STRATEGI KEPEMIMPINAN KEPALA MADRASAH Oleh : Junaidah
Abstrak
Dalam realitas sejarah, madrasah tumbuh dan berkembang dari, oleh dan untuk masyarakat Islam itu sendiri. Sehingga sejak awal, madrasah merupakan konsep
pendidikan
berbasis
masyarakat
(community
based
education).
Masyarakat sebagai individu maupun organisasi dengan didorong semangat keagamaan atau dakwah membangun madrasah untuk memenuhi kebutuhan mereka, ini dapat dilihat bahwa mayoritas madrasah di Indonesia milik swasta dan sisanya berstatus negeri dan ini berbanding terbalik dengan sekolah-sekolah umum. Madrasah sebagai salah satu bagian sistem pendidikan Nasional tentu memerlukan perhatian dan pengelolaan secara serius. Karena itu, kepemimpinan madrasah dengan perubahan masyarakat yang semakin cepat dan terbuka menuntut kemampuan yang lebih kreatif, inovatif dan dinamis. Kepala madrasah yang sekedar bergaya menunggu dan terlalu berpegang pada aturan-aturan birokratis dan berfikir secara struktural dan tidak berani melakukan inovasi untuk menyesuaikan tuntutan masyarakatnya, akan ditinggalkan oleh peminatnya. Pada masyarakat yang semakin berkembang demikian cepat dan didalamnya terjadi kompetisi secara terbuka selalu dituntut kualitas pelayanan yang berbeda dengan masyarakat sebelumnya. Untuk mewujudkan program pelaksanaan pendidikan yang direncanakan, maka dalam pelaksanaannya diperlukan seseorang
yang
dapat
mempengaruhi,
mendorong
serta
menggerakkan
komponen-komponen yang ada dalam lembaga pendidikan yang dapat 49
mengarahkan pada pencapaian tujuan pendidikan pada suatu lembaga pendidikan. Menjadi seorang pemimpin pendidikan, tidak saja dituntut untuk menguasai teori kepemimpinan, akan tetapi ia juga harus terampil serta memiliki strategi dalam menerapkan situasi praktis di lapangan kerja dan etos kerja yang tinggi untuk membawa lembaga pendidikan yang dipimpinnya. Idealnya, jika pemimpin pendidikan disamping memiliki bekal kepemimpinan dari teori dan pengakuan resmi yang bersifat ekstern, tetapi juga pembawaan potensial yang dibawa sejak lahir sebagai anugerah dari Yang Maha Kuasa, namun orang dapat melatihnya agar dapat menjadi seorang pemimpin pendidikan yang tangguh dan terampil berdasarkan pengalamannya.
Key Words: Strategi Kepemimpinan, Kepala Madrasah
A. Pendahuluan Kepala Madrasah sebagai pimpinan tertinggi di suatu lembaga formal, memiliki peranan yang sangat vital dalam pengelolaan lembaga pendidikan, karena maju mundurnya lembaga berada dibawah tangung jawabnya. Adanya kreatifitas kepala madrasah menjadi keniscayaan sehingga ia mampu memenej organisasi madrasah dengan baik dan benar. Implikasinya berupa keberhasilan secara menyeluruh, yaitu berupa out put dan adanya sinergitas dalam lingkungan pendidikan. Baik sinergitas seluruh tenaga edukasi dan karyawan, peserta didik, dan lingkungan masyarakatnya. Pada umumnya kepala sekolah memiliki tanggung jawab sebagai pemimpin dibidang pengajaran dan pengembangan kurikulum, administrasi kesiswaan, administrasi personalia staf, hubungan masyarakat, administrasi school plant, perlengkapan dan oraganisasi sekolah. Cara kerja kepala sekolah dan cara ia memandang peranannya dipengaruhi oleh kepribadiannya, persiapan dan pengalaman profesionalnya, dan ketetapan yang 50
dibuat oleh sekolah mengenai peranannya kepala sekolah dibidang pengajaran. Pelayanan pendidikan dalam dinas bagi administrasi sekolah dapat memperjelas harapan-harapan atas peranan kepala sekolah. Disamping itu, pemimpin pendidikan harus berwawasan masa depan yaitu mengantisipasi perubahan yang ada, tidak hanya dalam pendidikan saja tetapi juga perkembangan ilmu pengetahuan teknologi. Kepemimpinan pendidikan pada lembaga pendidikan Islam, yaitu kepala madrasah, penting sekali bagi peningkatan kualitas pendidikan. Karena lembaga pendidikan yang dikelola oleh pemimpin yang mengerti komitmen serta berwawasan luas, akan berjalan dengan tertib dan dinamis sesuai dengan kemajuan zaman. Selain itu, kepala madrasah hendaknya juga mengerti kedudukan madrasah di masyarakat, mengenal badan-badan dan lembaga-lembaga masyarakat yang menunjang pendidikan, mengenal perubahan sosial,
ekonomi,
politik
masyarakat,
mampu
membantu
guru
dalam
mengembangkan program pendidikan sesuai dengan perubahan yang terjadi di masyarakat sekaligus membantu pemecahan permasalahan yang dihadapi. Peningkatan kualitas pendidikan adalah hal yang wajib dilakukan dan bukanlah suatu hal yang mudah untuk diwujudkan. Karena banyaknya faktorfaktor yang mempengaruhinya yang tanpa ada usaha utnuk meperhatikan dan mencari solusi, maka usaha peningkatan kualitas pendidikan mustahil akan terwujud. Realitanya, banyak lembaga pendidikan yang dapat tumbuh dan berkembang menjadi lebih baik dan ada pula yang mengalami kemandekan dan bahkan tinggal menunggu kehancurannya. Adapun salah satu faktor penyebabnya adalah terletak pada strategi dan kompetensi kepemimpinan kepala madrasah dalam mengelola madrasah. Apabila seorang kepala madrasah tidak bisa mengatur, mempengaruhi, mengajak anggotanya untuk meraih tujuan pendidikan, gagap memanfaatkan peluang yang ada, dan cenderung menerapkan gaya kepemimpinan yang sekedar melaksanakan tugas rutin, maka jangan diharapkan kualitas pendidikan akan mengalami peningkatan. Sebaliknya, jika seorang kepala madrasah tersebut memiliki potensi yang cukup baik, maka ia akan cenderung untuk terus meningkatkan organisasi pendidikan di lembaga yang dipimpinnya. 51
Sehingga dengan sendirinya kualitas pendidikan ikut meningkat. Peningkatan kalitas ini didasari pula oleh semakin cerdasnya para konsumen dalam menilai mutu (quality) sebuah produk, otomatis menuntut para pelaku bisnis dan usaha apa pun untuk semakin meningkatkan mutu produk dan sekaligus servisnya. Karenanya, kalangan profesional menyadari betul pentingnya manajemen mutu agar bisa terus eksis dan maju di tengah ketatnya persaingan global dan industrial dewasa ini. Tak terkecuali produk dunia pendidikan. Kualitas mutu dan jasa yang disajikan oleh lembaga pendidikan akan sangat menentukan kemampuan survivalnya di antara jubelan pesaing yang ada. Mulai dari tingkat pra-TK (play group) hingga perguruan tinggi dan lembaga-lembaga informal lainnya (seperti lembaga kursus, privat, dan pendidikan kejuruan). Salah satu aspek penting yang menentukan
kualitas
mutu
pendidikan
terletak
pada
manajemen
kepemimpinannya. Diperlukan manajemen strategis kepemimpinan pendidikan yang benarbenar cakap, profesional, dan mampu bertindak efektif serta akurat. Di tangan kepala, direktur, manajer atau pemimpinnya, sebuah lembaga pendidikan akan bisa
maju
atau
sebaliknya
bangkrut
dalam
persaingan
dunia
pendidikan. Kemajuan suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh sumber daya manusia, dan kualitas sumber daya manusia sangat ditentukan oleh kualitas pendidikan tiap individu. Pendidikan hendaknya memiliki visi yang jelas serta dapat mencetak alumni yang berkualitas. Untuk itulah manajemen pendidikan menjadi penting untuk diimplementasikan. Ada beberapa hal penting terkait manajemen pendidikan yakni, sasaran pendidikan, manajemen pendidik, peningkatan pengawasan, manajer pendidikan, partisipasi dunia usaha, aliansi antar institusi dan kebijjakan pemerintah dalam pendidikan. Madrasah sebagai salah satu institusi formal memiliki peran strategis dalam mencetak sumber daya manusia yang beriman dan berakhlak.
52
Dalam realitas sejarah, madrasah tumbuh dan berkembang dari, oleh dan untuk masyarakat Islam itu sendiri. Sehingga sejak awal, madrasah merupakan konsep pendidikan berbasis masyarakat (community based education). (Muhaimin, 2005, 184-185) Masyarakat sebagai individu maupun organisasi dengan didorong semangat keagamaan atau dakwah membangun madrasah untuk memenuhi kebutuhan mereka, ini dapat dilihat bahwa mayoritas madrasah di Indonesia milik swasta dan sisanya berstatus negeri dan ini berbanding terbalik dengan sekolah-sekolah umum. Dari latar belakang diatas jelaslah bahwa para pemimpin pendidikan dituntut memiliki langkah strategis dalam mengelola pendidikan agar institusinya tetap survive dan berkualitas tak terkecuali para pemimpin di lingkungan madrasah.
