel, UDKP, dan RASK dan sulit diakses oleh publik. 3. Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Malang Secara umum APBD tahun 2005 Kota Malang ini mengalami kenaikan anggaran dibandingkan tahun 2004, adanya kenaikan anggaran ini tentunya akan berdampak pada kenaikan pertumbuhan APBD yaitu pada sisi pendapatan sebesar 19,16 %. (pendapatan 2004 = 331 M sedangkan pendapatan 2005 = 394 M) dan pada sisi belanja sebesar 20,59 % (belanja 2004 = 346 M sedangkan belanja 2005 = 418 M). Pada sisi pendapatan prosentase terbesar penyumbang dana APBD masih berasal dari pusat (297 M) atau 75,40 % sedangkan kemampuan daerah dalam menghasilkan PAD masih relatif kecil yaitu 14 % atau (55 M). Ini menunjukan bahwa Kota Malang masih belum mandiri. Pada sisi belanja prosentase belanja yang digunakan untuk belanja aparatur sebesar 29,43 % sedangkan untuk belanja pelayanan publik sebesar 70,57 %. Meskipun prosentase anggaran banyak digunakan untuk belanja aparatur, namun prinsip anggaran yaitu disiplin anggaran masih belum terpakai terbukti masih ditemukannya duplikasi anggaran pada pos belanja pegawai. Seharusnya pos tersebut sudah dianggarkan pada belanja aparatur tapi pada APBD ini masih dianggarkan pada belanja pelayanan publik sehingga efektifitas dan efisiensi anggran masih belum tercapai. APBD tahun 2005 ini belum mencerminkan keberpihakan pada rakyat terbukti pada dinas yang langsung berhubungan dengan kebutuhan rakyat seperti dinas pendidikan dan dinas kesehatan alokasi dananya masih banyak digunakan untuk belanja administrasi dan umum, misalnya alokasi dinas pendidikan sebesar Rp 106.963.434.321 hanya sebesar Rp 23.411.450.362. (22%) digunakan untuk kegiatan yang langsung berdampak pada rakyat dan pada dinas kesehatan dari alokasi sebesar Rp 8.406.158.975 hanya sebesar Rp 2.017.487.500 (24%) digunakan untuk kegiatan yang langsung berdampak pada rakyat Secara umum dari nilai APBD Kota Malang sebesar Rp 394.869.320.052 dipergunakan untuk belanja aparatur sebesar Rp 123.136.924.409 (29,43%), dalam rangka memenuhi kebutuhan belanja pegawai, belanja pembelian peralatan/barang dan belanja pemeliharaan, sebesar Rp 295.235.395.643 (70,57%) di gunakan untuk belanja pelayanan publik. Alokasi belanja pelayanan publik memang terlihat sangat besar namun dari aloaksi tersebut ternyata 31,96% di gunakan untuk belanja admistrasi umum dan sisanya sebesar 16,37% lah yang benar-benar anggaran untuk rakyat. Kesimpulannya bahwa APBD Kota Malang tahun 2005 belum berpihak pada rakyat dan belum mencerminkan prinsip-prinsip anggaran seperti disiplin, transparan, akuntabilitas, efektif , efisien dan lain-lain. (Lihat lampiran APBD). 4. Distorsi Dalam Penyusunan APBD Kota Malang Sekurang-kurangnya ada lima distorsi dalam proses penyusunan APBD Kota Malang. Kelima distorsi tersebut adalah sebagai berikut: 4.1 Distorsi 1: Terjadinya assimetri anggaran dengan problem nyata yang dihadapi Dari hasil diskusi kelompok terfokus dapat terungkap bahwa problem utama yang dihadapi Kota Malang adalah masalah lingkungan diantaranya penataan tata ruang dan wilayah yang semrawut sehingga menyebabkan berbagai banjir di wilayah Kota seperti Tanjung, Soekarno Hata, Blimbing, Sawojajar dll, kemacetan lalu lintas di berbagai seperti jalan A.Yani, Martadinata, MT Haryono, Gajahyana dll, dan belum tersedianya lapangan kerja yang cukup sehingga masih banyak pengangguran. Akan tetapi problem-problem tersebut tidak tercerminkan dengan baik dalam struktur anggaran Pemerintah Kota Malang. Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Surabaya Koordinator Jawa Timur 7
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
