STRATEGI INDIVIDU YANG TERLIBAT CYBER-ROMANTIC RELATIONSHIP (CRR) DALAM MERESPON PERSELINGKUHAN PADA HUBUNGANNYA Oleh : Maria Cyntia Candra Dewi (071015077) - B
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi fenomena perselingkuhan antar individu yang terlibat dalam hubungan yang terjadi di internet – yang kemudian disebut cyber-romantic relationship (CRR), khususnya mengenai strategi individu dalam CRR merespon perselingkuhan dalam hubungannya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian studi kasus pada individu yang pernah mengalami fenomena perselingkuhan dalam CRR. Fenomena tersebut menarik diteliti, mengingat minimnya riset khusus mengenai CRR yang berbanding terbalik dengan semakin umumnya fenomena CRR. Penelitian berfokus pada perselingkuhan karena perselingkuhan dianggap sebagai bentuk akhir dari pengkhianatan yang mengacaukan sistem sharing antar individu dalam hubungan, kepercayaan, rasa hormat, keyakinan antar individu. Sedangkan, respon terhadap perselingkuhan dalam konteks CRR tentu berbeda dengan RLR, mengingat interaksi dalam hubungan yang termediasi dalam CRR. Hasil penelitian yang diperoleh : strategi yang digunakan bervariasi pada tiap informan, yang kesemuanya merupakan strategi yang bersifat non-competitive, dipengaruhi oleh faktor kharakteristik hubungan dalam CRR, serta latar belakang sosial budaya dan kasus pada tiap informan. Kata Kunci: Cyber-Romantic Relationship, Perselingkuhan , Strategi Manajemen Konflik LATAR BELAKANG Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi fenomena perselingkuhan antar individu yang terlibat dalam hubungan yang terjadi di internnet – yang dalam penelitian ini kemudian disebut cyberromantic relationship (CRR) (Döring 2002), khususnya mengenai bagaimana strategi individu dalam CRR merespon perselingkuhan dalam hubungannya. Fenomena tersebut menarik untuk diteliti, mengingat minimnya riset dalam bidang hubungan antar persona, khususnya CRR, yang berbanding terbalik dengan semakin umumnya fenomena CRR sebagai dampak peningkatan jumlah pengguna internet yang tinggi. Di samping itu, kharakteristik CRR berbeda dengan hubungan yang berlangsung secara konvensional dalam dunia nyata – selanjutnya peneliti sebut sebagai real-life relationship (RLR) (Baker 2002) − sebagai konsekuensi dari minimnya faktor kehadiran fisik dalam hubungan, tentu berimplikasi pada interaksi dan proses komunikasi yang terjadi di dalamnya. Dalam RLR, perselingkuhan dianggap sebagai bentuk akhir/utama dari pengkhianatan, dimana umumnya perselingkuhan didefinisikan sebagai tindakan seksual di luar hubungan yang sedang dijalani atau suatu ikatan pernikahan (Merkle & Richardsons 2000). Di satu sisi, dalam CRR ikatan kepercayaan tidak bisa dengan mudah dilanggar oleh tindakan seksual secara fisik, karena adanya pemisahan secara geografis antar individu dalam hubungan tersebut, sehingga sebagai konsekuensinya definisi perselingkuhan mungkin perlu diperluas lebih dari perilaku seksual. 1
Tingginya keterbukaan dalam CRR, diasumsikan mampu memperkuat komitmen dalam menghadapi pertentangan dan memelihara hubungan. Namun, hal ini menjadi paradox, karena dalam konteks internet pemutusan interaksi dapat menjadi begitu mudah, semudah satu kali klik pada tombol off atau disconnect. Di samping itu, penggunaan internet sendiri sebagai dasar pembentukan dan mantain hubungan juga memperbesar probabilitas
pengkhianatan, melalui kemudahan yang
ditawarkan internet dalam menemukan dan mengeksplorasi pasangan signifikan. Identitas anonim dan ruang yang tersedia secara bebas memungkinkan setiap orang bebas untuk melakukan interaksi tanpa batas dengan lawan jenis, emosional maupun seksual. Infidelity Statistic (2011), juga menyebutkan fenomena mengejutkan mengenai internet yakni Approximately 70% of time on-line is spent in chat rooms or sending e-mail; of these interactions, the vast majority are romantic in nature. Up to 37% of men and 22% of women admit to having affairs. Researchers think the vast majority of the millions of people who visit chat rooms, have multiple "special friends.