B. Madrasah Dalam Lintasan Sejarah Islam pada awal perkembangannya sudah mempunyai lembaga pendidikan dan pengajaran. Lembaga pendidikan dan pengajaran pada saat itu dinamakan ―kuttab‖, disamping masjid, rumah, istana, dan perpustakaan. Kuttab adalah suatu lembaga pengajaran yang khusus sebagai tempat belajar membaca dan menulis. Pada mulanya guru-guru kuttab tersebut adalah orang-orang nonmuslim, terutama orang-orang Kristen dan Yahudi. Oleh karenanya pada awal Islam kuttab dijadikan tempat belajar membaca dan menulis saja, sedangkan pengajaran alQur‘an dan dasar-dasar agama diberikan di masjid oleh guru-guru khusus. Kemudian untuk kepentingan pengajaran menulis dan membaca bagi anak-anak, yang sekaligus juga memberikan pelajaran al-Qur‘an dan dasar-dasar agama, diselenggarakan kuttab-kuttab yang terpisah dari masjid. Dalam perkembangan selanjutnya, kuttab tersebut dijadikan sebagai pendidikan tingkat dasar, sedang Masjid dalam bentuk halaqah yang memberikan pendidikan dan pengajaran tentang berbagai ilmu pengetahuan, merupakan pendidikan tingkat 53
lanjutan. Pendidikan di Masjid ini, biasanya hanya untuk orang-orang dewasa dengan sistem halaqah (lingkaran). Dari situlah muncul ulama-ulama besar dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan agama Islam, dan dari situ pula muncul mazhab-mazhab dalam berbagai bidang disiplin ilmu yang pada masa itu disebut madrasah. Dalam arti etimologis yaitu aliran atau jalan pemikiran. Untuk menampung kegiatan halaqah yang semakin marak sejalan dengan meningkatnya jumlah pelajar dan berbagai ilmu pengetahuan yang berkembang maka dibangun ruang-ruang khusus untuk kegiatan halaqah tersebut di sekitar masjid dan dibangun pula tempat-tampat khusus untuk para guru dan pelajar sebagai tempat tinggal dan tempat kegiatan belajar mengajar yang disebut dengan nama ―Zawiyah‖ atau ―Ribath‖. Pada dasarnya timbulnya madarasah didunia Islam merupakan usaha pengembangan dan penyempurnaan zawiyah-zawiyah tersebut guna menampung pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan jumlah pelajar secara kuantitas semakin membengkak. Kata ―Madrasah‖ berasal dari bahasa Arab sebagai keterangan tempat (dzaraf), dari akar kata : ―Darasa, Yadrusu, Darsan, dan Madrasatan‖. Yang mempunyai arti ―Tempat belajar para pelajar‖ atau diartikan ―jalan‖ (Thariq). Disamping kata ―Madrasah‖ berasal dari kata ―Darasa‖ yang artinya ―membaca dan belajar‖ dalam bahasa Hebrew atau Aramy. Baik dari bahasa Arab atau Aramy mempunyai konotasi arti yang sama yakni ―Tempat Belajar‖. Padanan madrasah dalam bahasa Indonesia adalah ―sekolah‖. Pada umumnya, pemakaian kata ―Madrasah‖ dalam arti sekolah tersebut, mempunyai konotasi khusus yaitu sekolah-sekolah agama Islam. Yang berjenjang dari madrasah ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah. Namun, kata ―Madrasah‖ pada awal perkembangannya mempunyai beberapa pengertian, diantaranya : berarti aliran atau mazhab, kelompok atau golongan filosuf, dan ahli pikir atau penyelidik tertentu yang berpegang pada metode atau pemikiran yang sama. Beberapa pengertian di atas, terjadi karena aliran-aliran yang timbul sebagai akibat perkembangan ajaran agama Islam dan ilmu pengetahuan ke berbagai bidang saling berebutan pengaruh di kalangan umat Islam dan berusaha 54
untuk mengembangkan aliran atau mazhabnya masing-masing. Maka terbentuklah madrasah-madrasah dalam pengertian kelompok pemikiran, mazhab atau aliran tersebut. Itulah sebabnya mengapa sebagaian besar madrasah yang didirikan pada masa itu dihubungkan dengan nama-nama mazhab yang mashur, misalnya madrasah Syafi‘iyah, Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah. Jadi kata ―madrasah‖ pada awal perkembangannya, diartikan jalan pemikiran seorang pemikir atau kelompok pemikir dalam suatu bidang ilmu, kemudian diartikan tempat belajar atau lembaga pendidikan dan pengajaran seperti sekolah yang berkonotasi khusus yaitu yang banyak mengajarkan agama Islam atau ilmu-ilmu keIslaman. Kedua arti tersebut masih terasa dilakukan mayoritas umat Islam sampai sekarang, karena madrasah merupakan tempat penyebaran paham aliran atau mazhab yang dianut untuk disosialisasikan ke seluruh umat. Misalnya madrasah NU yang disebut dengan ―Al-Ma‘arif‖ menyebarkan misi Syafi‘iyahnya, dan madrasah Muhammadiyah yang membawa paham kemuhammadiyahannya, dan seterusnya. Pertama kali timbul istilah ―Madrasah‖ adalah berkenaan dengan upaya khalifah Abbasiyah Harun al-Rasyid guna menyediakan fasilitas belajar ilmu kedokteran dan ilmu-ilmu penopang lainnya dilingkungan klinik (Bimaristain) yang dibangunya di Baghdad. Komplek ini dikenal dengan sebutan ―Madrasah Baghdad‖. Namun kelihatannya pemakaian istilah tersebut cenderung anatema, terutama kalau diperhatikan tidak adanya kelanjutan dari madrasah Baghdad, kecuali munculnya Bait al-Hikmah dimasa Makmun. Para ahli sejarah berbeda pendapat tentang munculnya madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam yang kita kenal seperti sekarang ini. Hasan Ibrahim Hasan berpendapat bahwa, madrasah belum muncul sebelum abad IV Hijriyah (sebelum 10 Masehi), menurutnya madrasah pertama adalah Madrasah al-Baihaqiyah di Naisabur. AlBaihaqiyah yang didirikan di Naisapur oleh Abu Hasan ali al-Baihaqi (w. 414 H). Hasil penelitian seseorang peneliti Richard Bulliet pada tahun 1972, mengungkapkan bahwa selama dua abad sebelum madrasah Nidhamiyah di Baghdad sudah berdiri madrasah di Naisapur sebanyak 39 madrasah dengan madrasahnya yang tertua yaitu ―Miyan Dahiya‖ yang mengajarkan fiqh Maliki. 55
Demikian juga Naji Ma‘ruf mengatakan, bahwa 165 tahun sebelum madrasah Nidhamiyah sudah ada madrasah di Maa waraa al-Nahri dan khurrasan. Sebagai bukti ia mengungkapkan data dari Tarikh al-Bukhari yang menjelaskan bahwa Ismail bin Ahmad (w. 295 H) mempunyai madarasah yang dikunjungi oleh para pelajar untuk melanjutkan pelajaran mereka. Madrasah Naisapur pada masa awal ini didirikan oleh seorang ulama fiqh dengan tujuan utama untuk mengembangkan ajaran mazhabnya. Pada umumnya madrasah tersebut mengajarkan satu mazhab fiqh saja dan sebagian besar bermazhab Syafi‘i. Dari 39 madrasah yang dikemukakan oleh Bulliet, hanya satu madrasah yang mengajarkan fiqh Maliki, empat madrasah yang mengajarkan fiqh mazhab Hanafi, dan yang lainnya mengajarkan fiqh mazhab Syafi‘i. Pendapat lain mengatakan bahwa madrasah muncul pertama kali di dunia Islam adalah madrasah al-Nizhamiyah, yang didirikan oleh Nizham al-Mulk, seorang penguasa dari Bani Saljuk (w. 485 H.) Ibnu Atsir menyebutkan bahwa Nizham al-Mulk seorang wazir sultan Maliksyah Bani Saljuk (465-485) mendirikan dua madrasah yang terkenal dengan nama madrasah al-Nizhamiyah di Baghdad dan di Naisapur, kemudian diberbagai wilayah yang dikuasainya. Dari berbagai keterangan di atas kirannya jelas bahwa istilah madrasah pernah muncul pada masa Khalifah Abbasiyah Harun al-Rasyid yang disebut dengan ―Madrasah Baghdad‖, akan tetapi belum populer dan mengalami stagnasi. Para peneliti kebanyakan menyebutkan wilayah yang sama yaitu di Naisapur, namun, berbeda madrasah mana yang dimaksud. Sebagian peneliti menyebutkan madrasah ―al-Baihaqiyah‖, tetapi ternyata jika dilihat dari masa hidup pendirinya yaitu Abu Hasan Ali alBaihaqi yang wafat 414 H, pendapat ini kurang tepat. Sebagian lagi berpendapat madrasah ―Miyan Dahiya‖, mungkin pendapat inilah yang lebih kuat. Sedang madrasah Nizhamiyah di Baghdad adalah madrasah terbesar pertama di dunia Islam yaitu pada abad kelima Hijriyah.
56
1. Ide Dasar Berdirinya Madrasah di Nusantara Selama ini ada sinyalemen yang menunjukkan bahwa masyarakat Muslim dianggap relatif kecil kontribusinya terhadap pembangunan, sekalipun mereka menduduki peringkat mayoritas. Fenomena ini menjadi sangat menarik untuk diteliti, baik secara historis maupun perkembangan kontemporer. Terutama untuk mengetahui apa penyebabnya dan mengapa hal itu bisa terjadi, adakah kebijakan pendidikan yang diterapkan kurang tepat untuk menciptakan masyarakat Muslim yang proaktif terhadap jalannya pembangunan di negeri masing-masing. Pendidikan merupakan hak setiap individu. Karenanya setiap individu harus diberikan kebebasan dalam menentukan pilihannya sendiri untuk menempuh jalur pendidikan dan materi keilmuan yang akan dipelajarinya. Yang jelas, bahwa tujuan pendidikan dalam Islam sendiri adalah untuk mencapai manusia sempurna yang bertaqwa pada Allah Swt. Serta untuk mencapai kehidupan yang bahagia baik di dunia maupun di akhirat. Dalam rangka mencapai tujuan ini, ilmu dan agama tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Agama tanpa ilmu tidak akan membawa manusia kepada hidup yang terang; sementara ilmu sendiri yang terlepas dari agama dapat menyesatkan manusia. Dalam merespon pentingnya pendidikan tersebut, di Indonesia muncul tiga tipologi pendidikan. (Amin Rais, 1987, hal. 7-25) Pertama,
pendidikan
pesantren
yang
direpsentasikan
oleh
Nahdlatul Ulama (NU). Pesantren umumnya berada di desa-desa terpencil. Ini akibat dari sikap para ulama dahulu yang bersikap non-kooperatif terhadap penjajah. Pendidikan pesantren lebih menitik beratkan pada pendidikan agama seperti fiqh, tafsir, tauhid, dan pemahaman bahasa Arab. Seseorang yang mendalami ilmu syariat dan ia memdalami fiqh, hadits, dan tafsir ia dikenal sebagai faqih. Metode yang digunakan dalam proses belajar mengajar di Surau adalah ceramah dan resitasi. Pelajaranpelajaran disampaikan secara lisan kepada murid yang duduk dalam suatu 57
lingkaran di depan Syekh. Materi pelajaran sepenuhnya ditentukan Syekh sesuaikan dengan umur dan kemamapuan masing-masing murid. Pelajaran yang di berikan pada tingkat dasar antara lain: membaca al-Qur‘an dengan berbagai qiromnya, ibadah, dasar-dasar ilmu tauhid dan sebagainya. Sedangkan bagi orang yang telah dewasa di berikan pelajaran tasawuf dan thariqot. (Azyumardi Azra, hal. 117-119) Ada beberapa karakteristik unik yang ada di pesantren yaitu; (1) pesantren menggunakan metode tradisional yang hubungan antara guru (kiai) dan murid (santri) tampak lebih bebas dan saling membutuhkan; (2) kehidupan antara santri sangat-sangat demokratis, mereka menghadapi pekerjaan bersama-sama dan memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi secara bersama-sama pula; (3) di samping pelajaran agama pesantren juga mengajarkan idealisme, persaudaraan dan kesamaan serta rasa percaya diri, sehingga ujung-ujungnya para alumni pesantren tidak mempunyai ambisi yang kuat untuk menjadi pegawai negeri sebab selalu terkooptasi oleh atasannya. Abdurrahman Wahid dalam salah satu tulisannya mengenai pesantren mengatakan bahwa sejarah penyebaran Islam di Indonesia merupakan hasil perpaduan antara doktrin-doktrin formal Islam dan kultus para wali, yang berpuncak pada wali songo, sebagai sisa pengaruh pemujaan orang-orang suci (hermets) dalam agama Hindu. Perwujudan ini, tampak nyata sekali dalam ascetisme (zuhd) yang menjadi warna kental dari kehidupan agama Islam di negeri ini. (Abdurrahman Wahid, 1984, hal. 17) Kehidupan model ascetisme ini juga berkembang pesat terutama di dunia pesantren. Pemilihan cara hidup seperti itu, barang kali di samping alasan genealogi keislaman Nusantara yang memiliki corak tersendiri, juga 58
