STRATEGI PENGEMBANGAN PERUSAHAAN DAERAH KEBERSIHAN KOTA BANDUNG UNTUK MEWUJUDKAN “BANDUNG BERSIH dan HIJAU” SECARA BERKELANJUTAN I.
Latar Belakang
Kota Bandung merupakan kota terpadat di Jawa Barat. Menurut data dari Badan Pusat Statistik Jawa Barat (2013), jumlah penduduk di kota Bandung mencapai 2.536.649 orang, dengan tingkat kepadatan penduduk mencapai 14.710 orang/km². Jumlah tersebut jauh dari angka ideal. Semestinya, jumlah penduduk ideal adalah 1.000 orang/km². Dari waktu ke waktu jumlah penduduk kota Bandung mengalami peningkatan rata-rata 1,98% setiap tahun. Pertumbuhan penduduk kota Bandung seiring dengan peningkatan pertumbuhan ekonominya. Konsekuensi dari pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi kota Bandung adalah penambahan volume sampah yang terjadi hampir di setiap sudut kota. Peningkatan produksi sampah kota Bandung dari 7.500 m3/hari menjadi 8.418 m3/hari. Jumlah produksi sampah mencapai hampir 11.000 ton/hari. Dari jumlah tersebut, 65% berupa sampah anorganik, ada peningkatan dibanding tahun sebelumnya, yang di dominasi sampah organik sebanyak 60% dan sisanya anorganik (http://www.fokusjabar.com; retrieved 14 Desember 2014). Pada umumnya produksi sampah kota Bandung bersumber dari rumah tangga sebesar 60%; pasar sebesar 20%; rumah makan, restoran dan area lainnya adalah 10% (www.bandung.go.id; retrieved 12 Desember 2014). Sementara itu, pengelolaan sampah hanya mampu mencakup 62,73% dari total. Pelayanan ini tentu sangat tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk kota Bandung (http://ciptakarya.pu.go.id/profil/jabar/bandung.pdf; retrieved 14 Desember 2014). Sistem pengelolaan sampah kota Bandung masih menggunakan pengolahan yang sederhana, yaitu pengumpulan dan dibuang ke tempat pembuangan akhir. Pemilahan dilaksanakan tidak pada tingkat rumah tangga, akan tetapi pada Tempat Pembuangan Sementara (TPS); dan itupun bukan oleh petugas kebersihan akan tetapi dilakukan oleh pemulung sehingga hasilnya tidak optimal. Pengolahan lebih lanjut dilakukan pada di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dengan pengolahan pembakaran dengan insinerator, pengkomposan dan daur ulang menggunakan teknologi sederhana. Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor : 14 Tahun 2011 tentang Perusahaan Daerah Kebersihan Kota Bandung menyebutkan bahwa dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat di bidang pengelolaan persampahan dan peningkatan pendapatan asli daerah, maka diperlukan penyesuaian dengan keadaan terkini. Oleh karena itu, Perusahaan Daerah Kebersihan Kota Bandung memerlukan strategi pengembangan, selain untuk penguatan kelembagaan, juga untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam pengelolaan sampah, sehingga tercipta “Bandung Bersih dan Hijau” Secara Berkelanjutan.
Dr. Mulyaningrum, SE, M.Hum; Proposal Calon Direksi PD Kebersihan Kota Bandung 2015-2019
Page 1
II.
Rumusan Masalah
Secara umum, permasalahan pokok yang dihadapi oleh Perusahaan Daerah Kebersihan Kota Bandung meliputi: a. Jumlah sampah semakin meningkat b. Keterbatasan fasilitas dan infrastruktur pengelolaan sampah: tata ruang/kemampuan alam teknologi c. Keterlibatan masyarakat belum optimal
III.
Keluaran
Strategi pengembangan Perusahaan Daerah Kota Bandung mempunyai keluaran (out put) seperti berikut: a. Visi: tercipta sistem pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan, untuk mewujudkan “Bandung Bersih dan Hijau” secara berkelanjutan b. Misi: mengembangkan kinerja kelembagaan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah dan mencapai pelayanan yang memuaskan bagi masyarakat
IV.
Strategi Pencapaian
Strategi untuk mengatasi permasalahan pengelolaan sampah yang dapat dilaksanakan oleh Perusahaan Daerah Kebersihan Kota Bandung adalah melalui aspek berikut: A. Aspek manajerial: 1. Inovasi manajemen strategis 2. Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi terkini: manajemen data based 3. Control system B. Aspek teknikal 1.
