i
STRATEGI PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA HUTAN PAYAU DI TRITIH KULON, KABUPATEN CILACAP, PROVINSI JAWA TENGAH
ANDI RAHMAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
ii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Strategi Pengembangan Kawasan Wisata Hutan Payau di Tritih Kulon, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2014
Andi Rahman C252100154
iii
RINGKASAN ANDI RAHMAN. Strategi Pengembangan Kawasan Wisata Hutan Payau di Tritih Kulon, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah. Dibimbing oleh ISDRADJAD SETYOBUDIANDI dan YONVITNER. Ekosistem mangrove di Kabupaten Cilacap merupakan salah satu sumber daya alam yang penting di pantai selatan Pulau Jawa. Letaknya yang strategis dan memiliki potensi obyek wisata, menyebabkan daerah ini dijadikan sebagai sentra pariwisata. Salah satu obyek wisata mangrove yang memiliki potensi cukup baik dijadikan sebagai pusat pendidikan adalah kawasan wisata hutan payau di Tritih Kulon. Wisata tersebut merupakan daerah penyangga (buffer) Kawasan Segara Anakan yang dilindungi. Namun masih terdapat beberapa permasalahan yang terjadi, yaitu (1) pertambahan penduduk, (2) penebangan/kerusakan mangrove, (3) menurunnya minat pengunjung, (4) minimnya koordinasi stakeholder, (5) minimnya pemeliharaan fasilitas wisata, dan (6) minimnya pendidikan masyarakat lokal. Tujuan dari penelitian ini ialah menyusun strategi pengembangan kawasan wisata hutan payau di Tritih Kulon berbasis daya dukung dan kesesuaian sumberdaya wilayah pesisir. Analisis data yang digunakan dalam peneltian ini adalah analisis trade-off, analisis kesesuaian dan daya dukung kawasan serta strategi pengembangan kawasan wisata hutan payau. Hasil analisis trade-off menunjukkan bahwa skenario ekowisata merupakan pilihan alternatif pertama (93,93), alternatif kedua skenario wanawisata (33,26) dan alternatif ketiga wisata pantai (1,37). Hal ini karena skenario ekowisata menerapkan keseimbangan tiga prinsip dasar yaitu economically profitable, socially acceptable dan environmentally sustainable. Analisis indeks kesesuaian menunjukkan stasiun satu dan stasiun tiga termasuk dalam kategori sangat sesuai (S1) dengan IKW 77%, kategori sesuai (S2) dengan IKW 64% dan 56% terdapat di stasiun empat dan stasiun lima, serta kategori sesuai bersyarat (S3) terdapat di stasiun dua dengan IKW 49%, dengan analisis daya dukung pengunjung menunjukkan terdapat satu usulan track perairan sebanyak 131 orang/hari, dan track daratan yang beraktivitas berjumlah 232 orang/hari. Strategi pengembangan ekowisata di kawasan wisata hutan payau Tritih Kulon berdasarkan skala prioritas lima besar adalah: 1) mengintregasikan peran kelembagaan (stakeholder) dalam membangun komitmen bersama menuju kawasan ekowisata unggulan yang berdaya saing, 2) menegakan hukum melalui kerjasama pengawas dan masyarakat lokal guna terciptanya kawasan wisata hutan payau yang lestari dan berkelanjutan, 3) memperbaiki dan meningkatkan sarana dan prasarana kawasan wisata hutan payau agar tercipta suasana yang nyaman, aman dan memuaskan pengunjung, 4) membuat museum biota dan laboratorium Mangrove Arboretum Center Cilacap (MACCi) sebagai pusat pendidikan ekowisata mangrove, dan 5) memanfaatkan areal pertambakan yang masih produktif untuk budidaya biota mangrove khusus dengan pendekatan silvofishery sebagai ekowisata unggulan. Kata kunci: Mangrove, ekowisata, kesesuaian, daya dukung, Tritih Kulon Cilacap
iv
SUMMARY ANDI RAHMAN. Development Strategy of Brackish Forest Tourism Area in Tritih Kulon, Cilacap, Central Java Province. Supervised by ISDRADJAD SETYOBUDIANDI dan YONVITNER. Cilacap mangrove ecosystem is one of the important natural resource on the south coast of Java . The strategic location and potential tourist attraction, causing this area serve as a center for tourism. One of the attractions of mangrove that has good potential as a center of education is Brackish Forest Tourism Area in Tritih Kulon, Tourism is a buffer zone Segara Anakan Area of protected. However there are some problems that occur, (1) population growth, (2) cutting / destruction of mangroves, (3) declining interest of visitors, (4) lack of coordination of stakeholders, (5) the lack of maintenance of tourist facilities, and (6) lack of local public education. The purpose of this study is to formulate development strategies in tourist areas of brackish forest Tritih Kulon based resource carrying capacity and suitability of coastal areas. Analysis of the data used in this research is a trade-off analysis, analysis of the suitability and carrying capacity of the region and Development Strategy of Brackish Forest Tourism Area in Tritih Kulon. The results of the analysis of the trade-off suggests that ecotourism is an alternative scenario first (93,93), second alternative scenario wanawisata (33,26) and third alternate shore excursions (1,37). This is due to ecotourism scenarios apply three basic principles, namely the balance of economically profitable, socially acceptable and environmentally sustainable. Suitability index analysis showed one station and three stations are included in the category of very suitable (S1) with IKW 77%, the corresponding category (S2) with IKW 64% and 56% contained at four stations and five stations, as well as the corresponding conditional category (S3) contained the two stations with IKW 49%, with visitor carrying capacity analysis indicates there is a track proposals waters 131 people/day, and track land activity totaled 232 people/day. Ecotourism development strategies in Brackish Forest Tourism Area in Tritih Kulon by five major priorities are: 1) integrating the role of institutions (stakeholders) in building a shared commitment towards ecotourism competitive seed, 2) enforce the law through supervisory cooperation and local communities in order to create a tourist area brackish forest conservation and sustainable development, 3) improve and enhance infrastructure swamp forest tourism area in order to create an atmosphere that is comfortable, safe and satisfying visitors, 4) create a museum and laboratory biota Mangrove Arboretum Center Cilacap (MACCI) as mangrove ecotourism education center, and 5) utilizing the farms that are still productive areas for the cultivation of mangrove biota specifically with silvofishery approach as a leading ecotourism. Keywords: Mangrove, Ecotourism, Suitability, Carrying capacity, Tritih Kulon Cilacap
v
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
vi
STRATEGI PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA HUTAN PAYAU DI TRITIH KULON, KABUPATEN CILACAP, PROVINSI JAWA TENGAH
ANDI RAHMAN
Tesis Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
vii
Penguji luar komisi pada ujian tesis: Dr Ir Etty Riani, MS Dr Ir Achmad Fahrudin, MSi
viii
Judul Tesis
Nama NIM
: Strategi Pengembangan Kawasan Wisata Hutan Payau di Tritih Kulon, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah : Andi Rahman : C252100154
Disetujui Komisi Pembimbing,
Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc Ketua
Dr Yonvitner, SPi, MSi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Dekan, Sekolah Pascasarjana IPB
Dr Ir Luky Adrianto, MSc
Dr Ir Dahrul Syah, MSc
Tanggal Ujian: 13 Maret 2014
Tanggal Lulus:
Judul Tesis
: Strategi Pengembangan Kawasan Wisata Hutan Payau di Tritih Kulon, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah : Andi Rahman
: C252100154
Nama NIM
Disetujui Komisi Pembimbing, c
Dr Ir Isdr jad Setyobudiandi, MSc Ketua
Dr~r
SPi MSi
nggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Dekan,
Dr Ir Luky Adrianto, MSc
Tanggal Ujian: 13 Maret 2014
Tanggal Lulus:
2 S MAR 2014
ix
PRAKATA
Puji Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga penelitian yang berjudul ”Strategi Pengembangan Kawasan Wisata Hutan Payau di Tritih Kulon, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah” dapat diselesaikan dengan baik. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah mendukung dan membantu tesis ini, khususnya kepada: 1. Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc selaku Ketua Komisi Pembimbing, dan Dr Yonvitner, SPi, MSi selaku anggota komisi pembimbing atas segala bimbingan, arahan dan motivasinya hingga terselesaikannya tesis ini. 2. Dr Ir Etty Riani, MS dan Dr Ir Achmad Fahrudin, MSi selaku penguji luar komisi ujian tesis atas arahan dan saran perbaikan. 3. Prof Dr Ir Mennofatria Boer, DEA selaku Dosen Evaluator pada pelaksanaan kolokium proposal penelitian. 4. Dr Ir Luky Adrianto, MSc selaku Ketua Program Studi SPL dan seluruh staf pengajar dan bagian administrasi SPL, Mas Dindin dkk. 5. Prof Dr Ir Nahrowi, MSc yang telah merekomendasikan pelaksanaan ujian 6. Rudi Alek Wahyudin, MSi dan Ishartini, MSi serta Nilanto Perbowo, MSc di Biro Perencanaan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang mendukung dan mengijinkan untuk melanjutkan studi magister di SPL IPB. 7. Ir Erwin, MM selaku Kepala Perum Kehutanan Negara (Perhutani) KPH Banyumas Barat Purwokerto, Asper/KBKPH Rawa Timur beserta jajaranya. 8. Instansi Pemerintah Kab. Cilacap (Bappeda, Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Pendidikan Kebudayaan dan Pariwisata, Badan Pusat Statistik, Kesbanglinmas, Kecamatan Cilacap Utara dan Kelurahan Tritih Kulon). 9. Sahabat seperjuangan di SPL IPB Baranangsiang Angkatan 2011 (Tim KKP). 10. Mangrover KeSEMaT, Kemangi dan Undip (Dr. Rudi Pribadi, Aris Priyono, Arief Matsu, Kamto, Gilang, Amrullah, Ganis dkk), serta sahabat Unsoed. 11. Masyarakat sekitar kawasan wisata hutan payau (Pak Sarjono, Bu Ning, Bang Surya Pieh beserta pasukannya dan Om Hartono). 12. Kedua orangtua tercinta (Almarhum), Bapak dan Ibu mertua, pendampingku Dian Ika Ratnawati, ST, SPd dan jagoanku Dafi Aidannur Rahman yang telah memberikan dukungan penuh dan merasakan suka dukanya, serta seluruh keluarga besar atas segala doa dan kasih sayangnya.
Bogor,
Maret 2014
Andi Rahman
x
DAFTAR ISI COVER DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Kegunaan Hasil Penelitian Kerangka Pemikiran 2 TINJAUAN PUSTAKA Definisi: Pesisir, Ekosistem, Mangrove, Wanawisata, Ekowisata dan Wisata Pantai Pesisir Ekosistem Mangrove Wanawisata Ekowisata Wisata Pantai Analisis Trade-off Analisis Kesesuaian dan Daya Dukung 3 METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Kerangka Penelitian Alat dan Bahan Metode Pengumpulan Data Metode Penentuan Stasiun Metode Sampling Analisis Data Analisis Trade-off Analisis Kesesuaian Analisis Daya Dukung Analisis Strategi Pengembangan 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Sejarah Kawasan Wisata Hutan Payau Kondisi Umum Geografis dan Administrasi Kependudukan Tingkat Pendidikan Kondisi Lingkungan Iklim Topografi Pasang Surut Suhu
i xvii xviii xix xix 1 2 2 2 3 5 5 5 5 5 6 6 6 7 9 10 10 11 11 12 14 14 20 21 22 25 25 25 25 25 25 25 26 26 26
xi
Kondisi Bioekologi Mangrove Moluska dan Krustasea Ikan Reptil dan Mamalia Burung Kondisi Sosial Ekonomi HASIL DAN PEMBAHASAN Bioekologi Kesehatan Mangrove Produktivitas Ekosistem Mangrove Kualitas Habitat Sosial Ekonomi Penerimaan Daerah Tenaga Kerja dan Pendidikan Keuntungan Sektor Informal Kepuasan Masyarakat dan Pengunjung Potensi Kunjungan Sarana dan Prasarana Harapan Kelembagaan Lembaga Pengelolaa Kebijakan Perlindungan Partisipasi Masyarakat Analisis Trade-off Analisis Kesesuaian Kawasan Analisis Daya Dukung Kawasan Analisis Strategi Pengembangan Ekowisata Kesimpulan
5
26 26 27 27 27 27 28 31 31 34 36 37 37 37 38 38 38 39 39 39 39 40 40 41 48 50 51 63
DAFTAR TABEL 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 3.6 3.7 3.8 3.9 4.1 4.2 4.3 5.1 5.2
Alat dan bahan yang digunakan dalam pengumpulan data Matrik dampak skenario Kriteria penilaian indeks pencemaran Perhitungan biomassa Matriks kesesuaian lahan kategori wisata mangrove Potensi ekologis pengunjung dan luas area Faktor strategi internal Faktor strategi eksternal Matriks SWOT Data pengunjung Data kunjungan obyek wisata Kisaran jarak lokasi wisata dengan beberapa kota terdekat Peran mangrove di lokasi penelitian Kerapatan mangrove dan INP
11 16 18 19 21 22 23 23 23 28 28 29 31 32
xii
5.3 5.4 5.5 5.6 5.7 5.8 5.9 5.10 5.11 5.12 5.13 5.14 5.15 5.16
Estimasi biomassa kayu mangrove Estimasi biomassa kerang Estimasi bobot ikan Identifikasi stakeholder pengembangan kawasan wisata hutan payau Dampak skenario terhadap aspek bioekologi, sosial ekonomi dan Kelembagaan Matriks dampak untuk masing-masing skenario Pembobotan kriteria pengembangan Nilai skenario menggunakan bobot Indeks kesesuaian wisata mangrove Nilai daya dukung kawasan Matriks faktor strategi internal (IFAS) Matriks faktor strategi eksternal (EFAS) Formulasi Strategi Pengembangan Ekowisata Formulasi Rangking Pengembangan Ekowisata
34 35 36 41 43 44 45 46 48 50 55 55 57 58
DAFTAR GAMBAR 1.1 2.1 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 3.6 3.7 5.1 5.2 5.3 5.4 5.5 5.6 5.7 5.8 5.9
Kerangka pemikiran Langkah-langkah dalam analisis trade-off Lokasi penelitian Kerangka penelitian Skema pengambilan contoh acak sistematik Denah plot pada masing-masing stasiun Pengukuran diameter pohon setinggi dada dan prosedur pengukuran diameter pohon Teknik pengukuran kerang Kriteria penentuan kebijakan Kerapatan mangrove kategori pohon, anakan dan semai Biomassa kayu mangrove kategori pohon Biomassa dan kepadatan kerang Bobot ikan Tingkat kepentingan dan pengaruh stakeholder Pembobotan kriteria Rangking kriteria Kesesuaian ekowisata Usulan tracking
DAFTAR LAMPIRAN
2 6 9 10 12 12 13 13 15 33 35 35 36 42 46 47 49 51
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang Ekosistem mangrove sebagai salah satu sumber daya alam yang mempunyai peranan yang cukup penting, secara ekologis berfungsi sebagai tempat asuhan (nursery ground) dan tempat pemijahan (spawning ground) bagi berbagai jenis hewan akuatik yang mempunyai nilai ekonomis penting, seperti ikan, udang dan kerang-kerangan (Nontji 2005). Namun menurut World Bank (2001) dalam Sulistiyowati (2009), setiap tahunnya hutan mangrove di Indonesia mengalami penurunan luas dengan laju penurunanan sebesar 43% per tahunnya. Ekosistem mangrove di Kabupaten Cilacap merupakan salah satu sumber daya alam yang penting di pantai selatan Pulau Jawa sebagai sumberdaya ekonomi. Letaknya yang strategis dan memiliki potensi obyek wisata, menyebabkan daerah ini dijadikan sebagai sentra pariwisata, baik wisata alam, wisata budaya atau peninggalan sejarah. Obyek wisatanya antara lain Wisata Hutan Payau Tritih Kulon, Pantai Teluk Penyu, Rawa Bendungan, Gunung Selok, Benteng Pendem, Segara Anakan dan Nusakambangan. Obyek wisata temporernya Pantai Widara Payung, Pantai Pangandaran, Pantai Buton, Pantai Jetis, Pantai Karang Pakis, Pantai Srandil, Pantai Ketapang dan Pantai Karangkandri. Fasilitas pendukung berupa Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN), Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI), Pusat Perbelanjaan, Terminal Angkutan Antar Kota, Stasiun Kereta Api dan Bandara Tunggul Wulung. Potensi tersebut membuat wisata yang ada, dapat terintregasi secara simultan, berangkai dan bervariasi satu sama lainnya. Salah satu obyek wisata mangrove yang memiliki potensi cukup baik dijadikan sebagai pusat pendidikan mangrove adalah kawasan wisata hutan payau di Tritih Kulon. Wisata tersebut merupakan daerah penyangga (buffer) Kawasan Segara Anakan yang dilindungi. Lokasinya dapat ditempuh melalui jalan darat, sungai maupun jalan laut. Keunikan kawasan wisata hutan payau memiliki beberapa anak sungai terpisah yang bermuara ke Teluk Penyu dan Kampung Laut. Awalnya kawasan wisata hutan payau di Tritih Kulon adalah bekas lahan tambak yang terlantar seluas tiga hektar kemudian pada tahun 1975 ditanami mangrove, tahun 1984 dijadikan sebagai kawasan wisata dengan luas 10 ha yang terletak di petak 57. Saat ini kawasan wisatanya dikembangkan seluas 172 ha. Pengelolaannya oleh Perum Perhutani Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Tritih, BKPH Rawa Timur, KPH Banyumas Barat Unit I Jawa Tengah. Sejauh ini di kawasan wisata hutan payau di Tritih Kulon sudah ada upaya konservasi dari pihak Perhutani namun dirasakan masih belum optimal dan lambat laun mengalami kerusakan. Luas kawasan mangrove di Cilacap menurut Ardli dan Wolff (2008) mengalami penurunan dari 15.827,6 ha (tahun 2004) menjadi 8.036,9 ha (tahun 2012) (Listyaningsih et al. 2013). Permasalahan selain kerusakan mangrove adalah kerusakan sarana prasarana wisata, namun dengan kondisi tersebut kawasan hutan payau ini masih diharapkan memberikan konstribusi ekonomi dengan kelestarian yang terjaga. Oleh karena itu maka harus dilakukan berbagai upaya untuk mengembangkan lokasi tersebut sebagai kawasan wisata unggulan yang bermanfaat.
2
Perumusan Masalah Kebijakan perhutani dan pemerintah daerah Kabupaten Cilacap dalam rangka pengelolaan pembangunan kawasan wisata hutan payau belum berjalan secara optimal. Hal ini diindikasikan terdapat beberapa permasalahan yang krusial, yaitu 1) pertambahan penduduk yang terus meningkat di Kecamatan Cilacap Utara mencapai 51.098 jiwa (tahun 1991) menjadi 68.861 jiwa (tahun 2011) dengan jumlah penduduk tertinggi sebesar 17.231 jiwa (tahun 2011) di Kelurahan Tritih Kulon, 2) penebangan/kerusakan mangrove terus terjadi seiring dengan pertambahan penduduk, desakan kebutuhan ekonomi yang terus meningkat dan manfaat kawasan wisata hutan payau dirasakan masih relatif kecil terhadap kesejahteraan masyarakat lokal, 3) menurunya minat pengunjung yang terus meningkat disebabkan menurunnya kualitas ekosistem dan rusaknya sarana prasarana wisata, 4) minimnya koordinasi stakeholder disebabkan pembagian kewenangan terhadap pemanfaatan kawasan wisata hutan payau belum ada titik temu diantara pemangku kepentingan, 5) minimnya pemeliharaan fasilitas wisata hutan payau karena masih terbatasnya dukungan anggaran dan belum dijadikan sebagai prioritas wisata unggulan di tingkat kabupaten, provinsi dan pusat, 6) minimnya pendidikan masyarakat lokal menjadikan pengetahuan tentang pemanfaatan mangrove di kawasan wisata hutan payau berbasis keberlanjutan belum berjalan dengan baik, hal ini disebabkan program dan kegiatan sosialisasi pemanfaatan ekosistem mangrove belum dilakukan secara simultan oleh perhutani, pemerintah daerah maupun masyarakat lokal itu sendiri sehingga wadah kelembagaan masyarakat (mangrover lokal) yang berjiwa konservasi belum terbentuk. Berbagai masalah yang ada dan belum optimalnya pemanfaatan kawasan wisata hutan payau di Tritih Kulon Kabupaten Cilacap tersebut maka harus dilakukan rencana aksi menyusun formula strategi pengembangan yang tepat dengan menerapkan prinsip-prinsip ekologis, sosial ekonomi dan lembaga yang berbasiskan alam, mendukung konservasi, bersifat edukasi, berkelanjutan serta memberikan kepuasan kepada pengunjung dan keuntungan bagi masyarakat lokal sehingga keberadaan kawasan wisata hutan payau Tritih Kulon menjadi kawasan wisata unggulan segera terwujud. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini ialah menyusun strategi pengembangan kawasan wisata hutan payau di Tritih Kulon berbasis daya dukung dan kesesuaian sumberdaya wilayah pesisir. Kegunaan Hasil Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat: 1. Memberikan masukan strategi pengembangan kawasan wisata hutan payau kepada Perhutani, Pemerintah Daerah (Dinas Pariwisata, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Dinas Kelautan dan Perikanan) Kabupaten Cilacap selaku pengambil kebijakan. 2. Memberikan gambaran potensi kawasan wisata hutan payau di Tritih Kulon kepada stakeholder terkait dalam mengelola kawasan wisata dengan menerapkan prinsip-prinsip ekologis, sosial ekonomi dan lembaga yang berbasis konservasi, bersifat edukasi, berkelanjutan dan kesejahteraan.
3
Kerangka Pemikiran Penelitian ini memberikan gambaran strategi pengembangan kawasan wisata hutan payau di Tritih Kulon yang mengalami kerusakan ekosistem mangrove dan infrastruktur. Secara sistematis kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Output
Harapan
Masalah
Pertambahan Penduduk Penataan Lahan/ kawasan Penebangan/ Kerusakan Mangrove
Peningkatan kualitas lahan
Optimalisasi Pemanfaatan Lahan/Prasarana
Menurunya Minat Pengunjung
Analisis Perbaikan Sarana Prasarana
Minimnya Koordinasi Stakeholder Dukungan Anggaran
Perekonomian Masyarakat Meningkat
Sosialisasi Ekosistem
Keseimbangan Ekosistem
Minimnya Pemeliharaan Fasilitas Wisata
Minimnya Pendidikan
Gambar 1 Kerangka pemikiran
Skenario Strategi Pengembangan Wisata
Pembangunan Wisata Hutan Payau Yang Berkelanjutan
4
5
2 TINJAUAN PUSTAKA
Definisi: Pesisir, Ekosistem, Mangrove, Wanawisata, Ekowisata dan Wisata Pantai Pesisir Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Sedangkan Perairan pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau, dan laguna (UU RI No. 1, 2014). Ekosistem Ekosistem adalah kesatuan komunitas tumbuh-tumbuhan, hewan, organisme dan non organisme lain serta proses yang menghubungkannya dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas (UU RI No. 1, 2014). Mangrove Kata mangrove sendiri menurut Hogart (1999) bahwa vegetasi mangrove yaitu tumbuhan berkayu maupun semak-belukar yang menempati habitat antara daratan dan laut yang secara periodik tergenangi air pasang. Mastaller (1997) in Noor dkk (1999) menyatakan mangrove berasal dari bahasa melayu kuno mangimangi. Wana Wisata Wana wisata adalah objek-objek alam yang dibangun dan dikembangkan oleh Perum Perhutani sebagai objek-objek wisata yang terletak dalam kawasan hutan produksi atau hutan lindung secara terbatas dengan tidak mengubah fungsi pokok (Perhutani, 1989). Direktorat Jenderal PHPA (1979), menyatakan bahwa tujuan pengelolaan hutan yang memanfaatkan wilayah kerja Perum Perhutani bagi kegiatan wisata alam adalah: 1. Membantu pemerintah dalam penyediaan tempat rekreasi yang sehat di dalam hutan. 2. Menampung dan mengembangkan minat masyarakat terhadap rekreasi hutan alam. 3. Memanfaatkan segala potensi hutan yang ada, termasuk keindahan, keunikan, dan kenyamanan guna kepentingan rekreasi dan kegiatan-kegiatan yang dapat menunjang pengembangan pariwisata. 4. Membina rasa cinta alam dan lingkungan pada masyarakat agar mereka dapat meningkatkan kualitas lingkungan dan kehidupan. 5. Menyediakan tempat bagi pengembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan, tanpa mengurangi fungsi hutan.