merupakan suatu culture counter terhadap kehidupan umum masyarakat yang sedang di landa krisis moral. Dari pengamatan sepintas terhadap tradisi yang berkembang di pesantren, tampak bahwa ternyata tradisi pesantren banyak memiliki kemiripan dengan tradisi yang ada dalam tasawuf, dalam hal ini tarekat. Misalnya saja dalam persoalan penghormatan kepada kiai. Sikap hormat kepada kiai adalah ajaran yang mendasar yang ditanamkan kepada santri. Bahkan, kepatuhan itu disinyalir lebih penting dari mencari ilmu itu sendiri. Tradisi kepatuhan seperti itu, mungkin sulit dipahami dan dimengerti oleh setiap orang. Tetapi, kejadian seperti itu memang ada dalam kelompok-kelompok masyarakat tertentu, termasuk masyarakat pesantren, dengan kiai sebagai pemimpin utamanya. Sebenarnya dalam teori sosiologi tentang model kepemimpinan, Weber telah memberikan teori yang jelas. Dalam teorinya Weber mengatakan bahwa suatu dominasi bisa atas dasar kharisma, Kharisma oleh Weber didefinisikan sebagai suatu sifat tertentu dari suatu kepribadian seorang individu berdasarkan mana seseorang itu diaggap luar biasa dan diperlakukan sebagai seorang yang mempunyai sifat-sifat ghaib unggul atau paling sedikit dengan kekuatankekuatan yang khas dan luar biasa (charismatic domination) terdapat bila pihak yang berwenang secara pribadi diakui memiliki kharisma akibat kekuatan magis, menerima wahyu, atau juga memiliki sifat kepahlawanan. (Anthony Giddens, 1985, hal. 197, Bandingkan juga dengan Haryati Soebadio, 1998, hal. 69) Dalam konteks ini benarkah apa yang terjadi di pesantren juga seperti apa yang diteorikan Weber. Namun demikian ada beberapa kelemahan pesantren yang perlu segera dibenahi antara lain (1) alumni pesantren umumnya mempunyai pikiran yang sempit dan tidak percaya diri ketika bersentuhan dengan kehidupan riil di masyarakat yang selalu 59
berkembang sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi; (2) pesantren pada umumnya tidak melengkapi para santrinya dengan berbagai skill yang patut diandalkan untuk menghadapi tantangan hidup di zaman modern ini; (3) pesantren umumnya tertutrup untuk menerima perubahan sehingga amat susah untuk mengikuit perkembangan yang terus bergerak. Kedua,
pendidikan
―sekuler‖
yang
direpresentasikan
oleh
Muhammadiyah. Pendidikan yang dikelola Muhammadiyah sejak dari Taman Kanak-Kanak (TK) sampai dengan Perguruan Tinggi (PT). Perbedaan pendidikan Muhammadiyah dengan pendidikan negeri adalah bahwa pada lembaga pendidikan Muhammadiyah lebih memberikan porsi yang lebih banyak terhadap pendidikan agama seperti tafsir, hadis dan bahasa Arab di samping ilmu-ilmu umum. Muhammadiyah sejak berdirinya pada tahun 1912 berupaya keras untuk mengadakan gerakan rekontruksi pembaruan yang dikembangkan pada persoalan-persoalan teologis-keagamaan. Sebab pada masa itu belum terbangun kerangka konseptual
yang
jelas
dan
sistematis
yang
mampu
merespons
permasalahan-permasalahan kekinian/kemodernan umat. Konstruksi pembaruan Islam menjadi lebih jelas dan sistematis pada sekitar 60-an akhir dan awal 70-an. Momentum 70-an diyakini banyak kalangan sebagai awal dimulainya pembaruan Islam Indonesia. Tidak ada alasan yang cukup jelas dan tegas mengapa momentum ini kemudian dijadikan starting point bagi pembaruan Islam Indonesia. Kemungkinan paling kuat dan sesuai realitas historis adalah munculnya dua tokoh pembaru Islam Indonesia: Harun Nasution dan Nurcholish Madjid (1989) yang memiliki pengaruh cukup kuat dalam perkembangan wacana intelektualisme Islam Indonesia. Banyak murid dan tokoh yang bersinggungan
(langsung
maupun
tidak)
berusaha
mengapresiasi,
membandingkan, dan mengkritik gagasan Nasution ini, antara lain: Nurcholish Madjid, H.M. Rasjidi, S.T. Alisjahbana, Fachry Ali, Frans 60
Magnis Suseno, Mansour Faqih, Komaruddin Hidayat, dan lainnya, termasuk Azyumardi Azra. Di banding Nasution, tokoh yang akrab disapa Cak Nur ini memiliki basis massa relatif luas, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Pada 1968, ketika memimpin HMI (1968-1969), ia menulis artikel berjudul ―Modernisasi ialah Rasionalisasi, bukan Westernalisasi‖ yang berpengaruh cukup luas di kalangan aktivis mahasiswa, terutama HMI yang memang dikenal dengan ide-ide agresifnya. Kemudian pada acara malam silaturrahmi organisasi pemuda, pelajar, mahasiswa, dan sarjana muslim yang tergabung dalam HMI, GPI, PII, dan Persami, pada 3 Januari 1970 di Gedung Pertemuan Islamic Research Center, Menteng Raya, Jakarta, Nurcholish memperoleh kesempatan menyampaikan pidatonya menggantikan Dr. Alfian berjudul ―Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat‖. Dalam teks pidatonya inilah, Nurcholish menyisipkan jargon politiknya yang cukup tajam dan kontroversial ―Islam, yes, Partai Islam, no !‖ Sebuah gagasan yang sangat menohok dan mengejutkan kalangan politisi Islam saat itu. Tokoh pertama yang lebih banyak bergelut di dunia kampus ini, dikenal dengan tema ―rasionalisasi‖ ajaran Islam. Sedang tokoh kedua yang sempat dijuluki ―Natsir Muda‖, dikenal dengan ide ―sekularisasi‖ Islam. Muhammadiyah adalah organisasi Islam yang bergerak di bidang dakwah pendidikan, dan kemasyarakatan. Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta K.H. Ahmad Dahlan. Tujuannya untuk membebaskan umat Islam dari kebekuan dalam bidang kehidupannya, dan praktek-praktek agama yang menyimpang dari kemurnian ajaran Islam. Sebagai organisasi dakwah dan pendidikan, Muhammadiyah mendirikan lembaga pendidikan dari tingkat
dasar samapi perguruan tinggi.
Pada tahun 1929
Muhammadiyah telah mempublikasikan penerbitan sejumlah 70.000 buah buku dan brosur, pada tahun 1938 telah memiliki 31 perpustakaan umum dan 1,774 sekolah. 61
Ketiga, pendidikan yang dikelolah oleh pemerintah yang dikenal dengan pendidikan negeri, pendidikan ini lebih menitik beratkan pada pembelajaran materi-materi umum, terutama yang berkaitan dengan ilmuilmu sosial, kealaman, teknologi, kebahasaan dan lain sebagainya. Jalur pendidikan ini dari TK sampai PT. Sedangkan bentuknya bisa berupa sekolah umum (SD, SMP, SMU) atau madrasah (MI, MTs, MA) Tim penyusun dari Departemen Agama RI menetapkan bahwa madrasah yang pertama kali didirikan adalah madrasah Adabiyah di Padang (Sumatera barat) yang didrikan oleh Syekh Abdullah Ahmad pada tahun 1909. Nama resminya Adabiyah School. Pada tahun 1915 diubah menjadi HIS Adabiyah. Pada tahun 1910 di Padang juga didrikan sekolah agama dengan nama Madrasah School, yang pada tahun 1923 menjadi Diniyah School. Madrasah ini didirikan dengan harapan dapat mencetak ahli agama yang mampu berkomunikasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan umum dan mengurangi perbedaan antara lembaga pendidikan Islam dengan lembaga pendidikan sekuler bentukan penjajah. Perkembangan madrasah cukup menggembirakan karena hampir semua organisasi keagamaan Islam mendirikan madrasah. Pada tahun 1951 Kementerian mendirikan Sekolah Guru Agama Islam (SGAI). Tiga menteri, yaitu Mentri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama tentang Peningkatan Mutu Pendidikan Pada Madrasah. Melalui SKB ini diharapkan madrasah memperoleh posisi yang sama dengan sekolah-sekolah umum. Pada tahun 1984, keluar surat Keputusan Bersama antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan Menteri Agama tentang Pengaturan Pembakuan Kurikulum Sekolah Umum dan Kurikulum Madrasah. (Tadjab, 1994, hal. 55)
62
Ketiga
model
pendidikan
tersebut
menjadi
pilihan
dan
kecenderungan orang tua untuk mendidik anak-anaknya. Bagi yang ingin anaknya menjadi orang yang mempunyai pengetahuan yang luas tentang agama, atau karena anaknya sangat nakal, maka ia memilih pendidikan pesantren; Apabila anaknya ingin menjadi orang yang penguasaan ilmuilmu umum dan ilmu agama berimbang, maka ia memilih lembaga pendidikan model Muhammadiyah; Sedangkan bagi yang menginginkan anaknya untuk mempunyai penguasaan ilmu-ilmu umum dan ingin menjadi pegawai negeri, maka umumnya mereka memilih pendidikan negeri. Secara lebih rinci, lembaga-lembaga pendidikan model madrasah ini berkembang seiring dengan tuntutan zaman dan mewakili aspirasi masyarakat akan hadirnya lembaga pendidikan yang mencetak calon-calon pemimpin Negara dan agama. Diantaranya adalah beberapa madrasah di bawah ini : a. Sumatera Thawalib Padang Panjang Sumatera Thawalib adalah suatu perkumpulan khusus untuk pelajar-pelajar madrasah di Mingkabau yang didirikan oleh Haji Abdul Karim Amrullah tahun 1918. Tetapi nama ini juga digunakan untuk nama tempat-tempat pendidikan yang tergabung di dalamnya. Misalnya: 1) Sumatera Thawalib Pandang Panjang, 2) Sumatera Thawalib Parabek, 3) Sumatera Thawalib Padang Japang, 4) Sumatera Thawalib Sungayang/Batusangkar, dan 5) Sumatera Thawalib Maninjau. Sumatera Thawalib Padang Panjang didirikan oleh Haji Abdul Karim Amrullah tahun 1914, seorang ulama dan tokoh pembaru kenamaan jebolan Mekkah, pada mulanya dengan nama Surau Jembatan Besi, 63
dengan sistem halaqah. Kemudian tahun 1921 dia mengubah sistem halaqah Surau Jembatan Besi dengan sistem kelas sebagaimana sekolahsekolah modern. Lembaga pendidikan ini telah berhasil mencetak para ulama besar di Sumatera, mereka itu antara lain: Abdul Hamid Hakim, seorang yang sangat alim yang kemudian menggantikan kedudukan gurunya itu setelah yang terakhir ini wafat. Abdul Hamid Hakim adalah seorang penulis produktif. Hingga kini karya-karyanya, terutama bukubuku usul fikih (al-Mabadi‘ al-Awwaliyyah, dan al-Bayan) masih tetap digunakan di beberapa lembaga pendidikan Islam semisal Pondok Modern Gontor dan sebagian besar pondok yang didirikan oleh alumni Gontor. Tokoh lain yang pernah belajar di Sumatera Thawalib Padang Panjang ini adalah A.R. Sutan Mansur. Kedalaman ilmu tokoh ini telah menarik perhatian Pergerakan Muhammadiyah ketika melebarkan sayapnya ke Sumatera. Untuk itu Pengurus Besar Muhammadiyyah mengangkat A. R. Sutan Mansur menjadi muballigh besarnya di Sumatera. Alumnus lain lembaga ini adalah H. Jalaluddin Thaib yang pernah menjadi ketua partai politik PERMI (Persatuan Muslimin Indonesia).
b. Sumatera Thawalib Parabek Lembaga pendidikan ini didirikan pada tahun 1921 oleh H. Ibrahim Musa, seorang ulama yang pernah belajar selama lebih kurang 9 tahun di Mekkah,. Sekolah ini sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1910 di surau Parabek, hanya saja ketika itu masih menggunakan sistem halaqah (klasikal). Setelah diubah dengan sistem modern sekolah ini mempunyai tujuh kelas: kelas 1-4 untuk bagian tsanawiyah pertama dan kelas 5-7 untuk bagian tsanawiyah atas yang juga disebut Kulliyatu al-Diyanah.