Reduksi sampah: pada umumnya sampah yang dibuang masyarakat tidak dipilah antara organik dan anorganik. Hal ini menyebabkan pengelolaan sampah menjadi lebih sulit dan tidak efesien. Padahal sebaik-baik pengelolaan sampah adalah pengelolaan yang berkelanjutan, yaitu pengelolaan yang dilakukan sejak dari: (a) sumber sampah (b) dilanjutkan di TPS (c) kemudian di TPA. Tahapan tersebut harus dilaksanakan dengan terencana dan dinamis.
Dr. Mulyaningrum, SE, M.Hum; Proposal Calon Direksi PD Kebersihan Kota Bandung 2015-2019
Page 2
2.
Innovasi teknologi: tekhnologi pengelolaan sampah anorganik yang didaur ulang membutuhkan modal sangat besar, sehingga sedikit sekali masyarakat yang mampu melakukan usaha ini. Selain itu, pasar bahan-bahan daur ulang tidak stabil, sehingga seringkali merugikan pengusaha kecil karenakan ketidakstabilan harga jual. Oleh karena itu dibutuhkan standarisasi baku dari pihak Pemerintah Kota Bandung, melalui cara-cara berikut: (a) Mengontrol pasar bahan-bahan daur ulang sampah anorganik; (b) Melakukan berbagai penelitian innovasi teknologi tepat guna, yang bisa diterapkan oleh masyarakat dengan modal relatif kecil; (c) Menyediakan hibah berupa alat dan mesin untuk mendaur ulang sampah anorganik dalam skala kecil; (d) Memfasilitasi masyarakat untuk berhubungan dengan sektor industri yang lebih besar; (e) Membuat jejaring yang mudah diakses oleh siapa saja
3.
Innovasi Tata ruang: berdasarkan berbagai riset, hilir pengelolaan sampah dibagi menjadi 2, yaitu : Hilir sampah anorganik adalah pabrik-pabrik yang berusaha dibidang daur ulang (plastik, kertas, logam dsb) Hilir sampah organik adalah para petani dan peternak yang membuthkan pupuk dan pakan untuk ternak. Pemetaan hulu dan hilir pengelolaan sampah berperan dalam penyelesaian masalah persampahan. Hal ini karena penataan ruang yang salah dapat berdampak kepada sulitnya melakukan pengelolaan sampah pada lahan yang semakin terbatas berbanding dengan luasan kota Bandung 16.730 ha. Meskipun sekarang kota Bandung seperti tidak tertata untuk tata ruang pengelolaan sampah, namun tidak ada kata terlambat dalam membuat kebijakan baru yang mewajibkan setiap individu dan kelompok untuk menyediakan infrastruktur alami di lingkungannya, bahkan kalau memungkinkan di setiap rumah. Pertanian dan peternakan seharusnya menjadi lompatan strategis yang patut dilibatkan untuk melengkapi mata rantai dari pengelolaan sampah. Hulu sampah organik adalah para petani dan peternak baik kecil maupun besar. Pengelolaan sampah organik mereka dapat menghasilkan tepung, bio gas, pupuk organik cair, serta probiotik untuk hewan. Padahal awalnya hanya dijadikan kompos. Metode yang lazim digunakan antara lain: (a) Pengeringan; (b) Dewatering; (c) Fermentasi cairan dan padatan. Semua proses tersebut akhirnya memberikan hasil yang menguntungkan secara ekonomis, berupa pakan ternak, pupuk cair dan energi berupa gas.
Dr. Mulyaningrum, SE, M.Hum; Proposal Calon Direksi PD Kebersihan Kota Bandung 2015-2019
Page 3
4. Rekayasa sosial budaya: sampai saat ini Pemerintah Kota Bandung masih terus berinovasi mencari solusi menangani masalah sampah. Permasalahan menjadi krusial karena ada kemungkinan Bandung menjadi “kota sampah”. Hal ini terjadi antara lain karena: (a) Kesadaran tentang pentingnya peran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah masih rendah. Salah satu indikator rendahnya tingkat kesadaran tersebut adalah produksi sampah yang terus meningkat. (b) Penegakan hukum yang tidak konsisten. Pemerintah kota Bandung dan DPRD kota Bandung telah mengeluarkan kebijakan yaitu Undang-undang No 11 tahun 2005: perubahan UU No 03 tahun 2005 tentang Penyelenggaraan ketertiban, kebersihan dan keindahan. Pada undang-undang tersebut diatur mengenai pengelolaan sampah dan sanksi-sanksi bagi masyarakat yang melanggarnya. Akan tetapi undang-undang tersebut tidak dilaksanakan tidak konsisten. Oleh karena itu diperlukan rekayasa sosial budaya untuk optimalisasi keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sampah. Diperlukan perubahan pola pikir, bahwa tanggung jawab terhadap pengelolaan sampah harus dibagi kepada setiap masyarakat, kelompok-kelompok masyarakat, kepala wilayah, sampai kepada pemimpin negara.
