Riyo Anjar Seno, “Strategi Adaptasi Penjaga Perlintasan Kereta Api di Kota Surabaya”, hal.79-86.
Strategi Adaptasi Penjaga Perlintasan Kereta Api di Kota Surabaya Riyo Anjar Seno
Abstract The study was backed by the by the development of railways in Indonesia that the longer it has become a dependable transportation. The reason the railway transportation since the election has evolved into a mass transportation is cheap, efficient, and able to avoid congestion particularly in urban areas. However, it was not offset by improvements in several factors. It was still visible from the train wreck happens every year. One of the factors behind their safety of rail travel is crossing guard both unofficial and official. The methods used in this research is qualitative method with the mengkomparasikan railway crossing guard between unofficial and official. The comparison among other things such as working patterns, obstacles, and strategies. Using data collection techniques of observation (observations) and in-depth interview with interview guidelines. The results showed no difference in the pattern of action of crossing guards is not official and the official. Such differences include the recruitment, the division of work schedules, how it works, the equipment used, and earnings. The difference in keeping the crossing that give rise to different strategies. It is visible from the its strategy conducted by the unofficial crossing guards like warn road users through border crossings, halting trains when there is a vehicle stopped in the middle of the crossing, lower the portal that was given by the church, gave a sign if a train passing, scold and flush the engineer because it did not give the signal lights and the sound. Otherwise the adaptation strategy carried out the official crossing guards as asking for compensation for road users that broke brightly door, doing an explanation to the user path that the train must come first, using the manual way when there is a power cut, and still waiting for the repair when there is equipment that is damaged. Keywords: railways, transportation,safety, crossing guard
T
ransportasi merupakan salah satu sarana dan prasarana yang vital bagi kehidupan manusia. Hal itu karena dengan adanya transportasi yang semakin baik akan memicu perkembangan mobilitas yang baik. Dengan adanya mobilitas yang baik
maka tingkat produktifitas akan ikut meningkat. Peningkatan produktifitas merupakan motor utama dalam menunjang kemajuan ekonomi. Ekonomi yang sudah berkembang selalu menunjukkan tingkat mobilitas yang tinggi, yang ditunjang oleh transportasi yang lancar. Sebaliknya ekonomi yang belum berkembang ditandai oleh faktor mobilitas yang masih rendah terutama dipengaruhi oleh distribusi dan angkutan yang belum lancar (Nasution, 2004: 14). Kota Surabaya merupakan salah satu contoh kota yang mempunyai mobilitas tinggi terutama transportasi daratnya. Salah satu pilihan transportasi darat yang dipilih oleh masyarakat adalah kereta api yang dapat terhindar dari kemacetan dan mempunyai biaya yang murah serta efisien. Namun sayangnya, perkembangan kereta api di Indonesia banyak dinodai oleh berbagai kecelakaan. Faktor manusia merupakan faktor terpenting dalam AntroUnairDotNet, Vol.1/No.1/Juli-Desember 2112 hal. 79
Riyo Anjar Seno, “Strategi Adaptasi Penjaga Perlintasan Kereta Api di Kota Surabaya”, hal.79-86.