6
Ekowisata Ekowisata merupakan salah satu usaha yang memprioritaskan berbagai produk-produk pariwisata berdasarkan sumberdaya alam, pengelolaan ekowisata untuk meminimalkan dampak terhadap lingkungan hidup, pendidikan yang berasaskan lingkungan hidup, sumbangan kepada upaya konservasi dan meningkatkan kesejahteraan untuk masyarakat lokal (World Tourism Organization 2002). Sedangkan menurut Beeton (2000) ada tiga unsur utama ekowisata yaitu: 1. Naturebased Berkaitan dengan keberadaan flora dan fauna suatu kawasan yang dapat diasosiasikan dengan lingkungan. 2. Educative Wisatawan dapat memahami kawasan yang dikunjungi sebagai bagian dari pertimbangan dan tanggungjawab kelestarian lingkungan dimasa datang. 3. Sustainable management. Meliputi daya dukung kawasan terhadap jumlah dan perilaku pengunjung terhadap aturan-aturan yang harus dipatuhi selama melakukan kunjungan wisata. Wisata Pantai Menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 2009, wisata pantai diartikan sebagai wisata yang memanfaatkan potensi sumber daya alam pantai beserta komponen pendukungnya, baik alami maupun buatan atau gabungan keduanya itu. Perjalanan wisata dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata dalam jangka waktu sementara. Analisis Trade-off Analisis trade-off menurut Brown et al. (2001) merupakan sebuah proses yang melibatkan stakeholder dalam mempertimbangkan strategi-strategi pengelolaan yang menentukan prioritas. Proses ini merupakan alat yang dapat membantu mengambil kebijakan dalam upaya pengelolaan suatu kegiatan. Langkah-langkah dalam analisis tersebut disajikan seperti pada Gambar 2.1. Analisis stakeholder
Membangun alternatif skenario
Menyepakati kriteria pembangunan dengan para stakeholder Kuantitas skenario
Para stakeholder menyatakan prioritas
Merangkai alternatif kebijakan secara partisipatif
Gambar 2.1 Langkah-langkah analisis trade-off
7
Analisis ini dikenal sebagai sistem pendukung keputusan (decision support system) diantara indikator kunci keberlanjutan dalam alternatif skenario kebijakan. Hasil analisis trade-off memiliki kekuatan prediktif yang lebih tinggi dibanding beberapa model eksploratif dan prediktif. Masukan dari stakeholder digunakan untuk mengidentifikasi dimensi kritis dari masalah ekonomi, ekologi dan sosial, berupa kriteria-kriteria berkelanjutan dari sistem pengelolaan sumberdaya. Brown et al. (2001) mengkategorikan stakeholder sebagai berikut: 1. Stakeholder primer, yakni mempunyai pengaruh rendah terhadap hasil kebijakan tetapi kesejahteraannya penting. 2. Stakeholder sekunder, yakni keputusan yang dibuat sebagian besar dari pengambilan kebijakan. 3. Stakeholder eksternal, yakni individu atau kelompok yang dapat mempengaruhi hasil dari suatu proses pengambil keputusan, tetapi kepentingannya tidak begitu penting. Analisis Kesesuaian dan Daya Dukung Analisis kesesuaian didasarkan pada potensi sumberdaya yang ada dan parameter kesesuaian. Kegiatan pemanfaatannya selalu memperhatikan daya dukung lingkungan untuk keberlanjutannya. Menurut Bahar (2004), daya dukung adalah konsep dasar yang dikembangkan untuk kegiatan pengelolaan suatu sumberdaya alam yang lestari, melalui ukuran kemampuannya terutama untuk mencegah kerusakan. Menurut Undang-undang No. 23 tahun 1997 daya dukung hutan mangrove adalah kemampuan sumberdaya hutan mangrove untuk mempertahankan fungsi dan kualitasnya guna memberikan pelayanan pengalaman wisata alam yang dinginkan. Prinsip daya dukung ini akan menjadi pedoman dalam perencanaan kegiatan wisata, sehingga keharmonisan antara sendi-sendi ekologi dan tujuan wisata tetap bisa terbina secara berkelanjutan.
8
9
3 METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan bulan Maret-April dan Agustus 2013 dilokasi kawasan wisata hutan payau di Tritih Kulon Kabupaten Cilacap Provinsi Jawa Tengah. Penentuan lokasi penelitian didasarkan pada luas area wisata yang sudah beroperasi sebesar 10 ha dan luas area pengembangan wisata sebesar 172 ha. Penentuan setiap stasiun penelitian sudah diwakili dari ruang lingkup area wisata, dipertajam dengan melakukan survei awal berupa pengamatan kondisi ekosistem mangrove, aksesibilitas dan posisi geografis. Setiap stasiun lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.1.
Gambar 3.1 Lokasi penelitian
10
Kerangka Penelitian Adapun kerangka penelitian ini adalah (1) meneliti dan menganalisis kondisi ekologi, sosial ekonomi dan kelembagaan, (2) mengidentifikasi dan memetakan bentuk pengelolaan yang terkait dengan kebijakan pengelolaan wisata hutan payau, (3) menentukan kriteria dan skenario kebijakan pengelolaan, (4) menentukan bobot kriteria, dan (5) menentukan prioritas skenario kebijakan dan (6) menyusun strategi pengembangan kawasan wisata hutan payau. Kerangka penelitian disajikan pada Gambar 3.2. Survei Observasi Dokumentasi
Kawasan Wisata Hutan Payau Di Tritih Kulon Kab. Cilacap
Kondisi Saat ini
Kriteria: Bioekologi - Kesehatan mangrove - Produktivitas ekosistem - Kualitas habitat - Potensi objek kunjungan - Daya dukung biomassa Sosial ekonomi - Penerimaan daerah wisata - Jumlah tenaga kerja - Keuntungan sektor informal - Kepuasan - Potensi Kunjungan Kelembagaan - Lembaga pengelola - Kebijakan Perlindungan Ekosistem - Partisipasi Masyarakat
Pustaka Wawancara
Review Kebijakan Kawasan Wisata Hutan Payau
Bentuk Pengembangan Kawasan Wisata Hutan Payau
Kerapatan Ketebalan Jenis Pasut Objek biota Panjang track
Wawancara Diskusi
Analisis Kesesuaian dan Daya dukung
Perumusan Strategi Pengembangan Kawasan Wisata Hutan Payau
Pemetaan Bentuk Pengembangan
Penentuan Kriteria dan Skenario
Skenario: Wanawisata Ekowisata Wisata Pantai
Penentuan Bobot Kriteria
Wawancara Diskusi
Penentuan Prioritas Skenario (Simulasi)
Multi Criteria Analysis (MCA)
Gambar 3.2 Kerangka penelitian Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam pengumpulan data primer meliputi survei, observasi lapangan dan dokumentasi. Adapun alat dan bahan yang dibutuhkan dalam pengumpulan data disajikan pada Tabel 3.1.
11
Tabel 3.1 Alat dan bahan No.
Alat dan Bahan
1
Tali
2 3 4 5 6 7
Rollmeter Jangka sorong GPS Kamera Tongkat Buku identifikasi mangrove Kuisioner
8
Kegunaan Menentukan stasiun transek 1x1, 5x5 dan 10x10 Mengukur jarak tanaman Mengukur diameter batang mangrove Menentukan koordinat lokasi penelitian Mengambil dokumentasi Menentukan kedalam substrat Mengidentifikasi jenis spesies mangrove Mengetahui pendapat masyarakat mengenai ekowisata mangrove
Metode Pengumpulan Data Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif eksploratif. Metode deskriptif merupakan suatu metode yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data dari hasil interview, catatan lapangan, foto, dokumen pribadi, dokumen resmi, ataupun data-data yang dapat dijadikan petunjuk lainnya untuk digunakan dalam mencari data dengan interpretasi yang tepat. (Moleong, 2002). Metode eksploratif, bertujuan untuk menggali secara luas hal-hal yang mempengaruhi terjadinya sesuatu (Arikunto, 1993). Adapun langkah-langkah yang digunakan dalam metode pengumpulan data antara lain adalah: Metode Penentuan Stasiun Metode penentuan stasiun dipilih atas beberapa alasan: a. Mewakili ekosistem mangrove di setiap stasiun seperti: Cluster mangrove dari yang baik, sedang dan rusak Kerapatan ekosistem mangrove Biomassa kayu, ikan dan kerang Jenis spesies yang menjadi ciri tersendiri Luas lahan ekosistem mangrove b. Keanekaragaman biota mangrove c. Pasang surut kawasan ekosistem mangrove d. Interaksi pengunjung terhadap wisata hutan payau e. Lokasi yang rentan terhadap tekanan lingkungan Daerah penelitian dibagi menjadi lima stasiun, yaitu stasiun I, stasiun II, stasiun III, stasiun IV dan stasiun V. Masing-masing stasiun dibagi menjadi tiga plot stasiun yaitu a, b, dan c. Garis transek ditarik tegak lurus atau sejajar dengan sungai.
12
Metode Sampling Metode sampling menggunakan contoh acak sistematik (systematic random sampling), yaitu melakukan prosedur dengan menentukan stasiun yang diperlukan, selanjutnya membagi stasiun yang memugkinkan untuk diambil dalam program monitoring (Setyobudiandi dkk. 2009). Skema pengambilan sampel disajikan pada Gambar 3.3. A Contoh (sampel) terdistribusi secara beraturan setelah contoh sampel pertama A dipilih secara acak dan contoh berikutnya sesuai pertambahan nilai k=N/n hingga terkumpul sejumlah 10 contoh (n=10); garis tersebut merupakan gambaran populasi yang diamati.
Gambar 3.3 Skema pengambilan contoh acak sistematik 1. Bioekologi Sampling mangrove dilakukan dengan menggunakan metode sample plot yang merupakan modifikasi dari cara yang digunakan oleh MuellerDumbois dan Ellenberg (1974). Pada masing-masing stasiun penelitian terdapat 3 plot yang berukuran 10 x 10 m, di dalam plot 10 x 10 m dibuat subplot 5x5 m dan di dalam subplot 5x5 m dibuat subplot 1x1 m disajikan pada Gambar 3.4.
Gambar 3.4 Denah plot pada masing-masing stasiun Pengambilan sampel mangrove meliputi pohon, anakan dan semai: a) Pohon: diameter batang pohon ≥ 4 cm (diambil pada plot 10x10 m) Apabila batang bercabang di bawah ketinggian sebatas dada (1,3 m) dan tiap cabang (diameter batang pohon ≥ 4 cm) maka diukur sebagai dua pohon yang terpisah Apabila cabang batang berada di atas setinggi dada atau sedikit di atasnya maka diameter diukur pada ukuran setinggi dada atau di bawah cabangnya Apabila batang mempunyai akar udara, maka diameter diukur 30 cm di atas tonjolan tertinggi Apabila batang tidak lurus dan cabang terdapat ketidaknormalan, poin pengukuran maka diameter diambil pada 30 cm di atas atau di bawah setinggi dada. b) Anakan: 1 cm ≤ diameter batang pohon < 4 cm, tinggi > 1 m (diambil pada subplot 5x5 m) ketinggian pohon diukur dari bagian pohon paling bawah yang menyentuh tanah hingga daun pohon bagian ujung teratas.
13
c) Semai: h pohon < 1 m (diambil pada subplot 1x1 m). Data yang dicatat dalam data sheet adalah berupa spesies, jumlah spesies dan persentase penutupan terhadap subplot 1x1 m.
3.5 a 3.5 b Gambar 3.5 a Pengukuran diameter pohon setinggi dada b. Prosedur pengukuran diameter pohon (English et al. 1994) Sampling mangrove diidentifikasi dengan buku panduan pengenalan mangrove yang mengacu pada Noor dkk (2006). Data yang diperoleh langsung dicatat kedalam kertas data Sheet dan ditulis menggunakan pensil agar apabila terkena air tidak luntur. Sampling kerang dilakukan secara kualitatif yaitu dengan tidak memperhitungkan volume atau kedalaman substrat. Caranya dengan membentangkan kuadran transek berukuran 1 m x 1 m. Pengambilan sampel kerang dilakukan pada saat air surut sehingga memudahkan pengambilannya. Metode pengukuran kerang menurut Carpenter dan Niem (1998) diukur panjang, tebal, dan lebar cangkangnya yang disajikan pada Gambar 3.6.
Gambar 3.6 Teknik pengukuran kerang
14
Penentuan kualitas perairan pesisir didapatkan dari data sekunder meliputi suhu, pH, salinitas, DO dan pasang surut. 2. Sosial ekonomi Adapun sampling sosial ekonomi diambil dari masyarakat sekitar kawasan wisata hutan payau, antara lain: a) Masyarakat Lokal Data masyarakat lokal yang diambil terdiri dari data primer melalui wawancara langsung dan kuisioner mengenai mata pencaharian, pendapatan, persepsi, aktivitas. Data sekunder meliputi jumlah penduduk, tenaga kerja, penggunaan lahan, fasilitas pendidikan, sarana dan prasarana. b) Pengunjung Data pengunjung dikumpulkan secara langsung melalui wawancara dengan responden menggunakan teknik observasi terencana (pedoman dengan kuesioner) meliputi: Data karakter responden (umur, asal, lama kunjungan, jumlah rombongan wisata dan biaya wisata). Persepsi pengunjung (motivasi, atraksi yang diminati, fasilitas dan infrastruktur, harapan) c) Nelayan Data nelayan berupa data primer melalui teknik observasi langsung dan wawancara. Pengambilan data secara faktual dan konkrit mengenai keadaan nelayan sebagai populasi yang dijadikan sampel. 3. Kelembagaan Data lembaga pengelola kawasan dikumpulkan secara langsung melalui wawancara serta menggunakan teknik observasi terencana kepada pegawai Perhutani, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Dinas Kelautan dan Perikanan, kecamatan, desa dan kelompok masyarakat. Analisis Data Analisis Trade-off Analisis ini digunakan sebagai penentuan skenario kebijakan dengan pendekatan Multi criteria analysis (MCA), bermanfaat untuk mengidentifikasi rangking dari alternatif skenario masa depan. Brown et al. (2001) menjelaskan tahapan MCA yakni: (1) menjelaskan skenario, (2) mengklarifikasi alternatif skenario, (3) menentukan kriteria, dan (4) mengumpulkan data. Penelitian ini melibatkan stakeholder terkait dalam proses analisis dimulai dari penentuan kriteria kebijakan pengembangan, skenario masa depan, penentuan bobot masingmasing kriteria, hingga strategi implementasi kebijakan yang memiliki prioritas tertinggi melalui diskusi dan wawancara. Penentuan skor dari setiap kriteria dan sub kriteria digunakan metode kuantifikasi untuk setiap jenis data yang diperoleh dengan mengkonversi nilai-nilai yang diperoleh dengan rumus: 1. Kategori skor semakin besar semakin baik:
15
2. Kategori skor semakin kecil semakin baik:
Keterangan: X : Nilai yang akan ditransformasi kedalam skor Xmaks : Nilai maksimum Xmin : Nilai minimum Penentuan kriteria didasarkan pada tiga indikator yakni bioekologi, sosial ekonomi dan kelembagaan. Ketiga aspek tersebut dirinci berdasarkan kondisi kawasan wisata hutan payau yang disajikan pada Gambar 3.7. Pengembangan Kawasan Wisata Hutan Payau
Bioekologi
Sosial Ekonomi
Produktivitas Mangrove Daya Dukung Biomassa Kesehatan Mangrove
Pendapatan asli daerah dari wisata Tenaga Kerja dan Pendidikan
Kelembagaan
Lembaga Pengelolaa Kebijakan Perlindungan
Benefit Sektor Informal
Kualitas Habitat
Kepuasan
Potensi Objek Kunjungan
Potensi Kunjungan
Partisipasi Masyarakat
Gambar 3.7 Kriteria penentuan kebijakan Formula yang digunakan untuk menghitung rata-rata setiap kriteria adalah rata-rata geometri dengan rumus: rata-rata kriteria ke-i (ai) = jumlah skor subkriteria ke-i dibagi banyaknya subkriteria ke-i. Skor rata-rata setiap kriteria (ai) kemudian dikalkulasi dengan bobot setiap kriteria, sehingga diperoleh nilai akhir berupa jumlah skor dari setiap skenario (II). Skor tertinggi menunjukan rangking prioritas kebijakan yang terpilih. Formula yang digunakan adalah : IIj = Jumlah aij x boboti Keterangan: IIj : Jumlah skor skenario j aij : Skor rata-rata kriteria i untuk skenario j boboti : Skor bobot kriteria ke-i Hasil pengukuran terhadap kondisi bioekologi, sosial ekonomi dan kelembagaan dikalkulasi dan dibobot kemudian dimasukan ke dalam skenario
16
pengembangan wisata hutan payau yang telah disepakati. Hasil kalkulasi matriks dampak skenario terhadap masing-masing kriteria disajikan dalam Tabel 3.2. Tabel 3.2 Matrik dampak skenario Kriteria
Sub Kriteria
Bioekologi
Sosial ekonomi
Kelembagaan
Kesehatan mangrove (ind/ha) Daya Dukung Pembentukan Biomass (juta kg ha) Produktivitas mangrove (kg/ha) Kualitas habitat (mg/l) Potensi Objek kunjungan (ha) Rataan Penerimaan daerah dari wisata (Rp) Jumlah tenaga kerja terlibat (orang) Benefit sektor informal (Rp) Kepuasan (%) Potensi Kunjungan (orang/minggu) Rataan Lembaga pengelola (instansi) Kebijakan perlindungan ekosistem (peraturan) Partisipasi masyarakat (kegiatan) Rataan Rataan Total
A
Skor B
C
bio
bio
bio
sosek
sosek
sosek
Kel IIA
Kel IIB
Kel IIC
Analisis trade-off dengan pendekatan multi kriteria dipenuhi dengan beberapa kriteria: 1. Bioekologi Kesehatan mangrove Analisis vegetasi mangrove menggunakan metode Mueller-Dumbois dan Ellenberg (1974) meliputi: a. Basal area Basal area merupakan penutupan areal mangrove oleh batang pohon. Basal area didapatkan dari pengukuran diameter batang pohon mangrove yang diukur secara melintang (Cintron dan Novelli 1984). .D 2 2 BA cm 4 Keterangan: BA : Basal Area (cm2) π : 3,14 D : Diameter batang (cm) b. Kerapatan Kerapatan adalah jumlah individu per unit area (Cintron dan Novelli 1984).
K (spesies A)
Jumlah individu spesies A 100% Luas area transek (ha)
17
c. Kerapatan relatif Kerapatan relatif merupakan prosentase kerapatan masing-masing spesies dalam transek (English et al. 1997).
KR (spesies A) = 100 %x (ni / N) Keterangan:
KR : ni : N :
Kerapatan Relatif (%) Jumlah individu spesies A (ind) Jumlah total individu seluruh spesies (ind)
d. Indeks dominansi Indeks dominansi merupakan derajat pada dominansi dari satu, beberapa atau banyak spesies (Odum 1993). D = Σ (ni/N)2 Keterangan:
D : Indeks dominansi ni : Jumlah individu spesies ke-i (ind) N : Jumlah total individu (ind) Kriteria indeks dominansi menurut Simpson (1949) in Odum (1993), 0
DR : Dominansi relatif (%) Bai : Total basal area tiap spesies ke i (cm2) BA : Basal area dari semua spesies (cm2) e. Indeks keanekaragaman Indeks keanekaragaman merupakan karakteristik dari suatu komunitas yang menggambarkan tingkat keanekaragaman spesies dari organisme yang terdapat dalam komunitas tersebut (Odum 1993). s
H' = (ni / N ) ln( ni / N ) i 1
Keterangan:
H' : Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiever ni : Jumlah individu spesies ke-i (ind) N : Jumlah total individu (ind) Kriteria H’<1 artinya rendah, 1≤ H' ≤ 3 artinya sedang dan H’>3 berarti tinggi (Wilhm dan Dorris 1986). f. Indeks keseragaman Indeks keseragaman merupakan perbandingan antara nilai keanekaragaman dengan logaritma natural dari jumlah spesies (Odum 1993). H' Ln ( S )
J' = Keterangan: J' : Indeks Keseragaman spesies H' : Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiever S : Jumlah spesies (ind)
18
Besarnya indeks keseragaman spesies menurut Krebs (1989) berkisar 0–1: J'≤0,4 artinya rendah, 0,4<J'<0,6 artinya sedang, J'≥0,6 artinya tinggi. g. Indek nilai penting (INP) Indeks nilai penting diperoleh untuk mengetahui tingkat dominasi suatu spesies pada suatu areal (Kusmana dan Istomo 1995). INP = KR +FR+ DR Keterangan: KR : Kerapatan Relatif (%) FR : Frekuensi Relatif (%) DR : Dominansi Relatif (%) KR =
Jumlah individu per spesies Total
jumlah
x 100 %
FR =
Frekuensi suatu jenis x 100 % Total Frekuensi seluruh jenis
DR =
Persentasi Individu per spesies x 100 % Total persentasi
Kualitas habitat Analisis indeks pencemaran digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran relatif terhadap parameter kualitas air, dan dapat dikembangkan untuk beberapa peruntukan bagi seluruh bagian badan air atau sebagian dari suatu sungai. Persamaan indeks pencemaran menurut KepMenLH 115 tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air :
Table 3.3 Kriteria penilaian indeks pencemaran Ketentuan evaluasi Kriteria 0 ≤ PIj ≤ 1,0 → memenuhi baku mutu (kondisi baik) 1,0 ≤ PIj ≤ 5,0 → tercemar ringan 5,0 ≤ PIj ≤ 10 → tercemar sedang ≥ 10 → tercemar berat Sumber: KepMenLH, 2003 Pengelolaan kualitas air atas dasar indeks pencemaran akan memberi masukan pada pengambil keputusan agar dapat menilai kualitas badan air suatu peruntukan serta untuk memperbaiki kualitas badan air jika terjadi penurunan akibat bahan pencemar. Produktivitas ekosistem mangrove Penetapan persamaan allometrik yang akan dipakai merupakan tahapan penting proses pendugaan biomassa. a. Biomassa batang mangrove Setiap persamaan allometrik dikembangkan berdasarkan kondisi tegakan dan variasi jenis tertentu yang berbeda satu dengan yang lain disajikan pada Tabel 3.4.
19
Tabel 3.4 Perhitungan biomassa Jenis Bruguiera gymnoriza Rizhopora mucronata Rizhopora apiculata
Rumus Y = b x (DBH2H)a
Sumber Suzuki E et al. 1983
Wtop = 0.235 x (DBH)2.42
Avecennia marina
Wtop = 0.308 x (DBH)2.11
Avecennia alba
Ws = 0,079211 x (DBH)2,470895
Sonneratia alba
Y = 0,2301 - 0,5382D2 + 0,3370D2 + 0,0474D2H
Ong et al. 2004 in Komiyama et al. 2008 Comley and McGuinness 2005 in Komiyama et al. 2008 Chukwamdeel and Anunsiriwat 1997 dalam Sutaryo D 2009 Codilan et al. 2009
b. Bobot ikan Penentuan nilai biomassa ikan dapat dihitung menggunakan nilai indeks konstanta a dan b, dengan diketahui berdasarkan ukuran panjang ikan melalui perhitungan (Love 1993). W=aLb Keterangan:
W : Berat (kg) a, b : Indeks konstanta berasal dari Fishbase L : Nilai tengah panjang ikan (cm) c. Biomassa kerang Biomassa sering digunakan untuk mengetahui nilai kepadatan populasi berdasarkan berat (Brower et al. 1990).
: Kepadatan populasi (ind/m2) : Jumlah individu yang diukur (ind) : Luas pengambilan contoh (m2)
Keterangan:
D X M
Keterangan:
B :)Biomassa (kg) ∑w : Jumlah berat individu contoh (gr) n : Jumlah individu contoh (ind)
2. Sosial ekonomi Analisis sosial ekonomi menggunakan (1) metode deskriptif, suatu metode yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data dari hasil wawancara, catatan lapangan, foto, dokumen pribadi, dokumen resmi, ataupun data-data yang dapat dijadikan petunjuk lainnya untuk digunakan dalam mencari data dengan interpretasi yang tepat (Moleong 2002), (2) metode eksploratif, bertujuan untuk menggali secara luas hal-hal yang mempengaruhi terjadinya sesuatu (Arikunto 1993).