64
c. Adabiah School Padang Pada 1909, H. Abdullah Ahmad mendirikan sekolah agama bernama Adabiah School di Padang. Sekolah ini terus berkembang pesat mengikuti perkembangan zaman. Pada 1915 sekolah ini diubah menjadi HIS Adabiah. Pada masa kemerdekaan sekolah itu berubah menjadi S.R. (Sekolah Rakyat), SMP, dan SMA. d. Al-Irsyad Salah satu lembaga pendidikan Islam terkenal di Jakarta yang didirikan pada peremat awal abad ini (1913) ialah Madrasah al-Irsyad alIslamiyah. Madrasah ini didirikan oleh perhimpunan al-Irsyad, sebuah perhimpunan umat Islam yang didirkan oleh Syekh Ahmad Surkati. Syekh Ahmad pernah belajar di Madinah selama empat tahun dan di Mekkah selama sebelas tahun. Pada mulanya madrasah al-Irsyad terdiri dari beberapa tingkatan: 1) Awwaliyah, 3 kelas, ditempuh 3 tahun. 2) Ibtidaiyah, 4 kelas, ditempuh 4 tahun. 3) Tajhiziyah, 2 kelas, ditempuh 2 tahun. 4) Mu‘allimin, 4 kelas, ditempuh 4 tahun. 5) Takhssus, 2 kelas, ditempuh 2 tahun. Dengan perkembangan perhimpunan al-Irsyad yang telah tersebar di berbagai daerah, sekolah-sekolah al-Isryad juga berkembang dengan pesat; baik kuantitas maupun kualitasnya.
65
e. Madrasah As’adiyah Pada tahun 1350/1931, di Sengkang didirikan sebuah lembaga pendidikan Islam bernama Madrasah Wajo Tarbiyah Islamiyah. Nama ini kemudian diganti menjadi Madrasah As’adiyah, sesuai dengan nama pendirinya yaitu, Syekh H.M. As‘ad bin H.A. Rasyid (1907-1952). Pendiri madrasah ini lahir di Mekkah. Pendidikannya juga sepenuhnya ditempuh di Mekkah dan Madinah, dan dia baru kembali ke Sulawesi tahun 1928. Madrasah ini berkembang pesat, jumlah santrinya sangat banyak, dan akhirnya madrasah ini berhasil mencetak para alim dan guru yang tidak sedikit jumlahnya. Madrasah As‘adiyah terdiri dari empat tingkatan: 1) Tingkat Awwaliyah 2) Tingkat Ibtidaiyah 3) Tingkat Tsanawiyah 4) Tingkat Aliyah
2. Madrasah Nidzomiyah; Format Awal Madrasah Nusantara Wacana tentang Pondok Pesantren merupakan kajian yang unik dan menarik, sekaligus luas. Unik, karena Pondok Pesantren merupakan sebuah format lembaga pendidikan yang asli, indigenous institution, merupakan bentuk khas pendidikan yang berkembang seiring dengan perkembangan sosial budaya Indonesai. Menarik karena kajian tentang pesantren masih sangat kurang dan memberikan banyak peluang untuk mengeksplorasinya dari berbagai sudut pandang dan varian disiplin ilmu. Luas, karena aspek yang terlibat dalam perkembangan dan proses kehidupan di Pondok Pesantren terkait dengan segala aspek kehidupan di masyarakat. 66
Umat Islam yang mulai menyadari akan kelemahan dan keterbelakangannya di abad 20, mulai berusaha mengadakan pembaharuan dalam segala bidang kehidupan, untuk mengejar ketinggalan dan keterbelakangan mereka, termasuk usaha-usaha dalam bidang pendidikan, maka muncullah para pembaharu dalam dunia Islam seperti Abdullah bin Abdul Wahab, Jalaluddin al-Afghani, Rasyid Ridha, Muhammad Abduh, dan lainnya. Gerakan pembaharuan di dunia Islam berpengaruh pula ke Indonesia. Hal ini mempengaruhi pemikiran Wahid Hasyim dalam memperbaharui
sistem
pendidikan
pesantren,
yang
kemudian
dikongkritkan dalam pembentukan Madrasah Nidzomiyah di Pondok Tebu Ireng Jombang. Pada tahun 1993, Wahid Hasyim kembali ke Indonesia, ia mulai terjun dalam dunia pendidikan, yaitu di pesantren Tebu Ireng. Secara berhati-hati
ia
menyusun
dan
mengembangkan
ide-ide
tentang
pembaharuan pendidikan Islam. Disamping itu ia juga mengadakan perjalanan untuk mengadakan studi comparative tentang berbagai model pendidikan yang sedang berkembang di lingkungan pesantren maupun sekolah-sekolah umum yang dikelola oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Studi comporative tidak hanya dilakukan didalam negeri, bahkan ia mengadakan studi cooperative ke luar negeri, terutama di negara-negara Islam Timur Tengah. Disamping itu ia mempelajari literatur yang ada kaitannya dengan masalah yang sedang dihadapi. Dengan demikian ia banyak menggunakan waktunya untuk membaca buku-buku, majalah, dan surat kabar yang mendukung perjuangannya. Majalah dan surat kabar yang ia baca, antara lain : Penyeber Semangat, Daulat Ra‘jat, Pandji Pustaka, Umul Qurra, Sautul hijaz, alLata‘if al- Musyawarah, Kullu Syaiin wal Dunya, dan al-Istnain. Ketiga majalah Indnesia tersebut diterbitkan oleh kalangan nasionalis, sedang kelima majalah Arab di atas diterbitkan di Timur Tengah. Adalah sangat 67
menarik diperhatikan disini bahwasannya sejak muda ia telah melibatkan diri dengan pola pikir dari kelompok masyarakat dan golongan yang lebih luas. Hal ini memudahkan kita untuk memahami mengapa ia mengadakan rekonstruksi terhadap sistem pendidikan pesantren. Madrasah Nizamiyah didirikan dengan pertimbangan bahwa kurikulum pesantren yang hanya memfokuskan kepada ilmu-ilmu agama mengakibatkan santri mengalami kesulitan untuk bersaing dengan siswa yang mendapat pendidikan Barat. Kelemahan santri menurut Wahid Hasyim, disebabkan oleh lemahnya penguasaan pengetahuan umum (sekuler), bahasa asing, dan skill dalam berorganisasi. (Achmad Zaini, 1998, hal.27) Dengan penguasaan ketiga komponen tersebut santri akan mampu bersaing dengan mereka yang mendapatkan pendidikan Barat dalam menempati posisi di masyarakat. Untuk itu ia mendisain kurikulum madrasah tersebut dengan kurikulum yang hanya ilmu-ilmu agama tetapi juga ilmu-ilmu umum, termasuk bahasa Belanda dan Inggris. Apa yang dilakukan Wahid Hasyim merupakan inovasi baru bagi kalangan pesantren. Pada saat itu, pelajaran umum masih dianggap tabu dalam kalangan pesantren karena identik dengan penjajah. Kebencian pesantren terhadap penjajah membuat pesatren mengharamkan semua yang berkaitan dengannya, seperti memakai pantalon, dasi dan topi, bahkan pengetahuan umum. (Aziz Masyhuri, 1997, hal. 25) Usaha pembaharuan yang dilakukannya bukan pekerjaan yang tanpa resiko, banyak kritikan yang datang datang dari masyarakat bahkan ulama pesantren. Ia dianggap telah mencampuradukkan perkara agama dan dunia, ia pun dianggap telah merusak sistem pendidikan pesantren, dan
68
lain sebagainya. Kritikan itu disambut olehnya dengan tenang dan ia tetap berjalan dengan keyakinannya sebagai seorang idealist. Yang menonjol dalam hal kurikulum ini adalah pemahaman Wahid Hasyim terhadap konsep ilmu. Ia menganggap bahwa Islam tidak memisahkan pengetahuan agama dan pengetahuan umum. Saksinya ratusan ayat Al-Qur‘an, kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam Al-Qur‘an. Dalam pandangan Al-Qur‘an, ilmu adalah keistimewaan yang menjadikan manusia unggul tehadap makhlukmakhluk lain guna menjalankan fungsi kekhalifahan. (M.Quraish Shihab, 1996, hal. 434-435) Selain itu ia pun ingin menghilangkan dikotomi ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum yang saat itu melanda dunia pendidikan Islam pada umumnya dan khususnya pondok pesantren. Tidak ada yang menyangkal dikotomi pendidikan di Indonesia, yaitu pendidikan umum disatu pihak dan pendidikan agama dipihak lain adalah warisan Kolonial Belanda. Dikotomi tersebut menurut Wahid Hasyim sangat berbahaya bagi umat Islam Indonesia, sistem pendidikan semacam ini akan melahirkan ilmuan-ilmuan yang tak bermoral dan ulama yang tidak kenal zamannya. Dalam mengadakan perubahan terhadap sistem pendidikan pesantren, ia membuat perencanaan yang matang. Ia tidak ingin gerakan ini gagal di tengah jalan. Untuk itu, ia mengadakan langkah-langkah sebagai berikut : 1.
Menggambarkan tujuan dengan sejelas-jelasnya.
2.
Menggambarkan cara mencapai tujuan itu.
69
3.
Memberikan keyakinan dan cara, bahwa dengan sungguh- sungguh tujuan dapat dicapai.