terjadinya kecelakaan. Salah satu faktor manusia tersebut adalah penjaga perlintasan kereta api baik yang resmi dan tidak resmi. Penjaga perlintasan kereta api adalah orang yang menjaga perlintasan kereta api yaitu tempat persimpangan antara jalan rel kereta api dengan jalan raya. Penjaga perlintasan kereta api resmi adalah pegawai yang direkrut dan mendapatkan gaji serta tunjangan-tunjangan dari PT. KAI (Kereta Api Indonesia). Peralatan-peralatan operasional yang digunakannya lebih modern serta berasal dari PT. KAI (Kereta Api Indonesia) seperti pos perlintasan, palang pintu, bel genta, serta alat menaik turunkan palang pintu. Pekerjaan ini juga banyak menghadapi kendala-kendala yang dapat berujung pada kecelakaan. Apabila terjadi kecelakaan di perlintasan, maka penjaga perlintasan tersebut selalu disalahkan terlebih dahulu. Padahal tidak semua kecelakaan yang terjadi karena kelalaian petugas tetapi lebih cenderung pada si pengguna jalan yang tidak sabar menunggu kereta api melintas. Sebaliknya berdasarkan observasi di lapangan penjaga perlintasan kereta api tidak resmi yaitu orang yang bukan pegawai dari PT. KAI (Kereta Api Indonesia) serta biasanya yang menjaga itu merupakan masyarakat sekitar yang peduli terhadap keselamatan pengguna jalan. Penghasilan yang mereka dapat tidak menentu kadang-kadang banyak begitupun sebaliknya. Penghasilan mereka berasal dari sumbangan-sumbangan yang diberikan oleh para pengguna jalan. Peralatan yang mereka gunakan juga sangatlah sederhana berbeda dengan penjaga perlintasan resmi. Berdasarkan uraian di atas peneliti ingin mendeskripsikan pola kerja serta kendala dan strategi adaptasi yang dilakukan oleh penjaga perlintasan kereta api tidak resmi dan resmi di Kota Surabaya terutama daerah Surabaya bagian selatan yang mempunyai jalur lebih padat daripada Surabaya bagian utara. Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat digunakan untuk merumuskan permasalahan yang terjadi pada penjaga perlintasan kereta api tidak resmi dan resmi yang berada di Kota Surabaya yaitu bagaimana pola kerja yang terjadi antara kedua jenis pekerjaan ini yang meliputi perekrutan, pembagian jadwal kerja, cara mereka bekerja, peralatan yang digunakan, dan penghasilan serta bagaimana kendala dan strategi adaptasi yang dilakukan oleh kedua jenis pekerjaan ini ? Tujuan penelitian ini menggambarkan pola kerja yang terjadi antara penjaga perlintasan kereta api tidak resmi dan resmi. Hal itu terlihat dari perbedaan perekrutan, pembagian jadwal kerja, cara mereka bekerja, peralatan yang digunakan, dan penghasilan.
AntroUnairDotNet, Vol.1/No.1/Juli-Desember 2112 hal. 80
Riyo Anjar Seno, “Strategi Adaptasi Penjaga Perlintasan Kereta Api di Kota Surabaya”, hal.79-86.
Kemudian dari cara mereka bekerja dapat diketahui mengenai kendala-kendala serta strategi adaptasi yang mereka lakukan. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena dengan menggunakan metode ini, peneliti dapat menangkap fenomena-fenomena maupun gejala-gejala sosial yang ada disekitar dengan lebih terperinci. Penelitian semacam ini sedikit bebas mencari hubungan antar konsep yang sebelumnya tidak pasti maksudnya. Penelitian kualitatif lebih fleksibel, tidak memberi harga mati, reflektif, dan imajinatif. Dengan kata lain, penelitian kualitatif dapat berkisar pada hal yang sederhana namun, tinjauannya lebih holistik (Endraswara, 2003: 16-17). Berikut ini ada beberapa tahapan yang digunakan untuk melengkapi hasil penelitian antara lain : lokasi penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik penentuan informan. Pemilihan lokasi ditetapkan secara purposive atau sengaja karena peneliti telah memilih secara langsung penelitian ini berlokasi di perlintasan-perlintasan kereta api yang berada di Kota Surabaya terutama, perlintasan di JPL (Jalan Perlintasan) 25 Jemursari dan perlintasan di Jalan Gayung Kebonsari. Alasan pemilihan lokasi penelitian karena pertama, perlintasan-perlintasan itu berada pada jalur selatan yang merupakan jalur yang memiliki intensitas kereta api yang sangat padat dan juga sangat ramai dilewati kendaraan. Kedua, perlintasan-perlintasan yang berada pada jalur selatan sering mengalami kecelakaan terutama antara kereta api dan pengguna jalan. Hal itu berbeda dengan lokasi perlintasan yang berada pada jalur utara yang intensitasnya tidak terlalu ramai. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi (pengamatan), wawancara mendalam (indepth interview), serta penggunaan bahan-bahan dokumen dan internet. Penelitian ini menggunakan pengamatan langsung (observasi), pengamatan atau observasi pertama dilakukan peneliti di perlintasan di jalan Gayung Kebonsari pada tanggal 5 September 2011. Pertama yang dilakukan peneliti adalah mengamati siapa saja yang menjaga perlintasan tersebut baik itu pagi hari, siang hari, sore hari, maupun malam hari. Kedua mengamati cara mereka bekerja serta keadaan perlintasan tersebut. Kedua hal tersebut dilakukan peneliti setiap harinya selama proses pembuatan bab 1. Kemudian observasi pada perlintasan kereta api resmi di JPL (Jalan Perlintasan) 25 Jemursari dilakukan ketika ijin dari Daop VIII Surabaya diperoleh. Observasi tersebut dilakukan pada tanggal 10 Oktober 2011 setelah diarahkan oleh Pak Shalekan (Kepala Resor JR 8,7 Gubeng). Peneliti mengamati keadaan suasana di perlintasan tersebut setiap harinya AntroUnairDotNet, Vol.1/No.1/Juli-Desember 2112 hal. 81
Riyo Anjar Seno, “Strategi Adaptasi Penjaga Perlintasan Kereta Api di Kota Surabaya”, hal.79-86.