Pada akhirnya, dalam menghadapi isu pengkhianatan dalam konteks yang jauh berbeda, maka individu yang terlibat dalam CRR tentu memiliki cara-cara yang unik dalam merespon isu pengkhianatan dalam hubungannya. Kajian inilah yang kemudian ingin peneliti eksplorasi lebih lanjut, yakni untuk mengeksplorasi strategi individu yang terlibat CRR dalam merespon perselingkuhan dalam hubungannya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan tipe penelitian eksploratif. Metode penelitian ialah studi kasus, yakni merupakan sebuah eksplorasi dari sistem pembatasan sebuah kasus secara terperinci, dengan pengumpulan data secara mendalam melalui berbagai sumber informasi. Unit analisis dalam penelitian ini, ialah teks hasil peneliti online interview dengan beberapa informan yang telah dipilih peneliti, melalui situs chat personal, yakni Skype. Sebagai data sekunder untuk melengkapi penelitian, peneliti juga melakukan observasi pada forum diskusi online mengenai cyberdating dan online infidelity, untuk memperoleh sudut pandang komunitas virtual mengenai perselingkuhan dalam cyberspace. Subyek penelitian dipilih secara purposive, yakni merupakan individu yang memenuhi kriteria sebagai berikut: 1) Pernah atau sedang menjalani CRR – dimaksudkan sebagai cyber-romantic relationship, dimana untuk dapat dianggap pernah atau sedang menjalani CRR, hubungan yang dijalin harus memenuhi kriteria sebagai berikut: a) memenuhi asumsi dasar hubungan interpersonal Littlejohn & Foss (2005), b) initial contact dan kontak dominan terjadi melalui internet, serta c) melibatkan tiga elemen dasar, yakni intimacy, passion, dan commitment (yang dapat di-shared melalui pertukaran teks, suara, atau gambar digital secara asynchronous atau or synchronous).
2
2) Pernah atau sedang mengalami fenomena perselingkuhan dalam CRR – perselingkuhan dalam konteks ini merujuk pada definisi Dr. Gerald Weeks (dalam Smith 2011), yakni pelanggaran terhadap perjanjian yang diasumsikan atau dinyatakan pasangan mengenai eksklusivitas secara emosional dan / atau seksual. Perselingkuhan tidak dapat dibatasi dalam perilaku secara spesifik, karena perselingkuhan terjadi dalam beberapa dimensi, misalnya seksual, emosional, dan sebagainya. Informan yang dipilih dalam penelitian ini berasal dari berbagai latar belakang sosial budaya untuk memperoleh pandangan yang beragam dari paradigma latar belakang sosial yang bervariasi. Keseluruhan informan, terdiri dari 5 orang, masing-masing berasal dari Belgia (Frederick Defrenne), Belanda-Indonesia dengan kewarganegaraan Amerika (Marko), Perancis (Dimitris), Indonesia (Bosva), dan Rusia (Brianna). Kelima informan, diperoleh peneliti melalui beragam variasi situs online dating, sesuai dengan hasil survey yang dilakukan oleh Fiore & Donath (2005) dalam tiga kategori dari situs online dating, yakni: search/sort/match systems (situs AreYouInterested.com dan AsianDating.com), personality-matching systems (situs Match.com), dan social network system (situs Interpals.net). Disamping itu, peneliti juga melakukan observasi pada komunitas online sebagai data sekunder untuk mendukung penelitian, dimana peneliti berusaha mengeksplorasi persepsi dan pandangan komunitas terhadap perselingkuhan pada CRR.