(Aboebakar, 1957, hal. 151) Pada awal tujuan yang pendidikan Islam khususnya pesantren lebih berkonsentrasi pada urusan ukhrawiyah (akhirat), nyaris terlepas dari urusan duniawiyah (dunia). Karena tujuannya yang demikian, warna sistem pendidikan pesantren sangat didominasi oleh warna-warna fiqih, tasawuf, ritual, sakral dan sebagainya. Orientasinya kemasa lampau dan terpaku ke ―dunia sana‖, sedangkan ―dunia kini‖ dianggap sebagai dunia mainan. Orientasi demikianlah menurut Mastuhu, disebabkan oleh sumber teologi yang fatalistis dan tidak rasional. Orientasi pendidikan yang hanya berkonsentrasi pada urusan akhirat merupakan salah satu penyebab tertinggalnya kaum muslim dengan negara-negara lain, Penolakan tersebut menurutnya tidak rasional dan bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. Bukankah manusia diciptakan oleh Allah untuk menjadi khalifah di muka bumi dan memakmurkannya. Bagaimana manusia dapat memakmurkan bumi tanpa ilmu pengetahuan. Dari hal diatas kemudian tujuan pesantren dirumuskan hanya sebagai ―mencetak‖ para ulama / ahli agama belaka, mengakibatkan pesantren tidak menerima -untuk tidak dikatakan menolak- pelajaran nonagama masuk dalam kurikulum pesantren. Dengan alasan pelajaran tersebut tidak sesuai dengan tujuan keagamaan yang dimiliki pesantren. Dalam hal tujuan belajar di pesantren, Wahid Hasyim memberikan alternatif lain kepada para santri. Ia menyarankan hendaknya sebagian besar santri untuk tidak menjadi ulama. (Achmad Zaini, 1998, hal. 27)
70
Hal tersebut cukup beralasan, karena dalam kenyataanya bahwa dalam sietem pendidikan agama yang paling eksklusif sekalipun, tidak semua siswanya dapat ―dicetak‖ menjadi ulama. Di samping itu pengertian ulama dalam kalangan pesantren telah mengalami penyempitan makna, sehingga ulama hanya digunakan untuk orang-orang yang menekuni bidang-bidang ilmu agama dan merendahkan ilmu- ilmu umum. Ada beberapa alasan mengapa Wahid Hasyim mengusulkan alternatif demikian, antara lain : (A. Wahid Hasyim, hal. 821-823) Pertama, para santri tidak perlu menghabiskan waktu sampai puluhan tahun untuk belajar bahasa Arab dan mengakumulasi pengetahuan dari para kyai di berbagai pesantren, kedua, para santri dapat mempelajari agama Islam dari buku-buku yang ditulis dengan bahasa latin, para santri dapat memfokuskan waktunya untuk mempelajari berbagai pengetahuan dan ketrampilan lainnya yang dapat digunakan untuk kepentingan dirinya sendiri dan masyarakat. Walau demikian, ia tetap berharap adanya sebagian santri yang betul-betul menjadi ulama dengan mempelajari bahasa Arab dan pengetahuan agama secara mendalam. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan pesantren dan madrasah menurut Wahid Hasyim adalah mencetak santri yang berkepribadian muslim dan bertaqwa kepada Allah serta memiliki ketrampilan sehingga santri dapat mandiri dan berkiprah pada masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan. Dengan rumusan tujuan pendidikan yang demikian ia tidak ingin lagi melihat santri yang lebih rendah kedudukannya dalam masyarakat dari kaum terpelajar Barat. Meski tidak pernah mengenyam pendidikan modern, wawasan berfikir Wahid Hasyim dikenal cukup luas. Hal ini dapat diduga sebagai hasil dari luasnya bacaan beliau, sebagaimana telah disinggung diatas. Wawasan ini kemudian diaplikasikan dalam kegiatan-
71
kegiatan yang bersifat sosial dan pendidikan. Pada tahun 1935, misalnya, ia bersama K.H Muhammad Ilyas mendirikan madrasah Nizhamiyah. (Mahmud Yunus, 1992, hal. 72-74) Berkembangnya madrasah di Indonesia di awal abad ke-20, merupakan wujud dari upaya pembaharuan pendidikan Islam yang dilakukan oleh cendikiawan muslim termasuk didalamnya Wahid Hasyim, yang melihat bahwa lembaga pendidikan Islam ( pesantren ) dalam beberapa hal tidak lagi sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman. (Badri Yatim, 2000, hal. 5) Kedekatan sistem belajar mengajar ala madrasah dengan sistem belajar mengajar ala sekolah yang dikembangkan Pemerintah Kolonial Belanda saat Penamaan madrasah yang didirikan oleh K..H.A.Wahid Hasyim mengambil dari nama Madrasah Nizhamiyah yang didirikan oleh Nizam Mulk, menteri dinasti Seljuk. Madrasah ini terkenal sebagai pusat pengajaran ortodoksi Sunni, terkenal dengan syaikhnya, seperti : AlJunaidi (Imam al-Haramain) dan Al-Ghazali. Wahid Hasyim ketika berumur 17 tahun sempat belajar selama 1 tahun di Makkah. Sekembalinya ke Tebu-ireng, ia mengusulkan kepada ayahnya suatu perubahan metode pengajaran di pesantren. Usulan itu antara lain agar sistem bandongan di ganti dengan sistem tutorial yang sistematis dengan tujuan untuk mengembangkan inisiatif dan kepribadian santri. Hal ini dikarenakan dalam kelas yang menggunakan metode tersebut santri datang hanya mendengar, menulis catatan, dan menghapalkan mata pelajaran yang telah diberikan, tidak ada kesempatan untuk mengajukan pertanyaan atau berdiskusi. Secara singkat, menurut Wahid Hasyim, metode bandongan akan menciptakan kepastian dalam diri santri. (M.Muhsin Ks, 1993, hal. 108-109)
72
Wahid Hasyim belum merasa puas dengan perubahan yang ia lakukan, ia pun menganjurkan para santri untuk belajar organisasi dan membaca. Pada tahun 1936 ia mendirikan IKPI ( Ikatan Pelajar Islam ). Selain itu ia juga mendirikan perpustakaan dengan koleksi buku 1.000 buku yang kebanyakan buku-buku keagamaan. Perpustakaan tersebut juga berlangganan majalah dan surat kabar, seperti : Panji Islam, Dewan Islam, Islam Bergerak, Berita Nahdhatul Ulama, Adil, Nurul Islam, AlMunawarah, Panji Pustaka, Pustaka Timur, Pujangga Baru, dan Penyebar Semangat. Kesebelas jurnal diatas mewakili Pandangan kaum tradisionalis, modernis, dan nasionalis. (Zamakhsyari Dhofier, 1994, hal. 106) Perubahan
metode
pengajaran
dan
pendirian
perpustakaan
merupakan kemajuan yang luar biasa yang terjadi pada pesanten ketika itu. Dengan hal tersebut Wahid Hasyim mengharapkan terjadinya proses belajar mengajar yang dialogis, dimana posisi guru ditempatkan bukan lagi sebagai satu-satunya sumber belajar, pendapat guru bukanlah suatu kebenaran mutlak sehingga kendapatnya dapat dipertanyakan bahkan dibantah oleh santri ( murid) dan proses belajar mengajar berorientasi pada murid sehingga potensi yang dimiliki akan terwujud dan ia akan menjadi dirinya sendiri. Dalam proses pembelajaran murid tidak hanya dijadikan objek pendidikan akan tetapi ia dijadikan subjek pendidikan itu sendiri. Sedangkan Guru memposisikan diri sebagai motivator, dan fasilitator dalam proses pembelajaran. Pesantren adalah dimensi pendidikan yang memiliki elemenelemen penunjang yang khas, baik elemen yang bersifat hard-ware seperti : mesjid, pondok, ruang belajar, kitab-kitab dan lain sebagainya. Selain itu pesantren ,mempunyai elemen yang bersifat soft-ware, seperti : tujuan pendidikan, kurikulum, metode pengajaran, sistem evaluasi, dan perangkat lainnya yang menunjang proses belajar mengajar. 73
Dunia pesantren yang nyaris dipahami oleh masyarakat sebagai dimensi yang tidak berubah, yang selama ini dianggap simbol kejumudan (kebekuan) dan kemandegan (stagnasi), pada kenyataannya memiliki dinamika perkembangan yang dinamis, bisa berubah, mempunyai dasardasar yang kuat untuk ikut mengarahkan dan menggerakkan perubahan yang diinginkan, mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman. Pesantren bukan berarti tidak mempunyai kelemahan dan kekurangan, untuk itu perlu adanya perbaikan dengan cara melakukan rekonstruksi terhadap sistem pendidikan yang ada. Keharusan untuk mengadakan rekonstruksi ini sebetulnya telah dimaklumi. Bahkan dunia pesantren telah memperkenalkan kaidah yang sangat populer ― al-muhafadzatu ‘ala qodimissalih wal-‘akhdu bil-jadidil ashlah ‖ (membina budaya-budaya klasik yang baik dan terus menggali budayua-budaya baru yang lebih konstruktif ). Kebebasan membentuk sistem pendidikan baru merupakan keniscayaan, asalkan tidak lepas dari bingkai ashlah (lebih baik). Begitu pula, ketika dunia pesantren diharuskan mengadakan rekonstruksi sebagai konsekuensi dari kemajuan dunia modern, maka aspek ashlah merupakan aspek kunci yang harus dipegang. Pesantren modern berarti pesantren yang selalu tanggap terhadap perubahan dan tuntuan zaman. Adapun upaya yang dilakukan oleh KH Wahid Hasyim selama berkecimpung dalam pemerintahan, baik pada zaman penjajahan maupun paska kemerdekaan adalah sebagai berikut : 1. Mendirikan institusi pendidian keagamaan yang dikelola pemerintah dengan memperkenalkan ilmu pengetahuan umum dalam kurikulumnya disamping ilmu-ilmu agama. Dalam hal ini adalah dengan mendirikan PGA (Pendidikan Guru Agama) dan PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri) Melalui usahanya tersebut, Wahid Hasyim berusaha memperbaiki kelemahan pendidikan Islam di Indonesia dan membangun
74
jembatan yang memisahkan dua sistem pendidikan yang sudah berkembang saat itu, sistem barat (sekolah) dan Islam (Pesantren). (Ahmad Zaini, 2002, hal. 310-311) 2. Memasukkan pelajaran pendidikan agama dalam kurikulum pendidikan nasional. Wahid Hasyim menyadari bahwasannya sistem pendidikan nasional mengadopsi sistem barat yang hanya memfokuskan pendidikan pada pelajaran sekuler , banyak hal yang hilang dari pendidikan, terutama yang berkaitan dengan nilai-nilai religius dan moral. Perdebatan mengenai dimasukkannnya pendidikan agama dalam sistem pendidikan nasional akhirnya membuahkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Kementerian Agama dan Kementrian Pendidikan. Akhirnya pada tanggal 21 Januari 1951 pemerintah mengeluarkan keputusan yang mewajibkan Pendiidkan Agama sebagai mata pelajaran wajib di sekolah ―sekuler‖. (Zamakhsyari Dhofier, hal. 79) 3. Mengupayakan adanya subsisdi untuk madrasah swasta mulai dari level paling dasar sampai atas. Pada zaman itu pemberian subsidi hanya diberikan kepada sekolah-sekolah ―formal‖, yaitu sebanyak Rp.4 persiswa. Atas upayanya, siswa Madrasah mendapatkan subsidi sebesar Rp. 1, yang pada saat itu sangat berarti bagi perkembangan madrasah di kemudian hari. 4. Modernisasi pendidikan pendidikan pesantren yang diterapkan di Pondok Pesantren Tebu Ireng. Modernisasi ini bentuk kongritnya adalah dengan pendirian dan pengembangan Madrasah Nidzomiyah sebagai pilot projek modernisasi madrasah di kalangan Nahdlotul Ulama. Pada saat itu Pondok Pesantren Tebu Ireng merupakan kiblat pesantren di Indonesia, sementara pondok pesantren merupakan basis massa NU, dan sangat sulit ditembus oleh struktur birokrasi dan intervensi dari luar. Dengan upaya 75
modernisasi di Tebu ireng ini, akhirnya banyak pondok pesantren yang mulai berbenah dan memodernisasi sistem pendidikan, manajemen dan kurikulumnya, terutama dengan menegnalkan ilmu-ilmu sekuler kepada santri. Dengan dimasukkannya pelajaan umum di pesantren akhirnya memberikan peluang bagi santri untuk masuk dalam jalur birokrasi, termasuk menjadi pegawai Departemen Agama yang dirintisnya bersama KH Hasyim Asy‘ari di zaman Jepang. (Saifuddin Zuhri, 1977 hal.172-4) 5. Merintis pembentukan Hizbullah untuk memberikan kesempatan kepada santri untuk dididik kemiliteran dan membentuk pasukan santri muslim. Pada zaman pendudukan Jepang, ada semacam wajib militer bagi bumi putera untuk bergabung dalam pasukan Heiho dan PETA. Wahid Hasyim meminta izin kepada Jepang agar santri dididik militer, tetapi bukan untuk dikirim ke luar negeri, tetapi untuk mendampingi ulama. Hal ini merupakan rekayasa politik yang kemudian hari dikenal dengan istilah yahanno (penipuan), yaitu mempersiapkan santri sebagai pasukan melawan bangsa jepang sendiri. Sampai saat ini tidak diketahui secara persis sejak kapan ―madrasah‖ sebagai istilah untuk satu jenis pendidikan Islam digunakan di Indonesia. Namun jika yang dimaksud adalah madrasah sebagai satu sistem pendidikan Islam ber-kelas dan mengajarkan sekaligus ilmu-ilmu kegamaan dan non-keagamaan meskipun istilah ini kurang tepat karena Islam tidak mengenal dikotomi ilmu-- sudah tampak sekurangnya sejak awal abad ke-20. Meskipun sebagian di antara lembaga-lembaga pendidikan itu menggunakan istilah school (sekolah), tetapi dilihat dari sistem pendidikannya yang terpadu, lembaga pendidikan seperti itu biasa dikategorikan dalam bentuk madrasah.