sementara itu untuk berkenalan dengan penjaganya dilakukan pada saat sebelum proses wawancara. Ketika melakukan proses pengamatan, peneliti juga menggunakan bantuan alat seperti kamera dari handphone untuk mengambil foto-foto yang relevan dengan pokok penelitian seperti peralatan-peralatan yang digunakan dalam menjaga perlintasan, informan-informan, dan keadaan perlintasan. Wawancara mendalam (indepth interview) dilakukan dengan bahasa yang sederhana agar peneliti dan informan tidak mengalami kesulitan dalam berkomunikasi. Wawancara mendalam dilakukan pada keadaan yang santai, luwes, tidak berada dalam tekanan agar tercipta hubungan yang akrab dan kekeluargaan antara peneliti dan informan. Peneliti juga mengembangkan pedoman wawancara agar mendapatkan data yang lebih terperinci sehingga dapat mendukung data dengan lebih baik. Penggunaan alat bantu rekam yang berupa voice recorder digunakan peneliti agar dapat membantu ketika proses wawancara berlangsung karena terbatasnya daya ingat peneliti serta untuk mengingat hal-hal penting yang disampaikan oleh informan. Wawancara pertama kali dilakukan oleh peneliti pada para penjaga perlintasan kereta api tidak resmi karena pada saat itu peneliti belum mempunyai ijin untuk mewawancarai penjaga perlintasan kereta api yang resmi. Wawancara pertama dengan Mbah Sariman kemudian berlanjut ke anggota lainnya yaitu Pak Kesi, Pak Parli, Mbah Syamsudin. Kemudian wawancara berlanjut pada Pak Lasminto yang merupakan mantan Ketua RW 3. Berkat beliau peneliti mengetahui asal-usul terbentuknya penjaga perlintasan kereta api tidak resmi.
Wawancara tersebut dapat terjadi karena peneliti sebelumnya telah membuat janji
terlebih dahulu dengan para informan agar tidak mengganggu mereka saat menjaga perlintasan. Setelah itu, peneliti melakukan wawancara dengan para karyawan Daop VIII seperti Pak Yulianto (Asisten Manager Program Jalan Rel dan Jembatan), Pak Herijanto (Asisten Manager SDM), dan Pak Shalekan (Kepala Resor JR 8,7 Gubeng). Atas arahan dan ijin dari Pak Shalekan, peneliti dapat melakukan wawancara ke penjaga perlintasan resmi yang berada di JPL (Jalan Perlintasan) 25 Jemursari. Kemudian peneliti langsung melakukan wawancara pada para penjaga perlintasan kereta api resmi seperti Pak Warsito, Pak Bambang, Mas Imam, dan Mas Aris. Proses wawancara dengan penjaga perlintasan kereta api resmi dilakukan pada saat mereka bekerja karena lebih efisien jika dibandingkan harus ke rumah mereka masing-masing.
AntroUnairDotNet, Vol.1/No.1/Juli-Desember 2112 hal. 82
Riyo Anjar Seno, “Strategi Adaptasi Penjaga Perlintasan Kereta Api di Kota Surabaya”, hal.79-86.