4.2 Distorsi 2 : Sebagian besar dana APBD dinikmati birokrasi Pendapatan APBD Kota Malang sebesar Rp 394.869.320.052 dan Belanja sebesar Rp 418.372.320.052 sehingga terjadi defiist sebesar Rp. 23.503.000.000. Dari total belanja tersebut dipergunakan untuk belanja aparatur sebesar Rp 123.136.924.409 (29,43%), dalam rangka memenuhi kebutuhan belanja pegawai, belanja pembelian peralatan/barang dan belanja pemeliharaan, dan sebesar Rp 295.235.395.643 (70,57%) di gunakan untuk belanja pelayanan publik. Alokasi belanja pelayanan publik memang terlihat sangat besar namun dari aloaksi tersebut ternyata 31,96% di gunakan untuk belanja admistrasi umum dan sisanya sebesar 16,37% yang benar-benar anggaran untuk rakyat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sebagian besar APBD di nikmati oleh kalangan birokrasi yaitu sekitar 83,63%. 4.3 Distorsi 3: Anggaran Tidak Perspektif Gender Anggaran perspektif gender dapat di bedakan menjadi dua yaitu berdasarkan prosesnya dan alokasi anggaran untuk program/kegiatan. Berdasarkan perspektif proses anggaran Kota Malang adalah bias laki-laki, dimana representasi dan artikulasi kepentingan dan kebutuhan perempuan belum diperhitungkan. Format anggaran dan mekanisme pembentukannya potensial untuk menyingkirkan kebutuhan pembangunan salah satu gender. Pada saat proses penyusunannya sedikit sekali gender perempuan yang ikut terlibat didalamnya. Sedangkan di lihat dari perspektif alokasi anggaran untuk program/kegiatan yang perspektif gender hanya sekitar 5%. 4.4 Distorsi 4: Tertutupnya Akses Anggaran Kepada Publik Hal ini dapat di ungkap ketika penulis melakukan kelompok diskusi terfokus (FGD) dengan masyarakat yang pernah terlibat dalam proses penyusunan anggaran. Mereka kesulitan untuk mendapatkan APBD padahal APBD adalah barang publik dan siapapun berhak mengetahuinya. Hal ini juga diperkuat dengan hasil penelitian penulis yang menyatakan bahwa hanya 5% dari total responden yang pernah terlibat dalam proses penyusunan APBD dan dapat mengakses informasi APBD. Catatan kritis APBD Kota Malang Tahun 2005 (MCW, 2005) juga menyebutkan bahwa APBD adalah dokumen publik yang dapat di baca dan di kritisi mulai dari penyusunannya, pelaksanaannya maupun pertanggung jawabannya dan semua hasil pemeriksaan harus bisa di akses oleh publik, namun kenyataan di lapangan sangat sulit untuk mendapatkan informasi di atas. 4.5 Distorsi 5: Minimnya Partisipasi Masyarakat Hasil kelompok diskusi terfokus (FGD) menyimpulkan bahwa partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan APBD Tahun 2005 masih sangat minim. Hal ini juga di dukung dengan data hasil catatan kritis Malang Corruption Watch (MCW, 2005) yang menyebutkan bahwa rakyat berhak berpartisipasi dengan cara memberikan masukan tertulis ataupun lisan. Namun kenyataan di lapangan pemerintah dengan sengaja tidak mensosialisasikan kapan dan dimana ada forum perencanaan pembangunan sehingga masyarakat tidak ikut berpartisipasi. Hal ini disebabkan karena tidak ada payung hukum (perda) tentang partisipasi masyarakat dan kebebasan memperoleh informasi. sehingga proses-preses tersebut semakin mengabaikan masyarakat. 5. Penguatan Masyarakat Sipil Berdasarkan hasil penelitian dapat di simpulkan bahwa distorsi anggaran terjadi bukan semata-mata persoalan administrasi dan manajerial, melainkan juga adanya kesalahan asumsi yang digunakan oleh aparat birokratis. Persoalan yang timbul dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan dianggap sebagai problem administrasi dan manajemen yang dapat direspon dengan tindakan perbaikan sistem administrasi dan manajemen pula. Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Surabaya Koordinator Jawa Timur 8
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
