STRATEGI PENGELOLAAN SAMPAH PADA TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR BANTARGEBANG, BEKASI
DJATMIKO WINAHYU
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Tugas Akhir Kajian Pembangunan Daerah Strategi
Pengelolaan
Sampah
Pada
Tempat
Pembuangan
Akhir
Bantargebang, Bekasi adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir kajian ini. Bogor, September 2009
Djatmiko Winahyu NRP. H251064145
ABSTRACT DJATMIKO WINAHYU, Strategies of Final Disposal Site (TPA) Management of Bantargebang, Bekasi. Under direction of SRI HARTOYO and YUSMAN SYAUKAT. Solid waste and its management has become an urgent issue for Indonesian cities. Without giving good treatment it will bring a change of balance to the environment and cause other negative impacts. The favorite way of solid waste treatment in cities is by burying it in a final disposal site (TPA). TPA Bantargebang is an asset owned by DKI Jakarta Provincial Government and the only final disposal site for all solid waste from Jakarta. The increase of solid waste volume buried in the site will have concequence of shorter use. The bad practice of sanitary landfill also makes the condition worse. Another thing to consider is the increase in operational expenses allocated annually by the local government. The research is intended to know the existing condition of TPA Bantargebang and to determine the alternatives of management strategy of TPA Bantargebang that could be adopted by DKI Jakarta Provincial Government using qualitative approach with analytic descriptive design. The sample of the research is the stakeholder in solid waste sector namely government, expert and community. The data collection is through questionnaire, interview, observation and documentation. The technique of data analysis using SWOT analysis. Based on the result of analysis, I conclude that optimizing the management of TPA Bantargebang could be achieved through four alternatives of strategy increasing infrastructures, involving investors in the construction and operation of TPA, promoting social participation and promoting the quality of human resources. The result of the research shows that priority of the choice is the involment of investors in the construction and operation of TPA with a big government role in its management.
RINGKASAN DJATMIKO WINAHYU, Strategi Pengelolaan Sampah Pada Tempat
Pembuangan Akhir Bantargebang, Bekasi. Dibawah bimbingan SRI HARTOYO, sebagai ketua, YUSMAN SYAUKAT, sebagai anggota komisi pembimbing.
Sampah pada dasarnya merupakan suatu bahan terbuang atau dibuang dari suatu sumber hasil aktivitas manusia maupun proses-proses alam yang tidak mempunyai nilai ekonomi, bahkan dapat mempunyai nilai ekonomi yang negatif karena dalam penanganannya baik untuk membuang atau membersihkannya memerlukan biaya yang cukup besar. Sampah dan pengelolaannya kini menjadi masalah yang kian mendesak terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, adalah dengan penimbunan pada sebuah Tempat Pembuangan Akhir (TPA), sebab bila tidak dilakukan penanganan yang baik maka akan mengakibatkan terjadinya perubahan keseimbangan lingkungan yang merugikan atau tidak diharapkan sehingga dapat mencemari lingkungan baik terhadap tanah, air maupun udara. oleh karena itu untuk mengatasi masalah pencemaran tersebut diperlukan penanganan dan pengendalian terhadap sampah. Penanganan dan pengendalian akan menjadi semakin rumit dengan semakin kompleksnya jenis maupun komposisi dari sampah sejalan dengan semakin majunya kebudayaan. Penanganan sampah di perkotaan relatif lebih sulit dibanding sampah di pedesaan. Pertambahan penduduk dan peningkatan aktivitas warga Jakarta yang demikian pesat, telah mengakibatkan meningkatnya jumlah sampah disertai dengan berbagai permasalahannya. Berdasarkan data Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta, jumlah timbulan sampah per hari pada tahun 2007 adalah sekitar 27.654 m³ atau setara 6.914 ton, yang bersumber pada beberapa sektor, seperti : permukiman, perkantoran, industri, sekolah, pasar, dan lain-lain. Berdasarkan hasil evaluasi kebersihan kota-kota di Indonesia, tidak seluruh sampah dapat diangkut oleh kendaraan pengangkut sampah untuk dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Kondisi ini disebabkan oleh masih terbatasnya dana, sumber daya manusia serta sarana dan prasarana yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah. Untuk wilayah Jakarta, sampah yang dapat diangkut/tertanggulangi
sekitar 26.962 m³ (97,50%), sedangkan sisanya sekitar 692 m³ (2,50%) tidak tertanggulangi. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang merupakan aset milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan satu-satunya TPA bagi seluruh sampah dari DKI Jakarta. Semakin meningkatnya volume sampah yang dibuang ke TPA tersebut akan memperpendek usia pemanfaatannya. Kondisi ini diperparah dengan belum diterapkannya SOP Sanitary Landfill. Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah semakin besarnya beban anggaran yang harus ditanggung oleh Pemerintah Daerah yang selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Penelitian ini ditujukan untuk mengevaluasi kinerja pengelolaan sampah TPA Bantargebang dan menentukan strategi pengelolaan TPA Bantargebang yang dapat digunakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan menggunakan pendekatan deskriptif analitik dengan metode kualitatif. Sampel penelitian ini adalah para pakar di bidang persampahan baik dari pihak pemerintah, pakar maupun masyarakat. Pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner, wawancara, observasi dan dokumentasi. Pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner, wawancara, observasi dan dokumentasi. Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa upaya optimasi pengelolaan TPA Bantargebang dapat dilakukan melalui analisis SWOT yang merupakan salah satu cara yang dapat membantu menganalisis pengelolaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah Bantargebang, sehingga akan menghasilkan beberapa alternatif strategi prioritas.
@ Hak Cipta milik IPB, Tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik dan tinjauan suatu masalah; dan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
STRATEGI PENGELOLAAN SAMPAH PADA TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR BANTARGEBANG, BEKASI
DJATMIKO WINAHYU
Tugas Akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tugas Akhir : Ir. Lukman M. Baga, MAEc
Judul Tugas Akhir :
Strategi Pengelolaan Sampah Pada Tempat Pembuangan Akhir Bantargebang, Bekasi
Nama
:
Djatmiko Winahyu
NRP
:
H 251064145
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS Ketua
Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: 15 Mei 2009
Tanggal Lulus :
PRAKATA Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan kajian pembangunan daerah yang berjudul “Strategi Pengelolaan Sampah Pada Tempat Pembuangan Akhir Bantargebang, Bekasi”. Tulisan ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Dalam proses penyelesaian tulisan ini, penulis banyak mendapat bantuan, dukungan, serta kemudahan dalam memperoleh informasi dan masukan-masukan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setingg-tingginya kepada yang terhormat : 1. Departemen Dalam Negeri yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 2. Bapak Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS, selaku Ketua dan Bapak Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec, selaku Anggota, atas kesediannya meluangkan waktu untuk memberikan arahan, bimbingan, saran dan dorongan yang sangat berharga dalam menyelesaikan tulisan ini. 3. Ketua Program, para Dosen dan seluruh Staf/Karyawan Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 4. Kedua orang tua, adik serta istri dan anak tercinta yang senantiasa memberikan bantuan dan dorongan serta doa dan kasih sayangnya secara tulus ikhlas. 5. Rekan-rekan mahasiswa MPD Bogor III yang banyak memberikan inspirasi baik dalam proses perkuliahan maupun dalam penyelesaian tulisan ini. Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna, hal ini dikarenakan keterbatasan pengetahuan penulis dalam penerapan teknik penulisan dan pengungkapan substansinya, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan masukan-masukan demi kesempurnaan di masa yang akan datang Semoga tulisan ini bermanfaat dan semoga berkah Allah bersama kita semua. Amin. Bogor, September 2009 Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Malang pada tanggal 7 Juli 1961 dari ayah Soeharto dan ibu Sri Triatmi, merupakan putra Sulung dari tiga bersaudara. Pendidikan Sekolah Dasar sampai dengan Sekolah Menengah Atas ditempuh penulis di kota kelahirannya Malang, Jawa Timur. Pendidikan Sarjana ditempuh pada jurusan Teknik Sipil Jurusan Teknik Pengairan Institut Teknologi Nasional Malang yang ditamatkan pada tahun 1989. Pada tahun 1993 penulis mulai bekerja di Departemen Dalam Negeri dan ditempatkan di Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum, Departemen Dalam Negeri sampai dengan sekarang. Pada tahun 2007 penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan pada program pascasarjana Manajemen Pembangunan Daerah Institut Pertanian Bogor. Menikah pada tahun 1991 dengan Endang Sulistyaningsih dan dikaruniai dua orang anak yaitu Winda Ayu Rasmasari dan Septa Stelasari.
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ...................................................................................................... i DAFTAR TABEL ............................................................................................. iv DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... v I.
PENDAHULUAN ................................................................................... 1.1. Latar Belakang ................................................................................. 1.2. Perumusan Masalah ......................................................................... 1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................. 1.4. Manfaat Penelitian ........................................................................... 1.5. Batasan Penelitian ............................................................................
1 1 3 4 4 5
II.
TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 2.1. Nilai Ekonomi Pengolahan Persampahan ........................................ 2.2. Pengertian Sampah ........................................................................... 2.3. Prinsip-prinsip Pengolahan Persampahan ........................................ 2.4. Manajemen Persampahan Kota ........................................................ 2.4.1. Sumber dan Klasifikasi Sampah ........................................... 2.4.2. Pewadahan Sampah ............................................................... 2.4.3. Pengumpulan ......................................................................... 2.4.4. Pengangkutan ........................................................................ 2.4.5. Efisiensi ................................................................................. 2.4.6. Efektivitas ............................................................................. 2.5. Aspek Manajemen Persampahan ..................................................... 2.5.1. Aspek Kelembagaan ............................................................. 2.5.2. Aspek Teknis ......................................................................... 2.5.3. Aspek Keuangan ................................................................... 2.5.4. Aspek Sosial .......................................................................... 2.6. Peran Serta masyarakat dalam Penanggulangan Sampah ................ 2.7. Organisasi ......................................................................................... 2.8. Pengertian Aset ................................................................................ 2.9. Strategi ............................................................................................. 2.10. Formulasi Strategi dengan Analisis SWOT .....................................
6 6 7 8 10 10 14 16 17 19 20 21 22 24 25 26 29 31 32 35 37
III. METODE KAJIAN .................. .............................................................. 3.1. Kerangka Pemikiran ......................................................................... 3.2. Desain Penelitian .............................................................................. 3.3. Jenis dan Sumber Data ..................................................................... 3.3.1. Data Primer ........................................................................... 3.3.2. Data Sekunder ....................................................................... 3.3.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data ................................. 3.4. Teknik Pengumpulan Data ............................................................... 3.5. Pemilihan Responden ....................................................................... 3.6. Metode Analisis Data ....................................................................... 3.6.1. Evaluasi Kinerja .................................................................... 3.6.2. Perumusan Strategi ................................................................
39 39 40 41 41 41 42 42 43 43 43 45
IV.
GAMBARAN WILAYAH ....................................................................... 4.1. Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Bantargebang .......................... 4.1.1. Kondisi Klimatologi .............................................................. 4.1.2. Kondisi Geologi dan Hidrologi ............................................. 4.1.3. Kondisi Tata Guna Lahan ..................................................... 4.2. Kondisi TPA Bantargebang Saat ini ................................................ 4.2.1. Pembagian Zona TPA Bantargebang .................................... 4.2.2. Infrastruktur TPA Bantargebang ........................................... 4.2.3. Pelaksanaan Operasional Penimbunan Sampah .................... 4.3. Kondisi Saat Ini Pengelolaan Sampah Di DKI Jakarta .................... 4.4. Cara Pengelolaan Sampah ................................................................ 4.4.1. Pewadahan ............................................................................ 4.4.2. Sistem Pengumpulan sampah ................................................ 4.5. Kondisi Tempat Pembuangan Akhir Saat ini ................................... 4.6. Aset Tempat Pembuangan Akhir Bantargebang .............................. 4.7. Pengelolaan sampah di TPA Bantargebang ..................................... 4.8 Ikhtisar ..............................................................................................
47 47 47 48 48 49 49 50 53 53 55 55 55 58 58 60 62
V.
EVALUASI KINERJA, PENGELOLAAN TPA BANTARGEBANG, BEKASI ....................................................... 63 5.1. Evaluasi Kinerja ................................................................................ 63 5.1.1.Aspek Institusi/kelembagaan TPA ........................................... 63 5.1.2.Aspek teknis bidang persampahan ........................................... 63 5.1.3.Aspek pembiayaan .................................................................. 64 5.1.4.Aspek pengangkutan sampah ke TPA .................................... 64 5.1.5. Timbulan sampah ................................................................... 65
VI.
PERUMUSAN STRATEGI .................................................................... 6.1. Analisis Lingkungan ........................................................................ 6.2. Analisis Faktor Internal - Eksternal ................................................. 6.2.1. Faktor Internal ....................................................................... 6.2.2. Faktor Eksternal .................................................................... 6.3. Perumusan Strategi ........................................................................... 6.3.1. Strategi S-O ............................................................................ 6.3.2. Strategi S-T ............................................................................. 6.3.3. Strategi W-T ........................................................................... 6.3.4. Strategi W-O ........................................................................... 6.4. Tahap Pengambilan Keputusan (Decision Stage) ............................ 6.5 Strategi dan Program ........................................................................ 6.5.1.Program Perbaikan Sistem Teknologi TPA ............................ 6.5.2. Program Kelembagaan pada Unit TPA ................................... 6.5.3. Program Pengolahan Sampah Terpadu dan Ramah Lingkungan ........................................................... 6.5.4. Program Pemberdayaan Peran Serta Masyarakat.................... 6.5.5. Program Pengembangan dan Pemasaran Komposting ...........
66 66 66 67 69 72 73 74 75 76 76 77 78 79 79 79 79
VII. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 81 7.1. Kesimpulan ...................................................................................... 81 7.2. Saran ................................................................................................. 81 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 83
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 2.1. Sumber dan Jenis Peralatan Sampah ..................................................16 Tabel 3.1. Distribusi Responden Kajian..............................................................42 Tabel 3.2. Metode Analisis..................................................................................42 Tabel 4.1. Luas Wilayah dan Peruntukan Desa Cikiwul, Ciketing udik dan ..................Sumur Batu......... ...............................................................................48 Tabel 4.2. Pembagian Zone TPA Bantargebang .................................................49 Tabel 4.3 Estimasi Area dan Kapasitas Landfill. ................................................49 Tabel 4.4 Prosentase Komposisi Sampah di Provinsi DKI Jakarta.....................53 Tabel 4.5 Tempat Penampungan Sampah Sementara di DKI Jakarta.................55 Tabel 4.6 Produksi Timbulan Sampah, Sampah Terangkut dan Sisa Sampah .................di Wilayah DKI Jakarta.......................................................................56 Tabel 4.7 Aset TPA Bantargebang .....................................................................58 Tabel 4.8 Sarana Pendukung TPA Bantargebang ...............................................59 Tabel 4.9 Pengoperasian TPA Bantargebang (Aspek Sosial dan Teknis) ..........60 Tabel 5.1 Matriks Faktor Strategis Internal Pengelolan TPA Bantargebang ......66 Tabel 5.2 Matriks Faktor Strategis Eksternal Pengelolan TPA Bantargebang ...68 Tabel 5.3 Hasil Analisis Matriks SWOT Dalam Perumusan Alternatif Strategi .................Pengelolaan TPA Bantargebang Bekasi..............................................70 Tabel 5.4 Hasil Analisis QSPM Dalam Perumusan Prioritas Strategi Pengelolaan .................Sampah Pada Tempat Pembuangan Akhir Bantargebang...................74
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 2.1. Skema Kegiatan Operasional Persampahan. .................................17 Gambar 2.2. Sistem Pengangkutan dengan Transfer Depo ................................18 Gambar 2.3. Sistem Pengangkutan Dengan Kontainer. .....................................18 Gambar 2.4. Aspek Manajemen Persampahan...................................................31 Gambar 3.1. Kerangka Pemikiran ......................................................................40
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pemberlakuan
Undang-Undang
Nomor
32
Tahun
2004
tentang
Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 50 tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah, telah membawa perubahan dalam berbagai aspek penyelenggaraan pemerintahan daerah, termasuk bidang kerjasama daerah. Perubahan tersebut diharapkan menuju terciptanya sistem pengelolaan kerjasama daerah yang lebih baik dalam upaya mewujudkan pelaksanaan otonomi daerah secara optimal sesuai dengan dinamika dan tuntutan masyarakat yang berkembang. Untuk meningkatkan dan memperlancar pelaksanaan Otonomi Daerah serta menjamin tertibnya penyelenggaraan pemerintahan daerah, maka salah satu upaya yang
dapat
dilakukan
oleh
pemerintah
daerah
adalah
meningkatkan
penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan daerah melalui kerjasama daerah, terutama kerjasama antar daerah. Dengan kerjasama daerah diharapkan dapat dijadikan sarana untuk lebih memantapkan keterkaitan dan keterikatan daerah yang satu dengan daerah yang lain dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mampu meningkatkan laju pertumbuhan antar daerah yang seimbang, selaras, dan serasi serta mencegah kemungkinan munculnya perselisihan antar daerah. Kerjasama daerah merupakan alternatif yang memberikan kemanfaatan yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Banyak ditemukan bahwa pemerintah
daerah
mempunyai
kekayaan
yang
sangat
potensial
untuk
dimanfaatkan atau dikembangkan untuk dikerjasamakan, namun upaya-upaya tersebut terhalang oleh terbatasnya sumberdaya, dana dan teknologi. Di sisi lain, terdapat pihak-pihak/stakeholders yang mempunyai potensi pendanaan dan teknologi. Potensi pihak tersebut juga bermanfaat untuk pengembangan usaha yang bersangkutan dan bagi masyarakat luas. Kondisi-kondisi menunjukan adanya fakta saling membutuhkan antar Daerah. Kondisi saling membutuhkan tersebut merupakan dasar bagi para pihak
bersangkutan untuk membentuk kerjasama yang akan menghasilkan suatu sinergi yang “saling menguntungkan”. Oleh karena itu melihat perkembangan pesatnya pertumbuhan Kota Jakarta dalam dua dasa warsa terakhir ini telah memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap daya dukung lingkungan, perilaku, dan pola kehidupan masyarakat juga ikut berubah hal ini mengakibatkan sikap terhadap kepedulian untuk mendukung kepentingan bersama semakin terkikis. Sementara disisi lain, adanya kebijaksanaan zero growth yang ditetapkan dalam kebijaksanaan kepegawaian pemerintah DKI Jakarta dalam pengelolaan kebersihan terutama untuk aspek non teknis antara mengenai kelembagaan dan organisasi pegawai operasional dilapangan. Permasalahan yang melatarbelakangi kajian pengelolaan persampahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang ini adalah bahwa usaha yang telah dilakukan oleh Dinas Kebersihan selama ini dalam penanganan sampah dan tugas pokok lainnya dipandang masih belum optimal terutama dalam operasional pengolahan sampah akhir. Oleh karena itu, dasar hukum sebagai pelaksanaan pengelolaan persampahan antar kedua pemerintah daerah tersebut tertuang dalam kerjasama antara Pemerintah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dengan Pemerintah Kota Bekasi Nomor 96 Tahun 1999 dan Nomor 168 Tahun 1999 tentang pengelolaan sampah dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah di Kecamatan Bantargebang, Kota Bekasi dan mengacu Perda DKI Jakarta Nomor 3 tahun 2001 tentang Bentuk Susunan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah serta Sekretariat DPRD Provinsi DKI Jakarta, Surat Keputusan Gubernur Nomor 15 Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas kebersihan Propinsi DKI Jakarta khususnya pembentukan Struktur Organisasi yang efisien bagi institusi Dinas Kebersihan Propinsi DKI Jakarta, serta Surat Keputusan Gubernur Nomor 119 Tahun 2002 tentang pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Dinas Kebersihan Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.sebagai upaya organisasi untuk mencapai tujuan pelaksanaan tugas pokok dalam menciptakan kota yang bersih, tertib, indah dan sehat. Dengan melihat pengelolaan persampahan yang ada di TPA Bantargebang saat ini diharapkan bisa menjadi konsep yang akan datang untuk diterapkan dalam
pengelolaan sampah di Bantargebang. Untuk itu perlu dilakukan sebuah kajian, “Bagaimana strategi pengelolaan sampah pada Tempat Pembuangan Akhir Bantargebang di Kabupaten Bekasi ?”.
1.2. Perumusan Masalah Seperti layaknya masalah lingkungan hidup perkotaan maka masalah sampah di Jakarta dapat dibedakan atas masalah sampah di tingkat kota dan masalah di Tempat Pembuangan Sementara (TPS) maupun Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Pada umumnya masalah sampah mencakup produksi sampah dan sumber akhir pembuangannnya dan bagaimana proses pengelolaan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang, sehingga permasalahanpermasalahan yang spesifik dalam penanganan sampah dan kebersihan di DKI Jakarta dapat tertanganni dengan baik. Berdasarkan kondisi saat ini pengelolaan sampah di DKI Jakarta yang diproduksi setiap harinya 6000 ton per hari dan sekitar 4000 ton per hari dibuang ke TPA Bantargebang, Bekasi, melihat produksi sampah yang dihasilkan cukup besar maka harus diimbangi dengan pengelolaan yang optimal karena masalah persampahan sebagai akibat dari pertambahan penduduk kota sehingga menuntut peningkatan pola pengelolaan sampah yang lebih baik, keheterogenan tingkat sosial budaya penduduk kota dan masih kurangnya partisipasi masyarakat dalam menangani masalah sampah, keterbatasan dan kurangnya tersedianya sumber daya manusia yang sesuai untuk menangani masalah sampah, pengembangan teknologi penanganan persampahan yang bergerak relatif lambat. Peningkatan jumlah sampah baik dalam segi volume maupun jenisnya menuntut keseriusan dan perhatian lebih untuk pengelolaannya tidak hanya sekedar untuk upaya pengumpulan, transportasi dan pemusnahan semata. Disamping itu perubahan dan pergeseran perilaku dan pola konsumsi masyarakat perkotaan juga mewarnai perubahan signifikan jenis dan volume sampah, yang pada gilirannya menuntut perubahan manajemen dan fisik atas sampah. Berdasarkan permasalahan tersebut maka pertanyaan dalam kajian ini adalah “
Bagaimana
pengembangan
teknologi
persampahan
lingkungan yang akan dibangun di TPA Bantargebang ?”.
yang
ramah
Keberadaan TPA dinilai lebih banyak menimbulkan kerugian terutama bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya . Di samping itu, TPA Bantargebang masih lebih diposisikan sebagai aset atau fasilitas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang hanya berfungsi melayani kebutuhan masyarakat (service center) dalam hal pengolahan akhir sampah dan kurang memperhitungkan manfaat atau nilai tambah (added value) yang dapat dihasilkan dari sampah. Berdasarkan kondisi saat ini penerapan teknologi yang digunakan yang awalnya menggunakan teknologi sanitary landfill yang benar ternyata dalam operasionalisasinya masih tetap menimbulkan masalah seperti gas yang dapat mencemarkan udara. Apalagi bila dalam operasionalnya sanitary landfill telah bergeser menjadi open dumping, membuang sampah tanpa mengolah, dapat berdampak negatif seperti air lindi yang akan menimbulkan bau tidak enak dan menjadi tempat berkembangnya bibit penyakit. Berdasarkan permasalahan tersebut maka pertanyaan kajian adalah “ Bagaimana rumusan strategi pengelolaan sampah pada Tempat Pembuangan Akhir Bantargebang di Kabupaten Bekasi ?”.
1.3.
Tujuan Penelitian Sejalan dengan pertanyaan penelitian yang telah disebutkan di atas, maka
tujuan penelitian ini adalah : 1).
Untuk mengevaluasi kinerja pengelolaan TPA Bantargebang.
2).
Merumuskan strategi dan program yang dapat digunakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam pengelolaan TPA Bantargebang.
1.4. Manfaat Penelitian Dari kajian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi Pemerintah Daerah dalam pengelolaan sampah kota. Selanjutnya hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi Pemerintah Daerah DKI Jakarta dan Dinas Kebersihan DKI Jakarta serta UPT di Bantargebang sebagai pengelola kebersihan dalam pengambil dan penentuan program yang berkaitan dengan persampahan di masa-masa yang akan datang.