Peneliti juga mencatat, mengutip dokumen-dokumen dan buku yang berasal dari Daop VIII seperti dokumen kecelakaan yang terjadi di perlintasan, peta perlintasan yang berada di seluruh Daop VIII, buku undang-undang perkeretaapian, dan data lainnya yang terkait dengan penelitian. Kemudian peneliti juga menggunakan penelitian terdahulu, bukubuku, media massa, dan media online (internet) yang digunakan untuk menunjang dan melengkapi data hasil penelitian. Berdasarkan kategori informan menurut Spradley (1997: 70), ada 11 informan yang dipilih yaitu : Mbah Sariman 65 tahun, adalah warga RW 3 Kelurahan Kebonsari. Dulunya beliau bekerja sebagai tukang becak, tetapi sejak tahun 1989 menjadi penjaga perlintasan kereta api tidak resmi. Pak Kesi 58 tahun, adalah warga RW 3 Kelurahan Kebonsari. Dulunya beliau bekerja sebagai tukang becak, tetapi sejak tahun 1991 menjadi penjaga perlintasan kereta api tidak resmi. Pak Suparli 57 tahun, adalah warga RW 3 Kelurahan Kebonsari. Sejak tahun 1995, beliau bekerja sebagai penjaga perlintasan kereta api tidak resmi dan menjadi ketua dari para penjaga perlintasan ini. Mbah Syamsudin 68 tahun, adalah warga RW 3 Kelurahan Kebonsari. Dulunya beliau bekerja sebagai sopir, tetapi sejak tahun 2007 menjadi penjaga perlintasan kereta api tidak resmi. Pak Lasminto 60 tahun, adalah mantan Ketua RW 3 Kelurahan Kebonsari. Dulu beliau menjabat sebagai Ketua RW 3 tahun 2000 dan mengatur jadwal kerja penjaga perlintasan kereta api tidak resmi. Kemudian Pak Warsito 41 tahun, adalah salah satu penjaga perlintasan kereta api resmi. Dulu beliau bekerja di restoran kereta api Rembang, kemudian beliau mendaftar untuk menjadi pegawai PT. KAI (Kereta Api Indonesia) yang saat itu membutuhkan tenaga. Akhirnya tahun 2008, beliau ditetapkan menjadi pegawai tetap. Pak Bambang Priyono 26 tahun, adalah salah satu penjaga perlintasan kereta api resmi. Dulu beliau bekerja sebagai tenaga outsourching atau kontrak. Sejak tahun 2007, beliau telah diangkat menjadi pegawai tetap. Mas Imam 23 tahun, adalah salah satu penjaga perlintasan kereta api resmi tetapi hanya sebagai wakilan atau pengganti. Beliau mendaftar lewat jalur umum yaitu internet. Beliau diangkat menjadi pegawai tetap pada tahun 2010. Mas Aris Tiyanto 21 tahun, adalah salah satu penjaga perlintasan kereta api resmi. Beliau mendaftar lewat jalur umum yaitu internet. Kemudian beliau diangkat menjadi pegawai tetap tahun 2010. Pak Herijanto Widodo 49 tahun, adalah pegawai dari PT. KAI (Kereta Api Indonesia) yang menjabat sebagai Asisten Manager SDM Daop VIII Surabaya. Hasil wawancara dengan beliau didapatkan data mengenai usia minimal, usia pensiun, syarat-syarat menjadi penjaga perlintasan, dan perbedaan perlintasan operasional, jalan dan jembatan serta pihak ketiga. Pak Yulianto 35 AntroUnairDotNet, Vol.1/No.1/Juli-Desember 2112 hal. 83
Riyo Anjar Seno, “Strategi Adaptasi Penjaga Perlintasan Kereta Api di Kota Surabaya”, hal.79-86.
tahun, adalah pegawai dari PT. KAI (Kereta Api Indonesia) yang menjabat sebagai Asisten Manager Program Jalan Rel dan Jembatan Daop VIII Surabaya. Berdasarkan wawancara dengan Pak Yulianto didapatkan data mengenai jenis-jenis perlintasan menurut Daop VIII Surabaya, jumlah perlintasan, peta perlintasan, serta perbedaan antar perlintasan-perlintasan tersebut. Peneliti menggunakan analisis data kualitatif dalam melakukan analisis terhadap temuan-temuan data yang ada di lapangan. Data yang berasal dari wawancara, observasi, internet, buku, dan jurnal dikumpulkan terlebih dahulu untuk mempermudah proses analisis kompilasi data. Hasil data yang berasal dari rekaman wawancara dengan informan ditranskrip terlebih dahulu ke dalam sebuah catatan. Kemudian data hasil transkrip wawancara, observasi, internet, buku, dan jurnal diolah untuk dipilah-pilah. Data tersebut dipilah-pilah untuk mempermudah proses memasukkan data sesuai permasalahan penelitian. Setelah itu data dapat kategorikan dari data yang disajikan.
