1
STRATEGI MEMBANGUN “DAYA SAING” DAERAH TERTINGGAL Penulis: Yeremias T. Keban 1
Pendahuluan Di era otonomi saat ini, setiap daerah, sebagai unit administrasi pemerintahan, berusaha mencari strategi yang tepat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Kabupatenkabupaten tertinggal, sebagaimana telah ditetapkan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, tentu sedang berjuang keras mencari inspirasi untuk menentukan strategi yang tepat mengatasi ketertinggalannya atau mengentaskan kemiskinan. Berbagai strategi nasional telah diformulasikan dalam bentuk program nasional, dan telah diimplementasikan untuk merobah status atau posisi yaitu dari Kabupaten “tertinggal” menjadi “tidak tertinggal”. Hasilnya ada yang sudah berpindah status ke “tidak tertinggal”, tetapi yang lain “tetap tertinggal”, atau malah ada Kabupaten yang dulunya berstatus “tidak tertinggal”, kini menjadi “tertinggal”. Mengapa? Salah satu jawabannya adalah karena daerah-daerah tertinggal tidak atau belum memiliki “daya saing” yang memadai. Bagaimana meningkatkan daya saing daerah merupakan pusat perhatian tulisan ini. Daerah Tertinggal Konsep Daerah Tertinggal telah dirumuskan dalam Kepmen PDT nomor 1 tahun 2005 tentang Strategi Nasional Pembangunan Daerah Tertinggal, dimana “Daerah tertinggal” “daerah tertinggal” didefinisikan sebagai daerah kabupaten yang masyarakat serta didefinisikan sebagai wilayahnya relatif kurang berkembang dibandingkan dengan daerah lain dalam skala nasional. Indikator daerah tertinggal meliputi pengembangan ekonomi lokal, daerah kabupaten pemberdayaan masyarakat, peningkatan kapasitas kelembagaan, pengurangan yang masyarakat serketerisolasian, dan penanganan karakteristik khusus daerah. Data terakhir menunjukkan bahwa dari 207 kabupaten tertinggal terdapat 141 kabupaten dengan ta wilayahnya relatif status tertinggal (sekitar 68 persen), sebanyak 33 kabupaten dengan status agak kurang berkembang tertinggal (sekitar 16 persen); dan 33 kabupaten dengan status sangat tertinggal dibandingkan dengan (sekitar 16 persen). Faktor yang diperkirakan menjadi penyebab ketertinggalan daerah adalah (1) daerah lain dalam belum adanya sifat profesionalisme dan kewirausahaan dari pelaku pengembang skala nasional. kawasan di daerah; (2) masih lemahnya koordinasi, sinergi dan kerjasama diantara pelaku-pelaku pengembang kawasan seperti pemerintah, swasta, lembaga non pemerintah, dan sebagainya; (3) keterbatasan jaringan prasarana dan sarana fisik serta ekonomi dalam mendukung pengembangan kawasan dan produk unggulan daerah; (4) belum optimalnya pemanfaatan kerjasama antar wilayah dan antar Negara untuk 1
Penulis adalah dosen tetap Jurusan Ilmu Administrasi Negara, Fisipol UGM Yogyakarta.
2 mendukung peningkatan daya saing kawasan dan produk unggulan, (5) ketidakseimbangan antara pasokan sumberdaya alam dan kebutuhan pembangunan; (6) arah dan kebijakan pembangunan yang cenderung “inward looking”; (7) adanya daerah dan pulau-pulau terpencil dan terisolasi, sehingga sulit dijangkau (PT. Citra Wahana Konsultan, 2008). Kerangka Pikir Salah satu strategi yang cukup jitu tetapi kurang diterapkan di daerah adalah menerapkan strategi peningkatan “daya saing”. Di dalam ilmu ekonomi bisnis, konsep daya saing ini menunjukkan posisi strategis dari suatu perusahaan bila dibandingkan dengan perusahaan lain yang memiliki pasaran (pelanggan atau pembeli) yang sama. Perusahaan sering saling bersaing memperebutkan pasaran dengan menggunakan kiat-kiat atau strategi tertentu. Agar memiliki daya saing tersebut, Michael Porter (1985) memberikan saran untuk memilih salah satu dari tiga strategi berikut yaitu strategi cost leadership, differentiation, dan focus (secara umum semuanya dikenal dengan nama competitive strategy). Strategi pertama lebih memusatkan perhatian untuk merebut pasaran dengan harga murah melalui pengurangan biaya produksi; strategi kedua memanfaatkan kekhasan model atau kualitas terbaik yang tidak terdapat pada perusahaan lain sehingga menarik pembeli atau pasaran; dan strategi ketiga memusatkan perhatian pada segmen pasar tertentu dengan menggunakan kombinasi dari strategi pertama dan kedua. Ide ini mendapatkan kritikan karena hanya menggunakan sisi supply-side (Dobson, Starkey dan Richards, 2004), namun menurut pendapat saya, perlu diakomodasikan untuk membantu mempercepat pembangunan daerah tertinggal di Indonesia. Porter berbicara dalam konteks bisnis dan lebih pada konteks mencari keuntungan bisnis, namun pemikiran Porter ini sangat menarik untuk dimanfaatkan mencari “keuntungan publik” yaitu dalam rangka memperbaiki kesejahteraan masyarakat di daerah. Pemikiran Porter ini diterjemahkan kedalam strategi menekan biaya, meningkatkan kualitas produk dan jasa, dan mempertahankan segmen pasar yang sudah ada. Dalam pemikiran ini, diasumsikan bahwa suatu Kabupaten tertinggal harus aktif dan proaktif, sementara Kabupaten lain bersifat pasif dan tidak diperhitungkan sebagai kekuatan yang menentukan daya saing tersebut. Karena itu, kerjasama antar daerah (Thompson & Perry, 2006; Agranoff, 1966) harus diperhitungkan sebagai alternatif kekuatan dalam membantu meningkatkan daya saing. Meski banyak menuai kritik, kerjasama antar daerah telah memberikan banyak manfaat bagi pemerintah daerah yang berkolaborasi seperti penekanan biaya, yang merupakan salah satu strategi yang diusulkan Porter. Strategi Menekan Biaya Indonesia memang diakui sebagai negara yang kaya sumberdaya alam. menekan biaya Banyak daerah yang kaya belum tersentuh, dan kalau sudah tersentuh belum produksi dan biaya semuanya dieksploitasi. Wilayah Timur Indonesia dan sebagian di wilayah Barat Indonesia belum dieksploitasi sumberdayanya. Di samping keterbatasan anggaran, hidup melalui Indonesia menghadapi hambatan fisik yang luar biasa besar karena terdiri dari program subsidi pasti ribuan pulau, dan banyak yang sulit dijangkau. Akibatnya banyak daerah menjadi tertinggal dan miskin. Harga bahan pokok melonjak tinggi karena biaya transport membantu banyak yang mahal. Akses ke sekolah, ke pusat pelayanan kesehatan dan kegiatan ekonomi (industri, perdagangan dan jasa) relatif sulit, seperti dialami daerah kabupaten untuk pegunungan dan pedalaman di Kalimantan Tengah, Papua, dan sebagian di keluar dari posisi Sulawesi dan Sumatera, dan daerah kepulauan di wilayah Maluku, Sulawesi Tenggara, NTT, dan Kepulauan Riau. Jangkauan ke pasar menjadi sulit, ketertinggalannya. sementara input berupa bahan produksi (raw materials) sulit diperoleh, dan kalau ada sangat mahal. Dalam posisi seperti ini, strategi yang tepat adalah meningkatkan aksesibilitas dan mengendalikan harga melalui regulasi, investasi jangka panjang, dan subsidi harga. Pembangunan sarana dan prasarana perhubungan jelas membantu mengurangi biaya produksi sekaligus biaya hidup. Tentu rugi dilihat dari kacamata bisnis, tetapi kalau dilihat dari segi prospek jangka panjang dan kohesi sosial politik, investasi untuk menekan biaya ini sangat tinggi nilainya. Yang jelas, menekan biaya produksi dan biaya hidup melalui program subsidi pasti membantu banyak kabupaten untuk keluar dari posisi ketertinggalannya.