76
Madrasah, dalam peta dunia pendidikan di Indonesia, memang bukan suatu yang indigenous. Sebagaimana ditunjukkan oleh kata ―madrasah‖ itu sendiri yang berasal dari bahasa Arab. Secara harfiah kata ―madrasah‖ berarti atau setara maknanya dengan kata Indonesia ―sekolah‖ (yang notabene juga bukan kata asli bahasa Indonesia). Dalam pengertian ini, madrasah menggambarkan proses pembelajaran secara formal yang tidak berbeda dengan sekolah. Hanya dalam lingkup kultural, madrasah memiliki konotasi spesifik. Di lembaga ini anak memperoleh pembelajaran hal ihwal atau seluk beluk agama dan keagamaan, sehingga dalam pemakaiannya, kata madrasah lebih dikenal sebagai sekolah agama. Penulis sejarah pendidikan Islam Indonesia umumnya menginformasikan bahwa dalam tradisi pendidikan Islam di Indonesia, kemunculan dan perkembangan madrasah berkaitan dengan gerakan pembaharuan Islam di Timur Tengah, yang terutama dipelopori oleh Jalamuddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Identifikasi pengaruh tokoh pembaharu Timur Tengah terhadap gerakan Islam di Indonesia dimungkinkan karena sejak pertengahan abad ke-19 terbuka kesempatan bagi mahasiswa-mahasiswa Indonesia untuk memperdalam Islam di beberapa pusat pendidikan Islam, khususnya Kairo, Madinah, dan Makkah. Kesempatan belajar ini bukan saja menimbulkan kontak intelektual di antara mahasiswa Indonesia di Timur Tengah, tetapi juga mereka mengalami langsung suasana pembaharuan yang ditawarkan oleh tokoh-tokoh seperti Afghani, Abduh, Rashid Ridha, Sayyid Qutb, dan lain-lain. Dalam korespondensi mereka dengan teman-temannya di tanah air, para mahasiswa asal Indonesia ini memperkenalkan ide-ide pembaharuan dengan mengirim tulisan-tulisan kalangan
pembaharu
Timur
Tengah,
salah
satunya
adalah
ide
pembaharuan di bidang pendidikan. Di antara publikasi yang banyak memperkenalkan gagasan pembaharuan pendidikan adalah majalah alManâr. Gagasan-gagasan dalam al-Manâr dapat dijadikan pijakan untuk mencontoh perkembangan pembaharuan pendidikan Islam, dalam bentuk
77
madrasah modern, yang tengah dilakukan kalangan pembaharu di Timur Tengah. Dari sumber-sumber yang ada, agaknya memang menyakinkan bahwa
pertumbuhan
dan
perkembangan
madrasah
di
Indonesia
dipengaruhi secara cukup kuat oleh tradisi madrasah di Timur Tengah masa modern yang sudah mengajarkan ilmu-ilmu agama dan umum. Karena sebelum abad ke-20, tradisi pendidikan Islam tidak mengenal istilah madrasah, kecuali pengajian al-Qur‘an (nggon ngaji), masjid, pesantren, surau, langgar atau tajug. Istilah madrasah baru menjadi fenomena pada awal abad ke-20 ketika di beberapa wilayah, terutama di Jawa dan Sumatera, berdiri madrasah. Namun demikian, dalam realitas politik di tanah air pada zaman penjajahan
Hindia
persekolahan,
Belanda
agaknya
cukup
mengembangkan beralasan
untuk
sistem
pendidikan
berasumsi
bahwa
perkembangan madrasah di Indonesia juga merupakan respon atas kebijakan dan politik pendidikan pemerintah Hindia Belanda pada masa itu. Dalam bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa madrasah dalam batas-batas tertentu merupakan lembaga persekolahan ala Belanda yang diberi muatan keagamaan. Itu berarti, pengaruh Timur Tengah hanyalah salah satu faktor selain perkembangan sosial-politik di tanah air pada masa Hindia Belanda. Ketika akan mengembangkan pendidikan bagi masyarakat bumi putera, diperkirakan oleh beberapa ahli Belanda bahwa pemerintah Hindia Belanda akan memanfaatkan tradisi pendidikan rakyat yang sudah berkembang, yakni pendidikan Islam (dalam bentuk masjid dan pesantren). Tetapi, secara teknis usulan itu sulit dipenuhi karena –menurut pemerintah Hindia Belanda—tradisi pendidikan Islam waktu itu dipandang memiliki kebiasaan-kebiasaan yang dianggap ―jelek‖, baik dari sudut kelembagaan, kurikulum, maupun metode pengajarannya. Terlepas 78
dari alasan itu, sangat boleh jadi penyebab utama tidak digunakannya pendidikan Islam karena kemungkinan konsekuensinya yang tidak menguntungkan kepentingan politik Belanda. Pendidikan Islam dianggap secara langsung memberi rangsangan dan motivasi untuk melawan penjajahan dan pemerintahan yang kafir. Dengan alasan itu, akhirnya pemerintah Hindia Belanda memilih bentuk persekolahan yang juga sudah berkembang sejak abad ke-17, khususnya dalam rangka misionaris. Sistem persekolahan yang diintrodusir pemerintah Hindia Belanda untuk rakyat Indonesia pada mulanya terbatas untuk kalangan bangsawan, yakni Sekolah Kelas Satu (Hollands Inlandsche School/HIS) dan Sekolah Kelas Dua (Standard School). Sekolah-sekolah ini diselenggarakan untuk tujuan mencetak pegawai-pegawai pemerintah. Namun, karena berbagai alasan yang menyangkut perkembangan di wilayah Asia pada khususnya dan negara-negara jajahan lain pada umumnya, pemerintah Hindia Belanda mulai mengembangkan sistem persekolahan yang dikenal dengan sebutan pertamaolkschoolen, ―Sekolah Rakyat‖ atau ―Sekolah Desa‖, untuk rakyat (pribumi) secara luas dengan biaya yang murah. Dengan diperkenalkannya Sekolah Desa pada paruh kedua abad ke-19 ini, rakyat yang sebelumnya hanya memiliki pilihan untuk belajar di lembagalembaga pendidikan tradisional, mulai mendapat kesempatan untuk belajar di sekolah-sekolah pemerintah. Sebagai konsekuensi didirikannya sekolah di banyak tempat, lembaga-lembaga pendidikan tradisional termasuk pesantren, surau, langgar atau masjid, mendapat saingan yang lebih langsung. Kenyataan di lapangan, Sekolah Desa tidak saja menawarkan biaya yang murah serta mata pelajaran yang lebih praktis, melainkan juga menjanjikan pekerjaan yang cukup bervariasi meskipun masih pada level rendahan. Dilaporkan bahwa minat masyarakat untuk mengikuti pendidikan di Sekolah Desa sangat tinggi. Pada tahun 1871 terdapat 263 sekolah dasar semacam itu dengan siswa sekitar 16.606 orang; dan menjelang 1892 79
meningkat menjadi 515 sekolah dengan sekitar 52.685 murid. Jumlah ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1910 jumlah keseluruhan murid sudah mencapai 70.000 orang dan empat tahun kemudian, 1914, mencapai 200.000 murid. Besarnya minat dan animo masyarakat untuk mengikuti pendidikan ini menunjukkan bahwa sistem persekolahan yang diperkenalkan pemerintah Hindia Belanda ini menjadi pilihan alternatif masyarakat secara luas. Lebih-lebih, sejak tahun 1914 pemerintah Hindia Belanda juga mengembangkan
sekolah-sekolah
lanjutan,
yaitu
MULO
(Meer
Unigebreid lager Onderwijs) dan AMS, di luar Sekolah Desa. Meskipun pada awalnya sekolah ini terbatas bagi kalangan Belanda dan Eropa sendiri, tetapi kemudian sedikit demi sedikit dibuka kesempatan bagi kalangan bangsawan (elit Jawa, priyayi). Jika pada Sekolah Desa mata pelajaran terbatas pada membaca, menulis dan berhitung, pada sekolah lanjutan ini mata pelajarannya sudah menyangkut bahasa dan pengetahuan umum yang lebih luas. Sekolah-sekolah HIS, MULO, dan AMS ini agaknya merupakan cikal bakal dari sekolah-sekolah dasar (SD), menengah pertama (SLTP), dan menengah atas (SLTA) yang menjadi sistem persekolahan sejak masa kemerdekaan Indonesia. Perkembangan sekolah yang semakin merakyat dalam batas yang cukup jauh telah merangsang kalangan Islam untuk memberikan respon. Dalam pandangan mereka, politik dan kebijakan pemerintah Hindia Belanda masih sangat diskriminatif terhadap anak-anak muslim, dengan mempersempit peluang mereka memasuki sekolah-sekolah itu. Dari sudut ini, kalangan Islam memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan kecerdasan mereka atas prinsip persamaan sebagaimana menjadi asas ajaran Islam. Namun, di sisi lain, pendidikan Islam sudah saatnya menawarkan pola pendidikan yang lebih maju, baik dalam hal kelembagaan, struktur materi, maupun metodologinya, sehingga dapat mengimbangi sekolah-sekolah ala Belanda (gubernemen). 80
Kesadaran untuk memperbaharui atau modernisasi pendidikan Islam ini, pada tingkat awal, direalisasikan dengan pembentukan lembagalembaga pendidikan Islam modern, yang selain terpengaruh gagasan pembaharuan madrasah di Timur Tengah juga mengadopsi sistem pendidikan kolonial Belanda. Pemrakarsa pertama dalam hal ini adalah organisasi-organisasi ―modernis‖ Islam seperti Jami‘at Khair, al-Irsyad, dan Muhammadiyah. Namun dalam perkembangannya, pendirian lembaga pendidikan Islam ini menjadi agenda bagi hampir semua organisasi dan gerakan Islam, seperti Nahdlatul Ulama, Persatuan Islam, Persatuan Umat Islam (PUI), Al-Washliyah, dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti). Dengan
corak
masing-masing
yang
berbeda,
pendirian
lembaga
pendidikan Islam ini menandai babak baru perkembangan pendidikan Islam. Pada awal perkembangan adopsi gagasan modernisasi pendidikan Islam ini setidaknya ada dua kecenderungan dalam eksperimentasi organisasi-organisasi Islam di atas. Pertama, mengadopsi sistem dan lembaga pendidikan modern (Belanda) secara hampir menyeluruh. Eksperimen ini melahirkan sekolah-sekolah umum model Belanda tetapi diberi muatan pengajaran Islam, misalnya terlihat dengan jelas pada perubahan Madrasah Adabiyah yang didirikan oleh Abdullah Ahmad di Padang pada 1909 menjadi Sekolah Adabiyah (Adabiyah School) tahun 1915. Hanya terdapat sedikit ciri atau unsur dalam kurikulum Sekolah (HIS) Adabiyah yang membedakannya dengan sekolah Belanda. Selain mengadopsi seluruh kurikulum HIS Belanda, Sekolah Adabiyah menambahkan pelajaran agama 2 jam sepekan. Selaras dengan itu, Muhammadiyah mengadopsi sistem kelembagaan pendidikan Belanda secara konsisten dan menyeluruh dengan mendirikan sekolah-sekolah umum model Belanda hanya dengan memasukkan ―pendidikan agama‖ (istilah Muhammadiyah: met de Qur’an) ke dalam kurikulumnya. Selain itu, Muhammadiyah juga mencoba bereksperimen dengan sistem dan 81