Lingkup Penelitian Pola kerja penjaga perlintasan kereta api tidak resmi terdiri dari: perekrutan yang mana proses perekrutan berdasarkan ajakan kepada sesama warga RW 3. Jadi hubungan pertemanan antara sesama warga RW 3 mempermudah proses perekrutan anggota penjaga perlintasan. Pembagian jadwal kerja tidak beraturan karena jatah tugas menjaga tidak sama seperti ada yang menjaga hanya 1 jam, 2 jam, 3 jam, serta 5 jam. Hal itu dilakukan setiap hari tanpa adanya sistem rolling atau pergantian jam karena mereka yang sudah nyaman dengan jadwal kerjanya yang lama tidak mau dirubah. Hal itu terjadi juga karena ada unsur senioritas di dalam kelompok itu. Cara kerja yang diterapkan penjaga perlintasan kereta api tidak resmi termasuk tidak memenuhi standar keselamatan. Hal itu karena mereka tidak pernah mendapatkan pelatihan resmi dari PT. KAI (Kereta Api Indonesia) dan hanya mendapatkan pengetahuan dari sesama penjaga perlintasan
saja. Peralatan yang digunakannya juga
sederhana dan tidak canggih. Alat-alat yang digunakannya antara lain peluit, bendera merah (digunakan saat siang hari), senter merah (digunakan saat malam hari), rompi petugas keamanan (security), dan jam tangan. Penghasilan yang didapatkan tidaklah sama, hal itu bergantung dari waktu dan lama menjaga perlintasan. Jika penjaga perlintasan tersebut menjaga pada jam-jam ramai dan lama, otomatis sumbangan yang didapatkan banyak akhirnya mempengaruhi penghasilan begitupun sebaliknya. Perlintasan tersebut ramai hanya
AntroUnairDotNet, Vol.1/No.1/Juli-Desember 2112 hal. 84
Riyo Anjar Seno, “Strategi Adaptasi Penjaga Perlintasan Kereta Api di Kota Surabaya”, hal.79-86.
pada jam-jam tertentu seperti jam anak sekolah masuk, orang-orang berangkat ke kantor, orang-orang pulang kantor dan sebelum tengah malam hari. Sebaliknya pola kerja penjaga perlintasan kereta api resmi terdiri dari : perekrutan pegawai yang mana dilakukan PT. KAI (Kereta Api Indonesia) sesuai perkembangan zaman. Selain melalui surat kabar, juga telah menggunakan media online agar mempermudah proses merekrut pegawai. Tetapi masih ada juga yang proses perekrutannya berasal dari dalam tubuh perusahaan sendiri seperti Pak Warsito. Ada beberapa syarat untuk melamar menjadi pegawai penjaga perlintasan diantaranya tingkat pendidikan terakhir adalah SMA (Sekolah Menengah Atas) dan umur yang diperbolehkan antara 18-23 tahun. Untuk pembagian jadwal dinasan para penjaga perlintasan kereta api resmi sangat rapi, teratur serta terkoordinir. Jadwal dinasan tersebut diatur oleh atasan mereka yaitu Pak Shalekan (Kepala Resor JR 8,7 Gubeng). Pertimbangan untuk membuat jadwal kerja juga dilihat dari jumlah anggota tim yang terdapat pada perlintasan. Cara kerja yang dipakai untuk menjaga perlintasan sudah memenuhi standar keselamatan bahkan peralatan yang digunakan juga canggih seperti bel genta, palang pintu perlintasan, telepon, alat menaikkan atau menurunkan perlintasan, HT. Sebelumnya para penjaga perlintasan telah dilatih terlebih dahulu oleh PT. KAI (Kereta Api Indonesia) agar mahir dan mengerti mekanisme peralatan yang mereka gunakan. Mereka menerima penghasilan berdasarkan golongan jabatannya. Jika golongan jabatannya tinggi maka gajinya juga tinggi begitupun sebaliknya. Selain gaji pokok yang diterima, mereka juga mendapat tunjangan-tunjangan seperti beras, transportasi, resiko, reperentasi, perumahan, serta anak istri (khusus bagi yang sudah menikah). Strategi adaptasi yang dilakukan penjaga perlintasan kereta api tidak resmi seperti : kereta api tidak memberi sinyal berupa lampu dan suara. Strategi adaptasi yang dilakukan yaitu penjaga perlintasan memarahi dan menyiram masinis dengan air agar masinis lebih memperhatikan kesalahan yang dibuatnya. Ada juga kendala yang terjadi saat pengendara mobil berhenti di tengah rel karena mereka sedang pacaran. Strategi adaptasi yang dilakukan yaitu penjaga perlintasan