Dokumen anggaran sebagai instrumen kebijakan fiskal untuk mengalokasikan sumber daya publik harus transparan dan melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat yang dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan tersebut. Oleh karena itu, perencanaan pembangunan yang sebelumnya berorientasi ke pemerintah (pusat) sekarang harus berorientasi pada masyarakat (society center). Dengan paradigma ini, maka perencanaan baik dalam jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang mengharuskan adanya governance yang bersifat kolaboratif. Berubahnya paradigma dari pendekatan berpusat pada pemerintah menjadi berpusat pada masyarakat, maka perlu dilakukan penguatan pada masyarakat sipil untuk mengeliminasi terjadinya berbagai distorsi anggaran. Penguatan harus dilakukan, karena praktek politik dan pembangunan di Indonesia telah menempatkan masyarakat dalam posisi yang lemah dan terpinggirkan. Menurut Haryadi dan Suhirman (2001) terdapat dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk menguatkan masyarakat sipil, yaitu: 1) pendekatan struktural dan 2) pendekatan sosiokultural. Pendekatan struktural dilakukan dengan cara mengadvokasikan berbagai instrumen hukum dan kelembagaan yang memberi peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi, mengakses informasi, dan mengontrol akuntabilitas pemerintahan. Instrumen hukum yang sangat penting untuk menjamin partisipasi dan akuntabilitas anggaran adalah undang-undang/peraturan daerah mengenai partisipasi masyarakat dan undangundang/peraturan daerah mengenai hak masyarakat untuk mendapatkan informasi mengenai perencanaan dan pelaksanaan anggaran. Sedangkan instrumen kelembagaan yang penting adalah penumbuhan organisasi lokal dan fungsional yang dapat menampung aspirasi dan menyalurkan kepentingan masyarakat lokal/fungsional sebagai konstituennya. Dengan mengoptimalkan kedua instrumen ini maka kemungkinan terjadinya wacana paralel dapat dihindari. Sedangkan pendekatan sosiokultural dilakukan melalui proses pendidikan, pengorganisasian, dan pendampingan masyarakat agar masyarakat dapat mengakselerasi aspirasi dan kepentingan mereka. 6. Kesimpulan, Keterbatasan dan Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah di jelaskan di atas dapat di simpulkan sebagai berikut: Pertama, Proses penyusunan APBD Tahun 2005 Kota Malang banyak mengalami ketidaksesuaian dengan Arah Kebijakan Umum (AKU) dan tidak taat pada peraturan perundang-undangan, tidak partisipatif, dan sulit diakses oleh publik. Kedua, terjadinya distorsi dalam proses penyusunan APBD Kota Malang Tahun 2005. Paling tidak terdapat lima distorsi yaitu: sebagian besar anggaran di nikmati oleh kalangan birokrasi, alokasi anggaran yang tidak sesuai dengan problem nyata yang di hadapi, alokasi anggaran yang tidak perspektif gender, tertutupnya akses anggaran kepada publik dan minimnya partisipasi masyarakat. Ketiga, strategi untuk mengeliminasi distorsi yang terjadi adalah dengan merubah paradigma dari perencanaan pembangunan dengan pendekatan pemerintah (pusat0 ke pendekatan masyarakat dengan dua cara 1) pendekatan struktural dan 2) pendekatan sosiokultural. Pendekatan struktural dilakukan dengan cara mengadvokasikan berbagai instrumen hukum dan kelembagaan yang memberi peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi, mengakses informasi, dan mengontrol akuntabilitas pemerintahan. Sedangkan pendekatan sosiokultural dilakukan melalui proses pendidikan, pengorganisasian, dan pendampingan masyarakat agar masyarakat dapat mengakselerasi aspirasi dan kepentingan mereka. Keterbatasan dari penelitian ini adalah hanya satu tahun anggaran yaitu APBD 2005 dan satu daerah yaitu Kota Malang saja yang dianalisis sehingga tidak dapat menyimpulkan bahwa selama ini proses penyusunan anggaran banyak terjadi distorsi. Pada saat melakukan diskusi kelompok terfokus hanya fraksi tertentu yang sering hadir memenuhi undangan tersebut. Untuk memperkuat partisipasi masyarakat di harapkan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dapat mengefektifkan perannya dan bersama dengan rakyat melakukan advokasi dalam kerangka meningkatkan fungsi pengawasan. Bagi penelitian selanjutnya dapat memperluas periode pengamatan dan memperluas wilayah penelitian. Disamping Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Surabaya Koordinator Jawa Timur 9
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
itu lebih banyak melibatkan masyarakat dan berupaya menghadirkan para anggota DPRD ketika melakukan diskusi kelompok terfokus.