20
3. Kelembagaan Menggunakan analisis stakeholder, suatu sistem pengumpulan informasi mengenai kelompok atau individu yang terkait, mengkategorikan informasi dan menjelaskan kemungkinan konflik antar kelompok yang memungkinkan terjadinya trade-off (Brown et al. 2001). Berdiskusi dengan stakeholder akan dapat mengungkapkan pandangan tentang keberadaan stakeholder penting lainnya. Identifikasi setiap stakeholder akan lebih mudah jika dikategorikan menjadi empat kategori yakni: pemerintah (pengambil kebijakan), pengunjung, kelompok masyarakat lokal dan peneliti. Pengumpulan informasi dalam kegiatan ini dilakukan dengan teknik wawancara dan kuisioner terhadap wakil dari semua stakeholder yang teridentifikasi. Indikator yang digunakan dalam menilai tingkat kepentingan adalah: (1) Bioekologi, (2) sosial ekonomi, dan (3) kelembagaan. Hasil dari penentuan kepentingan dan pengaruh masing-masing stakeholder terhadap kegiatan akan disajikan dalam bentuk grafik hubungan antara tingkat kepentingan dengan pengaruh. Preferensi kategori stakeholder primer dan sekunder sangat penting karena merupakan stakeholder yang memiliki derajat kepentingan yang relatif tinggi. Kategori stakeholder dari hasil pemetaan tersebut akan digunakan untuk penentuan stakeholder yang terlibat dalam penentuan kriteria, skenario, dan perumusan strategi pengembangan kawasan wisata hutan payau di Tritih Kulon Kabupaten Cilacap. Analisis Kesesuaian Analisis kesesuaian lahan menurut Yulianda (2007) dilakukan untuk mengetahui kesesuaian kawasan bagi pengembangan wisata. Hal ini didasarkan pada kemampuan wilayah untuk mendukung kegiatan yang dapat dilakukan pada kawasan tersebut dengan rumus:
Keterangan : IKW = Indeks Kesesuaian Wisata. = Nilai parameter ke-i (Bobot x Skor) Ni Nmaks = Nilai maksimum dari suatu kategori wisata Perhitungan dalam analisis kesesuaian lahan didasarkan pada beberapa parameter yang merupakan faktor pendukung terhadap kegiatan yang dilakukan pada wilayah yang disediakan. Masing-masing parameter tersebut memiliki bobot penilaian berdasarkan tingkat kepentingannya untuk mendukung kegiatan yang dilakukan. Skor penilaian merupakan klasifikasi yang diperoleh dari hasil pengamatan kondisi dilapangan. Nilai dari setiap parameter merupakan hasil perkalian dari bobot dan skor, kemudian dijumlahkan nilai dari seluruh parameter. Penentuan kesesuaian kawasan dilihat berdasarkan prosentase kesesuaian, yang diperoleh dari perbandingan antara jumlah nilai dari seluruh parameter sesuai pengamatan dilapangan dengan nilai maksimum yang mungkin diperoleh. Matrik kesesuaian disajikan pada Tabel 3.5.
21
Tabel 3.5 Matriks kesesuaian lahan kategori wisata mangrove No.
Parameter
1.
Ketebalan mangrove (m) Kerapatan mangrove 2 (100 m ) Jenis mangrove
2.
3. 4. 5.
Pasang surut (m) Objek biota
Bobot
Kategori S1
Skor
5
>500
3
3
>15-25
3
3
>5
1
0-1
1
Ikan, udang, kepiting, moluska, reptil, burung
Kategori S2 >200500
Skor
Kategori S3
Skor
Kategori N
Skor
2
50-200
1
<50
0
>10-15
2
5-10
1
<5
0
3
3-5
2
1-2
1
0
0
3
>1-2
2
>2-5
1
>5
0
3
Ikan, udang, kepiting, moluska
2
Ikan, moluska
1
Salah satu biota air
0
Sumber : Yulianda (2007) Keterangan: Nilai maksimum = 39 S1 = Sangat sesuai, dengan nilai 75%-100% S2 = Sesuai, dengan nilai 50%-<75% S3 = Sesuai bersyarat, dengan nilai 25%-<50% N = Tidak sesuai, dengan nilai <25% Analisis Daya Dukung Daya Dukung Kawasan (DDK) menurut Yulianda (2007) adalah jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik dapat ditampung di kawasan yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia. Apabila gangguan tersebut dalam jumlah yang besar maka dapat terjadi kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, dalam pengembangan kegiatan wisata hendaknya disesuaikan dengan potensi sumberdaya dan peruntukannya. Analisis daya dukung diperlukan dalam pengembangan wisata dengan memanfaatkan potensi sumberdaya pesisir, pantai, dan pulau-pulau kecil secara optimal dan lestari. Perhitungan Daya Dukung Kawasan diperoleh dengan rumus:
Keterangan DDK = K = Lp = = Lt Wt = Wp =
Daya Dukung Kawasan Potensi ekologis pengunjung per satuan unit area Luas area atau panjang area yang dapat dimanfaatkan (m) Unit area untuk kategori tertentu (m) Waktu yang disediakan kawasan untuk kegiatan wisata 1 hari (jam) Waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk setiap kegiatan Tertentu (jam) Daya Dukung Kawasan diharapkan sesuai dengan kebutuhan manusia akan ruang, diasumsikan dengan keperluan ruang horizontal untuk dapat bergerak bebas dan tidak merasa terganggu oleh pengunjung lainnya, yang disajikan pada Tabel 3.6.
22
Tabel 3.6 Potensi ekologis pengunjung dan luas area kegiatan Jenis kegiatan Pengunjung Unit Area Keterangan (K) (Lt) Wisata 1 50 m Dihitung panjang track, Mangrove setiap orang 50 m Sumber: Yulianda, 2007 Waktu kegiatan pengunjung (Wp) selama ± 2 jam dihitung berdasarkan lamanya waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk melakukan kegiatan wisata. Waktu pengunjung diperhitungkan dengan waktu yang disediakan untuk kawasan (Wt) selama ± 8 jam. Waktu kawasan adalah lama waktu areal dibuka dalam satu hari dan rata-rata waktu kerja sekitar 8 jam. Analisis Strategi Pengembangan Analisis yang digunakan untuk menentukan strategi pengembangan kawasan wisata hutan payau adalah dengan analisis SWOT. Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats). Analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal peluang dan ancaman dengan faktor internal kekuatan dan kelemahan (Rangkuti 2005). Alat yang dipakai untuk menyusun faktor-faktor strategi adalah matriks SWOT, dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi, dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis SWOT adalah: 1. Penentuan faktor strategi internal dan eksternal: a) Menentukan faktor-faktor yang menjadi kekuatan serta kelemahan. b) Memberi bobot masing-masing faktor sesuai dengan tingkat kepentingannya. Jumlah seluruh bobot harus sebesar 1,00. c) Menghitung rating untuk masing-masing faktor berdasarkan pengaruh/ respon terhadap pengembangan kawasan wisata (nilai 4=sangat penting, 3 penting, 2=cukup penting, 1=kurang penting). d) Mengalikan bobot dengan rating untuk memperoleh faktor pembobotan. Penentuan faktor strategi internal dan eksternal yang disajikan pada Tabel 3.7 dan Tabel 3.8. Tabel 3.7 Faktor strategi internal Faktor-faktor strategi Bobot Rating Kekuatan Kekuatan Tabel 3.8 Faktor strategi eksternal Faktor-faktor strategi Bobot Rating Peluang Ancaman
Skor
Skor
23
2. Pembuatan matriks SWOT Menghubungkan unsur-unsur dalam matrik untuk memperoleh beberapa alternatif strategi, yang ada empat kemungkinan stategi yang disajaikan pada Tabel 3.9. Tabel 3.9 Matriks SWOT Faktor STRENGTHS (S) WEAKNESSES (W) Strategi Internal Tentukan faktor Tentukan kekuatan Faktor faktor kelemahan internal Strategi Eksternal internal OPPORTUNITIES (O) STRATEGI SO STRATEGI WO Tentukan faktor-faktor Ciptakan strategi yang Ciptakan strategi yang peluang eksternal menggunakan kekuatan meminimalkan untuk memanfaatkan kelemahan untuk peluang memanfaatkan peluang TREATHS (T) STRATEGI ST STRATEGI WT Tentukan faktor-faktor Ciptakan strategi yang Ciptakan strategi yang ancaman eksternal menggunakan kekuatan meminimalkan untuk mengatasi kelemahan dan ancaman menghindari ancaman 3. Pembuatan tabel ranking alternatif strategi Penentuan prioritas dari strategi yang dihasilkan dilakukan dengan memperhatikan faktor-faktor yang saling terkait. Jumlah dari skor pembobotan menentukan ranking prioritas strategi dalam pengelolaan ekosistem pesisir untuk pengembangan kawasan wisata hutan payau. Jumlah skor diperoleh dari penjumlahan semua skor di setiap faktor-faktor strategi yang terkait. Ranking akan ditentukan berdasarkan urutan jumlah skor terbesar sampai yang terkecil dari semua strategi yang ada.
24
25
4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Sejarah Kawasan Wisata Hutan Payau Wisata hutan payau Tritih Kulon pada awalnya dinamakan wana wisata. Seiring dengan waktu tahun 1991 luas kawasan wana wisata diperluas, dengan hasil pengukuran pengembangan terdiri dari lima bagian kawasan yang terpisah oleh aliran sungai dengan luas keseluruhan 172,3 ha, meliputi petak 50a seluas 1,6 ha, petak 50b seluas 12 ha, petak 55 seluas 62 ha, petak 56 seluas 38 ha, petak 57a seluas 12,7 ha dan petak 57b seluas 46 ha. Secara umum potensi obyek wisata di Tritih Kulon menurut Perhutani (1991) terbagi atas dua bagian yang potensial untuk dikembangkan, yaitu: (1) Potensi Alam (kawasan hutan payau yang sangat luas dengan pemandangan disekelilingnya berupa hamparan Sungai Jeruk Legi, (2) Potensi Buatan (infrastruktur wisata). Kondisi Umum Geografis dan Administrasi Kawasan wisata hutan payau terletak di Kelurahan Tritih Kulon, Kecamatan Cilacap Utara, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah yang secara administratif dikelola oleh Perhutani, BKPH Rawa Timur, KPH Banyumas Barat yang secara geografis terletak pada koordinat 108o BT-109o BT dan 7o30'LS7o44'LS. Batas-batas kawasan wisata hutan payau adalah: Sebelah Barat : berbatasan dengan tanah rakyat berupa sawah milik rakyat Sebelah Utara : berbatasan dengan Kali Tritih Sebelah Timur : berbatasan dengan Kali Beji Sebelah Selatan : berbatasan dengan tanah rakyat Kependudukan Jumlah penduduk tertinggi di Kecamatan Cilacap Utara dari tahun 2011 adalah Kelurahan Tritih Kulon sebesar 17.231 jiwa. Oleh karena itu, maka kawasan wisata hutan payau dapat terancam kelestarian ekosistem mangrove akibat peningkatan jumlah penduduk yang terus bertambah. Tingkat Pendidikan Secara umum pendidikan masyarakat di Kelurahan Tritih Kulon yang sampai kejenjang Akademi/perguruan tinggi hingga tahun 2011 masih relatif kecil sebesar 556 jiwa (Cilacap Utara dalam angka, 2012). Jumlah lulusan SLTA/kejuruan sebagian besar mengambil berbagai kursus ataupun pelatihan, hal ini membuktikan bahwa latar belakang tersebut diduga disebabkan oleh kondisi ekonomi dan pemahaman rasa mencintai terhadap pendidikan baik. Kondisi Lingkungan Iklim Menurut klasifikasi iklim dari Schmidt dan Ferguson, kawasan wisata hutan payau Tritih Kulon mempunyai type iklim basah (Tipe iklim B) dengan nilai 20%. Rata-rata curah hujan per tahun 3.403 mm. Suhu udara berkisar antara 270C320C dengan kelembaban udara rata-rata 84% serta kecepatan angin antara 12-20 knot/jam (Thurniati 1991).
26
Topografi Tanah di kawasan wisata hutan payau menurut Soerianegara (1968) dalam Thurniati (1991) adalah tanah alluvial hidromorf, dahulu jenis tanah ini dinamakan tanah liat laut. Mengingat bahwa tanah ini berlainan sifat-sifatnya dari tanah-tanah alluvial lainnya maka disebutkan tanah alluvial hidromorf Payau (mangrove). Umumnya tanah payau di Kabupaten Cilacap relatif berlumpur, terdiri atas bahan-bahan yang diendapkan oleh sungai-sungai didaerah tersebut. Hasil analisis Perum Perhutani KRPH Tritih (1990) menunjukkan bahwa PH tanah berkisar antara 6,5-7. Topografi relatif seragam yang merupakan dataran rendah yang datar yang berada pada ketinggian 0,5 m dari permukaan laut. Pasang Surut Pasang surut air di kawasan wisata hutan payau Tritih Kulon dipengaruhi oleh aliran Sungai Tritih, Sungai Jeruk Legi dari arah daratan, Sungai Donan yang dipengaruhi oleh gaya pasang surut dari Samudra Hindia yang masuk melalui Muara Segara Anakan dan Perairan Teluk Penyu. Tipe pasang surut di daerah ini adalah diurnal, artinya terjadi satu kali pasang pada saat malam dan satu kali surut pada saat siang selama 24 jam. Menurut Susanti (2002) kisaran fluktuasi pasang surut rata-rata adalah antara 1,73 meter dengan fase pasang pada kawasan wisata hutan payau sekitar 1,55 jam. Menurut Saragih (2010) kisaran fluktuasi pasang surut pada kawasan segara anakan antara 0,4-1,9 meter dengan fase pasang sekitar 1-2 jam. Suhu Kisaran parameter suhu air dan udara pada daerah wisata hutan payau ratarata sebesar 270C dan 280C. Rata-rata pH air sebesar 7,5 dan pH tanah 6,9 serta rata-rata salinitas air sebesar 30 ppt dan salinitas tanah sebesar 25 ppt. Parameter cahaya dengan naungan memiliki rata-rata sebesar 4.630 lux dan cahaya tanpa naungan sebesar 10.012 lux (Susanti 2002). Kondisi Bioekologi Mangrove Mangrove di Tritih Kulon merupakan vegetasi yang relatif luas dengan pemandangan disekelilingnya berupa hamparan sungai, memiliki beberapa jenis flora antara lain bakau bandul (Rhizophora muucronata), bakau kacang (Rhizophora stylosa), Api-api (Avicennia marina), serta jenis tumbuhan pantai antara lain ketapang (Terminalia catappa), nyamplung (Calophyllum inophyllum) (Thurniati 1991). Tomlinson (1994) menyatakan vegetasi mangrove terbagi menjadi tiga elemen berdasarkan ciri morfologi dan tempat tumbuh yaitu elemen mayor (mangrove sejati), elemen minor dan elemen asosiasi. Manfaatnya mangrove mempunyai banyak kegunaanya baik secara fisik, ekologi dan sumberdaya ekonomi seperti: 1. Manfaat fisik, fungsi mangrove dapat menahan laju erosi pantai, stabilitas sedimen, pelindung bagi terumbu karang terhadap padatan tersuspensi, pengendali pencemaran karena memiliki sifat mengendapkan polutan dan sebagai penahan intrusi air laut.
27
2. Manfaat ekologi, memberikan sumbangan berupa bahan organik bagi perairan sekitarnya, sebagai daerah asuhan (nursery grounds), pemijahan (spawning grounds) beberapa hewan perairan seperti udang, ikan dan kerang-kerangan, serasah mangrove (daun, ranting dan biomassa lainnya) yang jatuh menjadi sumber pakan biota perairan sehingga menyediakan keanekaragaman (biodiversity) yang tinggi. Beberapa jenis burung, reptilia, mamalia dan jenisjenis kehidupan lainnya juga bergantung pada mangrove. 3. Manfaat ekonomi, terdapat tiga sumber utama yaitu hasil hutan, perikanan estuari, wisata pantai dan alam, beberapa spesies mengandung zat aktif yang dimanfaatkan sebagai obat. Moluska dan Krustacea Biota yang ditemui di kawasan wisata hutan payau dari jenis fauna seperti teritip (Belanus spp.), kerang totok (Polymesoda erosa), kerang tanggal. Jenis krustasea seperti udang dan kepiting bakau (Scylla serrata), uca (Uca sp.), yuyu (Parathelphusa convexa) dan lain-lain. Biota endemik yang dikenal masyarakat luas yaitu populasi kerang totok (Polymesoda erosa) dan kerang tanggal. Ikan Kelompok fauna perairan di kawasan wisata hutan payau Tritih Kulon adalah ikan blanak (Periophthalmus argentilonatus), ikan kating (Ketengus typus), ikan tenggeleng (Acentrogobius cauerensis), ikan kiper (Scatophagus argus) ikan glodok/mudskipper, ikan buntal (Diodon sp), ikan putihan (Pampus argeteun), ikan baronang (Siganus sp.), ikan kerapu lumpur (Epinephelus coroides), ikan kerong (Plectorhinchus lessoni). Reptil dan Mamalia Jenis reptil berdasarkan informasi masyarakat terdapat kadal (Mabouia multifasciata), ular air (Natrix sp.) dan beberapa jenis mamalia kera ekor panjang (Macaca fascicularis). Tahun 1990-an di lokasi wisata hutan payau kera ekor panjang merupakan satwa jinak yang dipelihara. Burung Jenis burung berdasarkan informasi masyarakat seperti kuntul besar (Egretta alba), kuntul kecil (Egretta garzetta), belekok/kuntul sawah (Ardeola speciosa), kareo (Amaurornis phoenicurus), bangau (Leptitorus javanicus), sriti (Collocalia esculenta), cerek (Charadrius javanicus), camar (Sterna hirundo), sayangnya burung-burung ini sekarang sebagian hanya berfungsi sebagai tempat untuk mencari makan (singgah) bukan berfungsi sebagai tempat bersarang dan bertelur. Atraksi burung tersebut sering terbang dan singgah ketika airnya surut pada pagi dan sore hari. Burung yang berada di ekosistem mangrove Kabupaten Cilacap secara umum dikategorikan untuk (Hernowo dan Arief 1998): 1. Mencari makan, tidur, istirahat, berbiak, membesarkan keturunan serta berlindung. Contoh burungnya adalah kelompok kuntul (Egretta spp, Ardeola spp, Butorides) dan belibis (Dendrocyqua sp) 2. Mencari makan, tidur, istirahat dan berlindung. Contoh burungnya adalah bluwok (Mycteria cinnerea) dan bangau tongtong (Leptotilos javanicus).
28
3. Mencari makan, singgah, istirahat dan tidur. Contoh burungnya adalah jenis cerek (Charadrius sp), trinil (Tringa sp) serta gajahan (Numenius spp). Kondisi Sosial Ekonomi Sebagian besar masyarakat di sekitar kawasan wisata hutan payau di Tritih Kulon menjadi petani dan nelayan. Masyarakat yang mata pencahariannya sebagai nelayan setiap tahunnya mengadakan sedekah laut yang merupakan suatu upacara tradisional. Ada juga masyarakat yang memilki keahlian dibidang kebudayaan yang tergabung dalam sanggar seni seperti permainan angklung dan ebeg dengan menunggang kuda kepang yang diiringi gamelan dan sejenisnya. Pertanian merupakan sektor utama perekonomian masyarakat sekitar wisata hutan payau, untuk profesi nelayan hanya sebagian penduduk. Sumber pendapatan lainnya adalah menjadi pekerja di berbagai perusahaan di Kabupaten Cilacap. Data kunjungan masyarakat ke kawasan wisata disajikan seperti pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 Data pengunjung TAHUN 1991 1995 1997 1999 2001 2005 2007 2009 2011
PENGUNJUNG (ORANG) ASING DOMESTIK 66 22.980 42 17.684 47 22.485 14 22.166 4 14.294 1 2.019 0 1058 0 370 0 132
JUMLAH 23.046 17.726 22.532 22.180 14.298 2.020 1058 370 132
Sumber: Perhutani 2012 Menurut Thurniati (1991) alasan pengunjung datang ke kawasan wisata hutan payau di Tritih Kulon adalah untuk menikmati alam (64,41%), mendapat pengalaman atau petualangan baru (27,68%) dan untuk menambah ilmu (16,38%). Pengunjung terbanyak dari kalangan pegawai swasta 24,86%, pelajar 24,86% serta pegawai negeri 18,08% dengan tingkat pendidikan pengunjung terbanyak adalah tamat SLTA 54,80%, tamat SLTP 20,91%, tamat Akademi/PT 12,99% dengan status pribadi sebagian besar belum kawin. Fasilitas pendukung berupa hotel/losmen sangat berpengaruh pada minat pengunjung, tercatat pada tahun 2011 ada 49 hotel dengan jumlah kamar sebanyak 1.084 kamar. Terdapat 10 usaha (20,41%) merupakan hotel berklasifikasi bintang dengan jumlah kamar sebanyak 364 kamar, unutk non bintang sebanyak 39 usaha dengan jumlah kamar 720 kamar. Kegiatan kunjungan dibeberapa obyek wisata Kabupaten Cilacap seperti disajikan pada Tabel 4.2. Tabel 4.2 Data kunjungan objek wisata Obyek wisata Taman Hiburan Rakyat Teluk Penyu Benteng Pendem Air Panas Cipari Pantai Indah Widarapayung
Banyaknya wisatawan (orang) 314,160 98.984 3.714 64.918
29
Obyek wisata Pantai Ketapang Indah Pantai Sodong Wana Selok Pantai Sedayu Pantai Jetis Pantai Karangpakis Pantai Srandil
Banyaknya wisatawan (orang) 9.142 4.852 2,714 9.766 10.500 2.940 1.563
Sumber: Diolah dari data BPS 2011 Fasilitas aksesibilitas, merupakan salah satu kunci utama dalam mendukung keberhasilan pengembangan wisata hutan payau. Pemerintah daerah sudah memfasilitasi transportasi angkutan umum melalui darat (terminal, stasiun kereta api), transportasi laut (Pelabuhan Lomanis dan Tanjung Intan), transportasi udara (Bandara Udara Tunggul Wulung). Lokasi kawasan wisata hutan payau letaknya strategis kurang lebih 300 m dari jalan provinsi sehingga dapat dicapai dengan mudah baik menggunakan transportasi yang ada. Kisaran jarak lokasi Kabupaten Cilacap dengan dengan kabupaten lain seperti disajikan pada Tabel 4.3. Tabel 4.3 Kisaran jarak lokasi dengan beberapa kota terdekat Kota Terdekat Lokasi Wisata (km) Cilacap 8 Purwokerto 55 Tegal 131 Ciamis 139 Yogjakarta 197 Semarang 246 Bandung 259 Bogor 385 Jakarta 428 Sumber : Data Diparda Kab. Cilacap 2011
30
31
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Bioekologi Kesehatan Mangrove Hasil pengamatan di lapangan diperoleh sembilan jenis mangrove yaitu Bruguiera gymnoriza, Avicennia marina, Avicennia alba, Rhizopora apiculata, Rhizopora mucronata, Sonneratia alba, Aegiceras corniculatum, Nypa fruticans dan Acanthus ilicifolius yang berasal dari sekitar Sungai Ngrewing (stasiun 1), Sungai Daon (stasiun 2), Sungai Cikantil (stasiun 3), Sungai Ngroyom (stasiun 4) dan Sungai Ciremang (stasiun 5). Hal ini menunjukkan bahwa indeks keanekaragaman di kawasan wisata hutan payau rata-rata tergolong sedang (sehat), karena menurut Wilhm dan Dorris (1986) nilai indeks keanekaragam (H’) antara satu sampai tiga tergolong sedang. Penentuan stasiun di atas didasarkan karena lokasi tersebut berpotensi untuk kegiatan yang bersifat wisata ekosistem mangrove, seperti tracking, berperahu, memancing serta memotret, dengan jumlah stasiun dianggap sudah mewakili jenis dan kerapatan ekosistem mangrove. Sebaran mangrove di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 5.1. Tabel 5.1 Sebaran mangrove dilokasi penelitian
Bruguiera gymnoriza Avicennia marina Avicennia alba Rhizopora apiculata Rhizopora mucronata Sonneratia alba Aegiceras corniculatum
1 V V 0 V V 0 0
2 0 V V V 0 0 0
Stasiun 3 0 V 0 V 0 0 0
4 0 V 0 V 0 V V
5 0 V V V 0 0 0
Nypa fruticans Acanthus ilicifolius
0 0
V V
V 0
V V
V V
Spesies Mangrove
Keterangan: V : ada , 0 : Tidak ada (survei 2013) Berdasarkan Tabel 5.1 di atas jenis mangrove A. marina merupakan jenis yang dominan ditemukan disemua stasiun. Hal ini menunjukkan keterwakilan (dominansi) jenis mangrove tersebut tergolong baik dalam menjaga keberlangsungan pertumbuhan. Menurut Supriharyono (2007) dalam Romadhon (2008), baiknya pertumbuhan mangrove dipengaruhi oleh ketersediaan bahan organik, dan menurut Mann (2000) tingkat kandungan bahan organik yang tersedia bagi biota maupun tanaman (fitoplankton, zooplankton dan algae) menunjukkan tingginya kandungan serasah yang jatuh ke perairan. Tingkat keanekaragaman mangrove sangat bervariasi. Hal ini menunjukkan di kawasan wisata hutan payau di Tritih Kulon dapat dimanfaatkan untuk mengukur kekayaan komunitas suatu kawasan. Menurut Soegianto (1994) dalam Mangindaan dkk. (2012) kekayaan tingkat keanekaragaman jenis mangrove yang tersedia dapat digunakan untuk mengukur kemampuan suatu komunitas dalam menjaga dirinya terhadap gangguan. Semakain banyak jumlah spesies maka semakin tinggi keanekaragaman, dan menurut Fromard (1998) dampak keanekaragaaman spesies mangrove dipengaruhi oleh pergerakan pasang surut.