V.
Target Pelaku Kegiatan
Sasaran pelaku kegiatan untuk mewujudkan visi dan misi dari Perusahaan Daerah Kebersihan Kota Bandung adalah semua lini masyarakat harus dibebani tanggung jawab sesuai dengan kapasitas dan fungsinya. Sungguh demikian, dalam hal ini perlu ada perhatian lebih khusus kepada kaum perempuan, terutama yang aktif dalam komunitaskomunitas organisasi, perempuan pelaku bisnis, dan ibu rumah tangga untuk mensosialisasikan program pengelolaan sampah. Hal ini karena peran strategis yang dimiliki kaum perempuan terutama di lingkungan keluarganya, maupun dalam lingkup sosial. VI.
Bentuk Kegiatan
Bentuk kegiatan untuk mencapai visi dan misi Perusahaan Daerah Kebersihan Kota Bandung, baik untuk aspek manajerial maupun aspek teknikal meliputi: (1) Pendidikan; (2) Pelatihan; (3) Magang; (4) Sosialisasi program melalui edukasi kepada seluruh lini masyarakat, pendampingan kepada kelompok masyarakat, simulasi pengelolaan sampah; dan (4) Penegakan hukum atas perundangan yang berlaku. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat dilaksanakan dengan melakukan kerjasama dengan pelaku bisnis, akademisi, lembaga swadaya masyarakat, sekolah, Pusat Studi Lingkungan di beberapa universitas, maupun kelompok peminat lain.
Dr. Mulyaningrum, SE, M.Hum; Proposal Calon Direksi PD Kebersihan Kota Bandung 2015-2019
Page 4
VII.
Indikator Keberhasilan
Indikator keberhasilan dari strategi pengembangan Perusahaan Daerah Kebersihan Kota Bandung dapat diukur menggunakan: A. Reduksi sampah: proses terakhir dari pengelolaan sampah adalah pengolahan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Jika 80% sampah kota Bandung diolah dengan cara-cara yang terstruktur sebagaimana telah dibahas pada bagian atas, akan mengurangi timbunan sampah secara sangat drastis. B.
Efisiensi biaya pengelolaan: jika timbunan sampah adalah 1.500 ton/hari, kemudian diolah maka yang terbuang hanya 10% saja – atau sama dengan 150 ton per hari. Dengan demikian sebanyak 1.350ton sampah telah terolah, jika harga sampah olahan adalah Rp 250/kg saja, maka akan menjadi benefit yang setara dengan Rp 337.500.000/hari = Rp 10.125.000.000/bulan. Bandingkan dengan incinerator besar seperti PLTSa yang bukan menghasilkan, malah memerlukan biaya Rp 7.500.000.000/bulan. PLTSa hanya berkemampuan 700ton/hari, bisa disama artikan biaya (kerugian) yang sebenarnya adalah 15milyar per bulan.
C.
Peningkatan Pendapatan Perusahaan: jika sampah organik diolah akan menghasilkan 30% kompos atau setara dengan 2.250.000 kg. Jika dijual dengan harga terendah Rp 200/kg berarti akan didapat Rp 450.000.000/hari. Jika dijual ke pasar umum nilainya bisa lebih tinggi lagi, harga pasarannya saat ini Rp 500 Rp 600/kg. Sampah juga bisa menjadi alteratif sumber energi.
D.
Perubahan paradigma masyarakat: paradigma masyarakat yang masih memaknai bahwa pengelolaan sampah adalah tanggung pemerintah harus diubah.
VIII.
Penutup
Demikianlah proposal ini saya susun agar dapat dipahami dan ditindaklanjuti oleh pihak-pihak yang terlibat dalam program pengelolaan sampah di kota Bandung. Proposal ini merupakan draft yang masih memerlukan kajian lebih mendalam dan berbagai masukan agar lebih baik. Semoga bermanfaat.
Dr. Mulyaningrum, SE, M.Hum; Proposal Calon Direksi PD Kebersihan Kota Bandung 2015-2019
Page 5