kelembagaan madrasah modern dengan mendirikan Madrasah Mu‘allimin dan Madrasah Mu‘allimat. Hanya saja madrasah yang dikembangkan Muhammadiyah ini tidak menjadikan sistem dan kelembagaan pendidikan Islam tradisional, apakah surau atau pesantren, sebagai basisnya. Kedua, munculnya madrasah-madrasah modern, yang secara terbatas mengadopsi substansi dan metodologi pendidikan modern Belanda. Berbeda dengan eksperimen pertama, eksperimen kedua ini justru bertitik tolak dari sistem dan kelembagaan pendidikan Islam itu sendiri. Sistem madrasah, surau atau pesantren yang secara tradisional merupakan kelembagaan pendidikan Islam indigenous, dimodernisasi misalnya dengan mengadopsi aspek-aspek tertentu dari sistem pendidikan modern Belanda, misalnya kandungan kurikulum, teknik dan metodologi pengajaran. Bentuk kedua ini tampak pada eksperimen H. Abdul Karim Amrullah yang pada 1916 menjadikan Surau Jembatan Besi –lembaga pendidikan islam tradisional Minangkabau-- sebagai basis pengembangan madrasah modern, yang kemudian dikenal dengan Sumatera Thawalib. Berbarengan dengan itu, Zainuddin Labay el-Yunusi mengembangkan ―Madrasah Diniyah‖, yang pada awalnya merupakan ―madrasah sore‖ untuk
memberikan
pelajaran
agama
pada
murid-murid
sekolah
―gubernemen‖. Prakarsa ini diikuti oleh adiknya, Rangkayo Rahmah elYunusiah yang mendirikan ―Diniyah Puteri‖. Karakteristik yang sama dapat dijumpai pada madrasah-madrasah yang didirikan oleh Jami‘at alKhair di Jakarta tahun 1905, dan kemudian madrasah yang didirikan organisasi Al-Irsyad. Termasuk dalam bentuk ini adalah eksperimen yang dilakukan oleh Pesantren Mambaul Ulum di Surakarta pada tahun 1906. Sebagaimana pesantren lainnya, pesantren ini tetap mempunyai basis pada pendidikan dan pengajaran ilmu-ilmu Islam seperti al-Qur‘an, hadits, fiqh, dan bahasa Arab. Akan tetapi, pesantren ini juga memasukkan pelajaran membaca (tulisan latin), aljabar, dan berhitung ke dalam kurikulumnya. 82
Rintisan Pesantren Mambaul Ulum ini diikuti beberapa pesantren lainnya. Pesantren Tebu Ireng, misalnya, pada tahun 1916 mendirikan ―Madrasah Salafiyah‖ yang tidak hanya mengadopsi sistem pendidikan modern, tetapi juga mengajarkan berhitung, bahasa Melayu, ilmu bumi, dan menulis huruf latin. Model ini juga diadopsi oleh Pesantren Rejoso Jombang yang mendirikan sebuah madrasah pada 1927. Respons yang sama tetapi dalam nuansa yang sedikit berbeda terlihat dalam pengalaman Pondok Modern Gontor yang berdiri tahun 1926. Berpijak pada basis sistem dan kelembagaan pesantren, Pondok Modern Gontor memasukkan sejumlah mata pelajaran umum ke dalam kurikulumnya, mendorong santrinya mempelajari bahasa Inggris –selain bahasa Arab—dan melaksanakan sejumlah kegiatan ekstra kurikuler seperti olahraga, kesenian dan sebagainya. Kedua bentuk eksperimen ini pada dasarnya terus berlanjut. Satu sisi terdapat sistem dan kelembagaan ―pendidikan Islam‖ –yang sebenarnya pendidikan umum dengan memasukkan aspek-aspek tertentu pengajaran Islam. Di sisi lain ada sistem dan kelembagaan ―madrasah‖ yang
menitikberatkan
pada
pengajaran
agama
--baru
kemudian
memasukkan pelajaran umum-- dengan keragaman corak dan orientasinya. Organisasi-organisasi Islam lain yang bergerak di bidang pendidikan mendirikan madrasah dan sekolah dengan nama, jenis, dan jenjang yang bermacam-macam. Mathlaul Anwar di Menes, Banten mendirikan madrasah ibtidaiyah, tsanawiyah, aliyah, dan diniyah. PUI pada tahun1927 mendirikan madrasah diniyah, tsanawiyah dan madrasah pertanian. Perti tahun 1928 mendirikan madrasah dengan berbagai nama, di antaranya Madrasah Tarbiyah Islamiyah, madrasah alawiyah, tsanawiyah, dan kuliyah syariah. Sejak berdiri tahun 1926, NU juga mendirikan madrasah awaliyah, ibtidaiyah, tsanawiyah, muallimin wustha dan muallimin ulya. Sementara di Tapanuli Medan, al-Washliyah (1930) menyelenggarakan madrasah tajhiziyah, ibtidaiyah, tsanawiyah, qismul ‗ali, dan tahassus. Di 83
samping itu ada madrasah yang menggunakan nama formal Islam (Kuliah Muallimin Islamiyah) didirikan oleh Mahmud Yunus di Padang (1913) dan Islamic College didirikan oleh Pesantren Muslim Indonesia (Permi) tahun 1931. Menilik latar belakang di atas dapat disimpulkan bahwa proses pertumbuhan madrasah tidak hanya atas dasar semangat pembaharuan di kalangan umat Islam. Kelahiran madrasah sesungguhnya juga beralas tumpu pada dua faktor penting. Pertama, pendidikan Islam tradisional (surau, masjid, pesantren) dianggap kurang sistematis dan kurang memberikan kemampuan pragmatis yang memadai. Kedua, laju perkembangan sekolah-sekolah gubernemen di kalangan masyarakat cenderung meluas dan membawa watak sekularisme sehingga harus diimbangi dengan sistem pendidikan Islam yang memiliki model dan organisasi yang lebih teratur dan terencana. Pertumbuhan madrasah sekaligus menunjukkan adanya dua pola response umat Islam yang lebih progresif, tidak semata-mata defensif, terhadap politik pendidikan Hindia Belanda. Dengan berbagai variasi, sesuai dengan basis pendukungnya, madrasah tumbuh dan berkembang di berbagai lokasi dalam jumlah yang dari waktu ke waktu semakin meningkat.
C. Strategi Kepemimpinan Kepala Madrasah 1. Pengertian Kepemimpinan Kepala Madrasah Istilah kepemimpinan berasal dari kata dasar ―pimpin‖ yang artinya bimbing atau tuntun . Dari kata kerja pimpin lahirlah kata kerja memimpin dan kata benda pemimpin. Kemudian timbullah kata ―kepemimpinan‖ . Adapun istilah pemimpin dalam bahasa Inggris adalah leader dan kepemimpinan dari kata leadership. Menurut Suharsimi Arikunto kepemimpinan adalah usaha yang dilakukan untuk mempengaruhi anggota kelompok agar mereka dengan suka rela menyumbangkan kemampuannya secara maksimal demi pencapaian tujuan kelompok yang telah ditetapkan. Hadari Nawawi berpendapat bahwa kepemimpinan adalah kemampuan 84
menggerakkan, memberikan motivasi dan mempengaruhi orang-orang agar bersedia melakukan tindakan-tindakan yang terarah pada pencapaian tujuan melalui keberanian mengambil keputusan tentang kegiatan yang dilakukan. Meskipun masih
banyak definisi
atau pengertian tentang
kepemimpinan yang dikemukakan para ahli lainnya, namun demikian pada dasarnya definisi-definisi tersebut memiliki kesamaan konseptual, bahwa kepemimpinan merupakan suatu tindakan atau aktifitas kegiatan untuk mempengaruhi dan menggerakkan bawahan untuk mencapai tujuan organisasi. Dengan demikian pengertian kepemimpinan tersebut dapat timbul dari mana saja asalkan unsur-unsur dalam kepemimpinan itu terpenuhi, antara lain: adanya orang yang mempengaruhi, adanya orang yang dipengaruhi, adanya tujuan dan sasaran yang ingin dicapai, adanya aktifitas, interaksi dan otoritas. Dengan melihat beberapa unsur tersebut, kepemimpinan dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk beraktifitas, memimpin, menggerakkan, atau mempengaruhi bawahan, melakukan koordinasi serta megambil keputusan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam kenyataannya, apapun bentuk suatu organisasi pasti memerlukan seorang dengan atau tanpa dibantu orang lain untuk menduduki posisi pimpinan/pemimpin. Seseorang yang menduduki posisi pimpinan dalam suatu
organisasi
mengemban
tugas
melaksanakan
kepemimpinan,
termasuk dalam hal ini adalah organisasi pendidikan, yang mana pemimpin dalam organisasi ini adalah kepala sekolah/madrasah. Kepala madrasah adalah seorang tenaga fungsional guru yang diberi tugas untuk memimpin suatu madrasah dimana terjadi interaksi antara guru yang memberi
pelajaran
dan
murid
yang
menerima
pelajaran.
Dengan melihat penjelasan mengenai pengertian kepemimpinan dan 85
kepala madrasah tersebut, maka dapat ditarik suatu maksud bahwa kepemimpinan kepala madrasah adalah kemampuan kepala madrasah untuk
memimpin,
meggerakkan,
melakukan
koordinasi,
atau
mempengaruhi para guru dan segala sumber daya yang ada di madrasah sehinga dapat di daya gunakan secara maksimal untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. 2. Pendekatan Dalam Kepemimpinan Pendekatan dalam kepemimpinan dapat dikelompokkan dalam empat macam pendekatan: a. Pendekatan pengaruh kewibawaan (power influence approach) Pendekatan ini, dikatakan bahwa keberhasilan pemimpin dipandang dari segi sumber dan terjadinya sejumlah kewibawaaan yang ada pada para pemimpin, dan dengan cara yang bagaimana para pemimpin menggunakan kewibawaan terhadap bawahan. b. Pendekatan sifat (trait approach) Pendekatan ini menekankan pada kualitas pemimpin yang energik, intuisi yang tajam, pikiran kedepan, dan menarik. c. Pendekatan perilaku (behavior approach) Pendekatan ini menekankan pentingnya perilaku yang dapat diamati atau yang dilakukan oleh para pemimpin dari sifat-sifat pribadi atau sumber kewibawaan yang dimilikinya d. Pendekatan kontigensi (Continegency approach) Pendekatan ini menekankan pada ciri pribadi pemimpin dan situasi, mengemukakan dan mencoba untuk mengukur atau memperkirakan ciri-ciri pribadi ini, dan membantu pimpinan dengan garis pedoman perilaku yang bermanfaat yang didasarkan kepada kombinasi dari kemungkinan
yang
bersifat
kepribadian
dan
situasional.
Dari keempat model pendekatan tersebut, maka pendekatan kontigensi 86
nampaknya lebih kondusif, karena pemimpin bisa melaksanakan tugasnya dipengaruhi oleh faktor-faktor situsional, sehingga lebih efektif melakukan tugasnya. Keberhasilan kepemimpinan hakikatnya berkaitan dengan tingkat kepedulian seorang pemimpin terlibat terhadap kedua orientasi , yaitu; 1) apa yang telah dicapai oleh organisasi (organizational achievement) yaitu mencakup; produksi, pendanaan, kemampuan adaptasi dengan program-program inovarif dan sebagainya, 2) pembinaan terhadap organisasi (organizational maintenance), berkaitan dengan variable kepuasan bawahan, motivasi dan semangat kerja. Ada tiga pendekatan untuk memperbaiki kepemimpinan: 1) Seleksi, apabila terjadi jabatan kepemimpinan yang kosong perlu adanya seleksi untuk mengisi jabatan tersebut. Penyeleksian dengan melalui beberapa prosedur diantaranya; menganalisis cirriciri jabatan yang kosong, tes terhadap kandidat, keberhasilan kandidat dan lain-lain. 2) Pelatihan, pelatihan merupakan metode yang paling banyak dipakai untuk memperbaiki kepemimpinan. Ada tiga keterampilan melalui pelatihan; pertama keterampilan pengelolaan (managerial skills), kedua Pengetahuan teknis (technical knowledge) yaitu pelatihan khusus untuk pengembangan proses belajar, seperti; programmed
text
book,
teaching
machine,
computeraided
instruction, equipment simulators, videotaped demonstrations, ketiga
keterampilan
konseptual
(conceptual
skills)
seperti
permainan kasus dan bisnis secara meluas dipakai sebagai metode pelengkap untuk keterampilan belajar tenang; analisis persoalan, forecasting,
planning,
pengambilan
keputusan
juga
tenik
mengembangkan gagasan.
87
3) Rekayasa situasi (situational engineering) Dalam pendekatan ini situasi diubah untuk ebih dapat bersaing dengan pemimpin, misalnya perubahan yang terdapat di dalam organisasi unit kerja, seperti peningkatan atau merosotnya otoritas pemimpin,
peningkatan
atau
merosotnya
tentang
kendali
pemimpin. 3. Strategi Kepemimpinan Kepala Madrasah Bertolak dari pengertian kepemimpinan yang telah dibicarakan di atas, maka di dalam kepemimpinan ada tiga unsur yang saling berkaitan yaitu adanya unsur manusia, unsur sarana dan unsur tujuan. Dan untuk dapat memperlakukan ketiga unsur tersebut secara seimbang, seorang pemimpin harus memiliki pengetahuan atau kecakapan dan ketrampilan yang diperlukan dalam melaksanakan kepemimpinannya. Pengetahuan dan ketrampilan dapat diperoleh dari pengalaman belajar secara teori ataupun dari pengalamannya dalam praktek selama menjadi pemimpin. Namun secara tidak disadari seorang pemimpin dalam menempatkan ketiga unsur tersebut dalam rangka menjalankan kepemimpinannya menurut caranya sendiri dan cara yang digunakan merupakan pencerminan dari sifat-sifat dasar kepribadian seorang pemimpin. Cara atau teknik seseorang dalam menjalankan
suatu
kepemimpinan
dikatakan
sebagai
strategi
kepemimpinan seseorang. Adapun strategi kepemimpinan yang pokok ada 3, yaitu: a. Strategi Kepemimpinan Otokrasi Karakteristik kepemimpinan strategi ini adalah sebagai berikut: 1) Seorang pemimpin bertindak sebagai diktator terhadap anggotaanggotanya. 2) Memimpin adalah menggerakkan dan memaksa kelompok. 3) Kekuasaan pemimpin dibatasi oleh undang-undang.
88
4) Penafsirannya sebagai pemimpin adalah tidak lain hanya menunjukkan dan memberi perintah. 5) Kewajiban bawahan hanyalah mengikuti dan menjalankan, tidak boleh membantah. 6) Pemimpin yang otokratis tidak menghendaki rapat (musyawarah). Musyawarah hanyalah berarti untuk menyampaikan instruksiinstruksi. 7) Dalam tindakannya dan perbuatannya tidak dapat diganggu gugat. Supervisi bagi pemimpin strategi otokrasi hanyalah berarti mengontrol apakah segala perintahnya ditaati atau dijalankan dengan baik. b. Strategi Kepemimpinan Laissez Faire Stategi kepemimpinan ini sebenarnya pemimpin tidak memberikan pimpinan. Stategi ini dapat diartikan sebagai membiarkan orang-orang berbuat sekehendaknya. Adapun ciri-cirinya adalah: 1) Kepemimpinan
strategi
ini
pemimpin
sama
sekali
tidak
memberikan kontrol dan koreksi terhadap pekerjaan anggotanya. 2) Pembagian
tugas
dan
kerja
diserahkan
kepada
anggota-
anggotanya, tanpa petunjuk atau saran dari pimpinan. 3) Kekuasaan dan tanggung jawab simpang-siur dan tidak merata. 4) Tingkat keberhasilan lembaga semata-mata disebabkan karena kesadaran dan dedikasi beberapa anggota, dan bukan karena pengaruh pemimpinnya. 5) Segala kegiatan dilakukan tanpa rencana yang terarah dan tanpa pengawasan dari pimpinan. c.
Strategi Kepemimpinan Demokratis. Strategi
Kepemimpinan Demokratis
Pemimpin strategi
ini
menafsirkan kepemimpinannya bukan sebagai diktator, melainkan sebagai pemimpin di tengah-tengah anggota kelompoknya. Hubungan dengan anggota kelompok bukan sebagai majikan terhadap buruhnya. 89
Adapun ciri-ciri dari kepemimpinan demokratis adalah: 1) Bekerja untuk mencapai tujuan bersama. 2) Dalam bertindak selalu berpangkal pada kepentingan dan kebutuhan kelompoknya dan mempertimbangkan kesanggupan serta kemampuan kelompoknya. 3) Dalam melaksanakan tugas, pemimpin dengan stategi ini mau menerima dan bahkan mengharapkan pendapat dan saran-saran dari kelompoknya. 4) Mau menerima kritik-kritik yang membangun dari para anggota sebagai umpan balik dan dijadikan bahan pertimbangan dalam tindakan-tindakan berikutnya. 5) Mempunyai kepercayaan terhadap diri sendiri dan menaruh kepercayaan pula pada anggota-anggotanya bahwa mereka punya kesanggupan bekerja dengan baik dan bertanggung jawab. 6) Selalu memupuk rasa kekeluargaan dan persatuan, dan senantiasa berusaha membangun semangat anggota-anggotanya dalam menjalankan dan mengembangkan daya kerjanya.
d. Strategi Pseudo Demokatis Pseudo berarti palsu, pura-pura (M. Moh. Rifai, 1986, hal 39). Pemimpin
semacam
ini
berusaha
memberikan
kesan
dalam
penampilannya seolah-olah dia demokratis, sedangkan maksudnya adalah otokrasi, mendesakkan keinginannya secara halus. Jadi, pemimpin pseudo demokratis sebenarnya adalah orang otokratis, tetapi pandai menutup-nutupi sifatnya dengan penampilan yang memberikan kesan seolah-olah ia demokratis.
90
Sedangkan Sondang P. Siagian membagi strategi kepemimpinan menjadi lima yakni: 1) Tipe otokrasi 2) Militerisme 3) Paternalistis 4) Karismatik 5) Demokratis (Sondang P. Siagian, 1989, hal 41) Kepemimpinan demokratis adalah kepemimpinan yang aktif, dinamis, dan terarah yang berusaha memanfaatkan setiap orang untuk kepentingan kemajuan dan perkembangan organisasi. Saran-saran, pendapat-pendapat dan kritik-kritik setiap anggota disalurkan dengan sebaik-baiknya dan diusahakan organisasi
memanfaatkannya sebagai
perwujudan
bagi
pertumbuhan
tanggung
jawab
dan
kemajuan
bersama.
Tipe
kepemimpinan demokratis ini memang paling sesuai dengan konsep Islam Yang mana di dalamnya banyak menekankan prinsip musyawarah untuk mufakat. Hal ini sebagaimana terdapat dalam Q.S Ali Imron ayat 159, yang berbunyi :
91
Artinya: ‖Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati
kasar,
tentulah
mereka
menjauhkan
diri
dari
sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepadaNya.‖(Q.S Ali Imron: 159) (Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahan, Toha Putra, Semarang, 56) Dari ayat di atas disebutkan bahwasannya kita diperintahkan untuk melakukan musyawarah dalam mengambil keputusan. Hal ini mengingat bahwa didalam musyawarah silang pendapat selalu terbuka. Apalagi jika orang-orang yang terlibat terdiri dari banyak orang. Oleh sebab itu kita dianjurkan
untuk
bersikap
tenang
dan
hati-hati
yaitu
dengan
memperhatikan setiap pendapat, kemudian mentarjihkan suatu pendapat dengan pendapat lain yang lebih banyak maslahat dan faidahnya bagi kepentingan bersama dengan segala kemampuan yang ada. (Ahmad Mustofa Al Maragi, 1993, hal 195-196) Berdasarkan ayat di atas, tepat sekali apabila kepemimpinan demokratis itu diterapkan dalam lembaga pendidikan. Hal ini dikarenakan dalam kepemimpinan demokrasi ini setiap personal dapat berpartisipasi secara aktif dalam mengembangkan misi dan idenya. Jika merujuk pada sejarah kemunculan madrasah, maka strategi ini sejalan dengan awal mula kehadiran madrasah itu sendiri yakni madrasah tumbuh dan berkembang dari, oleh dan untuk masyarakat Islam itu sendiri. Sehingga sejak awal, madrasah merupakan konsep pendidikan berbasis masyarakat (community based education). 92
D. Kesimpulan Ada beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh kepala madrasah dalam melakukan tugasnya diantaranya strategi otokrasi, laissez faire, demokrasi dan psudo demokratis. Kepemimpinan demokratis adalah kepemimpinan yang aktif, dinamis, dan terarah yang berusaha memanfaatkan setiap orang untuk kepentingan kemajuan dan perkembangan organisasi. Saran-saran, pendapat-pendapat dan kritik-kritik setiap anggota disalurkan dengan sebaik-baiknya dan diusahakan memanfaatkannya
bagi
pertumbuhan
dan
kemajuan
organisasi
sebagai
perwujudan tanggung jawab bersama. Tipe kepemimpinan demokratis ini memang paling sesuai dengan konsep Islam Yang mana di dalamnya banyak menekankan prinsip musyawarah untuk mufakat, jadi diantara strategi kepemimpinan
kepala
madrasah
hendaknya
mendahulukan
musyawarah,
mendengarkan saran dan kritik bawahannya serta percaya diri dan mempercayai orang lain.
93
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren (Jakarta: Dharma Bakti, 1984)Ahmad Mustofa Al Maragi, Terjemah Tafsir Al-Maragi 4, Toha Putra, Semarang, 1993 Aboebakar, Sedjarah Hidup K.H A.Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar, (Jakarta, Panitia Buku Peringatan, 1957 ) Achmad Zaini, “ Pembaharuan Pendidikan Wahid hasyim ’’, Nizamiyah, Vol. 1, No. 2, (1998) Amin Rais, et. al, Sosial Issues in Shoutheast Asia, kompilasi hasil Workshop, editor : Sharom Ahmad dan Sharon Shoddque , Institute of Shoutheast Asian Studies, 1987 Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis KaryaKarya Tulis Marx, Durkheim dan Max Weber, terj. Oleh Soeheba Kramadibrata dari Capitalism and Modern Social Theory: an Alaysis of Writing of Marx, Durkheim and Max Weber (Jakarta: UIP, 1985) Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Logos, Jakarta, 2000. Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahan, Toha Putra, Semarang M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, ( Bandung : Mizan, 1996 ), Cet. ke-2 Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005
94
Tadjab, Perbandingan Pendidikan, Surabaya: Karya Abditama, 1994 cet ke I M. Moh. Rifai, Administrasi Pendidikan, Jemmars, Bandung, 1986 Sondang P. Siagian, Filsafat Administrasi, CV Haji Masagung, Jakarta, 1989
95