32
Berdasarkan hasil analisis, stasiun satu terdiri dari empat jenis mangrove, yaitu B. gymnoriza, A. marina, R. apiculata, dan R. mucronata. Total nilai kerapatan sebesar 3.133 ind/ha (pohon), 6.600 ind/ha (anakan), dan 85.000 ind/ha (semai) dengan INP tertinggi R. mucronata sebesar 109%. Stasiun dua terdiri dari A. alba, A. marina dan R. apiculata, N. fruticans dan A. ilicifolius. Total nilai kerapatan sebesar 1.100 ind/ha (pohon), 1.400 ind/ha (anakan), dan 20.000 ind/ha (semai) dengan INP tertinggi A. marina sebesar 254%. Stasiun tiga terdiri dari A. marina, R. apiculata dan N. fruticans. Total nilai kerapatan sebesar 1.633 ind/ha (pohon), 1.000 ind/ha (anakan), dan 10.000 ind/ha (semai) dengan INP tertinggi A. marina sebesar 194%. Stasiun empat terdiri dari A. marina, R. apiculata, S. alba, N. fruticans dan A. ilicifolius. Total nilai kerapatan sebesar 1.767 ind/ha (pohon), 3.600 ind/ha (anakan), dan 150.000 ind/ha (semai) dengan INP tertinggi R. apiculata sebesar 140%. Stasiun lima terdiri dari A. marina, A. alba, R. apiculata, Ae. corniculatum, N. fruticans dan A. ilicifolius. Total nilai kerapatan sebesar 1.533 ind/ha (pohon), dan 160.000 ind/ha (semai) dengan INP tertinggi R. apiculata sebesar 149%. Hasil analisis kerapatan dan indek nilai penting (INP) mangrove disajikan pada Tabel 5.2. Tabel 5.2 Kerapatan mangrove dan INP Lokasi
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Stasiun 4
Stasiun 5
Species B. gymnoriza A. marina R. apiculata R. mucronata Total A. alba A. marina R. apiculata Total A. marina R. apiculata Total A. marina R. apiculata S. alba Total A. marina A. alba R. apiculata Ae. corniculatum Total
Pohon 533 600 400 1.600 3.133 200 900 1.100 433 1.200 1.633 367 1.200 200 1.767 450 400 333 350 1.533
Kerapatan (ind/ha) Anakan 3.200 1.600 1.800 6.600 1.400 1.400 1.000 1.000 3.600 3.600 -
Semai 20.000 65.000 85.000 20.000 20.000 10.000 10.000 150.000 150.000 160.000 160.000
INP (%) 107 52 31 109 46 254 194 106 91 140 68 66 26 149 59
Sumber: Hasil analisis tahun 2013 Berdasarkan Tabel 5.2 di atas menunjukkan nilai kerapatan untuk kategori pohon di lima stasiun dikategorikan masih tergolong baik, kecuali pada stasiun dua, untuk stasiun satu (3.133 ind/ha), stasiun dua (1.100 ind/ha), stasiun tiga (1.633 ind/ha), stasiun empat (1.767 ind/ha) dan stasiun lima (1.533 ind/ha). Hal
33
ini menunjukkan bahwa secara umum kondisi hutan mangrove di kawasan wisata hutan payau dalam keadaan baik ≥1.500 pohon/ha, yang sesuai dengan KepMenLH No. 201 tahun 2004 (Wiharyanto dkk. 2010). Walupun stasiun dua nilai kerapatannya paling kecil, namun memiliki INP sebesar 254% untuk jenis A. marina, hal ini menurut Bengen (2002) mangrove tersebut memiliki peran yang penting dalam lingkungan karena memiliki INP mendekati nilai 300%. Masih baiknya kondisi mangrove tersebut, disebabkan daerah kawasan wisata hutan payau ini merupakan daerah yang terlindungi dari deburan ombak yang ganas. Kategori anakan menunjukkan A. marina mampu tumbuh di stasiun satu dan dua, hal ini terjadi karena kategori anakan A. marina memberikan respon yang lebih baik di lokasi tersebut. Menurut Hutahaean dkk. (1999) anakan A. marina dalam adaptasi konsentrasi garam yang tinggi (akumulasi) akan mengeluarkannya melalui kelenjar dengan memproduksi daun dalam jumlah yang besar. Kategori semai yang mempunyai nilai kerapatan relatif tinggi adalah jenis A. marina terdapat di stasiun empat dan lima. Hal ini menunjukkan perbedaan beberapa spesies yang mampu tumbuh dengan baik, diduga ada pemangsaan oleh sejenis kepiting dan dampak dari kategori pohon yang ada. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Pradana dkk. (2013) yang menyatakan bahwa pemangsaan oleh gastropoda dan krustasea menjadi penghambat dalam proses regenerasi tumbuhan mangrove itu sendiri baik pada propagul yang baru jatuh maupun yang sudah dibibitkan. Selain itu, menurut Soerianegara (1968) bahwa kematian pohon-pohon tancang (Bruguiera sp.) di Cilacap karena kandungan NaCl yang sangat sedikit. Oleh karena itu pihak perhutani melakukan penanaman percontohan jenis tersebut di stasiun satu (petak 57), yang menghasilkan tingkat keberhasilan beradaptasi baik. Tingkat kerapatan pohon, anakan dan semai disajikan pada Gambar 5.1.
Gambar 5.1a Kerapatan mangrove kategori pohon
Gambar 5.1b Kerapatan mangrove kategori anakan
Gambar 5.1c Kerapatan mangrove kategori semai
34
Relatif baiknya tingkat kerapatan mangrove dimungkinkan terjadi pertukaran genetik dalam populasi secara luas dengan beradaptasi terhadap perubahan lingkungan sehingga kelestarian mangrove masih tergolong baik, dan menurut Onrizal (2005) baiknya suatu vegetasi mangrove karena resisten terhadap garam (salt-resistant plants), mampu memelihara pertumbuhannya dalam kondisi osmotik, dibantu keberadaan lubang-lubang tanah yang dibuat oleh kepiting sehingga proses respirasi dapat berjalan dengan baik. Namun perlu kewaspadaan adanya peralihan mata pencaharian masyarakat menjadi petani yang akan mengancam kelestarian mangrove (konversi lahan pertanian), dan menurut Patang (2012) kerusakan mangrove disebabkan adanya keinginan memiliki lahan yang luas, kurangnya pengetahuan, tekanan ekonomi, pemanfaatan kayu bakar tak terkendali, perburuan fauna, hambatan pengamanan dan penegakan hukum. Produktivitas Ekosistem Mangrove Berdasarkan perhitungan estimasi biomassa kayu mangrove dilima stasiun dihasilkan nilai biomassa sebesar 22,98 ton/ha. Jenis mangrove A. marina mempunyai nilai biomassa tertinggi sebesar 6 ton/ha, terendah R. apiculata sebesar 1.81 ton/ha, diatas rata-rata B. gymnoriza dan R. mucronata sebesar 4,46 ton/ha dan 5,08 ton/ha. Rincian hasil analisis estimasi biomassa kayu mangrove per spesies disajikan pada Tabel 5.3. Tabel 5.3 Estimasi biomassa kayu mangrove Jenis mangrove B. gymnoriza
Biomassa (ton/ha) 4,46
R. mucronata R. apiculata A. marina A. alba S. alba
5,08 1,81 6,00 3,54 2,09
Sumber: Hasil analisis tahun 2013 Tingginya nilai biomassa A. marina, hal ini disebabkan secara umum memiliki diameter pohon yang relatif besar di semua stasiun. Jenis lain tidak selalu ditemukan, hal ini diduga karena tingkat adaptasi mangrove yang berbedabeda terhadap perubahan salinitas dan suhu, dan Amira (2008) menambahkan bahwa pola pertumbuhan biomassa memiliki perberbedaan antar bagian-bagian pohon, sedangkan jika dilihat dari nilai kadar air pohon cenderung menurun seiring dengan pertambahan umur pohon, sementara nilai berat jenis kayu cenderung meningkat seiring dengan pertambahan umur pohon. Hal ini disebabkan pada umur pohon yang lebih muda memiliki rongga sel yang lebih besar sehingga akan lebih banyak terisi oleh air (Pambudi, 2011). Menurut Sutaryo (2009) biomassa batang, daun dan akar akibat proses fotosintesis menyerap CO2 dan mengubahnya menjadi karbohidrat yang menghasilkan perbedaan biomassa dari setiap jenis mangrove, hal ini diduga akibat dari salinitas yang mempengaruhi tingkat adaptasi mangrove, dan menurut Lugo et al. (1981) in Sherman et al. (2003) perbedaan biomassa setiap jenis mangrove, diduga dampak dari tingginya salinitas yang membatasi pertumbuhan. Hasil analisis estimasi biomassa kayu mangrove disajikan pada Gambar 5.2.
35
Gambar 5.2 Biomassa kayu mangrove kategori pohon Berdasarkan analisis estimasi biomassa kerang diperoleh nilai sebesar 426,23 kg/ha, untuk kerang totok didapatkan nilai sebesar 334,89 kg/ha dengan tingkat kepadatan 34.667 ind/ha, dan untuk kerang tanggal sebesar 91,34 kg/ha dengan tingkat kepadatan 15.711 ind/ha. Rincian kepadatan dan biomassa kerang disajikan pada Tabel 5.4. Tabel 5.4 Estimasi biomassa kerang Jenis Kerang Totok Kerang Tanggal Total
Kepadatan Populasi (ind/ha) 34.667 15.711 50,378
Panjang 4,6 6,2
Rata-rata (cm) Lebar Tebal 4,3 2,2 1,5 0,9
Biomassa (kg/ha) 334,89 91,34 426,23
Sumber: Hasil analisis tahun 2013 Berdasarkan Tabel 5.4 di atas menunjukkan perbedaan biomassa antar spesies yang signifikan dengan tingkat kepadatan dan biomassa kerang totok lebih tinggi dibandingkan dengan kerang tanggal. Hal ini diduga karena kerang totok lebih respon tumbuh, terlebih lagi kerang totok merupakan spesies endemik yang ada di Kabupaten Cilacap. Kerang totok relatif lebih mampu menyerap bahan organik yang subur dibandingkan dengan kerang tanggal. Hal ini terbukti bahwa kerang totok pertumbuhannya lebih baik, dan menurut Einsele (1992) in Nasution (2009) sebagian besar bahan organik berasal dari daratan yang mengendap di dasar pantai atau muara sungai, sehingga dengan adanya pergerakan massa air maka sedimen yang kaya bahan organik tersebut dapat diangkat ke kolom air. Kondisi ini memudahkan kerang dalam mengambil makanan. Perbedaan biomassa dan kepadatan kerang disajikan pada Gambar 5.3.
Gambar 5.3 Biomassa dan kepadatan kerang Berdasarkan hasil analisis jumlah biomassa ikan, estimasi total adalah 12,53 kg/ha dengan nilai tertinggi adalah ikan belanak sebesar 5,50 kg/ha, kating 4,58 kg/ha, kiper 1,78 kg/ha dan ikan tenggeleng yang paling rendah sebesar 0,68 kg/ha. Estimasi biomassa ikan disajikan pada Tabel 5.5.
36
Tabel 5.5 Estimasi biomassa ikan Bahasa Latin Periophthalmus argentilonatus Ketengus typus Acentrogobius cauerensis Scatophagus argus
Bahasa Lokal Ikan Belanak Ikan Kating Ikan Tenggeleng Ikan Kiper
Biomassa ikan (kg/ha) 5,50 4,58 0,68 1,78
Sumber: Hasil analisis tahun 2013 Keberadaan ikan di kawasan wisata hutan payau salah satunya sangat dipengaruhi oleh aktivitas lalu lintas perahu sehingga apabila lalu lintas perahunya tinggi maka ikan yang terdeteksi jumlahnya jauh lebih sedikit. Secara umum perbedaan jumlah ikan menurut Nugraha (2007) untuk setiap kedalaman tidak begitu besar. Hal ini disebabkan pada perairan ini masih tergolong perairan yang homogen, dan keberadaan ikan di perairan kawasan wisata hutan payau merupakan salah satu target nelayan selain ikan laut. Namun jika dilihat dari segi biomassa dan ukuran, ikan belanak memang lebih besar dibanding dengan ikan lainnya.
Gambar 5.4 Biomassa ikan Kualitas Habitat Kualitas air di ekosistem mangrove kawasan wisata merupakan salah satu faktor fisik yang penting karena dapat membawa bermacam-macam zat, sehingga dengan mengetahui kualitas air secara menyeluruh akan dapat diketahui pula keadaaan lingkungan secara umum di daerah tersebut (Hardjosuwarno et al. 1978 dalam Dewi 1993). Berdasarkan KepMenLH No.115 Tahun 2003, pencemaran perairan di kawasan wisata hutan payau sejauh ini masih dapat ditolerir dengan indeks pencemaran 0,91 dikategorikan masih tergolong baik dan memenuhi baku mutu (0 ≤ Pij ≤ 1,0). Walaupun tergolong baik, namun perlu adanya kewaspadaan terhadap zat cemar yang mungkin masuk terutama dari limbah pertamina yang dibuang ke Sungai Donan yang tidak jauh dengan kawasan. Suhu di perairan kawasan wisata hutan payau masih tergolong baik dengan rata-rata 28,74⁰C, hal ini menurut Kastoro (1988) dalam Herawati (2008) menyatakan bahwa kisaran suhu normal (baik) jenis kerang-kerangan dapat hidup di daerah tropis pada suhu 20oC-35oC dengan fluktuasi tidak lebih dari 5oC. Kategori salinitas mengindikasikan bahwa masih dalam kisaran toleransi hidup dan tumbuh sebesar 29,8‰, hal ini didasarkan pada Aksornkoae (1993) dalam Susilo dkk. (2010), yang menyatakan bahwa salinitas suatu perairan pertumbuhan yang baik umumnya hidup pada kisaran salinitas 10-30 ‰.
37
Nilai pH di lokasi kawasan wisata hutan payau cenderung netral yaitu 7,5. Hal ini menunjukkan bahwa di daerah ini masih mendukung kehidupan mangrove atau masih pada batas nilai toleransi karena derajat keasaman (pH) mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan tumbuhan dan hewan perairan (Odum, 1996). Nilai DO sebesar 6,84 mg/l menunjukkan kondisi perairan masih tergolong baik karena lebih tinggi dari nilai baku mutu (>4 mg/l). Hal ini menunjukkan bahwa secara umum kondisi perairan kawasan wisata hutan payau masih dapat memberikan dampak positif bagi keberlangsungan suatu organisme dan mangrove dan menurut KepMenLH 110 tahun 2003 dalam Agustiningsih (2012), menunjukkan bahwa perairan tersebut mampu melakukan kemampuan memulihkan dirinya sendiri (self purification) dengan proses penambahan kandungan oksigen dari udara ke air (difusi) akibat turbulensi. Sosial Ekonomi Penerimaan Daerah Berdasarkan hasil pengamatan saat ini dilapangan diketahui bahwa obyek wisata buka pada jam 07.30-15.00 WIB atau sekitar 7,5 jam setiap hari. Penerimaan pendapatan hasil penjualan karcis wisata hutan payau tidak hanya dari masyarakat lokal saja, namun terkadang terdapat kunjungan rombongan dari luar kota yang sifatnya temporal dari perguruan tinggi atau sekolah-sekolah yang ingin mengetahui tentang pengetahuan ekosistem mangrove. Hasil pendapatan tersebut dikelola oleh Perhutani dan Pemda Kab. Cilacap dengan harga Rp 4.000,00/org dengan kondisi infrastruktur di kawasan wisata hutan payau dalam proses perbaikan dengan jumlah pengunjung diperkirakan 150 org/minggu. Menurut Gurung (2010) dalam Siswantoro (2012) pertumbuhan jumlah pengunjung di kawasan konservasi dapat mempengaruhi integritas ekologi, hal ini diharapkan dapat menjadi umpan balik bagi masyarakat dalam memberikan manfaat optimal berwisata sehingga akan terjalin keterpaduan antara kelestarian dengan pendapatan. Tenaga Kerja dan Pendidikan Suatu wisata alam yang dijadikan sebagai obyek wisata tentunya tidak terlepas dari jumlah tenaga kerja dan kualitas pendidikan pemandu wisata. Saat ini jumlah tenaga kerja yang terlibat di lapangan untuk pemandu wisata sekaligus penjaga loket dan pengawas sebanyak 3 orang dengan tingkat pendidikan belum ada yang sampai strata 1. Sedangkan tenaga pendukung sekitar 12 orang untuk penyedia transportasi (ojek, becak, mobil kereta), 2 orang untuk penyedia perahu, 3 orang untuk pedagang di sekitar pintu masuk kawasan wisata dan penyedia kesenian sebanyak 20 orang. Masih terbatasnya tenaga kerja yang tersedia dengan tingkat pendidikan yang memadai dan belum diimbangi dengan adanya kebijakan pengembangan kawasan maka perlu kiranya memanfaatkan unsur-unsur yang ada dalam masyarakat desa menjadi suatu pilihan sehingga pengembangan wisata dapat lebih beragam. Hal ini berdasarkan Putra (2006) yang menyatakan bahwa daerah pengembangan pariwisata atau setidaknya berada dalam rute paket perjalanan wisata, diutamakan yaitu telah tersedia tenaga pengelola, pelatih dan pelaku–pelaku pariwisata, seni dan budaya, adanya aksesibilitas dan infrastruktur serta terjaminnya keamanan, ketertiban dan kebersihan.
38
Keuntungan Sektor Informal Berdasarkan hasil wawancara dan kuesioner menunjukkan moda transportasi perahu dikenakan tarif sebesar Rp 10.000,00-50.000,00 per trip atau lebih jika dimanfaatkan untuk penelitian, sedangkan moda transportasi yang melalui darat didominasi jenis sepeda motor sebesar 84%, diikuti sepeda sebesar 12% dan sisanya mobil pribadi dan pejalan kaki. Masyarakat yang memanfaatkan angkutan umum relatif kecil sekali. Hal ini dimungkinkan karena angkutan umum yang mencapai lokasi wisata sangat jarang disebabkan sebagian besar pengunjung sudah memakai kendaraan pribadi dan hanya sebagian kecil yang menyewa mobil, sedangkan mobil kereta masyarakat dimanfaatkan oleh anak-anak untuk melintasi sekitar jalan di dekat kawasan wisata hutan payau hingga kearah kota. Pemanfaatan penginapan (homestay) saat ini hanya dilakukan oleh pengunjung yang melakukan penelitian seperti mahasiswa dari Unsoed, IPB, Undip, UGM dan UMP. Apabila penduduk memungut tarif menginap permalam dikenakan biaya sekitar Rp 20.000,00/org, sedangkan tarif hotel atau losmen di Kabupaten Cilacap sangat bervariasi mulai Rp 100.000,00-1.500.00,00 per malam. Menurut Zanaria (2012) tawaran penginapan dibagi dalam dua pilihan, yaitu berupa bangunan yang dirancang secara sederhana, dan penginapan di rumah masyarakat lokal dengan tujuan wisatawan dapat secara langsung berinteraksi dan lebih mengenali kehidupan keseharian masyarakat lokal. Kepuasan Masyarakat dan Pengunjung Masyarakat yang diwawancarai adalah yang bermukim di sekitar kawasan wisata hutan payau, dengan usia berkisar 14-60 tahun. Persepsi masyarakat dari pengembangan kawasan wisata hutan payau adalah jalan menjadi baik, membuka lapangan kerja, dan dapat berinteraksi dengan pengunjung. Hal ini sangat direspon oleh masyarakat karena dapat berdagang dan dapat menjadi pemandu memancing, mencari kerang dan penelitian. Dukungan masyarakat yang merasa senang dengan adanya wisata hutan payau sebesar 80%, hal ini dimungkinkan karena masyarakat ingin menjadi pemandu, menyewakan rumahnya untuk penginapan ekowisatawan dan ada juga menjadi relawan. Potensi Kunjungan Pengunjung wisata hutan payau didominasi oleh status pribadi belum menikah dengan persentase 64%, dengan umur pengunjung paling banyak berusia 15-25 tahun sebanyak 72,%, usia diatas 46 tahun sebesar 8%. Waktu dan lama berkunjung pada hari libur adalah waktu yang paling diminati (96%), dimungkinkan karena pada hari lain digunakan untuk sekolah dan kerja. Data ini menunjukkan bahwa kawasan wisata ini menarik dan memberikan kesan khusus terhadap pengunjung dalam menikmati ekosistem mangrove dengan intensitas pengunjung lebih dari 3 kali (sering) sebanyak 88%. Oleh karena itu pihak pengelola perlu melakukan sosialisasi yang tepat sasaran tentang manfaat ekosistem mangrove secara berkala melalui berbagai kegiatan pendidikan atau lomba-lomba yang merangsang pengunjung untuk berkreasi dan mencintai alam sekitar guna keberlanjutan sumberdaya mangrove. Hal tersebut diyakini berhasil dan sejalan dengan hasil kuesioner pengunjung yang mendominasi adalah pelajar dengan prosentase sebanyak 64%, diikuti mahasiswa dan karyawan sebanyak 16%, swasta sebanyak 12%, pedagang 8% dan petani nelayan 4%.
39
Sarana dan Prasarana Prasarana dan sarana saat ini sudah dilengkapi dengan loket penjualan tiket, area parkir, jalan aspal, penunjuk arah area wisata dan gerbang pintu masuk atas kerjasama Perum Perhutani, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan dan Pemerintah daerah. Keadaan kondisi tracking dilapangan dalam proses perbaikan, tujuannya memudahkan wisatawan untuk mencapai obyek yang disukai. Oleh karena itu, dalam rangka tercipta rasa keamanan, kenyamanan sampai ke lokasi yang dituju, wisatawan agar berhati-hati dalam melakukan tracking khususnya anak-anak. Bentuk atraksi berperahu, perlu dimanfaatkan kembali untuk perlombaan perahu dayung dan semisalnya. Harapan Harapan Pengunjung, pembenahan pembangunan fasilitas mushola, adanya gardu peristirahatan, menara pemandangan dan tempat bermain, MCK dan pemandu, air bersih, kantin dan tempat sampah, untuk keamanan dan pengawasan seperti papan penunjuk arah, pagar keamanan, pemandu wisata yang terdidik, P3K. Selain itu di dalam areal wisata itu sendiri diharapkan perlu difasilitasi keramahan pemandu wisata, kerapian berpakaian dan mempunyai kemampuan bahasa asing karena dimungkinkan akan ada wisatawan dari mancanegara. Kelembagaan Lembaga Pengelola Berdasarkan identifikasi pengembangan kawasan wisata hutan payau di Tritih Kulon Kabupaten Cilacap, maka peran lembaga pengelola saat ini terdiri dari: (1) instansi perhutani, memiliki kepentingan khusus di wisata hutan payau berupa aspek pelestarian dan perlindungan alam, dengan tujuan untuk memperoleh pendapatan daerah melalui kunjungan wisata dan hasil kayu, (2) instansi pemerintah daerah, memiliki kepentingan pada aspek manajemen pariwisata dan sumberdaya pesisir dan laut, kelestarian objek wisata, intregasi, pendapatan asli daerah (PAD), keamanan dan keberlanjutan, (3) partisipasi masyarakat, memiliki kepentingan pada aspek pengelolaan desa, namun belum menyentuh secara khusus perannya di kawasan wisata hutan payau. Kunci keberhasilan lembaga pengelolaan lingkungan pesisir menurut Wibowo (2002) adalah pada sistem mekanisme prosedural dalam mengkoordinasikan kebijakan anggaran dan pengelolaan, hal ini akan menentukan jenis koordinasi dalam pembuatan keputusan, yang terdiri dari: (1) koordinasi antara pemerintah dan kalangan swasta serta stakeholders lain seperti masyarakat, LSM, perguruan tinggi, lembaga penelitian dan lain-lain, (2) koordinasi vertikal antara berbagai tingkatan pemerintah seperti kabupaten/kota, provinsi dan pusat, (3) koordinasi horisontal antara berbagai sektor pada tiap tingkatan pemerintahan. Perlunya koordinasi dan kerjasama antar lembaga tersebut dilakukan mulai dari tahap perencanaan (planning), pengaturan (organizing), pelaksanaan (actuating) hingga pengawasan dan evaluasi program (controling) baik vertikal maupun horisontal, melalui kerjasama fasilitasi promosi kawasan wisata hutan payau berupa peningkatan penyediaan informasi kepentingan publik, misalnya dalam bentuk leaflet, profil pariwisata, booklet, poster, pameran, travel mart, website, film dokumenter, radio, televisi dan berbagai lomba agar pengembangan kawasan wisata hutan payau dapat mensejahterakan semua pihak, lestari dan berkelanjutan.