PEMBAHASAN Tahapan Perselingkuhan dalam CRR Berdasarkan konsepsi teoritis yang dinyatakan oleh Dr. Gerald Weeks (2011), definisi perselingkuhan ialah pelanggaran terhadap perjanjian yang diasumsikan atau dinyatakan pasangan mengenai eksklusifitas secara emosional dan/ atau secara seksual. Perselingkuhan tidak dapat dibatasi dalam perilaku secara spesifik, karena perselingkuhan terjadi dalam beberapa dimensi, misal: seksual, emosional, dan sebagainya. Sedangkan berdasarkan pendapat informan, peneliti dapat mengutip beberapa pernyataan, sebagai berikut: Maybe, destructive act over your romantic relationship which is involve another people (Pelaku1 2013). It’s every kind of violation of the couple statement in very early of relationship bounding, violation of relationship exclusivity (Pelaku2 2013). Intimate emotional contact with prospective others (Pelaku3 2013).
Berdasarkan pendapat informan mengenai perselingkuhan dalam CRR, definisi yang disebutkan tidak jauh berbeda dengan definisi yang disampaikan Weeks (2011) mengenai perselingkuhan secara general. Merangkum pendapat informan, peneliti dapat menyimpulkan definisi ‘perselingkuhan’ pada CRR berdasar studi kasus yang dilakukan peneliti pada kelima informan. ‘Perselingkuhan’ dari 3
penelitian ini dapat disimpulkan sebagai semua jenis tindakan destruktif dalam CRR, meliputi pelanggaran terhadap perjanjian awal hubungan, eksklusivitas hubungan, maupun kontak, yang melibatkan prospective others di luar hubungan, yang berpotensi mempengaruhi secara negatif emotional bounding antar individu dalam CRR. Mengamati bentuk perselingkuhan yang disebutkan oleh informan, peneliti mendapati keunikan dari bentuk-bentuk perselingkuhan yang disebutkan, dimana bentuk kontak tersebut sebagian besar merupakan bentuk kontak yang termediasi. Same things as a normal romance I would say. Flirting with another person, sending private pictures, etc (Pelaku1 2013). For me it depends on how we define our relationship first. Kinda our statement in our very first start about what gonna be allow and what not. Personally, I think I’ll count start over another romantic relationship as infidelity, flirt or intimate chat, sex cam, all the special intimate things you do outside the relationship and also still searching for someone else (Pelaku2 2013). Sebenarnya itu tergantung individunya. Buat aku sama aja kaya hubungan normal. Kalau memang aku sudah komitmen sama satu orang ya aku cuma kasih perhatian dan waktu ku buat orang itu. Chat dan flirting sama yang lain udah dianggap selingkuh, karena aku sudah janji sama seseorang. Mungkin physically aku ga selingkuh, tapi emotionally I am cheating with keep searching on someone else (Korban1 2013).