menghentikan kereta api. Kendala lain muncul saat pemasangan
portal oleh pihak gereja setempat. Portal tersebut membuat masalah karena saat itu ada truk yang menyenggol portal dan akhirnya mengenai mobil. Untuk mengatasi masalah itu muncul kembali, strategi adaptasi yang dilakukan penjaga perlintasan dengan mencopot portal tersebut agar tidak membuat masalah lagi. Kemudian ada juga kendala yang hampir menghilangkan nyawa, dimana pengendara mobil tersebut tertabrak kereta api karena tidak menghiraukan penjaga perlintasan yang telah memberi tanda bahwa kereta api akan melintas. AntroUnairDotNet, Vol.1/No.1/Juli-Desember 2112 hal. 85
Riyo Anjar Seno, “Strategi Adaptasi Penjaga Perlintasan Kereta Api di Kota Surabaya”, hal.79-86.
Sebaliknya strategi adaptasi yang dilakukan penjaga perlintasan kereta api resmi seperti : penutupan pintu perlintasan terlalu lama yang mengakibatkan para pengendara mobil, trek, bus, maupun motor marah. Strategi adaptasi yang dilakukan penjaga resmi yaitu melakukan penjelasan dan pemahaman kepada mereka bahwa semua yang dilakukan itu telah sesuai standar keselamatan. Kemudian kendala lain muncul pada saat adanya pemadaman listrik tanpa pemberitahuan. Strategi adaptasi yang dilakukan yaitu penjaga resmi menggunakan cara manual dan ia juga membutuhkan bantuan orang. Kendala berikutnya yaitu pada saat adanya peralatan rusak yang membutuhkan perbaikan, tetapi bagian perbaikan belum juga datang. Strategi adaptasi yang dilakukan penjaga resmi yaitu tetap menunggu bagian perbaikan dan melakukan cara manual untuk menjaga perlintasan.
Kesimpulan Pola kerja penjaga perlintasan kereta api tidak resmi dan resmi berbeda. Hal itu dapat dilihat dari perekrutan, pembagian jadwal kerja, cara kerja dan peralatan yang digunakan, serta penghasilan. Pola kerja tersebut beda juga karena penjaga perlintasan kereta api resmi dikontrol dan diatur oleh PT KAI (Kereta Api Indonesia), sebaliknya penjaga perlintasan kereta api tidak resmi bebas tanpa dikontrol dan diatur oleh PT KAI. Kendala dan strategi adaptasi yang dilakukan oleh penjaga perlintasan kereta api tidak resmi dan resmi juga berbeda. Hal itu terjadi karena adanya perbedaan cara menjaga perlintasan dimana penjaga tidak resmi menggunakan cara manual sebaliknya penjaga resmi menggunakan peralatan yang canggih. Tetapi ada satu kesamaan kendala yang dihadapi oleh kedua jenis pekerjaan ini yaitu adanya pengendara baik mobil, truk, bis, dan motor yang menerobos perlintasan. Para pengendara terus melakukan kesalahan yang sama karena ketidaksabarannya menunggu kereta api melintas. Padahal tindakan mereka dapat membahayakan dirinya sendiri dan orang lain. Umumnya, kendala yang dihadapi penjaga perlintasan berasal dari kecerobohan, kebodohan, dan kekurang hatian para pengendara.
Daftar Pustaka Endraswara, Suwardi (2003), Metode Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Nasution, M. Nur (2004), Manajemen Transportasi. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia. Spradley, James. P (1997), Metode Penelitian Etnografi. Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana.
AntroUnairDotNet, Vol.1/No.1/Juli-Desember 2112 hal. 86