40
Kebijakan Perlindungan Implementasi Perda No. 17 tahun 2001 tentang pengelolaan hutan mangrove di kawasan segara anakan, Perda No. 24 tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kab. Cilacap dan Perda No. 9 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kab. Cilacap yang memasukan kawasan wisata hutan payau sebagai kawasan pariwisata alam, serta Keputusan Menteri Kehutanan No. 447/Kpts-II/1996 tentang pembinaan dan pengawasan pengusahaan pariwisata alam merupakan peluang bagi pemerintah dan masyarakat lokal untuk mengambil peran aktif dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan, oleh karena itu dibutuhkan komitmen bersama antara stakeholder. Kegiatan pengelolaan kawasan wisata hutan payau bidang pengawasan, dirasakan belum berjalan secara intensif seperti pelibatan masyarakat yang bersifat kemitraan untuk menjaga keamanan dan kelestarian hutan payau. Penegakan hukum masyarakat yang merusak infrastruktur atau ekosistem mangrove masih sebatas memberi peringatan, hal ini ditempuh karena masyarakat yang memanfaatkan kayu mangrove tanpa ijin masih mempunyai karakter sifat yang kurang baik. Menurut Poerwaka (2002), solusinya dengan menerapkan dua kegiatan atau lebih dipadukan apabila memenuhi asas kompatibilitas yang terdiri dari: complete compatibility, partial compatibility dan incompatibility. Complete compatibility terjadi apabila dua atau kegiatan atau lebih dapat berlangsung bersamaan dalam ruang dan waktu yang sama; partial compatibility, terjadi apabila dua kegiatan atau lebih dapat dilakukan secara berurutan dalam ruang yang sama, namun dalam waktu yang berbeda, dan incompatibility terjadi apabila dua kegiatan tidak dapat dilakukan secara bersamaan atau berurutan. Oleh karena itu perlu sinergi kegiatan dalam mengelolaa kawasan wisata hutan payau diantara lembaga yang ada. Partisipasi Masyarakat Partispasi masyarakat dalam bentuk kelembagaan di sekitar kawasan wisata hutan payau di Tritih Kulon yaitu Kelompok Nelayan Minosari, Karang Taruna Tunas Bakti dan Trimulya Karya, Kelompok Bangkit Mandiri (PNPM), namun kelompok ini belum berkontribusi secara optimal pada pengelolaan kawasan wisata hutan payau. Salah satu contoh interaksi kelompok nelayan dengan obyek wisata memiliki ketergantungan relatif kecil karena nelayan banyak mencari ikan di laut dan sedikit sekali yang memanfaatkan perairan kawasan wisata ataupun menyediakan produk jasa wisata karena sepi pengunjung akibat fasilitas infrastruktur dan ekosistem mangrove mulai rusak. Perbaikan ekosistem dan fasilitas diharapkan dapat melibatkan peran swasta misalnya Pertamina dan Holcim melalui dana Corporate Social Responsibility (CSR) dalam bentuk pemberdayaan masyarakat (community development) secara partisipatif bukan dalam bentuk karikatif (charity) dan kedermawanan (philanthropy). Hal ini disebabkan community development berakar dari disiplin ilmu pendidikan, terutama pendidikan di tingkat pedesaan, yaitu perluasan dari Rural Extension Program agar masyarakat setempat menjadi lebih mandiri dengan kualitas kehidupan dan kesejahteraan yang lebih baik. Oleh karena itu upaya peningkatan kehidupan melalui pendidikan (education), dan penciptaan lapangan kerja (job creation) berbasis ekowisata merupakan salah satu konsep yang sangat tepat diterapkan pada pengembangan kawasan wisata hutan payau Tritih Kulon.
41
Analisis Trade-off Identifikasi dan Pemetaan Stakeholder Identifikasi dilakukan secara partisipastif, yakni setiap stakeholder mengidentifikasi stakeholder lainnya. Stakeholder yang teridentifikasi dikategorikan berdasarkan continum level mulai dari tingkat lokal, regional dan nasional (Grimble dan Wellard 1997). Identifikasi stakeholder disajikan pada Tabel 5.6. Tabel 5.6 Identifikasi stakeholder pengembangan kawasan wisata hutan payau Tingkat Stakeholder Interest Nasional Peneliti Konservasi dan pendidikan Regional Perhutani Kelestarian ekosistem mangrove Dinas Pariwisata Manajemen pariwisata, kelestarian Kebudayaan objek Dinas Kelautan dan Manajemen sumberdaya pesisir dan Perikanan lautan Bapeda Intregasi, keberlanjutan dan kesejahteraan Lokal Pedagang Pendapatan dan keberlanjutan usaha Jasa Angkutan Pendapatan dan kenyamanan Pengunjung Keindahan, keamanan dan kenyamanan Masyarakat Lokal Kelestarian sumberdya dan kesejahteraan Kelompok Tani Partisipasi dan ketentraman Kelompok Nelayan Pendapatan dan kelestarian Desa Pemberdayaan masyarakat Kecamatan PAD, kesejahteraan dan ketentraman Sumber: Hasil analisis (2013) Tabel 5.6 diatas menunjukkan bahwa stakeholder yang memiliki kepentingan terhadap pengembangan kawasan wisata hutan payau di Tritih Kulon Kabupaten Cilacap bervariasi sesuai dengan karakter, ruang lingkup dan tujuan pengembangan. Berdasarkan tingkat kepentingan tersebut maka setiap stakeholder memiliki karakter tersendiri seperti pengembangan manajemen (Dinas teknis daerah, Bapeda), bioekologi (peneliti, dinas teknis daerah, pengunjung), sosial ekonomi (pedagang, aparat desa, aparat kecamatan, jasa angkutan, masyarakat lokal), kelembagaan (kelompok nelayan, kelompok tani, masyarakat lokal, instansi pemerintah). Pemetaan stakeholder dilakukan dengan mempertimbangkan penghitungan skor kepentingan dan pengaruh stakeholder kemudian dipetakan ke dalam grafik stakeholder. Stakeholder dikelompokan menurut kategori primer, sekunder dan eksternal yang dianalisis berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruhnya terhadap kriteria (bioekologi, sosial ekonomi dan kelembagaan). Tingkat kepentingan dan pengaruh stakeholder disajikan pada Gambar 5.5. Analisis identifikasi dan pemetaan menunjukkan bahwa indeks kepentingan dan pengaruh stakeholder bervariasi dengan kisaran indeks antara 1,0-5,0. Hal ini menunjukkan bahwa derajat kepentingan dan pengaruh stakeholder ingin terlibat secara aktif dalam mengelola kawasan wisata. Menurut Arnstein (1969) dalam
42
Gumilar (2012), partispasi masyarakat yang kurang dari 1,0 menunjukkan bahwa tingkatan tersebut sebagai tingkat “tokenisme” yaitu suatu tingkat partisipasi, masyarakat didengar dan diperkenankan berpendapat tetapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pandangannya akan dipertimbangkan oleh pemegang keputusan. Penelitian ini, menunjukkan bahwa peran partisipasi stakeholder diatas 1,0. Hal ini dimungkinkan ada peluang yang luas bagi stakeholder dalam ikut serta menentukan kebijakan pengelolaan kawasan wisata.
Gambar 5.5 Tingkat kepentingan dan pengaruh stakeholder terhadap kawasan wisata hutan payau Pembagian stakeholder diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yaitu stakeholder primer, sekunder dan eksternal (Brown et al. 2001). Stakeholder primer yaitu masyarakat lokal (3,7), kelompok nelayan (2,4), pengunjung (3,35), pedagang (2,75). Hal ini menunjukkan bahwa stakeholder primer memiliki kepentingan yang relatif tinggi tetapi memiliki pengaruh yang relatif rendah dalam pengambilan keputusan dan masih memerlukan pemberdayaan yang intensif. Stakeholder sekunder pada penelitian ini adalah perhutani (4,5), dinas pariwisata dan kebudayaan (3,5), dinas kelautan dan perikanan (2,6), bapeda (3,5), kecamatan (3,05) dan desa (3,25) yang menunjukkan mempunyai kewenangan dalam perencanaan, kepentingan tugas dan fungsi dalam mengintregasikan kegiatan pengembangan kawasan wisata. Tingkat partisipasi yang paling tinggi adalah perhutani dengan nilai indeks sebesar 4,5. Artinya pihak perhutani dituntut memanfaatkan ekosistem mangrove secara lestari karena sebagai leader dalam pengelolaan kawasan wisata hutan payau. Stakeholder eksternal terlihat adalah peneliti (2,75) menunjukkan bahwa stakeholder eksternal memiliki pengaruh relatif tinggi namun dalam hal kepentingan rendah. Hal ini menunjukkan bahwa besarnya pengaruh peneliti karena memiliki pendekatan akademis terhadap stakeholder lainnya. Disamping itu peneliti mempunyai sumberdaya manusia yang handal, pengetahuan yang luas serta mampu membantu merumuskan kebijakan pengelolaan secara terpadu bersama stakeholder lain. Menurut Poerwaka (2002), dua kegiatan atau lebih dapat dipadukan apabila memenuhi asas kompatibilitas yang terdiri dari tiga macam, yaitu complete compatibility, partial compatibility dan incompatibility. Oleh karena itu perlu sinergi kegiatan dalam mengelolaa kawasan wisata hutan payau diantara stakeholder yang ada.
43
Skenario Pengembangan Kawasan Dampak dari setiap skenario pada dasarnya saling terkait. Peningkatan atau penurunan satu parameter akan berdampak terhadap beberapa parameter lainnya dan selanjutnya akan berdampak terhadap kondisi kawasan wisata hutan payau. Keterkaitan antar komponen ini merupakan dinamika kawasan wisata hutan payau yang komplek. Perkiraan dampak dari setiap skenario diasumsikan linier karena keterbatasan data dan informasi yang dimiliki. Matriks dampak skenario terhadap kondisi bioekologi, sosial ekonomi dan kelembagaan disajikan pada Tabel 5.7. Tabel 5.7 Dampak skenario aspek bioekologi, sosial ekonomi dan kelembagaan Kriteria
Sub Kriteria
Produktivitas ekosistem mangrove (kg/ha) Daya dukung pembentukan Biomassa kawasan wisata Bioekologi (juta kg ha) Kesehatan mangrove (ind/ha) Kualitas habitat (mg/l) Potensi objek kunjungan (ha) Penerimaan daerah dari wisata per minggu (Rp.000) Jumlah tenaga kerja yang terlibat (orang) Sosial Benefit sektor informal per ekonomi hari (Rp.000) Kepuasan (%) Potensi kunjungan (orang/minggu) Lembaga pengelola (instansi) Kebijakan perlindungan Kelembagaan ekosistem (peraturan) Partisipasi masyarakat (kegiatan)
Wana wisata
Skenario Ekowisata
Wisata Pantai
255.838
6.136.848
31.220
17.571
302.234
53.883
1.600 0,90 10
1.070 0,91 172
1 0,92 1
600
3.000
100
20
58
15
397
942
367
20
80
1
150
750
25
3
5
2
10
13
2
6
8
5
Sumber: Hasil analisis (2013) Tabel 5.7 di atas menunjukkan bahwa kondisi kawasan wisata hutan payau untuk aspek bioekologi yang paling ideal diperoleh dengan skenario ekowisata dengan nilai produktivitas mangrove, daya dukung pembentukan biomassa dan potensi objek kunjungan yang paling baik. Kondisi sosial ekonomi dan kelembagaan, skenario ekowisata memberikan kondisi subkriteria yang relatif tinggi dibandingkan dengan wanawisata dan wisata pantai. Sistem pengambilan kebijakan yang dilakukan pada penelitian ini merupakan hal yang baru dalam memberikan pertimbangan penilaian suatu kawasan wisata hutan payau. Secara umum sistem ini lebih memberikan jaminan keberhasilan implementasi kebijakan pengembangan kawasan wisata hutan payau dibandingkan sistem konvensional. Pelibatan masyarakat yang selama ini belum diterapkan masih menimbulkan banyak ancaman. Bentuk ancaman tersebut antara
44
lain terjadi penebangan kayu mangrove, pengambilan fasilitas infrastruktur berbahan baku kayu, pemuda yang mabok-mabokan di lokasi wisata hutan payau. Kegiatan pengendalian, evaluasi dan monitoring yang bersifat koordinasi, kemitraan antar stakeholder diharapkan dapat memberikan kemudahan dan keberhasilan dalam menekan kemungkinan resiko yang akan terjadi. Oleh karena itu dalam proses pelaksanaannya, perlu senantiasa dilakukan kegiatan bersama secara sistematis untuk meminimalisir dampak negatif. Analisis dampak masingmasing skenario disajikan pada Tabel 5.8. Tabel 5.8 Matriks dampak untuk masing-masing skenario Kriteria Bioekologi
Sub Kriteria
Kelembagaan
Skor Ekowisata
Wisata Pantai
3,68
100,00
0,00
Produktivitas ekosistem mangrove (kg/ha) Daya dukung pembentukan Biomassa kawasan wisata (juta kg ha) Kesehatan mangrove (ind/ha)
0,00
100,00
12,76
100,00
66,85
0,00
Kualitas habitat (mg/l)
100,00
76,58
0,00
5,26
100,00
0,00
41,79
88,69
2,55
17,24
100,00
0,00
11,63
100,00
0,00
5,22
100,00
0,00
24,05
100,00
0,00
Potensi kunjungan (orang/minggu) Rataan
17,24
100,00
0,00
15,08
100,00
0,00
Lembaga pengelola (instansi) Kebijakan perlindungan ekosistem (peraturan) Partisipasi masyarakat (kegiatan) Rataan
33,33
100,00
0,00
72,73
100,00
0,00
33,33
100,00
0,00
46,46
100,00
0,00
34,44
96,23
0,85
Potensi objek kunjungan (ha) Rataan Sosial ekonomi
Wana wisata
Penerimaan daerah dari wisata per minggu (Rp.000) Jumlah tenaga kerja yang terlibat (orang) Benefit sektor informal per hari (Rp.000) Kepuasan (%)
Rataan Total
Sumber: Hasil analisis (2013) Berdasarkan Tabel 5.8 di atas, maka rangking skor diurutkan mulai dari peringkat (1) skenario ekowisata, (2) skenario wanawisata, (3) skenario wisata pantai. Hal ini menunjukkan bahwa skenario ekowisata merupakan skenario yang memiliki skor tertinggi. Kebijakan ekowisata ini sesuai dengan kondisi kawasan wisata hutan payau di Tritih Kulon yang memiliki potensi pengembangan sebagai ekowisata. Hal ini karena konsep wanawisata yang sudah berlangsung, pelaksanaanya dirasakan masih belum optimal sehingga sulit dikembangkan secara berkelanjutan. Skenario kebijakan konsep ekowisata memperlihatkan nilai tertinggi baik aspek bioekologi (88,69), sosial ekonomi (100) dan kelembagaan (100), sedangkan kebijakan konsep wanawisata mengedepankan aspek kelembagaan (46,46) dan konsep wisata pantai lebih menekankan pada kondisi bioekologi yang lebih baik (2,55). Ketiga kebijakan tersebut memberikan dampak terhadap
45
bioekologi, sosial ekonomi dan kelembagaan yang berbeda-beda dengan skor rataan total konsep ekowisata menempati rangking tertinggi (96,23), dilanjutkan wanawisata (34,44) dan wisata pantai (0,85). Penentuan prioritas kebijakan pengembangan kawasan wisata hutan payau di Tritih Kulon Kabupaten Cilacap dilakukan dengan meminta pertimbangan dari stakeholder terkait. Analisis pembobotan menunjukkan bahwa penetapan rangking pada tingkat kriteria bioekologi (0,54), sosial ekonomi (0,34) dan kelembagaan (0,12). Hal ini menunjukkan bahwa kriteria bioekologi merupakan prioritas utama dalam penentuan kebijakan pengembangan kawasan wisata hutan payau di Tritih Kulon Kabupaten Cilacap. Faktor bioekologi yang menjadi pertimbangan karena potensi ekosistem mangrove yang tergolong masih baik, dan tingkat kesadaran stakeholder dalam pelestarian ekosistem sumberdaya alam berbasis keberlanjutan juga masih baik. Analisis pembobotan kriteria disajikan pada Tabel 5.9. Tabel 5.9 Pembobotan kriteria Stakeholder Pemerintah - Perhutani - Pariwisata dan Kebudayaan - Kelautan dan Perikanan - Bapeda - Desa - Kecamatan Wiraswasta - Pedagang - Jasa Angkutan Masyarakat - Pengunjung - Masyarakat Lokal - Kelompok Tani - Kelompok Nelayan Peneliti Bobot rata-rata
Bioekologi 0,59 0,90 0,40 0,60 0,45 0,30 0,30 0,35 0,30 0,40 0,42 0,50 0,20 0,60 0,55 0,80 0,54
Bobot Kriteria Sosial Ekonomi 0,31 0,05 0,50 0,30 0,40 0,50 0,50 0,53 0,60 0,45 0,42 0,30 0,60 0,35 0,30 0,10 0,34
Kelembagaan 0,10 0,05 0,10 0,10 0,15 0,20 0,20 0,13 0,10 0,15 0,16 0,20 0,20 0,05 0,15 0,10 0,12
Sumber: Hasil analisis (2013)
Prioritas kedua adalah sosial ekonomi. Faktor yang menjadi pertimbangan dalam kriteria sosial ekonomi adalah penerimaan daerah dari wisata, jumlah tenaga kerja yang terlibat, benefit sektor informal, kepuasan dan partisipasi masyarakat. Hal ini disebabkan pendapatan dari masyarakat yang mengunjungi masih tergolong rendah, dengan rata-rata setiap bulan Rp. 100.000500.000 (35%), Rp. 1.000.000-2.000.000 (29%), Rp. 500.000-1.000.000 sebesar (24%) dan lebih dari 2.000.000 sebesar 12%. Hal ini sejalan dengan sensus tahun 2008, banyaknya rumah tangga miskin di Kecamatan Cilacap Utara hingga 3.021 KK (Cilacap dalam angka 2012), maka logis apabila aspek sosial ekonomi sebagai pertimbangan kriteria.
46
Penentuan bobot kriteria mempunyai preferensi yang berbeda-beda, pemerintah memprioritaskan aspek bioekologi, pihak wiraswasta memprioritaskan aspek sosial ekonomi, pihak masyarakat memprioritaskan aspek bioekologi dan sosial ekonomi, dan pihak peneliti memprioritaskan aspek bioekologi. Analisis pembobotan kriteria ditunjukkan pada Gambar 5.6.
Gambar 5.6 Pembobotan kriteria Analisis pembobotan kriteria stakeholder diatas menunjukkan bahwa dalam proses pengambilan kebijakan, aspek kelembagaan menjadi prioritas terakhir. Hal ini yang menyebabkan pemanfaatan kawasan wisata hutan payau belum optimal. Menurut penelitian Atmoko (2010), dalam melakukan pengelolaan bersama stakeholder (parapihak) yang berkompeten perlu dibangun model kelembagaan yang diarahkan pada ekonomi lokal. Jika proses pengambilan kebijakan hanya dilihat dari aspek bioekologi saja, maka akan berdampak terhadap kesenjangan sosial yang dapat mengancam konflik kepentingan. Oleh karena itu dalam proses pengambilan keputusan pihak pemerintah, swasta, masyarakat dan peneliti perlu dilibatkan dalam mengkaji aspek bioekologi, sosial ekonomi dan kelembagaan sehingga kebijakan pengembangan kawasan wisata hutan payau di Tritih Kulon Kabupaten Cilacap dapat sesuai dengan harapan. Penentuan alternatif kebijakan prioritas utama dalam pengembangan kawasan wisata hutan payau di Tritih Kulon Kabupaten Cilacap didapatkan nilai skenario adalah (0,54xbioekologi) + (0,34xsosial ekonomi) + (0,12xkelembagaan). Perbandingan nilai skenario disajikan pada Tabel 5.10 dan Gambar 5.7. Tabel 5.10 Nilai skenario menggunakan bobot Kriteria Bioekologi Sosial ekonomi Kelembagaan Rataan Total
Wana wisata 22,42 5,14 5,71 33,26
Sumber: Hasil analisis (2013)
Nilai Skenario Ekowisata 47,58 34,06 12,29 93,93
Wisata Pantai 1,37 0,00 0,00 1,37
47
Gambar 5.7 Rangking kriteria Berdasarkan perbandingan Gambar 5.7 di atas menunjukkan kriteria (bioekologi, sosial ekonomi, kelembagaan) dan skenario (wanawisata, ekowisata, wisata pantai) yang tertinggi adalah skenario ekowisata. Hal ini menunjukkan bahwa skenario ekowisata merupakan pilihan alternatif pertama (93,93), alternatif kedua skenario wanawisata (33,26) dan alternatif ketiga wisata pantai (1,37). Hal ini dikuatkan oleh penelitian Suriani (2011), yang menyatakan bahwa berbagai kasus keberhasilan ekowisata mampu memberikan manfaat ekonomi pada masyarakat dan telah dapat dibuktikan di kawasan konservasi Annapura di Nepal, telah memberikan peluang kerja lokal yang besar bagi masyarakat lokal, baik sebagai pemandu lokal, penginapan, kerajinan maupun logistik. Oleh karena itu dalam menerapkan skenario ekowisata menurut Fathoni (2007) dalam Kusumedi (2010), haruslah berpegang pada keseimbangan tiga prinsip dasar yaitu economically profitable, socially acceptable dan environmentally sustainable (secara ekonomi menguntungkan, dapat diterima masyarakat, biodiversity dan sumberdaya ekosistem lingkungan hutan tetap lestari). Bentuk mekanisme pelibatan stakeholder dalam bentuk kemitraan berdasarkan tingkat pengaruh dan kepentingan diharapkan dapat sinergi satu sama lainnya, contoh bentuk pelibatan (kemitraan) menurut Suratmo (1990) memiliki manfaat antara lain: 1. Masyarakat mendapat informasi mengenai rencana pembangunan di daerahnya. 2. Masyarakat akan ditingkatkan pengetahuannya mengenai masalah lingkungan, pembangunan dan hubungannya. 3. Masyarakat dapat menyampaikan informasi dan pendapat atau persepsinya kepada pemerintah terutama masyarakat di tempat pembangunan yang terkena dampak langsung. 4. Menghindari konflik diantara pihak-pihak yang terkait. 5. Masyarakat akan dapat menyiapkan diri untuk menerima manfaat yang akan dapat dinikmati dan menghindari dampak negatifnya. 6. Meningkatkan perhatian dari instansi pemerintah yang terkait pada masyarakat setempat.