Bentuk-bentuk perselingkuhan yang disebutkan sebagian besar informan ialah flirting, intimate chat, sex cam, mengirim gambar atau hal lain yang bersifat intim, mencari pasangan prospektif lain, dan memulai hubungan romantis lain di luar hubungan yang telah dibangun, dimana bentuk-bentuk kontak tersebut juga terjadi dalam konteks cyber space. Hal tersebut dapat memberikan gambaran mengenai bagaimana fitur-fitur teknologi dalam internet dapat memberikan fasilitas bagi terjadinya perilaku atau tindakan perselingkuhan dengan cara yang lebih mudah, sebagaimana fitur-fitur tersebut juga mendukung pembentukan hubungan sosial dengan cara yang lebih mudah dan praktis. Meski demikian, peneliti juga menemukan beberapa pendapat yang menyatakan bahwa bentuk perselingkuhan dalam CRR sama dengan bentuk perselingkuhan dalam RLR, misalnya pada Pelaku1 dan Korban1. Sehingga kemudian, tindakan seksual secara fisik tanpa termediasi juga dapat dimaknai sebagai perselingkuhan. Sedangkan, dalam pendapat Pelaku2, pembatasan tersebut tergantung pada statement awal partisipan mengenai batasan-batasan atau peraturan mengenai hubungan. Di sisi lain, peneliti juga mendapati pendapat yang cukup menarik mengenai kontak fisik di luar CRR, yakni: Buat gw hubungan online terbatas cuma di internet aja. Ga munafik gw tetep butuh lah kontak fisik. Gw rasa selama kontak gw di dunia nyata ga mempengaruhi hubungan emosional gw dan pasangan, ga masalah sih. Gw ga menganggap itu sebagai selingkuh soalnya itu dasarnya cuma buat kepuasan fisik aja, sedangkan hubungan yang gw bangun di online itu beda konteks, dasarnya buat kepuasan emosional (Pelaku3 2013). Well it’s a totally fine for me. You cannot kiss your computer right? I do like him and we have a lot of emotional exchange, but well I need a bit of physical contact. Maybe I feel a little of guilt, but no it’s not a betrayal or infidelity, it’s a totally different things. It just my physical need (PelakuKorban1 2013).
4
Dalam pernyataannya, informan (Pelaku3 dan PelakuKorban1) menyatakan bahwa CRR memiliki dimensi hubungan yang berbeda dengan RLR, karena minimnya kebutuhan akan kedekatan secara fisik dalam CRR. Hal ini kemudian mempengaruhi dimensi hubungan secara langsung, sebagaimana yang disampaikan informan hanya pada tataran emosional, sehingga kontak fisik dianggap tidak menyalahi hubungan selama kontak tersebut tidak mempengaruhi kondisi emosional individu. Selanjutnya, berdasarkan hasil online interview yang dilakukan terhadap informan, mengilustrasikan perkembangan tahapan CRR yang dialami informan dalam bentuk bagan timeline, sebagai berikut:
Bagan III.1 Timeline Tahapan Hubungan Pelaku1
Bagan III.2 Timeline Tahapan Hubungan Pelaku2 Melalui kedua bagan di atas, dapat diamati bahwa tahapan hubungan yang terjadi antara Pelaku1 dan Pelaku2 cenderung sama, kecuali kontak dengan prospective others pada Pelaku1 telah terjadi sebelum konflik, sedangkan pada Pelaku2 terjadi setelah konflik. Hal tersebut disebabkan karena, pada Pelaku1, kontak awal dengan prospective others hanya disebabkan oleh curiosity, yang kemudian bertahap semakin intens karena berkurangnya ketertarikan Pelaku1 dengan partner. Selanjutnya, dengan timbulnya konflik dalam hubungan, di mana partner menuntut perhatian penuh dari Pelaku1, maka hubungan berujung pada titik di mana Pelaku1 merasa telah berbohong, yakni ketika ia telah merasakan bahwa ikatan emosionalnya lebih dirasakan pada partner affair dibandingkan dengan partner hubungannya. Sedangkan pada Pelaku2, kontak dengan
5
prospective other lebih disebabkan oleh kejenuhan Pelaku2 dengan konflik dalam hubungan, sehingga membuatnya ingin mengakhiri hubungan dan memulai hubungan baru.
Bagan III.3 Timeline Tahapan Hubungan Pelaku3 Berbeda dengan Pelaku1 dan Pelaku2, pada Pelaku3 kontak dengan prospective others telah dimulai semenjak awal pertemuan, bahkan sebelum hubungan dilabeli. Pelaku3 menyebutkan bahwa hal tersebut disebabkan faktor kebosanan apabila ia hanya berfokus pada satu hubungan saja. Konflik pada hubungan Pelaku3 juga terjadi akibat perselingkuhan yang dilakukannya diketahui oleh partner.