3
Strategi Meningkatkan Kualitas Produk dan Jasa Harus diakui bahwa Indonesia memiliki banyak kekhasan produk daerah hasil seperti kelapa sawit, cengkeh, pala, jagung, kopi, juga hasil laut seperti ikan, udang,lobster, rumput laut, dsb., dan kerajinan daerah seperti kaint tenun, batik, dsb., termasuk di sektor pariwisata dan jasa pelayanan publik (pelayanan perijinan dan jaminan keamanan). Banyak hasil perkebunan, pertanian, perikanan, dan jasa pemerintah/publik, kalah kualitasnya bila dibandingkan dengan yang berasal Dengan memperbaiki dari negara lain, atau daerah lain. Karenanya permintaan menurun, dan usaha kualitas produk dan menjadi bangkrut. Hasil laut, misalnya, tidak laku dijual karena rendah jasa pelayanan publik kualitasnya lantaran tidak disimpan dalam peti es, atau karena mengandung logam berat sehingga tidak laku. Dalam konteks jasa seperti pelayanan termasuk jaminan perijinan seringkali makan waktu lama, berbelit-belit, tidak ada kepastian dan keamanan, maka mahal, membuat investor tidak tertarik untuk menanamkan modalnya di daerah. Strategi menerapkan teknologi yang lebih inovatif dan unggul tentu akan daya saing sangat membantu meningkatkan kualitas produk yang selanjutnya dapat kabupaten tertinggal merebut pasaran. Demikian pula strategi melakukan reformasi pelayanan publik akan mendorong investasi di kabupaten tertinggal. Dengan memperbaiki akan meningkat. kualitas produk dan jasa pelayanan publik termasuk jaminan keamanan, maka daya saing kabupaten tertinggal akan meningkat, menyamai kedudukan kabupaten yang tidak tertinggal.
4 Strategi Mempertahankan Segmen Pasar Yang Sudah Ada Kelanggengan dari hubungan produsen-konsumen sering tidak langgeng. Strategi fokus pada segmen pasar tertentu sebagaimana diungkapkan Porter, kurang diperhatikan. Kabupaten yang menjual komoditas tertentu ke daerah tertentu seringkali tidak berupaya memeliharanya sebagai pelanggan atau pembeli tetap. Karena itu, banyak produksi komoditas yang tidak langgeng. Tentu saja, dalam mempertahankan segmen pasar tersebut, suatu kabupaten dapat menerapkan kedua strategi sebelumnya. Misalnya, untuk mempertahankan pasar dengan daerah atau negara tertentu, Kabupaten tertinggal dapat menerapkan strategi differensiasi, atau juga menekan biaya. Hubungan pasar yang telah lama berlangsung, harus didasari atas hubungan kemitraan dan fair trade agar kedua belah pihak sama-sama mengambil manfaat dari hubungan ekonomi tersebut, dan bertekad memperpanjang hubungan yang saling menguntungkan tersebut. Strategi Kerjasama Antar Daerah Dalam kenyataan, ada kabupaten tertinggal yang secara fisik masih homogen dengan kabupaten lain baik yang tertinggal maupun tidak tertinggal, dalam arti memiliki iklim yang sama dan sumberdaya yang sama sehingga memproduksi komoditas yang sama. Dalam konteks ekonomi regional, daerah-daerah ini sebaiknya bekerjasama untuk melayani pasaran yang sama dan memberikan pelayanan publik tertentu agar sama-sama mendapatkan manfaat dari pada bersaing dan mengakibatkan kerugian di salah satu pihak. Misalnya di beberapa kabupaten tertinggal diadakan kerjasama memproduksi jagung, ikan, dan sebagainya, atau sama-sama menangani pelayanan yang sama di bawah satu atap. Kerjasama antar Pemerintah Daerah (Agranoff, 1996) adalah suatu bentuk pengaturan kerjasama yang dilakukan antar pemerintahan daerah Kerjasama antar Pemerintah dalam bidang-bidang yang disepakati untuk mencapai nilai efisiensi dan Daerah adalah suatu bentuk kualitas pelayanan yang lebih baik. Kerjasama (cooperation) antara pemerintah daerah telah lama dikenal dan dirasakan manfaatnya sebagai pengaturan kerjasama yang suatu sumber efisiensi dan kualitas pelayanan (Patterson, 2008; Rosen, dilakukan antar pemerintah1993). Kerjasama ini telah dikenal sebagai cara yang jitu untuk mengambil manfaat dari ekonomi skala (economies of scales). an daerah dalam bidangPembelanjaan atau pembelian bersama, misalnya, telah membuktikan bidang yang disepakati untuk keuntungan tersebut, dimana pembelian dalam skala besar atau melebihi mencapai nilai efisiensi dan “threshold points”, akan lebih menguntungkan dari pada dalam skala kecil. Dengan kerjasama tersebut biaya overhead (overhead cost) akan kualitas pelayanan yang teratasi meskipun dalam skala yang kecil. Sharing dalam investasi, lebih baik. misalnya, akan memberikan hasil akhir yang lebih memuaskan seperti dalam penyediaan fasilitas dan peralatan, serta pengangkatan spesialis dan administrator. Kerjasama juga dapat meningkatkan kualitas pelayanan, misalnya dalam pemberian atau pengadaan fasilitas, dimana masing-masing pihak tidak dapat membelinya sendiri. Dengan kerjasama, fasilitas pelayanan yang mahal harganya dapat dibeli dan dinikmati bersama, seperti pusat rekreasi, pendidikan orang dewasa, transportasi, dsb. Bentuk dan metode kerjasama antar Pemerintah Daerah meliputi (1) intergovernmental service contract; (2) joint service agreement, dan (3) intergovernmental service transfer (Henry, 1995). Jenis kerjasama yang pertama dilakukan bila suatu daerah membayar daerah yang lain untuk melaksanakan jenis pelayanan tertentu seperti penjara, pembuangan sampah, kontrol hewan atau ternak, penaksiran pajak. Jenis kerjasama yang kedua biasanya dilakukan untuk menjalankan fungsi perencanaan, anggaran dan pemberian pelayanan tertentu kepada masyarakat daerah yang terlibat, misalnya dalam pengaturan perpustakaan wilayah, komunikasi antar polisi dan pemadam kebakaran, kontrol kebakaran, pembuangan sampah. Dan jenis kerjasama ketiga merupakan transfer permanen suatu tanggung jawab dari satu daerah ke daerah lain seperti bidang pekerjaan umum, prasarana dan sarana, kesehatan dan kesejahteraan, pemerintahan dan keuangan publik. Penutup Daya saing daerah merupakan suatu strategi yang potensial untuk diterapkan di Kabupaten Tertinggal dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah. Strategi ini tidak dapat berdiri sendiri karena lebih bersifat supply-side. Sisi demand side kurang diperhatikan karenanya usulan untuk membangun “kerjasama antar daerah”
5 dapat membantu meningkatkan daya saing Kabupaten tertinggal. Suatu Kabupaten tertinggal dapat menggalang kerjasama dengan Kabupaten tertinggal atau yang tidak tertinggal untuk mengambil manfaat bersama membangun daerah dengan penghematan biaya bersama, sekaligus bersama mengambil pelajaran yang sangat berharga untuk meningkatkan kualitas produk daerah, dan kelanggengan hubungan dengan daerah lain berdasarkan prinsip saling menguntungkan. Daftar Bacaan 1. Agranoff.R. 1996. Managing Intergovernmental Porcesses. Dalam Handbook of Public Administration. Perry, J.L. Ed. San Fransisco: Jossey-Bass. Hal. 210 – 231. 2. Dobson Paul, Ken Starkey, John Richards. 2004. Strategic Management: Issues and Cases. Oxford: Blackwell Publishing. 3. Henry, N. 1995. Public Administration and Public Affairs. Sixth Edition. Englewood Cliffs, N.J. : Prentice –Hall. 4. Porter, Michael. 1985. Competitive Advantage: Creating and Sustaining Superior Performance. New York: Free Press/ 5. Patterson, D.A. 2008. Intergovernmental Cooperation. Albany, NY: New York State Department of State Division of Local Government Services. 6. Rosen, E.D. 1993. Improving Public Sector Productivity: Concept and Practice. London: Sage Publications, International Educational and Professional Publisher. 7. Thomson,A.M, and J.L.Perry. 2006. Collaboration Processes: Inside the Black Box. Public Administration Review; 66, Academic Research Library, pp. 20 - 32