48
Analisis Kesesuaian Kawasan Berdasarkan skenario pengembangan kawasan, skenario ekowisata merupakan alternatif pertama yang menjadi pilihan. Oleh karena itu sangat perlu sekali diketahui indeks kesesuaian potensi sumberdaya ekosistem mangrove di kawasan wisata hutan payau. Hal ini sebagai dasar dalam menentukan kebijakan pengembangan kawasan wisata hutan payau di Tritih Kulon Kabupaten Cilacap ke depan. Indek kesesuaian kawasan wisata hutan payau disajikan pada Tabel 5.11. Tabel 5.11 Indeks kesesuaian wisata mangrove Stasiun
1
2
3
4
5
Parameter
Bobot
Skor
Ketebalan Kerapatan Jenis Pasut Obyek biota Jumlah Ketebalan Kerapatan Jenis Pasut Obyek biota Jumlah Ketebalan Kerapatan Jenis Pasut Obyek biota Jumlah Ketebalan Kerapatan Jenis Pasut Obyek biota Jumlah Ketebalan Kerapatan Jenis Pasut Obyek biota Jumlah
5 3 3 1 1
2 3 2 2 3
5 3 3 1 1
1 1 2 2 3
5 3 3 1 1
2 3 2 2 3
5 3 3 1 1
1 3 2 2 3
5 3 3 1 1
1 2 2 2 3
Bobot* Skor 10 9 6 2 3 30 5 3 6 2 3 19 10 9 6 2 3 30 5 9 6 2 3 25 5 6 6 2 3 22
IKW (%)
Tingkat Kesesuaian
77
S1
49
S3
77
S1
64
S2
56
S2
Keterangan: Hasil analisi tahun 2013 S1 = Sangat Sesuai, S2 = Sesuai, S3 Sesuai bersyarat Analisis indeks kesesuaian ekologis di 15 plot (lokasi), mempunyai kelebihan menurut Yulianda (2007), dapat mengidentifikasikan suatu ekosistem sesuai (S), sesuai bersyarat (SB), atau tidak sesuai (N) untuk suatu kegiatan wisata dengan hasil stasiun satu dan stasiun tiga termasuk dalam kategori sangat sesuai (S1) dengan indek kesesuaian wisata 77%. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi ekosistem mangrove yang unik ini dapat dijadikan sebagai ekowisata. Menurut Kasim (2006) dalam Wardhani (2011) kondisi mangrove yang sangat unik dengan
49
potensi sumberdaya alam berupa bentang alam, flora, fauna dan kegiatan sosial ekonomi dapat dijadikan sebagai objek dan daya tarik ekowisata. Kategori sesuai (S2) dengan indek kesesuaian wisata 64% dan 56% terdapat di stasiun empat dan stasiun lima. Hal ini menunjukkan bahwa wisata hutan payau ini dapat dikembangkan sebagai ekowisata dengan pengelolaan yang berkelanjutan. Menurut Santoso (2000) dalam Zaky (2012) lahan yang sesuai adalah lahan yang memiliki potensi yang lebih besar dalam perkembangan mangrove dibandingkan lahan yang ditujukan untuk kawasan lain. Kategori sesuai bersyarat (S3) terdapat di stasiun dua dengan indek kesesuaian wisata 49%. Hal ini menunjukkan bahwa perlu adanya sentuhan rehabilitasi atau penanaman mangrove sehingga diharapkan kedepan dapat mencapai kategori sesuai untuk pengembangan ekowisata. Menurut Fandeli (2000) dalam Widjanarko (2011) ada dua aspek yang perlu dipikirkan dalam ekowisata. Pertama, aspek destinasi, kedua adalah aspek market dengan macam, sifat dan perilaku obyek dan daya tarik wisata alam dan budaya untuk menjaga kelestarian. Hasil analisis indeks kesesuaian ekologis disajikan pada Gambar 5.8.
Gambar 5.8 Kesesuaian ekowisata
50
Analisis Daya Dukung Kawasan Ekosistem mangrove kawasan wisata hutan payau di Tritih Kulon Kabupaten Cilacap memiliki keunikan yang khas. Keunikan ini dapat dimanfaatkan sebagai daya tarik pengunjung untuk melakukan kegiatan ekowisata melalui perairan ataupun daratan. Oleh karena dalam rangka menjaga keutuhan dan kelestarian ekosistem mangrove tersebut maka perlu dikaji daya dukung kawasan. Nilai daya dukung kawasan disajikan pada Tabel 5.12. Tabel 5.12 Nilai daya dukung kawasan Lokasi
Usulan Track
Perairan
1 1 2 3 4 5
Daratan
Daya Dukung Kawasan (orang/hari) 131 58 49 52 31 42
Total (orang/hari) 131
232
Sumber : Hasil analisis tahun 2013 Perairan Kegiatan ekowisata mangrove di kawasan wisata hutan payau Tritih dapat dilakukan dengan menyusuri sungai dengan perahu. Terdapat satu usulan track perairan, dengan nilai daya dukung kawasan sebanyak 131 orang/hari. Nilai ini menunjukan bahwa, maksimal pengunjung yang dapat melalui lokasi ini adalah 131 orang/hari dengan waktu yang disediakan adalah 8 jam/hari, waktu ini disesuaikan dengan rata-rata lama pasang air laut (Yulianda 2007). Hal ini menunjukkan daya dukung tersebut masih tergolong baik. Mirawati (2012) menyatakan bahwa daya dukung kawasan wisata mangrove memiliki kategori sedang di Desa Sebong Lagoi Kepulauan Riau dengan daya dukung pengunjung maksimal 500 orang/hari. Jalur track ini dapat dilalui dengan menggunakan alat transportasi seperti perahu dayung, perahu motor atau kapal kecil, namun jika akan melakukan ekowisata melalui track perairan air seperti kegiatan memancing, fotografi, olah raga air (dayung) dan pengamatan burung diperlukan fasilitas pendukung seperti pelampung, topi dan sebagainya. Daratan Menikmati track daratan adalah dengan berjalan menyusuri ekosistem mangrove yang sudah disediakan. Kegiatan ini dapat memberikan pengalaman tersendiri, ilmu pengetahuan spesies mangrove dan fauna seperti ikan, kepiting dan burung air. Track daratan dengan daya dukung pengunjung yang beraktivitas berjumlah 232 orang/hari dengan pertimbangan tidak begitu dipengaruhi oleh kondisi pasang surut. Diusulkannya track daratan disebabkan menurut Adityo (2004) karena tracking bermanfaat menghubungkan antara spot-spot tertentu yang menjadi tujuan wisata agar pengunjung tidak melangkah ke dalam hutan terlalu jauh dan meminimalkan hal-hal yang tidak diinginkan. Sarana prasarana yang dibutuhkan dalam kegiatan ini adalah jalan setapak yang bagus, jembatan, tempat peristirahatan, gardu pandang, toilet, papan penunjuk arah, nama pohon dan laboratorium biota mangrove. Daya dukung kawasan perairan dan daratan disajikan pada Gambar 5.9.
51
Gambar 5.9 Usulan tracking Analisis Strategi Pengembangan Ekowisata Penentuan strategi pengembangan ekowisata terbatas di kawasan mangrove Tritih Kulon Kabupaten Cilacap dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT. Manajemen pengelola kawasan menyangkut aspek-aspek yang bersifat positif (kekuatan) dan aspek-aspek yang bersifat negatif (kelemahan) dipandang sebagai faktor internal, sedangkan faktor-faktor di luar pengelola kawasan merupakan ancaman (negatif) dan peluang (positif) disebut sebagai faktor eksternal. Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal Analisis SWOT digunakan untuk mengidentifikasi relasi-relasi sumberdaya ekowisata dengan sumberdaya yang lain dengan mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh kawasan tersebut (Damanik dan Weber 2006). A. Faktor-faktor internal (IFAS) a) Kekuatan (Strengths) Dukungan dari Perhutani, Dinas Kehutanan, Dinas Pariwisata, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Dinas Kelautan dan Perikanan, Bappeda.
52
Pemerintah menunjukkan akan mendukung dan berkeinginan untuk terlibat dalam kegiatan ekowisata dengan membantu dalam koordinasi, pengusulan anggaran melalui APBD dan APBN serta pihak ketiga dalam membangun dan memperbaiki sarana dan prasarana wisata. Peruntukan kawasan sebagai pariwisata alam. Perda No. 9 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kab. Cilacap Tahun 2011-2031, yang menyebutkan bahwa kawasan wisata hutan payau sebagai kawasan pariwisata alam. Oleh karena itu kebijakan peraturan tersebut merupakan kekuatan bagi stakeholder mengambil peran aktif dalam pengelolaan dan pemanfaatan kawasan wisata sebagai wisata unggulan. Biodiversity bioekologi dan luas kawasan wisata. Kondisi keanekaragam vegetasi, biota dan luasnya kawasan wisata hutan payau yang terdiri dari daratan dan perairan memungkinkan dimanfaatkan berbagai kegiatan wisata antara lain lintas alam, memancing, canoing, pengamatan jenis burung, fotografi, pendidikan, piknik dan berkemah, sambil mengenal berbagai jenis pohon mangrove, ikan, kerang, kepiting, burung dan sebagainya. Keunikan vegetasi mangrove dan kekhasan biota. Kondisi geografis ekosistem mangrove yang unik di Tritih Kulon Kab. Cilacap menyebabkan mempunyai biota yang khas, diantaranya kerang totok dan kerang tanggal. Kekhasan biota tersebut merupakan potensi wisata yang dapat dijadikan unggulan bagi kawasan wisata. Ketertarikan masyarakat lokal mengembangkan ekowisata. Masyarakat mendukung dan ingin terlibat dalam kegiatan ekowisata, diantaranya bersedia menjadi pemandu, menyewakan rumahnya untuk penginapan ekowisatawan, berdagang, jasa transportasi dan menjadi relawan. Kemudahan aksesibilitas wisata hutan payau menuju objek wisata lain. Jarak tempuh aksesibilitas kawasan wisata hutan payau menuju objek wisata lain sudah mudah dan kondisi baik seperti wisata Taman Hiburan Rakyat Teluk Penyu, Benteng Pendem, Air Panas Cipari, Pantai Indah Widarapayung, Pantai Sodong, Wana Selok, Pantai Sedayu, Pantai Jetis, Pantai Karangpakis dan Pantai Srandil. Sarana pendidikan dan penelitian Kawasan wisata hutan payau sudah dimanfaatkan sebagai penelitian mahasiswa dari Unsoed, IPB, Undip, UGM, UMP maupun pemerhati konservasi alam dari domestik dan mancanegara, serta sebagai sarana pendidikan bagi sekolah-sekolah. b) Kelemahan (Weakness) Kerusakan sarana dan prasaranan wisata Sarana dan prasarana penunjang yang ada masih dirasa kurang dan perlu adanya perbaikan, dengan harapan akan tercipta kelestarian ekosistem mangrove sehingga rasa kenyamanan dan keamanan dalam melakukan aktivitas di lokasi wisata hutan payau dapat terwujud. Pengangguran Kondisi pemuda di sekitar kawasan wisata hutan payau pada umumnya belum mempunyai pekerjaan tetap, hal ini menyebabakan
53
pengangguran karena tingkat pendidikan sebagian besar masyarakat tidak sampai mengenyam pendidikan sarjana. Walaupun Kab. Cilacap terdapat beberapa perusahaan swasta yang terkenal, namun masyarakatnya sulit menjadi karyawan tetap karena tidak mampu berkompetisi dengan tenaga kerja daerah lain. Belum ada SDM khusus ekowisata mangrove Pemandu atau tenaga pengelola kawasan wisata hutan payau yang ada masih sebatas mengawasi vegetasi mangrove. Keterbatasan SDM yang memiliki kompetensi ekowisata mangrove belum ada. Hal ini sangat diperlukan untuk membantu pengunjung mengenal jenis-jenis vegetasi dan biota hutan payau. Lemahnya penegakan hukum dan keterbatasan jumlah pengawas Minimnya pengawas lapangan dan lemahnya penegakan hukum berdampak memunculkan peluang dari oknum masyarakat dalam menebang pohon. Belum ada sanitasi lingkungan Kesadaran masyarakat mengenai arti pentingnya kebersihan dan kesehatan lingkungan masih sangat kurang, seperti tong sampah organik dan anorganik, septictank, pengolahan limbah cair yang dilengkapi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). B. Faktor-faktor eksternal (EFAS) a) Peluang (Opportunities) Persepsi positif pengunjung dan masyarakat Persepsi pengunjung dan masyarakat sebagian besar menyatakan menikmati alam, petualangan, menambah ilmu dan inspirasi. Hal tersebut adalah sebuah peluang yang sangat besar, karena persepsi tersebut sangat jarang ditemui. Persepsi masyarakat terhadap manfaat kegiatan wisata, seperti menyerap lapangan kerja, jalan lebih baik dan dapat berinteraksi dengan pengunjung. Potensi budidaya biota endemik Biota endemik seperti ikan tenggeleng, kerang totok dan kerang tanggal sangat disukai masyarakat dan lambat laun dapat punah seiring dengan ancaman kerusakan mangrove. Oleh karena itu perlu dibudidayakan. Potensi kuliner biota endemik Jenis kerang dan ikan khas payau dapat diangkat sebagai potensi kuliner unggulan, karena harganya murah dan hanya ditemui di kawasan wisata ini. Potensi karya seni khas payau. Cangkang dari kerang yang sudah menjadi limbah padat dapat dimanfaatkan sebagai perhiasan, aksesories dan pernak pernik dengan nilai jual yang tinggi. Pola kemitraan antara swasta, pemerintah dan masyarakat lokal. Pola kemitraan dalam bentuk pemberdayaan masyarakat (community development) secara partisipatif. Menurut Lankford dalam Kusworo (2000) pengintegrasian community participation dalam perencanaan pariwisata yaitu: (1) problem identification, (2) planning process, (3) projections, (4) assesment, (5) evaluation, (6) mitigation dan (7) monitoring. Sinergitas diantara stakeholder tersebut diharapkan akan
54
menunbuhkan rasa memiliki terhadap sumber daya alam yang dimanfaatkan sebagai salah satu alternatif proses konservasi dan memperkaya keanekaragaman hayati daerah tujuan ekowisata. Tumbuhnya ekonomi masyarakat lokal Potensi budidaya endemik, kuliner, karya seni khas payau akan menjadi peluang tumbuhnya ekonomi masyarakat. Hal ini menurut Nasikun (2000) dalam Suriani dan Razak (2011), dukungan ekowisata bagi pengembangan ekonomi berkelanjutan (sustainable economical development) dapat (1) membuka kesempatan kerja bagi masyarakat setempat untuk menjadi pelaku ekonomi secara langsung, (2) ekowisata menjadi salah satu sumber pendapatan daerah dalam rangka otonomi daerah, (3) memberi sumbangan ekonomi kepada negara dan masyarakat lokal, dan (4) ekowisata dapat diupayakan sebagai usaha ekonomi yang berkelanjutan dan terpadu. Menjadi kawasan ekowisata unggulan yang berdaya saing Kawasan ekowisata unggulan dapat tercapai jika potensi yang ada dikemas dengan baik sehingga kawasan wisata hutan payau mempunyai nilai jual yang berdaya saing. b) Ancaman (Threats) Konversi lahan. Aktivitas masyarakat disekitar kawasan wisata hutan payau merupakan salah satu ancaman karena secara tidak langsung memanfaatkan lahan sebagai pertanian dampak kebutuhan pangan yang terus meningkat, terutama di stasiun dua dan lima. Hal ini dimungkinkan akan berdampak pada konversi lahan mangrove sebagai lahan pertanian. Konflik kepentingan. Jenis kegiatan yang memicu terjadinya konflik kepentingan adalah penebangan kayu secara ilegal di kawasan wisata hutan payau oleh oknum masyarakat, sehingga menimbulkan konflik dengan pihak perhutani yang merasa dirugikan. Penebangan liar. Ruang lingkup wilayah yang dikelola relatif luas dan adanya keterbatasan jumlah pengawas serta masih lemahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan manfaat ekosistem mangrove, maka menimbulkan adanya penebangan liar. Gangguan keamanan, kenyamanan dan keselamatan pengunjung. Gangguan yang terjadi umumnya tidak mematuhi peraturan berwisata, dan hal ini akan merugikan semua pihak. misalnya tidak memakai pelampung saat berwisata perahu, tracking terpeleset karena bersenda gurau, berbuat asusila, mabok mabokan, pemerasan dan sebagainya. Matriks Faktor Strategi Pemberian bobot masing-masing faktor dengan kriteria penilaian obyek wisata hutan payau baik faktor internal dan eksternal digunakan untuk menghitung rating atau tingkat kepentingan suatu faktor disajikan pada Tabel 5.13 dan Tabel 5.14.
55
Tabel 5.13 Matriks faktor strategi internal (IFAS) Faktor-faktor strategi internal Strenghts (kekuatan) S1 Dukungan dari Perhutani, Dinas Kehutanan, Dinas Pariwisata, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Dinas Kelautan dan Perikanan, Bappeda S2 Peruntukan kawasan sebagai pariwisata alam S3 Biodiversity bioekologi dan luas kawasan wisata S4 Keunikan vegetasi mangrove dan kekhasan biota S5 Ketertarikan masyarakat lokal mengembangkan ekowisata S6 Kemudahan aksesibilitas wisata hutan payau menuju objek wisata lain S7 Sarana pendidikan dan penelitian Weaknesses (Kelemahan) W1 Kerusakan sarana dan prasaranan wisata W2 Pengangguran W3 Belum ada SDM khusus ekowisata mangrove W4 Lemahnya penegakan hukum dan keterbatasan jumlah pengawas W5 Belum ada sanitasi lingkungan Sumber: Diolah tahun 2013
Bobot
Rating
0,07
5
Nilai tertimbang 3,90 0,37
0,01 0,10 0,13 0,03
1 7 9 2
0,01 0,73 1,21 0,06
0,01
1
0,01
0,15
10
0,09 0,12 0,06 0,16
6 8 4 11
1,49 3,67 0,54 0,96 0,24 1,81
0,04
3
0,13
Faktor internal di kawasan wisata hutan payau di Tritih Kulon merupakan faktor kekuatan dan kelemahan dalam pengembangan ekowisata. Faktor internal pada aspek kekuatan memiliki nilai tertimbang 3,90 dan faktor kelemahan memiliki nilai 3,67. Berdasarkan identifikasi terhadap faktor-faktor internal, maka disusun pula Matriks EFAS tertera pada Tabel 5.14. Tabel 5.14 Matriks faktor strategi eksternal (EFAS) Faktor-faktor strategi eksternal Opportunities (Peluang) O1 Persepsi positif pengunjung dan masyarakat O2 Potensi budidaya biota endemik O3 Potensi kuliner biota endemik O4 Potensi karya seni khas payau O5 Pola kemitraan antara swasta, pemerintah dan masyarakat O6 Tumbuhnya ekonomi masyarakat lokal O7 Menjadi kawasan ekowisata unggulan yang berdaya saing Treaths (Ancaman) T1 Konversi lahan kawasan menjadi pertanian T2 Konflik kepentingan T3 Penebangan liar T4 Gangguan keamanan, kenyamanan dan keselamatan pengunjung T5 Degradasi kualitas vegetasi dan biota mangrove Sumber: Diolah tahun 2013
Bobot
Rating
0,07 0,10 0,08 0,07 0,11
5 7 6 5 8
Nilai tertimbang 5,21 0,34 0,67 0,49 0,34 0,88
0,12 0,14
9 10
1,11 1,37
0,05 0,01 0,08 0,03
4 1 6 2
2,15 0,22 0,01 0,49 0,05
0,14
10
1,37
56
Faktor eksternal di kawasan wisata hutan payau di Tritih Kulon merupakan faktor peluang dan ancaman dalam pengembangan ekowisata. Faktor eksternal pada aspek peluang memiliki nilai tertimbang 5,21 dan faktor ancaman memiliki nilai tertimbang 2,15. Analisis matrik pengembangan ekowisata kawasan wisata hutan payau menunjukkan nilai positif sebesar 0,22 (kekuatan – kelemahan = 3,90-3,67) pada posisi faktor internal, dan nilai positif posisi faktor eksternal sebesar 3,05 (peluang – ancaman = 5,21-2,15). Hal ini menunjukkan bahwa faktor-faktor tersebut dapat digunakan mendukung kebijakan strategi pengembangan kawasan wisata hutan payau di Tritih Kulon dengan menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk memanfaatkan peluang, meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang, menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman dan meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman. Formulasi strategi Unsur-unsur matriks IFAS dan EFAS dihubungkan dalam matriks untuk memperoleh beberapa alternative strategi pengembangan ekowisata di kawasan wisata hutan payau dengan melihat kombinasi faktor strategis internal dan eksternal seperti yang disajikan pada Tabel 5.15.