Bagan III.5 Timeline Tahapan Hubungan PelakuKorban1 Sedangkan, pada Korban1 dan PelakuKorban1, peneliti mengamati tahapan hubungan yang hampir sama, kecuali PelakuKorban1 menyadari perselingkuhan yang dilakukan partnernya dan membalas dengan perlakuan yang sama, yang tidak terjadi dengan Korban1. Meskipun pada Korban1, perselingkuhan partner tidak diketahui hingga partner menyatakan perselingkuhan pada pemutusan hubungan, namun menurunnya intensitas kontak terjadi setelah konflik berlangsung, dimana pada masa-masa tersebut, sebagaimana terjadi pada hubungan informan lainnya, terdapat kemungkinan besar tejadinya perselingkuhan. Sehingga, peneliti dapat menyimpulkan bahwa, sebagian besar perselingkuhan atau kontak dengan prospective other, terjadi dipicu karena: 1) adanya konflik dalam hubungan, dengan variasi konflik yang beragam, misalnya tuntutan perhatian yang lebih, ketidakyakinan akan perasaan partner, tuntutan akan kepastian masa depan, kecemburuan, dan sebagainya. Namun perselingkuhan juga dapat pula disebabkan karena, 2) tidak adanya statement awal yang jelas mengenai hubungan, sebagaimana yang terjadi pada Pelaku2, Pelaku3, dan PelakuKorban1, sehingga kemudian batasan 6
kontak dengan prospective others pun cenderung bias. Di samping itu, 3) perselingkuhan dapat pula dipicu oleh alasan-alasan pribadi seperti kejenuhan/kebosanan, rasa cemburu, dan rasa ingin tahu. Peneliti juga mengamati bahwa a) tindakan perselingkuhan cenderung dilakukan oleh individu dengan pemaknaan awal terhadap perasaan cinta sebagai sexual attraction – ‘I guess the relationship was build arround sex’ (Pelaku1 2013) – sebagaimana yang dapat peneliti amati pada Pelaku1, Pelaku2, dan Pelaku3, dimana kesemua pelaku perselingkuhan dalam penelitian ini cenderung memiliki konsepsi awal mengenai cinta sebagai sexual attraction. Terakhir, peneliti juga mengamati adanya kemiripan dalam kelima kasus CRR yang diteliti, yakni proses perkembangan hubungan dan perselingkuhan yang cenderung terjadi secara cepat, dimana hubungan hanya bertahan hingga paling lama ±6 bulan, dengan rata-rata kontak dengan prospective others hanya setelah 2-3 bulan hubungan (kecuali pada Pelaku3, yang terjadi semenjak awal hubungan). Sehingga, peneliti dapat menyatakan bahwa, b) CRR cenderung berlangsung dalam rentang waktu yang cepat, dan perselingkuhan pun dapat dengan mudah terjadi – dapat diamati dari bagaimana proses pelaku perselingkuhan mendapatkan pasangan baru dalam tempo waktu yang relatif cepat. Strategi dalam Merespon Perselingkuhan Sebagai hasil dari pemetaan yang dilakukan peneliti terhadpn tahapan CRR informan, peneliti mengilustrasikan tahapan tersebut dalam satu bagan umum, yang dapat menggambarkan pola tahapan hubungan dalam CRR secara umum, sebagai berikut:
Bagan III.6 Timeline Tahapan CRR Dalam bagan tersebut, peneliti menampilkan pula kemungkinan perselingkuhan berdasarkan pola tahapan hubungan yang dialami oleh informan, dimana kemungkinan tertinggi perselingkuhan dimulai dari awal timbulnya konflik dalam hubungan. Sedangkan, respon terhadap perselingkuhan umumnya dilakukan perselingkuhan ketika intensitas kontak antar partisipan mulai berkurang, hal ini dapat dipahami karena pada tahap ini partisipan dalam hubungan dapat merasakan adanya perubahan yang negatif terhadap stabilitas hubungan, sehingga partisipan dalam hubungan akan berusaha melakukan respon berupa strategi manajemen konflik dalam upaya untuk mengembalikan stabilitas hubungan. 7
Lalu, untuk mengetahui bagaimana respon individu akan fenomena perselingkuhan dalam hubungannya, peneliti melakukan analisis terhadap pernyataan informan mengenai responnya terhadap fenomena perselingkuhan. That's when she asked me if I was still "hers", I lied :/ I said yes.. but i was more with the chinese girl you know, and because it has been a long time since we talked. I guess most of the time we let things die (Pelaku1 2013). I’m not sure and not remember for sure, but that’s when we began talk rarely, we used to talk everyday before (even we’re not always chat, we always send email or voice not, or have a call) and everything became awkward between us, one day she asked me “anything wrong between us?”, I said no, but in the next day she was missing, I knew everything is over then (Pelaku2 2013) Iya email gw kena virus gt, terus email yang buat cewe laen kekirim ke dia, hahahha duh hina gw. trus dia sempat nanyain, gw bilang itu cuma random girls doang, dia bilang ok tapi gw tau dia bete, trus lama-lama makin jarang chat, trus seminggu gt tiba-tiba dia bilang kita kelaran aja, trus udah dia ngilang. dia nya langsung ngeblock gw abis ngomong gt (Pelaku3 2013). ...tiba-tiba dia berhenti hubungi aku, aku call handphone nya ga diangkat. Seminggu atau dua minggu setelah itu, aku lupa, dia message aku bilang ‘we’re done, i am enough with you and how far we are. I have a beter bf now, someone more real’. Terus apa? Yaudah. Aku harus gimana? If she is mean to be with me, she will never getting enough of me.... Kayaknya aku di block (Korban1 2013). Actually it’s quite funny, how we’re just off to each other. He was asking we to got this shit over. But suddenly, he added my I’m on a messenger, then he also added me on social network, and we talked again but only a lil bit. And he said sorry for what happened last time. (PelakuKorban1 2013).
Dari pernyataan informan di atas, menggunakan kategorisasi manajemen konflik Sillars (dalam Guerrero et al 2007), peneliti mendapati variasi strategi manajemen konflik yang digunakan informan, sebagai berikut: 1.
Pelaku1, Pelaku2 dan Korban1, cenderung menggunakan strategi yielding, cooperative orientation dan indirect communication. Seseorang yang menggunakan strategi ini akan mengesampingkan tujuan dan kepentingan pribadinya untuk kepentingan pasangan. Jenis strategi ini dapat memberi kenyamanan bagi pasangan, karena tidak ada ketidaksetujuan yang ditimbulkan atau eskalasi hubungan pada konflik. She started getting mad when I didnt have time for her. She started thinking I was intimate with other girls and she obviously didnt like it. Then I kept.. trying to make her feel special I guess (worry). It worked. I...I don't do it on purporse. I just wanted to reconfort her because she was.. getting all crazy. Crazy jealous, making scenes -_Btw, this girl just broke up with her fiance 4 months ago, they were living together and everything. So I knew she needed emotional attention and it wasnt really for me but more for her, see what I mean? (Pelaku1 2013).
8
Berdasarkan hasil online interview, strategi ini cenderung digunakan informan, karena informan merasa bahwa partner membutuhkan dukungan emosional, sehingga informan merasa perlu untuk memberi kenyamanan terhadap partner, meskipun ia di sisi lain merasakan ketidaknyamanan dalam hubungan. Sementara, kedua partner dari Pelaku1 dan Pelaku2 cenderung memiliki kesamaan pola dalam merespon kemungkinan perselingkuhan dalam hubungannya, yakni dengan menanyakan status hubungan, kemudian cenderung bersikap avoiding dengan bersikap seakan tidak ada permasalahan setelahnya. 2.
Pada Pelaku3, strategi yang digunakan ialah Collaborating, yakni berupa kesediaan informan untuk melakukan diskusi dan memberikan penjelasan ketika partner menanyakan mengenai permasalahan perselingkuhan, serta kepekaan informan terhadap bagaimana perasaan dan sikap partner. Sedangkan partner, cenderung menggunakan strategi yang sama, namun melakukan pemutusan hubungan secara tiba-tiba kemudian.
3.
Sedangkan, PelakuKorban1 cenderung menggunakan strategi avoiding, merupakan perpaduan antara coopertive dan cooperative strategy, dengan gaya komunikasi indirect. Strategi avoiding tersebut
ditunjukkan
PelakuKorban1
dengan
bereaksi
seakan
tidak
peduli
terhadap
perselingkuhan, meskipun sebenarnya PelakuKorban1 merasa terganggu terhadap fenomena perselingkuhan tersebut. Respon
terhadap
fenomena
‘perselingkuhan’
dan
konsepsi
individu
mengenai
‘perselingkuhan’ yang telah dijabarkan peneliti tersebut, tentunya tidak terlepas dari karakteristik awal dari pembentukan CRR. Dari kesemua strategi yang digunakan, kesemuanya merupakan strategi yang bersifat non-competitive, dimana hal tersebut mungkin memiliki relasi dengan bagaimana partisipan yang terlibat CRR telah mempersiapkan diri akan sifat hubungan yang cenderung temporer. Sehingga, respon yang timbul kemudian cenderung less-emotional dan lebih tenang, meskipun hubungan melibatkan aspek emosional yang tinggi. Sedangkan ditinjau dari latar belakang sosial budaya informan, peneliti dapat mengamati perbedaan, dimana Pelaku3 dan partner merupakan satu-satunya pasangan yang menggunakan strategi collaborating, dimana latar belakang sosial budaya Pelaku3 berasal dari negara timur, sedangkan informan lain (berasal dari latar belakang sosial negara barat) cenderung menggunakan strategi yielding dan avoiding. Hal tersebut berdasarkan asumsi peneliti memiliki keterkaitan dengan budaya musyawarah dan kolektif yang cenderung lebih tinggi pada negara-negara timur, sehingga upaya mediasi cenderung lebih dilakukan meski ekspektasi terhadap prospek hubungan rendah. Dalam konteks manajemen konflik, indvidu yang terlibat dalam CRR memiliki potensi besar untuk lari dari permasalahan dengan adanya kemudahan untuk disconnect dengan pasangannya, dibandingkan berusaha untuk menyelesaikan masalah dalam segala kompleksitas penyelesaian masalah. Sehingga menjadi masuk akal kemudian apabila fenomena perselingkuhan dalam CRR akan mengarah pada pemutusan hubungan secara permanen. 9
KESIMPULAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan peneliti, didapatkan variasi strategi manajemen konflik yang digunakan informan, sebagai berikut: 1. Pelaku1, Pelaku2 dan Korban1, cenderung menggunakan strategi yielding, cooperative orientation dan indirect communication. 2. Pada Pelaku3, strategi yang digunakan ialah collaborating, 3. Sedangkan, PelakuKorban1 cenderung menggunakan strategi avoiding. Respon
terhadap
fenomena
‘perselingkuhan’
dan
konsepsi
individu
mengenai
‘perselingkuhan’ yang telah dijabarkan peneliti tersebut, tentunya tidak terlepas dari karakteristik awal dari pembentukan CRR. Dari kesemua strategi yang digunakan, kesemuanya merupakan strategi yang bersifat non-competitive, dimana hal tersebut mungkin memiliki relasi dengan bagaimana partisipan yang terlibat CRR telah mempersiapkan diri akan sifat hubungan yang cenderung temporer. Sehingga, respon yang timbul kemudian cenderung less-emotional dan lebih tenang, meskipun hubungan melibatkan aspek emosional yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA Ben-Ze’ev, A. 2004, Love Emotion: Emotions on the Internet, Cambridge