1.5. Batasan Penelitian Penelitian ini dilakukan di wilayah Provinsi DKI Jakarta, khususnya pada Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah Bantargebang di Bekasi yang dikelola oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang berada di bawah Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta. Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2008 sampai dengan Februari 2009, melalui: 1) observasi lapangan, 2) Focuss Group Discussion (FGD), dan 3) wawancara tidak terstruktur dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) dalam pengelolaan sampah DKI Jakarta dan TPA Bantargebang.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Nilai Ekonomi Pengelolaan Sampah Sampah dan pengelolaannya kini menjadi masalah yang mendesak di kotakota di Indonesia, sebab bila tidak dilakukan penanganan yang baik akan mengakibatkan terjadinya perubahan keseimbangan lingkungan dan berbagai dampak negatif lainnya. Penanganan sampah yang menjadi andalan kota-kota adalah dengan penimbunan pada sebuah Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang, Bekasi merupakan aset milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan satu-satunya TPA bagi seluruh pembuangan sampah dari DKI Jakarta. Semakin meningkatnya volume sampah yang dibuang ke TPA tersebut akan memperpendek usia pemanfaatannya. Berdasarkan kondisi saat ini yang terjadi dalam pengelolaan sampah yang diproduksi di DKI Jakarta tiap harinya 6000 ton per hari dan sekitar 4000 ton per hari dibuang ke TPA Bantargebang, Bekasi dan melihat produksi sampah yang dihasilkan cukup besar maka harus di imbangi dengan pengeloaan yang optimal karena masalah persampahan sebagai akibat dari pertambahan penduduk sehingga menuntut peningkatan pola pengelolaan sampah yang lebih baik dan profesional yang akan menghasilkan potensi maupun nilai ekonomi yang tinggi dalam pengelolaan sampah yang ada. Nilai ekonomi pengelolaan sampah pada umumnya berasal dari dua sektor yaitu sektor formal dan sektor informal dimana sektor formal adalah nilai ekonomi yang dikelola oleh pemerintah dan sektor informal adalah sektor nilai ekonomi yang dikelola oleh pemulung dan pengumpul sampah. Hal yang menarik adalah dimana pada satu sisi sektor informal ini memiliki peran penting dalam pengelolaan sampah, disisi lain pemulung memilah sampah yang organik dan anorganik yang mempunyai nilai ekonomis dari tumpukan sampah, TPS sampai ke TPA Bantargebang. Namun dilain pihak pengelola sampah dari lembaga pemerintah melihat pemulung sebagai penghambat dalam operasional pengelolaan sampah padat modern yang efisien. Padahal pekerjaan pemulung dalam hal ini mempunyai nilai ekonomi yang dapat diharapkan menjadi sumber penghidupan bagi pemulung dan masyarakat disekitar TPA Bantargebang. Sedangkan nilai ekonomi sampah di
TPA Bantargebang dari sektor informal berasal dari penjualan ulang dari bahanbahan yang dapat diolah kembali. Pada umumnya sampah-sampah yang di produksi di DKI Jakarta yang dibuang ke TPA Bantargebang Bekasi, memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi terutama bahan-bahan yang dapat di daur ulang yang kemudian ditawarkan kembali ke industri-industri yang membutuhkannya. Potensi nilai ekonomi yang diperoleh dari beberapa pengumpul sampah yang dapat di daur ulang seperti kertas, karbon, plastik, besi tua, kaca, alumunium dan karung yang masing-masing mempunyai nilai jual per kg nya cukup baik yang akan disetorkan/pada sentra penjualan sampah. Semua sentra penjualan sampah tersebut menjadi aset yang sangat potensial secara ekonomi bagi masyarakat di sekitar TPA Bantargebang, Bekasi. Dengan melihat jumlah sentra penjualan sampah diatas berarti sentra tersebut juga menyerap tenaga kerja informal yang cukup besar terutama di tiga desa di TPA Bantargebang, yang cukup besar memberikan andil dan kontribusi dalam pengelolaan dan pemanfaatan sampah di Kabupaten Bekasi.
2.2. Pengertian Sampah Berbagai aktivitas dilakukan oleh manusia untuk kesejahteraan hidupnya dengan memproduksi barang dari sumberdaya alam disamping menghasilkan barang yang akan dikonsumsi manusia dihasilkan pula bahan buangan yang sudah tidak dibutuhkan lagi oleh manusia. Bahan buangan makin hari makin bertambah banyak, hal ini erat hubungannya dengan makin bertambahnya jumlah penduduk disatu pihak, ruangan hidup menerima relatif tetap. Bahan buangan ini dikenal dengan istilah waste (limbah) yang dalam wujudnya berbentuk padat, cair dan gas (Murthado dan Said, 1987). Para ahli kesehatan lingkungan telah memberikan bahasan/pengertian tentang sampah, antara lain sampah adalah sesuatu yang tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang harus dibuang yang umumnya berasal dari kegiatan yang dilakukan oleh manusia (termasuk kegiatan industri), tetapi yang bukan biologis (karena human waste tidak termasuk di dalamnya) (Azwar, 1983). Pusat Pendidikan Nasional Kesehatan RI (1987) mendefinisikan sampah adalah benda
yang tidak dipakai, tidak diinginkan dan dibuang, yang berasal dari suatu aktifitas dan bersifat padat (tidak termasuk buangan yang bersifat biologis). Sementara Hadiwiyoto (1983) mengatakan bahwa sampah adalah sisa-sisa bahan yang mengalami perlakuan-perlakuan, baik karena telah diambil bagian utamanya, atau karena pengolahan, atau karena sudah tidak ada manfaatnya. Ditinjau dari segi sosial ekonomis tidak ada harganya dan dari segi lingkungan dapat menyebabkan pencemaran atau gangguan kelestarian. Dari beberapa pendapat/pengertian di atas, untuk memperjelas pengertian sampah, maka batasan-batasan lain, menurut Putranto (1983) sampah adalah : 1. adanya suatu benda atau zat padat atau buangan. 2. adanya hubungan langsung/tidak langsung dengan aktivitas manusia. Benda atau bahan tersebut tidak dipakai lagi, tidak disenangi dan dibuang dalam arti pembuangan dengan cara yang diterima oleh umum (perlu pengolahan yang baik).
2.3. Prinsip-prinsip Pengolahan Persampahan Pengolahan sampah suatu kota bertujuan untuk melayani penduduk terhadap sampah yang dihasilkannya, yang secara tidak langsung turut memelihara kesehatan masyarakat serta menciptakan suatu lingkungan yang bersih, baik dan sehat. Pada awalnya, pemukiman seperti di pedesaan yang kepadatan penduduknya masih sangat rendah, secara alami tanah/alam masih dapat mengatasi sampah yang timbul. Namun dengan perkembangan penduduk dengan aktivitas manusia yang lebih luas serta adanya jenis sampah akibat dari kemajuan teknologi yang sulit terurai, mulailah sampah menimbulkan masalah bagi lingkungan. Makin padat penduduk suatu pemukiman atau kota dengan segala aktivitasnya, permasalahan sampah semakin perlu dikelola secara profesional. Menurut Ditjen Cipta Karya (1991) untuk dapat mengelola sampah pemukiman atau kota yang sampahnya semakin banyak dan masalah yang kompleks, diperlukan : 1. Suatu lembaga atau institusi yang dilengkapi dengan : a) peraturan,
b) pembiayaan/pendanaan, dan c) peralatan penunjang yang semuanya menjadikan suatu sistem. 2. Kesadaran masyarakat yang cukup tinggi. Dalam pengolahan sampah semacam ini dituntut suatu pelayanan yang cepat dengan kapasitas yang besar. Untuk proses pengumpulan dan pengangkutan sampah khususnya dari daerah urban. Pengolahan inipun perlu dilaksanakan secara efektif dan efisien dan dengan program yang terencana agar dapat menekan biaya. Penanganan kebersihan semacam ini baru akan berhasil baik bila masyarakat juga terlibat langsung atau berperan serta secara aktif terutama dalam mengikuti peraturan kebersihan umum, pembayaran retribusi maupun cara-cara menangani sampah yang diproduksinya secara baik dan benar. Informasi yang jelas perlu disampaikan kepada masyarakat sehingga menyadari bahwa perbedaan tingkat pelayanan dan kualitas akan memerlukan biaya yang berbeda pula. Oleh karena itu apabila masyarakat menginginkan suatu pelayanan yang lebih baik (peningkatan kualitas), harus menyadari bahwa untuk tingkat pelayanan tersebut diperlukan kontribusi masyarakat yang lebih besar/tinggi pula. Sebagai contoh bila semula dilayani dengan pola komunal dan ingin dilayani dengan pola individual langsung (door to door) dengan truk, maka akan diperlukan biaya operational dan maintenance (operasional dan pemeliharaan) yang lebih besar berarti masyarakat tersebut harus membayar retribusi yang lebih tinggi sesuai dengan tingkat pelayanan yang diperolehnya. Harus disadari bahwa penduduk kota juga merupakan bagian dari masalah pengolahan persampahan yang memerlukan perhatian tersendiri. Agar menyadari pentingnya peran aktif dari masyarakat, perlu diberikan informasi dan penyuluhan serta diikutsertakan dalam proses penentuan cara penanganan sampah yang akan diterapkan, khusunya dalam kegiatan pengumpulan sampah. Pada dasarnya pengolahan sampah ada 2 macam, yaitu pengolahan/penanganan sampah setempat (individu) dan pengolahan sampah terpusat untuk lingkungan pemukiman atau kota.
3. Penanganan setempat. Penanganan setempat dimaksudkan penanganan yang dilaksanakan sendiri oleh penghasil sampah dengan menanam dalam galian tanah perkarangannya atau dengan cara lain yang masih dapat dibenarkan. 4. Pengelolaan terpusat Pengelolaan persampahan secara terpusat, khususnya dalam teknis operasional, adalah suatu proses atau kegiatan penanganan sampah yang terkoordinir untuk melayani suatu pemukiman atau kota.
2.4. Manajemen Persampahan Kota Adapun definisi manajemen untuk pengelolaan sampah di negara-negara maju sebagaimana dikemukakan oleh Tchobanoglous, Theisen dan Virgil (1993), yaitu sebagai disiplin yang berhubungan dengan pengendalian bagi penghasil, tempat penyimpanan, transfer dan transportasi, prosesing dan pembuangan sampah. Pengelolaan tersebut dapat dilakukan dengan suatu cara yang sesuai dengan prinsip-prinsip terbaik kesehatan publik, ilmu ekonomi, rekayasa, konservasi, estetika dan pertimbangan lingkungan lainnya dan juga terhadap sikap masyarakat. Menurut
Nurmadi
(1999)
di
kota-kota
di
Indonesia,
manajemen
persampahan menggunakan dua sistem yaitu sistem formal atau konvensional dan sistem informal atau non konvensional. Sistem formal adalah sistem yang di kelola oleh pemerintah terdiri dari kegiatan pengumpulan, transportasi dan pembuangan limbah sedangkan sistem informal adalah sistem yang melibatkan pemulung dalam mengambil kembali sampah seperti plastik, kertas, pecahan kaca dan besi untuk dijual. Unsur-unsur yang terdapat dalam pelaksanaan program pengelolaan persampahan kota yang menggunakan sistem formal atau konvensional meliputi: sumber sampah, pewadahan, penghimpunan, transfer, transportasi, pengolahan, pendaurulangan dan pembuangan akhir.
2.6.1. Sumber dan Klasifikasi Sampah Sumber sampah apabila kita lihat berasal dari dimana seluruh rangkaian kehidupan berlangsung, dari seluruh pelosok kehidupan masyarakat, namun dalam
hal ini dititik beratkan pada sumber sampah perkotaan, dimana saat ini menjadi suatu permasalahan yang sangat kompleks, rumit dan memerlukan penanganan multi disiplin, baik dengan pendekatan teknis, maupun dengan pendekatan sosial. Sumber dari sampah pada umumnya berhubungan erat dengan penggunaan tanah dan pembagian daerah untuk berbagai kegunaan. Menurut Departemen Kesehatan (1987) pada dasarnya sumber sampah dapat diklasifikasi dalam beberapa kategori, yaitu: (1) Pemukiman Penduduk, (2) Tempat-tempat umum dan tempat perdagangan, (3) Sarana pelayanan masyarakat milik pemerintah, (4) Industri berat ringan, dan (5) Pertanian, Sementara menurut Ditjen Cipta Karya (1991) sumber sampah berasal dari: (1) Daerah pemukiman (Rumah tangga), (2) Daerah komersial (Pasar dan pertokoan), (3) Daerah industri, (4) Perkantoran, pariwisata, sarana umum, (5) Kandang hewan atau pemotongan hewan, dan (6) Jalan dan taman. Sumber-sumber sampah biasanya berkaitan erat dengan menggunakan lahan, atau daerah terbangun atau penentuan zone wilayah. Sehingga secara umum sumber sampah berasal dari (Tchobanoglous, Theisen dan Vigil, 1993): 1.
Pemukiman atau rumah tangga. Sampah dari rumah tangga biasanya berasal dari aktivitas, seperti memasak, disebut juga domestik waste.
2.
Daerah komersil. Meliputi sampah yang berasal dari aktivitas perdagangan, seperti toko, restoran, pasar, hotel, pusat pelayanan jasa, dan lain-lain.
3.
Institusi gedung. Sampah yang berasal dari sekolah, rumah sakit, pusatpusat perkantoran, dan lainnya.
4.
Konstruksi dan penghancuran. Sampah yang berasal dari aktivitas pembangunan gedung, perbaikan jalan dan reruntuhan gedung.
5.
Aktivitas gedung. Sampah yang berasal dari penyapuan jalan, taman dan pantai, area rekreasi, pembersihan sekolah dan pertamanan.
6.
Tempat pengolahan. Sampah berasal dari aktivitas pengolahan air bersih, air buangan, dan proses pengolahan dalam industri.
7.
Industri. Sampah yang berasal dari proses industri berat, ringan, proses kimiawi, tenaga listrik, proses pembuatan tekstil, pembongkaran dan proses penyulingan.
8.
Pertanian. Klasifikasi sampah menurut Hadiwiyoto (1983) berdasarkan sifatnya dibagi menjadi dua macam yaitu : a. Sampah organik, yaitu sampah yang terdiri dari daun-daunan, kayu, kertas, karton, tulang, sisa-sisa makanan ternak, sayur, buah, sampah organik adalah sampah yang mengandung senyawa-senyawa organik, dan oleh karenanya tersusun oleh unsur-unsur karbon, hidrogen dan oksigen. Bahan-bahan ini mudah didegradasi oleh mikrobia. b. Sampah Anorganik, yaitu sampah yang terdiri dari kaleng, plastik, besi dan logam-logam lainnya, gelas atau bahan-bahan yang tidak tersusun oleh senyawa-senyawa organik. Sampah ini tidak dapat didegradasi oleh mikrobia. Sementara Murthado dan Said (1987) membedakan sampah ada dua cara
pembagian yang digunakan, yakni berdasarkan istilah teknis dan kepada sumbernya. Pembagian berdasarkan istilah teknis menghasilkan beberapa macam yaitu : 1).
Sampah yang bersifat semi basah. Golongan ini merupakan bahan-bahan organik, misalnya sampah dapur dan sampah restauran, yang kebanyakan merupakan sisa buangan sayuran dan buah-buahan. Sampah jenis ini bersifat mudah terurai, karena mempunyai rantai ikatan kimiawi yang pendek.
2).
Sampah organik yang sukar terurai karena mempunyai rantai iktan kimia yang panjang, misalnya plastik, kaca dan selulosa.
3).
Sampah berupa abu yang dihasilkan pada proses pembakaran. Secara kuantitatif sampah jenis ini sedikit, tetapi pengaruhnya bagi kesehatan cukup besar. Sampah berupa jasad hewan mati, misalnya bangkai tikus, anjing, ayam, dan lain-lain.
4).
Sampah jalanan, yakni semua sampah yang dapat dikumpulkan secara penyapuan di jalan-jalan, misalnya daun-daunan, kantung plastik, kertas, dan lain-lain.
5).
Sampah industri, yakni sampah yang berasal dari kegiatan produksi di industri. Secara kuantitatif jenis limbah ini banyak, tetapi ragamnya tergantung pada jenis industri tersebut.
Klasifikasi sampah secara garis besarnya dapat dikelompokan (Ditjen Cipta Karya, 1991) sebagai berikut : 1. Sampah Basah (garbage) Sampah basah yaitu sampah yang berasal dari sisa pengolahan, sisa makanan atau sisa makanan yang telah membusuk, tetapi masih dapat digunakan sebagai makanan oleh organisme lainnya, seperti insekta, binatang pengerat dan lain-lain. Sampah jenis ini biasanya bersumber dari kegiatan domestik atau industri pengolahan makanan. Sampah organik mempunyai sifat cepat membusuk jika dibiarkan dalam keadaan basah pada temperatur optimum yang diperlukan untuk membusuk, (20C-30C sampai 65C). 2. Sampah Kering (Rubbish) Sampah kering yaitu sampah sisa pengolahan yang tidak mudah membusuk. Sampah kering dapat dibagi dalam dua golongan yaitu: 1. sampah yang tidak mudah membusuk tetapi mudah terbakar, seperti kayu, bahan plastik, kain, bahan sintetik dan lain-lain. 2. sampah yang tidak mudah membusuk dan tidak mudah terbakar, seperti logam, kaca, keramik dan lain-lain. 3. Sampah lembut Sampah lembut yaitu sampah yang berasal dari berbagai jenis abu, merupakan partikel-partikel kecil yang mudah beterbangan dan dapat mengganggu pernapasan dan mata. Seperti asbes, semen, abu kayu dan lain-lain. 4. Sampah Berbahaya Sampah bila ditinjau dari tingkat bahayanya, dapat di bagi menjadi 4 golongan yaitu : a) Sampah Patogen, yaitu sampah yang berasal dari rumah sakit. b) Sampah beracun, yaitu sampah sisa-sisa pestisida, kertas bekas pembungkus bahan-bahan beracun dan lain-lain. c) Sampah radio aktif, yaitu sampah dari bahan nuklir. d) Sampah yang dapat meledak (petasan, mesiu, dan lain-lain). 5. Sampah Balokan (Bulky Waste) Sampah yang berasal dari mobil bekas, kulkas rusak, pohon tumbang, balok kayu dan sebagainya.
6. Sampah Jalan Sampah Jalan yaitu sampah atau kotoran yang berserakan disepanjang jalan, seperti sisa-sisa pembungkus dan sisa makanan, kertas, daun-daunan dan lainlain. 7. Sampah Binatang Mati Yaitu sampah seperti bangkai kucing, ayam, anjing, tikus dan sebagainya. 8. Sampah Bangunan Yaitu sampah seperti potongan kayu, pecahan atap genteng, bata, buangan adukan dan lain-lain. 9. Sampah Industri Yaitu sampah yang berasal dari kegiatan industri, sampah jenis ini biasanya lebih seragam bila dibandingkan dengan sampah jenis lainnya. Sampah industri ada yang beracun bila mengandung logam-logam berat, sisa pestisida dan lain-lain, yang tidak berbahaya seperti sisa makanan karyawan, kertas dan lain-lain. 10. Sampah Khusus Sampah dari benda-benda berharga atau sampah dokumentasi, misalnya rahasia patent dari pabrik, surat rahasia negara dan sebagainya. 11. Sampah Kandang/Pemotongan Hewan Sampah seperti kotoran hewan, sisa-sisa makanannya, kulit, sisa-sisa daging, tulang, isi perut dan sebagainya. 12. Sampah Lumpur Merupakan sampah setengah padat, yaitu lumpur selokan, riol, lumpur dari bangunan pengolahan air buangan, septitank dan sebagainya.
2.6.2. Pewadahan Sampah Dalam operasional pengumpulan sampah, masalah pewadahan memegang peranan yang sangat penting, tempat penyimpanan sampah pada sumber diperlukan untuk mencegah sampah agar jangan berserakan yang akan memberi kesan atau terlihat kotor serta untuk mempermudah proses kegiatan pengumpulan, sampah
yang
dihasilkan
perlu
disediakan
tempat
untuk
penyimpanan/penampungan sambil menunggu kegiatan pengumpulan sampah.
Tempat sampah ini juga harus direncanakan dengan pertimbangan kemudahan dalam proses pengumpulan (mempercepat proses), hygienis untuk penghasil sampah maupun petugas pengumpul, kuat dan relatif tahan lama serta juga mempertimbangkan segi estetika. Kapasitas pewadahan ini diperhitungkan berdasarkan rata-rata laju timbulan sampah (laju generasi sampah) per orang per hari, jumlah anggota keluarga serta frekuensi pengumpulan yang diterapkan. Sampah di TPA pada umumnya lebih sedikit jumlahnya dari pada jumlah sampah pada sumbernya. Hal ini dikarenakan adanya pemungutan/pemulung sampah yang mengambil benda-benda yang masih dapat dimanfaatkan atau bernilai ekonomis atau masih adanya tanah terbuka atau dibuang ketempat-tempat lainnya. Menurut penelitian yang dilakukan oleh pusat Litbang Pemukiman yang bekerjasama dengan LPPM ITB dalam Ditjen Cipta Karya (1991), didapatkan angka-angka laju timbulan sampah sebagai berikut: 1.
Laju timbulan sampah kota perliter/orang/hari (perhitungan dilakukan pada sumber sampah).
2.
a.
Kota Kecil
= 2,5 sampai dengan 2,75 liter/orang/hari.
b.
Kota Sedang
= 2,75 sampai dengan 3,25 liter/orang/hari.
Sedangkan berdasarkan besaran kota yaitu : a) Kota Kecil : 1) Laju timbulan sampah pemukiman
= 2,0 liter/orang/hari.
2) Persentase total sampah pemukiman
= 75% sampai dengan 80 %
3) Persentase total sampah non pemukiman = 20% sampai dengan 25% b) Kota Sedang : 1) Laju timbulan sampah pemukiman
= 2,25 liter/orang/hari
2) Persentase total sampah pemukiman
= 65% sampai dengan 75%
3) Persentase total sampah non pemukiman = 25% sampai dengan 35% Menurut Cointreau dalam Ditjen Cipta Karya (1991) sampah di negara yang sedang berkembang 69% sampai dengan 80% merupakan sampah rumah tangga. Sedangkan menurut hasil penelitian Litbang Pemukiman dalam Ditjen Cipta Karya (1991), untuk kota kecil dan sedang didapatkan angka untuk sampah pemukiman berkisar antara 65% - 80% dari total sampah kota.
Menurut Ditjen Cipta Karya (1991) jenis peralatan pewadahan dapat dilihat dari sumber sampahnya sebagaimana disajikan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Sumber dan Jenis Peralatan Sampah No 1.
Sumber Sampah Daerah Perumahan
2.
Pasar
-
3.
Pertokoan
4.
Perkantoran/Hotel
5.
Tempat Umum, Jalan dan Taman
-
Jenis Peralatan Kantong Plastik Bin plastik/tong Bin/tong sampah yang dipasang secara permanen Bin plastik yang ada tutupnya dan memakai gerobak Gerobak sampah Container dari Arm roll Kantong Plastik Bin plastik/tong Bin plastik dengan roda Container Container besar Bin plastik/tong yang dipasang secara permanen Bin plastik dengan roda
Volume 40 s/d 60 liter 40 s/d 60 liter 50 s/d 60 liter 120 s/d 240 liter 1 m3 6 s/d 10 m3 Bervariasi 50 s/d 60 liter 120 s/d 240 liter 1 m3 6 s/d 10 m3 50 s/d 60 liter 120 s/d 240 liter
Sumber : Ditjen Cipta Karya, 1991.
2.6.3. Pengumpulan Proses pengumpulan sampah yang dilakukan dari rumah ke rumah (sumber) menuju ke tempat Pembuangan Sementara (TPS) atau transfer depo, dapat menggunakan gerobak sampah selanjutnya dari Tempat Pembuangan Sementara (TPS) atau transfer depo sampah tersebut kemudian diangkut ke truk menuju ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Menurut Tchobanoglous, Theinsen dan Virgil (1993) sistem pengumpulan sampah pada dasarnya dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu : 1. Hauled Container System (HCS) Yaitu sistem pengumpulan sampah diangkut ke tempat pembuangan, dikosongkan dan dikembalikan ke lokasi semula atau beberapa lokasi lain. 2. Stationery Container System (SCS) Yaitu sistem pengumpulan sampah dimana Kontainer penyimpanan sampah adalah tetap (remain) di titik penimbulan sampah. Untuk lebih jelasnya operasional persampahan mulai dari timbulan sampah sampai diangkut ke lokasi pembuangan akhir disajikan pada gambar 2.1.
TIMBULAN SAMPAH
PEWADAHAN
PENGUMPULAN
PENGOLAHAN
PEMINDAHAN DAN PENGANGKUTAN
PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH
Gambar 2.1. Skema Kegiatan Operasional Persampahan.
2.6.4. Pengangkutan Kegiatan pengangkutan merupakan kegiatan operasional yang dimulai dari sumber
sampah
atau
Transfer
Depo/TPS
ketempat
pengolahan/Tempat
Pembuangan Akhir. Frekuensi pengangkutan ini dapat bervariasi. Menurut Sinulingga (1999) untuk daerah-daerah menengah ke atas Frekuensinya lebih sering dibandingkan dengan daerah lainnya, misalnya dua kali sehari. Sedangkan untuk kawasan lainnya satu kali sehari tetapi hendaknya dipahami apabila kurang dari satu kali sehari menjadi tidak baik karena sampah yang tinggal lebih dari satu hari dapat mengalami proses pembusukan, sehingga menimbulkan bau yang tidak sedap. Bentuk atau pola pengangkutan bergantung pada jenis peralatan yang digunakan menurut Ditjen Cipta Karya (1991) dapat berupa : 1. Pengangkutan Dengan Sistem Transfer Depo. Kegiatan pengangkutan berupa : a. Persiapan kendaraan di pool kendaraan dan perjalanan ke Transfer Depo. b. Kegiatan pemindahan sampah ke Truck dan pengangkutan ke TPA.
c. Pembongkaran sampah di TPA dan perjalanan kembali ke transfer Depo pertama. Hal ini dapat disajikan pada Gambar 2.2. POOL
Transfer Depo
TPA
Transfer Depo
Gambar 2.2. Sistem Pengangkutan dengan Transfer Depo 2. Pengangkutan Dengan Sistem Kontainer. Kegiatan pengangkutan berupa : a. Persiapan di pool kendaraan (Load Haul) dan perjalanan ke lokasi dengan membawa penuh gerobak kontainer kosong dibawa. b. Sampai dilokasi, kontainer kosong ditukar, kontainer penuh diangkut dan dibawa ke TPA. c. Kegiatan pengosongan kontainer di TPA. Setelah kontainer kosong dan dibersihkan dibawa ke lokasi kontainer penuh lainnya dan seterusnya. Jenis kendaraan yang dipakai adalah Arm Roll Truck.
POOL
KONTAINER 1
KONTAINER 2
KONTAINER 3
Kontainer Kosong
Kontainer Kosong
Kontainer Isi
Gambar 2.3. Sistem Pengangkutan Dengan Kontainer.
TPA
Perhitungan
waktu
pengangkutan
dilakukan
bersamaan
dengan
perhitungan jarak, pengamatan rute pengangkutan dan frekuensi pengangkutan. Waktu pengangkutan sampah dapat dihitung sebagai berikut : (Tchobanoglous, Theisen dan Virgil, 1993)
T=
(P+S+H) (1-W)
Dimana : T = Waktu yang dibutuhkan untuk pengangkutan sampah per trip (jam) P = Waktu yang dibutuhkan untuk pengambilan sampah per trip (jam) S = Waktu yang dibutuhkan untuk pembuangan sampah per trip (jam) H = Waktu yang dibutuhkan untuk proses haul sampah per trip (jam) W = Factor off route (faktor waktu meliputi waktu yang dihabiskan selama pengoperasian atau waktu yang tidak berguna seperti: perbaikan kerusakan kendaraan, kemacetan jalan dan sebagainya).
2.6.5. Efisiensi Pengertian mengenai efisiensi sangat beragam dari berbagai macam bidang, menurut Slichter dan Sarwoto (1994) ada tiga macam efisiensi pada dewasa ini yaitu : 1.
Engineering.physical effciency (efisiensi mesin/benda), yaitu perbandingan antara jumlah satuan benda yang dipergunakan dengan benda yang dihasilkan.
2.
Pecuniary/business
efficiency
(efisiensi
perusahan/keuangan)
yaitu,
perbandingan antara dollar yang dikeluarkan dengan penghasilan yang masuk. 3.
Social/human efficiency (efisiensi kemanusiaan/sosial) yaitu, perbandingan antara
pengorbanan-pengorbanan
manusia
dengan
kepuasan
atau
kemanfaatan bagi manusia yang dapat dinikmati. Dari definisi di atas, pada dasarnya menekan kepada perbandingan antara masukan (input) yang digunakan dan keluaran (output) yang dihasilkan.
Dalam kegiatan staf pengertian efisiensi menurut Sarwoto (1994) menggunakan terminologi efisiensi kerja dengan pengertian bahwa efisiensi kerja dalam kegiatan staf adalah perbandingan terbaik antara suatu usaha dengan hasilnya. Perbandingan terbaik ini dapat dilihat dari dua segi, yaitu segi hasil dan segi usaha sebagai berikut : 1.
Segi hasil, suatu usaha dapat dikatakan efisiensi kalau usaha itu memberikan hasil yang baik. Terbaik dalam arti mutu maupun jumlah dari pada hasil yang dikehendaki.
2.
Segi usaha, suatu usaha dapat dikatakan efisiensi kalau sesuatu hasil yang dikehendaki dapat dicapai dengan usaha yang teringan. Teringan dalam hubungan dengan pemakaian tenaga jasmani, pikiran, waktu, benda dan uang. Dengan mengesampingkan faktor-faktor manusia sebagai pelaksana kerja
dan lingkungan dimana kerja itu diselenggarakan maka efisiensi kerja seseorang terutama ditentukan oleh cara kerjanya yang mencakup pengertian tata kerja, prosedur dan sistem kerja.
2.6.6. Efektivitas Pengertian efektivitas dari berbagai bidang keahlian pun amat beragam dan tergantung pada konteks apa efektivitas tersebut digunakan, namun demikian pada umumnya para ahli sependapat bawha efektivitas itu pada prinsipnya adalah seberapa besar hasil guna yang tercapai dengan menggunakan semaksimal mungkin alat atau sumberdaya yang tersedia. Urban Institut dalam Bintarjo (1997) mendefinisikan pengertian efektivitas (measure of effectivity) sebagai berikut : 1).
Tingkat dimana tujuan-tujuan jasa pelayanan yang dikehendaki terpadu.
2).
Tingkat dimana terdapat dampak jasa pelayanan pada komunitas yang tidak dikehendaki dan bertentangan.
3).
Kecukupan kuantitas dari kualitas jasa pelayanan yang diberikan berhubung dengan
kebutuhan-kebutuhan,
keamanan untuk membayar.
keinginan-keinginan
komunitas
dan
4).
Kecepatan dan keramahan yang dutunjukan dalam menanggapi permintaan penduduk.
5).
Persepsi masyarakat pada kepuasan dan jasa pelayanan yang diberikan.
6).
Sementara menurut Eduards dan Isworo (1996), bahwa syarat-syarat yang penting bagi efektivitas suatu kebijakan adalah :
a. Komunikasi; biasanya suatu kebijakan menyangkut banyak pihak, terutama para pelaksana kebijakan satu sama lain saling berhubungan secara sinergis.
b. Sumberdaya manusia; merupakan orang-orang yang melaksanakan pekerjaan/tugas sesuai dengan jumlah maupun mutu yang diperlukan serat adanya wewenang dan tanggung jawab yang jelas dan dilengkapi fasilitas memadai.
c. Sikap para pelaksana; adanya kesepakatan terhadap kebijakan yang ditentukan melalui penciptaan melalui budaya organisasi.
d. Struktur birokrasi; yaitu struktur yang mampu mewadahi proses kerja organisasi bersangkutan dan pengaruh lingkungan.
2.5. Aspek Manajemen Persampahan Makin padat penduduk suatu pemukiman atau kota dengan segala aktivitasnya, permasalahan sampah semakin perlu untuk dikelola secara profesional. Untuk dapat mengelola sampah pemukiman atau kota yang sampahnya semakin banyak dan masalah yang kompleks menurut Tchobanoglous, Theisen dan Virgil (1993) ada beberapa aspek yang perlu dilihat dalam kinerja manajemen persampahan yaitu : 1). Aspek kelembagaan melihat mekanisme kelembagaan yang dapat menunjang kelancaran pelaksanaan manajemen persampahan kota. 2). Aspek teknis pada dasarnya menilai efisiensi pelaksanaan penyapuan jalan, pengumpulan, pewadahan, transfer, pengangkutan dan pembuangan akhir. 3). Aspek keuangan dengan kondisi terbatasnya dana, pemerintah untuk menjalankan tanggung jawabnya dalam membiayai opersional pelaksanaan manajemen pengumpulan dan pengangkutan sampah.
4). Aspek sosial yang berupa peran serta masyarakat, pemulung dan swasta, merupakan faktor yang mempunyai kontribusi yang besar terhadap keberhasilan pelaksanaan manajemen persampahan kota.
2.5.1. Aspek Kelembagaan Institusi/kelembagaan dalam sistem pengumpulan dan pengangkutan sampah memegang peranan yang sangat penting, meliputi status, struktur organisasi, fungsi, tanggung jawab dan wewenang serta koordinasi dari badan pengelola. Menurut Ditjen Cipta Karya (1991) sesuai dengan status kota, untuk kota metropolitan dan kota besar, bentuk badan pengelola sebaiknya suku dinas tersendiri dan selanjutnya dikembangkan menjadi bentuk perusahaan Daerah. Kota dan Kabupaten sebaiknya merupakan Dinas tersendiri, sedangkan kota Administratif sebaiknya merupakan Suku Dinas Kebersihan atau unit pelayanan teknis daerah (UPTD) dibawah Dinas Kebersihan atau Dinas Pekerjaan Umum Kota. Jumlah personil unit pengelola persampahan harus cukup memadai baik kualitas maupun kuantitasnya sesuai dengan tugasnya. Dalam pengelolaan persampahan masalah kemampuan manajemen dan teknik sangat diperlukan. Tatalaksana
institusi
pengelolaan
persampahan
secara
umum
perlu
memperhatikan prinsip-prinsip dasar manajemen yang dapat menciptakan interaksi positif antara unsur-unsur organisasi, sehingga dapat menghasilkan kinerja pengelolaan menjadi lebih optimal baik dari administratif maupun teknis operasional di lapangan. Pengelolaan persampahan dalam kegiatannya sangat ditentukan oleh peraturan yang mendukungnya. Peraturan tersebut melibatkan wewenang dan tanggung jawab pengelolaan kebersihan dan pembayaran retribusi. Menurut Ditjen Cipta Karya (1991) kriteria Peraturan Daerah/peraturan yang baik adalah sebagai berikut : a. Sesuai dan tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku dan yang berderajat lebih tinggi. b. Harus sesuai dengan sistem pengelolaan yang akan ditetapkan. c. Peraturan tersebut harus sesuai dengan karateristik yang diterapkan.
d. Jelas, tidak banyak mengandung arti/terukur. e. Fleksibel, sehingga dapat memberikan pedoman yang luwes. f. Mempunyai masa berlaku yang terbatas. Memperhatikan
permasalahan persampahan diperkotaan disini jelasnya
bahwa yang menangani persampahan perkotaan adalah Pemerintah Daerah setempat, maka perlu diteliti bagaimana mekanisme kelembagaan dan dinas pengelola dapat melaksanakan pelayanan dalam kondisi sarana dan prasarana maupun dana yang ada. Adapun pelaksanaan pelayanan dari kelembagan pemerintah dalam menangnani persampahan kota adalah memberi pelayanan penyapuan jalan, pengumpulan dan pengangkutan, daur ulang pembuangan akhir. Menurut Ditjen Cipta Karya (1991) jumlah kebutuhan tenaga operasional memperhatikan : a. Pengendalian. b. Jumlah peralatan. c. Rancangan operasional. d. Keperluan tenaga penunjang. e. Beban Penugasan. Sementara menurut Haryoto (1998) jumlah personil institusi pengolahan sampah perlu memperhatikan : a. Rancangan operasional dan beban tugas. b. Jumlah dan jenis peralatan/sarana pengumpulan Untuk memudahkan perhitungan personil dapat dilakukan dengan pendekatan setiap 1.000 jiwa penduduk dibutuhkan 2 orang petugas. Bila kita melihat penanganan sampah di negara lain, maka akan terlihat bahwa masalah sampah merupakan suatu hal yang harus ditangani secara serius dan melibatkan banyak pihak (lintas sektoral). Di negara Jepang, manajemen persampahan melibatkan 16 kementrian dan di Singapura melibatkan 14 departemen
2.5.2. Aspek Teknis 1. Teknis Operasional Menurut Haryoto (1998) teknis operasional pengelolaan sampah bersifat internal dan secara berantai dengan urutan sebagai berikut : a.
Pewadahan, kegiatan penampungan sampah secara individual atau komunal.
b.
Pengumpulan, kegiatan proses pengambilan sampah dari tempat-tempat pewadahan sumber timbulan sampah ke TPS.
c.
Pemindahan, kegiatan pemindahan sampah hasil pengumpulan ke dalam truck pengangkutan atau kontainer.
d.
Pengolahan, kegiatan penanganan sampah yang bertujuan unuk mengurangi volume (reduction) sampah dengan mendaur ulang untuk dimanfaatkan kembali (reuse) atau mengubah menjadi produk lain atau energi (recyle) melalui proses pengomposan (composting), pembakaran (inceneration), penghalusan dan pemadatan.
e.
Pembuangan akhir, kegiatan proses pembuangan dan pemusnahan sampah padat dari hasil kegiatan pengumpulan dan pengangkutan, maupun hasil buangan dari kegiatan pengolahan sampah kesuatu lokasi/lahan TPA. Menurut Jacobsen dan Nurmandi (199) untuk mengevaluasi aspek
phisik yaitu sebagai berikut : a) Masyarakat yang dilayani sistem pengumpulan. b) Jumlah sampah kota yang dikumpulkan setiap hari. c) Jumlah pekerja pengumpul. d) Jumlah dan tipe fasilitasi pengumpul. e) Efisiensi tenaga kerja yang diukur dalam masyarakat yang dapat dilayani persatuan kerja dan jumlah pekerja per kendaraan. f)
Efisiensi kendaraan, yang diukur dalam masyarakat yang dilayani perkendaraan dalam jumlah m3 per kendaraan/hari.
g) Jarak pengangkutan ke lokasi transfer dan TPA. h) Tipe-tipe dan kapasitas TPA.
2. Syarat-syarat Peletakan. Penempatan tempat penampungan sementara, kontainer dan tempat pembuangan akhir menurut Tchobanoglous, Theisen dan Virgil (1993) harus memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut : a) Area yang tersedia. b) Dampak. c) Jarak. d) Kondisi tanah dan tofografinya. e) Klimatologi daerah setempat. f)
Permukaan air tanah.
g) Geologi dan hidrologi. h) Kondisi Lingkungan. i)
Kegunaan pokok.
2.5.3. Aspek Keuangan Menurut Haryoto (1998) kebutuhan biaya yang berfungsi untuk membiayai operasional persampahan kota di Indonesia yang dimulai dari penyapuan jalan, pengumpulan,transfer dan pengangkutan, pengolahan sampah dan pembuangan akhir, agar cukup memadai, minimal 5 sampai 10% dari APBD. Menurut Ditjen Cipta Karya (1991) dalam teknis operasional pengolahan sampah, biaya untuk kegiatan pengumpulan sampah dapat mencapai lebih kurang 40% dari total biaya operasional. Oleh karena besarnya biaya yang dibutuhkan untuk pengelolaan sampah dan kebersihan sementara terbatas kemampuan keuangan daerah perlu adanya upaya untuk mengoptimalkan pengelolaan retribusi pelayanan persampahan kebersihan yang dengan sendirinya dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) secara khusus serta dapat memberikan kontribusi yang diharapkan cukup baik bagi kemampuan keuangan daerah secara umum. Pemberdayaan potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus lebih ditingkatkan mengingat PAD adalah sumber yang sering dijadikan tolak ukur kemampuan daerah dalam menyelenggarakan otonomi daerah dan salah satu sumber PAD yang dominan adalah retribusi daerah.
Menurut Davey (1988), retribusi adalah pungutan yang dibayar langsung oleh mereka yang menikmati suatu pelayanan dan biasanya dimaksud untuk menutup seluruh atau sebagai dari biaya pelayanan. Sementara menurut Soedargo dan Wartini (2001), retribusi adalah suatu pungutan sebagai pembayaran untuk jasa yang oleh negara secara langsung diberikan kepada yang berkepentingan. Sedangkan menurut Munawir dan Wartini (2001), retribusi adalah iuran kepada pemerintah yang dapat dipaksakan dan jasa balik secara langsung dapat ditunjukan. Salah satu cara untuk mengukur kinerja suatu organisasi adalah melihat efisiensi dan efektivitas. Menurut Jones dan Pendlburg (1996), efisiensi pada dasarnya adalah optimalisasi penggunaan sumber-sumber dalam upaya mencapai tujuan organisasi tersebut, sedangkan efektivitas menunjukan pada keberhasilan atau kegagalan dalam mencapai tujuan. Sementara menurut Devas (1989), efektivitas yaitu mengukur hubungan antara hasil pungut suatu pajak dan potensi hasil pajak itu, dengan anggapan semua wajib pajak membayar pajak masingmasing dan membayar seluruh pajak terhutang masing-masing juga.
2.5.4. Aspek Sosial Bahwa berhasilnya pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila tergantung kepada partisipasi seluruh rakyat serta pada sikap mental, tekat dan semangat, ketaatan dan disiplin para penyelenggara serta seluruh rakyat Indonesia. Dari rumusan di atas dapat ditarik pemikiran bahwa peran serta masyarakat dalam pembangunan menyangkut kepada seluruh rakyat termasuk para penyelenggara negara. Oleh karena itu merupakan suatu keharusan saluran hirarki di dalam masyarakat yang seharusnya ditempuh oleh penyelenggara pembangunan. Sebagaimana telah diungkapkan, bahwa dalam usaha pembangunan, peran serta seluruh masyarakat sangat diperlukan. Pembangunan tidak bisa dilaksanakan tanpa peran serta masyarakat. Untuk dapat menerima peran serta masyarakat. Memahami pengertian peran serta, dapat dikemukakan pendapat-pendapat para ahli sebagai berikut :
Alport dan Sastropoetro (1998) menyatakan, the person who participates is ego-involved instead of merely task involved. Maksudnya bahwa seseorang yang berpartisipasi sebenarnya mengalami keterlibatan dirinya egonya yang sifatnya lebih daripada keterlibatan dalam pekerjaan atau tugas saja. Dengan keterlibatan dirinya, berarti keterlibatan pikiran dan perasaannya. Davis (1962) dan Armen (1987) memberikan definisinya sebagai berikut : Participation can be defined as mental and emotional involvement of a person in group situation which encourages him to contribute to group goals and share responsibility in them. Pendapat tersebut di atas dapat diterjemahkan sebagai berikut : Partisipasi dapat didefinisikan sebagai keterlibatan mental, pikiran dan emosi perasaan seseorang di dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk memberikan sumbangan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan serta turut serta bertanggung jawab terhadap usaha yang bersangkutan. Ada tiga unsur penting yang dimaksud Davis (1962) dalam Armen (1987) dalam peran serta yang memerlukan perhatian khusus, yaitu : a. Bahwa peran serta, sesungguhnya merupakan suatu keterlibatan mental dan perasaan, lebih daripada semata-mata atau hanya keterlibatan mental dan perasaan, lebih daripada semata-mata atau hanya keterlibatan secara jasmaniah. b. Unsur tanggung jawab. Unsur ini merupakan segi yang menonjol dari rasa menjadi anggota. c. Kesediaan memberikan suatu sumbangan kepada usaha mencapai tujuan kelompok, ini berarti, bahwa terdapat rasa senang, kesukarelaan untuk membantu kelompok. Sehubungan dengan masalah di atas, dalam pelaksanaannya serta peran serta tersebut dapat berupa : pikiran, tenaga, pikiran dan tenaga, barang dan berupa uang. Santosa dan Iskandar dan Sastropoetro (1986) mengemukakan, ada enam elemen untuk terwujudnya peran serta masyarakat yaitu : a. Rasa senasib sepenanggungan. b. Keterlibatan terhadap tujuan hidup.
c. Kemahiran untuk menyesuaikan dengan perubahan keaadaan. d. Adanya prakarsawan. e. Iklim partisipasi dan. f. Adanya pembangunan itu sendiri. Peran
serta
masyarakat
sangat
diperlukan
dalam
pembangunan.
Sastropoetro (1986) mengemukakan sepuluh alasan tentang pentingnya peran serta atau partisipasi masyarakat dalam pembangunan, yaitu : a. Dengan partisipasi lebih banyak hasil kerja yang dapat dicapai. b. Dengan partisipasi memiliki nilai dasar yang sangat berarti untuk peserta, karena menyangkut harga dirinya. c. Dengan partisipasi pelayanan dapat diberikan dengan biaya yang murah. d. Partisipasi mendorong timbulnya rasa tanggung jawab. e. Partisipasi nerupakan katalisator untuk pembangunan selanjutnya. f. Partisipasi menjamin, bahwa suatu kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat telah dilibatkan. g. Partisipasi menjamin, bahwa pekerjaan dilaksanakan dengan arah yang benar. h. Partisipasi menghimpun dan memanfaatkan berbagai pengetahuan yang terdapat di dalam masyarakat, sehingga terjadinya perpaduan berbagai keahlian. i. Partisipasi membebaskan orang dari ketergantungan kepada keahlian orang lain. j. Partisipasi lebih menyadarkan menusia terhadap penyebab dari kemiskinan, sehingga menimbulkan kesadaran terhadap usaha untuk mengatasinya. Perlu juga dikemukakan, bahwa ada lima unsur penting yang turut menentukan peran serta masyarakat : a. Komunikasi yang menumbuhkan pengertian yang efektif. b. Perubahan sikap, pendapat dan tingkah laku yang diakibatkan oleh pengertian yang menumbuhkan kesadaran. c. Kesadaran yang didasarkan kepada perhitungan dan pertimbangan. d. Antusiasme yang menumbuhkan spontanitas, yaitu kesediaan melakukan sesuatu yang tumbuh dari dalam lubuk hati sendiri tanpa dipaksa orang lain. e. Adanya rasa tanggung jawab terhadap kepentingan bersama.
2.6. Peran Serta Masyarakat dalam Penanggulangan Sampah Adanya peran serta masyarakat yang baik akan memudahkan pelaksanaan operasional di lapangan dan bahkan dapat menurunkan biaya pengelolaan. Dengan demikian maka diperlukan suatu program untuk meningkatkannya secara terpadu, teratur dan terus menerus serta dapat bekerja sama dengan organisasi yang terdapat dalam masyarakat. Pola pendekatan peran serta masyarakat untuk kota-kota kecil dimana struktur masyarakatnya lebih homogen dan sederhana atau daerah yang berpenghasilan rendah adalah melalui pendekatan terhadap tokoh masyarakatnya sedangkan untuk kota metropolitan dan kota-kota besar lainnya dimana struktur masyarakatnya lebih heterogen dan kompleks atau daerah-daerah yang berpenghasilan menengah ke atas dan tempat-tempat umum, pendekatannya adalah melalui pendekatan institusional dan kelembagaan yang ada seperti LKMD, RW, dan RT. Tinjauan terhadap peranan masyarakat terhadap penanganan sampah kota menjadi penting karena penyebab dari adanya masalah adalah karena masyarakat itu sendiri dapat diatur kondisi pengelolaan sampah pada kawasan-kawasan kumuh yang tidak dapat dijangkau oleh pelayanan DPKP. Secara komunal pengumpulan sampah-sampah dari rumah-rumah ke TPS akan lebih praktis dibandingkan dengan pola individual. Manusia bersama dengan lingkungan hidupnya berada dalam suatu ekosistem. Kedudukan manusia didalam kesatuan ekosistem adalah sebagai bagian bersama unsur-unsur lain yang tidak mungkin dipisahkan, karena itu kelangsungan hidup manusia tergantung pula pada kelestarian ekosistemnya. Agar kelestarian ekosistem itu dapat terjamin, maka manusia harus menjaga keserasian hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungannya, apabila terganggu maka akan terganggu pula kesejahteraan manusia tersebut. Tingkah laku selalu mempengaruhi keharmonisan dan keseimbangan lingkungannya, karena itu pula manusia akan berusaha meningkatkan kualitas lingkungan hidupnya itu. Manusia berkeyakinan semakin tinggi kualitas lingkungannya maka semakin banyak pula manusia dapat mengambil keuntungan dan semakin besar pula daya dukung hidupnya. Hal ini senada dengan pendapat
Resosoedarmo, Kartawinata dan Soegiarto (1987), bahwa manusia mempengaruhi lingkungan hidupnya dan juga mengusahakan sumberdaya alam lingkungannya demi hidupnya. Menurut Soemarwoto (1987), dengan lingkungan yang baik dapat ditingkatkan mutu kehidupan, sehingga membuat setiap orang kerasan tinggal di dalam lingkungannya. Kebersihan dan keindahan adalah keadaan yang sesuai dengan tata lingkungan untuk memenuhi harapan dalam menghasilkan sebuah kota yang berkembang secara dinamis dalam mewujudkan keseimbangan antara alam dan manusia. Oleh karena itu kota bersih dan indah merupakan kebutuhan bagi masyarakat, maka selayaknya warga masyarakat kota bersama-sama dengan pemerintah
daerah
bertanggung
jawab
menjaga
dan
memelihara
serta
menyelenggarakan kebersihan dan keindahan kota. Masyarakat diharapkan ikut serta, karena hasil pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah bersama-sama dengan masyarakat adalah untuk kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Sesuai dengan pendapat Tjokroamidjojo (1997) dan Panuju (1999), bahwa keterlibatan masyarakat secara aktif dapat lebih terlaksana apabila pembangunan itu sendiri berorientasi pada kepentingan masyarakat. Menurut Santono dan Iskandar (1984), peran serta masyarakat diharapkan dalam menyertai pemerintah dalam memberikan bantuan guna meningkatkan, memperlancar, mempercepat dan menjamin kebersihan usaha pembangunan. Agar lingkungan hidup yang teratur, indah serta nyaman dapat diwujudkan,
maka
diperlukan
suatu
pengaturan,
pengaturan
kebersihan
merupakan hal yang sangat luas yaitu berupa segala tindakan untuk menuju terciptanya lingkungan yang serasi dan warga yang tinggal di dalamnya tetap sehat serta merasa nyaman. Hubungan antara aspek-aspek manajemen pengelolaan persampahan disajikan pada gambar 2.4.
Management dan Organisasi
Pembiayaan dan Retribusi
Teknis opersional
Persampahan
Managemen dan Organisasi
Managemen dan Organisasi
Sumber : Ditjen Cipta Karya (1991)
Gambar 2.4. Aspek Manajemen Persampahan 2.7. Organisasi Menurut Siagian dan Indrawijaya (1986) organisasi adalah setiap bentuk persekutuan antar dua orang atau lebih yang bekerjasama serta secara formal terikat dalam rangka pencapaian suatu tujuan yang telah ditentukan, dalam ikatan terdapat seorang.beberapa orang yang disebut bawahan. Selanjutnya Atmosudirjo dan Indrawijaya (1986) mengemukakan organisasi adalah struktur tata pembagian kerja dan struktur tata hubungan kerja antara sekelompok orang pemegang posisi yang bekerja sama secara tertentu untuk bersama-sama mencapai suatu tujuan tertentu. Organisasi itu sendiri dapat hidup karena adanya, manusia yang menggerakannya. Manusia yang menggerakan organisasi adalah orang-orang sebagai partisipan aktor dalam organisasi tersebut. Oleh karena itu perilaku suatu organisasi banyak dipengaruhi oleh perilaku para pesertanya atau aktornya. Perilaku yang berkaitan dengan disiplin, inisiatif, wewenang dan tanggung jawab akan mencerminkan apakah organisasi berjalan dengan efisien dan efektif
atau tidak. Efektifitas dan efisiensi tersebut pada akhirnya akan menentukan performance (kinerja) organisasi tersebut. Dengan perkataan lain, secara umum efektivitas dan efisiensi merupakan instrument (waditra) untuk mengukur kinerja suatu organisasi. Menurut Prawirosentono (199) efektivitas dari usaha kerja sama (antar individu) berhubungan dengan pelaksanaan yang dapat mencapai suatu tujuan dalam suatu sistem itu sendiri. Sedangkan efisiensi dari suatu kerja sama dalam suatu sistem (antar individu) adalah hasil gabungan efisiensi dari upaya yang dipilih masing-masing individu. Efisiensi organisasi mempersoalkan hubungan antara input yang digunakan dan output yang dihasilkan. Meningkatkan rasio output terhadap input merupakan indikasi dari meningkatnya efisiensi organisasi. Untuk mengukur apakah tujuan organisasi tercapai atau tidak digunakan kriteria yakni efektivitas dan efisiensi. Dalam organisasi yang baik wewenang dan tanggung jawab telah disebar dengan baik, tanpa adanya tumpang tindih tugas. Masing-masing peserta organisasi mengetahui apa yang menjadi haknya dan tanggung jawab dalam kerangka organisasi mencapai tujuannya. 2.8. Pengertian Aset Aset dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang mempunyai nilai. Aset adalah sesuatu yang bernilai. ”Sesuatu” apapun namanya dan bagaimanapun bentuknya, baik yang sifatnya nyata (tangible) ataupun yang sifatnya tidak nyata (intangible) yang merefleksikan nilai dapat dikelompokkan sebagai aset (Barata, 1995). Dalam Standar Akuntansi Pemerintahan diuraikan tentang definisi aset, yaitu : ”Aset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang, termasuk sumber daya non-keuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah dan budaya.”
Siregar (2000) secara umum menjelaskan bahwa pengertian aset secara umum adalah barang (thing) atau sesuatu barang (anything) yang mempunyai nilai ekonomi (economic value) atau nilai tukar (exchange value) yang dimiliki oleh badan usaha, instansi atau individu. Di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta aset dikenal dengan istilah Barang Daerah. Hal ini sejalan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 152 tahun 2004 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Daerah yakni semua aset daerah yang menjadi kekayaan Pemerintah Daerah, baik yang dimiliki maupun yang dikuasai, yang berwujud, yang bergerak maupun tidak bergerak beserta bagian-bagiannya ataupun merupakan satuan tertentu yang dapat dinilai, dihitung, diukur, atau ditimbang termasuk hewan dan tumbuh-tumbuhan. Dari pengertian tersebut, maka dapat diartikan bahwa aset merupakan sesuatu yang memiliki nilai (valuable thing), namun ditinjau dari wujudnya aset dapat dibagi menjadi aset yang tangible (ada bentuk fisik misalnya ; tanah, bangunan, dan sebagainya) dan intangible (non fisik, misal ; hak cipta, hak paten, dan sejenisnya) yang pada dasarnya dapat dimiliki oleh individu atau kelompok. Aset tersebut di atas, memiliki potensi yang apabila dimanfaatkan secara optimal akan memberikan keuntungan baik dalam bentuk profit maupun benefit bagi pemiliknya. Karena itu aset perlu dikelola agar efektifitas pemanfaatannya dapat menunjang tercapainya tujuan individu maupun organisasi yang memilikinya. Siregar (2004:519) menjelaskan ”Optimalisasi aset merupakan proses kerja dalam manajemen aset yang bertujuan untuk mengoptimalkan potensi fisik, lokasi, nilai, jumlah/volume, legal dan ekonomi yang dimiliki aset tersebut”. Dalam buku, Implementasi Manajemen Aset (1995), Barata mengatakan : ”Manfaat ekonomi masa depan yang terwujud dalam aset adalah potensi untuk memberikan sumbangan, baik langsung maupun tidak langsung, bagi kegiatan operasional pemerintah, berupa aliran pendapatan atau penghematan belanja bagi pemerintah”. Potensi
aset
tersebut
akan
mempunyai
kontribusi
bila
dalam
pemanfaatannya dilakukan secara optimal sesuai dengan visi dan misi yang telah
ditetapkan oleh pemerintah tanpa mengesampingkan aspek yang tak kalah pentingnya, yaitu kebutuhan warga kota selaku penggunanya (users). Bagi organisasi (pemerintah/swasta) untuk mengoptimalkan aset sesuai potensinya, maka dalam operasional pemanfaatan aset sebagai fasilitas diperlukan manajemen fasilitas (facilities management). Manajemen fasilitas diperlukan agar dapat memberikan kontribusi dalam mencapai tujuan organisasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Amaratunga (Shahabudin, 2006:97) yang menyatakan “Facilities management is an umbrella term under a wide range of property an user related function may be brought together for benefit of the organization as a whole as well its employees”. Penggunaan aset yang ideal harus dilihat dari dua sisi (Barata, 2007) : 1).
Pengadaan/penyediaan aset sebagai fasilitas pendukung untuk menyediakan atau melayani organisasi dimana dampaknya menuju ke arah peningkatan keseluruhan performa/kinerja dari pemerintah pusat/daerah.
2).
Kemanfaatan
aset
yang
terkait
dengan
keputusan,
berupa
”ya”
atau”tidaknya” kebijakan manajemen aset ini sudah efektif, efisien dan mencapai ’penggunaan yang terbaik dan paling tinggi’ yang notabene merupakan prinsip dari kepemilikan aset. Dalam penelitian ini, maka konteks aset diwujudkan dalam bentuk aset sebagai sarana atau fasilitas pelayanan kebersihan, terutama dalam bidang pengolahan sampah yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan di bidang kebersihan (asset service) yang diharapkan juga dapat mendatangkan berbagai manfaat (benefit) maupun keuntungan (profit) bagi para pihak yang terlibat di dalamnya. Dalam kegiatan pelayanan terjadi interaksi antara pemberi pelayanan dan yang diberi pelayanan. Dalam konteks asset service sasaran pelayanan TPA adalah masyarakat sebagai pelanggan (customer) atau pengguna jasa. TPA merupakan aset atau fasilitas perkotaan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai pengguna jasa untuk memperoleh layanan kebersihan/persampahan. Hak dan kewajiban masing-masing pemerintah daerah Hak pihak pertama (DKI Jakarta) 1.
Melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap pengelolaan TPA
2.
Membuang sampah yang berasal dari DKI Jakarta ke TPA Bantargebang
3.
Melakukan komitmen sharing pembiayaan berdasarkan prosentase
Kewajiban 1.
Membuat Site Plan penataan TPA
2.
Memelihara IPAL
3.
Melakukan pemeriksaan terhadap leachate/lindi setiap 3 bulan untuk memantau tingkat pencemaran
4.
Memelihara jalan masuk menuju TPA
5.
Melakukan pengobatan massal setiap 2 bulan
6.
Melakukan penyemprotan lalat setiap bulan
7.
Melakukan pemeriksaan sampel air bersih setiap 2 bulan
8.
Memelihara sarana air bersih dan menambah cakupan layanan untuk perkampungan di sekitar TPA
Hak pihak kedua (Kota Bekasi) 1.
Melaksanakan pengelolaan TPA Bantargebang
2.
Memperoleh kontribusi dari pemasukan sampah ke TPA
Kewajiban 1. Memelihara drainase di sekitar TPA 2. Memelihara PJU di lokasi TPA dan sepanjang jalan masuk 3. Melakukan koordinasi dengan Pemkab dan Pemdes setempat.
2.9. Strategi Konsep strategi pada awalnya adalah suatu tindakan perencanaan dan keputusan yang dilakukan oleh para petinggi militer dalam upaya memenangkan pertempuran yang didasarkan pada pemahaman terhadap kondisi eksternal dan internal. Mintzberg (1992) mengungkapkan bahwa dalam perkembangannya konsep strategi tidak hanya sekedar alat untuk mencapai tujuan, melainkan juga menjadi alat untuk menciptakan keunggulan dalam persaingan, dan juga menjadi tindakan dinamis untuk memberi respon terhadap kekuatan internal dan eksternal. Strategi merupakan pola tindakan utama yang dipilih untuk mewujudkan visi dan misi organisasi. Strategi adalah sebuah rencana yang disatukan, luas dan terintegrasi yang dirancang untuk mencapai tujuan organisasi (Glueck dan Jauch,
1992). Mintzberg (1992) memberikan pandangannya mengenai strategi sebagai rencana, pola, posisi, dan perspektif. a.
Strategi sebagai rencana, berhubungan dengan bagaimana para pimpinan mencoba untuk mengarahkan organisasi dalam situasi masa yang akan datang.
b.
Strategi sebagai pola, memfokuskan pada aksi/tindakan, juga mendorong pemusatan tindakan dan pencapaian konsistensi perilaku organisasi.
c.
Strategi sebagai posisi, mendorong kita untuk melihat organisasi dalam lingkungan persaingannya, bagaimana mereka menentukan posisi dan bertahan dalam persaingan, menghadapi atau menghindar.
d.
Strategi sebagai perspektif, meningkatkan pertanyaan mengenai intensi dan perilaku dalam konteks kolektif. Bagaimana intensi menyebar ke seluruh anggota organisasi menjadi norma dan nilai yang disepakati bersama. Strategi merupakan penggabungan pola berpikir strategis dengan fungsi-
fungsi manajemen yaitu : perencanaan (planning), penerapan (implementing), dan pengawasan (evaluating). Strategi digunakan untuk mengarahkan sumber daya organisasi untuk mencapai sasaran. Strategi mencerminkan kesadaran organisasi dengan bagaimana, kapan dan dimana sebaiknya berkompetisi, dengan siapa berkompetisi dan maksud kompetisi. Rangkuti (2006) membedakan strategi kedalam tiga kelompok, yaitu : strategi manajemen, strategi investasi dan strategi bisnis. Perencanaan strategis merupakan bagian dari kegiatan penyusunan konsep strategi. Yogi (2007) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan perencanaan strategis adalah perencanaan yang didasarkan pada pengamatan keadaan eksternal (peluang dan ancaman) serta keadaan internal (kekuatan dan kelemahan). Sementara Rangkuti (2006) mengatakan bahwa tujuan dari dilakukannya perencanaan strategis adalah agar perusahaan dapat melihat secara objektif kondisi-kondisi internal dan eksternal, sehingga perusahaan dapat mengantisipasi perubahan lingkungan eksternal. Perencanaan strategis juga bermanfaat untuk memperoleh keunggulan bersaing dan memiliki produk yang sesuai dengan keinginan konsumen dengan dukungan yang optimal dari sumber daya yang ada. Perencanaan strategis
didasarkan pada keadaan sekarang, berbeda dengan perencanaan jangka panjang yang didasarkan pada ramalan keadaan yang akan datang. Kelemahan kegiatan perencanaan biasanya disebabkan oleh sifatnya yang sangat teoritis.
2.10. Formulasi Strategi dengan Analisis SWOT Analisis SWOT atau Strength, Weaknesses, Opportunities dan Threats adalah identifikasi secara sistematis dari berbagai faktor untuk memformulasikan strategi yang berkaitan dengan visi, misi dan rencana strategis dan keputusan organisasi (Rangkuti, 2003). Hal yang harus dilakukan oleh organisasi tersebut adalah menganalisis faktor-faktor strategis pada kondisi lingkungan organisasi saat ini, baik lingkungan internal yaitu Strength (kekuatan) dan Weaknesses (kelemahan), maupun lingkungan eksternal yaitu Opportunities (peluang) dan Threaths (ancaman). Analisis SWOT adalah membandingkan antara faktor internal dengan faktor eksternal. Pemanfaatan SWOT dalam menyusun strategi manajemen akan dapat memudahkan penyajian hasil telaahan untuk memperoleh keputusan dari para pengambil keputusan untuk pemilihan alternatif sebagai suatu strategi manajemen. Lingkungan internal merupakan analisis ke dalam organisasi guna menilai atau mengindentifikasi kekuatan (strength) dan kelemahan (weaknesses) dari setiap bagian organisasi. Hal ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan ”apa yang kami punya” atau ”apa yang seharusnya dilakukan untuk membuat kami berbeda” Faktor-faktor yang kekuatan yang dimiliki oleh suatu organisasi karena mempunyai kompetensi spesifik sehingga memiliki keunggulan dibandingkan dengan organisasi lain. Keunggulan dapat diidentifikasi sebagai keunggulan sumber daya (keuangan, manusia dan teknologi) dan keunggulan komparatif (pelayanan, citra, hubungan interaksional dan keunggulan bersaing). Sedangkan faktor-faktor kelemahan yang dimiliki organisasi adalah keterbatasan atau kekurangan baik berupa sumberdaya maupun keterbatasan komparatif. Lingkungan eksternal adalah suatu kekuatan di luar organisasi di mana organisasi tidak mempunyai pengaruh terhadapnya (uncontrollable) sehingga perubahan yang terjadi pada lingkungan eksternal akan mempengaruhi kinerja semua organisasi dalam industri tersebut. Analisis lingkungan eksternal organisasi
dilakukan dengan menggali dan mengidentifikasi segala ancaman (threat) dari pesaing dan calon pesaing serta peluang (opportunity) yang berkembang dan menjadi trend pada saat itu. Faktor peluang adalah faktor yang berkaitan dengan situasi lingkungan yang menguntungkan bagi kegiatan (bisnis). faktor ancaman merupakan faktor lingkungan yang tidak menguntungkan bagi kegiatan (bisnis), sehingga organisasi perlu mengatasi setiap ancaman.
III. METODE KAJIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Sebagai sebuah kota besar yang juga berfungsi sebagai Ibukota Negara dan berbagai pusat kegiatan lainnya Jakarta sudah seharusnya menyediakan segala sarana dan prasana (fasilitas) bagi para penghuninya termasuk di antaranya sarana pembuangan sampah. Saat ini Jakarta hanya mempunyai satu Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah yang ada di Bantargebang Bekasi Jawa Barat. TPA yang mempunyai luas lokasi 108 ha ini mulai dioperasikan pada bulan Agustus 1989 dan direncanakan untuk menampung sampah dari belahan Timur Jakarta dengan menggunakan metode sanitary landfill, namun kenyataannya TPA ini digunakan untuk menampung sampah dari seluruh wilayah DKI Jakarta sehingga setiap harinya menerima sampah melebihi kapasitas daya tampung hariannya dengan pengelolaan yang lebih bersifat open dumping. TPA Bantargebang yang merupakan salah satu aset yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta seharusnya tidak hanya memberikan manfaat (benefit) sebagai tempat pembuangan akhir sampah, akan tetapi juga memberikan nilai tambah (added value) bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai pemilik aset dan pihak-pihak lain (stakeholders) yang terlibat dalam pengelolaan TPA tersebut. Namun kenyataannya, TPA Bantargebang lebih banyak menimbulkan dampak negatif terutama terhadap lingkungan seperti pencemaran air, tanah dan udara. Belum banyak manfaat yang dapat diperoleh dari pengelolaan sampah di TPA Bantargebang ini bila dibandingkan dengan besarnya biaya yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Untuk itu diperlukan strategi yang tepat dalam mengoptimalkan pengelolaan aset TPA Bantargebang guna memberikan manfaat dan keuntungan yang lebih besar lagi. Untuk dapat menentukan strategi yang akan digunakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dilakukan analisis lingkungan strategis yang ada di sekitar baik secara internal maupun eksternal (analisis SWOT). Dengan memperhatikan hasil-hasil penelitian terdahulu dan rencana awal pendirian TPA Bantargebang, maka akan didapatkan beberapa skenario atau strategi yang dapat dipakai dalam pengelolaan aset TPA Bantargebang.
Kerangka pemikiran pengelolaan TPA Bantargebang dapat digambarkan dalam gambar 3.1 sebagai berikut: PERMASALAHAN DKI: 1. Produksi dan konsumsi barang & jasa meningkat 2. Produksi sampah meningkat 3. Lokasi pembuangan terbatas
Kerja sama dengan Pemkab Bekasi dalam pengelolaan sampah: TPA Bantargebang sebagai tempat pembuangan sampah DKI
1. 2. 3.
MASALAH Lingkungan Kesehatan infrastruktur
STRATEGI PENGELOLAAN SAMPAH
Kinerja Pengelolaan Sampah
Analisis Faktor Internal
Strategi Pengelolaan Sampah (Metode SWOT)
Analisis Faktor Eksternal
Pengelolaan Sampah Lebih Efektif & Efisien
Gambar 3.1. Kerangka Pemikiran
3.2. Desain Penelitian Desain penelitian merupakan keseluruhan rancangan proses yang diperlukan dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian, sehingga pertanyaan-pertanyaan penelitian dapat dijawab (Hasan, 2002). Dalam penelitian ini digunakan pendekatan kualitatif. Berdasarkan cara pengumpulan informasi, maka penelitian ini termasuk kedalam penelitian deskriptif analitik. Tipe yang paling umum dari penelitian deskriptif meliputi penilaian sikap atau pendapat terhadap individu, organisasi,
keadaan ataupun suatu prosedur (Kuncoro, 2003). Penelitian ini merupakan penilaian terhadap organisasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang, dengan menggunakan pendapat para pakar yang memahami masalah persampahan dan pengelolaan TPA untuk memberikan masukan dalam proses pengambilan keputusan. Dilihat dari tujuannya, penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian terapan dan juga penelitian evaluasi. Penelitian terapan merupakan penelitian yang menyangkut aplikasi teori untuk memecahkan permasalahan tertentu, termasuk didalamnya adalah penelitian evaluasi yaitu penelitian yang diharapkan dapat memberikan masukan atau mendukung pengambilan keputusan tentang nilai relatif dari dua atau lebih alternatif tindakan.
3.3. Jenis dan Sumber Data 3.3.1. Data Primer Data Primer merupakan data yang didapat dari sumber pertama, dari individu, seperti hasil wawancara atau hasil diskusi dilapangan yang biasa dilakukan peneliti. Data primer dalam penelitian ini merupakan data yang diperoleh melalui hasil wawancara, hasil survai lapangan dan penyebaran kuesioner terhadap beberapa orang yang dianggap pakar dalam masalah pengelolaan sampah dan TPA.
3.3.2. Data Sekunder Data sekunder merupakan jenis data yang ada kaitannya dengan masalah yang diteliti. Data ini diperoleh melalui dokumen yang dimiliki oleh pihak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Kebersihan DKI Jakarta, Biro KAKDA DKI Jakarta dan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, maupun yang bersumber dari berbagai literatur (referensi), laporan, tulisan, dan lain-lain yang memiliki relevansi dengan topik atau permasalahan penelitian. Distribusi responden secara rinci tersaji dalam Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Distribusi Responden Kajian No
Kelompok
1.
Jenis Responden
Masyarakat
Jumlah
Desa Ciketing Udik
5 orang
Desa Cikiwul
5 orang
Desa Cikiwul Sumur Batu
5 orang
2.
Pemulung
Di Zone I, II, III
10 orang
3.
Pemerintah Daerah/pakar
Dinas Kebersihan DKI Jakarta
5 orang
Biro KAKDA DKI
2 orang
Dinas Kebersihan dan lingkungan
2 orang
Kota Bekasi Kepala Unit TPA Bantargenbang
3.3.3.
2 orang
Metode Pengolahan dan Analisis Data Metode pengolahan dan analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah analisis SWOT dan QSPM. Tujuan kajian, jenis data yang diperlukan, sumber data dan metode analisis yang digunakan disajikan pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2. Metode Analisis No. 1.
2.
Tujuan
Jenis Data dan Informasi
Evaluasi kinerja Unit TPA Bantargebang pengelolaan sampah Perumusan • Faktor pengendali strategi internal pengelolaan TPA • Faktor pengendali sampah eksternal bantergabang
Sumber
Metode Analisis
Sekunder
Analisis Tabulasi
Primer
Analisis SWOT, QSPM
3.4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini terbagi atas empat metode, yaitu : 1. Wawancara, dilakukan dalam bentuk wawancara mendalam kepada nara sumber yang dianggap pakar dalam masalah pengelolaan sampah kota. 2. Kuesioner, dilakukan dengan cara menyebarkan kuesioner kepada beberapa responden yang dianggap pakar dalam pengelolaan sampah dan TPA, menggunakan pertanyaan yang bersifat tertutup dengan pilihan jawaban yang sudah tersedia. Pertanyaan disusun dalam bentuk komparasi berpasangan.
3. Penelitian lapangan, dilakukan dengan observasi langsung pada objek penelitian yaitu lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang. 4. Studi kepustakaan, yaitu pengumpulan data yang dilakukan dengan cara membaca, mengutip baik secara langsung maupun tidak langsung dari bukubuku, literatur-literatur yang bersifat ilmiah dan berhubungan langsung dengan topik yang diteliti maupun referensi data dari objek yang diteliti.
3.5. Pemilihan Responden Responden yang dipilih adalah pihak-pihak yang dianggap pakar dalam pengelolaan sampah. Pengertian pakar disini adalah pihak-pihak yang mengerti benar tentang pengelolaan sampah. Dengan perkataan lain, pemilihan responden dalam penelitian ini dilakukan secara purposive. Responden adalah wakil dari tiap-tiap stakeholder yang terkait langsung dengan pengelolaan sampah di Kota Jakarta, yaitu pemerintah, pakar dan masyarakat, dengan kriteria sebagai berikut : 1) Pemerintah a. Ir. Iwan Hendri Wardana, Kepala Seksi Penyusunan Program pada Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta. b. Kosasih, Pejabat pada Dinas Kebersihan DKI Jakarta. c. Ir. Nunu K, Kepala Bagian Sub Dinas Kebersihan Dinas Kebersihan DKI Jakarta. 2) Masyarakat a. Masyarakat peduli lingkungan di Desa Ciketing Udik. b. Masyarakat peduli lingkungan di Desa Cikiwul. c. Masyarakat peduli lingkungan di Desa Cikiwul Sumur Batu.
3.6. Metode Analisis Data 3.6.1. Evaluasi kinerja Sampah dan pengelolaannya kini menjadi masalah yang mendesak di kotakota di Indonesia, sebab bila tidak dilakukan penanganan yang baik akan mengakibatkan terjadinya perubahan keseimbangan lingkungan dan berbagai
dampak negatif lainnya. Penanganan sampah yang menjadi andalan kota-kota adalah dengan penimbunan pada sebuah Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Ada beberapa pengukuran indikator dalam pengelolaan sampah di TPA Bantargebang antara lain masih belum terlaksananya SOP Sanitary Landill, aspek kelembagaannya, aspek teknisnya, aspek keuangannya, penerapan teknologinya serta peran serta masyarakatnya dalam pengelolaan sampah. Dalam pengelolaan TPA Bantargebang pada awal pengoperasiannya tahun 1989 menggunakan teknologi sanitary landfill dalam perjalanan waktu dalam operasionalnya tidak menerapkan teknologi yang telah ditentukan yang seharusnya melalui tahapan antara lain penimbangan, pembongkaran sampah, penyebaran sampah, pemadatan sampah, penutupan sampah (daily cover, intermediate cover, final cover), pengolahan air sampah (IPAS), pemasangan ventilasi gas, penghijauan, pengendalian
dampak
lingkungan,
penyemprotan
lalat
(pest
control),
pemeliharaan dan perawatan (kantor/gedung, pos dan jembatan timbang, jalan operasional serta drainase/saluran, penerangan jalan umum, dan pagar). Aspek kelembagaannya institusi/lembaga dalam sistem pengumpulan dan pengangkutan sampah perlu adanya bentuk badan pengelola sebaiknya suku dinas tersendiri yang terpisah dari Dinas Kebersihan sehingga dapat bekerja secara optimal dan lebih fokus dan selanjutnya dikembangkan menjadi bentuk perusahaan daerah serta mempunyai wewenang dan tanggungjawab yang jelas dan dilengkapi fasilitas yang memadai. Aspek Teknis belum berjalan baik masyarakat yang dilayani dalam sistem pengumpulan, jumlah sampah kota yang dikumpulkan setiap hari, efisiensi kendaraan, yang diukur dalam masyarakat yang dilayani per kendaraan dalam jumlah m3 per kendaraan per hari serta jarak pengangkutan ke lokasi yang terlalu jauh dari TPS-TPS yang ada di DKI Jakarta menuju TPA Bantargebang sebagai pembuangan Akhir sampah, oleh karena itu Pemerintah Daerah DKI Jakarta untuk lebih mempriotaskan mobilisasi pengangkutan. Aspek keuangan masih dibutuhkannya pembiayaan untuk pengelolaan sampah yang sangat besar sementara terbatas kemampuan keuangan pemerintah daerah
perlu
adanya
mengoptimalkan
pengelolaan
retribusi
pelayanan
persampahan dengan sendirinya akan dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dapat memberikan kontribusi yang diharapkan bagi kemampuan keuangan daerah secara umum. Perlu peran serta masyarakatnya dalam pengelolaan sampah karena selama ini pola pendekatan kepada masyarakat masih kurang optimal terutama dalam program-program yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah dimana tidak ada keterlibatan masyarakat dalam penentuan program-program yang terkait dengan pengelolaan sampah, dalam hal ini perlu melihat dari struktur masyarakatnya yang heterogen dan kompleks dengan pendekatan melalui pendekatan institusional dan kelembagaan yang ada seperti LKMD, RW dan RT.Masyarakat diharapkan ikut serta, kerena hasil pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah bersama-sama dengan masyarakat adalah untuk kesejahteraan masyarakat itu sendiri.
3.6.2. Perumusan Strategi SWOT Untuk merumuskan kebijakan dalam pengelolaan TPA Bantargebang, dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT. Penggunaan matriks SWOT dilakukan untuk memformulasikan atau mengembangkan berbagai pilihan strategi untuk pengelolaan TPA. Tahapan teknik analisis data dalam penelitian ini dengan pengolahan Identifikasi masalah dalam pengelolaan TPA Bantargebang, menggunakan analisis faktor lingkungan internal dan eksternal terhadap TPA Bantargebang, dilakukan melalui pengamatan serta wawancara mendalam dengan para pakar, kemudian diperkuat dengan mempelajari beberapa referensi yang berkaitan dengan pengelolaan TPA. Data diolah dengan menggunakan matrik SWOT dalam pengelolaan TPA, sehingga diperoleh empat skenario strategi pengelolaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang, yaitu: 1. Skenario Strategi Strength-Opportunity (SO) adalah penggabungan atau pencocokan antara faktor internal (kekuatan) dengan faktor eksternal (peluang) dengan cara menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang dengan alternatif strategi, antara lain peningkatan anggaran dan perbaikan teknologi, optimalkan komitmen DKI, Optimalkan sarana transportasi, optimalkan bisinis daur ulang.
2. Skenario Strategi Weakness-Opportunity (WO) adalah penggabungan atau pencocokan antara faktor internal (kelemahan) dengan faktor eksternal (peluang) dengan cara meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang, antara lain Tingkatkan sarana prasarana, penguatan kelembagaan. 3. Skenario Strategi Strength-Threats (ST) penggabungan atau pencocokan antara faktor internal (kekuatan) dengan faktor eksternal (ancaman) dengan cara menggunakan kekuatan untuk mengatasi acaman, antara lain optimalkan SDM, optimalkan komitmen pemprov DKI Jakarta untuk mewujudkan tata ruang. 4. Skenario Strategi Weakness-Threats (WT) adalah merupakan pencocokan atau kombinasi antara faktor internal (kelemahan) dengan faktor eksternal (ancaman) dengan cara meminimalkan kelemahan untuk menghindari ancaman antara lain memperlancar sarana pengangkutan sampah, Optimalkan sosialisasi untuk mengurangi konflik di sekitar TPA dan penguatan kelembagaan.
IV. GAMBARAN WILAYAH 4.1
Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah Bantargebang Kawasan Unit Pelaksanaan Teknis (UPT) Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
Bantargebang, Kabupaten Bekasi, Propinsi Jawa Barat. Terletak 13 Km sebelah Selatan Kota bekasi atau berkisar 2 km dari jalan raya Bekasi-Bogor. TPA Bantargebang menempati lahan seluas Kurang Lebih 108 Ha yang tersebar di wilayah tiga desa, yakni: 1.
Desa Ciketing Udik ( Bagian selatan lahan ) dengan Luas Total 343.340 ha,
2.
Desa Cikiwul ( Bagian barat dan utara lahan ) dengan luas total 343.700 ha,
3.
Desa Cikiwul Sumur batu ( Bagian Timur dan utara lahan ), dengan luas total 68.955 ha Tata guna lahan lokasi TPA Bantargebang pada awalnya merupakan areal
perumahan
yang
terpisah,
tanah
garapan/persawahan,
jalan-jalan
kecil,
perkuburan, ladang-ladang tanaman serta daerah genangan air.
4.1.1. Kondisi Klimatologi Kecamatan Bantargebang terletak di daerah tropis yang mengalami musim hujan dan musim kemarau dengan jumlah bulan yang bervariasi setiap tahun. Kecamatan ini mempunyai pola curah hujan yang mendekati Kota Jakarta, karena jarak keduanya yang relatif cukup dekat. Berdasarkan data curah hujan, maka pada kecamatan bantargebang akan terdapat: 1. Empat bulan musim kering, yaitu Juni sampai dengan September, 2. Empat bulan normal, yaitu bulan Oktober, November, April dan Mei, 3. Empat bulan musim basah, yaitu bulan Desember, Januari sampai dengan Maret. Kondisi iklim, kecamatan bantargebang, seperti juga pola curah hujannya, dianggap memiliki kesamaan dengan Kota Jakarta. Tekanan barometer mempunyai nilai rata-rata 1.012,5 mmHg. Angin sebagian bertiup dari arah timur dan barat laut, dimana bulan Desember, Januari sampai dengan Maret mempunyai arah dari barat laut, bulan April sampai dengan Agustus arah angin dari timur dan September sampai dengan November dari arah utara. Kelembaban mempunyai
variasi rata-rata bulanan antara 60 % sampai dengan 80 % dengan kelembaban rata-rata tiap tahun sebesar 70 %. Karateristik temperatur mempunyai variasi rata-rata bulanan yang relatif kecil, yaitu berkisar antara 24o C sampai dengan 33o C. Nilai rata-rata temperatur yang terjadi dalam satu tahun adalah 27,1o C.
4.1.2. Kondisi Geologi dan Hidrologi Berdasarkan metode USDA (United State Depertemen of Agriculture), Tanah di lokasi lahan ini terdapat bebrapa jenis yaitu : a)
Lempung kelanauan (silty clays)
b)
Lanau kelempungan (clayey silts)
c)
Lanau kelanauan (silty sands) Pada kedalaman – 10 mt (bagian barat lahan) atau kedalaman – 15 mt
(bagian timur lahan) terdapat suatu lapisan keras atau lapisan lempung padat. Perbedaan kedalaman ini menunjukan terjadinya proses perusakan alamiah yang berlangsung lebih cepat di bagian lahan sebelah timur. Hal ini disebabkan oleh terjadinya penggalian tanah yang tidak merata. Sedangkan berdasarkan beberapa test yang dilakukan untuk mengetahui ketanahan tanah, dapat disimpulkan bahwa kondisi tanah cukup baik sebagai dasar pondasi.
4.1.3. Kondisi Tata Guna Lahan Tata guna lahan daerah berupa area perumahan yang terpisah, bidang persawahan, jalan-jalan kecil, perkuburan, juga ladang-ladang tanaman serta tanah terbuka bekas penggalian dan secara keseluruhan seperti tertera pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Luas Wilayah dan Peruntukan Ruang Desa Cikiwul, Ciketing Udik dan Sumur Batu. Tata Guna Lahan
Cikiwul (Ha)
Ciketing (Ha)
Sumur Batu (Ha)
a. Luas areal desa b. Luas areal desa menurut pemanfaatan - perumahan - sawah - kuburan - tegalan - pengangonan - wakaf - kolam/empang -perkebunan/ladang Jumlah (b)
343,340
343,700
68,955
88,110 2,000 12,849 12,849 0,600 0,541 2,560 84,600 121,060 343,340
175,340 91,450 25,000 1,200 14,677 1,381 2,472 6,112 26,112 343,700
35,000 16,245 3,000 2,585 1,372 1,732 1,500 4,590 2,931 68,955
Sumber: Dinas Kebersihan Propinsi DKI Jakarta
Daerah terbangun pada daerah sanitary landfill hanya terdiri dari perumahan yang sifatnya non permanen, tetapi di sekitar jalan masuk banyak terdapat bangunan-bangunan yang sifatnya permanen, seperti pergudangan, pabrik industri makanan ternak, dan pabrik industri pakaian jadi (garment).
4.2
Kondisi TPA Bantargebang
4.2.1 Pembagian Zona TPA Bantargebang Seperti telah
disebutkan sebelumnya, seluruhnya, seluruh area TPA
Bantargebang dibagi dalam lima Zone. Pada Tabel 4.2 dan Tabel 4.3. ditunjukan luas area efektif masing-masing zone dan kapasitasnya. Lahan efektif digunakan untuk timbunan sampah, sedangkan lahan lainya digunakan untuk: 1. Pintu masuk dan jembatan timbang 2. Kantor, garasi dan bengkel 3. Prasarana Jalan 4. Sistem drainase 5. Bangunan pengolahan leachate 6. Daerah hijau (Green area) 7. Dan lain-lain.
TPA Bantargebang Bekasi ini direncanakan untuk menampung beban sampah dari Jakarta belahan timur, sedangkan TPA Tangerang menampung sampah dari belahan barat dapat dilihat pada Tabel 4.2 : Tabel 4.2. Pembagian zone TPA Bantargebang. Zone
Luas Total (Ha)
Luas Efektif (Ha)
I
23
20, 74
II
25
22,01
III
32
27,72
IV
13
12,43
V
15
13,75
Total
108
96,65
Sumber : Unit TPA Bantargebang, Bekasi 2008
Tabel 4.3. Estimasi Area dan Kapasitas Landfill Zone
Area (Ha) Tahap I
Kapasitas (M3) Tahap I
Tahap II
I
22
2.438.700
1.800.700
II
23
2.512.400
1.646.700
III
30
2.984.000
2.192.000
IV
11
1.570.000
954.000
V
13
1.676.000
1.459.000
Sumber : Unit TPA Bantargebang Bekasi, 2008
4.2.2 Infrastruktur TPA Bantargebang a. Jalan Jalan yang ada I Lokasi pemusnahan Akhir (TPA) sampah Bantargebang terbagi menjadi 2 Bagian yaitu : b. Jalan Permanen Semua jalan penghubung antar zone serta jalan masuk dan keluar TPA merupakan jalan permanen dengan konstruksi beton. Lebar jalan tersebut adalah 8 m dengan bahu jalan (kiri dan kanan jalan) selebar 1 m dengan konstruksi fleksible pavement (compacted crushed stone).
Jalan permanen dirancang untuk beban kendaraan dengan ban rangkap sebesar 4 ton. Kondisi fisik jalan permanen masih baik, tetapi pada beberapa tikungan masih kurang lebar sehingga apabila ada kendaraan truk pengangkut sampah berpaspasan, laju kendaraan menjadi sedikit lambat, kemacetan sering terjadi disebabkan oleh banyak mobil yang sedang beroperasi parkir di pinggir jalan. Sementara ini jalan masuk dan keluar yang menghubungkan lokasi TPA dengan jaringan jalan kota (Jalan Utama) hanya 1 (satu) jalan yaitu dari Pengkalan 5 ( Jalan Raya Narogong). c. Jalan Kerja Jalan kerja adalah jalan operasional yang berada di dalam lokasi TPA dan berfungsi sebagai lintasan kendaraan angkutan truk sampah untuk dapat sedekat mungkin dengan sel timbunan sampah. Lebar bada jalan kerja adalah 6 m dan lebar bahu jalan masing-masing 1,5 m. Pada tempat-tempat tertentu ( tiap jarak minimum 50 m) bahu jalan diperlebar menjadi 6 m untuk dimanfaatkan sebagai lokasi kerja penurunan sampah (tipping ramp). Pada umumnya kondisi jalan kerja, yang dikonstruksi dengan Mac-Adam dan dilapisi Asphalt, sebagai besar masih dalam keadaan baik jalan kerja yang rusak terdapat I lahan Zone III B dan Zone I. 1. Drainase Saluran drainase di TPA Bantargebang dibagi menjadi dua bagian yaitu: a. Drainase Jalan Berada di sisi sepanjang jalan penghubung yang berfungsi untuk mengalirkan limpasan air dari badan jalan. Drainase jalan hanya terdapat di zone III dengan kondisi masih baik. b. Drainase Lahan Saluran Drainase ini berfungsi untuk mengalirkan limpasan air permukaan dari lahan TPA agar mengalir ke bangunan pengolahan Leachate (BPL) sehingga dapat diolah terlebih dahulu sebelum dialirkan ke badan air penerima. Drainase lahan merupakan saluran permanen dari konstruksi beton dan dibuat mengelilingi lahan. Dinding saluran dibuat kedap sehingga tidak terjadi infiltrasi ke arah samping. Drainase lahan baru dibanguan di zone I dengan kondisi masih baik tetapi dibeberapa tempat tersumbat oleh sampah sehingga aliran sedikit terganggu.
Drainase lahan di zone I tidak dialirkan ke BPL terdekat tapi langsung di alirkan ke badan air penerima terdekat yaitu S. Ciketing. 2. Pipa Ventilasi Gas Dekomposisi sampah (dalam hal ini senyawa organik) dalam kondisi anaerobik dapat menimbulkan gas terutama gas methan, CH4, CO2, dan karbondioksida. Dalam usaha pengendalian gas tersebut maka disetiap zone di TPA Bantargebang dilengkapi dengan pipa ventilasi. Pipa ventilasi terbuat dari bahan PVC diameter 10 cm yang dilubangi dan dipasang pada dinding-dinding bukit lapisan tanah penutup. Sedangkan setelah mencapai bukit akhir pipa dipasang vertikal 2 m diatas bukit akhir. Pipa ventilasi gas pada beberapa tempat ada yang hilang sedangkan yang masih ada berfungsi dengan baik. 3. Bangunan pengolahan leachate Lahan pembuangan akhir sampah Bantargebang mempunyai empat bangunan pengolahan Leachate (BPL) yaitu di zone I, II, III, IV dan zone V. Permasalahan pada BPL di ketiga zone itu adalah hasil akhir (effluent) proses tidak mencapai suatu hasil seperti distandarkan pada perencanaan. Dalam hal ini ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan dari proses pengolahan leachate yaitu :
a. Perencanaan. b. Pelaksanaan. c. Pengoperasian. 4. Bangunan Penunjang Bangunan Penunjang yang ada di TPA Bantargebang – Bekasi terdiri dari empat bagian yaitu: 1. Jembatan Timbang Jembatan timbang yang dipergunakan adalah secara digital berfungsi untuk menimbang volume atau berat sampah ke TPA per truk, sehingga dapat diketahui jumlah volume atau berat sampah perhari yang dilayani TPA Bantargebang – bekasi. Kondisi Jembatan Timbang ini saat ini masih dapat dioperasikan dengan baik.
2. Kantor Pengelola TPA Kantor Pengelola ini memantau segala kegiatan yang terjadi di TPA dikantor ini dicatat:
a. Jumlah kendaraan yang masuk perhari b. Volume sampah yang masuk perhari c. Jumlah kendaraan pengangkut sampah yang beroperasi d. Jumlah alat berat yang beroperasi 3. Garasi Garasi ini berfungsi untuk parkir alat berat agar terlindung dari panas dan hujan, saat ini garasi berfungsi pula sebagai bengkel alat berat yang rusak. Kapasitas garasi adalah untuk 4 kendaraan 4. Sarana cuci mobil/kendaraan alat berat Kapasitas sarana cuci mobil adalah untuk 2 kendaraan. Sarana ini dilengkapi dengan pompa air sumur dangkal.
4.2.3 Pelaksanaan Operasional Penimbunan Sampah Sistem pemusnahan sampah yang dilaksanakan di lokasi pemusnahan Akhir Sampah (TPA) Bantargebang Bekasi adalah controled landfill. Kegiatan penutup tanah harian tidak dilakukan setiap hari bahkan mungkin tidak dilakukan sama sekali. Kendala yang ada adalah : a) Ketersediaannya tanah penutup yang kurang karena kesulitan memperoleh sumber tanah penutup b) Kurangnya peralatan untuk pekerjaan tanah penutup. Kondisi alat berat yang ada sekarang ini hanya cukup untuk membantu pembuangan/pemindahan sampah dari truk pengangkut ke lahan, itupun dengan kondisi mesin yang meragukan.
4.3
Kondisi Saat Ini Pengelolaan Sampah di DKI Jakarta Pada tahun 1988 dengan jumlah penduduk 5 juta jiwa diperkirakan produksi
sampah per hari di Jakarta sebesar 600 ton sampah per hari atau rata-rata 2,67 liter per orang perhari, delapan tahun kemudian, pada tahun 1996 dengan penduduk 7,9 juta jiwa diperkirakan produksi sampah itu meningkat menjadi 25.800 m3
perhari atau rata-rata 2,92 liter perhari (dinas kebersihan 1988, 1997). Pada tahun 1988 sampah yang dapat di angkut rata-rata per hari 16.452 m3 atau 83% dari jumlah yang produksi, ini berarti selama kurun waktu sepuluh tahun upaya yang telah dilakukan hanya dapat meningkatkan daya angkut sampah sebanyak 3% dan ini terjadi terutama karena proses urbanisasi dan industrialisasi yang amat pesat yang terjadi di Jakarta yang disertai dengan peningkatan pendapatan penduduk Jakarta. Dengan jumlah penduduk DKI Jakarta 8,4 juta Jiwa (Tahun 2001). Produksi sampah Kota Jakarta mencapai 25.600 m3/hari dengan laju timbulan sampah 2,67 liter/orang/hari. Kompisisi sampah di DKI Jakarta terdiri 65% sampah organik dan 35% sampah non organik, dapat dilihat pada Tabel 4.4. Tabel 4.4 Prosentase Komposisi Sampah di Propinsi DKI Jakarta. NO. 1. 2.
JENIS SAMPAH
Sampah organic Sampah non organik - Kertas - Kayu - Kain/tekstil - Karet/kulit tiruan - Plastik - Logam/metal - Kaca/gelas - Baterai - Tulang & kulit telur - Lain-lain Total Sumber : Dinas Kebersihan DKI Jakarta
PROSENTASE 65.05% 10.11% 3.12% 2,45% 0,55% 11,08% 1,90% 1,63% 0,28% 1,09% 2,74% 100,00%
Dengan kandungan organik sebesar 65%, metode pengomposan merupakan salah satu alternatif yang cocok diterapkan pada pengolahan akhir sampah DKI Jakarta, karena kandungan organiknya yang tinggi. Pada sampah non organik sampah plastik dan kertas adalah bagian terbesar, hal ini merupakan potensi besar untuk melakukan usaha daur ulang, baik berupa bahan-bahan yang dapat digunakan langsung, dikembalikan kepada produsen atau bahan yang diproses terlebih dahulu sebelum dapat digunakan.
4.4
Cara Pengelolaan Sampah Pengelolaan sampah di wilayah DKI Jakarta dan Dinas Kebersihan
Pemerintah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dibedakan atas empat tahap yaitu pewadahan, pengumpulan sampah, pengangkutan, sampah dan pemusnahan sampah padat. Dalam pelaksanaannya, dinas kebersihan terutama mengelola sampah dari rumah tangga dan pertokoan sedangkan sampah di saluran dan kali ditanggulangi dengan kerjasama Dinas Pekerjaan Umum, penanganan kebersihan jalur hijau dan taman dilaksanakan dengan kerjasama dinas pertamanan, penanggulangan kebersihan pasar dilaksanakan bersama dengan PD Pasar Jaya. Ke empat cara penanganan sampah tersebut yakni :
4.4.1
Pewadahan Kegiatan ini merupakan kegiatan pengumpulan sampah sebelum diangkut ke
tempat penampungan dan pewadahan sampah ini dilakukan sebelum dilasanakan kegiatan pengumpulan. Umumnya tempat pewadahan sampah berupa tong sampah, bak pasangan batah atau kantong plastik. Sarana pewadahan umumnya disediakan oleh masing-masing penghasil sampah. Kegiatan ini dilakukan untuk mencegah sampah berserakan yang akan memberikan kesan kotor serta untuk menpermudah proses kegiatan pengumpulan.
4.4.2. Sistem Pengumpulan sampah Tahapan pengumpulan sampah dapat dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu : a) Kegiatan
penyapuan
sampah
di
jalan-jalan
protokol
termasuk
pelataran/trotoarnya. Operasional penyapuan jalan dilaksanakan dengan menggunakan cara konvensional dan cara mekanik. Cara konvensional menggunakan tenaga manusia dengan peralatan tradisional (sapu lidi) dan kegiatannya dilakukan secara beregu/kelompok. Setiap regu berjumlah 8 orang tukang sapu (Pesada) dan 2 orang penarik gerobak. Jumlah Tukang sapu (Pesada) jalan saat ini adalah 651 orang pegawai Dinas Kebersihan dan 2.427 orang petugas harian lepas (PHL) yang berasal dari petugas harian lepas Eks Pengatur lalu lintas, sehingga jumlah seluruhnya 3.078 orang. Panjang jalan yang di sapu 752,98 Km.
Panjang yang disapu dengan tenaga manusia 750 Km. rasio petugas penyapuan terhadap panjang jalan yang disapu adalah 1:1,9 atau setiap tukang sapu setiap hari menyapu jalan 1,9 Km, sedangkan beban kerja penyapuan yang telah ditetapkan untuk setiap tukang sapu adalah 2 Km. kegiatan penyapuan jalan yang dilakukan oleh petugas Dinas Kebersihan DKI Jakarta dilaksanakan secara bergilir dalam 2 (dua) periode, yaitu : 1. Pagi hari antara pukul 00.00 s/d 07.00 WIB 2. Siang hari antara pukul 09.00 s.d 16.00 WIB 3. Malam hari antara pukul 18.00 s.d 24.00 WIB Volume sampah hasil sapuan setiap hari rata-rata 750 m3. b) Pengumpulan sampah langsung dari sumbernya. Pengumpulan sampah dilakukan oleh masyarakat secara terpadu dimana masyarakat bertanggung jawab pengumpulan sampai masingmasing ke tempat sampah yang disediakan oleh setiap warga; untuk selanjutnya diangkut dan dibuang oleh petugas kebersihan swadaya masyarakat yang dikoordinir oleh RT/RW setempat dengan menggunakan gerobak sampah ke tempat penampungan sementara (TPS) yang telah dibangun oleh Dinas Kebersihan Propinsi DKI Jakarta. Volume sampah yang dapat dikumpulkan melalui TPS rata-rata setiap harinya 20.153 m3/hari. TPS saat ini berjumlah 2.144 lokasi, terdiri dari TPS Dipo 90 unit, Transito 278 unit, TPS terbuka 176 unit, pool gerobak sampah 282 unit, bak beton 520 unit, kontainer 6 m3 sebanyak 263 unit, dan kontainer 10 m3 sebanyak 409 unit yang tersebar di seluruh wilayah DKI Jakarta.
Tabel 4.5 Tempat Penampungan Sampah Sementara (TPS) di DKI Jakarta Tahun 2005 N o
1 2 3 4 5
Seksi Kebersihan Kecamatan
Jakarta Pusat Jakarta Utara Jakarta Barat Jakarta Selatan Jakarta Timur Jumlah
Jumlah dan Jenis LPS Pool Transito Gerobak (Lokasi) (Lokasi)
Dipo (Unit)
Container (10 m3/unit
Container (6 m3/unit
12
49
35
49
14
69
28
27
149
26
TPS Terbuka Pool Container (Lokasi)
Bak Beton (Unit)
terjadwal
tidak terjadwal
73
38
63
12
1
69
25
0
94
149
94
0
20
20
0
51
30
51
32
85
75
95
37
31
91
76
91
74
0
319
140
0
110
409
263
276
282
278
126
341
38
Sumber : Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2005
c) Stasiun Peralihan Antara (SPA) Saat ini telah dioprasikan Stasiun Peralihan Antara (SPA) sampah yang dipakai sejak tahun 1992 berlokasi di jalan Cakung-Cilincing, Jakarta Timur, berkapasitas 900 ton/hari dan SPA Sunter yang dipakai sejak Juni 2000 dengan kapasitas 1000 m3/hari. Areal pelayanan meliputi Jakarta Pusat, sebagian Jakarta Timur, sebagai Jakarta Utara dan sebagaian Jakarta Barat. 1. Sistem Pengangkutan (transportasi) ada dua pola pengangkutan sampah, yaitu : a) pengangkutan tidak langsung dari TPS/SPA ke TPA pada tahap ini pengangkutan sampah dari lokasi penampungan sementara ke lokasi penampungan akhir atau langsung ke Cakung. b) Pengangkutan langsung dari sumber sampah ke TPA Pada tahap ini pengangkutan langsung dari sumber sampah yakni rumah tangga, pasar, dan taman. Pengangkutan yang dapat dilayani oleh truk dinas kebersihan dan di beberapa lokasi yang dilayani oleh swasta dapat dilihat pada Tabel 4.6, serta menjelaskan tentang timbulan sampah dan sampah yang terangkut ke TPA.
Tabel 4.6 Produksi Timbulan Sampah, Sampah Terangkut, dan Sisa Sampah di Wilayah DKI Jakarta pada Lokasi TPA Tahun 2005 No
Wilayah
Timbulan Sampah (m3/hari)
Terangkut (m3/hari)
Sisa Sampah (m3/hari)
1
Jakarta Pusat
5.102
4.578
524
2
Jakarta Utara
4.580
3.837
743
3
Jakarta Barat
5.366
4.511
855
4
Jakarta Selatan
4.708
4.125
583
5
Jakarta Timur
5.442
4.743
583
6
Dinas
402
402
0.00
25.600
22.196
3.404
Jumlah Sumber : Dinas kebersihan DKI Jakarta, 2005
4.5 Kondisi Tempat Pembuangan Akhir Saat ini Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang yang mulai beroperasi pada bulan Agustus 1989 direncanakan untuk menampung sampah dari belahan timur kota Jakarta, namun dengan ditutupnya TPA Kapuk Kamal pada tahun 1993 dan belum beroperasinya TPA Tangerang, maka praktis seluruh sampah dari wilayah Provinsi DKI Jakarta dibuang ke TPA Bantargebang. TPA Bantargebang saat ini berada di bawah Unit Pelaksana Teknis (UPT) Tempat Pemusnahan Akhir yang merupakan unsur pelaksana operasional Dinas Kebersihan di lapangan, dan dalam pelaksanaannya dipimpin oleh seorang Kepala Unit yang dalam melaksanakan tugas dan fungsinya berada dan bertanggung jawab kepada Kepala Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta. Kepala Unit / Kepala TPA mempunyai tugas menyelenggarakan kegiatan dan pengaturan teknis pembuangan akhir sampah di daerah. Sejak awal pengoperasiannya, TPA Bantargebang dikelola oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bekerjasama dengan Pemerintah Kota Bekasi yang terikat dalam sebuah perjanjian kerjasama pengelolaan sampah dan TPA Bantargebang yang diperbaharui setiap tahunnya. Pada bulan Desember 2001 terjadi kerusuhan di lokasi TPA Bantargebang yang mengakibatkan rusaknya berbagai fasilitas penunjang operasional TPA. Selanjutnya, pada tahun 2004 pengelolaan sampah di TPA tersebut diserahkan kepada pihak ketiga selaku operator, yaitu PT. Patriot Bangkit Bekasi (PBB) sampai dengan bulan Mei 2007. Berdasarkan Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 884 Tahun 2007 terhitung mulai 4 Juni 2007 pengelolaan TPA Bantargebang dilaksanakan oleh Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta dengan sistem sanitary landfill sampai dengan adanya penetapan pemenang lelang pengelolaan (TPA) Bantargebang.
4.6 Aset Tempat Pembuangan Akhir Bantargebang Aset yang ada di lokasi Tempat Pembuangan Akhir Bantargebang dan dimiliki oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berupa tanah dan bangunan serta perlengkapan untuk mendukung operasional TPA, dapat dilihat pada Tabel 4.7.
Tabel 4.7 Aset TPA Bantargebang NO.
JENIS BANGUNAN
LUAS
1 Luas Lahan 2 Luas Lahan Efektif 3 Kantor 4 Parkir Kantor 5 Bangunan Mess Phl 6 Bengkel 7 Parkir Alat Berat 8 Pos Jaga 9 Jembatan Timbang 10 Pagar Pegamanan 11 Jalan Operasional 12 Jalan Operasional 13 Saluran Drainase 14 IPAS I 15 IPAS II 16 IPAS III 17 IPAS IV Sumber : Dinas Kebersihan, 2007
108 Ha 82 Ha 350 m2 500 m2 700 m2 432 m2 1.000 m2 60 m2 300 m2 7.573 m2 (6 x 9.000) m2 (4 x 1.020) m2 13.602 m2 17.680 m2 10.998 m2 12.500 m2 12.000 m2
Kondisi bangunan kantor pengelola TPA sudah tidak representatif sebagai tempat untuk melakukan aktivitas manajemen dan administrasi karena kurangnya perawatan. Demikian halnya dengan kondisi jembatan timbang yang seringkali rusak dan memerlukan kalibrasi untuk menjamin keakuratan data sampah yang masuk ke TPA Bantargebang. Permasalahan air lindi (leachate) yang merupakan hasil dari proses penimbunan sampah, terutama sampah organik, belum mampu ditanggulangi sepenuhnya oleh empat instalasi pengolahan air sampah (IPAS) yang ada di TPA Bantargebang. Kondisi ini diperburuk dengan proses pembongkaran sampah pada zona-zona
aktif
yang
tidak
sesuai
prosedur
serta
kurang
terawatnya
drainase/saluran air lindi. Untuk mendukung pengelolaan sampah di TPA Bantargebang banyak terdapat alat-alat berat yang sebagian besar dimiliki dan dioperasikan oleh pihak ketiga yang melakukan kerjasama pengelolaan sampah dengan Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta. Adapun perlengkapan pendukung operasional TPA Bantargebang yang dimikili oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat dilihat pada Tabel 4.8.
Tabel 4.8 Sarana Pendukung TPA Bantargebang Landfilling sampah
Tanah penutup, pengumpulan dan transportasi tanah Penutup
Bulldozer
Kelas 21 ton
7 unit
Landfill Compactor
Kelas 21 ton
2 unit
Bulldozer
Kelas 21 ton
1 unit
Kapasitas beban 0,6 m³
2 unit
Tracktor (Backhoe)
Pengeruk
Dump truck Kendaraan penyiram
8 unit Mobil tangki 4 ton
1 unit
Truck pickup untuk transportasi di area
3 unit
Mobil penumpang untuk transportasi di area Sumber : Dinas Kebersihan, 2007
1 unit
Lainnya
4.7 Pengelolaan sampah di TPA Bantargebang Sejak awal pengoperasiannya pada tahun 1989 pengelolaan sampah di TPA Bantargebang menggunakan teknologi sanitary landfill dengan prosedur operasional sebagai berikut : a. Penimbangan b. Pembongkaran sampah c. Penyebaran sampah d. Pemadatan sampah e. Penutupan sampah (daily cover, intermediate cover, final cover) f. Pengolahan air sampah (IPAS) g. Pemasangan ventilasi gas h. Penghijauan i. Pengendalian dampak lingkungan j. Penyemprotan lalat (pest control) k. Pemeliharaan dan perawatan (kantor/gedung, pos dan jembatan timbang, jalan operasional, drainase/saluran, penerangan jalan umum, dan pagar). Masih terdapat beberapa kelemahan dalam operasional TPA, di antaranya adalah : a. Keakuratan alat ukur pada jembatan timbang perlu dikalibrasi ulang.
b. Dalam proses pembongkaran, penyebaran dan pemadatan sampah tidak bebas (steril) dari pemulung yang pada saat bersamaan memilah sampahsampah. c. Masih terdapat lapak-lapak pemulung yang berbatasan langsung dengan TPA tanpa adanya pagar pembatas. d. Pembongkaran sampah rata-rata memerlukan waktu 4 menit untuk 1 truck. e. Penutupan sampah dengan tanah setiap hari (daily soil cover) belum dilakukan. Pengoperasian TPA Bantargebang ditinjau dari aspek sosial dan aspek teknis selama periode tahun 1989 sampai dengan akhir tahun 2007 dapat di lihat pada Tabel 4.9. Tabel 4.9 Pengoperasian TPA Bantargebang (Aspek Sosial & Teknis) TAHUN SOSIAL 1989 – 1996 Pemulung
Premanisme
Dukungan masyarakat sekitar TPA
Berjumlah ± 2.500 orang dan tunduk pada tata tertib Tidak ada
Tinggi
1996 – Awal 2007
Awal 2007 – Akhir 2007
Berjumlah ± 4.000 orang Tidak dapat ditertibkan
Berjumlah ± 6.000 orang dan tunduk pada tata tertib
Merajalela, banyak barang hilang, operasional tergantung preman & pemulung
Dibasmi secara bertahap, ketertiban TPA terpelihara
Hampir tidak ada, masyarakat terprovokasi oleh pihak tertentu puncak kejatuhan nama baik Dinas Kebersihan, kerusuhan 7-9 Des. 2001
Secara bertahap dijalin hubungan silaturahmi dengan masyarakat, koordinasi pengamanan; PAM Swakarsa, polisi & TNI setempat
TAHUN TEKNIS 1989 – 1996
1996 – Awal 2007
Konstruksi
Standard Sanitary Landfill
Standard Sanitary Landfill
Pembuangan
Dibuang dalam zona telah dikonstruksi
Banyak sampah di luar zona
Peralatan dan Pemadatan
Berjalan sesuai rencana
Tidak terkontrol
Cover soil
Mingguan (weekly)
Tidak beraturan
Leachate Kebakaran
Diolah dalam IPAS Terkontrol
Bau
Minimal
Gas methan
Ventilasi sesuai Program
Banyak yang liar (diluar IPAS) Kebakaran liar (1999) Menyebar, radius 5 – 7 Km dari TPA Ventilasi hilang diambil pemulung
Sumber : Laporan Akhir Pemantauan TPA Bantargebang, 2008
Mei 2007 – Akhir 2007 Standard Sanitary Landfill Dibuang didalam zona & dan sampah diluar dipindahkan kedalam zona Secara berangsur kembali pada standard Terprogram secara bertahap Diolah dalam IPAS Terkontrol Minimal Ventilasi sesuai program
TPA Bantargebang pada awalnya diproyeksikan utnuk menampung sampah dari belahan timur Jakarta dengan kapasitas tampung 19.000.000 m³. dengan volume pembuangan sebesar 14.000 m³ (3.000 ton) per hari. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh PPSML-UI dan Unisma pada Tahun 2002, diperkirakan bahwa pembuangan sampah ke TPA Bantargebang masih dapat dilakukan dengan ketinggian sampah sesuai Master Plan JICA 1987 (25 meter) sampai dengan akhir tahun 2006. Namun bila dilakukan pemanfaatan ruang diantara sel-sel penimbunan, termasuk di atas permukaan jalan antar sel, maka pembuangan sampah ke TPA Bantargebang dengan dengan ketinggian 25 meter masih dapat dilakukan sampai tahun 2011. Dengan posisi TPA Bantargebang sebagai satu-satu TPA bagi seluruh sampah dari wilayah DKI Jakarta, maka volume sampah yang masuk ke TPA pada tahun 2007 adalah sebesar 27.654 m³ atau 6.914 ton per hari. Kondisi ini akan berdampak pada semakin pendeknya umur pemanfaatan TPA.
4.8
Ikhtisar Berdasarkan hasil analisis yang didapat pada saat ini adalah :
1. Ditinjau dari lingkungan fisik, dalam pengelolaan TPA Bantargebang, Kabupaten Bekasi Jawa Barat belum sepenuhnya menerapkan teknologi pengolahan sampah seperti yang telah ditetapkan dalam rencana awal pembangunan dengan menggunakan teknologi sanitary landfill. 2. Masih rendahnya peran serta masyarakat dalam kepedulian membuang sampah dan belum melakukan pemilahan dan pengurangan volume sampah di sumbernya dan tidak menggunakan sistem 3 R (reduce, reuse dan recycle). 3. Masih belum optimalnya pemeliharaan dan monitoring yang dilakukan oleh pengelola unit TPA yang ada di Bantargebang dan Dinas Kebersihan DKI Jakarta terhadap lingkungan serta prasarana di sekitar TPA.
V. EVALUASI KINERJA PENGELOLAAN TPA BANTARGEBANG, BEKASI 5.1. Evaluasi kinerja Ada beberapa indikator kinerja yang perlu mendapatkan evaluasi terkait dengan beberapa aspek antara lain : 5.1.1. Aspek Institusi / kelembagaan TPA a. Struktur organisasi dan tata laksana kerja Struktur organisasi yang ada saat ini di unit TPA Bantargebang belum cukup dapat menangani operasional sehari-hari, namun apabila unit yang ada di TPA Bantargebang ingin lebih meningkatkan kualitas pelayanan, maka organisasi ini perlu ditinjau kembali terutama menyangkut tugas`dan kewenangan koordinasi wilayah di tiap-tiap zone yang ada sebagai ujung tombak belum maksimal di lapangan. Oleh karena itu perlu ditinjau kembali Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta dan Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi tentang Struktur Organisasi dan Tata laksana Unit Pengelola TPA Bantargebang, perlu ada kejelasan dan kewenangan koordinasi wilayah di tiap-tiap zone, dan penambahan unit-unit pada seksi-seksi teknis. b. Bidang sumberdaya manusia Berdasarkan kriteria yang dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan Umum, jumlah personil yang ada di lapangan haruslah cukup memadai sesuai dengan lingkup kerjanya. Kriteria personalia minimal harus cukup memadai untuk pelayanan
setiap
100
penduduk
dilayani
2
orang
petugas,
dalam
pelaksanaannya jumlah penduduk yang terlayani hanya mencapai 35 % dari jumlah penduduk yang ada di DKI dan di Kabupaten Bekasi. Oleh karena itu perlu adanya penambahan personil karena sampai saat ini hanya terlayani 35 % sehingga masih kekurangan pelayanan hampir 65 % dan perlu adanya kebijakan dari pemerintah daerah dalam penambahan personil untuk pelayanan di lapangan. 5.1.2. Aspek Teknis Bidang Persampahan
a. Tingkat Pelayanan yang diberikan dari Dinas Kebersihan DKI Jakarta maupun Pemerintah Kabupaten Bekasi apabila dilihat dari skala kepentingan sebagian sudah terlayani, seperti pada permukiman dengan kepadatan lebih dari 50 jiwa/ha. Namun untuk tingkat pelayanan berdasarkan perhitungan dan data yang ada terlihat bahwa tingkat pelayanan berdasarkan jumlah produksi sampah sehingga masih belum memadai baru mencapai sekitar 40 %. Hal ini tentunya belum mencapai target yang dicanangkan oleh pemerintah pusat sebesatr 75 % - 80 %. b. Pengumpulan Pengumpulan sampah pada saat ini masih belum dipilah-pilah antara sampah anorganik dan sampah organik sehingga masih dimanfaatkan oleh pemulung untuk diambil lagi dan diolah sendiri sehingga banyak tercecer yang menimbulkan bau yang tidak enak, oleh karena itu perlu adanya pemilahan yang dilakukan oleh petugas dari DKI Jakarta dalam hal ini unit yang ada di TPA Bantargebang. Oleh karena itu tingkat pelayanan berdasarkan produksi sampah yang dihasilkan masih mencapai 40 %, sedangkan target yang dicanangkan oleh pemerintah pusat sebesar 75% - 80 % oleh karena itu perlu lebih ditingkatkan dalam tingkat pelayananannya, adanya keterlibatan pemulung dalam pemilihan sampah anorganik maupun sampah organik dan diperlukan kerjasama antar pemerintah daerah dengan pemulung dalam pengelolaan persampahan di TPA Bantargebang, Bekasi. 5.1.3. Aspek pembiayaan Pendanaan merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam pengelolaan TPA Bantargebang, terutama dari sudut pandang pengelola yang beranggapan bahwa makin banyak sampah yang masuk ke TPA maka akan semakin besar pula dana yang harus dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Untuk tahun 2007 Dinas Kebersihan menggunakan data sampah yang masuk ke TPA Bantargebang sebesar 5.497 ton per hari atau sekitar 79,5% dari total produksi sampah kota. Namun pembiayaan yang ada saat ini untuk pengelolaan sampah Bantargebang hanya kurang dari 10 % dari APBD sehingga diperlukan
keterlibatan dari pihak swasta dalam mendukung pengelolaan sampah yang berkelanjutan. 5.1.4.Aspek pengangkutan sampah ke TPA Pengangkutan sampah yang saat ini sebesar 1.114 kali per hari (Dinas Kebersihan, 2008). Keakuratan data ritasi akan menentukan berapa sebenarnya biaya yang harus dikeluarkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk transportasi (biaya BBM). Jauhnya lokasi TPA dengan lalu lintas yang cukup padat mengakibatkan pegangkutan sampah dari sumber atau lokasi-lokasi penampungan sementara menuju TPA menjadi tidak efisien sehingga tiap kendaraan hanya mampu mengangkut tidak lebih dari dua kali dalam sehari. Melihat kondisi kemampuan bongkar muatan sampah ini (1 truck membutuhkan waktu 4 menit). Bila saat ini hanya 3 zona yang dioperasikan (aktif), maka dalam satu jam hanya dapat membongkar 45 truck. Untuk membongkar sampah per hari yang mencapai 1.114 truck/trip dibutuhkan waktu sekitar 24 jam tanpa henti. Penumpukan kendaraan pada 3 lokasi pembuangan (zona aktif) berdampak pada panjang dan lamanya antrian kendaraan untuk dapat dilayani pembokaran sampahnya.Oleh karena itu diperlukan penambahan truk untuk bongkar sampah di lokasi yang memakan waktu, dan perlu adanya penerapan manajemen aset dalam pengelolaan fasilitas publik yang dimiliki pemerintah daerah seperti Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang. 5.1.5. Timbulan sampah Berdasarkan data dari dinas kebersihan DKI Jakarta pada Tahun 2009, jumlah timbulan sampah yang bersumber dari sektor Permukiman, perkantoran, industri, sekolah, pasar dan rumah sakit sangat meningkat, kondisi ini tidak sebanding dengan sarana prasarana yang ada di DKI maupun di Kabupaten Bekasi untuk pengangkutan sampah di dua daerah tersebut. Untuk wilayah Jakarta sampah yang dapat terangkut sekitar 26.962 m3 atau setara dengan 97,50 % sedangkan sisanya 692 m3 atau setara 2,50 % tidak terangkut. Melihat kondisi tersebut Pemerintah Daerah harus menyediakan alternatif lahan tambahan selain TPA Bantargebang yang selama ini digunakan untuk pembuangan sampah di ke dua pemerintah daerah dan perlu kerjasama dengan daerah lain seperti Kabupaten
Tangerang yang selama ini telah ada perjanjian kerjasama dalam pemanfaatan lahan dalam pengolahan sampah (TPST) untuk dapat ditindaklanjuti.
VI. PERUMUSAN STRATEGI
6.1. Analisis Lingkungan Dalam menentukan alternatif tindakan atau kebijakan pengelolaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang, dibutuhkan suatu kerangka kerja yang logis. Analisis SWOT merupakan salah satu cara yang dapat membantu menganalisis suatu organisasi dalam menentukan strategi berdasarkan keadaan lingkungan organisasi tersebut, yang dalam hal ini adalah Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang. Penentuan strategi dalam pengelolaan TPA Bantargebang yang merupakan aset strategis milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam penelitian ini diawali dengan melakukan identifikasi terhadap faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi kondisi aset Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Faktor-faktor ini diperoleh melalui hasil wawancara, diskusi dilapangan, observasi lapangan maupun studi kepustakaan. Berdasarkan faktor-faktor internal dan eksternal tersebut disusun matrik SWOT yang menghasilkan sebelas skenario strategi, sebagaimana ditunjukan dalam Tabel 5.3 (Analisis Matriks SWOT). Matrik SWOT tersebut, selanjutnya menjadi dasar dalam menentukan hierarki strategi pengelolaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang, yang diarahkan untuk tujuan meningkatkan potensi atau optimalisasi aset yang ada pada TPA Bantargebang. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai alternatif dalam peningkatan pengelolaan serta mengurangi atau menyelesaikan permasalahan yang selama ini terjadi dalam pengelolaan TPA.
6.2. Analisis Faktor Internal dan Eksternal Dari hasil pengamatan dan wawancara dengan responden di lapangan diperoleh beberapa faktor strategis yang sangat berpengaruh terhadap pengelolaan Tempat Pembuangan Akhir Sampah Bantargebang Bekasi. Faktor strategis tersebut terdiri dari (1) faktor internal yang meliputi kekuatan dan kelemahan, (2) faktor eksternal yang meliputi peluang dan ancaman.