57
Tabel 5.15 Formulasi strategi pengembangan ekowisata IFAS
EFAS
1 2 3 4 5 6 7
1 2 3 4 5
Peluang (opportunities=O) Persepsi positif pengunjung dan masyarakat Potensi budidaya biota endemik Potensi kuliner biota endemik Potensi karya seni khas payau Pola kemitraan antara swasta, pemerintah dan masyarakat lokal Tumbuhnya ekonomi masyarakat lokal Menjadi kawasan ekowisata unggulan yang berdaya saing Ancaman (treaths =T) Konversi lahan kawasan menjadi pertanian Degradasi kualitas vegetasi dan biota mangrove Penebangan liar Gangguan keamanan, kenyamanan dan keselamatan pengunjung Konflik kepentingan
Sumber: Diolah tahun 2013
1 2 3 4 5 6 7 1
2
3
5
1 2 3
Kekuatan (strengths=S) Dukungan dari Perhutani, Dinas Kehutanan, Dinas Pariwisata, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Dinas Kelautan dan Perikanan, Bappeda Peruntukan kawasan sebagai pariwisata alam Biodiversity bioekologi dan luas kawasan wisata Keunikan vegetasi mangrove dan kekhasan biota Ketertarikan masyarakat lokal mengembangkan ekowisata Kemudahan aksesibilitas wisata hutan payau menuju objek wisata lain Sarana pendidikan dan penelitian Strategi S-O Membuat museum biota dan laboratorium Mangrove Arboretum Center Cilacap (MACCi) sebagai pusat pendidikan ekowisata mangrove Memanfaatkan areal pertambakan yang masih produktif untuk budidaya biota mangrove khusus dengan pendekatan silvofishery sebagai ekowisata unggulan Mengintregasikan peran kelembagaan (stakeholder) dalam membangun komitmen bersama menuju kawasan ekowisata unggulan yang berdaya saing Menyediakan moda transportasi pendidikan (Transdik) bagi mangrover dan pecinta alam Strategi S-T Membentuk Kelompok Mangrove Volunteer (KeMANGTEER) Cilacap agar terjalin forum silaturahmi diantara stakeholder Mengkampayekan rencana aksi "save of mangrove" dalam rangka mendukung gerakan "Earth Hour" dunia Pembinaan, penyuluhan, monitoring dan evaluasi agar terciptanya kawasan wisata yang lestari dan berkelanjutan
1 2 3 4 5
1
2
3
4 1
2
Kelemahan (weaknesses=W) Kerusakan sarana dan prasaranan wisata Pengangguran Belum ada SDM khusus ekowisata mangrove Lemahnya penegakan hukum dan keterbatasan jumlah pengawas Belum ada sanitasi lingkungan
Strategi W-O Menegakan hukum melalui kerjasama pengawas dan masyarakat lokal guna terciptanya kawasan wisata hutan payau yang lestari dan berkelanjutan Memperbaiki dan meningkatkan sarana dan prasarana kawasan wisata hutan payau agar tercipta suasana yang nyaman, aman dan memuaskan pengunjung Membangun kemandirian ekonomi masyarakat lokal secara arif melalui wirausaha dan jasa lainnya dengan menciptakan lapangan kerja Membangun dan mengelola sanitasi lingkungan Strategi W-T Perbaikan mutu sumberdaya manusia melalui sosialisasi kegiatan Mangrove REpLaNT (MR), Mangrove Cultivation (MC), Mangrove Movie (MM) Menerapkan pembagian kewenangan yang sudah disepakati dan memanfaatkan kawasan wisata hutan payau secara bijak
58
Tabel 5.16 Formulasi rangking pengembangan ekowisata Alternatif strategi
Jumlah Skor
Rangking
S1, S2, S3, S4, S5, S6, S7, O1, O2, O4, O5, O6, O7
8,61
4
S1, S2, S3, S4, S5, S7, O1, O2, O5, O4, O5, O6, O7
8,25
5
S1, S2, S3, S4, S5, S6, S7, O1, O2, O3, O4, O5, O6, O7
9,10
1
S1, S5, S6, S7, O1, O2, O4, O5, O7
5,54
10
W1, W2, W3, W4, W5, O1, O2, O3, O4, O5, O6, O7
8,88
2
W1, W2, W4, W5, O1, O2, O3, O4, O5, O6, O7
8,64
3
W1, W2, W5, O1, O2, O3, O4, O5, O6, O7
6,83
7
W2, W4, W5, O2, O3, O4, O5, O6, O7
7,76
6
S1, S3, S4, S5, S7, T1, T2, T3, T4, T5
6,02
8
S1, S2, S3, S4, S5, S6, S7, T1
4,11
13
S1, S3, S4, S5, S6, S7, T1, T2, T3, T5
5,98
9
W2, W3, W4, W5, T1, T2, T3, T4, T5
5,29
11
W1, W4, W5, T2, T3, T4, T5
4,49
12
Keterkaitan
Strategi S-O 1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
1
2
Membuat museum biota dan laboratorium Mangrove Arboretum Center Cilacap (MACCi) sebagai pusat pendidikan ekowisata mangrove Memanfaatkan areal pertambakan yang masih produktif untuk budidaya biota mangrove khusus dengan pendekatan silvofishery sebagai ekowisata unggulan Mengintregasikan peran kelembagaan (stakeholder) dalam membangun komitmen bersama menuju kawasan ekowisata unggulan yang berdaya saing Menyediakan moda transportasi pendidikan (Transdik) bagi mangrover dan pecinta alam Strategi W-O Menegakan hukum melalui kerjasama pengawas dan masyarakat lokal guna terciptanya kawasan wisata hutan payau yang lestari dan berkelanjutan Memperbaiki dan meningkatkan sarana dan prasarana kawasan wisata hutan payau agar tercipta suasana yang nyaman, aman dan memuaskan pengunjung Membangun kemandirian ekonomi masyarakat lokal secara arif melalui wirausaha dan jasa lainnya dengan menciptakan lapangan kerja Membangun dan mengelola sanitasi lingkungan Strategi S-T Membentuk Kelompok Mangrove Volunteer (KeMANGTEER) Cilacap agar terjalin forum silaturahmi diantara stakeholder Pembinaan, penyuluhan, monitoring dan evaluasi agar terciptanya kawasan wisata yang lestari dan berkelanjutan Mengkampayekan rencana aksi "save of mangrove" dalam rangka mendukung gerakan "Earth Hour" dunia Strategi W-T Perbaikan mutu sumberdaya manusia melalui sosialisasi kegiatan Mangrove REpLaNT (MR), Mangrove Cultivation (MC), Mangrove Movie (MM) Menerapkan pembagian kewenangan yang sudah disepakati dan memanfaatkan kawasan wisata hutan payau secara bijak
Sumber: Diolah tahun 2013
59
Alternatif strategi Alternatif strategi kegiatan pengembangan ekowisata di kawasan wisata hutan payau Tritih Kulon berdasarkan skala prioritas adalah: 1. Mengintregasikan peran kelembagaan (stakeholder) dalam membangun komitmen bersama menuju kawasan ekowisata unggulan yang berdaya saing. 2. Menegakan hukum melalui kerjasama pengawas dan masyarakat lokal guna terciptanya kawasan wisata hutan payau yang lestari dan berkelanjutan. 3. Memperbaiki dan meningkatkan sarana dan prasarana kawasan wisata hutan payau agar tercipta suasana yang nyaman, aman dan memuaskan pengunjung. 4. Membuat museum biota dan laboratorium Mangrove Arboretum Center Cilacap (MACCi) sebagai pusat pendidikan ekowisata mangrove. 5. Memanfaatkan areal pertambakan yang masih produktif untuk budidaya biota mangrove khusus dengan pendekatan silvofishery sebagai ekowisata unggulan. 6. Membangun dan mengelola sanitasi lingkungan. 7. Membangun kemandirian ekonomi masyarakat lokal secara arif melalui wirausaha dan jasa lainnya dengan menciptakan lapangan kerja. 8. Membentuk Kelompok Mangrove Volunteer (KeMANGTEER) Cilacap agar terjalin forum silaturahmi diantara stakeholder. 9. Mengkampayekan rencana aksi "save of mangrove" dalam rangka mendukung gerakan "Earth Hour" dunia. 10. Menyediakan moda transportasi pendidikan (Transdik) bagi mangrover dan pecinta alam. 11. Perbaikan mutu sumberdaya manusia melalui sosialisasi kegiatan Mangrove REpLaNT (MR), Mangrove Cultivation (MC), Mangrove Movie (MM). 12. Menerapkan pembagian kewenangan yang sudah disepakati dan memanfaatkan kawasan wisata hutan payau secara bijak. 13. Pembinaan, penyuluhan, monitoring dan evaluasi agar terciptanya kawasan wisata yang lestari dan berkelanjutan. Arahan strategi pengembangan ekowisata Rencana aksi kegiatan pengembangan ekowisata di kawasan wisata hutan payau Tritih Kulon Kabupaten Cilacap berdasarkan urutan strategi: 1. Mengintregasikan peran kelembagaan (stakeholder) dalam membangun komitmen bersama menuju kawasan ekowisata unggulan yang berdaya saing. Peran pemerintah ditempatkan sebagai pembina dan pengarah dalam pengembangan ekowisata, sedangkan peneliti berperan sebagai pendamping dalam pengelolaannya dan pihak wiraswasta dan masyarakat sebagai pendukung. Bentuk komitmen bersama diantara stakeholder dapat dilakukan melalui pembagian kewenangan pengelolaan paket wisata secara adil dan bijak sehingga menghasilkan keuntungan bersama dan terjalin keterpaduan diantara stakeholder guna menjadikan kawasan hutan payau sebagai kawasan wisata yang unggul dan berdaya saing dengan pendekatan pro-poor, pro-job- pro-growth dan pro-environment. Hal ini disampaikan oleh Ayob et al. (2009), suatu kawasan ekowisata dikatakan baik dan berhasil apabila mampu mencapai tiga aspek yaitu (1) kelestarian lingkungan terjaga, (2) menjamin kepuasan pengunjung, dan (3) meningkatkan keterpaduan pembangunan masyarakat di sekitar kawasan dan zona pengembangannya.
60
2.
3.
4.
5.
Menegakan hukum melalui kerjasama pengawas dan masyarakat lokal guna terciptanya kawasan wisata hutan payau yang lestari dan berkelanjutan. Menerapkan Peraturan Daerah No 17 tahun 2001 tentang Pengelolaan Hutan Mangrove di Kawasan Segara Anakan. Hal ini penting karena perda merupakan serangkaian upaya formal sebagai dasar legitimasi (payung hukum). Bentuk penerapan perda berupa pengawasan intensif dari pemerintah dan unsur masyarakat secara bersama-sama yang saling mendukung sehingga mengefisiensikan fungsi pengawasan dan pemeliharaan kawasan melalui penjagaan di pos-pos tertentu, titik-tik kerawanan penebangan, dan aksi perawatan secara rutin dengan kapal inspeksi (inspection boat) yang multifungsi. Hal ini akan menekan biaya pemeliharaan kawasan hutan payau. Memperbaiki dan meningkatkan sarana dan prasarana kawasan wisata hutan payau agar tercipta suasana yang nyaman, aman dan memuaskan pengunjung. Tata letak objek wisata tetap memperhatikan aspek kebutuhan dan estetika kawasan sehingga pengunjung mendapatkan suatu kenyamanan, keamanan dan kepuasan. Bentuk perbaikan dan peningkatan sarana dan prasana berupa jalan, dermaga, jembatan kayu (boardwalk), menara pandang (bird watching dan animal watching), shelter, pondok informasi, papan interpretasi, MCK, restaurant atau kios unit usaha makanan, kios cenderamata, transportasi darat dan sungai (perahu), penginapan (homestay), pemandu wisata, penyewaan alat pancing, pengelolaan parkir, laboratorium arboretum sebagai areal persemaian, lokasi budidaya biota endemik, dan sebagainya. Menurut Saparinto (2007), kawasan ekowisata dikatakan optimal apabila lokasi dan jenis kegiatan telah ditentukan, keteraturan dan keserasian sarana prasarana dengan kondisi objek, kenyamanan dan keamanan pengunjung terjamin. Membuat museum biota dan laboratorium Mangrove Arboretum Center Cilacap (MACCi) sebagai pusat pendidikan ekowisata mangrove. Arboretum (hutan percontohan mangrove) berguna sebagai tempat pendidikan dan pengenalan jenis-jenis mangrove kepada masyarakat, dengan tujuan agar terbina rasa mencintai dan memiliki kawasan wisata hutan payau. Keberadaan laboratorium Mangrove Arboretum Center Cilacap (MACCi) diharapkan berfungsi sebagai sarana penyebaran ilmu pengetahuan ekosistem mangrove dan sebagai pro-poor, pro-job, pro-growth dan pro-inviroment. Hal ini menjadikan kesadaran masyarakat dalam menjaga dan melestarikan kawasan wisata hutan payau menjadi kawasan wisata unggulan dan berdaya saing dapat segera diwujudkan. Memanfaatkan areal pertambakan produktif untuk budidaya biota mangrove khusus dengan pendekatan silvofishery sebagai ekowisata unggulan. Budidaya biota mangrove khusus contonya kerang totok dan tanggal dengan sistem silvofishery merupakan sistem kegiatan budidaya yang memperhatikan aspek keberlanjutan usaha secara ekonomis, sosial dan ekologis di ekosistem mangrove. Pemanfaatan mangrove secara lestari melalui pola silvofishery memberikan dampak ekologis yang baik, berupa (1) kesuburan substrat, (2) lebih efektif dibandingkan tambak biasa (tanpa mangrove), (3) aspek keanekaragaman makhluk hidupnya memiliki kemiripan komunitas phytoplankton dan benthos yang lebih tinggi dibandingkan tambak biasa (non silvofishery), (4) memberikan manfaat ekonomis secara maksimal bagi kesejahteraan petambak dan masyarakat.
61
6.
7.
8.
9.
Membangun dan mengelola sanitasi lingkungan Beberapa manfaat yang dapat dirasakan apabila fasilitas sanitasi lingkungan ada yaitu, mencegah penyakit menular, mencegah kecelakaan, mencegah timbulnya bau tidak sedap, menghindari pencemaran, kawasan wisata menjadi bersih, sehat dan nyaman. Bentuk sarana dan prasarana yang diperlukan antara lain: (1) Penyediaan air bersih/air minum (water supply), (2) pengolahan sampah (refuse disposal), (3) pengolahan makanan dan minuman (food sanitation), (3) pengawasan/pengendalian serangga dan binatang pengerat (insect and rodent control), dan (4) kesehatan dan keselamatan kerja. Membangun kemandirian ekonomi masyarakat lokal secara arif melalui wirausaha dan jasa lainnya Kemandirian ekonomi masyarakat dapat terbangun diantaranya dengan menciptakan lapangan pekerjaan baru (pro-job), melalui berjualan makanan dan minuman, menyediakan souvenir khas Cilacap, membuka restoran atau kedai minuman, jasa ojek, pemandu wisata dan lain-lain. Ekowisata dipandang sebagai suatu bentuk industri yang sangat penting karena berkaitan dengan pengentasan kemiskinan maupun pelestarian alam. Berdasarkan WES (World Ecotourism Summit) di Quebec menghasilkan prinsip pemikiran deklarasi Quebec, yaitu: prinsip pariwisata lestari terhadap sosial ekonomi, pelestarian alam dan budaya, melibatkan masyarakat lokal dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa konsep ekowisata merupakan metode pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pariwisata yang ramah lingkungan dengan melibatkan masyarakat lokal sebagai salah satu pelaku wisata. Menurut Kaesa (2014) partisipasi masyarakat lokal bisa menjadi key point dalam pengembangan ekowisata sekaligus dapat memotivasi untuk lebih bertanggungjawab terhadap pemeliharaan dan pelestarian alam. Membentuk Kelompok Mangrove Volunteer (KeMANGTEER) Cilacap agar terjalin forum silaturahmi diantara stakeholder. Salah satu cara yang paling efektif untuk menjalin kedekatan diantara stakeholder adalah dengan dibuatnya sarana forum silahturahmi intensif dalam bentuk lembaga untuk memudahkan dan menjalin persaudaraan sesama pencinta alam. Hal ini merupakan ajang diskusi yang membahas isu terkini sehingga apabila terdapat masalah yang baru dapat segera diatasi bersama. Mengkampayekan rencana aksi "save of mangrove" dalam rangka mendukung gerakan "Earth Hour" dunia Mempromosikan/memperkenalkan malalui pemandu wisata, agen perjalanan (linkage), profil pemerintah, brosur, leaflets guide books dan website. Menurut Satria (2009), pengembangan suatu kawasan wisata tidak bisa dilepaskan dari keberadan para pemadu wisata dan agen perjalanan, karena merupakan ujung tombak terdepan yang langsung berhubungan dengan para wisatawan. Salah satu aksi kampanye dalam rangka mendukung hari bumi yaitu diluncurkan video dokumenter EH 2012 melalui jejaring sosial, video ini diharapkan dapat menjadi motivasi untuk mendukung dan berpartisipasi aktif penanaman pohon mangrove melalui program NEWtrees (donasi korporasi) dan MyBabyTree (donasi individu).
62
10. Menyediakan moda transportasi pendidikan (Transdik) bagi mangrover dan pecinta alam. Moda transportasi sangat diperlukan untuk mempermudah akses jalan para pengunjung menuju lokasi kawasan wisata hutan payau. Moda transportasi pendidikan (Transdik) bisa berupa mobil yang dimodifikasi atau perahu yang dilengkapi dengan informasi tentang berbagai vegetasi dan biota mangrove agar pelajar dan masyarakat yang menggunakan moda tersebut dapat mengenal dan mencintai ekosistem mangrove. 11. Perbaikan mutu sumberdaya manusia melalui sosialisasi kegiatan Mangrove REpLaNT (MR), Mangrove Cultivation (MC), Mangrove Movie (MM). Bentuk kegiatan Mangrove REpLaNT (MR) yang diselenggarakan Kelompok Studi Ekosistem Mangrove Teluk Awur Jepara (KeSEMaT) adalah penanaman mangrove, yang menghadirkan peraih Kalpataru 2012 sekaligus penggagas berdirinya Tuban Mangrove Center yaitu H. Ali Mansur S.Ag. Sedangkan kegiatan Mangrove Cultivation (MC), berupa seminar pelatihan, penyuluhan, pembibitan, penyulaman dan lomba poster mangrove, dan kegiatan Mangrove Movie (MM), menghadirkan Fuad Azhari finalis Eagle Award 2012 dengan materi tentang film dokumenter di kawasan mangrove 12. Menerapkan pembagian kewenangan yang disepakati dan memanfaatkan kawasan wisata hutan payau secara bijak. Pembagian kewenangan produk ekowisata yang ditawarkan menurut Teh and Cabanban (2007), harus aman dan nyaman, sesuai dengan potensi sumberdaya alam yang menarik, indah dan alami, fasilitas dan kondisi jalan menuju objek wisata mudah dijangkau, dapat memenuhi dan memberikan kepuasan yang diinginkan serta pengalaman yang sukar diukur oleh pengunjung. Salah satu contoh program ekowisata yang berhasil menurut Wahyuni et al. (2006), program ekowisata minat khusus mangrove di Ngurah Rai Bali. Keberhasilan tersebut karena potensi kawasan mangrove sebagai obyek daya tarik wisata sekaligus sebagai upaya rehabilitasi dan konservasi berupa program education tour and tracking, bird watching, fishing, mangrove tree plantation or adoption, canoeing dan boating. 13. Pembinaan, penyuluhan, monitoring dan evaluasi agar terciptanya kawasan wisata yang lestari dan berkelanjutan Regulasi pengelolaan mangrove oleh Pemda, dijadikan acuan sehingga mempermudah dalam proses pembinaan, penyuluhan, monitoring dan evaluasi agar kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) masyarakat meningkat sehingga rasa memiliki (sense of belonging) masyarakat terhadap mangrove menjadi kooperatif terhadap usaha konservasi. Bentuk pembinaan dan penyuluhan melalui pelatihan dan pendidikan mengenai pemanfaatan mangrove sebagai sirup, kolang kaling, dan lain-lain. Menurut Haryanto (2008), pola pengelolalaan berbasis masyarakat dapat ditempuh dengan dua cara yaitu: (1) Program Perencanaan Partisipasi Masyarakat Desa (P3MD), sebagai upaya perencanaan dengan melibatkan masyarakat dan lembaga desa, (2) Pendekatan PRA (Paticipatory Rural Appraisal), yaitu pola pendekatan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan, khususnya ekosistem mangrove.
63
KESIMPULAN Berdasarkan dari uraian hasil dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Kerapatan ekosistem mangrove di kawasan wisata hutan payau Tritih Kulon memiliki nilai kelayakan mangrove, ikan dan kerang tergolong baik. 2. Kesesuaian ekologis, menunjukkan secara umum kawasan wisata hutan payau dapat dikembangkan sebagai ekowisata unggulan yang berdaya saing. 3. Strategi kegiatan pengembangan ekowisata di kawasan wisata hutan payau Tritih Kulon berdasarkan skala prioritas adalah: a. Mengintregasikan peran kelembagaan (stakeholder) dalam membangun komitmen bersama menuju kawasan ekowisata unggulan yang berdaya saing. b. Menegakan hukum melalui kerjasama pengawas dan masyarakat lokal guna terciptanya kawasan wisata hutan payau yang lestari dan berkelanjutan. c. Memperbaiki dan meningkatkan sarana dan prasarana kawasan wisata hutan payau agar tercipta suasana yang nyaman, aman dan memuaskan pengunjung. d. Membuat museum biota dan laboratorium Mangrove Arboretum Center Cilacap (MACCi) sebagai pusat pendidikan ekowisata mangrove. e. Memanfaatkan areal pertambakan yang masih produktif untuk budidaya biota mangrove khusus dengan pendekatan silvofishery sebagai ekowisata unggulan. f. Membangun dan mengelola sanitasi lingkungan. g. Membangun kemandirian ekonomi masyarakat lokal secara arif melalui wirausaha dan jasa lainnya dengan menciptakan lapangan kerja. h. Membentuk Kelompok Mangrove Volunteer (KeMANGTEER) Cilacap agar terjalin forum silaturahmi diantara stakeholder. i. Mengkampayekan rencana aksi "save of mangrove" dalam rangka mendukung gerakan "Earth Hour" dunia. j. Menyediakan moda transportasi pendidikan (Transdik) bagi mangrover dan pecinta alam. k. Perbaikan mutu sumberdaya manusia melalui sosialisasi kegiatan Mangrove REpLaNT (MR), Mangrove Cultivation (MC), Mangrove Movie (MM). l. Menerapkan pembagian kewenangan yang sudah disepakati dan memanfaatkan kawasan wisata hutan payau secara bijak. m. Pembinaan, penyuluhan, monitoring dan evaluasi agar terciptanya kawasan wisata yang lestari dan berkelanjutan.
64
65
DAFTAR PUSTAKA
Adityo. 2004. Fasilitasi Rekreasi Edukatif Hutan Wanagama. J Uajy. Vol 1. Agustiningsih D, Sasongko SB, Sudarno. 2012. Analisis Kualitas Air dan Strategi Pengendalian Pencemaran Air Sungai Blukar Kabupaten Kendal. J Presipitasi. Vol. 9 No. 2 Amira S. 2008. Pendugaan Biomassa Jenis Rhizopora apiculata BI Di Hutan Mangrove Batu Ampar Kab. Kubu Raya Kalimantan Barat. Skripsi. Kehutanan IPB Bogor. Arikunto S. 1993. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. PT. Pemuda Cipta. Jakarta. Atmoko T. 2010. Strategi Pengembangan Ekowisata Pada Habitat Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb.) di Kuala Samboja, Kalimantan Timur. J Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. VII No. 4: 425-437. Ayob MZ, Saman FM, Hussin Z, Jusoff K. 2009. Tourist’s Satisfaction on Kilim River Mangrove Forest Ecotourism Service. J Bussiness and Management 4(7): 76-84. Badan Pusat Statistik dan Bappeda Kabupaten Cilacap. 2012. Cilacap Dalam Angka 2012. ISSN 0215.5214. BPS Bahar A. 2004. Kajian Keseuaian dan Daya Dukung Ekosistem Mangrove untuk Pengembangan Ekowisata di Gugus Pulau Tanakeke Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Bengen DG. 2000. Tehnik Pengambilan Contoh dan Analisa Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Fakultas Perikanan dan Kelautan. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Beeton S. 2000. Ecotourism: A Practical Guide for Rural Communities. Australia. Brower J, Zar, Von Ende. 1990. Field and Laboratory Methods for General Ecology. Third edition. Wm. C. Brown Publishers, Dubuque, Iowa. 45-83. Brown K, Adger WN, Tompkins E, Bacon P, Shim D, Young K. 2001. Trade-off Analysis for Marine Protected Area Management. J Elsevier. Ecological Economic 37. 417-434 Brown K, Adger WN, Tompkins E. Trade-off Analysis for Participatory Coastal Zone Decision-Making. 2001. Overseas Development Group. University of East Anglia Norwich, NR4 7TJ UK. Bupati Kabupaten Cilacap. 2001. Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap Nomor: 17 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Hutan Mangrove di Kawasan Segara Anakan. Cilacap. Bupati Kabupaten Cilacap. 2008. Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap Nomor 24 Tahun 2008 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Cilacap Tahun 2008 – 2012. Cilacap.