University Press, Cambridge. Döring, N. 2002, ‘Studying online-love and cyber-romance’ in Online Social Science, pp. 333-356, Hogrefe & Huber Pubishers, Seattle, Toronto, Switzerland, Germany. Fiore, A., T. & Donath, J., S. 2005, Homophily in Online Dating: When Do You Like Someone Like Yourself?,MIT Media Laboratory, Oregon. Guerrero, L. K., Andersen P. A., & Afifi, W. A. 2007, Close Encounters Communication in Relationships, SAGE Publication, London. King, L. A. 2011, The Science of Psychology, McGraw Hill, New York. Liliweri, A. 1997, Komunikasi Antarpribadi, PT Citra Ditya Bakti, Bandung. Lister, M., Dovey, J., Giddings, S., Grant, I., & Kelly, K. 2009, New Media: A Critical Introduction, Routledge, New York. Littlejohn, S. W. & Foss, K. A. 2005, Theories of Human Communication 8th ed. Wadsworth Publishing Company, California. Sternberg, R., J. & Barnes, M., L. 1988, The Psychology of Love, Yale University Press. Sude, M. E. 2008, Family of Origin Functioning and The Likelihood of Seeking Romantic Partners. ProQuest LLC, Syracuse University. Turkle, S. 2011, Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other, Basic Books, New York. Zeifman, D., & Hazan, C. 2000, A Process Model of Adult Attachment Formation, Wiley, New York. Zur, O. 2012, Infidelity: Myth, Facts, and Healing, ZurInstitute. Journal Article Akins, F., Check, E., & Riley, R. 2004, ‘Technological lifelines: virtual intimacies and distance learning’, Studies in Art Education-Technology Issue, vol. 46, no. 1, pp. 34-47, National Art Education Association. Baker, A. 2002, ‘What makes an online relationship successful? Clues from couples who met in cyberspace’, CyberPsychology & Behaviour, vol. 5, no. 4, pp. 363-375. 10
McKenna, K. Y. A. & Bargh, J. A. 2000, ‘Plan 9 from cyberspace: The implications of the internet for personality and social psychology’, Personality and Social Psychology Review, vol. 42, no. 1, pp. 57-75, Lawrence Erlbaum Associates, Inc. Merkle, E. R. & Richardsons, R. A. 2000, ‘Digital dating and virtual relating: Conceptualizing computer mediated romantic relationships’, Family Relations, vol. 49, no. 2, pp. 187-192. Shaver, P. R., & Mikulincer, M. 2002, ‘Attachment-related psychodynamics’, Attachment and Human Development, vol. 4, pp. 133-161. Smith, T. 2011, ‘Understanding infidelity: An interview with Gerald Weeks’, The Family Journal: Counseling and Theraphy for Couples and Family, vol. 19, no. 3, pp. 333-339. Thompson, A. P. 1984, ‘Emotional and sexual components of extramarital relations’. Journal of Marriage and the Family, vol. 46, pp. 35–42. Whitty, M. T. & Quigley, L. 2008, ‘Emotional and sexual infidelity offline and in cyberspace’, Journal of Marital and Family Therapy, vol. 34, no. 4, pp. 461-469. Whitty, M. T. 2005, ‘The realness of cybercheating: Men’s and women’s representations on unfaithful Internet relationships’, Social Science Computer Review, vol. 23, pp. 57. Wysocki, D.K. & Childers, C. D. 2011, ‘Let my fingers do the talking: Sexting and infidelity in cyberspace’, Sexuality and Culture, vol. 15, pp. 217-235. Electronic Resources Brym , J. R. & Lenton, L. R. 2001, ‘Love online: A report on digital dating in Canada’, [Online Article], accessed 03 April 2013, Available at: http://www.bestsoftworks.com/docs/loveonline.pdf Guharoy, D. & Morgan, R. 2012, ‘Analysis: The truth about internet usage in Indonesia’, The Jakarta Post, [Online Article], accessed 10 April 2013, Available at: http://www.thejakartapost.com/ news/2012/07/24/analysis-the-truth-about-internet-usage-indonesia.html.
11