9
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Dampak Tempat Pembuangan Akhir Sampah Penentuan dampak dari TPA Sampah perlu memperhitungkan pencemaran lingkungan yang menyebabkan timbulnya pengaruh yang berbahaya terhadap lingkungan, karena adanya perubahan yang bersifat fisik, kimiawi dan biologis (Supardi, 1994). Pencemaran lingkungan meliputi derajat pencemaran, waktu tercemarnya dan lamanya kontak antara bahan pencemaran dan lingkungan (Royadi, 2006). Pencemaran air yang berasal dari TPA Sampah merupakan rembesan dari timbunan limbah dan sumber kontaminan potensial bagi air permukaan, air tanah dangkal, maupun air tanah dalam. Eugene (1987) mengemukakan bahwa lindi tergantung dari sifat lindi, jarak aliran dengan air tanah dan sifat-sifat tanah yang dilaluinya. Oleh sebab itu untuk menghindari pencemaran oleh lindi, sumber air sumur dangkal terletak jauh dari lokasi sanitary landfill. Pencemaran air dapat mengganggu tujuan penggunaan air dan akan menyebabkan bahaya bagi manusia melalui keracunan atau sumber penyebab penyakit. Pendapat (Vasu,K. 1998), nitrat merupakan pencemar utama yang dapat mencapai air tanah dangkal maupun air tanah dalam yang diakibatkan oleh aktivitas manusia dari penempatan sampah. Bakteri pathogen yang biasanya disebarkan melalui air adalah bakteri amuba disentri, kolera dan tipus. Jumlah bakteri dalam air umumnya sedikit dibandingkan dengan bakteri coliform. Jenis bakteri coliform sebagai indikator pencemar fecal (tinja). Menurut Slamet (2007), Pengaruh sampah terhadap kesehatan dapat dikelompokkan menjadi efek yang langsung dan tidak langsung. Efek langsung adalah efek yang disebabkan karena kontak yang langsung dengan sampah tersebut. Pengaruh tidak langsung
dapat dirasakan masyarakat akibat proses
pembusukan, pembakaran dan pembuangan sampah. Efek tidak langsung lainnya berupa penyakit bawaan vektor yang berkembang biak didalam sampah. Dampak pencemaran udara tidak hanya mempunyai akibat langsung terhadap kesehatan manusia saja, akan tetapi juga dapat merusak lingkungan lainnya seperti hewan, tanaman, bangunan gedung dan sebagainya. Dampak
10
pencemaran oleh karbon monoksida (CO), apabila terhisap ke dalam paru-paru akan ikut peredaran darah akan menghalangi masuknya oksigen yang dibutuhkan oleh manusia. Dampak pencemaran nitrogen oksida (NO), pada konsentrasi tinggi dapat menyebabkan gangguan pada sistem syaraf yang mengakibatkan kejangkejang, pada tanaman menyebabkan kerusakan pada jaringan daun. Dampak pencemaran udara oleh belerang oksida (SO) dapat menyebabkan gangguan pada sistim pernapasannya (Slamet, 2007). Pengaruh dampak limbah padat lainnya adalah terhadap kesehatan lingkungan, dapat terjadi melalui pengaruh langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung terjadi akibat kontak langsung dengan sampah, dimana sampah bersifat racun, korosif terhadap tubuh, karsiogenik, teratogenik dan ada juga yang mengandung kuman patogen yang langsung dapat menularkan penyakit (Slamet, 2007). Pengaruh tidak langsung dapat dirasakan oleh manusia terutama akibat pembusukan, pembakaran dan pembuangan sampah. Dampak
besarnya
timbunan
sampah
yang tidak
ditangani
dapat
menyebabkan berbagai permasalahan, betapa besarnya timbulan sampah yang dihasilkan, data beberapa kota besar di Indonesia dapat menjadi rujukan. Kota Jakarta setiap hari menghasilkan timbulan sampah sebesar 6,2 ribu ton, Kota Bandung sebesar 2,1 ribu ton, Kota Surabaya sebesar 1,7 ribu ton, dan Kota Makassar 0,8 ribu ton. Jumlah tersebut membutuhkan upaya yang tidak sedikit dalam penanganannya. Berdasarkan data tersebut diperkirakan kebutuhan lahan untuk TPA di Indonesia pada tahun 1995 yaitu seluas 675 ha, dan meningkat menjadi 1.610 ha pada tahun 2020. Kondisi ini akan menjadi masalah besar dengan memperhatikan semakin terbatasnya lahan kosong khususnya di perkotaan (Mungkasa, 2004). Menurut Haeruman (1979) perubahan atau dampak pembangunan tidak hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga sosial ekonomi. Pada umumnya keberadaan tempat pembuangan akhir sampah selain menimbulkan dampak negatif, tetapi juga dampak positif. Dampak negatif dapat menimbulkan masalah sosial. yang sering menimbulkan keresahan sosial, berubahnya sikap masyarakat menjadi tidak ramah, dan meningkatnya kriminalitas. Dampak positif berupa tenaga kerja yang
11
dapat tertampung dan peningkatan pendapatan dalam pemanfaatan sampah (daur ulang dan kompos). Pencemaran lingkungan dari masuknya bermacam-macam makhluk hidup, bahan-bahan, zat-zat pada suatu lingkungan yang menyebabkan timbulnya pengaruh yang berbahaya terhadap lingkungan tersebut, karena adanya perubahan yang bersifat fisik, kimiawi, maupun biologis (Supardi, 1994). Tiap pencemaran lingkungan mempunyai derajat pencemaran atau tahap pencemaran yang berbeda. Perbedaan tersebut didasarkan pada konsentrasi zat pencemar, waktu tercemarnya, lamanya kontak antara bahan pencemar dengan lingkungan. Salah satu contoh peristiwa
pencemaran
lingkungan
adalah
pencemaran
lingkungan
yang
disebabkan oleh zat pencemar yang berasal dari timbunan sampah. Menurut Sinabutar (2005) di wilayah perkotaan, pencemaran lingkungan dapat disebabkan oleh zat pencemar yang berasal dari sampah permukiman, pasar dan perkantoran. Kasus pencemaran lingkungan merupakan suatu kasus yang sukar dilihat oleh mata. Misalnya melalui pembusukan sampah oleh bakteri metana dihasilkan gas metana (CH4) yang beracun dan dapat terbakar. Dalam reaksi degradasi anaerob bahan organik oleh bakteri metan dihasilkan gas (CH4). Gas metana berpengaruh dampak adanya perubahan iklim akibat kenaikan temperatur bumi atau pemanasan global. Sampah mempunyai kontribusi untuk emisi gas rumah kaca yaitu gas metana (CH4), diperkirakan 1 ton sampah padat menghasilkan 50 kg gas metana. Sampah kota perlu dikelola secara benar, agar laju perubahan iklim bisa diperlambat (KLH, 2007) Menurut Tchobanoglous et al. (1977), perolehan gas nitrogen (N2), karbon dioksida (CO2), dan (CH4), tergantung dari banyaknya komponen organik pada lahan urug, zat hara yang tersedia, kadar air pada sampah, tingkat kepadatan sampah pada kondisi awal, waktu penimbunan, dan lain-lain. Secara umum perolehan gas N2, CO2
dan CH4 pada lahan urug dapat dihitung dengan
melakukan perkalian antara volume sampah pada lahan urug dengan nilai persen masing-masing gas menurut lamanya sampah telah tertimbun menurut Popov et al. (1998), CO2 terjadi secara mencolok pada bulan ke 3-12 dan CH4 terjadi secara mencolok pada bulan ke 18-48.
12
Menurut Sinabutar (2005), gas rumah kaca yang merusak lapisan ozon dan penyebab naiknya suhu permukaan bumi adalah CO2, CH4, N2O, NFCs, PFCs dan SF dengan komposisi gas CO2 = 50%, CH4= 19% dan NO2= 4%. Berdasarkan penelitian Sinabutar (2005) dari 9 kali pengujian sampel gas yang telah dilakukan diperoleh kadar gas metana (CH4) adalah: (18,80; 37,70; 27,17; 7,40; 68,93; 40,92; 39,59; 67,55; 57,72)%. Kadar CH4 rata-rata adalah 47,58%. Menurut Sinabutar (2005)
kadar gas CH4 dari lahan urug yang layak
dimanfaatkan sebagai sumber gas untuk tenaga listrik pada kisaran 40-60%, CH4 yang diperoleh dari lahan urug TPA Sampah Bantar Gebang dapat dimanfaatkan sebagai sumber daya listrik (pembangkit listrik) yang potensial. Plastik merupakan polimer dengan rantai hidrokarbon yang sangat panjang. Oleh sebab itu ikatan polimer tidak dapat terfraksinasi secara alami, cara fraksinasi dengan proses pirolisis. Pirolisis sampah plastik adalah penguraian suatu bahan yang mudah menguap, dengan pemanasan. Pada umumnya bahanbahan yang diuraikan adalah bahan organik. Proses pirolisis dilakukan pada suhu tinggi tanpa oksigen. Pada proses pirolisis diklasifikasikan dalam dua jenis berdasarkan suhu operasi, yaitu pirolisis pada suhu rendah (< 700 oC) sedangkan pada proses pirolisis pada suhu tinggi menghasilkan reaksi volatile yang kaya akan hidrogen dan solid residu yang kaya akan karbon (Samuel dan Lando, 1974). 2.2. Eksternalitas Tempat Pembuangan Akhir Sampah Eksternalitas adalah biaya dan manfaat yang ditimbulkan oleh pengelola TPA. Pada umumnya tidak diperhitungkan oleh “private agent” terhadap sampah. Ada 2 (dua) cara dimana pasar dapat distrukturkan untuk mengupayakan jalan lingkungan masuk ke dalam sistem pasar lebih efektif (European Commission, 2000). Pertama, penciptaan pasar yang sebelumnya bebas pelayanan. Hal ini memerlukan
pembatasan
akses
untuk
mendapatkan
pelayanan
melalui
pembebanan biaya masuk dan/atau perubahan hak properti. Kedua, modifikasi pasar melalui satu keputusan nilai jasa lingkungan dengan memasukkan menjadi satu harga barang dan jasa pelayanan via beban atau pajak atas pencemaran. Ekternalitas merupakan pengaruh yang diterima oleh beberapa pihak sebagai akibat kegiatan ekonomi, produksi, konsumsi atau pertukaran yang dilakukan oleh
13
pihak lain. Eksternalitas dapat bersifat menguntungkan (positive externalities) atau bersifat merugikan (negative externalities). 2.2.1. Eksternalitas Negatif Pembuangan Sampah. Setiap kemungkinan pilihan pembuangan sampah (antara lain landfill, insinerasi dengan atau tanpa pemulihan energi, pengomposan, pengolahan kimia) membawa eksternalitas. Prakiraan dampak negatif misal ketidaknyamanan (kebisingan, bau, kabut debu) diakibatkan lokasi TPA. Menurut Studi ANDAL Lokasi Pembuangan Akhir Sampah Bantar Gebang (Biro BKLH DKI Jakarta, 1989) diantaranya adalah: 1.
Pencemaran udara menyebabkan penurunan kualitas udara.
2.
Peningkatan kebisingan.
3.
Pencemaran air menyebabkan penurunan kualitas air permukaan,
4.
Penurunan kualitas air tanah.
5.
Penurunan komponen biologi, meliputi jumlah tanaman keras, jumlah individu, serta keanekaragaman plankton.
6.
Penurunan tingkat kesehatan masyarakat di sekitar lokasi TPA Sampah Bantar Gebang.
7.
Peningkatan kepadatan lalu lintas dan kemacetan karena pengangkutan sampah ke TPA Sampah Bantar Gebang.
8.
Timbulnya keresahan dan konflik sosial terutama antara masyarakat dengan pemulung.
9.
Peningkatan peluang terjadinya kecelakaan kerja akibat adanya aktivitas pemulung di TPA Sampah Bantar Gebang.
10.
Berkurangnya nilai estetika akibat pemulung membangun gubuk-gubuk dan menumpuk sampah hasil daur ulang di sekitar tempat permukiman mereka dan di sepanjang jalan masuk TPA Sampah Bantar Gebang.
Pemulihan energi (energy recovery) seperti penangkapan gas CH4 pada lapangan landfill atau proses pembakaran, peningkatan peluang usaha dan kesempatan kerja dari kegiatan daur-ulang sampah. Sejumlah faktor yang berkontribusi pada timbulnya biaya eksternal selama proses pembuangan sampah
14
menurut Turner (2000) adalah: komposisi sampah, Luas TPA, karakteriktik fisik lokasi TPA, umur TPA, tata ruang (spatial) TPA dan teknik operasi TPA. Lokasi TPA Sampah Bantar Gebang yang dekat permukiman menimbulkan biaya ekternalitas antara lain penurunan kualitas air, kualitas udara (misal kebisingan, bau, kabut debu), timbulnya keresahan dan konflik sosial terutama antara masyarakat dengan pemulung, berkurangnya nilai estetika akibat pemulung membangun gubuk-gubuk dan menumpuk sampah hasil daur ulang di sekitar tempat permukiman mereka dan di sepanjang jalan masuk TPA Sampah Bantar Gebang serta penurunan tingkat kesehatan. Slamet (2007), menyatakan bahwa kebiasaan pengelolaan sampah yang tidak efisien, tidak benar, menimbulkan permasalahan pencemaran (udara, tanah, air), menimbulkan turunnya harga tanah (karena daerah yang turun kadar estetikanya), bau dan memperbanyak populasi lalat dan tikus. Berdasarkan Nengsih (2002) dalam KLH (2007) untuk 1 juta ton sampah menghasilkan emisi sebesar 0,005 juta ton CH4.Biaya sosial karbon dioksida adalah harga kerusakan dari perubahan iklim agregat di seluruh dunia. Biaya ini diperkirakan sebesar US $ 12 per ton CO2 untuk tahun 2005 dan diperkirakan meningkat dari waktu ke waktu menurut IPCC (2007) dalam UNEP (2009) Identifikasi biaya suatu proyek diperoleh dari perhitungan biaya masyarakat. Biaya masyarakat meliputi biaya perorangan (biaya eksplisit dan biaya implisit), dan biaya yang dikeluarkan oleh pihak lain. Biaya eksplisit merupakan biaya yang dikeluarkan badan pengelola TPA Sampah Bantar Gebang untuk membeli atau menyewa
faktor-faktor
produksi
yang
diperlukan.
Biaya
eksplisit
ini
diperhitungkan dari biaya operasional TPA Sampah Bantar Gebang, dan biaya pengadaan alat-alat berat. Biaya implisit merupakan biaya pengeluaran faktorfaktor produksi yang dimiliki dan digunakan oleh badan usaha TPA Sampah Bantar Gebang, seperti biaya investasi yang dikeluarkan untuk pembangunan TPA Sampah Bantar Gebang. Biaya yang dikeluarkan oleh pihak lain diperhitungkan dari dampak negative externality dan positive externality dari keberadaan TPA Sampah Bantar Gebang tehadap masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi. Dampak eksternalitas negatif berasal dari penurunan kualitas air dan kualitas udara yang menyebabkan kerusakan pada lingkungan. Dampak eksternalitas
15
negatif lainnya adalah penurunan nilai properti/harga tanah, dan social cost (terjadinya konflik sosial dan menurunnya nilai estetika atau ketidak-nyamanan) dan biaya pengobatan. Besarnya biaya sosial diperkirakan dengan terlebih dahulu pengumpulan data primer, kemudian dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif (DPLH, Kota Bekasi, 2008). 2.2.2. Eksternalitas Positif Pembuangan Sampah Eksternalitas yang bersifat menguntungkan dengan keberadaan TPA Sampah Bantar Gebang adalah memberikan peluang kesempatan kerja dalam memanfaatkan sampah dan pemanfaatan sampah organik. Perkiraan biaya eksternalitas positif berupa manfaat yang diperoleh masyarakat sejak keberadaan TPA Sampah Bantar Gebang dimasukkan kedalam identifikasi manfaat/penilaian manfaat. Identifikasi manfaat suatu proyek didasarkan pada pendekatan eksternalitas positif/social benefit, yang diperoleh dari para pelaku (pemulung, lapak, bandar) yang memanfaatkan sampah menjadi barang ekonomi. Eksternalitas positif yang diperoleh dari para pelaku yang memanfaatkan sampah adalah melalui jumlah penerimaan upah para pekerja sebagai pemulung, lapak maupun bandar. Metoda yang digunakan untuk mengukur nilai tersebut adalah replacement cost atau biaya pengganti. Eksternalitas positif lainnya adalah menghitung besarnya nilai manfaat gas CH4. apabila digunakan sebagai energi (Turner, 2000). Penelitian Matahelumual (2007), mengenai sifat-sifat fisika, kimia, biologi delapan percontohan air di kecamatan Bantar Gebang tahun 2002 menunjukkan bahwa percontohan air tersebut tidak memenuhi persyaratan air minum berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan No. 416 tahun 1990. Hasil ini sesuai dengan penilaian sistem STORET yang menyimpulkan bahwa mutu air tersebut tergolong buruk. Utama (2000), menyatakan bahwa pengelolaan persampahan dapat memberikan net-benefit yang berkelanjutan terutama bagi sektor informal perkotaan apabila manajemen pengelolaan persampahan dilakukan secara profesional dan efisien untuk menjaga kerusakan pada lingkungan. Penelitian Utama, (2000), di TPA Piyungan (16 km sebelah tenggara Kota Yogyakarta) dengan luas lahan 12,5 ha dan mampu menampung 2,7 m³ sampah dengan masa
16
operasi 10 tahun. Pekerja informal yang terserap pada sektor persampahan sebanyak 1200 sampai 2000 orang selain itu ada pihak swasta yang bergerak di bidang tersebut yaitu UDAU. Pendapatan pelaku pengumpulan barang bekas pertahun sebesar Rp 293.232.000, sedangkan biaya pengeluaran pelaku pengumpulan barang bekas per-tahun sebesar Rp 98.496.000. Retribusi yang diperoleh sebesar Rp 320.300.000 per-tahun. Nilai manfaat dengan nilai tambah jalan diperoleh Rp 318.750.000. Nilai asset TPA Piyungan Rp 4.562.390.000, biaya investasi untuk pembangunan TPA Piyungan Rp 3.637.000.000 dan biaya operasional TPA Piyungan per-tahun Rp 153.922.000. Analisis biaya dan manfaat implikasi dari pembangunan TPA memberikan nilai NFV sebesar Rp 2.564.907.555 dan nilai NET/BCR sebesar 1,054. Hal ini menunjukkan pembangunan TPA Piyungan layak dilaksanakan. Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pemerintah Kota Bekasi, (2008). Mengukur dampak fisik, biologi dan ekonomi TPA Sampah Bantar Gebang dampak kualitas air tanah digunakan pendekatan perubahan perilaku konsumsi air rumah tangga. Dari hasil survey diketahui bahwa kualitas air tanah di wilayah ring I tidak layak untuk air minum dan mandi sedangkan kawasan ring II dan ring III tidak layak untuk air bersih. Dengan menggunakan pendekatan kebutuhan air untuk mandi sebanyak 80 liter/hari dan kebutuhan air untuk minum sebesar 5 liter/hari dengan harga air dorongan Rp 75 per-liter/orang/hari. Penduduk kawasan ring I sebanyak 4.240 jiwa mengeluarkan uang untuk membeli air sebesar Rp 9.865.950.000. Sedangkan penduduk kawasan ring II sebanyak 13.246 jiwa dan penduduk kawasan ring III sebanyak 26.668 jiwa membayar Rp 5.463.228.750 untuk membeli air. Dari hasil survey diketahui bahwa rata-rata pengeluaran untuk biaya sakit saluran pernafasan penduduk kelurahan/desa sekitar TPA sebesar Rp 1.394.004,88 seperti yang terlihat pada Tabel 1. Berdasarkan data dari Bekasi Dalam Angka Tahun 2006 tentang kunjungan pasien dan jenis penyakitnya untuk Kecamatan Bantar Gebang, dapat diperoleh data kunjungan pasien untuk masyarakat sekitar TPA dengan menggunakan faktor 0,57 sesuai dengan proporsi jumlah penduduk di sekitar TPA Sampah Bantar Gebang. Diasumsikan bahwa 75% dari penyakit yang diderita masyarakat sekitar
17
TPA Sampah Bantar Gebang disebabkan sampah di TPA dan 25% disebabkan faktor lain. Biaya rata-rata kunjungan pasien yang berobat untuk jenis penyakit umum dan mata sebesar Rp 50.000, dan untuk jenis penyakit anak, kulit dan paru diperlukan biaya sebesar Rp 75.000. Dari asumsi tersebut jumlah pengeluaran untuk biaya pengobatan yang ditanggung adalah Rp1.816.149 seperti disajikan pada Tabel 2. Tabel 1. Pengeluaran biaya untuk penyakit saluran pernafasan Desa Ciketing Udik Sumur Batu Cikiwul Jumlah
Jumlah Penderita Biaya Sakit Rata(Orang) Rata (Rp/org/bln) 9 111.428 10 121.000 22 115.909 41 Rata-Rata (Rp/org/tahun)
Total Biaya (Rp/Tahun) 12.034.224 14.520.000 30.599.976 57.154.200 1.394.004.88
Sumber : Bekasi Dalam Angka Tahun 2006
Tabel 2. Pengeluaran untuk biaya pengobatan menurut jenis penyakit Jenis Penyakit Umum Kulit & Paru Mata Anak Jumlah
2002 233.436.375 247.266.000 203.233.500 899.353.125 1.583.289.000
2003 160.170 159.319 191.178 1.056.267 1.566.934
2004 330.415 258.199 232.282 1.110.453 1.931.349
2005 161.125 274.872 259.835 1.178.072 1.873.904
2006 211.912 291.641 279.799 1.032.797 1.816.149
Sumber : Bekasi Dalam Angka Tahun 2006
Nilai kerugian karena tidak masuk kerja akibat sakit terkait dengan TPA Sampah Bantar Gebang adalah sebesar Rp 577.640 dengan menggunakan asumsi : jumlah penduduk yang sakit 1.125 jiwa, rata-rata tidak kerja karena sakit sebanyak 7 hari dan upah kerja Rp 20.000 per-hari pada tahun 2007. Nilai kerugian akibat gagal panen padi sawah karena luapan air permukaan pada musim hujan, sebesar Rp1,320.000.000. Asumsi yang digunakan luas sawah pada tahun 2008 sebanyak 160 ha, gagal panen 1 kali setiap tahunnya dan ratarata produksi padi sekitar 3 ton/ha. (DPLH Kota Bekasi, 2008) Dari hasil rekapitulasi nilai ekonomi terlihat bahwa setiap 1 ton sampah akan menghasilkan dampak negatif sebesar Rp 6.433,83 untuk perkiraan rendah dan Rp 8.672,04 untuk perkiraan tinggi dapat dilihat pada Tabel 3 (DPLH Kota Bekasi, 2008).
18
Tabel 3. Rekapitulasi nilai ekonomi total tahun 2007 No. 1 2 3 4 5
Jenis Dampak Menanggulani turunnya kualitas air Pengobatan sakit karena kualitas air Penurunan penghasilan absen kerja Penurunan produksi pertanian Penurunan kualitas udara/pengobatan Jumlah
Nilai Ekonomi (Rp Milyar/Tahun) Perkiraan Rendah Perkiraan Tinggi 10,58 15,33 1,58 1,81 0,58 0,58 1,32 1,32 1,39 1,39 15,45 20,43
Sumber : (DPLH Kota Bekasi, 2008)
Fakta yang terjadi adalah kompensasi (tipping fee) yang diberikan oleh Pemda DKI Jakarta untuk Pemkot Bekasi sebesar 4.500 ton/hari x Rp 6.070 x 30 hari x 12 bulan = Rp 9,8 milyar per-tahun (DPLH Kota Bekasi, 2008). Masyarakat di sekitar TPA Sampah Bantar Gebang setiap 3 bulan sekali menerima dana kompensasi sebesar Rp 200.000 dalam bentuk uang tunai dan Rp 100,000 dialokasikan melalui Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) untuk pembangunan fisik (DPLH Kota Bekasi, 2008). 2.2.3. Perhitungan konversi ekonomi Untuk perhitungan menggunakan persamaan linier sederhana (DEFRA, 2004) yaitu : WTAa = WTAb x (PPP GNI per capita a / PPP GNI per kapita a) dimana, WTAa = WTA negara a WTAb = WTA negara b PPP GNI per kapita a = PPP GNI per kapita negara a PPP GNI per kapita b = PPP GNI per kapita negara b Penyesuaian spasial kedua dibuat dengan data yang ada dengan memperkirakan untuk tahun yang akan dikonversikan. Sementara konversi memerlukan memilih antara harga indeks, indeks harga yang diberikan adalah memisahkan oleh komoditi dan kategori layanan yang lebih mencerminkan sementara perubahan relatif harga khusus untuk subgroups. WTA studi mengukur manfaat kesehatan dan lingkungan dan biaya manfaat dalam hal pendapatan dan terkait konsumsi. WTA sesuai berdasarkan perkiraan dapat meningkat atau menurun dengan menggunakan CPI (Consumer Price Index). Digunaan sebagai
19
dasar perkiraan nilai WTA untuk sesuai waktu yang akan ditentukan (lihat Eisworth dan Shaw 1997; Kesehatan Kanada, Research Triangle Institute dan USEPA, 2002). WTAni = WTAn1 x (CPIni/CPIn1) dimana, WTAni = WTA pada tahun berdasarkan data yang ada WTAn1 = WTA pada tahun yang dikonversikan CPIni = CPI pada tahun berdasarkan data yang ada CPIn1 = CPI pada tahun yang dikonversikan 2.3. Valuasi Ekonomi Valuasi Ekonomi menurut PSSAL (2005) adalah ilmu tentang pembuatan pilihan-pilihan (making choices). Dalam pembuatan pilihan-pilihan dari alternatif yang dihadapkan kepada pilihan tentang lingkungan hidup lebih kompleks, dibandingkan dengan pembuatan pilihan dalam konteks barang-barang privat murni (purely private goods). Oleh karena itu, prinsip dasar pada valuasi ekonomi adalah perkiraan harga yang didasari pada kemampuan masyarakat membayar (WTP) yang diberikan kepada jasa lingkungan atau kemauan menerima kompensasi untuk suatu gangguan/penurunan kualitas lingkungan (WTA). Dalam konteks lingkungan hidup, yang harus dibandingkan adalah satu barang dengan harga (priced good, private good), dan satu barang tanpa harga (unpriced good, public good). Tujuan utama dari valuasi ekonomi barang-barang dan jasa lingkungan (environmental goods and services) adalah untuk dapat menempatkan lingkungan supaya dikenal sebagai bagian/komponen integral dari setiap sistem ekonomi. Dengan demikian valuasi lingkungan harus merupakan suatu bagian integral dari prioritas sektoral, dalam mendeterminasi keseimbangan antara konservasi dan pembangunan, dan dalam memilih standard lingkungan. DEFRA, (2004). Menurut Irawan (2007), suatu lingkungan bukan hanya menghasilkan barang dan jasa yang dapat langsung dinilai harganya berdasarkan harga pasar, tetapi juga memberikan jasa lingkungan yang belum ada mekanisme pasarnya. Valuasi ekonomi dengan pendekatan nilai ekonomi total merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk maksud tersebut.
20
Economic Valuation dilakukan karena: (1) Karakteristik/sifat-sifat khas yang
melekat
(peculiarities)
dari
SDA,
(2)
Sifat
tidak
terpisahkan
(interdependency), (3) Sifat Keterpulihan (renewability) dan (4) Sifat dampak eksternal (externality) (Fauzi, 2004) Menurut PSSAL (2005) dalam valuasi ekonomi dikenal Nilai Ekonomi Total (NET) yaitu nilai ekonomi dari aset lingkungan hidup yang dapat dipecah-pecah ke dalam suatu set bagian komponen. Sebagai ilustrasi dalam kontek penentuan alternatif penggunaan lahan dari hutan mangrove. Berdasarkan hukum biaya dan manfaat (a benefit–cost rule), keputusan untuk mengembangkan suatu hutan mangrove dapat dibenarkan (justified) apabila manfaat bersih dari pengembangan hutan tersebut lebih besar dari manfaat bersih konservasi. Jadi dalam hal ini manfaat konservasi diukur dengan NET dari hutan mangrove tersebut. NET ini dapat diinterpretasikan sebagai NET dari perubahan kualitas lingkungan hidup. 2.3.1 Analisis Nilai Ekonomi Dampak Nilai ekonomi (economic value) dari suatu barang atau jasa diukur dengan menjumlahkan kesediaan untuk membayar WTP (willingness to pay;) dari banyak individu terhadap barang atau jasa yang dimaksud. Pada gilirannya, WTP merefleksikan preferensi individu untuk suatu barang yang dipertanyakan. Jadi dengan demikian, valuasi ekonomi dalam konteks lingkungan hidup adalah tentang pengukuran preferensi dari masyarakat (people) untuk lingkungan hidup yang baik dibandingkan terhadap lingkungan hidup yang jelek. Dengan kata lain valuasi merupakan preferensi yang dilakukan oleh masyarakat itu sendiri (PSSAL, 2004). Dampak lingkungan disebabkan oleh adanya suatu kegiatan baik secara fisik, kimia, biologi, sosial dan ekonomi perlu diidentifikasi dan dikuantifikasi. Identifikasi dampak lingkungan diperlukan untuk menentukan langkah yang akan dilakukan dalam upaya menanggulangi dampak yang terjadi. Penilaian dampak lingkungan tempat pembuangan akhir sampah dilakukan dengan menggunakan pendekatan valuasi ekonomi, untuk melihat besarnya kerugian secara keseluruhan dalam bentuk moneter. Penilaian dampak lingkungan dimonetasi secara kualitatif maupun kuantitatif (PSSAL, 2005).
21
Tujuan valuasi ekonomi antara lain untuk melihat nilai kepuasan seseorang atau komunitas atas keberadaan suatu aset, mengetahui nilai ekonomi dari pemanfaatan sampah, mengetahui gangguan terhadap kehidupan masyarakat sekitar TPA Sampah Bantar Gebang dan memperoleh perkiraan manfaat di masa yang akan datang. Metoda Valuasi Ekonomi dilakukan dengan menyesuaikan nilai mengingat adanya perbedaan antara kegiatan satu dengan lainnya. Pada umumnya digunakan nilai rata-rata, berdampak pertimbangan aplikabilitas dari penggunaan nilai tersebut maka digunakan nilai yang termasuk layak dan dapat diaplikasikan. Metoda perhitungan valuasi ekonomi didasarkan pada manfaat dan biaya. Perhitungan nilai per unit waktu adalah nilai total dari dampak per unit waktu maka nilai per unit waktu harus dikalikan jumlah individu yang terkena dampak. Apabila dampak tersebut berubah menurut waktu, maka harus diestimasi pada tiap-tiap waktu di masa datang pada saat pengaruh tersebut diperkirakan akan menyebar. Perhitungan nilai total terdiskonto digunakan pada waktu kapan dampak tersebut akan terjadi, mengingat biaya dan manfaat objek studi dapat terjadi pada waktu, yang berbeda (misal biaya proyek muncul, sementara manfaat atau kerusakan terjadi setelah proyek selesai beroperasi). Perhitungan total kerusakan dan manfaat tahunan terdiskonto, dengan menggunakan tingkat bunga yang disarankan. Penggunaan tingkat bunga dan nilai dampak, keduanya harus juga mempertimbangan faktor inflasi dengan cara yang sama yaitu bahwa keduanya harus dihitung dalam bentuk nilai riil (the real value). Manfaat SDA dan lingkungan dapat dikelompokkan ke dalam nilai manfaat (use values) dan nilai bukan manfaat (non use values). Nilai ekonomi total diilustrasikan pada Gambar 2. Nilai manfaat ada yang bersifat langsung (direct use values) dan ada yang tidak langsung (indirect use values) serta nilai pilihan (option values). Sementara itu nilai bukan manfaat mencakup nilai keberadaan (existence values) dan nilai warisan (bequest values). Apabila nilai nilai ekonomi SDA tersebut dijumlahkan maka akan diperoleh nilai ekonomi total atau total economic values. Rumus nilai ekonomi total suatu SDA adalah sebagai berikut (Munasinghe 1993):
22
NET NM NNM dimana: NET NM NNM NML NMTL NMP NK NW
= = = = = = = =
= = =
NM + NNM NML + NMTL + NMP NK + NW
Nilai Ekonomi Total Nilai Manfaat; Nilai Bukan Manfaat Nilai Manfaat Langsung Nilai Manfaat Tidak Langsung Nilai Manfaat Pilihan: Nilai Keberadaan Nilai Warisan.
23
Nilai Ekonomi Dampak TPA Sampah Bantar Gebang
Nilai Bukan Manfaat
Nilai Manfaat
Nilai Keberadaan
Nilai Bukan pengguna lainnya
Nilai manfaat langsung dan tidak langsung dapat dimanfaatkan di waktu mendatang
Nilai yang dirasakan masyarakat dari keberadaan sumberdaya
Nilai pengetahuan keberlangsungan keberadaan TPA Sampah Bantar Gebang
- Peluang / kesempatan kerja - Pupuk tanaman
- Biogas - Hutan Kota - Lapangan olah raga
- Tingkat kenyamanan/ estetika - Tingkat kesehatan - Tingkat Keresahan sosial - Nilai tanah
Metoda : - Replacement Cost - Productivity approach
Metoda : - Benefit transfer
Metoda : - Contingent Valuation
Nilai Manfaat Langsung
Nilai Manfaat Tidak Langsung
Hasil yang langsung dapat dimanfaatkan
Hasil yang tidak secara langsung dapat dimanfaatkan
- Tingkat pendapatan (Daur Ulang)
Metoda : - Market Value
Nilai Pilihan
Gambar 2. Analisis nilai ekonomi dampak pengelolaan TPA sampah (modifikasi)
24 Nilai manfaat langsung (NML) adalah nilai yang dihasilkan dari pemanfaatan secara langsung dari suatu sumber daya. Nilai manfaat langsung yang dihitung merupakan nilai dari jenis mempunyai nilai ekonomis yang dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Matriks metoda valuasi ekonomi/economic valuation method matrix No 1 2
3
Klasifikasi nilai Nilai Manfaat Langsung (Direct Use Values) Nilai Manfaat Tidak Langsung (Indirect Use Values) Nilai Non Pakai (Non Use Value) Nilai pilihan (Option Values) Nilai keberadaan (Existence Values)
-
Metoda Penilaian Change in productivity Change in income Change in productivity Replacement Cost Wage Differential Approach
-
Benefit Transfer Contingent Valuation Property value Preventive expenditure
Sumber: Irham, 1999
Nilai manfaat langsung dari tempat pembuangan akhir tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :
n
NML = ∑ Keterangan : NML : NML1 : NML2 :
NMLi
i=1
Nilai Manfaat Langsung Nilai Manfaat Langsung 1 Nilai Manfaat Langsung 2
Nilai manfaat langsung dari tempat pembuangan akhir sampah yang digunakan dalam penilaian ekonomi berbasis pada harga pasar (market price based method). Nilai manfaat tidak langsung (NMTL) merupakan nilai manfaat dari suatu sumberdaya yang dapat dimanfaatkan secara tidak langsung oleh masyarakat. Sebagai contoh manfaat tidak langsung dari tempat pembuangan akhir sampah dapat berupa manfaat fisik yaitu peluang/kesempatan kerja, dan sampah organik dapat dijadikan sebagai pupuk tanaman. Perkiraan manfaat tidak langsung tempat pembuangan akhir sampah sebagai peluang kesempatan kerja didekati dengan jumlah penerimaan upah para pekerja sebagai pemulung, lapak maupun bandar. Metoda yang digunakan untuk mengukur nilai tersebut adalah replacement cost atau biaya pengganti yang dapat digunakan sebagai perkiraan minimum dari manfaat yang diperoleh untuk memperbaiki lingkungan. Perkiraan manfaat tidak langsung tempat pembuangan akhir sampah sebagai kompos hasil pemisahan sampah organik menjadi pupuk tanaman. Menurut Adrianto (2006), teknik pengukuran untuk menilai manfaat tersebut adalah pendekatan produktivitas (productivity approach) sehingga jumlah sampah organik menjadi input bagi produktivitas kompos yang
25 menjadi produk akhir bagi masyarakat. Nilai total manfaat tidak langsung dapat dirumuskan sebagai berikut :
n
NTML = ∑ NMTLi Keterangan : NMTL : NMTL1 : NMTL2 :
i=1
Nilai Total Manfaat Tidak Langsung Nilai Total Manfaat Tidak Langsung (peluang kerja) Nilai Total Manfaat Tidak Langsung (kompos)
Nilai manfaat pilihan (NMP) pada umumnya didekati dengan menggunakan metoda benefit transfer yaitu dengan cara menilai perkiraan benefit dari tempat lain, kemudian benefit tersebut ditransfer untuk memperoleh perkiraan yang kasar mengenai manfaat dari lingkungan (Fauzi, 1999). Metoda tersebut didekati dengan cara menghitung besarnya nilai manfaat misal: gas metan dimasa yang akan datang Nilai manfaat pilihan ini dapat dirumuskan sebagai berikut : NMP (Nilai Manfaat Pilihan) = Nilai manfaat per ha x Luas TPA(ha) 2.3.2 Nilai keberadaan (NK) Nilai keberadaan didefinisikan sebagai nilai yang dirasakan masyarakat dari keberadaan sumberdaya. Nilai ini muncul dari kepuasan seseorang atau komunitas atas keberadaan suatu aset, walaupun yang bersangkutan tidak berminat. Dengan kata lain nilai keberadaan diberikan seseorang atau masyarakat kepada sumberdaya alam dan lingkungan tertentu karena memberikan manfaat spiritual, estetika, dan budaya. Nilai keberadaan suatu sumberdaya alam dan lingkungan tidak berkaitan dengan penggunaan oleh seseorang atau masyarakat, baik pada saat sekarang maupun masa yang akan datang, tetapi semata-mata sebagai-bentuk kepedulian terhadap keberadaan sumberdaya alam dan lingkungan sebagai obyek. Metoda yang digunakan dalam perhitungan ini adalah Contingent Valuation Method (CVM). Metoda CVM ini didasarkan pada kepuasan seseorang terhadap keinginan menerima perubahan lingkungan yang dinyatakan dalam bentuk besar penerimaan kompensasi WTA atas perubahan kualitas lingkungan. 2.3.3 Nilai warisan (NW) Merupakan adalah nilai yang diberikan oleh masyarakat yang hidup saat ini terhadap sumberdaya dan lingkungan tertentu agar tetap ada dan utuh untuk diberikan kepada generasi akan datang. Nilai ini berkaitan dengan konsep penggunaan masa datang atau pilihan dari orang lain untuk menggunakannya. Menurut Barbier et. al. (1997) dalam PSSAL (2005), ada 3 jenis pendekatan penilaian sebuah ekosistem alam yaitu (1) impact analysis, (2) partial
26 analysis dan (3) total valuation. Pendekatan impact analysis dilakukan apabila nilai ekonomi ekosistem dilihat dari dampak yang mungkin timbul sebagai akibat dari aktivitas tertentu, misalnya akibat reklamasi pantai terhadap ekosistem pesisir. Sedangkan parial analysis dilakukan dengan menetapkan dua atau lebih alternatif pilihan pemanfaatan ekosistem. Sementara itu, total valuation dilakukan untuk menduga total kontribusi ekonomi dari sebuah ekosistem tertentu kepada masyarakat. Penelitian ini menggunakan adalah metode impact analysis valuation, karena tujuan utama dari studi ini adalah mengestimasi nilai ekonomi total dari dampak keberadaan Tempat Pembungan Akhir Sampah Bantar Gebang, yang diharapkan dapat dianalisis dari sudut pandang publik sebagai salah satu parameter penting dalam sebuah analisis ekonomi. 2.4. Kebijakan Pengelolaan Tempat Pembuangan Akhir Sampah 2.4.1 Analisis Ekonomi untuk Masukan Kebijakan Analisis manfaat biaya dengan memasukkan aspek lingkungan akan melibatkan juga biaya yang ditanggung sekaligus manfaat yang digunakan secara langsung. Ini sering disebut dengan Analisis Biaya Manfaat Terkoreksi (Corrected Benefit Cost Analysis). Dalam menggunakan metoda ini beberapa pilihan skenario pengelolaan akan dianalisis berikut ini: 1. menggunakan analisis biaya dan manfaat (Cost Benefit Analysis, CBA) untuk mengestimasi nilai sekarang (present value). 2. Penggunaan Rasio Manfaat dan Biaya (Benefit Cost Ratio, BCR) yang paling cocok dari sudut pandang masyarakat serta menggunakan tingkat potongan (Discount Rate) yang sesuai. Pendugaan nilai bersih sekarang (Net Present Value, NFV) dari sebuah skenario pengelolaan pada dasarnya dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan sebagai berikut (Dixon dan Hufschmidth, 1986): NFV = Bd + Be – Cd – Ce – Cp Keterangan: NFV
= Nilai bersih sekarang dari alternatif pengelolaan
Bd
= Nilai manfaat langsung dari alternatif pengelolaan
Be
= Nilai manfaat tidak langsung dari alternatif pengelolaan
Cd
= Biaya Langsung dari alternatif pengelolaan
Ce
= Biaya tak langsung dari alternatif pengelolaan
Cp
= Biaya mitigasi dari alternatif pengelolaan
27
Mengidentifikasi Alternatif
Mengindentifikasi Manfaat dan Biaya
Penilaian Manfaat dan Biaya
Menghitung Nilai Kriteria yang digunakan (NFV,MBR,IRR)
Peringkat Alternatif
Gambar 3. Langkah-langkah pada analisis manfaat dan biaya (Dixon dan Hufschmidth, 1986) Sementara itu dalam kerangka CBA, formulasi dari dua kriteria analasis ini disajikan sebagai berikut (Barton, 1994): Net Present Value NFV = ∑ (Bt – Ct)/(1 + r)t Benefit Cost Ratio BCR = ∑ [ Bt/ (1 + r)t ] / [ Ct/ (1 + r)t ] Kriteria yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan adalah bahwa apabila BCR > 1 dan NFV > 0 maka alternatif pengelolaan tersebut dapat dilaksanakan (acceptable). Adapun langkah-langkah dalam melakukan analisis manfaat biaya dapat digambarkan sebagai berikut: 1.
Melakukan definisi alternatif Langkah ini dilakukan untuk mendefinisikan berbagai alternatif dalam rangka
keputusan kebijakan yang akan diambil. Mengingat keputusan ini mempunyai dampak lingkungan yang serius, maka pemeliharaan lingkungan akan selalu jadi alternatif yang berbeda.
28 2.
Identifikasi keuntungan dan biaya Pada langkah ini evaluator diharuskan untuk mengindentifikasi keuntungan dan biaya
yang mempengaruhi seluruh anggota masyarakat. dalam hal ini daftar lengkap tentang semua kemungkinan keluaran yang dapat muncul dari pelaksanaan tindakan alternatif ini perlu disiapkan. 3.
Penilaian keuntungan dan biaya Pada tahap ini penilaian secara moneter dilakukan. Setiap satuan yang telah
diidentifikasikan sebelumnya harus dinilai dari aspek keuangan (moneterisasi). Untuk satuan yang ditukarkan melalui mekanisme pasar, nilai moneternya dapat dihitung dengan mengalihkan jumlah satuan dengan harganya. 4.
Menghitung nilai kriteria yang digunakan (NFV, MBR, IRR) Dalam langkah akhir ini, nilai-nilai yang diperoleh dari langkah sebelumnya dan
menunjukkan bagaimana keuntungan dan biaya menyebar. hal ini ditunjukkan untuk membentuk aliran tunai (cash flow). Pada analisis ini disusun prioritas kebijakan pengelolaan TPA sampah. Kebijakan yang dihasilkan analisis sebelumnya selanjutnya disusun prioritas dengan menggunakan model metoda perbandingan eksponensial (MPE). Hasilnya akan terpilih kebijakan prioritas yang memberikan manfaat pada pengelolaan TPA sampah. Selanjutnya urutan prioritas kebijakan diranking, untuk mendapatkan pilihan kebijakan dan langkah operasional. Model yang digunakan ádalah analytical hierarchy proses (AHP). Tahapan metoda perbandingan eksponensial ada beberapa yang harus dilakukan yaitu: menyusun alternatif-alternatif keputusan yang dipilih, menentukan kriteria keputusan atau pertimbangan kriteria keputusan yang penting untuk di evaluasi. Menentukan tingkat kepentingan dari setiap kriteria keputusan atau pertimbangan kriteria, melakukan penilaian terhadap semua alternatif pada setiap kriteria, menghitung skor atau nilai total setiap alternatif, dan menentukan urutan prioritas keputusan didasarkan pada skor atau nilai total masing-masing alternatif. Formulasi perhitungan skor untuk setiap alternatif dalam metoda perbandingan eksponensial adalah sebagai berikut: Total Nilai = (TNi) = ∑ (RKij)TKKj Keterangan: TNi = Total nilai alternatif ke –i RKij = Derajat kepentingan relatif kriteria ke –j pada pilihan keputusan i
29 TKKj n m
= = =
derajat kepentingan kriteria keputusan ke-j; TKKj > 0; bulat Jumlah pilihan keputusan Jumlah kriteria keputusan
Penentuan tingkat kepentingan kriteria dilakukan dengan cara wawancara dengan pakar atau melalui kesepakatan curah pendapat. Sedangkan penentuan skor alternatif pada kriteria tertentu dilakukan dengan memberi nilai setiap alternatif berdasarkan nilai kriterianya. Semakin besar nilai setiap alternatif semakin besar pula skor alternatif tersebut. Total skor masing-masing alternatif keputusan akan relatif berbeda secara nyata karena adanya fungsi eksponensial. Metoda ini untuk penyelesaian persoalan dilakukan melalui analisis terhadap keberlanjutan pengelolaan TPA Sampah secara finansial berdasarkan kajian atas berbagai skenario pengembangan alternatif pengelolaan sampah dengan tetap memperhatikan aspek sosial, ekonomi dan lingkungan. Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dari responden dan data sekunder dikumpulkan dari berbagai literatur dan pengalaman yang ada untuk memilih alternatif yang paling menguntungkan bagi keberlanjutan pengelolaan TPA Sampah. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008, tentang Pengelolaan sampah menyatakan bahwa pada pasal 5 Pemerintah dan pemerintahan daerah bertugas menjamin terselenggaranya pengelolaan sampah yang baik dan berwawasan lingkungan sesuai dengan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Pada pasal 5 butir e menyatakan: mendorong dan memfasilitasi pengembangan manfaat hasil pengolahan sampah. Pasal 7 Dalam Penyelenggaraan Pengelolaan Sampah Mempunyai Kewenangan: menetapkan kebijakan dan strategi nasional pengelolaan sampah. Pasal 8 Dalam Menyelenggarakan Pengelolaan Sampah, Pemerintahan Provinsi mempunyai kewenangan menetapkan Kebijakan dan Strategi dalam Pengelolaan sampah sesuai dengan Kebijakan Pemerintah. Pasal 9 ayat 1 menyatakan Dalam menyelenggarakan Pengelolaan sampah, pemerintahan Kabupaten/kota mempunyai kewenangan: Menetapkan Kebijakan dan Strategi Pengelolaan sampah berdasarkan Nasional dan Provinsi. Kompensasi pada Pasal 25 ayat 1 menyatakan: Pemerintah dan pemerintah daerah secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dapat memberikan kompensasi kepada orang sebagai akibat dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan penanganan sampah di tempat pemrosesan akhir sampah, ayat 2 menyatakan bahwa kompensasi sebagaimana dimaksud pada butir a. Relokasi, b. Pemulihan Lingkungan, c. Biaya Kesehatan dan Pengobatan dan d. Kompensasi dalam bentuk lain. Pada ayat 3 menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut
30 mengenai dampak negative dan kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan 2 diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pada ayat 4 menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur dengan Peraturan Pemerintah dan atau Peraturan Daerah. Peran Masyarakat pada pasal 28 ayat 1 menyatakan bahwa Masyarakat dapat berperan dalam pengelolaan sampah yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Pada ayat 2 menyatakan bahwa peran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui: pemberian usul, pertimbangan, dan saran kepada Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah; perumusan kebijakan pengelolaan sampah dan/atau, pemberian saran dan pendapat dalam penyelesaian sengketa persampahan. Pada ayat 3 menyatakan bahwa Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah dan/atau peraturan daerah. Tingkat Diskonto Menurut Indrajaya (2008), hal terpenting dalam menggunakan Net Present Value adalah menentukan tingkat diskonto (discount rate). Ada tiga cara dalam menentukan tingkat diskonto : berdasarkan estimasi konsumsi yang akan datang lebih sedikit dari konsumsi saat ini, berdasarkan teori produktivitas modal dimana nilai uang sekarang diestimasi dalam hubungannya dengan penggunaan produktif di masa datang, dan berdasarkan instrumen kebijakan pemerintah sebagai pedoman investasi dalam sistem ekonomi. Akibat fluktuasi tingkat inflasi yang menyebabkan cukup kompleks untuk diramalkan/forecasting, maka digunakan tingkat diskonto berdasarkan laju inflasi selama 20 tahun (Gambar 4). Sesudah tahun 2010 digunakan kebijakan pemerintah untuk menjaga inflasi pada titik 10%. Sedangkan Gambar 5 dan Gambar 6 menunjukkan fluktuasi suku bunga 1 bulan dan 3 bulan tahun 2000-2008. Tingkat Inflasi Tahun 1988 - 2007 90%
80%
77,63% 70%
Tingkat Inflasi
60%
50%
40%
30%
20%
17,11% 10%
9,77% 9,24% 8,64%
9,53% 9,52% 0%
5,47% 5,97% Tahun 1988
4,94% 1989
1990
1991
1992
1993
1994
11,06%
12,55%
9,40%
1995
11,06%
10,33%
6,47%
5,06% 1996
2,01% 1997 1998 1999
2000
2001
2002
6,60% 6,59%
6,50% 2003
2004
2005
2006
2007
Sumber : Bank Indonesia
Gambar 4. Tingkat Inflasi Tahun 1988 - 2007
31
Sumber : Bank Indonesia
Gambar 5. Suku bunga Bank Indonesia jangka waktu 1 bulan, tahun 2000-2008 SUKU BUNGA BANK INDONESIA Jangka Waktu 3 Bulan 20%
17,43%
18% 16%
14,31% 12,93%
Suku Bunga
14% 12%
12,69%
12,92%
10,17%
10%
12,83% 9,19%
8,15%
8% 6% 4%
2% 0% 2000
2002
2003
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Tahun
Sumber : Bank Indonesia
Gambar 6. Suku bunga Bank Indonesia jangka waktu 3 bulan, tahun 2000-2008
2.4.2 Metoda Pengolahan Sampah Sampah merupakan hasil buangan atau sisa dari kegiatan manusia atau alam. Sampah dapat diklasifikasikan berdasar kemampuan sampah untuk terurai yaitu : (i)
biodegradable yaitu sampah yang dapat mengalami pembusukan alam termasuk sampah organik seperti sampah dapur, sayuran, buah, bunga, daun dan kertas;
(ii)
nonbiodegradable yang terdiri dari sampah daur ulang seperti plastik, logam dan gelas.
32
Timbulan Sampah
Pemilahan, Pewadahan dan Pengolahan Sampah
Pengumpulan
Pemilahan dan Pengolahan
Pemindahan
Pengangkutan
Pembuangan Akhir
Gambar 7. Teknis operasional pengelolaan persampahan perkotaan (Tchobanoglous et al., 1977) Teknis operasional pengelolaan sampah, menurut Tchobanoglous et al., (1977) seperti pada Gambar 7 adalah proses pengaturan materi sampah (yang umumnya berasal dari hasil aktivitas manusia). Pengaturan persampahan melibatkan kegiatan pewadahan setempat, pengumpulan, pengangkutan, dan atau pengolahan sampah sampai kepada kegiatan pembuangan akhir sampah. Menurut Adisasmito (1998), Dari penelitian yang dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa persen penyisihan terbaik menjadi pada waktu 20 menit dan pada suhu 280oC, yaitu 32,8%, suhu dan waktu yang terbaik untuk pembentukan bahan bakar cair terjadi pada suhu 360oC dan waktu 60 menit yakni mempunyai kadar 3,12%. Hasil survai konsultan WJMP pada awal tahun 2005 mendapatkan angka timbulan sampah sebesar ± 6000 ton per hari. Jumlah penduduk DKI tahun 2005 ± 8,9 juta jiwa.
33 Timbulan sampah per kapita 2,97 liter per kapita per hari atau 0,64 kg per kapita per hari (berat jenis = 0,21 ton/m3 ). Hasil survai konsultan WJMP pada awal tahun 2005 tercantum pada Tabel 5. Tabel 5. Komposisi sampah rata-rata di DKI Jakarta No 1 2
Komponen Organik (sisa makanan, daun, dll) An Organik 2.1. Kertas 2.2. Plastik 2.3. Kayu 2.4. Kain/tekstil 2.5. Karet/kulit tiruan 2.6. Logam/metal 2.7. Gelas/kaca 2.8. Sampah bongkahan 2.9. Sampah B3 2.10 Lain-lain (batu, pasir, dll) Total
% total 55,37 44,63 20,57 13,25 0,07 0,61 0,19 1,06 1,91 0,81 1,52 4,65 100
% di daur ulang 0 19,95 7,32 6,85 0,07 0,61 0,19 1,06 1,91 0,81 0 0 19,95
% di buang 55,37 24,68 13,15 6,40 0 0 0 0 0 0 1,52 4,65 80,05
Sumber: Hasil Survai Konsultan WJEMP DKI 2005
Terdapat paling tidak lima cara yang dikenal secara umum dalam pengolahan sampah (Tchobanoglous et al., 1977) yaitu: (i)
Open dumping. Open dumping mengacu pada cara pembuangan sampah pada area terbuka tanpa dilakukan proses apapun;
(ii)
Landfill. Landfill adalah lokasi pembuangan sampah yang relatif lebih baik dari open dumping. Sampah yang ada ditutup dengan tanah kemudian dipadatkan. Setelah lokasi penuh maka lokasi landfill akan ditutup tanah tebal dan kemudian lokasi tersebut biasanya dijadikan tempat parkir.
(iii) Sanitary landfill. Berbeda dengan landfill maka sanitary landfill menggunakan material yang kedap air sehingga rembesan air dari sampah tidak akan mencemari lingkungan sekitar. Biaya sanitary landfill relatif jauh lebih mahal. (iv) Insinerator. Pada cara pengolahan menggunakan insinerator, dilakukan pembakaran sampah dengan terlebih dahulu memisahkan sampah daur ulang. Sampah yang tidak dapat didaur ulang kemudian dibakar. Biasanya proses pembakaran sampah dilakukan sebagai alternatif terakhir atau lebih difokuskan pada penanganan sampah medis. (v)
Pengomposan. Pengomposan adalah proses biologi yang memungkinkan organisme kecil mengubah sampah organik menjadi pupuk. Kompos lebih berperan untuk
34 memperbaiki tekstur tanah dan meningkatkan cadangan air pada tanah, sehingga penyerapan air oleh tanaman akan lebih baik. Di sisi lain, pemerintah kurang menggalakkan gerakan pemanfaatan kompos. Produksi kompos dari beberapa instalasi pengomposan sampah tidak optimum, dan akhirnya berhenti beroperasi akibat ketiadaan pelanggan tetap dan berkesinambungan. Sampah sebagai sumber energi. Perlu konsep baru untuk menangani sampah perkotaan, Bramono (2004). Sebagai alternatif, sampah bisa diubah menjadi suatu materi baru yang memiliki nilai jual lebih dan dibutuhkan oleh masyarakat. Kompos menurut Bramono (2004) pada dasarnya melakukan konversi energi. Namun energi yang ada terlepas dalam bentuk materi yang memiliki nilai kalor yang lebih rendah. Hal ini disebabkan proses pengomposan secara aerobik akan melepas materi organik padatan lain yang lebih sederhana, serta gas CO2 yang tidak siap untuk dimanfaatkan energinya secara langsung. Tersedia beberapa proses lain yang dapat mengkonversi energi yang tersimpan di dalam sampah menjadi suatu materi baru. Proses itu antara lain yaitu: 1. Proses anaerobik Proses ini akan melepas energi yang tersimpan dalam gas CH4 yang memiliki nilai kalor tinggi yang akan terbentuk. Lahan urug saniter, merupakan reaktor anaerobik dalam kapasitas yang besar. Beberapa teknik telah dilakukan untuk meningkatkan produksi gas CH4 yang terbentuk. Resirkulasi air lindi merupakan salah satu teknik yang diterapkan untuk meningkatkan produksi gas CH4, selain untuk mempercepat degradasi sampah itu sendiri. Akan tetapi reaktor anaerobik yang direncanakan secara khusus dengan kapasitas yang lebih kecil, dapat lebih mudah untuk dimonitor dan dikontrol dalam kinetika pembentukan gas metana dengan lebih baik ketimbang pada lahan urug saniter. Residu yang terbentuk dapat dimanfaatkan untuk kompos yang sebelumnya telah diambil sebagian energinya menjadi gas CH4, ketimbang proses aerobik pada pengomposan yang hanya akan menghasilkan kompos saja. Jika tahapan proses anaerobik ini dihentikan hanya pada tahapan fermentasi saja, yaitu tahapan sebelum pembentukan pembentukan gas CH4 , maka dapat dihasilkan alkohol yang memiliki nilai kalor tinggi. Penggunaan alkohol ataupun derivatnya sebagai sumber bahan bakar alternatif dari sampah dapat dipertimbangkan juga (Bramono, 2004). 2. Proses gasifikasi dan pirolisis Kedua proses ini membutuhkan energi tambahan untuk menaikkan temperatur hingga 600°C yang dilakukan dengan oksigen substoikiometrik atau tanpa kehadiran oksigen sama
35 sekali. Proses pirolisis akan menghasilkan padatan (char) dan cairan (tar) yang memiliki nilai kalor tinggi. Produk ini dapat dimanfaatkan sebagai biodiesel (salah satu bahan bakar pengganti atau aditif solar) yang sedang marak digunakan dewasa ini. Sedangkan gasifikasi, akan menghasilkan gas yang memiliki nilai kalor tinggi. Pemanfaatannya sebagai sumber energi alternatif dapat dipertimbangkan (Bramono, 2004). 3. Proses insinerasi Proses ini lebih mahal ketimbang dua proses di atas. Sampah dengan kadar air terendah sekalipun hanya dapat menghasilkan temperatur alami sekitar 200°C. Sementara temperatur kerja pada proses ini adalah pada rentang 600-800°C, yang bertujuan untuk mereduksi pembentukan senyawa karsinogenik dioksin dan furan. Riset pada beberapa buah insinerator di Amerika Serikat masih belum menunjukkan hasil yang memuaskan dalam mereduksi pembentukan kedua senyawa ini, meskipun proses dijalankan pada temperatur jauh di atas 600-800°C. Proses ini akan menghasilkan panas yang cukup tinggi sehingga bisa digunakan sebagai sumber energi pembangkit tenaga uap. Tenaga uap itu dapat dikonversi menjadi energi listrik (Bramono, 2004). Rentang energi yang dihasilkan.Sebagai suatu proses yang menghasilkan energi jumlah input energi dan output energi harus dihitung dalam suatu neraca massa dan energi. Energi yang dimasukkan ke dalam suatu proses diharapkan seminimum mungkin, mengingat output dari proses yang diharapkan adalah energi pula, sehingga total energi yang dihasilkan dari proses dapat dihitung. Jika terlalu banyak energi yang harus ditambahkan ke dalam proses, maka proses tidak efisien. Selain itu menurut Bramono (2004), masih perlu dikaji rentang energi yang dapat dimanfaatkan, karena setiap output dari suatu proses memiliki rentang pemakaian. Dalam hal ini, efisiensi pemanfaatan energi dengan jumlah energi tertentu yang dihasilkan dari suatu volume sampah harus dipertimbangkan. Setiap proses memiliki jangkauan pemanfaatan dalam setiap produk yang dihasilkan. Dengan demikian pemanfaatannya bisa dilakukan secara tepat dan efisien. Beberapa penelitian sampah di TPA yang telah dilakukan di Indonesia diuraikan berikut ini. Kholil (2005) menyatakan bahwa penanganan sampah dengan sistem “zero waste” yang telah diuji cobakan di beberapa tempat di Jakarta Selatan seperti Tebet, Jalan Asneli Pasar Minggu, Jalan Siaga Kelurahan Tanjung barat dan Jalan Gandaria Jagakarsa masih terbatas dengan teknologi yang masih sederhana dan belum melibatkan masyarakat sekitar, sehingga pilot proyek tersebut tidak dapat berkembang dan tidak dapat bertahan lama.
36 Dalam disertasinya, Kholil (2005) melakukan pengembangan sub model pengelolaan sampah terpadu berbasis zero waste yang didesain di tempat penampungan sementara (TPS) yang ditempatkan sedekat mungkin dengan sumbernya. Hal ini untuk mengurangi biaya pengangkutan dari sumber sampah ke TPS. Secara garis besar konsep dasar pengembangan model pengelolaan sampah terpadu berbasis zero waste ini merupakan gabungan antara pendekatan 3 R (reduce, reuse, dan recycle), dengan sistem pembakaran (insinerasi) terhadap sisa sampah organik pada proses pengomposan dan sisa sampah organik yang tidak dapat dimanfaatkan lagi (Gambar 8). Abu hasil proses pembakaran di cetak mejadi batako sebagai bahan bangunan sehingga sampah yang harus dibuang ke TPA menjadi nol (zero). Jadi titik berat penanganan sampah berdasarkan pendapat Kholil adalah pada TPS sebagai tempat pengolahan sampah baik sampah organik maupun sampah anorganik. Sumber sampah
Timbulan sampah
TPS Pemilahan
Kompos
Sampah Organik
Produk Daur Ulang
Sampah Anorganik
Sampah Sisa
Dibakar
Batako
Abu Sisa Pembakaran
TPA
Gambar 8. Diagram alur daur ulang sampah terpadu berbasis zero waste (Kholil, 2005)
37
Dalam analisisnya, Kholil (2005) menyatakan ada beberapa rekomendasi hasil penelitian dalam pengelolaan sampah di Jakarta selatan yaitu:
1.
Melakukan penanganan secara preventif, melalui pengurangan di sumber dengan sistem 3 R (Reduce, Reuse, dan Recycle), dengan melibatkan masyarakat sebagai sumber sampah utama. Untuk mendukung kebijakan ini pemerintah perlu melakukan “capacity development” untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat dalam penanganan sampah kota.
2.
Dengan kebijakan “reward and punishment” atau insentif dan disinsentif disertai dengan penegakan hukum (law enforcement), yakni memberikan sanksi yang berat terhadap sumber sampah yang mencemari lingkungan, sebaliknya memberikan penghargaan atau insentif terhadap Badan atau orang yang secara nyata memberikan konstribusi terhadap pengurangan sampah atau peningkatan kebersihan lingkungan.
3.
Pengolahan sampah di TPS dengan pendekatan 3 R + I (Reduce, Reuse, Recycle, Insinerasi), dengan melibatkan dan sekaligus pemberdayaan (empowering) masyarakat sekitar.
4.
Membentuk Komisi Penanganan Sampah kota dan Badan Layanan Umum (BLU) Kebersihan untuk menunjang penanganan sampah kota yang cepat dan tepat berdasarkan pendekatan”waste to clean”. Menurut Kholil (2005) alternatif pertama absah secara teoritis dan terbukti berhasil
dalam menurunkan volume sampah, kebijakan ini bersifat incremental dan memerlukan waktu cukup lama (sekitar 20 – 30 tahun). Mengingat prosesnya yang lama, kebijakan ini menjadi kurang tepat untuk menangani sampah kota yang memerlukan penanganan yang cepat dan tepat. Alternatif kedua memerlukan dukungan petugas dan aparat hukum yang memadai, tetapi dalam pelaksanaannya kebijakan ini bisa menghadapi beberapa kendala teknis di lapangan antara lain kesulitan petugas dalam menentukan ambang batas pencemaran, dan memungkinkan terjadinya salah persepsi bagi petugas yang dapat merugikan masyarakat. Alternatif ketiga dan keempat merupakan perubahan struktural yang bersifat antisipatif ke depan dalam jangka panjang, sesuai dengan perkembangan kota dan tuntutan masyarakat. Oleh karena itu alternatif kebijakan ke tiga dan ke empat dapat menjadi pilihan yang terbaik bagi Pemerintah Kota Jakarta Selatan dalam rangka mereduksi volume sampah untuk
38 mengurangi ketergantungan tehadap TPA, untuk mendukung kebijakan ini perlu dilakukan revisi dan penyempurnaan terhadap Undang-Undang atau Perda tentang penanganan sampah kota. Menurut Gani (2007), penggunaan teknologi pirolisis pada proses pengolahan sampah organik padat dapat menghasilkan produk bermanfaat berupa arang dan asap cair, sedangkan teknologi dekomposer sangat efektif untuk menangani sampah organik lunak menghasilkan kompos berkualitas. Sebagian besar perlakuan pengomposan sudah menghasilkan kompos dalam waktu berkisar 20-30 hari, kecuali pada BO (control) berkisar 56-60 hari dan perlakuan BI (Biodekomposer Orgadec) berkisar 41-45 hari. Mutu kompos yang dihasilkan pada semua perlakuan pengomposan diatas, secara umum relative mendekati persyaratan SNI-19-7030-2004 untuk kompos dari sampah domestik (BSN, 2004). Biodekomposer yang dapat mempercepat proses pengomposan sampah organik menghasilkan kompos bermutu terbaik adalah FM-4, campuran Orgadec-EM-4-Arang-asap cair dan campuran OrgadecBiodek-Arang-Asap cair. Teknologi pirolisis dapat mengkonversikan sampah organik yang sukar dikomposkan menjadi arang dan asap cair. Arang hasil pirolisis pada suhu 505ºC bermutu terbaik dan asap cair yang dihasilkan pada proses tersebut menunjukkan kadar total fenol tertinggi. Metoda aktivasi arang sampah organik pasar menjadi arang aktif bermutu terbaik, terutama dalam hal daya serapnya terhadap iodin, ialah dengan cara aktivasi menggunakan uap H 2O pada suhu 800ºC selama 120 menit. Asap cair hasil pirolisis sampah organik pada suhu 505ºC menghasilkan rendemen 31,24%, kadar total fenol 223,95 mg/l dan pH 4,1. Fraksi methanol dan air dari asap cair tersebut berpotensi sebagai antifeedant, karena aktivitasnya melebihi 50% terhadap larva S. Litura dan nilai EL5o-nya sama-sama 0,71%. Penggunaan komarasca hasil konversi sampah organik berpengaruh sangat nyata baik terhadap pertambahan tinggi batang, jumlah daun, dan anakan maupun terhadap bobot biomassa tanaman daun dewa terutama ditunjukkan oleh perlakuan campuran tanah-abukompos yang diberi arang aktif hasil aktivasi dengan uap H2O pada suhu 800ºC selama 120 menit, dan fraksi methanol dari asap air. Agar proses pengomposan sampah dapat diterapkan di lingkungan permukiman, maka disarankan untuk dilakukan penelitian lanjutan tentang proses pengomposan yang mampu mendapatkan metoda minimisasi bau secara lebih optimal. Di samping itu juga perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengisolasi senyawa aktif anti feedant dari fraksi methanol hasil fraksinasi asap cair sampah organik guna mengetahui rumus strukturnya. Defra (2004) menyebutkan dalam rangka memperkirakan WTP untuk
39 mengurangi suara, bau dan debu serta sampah yang tertiup angin dari suatu landfill dengan hasil sebagai berikut :
WTP Marginal sebesar £0.12 sampai dengan £0.19 per hari dengan memperhitungkan jumlah hari ketika responden menderita karena debu dan sampah yang tertiup angin dari lokasi landfill
WTP Marginal sebesar £0.10 sampai dengan £0.15 per hari dengan memperhitungkan jumlah hari ketika responden bisa mencium bau yang berasal dari lokasi Landfill
Bising bukan suatu masalah yang signifikan Anwar (2007), melakukan percobaan untuk penelitian model sentra energi berbasis
biomassa, dimana dilakukan percobaan dengan bahan baku biomassa antara lain sampah kota yang difermentasi secara anaerobik dengan hasil antara lain sebagai berikut: 1.
Gas bio hasil fermentasi anaerobik biomassa campuran adalah jumlah dari hasil gas bio setiap komponen campuran sesuai dengan proporsi komponen dalam campuran. Model n
penduga menurut persamaan sebagai berikut: V = ∑ ki Vi dengan V adalah produksi gas i=1
bio biomassa campuran (l/kg.bk), ki adalah fraksi biomassa ke i dan Vi adalah produksi gas bio biomassa ke i (l/kg.bk). 2.
Kadar CH4 yang terdapat dalam gas bio hasil fermentasi anaerobik biomassa campuran adalah kumulatip dari kadar metana dalam gas bio komponen campuran secara proporsional dan dalam satuan massa kering biomassa campuran. Model penduga n menurut persamaan V = ∑ ki Vi Ki V, dengan K adalah kadar metana dalam gas bio i=1
biomassa campuran (%) dan Ki adalah kadar metana dalam gas bio biomassa ke i (%). 3.
Model sentra energi berbasis biomassa baik dari aspek penyediaan bahan baku, penguasaan teknologi, serta secara financial mempunyai kelayakan yang baik untuk dapat diwujudkan pada suatu kawasan dalam meningkatkan peranan energi biomassa pada penyediaan energi di kawasan tersebut.
4.
Model sentra energi berbasis biomassa dapat memberikan perlindungan lingkungan dalam bentuk proporsi reduksi sampah yang dihasilkan dari 28,54% sampai dengan 72,33% dari produksi sampah harian dari jenis yang dipergunakan oleh sentra energi.
5.
Model simulasi model pengembangan sentra energi biomassa dapat digunakan untuk memprediksi karakteristik operasional sentra energi berbasis biomassa.
40 6.
Dalam penerapan sentra energi berbasis biomassa dapat dimulai dari suatu kawasan yang tidak terlalu luas, misalnya kawasan setingkat kecamatan atau setingkat desa di pulau jawa
7.
Kajian secara financial selayaknya dilakukan dengan berbagai skenario sumber biomassa yang digunakan terutama biomassa yang berasal dari limbah peternakan, khususnya pada kawasan yang penggunaan limbah peternakannya pada tingkatan yang sangat intensif yang berkecenderungan harga limbah peternakan terlalu mahal dibandingkan dengan harga metana yang dihasilkan.
8.
Pemanfaatan sampah kota oleh sentra energi bersifat prioritas karena memiliki harga yang relatif rendah dan suatu kawasan yang memiliki potensi pengembangan ladang energi atau perkebunan energi sebaiknya menjadikannya sebagai prioritas.
9.
Kadar CH4 dari gas bio sampah rata-rata 54,54%, secara umum biomassa menghasilkan kadar CH4 dari gas bio diatas 50% yaitu antara 54,54% sampai 58,64%. Jangka waktu pembentukan gas bio berlangsung selama 40-50 hari. Masa pembentukan gas bio berlangsung selama 40-50 hari. Rata-rata 30% gas bio
terbentuk pada sepuluh hari pertama, sebesar 58% pada periode sepuluh hari kedua, dan sampai periode sepuluh hari ketiga mencapai 83,2%, serta pada akhir periode sepuluh hari keempat gas bio yang berbentuk mencapai 97,5%. Waktu produksi tersebut relatif tidak berbeda dengan waktu produksi yang menggunakan bahan limbah ternak. Pada sistem takkontinyu dengan bahan limbah ternak lebih dari 66% pembentukan gas bio terjadi waktu kurang dari 30 hari dengan suhu larutan 30ºC (Pandey, 1997). Laju pembentukan gas bio diantara bahan yang digunakan relatif tidak banyak berbeda. Laju rata-rata pembentukan gas bio tertinggi pada sepuluh hari pertama sebesar 3,00% perhari, kemudian pada periode sepuluh hari kedua 2,80% perhari, periode sepuluh hari ketiga sebesar 2,52% perhari dan pada periode sepuluh hari keempat sebesar 1,43% perhari, serta yang terendah pada periode sepuluh hari yang kelima sebesar 0,25% perhari. Pola dari laju pembentukan gas bio mendekati kurva linier pada periode tiga hari pertama, dan mempunyai pola eksponensial pada dua puluh hari terakhir. Gambaran ini menunjukkan ratarata 90% pembentukan gas bio dalam masa produksi 35 hari. Menurut Herawati et al., (2007) menyatakan daur ulang sampah adalah salah satu strategi pengelolaan sampah padat yang terdiri atas kegiatan pemilahan, pengumpulan, pemrosesan, pendistribusian dan pembuatan produk/material bekas pakai. Bahan-bahan atau material yang dapat di daur ulang antara lain, adalah sebagai berikut:
41 Botol bekas wadah kecap, saos, sirup, krim, kopi, selai/jam; baik yang putih bening maupun yang berwarna terutama gelas atau kaca yang tebal. Kertas, terutama kertas bekas di kantor, koran, majalah, kardus kecuali kertas yang berlapis (minyak atau plastik). Logam bekas wadah minuman ringan, bekas kemasan kue, rangka meja, besi rangka beton. Plastik bekas wadah sampo, air mineral, jaringan ember.