66
Bupati Kabupaten Cilacap. 2011. Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap Nomor 9 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Cilacap Tahun 2011-2031. Cilacap. Carpenter A, Niem. 1998. The Living marine Resources of the Western Central Pacific. Vol 1: Seaweeds, Cora ls, Bivalves and Gastropods. FAO, UN. 686 pp Codilan A, Carandang MG, Calderon MM, Eslava FM. 2009. Aboveground Biomass Production of Three Mangrove Species in Real, Quezon Province, Philippines. J USM R & D 17 (2): 191-197. Dahuri R, Rais J, Ginting SP, Sitepu MJ. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. 328. Damanik J, HF Weber. 2006. Perencanaan Ekowisata. Pusat Studi Pariwisata Universitas Gajah Mada dan Penerbit Andi. Yogyakarta. Darsoprajitno HS. 2002. Ekologi Pariwisata: Tata Laksana Pengelolaan Obyek dan Daya Tarik Wisata. Angkasa Bandung. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2007. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulaupulau Kecil. Direktorat Jenderal KP3K. Jakarta. Dewi. 1993. Perlindungan dan Pelestarian. Seminar Pembahasan Strategi Nasional dan Program Aksi Mangrove di Indonesia. Jakarta Direktorat Jenderal PHPA.1979. Pedoman Pembinaan Taman Wisata. Bogor Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2001. Pedoman Pengembangan Pariwisata Alam di Taman Nasional untuk Pengelola dan Para Pihak. Bogor Erftmeijer P, Balen BV, Juharsa E. 1988. The Importance of Segara Anakan or Nature conservation with Special Reference to its Avivauna. PHPAAWB/Interwader Report No. 6. Bogor Erwiantono. 2006. Kajian Tingkat Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Kawasan Teluk Pangpang-Banyuwangi. J EPP. Vol. 3 No.1. 44-50 Fandeli C, Mukhlison. 2000. Pengusahaan Ekowisata. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Fromard F, Puig H, Mougin E, Marty, Betoulle JL, Cadamuro L. 1998. Structure, above-ground biomass and dynamics of mangrove ecosystems: new data from French Guiana. J Oecologia. 115:39-53 Haryanto R. 2008. Rehabilitasi Hutan Mangrove: Pelestarian Ekosistem Pesisir Pantai dan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. J Karsa. Vol. XIV No. 2 Herawati VE. 2008. Analisis Kesesuaian Perairan Segara Anakan Kabupaten Cilacap Sebagai Lahan Budidaya Kerang Totok (Polymesoda Erosa) Ditinjau Dari Aspek Produktifitas Primer Menggunakan Penginderaan Jauh. (Tesis) Undip. Semarang
67
Hardjosentono H. 1978. Hutan Mangrove di Indonesia dan Peranannya dalam Pelestarian Sumber Daya Alam. Warta Pertanian. Jakarta. 2-9 Hernowo JB, Arief. 1998. Pengembangan Fungsi Hutan Mangrove bagi Spesiesspesies Langka dan dilindungi di Segara Anakan. Laporan Akhir. Bagian Proyek Konservasi dan Pembangunan Segara Anakan Direktorat jenderal Pembangunan daerah dengan LPP Mangrove. Jakarta. Hogarth PJ. 1999. The Biology of Mangrove. Oxford University Press Inc. New York. 227 p Hutahaean E, Kusmana C, Dewi HR. 1999. Studi Kemampuan Tumbuhan Anakan Mangrove Jenis Rhizophora mucronata, Bruguiera gimnorhiza dan Avecennia marina Pada Berbagai Tingkat Salinitas. J Manajemen Hutan Tropika Vol. V, No. 1: 77-85 Kaesa KS. 2014. Membangun Kemandirian Ekonomi Masyarakat Lokal Melalui Ekowisata. Makalah. Taman Nasional Bali Barat. Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Rencana Zonasi Rinci Kawasan Minapolitan Kabupaten Cilacap. Ditjen KP3K. Jakarta Kitamura C. 1997. Metode Survey Vegetasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor Komiyama A, Ong JE, Poungparn S. 2008. Allometry, Biomass, and Productivity of Mangrove Forests: A Review. Aquatic Botany. J Elsevier. Krebs CJ. 1989. Ecological Methodology. Harper and Row Publisher. New York. 694 pp. Kusmana C. 1997. Ekologi dan Sumberdaya Ekosistem Mangrove. Pelatihan Pengelolaan Hutan Mangrove Lestari Angkatan I. PKSPL dan Dirjen Pemda, Bogor. Kusmana C, Istomo. 1995. Ekologi Hutan. Laboratorium Kehutanan. Fakultas Kehutanan. Intitut Pertanian Bogor. Bogor Kusumedi P, Rizal A. 2010. Analisis Stakeholder dan Kebijakan Pembangunan KPH Model Maros Sulawesi Selatan. J Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 7 No. 3. Kusworo HA (2000) Pengembangan Wisata Pedesaan Tepi Hutan Berbasis Kerakyatan dalam Pengusahaan Ekowisata. Fakultas kehutanan. Yogyakarta. Universitas Gadjah Mada. Listyaningsih DD. 2013. Kajian Degradasi Lingkungan Terhadap Populasi Polymesoda erosa di Ekosistem Mangrove Segara Anakan Cilacap. Tesis IPB Love RH. 1993. Acomparison of Volume Sacttering Strength Data with Model Calculations Based on Quasisynaptically Collected Fishery Data. J A Coust Soc. Am. 94, 2255-68 Mangindaaan P, Wantasen A, Mandagi SV. 2012. Analisis Potensi Sumberdaya Mangrove di Desa Sarawet, Sulawesi Utara, Sebagai Kawasan Ekowisata. J Perikanan dan Kelautan Tropis. Vol. VIII-2
68
Mann KH. 2000. Ecological of Coastal Waters. Departement of Fisheries a Dartmouth, Nova Scotia. Canada Marpaung H. 2002. Pengetahuan Kepariwisataan. Edisi Revisi. Bandung: Alfabeta. Menteri Kehutanan. 1996. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 447/KptsII/1996 Tentang Pembinaan dan Pengawasan Pengusahaan Pariwisata Alam. Jakarta. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. 2014. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah PESISIR dan Pulaupulau Kecil. Jakarta Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2003. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: 115 tahun 2003. Tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air. Jakarta Mirawati, Efrizal T, Melani WR. 2012. Kajian Potensi Mangrove Sebagai Daerah Ekowisata Di Desa Sebong Lagoi. J Umroh. Vol. 8. Moleong JL. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung. Mueller-Dumbois D, Ellenberg H. 1974. Aims and methods of vegetation ecology. John Wiley, London. Nasution S. 2009. Biomassa Kerang Anadara granosa pada Perairan Pantai Kabupaten Indragiri Hilir. J Natur Indonesia 12 (1), 61-66 Noor YR, Khazali M, Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PKA/WI-IP, Bogor, 220 hlm. Nontji A. 2005. Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan Nugraha GA. 2007. Estimasi Biomassa Ikan Pelagis Di Teluk Pelabuhan Ratu Dengan Menggunakan Sistem Akustik. ITK-IPB. Bogor Odum PE. 1971. Foundamental of Ecology. W.B. Sounders Company. Philadelphia. 401-415 pp. Odum. 1996. Dasar-dasar Ekologi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Onrizal. 2005. Adaptasi Tumbuhan Mangrove Pada Lingkungan Salin dan Jenuh Air. J e-USU repository. Universitas Sumatera Utara. Pambudi GP. 2011. Pendugaan Biomassa Beberapa Kelas Umur Tanaman Jenis Rhizophora apiculata BI. Pada Areal PT. Bina Ovivipari Semesta Kabupaten Kubu Raya, Kalbar. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Kehutanan IPB. Pamungkas O. 2002. Struktur dan Komposisi Vegetasi Hutan Mangrove di Kawasan Segara Anakan Cilacap. Skripsi. FPIK Undip. Patang. 2012. Analisis Strategi Pengelolaan Hutan Mangrove. (Kasus Di Desa Tongke-Tongke Kabupaten Sinjai). J Agrisistem. Vol. 8 No. 2
69
Perum Perhutani. 1989. Objek Rekreasi Hutan Wana Wisata. Perum Perhutani di Wilayah Kerja Unit I Jawa Tengah. Jakarta Perum Perhutani. 1991. Rencana Induk Pengembangan Wana Wisata Tritih KPHBanyumas Barat. Proyek Pengembangan Wana Wisata di Wilayah Kerja Perum Perhutani. Jakarta Poerwaka T. 2002. Sistem Hukum dan Kelembagaan dalam Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan. (makalah), Jakarta. Pradana OY, Nirwani, Suryono. 2013. Kajian Bioekologi dan Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove: Studi Kasus di Teluk Awur Jepara. J Marine Research. Vol. 2 No. 1 Putra AM. 2006. Konsep Desa Wisata. J Manajemen Pariwisata Universitas Udayana. Volume 5 No. 1. Rahayu LWF. 2001. Pembangunan Satwa In-situ dan Ex-situ Untuk Kepariwisataan Alam. Fandeli C. 2001. Dasar-Dasar Manajemen Kepariwisataan Alam. Liberty. Yogyakarta. 189 hal. Rangkuti F. 1999. Analisis SWOT. Teknik Membedah Kasus Bisnis: Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21. PT. Gramedia Utama Jakarta Romadhon A. 2008. Kajian Nilai Ekologi melalui Inventarisasi dan Nilai Indeks Penting (INP) Mangrove Terhadap Perlindungan Lingkungan Kepulauan Kangean. J Embryo Vol. 5 No. 1. Saaty TL. 1993. Pengambilan Keputusan bagi Para Pemimpin: Proses Hirarki Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang kompleks. Pustaka Binaman Presindo. Jakarta Santoso N. 2006. Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berkelanjutan di Indonesia. “Training Workshop on Developing The Capacity of Environmental NGOs in Indonesia to Effeticvely Implement Wetland Project According to the Ramsar Guidelines and Obyectives of the Convention on Biodiversity”. Bogor Saparinto C. 2007. Pendayagunaan Ekosistem Mangrove. Semarang: Effhar Offset. Satria D. 2009. Strategi Pengembangan Ekowisata Berbasis Ekonomi Lokal Dalam Rangka Program Pengentasan Kemiskinan di Wilayah Kabupaten Malang. J of Indonesian Applied Economics. Vol. 3 No. 1, 37-47 Setyobudiandi I, Sulistiono, Yulianda, Kusmana, Hariyadi, Damar, Sembiring, Bahtiar. 2009. Sampling dan Analisis Data Perikanan dan Kelautan. Terapan Metode Pengembilan Contoh di Wilayah Peisir dan Lautan. IPB. Bogor Sherman RE, Fahey, TJ, Martinez P. 2003. Spatial Patterns of Biomass and Aboveground Net Primary Productivity in a Mangrove Ecosystem in the Dominican Republic. J Ecosystems. 6: 384–398
70
Siswantoro H, Anggoro S, Sasongko DP. 2012. Strategi Optimasi Wisata Massal di Kawasan Konservasi Taman Wisata Alam Grojogan Sewu. J Ilmu Lingkungan Vol. 10 issue 2: 100-110 Suaedi. 2007. Rancang Bangun Kebijakan Pembangunan Wilayah Pesisir Berkelanjutan Secara Partisipatif di Kab. Subang. Tesis. IPB. Bogor. Sudjana.1990. Metode Statistik. Penerbit Tarsito, Bandung. 508 pp. Sulistiyowati H. 2009. Biodiversitas Mangrove Di Cagar Alam Pulau Sempu. J Sainstek. Vol. 8 No. 1 Suratmo G. 1990. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Yogyakarta Gajah Mada University Press. Suriani NE, Razak MN. 2011. Pemetaan Potensi Ekowisata di Taman Nasional Baluran. J D3 Pariwisata Unair. Vol. 24 No. 3. 251-260. Supardjo MN. 2008. Identifikasi Vegetasi Mangrove Di Segoro Anak Selatan, Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi, Jawa Timur. J Saintek Perikanan Vol. 3 No. 2 Susilo F, Setyobudiandi I, Damar A. 2010. Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Kecamatan Percut Sei Tuan Kab. Deli Serdang. J Agrobio. Vol. 2 No. 2. Sutaryo D. 2009. Perhitungan Biomassa. Wetland International Indonesia Programme. Bogor Suzuki E, Tagawa H. 1983. Biomass of Mangrove Forest and a Sedge Ishigaki Island South Japan. J Ecol. Vol. 33, No. 2. Tebaiy S. 2004. Kajian Pengembangan Ekowisata Mangrove Berbasis Masyarakat di Taman Wisata Teluk Youtefa Papua. Tesis IPB. Teh L, Cabanban AS. 2007. Planning for Sustainable Tourism in Southern Pulau Banggi : An Assessment of Biophysical Conditions and Their Implications for Future Tourism Development. J of Environmental Management 85 : 999–1008. Tomlinson PB. 1994. The Biology of Mangrove. Cambridge University Press, New York. 419 p. Wardhani MK. 2011. Analisis Kesesuaian Lahan Konservasi Hutan Mangrove Di Pesisir Selatan Kabupaten Bangkalan. Skripsi. Universitas Trunojoyo Madura. Watson JG. 1928. Mangrove forest of the Malay-Peninsula. Malayan Forest Records. 275 hlm. Wiharyanto D, Laga A. 2010. Kajian Pengelolaan Hutan Mangrove Di Kawasan Konservasi Desa Mamburungan Kota Tarakan Kalimantan Timur. J Sains. Vol. 2 No. 1. Widjanarko M, Wismar’ein D. 2011. Identifikasi Sosial Potensi Ekowisata Berbasis Peran Masyarakat Lokal. J Psikologi Undip Vol. 9, No.1. Wilhm JT, Dorris.1986. Fundamental of Ecology. Drenker Inc.123-125 p.
71
WTO. 2002. Enhancing The Economic Benefits of Tourism for Local Communities and Poverty Alleviation. WTO. Madrid. Yahya RP. 1999. Zonasi Pengembangan Ekoturisme Kawasan Mangrove yang Berkelanjutan di Laguna Segara Anakan Kabupaten Cilacap Propinsi Jawa Tengah. Tesis. Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB. Yasman. 1988. Struktur Komunitas Gastropoda (Moluska) Hutan Mangrove di Pantai Barat Pulau Handeuleum Taman Nasional Ujung Kulon dan Di Pantai Utara Pulau Penjalinan Barat, Teluk Jakarta. Prosiding Seminar VI Ekosistem Mangrove. Panitia MAB Indonesia LIPI. 340. Yulianda F. 2007. Ekowisata Bahari Sebagai Alternatif Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Berbasis Konservasi. Seminar Sains Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB Bogor. Zaky AR, Suryono CA, Pribadi R. 2012. Kajian Kondisi Lahan Mangrove di Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak dan Kelurahan Mangunharjo, Kecamatan Tugu, Kota Semarang. J Marine Research. Vol. 1 No. 2. Zanaria. 2012. Visitors’ Management of Mangrove Tourism Desa Teluk Pambang. Makalah.
72
73
LAMPIRAN
74
Lampiran 1 Gambaran umum kawasan wisata hutan payau
Fasilitas pintu gerbang, loket, area parkir
Sungai Tritih di kawasan wisata hutan payau
Fasilitas jalan setapak (tracking)
Kereta wisata, papan informasi dan sanggar seni
Contoh kerusakan sarana dan prasarana (perahu wisata, shelter dan dermaga)
75
Lampiran 2 Pengambilan dan pengukuran vegetasi dan biota mangrove
76
Lampiran 3 Tabel kerapatan, kerapatan relatif, keanekaragaman, keseragaman, dominansi, dominansi relatif, frekuensi dan frekuensi relatif kategori pohon ST
Lokasi Pohon
No 1
NGRW 1
2 3
STASIUN 1
NGRW 2
1 2
Species
Ni
B. gymnoriza
1
A. Marina
6
R. apiculata
4
Jumlah
11
B. gymnoriza
8
R. mucronata
16
Jumlah NGRW 3
1 2
DAON 1
1 2
7
R. mucronata
16
DAON 2
1
1
KR (%)
H'
J'
D
BA (cm2)
0,091
(2,398)
100
9
2,398
1,000
0,008
86,70
0,545
(0,606)
600
55
0,606
0,253
0,298
0,364
(1,012)
400
36
1,012
0,422
1100
100
4,016
BAi/BA
DR (%)
F
FR (%)
0,067
6,68
0,33
33,33
892,20
0,687
68,70
0,33
33,33
0,132
319,82
0,246
24,63
0,33
33,33
1,675
0,438
1.298,73
100,00
1,00
0,333
(1,099)
800
33
1,099
0,346
0,111
1.788,61
0,687
68,69
0,50
50,00
0,667
(0,405)
1600
67
0,405
0,128
0,444
815,39
0,313
31,31
0,50
50,00
2400
100
1,504
0,473
0,556
2.604,00
100,00
0,304
(1,190)
700
30
1,190
0,379
0,093
1.276,59
0,409
40,92
0,50
50,00
0,696
(0,363)
1600
70
0,363
0,116
0,484
1.843,39
0,591
59,08
0,50
50,00
2300
100
1,552
0,495
0,577
3.119,98
23
100,00
2
0,125
(2,079)
200
13
2,079
0,750
0,016
730,02
0,755
75,47
0,50
50,00
A. Marina
14
0,875
(0,134)
1400
88
0,134
0,048
0,766
237,26
0,245
24,53
0,50
50,00
1600
100
2,213
0,798
0,781
967,28
800
100
-
-
1,000
454,70
800
100
-
-
1,000
454,70
500
100
-
-
1,000
2.119,59
500
100
-
-
1,000
2.119,59
A. marina Jumlah
DAON 3
K (Ind/ha)
A. alba
Jumlah STASIUN 2
Ln Ni/N
24
B. gymnoriza
Jumlah
Ni/N
A. marina Jumlah
16 8
1,000
-
8 5 5
1,000
-
100,00 1,000
100,00
1,00
100,00
1,00
100,00
100,00 1,000
100,00 100,00
77
ST
Lokasi Pohon KNTL 1
No 1 2
Ni
Ni/N
Ln Ni/N
K (Ind/ha)
KR (%)
H'
J'
D
BA (cm2)
BAi/BA
A. marina
5
0,625
(0,470)
500
63
0,470
0,226
0,391
1.582,40
R. apiculata
3 8
0,375
(0,981)
300 800
38 63
0,981 0,470
0,472 0,698
0,141 0,531
A. marina
3
0,500
(0,693)
300
50
0,693
0,387
R. apiculata
3 6
0,500
(0,693)
300 600
50 50
0,693 0,693
A. marina
5
0,455
(0,788)
500
45
R. apiculata
6 11
0,545
(0,606)
600 1100
A. marina
4
0,222
(1,504)
R. apiculata
10
0,556
S. alba
4 18
Species
DR (%)
F
0,964
96,42
0,50
50,00
58,68 1.641,08
0,036
3,58 100,00
0,50
50,00
0,250
571,66
0,899
89,94
0,50
50,00
0,387 0,774
0,250 0,500
63,93 635,59
0,101
10,06 100,00
0,50
50,00
0,788
0,329
0,207
1.396,34
0,883
88,29
0,50
50,00
55 45
0,606 0,788
0,253 0,582
0,298 0,504
185,11 1.581,45
0,117
11,71 100,00
0,50
50,00
400
22
1,504
0,520
0,049
352,31
0,361
36,11
0,33
33,33
(0,588)
1000
56
0,588
0,203
0,309
336,70
0,345
34,51
0,33
33,33
0,222
(1,504)
400 1800
22 22
1,504 1,504
0,520 1,244
0,049 0,407
286,62 975,64
0,294
29,38 100,00
0,33
33,33
3
0,188
(1,674)
300
19
1,674
0,604
0,035
53,74
0,120
12,00
0,33
33,33
12
0,750
(0,288)
1200
75
0,288
0,104
0,563
296,74
0,662
66,23
0,33
33,33
1 16
0,063
(2,773)
100 1600
6 19
2,773 1,674
1,000 1,708
0,004 0,035
97,53 448,01
0,218
21,77 100,00
0,33
33,33
A. marina
4
0,211
(1,558)
400
21
1,558
0,529
0,044
1.013,14
0,637
63,72
0,33
33,33
R. apiculata
14
0,737
(0,305)
1400
74
0,305
0,104
0,543
250,80
0,158
15,77
0,33
33,33
S. alba
1
0,053
(2,944)
100
5
2,944
1,000
0,003
326,11
0,205
20,51
0,33
33,33
1900
21
1,558
1,633
0,590
1.590,05
Jumlah
STASIUN 3
KNTL 2
1 2
Jumlah KNTL 3
1 2
Jumlah 1 GRYM 1
2 3 1
STASIUN 4
GRYM 2
2 3
Jumlah A. marina R. apiculata S. alba Jumlah
1 GRYM 3
2 3
Jumlah
19
100,00
FR (%)
78
Lokasi Pohon
ST
No 1
RMNG 1
2 3 4
Ni
Ni/N
Ln Ni/N
K (Ind/ha)
KR (%)
H'
J'
D
BA (cm2)
A. marina
8
0,421
(0,865)
800
42
0,865
0,294
0,177
556,21
A. alba
4
0,211
(1,558)
400
21
1,558
0,529
0,044
R. apiculata
3
0,158
(1,846)
300
16
1,846
0,627
4
0,211
(1,558)
400
21
1,558
1900
63
Species
Ae. corniculatum Jumlah
STASIUN 5
1 RMNG 2
2 3
RMNG 3
1
19
: : : : :
DR (%)
F
FR (%)
0,405
40,53
0,25
25,00
419,98
0,306
30,60
0,25
25,00
0,025
53,74
0,039
3,92
0,25
25,00
0,529
0,044
342,36
0,249
24,95
0,25
25,00
2,423
1,979
0,291
1.372,29
100,00
A. marina
1
0,143
(1,946)
100
14
1,946
1,000
0,020
71,66
0,416
41,61
0,33
33,33
R. apiculata
3
0,429
(0,847)
300
43
0,847
0,435
0,184
46,82
0,272
27,18
0,33
33,33
3
0,429
(0,847)
300
43
0,847
0,435
0,184
53,74
0,312
31,21
0,33
33,33
700
14
1,946
1,871
0,388
172,21
400
100
-
-
1,000
71,66
400
100
-
-
1,000
71,66
Ae. corniculatum Jumlah
7
R. apiculata
4
Jumlah
4
1,000
-
Keterangan: K KR H' J' F
BAi/BA
Kerapatan jenis i (ind/ha) Kerapatan Relatif (%) Indeks Keanekaragaman Indeks Keseragaman Frekuensi
FR D DR INP
: : : :
Frekuensi relatif Indeks Dominansi Dominansi Relatif Indeks Nilai Penting
100,00 1,000
100,00 100,00
1,00
100,00
79
Lampiran 4 Penentuan bobot faktor-faktor internal dan eksternal Simbol Kekuatan S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7 Kelemahan W1 W2 W3 W4 W5
Simbol Peluang O1 O2 O3 O4 O5 O6 O7 Ancaman T1 T2 T3 T4 T5
S1
S2 S1
S3 S3 S3
S4 S4 S4 S4
S1 S3 S4 S1 S1 S7
S3 S4 S5 S6 S7
S4 S3 S3 S7
S4 S4 S7
W1 W2 S1 W4 S1
W1 W2 W3 W4 S2
S3 W2 S3 W4 S3
S4 S4 S4 W4 S4
Faktor yang lebih penting S5 S6 S7 W1 S1 S1 S7 W1 S5 S6 S7 W1 S3 S3 S7 S3 S4 S4 S7 S4 S5 S7 W1 S5 S7 W1 S7 S7 S7 W1 W1 W2 W2 W3 W3 W4 W4 W5 W5 Jumlah total
S7 S7 S7 W4 S7
W2
W1 W2
W4 W4 W4
W1 W2 W5 W4
T3 T3 O2 O3 O4 T3 T3 O7
T4 T4 O2 O3 O4 O5 O6 O7
T5 T5 T5 T5 T5 T5 T5 O7
T1
T3 T3
T4 T2 T3
T5 T5 T5 T5
O3 O5 O3 O7
O5 O4 O7
T1 O1 T3 T4
O2 O2 O2 O2
O3 O3 O3 O3
O4 O4 O4 O4
T1 O5 T3 O5
T5
T5
T5
T5
T5
O4 O4 O2 O3
W5 S1 S2 S3 S4 W5 W5 S7
T2 O1 O2 O3 O4 O5 O6 O7
O2 O2 O5 O2 O7
O3 O3 O2
W4 W4 W4 W4 W4 W4 W4 W4
W2 W4 W2
O2 O3 O4 O5 O6 O7
O2 O2
W3 S1 W3 S3 S4 W3 W3 S7
W2 W1 W4 W1
Faktor yang lebih penting O5 O6 O7 T1 O5 O1 O7 T1 O5 O2 O7 O2 O5 O3 O7 O3 O5 O4 O7 O4 O5 O7 T1 O5 O7 T1 O7 O7 O7
O1
W2 W2 W2 W2 S4 W2 W2 S7
W4 W5
T1 O6 T3 O6
O7 O7 O7 O7
T1 T3 T4
T3 T2
T3
T5
O7
T5
T5
T5
Jumlah Total
W4
T5
Rating
Bobot
5 1 7 9 2 1 10
0,07 0,01 0,10 0,13 0,03 0,01 0,15
6 8 4 11 3 67
0,09 0,12 0,06 0,16 0,04 1,00
Rating
Bobot
5 7 6 5 8 9 10
0,07 0,10 0,08 0,07 0,11 0,12 0,14
4 1 6 2
0,05 0,01 0,08 0,03
10
0,14
73
0,86
80
RIWAYAT HIDUP
Andi Rahman. Lahir pada tanggal 7 Agustus 1979 di Banyumas Jawa Tengah. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN Sudagaran II Banyumas pada Tahun 1993 dan SMPN II Kalibagor lulus Tahun 1996. Setelah lulus SMU N I Patikraja Banyumas Tahun 1999 penulis melanjutkan studi S1 di Universitas Diponegoro Semarang melalui jalur Penerimaan Seleksi Siswa Berpotensi (PSSB) dan studi S2 di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) Institut Pertanian Bogor berkat ijin dari pimpinan di Biro Perencanaan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Semasa SMP dan SMU penulis ikut berperan aktif dalam kegiatan keorganisasian. Penulis diberi kesempatan sebagai Ketua OSIS pada saat SMP dan SMU, Pradana Pramuka, aktor Teater, Paskibraka Kab. Banyumas dan beberapa lomba diantaranya Siswa Teladan, Olimpiade Fisika, Kepariwisataan Pos & Giro. Selama masa kuliah S1 penulis aktif mengikuti kegiatan kemahasiswaan, yaitu FKMI (Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Ilmu Kelautan), KSF-BL (Kelompok Studi Farmakologi Biota Laut), MDC (Marine Diving Club) dan KeSEMaT (Kelompok Studi Ekosistem Mangrove Teluk Awur) yang selanjutnya dipercaya sebagai Presiden, Dewan Penasehat dan Dewan Kehormatan KeSEMaT. Pada studi S1 penulis diberi amanah sebagai penanggung jawab penelitian KeSEMaT yang memenangkan lomba Kompetisi Pesisir Tahap II "Pembangunan Pesisir Berwawasan Lingkungan" dari Wetland Internasional-Indonesia Programme (WI-IP) dengan Tema "Persemaian Mangrove dan Pembuatan Arboretum sebagai Upaya Rehabilitasi Wilayah Pesisir Kabupaten Jepara" (Mangrove REpLaNT 2003) dengan monitoring selama 1 Tahun. Selain itu, penulis diberi kesempatan mengikuti penelitian Praktek Kerja Lapangan (PKL) dengan judul “Studi Pendahuluan Aktivitas Ekstrak Kasar Daun, Batang dan Akar Mangrove Derris trifoliata terhadap Bakteri Penyakit Udang Vibrio parahaemolyticus” di Segara Anakan Cilacap atas kerjasama SACDP-Undip, dan skripsi dengan judul “Kinetika Biodegradasi Koprostanol oleh Bakteri Terseleksi dari Sedimen dan Air Muara Banjir Kanal Timur Semarang atas kerjasama Pusat Kajian Pesisir dan Lautan (PKPLT) Undip. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar master di Institut Pertanian Bogor (IPB) Fakultas Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP), Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL), penulis menyusun tesis dengan judul “Strategi Pengembangan Kawasan Wisata Hutan Payau di Tritih Kulon, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah”