KERJASAMA ANTAR PEMERINTAH DAERAH DALAM ERA OTONOMI: ISU STRATEGIS, BENTUK DAN PRINSIP Oleh Yeremias T. Keban 1 Abstrak Kerjasama antar pemerintah daerah merupakan suatu isu yang perlu diperhatikan pemerintah saat ini mengingat perannya dalam menentukan ketahanan negara, dan melihat begitu banyak masalah dan kebutuhan masyarakat di daerah yang harus diatasi atau dipenuhi dengan melewati batas-batas wilayah administratif. Untuk mensukseskan kerjasama ini diperlukan identifikasi isu-isu strategis, bentuk atau model kerjasama yang tepat, dan prinsip-prinsip yang menuntun keberhasilan kerjasama tersebut. Mengingat peran strategis yang dimainkan propinsi dalam sistem negara kesatuan ini, maka peningkatan peran dan kemampuan propinsi dalam mekanisme kerjasama ini, termasuk penyesuaian struktur dan fungsi kelembagaannya, harus menjadi agenda penting pemerintah di masa mendatang.
A. Latar Belakang Kenyataan menunjukan bahwa setelah diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999, otonomi daerah ternyata telah dipersepsikan dan disikapi secara variatif oleh beberapa Pemerintah Daerah di Indonesia. Misalnya mereka mempersepsikan otonomi sebagai momentum untuk memenuhi keinginan-keinginan daerahnya sendiri tanpa memperhatikan konteks yang lebih luas yaitu kepentingan negara secara keseluruhan dan kepentingan daerah lain yang berdekatan. Akibatnya, muncul beberapa gejala negatif yang meresahkan antara lain berkembangnya sentimen primordial, konflik antar daerah, berkembangnya proses KKN, konflik antar penduduk, eksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan, dan munculnya sikap “ego daerah” yang berlebihan. Kabupaten atau kota cenderung memproteksi seluruh potensinya secara ketat demi kepentingannya sendiri, dan menutup diri terhadap kabupaten atau kota lain. Dampak negatif kegiatan ekonomi di suatu daerah pada daerah lain, seperti externalities, juga tidak dihiraukan lagi. Bahkan sentimen daerah mulai timbul dengan adanya kecenderungan umum mengangkat “putera daerah” menjadi pegawai negeri sipil daerah. Munculnya gejala-gejala negatif tersebut diatas patut mendapatkan perhatian serius karena cepat atau lambat akan mempengaruhi disintegrasi bangsa. Melihat letak dan kondisi geografis Indonesia serta perbedaan kondisi sosial budaya, ekonomi, dan politik seperti sekarang ini maka hubungan antara pemerintahan daerah yang satu dengan pemerintah daerah yang lain patut mendapatkan perhatian serius. Bagaimanapun hubungan antara mereka merupakan perekat sosial yang menentukan ketahanan nasional. Hubungan antara satu kabupaten dengan kabupaten lain, antara kabupaten dengan kota, antara kota yang satu dengan kota yang lain, atau juga antara kabupaten/kota dengan propinsi harus selalu dimonitor dan dievaluasi. Dengan kata lain, tingkat kohesi antara mereka harus selalu diperhatikan. 1
Penulis adalah Dosen tetap Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fisipol UGM, dosen pada MAP, MPKD dan MEP UGM di Yogyakarta, dan konsultan capacity building for local government, human resource management, dan poverty alleviation pada beberapa Program Pemerintah sejak 1999.