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Surabaya Koordinator Jawa Timur
10
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
DAFTAR PUSTAKA Burchell, Robert W dan Listokin, David, The Fiscal Impact Handbook, The State University of New Jersey, 1978 Giddens, A., 1984, The Constitution of Society. Cambridge: Polity Press. Gottdiener, M. 1987, The Dcline of Urban Politics: Political Theory and the Crisis ofLocal State, Sage Publications, California. Haryadi, Dedi dan Suhirman, 2005, Distorsi Proses Anggaran dan Penguatan Masyarakat Sipil, Malang Institute of Governance Studies (BIGS), Malang Hikam, M. S.,1996. Demokrasi dan Civil Society, Jakarta: LP3ES . MacCarney, Patricia L. 1996. “Consideration on the Notion of ‘Governance’ – New Directions for Cities in The Developing Countries”, dalam Cities and Governance, Center for Urban and Community Studies McKenzie, 1984. Modern Political Economy: An Introduction to Economics. McGraw-Hill, Inc., Singapore. Malang Corruption Watch (MCW), 2005, Catatan Kritis APBD Kota Malang Muhadjir Noeng, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi IV, Penerbit Raka Sarasin, Jogjakarta, hal. 201 Nawawi, Hadari, 1995, Metode Penelitian Bidang Sosial, Gadjah Mada University Press, Jogjakarta. Niskanen, 1971. Bureaucracy and Representative Government. Aldine. Paul, Samuel. 1991. Public Service Accountability, PRE Working Paper, The World Bank. Prasetyo, Ngesti D., 2003, Studi Identifikasi Pembuatan Kebijakan Bidang APBD di Kota Malang, PP Otoda Brawijaya, Malang. Republik Indonesia, 2003, Undang-Undang No. 17 tahun 2003 Tentang Keuangan Negara _________________, 2004, Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah _________________, 2004, Undang-Undang No. 33 tahun 2004 Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah _________________, 2004, Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 Tentang Keuangan Negara Shapiro, Isaac dan Stefan Falk, 1999, A Guide to Budget Work, Research financially supported by Ford Foundation) Shapiro, Isaac. Folscher, Alta dan Krafchik, Warren, 2000, “Transparency and Participation in The Budget Process”, South Africa : A Country Report. Wahyudi, Isa dan Sopanah, 2004, Strategi Penguatan Partisipasi Masyarakat Dalam Pengawasan Proses Penyusunan Dan Pelaksanaan APBD, Penelitian, Dokumen MCW. Wahyudi, Isa, Menyimak Kasus RAPBD 2005 Kabupaten Malang, Kompas, Jumat, 14 Januari 2005. Surat Edaran Bersama Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BAPPENAS dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1354/M.PPN/03/ 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Forum Musrenbang dan Perencanaan Partisipatif Daerah Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Surabaya Koordinator Jawa Timur
11
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
Judul Penelitian
STRATEGI PENGUATAN MASYARAKAT SIPIL DALAM MEMINIMALISASI DISTORSI PENYUSUNAN APBD
Peneliti 1: Isa Wahyudi, S.Psi Universitas Muhammadiyah Gresik
Peneliti 2 : Sopanah, SE, M.Si Universitas Widya Gama Malang
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Surabaya Koordinator Jawa Timur
12
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
Judul Penelitian
STRATEGI PENGUATAN MASYARAKAT SIPIL DALAM MEMINIMALISASI DISTORSI PENYUSUNAN APBD
Metodologi Penelitian Diskriptif Kualitatif
Bidang Kajian Akuntansi Sektor Publik
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Surabaya Koordinator Jawa Timur
13
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
CURICULUM VITEE PENELITI I I.Data Pribadi Nama
:
Isa Wahyudi, S.Psi
Tempat Tanggal Lahir
:
Demak, 4 Mei 1975
Alamat Rumah
:
Perum Permata Hijau Blok F/97 Malang
Alamat Kantor
:
Jl. Sumatra 101 Gresik Kota Baru (GKB) Gresik
Hand Phone
:
081555878121
E-Mail
:
[email protected]
Agama
:
Islam
Status Perkawinan
:
Menikah
Institusi
:
Universitas Muhammadiyah Gresik
Pekerjaan
:
Staf Pengajar
Pendidikan
:
S1 Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang
Judul Penelitian
:
Strategi Penguatan Partisipasi Rakyat Dalam Pengawasan Proses Penyusunan Dan Pelaksanaan APBD
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Surabaya Koordinator Jawa Timur
14
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
CURICULUM VITEE PENELITI II I.Data Pribadi Nama
:
Sopanah, SE, M.Si
Tempat Tanggal Lahir
:
Brebes, 11 Agustus 1979
Alamat Rumah
:
Jl. Polowijen II No. 5 Malang Jawa Timur
Alamat Kantor
:
Jl. Borobudur No 35 Malang
Hand Phone
:
08155508584
E-Mail
:
[email protected]
Agama
:
Islam
Status Perkawinan
:
Menikah
Institusi
:
Universitas Widya Gama Malang
Pekerjaan
:
Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Widya Gama Malang
Pendidikan
:
1. S1 Fakultas Ekonomi Universitas Widya Gama Malang
:
2. S2 Program Pascasarjana Magister Sains Akuntansi Konsetrasi Akuntansi Sektor Publik Universitas Gadjah Mada Jogjakarta
:
Strategi Penguatan Partisipasi Rakyat Dalam Pengawasan Proses Penyusunan Dan Pelaksanaan APBD
Judul Penelitian
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Surabaya Koordinator Jawa Timur
15