6.2.1. Faktor Internal Faktor internal merupakan faktor yang dapat dikendalikan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dalam hal ini Dinas Kebersihan. Faktor ini merupakan halhal yang telah dimiliki oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang akan merupakan kekuatan (strength) yang bernilai positif bagi keberhasilan pengelolaan TPA Bantargebang. Sebaliknya, kurangnya atau ketiadaan hal-hal yang seharusnya ada menjadi kelemahan (weakness) yang bernilai negatif dan akan mengurangi keberhasilan pengelolaan TPA Bantargebang. Hasil evaluasi faktor internal dari responden diperoleh nilai bobot dan rating di masing-masing faktor kekuatan dan kelemahan. Matris Evaluasi Faktor Internal secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1 Matriks Faktor Strategis Internal (IFAS) Pengelolaan TPA Bantargebang Faktor Strategis Internal (IFAS)
Bobot
Rating
Skor
(1)
(2)
(1 x 2)
Kekuatan a. Anggaran TPA b. Komitmen Pemprov DKI c. Sarana transportasi d. Sumberdaya manusia
0,10 0,10 0,10 0,05
4 3 4 3
0,40 0,30 0,40 0,15
Kelemahan a. Prasarana b. Kerjasama antar daerah c. Kelembagaan d. Peraturan e. Penggunaan Teknologi
0,20 0,15 0,10 0,10 0,10
1 2 1 1 2
0,20 0,30 0,10 0,10 0,20
Total
1
2,15
Sumber : Analisis
a. Faktor Kekuatan Faktor kekuatan adalah bagian dari faktor strategis internal. Dianggap sebagai kekuatan karena dapat mendukung terhadap pengelolaan sampah TPA Bantargebang di Kabupaten Bekasi, oleh karena itu faktor kekuatan harus dimanfaatkan seoptimal mungkin. Dari masukan beberapa responden didapat
faktor kekuatan yang dimiliki Kabupaten Bekasi dalam pengelolaan sampah TPA Bantargebang adalah sebagai berikut: 1. Anggaran TPA Bantargebang Anggaran TPA merupakan anggaran yang cukup besar untuk dialokasikan dari tahun ke tahun setiap tahunnya dianggarkan sebesar hampir satu milyard oleh DKI Jakarta dalam melakukan pengelolaan TPA bantargebang
secara
optimal
sehingga
keberadaan
TPA
dapat
memeberikan kontribusi yang positif dan berkelanjutan untuk masa depan TPA yang lebih baik. 2. Komitmen Pemprov DKI Komitmen Pemprov DKI sangat diperlukan dalam menanganni pembuangan sampah di TPS-TPS yang ada di wilayah sekitar DKI Jakarta terutama menjaga dan memelihara stabilitas operasional ke Bantargebang termasuk masalah penganggaran TPA Bantargebang. 3. Sarana transportasi Sarana transportasi merupakan perlengkapan pendukung untuk menunjang operasional TPA terutama mobilisasi untuk pengambilan maupun pembuangan dari seluruh wilayah di Provinsi DKI Jakarta 4. Sumberdaya manusia Sumberdaya Manusia karena sumberdaya manusia tidak terlepas dari keseluruhan upaya peningkatan pengelolaan sampah baik teknis manajerial dan operasional dalam pengelolaan sampah
b. Faktor Kelemahan Faktor kelemahan adalah bagian dari faktor strategis internal, faktor tersebut dianggap sebagai kelemahan karena akan menjadi kendala dalam pengelolaan TPA Sampah Akhir di Kabupaten Bekasi. Setelah dilakukan permintaan pendapat dari beberapa responden terdapat 5 faktor kelemahan yang harus dimimalisir dalam upaya pengelolaan TPA Sampah Bantargebang, antara lain:
1. Prasarana Prasarana adalah infrastruktur jalan untuk menunjang operasional ke tempat pembuangan Akhir TPA Bantargebang, pembuatan saluran irigasi dan penerangan jalan. 2. Kerja sama antar daerah Kerjasama antar daerah yang merupakan sangat diperlukan karena keberadaan lahan TPA berada di lokasi Kabupaten Bekasi sehingga diperlukan adanya kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Bekasi dengan DKI Jakarta dalam hal anggaran untuk operasioanalisasinya maupun pengelolaan TPA Bantargebang 3. Kelembagaan Kelembagaan yang merupakan unit-unit yang diperlukan terutama yang ada di lapangan TPA harus jelas kewenangannya dalam pengelolaan TPA sehingga dalam pembagian tugasnya di lapangan secara operasional lebih jelas. 4. Peraturan Peraturan disini dirasa masih belum mampu mengakomodir berbagai isu dan permasalahan yang terkait dengan pengelolaan sampah, sehingga perlu untuk direvisi untuk lebih bisa menjawab yang ada dilapangan 5. Penggunaan teknologi Penggunaan Teknologi adalah dengan menerapkan teknologi sanitary landfill yang telah disepakati demi keberlangsungan TPA Bantargebang yang mutlak harus dilakukan dalam pengelolaan TPA Bantargebang ke depan yang baik dan mempunyai nilai jual yang tinggi.
6.2.2. Faktor Eksternal Faktor eksternal merupakan faktor yang berada di luar pengendalian Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Faktor ini akan berpengaruh langsung terhadap kinerja Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam kegiatan pengelolaan TPA Bantargebang. Pengaruh ini dapat berkontribusi positif sehingga dapat memberikan peluang (opportunity) adanya akselerasi pelaksanaan kegiatan.
Namun, terdapat pula faktor yang menjadi ancaman (threat) dalam pelaksanaan kegiatan.Berdasarkan hasil evaluasi faktor eksternal dari responden diperoleh nilai bobot dan rating di masing-masing faktor pada peluang dan ancaman. Matriks Faktor Eksternal secara lengkap disajikan pada Tabel 5.2. Tabel 5.2 Matriks Faktor Strategis Eksternal (EFAS) Pengelolaan TPA Bantargebang. Bobot Faktor Strategis Eksternal (EFAS) Peluang a. Teknologi pengolahan sampah b. Jakarta sebagai pusat pemerintahan c. Bisnis daur ulang cukup prospektif d. Bantuan Luar negeri untuk masalah lingkungan Ancaman a. Produksi sampah yang meningkat b. Peran serta masyarakat masih rendah c. Konflik masyarakat di sekitar TPA d. Perubahan tata ruang kota e. Persaingan tidak sehat investor
Bobot
Rating
Skor
(1)
(2)
(1 x 2)
0,25 0,10 0,20 0,05
4 3 3 2
0,100 0,30 0,60 0,10
0,15 0,15 0,15 0,10 0.10
2 2 1 1 1
0,30 0,30 0,15 0,10 0,10
Total
1
2,95
Sumber : Analisis
a. Peluang Faktor yang dianggap sebagai peluang adalah faktor yang bias dimanfaatkan dalam upaya pencapaian tujuan. Dari wawancara beberapa responden terdapat 4 faktor yang merupakan peluang yang dapat dimanfaatkan dalam upaya pengelolaan TPA Bantargebang di Kabupaten Bekasi. Peluang-peluang tersebut adalah: 1. Teknologi pengolahan sampah Teknologi pengolahan sampah merupakan teknologi yang sangat diperlukan dan dapat diterapkan di TPA Bantargebang, baik itu alternatif pengomposan maupun sumber energi yang dihasilkan dan teknologi lain yang dapat menjadi nilai jual yang tinggi.
2. Jakarta sebagai pusat pemerintahan Jakarta sebagai pusat pemerintahan karena pusat pemerintahan berada di DKI Jakarta maka pemerintah DKI mempunyai daya tawar yang kuat untuk dapat mendukung dan menganggarkan dalam bidang persampahan. 3. Bisnis daur ulang cukup prospektif Bisnis daur ulang cukup propekstif dengan kapasitas produksi sampah yang sangat besar dan terus meningkat akan membuka peluang bisnis daur ulang yang cukup prospektif karena dapat memberikan penghasilan yang relatif mencukupi bagi kebutuhan pokok para pelakunya. 4. Bantuan Luar negeri untuk masalah lingkungan Bantuan luar negeri untuk masalah lingkungan diperlukan untuk pelestarian lingkungan di sekitar TPA maupun aspek teknis dalam pengelolaan persampahan. b. Ancaman Faktor ancaman adalah faktor yang dianggap bisa menghambat pengelolaan TPA Bantargebang di Kabupaten Bekasi. Dari wawancara terhadap beberapa responden terdapat 5 faktor yang merupakan ancaman yang dapat mengganggu
kelangsungan
upaya
pengelolaan
sampah
pada
TPA
Bantargebang di Kabupaten Bekasi. Ancaman-ancaman tersebut adalah:
1. Produksi sampah yang meningkat Dengan adanya pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat dan pertumbuhan ekonomi yang baik maka akan menimbulkan permasalahan terutama produksi sampah meningkat sehingga perlu adanya solusi dalam penanganan dan pengelolaan sampah baik dari tingkat TPS-TPS yang ada sampai pengangkutan ke TPA. 2. Peran serta masyarakat masih rendah Peran serta masyarakat dimana kepudulian masyarakat sangat diperlukan dalam pembuangan sampahnya sebelumnya perlunya ada pemilahan.
3. Konflik masyarakat di sekitar TPA Konflik masyarakat di sekitar TPA yang merupakan harus diwaspadai oleh pemangku pemerintah daerah 4. Perubahan tata ruang kota Perubahan tata ruang yang merupakan adanya komitmen bersama pemerintah daerah dengan keterbatasan tanah untuk pembuangan sampah 5. Persaingan tidak sehat investor Persaingan tidak sehat investor akan berdampak pada buruknya kualitas barang atau jasa/pekerjaan yang diberikan oleh investor yang pada akhirnya hanya mementingkan keuntungan (profit oriented)
6.3. Perumusan Strategi Tahap selanjutnya adalah tahap penggabungan (matching stage) dengan teknik matriks Kekuatan-Kelemahan-Peluang-Ancaman (SWOT). Analisis SWOT ini didasarkan pada informasi yang diturunkan dari tahap input untuk mencocokan peluang dan ancaman eksternal dengan kekauatan dan kelemahan internal. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan alternatif strategi yang layak secara efektif pada pengelolaan TPA Bantargebang Bekasi. Dari hasil analisis SWOT diperoleh 10 alternatif strategi dalam pengelolaan TPA Bantargebang Bekasi. Secara jelas matriks SWOT tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.3.
Tabel 5.3 Hasil Analisis Matriks SWOT Dalam Perumusan Alternatif Strategi Pengelolaan TPA Bantargebang Bekasi. Strengths (S)
WEAKNESSES (W)
S1.Anggaran TPA S2.Komitmen Pemprov DKI S3.Sarana transportasi S4.Sumberdaya manusia
W1.Prasarana W2.Kerja sama antar daerah W3.Kelembagaan W4.Peraturan
OPPORTUNITIES (O)
STRATEGI (SO)
STRATEGI (WO)
O1.Teknologi engolahan sampah O2.Jakarta sebagai pusat pemerintahan O3.Bisnis daur ulang cukup prospektif O4.Bantuan dari luar negeri untuk masalah lingkungan
1. Peningkatan anggaran dan Perbaikan teknologi di bidang persampahan (S1, O1) 2. Optimalkan komitmen DKI sebagai pusat Ibukota Negara (S2, O2) 3. Optimalkan ketersediaan sarana transportasi (S3, O3) 4. Optimalkan bisnis daur ulang (S3,O3)
1. Tingkatkan sarana prasarana menuju TPA (W1, O3) 2. Penguatan kelembagaan (W3, O3)
THREATS (T)
STRATEGI (ST)
STRATEGI (WT)
T1.Produksi sampah yang meningkat T2.Peran serta masyarakat masih rendah T3.Konflik masyarakat di sekitar TPA T4.Perubahan tata ruang kota T5.Persaingan tidak sehat investor
1. Optimalkan SDM untuk sosialisasi peran serta masyarakat dalam bidang persampahan (S4,T2,T3,T5) 2. Optimalkan komitmen pemprov untuk mewujudkan tata ruang yang konsisten (S2, T4)
1. Memperlancar sarana pengangkutan sampah (W1, T1) 2. Optimalkan untuk mengurangi konflik masyarakat disekitar TPA (W2, T3) 3. Penguatan penegakan hukum untuk mewujudkan tata ruang kota yang konsisten (W4,T4)
FAKTOR INTERNAL
FAKTOR EKSTERNAL
6.3.1
Strategi S-O Strategi S-O merupakan penggabungan atau pencocokan antara faktor
internal (kekuatan) dengan faktor eksternal (peluang) dengan cara menggunakan kekuatan untuk menfaatkan peluang dengan alternatif strategi sebagai berikut : 1. Peningkatan anggaran dan perbaikan teknologi di bidang persampahan Pemerintah DKI Jakarta mengalokasikan anggaran yang cukup untuk pengelolaan persampahan TPA Bantargebang dari tahun ke tahun terutama dalam perbaikan sistem teknologi yang sekarang ada sehingga keberadaan TPA secara
optimal dapat dirasakan oleh Pemerintah Daerah maupun manfaatnya dapat dirasakan pula oleh masyarakat di sekitar wilayah empat desa. 2. Optimalkan komitmen DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Dalam meningkatkan citra Jakarta sebagai kota jasa dan kedudukannya sebagai ibukota negara yang merupakan pintu gerbang negara Indonesia, faktor kebersihan menjadi salah satu unsur yang harus dijaga dan mendapat prioritas penanganan.
Dengan
demikian,
maka
pemerintah
harus
menjaga
dan
meningkatkan komitmen untuk terus memelihara stabilitas operasional dan daya dukung dalam melakukan pengelolaan sampah. 3. Optimalkan ketersediaan sarana transportasi Ketersediaan sarana transportasi yang dimiliki oleh DKI Jakarta adalah paling utama untuk mendukung dan menunjang dalam operasionalisasi dalam pengangkutan sampah sampai tempat pembuangan akhir ke TPA Bantargebang. 4. Optimalkan bisnis daur ulang Dengan berbagai teknologi yang diterapkan di TPA Bantargebang dalam pengelolaan sampah dan didukung oleh SDM yang baik maupun dari segi market maka bisnis daur ulang seperti pengomposan, waste to energy (WTE), metanisasi atau teknologi lainnya akan memiliki nilai tambah atau nilai daya jual yang tinggi sehingga akan memberikan dan membuka lapangan kerja baru yang akan mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat terutama disekitar TPA. 6.3.2 Strategi S-T Strategi S-T merupakan penggabungan atau pencocokan antara faktor internal (kekuatan) dengan faktor eksternal (ancaman) dengan cara menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman dengan alternatif sebagai berikut : 1. Optimalkan SDM untuk sosialisasi peran serta masyarakat dalam bidang persampahan Sumberdaya
Manusia
merupakan
faktor
terpenting
dalam
mensosialisasikan persampahan yang merupakan upaya peningkatan untuk yang lebih baik. Kemampuan manajerial dan operasionalisasi dari pelaku pengelolaan TPA menjadi syarat mutlak agar pengeloaan TPA menjadi semakin baik.
2. Optimalkan komitmen pemprov DKI untuk mewujudkan tata ruang yang konsisten Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara yang merupakan pemegang kebijakan terutama dalam tata ruang kota yang mempunyai komitmen serta konsisten yang tinggi terhadap tata ruang kota terutama pada TPA Bantargebang dimana dengan keterbatasan lahan tanah khususnya di perkotaan harus diantisipasi untuk perubahan tata ruang sehingga tidak berdampak kepada kebutuhan tanah yang sangat terbatas.
6.3.3 Strategi W-T Strategi W-T merupakan penggabungan atau kombinasi antara faktor internal
(kelemahan)
dengan
faktor
eksternal
(ancaman)
dengan
cara
meminimalkan kelemahan untuk menghindari ancaman, dengan alternatif strategi sebagai berikut : 1. Memperlancar sarana pengangkutan sampah Semakin meningkatnya produksi sampah di wilayah DKI Jakarta maka sarana mobilisasi pengangkutan sampah sangat diperlukan untuk memperlancar dalam operasionalisasinya di lapangan sampai menuju pembuangan ke TPA Bantargebang. 2. Optimalkan sosialisasi untuk mengurangi konflik masyarakat disekitar TPA Dengan keberadaan TPA Bantargebang saat ini masih menjadi persoalan yang dilematis. Di satu sisi keberadaan TPA menjadi hal yang sangat penting di sisi lain adanya penolakan dari masyarakat oleh karena itu Pemerintah DKI Jakarta perlu mengoptimalkan sosialisasi secara periodik terhadap pentingnya TPA sehingga akan membuat masyarakat sadar bahwa keberadaan TPA sangat diperlukan bagi masyarakat. 3. Penguatan penegakan hukum untuk mewujudkan tata ruang kota yang konsisten Dalam pengaturan mengenai pengelolaan persampahan perlu adanya penegakan hukum ((law enforcement) yang kuat sehingga mengurangi adanya pelanggaran dalam pengelolaan sampah disamping itu dengan keterbatasan lahan
untuk TPA diperlukan komitmen yang baik pemerintah DKI dalam penataan ruang kota khususnya tata ruang dalam TPA.
6.3.4 Strategi W-O Strategi W-O merupakan penggabungan atau pencocokan antara faktor internal
(kelemahan)
dengan
faktor
eksternal
(peluang)
dengan
cara
meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang, dengan alternatif strategi sebagai berikut : 1. Tingkatkan sarana prasarana menuju TPA Daya dukung sarana prasarana akan menjadi peluang dalam pengelolaan sampah yang akan menghasilkan keuntungan dalam hal bisnis serta profit yang didalamnya untuk menunjang keberadaan TPA. 2. Penguatan kelembagaan Dengan institusi yang ada baik unit maupun dinas kebersihan yang ada saat ini di DKI Jakarta perlu adanya suatu kelembagaan yang fokus menanganni sampah dalam bentuk suatu kelembagaan seperti BUMD atau Badan Usaha Bersama dalam bidang persampahan, diharapkan dengan lembaga ini akan lebih profesional dalam penanganannya .
6.4. Tahap Pengambilan Keputusan (Decision Stage) Tahap selanjutnya dari perumusan strategi adalah tahap pengambilan keputusan dengan menggunakan analisis QSPM (Quantitative Strategic Planning Matricx). Analisis ini ditujukan untuk menentukan prioritas strategi pengelolaan sampah pada Tempat Pembuangan Akhir Bantargebang Bekasi. Analisis QSPM dilakukan dengan cara memberikan nilai kemenarikan relatif (Alttractive Score = AS) pada masing-masing faktor internal maupun eksternal. Strategi yang mempunyai total nilai kemenarikan relatif (Total Attractive Score = TAS) yang tertinggi merupakan prioritas strategi. Setelah dilakukan analisis dan perhitungan nilai TAS maka diperoleh matriks perencanaan strategik kuantitatif.
Tabel 5.4 Hasil Analisis QSPM Dalam Perumusan Prioritas Strategi Pengelolaan Sampah Pada Tempat Pembuangan Akhir Bantargebang No
ALTERNATIF STRATEGI
TNDT
Ranking
1.
Peningkatan anggaran dan perbaikan sistem teknologi di bidang persampahan
7.220
I
2.
Optimalkan komitmen DKI sebagai Pusat Ibukota Negara
6.118
IX
3.
Optimalkan ketersediaan sarana transportasi
7.170
II
4.
Optimalkan SDM untuk sosialisasi peran serta masyarakat dalam bidang persampahan
6.202
VII
5.
Optimalkan komitmen pemprov DKI untuk mewujudkan tata ruang yang konsisten
6.227
VI
6.
Memperlancar sarana pengangkutan sampah
7.019
III
7.
Optimalkan sosialisasi untuk mengurangi konflik masyarakat disekitar TPA
6.172
VIII
8.
Penguatan penegakan hukum untuk mewujudkan tata ruang kota yang konsisten
6.535
V
9.
Tingkatkan sarana prasarana menuju TPA
6.004
X
10.
Optimalkan bisnis daur ulang
6.813
IV
11.
Penguatan kelembagaan
5.966
XI
Berdasarkan hasil analisis QSPM seperti disajikan pada Tabel 5.4, terlihat bahwa strategi yang memiliki QSPM tertinggi adalah strategi peningkatan anggaran dan perbaikan sistem teknologi di bidang persampahan yang memiliki nilai TAS terbesar yaitu 7.220, sedangkan strategi yang memiliki nilai TAS terendah
adalah 6.004 adalah strategi bantuan anggaran luar negeri untuk
membangun infrastruktur TPA.
6.5. Strategi dan Program Berdasarkan uraian sebelumnya, hasil dari analisis strategi menghasilkan strategi-strategi yang tentunya berguna bagi masukan atau koreksi terhadap pelaksanaan program yang sedang berjalan. Dalam hal ini untuk mensinergikan pengelolaan sampah pada Tempat Pembuangan Akhir Bantargebang, Bekasi diperoleh sebanyak 11 perumusan prioritas strategi.
Namun demikian strategi yang direkomendasikan untuk dapat diterapkan oleh pengelola TPA di Bantargebang, Bekasi sebanyak 5 (lima) strategi yaitu : 1. Peningkatan anggaran dan perbaikan sistem teknologi di bidang persampahan. 2. Optimalkan ketersediaan sarana transportasi. 3. Memperlancar sarana pengangkutan sampah. 4. Optimalkan bisnis daur ulang. 5. Penguatan hukum untuk mewujudkan tata ruang kota yang konsisten.
Dengan demikian apabila ke lima strategi tersebut dapat diterapkan oleh Pengelola TPA di Bantargebang, Bekasi dengan baik dalam penyelengaraan kegiatannya niscaya tujuan program peningkatan pengelolaan sampah di Bantargebang, Bekasi dan upaya mensinergikan program tersebut akan tercapai secara optimal. Adapun program-program yang ditawarkan adalah sebagai berikut : 1. Program perbaikan sistem teknologi di bidang persampahan pada TPA Bantargebang, Bekasi. 2. Program Kelembagaan Pengelola pada Unit TPA Bantargebang Bekasi. 3. Program pengolahan sampah terpadu dan ramah lingkungan. 4. Program pemberdayaan peran serta masyarakat. 5. Program pengembangan dan pemasaran komposting.
6.5.1. Program perbaikan sistem teknologi TPA Penggunaan teknologi yang selama ini diterapkan dalam kesepakatan bersama di TPA Bantargebang adalah teknologi sanitary landfill, akan tetapi dalam pelaksanaannya dilapangan adalah open dumping yang selama ini terjadi sehingga terjadi buang dan penumpukan sampah yang semakin tinggi, oleh karena itu perlu ada perbaikan dalam sistem teknologi yang diterapkan dengan alternatif teknologi lain diusulkan dengan menggunakan teknologi komposting dan TPST (teknologi pengolahan sampah terpadu) serta ramah lingkungan sehingga menghasilkan nilai jual yang tinggi,
6.5.2. Program Kelembagaan pada unit TPA Kelembagaan yang ada pada unit pengelola TPA Bantargebang belum maksimal dalam menjalankan tugas dan fungsinya sehingga tidak jelas kewenangan yang ada di tiap-tiap koordinasi tiap-tiap zone di lapangan oleh karena itu diusulkan untuk meninjau kembali struktur organisasi dan tata laksana pada Peraturan Daerah DKI Jakarta dan Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi terutama pada pelaksana teknis di lapangan serta perlu adanya kelembagaan dalam bentuk Badan Layanan Umum Daerah.
6.5.3. Program pengolahan sampah terpadu dan ramah lingkungan Kerjasama antar daerah sangat diperlukan karena keterbatasan lahan pada TPA Bantargebang Bekasi sehingga Pemerintah DKI Jakarta melakukan penjajagan kerjasama dengan Kabupaten Tangerang dalam pemanfaatan lahan di Kabupaten Tangerang dengan mengusulkan program TPST yang di desain dengan menggunakan teknologi modern yang nantinya akan menghasilkan tenaga listrik dan ramah lingungan yang mempunyai nilai jual yang tinggi dan tenaga listrik yang dihasilakn akan disalurkan terutama untuk mengaliri listrik di kedua Pemerintah Daerah yaitu Pemerintah DKI Jakarta dan Kabupaten Tangerang.
6.5.4. Program Pemberdayaan Peran Serta Masyarakat Peran serta masyarakat dimana kepedulian masyarakat sangat diperlukan dalam pembuangan sampahnya sebelum dibuang ke TPS-TPS perlu ada pemilahan yang artinya sebelum sampah dibuang perlu disortir terlebih dahulu antara sampah anorganik dan sampah organik di tingkat rumah tangga. Disamping itu diusulkan perlu adanya sosialisasi dari pihak pemerintah daerah kepada masyarakat tentang pembuangan sampah yang benar sehingga tidak terjadi pembuangan sampah yang sembarangan atau diberikan tempat-tempat sampah mulai dari RT/RW dimana kita tinggal.
6.5.5. Program Pengembangan dan Pemasaran komposting Dengan kapasitas produksi sampah yang sangat besar dan terus meningkat akan membuat bisnis daur ulang sampah dalam bentuk komposting yang sangat
potensial dan cukup prospektif untuk dipasarkan karena dapat memberikan penghasilan yang relatif mencukupi bagi kebutuhan pokok para pelakunya, diusulkan kepada pemerintah daerah agar pemasaran bisnis daur ulang atau dalam bentuk komposting melalui Perusahaan Daerah yaitu BUMD baik di Provinsi DKI atau di Kabupaten Bekasi sehingga lebih jelas pengembangan dan pemasarannya.
Dari program yang ditawarkan tersebut di atas, apabila dilaksanakan melalui mekanisme yang terpadu, terintegrasi, sistematis dan dilakukan secara sinergi tidak menutup kemungkinan Program-program tersebut yang dilakukan secara baik dan terpadu akan dapat tercapai.
VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan pada bagian terdahulu, dapat disimpulkan bahwa: 1. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang yang merupakan satusatunya TPA yang digunakan untuk membuang sampah dari seluruh wilayah Provinsi DKI Jakarta sampai saat ini belum sepenuhnya menerapkan teknologi pengolahan sampah seperti yang telah ditetapkan dalam rencana awal pembangunannya, yaitu sanitary landfill dan bahkan cenderung bergeser menjadi open dumping, yang merupakan praktek pembuangan sampah tanpa mengolah. 2. Dari sebelas skenario rumusan strategi dalam pengelolaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang sebagai aset milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang implementasinya akan dilakukan dalam waktu jangka pendek dengan lima skala prioritas utama adalah : 1) peningkatan anggaran dan perbaikan sistem teknologi di bidang persampahan; 2) Optimalkan ketersediaan sarana transportasi; 3) memperlancar sarana pengangkutan sampah; 4) Optimalkan bisnis daur ulang; dan 5) penguatan penegakan hukum untuk mewujudkan tata ruang kota yang konsisten.
7.2. Saran Berdasarkan hasil pembahasan, keterbatasan dan kesimpulan penelitian, maka disarankan untuk mengoptimasikan pengelolaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang melalui peningkatan anggaran dan perbaikan sistem teknologi di bidang persampahan maka disarankan untuk melakukan beberapa hal sebagai berikut : 1.
Perlu diciptakan iklim yang kondusif bagi investasi terutama dalam pembangunan infrastruktur pengolahan sampah guna menarik para investor, melalui beberapa upaya yang dapat dilakukan yaitu : a. Membentuk lembaga khusus yang menangani pengolahan sampah di tingkat nasional (pusat) dan membentuk lembaga pengelola Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) yang profesional dengan menggunakan beberapa bentuk kemitraan dengan pihak swasta seperti BOT (build, operate, transfer) dan BTO (build, transfer, operate) atau Badan Layanan Umum (BLU). b. Menyempurnakan rumusan kebijakan pengelolaan sampah dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang akan memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi para investor dalam menjalankan bisnisnya di bidang pengolahan sampah. Dengan telah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, maka pemerintah baik pusat maupun daerah dituntut untuk segera menerbitkan peraturan pelaksanaannya yang akan digunakan sebagai acuan dalam penanganan sampah kota. c. Menyederhanakan prosedur pengadaan infrastruktur pengolahan sampah dengan pertimbangan bahwa hal itu merupakan salah satu kebutuhan dasar warga kota yang proses pengadaannya dapat dikecualikan dari prosedur pengadaan pada umumnya. 2.
Perlu dilakukan penelitian lain guna mengkaji kendala dan permasalahan yang dihadapi oleh para stakeholders dalam pengelolaan sampah terutama di TPA Bantargebang, kemudian dicarikan alternatif solusinya dalam rangka mewujudkan suatu sistem pengelolaan sampah yang efektif, efisien dan berkelanjutan.
3.
Perlu dilakukan kajian secara mendalam tentang pengelolaan persampahan yang ramah lingkungan dengan menggunakan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) dan menghasilkan sumber Energi Listrik sehingga akan lebih bermanfaat bagi penduduk di empat desa di sekitar TPA sehingga mempunyai daya jual yang tinggi.
4.
Perlu dilakukan pengkajian terhadap manajemen pemulung dalam pengelolaan persampahan di TPA Bantargebang.
5.
Perlu dikaji alternatif lahan untuk TPA sebagai pengganti TPA Bantargebang, Bekasi.
DAFTAR PUSTAKA
Andreaottola, G and P. Cannas. 1992. Chemical and Biological Characteristics of Landfill Leachate. Elsevier Science Pub. Ltd, England Dalzell, H.W.; A.J. Biddlestone, K.R. Gray & K. Thurairajan. 1984. Soil Management Compost production and use in tropical and subtropical environment Soil Research, Management and Conservation Services. FAO Land & Watu Development Devision. Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta. 1989. Perencanaan Detail Sanitary landfill Bantargebang – Bekasi. Dinas Kebersihan Pemda DKI Jakarta. Gaur, A.C. 1983. A. manual of rural composting Project Field Document No. 15 Food and Agriculture Organization of The United Nation Hillel, D. 1991. Research in Soil Physics: A Re-view. Soil Science. 151: 30-34 Nurmandi, Achmad, 2006, Manajemen Perkotaan, Yogyakarta, FISIP Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Pemda DKI Jakarta. Laporan Akhir Studi Andal Lokasi Pembuangan Akhir Sampah Bantar Gebang Bekasi. PT. Sewun Indo Konsultan, Laporan Studi Kelembagaan TPA Bantargebang, Jakarta. Pusat Penelitian Sumberdaya Manusia dan Studi Lingkungan UI dan Pusat Studi Pembangunan & Lingkungan Unisma. 2002. Laporan Akhir Sistem Pengelolaan TYPA Bantar Gebang, Bekasi. Kerjasama PPSML UI dan PSPL Unisma dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Pemerintah Kota Bekasi. Rangkuti, Freddy, 2001, Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Umum. Saraswati, SP. 2001. Pengelolaan Sampah. Laboratorium Teknik Penyehatan & Lingkungan. Sidik, M.A. D. Herumartono dan H. Sutanto, 1985, Teknologi Pemusnahan Sampah dengan Incenerator dan Landfill, Jakarta, BPPT. Siregar, Doli D, 2004, Manajemen Aset : Strategi Penataan Konsep Pembangunan Berkelanjutan secara Nasional dalam Konteks Kepala Daerah sebagai CEO’s pada Era Globalisasi dan Otonomi Daerah, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Umum.
Soma, Soekamana, 2005, Peran Swasta dalam Pengelolaan Sampah Kota dalam Partisipasi Multi Stakeholders dalam Pembangunan Perkotaan, Jakarta, Seminar Nasional ASPI 2005 & Real Estate Forum. Suriawiria, U, 1996, Mikrobiologi Air dan Dasar-Dasar Pengolahan Buangan Secara Biologis, Bandung, Penerbit Alumni. Taufiq A, M. 2002. Pengembangan Teknologi Pengelolaan Sampah yang Berwawasan Lingkungan. Development Urban Solid Waste Management Workshop in Indonesia. Jakarta, 13-14 Mei 2002. Wardhani, Citra 2004, Partisipasi Masyarakat pada Kegiatan Pemilahan Sampah Rumah Tangga, Tesis, Jakarta, PPS-PSIL UI. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah. Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 884 tentang Pengelolaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Bantar Gebang Bekasi.
KUESIONER PENELITIAN Judul penelitian: STRATEGI PENGELOLAAN SAMPAH PADA TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR BANTARGEBANG, BEKASI PENGENALAN TEMPAT: Provinsi Kabupaten Kecamatan Desa/Kelurahan Nomor Sampel
: JAWA BARAT : BEKASI : ................................................................................. : ................................................................................. : .................................................................................
Kami mohon kuesioner ini dapat diisi secara objektif dan benar. Penelitian ini dilakukan dalam kerangka akademik dengan tujuan ilmiah, semua data yang diberikan akan dijamin kerahasiaannya sesuai kode etik ilmiah.
DJATMIKO WINAHYU
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 KUESIONER
STRATEGI PENGELOLAAN SAMPAH PADA TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR BANTARGEBANG, BEKASI Pengantar Peningkatan produksi sampah di wilayah Provinsi DKI Jakarta sudah barang tentu akan membawa dampak bagi pengelolaan tempat pembuangan akhir (TPA) Bantargebang yang merupakan satu-satunya TPA yang dimiliki Pemprov. DKI Jakarta saat ini dan menjadi andalan dalam pengolahan sampah. Dalam rangka membantu Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk merumuskan dan menentukan strategi pengelolaan TPA Bantargebang, berikut ini beberapa pertanyaan untuk diisi oleh responden. Petunjuk Pengisian : 1. 2. 3. 4.
Di bawah ini tersedia kotak pilihan untuk disilang berdasarkan peringkat pembobotan yang ditentukan oleh para responden. Pilihan berupa pasangan yang saling dibandingkan pada tingkat yang sama. Sistem pembobotan dengan cara meranking terhadap pasangan pilihan yang dibandingkan. Pilihan nilai ranking untuk isian bedasarkan intensitas pentingnya sebagai berikut :
Intensitas Pentingnya 1 3 5 7 9 2,4,8,7
Tingkat Kepentingan antar Dua Elemen yang Dibandingkan Kedua elemen sama pentingnya Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen lain Elemen yang satu sangat penting daripada elemen lain Satu elemen jelas lebih penting daripada elemen lain Satu elemen mutlak lebih penting daripada elemen lain Nilai diantara dua nilai
5.
Contoh pengisian :
a.
Pilihan A mutlak lebih penting daripada Pilihan B.
Pilihan A b.
9
7
5
3
1
3
5
7
9
Pilihan B
7
9
Pilihan C
Pilihan A sama pentingnya dengan pilihan C.
Pilihan A
9
A. Tingkat Pertama
7
5
3
1
3
5
Tujuan utama dalam pengisian proses hirarki ini adalah untuk menentukan prioritas strategi dalam pengelolaan tempat pembuangan akhir (TPA) Bantargebang sebagai satu-satunya aset TPA yang dimiliki Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. B. Tingkat Kedua 1.
Para pemangku kepentingan (stakeholders) yang terkait dengan upaya pencapaian tujuan tersebut di atas adalah : a. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, sebagai regulator dan penentu kebijakan. b. Pakar sebagai nara sumber pengetahuan tentang pengelolaan sampah dan tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. c. Masyarakat adalah mereka yang bergerak di sektor pengelolaan sampah maupun pemerhati masalah persampahan, baik dari lembaga swadaya masyarakat maupun dunia usaha.
2.
Pertanyaan Untuk mencapai tujuan tersebut di atas, di antara para pemangku kepentingan (stakeholders) di bawah ini, menurut anda pihak mana yang berkepentingan antara :
Pemerintah Pemerintah Pakar
9 9 9
7 7 7
5 5 5
3 3 3
1 1 1
3 3 3
5 5 5
7 7 7
9 9 9
Pakar Masyarakat Masyarakat
C. Tingkat Ketiga 1.
Dalam upaya optimasi tempat pembuangan akhir (TPA) Bantargebang dengan mengacu pada tujuan di atas, maka hal-hal yeng terkait dengan pengolahan sampah dan pengelolaan TPA meliputi kriteria kelembagaan, pendanaan, teknis operasional, hukum dan peran serta masyarakat.
2.
Pertanyaan a. Menurut anda, dari sisi pemerintah, kriteria mana yang menjadi prioritas dalam pengelolaan TPA Bantargebang antara:
Kelembagaan Kelembagaan Kelembagaan Kelembagaan Pendanaan Pendanaan Pendanaan Teknik operasional Teknik operasional Hukum
9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
7 7 7 7 7 7 7 7 7 7
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
7 7 7 7 7 7 7 7 7 7
9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
Pendanaan Teknik operasional Hukum Peran serta masy. Teknik operasional Hukum Peran serta masy. Hukum Peran serta Masy. Peran serta Masy.
b. Menurut anda, dari sisi Pakar, kriteria mana yang menjadi prioritas dalam pengelolaan TPA Bantargebang antara : Kelembagaan Kelembagaan Kelembagaan Kelembagaan Pendanaan Pendanaan Pendanaan Teknik operasional Teknik operasional Hukum
9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
7 7 7 7 7 7 7 7 7 7
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
7 7 7 7 7 7 7 7 7 7
9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
Pendanaan Teknik operasional Hukum Peran serta masy. Teknik operasional Hukum Peran serta masy. Hukum Peran serta masy. Peran serta masy.
c. Menurut anda, dari sisi masyarakat, kriteria mana yang menjadi prioritas dalam pengelolaan TPA Bantargebang antara : Kelembagaan Kelembagaan Kelembagaan Kelembagaan Pendanaan Pendanaan Pendanaan Teknik operasional Teknik operasional Hukum
9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
7 7 7 7 7 7 7 7 7 7
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
7 7 7 7 7 7 7 7 7 7
9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
Pendanaan Teknik operasional Hukum Peran serta masy. Teknik operasional Hukum Peran serta masy. Hukum Peran serta masy. Peran serta masy.
D. Tingkat Keempat 1. Tingkat keempat ini merupakan sub-kriteria dari tingkat ketiga yang berfungsi menentukan prioritas pilihan sesuai tujuan di atas. 2. Pertanyaan a. Menurut anda, terhadap kriteria kelembagaan, mana yang penting antara : Kerjasama dengan swasta Kerjasama dengan swasta Kerjasama antar daerah
9
7
5
3
1
3
5
7
9
Kerjasama antar daerah
9
7
5
3
1
3
5
7
9
BLU
9
7
5
3
1
3
5
7
9
BLU
b. Menurut anda, terhadap kriteria pendanaan, mana yang penting antara: APBD
9
7
5
3
1
3
5
7
9
APBN / Pinjaman
c. Menurut anda, terhadap kriteria hukum, mana yang penting antara : Perda / Keputusan
9
7
5
3
1
3
5
7
9
Keppres No.80/2003
Gubernur
Perpres No.67/2005
d. Menurut anda, terhadap kriteria peran serta masyarakat, mana yang penting antara : 3R
9
7
5
3
1
3
5
7
9
LSM peduli lingkungan
E. Tingkat Kelima 1. Terhadap upaya optimasi pengelolaan TPA Bantargebang sebagai aset yang dimiliki Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, terdapat alternatif strategi yang ditawarkan, yaitu : a. Peningkatan sarana dan prasarana. b. Penyertaan investor dalam pembangunan & pengoperasian TPA. c. Peningkatan peran serta masyarakat. d. Peningkatan kualitas SDM. 2. Pertanyaan a. Menurut anda, terhadap sub-kriteria kerjasama dengan swasta, strategi mana yang penting dalam pengelolaan TPA Bantargebang antara : Peningkatan sarana prasarana Peningkatan sarana prasarana Peningkatan sarana prasarana Penyertaan investor dalam pembangunan & pengoperasian TPA Penyertaan investor dalam pembangunan & pengoperasian TPA Peningkatan peran serta masyarakat
Peningkatan peran serta masyarakat Penyertaan investor dalam pembangunan & pengoperasian TPA Peningkatan kualitas SDM Peningkatan kualitas SDM
9
7
5
3
1
3
5
7
9
9
7
5
3
1
3
5
7
9
9
7
5
3
1
3
5
7
9
9
7
5
3
1
3
5
7
9
9
7
5
3
1
3
5
7
9
Peningkatan peran serta masyarakat
9
7
5
3
1
3
5
7
9
Peningkatan kualitas SDM
b. Menurut anda, terhadap sub-kriteria kerjasama antar daerah, strategi mana yang penting dalam pengelolaan TPA Bantargebang antara : Peningkatan sarana prasarana Peningkatan sarana prasarana Peningkatan sarana prasarana Penyertaan investor
9
7
5
3
1
3
5
7
9
9
7
5
3
1
3
5
7
9
9
7
5
3
1
3
5
7
9
9
7
5
3
1
3
5
7
9
Peningkatan peran serta masyarakat Penyertaan investor dalam pembangunan & pengoperasian TPA Peningkatan kualitas SDM Peningkatan kualitas
dalam pembangunan & pengoperasian TPA Penyertaan investor dalam pembangunan & pengoperasian TPA Peningkatan peran serta masyarakat
SDM
9
7
5
3
1
3
5
7
9
Peningkatan peran serta masyarakat
9
7
5
3
1
3
5
7
9
Peningkatan kualitas SDM
c. Menurut anda, terhadap sub-kriteria Badan Layanan Umum (BLU), strategi mana yang penting dalam pengelolaan TPA Bantargebang antara : Peningkatan sarana prasarana Peningkatan sarana prasarana Peningkatan sarana prasarana Penyertaan investor dalam pembangunan & pengoperasian TPA Penyertaan investor dalam pembangunan & pengoperasian TPA Peningkatan peran serta masyarakat
Peningkatan peran serta masyarakat Penyertaan investor dalam pembangunan & pengoperasian TPA Peningkatan kualitas SDM Peningkatan kualitas SDM
9
7
5
3
1
3
5
7
9
9
7
5
3
1
3
5
7
9
9
7
5
3
1
3
5
7
9
9
7
5
3
1
3
5
7
9
9
7
5
3
1
3
5
7
9
Peningkatan peran serta masyarakat
9
7
5
3
1
3
5
7
9
Peningkatan kualitas SDM
d. Menurut anda, terhadap sub-kriteria APBD, strategi mana yang penting dalam pengelolaan TPA Bantargebang antara : Peningkatan sarana prasarana Peningkatan sarana prasarana Peningkatan sarana prasarana Penyertaan investor dalam pembangunan & pengoperasian TPA Penyertaan investor dalam pembangunan & pengoperasian TPA Peningkatan peran
Peningkatan peran serta masyarakat Penyertaan investor dalam pembangunan & pengoperasian TPA Peningkatan kualitas SDM Peningkatan kualitas SDM
9
7
5
3
1
3
5
7
9
9
7
5
3
1
3
5
7
9
9
7
5
3
1
3
5
7
9
9
7
5
3
1
3
5
7
9
9
7
5
3
1
3
5
7
9
Peningkatan peran serta masyarakat
9
7
5
3
1
3
5
7
9
Peningkatan kualitas
serta masyarakat
SDM
e. Menurut anda, terhadap sub-kriteria APBN/Pinjaman, strategi mana yang penting dalam pengelolaan TPA Bantargebang antara : Peningkatan sarana prasarana Peningkatan sarana prasarana Peningkatan sarana prasarana Penyertaan investor dalam pembangunan & pengoperasian TPA Penyertaan investor dalam pembangunan & pengoperasian TPA Peningkatan peran serta masyarakat
f.
Peningkatan peran serta masyarakat Penyertaan investor dalam pembangunan & pengoperasian TPA Peningkatan kualitas SDM Peningkatan kualitas SDM
9
7
5
3
1
3
5
7
9
9
7
5
3
1
3
5
7
9
9
7
5
3
1
3
5
7
9
9
7
5
3
1
3
5
7
9
9
7
5
3
1
3
5
7
9
Peningkatan peran serta masyarakat
9
7
5
3
1
3
5
7
9
Peningkatan kualitas SDM
Menurut anda, terhadap sub-kriteria sarana prasarana, strategi mana yang penting dalam pengelolaan TPA Bantargebang antara :
Peningkatan sarana prasarana Peningkatan sarana prasarana Peningkatan sarana prasarana Penyertaan investor dalam pembangunan & pengoperasian TPA Penyertaan investor dalam pembangunan & pengoperasian TPA Peningkatan peran serta masyarakat
Peningkatan peran serta masyarakat Penyertaan investor dalam pembangunan & pengoperasian TPA Peningkatan kualitas SDM Peningkatan kualitas SDM
9
7
5
3
1
3
5
7
9
9
7
5
3
1
3
5
7
9
9
7
5
3
1
3
5
7
9
9
7
5
3
1
3
5
7
9
9
7
5
3
1
3
5
7
9
Peningkatan peran serta masyarakat
9
7
5
3
1
3
5
7
9
Peningkatan kualitas SDM
g. Menurut anda, terhadap sub-kriteria Perda / Keputusan Gubernur, strategi mana yang penting dalam pengelolaan TPA Bantargebang Peningkatan sarana prasarana Peningkatan sarana prasarana Peningkatan sarana prasarana Penyertaan investor
9
7
5
3
1
3
5
7
9
9
7
5
3
1
3
5
7
9
9
7
5
3
1
3
5
7
9
9
7
5
3
1
3
5
7
9
Peningkatan peran serta masyarakat Penyertaan investor dalam pembangunan & pengoperasian TPA Peningkatan kualitas SDM Peningkatan kualitas
dalam pembangunan & pengoperasian TPA Penyertaan investor dalam pembangunan & pengoperasian TPA Peningkatan peran serta masyarakat
SDM
9
7
5
3
1
3
5
7
9
Peningkatan peran serta masyarakat
9
7
5
3
1
3
5
7
9
Peningkatan kualitas SDM
h. Menurut anda, terhadap sub-kriteria Keppres No.80/2003 & Perpres No.67/2005, strategi mana yang penting dalam pengelolaan TPA Bantargebang antara : Peningkatan sarana prasarana Peningkatan sarana prasarana Peningkatan sarana prasarana Penyertaan investor dalam pembangunan & pengoperasian TPA Penyertaan investor dalam pembangunan & pengoperasian TPA Peningkatan peran serta masyarakat
i.
Peningkatan peran serta masyarakat Penyertaan investor dalam pembangunan & pengoperasian TPA Peningkatan kualitas SDM Peningkatan kualitas SDM
9
7
5
3
1
3
5
7
9
9
7
5
3
1
3
5
7
9
9
7
5
3
1
3
5
7
9
9
7
5
3
1
3
5
7
9
9
7
5
3
1
3
5
7
9
Peningkatan peran serta masyarakat
9
7
5
3
1
3
5
7
9
Peningkatan kualitas SDM
Menurut anda, terhadap sub-kriteria 3 R (reduce, reuse dan recycle), strategi mana yang penting dalam pengelolaan TPA Bantargebang antara :
Peningkatan sarana prasarana Peningkatan sarana prasarana Peningkatan sarana prasarana Penyertaan investor dalam pembangunan & pengoperasian TPA Penyertaan investor dalam pembangunan & pengoperasian TPA Peningkatan peran serta masyarakat
Peningkatan peran serta masyarakat Penyertaan investor dalam pembangunan & pengoperasian TPA Peningkatan kualitas SDM Peningkatan kualitas SDM
9
7
5
3
1
3
5
7
9
9
7
5
3
1
3
5
7
9
9
7
5
3
1
3
5
7
9
9
7
5
3
1
3
5
7
9
9
7
5
3
1
3
5
7
9
Peningkatan peran serta masyarakat
9
7
5
3
1
3
5
7
9
Peningkatan kualitas SDM
j.
Menurut anda, terhadap sub-kriteria LSM peduli lingkungan, strategi mana yang penting dalam pengelolaan TPA Bantargebang antara:
Peningkatan sarana prasarana Peningkatan sarana prasarana Peningkatan sarana prasarana Penyertaan investor dalam pembangunan & pengoperasian TPA Penyertaan investor dalam pembangunan & pengoperasian TPA Peningkatan peran serta masyarakat
Peningkatan peran serta masyarakat Penyertaan investor dalam pembangunan & pengoperasian TPA Peningkatan kualitas SDM Peningkatan kualitas SDM
9
7
5
3
1
3
5
7
9
9
7
5
3
1
3
5
7
9
9
7
5
3
1
3
5
7
9
9
7
5
3
1
3
5
7
9
9
7
5
3
1
3
5
7
9
Peningkatan peran serta masyarakat
9
7
5
3
1
3
5
7
9
Peningkatan kualitas SDM