Mandat untuk membina hubungan ini telah diungkapkan dalam Nomor 22 Tahun 1999 sejak 1 Januari 2000 yang kemudian direvisi melalui UU Nomor 32 Tahun 2004. Hal ini menunjukan bahwa Pemerintah RI memang telah menyadari arti pentingnya kerjasama ini. Namun sangat disayangkan bahwa sampai saat ini kebijakan tersebut belum ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksanaan yang bersifat teknis. Dan sebagai akibatnya berbagai kebijakan lama di Departemen Dalam Negeri yang mengatur tentang kerjasama antar daerah masih digunakan seperti: 1. Permendagri No 6 Tahun 1975 tentang Kerjasama antar Daerah. 2. Kepmendagri Nomor 275 Tahun 1982 tentang Pedoman Kerjasama Pembangunan antar Daerah. 3. SE-MENDAGRI No 114/4538/PUOD tanggal 4 Desember 1993 tentang Petunjuk Pelaksana Mengenai Kerjasama antar Daerah. 4. SE-MENDAGRI No 193/1652/PUOD tanggal 26 April 1993 tentang Tata Cara Pembentukan Hubungan Kerjasama antar Propinsi (Sister Province) dan antar kota (Sister City) dalam dan Luar Negeri. Harus diakui bahwa kebijakan-kebijakan yang telah berumur lebih dari satu dekade ini kurang mengakomodasikan situasi dan kondisi saat ini, sehingga di masa mendatang harus segera diformulasikan kebijakan-kebijakan baru yang lebih sesuai. Karena begitu pentingnya kerjasama tersebut, maka setelah diberlakukan Undangundang Nomor 32 tahun 2004 ini, berbagai peraturan pemerintah dan peraturan pelaksanaan lainnya harus segera dibentuk. Tulisan ini ingin mengartikulasikan kembali akan pentingnya kerjasama antar pemerintah daerah atau intergovernmental cooperation, dan memberikan nuansa akademik yang menyangkut isu-isu strategis, prinsip-prinsip dan agenda pelaksanaan cooperative arrangements antara pemerintah daerah, yang dapat digunakan sebagai input bagi penyusunan peraturan pelaksanaan kerjasama tersebut di masa mendatang. B. Mengapa Diperlukan Kerjasama Dalam kenyataan, kita mengenal batas wilayah administratif (sesuai peraturan perundangan), dan batas wilayah fungsional (sesuai hubungan sosial ekonomi lintas batas administratif). Setiap daerah memiliki batas wilayah administratif yang ditentukan secara formal melalui peraturan perundangan, akan tetapi dalam kenyataan berbagai masalah dan kepentingan sering muncul sebagai akibat dari hubungan fungsional di bidang sosial ekonomi yang melewati batas-batas wilayah administratif tersebut. Dalam konteks ini, alasan utama diperlukan kerjasama antara pemerintah daerah adalah agar berbagai masalah lintas wilayah administratif dapat diselesaikan bersama dan sebaliknya agar banyak potensi yang mereka miliki dapat dimanfaatkan untuk kepentingan bersama. Konsekuensinya adalah harus dilakukan pembenahan microorganizationnal abilities of governments di tingkat daerah – suatu bentuk reformasi manajemen publik yang harus diperhatikan pemerintah saat ini, dan tidak semata membenahi macroorganizational capacities di tingkat pusat (lihat Pollit & Bouckaert, 2000: 10). Dengan kata lain, pembenahan kemampuan institusi pemerintahanan di bawah pusat sangat diperlukan. Alasan lain dilakukannya kerja sama antar pemerintah daerah adalah sebagai berikut:
1. Pihak-pihak yang bekerjasama dapat membentuk kekuatan yang lebih besar. Dengan kerjasama antar pemerintah daerah, kekuatan dari masing-masing daerah yang bekerjasama dapat disinergikan untuk menghadapi ancaman lingkungan atau permasalahan yang rumit sifatnya daripada kalau ditangani sendiri-sendiri. Mereka bisa bekerjasama untuk mengatasi hambatan lingkungan atau mencapai tingkat produktivitas yang lebih tinggi. 2. Pihak-pihak yang bekerjasama dapat mencapai kemajuan yang lebih tinggi. Dengan kerjasama, masing-masing daerah akan mentransfer kepandaian, ketrampilan, dan informasi, misalnya daerah yang satu belajar kelebihan atau kepandaian dari daerah lain. Setiap daerah akan berusaha memajukan atau mengembangkan dirinya dari hasil belajar bersama. 3. Pihak-pihak yang bekerjasama dapat lebih berdaya. Dengan kerjasama, masing-masing daerah yang terlibat lebih memiliki posisi tawar yang lebih baik, atau lebih mampu memperjuangkan kepentingannya kepada struktur pemerintahan yang lebih tinggi. Bila suatu daerah secara sendiri memperjuangkan kepentingannya, ia mungkin kurang diperhatikan, tetapi bila ia masuk menjadi anggota suatu forum kerjasama daerah, maka suaranya akan lebih diperhatikan. 4. Pihak-pihak yang bekerjasama dapat memperkecil atau mencegah konflik. Dengan kerjasama, daerah-daerah yang semula bersaing ketat atau sudah terlibat konflik, dapat bersikap lebih toleran dan berusaha mengambil manfaat atau belajar dari konflik tersebut. 5. Masing-masing pihak lebih merasakan keadilan. Masing-masing daerah akan merasa dirinya tidak dirugikan karena ada transparansi dalam melakukan hubungan kerjasama. Masing-masing daerah yang terlibat kerjasama memiliki akses yang sama terhadap informasi yang dibuat atau digunakan. 6. Masing-masing pihak yang bekerjasama akan memelihara keberlanjutan penanganan bidang-bidang yang dikerjasamakan. Dengan kerjasama tersebut masing-masing daerah memiliki komitmen untuk tidak mengkhianati partnernya tetapi memelihara hubungan yang saling menguntungkan secara berkelanjutan. 7. Kerjasama ini dapat menghilangkan ego daerah. Melalui kerjasama tersebut, kecendrungan “ego daerah” dapat dihindari, dan visi tentang kebersamaan sebagai suatu bangsa dan negara dapat tumbuh. Di masa mendatang, karena kerjasama antar pemerintah daerah harus dilihat sebagai suatu kebutuhan penting yang tidak terelakkan maka harus ada upaya yang sistimatis dan berkesinambungan dari pihak pemerintah untuk memperkenalkan, mendorong dan menginstitusionalisasikan kerjasama antara daerah agar pemerintah daerah terbiasa melakukannya dan dapat mengambil manfaatnya. C. Beberapa Isu-isu Strategis Dalam kaitan dengan kerjasama tersebut terdapat tiga isu strategis yang harus diidentifikasikan untuk kemudian dipelajari dan dibenahi, yaitu (1) membenahi peran dan kemampuan Propinsi dalam menyelenggarakan fungsi kerjasama antar daerah atau “local government cooperation”, (2) menentukan bidang-bidang yang dapat atau patut dikerjasamakan, dan (3) memilih model-model kerjasama yang sesuai dengan hakekat bidang-bidang tersebut. Isu-isu ini dianggap strategis karena posisinya sangat menentukan keberhasilan kerjasama antar pemerintah daerah di masa mendatang.
1. Peran dan Kemampuan Propinsi Secara formal Propinsi diberi peran yang cukup berarti dalam menyelenggarakan kerjasama tersebut. Kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom telah diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, yang mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten/Kota serta kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya. Kewenangan ini meliputi bidang pertanian, kelautan, pertambangan dan energi, kehutanan dan perkebunan, perindustrian dan perdagangan, perkoperasian, penanaman modal, ketenagakerjaan, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, sosial, penataan ruang, permukiman, pekerjaan umum, perhubungan, lingkungan hidup, politik dalam negeri dan administrasi publik, pengembangan otonomi daerah, perimbangan keuangan, dan bidang hukum dan perundang-undangan (lihat Pasal 3). Di dalam menjalankan kewenangan ini, Propinsi tidak hanya memainkan peran sebagai pelaksana dan pengatur bidang tersebut secara langsung dan lintas Kabupaten/Kota, tetapi juga menyediakan dukungan/bantuan kerjasama antar Kabupaten/Kota dalam bidang tertentu seperti pengembangan prasarana dan sarana wilayah, penanaman modal, industri dan perdagangan, pertanian, dan sebagainya. Dengan demikian secara formal, kerjasama antar Kabupaten/Kota harus diatur atau difasilitasi oleh Propinsi. Di dalam Peraturan Pemerintah yang sama juga dikatakan bahwa Kabupaten/Kota yang tidak atau belum mampu melaksanakan salah satu atau beberapa kewenangan dapat melaksanakan kewenangan tersebut melalui kerjasama antar Kabupaten/Kota, kerjasama antara Kabupaten/Kota dengan Propinsi, atau menyerahkan kewenangan tersebut kepada Propinsi. Dan pelaksanaan kewenangan melalui kerjasama atau penyerahan suatu kewenangan kepada Propinsi harus didasarkan pada Keputusan Kepala Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (lihat PP Nomor 25 Tahun 2000, Pasal 4, butir a dan b). Akan tetapi, ketentuan tentang peran Propinsi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 seringkali dikritik karena penyerahan kewenangan kepada Propinsi ini tidak mempertimbangkan tingkat kemampuan Propinsi, yang menurut kenyataannya bervariasi baik antara Jawa dan luar Jawa maupun antara Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia. Hal ini dapat menimbulkan masalah serius karena, secara teoritis suatu penyerahan kewenangan kepada suatu pihak yang tidak mempertimbangkan kemampuan dari pihak yang bersangkutan, maka penyerahan tersebut akan menjadi sumber masalah di kemudian hari (lihat Keban, 2004: 115). Didalam kenyataan, tingkat kemampuan Propinsi untuk menyediakan dukungan kerjasama di bidang pertanian, industri dan perdagangan, penanaman modal, pengembangan prasarana dan sarana wilayah, pengaturan kesepakatan tentang penataan tata ruang, dan penyelesaian perselisihan antar Kabupaten/Kota, juga belum diketahui. Karena itu, efektivitas implementasi dari Peraturan Pemerintah ini dapat dikatakan masih diragukan. 2. Bidang-bidang yang dikerjasamakan Identifikasi dan perencanaan mengenai bidang-bidang yang dikerjasamakan jarang dilakukan, kecuali ada masalah gawat yang menuntut penanganan segera. Harus diakui selama ini bahwa kerjasama antar daerah (kabupaten-kota, kota-kota, kabupaten-kabupaten, kabupaten/kota- propinsi) belum dirasakan sebagai suatu
kebutuhan sehingga tidak diperhitungkan dalam proses perencanaan. Padahal berbagai permasalahan atau keputusan internal suatu Kota/Kabupaten atau Propinsi sering berkaitan dengan permasalahan atau keputusan di luar batas wilayahnya. Demikian juga, ada banyak permasalahan pada suatu lokasi atau daerah yang muncul ke permukaan karena adanya kebijakan yang berasal dari daerah yang lain, seperti sampah, kriminalitas, kependudukan, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Suatu kebijakan publik yang dibuat oleh suatu Kota atau Kabupaten sering kurang memperhitungkan dampaknya bagi Kota atau Kabupaten lain. Kerjasama antar Pemda merupakan salah satu dari pilihan-pilihan yang dihadapi Pemerintah Daerah. Tidak semua masalah dan pelayanan di daerah harus diselesaikan melalui Kerjasama antar Pemda. Hanya masalah dan pelayanan tertentu yang dipecahkan atau diselesaikan melalui kerjasama tersebut. Untuk itu, dibutuhkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Cara yang efektif untuk menentukan kebutuhan tersebut adalah dengan mempelajari hakekat permasalahan yang dihadapi atau kebutuhan yang dirasakan dengan menggunakan prinsip “demand driven”, yaitu (1) apakah suatu masalah tersebut timbul dari luar wilayah administratif Pemerintah Daerah dan telah memberikan dampak yang serius ke dalam wilayah administratif Pemerintah Daerah yang bersangkutan, atau (2) apakah suatu masalah timbul dari dalam suatu wilayah administratif Pemerintah Daerah dan telah memberikan dampak yang serius keluar wilayah administratif Pemerintah Daerah yang lain. Cara untuk mengetahui dampak tersebut adalah dengan melakukan survey, kunjungan lapangan secara langsung, mendengar berbagai keluhan warga yang terkena dampak, melakukan focus group discussion dan penilaian terhadap keseriusan dampak tersebut. Untuk meningkatkan sensitivitas dalam melihat berbagai permasalahan tersebut, diperlukan dua perspektif penting yang melihat suatu Pemerintah Daerah baik dalam konteks administratif maupun fungsional. Mengamati permasalahan yang dihadapi dalam batas wilayah administratif adalah mengidentifikasi berbagai permasalahan didalam wilayah Pemerintah Daerah yang mungkin membawa dampak keluar batas wilayah Pemerintah Daerah. Sementara itu, mengamati permasalahan yang dihadapi dalam batas wilayah fungsional adalah mengidentifikasi berbagai permasalahan lintas wilayah administratif. Permasalahan-permasalahan yang diidentifikasi tersebut harus diaggregasikan dan diartikulasikan untuk mendapatkan perhatian publik, DPRD, dan eksekutif. 3. Model Kerjasama Selama ini, model-model kerjasama yang dapat dipilih sesuai dengan hakekat bidang-bidang yang dikerjasamakan, nampaknya belum diidentifikasikan secara luas. Belum teridentifikasikannya model yang handal tersebut telah mempersulit pelaksanaan atau perwujudan kerjasama antar daerah sebagaimana dituntut oleh PP Nomor 25 Tahun 2000. Karena itu, perlu diinisiasi suatu model mengenai kerjasama antar daerah dan sektor, yang kemudian dapat dijadikan contoh. Pembahasan tentang model-model kerjasama nampaknya cukup luas karena menyangkut banyak bentuk kerjasama sehingga disajikan secara tersendiri dalam sub bahasan berikut. D. Bentuk-Bentuk Kerjasama Secara teoritis, istilah kerjasama (cooperation) telah lama dikenal dan dikonsepsikan sebagai suatu sumber efisiensi dan kualitas pelayanan (lihat Rosen,
1993). Kerjasama telah dikenal sebagai cara yang jitu untuk mengambil manfaat dari ekonomi skala (economies of scales). Pembelanjaan atau pembelian bersama, misalnya, telah membuktikan keuntungan tersebut, dimana pembelian dalam skala besar atau melebihi “threshold points”, akan lebih menguntungkan dari pada dalam skala kecil. Dengan kerjasama tersebut biaya overhead (overhead cost) akan teratasi meskipun dalam skala yang kecil. Sharing dalam investasi, misalnya, akan memberikan hasil akhir yang lebih memuaskan seperti dalam penyediaan fasilitas dan peralatan, serta pengangkatan spesialis dan administrator. Kerjasama juga dapat meningkatkan kualitas pelayanan, misalnya dalam pemberian atau pengadaan fasilitas, dimana masing-masing pihak tidak dapat membelinya sendiri. Dengan kerjasama, fasilitas pelayanan yang mahal harganya dapat dibeli dan dinikmati bersama, seperti pusat rekreasi, pendidikan orang dewasa, transportasi, dsb. Kerjasama antar Pemerintah Daerah adalah suatu bentuk pengaturan kerjasama yang dilakukan antar pemerintahan daerah dalam bidang-bidang yang disepakati untuk mencapai nilai efisiensi dan kualitas pelayanan yang lebih baik. Secara historis, mekanisme kerjasama antar pemerintah lokal telah menjadi isu penting di negara maju (lihat Henry, 1995) dimulai dari bidang yang sangat terbatas seperti kepolisian dan pemadam kebakaran dimana antara satu kota dengan kota lain telah dilakukan perjanjian kerjasama saling bantu membantu menghadapi krisis seperti kebakaran dan bencana lainnya. Dalam perkembangan lanjutan, mekanisme kerjasama ini tidak hanya diterapkan pada situasi “emergency” saja tetapi juga pada pengaturan kerjasama untuk membeli jenis-jenis pelayanan tertentu dari perusahaan swasta atau dari pemerintah lain, ataupun dari NGOs. Khusus “cooperative agreements” yang dilakukan antar Pemerintah Daerah semula lebih ditujukan pada (1) kegiatan tunggal, (2) berkenaan dengan pelayanan ketimbang fasilitas, (3) tidak bersifat permanen, (4) sebagai “stand-by provision” yang baru dilaksanakan bila kondisi tertentu terjadi, dan (5) diperkenankan / diijinkan oleh badan legislatif. Bentuk dan metode kerjasama antar Pemerintah Daerah meliputi (1) intergovernmental service contract; (2) joint service agreement, dan (3) intergovernmental service transfer (lihat Henry, 1995). Jenis kerjasama yang pertama dilakukan bila suatu daerah membayar daerah yang lain untuk melaksanakan jenis pelayanan tertentu seperti penjara, pembuangan sampah, kontrol hewan atau ternak, penaksiran pajak. Jenis kerjasama yang kedua diatas biasanya dilakukan untuk menjalankan fungsi perencanaan, anggaran dan pemberian pelayanan tertentu kepada masyarakat daerah yang terlibat, misalnya dalam pengaturan perpustakaan wilayah, komunikasi antar polisi dan pemadam kebakaran, kontrol kebakaran, pembuangan sampah. Dan jenisk kerjasama ketiga merupakan transfer permanen suatu tanggung jawab dari satu dearah ke daerah lain seperti bidang pekerjaan umum, prasarana dan sarana, kesehatan dan kesejahteraan, pemerintahan dan keuangan publik. Sementara itu, ada juga pendapat lain yang menyatakan bahwa suatu kerjasama antar Pemerintah Daerah, dapat dilakukan dalam beberapa bentuk yaitu bentuk perjanjian dan bentuk pengaturan (lihat Rosen, 1993). Bentuk-bentuk perjanjian (forms of agreement) dibedakan atas a. Handshake Agreements, yaitu pengaturan kerja yang tidak didasarkan atas perjanjian tertulis b. Written Agreements, yaitu pengaturan kerjasama yang didasarkan atas perjanjian tertulis.
Bentuk “handshake agreements” merupakan bentuk yang banyak menimbulkan konflik dan kesalahpahaman (misunderstanding), sementara bentuk yang tertulis dibutuhkan untuk melakukan program kontrak, kepemilikan bersama, atau usaha membangun unit pelayanan bersama. Hal-hal yang harus diucapkan dalam perjanjian tertulis ini meliputi kondisi untuk melakukan kerjasama dan penarikan diri, sharing biaya, lokasi, pemeliharaan, skedul, operasi dan aturan kepemilikan sumberdaya bersama, kondisi sewa, dan cara pemecahan konflik. Pengaturan Kerjasama (Forms of Cooperation Arrangements) terdiri atas beberapa bentuk (lihat Rosen, 1993: 218 - 222) yaitu: a. Consortia: yaitu pengaturan kerjasama dalam sharing sumberdaya, karena lebih mahal bila ditanggung sendiri-sendiri; misalnya pendirian perpustakaan dimana sumberdaya seperti buku-buku, dan pelayanan lainnya, dapat digunakan bersama-sama oleh mahasiswa, pelajar dan masyarakat publik, dari pada masing-masing pihak mendirikan sendiri karena lebih mahal. b. Joint Purchasing: yaitu pengaturan kerjasama dalam melakukan pembelian barang agar dapat menekan biaya karena skala pembelian lebih besar. c. Equipment Sharing: yaitu pengaturan kerjasama dalam sharing peralatan yang mahal, atau yang tidak setiap hari digunakan. d. Cooperative Construction: yaitu pengaturan kerjasama dalam mendirikan bangunan, seperti pusat rekreasi, gedung perpustakaan, lokasi parkir, gedung pertunjukan, dsb. e. Joint Services: yaitu pengaturan kerjasama dalam memberikan pelayanan publik, seperti pusat pelayanan satu atap yang dimiliki bersama, dimana setiap pihak mengirim aparatnya untuk bekerja dalam pusat pelayanan tersebut. f. Contract Services: yaitu pengaturan kerjasama dimana pihak yang satu mengontrak pihak yang lain untuk memberikan pelayanan tertentu, misalnya pelayanan air minum, persampahan, dsb. Jenis pengaturan ini lebih mudah dibuat dan dihentikan, atau ditransfer ke pihak yang lain g. Pengaturan lainnya: pengaturan kerjasama lain dapat dilakukan selama dapat menekan biaya, misalnya membuat pusat pendidikan dan pelatihan (DIKLAT), fasilitas pergudangan, dsb. Meskipun demikian, pengalaman menunjukan bahwa bentuk dan metode kejasama diatas seringkali mengalami masalah dalam pelaksanaannya (Rosen, 1993: 223). Karena berkaitan dengan keterlibatan masing-masing daerah yang memiliki jurisdiksi yang berbeda, maka terjadi kesulitan dalam pengaturan jadwal penggunaan sumberdaya yang disepakati dan pembebanan biaya untuk kerjasama, yang pada gilirannya sering memunculkan friksi atau konflik. Hal tersebut sering terjadi karena ada daerah merasa adanya pembebanan lebih (overcharge) terhadap dirinya, sementara yang lainnya merasa kurang mendapat pelayanan yang seharusnya ia terima. Masyarakat juga merasa terbebani bila lokasi pelayanan tersentralistis (gabungan) karena harus mengeluarkan biaya transport yang relatif lebih besar dibandingkan dengan ketika memiliki pelayanan sendiri. Disamping kesulitan transport sering diungkapkan masyarakat yang membutuhkan pelayanan, juga masyarakat merasa terasing bila dilayani oleh pihak-pihak baru. Pembelian secara terpusat melalui suatu kerjasama (joint purchasing) juga tidak luput dari kritikan. Standardisasi barang yang dibeli sering menjadi masalah, karena ada daerah yang merasa barang yang dibeli telah sesuai dengan standard
keinginannya, sementara yang lain belum. Seringkali, terdapat kesulitan dalam memenuhi harapan dari pihak-pihak yang bekerjasama (Rosen, 1993). Di negara sedang berkembang, kerjasama antar Pemerintah Daerah sering nampak dalam kegiatan perencanaan pembangunan, seperti “Integrated Area Planning” (IAP). Bentuk ini merupakan terobosan untuk mengisi kekosongan atau kompleksitas dari masalah-masalah yang dihadapi karena tidak dapat ditangani dengan perencanaan pembangunan berdasarkan batas-batas wilayah administratif. Memang harus diakui bahwa selama ini kerjasama antar daerah belum nampak sebagai suatu kebutuhan. Padahal, berbagai permasalahan atau keputusan internal suatu Kabupaten atau Kota ataupun juga Propinsi sering berkaitan dengan permasalahan atau keputusan di luar batas wilayahnya. Pengalaman menunjukan bahwa banyak permasalahan pada suatu Kabupaten atau Kota atau juga Propinsi justru muncul ke permukaan karena adanya kebijakan yang berasal dari daerah lain seperti sampah, kriminalitas, kependudukan, pendidikan, kesehatan, dsb. Pendek kata, suatu perencanaan atau kebijakan yang dibuat oleh suatu Kabupaten atau Kota, atau juga Propinsi, sering kurang memperhitungkan dampaknya bagi Kabupaten atau Kota, ataupun Propinsi lain. Dalam kondisi seperti ini, fungsi perencanaan yang bersifat integratif dan koordinasi horisontal merupakan kunci utama. Munculnya model “integrated area planning” ini diharapkan dapat mengurangi berbagai konflik antar wilayah administratif, yaitu dengan mengefektifkan pembangunan sektor-sektor tertentu dan institusi yang berhubungan dengan sektor tersebut dalam suatu area (dengan mengesampingkan batas-batas wilayah administratifnya). Model ini muncul sebagai reaksi terhadap kekurangan-kekurangan perencanaan sektoral khususnya koordinasi antar sektor, dan juga terhadap pemenuhan kebutuhan bagi area geografis khusus (yang mungkin tidak sesuai dengan batas-batas wilayah administratif yang ada) seperti daerah aliran sungai (DAS) dan pembangunan perdesaan yang kemudian dikenal dengan “integrated rural development”. Meskipun model ini cukup diandalkan pada masa lalu, tetapi terdapat hambatan penting yang perlu diperhatikan. Hambatan tersebut menyangkut masalah struktur (organisasi) yang menangani “intergrated area development”. Struktur yang ada adalah struktur yang formal yang dibentuk sesuai unit-unit politik dan administratif yang ada, seperti dinas-dinas dan lembaga-lembaga teknis masingmasing Kabupaten / Kota atau Propinsi. Struktur formal ini tidak dirancang untuk menangani hal tersebut, akibatnya model ini kurang mendapat dukungan otoritas formal, yang berarti sulit diimplementasikan dan sulit berhasil. Jalan keluar yang pernah ditawarkan adalah (1) membentuk suatu struktur yang merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah pusat yang ditempatkan di area yang bersangkutan, atau juga dibuat oleh pemerintah lokal atau perusahaan swasta yang diberi status khusus; (2) membentuk tim konsultan perencanaan dari luar area, untuk mempersiapkan perencanaannya; dan (3) melakukan reformasi struktur organisasi yang ada dan memperbaiki kemampuan para staff yang ada untuk mempersiapkan dan mengimplementasikan rencana dan memperkuat hubungan horisontal antar sektor serta memperemah hubungan vertikal. E. Prinsip-Prinsip Kerjasama
Agar berhasil melaksanakan kerjasama tersebut dibutuhkan prinsip-prinsip umum sebagaimana terdapat dalam prinsip “good governance” (lihat Edralin, 1997). Beberapa prinsip diantara prinsip good governance yang ada dapat dijadikan pedoman dalam melakukan kerjasama antar Pemda yaitu: 1. Transparansi. Pemerintahan Daerah yang telah bersepakat untuk melakukan kerjasama harus transparan dalam memberikan berbagai data dan informasi yang dibutuhkan dalam rangka kerjasama tersebut, tanpa ditutup-tutup. 2. Akuntabilitas. Pemerintah Daerah yang telah bersepakat untuk melakukan kerjasama harus bersedia untuk mempertanggungjawabkan, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang terkait dengan kegiatan kerjasama, termasuk kepada DPRD sebagai wakil rakyat, atau kepada para pengguna pelayanan publik. 3.
Partisipatif. Dalam lingkup kerjasama antar Pemerintah Daerah, prinsip partisipasi harus digunakan dalam bentuk konsultasi, dialog, dan negosiasi dalam menentukan tujuan yang harus dicapai, cara mencapainya dan mengukur kinerjanya, termasuk cara membagi kompensasi dan risiko.
4. Efisiensi. Dalam melaksanakan kerjasama antar Pemerintah Daerah ini harus dipertimbangkan nilai efisiensi yaitu bagaimana menekan biaya untuk memperoleh suatu hasil tertentu, atau bagaimana menggunakan biaya yang sama tetapi dapat mencapai hasil yang lebih tinggi. 5. Efektivitas. Dalam melaksanakan kerjasama antar Pemerintah Daerah ini harus dipertimbangkan nilai efektivitas yaitu selalu mengukur keberhasilan dengan membandingkan target atau tujuan yang telah ditetapkan dalam kerjasama dengan hasil yang nyata diperoleh. 6. Konsensus. Dalam melaksanakan kerjasama tersebut harus dicari titik temu agar masing-masing pihak yang terlibat dalam kerjasama tersebut dapat menyetujui suatu keputusan. Atau dengan kata lain, keputusan yang sepihak tidak dapat diterima dalam kerjasama tersebut. 7. Saling menguntungkan dan memajukan. Dalam kerjasama antar Pemerintah Daerah harus dipegang teguh prinsip saling menguntungkan dan saling menghargai. Prinsip ini harus menjadi pegangan dalam setiap keputusan dan mekanisme kerjasama. Selain enam prinsip umum di atas, beberapa prinsip khusus yang dapat digunakan sebagai acuan dalam kerjasama antar Pemerintah Daerah yaitu: 1. Kerjasama tersebut harus dibangun untuk kepentingan umum dan kepentingan yang lebih luas 2. Keterikatan yang dijalin dalam kerjasama tersebut harus didasarkan atas saling membutuhkan 3. Keberadaan kerjasama tersebut harus saling memperkuat pihak-pihak yang terlibat 4. Harus ada keterikatan masing-masing pihak terhadap perjanjian yang telah disepakati 5. Harus tertib dalam pelaksanaan kerjasama sebagaimana telah diputuskan 6. Kerjasama tidak boleh bersifat politis dan bernuansa KKN
7. Kerjasama harus dibangun diatas rasa saling percaya, saling menghargai, saling memahami dan manfaat yang dapat diambil kedua belah pihak. Apabila dalam kerjasama tersebut terjadi konflik atau friksi antar Pemerintah Daerah, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan interactionist, dan bukan pendekatan tradisional (Robbins, 1990). Pendekatan tradisional selalu mengasumsikan bahwa konflik adalah buruk, dan memberikan dampak yang negatif. Karena itu, menurut pendekatan tersebut, konflik harus dihindari karena dapat mengarah kepada kejahatan, tindakan destruktif dan irasional. Akan tetapi dalam pendekatan interactionist, konflik dilihat sebagai suatu stimulus untuk melakukan perubahan. Konflik harus dilihat akarnya, dan dari akar tersebut dapat dilakukan berbagai perbaikan dan pembaharuan. Konflik harus dilihat sebagai indikator untuk menginisiasi perubahan. Untuk mengatasi berbagai masalah yang muncul dalam konflik tersebut, diperlukan kemampuan yang memadai untuk bertindak sebagai negosiator, fasilitator, mediator dan komunikator (lihat Mayer, 2000), di pihak pemerintah daerah khususnya pemerintah propinsi. F. Penutup: Agenda Kegiatan Hal terakhir yang perlu diperhatikan untuk menopang efektivitas dan keberlanjutan kerjasama antar daerah Kabupaten/Kota adalah membentuk basis kerjasama yang kuat. Hal ini sesuai dengan paradigma membangun hubungan antar organisasi dalam bentuk network and strategic alliances (lihat Limerick & Cunnington, 1993). Memang sudah saatnya, sesuai paradigma tersebut, setiap organisasi atau institusi pemerintah mengembangkan hubungan luar yang kuat dengan organisasi lain agar mampu memberikan yang terbaik kepada masyarakat. Dalam konteks memperkuat basis kerjasama antar pemerintah daerah ini, ada beberapa agenda praktis yang dapat dilakukan pemerintah di masa mendatang. Pertama, mengidentifikasi kebutuhan akan bidang-bidang kerjasama atau kemitraan antar Kabupaten/Kota dalam propinsi. Untuk itu perlu dilakukan beberapa kegiatan utama sebagai berikut: 1. Mencari data dan informasi yang berkaitan dengan masalah-masalah kerjasama atau kemitraan antar daerah. 2. Membahas secara mendalam masalah-masalah tersebut dalam suatu dialog terbuka untuk memperoleh gambaran tentang untung-ruginya memecahkan masalah tersebut melalui kerjasama atau kemitraan antar Kabupaten/Kota. 3. Menetapkan atau memutuskan masalah yang harus ditangani melalui kerjasama atau kemitraan antar Kabupaten/Kota. Kedua, mengukur tingkat kemampuan Propinsi dalam menangani kerjasama atau kemitraan antar Kabupaten/Kota dalam wilayahnya. Untuk mendapatkan gambaran yang obyektif tentang kemampuan suatu Propinsi dalam memfasilitasi kerjasama antar Kabupaten/Kota maka dibutuhkan kegiatan-kegiatan sebagai berikut: 1. Mencari data dan informasi tentang kemampuan dan pengalaman Propinsi dalam pengembangan kerjasama atau kemitraan tersebut. 2. Menilai kemampuan dan pengalaman mereka dalam menangani kerjasama atau kemitraan tersebut. 3. Merekomendasikan apakah mereka memerlukan suatu pelatihan dan fasilitasi khusus. Ketiga, menyusun suatu bentuk desain training khusus dalam membantu Propinsi untuk memfasilitasi kerjasama antar Kabupaten/Kota dalam wilayahnya.
Training tersebut secara khusus diarahkan pada peningkatan kemampuan teknis fasilitasi kerjasama atau kemitraan dengan basis yang kuat, di samping kemampuankemampuan praktis lainnya. Dan keempat, struktur, fungsi dan kemampuan unit-unit institusi Propinsi itu sendiri harus disesuaikan dengan peran kerjasama tersebut. Dinas-dinas Propinsi seharusnya didesain dengan memperhitungkan peran tersebut. Dengan peningkatan peran dan kemampuan tersebut, diharapkan hubungan kohesif antar pemerintah daerah (kota dan kabupaten) di setiap propinsi di tanah air menjadi semakin tinggi. Ketahanan nasional, persatuan dan kesatuan tentu akan lebih terjamin apabila setiap propinsi memainkan peran tersebut secara efektif. -----------------------------------------------------Referensi Edralin, J.S. 1997. The new local governance and capacity building: A strategic approach. Dalam Regional Development Studies, Vol. 3. Henry, N. 1995. Public Administration and Public Affairs. Sixth Edition. Englewood Cliffs, N.J. : Prentice –Hall. Keban, Y.T. 2004. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik: Konsep, Teori dan Isu. Yogyakarta: Gava Media. Limerick, D. & B.Cunnington. 1993. Managing the New Organization: A blueprint for networks and strategic alliances. West Castwood, Australia: Business & Professional Publishing. Mayer, B. 2000. The Dynamics of Conflict Resolution: A practitioner’s guide. San Fransisco: Jossey-Bass. Pollit, C. & G.Bouckaert. 2000. Public Management Reform: A Comparative Analysis. New York: Oxford University Press. Robbins, S.P. 1990. Organization Theory: Structure, Desain and Applications (Third Edition). Englewood Cliffs, NJ.: Prentice Hall, Inc. Rosen, E.D. 1993. Improving Public Sector Productivity: Concept and Practice. London: Sage Publications, International Educational and Professional Publisher.